15 minute read

Perkembangan Pembangunan di Kampung Pekojan

Gianoora Achmad

Pendahuluan

Advertisement

Karena alasan perdagangan, banyak negara Eropa yang tertarik dengan Asia. Negaranegara Eropa yang datang ke Asia membangun permukiman dan merancang kota dengan gaya arsitektur Eropa, khususnya gaya arsitektur Belanda/ VOC. Arsitektur tersebut memiliki desain yang serupa, jelas, tegas dan lurus. Di Indonesia tepatnya Jakarta yang saat itu masih disebut Batavia, juga memiliki bangunan serupa pada saat masa kolonial Belanda. Saat itu, pada awal abad ke-17 setelah terjadi penyerangan dari saingan dagang dan pemberontakan masyarakat pribumi, sebagai bentuk pertahanan terhadap lawan, pada tahun 1619, Belanda membangun kantor pusat Dutch East Asia Company dan menugaskan Simon Stevin untuk merancang berdasarkan pemikiran Stevin tentang yang kota ideal.

Simon Stevin dan Kota Ideal

Simon Stevin (1548-1620) adalah seorang ahli matematika, fisikawan, dan military engineer asal Flanders yang menulis beberapa risalah tentang idenya mengenai arsitektur dan risalah-risalah ini memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan permukiman di Asia. Salah satunya adalah De Sterctenbouwing (The Art of Fortifications), diterbitkan pada tahun 1594 yang memberikan panduan tentang pembangunan benteng. Stevin mengatakan ada dua jenis benteng yaitu, benteng tetap dan benteng sementara. Penggunaan material batu bata menjadi pilihan karena ringan, lebih murah, dan mudah digunakan saat membangun. Pada De Sterctenbouwing, Stevin juga menekankan pada penggunaan air sebagai sistem pertahanan [1]. Skema Stevin tentang sebuah kota adalah, kota memiliki sungai atau kanal pusat yang membentuk poros utama dari denah, membentang dari satu sisi ke sisi lain yaitu, dari laut ke daratan ke arah belakang melewati permukiman. Satu sisi permukiman sejajar dengan garis pantai. Di kedua sisi kota terdapat gerbang dan di tepi laut terdapat dermaga pelabuhan bagian dalam. Pada poros kedua, yang membentang dari bagian kanan ke bagian pertama adalah bangunan sosial dan pusat pemerintahan. Kedua sumbu mewakili sisi organisasi dari kota. Sumbu pertama melewati permukiman yang digunakan untuk transportasi sedangkan sumbu kedua untuk fungsi sosial dan publik. Kedua sumbu ini banyak digunakan di Belanda seperti kanal yang dibuat kemudian dibuat kota didalamnya. Lokasi dibangunnya kota dan permukiman ini harus dapat bertahan dengan baik, memiliki tanah yang subur dan harus ditempatkan di muara sungai besar yang bisa dilewati perahu, hal ini sangat penting untuk tujuan perdagangan. Berdasarkan pemikiran tersebut, Stevin merancang Batavia dengan desain sebuah kota berdinding, berbentuk persegi panjang. Kota terbagi dua oleh sungai Ciliwung yang disalurkan ke kanal lurus. Daerah ini dikenal sebagai Grote River atau Kali Besar. Benteng Batavia melambangkan pusat kekuasaan, sementara balai kota, pasar dan bangunan umum lainnya didistribusikan dan dikelilingi kanal. Pembangunan kota Batavia rampung pada tahun 1650 semasa pemerintahan J.P. Coen. Dibangunnya tembok yang dimulai dari Benteng Batavia sampai ke dua pintu gerbang yaitu, pintu gerbang barat Utrechtsepoort dan pintu gerbang selatan Nieuwpoort sehingga membentuk wilayah dalam tembok yang disebut Intramuros. Sampai saat ini beberapa peninggalan bangunan-bangunan, jalan dan kanal yang dibangun pada abad ke-17 masih bisa dilihat meskipun sebagian besar telah dihancurkan dan diganti bangunan yang lebih baru di awal abad ke-20.

