12 minute read

Perubahan Lingkungan & Kehidupan Berkota di Kampung Pekojan

Kinayung Syafira Aratuza

Pendahuluan

Advertisement

Kampung Pekojan atau Kampung Arab ini sudah ada sejak masa pendudukan HindiaBelanda di Indonesia, sesuai dengan namanya kampung ini memang dikhususkan untuk masyarakat dengan etnis Arab, mengingat Kampung Pekojan diawali dengan bermukimnya bangsa Moor atau India-muslim yang berasal dari pantai Koromandel di India pada abad ke16 namun mulai dikenal di abad ke-17, kemudian pada awal abad ke-19 mulai berdatangan bangsa Arab yang terus meningkat secara bertahap, yang memilih untuk bermukim bersama dengan penduduk muslim non-pribumi, seiring berjalannya waktu Kampung Pekojan mulai diisi masyarakat dari berbagai etnis yang dominasi oleh etnis tionghoa.

Kota, Desain, dan Kehidupan Kota : Kampung Pekojan

Guy Julier (2000) membuat karakterisasi “budaya desain” yang membahas aspek penting dalam kehidupan berkota, yaitu kaitan antara desainer kota, konsumsi, dan produksi yang akan berimbas pada objek, ruang, dan image kota, tujuannya untuk melihat keberlanjutan kota. [1] Desainer kota diartikan sebagai perencana kota maupun pemerintahan yang mengatur kota, konsumsi adalah apa yang dibutuhkan masyarakat untuk memenuhi kehidupan sehari-hari (air bersih, pangan, kesehatan, keamanan), dan produksi adalah apa yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga menjadi sebuah identitas.

Kampung Pekojan pada masa pendudukan Hindia-Belanda diatur oleh seorang Kapiten Arab sampai tahun 1942 yang bertanggung jawab kepada Residen Batavia sebagai pengawas, sementara yang menangani Kampung Pekojan secara langsung disebut wijkmeester atau Tuan Bek yang bertugas mengatur pelaksanaan ronda jaga dari pukul 8 malam hingga pukul 5 pagi, melakukan pencatatan perkawinan, kelahiran, dan kematian, yang kemudian dikirimkan pada kapiten Arab, serta melakukan pencatatan warga yang sudah berusia 16 tahun keatas di Kampung Pekojan. [2] Masyarakat yang memiliki rumah maupun toko diwajibkan membayar pajak, pajak tersebut digunakan untuk biaya membersihkan kali/kanal, sampah, perbaikan jalan dan jembatan, ketertiban dan kesehatan.

Kanal : Sumber Air Bersih hingga Pembuangan

Kampung Pekojan hingga 1897 hampir seluruh area dikelilingi oleh kali/kanal yang pada saat itu berfungsi sebagai alat transportasi untuk mendistribusikan barang, salah satunya adalah Kali Angke yang berada tepat di sebelah Masjid Langgar Tinggi, sekitar tahun 1956 Kali Angke masih berfungsi sebagai jalur transportasi getek yang singgah ke Masjid Langgar Tinggi untuk beristirahat atau menunaikan shalat, jalur transportasi ini digunakan oleh pedagang yang akan membawa dagangannya ke Area Pecinan dan juga Pekojan. Sumber air bersih untuk keperluan minum, mandi dan mencuci diperoleh dari kali/kanal (Bacharach Scratch) [3] dan air hujan, saat ini kali/kanal yang masih bertahan adalah Kali Angke (bagian selatan Kampung Pekojan), Kali Krukut (bagian timur Kampung Pekojan) dan Kali Bandengan selatan (bagian utara KampungPekojan) yang hanya berfungsi sebagai saluran pembuangan air kotor (gambar 1).

