CIRCUMSTANCE (2021)

Page 1

1


Catatan Proyek Seni

Circum stance

2


Pameran Proyek Seni CIRCUMSTANCE

Program Kurasi Kurator Muda Diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Mitra Pameran Lokal Komunitas Gubuak Kopi

ORGANISASI Pengarah Pustanto Penanggung Jawab Program Bayu Genia Krishbie Kurator Albert Rahman Putra Koordinator Pameran Aola Romadhona Publikasi dan Informasi Daniar Cikita Desy Novita Sari Rizki Ayu Ramadhana Teguh Wahyundri Kehumasan Zamrud Setya Negara

3


Dokumentasi Destian Rifki Hartanto Montiari Rashid Prima Nanda Maulana Ahlan Loris Novembra Administrasi dan Keuangan Abdul Qadir Hassan Afrina Rosmani Dharmawati Purnamawati Jarot Mahendra Rezki Perdana Sri Daryani Preparator Abdurahman Amythia Lapadca Mirzah Heru Setiawan Ilham Akbar Saputra Mariah Nadjida Bakhtiar Subarkah Teguh Margono

4

Kesekretariatan Farah Nabila Tim Produksi Pameran Ach Faisol Rizal Haq Farah Nabila Aza Khiatun Nisa Sarah Azmi Tim Display Hafizan Panji Nugraha Dian Yudhistira Fasilitator Lokakarya Asikin Hasan Citra Smara Dewi Narasumber Lokakarya Ade Darmawan Agung Hujatnikajennong Asep Topan Bob Edrian Farah Wardani


POST-EVENT BOOK Editor Albert Rahman Putra Biahlil Badri Penulis Albert Rahman Putra Farah Nabila Aza Khiatun Nisa Amelia Putri Desain dan Tata Letak Albert Rahman Putra Design Sampul Cico Amonitel Artwork Sampul Komunitas Gubuak Kopi Ilustrasi dan Gambar Taufiqurrahman Kifu Zekalver Muharam Foto Arsip Gubuak Kopi Destian / Galeri Nasional Indonesia

5


6


7


DAFTAR ISI

3-5 10-12

Kolofon Pengantar Kepala Galeri Nasional Indonesia

14-16

Pengantar Kurator Proyek Circumstance

20-25 28-34

Fungsi Baru Amelia Putri

38- 51

Babak-babak yang tak Usai Aza Khiatun Nisa

74-78 80-89 100

8

Aroma yang belum Kita Kenali Albert Rahman Putra

Seperti Talempong Sahut-bersahut Farah Nabila Dokumentasi Pameran dan Karya Ucapan Terima Kasih


DAFTAR GAMBAR

6 13, 17, 18, 19, 35, 36, 37, 42, 43, 48, 49, 54, 55.

Kosmologi Kampung Jawa Pendekar Daur Subur Kumpulan Sketsa “Bertamu, Bertemu”, karya Taufiqurrahman Kifu, 2021

26-27

Untempang Club x Teguh Wahyundri

56-72

Visual Harvest “Catatan Pertemuan”, karya Zekalver Muharam, 2021.

9


Pengantar Kepala Galeri Nasional Indonesia

S

eni rupa bukanlah bagian yang terpisah dari kehidupan manusia. Seni rupa adalah bagian dari kebudayaan yang juga berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Dewasa ini semakin berkembang aktivitas-aktivitas seni rupa yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam penciptaan gagasan dan presentasi karya. Para perupa berkolaborasi dengan masyarakat untuk menciptakan karya seni. Seperti yang dilakukan seorang kurator muda, Albert Rahman Putra melalui Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021 “Circumstance”. Pameran “Circumstance” menjadi salah satu pameran yang difasilitasi Galeri Nasional Indonesia melalui program Kurasi Kurator Muda. Sebagai bagian dari program bimbingan dan edukasi, Kurasi Kurator Muda merupakan program lokakarya kuratorial pertama yang diinisiasi dan diselenggarakan oleh Galeri Nasional Indonesia untuk mengembangkan gagasan kuratorial, distribusi pengetahuan, serta presentasi seni rupa, sekaligus memperluas jejaring para kurator muda Indonesia. Kurasi Kurator Muda diawali dengan panggilan terbuka dalam rentang waktu 9 Juni hingga 24 Juli 2021. Dalam panggilan terbuka ini berhasil dijaring 58 proposal rencana pameran yang diusulkan oleh calon peserta yang berasal dari 16 provinsi di Indonesia. Setelah melalui proses seleksi, sepuluh proposal dari sepuluh kurator muda dipilih untuk mengikuti program lokakarya secara daring pada 12, 13, dan 16 Agustus 2021. Selama lokakarya, para peserta mendapatkan bimbingan dan pendampingan dari kurator Galeri Nasional Indonesia yaitu Asikin Hasan, Citra Smara Dewi, dan Bayu Genia Krishbie. Para kurator tersebut berperan membantu peserta untuk mengembangkan

10


potensi dan gagasan kuratorialnya. Selain para kurator Galeri Nasional Indonesia, sejumlah narasumber undangan juga dihadirkan untuk pendalaman materi dan diskusi dengan tujuan memperluas pengetahuan peserta serta mengenalkan keragaman praktik kuratorial dewasa ini. Pada akhir lokakarya, Galeri Nasional Indonesia menentukan dua peserta yang mendapatkan fasilitasi untuk merealisasikan rencana pamerannya. Dua peserta tersebut adalah Umi Lestari dari Tangerang, Banten dan Albert Rahman Putra dari Solok, Sumatra Barat yang menguratori Pameran “Circumstance” ini. Sebagai kurator, Albert melalui Pameran “Circumstance” mengorganisir pameran dengan menyuguhkan karyakarya para seniman yang berbasis riset dan keterlibatan partisipasi warga setempat. Mereka bertukar gagasan, berdiskusi seputar persoalan ekologi dan kebudayaan pertanian di lingkup lokal. Hal itu tidak hanya sebagai praktik artistik untuk menciptakan karya seni, melainkan juga untuk melihat sejauh mana kerja-kerja kolektif mampu berkontribusi dalam memecahkan persoalanpersoalan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Selain itu, model praktik artistik dalam Pameran “Circumstance” ini merupakan salah satu media untuk mendorong dan menghidupkan geliat kantung-kantung seni rupa. Karena itu, model pameran seperti ini diharapkan dapat terus berlanjut untuk menghidupkan kantung-kantung seni rupa di berbagai daerah lainnya. Semoga Pameran “Circumstance” sebagai bagian dari Pameran Hasil Lokakarya Kurasi Kurator Muda 2021 ini dapat mendorong pengembangan sekaligus menjadi

11


referensi bagi praktik-praktik seni rupa lainnya yang berbasis riset dan keterlibatan masyarakat. Semoga pameran ini mampu mendorong aktivitas kesenian lainnya yang dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat, sehingga masyarakat semakin dekat dengan seni rupa. Kami ucapkan selamat kepada kurator pameran Albert Rahman Putra, para peserta pameran, serta seluruh pihak yang telah bekerja sama mewujudkan terselenggaranya pameran ini. Salam budaya dan sehat selalu. Jakarta, November 2021 Pustanto

12


13


Pengantar Kurator Proyek Circumstance

S

ejak status pandemi diberlakukan pada awal 2020 lalu, sejumlah agenda yang mensyaratkan pertemuan fisik dan interaksi di lapangan tertunda. Situasi yang baru bagi warga dunia ini mengantarkan kita pada pengalaman yang sangat berbeda dalam berbagai aspek; di antaranya mengantarkan kesadaran kita pada daya bertahan mandiri sekaligus gotong royong dalam jarak yang sangat terbatas. Pandemi COVID-19 memaksa kita untuk lebih banyak di rumah, mendayagunakan media, mengingatkan kita untuk lebih memperhatikan kesehatan kita, dan barangkali juga tentang menjalani hidup secara spritual. Di saat yang sama dengan situasi yang terus berkembang ini, --di tengah kegamangan menghadapi musuh yang tak terlihat, di tengah kegagapan kita memahami media, kita mengalami perpecahan pada persoalan yang berjarak dari kita. Gagasan mengenai “New Normal” dalam praktiknya sering kali bermuara pada upaya mempertahankan kebiasaan sebelum ini dan apa-apa yang mungkin bisa dipertahankan dengan ide sentral seputar keberlangsungan ekonomi. Biaya sosial yang muncul dari krisis kapital, oleh kapital itu sendiri, diekstraksi kepada masyarakat “kelas rendah” dan lingkungan hidup. Seperti pandangan Hilmar Farid dalam pidatonya (Forum Festival - ARKIPEL, 2020), alih-alih menempatkan biaya sosial ekologi di depan, “kita” masih tetap mengekstraksi kerugian-kerugian kapital dengan cara membebankan biaya sistem ekologis pada daur hidup sosial dan daya dukung lingkungan. Sebaliknya, seharusnya biaya sosial pembangunan ekologis diletakkan di hulu sebagai tali kekang untuk mengatur laju akumulasi kapital yang tidak terkendali demi mempersiapkan keselamatan masa depan, kedaulatan pangan, keselamatan umum,

14


permukiman, tata ruang, serta perbaikan sistem pendidikan dan tata kelola kebudayaan. Tentu saja, persoalan di atas adalah persoalan besar yang sudah berlangsung lama, yang tidak bisa diatasi oleh satu pameran kecil di Sumatra Barat. Perlu pengorganisasian yang lebih besar dan langkah yang sangat panjang untuk mengamplifikasi persoalan ini dan memastikannya memberikan dampak yang terukur. Berbagai kelompok dan individu pada dasarnya sudah mengembangkan berbagai inisiatif dalam merespon persoalan tersebut di lingkup lokalnya. Dalam hal ini, kita melihat kerja-kerja kebudayaan menjadi salah satu perangkat yang strategis dalam memahami cara kerja yang lebih kompleks mengenai persoalan global ataupun sekitar. Proyek “Circumstance” adalah bagian dari upaya kecil ataupun salah satu langkah dari ambisi besar di atas. Terminologi “circumstance” adalah tentang situasi atau kondisi yang memungkinkan tindakan atau peristiwaperistiwa tertentu muncul. Melihat kekinian atau sesuatu yang kiwari dari daya sinkronisasi, antara situasi-kondisi dengan peristiwa dan tindakan. Dalam proyek ini “Circumstance” menyoroti inisiatif masyarakat pertanian Solok dalam merespons persoalan setempat dan menyikapinya bersama-sama. Melalui proyek seni ini, seniman partisipan dan beberapa tetangga, bersamasama memahami proses yang bergerak di balik permukaan wajah Kelurahan Kampung Jawa, serta memetakan dan mengartikulasi isu-isu di atas dari peristiwa di sekitar. Pertemuan-kunjungan kecil dan pertukaran gagasan antara seniman dan warga menjadi aktivitas penting dalam proyek ini. Melakukan pendekatan kepada warga dengan

15


memakai cara atau presepektif warga, menghubungkan inisiatif-inisiatif tetangga, serta memaknainya secara spiritual. Proyek ini pun menjadi upaya melihat kembali persilangan budaya di lingkup masyarakat pertanian masa lampau, sebagai sebuah studi untuk memahami hari ini dan membayangkan masa depan yang lebih baik. Proyek ini diselenggarakan melalui metode platform Daur Subur, sebuah platform studi kebudayaan masyarakat pertanian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017. Platform ini dikembangkan secara kolaboratif mendorong pertemuan-pertemuan yang intim antara partisipan dan tetangga, bersama-sama berspekulasi dan merespon persoalan hari ini. Menjelajahi pengetahuan masa lampau dan bagaimana tradisi kolektif terbentuk sebagai proyeksi masa depan. Proyek ini terdiri dari residensi singkat yang diselenggarakan pada 15-30 Oktober 2021 dan pameran/presentasi publik yang diselenggarakan pada 2-7 November 2021 di Rumah Tamera, Solok, Sumatra Barat. Selain residensi singkat dan pameran proyek ini juga menyajikan buku sebagai sebuah catatan untuk menjadi pintu menerima masukan. Buku ini adalah kumpulan catatan proses dan dokumentasi pameran presentasi publik proyek Circumstance. Dari catatan-catatan ini, menarik memahami proses partisipan yang turut memaknainya secara spiritual. Albert Rahman Putra Solok, November 2021

16


17


18


19


Aroma yang belum Kita Kenali Albert Rahman Putra

S

ore itu Buya Khairani sedang membersihkan kebun di depan rumahnya. Ia adalah salah seorang tetangga kami, yang juga dikenal sebagai salah satu tokoh masyarakat di Kelurahan Kampung Jawa, Solok. Beliau baru-baru ini senang menanam kacang dan sayuran. Sore itu saya dan beberapa kawan hendak meminjam kembali salah satu botol kompos yang kami titip sekitar dua bulan lalu. Botol kaca dari sisa kedai kopi kami. Waktu itu kami (Komunitas Gubuak Kopi) titip untuk mendapat pengamatan singkat dari para tetangga mengenai proses membuat kompos sendiri. Beberapa tahun terakhir, proses membuat kompos kami jalani dengan sederhana dan sangat menyenangkan, hingga kami kira perlu mendengarnya juga dari beberapa tetangga. Selain di rumah Buya Khairani, botol itu juga kita titip di 11 rumah lainnya. Pertengahan Ramadan lalu, kami warga Kampung Jawa berkumpul di lapangan dekat pos pemuda untuk menyampaikan aspirasi pada salah satu anggota DPRD. Saya ingat, sebagian besar warga menanggapi masalah sampah. Mengenai mekanisme pengangkutan sampah, kemana kami harus membuang sampah? pertanyaan ini juga cukup lama menjadi pertanyaan saya dan kawan-kawan. Seperti para tetangga umumnya, kami pun tidak suka melihat tumpukan-tumpukan sampah yang sembarangan dan dibiarkan begitu saja di pinggir jalan. Mediasi sore itu dijawab oleh anggota DPRD tersebut dengan janji akan mengusulkan beberapa betor dan bak sampah yang bisa dikelola oleh

20


warga sendiri. Sebenarnya TPA Regional Solok berada di kelurahan ini, mungkin tidak terlalu jauh juga. Tapi rasanya memang desain lokasi itu tidak memudahkan kita untuk membuang langsung sampah sendiri disana, sepertinya memang untuk truk-truk meng-drop sampah. Kita harus memasuki portal, bertemu anjing-anjing agresif, dan ratusan sapi yang kadang-kadang terasa ingin mengejar, meninggalkan motor dan berjalan menuju tumpukan. Tapi sebenarnya di Kelurahan ini sempat memiliki bak penampungan sampah umum. Bak baja seperti bak truk. Sebelumnya diletakan di Taman Pramuka. Cukup jauh dari pemukiman, tetapi itu adalah tempat wisata juga. Sering kali para orang tua meminta anak-anak mereka yang remaja, sembari bermotor-motor sore membuang sampah di sana dan melempar ke bak sampah. Beberapa sampah masuk tepat di dalam bak, beberapa menghantam dinding bak, jatuh, dan berserakan. Atau kadang bak itu memang cepat penuh, mengingat ukurannya yang segitu harus menampung sampah dari 1000 rumah warga. Dari warga yang biasa nongkrong di pos ronda saya tahu, ternyata petugas angkut sampah pun tidak mau mengambil yang berserakan itu. Karena sempat ada keluhan dari Dinas Pariwisata akan lokasi itu yang sampahnya berserakan. Bak sampah tersebut sempat di letakan di dalam halaman taman dan pagarnya dikunci. Beberapa orang memutuskan tetap membuang kantong-kantong itu di tempat biasa bak itu berada, barangkali baknya sedang diangkut sebentar. Dan ternyata tetap bertumpuk. Bak tersebut akhirnya ada lagi, hilang lagi, ada lagi, hilang lagi. *** Kompos di rumah Buya dibuat oleh anak perempuannya. Sehabis memotong sayur dan masak ia langsung memasukan sisanya ke botol kompos tersebut. Selama satu bulan ia mengamati botol bening itu merubah sisa-sisa sayur seperti menjadi tanah, cairan, dan menjadi tempat hidup larva. Cairan yang semula dikira menimbulkan bau busuk, ternyata hanyalah bau yang belum biasa kita cium. Di rumah lain, Si Om, seorang guru sekolah SMP, menyambut kami dengan ramah dan seolah tak sabar menanyakan sesuatu. Ia heran melihat botol kompos yang juga kami titip di Rumah Uni Keke, di sebelah rumahnya,

21


lebih cepat hancur dan muncul belatungnya ketimbang yang ia buat. Ia memprediksi sisa kulit jeruk yang ia masukan ke dalam botol tadi lah penyebabnya. Ia membuat analogi sendiri, cairan kulit jeruk itu perih kalau terkena luka di kulit manusia, apalagi ketika mengenai belatung. Sementara di rumah Uni Keke sebagian besar adalah sisa buah seperti pepaya dan sayur umumnya. Lain lagi proses Bu Ranti, ia mengisi dengan cabe dan proses hancurnya lebih cepat, lebih cepat menjadi hitam dan beberapa sudah ia pakai. *** Proses kuratorial proyek-proyek Daur Subur yang digagas bersama Komunitas Gubuak Kopi, pada dasarnya berupaya merujuk, mereproduksi, dan membingkai sejarah dan memori-memori kolektif warga di sebuah lokasi. Menyusul keputusan-keputusan untuk membingkainya dengan medium yang relevan. Bingkaian tidak sekedar “di sini dan sekarang” tetapi juga menggali potensi-potensi diplomatik kesenian, kolektif, dengan persoalan kultural yang lebih kompleks di sebuah lokasi. Sehingganya eksistensi kolektif lokal dan modal (sosial) nya juga menjadi bagian yang penting untuk dihitung dan didukung. Dalam konteks proyek-proyek Daur Subur, seniman bekerja sebagai fasilitator sekaligus sebagai organizer. Kerja-kerja artistik seniman bertumpu pada kepekaan ide tentang dan seniman terhadap relasi-relasi yang mungkin terbentuk antara diri mereka dan warga, tentang bagaimana hubungan itu berjalan secara timbal balik, mengaktivasi ruang dan menghadapi kemungkinan-kemungkinan dalam segala aspek gotong royong. Kegiatan ini dilakukan tanpa mengandalkan uang. Kita percaya kerja-kerja kolektif ini bukanlah hal asing bagi warga, walau dalam sejumlah konteks lokasi orang-orang mulai meninggalkan itu. Penting bagi seniman untuk mampu mengaktivasi semangat ini bagi dirinya ataupun setiap orang yang ditemui, serta menularkan ide-ide yang spekulatif. Beberapa seniman yang kita pilih, kita percaya memiliki kemampuan itu. Tidak jarang setelah pulang dari lapangan mereka membawa banyak makanan, tanaman, dan lainnya. Pada proyek Circumstance ini, Daur Subur secara spesifik merespon lokasi Kampung Jawa. Sebuah kelurahan di Kota Solok, yang diisi dan dihidupi oleh beragam etnis, seperti Jawa, Minang, Batak, dan Keling (India) yang

22


kemudian disebut warga dengan istilah JAMBAK. Kehadiran beragam etnis ini, kesadaran bermedia, situasi kebudayaan global dan nasional, dan unsur lainnya turut mempengaruhi wajah kampung kecil di perbukitan Sumatra ini. Menarik melihat Kampung Jawa sebagai lokasi dan subjek yang dinamis. Yang terus berubah dan tarik ulur bersama elemen yang berpikir dan bergerak di dalamnya. Proyek ini mengundang sejumlah anak muda dari beragam latar disiplin untuk memahami dan mengartikulasi kesalingkaitan itu melalui peristiwa kecil di Kampung Jawa; menggali pengetahuan lokal, baik itu tentang pertanian yang aman, pengobatan, narasi spiritual, sirkulasi sampah dan air, serta melakukan pertemuanpertemuan ke rumah-rumah warga. Pertemuan-kunjungan kecil dan pertukaran gagasan antara seniman dan warga menjadi aktivitas penting dalam proyek ini. Melakukan pendekatan kepada warga dengan memakai cara atau perspektif warga, menghubungkan inisiatif-inisiatif, serta memaknainya secara spiritual dan sebagai sesuatu yang memang penting untuk kita lakukan bersama. Saling berkontribusi serta bernegosiasi soal gagasan seni apakah benar ia seharusnya tidak fungsional dan bagaimana ia dapat bekerja di kehidupan sehari-hari. Mengutip pernyataan Otty Widasari; diskusi soal itu telah sampai pada titik ambiguitasnya, sebab biar bagaimanapun seni hadir memberi fungsi keindahan dan mengakselerasi pikiran-pikiran tertentu bagi manusia dan kehidupan (Seni di Batas Senen, 2013). Jika kerja-kerja ini bisa dilihat sebagai praktek pendampingan masyarakat atau pemberdayaan, maka seperti yang dikutip Manshur Zikri dalam Zimmerman (2000) bahwa orientasi pemberdayaan ialah menciptakan perubahan sosial dengan mengarahkan perhatian terhadap proses adaptasi dan peningkatan kompetensi. Termasuk menggeledah aspek-aspek positif yang ada dan memperbaiki aspek negatif (Manshur Zikri, 2016). Pemberdayaan juga berorientasi bahwa anggota masyarakat yang terlibat di dalamnya harus memiliki peran aktif dalam proses perubahan itu, tidak hanya dalam pelaksanaan sebuah proyek, tetapi juga dalam menetapkan agenda. Hal ini berarti bahwa di dalam diri individu, kelompok (organisasi), dan masyarakat, harus terdapat suatu kesadaran atas orientasi-orientasi tersebut, atau paling tidak sesuatu yang memicu kesadarannya. Dalam konteks Daur Subur, teman-teman muda dan para tetangga menjadi counter

23


kebijakan pemerintah untuk masyarakatnya menjadi penting. Mengolah pengalaman-pengalamannya dan modal sosial yang dimiliki dalam rangka memberdayakan dirinya sendiri. Komunitas Gubuak Kopi melihat intervensi seni dapat mengisi kebutuhan tersebut. Bahwa kesenian memungkinan seseorang untuk berpikir secara berbeda, membuka peluang imajinasi, olah pikir yang fleksibel, dan menawarkan sarana ekspresi diri akan harapan. Konsistensi dengan kompleksitas dan integritas pengalaman sehari-hari, sehingga ia berpotensi menjadi alat yang kuat untuk membangun kompetensi seseorang, dan dapat memobilisasi ragam sumber daya internal dan eksternal (Manshur Zikri, Pemberdayaan Apakah itu?, 2016). Kesadaran di atas turut melatarbelakangi penjelajahan estetika dan gagasan kuratorial yang kami kerjakan di Komunitas Gubuak Kopi. Sejak berdiri pada tahun 2011, organisasi ini bekerja mengembangkan kesadaran akan kebudayaan lokal melalui kerja media. Kemudian pada tahun 2013, Gubuak Kopi secara aktif mengembangkan kegiatan yang berbasis media, sebagai alternatif dalam menyikapi perkembangan media itu sendiri. Pada 2017 Gubuak Kopi, mengembangkan kegiatan lokakarya literasi media berbasis komunitas yang mengangkat isu-isu lokal sebagai topik utamanya, mengembangkan praktik seni sebagai media dalam studi kebudayaan lokal, serta mengupayakan distribusi (pemerataan) pengetahuan tentang media itu sendiri bersama komunitas-komunitas lokal di Sumatra Barat. Dalam hal ini Gubuak Kopi juga meyakini seni sebagai metode stategis untuk menggugah suatu keadaan sosial masyarakat agar lebih peka terhadap kebudayaan. Dalam konteks ini, kita melihat bahwa seni adalah media. Gagasan literasi media (media literacy) yang diusung dalam setiap pembekalan proyek tidak hanya terbatas pada upaya mengajak melek menanggapi fenomena media massa, atau semata kritis terhadap arus informasi, tetapi lebih daripada itu. Literasi media yang dimaksud mencakup segala hal yang dapat dilihat sebagai peluang untuk menata dan mengelola kepentingan-kepentingan umum milik masyarakat, demi mencapai kesetaraan di segala ranah kehidupan. Dan seni, baik secara gagasan maupun praktik, adalah sarana sekaligus arena yang mampu memberikan spekulasi-spekulasi tertentu bagi kita dalam membaca

24


kemungkinan-kemungkinan baru untuk mengubah keadaan. Melalui media, wacana itu dapat diamplifikasi dan dilipatgandakan. Para partisipan diundang untuk melakukan riset dan residensi singkat di Kelurahan Kampung Jawa. Selama 3 minggu, para seniman menginisiasi pertemuan-pertemuan kecil bersama tetangga, ataupun berkolaborasi dengan lingkungan sekitar dengan menerapkan protokol kesehatan. Menarik menyimak seniman partisipan dan warga saling bertukar gagasan. Aktivitas-aktivitas produksi dari keragaman latar belakang pun, termasuk seniman, tetap diapresiasi warga. Kembali mengutip Otty Widasari, “Walaupun kemudian produksi-produksi tersebut tetap harus masuk ke dalam ekslusivitas untuk bisa dilihat sebagai ‘seni’ karena harus ada orang bernama ‘seniman’ yang membingkainya dengan kepekaan subjektivitasnya, tapi sadarkah mereka, bahwa mereka mendapatkan itu dari masyarakat?”

Solok, November 2021

25


26


27


Fungsi Baru Amelia Putri

M

enjadi partisipan residensi Daur Subur kali ini membuat saya mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang kami lakukan saat Lokakarya Daur Subur bulan Juni 2020 lalu. Bagaimana kami berinteraksi dan bertemu hal-hal baru di kelurahan Kampung Jawa, Solok, Sumatera Barat ini. Saat itu, kami sempat menyemai bibit-bibit ke dalam pot yang diletakkan di saung depan Rumah Tamera, markas Komunitas Gubuak Kopi. Sebelum menanam bibit, kami menamai pot masing-masing sesuai nama bibitnya, melubangi pot mungil dari gelas-gelas plastik bekas minuman, mengisinya dengan tanah (Daur Subur Soil) yang diproduksi Komunitas Gubuak kopi, kemudian menyiramnya. Saat tanaman selesai disiram dan disusun berdasarkan nama, kami berdoa bersama agar bibit yang disemai tumbuh subur dan berkontribusi pada ruang hidup kita. Hal baru yang saya temui di sini, melihat kawan-kawan Gubuak Kopi begitu intens dan penuh perhatian terhadap tanaman hingga mempraktekkan cara-cara spiritual seperti mendoakannya. Hal yang sering luput bagi saya saat menanam tumbuhan. Selama lokakarya dan residensi, kami diajak bersilaturahmi dengan tetangga sekitar Rumah Tamera. Menemui Buya Khairani, seorang warga yang kemudian juga dikenal sebagai tokoh masyarakat kampung ini. Memiliki banyak keahlian membuatnya tetap produktif di usia senja dan juga senang bergaul dengan anak muda. Selain ke rumah Buya Khairani,

28


kami juga berkunjung ke rumah Pakde Sutikno yang dipercaya sebagai manusia keramat, punya berbagai macam tanaman obat di pekarangan rumahnya serta pemilik tambak ikan berhektar-hektar luasnya. Kemudian yang sering saya temui Ibu-ibu pemilik usaha rumahan yang mampu membuka lapangan kerja untuk tetangganya. Ibu Leni yang menjadi salah satu pengusaha Karak Kaliang atau snack 88 di Kampung Jawa. Dan masih banyak lagi tetangga Rumah Tamera yang saya kenal selama mengikuti agenda Daur Subur ini, termasuk Pak RW dan Pak RT. Daur Subur sendiri merupakan platform yang diinisiasi Gubuak Kopi sejak 2017 lalu. Mengarsipkan dan memetakan kultur masyarakat pertanian khususnya wilayah Solok. Baik dalam segi kesenian dan kebudayaan, praktik-praktik pertanian, perilaku dan inisiatif warga, keterhubungan sikap dan aktivitas, khususnya di kelurahan ini. Menyoroti inisiatif warga dalam menghadapi persoalan di sekitar lingkungannya, seperti pengelolaan sampah hingga tanaman di pekarangan rumah warga. Dalam pandangan saya, ini merupakan salah satu metode kawan-kawan Gubuak Kopi menjadi bagian dari warga itu sendiri. ***

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) wilayah Solok berada di kampung Jawa, dengan begitu kampung ini menjadi sangat dekat dengan isu dan persoalan sampah. Seperti cerita kawan-kawan di Gubuak Kopi, bahwa di suatu kesempatan, warga pernah berkumpul dengan beberapa anggota DPRD Kota Solok. Sebagian besar, warga menyampaikan keluhannya pada pengelolaan sampah di sekitar Kampung Jawa. Lokasi Rumah Tamera yang tidak begitu jauh dari TPA sebenarnya strategis untuk melihat interaksi warga sekitar dan perlakuannya terhadap sampah. Di Lokakarya Daur Subur sebelumnya, kami mengunjungi taman-taman di Kampung Jawa, salah satunya Taman Pramuka. Saya melihat banyak sampah bertebaran di pinggir jalan, yang lokasinya tidak jauh dari bak sampah. Lalu apakah warga Kampung Jawa tak merasa terganggu dengan tebaran sampah di jalanan? Atau masalah sampah hanya problematika segelintir orang?

29


Di sisi lain, di sekitar kawasan TPA, saya melihat ada taman yang dinamai Taman Rongsokan. Sebuah taman yang terdiri dari barang-barang bekas. Seperti bak mobil bekas yang kemudian menjadi tempat duduk layaknya halte, tutup-tutup tong sampah yang digantung menjadi penghias taman, gilingan padi yang menjadi pot bunga, jua kursi roda yang menjadi pot untuk tanaman yang besar. Jika diperhatikan dari jarak dekat, kita bisa melihat bahwa undakan taman ini terdiri dari sampah yang tidak bisa terurai sehingga menjadi bukit yang kemudian ditanami rumput berbunga. Ini bisa jadi salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi masalah sampah di Kampung Jawa. Berkaca ke taman rongsokan sepertinya bisa menjadi acuan bagi warga Kampung Jawa, untuk tidak merasa geli terhadap sampah yang mereka hasilkan sendiri. Malah seharusnya bisa mengelola sendiri dan mengubah fungsi sampah menjadi suatu yang bermanfaat. Pada masa akhir residensi ini, Pendekar Daur Subur mempersiapkan sebuah pameran yang diberi tajuk Circumstance. Pada pameran ini kami menampilkan hasil dari upaya kesalingkaitan yang tercipta atas interaksi warga Kampung Jawa. Sebelumnya kami bersama beberapa tetangga Rumah Tamera berinisiatif memisahkan sampah kering dan basah dari dapur rumah. Hal ini menjadi pembelajaran bagi kami, peserta residensi Daur Subur. Selain berkeliling mengobrol dan berinteraksi langsung dengan warga sekitar, saya juga menjadi lebih sadar untuk konsisten memilah sampah dapur dan memanfaatkannya. Saat beraktivitas di dapur Rumah Tamera bersama kawan-kawan, temanteman selalu memisahkan sampah kering dan basah. Metode ini efektif untuk membantu mengurangi bau tak sedap di dapur. Selain itu, kebiasaan ini juga menjadi lahirnya inisiatif untuk mendaur ulang sampah yang telah dipisahkan tadi. Di Circumstance, sampah dapur yang diolah menjadi kompos cair sementara sampah kering seperti botol plastik diolah menjadi batako plastik. Upaya mengelola sampah kita sendiri. Pak El, tetangga Ketua RT II Bang Haris, salah satu warga yang mau membuat kompos cair di rumahnya bersama teman-teman Komunitas Gubuak Kopi. Beliau yang awalnya mengkritisi kami saat mengantar wadah kompos, ternyata telah melakukan langkah progresif untuk memilah sampahnya sendiri. Saya dan teman-teman yang saat itu mengantar wadah kompos,

30


melihat sendiri bagaimana Pak El kemudian menyediakan tong sampah khusus untuk sampah kering. Semenjak Komunitas Gubuak Kopi mengajak Bu Ranti, istri Pak El untuk menyimpan sampah dapurnya di wadah kaca beberapa bulan lalu, mereka jadi tambah bersemangat dalam memisahkan sampah. Beberapa kompos tentangga ini juga dipamerkan oleh Komunitas Gubuak Kopi di Indonesian Contemporary Art and Design (ICAD). “Kami sudah memisahkan sampah kering dan basah, tapi ini karena wadah sampah dapurnya tidak ada makanya sampahnya tak terkumpul”. Ujar Pak El, saat kami melihat-lihat dapurnya. Meski sebenarnya Pak El dan sejumlah warga penerima wadah kompos ini tidak begitu peduli terhadap kandungankandungan kimia/biologi apa yang ada pada kompos cair tersebut, namun Pak El punya kesenangan untuk belajar mengelola sampah dapurnya. Sampah dapur yang dikumpulkan akan menghasilkan pupuk cair dan padat. Pupuk cair sendiri diperoleh dari pembusukan sisa-sisa bahan makananan, kotoran, dengan bantuan mikroorganisme. Seperti Em4 sebagai pemicu terjadinya metabolisme dan menghasilkan cairan. Sementara pupuk padatnya terbentuk dari perubahan bahan-bahan sisa yang melebur satu sama lain, menjadi tanah, dan tidak lagi berbau. Kompos cair bermanfaat untuk tanah dan tanaman. Bagi tanah, kompos cair berguna untuk meningkatkan kesuburan tanah, menjaga kelembaban tanah, memperbaiki struktur dan kualitas tanah, juga memperbaiki kimia dan biologi tanah. Bagi tanaman, kompos cair bisa mengatasi defisiensi unsur hara, meningkatkan daya tahan tanaman dari serangan hama dan kekeringan, merangsang pembentukan cabang, bunga dan buah, juga meningkatkan vigor tanaman sehingga batang lebih kokoh dan kuat. Memperbaharui Fungsi

S

ampah merupakan material sisa yang tidak diinginkan dari setiap berakhirnya suatu proses. Sampah berdasarkan material penghasilnya terdiri dari: organik, anorganik, dan sampah B3. Pada residensi kali ini, kami mengubah sampah organik menjadi kompos cair dan sampah anorganik menjadi “batako plastik”. Fungsi baru sampah dapur yang berbentuk kompos cair sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut. Berdasarkan penelitian akademisi IPB tahun 2021 pada artikel alinea.id, Indonesia termasuk negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia, bahkan mencapai hingga

31


5000 ton setiap harinya. Sebuah angka yang fantastis dan anomali sekali melihat kenyataan di saat masih banyak orang yang merasakan kelaparan setiap harinya.1 Demikian juga halnya dengan pengolahan batako plastik yang bahanbahannya terdiri dari sampah botol plastik bekas minuman. Ada juga batako yang berbahan dasar tutup botol galon berwarna biru. Bahan-bahan tersebut dijemput dan dikumpulkan, juga sebagian disumbangkan dari tempat air isi ulang yang dekat dari Rumah Tamera. Proses pembuatan batako plastik juga cukup berbahaya, mengingat pengolahan menggunakan kompor dan melelehkan plastik membuat senyawa karsinogen terhirup. Berdasarkan penelitian dari LIPI Jakarta, proses pembakaran sampah plastik menghasilkan dioksin jika dibakar pada suhu rendah, sehingga harus dibakar pada suhu diatas 600 derajat. Dioksin sendiri merupakan senyawa kimia yang ketika masuk ke dalam tubuh bisa berpotensi menjadi racun dan mengganggu kerja organ. Aktivitas membakar sampah dari PVC, kertas, sampah medis, dan plastik sekali pakai merupakan salah satu contoh kontaminasi dioksin yang sering kita temui sehari-hari.2 Proses pembuatan batako yang beresiko ini tentu harus menggunakan protokol yang aman. Pada aktivitas residensi ini ada Badik, Daboy, dan Bang Dian menggunakan masker respirator, masker ini berfungsi untuk menyaring udara agar tidak terhirup racun yang dihasilkan dari proses pembakaran tadi. Karena selain melelehkan plastik, kita juga harus mencetaknya agar bentuk batako sempurna persegi panjang. Dalam proses pembuatannya kita butuh kompor, wadah lelehan, dan alat cetak. *** Hasil daur ulang dari sampah organik dan anorganik yang dilakukan selama tiga minggu ini kemudian menjadi bahan pameran di ujung agenda residensi. Pameran Circumstance terselenggara oleh Galeri Nasional Indonesia dan Komunitas Gubuak Kopi, serta dukungan dari pihak Direktorat Kementerian 1 IPB: Indonesia penghasil sampah makanan terbesar di dunia, Silvia Nita Nur Aryanti https://www.alinea.id/nasional/ipb-indonesia-penghasil-sampah-makanan-terbesar-di-dunia-b2czB91GI (diakses pada November 2021) 2 LIPI: Pembakaran plastik tak sempurna dapat bahayakan lingkungan, Senin, 18 November 2019, https://www.antaranews.com/berita/1169224/lipi-pembakaran-plastik-tak-sempurna-dapat-bahayakan-lingkungan (dikases pada november 2021)

32


Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pameran ini juga agenda dari Kurasi Kurator Muda yang diselenggarakan Galeri Nasional Indonesia, Albert Rahman Putra selaku kurator pada pameran Circumstance ini, juga merupakan salah satu dari dua kurator yang terpilih mengadakan pameran di akhir agenda. Dalam pameran kali ini terdapat beberapa tempat yang memajang hasil recycle dari sampah, diantaranya; Bungo Rayo, Legaran, dan Botol Doa. Kita awali dengan membahas Botol Doa, botol yang berisi kompos cair ini bertuliskan sajak-sajak doa pengharapan untuk kompos agar kelak bisa menyuburkan tanaman. Berbicara mengenai pupuk atau kompos, sebenarnya kita juga berbicara mengenai ruang hidup. Sebagaimana kompos yang sangat dibutuhkan untuk nutrisi tanaman. Selain terbentuknya warga dengan memiliki kompos cair olahan pribadi, lingkungan juga terhindar dari sampah-sampah dapur yang tidak langsung terurai. Kemudian ada Bungo Rayo yang dikelilingi oleh batako plastik, disusun sedemikian rupa menyerupai candi kecil untuk sebuah bunga. Bungo Rayo merupakan salah satu bunga yang memiliki banyak manfaat khususnya bagi masyarakat di kelurahan Kampung Jawa, sering digunakan untuk minuman herbal dan menunjang kesehatan. Kehadiran bungo rayo dalam pameran ini terhubung dengan sebuah taman kolektif yang diinisiasi Gubuak Kopi bersama tetangga yang akan dikelola secara bersama. Taman kolektif ini sudah diinisiasi sejak bulan Juni 2021, berlokasi di samping Posyandu RT II Kampung Jawa. Pada pembukaan pameran, kurator dan Buya Khairani, salah seorang tokoh setempat mengajak para pengunjung berkeliling di sekitar Bungo Rayo, mengapresiasi para tetangga dan berdoa untuk aktivitas kita semua dinilai ibadah serta berkontribusi untuk ruang hidup yang lebih baik. “Batako Plastik” yang dibuat dari limbah plastik tetangga dan yang kita kumpulkan dari beberapa titik. Selain “Batako Plastik” bahan dan olahan yang sama juga digunakan menjadi beberapa karya instalasi patung. Ia adalah instalasi “Legaran”, berupa patung yang dibentuk dari batako plastik dengan lengan dan kaki kawat. Menghadirkan bentuk-bentuk gerak kesenian lokal seperti tarian, silat dan aktivitas masyarakat pertanian di wilayah Solok. Legaran sendiri berasal dari kata balega, yang dalam

33


kesenian randai sebuah tarian yang mengikuti arah gerak searah jarum jam. Legaran sendiri menunjukkan konteks kesalingkaitan yang coba ditampilkan partisipan pada pameran Circumstance. Selain olahan sampah plastik, di ruang pamer itu juga tertata sisa-sisa bahan plastik yang diolah oleh teman-teman untuk menjadi “Batako Plastik”. Verdian, salah seorang seniman menatanya menjadi sebuah instalasi yang ia sebut “Irama Daur Subur”, mengkritisi polusi sampah plastik di sekitar dengan tidak marah-marah. Seperti yang diantarkan kurator pada saat tur, sampah plastik itu polusi lingkungan dan polusi visual, aktivitas menyusun ini seakan mengajak kita menertawakan persoalan itu sebagai oto kritik. Suasana ini semakin lengkap dengan tata ruang di halaman belakang Rumah Tamera itu, “sampah” adalah nilai untuk benda sisa yang belum kita perbaharui fungsinya atau memperpanjang usianya. “Fungsi Baru” itu juga menjadi judul dan teks yang muncul dalam mural Badik ukuran 4x4 meter, salah seorang partisipan residensi pada proyek ini. Fungsi baru atau memperbaharui fungsi benda menjadi aktivitas yang paling dekat bersama kita selama proses residensi ini.

Solok, November 2021

34


35


36


37


Babak-babak yang tak Usai Aza Khiatun Nisa

B

arangkali hidup adalah tentang pertandingan yang tak perlu dimenangkan. Biarkan kompetisi ini cukup menjadi tanya, lalu mencari jawabnya. Dan sesekali menyusun pertanyaan, “apa sebenarnya yang sedang dicari oleh manusia dalam hidupnya?”, sedang keberadaannya di bumi saja tak sepenuhnya atas keinginannya. Entah karena ia lupa perjanjian dengan Tuhannya atau memang ia tak pernah benar-benar ingin untuk ada. Manusia kerap kali memanipulasi eksistensi dirinya hanya karena ketidaksenangan pada apa yang ia peroleh saat ini dan kemudian berucap, “Hidup ini tidak adil”. Perasaan semacam inilah yang dibentuk oleh hasrat “pencarian” yang gagal dalam perjalanan. Jangan mencari, karena kalau mencari kita palingan hanya puas ketika menemukan apa yang kita cari. Padahal perjalanan yang akan kita lewatkan akan membawa kita untuk menemukan banyak hal. Menemukan hati yang tak pernah dirasakan, menemukan kasih yang tak pernah dikisahkan, menemukan adegan yang tak pernah dirancang; pada babak-babak yang tak akan pernah diselesaikan. Jika perjalanan kali ini ialah drama yang akan dipentaskan, rasanya perlu bagiku untuk menuliskan babak-babak pada alur cerita tentang kisah sekelompok manusia yang berusaha untuk memberikan dampak bagi orang-orang di sekitarnya.

38


Babak 1: Datang untuk tidak pulang Sabtu dan Minggu adalah hari-hari bebas yang paling ditunggu oleh mahasiswa, karena tidak ada kelas dan bisa diisi dengan kegiatan-kegiatan yang positif, baik untuk menambah pengetahuan, jaringan pertemanan, bahkan hanya sekedar healing. Atau mengistirahatkan otak yang bekerja tanpa henti beberapa waktu lalu akibat kuliah dan tugas-tugasnya. Banyak hal yang bisa dipilih oleh mahasiswa untuk dilakukan ketika weekend datang. Aku memilih untuk menerima ajakan Amelia Putri, salah seorang teman yang sering bertemu dalam beberapa proyek, ia biasa kusapa Amel. Awal pertemuan dengan Amel ialah saat aku bergabung di Komunitas Muda Literat pada tahun 2019. Komunikasi yang terus dijaga, membuat aku dan Amel kembali bertemu di Komunitas Dangau Studio. Di sanalah kami mendiskusikan banyak hal, bahkan bagi kami ini merupakan pertama kalinya untuk terlibat pada proyek-proyek kesenian. Latar belakang yang bukan seniman membuat kami merasa awam, sehingga mendorong kami untuk lebih aktif dan mencari tahu banyak hal tentang seni serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Dua hari sebelumnya, Amel mengajakku untuk mengikuti diskusi film yang diselenggarakan oleh Komunitas Gubuak Kopi di Solok, sebagai perwakilan dari Komunitas Dangau Studio. Setelah berdiskusi dengan founder dan menimbang banyak hal, kami pun berangkat ke Solok. Sore hari di tanggal 16 Oktober 2021, kami tiba di Rumah Tamera – Solok Creative Hub. Ini merupakan kali kedua bagi Amel karena beberapa bulan yang lalu Amel terlibat dalam lokakarya Daur Subur ke #6. Sebuah platform studi kebudayaan masyarakat pertanian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak 2017. Berbeda denganku karena untuk pertama kalinya aku tahu dan berkunjung ke Komunitas Gubuak Kopi, meskipun sudah beberapa kali disebut oleh Komunitas Dangau Studio. Tidak berhenti pada diskusi film, Amel menawariku untuk ikut menjadi volunteer pada residensi Daur Subur. Ia menyampaikan bahwa residensi ini akan memakan waktu selama satu minggu dan kita akan menetap di Rumah Tamera untuk memudahkan segala aktivitas. Mengingat minggu ini cukup tenang dan tidak ada kegiatan, aku pun menerima tawaran Amel

39


menjadi residen. Hanya semalam di Padang, aku kembali lagi ke Solok. Tepat di hari kelahiran Rasulullah, aku tiba di Rumah Tamera ketika temanteman sedang makan bersama. Waktu yang sangat tepat dan tidak boleh ditunda, aku pun ikut makan. Hari pertama bagiku mengikuti proses residensi Daur Subur, berkenalan dengan orang-orang baru dan latar belakang pendidikan yang sangat berbeda denganku. Mereka datang dari berbagai daerah; Padang, Padang Pariaman, Pekanbaru, Jakarta, dan Palu. Aku pun berkenalan dengan semua partisipan, meskipun sebenarnya sudah berkenalan saat diskusi film. Banyak orang-orang luar biasa yang kutemui di proyek ini, yaitu Albert, Badri, Biki, Boy, Dika, Irvan, Kifu, Zekal, Alfi, Faisol, Farah, Sarah, Loriz, Ahlan, Nanda, Teguh, Verdian, Dyan, Dedet, Cico, Panji, dan Hafiz. Sore hari nan ramah, semua partisipan beraktivitas. Ada yang sedang menggunting botol plastik, memasak botol plastik sambil bercerita tentang apapun. Botol plastik yang diolah ini akan menjadi batako plastik. Aku sempat bertanya tentang motivasi Komunitas Gubuak Kopi menanggapi isu sampah di lingkungan sekitar. Katanya mereka melakukan ini karena termotivasi dari audiensi warga dengan pejabat daerah. Keterlibatan warga membuat Komunitas Gubuak Kopi memiliki hubungan harmonis dengan lingkungan di sekitarnya, seperti Ketua RT, Ketua RW, serta tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Kami pun berkunjung ke rumah ketua RT untuk bersilaturahmi sekaligus

melaporkan beberapa warga baru yang akan menetap di RT II untuk sementara waktu. Diluar dugaan saya bahwa Ketua RT II, Haris Aldhino masih cukup muda yaitu 31 tahun. Di depan rumahnya kita bercerita banyak hal, ternyata Pak Haris juga mengikuti perkembangan program-program yang ada di Komunitas Gubuak Kopi. Terlihat jelas dari obrolan beliau dengan Biki dan teman-teman lainnya. Perannya sebagai Ketua RT mengharuskan ia memahami pola yang ada di masyarakat. Ia menyampaikan bahwa audiensi dengan pejabat daerah menjadi awal kepedulian masyarakat terhadap sampah rumah tangga. Melihat masyarakat yang mulai peduli, dengan cepat Komunitas Gubuak Kopi menanggapi isu tersebut. 2019 menjadi tahun pertama produksi

40


kompos berbahan sampah organik rumah tangga, seperti dedaunan, sisa sayuran, dan buah-buahan busuk. Keberhasilan pada percobaan mandiri mendorong Komunitas Gubuak Kopi menyebarkan virus positif kepada masyarakat. Komunitas Gubuak Kopi memfasilitasi beberapa warga dalam pengomposan dengan menyediakan wadah bekas ice cream dan larutan EM 4. Terlihat sederhana namun secara tidak langsung sangat berdampak untuk lingkungan sekitar. Seandainya banyak kepala yang memikirkan hal ini, sebagaimana Komunitas Gubuak Kopi melakukan pergerakan. Halnya mungkin Indonesia tidak akan lagi menjadi negara dengan penyumbang sampah terbesar kedua dunia. Kita terlalu asing pada hal-hal yang sebenarnya usang. Tidak hanya pengomposan, mayoritas masyarakat di RT II memiliki taman mini yang berada di depan atau di samping rumah. Minimal mereka menanam tanaman obat untuk keperluan pribadi. Beberapa juga ada yang menanam bahkan mengoleksi tanaman hias. Salah satunya ketua RW VI, Riko Susanto. Beberapa tanaman yang ada di Rumah Tamera berasal dari rumah Pak RW. Menjelang magrib kita menyempatkan ke rumah Pak RW. Sayangnya kita tidak bertemu dengan Pak RW karena beliau dinas di BPNB Kota Solok. Kita disambut oleh istri Pak RW. Bersamanya kami bercerita banyak hal sambil berkeliling halaman rumah yang penuh dengan tanaman-tanaman. Bu RW bercerita bahwa saat ini suaminya memiliki hobi baru yaitu membonsai tanaman. Awalnya Pak RW membawa batang-batang tanaman yang besar, istrinya mengira ini hanyalah sampah yang tidak berguna. Tapi Pak RW tak ingin menjelaskan banyak dan membiarkan istrinya larut dalam persepsi yang tidak tepat. Ia berusaha untuk membuktikan bahwa yang dikerjakannya adalah sesuatu yang fungsional dan memiliki nilai estetika. Tak perlu waktu lama, beberapa batang mulai terlihat berdaun, berarti Pak RW berhasil dalam membonsai. Istrinya tak lagi banyak bicara, justru terkesima pada apa yang dikerjakan Pak RW. Kami juga masuk ke rumah untuk melihat akuarium yang dibuat sendiri oleh Pak RW. Gabus yang biasa digunakan untuk meletakkan ikan oleh pedagang ikan di pasar, disulap oleh Pak RW

41


42


43


menjadi akuarium dengan lapisan semen dan ornamen-ornamen sederhana yang memikat. Istri Pak RW menjelaskan bahwa suaminya telah membuat banyak akuarium dan dibeli oleh rekan-rekan kerjanya. Uniknya setiap ada yang membeli, Pak RW selalu menanyakan kesediaan dijual atau tidak kepada anaknya terlebih dahulu. Tak bermaksud lain, hanya saja Pak RW ingin menumbuhkan rasa kepemilikan bersama agar ada tanggung jawab dalam menjaga dan merawat apa yang sudah dibuat oleh Pak RW. Memang benar sesuatu yang dikerjakan karena kesenangan dan dikerjakan dengan ketulusan, pasti akan memberikan kesan yang sangat afirmatif dalam diri seseorang, ditambah lagi jika ini bersifat material. Tak terasa hari pun mulai gelap dan kami kembali ke Rumah Tamera untuk mengerjakan aktivitas lainnya. Malamnya kami melangsungkan makan bajamba di pendopo Rumah Tamera. Ada hal lain yang kurasakan. Aku lupa kapan terakhir kali hal ini kulakukan. Yang ku tahu pasti, makan bajamba menjadi salah satu cara suatu kelompok dalam merekatkan hubungan antar anggota. Penyajian nasi dan lauk rumahan menciptakan kenyaman yang seringkali tidak disadarkan. Ada keterlibatan tanganku dalam proses memasaknya. Sebut saja ini pertama kali aku senang di dapur yang diikuti hasrat-hasrat untuk terus melakukannya. Seperti ada suatu hal yang baru muncul dalam diriku: keinginanku untuk mendalami kemampuan di dapur. Perenungan hangat dibalut dinginnya udara Kota Solok, aku tak pernah

mengingkari kedatanganku di Rumah Tamera. Bahkan kata-kata pulang tak ingin mengiang di otakku. Perlu kusampaikan bahwa ada beberapa kesempatan “datang” tanpa perlu disertai “pulang”. Babak II: Berjalan untuk tidak mundur Kita telah berjalan beberapa langkah. Kita telah maju pada beberapa titik: untuk tidak mundur hanya karena merasa terusik. Nikmati proses dan menyadari bahwa ini adalah tahapan yang tidak bisa dilangkahi. Jalanlah sebagaimana arahnya, tapi arah itu sendiri kita yang merencanakannya. Tak seorang pun merancang ketidakbaikan perjalanan hidupnya. Kalaupun nanti ada kemunduran yang tidak pernah diinginkan, barangkali aku harus

44


belajar dari sebuah ketapel, sebagaimana diharuskan menarik ke belakang untuk terpental jauh ke depan pada tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Sekiranya itulah pandangan hidup yang didoktrin oleh media kepada kita. Pikiran-pikiran kita dibentuk oleh apa yang kita amati melalui media. Tak bisa kita pungkiri bahwa media berhasil brainstorming cara berpikir kita. Pesan-pesan yang disampaikan media menjadi makanan kita setiap hari. Keberhasilan mereka merangkum dan mengomunikasikan informasi mendorong kita untuk menjadikannya sebagai kebutuhan. Pada akhirnya kita menyadari bahwa media adalah unsur penting dalam kehidupan saat ini. Mempelajari dan mengetahui banyak hal tentang media menjadi keharusan agar kita tidak dipandang awam dan gagap dalam kemajuan zaman. Fenomena ini ditanggapi oleh Komunitas Gubuak Kopi dengan melaksanakan workshop dalam rentetan residensi Daur Subur. Albert Rahman Putra menjadi narasumber, serta aku, Farah, Amel, Sarah, dan Alfi sebagai peserta. Albert membuka dengan meminta pendapat peserta terkait definisi media. Aku berusaha menjawab bahwa media adalah alat ataupun wadah. Dalam konteks ini kita bisa memberi makna dari media itu sendiri. Media sangat berkaitan dengan komunikasi. Media menjadi alat komunikasi dalam menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan. Media komunikasi yang terbatas merupakan kendala bagi seorang komunikan untuk memperoleh informasi atau pesan. Media komunikasi memiliki berbagai jenis, seperti internet, telepon, audio visual atau video, radio, dan televisi.

Dalam slide-slide materi workshop, data menunjukkan bahwa 200 juta masyarakat Indonesia mendengarkan informasi di radio. 73 % penduduk Indonesia menjadi dampak dari cara kerja media. Bagaimana akhirnya televisi dan radio menjadi media yang mudah dipercaya. Misalnya pada beberapa tahun yang silam, terjadi gerhana matahari di Indonesia. Ilmuwan meminta presiden untuk menghimbau masyarakat untuk tidak keluar rumah melalui televisi. Saat itu semua masyarakat tidak keluar rumah dan mematuhi himbauan yang disampaikan oleh presiden. Jika media bisa memengaruhi masyarakat, besar kemungkinan media bisa diberdayakan. Kita perhatikan

45


cara kerja media saat ini, terlalu banyak kepentingan-kepentingan tidak umum yang dilibatkan. Banyak orang yang mengoptimalkan kehebatan media itu sendiri. Mereka mengetahui bahwa masyarakat sudah merasa butuh pada informasi-informasi yang disampaikan oleh media. Ketika suatu hal sudah menjadi kebutuhan, maka hal itu akan diusahakan untuk mendapatkannya. Kita juga dipaparkan periodisasi media, dari abad 12 sampai saat ini. Ketika awalnya hanya berupa lukisan Bunda Maria di Italia, hingga saat ini kita bisa perhatikan bagaimana semuanya bergantung pada media. Tidak lagi lukisan dengan gambar yang statis tapi juga dengan gambar-gambar dinamis beserta suara-suara yang mendukung visualnya. Media sempat memberitakan fenomena kebakaran pada tahun 2019 di Kota Solok. Si jago merah menyerang gudang rongsokan milik Pak Mardi yang beralamat di Kampung Jawa. Saat residensi kami berkesempatan mengunjungi tempat usaha Pak Mardi. Di sana kita bisa melihat tumpukan limbah plastik yang akan diolah, seperti botol plastik, kemasan makanan, seng, dan cup botol. Pak Mardi memiliki mesin pres botol plastik untuk merapikan dan mempermudah pengemasan ketika dikirim ke Tangerang. Kami melihat langsung bagaimana mesin tersebut bekerja bahkan beberapa temanteman Komunitas Gubuak Kopi ikut terlibat dalam pengepresan. Setelah dipres, botol-botol plastik itu diikat. Satu ikatan bermassa 45-60 kg. Jika

sudah terkumpul hingga 10 ton, akan dikirim ke Tangerang. Biasanya dalam satu minggu Pak Mardi melakukan dua kali pengiriman, sehingga ada 20 ton botol plastik yang dikirim. Angka yang sangat tinggi bagiku. “Dalam sehari, kami menerima 2 ton sampah yang sudah dipilah”, ujar Pak Mardi. Dari sini aku belajar kalau sampah yang sudah dipilah bisa menjadi sumber daya yang bisa diolah. Melalui usahanya Pak Mardi berupaya untuk menjaga lingkungan hidup. Bukan berarti hal ini mendorong kita untuk terus memproduksi sampah melainkan mengajak kita untuk bijaksana dalam bersikap, terkhusus dalam menanggapi isu lingkungan hidup yang makin hari makin miris. Banyak hal yang bisa kita lakukan, seperti berkebun. Berkebun berarti menyediakan

46


ruang hijau yang penting untuk mengurangi gas rumah kaca, sehingga bisa memperlambat perubahan iklim yang kian memanas. Sejak Juni 2021, teman-teman Gubuak Kopi bersama warga membuat “taman kolektif”. Di taman tersebut kita bisa melihat berbagai jenis tanaman seperti tanaman hias, tanaman obat, dan sayuran. Sudah empat bulan lamanya sejak taman itu dibuat. Kami kembali untuk membersihkan rumput-rumput yang tidak enak dilihat juga mengganggu perkembangbiakan tanaman. Bersama-sama kami bergotong royong, ada yang mencabut rumput menggunakan tangan, menebas tanaman lain yang hanya sebagai pengganggu, dan ada yang mempersiapkan makanan. Belum usai membersihkan, aku dan Badri datang membawa nasi dan lauk. Kita makan bersama, kemudian melanjutkan pekerjaan hingga malam datang. Rasanya taman warga ini perlu diperindah dan lebih ditata lagi. Salah satu caranya adalah dengan memberi pagar. Bersama Pak RW, kami menyambangi rumah Lek Muh untuk mendiskusikan pagar nan apik bagi taman warga. Lek Muh termasuk inisiator taman warga. Kami berlarut dalam cerita-cerita yang menarik, disertai hidangan kerupuk jengkol nan sangat menggiurkan. Tak hanya membicarakan taman, Lek Muh memberikan banyak informasi terkait kuda lumping kepada kami. Ternyata Lek Muh pawang kuda lumping dan juga pengrajin properti kuda lumping. Bersama perantau asal Jawa, Lek Muh mendirikan sanggar seni pertunjukan kuda lumping. Barang tentu kita banyak yang penasaran terkait kondisi fisik penari yang memakan beling, apakah mereka tidak merasakan sakit? Lalu bagaimana dengan organ pencernaannya, apakah tidak terluka?

Aku pernah memikirkan pertanyaan ini ketika menonton pertunjukan kuda lumping di suatu daerah kawasan Bengkulu. Dan sekarang aku menemukan jawabannya, ternyata ketika bermain kuda lumping ada beberapa penari yang mabuk, itu bukanlah dirinya melainkan ada jiwa lain yang menumpangi dirinya, sehingga penari tidak merasakan kesakitan yang dipikirkan dan dibayangkan oleh penonton. Namun mereka tetap sedikit merasakan sakit ketika sadar kembali. Mungkin pertanyaan yang muncul setelahnya adalah siapa yang menumpang di dalam diri penari? Lek Muh hanya menjawab “Teman”.

47


48


49


Pawang kuda lumping bertugas untuk memanggil dan mengantar teman tersebut menggunakan cambuk. Tidak hanya cambuk, juga diperlukan sajen yang berisi berbagai jenis bunga seperti bunga melati, mawar, kantil, kenanga, serta makanan lainnya. Jika salah satu tidak tersedia bisa bisa “teman” mengamuk karena tidak dipenuhi keinginannya. Anak Lek Muh, yang berusia 10 tahun, Teguh, merupakan penari kuda lumping. Ia lihai dalam menari, memainkan cambuk, dan menggunakan pentulan (topeng yang harus digigit saat memainkannnya). Tidak hanya Lek Muh, Kampung Jawa menyimpan banyak pawang kuda lumping, salah satunya Pakde Tekno. Usai mengunjungi rumah Lek Muh, esoknya kita mengunjungi rumah Pakde Tekno. Pakde Tekno berasal dari Jawa tepatnya di Prambanan, Yogyakarta. Sore itu kita menghabiskan waktu dengan bercengkerama, sembari istri pakde mempersiapkan teh hangat dan gorengan untuk kami. Banyak hal yang diceritakan, tapi aku bisa menyimpulkan kalau pakde berusaha untuk mendeskripsikan bagaimana ia disebut sebagai wong pinter dengan kemampuannya pada ilmu tradisional Jawa, seperti “pawang” kuda lumping, memindahkan hujan, menangkap harimau, dan pengobatan tradisional. Pakde menunjukkan pakaian berwarna hitam serupa jas yang ia gunakan untuk ritual memindahkan hujan saat ada hajatan atau kegiatan lainnya. Ia juga menunjukkan sesuatu berbentuk bulat telur berwarna bening yang di dalamnya ada Semar, tokoh utama dalam punakawan di pewayangan Jawa. Aku sangat tertarik dengan segala hal yang diceritakan pakde. Terlalu asik bercerita, kami tidak sadar ternyata hari sudah petang dan adzan magrib berkumandang. Kami berpamitan untuk pulang dan aku menyempatkan diri untuk menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan perencanaanku merantau ke Yogyakarta untuk berkuliah. “Pakde, kalau aku dengar suara gamelan di sekitaran kampus UGM padahal tidak ada yang bermain gamelan itu tandanya apa?”. Pakde menjawab sambil tertawa, “Kalau di UGM berarti dekat keraton. Nahh tanyanya ke Hamengkubuwono. Kamu nggak perlu khawatir karena itu hal yang baik dan positif”. Kadang beberapa hal yang kita anggap negatif dari luar sebenarnya mengandung sisi positif yang hanya bisa diketahui ketika kita ikut

50


tergabung di dalamnya. Banyak dari kita yang mengabaikan peralihan sudut pandang semacam itu. Sebagian dari kita mungkin terlalu mengotakkan suatu alasan tanpa berusaha untuk menerima alasan lainnya. Padahal sesuatu lebih enak dipandang dalam dua sudut pandang yang sebenarnya relatif. Misalnya ketika mendengar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), hal yang paling cepat terbersit dalam pikiran kita ialah nilai-nilai negatif. Kita mengetahui kalau di lapas hanya ada orang-orang yang melanggar hukum. Orang melanggar hukum berarti tidak menegakkan kebenaran atau melakukan suatu kesalahan. Jarang kita berpikir bahwa setiap kesalahan yang mereka perbuat terkadang bukanlah keinginan dari diri mereka sendiri. Beberapa dari mereka adalah korban. Mereka tidak pernah memilih jalan untuk melangsungkan hidup dalam sekat-sekat yang memaksa mereka untuk membatasi kemerdekaannya. Mereka punya banyak alasan yang mengantarkan mereka tiba di sana. Tapi kepala kita terlalu sulit untuk menerima hal-hal yang seperti itu. Apakah pernah kita berpikir jika di lembaga pemasyarakatan banyak kegiatan positif yang dilakukan untuk mengembangkan softskills. Ada dari mereka yang ahli di bidang otomotif, berkebun, pembuatan mebel, memangkas rambut, dan melukis. Aku menemukannya di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Kota Solok. Kami berkesempatan masuk dan berkeliling lapas. Tujuan awalnya ialah untuk melihat perkembangan gambar yang dilukis oleh salah seorang warga binaan lapas. Ia didampingi oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak Tenggara Festival tahun lalu.

Sebuah festival seni jalanan dan ruang publik yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi. Di Lapas ini, waktu itu Komunitas Gubuak Kopi berkomunikasi dengan pihak lapas, agar beberapa senimannya dapat berkolaborasi dengan beberapa warga binaan, untuk membuat mural besar di lapas. Alhasil, mural selebar 32 meter dan tinggi 6 meter itu masih cerah di dinding lapas itu. Teman yang kita temui adalah ia yang masih terus menggambar sejak peristiwa Tenggara Festival dan hubungan Komunitas Gubuak Kopi masih sangat baik. Selama di lapas ia tetap melukis dan peralatannya disediakan oleh teman-

51


teman Komunitas Gubuak Kopi. Dari sini kita belajar bahwa tidak ada batasan bagi seseorang untuk terus berkarya sekalipun dalam jeruji besi yang menyintas hak-hak kita. Setiba di lapas, Verdian menghubungi Pak Rahmat, pegawai lapas. Pak Rahmat menjemput kami di luar dan mengajak kami ke kantor yang berada di dekat lapangan takraw. Seketika kami menjadi pusat perhatian bagi warga binaan, terutama aku dan Farah. Kami mengira hal ini terjadi karena warga binaan minim berinteraksi dengan perempuan, kecuali pegawai lembaga pemasyarakatan. Setelah bercerita cukup panjang dan berkeliling, Pak Rahmat sepertinya kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, kami pun berpamitan untuk pulang. Kami dibekali lima karung botol plastik yang akan dimanfaatkan untuk membuat batako plastik. Beberapa hari sebelumnya sudah dikabarkan sehinga teman-teman di lapas ikut serta dalam mengumpulkan. Babak III: Bergerak untuk tidak berhenti Hidup hanyalah pergerakan-pergerakan dari satu titik ke titik lain. Adakah sesuatu yang tidak mengalami pergerakan kecuali benda mati, bahkan benda mati sekalipun bergerak pada materi-materi yang tidak tampak. Jadi hakikat manusia diciptakan hanyalah untuk menjadi subyek dalam berbagai pergerakan yang diizinkan Tuhan. Takkan mampu jari telunjuk bergerak tanpa izin Tuhan. Memang terlihat remeh karena hanya sebatas jari. Jika suatu yang kecil saja kita anggap remeh bagaimana kita bisa menghargai pergerakan-pergerakan yang besar? Bagaimana kita bisa merancang pergerakan-pergerakan yang berdampak bagi sekitar?

Pergerakan yang sengaja dirancang untuk memberikan pengaruh pada orang-orang di sekitar, tidak hanya untuk diri sendiri. Melalui program yang belum sempat dipikirkan banyak orang. Komunitas Gubuak Kopi bergerak pada program Daur Subur dalam menanggapi isu-isu yang ada di sekitar. Bagiku ini cukup sederhana namun memberikan dampak yang luar biasa. Tiba waktunya untuk mempresentasikan apa yang telah dilakukan beberapa waktu belakangan. Pengantar kepada Galeri Nasional Indonesia sebagai penyelenggara dalam

52


program kurasi kurator muda terpilih, Albert Rahman Putra, bertajuk “Circumstance”. 2 November 2021 pukul 20.00 WIB, Pameran Circumstance resmi dibuka untuk publik. Pembukaan langsung dihadiri oleh perwakilan Galeri Nasional Indonesia, pejabat daerah, warga, dan komunitas. Pak Asikin Hasan sebagai perwakilan dari Galeri Nasional Indonesia memberikan sambutan. Nilai penting yang aku tangkap dalam penyampaian Pak Asikin ialah kenapa Galeri Nasional Indonesia memilih Albert Rahman Putra yang kebetulan dari Komunitas Gubuak Kopi. Dalam penyeleksian ini tercatat ada 58 pendaftar, namun yang menjadi peserta hanyalah dua, yakni Albert Rahman Putra dan Umi Lestari. Pak Asikin menyampaikan bahwa proyek yang dicanangkan sangat menarik dan berbeda dari yang lainnya. Seperti keterlibatan warga yang lebih dominan daripada segmentik dan pameran dilaksanakan di sekretariat komunitas, yang disulap menjadi galeri pameran nan apik. Sebagai orang yang awam terhadap pameran, aku juga memiliki pendapat yang sama dengan Pak Asikin. Otakku didoktrin bahwa pameran harus di galeri besar dan mendatangkan kolektor. Tapi tidak selamanya begitu. Bahkan dalam proses-proses residensi terjadi komunikasi yang ramah dengan tetangga adalah kontribusi yang penting untuk dihitung. Kami mendatangi rumah warga untuk bertukar informasi sehingga kami memiliki wawasan yang baru. Di sanalah letak dari pemaknaan proses yang sesungguhnya dalam mendorong pergerakanpergerakan yang diusahakan tidak berhenti guna melangsungkan lelakon pada babak-babak yang tak usai. Dan hari ini, aku sudah memasuki minggu ke-enam di Rumah Tamera.

Solok, November 2021

53


54


Visual Harvest: Catatan Pertemuan oleh Zekalver Muharam

55


56


57


58


59


60


61


62


63


64


65


66


67


68


69


70


71


72


***

73


Seperti Talempong Sahut-bersahut Farah Nabila

S

ore itu sejumlah orang berkumpul di halaman belakang Rumah Tamera. Sebuah ruang kreatif yang dikelola oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama anak muda dan kelompok kreatif di Solok. Ruang ini tengah digunakan untuk pameran presentasi proyek Daur Subur: Circumstance. Pameran ini telah dibuka pada hari sebelumnya, hingga lima hari kedepan. Selain pameran, juga terdapat beberapa rangkaian kegiatan lain seperti diskusi publik dan artist talk. Orang-orang yang datang sore ini terdiri dari anak muda, orang tua, pegawai dinas lokal, provinsi, dan pusat, mereka duduk diantara karya-karya yang merupakan bagian dari pameran “Circumstance”. Sebagian besar karya-karya di halaman belakang berupa instalasi-instalasi kain, peralatan pengolahan plastik, dan limbah-limbah plastik yang disusun secara artistik. Sebelum para pengunjung datang, kami sudah merapikan tempat untuk persiapan diskusi publik. Disusun bangku-bangku mengelilingi halaman belakang Rumah Tamera dengan fokus ke arah dapur, tempat para narasumber duduk dengan meja yang sederhana. Para narasumber antara lain Albert Rahman Putra dari Komunitas Gubuak Kopi; Ahmad Mahendra, Direktur Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi; Gemala Ranti Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatra Barat; dan Tubagus Andre, Pokja Media Baru dari Direktorat yang sama. Cuaca pada sore itu sangat cerah sehingga

74


suasana diskusi makin terasa akrab, seperti bersantai di taman. Ayangpus, kucing yang tinggal di Rumah Tamera duduk di meja narasumber dan menjadi trendsetter. Untungnya para narasumber tidak keberatan dengan keberadaan Ayangpus yang duduk di meja mereka, malah Bapak Mahendra senang dengan keberadaanya. Ketika saya ingin menurunkan Ayangpus dari meja, beliau menahannya dan mengajaknya bermain. Sebelum masuk ke bagian diskusi, para Pendekar Daur Subur menampilkan pertunjukan Talempong. Satu persatu Pendekar Daur Subur masuk ke halaman belakang Rumah Tamera, sambil memukul talempong yang mereka bawa. Masing-masing membawa talempong dengan nada yang berbeda, dari berbagai arah, melewati para audiens. Mereka terus memainkannya sambil mengitari instalasi yang berada di tengah-tengah halaman. Instalasi itu adalah bagian dari pameran Circumstance, terdiri dari susunan “batako plastik” dan di tengahnya diberi Bungo Rayo pemberian Buya Khairani, salah seorang tokoh masyarakat setempat. Lama kelamaan, nada-nada yang bersahutan itu membentuk alunan musik yang sangat enak didengar. Di pertengahan pertunjukan salah satu pemain juga melantunkan dendang, sementara pemain yang lain mengecilkan suara pukulan talempongnya. Saya tidak tahu apa yang ia ucapkan dalam dendang itu, tetapi membuat saya merinding, barangkali penonton yang lain juga merasakan hal yang sama. Setelah selesai berdendang, alunan talempong kembali terdengar keras, dan temponya semakin cepat, pelan lagi, dan cepat lagi. Perlahan para pemain memecah lingkaran, berpencar, menghilang bersama bunyinya. Diskusi dimulai dengan kata sambut oleh Albert untuk para audiens dan narasumber sore itu. Albert menjelaskan sedikit tentang Komunitas Gubuak Kopi, bagaimana kelompok ini bekerja, membangun kolaborasi antara komunitas anak muda dan tetangga. Dalam diskusi ini, konteks “Circumstance” menjadi jembatan untuk memperkenalkan model kuratorial “proyek seni” yang dikelola bersama Komunitas Gubuak Kopi. Wacana yang akan dikembangkan “seniman dan kolektif seni sebagai fasilitator” yang menjembatani produksi dan pertukaran pengetahuan antara seniman dan warga, bekerja bersama merespon persoalan lokal dengan menggunakan seni sebagai metode. Selain itu ia juga bercerita tentang ruang yang kita tempati sore itu, dibangun secara mandiri bersama teman-teman

75


dan terbuka sebagai ruang kolaborasi dan presentasi artistik anak muda Sumatra Barat. Kata sambut berlanjut ke Pak Tubagus Andre, dari Kapokja Seni Media Baru, memberikan pengantar mengenai tujuan dan substansi ruang kolaborasi yang diandaikan oleh Kemendikbudristek. Ia juga menjelaskan tentang platform kerjasama, distribusi, dan interkoneksi lintas komunitas seni yang tengah mereka rancang. Bapak Andre mengatakan Rumah Tamera cukup memenuhi apa yang ia sebut sebagai tempat untuk ruang kolaborasi. Dijelaskannya fasilitas yang cukup seperti terdapatnya kamar mandi, dapur, ruang untuk berdiskusi, ruang untuk berkumpul, kantor dengan segala perlengkapannya, ruang untuk berpameran dan ruang untuk menyimpan barang. Selanjutnya Pak Mahendra berbicara bagaimana pemerintah pusat melihat kolaborasi dan pentingnya kolaborasi sebagai strategi penguatan kebudayaan. Para pemangku kebijakan berharap kepada anak muda kreatif yang dapat mempertahankan nilai kebudayaan dengan terus berkolaborasi bersama. Pak Mahendra juga menjabarkan sejumlah program institusinya yang bisa diakses oleh publik. Pada kesempatan itu, ia juga mencatat sejumlah problem di tingkat lokal dan akar rumput sebagai catatan untuk menyempurnakan programmnya. Dilanjut dengan Bu Gemala Ranti, respon positif yang beliau berikan terhadap Komunitas Gubuak Kopi, beliau juga menghimpun pandangan-pandangan mengenai model kolaborasi. Ibu Gemala Ranti berharap Komunitas Gubuak Kopi berada di setiap daerah di Indonesia, dilihatnya hasil kerja kawankawan di komunitas yang memberi banyak positif untuk sekitar, berharap makin banyak Komunitas yang aktif dalam mengembangkan kesenian dan masyarakat secara bersama. Dengan adanya komunitas-komunitas ini makin banyak pemuda dan masyarakat yang aktif, kreatif dan berkegiatan positif serta memanfaatkan yang ada di daerah itu sendiri. Serta dapat menambah dan membantu anak muda terhindar dari hal-hal negatif. Menarik menyimak negosiasi antara publik komunitas dan pemangku kebijakan dalam memahami kolaborasi untuk kerja-kerja kebudayaan, dan mempertajam wacana bagaimana seni bekerja sehari-hari Kolaborasi para seniman selama rangkaian Circumstance sangat menarik, dikarenakan para seniman dan partisipan yang bergabung dalam rangkaian

76


ini terbilang aktif, dalam artian mereka tidak hanya menyetor karya tetapi juga bergabung dalam manajemen dan kolaborasi lainnya seperti bersama partisipan yang lain, dan warga. Para seniman pun meredam egonya masing-masing sebagai seniman yang terlihat eksklusif dengan berbaur bersama, dan menjadi penghubung antar tokoh satu dengan yang lain. Gubuak Kopi hadir sebagai perantara atau wadah yang menjadi penghubung seni dan masyarakat. Dan Gubuak Kopi berupaya agar seni menjadi keseharian, seperti Daur Subur ini. Daur Subur merupakan hasil dari kolaborasi masyarakat dan seni, dan hasil nyata bahwa seni bisa menjadi keseharian. Dengan adanya Gubuak Kopi, dinding-dinding yang membatasi kesenian dengan masyarakat awam pun lama-lama bisa hilang. Karena warga mulai merasakan kedekatan seni di sekitarnya. Melihat respon dari pemangku kebijakan terhadap komunitas Gubuak Kopi dan Rumah Tamera, saya sependapat dengan mereka. Ruang kolaborasi yang ideal menurut saya tidak hanya sekedar fasilitas yang lengkap, tetapi juga dengan insan-insan yang tergabung dalam kolektif tersebut dapat menghidupkan suasana dan bekerja sama dengan yang lain tanpa adanya kesenjangan sosial. Seperti yang terjadi saat ini, para seniman yang bergabung bisa berbaur dengan masyarakat dan partisipan yang lain, tanpa mengkotak-kotakan antara seniman dan warga. Dengan melibatkan warga para seniman dapat mencapai tujuannya untuk menyatukan warga dengan seni itu sendiri. Seperti dalam pemilihan bunga yang akan dijadikan instalasi di tengahtengah halaman belakang Rumah Tamera, kami meminta kepada Buya Khairani, bunga apa yang dapat bermanfaat bagi banyak orang. Dan Buya Khairani memberikan Bungo Rayo karena memiliki banyak manfaat seperti untuk menurunkan demam, serta keindahannya. Warga Kampung Jawa, pada dasarnya sangat dekat dengan tanaman. Sebagian besar rumah warga memiliki taman-taman kecil. Tanamantanaman juga digunakan warga dalam sehari-hari, baik itu dalam konteks pengobatan, makanan dan spiritual. Begitu juga dalam prosesi kesenian Kuda Lumping yang paling diminati warga. Menarik menelusuri tamantaman warga, mengidentifikasi aroma, guna, dan berbagai sudut pandang visual. Di situ Spansan Menyusun bunga-bunga itu dan memberikan kesan

77


visual artistik dari bunga sehingga warga dapat melihat bahwa seni visual tidak hanya dari gambar diatas kertas yang diberi warna. Lalu ketika kami meminta para warga mengumpulkan sampah plastik yang akan kita olah menjadi “batako plastik”, di situ kami memperkenalkan kepada warga bahwa sampah plastik mempunyai nilai “Fungsi Baru”. Di pameran Circumstance terdapat karya mural yang berjudul “Fungsi Baru” yang dibuat oleh Dika Adrian yang memiliki arti: Sampah yang sudah tidak memiliki nilai dapat diolah kembali dan mempunyai “Fungsi Baru”. Dengan hal itu semua “ruang kolaborasi” terjadi sesuai dengan yang diharapkan. Sebelumnya Komunitas Gubuak Kopi telah melakukan riset ke beberapa komunitas yang ada di Sumatra Barat. Setiap komunitas yang dikunjungi mempunyai metodenya masing-masing dalam menjalani kolaborasi. Yang terpenting bagaimana kolaborasi dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya bersama. Dibalik itu semua akhirnya Talempong dipilih menjadi seni pertunjukan yang ditampilkan dalam diskusi publik. Seperti yang dikutip Albert dari Hilmar Farid: dalam musik terdapat istilah poliritme sebagai kumpulan melodi yang tidak terhubung, sedangkan Euritme adalah kumpulan melodi yang berbeda dan banyak tapi terhubung “by designed” atau dengan sendirinya, menjadi sebuah harmoni. Kurator berharap ruang kolaborasi seperti analogi euritme, para partisipan dan seniman yang bergabung memiliki latar belakang yang berbeda-beda tetapi bisa disatukan dan berjalan bersama dalam keselarasan, keselarasan yang menjadi tujuan bersama, yang muncul secara organik, dari pertemuanpertemuan yang mengedepankan pertemanan.

Solok, November 2021

78


Dokumentasi Karya Pameran

Circumstance

79


Botol Doa, Pendekar Daur Subur, 2021 Cairan kompos yang dibuat secara sederhana. Bersama-sama, warga memisahkan sampah dapur organik dan non-organik dibantu oleh buku saku sederhana yang dibuat oleh Pendekar Daur Subur. Kemudian mengelolanya untuk masa depan dan kampung yang lebih baik. Sampah-sampah organik diolah menjadi kompos langsung di dapur, dalam botol kaca bening. Menarik menyimak proses yang berlangsung secara “ajaib” itu sebagai aktivitas yang bernilai spiritual ketimbang proses yang ilmiah semata. Botol-botol ini dijemput dari rumahrumah tetangga dan didoakan bersama-sama.

80


“Bertamu, Bertemu”, Taufiqurrahman “Kifu”, 2021 Proyek drawing “Bertamu, Bertemu” ini adalah catatan dari apa yang sedang terarsipkan di tubuh-tubuh (sebagian dari) pelaku tersebut. Dengan memproyeksikannya sebagai garis menggunakan tinta pada kain (dapat dilihat dari dua sisi) dengan berbagai ukuran dan warna, yang diinstal sebagai transisi antara ruang satu dan ruang yang lainnya. Bertamu atau berkunjung dalam konteks konsep ‘daur subur’ yang ditata oleh ragam masyarakat di Kampung Jawa, Kota Solok, seperti menjadi kesepakatan nilai untuk memelihara hubungan silaturahmi antar sesama manusia, dan yang hadir disekitarnya. Hal tersebut tergambarkan melalui praktik-praktik spiritual, siasat, dan cara berbagi yang lekat terarsipkan di tubuh-tubuh pelakunya. 81


Catatan Pertemuan Zekalver Muharam dan Pendekar Daur Subur, 2021 Catatan teks dan visual perjalanan hasil observasi. Merangkai proses partisipan Circumstance yang mengedepankan pertemuan-pertemuan kecil yang cair dan setara. Memposisikan sudut pandang dan diri sebagai bagian dari warga Kampung Jawa. Menarik melihat pertemuan-pertemuan yang berkembang menjadi pertemanan, dan menjadi kekuatan sosial secara komunal. Proses yang intens menghubungkan “modal sosial” ini memaknai Kampung Jawa sebagai rumah bersama.

82


Kosmologi Kampung Jawa Rumah Bersama Kolaborasi Partisipan, 2021 Lingkaran nilai-nilai yang diperoleh dari rentetan pertemuan bersama tetangga di Kampung Jawa. Memaknainya sebagai nilai dalam kerja komunal dan kolaborasi.

83


Bunga Kenangan, Muhammad Irvan, 2021 Warga Kampung Jawa pada dasarnya sangat dekat dengan tanaman. Sebagian besar rumah warga memiliki taman-taman kecil. Tanaman-tanaman juga digunakan warga dalam sehari-hari, baik itu dalam konteks pengobatan, makanan, penghias halaman, dan prosesi yang bersifat spiritual. Misalnya dalam kesenian kuda lumping yang paling diminati banyak warga Kelurahan Kampung Jawa. Menarik menelusuri taman-taman warga, mengidentifikasi aroma, kegunaan, dan berbagai sudut pandang visual. Instalasi ini menghadirkan rekaman kenangan warga, merawakan tanaman, dan usaha membingkai ulang dalam ingatan visual. Karya ini juga dilengkapi dengan ukiran pelepah pinang dan koleksi foto salah seorang warga. 84


Legaran Boy Nistil dan Pendekar Daur Subur, 2021 Instalasi patung leburan limbah plastik dan kawat. Menghadirkan gestur-gestur seni gerak lokal seperti, silat, tarian, dan aktivitas sehari-hari. Legaran adalah salah satu peran kolektif dalam kesenian randai, bersama-sama bergerak melingkar searah jarum jam. Kehadiran legaran dalam kesenian menghadirkan konteks kesalingkaitan lokasi dan penjaga batas.

85


Irama Daur Subur Verdian Rayner dan Pendekar Daur Subur Limbah plastik selain merusak lingkungan tak jarang juga menjadi polusi visual dengan ragam merek. Menarik menertawakan kebiasaan kita yang membuang sampah sembarangan dan kemudian melihatnya sebagai materi visual. Instalasi ini menghadirkan limbah plastik, membuat ia menjadi satu irama visual melakui permainan menyusun warna, menjadi satu pemandangan irama Daur Subur.

86


Bungo Rayo Kolaborasi Partisipan Daur Subur, 2021 Bungo Rayo adalah salah satu dari tanaman yang memiliki banyak manfaat di Kelurahan Kampung Jawa, Solok. Bunga ini dikelilingi “Batako Plastik” yang dilebur dari sisa dan sampah plastik. Bungo Rayo didapat dari rumah salah seorang tokoh masyarakat . Kehadiran Bungo Rayo dalam pameran ini terhubung dengan sebuah taman kolektif warga. Taman yang dikelola bersama tetangga di Kampung Jawa. Bungo Rayo hadir di sini untuk didoakan dan ditanam kelak di taman kolektif tersebut.

87


Fungsi Baru, Dika Adrian, 2021 Representasi visual sebagai respon inisiatif warga melihat benda-benda sisa atau sampah sebagai benda yang belum menemukan fungsi baru.

88


Buku Saku, Pendekar Daur Subur2021 Buku Saku panduan mengoprek benda-benda sekitar untuk membuat kompos spiritual. Buku dengan desain sederhana dan bahasa yang akrab ini mengajak para tetangga untuk mengembangkan praktik membuat kompos yang sederhana, langsung dari dapur, dan dinikmati secara spiritual. Buku ini dipamerkan bersama dokumentasi video yang menampilkan proses penyerahan buku saku ke tetangga, proses perubahan kompos, “gosip” warga tentang kompos tersebut, dan prosesi doa mengapresiasi aktivitas warga yang mengolah sampah sendiri.

89


90


91


Profil Kurator

Albert Rahman Putra (b. 1991), biasa disapa Albert. Penulis, kurator, dan pegiat budaya yang berbasis di Kota Solok, Sumatra Barat. Albert merupakan salah satu pendiri Komunitas Gubuak Kopi (2011), sebuah kelompok belajar untuk pengembangan seni dan media di lingkup lokal. Bersama Komunitas Gubuak Kopi, ia mengelola sejumlah proyek yang menempatkan seni sebagai metode untuk merespon persoalan lokal. Albert merupakan lulusan Seni Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan, ISI Padangpanjang. Pengalaman kuliah dan bertemu banyak praktik seni bunyi tradisi memperdalam ketertarikannya untuk meninjau relasi “tradisi” sebagai orientasi masa depan, lokalitas, dan produksi pengetahuannya. Melihat bagaimana tradisi bekerja dan menemukan metode merespon persoalan di zamannya, dengan medium yang relevan. Selain bersama Komunitas Gubuak Kopi, Albert juga aktif memanajeri kelompok musik Orkes Taman Bunga sejak tahun 2013. Albert juga penggagas ruang diskusi dan kajian musik Ota Rabu Malam pada tahun 2013 di kampusnya, yang pada tahun 2014 melahirkan sub-program presentasi musik berkala: Musik Tanpa Batas, yang kini dikelola oleh HMJ Karawitan ISI Padangpanjang. Pada Oktober 2017, Albert menjadi salah satu tokoh muda Indonesia yang menjadi sorotan Kompas, karena aktivitasnya bersama Komunitas Gubuak Kopi. Pada tahun 2018, bersama Forum Lenteng ia menerbitkan buku pertamanya “Sore Kelabu di Selatan Singkarak”, kumpulan catatan dan pengamatan mengenai peristiwa kultural dan ekologi di Singkarak. 2018, Ia terpilih mengikuti program Residensi Penulis Indonesia yang diselenggarakan oleh Komite Buku Nasional. Tahun 2019, bersama Komunitas Gubuak Kopi, ia mendirikan Rumah Tamera - Solok Creative Hub, ruang kreatif untuk menjembatani kolaborasi anak muda Solok. 2020, bersama Komunitas Gubuak Kopi dan anak muda yang tergabung di ekosistem Rumah Tamera menghadirkan Tenggara Festival, sebuah perhelatan untuk seni jalanan dan publik.

92


Profil Partisipan/Kolaborator

M. Biahlil Badri, aktif berkegiatan di Gubuak Kopi. Ia merupakan salah satu pendiri Rumah Tamera – Solok Creative Hub, sebuah ruang kolaborasi seniman dan pegiat kreatif muda Solok dan Sumatra Barat. Sekarang aktif mengelola akun @solokmilikwarga sebuah metode pengarsipan lokal Solok melalui Instagram. Pada awal 2020 mendirikan band PAPAN IKLAN. Founder kik_Batuang sebuah metode pengarsipan lokal Gantuang Ciri berbasis media Instagram. Juga aktif menulis dengan ketertarikan terhadap isu-isu budaya, sejarah, dan lingkungan. Menyenangi dapur dan masak-masaknya. Biki Wabihamdika biasa disapa Biki menetap di Gantuang Ciri, Solok. Ia adalah lulusan Institut Seni Indonesia Padangpanjang dengan Studi Seni Karawitan. Selain proyekproyek musik, ia juga sibuk berkegiatan bersama Gubuak Kopi. Sebelumnya, Biki juga aktif di beberapa kelompok music seperti Ethnic Percussion Padangpanjang, Bangkang Baraka. Selain itu dia juga terlibat di ruang diskusi dwi mingguan Otarabumalam. Ia juga merupakan kolaborator proyek seni Kurun Niaga (2019), dan juga peserta Akademi Arkipel 2020 bersama Gubuak Kopi. Baru baru ini Biki ikut berpartisipasi di perhelatan Jatim Biennale IX sebagai seniman residensi. Boy Nistil atau yang akrab disapa Da Boy ini aktif memproduksi karya visual seperti, mural, lukis kriya dan kerajinan. Ia menyebut studio dan lapaknya dengan Loket Karya. Tergabung di K13, sebuah komunitas seni rupa di Solok. Ia juga aktif mengikuti kegiatan seputar seni rupa di Sumatera Barat. Tahun lalu, ia terlibat dalam Tenggara Street Art Festival yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi bersama Rumah Tamera dan Visual Jalanan (2020). Ia juga terlibat pada proyek Kurun Niaga #2: “Lanskap”, Gubuak Kopi, 2020. Barubaru ini ia mempresentasikan proyeknya di Tamera Showcase #4, dengan tajuk kurasi: Dari Loket yang Sama (2021).

93


Dika Adrian, bisa disapa BADIK, lulusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP). Pernah terlibat di beberapa even pameran seni rupa di Sumatera. Bassis band project PAPAN IKLAN. Selain itu Badik juga aktif di Komunitas Seni Belanak, dan juga mempunyai BDX Clothing, yang memproduksi merchandise seperti, sepatu, baju dll, yang dilukis oleh dia sendiri. Ia juga tergabung dalam ekosistem Rumah Tamera. Mohammad Irvan atau biasa disapa Spansan lahir di Payakumbuh, 20 Januari 1995. Menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Riau. Ia sebelumnya aktif sebagai koordinator program alternatif pemutaran film Gerilayar di Kota Pekanbaru. Tahun 2017 pernah mengikuti workshop Seni Media “Programmer dan Kurator Gambar Bergerak” di Jatiwangi Art Factory, Jawa Barat. Partisipan Lokakarya Daur Subur dalam rangkaian Bakureh Project di Gubuak Kopi, 2018. Ia juga merupakan partisipan Program Magang Gubuak Kopi 2018. Ketertarikannya pada metode kerja program Daur Subur yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi mengundang ketertarikannya untuk membaca lebih lanjut program ini dalam tugas akhirnya. Spansan saat ini aktif bekerja sebagai pegiat film dan copywriter lepas. Taufiqurrahman “Kifu” (b.1994) adalah seniman interdisiplin. Lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Tadulako. Salah satu pendiri Forum Sudut Pandang, kolektif pekerja seni dan media berbasis di Palu. Belajar Eksperimen visual di Milisifilem Collective, dan tergabung di 69 Performance Club. Dalam praktik artistiknya, Kifu Bereksplorasi pada konsep keterhubungan dan proyeksinya, melalui medium drawing, found object, seni performans, dan media baru. Tahun 2021, Film vertikalnya “ROTASI” mendapat nominasi di Vertical Movie Festival (Roma, Italy), dan diputar di beberapa festival film eksperimental. Sebelumnya, ia terlibat dalam proyek Lapuak-lapuak Dikajangi #3: “Silaturahmi” (2020).

94


Verdian Rayner biasa disapa Dian. Lulusan Seni Murni Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. ia juga aktif menggambar, membuat mural, custom paint, pinstriping, dan produksi visual kreatif lainnya. Selain itu ia juga aktif menjadi vokalis di beberapa grup musik underground, salah satunya adalah Blindside. Ia juga memiliki ketertarikan di dunia motor custom. Ia juga terlibat sebagai partisipan terpilih Solok Mural Competition (2019), dan Silek Art Festival (2018). Tahun 2020 ini ia baru saja menggelar solo showcase di program Tamera Showcase, Rumah Tamera – Solok Creative Hub. Menjadi Juri di Tenggara Street Art Festival, bersama Gubuak Kopi, Rumah Tamera dan visual Jalanan. Zekalver Muharam biasa disapa Zekal, merupakan salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Lulusan Seni Rupa Universitas Negeri Padang (UNP). Saat ini aktif sebagai koordinator produksi di Komunitas Gubuak Kopi dan Rumah Tamera. Zekal juga aktif berkegiatan bersama Komunitas Seni Belanak. Dalam praktik artistik personalnya ia juga aktif membuat karya komik, sketsa, mural, dan gambar bergerak. Vokal band project Rumah Tamera ”PAPAN IKLAN”. Terlibat dalam proyek seni Lapuak-Lapuak Dikajangi (LLD#2) 2018: Silek. Ia juga terlibat dalam Pekan Seni Media 2018: Local Genius, bersama Komunitas Gubuak Kopi di Palu, Sulawesi Tengah. Alfi Syukri mahasiswa Pasca Sarjana prodi Hukum Keluarga di UIN Imam Bonjol, Padang. Saat ini mengabdi di LBH Padang, ikut serta mengadvokasi kasus-kasus hukum struktural. Selain itu, juga aktif di sebuah komunal bernama Sekolah Gender. Secara keseluruhan kegiatan Alfi fokus mengedukasi dan mengorganisir masyarakat agar berdaya tentang keadilan gender dan keberagaman beragama. Pada tahun 2020, ia terlibat sebagai partisipan dalam Lokakarya Daur Subur di Kampung Jawa (2020).

95


Amelia Putri, Lahir pada September 1993 di Padang Sago, Kab. Padang Pariaman. Baru-baru ini diamanahkan sebagai Ketua Bidang Jejaring dan Pengembangan Organisasi Masyarakat Relawan Indonesia (MRI). Ia merupakan partisipan lokakarya Daur Subur ke-6 pada bulan Mei-Juni 2021. Temui ia di blog www.timetodorighthing.wordpress.com dan Instagram @ ameliarashop untuk melihat aktivitasnya yang berkaitan dengan humanity, literasi dan konservasi.

96


Profil Tim Produksi

Ach Faisol Rizal Haq, biasa dipanggil Faisal. Lahir di, Bangkalan, Madura 1998. Saat ini masih memperjuangkan sarjana di Institut Seni Indonesia Padangpanjang dengan studi Seni Kriya. Faisal juga merupakan peserta Program Magang Gubuak Kopi 2021. Aza Khiatun Nisa (b. Simawang, 2003), akrab disapa Aza, mahasiswa baru Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Salah satu talent Dangau Studio, sebuah wadah pengembangan minat dan bakat anak muda dalam bidang seni rupa di Kota Padang. Aza juga penggagas Pemuda Berdaya yang merupakan ruang diskusi bagi Generasi Z tentang pendidikan. Saat ini aktif pada proyek Young Vironmen di bawah naungan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Kementerian Keuangan RI. Aza memiliki ketertarikan pada aktivitas ekspedisi, konservasi, literasi, dan filsafat. Farah Nabila, (b. Rawamangun, 2001), akrab disapa Farah, mahasiswa semester 5 Fakultas Dakwah, Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedang bergabung bersama Federasi Orienteering Nasional Pengprov Jakarta (FONI) menjabat sebagai Humas. Farah salah satu penggagas Forum Komunikasi Sispala Jakarta. Saat ini Farah juga ikut berkegiatan dan belajar bersama di Komunitas Gubuak Kopi. Loriz Nofembra, menyukai videografi sejak kecil, kemudian mendapatkan kesempatan mengulik videografi pada tahun 2018. Belajar videografi dengan handphone, berlanjut ke tahap lebih serius. Loriz begitu panggilan akrabnya mulai bergiat di PICS (Picture Creative Studio). Saat ini Loriz berfokus pada bagian post produksi atau pengeditan. Loriz juga pernah ikut beberapa proses shooting yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa ISI Padangpanjang untuk lebih mempertajam ilmunya di bidang videografi, hingga saat ini.

97


Maulana Ahlan M Nur, akrab dipanggil Alan. Saat ini Alan berkegiatan di PICS (Picture Creative Studio) dan halonusa. Alan pernah mengenyam Pendidikan di Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Aktif di UKM Pers, alan menjadi suka membaca dan menulis. Alan Pernah menulis untuk pengantar pameran Randy Otonk di Komunitas Seni Nan Tumpah. Saat ini Alan sedang belajar grafik desain terkhusus untuk motion. Selain itu Alan juga memotret untuk proyek-proyek komersil. Prima Nanda, akrab dipanggil Nanda. Lahir di Solok tanggal 05 Mei 1995. Nanda mulai bergiat di bidang foto dan video pada tahun 2014. Saat ini Nanda tinggal di Tanjung paku. Tahun 2019, Nanda mulai berkegiatan untuk program Jajak Ranah untuk Indosiar hingga 2020, terhenti sementara karena covid. Pada tahun 2019 juga nanda menjadi videografer untuk channel youtube garundang, nanda memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai videografer Garundang pada tahun 2020. Itu semua didapatkan Nanda dari setelah memenangkan Lomba Video Promosi Pariwisata kota Solok pada tahun 2018. Sebelum itu nanda juga telah mendapat pengalaman dari bekerja di Picture Creative Studio.

98


Sarah Azmi (b. Padang, 1998), biasa disapa Sarah mulai menulis sejak tahun 2016. Puisinya banyak diposting melalui media Instagram dengan nama pena Sarah Azmi. Ia aktif membacakan puisinya dalam even di beberapa kota di Sumatra Barat. Ia pernah memenangkan lomba baca puisi se-Kota Padang. Saat ini Sarah juga berkegiatan dan belajar bersama teman-teman di Komunitas Gubuak Kopi. Ia juga merupakan vokalis grup musik “Nadir”. Teguh Wahyundri (Kota Solok, 1996) Lulusan Desain Komunikasi Visual, Universitas Negeri Padang. Sekarang aktif berkegiatan dan belajar di Gubuak Kopi.Ia juga merupakan salah seorang pengelola Rumah Tamera, sebuah kreatif hub di Solok. Pada tahun 2018 berpartisipasi dalam pameran Pekan Raya Visual di Taman Budaya Sumatra Barat. Di Tahun 2019 Ikut dan terlibat di pameran sticker LEM IN AJA di Rumah Ragam, Padang. Di tahun yang sama ia ikut serta dalam Pameran Exhibition di Naluri coffee Shop. Dan juga Pameran tugas akhir di Galeri Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang.

99


Pameran Circumstance, dikuratori oleh Albert Rahman Putra, sebagai bagian dari Program Kurasi Kurator Muda Galeri Nasional Indonesia 2021, mengucapkan Terima Kasih kami kepada: Keluarga Komunitas Gubuak Kopi Jaringan Kerja Daur Subur Rumah Tamera Spectrum Garage Rumah Ada Seni Bareh Solok Creative City Network Pictures Creative Studio Komunitas Seni Belanak Ladang Rupa Sekolah Gender Muarasuara Dangau Studio Hafizan, Dyan Yudhistira Kojek, Panji Nugraha, Dedi Setyadi, Anggraeni Widhiasih, Buya Khairani, Riko Kn, Haris RT, Uda Hen, Ayah Aleks, Pakde Tekno, Lek Muh, Hafiz Rancajale, Otty Widasari, Rumah Suhey, Patrisia Juwita, Mellya Fitri, Muhammad Riski, Volta Ahmad Jonneva, Orkes Taman Bunga, Papan Iklan Band, Nadir Band, para tetangga Komunitas Gubuak Kopi di Kelurahan Kampung Jawa, dan semua yang telah mendukung realisasi proyek ini.

100


www.gubuakkopi.id/circumstance

101


102


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.