Gambar 1 Peta Batavia tahun 1667 yang memperlihatkan skema kota yang terdiri dari benteng, gerbang, pelabuhan, dan kanal yang terdistribusi disekeliling kota untuk mempermudah perdagangan Sumber: Tropenmuseum, Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via www.commons.wikipedia.org

Gambar 2 Peta Batavia tahun 1627 yang Peta Batavia 1627 karya Frans Florisz. Sumber: Tropenmuseum, Collectie Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen via www.nationalgeographic.grid.id

Distrik dan Permukiman Etnis Arab

Masa VOC tepatnya pada tahun 1773 terdapat 17 orang pribumi yang menduduki jabatan komandan, tetapi perlahan-lahan pribumi yang menduduki jabatan tersebut berkurang karena warga asli yang datang dari daerah asalnya berkurang atau sudah membaur menciptakan generasi baru yang hampir hilang etnisitasnya dan pindah ke tempat lain. Contohnya pada awal abad XVIII, orang Sumbawa, orang Buton, orang

Mandar, mempunyai area-area nya tersendiri. Hal ini juga disebutkan berdasarkan hasil wawancara dengan Habib Ahmad Alwi Assegaf (2020), pengelola Masjid Langgar Tinggi mengatakan bahwa yang mengatur ketata kotaan pada masa kolonial kemungkinan adalah Belanda sendiri. Pada zaman kolonial Belanda, untuk memudahkan klasifikasi, daerah Pekojan sampai Pejaringan saat itu disebut Kampung Arab. Hal itu dilakukan agar Belanda mudah untuk mengatur kegiatan atau hal-hal yang dilakukan penduduk

Tionghoa, penduduk Arab, dan pribumi.

Gubernur Jendral H. W. Daendels membagi Jawa dalam sejumlah distrik atau pada saat itu dikenal dalam sebutan arrondissement. Pada masa jabatan ini, komandan pribumi dihapuskan karena telah terjadi pembauran di kalangan penduduk Batavia, khususnya di antara masyarakat pribumi. Oleh karena itu tidak memungkinkan untuk mempertahankan sistem pengaturan penduduk kota dengan mengikuti etnis. Hal ini juga disebabkan karena terjadinya perkawinan antar etnis dan tingginya tingkat komunikasi dan interaksi dikalangan mereka. Hal ini menyebabkan pengelompokan penduduk berdasarkan etnis tidak berlaku lagi.

Pada masa pemerintahan Inggris, daerah Batavia dibagi menjadi dua, yaitu Ommelanden bagian barat yaitu Tanggerang (Benteng) dan Ommelanden selatan yaitu Buitenzorg (Bogor). Ommelanden sendiri artinya adalah kawasan luar tembok kota. Kemudian wilayah Ommelanden dibentuk menjadi satu keresidenan, yaitu Residensi Batavia.

Pertengahan abad ke 19, Residensi Batavia terdiri dari 4 kwartieren, yaitu: 1. Noorder kwartier, wilayah kota yang disebut Stad en Voorsteden terdiri atas 7 distrik; 2. Ooster kwartier atau Jatinegara yang meliputi 30 tanah partikelir besar dan kecil; 3. Wester kwartier atau Tangerang yang di dalam wilayahnya terdapat 57 tanah partikelir; 4. Zuider kwartier atau Meester Cornelis yang memiliki 100 tanah pertikelir.

Pada 1829 Batavia yang menjadi bagian Noorder kwartier dan terdiri dari 7 distrik dengan sebutan menggunakan angka seperti distrik ke satu, distrik ke dua, distrik ke tiga, dan seterusnya. Pada distrik ke enam yang merupakan kawasan Glodok dan sekitarnya merupakan daerah Kapitan Cina. Pada tahun 1885 distrik di Batavia dibagi menjadi empat yaitu, Penjaringan, Mangga Besar, Pasar Senen dan Tanah Abang. Keempat distrik ini merupakan bagian dari kota lama yang disebut Stad en Voorsteden. Pada pertengahan abad XVII muncul jabatan Kapitan Arab yang pada saat itu meningkatnya

40

jumlah pemukiman etnis Arab. Kampung Pekojan pada saat itu yang masuk ke distrik Noorder kwartier merupakan salah satu contohnya. Sampai pada tahun 1942, periode pemerintahan Hindia-Belanda, kedudukan Kapitan Arab dan Mayor China berada di bawah administrasi orang Timur-Asing atau Bestuur VOOR Vreemde Oosterlingen. Mereka bertanggung jawab langsung kepada Residen Batavia.