Gambar 1. Posisi Kali/Kanal pada Peta Kampung Pekojan 1874 (kiri) dan 2020 (kanan) Sumber : Leiden University

Selain itu, sumber air bersih juga berasal dari air hujan yang ditampung, tempat penampungan air ini berada pada Gang Kampong Ajer terletak diantara Gang Koja dan Gang Gatep, Gang Kampung Ajer dahulunya disebut sebagai Kebon Bingung karena jika ada orang baru yang berkunjung kesana sulit untuk bisa kembali ke tempat asal mereka masuk pertama kali, kemudian Nama Kampung Ajer ini ada karena disana dibuatkan kolam air yaitu menampung air hujan untuk wadah para warga yang ingin mengambil air di musim kemarau. [4] Gang Kampung Ajer dapat terlihat pada peta kampung pekojan tahun 1897 yang masih eksis hingga tahun 1945, namun saat ini digantikan oleh rumah-rumah masyarakat Pekojan (gambar 2). Pada tahun 1918 setelah berdirinya Perusahaan Air Minum (PAM) di Batavia dengan sumber air bakunya berasal dari Mata Air Ciomas, Kampung Ajer ini menjadi lokasi ledeng air PAM terpusat yang digunakan oleh masyarakat bersama-sama, namun seiring berjalannya waktu semakin pesatnya pembangunan rumah serta tuntutan efisiensi, kini ledeng PAM komunal tersebut sudah tidak ada lagi, kemungkinan berganti menjadi pipa yang langsung disambungkan dari PAM Pusat ke rumah masing-masing. Berbeda dengan cara pengambilan air pada abad ke18, yaitu menggunakan dua buah ember kayu yang dipikul pada bahu, pada masa pemerintahan Belanda terdapat orang-orang dengan pekerjaan sebagai pengangkut air (gambar 3).

Gambar 2. Letak Kampung Ajer pada Peta Kampung Pekojan 1897 (kiri), 1945 (tengah) (1945), 2020 (kanan) Sumber : KITLV dan Googlemaps

Gambar 3. Lukisan “Pengangkut air, Batavia” 1845 Sumber : KITLV-Clercq, J.H.W. le.

Sejak tahun 1630 kanal tidak hanya digunakan sebagai sumber air bersih, tetapi juga sebagai tempat pembuangan kotoran manusia, yang hanya boleh dilakukan setelah pukul 9 malam (De Haan, 1953 [5]), bisa dipahami karena pada masa itu rumah-rumah di dalam Kota Batavia tidak ada yang memiliki kamar mandi. Segala jenis kotoran ditampung pada tempat tertentu dan pada jam 9 malam kotoran tersebut dibuang ke kali/kanal oleh para budak. Kakus dan kamar mandi baru dikenal pada pertengahan abad ke-19 di Eropa. Pelaksanaan pembersihan kali/kanal biasanya dilakukan bersama-sama dengan pembuangan sampah. Pembuangan limbah khususnya air kotor pada kali/kanal masih terjadi hingga saat ini, bedanya hanya pada penggunaan pipa saluran untuk mengalirkan air kotor dari rumah ke kali (gambar 4)

Gambar 4. Pipa pembuangan air kotor pada Kali Angke belakang Masjid Langgar Tinggi, 2020 Sumber : dokumentasi pribadi

Masyarakat juga membuang sampah pada kanal, sampai pada tahun 1673 pemerintah Belanda sudah mulai menyediakan kotak-kotak dari batu bata untuk menampung sampah di setiap distrik, namun kotak sampah tersebut jarang dikosongkan, sehingga menimbulkan bau dan masyarakat masih banyak yang membuang sampah pada kali. Pada pertengahan abad ke-19 aturan mengenai membuat dan menempatkan bak sampah di muka rumah dikeluarkan, karena melihat kanal yang kering tidak memungkinkan perahu pengangkut pembuangan sampah untuk berjalan. Sistem pembuangan sampah diawasi oleh Tuan Bek, sampah yang sudah dikeluarkan

