1
ii
CATATAN PROYEK
LAPUAK-LAPUAK DIKAJANGI #2
SILEK
iii
Catatan Proyek
Lapuak-lapuak Dikajangi #2: SILEK Penulis Albert Rahman Putra Bella Kharisma Dayu Azmi Dewi Safrila Darmayanti Palmer Keen Editor Albert Rahman Putra Penata layout Dayu Azmi Albert Rahman Putra Cover Albert Rahman Putra Gambar dan foto Koleksi Arsip Gubuak Kopi Diterbitkan oleh Gubuak Kopi Solok, Desember 2018 ___________________ Buklet ini merupakan bagian dari publikasi Lapuak-lapuak Dikajangi #2, didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. iv
Lapuak-lapuak Dikajangi adalah proyek seni yang digagas oleh Gubuak Kopi dalam merespon kembali nilai-nilai kearifan lokal melalui platform multimedia. Proyek ini melibatkan partisipan lintas media untuk melakukan residensi singkat, berkolaborasi, dan mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dengan prespektif kekinian, tanpa mengabaikan konteks sejarah, sosial, dan politik. Mengkritisi tradisi, baik itu sebagai sebuah sistem yang berkembang secara organik dan diyakini oleh masyarakat pendukungnya, maupun yang keberadaannya hanya sebagai representasi kekuasaan, adat, serta kepentingan pariwisata.
Gubuak Kopi - Art and Media Studies Lembaga Studi Seni dan Media Gubuak Kopi, atau lebih dikenal dengan nama Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok studi budaya nirlaba yang berbasis di Solok, berdiri sejak tahun 2011. Komunitas ini berfokus pada penelitian dan pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas di lingkup lokal Sumatera Barat. Gubuak Kopi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan literasi media melalui kegiatan-kegiatan kreatif, mengorganisir kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga, mengembangkan media lokal dan sistem pengarsipan, serta membangun ruang alternatif bagi pengembangan kesadaran kebudayaan di tingkat lokal. Alamat Jl. Tembok Raya, No. 322, Kelurahan Nan Balimo Kecamatan Tanjung Harapan, Kota Solok - Sumatera Barat. Email gubuakkopi@gmail.com www.gubuakkopi.id v
Daftar Isi
Profil Partisipan VIII Profil Kurator XII Profil Fasilitator XIV Pengantar Kuratorial Proyek SILEK, Dipakai Menjadi Baru __________
XVIII
Berkumpul di Solok Mengenal Silek –2 Lawan Bersua Pantang Mengelak – 9 Melihat Silek sebagi Manajemen Konflik – 13 Kinari Bersiul – 16 Mengumpulkan Narasi Observasi – 22 Silek dan Sawah Bersama Sinpia – 26 Bertemu Lagi Angku Suardi – 32 Menyimak Proses Kreatif Untempang – 36 Bebunyian Silek – 40 Garak dan Garik di Limbago Budi – 46 Silek dalam Medium Baru – 50 ___________ Ucapan Terima Kasih – 60
vi
“
Alun rabah lah ka ujuang, alun pai lah babaliak, balun dibali lah bajua, balun dimakan lah baraso Alun bakilek lah bakalam, bulan lah langkok tigo puluah, alun takilek lah tapaham, raso lah tibo di dalam tubuah.
vii
Partisipan Jhori Andela (Koto Tangah, 1987) atau biasa disapa Ade Jhori adalah seorang musisi dan komposer yang berbasis di Padangpanjang. Sebelumnya ia pernah menempuh studi di Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dan melanjutkan ke jenjang master di kampus yang sama, dengan minat studi Penciptaan Musik Nusantara. Sejak tahun 2008 sampai sekarang aktif menggeluti musik, dengan mengembangkan kekuatan musik tradisional, khususnya Minangkabau dengan kesadaran teknologis dan multimedia. Sehari-hari, ia juga beraktivitas sebagai audio enginner di ISI Padangpanjang. Dasar ilmu audio dan kesibukannya sebagai soundman di berbagai pertunjukan, memperkaya kemampuannya dan membantunya untuk menciptakan karya-karya baru. Ia juga aktif sebagai komposer dalam musik tari, musik film, arransemen musik, dan teater. Ia pernah terlibat dalam proyek seni Lapuak-lapuak Dikajangi #1 selaku pemateri workshop, di Galeri Gubuak Kopi (2017). Arum Tresnaningtyas Dayuputri (Solo, 1984), biasa disapa Aum mendapat pendidikan di bidang Komunikasi di Universitas Sebelas Maret (2002-2007), memulai karir kreatifnya sebagai fotografer, dan kemudian meraih gelar Diploma dari Ateneo de Manila University tahun 2012. Ia menginisiasi sebuah ruang belajar, bernama “Kami Punya Cerita� di Tobucil and Klabs, Bandung, dan kini mengelola Omnispace (Bandung). Bersama Meicy Sitorus, ia juga berkarya di bidang musik dengan membentuk grup bernama Tetangga Pak Gesang. Arum telah mengikuti banyak pameran seni, baik nasional maupun internasional, di antaranya Jauh Dekat 2015: Kumpul Seni, Film, Musik dan Makan (Kaleidoskop Project, kurator: Syafiatudina, 2015); dan Identity Crisis: Reflection on Public and Private Life in Contemporary Javanese Photography (2017) di Johnson Museum of Art, New York. Ia juga mengikuti sejumlah residensi, antara lain Village Video Festival (Jatiwangi Art Factory), Majalengka dan Cemeti Institute, Yogyakarta.Terlibat dalam Pekan Seni Media: Local Genius, yang digelar di Palu (2018). viii
Dewi Safrila Darmayanti (Pekanbaru, 1992) biasa disapa Dewi. Sebelumnya ia pernah menempuh studi Sendratasik di Universitas Islam Riau, dan melanjutkan studi di Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang (2015-2017). Sejak 2012, ia aktif terlibat sebagai penari bersama kelompok-kelompok tari di Pekanbaru. Selain itu ia juga berkarya sebagai koreografer. Beberapa karya tarinya baru-baru ini antara lain: Karya “Z(AMAN)” (2017) dipresentasikan bersama Otaku Dance Company di Taman Budaya Riau. Karya “Edanis” (2018) dipresentasikan dalam agenda perayaan Hari Tari Dunia, di Laman Bujang Mat Syam dan Taman Budaya Riau. Karya “5411929” (2018) bersama Otaku Dance Company, pernah dipresetasikan di Laan Bujang Mat Syam, Pekanbaru. Saat ini Dewi aktif berkesenian bersama Otaku Dance Company dan mengelola kelompok musik Blacan Aromatic di Pekanbaru. Hafizan, biasa disapa Spis, saat ini sedang menjalankan program studi Pendidikan Seni Rupa di Universitas Negeri Padang. Selain itu, iya juga aktif dalam berkesenian di ruang lingkup kampus maupun bersama komunitas-komunitas seni di Sumatera Barat. Pernah terlibat sebagai partisipan dalam Lokakarya Lapuak-Lapuak Dikajangi #1 yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi (2017) dan pameran Minang Young Artist Project 2017; Mamboncah di PKAN Padang Sibusuak (2018); dan terlibat selaku fasilitator dalam proyek seni: Bakureh Project di Gubuak Kopi (2018).
ix
Hujjatul Islam (Lombok, 1984). Jatul, sapaannya, adalah seorang seniman lukis yang berbasis di Lombok Utara. Selain melukis, dia juga aktif menjadi pengurus harian di Pasirputih. Tahun 2016, ia terlibat selaku seniman residensi di Bangsal Menggawe “Membasaq� 2016 dan pada Bangsal Menggawe 2017. Terlibat dalam Perhelatan Makassar Bienalle (2017). Pameran tunggal Dokter Rupa, di Pasirputih, 2018, dan kini ia lanjutkan sebagai project personalnya dalam misi pengenalan seni rupa pada masyarakat Lombok Utara. Saat ini bersama teman-teman di Pasirputih, Jatul sibuk membantu penanggulangan dampak bencana melalui metode berkesenian Palmer Keen biasa disapa Palmer, adalah seorang etnomusicolog asal Amerika yang kini menetap di Yogyakarta. Ia tengah sibuk dengan project personalnya: Aural Archipelago, yakni proyek pendokumentasian dan penelitian musik tradisional di Asia. Saat ini telah mengumpulkan lebih dari seratus kesenian musik di Nusantara. Selain itu ia juga aktif mempresentasikan proyeknya di berbagai kegiatan diskusi dan seminar. Antara lain, di MuVi Party - OK.Video Festival (2016), RRRECFest 2016 dan 2017, di Universitas Gajah Mada (2018), University of Sidney, Australia (2018), Sebagai kurator untuk seri konser Aural Archipelago pada festival Europalia (2017), dan berkolaborasi dengan kelompok musik elektronik Bottlesmoker dalam album Parakosmos (2017) Ragil Dwi Putra (Salatiga, 1992). Besar dan tinggal di Bekasi dan Jakarta. Menyelesaikan studi di Fakultas Seni Rupa Insitut Kesenian Jakarta pada tahun 2016. Beberapa kali mengikuti workshop performance di perhelatan seni seperti JKT 32 derajat 2014, OK.Video 2015, Art Summit di Padang 2016. Ia juga tergabung dalam Palu Gada Company dan 69 performance club, sebuah platform studi performance art di Jakarta. Saat ini ia juga tergabung bersama KKBT (klub karya bulu tangkis) sekelompok seniman muda jakarta yang fokus pada budaya urban. Bekerja Lepas sebagai desainer grafis dan sibuk berdagang sambil mempersiapkan proyek tunggalnya yang akan muncul di awal tahun 2019. x
Prashasti Wilujeng Putri (Jakarta, 1991) adalah seorang seniman yang karya-karya kerap berkutat di ranah seni performans. Lulusan Departemen Kriminologi, Universitas Indonesia (2014) ini juga aktif berkegiatan di platform MILISIFLEM, sebuah kelompok belajar yang mengkaji dan memproduksi film melalui eksperimentasi visual. Ia pernah terlibat sebagai peneliti dalam program HALAMAN PAPUA: Media Untuk Papua Sehat (2014-2015). Sejak tahun 2016, ia menjadi partisipan 69 Performance Club, sebuah platform untuk studi studi fenomena sosial kebudayaan melalui seni performans. Karya-karya pentingnya dalam rangka 69 Performance Club, antara lain Crossing (2016), Light As A Gift (2016), Body Blowing (2016), Misogyny (2016), Taman Bermain Samba (2016), dan Complexity of Adulthood (2017). Pada tahun 2017, ia terlibat dalam proyek seni performans yang berjudul Di Luar Ruang Suaka Hukuman yang dipresentasikan di tiga lokasi di Eropa, yakni di S.M.A.K. (Ghent, Belgia), Tranzitdisplay (Praha, Ceko), dan Embassy of Foreign Artist (Jenewa, Swiss); dan pada tahun 2018, Edisi “The Partisan� dari proyek tersebut dipresentasikan di Teater Garasi, Yogyakarta; dan terakhir menjadi Seniman Performance Video dalam pameran Pekan Seni Media, Palu (2018) . Asti, sapaannya, juga fokus membuat karya visual, salah satunya Konvergensi/Waktu (2018) yang ia buat dalam rangka MILISIFILEM. Zekalver Muharam (Solok, 1994), adalah mahasiswa Jurusan Seni Rupa di Universitas Negeri Padang. Saat ini aktif sebagai koordinator produksi di Komunitas Gubuak Kopi. Selain itu ia juga aktif membuat karya video, komik, mural, dan lukisan. Telibat sebagai seniman dalam sejumlah pameran antara lain, Di Rantau Awak Se, Gubuak Kopi, 2017; Minang Young Artist Project Taman Budaya Sumbar, 2017; Mamboncah di PKAN Padang Sibusuk, 2018. Bersama Gubuak Kopi di Pekan Seni Media: Local Genius, Palu, 2018; dan Berkolaborasi dengan Sayhallo di Pameran Artistic oleh Rumah Ada Seni (2018). Agustus 2018 lalu ia mewakili Gubuak Kopi juga terlibat dalam Pekan Seni Media yang diselenggarakan di Palu. xi
Spesial Kolaborator Awal Oktober 2018 lalu, 6 orang remaja datang ke Komunitas Gubuak Kopi untuk belajar bersama program Remaja Bermedia. Remaja ini kemudian broproses lebih dari satu bulan, dan didororong untuk membentuk sebuah kelompok belajar, yakni: Untempang Club. Kelompok ini dimentori oleh kakak di Komunitas Gubuak Kopi. Belajar mengenai dasar-dasar fotografi dan performance art. Selain kakak-kakak di Gubuak Kopi, kelompok ini juga mendapat kesempatan selama kurang lebih dua minggu belajar bersama pemateri tamu. Pemateri tersebut antara lain: Prashasti Wilujeng Putri, seniman performance dan video art dari Jakarta; serta Arum Tresnaningtyas Dayuputri, seniman fotografi, video art, dan musisi dari Bandung. Setelah lebih dari satu bulan berproses, Untempang Club mendapat kesempatan untuk merancang pameran sendiri dan melakukan presentasi khusus dalam rangkaian pameran multimedia: Lapuak-lapuak Dikajangi #2. Selain itu, remaja ini juga menggelar pameran sederhana di sekolahnya. Tim: Fauziah Halfi (Puji), Sekar Komala (Sekar), Nurul Wulan (Wulan), Ummulhanna (Hana), Ilmi Hafizah (Ilmi), dan Hanif latifah (Latif).
xii
Kurator
Kurator
Co-Kurator
Albert Rahman Putra biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Bersama Gubuak Kopi ia juga aktif menyelenggarakan proyek seni dan menjembatani kolaborasi lintas media untuk merespon isu-isu lokal di Sumatera Barat. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Manager Orkes Taman Bunga. Baru-baru ini ia bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak (2018). Beberapa perhelatan seni yang ia kuratori antara lain: Program presentasi musik bulanan: Musik Tanpa Batas di ISI Padangpanjang (2014-2015); Proyek seni program Daur Subur (2017-2018); Lapuak-lapuak Dikajangi #1 (2017); Minang Young Artist Project, Galeri Taman Budaya Sumatera Barat (2017); Andalas Film Exhibition (2017) dan juri pada Andalas Film Festival (2018). 2018 lalu ia mewakili Gubuak Kopi juga terlibat dalam Pekan Seni Media yang diselenggarakan di Palu. Residensi Penulis Indonesia di Lombok Utara, Komite Buku Nasional (2018). Volta Ahmad Jonneva adalah mahasiswa tingkat akhir Jurusan Senirupa, Universitas Negeri Padang. Saat ini aktif sebagai salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Sehari-harinya, ia juga mengelola Layar Kampus, sebuah inisiatif ruang tonton alternatif di kampusnya. Tahun 2017, ia juga terlibat dalam open studio “Di Rantau Awak Se” oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng. Fasilitar program Daur Subur (2017-2018); Seniman partisipan di Minang Young Artist Project di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat (2017). Tim kuraturial pameran arsip “Kultur Sinema #3 - ARKIPEL Jakarta International Experimental dan Documentary Film Festival 2018”.
xiii
Fasilitator Delva Rahman adalah salah satu pegiat media di Komunitas Gubuak Kopi, aktif sebagai Sekretaris Umum. Ia aktif menari di Ayeq Mapletone Company, sebuah kelompok tari yang berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Pernah terlibat dalam lokakarya literasi media “Di Rantau Awak Se“, oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng (2017). Partisipan lokakarya video performance bersama Oliver Husain di Gubuak Kopi (2017). Pernah terlibat dalam pertunjukan “Perempuan Membaca Kartini” karya sutradara Irawita Paseban di Gudang Sarinah Ekosistem (2017). Fasilitator program Daur Subur (20172018). Selain itu ia juga diundang sebagai narasumber di beberapa festival film, seperti Malang Film Festival (2017) dan Andalas Film Exhibition (2017). Kurator Andalas Film FEstival (2018). Ia juga merupakan Alumna Akademi ARKIPEL 2018. Peraih hibah Cipta Media Ekspresi untuk proyeknya bersama Gubuak Kopi: “Bakureh Project” (2018) M. Yunus Hidayat biasa disapa Joe Datuak, lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Prodi Seni Karawitan dan tamat di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang. Salah seorang pendiri Takasiboe, kelompok pelestari seni budaya di Solok Selatan. Ia juga merupakan salah seorang partisipan Lokakarya Media: Kutur Daur Subur oleh Gubuak Kopi (2017); Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi, Gubuak Kopi, 2017; dan Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi PKAN Padang Sibusuk (2018). Peserta program residensi seni: Rimba Terakhir oleh Walhi Nasional di Mentawai (2018). Muhammad Riski adalah salah satu pegiat di Komunitas Gubuak Kopi, aktif sebagai pengarsip. Saat ini sedang menempuh studi di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang (UNP). Sehari-hari ia juga merupakan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Seni Rupa di kampusnya. Selain itu ia juga aktif memproduksi karya seni mural dan stensil dan sibuk menggarap Minang Young Artist Project selaku ketua. Agustus 2018 lalu ia mewakili Gubuak Kopi juga terlibat dalam Pekan Seni Media yang diselenggarakan di Palu. xiv
Bella Kharisma biasa disapa Bella. Saat ini tengah menempuh studi Komunikasi di Universitas Riau (UNRI). Selain itu, ia aktif berkegiatan di Montage Club di kampusnya. Memiliki ketertarikan di bidang filem, fotografi, penulisan naskah, dan ide kreatif dalam produksi filem. Ia juga merupakan partisipan priode II Program Magang Gubuak Kopi 2018, dan kini ikut mengelola program Sinema Pojok.
Dayu Azmi, biasa disapa Dayu, lahir di Muaralabuh (1997) dan kini tengah menempuh studi di Jurusan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol, Padang. Selain itu ia juga aktif berkegiatan di LPM Suara Kampus, Taman Baca Mahasiswa, dan Jarang Comeback, sebuah komunitas baca di kampusnya. Ia memiliki ketertarikan di tulis-menulis, videografi, dan fotografi. Sebelumnya ia adalah partisipan program Magang Gubuak Kopi 2018.
xv
xvi
xvii
Pengantar Kuratorial Proyek Lapuak-lapuak Dikajangi #2
SILEK Dipakai Menjadi Baru
M
edia dan teknologinya adalah salah satu produk kebudayaan yang terus berkembang hingga hari ini. Di Sumatera Barat, oleh beberapa pihak tidak jarang ia dianggap sebagai musuh utama dari kebudayaan asli (tradisi). Sering disiarkan dalam cermah-ceramah, bahwa kehadiran media yang melepas batas-batas regional, dikawatirkan dapat menjadi pintu lebar untuk masuknya kebudayaan asing dan kapitalisme, yang kemudian ditakutkan merubah kebudayaan lokal. Ketakutan tersebut adalah sesuatu yang penting untuk kita sadari, namun, kenyataannya kehadiran media dengan sagala perkembangan terkininya tidak dapat kita tolak. Dan ia telah menjadi bagian dari keseharian kita. Nam June Paik, salah seorang motor awal dari lahirnya seni media. Mengembangkan seni media, sebagai upaya merebut dan menolak konstruksi-konstruksi yang melanggengkan sikap otoriter dan praktek kapitalisme. Kesadaran itu terus berkembang dan mengisi sejarah etetika seni baru ini, seni media. Praktek seni media di Indonesia juga berkembang dan menawarkan sejumlah gagasan estetika. Di antaranya berbasis teknologi media, mengeoprek, maupun aktivitas bermedia itu sendiri sebagai perantara pesan, merespon situasi sosial-politik. Bermedia dan berkesenian Indonesia pada masa orde baru, selama kurang lebih 30 tahun, berada dalam kontrol ketat rezim militer yang otoriter. Kontrol tersebut, melanggengkan otoritas pemerintah yang berkuasa pada masa itu. Selama itu pula masyarakat terbiasa menerima kebenaran tunggal, yang terpusat di ibu kota. Sejak bergulirnya reformasi, praktek media semakin terbuka, ditandai dengan munculnya puluhan perusahaan media di kota-kota besar. Perusahaan-perusahaan media ini, kemudian dikelola oleh kepentingan pemilik modal besar yang masih juga terpusat di ibu kota, yang di saat bersamaan juga merupakan elite politik dari partai-partai, yang bersaing merebut bangku tertinggi di pemerintahan.
xviii
Selain itu, Euforia kebebasan bermedia pasca-runtuhnya Orde Baru, tidak berbarengan dengan upaya pemerintah meningkatkan daya kritis masyarakat dalam memahami dan mengkritisi informasi maupun cara kerja media itu sendiri (Gubuak Kopi, 2014). Terlebih, sekarang kita berada di era milenial, era di mana akses informasi semakin terbuka. Teknologi media yang berada di genggaman sebagaian besar kita ini, memungkinkan terjadinya desentralisasi dan pemerataan pengetahuan seperti yang dicitakan demokrasi. Daerah-daerah seperti Sumatera Barat pun dapat menunjukan posisinya sebagai bagian dari warga dunia. Namun, hal ini tentunya sulit untuk dicapai, jika kita tidak siap secara mental dan pengetahuan dalam menyikapi perkembangan media terkini. Era Milineal juga semakin membuka lebar akses produksi dan distribusi informasi. Siapa saja dapat memproduksinya tanpa mendapat pendidikan media terlebih dahulu. Tidak sedikit beredar informasi yang tidak bertanggung jawab, yang juga berdampak terjadinya konflik sosial di tengah-tengah masyarakat. Namun, hal ini dapat diredam dengan menyadari cara kerja media. (Lapuak-lapuak Dikajangi, Gubuak Kopi, 2017) Kesadaran di atas mendasari penjelajahan estetika di Gubuak Kopi, dalam mengembangkan praktek seni alternatif. Sejak berdiri pada tahun 2011, organisasi ini bekerja mengembangkan kesadaran akan kebudayaan lokal melalui kerja kesenian
dan media. Kemudian pada tahun 2013, Gubuak Kopi secara aktif mengembangkan kegiatan yang berbasis media, sebagai alternatif dalam menyikapi perkembangan media itu sendiri. Sejak tahun 2017 Gubuak Kopi, mengembangkan kegiatan lokakarya literasi dan seni media berbasis komunitas yang mengangkat isu-isu lokal sebagai topik utamannya, mengembangkan praktek seni media sebagai bagian dari studi kebudayaan lokal, serta mengupayakan distribusi (pemerataan) pengetahuan tentang media itu sendiri bersama komunitas-komunitas lokal di Sumatera Barat dan nasional;.
Lapuak-lapuak Dikajangi #2 - Silek “Lapuak-lapuak Dikajangi� adalah sebuah perhelatan dari kegiatan studi pelestarian seni tradisi melalui platform multimedia. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Gubuak Kopi melalui program Lokakarya Daur Subur pada tahun 2017, sebagai rangkaian presentasi publik dalam membaca tradisi masyarakat pertanian. Presentasi publik ini dihadirkan dalam bentuk kuratorial pertunjukan dan open lab/pameran multimedia. Mengingat banyaknya isu-isu kesenian tradisi yang belum terbicarakan dengan baik, serta menyadari isu ini akan terus berkembang, maka kegiatan ini diagendakan setiap tahunnya, yang secara khusus mempelajari nilai-nilai seni tradisi itu sendiri, dan menjembatani kesalingkaitannya dengan xix
kesadaran seni media. Tahun 2018 ini, Gubuak Kopi berkerja sama dengan Silek Art Festival menghadirkan Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #2 sebagai rangkaian kegiatan kolaborasi seni media berbasis komunitas dalam membaca nilai-nilai tradisi “silek”. Istilah Lapuak-lapuak Dikajangi dipenggal dari petitih adat di Minangkabau, yang bertaut dengan satu kalimat berupa: “usang-usang dipaharui, lapuak-lapuak dikajangi” dalam Bahasa Indonesia: yang telah usang diperbaharui, yang telah lapuk disokong kembali. Kemudian, dalam situasi yang sama biasanya muncul pula ungkapan “Adaik dipakai baru, baju dipakai usang” (adat terus digunakan menjadi baru, pakaian terus digunakan menjadi usang) serta “sakali aia gadang, sakali tapian baraliah…” (sekali air besar, saat itu tepian berubah) serta “walaupun baranjak, di lapiak nan sahalai juo” (walapun beranjak, masih di tikar yang sama).
Pelestarian dan Pengembangan Tradisi Silek Melalui Platform Seni Media Silat atau silek bukanlah hal yang asing lagi bagi kita di Sumatera Barat. Ia hingga saat ini masih dapat kita temukan dengan ragam penjelmaannya. Perkembangan ini sejalan dengan dinamika kebudayaan di Sumatera Barat sendiri, yang menuntut tradisi melakukan penyesuaian-penyesuaian dan perubahan lainnya, terutama dalam agenda ‘pariwisata’. Dalam sudut pandang tertentu silat juga dibaca sebagai eksistensi sebuah kelompok budaya, ideologi, dan filosofis, juga sebagai agenda pariwisata semata (exotism). Kemudian untuk mempertegas posisi silat sebagai bagian dari landasan filosofis lokal, beberapa pegiat budaya mengemukakan kembali termiologi lokal: “silek” sebagai penegasan untuk xx
memahami “silat” dalam prespektif ideal masyarakat Minangkabau. Tapi, dalam prakteknya tidak sedikit dari kita: yang menyebut telah “melestarikan tradisi” terjebak pada aksi “memajang barang antik” semata. Terpesona-terkagum pada aksi-aksi fisik, heroik, keeksotisan, dan lainnya. Menjadikan nilai-nilai di baliknya sebagai narasi pelengkap saja. Hal ini salah satunya muncul karena keterbatasan kita memahami “tradisi”. Ia sering kali dianggap sebagai kebiasaan yang terpisah dari kebudayaan yang tengah berlangsung (Lapuak-lapuak Dikajangi, Gubuak Kopi, 2017). Menarik sebenarnya memahami silat ataupun silek melalui platform seni media sebagai upaya otokritik bagi diri sendiri dalam pembangunan kebudayaan, dengan tetap sadar akan nilai-nilai tradisi, sejarah, dan perkembangan kontemporernya. Dalam kagiatan proyek seni LLD #2 ini, kita mengundang keterlibatan 10 seniman partisipan dalam dan luar Sumatera Barat untuk merespon topik di atas; Mengembangkan dan memanfaatkan medium teknologi media untuk memetakan dan menarik nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam tradisi silek dari ragam prespektif. Hal ini sangat signifikan, mengingat minimnya inisiatif yang merespon perkembangan tradisi ini dari sudut pandang kesenian kontemporer. Selain itu kita juga melibatkan sejumlah remaja yang terhubung dengan program Remaja Bermedia #2, untuk berkolaborasi dan mengalami proses pendayagunaan teknologi media sebagai alat kreativitas. Tidak lupa kami mengundang sejumlah tokoh selaku narasumber ataupun kawan diskusi, untuk memperkaya pembacaan terkait pelestarian (pengembangan) silek di Minangkabau hari ini. Tokoh yang berjasa tersebut antara lain: Mak Datuak Tan Panggak (Sasaran Silek Sinpia, Solok), Mak
Siren (Sasaran Silek Tuo Kinari), Uda Rizal Cardov (Sasaran Silek Limbago Budi), Eri Merfi (Nan Jombang D.C), Dr. Hasanuddin (Peneliti/Akedemisi UNAND), Buya Khairani (Tokoh Adat, Solok), Haji Rusli (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau, Solok), Bapal Yasrial (Seniman Gandang Sarunai Solok Selatan), dan lainnya. Kepada mereka dan semua yang telah membantu, kami ucapkan terima kasih. Salam. Albert Rahman Putra Solok, November 2018
xxi
xxii
xxiii
Pembukaan Lapuak-lapuak Dikajangi #2
L
Adapun para seniman yang terlibat ialah Ragil Dwi Putra (Jakarta) yang saat ini aktif berkegiatan di 69 Performance Club dan Klubkarya Bulutangkis; Jhori Andela (Padang Panjang) yang saat ini aktif sebagai komposer musik berbasis tradisi dan multimedia, baik itu untuk karya personalnya maupun dalam musik tari dan filem; Prashasti Wilujeng Putri (Jakarta) yang focus pada bidang seni performance, juga tergabung dalam 69 Performance Club dan kolektif Milisi Film; Hujjatul Islam (Lombok) yang saat ini aktif sebagai pengurus di Yayasan Pasirputih Lombok dan aktif berkarya sebagai pelukis dan mengembangkan proyek seni Dokter Rupa, sebuah inisiatif untuk mendekatkan pengetahuan seni rupa pada masyarakat.
apuak-lapuak Dikajangi (LLD) #2 adalah proyek seni lanjutan dari Lapuak-lapuak Dikajangi tahun 2017 lalu. Secara garis besar proyek ini berupaya melestarikan nilai-nilai tradisi yang terdapat dalam aktivitas masyarakat melalui platform multimedia. Kalau sebelumnya partisipan yang dihadirkan hanya dari Sumatera Barat, Project LLD #2 melibatkan 10 seniman/komunitas yang berasal dari luar dan dalam Sumatera Barat. Para partisipan akan diajak untuk membaca dan merespon persoalan silek (silat/seni beladiri) di Sumatera Barat dan Solok secara khusus. Temanteman seniman ini akan riset, berkolaborasi, dan memproduksi karya di Solok selama Berikutnya ada Zekalver Muharam (Solok) 21 hari kedepan. yang aktif berkesenian melalui karya-karya 2
seperti mural, komik, lukisan, dan video; Dewi Safrila Darmayanti (Pekanbaru), seorang koreografer yang berdomisili Pekanbaru, aktif berkarya bersama kelompoknya Otaku Dance Company serta mengelola kelompok musik Blacan Aromatic di Pekanbaru; Hafizan (Padang) aktif berkesenian di ruang lingkup kampus dan juga komunitas-komunitas seni di Sumatera Barat; Arum Dayu Tresanigtyas (Bandung), aktif mengerjakan proyek-proyek fotografi dan video. Selain itu, saat ini juga aktif mengelola Omnispace, dan berkarya dalam kelompok musik bernama Tetangga Pak Gesang; Palmer Keen (Yogyakarta) seorang Etnomusicolog asal Amerika, yang kini menetap di Yogyakarta dan tengah menjalankan project personalnya yakni Aural Archipelago, sebuah penelitian dan pengarsipan musik tradisi Asia.
Demikian secara ringkas Albert Rahman Putra, selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi memperkenalkan para seniman dalam jamuan makan malam (14/10/2018) yang dipersembahkan oleh Walikota Solok tersebut. Malam itu, di Balairung 99, kediaman Walikota Solok, Albert juga menyampaikan pertimbangan-pertimbangan kenapa orang-orang ini dipilih. Walikota yang dalam hal ini diwakili oleh Wakil Walikota, yakni Bapak Reiner, berharap teman-teman seniman ini dapat memperkaya pemahaman masyarakat, khususnya generasi kini terkait tradisi silek di Minangkabau. *** Senin, 15 oktober 2018, project Lapuaklapuak Dikajangi #2 resmi dibuka. Pembukaan ini diawali dengan sambutan oleh Albert selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi. 3
Antara lain Albert menyampaikan gambaran kegiatan yang akan dilakukan temanteman seniman selama kurang lebih 21 hari di Solok, seperti lokakarya, mengikuti kuliah umum dari akademisi maupun pelaku silek tuo, mengunjungi sasaran silek dan melihat proses latihan, riset, memproduksi karya, serta mempresentasikan karya dalam bentuk pameran. Selain itu, Albert juga menyampaikan terima kasihnya bahwa tahun ini, LLD bisa terlaksana oleh Gubuak Kopi berkat kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, dan kali pertama didukung oleh Pemerintahan Kota Solok, yang dirangkai sebagai mitra Silek Arts Festival dan Platform Indonesiana. Acara pembukaan ini dilaksanakan di aula Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok (15/10/2018), di Tembok-Ampang Kualo, Nan Balimo, Kota Solok. Acara pembukaan ini juga dihadiri oleh kepala perwakilan Direktur SAF (Silek Arts Festival), dan dibuka secara simbolik oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Solok. Setalah pembukaan, pada siang harinya, kita juga kedatangan perwakilian dari Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, menyampaikan maaf dan sapaan atas ketidak-hadirannya di pembukaan.
juga terkait pendidikan karakter, adab, silaturahmi, dan lainnya. Selain itu Datuak Tan Panggak menambahkan sejarah datangnya silek di Kota Solok yang membuat pengembangan silek di Solok menjadi lebih unik. Bahwa, silek yang datang dari Solok datang dari agam dan tanah datar, dari agam memKemudian acara dilanjutkan dengan pen- bawa langkah tigo dari tanah datar membagantar mengenai kebudayaan di Solok dan wa langkah ampek, sedangkan di Solok dua kaitannya dengan perkembangan Silek di langkah dasar ini dipadukan dan dikemSolok oleh Ketua Lembaga Kerapatan Adat bangkan. Alam Minangkabau (LKAAM), yakni Ba- Pengenalan dasar itu berlangsung hingga pak Haji Rusli, dan wakilnya Mak Datuak sore hari, dan pada malam harinya dilanjutTan Panggak, yang juga diperkenalkan se- kan dengan mer-review hasil diskusi siang bagai salah seorang tuo silek (guru silek) di hingga sore itu, yang dipandu oleh temansalah satu sasaran silek (perguruan silek). teman dari Gubuak Kopi. Seperti yang menjadi ide dasar Gubuak Kopi menghadirkan tema ini, dua tokoh ini juga menyebutkan bahwa silek tidak hanya persoalan beladiri secara fisik, tetapi 4
Bella Kharisma Solok, 15 Oktober 2018
5
“Silek Solok di Sinpia adalah pertemuan Langkah Tigo dan Langkah Ampek. Langkah Tigo datang dari Agam, Langkah Ampek datang dari Lintau, dan bertemu di Solok� Foto: Mak Datuak Tan Pangak, guru silek Sinpia, memperkenal silek yang berkembang di Solok, dan silek yang ia kembangkan di sasaran (perguruan) Sinpia. (15/10/2018)
Me-review kembali materi dari Mak Datuak Tan Panggak dan Haji Rusli. (15/10/2018)
6
Silek pada dasarnya bukan hanya persoalan bela diri, di sana kita belajar tentang adab! Foto: Haji Rusli, Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Kota Solok) memberi wawasan umum mengenai silek dan kesalingkaitannya dengan sendi-sendi kehidupan masayrakat Minangkabau. (15/10/2018)
7
8
S
elasa, 16 Oktober 2018 menjadi hari yang tidak bisa dilupakan oleh para partisipan Lapuak Lapuak Dikajangi (LLD) #2 beserta rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi. Pagi hari itu menjadi pagi yang sangat melelahkan untuk bangun, disebabkan pada dini hari sekitar pukul 3, para partisipan dan penghuni kamar di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok, dibangunkan oleh kehadiran maling yang kepergok memasuki salah satu kamar dari partisipan LLD #2, sontak membangunkan orang seisi SKB dan berhamburan berlari mengejar maling tersebut. Karenakan bangun dalam posisi terkejut para partisipan dan rekan-rekan Gubuak Kopi yang ikut mengejar masih sedikit kebingungan mencari ke mana arah maling itu lari. Sambil berteriak “itu nyo a” (itu dia), teriak Albert berlari menuju keluar gedung bersama para partisipan dan rekan-rekan lainya. Semua yang terbangun ikut mengejar, tapi maling itu berhasil kabur, karena di depan Gedung SKB Kota Solok ada teman si maling menunggu dengan motor. Mereka berhasil membawa 3 telepon genggam dan salah satunya milik Joe Datuak.
malingnya yang didapat. Malam itu Albert terjatuh saat mengejar maling tersebut, alhasil ia mendapat luka yang cukup dalam, di kedua lutut dan telapak tangan sampai celana panjangnya robek. Untung saja ada Dewi, partisipan dari Pekanbaru Riau. Layaknya seorang dokter dadakan, Dewi sangat sigap menangani luka pada lutut dan telapak tangan Albert. “Yo, paralu jo kito bara silek bantuaknyo.” (iya, sepertinya kita perlu belajar silek) kata Albert menertawakan dirinya. Sembari Dewi membersihkan luka bang Albert, Joe Datuak yang seharusnya sedih karena telepon genggamnya dibawa kabur maling tapi masi tetap humoris “waih, ko ba-operasi kaki mah bet” (wah, ini harus dioperasi loh, bert), sambil memasang lampu bersama saya untuk menerangi Dewi yang tengah membersihkan luka Albert. Sementara Volta dan Hafiz mencari beberapa obat dan perlengkapan medis yang belum kami punya.
Kejadian ini tidak menjadi hambatan untuk melanjutkan kegiatan. Tepat pukul 9:30 Joe membangunkan saya, berat sekali rasanya badan digerakkan karena kejadian semaSudah jatuh tertimpa tangga pula, bukan lam. Sekitar pukul 11:00 kegiatan pun dim9
ulai. Sekitar dua jam lebih para partisipan beserta rekan-rekan dari Gubuak Kopi menonton filem Harimau Tjampa (Djayakusuma, 1954). Filem yang juga menghadirkan konstruksi bagaimana adab dalam belajar silek di Minangkabau, serta permasalahan yang dihadapi oleh lakonnya utamanya pada filem tersebut. Filem Harimau Tjampa yang berdurasi 97 menit ini merupakan filem Indonesia yang dirilis pada tahun 1953 dan mendapatkan penghargaan di Festival Film Indonesia pada tahun 1955 untuk kategori Skenario terbaik. Filem yang disutradarai oleh D. Djajakusuma ini melibatkan beberapa orang aktor terbaik di antaranya Bambang Hermanto berperan sebagai lakon utamanya yang bernama Lukman, Datuak Langit diperankan oleh Rd Ismail, Nurnaningsih, Titi Savitri, Wahid Chan, dan Malin Marajo. Penulis naskah Nazaruddin Naib Alwi Dahlan. Musik oleh Tjok Sinsoe.
kamu siapa dan dari mana, nanti kamu jawab, namo ambo Pardi, ambo dari Solok“ tambah Joe kepada Palmer. Seketika nama Parmer berganti saja menjadi Pardi, Setelah itu setiap orang yang menanyakan nama dan dari mana si Palmer dia selalu jawab “namo ambo Pardi, ambok dari Solok” (Nama saya Pardi, Saya dari Solok), kata palmer, dan orang orangpun tertawa. Perjalanan berlanjut ke tengah sawah untuk menemui Pak RW yang ternyata pergi menjaga padi dari serangan burung, atau orang di sini bilang “manggaro” (menjaga sawah dari serangan hama seperti burung).
Partisipan sangat menikmati pemandangan di sawah, perlahan berjalan di pematang sawah yang kecil menuju ke pondok tempat Pak RW berada. Sesampainya di pondok Pak RW, para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi berhenti sejenak. Sembari duduk di pematang sawah Joe membuat Pupuik Batang Padi, semacam alat Selesai menonton dan membahas filem para musik, ia dibuat dari ruas batang padi. Para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak partisipan memperhatikan Joe yang meKopi pun beristirahat dan makan siang. Se- maikan Pupuik Batang Padi, dan ikut menbagian ada yang tidur, dan sebagian lagi ada coba pula. Menjelang senja rombongan pun yang ngobrol-ngobrol di luar kamar. bergerak menuju SKB. Sore harinya, saya bersama rekan-rekan Gubuak Kopi dan seniman partisipan, ditemani oleh salah seorang pemuda di daerah sekitar SKB Kota Solok, kami pergi bersilaturahmi bersama warga sekitar. Antara lain, Ketua RT, RW, dan pemuda-pemuda di sini. Perjalanan silaturahminya sangat menyenangkan dan lucu, di mana teman kami Palmer dari Amerika menjadi aktor penting dalam rombongan. Hampir setiap tikungan orang-orang memanggilnya. “Dak dolai lah, jadi anak galeh” (Jadi icon), kata Joe kepada rombongan, dan semua rombongan tertawa mendengarkan. “eh, nanti kalau orang sini tanya, nama 10
Setalah sampai di SKB rombongan pun beristirahat sejenak. Sekitar jam setengah sembilan Buya Khairani pun datang. Beliau langsung saja melebur bersama para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi di halaman depan kamar para partisipan. Diskusi dan bercerita pun disambung di ruangan bersama Buya Khairani yang malam itu menjadi pemateri. Tema diskusi kali ini yaitu “Nilai-nilai dalam Silek”. Buya Khairani adalah salah seorang tokoh adat di Solok. Ia juga aktif memberi petuah-petuah adat di beberapa radio di Solok. Buya Khairani pun memulai diskusi. Di sini beliau banyak memaparkan fakta sejarah tentang silek, dan apa itu silek.
“Silek itu dibagi dua di antaranya pencak dan laga”, tutur Buya Kharani. Lanjutnya “kalau pencak itu biasanya untuk pementasan atau lebih mengkaji estetikanya, sedangkan laga lebih mengkaji substansi atau kemampuan si pesilat itu tadi”. Merujuk pada pengertian silek menurut Buya Khairani silek itu berasal dari kata silah yang berarti melangkah atau langkah, atau bisa juga diartikan sebagai silaturahim dan kekerabatan.
juga menceritakan sedikit sejarah tentang asal muasal suku-suku di Minangkabau. Kata Buya ada beberapa gerakan pokok silek di Minangkabau seperti: Simpia (menungkai kaki), Gelek (Bertahan atau mengelak sabil merancang serangan), Dongkak(Terjangan), dan Tapiah (Tepis). Dan beliau juga menjelaskan mengenai aliran/gaya silek di setiap daerah di Minangkabau seperti: Sacabiak Kain Kapan dari Tiku Pariaman, Harimau Singalang dari Bukittingi, Ulu Ambek dari Padang Pariaman, Buayo Lalok dari Pesisir Selatan, Silek Darek dari daerah pegunungan daerah Minang Kabau, Silek Kabau Lia dari Sijunjung Sawahlunto.
“kalau urang minang ko harus pandai basilek, silek tu bukan hanyo jo gerakan, tapi ado nanjo lidah, aaa.. tu silek lidah namonyo” (Kalau orang minang itu harus pandai bersilat, silat itu bukan hanya gerakan, tapi Buya Khairani juga menjelaskan keterkaiada juga dengan lidah, nah itu silek lidah tan silek dengan agama dan pituah-pituah adat yang ada di Minangkabau. Seperti “kok namanya), ujar beliau. lawan pantang dicari, kok basuo pantang Menurut Buya Khairani para perantauan dielakkan” (Tidak pernah mencari lawan, Minang itu harus tahu dengan nan ampek tapi kalau datang tidak pernah lari atau (hal yang empat), ada banyak macam em- menghindar). pat perkara yang harus dipahami orang minang, salah satunya adalah nan ampek beri- “Aso ilang dua tabilang” (satu hilang dua kut: Pandai Mamasak artinya orang minang terbilang atau terbaca), maksudnya sangat di perantauan tidak boleh hilang akal untuk luas, dan juga bisa diartikan kalau hilang makan dan mencari makan, harus tahu ha- satu yang dua lagi terbilang atau diketahui, lal dan haram, yang kedua Pandai Manjaik jadi seorang pesilat itu harus bertanggung (Pandai Menjahit) artinya harus pandai jawab akan hal yang telah dilakukannya. mengukur keadaan, yang ketiga Pandai Sepertinya ketika terjadi perselisihan anMalangkah (Pandai Melangkah), artinya tara pesilat yang tidak dapat dihindari, dan dia harus tahu dan mengerti apa yang hen- ketika salah seorang berhasil melukai atau dak dikerjakannya, dan yang terakhir Pan- terkena serangan dari kerisnya, maka hulu dai Mangaji (Pandai Mengaji atau mebaca dari keris itu yang tercabut dan kerisnya Al-Qur’an), yang mana orang minang itu tertinggal. Itu merupakan pertanda atau sebagai bukti bangi seorang pesilat yang telah identik dengan agama. melakukannya. “meskipun preman di kampung, tidak pernah sholat, tapi kalau di rantau di bisa man- Diskusi berjalan sangat menyenangkan gaji dan azan di masjid” jawab Buya Khaira- karena di setiap materi yang disampaikan Buya Khairani ada saja gurauan yang diseni. lipkannya, dan partisipan pun juga sangat Empat hal tersebut merupakan modal uta- mengerti dengan apa yang disampaikan ma untuk orang Minang pergi ke perantau- oleh Buya Khairani. Beliau berharap kean.Dalam diskusi malam itu Buya Khairani pada partisipan dan rekan-rekan Gubuak 11
Kopi agar kelak tetap peduli akan sejarah, seni, dan kebudayaan. Diskusi berakhir dan Buya pun berpamitan untuk pulang. Hari kedua kegiatan LLD #2 menjadi hari yang menyenangkan dan sekaligus melelahkan, diawali dengan musibah dan diakhiri dengan diskusi dan pembicaraan yang menghibur sekaligus menambah wawasan. Partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi langsung kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat, karena hari ini cukup melelahkan. Dayu Azmi Solok, 16 Oktober 2018
12
R
abu, 17 Oktober 2018, masih dalam rangkaian proyek seni Lapuaklapuak Dikajangi #2, kami mengikuti kuliah umum tentang persoalan makna-makna dan ragam silek oleh salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas, yakni Dr. Hasanuddin, M.Si. Seperti yang diperkenalkan Albert Rahman Putra, ketua Komunitas Gubuak Kopi, Bapak Hasanuddin sebelumnya sempat meneliti persolan silek di Minangakabau, khusunya silek gaya luambek / ulu ambek di Pariaman, dan menuangkannya pada jurnal dengan fokus pembacaan silek sebagai upaya manajemen konflik sosial. Sore itu Bapak Hasanuddin memulai materinya dengan menjabarkan fungsi silek, ada beberapa fungsi silek yakni pertama bela diri, pertahanan nagari, media transformasi konflik, silaturahmi, ekspresi seni. Walaupun di atas disebutkan bahwa silek berfungsi sebagai bela diri dan untuk mempertahankan nagari yang kita sering artikan dengan kekerasan, namun kata bapak Hasanuddin silek bukanlah soal pertarungan, justru orang minang sangat diajarkan
untuk menghindari keributan dan juga kekerasan. Namun ada satu pepatah yang disampaikan oleh beliau yakni “musuah indak dicari-cari, kalau bertemu pantang diilakan� (musuh tidak dicari-cari, kalau bertemu pantang di hindari), artinya kita diajarkan untuk tidak mencari-cari lawan, namun jika bertemu pantang untuk dihindari. Selain fungsi silek, beliau juga menyampaikan makna silek. ada beberapa makna silek yakni, harga diri, percaya diri, kerendahan hati, kemuliaan diri, keindahan seni. Dalam sesi itu Albert menanggapi, bahwa sering kali rancu bagi publik untuk melihat silek tidak sebagai beladiri, terutama kawan-kawan yang tidak mengalami silek itu sendiri dan datang dari luar. Karena setiap kita melihat latihan silek selalu yang dipamerkan guru-guru adalah kelihaian pukulan-pukulan dan kemahiran mengunci lawan. Sementara itu guru-guru silek dan pakar selalu menyebutkan silek bukan soal perkelahian. Untuk hal itu Albert berasumsi, bahwa, bagaimana silek menangkal perselisihan tadi adalah dengan kesadaran bahwa selalu ada yang lebih 13
kuat, serta bersilat mengajarkan kita untuk membaca beberapa step kedepan dari tindakan yang kita mulai. Bagaimana kita memulai, bagaimana lawan menanggapi, kita menanggapi kembali, dan seterusnya, sering kali membuat pertarungan itu tidak terjadi, karena sudah selesai sejak dalam pikiran.
berjalan kaki, namun ada sebagian yang naik motor sebeb ada keperluan lain sebelum itu. Sebenarnya tidak enak langsung masuk ke dalam tempat acara, karena kami tidak memakai pakaian adat. Tapi di masjid kami bertemu dengan Buya Khairani dan beberapa orang yang juga tidak asing bagi Gubuak Kopi. Kepada mereka kami mohon Bapak Hasanuddin sepakat. Ia juga menam- izin untuk mengikuti pidato adat ini dari bahkan, bahwa silek, khususnya luambek teras masjid saja. sama halnya dengan kesenian, menjadi lua- Acara dibuka dengan berbagai sambutan, pan ekspresi. Kemarahan jika disampaikan dan nyanyian oleh Bundo Kanduang Kamdi gelanggang, ia akan berakhir dengan pung Jawa. Setelah itu barulah para tokoh sportif dan tidak menjadi dendam. Ba- adat ini berpidato. Beberapa kawan senipak Hasan mencontohkan pernah terjadi man sebenarnya agak susah menyimak perselisihan di suatu kampung, orag yang karena bahasanya yang cepat, menggema, berselisih mengundang lawannya untuk dan bahasa Minang. menyelesaikan ini didepan khalayak ramai, Sekitar pukul sebelas malam kami memudalam hal ini adalah gelanggang. Maka se- tuskan untuk meninggalkan sepeda motor tiap orang-orang akan dipanggil dan pet- yang kami bawa di masjid dan berjalan kaki inggi silek akan menyimak. Di gelanggang, ke pasar Kota Solok untuk sekedar menyicisemua ada aturannya. pi jajanan pinggir jalan seperti telur gulung. “Mengelola amarah?� Albert menanggapi kembali.
“Saya kira seperti itu,� Bapak Hasanuddin menegaskan. Kuliah umum yang diberikan Bapak Hasanuddin berlangsung kurang lebih selama 3 jam. Sore itu setelah kuliah umum, kami berkumpul di depan kamar untuk bersantai. Lalu malamnya sekitar pukul 8 malam kami bersama-sama menghadiri undangan dari Buya Khairani, salah seorang tokoh adat Solok, untuk datang ke Masjid Nurul Yaqin di Kampung Jawa, untuk menyaksikan acara pidato adat. Acara ini merupakan arisan bulanan para tokoh adat di setiap kelurahan dan juga sebagai ajang apresiasi pidato adat. Pidato ada ini lah yang dicontohkan oleh Buya Khairani sebagai salah satu pengembangan dari silek lidah tempo hari. Perjalanan ke masjid kami tempuh dengan 14
Setelah itu, kami melanjutkan perjanan ke tempat selanjutnya yakni kedai teh talua, kami semua duduk lesehan di depan toko yang sudah tutup untuk menikmati minuman hangat seperti teh talua dan sekoteng. Malam itu kami habiskan dengan ngobrol santai dan juga diselingi dengan candaan. Menjelang tengah malam, kami memutuskan untuk kembali ke SKB. Bella Kharisma Solok, 17 Oktober 2018
15
K
amis, 18 Oktober 2018, kegiatan para partisipan proyek seni LapuakLapuak Dikajangi #2 lebih mengarah kepada penelitian lapangan. Beberapa partisipan dari kegiatan ini terdiri dari Prasasti Wilujeng Putri (Jakarta) yang biasa saya sapa Asti, Jatul Dokter Rupa (Lombok), Ragil Dwi Putra (Jakarta), Hafizan (Padang), dan saya sendiri Dewi Safrila Darmayanti (Pekanbaru) memilih untuk pergi ke Nagari Kinari. Perjalanan ini didampingi oleh Volta, salah satu fasilitator yang akan memberi petunjuk kepada partisipan untuk menelusuri bagian-bagian tertentu di Nagari Kinari. Perjalanan dimulai oleh Asti, Jatul, Ragil, dan Volta menggunakan kendaraan roda dua. Sedangkan saya dan Hafiz menyusul. Ketika berangkat cuaca di Kota Solok sangat cerah, sehingga dari beberapa partisipan tidak membawa jaket untuk melindungi tubuh. Pertama partisipan mengunjungi kediaman keluarga Volta, di kediaman keluarga Volta kami disuguhi makan siang. Lauk pauk yang hadir menggugah selera makan teman-teman, seperti telur dadar, 16
gulai pucuik ubi (daun singkong), samba jariang (jengkol) dicampur kentang. Setelah makan siang selesai, mulai rasa mengantuk menyerang, Asti posisi di dekat sofa untuk berbaring sejenak. Tidak hanya Asti, Jatul juga mengambil posisi untuk membaringkan tubuh. Tetapi tidak berselang lama, Jatul mengajak Volta bermain angka seperti sulap, bahwa jatul akan menebak hasil dari angka yang sudah ditulis volta sebelumnya. Setelah main tebak-tebakan diiringi minum kopi yang ditungkan di piring kecil, waktu pun menunjukkan kami harus segera beranjak untuk mengunjungi Rumah gadang. Rumah gadang adalah nama untuk rumah adat tradisional Minangkabau yang banyak dijumpai di Provinsi Sumatera Barat. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjuang. Bagonjong merujuk pada model atap yang sangat khas, menyerupai tanduk dan disebut gonjong. Lalu, baanjuang merujuk pada model badan bangunan yang sekilas juga menyerupai kapal.
Siang itu kami mengunjungi salah satu rumah gadang dari pihak keluarga Volta. Salah satu Rumah Gadang yang sudah berdiri sejak 1955. Kira-kira sebulan sebelum partisipan mengunjungi Solok telah terjadi banjir bandang di sekitar sini. Sehingga ruangan di bawah Rumah Gadang yang dijadikan tempat ternak ayam akhirnya dibersihkan dan dipindahkan tempatnya. Kalau tidak dipindahkan maka Rumah Gadang tersebut terseret oleh banjir bandang tersebut. Setelah berbincang-bincang dengan keluarga Volta, partisipan pun diperbolehkan melihat-lihat rumah dan memfoto rumah termasuk ukiran yang terdapat di rumah gadang tersebut. Volta pun juga menunjukkan tempat menggantung lampu pada zaman dahulu sebelum listrik masuk ke Nagari Kinari. Dari penjelasan Volta ada terdapat salah satu perbedaan dari rumah gadang, salah satunya adalah jenjang di dalam ruangan rumah gadang. Ibarat pepatah tagak samo tinggi, duduak samo randah yang artinya tegak sama tinggi, duduk sama rendah. Berarti ada beberapa aturan dalam rumah adat salah satunya siapa yang akan duduk di tengah rumah, dekat pintu kamar, dekat pintu masuk, dekat tiang rumah, dan sebagainya. Begitulah peraturan adat di rumah gadang ketika acara adat sedang berlangsung. Selanjutnya partisipan mengelilingi rumah gadang tersebut, hingga ke belakang rumah dan melihat keadaan di ruang bawah rumah gadang. Terdapat banyak kayu dan bahkan ada sangkar burung. Di belakang rumah gadang terdapat sungai. Sungai tersebut sudah diberi batu yang dilapisi kawat, gunanya untuk mengantisipasi keadaan air sungai yang meluap. Di belakang rumah, Jatul mencoba mengunakan caping, memegang cangkul, dan berfoto. Dia terlihat seperti petani, ditambah ada gerobak di depan Jat-
ul, oleh karena itu Ragil mencoba mengambil gambar dengan efek hitam putih sehingga terlihat seperti zaman dahulu. Gemuruh tiba-tiba terdengar padahal ketika dilihat awan mendung bukan berada di Nagari Kanari, maka partisipan yang telah dipimpin oleh Volta segera meminta izin kepada tuan rumah untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Partisipan pun singgah ke salah satu rumah yang di depan rumah tersebut terdapat rangkiang (bangunan pondok lumbung padi). Seiring melihat-lihat rangkiang (lumbung padi), partisipan bertemu dengan uda (sapaan/abang) hendra. Ternyata Uda Hendra salah satu murid silek tuo Kinari. Uda Hendra bercerita sedikit tentang Silek Kinari dan mengajak partisipan dan Volta menuju kediaman guru Silek Tuo Kinari. Partisipan dan Volta diiringi oleh Uda Hendra menuju kediaman guru silek tuo. Seluruh yang pergi ke kediaman guru melewati sawah dan bukit. Rumah guru silek tuo Kinari sangat sederhana. Masih terbuat dari kayu dan ruang tamu dalam rumah tersebut seperti anjungan. Sehingga apabila kita berdiri posisi langit-langit rumah sangat dekat dengan kepala. Kami bertemu dengan beberapa orang tua di sana dan Mak Siren sebagai narasumber utama. Sebelumnya Uda Hendra menjelaskan bahwa silek Kinari adalah silat yang tidak untuk dipertontonkan dan berbeda dengan silat lainnya. Sifat silek Kinari pun sangat tertutup, yang belajar silat ini juga tidak banyak ketika pelatihan seperti terdiri dari dua atau empat orang. Menurut Uda Hendra tidak boleh banyak-banyak harus dituntaskan satu persatu. Dipertegas kembali oleh Mak Siren bahwa silek tuo Kinari adalah silek yang diperuntukkan untuk kebatinan atau untuk latihan pendalaman spiritual serta melatih kesaba17
ran. Sehingga butuh waktu untuk mempelajari bertahun-tahun atau waktu yang tidak sebentar. Dikatakannya kembali bahwa waktu minimal mempelajari silek tuo adalah 3 tahun. Mak Siren sudah belajar silek tuo Kinari dari umur 15 tahun.
atau di sawah.
Silek tuo Kinari mempunyai tahap-tahap dalam setiap pembelajarannya yaitu mempelajari bungo silek (bunga silat) terlebih dahulu atau dinamakan mencak/pencak. Kemudian melatih bunga silat tersebut di ruang tertutup biasanya di dalam rumah. Setelah menguasai dasar silat maka akan dibawa ke lapangan terbuka atau lebih luas, kemudian di atas sajadah, di atas papan sekeping, dalam kain sarung, latihan menggunakan pisau khusus bernama kerambit atau kurambik, di lapangan luas kembali
begitu diceritakan Mak Siren. Harimau akan datang sendiri ketika murid sudah menguasai seluruh pelajaran yang diberikan oleh guru. Penanda akan ‘tamat kaji’ (menguasai keseluruhan/khatam) adalah ketika harimau kalah. Pertanda kalah akan dirasakan apabila harimau tersebut mundur sebelum subuh. Apabila murid belum menguasai secara penuh maka harimau tersebut akan menyerang terus-terusan hingga adzan Subuh berkumandang. Apabila harimau tersebut tidak pergi, maka
Bagian di lapangan luas awal mula menggunakan lampu minyak atau biasa disebut lampu semprong, setelah melewati beberapa waktu maka diganti menggunakan serabut kelapa. Serabut kelapa tersebut dibakar Kurun waktu yang sudah lama dengan dan menjadi penerangan latihan di malam umur Mak Siren yang tidak tergolong muda hari, walaupun serabut kelapa tersebut mati lagi, Mak Siren tetap mengajarkan kepada latihan terus berlanjut hingga adzan subuh siapapun yang ingin belajar silek tuo Kinari berkumandang. tersebut. Sebelum belajar silek tuo Kinari Setelah murid dianggap mampu untuk maka sang murid membawa ayam sebagai menguasai mencak dan kepekaan, maka syarat mempelajarinya. Ayam yang dibawa latihan kepekaan memasuki tingkat selanmemiliki kriteria khusus yaitu berumur di jutnya. Latihan pada akhirnya tidak mengatas 6 bulan atau dewasa, memiliki paruh gunakan penerangan. Ketika sudah menkuning dan kaki kuning, dan harus ayam capai titik puncak maka sang murid yang berjenis kelamin jantan. melawan guru akan melawan harimau,
18
sang guru melempar ranting ke arena latihan seperti memberitahukan bahwa murid sudah melewati batas kemampuan dan tidak mampun untuk melawan harimau. Hal itu dilakukan secara terus menerus hingga sang murid ‘tamat kaji’.
indar. Tetapi akan menyerang ketika pukulan ke empat ditujukan. Tidak ada negosiasi yang akan dilakukan ketika pukulan ke empat dari lawan sudah dilayangkan ke murid silek tuo Kinari. Ibaratnya menggunakan silek tuo Kinari adalah satu detik sebelum Setelah mendengarkan penjelasan dari Mak mati. Alasannya digunakan dalam keadaan Siren, maka Partisipan bernama Ragil ber- terdesak, apakah ingin bertahan hidup atau tanya bagaimana cara untuk mempelajari mati. Begitulah sakralnya silek tuo Kinari. silek lidah. Mak Siren mengatakan bahwa Pernah suatu hari Mak Siren kedatangan silek lidah adalah tahap terakhir penca- tamu dari Belanda. Jadi orang Belanda ini paian dari keseluruhan silat. Silat sesung- ingin mempelajari silek, background mereguhnya terdapat disini. Mempelajari silek ka ada yang dari karate, taekwondo, kunglidah adalah mempelajari ilmu kebatinan. fu dan silek lintau. Dan mereka melakukan Ilmu kebatinan tersebut dipelajari di Surau. tantangan terlebih dahulu. Mereka mengeMurid akan dilatih terus menerus bagaima- luarkan kemampuan mereka dan meletakna berbalas pantun dan berbicara. Ibarat kan kamera di empat sudut untuk merekam pepatah alun takilek,alah takalam. Maksud pertandingan. Tanpa diduga pergerakan dari pepatah ini adalah belum terlihat su- dari penyerangan Mak Siren tidak bisa terlidah tahu apa yang akan dilakukan. hat dengan jelas di kamera. Sehingga orang Oleh karena itu, mempelajari tentang cara Belanda mengatakan “kenapa yang berbeda ber-silek lidah juga mengalami proses yang dengan yang telah diajarkan�. sangat panjang. Hal ini yang paling penting dalam tingkat mempelajari silat. Dan sebab itu mempelajari silek tuo Kinari yaitu melatih kesabaran. Contohnya saja murid akan dituntut untuk tidak menangkis serangan, serangan pertama hingga ketiga. Seseorang yang belajar silek tuo Kinari akan mengh-
Menurut pengakuan dari Mak Siren bahwa yang diajarkan kepada orang Belanda itu adalah mencak dari silat itu sendiri, bukan silatnya. Mempelajari mencak/pencak silat yang merupakan hal dasar dan bisa dipelajari oleh siapapun termasuk Non Muslim. Tetapi mempelajari silat yang sesungguhn19
ya harus memenuhi syarat berdasarkan kaedah-kaedah atau ketetapan-ketetapan yang telah ditentukan berdasarkan ajaran Al-Qur’an. Dijelaskan kembali bahwa silek di Kinari yang dikembangkan Mak Siren ini asal mulanya berasal dari Aceh. Beriring masuk dengan tari Saman. Jadi ada tiga bagian beriringan yaitu Agama, Tari Saman, dan Silat. Sekarang silat sudah tidak ada lagi Aceh, dan silat lebih berkembang di Sumatera Barat. Begitulah hasil dari beberapa diskusi bersama Mak Siren karena terputus oleh waktu dan hujan rintik juga sudah menunggu sedari tadi hingga tidak bisa dipastikan kapan akan terhenti. Partisipan, Volta, uda Hendra, dan Bapak Jhon Afendi biasa dipanggil Pak Jorong (ayah dari Volta) memutuskan untuk menempuh perjalanan pulang. Setelah bersalaman dengan Mak Siren berserta keluarga dari Mak Siren maka perjalanan pulang segera ditempuh.
politik untuk memimpin sebuah nagari di Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Jabatan Wali Nagari ini setara dengan kepala desa, perbedaannya hanya pada penamaannya saja. Wali Nagari Kinari selalu antusias dan men-support kegiatan dari Komunitas Gubuak Kopi sehingga Wali Nagari memberikan kesempatan kepada seluruh Partisipan dalam kegiatan Komunitas Gubuak Kopi apabila ingin mengapresiasi kesenian tradisional di Kinari, mereka bersedia menyiapkannya dan menampilkan.
Setelah berakhirnya silaturami kepada Wali Nagari Kinari, maka partisipan singgah sebentar ke rumah keluarga Volta untuk mengambil barang-barang yang kami titipkan sementara ketika perjalanan ke rumah gadang dan bertemu guru silek tuo Kinari. Kami siap-siap kembali ke SKB Kota Solok. Melanjutkan perjalanan yang disuguhi oleh pemandangan alam yang indah dengan nuansa kesejukan tersendiri dan kenyamanan Di balik perjalanan pulang menuju Solok, yang hakiki dari insan manusia. Melihat partisipan serta Volta bersama Uda Hen- Gunung Talang yang menjulang dan tertudra dan bapak Jhon Afendi singgah ke Wali tup awan, di bawah lereng terdapat bentanNagari. Wali Nagari adalah sebuah jabatan gan sawah begitu luas membuat ingin kem20
bali kepada tempat yang sama.
belajar di rumah dengan buku dan internet, Akan kembali dan akan bersilaturahmi ke anak dapat belajar dengan binatang piaraan Kinari lagi, lagi, dan lagi. Sebuah keinginan dan tanaman di kebun atau air yang menyang sangat dalam tanpa membuat pertim- galir di sungai.[1] bangan. Perjalanan yang semakin malam Begitulah untuk sebuah pengetahuan harus memberikan kami kesempatan singgah ke dicari dan semua dalam kehidupan menjadi tempat sate terkenal di Kinari. Menikmati pembelajaran yang begitu berharga, tidak sate bersama ketupat ditemani oleh keru- memilih-milih tetapi harus berhati-hati puk cabe serta kerupuk jangek (kerupuk juga. Diakhiri dengan kalimat manis dari dari kulit sapi yang sudah dikukus) mem- Frank Ocean “Kita bertemu untuk sebuah berikan kenikmatan tersendiri dalam me- alasan. Entah Sebagai anugerah, entah senikmati makanan tersebut. bagai pelajaran.” Setelah terhenti sejenak maka partisipan melanjutkan perjalanan kembali menuju SKB Kota Solok. SKB Solok adalah salah satu sarana belajar lembaga pemerintahan yang khusus melayani pendidikan luar sekolah (non formal). Seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara “Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru”. Dan pepatah lama mengatakan juga “alam takambang menjadi guru”. Alam Takambang Sebagai Sumber Pengetahuan.
Dewi Safrila Solok, 19 Oktober 2018 __________________________________ ______ [1] Alam Takambang Jadikan Guru diakses dari blog Jalius HR (https://jalius12.wordpress.com/2017/10/10/alam-takambang-jadi-guru/)
Alam Takambang jadikan guru pengertian yang paling pas untuk itu adalah “alam” (sama juga artinya dengan di dalam bahasa Indonesia alam) yang “Takambang” (membentang luas tanpa batas) ini atau alam raya ini dengan segala isinya. “Jadi“ diartikan dijadikan sebagai dan “guru ” ( sama dengan arti bahasa Inonesia ). “Guru” maksudnya adalah apa saja yang ada yang dapat kita pelajari atau memberikan pengetahuan kepada kita, atau apa yang dapat kita pelajari padanya. Maka guru di sini bermakna luas, berlaku untuk semua baik berupa orang dan alam sekitar di segala tempat dan keadaan. Dengan kata lain maksud guru itu adalah sumber belajar dan atau sumber pengetahuan. Sebagai sumber belajar dan pengetahuan sangat baik untuk di sekolah maupun di luar persekolahan. Anak dapat 21
M
alam itu (19/11/2018) hari kelima residensi, para partisipan Lapuak-lapuak Dikajangi #2berkumpul untuk berdikusi dan saling meng-update temuan-temuan observasi selama beberapa hari ini. Berdasarkan lokasi, malam itu ada dua cerita perjalanan dari teman-teman partisipan. Cerita pertama itu dari rombongan yang berangkat ke Kinari. Sebuah kampung kecil di Kabupaten Solok, dengan durasi tempuh sekitar 30 menit dari markas Gubuak Kopi. Rombongan ini terdiri dari Asti, Dewi, Ragil, Jatul, Hafiz, dan dipandu oleh Volta.
rumah adat Minangkabau yang dalam istilah lokal kita menyebutnya Rumah Gadang. “Tadi saya pergi ke Rumah Gadangnya Volta, katanya rumah gadang tersebut sudah berdiri sejak tahun 1955. Sampai hari ini cuma diganti atapnya saja yang dulu dari ijuk sekarang diganti menjadi seng, juga tadi ada Rangkiang (lumbung padi), itu rangkiang tinggi sekali ya, saya rasa kalau ada maling yang mau mencuri itu harus bawak tangga kayaknya,” ungkap Jatul.
“Dan tadi saya juga pergi ke tempat latihan silek, pak H. Nurdin namanya”, Jatul menambahkan. Sontak partisipan yang lain Diskusi berjalan seperti biasanya, hangat, bilang “Bukan pak H. Nurdin, Jatul…” karemeskipun diluar cuaca di luar gerimis dan na nama sebenarnya yang dimaksud jatuh suhu dingin lumayan menusuk tulang. Hari adalah Mak Siren. Salah seorang tuo silek ini perjalanan partisipan bersama Volta be- di Kinari. rangkat ke Kinari, di mana partisipan mengunjungi beberapa Rumah Gadang, tempat Ia menjelaskan kalau mau melihat latihan perguruan silek di Kinari, ke rumah Volta silek, sebenarnya kita hanya bisa lihat “bunga-bunga”nya saja. Karena bagi masyarakat dan bertemu dengan Wali Nagari Kinari. Kinari, silek yang sebenarnya tidaklah unJatul menjadi orang pertama yang mencer- tuk dipertontonkan. Kalau memang ingin itakan perjalannya menuju Kinari. Ia men- melihatnya, silahkan untuk ikut latihan. gawalainya dengan kesannya mengunjungi 22
Demikian tuo silek (guru silek) menawar- bersikap, mereka juga harus tau apa yang kan para partisipan untuk ikut berlatih. harus mereka lakukan dan apa risikonya”, “Dan tadi pas pulang kami pergi makan tutup Ragil.
sate Pak Jainal Abidin katanya dengan tidak “Kita dijelaskan beberapa step-stepnya”, bersalah telah mengati nama orang pemilik tambah Ragil. mulai dari basilek di atas setempat makan sate tersebut.” jadah, dan kalau salah satunya keluar dari Selanjutnya Ragil juga membagikan cerita sana maka harus diulang besok, Jelasnya. Latihan silek seperti ini biasanya dilakukan perjalannya ke Kinari. menjelang adzan subuh. Juga ada silek di “tadi kami pergi ke rumah Volta, kami atas sehelai papan, dan di dalam kain samakan gulai daun singkong, apa tuh rung menggunakan kurambik, yakni pisau namanya?”, sambil bertanya, “gulai pucuak khas pesilat yang menyerupai kuku hariubi” jawab Albert. Lalu makan dengan sam- mau. Dan menurut Mak Siren selaku guru bal balado dan jengkol tambah Ragil. silek, step yang terakhir latihan adalah di Ragil juga pergi mengunjungi rumah luar rumah, tampa lampu, dan matapun gadangnya Volta dan pergi ke tempat per- juga di tutup. Pesilat dituntut untuk memguruan silek di Kinari. Di situ akhirnya pertajam intuisi dan insting. ragil lebih mengerti dan paham kalau silek “Jadi yang bisa saya pahami dari sana, bahitu bukan hanya ilmu bela diri, seperti yang wa silek itu mengajarkan agar kita untuk beberapa hari ini dipelajari dari beberapa lebih peka dan penuh perhitungan dalam narasumber yang dihadirkan Gubuak Kopi. kehidupan dan lingkungan di sekitar kita”. Silek, terutama merupakan sebuah pendidikan untuk membentuk karakter seseo- Melanjutkan jabaran Ragil, Asti menegaskan bahwasanya silek lebih mengutamakan rang menjadi lebih bijak. soal kepekaan dalam kehidupan sehari “Dan pada akhirnya mereka lebih bisa 23
hari. Kemudian menarik, bahwa salah satu syarat untuk belajar silek adalah dengan menyembelih satu ekor ayam untuk setiap murid. Untuk di Kanari, ayamanya sangat khusus, ia harus memliki kaki dan paruh kuning. Dan kalau bisa dilogikakan, kala si muridnya ini mencari ayam, di sana juga bisa dilihat ketekunannya di mana dia juga harus sabar dalam mencari dan merawat ayam yang nanti akan dipotong untuk latihan silek itu sendiri.
tan musik tradisi dengan silek. Satu tentang bagaimana musik itu mengiringi silek, dalam hal ini adalah pencak atau bunga-bunga silek, dua bunyi-bunyian yang muncul ketika orang basilek, yang kemudian juga dikembangkan dalam randai, dan tiga adalah bagaiman konsep “silek� itu sendiri diaplikasikan atau mungkin juga bisa kita lihat dalam permainan musik. Seperti talempong pacik yang tingkah-batingkah, saling mengisi, dan mengunci.
Dewi juga menambahkan ternyata di setiap daerah itu memiliki persyaratan yang berbeda, Kalau di Kinari itu hanya membawa ayam, dari ayam ini kata si gurunya bisa melihat bagaimana si murid yang ingin belajar silek ini. Dan Dewi juga menambahkan kalau silek ini tidak sama dengan bela diri lainya seperti karate dan taekwondo.
Perjalanan yang diceritakan oleh para partisipan dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi bagi saya sangat menarik dan menambah wawasan. Di penghujung perjalanan, partisipan yang datang ke Kinari juga bertemu dengan Wali Nagari Kinari. Beliau juga menawarkan para partisipan LLD #2 dan rekan-rekan dari Gubuak Kopi untuk melihat kesenian di Kinari, seperti silek, randai, tari, dan pertunjukan musik di Kinari. Akhirnya diskusi pun ditutup dengan rencana keberangkatan ke Kinari esok harinya, dan juga membicarakan syarat-syarat yang akan dibawa nantinya untuk latihan silek di Kinari.
Dan diskusi perjalanan selanjutnya itu dari Palmer dan Albert. Di mana hari ini, Palmer didampingi Albert pergi mencari beberapa musik-musik tradisi yang berkaitan dengan silek. Seperti Bansi Solok, talempong, dan alat musik lainnya. Palmer juga menjelaskan kalau musik di minang itu lebih bersifat menyatukan orang-orang dan lebih berbicara tentang silaturahmi. “Tadi saya bersama Albert datang mengunjungi salah satu seniman yang ada di Solok, meskipun memang tidak secara langsung berkaitan dengan silek tapi saya juga menanyakan peran musik dalam silek itu sendiri�. Palmer pun bertemu dengan Pak Hazlan salah seorang seniman musik di Solok. Palmer juga memperlihatkan video pak Hazlan memainkan beberapa kesenian tradisi, seperti talempong pacik, dan palmer sendiri ikut berlatih memainkan kesenian itu. Albert menambahkan, ada beberapa kai24
Dayu Azmi Solok, 19 Oktober 2018
25
S
ilek Sinpia sebenarnya bukanlah perguruan yang asing bagi kami, selain ia memang cukup dikenal di Solok, pada Lapuak-lapuak Dikajangi #1 kita juga pernah beberapa kali datang ke sini. Perguruan Silek Sinpia bertempat di Sinapa Piliang, sinpia adalah akronim dari nama daerah itu, selain itu memang sinpia atau simpia juga nama salah satu gerak dalam silek.
perguruan ini juga ada Pak Buli yang juga merupakan tuo silek-nya. Waktu itu kita berkesempatan melihat dua guru ini bersilat secara spontan. Selama kurang lebih sepuluh menit, yang mereka hanya berkeliling, menggertak, berkeliling lagi, membuka umpan, dan menutup lagi. Tidak ada pukulan dan tendangan yang benar-benar terjadi. Setelah kita amati ternyata, disana Perguruan ini dipimpin oleh tuo silek Asraf kita (atau setidaknya saya) dapat memahaDaniel alias Mak Datuak Tan Panggak, ia mi, bahwa silek memang tidak untuk memsudah puluhan tahun menjadi pesilat, per- bunuh. nah mendirikan beberapa perguruan silek Serangan yang tidak pernah terjadi itu budi perantauan, dan sekarang mendirikan- kan karena itu tidak diserang, tapi guru-gunya di Solok. Tahun lalu kami dibuat ter- ru ini seakan-akan telah mampu membaca pesona oleh narasi mengenai silek yang ia respon lawannya hingga 5 step ke depan. kembangkan. Silek Sinpia adalah peleburan Terlihat ketika ia memperagakan dengan dari dua langkah dasar dalam silek Minang- muridnya. Salah seorang murid disuruhnya kabau, yakni Langkah Tigo dan Langkah berdiri, lalu menyerangnya. Ia mencontohAmpek. Langkah tigo datang dari Agam kan lima gaya tangkap dari serangan yang dan langkah ampek datang dari Kumango, sama, serta bagaimana kemungkinan-kebertemu di Solok dan dikembangkan men- mungkinan serangan lain. Demikian seranjadi gaya khas Sinpia. gan itu selalu gagal, pikiran sudah mengaSelain Mak Datuak Tan Panggak, dalam lahkannya. 26
Berdoa dan merilekskan diri sebelum memulai latihan.
27
Belum lagi, dua muridnya yang bersilat dalam kain sarung dan menggunakan senjata. Segala keadaan ruang menjadi tantangan tersendiri untuk melatih akal dan kepekaan. Sekalipun rasanya membunuh itu tidak sulit bagi pesilat handal, tapi ia tidak pernah melakukannya, silek dalam konteks perkelahian sudah selesai ketika lawan telah dikunci. Ada dua model kuncian: babuhua mati dan babuhua sentak. Babuhua mati adalah kuncian yang masih memberi kesempatan lawan untuk membukanya. Kadang terlihat seperti pesilat mempermainkan lawannya. Babuhua Mati, adalah kuncian yang tidak bisa dibuka lagi. Dari sana lawan tahu, bahwa ia telah kalah. Memberi kesempatan dan memaafkan, saya kira demikian silek melalui gerakan fisik memperlihatkan kebijaksanaan dan intelegensinya. *** Tahun 2017 lalu, pada LLD #1, kita Silek menjadi tema yang terlalu buru-buru untuk kita simpulkan, dan terlalu rugi untuk tidak kita dalami lebih lanjut, untuk itu dalam bingkaian kuratorial tahun ini, kita menjadikan silek sebagai benang merah. Silek adalah salah satu aktivitas kebudayaan yang cukup kompleks, dalam baju beladiri sebagai metode silek menjabarkan apa itu pengamatan yang mendalam mengenai sifat-sifat alam, kearifan lokal, adab, dan pendidikan karakater. Silek juga berkembang menjadi tarian, permainan, musik, dan kesenian lainnya. Ia menawarkan estetika dan etika yang merepresentasikan ke-lokal-an dan semangat zamannya. Lalu bagaimana para seniman muda dari berbagai latar disiplin dan budaya ini merespon silat dari prespektif sekarang? Pada 20 Oktober 2018 lalu, para partisipan 28
kembali kita ajak untuk melihat proses latihan silek secara langsung dan terlibat. Dalam proyek LLD #2, ada beberapa sasaran silek yang kita kunjungi dan beberapa seniman partisipan terlibat latihan intens. (Baca juga: Garak Jo Garik di Limbago Budi, gubuakkopi.id, 2018) ***
29
30
Bermain Batuang Gilo Batuang Gilo, demikian warga sekitar menyebutnya. Saat itu beberapa orang merangkul erat batuang (bambu), entah siapa yang mulai mendorong, lalu kita bersama mengantur langkah agar tidak rabah dan jatuh. Sebelum dimulai, Datuak Tan Panggak melafalkan teks yang tidak kami dengar jelas, melambai-lambai kainnya. Seorang bapak, menepuk gendang. Semua orang di sekitar berteriak: “oyak.. oyak.. oyakk..” “oyak batuang” Albert Rahman Putra Solok, 20 Oktober 2018 31
S
eusai shalat Jumat (19 Oktober 2018) kami kembali lagi ke Kinari, setelah sehari sebelumnya para partisipan dan beberapa orang dari rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi dan seniman partisipan Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #2 juga ke sini mencari sejumlah informasi terkait dengan tradisi silek. Perjalan menuju Kinari dari Sangar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok memakan waktu tempuh sekitar 20 menit. Kinari merupakan salah satu nagari yang hari ini tergabung di pemerintahan Kabupaten Solok. Tujuan pertamanya ke rumah Angku Suardi. Angku Suardi merupakan salah seorang pandeka (panggilan untuk seorang pesilat di Minangkabau) atau guru silek yang masi ada di Kinari. Dalam perjalanan ke sana mobil yang ditumpangi para partisipan dan beberapa orang rekan-rekan dari Gubuak Kopi terlewat dari rumah angku Suardi, terlewat sampai ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kubang Duo, dan kami yang berangkat dengan motor sempat juga terguyur hujan lokal.
“Angku� merupakan panggilan untuk orang yang lebih tua dari ibu kita di Minangkabau, atau juga bisa menjaddi panggilan untuk kakek di beberapa daerah di Minangkabau. Sesampai di rumah Angku Suardi, kami disambut hangat oleh keluarga beliau, ada istri, anak, dan cucu beliau yang berumur 4 tahun. Cerita pun dimulai. Angku Suardi merupakan salah seorang pandeka (Pesilat) yang diperhitungkan di Kinari dan aktif terlibat di setiap festival silat di dalam dan luar Sumatera Barat, sampai tahun 1983. Mulai dari festival pencak silat, tari, dan musik tradisional Minangkabau. Kata beliau festival terakhirnya adalah festival Batagak Rumah Gadang (Mendirikan Rumah Gadang/rumah adat Minangkabau) di Taman Budaya Kota Padang. “Mulai dari masuak karimbo, manabang kayu, maelo kayu� (mulai dari masuk hutan, menebang kayu, dan membawa kayu atau dia arak-arak bersama).
Kinari dahulu merupakan salah satu daerah yang memiliki banyak Rumah Gadang, tapi kini Rumah Gadang di Kinari sudah banyak yang rusak karena tidak ada pengDalam perencanaan hari ini, menyambung huninya lagi. Menurut orang Minangkabau, obrolan sebelumnya, beberapa orang dari apabila Rumah Gadang tidak ada penghunpartisipan berencana ingin belajar praktik inya, maka dia akan rusak atau rapuh denbagaimana basilek bersama Angku Suardi. gan sendirinya, karena Rumah Gadang itu 32
dibuat dari kayu. Sembari bercerita Volta turun tangan membuat kopi. “lai samo kopi nyo, Vol?” (apakah kopinya sama, Vol?) tanya Teguh.
embelih, akan terlihat apakah si murid hanya ikut-ikutan dan setengah hati belajar silek, dan sebagainya.
Satu hari, satu orang, dan sekali memotong “asa lai itan, kopi jo nyo” (asalkan warnanya ayam, untuk adab pemotongan ayam ini tidak bisa sekaligus. Seperti yang dikatakan hitam pasti sama saja) selorohnya. Angku Suardi, untuk belajar silek kepadan“asa jan kopi di baliak pariuak se lah” (asal- ya, ayam yang dipotong haruslah sudah dekan jangan kopi dibalik periuk saja) tambah wasa tidak anak ayam dan tidak juga terlalu Angku Suardi sambil tertawa. Partisipan tua, kaki kuning, dan paruh kuning. Dan bingung dan beberapa yang mengerti ikut direncanakan latihan akan dimulai hari tertawa juga mendengar candaan beliau. minggu. Palmer Keen, salah seorang partisipan LLD Menurut beliau dahulunya daerah Kinari #2, melempar pertanyaan pada Angku Su- ini merupakan daerah yang aktif dalam ardi, “bapak sudah umur berapa?” bidang persilatan, kesenian, dan kegiatan adat lainnya. Akan tetapi hari ini sudah Bapak Suardi juga menjelaskan arti naman- mulai hilang, dikarenakan sudah kurangnya, Suardi baginya adalah sebuah akronim: ya minat dari generasi muda untuk mem“Sudah Ada Republik Indonesia”. Beliau la- pelajarinya. hir tiga hari setelah Indonesia dinyatakan “kesenian ko samo jo selendang dunia” (kesmerdeka, tepatnya 20 Agustus 1945. Pan- enian merupakan selendang/hiasan dunia). jang lebar bercerita kami sampaikan juga Beliau sangat menyesalkan telah memudar niat awal ke tempat beliau, diwakili oleh kesenian dan kebudayaan Minangkabau hari ini. Kesenian di sebuah nagari (desa), Albert Rahman Putra. “jadi giko ngku, kawan kawan ko kamari iyo adalah wajah dari nagari itu sendiri. “Sudah 74 tahun” kata beliau.
nak baraja basilek jo angku mah” (jadi begi- Menyinggung sedikit mengenai silek di Mini ngku, kawan kawan ini mau belajar silat nangkabau saya pun menanyakan istilah “saranggam dibawok, nan sa pinjik ditingsama angku). Akan tetapi karena beberapa persaratan gakan juo” (sebanyak apapun yang di bawa seperti ayam belum ada, akhirnya latihan yang sedikit ditinggalkan juga), kalimat ini ditunda sampai hari minggu. “badabiah sering muncul ketika sudah membicarakan ayam” (memotong ayam) merupakan sarat hal-hal yang berkaitan dengan silek di Miutama untuk latihan silek di Minangkabau. nangkabau. Ia sering dimaknai, sebagaimaBermacam-macam cara para guru memka- na ketika seorang guru mengajarkan silek nainya, ada yang menyebut itu sebagai adab kepada muridnya tidak semuanya diajaruntuk menjadi keluarga baru, ada yang kan, ada sedikit yang tidak diajarkannya. melihat ini sebagai pengorbanan dan tan- Ada yang menyebut istilah “nan sa pinjik” da keseriusan seorang murid, dan ada juga ini berkaitan dengan soal isi maupun kebatiguru yang meyakini bahwa ketika memo- nan. Sehingga guru tidak mau sembarantong ayam ini sudah bisa terlihat bagaima- gan membagikannya. Ada juga guru yang na personal seorang yang akan belajar silek, meyebut, bahwa, itu memang harus murid seperti Angku Suardi. Ketika ayam itu dis- sendiri yang berusaha keras mendapatkannya, karena memang tidak bisa diajarkan 33
kalau si murid “tidak bersih” dirinya. “Yo harus ka piriang nan barasiah” (harus ke piring yang benar-benar bersih), demikian Angku Suardi mengumpamakan diri yang bersih dan hati yang bersih. Jadi tidak semua pesilat di Minangkabau yang memiliki ilmu inti ini, dan juga tidak bisa diberikan ke sembarang orang. “kalau untuk gerak atau seni bela dirinya pastinya di ajarkan semuanya, kecuali yang satu itu”. Dayu Azmi Solok, 19 Oktober 2018
34
35
U
ntempang Club adalah sekelompok remaja yang sedang mengikuti workhsop di Komunitas Gubuak Kopi. Mereka datang ke sini sejak awal Oktober lalu, terdiri dari enam orang siswi SMA N 1 Solok yang aktif dan ceria, antara lain Fauziah Halfi (Puji), Sekar Komala (Sekar), Nurul Wulan (Wulan), Ummulhanna (Hana), Ilmi Hafizah (Ilmi), dan Hanif latifah (Latif). Pada minggu awal mereka rutin berkunjung ke sekre Gubuak Kopi, dan pada pertengahan Oktober kegiatan workshop mereka dialihkan ke Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kota Solok, karena memang Komunitas Gubuak Kopi tengah melaksanakan agenda yang cukup panjang di sana. Untempang mengikuti workshop melalui program Remaja Bermedia yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi untuk mengembangkan prakatek bermedia di kalangan remaja. Tahun ini adalah tahun kedua, setelah sebelumnya dilaksanakan bersama kelompok remaja: TKP Study Club (instagram @tkp. studyclub). 36
Dua minggu awal, kegiatan diisi dengan kelas yang dipandu oleh Albert Rahman Putra, salah seorang anggota Komunitas Gubuak Kopi. Ia mengajak para remaja untuk mengenal model-model pemanfaatan teknologi media yang akrab dengan kehidupan sehari-hari, seperti telepon pintar sebagai medium berkesenian dan peka terhadap persoalan di sekitar. Selama dua jam, lima hari, dalam satu minggu, sepulang sekolah adik-adik ini menikmati kelasnya. Setelah melihat potensi yang dimiliki oleh adik-adik remaja, Albert memutuskan agar remaja ini berfokus pada praktik fotografi. Setiap hari, secara bertahap mereka diberikan materi mengenai fotografi, ditugas untuk mencari foto sesuai dengan materi yang diajarkan, yang nantinya foto ini akan dibahas bersama keesokan harinya. Materi itu antara lain, seperti membingkai garis, tekstur, warna, dan kedalaman dalam sebuah realitas fotografi. Mengenal sifat dari realitas kamera dan komposisi gambar. Anggota Untempang sangat gigih dan total dalam menjalankan praktek ini, walau-
pun hari hujan ataupun panas mereka akan berusaha untuk tetap datang. Pernah satu hari, sore itu hujan turun sangat deras namun mereka tetap datang walaupun dalam keadaan yang basah karena hujan. Melihat semangat mereka teman-teman di Komunitas Gubuak Kopi pun tidak kalah semangat untuk mendampingi mereka.
Setelah materi bersama Asti, adik-adik Untempang Club juga mengikuti kelas dengan Arum Tresnaningtyas Dayuputri. Salah seorang seniman dari Bandung yang juga tengah mengikuti residensi proyek seni LLD #2. Kali ini Arum mengajak adik-adik mengerjakan project sederhana seperti menceritakan teman-teman dan lingkunSetelah adik-adik remaja cukup paham gan sekitarnya dengan kesadaran fotografis, mengenai dasar-dasar fotografi yang dipan- kedetilan, dan juga durasi. du oleh Albert, pada minggu ketiga, kelas Tidak hanya di sekre Gubuak Kopi dan SKB dilanjutkan oleh Prasasti Wilujeng Putri, Kota Solok, teman-teman Untempang juga atau yang biasa disapa Asti. Ia adalah salah turut menghadiri kegiatan-kegiatan terkait satu seniman partisipan yang kebetulan proyek seni LLD #2 di lapangan, seperti haltengah menjalani residensi dalam proyek nya saat kami berkunjung ke sasaran silek seni Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) #2 Sinpia untuk mengenal tradisi silek tuo di yang digagas oleh Gubuak Kopi. Asti ber- Solok dan mengenal metode latihan silek domisili di Jakarta, aktif berkegiatan se- di sawah. Selain itu juga ke Kinari untuk bagai seniman perfomance dan video di 69 melihat pagelaran adat seperti pementasan Perfomance Club, studi kolektif Milisifilem, silek dan juga randai. Teman-teman Undan anggota Forum Lenteng. Asti melan- tempang turut hadir walupun acara tersejutkan materi yang diberikan sebelumnya, but diselenggarakan pada malam hari, dan kali ini ia mengajak para remaja mengenal tetap didampingi oleh orang tua salah seofoto performativitas. Kurang lebih sudah 4 rang mereka. Di sana mereka aktif mendopertemuan teman-teman Untempang bela- kumentasikan kegiatan yang berlangsung, jar bersama Asti, mereka mengikuti pem- sekaligus mempraktekkan teknik-teknik belajaran dengan serius namun tetap santai. pengambilan gambar yang telah diajarkan. Pembelajaran yang diberikan oleh Asti disalurkan selain dari diskusi-diskusi ringan, Bella Kharisma juga dengan menonton video-video menSolok, Oktober 2018 genai seni performance. Teman-teman dari Untempang akan menonton video yang diberikan oleh Asti kemudian akan dibuka diskusi ringan mengenai video tersebut. Sama seperti Albert, Asti juga memberikan tugas setiap harinya yang nantinya tugas tersebut yang berupa foto akan dikomentari bersama, dan foto yang dianggap bagus, akan diunggah ke akun instargram Untempang (@untempangclub). Di instagram ini terdapat banyak karya-karya dari temanteman Untempang dan juga beberapa dokumentasi selama kegiatan workshop. 37
38
39
D
i sepanjang perjalanan saya bersama proyek Aural Archipelago, saya hampir selalu bertemu dengan zona nyaman musik tradisional Indonesia: seduhan kopi dan rokok kretek menjadi pembuka untuk mengenal para musisi, diikuti dengan rutinitas untuk menelusuri, merekam dan menginvestigasi musikmusik yang berada di berbagai pelosok daerah. Hasilnya, kosa kata saya (yang bahasa ibunya bukan Indonesia) berkutat pada lagu, irama, dan nyanyi. Meskipun perjalanan saya tidak dapat dibilang selalu mulus, setidaknya saya dapat mengetahui ekspektasi macam apa yang ada di setiap perjalanan Aural Archipelago.
Minangkabau dan dapat ditemukan tidak hanya di Sumatera Barat, namun juga luar negeri. Hanya saya satu-satunya tamu yang berasal dari latar belakang musik. Para seniman yang lain datang dari latar belakang seni yang berbeda-beda dari fotografi, video art, performance art dan seni lukis. Tanpa waktu panjang kami mulai tenggelam di dalam tradisi yang sudah mengakar dalam ini; kami bertemu dengan para ahli silek tiap harinya, belajar tentang bagaimana bentuk seni ini dilihat dari berbagai perspektif: sebagai wujud bela diri, praktek spiritual, dan ilmu pengetahuan yang esoterik. kami belajar bahwa terdapat juga berbagai jenis aliran silek di Sumatera Barat dikarenakan banyaknya desa di daerah ini, contohnya gaya silek harimau di mana gerakan-gerakannya terinspirasi dari gerakan harimau Sumatera. Silek gaya ini menjadi terkenal karena film Merantau dan The Raid yang banyak memunculkan adegan silek di dalamnya.
Akan tetapi, perjalanan kali ini cukup berbeda. Teman saya, Albert Rahman Putra, etnomusikolog muda dari Solok, Sumatera barat, mengundang saya ke kampung halamannya untuk berpartisipasi di kegiatan Lapuak-Lapuak Dikajangi (LLD), sebuah proyek yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi, berlangsung hampir satu bu- Meskipun berada di luar zona nyaman, lan yang bertujuan untuk mengeksplorasi ini cukup menyegarkan bagi saya (dan ini silek, seni bela diri yang berpusat di tanah merupakan salah satu alasan mengapa saya 40
pindah ke Indonesia), namun silek dapat dibilang cukup menantang bagi Aural Archipelago. Saya mulai bertanya dan membaca tentang peran musik di silek, namun agaknya hubungan antara musik dan silek dapat dikatakan cukup rumit. Untuk mengetahui lebih lanjut, saya mulai mengulik koleksi luar biasa dari esai-esai berjudul The Fighting Art of Pencak Silat and Its Music karya Uwe Patzold dan Paul Mason yang diterbitkan di tahun 2016. Sebuah bab yang ditulis Mason berujudl Silek Minang in West Sumatra, Indonesia, terutama, cukup mencerahkan. Di dalamnya, Mason mendeskripsikan bagaimana tidak ada jenis musik yang benar-benar terikat dengan Silek. Namun justru silek diiringi oleh macam musik apapun yang umum dan tersedia di area tersebut, baik itu gong yang digenggam bernama talempong paciek atau gendang tambuah. Di banyak sisi, silek sebenarnya cukup bertentangan dengan musik. Beberapa orang melihat bentuk ‘asli’ silek dari latihan-latihan dan justru bukan dari pertunjukan, misalnya melalui sesi latihan antara guru dan murid: di kasus-kasus semacam ini, suara yang muncul dari silek tidak lebih dari suara langkah kaki, gesekan antar kulit, dan ucapan-ucapan lirih dari mantra. Mason menulis bahwa bahkan di pertunjukkan silek yang penuh dengan musik, banyak penonton yang tidak menyadari bahwa iringan musik adalah bagian dari pertunjukan silek. “Tanyalah seseorang dari Minangkabau”, tulis Mason, “kebanyakan orang akan mengatakan bahwa tidak ada musik untuk silek Minang.” Justru ketika musik digunakan untuk mengiringi silek, seakan-akan ada gangguan yang muncul. Jika para pendekar mengikuti irama musik, aksi mereka menjadi mudah ditebak dan karenanya mudah untuk digagalkan. Karenanya, mereka harus memisahkan konsentrasi
mereka dari suara-suara musik. Namun, firasat saya mengatakan bahwa ketidakcocokan ini mungkin tidak selamanya benar, bahwa ada bentuk musik Minangkabau yang berhubungan dengan silek. Saya mendengar sebuah musik bernama gandang sarunai, gabungan dari dua gendang yang saling bertautan (interlocking) bernama gandang, serta instrumen musik dengan double reed bernama sarunai. Tidak ada literatur yang mengatakan bahwa gandang sarunai berhubungan dengan silek, namun intuisi saya menyatakan sebaliknya. Seperti yang saya telah sampaikan baru-baru ini, format semacam ini di mana gendang (drum) yang saling melakukan interlocking diiringi alat musik tiup dengan double reed seringkali berhubungan dengan seni bela diri di Indonesia bahkan di luar negeri. Di Sulawesi Selatan, musik ganrang konjo pernah mengiringi sebuah seni bela diri bernama manca’. Di dekat Selayar, musik ganrang adat masih mengiringi seni bela diri tersebut sebagaimana juga alat musik yang berakar dari Sulawesi bernama gendang dhume’ di pelosok kepulauan Kangean di sekitar Madura. Masyarakat Sunda memiliki kendang pencak, dua set kendang dengan beberapa bagian yang dimainkan dengan alat musik tiup tarompet yang terkenal dengan suaranya yang melengking. Bahkan di luar negeri di Malaysia, silat dengan gaya Melayu dipertontonkan dengan suara gendang silat, sebuah format yang menggunakan gendang yang saling interlocking dan sebuah serunai. Dengan mengikuti pola-pola ini dalam pertunjukan dan praktek material, kita dapat sekilas melihat kemungkinan pola-pola dari penyebaran seni bela diri di kepulauan-kepulauan di Asia Tenggara dan sekitarnya. Kesamaan musikal ini membuat saya penasaran, apa41
kah gandang sarunai juga menjadi bagian hari. dari perluasan jaringan seni bela diri dan Tidak lama, kami tiba di rumah Pak Yasrimusik? al, seorang seniman gandang sarunai yang Untuk mencari tahu lebih lanjut, saya be- terkenal di Solok Selatan. Pak Yasrial menranjak dari ‘markas’ (pusat kegiatan LLD) di gantar kami ke ruang tamunya dimana para SKB Kota Solok ke Solok Selatan, satu dari musisi sudah berkumpul, sebagian besar beberapa daerah di Sumatra Barat yang ma- bapak-bapak berusia lanjut duduk bersila sih memainkan musik ini. Jauh dari daerah dengan gelas kopi dan rokok kretek yang pegunungan di Sumatra Barat (seringkali berserakan di lantai. Datuak dan saya berorang Minangkabau menyebutnya darek), jabat tangan dengan para musisi dan berarea ini merupakan pusat tersendiri. Daer- gabung dengan mereka di karpet, memah leluhur di mana suku-suku Minangka- bagikan ‘sumbangan’ kami: enam bungkus bau pernah menyebar ke daerah-daerah rokok, sebungkus besar kopi dan gula. migrasi atau rantau seperti di Pasisia Sela- Diikuti dengan niat baik yang telah dibina tan atau pesisir selatan. Terletak tidak jauh oleh Datuak dan para musisi ini sebelumndari batas wilayah selatan dengan Jambi ya, kami segera disuguhi gendang di depan yang berhutan-hutan dan gunung bera- kami dan mulai menyelami dunia gandang pi Kerinci yang masih aktif, desa-desa di sarunai. Solok Selatan berada di lembah yang subur Cukup jelas bahwa gendang adalah hati dan dan berbatasan dengan pegunungan Bukit jiwa dari musik ini. Bahkan sebagai obyek Barisan, serta memiliki sumber mata air fisik, perlakuan khusus cukup terleihat panas. Area ini juga kaya secara kultural, dari konstruksi gendang ini. Gendangnya dengan pusat kotanya, Muaro Labuah yang kukuh dan memiliki dua kepala. Pembuaterkenal dengan lebih dari seribu Rumah tan keduanya cukup identik, namun dibagi Gadang, rumah tradisional Minangkabau menjadi pasangan pria dan wanita: jantan yang atapnya menyerupai tanduk kerbau dan batino. Kepala dari tiap gendang dibuat menjulang ke langit. dari kulit yang tebal dari binatang Kijang Tidak jauh dari Muaro Labuah adalah daerah yang secara tradisional dikenal dengan nama Sungai Pagu, tidak lain merupakan pusat gandang sarunai di Sumatera Barat. Saya pergi ke daerah tersebut dengan seorang teman bernama Joe Datuak (Anggota Komunitas Gubuak Kopi), seniman lokal yang pernah belajar tentang gandang sarunai. Hari sudah gelap ketika saya dan Datuak pergi dengan sepeda motor, ditambah dengan gerimis yang tidak kunjung reda sejak kami tiba, kami berlindung di bawah jas hujan. Sepanjang jalan kami melewati rumah gadang yang terlihat menjulang bahkan ketika gelap, suara anjing pemburu dan sawah-sawah yang berkilauan di malam 42
dan dipukul dengan ujung bulat tanduk kambing atau tanduak. Kepala yang lain terbuat dari kulit kambing, dipukul dengan tangan. Kulitnya diamankan dengan senar nilon ke badan gendang yang menonjol dan
terbuat dari kayu nangka. Nilon menjadi sisi badan di silek, di mana para pemain pengganti serat palem dan cincin rotan di silek wajar untuk tidak pernah berhadapan dalam gendang menjadi pengerat. dengan lawannya secara langsung sehingga Dalam permainannya, (gandang sarunai), mereka dapat melindungi diri mereka dari gendang ditempatkan saling berhadapan, serangan. namun iramanya dimainkan saling melengkapi: di dalam format musik yang bercermin dari banyak format di daerah yang lain, satu gendang dimainkan dengan bagian dasar sementara gendang yang lain memainkan bagian peningkah atau pengisi yang lebih kompleks. Hubungan ini, seperti dikemukakan oleh Mason di babnya tentang silek, juga tercermin di dalam struktur seni bela diri ini. “Beberapa seniman menjelaskan bahwa pola interlocking dari instrument perkusi adalah metafor yang kuat untuk gerakan interlocking dari pemain Silek Minang. Keindahan dari seni ini bergantung pada pertunjukan yang sinkronis atas langkah kaki yang penting dari dua pendekar, di mana instrumen perkusi mereplika ini secara simbolis.� Di dalam gandang sarunai, hubungan simbolik antara bentuk permainan gendang ini dan seni bela diri dibuat lebih eksplisit ketika para pengendang mengiringi silek: alih-alih duduk, para pengendang memiringkan tubuh mereka dalam posisi yang disebut berlawanan. Posisi ini meniru po-
Dengan gendang yang menjadi pusat bentuk musik ini, sarunai hampir menjadi bagian yang hampir terlupakan. Bentuk alat musik ini dianggap tidak terlalu signifikan: dari grup musik yang kami rekam, sarunai terdiri dari badan yang terbuat dari bambu tipis dengan empat lubang, corong kayu dan reed yang berdengung yang terbuat dari batang padi yang masih hijau. Meskipun demikian, tidak mustahil untuk mengganti sarunai ini dengan sarunai bambu, versi lain dengan reed tunggal yang idioglot dan lonceng tanduk kerbau. Bahkan, musik yang dimainkan sarunai biasanya tak bertalian: lagu gandang sarunai dibedakan berdasarkan irama gendangnya, sementara sarunai memainkan melodi yang tidak berubah dan tetap berulang. Bagaimanapun juga, sarunai penting untuk menemai silek. Di artikelnya, Mason membahas tentang kemungkinan mengapa sarunai dan alat musik tiup sering dimainkan untuk mengiringi silek: “Bunyi yang keras dan mendengung dari reed alat musik tiup bersifat dinamis dan merupakan pasangan yang masuk akal antara pertunjukan bela diri dan keikutsertaan para audiens,â€? Ia menuliskan: “[‌]The circular breathing used to play the woodwind instruments evokes a penetrating sonic representation of the unrelenting attention required by the silek minang practitioners during a fight.â€? Para pemain gandang sarunai setuju: di dalam sebuah pertarungan, perhatian seseorang tidak boleh pecah sebagaimana suara sarunai tidak boleh pecah. 43
Peran utama dari silek di dalam dunia gandang sarunai bisa juga terlihat dari repertoar musiknya. Sebagai musik yang unik dari area ini, gandang sarunai memiliki satu set lagu pokok. Berjumlah total dua belas dan hampir selalu dimainkan secara medley dan dalam urutan yang sama, repertoar dimulai dengan dua lagu yang digunakan secara khusus untuk mengiringi silek, “Gandang Solok” dan “Gandang Pado-Pado.” Keduanya menampilkan irama gandang yang dianggap lebih konsisten dari lagu-lagu lain yang iramanya lebih bervariasi. Hal ini memungkinkan alur yang lebih stabil untuk menyesuaikan dengan fokus yang tajam dari para pemain silek. Jika para pendekar mungkin tidak mengukur gerakan mereka dengan irama gendang, maka sebaliknya dengan gendang yang menghiasi permainan silek, bagian peningkah diukur waktunya untuk menyesuaikan gerakan-gerakan tertentu dalam pertunjukan pertarungan yang terkoreografi.
guru gandangnya dengan seekor ayam untuk disembelih serta satu set pakaian hitam dan putih. Di setiap sesi latihan, sang murid harus memberi ‘persembahan’ untuk gurunya: rokok dan makanan ringan. Setelah mempelajari dua belas lagu, sang murid harus memberi gurunya satu pakaian lagi; jika tidak, keduabelas lagu tersebut akan lenyap seketika dari ingatannya.
Meskipun gandang sarunai jelas berbagai hubungan dengan dunia silek, hal ini tidak berarti bahwa musik ini menjadi eksklusif untuk silek saja. Talempong bisa juga mengiringi pertandingan silek sekaligus mengiringi prosesi pernikahan. Dari sepuluh lagu gandang sarunai lainnya (Gandang Duo, Sikapiciak, Duo Iliu, Sikudidi, Sikudidi Mandi, Barabah di Ateh Paki, Kumpai Anyui, Tajak Guya, Siamang Tagagau, dan Cancang Mudiak Aiu), hanya “Gandang Sikapiciak” yang bertalian dengan konteks pertunjukan tertentu, seringkali dimainkan untuk mengiringi tari piriang (tari piring Para penggendang mampu untuk menganti- yang terkenal di mana para penari menari sipasi gerakan-gerakan semacam ini karena sekaligus menjaga keseimbangan piring cukup sering, mereka adalah para pendekar porselen di tangan mereka) silek itu sendiri. Sebagaimana para musisi Lagu-lagu lain di ‘kanon’ gandang sarunai menjelaskan kepada saya malam itu, silek adalah ilustrasi yang indah dari konsep dan gandang sarunai adalah sejiwa. Di Minangkabau yang disebut dengan alam masa lalu, praktek silek terjalin kuat dengan takambang jadi guru atau alam sebagai gandang sarunai. Pak Yasrial menjelaskan, guru. Sebagaimana pencipta silek harimau beliau dan kawan-kawannya mempelajari diceritakan menciptakan gerakan-geragandang bersamaan dengan silek di surau kan mematikan dari observasi dari gera(lembaga pendidikan tradisional, yang kan-gerakan harimau, ritme dan judul lagu sengat identik dengan pendidikan adat gandang sarunai kebanyakan diambil dari dan agama) setempat. Kedua disiplin ini, alam. Contoh pada lagu “Gandang Siamang lanjut Pak Yasrial, memerlukan pembela- Tagagau” atau “Siamang yang Terkejut”: jaran yang erat dan intim dengan seorang Pak Yasrial menjelaskan bahwa irama ganguru untuk menguasainya. Guru-guru silek dang di lagu ini terinspirasi dari siamang dikenal pemilih, menuntut para muridnya yang ketakutan dan melompat dari pohon untuk melakukan serangkaian ritual atau ke tanah dan ke pohon kembali. “Gandang persyaratan guna diterima sebagai seorang Barabah di Ateh Paki” atau “Burung Baramurid. Hal ini juga berlaku untuk gandang: bah di atas Pakis” mengilustrasikan Burung seorang murid harus mempersembahkan 44
Bul-Bul yang melompat dari satu pohon tapi dari Lintau yang berjarak ratusan kilopakis ke pohon pakis yang lain; tumbuhan meter). Ironisnya, dengan desakan talempong, gandang yang dulunya menjadi yang lalu berayun-ayun dari burung tersebut. Judul-judul tersebut bukan hanya menja- utama menjadi tidak lagi yang utama, medi jendela ke dunia puitis masyarakat Mi- lainkan hanya dijadikan ‘pendamping’. nangkabau, namun juga jendela ke lanskap budaya yang kaya dan saat ini berada dalam kondisi yang terus berubah. Gandang Sarunai pernah menjadi kunci utama di dalam upacara-upacara yang mengikat kehidupan ritual Minangkabau bersama, dari baralek atau ritual pernikahan Minang ke ritual seperti mengangkat datuak, di mana seorang laki-laki yang dihormati di desa diberi gelar adat. Meskipun masyarakat tetap melangsungkan pernikahan dan gelar adat masih dilakukan, acara-acara ini biasanya diisi dengan musik Minang pop dengan keyboard. Selain itu, pentingnya adat telah bergeser dengan masyarakat yang semakin modern dan sistem pemerintahan yang selalu berubah. Bahkan silek yang pernah menjadi bagian dari acara-acara ini telah berubah: sedikitnya orang yang tertarik dengan versi esoterik silek yang dipasangkan dengan gandang sarunai membuat berpisahnya dua bentuk seni yang telah berasosiasi sejak lama.
Betapapun tidak stabilnya masa depan gendang sarunai, musik yang dimainakn di ruang tamu Pak Yasrial malam itu penuh dengan energy. Pak Yasrial sendiri memainkan pola dasar yang sederhana sementara kakak laki-lakinya, Pak Sarifuddin, memainkan tandingan irama yang kompleks: tanduk kerbau dengan kulit kijang menciptakan ledakan resonansi yang terasa bass. Saya diberitahu bahwa sang kakak adalah tunarungu, namun bisa memainkan gandang dengan kontrol yang mengagumkan. Kuncinya, seperti yang dikatakan kepada saya adalah raso atau perasaan/intuisi yang juga penting di dalam silek. Pak Sarifuddin telah belajar bagian dasar kepada ayahnya, namun hanya diberi penglihatan atas kompleksitas bagian peningkah di dalam mimpinya, ketika ayahnya sudah lama meninggal. Beliau kemudian mewariskan bagian-bagian ini kepada adik laki-lakinya, yang kini berperan untuk mencari muridnya agar tradisi ini tetap hidup.
Belakangan ini, gandang sarunai paling sering dipentaskan untuk mendemonstrasikan seni lokal di acara-acara pemerintahan, atau ketika dipanggil untuk tampil bagi mahasiswa musik ISI Pandangpanjang, di mana gandang sarunai telah masuk di kurikulumnya. Musik ini bahkan pernah berubah seiring waktu karena orang mulai melihat bahwa kombinasi gandang dan sarunai cenderung monoton. Sekarang, grup musik sering mempertunjukkan tiga musisi memainkan gong talempong paciek, suara yang merdu dan juga lebih terasa “sekitar Sumatra Barat� (melodi talempong yang dimainakan bahkan bukan dari daerah Solok,
Pak Yasrial, sambil tertawa, bersikeras bahwa sekarang untuk mempelajari gandang seharusnya lebih mudah: tidak perlu menyembelih ayam, hanya butuh keinginan untuk belajar. Palmer Keen Solok, Oktober 2018 *Teks ini sebelumnya juga dipublikasi di website personalnya www.auralarchipelago. com dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Sinta Dwi.
45
H
ari ini, Rabu, 24 Oktober 2018, sebenarnya cukup enak untuk bermalas-malasan karena cuaca lebih didominasi hujan dari pada panas. Sekitar jam 2 kurang lebih Arum Dayu salah seorang partisipan Lapuak Lapuak Dikajangi (LLD) #2 datang dari Padang ke Solok setelah sehari sebelumnya datang dari Bandung ke Padang.
Solok. Kami menaiki angkot berwarna putih jurusan Pasar Raya Solok-Koto Baru. Dengan waktu tempuh kurang lebih sepuluh menit.
nal Angkutan Kota (angkot) di pasar Kota
“Lai ado nan mambawok baju ganti” (apakah
Jam empat kurang sepuluh menit, kami pun sampai di Koto Baru. Angkot pun berhenti tepat di depan gerbang GOR Batu Batupang, dan kami harus berjalan kaki untuk menuju sasaran silek Limbago Budi. Dari Saya dengan 3 orang partisipan LLD #2 gerbang GOR menuju sasaran trek-nya kembali berkunjung ke sasaran silek Limba- lumayan mendaki. go Budi di Gedung Olah Raga (GOR) Batu “Ini mah udah pemanasan” kata Asti sambil Batupang Kota Solok. Sore itu, setelah ashar tertawa, saya dan partisipan lainya ikut tersaya bersama tiga orang partisipan LLD tawa. Ketika kami hampir sampai di sasaran #2, yakni Prasasti Wilujeng Putri (Jakarta) kami malah bertemu sepasang remaja yang yang biasa saya sapa Kak Asti, Dewi Safri- sedang pacaran. la Darmayanti (Pekanbaru) yang bisa saya sapa Kak Dewi, dan Arum Dayu (Bandung) “Wah kayaknya kita ganggu orang pacaran atau bisa di sapa Mbak Aum, namanya ada nih,” kata salah seorang partisipan. sedikit ada kemiripan dengan saya, Dayu. Ternyata Da Zal, pelatih silek di Limbago Kami pun mulai bergerak meninggalkan Budi telah menunggu kami di sasaran. SeSanggar Kegiatan Belajar (SKB), yang men- belum memulai berlati0h silek, saya dan jadi pusat kegiatan LLD #2, menuju sasaran partisipan pun ikut membersihkan sasaran, silek Limbago Budi, dengan diantar secara menyapu ruangan, dan memasang matras berganti oleh salah seorang teman ke termi- sebelum berlatih. 46
ada yang membawa pakaian ganti) tanya Da Zal. Karena partisipan tidak tahu harus memakai baju yang agak longgar untuk latihan silek, akhirnya Da Zal meminjamkan endong untuk latihan. Endong merupakan celana khusus yang dipakai untuk bersilat, agak longgar dan memiliki pisak hingga ke lutut, hampir mirip dengan galembong, celana yang dipakai untuk bermain kesenian randai, pisaknya sampai mata kaki, sehingga kalau direnggang atau membuka kaki, pisaknya akan terlihat datar. Karena cuma ada satu endong dan galembong, dan Da Zal juga tidak tahu kalau hari ini Arum juga ikut latihan, akhirnya cuma Dewi dan Asti saja yang memakai endong dan galembong.
Simpia (kaki silang ke belakang). dan Da Zal pun terkejut karena partisipan hampir sepenuhnya menguasai sembilan gerakan ini dalam waktu yang cukup singkat. Hari sudah mendekati magrib dan tidak lama kemudian Albert Rahman Putra dan Volta A. Jonneva dua fasilitator LLD #2, datang menjemput. Dikarenakan tadi kami berangkat dengan angkot. Magrib pun datang dan kami berhenti sejenak sambil minum kopi, makan gorengan, dan membicarakan banyak sedikitnya tentang silek Minangkabau.
Akhirnya kami pun beranjak dari sasaran menuju rumah Albert. Rumahnya tidak begitu jauh dari sasaran Limbago Budi, kuDa Zal pun menanyakan kepada partisipan rang lebih lima menit. Sesampai di rumah, apakah sudah siap untuk latihan silek. Par- kami disambut kak Opa. Ia adalah kakak tisipan pun menjawab siap. Da Zal menga- dari Albert, dan kami pun makan bersama jarkan silek khas Kinari, silek batino, lang- di sana. kah sambilan (silat perempuan, langkah “kan lai ndak ado yang sebangsa Jatul disiko sembilan) kepada partisipan. do� (disini tidak ada yang senasib dengan Silek langkah sembilan ini merupakan silek Jatul, kan?) canda Opa. Jatul merupakan yang banyak unsur seninya. Walaupun ban- salah seorang teman partisipan. Beberapa yak unsur seninya silek batino ini merupa- waktu lalu, kebetulan asam uratnya kamkan silek yang sangat mematikan. Lapak buh. Ia sempat tidak kuat berjalan, dan Balam (Tamparan Burung Balam) merupa- kami sudah membawanya ke Pusat Keskan salah satu teknik yang mematikan da- ehatan Masyarakat (puskesmas). Waktu lam silek batino. itu dokter menyarankannya untuk tidak Latihan berjalan dengan lancar. Da Zal pun makan sejenis kacang. memuji partisipan yang sedang latian silek, Selepas Shalat Isha kami kembali ke sasaran karena memang para partisipan sangat silek Limbago Budi. Cuaca malam itu sangat menjiwai dan tampak piawai melakukan mendukung sekali untuk tidur, ditambah gerakan demi gerakan. Dalam silek langkah tadi kami sudah makan kenyang di rumah sambilan terdapat beberapa gerakan yang Albert. Sesampainya di sasaran ternyata diambil dari kegiatan sehari-hari, sifat-sifat kami sudah disambut oleh beberapa orang tumbuhan dan binatang. Seperti gerakan; guru dan rekan-rekan pe-silek dari LimbaRantak Kudo (Hentakkan Kuda), Semba go Budi. Sebelum latihan dilanjutkan, kami Alang (Sambaran Elang), Basuang (Puku- kembali berbincang-bincang sejenak menlan), Suduang Daun (Gerakan lambaian genai silek di Minangkabau bersama-sama. seperti daun), Suduang Ateh (Gerakan yang melambai ke atas), Impok Jalo (Melempar Da Zal menjabarkan pada kami bagaimana Jala), Induak Siriah (Persembahan), dan hubungan gerakan-gerakan silek ini dengan 47
alam dan aktivitas sehari-hari, dan filosofinya. Ia juga mencontohkan beberapa gerak, misalnya gerakan sambah pembuka. Dua telapak tangan itu bersatu di depan dada, kemudian ia naik ke atas, diiringi dengan tatapan, kemudian tapak itu dibuka. Tangan kiri kembali ke depan dada, sementara yang kanan melambai-gemulai ke samping dan ke depan. Lalu bergantian dengan tangan kiri. Saya tidak terlalu ingat maknanya, tapi kurang lebih saya menangkap bahwa gerakan ini wujud dari seorang pendekar menyerakan diri kepada tuhan sekaligus menghormati kekuatan alam dan orangorang yang ada di sana. Demikian adabnya, sebelum mulai basilek di galanggang. Ada banyak hal lainnya yang dijelaskan Da Zal malam itu.
bisa sampai Desember di sini, Albert?) tanya Da Zal. Dikarena begitu piawainya para partisipan perempuan ini memainkan gerak yang diajarkan, Da Zal begitu menaruh harapan besar kepada mereka. Kalau seandainya mereka bisa sampai bulan Desember di sini, Da Zal berkeinginan melatih mereka untuk bisa mengikuti acara festival silek di Sumatera Barat. Sebenarnya kita tidak tahu, apakah pertanyaan itu serius, ataukah itu bentuk pujian Da Zal pada mereka. Yang jelas, sambil tertawa, teman-teman mengatakan tidak bisa menyanggupi itu, karena ada beberapa agenda lain yang juga harus mereka selesaikan.
“Ayok.. kita mulai lagi latihannya, apakah Saat latihan tengah berlangsung serius, tiba tiba Da Zal menghentikan latihan. Kami masih sangup?“ kata Da Zal. pun agak sedikit heran kenapa latihan diAsti, Dewi, dan Aum langsung berdiri, hentikan tiba-tiba. kemudia Da Zal memintanya untuk mengulang kembali gerakan yang tadi diajarkan. “Dewi, apakah sebelumnya Dewi sudah Mereka mengulangi gerakannya dengan pernah latihan silek?” tanya Da Zal. sangat bagus, seakan-akan seperti orang “Belum”, jawab Dewi. yang sudah lama latihan. Melihat, teman- Da Zal melihat sesuatu yang aneh ketiteman ini sudah cukup hafal gerakan itu, ka latihan. Dewi salah seorang partisipan Da Zal menambah beberapa gerakan lagi. dari Riau ini melihatkan gelagat yang seSaat latihan tengah berlangsung Jatul dan Ragil, partisipan LLD #2 lainnya, datang menyusul ke sasaran silek. Ia datang berdua mengendarai sepeda motor, untuk melihat proses latihan, dan juga membantu produksi karya Asti, yang mana malam itu kita berjanji untuk pengambilan gambar.
dikit aneh. Ketika ia melakukan beberapa gerakan dan jurus yang diajarkan, Da Zal melihat ia seakan-akan sudah pernah berlatih silek sebelumnya. Lebih lanjut, Da Zal, melihat ada aura aneh yang muncul ketika Dewi memainkan gerakan harimau. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksud Da Zal. Setelah mengulangi beberapa gerakan, Da Ia mengaku ragu untuk melanjutkannya, Zal sangat memuji seniman partisipan LLD takutnya nanti Dewi tidak bisa mengontrol #2 yang latihan hari ini. Mereka sangat pi- dirinya. awai menirukan gerakan demi gerakan Kamipun heran sembari melempar beberayang diajarkan Da Zal. pa pertanyaan kepada Da Zal. “Lai di siko agaknyo anak uruangko sampai bulan Desember, Albert?” (Apakah mereka 48
“Jadi begini, Sebenarnya apa yang saya katakan kemarin itu, ada. Akan tetapi saya ti-
dak mau membahasnya, tadi pada gerakan Tangkok Harimau, saya melihat ada yang janggal pada Dewi, saya mengira Dewi ini keturunan dari pesilat juga”, ucap Da Zal.
Da Zal memang sangat terpukau dengan gerakan para partisipan yang berlatih silek batino ini. Da Zal mengaku dia sudah melatih beberapa orang muridnya yang peremKami teringat, pada malam-malam sebel- puan tetapi belum sepiawai teman-teman umnya Da Zal bercerita tentang hubungan ini, bahkan mereka hanya berlatih kurang antara pesilat dengan hal-hal yang bersifat dari setengah hari. mistis atau “halus”, seperti yang sering ter- Latihan pun dihentikan, dan Da Zal memudengar di kalangan pesilat masa lampau. tuskan untuk melanjutkan latihannya besok Waktu itu Da Zal meyakinkan kami kalau saja, karena Da Zal agak sedikit ragu dan hal seperti itu sebenarnya tidak ada. Na- cemas nanti apa yang dia prediksi itu akan mun, malam ini ia menjelaskan lagi, bah- terjadi. Dan kami pun melanjutkan obrolan wa itu sebenarnya ada, dan memang tidak seputar silek di Minangkabau. semua orang bisa merasakannya, sering kali Saat akan pulang Da Zal kembali menyamdianggap negatif, makanya ia tidak mau paikan ketakutannya tadi, karena teknikmembahas topik itu ke sembarang orang. teknik dalam silek batino ini merupakan Apalagi di zaman modern ini, hal seperti teknik-teknik yang berbahaya dan memang itu susah diterima. Tapi bagi Da Zal, benar mematikan dalam kondisi tertentu. atau tidaknya tergantung yang menyakini Hari pun sudah hampir tengah malam, saja. kami pun memutuskan untuk pamit dan Salah satu unsur dalam silek, garak dan gar- kembali ke SKB. Dewi tampak kepikiran ik. Garak merupakan unsur yang abstrak, dengan apa yang ditakuti Da Zal itu benar yang dimiliki dalam diri pesilat, akan teta- ada padanya. pi unsur kebatinan ini memiliki porsi yang beragam di setiap pesilat. Garak, sekilas “widih yang bakalan jadi kontingen silek saya pahami sebagai intuisi yang menuntun Solok ni yee…” canda Volta. tubuh untuk melakukan gerakan. Sedang- ______________ kan garik merupakan unsur yang terlihat Dayu Azmi dan umumnya unsur garik ini berupa gerSolok, Oktober 2018 akan. Menurut Da Zal, kemampuan Dewi yang cepat menghafal gerakan itu dengan sempurna, diduga turunan dari keluarganya yang barang kali juga pesilat. Da Zal pun meminta Dewi kembali memperagakan gerakan Tangkok Harimau kembali. Dari gerakan itu Da Zal melihat bahwa Dewi “marwah” atau memang memiliki titisan Silek Harimau. Da Zal berpesan kalau nanti Dewi berlatih sendiri, lalu tiba-tiba merasakan denyutan di kepala, maka Dewi harus cepat-cepat berhenti dan membaca Al-Fatiha, karena takutnya Dewi tidak bisa mengendalikan dirinya. 49
Catatan pameran Lapuak-lapuak jumlah pemangku kebijakan baik itu daerah dan pusat. Malam itu diawali oleh penganDikajangi #2
L
tar oleh Albert Rahman Putra selaku ketua Komunitas Gubuak Kopi dan kurator dari pagleran seni media LLD #2 ini. Tidak lupa Albert juga memperkenal para partisipan dan menjeleskan aktivitas para partisipan lebih dari dua minggu di Solok. Para partisipan diajak untuk mengikuti sejumlah kuliah umum untuk mengenal pemahaman tentang silek dan kebudayaan Minangkabau secara umum melalui para guru-guru silek di Solok yang diundang oleh Gubuak Kopi, juga Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Solok, Dr. Hasanuddin, seorang akademisi peneliti silek, hingga Ery Mefri, pegiat seni senior yang Pagelaran seni multimedia LLD #2 dimulai mendalami silek bertahun-tahun sebagai dari tanggal 1-4 November di Sanggar Ke- materi garapannya. giatan Belajar (SKB) Kota Solok. Bagi saya, Malam itu turut memberikan sambutan, pameran yang digarap oleh Komunitas Gu- Kepala Dinas Pariwisata Kota Solok, yang buak Kopi bersama partisipan dari bebera- mengaku pertama kali terlibat dalam kepa daerah ini sangat memecahkan beberapa giatan yang digagas oleh Gubuak Kopi; kebuntuan pandangan terhadap silek di Mi- Hadir pula malam itu memberi sambutan nangkabau. Kasubdit Seni Media, Kementerian Penapuak-lapuak Dikajangi(LLD) adalah sebuah perhelatan dari kegiatan studi pelestarian tradisi melalui platform multimedia. Kegiatan ini pertama kali digagas oleh Gubuak Kopi melalui program Lokakarya Daur Subur pada tahun 2017, sebagai rangkaian presentasi publik dalam membaca tradisi masyarakat pertanian. Presentasi publik ini dihadirkan dalam bentuk kuratorial pertunjukan dan open lab/pameran multimedia. Tahun ini LLD mengangkat tema silek, dan bermitra dengan Silek Arts Festival sebagai rangkaian festival.
Di malam yang gerimis itu, turut hadir se- didikan dan Kebudayaan, Bapak Andre 50
Performance art: Satitiak Jadikan Lauik, karya Ragil Dwi Putra. Tubagus. Beberapa tahun terkahir, ia baru tahu ada aktivitas seni media di Solok, sebuah kota kecil, dan beruntung malam itu ia dapat hadir. Turut memberi sambutan Walikota Solok yang diwakili oleh Asisten/ ajudannya bapak Jefri, yang menyambut kegiatan ini dan berharap kegiatan ini dapat diapresiasi lebih jauh.
oleh Ragil Dwi Putra, salah satu seniman partisipan dari Jakarta yang berkegiatan di 69 Performance Club dan Klub Karya Bulu Tangkis (KKBT) ini. Karya ini merespon tentang bagaimana intimnya sebuah proses pembelajaran silek di Minang dan juga membicarakan permasalahan “Tamaik Kaji� (Khatam).
Malam itu, pameran dibuka oleh perawakilan Walikota Solok, didampingi Albert, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dinas Pariwisata, dan perwakilan seniman partisipan, sembari membunyikan gendang bertalu-talu. Di sela tepuk tangan yang meriah, muncul Ethnic Percussion dari sisi kiri kanan lobi pameran, memainkan pukulan-pukulan gendang yang memukau malam itu.
Sementara kita menikmati karya Ragil, ruang pamer masih dibiarkan gelap. Karyanya ia sajikan secara performatif, dalam ruang persegi tanpa pintu dan ditutupi oleh kain hitam, serta bertuliskan kata-kata kiasan yang selalu muncul ketika para tuo silek memberi pemahaman tentang silek. Kalimat dan ruang gelap dalam galeri ini memperkuat pemaknaan betapa intimnya sebuah kegiatan tamaik kaji pada silek Minang. Dalam karya ini juga menjelaskan bagaimana susahnya dan perlu usaha untuk belajar silek di Minang yang di gambarkan dengan cara masuk kedalamnya ini dengan menyeruak menunduk untuk memasukinya. Didalam ruangannya juga terdapat dua kursi berhadapan. Sekitar sepuluh orang pengunjung diundang untuk memasuki ru-
Setelah pertunjukan pembuka oleh Ethnic Percusision, para tamu diajak memasuki ruang pamer dan dipandu oleh Albert menjeleskan setiap karya yang ditampilkan bersama para seniman. Karya pertama adalah kita temui ketika kita masuk adalah “Runciang Indak Manusuak“ (Runcing Tidak Menusuk), karya performance art
51
ang persegi itu dan diberikan satu lilin. Satu persatu lilin itu menyala, dari luar sekilas ia terlihat seperti lampion. Tulisan-tulisan menjadi seakan menyala.
“foto pesilat perempuan ini menjadi relevan dengan koleksi arsip yang melatar belakanginya. Silek sebagai olah raga pada dasarnya memberikan dampak buruk, pada Dalam performannya, Ragil berusaha pendangkalan makna silek itu sendiri.” Jelas duduk di atas sandaran kursi dengan kaki Albert sebelah sambil memegang lilin dan di- Ia menambahkan, tapi dengan masuknya saksikan oleh beberapa pengunjung pamer- silek sebagai cabang olah raga pada Pon an yang diundang masuk pada kubus yang tahun 1950an di Makassar, dan gencarnya sakral itu. Setelah lampu menyala, pengun- perkembangan silek di Eropa, yang bahjung digiring ke sisi kiri melihat karya Hafi- kan sempat menggeser polpularitas karate zan yang berjudul “Tagak Itiak”. Hafizan dan tekwondo, juga memunculkan bandalah seniman partisipan dari Kota Padang. yak pesilat perempuan di berbagai belahIni mencoba mengungkap makna ketelitian an dunia. Sebenarnya bukannya tidak ada dan kesabaran melalui karya instalasinya pesilat perempuan di Minangkabau, tapi itu yang terangkai dari ranting-ranting pohon privat sekali, biasanya hanya dari paman yang disatukan dengan ikatan benang seh- ke kemenakan atau ayah ke anak. Semeningga membentuk sebuah gesture dan ger- tara tidak semua perempuan seberuntung akan silek yang juga biasa disebut “tagak itu. Karena tidak pernah melihat itu, menitiak” (berdiri sebelah kaki). Karya ini jadi pesilekperempuan seakan tidak lazim. memliki dimensi 3.5m x 1.5m x 1m, dengan Menghadirkannya ke hadapan publik, bagi tembakkan lampu bayangan ranting insta- Albert juga sebagai penegasan akan kesemlasi menjadi dua kali lebih besar. patan yang sama, dan memecah ketabuan Masih membicarakan konteks tertutupnya akan pesilek tradisi perempuan itu sendiri. silek di Minangkabau. Arum Tresnaningtyas Dayuputri salah seorang seniman partisipan dari Bandung yang aktif berkegiatan di Omnispace, ini menampilkan beberapa karya foto yang ia kolase di atas sejumlah koleksi arsip masa lampau, mengenai transisi silek mejadi ajang olah raga. Dari karyanya ini pada dasarnya Arum mencoba menghadirkan sosok perempuan dalam dunia persilatan di tanah matrilineal ini. Di mana biasanya silek ini didominasi oleh laki-laki di Minang, dan kali ini Arum mencoba menjawabnya dengan karya foto yang mempresentasikan “Silek Batino”(Silat Perempuan), di Minagkabau. Dalam karya ini ia berkolaborasi degan Dewi Safrila, dari Pekan Baru, yang selama riset juga aktif berlatih gerak pencak silek batino di Sasaran Limbago Budi, Solok. 52
Berlanjut pada karya Zekalver Muharram salah seorang seniman partisipan asal Solok. Ia menghadirkan sejumlah komik strip buatannya dalam lembaran A3 dan satu ia lukiskan di dinding dalam ukuran 2 x 3 meter. Komik-komik itu ia beri tajuk “Raso Pareso”. Komik-komik berkarakter khas itu, menegaskan sejumlah persoalan adab yang selama ini jarang kita kritisi. Dalam karyanya mural misalnya, ia juga menjelaskan sebuah pergeseran makna dan mencoba masuk melalui cerita lucu yang sebenarnya menyuruh pembaca lebih otokritik kepada diri sendiri, di mana tradisi lisan kita yang sering menambah-nambahkan atau mengurangi segala sesuatu informasi. Dari karya Zekalver, kita beranjak pada ruang presentasi kelompok ”Untempang Club”, sekelompok remaja yang dibina oleh
Tagak Itiak, karya Hafizan
Silek Batino, karya Arum Tresnaningtyas Dayuputri
53
Komunitas Gubuak Kopi sejak awal Oktober lalu dalam program Remaja Bermedia. Kehadirnya menambah warna dan menunjang semangat generasi muda untuk terus berkarya dan memanfaatkan teknologi media yang akrab dengan keseharian kita sebagai alat untuk berkarya. Karya foto yang mereka tampilkan tidak hanya berbicara garis, warna, tekstur, kedalaman, pola, dan cahaya. Melalui pelatihan yang mereka dapatkan di Gubuak Kopi dan bersama beberapa seniman partisipan LLD, hasil karya mereka mampumenghadirkan pemaknaan silek dalam medium kekikinian tanpa menghadirkan silek itu sendiri. Detil, intensitas, dan kepekaan. Demikian yang dihadirkan remaja yang tak memiliki kesempatan belajar silek ini.
pertunjukan tari di Sumatera Barat.
Setelah menyimak karya Hujatul para pengunjung diajak untuk menyimak performance oleh Dewi Safrila. Dewi salah seorang seniman dari Riau ini menjelaskan sebuah perlawanan terhadap ego, kelembutan, dan sebuah ketegasan dalam diri seorang pesilat. Karya yang menggunakan teknik maping, menghadirkan Dewi yang berdialog melalui gerakan dengan bayangan ataupun imajinasinya yang terpanggung di sebuah sketsel ini cukup membuat penyegaran dalam dunia seni media maupun seni
gambar impresif di atas tempelan arsip koran tentang silek pada media skesel seluas 2 kali 3 meter. Demikian kita dihantarkan pada karya terkahir di ruang pamer, yakni “Satitiak Jadikan Lauik” karya Prashasti Wilujeng Putri.
Tidak hanya persoalan visual, berikutnya kita digiring pada karya bunyi: The Sound Of Silek. Karya ini disajikan dalam bentuk playlis dalam sebuah TV oleh Palmer Keen, salah seorang peneliti musik asal Amerika yang kini berdomisili di Yogyakarta. Dalam residensi LLD #2 Palmer mencoba meneliti keterkaitan gandang sarunai dengan silek di minang. Karyanya ini mencoba menjawab apakah silek itu sunyi. Dalam karyanya Palmer juga melakukan recording di mana silek itu sebenarnya penuh dengan bunyi, bunyi gerak, gesekan kain, tepukan paha, dan serta hembusan nafas dari pesilat itu sendiri, dan di sini Palmer mencoba membuat karya dari bunyi dari gerakan dari dua tuo silek yang tengahbasilek di sasaran Dari ruang Remaja Bermedia itu, kita ber- Limbago Budi. lanjut pada kumpulan skesta yang dipajang Di seberang karya palmer kita dihadapkan di dinding dan sebuah meja kerja. Karya itu pada pengembangan bunyi dalam sebuah berjudul “Berburu Gerak”. Proyek skesta ini TV yang terhubung earphone: Virusakita. dikerjakan oleh Hujatul Islam alias Dokter Karya ini digarap oleh Ade Jhori mencoba Rupa dari Yayasan Pasir Putih, Lombok, memperpadukan bunyi “Pupuik” dengan sebagai studi gerak melalui skesta bersama distorsi digital. Dalam karyanya ini Ade sasaran-sasaran silek tuo di Solok, seperti mencoba mengangkat sebuah suara kegeLimbago Budi, Sinpia, dan Silek Tuo Ki- lisahan dari bunyi pupuik (alat musik tiup nari. 50 karya skesta ini sekaligus menjadi khas Minangkabau) itu sendiri dan mencosebuah aksi pengarsipan gerakan-gerakan ba mempertegas bunyi-bunyi kegelisahan khas di masing-masing perguruan silek itu sendiri dengan sentuhan digital.Di beyang mungkin cukup jarang ditemukan. lakang juga terlukis karya Hujatul yang ter-
54
Karya ini menghadirkan dan menangkap gerak pesilat dari berbagai arah. Karya Asti yang melihatkan gerakan pesilat bukan hanya dari sudut pandang penonton saja tetapi juga dari pesilat itu sendiri. Terlihat para penonton silat dan pesilat solo di sebuah
Raso Pareso, karya Zekalver Muharam
Salah seorang pengunjung menyimak karya 55 Berburu Gerak, karya Hujatul Islam
Performance: Sil(e)k, karya Dewi Safrila Darmayanti
The Sounds of Silek, karya Palmer Keen
Virusakita, 56 karya Adhe Jhori
Satitiak Jadikan Lauik, karya Prashasti Wilujeng Putri
Beautiful Demage, karya Untempang Club
57
ruang latihan yang dilengkapi kamera di kepalanya. Dalam karyanya ini Asti mencoba membingkai sebuah proses di mana ia menegaskan “menjadi pasilek bukan berarti tunggal dan besar, namun menjadi tetap kecil, banyak, dan memasyarakat�. Karya Asti ini berkolaborasi dengan Sasaran Silek Limbago Budi di sisi lain mengajak kita mengalami sesansi basilek melalui mata-mata yang hadir dalam ruang yang telah lewat itu. Dari pameran seni media Lapuak Lapuak Dikajangi #2 bertemakan silek yang digarap rekan-rekan Komunitas Gubuak Kopi bersama seniman partisipan ini, bagi saya memperkaya dan menambah pengetahuan tentang bagaimana silek itu sendiri. Hasil dari karya para seniman ini juga memecah kebuntuan kita selama ini mengenai bagaimana silek di Minangkabau. Dan juga menjelaskan pendangkalan makna, pergeseran kebudayaan, dan kurang pedulinya generasi muda saat ini tentang bagaimana pentingnya melestarikan budaya itu sendiri. “Silek adalah sebuah tradisi beladiri masa lampau yang tidak hanya soal pertarungan, di dalamnya terkandung pendidikan karakter, ketelitian, filosofi, dan sebagainya. Ia bukan sekedar olah raga, tapi juga olah rasa, dan olah pikiran.� Jelas Albert. Ia menambahkan, selayakanya silek yang berkembang pada kesenian tradisi lainnya, seperti tari dan randai oleh generasi jauh sebelum kita. Ia tidak menutup kemungkinan untuk dikembangkan pada medium baru oleh generasi kini. Tentunya tidak hanya sebagai objek bingkaian semata, tetapi juga di-reinterpretasi nilai-nilainya. Malam itu turut hadir Jumail Firdaus Project yang mempresentasikan karya komposisi musiknya yang berjudul Basikencak, dan Orkes Taman Bunga yang menghangatkan malam. Dayu Azmi Solok, November 2018 **Artikel ini sebelumnya dipublis di Kolom Budaya, Koran Haluan, edisi Minggu, 11 November 2018 dengan judul: Tanya Berjawab Tentang Silek. 58
59
Terima kasih kami ucapkan kepada:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat Silek Arts Festival Dinas Pariwisata Kota Solok LKAAM Kota Solok ______ Sasaran Silek Sinpia, Sasaran Silek Limbago Budi, Sasaran Silek Tuo Kinari, Walinagari Kinari, Jorong Sawah Baruah, Kinari, Forum Lenteng Yayasan Pasir Putih, Rumah Ada Seni, Nan Jombang DC, Grup Randai Batu Tigo, Takasiboe, Untempang Club, Asisten II Walikota Solok Bapak Jef, Kasi Kebudayan Dinas Pariwisata Kota Solok (Ronal Tongkong, Windo, Ongki, dan Nike), SKB Kota Solok, Keluarga Komunitas Gubuak Kopi, Jaringan Kerja Daur Subur, Pemuda Tembok Nan Balimo, QD EO, Orkes Taman Bunga, Ethnic Percussion, Tetangga Pak Gesang, Jumaidil Firdaus Project, BK Photography, dan Ota Kadai FBS UNP. ________ Rekan Media: @infosumbar, Klik Positif, Sudut Payakumbuh, Haluan, senimedia.id, visualjalanan.org
60
CATATAN PROYEK
LAPUAK-LAPUAK DIKAJANGI #2
SILEK
61
62