Dibangunnya Sekolah, Tempat Ibadah, Jembatan, dan Pasar

Pada tahun 1755, warga Cina mendirikan sekolah di Petak Sembilan di halaman kelenteng dan pada tahun 1900 di tempat yang sama didirikan sekolah Tiong Hoa Hwee Koan. Bahasa yang digunakan umumnya menggunakan dialek Hokkien. Pemakaian dialek Hokkien merupakan hal umum di pemukiman Cina di Batavia pada saat itu karena banyak penduduknya yang memiliki daerah asal dari Provinsi Cina Selatan di Fukien dan Gwangdong. Seperti halnya warga Cina, di Kampung Pekojan yang merupakan kawasan tempat tinggal khusus bagi komunitas keturunan Arab dan India yang beragama Islam, didirikan pondok pesantren dan masjid. Hal ini dilakukan untuk mendukung tujuan Bangsa Arab yang datang ke Indonesia yaitu berdagang dan berdakwah. Terdapat enam bangunan masjid didirikan yang menjadi awal mula penyebaran agama Islam di Batavia pada masa itu. Masjid-masjid tersebut adalah Masjid Al-Anshor (1648 M), Masjid Jami Kampung Baru (1743 M), Masjid Jami An-Nawier (1760 M), Masjid Ar Raudoh (1770 M), Mushola Az Zawiyah (1812 M), dan Masjid Langgar Tinggi (1830 M) [2]. Pada awal abad ke-20, Komunitas Hadhrami juga telah membangun sekolah Islam (madrasah) seperti Madrasah Jamiat Khair di Pekojan yang berdiri pada tahun 1905. Pada tahun 1784, Vihara Dewi Samudra (Ma zu miao) dibangun dan tahun 1823, Vihara Padi Lapa (Da Bo Gong/ You mi hang hui miao) dibangun.

Gambar 3 Masjid Jami Kampung Baru Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman

Gambar 4 Masjid Jami An-Nawier Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman

Gambar 6 Mushola Azzawiyah Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman

Gambar 8 Vihara Dewi Samudra Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman Gambar 9 Vihara Padi Lapa Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman

Gambar 5 Masjid Ar Raudah Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman

Gambar 7 Masjid Langgar Tinggi Sumber: Menggali Kembali Kisah Sejarah, Para Tokoh, dan Tempat Ibadah Bersejarah sebagai Cagar Budaya Batavia di Kampung Arab Pekojan oleh Usman

Pasar yang muncul di Batavia pada umumnya adalah pasar partikelir yang pengelolaannya disewakan kepada pemegang lisensi, pemerintah kota bertugas untuk menetapkan pajak yang dipungut perihal berbagai aktivitas yang terjadi di pasar. Menjadi bagian dari Batavia, tentu membuat pasar di Kampung Pekojan mengikuti peraturan dari pemerintahan pada saat itu. Terdapat salah satu ciri khas aktivitas jual beli di Kampung Pekojan yang terjadi di Jembatan Kambing. Pada tahun 1760, di Pekojan dibangun Jembatan Kambing yang berhadapan dengan Masjid An-Nawier. Disebut Jembatan Kambing karena banyaknya penduduk Arab yang berprofesi sebagai pedagang kambing disekitar Kali Angke. Perkembangan jembatan di Batavia sendiri ditandai saat Jembatan Inggris, jembatan tertua di Batavia pada saat itu yang dihancurkan pada tahun 1628 saat tentara Mataram menyerang Betawi. Di tahun yang sama, pembangunan jembatan Javasche Bank di Batavia dilakukan. Pembangunan jembatan ini bertujuan untuk mempermudah orang-orang pergi ke rumah sakit (hospitaalsbrug). Pada tahun 1655 dibangun Jembatan Hoenderpasarbrug, jembatan ini melintasi terusan kanal bernama Amsterdamsche-gracht.