dari bak sampah akan dibuang ke tempat yang sudah ditentukan oleh Belanda, yang berada di luar tembok kota, jika ketahuan membuang sampah atau kotoran lainnya pada kali/kanal akan dikenakan denda sebesar 6 rijksdaalders namun masyarakat masih saja membuang sampah pada kali/kanal sehingga denda dinaikan jadi 25 rijksdaalders. Kebiasaan membuang sampah pada kali terus terjadi hingga saat ini oleh warga yang tinggal tepat di sebelah kali/kanal, namun kegiatan pembersihan kali cukup sering dilakukan oleh pemerintah, petugas, dan warga Pekojan sendiri. Sistem pembuangan sampah saat ini adalah dengan cara membuangnya langsung ke bak sampah utama dan juga ada beberapa warga menyimpan sampahnya di depan rumah, yang kemudian akan diambil oleh petugas kebersihan (gambar 5).

Gambar 5. Sistem pembuangan sampah, Pekojan, 2020 Sumber : dokumentasi pribadi

Kampung Pekojan dan Kebakaran

Keluarnya peraturan larangan membuat, menjual dan memasang petasan mercon dari segala jenis (30 Desember 1690) adalah awal mula kesadaran mengenai kebakaran di Batavia, mercon dianggap membahayakan karena dapat menyebabkan kebakaran di dalam kota. Kebakaran juga sering terjadi karena rumah-rumah dan bangunan pada abad-17 masih terbuat dari bambu dan kayu yang sangat mudah terbakar, oleh sebab itu pada 21 Juli 1767 dibuat aturan mengenai larangan membangun rumah dengan bambu, kayu, atau bahan-bahan yang mudah terbakar lainnya, pemerintah Belanda mewajibkan untuk menggunakan material batu bata untuk dinding rumah,

membuat tembok pemisah antar rumah, dan atapnya harus terbuat dari material genteng [6] salah satu contoh Rumah Ny. Yap Proe Nio di Pekojan yang menggunakan bahan yang tidak mudah terbakar. Api sebagai kebutuhan manusia dapat menyebabkan masalah kebakaran tapi juga menjadi sebuah aspek yang dipertimbangkan dalam penggunaan material serta penataan rumah di Kampung Pekojan (gambar 6).

Gambar 6. Rumah Ny. Yap Proe Nio di Pekojan 1934 Sumber : delpher.nl

Pemerintah Hindia Belanda mulai membentuk satuan pemadam pada tahun 1873 yang bernama Brandweer. Pemadam api pada masa itu hanya menggunakan tangga, alat manual semprot air tangan, serta baju dan helm mirip jas hujan, tidak tahan api. Di masa sebelum brandweer ada orang mengandalkan jasa tukang ronda, maka untuk perlengkapan ronda diadakan gardu lengkap dengan kentongan kayu. Kentongan ini dipukul saat terjadi kebakaran, perampokan, atau jika ada orang yang mengganggu ketertiban umum seperti orang mengamuk, kalau kentongan dipukul terus menerus berarti sedang terjadi kebakaran. Pada 22 Mei 1939 terjadi kebakaran gudang penyimpanan kulit kambing di Kampung Pekojan, gudang terletak di dekat kali dan masjid besar yaitu Masjid An-nawier, penyebab kebakaran adalah lilin yang membakar kulit kambing serta bambu yang diletakan disebelah gudang (gambar 7), kebakaran diperkirakan cukup sering terjadi, setidaknya terdapat 3 sampai 4 kejadian dalam setahun.

Gambar 7. Berita dan perkiraan lokasi kebakaran yang terjadi di Kampung Pekojan tahun 1939 Sumber : delpher.nl

Kemerosotan Kesehatan dan Keamanan di Kampung Pekojan

Pada tahun 1722 sebuah penyakit mematikan yang tidak dikenal mewabah di Batavia, yang diperkirakan bersumber dari kanal-kanal yang kotor, kanal yang dipenuhi oleh lumpur dan sampah ini akhirnya menimbulkan banjir yang cukup parah, dikarenakan lingkungan yang mulai tidak sehat serta banjir masyarakat asli Kampung Pekojan mulai berpindah ke berbagai tempat, salah satunya di Condet. Rumah sakit untuk orang Eropa didirikan terpisah dari warga lain. Mereka yang bukan orang Eropa ditampung di Chineesche Hospital yang didirikan tahun 1640 di jalan Pejagalan (gambar 9).

