Judul Buku: Bakureh Project Pengantar: Delva Rahman Editorial: Albert Rahman Putra Penulis: Ade Surya Tawalapi Anisa Nabilla Khairo Dyah Roro Puspita Asmarani Nahlia Amaratullah Nurul Haqiqi Olva Yosvita Sefniwati Editor Albert Rahman Putra Perancang Buku Robby Ocktavian Diterbitkan oleh Gubuak Kopi Solok, September 2018 Gubuak Kopi Jl. Tembok Raya, No. 322, Kel. Nan Balimo Kec. Tanjung Harapan, Kota Solok. www.gubuakkopi.id Lisensi hak cipta: Creative Commons _________________ Buku ini merupakan bagian dari publikasi Bakureh Project, yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi melalui program Daur Subur, dan didukung oleh Cipta Media Ekspresi. iv
DAFTAR ISI iv
PENGANTAR
CATATAN EDITORIAL
BARARAK JULO JULO
vi
2 26
MENCARI BAKUREH
34
TANYA TAK BERJAWAB 44 ORANG MENANGIS, KITA TABAH BATAGAK PANGULU
68
MEMAKNAI ULANG BAKUREH
Partisipan
56
80
88
Tentang Bakureh Project
93
v
PENGANTAR Bakureh Project adalah sebuah studi nilai-nilai kebudayaan lokal melalui tradisi “masak bersama”. Bakureh secaha harfiah dalam Bahasa Indonesia berarti ‘berkuli’, namum dalam konteks ini defenisi bakureh merujuk pada ‘gotong-royong masak’ yang dikomandoi oleh ibu-ibu dalam satu kampung. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan oleh ibu-ibu, namun, dalam kondisi tertentu juga terbuka pada keterlibatan laki-laki. Ia hadir dalam konteks pesta nagari (kampung), seperti pernikahan, pengangkatan pimpinan adat di tingkat nagari, upacara kematian, perayaan panen, dan lainnya. Tradisi ini memungkinkan terjadinya pertemuan sejumlah perempuan mewakili keluarga untuk memasak bersama. Proses ini melanggengkan sejumlah adab yang sudah tertata menjadi tradisi, mulai dari cara ia dikabarkan, pilihan menu berdasarkan kegiatan, dan pendidikan kuliner. Dalam pesta adat, jamuan makan menjadi salah satu wibawa, dalam upacara kematian orang-orang di Koto Baru secara khusus memasak lamang; ketika hendak meminang, di Padang Sibusuk orang membuat nasi lamak; — dan beragam adab spesifik lainnya, yang juga diperkaya dengan pemahaman filosofis. Dalam konteks tertentu Bakureh juga bisa kita lihat sebagai kekuatan sosial. Pada tradisi ini pertemuan juga tidak hanya memungkinkan perkenalan, tetapi juga pesebaran informasi, yang tidak jarang bersifat gosip/hoax. Di beberapa momen informasi ini didiskusikan, diabaikan, dan tidak menimbulkan dampak buruk dalam keseharian. Menarik mengangkat persoalan ini menyadari situasi bermedia di Solok yang ramai dan sensitif. Sejumlah orang digenerasi saya, di Solok, tidak mendapat pendidikan banyak soal tradisi ini, baik itu dari sekolah maupun dari rumah. Hal ini tentu berkaitan dengan perkembangan situasi sosial di Kota Solok. Perkembangan ini di antaranya mengantarkan kita pada situasi yang ingin serba cepat/instan dan cendrung individual. Proyek ini secara khusus membaca dan mengembangkan posisi Bakureh sebagai kekuatan sosial dan media kreatif lokal dengan tetap sadar akan sejarah, tradisi, dan perkembangan kontemporernya. Proyek ini secara khusus membaca dan mengembangkan posisi bakureh sebagai kekuatan sosial dan media kreatif lokal dengan tetap sadar akan sejarah, tradisi, dan perkembangan kontemporernya. Dalam hal ini, saya juga tidak ingin mengamini tradisi yang kemudian dilabelkan “perempuan” ini sebagai rujukan utama standar moral dalam konteks lokal, dan tidak pula berarti menentang tradisi sebagai penolakan terhadap konstruksi adat atas perempuan — yang belakangan hal ini menjadi “seksi” di kalangan pegiat seni perempuan. Penelitian ini diniatkan sebagai sikap kritis terhadap persoalan manusia sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Delva Rahman Pimpinan Proyek vi
vii
CATATAN EDITORIAL
MEMAKNAI ULANG KEKUATAN MASA LAMPAU ALBERT RAHMAN PUTRA Masih terus terngiang di ingatan kita, seorang dokter dipersekusi karena cuitannya di media sosial. Lalu, tak lama, postingan itu tersebar–baik itu berupa hasil screenshoot ataupun di-share ulang–dengan tambahan kalimat oleh sejumlah akun, yang kemudian menggerakan beberapa orang ikut menghujat si dokter. Sejumlah kelompok yang mengaku organisasi Islam mendatangi si dokter. Memaksa si dokter meminta maaf, dengan segala teror yang tidak mereka akui. Intervensi sampai ke tempat kerjanya, bahkan menurut si dokter, teror juga menimpa anaknya yang masih duduk di sekolah dasar. Dampaknya, Kapolres Solok Kota harus dicopot karena dianggap tidak mampu menjamin keamanan salah seorang warganya. Dampak berikutnya, muncul sejumlah demonstrasi yang bahkan diikuti oleh organisasi berbasis adat, mahasiswa, dan lainnya, untuk memaki si dokter yang menyebut dirinya tidak lagi merasa aman di Solok. Tetangga dan orang-orang sekitar tidak ada yang membantunya. Dalam demonstrasi ini beberapa oknum muncul ambil bagian, mengelola massa yang banyak. Tahun 2019 akan segera datang. Tahun-tahun politik harus dipersiapkan dari sekarang. Demonstrasi ini malah memaki si dokter dengan orasi dan hashtag #solokaman. Aman? Sebelumnya di Ibu Kota, Jakarta, media nasional dipenuhi berita-berita yang berkaitan dengan penistaan agama oleh gubernurnya kala itu. Isu ini, atau setidaknya bingkaian di media arus utama nasional, menampilkan banyaknya tindak persekusi atas nama agama dan kasus-kasus penistaan muncul di manamana. Yang brutal semakin brutal, beberapa geram. Saya harap ini tidak terlalu berlebihan, tapi belakangan membayangkan ini kedepan, rasanya hari-hari akan mengerikan di kampung sendiri. Sensitivitas beragama, dengan ‘keseriusan’ mereka mengelola media, akhirnya jadi alat kepentingan-kepentingan politik elit, yang kemudian mengubah interaksi sosial kita. Di komplek rumah saya, dulunya tidak pernah ada ceramah masjid ataupun orasi keagamaan yang mau menyebut kafir pada non-muslim, apa lagi dengan intonasi negatif, tidak ada yang menghujat agama lain. Bahkan kita selalu menyempatkan hadir di hari raya tetangga kita yang berbeda agama. Tidak ada yang berani mengganggu tetangga kita. Tidak ada yang berani meneror tetangga kita. Tidak hanya si dokter yang barangkali kurang bergaul, kita pun melakukan pembiaran atas aksi yang semena-mena. Beruntung ketakutan ini tidak di semua titik, tidak sedikit pula yang menyuarakan kebijaksanaan atas asas saling viii
menghormati dan merayakan keberagaman. *** Di Gubuak Kopi, kami percaya literasi media dapat menjadi pilihan utama untuk dikembangkan dalam aktivitas pemberdayaan. Hal itu kemudian kami warnai dengan ragam kegiatan kreatif ataupun kegiatan kesenian untuk membuatnya semakin cair guna membicarakan persoalan-persoalan yang di sekitar kita. Sejak 2017 lalu, kami secara bertahap meramu itu dalam sebuah program yang kami namai Daur Subur. Program ini merupakan strategi dari visi kami dalam memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan kebudayaan masyarakat pertanian di Sumatera Barat. Pendistribusian ini dikerjakan melalui pendekatan jurnalisme warga. Seiring berjalan, kami berupaya menemukan metode yang tepat. Metode-metode yang membantu kami untuk merealisasikan cita-cita: masyarakat yang melek media, sadar akan kesalingkaitan peristiwa yang berdampak pada situasi sosial dan kebudayaan kita hari ini. Sejak 2017, yang terpikirkan di kepala kami adalah bagaimana merumuskan sekaligus mengembangkan siasat warga dalam merespon persoalan lokal melalui aktivitas literasi media. Dalam beberapa agenda yang telah berjalan, kami menelusuri (mengkritisi) masa lampau yang selalu dinarasikan sebagai masyarakat yang sangat berdaya, menyelidiki ‘keterputusan’ dan pola-pola perubahannya, sebagai studi menghadapi persoalan kontemporer kita di Sumatera Barat. Bakureh Project adalah turunan dari program Daur Subur, sebuah studi tentang tradisi gotong royong yang berkembang di masyarakat Minangkabau. Bakureh sendiri adalah salah satu tradisi di Solok, yang dulunya (beberapa masih berlaku hingga saat ini) dikenal sebagai tradisi gotong royong memasak ketika hendak menyelenggarakan pesta adat. Ia tidak sekedar gotong royong, di dalamnya terdapat adab-adab, proses, distribusi pengetahuan, dan juga pendidikan karakter. Tapi dalam hal ini, kita tidak ingin terjebak bernostalgia pada tradisi masa lampau semata. Bakureh dalam hal ini ingin kami munculkan kembali sebagai pemantik untuk kita mengkritisi kembali sejauh mana kita telah membiarkan tradisi-tradisi ini mengalir, berubah, dan menjauh. Pembacaan ini kami harapkan tidak terjebak pada pengeksotisasian tradisi ataupun upaya mengagung-agungkan masa lampau yang dianggap ideal, tidak pula untuk melawannya. Untuk itu, kami mengundang keterlibatan sejumlah pihak lintas generasi dan lintas disiplin untuk mengkritisi ini. Kami mengundang keterlibatan tujuh orang perempuan muda sebagai partisipan dan sejumlah narasumber untuk memperkaya pembacaan. Project ini dibuka dengan Lokakarya Daur Subur, berlanjut pada riset dan residensi selama dua bulan, serta Forum Group Discussion (FGD) mingguan untuk mempertajam bingkaian para partisipan. Dalam Lokakarya Daur Subur, kita berfokus pada pembekalan dan strategi pembingkaian. Para narasumber, salah satunya adalah saya sendiri, berfokus pada materi yang berkaitan dengan sejarah perkembangan media, cara kerja dan dampak-dampaknya. Di kelas berikutnya saya mengajak kawan-kawan untuk menerapkan metode penelitian yang memungkinkan para partisipan mengalami peristiwa yang ia hendak bicarakan dan membawa bagasi pengetahuannya ix
sebagai generasi sekarang untuk membaca tradisi itu sendiri, sebagai bagian dari warga yang mengkritik dirinya sendiri. Warga yang berdaya. Ada pula Mak Katik, tokoh adat atau budayawan lokal yang menjabarkan kekuatan-kekuatan tradisi membingkai persoalan lintas zaman. Ada Buya Khairani, yang mengajak kita memperluas lagi makna tradisi bakureh ini sebagai inisiatif yang berkembang menjadi kekuatan sosial kita. Ada Ibu Suarna, salah seorang tokoh perempuan yang tergabung dalam organisasi Bundo Kanduang, yang memperkaya kita tentang garis kerja bakureh serta hal-hal intim yang juga menjadi bagian dari bangunan kekuatan sosial itu. Ada Hendra Nasution, dosen dan peneliti seni pertunjukan, yang mengajak kita melihat dan mengembangkan kesenian sebagai metode untuk membingkai dan mendokumentasikan nilai-nilai kearifan lokal. Ada Kharisma, komposer, yang menjabarkan model pengembangan tradisi serupa bakureh dalam medium seni pertunjukan. Ada Datuak Bandaro Hitam alias Syahrial Chan mengisi sebuah FGD untuk memperkaya lagi bagasi kita melihat tradisi masa lampau, sebagai strategi yang ideal pada zamannya dalam membangun kekuatan sosial. *** Menggali kembali tradisi masa lalu sering kali membawa kita pada narasi lain. Narasi itu bisa jadi mengantarkan kita pada pandangan yang menyenangkan, yang menyeramkan, ataupun keduanya sekaligus. Ia bisa menjadi rindu ataupun kebencian. Tapi bagi kita di Gubuak Kopi, mundur sejenak adalah upaya untuk terus melakukan otokritik dan memaafkan ketidaktahuan kita yang sering menjadi bahan marah-marah orang tua kita. Di sini, di Minangkabau, sering kita dengar tradisi selalu dinarasikan sebagai tatanan ideal dalam menjalani peradaban. Narasi yang tidak baik, tidak perlu dikenang. Tapi di sisi lain, ketika nasehat selalu diawali dengan “dulu itu kami selalu begini...� dan lainnya, kita kembali terpisah dengan tradisi itu sendiri. Ia kita amini sebagai sesuatu yang jauh, dan hilang. Salah kita kah, ketika tradisi itu akhirnya terlihat terpisah dengan kebudayaan yang sedang berlangsung? Lalu, salahkah generasi kini menentukan apa yang ideal sekarang–dan mungkin nanti–seperti orang tua kita merumuskan tradisitradisi itu untuk generasi setelahnya? Tapi ini bukanlah pertempuran zaman. Sepanjang kita mempelajari sejarah, kita sangat sadar, ada yang berulang dengan konteks yang berbeda, ada yang baru, dan yang telah berubah. Kita pernah bertemu dengan narasi dimana tetangga yang saling mengenal, tidak ada tetangga yang akan membiarkan tetangganya memasak sendiri di pesta perkawinan atau kematian, apa lagi dipersekusi. Tapi narasi itu juga membangkitkan bayangan hidup yang kaku bagi beberapa orang. Para partisipan ini hadir dari latar belakang yang berbeda dan memiliki pandangan-pandangan menarik. Ade Surya Tawalapi, seorang berdarah minang lulusan Sastra Rusia, dan pegiat di organisasi studi kebudayaan pertanian di Pekanbaru, berbeda dengan yang lainnya ia terlibat di sini dengan metode residensi. Ade pernah bertemu dengan tradisi bararak. Estafet lainnya dari prinsip-prinsip x
bakureh. Ia berjumpa dengan perumpamaan-perumpamaan yang kadang terkesan karangan masa lalu saja, namun, di sisi lain menarik bagaimana tokoh-tokoh adat meyakini ini sebagai sebuah prinsip-prinsip ideal masyarakatnya. Bararak diposisikan semacam pawai semiotik karangan para pendahulu. Ade bersama narasumbernya mengupas kode-kode itu sebagai model penyelidikan untuk mengetahui posisi perempuan dalam prinsip sosial masyarakat matrilineal Minangkabau. Prinsip-prinsip egaliter dan kesetaraan yang sebenarnya tidak begitu tercermin dalam keseharian. Tapi, kemudian ia dan narasumbernya menutup sore dengan kenyataan bahwa keyakinan itu ternyata dianggap menyita waktu, mahal, yang kemudian terdengar sebagai pembenaran bagaimana kita memaknai posisi tradisi ini sebagai sia-sia, dalam pergulatan modern yang belum juga kita pahami dengan matang. Di tempat lain, Sefniwati, lulusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, dan sekarang sedang melanjutkan studi S2 Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam, mendeteksi tradisi julo-julo dalam memaknai bakureh. Julo-julo semacam arisan yang didalil oleh petuah, adat hiduik di dunie tolong-manolong, adat mati janguak-manjanguak, adat ado basaliang tenggang, adat kayo mambantu yang miskin (adat hidup di dunia adalah tolong menolong, adat mati saling menjenguk, adat ada/berkepunyaan saling bertenggang/membantu, adat kaya membantu yang miskin) Dek urang alah, dek awak ka tibo... (pada orang lain sudah kejadian, pada kita akan datang...) Nahlia Amarullah, salah seorang mahasiswa asal Jakarta yang tengah menempuh studi Ilmu Komunikasi di Padang, menarik hal-hal yang berkaitan prinsip komunikasi dalam penyelidikannya. Sebagai outsider yang baru saja mengalami, ia melihat proses komunikasi yang terbagun dalam tradisi bakureh adalah modal sosial yang penting untuk kita pertahankan. Kemudian, sebagai generasi kini ia mulai bereksperimen dengan media sosialnya, menanyai temanteman segenerasi. Olva Yosnita, mahasiswa jurusan sosiologi, mendalami proses bakureh dan adab dalam memaknai kematian yang terlihat cukup rumit, dan berupaya membongkarnya dari sudut pandang observer maupun sebagai bagian dari masyarakat itu. Topik yang sama juga digali oleh Nurul Haqiqi dengan pendekatannya sendiri, dan bertemu dengan hal yang sederhana. Kesepakatan dan pertimbanganpertimbangan yang kontekstual adalah potensi untuk berbenah. Kalau bakureh juga dimaknai sebagai momen untuk berkumpulnya kerabatkerabat dan tetangga, maka menarik menyimak bagaimana Dyah Roro, lulusan xi
studi kearsipan, menikmati prosesnya menelusuri kembali kerabat-kerabatnya. Kerabat-kerabat yang juga merupakan tetangga-tetangganya, untuk mengetahui apa itu bakureh dan mengapa tradisi ini sampai harus dibicarakan. Kalau dulu bakureh berkumpul di satu titik, Dyah Roro mengalaminya dengan menemui orangorang ini satu persatu. Bakureh yang pada dasarnya masih kental di kampungnya, adalah pertanyaan-pertanyaan yang tidak selesai, ia menemukan banyak jawaban yang tidak terjelaskan. Semua dikenang sebagai tradisi semata dan dijalankan karena memang harus menjalankan tradisi. Seperti halnya produk-produk modern, ia sampai ke negeri ini tidak berbarengan dengan pengetahuannya. Begitu pula tradisi yang datang dari dimensi lampau, tidak dengan pengetahuan yang komplit untuk kita generasi kini. Hanya kisah ‘tokoh-tokoh’ yang menginginkan kita sepakat dengan makna yang mereka yakini. Memang ini tidak dapat dipukul rata, tidak semua tokoh adat gagap menerangkan tradisi itu, tidak semua yang menjalankannya karena perintah pendahulu semata. Tapi pencarian Roro tidak pula kasus khusus, hal serupa ditemui para partisipan lainnya. Tanya tak berjawab. Beberapa orang berupaya menemukan jawabannya sendiri dengan melihat dampak pola-pola yang terjadi. Yang paling penting yang menjalani, menikmatinya. *** Konon, modern muncul dengan cita-cita kehadirannya yang mulia diharapkan mampu memecahkan segala persoalan yang dihadapi manusia. Membebaskan manusia dari beban berat. Menjadi lebih beradab, dan lainnya. Namun ternyata harus kita pertanyakan ulang, model pengetahuan baru itu tidak benar-benar berangkat dari keinginan dan kebutuhan kita. Sebaliknya ia muncul sebagai model yang dikonstruksi pemilik modal besar, yang selalu muncul di layar kaca, sampaisampai kita hafal. Ilmu-ilmu modern tidak tertarik memperhatikan dimensi-dimensi mistis dan metafisis manusia sebagai pengetahuan yang turut menjaga tatanan sosial kelompok tertentu. Dengan latar belakang demikian, modernisme juga kehilangan landasan praksisnya untuk memenuhi janji-janji kesetaraan dan pembebasan yang dahulu lantang disuarakannya. Pembebasan manusia dari penindasan, beban fisik yang berat, belenggu mitos dan berhala kebudayaan, kini justru membelenggu beberapa dari kita dengan mitos-mitos dan berhala-berhala baru yang tak kalah menindas dan memperbudak demi citra ‘cantik’ universal. Buku ini adalah catatan-catatan penelusuran yang mengajak kita untuk mengkritisi diri sendiri, yang kita harapkan dapat menjadi pemantik untuk merespon segala perubahan dengan sadar. Berliterasi-bermedia, adalah upaya memangkas semak belukar yang menyisakan sisi-sisi gelap modern maupun tradisi. Membiarkan yang lainnya tumbuh di tempat yang kita pilih. Albert Rahman Putra Bangko, 23 September 2018 xii
xiii
xiv
xv
BARARAK MENUJU SORE ADE SURYA TAWALAPI
AWAL JUNI 2018 LALU, saya dan Nahal berkesempatan pergi berkunjung ke rumah dua orang teman Gubuak Kopi, yakni Riski di Nagari Koto Baru dan Volta di Nagari Kinari. Nahal adalah rekan seperjuangan dalam riset Bakureh Project yang digagas Gubuak Kopi. Waktu itu, kami berkunjung dalam rangka mencari informasi seputar tradisi bakureh 1 untuk memenuhi tugas lokakarya “Bakureh Project” 2. Kami memilih rumah Riski dan Volta secara tidak sengaja. Kebetulan saja waktu itu Riski menawarkan untuk main ke rumahnya. Saya dan Nahal pun menerima kesempatan itu. Lalu, karena saat ke rumah Riski, kami berangkat berempat dengan Volta, maka keesokan harinya, saat mencari lokasi riset yang lain, saya dan Nahal memutuskan untuk ke rumah Volta saja. Ternyata, kedua nagari ini saling berdekatan. Jarak antara keduanya sekitar 5-10 menit saja dengan berkendara motor. Awalnya saya tidak begitu paham dimana lokasi kedua nagari tersebut, sebab saya bukan warga asli Kota Solok. Jangankan letak kedua nagari yang baru pertama kali saya datangi itu, letak ‘Kota Solok’ pun saya belum begitu paham waktu itu. Saya bahkan sempat bingung Solok itu yang mana, saat mendengar beberapa teman Gubuak Kopi berbicara soal ‘Solok’, ‘Kota Solok’, ‘Solok Selatan’, dan solok-solok lain yang membuat saya pusing. Sampai akhirnya saya mencari tahu sendiri apa dan dimana Solok itu sebenarnya. ‘Solok’ yang sering diperbincangkan teman-teman Gubuak Kopi ternyata merujuk pada ‘Kota Solok’, sebuah nagari kecil bernama Nagari Solok, bagian dari Kecamatan Kubung, yang terletak agak di utara dari keseluruhan wilayah 1 Merupakan tradisi memasak bersama yang dimotori oleh kaum ibu dalam rangka pesta nagari. Bakureh memiliki makna yang kompleks yang terikat oleh konsep gotong royong, adab, pendidikan dan sistem sosial. 2 Sebuah proyek memetakan, mencatat dan menganalisisi tradisi bakureh yang berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera Barat, khususnya Solok. Proyek ini merupakan bagian dari Program Daur Subur yang diinisiasi oleh Gubuak Kopi dalam rangka memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat. Lihat www.gubuakkopi.id/bakureh-project/.
2
Kabupaten Solok. Nagari Solok memilih “memerdekakan diri” dari kabupaten dan berhasil menjadi ‘kotamadya’ pada tahun 1970, yang kemudian berganti nama menjadi Kota Solok pada 1999. 3 Meskipun disebut ‘kota’, Solok tidaklah begitu besar. Kita dapat mengelilingi Kota Beras ini dengan hanya mengendarai motor. Paling hanya membutuhkan waktu kurang dari satu jam saja. Luasnya dalam angka berkisar 57,64 km², sekitar 10 kali lipat dari luas Universitas Andalas atau 7-8 kali lipat luas lapangan sepak bola. Bila dibandingkan dengan kota asal saya, Pekanbaru, luas Kota Solok sekitar sepersepuluh luas Pekanbaru. 4 Markas Gubuak Kopi berada tidak jauh dari titik tengah kota Kota Solok, yakni sekitar setengah jam berjalan kaki atau kurang dari lima menit bersepeda motor. Barulah setelah mengetahui tentang Kota Solok, saya menyadari bahwa Kota Solok berbeda dengan ‘Kabupaten Solok’ dan ‘Solok Selatan’. Ya, ada tiga ‘Solok’ rupanya di sini. Kabupaten Solok adalah sebuah kabupaten di Sumatera Barat yang terletak di lingkar selatan Danau Singkarak, yang membentang di bagian tengah hingga selatan Provinsi Sumatera Barat. 5 Kota Solok dikelilingi oleh kecamatankecamatan yang ada di Kabupaten Solok ini. Ibukotanya adalah Arosuka, yang terletak di Nagari Batang Baruih, Kecamatan Gunuang Talang. 6 Kabupaten ini secara administratif tercatat sudah berdiri sejak 1913, sejak masa penjajahan Belanda. 7 Sebelum terjadi pemekaran wilayah pada tahun 2004, Kabupaten 3 Lihat situs resmi Pemerintah Kota Solok, “Sejarah Kota Solok”, diakses 27 Juni 2018, 19.00 WIB di http:// www.solokkota.go.id/index.php/86-profil/94-sejarah-kota-solok. 4 Kota Pekanbaru seluas 632,3 km² sementara Kota Padang seluas 695 km². 5 Lihat situs web resmi Layanan Informasi Pemantauan Air Minum dan Sanitasi Nasional PPSP (Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman) diakses 28 Juni 2018, 18.50 WIB di http://ppsp. nawasis.info/dokumen/profil/profil_kota/kota.solok/peta%20administrasi-ssk.png. 6 PP No. 39 Tahun 2004 tentang Pemindahan Ibukota Kabupaten Solok dari Wilayah Kota Solok Ke Kayu Aro-Sukarami (Arosuka) di Wilayah Kecamatan Gunung Talang Kabupaten Solok. 7 Lihat situs web resmi Pemerintah Kabupaten Solok, “Sejarah Kabupaten Solok”, diakses 27 Juni 2018, 19.00 WIB di http://solokkab.go.id/hal-sejarah-kabupaten-solok.html.
3
Solok langsung berbatasan dengan Provinsi Jambi di selatan. Namun sekarang, perbatasan di sebelah selatan digantikan oleh Kabupaten Solok Selatan, yang memiliki sejarah yang mirip dengan Kota Solok. Kabupaten Solok Selatan berdiri sendiri dari Kabupaten Solok sejak tahun 1950, namun baru dapat direalisasikan pada tahun 2004. 8 Di antara tiga ‘Solok’ ini, Kabupaten Solok Selatan lah yang belum pernah saya jajaki, sehingga saya belum banyak tahu selain dari catatan di internet dan cerita dari teman-teman Gubuak Kopi. Nagari Koto Baru dan Nagari Kinari masuk dalam wilayah administratif Kabupaten Solok. Setelah bolak-balik beberapa kali ke kedua nagari ini, barulah saya sadar ternyata kedua nagari ini berada di satu jalur. Maksudnya adalah, jika dari Markas Gubuak Kopi ke Kinari, maka kita akan melewati Koto Baru terlebih dahulu, lalu Muaro Paneh, dan barulah masuk ke Kinari. Kedua nagari ini berada di dua kecamatan yang berbeda namun saling bertetanggaan; Koto Baru di Kecamatan Kubung dengan ibukota kecamatannya Selayo, sementara Kinari di Kecamatan Bukik Sundi dengan ibukota kecamatannya adalah Muaro Paneh. Pada kunjungan pertama ke Koto Baru, saya dan Nahal bertemu dengan ibu Riski. Kami memanggilnya Ama 9. Kami berbincang mengenai kegiatan kami di Gubuak Kopi dan hal-hal lainnya. Lalu Nahal mencoba bertanya mengenai tradisi bakureh. Ama, yang belakangan saya ketahui bernama Hermita, menjelaskan apa yang ia tahu tentang bakureh. Kemudian Ama menyarankan kepada kami untuk mendatangi Bundo Kanduang Koto Baru, Tek Erih, jika ingin mengetahui lebih rinci mengenai tradisi ini. Rumah Tek Erih berada tidak jauh dari rumah Riski, sekitar 100 meter ke belakang. Karena begitu dekat, kami pun segera pergi ke sana sesuai saran dari Ama. Awalnya, kami hanya membahas tentang bakureh saja bersama Tek Erih, demi menjawab rasa penasaran kami sebelumnya. Kami pun mendapat gambaran yang lebih detail tentang bakureh di Koto Baru. Kemudian pembicaraan kami meluas, sampai akhirnya kami membahas tradisi bararak 10. Sampai saat itu, saya hanya menerima informasi bararak sebagai informasi tambahan, bahwa bararak dapat dikategorikan sebagai “bakureh” dalam artian berkuras tenaga atau saling bekerja sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, yaitu mempersiapkan dan menyelenggarakan arak-arakan tersebut. Pengetahuan tentang kedua tradisi ini kemudian kami simpan untuk didiskusikan di Markas, bersama teman-teman Gubuak Kopi yang lain. Saat berkunjung ke rumah Volta, kami juga bertemu dengan ibunya, yang juga kami panggil Ama. Tak lama setelah berbincang-bincang dengan Ama, ayah Volta, yang kami panggil Apa 11, datang dan ikut bergabung. Awalnya kami masih 8 Lihat situs web resmi Pemerintah Kabupaten Solok Selatan, “Sekilas Solok Selatan”, diakses 27 Juni 2018, 19.00 WIB di https://www.solselkab.go.id/post/read/53/sekilas-solok-selatan.html. 9 “Mama” dalam logat Minangkabau. 10 Merupakan kegiatan berjalan mengelilingi kampung atau nagari beramai-ramai, secara beriringan dan pelan-pelan, dengan menempuh jalan yang panjang dan ramai, diiringi tetabuhan rebana dan talempong untuk menarik perhatian masyarakat. 11 “Papa” dalam logat Minangkabau
4
membahas bakureh. Dari perbincangan bersama Ama dan Apa, kami mendapat informasi baru lagi tentang tradisi tersebut, sesuai dengan konteks Kinari 12. Namun, saya menyadari bahwa ketika membicarakan suatu tradisi, kita mau tak mau akan menyinggung tradisi-tradisi lainnya. Seperti saat kami membahas tradisi bakureh, yang lekat dengan tradisi baralek, maka tak bisa dielakkan kami pun menyinggung sedikit banyak mengenai tradisi bararak yang merupakan estafet dari bakureh. Pembicaraan itu berakhir pada rasa penasaran saya mengenai apa sebenarnya tradisi bararak tersebut dalam konteks Koto Baru dan Kinari. Terlebih lagi, dari dua pembicaraan tersebut, saya menemukan perbedaan yang sangat mencolok antara tradisi bararak di Koto Baru dan Kinari. Salah satu perbedaannya adalah posisi kedua mempelai. Di Koto Baru, kedua mempelai berjalan bergandengan, persis seperti bararak yang selama ini saya ketahui. Sementara di Kinari, kedua mempelai dipisah. “Ba a kok dipisah, Pa? (Kenapa dipisah, Pa?)” tanya saya kepada Apa. “Aa itu lo adaiknyo. Ba a kok gitu, mungkin Datuak bisa manjalehan tu (Begitulah adatnya. Kenapa adatnya begitu, mungkin Datuak bisa menjelaskan),” jawab Apa. Sepulangnya dari rumah Volta, saya mendiskusikannya kepada temanteman Gubuak Kopi. Ternyata, belum semua tahu detil mengenai tradisi ini. Saya kemudian mengajak Volta untuk menemani saya mencari tahu tentang tradisi ini. Volta pun meminta bantuan ayahnya, yang kemudian mempertemukan saya dengan datuak yang dimaksud oleh ayahnya. *** Senin, 25 Juni 2018, saya dan Volta melaju dari Markas Gubuak Kopi ke rumahnya di Kinari. Di suatu tempat di Jorong Bungo Tinggi, Nagari Kinari, sudah menunggu Angku Syahrial Chan, Datuak Bandaro Hitam. Dengan ditemani Apa, saya dan Volta pun melanjutkan perjalanan ke tempat Angku, yang berjarak sekitar 5 menit dari rumah Volta dengan mengendarai sepeda motor. Sesampainya di sana, Angku, yang ditemani seorang temannya yang sedang duduk santai di dipan samping pintu, sedang sibuk dengan buku tamunya, yang baru dibuat hari itu. Beliau duduk di meja kerjanya, mencatat ulang dengan serius siapa-siapa yang sudah datang ke rumah siang-nya untuk berdiskusi dalam sebulan terakhir. Dari mahasiswa sampai keluarga yang bermasalah ternyata mencari Angku untuk berdiskusi dan meminta solusi permasalahan mereka. Sambil menunggu Angku, saya memperhatikan sekeliling kami. Ternyata ini adalah kebun leluhur Angku. Banyak pohon cokelat di sekelilingnya, serta beberapa pohon yang belum saya kenali. Ada gudang di sisi kanan rumah, dan pondok kecil di sisi kiri rumah. Rumah panggung yang saat ini kami tempati dijadikan rumah siang oleh Angku, yang sekaligus menjadi tempat diskusi bersama orang-orang. Tempat diskusinya adalah teras rumah yang ditutupi oleh dinding papan dari bawah hingga setengah badan, lalu selebihnya ditutup jaring kawat. Pintu rumah berada di tengah-tengah dinding teras sebelah dalam. Di samping 12 Baca tulisan pendek partisipan “Bakureh Project” di www.gubuakkopi.id
5
6
kirinya terdapat poster infografis tentang tanaman cokelat. Sementara sebelah kirinya terpajang beberapa sertifikat yang menunjukkan identitas Angku. Teras itu kecil dan sederhana saja, namun sangat nyaman dengan bangku-bangku panjang yang terbuat dari kayu, dilengkapi beberapa bantal empuk. Di tempat ini, kata Angku, beliau menikmati masa tuanya sambil berkebun di tanah leluhur yang ia kelola bersama keluarganya. Angku memelihara dua ekor anjing pemburu yang jinak di sini, yang tampak begitu manja kepada Angku dan mengerti batas-batas tempat yang boleh mereka jajaki. Mereka akan berlari mengitari Angku sambil menjulurkan lidah dan menggoyang-goyangkan ekornya setiap kali Angku keluar dari rumah. Namun, mereka akan seketika berhenti di depan tangga saat Angku masuk ke dalam teras. Mereka tidak serta merta masuk, karena mengerti itu bukan wilayah mereka. Angku Syahrial adalah seorang praktisi adat Minangkabau yang berlatar belakang sebagai guru dan dosen. Tak heran saat bertemu dengannya pertama kali, Angku bertanya detail tentang identitas saya dan Volta, mengingatkan saya pada dosen-dosen saya dulu. Beliau juga menjawab semua pertanyaan saya dengan gamblang dan rinci, sehingga waktu diskusi kami yang kurang dari dua jam terasa begitu padat dan berisi. Setelah pekerjaannya selesai, Angku lalu menyeruput kopinya dan melepas kopiahnya. Beliau memperbaiki posisi duduknya dan mempersilahkan saya menjelaskan maksud kedatangan kami dan menjelaskan apa yang ingin kami ketahui dari beliau. Lalu Angku pun mulai menjelaskan tentang tradisi bararak di Kinari. Bararak yang dimaksud dalam konteks pernikahan di Kinari adalah arakarakan yang dimulai dari rumah mempelai perempuan (anak daro) menuju rumah mempelai laki-laki (marapulai). Di Kota Solok, tahapan ini disebut dengan Batunduak atau Pai batunduak 13, sebab bararak di Kota Solok bermakna arak-arakan yang dimulai dari rumah induak bako 14 ke rumah anak daro. 15 Meskipun ada perbedaan penyebutan, tradisi bararak di Nagari Kinari memiliki tujuan yang sama seperti di nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat, termasuk di Kota Solok, yakni untuk mengumumkan kepada khalayak ramai tentang berita pernikahan. Kata Angku, pada zaman dahulu, bararak di Kinari menjadi pengganti surat nikah sebagai bukti telah resminya hubungan suami istri seseorang, sementara di zaman sekarang bararak menjadi pemeriah suatu pesta saja. Menurut sepengetahuan Angku, bararak zaman kini di Kinari hanya satu jenis saja yang disebut bararak atau pai bajamu. Akan tetapi, pada zaman dulu, bararak di Kinari dibagi menjadi tiga jenis, yang dibedakan berdasarkan besar-kecilnya perhelatan. Ketiga jenis bararak tersebut adalah bakajo, bajamu, dan baanta kanji. “Lai tau bakajo? (Apa kamu tahu apa itu bakajo?)” tanya Angku, mungkin menguji keseriusan saya dalam memperhatikan penjelasannya. Saya terdiam sejenak dan berpikir. Lalu saya mencoba menebak bahwa bisa 13 Pergi tunduk ke rumah mertua. 14 Kakak atau adik kandung perempuan ayah dari kedua mempelai 15 Dalam konteks Kinari dan Koto Baru, arakan dari rumah induak bako ke rumah anak daro disebut arak induak bako, maanta nasi kunik atau maanta sikuniang.
7
saja bakajo diambil dari kata “bakarajo” yang berarti “bekerja”. Ternyata tebakan saya benar. Bakajo memang dapat diartikan bakarajo atau bekerja. Bekerja dalam artian mempersiapkan dan menyelenggarakan arak-arakan untuk alek gadang, yaitu tradisi pernikahan secara besar-besaran yang ditandai dengan membantai kerbau. Menurut Angku, jumlah rombongan dalam bakajo biasanya sangat banyak dan lengkap, tergantung jumlah sanak saudara dan kaum sesukunya 16. Selain itu, jarak tempuh arak iriang 17 bakajo juga sangat jauh, sehingga tidak mengherankan jika arak iriang-nya juga disebut dengan “Arak Iriang Sapanjang Labuah” 18 . “Harus nan paliang jauah. Kalau bisa sakaliliang nagari ko dilalui” (Jalurnya harus yang paling jauh. Kalau bisa mengelilingi satu nagari), jelas Angku. Lalu Angku bertanya lagi tentang pendapat saya mengenai bajamu. Saya kembali menduga-duga bahwa bajamu ada kaitannya dengan kata “menjamu”; menghidangkan. Angku lalu menjelaskan bahwa istilah bararak zaman sekarang di Kinari diambil dari sini. Bajamu dapat dimaknai sebagai arak-arakan untuk menghadiri perjamuan di rumah mempelai laki-laki. Bajamu biasanya diiringi dengan pemotongan sapi (jawi) dan ditandai dengan arak iriang yang tidak begitu ramai. Biasanya hanya terdiri dari orang-orang dewasa yang penting-penting saja, seperti ninik 19 kaum sasuku (satu klan garis keturunan ibu) dan keluarga. Anak gadis, biasanya, tidak ikut serta dalam arak iriang ini. Jarak yang ditempuh pun tidak sejauh arak iriang bakajo. Sementara untuk baanta kanji, saya sama sekali tidak bisa menduga. Yang saya tahu, kanji mengingatkan saya pada dua hal; tepung kanji dan huruf kanji dalam bahasa Jepang. Angku lalu tertawa saat mendengar jawaban saya dan berkata, “Di siko ado namo masakannyo kanji. Lai tau kanji? Sarupo pindukuik (Di sini ada masakan yang disebut “kanji”. Tahu ‘kanji’? Mirip pinukuik.” Wajah saya waktu itu pasti sangat menggambarkan orang yang kebingungan, dan memang begitu faktanya. Saya sering mendengar kata “pindukuik” atau “pinukuik” 20, tapi bayangan tentang bentuk makanan tersebut samar-samar. Saya lalu menoleh ke Volta yang segera membantu mendeskripsikan kanjii tersebut. “Aaa! Surabi! (Ah! Serabi!),” Angku seketika bersorak. “Ooooh.. surabi. Kalau surabi lai tau, Ade, Ngku... (Oh, serabi. Kalau serabi, Ade tahu, Ngku),” jawab saya kemudian. “Iyo.. nan kanji tu, surabi tu (Nah, kanji itu adalah serabi).” Saya lalu mengangguk karena seketika paham maksud baanta kanji. Tentunya, dalam arak-arakan tersebut, para rombongan membawa si kanji tersebut. “Berarti, sarombongan tu bao kanji tu, Ngku (Berarti semua orang dalam rombongan arak-arakan membawa kanji, Ngku?),” tanya saya, polos. “Ndak sadonyo nyo... Cukuik ciek (Tidak semuanya, cukup satu saja),” 16 Kaum satu klan atau satu marga atau satu garis keturunan yang dalam konteks Minangkabau, garis keturunan ibu. 17 Arak-arakan, iring-iringan. 18 Iring-iringan sepanjang nagari. 19 Orang-orang tua kaum satu suku. 20 Mirip dengan serabi, namun rasanya manis dan bisa langsung dimakan tanpa tambahan kuah seperti serabi.
8
Ya, baanta kanji adalah arak iriang yang paling sederhana dan murah. Biasanya untuk pernikahan yang diiringi dengan pemotongan kambing, atau tidak ada pemotongan ternak sama sekali. Dalam arak iriang baanta kanji, orang yang ikut sama seperti arak iriang bajamu atau bakajo, hanya saja jumlahnya paling sedikit. Jarak yang ditempuh adalah jarak yang paling dekat, sekitar satu jorong atau satu RT-RW saja. Tiga jenis bararak tempo dulu yang ada di Kinari ini mengingatkan saya pada jenis-jenis bararak di Koto Baru, yang masih ada sampai sekarang. Waktu itu Tek Erih menjelaskan bahwa arak-arakan di Koto Baru juga dibagi berdasarkan besarkecilnya perhelatan yang tergambar dari jenis hewan ternak yang disembelih. Bedanya, penyebutan jenis bararak di Koto Baru ditentukan oleh banyaknya rombongan, seperti arak 7, arak 9, arak 12, arak 28, dan arak 32. Masing-masing arak-arakan tersebut memiliki pola dan susunan yang berbeda. Akan tetapi, jarak yang ditempuh sama, sekitar 100 meter sebelum rumah tujuan (rumah mempelai laki-laki). Arak-arakan untuk perhelatan yang diiringi pemotongan kerbau adalah arak 32, yang artinya hanya 32 orang yang boleh ikut arak iriang. Namun berdasarkan informasi yang saya dapatkan seminggu setelah berdiskusi dengan Angku, tepatnya 2 Juli 2018, di rumah tante Riski yang bernama Tek Na, arak iriang 32 bisa dikatakan sangat jarang bahkan mungkin tidak ada. Hal ini disebabkan oleh tradisi masyarakat Koto Baru yang tidak mengenal kerbau. Di Koto Baru, orang-orang lebih dekat dengan sapi (jawi), tidak ada yang beternak kerbau, sehingga arak 28, yang diiringi dengan pembantaian sapi, menjadi lebih umum dikenal sebagai arak iriang alek gadang di Koto Baru. Arak 12 biasanya untuk perhelatan yang diiringi pemotongan kambing, sementara arak 7 dan arak 9 tidak diiringi pemotongan sama sekali, atau sekedar pesta kecil saja (kenduri). Di Kinari, meski ada perbedaan jenis arak iriang, jumlah rombongan tidak dibatasi seperti di Koto Baru, terutama untuk arak iriang bakajo. “Banyak, labiah rancak lah nyo (Semakin banyak, justru semakin bagus arakarakannya),� kata orangtua Volta, saat saya berkunjung pertama kali waktu itu, yang kemudian diamini Angku Syahrial. “Samakin banyak personal yang ikuik, arak iriang semakin rami dan panjang. A itu menjadi suatu kebanggaan bagi keluarga sipangka, sebab sado urang dapek mancalik. Aaa.. rancaknyo babaris dari hulu ka hilia (Semakin banyak orang yang ikut, iring-iringan semakin ramai dan panjang. Hal ini menjadi kebanggaan bagi keluarga yang menyelenggarakan, sebab semua orang bisa melihat betapa cantiknya arak-arakan tersebut yang begitu panjang),� jelas Angku. Sebenarnya, di Koto Baru pun juga ada bararak yang tidak dibatasi jumlah rombongannya, yakni bararak induak bako (maanta sikuniang) dan bararak aqiqah. Bahkan, kata Tek Na, saat kami temui di rumahnya, jumlah rombongan bararak aqiqah ini bisa mencapai seratus atau lebih. Saya pun teringat foto aqiqah Riski dan adik-adiknya yang diselenggarakan secara bersamaan, dan tampak dalam foto itu sederet kaum ibu berpakaian ungu berbaris rapi dan sangat panjang, dengan junjungan berbentuk segitiga di atas kepala mereka. Mendengar penjelasan Angku, saya pun berpikir, tidak adanya batasan jumlah rombongan di Kinari bisa jadi karena orang yang ikut arak iriang adalah 9
orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dan hubungan suku. Dalam bakajo, misalnya, keluarga besar dan kaum sesuku boleh ikut untuk memeriahkan arak iriang. Keluarga besar yang dimaksud bisa terdiri dari adik perempuan, kakak perempuan, sepupu perempuan, andan pasumandan 21, dan induak bako dari kedua mempelai. Sedangkan kaum sa-suku (satu klan) adalah kerabat yang memiliki hubungan suku dengan kedua mempelai. Misalnya yang menikah bersuku Melayu dan Tanjung, maka orang-orang dari suku Melayu dan Tanjung yang ada di Nagari Kinari tersebut boleh ikut, bahkan diharapkan untuk ikut bararak mewakili niniknya masing-masing. 22 Berbeda dengan Koto Baru yang mengizinkan kerabat tetangga untuk ikut hadir dalam arak iriang, sehingga menurut saya, perlu dibatasi agar jumlah rombongan tidak membeludak. Sebab, tentunya jumlah keluarga dan kaum sesuku tidak sebanyak jumlah tetangga, kerabat dan ditambah sanak saudara, bukan? Meskipun, menurut Tek Pet, salah satu tante Riski yang tidak sengaja bertemu dengan kami saat kami main ke rumah nenek Riski, pada dasarnya yang ikut bararak memang sebaiknya dari pihak keluarga dan kaum sesuku. Namun, jika anggota keluarga tidak menyanggupi atau ada yang tidak bisa, maka boleh mengajak tetangga dan kerabat untuk mengisi posisi yang kosong. Bayangkan jika jumlah tersebut tidak dibatasi, bisa jadi semua tetangga ingin ikut ambil peran dalam acara kebahagiaan tersebut. Saya pun teringat kata-kata Tek Erih dan Tek Na bahwa dalam bararak, harus melihat kesanggupan keluarga kita dan keluarga besan (rumah yang dituju dalam bararak), sehingga tidak menyulitkan kedua belah pihak. Mungkin, dengan kepastian jumlah rombongan ini memudahkan kedua belah pihak untuk mempersiapkan kebutuhan untuk bararak dan mempersiapkan tempat untuk makan bersama rombongan bararak tersebut nantinya. Pembicaraan kami terhenti sejenak karena teman Angku yang sebelumnya duduk di dipan samping pintu, izin untuk keluar sebentar. Lalu Angku dan Apa juga sempat bercerita sebentar tentang hal yang saya tidak mengerti. Saya dan Volta pun memanfaatkan kesempatan itu untuk minum barang seteguk. “Lah, apo lai nan ka ditanyo? (Nah, ada lagi yang mau ditanyakan?)” “Ado, Ngku.. (Ada, Ngku),” jawab saya, teringat dengan posisi kedua mempelai yang terpisah. “Ba a urutan arak iriangnyo tu, Ngku? (Bagaimana urutan mereka dalam arak-arakan tersebut, Ngku?)” Urutan paling lengkap, kata Angku, dapat dilihat pada arak iriang bakajo, yang saat ini sudah sangat jarang dipakai masyarakat Kinari. Urutan dalam bakajo diatur oleh dubalang 23, yang juga berperan sebagai penjaga keamanan selama proses bararak berlangsung. Berbeda dengan di Koto Baru, posisi dalam bararak tidak diatur oleh siapapun, namun secara otomatis akan tersusun. Menurut Tek 21 Kakak dan adik ipar perempuan dari kedua mempelai 22 Misalnya ada 9 ninik suku Melayu di Kiniari, maka kesembilannya mengirim perwakilan minimal 1 orang. 23 Disebut juga hulubalang, yakni kepala laskar atau pemimpin pasukan (KBBI V luring, 2016). Dalam struktur adat Minangkabau, dubalang berfungsi sebagai polisi suku atau polisi desa yang bertugas mengatur keamanan masyarakat.
10
Na dan Tek Pet, kaum ibu sudah mengerti soal bararak ini dan hafal di luar kepala, sehingga tidak perlu pengatur khusus lagi. “Di siko, induak-induak ko emang acok pai bararak, jadi lah mangarati se dima nyo tagak (Di sini, kaum ibu memang sering pergi bararak, jadi mereka sudah mengerti dimana harus berdiri),” kata Tek Pet. Menurut penjelasan Angku, bakajo dipimpin oleh si Petunjuk Jalan, yang dalam bahasa lokal disebut sitikuluak tanduak. Si Petunjuk Jalan ini adalah orang yang dipercayai oleh pihak keluarga laki-laki dari kaum sesukunya untuk menjadi petunjuk jalan ke rumah pihak laki-laki. “Ba a kok disabuik sitikuluak tanduak? Ba a kok harus dari pihak laki-laki? Tantu ado makasuiknyo, na ah? (Mengapa disebut sitikuluak tanduak? Mengapa harus dari pihak laki-laki? Tentu ada alasannya),” kata Angku sambil melempar tanya pada saya dan Volta yang hanya bisa mengganggukkan kepala tanda setuju. Angku lalu menjelaskan bahwa alasannya adalah karena ia memakai tikuluak tanduak, yaitu penutup kepala perempuan khas Minangkabau yang berbentuk tanduk kerbau, disusun dari kain yang agak keras dan ditopang dengan karton sebagai penyangga tanduknya. Sementara alasan dipilih dari pihak laki-laki adalah karena pihak laki-laki harus mengetahui seluk beluk jalan dari rumah mempelai perempuan ke rumah mempelai laki-laki. Saat bertamu ke rumah Tek Na dan nenek Riski, saya menemukan perbandingan serupa dalam tradisi bararak di Koto Baru. Di sana juga dikenal “ketua rombongan” yang disebut urang gaek atau urang tuo. Umumnya, mereka adalah orang yang dipilih karena dituakan dan bukan dari pihak keluarga maupun pihak sesuku. Istilah ini, rupanya, juga digunakan di Kota Solok. Namun, saat melihat bararak di Sinapa, Kota Solok, saya menemukan urang gaek tersebut membawa sesuatu di atas kepalanya, yang belakangan saya ketahui sebagai kampia siriah 24 . 24 Wadah sirih berbentuk tabung dengan diameter atas lebih besar dari diameter bagian bawahnya, bagian tengah agak ke bawahnya mengerucut. Di dalamnya berisi daun sirih lengkap dengan pinang, kapur sirih atau sadah dan gambir.
11
Di Koto Baru, kata Tek Na, urang gaek juga membawa kampia sirih, tetapi isinya tidak hanya sirih tetapi juga dadiah, yaitu susu kerbau yang sudah difermentasi. “A, kalau di Kinari ko, sitikuluak tanduak ndak baok apo-apo do. Ndak manjunjuang apo-apo.. Cukuik jadi petunjuak jalan se di muko. (Nah, kalau di Kinari, sitikuluak tanduak tidak membawa apa-apa. Tidak menjunjung apa-apa. Cukup berjalan di depan dan menjadi petunjuk).” Urutan kedua ditempati oleh mempelai perempuan, atau disebut anak daro. Di sisi kiri dan kanannya, didampingi oleh kedua orangtuannya. Ayah (bako) di sebelah kanan dan ibu di sebelah kiri, dan keduanya memakai pakaian adat Minangkabau. Di Kinari, anak daro juga disebut sebagai sisanggua ameh. Sebab, zaman dahulu mempelai perempuan di Kinari (dan juga di Sumatera Barat secara keseluruhan), memakai sanggul asli Minangkabau yang terbuat dari emas. “Asli, dan barek. Sampai anak daro tu manangih kalo lah pakai sanggua ameh ko (Asli emas dan berat. Sampai-sampai anak daro bisa menangis memakainya karena terlalu berat dan membuat pusing),” kata Angku menggambarkan betapa berat sanggul tersebut. Saya pun pernah mendengar bahwa sunting Minang yang asli atau yang zaman dahulu, beratnya bisa mencapai lima kilogram. Di Koto Baru, urutan kedua untuk arak iriang alek gadang ditempati oleh anak daro kaciak dan marapulai kaciak yang diiringi oleh seorang induak rarak, yakni saudara perempuan ibu dari pihak perempuan. Menurut Tek Na, untuk arak 28, mempelai kecilnya cukup satu saja, namun saat berdiskusi dengan nenek Riski, bisa mencapai 3 pasang mempelai kecil. Menurut nenek Riski juga, induak rarak juga sepasang untuk masing-masing mempelai kecil, sehingga dalam satu arak iriang 28 tersebut ada 3 pasang mempelai kecil dengan enam orang induak rarak. Induak rarak ini bertugas untuk menjaga dan memperbaiki pakaian mempelai, baik mempelai kecil maupun mempelai dewasanya. “A, di belakang anak daro dan marapulai kaciak tu baru anak daro gadang dan marapulainyo (Nah, di belakang anak daro dan marapulai kecil tersebut barulah berdiri anak daro dan marapulai dewasanya).” Kedua mempelai dewasa juga diiringi sepasang induak rarak. Tek Erih, Tek Na, Tek Pet dan neneknya Riski sepakat bahwa pakaian mempelai kecil dan dewasa berpakaian yang sama persis. Hanya saja, untuk anak daro kecilnya tidak begitu penuh dan berat seperti anak daro dewasa. Di belakang anak daro, dalam arak iriang bakajo di Kinari, adalah pengiring yang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah deretan kaum sasuku, yang disebut sisanggua dalam bahasa lokalnya, sebab kelompok ini memakai hiasan kepala berbentuk sanggul, dan tidak membawa junjungan. Kelompok ini terdiri dari orang tua atau ninik suku dan anak-anak gadis puti bongsu 25 yang sesuku dengan kedua mempelai. Kelompok pertama dibedakan dari warna pakaian dan hiasan kepala. Pakaian anak-anak gadis adalah baju kurung basiba berwarna merah atau kuning 25 Puti Bongsu atau Puti Bungsu adalah kelompok anak gadis rentang usia 10-39 tahun, namun yang ikut iring-iringan dari kelompok ini adalah mereka yang sudah mendekati usia menikah. Sementara yang masuk golongan orang tua atau ibu-ibu adalah perempuan yang sudah menikah. Untuk golongan Bundo Kanduang adalah kelompok ibu-ibu dengan rentang usia 40 tahun ke atas.
12
bersulam kuning emas dengan hiasan kepalanya adalah sanggua cucuak, yaitu sanggul dengan bunga-bunga mahkota yang ditusukkan ke sanggul. Sementara pakaian untuk mereka yang sudah menikah adalah baju kurung basiba berwarna hitam dan kain panjang bermotif batik. Sementara hiasan kepalanya adalah sanggul Minang. “Anak gadih nan ikuik ko nan lah masuak umue manikah (Anak gadis yang ikut adalah mereka yang sudah masuk usia menikah),” kata Angku. Dengan demikian, anak-anak gadis tersebut bisa belajar bagaimana tradisi menikah sesuai adat istiadat Kinari. Selain itu, kata Angku, bararak bakajo bisa menjadi ajang untuk mencarikan jodoh anak-anak gadis tersebut. Kelompok kedua adalah kelompok adik dan kakak ipar perempuan dari kedua mempelai, atau disebut juga andan pasumandan. Para ipar ini berpakaian baju kurung basiba berwarna hitam dan membawa baban 26 yang berisi kue-kue, seperti kue tar atau kue-kue yang disusun bertingkat dan berhias bunga-bunga kertas. Ada juga makanan khas seperti nasi lamak (nasi ketan), pangek pisang 27, paniaram 28 , dan lamang 29. Pada barisan belakang pembawa kue-kue tersebut, ada ipar yang membawa hadiah berupa piring dan peralatan dapur lainnya, serta pakaian atau kain panungkuik sebagai hadiah suami untuk istri. Pakaian atau kain panungkuik merupakan pakaian lengkap dari atas kepala sampai kaki (alas kaki), yang terdiri dari pakaian dalam dan pakaian luar seperti baju kurung, misalnya. Dilengkapi dengan hiasan rambut dan alas kaki. Sementara bahan pakaian atau kainnya adalah kain yang bermerk atau yang sedang tren 30 sehingga menjadi sebuah kebanggaan bagi pihak yang memberi dan menerima. Kain panungkuik ini disebut juga dengan pakaian sapatagak. Di sela-sela penjelasannya, Angku mengisap rokoknya dengan khidmat dan perlahan. Tampak di mata saya bahwa Angku benar-benar mencari cara untuk menjelaskan urutan dengan rinci dan jelas agar saya mengerti dengan mudah. Mungkin karena Angku menyadari saya bukan orang asli Kinari. Di belakang dua kelompok sebelumnya, Angku melanjutkan, berdiri adik atau kakak kandung ayah, atau disebut juga induak bako, dari pihak perempuan. 26 Barang bawaan yang dijunjung di atas kepala, berupa hadiah berbentuk barang dan makanan-makanan khas Minang. 27 Pangek pisang adalah makanan khas Solok yang terbuat dari pisang yang direbus dalam santan yang sudah berbumbu kunyit, garam dan gula. Dimasak hingga mengental. 28 Paniaram disebut juga Paniaran pisang dalam Bahasa local, yaitu kue khas Minangkabau yang berbentuk bulat berwarna cokelat kehitaman. Tebuat dari tepung beras putih atau hitam, yang dicampur dengan gula aren (gula merah atau saka) atau gula pasir, dan santan kelapa. Rasanya sangat manis. Paniaram juga disebut sebagai Kue Cucur Padang. 29 Lamang atau lamang tapai disebut juga nasi manih, terbuat dari beras ketan yang dimasak dengan santan. Dimakan dengan tapai yang terbuat dari pulut hitam dan difermentasikan beberapa hari. Nasi dalam adat Kinari ada lima, yakni nasi putih, nasi manis, nasi kunik atau nasi kuning, nasi lamak (ketan yang dimakan pakai kelapa), dan nasi katan (ketan polos). 30 Beberapa merk yang terkenal saat itu adalah kain orkansa dan ayam den lapeh.
13
Induak bako pihak perempuan ini membawa jamba gadang, yakni nasi kuning berbentuk gunung (tumpeng), di dalamnya berisi singgang ayam, yaitu ayam bakar yang diolesi bumbu santan. Dalam tradisinya, jamba gadang ini dibuat oleh induak bako di rumahnya sendiri. Jamba gadang akan dimakan bersama-sama setelah dikeruk oleh kedua mempelai untuk mengambil singgang ayam-nya dari sisi yang berseberangan. Saat Angku menjelaskan ini, tidak terpikirkan oleh saya untuk bertanya mengapa harus jamba gadang dan mengapa harus induak bako pihak perempuan yang membuatnya. Tapi, saya mencoba memaknai sendiri, bahwa bisa jadi jamba gadang menggambarkan identitas seorang perempuan sebagai pihak yang mengandung dan melahirkan. Begitu pula mungkin kiranya dengan posisi jamba lamang, yang dibuat dan dijunjung oleh induak bako pihak laki-laki, yang berdiri di belakang induak bako pihak perempuan. Jamba lamang merupakan lamang yang dibuat dalam bambu 14
talang dalam jumlah banyak dan ukuran berbeda-beda, lalu disusun melingkar dan bertingkat dengan lamang tertinggi di bagian tengah lingkaran. Dari sini saya membayangkan sosok lelaki yang diharapkan dari marapulai, yakni tegap dan tegas, serta mampu menjadi tumpuan (pusat) bagi keluarganya. “Untuak pakaiannyo, samo sadonyo, baju kurang basiba itam (Untuk pakaiannya, sama seperti kaum sasuku yang sudah menikah dan andan pasumandan, yakni baju kurung basiba berwarna hitam),” jelas Angku.
Setelah induak-induak bako, barulah mempelai laki-laki, atau disebut juga marapulai. Sama seperti anak daro, marapulai pun didampingi dua orang. Bedanya, bukan orangtua, melainkan urang mudo dan urang tuo yang dipercaya dan dipilih dari pihak suku marapulai. Saya sempat bingung saat Angku menyebut istilah “urang tuo”, karena yang dalam pikiran saya adalah ‘orangtua’. “Ndaak... urang tuo ko urang nan dituokan dalam kaum (Bukan. Urang tuo itu adalah orang yang dituakan),” terang Angku. Urang tuo umumnya sudah berumur, kisaran 40 tahun ke atas. Sementara urang mudo umumnya orang yang mendekati usia menikah, dan berparas biasa-biasa aja, agar tidak memecah fokus masyarakat saat melihat bararak tersebut. “Jan sampai rancak lo pangiriangnyo daripado marapulai, beko sasek urang, disangko lo nan urang mudo ko marapulainyo (Jangan sampai pengiringnya lebih tampan dari mempelai laki-lakinya, nanti orang bisa salah kira),” kata Angku menjelaskan sambil berkelakar. Urutan bararak di Kinari dan di Koto Baru ternyata berbeda secara keseluruhan. Di Koto Baru, seperti yang dijelaskan Tek Erih, Tek Na dan Tek Pet, yang berdiri di belakang kedua mempelai adalah pengiring yang disebut kakak rarak. Kakak rarak ini berpakaian sama mirip seperti anak daro. Bedanya, perhiasan kakak rarak lebih sederhana. “Intinya, jan sampai mencolok na kakak rarak ko dibandiang anak daro (Intinya, jangan sampai kakak rarak lebih mencolok daripada anak daro),” terang Tek Pet. 15
Kakak rarak tidak membawa baban sebab mereka memakai tikuluak kopiah, yaitu kopiah yang dibentuk dari kain keras seperti kain songket. Bila dilihat dari posisinya serta tidak membawa baban, saya menarik kesimpulan bahwa peran kakak rarak sepertinya sama dengan kaum sasuku dalam bakajo di Kinari, yakni sebagai “dayang-dayang” dalam bararak. Ternyata dugaan saya ada benarnya. “Tagak-tagak se wak mangamek-ngamek. Ndak ado maurus-urus anak daro do (Kita berdiri saja dan senyum manis. Tidak perlu mengurus anak daro seperti induak rarak),” jelas Tek Pet sambil mengenang pengalaman menjadi kakak rarak. Tante Riski yang satu ini memang rajin ikut bararak, baik di Koto Baru maupun di Kota Solok. Berdasarkan pengalamannya tersebut saya akhirnya tahu bahwa pakaian bararak di Koto Baru ada empat jenis tergantung jenis bararak-nya. Seperti bararak bantai jawi, maka rombongan arak-arakan memakai baju beludu berwarna hitam. Baju beludu adalah baju kurung yang senada dengan bawahannya, namun tidak basiba (berjahit pinggir tiga buah). Selanjutnya untuk arak iriang maanta sikuniang (bararak induak bako), maka baju yang dipakai adalah baju kurung basiba hitam untuk alek bantai jawi, baju kurung basiba berwarna ungu untuk alek bantai kambiang, dan baju kurung cita berwana merah untuk kenduri biasa. Sama seperti di arak iriang bakajo, dalam arak iriang 28 di Koto Baru juga terdapat kelompok pembawa baban. Mereka berdiri di belakang kakak rarak. Kelompok pertama yang berdiri tepat di belakang kakak rarak adalah si pembawa sangku 31, yang terdiri dari dua orang. Sangku diisi dengan gulai sup daging atau kaki hasil pemotongan sapi sebelumnya, dan rendang. Sangku dijunjung di atas kepala dengan bantuan singguluang. “Lai tau singguluang? (Tahu apa itu singguluang?),” tanya Tek Na. Saya merasa terbiasa dengan pertanyaan seperti itu karena memang tidak tahu. Tek Na lalu memperagakan bagaimana cara memakainya. Singguluang merupakan kain sarung yang digulung membentuk tabung pipih yang diletakkan di atas kepala sebagai penyangga baban. Biasa digunakan ibu-ibu zaman dahulu untuk membawa barang, mislanya hasil berkebun atau kayu bakar. Dalam tradisi bararak, singguluang pun dipakai agar kepala tidak terlalu sakit saat membawa baban serta baban tersebut kokoh tertumpu di atas kepala. Kelompok selanjutnya dalam arak iriang 28 di Koto Baru adalah pembawa dulang 32 sebanyak enam orang. Yang dibawa dalam dulang adalah makanan wajib arak iriang di Koto Baru. Nenek Riski menjelaskan bahwa makanan-makanan tersebut dulunya dibawa secara berurutan dengan urutan paling pertama (tepat di belakang pembawa sangku) adalah nasi lamak 33, disusul galamai 34 , paniaram, kukuh, samba randang, dan talua batirai 35. Bahkan, dulu ada yang disusun secara 31 Cawan yang terbuat dari tanah liat dan berkaki. Dikenal juga dengan sebutan belango di Kota Solok. 32 Nampan atau baki yang berbibir pada tepinya. Dalam tradisi bararak di Koto Baru, dulang ditutup dengan tudung kain berbenang emas. 33 Nasi ketan 34 Galamai adalah makanan ringan berbahan dasar tepung beras ketan, gula saka, dan santan. Galamai hampir mirip dengan dodol, tetapi lebih kenyal dan lembut, berwarna hitam pekat dan umumnya dicampur dengan potongan kacang tanah, sehingga menjadi lebih renyah. Rasanya manis dan gurih. 35 Telur dadar berukuran kecil-kecil, seperti telur jajanan SD, disusun di atas dulang, dihias dengan cabai
16
bertingkat, seperti galamai dengan paniaram. “Tapi kini ndak ado lai nan batingkek tu do, dek ndak takao dek induak-induak jaman kini (Tapi sekarang tidak ada lagi susunan yang bertingkat, karena banyak yang tidak biasa),” ungkap Nenek. Makanana-makanan tersebut disebut makanan wajib Koto Baru sebab, menurut Tek Erih dan Tek Na, sejak dulu makanan-makanan inilah yang sering dibawa dalam bararak. Bahkan, dalam tradisi Koto Baru, tradisi bakureh disebut dengan istilah mangalamai karena salah satu makanan yang akan dibuat bersamasama dalam kegiatan bakureh tersebut adalah galamai. Kelompok terakhir dalam bararak 28 di Koto Baru adalah pembawa katidiang hitam yang berjumlah empat orang. Katidiang hitam adalah keranjang yang terbuat dari anyaman bambu, dicat hitam, berbentuk kerucut, namun bagian bawah yang mengerucut tersebut berbentuk persegi. Katidiang hitam biasanya digunakan untuk membawa beras dalam acara pernikahan. Namun di Koto Baru, digunakan juga untuk membawa nasi putih. Pertama kali saya melihat katidiang hitam ini adalah saat melihat bararak di Sinapa, Kota Solok. “Berarti, baban ko beko dimakan samo-samo, Tek? (Berarti, nanti lauk pauk yang dibawa ini akan dimakan bersama-sama?)” saya bertanya polos ke Tek Na. Pertanyaan itu terlontar begitu saja karena saya sedikit bingung. Di Kinari, seperti penjelasan Angku, yang dibawa adalah makanan ringan yang diberikan ke orang rumah pihak laki-laki, sementara para rombongan akan makan hidangan yang sudah dipersiapkan oleh orang rumah tersebut. Saya pun menyimpulkan bahwa makanan yang dibawa oleh rombongan arak-arakan di Koto Baru juga bisa jadi hanya diantar ke rumah tujuan, setelah itu rombongan makan dari makanan yang disediakan di rumah. “O, iyolah... tingga di rumah marapulai sadonyo. Makan basamo-samo keluarga jo nan bararak. Tapi dinanti juo jo gulai talua jo randang untuak panambahnyo (Oh, iya. Semua bawaan itu nanti tingga di rumah mempelai laki-laki. Makan bersama keluarga laki-laki dan rombongan arak-arakan. Tapi, di rumah laki-laki juga sudah dihidangkan gulai telur dan rendang, sebagai menu tambahannya),” jawab Tek Na. Satu-satunya urutan rombongan yang sama antara tradisi Kinari dan Koto Baru selain posisi urang gaek adalah pemain musik. Baik di Kinari, Koto Baru maupun nagari-nagari lainnya, sepertinya arak iriang ini ditutup dengan permainan musik, seperti talempong pacik dan rabana. Kalau di Kinari, posisinya persis setelah marapulai, sementara di Koto Baru dan Kota Solok, posisinya setelah pembawa katidiang hitam. Fungsi pemain musik ini, berdasarkan pengamatan saya saat melihat arak iriang di Sinapa itu, adalah untuk meramaikan suasana arak iriang dan menarik perhatian masyarakat. Dengan demikian, saya berpikir jika semakin banyak pemain musiknya maka akan semakin bagus. Namun ternyata, umumnya bararak hanya memakai 6-9 pemain musik saja, yang tugasnya tidak hanya bermain musik, tetapi juga mendendangkan lagu-lagu tradisional yang berkaitan dengan alek gadang dan bararak. Tidak terasa azan Asar sudah berkumandang saja. Usai menjelaskan urutan rombongan dalam bararak, Angku kembali menyeruput kopinya yang sudah dingin, merah yang dibelah panjang.
17
sementara Apa membuka cemilan yang kami bawa tadi. Sambil ngemil, Wakil Ketua LKAAM 36 Kabupaten Solok ini iseng bertanya pada saya, apa maksud urutan yang sedemikian rupa dalam tradisi bararak tersebut? Saya hanya menggeleng tidak tahu, sambil tertawa. Angku pun ikut tertawa. Kinari memiliki prinsip-prinsip hidup, yang beberapa di antaranya terlukiskan dalam tradsisi bararak. Salah satunya adalah prinsip pemisahan mempelai perempuan dan laki-laki dalam bararak. Saya langsung memperbaiki posisi duduk senyaman mungkin karena bagian inilah yang saya tunggu-tunggu. Masyarakat Kinari, kata Angku, percaya bahwa sepasang suami istri, meski sudah menikah dan saling mengisi satu sama lain, tetap harus mandiri. Si Istri tidak melulu harus menggandeng si Suami, sementara si Suami tidak sepatutnya mengekori si Istri kemana pergi. Dari bararak, mereka dilatih untuk saling percaya, bahwa jarak bukan pemisah hubungan mereka. Pasangan suami istri di Kinari juga diharapkan memberikan kebebasan pada masing-masing pasangannya untuk bekerja di luar rumah. Para istri tidak harus menjadi ibu rumah tangga, mengurus rumah dan anak saja, tetapi juga diizinkan untuk bekerja di luar, seperti berjualan di pasar, bekerja di sawah dan di ladang, atau membuka warung sendiri. Begitu pula, para suami tidak terikat harus bekerja di Kinari saja, tidak harus bekerja ini atau itu. Prinsipnya adalah pasangan suami istri harus saling percaya dan amanah, apapun pekerjaan mereka dan dimana pun posisi mereka. Saling percaya dan amana ini seolah dilatih dalam  36 Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
18
posisi bararak, agar dapat menjadi landasan masyarakat Kinari dalam membina hubungan rumah tangga. “Siang batali mato, malam batali ijuak,” kata Angku mengistilahkan, yang maksudnya adalah meski sepasang suami istri terpisah karena pekerjaan atau urusan-urusan tertentu, mereka tetap akan kembali bersama, berkat azas saling mempercayai dan amanah satu sama lain. Selain itu, masyarakat Kinari juga percaya bahwa dalam proses pernikahan ada yang disebut proses perkawinan. Perkawinan di sini bukan antara si Perempuan dan si Lelaki, melainkan antara keluarga dari kedua belah pihak. Perkawinan yang sesungguhnya, kata Angku, adalah perkawinan antarkeluarga besar. Masyarakat Kinari meyakini bahwa sepasang suami istri dapat bersatu karena adanya izin dari keluarga besar dan kaum sasuku. Sebelum mereka menikah, keluarga besar dan kaum sasuku harus dikawinkan terlebih dahulu. Dikawinkan ini maksudnya adalah didudukkan bersama, diperkenalkan, dan diajak berdiskusi untuk mencari kesepakatan mengenai rencana pernihakan. Kedua belah pihak bermusyawarah dengan landasan kekerabatan dan kekeluargaan, sehingga ketika kedua belah pihak sepakat, maka hubungan kekerabatan pun akan terjalin dengan baik. Baru kemudian acara pernikahan bisa diselenggarakan. Itulah sebabnya dalam arak iriang kedua mempelai dipisahkan oleh serombongan keluarga besar yang berbaris rapi sesuai dengan posisi yang sudah disebutkan di atas. “A tu ba a kok nan perempuan di mungko, Ngku? Ba a ko ndak laki-laki se? (Lalu, mengapa harus perempuan yang di depan, Ngku? Mengapa tidak laki-laki saja?” tanya saya lagi. “Dek adaik Kinari, laki-laki tu pai babini, nan artinyo, pai barumah! (Dalam adat istiadat Kinari, laki-laki itu pergi beristri, yang artinya adalah pergi berumah),” jawab Angku. Prinsip hidup yang dimaksud Angku kali ini adalah laki-laki yang berani meminang seorang perempuan tandanya sudah mapan, lahir dan batin, sehingga ia berani meninggalkan rumahnya beserta kenyamanan rumahnya untuk menjadi junjungan sang istri dan keluarga istrinya kelak. Kepergian laki-laki dari rumahnya sendiri menuju rumah perempuan disebut pai barumah. Si laki-laki tinggal di rumah orangtua istri untuk membiayai hidup istri, serta keluarganya. Itulah sebabnya laki-laki berada di posisi paling belakang dalam susunana arak iriang bakajo, sebab ia digambarkan sedang menuju ke arah perempuan, sang istrinya, tersebut. Sementara perempuan yang menikah disebut balaki, atau bersuami, yang juga dimaknai sebagai bajunjung atau berjunjungan. Artinya, sang istri (juga keluarganya atau orangtuanya nanti) akan bergantung pada sang suami, meskipun, pada prinsip pertama tadi, sang istri tetap diberi kebebasan untuk memenuhi kebutuhan finansial keluarga. Namun, secara batin, sang istri tetap bergantung pada suami, sebagai pelindung-nya. Perempuan adalah pihak yang harus dilindungi, sehingga perlu dijaga dan diiringi langkahnya. Saya mengangguk-angguk mendengar penjelasan Angku yang sudah hampir tiba pada akhir diskusi kami. Mendengar penjelasan Angku membuat saya semakin ingin melihat arak iriang bakajo secara langsung—begitu juga dengan arak-arakan yang lainnya. Tetapi ternyata tidak mudah. Arak iriang di Kinari maupun di Koto 19
Baru, seperti sudah menjadi “barang� langka saja. Angku menghirup rokoknya untuk terakhir kali, kemudian menyudutkannya ke asbak. Untuk sementara waktu, Angku seperti membiarkan saya dan Volta mencerna sendiri ilmu yang baru saja dicurahkannya itu dan menghayati keadaan tradisi itu di zaman kini. *** Saya terpikir akan posisi bararak di Kinari, juga di Koto Baru, pada zaman sekarang. Zaman dahulu mungkin peran bararak memang untuk menggantikan surat nikah, seperti yang sudah dijelaskan Angku. Lalu, apa gunanya bararak itu pada zaman sekarang? Saya tidak berani memikirkan bahwa bararak zaman kini semata-mata untuk ajang memperlihatkan gengsi saja. Sebab, menurut saya, tradisi tersebut hadir berkat proses yang tidaklah singkat. Tidak mudah pula untuk menciptakan makna-makna dalam setiap gerakan tradisi bararak tersebut. Jika
20
satu makna terpenting sudah dapat digantikan, seperti surat nikah yang sudah menggantikan ‘fungsi’ bararak, maka bagaimana dengan makna-makna yang lainnya? Apakah kita akan membiarkan makna-makna tersebut buyar begitu saja? Pemaknaan bararak mungkin berbeda di setiap daerah, contohnya saja seperti di Kinari, Koto Baru dan Kota Solok. Saya menangkap dari penjelasan Angku, bahwa bararak di Kinari memiliki kandungan filosofi yang dalam, yang apabila dihayati dan dikerjakan sesuai aturan adatnya, mampu menjadi pedoman dalam hidup berumah tangga dan bersanak saudara. Saya pun berharap, dan sangat yakin, di Koto Baru, Kota Solok dan nagari-nagari lainnya juga demikian. Namun, dari informasi yang saya temukan, makna bararak untuk beberapa daerah, sudah menjadi acara momentum untuk memeriahkan pesta perkawinan saja. Seperti tidak ada makna lainnya. Tentunya selain untuk menjadi media persebaran berita perkawinan si Anu dengan si Ini. Saya pun teringat keluhan Angku mengenai konsep bararak di Kinari yang mulai menyimpang. Pemaknaan tradisi ini mulai terkikis. Dulu mungkin terkesan
21
sakral, tapi kini tidak lah demikian. Sambil menyesap rokoknya, Angku mengenang acara-acara pernikahan yang pernah beliau ikuti. Hampir keseluruhannya, tidak lagi memakai arak iriang bakajo. Alasannya sederhana; bakajo membutuhkan biaya yang terlalu besar dan waktu yang terlalu banyak. Di zaman sekarang, hal-hal demikian dianggap terlalu menyita waktu. Karenanya, mulai ditinggalkan. Kalau pun ada arak iriang, paling hanya arak iriang bajamu. Itu pun hanya satu-satu, dan kadang masih sering melenceng. “Antah dek ndak mangarati, antah dek a, awak ndak tau (Entah karena memang tidak mengerti, atau karena apa, kita tidak tahu),� kata Angku, menyayangkan fenomena ini. Angku sendiri pun sadar, tidak ada yang bisa disalahkan. Karena untuk menerapkan tradisi di zaman sekarang memanglah tidak mudah. Saya pun menyetujui pernyataan Angku. Bayangkan saja, sudah berapa generasi yang mungkin melewatkan tradisi-tradisi yang kini dianggap penting tersebut, sehingga untuk membangkitkannya lagi, tentu butuh perjuangan. Berhasil pun, mungkin tidak seratus persen sama seperti tradisi yang benar-benar tradisi itu. Angku pernah memberikan salah satu contoh penyimpangan tradisi dalam tradisi bararak. Salah satunya adalah mengenai jamba gadang dan jamba lamang, yang di zaman sekarang tidak semuanya murni buatan induak bako. Padahal, kata Angku, itu adalah salah satu wujud rasa sayang induak bako kepada kamanakannya. Saya pun menganggap jamba-jamba tersebut bentuk lain dari doa sang induak bako kepada kedua mempelai. Namun sekarang, faktor-faktor modernitas menyebabkan induak bako merasa tidak punya banyak waktu untuk membuat jamba lamang atau jamba gadang dengan tangannya sendiri, sehingga diupahkan ke orang lain. Bahkan (saya ingat Angku bercerita dengan sangat menggebu karena kesal), ada juga yang mengupah orang lain untuk menjunjungnya dalam bararak. “Haa... lah baganti induak bakonyo (Induak Bako-nyo berubah jadinya, kan?),� kata Angku menekankan kekesalannya. Dulu mungkin hal seperti ini sangat tabu. Namun, sekarang menjadi hal yang biasa dan selayaknya dimaklumi, mengingat kondisi masyarakat yang tidak mendukung seutuhnya hal-hal terkait tradisi seperti dulu. Di sini, saya menyadari dan memahami apa yang dimaksud Albert Rahman Putra (Ketua Komunitas Gubuak Kopi dan pemateri Bakureh Project) dalam diskusi kami di Gubuak Kopi, tentang kekosongan makna yang rentan menimpa tradisi-tradisi yang masih dipakai hingga sekarang. Termasuk di dalamnya tradisi bararak di Kinari, juga di Koto Baru, atau di daerah-daerah lainnya. Albert sempat memberikan gambaran kepada saya kemungkinan-kemungkinan terburuk, persis seperti yang digambarkan Angku. Saya pun lalu berpikir, pengikisan tradisi ini ternyata bisa sangat dalam dan brutal, sehingga tidak hanya mengikis tradisi sebagai tradisi semata, tetapi juga mengikis segala filosofi kehidupan bersanak saudara, bertetangga, dan hidup banagari. Akhirnya tradisi menjadi tontonan yang eksotis semata. Hal ini tentu banyak penyebabnya. Salah satunya yang paling sering disebutsebut adalah perubahan pola hidup masyarakat atau kita yang kini bersentuhan modernitas, tapi gagap. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan sisi 22
seberangnya, yakni sisi positifnya. Mungkin makna bararak dalam masyarakat sudah bergeser; kasarnya, kini bararak ini hanya sekedar menjadi ajang mempertahankan gengsi keluarga saja. Namun, kita melihat masih ada unsur gotong royongnya, yang merupakan bagian esensial dari bakureh. Bararak dalam praktiknya mengikutsertakan banyak orang untuk bersamasama membantu arak-arakan, terlepas dari konteks zaman dulu yang tidak diupah, sementara zaman sekarang ada yang diupah. Konsep dasarnya, seperti halnya bakureh. Saya diingatkan kembali oleh tulisan Anisa Nabilla Khairo: Makna yang Berkembang Sederhana (Gubuak Kopi, 2018) 37, mengenai penjelasan para pemateri tentang bakureh dalam lokakarya “Bakureh Project”. Saya pun tersadar bahwa yang paling penting dalam bakureh tersebut adalah lima faktor, yang dipetakan oleh Ica dalam tulisannya. Kelima faktor tersebut adalah asas gotong royong, adab, penyaluran ilmu pengetahuan lokal, sistem sosial, dan ekonomi (timbal balik jasa dalam bentuk materi atau non materi). Dari sini, saya pun kemudian menyadari bahwa konsep bakureh dapat dibagi menjadi dua kelompok, pertama, hal-hal yang berkaitan dengan urusan dapur, seperti memasak bersama untuk suatu perhelatan (bakureh dalam arti sebenarnya dalam konteks Kota Solok). Kedua, hal-hal di luar urusan dapur yang berkaitan dengan proses menyelesaikan suatu pekerjaan, seperti bergotong royong di ladang atau di sawah, bekerja mencari uang, atau hal-hal lain yang memenuhi kelima faktor tersebut (bakureh dalam arti ‘bekerja keras’). Hanya saja, konsep bakureh dalam bararak zaman dulu dan zaman sekarang mungkin berbeda. Kalau dulu, seperti penjelasan Angku, Tek Erih, Tek Na, Tek Pet dan nenek Riski, semua berdasarkan asas kekeluargaan; tidak ada upah; sementara kini, bararak sudah mulai berdasarkan asas pemberdayaan; diupah. Pemberdayaan di sini dapat diartikan bahwa masyarakat sudah semakin jeli memanfaatkan segala hal di sekelilingnya untuk menopang kebutuhan hidup, sehingga hampir segala hal diuangkan. Kita dapat mengambil contohnya dalam tradisi bararak itu sendiri. Misalnya seperti pemain musik dalam bararak yang kini tidak melulu bermain talempong pacik dan rebana saja, tetapi juga sudah bisa memegang orgen, drum, dan alat musik lainnya. Pemain musik yang seperti ini lebih dilirik orang-orang yang akan menyelenggarakan pesta. Dengan demikian, pemain musik sudah mampu memberdayakan dirinya, sementara yang membuat pesta pun bisa memberdayakan kemampuan pemain musik untuk meramaikan pestanya sesuai dengan tradisi modern. Contoh lainnya adalah memberdayakan ibu-ibu kurang mampu yang mungkin membutuhkan pemasukan lebih. Ibu-ibu seperti ini lah yang biasanya diupah untuk pergi bararak. Menurut saya, kaum ibu yang diupahkan tersebut tetap bekerja dengan asas gotong royong, meski dari pihak sipangka 38 memakai asas pemberdayaan. 37 Anisa Nabila Khairo adalah Salah seorang partisipan “Bakureh Project”, tulisan pertamanya dalam karangka Bakureh Project: Makna Yang Berkembang Sederhana, dipublikasi di website gubuakopi.id (http://gubuakkopi.id/2018/07/19/makna-yang-berkembang-sederhana/ ) 38 Orang yang menyelenggarakn pesta.
23
Bagi saya pribadi yang berasal dari kota para perantau, sehingga merasa tidak mempunyai tradisi, pergeseran makna dan konsep tradisi ini tentu sangat disayangkan. Seperti kehadiran kita sebagai keluarga dalam bararak tentu tidak bisa digantikan dengan uang; tidak bisa digantikan oleh orang lain yang diupah. Namun, apa daya? Kita mau tak mau tetap akan mengambinghitamkan keadaan dan modernitas, bahwa di zaman sekarang yang dianggap serba instan ini, kita tidak bisa memaksakan yang tradisi harus tradisi. Memikirkan semakin banyaknya tradisi yang terkikis, tentu sangat menyedihkan. Bahkan ada kemungkinan kita akan kehilangan tradisi, yang katanya adalah jati diri suatu kaum. Untuk itu, menurut saya, kita harus bijaksana agar hidup kita seimbang. Mungkin tradisi A memang sudah tidak relevan untuk dilakukan di masa sekarang. Kita boleh saja tidak menggunakan tradisi A tersebut, tapi kita tetap harus tahu dan mempelajarinya. Kita harus tetap mengingat bahwa kita punya tradisi yang dulu pernah begitu penting. Dan selalu ada kemungkinan, bahwa kelak di masa depan, bisa saja tradisi itu akan kembali menjadi penting untuk dipahami kembali. --Matahari yang mulai condong ke barat serta gerimis kecil yang kembali turun, menutup diskusi ringan kami, yang entah mengapa menjadi berat di kepala saya bila terlalu dipikirkan. Setelah berfoto dengan Angku, kami pun undur diri. Angku menghantar saya, Volta dan Apa ke tempat kami memarkirkan motor, diiringi kedua anjingnya yang masih terus menggoyang-goyangkan ekor dan saling bekejaran, seperti sedang menarik perhatian Angku. Kami lalu pamit sekali lagi, dan kembali ke rumah Volta. Keinginan untuk melihat langsung bararak di Kinari, maupun di Koto Baru, masih memenuhi hati saya, dan kesempatan untuk melihatnya terasa masih jauh. Tapi setidaknya, saya sudah punya gambaran. Barangkali nanti, saya bisa menebak itu bararak dari tradisi mana, bila suatu saat melihat bararak di tepi jalan . Ade Surya Tawalapi Solok, Juni 2018
24
25
JULO JULO SEFNIWATI
SELEPAS FOCUS GROUP DISCUSSION (FGD) PERTAMA terkait Bakureh Project, di Pulau Sawo pada tanggal 22-24 Juni 2018 lalu, saya berkemas kembali ke kampung melanjutkan riset. Rekaman akan ombak yang besar dan menghempas membasahi kapal dan seisinya sementara saya pinggirkan. Kampung saya cukup jauh dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat dengan menempuh jarak kurang lebih tiga jam menggunakan bus angkutan umum seperti Dagang Pesisir, Lubuk Basung Ekspress, dan sejenisnya. Saya memang memilih rute melingkar menuju kampung, karena relatif lebih dekat dari rumah tempat saya tinggal. Berada diujung perbatasan antara Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Agam menjadikan kampung saya hampir tak terkenal dan terjamah oleh tangan-tangan selfie kekinian. Nagari III Koto Aur Malintang, atau lebih akrab disebut Nagari Batu Basa, konon, penamaan nagari ini berkaitan dengan keberadaan sebuah batu besar di tepian sungai Batang Tiku. Batu itu menyerupai induak batu lado lengkap dengan anak batu lado. Tak jauh dari lokasi batu tersebut terdapat pincuran tempat pemandian puti (semacam putri yang tidak nyata). Tempat tersebut sangat sakral, ada adab untuk mengambil air dan mandi di sana. Ketika penduduk sudah mulai ramai dan tidak mengindahkan adab serta pakem-pakem tradisi adat, batu besar tersebut hilang dan pincuran tersebut lenyap. Kabarnya hal itu terjadi ketika ada orang yang membuang sampah sembarangan di sekitar pemandian, sehingga menyebabkan puti marah. Dengan luas wilayah 15,18 Km2, nagari tersebut didiami sebanyak 5004 orang 1 yang tersebar di enam korong yaitu Korong Kampung Padang, Korong Kampung Baringin, Korong Kampung Jambu, Korong Kampung Pinang, Korong Koto Kaciak dan Korong Kampung Surau. Pada masa dulu, katanya kampung saya sempat menjadi buah bibir yang positif oleh masyarakat Minang sejagat raya. Ini berkat talenta dari seorang Tiar  1 Kecamatan IV Koto Aur Malintang Dalam Angka, 2017
26
Ramon. Beliau merupakan penyayi dan penulis lagu kawakan di masanya dengan segudang karya, seperti lagu Dindin Badindin yang selalu terdengar di pembukaan banyak pesta, Di Batu Basa oi Aua Malintang Di sinan asa nagari kami Kami tarikan oi tarinyo indang Salah jo jangga tolong pelok’i (Di Batu Basa Aua Malintang Disanalah asal negeri kami Kami tarikan, tarian indang Salah dan jangan tolong tunjukan) Kabekkan jawi di tangah padang Baoklah pulang (ondeh) di hari sanjo Kami manari jo tari indang Paubek hati (ondeh) urang basamo (ikatkan sapi di tengah padang, Bawalah pulang di hari sanjo Kami menari, tarian indang Obat hari semua orang) Dindin badindin oi dindin badindin Dindin badindin oi dindin badindin Demikian potongan liriknya... “Kok dibukak ranji anduang-anduang nan dahulu, badunsanak dakek kawu jo keluarga Da Tiar tu mah. Kini anak-anak e lah dirantau sado e. Ndak ado nan malanjuik 27
an badendang sarupo Da Tiar lai,” (kalau kita buka ranji nenek kita dulu, kamu adalah famili dekat Uda Tiar. Sekarang, anak-anaknya sudah di perantauan. Tidak ada lagi yang melanjutkan berdendang seperti Uda Tiar) Ucap nenek saya. Waktu itu, Ia sedang duduk di beranda rumah. Ketika memasuki usia tuanya beberapa indranya sudah banyak tak berfungsi, sesekali Ia tak menyahut ketika saya panggil. Sudah dua tahun lebih beliau tak lagi membuat dan menjual kue. Dulu, saya senang sekali bermain sambil menolong nenek membuat kue. Jika lelah, saya akan bermain air di banda tepat di samping rumah nenek, hingga petang menjelang. Sekarang banda itu sudah menyusut airnya, tak sedalam dulu. Mungkin karena aliran airnya di bagi-bagi atau ada sebab lain. Saya menanyakan perihal pekerjaan nenek sebelum mengenal kue. Ia bercerita bahwa sebelum bergelut di dunia per-kue-an, Ia bekerja di sawah yang terletak di tepi rimba. “sangkek saghi ka sawah tu bamalam gai di ngulang-ngulang,” (dulu, ketika ke sawah, itu sampai bermalam di pondok dekat sawah itu) jelasnya. Kemudian Ia mulai menambahkan, “sajak dari mambukak kapalo banda sampai salasai manyabik tu basamo-basamo wak saanduang mangarajoannyo.” (mulai dari membuka kepala irigasi, sampai proses menyabit, itu bersama-sama kita satu keluarga sedarah yang mengerjakannya) Sontak saya bergumam, “Oh, ini dia makna bakureh”. Sudah sejak lama di kampung saya sudah menerapkan gotong-royong. Bekerja bersama-sama tanpa pamrih dan suka rela.” Ingatan ketika FGD pekan lalu, di Pulau Sawo sekelebat datang, seperti diskusi-diskusi kita, bahwa makna bakureh itu sangatlah luas. Yang ingin kita bicarakan tidak lagi sekedar kegiatan masak-memasak secara bersama-sama yang dilakukan oleh ibu-ibu pada kenduri di Kota Solok. Makna tradisi bakureh sebenarnya menggambarkan kegiatan yang dilakukan suka rela dengan adab, dimulai dengan mamanggia, mengandung unsur pengetahuan, terdapat aktifitas memasak di dalamnya, lalu berkembang sebagai sebuah sistim sosial. Nek Tiari, melanjutkan ceritannya, bahwa sekarang sudah hampir tidak ada lagi tradisi membukak kapalo banda, hanya bergotong royong membersihkan pasir yang ada di banda irigasi. Sejak adanya pembangunan banda irigasi, hanya beberapa orang saja yang mau bergotong royong membersihkan pasir-pasir yang sudah mengendap di banda. Keberadaan pembangunan irigasi ini ternyata mempengaruhi sistim sosial yang pernah ada dimasyarakat secara langsung. Seperti halnya mambukak kapalo banda yang dilakukan secara bergotong royong yang dulu menjadi kebiasaan rutin masyarakat di nagari. Dulu, gotong royong kapalo banda dilakukan beramai-ramai oleh pemilik dan penggarap sawah. Bapak-bapak akan bekerja memperbaiki banda, membersihkannya serta bermusyawarah tentang pembagian airnya. Perihal sawah siapa yang duluan akan dialiri air dan kemudian sawah siapa selanjutnya. Bagi orang yang punya rencana lain dalam pengolahan sawahnya, dapat langsung menuturkannya pada pertemuan tersebut. Tak jarang juga momen tersebut dimanfaatkan sebagai ruang diskusi terkait permasalahan dan kendala dalam bertani seperti hama dan penyakit serta pananganannya. Dulu, masyarakat belajar dari pengalaman dan cerita-cerita dari petani ke petani. Jauh sebelum 28
adanya penyuluh pertanian terjun ke kampung ini. Sedangkan ibu-ibu memasak di rumah dan membawa masakan tersebut ke lokasi gotong royong sembari menagajak anak-anak mereka. Dengan mengajak anak-anak, diharapkan ada ingatan dan prores peyampaian pengetahuan dan informasi jika kelak mereka hendak melakukan kegiatan mambukak kapalo banda. Yang mereka lakukan hanya bermain, bercanda dan tertawa serta diakhiri dengan makan bersama. Selepas bertemu dengan nenek, saya mengendarai sepeda motor ke objek wisata ikan larangan yang cukup ramai dikunjungi di nagari ini. Saya memakirkan sepeda motor agak ke tepi setelah melewati jembatan kayu yang sudah tua. Jembatan kayu yang sejak saya berumur lima tahun belum pernah terlihat hendak dibangun dengan material beton. Untuk perbaikan yang pernah dilakukan ialah menganti kayu yang lapuk dengan kayu yang baru. Seingat saya sudah tiga kali dilakukan penggantian, itupun menunggu jembatan rusak parah dulu. Di kiri dan di kanan sungai Batang Tiku ini terdapat banyak piringan sawah dalam ukuran kecil. Sawah di nagari ini memang dalam bentuk piringan dan umumnya berukuran kecil. Tak banyak lagi sawah yang di tanami padi, banyak piringan sawah telah disulap menjadi tanaman jagung yang tinggi dan rapat. Pun debit air di sungai tak sebanyak dulu lagi, sudah mulai berkurang. Begitu pula dengan ikan-ikannya, dua tahun yang lalu seingat saya masih banyak ikan-ikan gariang yang besar dan ribuan ikan gariang yang kecil di dalam sungai tersebut. Petang itu, ada beberapa anak-anak yang asik bermain air, mandi dan berendam di sungai. Ada juga beberapa pengunjung yang duduk di pondok-pondok pada tepian sungai menikmati segelas kopi dan beberapa cemilan sembari menikmati suasana sore itu. Agak ke hilir, ada rumah makan yang umumnya berdinding papan, berlantai papan, dan beratapkan seng. Sangat kentara sekali pemandangan yang indah di sungai tersebut, rumah makan itu menyalurkan limbahnya ke sungai. Tak hanya itu, di sebelah rumah makan terdapat jasa cucian kendaraan yang memanfaatkan air sungai. Pun limbahnya juga bermuara ke sungai. Memang tidak mencemari area yang dijadikan lokasi ikan larangan, hanya saja kening saya sedikit berkerut melihat pemandangan tersebut. Menatap kembali ikan gariang yang sedang berebut kacang tanah yang dilemparkan oleh pengunjung, saya teringat akan hulu dari sungai ini yakni kawasan Bukit Barisan. Bukit Barisan yang berada jauh dari pemukiman nagari ini turut berkontribusi untuk keindahan alam yang elok di Nagari Batu Basa. Banyak bukit-bukit kecil yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar dan asri, di bawahnya terdapat hamparan sawah berpiring-piring jumlahnya tersusun dengan rapi. Tak jauh dari situ kita akan dimanjakan dengan gemercik air sungai yang menghempas batu-batu besar di sungai. Ada beberapa mitos yang berkembang dan sangat terkenang oleh saya sejak dari kecil bahwa jika ada orang yang mengambil dan memakan ikan dari lubuak larangan ini akan buncit perutnya, bahkan bisa mati. Hal ini membuat saya dan kawan-kawan pada saat sekolah dasar dulu, tak berani memancing ikan di Batang Tiku. Kami hanya mandi dan memberi makan ikan saja. Sebenarnya ada dua lagi ikan larangan yang ada di nagari ini, hanya saja yang ramai dikunjungi adalah ikan 29
larangan Batang Tiku. Dulu, sungai pernah menjadi tumpuan hidup masyarakat. Seingat saya ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mencari dan mengumpulkan batu bintang menjadi rutinitas di setiap hari minggu ketika libur sekolah. Sungai Batang Sipuah berada tak jauh dari rumah saya kira-kira setelah menempuh 2 Km, saya akan bertembu sebuah jembatan dan sungai di bawahnyalah yang menjadi sarang batu bintang yang akan saya pungut dan kumpulkan. Saya dan teman saya yang rumahnya di dekat sungai Batang Sipuah masuk ke sungai dengan membawa ember sebagai tempat menampung batu bintang. Setelah mengumpulkan satu ember menjelang tengah hari, kami akan berhenti mencari batu bintang dan bermain di sungai. Setelah dua atau tiga minggu, barulah kami menjual batu bintang tersebut. Waktu itu kami diberi uang senilai lima ratus rupiah. Tapi, semua itu tak berlangsung lama, orangtua saya melarang untuk pergi ke sungai lagi dengan alasan nanti hanyut. Senada dengan penuturan Tiari, Jun (77) yang saya temui sedang duduk di bengkelnya menceritakan bahwa dulu urusan irigasi di Sawah Koto Bimo merupakan tanggungjawabnya. Ia dahulu mengumpulkan dan memberitahukan kapan dan dimana akan dilakukan gotong royong membersihkan kapalo banda kepada petani sawah. Jika ada banda yang rusak akibat hujan, air yang kering dan sebagainya, petani-petani di Koto Bimo akan mencari Pak Jun. Beliau akan mengumumkan kepada warga untuk berkumpul dan bermusyawarah. Tak memakan waktu banyak untuk mengabarkan musyawarah tersebut. Pak Jun akan memberitahukan pemilik dan penggarap sawah di Koto Bimo dengan cara menemui langsung atau mengumumkannya di kedai. Dulu, penyebaran informasi seperti ini sangatlah efektif. Kagiatan gotong royong di kapalo banda tidak hanya dilakukan ketika akan turun ke sawah tetapi juga dilakukan ketika banda basamak, air sulit dan pasir telah menumpuk di dalam banda. “Kini lah basemen nan dibarasiahan samak nyo, kok tunghue aie tu tong royong lo.� (kini sudah ditembok dan dibersihkan semaknya, kalau tunggul air, itu digotong
30
royongkan lagi) Jelas Pak Jun. Selain itu pembangunan irigasi sekarang menurut Pak Jun berbeda dengan sistim yang dulu telah dipakai, seperti, ”Nan taralah jaman kami, tigopuluah meter dari ampangan tu babuek pintu aie tu ditutuik jo papan. Jadi bapilo lah panuah dek karekel, papan tu diangkek, lah barasiah banda tu mah, ” (biasanya di zaman kami, tiga puluh meter dari ampangan itu dibuat pintu air, yang kemudian kita tutupi papan) tambahnya. Pak jun juga menceritakan bahwa sekarang untuk membersihkan banda tersebut masyarakat harus managaruak (mengeruk) untuk membersihkan pasir dan kerikil yang ada di dalam banda. Nah, ini dia adab-adabnya dalam bakureh dimulai dengan mamanggia, pikir saya. Kemudian dalam musyawarah tersebut ditentukan hari untuk bergotong royong membersihkan kapalo banda atau membahas hal-hal lain yang dirasa perlu. Tak lupa juga Pak Jun memeriksa kembali siapa saja yang belum hadir dalam musyawarah tersebut. Jika ada yang tak hadir maka Pak Jun berkewajiban menemui orang tersebut dan memberitahukan hasil musyawarah. “Ndak basabuik an bana namo jo gala nyo beko lah tibo se pas ka toroyong tu nan mambaok sabik, embe, amak-amak lah mambaok minum kopi,” (tidak perlu disebutkan nama dan gelarnya, nanti dia akan datang saja ketika hendak bergotong-royong, membawa sabit, ember, dan lainnya ibu-ibu biasanya membawa kopi) terang Pak Jun. Sederhannya Pak Jun menjelaskan bahwa tidak perlu didikte, masyarakat sudah paham dan tahu apa saja peran mereka dalam bergotong royong. Sawah itu dulu erat dengan kebersamaan dan semangat gotong royong, ketika kerbau telah digantikan mesin bajak, ketika banda sudah digantikan irigasi teknis yang permanen dari semen, hampir semua petani menjadi acuh tak acuh. “Ado juo ciek-ciek nan namuah tongroyong, yang indak ndak baa juo. Umpamo lah basawah surang-surang se, lah iduik surang-surang e nyolai,” (sekarang ada juga satu-dua orang yang mau gotong royong) jelas Pak Jun. Terkikisnya rasa kebersamaan tadi juga mencuat pada praktek ataupun aktifitas bersawah. Jika dulu pengerjaan sawah dengan sistim julo-julo, sekarang pengerjaan sawah dengan upah dan sewa. Untuk membajak sawah petani akan menyewa (borongan) seseorang yang memiliki mesin bajak. Sedangkan dulu
31
petani membajak dengan kerbau milik sendiri atau punya keluarga. Benih yang dulu petani dapatkan dengan mengusahakan sendiri dari hasil panen. Sekarang haruslah membeli bibit yang bersertifikat buatan pabrik. Teknologi dan pembangunan telah meracuni sistim sosial masyarakat tani sawah dan menggugurkan kemandirian di Nagari ini. Sekarang petani bergantung pada bibit dari pabrik, pupuk dari pabrik, bajak dari mesin dan tenaga kerja upahan. Semua hal itu membutuhkan modal yang besar, dapat dibayangkan ketika ingin bersawah maka harus mampu menyiapkan modal tersebut. Sektor padi sawah menjadi mata pencaharian utama masyarakat di Nagari Batu Basa selain mengandalkan hasil alam lainnya seperti coklat dan pinang. Sistim bersawah di kampung saya ini ada yang dua kali panen dalam setahun ada juga yang tiga kali panen. Untuk yang dua kali panen, mereka menanam tanaman palawija sebelum kembali menanam padi. Sistim bertani seperti ini di bangku sekolah disebut dengan sistim rotasi. Yang mana dengan melakukan rotasi dengan jeda untuk menanam padi kembali ini dapat meningkatkan kesuburan tanah dan memutus mata rantai hama dan penyakit pada tanaman padi. Tanaman palawija yang umum ditanam ialah jagung dan kacang. Namun ada juga beberapa masyarakat yang menanam cabe dan mentimun. Musuh utama masyarakat di sawah ialah Babi. Babi selalu merusak dan memakan tanaman masyarakat baik padi, jagung maupun kacang. Berada dekat dengan hutan Bukit Barisan menyebabkan mobilisasi dari babi ke sawahsawah masyarakat menjadi tinggi. Untuk mengatasi hal ini di kampung saya ini telah berdiri Persatuan Olahraga Berburu Babi yang disingkat PORBI. Organisasi ini melakukan kegiatan baburu di setiap akhir pekan yaitu sabtu dan minggu. Organisasi ini akan bergiliran dari jorong ke jorong untuk baburu. Terkadang juga berdasarkan permintaan, semisal ada serangan babi yang sangat banyak di suatu tempat. Tim PORBI akan membawa anjing dan badie angin (senapan). Tidak hanya babi, serangan penyakit juga tak jarang menyerang tanaman masyarakat. Beberapa waktu lalu misalnya, hampir seluruh masyarakat mengalami gagal panen karena padi mereka banyak yang hampo (hampa). Adapun tindakan masyarakat untuk hal tersebut ialah berupa tolak bala yang dilakukan ke sekeliling kampung dan biasanya di bagi per-jorong mengingat nagari yang sangat luas. Tolak bala dilakukan selepas Isya oleh kaum bapak dan anak-anak dengan cara berjalan ke sekeliling kampung dengan manyanyikan sejumlah doa, dimulai dari mushola hingga kembali lagi ke mushola. Peserta tolak bala juga membawa suluah (obor) atau senter memecah gelapnya malam. Sefniwati Batu Basa, Juli 2018
32
33
MENCARI BAKUREH NAHLIA AMARULLAH
Berawal dari sebuah proyek penelitian budaya yang digagas oleh komunitas Gubuak Kopi, yaitu Bakureh Project, saya mengenali kembali salah satu budaya dari ranah minang mengenai tradisi bakureh. Tradisi ini dikenal oleh masyarakat kota Solok, Sumatera Barat, sebagai tradisi memasak bersama oleh ibu-ibu untuk sebuah acara seperti pernikahan, akikah, adat turun mandi, bahkan doa untuk kematian. Bakureh project yang diawali dengan lokakarya pada awal Juni lalu memperkenalkan saya dengan beberapa tokoh adat yang membuat saya mengetahui arti dari bakureh secara lebih luas lagi. Dalam lokakarya yang dilaksanakan selama tujuh hari di markas Gubuak Kopi, Bakureh mempunyai beberapa definisi yang disampaikan oleh beberapa tokoh di Sumatera Barat. Menurut Mak Katik, salah satu budayawan Sumatera Barat, bakureh adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu, bisa juga menurut beliau sebagai bentuk gotong royong dan kebersamaan. Sama halnya seperti yang dikatakan Ibu Suarna, seorang bundo kanduang di Tembok, Kota Solok, Sumatera Barat. Beliau mengatakan bahwa bakureh adalah kerja sama, sedangkan dalam tradisi bakureh berarti memasak bersama untuk suatu acara, misalnya pernikahan. Sedangkan menurut Buya Khairani, seorang tokoh adat di Sumatera Barat, bakureh berarti menguras tenaga, mencari jalan keluar/solusi dan juga dapat diartikan sebagai menolong dalam kegotongroyongan. Setelah itu, saya melakukan riset pertama kali dengan bertanya dengan salah satu teman saya bernama Redo yang tinggal di kota Solok mengenai tradisi bakureh. Ternyata, sedikit banyaknya ia mengetahui mengenai bakureh yang dilaksanakan di tempat tinggalnya, yaitu bakureh sebagai tradisi memasak bersama untuk sebuah perhelatan. Melalui pesan singkat di salah satu aplikasi chat saya pun ingin dipertemukan dengan Ibunya Redo yang notabene sering pergi bakureh. Selesainya saya mengikuti lokakarya bakureh project, keesokannya saya pun bertemu dengan Redo dan ibunya di pasar pabukoan Kota Solok ramadhan lalu. Saya pun berkenalan dengan ibunya Redo yang akrab disapa ibu Et. Menurut 34
ibu Et, di tempatnya tinggal di Sinapa Piliang Kota Solok, bakureh di Sinapa Piliang mempunyai arti yang luas. Bakureh berarti mengeluarkan tenaga atau bekerja yang disebut oleh Ibu Et sebagai “mancari pitih”(mencari uang). Bakureh juga berarti masak bersama ibu-ibu saat ada baralek, aqiqah, atau pindah rumah baru dan inilah yang disebut tradisi bakureh. Kedua pengertian bakureh ini dipakai oleh warga Sinapa Piliang, baik bakureh yang berarti bekerja maupun bakureh yang berarti memasak bersama untuk suatu acara. Bakureh di Sinapa Piliang masih terus ada sampai sekarang, meskipun Sinapa Piliang berada di Kota Solok. Ibu Et juga menerangkan bahwa di Sinapa Piliang, tradisi bakureh hanya dilaksanakan oleh ibu-ibu saja tidak ada perempuan muda yang ikut. Cara pemanggilan untuk memanggil bakureh pun terbilang unik. Ibu Et mengatakan bahwa memanggil bakureh adalah mendatangi rumah ibu-ibu yang ingin diundang dengan menggunakan sirih sebagai penandanya. “beko dibali siriah langkok-langkok tuh ado kapurnyo, beko pai karumah ibuibu tuh misalnyo hari minggu bilang ke ibu-ibu tuh ‘datang ka rumah awak dih, anak wak baralek, tapi jumaik sabtu tolong wak bakureh dih’ tuh agiah nyo siriah” (nanti dibeli sirih dan perlengkapannya ada kapurnya, nanti jika pergi ke rumah ibu-ibu misalnya acaranya hari Minggu dengan berkata ke ibu-ibu “datang kerumah saya ya, anak saya mau nikah, tapi jumat dan sabtu tolong saya bakureh ya” lalu sirih dikasih ke ibu tersebut), demikian ia menggambarkan proses sebelum bakureh. Ini adalah hal yang sangat unik dalam tradisi bakureh, karena saya tidak pernah melihat hal-hal yang seperti ini sebelumnya. Di Sinapa Piliang, Ibu Et menerangkan obrolan ibu-ibu saat bakureh seputar kehidupan sehari-hari dan terkadang juga ada informasi baru misalnya keadaan tetangga yang anaknya akan menikah ataupun ada yang sakit, Ibu Et menjelaskan “yo pas dibakureh tuh wak tau misalnyo si ini sakik parah mah, kan ado juo tuh wak tau dari bakureh ko, kalau wak di rumah tuh wak ndk tau apo-apo” (pas di bakureh kita tau informasi warga, misalnya si ini sakit parah, kalau kita di rumah kita tidak tau apa-apa) 35
Tentunya, obrolan ibu-ibu , menurut ibu Et tidak dapat dilepas dari bagunjiang (bergosip). Oleh karena itu, biasanya saat ibu-ibu sudah bagunjiang terlalu lama, akan ada saja orang yang akan mengingatkan, seperti yang Ibu Et terangkan: “yang dikecekan di bakureh tuh dari yang elok sampai yang buruak, kalau urang talampau mangecekan urang pasti ado se yang mangingekan, kan ado yang tuo yang nenek-nenek gai ‘weh dosa mangecekan urang’ tuh terpaksa diam lai, kalo gaek gaek yang haji tuh berang kalau wak ngecekan urang” (yang dibicarakan di bakureh dari yang baik sampai yang buruk, kalau orang membicarakan seseorang, biasanya pasti ada yang mengingatkan, karena di bakureh pasti ada yang tua atau yang nenek- nenek bilang ‘hei, dosa ngomongin orang’ akhirnya terpaksa diam, kalau yang ibu-ibu tua yang sudah haji marah kalau kita ngomongin orang). Selain itu, informasi yang ada di bakureh juga seputar info kegiatan ibu-ibu sebagai contoh “bisuak wak ado jambore, atau bisuak wak ado kunjungan walikota ke mushola wak” (besok kita ada jambore, atau besok ada kunjungan walikota ke musholla). Seperti itulah informasi yang datang dengan adanya bakureh. Selepasnya berbincang dengan Ibu Et, saya pun membuka pembicaraan dengan Redo mengenai apa yang ia ketahui tentang tradisi bakureh. Dari perbincangan saya dengan Redo, ternyata ia cukup paham dengan tradisi bakureh. Menurutnya, bakureh di Sinapa Piliang masih terjalin, biasanya anak muda akan membantu seadanya, tapi untuk urusan masak memang hanya khusus untuk ibuibu saja. “bakureh tuh kan artinyo mancurahkan tenaga, kayak jualan tuh bakureh mah, cuman tradisi bakureh yang dimaksud tuh ya bakureh tolong mamasak acara urang” (bakureh kan artinya mencurahkan tenaga, seperti jualan juga termasuk bakureh, hanya saja tradisi bakureh yang dimaksud adalah bakureh tolong memasak untuk acara orang. Sebagai seorang mahasiswa, Redo juga menjelaskan mengenai bakureh sebagai resiprositas, katanya “bahaso akademinyo tuh resiprositas, maksudnyo pertukaran tenaga gitu a, nanti kalau awak beko yang baralek , tuh urang tu loh yang nolong awak, kalau awak maleh-maleh manolong urang tuh, pasti bisuak pas awak lo yang baralek urang maleh nolong awak” (bahasa akademiknya adalah resiprositas, maksudnya pertukaran tenagan dimana jika nanti kita yang ada hajatan, banyak orang nolong, kalau kita males nolong orang, orang lain juga males nolong kita). Redo juga menambahkan mengenai bakureh zaman dulu yang mungkin menurutnya lebih kental dan lebih banyak ibu-ibu yang datang karena zaman dulu ibu-ibu masih banyak yang tidak bekerja, beda dengan sekarang ini dimana ibu-ibu sudah banyak menjadi pekerja kantoran. Dapat dilihat bahwa, sebagai generasi muda seperti Redo dapat mengetahui tradisi bakureh yang ada di daerahnya tanpa adanya pendidikan mengenai bakureh dari sekolah, ia mengetahui itu semua hanya dengan melihat keseharian ibunya yang sering pergi bakureh. Dari sanalah, saya tertarik untuk mengetahui bagaimana pemahaman perempuan muda sebagai pelaku tradisi bakureh di masa depan memahami bakureh itu sendiri, khususnya perempuan-perempuan di sekitar saya. Saya pun memulai riset awal dengan menggunakan media sosial Instagram. Instagram, sebagai media sosial paling digemari saat ini, mempunyai fitur 36
instastory yang di dalamnya ada polling, yaitu salah satu fitur di instastory, dimana pemilik akun instagram dapat menanyakan sebuah hal kepada followers mereka dengan sistem polling. Dari sanalah, saya mengupdate story saya dengan pilihan polling dengan menanyakan pertanyaan mengenai “tau bakureh/tradisi bakureh” dengan pilihan “Tau” dan “Tidak”. Setelah 24 jam terpasang di instagram saya, hasilnya pun menunjukkan bahwa dari 66 yang ikut mem-vote sebanyak 47 orang atau sekitar 71 % tidak mengetahui mengenai bakureh, sedangkan sebanyak 17 orang atau sekitar 29 % mengetahui tentang bakureh. Dari 17 orang yang mengetahui mengenai bakureh, saya pun men-DM (direct message) atau pesan singkat di instagram perempuan muda yang memilih “Tau” tentang bakureh. Ada enam orang perempuan muda yang saya kirim pesan untuk menanyakan pemahamannya mengenai bakureh. Diawali dari yang pertama dengan akun @nur.haini yang akrab saya panggil dengan kak Ay, perempuan muda berusia 24 tahun dan tinggal di Kota Padang. Kak Ay menyebutkan bahwa bakureh adalah kerja mencari uang dan ia juga pernah mendengar bakureh itu adalah sebuah adat atau kebiasaan. Ia menuliskan: “ada aku dengar bakureh itu kayak adat ntah kebiasaan, aku juga kurang tau pastinya. Kaya masak bareng-bareng gitu, misalnya baralek atau ada acara gitu, entah batagak gala, sunatan atau apalah nanti minta tolong, kayak ngajakin ibu-ibu datang ke rumah bantuin masak-masak gitu. Tapi biasanya yang masak justru bapak-bapak. Nah, yang ibu-ibu ini siapin bahannya. Aku juga gatau pasti “bakureh”nya ini yang mana yang pernah aku denger kaya gitu” Setelah itu, saya menanyakan darimana ia mengetahui tentang adat bakureh yang dia sebutkan, ia pun hanya mengatakan bahwa pernah mendengar dari teman, tetapi tidak ingat di daerah mana adat bakureh yang dia tahu tersebut. Saya akhirnya menanyakan apakah ada tradisi bakureh di kota Padang, kak Ay menyebutkan: “kalau masak-masak ada hal, tapi namanya masak-masak aja, gatau ada nama khusus atau nggak, biasanya masak-masaknya untuk keperluan arisan”. Kak Ay pun menyebutkan bahwa tidak ada hal seperti masak bersama di sekitar rumahnya dikarenakan rumahnya berada di kawasan komplek, dan untuk acara-acara biasanya menggunakan jasa catering. Kedua, saya kembali bertanya dengan pemilik akun @rinkaputri , ia berasal dari Payakumbuh dan berkuliah di kota Padang. Rinka, panggilan akrabnya setelah saya tanyakan mengenai bakureh, ia pun menuliskan: “bakureh=kerja keras”. Menurut Rinka, tradisi masak bersama untuk keperluan acara di Payakumbuh dinamakan “manyadio” bukan bakureh. Rinka juga berkata bahwa untuk saat sekarang tradisi masak bersama sudah jarang dilakukan karena sudah adanya jasa catering. Tradisi masak bersama di daerahnya pun hanya dilakukan oleh ibuibu saja, tidak ada perempuan muda yang ikut membantu. Selanjutnya, saya pun bertanya dengan Dilla dimana ia memanggil saya dengan ‘beb’ mengenai pemahamannya tentang bakureh. “bakureh itu kayak kerja masak-masak oleh ibu-ibu gitu beb. Pas ada orang nikah, terus di daerah minang ibu-ibu pada masak. Sekarang udah jarang bakureh karena orang udah pada pake catering sekarang beb”. Dilla pun menjelaskan bahwa tradisi bakureh yang ia ketahui ada di daerah 37
Solok dan Pesisir Selatan. Menurut Dilla, biasanya hanya ibu-ibu saja yang masak, tidak perempuan muda yang ikut, kalaupun ada biasanya mereka dari pihak keluarga. Dilla menambahkan jika di kampungnya yaitu di Batang Kapas, Pesisir Selatan, sudah jarang yang melaksanakan bakureh. Karena menurutnya kebanyakan orang kampungnya sudah ada catering. Dilla melanjutkan “ada juga yang bilang bakureh tu kerja buat cari makan beb. biasanya orang Minang ditanya ginikan, mau kemana pak? “bakureh dulu” itu artinya si bapak cari duit buat hidupin keluarganya. Yang aku tau gitu”. Dilla bercerita bahwa neneknya pun menyebutkan bakureh itu mencari makan atau bekerja keras. Ia menuliskan masih dalam pesan direct message di instagram “kerja keras buat dapatin sesuatu itu namanya bakureh beb. Kalo kata nenek aku gitu. Bakureh itu cari piti (mencari uang). Haha” Begitupun dengan pemilik akun @icannisaa11, menurutnya bakureh artinya adalah kerja mencari uang. Untuk tradisi masak bersama yang dilakukan oleh
ibu-ibu, Ica tidak pernah mendengar tradisi tersebut. Saya kembali menanyakan hal yang sama mengenai bakureh kepada pemilik akun @enji_ie dengan nama panggilan Enji. Dia berkata: “bakureh tuh kaya kerja keras gitu hal, biasanya kaya kita bersama-sama dalam melakukan suatu hal. Misalnya, ada pernikahan nih, nah ibu-ibu gotong royong dalam masak-masak gitu, dan setau enji itu di daerah Solok, daerah lain gak tau.” Enji pun hanya pernah mendengar hal tersebut dari temannya. Di daerahnya sendiri, tidak ada yang tradisi bakureh yang dalam artian masak bersama oleh ibu-ibu. Masih menggunakan direct message di instagram, perempuan muda terakhir yang saya tanyakan bernama Nehi dengan akun instagram @aghnehineh, berusia 22 tahun berasal dari Batusangkar. Nehi ternyata mengetahui mengenai tradisi bakureh di Solok karena memang ia pernah tinggal di Solok. Katanya, “kalau di 38
Solok, ada dua maknanya, bakureh dalam artian kerja keras, jor-joran gitu dan juga ada bakureh itu kayak kegiatan masak di rumah sanak kita yang mau ngadain acara baralek, itu setahu Nehi ya�. Ternyata, saat tinggal di Kota Solok pun, ia hanya pernah mendengarnya saja, tidak pernah melihat langsung proses kegiatan bakureh. Hal ini dikarenakan ibunya yang memang tidak pernah diundang untuk bakureh, dimana ibunya merupakan seorang pendatang. Selain menggunakan media sosial instagram, saya juga bertanya secara langsung dengan beberapa perempuan muda yang ada di sekitar saya mengenai pemahaman mereka mengenai bakureh. Salah satu teman yang saya tanyakan bernama Dea, ia berasal dari Paninggahan, Kabupaten Solok dan sekarang masih berstatus mahasiswa di kota Padang. Menurut Dea, dikampungnya bakureh artinya mancari pitih. “kalau dikampung aku, bakureh itu istilah untuk pergi ke sawah, bekerja gitu�. Di Paninggahan, tradisi masak bersama tidak dinamakan dengan bakureh, hanya
pergi memasak bersama saja, menurutnya. Tradisi memasak di kampungnya ternyata kurang lebih sama dengan tradisi bakureh di kota Solok. Tidak hanya Dea saja yang menganggap bakureh sebagai “mancari pitih� (mencari uang atau bekerja). Dua belas dari lima belas perempuan muda yang saya tanyakan menganggap bakureh memang bekerja untuk mencari uang. Dua orang lainnya berpikir bahwa bakureh seperti bekerja keras sekali untuk mendapatkan atau mengerjakan sesuatu. Sedangkan, dua orang lagi tidak mengenal istilah bakureh. Sebut saja namanya Sheryl dan Riri berusia 25 tahun yang memang tinggal di Kota Padang dan mengaku belum pernah mendengar kata bakureh maupun bakureh dalam konteks masak bersama untuk perhelatan. Bakureh dalam konteks tradisi memasak bersama, saya pun juga menanyakan kepada beberapa perempuan mengenai tradisi masak bersama yang ada di daerah mereka. Perempuan-perempuan yang tinggal di Kota Padang, tidak terlalu mengetahui mengenai tradisi masak bersama. Salah satunya bernama Yula 39
perempuan berusia 22 tahun, dia mengenal bakureh sebagai “cari pitih”(mencari uang), untuk tradisi masak bersama menurutnya: “kayanyo di Padang ndak adolah, urang lah pakai catering, mungkin kalau dikampuang-kampuang ado mah, tapi ndak tau bana do” (sepertinya di Padang tidak ada tradisi masak bersama, masyarakat sudah pakai catering, mungkin kalau di kampung-kampung ada, tapi saya tidak terlalu tahu). Hal menarik mengenai pemahaman perempuan tentang bakureh ketika saya mengobrol dengan Riska, perempuan berusia 23 tahun yang berasal dari Parambahan, Batusangkar. Riska mengaku tidak pernah mengenal atau memakai istilah bakureh dalam kehidupannya sehari-hari. Lain halnya dengan tradisi masak bersama, ternyata di Parambahan juga terdapat tradisi masak bersama untuk suatu perhelatan. Berbeda dengan kota Solok yang memasak bersama adalah ibu-ibu, sedangkan di Parambahan semua anak muda baik perempuan maupun laki-laki dapat ikut serta memasak bersama. Uniknya, Riska mengatakan bahwa ada suatu mitos di kampungnya, bahwa menggulai (memasak gulai) tidak boleh saat siang hari, di Parambahan manggulai dilakukan biasanya saat tengah malam. Oleh karena itu, biasanya yang memasak gulai adalah kaum laki-laki karena dilaksanakan tengah malam. Saat saya tanyakan mengenai maksud mitos tersebut, Riska tidak terlalu mengetahuinya. Dari pengalaman Riska, ia sering diajak untuk ikut membantu masak bersama oleh ibunya sendiri. Menurutnya, “iyo, amak wak tuh kalo inyo diajak urang masak, pasti inyo tibo dan ajak wak” (iya, ibu saya kalau diajak orang untuk masak, pasti dia datang dan mengajak saya untuk ikut membantu memasak). Riska mengakui sering diajak ibunya masak bersama dan tidak dapat dipungkiri, dari sanalah ia mendapatkan ilmu dapur alias ilmu memasak. Di Parambahan pun ada masakan khusus seperti daka-daka yang disiapkan untuk para angku saat acara perhelatan tiba. Selain Riska, salah satu perempuan yang mengetahui tradisi mengenai masak bersama adalah Widya. Widya berasal dari Batipuh, Tanah Datar berusia 22 tahun. Di daerah asalnya, ia juga menyebutkan mengenai tradisi memasak bersama, ia menyebutnya: “kalau baralek emang masak-masak di rumah. Dibantu sama tetangga dan dunsanak gitu. Masak-masak biasa aja sih kaya bantu-bantu, tapi gak ada namanya, kalau bakureh itu, menurut aku kerja habis-habisan”. Menurut perempuan muda lain bernama Annisa yang berasal dari Maninjau, istilah atau bahasa dari bakureh tidak terlalu banyak dipakai oleh orang kampungnya. Sehingga, dia pun jarang sekali menggunakan kata “bakureh” dalam kehidupan sehari-hari. Saya pun menanyakan mengenai tradisi memasak bersama yang ada di Maninjau, “kalo masak-masak tuh biasonyo untuak baralek se, itu pun induak-induak” (kalau masak-masak itu biasanya untuk pernikahan saja, itu pun yang masakmasak ibu-ibu). Annisa juga menambahkan jika perempuan muda bisa saja ikut melakukan masak bersama, tetapi sangat jarang sekali terlihat anak muda yang ikut. Annisa juga mengakui bahwa ia pernah ikut masak bersama tetapi jarang dia lakukan karena sibuk berkuliah di Padang. Bakureh juga bisa diartikan sebagai “karajo balabiah-labiah”(kerja yang 40
berlebihan). Hal ini diungkapkan oleh Nana yang tinggal di Kota Padang. Menurut Nana, ada dua arti yang dia pahami dari “bakureh� yaitu bakureh dalam arti menguras, seperti menguras air, tanah atau semacamnya dan bakureh dalam arti kerja keras. Nana juga mengatakan bahwa kata bakureh sebenarnya tidak terlalu sering dipakai di Kota Padang. Dalam tradisi masak bersama, Nana sendiri pun tidak terlalu mengetahui, karena kebanyakan orang Padang sudah banyak memakai catering. Di Kota Solok, saya juga bertanya kepada Diah yang tinggal di sekitar pasar raya kota Solok. Menurut Diah, tradisi bakureh ini tradisi yang simpel, hanya sekedar memasak bersama untuk pernikahan atau kematian. Diah sendiri sering diajak untuk ikut bakureh oleh ibunya, akan tetapi karena kesibukan kuliahnya, ia pun jarang mengikuti. Biasanya, yang sering dia ikuti untuk bakureh adalah bakureh untuk acara sanaknya sendiri. Diah pun juga mengakui bahwa di sekitaran rumahnya saat ini sudah banyak yang menggunakan catering. Selain di Kota Solok, saya sedikit mengobrol dengan perempuan berumur 18 tahun bernama Risa yang berasal dari Payakumbuh. Risa memahami bakureh sebagai kerja keras atau kerja mencari uang. “kalo bakureh tuh biasonyo kak dipakai untuak pai ka sawah, cari pitih, samo bakureh tuh kaya semacam karajo barek gitu aa kak, kerja keraslah dalam bahasa Indonesianya� (kalau bakureh biasanya kak dipakai untuk pergi ke sawah, cari uang, sama bakureh kaya semacam kerja berat atau kerja keras dalam bahasa Indonesianya). Bakureh dalam konteks tradisi masak bersama, Risa mengaku tidak tahu menahu mengenai hal tersebut. Dari beberapa perempuan yang saya tanyai mengenai bakureh, ternyata rata-rata memahami bakureh sebagai kerja keras. Perempuan-perempuan muda di sekitar saya sedikitnya banyak mengetahui mengenai tradisi memasak bersama yang sama konteksnya dengan yang ada di kota Solok. Kebanyakan dari mereka hanya mengetahui, tetapi jarang ikut melakukan tradisi masak bersama tersebut. Ini dikarenakan memang budaya di daerah masing-masing tidak mewajibkan keikutsertaan perempuan terlibat dalam masak bersama yang terdapat di daerah tersebut. Akan tetapi, tidak semua daerah yang tidak melibatkan perempuan muda untuk ikut masak bersama, contohnya saya di Parambahan, Batusangkar dan Kinari, Kabupaten Solok. Di Kinari, tradisi masak bersama dilakukan juga oleh perempuan-perempuan muda. Hal ini dikarenakan untuk memberikan pengetahuan mengenai masak bersama kepada generasi muda. Begitupun dengan Parambahan, orang tua mengajak anak-anaknya ikut serta membantu sebuah acara seperti baralek untuk memasak bersama. Sehingga, dengan mengajak anak-anak mereka, generasi muda pun mengetahui mengenai tradisi yang ada di kampung mereka dan juga mendapatkan pengetahuan baru tentang kehidupan di dapur. Hal ini diyakini menjadi bekal perempuan muda saat nanti sudah hidup berumah tangga. Ternyata, para pelaku bakureh di masa depan tidak terlalu mengetahui mengenai tradisi ini, apa makna di dalamnya. Sangat penting tentunya, tidak hanya untuk perempuan muda tetapi juga laki-laki mengetahui dan mendalami tradisi yang ada di sekitar mereka. Tidak hanya tradisi bakureh saja, tetapi tradisi-tradisi lain yang ada di setiap daerah dengan ciri khasnya tentu baiknya harus dikenali. 41
Dimulai dari cara mengundang untuk bakureh, pelaksanaan bakureh yang menjadi ladang informasi, dan prinsip tolong menolong yang ada di bakureh sangatlah penting untuk terus dilestarikan. Mengingat pentingnya tradisi ini dan wujud pelestariannya, saya kira generasi muda mempunyai peranan yang sangat besar untuk terus melanjutkan tradisi bakureh. Alangkah baiknya, tradisi bakureh ataupun tradisi sejenis yang ada di seluruh Sumatera Barat tetap terlaksana sampai seterusnya meskipun dengan dunia yang terus berkembang ke arah yang lebih modern. Setidaknya pemahaman yang baik mengenai tradisi dapat menjadi benteng untuk menyaring dengan kritis kebudayaan yang datang dari luar. Nahlia Amarullah Solok, Juli 2018
42
43
TANYA TAK BERJAWAB DYAH RORO PUSPITA AMARANI
KOTA SOLOK MERUPAKAN SALAH SATU kota kecil yang berada di daerah Sumatera Barat. Kota yang meng-klaim masih mempertahankan sistem pertanian sebagai ikon kota ini, barangkali masih bisa ditandai dengan beberapa sawah di dekat kantor balai kota, yang sekarang dijadikan sebagai agrowisata di Kota Solok, yang di tengah-tengah sawah itu terpajang dengan besar kata “Sawah Solok”, dan di sekitarnya berdapat beberapa pondok tembok tempat belakangan orang-orang sering berfoto. Di kota kecil ini saya tinggal di Kelurahan Kampai Tabu Karambie atau yang biasakami panggil KTK saja. Kelurahan KTK masih mempertahankan tradisi bakureh atau gotong royong memasak untuk kegiatan-kegiatan bersama, dengan warga yang masih menjalin gotong royong sesamanya. Sebelumnya, setelah mengikuti lokakarya literasi media dan kelas terkait kebudayaan lokal dalam kegiatan “Bakureh Project”, kami mendapatkan tugas untuk mendalami tradisi ‘bakureh’ pada daerah kami masing-masing. Saya sendiri awalnya tertarik untuk membahas mengenai tata cara atau adab berpakaian dalam bakureh. Pakaian merupakan kebutuhan sandang yang perlu dipenuhi oleh masyarakat. Dalam kebudayaan Minangkabau banyak azas yang mengatur tentang adab berpakaian, salah satunya berpakaian untuk acara bakureh. Seperti di Kelurahan KTK untuk bakureh memakai baju kuruang biaso (baju kurung biasa) dengan memakai kain serong (kain sarung), untuk penutup kepala memakai silodang ketek (selendang kecil). Pakaian ini pun tiap strata akan berbeda-beda. Misalnya, untuk sumandan (istri mamak) mereka akan memakai baju kuruang basiba dengan memakai kain serong dan tingkuluak kain panjang (selendang kain panjang). Sedangkan untuk orang yang akan menolong bakureh barulah memakai kain serong (kain sarung), untuk penutup kepala memakai silodang ketek (selendang kecil). Adab berpakaian ini di masing-masing daerah berbeda-beda pula. Perbedaan cara memakai dan maksud dari mengapa harus memakai pakaian seperti yang saya katakan tadilah yang membuat saya tertarik mengkaji bagaimana peran 44
pakaian pada acara bakureh di kelurahan KTK. Selain itu menurut pengalaman, saya pernah melihat ada saudara yang datang untuk memanggil bakureh dengan memakai pakaian berwarna hitam dan itu menjadi sebuah pertanyaan bagi saya sendiri “mengapa mereka memakai pakaian yang berbeda dari yang biasanya?”. Lalu saya bertanya kepada Mama, dan menjawab bahwa mereka akan mengadakan pesta besar makanya mereka memakai pakaian berwarna hitam, yang biasanya acara diselenggarakan dalam kurun waktu tiga hari sampai tujuh hari. Untuk mencari informasi mengenai pakaian apa yang harus dipakai untuk bakureh, pada hari rabu tanggal 21 juni 2018 saya menemui Anduang Siam, dikarenakan masih suasana lebaran Anduang Siam tidak berada dikediamannya. Lalu saya kembali seminggu kemudian. Nasib baiknya ia berada di rumah. Waktu saya tiba, ia baru selesai berwudu’ dan mempersilahkan saya untuk duduk terlebih dahulu, sementara ia melaksanakan Shalat Ashar. Anduang Siam merupakan seorang bundo kanduang di kelurahan KTK dalam beberapa puluh tahun ini. Saya memperhatikan di sekeliling ruang tamu, banyak sekali foto lamanya terpajang rapi di dinding ruangan tersebut. Ada satu foto yang membuat saya kagum, yaitu foto Rumah Gadang berlatar hitam putih dan beberapa orang berfoto di dalamnya. Setelah saya perhatikan lagi, ada tulisan berbahasa Belanda dan tanpa basa basi saya abadikan dengan Kamera HP saya. Setelah selesai sholat ashar barulah, Anduang Siam menanyakan maksud dan tujuan kedatangan saya. Sebelumnya ia sedikit lupa siapa saya. “Dari ma kau tadi nak ?” (dari mana kamu nak?) tanya anduang siam. “Dari rumah Nduang, awak Roro anak Tati nan tingga di Heler sabalah Kantua Lurah”. (dari rumah Nek, saya Roro anaknya Tati yang tinggal di tempat penggilingan padi disebelah Kantor Lurah) jawab saya mengingatkan beliau. Dahulunya rumah saya merupakan tempat penggilingan padi, akan tetapi setelah terjadi ledakan pada mesin padinya maka tempat tersebut tidak digunakan lagi. Sekarang hanya digunakan sebagai tempat tinggal saja. “Apo makasuik kau kamari kini nak?” (apa maksudmu dating bertamu kesini?) sambungnya. 45
“Nah iko a Nduang, awak ka batanyo gak saketek ka anduang mah.” (nah Nek, saya ingin bertanya sedikit kepada Nenek) terang saya. Lalu saya menceritakan maksud dan tujuan kedatangan saya. Sebelumnya, Anduang langsung menyanggah perkataan saya. Ia menerangkan bahwa seharusnya saya bertanya langsung kepada Angku, karena Angku yang lebih faham mengenai Adat dari pada dirinya. Lalu ia mengajak saya untuk pergi menuju paviliun rahasia Angku. Sesampainya di sana, Anduang memperkenalkan saya kepada Angku dan menyambut kedatangan saya “eh cucu den juo kironyo” (eh masih cucu saya ternyata) sambutnya bahagia. Sepengetahuan saya beliau sering dipanggil Angku Ican. Sembari duduk, saya langsung bertanya mengenai bagaimana adab berpakaian untuk bakureh yang ada di Solok khususnya daerah KTK sendiri. “Alek ko banyak mah cu, alek nan ma ka cucu tanyo, tapi den nionyo cucu ndak macik hape do, ambiak karate ciek.. pacik pena ciek.. nah buek tulih lah lai” (Upacara Adat ini banyak cu, yang mana yang akan cucu tanya, tapi saya maunya Cucu tidak memegang Hape. Ambil selembar Kertas, pegang sebuah Pena, Tuliskan yang Saya ucapkan). Terang si Angku mengingatkan saya. Dari keterangan Angku, pada upacara kematian, pada malam harinya diadakan malam tahlil saat itu sumandan membawa nasi lamak (nasi ketan). Pada malam ke tujuh diadakan mangaji tujuah hari (mengaji tujuh hari) yang diadakan pada siang harinya. sumandan membawa nasi lamak dan goreng pisang yang diletakkan dalam katidiang itam (keranjang hitam) yang dijujuang di ateh kapalo (dibawa diatas kepala). Memotong kambing yang akan dimasak menjadi kalio (Gulai Kental) dan tumih buncih (tumis buncis) atau toco (taucou). Lalu setelah 100 hari diadakan mangaji manyaratuih hari dengan memotong kambing atau sapi yang akan dikalio, lalu dengan tambahan cubadak (nangka) atau rebung sebagai menu untuk gulainya. Untuk cara memanggilnya pakaian Niniak Mamak untuk kepala memakai kopiah (peci hitam), sarung dikalungkan di leher dan memakai baju panjang guntiang cino (gunting cina) dengan sarawa gadang kaki (celana besar kaki). Sementara untuk wanita memakai baju kuruang basiba beserta kain saruang dan tingkuluak saja. Itu untuk upacara adat biasa. Sementara untuk Upacara Adat salingka nagari (cakupan satu nagari) atau upacara besar (potong kerbau) Niniak Mamak memakai baju kebesaran yaitu memakai destar (topi yang ada cincin ditengahnya), baju gadang ndak basaku (baju besar tidak bersaku), sarawa galambuak ( sejenis celana untuk silat), Ikat Pinggang yang disematkan karih (keris), serta salendang tanah liek (Selendang bewarna Coklat muda). Lalu untuk wanitanya memakai baju kuruang basiba hitam serta memakai kain serong dan tingkuluak kain saruang. Pada upacara pernikahan Baminantu. Baralek ketek untuk mamanggia (mengundang) pelaksanaannya dengan membawa kampia siriah serta memakai baju kuruang biasa (baju kuriak), tingkuluak atau silodang kain panjang. Untuk Alek Gadang atau Alek Salingka Nagari Solok biasanya yang pergi mamangggia adalah Niniak Mamak memakai deta serta memakai baju putiah atau guntiang cino, pakai kain saruang yang akan disandang serta memakai sarawa gadang kaki biasanya. Bagi laki-laki membawa beberapa bungkus rokok dan membagikan sebagai 46
undangan kepada kaum lelaki yang akan diundang, sementara untuk wanita memakai baju basiba hitam dengan menyelempangkan kain sarung hitam serta menggunakan tingkuluak kain sarung dan membawa kampie siriah dengan isi secukupknya. Kampia siriah tersebut ditutup lagi dengan menggunakan kain panjang. Jika membawa kampie siriah dengan memakai kantong plastik biasa, maka dikatakan sebagai orang yang tidak beradat, biasanya mereka akan disuruh pulang dan kembali lagi dengan membawa siriah menggunakan kampie siriah. Selain dikatakan tidak beradat sebenarnya dalam sisi lain berarti tidak sopan karena mereka memanggil untuk acara Adat. Angku berkata sebelum pulang, coba lihat Rumah Gadang Gajah Maharam yang terletak tak jauh dari rumahnya. Rumah tersebut merupakan simbol Rumah Gadang dalam keluarga Anduang. Sedangkan untuk Rumah Gadang yang dimiliki Angku berada di Kampuang Karambia yang bernama Rumah Gadang Panjang. Rumah Gadang Gajah Maharam ternyata termasuk salah satu Cagar Budaya yang terdapat di Kota Solok. Sungguh beruntung Rumah Gadang tersebut masih terjaga, walaupun kondisinya hasil direvitalisasi oleh pemerintah, mengingat Rumah Gadang yang ada di Kota Solok telah usang dimakan zaman. Pemiliknya pun telah memiliki rumah mereka sendiri. Padahal menurut Angku Ican harta warisan yang dimiliki kaum bisa dijual untuk memerbaiki Rumah Gadang yang telah usang. Pikiran saya langsung melayang mengingat Rumah Gadang Panjang pun telah usang tetapi belum ada satupun saudara atau kerabat yang berinisiatif memperbaikinya. Sayang sekali padahal Rumah Gadang tersebut masih dihuni oleh salah satu kerabat. Yah.. mungkin karena faktor ekonomi atau ada hal lain yang saya tidak tau. *** Beberapa hari kemudian saya kembali lagi ke kediaman Anduang Siam untuk menagih janji kepada Angku Ican, mungkin hari itu saya kurang beruntung lagi untuk bertemu angku dikarenakan angku ada acara mendadak. Jadi saya hanya berbincang-bincang dengan Anduang, karena merasa bersalah Anduang memperagakan bagaimana berpakaian untuk mamanggia dalam agenda bakureh. Biasanya untuk mamanggia induak bako ataupun saudara yang lain hanya memakai tingkuluak kaciak, tapi karena perkembangan zaman kebanyakan memakai jilbab instan lalu menambahkan tingkuluak sebagai luarannya. Anduang mengatakan bahwa baju kuruang basiba merupakan pakaian yang wajib digunakan oleh wanita minang, apapun acaranya pokoknya harus memakai baju kuruang basiba. Bedanya tiap upacara adat pemakaian baju basiba dibedakan berdasakan corak dan warnanya. Yang menarik perhatian saya, biasanya baju kuruang basiba letaknya di luar kain serong, tapi jika ada dunsanak nan kontan bana (saudara sekaum) yang menikah maka baju kuruang basiba-nya dimasukkan ke dalam kain serong. Anduang juga mempraktekkan memakai baju yang tadi. Ketika proses bakureh-nya pun mereka juga memakai baju kuruang basiba dengan kain serong lalu memakai tingkuluak ketek saja. Ketika acara pernikahan biasanya ada yang menyambut katidiang itam yang dibawa oleh kerabat atupun bako, biasanya mereka memakai baju basiba hitam dengan kain serong hitam serupa serta memakai 47
tingkuluak bulek (selendang hitam bulat) untuk penutup kepala. Sayangnya Anduang tidak mengetahui mengapa harus memakai pakaian tersebut. Anduang hanya mengatakan bahwa itu sudah diatur sejak lama dan telah menjadi kebiasaan bagi wanita minang. Sayapun bertanya kepada mama mengenai maksud mengapa orang berpakaian seperti itu untuk pergi mamanggia ataupun di upacara adat lainnya sayangnya karena mama terlalu sibuk mama menyarakan untuk berkunjung ke tempat kerabat lainnya. Mama hanya mengatakan bahwa dahulu jika seseorang pergi mamanggia, pergi bakureh, atau acara adat lainnya, pakaian yang tidak sesuai dengan pakaian menurut Bundo Kanduang maka dia akan ditegur di depan orang ramai. Nah sekarang apa-apa sudah canggih cara berpakaian pun tak ada yang menegur, jika adapun pasti mereka yang telah berumur lanjut karena yang masih muda sudah mengikut perkembangan zaman. Jadi cara berpakaian pun tak masalah asalkan tetap memakai pakaian adat. Suatu hari, sepulang kerja ternyata mama mendapatkan undangan bakureh dari salah seorang saudara. Beliau hanya memakai baju biasa dan memakai kain serong batik tapi hanya memakai jilbab instan saja serta membawa tampia siriah (tempat sirih). Mengenai pakaian yang dipakai oleh kerabat mama tadi sudah termasuk ke dalam pergeseran adab berpakaian. Pada zaman dahulu kebiasaan perempuan minang dalam hal mamanggia memakai baju basiba, bajunya dimasukkan ke dalam kain serong lalu memakai tingkuluak ketek sebagai tutup pada kepalanya. Akan tetapi sekarang karena ingin instan mereka memakai pakaian rumah saja atau biasanya memakai daster dan tetap memakai kain serong, dan memakai jilbab instan untuk penutup kepalanya. Tak hanya memakai daster bahkan ada yang memakai gamis dan ‘jilbab dalam’ serta tetap mengenakan kain serong sebagai simbol bahwa mereka akan bakureh. Saya dan dua orang teman berangkat ke kediaman yang punya hajatan di Jalan Bypass di daerah Kampai, yang juga termasuk kelurahan KTK. Makwo Mulyana atau biasa di sapa Makwo Mul merupakan ‘si pangka’ atau yang punya hajatan. Dialah yang mengundang mama untuk bakureh. Sebelum bertanya-tanya mengenai bakureh kepada salah seorang warga kami ikutan membantu seperti membuang kulit bawang lalu memotongnya menjadi kecil, dan memotong cabe. Sebenarnya, menurut beberapa orang warga kami tidak diperbolehkan membantu dikarenakan biasanya tidak ada anak gadis yang ikutan memasak atau bakureh. Sambil asik memotong bawang kamipun mendengar ‘kicauan’ warga, ada yang asik bagunjiang (bergosip), ada pula yang asik curhat tentang keluarganya. Di sana, saya melihat banyak di antara warga tidak memakai tingkuluak kaciak dan digantikan dengan jilbab sorong. Pakaian yang dikenakan warnanya tidak mencolok. Melihat apa yang saya lihat tergambar jelas bagaimana telah terjadi pergeseran mengenai cara berpakaian di daerah saya sendiri. Etek As mengatakan dahulu masyarakat memakai baju kuruang basiba atau baju panjang dengan memakai tingkuluak ketek dikarenakan harga jilbab dulu mahal, sekarang harga jilbab murah, semua orang pasti memiliki, beliau berkata adaik basandi syara’, babuwua gasua (sekarang telah berubah-ubah), sekarang semua telah berbeda bagi yang merasa beradatlah yang tetap menjaga kebiasaan lama. Menurut etek As bakureh juga sebagai ajang reuni, karena di dalam bakureh 48
49
akan banyak hadir kerabat dekat maupun kerabat jauh yang lama tak berjumpa. Di sanalah kita bisa mengenal siapa sumandan kita, siapa pula induak bako, dan kerabat lainnya. Ternyata tidak hanya warga yang memasak untuk acara bakureh. Si Pangka pun akan memasakkan makan siang serta cemilan untuk dimakan warga. Mama pernah mengatakan semakin enak makanan yang kita sajikan kepada warga yang menolong bakureh semakin segan mereka kepada kita. Karena, biasanya mereka juga akan bergosip mengenai makanan yang kita sajikan. Misalnya, di rumah Si Anu, makanannya kurang banyak, itu maksudnya adalah pujian. Makanannya enak sayangnya porsi yang tersedia tidak mencukupi untuk tambuah. Dan ternyata apa yang mama katakan benar di tempatnya Mak Uwo Mur pun makanan yang dihidangkan juga enak dan banyak yang memujinya walaupun dengan cara yang berbeda. Pertengahan Juli 2018 lalu, sepulang kerja saya menemui Mak Uwo Netty, beliau merupakan salah satu warga lokal yang juga aktif dalam bakureh di kampung saya. Ketika itu Mak Uwo juga kedatangan kerabat yang bermaksud menemani ketika anaknya menikah. Menurut beliau, untuk upacara pernikahan ada beberapa proses atau tahapan yang pertama basuduik (pertemuan keluarga untuk membahas pernikahan) biasanya yang akan ikut basuduik keluarga inti ataupun sasuku (satu klan/garis keturunan ibu), yang kedua baduduak-duduak (menentukan hari) biasanya untuk alek gadang akan diadakan bakureh melepas orang yang akan pergi mamanggia. Untuk makanannya hanya memasak galamai amba, biasanya sumandan datang membawakan nasi lamak (yang terbuat dari ketan). Biasanya sebutan untuk melepas orang mamanggia disebut dengan ‘pai minum kopi’ (pergi meminum kopi). Kemudian, dalam mamanggia biasanya ada empat oranga yang terdiri dari dua laki-laki dan dua perempuan, yang merupakan si pangka (keluarga tuan rumah pesta), anak pisang (famili dari keluarga ayah) atau yang sasuku (famili dari keluarga ibu). Biasanya jika alek gadang, yang akan mamanggia bagi perempuan satu membawa payung hitam. Lalu, yang satu lagi membawa sirih yang dimasukkan dalam kampie siriah (anyaman untuk membawa sirih). Sedangkan yang laki-laki membawa rokok menggunakan sapu tangan. Pakaian yang mereka gunakan bagi yang laki-laki adalah memakai baju putih, dengan memakai sarawa jao, sedangkan perempuan memakai baju hitam memakai tingkuluak kain sangenek (selendang yang mengkilat ). Bakureh biasanya akan diadakan dalam satu atau dua hari menjelang pesta. Dulunya orang memakai baju kuruang basiba dengan kain serong dan tingkuluak ketek sebagai penutup kepala, sedangkan sekarang hanya memakai baju pendek lalu memakai jilbab sorong untuk menutui kepala, bagi keluarga dekat atau pasumandan memakai tingkuluak ketek beliau juga membandingkan dengan adat selayo ketika bakureh tetap memakai baju basiba dan tingkuluak ketek. Pada baralek (pesta pernikahan) juga diadakan bararak anak daro (arakarakan pengantin perempuan). Dalam pesta yang besar Katidiang itam (keranjang hitam) yang dibawa oleh sumandan akan disambut dengan memakai baju hitam dan tingkuluak kain saruang bulek. Dalam pesta yang kecil, yang menyambut akan memakai baju kuriak dengan tingkuluak ketek. Ketika bararak, anak daro biasanya 50
akan diarak dari rumah induak bako (saudara ayah) menuju rumah si anak daro. Pakaian yang hendak dipakai si anak daro akan dipakaikan di dalam rumah si induak bako. Nantinya para tetangga di sekitar rumah induak bako akan dipanggil untuk ikut berpartisiasi. Keesokan harinya si anak daro diantar ke rumah laki-laki yang dinamakan dengan pai tunduak (pergi menunduk) dengan membawa galamai, nasi lamak dan samba (lauk yang dimasak ketika bakureh masak). Pakaian yang dipakai ketika pai tunduak sama saja dengan pakaian bararak anak daro, biasanya akan didampingi oleh beberapa orang. Mak Uwo Netty dulunya memaknai baju basiba dengan baju panjang ke bawah sebagai pakaian yang sopan. Jika berjalan tak terlihat lekuk tubuh. Tapi pada zaman sekarang baju basiba justru dibuat membentuk lekukan tubuh. Menurut Mak Uwo ini salah, tapi begitulah pilihan di zaman sekarang. Untuk pergeseran bakureh dengan adanya ketring diumpamakan dengan cupak dibaok urang mangaleh, tapian diasak dek urang (cupak/takaran dibawa orang yang berdagang, tepian digeser oleh orang), demikian ia memahami perubahan yang terjadi tanpa ada pertimbangan yang matang. Beberapa hari berikutnya saya disarankan ke rumah Ayah Rusli, ia adalah salah seorang tokoh adat di Solok, yang juga merupakan ketua Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau (LKAM) Solok.. Menurut ayah (panggian akrab beliau) bakureh itu adalah acara masak-memasak di tempat kenduri yang merupakan gotongroyong antar sesama, yang sistemnya bajulo-julo (arisan atau bergiliran). Yang hadir didalam bakureh adalah si pangka yang membuat acara kenduri, anak pisang, dan tetangga terdekat yang ada ditempat kenduri. Ayah juga memaknai baju basiba, menggambarkan baju yang lapang tidak membentuk tubuhnya, yang artinya perempuan Minangkabau lapang pikirannya untuk menghadapi sesuatu yang terjadi. sementara tangkuluak kain saruang menggambarkan kemenangan, sementara serong yang disusun ke kiri melambangkan perempuan Minang pandai menyimpan rahasia, ada rahasia untuk diri, ada untuk orang maka disimpan sebaik mungkin agar tidak membuat masalah. Seperti sebelum-sebelumnya tidak ada penjelasan yang mendalam mengenai itu. Untuk lelaki, ada memakai baju guntiang cino sama celana jao, baju pisak ampek, dan baju kebesaran adat dengan tambahan deta (destar) yang dipakaikan cincin, baju lapuak, sarawa lapuak, selendang tanah liek, kabek pinggang serta keris. Destar melambangkan kemenangan, cincin melambangkan kejayaan dan kemakmuran, selendang melambangkan ada orang yang patut kita bantu, keris melambangkan keberanian, ikat pinggang melambangkan hemat, baju lapang dan celana lapang melambangkan pikiran yang tenang dan hati yang lapang. Yang memakai baju kebesaran adat bukan sembarang orang, yakni niniak mamak yang memiliki posisi tinggi dalam adat di nagari itu. Menurut beliu aturan yang benar atau salanya tidak ada, hanya mengikuti yang telah diperbuat terdahulunya. *** Masih pertengahan Juli, saya menyempatkan bertemu Uda Fajar, ia adalah seorang datuk yang masih muda dengan gelar Datuak Rangkayo Marajo. Seharihari ia merupakan seorang guru sejarah disalah satu sekolah di Kabupaten Solok, 51
sebelumnya ia sempat tergabung dalam organisasi uda-uni Kota Solok, semacam organisasi abang-none di Betawi, atau duta wisata. Bakureh menurut Uda Fajar merupakan sebuah wadah dalam masyarakat di Kota Solok yang merupakan perlambangan dimana kerabat berkumpul, seperti induak pisang, sumandan, induak bako dan lain-lain. Bakureh juga banyak ragamnya seperti bakureh untuk bersyukur, contohnya bersyukur dalam membuat rumah baru dalam suatu kaum sebelum membuat rumah baru bermufakat terlebih dahulu. Konteks bakureh sebagai suatu tempat bermufakat, berkumpul di dalam sebuah wadah. Bakureh juga berarti meluangkan diri untuk berkumpul dalam acara masakmemasak yang diadakan si pembuat pesta. Upacara pernikahan tergolong dalam beberapa bagian ada alek gadang, ada alek menengah, ada alek ketek. Alek gadang yang paling besar disebut alek baringin sonsang atau alek batonjong (alek tujuh hari tujuh malam) dalam alek ini laki-laki ikut dalam bajago-jago (permainan alek nagari) biasanya si wanita menyuguhkan makanan sebagai rasa terimakasih karena si laki-laki telah berkontribusi dalam bajago-jago. Untuk alek ini biasanya selama 6 hari membantai atau memotong kambing di hari ke tujuh barulah membantai kerbau. Alek manangah disebut dengan alek bapaleh-paleh aleknya dua hari dua malam dengan membantai seekor kerbau atau seekor sapi. Yang terakhir alek ketek, alek yang habis sehari, ada yang sehari semalam adapula yang dari pagi sampai sore saja. Setiap alek berbeda-beda pula makanan khasnya, alek ketek (pesta kecil) ada godok, atau 52
pergedel, gulai tauco, kalio, dan pangek ikan bilih. Alek manangah ada kalio, gulai korma (gulai yang kuahnya putih), wajik, panyaram pisang. Untuk alek gadang (pesta besar) makan utamanya ada gulai batang pisang atau karuak batang pisang. Biasanya untuk bakureh orang-orang memakai tingkuluak ketek, baju kuruang basiba dimasukkan ke dalam kain serong. Uda fajar juga mencontohkan cara pemakaian tingkuluak dan kain serong yang benar, dia langsung menunjukkan pemakaian kain serong dan mencoba memakai tingkuluak ketek kepada adik perempuannya. Kenapa kain baju dimasukkan ke dalam kain supaya dalam memasak nanti baju tidak terkena cipratan gulai dan masakan lainnya. Memasukkan di dalam pun agar terlihat lebih praktis. Untuk maksud dari motif yng dipakai dalam pakaian wanita minangpun Uda Fajar punmenjelaskan menurut pandangannya yaitu untuk motif Bunga yang kecil menandakan duka atau kematian seperti motif bunga semanggi yang bunganya kecil-kecil. Sementara untuk motif bunga yang besar menandakan kebahagiaan atau rasa syukur akan acara baralek ataupun sejenisnya, contoh bunganya bunga matahari dan lainnya. Setelah cukup banyak mendapatkan informasi dari Uda Fajar dan dikarenakan hari telah larut malam kamipun izin pulang kepada beliau. Minangkabau juga terkenal akan corak atau motif-motif yang menggambarkan keelokan negerinya, terbukti pada setiap rumah gadang pasti memiliki motif-motif ukiran tersendiri. Seperti rumah gadang kaum kami pun banyak ukiran motif yang ada di sana, sayangnya kayunya mulai usang dan tak terperhatikan lagi. Biasanya setiap sudut rumah gadang tak hanya terdapat satu atau dua motif ukiran saja, biasanya terdapat banyak ragam motif yang menghiasi sudut rumah gadang. Biasanya di tempatkan pada lingkungan anjuang rumah, pada badan rumah dan pada tempat-tempat yang umum lainnya. Adapun ragam motif ukiran yang biasa terdapat pada anjuang rumah yaitu Saluak Laka, Labah Mangirok, Kalalawa Bagayuik, Itiak Pulang Patang dan lainnya, pada badan rumah Yaitu Pisang Sasikek, Aka Cino Sagagang, Ukir Tirai, Sikambang Manih, dan lainnya 1 motif-motif ini memiliki ragam makna yang sering kali dipakai dalam motif kain. Pada beberapa tahun belakangan, motif-motif tenun lokal telah tergeser karena adanya motif-motif jawa atau motif nusantara lainnya dengan harga yang jauh lebih murah. Motif kain tersebut bukanlah motif hasil tenun, akan tetapi motif dari kain batik yang pembuatannya pun berbeda dari tenunan masyarakat Minangkabau. Seperti halnya baju basiba yang dipakai oleh Anduang Siam motif kainnya bukan lagi motif kain minang. Motif tersebut merupakan pengembangan antara motif Jawa dan motif Minang. Kain yang dipakai merupakan kain batik yang dibuatkan menjadi baju basiba dan kain serong serta tingkuluak. Tak hanya yang dipakai oleh Anduang Siam saja, hampir keseluruhan masyarakat Minang memilih kain batik sebagai bahan untuk pakaiannya. Walaupun begitu kain tenun tetap dipakai oleh masyarakat Minang tetapi pemakaiannya di acara-acara tertentu saja. Beberapa kali saya sangat tertarik dengan adab-adab yang telah disusun oleh pendahulu kita. Tapi sayang sekali kita hanya menerima dan mengikuti saja.  1 Motif Ukiran Minangkabau oleh Zulfikri pada artikel (http://palantaminang.wordpress.com/ motif-ukiran-minangkabau/), diakses pada 16 juli 2018 pukul 22.24 WIB
53
Tidak banyak pula yang bisa menerangkannya kepada kita. Sepetinya malam semakin larut, bunyi jangkrik pun semakin menggema menghiasi penghujung malam, seakan tak mau kalah dengan bunyi saluang yang senyap-senyap terdengar di ruangan ini. Beberapa jam lagi mentari dengan semangat menyinari tiap sudut kota kecil yang entah akan menjelma menjadi kota apa. Dan untuk mata, bersiaplah terpejam sesaat sebelum mentari bersinar. Dyah Roro Puspita Amarani Solok, Juli 2018
54
55
ORANG MENANGIS, KITA TABAH OLVA YOSNITA
UPACARA KEMATIAN MERUPAKAN acara sakral yang biasa dilakukan di masyarakat Minangkabau. Ketika kabar buruk itu dihambauan, demikian istilah masyarakat Minangkabau. Masyarakat sudah mulai melakukan Bakureh atau lebih tepatnya gotong royong, walaupun secara harfiah tidak disebut gotong royong, tetapi lebih kepada perasaan saling membantu dengan sesama. Contohnya saja hal ini tercermin dalam perilaku tetangga yang mulai melakukan bersih-bersih di rumah duka hingga menyiapkan tenda, kursi ataupun minuman untuk masyarakat yang akan melayat ke rumah duka tersebut. Kebiasaan bakureh, gotong royong, saling membantu, tidak lepas juga dari kebiasaan masyarakat itu sendiri yang masih berpegangan terhadap Adat istiadat yang dianut. Adat istiadat lahir untuk menjaga nilai-nilai yang dianggap benar. Halhal yang dimuliakan oleh masyarakat mau tidak mau, suka tidak suka telah diatur oleh norma-norma, baik itu norma Adat, agama maupun norma kesopanan. Secara tidak sadar perilaku masyarakat kemudia dikendalikan oleh normanorma yang mengikatnya. Begitupula ketika membahas kematian, ada aturanaturan yang mesti patuhi oleh masayrakat, dan tiap-tiap daerah atau kelompok memiliki aturan masing-masing. Bakureh, kegiatan masak memasak di Minangkabau adalah salah satu bentuk identitas atau ciri khas masyarakat Minang yang menarik untuk dibahas. Membahas bakureh, acara masak memasak yang dilakukan oleh ibu-ibu ketika kematian akan sedikit berbeda pelaksanaannya ketika melaksanakan pada acara pesta pernikahan, dan Aqiqah. Bakureh dan Spontanitas Masyarakat atas Rasa Kepedulian Peduli adalah salah satu kata kunci yang akan saya bahas kali ini. Kepedulian dalam hal ini mengacu kepada rasa atau ketertarikan untuk membantu orang lain. Pada dasarnya manusia sudah dibekali rasa peduli di dalam dirinya sejak manusia itu dilahirkan. Selebihnya, tingkat kepedulian manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk dimana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang atau lebih tepatnya lingkungan sosial manusia itu tinggal. 56
Manusia memiliki insting layaknya hewan, tetapi manusia dibekali sesuatu yang lebih yaitu akal dan budi. Insting-insting kepedulian inilah yang membuat manusia saling terhubung layaknya benang yang menyatu dan membentuk sebuah ikatan. Ikatan itu bisa saja sewaktu-waktu putus dan sewaktu waktu terhubung kembali. Contoh yang lebih sederhana dan dekat dengan kita adalah keluarga. Di dalam keluarga ikatan kuat terbentuk dari sebuah pernikahan dan pertalian darah. Sigmund Freud berpendapat bahwa seluruh perilaku manusia didorong oleh nafsu atau instingnya, dimana insting merupakan representasi neurologis dari kebutuhan-kebutuhan fisik-biologis (Boeree,1997:40). Insting merupakan pola pikir manusia yang telah dibawa semenjak manusia itu dilahirkan dan bersifat turun temurun. Insting terbagi dua yaitu insting kehidupan (life instinct) dan insting kematian (death instinct). Ikatan pertalian darah dan juga perkawinan adalah salah satu contoh bentuk insting manusia yaitu sesuai dengan insting kehidupan atau life instinct menurut freud. Sementara itu manusia menyakini suatu saat manusia juga akan mengalami kematian, dan inilah bentuk insting kematian atau death instinct. Di dalam kehidupan sehari-hari kita banyak sekali menemukan contohcontoh dari insting kehidupan, misalnya rasa lapar, rasa haus dan juga seks. Namun fokus utama yang ingin saya bahas yaitu insting kematian. Suatu saat kita akan mengalami kematian, begitulah kira-kira yang ada di kepala manusia, bahwa tidak ada manusia yang hidup abadi. Cepat atau lambat kematian akan menghampiri setiap insan yang benyawa. Kematian manusia yang akan terjadi sekali seumur hidup, tanpa sadar dirayakan dengan upacara yang besar. Upacara-upacara kematian tidak lepas dari pengaruh adat dan juga agama yang dianut oleh masyarakat itu sendiri. Pelaksanaan upacara kematian masyarakat Minangkabau khususnya Kota Solok tidak jauh berbeda dengan upacara-upacara kematian di daerah lainnya. Seperti kata Buya Khairani dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi: “Adat adalah sesuatu yang tidak tertata, adat merupakan kebiasaan yang timbul sejak orang itu lahir. Adat juga berupa 57
susunan tata tertib, tabiat, psikologi, cara memandang dan merasakan. prinsip-prinsip adat itu di tanamkan dalam bentuk aqidah atau keyakinan tingkat tinggi. Itu artinya adat dan agama tidak bisa dipisahkan.� Pada saat kematian, proses penyelenggaraan jenazah tidak terlepas pula dari ajaran agama. Saat manusia mengalami kematian pun manusia masih membutuhkan orang lain untuk mengurus Jenazah. Dari memandikan, mengkafani, menshalatkan hingga menguburkan Jenazah. Proses tersebut merupakan tradisi yang berasal dari agama. semantara itu di tiap-tiap daerah juga ada prosesi budaya yang masih dilaksanakan hingga saat sekarang ini. Contohnya, di Kota Solok ada yang namanya manujuah hari (berdoa bersama pada peringatan hari ke tujuh setelah kematian) dan yang terakhir manyaratuih hari. Manyaratuih hari adalah proses terakhir mengantarkan orang yang dikasih pergi dengan tenang, setelah ia seratus hari dimakamkan, sehingga acara ini dianggap sangat sakral. Saya menggali tradisi terkait upacara kematian di kampung saya, di daerah Banda Panduang, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah. Saya sempat bercerita dengan Uwo Wi yang merupakan bundo kanduang di Tanah Garam, bahwasanya adat di Bandar Pandung ini masih terjaga dengan baik, peralatanperalatan Bakureh yang ada di daerah ini sudah tidak perlu lagi dipikirkan karena sudah disediakan oleh masyarakat. Perlengkapan-perlengkapan tersebut didapatkan dengan sistim yang namanya sistim konsi, dimana tiap-tiap keluarga akan menyumbang Lima Ribu Rupiah untuk membeli peralatan masak. Untuk kematian sendiri tidak perlu memikirkan pembelian kain kafan ataupun perlengkapan lainnya, karena pasti ada kerabat yang akan membawa seperti bako, anak pisang, sumando, atau lebih tepatnya dipasamoan, maksudnya adalah ditanggung bersama. Hal-hal yang disampaikan oleh Uwo Wi tersebut merupakan wujud dari collective consciousness (kesadaran kolektif) menurut Durkheim, dimana masyarakat secara sadar membantu sesama yang mendapatkan musibah. Sistim upah masih belum masuk ke daerah Bandar Pandung ini, biasanya saat mendengar ada yang meninggal dunia, para pemuda akan langsung berinisiatif untuk menggali kubur bersama-sama, artinya nilai-nilai gotong royong masih terjaga. Spontanitas-spontanitas yang terjadi saat terjadinya kematian merupakan bentuk raso jo pareso seperti yang juga pernah digambarkan Buya Khairani. Hal lainya juga tercemin ketika saat mayat diangkat menggunakan Keranda, siapapun boleh mengangkat, baik itu anak, kemenakan, tetangga, ataupun teman, tidak ada larangan, seperti kata Uwo Wi, Bundo Kanduang Tanah Garam: “Kalau maangkek karando tu di pasamoan, sia se buliah maangkek karando tu, yang penting yang maa ka capek salasai se lai� (Kalau mangangkat keranda dilakukan besama-sama, siapa saja boleh mengangkat keranda tersebut, yang penting cepat selesai). Idealnya manusia masih membutuhkan manusia lainnya bahkan ketika manusia mengalami kematian. Kematian itu sendiri merupakan pesan kepada kita bahwa suatu saat kita akan menggalaminya. Upacara Kematian juga tanpa sadar menjadi tempat untuk bersilaturahmi, karena sanak saudara akan berkumpul bersama. 58
Saya jadi teringat dengan kematian adik sepupu saya awal tahun lalu, waktu itu saya sedang tidak berada di kampung. Ketika itu adik saya masih bayi dan masih terlalu dini untuk meninggalkan kami. Ketika mendapatkan kabar buruk tersebut saya langsung bergegas pulang, tapi sialnya saya tidak bisa melihatnya untuk terakhir kali. Ketika saya tiba adik saya telah di makamkan, saya tidak kuat melihat etek (bibi) saya menagis terus menerus saat mengingat atau membicarakan adik saya. Saya berusaha menghiburnya supaya etek saya ikhlas melepas si dedek bayi. Seperti kata Buya Khairani, ketika kita menghadapi kematian “urang manangih awak tabah” (orang menangis, kita tabah), ketika orang yang kehilangan menagis kita berusaha untuk mengerti atau empati tidak juga kita ikut-ikutan menambah keterpurukan si yang berduka. Di sinilah keluarga berkumpul, baik yang memiliki pertalian darah maupun tidak dan tanpa sadar menjadi tempat untuk bersilaturahmi. Kematian memang menjadi rahasia yang tidak ada seorang manusia pun mengetahuinya dan kematian adalah fase terakhir kehidupan kita di dunia ini. Di dalam upacara Adat, upacara kematian menjadi keharusan atas dasar kemanusian yang hidup bersama. Di kampung saya sendiri masih jarang ditemukan warga yang tidak melakukan upacara Adat. Hal tersebut terjadi dikarenakan masyarakat yang hidup di lingkungan saya masih memiliki ikatan-ikatan kekerabatan yang jelas. Hal tersebut membuat adat masih terjaga, walaupun terjadi perubahanperubahan yang mengikuti perkembangan zaman tapi tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada hari Jum’at 29 juni 2018, saya berkesempatan melihat acara manyaratuih hari di daerah Parak Anau, Kelurahan Tanah Garam. Kala itu saya mendapatkan informasi dari Angah (panggilan untuk saudara kandung Ibu yang perempuan) saya bahwa ada acara menyaratuih hari di sana, kebetulan sekali kami masih memiliki karib kerabat dengan keluarga yang berduka. Pada saat itu Angah menggunakan baju kurung basiba dengan tingkuluak tanduak. Cukup unik saya lihat ketika acara Bakureh tersebut Angah dan beberapa orang berpakaian berbeda dari yang lainnya. Saat itu orang-orang disana hanya berpakaian baju kaus panjang dengan memakai Jilbab dan dilengkapi kain–kain atau biasa juga disebut Kain Sampiang atau serong. Beliau ikut bergabung dengan yang lain memasak di halaman rumah dan juga berbicara satu sama lainnya. Setelah saya tanya-tanya Angah merupakan urang sumando atau keluarga ipar. Sama seperti yang dijelaskan oleh Bundo Kanduang sebelumnya, Angah juga membawa gantuang-gantuang dan katidiang yang berisi kue dan beras. Sebelum acara dimulai, saya meminta izin kepada pemilik rumah untuk melihat lihat. Saat saya mulai memasuki rumah disana saya melihat ada bambu panjang yang digantung di tengah-tengah rumah untuk tempat meletakkan gantuanggantuang yang dibawa oleh Urang Sumandan. Gantuang-gantuang itu memilki motif yang berbeda-beda sesuai dengan kreatifitas orang yang membuatnya, dengan corak warna warni gantuang-gantuang itu sangat elok dipandang. Di sudut rumah, saya juga melihat adanya gulungan kasur yang telah dilapisi Kain Putih, di atasnya ada payung, lamang yang telah dibungkus dengan kertas minyak dan tebu, setelah saya tanya ternyata namanya adalah “baka”. Setelah dijelaskan oleh Angah, baka itu seperti sebuah bekal dan nantinya akan diserahkan kepada Buya sebagai simbol 59
karena telah membantu dalam proses manyaratuih hari. Tidak hanya itu, di sebelahnya, saya menemukan sebuah bungkusan kain putih, ia biasa disebut buntia. Buntia ini juga bagian dari baka, di dalamnya terdapat sebungkus nasi, beras dan uang. Uang yang diberikan biasanya berjumlah Sepuluh Ribu Rupiah. Kemudian di luar buntia itu diikat Pisang dan limun. Baka tersebut merupakan tanda pemberian dari yang meninggal, baka juga dilengkapi dengan pakaian orang yang meninggal. Biasanya pakaiaan yang diberikan adalah baju sapatagak (satu stel) dari atasan sampai bawahan, kalau laki-laki ditambahkan dengan sajadah, peci dan kain sarung, sementara perempuan hanya dengan mukenah dan sajadah saja. Itulah baka yang akan diberikan kepada orang siak atau buya. Saat saya melihat-lihat isi rumah cukup menarik, kesannya luas, walaupun sebenarnya rumah tersebut tidak terlalu luas. Di dalam rumah dibentangkan karpet, tidak ada perabotan rumah tangga di dalamnya, kecuali lemari besar yang sulit untuk dipindahkan dan meja tempat meletakkan baka. Di tengah rumah gantuang-gantuang dibiarkan begitu saja, satu persatu gantung-gantung mulai memenuhi bambu yang di tengah rumah, hal tersebut dikarenakan orang yang datang silih berganti membawa bawaannya. Sementara itu di luar rumah ibu-ibu terlihat sibuk memasak bersama. Pada saat acara manyaratuih ini semua yang duduk di atas rumah adalah kaum laki-laki, bahkan yang menyajikan makanan juga laki-laki, atau biasa di sebut juga dengan janang. Sebelumnya saya juga sempat bertandang ke tempat orang bakureh di acara baralek (pesta pernikahan), karena kegiatan bakureh ini berdempetan dengan acara manyaratuih hari. Saya tidak bisa berlama-lama duduk dan menyaksikan orang di sana. Tapi cukup menarik bagi saya dari ekspresi wajah yang tampak dan juga dari kegiatan ibu-ibu di sana. Ibu-ibu tampak saling bergurau dan juga berbincang-bincang tentang banyak hal, saya tidak tahu pasti apa obrolan mereka, yang saya tahu mereka seperti menikmati acara bakureh. Lain hal dengan ibuibu yang bakureh di acara manyaratiuh, kegiatannya tidak terlalu heboh. Ibu-ibu di sana tetap berbincang-bincang tapi saya tidak menemukan ada yang tertawa
60
lepas seperti di acara baralek. Tentu saja berbeda bathin saya, yang satu dalam rangka kehilangan anggota keluarga sementara yang lain dalam rangka kehadiran anggota keluarga yang baru. Saya sadar betul walaupun namanya tetap sama-sama bakureh, dalam konteks waktu dan keadaan yang berbeda tentu juga mempengaruhi perbedaan perlakuan pada saat kegiatan. Bakureh saat acara baralek adalah dalam keadaan kebahagian, dimana keluarga akan mendapatkan anggota baru. Sementara kematian adalah wujud dari kehilangan yang mendalam, dimana anggota keluarga berkurang dan pergi selamanya. Persamaannya hanya satu, manusia saling memikul tanggung jawab bersama, baik itu suka maupun duka dan inilah wujud dari sifat asli manusia yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat saling bergantung satu sama lain, untuk itu Durkheim membagi tipe solidaritas sosial berdasarkan tipe masyarakatnya. Dimana dalam hal ini Durkheim dengan pendekatan kolektifitasnya mengenai masyarakat membagi solidaritas kedalam dua tipe yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas pada dasarnya merujuk pada satu keadaan hubungan antara individu atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama (Doyle Paul Johnson,1986:181). Solidaritas mekanik terbentuk atas dasar kesadaran kolektif bersaman (collective consciousness and counscience) yang merujuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment bersama yang rata-rata terdapat pada warga masyarakat tersebut. Ciri khas dari solidaritas ini didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam hal kepercayaan, sentiment dan sebagainya. Solidaritas ini memiliki hukum yang bersifat menekan (repressive) yang mengikat aggotannya, yang mana bila ada perilaku salah satu warganya yang dianggap menyimpang maka akan diberi sanksi yang tegas (Doyle Paul Jhonson, 2004:128). Sedangkan solidaritas organik ditandai dengan kompleksitas sosial yang muncul akibat adanya pembagian kerja yang bertambah besar dengan didasarkan pada tingginya tingkat saling ketergantungan. Saling ketergantungan ini muncul akibat bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja yang memungkinkan bertambahnya perbedaan diantara individu. Perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian membuat kesadaran kolektif pada solidaritas ini menjadi kurang penting. Solidaritas mempunyai hukum yang bersifat memulihkan (restitutif) dimana hukuman yang diberikan sesuai dengan parahnya pelanggaran yang dilakukan (Doyle Paul Johnson, 1986 : 183). Masyarakat di lingkungan saya bisa dikategorikan ke dalam solidaritas mekanik menurut Durkheim, yang ciri-cirinya biasa ditemukan pada masyarakat pedesaan. Karena masayarakat di Banda Panduang termasuk ke dalam masyarakat yang homogen, dimana tidak banyak variasi atau keberagaman masyarakat yang hidup di sana. Masyarakat yang mayoritas beragama Islam, bermata pencarian bertani dan berdagang. Menjadikan solidaritas masyarakat di sini masih kuat. Bahkan dalam proses kematian yang terjadi di sana. Semua masyarakat ikut andil dalam setiap prosesnya dan semua dikerjakan menurut agama dan adat yang diyakini. 61
Seperti kata Durkheim agama berasal dari masyarakat itu sendiri dan masyarakat itu sendiri yang menginterpretasikan tentang tuhan yang diyakini sesuai dengan idealismenya. Manusia selalu membedakan mengenai hal-hal yang dianggap sakral dan hal-hal yang dianggap profane atau duniawi. Durkheim juga menyatakan bahwa, agama merupakan perwujudan dari collective consciousness (kesadaran kolektif). Terminologi conscience dalam bahasa perancis berlaku untuk hati nurani (conscience) maupun kesadaran (consciousness). Ini bukan ekspresi dari kesadaran individual, tetapi sesuatu yang objektif yang terbangun menurut aturan hukum tersendiri. Dengan mengembangkan kesadaran kolektif, moralitas kita menjadi universal (Joseph, 2005). Idealnya spontanitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat merupakan konsensus bersama yang telah menjadi tradisi atau adat, dan didapatkan melalui pengalaman dan pendidikan. Kematian seolah adalah hal yang paling ditakutkan oleh manusia, kematian adalah kehilangan terbesar dalam hidup. Perbedaan Perlakuan Terhadap Pemuka Adat Tatanan sosial masyarakat memang tidak terlepas dari strata atau pelapisan, baik secara hierarki ataupun secara horizontal. perbedaan-perbedaan yang terjadi di masyarakat menambah variasi serta kekhasan masyarakat itu sendiri. Sistim pelapisan ini tanpa sadar mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak maupun berperilaku dengan seseorang yang lainnya. Stratifikasi soisal yang ada di Sumatera Barat tidak jauh berbeda dengan di daerah lainnya. Di Minangkabau sendiri cara bertindak dan bertutur kata kepada orang lain telah lama diajarkan sesuai dengan Kato Nan Ampek yaitu kato mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato mandata. Kato mandaki biasa dipakai saat berbicara dengan orang yang lebih tua, Kato manurun dipakai ketika berbicara dengan orang yang muda atau adik, Kato mandata untuk orang sama besar atau teman, sementara kato malereng biasa dipakai saat berbicara dengan mamak. Kato Nan Ampek seringkali saya dengar semenjak duduk di bangku SD. Kato Nan Ampek itu sendiri sering dijadikan acuan saat berhadapan dengan seseorang. Saya juga pernah mendengar dahulu ketika teman saya yang paling nakal dimarahi oleh senior katakanlah begitu, karena orang tersebut memang lebih besar dari teman saya, “Yo ndak bataratik ang mangecek do mah yuang, pakai Kato nan Ampek tu stek�. (Kamu bicara tidak ada tata tertibnya, pakailah Kato Nan Ampek). Dahulu saya sempat berfikir apa maksudnya, seiring berjalannya waktu saya jadi paham kenapa Kato Nan Ampek ini sangat penting. Posisi dan peran memang sangat mempengaruhi bagaimana kita bertindak kepada seseorang, contohnya saja ketika kita sebagai anak akan berbeda cara kita berhadapan dengan kakak kita. Ketika kita berada di rumah kita boleh-boleh saja becanda dan menghormati kakak sebagai seorang kakak, tapi akan berbeda halnya dengan di kantor, ketika kita menjadi atasan tentu sang kakak akan hormat kepada kita sebagai atasan. Itu baru sedikit saja perbedaan kedudukan atau posisi, belum lagi di Minangkabau hubungan karib kerabat yang jelas akan memiliki aturan yang lebih kompleks lagi. 62
Bagaimana berhubungan dengan mamak, kamanakan, urang sumando, anak pisang dan lain sebagainya. Menurut Durkheim, walaupun kita mungkin menganggap dapat memilih perilaku tertentu untuk berhadapan dengan orang lain, dalam realitasnya pilihan itu sebenarnya sudah disediakan untuk kita. Durkheim menekankan pandangan bahwa pikiran dan pengalaman sekalipun itu diwariskan, tidak ditemukan. Keyakinan dan praktik keagamaan itu sudah ada jauh sebelum ia lahir kedunia, ini artinya mereka mempelajarinya. Seperti kegiatan sosial lainnya. Keyakinan dan praktik agama di strukturkan oleh masyarakat dan oleh posisi orang-orang di dalamnya. Posisi datuak di Minangkabau yang begitu dihargai membuat perbedaan perlakuan baik itu secara ucapan maupun pebuatan. Datuak adalah symbol dari Minangkabau itu sendiri, dimana pengambilan keputusan biasanya dilakukan oleh para datuak. Bahkan perhelatan pengangkatan datuak dirayakan dengan meriah. Akan ada pembantaian kerbau pada saat pengangkatan Datuak tersebut Saat datuak itu sendiri yang mengalami kematian tidak ada upacara special pelepasan sang datuak, hanya saja ada sedikit perbedaan yang ditemukan pada saat manyaratuih hari. Saat prosesi manyaratuih hari seorang datuak tersebut Si Pangka (tuan rumah) akan menyediakan kerbau yang akan disembelih. Sama saat datuak mendapatkan gelarnya dengan memabantai Kerbau, maka pada saat manyaratuih hari juga akan ada pembantaian kerbau. Walaupun ada ditemukan keluarga datuak yang tidak berkecukupan untuk membantai kerbau, biasanya akan diusahakan oleh kerabat sekaum yang memiliki hubungan yang dekat dengan datuak. Datuak adalah orang yang sangat dihargai dan dipandang di dalam masyarakat, artinya kepergian datuak pun akan dihantar dengan sakral Ada satu kegiatan yang menarik menurut saya yang membedakan datuak dengan masyarakat biasa yakni mamijak kain putiah. Kain putih dibentangkan dari halaman rumah hingga depan pintu masuk, kemudian kain itu akan diinjak injak oleh anak pisang. Cerita berbeda saya dapatkan saat saya mengunjungi keluarga salah seorang anggota Komunitas Gubuak Kopi: Riski, di Koto Baru, Kabupaten Solok. Saat itu sore hari, saya dan teman-teman yang terlibat dalam Bakureh Project berencana mencari informasi tambahan tentang tradisi bakureh. Kami bertemu kakek dari Riski, ia menjelaskan bahwa tradisi manujuah hari dan manyaratuih hari sudah jarang dilakukan di sana, kalaupun ada itu sangat sedikit sekali. Menurut kakek, mungkin karena mubazir. Ia menjelaskan terkait tradisi manujuah dan manyaratuih dengan mengumpamakan pada dirinya sendiri. Terdapat sepasang suami istri atau kakek dan nenek, lalu tiba-tiba kakek sakit dan kemudian meninggal dunia. Baru beberapa minggu kakek berpulang si nenek mengadu kepada mamak (paman) nya bahwa dia ingin menikah lagi. Lalu mamak akan menjawab dengan tegas bahwa kau belum lama ini ditinggal suami, belum sampai masa idah untuk kembali menikah. Jadi ditunggulah seratus hari lagi, sehingga masa Idah itu berakhir. Tradisi itu, ternyata juga menjadi penanda waktu. Di lain cerita, tradisi ini muncul juga berkaitan dengan adab melepas kematian, seperti mengembalikan proses kelahiran. Suatu hari saya juga bertemu Pak Uwo WAr. Rumahnya tidak terlalu jauh dari 63
rumah saya, hanya beberapa menit menggunakan motor. Ketika yang meninggal adalah seorang niniak mamak atau datuak biasanya menggunakan kain pijak-pijak. Kain itu dibawa oleh anak pisang yang kemudian dibentangkan dari pintu hingga ke tepi jalan. Ketika membentangkan kain ini haruslah anak pisang yang melakukannya bahkan tuan rumah pun dilarang memasangkanya. Tujuan dibentangkan kain ini sebagai tanda bahwa pada saat mangaji atau manyaratuih hari akan membantai Kerbau. Beliau juga menjelaskan jika seorang Niniak Mamak meninggal dunia kemudian tidak ada penerus, atau bisa dikatakan punah maka akan ada kegiatan melemparkan Kuali atau Pariuak dari dalam rumah ke halaman. Setelah mayat dikubur ada namanya upacara marawak, yaitu pidato untuk menggantikan gelar orang yang meninggal. Di sana akan dibahas tentang ahli waris dari datuak yang meninggal dan siapa yang akan mengurus sawah abuan. Sawah abuan atau sawah uru haro, merupakan pusako tinggi (harta pusaka kaum) yang tidak boleh digadai atau dijual. Sawah ini digunakan untuk keperluan kaun, misalnya dalam membeli kerbau untuk upacara manyartuih tadi. Setelah selesai acara dikuburan ada yang namanya maantaan anak. Anakanak datuak diantar oleh anak pisang, dengan membawa beras yang dibungkus dengan kain putih atau kain kafan. Diatas bawaan ada yang namanya kain sirah, pemberian kain sirah itu diberikan kepada niniak mamak suku. “ka ganti apak yang maningga� (pengganti ayah yang meninggal dunia) atau yang akan menjadi pengganti dari datuak. Artinya orang yang mendapatkan kain sirah akan dianggap Ayah dari anak-anak datuak yang meninggal tersebut. Setelah mayat dikubur akan ada kegiatan takziah selama tujuh hari penuh. Setelah selesai tujuh hari penuh atau mengaji barulah mengaji atau takziah tiap hari kamis atau biasa disebut patang kamis selama seratus hari lamanya. Setelah hampir beberapa lama akan diadakan acara basuduik ketek. Acara ini membahas tentang persiapan upcara menyaratuih hari kematian datuak. Yang dibahas yaitu biaya dan segala hal yang berkaitan dengan tata cara. Setelah itu, dilanjutkan basuduik gadang. Di sini akan diadakan prosesi bajamba gadang. Suku-suku besar di dalam kaum diundang dan kemudian dihadiri oleh keluarga kemalangan. Pada saat hari basuduik gadang akan ditentukan hari untuk duduak-duduak (duduk-duduk atau berkumpul diskusi). Setelah itu acara duduak-duduak dilakukan untuk mencari “hari yang elok� atau hari yang baik untuk upacara manyaratuih hari. Acara ini di maksud agar tidak ada berdempetan dengan acara manyaratuih hari yang lain. Setelah hari baik telah di tentukan maka akan diadakan basuduik suku. Basuduik Suku ini memanggil Suku Nan Sambilan, Panghulu Nan Duo Baleh semua Niniak Mamak se Kota Solok. Urang sumandan mambawa nasi lamak ketika duduak-duduak. Ketika acara inilah hari mangaji di tentukan. Ketika hari sudah didapatkan bersama, barulah ada yang namanya Mamangia. Orang yang Mamanggia akan memakai pakaian hitam dan deta cincin, bagi perempuan memakai baju hitam Basingguluan Bajalan Kaki Baok Payuang, dan payung tersebut tidak boleh dibuka. Setelah selesai mamanggia, orang yang mamanggia akan ditunggu oleh Niniak Mamak, di sana akan melaporkan siapa saja yang telah panggil dan siapa yang belum. 64
Sehari sebelum acara manyaratuih hari akan diadakan Malamang atau membuat masakan lamang. Ketika menyaratuih hari itu tiba, urang sumando membawa gantuang-gantuang. Kemudian nanti dibagikan kepada orang yang hadir manyaratuih tersebut. Kalau banyak yang membawa gantung-gantung berarti semua orang yang datang akan mendapatkannya, tapi kalau gantuang-gantuang yang dibawa sedikit, maka akan ada yang tidak mendapatkannya. Gantuanggantuang tidak boleh ditambah, karena seperti kata Pak Uwo “dima putuihnyo�, untuk itu namanya gantuang-gantuang. Artinya gantuang-gantuang akan dibagikan kepada yang datang sampai barang itu habis dan tidak ada penambahan. Kemudian dihari saratuih itu dipanggil lagi gelar datuak yang meninggal tadi sama seperti pidato di tanah merah atau pas dikuburan. Perbedaannya dengan orang biasa tidak ada basuduik seperti datuak dan tidak harus membantai Kerbau. Kemudian sama seperti informasi yang saya dapatkan sebelumnya ada yang namanya baka yang akan diserahkan kepada urang siak. Setelah selesai urang siak akan turun membawa gantuang-gantuang dan payuang saja, sementara Baka yang lain akan dihantar oleh orang lain ke rumah urang siak tersebut. Payung akan dibuka atau dikambangan, dan baru boleh dikuncup saat sudah jauh dari tempat acara tersebut. Menurut Pak Uwo maknanya payung yang harus dikembangkan itu menandakan tentang hidup agar orang yang ditinggalkan tetap sehat dan hidup, karena makna dikambangan itu adalah makna hidup, dan kuncup adalah makna kematian. Dalam hal kematian terkadang banyak sekali ditemukan hal-hal yang mungkin di luar akal sehat manusia, tetapi masih sangat mungkin dipakai atau dipercayai oleh masyrakat. Banyak sekali saya dengar hal-hal aneh misalnya, setelah melihat orang meninggal, kita dituntut untuk mandi kembali dan ketika ada mayat yang meninggal tidak wajar maka arwahnya akan gentayangan, juga banyak sekali mitos-mitos orang yang meninggal dan terkadang membuat bulu kuduk merinding. Saya sempat bertanya tentang hal-hal tabu yang dilakukan saat di tempat kemalangan kepada Tek Adiak yang kebetulan waktu itu saya berbelanja di warung beliau. Waktu itu beliau tidak banyak menjelaskan katanya tidak terlalu banyak pantangan, tapi terkadang ada saja masyarakat yang mengatakan tidak boleh makan atau minum di tempat orang kemalangan, hal tersebut dikarenakan akan membuat perut menjadi kembung atau sakit. Walaupun sebenarnya hal ini belum tentu benar karena hal tersebut tidak pernah dibuktikan sebelumnya dalam penelitian. Memang tidak mudah menghilangkan prasangka-prasangka negatif apalagi yang berhubungan dengan kematian. Pak Uwo War menjelaskan, sebenarnaya hal-hal tersebut tak lebih dari larangan-larangan yang disampaikan dengan cara yang lebih ampuh. Menurut beliau pantangan tak lebih dari pameo-pameo orang saisuak atau orang-orang zaman dahulu. Seperti contohnya, “malam-malam ndak buliah mambali panjaik beko ditanduak dek kabau� (malam hari tidak boleh pergi membeli penjahit, nanti disundul sama Kerbau). Padahal itu sebenarnya larangan agar tidak keluar malam atau sama seperti “ndak buliah basiu-siua pas malam beko tibo ula�, artinya (jangan bersiul malam hari nanti datang ular). Begitu pula dalam kematian, hal tersebut dimaksudkan agar orang lain 65
66
lebih peduli, karena seseorang sedang kehilangan orang yang dicintainya, maka sangatlah diharapkan untuk menjaga etika dan juga sopan santun. sangat tidak patut orang-orang tertawa keras ketika orang lain kehabisan air mata begitu juga sangat tidak pantas kita makan banyak di dekat seseorang yang bahkan mengisi perutnya saja tidak ingin. Hal tersebut akan dirasakan ketika benar-benar kehilangan. Seperti kata Buya Khairani sebelumnya “urang manangih awak tabah�, beban kematian sangat meninggalkan duka yang mendalam bagi orang yang dikasih. Olva Yosnita Solok, Juli 2018
67
BATAGAK PANGULU NURUL HAQIQI
GEMA TAKBIR MASIH MENEMANI kicauan burung pada pagi hari. Menemani gelak tawa kebahagiaan masyarakat di perkampungan ini, Sungai Jariang. Suasana kemenangan masih sangat nyata dirasakan, setiap adzan berkumandang di Mushalla, masyarakat masih berbondong-bondong untuk melakukan shalat berjamaah. Setiap rumah akan ada aneka kue yang dimasukan dalam toples dan diletakkan di ruang tamu. Bagi tamu yang datang akan disuguhkan juga minuman yang tidak biasa disuguhkan bila bertamu sehari-hari. Ditambah anak-anak kecil berlarian memakai pakaian rapi, mendatangi setiap rumah, berharap si tuan rumah memberikan uang saku kepada mereka. Di kampung ini anak-anak yang pergi ke rumah-rumah tersebut di sebut manambang. Entah sejak kapan tradisi minta ‘THR’ itu muncul di perkampungan ini. Melihat mereka seperti ini membuat saya tersenyum tipis, mengenang semasa kecil yang dahulunya juga ikut pergi manambang ke rumah-rumah di kampung ini. Bagi urang rantau (orang-orang yang pergi merantau) dan pulang ke kampung, akan merasa bangga memberikan sedikit uang saku kepada anakanak yang pergi manambang. Suasana ini akan tetap terasa hingga satu minggu ke depan. Sampai masyatakat kembali disibukkan dengan aktivitas seperti sebelumnya, sampai anak-anak kembali bersekolah, dan sampai urang rantau kembali ke perantauannya. Malam harinya sembari menunggu jadwal isya, bapak bertanya seputar tradisi bakureh di Solok, yang sebelumnya pernah saya ceritakan sewaktu memohon izin hendak mengikuti lokakarya di Komunitas Gubuak Kopi (Solok) dalam agenda Bakureh Project. Sebuah penelusuran kreatif dari sejumlah perempuan muda terkait tradisi gotong royong, di Solok tradisi ini disebut bakureh. Tradisi bakureh yang saya pahami saat ini adalah suatu tradisi gontong royong memasak yang dilakukan oleh kaum ibu-ibu dalam rangkaian perhelatan akan suatu upacara. Tapi di satu sisi bakureh tidak hanya memasak-masak saja, dari riset bersama kawan-kawan, gontong royong untuk kepentingan nagari juga bisa dikatakan bakureh, dan gotong royong lainnya. Di suatu daerah, bakureh akan dimaknai dalam dengan pekerjaan yang diberi upah. Saya juga menjelaskan 68
hasil materi yang diberikan oleh beberapa orang pemateri yang didatangkan oleh fasilitator Komunitas Gubuak Kopi, dan tidak lupa juga menceritakan pengalaman saya bertemu dengan pelaku-pelaku bakureh di lapangan yang kemudian dituliskan. Saat ini dengan bantuan bapak, saya menemui beberapa orang narasumber untuk kembali menuliskan perhelatan yang di dalamnya terdapat unsur-unsur bakureh itu sendiri. Di sini, di kampung saya, tepatnya di Jorong Sungai Jariang, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Nagari Koto Panjang tempat saya dulu diajarkan agama oleh antan (kakek) dan nenek menjadi pilihan saya. Kampung terpencil yang tidak begitu luas, tetapi mempunyai banyak cerita. Permainan anak nagari yang masih bisa kita lihat di beberapa titik, namun di sisi lain ia juga tidak bisa mengelak dari era yang serba instan ini. Jorong Sungai Jariang dibagi menjadi beberapa daerah kecil, di antaranya Kampuang Parak, Sungai Jariang, Pariantang, Jambak Tangah, Kelok, Patapaian, Bukik Lado Katiak, dan Tabiang Runtuah. Berangkat dari penamaan Sungai Jariang ini sendiri, bagi anak-anak 90an biasanya diceritakan oleh orang tua jorong ini sebuah kisah: pada zaman dahulunya aktifitas masyarakat Jorong Sungai Jariang adalah berburu Kijang di sungai. Perburuan ini menggunakan jaring yang kemudian dalam bahasa Minang disebut Jariang. Para orang tua di kampung ini membenarkan legenda tersebut, yang mana dahulu di Jorong ini terhampar sungai yang luas, tetapi pada saat ini Jorong ini tidak terlihat sama sekali adanya sungai yang luas, kata orang tua di sini sungainya sudah ditutup guna untuk pembangunan rumah-rumah. Cerita lain penamaan Sungai Jariang, berawal dari perdebatan suami istri suatu keluarga tentang permasalahan air, tanpa sengaja si istri mengatakan “ Di sungai jari ang?” (ang dalam bahasa Indonesianya dapat diartikan kamu, tetapi diucapkan kepada lakilaki. Yang saya pahami maksud dari si istri itu adalah “ Di sungai jari, kamu?” tetapi di bahasa Minangkabau “jari- ang” bisa diartikan ‘jari kamu’, tapi kalau katanya disambung menjadi ”Jariang” artinya berubah menjadi Jaring, atau bisa berubah 69
makna lain. Karena jariang itu juga bisa mengukapkan nama sebuah hasil alam, yang dalam bahasa lain disebut Jengkol. Lain halnya dengan cerita dari Inyiak Safril Indo Marajo (di sini ia lebih di kenal dengan Inyiak Mance), salah seorang tetua di Jorong ini yang sudah pernah merantau berpuluh-puluh tahun ke negeri seberang. Inyiak Mance yang saya temui beberapa hari yang lalu mulai bercerita mengenang tentang sejarah yang sudah dianggap tidak penting lagi oleh beberapa orang pemuda-pemudi Jorong ini, sembari menyeruput teh talua (Teh Telur) Inyiak mulai bercerita dan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Pada dahulunya Nagari Jorong Sungai Jariang ini terbagi menjadi empat wilayah yaitu Baruah, Lurah Naro, Pincuran Gadang, dan Rakik. Tetapi sekarang sudah berkembang karena masyarakat Jorong ini semakin padat. Menurut beliau masyarakat Sungai Jariang ini asalnya dari Jorong Nagari Sianok. Pada tahun 1700-an ada enam suku yang dipimpin oleh kapalo suku untuk manaruko sawah (membukak lahan untuk pertanian) ke suatu negeri (yang hari ini disebut Jorong Sungai Jariang). Pada zaman itu terbentuklah Duo Puluah Limo Urang Niniak mamak (dua puluh lima orang Niniak mamak) yang terdiri dari enam suku, untuk kemudian setelah bermufakat dengan Jorong Nagari Sianok, barulah kaum-kaum enam suku dipimpin oleh duo puluah limo urang niniak mamak kini bermigrasi ke Jorong Sungai Jariang. Tidak terlupakan Inyiak Mance juga menjelaskan tentang enam suku ini beserta jumlah niniak mamak. Enam suku ini terdiri dari Tanjuang dengan niniak mamak sebanyak delapan orang, Sikumbang dengan niniak mamak sebanyak enam orang, sedangkan Guci, Koto, Salayan mempunyai niniak mamak masing-masing tiga orang, dan Caniago, Singkuan mempunyai niniak mamak masing-masing seorang saja. Jika ditotalkan Jorong Sungai Jariang mempunyai enam suku dengan dua puluh lima orang niniak mamak. Perihal jumlah niniak mamak dalam satu suku itu pada dahulunya adalah hasil kesepakatan satu suku kaum dan untuk kemudian dipatuhi sampai saat ini. Berkaitan erat dengan tambo di Minangkabau. Obrolan saya dengan Inyiak Mance di lapau (warung tempat ngopi) sepertinya menarik beberapa orang yang pada awalnya hanya sekedar membeli rokok, atau sekedar lewat saja. Beberapa apak-apak (bapak-bapak) juga ikut duduk bersama saya dengan Inyiak Mance, apak-apak yang tadinya hendak bermain domino pun mendadak membatalkan niatnya, dan ikut mendengarkan cerita dari Inyiak Mance. Terkadang keluar celoteh-celoteh yang membuat apak-apak ini tertawa, yang jujur tidak begitu saya pahami. Kembali ke obrolan saya dengan Inyiak Mance. Beliau menjelaskan adat yang kita pakai di Jorong ini adalah adat yang diturunkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang mempunyai istri dari India bernama Puti Sari Gangga. Secara silsilah, keluarga dari Datuak Parpatiah Nan Sabatang ini dahulunya adalah penasihat dari raja, mempunyai sifat segala sesuatu dimusyawarahkan, disebut adaik urang anam suku (adat orang enam suku). Karena itulah di Jorong ini segala sesuatu tidak bisa disepakati begitu saja, salah satu contonya pengangkatan seorang datuak di satu kaum, akan dimusyawarahkan terlebih dahulu. Sebelum pertemuan saya dengan Inyiak Mance, pertemuan singkat saya 70
dengan Bapak Chaidir Datuak Kayo seorang datuak dari kaum suku Tanjuang, telah menjelaskan secara garis besar tentang alek datuak atau disebut juga dengan alek nagari atau alek batagak Pangulu (perhelatan besar suka ria yang dirayakan satu Jorong). Alek batagak pangulu adalah satu resepsi perhelatan bagi suatu kaum untuk mengangkat pemimpin di suatu suku, yang dilaksanakan dengan cara kerjasama. Seluruh lapisan masyarakat wajib untuk bekerjasama dalam perhelatan ini, terutama bagi anak kemanakan (disebut anak buah) minimal 4-5 orang yang diutus oleh niniak mamak setiap suku di Jorong ini, terkecuali mereka yang memang dalam keadaan yang sangat tidak memungkinkan untuk ikut serta. Adapun langkah-langkah secara garis besar yang dijelaskan oleh Datuak Kayo untuk alek pangulu ini adalah langkah pertamanya adalah turun dipakai-i induak bako, lalu dibaok ka balai adaik untuk dipasambahkan oleh duo puluah limo urang niniak mamak, dipertimbangkan dan dimusyawarahkan terlebih dahulu apakah calon datuak ini sudah pantas untuk mengayomi suatu kaum. Kalau seumpama seluruh niniak mamak sudah sepakat dan calon datuak ini sudah dianggap mencukupi persyaratan dan kesiapan barulah diadakan mandabiah kabau (menyembelih kerbau). Kesepakan Niniak mamak ini disebut Bapati sedangkan baralek dengan membantai kerbau disebut baambalau. Setelah mandabiah kabau barulah datuak tersebut bisa dikatakan resmi. Untuk baralek mandabiah kabau akan dikerjakan oleh kaum laki-laki, anak buah dari Duo Puluah Limo Urang Niniak Mamak ini. Mulai dari mendirikan palehpaleh (dangau-dangau untuk dapur tambahan) menyembelih kerbau, memasak gulai, sampai manatiang (menghidangkan) dan menyiapkan jamba (makan bersama dalam satu wadah besar berbentuk lingkaran). Sedangkan kaum perempuan istri dari Duo Puluah Limo Urang Niniak mamak akan membawa nasi dari rumah masingmasing sebanyak Duo Katidiang Basaok (dua keranjang anyam yang ada tutupnya). Lauk yang akan dihidangkan hanya ada dua macam saja yaitu gulai kabau dengan campuran nangka dan gulai kabau dengan campuran kacang dan sampai saat ini tetap dipertahankan. Perihal ini menurut Inyiak Mance menyimbolkan contoh kesederhanaan datuak ini kepada anak kamanakan. Dan untuk makan bajamba kembali ke penjelasan Datuak Kayo, dalam satu jamba terdiri dari enam, menyimbolkan bahwa di Jorong Sungai Jariang ada enam suku kaum yang hidup berdampingan, dan saling tolong menolong. Pertemuan dengan Datuak Kayo memang sangat singkat, bukan karena beliau tidak nyaman bertemu saya, tapi memohon izin dikarenakan ada amanah yang harus dilaksanakan, dengan sopan saya meminta untuk hari besok bisa bersilaturrahmi kembali dengannya, lapang dada ia menyanggupi permintaan saya. Pada hari yang sama itulah tanpa sengaja saya berjumpa dengan Inyiak Mance di lapau, pertemuan saya dengan Inyiak Mance ditutup dengan nasehatnasehat untuk tetap menjaga adat istiadat dalam menyikapi kehidupan yang serba modern ini. Pandangannya lurus memandang ke depan, seakan kembali berhayal bagaimana kehidupan masa kecil, ia sempat menyinggung dahulu sewaktu kecil, 71
jangankan untuk memandang mata mamak, melihat mamak dari kejauhan ingin rasanya menghindar, bukan karena takut tapi karena rasa segan yang begitu dalam. Tetapi pada saat ini tak seorangpun kamanakan yang seperti itu lagi. Saya bisa melihat sakit beliau menyadari anak kamanakannya terbawa arus modernisasi dan lupa akan adat istiadat, ya, saya tidak bisa mengelak salah satunya. Beberapa hari kemudian saya kembali bersilaturrahmi dengan Datuak Kayo, menyambung kembali obrolan kami tentang alek batagak pangulu. Karena pertemuan saya dengan beliau di lapau daerah Jambak Tangah, tentunya membuat perhatian tersendiri, posisinya hanya saya saja yang terlihat lebih muda di antara mereka, yang mengundang pertanyaan-pertanyan perihal apa saya menemui Datuak Kayo. Setelah saya menjelaskan maksud saya, secara langsung Datuak Kayo membangun obrolan dengan apak-apak di lapau ini. “Samo-samo maagiah men wak eh, kok nan ma nan lupo ambo beko, baa caro mangkek pangulu ko” (sama-sama memberi kita, kalau ada yang saya lupa, bagaimana cara mengangkat pangulu ini). Melihat suasana ini saya tersenyum, teringat pembicaraan saya beberapa hari sebelumnya tentang banyak hal yang dimusyawarahkan di Jorong ini. Hingga untuk menjawab beberapa pertanyaan saya saja, Datuak Kayo dan apak-apak ini pun bermusyawarah, sekilas saya berfikir musyawarah untuk kemudian bisa dikatakana juga bakureh, mungkin. Berawal dari istilah alek batagak pangulu di Jorong ini yang mempunyai penamaan lain yakni mati batungkek budi, maksudnya proses pergantian seorang datuak yang meninggal dunia. Misalnya, di satu kaum ada datuak yang meninggal dunia, kaum tersebut akan mencari penggantinya dengan cara musyawarah. Seumpama ada penggantinya pada hari itu akan langsung diproses untuk upacara adat, tetapi jika tidak ada pada hari itu maka kaum akan mencari calon datuak ini selama dua puluh satu hari. Kemudian baru bermusyawarah untuk upacara adatnya, nah… proses upacara alek batagak pangulu ini lah yang disebut mati batungkek budi tersebut. Prosesnya ketika calon datuak sudah terpilih, ia ini akan menjalani proses awal yang di sebut turun dipakai induak bako. Seperti yang saya sebutkan di atas. Induak bako dalam silsilah keluarga di Minangkabau adalah saudara/saudari kandung orang tua kita. Jadi datuak ini akan dibantu pemasangan bajunya oleh induak bako laki-laki yang terdekat, tetapi ini sudah hasil musyawarah antara induak bako laki-laki dengan induak bako perempuan. Bagi induak bako ketika anak panca (atau anak pisang dalam silsilah di Minangkabau adalah anak dari saudara/saudari kandung) terpilih dan mampu menjadi datuak di kaum, itu adalah suatu kebanggaan tersendiri, sedangkan menjadi pangulu itu tidaklah mudah. Ada hal unik yang terjadi di sini, cara induak bako membawa calon datuak ini kerumahnya, tidak dijemput dengan cara baik-baik tetapi dengan cara dicilok dari rumah bini (diculik dari rumah istrinya), dan dibawa secara diam-diam ke rumah induak bako ini. Di rumah bako ini, calon datuak akan dipasangi baju kebesarannya, setelah itu pangulu ini akan diberi sumpah dengan Al-Quran oleh induak bako. “Kok maukua samo panjang, manimbang samo barek. Tibo di mato indak dipiciangkan, tibo di paruik indak dikampihkan”, (Kalau mengukur sama panjang, 72
73
74
menimbang sama berat. Sampai di mata tidak dipejamkan sampai di perut tidak dikempiskan) ucap salah seorang apak-apak yang juga ikut duduk di lapau. Penjelasannya kira-kira seperti ini, seorang datuak jika sudah resmi tanggung jawabnya sangatlah berat. Harus adil akan segala hal, mempertimbangkan baik buruknya, tidak asal mengambil keputusan dan tidak menutup mata jika ada masalah menghadang. Seorang pangulu juga menjadi tauladan bagi anak kemenakannya. Tidak bisa hanya memikirkan keuntungan pribadinya, tidak bisa hanya memikirkan keluarganya saja, tapi mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi kepada kaumnya. “Tapi dek ambo Mak Datuak, iyo kurang sapakaik jo Datuak nan harus mambuek sumpah ko. Tangguang jaweknyo gadang, bagaji indak. Untuak baralek biaya gadang pulo kakalua. Kok urang pemerintah ko iyo pantas, basumpah. Gaji no gadang, alun no kasangaik mudah untuak korupsi pitih Negara go. Kok Datuak jan kan kakorupsi mamabali rokok sabatang men lai kasampik no� (Tapi bagi saya Mak Datuak, kurang sepakat dengan Datuak yang harus membuat sumpah ini. Tanggung jawabnya besar, digajipun tidak. Untuk perhelatannya memakan biaya yang besar, kalau ia kerja di pemerintah sepertinya pantas, bersumpah seperti itu. Gajinya besar, belum lagi ia sangat mudah korupsi Uang Negara. Kalau datuak jangankan korupsi, untuk membeli rokok sebatang saja susah), sambung apak-apak lain yang duduk dekat sudut meja. Setelah mengucapkan itu apak-apak beserta Datuak Kayo di lapau ini tertawa menyiratkan sesuatu. Sedangkan Datuak Kayo adalah pemimpin kaum suku Tanjuang di Jorong ini. Tentu banyak hal yang sudah dilalui beliau. Kembali ke pokok obrolan, setelah proses dipakai induak bako, calon datuak ini akan dibawa ke balai adat, diiringi oleh saudara kandung dan masyarakat yang sudah menunggu di halaman rumah induak bako. Sebelumnya sekitar tiga hari yang lewat sudah dipanggia (dipanggil) oleh saudara kandung laki-laki datuak ini menggunakan siriah (sirih). Di balai adat, ketua kerapatan adat melakukan sambah manyambah bersama seluruh niniak mamak, bahwasanya ada seorang datuak yang hendak diangkat menjadi pemimpin kaum sukunya. Ketua kerapatan adat dengan sambah manyambah (sembah menyembah) tersebut akan menanyakan pendapat ke niniak mamak yang lainnya apa ada cacek calo (sifat-sifat buruk) pada calon tersebut. Kalau seumpama tidak ada, baru niniak mamak akan mengatakan sah, yang berarti masyarakat juga sudah menerima datuak ini, dan ini disebut bapati. Setelah mufakat selesai di balai adat, Niniak Mamak Nan Duo Puluah Limo Urang akan dihantarkan oleh saudara kandung calon datuak ini menuju ke rumah orang tua beliau, untuk makan berasama. Sebelum makan akan terjai kembali sambah manyambah, begitupun sesudah makan juga terjadi sambah manyambah. Sedikit menyinggung untuk lauk pauk yang disuguhkan kepada niniak mamak, hanyalah masakan yang sederhana saja. Ada lauk pauk yang memakai kuah dan ada lauk pauk yang digoreng, tidak terikat akan aturan-aturan tertentu, masakan yang dihidangkan sesuai dengan biaya yang tersedia. Proses memasaknya pun dilakukan oleh kaum ibu-ibu suku tersebut, yang dipimpin oleh bundo kanduang Jorong ini. Tetapi tidak menutup kemungkinan kalau 75
ada kaum suku lain hendak membantu. Untuk mencari kayu bakar, mendirikan paleh-paleh, menanak nasi dan memasak air kalau kebutuhannya banyak dan harus menggunakan dandang (seperti periuk yang besar terbuat dari alumunium), apak-apak lah yang mengerjakan. Biasanya memasak dilakukan satu hari sebelum acara. Ketika sudah ditutup dengan makan bersama, maka proses untuk saat ini bisa dianggap sudah selesai. Datuak ini sudah diterima oleh masyarakat, tetapi belum bisa dikatakan sempurna, karena proses selanjutnya harus mandabiah kabau, dan mengadakan perhelatan yang besar, yang disebut baambalau. Jika seorang datuak baru sampai tahap bapati, maka beliau belum terlalu bisa didengar oleh masyarakat. Kalau ada pertemuan di balai adat, datuak yang belum baambalau tidak begitu diperhitungkan suaranya, sebab ini lah datuak tersebut dianggap belum sempurna. Datuak yang sudah bapati tidak ditentukan tenggang waktu untuk proses Baambalau, karena ini berkaitan dengan kondisi ekonomi datuak tersebut. Malahan ada yang berpuluh tahun tidak mengadakan perhelatan. Tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk perhelatan ini. Walapun pada dasarnya upacara perhelatan ini semua datuak yang belum baambalau bisa bermusyawarah mengadakan upacara perhelatan secara bersama, dengan cara iuran untuk memperingan masalah biaya. Tetapi jika tidak ada permasalahan dengan kondisi ekonomi, maka datuak ini akan musyawarah dengan kaumnya tentang penentuan tanggal dan persiapanpersiapan yang dirasa perlu. Penentuan tanggal, tidak menjadi permasalahan untuk bulan dan tahunnya, tetapi diwajibkan pada hari Selasa. Menurut Datuak Kayo ini disebabkan dahulunya pasar ternak di gaduang (pasar kota Bukittinggi) hanya ada hari Sabtu, untuk kemudian dihari Minggu digubalokan (digembalakan), dan hari Senin kerbau ini diaarak oleh sipangka (keluarga kandung dan kaum datuak tersebut). Kemudian bisa saya pahami sebagai media informasi ke masyarakat Jorong ini, memberitahukan bahwa ada upacara alek pangulu yang akan diadakan esok harinya. Setelah baarak, Kerbau ini akan didabiah pada sore harinya, bagi yang tidak ikut mandabiah kabau akan mendirikan paleh-paleh. Bagi saya yang mendapatkan informasi seperti ini, sungguh merasa takjub. Melihat apak-apak yang terbilang sudah tua ini menjelaskan secara sabar tahap demi tahap alek batagak pangulu ini, walaupun terkadang saya menanyakan kembali pertanyaan yang sama karena saya tidak paham, beliau-beliau di sini tetap dengan semangat menjelaskannya. Melihat beliau seperti ini membuat saya merasa menyesali kenapa baru hari ini saya bertanya tentang adat istiadat tempat saya diajarkan agama ini. Pemuda-pemudi yang dari tadi lalu lalang di depan lapau inipun tidak begitu memperdulikan obralan saya dengan beliau. Ahhh, mungkin suatu hari nanti saya ingin sekali bercerita dengan mereka seputar adat istiadat di sini, mungkin mereka menyangka obrolan seperti ini tidak penting, sama halnya dengan pemikiran saya dahulu. Selanjutnya setelah didabiah olek kaum laki-laki Jorong ini, pada malam harinya kerbau yang sudah dibersihkan dimasak menggunakan kancah (kuali besar). Ada dua macam masakan yang dimasak oleh kaum laki-laki yakni memasak 76
77
sakancah gulai kerbau dengan campuran nangka dengan penamaan lain yaitu gulai cubadak. “Bagi awak urang Minang ko Gulai Cubadak samo jo samba Adaik atau disabuik juo Kapalo Jamba, induak dari sagalo gulai�, (Bagi kita, gulai cubadak ini sama dengan lauk pauk adat disebut juga kepala jamba, ibu dari semua gulai). Ucap seorang Bapak yang keberatan jika dituliskan nama. Ucapan bapak ini mengingatkan saya pada pembahasan sewaktu lokakarya di markas Gubuak Kopi, perihal di suatu upacara adat, samba randang tidak boleh dihidangkan ke niniak mamak, yang boleh dihidangkan hanyalah gulai cubadak. Mungkin dikarenakan gulai cubadak ini disebut juga samba adaik, selanjutnya disebut juga induak dari sagalo gulai. Ditambah bahan dasar dari randang adalah gulai. Sama halnya dengan niniak mamak adalah seseorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin kaum. Gulai selanjutnya yang akan dimasak adalah sakancah gulai kuniang, gulai kerbau dengan campuran kacang. Selain dua gulai ini, kaum laki-laki juga akan menanak nasi dan air juga menggunakan dandang. Tapi biasanya ini dikerjakan sesudah Shalat Subuh di hari Selasa. Proses masak memasak ini bisa menghabiskan waktu selama tiga sampai empat jam, inilah salah satu perempuan tidak ikut serta membuat gulai ini. Belum lagi, gulai yang dibuat sangatlah banyak menggunakan tenaga yang lebih, yang tidak mungkin perempuan untuk melakukannya. Tetapi walaupun seperti itu, perempuan bukan berarti tidak bekerja. Kaum perempuan biasanya membantu pada hal yang ringan-ringan saja, seperti menggiling cabe, memarut dan memeras santan kelapa, meracik bumbu-bumbu, sampai pada peralatan yang harus dicuci. Biasanya, para perempuan tidak sampai larut malam di tempat memasak ini. Keesokan harinya tepat pada hari Selasa, tamu akan berdatangan memenuhi undangan sipangka, tamu akan disambut di medan bapaneh (halaman). Datuak yang baru dilantik akan duduk di depan bagian tengah berdampingan dengan panungkek, di samping kiri kanan datuak ini berjejer Niniak mamak Nan Duo Puluah Limo Urang, duduk berbentuk setengah lingkaran di atas kursi yang disediakan oleh tim panitia. Upacara ini akan dibuka oleh niniak mamak dengan petata petiti dan akan dibuka secara khusyuk oleh jajaran kampung yang dituakan. Tepat pada jam makan siang barulah Niniak mamak Nan Duo Puluah Limo Urang dan masyarakat masuk ke dalam Medan Nan Balinduang untuk makan siang. Sebelum makan seluruh mamak ini akan Sambah Manyambah terlebih dahulu. Tempat duduk seluruh niniak mamak ini dipisah dengan kaum dan tamu, dan sebelum niniak mamak ini selesai sambah manyambah tidak boleh seorangpun yang memulai untuk makan. Ini sudah menjadi aturan dalam upacara adat apapun dan sampai saat ini masih sangat dipatuhi karena ini berhubungan dengan sopan santun. Setelah makan pun mamak ini akan kembali sambah manyambah, setelah selesai barulah acara untuk siang hari sudah berakhir. Upacara ini berlanjut pada malam harinya di Medan Nan Balinduang dengan Adat Kudo. Adat kudo saya pikir terdapat unsur-unsur lelang sesuatu untuk mengumpulkan biaya dengan cara halus. Kalau lelang yang sering kita saksikan dalam pergelaran-pergelaran tertentu biasanya menggunakan seekor ayam, atau 78
kambing, malahan ada yang memakai cake (kue). Tetapi dalam alek kudo ini cara mengumpulkan biayanya menggunakan istilah Kuda dan Sapi. Niniak mamak akan membuat kesepakatan bahwa harga untuk sapi berkisar Rp. 25.000,-, untuk harga Kuda berkisar Rp.50.000,-. Tapi kata-kata sapi dan kuda di sini hanyalah disebutkan saja, tidak benarbenar ada hewan tersebut. Jadi niniak mamak akan berpacu-pacu menguluarkan biaya, tetapi dengan sebutan kedua hewan tadi. Fungsinya untuk memberikan bantuan kepada sipangka nantinya. Karena biaya yang di keluarkan sangat banyak. Menurut narasumber yang saya temui, pelaksanaan alek kudo ini sangat lama, biasanya bisa sampai menjelang subuh. “yo sabana dingin dulu nasi ko, baru ka salasai alek kudo ko. Baru buliah makan�, (sudah dingin nasi yang dihidangkan, baru selesai acara Alek Kudo ini) jelas Datuak Kayo. Warna Jingga di langit menemani perjalanan saya mengendarai vespa butut. Bertegur sapa dengan beberapa kawan yang satu kelas dijenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) tetapi sekarang sudah menikah dan mempunyai anak. Ya, Jorong Sungai Jariang tidak sedikit yang bersekolah hanya sampai SD saja, tetapi tidak sedikit juga yang sampai kuliah sarjana mungkin ada yang sampai pascasarjana. Dalam perjalanan, kembali teringat perkataan Datuak Kayo tentang lamanya pelaksanaan alek kudo. Saya fikir kalau saya mengikuti alek tersebut mungkin saya akan makan nasi sebanyak-banyaknya di rumah terlebih dahulu. Ya, apapun upacara adatnya, poin pertamanya tidak pergi makan-makan, bukan? tetapi memang untuk bersilaturrahmi dalam menjaga adat istiadat yang sudah dibangun masyarakat sejak dahulunya. Jorong Sungai Jariang, kebanyakan orang mengetahui Sungai Jariang hanya ada berada di daerah Lubuak Basuang yang kebetulan juga sebagai ibu kota kabupaten dari Agam ini. Tapi obrolan yang saya tuliskan bukanlah Sungai Jariang yang berada di Lubuak Basuang, melainkan Sungai Jariang kampung kecil yang memproduksi karak kaliang (sebagian masyarakat kota menyebutnya kerupuk delapan-delapan, ada juga yang menyebutnya kerupuk sanjai). Jorong yang akan dilewati jika kita hendak ke daerah Danau Maninjau, kalau kita dari arah Simpang Ngarai, Kota Bukittinggi. Apak-apak di sini beranggapan bahwa dahulunya masyarakat di sini memang membukak lahan ke daerah Lubuak Basuang tersebut, mempunyai anak dan berkembang di sana. Memang banyak kesamaan di sini dengan Sungai Jariang di Lubuak Basuang, salah satunya mesjid yang mempunyai nama yang sama dengan mesjid di sini, yaitu Mesjid Jami’ Sungai Jariang, tetapi tentu tidak sedikit pula perbedannya. Tentu saja perihal ini tidak bisa dibenarkan begitu saja, mungkin ada waktunya saya akan pergi ke Jorong Sungai Jariang, Lubuak Basuang. Hendak bersilaturrahmi dengan karib kerabat di sana. Nurul Haqiqi Bukittinggi, Agustus 2018
79
MEMAKNAI ULANG BAKUREH ANISA NABILLA KHAIRO
Dia dikenal sebagai seorang budayawan. Aku percaya. Ia pakai topi seperti ‘orang lama’, topi yang dibaluti ijuk mengerucut ke atasnya. Batiknya kuning emas mencolok mata. Setiap awal penyampaian kajian ia selalu memanaskannya dengan sebuah pantun lama. Mak Katik, orang-orang memanggilnya. Singkatan dari kata ‘mamak’ di depan nama asli beliau; Musra Dharizal Katik Rajo Mangkuto. Dari intonasi bicaranya, Mak Katik terlihat bersemangat menyampaikan pengetahuan seputaran budaya yang berlaku di alam Minangkabau. Sesekali Mak Katik berdendang, tak lupa ia menyuruh kami menyimak kata-kata yang baru saja disampaikannya dalam dendang tersebut. Kata-kata berirama teratur mengalir dari mulutnya. Terdengar lucu oleh saya, karena dendang itu tidak populer seperti musik-musik ‘zaman now’ lainnya. Jujur saja generasi millenial sekarang ini, termasuk saya, jarang sekali diperdengarkan dengan alunan nada asli kebudayaan lokal sendiri. Jika disimak benar-benar, kata-kata berima itu sepertinya memang kaya makna. Banyak nilai-nilai tersembunyi dalam kaitan per-kata-nya. Aturan-aturan tak tertulis termuat di sana. Dalam tradisi lisan Tambo ala masyarakat Minang. Lihat saja warih nan bajawek, di dalamnya beraturan; ketukan tempo pada kalimat-kalimat ritmik yang hanya dan harus sembilan suku kata. Dari teknik hingga makna intrinsik dendang tersaji lengkap dongeng tentang pedoman, cara pandang, serta tata bertingkah-laku masyarakat Minang yang paling beradab. “Ada unsur pendidikan dalam dendang!”, tegas Mak Katik. Terasa sekali maksudnya, intonasi bicaranya memberi tekanan sehingga kita yang mendengar menyadari bahwa dendang adalah media pembelajaran, sekaligus kitab lisan, media publikasi aturan. Tak lama setelah itu dia berdendang lagi. Dendang yang sambung menyambung diantara penjelasan-penjelasan bersemangatnya di sepanjang sesi. Muncul kesadaran, lebih berupa kekhawatiran. Pada generasi-generasi terbaru saat ini. Ketika tidak ada keinginan bagi mereka untuk mencari tau atau sekedar mempunyai keberuntungan untuk dipertemukan dengan keselarasan 80
dendang yang sarat nilai pendidikan ini. Playlist lagu reguler sehari-hari mereka sangat jauh dari apa yang sedang ditampilkan oleh Mak Katik. Ini kekhawatiran sekarang. Bagaimana satu dekade yang akan datang? Bagaimana anak cucu seratus tahun di depan? Tetap adakah peluang bagi anak-anak Minang muda itu nantinya untuk bertemu Mamak Katik nya, untuk kemudian mengenali dendang ke-Minang-an mereka? Saya rasa Mak Katik mengarahkan saya pada suatu refleksi pemikiran baru yang mampu menjegal pertanyaan-pertanyaan futuris semacam di atas. Potongan-potongan ideal jawaban saya ada dalam imaji kegembiraan, saat saya dan masyarakat Minang lainnya benar-benar 'ada' di tengah-tengah keseruan identitas kita. Menjadi orang Minang egaliter yang terbiasakan kembali ikut ambil bagian bersama-sama satu mufakat menelurkan kekuatan tradisi gotong royong ke-Minang-nya. Adab dan tradisi lama diasah kembali sehingga ia tetap kuat memfilter beragam pengaruh rancu modernisasi. Belum lagi beragam bentuk industri yang sering melemahkan pribadi karena hampir semua sudah instan siap dikonsumsi. Menyoal utopia ketinggian untuk kembali pada adab dan tradisi Minang lama, tentu ini perlu perhatikan seksama, bersama-sama. Saat ini ia terkepung habishabisan oleh masyarakatnya sendiri. Boleh dibilang sampai kerdil keadaannya karena pemahaman-pemahaman artifisial dan tanggung. Terkadang dengan sangat opurtunis ia dipelintir dan dimanfaatkan oknum-oknum lokal sendiri. Lalu ada konsumerisme akut yang ikut membudaya di tengah-tengah ramainya varian produk serta layanan jasa. Dalam benak masyarakat Minang kota, pinggiran, hingga desa terpampang banyak pilihan gaya hidup instan nan menggiurkan. Wedding organizer dan catering misalnya, 'Apakah dalam sebuah perhelatan yang katanya ingin ikut melestarikan budaya daerah, dalam prakteknya malah mengorbankan nilai adab manusia yang ingin berbudaya? Rangkaian ritual tradisi yang seharusnya khidmat dimaknai satu per-satu, kini tampak compang-camping karena ia tak lebih dari sekedar urutan 81
acara selebrasi, dipakai jadi ajang aksi mempertontonkan hasrat pribadi. Kurang sekali keikhlasan untuk menggali atau sekedar memahami bahwa rangkaian ritual tradisi itu hanyalah "tips & trik dari para leluhur agar Minang tetap berevolusi tekun di jalannya. Setia berkembang di tatanannya, tak peduli seberapa jauh ia dari pusat rotasi sehingga sejajar ia dengan budaya tinggi lainnya di pergaulan global desa sebesar dunia. Sebelumnya, dengan tema bahasan Gubuak Kopi tentang adat "Bakureh" dalam tradisi masyarakat Minang, hampir saja saya terjebak dalam konsep pemikiran untuk menemukan bias eksotisme dalam tradisi tersebut. Pada perjalanan awalnya saya ingin sekali memberikan sebuah laporan langsung dari lapangan mengenai "Bakureh" sebagai suatu budaya adi luhung Minang yang sungguh berbeda, hampir punah, dan sama sekali jauh dari ke-Minang-an biasa yang saya temukan di sekitaran tempat saya tinggal. Selama perjalanan saya pada bulan July di Solok, Padang, Payakumbuh, dan Bukittinggi kata bakureh di sebagian daerah juga bukan sebagai kata yang berkaitan dengan budaya yang tinggi. Ibu-ibu yang berjualan asongan di sepanjang jalan menyematkan kata bakureh untuk pekerjaannya, bapak bapak yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai kuli bangunan juga menyebut dirinya sedang bakureh, sopir truk penuh keringatpun menyebut usahanya itu dengan bakureh. Jadi hanya sebagian kecil daerah Solok yang mampu menggodokkan banyak nilai yang disampaikan dalam satu kata, yaitu bakureh. Hanya mereka yang memaknai kata bakureh dengan nilai budaya yang tinggi. Berpijak dari pemahaman ini, saya mengimajinasikan new social form atau tatanan kebudayaan baru dalam masyrakat modren sekarang. Budaya bakureh teraplikasikan dalam kehidupan masyarakat, masyarakat memiliki pilihan baru dalam memaknai kata bakureh. Sehingga sebuah kebudayaan lama tidak hanya cerita masalalu yang dijaga tapi diperbaiki lalu dipakai sehingga menjadi lifestyle dan selalu ikut dalam setiap zaman. Melihat minimnya kondisi kata bakureh era sekarang yang secara sengaja seenaknya di maknai dengan suatu pekerjaan, digunakan dalam kata candaan, pengumpamaan dalam keadaan yang terpaksa. Kemudian muncul sebuah paradox dalam benak saya di sekitar penulusuran tradisi budaya Bakureh ini. Akankah ia akan tetap menjadi sebuah set aturan yang 'melulu' meletakkan aktor-aktor pelaksana budayanya menjadi objek yang manut oleh ketinggian maknanya? Kenapa saat Mak Katik berbicara lantang dan percaya diri mengenai 'agama' budaya Minang-nya itu saya malah lebih nyaman untuk memahami budaya itu bukan sebagai sebuah framing yang fix mengikat dan memaksa? Apakah adab sebagai tata laksana berprilaku itu masih pantang untuk dirubah mengikuti perkembangan zamannya. Telah terpampang jelas di depan mata tradisi "Bakureh" yang katanya mengandung nilai-nilai kebersamaan otentik masyarakat Minang itu semakin pudar menghilang. Dari sana terbayang adab ke-Minang-an kita mulai berantakan. Obrolan Mak Katik sebelumnya tak lebih dari sekedar dongeng saja. Dongeng konservatif yang memaksakan dirinya untuk kembali ke masa lalu. Toh kenyataan sehari-harinya, rangkaian tradisi "Bakureh" sesaat sebelum "alek" (pesta pernikanan) itu sering tergantikan oleh jasa catering dan wedding organizer. Padahal dalam kebersamaan gotong royong saat proses "bakureh", "mamanggia", dan 82
"badoncek" itu adab ke-Minang-an kita mungkin bisa terselamatkan. Pengkajian ulang serta 'cultural reshape' seperti apakah yang dapat menjadikan tradisi ini kembali masuk jadwal reguler dan dipakai luas dalam bangunan identitas individuindividu komuni suku Minang? Lain Mak Katik lain pula dengan Buya Khairani. Pemuka adat dari Kota Solok ini dengan sangat terang memisahkan mengenai kesadaran orang Minang atas tanggung jawab ke-adab-an mereka. Ia dengan intonasi jelas memberi penekanan saat mengulang sebuah petuah; “Urang yang indak baradaik, itu urang yang indak baparasaan� (orang yang tidak mempunyai adat, adalah orang yang tidak mempunyai perasaan). Sekarang orang Minang mana yang mau dicap tidak beradat? Buya Khairani yang juga mengisi sesi diskusi di Gubuak Kopi pada saat itu mengajukan sebuah pertanyaan mendasar. "Apa itu adat? Singkat kata, adat adalah suatu susunan tata tertib yang meliputi nilai-nilai budi pekerti, tata krama, dan wawasan berpikir serta tata berperasaan yang saling berkaitan". "Itulah adat!", serunya terang-benderang. Kemudian menurut dia, nilai yang terangkum dalam susunan atau tatatertib keadaban itu dipakai oleh orang Minangkabau sebagai orang yang beradat. Beradab sebagai orang Minang yang beradat tentu penuh dengan raso jo pareso, dengan kata lain adab itu sarat kehalusan olah rasa yang terkonfirmasi oleh logika. "Dari raso naiak ka pareso, dari pareso baliak ka raso". Penjelasan cara berbudaya yang berimbang antara rasa dan logika Buya Khairani di atas kemudian membuka peluang baru bagi saya. Bukankah rasa makhluk berbudaya itu berkembang sesuai dengan zamannya? Rasa dan logika tentu saja bukan hanya milik leluhur dan tetua adat saja. Barometer dari suatu ide budaya saat ini tentu dari sejauh apa ia tetap dipakai, menjadi bagian dari kesadaran general masyarakat modern. Semua paham bagaimana menggunakannya sesuai tema di tengah-tengah gempuran pilihan identitas lainnya. Akankah ada bentuk-bentuk penyesuaian termutakhir dari tradisi ke-Minangan kita dengan tidak meninggalkan adab-nya? Mampukah menjadi model yang terinstitusionalisasi? Tradisi budaya "bakureh" terkini yang mampu diaplikasikan oleh aktor-aktor budaya millenials yang setia mengikuti perkembangan. Sebagai anak zaman, tentu tidak haram untuk berpikir untuk me-reshape budaya Minang ini sehingga ia mencuat sebagai salah satu produsen lifestyle lengkap dengan itemitem populer-nya. Budaya "bakureh" pada masa yang modern itu akan jauh dari kecendrungan pembeda identitas berlebihan atas aktor-aktor penggiatnya. Bakureh tidak hanya menjadi milik orang Minang asal Solok saja. Begitu juga dengan 'bagobah' tidak indentik dengan pribumi asal kenagarian Sungai Puar saja. Pun 'manggulai' itu tidak jadi keseruan milik 'urang' Payakumbuh lagi. Semua sah saja berpartisipasi. Nilai-nilai otentisasi bukan lagi jadi kualitas yang inheren dari obyek dan aksi. Akan tetapi ia merupakan sesuatu yang mengisi pilihan gaya hidup tiap-tiap individu 'baradaik' seperti yang telah disampaikan Buya Khairani. Orientasi utama tradisi 'bakureh' kemudian akan ditentukan dari bentuk interaksi sosialnya. Interaksi individu-individu berbudaya yang berhasil diekspresikan dan nyata terlihat dalam aspek terkecil kehidupan bermasyarakat. Sebuah persona masyarakat yang 83
mengutamakan kebersamaan. Mengenai pentingnya interaksi sosial di atas, Buya Khairani punya pula melantukan petuah. “Adat hiduik tolong manolong, Adat mati janguak manjanguak, Adat ado basaliang saliang, Adat kayo mambantu yang miskin.” (Ketika hidup tolong menolong, ketika kemalangan menjenguk, ketika ada bersama sama, ketika kaya membantu yang miskin) Pandangan di atas tidak lepas dari tuntunan berakal budi masyarakat Minang yang selalu seiring dan sejalan dengan adat Minang. Adat sebagai kerangka berpikir turun temurun diwariskan. Memanfaatkan interaksi sosial berbagai informasi dan nilai budaya didistribusikan, untuk kemudian secara sukarela dipatrikan sehingga ia melebur sempurna menjadi buah peradaban yang subur dan mekar sepanjang tahun. Tak lekang sewindu, dasawarsa. Tak terbayangkan saat bakureh benar-benar menjadi kekuatan sosial baru masyarakat Minang. Ia ramai layaknya sebuah festival. Riuh rendah penuh kegembiraan. Secara runut, proses persiapan pertama 'alek' dalam "badoncek" dipakai dalam suasana kebersamaan. Dasar-dasar pembagian tanggung jawab soal pemberian jumlah bantuan atau patungan biaya keseluruhan perhelatan itu akan lebih tampak berupa diskusi ‘budgeting’ para pemangku tanggung jawab utama keluarga. Segala bentuk bantuan diterima. Tidak terbatas berupa uang saja. Meyumbang waktu, bantuan pikiran hingga tenaga, bahan-bahan masakan, sampai perlengkapan kamar mempelai selesai dibahas untuk kemudian disematkan sesuai pilihan yang diinginkan bersama. Semua partisipan akan tampak memiliki peranan masing-masing sesuai dengan pilihan kemampuan mereka. Tahapan persiapan perhelatan kedua saat ‘mamanggia’ tak akan ketinggalan kaya akan nilai adabnya. Nilai adab tersebut dapat ditemukan mulai dari saat berkumpulnya ibu-ibu merundingkan tugas-tugas pokok mereka. Brainstorming kreatif menentuan langgam dan estetika berpakaian saat “mamanggia” menjadi goals utama. Perencanaan mendetil yang melibatkan simbol, pattern dan pola ada di sana. Ke semua embel-embel elemen kebudayaan melekatkan informasi apa saja akan disampaikan berikut tata cara menyampaikannya juga ditentukan di sini. Keramaian akan semakin terasa pada waktu penduduk turun ikut serta. Beramai-ramai ‘bakureh’ memasak bersama layaknya karnaval budaya. Pada saat itu orang-orang seperti berada di dalam sebuah medan yang berpusar nyaris sempurna. Di antara yang berkumpul-kumpul, yang sibuk berlalu lalang, obrolan ramai bersahut-sahutan, riuh rendah yang berasal dari kelompok pekerjaan memasak di dapur belakang menjadi zona paling sibuk. Dekat dengan dapur utama, terlihat sekelompok bapak-bapak menyiapkan pondok dadakan untuk dijadikan dapur tambahan. Mereka sepertinya ingin lebih 84
85
banyak lagi menampung sukarelawan. Ada juga sekawanan laki-laki dewasa lainnya yang baru datang langsung berusaha memastikan ketersediaan kayu bakar. Keberadaan mereka adalah jaminan bantuan di setiap pekerjaan-pekerjaan berat lainnya. Secara keseluruhan adab tidak lagi kaku di sana. Manusia-manusia beradat santai ber-estafet ria, memikul bersama harga diri alek mereka. Masingmasing asyik mengerjakan tugas yang berbeda-beda. Para ibu-ibu tak mau kalah cekatan. Masing masing mempersenjatai diri mereka sedari rumah. Pisau favorit sesuai spesifikasi tugas-tugas khusus memasak telah mereka persiapkan sebagai pegangan. “Very, very well organized!�. Sambut menyambut saling mengisi sesuai keahlian mereka. Distribusi informasi terjadi di sini. Secara terbuka “bakureh� menjadi wadah berbagi. Teknik mengupas bawang yang tidak mengorbankan mata siapa-siapa ada di sana. Pemahaman sugestif atas setiap wangi rempah untuk kemudian dijadikan dasar memadu-padankannya dalam satu kesatuan bumbu sungguh sebuah pengetahuan berharga. Mereka semua sedang bekerja, mengaplikasikan adab, mewarisi wawasan berpikir turun-temurun leluhur filosofisnya. Anisa Nabilla Khairo
86
87
PARTISIPAN Ade Surya Tawalapi, biasa disapa Ade, pegiat sastra dan pertanian di Pekanbaru. Lulusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia. Sekarang aktif di SAYURANKITA, sebuah platform yang digagas sebagai laboratorium berpikir dan praktik di ranah pertanian secara umum, yang dikombinasikan dengan sudut pandang sosiokultural dan pengelolaan media alternatif di Kota Pekanbaru. juga aktif menulis di blog personalnya www.adetawalapi.wordpress.com Nahlia Amarullah (Jakarta, 1995). Sekarang sedang menempuh pendidikan di FISIP Universitas Andalas (UNAND) Jurusan Ilmu Komunikasi, juga aktif di beberapa organisasi kampus, seperti Kopaja (Komisariat Perhimpunan Mahasiswa Jabodetabek) Universitas Andalas sebagai Koordinator bidang Seni dan Budaya, memliki keteratirkan dalam bidang teater, dan juga pernah mengikuti beberapa pelatihan terkait seni di kampusnya. Sebelumnya ia juga pernah bekerja sebagai penyiar salah satu radio swasta di Kota Padang. Nurul Haqiqi (Jakarta, 1994), biasa di panggil Qiqi Cupay. Sekarang sedang menempuh pendidikan di program studi Seni Teater, Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Juga aktif di beberapa organisasi kampus dan komunitas seni di Sumatera Barat. Pernah terlibat di beberapa produksi pertunjukan di beberapa daerah, seperti pertunjukan Balega Di Tanah Minang karya Susas Rita Loravianti tahun 2017 di Jogja Art Festival dan Bedog Art Festival, peraih dana hibah dari Bakti Budaya Djarum Fondation dalam program Ruang Kreatif Seni Pertunjukan 2017. Dan saat ini aktif di kelompok Sumatera Senja (Padang Panjang).
88
Dyah Roro Puspita Amarani (Solok, 1996), biasa disapa Roro. Lulusan Informasi Perpustakaan dan Kearsipan di UNP. Pernah aktif berkegiatan di Teater Oase, Unit Kegiatan Kesenian UNP. Pernah terlibat dalam pertunjukan pantomime “Coolartboration” UKKES UNP (2015). Dan terlibat dalam pertunjukan “Teater Di Kampung Jawa” yang diselenggarakan Gubuak Kopi (2016). Saat ini bekerja sebagai pegawai kontrak di ATR/BPN Kota Solok. Anisa Nabilla Khairo (Padang Ganting, 1992), biasa disapa Icha. Sekarang sedang menempuh pendidikan di program studi Sastra Inggris, Universitas Negeri Padang (UNP). Juga aktif di beberapa organisasi kampus dan komunitas seni di Sumatera Barat. Terlibat dalam ekspedisi 28 Gunung bersama Eiger at Gunung Talang (2017). Sekarang aktif berkegiatan di Teras Literasi (2018). Dan juga aktif menggelar lapak baca yang menamai diri Book N Rool, Padang (2018). Olva Yosnita. Perempuan kelahiran Solok biasa disapa Olva. Saat ini tengah menempuh studi di Jurusan Sosiologi, Universitas Andalas. Sebelumnya ia aktif berkegiatan di UKM Pengenalan Hukum dan Politik di kampuasnya. Saat ini Olva tertarik mendalami penulisan terkait isu-isu sosial dan kebudayaan di kampungnya. Sefniwati (Padang Pariaman, 1992). Biasa disapa Sefni, lulusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Universitas Andalas, dan sekarang sedang melanjutkan studi S2 Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam, Universitas Andalas. Pernah terlibat sebagai Fasilitator Lapangan dalam Program Kemakmuran Hijau MCAI pada konsorsium Wanakita dengan lead Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) (2017).
89
PIMPINAN BAKUREH PROJECT Delva Rahman adalah salah satu pegiat media di Komunitas Gubuak Kopi, aktif sebagai Sekretaris Umum. Ia aktif menari di Ayeq Mapletone Company, sebuah kelompok tari yang berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Pernah terlibat dalam lokakarya literasi media “Di Rantau Awak Se“, oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng (2017). Partisipan lokakarya video performance bersama Oliver Husain di Gubuak Kopi (2017). Pernah terlibat dalam pertunjukan “Perempuan Membaca Kartini” karya sutradara Irawita Paseban di Gudang Sarinah Ekosistem (2017). Fasilitator program Daur Subur (2017-2018). Selain itu ia juga diundang sebagai narasumber di beberapa festival film, seperti Malang Film Festival (2017) dan Andalas Film Exhibition (2017). Ia juga merupakan Alumna Akademi ARKIPEL 2018. Albert Rahman Putra adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa. org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Baru-baru ini ia bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak (2018).
90
91
92
GUBUAK KOPI
Kelompok studi budaya yang berbasis di Solok, berdiri sejak tahun 2011. Komunitas ini berfokus pada penelitian dan pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas di lingkup lokal kota Solok, Sumatera Barat. Gubuak Kopi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan literasi media melalui kegiatan-kegiatan kreatif, mengorganisir kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga secara partisipatif, mengembangkan media lokal dan sistem pengarsipan, serta membangun ruang alternatif bagi pengembangan kesadaran kebudayaan di tingkat lokal. Web: www.gubuakkopi.id
DAUR SUBUR
Daur Subur adalah sebuah paltform yang digagas oleh Gubuak Kopi dalam mengarsipkan dan memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat melalui pendidikan media berbasis komunitas. Kegiatan ini digagas pada tahun 2017, melibatkan sejumlah partisipan dari beragam disiplin dan perwakilan komunitas. Para partisipan yang terlibat diajak untuk mengikuti lokakarya literasi media, pengelolaan arsip, dan memproduksi karya berupa teks, gambar, dan audio visual. Portofolio program: http://gubuakkopi.id/daur-subur/
93
94
BAKUREH PROJECT BAKUREH PROJECT adalah sebuah studi nilai-nilai kebudayaan lokal melalui tradisi “masak bersama”. Bakureh secara harfiah berarti “berkuli”, namum dalam konteks ini defenisi bakureh merujuk pada tradisi ‘gotong-royong masak’ yang dikomandoi oleh ibu-ibu dalam perhelatan. Tradisi ini memungkinkan terjadinya pertemuan sejumlah perempuan mewakili keluarga untuk memasak bersama. Proses ini melanggengkan sejumlah adab yang sudah tertata menjadi tradisi, mulai dari cara ia dikabarkan, pilihan menu berdasarkan bentuk kegiatan, dan pendidikan kuliner, serta diperkaya dengan pemahaman filosofisnya. Proyek ini secara khusus membaca dan mengembangkan posisi bakureh sebagai kekuatan sosial dan media kreatif lokal dengan tetap sadar akan sejarah, tradisi, dan perkembangan kontemporernya. Bakureh Project diprakarsai oleh Delva Rahman dalam kerangka kerja program Daur Subur, sebuah platform yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi. Hasil dari pembacaan atau penelitian proyek ini nantinya akan disajikan dalam berbagai bentuk output, seperti produk media alternatif (teks, foto, dan video), penelitian berbasis kemasyarakatan, maupun karya seni kolaboratif lainnya.
Portofolio project: http://gubuakkopi.id/bakureh-project/ Pimpinan Proyek Delva Rahman Fasilitator Lokakarya M. Yunus Hidayat, Ogy Wisnu S, Volta A. Jonneva,Muhammad Risky Partisipan Ade Surya Tawalapi, Sefniwati, Nahlia Nahal, Nurul Haqiqi, Dyah Roro Puspita Amarani, Anisa Nabilla Khairo, Olva Yosnita. Knowledge Management Albert Rahman Putra Dokumentasi Mohamad Irvan Database Daur Subur – Gubuak Kopi ____
95
96
97
98