Pembangunan dan Kehidupan di Kampung Pekojan Saat Ini

Kampung Pekojan yang berlokasi di Jakarta Barat, Kecamatan Tambora tepatnya Kelurahan Pekojan memiliki luas 0,78 km2, jumlah penduduk 28.161 jiwa, kepadatan penduduk 36.104/km2, dengan jumlah RT/RW 144/12, dan jumlah KK 9.542. Perkembangan pembangunan saat ini di Kampung Pekojan dipengaruhi dengan kultur dan budayanya yang kompleks meliputi latar belakang sejarah dan penduduk multi etnis yang tinggal disana, seperti Arab, India, Cina, dan Betawi. Bangunan-bangunan bersejarah yang berumur ratusan tahun masih berdiri sampai sekarang; masjid, mushola, dan klenteng yang dibangun pada abad ke-17, 18 dan 19, berada dibawah perlindungan Pemerintah Republik Indonesia [3]. Pola kehidupan masyarakat pun berubah menyesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi zaman yang terus berkembang. Seperti yang dijelaskan diatas, dahulu di Kampung Pekojan, sekolah yang dibangun adalah sekolah Islam/ madrasah, sekarang sekolah Kristen dibangun dan banyak sekolah-sekolah bermunculan yang menerima keanekaragaman etnis, budaya, dan agama baik untuk Kampung Pekojan dan sekitarnya. Pasar yang dahulu adalah pasar partikelir, sekarang menjadi pasar umum yang bisa digunakan dan didatangi oleh semua kalangan. Pasar kambing khas Kampung Pekojan pun masih aktif sampai saat ini dan menjadi kawasan yang cukup ramai karena menjadi bagian penting jalan penduduk sekitar yang dilewati setiap harinya.

Gambar 10 Jembatan kambing yang sampai saat ini masih mempertahankan ciri khasnya yaitu, area jual beli kambing Sumber: Yuana Fatwalloh via kumparan.com

Gambar 11 Posisi Kampung Pekojan pada peta Batavia tahun 1846 dan posisinya sekarang pada Google Map citra Maret 2020 Sumber: Eduard Selberg: Reise nach Java und Ausflüge nach den Inseln Madura und St. Helena. Oldenburg, Druck und Verlag von Gerhard Stalling, 1846 via www.commons.wikipedia.org

Kesimpulan

Berawal dari Belanda yang menugaskan Simon Stevin untuk merancang kota ideal yang bisa menjadi area pertahanan untuk memudahkan tujuan Belanda dalam jalur distribusi perdagangan, Kampung Pekojan menjadi salah satu bagian penting dalam sejarah pembangunan kota ideal tersebut. Kampung Pekojan yang menjadi kawasan tempat tinggal khusus komunitas Arab dan India beragama Islam yang memiliki tujuan untuk berdagang dan berdakwah sehingga banyak didirikan masjid, mushola, dan pesantren. Klenteng yang lokasinya dibangun dekat dengan Kampung Pekojan, hal ini menunjukkan bahwa semenjak dahulu, kehidupan multi etnis yang akur dan tentram sudah terbentuk. Meskipun sampai saat ini bangunan-bangunan, jalan, peninggalan yang menjadi saksi sejarah perkembangan pembangunan di Batavia banyak yang dihancurkan baik sengaja ataupun tidak sengaja, rusak termakan masa, tergantikan oleh bangunan baru yang lebih modern, baru, dan dibangun untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat yang berubah seiring berjalannya waktu, Kampung Pekojan dengan cerita sejarah, budaya, dan penduduk multi etnis, masih tetap berdiri. Tentu Kampung Pekojan tidak berjalan ditempat begitu saja. Perkembangan pembangunan pun dijalankan, bangunan bersejarah diberikan perlindungan. Ratusan tahun telah berlalu, Kampung Pekojan dan masyarakat-masyarakat yang peduli akan terus berkembang dengan tetap mempertahankan peninggalan sejarah yang berharga, karena pembangunan tidak dapat dihindari dan sejarah akan tetap tersimpan, diceritakan dengan sifatnya yang absolute.

