KO M PA S , M I N G G U, 6 M A R E T 2 0 2 2
Djoko Pekik Bicara
Roman Kebebasan dari Paris
Esensi melukis itu bicara. Bisa bicara soal kebaikan, bicara keadilan, sampai bisa bicara tentang revolusi yang belum selesai. Itulah pendapat Djoko Pekik (85).
Di tengah suramnya perang antara Ukraina-Rusia, panggung mode masih menyalakan lampu sorotnya untuk menyuarakan arti kemerdekaan dan kedaulatan.
FIGUR/HLM 8
AKSEN/HLM 9
Gaya Hidup KOMPAS
7
7
H A L A M A N
MINGGU, 6 MARET 2022
ARSIP LAKOAT KUJAWAS
FENOMENA URBAN
Selamatkan Sastra dari Kebangkrutan! Dunia digital telah menyelamatkan sastra dari kebangkrutan. Banyak terobosan bisa dilakukan ketika daya kreativitas dan festival disusupkan ke bilik-bilik platform baru itu. Di tengah pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir, para penggiat sastra memanfaatkan keajaiban dunia digital untuk terus menggairahkan dunia sastra. DWI AS SETIANINGSIH/RIANA IBRAHIM
K
klik.kompas.id/seni Baca artikel lainnya seputar Seni di Kompas.id dengan memindai QR Code.
omunitas Sastra Setanggi, yang digagas Nenden Lilis Aisyah, terbentuk melalui Zoom pada 6 Oktober 2020. Komunitas ini dengan lincah menjalin kerja sama dengan komunitas sastrawan Changjak21 yang bermarkas di Korea Selatan. Jarak Indonesia-Korea seolah dilipat begitu saja melalui platform digital. ”Memang, berdirinya Setanggi juga ingin mengepakkan sayap agar bisa bekerja sama dengan lembaga-lembaga sastra atau budaya di luar Indonesia yang sama-sama memiliki kesamaan visi dan misi,” tutur Nenden. Setanggi beranggotakan para sastrawan lintas daerah, lintas etnik, dan latar belakang profesi di Tanah Air. Cara yang tak jauh berbeda dikerjakan oleh Komunitas Bisa Menulis (KBM). KBM merupakan sebentuk aplikasi yang menemukan momentum saat dunia tercabik-cabik pandemi. Setelah hampir dua tahun bergerak, lebih dari ratusan ribu pengguna yang terbantu dengan keberadaan aplikasi ini. Tidak sekadar mendapat wadah untuk menulis, tetapi juga memperoleh lahan menggali banyak cuan untuk kehidupan.
Isa Alamsyah, penggagas KBM, menyampaikan ide membuka aplikasi sudah dibahas sebelum pandemi. Namun, baru terlaksana setelah pandemi. Awalnya, pembuatan aplikasi ini untuk mengamankan karya yang tersebar di laman media sosial agar tidak mudah kena bajak. Akan tetapi, KBM yang bermula dari grup di sebuah media sosial harus menghadapi penutupan akun, padahal saat itu ada 1 juta pengikut yang bergabung dan 800.000 aktif berinteraksi. Tak menyerah, Isa dan rekan-rekan membuka kembali grup baru di media sosial. Dalam tiga bulan, 400.000 pengikut bergabung tetapi akun itu hilang lagi. Ketiga kalinya, ia membuka grup dan mampu mengumpulkan 200.000 pengikut dalam sepekan. Namun, berakhir hilang juga. ”Dampak positif dari aplikasi ini menyentuh banyak orang. Misalnya, ada yang tinggal di tengah hutan, charger-nya aja pake genset, tapi dia semangat menulis dan bisa dapat penghasilan dari KBM ini. Ada juga yang bisa untuk bayar kontrakannya ngebantu keluarga,” ungkap Isa.
ARSIP LAKOAT KUJAWAS
Suasana perekaman musikalisasi puisi dari buku Tubuhku Batu, Rumahku Bulan oleh komunitas Lakoat.Kujawas di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Lakoat.Kujawas didirikan oleh Dicky Senda pada 2016.
ARSIP PUTU WIJAYA
Searah jarum jam:
Semula KBM diasumsikan sebagai penghasilan pasif, tapi nyatanya para anggota justru menjadikannya pemasukan aktif. Bahkan ada yang mengantongi hingga Rp 532 juta dari aktif menulis di aplikasi KBM. Isa mengungkap ada penulis yang mampu merampungkan empat bab dalam sehari untuk cerita yang berbeda pula. Dari situ, ia mendapat Rp 1 juta per hari. Penghitungan ini berdasarkan jumlah pembacanya, yaitu Rp 1.000 per pembaca.
Lintas budaya Kerja sama Setanggi dan Changjak21 bisa dengan cepat terbangun karena kebetulan Nenden Lilis lebih dulu memiliki hubungan dengan Korea. Ia sebelumnya telah menerbitkan beberapa karya sastra Korea ke dalam bahasa Indonesia bersama sastrawan Korea, Kim Young Soo. Kim lantas menjadi jembatan yang menghubungkan antara Setanggi dan Changjak21 yang sudah berdiri sejak tahun 1981. Di sisi lain, minat masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda pada hal-hal yang berbau Korea, saat ini memang tengah naik pesat. Sayang, pemahaman mereka baru sebatas pada segi budaya pop. Sisi-sisi lain Korea belum banyak diketahui. ”Jadi ingin ada saling pengenalan antara Indonesia dengan Korea dan sebaliknya Korea dengan Indonesia. Kebudayaannya, kesusastraannya. Jadi saling bertimbal balik untuk saling mengenalkan dua kebudayaan Indonesia dan Korea,” imbuh Nenden. Kerja sama antara Setanggi dan Changjak21 diperkuat dengan adanya MOU. Melalui MOU tersebut, kedua komunitas sepakat untuk menjalin kerja sama dalam berbagai kegiatan. Beberapa di antaranya adalah penerbitan buku dan jurnal, pelatihan, seminar, simposium, diskusi, pertunjukan sastra dan transformasinya, serta penerjemahan karya. ”Semua via Zoom. Online terus. Belum bertemu secara fisik sejak merintis sampai MOU,” kata Nenden. Festival Sastera Internasional Gunung Bintan (FSIGB) yang digagas sastrawan Rida K Liamsi sudah berlangsung sejak tahun 2018. Mulanya, festival ini selalu diadakan secara luring di Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Ketika pandemi merebak pada awal tahun 2020, Rida berpikir keras untuk menyelamatkan sastra dari kevakuman. ”Kita kemudian menemukan platform hybrid, perpaduan daring dan luring. Ternyata malah bisa menjangkau negara dan
ARSIP PRIBADI
ARSIP DESTIAN/GALERI NASIONAL INDONESIA
daerah asal para pesertanya secara lebih luas,” kata Rida. Sejak tahun 2018, FSIGB telah menerbitkan 10 antologi puisi yang melibatkan ribuan penyair. Para penyair itu, tambah Rida, berasal dari negara-negara seperti Singapura, Indonesia, Brunei Darussalam, dan beberapa dari Eropa. ”Di Indonesia, penyair bisa datang dari berbagai penjuru,” kata Rida. Tahun 2021, FSIGB menerbitkan antologi puisi Jazirah Delapan, memuat karya 275 penyair. ”Mereka yang ikut open call ada 560 penyair, berasal berbagai pelosok Indonesia dan negara-negara serumpun,” kata Rida. Secara tidak langsung, tambah Rida, FSIGB selamat karena munculnya teknologi digital yang penggunaannya begitu masif ketika pandemi. Platform ini, menurut dia, mempercepat proses silang budaya di antara sejumlah daerah dan negara di kawasan. Dalam antologi Jazirah satu sampai delapan, katanya, bisa dibaca kekhasan penggunaan diksi dan bahasa pada setiap daerah dan negara. ”Di sini kita lihat bahasa Melayu dan bahasa Indonesia sangat kaya,” katanya. Dalam nuansa yang berbeda, komunitas Gubuak Kopi di Kota Solok, Sumatera Barat, telah menggunakan sastra se-
bagai platform pemberdayaan masyarakat. Saat merantau untuk kuliah, Albert Rahman Putra jadi resah atas kondisi kotanya. Kota kecil ini terasa sepi karena mulai ditinggalkan anak muda. Pusat kehidupan lebih berkumpul di kota-kota besar, seperti Padang dan Bukittinggi. Kondisi Solok yang tak jelas mendorong Albert dan kawan-kawan menginisiasi Gubuak Kopi pada 2011. Gubuak Kopi yang terletak di Kelurahan Kampung Jawa mengambil filosofi kesederhanaan kedai kopi di mana orang bisa keluar masuk dengan leluasa. Lewat berbagai seni dan media, komunitas ini meneliti, mendokumentasikan, serta mengembangkan pengetahuan tentang Solok. ”Kami ingin membangun narasi tentang Solok dengan berbagai metode,” kata Albert dalam wawancara virtual dari Solok, Kamis (3/3/2022). Setelah itu, Gubuak Kopi berkembang dengan membuat beberapa program yang bisa memacu denyut kehidupan Solok sehingga tidak terbatas pada dokumenter atau tulisan. Program yang ada, antara lain proyek seni tahunan, rumah kreatif Rumah Tamera, dan lokakarya literasi media lewat Remaja Bermedia. Beberapa proyek seni yang Gubuak Kopi buat adalah Da-
Anak-anak di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, mengikuti kelas menulis kreatif yang diselenggarakan oleh Lakoat.Kujawas. Sastrawan Putu Wijaya (78) sedang menulis di telepon seluler dengan hanya menggunakan jempol tangan kanan, Rabu (2/3/2022). Martin Aleida (78) tengah menyelesaikan tulisannya. Suasana Pameran Daur Subur #7: Circumstance pada tahun 2021. Proyek ini digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi.
ur Subur dan proyek turunannya, seperti Lapuak-lapuak Dikajangi serta Kurun Niaga. Proyek-proyek seni ini menjadi platform membahas isu lokal secara lintas media. Proyek ini biasanya melibatkan seniman, masyarakat, akademisi, dan profesional. Di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan, Dicky Senda mendenyutkan sastra lewat komunitas Lakoat.Kujawas pada 2016. Komunitas ini bermula dari perpustakaan kecil. Lantas berkembang menjadi ekosistem kesusastraan di Mollo yang melibatkan anak muda, gereja, sekolah, tetua adat, dan kelompok masyarakat lainnya. Jumlah anggotanya 200-an anak-anak dan 50-an orang dewasa. Komunitas ini menghasilkan tulisan-tulisan yang dibuat berdasarkan dongeng, fabel, sejarah, dan cerita lokal. Sebagian telah dibukukan. Selain itu, mereka mengampanyekan dan mengarsip kegiatan sastra dan kebudayaan mereka di beberapa platform media sosial, seperti Instagram, Twitter, Facebook, hingga Tiktok. Pemerhati budaya Warih Wisatsana melihat platform digital adalah jawaban dari kenyataan sastra kita yang makin suram. Sebelum pandemi, katanya, hampir tidak ada isu sentral yang memperlihatkan bertumbuhnya pemikiran dalam dunia susastra. ”Sekarang dunia digital seolah menyelamatkan sastra dari kebangkrutan pemikiran!” katanya. (ELSA EMIRIA LEBA/ PUTU FAJAR ARCANA)