Majalah Unesa Edisi 76 Desember 2014

Page 1



WARNA EDITORIAL

WAKTUNYA MENGARUNGI SAMUDERA

Majalah Unesa

ISSN 1411 – 397X Nomor 76 Tahun XV - Desember 2014 PELINDUNG Prof. Dr. Warsono, M.S. (Rektor) PENASIHAT Dr. Yuni Sri Rahayu, M.Si. (PR I) Dr. Ketut Prasetyo, M.S. (PR III) Prof. Dr. Djodjok Soepardjo, M. Litt. (PR IV) PENANGGUNG JAWAB Drs. Tri Wrahatnolo, M.Pd., M.T. (PR II) PEMIMPIN REDAKSI Dr. Suyatno, M.Pd REDAKTUR A. Rohman PENYUNTING/EDITOR Basyir Bayu Dwi Nurwicaksono, M.Pd REPORTER: Herfiki Setiono, Aditya Gilang, Ari Budi P, Rudi Umar Susanto, M. Wahyu Utomo, Putri Retnosari, Fauziyah Arsanti, Putri Candra Kirana, Lina Rosidah FOTOGRAFER A. Gilang, M. Wahyu U. Sudiarto Dwi Basuki, S.H DESAIN/LAYOUT (Arman, Basir, Wahyu Rukmo S) ADMINISTRASI Supi’ah, S.E. Lusia Patria, S.Sos DISTRIBUSI Hartono PENERBIT Humas Universitas Negeri Surabaya ALAMAT REDAKSI Kantor Humas Unesa Gedung F4 Kampus Ketintang Surabaya 60231 Telp. (031) 8280009 Psw 124 Fax (031) 8280804

I

Ibarat kapal di sa­mu­­ Tentu, sejarah Une­ dera luas, ren­ tang sa tidak berhenti di sini. jalan Unesa su­­dah Se­jarah Unesa mus­ti berada di 50 mil berlanjut de­ ngan to­ untuk melaju ke se­bu­ah re­ han tinta emas yang pulau tujuan. Ja­rak be­ri­ ter­kenang oleh ma­sa. kutnya masih se­peng­ga­ Mes­kipun berbeda na­­ lah jika dilihat dari pe­ta kho­da, kapal Unesa akan sa­mudera. Namun, ji­ka tetap sama. Selama se­­ di­lihat dengan kasat ma­ mua problematika di­ ta, jarak itu terbentang pe­­­cahkan bersama dan da­­ lam ratusan mil lagi di­­­rasakan bersama, jalan bah­­kan ribuan atau tidak pe­­­mecahan atau solusi ter­­ hingga. Dari 50 mil ten­­tu akan tiba. Untuk itu, itu, tentu kapal Unesa l DR. SUYATNO, M.PD se­­mua fakultas, lembaga, se­­­makin ke tengah pe­ UPT, bagian, seksi, atau ra­da­ban samudera. Kon­disi di te­ngah apapun namanya ten­ tu mempunyai sangat melelahkan di­ban­ding­kan kon­disi ke­in ­ gin­­an untuk turut me­­norehkan ca­ awal-awalnya karena gangguang angin, tatan ba­­gus dalam se­jarah Une­­sa. Jadi, topan, gelombang besar, dan he­­ wan la­ku­kanlah torehan emas itu. Jangan me­ besar mulai bernampakkan de­ngan je­ nunggu instruksi karena bu­kan za­man­ las. Tentu, balik ke 0 mil jelas ti­dak mung­ nya. Lakukanlah secara trans­for­ma­si, ko­ kin karena posisi 0 mil sudah ter­ tu­ lis or­dinasi, dan sehati. dalam sejarah. Mau tidak mau, suka ti­dak Torehan emas tersebut tentu me­mer­ suka, kapal Unesa harus menerjang ge­ lukan perhatian yang apik agar da­lam lombang besar, badai ganas, dan he­wan perjalanan sejarah tidak terjadi pe­ run­ besar untuk membuka jalan me­nam­paki tuhan. Kunci keberhasilan perhatian ada­ pulau tujuan. lah (1) pandanglah semua insan Unesa Kini, Unesa waktunya mengarungi se­­­bagai saudara dan sesama, bukan la­ sa­mudera sebenarnya. Jadikanlah badai wan politik atau lawan kelompok yang be­­sar sebagai sahabat. Meskipun badai tidak perlu dilibatkan; (2) sekecil apa­ in­­ formasi bergantian menerpa pikiran pun jabatannya, serendah apapun pen­ dan keadaan, jadikanlah dia teman ber­ didikannya, semiskin apapun dia, pas­ti­ san­­­ ding. Meskipun gelombang lebih lah mempunyai sejumput potensi. La­lu, be­ sar menghantam tiba-tiba dengan kuatkanlah potensi yang sejumput itu ge­muruh suara menggelegar, jadikanlah menjadi potensi yang membesar dan dia motivasi berjuang untuk menuju berguna; (3) semua warga Unesa pas­ti pu­ lau harapan. Meskipun hewan be­ mempunyai keinginan untuk mem­ be­ sar lautan dalam menganga untuk me­ sar­kan dan membanggakan Unesa maka nerkam mangsa, jadikanlah dia pen­do­ be­sarkanlah hati mereka agar bersedia rong buritan. Kini, Unesa waktunya me­ su­karela untuk membanggakan Unesa. nga­rungi samudera sebenarnya. Sejarah dunia telah membuktikan Pada titik refleksi diri di ulang ta­hun bah­wa samudera seganas apapun dapat ke-50, Unesa harus mempunyai ke­ be­ di­lalui. Dunia berkembang merata akibat ranian me­lakukan revolusi mental. Me­ ke­beranian perahu melewati samudera la­kukan itu lebih baik daripada berhenti un­ tuk membawa perubahan. Unesa di tan­pa apa-apa. Dalam melakukan, tentu, usia ke-50 tentu dapat mengarungi sa­ ba­­nyak hambatan, gangguan, hantaman, mudera dengan senyum gembira. Te­­ma dan gunjingan namun melakukan akan besar yang menunjukkan siap meng­ meng­­ha­sil­kan ke­bermaknaan bagi ha­dapi MEA 2015 menunjukkan bahwa semua. Untuk itu, se­mua warga Unesa, ke­ beranian dicanangkan dengan jelas. tanpa terkecuali, harus melakukan yang Ber­ gandengan pikiran, ikatan tangan ter­baik bagi Unesa dalam hal apapun. per­saudaraan, dan kesamaan hati harus Se­mua lini harus berfungsi. Semua bi­ men­jadi modal dalam merangkai visi un­ dang harus mengisi. Kebersamaan da­lam tuk mengarungi samudera luas dalam melakukan akan menyebabkan ke­ber­ha­ me­napaki usia berikutnya. Bravo Unesa.. sil­an karena ringan menjalankan. n

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

|

3


CONTENT

INFO HALAMAN

03. WARNA

Waktunya Mengarungi Samudera oleh Dr. Suyatno, M.Pd

06

DIMINATI. Pada usia yang ke-50 tahun, Unesa semakin diminati. Ribuan calon mahasiswa setiap tahun berebut kursi melalui ujian masuk perguruan tinggi negeri. Ini merupakan bukti bahwa Unesa makin bermartabat.

05. LAPORAN UTAMA • Unesa dari Masa ke Masa • Rekam Jejak 50 Tahun Unesa • Prof. Suyono: FMIPA Siap terbang Tinggi • Dekan FE: Setengah Abad Makin Bermartabat • S3 Ilmu Pendidikan sebagai Kado Lustrum X Unesa

15. SEPUTAR UNESA

• Menulusuri Laboratorium PLS Andalan FIP

18. LENSA UNESA 22 INSPIRASI ALUMNI

• Kiprah Sutijono: Gagal Jadi Mantri, Sukses Pimpin Kampus

25. SEPUTAR UNESA 26. KABAR P3G 29. ARTIKEL WAWASAN

19 10

32. INFO BUKU 33. INFO SEHAT

• Manggis, Si Anti Diabetes

34. CATATAN LIDAH • oleh Djuli Djatiprambudi

4 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

33


LAPORAN UTAMA

UNESA

DARI MASA KE MASA

SEJARAH UNESA BERMULA DARI LEMBAGA KURSUS Upacara peringatan Dies Natalis pada Jumat, 19 Desember 2014di halaman kantor pusat Unesa merupakan penanda puncak perjalanan kampus yang dulu bernama IKIP Surabaya itu genap berusia 50 tahun. Sebuah usia emas yang tentu memiliki bentangan sejarah panjang.

S

ejarah Unesa, tentu tidak da­ pat dipisahkan dari awal mula ber­­dirinya IKIP Surabaya. Se­ki­ tar tahun 1950, sebelum res­mi berdiri IKIP Surabaya, kampus ini ber­ mu­la dari kursus B-I dan B-II bi­dang Il­ mu Kimia dan Ilmu Pasti yang me­man­ fa­atkan sarana dan prasarana be­ru­pa ru­ang kelas dan laboratorium dari pen­ di­dikan Belanda, Hoogere Burger Schol (HBS).

Kursus-kursus tersebut di­ seleng­ ga­­­ra­kan di Surabaya untuk memenuhi ke­­butuhan tenaga guru setingkat SLTP dan SLTA. Kursus-kursus tersebut me­li­ pu­ti B-I dan B-II Kimia, B-I dan BII Ilmu Pas­ti, B-I Bahasa Inggris, B-I Bahasa Jer­ man, B-I Teknik, B-I Pen­di­dikan Jas­ma­ ni, B-I Ekonomi, B-I Per­nia­gaan, dan B-I Il­mu Pesawat. Dalam per­ja­la­nannya, pa­da tahun 1957, kursus-kur­sus B-I di­­ kelompokkan menjadi dua, yai­tu Kur­

sus B-I Umum, yang meliputi Ba­hasa Ing­gris dan bahasa Jerman, dan Kursus B-I Kejuruan, yang meliputi Ki­mia, Ilmu Pas­ti, Ekonomi, Perniagaan, Tek­nik, Pen­didikan Jasmani, dan Il­mu Pesawat. Kur­sus-kursus tersebut ber­lang­sung sam­pai tahun 1960. Melalui Ketetapan MPRS No. 11/ MPRS/1960 kedua kursus tersebut di­i­ntegrasikan ke dalam Fakultas Ke­ gu­ ruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

|

5


LAPORAN UTAMA

IKIP SURABAYA: Gedung rektorat di Kampus Ketintang Surabaya, yang kini telah berubah lebih baik lagi.

yang mencetak guru sekolah lan­ju­t­an. Integrasi itu dilakukan untuk meng­hi­ lang­kan dualisme kursus B-I dan B-II de­ ngan lulusan yang tidak bergelar, dan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pen­ di­dikan (FKIP) yang menghasilkan lu­ lu­ san bergelar. Selanjutnya lembaga ter­ sebut, berdasarkan SK Menteri Pen­ didikan dan Kebudayaan nomor 6/1961 tertanggal 7 Februari 1961, di­ integrasikan menjadi salah satu fa­kul­ tas dalam FKIP Universitas Airlangga Ca­bang Malang dengan nama FKIP Uni­versitas Airlangga Cabang Su­ra­ba­ ya. Pada tahun 1962 dengan berdirinya Aka­­demi Pendidikan Guru (APG), yang ke­­mudian menjadi Institut Pendidikan Gu­­ru (IPG), dualisme muncul kembali. Un­ tuk menghilangkan dualisme ter­ se­­ but, berdasarkan Surat Keputusan Pre­­siden nomor 1/1963 tertanggal 3 Ja­ nuari 1963 dilakukan integrasi IPG de­­ngan FKIP menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP). Dengan in­ teg­rasi itu, FKIP Universitas Airlangga di Malang, pada tanggal 20 Mei 1964, statusnya diubah menjadi IKIP Malang Pusat dan FKIP Universitas Airlangga Cabang Surabaya berubah menjadi IKIP Malang Cabang Surabaya. Kondisi se­perti itu berlangsung hingga tanggal 19 Desember 1964.

6 |

I964, IKIP Resmi Berdiri Berdasarkan SK Menteri Perguruan Ting­­gi dan Ilmu Pengetahuan nomor 182/1964 tertanggal 19 Desember 1964, secara resmi IKIP Surabaya ber­di­ri sendiri dengan pimpinan suatu pre­si­ di­um. Tanggal tersebut ditetapkan se­ ba­­gai tanggal kelahiran IKIP Surabaya yang setiap tahun diperingati sebagai di­es natalis IKIP Surabaya. Peresmian dilaksanakan pada tang­­ gal 19 Desember 1964 pukul 08.00 WIB, di jalan Kayoon 72-74 Su­ ra­­baya. IKIP Surabaya mempunyai li­ ma fakultas, yaitu Fakultas Ilmu Pen­ di­dikan (FIP), Fakultas Keguruan Il­mu So­sial (FKIS), Fakultas Keguruan Sas­tra Se­ ni (FKSS), Fakultas Keguruan Il­ mu Ek­sakta (FKIE), dan Fakultas Ke­gu­ru­an Ilmu Teknik (FKIT). Dalam per­ja­­lannya, pada 1 Maret 1977, berdiri Fa­ kul­ tas Ke­guruan Ilmu Keolahragaan de­ngan ber­integrasinya Sekolah Tingi Olah­ra­ ga (STO) berdasarkan SK Menteri Pen­ di­ dikan dan Kebudayaan R.I. nomor 042/O/1977 tertanggal 22 Februari 1977. Selanjutnya, berdasarkan Peraturan Pe­merintah R.I. nomor 27/1981, ke­e­ nam fakultas di IKIP Surabaya me­nga­ lami perubahan nama menjadi Fa­kul­ tas Ilmu Pendidikan (FIP), Fakultas Pen­ didikan Bahasa dan Seni (FPBS), Fa­kul­

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

tas Pendidikan Matematika dan Ilmu pe­ngetahuan Alam (FPMIPA), Fakultas Pen­ didikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS), Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan (FPTK), dan Fakultas Pen­ didikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK). IKIP Surabaya kian mendapat ke­per­ cayaan untuk menyelenggarakan per­ luas­an mandate. Melalui SK Presiden RI no­mor 93/1999 tertanggal 4 Agustus 1999, IKIP Surabaya berubah menjadi Uni­ versitas Negeri Surabaya (Unesa) de­ ngan mengelola enam fakultas, yai­ tu Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Fa­ kultas Bahasa dan Sastra, Fakultas Ma­ tematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Fakultas Teknik (FT), dan Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK). Sesuai hasil keputusan rapat senat pada tanggal 12 Oktober 1998, yang menyepakati bah­wa nama IKIP Surabaya pasca-kon­ versi adalah Universitas Negeri Su­ra­ baya yang disingkat Unesa dengan misi ganda sebagai LPTK (Lembaga Pen­­didikan Tenaga Kependidikan) yang tetap menyelenggarakan misi uta­­ma menyelenggarakan program ke­ pendidikan dan program non ke­pen­di­ dik­an. Pada tahun 2006 atau tujuh tahun pasca konversi, Unesa membuka satu fakultas baru, yaitu Fakultas Ekonomi. Hal itu sesuai Surat yang dikeluarkan Dirjen Dikti Nomor 761/D/T/2006 tentang Pembukaan Fakultas Ekonomi Unesa tertanggal 16 Februari 2006, dan Surat Keputusan Rektor Unesa No.050/ J37/HK.01.23/PP.03.02/2006 tentang Pemisahan Jurusan Pendidikan Eko­no­ mi dan Program Studinya dari Fakultas Ilmu Sosial dan Pembukaan Fakultas Ekonomi tertanggal 16 Maret 2006. Sehingga saat ini UNESA memiliki tujuh fakultas. n


LAPORAN UTAMA

50

MOMENTUM Bersama Majukan UNESA Tahun

S

ejak berubah menjadi Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Unesa terus melakukan pengembangan, ter­utama di FIP dan FIS.Sebelum tahun 2005, FIP ha­nya mengelola dua jurusan, namun pada tahun 2006 dengan mengacu pada kebutuhan pasar kerja, FIP me­ ngembangkan prodi Bimbingan Konseling menjadi Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan. Sedangkan pa­da tahun 2008 dengan diberlakukannya Undang-Undang Sis­ dik­ nas yang mensyaratkan guru harus berkualifikasi S-1, ma­ka FIP mengembangkan prodi D-2 PGSD menjadi Jurusan PGSD, yang sementara mengelola prodi S-1 PGSD, dan ke de­pan akan dikembangkan prodi-prodi lain sesuai dengan ke­bu­ tuhan pasar kerja. Sejak tahun 2008, FIP telah mengelola 4 Jurusan. Perkembangan cukup signifikan juga terjadi di FIS.Pada ta­hun 2006, terbagi menjadi dua fakultas, yaitu FIS dan FE. Pa­da tahun tersebut, FIS mengelola tiga jurusan, sedangkan FE hanya mengelola satu jurusan. Dalam perkembangannya, pa­da tahun 2008, FE mengembangkan Manajemen menjadi jurusan, dan pada tahun 2009 mengembangkan prodi D-3 Akutansi menjadi Jurusan Akutansi yang di dalamnya terdiri

dari prodi D-3 Akutansi dan S-1 Akutansi. Pada tahun 2013, FIS kembali mengembangkan jurusan dengan membuka pro­gram studi S1 Ilmu Komunikasi. Rektor Unesa, Prof. Warsono, dalam sambutan pada upa­ ca­ra Dies Natalis ke-50 mengharapkan kepada semua sivitas aka­demika untuk bersama-sama bahu membahu dalam me­ ma­jukan Unesa. Ia menyampaikan, meskipun Unesa sudah ber­usia 50 tahun, namun perjalanannya masih panjang dan ma­sih banyak yang perlu dibenahi agar lebih baik. Salah sa­ tunya adalah masih sedikit dosen Unesa yang bergelar pro­ fesor. Oleh karena itu, Rektor Unesa menghimbau ke­pa­da seluruh civitas akademika untuk bekerja sama demi ke­ma­ju­ an Unesa. “Tanpa dukungan semua pihak, saya tidak bisa ber­ bu­at banyak,” tambahnya. Rektor memaknai bahwa usia 50 tahun bagi perguruan ting­gi masih sangat tergolong muda. Artinya dari usia ter­se­ but, Unesa masih memiliki banyak waktu untuk berbuat le­ bih banyak lagi berkontribusi bagi masyarakat, bangsa dan ne­gara. Rektor mengakui, dari segi sarana prasarana yang di­miliki, meski telah menunjukkan progres yang baik, Unesa mem­butuhkan banyak sarana prasarana untuk mendukung Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

|

7


LAPORAN UTAMA tu­ gas pokok dalam baik. Dari segi sarana melaksanakan tridhar­ prasarana, Haris me­ni­ ma perguruan tinggi. lai per­kem­ba­ngan­nya “­ Kita masih mem­ re­ latif bagus. Unesa bu­­tuhkan sarana pra­ mam­pu menambah ba­ sa­­rana pengajaran, nyak gedung, ter­masuk se­­­perti laboratorium, Program Pendidikan ru­­ang kelas, perangkat Pro­fesi Guru (PPG) yang pem­­belajaran, bukumen­­jadi kebanggaan Prof. Haris Supratno Prof. Muchlas Samani Drs. Soerono bu­­ku, jurnal ilmiah dan bagi Unesa karena di­ pe­­rangkat software per­caya untuk me­nye­ yang bisa men­jalankan sistem pengajaran yang bagus,” ung­ leng­garakannya. kap rektor di­kutip dari tulisannya di kolom rektor. Selain itu, kualitas Unesa juga semakin diperhitungkan Dari sisi SDM, lanjut Warsono, Unesa masih membutuhkan de­ngan semakin banyaknya peminat dan rata-rata nilai tes te­naga guru besar dan doktor yang menopang dharma di masuk melaui SNMPTN. “Unesa memiliki peminat lebih banyak bidang pendidikan dan penelitian. Saat ini, jumlah profesor di di­bandingkan dengan universitas lain di Surabaya. Nilai-nilai Unesa baru ada sekitar 5 persen dari total jumlah dosen. Be­ tesnya bagus. Bahkan sampai 800 dari skala 1000,” jelas Haris. gitu pun dosen yang bergelar doktor,baru sekitar 25 persen Ketua tim pembentukan Standar Nasional Pendidikan Guru dari jumlah dosen. “Kita (Unesa) akan berupaya mendorong itu menambahkan,agar menghasilkan lulusan yang baik, agar semakin banyak dosen-dosen berhasil meraih gelar pro­ maka Unesa perlu memperhatikan ketiga faktor, yakni input fe­sor dan doktor agar Unesa semakin maju,” paparnya. mahasiswa, fasilitas, dan tenaga pengajar. Selain SDM, dari segi dharma pengabdian, Unesa juga be­ Prof Muchlas Samani, mantan rektor unesa periode 2010lum memiliki banyak hasil penelitian yang bisa diaplikasikan 2014 menandaskan agar mahasiswa Unesa bangga dan per­ sebagai wujud dari dharma pengabdian kepada masyarakat. caya diri terhadap almamaternya karena Unesa tidak kalah Rektor mengingatkan, Sebagai lembaga pendidikan tinggi kualitasnya dari kampus-kampus lain. Satu yang menjadi ke­ dan sebagai masyarakat ilmiah, tentu Unesa tidak boleh te­ lebihan Unesa, kata Muchlas, yakni memiliki identitas pen­di­ rus berada pada masa kanak-kanak, yang bersikap egois dikan yang tidak dimiliki kampus lain. dan berorientassi pada masa kini.Unesa harus tumbuh men­ Unesa, lanjut Prof Muchlas, sudah waktunya naik kelas. jadi dewasa, yang memiliki mimpi-mimpi untuk ikut ber­ Ka­rena itu, Unesa harus terus berkembang dan tumbuh. Da­ peran dalam pembangunan nasional dan memajukan bang­ ri segi sarana dan prasarana seperti gedung sudah sangat sa.“Sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK), me­madai. Dari sisi peminat, Unesa juga sudah semakin me­ Une­sa harus mampu menghasilkan guru-guru yang kreatif, nunjukkan peningkatan yang luar biasa. Karena itu, har­us ino­vatif, dan berakhlak mulia, dan seorang pembelajar,” ung­ mampu menjaga kualitas dan martabatnya dengan me­la­ku­ kap­nya. kan rekrutmen dosen pengajar dari lulusan kampus yang ku­ Sementara itu, mantan rektor Unesa periode 1988-1992, alitasnya bagus dan tidak menerima mahasiswa secara ma­sal Soe­rono menilai Unesa telah mengalami perkembangan yang melebihi kuota. “Kita memang belum sempurna tetapi se­ti­ signifikan. Ia bersyukur masih diberi kesempatan melihat daknya sudah setara dengan kampus-kampus terkemuka se­ Une­sa semakin berkembang pesat. Salah satunya, terlihat per­ti ITS dan Unair,” ungkapnya. da­ri bangunannya yang makin banyak menjulang tinggi dan Pada saatnya nanti, lanjut Muchlas, Unesa harus bisa jum­lah mahasiswa yang semakin banyak. Alhamdulillah, dulu meng­ekspor guru. Jika unesa mampu menekspor guru, ar­ ma­hasiswa hanya mencapai 3000, kini sudah berlipat ganda,” tinya Unesa telah menunjukkan keberhasilan dan makin tu­turnya sambil terseyum. me­martabatkan identitas Unesa sebagai kampus pencetak Soerono menambahkan, pada saat ia menjadi rektor, Pas­ gu­ru-guru handal.Ia juga berharap, di usia yang ke-50 tahun ca­sarjana masih terbatas membuka program Matematika dan stan­ding akademik Unesa terus terjaga kualitasnya dengan Sains (FMIPA) yang memang lebih diminati masyarakat. Na­ se­makin sering melakukan kerjas sama dan kegiatan-kegiatan mun, saat saat sudah banyak berkembang. Kakek sebelas cucu ber­bau akademik. (SIR/BS) itu­pun memberi pesan kepada warga Unesa agar senantiasa be­kerja keras untuk kemajuan Unesa dengan memegang Kita memang belum sempurna tetapi se­ prin­sip kebersamaan dan solidaritas bersama. ti­daknya sudah setara dengan kampusProf. Dr. H. Haris Supratno, mantan Rektor Unesa 2002kampus terkemuka se­per­ti ITS dan Unair,” 2010 menegaskan bahwa 50 tahun merupakan usia mapan sehingga Unesa harus menunjukkan dirinya se­ba­ gai perguruan tinggi yang mapan dalam arti berkualias te­ [Prof. Muchlas Samani] naga pengajar, fasilitas, dan lulusannya. Haris menilai, Une­sa sekarang sudah memiliki tenaga pengajar yang ja­uh lebih

8 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014


LAPORAN UTAMA

50 Tahun

UNESA Makin Rasional & BERMORAL

Unesa, kini genap sudah berusia 50 tahun. Sebuah usia yang cukup matang untuk meneguhkan jati dirinya sebagap kampus bermartabatdan makin di­se­ ganitak hanya dilevel nasional, tapi juga siap berkompetisi dengan tantangan global.

R

ektor Unesa, Prof. Dr. Warsono, M.S mengatakan bahwa men­ ja­ di bermartabat, bukanlah se­ buah pernyataan faktual yang harus dibuktikan benarsalahnya. Na­mun, slogan tersebut merupakan se­ bu­ah harapan. Menurut Prof. Warsono, ada dua ukuran bermartabat, yakni ra­ sio­nal dan bermoral. Rasional ditandai de­ ngan kemampuan berpikir secara kri­ tis dan bertindak menggunakan per­timbangan-pertimbangan tertentu. Per­ timbangan tersebut harus utuh dan juga menyeluruh, menggunakan ar­gumentasi dan juga sesuai dengan data yang ada. “Bermartabat atau tida Unesa ber­ gan­tung pada civitas akademikanya, me­ liputi dosen, mahasiswa,karyawan, dan alumni. Semakin rasional mereka, ma­ka akan semakin bermoral,” pa­par­nya. Warsono menambahkan, sudah se­­tengah abad, Unesa berusaha ber­

trans­­formasi menjadi universitas yang ra­­sional dan bermoral. Transformasi itu dimulai dengan berubahnya IKIP Su­ rabaya menjadi Universitas Ne­ geri Surabaya. Lalu, perubahan fisik di kampus Ketintang dan sebagian di Lidah Wetan yang semakin progresif. Se­mentara untuk membumikan motto Growing with Character, Unesa pun meng­genjot peningkatan kualitas SDM me­lalui berbagai pelatihan, kerja sama dan pembiasaan berbudaya akademik. Selama setengah abad berjalan, Une­sa telah mengalami peningkatan yang luar biasa, tidak hanya pada ba­ ngu­nan fisik. Menurut Prof. Warsono, se­lain bangunan fisik, capaian prestasi dan kemajuan Unesa banyak diperoleh. Mu­lai menjadi LPTK dengan peminat ter­­ banyak, masuk dalam 5 LPTK terbaik, pe­ ringkat webometrik yang terus membaik, dan seabrek presatasi nasional dan internasional.

“Tak hanya itu, iklim akademik di Unesa pun kian berbenah.Upaya pen­ do­rongan dan penfasilitasan kegiatan akademik dari civitas akademik untuk me­ lakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah serta publikasi karya aka­ de­mis terus diperkuat,” paparnya. Dikatakan Warsono, budaya aka­ de­mik dapat tumbuh dimulai dengan berpikir kritis, inovatif, dan kreatif. Ia me­ngatakan, jika Dahlan Iskan, mantan men­ teri BUMN mengatakan kerja, kerja, kerja, kalau ingin panda, maka ha­ ruslah dengan bertanya, bertanya, dan bertanya. Menurutnya, dengan ber­ tanya akan dapat menimbulkan pe­mi­ ki­ran kritis dan juga solutif. “Saya sangat berharap kedepan Une­ sa mampu menjadi universitas yang unggul dan bermartabat dengan ciri khasnyaGrowing With Character. (KHUSNUL/SYAIFUL)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

|

9


LAPORAN UTAMA

Siap BERSAING di Kancah INTERNASIONAL

D

ekan Fakultas Ilmu Sosial (FIS), Dr. Ketut Prasetyo, M.S, me­ngatakan bahwa memasuki usia ke-50 tahun, Unesa harus semakin maju dan mampu bersaing di kancah internasional. Mantan Pembantu Dekan I FIS itu berbuat banyak untuk memajukan Unesa, terutama di Fakultas Ilmu Sosial. Berbagai prodi berhasil dikembangkan Ketut bersama beberapa teman dosen. Di antara prodi yang berhasil dibentuk adalah prodi Administrasi Negara, Hukum, Sosiologi dan Komunikasi.“Kami juga membangun S2 IPS be­ ker­ja sama dengan Pascasarjana,” terangnya. Ketut mengakui, dulu ia kerap didemo mahasiswa terkait fa­silitas gedung yang kurang relevan. Namun, kini Ketut pa­ tut berbangga karena selama kepemimpinannya terlah ber­ ha­sil membangun dan membenahi gedung-gedung di FIS se­hingga menjadi lebih nyaman, aman dan asri. “Saat ini, FIS telah memiki laboratorium pembelajaran (laboratorium mik­roteaching), perpustakaan fakultas, dan kedepan akan di­ bangun area internet agar bisa membeikan kemudahan bagi ma­hasiswa belajar,” terangnya. Sistem belajar pun dibenahi oleh Ketut. Hasilnya luar biasa. Se­­lama 5 tahun terakhir,mahasiswa yang lulus dengan 3,5 ta­ hun semakin banyak. Dari segi birokrasi pun sudah menjadi le­bih baik dengan sistem online. Bidang kemahasiswaan da­

10 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

lam forum fakultas, universitas, hingga nasional sudah ba­ nyak mahasiswa yang mengikut LKTI. Terkait LKTI, FIS me­ miliki program membuat LKTI selama satu semester de­ngan didampingi oleh mahasiswa senior. “Target kami FIS pu­nya bank karya tulis ilmiah, sehinggaketika ada even LKTI, ma­ha­ sis­wa sudah siap bertanding,” ungkapnya. Dekan yang kerap disapa Ketut berharap Unesa ke depan bi­sa go internasional mulai dari aktivitas kuliah/pembelajaran, dan jurnal internasional. Apalagi saat ini rintisan kerja sama dengan sekolah internasional di Singapura, Malaysia dan ne­ ga­ra-negara ASEAN lain sudah dilakukan Unesa sehingga ma­hasiswa FIS bisa PPL ke Singapura, Malaysia dan negara ASEAN lainnya. Untuk mahasiswa, Ketut berharap mahasiswa ti­dak hanya bermodal ijasah tetapi juga harus dilengkapi ser­ ti­fikat keahlian Mengenai unesa 50 tahun makin bermartabat, Ketut ber­ pen­dapat bahwa bermartabat atau tidak sebenarnya hanya orang lainyang bisa melihat. Yang pasti, sebagai bagian dari sivitas akademika, tentu berusaha agar ke depan Unesa lebih maju. “Unesa yang kini telah berusia 50 mudah-mudahan bisa semakin mengokohkan diri di bidang pendidikan, unggul da­ lam pendidikan, menjadi center excelentbidang pendidikan, dan Sebagai toggak mengukuhkan dalam keilmuan. (SANDI)


LAPORAN UTAMA

SIAP Terbang

D

TINGGI

ies natalis ke-50 Unesa yang mengusung te­ma makin ber­martabat, seharusnya mampu me­nya­dar­kan se­ tiap lembaga maupun fakultas di lingkup Unesa agar berlomba-lomba mencapai target yang su­ dah di­ tetapkan. Demikian dikatakan Dekan FMIPA, Prof. Dr. Suyono. Menurut Suyono, salah satu fakultas di Unesa yang saat ini tengah berbenah menjadi lebih baik adalah Fakultas Ma­te­ ma­tika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Ia mengatakan, fa­kultas yang dipimpinnya itu telah banyak mengalami pe­ rubahan baik dari segi fasilitas, sistem pengajaran dan sa­ rana prasarana. “Dari segi infrastruktur, FMIPA sudah me­mi­liki banyak gedung baru dan gedung lama yang sudah di­re­no­va­ si,” tutur Dekan FMIPA tersebut. Dosen yang juga mengajar di jurusan Kimia tersebut me­ nam­bahkan, kunci sukses FMIPA membangun infrastruktur dan fasilitas karena sering mengadakan kerja sama dengan ber­ bagai pihak. Salah satunya, terkait bantuan IDB yang men­dapatkan alokasi jatah cukup besar dari Unesa.Se­la­in infrastruktur, prestasi mahasiswa FMIPA juga turut meng­ harumkan namaUnesa di tingkat nasional maupun in­ter­na­

sio­nal. Perlombaan yang diadakan seperti kontes robot dan kar­ya tulis ilmiah tingkat nasioanal berhasil dimenangkan oleh mahasiswa FMIPA. “Seharusnya kita bangga dengan itu se­mua,” ungkap Prof Suyono. Dari sekian banyak prestasi FMIPA, Suyono meng­ungkap­ kan salah satu kendala dalam mencapai sesuatu yang lebih baik lagi yaitu masalah komitmen. Ia mengatakan, komitmen da­ri mahasiswa, dosen atau siapa pun harus semakin di­ting­ katkan lagi. Ia tidak ingin ketika sudah menyelesaikan su­atu hal kemudian berhenti begitu saja. “Komitmen dari pi­hak rektorat juga harus sesuai dengan apa yang sudah di­se­pa­ka­ ti,” pungkasnya. (SURYO)

Bisa Jadi Acuan Fakultas Lain

D

r. Abadi M.Sc mengungkapkan bah­wa meski telah meng­ala­ mi banyak kemajuan, masih ada kendala yakni pada ja­ ri­ngan internet atau wi-fi. Namun, se­ ca­ra umum mutu masing-masing ju­ ru­san di FMIPA sudah mulai baik dan ber­ lomba-lomba dalam memajukan sis­tem pendidikan. FMIPA juga sudah ba­nyak memberikan sumbangsih un­ tuk Unesa, khususnya dalam hal pe­mi­ kiran seperti sistem perkuliahan dan program-program kerja dosen su­dah lebih baik daripada fakultas lain. Me­

nurutnya, sistem yang sudah baik ter­ se­ but hendanya bisa menjadi acuan fa­­kultas lain. Dulu, terang Abadi, FMIPA me­ne­rap­ kan pengadaan tenaga pengajar lu­lus­ an luar negeri. Mahasiswa yang sudah lu­lus maupun calon dosen diharapkan ti­ dak mengajar terlebih dahulu, me­ lain­kan dikirim ke luar negeri. Hal itu­lah salah satu yang menjadi pemicu FMIPA ‘leading’ dalam pengembangan pen­di­ dik­an. Selain mengembangkan dosen pe­ngajar lulusan luar negeri, FMIPA ju­ ga menjalankan program kelas in­ter­ nasional atau unggulan. Meskipun be­ lum sesuai harapan, namun pimpinan FMIPA sudah memiliki keberanian un­ tuk ‘melebarkan sayapnya’ di tingkat in­ternasional. Selain itu, kerja sama dengan pihak lu­ ar negeri juga menjadi kekuatan FMIPA. Namun, dalam hal kerja sama de­ngan

luar negeri harus diimbangi dengan MoU yang tegas aturannya. S­ ehingga rasa keadilan bisa saling ter­ ja­ ga satu sama lain. “Proges seperti pe­ ngiriman mahasiswa untuk PPL ke luar negeri, sering mengundang do­sen tamu dari luar negeri, serta mem­­ berikan perkuliahan dalam ba­hasa Inggris diharapkan mam­ pu mem­be­ri­kan wawasan kepada ma­ ha­siswa bah­wa mental dan pemikiran me­reka siap un­tuk bersaing di tingkat in­ternasional,” tutur Abadi, Ketua Jurusan Ma­tematika itu. Ia menyampaikan,di ulang tahun Une­sa yang ke-50, diharapkan Unesa ti­­dak cepat puas dengan yang sudah di­ca­pai saat ini. Sebab, jika menengok ke ka­nan dan ke kiri, masih tertinggal jauh.Ka­rena itu, seluruh sivitas akademika ha­rus tetap bekerja keras agar mampu tum­buh maksimal sehingga Une­­sa dipandang perguruan ting­­gi dalam dan luar ne­ge­ri.(SURYO)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

|

11


LAPORAN UTAMA

Setengah Abad, Makin Bermartabat

P

rof. Dr. Bambang Suratman, Dekan Fakultas Ekonomi (FE) berpendapat bahwa Unesa yang sudah berumur se­tengah abad sudah sepantasnya menjadi uni­ver­ sitas bermartabat meskipun banyak yang perlu di­ benahi lagi. Dengan motto Growing with Character, Unesa di­ ha­rapkan mampu mempersiapkan SDM berkualitas. Caranya, meng-upgrade pendidikan dosen dan alumni berprestasi me­ lalui skema beasiswa studi lanjut di kampus-kampus luar ne­ ge­ri yang memiliki reputasi. Sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang sejak 15 tahun silam mengonversi diri menjadi uni­versitas, Prof. Bambang berharap Unesa mampu mem­ba­ ngun budaya akademik diseluruh kalangan sivitas aka­de­mi­ ka. Baik dosen maupun mahasiswa, harus mampu saling ber­ ko­munikasi dan bekerja sama dengan baik sehingga mampu menghasilkan penelitian yang berkualitas dan mewujudkan jur­nal ilmiah terakreditasi di Unesa. Fakultas Ekonomi (FE) menjadi bagian penting di Une­sa. Fakultas yang berdiri pada tahun 2006 silam itu telah me­ norehkan berbagai prestasi. Di antaranya sebagai fa­kul­tas terbersih ketiga se-Kotamadya Surabaya sehingga men­ dapatkan kunjungan perkumpulan walikota se-Asia Pa­sifik. Prof. Suratman menambahkan, FE yang masih ber­umur 8 tahun akan senantiasa melakukan terobosan agar Une­ sa semakin bermartabat. Tahun depan, Prof Bambang me­ nargetkan dapat membuka prodi Ilmu Ekonomi (Studi Pem­ ba­ngunan). Selain itu, program studi S3 Pendidikan Ekonomi akan segera diajukan. “Saya berharap Unesa mampu melakukan kemitraan dan ri­set terapan yang bersifat inovatif serta dapat didesiminisikan ke dunia usaha dan industri.Dengan begitu, kemartabatan Une­sa akan semakin kuat,” ungkapnya.(KHUSNUL/SURYO)

12 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

Perlu Jurnal Ilmiah Terakreditasi

A

chmad Kausar, S.E., M.M , dosen muda Fakultas Eko­ no­mi (FE) mengatakan bahwa Unesa merupakan uni­versitas yang paling bermartabat karena men­ ce­ tak guru-guru profesional yang unggul dan berkualitas. Menurutnya, Unesa yang berumur setengah a­bad ini sudah mampu menjadi universitas yang unggul da­ lam pen­didikan, dan kukuh dalam keilmuan. Dosen Manajemen kelahiran Surabaya, 15 Desember 1989 ini mengaku bahwa dia merasakan benar perubahan yang terjadi di Unesa..Menurutnya, Unesa terus menjelma men­jadi kampus yang berperadaban.Tak hanya mengusung mo­derni­ tas, tapi juga meneguhkan visi bersahabat. Meskipun Unesa sudah berbenah, namun masih banyak as­pek yang perlu ditingkatkan lagi. Menurutnya, Unesa ha­ rus mampu mewujudkan jurnal ilmiah yang terakreditasi. D­engan manajemen dan pengarsipan yang baik, diharapkan se­mua penelitian dosen dan mahasiswa mampu tertampung de­ngan baik. Sehingga budaya akademik di Unesa mampu di­tumbuh kembangkan. Dosen muda ini mengaku ingin turut serta ambil bagian da­lam pembangunan di Unesa. Sehingga tak heran, dia le­ bih memilih Unesa sebagai tempat pengabdiannya.“ Saya menga­jar disini sudah ada panggilan jiwa. Saya ingin kembali la­gi ke Unesa. Menuangkan semua ide-ide saya di kampus ha­ la­man,” tutur Achmad Kausar , S.E., M.M. (KHUSNUL/EMIR)


LAPORAN UTAMA

Kembangkan Layanan Berharap S3 Ilmu Web Cybercounseling Pendidikan Segera Buka

F

akultas Ilmu Pendidikan (FIP), tidak mau berdiam di­ri dalam meningkatkan iklim akademik. Berbagai upa­ ya Selain mulai dari melakukan sertifikasi ISO, me­­ ningkatkan kerja sama dengan universitas dalam dan luar negeri dalam bentuk pertukaran mahasiswa, serta pe­ ningkatan kompetensi dosen maupun lulusan dengan me­ ngutamakan fasilitas dan pelayanan. Selain upaya di atas,sejak tahun 2012,FIP telah memberikan pe­layanan konseling kepada mahasiswa sebagai salah satu usaha memperbaiki kondisi psikis mahasiswa agar tercipta ke­nyamanan dalam belajar dan berdampak pada kualitas pro­duk yang dihasilkan (karya/lulusan).Pelayanan konseling ter­sebut bernama Web Cybercounseling. Menurut dosen FIP, Wiryo Nuryono, Web Cybercounseling me­rupakan sarana bertemu bagi mahasiswa yang memiliki masalah dan membutuhkan solusi dari masalahnya, atau se­ ka­dar berbagi cerita mengenai kehidupan pribadi maupun ke­hidupan kampus dengan konselor atau dosen. Masalah tersebut bisa didiskusikan melaluionline, bisa juga dengan mem­buat janji bertemu konselor langsung. Namun, karena ken­dala waktu, diskusi melalui online kerap menjadi pilihan. Ia membayangkan akan ada videocall dan chating yang tidak kalah dengan media sosial. “Jadi, di zaman digital ini tidak ada lagi kendala waktu dan tempat untuk berkomunikasi,” tuturnya. (MUTYA)

D

rs. Moh. Nur Salim, M.Si mengakui bergantinya nama IKIP Surabaya menjadi Universitas Negeri Surabaya, ber­pengaruh pada kemajuan dan perkembangan fa­silitas. Saat ini, Unesa semakin dikenal setelah suk­ ses melakukan gebrakan pembangunan gedung perkuliahan dan fasilitas penunjang lain. Meskipun lulusan Unesa sebagian besar menjadi peng­ ajar, kata Nur Salim, tidak sedikit yang berhasil menjadi peng­ usaha. Hal ini tentu berdampak pada minat masyarakat un­tuk menuntut ilmu di Unesa karena cakupan lulusan Unesa men­ jadi semakin luas. ”Dulu mahasiswa IKIP Surabaya berjumlah ra­tusan, sedangkan sekarang jumlah mahasiswa Unesa men­ ca­pai lebih dari 30.000,” ujar Moh.Nur Salim bangga. Pembantu Dekan III FIP itu menjelaskan, berbagai upaya te­lah dilakukan Unesa untuk memperbaiki kualitas dosen mau­pun mahasiswa. Tentu, Setiap fakultas memiliki cara sen­ di­ri untuk memperbaiki diri, termasuk FIP. Salah satu cara yang dilakukan FIP adalah melaksanakan penelitian yang be­kerja sama dengan universitas luar negeri. Kerja sama itu ber­tujuan membuka cakrawala mengenai ilmu yang tidak di­ dis­kusikan di dalam kelas, yang tentunya bermanfaat dalam pem­bangunan dan peningkatan kinerja Unesa. Nur Salim berharap, pengajuan program pasca sarjana S3 Ilmu Pendidikan segera bisa ditindaklanjuti sebagai hadiah Une­sa di usianya yang ke- 50 tahun.Sementara ini, lanjut Nur Sa­lim, ada dua jurusan program pasca sarjana di FIP, yaitu Tek­ nologi Pendidikan dan Manajemen Pendidikan.“Dengan dit­ ambah jurusan Ilmu Pendidikan, kami berharap bisa men­jaga dan memelihara ilmu agar Unesa semakin maju dan ber­kem­ bang,” pungkasnya. (MUTYA)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

|

13


LAPORAN UTAMA

apa kata mereka

tentang 50 tahun Unesa Muhammad Dyni Rosadi, Mahasiswa FBS

Siti Maisaroh, Mahasiswa FE

UNESA sudah mengalami pe­ ning­ ka­tan. Gedung-gedung banyak di­ba­ ngun. Hanya, perawatannya masih mi­nim dan perlu ditingkatkan. Me­ nu­ rut saya, yang perlu diperbaiki di Unesa adalah lingkungan yang masih kurang tertata, penggunaan lab yang terbatas untuk mahasiswa, dan jalan yang bolong terutama di Kampus Lidah Wetan. Saya berharap agar proyek-proyek Unesa segera selesai dan berjalan lancar. (DANANG)

SAYA bangga bisa menjadi mahasiswa Unesa dan bisa menempa ilmu menjadi seorang guru profesional. Menurut saya Unesa sudah bermartabat ka­ rena mampu melahirkanr ribuan pen­didik berkualitas unggul. Mes­ki­ pun begitu, masih banyak hal yang ha­rus diperbaiki. Saya harap birokrasi Unesa lebih baik dan transparan. Bisa memberikan mahasiswa beasiswa ke luar negeri dan memperbaiki fasilitas. (KHUSNUL)

Perlu Perbaikan & Perawatan Fasilitas

Debi Agus Santosa, Mahasiswa FIP

Ingat Pendidikan, Ingat Unesa SAYA bangga dan bersemangat dalam menuntut ilmu di Unesa. Saya setuju jika dikatakan Unesa lebih bermartabat di usia 50 tahun dengan berbagai keunggulan dan fasilitas yang sudah memadai. Saya berharap Unesa semakin maju jaya dan lebih memperhatikan fasilitas serta kualitas dosen maupun mahasiswa dalam mendidik calon pendidik yang profesional dan berakhlak mulia. Unesa adalah kampus pendidik yang unggul. Karena itu, jika ingat pendidikan, ya ingat Unesa. (mutya). (MUTYA)

Bangga Kemartabatan Unesa

Dinni Rahma Oktaviani, Mahasiswa FMIPA

Unesa Masih Perlu Perbaikan MENURUT saya, melalui momentum Dies Natalis ke-50, Unesa harus mem­ per­ baiki sistem, infrastruktur dan pra­sarana. Merujuk pada tema Di­es Natalis: ‘50 Tahun UNESA Kian Ber­ martabat’, saya berpendapat mas­ih belum sesuai dengan kondisi yang ada karena masih banyak sa­ra­na di ruang kelas yang belum memenuhi standar seperti kursi, LCD, pro­yektor bahkan sinyal wifi di FMIPA masih perlu di­per­baiki. Se­la­in itu, masih banyak dosen pengajar yang tidak menguasai bidang yang diajarkan. Hal ini tentu akan menghambat proses perkuliahan. (SURYO)

Anis Bahagiatin, Mahasiswa FIS

Hendrik Setio Hadi, Mahasiswa FT

MENURUT saya, Unesa yang kini genap ber­usia 50 tahun telah menjelma men­ja­di kampus yang cukup disegani. Ber­ba­gai fasilitas semakin dilengkapi de­ngan berbagai bangunan ge­dung dan sarana prasarana pe­nun­jang. Di jurusan PPKN, mi­sal­nya, sudah semakin baik fasilitas dan sarana prasarananya seperti ters­edianya LCD , AC dan akses wifi. Saya berharap, ke depan sarana dan pra­sa­rana ku­li­ ah semakin ditingkatkan lagi dan mahasiswa semakin aktif dan kri­ tis dalam perkuliahan. Selain itu, saya berharap Unesa bisa masuk peringkat besar nasional. (ahmad sandi). (FITRO KURNIADI)

MELAKUKAN revolusi Dulu, waktu kali pertama menjadi mahasiswa baru, saya beranggapan Unesa masih tertinggal jauh dengan Universitas lain. Tetapi, lambat laun saya melihat kemajuan Unesa sudah tidak diragukan lagi baik dari segi fasilitas dan SDM dosen dan mahasiswa. Saya berpendapat, kepopuleran Unesa sekarang sudah mulai bersaing dengan universitas lain. Apalagi, saat ini guru menjadi primadona, terutama sejak adanya PPG. Di daerah saya yang menayakan Unesa samgat banyak. Hal ini tentu menunjukkan eksistensi Unesa mulai meningkat dan banyak yang berminat menjadi guru. (UMI HABIBAH)

Bisa Masuk Peringkat Nasional

14 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

Unesa Makin Diminati dan Terdepan


SEPUTAR UNESA

Menelusuri Laboratorium Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Andalan FIP

Memiliki Ruang Diklat Khusus Super Lengkap Fakultas Ilmu Pendidikan yang kerap menjadi daya tarik calon mahasiswa, terutama program PGSD, ternyata juga memiliki laboratorium andalan yang tak kalah menawannya. Laboratorium itu adalah Laboratorium Pendidikan Luar Sekolah. Seperti apa kondisi dan kelengkapan peralatannya? Berikut penelusuran reporter humas Unesa, Rudi Umar Susanto.

D

ari luar, gedung 02 berlantai ti­ga itu tampak besar dan ko­ koh. Sebagaimana gedung-ge­ dung fakultas lain, gedung O2 Fa­kultas Ilmu Pendidikan memang tidak ada bedanya. Barangkali, perbedaan yang cukup menonjol ada pada tulisan-tu­ li­ san motivasi yang dipasang di dinding gedung. Melangkah lebih jauh, di samping ka­nan, ada sebuah ruangan bertuliskan Laboratorium Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Dari luar, laboratorium PLS seperti ru­ang biasa. Tetapi, saat masuk ke dalam laboratorium, ternyata bukan ruangan bia­sa karena di dalam ada tumpukan buku re­ferensi, buku-buku nonfiksi, bahkan ra­ tu­san hasil skripsi mahasiswa. Tidak hanya itu, ada dua hal lagi yang mem­buat ruangan itu berbeda. Pertama, di ruangan itu ada Kantin Kejujuran. Para ma­ hasiswa dapat mengambil makanan yang ingin dibeli, sedangkan untuk pem­ ba­ yarannya mahasiswa menaruh uang ter­sebut ke dalam tempatnya. Yang kedua, di ruangan tersebut ada ruang kelas un­tuk diklat multimedia. Di ruang diklat mul­ timedia tersebut, terdapat puluhan kursi yang ditata membetuk letter U se­hingga posisi para peserta pelatihan dik­ lat terfokus pada trainer yang sedang mem­ berikan materi. Kelas tersebut, di­khu­sus­ kan bagi mahasiswa Pendidikan Luar Se­ kolah yang akan melakukan Program Pe­ nga­laman Lapangan I (PPL I). Menurutkajur PLS, Heryanto Susilo, M.Pd, Pendidikan Luar Sekolah (PLS)

me­ miliki 2 laboratorium. Pertama la­ bo­ ratorium indoor yang beradadi kampus dan laboratorium outdoor yang berada di masyarakat. Untuk laboratorium di kam­ pus, difungsikan sebagai laboratorium by activity. Semisal ketika dosen atau ma­hasiwa akan mengadakan diklat, ada ruang khusus diklat yang multifungsi ka­ rena dapat digunakan sebagai ruang ku­ liah dan juga bisa digunakan sebagai ru­ angan untuk meningkatkan kompetensi ma­hasiswa maupun masyarakat melalui kerja sama. “Karena memiliki ruang khu­ sus itu, kami pernah melakukan kerja sa­ ma diklat dengan Dinas Pendidikan untuk pa­ra pengelola Pendidikan Non Formal, Pu­ sat Kegiatan Belajar Mengajar, Kejar Paket B/C,” tutur Heryanto. Secara struktural, laboratorium PLS di­pimpin oleh kepala laboratorium, yakni Widodo, M.Pd. Sedangkan la­bo­ratorium yang ada di luar kampus, me­ ru­ pakan program kemitraan dengan meng­ gandeng kecamatan Sambikerep yang berada di sebelah utara Citraland, khu­sus­ nya di Kelurahan Made dan Kelurahan Be­ ringin. “Yang menaungi adalah ma­ta­ku­ liah pengelolaan labsite,” jelasnya. Buku Kontribusi Alumni Terkait laboratorium PLS yang ada di kam­ pus, Heryanto menjelaskan bahwa la­ boratorium tersebut memiliki dua ru­ angan, yaitu ruang baca dan ruang dik­lat. Buku-buku yang ada di ruang baca, me­ru­ pakan kontribusi alumni. Ada kebijakan

ba­gi PLS yang akan lulus, diwajibkan me­ nyum­bangkan 2 buku. “Selain dari alumni, bu­ku tersebut juga dialokasikan dari dana BPKP,” ujar dosen kelahiran Cirebon, 13 Mei 1981 itu. Informasi yang dihimpun reporter Hu­ mas, aktivitas di laboratorium tersebut ter­ bilang padat dan didatangi tidak saja dari internal Unesa, tetapi juga dari luar Unesa yang melakukan studi banding. Bah­kan, ada rombongan ibu-ibu PKK yang pernah mengunjungi laboratorium di ruangan PLS tersebut. Rombongan kam­pus yang pernah datang, di antaranya ada­ lah Universitas Palangkaraya. Mereka mem­ be­rikan apresiasi positif tentang konsep la­boratorium PLS tersebut. Sementara itu, kepala laboratorium PLS, Widodo, M.Pd menambahkan, la­ bo­ratorium PLS sangat membantu para mahasiswa yang memprogram ma­ta­ku­ liah PPL. Di laboratorium tersebut, pa­ra mahasiswa diberikan pelatihan dan si­ mu­lasi langsung sebelum mereka praktel PPL di lapangan. Widodo menjelaskan, PPL jurusan Pendidikan Luar sekolah, ber­ beda dengan PPL jurusan pendidikan for­ mal. PLS memiliki kurikulum yang sudah di­selaraskan dengan tujuan jurusan PLS di seluruh Indonesia. Untuk ruang dik­ lat, didesain dengan berbagai fungsi se­ hingga dapat dimanfaatkan sebagai Lem­ ba­ga Kursus dan Pelatihan (LKP). “Efek dari fungsi tersebut , mahasiswa bisa faham du­nia luar,” pungkasnya. (RUDI)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 15


SEPUTAR UNESA Lomba Miniatur

Jembatan Berbahan Stik Es Krim

H

impunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teknik Sipil Unesa mengadakan lomba desain jembatan menggunakan stick es krim dengan tema “Implementasi Jembatan Deck Truss yang kokoh dan efesien”. Lomba yang diikuti mahasiswa Teknik Sipil Unesa dari berbagai angkatan itu dilaksanakan pada Sabtu (6/12/2014). Ada 42 orang peserta atau 9 tim yang mengikuti perlombaan itu. Setiap tim dalam perlombaan itu hanya boleh menggunakan peralatan yang disediakan panitia. Sementara mengenai model, harus sesuai dengan tema yang telah ditentukan, Deck Truss. Pada tahap awal, penilaian difokuskan pada tiga aspek yaitu estetika, teknis, dan kekuatan jembatan.Tahap selanjutnya, peserta harus mempresentasikan hasil karnyanya di hadapan juri pada Jumat (5/12/2014) di ruang A4.02.09. Semua hasil karya peserta, miniatur jembatan, akan dipamerkan pada acara pameran yang diadakan dalam rangka menyambut Dies Natalis ke-50 Unesa pada Minggu (7/12/2014) di Gedung Program Pengembangan Profesi Guru (PPPG). Perlombaan yang bertujuan mendorong mahasiswa agar memiliki banyak ide (inovatif), berwawasan ilmu pengetahuan (knowladge), dan memiliki mental yang kokoh (strength)

D-3 AN Unesa

Gelar Bazar Kewirausahaan

P

rogram Pendidikan D-3 Administrasi Negara (AN) Unesa menggelar bazar kewirausahaan, Rabu (3/12/2014). Kegiatan tersebut merupakan tugas akhir (TA) mata kuliah entrepreneurship bagi mahasiswa semester lima. Ada dua belas stand yang disediakan oleh panitia untuk menampung produk-produk mahasiswa. “Beberapa stand juga ditempati oleh mahasiswa dari prodi dan jurusan lain, seperti dari Fakultas Bahasa dan Sastra,” papar Ketua Pelaksana Mufidh. Adapun tema yang diangkat dalam acara yang dimulai pukul 7.00—16.00 WIB itu adalah “Satu Wajah Seribu Warna”. Menurut Mufidh, tema itu diangkat untuk menunjukkan bahwa mahasiswa AN terdiri dari karakter, kreativitas, dan asal yang berbeda-beda. “Tapi, mereka berasal dari satu prodi, yaitu AN,” tambahnya. Selain itu, Mufidh juga menjelaskan, yang hadir dan mengisi acara bazar tersebut tidak hanya dari Prodi D-3 AN. Ada pula yang berasal dari fakultas lain, misalnya dari Fakultas Ekonomi, FBS, FIP, dan lain-lain. Bahkan beberapa mahasiswa berkoalisi dengan mahasiswa dari perguruan tinggi lain, seperti Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya dan beberapa perguruan tinggi lainnya untuk mengisi acara.(UMI)

itu, hasilnya dinilai sangat mengagumkan.”Ada yang dapat menahan beban sampai 200 kg walau hanya dari stick es krim,” ungkap Ketua Pelaksana Muhammad Dzikry. Oleh karena itu, Dzikry berharap agar tahun depan kegiatan itu lebih baik lagi. (EMIR)

Temu Alumni

Lokakarya Jurusan Matematika

J

Jurusan Matematika Unesa menggelar Math Expo 2014 di salah satu mall di Surabaya, Sabtu dan Minggu (6—7/12/2014). Acara tersebut terdiri dari dua jenis kegiatan, yaitu pameran dan lokakarya yang berhubungan dengan matematika. Misalnya, klinik pendidikan, pameran buku hasil karya dosen, hasil riset dosen, batik corner, dan temu alumni matematika. Selain itu, juga dilaksanakan talk show tentang P4MRI dengan pemateri Prof. Dr. Siti M Amin M.Pd. dan talk show tentang kurikulum 2013 yang disampaikan oleh Dr. Tatag Eko Yuli S., M.Pd. Math Expo itu sebenarnya juga menjadi ajang bagi para alumni Jurusan Matematika untuk bisa melakukan reuni. Para alumni turut menjaring dan memberikan informasi kepada mahasiswa matematika, khusunya tentang pekerjaan dan profesi mereka saat ini.Salah satu alumni yang dinilai telah sukses adalah Erik Valentino.Mahasiswa angkatan 2006 itu sedang memangku jabatan sebagai Kepala Prodi pendidikan Matematika di salah satu perguruan tinggi swasta di Surabaya. Erik mengungkapkan apresiasinya terhadap acara Math Expo itu karena dapat menjadi wadah berkumpul dan mendata para alumni.”Hal ini sangat bermanfaat bagi angkatan muda untuk bisa mencari informasi dari para alumninya,” ungkapnya. (SURYO)

16 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014


SEPUTAR UNESA Mahasiswa Pascasarjana

Lokakarya Jurusan Matematika

P

enjurian Photography oleh Yuyung Abdi (fotografer se­nior Jawa Pos) dan Suesuwit April (fotografer pendiri Ru­mah Edukasi Photography) di Gedung F4 Humas Unesa pada Rabu (10/12/14). Ini merupakan sesi yang ditunggu oleh para peserta Photography Competition yang berjumlah 80 orang. Banyak peserta yang datang bergantian untuk menyaksikan se­ ca­ra langsung sistem penjurian. Lima pemenang berhasil dipilih oleh juri. Mereka adalah Ru­dis Andike dari Pascasarjana Unesa berhasil menjadi Juara I dengan foto berjudul Melangkah Maju. Juara kedua, diraih Tau­ fiqur­rohman dari Pascasarjana Unesa dengan foto berjudul Rela Antre dengan Pak Polisi Demi Kupon Rp 2500. Juara III diraih Rah­mad Lukman Hakim dengan foto berjudul Happy Family. Ju­ara harapan I diraih Tutut Setiawandari dengan foto berjudul Lau­tan Raga Berjoget Dangdut Unesa. Dan, Juara Harapan II atas nama Aswin dari Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida). Juri berpendapat bahwa secara umum materi yang ma­suk ada yang menggambarkan tentang masa, interaksi, eks­pre­si, identitas simbolis, dan kegembiraan peserta dies na­ta­lis Unesa

namun kekurangannya terletak kegempitaan ma­sa­nya, kurang menggambarkan hal yang bersifat ekspresif, le­ bih condong ruang kosong yang tidak perlu maupun area yang justru memperlemah foto masa. Ada 1 foto masa yang meng­gam­bar­ kan tentang crowd tetapi tidak ada aktivitas ekspresi dan eks­ pre­si yang menguatkan kegempitaan dies natalis itu. Mereka cen­ derung menggambarkan masa apa adanya dan bersifat pasif. Menurut para juri, juara I layak didapatkan oleh Rudis Andike ka­ rena dia bisa menggabungkan antara jumlah masa yang mengikuti gerak jalan dengan latar belakang simbol di mana tempat itu berada, yakni Universitas Negeri Surabaya.2 variabel di­­gabungkan menjadi 1 dengan variabel aktivitas berjalan.Ke­ ku­rangannya hanya terletak pada teknik eksposure sehingga se­jumlah daerah high light terlalu over exposure dan bidang ko­song pada tanaman lebih besar daripada orangnya sendiri. Na­mun foto ini terpilih karena kekuatan masanya dan simbol pe­nyelenggara. (UMI)

Seminar

Songsong Generasi Berencana Unesa

S

eminar UKM Kependudukan Unesa kem­ bali mengadakan acara ber­ to­pik “Penduduk.” Pada Sabtu (6/12/2014), UKM yang juga ke­panjangan tangan dari Badan Ke­­ pen­du­dukan dan Keluarga Be­ren­ can Nasional (BKKBN) itu me­nye­ lengarakan seminar bertema “Me­ nyong­song Generasi Be­rancana Unesa.” Acara yang diikuti 110 ma­ ha­ siswa Unesa itu ber­ langsung di Gedung I6 dari pukul 08.00—12.00 WIB. Seminar kependudukan itu diawali sam­butan dari Ketua UKM Ke­pen­ du­dukan dan Pembantu Rektor III Unesa. Kemudian di­ lanjutkan de­ ngan materi Pengenalan Program Ge­ nerasi Be­ren­cana (GenRe) oleh Taufik Dar­ yanto, S.Psi., M.Sc., perwakilan dari BKKBN Jatim dan penyampaian materi dari Do­ sen Sosiologi Unesa, Ali Imron, S.Sos., M.A. tentang Pen­de­wa­sa­ an Usia Per­ka­win­an (PUP).

Angga Eko Purnomo, Ketua UKM Ke­ pen­dudukan mengatakan bah­wa acara itu diadakan untuk mengenalkan ma­ hasiswa Unesa pada generasi be­rencana, supaya para calon sar­ jana memiliki pan­ dangan da­ lam merencanakan keluarga di ma­ sa depan. “Acara ini, memang se­ bagai perkenalan kepada ma­ ha­ siswa agar tahu tentang GenRe dan bagaimana tantangan di ke­ hi­ dupan mereka kelak,” ungkap ma­hasiswa Pendidikan Geografi itu. Hal serupa juga diutarakan oleh Pembina UKM yang baru ber­diri satu tahun itu, Dra. Ita Mardiani Zain, M.Kes. “Be­ rapa jumlah mahasiswa Une­ sa? Kalau mereka tahu dan bisa me­nyosialisasikannya, itu bisa men­jadi bentuk pengendalian pertumbuhan pen­ du­duk,” terang dosen FIS Unesa itu. (DANANG)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 17


LENSA UNESA

Talk Show Literasi

D

alam rangka Dies Natalis ke-50 Unesa, diseleng­ga­rakan Talk Show Literasi bertema “Gerakan Li­te­rasi Pendidikan Menuju Indonesia Maju”, Sabtu (13/12/2014). Acara yang dihelat di gedung Wiyata Mandala, P3G Unesa Kam­pus Lidah Wetan itu, dihadiri oleh mahasiswa, dosen, ser­­ta para praktisi literasi dari Surabaya dan Jawa Timur. Sebagai pembicara hadir antara lain Prof. Budi Darma, Arini Pakistyaningsih, SH, MM (Kepala Baperpus Kota Su­ra­ba­ ya), dan Nur Wahid (Pemred Jawa Pos). Sementara sebagai moderator adalah Drs. Much Khoiri, M.Si dari Jurusan Bahasa Inggris FBS Unesa. Turut hadir di tengah acara antara lain, rektor Unesa Prof. Warsono yang sekaligus membuka acara. Hadir juga Prof. Djodjok Soepardjo (PR IV), Dr. Yuni Sri Rahayu (PR I), Prof. Luthfiyah Nurlaela (selaku ketua panitia Talk Show), Dukut Imam Widodo (penulis buku Soerabaya Tempo Doeloe), dan masih banyak lagi yang lainnya . (AROHMAN)

18 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014


LENSA UNESA

Gelar Karya BUSANA Mahasiswa D3 Busana Unesa unjuk kebolehan dengan menampilkan karya spektakulernya berupa desain busana pengantin tradisional modifikasi. Acara ini berlangsung di City of Tomorrow (Cito) Surabaya, pada Jumat (5/12/2014). Sebanyak 13 mahasiswa masingmasing menampilkan sepasang desain pengantin yang sangat menawan. (AROHMAN)

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 19


KOLOM REKTOR

USIA 50 TAHUN UNESA Dari segi waktu, 50 tahun bagi suatu per­gu­ruan tinggi masih tergolong sangat muda, da­lam arti belum cukup waktu untuk berbuat ba­nyak. Dari sisi sarana prasarana yang dimiliki, Unesa masih banyak kekurangan. Kita masih membutuhkann banyak sarana pra­sarana untuk mendukung tugas pokok me­laksanakann dharma pendidikan.

U

Usia 50 tahun bagi manusia mung­ kin sudah merupakan usia dewasa, bah­kan sudah menjelang tua. Pa­ ling tidak dengan usia 50 tahun un­tuk manusia tidak lagi masuk kategori re­maja, apalagi anak-anak. Mengapa ini pen­ ting, karena ada perbedaan orientasi antara anak-anaak, dewasa, dan orang tua. Bagi anak-anak orientasi hidupnya adalah masa ki­ni. Mereka belum bisa berpikir masa depan dan belum memiliki masa lalu. Oleh karena itu yang dipikirkan adalah hari ini. Anak-anak juga belum berorientassi ke mas­a depan, karena masa depan adalah su­ a­tu yang abstrak, belum nyata, tidak bisa di­ lihat. Hal ini sejalan dengan psikologi anak yang masih empirik, belum mampu meng­­ abstraksi, sehingga pola pikirnya juga ber­ sifat induktif. Mereka akan melihat apa yang dilakukan dan dimiliki oleh teman-te­mannya. Temannya melakukan apa dia akan ikut me­ la­kukan seperti yang dilakukan te­man­nya. Te­mannya memiliki apa dia akan me­min­ta ke­pada orang tuanya untuk dibelikan se­ suatu seperti yang dimiliki temannya. Ka­lau orang tuanya tidak bisa memenuhi per­min­ ta­ annya dia akan “merebut” barang milik temannya. Secara sosiologis anak-anak masih egois, be­lum memiliki kesadaran sosial. Dia hanya me­mikirkan dirinya sendiri, tanpa penduli ke­pada orang lain, tetapi keinginan meniru sa­ngat tinggi. Sikap egois dan keinginan me­ ni­ru inilah yang menyebabkan anak banyak per­mintaan kepada orang tua, tanpa berpikir ba­gaimana mencari uang untuk memenuhi per­ mintaan tersebut. Orientasi ke-kini-an

20 |

itu­­lah yang menonjol pada diri anak-anak, se­­bagai akibat dari sikap egois dan belum mam­­pu mengabstraksikan sesuatu. Orang tua adalah orang yang sudah ba­ nyak menghabiskan waktu, paling tidak su­ dah menjalani hidup yang lama. Dia sudah ba­nyak “berbuat”, terlepas apakah yang me­­ reka perbuat itu untuk kepentingan ma­sya­ ra­kat, bangsa, dan Negara; atau apa yang me­reka perbuat hanya untuk ke­pen­tingan­ nya sendiri. Apa yang telah mereka perbuat itu­­lah “prestasi” yang telah dicapai. Bahkan dia akan sulit menyaingi “prestasi” yang te­ lah dibuat sebelumnya, karena dengan u­sia yang semakin tua, tentu akan menjadi ke­­ ndala dalam berbuat. Oleh karena itu, bia­sa­ nya orang tua akan berorientasi ke ma­sa lalu. Orang tua akan cenderung mem­bang­ga­ kan apa yang telah dilakukan, meskipun hal itu hanya cocok untuk zamannya. Bisa jadi apa yang dilakukan pada masanya memang ba­­ik, tetapi mungkin sudah tidak lagi relevan de­­ngan kondisi saat ini. Sementara, dimensi wak­­tu akan terus berjalan mengikuti logika waktu, yaitu masa lalu - masa kini – masa de­ pan. Masa lalu adalah kenangan, masa kini ada­ lah kenyataan, dan masa depan ada­ lah harapan. Apa yang kita alami adalah ma­sa kini, meskipun masa kini sebenarnya juga tidak bisa lepas dari masa lalu. Dalam hu­kum kausalitas berlaku prinsip bahwa apa yang kita lakukan saat ini, cepat atau lam­bat, langsung atau tidak langsung akan ber­dam­pak (sedikit yakin menentukan) masa yang yang akan datang. Masa dan masa datang pun pada gilirannya akan menjadi masa kini, pa­ da masa kini, akhirnya akan menjadi masa lalu.

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

Oleh Prof. Warsono Sedangkan orang dewasa (usia remaja) ada­­lah orang yang memiliki masa depan. Da­ ri sisi waktu, orang dewasa masih memiliki wak­­ tu yang cukup lama, dan sekaligus me­­miliki peluang untuk berbuat. Dari sisi per­­buatan, remaja juga belum banyak me­ lakukan sesuatu. Oleh karena itu, ada pa­meo bah­wa masa depan adalah milik para re­maja atau generasi muda. Mereka harus meng­ konstruk masa depannya dan mengisi de­ ngan perbuatan nyata. Jika para remaja tidak me­ miliki konstruk masa depan (cita-cita), ma­ka mereka akan mengalami kehampaan da­­lam hidupnya. Namun demikian, sehebat apa­pun konstruk masa depannya atau se­ tinggi apapun cita-citanya, kalau tidak di­ser­ tai dengan perbuatan nyata, maka akan ting­ gal menjadi mimpi. Ini berarti, esensi orang mu­ da (remaja) adalah berkarya (berbuat) untuk membangun masa depan. Dalam konteks berkarya untuk me­wu­jud­ kan masa depan perlu dibuat perencanaan yang matang. Untuk bisa membuat pe­ren­ ca­ naan yang baik, diperlukan data yang aku­rat dan analisis yang cerdas. Perbuatan tan­pa perencanaan tidak akan efektif untuk men­capai tujuan yang telah ditetapkan (ci­ ta-cita). Namun perencanaan tanpa data yang akurat dan analisis yang cerdas, juga bu­­kan perencanaan yang baik. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh orang muda ada­­lah membangun konstruk masa depan, me­rencanakan langkah-lanngkah dan ber­ tin­­dak secara cerdas. Tentu Unesa sebagai lembaga pendidikan ting­gi tidak bisa disamakan dengan manusia, mes­­ kipun keberadaan suatu perguruan


KOLOM REKTOR ting­­ gi tidak bisa dilepaskan dari sumber da­­ ya manusianya. Unesa boleh menjadi a­ nak-anak, tetapi tidak boleh menjadi “orang tua”. Masa kanak-kanak harus terus di­­tumbuhkembangkan menjadi dewasa, se­ ja­­lan dengan perkembangan waktu, tetapi ha­­ rus dipertahankan agar tidak menjadi “orang tua”. Usia boleh tua (lama), tetapi se­ ma­ngat harus tetap muda dan bersikap se­ ca­­ra dewasa. Dari segi waktu, 50 tahun bagi suatu per­ gu­­ruan tinggi masih tergolong sangat muda, da­­lam arti belum cukup waktu untuk berbuat ba­ nyak. Dari sisi sarana prasarana yang dimiliki, Unesa masih banyak kekurangan. Kita masih membutuhkann banyak sarana pra­­sarana untuk mendukung tugas pokok me­­ laksanakann dharma pendidikan. Kita ma­­sih membutuhkan sarana prasarana pe­ nga­jaran, seperti laboratorium, ruang ke­las, pe­rangkat pembelajaran, buku-buku, jur­nal ilmiah dan perangkat software yang bisa menjalankan sistem pengajaran yang ba­ gus. Dari sisi sumber daya manusia, kita ma­ sih membutuhkan tenaga guru besar, dan doktor, yang akan menopang dharma pe­ne­ li­tian dan sekaligus dharmapendidikan. Di li­hat dari sumber daya manusia, dosen yang ber­gelar profesor masih sangat sedikit, baru ada sekitar 5 persen dari jumlah dosen. Be­ gitu juga dosen yang bergelar doktor juga ma­sih harus ditingkatkan jumlahnya. Sampai saat ini jumlah dosen Unesa yang bergelar dok­tor baru sekitar 25 persen. Dari segi dharma pengabdian, Unesa ju­ ga belum memiliki banyak hasil-hasil pe­ ne­­ litian yang bisa diaplikasikan sebagai wu­­ jud dari dharma pengabdian kepada ma­­ syarakat. Sebagai lembaga pendidikan ting­­gi dan sebagai masyarakat ilmiah, tentu ki­ta tidak boleh terus berada pada masa ka­­nak-kanak, yang bersikap egois dan ber­ o­rien­tasi pada masa kini. Untuk harus tum­ buh menjadi dewasa, yang memiliki mim­ pi-mimpi untuk ikut berperan dalam pem­ ba­ngunan nasional dan memajukan bang­ sa. Sebagai lembaga pendidikan tenaga ke­­pendidikan (LPTK), Unesa memiliki tugas un­ tuk mencerdaskan kehidupan bangsa se­­bagaimana yang telah ditegaskan dalam Pem­­bukaan UUD 1945. Sebagai LPTK Une­ sa harus mampu menghasilkan guru-gu­ru yang kreatif, inovatif, dan berakhlak mu­lia, dan seorang pembelajar. Guru-guru yang se­perti itulaha yang akan mampu men­cer­ das­kan kehidupan para muridnya. Guru-gu­ ru yang kreatif, inovatif, berakhlak mulia dan pem­ belajar yang menjalankan fungsi ing

ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Meskipun philosophy ing ngarso sung tu­ lo­do, ing madyo mangun karso, dan tut wuri han­­dayani, sebenarnya merupakan konsep ke­­pemimpinan, tetapi bisa juga diterapkan da­­lam pendidikan. Seorang guru juga ha­rus bisa menjalankan kepemimpinan se­ba­gai­ mana yang diajarkan oleh Ki Hadjar De­wan­­ tara. Guru juga harus mempu menjadi te­ ladan bagi murid-muridnya (ing ngarso sung tulodo). Guru juga harus mampu mem­bim­­ bing, melatih dan mendampingi, serta mem­­

Hal yang harus segera dibenahi untuk me­­ wujudkan tugas dan peran Unesa ada­lah membangun bu­daya akademis, bu­ da­­ya yang disemangati oleh semangat pe­ngab­ di­an dan keilmuan. beri inspirasi kepada para murid-mu­r­id­nya (ing madyo mangun karso). Dan gu­ru juga harus mampu mendorong dan me­mo­ti­vasi murid-muridnya untuk meng­ga­pai ci­ta-cita setinggi langit (tut wuri han­dayani). Dan guru yang demikian itu, ti­dak akan terpengaruh de­ngan perubahan ku­ri­kulum. Kurikulum apa­pun dia akan siap me­lak­sanakan dengan baik. Dalam 50 tahun perjalanan Unesa, masih ba­­nyak yang harus dibenahi dan dilakukan, agar menjadi perguruan tinggi dewasa yang mam­­ pu berkarya, menghasilkan lulusan yang siap bersaing dalam masyarakat glo­ bal, dan karya-karya ilmiah yang menjadi ru­ jukan ma­syarakat ilmiah di dunia. Memang cita-cita tersebut, mungkin bak mimpi di siang bo­long, atau kalau bahasa Suroboyoan ce­cak nguntal blak, tetapi paling tidak kita ma­­sih memiliki mimpi atau cita-cita. Cita-cita itu­­lah yang akan memberi semangat kita un­­tuk menjalankan kehidupan (kehidupan kam­­pus) Unesa tercinta. Hal yang harus segera dibenahi untuk

me­­­wujudkan tugas dan peran Unesa ada­ lah membangun budaya akademis, bu­da­­ya yang disemangati oleh semangat pe­ngab­di­ an dan keilmuan. Budaya akademis ini ber­ ka­it­an dengan kuantitas dan kualitas SDM, te­r­­utama adalah kualitass. Dari segi kuantitas sa­­ja, kita masih sangat kekurangan dosen yang bergelar doktor dan profesor. Dari si­si kualitas SDM, yang diukur dari jumlah dan kualitas hasil-hasil penelitian masih per­lu di­tingkatkan. Budaya akademik inilah yang akan menjadi ciri dari kampus sebagai ma­ sya­­ rakat akademis, Dan budaya akademis ini­lah yang akan menjadi roh dari suatu per­ guruan tinggi. Perguruan tinggi akan hi­dup dan bermakna serta bermartabat jika me­mi­ li­ki budaya akademis yang baik. Pembangunan budaya akademik di Unesa te­ lah diawali dengan gerakan bu­ da­ya literasi. Me­lalui gerakan literasi telah me­lahirkan ba­nyak tulisan yang ditulis oleh para dosen dan ma­­hasiswa termasuk pe­ serta program Sarjana Men­didik di da­e­rah terdepan Terluar, dan Ter­­­tinggal (SM3T). Tulisan-tulisan tersebut ke­­mudian di­kum­ pul­kan dan diterbitkan da­lam bentuk buku. Mes­kipun buku-buku ter­sebut masih bersifat “ethnografi” dan ada se­bagian yang lain adal­ah opini, paling tidak su­dah merupakan awal yang baik. Semoga ge­rakan budaya li­ terasi yang dimulai setelah Une­sa berusia 50 tahun ini akan menjadi awal tumbuhnya bu­ da­ya akademis di Unesa. Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan apa yang pernah dikatakan oleh Pak Much­ las dalam memorinya, ketika mengakiri ja­ba­ tan­nya sebagai rektor: mohon maaf ma­sih com­pang camping. Ini berarti dalam usia yang ke-50 tahun ini Unesa masih ha­ rus ba­nyak berbuat, meskipun juga telah ba­ nyak hal yang dilakukan. Berbuat untuk me­­wujudkan tugas dan peran sebagai per­ gu­­ruan tinggi dan sekaligus sebagai LPTK. Une­­sa harus merumuskan konstruk Unesa ke depan dan meningkatkan kualitas SDM, khu­­susnya para dosen. 50 tahun bagi suatu per­­ guruan tinggi merupakan waktu yang ma­­sih jauh dari cukup untuk membuat per­ gu­­ruan tinggi menjadi “dewasa”. Meskipun de­­mikian, kerja keras, kerja cerdas, dan kerja ikhlas harus dilakukan oleh seluruh civitas Une­­sa, jika ingin menuju perguruan tinggi yang ungul (excellence) seperti visi yang te­ lah dicanangkan yaitu unggul dalam pen­di­ di­kan dan kokoh dalam keilmuan. Selamat ber­ulang tahun ke-50, semoga Unesa tetap jaya. n

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 21


INSPIRASI ALUMNI

Drs. H. Sutijono, M.M, Rektor IKIP PGRI Adi Buana Surabaya

GAGAL JADI MANTRI, SUKSES PIMPIN KAMPUS Drs. H. Sutijono, M.M. merupakan salah satu alumni IKIP Surabaya yang mampu membawa nama baik almamater. Alumni program Sarjana Muda IKIP Surabaya dan program doktoral tingkat sar­ ja­na sekarang strata satu/S-1) IKIP Surabaya itu sukses meniti karier hingga menjadi rektor IKIP Adibuana Surabaya.

S

utijono lahir pada 10 Mei 1947. Do­­ sen yang akrab dipanggil Pak Tio itu menghabiskan ma­­ ­ sa kecilnya di kampung ha­ ­ lamannya, Blora. Pendidikan dasar hing­­ga menengah ia jalani di tempat ke­lahirannya. Tio lulus dari SR Negeri 4 Blora tahun 1960, lulus dari SMP Negeri 1 Blora pada tahun 1963, dan SPG Ne­ge­ ri Blora pada tahun 1967. Tio memiliki dua cita-cita sewaktu ke­cil. Pertama, ia ingin menjadi Mantri Ke­hutanan. Cita-cita itu, terinspirasi dari ling­kungan rumahnya yang berdekatan de­ngan hutan jati dan kakaknya yang men­jadi Mantri Kehutanan. Kedua, Tio ingin menjadi tentara karena ba­ pak­ nya merupakan seorang polisi yang telah berjuang dalam tiga masa; ma­sa penjajahan Belanda, Jepang, dan Re­ pub­lik Indonesia. Tetapi, takdir mengantarkan Tio ke ja­lan yang berbeda. Meskipun pernah

22 |

i­ ngin menjadi Mantri Kehutanan dan ten­tara, namun ketika melanjutkan studi ke perguruan tinggi, ia lebih memilih Ju­ rusan Bimbingan Penyuluhan atau Guidance Conselling (sekarang Bim­bing­ an Konseling/BK). Selama kuliah, selain aktif di per­ku­ liahan ia juga merupakan aktivias kam­ pus. Ia pernah menjadi Ketua Pe­ngu­rus Mahasiswa Jurusan (sekarang Him­ punan Mahasiswa Jurusan) dan men­jadi guru les privat. Kegemarannya da­lam berorganisasi, mengantarkan Tio men­ du­ duki beberapa jabatan strategis di be­berapa organisasi. Ia pernah menjadi pe­ ngurus Daerah PGRI Provinsi Jawa Ti­ mur (1999—2002), Pengurus Ikatan Sar­ jana Pendidikan Indonesia Jatim (1989—2014), Pengurus Daerah IPBI/ ABKIN Provinsi Jawa Timur (1992—se­ ka­ rang), Pengurus Besar IPBI/ABKIN (1999—2013), Ketua Asosiasi LPTK Swas­ta Indonesia Wilayah Jatim (2012—

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

se­ karang), Pengurus ABPPTSI Wilayah Jawa Timur (2013—sekarang), Pengurus APTISI Wilayah VII Jawa Timur (2011— sekarang), dan Ikatan Alumni Unesa (1989—2011). Bermula dari Tenaga Honorer Tio menempuh karier dari bawah. Ta­­ hun 1972 hingga 1981, ia menjadi kar­yawan di IKIP PGRI Sarmidi Mangun­ sakoro. Pada tahun 1973 hingga 1975, Tio diterima sebagai tenaga honorer di IKIP Surabaya. Baru pada tahun 19751981, Tio diangkat sebagai karyawan di IKIP Surabaya. Selama menjadi kar­ ya­ wan itulah, Tio menyempatkan diri un­ tuk melanjutkan pendidikannya ke ting­kat sarjana, sehingga pada tahun 1982—2012, ia diangkat menjadi dosen PBB IKIP Surabaya. Karier Tio di IKIP Surabaya, kini Uni­ ver­sitas Negeri Surabaya (Unesa) terus me­nanjak. Ia pernah menjadi sekretaris


INSPIRASI ALUMNI

REKTOR UNIPA: Drs. H. Sutijono, M.M di ruang kerjanya. Kini alumnus IKIP Surabaya ini Sukses memimpin Unipa. [DOK UNIPASBY}

Jurusan PBB IKIP Surabaya (1984— 1985), Ketua Jurusan PBB Unesa (1999— 2004), dan Pembantu Dekan FIP Unesa (2003—2006). Meski demikian, Tio tidak melepaskan jabatan di Universitas PGRI Surabaya. Pada tahun 1985-1990, Tio menjadi Asisten Bidang II IKIP PGRI Surabaya, Pem­bantu Rektor II Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (1991—1999), Sek­re­ta­ ris PPLP PT PGRI Surabaya (1999—2007), dan menjadi Rektor Universitas PGRI Adi Buana Surabaya (2006—sekarang). Tio baru konsen berkarir hanya di Uni­ver­si­ tas PGRI Adi Buana setelah pensiun dari Unesa pada tahun 2012. Perintis Kader Bangsa Di Universitas PGRI Adi Buana Su­ra­ ba­ya, Tio tidak hanya dikenal sebagai rek­tor melainkan juga dikenal sebagai salah satu perintis berdirinya perguruan ting­ gi tersebut. Bukan tanpa alasan,

sejak ide pendirian perguruan tinggi itu, bersama tujuh orang lainnya, Tio ikut aktif memberikan sumbangsih. “Saya ha­nya ikut para senior saja. Karena saya terus-menerus di sini maka akhirnya saya juga dimasukkan ke tim 8 orang perintis itu,” jelasnya. Ia menjelaskan, yang termasuk da­ lam tim 8 orang itu adalah empat orang ber­asal dari Unesa dan empat orang lagi berasal dari dinas pendidikan dan wali kota. Mereka adalah Pak Tio, Prof. Dr. H. Iskandar Wiryokusumo, M.Sc., Prof. Drs. H. Soelaiman Joesoef, M.M., H. A. Hudan Dardiri, Drs. H. Moch. Roosly, Drs.H. M. Ali Basjar M.Si., Drs. H. Matadjit, M.M., dan Drs. Masini Atmadji. Bersama delapan orang itulah, Tio ber­juang untuk mendirikan perguruan tinggi pada tahun 1971. Semangat men­dirikan perguruan tinggi itu di­mo­ tivasi oleh kondisi para guru yang ada di Surabaya pada saat itu. “Unesa kan

perguruan tinggi negeri, banyak orang yang tidak bisa masuk ke sana. Oleh karena itu, kami bersemangat untuk me­ nampung orang-orang yang tidak bisa masuk ke sana. Motivasi kami ada­ lah bagaimana meminterkan para guru,” papar Tio. Semangat untuk memajukan guru dan mensarjanakan guru itulah yang akhirnya menjadi dasar utama pendirian Universitas PGRI Adi Buana Surabaya yang memiliki core g sama dengan Unesa, yaitu kependidikan. Core itu masih dipegang erat sampai sekarang meskipun seiring perkembangan ada beberapa program studi yang bukan kependidikan, misalnya program studi ekonomi murni, teknik, dan kebidanan. “Kami berusaha untuk mensarjanakan guru. Bahkan menurut Pak Joesoef waktu itu, kalau para guru di Surabaya ini sudah pada sarjana maka tujuan ini su­dah selesai,” ujarnya.

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 23


INSPIRASI ALUMNI Namun, ucapan Pak Joesoef itu ti­ dak bisa dianggap selesai karena pada ke­ nyataannya, perkembangan terus me­ laju dengan pesat. Sehingga mau ti­dak mau, Universitas PGRI Adi Buana Su­ rabaya harus melakukan beberapa upaya untuk ikut berkembang. Kalau pa­da awal berdirinya, tahun 1971 ma­ sih memiliki satu jurusan dan masih pro­gram Sarjana Muda maka pada ta­ hun 1985 dihapuslah program itu dan di­ganti dengan Sarjana atau Strata Satu (S-1). “Pada mulanya, Universitas PGRI Adi Buana hanya memiliki satu jurusan, ya­ itu Jurusan Pendidikan Umum (se­ ka­ rang Teknologi Pendidikan). Akan te­ tapi, lama-kelamaan Universitas PGRI Adi Buana terus mengadakan pe­ ngembangan hingga kemudian di­di­ri­ kan program studi Matematika, Bahasa In­donesia, Bimbingan Konseling, PMP/ PKn, Fisika, dan hingga sekarang sudah ada 20 program studi,” paparnya. Kini, Universitas PGRI Adi Buana telah me­miliki beberapa program studi yang ter­ bilang unik bagi perguruan tinggi swasta. Universitas PGRI Adi Buana me­miliki program studi Pendidikan Ke­ sejahteraan Keluarga (PKK). Program stu­ di itu sama dengan yang dimiliki Unesa akan tetapi untuk perguruan ting­gi swasta, hanya Universitas PGRI Adi Buana yang memilikinya. Se­men­ tara untuk program studi yang di­ang­ gap berani adalah program studi Pe­ rencanaan Wilayah dan Kota atau Pla­ no­logi. Program studi ini dimiliki oleh Universitas Gajah Mada (UGM) tapi tidak di­miliki oleh Unesa. Tio mengisahkan, saat baru berdiri, Uni­versitas PGRI Adi Buana hanya me­ mi­ liki enam puluh mahasiswa. Enam pu­ luh mahasiswa angkatan pertama itu dibagi menjadi dua kelas. Satu ke­ las ditempatkan di SD Trunojoyo dan sa­tu kelas yang lain ditempatkan di SD Su­lung. Menurut Tio, perjuangan yang su­lit dalam mendirikan perguruan ting­ gi itu adalah mengenai persyaratan-per­ sya­ratannya, misalnya mengenai jumlah dos­en. Sementara untuk menarik ma­

24 |

"

Sutijono berhasil mengantarkan per­kembangan yang cukup pesat di kampus yang dimpimpinnya, baik di bidang pembangunan fisik maupun non fisik. Universitas PGRI Adi Buana telah mencetak ba­nyak generasi hebat yang tersebar di seluruh In­donesia. hasiswa baru, tim delapan orang men­ de­kati orang-orang yang memang di­ ang­ gap memiliki pengaruh terhadap ma­syarakat. “Saat itu, kami mendekati Di­nas Pendidikan, kepala sekolah, dan lain sebagainya untuk menarik ma­ha­ siswa. Kami menyampaikan bahwa ka­ mi akan men-sarjanakan guru-guru,” je­lasnya. Seiring dengan perjalanan waktu, kini Universitas PGRI Adi Buana di ba­ wah pimpinan Sutijono mengalami per­kembangan yang cukup pesat. Baik di bidang pembangunan fisik maupun pem­ bangunan non-fisik. Universitas PGRI Adi Buana telah mencetak ba­ nyak generasi hebat yang tersebar di In­ donesia. “Bisa dicek berapa banyak alumni Universitas PGRI Adi Buana yang telah sukses menjadi pendidik pro­ fesional di lembaga-lembaga pen­di­dik­ an,” ujarnya sambil tersenyum. Namun demikian, perjuangan Tio me­ngembangkan Universitas PGRI Adi Buana tidak selalu berjalan mulus. Ta­ hun 1995, seluruh perguruan tinggi swas­ta mengalami penurunan animo. Vi­rus penurunan itu juga merambat dan me­ngenai Universitas PGRI Adi Buana. Aki­batnya, Tio beserta seluruh pegawai berkomitmen dan berusaha sekuat tenaga untuk bangkit dari keterpurukan

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

itu. “Kalau animo sudah turun tentu juga akan berakibat pada pendapatan. Kalau pendapatan sudah menurun maka juga akan menghambat kinerja perguruan tinggi,” paparnya. Berkat komitmen bersama yang be­ gi­ tu kuat, setahun kemudian, tahun 1996, Universitas PGRI Adi Buana bang­ kit kembali. Sejak tahun 1996 itu­ lah, seluruh sivitas sepakat untuk me­nga­da­ kan doa bersama setiap 36 hari sekali. “Ini untuk menjaga semangat agar tidak lun­tur dan juga agar tetap semangat, te­ tap optimis,” jelasnya. Selain itu, Tio juga memiliki cara ter­ sen­diri untuk membangun semangat se­ lu­ruh sivitas Universitas PGRI Adi Buana. Setiap kali ada rapat, selalu diteriakkan yel-yel “Semangat PAGI.” “Ini diucapkan se­tiap kali rapat agar lebih semangat. Bu­ kankah setiap hari memang harus di­gerakkan? Untuk menggerakkan me­ reka dibutuhkan semangat. Setiap ka­li diteriakkan semangat PAGI maka di­ja­ wab semangat PAGI. Kemudian, ketika di­teriakkan lagi, semangat PAGI maka di­jawab pagi, pagi, pagi, yes,” papar Tio sem­bari mempraktikkan. Tio menyampaikan bahwa kata PAGI yang dimaksud dalam yel-yel itu bukan ha­nya menunjukkan waktu akan tetapi juga merupakan sebuah singkatan. Ke­ pan­jangan dari kata PAGI adalah peduli, amanah, gigih, dan inovatif. Bahkan kata PAGI itu juga menjadi satu pendidikan ka­rakter yang digalakkan di Universitas PGRI Adi Buana sejak tahun 2007. Di samping itu, Tio mengaku, selama men­jadi pemimpin hanya berusaha me­ menuhi apa yang dibutuhkan ba­wa­han­ nya. Tio senantiasa berpegang teguh pa­ da semboyan Ki Hajar Dewantara, “Tut wuri handayani.” Komitmen yang kuat itulah, yang mengantarkannya di­ per­ caya menjadi Rektor Universitas PGRI Adi Buana selama dua priode. (SYAIFUL RAHMAN).


SEPUTAR UNESA

PEMBICARA: Prof. Budi Darma (kiri) dan Nur Wahid saat menyampaikan materi dalam Talk Show Literasi di P3G Unesa.

Unesa Kuatkan Komitmen Menjadi Penggerak Kota Literasi

D

i samping menyambut Dies Natalis ke-50, Unesa me­ nun­ jukkan komitmennya untuk menjadi penggerak li­­ terasi. Sabtu (13/12/2014), Unesa menggelar Talk Show Literasi dengan tajuk “Gerakan Literasi Menuju In­­donesia Baru” di Gedung Wiyata Mandala PPPG Unesa lantai 9. Se­­kitar 150 peserta dari berbagai latar belakang ikut serta dalam di­alog yang berlangsung dari pukul 09.00—12.00 WIB tersebut. Agenda acara diawali dengan sambutan dari koordinator acara Prof. Dr. Luthfiah Nurlaela, M.Pd. dan Rektor Unesa Prof. Dr. Warsono, M.S. Launching buku berjudul “Unesa Emas Ber­ mar­tabat karya para dosen Unesa dan “Merajut Karya di Kelas Li­terasi” karya para mahasiswa PPPG dilaksanakan setelah sam­ bu­tan. Kemudian dilanjutkan dengan acara musikalisasi puisi ber­judul “Risalah dan Literasi Cinta.” Sementara itu, tiga orang pembicara yang hadir yaitu: Kepala Ba­­dan Arsip dan Perpustakaan (Barperpus) Kota Surabaya Arini Pakistyaningsih, S.H., M.M., dengan fokus pembahasan tentang Surabaya menjadi kota literasi; Pemimpin Redaksi Jawa Pos Nur­ wahid dengan fokus pembahasan tentang peran literasi di me­

dia; dan sastrawan sekaligus Guru Besar Unesa Prof. Dr. Budi Dar­ ma, M.A. yang membahas mengenai pemahaman literasi secara men­dalam. Salah seorang peserta, Sukarman mengaku merasa ter­ins­ pirasi setelah mengikuti acara tersebut.“Talk show ini menambah pengetahuan.Apalagi dengan adanya Pak Budi Darma, seorang sastrawan. Pak Nurwahid juga, bagaimana ia meng-handle surat kabar nasional. Membuat kita terinspirasi menulis,” ungkap ma­ ha­siswa P3G Prodi Bimbingan Konseling itu. Luthfiah menambahkan, acara itu juga untuk menegaskan ko­mitmen Unesa untuk menjadi pengerak literasi di Indonesia. Terutama setelah PPPG mencanangkan diri sebagai pengerak literasi Unesa pada Juni 2014.“Ini adalah komitmen. Dari Pak Rektor sendiri sudah menyatakan ini akan menjadi cita-cita bersama. Komitmen ini akan diteruskan, bukan hanya semusim atau dua musim saja sehingga, Unesa akan betul-betul menjadi pengerak literasi di Indonesia,” kata dosen Jurusan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga itu.(DANANG) Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 25


KABAR P3G

CATATAN DARI PANGGUNG TEATER

Penghuni Kapal Selam, Sebuah Oase OLEH Luthfiyah Nurlaela [Direktur P3G Unesa]

PENGHUNI KAPAL SELAM: Salah satu adegan pementasan yang disuguhkan Teater Kanvas di Gedung Cak Durasim, 9 Desember 2014.

P

enghuni Kapal Selam. Begitulah judul pertunjukan teater yang digelar pada tanggal 9-10 Desember di Gedung Pertunjukan Cak Durasim, Surabaya. Sebuah hiburan padat nutrisi yang disuguhkan oleh Teater Kanvas, Jakarta. Menikmati suguhan selama sekitar dua jam, membuka

26 |

mata setiap penonton, betapa karya tersebut tidak dikerjakan secara sambil lalu. Adalah sebuah karya yang utuh, di mana seni, kerja keras, religiusitas, ketangguhan, dan idealisme, berbaur dengan begitu indah dan sarat makna. Sebagaimana pengakuan Zak Sorga, selaku penulis naskah dan

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

sutradara, “karya teater yang baik selalu lahir dari pergulatan hidup dan cita-cita seniman di tengah masyarakatnya. Melalui pengamatan dan perenungannya tentang kehidupan, dipadu dengan berbagai macam rintihan sosial, gejolak politik, ketidakadilan, kebobrokan keluarga, kekonyolan laku manusia,


KABAR P3G penyelewengan sejarah, kerinduan pada Tuhan, atau harapan yang indah tentang masa depan, maka lahirlah sebuah karya teater”. Zak Sorga sejatinya bukanlah orang baru dalam dunia teater. Setidaknya, dia telah lebih dari tiga puluh tahun menggeluti bidang yang menjadi tumpuan hidup berkeseniannya itu, sejak masih duduk di sekolah menengah, di SMA 1 Tuban, dan berlanjut saat dia mengambil kuliah di departemen Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Lantas lahirlah Teater Kanvas dari tangan dinginnya, pada 1987. Bukti keseriusan berkeseniannya antara lain adalah keberhasilannya meraih predikat sebagai sutradara terbaik Festival Teater Jakarta tiga tahun berturut-turut (1991, 1992, 1993). Belasan naskah drama telah dihasilkannya sejak tahun 1985. Beberapa film televisi juga telah disutradarainya. Bukti lain, lebih dari 100 skenario TV juga telah ditulisnya dan ditayangkan di berbagai stasiun TV. Tulisan ini tak hanya menceritakan tentang sosok Zak Sorga. Tapi juga tentang salah satu karyanya ‘Penghuni Kapal Selam’. Sebuah kisah para aktivis yang hilang, yang diculik oleh para penguasa,

dan dijebloskan dalam kapal selam. Kisah yang menceritakan tentang kedhaliman para tiran atas lawan-lawan politiknya. Kisah yang menyajikan pergulatan batin diri pribadi para penghuni kapal selam itu, friksi di antara mereka, serta kesalehan yang terus bertahan dalam terpaan intrik dan tipu daya. Cobalah simak salah satu cuplikan dialog yang menggambarkan kedhaliman para tiran itu. “Rupanya mereka lebih suka aku jadi perampok daripada jadi orang baik-baik. Orang rajin ke masjid kok ditangkap. Aku ditanya macammacam, dipukuli, dipojokkan ke tembok. Rambutku dia betot sekeraskerasnya, tetapi aku tetap tidak bisa menjawab pertanyaan mereka. Aku memang tidak tahu apa-apa. Lalu aku dicambuki, mataku dicongkel. Sebanyak empat belas pelaku menjadikan kisah itu begitu penuh letupan-letupan. Sesekali mencekam, sesekali menampar kesadaran, tidak jarang juga megundang gelak tawa. Lengkap. Mereka adalah Abdul Ghofar (seorang guru agama), Muthalib (politikus tua yang stres berat), Jerio (orator dan aktivis politik yang ambisius tapi cengeng), Yon (aktivis dakwah yang labil), Kukuh (mahasiswa yang hampir gila karena

OBAT RINDU: Teater berkualitas selalu menimbulkan kerinduan pada setiap pecintanya untuk selalu menikmatinya.

siksaan), Pii (mantan penjual es yang telah dipenjara sejak anakanak), Prawoto (mantan pemimpin perampok yang sudah bertobat), Sokle (tukang bengkel elektronik yang dituduh menggerakkan massa), Sipir Kepala yang merasa berkuasa dan kuat, Juru Runding yang licik, Si Kutu Buku, Penyusup, seseorang yang selalu salat, dan para sipir penjaga. Dua jam, tentulah bukan rentang waktu yang mudah untuk menampilkan sebuah suguhan ‘kelas berat’ semacam teater dengan jalan cerita yang ‘tidak populer’ semacam itu. Ya, hanya orang-orang yang mempunyai daya apresiasi saja yang bisa menikmatinya dengan sepenuh hati. Tentu saja ini membutuhkan kepiawaian Sang Sutradara untuk membuat mata dan pikiran para penikmat tetap terfokus pada lakon yang dikemasnya. Tapi cobalah lihat ratusan penonton yang memenuhi setiap kursi di dalam gedung Cak Durasim itu. Mereka kebanyakan adalah anak muda. Sepanjang dua jam lebih, para anak muda itu sepenuhnya khidmat menyimak. Tidak ada yang ‘clometan’ atau melontarkan komentar ‘’asal nyeplos’, tak bermutu, merendahkan, sebagaimana kekhasan anak muda bila menonton sebuah hiburan. Mereka tidak hanya dari kalangan mahasiswa jurusan seni, namun dari berbagai kalangan. Bahkan juga banyak yang dari kalangan orang awam seperti saya. Hanya sekedar didorong rasa ingin tahu, rasa penasaran, dan rasa dahaga atas sebuah tontonan yang tidak hanya ‘begitu-begitu’ saja. Bagi saya pribadi, dan juga saya yakin bagi semua penonton, pertunjukan ini layak dikatakan “sesuatu banget.” Di antara kejenuhan atas berbagai tontonan ‘murahan’, kehadiran Teater Kanvas dengan “Penghuni Kapal Selam”-nya, seperti menjadi oase. Bahkan bagi orang awam yang tidak terlalu pilih-

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 27


KABAR P3G pilih hiburan. Kisah yang dilakonkan, sebagaimana ungkapan saya di atas, begitu penuh nutrisi, tentunya bagi jiwa. Ada nilai-nilai hidup yang tergali, ada ironi, ada pelajaran tentang makna sejati sebuah perjuangan. Sebuah tontonan seni sarat pesan bagi siapa pun yang masih percaya bahwa ‘kejujuran di atas segalanya’. Coba kita simak pada ending cerita. Abdul Ghafar, orang yang paling konsisten di penjara itu, dan tak pernah bergeming pada bujuk rayu sipir dan juru runding, adalah satu-satunya orang yang masih bisa bangkit meski tertatih-tatih, pasca penjara itu dirobohkan untuk mengubur hidup-hidup semua penghuninya. Nilai hidup yang bisa dipetik, perjuangan demi kebenaran tetaplah ‘indah pada waktunya’. Seorang mahasiswa saya, mahasiswa PPPG Unesa. menulis kesan di wall FB-nya setelah menonton pertunjukan itu: “Kesabaran tidak pernah memiliki batas, ia bahkan lebih luas dari samudra.” Seorang lagi berkomentar; “ia bangkit atas keteguhan imannya.” Yang lain menullis: “pengen nonton lagi... Pesan moralnya bagus banget.” Komentar lain, yang begitu apresiatif dan penuh harapan: “Bersyukur masih banyak komunitas yang mau membingkai nila-nilai ketuhanan, keilmuan, kepedulian, kritis, optimis, dan kesabaran dalam karya seni teatrikal. Semoga terus mengalir, menumbuhkan jiwa-jiwa positif di setiap tempat yang dialirinya,” Zak, orang yang kebetulan saya kenal cukup baik sejak awal mula dia belajar teater, adalah orang yang total menjalani hidup yang menjadi pilihannya. Teater mungkin adalah jalan sunyi. Namun dia telah bertekad untuk terus bertahan di jalan sunyi itu, berjuang demi sebuah kecintaannya pada seni dan kehidupan. Hidup, menurutnya, haruslah memiliki tema. Banyak orang yang sudah menjadi pemimpin

28 |

Bersyukur masih banyak komunitas yang mau membingkai nila-nilai ketuhanan, keilmuan, kepedulian, kritis, optimis, dan kesabaran dalam karya seni teatrikal. Semoga terus mengalir, menumbuhkan jiwa-jiwa positif di setiap tempat yang dialirinya,”

sekali pun, keberadaan mereka tidak membawa perubahan apa-apa sebab hidup mereka tanpa tema. Kedudukan tema, begitu menurut Zak, sama pentingnya dengan keindahan seni teater. Melalui ketajaman memilih tema dalam sebuah zaman, seorang sutradara bisa diukur visi dan misi kehidupannya.

Dan Zak Sorga, telah menunjukkan kelasnya tersendiri dalam percaturan dunia seni di Tanah Air, karena visi dan misi kehidupannya itu.n Surabaya, 15 Desember 2014

KOMPAK: Para awas teater sebelum dan sesudah memantaskan lakon Penghuni Kapal Selam selalu kompak dalam segala suasana.

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014


ARTIKEL WAWASAN

Tes Bidang Sastra Berdasarkan Pendekatan Moody oleh Susanto, M.Pd. A. Pendahuluan Kegiatan pengajaran sastra itu selalu me­libatkan bahan dan komponen tujuan. Ba­han dan komponen tujuan itu bersifat sa­ling berkaitan. Oleh sebab itu, bahan pe­ nga­jaran kesastraan itu harus dijabarkan ber­ dasarkan tujuannya. Mengenai bunyi da­lam tujuan pengajaran sastra yang i­ngin dicapai ini tentunya telah dipahami o­leh pembuat tujuan tersebut. Salah satu con­ toh tujuan pembelajaran sastra secara u­mum adalah peserta didik mampu meng­ ap­resiasikan sastra secara memadai. Tujuan yang bersifat umum ini, paling tidak dapat mem­berikan panduan terhadap tujuan khu­sus dan operasional. Dengan kata lain, tujuan khususdan operasional harus di­ arah­kan serta mendukung tercapainya tu­ ju­an umum tersebut. Nurgiyanto, menjelaskan tentang pe­ni­ lai­an dalam bidang sastra itu diawali dari tu­ juan pembelajaran, bahan pengajaran dan penilaian (1987:291-315). Selanjutnya, ke­ jelasan tujuan dalam pengajaran sas­ tra itu bersifat penting, sebab tujuan pe­ nga­ jaran sastra tersebut nantinya akan mem­ berikan pedoman bagi pemilihan ba­han yang sesuai. Pemilihan bahan pe­ nga­jaran dan bahan yang digunakan un­ tuk tesharus menompang tercapainya tu­ juan; membimbing dan meningkatkan ke­mampuan mengapresiasi sastra peserta di­dik. Hal itu perlu ditegaskan karena ada ke­cenderungan dalam pengajaran sastra di se­kolah, sesuai dengan realitas di lapangan bah­ wa guru sering kali memilih bahan yang bersifat mudah (disesuaikan dengan ting­kat pemahaman peserta didik). Maksud ka­ta mudah dalam hal ini merujuk pada pro­ses pengajarannya. Selanjutnya, secara garis besar bahan pe­ngajaran sastra dapat dibedakan men­ ja­di dua golongan: (1) bahan apresiasi tak lang­sung, dan (2) bahan apresiasi langsung.

Ba­han pengajaran apresiasi sastra yang tak langsung berfungsi untuk menunjang ke­ berhasilan pengajaran apresiasi sastra yang bersifat langsung. Sedangkan, bahan ap­ resiasi yang tak langsung menyarankan pa­ da bahan pengajaran yang bersifat teoritis dan sejarah. Tepatnya teori sastra dan se­ ja­ rah sastra atau pengetahuan tentang sas­ tra. Lebih lanjut, bahan pengetahuan sastra itu juga bersifat penting, namun ber­ hu­bung kedudukannya hanya membantu ke­ber­hasilan pengajaran bahan yang ke­ dua. Oleh sebab itu, bahan pengajaran ha­ rus dibatasi dan tidak ditempatkan pa­da hal yang utama sehingga mengeser ke­ dudukan pengajaran apresiasi yang ber­si­ fat langsung. Pengajaran apresiasi langsung berarti pe­­­ serta didik dihadapkan langsung pa­ da berbagai jenis karya sastra. Se­ lan­ jut­ nya, peserta didik secara kritis di­bim­bing un­­tuk mengingat, memahami, me­ne­ rap­ kan, menganalisis, mengevaluasi, dan meng­ kreasi berbagai unsur yang khas, ser­ ta menunjukkan kaitan diantara ber­ ba­ gai unsur yang tercakup dalam ap­ re­ siasi. Berdasarkan penerapan tes ke­ su­ sastraan Moddy, berdasarkan hal ter­ ­ sebut diharapkan membawa hasil yang baik. Dalam hal ini, kemampuan sis­ wa untuk mengapresiasi karya sastra akan lebih berarti daripada sekedar pe­ nge­ ta­ hu­ an tentang sastra. Dengan berbekal ke­mampuan tersebut, peserta didik di­ha­ rapkan dapat menimba berbagai pe­nga­la­ man yang terkait dengan kehidupan, me­la­ lui berbagai bentuk atau jenis karya sastra yang tidak terbatas hanya pada lingkup se­kolah saja. B. Penilaian dalam Pengajaran Sastra Penilaian dalam pengajaran sastra da­ pat memiliki fungsi ganda yaitu; (1) meng­ ung­kap kemampuan apresiasi sastra dan

(2) menunjang tercapainya tujuan pe­ nga­jaran apresiasi sastra. Kedua fungsi itu dapat terjadi apabila penilaian yang di­la­ ku­kan diarahkan pada sebuah apresiasi tak langsung dan lebih ditekankan pada ke­ mam­puan apresiasi siswa secara langsung. Selanjutnya, dalam menghadapi tujuan pe­ ngajaran apa pun, siswa selalu ingin men­capai sebuah kelulusan atau merasa se­baliknya takut tidak lulus. Oleh sebab itu, para siswa pada umumnya berusaha de­ ngan maksimal dengan tujuan untuk men­ ca­pai maksud yang dikehendaki. Jika soalsoal ujian kesastraan yang sering dihadapi ha­ nya berkisar teori dan sejarah sastra, un­tuk meraihpredikat lulus. Dalam hal ini, da­pat dilogika bahwa nantinya siswa hanya akan mempelajari bahasan yang sesuai saj­ a, yaitu seputar pengetahuan tentang sas­ tra dan tidak pada apresiasi langsung. Se­ ba­liknya, apabila soal-soal ujian yang sering di­ temui tentang kemampuan apresiasi sas­tra langsung, siswa pun akan berusaha mem­pelajari bahan yang sesuai dan akan ber­sifat kreatif. Kenyataan di atas dapat digunakan da­­lam pengajaran untuk mencapai tu­ju­ an utama pengajaran sastra. Apapun mo­ ti­ vasi siswa, jika mereka telah berusaha meng­apresiasi karya sastra; membaca, me­ mahami, mereaksi, dan menganalisis ter­ hadap karya sastra bukan sekadar meng­ha­ fal nama, pengertian, dan konsep tentang sas­tra. Itu semua adalah suatu hal yang sa­ ngat menguntungkan untuk motivasi sis­wa untuk lebih giat belajar. Jika akhirnya me­mang tinggi kemampuan apresiasi dan sikapnya terhadap sastra, kiranya hal ini dirasa cukup memadai. Secara singkat wu­ jud penilaian yang diberikan sangat mem­ pe­ngaruhi keberhasilan pengajaran sastra itu sendiri. Permasalahannya, sudah siapkah ki­ta mengubah sikap serta haluan kearah pem­buatan soal-soal penilaian seperti di­

Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 29


ARTIKEL WAWASAN masudkan di atas? Untuk menjawab hal ini dituntut adanya kesadaran dan tang­gung jawab yang tinggi pada masing-ma­ sing individu khususnya pada tenaga pen­didik untuk siap dan konsisten untuk men­cer­ das­kan kehidupan bangsa. Pertimbangan dalam pemilihan ba­ han yang diujikan dan kegiatan yang ha­­ rus dilakukan oleh siswa tentu saja ha­­ rus disesuaikan berdasarkan tingkat per­­kembangan kejiwaan dan aspek kog­ ni­ tif siswa. Bahan yang diberikan un­ tuk siswa haruslah sudah disesuaikan ber­ da­ sarkan jenjang pendidikan (SD, SLTP, SLTA, dan mahasiswa), masing-masing jen­ jang pendidikan memiliki tingkatan yang bersifat tidak sama. Misalnya: Puisi, fiksi atau drama yang diteskan untuk jen­ jang pendidikan SD harus berada da­lam jangkauan kognitif siswa SD pada umum­ nya. Puisi, cerita atau drama anak-anak ter­ sebut harus bersifat sederhana, baik da­ri segi isi maupun bahasanya. Untuk ba­ han tes jenjang pendidikan hendaknya se­lalu memerhatikan bahan ajar yang di­ se­ suaikan dengan tingkat usia peserta di­diknya. Hal itu harus dilakukan dengan pe­nuh pertimbangan guna mencapai ke­ un­ tungan yang sesuai dengan sasaran. Pe­milihan bahan sastra yang sulit, mi­sal­ nya seperti karya sastra yang bersifat abs­ trak hanya akan menjadi momok bagi pe­serta didik sehingga pada ahkirnya me­ nimbulkan permasalahan baru. Hal itu akan memperkecil motivasi peserta didik dan membuatnyamenjadi tidak menyukai kar­ ya sastra. Berbeda dengan peserta didik pada jen­jang pendidikan SLTA, berdasarkan ting­ katan perkembangan kemampuan kog­ni­ tifnya, pemberian tugas tes kesastraan hen­ dak­nya jauh lebih kompleks. Bahkan tugas yang sederhana yang hanya melibatkan ke­giatan mengingat harus dikurangi. Tu­ gas-tugas yang berikan seharusnya di­ te­ kankan pada tugas yang menuntut ak­ tivitas mental yang lebih tinggi, sikap kritis dalam membaca KS, menganalisis KS se­perti menemukan tema, mencari kaitan an­tar-peristiwa, konflik, gaya bahasa, dan la­ inya. Pemberian tugas yang bersifat meng­ ak­tifkan siswa akan bersifat jauh bermakna dari pada sekedar diberikan tugas meng­ ha­ fal. Pemberian tugas yang bersifat meng­hafal dan memahami terhadap halhal yang berkaitan dengan pengetahuan ten­tang sastra juga bersifat penting, na­ mun kadarnya perlu diperhatikan dan

30 |

dipertimbangkan berdasarkan ke­du­du­ kan­nya untuk mencapai tujuan pe­nga­jaran sastra. Tugas-tugas kesastraan sebenarnya sa­ ngat luas, dan tidak hanya terbatas pa­da tugas tes yang diberikan di sekolah, me­ lain­kan juga tugas-tugas yang dilakukan di luar sekolah. Tugas tersebut dapat berupa se­buah kegiatan yang bersifat interaktif se­ perti mengikuti lomba penulisan KS (puisi, cerpen, esai, dll), lomba baca puisi, dan pentas drama. Namun, tidak menutup ke­ mungkinan siswa juga diberikan tugas un­ tuk melihat/menonton pentas drama atau ba­ca puisi secara langsung. Tugas tes apresiasi sastra ini sifatnya ber­tingkat, ada tingkatan yang sederhana dan ada tingkatan-tingkatan yang lebih kom­pleks. Tes kesusastraan Moody ini di­ ha­ rapkan bisa menjadi alternatif dalam pe­ngajaran sastra pada peserta didik ber­ da­sarkan keperluan. C. Tes Kesastraan Katergori Moody Dalam rangka pengukuran hasil belajar sas­­tra, Moody dalam The Teaching of Lite­ra­ tu­re (1979:89-96) diklasifikasikannya empat ka­ tegori pengukuran sastra berdasarkan su­sunan tingkatan sederhana ke tingkatan yang semakin kompleks.Keempat tingkatan yang dimaksud adalah tes yang digunakan un­tuk pengukuran kemampuan pada ting­ kat informasi, concepts, perspectives, dan ap­ pre­ciation, berikut ini penjelasannya. 1. Tes Kesastraan Tingkat Informasi Tes ini dimaksudkan untuk mengungkap ke­­ mampuan siswa yang berkaitan de­ ngan hal-hal pokok yang berkenaan de­ ngan sastra, baik yang menyangkut da­ta tentang suatu karya maupun data la­ in yang dapat dipergunakan untuk mem­ ban­tu menafsirkannya. Adapun data yang dimaksud berhubungan dengan per­ya­ta­ an-peryataan seperti; apa yang terjadi, di ma­ na, kapan, nama, nama-nama pelaku, dan sebagainya, lebih lanjut tentang da­ta tentang suatu karya sastra, misalnya me­ nanyakan tentang permasalahan genre, kejadian pokok, kapan terjadinya, di­mana terjadinya, siapa saja tokoh-toh yang terlibat,bagaimana akhir ceritanya, ba­gai­ mana nasib tokoh X, dan sebagainya. Se­ dang­kan, data lain yang dapat digunakan un­ tuk membantu penafsiran dapat juga be­ rupa data biografi pengarang; siapa na­manya, dilahirkan di mana, kapan, apa pe­ kerjaannya, status sosial, karya yang

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

keberapa, pada tahun berapa karya itu di­tu­ lis, tahun terbitnya, serta dimana dan siapa pe­nerbitnya. Butir-butir soal yang dimaksudkan un­ tuk mengukur pengetahuan siswa ten­tang informasi di atas sangat mudah di­su­sun, sebab hampir semua menanyakan ten­ ­ tang yang bersifat hafalan. Jadi, tes ting­kat informasi ini ada persamaannya de­ ngan tes ingatan pada taksonomi Bloom’s, na­ mun dalam hal ini, melibatkan sedikit ke­ mam­ puan pemahaman. Sebagai contoh untuk dapat menjawab pertanyaan de­ ngan baik walaupun hanya berupa ingatan dan pemahaman secara garis be­ sar, siswa telah dituntut membaca suatu kar­ya sastra. Contoh: pertanyaan ini dapat di­terapkan pada siswa SMA. (1) Siapakah na­ma pengarang novel Harimau-harimau, ting­gal di mana dan apa pekerjaannya? (2) Si­apa sajakah pelaku utama novel Harimauharimau, dan siapa yang mati pada akhir cerita, kapan, di mana? Jika kita perhatikan tes informasi ini, dapat disimpulkan bahwa tes ini sama halnya dengan tes ingatan, na­mun tes informasi ini nampaknya lebih men­­­dominasi tes-tes kesastraan di sekolah. (2) Tes Kesastraan Tingkat Konsep Tes ini berkaitan dengan persepsi ten­ tang bagaimana data atau unsur-unsur kar­ ya sastra itu diorganisasikan. Unsur-unsur ka­ rya sastra merupakan suatu hal yang po­kok yang dipersoalkan dalam tes tingkat ini. Masalah-masalah yang dimaksud an­ta­ ra lain berupa pertanyaan mengenai; un­ sur-unsur apa sajakah yang terdapat da­lam fiksi dan puisi, mengapa pengarang jus­tru memilih unsur yang seperti itu? Efek apa yang ditimbulkan dari pemilihan un­ sur itu? Apa hubungan sebab-akibat un­ sur atau peristiwa-peristiwa itu? Konflik po­kok apa yang dipermasalahkan? Konflik apa sajakah yang ditimbulkan? Faktor-fak­ tor apa sajakah yang terlibat sehingga mem­ pe­ngaruhi terjadinya konflik? Selanjutnya, untuk dapat mengerjakan bu­ tir-butir soal tingkat konsep, dituntut sis­wa memiliki bekal teoritis. Siswa di­ha­ rap­kan membaca karya-karya tertentu dan ti­dak sekadar mengetahui isinya secara ga­ ris besar saja, namun harus disertai sikap kri­ tis dan analitis. Kemampuan kognitif yang dibutuhkan tidak hanya sekedar ke­ mam­puan memahami saja, melainkan ju­ga kemampuan menganalisis dan meng­ hu­ bungkan berbagai unsur dalam suatu kar­ ya sastra. Oleh sebab itu, masalah yang di­


ARTIKEL WAWASAN per­tanyakan dalam tingkat konsep dalam ka­tegori Moody tindak hanya bersifat teo­ ritis, namun dituntut untuk langsung ber­ orien­tasi pada karya tertentu, baik prosa mau­ pun puisi. Dengan demikian, bekal teori juga harus sejalan dengan mengenal kar­ya sastra secara riel “menggauli” Karya Sas­tra (KS). Contoh: Mengapa Jenar Mesa Ayu memilih sudut pandang “aku” dalam Pet­house, bagaimana efeknya? (3) Tes Kesastraan Tingkat Prespektif Pada tes kali ini lebih menitikberatkan pa­da pandangan siswa atau pembaca pada umumnya yang berkaitan dengan karya sast­ra yang direseptifnya (dibaca). Untuk me­ ngetahui bagaimana pandangan dan re­aksi siswa terhadap suatu KS ditentukan oleh kemampuan siswa dalam memahami KS tersebut. Masalah-masalah yang di­per­ soal­kan dalam tes tingkat ini antara lain be­rupa permasalahan; Apakah karya sastra ini berarti atau ada manfaatnya? Apakah ia sesuai dengan realitas kehidupan? Apa­ kah cerita bersifat tipikal dalam realitas ke­ hidupan, yang mana? Apakah ada ke­mung­ ki­nan bahwa cerita yang semacam itu ter­ja­ di di tempat lain? Kesimpulan apakah yang da­pat diambil dari karya atau cerita itu?, Apa manfaat cerita itu bagi kita? Tes kesastraan tingkat prespektif ini me­ nuntut siswa untuk mampu meng­hu­bung­ kan antara sesuatu yang ada dalam karya sastra dengan sesuatu yang berada di luar karya itu. Oleh sebab itu, pengetahuan ten­ tang sesuatu yang di luar karya sastra itu se­perti keadaan masyarakat yang bersifat ki­ni maupun yang ditunjuk dalam sebuah kar­ya akan sangat membantu dalam men­ ja­wab pertanyaan tingkat prespektif. Jadi, di­butuhkan adanya analisis terhadap kar­ ya yang bersangkutan yang dikaitkan de­ ngan kehidupan di masyarakat setelah itu baru menilai dan membandingkan di antara keduanya. Dengan demikian, tes kemampuan tingkat ini dapat di­ ka­ te­ go­ ri­ kan kemampuan tes kognitif tingkat ting­gi. Contoh: Kesimpulan apakah yang da­pat Anda ambil setelah membaca no­ vel Harimau-harimau? Apakah Anda me­ ra­sakan adanya manfaat setelah membaca novel Harimau-harimau? Jika ada, manfaat apa sajakah itu, jelaskan!. (4) Tes Kesastraan Tingkat Apresiasi Tes kesastraan pada tingkat apresiasi ini berkisar pada permasalahan dan yang ter­kait dengan bahasa sastra de­ngan li­ngu­

istik. Dalam hal ini, kedua per­ma­sa­lahan itu masih menjadi perdebatan yang akhirnya belum mencapai adanya ke­se­pa­katan yang dapat diterima oleh semua orang.Yang jelas bahwa bahasa sastra me­rupakan salah satu fenomenalingustik yang menunjuk pada sosok yang berbeda de­ ngan fenomena linguistik secara umum. Selanjutnya, kemampuan kognitif yang dituntut untuk mengerjakan butir-bu­tir tes tingkat apresiasi juga merupakan ke­mam­ puan kognitif tingkat tinggi. Dalam hal ini siswa dituntut untuk mampu me­nge­nali, menganalisis, membandingkan, meng­ ge­ neralisir, dan menilai bentuk-bentuk ke­ bahasaan yang dipergunakan dalam se­ buah karya yang dibahas. Oleh sebab itu, disamping diperlukan sikap kritis juga ha­ rus diimbanggi dengan pengetahuan ten­ tang linguistik secara umum yang ber­si­fat memadai. Contoh butir soal tingkat ap­re­ sia­si adalah sebagai berikut: a. Mengapa Linus Suryadi dalam Pe­ ngakuan Pariyem dan Y.B. Ma­ ngun­ wijaya dalam Burung-burung Ma­nyar justru banyak memilih kata-ka­ta dan ungkapan Jawa untuk meng­ungkap­ kan maksud-maksud tertentu? b. Apakah pemakaian kata-kata dan ung­ kapan Jawa dalam Pengakuan Pa­riyem dan Burung-burung Manyar efek­tif, dan apakah memang lebih te­ pat disbanding kata-kata dan ung­kap­ an Indonesia?

se­ kaligus mampu menghasikan proses krea­tivitas sastra peserta didik secara op­ timal. Selanjutnya, peserta didik ber­ sa­ ma pendidik dapat meningkatkan krea­ tivitasnya berdasarkan tingkatan-ting­ka­tan tes Moody dengan mengaitkan se­ buah karya sastra fiksimaupun nonfiksi se­ cara lebih leluasa. Dengan kata lain, pa­ra pebelajar sastra dapat melakukan se­bu­ah pendekatan sastra dengan sistem mem­ ban­dingan karya sastra satu dengan karya sas­tra lainnya. n Kepustakaan Anderson, Orin W dan Krathwohl, David.R. 2001. A Taxonomy For Learning, Teaching and Assessing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objektives. New York: Addison Wesley Logman, Inc. Luxemburg, Jan Van., Bal, Mieke., Weststeijin. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Moody. 1979.The Teaching of Literature Nurgiyantoro, Burhan. 1987. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jogyakarta: BPFE. Wellek, Rene., Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia. *Penulis adalah Guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Kedungadem-Bojonegoro

C. Penutup Tes kesastraan yang tepat, yaitu meng­ ung­ kap kemampuan apresiasi langsung pe­serta didik yang bertujuan untuk me­ ning­katkan kemampuan apresiasinya. Se­ ba­liknya, asesmen yang hanya berorientasi pa­da pengetahuan kesastraan diduga ku­ rang menunjang peningkatan kemampuan ap­resiasi. Penilaian hasil belajar kesastraan ha­rus dinilai berdasarkan tiga ranah, yaitu kog­ nitif, afektif, dan psikomotor. Penilaian ra­ nah kognitif dapat dilakukan dengan mem­ be­rikan pertanyaan “ya” atau “tidak”, serta pro­sedur nominasi. Sedangkan, penilaian psi­komotor dapat diukur dengan tes per­ buatan. Berdasarkan kategori tes kesastraan Moo­ dy yang meliputi empat tingkatan, yakni; (1) informasi, (2) konsep, (3) pres­ pek­ tif, dan (4) apresiasi diduga akan mam­ pu mengangkat kecintaan peserta di­ dik terhadap pembelajaran sastra dan Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014 MAJALAH UNESA

| 31


KABAR BUKU

G

Mewariskan Ilmu, Menebar Inspirasi

ara-gara berebut warisan, se­ se­ orang bisa memusuhi saudaranya. Ka­rena masalah warisan, per­tum­­ pahan darah dapat terjadi. Har­ta seringkali memabukkan sekaligus mem­ bu­takan. Tak heran, ada pepatah bijak yang me­nyebut bahwa harta bukanlah warisan ter­baik. Ketika moralitas masih menjadi topik ha­ ngat di dunia pendidikan, semua satu suara bahwa pengetahuan dan budi pe­ ker­ ti bisa jadi merupakan warisan yang amat dibutuhkan saat ini. Khususnya oleh ge­nerasi-generasi yang kelak melanjutkan pem­bangunan peradaban bangsa ini. Buku Cermin; Cerita-Cerita Menginspirasi karya kakak-beradik Luthfiyah Nurlaela dan Ma­riyah Zawawi ini menegaskan uraian tadi. Bu­ku ini tidak mengambil fokus pada aspek atau bidang tertentu untuk dikupas lebih dalam dan detail. Kendati demikian, gaya pen­ceritaan di buku ini lekat dengan gaya fea­ture yang penceritaannya kuat. Karena itu, sulit untuk menilai bahwa ini merupakan buku dari genre A, B, atau genre lainnya. Bisa dikatakan kedua pe­nu­lis menumpahkan atau lebih tepatnya men­coba berbagi cerita dari pengalaman-pe­nga­laman keseharian mereka. Diari! Inilah ka­­ ta yang cocok untuk menggambarkannya. Na­ mun, jangan buru-buru menjustifikasi bah­wa diari atau semacam catatan harian itu tidak menarik karena –sebagaimana u­mumnya sifat diari– tidak melibatkan pem­ba­ca. Buku Cermin ini berbeda.Yang paling ken­ tal adalah pesan moral di setiap cerita-cerita yang ada. Topik ibu terlihat dominan dalam bu­ku ini. Dalam artikel berjudul Memaknai Ke­hilangan, misalnya, Luthfiyah memotret ketabahan ibundanya. Saat sang ayah wafat ketika Luthfiyah me­nempuh S-2 di Jogja, Luthfiyah amat ter­ pukul. Yang menguatkannya justru ibunya. Luthfiyah dan saudara-saudaranya tak per­ nah melihat ibunya begitu terbebani dengan wa­fatnya ayahanda tercinta.

32 |

Tanpa ragu, Luthfiyah mengguratkan na­sihat yang sangat baik. ”Setiap orang me­ miliki cara yang tidak sama dalam memaknai se­ buah kehilangan. Namun, setiap orang ya­kin, kehilangan adalah suatu keniscayaan. Tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali ha­ rus terus bersyukur bahkan saat kita harus kehilangan. Rasa syukur itu akan menjadi energi abadi dalam diri kita, dan akan selalu memancarkan energi bagi orang-orang di sekitar kita. Meski kehilangan, kita ha­ rus tetap dapat memberikan makna dan manfaat bagi orang lain. Rasa syukur itulah kun­cinya.” (hal. 18). Penegasan tentang rasa hormat kepada so­sok ibu juga dituangkan dalam Kasih Ibu Se­panjang Zaman. Mariyah yang bernama leng­kap Mariyatul Qibtiyah mengutarakan bahwa siapa pun tidak akan mampu mem­ balas kebaikan sosok ibu. Karena itu, se­raya mengajak para pembaca, Mariyah meng­ ingatkan bahwa sudah semestinya saling rukun dan mengasihi (hal. 9). Dalam Alquran ditegaskan secara gamblang bahwa seorang anak selayaknya tidak alpa mendoakan orang tuanya.

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

Tema ibu juga terlukis dalam artikel Me­ nengok Ibu dan Senin Kelabu. Namun, se­ bagaimana dijelaskan di awal, topik ringan lain juga dibahas dalam buku ini. Mulai persoalan utang, mudik Lebaran, rezeki, coblosan saat pemilu legislatif, hingga kue serabi. Ada tujuh bab yang dirangkum dalam bu­ku Cermin ini. Yaitu, Tentang Ibu dan Bapak, Per­jalanan, Keluarga, Introspeksi, Kuasa-Nya, Ternyata…, serta Kuliner. Yang menarik ada­ lah pernyataan Luthfiyah Nurlaela, salah seo­ rang penulis buku ini. ”Bagi kami berdua, menulis merupakan sa­lah satu cara kami untuk berbagi dan ber­ syu­kur. Ide yang sederhana, pengalaman se­ ha­ri-hari, selalu mengandung hikmah, selalu me­ngandung nikmat, sepanjang kita mau mengambil hikmah dan pandai mensyukuri nik­mat. Hikmah dan rasa bersyukur itulah yang ingin kami bagikan melalui buku se­ der­hana ini,” tulis direktur PPG Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut (hal. v). Kakak Mariyah Qibtiyah Zawawi itu benar. Me­ngutip kalimat bijak dari penulis senior Si­ ri­kit Syah bahwa menulis itu membebaskan dan membuat seseorang menjadi matang da­ lam mengarungi kehidupan. Luthfiyah dan Mariyah telah melakukan upaya positif se­bagai bentuk rasa syukur mereka kepada Tu­han, yaitu dengan menulis. Sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer pernah menegaskan dengan lugas bahwa ”Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi, selama ia tidak menulis, maka ia akan hilang ditelan zaman dan dari masyarakat. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Berkaca pada hal itu, buku Cermin ini bu­ kan sekadar kado ulang tahun yang ma­nis. Lebih dari itu, kedua penulis telah me­ref­ leksikan diri dan memberikan warisan ter­ baik yang tidak lekang oleh zaman me­la­lui catatan-catatan ringan mereka yang sa­rat ilmu dan inspirasi. Keduanya telah me­no­reh­ kan sejarah tersendiri. n [eko prasetyo]


INFO SEHAT

MANGGIS si Anti Diabetes B uah manggis dapat membantu me­ ngatasi diabetes karena di dal­ am buah manggis terdapat zat yang dapat memperlambat pro­ duksi hormon insulin sehingga da­ pat menurunkan kadar gula dalam da­ rah dan dapat menstabilkan kadar gula dalam darah. Senyawa antioksidan yang terdapat di dalam buah manggis juga be­ rmanfaat bagi tubuh kita karena se­nya­wa antioksidan tersebut dapat melawan se­ rangan radikal bebas yang dapat mem­per­ bu­ruk kondisi penderita diabetes. Manfaat buah manggis untuk diabetes lainnya ada­ lah menjaga berat badan penderita di­abetes agar tetap stabil dan terkadang dapat menurunkan berat badan, ini sangat baik bagi penderita diabetes karena jika berat badannya stabil menunjukkan bahwa kadar gula dalam darahnya juga sta­bil. Buah manggis yang mempunyai b­ a­ ha­sa latin Garcinia mangostana L ini ter­ nyata juga dapat mencegah penyakitpe­nyakit yang berbahaya seperti tumor dan kanker. Tak salah banyak orang yang mengonsumsinya apalagi harga buah manggis yang terjangkau. Buah manggis ini juga banyak di tanam di beberapa daerah di Indonesia, jadi kita tak perlu khawatir tentang keberadaannya. Selain daging buah manggis yang mengandung zat yang bisa mencegah diabetes, ternyata manfaat buah manggis untuk diabetes

lainnya juga terdapat pada kulit buah manggis. Kulit ini mengandung zat xanthone yang juga dapat mencegah pe­ nyakit diabetes yang seringkali menimpa orang yang mempunyai ke­lebihan berat badan atau obesitas. Zat xanthone juga da­ pat mengubah makanan menjadi energi dan dapat melunakkan sel-sel kembali. Bi­asanya obesitas disebabkan karena mu­ dahnya membran sel kita membesar dan mengeras. Khasiat Utama Lainnya Dalam buah manggis terutama pa­ da bagian kulit buahnya terdap zat antioksidan yang sangat kuat de­ ngan kandungan hampir 10 kali lipat dari ka­ ndungan antioksidan yang berasal dari bu­ah-buahan lainnya. Aama antioksidan tersebut yaitu Xanthone yang mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan mampu melindumgi sel dari serangan radikal bebas penyebab berbagai gang­ gu­ an penyakit,sehingga komoditas ini sangat dicari oleh kalangan farmasi untuk di­ekstrak dan dijadikan bahan baku obat herbal untuk: penyakit kanker, darah tinggi, diabetes, prostat, penyakit paru, gin­jal dan lain-lain. Karena khasiat istimewanya tersebut, manggis kemudian dikenal sebagai “ratu buah”, sebagai pasangan durian, si “raja buah”. Manggis berkerabat dengan kokam, asam kandis dan asam gelugur, rempah

bumbu dapur dari tradisi boga India dan Sumatera. Kita sering makan buah ini, tetapi cuma bagian dalamnya saja yaitu dagingnya dan sering kita buang kulitnya, tetapi di balik itu terdapat manfaat yang ada dalam kulit manggis. Beberapa manfaat dan khasiat kulit manggis antara lain: • Memperkuat sistem kekebalan. • Menyembuhkan peradangan. • Memperbaiki komunikasi antar sel. • Mengagalkan kerusakan DNA. • Alat bantu sistem getah bening. • Memelihara optimal fungsi kelenjar gondok. • Mengurangi resistensi insulin. • Membantu penurunan berat badan. • Menyembuhkan kerusakan urat syaraf. • Menyeimbangkan sistem kelenjar endokrin. • Alat bantu dari sinergi tubuh. • Meringankan wasir. • Membantu menurunkan kadar gula dalam darah (hypoglycemia). • Meringankan penyakit kulit kemerahmerahan/bersisik (psoriasis). Itulah beberapa manfaat kulit manggis yang sangat penting untuk kesehatan tubuh sebagai pengobatan tradisional alami yang tidak diketahui oleh sebagian banyak orang, tapi di balik kulit manggis tersebut terdapat banyak manfaatnya. n (MAN/BBS)

Nomor: 76 Tahun XV - Deseber 2014 MAJALAH UNESA

| 33


CATATAN LIDAH

LIMA PULUH TAHUN l Djuli Djatiprambudi

S

aya tertarik dengan kata-kata John Masefield ketika berpidato, 25 Juni 1946, di The University of Sheffield. Menurutnya perguruan tinggi ialah, “... aplace where those who hate ignorance may strive to know, where tho­se who perceive truth may strive to make others see; where seekers and learn­ ers alike, banded together in the search for knowledge, will honor thought in all its finer ways, will welcome thinkers in distress or exile, will uphold ever the dig­ ni­ty of thought and learning and will exact standards in these things.” – In­tinya, per­guruan tinggi adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang membenci ke­bodohan kemudian berusaha mencari tahu, melihat kebenaran dan ber­ usaha untuk membuka kebenaran bagi orang lain secara bersama-sama. Meng­hormati pemikiran dengan sejujur-jujurnya dan menegakkan martabat pe­mikiran dan pembelajaran dengan sebenar-benarnya. Apakah kita sudah menghormati pemikiran dengan sejujur-jujurnya? Apa­kah kita juga sudah menegakkan martabat pemikiran dan pembelajaran de­ngan sebenar-benarnya? Pertanyaan semacam ini penting direnungkan, manakala kita “masih” menyadari sebagai sivitas akademik yang hidup da­lam tradisi akademik dengan menjunjung tinggi martabat pemikiran dan ke­be­ naran. Sebaliknya, kita bisa juga menganggap acuh pertanyaan tersebut, ma­ nakala kita telah meninggalkan martabat perguruan tinggi sebagai agen pe­ rubahan. Atau, kita meninggalkan makna perguruan tinggi seperti yang di­ka­ ta­kan Masefield - where those who perceive truth may strive to make others see; whe­re seekers and learners alike, banded together in the search for knowledge, will honor thought in all its finer ways. Kata-kata Masefield memang bermuatan idealisme ketika perguruan ting­gi dipercaya sebagai lembaga kebenaran. Lembaga pencetak jiwa-jiwa re­volusioner, kata Bung Karno. Lembaga yang mampu memaknai perubahan ma­syarakat dan mengartikulasikan kehendaknya secara objektif, kata Soedjat­ mo­ko. Lalu, di mana posisi Unesa? Ditilik dari usianya yang masih 50 tahun, Unesa memang belum bisa di­ ka­takan sebagai perguruan tinggi yang matang dalam konteks paradigma per­guruan tinggi modern. Apalagi usia 50 tahun dibandingkan dengan usia per­guruan tinggi ternama di Eropa atau Amerika Serikat yang usianya rata-ra­ ta lebih 100 tahun, rasanya Unesa masih jauh dalam segala hal. Namun, di zaman revolusi informasi seperti yang terjadi sekarang, usia jauh lebih muda, ternyata mampu tumbuh melompat, sejajar dengan per­gu­ ru­an tinggi yang usianya lewat seabad. Lihatlah sejumlah perguruan tinggi di Si­ngapura, Korea Selatan, Jepang, China, Taiwan, dan Australia, misalnya, dalam wak­tu tidak sampai setengah abad mampu memperlihatkan kinerja sebagai per­guruan tinggi yang dikelola dengan visioner, mengandalkan sumber daya yang berkompetensi tinggi, profesionalisme dan berintegritas. Kenyataan itu, di Indonesia dalam dua dekade terakhir, sejumlah per­gu­ru­an tinggi swasta mampu tumbuh sejajar dengan perguruan tinggi negeri ter­nama di Indonesia dengan mengandalkan jejaring manajemen digital-glo­bal, sumber daya manusia berkompetensi mumpuni, profesionalisme, dan berintegritas tinggi. Bahkan, model manajemen dan prosedur kinerja ser­ta target capaiannya menggunakan standar internasional. Mereka bekerja de­ngan kesadaran kolektif yang dibangun oleh sistem yang jelas, terukur, dan ber­dasarkan merit. Sementara itu, Cole (2009) dalam The Great American University meng­ iden­­tifikasi sejumlah indikator yang me­nopang kesuksesan perguruan ting­

34 |

MAJALAH UNESA Nomor: 76 Tahun XV - Desember 2014

gi di Amerika Serikat. Ada delapan in­­dikator utama: (1) kombinasi pe­ nga­jaran dan penelitian; (2) oto­no­mi dan kebebasan mimbar; (3) me­ ri­ tokrasi dan sistem kepegawaian; (4) sistem peer-review; (5) kompetisi; (6) merekrut bakat dan kemampuan ca­ lon mahasiswa dari seluruh du­ nia; (7) filantropi; (8) pendanaan pe­ merintah.Delapan indikator ini me­na­rik disimak tatkala kita ingin mengukur posisi Unesa pada usia 50 tahun. Se­kalipun, indikator itu berelasi dengan perguruan tinggi di Amerika Serikat, ti­dak ada salahnya kita mencoba mengukur diri. Memang, harus diakui Unesa belum tampak nyata memiliki tradisi pe­ nga­jaran yang dikombinasikan dengan penelitian. Pengajaran cenderung men­jadi fokus utamanya. Inipun belum berjalan sebagaimana mestinya. Me­ nyiap­kan silabus, satuan acara perkuliahan, mengisi jurnal on line, dan menulis ba­han ajar, secara ajeg, benar, dan mutakhir tampak masih menjadi sebuah be­ban berat. Apalagi harus mengintegrasikan pengajaran dengan penelitian, ma­sih menjadi kinerja yang sangat langka. Penelitian juga dikerjakan, namun ter­kesan kuat kurang memiliki capacity building yang berdampak luas dan me­miliki manfaat strategis dalam konteks nasional. Otonomi kampus dan kebebasan mimbar terasa masih seperti barang me­wah, karena dalam soal ini, pemerintah masih campur tangan terlalu kuat. Ber­bagai peraturan perundangan diberlakukan, namun secara umum terlihat je­las, bahwa otonomi tidak sepenuhnya diberikan ke perguruan tinggi. Ber­ be­da dengan Amerika Serikat, pemberian otonomi perguruan tinggi secara pe­nuh merupakan penopang utama kemajuan perguruan tinggi di sana. Sistem pengaturan kinerja dosen dan tenaga kependidikan tidak meng­ gu­nakan sistem meritokrasi. Akibatnya, dosen yang berkinerja baik dan dosen yang berkinerja buruk menerima gaji yang sama. Prestasi akademik dan non akademik yang diperolehnya sering tidak mendapatkan makna apa-apa. Sistem peer-review juga tidak berjalan sepenuhnya. Andai kata berjalan, bia­ sa­nya diselimuti rasa sungkan atau ewuh-pakewuh sesama sejawat. Padahal, jika model peer-review ini dijalan dengan benar dan terbuka, bersemangat ke­ilmuan, masing-masing dosen akan merasakan manfaatnya. Di pihak lain, at­mosfir akademik juga kurang menghadirkan suasana kompetisi. Sebabnya, an­tara lain juga tidak berjalannya otonomi dan kebebasan mimbar, sistem me­ritokrasi, dan peer-review yang objektif. Sementara, penerimaan mahasiswa dari luar negeri masih banyak me­ ne­mui kendala. Sejumlah kendala tampak pada urusan berbagai peraturan yang terkait dengan penerimaan mahasiswa asing. Hal ini berbeda dengan se­jumlah negara yang banyak mempromosikan perguruan tingginya, segala aturan teknis disiapkan sedemikian mudah dan cepat untuk merekrut ma­ha­ sis­wa dari negara lain. Filantropi barangkali masih sebagai barang langka. Dunia industri dan orang-orang kaya belum banyak berdiri di balik perguruan tinggi. Dana ope­ ra­sional perguruan tinggi, dana penelitian dan pengembangan masih terasa jomp­lang bila dibandingkan dengan negara tetangga. Dana penelitian dan pe­ngembangan dari tahun ke tahun perguruan tinggi di Indonesia masih ber­ si­kutat di kisaran 0,1% dari GDP. Ini jauh dari Singapura yang 2,36%, Malaysia 0,63%, Thailand 0,25%. Memang, pada usia 50 tahun, sivitas akademik Unesa tidak bisa lagi ber­ ki­nerja medioker (baca: serba tanggung). Delapan indikator di atas perlu di­jadikan jalan utama untuk masa depan Unesa. Pada usia emas inilah, titik awal “tinggal landas” segera dikobarkan pelaksanaanya. Dan semua sivitas aka­demik pun menyambutnya dengan gegap-gempita dan penuh tenaga. n (Email: djulip@yahoo.com)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.