Referensi

[1] Profil Simon Stevin berdasarkan jurnal dari Robert C.M. Weebers dkk, “Simon Stevin’s ideas on Settlements”, 2nd International Conference on Behavioral and Psychological Sciences IPCSIT Vol. 23, 2011, LACSIT Press, Singapore [2] Berdasarkan Sumit K. Mandal, Becoming Arab: Creole Histories and Modern Identity in the Malay World halaman 72 dan konversi tahun hijriah ke tahun masehi dari tahun pertama kalinya konstruksi bangunan yang tertera di papan nama Masjid Langgar Tinggi. [3] Berdasarkan Kecamatan Tambora dalam Angka 2019 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cagar Budaya. Badan Pusat Statistik. 2019. Kecamatan Tambora dalam Angka. Lohanda, Mona. 2007. Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia.

Mandal, Sumit K. 2018. Becoming Arab: Creole Histories and Modern Identity in the Malay World. United Kingdom: Cambridge University Press, hal. 72 Robert C.M. Weebers dkk. 2011 “Simon Stevin’s ideas on Settlements”. 2nd International Conference on Behavioral and Psychological Sciences IPCSIT Vol. 23. Singapore: LACSIT Press. Usman. 2019. Menggali Kembali Kisah Sejarah, Budaya, Para Tokoh, dan Bangunan Cagar Budaya di Kampung Arab Pekojan.

CV KONTRIBUTOR

Prof. Kemas Ridwan Kurniawan, ST., M.Sc., Ph.D lahir di Muntok, 28 Januari 1971

Kurniawan adalah Guru Besar Arsitektur pada Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Beliau mengampu beberapa Mata Kuliah baik di level S1 dan S2 antara lain Sejarah dan Teori Arsitektur, Arsitektur Heritage, Perancangan Arsitektur, serta membimbing skripsi (S1), tesis (S2) dan disertasi (S3). Beliau menyelesaikan Pendidikan Sarjana Teknik (ST) dari Jurusan Arsitektur FTUI (1995), Master of Science (M.Sc) in Architectural History dari The Bartlett, University College London (2000) dan Doctor of Philosophy (Ph.D) in Architecture dari The Bartlett, University College London (2005)

Area peminatan risetnya berkaitan dengan aspek sosial-budaya-politik dalam Arsitektur, khususnya yang berhubungan dengan Kolonialitas dan Poskolonialitas, serta Tradisi dan Modernitas. Beliau adalah pengarang buku ‘Postcolonial History of Architecture and Urbanism; Power and Space of Indonesian Tin Mining in Bangka Island’ (2011) dan ‘The Hybrid Architecture of Colonial Tin Mining Town of Muntok’ (2013), serta berbagai artikel ilmiah di berbagai jurnal antara lain yang terbaru berjudul ‘From Boluf to Kampung: Spatial Changes in The Korowai Traditional Settlements’ yang dimuat di e-journal ISVS tahun 2020, dan ‘Pulo Mas: Jakarta's failed housing experiment for the masses’ yang dimuat di Jurnal Planning Perspective tahun 2020. Beliau juga menjadi penggerak dan specialist VERNADOC Indonesia.

Saat ini Beliau menjabat sebagai Ketua Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta, Anggota Tim Ahli Bangunan Gedung DKI Jakarta, Asesor BAN-PT, serta Anggota Senat Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Rifandi Septiawan Nugroho, S.T lahir di Jakarta, 26 September 1992

Rifandi adalah penulis dan kurator independen berbasis di Tangerang Selatan. Saat ini, ia menempuh pendidikan magister bidang studi Sejarah dan Teori Arsitektur di Universitas Indonesia, juga menjadi pemimpin redaksi halaman arsitekturindonesia.org, repositori daring dokumen sejarah arsitektur di Indonesia.

Proyek-proyek kuratorial Rifandi bersentuhan dengan arsip, ruang publik, dan warga kota. Ia mengkurasi “Kota & Seni” (2018), “Fraktal City” (2019) di Tangerang Selatan; “occupying>modernism” (2019), “Segar Bugar: The Story of Conservation in Jakarta 1920s-Present” (2019) di Jakarta; “Kutho Dadi Alas, Alas Dadi Kutho (2020) di Banyuwangi, dan Besar Kecil Sama Saja, Asal Nggak Sendiri (2020) di Jakarta. Sejak 2017, bersama teman-teman, Rifandi mengembangkan Kolektif Kurator Kampung (KKK). Saat ini, riset pribadinya berfokus pada arsitektur, ingatan, dan mobilisasi gagasan di wilayah desa dan kota di Jawa, khususnya pada era pendudukan Jepang (1942-1945).

