Redaksional: Rumah Tamera Kontributor: Albert Rahman Putra, Biki Wabihamdika, Biahlil Badri, Dika Adrian, Muhamad Riski (@sayhallo), Sinema Pojok, Solok Milik Warga, Teguh Wahyundri, Verdian Rainer, Veronica P. Kirana, Volta A. Jonneva, Yolla Try Indra, Zekalver Muharam, Zikri Almarhum. Editor dan Layout: Albert Rahman Putra Sampul: Volta A. Jonneva Brand Logo: sayhallo0 Penerbit: Gubuak Kopi - Art and Media Studies Penanggung Jawab: Albert Rahman Putra Solok, Mei 2020
Alamat Redaksi Rumah Tamera - Jl. Lingkar Utara Kel. Kampung Jawa, Kec. Tanjung Harapan, Kota Solok Email: rumahtamera@gmail.com @rumahtamera / @gubuakkopi www.gubuakkopi.id
Rumah Tamera - Solok Creative Hub, adalah ruang alternatif mewadahi pengembangan proses kreatif anak muda Solok dan Sumatera Barat, melalui kegiatan pameran, kolaborasi, produksi media (zine dan vlog), dan kelas-kelas kreatif.
J
IYONAH! Adalah sebuah media alternatif yang dikelola oleh seniman dan pegiat ekonomi kreatif yang tergabung dalam ekosistem Rumah Tamera – Solok Creative Hub, guna mempublikasikan karya, ide, dan wacana budaya populer yang bergulir di sekitar kita.
ika pada edisi sebelumnya kita memulainya dengan “Bikin Aja Dulu”, maka pada edisi kedua ini kita merespon situasi pandemi yang disebabkan wabah covid-19, yang memaksa kita harus membatasi pertemuan-pertemuan fisik, yang tentunya juga berdampak pada banyak aspek kehidupan. Menariknya, Indonesia, bahkan Solok dan Sumatera Barat menjadi kasus khusus, mengingat mayoritas warganya adalah umat muslim dan tengah merayakan bulan Ramadhan.
Edisi - 2
Ramadhan bagi masyarakat Solok dan Sumatera Barat umumnya, tentu tidak sekedar bulan puasa, ia identik dengan tradisi silaturahmi, jalanjalan sore, makanan yang beragam, mudik, berkumpul dengan keluarga, liburan, bulan-bulan curahan, istirahat sejenak dan menghitung hasil dari 11 bulan lainnya yang penat. Banyak model ibadah dan tradisi yang dipaksa berubah. Kita dituntut untuk lebih memaknai nilai-nilai tradisi dalam situasi yang baru, melek dengan perkembangan teknologi media, dan juga kemungkinan untuk mendayagunakannya. Awalnya teman-teman ekosistem Rumah Tamera menjalankan anjuran #dirumahaja itu di Rumah Tamera saja. Tapi, sejumlah rencana kegiatan yang gagal tidak berhasil kita siasati dengan cepat, walaupun hasil kebun Daur Subur Lab di Rumah Tamera lebih melimpah dari bulanbulan sebelumnya, tapi kita ingin mengajak para kawan untuk ‘pulang’. Pulang yang juga berarti ke rumah yang kita anggap ‘pulang’, mengamati perubahan situasi sekitar dan respon terhadapnya, dan berusaha berkontribusi. Mempelajari ‘seni yang sehari-hari’, terus produktif, dan IYONAH! menjadi ruang silahturahmi dalam bahasa kreativitas. Dalam keadaan terpisah-pisah dan pertemuan yang renggang, kita pun akan menikmati ramadhan sepesial yang sensasinya mungkin hanya ada di tahun ini. Menyiapkan perubahan-perubahan baru yang akan menjadi sehari-hari. Mengejar banyak hal menjelang hari yang fitri, hari yang kami tandai untuk menjalani “normal baru”, selamat Lebaran! Solok, Mei 2020 @albertrahmanp
Mata Merah @sayhallo0, 2020
Kita di Rumah, Rindu Bepergian Rindu adalah kata yang sering muncul belakangan, semenjak beberapa pekan terakhir kita disibukkan dengan persoalan pandemi yang tak kunjung bertemu ujung. Semua menyuarakan kerinduannya pada semua hal yang hilang, pekerjaan, tongkrongan hingga kekasih yang tak kuat menahan rindu. iya, kadang kita tersenyum pilu melihat beragam cara orang melewati dan melawan pandemi ini. Menahan diri untuk tidak keluar rumah adalah hal yang sulit bagi masyarakat kita. Kebiasaan nongkrong atau hanya berkeliling kota mencari takjil dan “cari angin� sehabis teraweh sulit lepas dari pikiran. Penerapan yang tak terterapkan atau seharusnya bersatu yang malah beragam pendapat, tidak seperti pemandangan beragam macam menu berbuka tertera di meja para pedagang yang bisa sama kita nikmati. Ramadhan kali ini, memang jauh berbeda dari Ramadhan sebelumnya. Bulan yang penuh
berkah ini membuat kta berlatih menahan diri dari nafsu, kesempatan memperbaiki diri dari bulan sebelumnya. Kita berlatih kesabaran, jangankan yang haram yang halal saja kita
Jangankan di kota-kota besar, di kampung saya saja semuanya terlihat sepi. Biasanya menjelang sahur anak muda masih banyak berkumpul di kedai-kedai kopi. Ramadhan kali ini bukan sepi karena pemudanya yang belum mudik, sekitar satu pekan menjelang Ramadhan tercatan seratus lebih pemudik memasuki kampung saya dan terus bertambah menjelang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diadakan. Kehilangan pekerjaan dan pedagang yang sepi pelanggan, membuat mereka terpaksa untuk cepat ambil keputasan. Selain petugas penanganan covid yang bekerja keras demi berakhirnya pandemi ini, kita terpancing untuk lebih perhatian
pada sesama, juga kita harus bersama melawan ni dengan cara kita masing-masing. Dan beberapa kegiatan yang terhalang karenanya, membuat kita mencari alternatif baru untuk tetap ekis dan bertahan.
Biahlil Badri Mei 2020
@solokmilikwarga
warga merekam, warga berdaya
diperintahkan untuk menahan diri. Ramadhan memang hebat dalam hal ini. Namun untuk kali ini kita juga menahan diri dari nafsu nongkrong, berkumpul dengan banyak orang, berburu takjil sesuka hati, berjualan apa yang kita mau dan memanfaatkan teknologi untuk tetap menjaga silahturahmi.
P
ada tahun 1913, Marcel Duchamp salah satu pelopor gerakan dadais, meletakan sebuah roda sepeda yang terbalik diatas sebuah bangku. Karya ini kemudian juga dikenal sebagai awal-awal munculnya dide seni kinetik. Pada tahun 1920 seniman Konstruktivis Naum Gabo dan Antoine Pevsner menggunakan istilah “seni kinetik” dalam Manifesto Realistis mereka; pada tahun yang sama, Gabo menyelesaikan Kinetic Construction-nya, batang logam berdiri bebas yang digerakkan oleh motor listrik yang mengartikulasikan pola gelombang halus di udara, karya pertama seni modern yang mengekspresikan gerak. Pada tahun 1930, László Moholy-Nagy, senima Bauhaus, kembali menggunakan istilah kinetik untuk menerjemakan gerakan mekanik dari karyanya Light-Space Modulator. Dari konsep-konsep seni diatas, 1955 seni kinetik kembali dilihat sebagai salah satu gerakan modern yang koheren, yang dibingkai oleh kelompok Le Mouvement dalam pamerannya di Galeri Denise Rene, Paris. Praktek ini tidak hanya dilihat sebagai gerakan tetapi juga sebagai bahasa artistik baru, yang menghidupkan lagi tradisi abstraksi geometris, memanfaatkan gerak mekanis
atau alam, mengubungkan seni dan teknologi. Seniman yang terkait dengan pendekatan Konstruktivisme luas untuk seni kinetik termasuk Naum Gabo, László Moholy-Nagy, Victor Vasarely, dan Bridget Riley. Mereka banyak meminjam konsep dari bidang disiplin seperti fisika, optik, dan sibernetika. Konstruksi Kinetic Naum Gabo (1920), bisa dibilang prototipe untuk seni Kinetic berikutnya, dirancang untuk mengekspresikan konsep “standing wave” jenis gelombang-gerak yang menciptakan ilusi dalam bentuk statis, lengkung, atau juga dilihat sebagai studi tentang persepsi mata terkait garis dan warna.
History of Art (1954 - now)
Kinetik
“seperti halnya seseorang mengkomposisi warna atau bentuk, lalu yang lain juga bisa menata gerak (motion)â€? – Alexander Calder Selain konstrutivisme, kinetik juga diilihami oleh ide-ide gerakan Dadaisme, yang tidak berfokus pada relasi teknologi dan seni. Tetapi berforkus pada presepsi subjektif penonton tentang elemen-elemen gerak dan elemen yang tidak terduga dari presentasinya. Unsur pasca-Dada dalam seni kinetik disebut-sebut ikut bertanggung jawab atas skeptisisme terhadap teknologi sebagai ekspresi kemajuan budaya. Jean Tinguely, salah satu seniman partisipan di pameran Le Mouvement pada tahun 1955, menyatakan skeptisisme ini paling kuat pada karya patung penghancurannya, Homage to New York (1960), sebuah alat mekanis berat yang dirancang untuk membakar dirinya sendiri, dan hancur dalam hujan es dari suara dan cahaya. Seniman lain yang terkait dengan seni kinetik, seperti Alexander Calder, dipengaruhi oleh seniman pascadada dan surealis seperti Joan MirĂł, sementara minat Calder pada perubahan, kontingensi, dan abstraksi biomorfis bisa dikatakan terjadi di sayap gerakan Dadais.
Seni kinetik mencapai puncaknya pada tahun 1960an, ditandai dengan banyak karya kinetik yang mendapat anugerah bergengsi, salah satunya adalah dari Venice Biennale pada tahun 1966 untuk karya Julio Le Parc, dan Nicolas Schoffer pada tahun 1968. Pada tahun 1965 The Museum of Moden Art di New York mengadakan pameran yang berfokus pada seni optik sebagai konsekuensi dari gerakan. Hal ini membuat sejumlah kritikus menyederhanakan seni kineteik sebagai trik optik dari sebuah gaget, yang untuk sementara waktu memikat mata. Gerakan Kinetik sedikit meredup tetapi menghilhami sejumlah seniman untuk merintis gaya-gaya kesenian baru. *Catatan ini dirangkum dari sejumlah sumber seperti jurnal smow.com, Harvard Art Museum, The Art History, Venice Biennnale, tate.org dan wikipedia melalui penelusuran kata kunci kinetik dan nama sejumlah seniman.
Stek Beringin Bonsai
#dirumahaja
Koleksi Sinema Pojok
Rear Windows (Jendela Belakang) Alfred Hitchcock
Amerika, 1954 1j 55m
Subtitle Bahasa Indonesia
Rear Windows mengajak kita berada pada pengamalan sinema yang unik –duduk di ruang gelap menatap detil-detil layar, dalam hal ini adalah seorang yang cidera mengamati tetangga melalui jendela belakang apartementnya. Dari awal terkesan seperti vayeurisme, dan mengajak kita melakukan hal yang sama: mengintip. Tapi Hicthcock memang selalu mengagumkan dalam mengkonstruksi sebuah cerita, mengaktivasi maknamakna lain dari tempat-tempat biasa. Berangkat dari latarbelakang tokoh sebagai seorang wartawan yang cidera, dengan pacar seorang cantik yang menghendaki pernikahan, dari jendela belakang ia memaknai kembali konsep “berkeluarga�. Dari jendela belakang itu pula kita beralih pada sensasi ketegangan yang menantang dari peristiwa kriminal di sudut kesepian kota.
All Out
(Verdian Rayner, 2014)
Fly Away
Dika Adrian, 2020
Yolla Try Indra, 2020
@sayhallo0, 2020
Setangkai
Basipakak on Stage
@vroenightmare16, 2019
J
ika men-general priode musik di Indonesia, era pemerintahan Soekarno sering kali dikenang sebagai era pelarangan “musik barat”, atau seperti yang disebut Pramoedya Anata Toer dalam buku Saya Terbakar Amarah Sendirian (2006), “Soekarno sangat anti dengan musik ngak-ngik-ngok dari Amerika”. Musik yang dimaksud merujuk “Rock n Roll”. Dua nama yang sering disebut adalah Elvis Presley, penyanyi asal Amerika yang sudah mendunia sejak tahun 1950an; dan The Beatles, band asal Inggris, yang juga sangat populer di Amerika sejak 1960an. Tentu ini bukan hanya soal selera musik, tapi juga sejalan dengan ideologi yang diyakini oleh Soekarno, yang kala itu gencar menolak “Nekolim” (Neokoloinialisme, Kolonioalisme, dan Imperialisme, sebaliknya mengusung ide “Berdikari” (Berdiri di atas kaki sendiri) untuk standar kemerdekaan. Nekolim yang diperkenalkan Soekarno, adalah model penjajahan laten atau dominasi suatu negara terhadap negara lain. Hal ini sejalan dengan konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, dikenal dengan istilah Ganyang Malaysia. Soekarno melihat negara tetangga kita ini
memiliki ketergantungan ekonomi dan ideologi pada Inggris yang menghadiahinya kemerdekaan. Soekarno menentang sikap para penjajah yang menyusup dan menguasai negara selayaknya boneka. Anti-nekolim, ide-ide Berdikari, dan sejumlah perpecahan dari “dalam” Indonesia, membuat negara harus ikut campur secara masif untuk menentukan identitas negara baru ini. Identitas bersama, identitas nasional, indentitas Indonesia. Awalnya mendorong seniman untuk menemukan identitas itu, tapi beberapa kasus berujung pada pelarangan. Pelarangan ini membuat beberapa kelompok musik dicekal dan tidak sedikit yang memilih untuk bermigrasi ke luar negeri, ke tempat skena musik dunia yang lebih beragam. Ide-ide Soekarno untuk identitas nasional pada dasarnya didukung oleh banyak seniman dan intelektual budaya, hanya saja, soal pelarangan ini jika kita baca sekarang memang terdengar menyebalkan. Pelarangan ini sebenarnya tidak hanya soal musik, juga pada filmfilm Amerika yang masuk bioskop. Ide-ide mengenai identitas negara baru juga mendorong sejumlah seniman, seperti musisi, perupa,
Anti-Nekolim dan Musik Indonesia Era 1950-1960an
Mengakali Ngak Ngik Ngok
sastrawan, dan intelektual budaya lainnya menemukan bahasa seni yang “Indonesia banget”. Bahkan wacana itu terus berjalan sampai era 70an. Cita-cita itu juga sangat mempengaruhi gaya bermusik yang muncul di era 50-70an, ya, walau tidak begitu kentara bekasnya di zaman sekarang. Respon para musisian sangat sangat menarik. Ada yang tetap memainkan rock n roll tapi menggunakan teks dan sedikit karakter melodi daerah, ada yang bertahan di irama Latin seperti cha cha, mambo, afro-cuban, dan ada yang mengusung gaya hawaian, dan tentu juga gaya musik seperti yang diinginkan Soekarno. Tapi dari sejumlah arsip yang bisa saya lacak, yang dominan terjadi adalah hibrida atau silang-budaya. Sejak munculnya perusahan musik Irama (1951), menyusul Mesra
(1954), Lokananta (1956), dan lainnya, ekosistem musik pop Indonesia semakin membaik. Kanon hibridasi musik pun sudah terjadi sejak itu. Peleburan musik daerah seperti Batak, Minang, Sunda, Maluku, Betawi, dan lainnya dengan gaya musik luar seperti yang disebutkan sebelumnya sangat ramai saya temukan. Dalam ingat kolektif masyarakat Sumatera Barat, ada beberapa nama kelompok musik legendaris yang sering disebut, pertama Orkes Gumarang. Kelompok ini muncul dengan karakter pianonya yang khas, sangat dekat dengan peleburan Melayu-Minang dengan Latin-mambo-chacha. Perkawinan karakter rentak joget, aksentuasi perkusi khas Latin, melodimelodi melayu yang reptitif menjadikannya sangat “joget”. Sansaro Badan yang dinyanyikan oleh Tities Idris, Ayam Den Lapeh bersama Nurseha, dan Budjang Kirai yang dinyanyian Anas J. (Lokananta) adalah dua lagu Orkes Gumarang yang paling berkesan bagi saya. Selain Orkes Gumarang, yang kedua adalah Orkes Kumbang Tjari asuhan Nuskan Sjarif yang lebih “rock n roll”, yang lebih sering menonjolkan permainan gitar, dan membuat nama Elly Kasim menjadi lebih populer; ada pula Orkes Teruna Ria yang dibesarkan Oslan Husein dan Moes Ds, yang pada awalnya memang sangat The Beatles. Tapi Bang Oslan juga dikenal dengan vibra vokalnya yang sangat khas. Ia juga sering
terlibat menjadi vokal untuk beberapa band, iringan rock n roll, hawaii, atau latin tetap indah dengan karakternya. Salah satu satu yang menarik untuk kita mention adalah kolaborasinya denga Orkes Wijaja Kusuma untuk album Hanya Ada Satu (TahuTempe). Orkes ini dipimpin oleh M. Jusuf yang juga mengkompos sebagian besar lirik dan musik untuk album itu. Ada yang menyebutnya diproduksi tahun 1959, ada pula tahun 1965. Sikap dukungan terhadap citacita Soekarno, dengan sangat jelas dituliskan di punggung cover vinyl. Ia menyebut lagu-lagu ini mewakili suara rakyat, dan mengutip kalimat Soekarno yang menegaskan bahwa Indonesia tidak akan lapar karena banyak makanan. Lantas lagu ini berisikan banyak tema-tema makanan, sanjungan seniman, dan lebaran. Lebaran.. ya lebaran.. yang hingga kini juga identik dengan makanan. Lagu tentang makanan pun juga bukan hal baru untuk syair-syair Minang, walau memang lebih sering muncul untuk direkam di era 60-70an. Syair dan melodi lagu Lebaran yang dikompos oleh M. Jusuf ini, didendangkan Bang Oslan dengan sangat minimalis, bahkan sangat familiar hingga saat sekarang. Tapi ini bukan lagu pertama mengenai perayaan lebaran. Ismail Marzuki pernah mengkompos lirik dan melodi dengan tema yang sama. Judulnya “Hari Lebaran�, diproduksi oleh perusahaan musik Irama pada tahun 1954,
dinyanyikan oleh Didi. Jika kita simak-simak, sepertinya syair ini lah yang kemudian sering didaurulang hingga saat ini, dan juga melodi lebih dengan dengan komposisi M. Jusuf tadi. Syair gubahan Ismail Marzuki sangat menarik, kaya sidirian dan kritik terhadap fenomena ubanisasi, gaya hidup kota, dan korupsi. Respon-respon hibrida dari para musisi atas maksud Soekarno, memacu presiden pertama kita ini untuk menciptakan sebuah lagu dengan irama khas Ambon, Maluku. Album “Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso� dengan label perusahaan musik Irama, di
sampul tertulis nama Soekarno untuk pencipta lagu yang berjudul Bersuka Ria, dan juga terdapat tanda tangannya di setiap bikisan vinyl. Lagu ini diiringi oleh Orkes Suara Bersama, yang dipimpin oleh Jack Lesmana. Ada satu potongan yang menarik dari lirik itu, “Indonesia anti-nekolim, para seniman turut berjuang...� Selain Bersuka Ria, terdapat 7 lagu lainnya, yakni: Euis, Bengawan Solo, Malam Bainai, Soleram,
Burung kakak Tua, Gelang Sipaku Gelang, dan lagu yang fenomenal: Gendjer-Gendjer, dinyanyikan oleh Bing Slamet. Lagu sindirian untuk pemerintahan Jepang di Indonesia ini diolah dari lagu rakyat dalam bahasa Osing pada tahun 1942. Lagu yang tak lama setelah itu difatwa sebagai lagu terlarang, karena dianggap bagian dari propaganda PKI oleh rezim Soeharto. M. Arif, sang penulis lirik mati dibunuh dalam gejolak pembantai PKI.
Menikmati narasi di atas berikut saya susun playlist dalam durasi 30 menit untuk teman-teman simak sembari menikmati lebaran: Hari Lebaran (Ismail Marzuki/Didi, 1952); Sansaro Badan (Orkes Gumarang, 1959); Tjita Bahagia (Orkes Kumbang Tjari, 1961); Budjang Kirai (Orkes Gumarang, 1959); Singkong Rebus (Oslan Husein, 1965); Sepiring Nasi (Oslan Husein, 1965); Anak Seniman (Oslan Husein, 1965); Si NandiNandi (Oslan Husain, 1964); Lebaran (Oslan Husein, 1965); Kampuang Nan Jauah Di Mato (Orkes Teruna Ria); Bersuka Ria (Soekarno/Suara Bersama, 1965)
Kunjungi link rqrco.de/gbkkp untuk mendengarkan musik *atau scane barcode di atas
B
eberapa waktu lalu kita menemui lagi salah satu seniman visual yang cukup produktif di Kota Solok. Kita mengajak Verdian Rayner, atau yang biasa kita sapa Dian ini untuk membongkar kembali arsip-arsip karyanya, dalam media apapun. Selain mural, belakangan Ia paling aktif membuat ilustrasi commission work untuk orangorang.
Baginya commission work tidak sekedar kesenangan untuk menghasilkan uang, tetapi juga dialog-dialog silaturahmi. Setiap dialog adalah peluang untuk mengenali orang-orang lebih dekat, memahami karakter, selera musik, style, dan juga pandanganpandangan mereka. Dialog-dialog itu bagi Dian adalah negosiasi karakter visual yang biasa ia buat agar juga mewakili
Tamera Showcase #2 -
Dialog Garis Kilometer Verdian Rayner
15-20 Mei 2020
di gubuakkopi.id/tamerashowcase2
semangat orang tersebut. Selain memproduksi karya visual, Dian juga aktif bermain musik. Ia adalah vokalis band hardcore Blindside. Hardcore ataupun skena “bawah tanah” tidak hanya menjadi pilihan musik baginya, tetapi juga menjadi dialog-dialog bagi dirinya dalam menjalani gaya hidup. Dalam satu kesempatan ia bercerita banyak mengenai
pandangannya atas tradisi subculture Straight Edge, yang cukup menginspirasinya menentukan “ideal”. _____________ Terima kasih teman-teman yang sudah mampir ke web dan mengikuti Live Streaming Tour, sampai bertemu di Tamera Showcase #3
Jibi Store mendistribusikan produk-produk kreatif komunitas, seniman, dan insan kreatif di Solok dan Sumatera Barat. Untuk belanja dan kerja sama silahkan hubungi instagram: @jibistore.solok atau WA 0852 7414 3093 dan kamu juga bisa main-main ke Rumah Tamera Jl. Lingkar Utara, Kota Solok.
Ayo berkontribusi di edisi berikutnya kirimkan artikel, ilustrasi, cerpen, komik, dan puisimu ke redaksi IYONAH!