Gambar 8. Lokasi Chineesche Hospital di Kampung Pekojan, 1799 Sumber : Leiden University

Sama halnya dengan memburuknya kesehatan di Batavia termasuk kampung pekojan, pada akhir abad-18 kriminalitas mulai merajalela di Ommelanden Batavia diantaranya adalah pencurian, pembunuhan, ketidaktertiban, dan pertempuran kecil antar etnis, khususnya pada Kampung Pekojan terdapat berita yang isinya mengenai penemuan mayat pria di Pasar Ikan yang ketika diselidiki ternyata merupakan seorang yang telah merampok di Kampung Ajer Pekojan, kejadiannya pada tahun 1924. Selain itu perampokan juga dialami oleh seorang ibu dari etnis china yang sedang menggunakan transportasi becak melewati jalan Pekojan pada tahun 1950. (gambar 9)

Gambar 9. Berita kriminalitas di Kampung Pekojan tahun 1926 dan 1950 Sumber : delpher.nl

Aspek Ekonomi dan Identitas Kampung Pekojan

“the way that locality comes through in product design, architecture, and urban design. As Molotch puts it: with food product and manufactured goods, place in product can be seen to operate at the regional or urban scale” (Paul L. Knox - Cities and Design)

Raffles memperkirakan kira-kita terdapat 400 penduduk Arab dan Moor (belum signifikan), barulah pada tahun 1859 tercatat ada 312 orang Arab (tanpa Moor). Pada akhir abad ke-19 jumlah penduduk Arab meningkat, yaitu : 1.448 (tahun 1885), 2.245 (tahun 1900), dan 5.231 (tahun 1930). Orang Arab melakukan perdagangan, peminjaman uang, sewa gedung (realestate), jual-beli tanah. Sejak 1829 pemerintah Belanda menetapkan pungutan pajak berkenaan dengan aktivitas berdagang, mulai dari sewa kios/warung, ongkos angkut barang dagangan, sampai ijin buka rumah judi, dengan aturan selokan, riol, got harus dalam keadaan bersih.

Saat ini, yang dapat terlihat di Kampung Pekojan adalah tingginya tingkat perdagangan, berdasarkan pada data dari Badan Pusat Statistik [7], Industri Besar (1, pekerja 321), Industri Kecil (15, pekerja 408) terbanyak dibandingkan dengan kelurahan lainnya. Jumlah Swalayan 3, Restaurant 4, Pedagang Kaki Lima 56 (warung kecil, warteg). Berdasarkan observasi di Kampung Pekojan terdapat Pasar Kambing yang berada tepat di sebelah Kali Angke, selain itu banyak pedagang makanan, dan juga penampung barang bekas (gambar 10). Paul L Knox mengatakan dalam bukunya “today, more than ever, brandscape as physical sites have become key elements in linking identity, culture and place” Kampung Pekojan dikenal dengan identitas Kampung Arab selain karena banyaknya bangunan masjid tua, juga karena adanya beberapa produk makanan khas Arab (nasi kebuli, dadar jala gulai kambing, sayur marak, zalatoh, halluah, asidah, harrisah, kue kaak, dan zanzabil) yang masih cukup sering terlihat pada acara-acara tertentu, seperti pada saat bulan Ramadhan.

Gambar 10. Kegiatan ekonomi di Kampung Pekojan Sumber : dokumentasi pribadi

Perkembangan Transportasi Masyarakat

Alat transportasi yang digunakan pada zaman hindia-Belanda didominasi oleh penggunaan transportasi air atau perahu yang digunakan untuk berpergian jauh atau mengangkut barang dagangan masyarakat Pekojan, salah satu tempat pemberhentian perahu yang masih ada hingga saat ini adalah Masjid Langgar Tinggi yang dulu digunakan sebagai masjid sekaligus tempat peristirahatan.

Masyarakat Kampung Pekojan juga menggunakan becak, sepeda dan kereta kuda. Kereta kuda biasa digunakan oleh para bangsawan Belanda (gambar 11) penggunaan alat transportasi tersebut masih ramah lingkungan. Perubahan dari dominasi penggunaan kanal sebagai jalur transportasi utama dapat terlihat dari perubahan Peta Pekojan, yang awalnya dipenuhi oleh kanal berangsurangsur menjadi jalan tanah untuk sepeda, becak, dan kereta kuda.

Gambar 11. Transportasi di Kampung Pekojan Sumber : F.B Smits, Circa 1900

Kemudian, alat transportasi yang lebih modern yaitu kereta api yang jalurnya pertama kali dibuka di Batavia pada tanggal 15 September 1871 sepanjang 6 kilometer (Glodok-Pinangsia-Stasiun Beos) ke Stasiun Gambir, sampai tahun 1930 jalur ini diperkirakan melewati area Kampung Pekojan tepatnya di Gang Kampung Ajer, berdasarkan pada peta Kampung Pekojan tahun 1930, yang juga melewati jalan Petongkangan yang terletak disebelah Kampung Pekojan (gambar 12) jalur kereta yang melewati kampung pekojan berakhir sekitar 1940-an. Dampak dari pembuatan jalur kereta api yaitu penebangan pohon-pohon yang ada di Kampung Pekojan.

Gambar 12. Peta Kampung Pekojan 1930 (kiri) & Jalur Kereta Api di Jl. Petongkangan, 1910 (kanan) Sumber : Tio Tek Hong, 1910

Kesimpulan

Kampung Pekojan telah mengalami berbagai perubahan dari waktu ke waktu untuk memenuhi kualitas hidup dari masyarakat, sejak masa pendudukan Hindia-Belanda yang menerapkan aturan di berbagai aspek sampai pada saat ini, semua bertujuan untuk menjadikan Kampung Pekojan nyaman untuk kehidupan berkota dari segi lingkungan, sosial, serta pertumbuhan ekonomi. walaupun cara hidup masyarakat terus berubah mengikuti perkembangan zaman, namun Kampung Pekojan mempertahankan sejarah dan identitas kampung yang sudah terbentuk sejak lama berupa masjid-masjidnya yang menjadi ciri khas, kegiatan-kegiatan keagamaan serta dari segi ekonomi. Kampung Pekojan juga telah mengalami perubahan dalam meningkatkan kepentingan politik dan kebijakan, menggambarkan sejarah panjang dari ide, konsep dan pengalaman masyarakat, ke arah pendekatan yang lebih holistik memahami ‘place of design’ dengan ekonomi politik yang lebih luas.

Referensi

[1] Knox, Paul L. 2010. Cities and Design series Routledge Critical Introductions to Urbanism and the City. Routledge. London. [2] Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Masup Jakarta. Jakarta. [3] Wawancara dengan Habib Ali Assegaf, generasi ketiga dari pendiri Masjid Langgar Tinggi, Pekojan [4] Wawancara dengan Bapak Usman (warga Kampung Pekojan) [5] Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Masup Jakarta. Jakarta. [6] Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Masup Jakarta. Jakarta. [7] Badan Pusat Statistik. 2019. Kecamatan Tambora dalam Angka 2018. Badan Pusat Statistik Kota Administrasi Jakarta Barat. [8] Usman. 2019. Menggali Kembali Kisah Sejarah, Budaya, Para Tokoh dan Bangunan Cagar Budaya di Kampung Arab Pekojan. [9] Heuken A. 2003. Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta. Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta. [10] Grijns, K dan Nas Peter J.M. 2007. Jakarta Batavia : Esai Sosio-Kultural. Banana KITLV. Jakarta. [11] Scott, Merrillees. 2012. Jakarta Postcards of a Capital 1900-195. Equinox Publishing. Jakarta.

This article is from: