Bagai Pinang Dipanjat Pemuda – Albert Rahman putra (Muaro Bungo, 2013) Di sebuah komplek perusahaan tambang baru bara, di Jujuhan, Muaro Bungo Jambi, diselenggarakan sebuah pesta untuk para buruhnya yang juga berasal dari pemuda setempat. Berbagai perlombaan yang mengedepankan kekuatan fisik digelar, salah satunya adalah lomba panjat pinang, perlombaan yang mebutuhkan sebuah tim-tim kecil untuk medapat hadiah yang sudah tergantung di puncak. Dengan pinang dilumuri oli, para peseta tidak menyerah mendapatkan hadiah. Di bawahnya keluara dan kerabat menyorakan dukungan, di bawah tenda, para petinggi perusahaan tertawa terhibur. Nonton Orgen – Albert Rahman Putra (Muaro Bungo, 2013) Di suatu pesta yang digelar pesusahaan tambang batu bara. Setelah panjat pinang selesai, kembang api kelas terbaik diluncurkan, music orgen menyala. Semua merapat, tua, muda, dan anak-anak. Diawali dua tembang nostalgia, lalu malam semakin malam, tempo semakin cepat, tak peduli yang lain ikut atau tidak. “Malam ini” kata bos tambang batu bara itu, “semua berpesta!” Nyanyian Si Hijau – Wendi Nanda Pratama (Padangpanjang, 2014) Maret 2014, di sebuah perguruan tinggi seni di Padangpanjang, sebuah demo besar-besaraan terjadi. Bakar-bakaran, umpatan, teriakan, ludah, semua menjadi warna yang kalah tidak menarik ketika seorang dengan tubuh hijau membaw sebuah pengeras suara berwana merah di tengah kerumunan. Mari menyimak sebuah pertunjukan, mari mendingin dan memanas. Orkes Pacu Jawi – Antoni Guswandi (Batusangkar, 2014) Apa yang menarik dari puluhan jawi yang kita paksa berlari dengan menggigit ekornya. Ekspresi yang liar, jelek, dan memalukan; lumpur, sorakan, penunggang jatuh, dan sapi yang merajuk; mata kesedihan sang sapi, suara jeritan yang tak terdengar, ekor yang patah, semuanya adalah objek eksotisme para fotografer yang
sangat didudukung pendidikan kita. Hari itu, di sebuah barak muncul bunyi-bunyian, oh ada lagi yang eksotis. Lempar Bulan – Albert Rahman Putra (Solok, 2014) Di sebuah festival yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, Kota Solok. Warga dari berbagai pelosok berkumpul menyaksikan pesta yang bertajuk ‘Folklore’ itu. Kesenian rakyat yang berasal dari berbagai Negara/budaya pun ditampilkan, ditampilkan di atas sebuah pentas yang megah. Penonotn dibagai menjadi tamu, tuan rumah, penonton umum, dan fotografer/jurnalis. Tamu dan tuan rumah, yang terdiri dari kalangan pemerintah duduk santai di atas korsi di teduhi tenda, lengkap bersama bingkisan kue dan minuman. Penonton umum, yang kita sebut warga biasa berdiri dan duduk bersila beratapkan langit malam, dijaga petugas berseragam gagah, dengan kue dari rumah, bersuka ria menonton festival “folklore”. Di depan pentas para fotografer dan jurnalis dengan kameranya gagah membelakangi semuanya. Lukisan Hujan – Gabriella Melisa (Jakarta, 2014) Hujan memberi bentuk pada tempat dimana ia terjatuh dan memantul. Landscape yang ia basahi berubah arti, kadang kehilangan kesangarannya, kadang menjadi jelita, kadang menjadi bentuk yang memanggil ingatan yang lupa kita taroh dimana. Adalah sebuah romatisme, mengenang sebuah kota, peristiwa dan sense yang dilukiskan hujan sebagai ingatan.
Mengenang Mendung – Gabriella Melisa (Jakarta, 2014) Suatu ketika di saat langgit menggelap ,mencari makna, aku terdiam di bawah sudut kelam menghitam. Bayang Awan yang menutup tabir mengingatkanku pada takdir. Lihatlah langit itu, bukankah gelap menghanyutkan?
Merekam Senja – Gabriella Melisa (Solok, 2014) Pertanyaan-pertanyaan baru terus saja muncul senja dan misterinya terus ia temui di banyak tempat, di banyak kota yang ia lalui. Mempertanyakan dan mencoba menemukan hal-hal yang membuatnya menjadi misteri. Merekam senja dan mencari jawabannya.
Petang di Kios Daging – Albert Rahman Putra (Solok, 2014) Suatu sore yang sisa, ketika para penjual daging sudah bubar, seorang ibu menyisihkan usus, ceker, dan hati sapi untuk dijual dengan harga yang murah. Para pekerja lainnya menimba air dari sungai seblah kios, menyirami darah yang hamper mongering di meja, lantai, dan pisau. Air itu menyapu sisa-sisa darah yang tidak sempat menjadi warna tempat ia menempel. Bersamanya hanyut bulu-bulu ayam yang tidak menarik untuk dijual. Semuanya hanyut, diselokan dan mancur di sungai sebelah kios: Batang Lembang. Sore itu si ibu bercerita, kaki ayam masih bias dijual.
Pameran Jemuran Foto Kurator: Albert Rahman Putra Partispan Karya Kolektif: Dyan Yudhistira, Delvince Noverina, Fandy Edwardo, Frickel Adila, Gabriella Melisa, Imam Taufik Bur, Oktario Putra, Rivo Fernando, Yosali. Penulis: Albert Rahman Putra, Gabriella Melisa Foto Esai: Bagai Pinang Dipanjat Pemuda – Albert Rahman putra (Muaro Bungo, 2013) Lempar Bulan – Albert Rahman Putra (Solok, 2014) Lukisan Hujan – Gabriella Melisa (Jakarta, 2014) Mengenang Mendung – Gabriella Melisa (Jakarta, 2014) Merekam Senja – Gabriella Melisa (Solok, 2014) Nonton Orgen – Albert Rahman Putra (Muaro Bungo, 2013) )Nyanyian Si Hijau – Wendi Nanda Pratama (Padangpanjang, 2014) Orkes Pacu Jawi – Antoni Guswandi (Batusangkar, 2014) Petang di Kios Daging – Albert Rahman Putra (Solok, 2014) Dokumentasi: Hesti Kusuma Wardani, Fauzia Fuadi Publikasi: bujangkatapel / foto poster: Albert Rahman Putra (@albertrahmanp) Supporter Bujangkatapel Art Archive | Kyojek Cofee | Karupuak Jangek Igeb | Radio Fanesa Solok © Komunitas Gubuak Kopi 2014 www.gubuakkopi.wordpress.com