Ikrar Raksaperdana, S.Ars lahir di Bandung, 15 Januari 1997

Ikrar adalah mahasiswa magister arsitektur Universitas Indonesia (2019). Ikrar memulai pendidikan di SDN Cipinang Melayu 04 Pagi Jakarta Timur (2002), SMPN 13 Bandung (2008) SMAN 3 Bandung (2011) dan meneruskan studi S1 di Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (2014).

Beberapa kegiatan mahasiswa yang pernah dijalani oleh Ikrar diantaranya adalah menjadi Hubungan Masyarakat dari Himpunan Mahasiswa Arsitektur UNPAR dan menjadi reporter dari majalah KOMUNNARS. Sejak tahun 2018, bersama teman-teman, Ikrar mengembangkan wirausaha di bidang jasa konsultan arsitektur.

Kinayung Syafira Aratuza, S.Ars lahir di Ambon, 18 Oktober 1996

Kinayung memulai pendidikan di SD Negeri (2002), SMP Negeri (2008), SMA Negeri dalam program akselerasi (2011), Studi S1 Jurusan Arsitektur di Universitas Halu Ole (2013), dan kemudian saat ini melanjutkan studi magister pada Departemen Arsitektur di Universitas Indonesia. Riwayat pengalaman kegiatan non-formal dan pekerjaan yakni pernah mengikuti Penataran Strata I, Tata Kota dan Peraturan Pertanahan oleh Ikatan Arsitektur Indonesia Daerah Sulawesi Tenggara (2018), Penataran Strata II, Peraturan Pembangunan Gedung oleh Ikatan Arsitektur Indonesia Daerah Sulawesi Tenggara (2018), menjadi panitia dalam “Rapat Kerja Daerah IAI Sulawesi Tenggara” (2018), semasa studi S1 pernah bekerja pada Pembangunan Rumah Sakit RSUD Abunawas Kota Kendari, sebagai Tim Pengawas (Februari – April 2016), pernah bekerja pada CV. Nikkou Engineering Design Consultant sebagai Drafter (Agustus 2016 – Mei 2017), kemudian mengikuti Penelitian Pemetaan Kampung Cikini Kramat oleh Laboratorium Departemen Arsitektur UI sebagai Surveyor (2019), dan terlibat dalam kegiatan “International Conference on Dwelling Form, iDwell 2020” sebagai Tim Perbendaharaan (2020).

Gianoora Achmad, S.T lahir di Denpasar, 20 Februari 1992

Gianoora Achmad adalah penulis dan illustrator lepas yang pada tahun 2013 menyelesaikan studi S1 Jurusan Teknik Arsitektur di Universitas Diponegoro dan pada Agustus 2019, mulai melanjutkan pendidikan master di Departemen Arsitektur, Universitas Indonesia dengan kekhususan Sejarah dan Teori Arsitektur.

Gianoora pernah bekerja di PT. Jaya Construction Management sebagai inspektur arsitek, mengawasi beberapa proyek seperti, “L’Avenue Office and Residences”, “SOHO Podomoro City”, dan “Anandamaya Residences Hongkong Land Project” (2014-2016). Kemudian ia bekerja di Ditjen Sumber Daya Air, Direktorat Irigasi dan Rawa, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan sebagai staff (2016-2019).

Pada tahun 2019, Gianoora mulai berkontribusi dalam “SENIGMA: Into Wanderland” sebuah acara tahunan bentuk apresiasi untuk memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia pada tanggal 10 Oktober yang diselenggarakan organisasi non-profit, Ubah Stigma.

Morfologi, Etnisitas, Lingkungan dan Pembangunan; Kampung Pekojan dalam Perspektif Sejarah

Perkembangan Batavia & Morfologi Kawasan Pekojan 1870-1930 Jejak Arsitektur Kelompok Etnis di Kampung Pekojan Perubahan Lingkungan & Kehidupan Berkota : Kampung Pekojan Perkembangan Pembangunan di Kampung Pekojan

Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia 2020

This article is from: