14 minute read

Perkembangan Batavia & Morfologi Kawasan Pekojan

Perkembangan Batavia & Morfologi Kawasan Pekojan 1870-1930

Rifandi Septiawan Nugroho

Advertisement

Pendahuluan

Lahirnya permukiman Pekojan di Batavia bermula dari jejaring kanal yang menghubungkan kawasan itu dengan teritori lainnya. Sejak abad ke-17, berbagai komunitas yang singgah di Pekojan--Moor, Koja, Hadhrami, dan Cina, atau golongan Timur Jauh (Vreemde Oosterlingen) yang digolongkan oleh pemerintah kolonial-mengandalkan kanal sebagai jalur transportasi utama sekaligus jalur perdagangan.[1] Salah satu yang menandainya adalah keberadaan permukiman komunitas Moor dari Persia dan Koja dari Gujarat, di sepanjang tepi kanal Moorsgracht, di sisi barat tembok Batavia, sejak tahun 1633.[2] Setidaknya hingga pertengahan abad ke-18, kanal-kanal masih mendominasi seluruh wilayah permukiman di Pekojan, sebelum pusat kota Batavia dipindahkan ke Weltevreden karena alasan kualitas lingkungan yang buruk.

Memasuki pertengahan abad ke-18, pemerintah kolonial membongkar dinding batas kota, serta menutup sebagian besar kanal dengan tanah untuk membasmi wabah penyakit yang berasal dari saluran air yang kotor.[1] Orang-orang Eropa memilih berpindah ke selatan menjauhi kanal-kanal kotor yang dinilai menyebabkan wabah penyakit. Sejak saat itu daerah sekitar tembok kota Batavia hanya dihuni oleh orang-orang timur asing dengan mata pencaharian pedagang skala menengah dan pengecer, meskipun kegiatan komersial masih berlangsung di sana.[3] Kondisi kota yang semakin meluas berdampak pada lahirnya sistem transportasi baru, peningkatan jumlah penduduk, serta upayaupaya penyehatan lingkungan kota yang dilakukan pemerintah kolonial. Hal tersebut turut berdampak pada perubahan struktur dasar kawasan Batavia lama dan Pekojan.

Tulisan ini mendiskusikan struktur-struktur pembentuk morfologi Kawasan Pekojan berdasarkan riwayat infrastruktur kota Batavia 1870-1930 secara garis besar, melalui pembacaan terhadap arsip peta, foto, dan jejak fisik yang masih tersisa di Kampung Pekojan.

Untuk memahami proses pembedahan tersebut, kerangka teoritik dari Eran-Ben Joseph di dalam bukunya The Code of The City: Standards and Hidden Language of Place Making (2015) digunakan sebagai referensi cara memahami asal usul struktur kawasan dalam sudut pandang perencanaan formal. Selain itu, elemen-elemen pembentuk morfologi kota yang digunakan Fumihiko Maki dalam City with a Hidden Past (2018) dipinjam sebagai perangkat untuk memahami sejarah kawasan secara organik.

Metode

Menurut Joseph (2015), asal-usul standar perencanaan sebuah kawasan lahir melalui tiga tahapan. Pertama, melalui pengaruh kuasa pihak otoritas, baik secara kultural maupun institusional. Kemudian, berkembang ke dalam bentuk praktik profesi perencana kota yang tertuang ke dalam peraturan-peraturan. Seiring semakin tumbuh dan berkembangnya kota, masalah-masalah yang ada menuntut pemecahan persoalan yang lebih kompleks, seperti pembenahan masalah kondisi sanitasi, keamanan, dan efisiensi penggunaan lahan. Seperti ilmu genetika, struktur dasar kawasan berperan sebagai basis fungsi dan unit fisik yang mendasari perkembangan kawasan dari satu generasi ke generasi berikutnya.[4]

Selain sudut pandang yang terencana, Fumihiko Maki (2018) mengurai elemen-elemen bentuk yang bekerja secara organik di dalam sebuah kawasan. Maki membaginya menjadi formalization of nature, streets and blocks, figure and ground, gaps, dan multiple focal point. Studi Maki mengambil pendekatan seperti yang dilakukan oleh urbanis Amerika Kevin Lynch. Lynch (1960) memfokuskan pengamatannya terhadap orangorang yang mengobservasi kota lalu mensintesisnya menjadi lima struktur utama paths, edges, districts, nodes, dan landmarks. Perbedaan antara Lynch dan Maki adalah sudut pandang terhadap elemen yang diobservasi. Jika Lynch berfokus pada gambaran permukaan (figure ground), Maki melihat lapisan-lapisan yang menyebabkan struktur tertentu muncul ke permukaan, seperti mikrotopografi, budaya komunitas, dan prinsipprinsip dasar yang spesifik di setiap tempat.[5]

Memahami kawasan Pekojan membutuhkan pembedahan dari kaca mata dua teori tersebut, yang formal dan yang organik. Sebagai kota yang dikonstruksi dari perencanaan spasial kolonial, aspek-aspek separasi atas pertimbangan politik dan ekonomi tidak bisa dihindari. Pemindahan pusat kota, perkembangan sarana transportasi, dan usaha penyehatan lingkungan adalah bagian dari dinamika perkotaan Batavia abad ke-17 hingga ke-20. Secara organik, Pekojan mendapatkan imbas dari upaya-upaya pemerintah kota, yang kemudian membuat karakteristik kawasan Pekojan berubah

drastis dari waktu ke waktu. Bermula dari permukiman di tepian kanal, berkembang menjadi daerah padat penduduk.

Pembentukan Kampung dan Perubahan Lahan di Batavia

Hingga akhir abad ke-17, penduduk Batavia masih hidup terpisah dengan kawasan penyanggah di luar tembok kota atau yang disebut dengan Ommelanden. Menurut Niemejer (2012), bertumbuhnya kampung-kampung berdasarkan kelompok etnis di kawasan tembok Batavia ketika itu bukanlah buah politik pemisahan kolonial, melainkan lebih merupakan kepanjangan dari pola pembentukan kampung yang sudah lazim dijalankan di Asia Tengara. Pengelompokan secara sukarela mempermudah pemerintah kolonial untuk melakukan pengawasan terhadap berbagai kelompok etnis tersebut. Akan tetapi, karena pembentukan kampung-kampung ini terjadi agak terlambat, maka pengawasan tetap bermasalah. Ribuan orang Jawa dan Bali berstatus bebas yang sudah bermukim di berbagai lahan persawahan dan kawasan hitan tidak dapat lagi disuruh pindah dan bermukim di kampung masing-masing.[6]

Penggarapan lahan pertanian di kawasan Ommelanden mulai dilakukan sesudah Perang Banten berakhir (1656-1659). Sekitar tahun 1650, lebih kurang 4.628 hektar lahan sudah diberikan atau dijual oleh pemerintah kolonial kepada pihak swasta.[6] Seiring dengan semakin banyak lahan diberikan VOC kepada pihak swasta, semakin banyak penduduk warga Asia yang memilih tinggal di luar kota di rumah-rumah sederhana. Menghuni rumah di luar kota menjadi semakin menarik perhatian penduduk Asia karena sejak 1654 diberlakukan larangan membuat rumah di dalam kota dengan atap dari rumbairumbai untuk mencegah kebakaran.

Gambar 1. Batavia dan wilayah sekitarnya, 1740. Wilayah Pekojan terletak di sisi barat tembok kota. Perkembangan kota ke arah tenggara mengikuti jalur Kali Ciliwung (direproduksi Adolf Heuken, Historical Sites of Jakarta, Jakarta, Cipta Loka Caraka, 1982)

Di kawasan Pekojan, di sisi barat tembok Batavia, kelompok orang-orang “Moor” bersama dengan orang Cina dan Melayu hidup berdampingan membentuk masyarakat perdagangan Asia.[6] Sementara itu, kota Batavia di dalam tembok tetap dijaga agar sesuai dengan perencanaannya untuk kalangan Eropa, dengan jaringan jalan, paritparit, dan kanal yang lurus, mengikuti perencanaan kota di Belanda. Setiap usaha golongan bangsa lain untuk mempengaruhi rencana kota dirintangi, mereka tidak diizinkan membangun dengan keinginan sendiri yang dapat mengganggu rencana umum. Sungai Ciliwung yang berkelok-kelok dialihkan dan digantikan dengan sebuah terusan lurus, Kali Besar (Groote River) memotong kota menjadi dua bagian.[3]

Kanal sebagai Denyut Nadi Kampung Pekojan

Gambar 2. Masjid Langgar Tinggi di tepi Kali Angke KITLV, 1920an

Secara geografis, Pekojan berada di pantai utara Batavia, tepatnya terletak di antara Jalan Bandengan selatan (Ammanusgracht) dan Jalan Pekojan (Bacherachtgracht). Di dalam peta Batavia 1874, sebagian besar jalan akses permukiman Pekojan dialiri oleh kanal-kanal yang bersumber dari dua sungai besar di sisi selatan dan timur kawasan. Bangunan-bangunan penting komunitas yang masih tersisa hingga hari ini berada di sekitar kanal-kanal itu, seperti Masjid Kampung Baru (1743) dan Vihara Dewi Samudera (1784) di sisi utara, serta Masjid Jami An-Nawier (1760) dan Masjid Langgar Tinggi (1829) di selatan (gambar 2).

Gambar 3. Sebagian besar jalan di kawasan Pekojan dialiri kanal-kanal irigasi (sumber: peta Batavia 1874, Leiden University; google maps, 2011)

Populasi penduduk muslim Moor, suku pendatang dari tanah Gujarat, di Pekojan meningkat drastis akibat migrasi setelah kekalahan kesultanan Banten di tahun 1684 dan pembantaian etnis Tionghoa di tahun 1740 . Hal ini berdampak pada meningkatnya aktivitas keagamaan yang akhirnya membuat mereka membangun Masjid Jami Kampung Baru di sisi utara, sebagai masjid kedua yang dibangun pada tahun 1744-1748. Sebelumnya, masjid Al Anshor menjadi masjid pertama yang dibangun orang-orang Moor pada tahun 1648, posisinya terletak di Gang Koja menempati bekas rumah sakit Cina.[7]

Pada abad ke-19, populasi orang-orang Koja mulai menurun akibat terputusnya hubungan dagang dengan India saat pendudukan Inggris.[8] Posisi mereka di Pekojan mulai digantikan oleh orang-orang Arab Hadhrami. Orang-orang Hadhrami juga meninggalkan jejak bangunan-bangunan ibadah mereka berupa masjid Langgar Tinggi (1829) dan Masjid Jami An-Nawier (1760) di tepi Kali Angke di selatan. Menurut penuturan Habib Ali Assegaf, keberadaan masjid-masjid di tepi sungai di masa lalu selain sebagai tempat untuk beribadah, juga menjadi tempat untuk peristirahatan para pedagang yang melintas di Kali Angke. [8]

Gambar 3. Figure-Ground Peta Pekojan 1874 (kiri), 1897 (kanan), terlihat jaringan kanal yang tereduksi di akhir abad ke-19. Sumber peta asli: Leiden University.

Keberadaan bangunan-bangunan penting di sekitar kanal di kawasan Pekojan mengindikasikan posisi penting kanal untuk mobilitas penduduk dan komoditas yang menghidupi mereka. Melalui perbandingan peta Pekojan tahun 1874 dan 1897 (gambar 3), terlihat perubahan struktur jaringan mobilisasi kawasan Pekojan yang semula didominasi oleh jaringan kanal kemudian berganti menjadi jalan tanah. Meski begitu, aksis-aksis kanal yang membelah permukiman masih menjadi acuan jalan hingga tahun 1904. Sehingga bisa dikatakan bahwa pergeseran bentuk dari kanal menjadi jalanan

adalah salah satu bentuk transformasi arsitektur kanal sebagai jalur transportasi air menjadi jalur transportasi darat.

Sebagai jaringan, kanal di Pekojan dapat dilihat sebagai penghubung, pemisah, dan orientasi. Sebagai alat transportasi dan perdagangan di masa awal, ia berperan sebagai penghubung penduduk Pekojan dengan orang-orang di luar wilayahnya.[6] Kanal-kanal itu menerus hingga ke pelabuhan Sunda Kelapa di utara, dan pada abad ke-18, disambung dengan kanal Molenvliet ke arah selatan. Pada perkembangannya, kanal-kanal besar di utara, timur, dan selatan menjadi pemisah yang mengeksklusikan kawan Pekojan dari kawasan lainnya (lihat peta tahun 1893). Kanal-kanal besar itu masih berperan sebagai sarana transportasi dan perdagangan, di saat bersamaan, juga sebagai selubung batas bagi Kampung Pekojan. Sedangkan sebagai orientasi, kanal yang masuk ke tengahtengah area permukiman pada tahun 1893, menandai kawasan tersebut dengan nama “Kampung Air”. Sehingga, dengan demikian jejaknya sebagai sumber air yang masuk ke tengah kampung dapat ditelusuri sebagai orientasi.

Pemindahan Pusat Kota Batavia ke Weltevreden dan Usaha Penyehatan Lingkungan

Praktik rancang kota di Batavia mulai terbentuk secara profesional setelah terbentuknya Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum) pada tahun 1866. Institusi ini menangani pembangunan berbagai infrastruktur dan bangunan publik, yang merupakan gabungan dari beberapa pecahan institusi yang sudah ada sebelumnya, seperti dinas perairan, bangunan institusi pemerintahan, jalan, pembangkit listrik, pelabuhan, dan lapangan terbang. Keberadaan BOW berdampak besar terhadap perubahan fisik Batavia.[9]

Memasuki dekade 1830an, Batavia mulai dikembangkan ke arah selatan, mengikuti pemindahan pusat kota ke Weltevreden yang dimulai sejak 1810. Alasan utama dipindahkannya pusat kota ke selatan karena semakin menyebarnya wabah penyakit menular seperti malaria dan kolera yang bersumber dari kanal-kanal dan tambak di sekitar pantai utara Batavia pada abad ke-18.[1] Di samping itu, air Sungai Krukut, Grogol, dan Pesanggrahan dibelokkan ke dalam kota, namun membawa banyak lumpur, mengakibatkan sungai-sungai mengalami pendangkalan. Kondisi yang semakin rumit membuat pemerintah kolonial akhirnya mengambil keputusan untuk pindah ke selatan, dimulai sejak dibongkarnya tembok kota pada tahun 1808/1811.[7]

Bersamaan dengan berpindahnya rumah-rumah pembesar Eropa ke area Weltevreden dan sekitar Koningsplein, wilayah Tanah Abang pun mulai ikut berkembang pada tahun 1910-an, dan mulai memadat pada tahun 1930, dengan dibangunnya permukiman di sekitar Cideng.[10] Secara perlahan-lahan, para penduduk Arab Pekojan ikut pindah ke sekitaran Kali Krukut, Tanah Abang dan petamburan. Populasi Arab di Pekojan berkurang, digantikan penduduk Cina.[2]

Gambar 4. Peta Batavia yang meluas ke arah Weltevreden 1897, dihubungkan aksis jalan dan kanal Molenvliet. Sumber: Leiden University

Pada tahun 1900-1913, banjir besar dan wabah pandemi kolera melanda Batavia. Pemerintah Gementee Batavia mempercepat proses perbaikan kampung dan penyehatan lingkungan melalui program kampungverbetering yang dikomandoi oleh BOW. Salah satu usaha mengatasi hal ini adalah dengan melakukan rasionalisasi permukiman, melalui pengaturan jarak antar bangunan, pengaspalan jalan, dan pembangunan jalur sanitasi yang memadai di perkampungan.[11] Pada tahun 1923, jalan-jalan utama di Tanah Abang sudah diaspal dengan seluruhnya.[10] Hal serupa terjadi pula di perkampungan lainnya.

Di dalam peta Batavia tahun 1897, Kampung Pekojan terlihat mengalami perubahan besar. Kanal-kanal yang sebelumnya mendominasi kawasan kampung hanya tersisa di tiga bagian, di utara, timur, dan selatan. Sementara itu, kanal-kanal di dalam area permukiman sudah tertutup jalur setapak.

Gambar 5. Perbandingan figure ground Peta Batavia 1897 (atas) dan 1904 (bawah), sumber: Leiden University

Perkembangan Moda Transportasi Kota

Perkembangan kota ke arah selatan melahirkan kebutuhan akan moda transportasi baru yang menghubungkan wilayah Tanah Abang dengan area kota lama. Dari peta kawasan Pekojan tahun 1893 dan 1904 (gambar 5), terlihat jalur kereta api dari arah Tanah Abang melintas masuk melewati tengah permukiman, menuju ke arah Stasiun Batavia.

Gambar 6. Di dalam peta 1897, jalur kereta api terlihat melintas di permukiman Pekojan ke arah stasiun Batavia Zuid (B.O.S.)

Jalur kereta api di Batavia-Bogor mulai dibuka pada tahun 1873 oleh perusahaan swasta Nederlandsch-Indische Maatschappij (N.I.S.). Jalur ini menyambung jalur yang pada tahun 1864 sudah dibuat menghubungkan Semarang, Jogja, dan Solo.[12] Seksi pertama jalur kereta api dibangun sepanjang 9,27 kilometer, menghubungkan Stasiun Kleine Boom di Pasar Ikan dan Stasiun Gambir. Pada tahun 1913, stasiun Batavia Noord beroperasi menggantikan Batavia Hoofdstation yang terletak di sisi utara.[13] Pada 1887, sebuah stasiun baru dibangun di sisi selatannya, beroperasi di bawah perusahaan Bataviasche Ooster Spoorweg Mattschapij (B.O.S.). Stasiun B.O.S. menghubuungkan Batavia-Karawang, membuka jalur perekonomian baru di kedua wilayah.

Menjelang abad ke-20, tiga perusahaan kereta api beroperasi di Batavia, selain N.I.S. dan B.O.S., terdapat perusahaan plat merah Staats Spoorwegen (S.S.). Kemudian, S.S. mengintegrasikan jalur kereta api di Batavia, mulai dari mengakuisisi jalur milik B.O.S.[14] pada 1897, disusul dengan N.I.S. pada 1917. Pada 1923, stasiun Batavia Zuid, yang terhubung dengan jalur kereta api yang melintas di dalam permukiman Pekojan, dibongkar. Seluruh aktivitas perkeretaapian dipindah ke stasiun Batavia Noord di belakang Stadhuis. Situasi itu bertahan hingga 1929, ketika dibangun stasiun baru yang di tempat stasiun Batavia Zuid, yang sekarang dikenal dengan Stasiun BEOS. Ditutupnya stasiun Batavia Noord pada tahun 1929, berdampak

pada pemindahan jalur kereta api di sekitar kawasan Pekojan. Pada peta tahun 1936 (gambar 7), jalur kereta api sudah tidak lagi melintasi bagian tengah permukiman warga.

Di Batavia sendiri, sebelum ada kereta api, trem sudah digunakan sebagai moda transportasi publik sejak tahun 1869. Kereta api dan trem di Hindia Belanda, termasuk di Batavia, memiliki daya tarik yang menakjubkan. Rakyat kecil dan kaum pribumi di Hindia Belanda memilih berpergian dengan kereta karena dinilai lebih mudah bagi mereka untuk membawa barang bawaan dan hewan ternak. Di Batavia, tahun 1909, dalam satu bulan, di jalur trem listrik, sebanyak 10.404 penumpang berpergian dengan kelas utama, 72.623 di kelas kedua, dan 255.197 di kelas ketiga. Mereka diperbolehkan membawa bagasi gratis hingga 50kg.[15]

Gambar 6. Rute transportasi Trem di Hindia Belanda 1869-1962. Sumner: indearchipel.com

Perubahan drastis moda transportasi pada abad ke 19 hingga 20 berdampak besar pada perubahan fisik kawasan Pekojan. Faktor higienis dari jalan raya dan kenyamanan menggunakan transportasi masal membawa paradigma baru bagi warga kota, termasuk penduduk Pekojan. Jika dilihat dalam perkembangannya, rute transportasi dan perubahan kanal menjadi jalan raya telah mencacah Kampung Pekojan ke dalam jedajeda, jalan-jalan, dan blok-blok wilayah yang baru.

Gambar 7. Jalur kereta api melintas di permukima Pekojan 1893 (kiri) dan 1904 (tengah), dan dipindahkan ke sisi utara pada 1936 (kanan). Kanal-kanal di dalam permukiman mulai ditutup jalur-jalur kendaraan, jalur pejalan kaki, dan permukiman. Sumber peta asli: Leiden University.

Jika dianalisis dari blok-blok kawasan secara makro, jalan-jalan yang tersisa di Pekojan memiliki dua jenis pola, yang sistematis dan yang spontan. Jalan-jalan utama yang menutup kanal sebelumnya cenderung berbentuk lebih sistematis dalam membelah blok-blok kawasan. Sedangkan jalan yang dilalui rel kereta api cenderung spontan. Pembangunan rel kereta api yang dilakukan belakangan setelah kawasan terisi penduduk menjadi penyebab perlunya dilakukan adaptasi bentuk jalur. Sementara, proses penutupan kanal dengan tanah cenderung lebih mudah dilakukan karena area permukaannya bebas dari bangunan, sehingga struktur jalan lebih terlihat jelas.

Referensi

[1] Blackburn, Susan. 1989. Jakarta: A History. Singapore: Oxford University Press, 1989. [2] Asy Syahid, M.A., Kurniawan, K. R., et al, 2020. “The restoration of old mosques heritage in Pekojan, Jakarta.“ [3] Gunawan, Restu. 2010. Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir dari Masa ke Masa. Jakarta: Kompas Gramedia [4] A. Athoillah, 2018. “Pembentukan Identitas Sosial Komunitas Hadhrami di Batavia Abad XVIII-XX.“ [5] Joseph, E.B. 2015. The Code of the City: Standards and the Hidden Language of Place Making. Massachusetts: MIT Press. [6] Maki, Fumihiko. 2018. Observing The City dalam City with a Hidden Past. Tokyo: Kajima Institut Publishing. [7] Niemejer, Hendrik E. 2012. Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII. Depok: Komunitas Bambu. [8] Heuken, A. SJ. 2014. Atlas Sejarah Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. [9] Heuken, A. SJ. 2003. Mesjid-mesjid tua di Jakarta, seri: Gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. [10] Wawancara dengan Habib Ali Assegaf, generasi ketiga dari pendiri Masjid Langgar Tinggi, Pekojan [11] Idris, I. 1970. Sejarah Perkembangan Pekerjaan Umum di Indonesia. Jakarta: Institut Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik. [12] Wolthuys, S.V. 2019. 250 Years in Old Jakarta: Tales of the Bik family and the rich history of Tanah Abang. [13] Tillema, H. F. 1915. Kromoblanda : over't vraagstuk vanhet wonen in Kromo's groote land. Gravenhage, The Nederlands : Masman

[14] Topografische Inrichting Batavia, 1925. Boekoe Peringetan dari Staatspoor-En Tramwegen di Hindia Belanda 1875-1925. Batavia: Topografische Inrichting Batavia [15] https://tirto.id/hikayat-stasiun-beos-antara-batavia-dengan-lumbung-padikarawang-c4E2; diakses 24/04/2020 14.32 WIB [16] Mrazek, Rudolf. 2002. Engineers of Happy Land. Princeton University Press.

Knaap, G. 2007. Grote atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie, II Java en Madoera. Utrecht: Royal Dutch Geographical Society.

https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/imagecollection-kitlv

maps.library.leiden.edu

indearchipel.com

This article is from: