1
CATATAN PROSES BAKUREH PROJECT
DIMULAI DARI MAMANGGIA
ii
Catatan Proses BAKUREH PROJECT “DIMULAI DARI MAMANGGIA Pengantar Editorial
: Delva Rahman : Albert Rahman Putra
Penulis : Ade Surya Tawalapi, Anisa Nabilla Khairo, Dyah Roro Puspita Asmarani, Hafiz Zan, Nahlia Nahal, Nurul Haqiqi, Muhammad Risky, M. Yunus Hidayat, Ogy Wisnu Suhanda, Olva Yosnita, Sefniwati, Volta A. Jonneva, Zekalver Muharam. Editor : Albert Rahman Putra Design Layout : Dayu Azmi Foto : Koleksi Arsip Gubuak Kopi
Diterbitkan oleh Gubuak Kopi Solok, September 2018
Gubuak Kopi Jln. Tembok Raya, No. 322, Kel. Nan Balimo, Kec. Tanjung Harapan Kota Solok, Sumatera Barat. Email: gubuakkopi@gmail.com // web: www.gubuakkopi.id _______
Buku ini merupakan catatan proses dan bagian dari publikasi Bakureh Project. Proyek ini dipimpin oleh Delva Rahman dan didukung oleh Cipta Media Eskpresi
iii
Bakureh Project Bakureh Project adalah sebuah studi nilai-nilai kebudayaan lokal melalui tradisi “masak bersama”. Bakureh secaha harfiah dalam Bahasa Indonesia berarti ‘berkuli’, namum dalam konteks ini defenisi bakureh merujuk pada ‘gotong-royong masak’ yang dikomandoi oleh ibu-ibu dalam satu kampung. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan oleh ibu-ibu, namun, dalam kondisi tertentu juga terbuka pada keterlibatan laki-laki. Ia hadir dalam konteks pesta nagari (kampung), seperti pernikahan, pengangkatan pimpinan adat di tingkat nagari, upacara kematian, perayaan panen, dan lainnya. Tradisi ini memungkinkan terjadinya pertemuan sejumlah perempuan mewakili keluarga untuk memasak bersama. Proses ini melanggengkan sejumlah adab yang sudah tertata menjadi tradisi, mulai dari cara ia dikabarkan, pilihan menu berdasarkan kegiatan, dan pendidikan kuliner. Dalam pesta adat, jamuan makan menjadi salah satu wibawa, dalam upacara kematian orang-orang di Koto Baru secara khusus memasak lamang; ketika hendak meminang, di Padang Sibusuk orang membuat nasi lamak; — dan beragam adab spesifik lainnya, yang juga diperkaya dengan pemahaman filosofis. Dalam konteks tertentu Bakureh juga bisa kita lihat sebagai kekuatan sosial. Pada tradisi ini pertemuan juga tidak hanya memungkinkan perkenalan, tetapi juga pesebaran informasi, yang tidak jarang bersifat gosip/hoax. Di beberapa momen informasi ini didiskusikan, diabaikan, dan tidak menimbulkan dampak buruk dalam keseharian. Menarik mengangkat persoalan ini menyadari situasi bermedia di Solok yang ramai dan sensitif. Sejumlah orang digenerasi saya, di Solok, tidak mendapat pendidikan banyak soal tradisi ini, baik itu dari sekolah maupun dari rumah. Hal ini tentu berkaitan dengan perkembangan situasi sosial di Kota Solok. Perkembangan ini di antaranya mengantarkan kita pada situasi yang ingin serba cepat/instan dan cendrung individual.
Proyek ini secara khusus membaca dan mengembangkan posisi bakureh sebagai kekuatan sosial dan media kreatif lokal dengan tetap sadar akan sejarah, tradisi, dan perkembangan kontemporernya. Dalam hal ini, saya juga tidak ingin mengamini tradisi yang kemudian dilabelkan “perempuan” ini sebagai rujukan utama standar moral dalam konteks lokal, dan tidak pula berarti menentang tradisi sebagai penolakan terhadap konstruksi adat atas perempuan — yang belakangan hal ini menjadi “seksi” di kalangan pegiat seni perempuan. Penelitian ini diniatkan sebagai sikap kritis terhadap persoalan manusia sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Delva Rahman Pimpinan Proyek
iv
v
Editorial
Membaca Kembali Bakureh Kamis, 7 Juni 2018 lalu, telah selesai dilaksanakannya lokakarya Daur Subur sebagai tahapan awal dari rangkaian Bakureh Project. Pada dasarnya proyek seni ini merupakan proyek seni ke #4 dari Program Daur Subur yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tahun 2017. Proyek kali ini dipimpin oleh Delva Rahman, salah seorang pegiat media di Gubuak Kopi. Dalam proyek ini Delva melanjutkan temuan Elfa Kiki Ramadhani yang belum sempat dibahas mendalam pada Lokakarya Daur Subur #2 – Lapuak-lapuak Dikajangi, yang digelar September-Oktober 2017 lalu. Delva melihat sejumlah poin menarik dari isu ini, yang kemudian ia usulkan untuk dibahas lebih lanjut dalam bersama Program Daur Subur. Presentasinya kemudian diperkaya dengan masukan teman-teman lainnya di Gubuak Kopi, dan kemudian kita putuskan untuk merancang proyek ini semaksimal mungkin, dan Delva pun juga berhasil menggalang dukungan dari Cipta Media Ekspresi. Sejumlah poin-poin yang menarik ini, antara lain berkaitan dengan isu gotong-royong, posisi perempuan dalam kehidupan sosial, dan sistem sosial yang dibangun sebagai kekuatan kolektif masyarakatnya. Bakureh secara harfiah, atau secara umum bagi masyarakat Minang mendekati istilah berusaha, bekerja, atau berkuli dalam konteks tertentu ia memiliki makna yang sedikit kasar. Namun di Solok, bakureh merujuk pada tradisi gotong-royong memasak, dan tidak sesederhana masak bersama saja, ada beberapa adab dan nilai-nilai yang dilanggengkan. Perbedaan istilah tadi kemudian menjadi tantangan tersendiri, semacam pemantik untuk publik Minangkabau mengidentifikasi makna dan pergeserannya, ataupun istilah serupa di kampung halamannya. Kita pun memutuskan untuk mengundang sejumlah partisipan dari berbagai daerah dan disiplin. Lapuak-lapuak Dikajangi #1
Pada proyek Lapuak-lapuak Dikajangi, pembahasan difokuskan pada pengembangan praktek bermedia dalam pelestarian (pengembangan) nilai-nilai kebudayaan lokal dan tradisi. Waktu itu para partisipan kita undang untuk mengksplorasi teknologi media sebagai upaya pengarsipan dan jembatan pelestarian nilai-nilai, yang kemudian dipresentasikan dengan peristiwa kesenian, seperti pameran dan pertunjukan, guna menarik atensi publik.
vi
Dalam eksplorasi yang melibatkan 7 orang partisipan tersebut, Gubuak Kopi menangkap empat kasus menarik untuk dihadirkan mewakili kuratorial pelestarian nilai-nilai tradisi melalui platform multimedia, kasus tersebut antara lain dipantik melalui isu yang terdapat dalam tubuh tradisi manggaro, silek, bakaua, dan bakureh. (lihat juga: Pengantar Lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi, gubuakkopi.id, 2017)
Manggaro, adalah aktivitas yang biasa dilakukan petani di sawahnya untuk mengusir burung pemakan padi. Aktivitas ini mengandalkan beberapa peralatan sederhana seperti ‘orang-orangan sawah’, tiang-tiang yang diatasnya bergayut kantong kresek, kaos partai, dan ada pula yang bertuas, terinstalasi dan terhubung pada satu pondok. Di sana petani mengontrol semua instalasi itu, sementara di sampingnya siaga ketapel yang siap mengagetkan burung-burung. Tradisi ini sangat teknologis, bersamanya turut hadir potensi musikal dan visual. Sembari memainkan peralatan itu, tidak jarang petani meneriakan “auuukkkk…” dengan nada yang minor dan tinggi. Dalam open lab (pameran) yang ditata sebagai gambaran proses lokakarya Lapuak-lapuak Dikajangi ini, manggaro menjadi icon utama. Di halaman galeri, peralatan yang teknologis ini kita tata sebagai instalasi dengan sedikit pembenahan akan potensi visual dan musikalnya. Secara performatif para pengunjung pameran memainkan instaliasi ini dengan sensibilitas masing-masing. Selain itu, beberapa bunyi-bunyian tekait aktivitas manggaro di sejumlah titik di Solok, dikomposisi dalam teknik soundscape dan elektroakustik. Di dalam galeri ia menggema.
Di tengah-tengah galeri, di atas sebuah meja putih, bergerak berulang-ulang sketsa minimalis langkah tigo jo langkah ampek, dari riset para partisipan, diyakini gerak ini sebagai gerak dasar silek tuo yang berkembang di Solok. Selain itu menarik juga melihat ini sebagai studi cikal bakal gerak-gerak dasar dan koreografi tari yang berkembang di Solok itu sendiri. Sedangkan Bakaua, pada dasarnya berlaku sebagai tradisi berdoa bersama sebelum memulai sesuatu yang baik dengan sangat hikmat. Bakaua biasa dilakukan dalam mendirikian rumah, dan lainnya. Namun, dalam hal ini istilah bakaua lebih identik sebagai bagian dari tradisi mendoakan sawah sebelum ditanam kembali. Bakaua biasanya muncul sebagai bagian dari tradisi Tulak Bala[1] dan Alek Kapalo Banda[2]. Tradisi ini pernah tidak dilangsungkan lagi, karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, atau dianggap syirik. Tapi ini tentu juga perlu dikaji lebih dalam. Memang tradisi ini dekat dengan yang dinarasikan sebagai kebudayaan sebelum Islam. Namun, mengingat sebuah priode budaya yang cukup panjang, ketika Syech Burhanudin dan jaringannya berhasil
vii
meng-islamkan sebagian besar Minangkabau, melalui metode tarekat Sattariah, tradisi-tradisi dapat dimediasi atau digeser maknanya sebagai adab dan turunan dari ajaran Islam. Ia telah melekat dalam kehidupan, sehari-hari sebagai kebudayaan. Kembali pada esensi, agama akhirnya adalah persoalan iman setiap individu dengan tuhannya, adab yang di dalamnya sudah kait-berkait dengan nilai-nilai kearifan lokal, akhirnya berkembang sebagai turunan dari esensi ajaran agama yang berkembang dinamis. Kemudian bakaua kembali dihadirkan di Solok dalam beberapa agenda pariwisata. Doa-doa, sekilas ia jadi pertunjukan. (Lihat juga: Kuratorial Open Lab Lapuak-lapuak Dikajangi, gubuakkopi.id, 2017) Bakureh dalam hal ini, kita lihat mewakili sistem sosial mengikat kita dalam wujud gotong royong. Bakureh sekilas memang sebuah perkerjaan dapur atau pekerjaan di balik layar, yang jarang kita sadari juga merupakan pupuk penting menumbuh-kembangkan kekuatan sosial kita sebagai masyarakat komunal nan egeliter. Seperti yang dibahas Kiki dalam riset sebelumnya, Bakureh dalam segala kegiatan membawa dampak yang sangat besar terhadap kehidupan sosial masyarakat. Bakureh mengajak kita peduli terhadap tetangga kita, sadar bahwa saling kita membutuhkan, sadar akan saling menghargai, dan yang paling penting, bakureh akan mempertemukan kita dengan tetangga dan saudara jauh. Bercanda gurau, gosip-gosip kecil, dan saling meng-update informasi tetangga-tetangga kita. Di sana dapat kita lihat betapa kuat nilai sosial yang ada di lingkungan tersebut. (Elfa Kiki Ramadhani, Gubuak Kopi, 2017) Kiki sebagai generasi kini mengutip ingatan Dautak Tan Ali, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Solok, menurutnya, warga yang datang untuk ikut serta menyumbangkan tenaga dalam semua kegiatan kampung, melakukannya dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan berupa materi. Mereka memikirkan atau tidak terlalu mementingkan hukum sosial ini: di saat kita membantu orang sekitar dengan ikhlas, suatu saat jika ia butuh bantuan, ia pun akan dibantu dengan ikhlas oleh orang kampung. Kebersamaan dan rasa peduli terhadap sesama lebih berharga dari pada uang.
Dalam konteks sekarang, bakureh dinarasikan sebagai sebuah aktivitas kolektif zaman yang berbeda dengan hari ini. Di beberapa perkumpulan ibu-ibu kita kembali menggali narasi tersebut, sebagian besar larut dalam nostalgianya, dan setengah diantaranya pesimis ia dapat hidup kembali. “kini kok ndag baupahan, payah, diak� (sekarang kalau tidak diupah, susah, dik) kata sekelompok ibu-ibu sepakat di sebuah kedai, di Tembok Raya.
Dalam hal ini, kita pun tidak ingin memaksa untuk menghidupkan ini kembali, karena memang situasi sosial dalam garis besar atau pun hal-hal di luarnya telah berubah dan menjadi situasi sosial baru. Pada masa dahulu, memang kalau hendak bergotong-royong setiap warga dapat menggunakan otoritasnya, menghentikan pekerjaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial. Sekarang semuanya serba patron-klien. Dalam hal ini adalah pilihan masyarakat sendirilah untuk menolak ataupun melanjutkan itu, dan kita juga bagian dari masyarakat itu. Tradisi Yang Terpisah
Di Buluh Kasok, Kabupaten Sijunjung, beberapa kali saya menyaksikan tradisi bararak (arak-arakan pengantin) yang menarik. Kalau biasanya, iringan musik dalam bararak adalah permainan talempong pacik, gandang, dan pupuik, serta detingan penari piring. Di Buluh Kasok, sala satu sanggar binaan Nagari, terdiri dari sekelompok ibu-ibu, membawakan talempong ini tidak hanya memainkan repertoar talempong pacik, tapi juga memainkan beberapa lagu pop yang identik dengan acara pernikahan. Satu oktaf talempong dipecah para beberapa pemain, ditambah pula beberapa ibu-ibu menjadi penyanyi, dan lainnya menja-
viii
di pemain ‘organ’, satu orang mendorong gerobak, yang di atasnya tersusun toa dan ampli pengeras suara bersama aki sebagai sumber energinya. Arak-arakan semakin meriah.
Sebagai sebuah kesenian tradisi, biasanya di sebagian besar nagari, arak-arakan berisikan barisan keluarga bako membawa jamba, di belakangan terdapat barisan musik talampong pacik diiringi oleh bapak-bapak. Memang ada pergeseran dari zaman dulu hingga sekarang, tapi saya kira ini menarik tanpa merobah esensi dari arak-arakan itu pada masa sekarang. Secara visual memang agak sedikit unik: gerobak, ampi, toa, organ, dan mic. Tapi sepertinya memang begitulah cara kita menyikapi perkembangan hari ini: teknologi boleh saja tidak diciptakan sesuai kebutuhan kita, tapi kita punya daya untuk mengakalinya. Fenomena ini, kemudian tidak hanya sebagai eksplorasi teknologi, tapi juga sebagai bagian dari pemberdayaan, pengembangan, maupun pendayagunaan teknologi di hari ini. Oleh sebagaian besar institusi yang bertanggung jawab atas pelestarian tradisi, sering kali memposisikan ‘tradisi’ sebagai barang terpisah dari kebudayaan yang tengah berlangsung. Tidak sedikit yang memperlakukannya sebagai barang antik dari masa lampau, untuk dipajang pada masa sekarang. Praktik ini sering kali mengantarakan ‘tradisi’ pada pendangkalan makna yang tidak besua titik temunya dengan keadaan masa sekarang. Hal serupa juga muncul diberagam diskusi-diskusi mengenai tradisi. Nilai-nilai seolah tidak dapat diadaptasi pada kehidupan sekarang. Seolah-olah kebudayaan ini tidak boleh berkembang, dan generasi kini tidak boleh menentukan.
Cukup kita maklumi, ‘tradisi’ masa lalu, sering kali dianggap telah melewati uji tahan yang membuatnya tidak bisa dipatahkan lagi. Kecemasan akan generasi muda memahami ini dengan gegabah, sering kali muncul dipikiran tetua adat kita, apa lagi hendak ‘memperbaharuinya’. Gubuak Kopi sebagai kelompok yang juga berupaya menggiatkan pelestarian sebagai pengembangan seni dan media, berupaya menggali dan mengkritisi kembali nilai-nilai ke-
ix
budayaan lokal pada masa lampau untuk ditarik pada masa sekarang. Kita sebagai generasi yang tidak mendapat banyak pendidikan soal kebudayaan lokal, akhirnya harus mendalami itu sendiri dan menemukan narasumber yang memungkinkan untuk menghantarkan kita pada pengetahuan itu. Menelusuri tradisi, tidak pula untuk mengagungkan yang lampau, melainkan untuk memahami kembali nilai-nilai masa lalu yang menghantarkan kita pada hari ini, dan bagaimana kemudian kita harus menyikapinya, merespon persoalan-persoalan kolektif hari ini. ***
Bakureh bagi sebagian besar masyarakat Minangkabau kini diidentikkan dengan berkuli, kadang bermakna kasar, kadang candaan. Bahkan di Solok, yang sebelumnya ia diidentikan dengan gotong royong pun mulai menggeser maknanya. Beberapa warga ibu-ibu yang saya temui, dengan kata kunci “tradisi bakureh� hampir semua menghubungkan ingatannya pada tradisi gotong royong memasak. Pada sebagain besar remaja, mereka mengidentiknya dengan bekerja. Kalau orang dari luar Solok, juga mengidentikannya dengan berkuli. Pada Minggu, 3 Juni 2018 lalu, di Markas Gubuak Kopi, hadir Ibu Suarna untuk membagi ingatannya terkait tradisi bakureh di Solok. “besok kito bakureh di rumah si anu� (besok kita akan bakureh di rumah si anu), demikian ibu Suarna menggambarkannya waktu itu. Maka seperti biasa ibu-ibu ini akan meluangkan waktunya untuk memasak bersama. Tugas ini pun dipahami sebagai sebuah kesenangan, momen untuk meng-update informasi dan bercanda gurau, bertemu tetangga, dan mendalami cara memasak. Tidak jarang, perjodohan berlangsung di sini.
Sebelumnya, ketika topik bakureh kita lempar pada Mak Katik, yang dikenal sebagai tokoh adat dan budayawan Minangkabau, ia mengidentiknya dengan usaha. Sebagian besar contohnya ia gambarkan sebagai upaya individu untuk bertahan hidup dan mencapai citanya. Di hari lain Buya Khairani memperluas maknanya. Bakureh dalam konteks masyarakat Solok, ternyata tidak hanya arisan masak dalam konteks pesta perkawinan dan tidak pula sekedar berupaya dalam pengertian bertahan hidup secara personal. Bakureh dipakai dalam sebagaian besar kegiatan kolektif atau berbasis kemasyarakatan, baik itu alek kawin, kemalangan, dan alek kampuang. Sejalan dengan Buya Khairani, Datuak Tan Ali memunculkan kata bakureh sebuah istilah yang kompleks dan memang tidak bisa diharfiahkan sebagai persamaan kata saja. Defenisinya semakin kaya dan lebih spesifik dari pada sekedar gotong royong, di dalamnya terdapat sistem pengetahuan, adab, mediasi, pesebaran informasi, dan upaya mememperkuat modal sosial. adat hiduik di dunie tolong-manolong, adat mati janguak-manjanguak, adat ado basaliang tenggang, adat kayo mambantu yang miskin
(adat hidup di dunia adalah tolong menolong, adat mati saling menjenguk, adat ada/ berkepunyaan salaing bertenggang/membantu, adat kaya membantu yang miskin)
Bakureh kemudian kita pahami sebagai sebuah kekuatan sosial, yang dibangun dari sistem yang hidup di masyarakat matrilineal di Solok. Di tempat lain, ia beragam namanya. Sebelum bakureh dan alek di mulai, kata Buya Khairani, ada proses bandoncek sebagai momen untuk menentukan pemberian bantuan atau patungan bisa berupa uang, tenaga, bahan masak, atau perlengkapan yang dibutuhkan oleh orang yang akan menikah. Setiap daerah memiliki istilah atau nama dan praktek yang berbeda, kalau di Koto Baru, biasanya pihak keluarga yang memberikan bantuan berupa perlengkapan nikah seperti, kain selimut, tempat tidur dan lain-lain, ada juga yang menawari bantuan tenaga, bisa menolong di dapur, mencarikan
x
perlengkapan masak dan lain-lain, maka semuanya akan memiliki peranan masing-masing setelah badoncek dilakukan. Lalu, seperti yang pernah dibahas Kiki sebelumnya, barulah ditentukan bakureh secara teknis, jenis makanan berdasarkan besarnya pesta, memanggil orang bakureh, dan seterusnya. ***
Bakureh bukan sekedar gotong royong. Istilah bakureh mengandung dua makna yang berseberangan, satu ia dianggap sebagai pekerjaan baupah (berdasarkan upah) dan lainnya ia dilihat sebagai kerja gotong-royong yang kompleks. Jika kita merujuk pada istilah bakureh yang dijabarkan Buya Khairani dan Datuak Tan Ali, ternyata, bakureh bisa kita liat sebagai bagunan sosial di dalamnya terdapat gotong royong, adab, falsafah, dan sistem kekuatan sosial, yang kemudian memberikan dampak sebagai modal sosial kita, masyarakat komunal nan egaliter.
Suatu hari saya mengikuti proses panjang sebuah alek pernikahan, ibu-ibu dan bapak-bapak ikut bakureh. Di dapur ibu-ibu meracik bumbu masak, bersama sejumlah bapak-bapak mengaduk kuali besar, lainnya memeras parutan kelapa menjadi santan dengan alat sederhana. Masakan menjadi hidangan makan alek adat, menarik sebenarnya menyimak aktivitas itu. Memang beberapa pemasak adalah orang bayaran atau diupah. Bakureh hanya sebatas meracik bumbu dan mepersiapkan bahan-bahan. Tidak banyak lagi yang memiliki kemampuan baik dalam memasak randang ataupun gulai cubadak, kalaupun ada mereka sibuk.
Tapi esok harinya, ibu-ibu ini bersama keorganisasian Bundo Kanduang melakukan bararak, lain halnya dengan sebagaian besar arak-arakan yang dikomandoi oleh keluarga bako. Di bakul yang diarak, kini adalah masakan yang telah dibeli, dan beberapa diantaranya ada membawa tadah berisikan amplop saja. Memang secara sosial mereka adalah para pendatang. Tapi juga menganggap ini kampung halamannya, dan menawarkan adab baru. Beberapa orang memang agak ‘pantang’ sekali melihat ini, namun menarik menyimak upaya “kegotong-royongan� itu, dan lagi-lagi upaya pemberdayaan. Albert Rahman Putra Solok, Juni 2018 -----------------------------
[1] Tulak Bala atau menolak bala adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh petani dengan melakukan beberapa kegiatan zikir dan doa untuk meminta pada tuhan agar pertanian mereka tidak terkena hama atau penyakit yang di luar kemampuan mereka mengatasi. [2] Alek Kapalo Banda, tradisi ini biasanya dilakukan pada masa transisi antara panen dan hendak menanam kembali. Alek ini biasanya diselenggarakan sebagai ungkapan rasa sukur dan doa untuk memulai penanaman agar berkah.
xi
Daftar Isi Pengantar: Bakureh Project Delva Rahman
iv
Editorial: Membaca Kembali Bakureh Albert Rahman Putra
vi
Liputaan Lokakarya Mengawali Bakureh dengan Mengenal Media Ogy wisnu Suhanda Melihat Bakureh dalam Sastra Volta A. Jonneva
2
5
Metode Penelitian dan Bundo Kanduang Zekalver Muharam
9
Buya Khairani: Bakureh adalah Kekuatan Sosial Muhammad Riski Gotong Royong, Perempuan, dan Kesenian Hafizan Kesenian sebagai Media Pelestarian Nilai M. Yunus Hidayat
13 17
25
Catatan Obsertvasi Bakureh Dimulai dari Mamanggia Sefniwati
30
Bakureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau Ade Surya Tawalapi
38
xii
Kaba Buruak Dihambaukan Olva Yusnita
51
Mempertajam Bingkaian di Pulau Sawo Ogy Wisnu Suhanda Pertemuan dengan Bakureh Nahlia Amarullah
57
62
Nostalgia Bakureh bersama Tek Yuni Nurul Haqiqi
67
Bararak Bersama Datuak Bandaro Hitam Muhammad Riski Bakureh Hingga Adab Berpakaian Dyah Roro Puspita Asmarani Makna yang Berkembang Sederhana Anisa Nabila Khairo Janang 87 Muhammad Irvan Profil Partisipan 92 Tim Fasilitator 94
xiii
75
77 82
Media P
Mengawali Bakureh dengan Mengenal
ada awal Juni 2018 ini, Komunitas Gubuak Kopi kembali menggelar sebuah proyek seni, kali ini bertajuk “Bakureh Project�. Proyek ini diprakarsai oleh Delva Rahman sebagai bagian dari program Daur Subur. Program ini digagas oleh Gubuak Kopi sejak tahun 2017, sebagai upaya pengembangan media berbasis komunitas dalam membaca dan memetakan kultur masyarakat pertanian di Sumatera Barat. Proyek yang didukung oleh Cipta Media Ekspresi mencoba mendalami tradisi bakureh, sebuah tradisi gotong royong memasak di Solok. Bakureh secara harfiah berarti berusaha keras atau berkuli, namun dalam koteks ini, bakureh merujuk pada tradisi masak bersama yang dikomandoi oleh kaum ibu dalam mempersiapkan sebuah seremoni kolektif masyarakat suatu kampung, seperti pernikahan, kematian, perayaan dan lainnya. Isu ini sebelumnya pernah dibahas oleh Elfa Kiki, sebagai salah seorang partisipan, pade lokakarya Daur Subur #2 dengan tema Lapuak-Lapuak Dikajangi, pada September 2017.
Selain persoalan masak-memasak, bakureh memiliki potensi menarik untuk didalami sebagai sebuah tradisi yang memungkin pertemuan, pesebaran informasi, serta pendalaman nilai-nilai filosofis keadatan. Pada kegiatan Bakureh Project ini, Komunitas Gubuak Kopi mengajak para perempuan muda untuk mengenali dan mendalami isu tersebut dengan kerangka kerja Program Daur Subur. Para perempuan muda ini terdiri dari lintas disiplin yang berbeda yang nantinya akan mengikuti serangkaian kegiatan dari awal Juni hingga pertengahan Agustus 2018. Partisipan
2
yang terlibat antara lain: Ade Surya Tawalapi, biasa disapa Ade, pegiat komunitas Sayurankita (Pekanbaru); Sefniawati merupakan mahasiswa pasca-sarjana, dengan fokus studi Sumber Daya Alam di Universitas Andalas (Unand) asal Pariaman; Nahlia Nahal mahasiswa Ilmu Komunikasi Unand; Dyah Roro Puspita Asmarani, biasa disapa Roro, lulusan Universitas Negeri Padang dengan studi Kearsipan; Anisa Nabilla Khairo biasa disapa Icha, pegiat komunitas baca Book N Roll; Kiki Cupay, mahasiswa Jurusan Seni Teater, Institut Seni Indonesia Padangpanjang; dan Olva Yosnita mahsiswa jurusan Sosiologi Unand. Para partisipan telah datang pada hari sebelumnya, Â 31 Juni 2018. Para partisipan berkumpul untuk melakukan persiapan lokakarya Daur Subur yang berlangsung selama 7 hari ke depan. Lokakarya ini menjadi tahap pertama dari rangkaian Bakureh Project. Partisipan yang akan menjadi tim selama dua bulan ke depan, saling berkenalan dan membaur, sambil menunggu berbuka puasa bersama. Menjelang jadwal sholat Jumat, 1 Juni 2018, kegiatan Bakureh Project dibuka oleh Albert Rahman Putra selaku Ketua Komunitas Gubuak Kopi, bersama Delva Rahman selaku pimpinan proyek. Pada pembukaannya Albert menjabarkan latar kehadiran Bakureh Project, Program Daur Subur, dan rencana kegiatan selama dua bulan ke depan, dan teknis agenda terdekat pada 7 hari ini, yakni lokakarya.
Lokakarya ini merupakan pembekalan dan penyetaraan presepsi terkait isu bakureh, media, dan perempuan. Setelah pembukaan, para partisipan istirahat siang, dan berlanjut pada sesi pertama setelah Jumat. Sesi pertama adalah pemaparan materi literasi media oleh Albert Rahman Putra. Albert dalam meterinya menjabarkan sejarah dan perkembangan media, praktek-prakteknya di Indonesia. Salah satunya Albert menjelaskan bagaimana media menjadi kebutuhan banyak orang, bagaimana ia bekerja sehingga ia berpotensi besar sebagai menjadi alat propaganda bahkan merubah kebiasaan kita. Perusahaan-perusahaan media yang dimiliki oleh pebisnis besar dan dikelola secara terpusat ini juga memiliki kepentingan politik-merebut bangku kekuasaan dan memiliki kuasa akan informasi yang ia sebargkan. Kesadaran ini memunculkan pertanyaan bersama: bagaimana jika media-media besar ini
3
dipegang oleh tangan yang “salah�?
Selama ini, kita banyak dipengaruhi oleh televisi sebagai media arus utama yang diminati masyarakat, sehingga masyarakat terbawa oleh angan-angan akan pengaruh-pengaruh yang ada di televisi, seperti halnya sinetron, iklan, berita, dan lainnya. Masyarakat sepertinya menerima begitu saja apa yang diberikan negara tanpa adanya pembelajaran khusus yang diberikan untuk masyarakat terkait media tersebut, Albert juga menjabarkan hubungan media dan keterkaitannya dengan seni. Dalam kesimpulannya jika media – yang dengan segala tipu dayanya—adalah masalah, ia bisa dilawan dengan mengenali cara kerja media itu sendiri, mengenali mediumnya, dan menghadirkan media-media alternatif secara bijak. Selain itu, keterkaitannya dengan Bakureh Project khususnya sebagai upaya untuk aksi pendistribusian pengetahuan lokal. Ogy Wisnu Suhandha
Solok, 1 Juni 2018
4
Mak Katik:
Melihat Bakureh dalam Sastra
P
ada hari kedua lokakarya Bakureh Project ini, partisipan memulai aktivitas seperti yang sebelumnya, dengan sahur bersama. Selanjutnya aktivitas kita mulai jam 11 pagi, seperti yang sudah diagendakan, agenda hari ini adalah materi kebudayaan Minangkabau oleh Musra Dharizal Katik Jo Mangkuto, atau yang biasa kami kenal dengan Mak Katik. Mak Katik adalah salah satu budayawan Minangkabau, dan juga sering diundang untuk mengajar terkait kebudayaan Minangkabau di sejumlah kampus seperti di Universitas Andalas (Unand), Malaysia, Hawai, dan lainnya. Dan malamnya dilanjutkan dengan menonton filem The Hidden Fortes (Akira Kurosawa, 1985). Kita memulai aktivitas pagi ini dengan mereview kegiatan yang dilakukan di hari sebelumnya. Pada hari sebelumnya Albert Rahman Putra menjabarkan Sejarah dan Perkembangan Media. Delva membuka diskusi pagi ini dengan menanyakan pendapat dan pemahaman para partisipan mengenai tentang apa yang telah dibahas di hari sebelumnya, serta beberapa tugas yang diminta.
Sefni salah seorang partisipan mendiskusikan mengenai perkembangan perfileman Indonesia, dan juga sutradara-sutradara yang sempat di bahas sebelumnya. Sementara, Ade membahas mengenai Nam June Paik, Dziga Vertov, dan juga bagaimana film-film Dziga Vertov yang mengkritik pemerintah di masa itu. Dan berlanjut dengan penjebaran teman-teman partisipan lainnya. Siangnya setelah istirahat dan juga sholat, kita melanjutkan kegiatan dengan Mak Katik. Khususnya mengenai adat, tradisi bakureh, sastra, dan sistem sosial di Minangkabau. Mak Katik membuka dengan bercerita mengenai bagaimana adab kita membaca, membaca dalam arti seluas-luasnya, membaca hal tersurat maupun tersirat. Mak Katik berpandangan sebaiknya kita membaca itu dengan menggerakkan bibir dan lidah, sekurang-kurangnya suara kita bisa di dengar oleh kita sendiri. Hal ini bisa membantu kita memperkayua kosa kata. Menurut Mak Katik inilah salah satunya yang membuat lemahnya penulisan di Minangkabau
5
saat ini.
Dengan membaca juga, kata Mak Katik, kita bisa tahu bagaimana Bahasa Minangkabau itu ada sembilan suku kata, untuk di tulis dan di ucapkan boleh sembilan dan sepuluh suku kata tetapi yang untuk didendangkan wajib sembilan suku kata, tidak boleh lebih. Ia mencontohkan:
La-ri ba-na ka-li-ang ba-tu Ba-si-lang u-rang jo pang-ga-li Du-duak ta-ma-nuang su-rang di-ri
Ketika dia dibawakan ke lagu Minang klasik, dia harus sembilan, dan ketika dia dibawakan minang pop dia boleh sampai 13 suku kata, demikian kata Mak Katik. Banang-banang suto den sulam den rendo
Mak Katik juga telah menerbitkan buku “5000 Pantun� dan sekarang sedang menggarap buku pantun yang yang baru. Mak Katik juga menjelaskan, Pantun Minangkabau ada beberapa bagian, pantun adat, pantun melayu, pantun minang, pantun bidarai. Pantun adaik, harus punya sampiran dan juga bisa diurai, setiap suku kata dan setiap baris dan tidak boleh diubah-ubah, contoh. Kalauak paku kacang balimbiang Tampuruang lenggang lenggokan Baok manurun kasaruaso Anak dipangku kamanakan dibimbiang Urang kampuang di patenggangkan Tenggang nagari jan binaso
Pantun Melayu sampirannya biasanya tidak selalu berkaitan dengan isi. Ia tidak perlu diurai sebagai kias yang bermakna untuk mendukung isi. Si jirong manngali lambah Babaju baludu gandun Kok tadorong ambo manyambah Sakali gawa baribu ampun
Pantun Minang harus dekat sampirannya dan sesuai dengan maknanya. Artinya sampiran tidak boleh sembarangan, harus berkaitan dengan isi. Putuik badantiang tali rabab Putuih disingguang langan baju Indak guno dicari sabab Abih untuang cari dahulu
Pantun bidarai (berderai), suku kata terakhir biasanya tidak sama.
Mak Katik juga menyinggung sedikit mengenai bakureh dalam artian tolong-menolong dalam masak memasak. Berkaitan dengan bakureh ini, Albert menanyakan mengenai adab tentang makanan berdasarkan upacaranya. Misalnya, apakah pesta pernikahan kematian memiliki menu makanan khusus?
6
Menjawab itu, Mak Katik membahas terlebih dahalu mengenai Adat nan Ampek  (adat yang empat) yakni: Adaik sabana adaik (adat yang sebenar-benar adat), adaik taradaik (Adat yang teradat), adaik istiadaik (Adat istiadat), adaik yang diadaikan (Adat yang diadatkan). Dan terjadinya adaik yang empat ini ada 4 sebab pula, yakni alam takambang jadi guru, kitabullah, adaik maniru manuladan, dan adat di susun oleh adat sabatang panjang. Namun pada prakteknya ada yang melalui kesepakan ada pula yang meniru saja tanpa memahaminya.
Jadi yang sebenarnya dibawa dalam pesta pernikahan, khususnya tradisi meminang (melamar) itu adalah nasi lamak. Karena nasilamak setiap butirnya melekat satu sama lain, bersaudara, menggambarkan keterikattan kita sebagai makluk sosial. Namun adanya tingkatan adat salingka nagari, makanya di beberapa daerah ia juga bisa bertukar dengan lamang. Karena nagari juga memiliki kebijakan atas dasar kesepakatan untuk membuat adab-adab khusus.
Menurut dari Mak Katik arena yang dibangun dengan cara adat nan sabatang panjang banyak yang sudah direbut oleh bisnis pelaminan dan catering (ketring). Ajang masak-memesak itu adalah ajang penyitaan oleh ketring. Dahulu tiga hari sebelum acara pernikahan, orang sudah mulai persiapan untuk masak-memasak dalam perhelatan, mulai dari menyiapan bumbu-bumbu dan bahan-bahan untuk dimasak dan juga menyiapakan kajang (dapur dadakan berupa tenda sederhana). Tetapi zaman sekarang banyak hal-hal yang seperti itu sudah hilang, hanya di wilayah-wilayah tertentu yang masih memakai adat seperti itu. Mak Katik juga menyinggung mengenai masakan apa saja yang wajib dimasak di dalam perhelatan, yaitu: Randang, kalio hati, pangek lawuak, goreng maco karupuak ubi, paragedel kantang, karupuak jangek, samba kuah. Randang adalah pangulu samba (tuannya lauk), memasak rendang tidak boleh dikacau sembarangan atau digayung. Memasaknya harus diaduk secara tulak rayiah sasakali lenong (ditolak dan ditarik sendoknya, sesekali diputar dikuali) prinsip ini sama halnya dengan
7
prinsip musyarawah niniak mamak. Panghulu tidak boleh menimba hitungan dalam nagari dan dalam kaum, seperti itu membuat perundingan dalam berdiskusi, jangan ditolak saja semua argumentasi orang dan jangan juga di tarik semuanya, kita harus memilah dan memilih. Kalio Hati, (gulai hati) kenapa memasak hati, di dalam pernikahan atau perkawinan yang dipertemukan itu hati, baik hati yang jadi pengantin maupun hati dari kedua belah pihak keluarga besar. Pangek Lauak (daging ikan yang digulai kering), kenapa pangek lauak? Meskipun hidup di dalam berkeluarga besok hidup menderita, miskin dan lainnya. Dalam keseharian kami akan tetap damai saja dan tidak akan ada masalah.
Goreng maco karupuak ubi. itu menyimbolkan masyarakat banyak. Paragedel, itu simbol kalau orang ini sudah berkeluarga, lebih merujuk pada hal bertambahnya satu lapis status seseorang. Karena paragedel adalah adonan kentang yang kemudian dibaluti dengan gerongan telor. Karupuak jangek (kerupuk kulit kerbau), yang merasakan sentuhan pertama itu kulit.
Hal serupa juga dilakukan pada Alek Pangulu, bedanya semuanya dari kerbau. Di dalam Alek Pangulu banyak persaratan untuk kerbau yang dijadikan masakan. Dari bentuk fisik sampai ciri-ciri yang yang jadi persaratan, karena kerbau ini yang akan mencerminkan si penghulu. Biasanya kerbau yang mada, yakni ketika ekornya dicubit dia tidak menyepak. Menurut Mak Katik ini merupakan analogi dari sifat pemimpin itu sendiri. Jangan sampai ada masalah sedikit ia menyepak orang-orang. Dalam diskusi ini, Sefni salah satu partisipan menanyakan mengenai adat dalam kematian, tentang manigo hari, manujuah hari, manyartuih hari, dll, itu ada pula dalam adat sebatang panjang? Menurut Mak Katik ini juga berkaitan dengan kayakinan beragama agama, satu hari bibit di dalam rahim itu jadi apa, tiga hari jadi apa, dan seterusnya. Jadi inilah jadi dasar adat dalam kematian tadi ini. Mamulangan puruak ka asa (memulangkan yang sudah jadi ke asalnya) secara hakikat, susuatu yang sudah jadi ini dipulangkan dengan do’a ke asalnya, dari ada jadi tidak ada. Dan itu menjadi pertanyaan terakir diskusi dengan Mak Katik. Selanjutnya kami istirahat sejenak untuk Sholat dan lainnya. ***
Seusai Ashar, kami pun melanjutkan kegiatan di hari kedua ini dengan berdiskusi bersama mengenai materi yang di berikan Mak Katik tadi. Albert membuka dengan mempertajam pembahasan terakait adat salingka nagari yang dibahas oleh Mak Katik sebelmnya.
Kemudian, Sefni membahas mengenai salah satu materi dari Mak Katik, yang mengatakan “Adat basandi syarak, sarak basandi kitabullah� dipahami bahwa adat Minangkabau ini berasal dari agama Islam. Jadi sebelum Islam masuk, disebut apa Minangkabau ini? Menurut albert, sebenarnya ini yang harus kita kritisi, maksudnya, ada sesuatu yang harus kita pertanyakan kembali, ada narasi lain dari itu, bahwasanya Minangkabau ini sudah ada sebelum Islam, kita ada agama lain sebelumnya, dan Islam masuk setelah itu dengan tidak gampang pula. Volta Ahmad Jonneva
2 Juni 2018
8
Metode Penelitian dan
Bundo Kanduang
M
inggu, 3 Juni 2018, sebelumnya Delva Rahman mengumumkan siang itu seharusnya kita ada kegiatan observasi lapangan untuk mencari isu terkait Bakureh. Lalu ada sedikit perubahan karena kebetulan terkendala listrik dan air yang mati dan untuk agenda ke lapangan diundur dari jadwal awal. Kami dan partisipan berisiniatif ke Taman Bidadari. Jadwal observasi digantikan dengan pendalaman materi metode penelitian bersama Albert Rahman Putra. Albert menyampaikan materi metode riset, membedah pola-pola menemukan narasumber, menemukan fenomena, menilik persoalan dari prespektif warga, dan lain sebagainya. Ia menyampaikan secara umum penelitian dibagi menjadi kualitatif dan kuantitatif, kemudian ada berbasis observasi dan data atau turun ke lapangan dan dikembangkan dengan cara kerja mengolah, serta dianalisis kembali. “Dalam hal ini, kita menggunakan prespektif warga. Kita adalah warga, dengan latar pendidikan dan pengetahuan yang beragam. Warga yang mengkritisi persoalannya. Bukan berarti kita menjadi panggung untuk semua orang‌â€? kata Albert. Menurut Albert, penulis yang baik, tidak menjadi panggung persoalan yang tidak kita alami. Kita terlebih dahulu mendalami persoalaan itu. Membicarakannya berdasarkan pengalaman individual maupun kolektif, termasuk meminjam pengalaman orang lain untuk mengatur sudut pandang atau membantu pembaca memahami persoalan secara kompleks.
“tidak semua cerita yang kita dapat di lapangan harus kita hadirkan. Penulis harus bisa mengkurasi itu, sesuai kebutuhan penulisan.� Kemudian, latar belakang penulisan dalam kerangka penulisan Daur Subur atau yang juga diterapkan dalam Bakureh Project ini adalah berpatokan pada kisah-kisah atau pun
9
pengalaman personal dan kolektif, dan persoalan yang dirasa penting untuk dikupas lebih jauh, untuk melihat isu bakureh dari beragam dimensi.
Sebagai contoh, seorang anak disuruh membuang sampah oleh ibunya, lalu anak ini pergi menjemput sampah itu, spontan ia membuang sampah ke sungai dan warga lainnya menyaksikan peristiwa tersebut tanpa ada hasrat untuk berpikir melarang atau berpikir itu bermasalah. Namun, kita bisa memahaminya sebagai warga, bahwa hal itu sudah menjadi latah kebudyaan kita. Adat pun tidak pernah membicarakan secara spesifik mengenai aturan ini, dan tentunya tidak ada pendidikan yang serius soal itu. Contoh lainnya di Kota Solok, rumah-rumah membelakangi sungai sementara di kampung pintu rumah menghadap sungai. Ada beberapa hal yang bisa kita tarik dari fenomena ini. Barangkali arah pengembangan kota telah merubah pemahaman kita tentang sungai, kalau dia dulu adalah sumber utama kehidupan, sekarang ia adalah tempat pembuang limbah.
Lalu selanjutnya Albert menyampaikan tentang “kesadaran isu”, misalkan terkait isu bakureh. Maka tidak ada salahnya kita mengatahui terlebih dahulu tradisi bakureh secara konvensional, menemukan polanya, dan mendeteksi hal-hal yang “melenceng” dari pola itu, lalu apa dampak-dampaknya dalam kehidupan sosial kita. Kemudian dilanjutkan dengan kerangka berfikir yang kritis dan skeptis.
Skeptis dalam artian meragukan “kebenaran” atau konstruksi kebanyakan atau arus utama, bahkan hal-hal yang dinyatakan benar oleh orang–yang kita berpihak kepadanya. Mengujinya dengan cara pandang yang mungkin berseberangan, dekonstruksi, dan lain sebagainya. Di situlah proses “kurasi” menjadi penting dan mengaduknya untuk mendukung pendapat kita sendiri ke dalam tulisan. Perspektif yang kita pakai dalam penulisan ini memang subjektif, tapi kita perlu mengeksplorasinya se-objetif mungkin. Setelah melakukan observasi dan riset lanjutan, Albert menganjurkan sebaiknya kita
10
terlebih dahulu membuat sebuah outline. Di mana outline ini nantinya sebagai tulang atau kerangka yang akan kita isi.
Setelah materi dari Albert, dari Taman Bidadari kita pulang menuju markas Komunitas Gubuak Kopi. Pukul 14.00 kita melanjutkan kuliah bersama Ibu Suarna. Beliau adalah salah seorang tokoh perempuan adat, Bundo Kanduang, Kelurahan Nan Balimo, Solok. Dalam suasana diskusi santai Ibu Suarna mulai menjabarkan tradisi Bakureh yang berkembang di Tembok, Kelurahan Nan Balimo, wilayah tempat Markas Gubuak Kopi terdapat. Bakureh pada dasarnya adalah sebuah gotong royong, namun ia lebih identik sebagai arisan memasak. Menurut pandangan Ibu Suarana telah terjadi sejumlah pergeseran dari makna bakureh, kini orang-orang telah banyak memakai catering, jadi lebih instan.
Pada masa dulu, sejauh yang bisa diingat oleh Ibu Suarna, sebelum alek dimulai, keluarga tuan rumah memanggil ke rumah-rumah tetangga dan kerabat, tradisi ini di sebut “maimbau” atau menghimbau atau memanggil. Tradisi maimbau biasanya laki-laki menawarkan sebatang rokok dalam perkumpulannya untuk memberi kabar sekaligus mengundang ke acara alek saudara atau kerabat dekatnya. Sementara kaum perempuan biasa membawakan “siriah” atau sirih. Setelah mendapat kabar, ibu-ibu akan merundingkan kesepakatan bagian-bagian di dapur alek nantinya. Ibu Suarna juga menjelaskan tidak hanya orang yang bakureh andil sebagian besar dalam alek, misalkan memakai tenaga laki-laki untuk “manulak dandang” (mengaduk kuali). Dan untuk kayu bakar biasa berkolektif bila ada kayu yang berlebih di rumah masing-masing. Berbeda dalam hal meminang, cara menghimbau yang sedikit berbeda yaitu dengan membawa nasilamak, pisang buai (pisang ambon), siriah, kadang kue bolu besar. Lalu, mengajak kaum wanita minimal berdua dan satu orang ninik mamak untuk membuat perhitungan atau negosiasi menentukan kapan dan di mana lokasi alek tersebut. Ibu Suarna juga mengkritik fenomena pasca pesta pernikahan anak dari presiden Jokowi, di mana euphoria menaiki bendi (delman) turut menjadi tradisi di sini, sehingga arak-arakan marapulai (pengantin pria) dan anak daro (pengantin wanita) yang sebelumnya jalan kaki
11
secara pelan sudah sedikit bergeser.
Selain itu, salah satu yang paling menarik bagi saya yaitu dalam proses terjadinya alek, juga ada ajang pencarian jodoh bagi pihak keluarga untuk anak, cucu dan keponakan, seperti sebelumnya dijelaskan Mak Katik pada hari kedua lokakarya. Kebetulan kejadian terdekat dialami oleh anak pertama Ibu Suarna yang pernah bertemu (berjodoh) di alek dan kini telah menikah dan memiliki satu anak. Selain itu banyak lagi tentang bakureh yang terjadi seperti dalam hal “kemalangan� (kematian) dan lain-lainya. Di sini saya dapat memahami tradisi gotong royong yang sangat melekat dalam masyarakat berbudaya sejak lama terutama dalam hal bakureh. Hari telah menunjukkan pukul empat sore setelah sebelumnya adzan ashar berkumandang dan Ibu Suarna mohon pamit untuk pulang. Setelah shalat ashar, hingga menjelang berbuka Delva Rahman mengajak partisipan membaca bersama. Buku yang dibahas adalah Sore Kelabu di Selatan Singkarak karya Albert Rahman Putra. Membaca secara berjamaah ini menjadi umpan diskusi partisipan untuk melihat praktik dan metode penelitian yang dijabarkan oleh Albert sebelumnya. Kebetulan malam ini kami juga kedatangan tamu dari salah seorang warga Batu Bajanjang bersama sejumlah mahasiswa, terkait penolakan proyek Geothermal oleh  masyarakat Salingka Gunuang Talang. Pro dan kontra yang terjadi antara masyarakat salinka Gunuang Talang dan pemerintahan dan aparat sudah berjalan setahun belakangan ini. Terkait itu akan diadakan rapat dan berbuka bersama di sekretariat LBH Padang serta mengundang kami di Gubuak Kopi untuk dapat ikut serta. Sebelumnya memang beberapa tahun terakhir, Gubuak Kopi bersama sejumlah warga Batu Bajanjang aktif memantau persoalan ini dan berupaya mencarikan gerakan-gerakan strategis berbasis kebudayaan untuk merespon persoalan ini. Selanjutnya masing-masing melanjutkan kegiatan dan ada yang beristirahat.
Zekalver Muharam
Solok, 3 Juni 2018
12
Buya Khairani:
Bakureh adalah Kekuatan Sosial
Di hari ke empat, 4 Juni 2018 Lokakarya Bakureh Project, para mulai mendapat gambaran dan sudut pandang yang beragam dari tradisi Bakureh. Sebelumnya lokakarya ini telah menghadirkan narasumber dari budayawan maupun tokoh adat pelaku bakureh itu sendiri, antara lain, Mak Katik (Budayawan Sumatera Barat) dan Ibu Suarna (Tokoh Adat/Bundo Kanduang). Seperti biasanya, kita selalu mendatangkan narasumber untuk menambah wawasan tentang isu yang tengah diangkat dalam kerangka program pemetaan kultur masyarakat pertanian: Daur Subur, begitu pula dalam agenda bakureh. Pada hari keempat ini kita mendatangkan Buya Khairani, beliau adalah salah satu pemuka adat di Solok. Beliau sering diundang untuk memberi materi atau pandangan tentang adat Minangkabau, baik itu dalam forum-forum, maupun di beberapa radio swasta di Solok. Hari menunjukkan pukul 11.20 wib, seperti yang telah kita janjikan kepada buya untuk memberikan sedikit informasi kepada kita dan didiskusikan di sekretariat Gubuak Kopi. Buya mengawali pembicaraan tentang pengertian adat yang dibawa oleh nenek moyang kita dahulu, adat berarti susunan atau tatatertib yang meliputi budi pekerti, tatakrama, dan perasaan yang saling berkaitan. Ada pemeo yang berkaitan dengan ini: “urang yang indak baparasaan, itu urang yang indak baradek� Artinya, orang yang tidak memiliki perasaan tidak memiliki adat. Seperti kebudayaan lainnya orang Minangkabau sangat menjunjung tinggi adat sebagai jati diri dalam berperilaku. Sikap seseorang dapat dinilai dari pemahaman adat yang dianutnya.
Istilah Bakureh adalah menguras tenaga atau energi, ada yang mengartikan secara fisik, juga dengan solusi atau dapat dikatakan sebagai gotong-royong. Tradisi bakureh berangkat dari jiwa tolong-menolong. Sebagai makhluk sosial harusnya kita saling menolong antar sesama manusia, maka lahirlah petuah masyarakat Minangkabau yang menyebutkan: “adat hiduik di dunie tolong-manolong,  adat mati janguak-manjanguak, adat ado basaliang tenggang, adat kayo mambantu yang miskin�
13
(Adat hidup di dunia tolong menolong, adat meninggal saling melayat, adat bercukupan saling tenggang rasa, adat kaya saling membantu yang kurang mampu)
Istilah ini menegaskan bahwa adat Minangkabau bisa membentuk karakter atau perilaku seseorang menjadi lebih baik, hal itu tergantung pada setiap individu dalam menjalankannya. Bakureh sendiri mengajarkan kita untuk menolong orang lain dengan ikhlas. Seperti sudah hukum alam, kalau kita ikhlas menolong orang, maka balasan yang baik juga kepada kita. Contohnya, dalam hal Bakureh di dapur, kalau kita menolong orang dalam suatu acara pernikahan atau acara adat, lantas ketika kita yang mengadakan acara adat itu, kita juga akan ditolong oleh orang lain. Hal tersebut seperti istilah “ julo-julo� atau arisan, kita akan mendapatkan giliran yang sama. Menjalani acara bakureh dapat mengasah sikap gotong-royong pada diri. Selain itu pelajaran yang bisa kita ambil dari aktifitas bakureh adalah rasa kebersamaan dan saling memberikan informasi. Seperti adab dalam berpakaian ketika bakureh, bumbu-bumbu masak yang belum kita ketahui dan ada juga informasi yang didapatkan dari hasil gosip ibu-ibu di dapur sebagai candaan sembari memotong bawang dan mengaduk-ngaduk kuali. Gurauan atau menggosip ini, biasanya tidak akan ditanggapi dengan serius, hanya untuk candaan saja. Di dalam aktifitas bakureh, kita juga bisa melihat ibu-ibu yang lihai dan yang masih kurang terampil dalam mengerjakan sesuatu di dapur atau “rumah kajang�. Dalam hal ini Buya menegaskan bahwa informasi ini bisa menjadi fitnah ketika informasi yang diberikan tidak terbukti kebenarannya. Contoh khasus, membahas masalah jodoh, ketika ibu laki-laki ingin mengetahui perempuan yang diskai oleh anaknya maka ibuk ini menanyakan kepada ibu-ibu yang lain tentang perempuan itu, supaya tidak terjadi kekecewaan setelah menikah, hal tersebut harus dibuktikan kebenarannya. Tidak hanya menolong orang dalam memasak, Selain itu juga bisa mengetahui seluk-beluk kekeluargaan yang mungkin lupa atau belum tahu dengan keluarga yang jarang kita jumpai. Supaya nantinya tidak terjadi perkawinan antara keluarga.
14
Ada juga istilah “badoncek� yang bisa diartikan sebagai moment untuk menentukan pemberian bantuan atau patungan bisa berupa uang, tenaga, bahan masak, atau perlengkapan yang dibutuhkan oleh orang yang akan menikah. Setiap daerah memiliki istilah atau nama dan praktek yang berbeda, kalau di Koto Baru, biasanya pihak keluarga yang memberikan bantuan berupa perlengkapan nikah seperti, kain selimut, tempat tidur dan lain-lain. Kalau dari bantuan tenaga, bisa menolong di dapur, mencarikan perlengkapan masak dan lain-lain, maka semuanya akan memiliki peranan masing-masing setelah badoncek dilakukan. Setelah beberapa lama berdiskusi bersama Buya, tidak terasa hari sudah sore dan Buya juga harus menghadiri kegiatan lain. Banyak hal yang menarik untuk disimpulkan dari diskusi besama buya tadi, terutama esensi dari tradisi bakureh dan perluasan defenisinya sebagai upaya merawat kekuatan sosial. Setelah shalat Ashar, sesuai dengan agenda yang telah ditetapkan, partisipan mulai mempersiapkan kebutuhannya kelapangan untuk mencari data dan pandangan yang lain dari Bundo Kanduang atau ibu-ibu yang sudah melaksanakan kegiatan bakureh tersebut. sebelum itu pertisipan diberikan pengarahan oleh fasilitator tentang apa saja yang akan dilakukan di lapangan nanti. Setelah memberi sedikit intruksi, kita pergi secara berpencar, Kiki, Roro dan Cugik pergi ke tempat Bundo Kanduang di KTK. Ade, Nahal dan saya pergi menuju Koto Baru, mencari informasi kesalah satu Bundo Kanduang disana. Icha, Ipan, Apis dan Datuak pergi ke Tembok, ke tempat orang panen padi, sekaligus melihat aktifitas gotong-royong. Olva, Sefni dan Zekal mencari data di sekitar sekre. Setelah data atau informasi yang dibutuhkan sudah cukup, kita langsung untuk kembali ke sekre, karena hari sudah mulai berbuka puasa.
Setelah Sholat Taraweh, kegiatan dilanjutkan dengan presentasi hasil observasi ke lapangan tadi, secara bergantian partisipan mempresentasikan hasil observasinya. Kiki dan Roro
15
mendapatkan kesimpulan siapa orang yang memegang “kuci kamar” untuk makanan, filosofi apa yang terdapat pada setiap makanan pernikahan, bagaimanakah adab “manjanang” atau orang menghidangkan makanan dan bagaimanakah tata pakaian dalam acara pernikahan. Ade dan Nahal mendapatkan sedikit informasi tentang adab sebelum bakureh, tentang bararak, istilah dari “penjaga samba” (penjaga hidangan) yaitu “rubiah”dan informasi tentang ibu-ibu yang berbalas pantun, bergurau ketika memasak di rumah kajang. Icha dan Ipan mendapatkan beberapa poin dari hasil observasi tadi, rasa gotong-royong yang kuat antara sesama warga dan pergeseran makna kata bakureh dalam konteks sosial. Olva dan Sefni juga mendapatkan sedikit informasi tentang bakureh dari ibu-ibu yang berjualan gorengan di dekat sekre, tapi obrolan terputus karena ibu tersebut sedang sibuk dengan banyaknya pelanggan yang mencari pabukoan (takjil). Muhammad Riski
Solok, 4 Juni 2018
16
Gotong Royong, Perempuan, dan Kesenian
S
elasa, 5 Juni 2018, hari kelima pelaksanaan Lokakarya Bakureh Project dan merupakan hari kedua bagi para partisipan melaksanakan kegiatan observasi ke lapangan untuk mendalami isu-isu yang berkaitan dengan bakureh. Sebelum para partisipan kembali turun ke lapangan kita mengajak partisipan berdiskusi atau memahami kembali mengenai Program Daur Subur yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi. Diskusi ini dipandu oleh Delva Rahman selaku ketua fasilitator, ia menjelaskan Daur Subur sebagai upaya membaca peta kebudayaan agraria dan kepedulian terhadap lingkungan hidup di Sumatera Barat melalui platform multimedia. Seperti mengajak pengguna teknologi smartphone untuk memanfaatkan “alat�nya dan perkembangan fitur terkininya guna mengawal dan mengarsipkan kebudayaan pertanian kini dan lampau. Serta mengembangkan praktek seni sebagai metode penelitiannya. Di samping itu Delva juga menjabarkan beberapa catatan Christine Dobbin (2008) yang menyinggung kebudayaan masyarakat di Minangkabau, yang suka membuat perayaan kolektif. Seperti setelah panen, biasanya masyarakat akan merayakannya sebagai bentuk rasa sukur, dan acara adat lainnya. Begitu pula dengana dengan kemalangan atau kematian. Walaupun saat kemalangan merupakan hal yang tidak wajar untuk disebut perayaan, namun pada dasarnya masyarakat Minangkabau “merayakannya� dengan mengadakan pengajian,
Selanjutnya, Delva juga merangkum beberapa catatan dari Sir. Thomar Stamfort Raffles (1818) mengenai sistem ekonomi dan mata pencarian masyarakat Sumatera Barat, sebelum masuknya Eropa ke dataran tinggi Sumatera Barat. Ia membahas tentang sistem kemasyarakatan dan organisasi sosial pada masa itu. Soal ini sangat penting dan juga berkaitan
17
dengan kegiatan bakureh –dalam konteks gotong royong, yang juga dibahas di kelas-kelas sebelumnya. Dulunya, masyarakat Minang suka hidup damai dan saling bergotong royong ketika ada warga yang akan mengadakan pesta maupun acara pengajian. Jadi adalah kejutan sekaligus tamparan bagi Gubuak Kopi, ketika mendengar adanya kasus persekusi di Solok beberapa bulan lalu, yang mana tetangga atau kita, hanya diam saja ketika ormas-ormas yang suka main hakim sendiri. (lihat juga: Kasus Dokter Fiera)
Selanjutnya pembahasan menyinggung sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang sangat dekat dengan alamnya. Masyarakat Minang, terlihat dari sejumlah aturan dan analogi sastranya yang identik dengan kejadian alam, sebagian besar landasan adat ataupun falasafah adat ditarik dari sifat-sifat alam, termasuk tanaman, binatang, dan manusia. Yang kemudian setelah masuk Islam diperkaya dengan ajaran agama tersebut. Alam Takambang Jadi Guru demikian masyarakat Minang merangkumnya. ***
Ada beberapa hal menjadi persoalan mendasar kenapa Bakureh Project hadir, pertama sebagai upaya menemukan media tradisional dan pemahaman akan media itu sendiri pada masa lampau, kemudian membaca kebudayan gotong royong dan dampak-dampak sosialnya di tengah-tengah masyarakat pendukungnya, serta membaca posisi perempuan dalam sistem sosial masyarakat, yang dalam hal ini dipantik dari tradisi gotong royong masak, atau di Solok, tradisi ini disebut: bakureh. Terkait adat, kesadaran media, kebudayaan gotong royong, telah dibahas kelas-kelas sebelumnya, kali ini diskusi terpantik ke upaya membaca posisi perempuan.
Beberapa hari sebelumnya juga sempat dibahas Albert Rahman Putra denga mengumpan sejumlah pertanyaan kritis, apakah materilinial, serta merta meninggikan posisi perempuan di Minangkabau? Apakah matrilinial adalah kebalikan dari praktek patrilineal seperti di Jawa? Menurut Albert hal ini merupakan kasus kebudayaan yang menarik, untuk memahami kesadaran konsep egaliter yang pernah hidup di masyarakat Minangkabau. Bakureh dalam konteks gotong royong masak di Solok misalnya dan di beberapa di Sumatera Barat. Sebagaian besar memang dikerjakan oleh kaum ibu, tapi hal ini tidak untuk merujuk tugas ini sebagai pekerjaan kelas dua, melainkan upaya membagi tugas dalam sebuah “organ” atau organisasi kaum. Kaum ibu pun pada dasarnya bertugas mengomandoi, sedangkan untuk bekerja kadang juga disertakan laki-laki. Karena memang sebagian besar kaum ibu dalam keseharian sangat meluangkan waktu untuk bekerja memasak dan memahami racikan makan. Lain halnya dengan laki-laki yang memang sebagian besar bekerja berbasis tenaga, walau tidak sedikit juga perempuan yang juga bekerja berbasis tenaga. Lalu apa yang terjadi setelah muncul beragam profesi-profesi “modern” yang menawarkan kesempatan yang sama? Kita juga diajak untuk mengkritisi, apakah ibu-ibu memasak ini berkaitan dengan sistem kekerabatan materilineal atau memang berdasarkan skil? Atau kemungkinan lainnya. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Delva,
18
bahwa ia juga tidak ingin mengamini tradisi yang kemudian dilabelkan “perempuan” ini sebagai rujukan utama standar moral ideal dalam konteks lokal, dan tidak pula berarti menentang tradisi sebagai penolakan terhadap konstruksi adat atas perempuan — yang belakangan hal ini menjadi “seksi” di kalangan pegiat seni perempuan. Penelitian ini diniatkan sebagai sikap kritis terhadap persoalan manusia sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. (Pengantar Bakureh Project, Gubuak Kopi, 2018) Anisa Nabilla Khairo, atau biasa disapa Cayuang, salah satu partisipan, menghadirkan beberapa soal yang ia pahami dari buku The Second Sex, karya Simone de Beauvoir. Ia menuliskan posisi perempuan yang menjadi objek kedua, ia membantah bahwa perempuan tidak saja menjadi objek, perempuan juga adalah subjek, seperti yang ditulisnya tentang perempuan yang dulunya perempuan sering ditindas, kekerasan terhadap perempuan, karena laki-laki mengaggap perempuan itu adalah musibah. Kalau kita kembali ke zaman Byzantium, itu perempuan yang menguasai dunia, bukan berarti laki-laki dan perempan saling menyaingi, namun itu ada negosiasi antara laki-laki dan perempuan. Sampai di era sekarang misalkan melihat cara berpakaian perempuan seperti di Indonesia, terutama di Minangkabau, seperti latah harus mengenakan jilbab, tapi pada dasarnya ia sudah diberi kebebasan seperti mau atau tidak ia memakai jilbab itu adalah hak nya sendiri, dan itu bisa jadi tanggung jawabnya sendiri. Atau bisa dilihat dari sudut pandang yang lain, itu bisa disebut intimidasi perempuan, seperti manusia ingin berbuat kebaikan atau kejahatan itu menurut kemauannya sendiri, seperti diskusi yang terpantik dari filem The Hidden Fortes (Akira Kurosawa, 1958) di hari kedua lokakarya.
Setelah cukup panjang Delva memberi penjelasan kerangka tentang perempuan, tradisi, dan kebudayaan untuk observasi nanti. Di samping itu Cayuang juga mengaitkan dengan pernyataan tentang sebuah narasi terkait penghapusan/pembelokan budaya seperti yang pernah dibacanya, berkaitan dengan tradisi warih nan bajawek (waris yang berjawab) di Minangkabau, yang penyampaiannya dilakukan secara lisan, karena penyampaian dengan cara itu bisa saja salah pengertian. Contohnya, seperti menyarankan masak ditungku ada filosofinya, apabila salah pemahaman atau salah penyampaian itu bisa jadi beresiko. Ketika masuk sistem tulisan maka terciptalah buku atau dalam bentuk tulisan, itu dikaitkan dengan hak cipta, seperti yang pernah dialami Cayuang ketika menyakan buku tentang bakureh kepada seorang ibu yang berperan sebagai Bundo Kanduang di Solok.
19
Nurul Haqiqi, atau biasa disapa Kiukiu juga memberikan beberapa pengalamannya sewaktu ia Kuliah Kerja Nyata (KKN) di sebuah desa di Solok. Disana ia melatih randai di sanggar randai salendang dunie, ia diberi naskah randai oleh pengurus sanggar, naskahnya berjudul tarea rea yang didapatnya dari datuak ta-tuo di wilayah tersebut, dan naskah yang diberikannya hanya sebagin kecil, Kiukiu meminta untuk melihat naskah lainnya dan beliau menolak untuk tidak melihatkannya, firasat Kiukiu mungkin ada sebuah penghambat yang seperti asumsi Kiukiu, ada sejarah Minang yang mungkin tidak bisa memberikan hal tersebut kepada anak kemenakan, dan apabila itu tidak dibatasi bisa jadi akan memicu perperangan atau yang bisa disebut konflik sosial.
***
Siang itu kita juga kedatangan Kharisma, atau yang biasa disama Iie. Dia adalah salah seorang komposer perempuan dan mahasiswa pasca-sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpnjang. Dalam kesempatan ini ia kita ajak berbagai tentang pengalaman risetnya pada tradisi gotong-royong di Sungai Tarab, Batusangkar. Tradisi yang dimaksud adalah bakonsi. Ia memiliki spirit yang sama dengan tradisi bakureh di Solok, yakni gotong-royong, dan dikomandoi ibu-ibu. Hanya saja pada tradisi bakonsi, lebih spesifik pada urusan pertanian, terutama saat panen padi bersama. Berkaitan dengan tradisi ini, Iie sebelumnya pernah menangkap fenomena musikal terkait tradisi yang kemudian ia respon menjadi sebuah karya musik. Siang itu, kami mendapat kesempatan menonton dokumentasi video karyanya yang berjudul “Bakonsi�. Siang itu kita juga mendiskusikan dan membedah karya Iie, terutama kaitannya dengan tradisi bakonsi dan bakureh. Dalam diskusi ini, Albert, yang juga merupakan peneliti musik menambahkan, memang dalam banyak tradisi gotong-royong masyarakat Minangkabau, juga memunculkan kesenian-kesenian rakyat. Seperti dalam tradisi bakonsi, ia hadir sebagai upaya para partisipan gotong-royong memaknai kegotong-royongannya, maupun menghibur diri mereka sendiri. Albert juga mencontohkan beberapa kesenian lainnya yang lahir dari hal serupa, seperti baombai di Sijunjung, dan di Solok Selatan ada tradisi bagontong, ada pula kebiasaan berbalas pantun jenaka, dan hiburan malam manunggu samba (menjaga lauk-pauk pesta) atau menghibur urang dapua dalam sebuah alek di Solok Selatan. ***
Sore itu, setelah berdiskusi para partisipan diarahkan untuk turun ke lapangan mencari isu-isu terkait tentang kegiatan bakureh dan didampingi oleh fasiliator yang sudah dibagi beberapa tim. Sefni dan Olva pergi ke daerah Banda Panduang didampingi oleh Zekalver selaku fasilitator, dan mengambil beberapa foto dan video. Sementara Nahal, Ade dan Ipan diajak oleh Volta selaku fasilitator untuk riset di rumahnya di Kinari. Dan Roro bersama Qiqi pergi ke daerah KTK (Kampai Tabu Kerambia) yang didampingi seorang fasilitor yaitu Ogi Wisnu atau yang biasa disapa Cugik. Sementara itu Icha salah satu partisipan lainya tidak turun ke lapangan, karena lebih memilih studi literasi di sekre Gubuak Kopi. Karena memang dalam penulisannya ia berfokus pada studi literatur-liunguistik terkait bakureh, tentang pergeseran makna, dan penggunaan ragam istilah lainnya. Lalu, seperti malam-malam sebelumnya, para partisipan mempresentasikan perkembangan riset mereka.
Hafizan
Solok, 5 Juni 2018
20
21
22
23
24
Kesenian sebagai
Media Pelestarian Nilai
R
abu, 6 Juni 2018 merupakan hari ke-enam Lokakarya Bakureh Project. Pagi ini setelah Sahur, beberapa partisipan lokakarya yang didampingi fasilitator berangkat menuju ke Nagari Kinari untuk mengikuti kegiatan ‘bakureh’ atau masyarakat lokal di sana menyebut membantai. Saat itu kawan-kawan partisipan melakukan observasi lapangan ke sana, seperti yang direkomendasikan oleh salah seorang fasilitator yang kebetulan sekali putra daerah Kinari. Kampung ini berjarak tempuh kurang lebih setengah jam dari pusat lokakarya atau Kantor Komunitas Gubuak Kopi.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Bakureh Project berangkat dari fonomena tradisi bakureh masyarakat Solok, dalam hal ini identik dengan tradisi masyarak bersama. Namun, yang menjadi fokus dalam proyek seni ini adalah nilai-nilai gotong royong. Hal ini dulunya berkembang di berbagai daerah di Minangkabau, dengan istilah yang beragam, bahkan spesifik berdasarkan jenis gotong royongnya. Kali ini kita bertemu tradisi bakureh di Kinari. Khususnya dalam agenda Mambantai. Kegiatan ini dilaksanakan untuk agenda berbuka bersama jama’ah Mesjid Nurul Hidayah sekaligus Do’a Aqiqah beberapa anggota masyarakat di Jorong Bungo Harum, Nagari Kinari, Solok. Meskipun butuh perjuangan melawan rasa kantuk, Volta, Zekal, Ade, Nahal, Sefni dan Olva tetap berangkat dengan dengan sepeda motornya. Sayang sekali saya tidak bisa turut serta subuh itu. Tapi menarik menyimak presentasi dan cerita dari kawan-kawan yang datang ke sana. Di Kinari, tradisi bakureh masih terasa sebagai kekuatan sosial masyarakatnya. Sebagian besar warganya terlibat dalam proses itu
25
dengan beragam tugas. Dan mereka menikmatinya bersama. ***
Sepulang kawan-kawan dari Kinari sekiranya pukul 10.45 WIB, Hendra Nasution yang akrab dipanggil Bang Ehen dihubungi oleh rekan saya Albert, yang merupakan ketua Komunitas Gubuak Kopi, untuk memastikan posisi keberadaannya sudah sampai di mana. Karena dijadwalkan pada hari ini Bang Ehen memberikan materi terkait Bakureh dari segi penciptaan atau penafsirannya dalam bentuk karya seni Seni Pertunjukan, terkusus ke seni tari. Seperti yang telah Bang Ehen kerjakan tahun lalu, menjadikan ia mengembangkan nilai-nilai dari tradisi bakureh sebagai landasan penciptaan karya Tari. Seperti yang dikonfirmasikan pada Bang Ehen beberapa minggu lalu, saya dan Delva Rahman berangkat ke Padangpanjang. Pada waktu itu, seperti yang direkomendasikan Albert, kami perlu menemui Bang Ehen untuk memulai diskusi terkait tradisi bakureh dan kerja-kerja yang telah dilakukannya. Menarik mengetahui lebih lanjut kegiatan yang dikembangkan Bang Ehen untuk dibedah lebih dalam. Waktu itu saya dan Delva meminta kesediaan Bang Ehen untuk menjadi pemateri dalam kegiatan Lokakarya Bakureh Project, dan ia bersedia mempresentasikan konsep karyanya tersebut di depan kami dalam kegiatan ini. Setelah semua anggota memasuki ruangan, proyektor yang sudah tersedia dinyalakan selanjutnya dipaparkan dilayar putih yang ditempelkan di dinding galeri Gubuak Kopi. Albert membuka kegiatan dengan memperkenalkan Bang Ehen yang sudah menempuh jenjang pendidikan strata-satu dan pasca-sarjana di Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang dan kini sudah diangkat menjadi Dosen yang membidangi kajian seni tari tradisi di prodi Seni Tari. Dalam pengantarnya Albert menjelaskan, ada beberapa upaya dalam pelestarian ataupun pengembangan tradisi. Selain cara kerja media yang telah kita pelajari beberapa hari yang lalu, juga bisa dilakukan dengan menafsirkannya dalam karya seni. Seni trari misalnya, katika tradisi ataupun persoalan setelah ia dikemas menjadi sebuah karya, setidaknya
26
mampu menarik atensi publik untuk menindaklanjuti persoalan tersebut. Selanjutnya, waktu diserahkan kepada pemateri Hendra Nasution yang mempresentasikan “Bakureh Sebagai Spirit Lokal Kota Solok�.
Perlahan dan tegas Bang Ehen mempresentasikan gagasannya slide demi slide. Berawal dari ide yang merupakan prosesi budaya di kota Solok. Ia dengan rekan dosennya berinisiatif untuk melakukan “kajian seni pertunjukan untuk penunjang pariwisata� kususnya di bidang tari yang mana kegiatannya berupa penelitian untuk diajukan pada Kemenristek Dikti (Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi). Tujuan karya yang diajukan ini untuk mengangkat tradisi bakureh menjadi sebuah karya tari agar dapat memupuk keinginan generasi muda khususnya di Kota Solok, supaya lebih menyadarai bahwa tradisi bakureh dapat dijaga melalui karya-karya baru. Pada tahun 2018, merupakan tahun kedua kegiatan ini terangnya. Proposal yang disahkan tahun 2017 itu, dijalani selama 3 tahun. Berarti akhir kegiatan yang dilakukannya sampai tahun 2019. Menurut Bang Hendra, tradisi bakureh merupakan kegiatan masak-memasak secara bersama dalam satu perhelatan seperti pernikaan, aqiqah, upacara adat, ataupun kegiatan masyarakat di Kota Solok, dalam spirit kebersamaan. Salah satu dari tradisi masyarakat Kota Solok ini sudah semakin memudar dan sudah banyak ditinggalkan, karena tergantikan dengan hal-hal yang simpel seperti dari tradisi masak memasak saat ini memanfaatkan catering.
Alasan tersebut hanya sebatas tidak ingin direpotkan dengan melibatkan orang banyak atau masyarakat sekitar tempat tinggal. Ide tersebut muncul untuk membangkitkan kembali spirit bakureh pada masyarakat atau pelakunya sendiri. Ia menginterpretasi tradisi tersebut menjadi karya tari. Kemudian ia presentasikan dalam beberapa festival, namum, belum ada kesempatan untuk dipresentasikan di Solok. Pada mulanya, manajemen pertunjukan karyanya meminta surat izin dari LPPN (Lemba-
27
ga Pengkajian Pembangunan Nasional) ISI Padangpanjang, dilanjutkan dengan koordinasi pada Dinas Pendidikan serta Dinas Kebudayaan, dan Pariwisata Kota Solok dan kemudian riset lapangan pun dilaksanakan terangnya. Bagi sebagian orang mungkin mengetahui prosedur tersebut. Lanjut ia menemui tokoh masyarakat seperti Bundo Kanduang, Niniak Mamak, pelaku bakureh dan lain sebagainya yang dirasa berkaitan sekaligus mengumpulkan data sebanyak tentang tradisi Bakureh ini. Hal yang dituju untuk pengumpulan data-data yaitu agar karya yang diciptakan tersebut mempunyai landasan yang kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar terkait garapan karya nantinya. Selain dokumen dan konsep karya yang Ia terangkan, foto-fotopun tak lepas dari slide yang terpapar di layar presentase Bang Ehen. Sekaligus menerangkan pertunjukan yang sudah Ia lalui seperti pertunjukan awal karyanya ini ditampilkan di Taman Budaya Sumatera Utara, Medan. Pertunjukan kedua dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki, (TIM) Jakarta. Terakhir, di tahun 2017 pada event Pasa Harau Art And Culture Festival, di Kabupaten Limapuluh Kota. (lihat juga: Pengembangan Sprit Bakureh ke Dalam Seni Pertunjukan) Slide terakhir sudah diterangkan pula oleh Bang Ehen. Kawan-kawan peserta diarahkan pada sesi diskusi dan tanya jawab. Sebagai pembuka acara Albert memantik diskusi dengan melemparkan pertanyaan terkait pertimbangan si-koreografer memilih gerakan atau pola koreografi yang ia ekpsplorasikan menjadi karya tari.
“Dari kegiatan bakureh tentunya banyak gerakan yang layak dieksplorasi sesuai dengan basic pada tarian yang akan diciptakan. Seperti sebelumnya, atau tema karya yang berangkat dari spirit tradisi itu sendiri, tentunya tidak semuanya dapat dieksplorasikan menjadi gerak tari”, terang Bang Ehen. “Salah satu gerak yang dieksplorasi yaitu berangkat dari gerak orang yang sedang mangukua karambia (memarut kelapa) dengan alat parutan duduk. Selain itu, aspek-aspek yang berlaku pada edukasi tari tentunya menjadi dasar utama untuk menciptakan gerakan yang dibarukan” tambahnya. Selanjutnya Nurul Haqiqi sebagai partisipan juga menanyakan jenis samba (lauk) yang dihasilkan dari tradisi Bakureh yang sudah diriset Bang Ehen. Cukup menarik pernyataan darinya, “bahwa samba yang diciptakan pada tradisi bakureh awalnya ada tiga jenis yaitu samba hitam yang dalam hal ini digambarkan dengan Randang; samba merah yang digambarkan dengan samba lado (sambel cabe); dan samba kuniang yaitu gulai-gulaian” terangnya. Layaknya warna marawa (bendera kebesaran masyarakat Minangkabau), darinya saya mendapatkan kesimpulan bahwa sikap dan karakter orang Minangkabau dapat digambarkan dari warna-warna yang dihadirkan berdasarkan prinsip itu Marawa sendiri, yakni menggambarkan orang yang berpendirian kuat, seperti yang pernah saya baca di Jurnal Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau, karangan STS. Dt. Rajo Indo (2010). Menariknya, kehadiran “tiga warna” tersebut saat ini sudah ada penambahannya yang menurut mereka ingin lebih variatif, seperti kehadiran semur, samba ayam kecap dan lain sebagainya, demikian tambah Bang Ehen.
Selain itu, tindak lanjut dari karya yang sudah ia ciptakan adalah untuk direvitalisasi kepada pemilik tradisi itu sendiri. Dari rencana awal, seperti keterangan Bang Ehen, memang sudah ditawarkan untuk menyajikan karya ini dalam bentuk bentuk pertunjukan, workshop di sekolah-sekolah, dan dalam bentuk buku yang di peruntukan pada masyarakat Kota Solok. Sayangnya, untuk pertunjukan beberapa persyaratan dari pendana (Kemenristek Dikti) karya ini bisa ditampilkan dalam iven-iven ruang lingkup nasional dan insternasional. Sayangnya di Kota Solok sendiri seperti yang sudah dijanjikan oleh Pemkot, bahwa baru di tahun 2020 akan diadakannya iven yang berskala Nasional. Pada tahun ini, karya bakureh yang di garap oleh Hendra Nasution akan ditampilkan kembali pada di Taman Ismail Mar-
28
zuki, Jakarta. Selanjutnya juga konsep karya dan hasil penelitian akan dicetak dalam bentuk buku dan bisa juga dijadikan bahan ajar baik dalam sekolah maupun perguruan tinggi.
Selesainya workshop dari Bang Ehen, partisipan kembali melakukan observasi lapangan untuk melengkapi data yang dirasa kurang sebelumnya. Zekal, Sefni dan Olva melanjutkan observasi ke daerah Banda Panduang dan payo. Ogi, Roro dan Qiqi melanjutkan observasi ke daerah KTK. Volta, Nahal dan Ade melakukan persiapan mengikuti Buko Basamo di Kinari. Terakhir Icha tetap di Kantor melanjutkan tulisannya. M. Yunus Hidayat Solok, 6 Juni 2018
29
Bakureh
Dimulai dari Mamanggia
P
ada hari keempat Lokakarya Bakureh Project yang digelar oleh Komunitas Gubuak Kopi sejak tangggal 1 Juni 2018 lalu, cuacanya terasa lebih panas dari yang biasanya. Kegiatan Lokakarya ini berlangsung selama tujuh hari, tiga hari pertama kami beraktifitas di dalam kelas dengan berbagai materi. Sedangkan hari keempat hingga hari keenam kami akan mengumpulkan data-data di lapangan.
Zekalver sebagai fasilitator kami memilih lokasi sekitar Tembok, Kelurahan Nan Balimo, Kecamatan Tanjung Harapan yang tak jauh dari sekretariat Gubuak Kopi. Narasumber pertama kami ialah Ibu yang menjual gorengan. Ibu tersebut sedang meramu “Godok Ketan” yang terbuat dari beras ketan yang sudah dimasak kemudian dibentuk menjadi bulat dan diisi dengan parutan kelapa. Setelah itu, godok dilumuri tepung yang telah dicampur dengan air dan bumbu lalu digoreng. Menurut Ibu tersebut, hanya dia satu-satunya orang yang bisa memasak “Godok Ketan”.
“Lai ado pulo nan mambuek sarupo godok ko di Solok tu ha. Tapi yo ndak ado nan salamak godok iko doh,” (ada juga yang membuat godok di solok, tapi tidak ada yang seenak bikinan saya) jelas Ibu tersebut sambil meniriskan godok-godok yang berwarna hitam dibalut warna keemasan itu. Ketika saya menyinggung perihal bakureh kepada si Ibu, beliau menjawab,”Iko lah bakureh mah diak,” (Ini juga dapat disebut bakureh, dek) jawabnya. Saya menangkap bahwa bakureh yang dimaksud ialah bekerja. Secara harfiah bakureh dapat diartikan sebagai bekerja atau berkuli, namun saya pernah mendengar bahwa bakureh di Solok dipahami sebagai kegiatan gotong royong masak-memasak dalam sebuah perhelatan. Defenisi tersebut didukung oleh Pak Kalek yang saya temui di hari kelima, beliau merupakan salah satu ninik mamak yang ada di Suku Caniago di Banda Panduang, Kelurahan Tanah Garam. Beliau menjelaskan bakureh merupakan sebuah tradisi memasak bersama yang dilakukan oleh kaum Ibu-Ibu dalam acara baralek.
30
Kemudian saya melanjutkan perbincangan dengan Ibu penjual gorengan itu tentang tradisi bakureh dalam baralek. Beliau menjelaskan, dikampungnya di Kampuang Payo, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kota Solok, tradisi itu masih ada. Ketika seseorang akan baralek maka ia akan mamanggia (mengundang) tetangga dan warga kampung (yang perempuan) untuk bersama-sama membantu memasak di rumahnya. Kemudian, sehari sebelum hari alekorang yang diundang akan hadir membawa beras, piring, pisau, dan perkakas dapur lainnya. Penjelasan ini sejurus dengan materi yang disampaikan dua hari yang lalu oleh Musra Dahrizal Katik Rajo Mangkuto atau yang lebih akrab dipanggil Mak Katik, Sabtu 2 Juni 2018. Beliau menjelaskan bahwa pada masa saisuak (masa lampau), ketika diselenggarakannya baralek, kaum ibu akan membawa perkakas dapur dan bahan-bahan memasak lainnya ke rumah yang melakukan perhelatan. Demikian pula dengan yang disampaikan oleh Ibu Suwarna selaku Bundo Kanduang di Tembok, pada sebuah kelas di Gubuak Kopi.
”Kalau dahulu iyo mambaok piriang, kuali, kukuran gai pai bakureh manolong masak-mamasak tu. Kini kan indak.” (Kalau dahulu membawa piring, kuali, alat memarut kelapa untuk pergi menolong masak-memasak. Sekarang sudah tidak lagi) jelas Bundo. Asumsi yang terbangun oleh saya pribadi ketika mendengar penjelasan Ibu yang menggoreng godok itu dan teringat penjelasan-penjelasan Bundo Suwarna serta Mak Katik, bahwasanya potret bakureh zaman lampau masih ada dan dapat kita temukan di zaman milenial sekarang, seperti di Kampuang Payo. Ibu itu sudah menekuni pekerjaannya kurang lebih dua tahun. Sekali waktu, Ibu tersebut berbicara dengan rekan sesama menggoreng di dapur kecil yang kira-kira berukuran 2×3 meter. Ada yang menarik perhatian saya ketika mereka berbicara. Kata-kata yang mereka lontarkan tak satupun yang saya kenal, saya pahami, dan yang saya mengerti. Asumsi saya bahasa yang mereka gunakan mungkin bahasa asli Payo. Kampuang ini menjadi semakin menarik menurut saya, selain tradisi masa lampau yang masih terjaga, tetapi masyarakatnya juga menggunakan bahasa yang hanya dimengerti oleh penduduk lokal Kampuang Payo. Walaupun demikian, cara mamanggia menyita perhatian saya.
31
Kemudian kami bergerak mencari narasumber atau informan berikutnya. Tak jauh dari
kedai gorengan, saya dan kawan-kawan memilih berhenti di kedai pabukoan (istilah yang biasa digunakan oleh masyarakat lokal, merujuk makanan dan minuman untuk berbuka puasa). Makanan dan minuman yang dijajakan sangat menggugah selera. Beberapa di antaranya ada yang masih asing bagi saya. Seperti halnya bubua cande[1]. Penjualnya bernama Ante Yet, begitulah sapaan akrabnya.
Ante Yet tidak hanya menjual pabukoan seperti bubua cande, tapi juga kolak pisang, kolak ubi, kolak dalimo, lopis dan bakwan. Ia juga menjajakan samba (lauk-pauk), ayam goreng balado, samba lado tanak seperti kalio jariang dicampur dengan teri kecil dan kentang kecil, dan samba lado atau sambal cabe yang dicampur dengan petai serta telur puyuh.
Ante Yet menjelaskan bahwa bakureh merupakan tradisi masak-memasak saat baralek. Dia menambahkan sembari melayani pembeli. “Biasonyo nan dimasak pas baralek tu yo samba nan biaso, tapi kini ko lah samba buruak-buruak ko se lai nan di masak, itu nan katuju dek urang-urang kini, kayak toco tu lah jarang dimasak lai nyo,”(Biasanya yang dimasak ketika kenduri itu ialah samba yang biasa tapi sekarang sudah samba yang disukai oleh masyarakat saja yang dimasak) jelasnya. Di hari kelima ternyata tak kalah panasnya dari kemaren. Tujuan observasi kami kali ini ialah Kampuang Payo yang berada nun jauh di atas bukit. Sebelum berangkat Olva menyarankan agar terlebih dahulu mampir ke rumahnya, dan siapa tahu nanti mamanya bisa membantu kita untuk menentukan orang yang akan kita temukan di Payo. Kami mengamini dan langsung berangkat menuju rumah Olva. Menjelang petang kami sampai di rumah Olva. Kami mendapati tiga orang ibu-ibu sedang bersantai diteras rumah. Setelah kami berkenalan, saya memulai obrolan dengan menu makanan ketika beralek.
Ibu Yet, ia adalah ibu dari rekan saya sesama partisipan Bakureh Project, Olva. Ia menjelaskan “Kalau toco kini lah hampia ndak ado dibuek urang lai pas baralek. Kini kalau baralek tu nan dibuek katiko bakureh, randang, kalio, sampadeh, pergedel, pangek kuniang, gulai cubadak.” (Sekarang kalau kenduri itu yang dimasak ketika bakureh ialah randang, kalio, sampadeh, pergedel, pangek kuniang dan gulai cubadak). Penjelasan terkait samba yang wajib ada ketika baralek tersebut, hampir sama dengan penjelasan Mak Katik tentang panghulu samba yaitu, randang, kalio, pangek, goreng maco, pergedel kentang, karupuak jangek dan samba kuah. Kemarin, Ante Yet juga menyinggung hal tersebut bahwa sekarang sudah ada banyak tambahan menu seperti soto. Dahulu soto tidak ada, namun karena perubahan zaman, sekarang kita akan menemukan soto di beberapa tempat baralek. Di depan teras kira-kira berjarak 2 meter terdapat kolam ikan lele, sesekali ikan lele tersebut riuh seolah-olah mendengarkan hasil percakapan kami. Zekalver, seorang penggiat di Gubuak Kopi lebih akrab dipanggil Skal dikesehariannya. Ia juga menambahkan bahwa ia pernah pergi baralek dan menemukan sate sebagai hidangan yang disuguhkan oleh yang punya hajat. Untuk tambahan menu makanan ketika baralek di sekitar tempat tinggal Ibu Yet di Banda Panduang, Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Lubuk Sikarah seperti, mi goreng, samba lado tanak, samba lado mudo dan abuih buncih.
Di era milenial yang serba instan ini juga tidak dapat dipungkiri ikut memberi pengaruh terhadap kebiasan dan tradisi bakureh di tengah-tengah masyarakat Solok. Ante Yet misalnya menceritakan bahwa,”Di satiok alek kini lah pakai catering, tapi lai ado juo nan mamakai bakureh, ado juo nan manggabuang nyo, kadang ndak cukuik kalo dek catering tu doh,” (Di setiap kenduri sekarang sudah pakai catering tetapi ada juga yang memakai bakureh dan ada pula yang menggabungkannya, terkadang jasa catering tidak mampu melayani semua tamu undangan yang datang) jelasnya. Lain lagi dengan penjelasan Ibu Yet, beliau berkata catering hanya untuk orang-orang
32
kaya saja, sedangkan kaum menengah masih menggunakan tradisi bakureh dalam baralek. Ibu Yet juga menambahkan, biasanya yang pakai catering itu orang-orang PNS karena dia sibuk dan jarang ikut bakureh. Hal serupa dipertegas lagi oleh Bapak Kalek Bandaro Malin,
”Alek ko ado duo, alek adaik jo alek biaso. Alek adaik ko pakai niniak mamak badatuak-datuak, sedangkan alek biaso yo pakai niniak mamak juo tapi ndak ado aleknyo doh.” (Kenduri itu ada dua, ada kenduri adat ada kenduri biasa. Kenduri adat itu menyediakan ruang untuk ninik mamak badatuak-badatuak, sedangkan kenduri biasa kadang juga pakai ninik mamak tapi tidak ada kenduri adatnya) terang Bapak Kalek Bandaro Malin.
Perubahan-perubahan tersebut adalah bentuk pertarungan kebiasan dan tradisi melawan arus perubahan zaman dan teknologi yang sangat cepat. Tidak hanya pada acara baralek atau perhelatan bahagia saja, bakureh juga dilakukan oleh kaum ibu di kampuang Banda Panduang ketika kemalangan. Di Banda Panduang terdapat dua peringatan untuk sesorang yang sudah meninggal; pertama, manujuah hari (peringatan di hari ketujuh setelah almarhum meninggal). Kedua, manyaratuih hari (peringatan 100 hari setelah almarhum meninggal). Pada kedua perayaan tersebut jenis makanan dan tata caranya tidaklah sama. Umumnya menu masakan terbagi atas dua yaitu samba dan cemilan. Untuk manujuah hari, kaum ibu akan bakureh dengan membawa kompor, penggorengan, kuali, sendok besi dan sebagainya (sesuai kebutuhan). Biasanya hanya tetangga terdekat saja, seperti ungkapan Minangkabau, “…Kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan,” maksudnya adapun kabar baik (bahagia) dikabarkan dan diinformasikan kepada seluruh masyarakat dan mengundangnya untuk hadir dalam perhelatan tersebut. Sedangkan kabar buruk (seperti kematian dsb) tidak dikabarkan secara luas hanya dari mulut ke mulut saja, dan masyarakat tidak diundang, hanya spontanitas dari masyarakat saja untuk takziah dan melayat ke rumah duka. Selain membawa perkakas memasak, juga ada kaum ibu yang membawa beras dan telur. Untuk samba yaitu, toco, gulai cubadak, kalio dan pergedel. Sedangkan untuk cemilan yaitu, serabi, nasilamak dan goreng pisang batu. Sedangkan untuk peringatan manyaratuih hari, kaum ibu tidak membawa perkakas namun membawa bareh dan pitih (uang). Sedangkan sumandan membawa gantuang-gantuang yang berisi nasilamak, pisang goreng dan kue-kue. Untuk samba masih sama. Adapun yang berbeda ialah cemilannya yaitu, lamang dan pinyaram.
Sembari itu, di tempat terpisah Pak Kalek Bandaro Malin dan Pak Ilyas Pandeka Rajo sedang bercengkrama di kedai Pak Ngah. Kami menghampiri beliau dan memperkenalkan diri. Pak Kalekmenjelaskan bakureh merupakan sebuah tradisi memasak bersama yang dilakukan oleh kaum Ibu-Ibu. Perbincangan kami kemudian mengarah pada aktifitas mamanggia (mengundang) pada perhelatan alek gadang. Pak Kalek begitu sapaan akrab beliau, menjelaskan, ”Kalau mamanggia disiko, nan padusi bajalan kaki manuruik rumah mamak nyo, nan kilaki manuruik ka rumah niniak mamak jo kendaraan bisa jo oto atau jo onda,” (Jika mamanggia disini, perempuan akan berjalan kaki menuju rumah mamaknya, yang laki-laki menuju rumah mamaknya dengan kendaraan roda empat atau motor) ungkap Pak Kalek. Pernyataan Pak Kalek menjadi titik terang atas pencarian saya. Beliau menambahkan, “Tu diagiah pitih pambali minum untuak urang nan pai mamanggia ko, ado nan 250 ribu baduo, ado juo 300 ribu baduo, nan kini antah baralah”,(Itu diberikan uang untuk membeli minuman kepada orang yang pergi mamanggia, ada yang 250 ribu untuk berdua, ada juga 300 ribu untuk berdua, tapi sekarang entahlah), lanjutnya. Otak saya dipenuhi tanda tanya, perihal cara mamanggia yang dilakukan oleh perempuan dengan berjalan kaki sedangkan laki-laki menggunakan kendaraan. Pertanyaan tersebut sempat saya utarakan kepada Pak Kalek, namun beliau berucap,
33
34
35
”Yo lah sajak ninik mamak nan tadahulu lah mode itu juo,” (Ya sejak zaman nenek moyang kita sudah begitu aturannya)
Di hari keenam yang merupakan hari terkahir kami untuk observasi di lapangan, kami memutuskan berbincang dengan Bundo Kanduang Kelurahan Tanah Garam, Kecamatan Tanjung Harapan, beliau kerap disapa dengan Bundo Wi oleh warga sekitar. Kami memutuskan untuk tidak ke Kampuang Payo. Saya ingin menuntaskan pembahasan mengenai tata cara mamanggia dalam baralek. Sedangkan rekan saya Olfa akan mengupas bakureh pada kemalangan. Sesampainya kami di rumah beliau waktu menunjukkan pukul 15.30 Wib, ketika beliau sedang duduk santai di teras bersama cucunya.
Beliau menjabarkan perihal alek yang ia ketahui. “Alek di solok tabagi duo, alek biaso jo alek gadang. Alek gadang ko ado alek baminantu salamo 7 hari jo alek malakek an gala. Kok alek biaso yo alek baminantu nan 3 hari atau sahari salasai.” (Alek di solok terbagi dua, alek biasa dan alek gadang. Alek gadang terdiri dari kenduri baminantu selama 7 hari dan kenduri malakek an gala). Tiga hari observasi di lapangan, saya menemukan beragam informasi yang sangat luas, informasi tentang bagaimana alek dan jenis hidangan yang disuguhkan serta tata cara dalam pelaksanaannya memperkaya pengetahuan saya dan juga pembaca tentunya. Rasa penasaran saya berlabuh kepada Bundo Wi, bundo menjelaskan bahwa untuk baralek gadang tata cara mamanggia memang berbeda dengan alek yang biasa. Bundo Wi memulainya dari pakaian orang yang pergi mamanggia,
“Baju nan padusi baju kuruang basiba warna hitam, tingkuluak hitam, sendal dengan tumit 3 cm, mambaok payuang hitam nan diguluang kain,” (Baju perempuan ialah baju kurung basiba warna hitam, penutup kepala warna hitam, sendal dengan tinggi 3 cm, membawa payung hitam yang dibalut dengan kain) jelasnya. Hal ini memperlihatkan keanggunan dari yang mamanggia, selain itu juga payung dapat digunakan untuk berteduh ketika panas yang begitu terik atau hujan.
“Nan padusi tu yo bajalan ka rumah mamak, untuak mangecek an bini mamak. Tapi yo diagak kama se nyo ka mamanggia dan itu pun indak banyak dan harus salasai sahari tu juo, samisal duo atau tigo rumah sajo per urang,” (Perempuan itu berjalan ke rumah mamak untuk menyampaikan keoada istri mamak. Tetapi diatur kemana saja mamanggia dan itu pun tidak banyak dan harus selesai hari itu juga, semisal dua atau tiga rumah saja per orang) tambahnya. Orang yang bertugas mamanggia tersebut membawa kampie dan siriah. Biasanya yang mendapat tugas mamanggia ialah Sumandan atau Induak Bako dari orang yang memiliki hajat. “Sakali jalan tu ado banyak nan ka mamanggia tapi pai nyo baduo-duo. Ado agak 20-30 urang nan mamanggia hari tu.” (Sekali jalan itu ada banyak yang ikut mamanggia tetapi perginya berdua-dua. Kira-kira ada 20-30 orang yang ikut mamanggia) jelas Bundo Wi.
Sedangkan laki-laki,”Kok baju nan kilaki tu mamakai baju taluak bulango jo deta, nan pai tu mamak jo anak pisang manuruik ka rumah niniak mamak mambaok rokok buliah jo onda atau oto,” (Baju nan laki-laki itu memakai baju taluak bulango dengan deta, yang pergi ialah mamak dan anak pisang menuju ke rumah ninik mamak membawa rokok, boleh pergi dengan motor atau mobil) sambung Bundo Wi.
36
Perihal uang yang diberikan kepada masing-masing orang yang pergi mamanggia itu tergantung kemampuan yang punya hajat dan tidak ada aturan yang mengikat. Nah, untuk mamanggiakhalayak umum seperti dunsanak sasuku, tetangga dan sebagainya dilakukan oleh Si Pangka. Pakaian yang digunakan boleh apa saja, yang penting sopan. “Baju kuruang jo jilbab untuak nan padusi, nan kilaki mamakai baju koko.” (Baju kurung dan jilbab untuk yang perempuan dan baju koko untuk yang laki-laki).
Jadi untuk mamanggia ninik mamak dan tokoh adat haruslah dengan pakaian adat dan aturan adat pula, sedangkan untuk khalayak umum dilaksanakan biasa saja. Bundo Wi melanjutkan, bahwa ketika memakai baju adat itu sangat sakral sehingga perilaku dan sikap juga harus dijaga. Terlebih ketika memanggia menemui ninik mamak harus memakai baju adat yang lengkap. Bundo Wi juga menceritakan keresahannya akan anak-kemenakan yang sudah mulai meninggalkan tradisi, beliau prihatin dengan baralek pada zaman sekarang yang pelaminan diletakkan diluar rumah, itu bukanlah tradisi orang Solok. Pelaminan itu ada di dalam rumah dan disediadakan ruang untuk ninik mamak untuk badatuak-datuak (sejenis pidato adat). Tidak hanya itu ketika bararak, juga telah jauh melenceng dari tradisi yang diwariskan oleh ninik mamak terdahulu seperti baju anak daro yang panjang dan ada pula orang yang memegangnya di belakang. Sungguh memprihatinkan, sekarang Bundo Kanduang se-Kota Solok sedang menuliskan tradisi adat Solok ke dalam sebuah buku yang mana akan disebarkan kepada seluruh warga Solok, demi terjaganya tradisi urang Solok. Sefniwati Solok, 7 Juni 2018
[1]Bubur yang diracik dari bahan dasar tepung beras dan dimasak dengan gula anau (aren), sehingga mengahasilkan warna kecoklatan dan sangat kental
37
B
akureh, Tradisi, dan Perempuan Minangkabau
Juni 2018 menjadi awal perjalanan kami bertujuh sebagai pendekarwati Daur Subur, sebuah platform yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi dalam usaha mengarsipkan dan memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat. Program ini memberi kesempatan pada kami untuk memperlajari kultur pertanian dari sudut pandang media berbasis komunitas. Program Daur Subur periode Juni-Agustus 2018 ini mengangkat tema “Bakureh” yang dikonsep dalam “Bakureh Project”, sebuah proyek memetakan aktivitas bakureh di lingkungan masyarakat Sumatera Barat. Pada awalnya, kami akan difokuskan pada bakureh sebagai kegiatan memasak kaum ibu dalam acara-acara besar seperti pernikahan, aqiqah, khatam, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Namun, seiring berjalannya waktu, isu yang kami angkat berkembang, yakni mengupas bakureh lebih mendalam secara keseluruhan, baik itu dalam konteks memasak kaum ibu, maupun dalam konteks bekerja “berkuras tenaga”. Tujuh orang yang dimaksud adalah Sefniwati (Sefni), Nahlia Amarullah (Nahal), Olva Yosnita (Olva), Dyah Roro Puspita Amarani (Roro), Annisa Nabila Khairo (Ica), Nurul Haqiqi (Qiqi) dan saya sendiri. (Lihat juga: Profil Partisipan Bakureh Project)
Rangkaian pembekalan dimulai sejak tangal 1 Juni 2018. Pembekalan yang kami dapatkan berupa materi Literasi Media dari Albert Rahman Putra dan Delva Rahman di hari pertama. Dilanjutkan dengan materi Adat Istiadat Minangkabau dari Mak Katik dan Kultur Bakureh dari Bundo Kanduang Suarna di hari kedua. Pada hari ketiga, kami kembali medapat pembekalan dari Albert, yakni materi Metode Riset. Di hari terakhir pembekalan, yakni hari keempat, kami mendapat materi Kultur Bakureh sebagai Adat Istiadat Minangkabau dari Buya Khairani. Setelah rangkaian pembekalan tersebut, barulah kami memulai observasi awal pada sore hari di hari keempat, 4 Juni 2018 tersebut. Obeservasi awal dilakukan
38
untuk mengumpulkan informasi awal mengenai bakureh, tradisi dan perempuan Minangkabau. Hasil observasi awal inilah yang nantinya akan menentukan fokus riset masing-masing pendekarwati. Observasi awal dilakukan secara terpisah namun tetap berkelompok. Diiringi oleh satu sampai dua fasilitator. Saya mendapat kesempatan bekerja sama dengan Nahal, dan diiringi Riski dan Volta sebagai fasilitator. Mencari Isu
39
Riski, Volta, Nahal dan saya berangkat dari markas Gubuak Kopi ke Koto Baru dengan mengendarai dua motor. Perjalanan dimulai sekitar pukul 3 sore. Di sepanjang perjalanan, saya tidak begitu memperhatikan keadaan lingkungan sekitar. Tapi, sekilas saya melihat bahwa Kota Solok sudah mengalami modernisasi. Kami sempat terjebak macet karena ada beberapa truk yang berjalan berpapasan di jalan yang tidak begitu besar, dan terdapat pohon besar yang cukup rendah di pinggirnya. Truk-truk tersebut sedikit kesulitan untuk melintas karena ranting-ranting pohon yang menjuntai ke tengah jalan dan tersangkut ke bagian atas salah satu truk. Truk terpaksa jalan perlahan sambil dibantu knetnya, agar pohon tidak tertarik dan rubuh. Dalam keadaan macet tersebut, tampaklah kendaraan bermotor yang mulai memadati jalanan, yang menurut saya, merepresentasikan modernisasi yang dialami masyarakat Solok. Truk-truk yang membuat macet jalanan pun menunjukkan indikasi adanya “pembangunan” di sekitar Solok. Begitu pula dengan rumah-rumah yang berdiri di sepanjang jalan yang sudah berdinding batu dan tampak masih baru. Beberapa tanah lapang bekas persawahan juga mulai dibangun gedung, yang menurut perkiraan saya adalah rumah penduduk. Tidak banyak sawah luas yang terbentang. Tidak ada lagi rumah penduduk yang bergonjong, hanya beberapa gedung pemerintahan saja. Hal ini, menurut asumsi awal saya, juga dapat merepresentasikan keadaan sosial masyarakat Solok yang sudah mulai berjarak dengan adat
budayanya.
Perhatian saya sempat terpaku pada bentangan sawah luas yang hijau di sisi kanan jalan, sebelum kejadian macet. Di tengah-tengah sawah, terpasang nama “SAWAH SOLOK” . Ada tiga landmark yang terpasang. Saya, yang waktu itu berboncengan dengan Riski, menanyakan hal tersebut. Riski menjelaskan bahwa sawah tersebut milik masyarakat setempat yang juga dikelola oleh pemerintah sebagai destinasi wisata. Saya berasumsi bahwa “Bareh Solok” yang sering disebut-sebut itu barasal dari sini. Dan Riski mengamini asumsi saya tersebut sambil terus melajukan motor ke arah Koto Baru. Tak jauh setelah kami masuk ke gang yang menuju rumah Riski, saya melihat sekilas aktivitas menjemur padi (maampai padi). Ada beberapa orang laki-laki yang sedang bekerja dan ada sekitar tiga-empat gundukan padi yang belum dikaka. Pengamatan saya hanya sampai di situ karena Riski melaju cukup kencang sehingga saya tidak sempat mengajaknya berhenti sebentar. Saat di perjalanan pulang pun, saya sudah lupa dengan aktivitas tersebut. Padahal, pemandangan tersebut memunculkan asumsi baru di kepala saya bahwa mungkin saja tradisi dan adat istiadat Minangkabau di daerah sini belum seutuhnya luntur. Dan mungkin saja dalam aktivitas tersebut ada “bakureh” –nya.
Rumah Riski berada di pertigaan antara jalan utama gang dan gang yang lebih kecil. Karena saya masih baru di Solok ini, saya tidak tahu ada apa di ujung jalan utama gang, dan ada apa di gang kecil tersebut. Saya dan Nahal hanya mengekor Riski dan Volta yang setibanya di rumah langsung saja masuk ke dalam. Ibu Riski (kami memanggilnya Ama), yang kemudian saya ketahui bernama Hermita, sedang memantau kerja tukang. Rumah Riski sedang dicat ulang, dan sore itu tukang sedang mengecat bagian atap ruang tamu. Setelah dipersilakan duduk oleh Ama, Riski pun menjelaskan maksud kedatangan kami, yakni sedang mencari narasumber yang bisa ditanyai tentang bakureh. Ama menawarkan beberapa nama yang sekiranya paham perihal ini. Namun, Nahal langsung berinisiatif menanyakan pengalaman Ama. Ama dengan begitu saja menjadi narasumber pertama kami. Menurut Ama, bakureh merupakan tradisi yang sudah pasti selalu ada dalam acara-acara besar seperti pernikahan atau aqiqah. Sampai sekarang pun, aktivitas bakureh masih tetap ada meski di beberapa kasus, pemilik acara memilih memakai catering.
“Tapi di siko, alun ado yang saratus persen pakai catering sen. Pasti ado agak saketek bakureh juo (Tapi di sini (Koto Baru), belum ada yang memakai catering saja seratus persen. Pasti tetap ada yang bakureh untuk memasak makanan barang sedikit).” Ama juga menjelaskan bahwa kesepakatan akan diadakannya bakureh, misalnya dalam suatu pesta pernikahan atau alek, sudah dibahas oleh keluarga sebelum mengundang para tetangga. Ada tiga tahap perencanaan alek secara umum. Pertama mendiskusikan rencana alek dan bakureh bersama keluarga inti atau disebut juga dengan Sipangka, sebagai orang yang menyelenggarakan alek. Tahap ini disebut baiyo-iyo sakaluarga, yakni tahap perencanaan. Kemudian, memberitahukan kabar tersebut kepada niniak-mamak. Tahap ini lebih dikenal dalam istilah lokal sebagai baimbau mamak. Tujuannya adalah meminta penilaian dan persetujuan dari niniak-mamak tentang perencanaan sebelumnya. Barulah setelah rencana disetujui, berita pernikahan disebarluaskan ke keluarga besar dan keluarga sasuku[1] dengan cara mengumpulkan keluarga besar, atau disebut dengan tahap babaua mamak. Rentang waktu yang dibutuhkan untuk melewati proses ini kurang lebih sebulan. Barulah setelah itu, Sipangkamengundang para tetangga untuk bakureh. Umumnya undangan ini disebarkan secara lisan dari rumah ke rumah oleh pihak Sipangka sekitar tiga hari sebelum acara. Namun, apabila pestanya cukup besar, yang akan dimasak juga biasanya akan lebih banyak, sehingga semakin banyak pula waktu yang dibutuhkan untuk memper-
40
siapkan makanan. Maka, biasanya tujuh hari sebelumnya para pelaku bakureh sudah mulai mengangsur mempersiapkan bumbu dan menggulai.
Sebelum kaum ibu memulai aktivitas bakureh dalam artian “memasak bersama”, kaum bapak biasanya bakureh dalam artian bergotong royong mendirikan tenda atau dapur dadakan untuk memasak, yang kalau di daerah Koto Baru disebut “Rumah Kajang”. Oleh sebab itu, istilah bakureh di Koto Baru pada zaman dahulu juga disebut “mandirian tenda”. Namun, pada zaman dahulu, tidak sebatas mendirikan Rumah Kajang, tetapi juga mendirikan tenda pelaminan, yang pada zaman sekarang tanggung jawab tersebut sudah diambil sepenuhnya oleh orang pelaminan. Setelah kaum bapak mendirikan Rumah Kajang, barulah kaum ibu mulai mempersiapkan bumbu dan memasak. Sehari sebelum alek, di saat makanan sudah selesai dimasak semuanya, makanan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang disebut “Biliak Samba”. Malam harinya, secara alamiah akan berlangsung malam batanggang, yaitu malam makan dan minum bagi para muda-mudi sambil menjaga sambal atau lauk-pauk atau makanan yang sudah dimasukkan ke Biliak Samba. Malam batanggang disebut juga malam bajago samba (malam menjaga lauk-pauk). Apa yang dijelaskan oleh Ama, sama dengan yang dijelaskan Bundo Kanduang Koto Baru, Tek Erih, yang menjadi narasumber kedua kami. Kami mengunjungi Tek Erih berdasarkan saran dari Ama, karena beliau dianggap sebagai orang yang paham dengan adat dan tradisi bakureh ini. Sekitar pukul 4 sore, setelah mengobrol dengan Ama, kami berempat beriringan ke tempat Bundo Kanduang. Sebelumnya, Riski memberitahu bahwa bangunan terbengkalai di sebelah rumahnya adalah contoh nyata “Rumah Kajang” yang dimaksud Ama. Bangunan tersebut terbuat dari bambu, mulai dari tiang-tiang penyangganya atau pondasi semi permanen, sampai ke kerangka atap. Kemudian, bagian atapnya ditutup dengan seng. Bagian kiri, kanan, depan dan belakang dibiarkan terbuka. Di tengah-tengah Rumah Kajang memang terlihat bekas api tungku. Sayangnya, Rumah Kajang tersebut sudah mulai tertutup semak belukar, dan menjadi tempat menaruh gerobak motor. “Berarti Rumah Kajang tu emang dipadiaan tagak se yo, Ski? (Berarti, Rumah Kajang memang dibiarkan berdiri begitu saja, ya, Ski?)” tanya saya kepada Riski di perjalanan menuju rumah Bundo Kanduang.
“Ndak juo do, Kak. Biasanyo, babarapo hari setelah alek, Rumah Kajang tu dirubuahan. Tapi nan iko emang dipadiaan se jo Ibuk yang punyo alek, dek tanah tu tanah kosong. Jadi ndak ado yang tagaduah. (Tidak juga, sih, Kak. Biasanya, beberapa hari setelah pesta, Rumah Kajang akan dirubuhkan. Tapi yang ini memang dibiarkan saja oleh Ibu yang berpesta waktu itu, karena tanah itu tanah kosong. Tidak akan ada orang yang terganggu).” Sesampainya di rumah Bundo Kanduang, kami tidak langsung bertemu Tek Erih, karena beliau sedang solat Asar. Kami menunggu di depan rumahnya sambil mengamati tanaman di depan rumah Tek Erih yang tumbuh subur. Saya juga terkejut saat melihat seekor Jawi atau sapi di samping rumah Tek Erih. Jawi tersebut menurut saya berbadan lebih besar dari yang pernah saya lihat. Cukup menarik bagi saya yang tinggal di kota Pekanbaru, yang jauh dari pemandangan seperti ini. Bagi saya keberadaan jawi ini atau ternak lainnya, serta banyaknya tanaman di pekarang rumah seseorang, menunjukkan kedekatan orang tersebut pada tradisi budaya dan adat istiadat. Artinya, asumsi awal saya tadi mulai dipatahkan, atau mulai berubah. Lingkungan kota Solok bisa saja sudah terkontaminasi modernisasi, namun sepertinya, di daerah kampong seperti Koto Baru ini, belum seutuhnya tercemar lajunya modernisasi atau perkembagan zaman, meski mobil dan motor sudah mulai banyak berlalu lalang di gang rumah Riski tersebut.[2]
41
Tek Erih muncul tidak lama kemudian dan mempersilakan kami masuk dan duduk. Riski
langsung saja menjelaskan maksud kedatangan kami. Tek Erih lalu menjelaskan apa yang dimaksud tradisi bakureh di Koto Baru. Kata beliau, Bakureh dalam tradisi Koto Baru lebih dikenal dengan sebutan “Manolong memasak ka dapua” (menolong memasak ke dapur) atau “mangalamai” (membuat galamai). Disebut mangalamai sebab salah satu makanan wajib dalam alek Koto Baru adalah galamai. Makanan wajib lainnya adalah salamak (nasi ketan), samba randang dan gulai. Galamai merupakan makanan ringan yang berbahan dasar tepung beras ketan, gula saka, dan santan, yang dalam pembuatannya membutuhkan tenaga yang banyak untuk mengaduk adonan dalam jumlah banyak.[3] Galamai hampir mirip dengan dodol. Akan tetapi, galamai lebih kenyal dan lembut dibandingkan dengan dodol. Galamai berwarna hitam pekat dan umumnya dicampur dengan potongan kacang tanah, sehingga menjadi lebih renyah. Rasanya manis dan gurih. Selain dalam alek, galamai juga dapat ditemukan di toko oleh-oleh makanan khas Minangkabau. Tek Erih juga menjelaskan bahwa dalam tradisi bakureh di Koto Baru, pihak yang memasak adalah kaum ibu. Sementara kaum bapak mendirikan Rumah Kajang yang lokasinya di pekarangan rumah tempat pesta berlangsung, membantu mengangkat yang berat-berat, seperti mengangkat tungku, kuali atau mencari kayu. Kaum bapak juga bertugas menjadi janang, yang dalam konteks Koto Baru merupakan orang yang bertugas sebagai penghidang makanan untuk niniak-mamak.
Dalam konteks Koto Baru, tidak dikenal pembagian tugas dalam bakureh. Para tetangga yang menolong memasak biasanya sudah paham apa yang harus dikerjakan, sehingga pembagian tugas terjadi secara alami. Para tetangga datang dengan membawa pisau sendiri agar pekerjaan mempersiapkan bumbu bisa diselesaikan dengan mudah dan cepat. Sementara alat masak lainnya seperti kuali, disediakan oleh Sipangka. Namun, ada satu orang yang mendapat tugas penting, yang dikenal dengan istilah Rubiah, yakni juru kunci Biliak Samba (pemengang kunci bilak). Biasanya, Rubiah adalah orang yang dipercaya keluarga Sipangka, yang bisa saja tetangga yang dipercaya atau memang anggota keluarga. Rubiah bertanggung jawab dalam mengeluarkan makanan yang dibutuhkan saat acara, berhak menyuruh seseorang untuk menyendok lauk-pauk ke piring, untuk kemudian dihidangkan. Di Koto baru juga tidak ada istilah baupah (diupah atau dibayar). Artinya, bakureh dilakukan secara sukarela dan bergotong royong, sebagai bentuk bantuan dari para tetangga untuk keluarga Sipangka. Meskipun begitu, secara adat, keluarga Sipangka tetap wajib mengundang tetangga secara langsung, untuk membantunya memasak di dapur. Undangan ini sebagai perpanjangan hubungan silaturrahmi antara Sipangka dan tetangga. Saling mengundang ini menunjukkan kuat-lemahnya rasa kekerabatan kita dalam bertetangga. Selain itu, kata Tek Erih, kewajiban mengundang dan datang bakureh sudah tradisi dari nenek moyang, sehingga apabila misalnya salah satu tetangga lupa atau tidak diundang bakureh, tetangga tersebut tidak akan datang. Umumnya, kejadian seperti ini memang tidak dipermasalahkan atau dimasukkan ke dalam hati. Sebab, masing-masing orang sudah paham bahwa dalam keadaan baralek, kita bisa saja tidak fokus dan melupakan beberapa hal, seperti mengundang salah satu tetangga, misalnya. “A, makan se lah gulai cubadak tu sorang (makan saja gulai nangka itu sendiri),” kata Tek Erih mencontohkan salah satu gurauan yang biasa diucapkan tetangga yang tidak diundang bakureh. Sipangka cukup menjelaskan alasannya, dan pihak yang tidak diundang akan mengerti dengan sendirinya.
“Alun pernah ado yang sampai bacakak dek iko lai do (Belum pernah ada yang sampai bertengkar karena itu).” Tek Erih menekankan.
Tek Erih juga menjelaskan bagaimana hubungan timbal balik berlaku dalam tradisi bak-
42
ureh. Perlakuan kita kepada tetangga bisa berbalik ke diri kita sendiri. Ini seperti bermain julo-juloatau arisan, dimana kita akan mendapatkan apa yang kita berikan kepada orang. Jika hubungan bertetangga kita jaga dengan baik, serta rajin menolong orang memasak atau bakureh, maka akan banyak pula orang yang datang menolong kita nantinya. Di Koto Baru, tradisi ini masih dipegang, demi keamanan dan kenyamanan masyarakat sendiri. Ada kesadaran dari masing-masing orang untuk saling menjaga hubungan baik. Karenanya, di Koto Baru, tradisi gotong royong bakureh ini masih terus terjaga dan berlangsung secara sukarela.
Bundo Kanduang Koto Baru ini juga menyinggung sedikit tradisi bararak (arak-arakan) dalam alekdi Koto Baru. Kemudian, karena rasa penasarannya, Volta memancing Tek Erih untuk menjelaskan lebih lanjut. Tek Erih menerangkan bahwa biasanya, bararak di Koto Baru terdiri dari 6 macam bararak, yang ditentukan oleh banyaknya rombongan bararak. Enam macam bararak tersebut adalah arak 7, arak 9, arak 12, arak 16, arak 24 dan arak 32. Arak 12 dan arak 16 biasanya menunjukkan bahwa alek disertai dengan membantai atau memotong kambing. Sementara arak 24, berarti membantai jawi atau sapi. Arak 32, mengindikasikan alek yang disertai membantai kerbau. Yang ikut dalam bararak adalah mempelai wanita dan kaum ibu yang menjunjung makanan di atas kepalanya menggunakan cawan dan dulang. Misalnya, dalam arak 12, rombongan dibagi ke dalam dua kelompok; delapan orang menjunjung masakan seperti galamai, salamak, samba randang, gulai, kukuh, paniaran pisang[4], siriah (sirih) dan nasi; lalu empat orang lainnya yang berpakaian putih-putih, yang terdiri dari anak daro (mempelai wanita) kakak rarak atau adiak rarak (pendamping anak daro) dan dua orang pembawa cawan yang berisi lauk-pauk dan gulai.
Informasi ini kemudian menarik perhatian saya. Sebab, saat pemberian materi dua hari sebelumnya bersama Bundo Kanduang Tembok, Ibu Suarna, dijelaskan bahwa bararak di Kota Solok sudah mengalami perubahan, yakni tidak lagi berjalan kaki. Orang-orang Solok zaman sekarang, khususnya di Tembok, mulai berarak menggunakan bendi[5], akibat terpengaruh oleh pesta pernikahan anak Presiden Jokowi yang ditayangkan di media arus utama beberapa waktu lalu. Hal berbeda, berdasarkan penjelasan Tek Erih, terjadi di Koto Baru. Orang-orang di Nagari Koto Baru masih berarak secara tradisional. Selain itu, dalam proses bararak, dijelaskan oleh Tek Erih bahwa kaum ibu secara gotong royong menjunjung bawaannya, sambil mengiringi kedua mempelai berjalan dari rumah Induak Bako (saudara perempuan kandung dari pihak ayah) ke rumah Anak Daro (mempelai wanita). Meski Tek Erih sendiri menyebutkan bahwa aktivitas bararak ini bukan bakureh, saya menilai aktivitas ini tetap bisa disebut sebagai “bakureh” juga. Bakureh yang saya maksud masuk ke dalam konteks “gotong royong”, “bekerja sama” atau “bekerja keras”. Namun demikian, asumsi ini ada baiknya mendapat tinjauan ulang dan pertimbangan lebih lanjut, agar tidak membuat rancu makna “bakureh” itu sendiri.
Sebelum menutup pembicaraan kami, Tek Erih secara tersirat menggambarkan betapa tradisi di daerah Koto Baru mulai luntur. Salah satu contohnya adalah tradisi berbalas pantun dalam kegiatan bakureh. Salah satu penyebabnya adalah generasi terdahulu yang masih melestarikan berbalas pantun dan dendang tersebut sudah tidak aktif pergi bakureh, dan tidak sedikit pula yang sudah meninggal. Menurut Tek Erih, kemungkinan orang yang masih dekat dengan tradisi bapantun adalah mereka yang usianya 70 tahun ke atas. Penyebab lainnya adalah tradisi bapantun, yang menurut asumsi saya merupakan hiburan saat memasak dalam kegiatan bakurehtersebut, tidak pula diturunkan. Menurut saya pribadi, hal ini bisa saja disebabkan oleh kemunculan teknologi radio dan telepon genggam pintar. Teknologi ini memudahkan orang untuk mengakses lagu, seperti lagu-lagu daerah, lagu dangdut, lagu pop atau lagu rohani, yang bisa dijadikan hiburan.
43
Tradisi Bararak, Istilah Khusus dan Situasi Sosial di Setiap Alek Setelah berdiskusi bersama Ama dan Tek Erih, kami berempat kembali ke Markas Gubuak Kopi. Saya dan Nahal masing-masing sudah menggaris bawahi beberapa poin penting dalam kepala kami, yang kemudian akan kami persentasikan di malam harinya, di hadapan pendekarwati lainnya dan para fasilitator. Hasil persentasi yang saya lakukan mengarahkan saya pada riset lebih lanjut tentang beberapa poin. Yakni, isu berarak dalam konteks terdahulu dan masa kini; bagaimana perkembangan zaman bisa menggeser kebiasaan dalam tradisi bararak? Selain itu, menurut Delva, penting juga untuk melihat situasi sosial di setiap alek, sebab hal tersebut bisa merepresentasikan situasi dan kondisi suatu masyarakat serta kemungkinan besar juga memiliki keterkaitan dengan perkembangan zaman. Situasi sosial yang mulai berubah ini juga bisa terlihat dalam tradisi bararak. Bararak merupakan rangkaian terakhir dari acara pernikahan, aqiqah, khatam alquran, pengangkatan penghulu (batagak panghulu) atau bahkan upacara kematian. Fungsinya adalah sebagai media pengumuman pada masyarakat luas. Misalnya, pada acara pernikahan, bararak menjadi indikasi bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi sepasang suami istri.[6] Umumnya, fungsi bararak di setiap daerah adalah sama, yakni sebagai media pengumuman. Namun, praktiknya berbeda-beda di setiap nagari.
Kata bararak memiliki makna yang sama dengan kata “berarak” dalam Bahasa Indonesia. Akar katanya adalah “arak”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarak didefinisikan sebagai “berjalan bersama-sama secara beriring.”[7] Arak dapat pula diartikan sebagai iringan barisan mengiring sesuatu seperti tamu agung atau pengantin, sebagaimana yang sudah didefinisikan oleh Usman (2002:54).[8] Dengan demikian, bararak dalam tradisi Minangkabau merupakan aktifitas mengiringi pengantin yang dilakukan masyarakat Minangkabau, sesuai dengan adat istiadat dan budaya masing-masing nagari. Untuk memahami tradisi bararak ini, saya mendapat kesempatan untuk mewawancarai orangtua Volta di hari kelima observasi, 5 juni 2018, dan beberapa ibu-ibu di Nagari Kinari pada 6 Juni 2018, setelah acara berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah, Sawah Sundi, Nagari Kinari. Pada hari kelima, Saya, Nahal, Volta dan Irvan (anak magang Gubuak Kopi) berangkat ke kampung halaman Volta di Sawah Baruah, Jorong Pamujan, Nagari Kinari, Kecamatan Bukit Sundi, Kabupaten Solok, seusai diskusi bebas di Markas Gubuak Kopi. Di rumahnya, ibu Volta sudah menunggu kedatangan kami karena sebelumnya Volta sudah menghubungi orangtuanya. Setelah dipersilakan masuk dan duduk, kami langsung mewawancari ibu Volta, yang juga kami panggil Ama.
Ama menjelaskan bahwa di Nagari Kinari, tradisi bararak dikenal pula dengan istilah “pai bajamu” (pergi menjamu). Biasanya, bararak ini ditemukan dalam alek, pai mambadak (dalam Bahasa lokal Solok, lebih dikenal dengan “turun mandi”) dan batagak panghulu (pengangkatan penghulu). Dari yang saya tangkap, bararak dalam alek Nagari Kinari adalah aktivitas arak-arakan dari rumah perempuan ke rumah laki-laki. Hal ini sedikit berbeda dari nagari-nagari lainnya di Sumatera Barat. Beberapa pembandingnya adalah bararak di Nagari Tembok, Koto Baru, dan Padang. Ketiga nagari ini memiliki tradisi arak-arakan yang dilakukan dari rumah Induak Bako ke rumah orangtua Anak Daro[9]. Sementara di Nagari Salayo, tradisi bararak-nya sama dengan Nagari Kinari, diarak dari rumah Anak Daro (perempuan) ke rumah Marapulai (laki-laki).[10] Banyaknya iringan bararak di Nagari Kinari tidak ditentukan dari bantai-membantai hewan ternak, berbeda dengan Nagari Koto Baru (sudah dijelaskan sebelumnya). Di Nagari Kinari, semakin banyak orang yang ikut berarak, semakin bagus arakannya. Sementara, bawaan para kaum ibu dalam bararak alek di Nagari Kinari umumnya terdiri dari kain, samba (lauk
44
pauk; rending, goreng ayam, sambal telur, dll), kue, dan perkakas rumah tangga, seperti piring, kompor, gelas, dan lain sebagainya. Kaum ibu yang menjunjung makanan dan bawaan terdiri dari keluarga dan para tetangga, yang dipimpin oleh seorang ibu yang dituakan, yang disebut Urang Tuo Korong. Banyaknya rombongan arakan dan beragamnya bawaan kaum ibu saat bararak menunjukkan bagaimana pribadi Sipangka dalam hubungan sosialnya. Apa juga menjelaskan bagaimana susunan rombongan bararak. Di Nagari Kinari, Anak Daro didampingi oleh Urang Tuo Korong dan kaum ibu pembawa baban[11]. Di belakangnya, Marapulai diiringi oleh pemain musik talempong. Semakin ramai yang mengiringi dan bermain musik, semakin meriah lah arak-arakan tersebut.
Dalam tradisi pai mambadak, bararak dilakukan dari rumah Sipangka ke batang aia (anak sungai). Tradisi pai mambadak merupakan tradisi memandikan anak bayi yang baru berusia satu bulan. Tradisi memandikan ini dilakukan oleh keluarga Induak Bako, turun dari rumah Sipangka diiringi Dukun Kampuang, keluarga dan para tetangga. Bayi digendong oleh Induak Bako, dimandikan oleh Dukun Kampuang di anak sungai. Setelah dimandikan, anak dibalut handuk, lalu diserahkan kembali ke Induak Bako untuk diarak kembali ke rumah. Sebelum memasuki rumah, ada tradisi berbalas pantun yang dilakukan oleh Dukun Kampuang dan Janang[12]. Setelah itu, barulah Induak Bako membawa si Anak masuk ke dalam rumah, dipakaikan pakaiannya oleh Dukun Kampuang dan diberi bedak. Oleh sebab itulah, tradisi memandikan anak ini dikenal dengan pai membadak (pergi membalurkan bedak di sekujur tubuh anak bayi agar wangi).
Saat observasi kedua ini, saya belum mendapatkan informasi terperinci mengenai bararak dalam tradisi baralek maupun pai mambadak. Namun, sekilas saya menangkap bahwa dalam tradisi pai mambadak ini tidak ada yang dibawa oleh rombongan. Fungsi arakarakan selain sebagai media pengumuman atas kelahiran anak, juga untuk meramaikan acara dan membahagiakan keluarga Sipangka. Lagi-lagi, Ama dan Apa (ayahnya Volta, yang saat itu baru pulang dari bekerja) menekankan, bahwa banyaknya rombongan bararak ini ditentukan oleh sikap dan hubungan keluarga Sipangka dalam berdunsanak bertetangga.
Pada kesempatan mewawancarai kaum ibu seusai buka bersama di Masjid Nurul Hidaya keesokan harinya, saya mendapat informasi tambahan bahwasanya istilah bakureh bagi masyarakat loka Nagari Kinari bersifat kasar. Orang lebih menggunakan kalimat “pai manolong mamasak” jika ada kegiatan memasak untu alek. Sementara, untuk mengupah orang pun, orang enggan menggunakan kata bakureh, sebab bagi masyarakat setempat, bakureh berarti bekerja dengan tujuan mendapat keuntungan atau “maambiak barang urang”. Selain itu, saya juga mendapat informasi bahwa bararak umumnya dilakukan oleh kaum menengah ke atas. Sebab, umumnya bararak disertai dengan membantai kambing, sapi atau kerbau. Bararak juga sering diiringi permainan musik dan tari piring.
Dari observasi dua hari tersebut, saya menarik kesimpulan sementara bahwa tradisi bararak cukup beragam, tergantung nagarinya. Selain itu, bararak juga bisa merepresentasikan status sosial seseorang. Informasi terakhir yang saya dapatkan cukup menjelaskan, meskipun tradisi dan adat istiadat di Nagari Kinari masih cukup kuat, perkembangan zaman tetap berhasil masuk. Salah satu buktinya adalah sudah adanya orgen tunggal, serta pemanfaatan media musik sejenis mp3 untuk mendengarkan lagu, yang menurut asumsi saya menggantikan posisi bapantun dan badendang. Namun demikian, tetap diperlukan riset lanjutan mengenai tradisi-tradisi tersebut, serta saya rasa perlu juga mengamati tradisi di kanagarian lain, khususnya di Solok, sebagai usaha membaca lebih mendalam tradisi bakureh dan bararak. Serta untuk memahami kondisi sosial masyarakat Solok, yang mungkin saja bisa terepresentasikan dari keadaan masing-masing kanagarian.
45
Pengalaman Bakureh bersama masyarakat Nagari Kinari 6 Juni 2018 menjadi hari terakhir observasi awal para pendekarwati. Hari itu, kami mendapat undangan berbuka bersama di Masjid Nurul Hidayah. Sehari sebelumnya, Apa menjelaskan bahwa di Nagari Kinari terdapat tradisi bakureh dalam rangka menyambut buka bersama yang diadakan di beberapa masjid di Kanagarian Kinari. Tradisi buka bersama ini menjadi tradisi tahunan, dan diadakan secara bergilir. Bisa digabungkan pula dengan aqiqah. Seperti yang kami alami sendiri pada hari keenam rangkaian lokakarya Bakureh Project ini.
Di acara buka bersama tersebut, ada tiga anak yang di-aqiqah, dengan diikuti membantai jawidan kambing. Pagi harinya, seusai subuh, kaum bapak membantai jawi, lalu membersihkannya di batang aiai. Selanjutnya jawi tersebut dikuliti bersama-sama oleh kaum bapak. Sementara kaum ibu mempersiapkan bumbu masak, seperti mengupas dan mengiris bawang, membersihkan cabai merah, dan memetik pucuk bunga papaya, mengupas timun dan lain sebagainya. Pada pagi itu, saya, Nahal, Sefni dan Olva mendapat kesempatan bergabung bersama kaum ibu dan mengalami langsung persiapan memasak tersebut. Saat bumbu-bumbu sambal tersebut hampir selesai dipersiapkan, sebagian ibu akan mempersiapkan tungku, dibantu oleh beberapa orang bapak. Bapak-bapak tersebut membantu menyusun batu tungku yang cukup berat. Selanjutnya, kaum ibu mulai memasak. Pada acara buka bersama itu, ada empat makanan berat yang dibuat, yaitu dendeng, kalio, anyang[13], dan salada mantimun[14]. Sementara cemilannya, seperti Kolak Cukuik-cukuik[15]. Saya, Nahal, Sefni, Olva, Volta, Zekal dan Irvan memang tidak mengikuti kegiatan bakureh sampai selesai. Namun, pagi itu kami mendapatkan informasi yang cukup untuk “membuktikan langsung” bagaimana bakureh itu dalam praktiknya. Kami juga mendengar sendiri apa dan bagaimana para kaum ibu tersebut berbincang-bincang saat kegiatan bakureh. Kegiatan pagi itu hanya kami ikuti sampai pukul setengah sembilan. Kami kemudian kembali ke Markas Gubuak Kopi untuk mengikuti materi tambahan mengenai bakureh dari sudut pandang praktik seni pertunjukkan. Sorenya, pukul 5 sore, saya, Nahal, Roro, Irvan, Volta dan Cugik berangkat menghadiri berbuka bersama. Kami kembali mendapat kesempatan melihat dan mengalami sendiri salah satu kegiatan “baralek” buka bersama di Nagari Kinari tersebut.
Kegiatan bakureh yang lebih dikenal memasak basamo ini biasanya selesai menjelang Asar. Selanjutnya, ibu-ibu menyusun masakan di dalam masjid. Menjelang berbuka, cemilan disusun, lalu berbuka bersama berlangsung, dilanjutkan dengan solat Magrib berjamaah. Seusai solat, barulah kaum ibu secara “bakureh” menyendokkan nasi dan lauk-pauk ke dalam piring. Kaum bapak, secara “bakureh” pula berperan sebagai janang, menghidangkan berpiring-piring makanan ke niniak-mamak yang duduk di bagian depan Masjid. Setelah semua kalangan mendapat makanan, saya, Roro, Cugik dan Irvan ikut duduk menikmati makan bersama. Sambil makan, saya mengamati bagaimana kaum ibu tidak berhenti bekerja, merapikan dan menyusun piring-piring bekas makan para hadirin. Begitu pula sebagian kaum bapak, yang saya pikir mungkin panitia acara, turut sibuk membersihkan sisa-sisa makanan dan mengumpulkan sampah dan gelas bekas minum. Selanjutnya, saat saya mencuci tangan, saya melihat kaum ibu bakureh mencuci piring. Saat saya ingin membantu, saya dilarang dan “dimarahi”.
“Ndak ado anak gadih nan mancuci piriang do! Bia induak-induak se. (Tidak ada anak gadis yang mencuci piring! Biarkan ibu-ibu saja),” kata salah seorang ibu yang kemudian menjadi narasumber kami. Saya pun permisi dari ibu-ibu tersebut dan menunggu di dalam Masjid bersama teman-
46
teman lainnya. Selanjutnya, kami mewawancarai sedikit beberapa ibu, yang antusias memberikan keterangan. Kesan yang kami dapatkan cukup baik dan informasi yang kami butuhkan akhirnya terkumpul. Seusai mewawancara, sekitar pukul delapan, kami berenam kembali ke Markas, untuk kemudian memulai menuliskan semua pelajaran yang kami dapat dari observasi tersebut. Bagi saya, yang lahir, besar dan tinggal di Pekanbaru, pengalaman bakureh ini sangat berkesan. Sebab, meskipun di Pekanbaru juga ada tradisi seperti ini, kedekatan akan budaya Minang lebih terasa saat mengikuti bakureh dan buka bersama di Nagari Kinari, yang bisa dikatakan masih sangat dekat dengan budaya Minang. Berbeda dengan Pekanbaru yang merupakan kota para perantau. Di tambah lagi, perjalanan yang harus ditempuh saat ke lokasi. Tidak henti-hentinya saya melihat bentangan sawah, diselingi rumah-rumah sederhana. Beberapa di antaranya merupakan bangunan tradisional Minangkabau, yang masih dipergunakan, yang menurut saya sepertinya masih dijadikan tempat tinggal. Hal ini sangat menarik dan menambah wawasan saya secara pribadi. Selain itu juga meningkatkan rasa penasaran tentang tradisi adat istiadat Nagari Kinari, khususnya, dan Solok pada umunya. Ade Surya Tawalapi Solok, 7 Juni 2018
_________________________________ [1] Keluarga sasuku dalam konteks Minangkabau bisa diartikan sebagai keluarga satu klan. Atau bila dicontohkan ke suku Batak, maka “keluarga sasuku” berarti keluarga semarga. Dalam KBBI, kata “suku” yang dimaksud merujuk pada golongan orang sebagai bagian dari kaum yang seketurunan. (aplikasi luring KBBI V) Beberapa contoh suku di Minangkabau antara lain suku Koto, suku Bodi, suku Caniago, dan suku Piliang. Keempatnya adalah suku induk di Minangkabau (https://mozaikminang.wordpress.com/2011/11/15/suku-suku-di-minangkabau/, diakses pada 7 Juni 2018, 15.24 WIB) [2] Motor dan mobil bisa menjadi indikasi kemajuan suatu daerah atau modernisasi. Sebab, mobil dan motor merupakan alat transportasi modern yang memanfaatkan teknologi mesin. Dalam teori Determinisme Teknologi disebutkan bahwa pada masa Revolusi Industri, kota besar dapat disebut suatu kota industry bisa di dalam kota tersebut terdapat manufaktur dan sistem produksi yang berbasis mesin, termasuk alat transpostasi yang mendukung proses suatu produksi. (Dr. Rod Burgess, Essay : Technological Determinism And Urban Fragmentation : A Critical Analysis, Oxford Brookes Univeristy, dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Determinisme_teknologi, diakses dari 7 Juni 2018, 16.20 WIB) [3] https://id.wikipedia.org/wiki/Galamai, diakses pada 7 Juni 2018, 08.38 WIB
[4] Paniaran pisang merupakan sebutan lokal untuk paniaram atau pinyaram, yaitu kue khas Minangkabau yang berbentuk bulat berwarna cokelat kehitaman. Tebuat dari tepung beras putih atau hitam, yang dicampur dengan gula aren (gula merah atau saka) atau gula pasir, dan santan kelapa. Rasanya sangat manis. Pinyaram juga disebut sebagai Kue Cucur Padang. (https://id.wikipedia.org/wiki/Pinyaram, diakses pada 7 Juni 2018, 16.36 WIB) [5] Kereta beroda dua yang ditarik oleh seekor kuda dengan seorang pengemudi di depannya, dikenal juga dengan istilah dokar atau delman.
[6] Iriani, Zora. Jurnal. “Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Vol. XI. No. 1 Th. 2012. Padang: Humanus. Hlm. 16.
47
[7] Aplikasi KBBI V (diakses pada 7 Juni 2018, 18.57 WIB).
[8] http://scholar.unand.ac.id/22275/2/2.BAB%20 I_2.pdf, diakses pada 7 Juni 2018, 08.38 WIB
[9] Elia, Stephanie. Skripsi. “Pemaknaan Prosesi ‘Baralek’ Nagari Padang”. 2016. Tangerang: Universitas Multimedia Nusantara. Hlm. 138-155. [10] Iriani, Zora. Jurnal. “Malam Bakuruang (Berkurung) dalam Perkawinan Alek Gadang di Kenagarian Salayo Kecamatan Kubung Kabupaten Solok”. Vol. XI. No. 1 Th. 2012. Padang: Humanus. Hlm. 16. [11] Istilah lokal untuk junjungan berisi makanan dan lain sebagainya, yang dibawa kaum ibu di atas kepalanya saat bararak.
[12] Janang di sini merujuk pada pengatur acara tradisi mambadak. [13] Sejenis urap, terbuat dari pucuk dan bunga papaya dicampur dengan kelapa parut.
[14] Timun diiris tipis-tipis, lalu ditiriskan. Kemudian dicampur dengan bumbu garam, merica, cuka, dan bawang goreng. Salada mantimun juga memiliki keberagaman resep, seperti di rumah saya sendiri, isi salada mantimun terdiri dari mentimun iris, telur rebus dan kentang rebus yang juga diiris-iris, lalu diaduk bersama garam, merica, cuka dan bawang goring. Dilengkapi dengan kerupuk baguak (emping). [15] Terdiri dari kacang hijau (kacang padi), agar-agar, cincau hitam, dan cendol merah.
48
49
50
M
inangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang kaya akan kegiatan kebudayaan di Indonesia. Budaya masyarakat Minang yang sangat menyukai pesta dapat dilihat dalam kesungguh-sungguhan masyarakat ketika melakukan perayaan-perayaan adat seperti pernikahan, gotong royong, dan akikah, bahkan kematian pun diselenggarakan dengan berbagai acara besar serta melibatkan masyarakat banyak. Dalam pelaksanaanya, alek nagari biasanya dilakukan secara komunal yang menandakan bahwa nilai gotong royong di daerah tersebut masih sangat tinggi. Salah satu hal yang menarik untuk dibahas dalam tradisi gotong-royong masyarakat Minang yaitu tradisi bakureh. Bakureh itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai bekerja, tetapi yang ingin dibahas di sini bukan bakureh dalam artian pekerjaan, melainkan tradisi bakureh, acara masak memasak di Minangkabau terkhususnya di daerah Kota Solok.
Tradisi memasak di Kota Solok sendiri pun memiliki variasi yang berbeda di tiap-tiap kelurahannya. Di Solok sendiri, sebenarnya tradisi bakureh tersebut tidak hanya dilihat dan dipahami sebagai acara masak-memasak tetapi lebih dari itu. Di era modernisasi saat ini budaya-budaya dan semangat gotong-royong yang telah menjadi ciri khas masyarakat, tidak hanya di Minangkabau saja sudah mulai mengalami kemunduran yang hampir menghilangkan identitas masyarakat itu sendiri.
Perubahan nilai-nilai yang terjadi di dalam masyarakat tidak terlepas dari pergeseran pola kebiasaan masyarakat itu sendiri. Kebiasaan-kebiaasaan masyarakat yang hidup di era modern akan jauh berbeda dengan masyarakat yang hidup pada masa lampau. Kebiasaan-kebiasaan ini sangat dipengaruhi oleh nilai dan norma yang berlaku dan konteks waktu pada tiap zaman. Berbicara masalah kebudayaan suatu wilayah tidak lepas dari membicarakan masalah adat di sana, dulu maupun perkembangan terkininya. Di sini, saya dan beberapa kawan, dari berbagai daerah terpilih untuk mengikuti proyek seni Bakureh Project. Proyek ini diselenggarakan oleh Gubuak Kopi melalui program Daur Subur, sebuah platform untuk membaca dan mengkaji kebudayaan masyarakat pertanian di Sumatera Barat. Pada proyek ini kami berusaha untuk mengupas lebih dalam tradisi bakureh di Solok secara khusus, dan di Minangkabau secara umum dengan beragam peristilahan. Tradisi bakureh ini sendiri, yang diyakini beberapa tokoh adat, sudah dibawa sejak zaman Nabi Adam. Dari beberapa kelas yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi terkait Bakureh Project, dengan menghadirkan sejumlah tokoh adat dan akademisi budaya, bakureh bisa
51
diartikan menguras energi baik itu tenaga maupun pikiran dan membentuk kegotongroyongan di dalam masyarakat. Kegiatan yang terjadi di tengah masyarakat tidak terlepas dari sifat dasar manusia yang tidak bisa hidup sendiri. Manusia yang pada dasarnya memiliki akal dan budi, akan memutar otak dalam bertahan hidup. Kerjasama yang terjalin bukan hanya masalah bakureh atau bekerja tetapi lebih terhadap rasa ikhlas dan saling melengkapi di antara sesama manusia yang tidak sempurna. Bakureh atau memasak secara kolektif di masyarakat Minang biasanya dilakukan oleh kaum perempuan. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada pihak laki-laki yang membantu, namun tetap dikomandoi kaum ibu. Peran-peran perempuan di Minang patut untuk diperhitungkan, terlepas dari sistem kekerabatan matrilineal itu sendiri. Di sini kami berusaha melihat lebih dekat dengan masyarakat Kota Solok bagaimana kegiatan bakureh itu dilakukan. Hari pertama, senin 4 juni 2018 saya menggali informasi di sekitar Jalan Tembok Raya, Kelurahan Nan Balimo, Kota Solok. Di sini saya bertemu dengan seorang narasumber yang bekerja di Tembok tetapi tidak berdomisili di daerah tersebut, beliau hanya mencari nafkah di Tembok dengan menjadi anggota penjual gorengan dan diupah. Yang menarik di sini adalah di tempat tinggal ibu penjual gorengan ini adatnya masih sangat kental, tidak ada yang namanya jasa boga atau istilah yang sering digunakan adalah ketring (diadaatasi dari Bahasa Inggris catering). Jadi semua kegiatan di sana dikakukan dengan cara bakureh. Dan yang menariknya lagi alat-alat keperluan dapur yang diperlukan di bawa sendiri-sendiri.
Ibu yang saya temui tinggal di daerah Payo, Kelurahan Tanah Garam di pinggir Kota Solok, tak banyak berbicara masalah bakureh kami lebih berbicara tentang gorengan. Perjalanan selanjutnya kami masih mencari narasumber di sekitar Tembok, kali ini seorang pedagang pabukoan (takjil), di sini sedikit berbeda dengan ibu penjual gorengan tadi, beliau adalah warga asli Tembok dan sudah dari kecil tinggal di sana. Beliau mengatakan bahwa tradisi bakureh disini sudah sangat jarang, walaupun masih ada itu sedikit jumlahnya. Menurutnya, ini dikarenakan sudah adanya ketring.
52
Di sini juga dikatakan oleh beliau bahwasanya jenis masakan di dalam baralek itu sudah bervariasi. Walaupun sudah banyak ketring beliau masih melakukan tradisi bakureh ketika melaksanakan pernikahan anaknya. Hal tersebut tak jauh berbeda dari yang diterangkan oleh Ibu Suarna, pemangku jabatan adat Bundo Kanduang di Tembok, Nan Balimo. Menurut Ibu Suarna sudah banyak terjadi perubahan-perubahan dalam tradisi bakureh tersebut. Contohnya saja ketika baralek, jika dahulu dalam memasak itu dilakukan secara gotong royong, maka sekarang ada yang namanya urang tuo alek yang bertanggung jawab terhadap alek atau acara. Tak hanya itu, dulu alat-alat memasak dibawa oleh masyarakat contohnya piring, kukuran kelapa, gelas, dan kuali, tetapi saat sekarang ini sudah digantikan dengan yang instan-instan. Lalu jika dahulu masyarakat bersama-sama mencuci piring maka sekarang sudah diupahkan pada orang tertentu, yang biasanya mengalami kesulitan ekonomi. adat hiduik di dunie tolong-manolong, adat mati janguak-manjanguak, adat ado basaliang tenggang, adat kayo mambantu yang miskin
(adat hidup di dunia adalah tolong menolong, adat mati saling menjenguk, adat ada/ berkepunyaan salaing bertenggang/membantu, adat kaya membantu yang miskin). Kaba baiak baimbauan, kaba buruak bahambauan
(kabar baik dihimbauka/dikabarkan secara terbuka, kabar buruk dihambaukan/dikabarkan oleh inisiatif yang tidak terlihat dan bergegas).
Dalam hal kemalangan, maka kabarnya akan dihambauan. Dalam hal ini, ia dikabarkan dari telinga ke telinga, sebagai insiatif untuk mengajak tetangga kita untuk membantu orang yang kemalangan tersebut. Lain halnya dengan pesta pernikahan atau dalam hal ini ia adalah kabar baik, yang mana dikabarkan secara spesial, seperti membawa sirih, dan lainnya. Dalam pesta pernikahan ataupun kemalangan masyarakat tetap melakaukan tradisi bakureh. Kalau pada pesta pernikahan ia dilakukan secara terbuka di kajang atau gaduang-gaduang[1], dalam kemalangan memasak biasanya dilakukan di rumah tetangga. Hal tersebut dilandasi dengan rasa simpati terhadap tetangga yang mengalami musibah. Di dalam kemalangan ada empat makanan yanag biasa dihidangkan yaitu sambal goreng/buncis/toco, paragede(perkedel), kalio, dan gulai cubadak (nangka) atau rebung. Saya kira ada beberapa pertimbangan kenapa menu ini menjadi pilihannya, namun saya belum berhail mendapat jawab. ***
Di hari kedua, Selasa, 5 Juni 2018 saya mengumpulkan informasi di daerah Banda Panduang, Tanah Garam, Kota Solok. Di sini saya mulai menggali bagaimana kegiatan bakureh di daerah Banda Panduang. Di sana saya bertemu Ibu Yet, salah seorang warga lokal yang juga aktif terlibat aktivitas bakureh. Ibu Yet bercerita, mulai dari istilah bakureh itu sendiri, penamaannya pada saat melakukan acara masak-memasak tetap sama dengan wilayah lain di Solok, tak ada perbedaan dalam hal penyebutan bakureh tersebut. Di lanjutkan dengan kebiasaan masyarakat di sana, pagi-pagi sekali atau paling tidak pukul 07.00 WIB, ibu-ibu di sana sudah berangkat ke tempat acara dan saat pergi ke tempat bakureh itu pasti selalu membawa pisau dapur, biasannya untuk memudahkan dalam proses masak-memasak. Setelah itu juga dibahas tentang acara khatam Al-quran, di mana masyarakat sekitar akan melakukan bakureh di mesjid.
53
Pada saat acara khatam tersebut juga beliau jelaskan tentang menu yang dibuat pada
saat acara bakureh, yaitu gulai dan nasi kunik. Untuk gulai, hanya di bolehkan satu variasi. Biasannya gulai yang dibuat yaitu gulai daging sapi. Proses memasaknya sendiri sudah dimulai dengan merebus daging pada malam hari, dan besoknya pagi-pagi sekali barulah dikasih santan. Untuk daging yang direbus biasannya dititipkan di rumah sebelah mesjid untuk dijaga. Obrolan kami berlanjut pada acara pernikahan, dimana alek pernikahan akan menemukan banyak variasi makanan yang akan dimasak contohnya perkedel kentang atau perkedel tahu, mie, samba lado tanak, abuih buncih (buncis yang direbus), di luar dari menu wajib yaitu kalio, perkedel, toco, dan gulai.
Untuk adat kematian, masyarakat Minangkabau menyelenggarakan beberapa kegiatan setelah mayat dikuburkan. Ada yang namanya manigo hari, manujuah hari, dan manyaratuih hari. Manigohari yaitu tradisi berdoa pada hari ketiga setelah dikuburkan, manujuah hari pada hari ke tujuh, dan manyaratuih hari pada hari ke seratus. Seperti cerita Ibu Yet, dalam manujuah hari biasanya warga membuat sarang bareh atau serabi, nasi lamak, dan goreng pisang batu di rumah duka. Biasanya warga datang ke rumah duka dengan membawa alat-alat masak contohnya kompor, kuali kecil, dan spatula. Biasannya orang lain yang tidak memiliki hubungan dengan keluarga duka akan membawa beras dan telur. Untuk manyaratuih hari, biasanya membuat makan tradisional lamang dan pinyar an. Orang sumandoatau ipar membawa gantuang-gantuang yang berisi kue, nasi lamak dan goreng pisang. Untuk warga umum biasanya membawa beras, atau amplob berisikan uang, dan atau lima butir telur. Untuk menu yang di masak yaitu kalio, perkedel, gulai toco, dan gulaian.
Di hari yang sama saya juga menemukan narasumber lain yaitu Bapak Kalek Mandaro Malin. Beliau menjelaskan bahwa, “induak-induak tugasnyo di dapua dan yang jantan mancari kayu jo mambuek gaduang-gaduang”. Artinya tugas ibu-ibu ada di dapur dan laki-laki bertugas untuk mencari kayu dan membuat tempat untuk berteduh ibu-ibu tersebut saat memasak. Di sini beliau juga bercerita tentang adat mampatagakkan gala atau batagak gala atau pemberian gelar adat kepada orang yang diangkat menjadi datuk. Di dalam alek tersebut yang merupakan menu wajib yaitu gulai, baik itu gulai kerbau, kambing, ataupun sapi, hanya saja jenis menu ini tidak boleh memiliki variasi lain, artinya hanya ada satu saja jenis makanan yang dihidangkan pada saat pengangkatan datuk. Lalu untuk mengabarkannya atau mamanggia, harus menggunakan pakaian khusus, yaitu deta, baju putiah, dan sarawa lambuik. Biasannya orang yang memanggil itu adalah orang pangka (keluarga, adik, kakak, atau sesuku) dengan anak pisang (keponakan), yang harus dibawa yaitu rokok dan sirih. Bagi perempuan boleh membawa urang sumandan (ipar) dengan membawa sirih. Uniknya kegiatan mamanggia ini, menurut Pak Datuak dilakukan dengan berjalan kaki oleh perempuan, bagi laki-laki diperbolehkan menggunakan motor. Biasannya perempuan yang mamanggia ini membawa payung yang dililitkan dengan kain hitam. Dan katanya, belakangan biasanya orang yang mamanggia akan diberi uang jalan. ***
Rabu, 6 Juni 2018 saya kembali melakukan riset di Bandar Pandung, Tanah Garam, Kota Solok. Kali ini saya menemui Bundo Kanduang Kelurahan Tanah Garam, yakni ibu Wiwik Sofian, penjelasan dari narasumber sebelum-sebelumnya hampir mirip, dan disini Bundo Kanduang sedikit memberikan tambahan pendalaman dari penjelasan yang di dapat tersebut. Misalnya dalam baralek biaso (biasa) dan baralek gadang (besar) ada perbedaan proses yang dilalui. Di dalam alek besar ada proses manyilau (silaturahmi), manapiak bandua, basuduik, baduduak-duduak, mamanggia, dan maambiak hari (memutuskan haribaik untuk
54
pernikahan). Di dalam baralek biasa hanya dengan manapiak bandua kemudian putuih etong atau menentukan hari baik utuk acara pernikahan.
Sebelumnya sedikit sekali disinggung masalah kematian atau kemalangan. Dalam tradisi kemalangan ada yang namanya konsi, dimana masyarakat menyumbang uang lima ribu rupiah per-keluarga, dan dari uang yang didapatkan tersebut, bisa dibeli kebutuhankebutuhan yang berkaitan dengan adat kemalangan, misalnya, pembelian alat untuk mandi jenazah, kain kafan dan lain-lain. Artinya, semua kebutuhannya penyelenggaraan jenazah telah ditanggung oleh masyarakat. Pada saat prosesi pengangkatan jenazah itu biasanya diangkat sama-sama baik oleh anak, teman, keluarga, tetangga, siapa pun boleh untuk mengangkat. Lalu di daerah ini ketika mendengar kabar meninggal dunia, pemuda akan dengan spontan menolong menggali liang kubur untuk si jenazah, intinya di daerah ini tidak ada yang dibayar ataupun diupahkan, murni dengan gotong royong. Bundo Kanduang Tanah Garam ini juga kembali menyinggung kebiasaan setelah kemalangan manujuah hari dan manyaratuih hari, seperti yang sudah dijelaskan di atas, oleh narasumber sebelumnya. Di samping itu, apabila yang meninggal dunia adalah pemuka adat seperti manti, pengulu, dubalang, dan urang tuo, maka akan dibentangkan kain putih dari jalan sampai pintu rumah, dan setelah itu kain tersebut diinjak oleh anak pisang, dan harus berkurban sapi atau kerbau. Ritual tersebut dilakukan pada saat manyaratuih hari, hanya hal tersebut yang membedakannya dengan kematian masyarakat biasa, masalah makanan dan adat lainnya tetap sama.
Berdasarkan dari observasi awal tersebut banyak saya temukan informasi-informasi tentang bakureh yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Dari informasi tersebut saya dapat belajar bahwasanya budaya yang selama ini kita anggap biasa saja, bisa jadi suatu saat nanti akan hilang. Semangat gotong-royong dari tradisi masak-memasak ini, saya kira hendaknya dapat kita tularkan ke masyarakat luas, agar kelak generasi setelah saya tidak kehilangan semangat gotong royong atau bakureh tersebut. Tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti, tradisi bakureh ini bisa saja hilang atau tidak dikenal lagi oleh masyarakatnya, melihat betapa canggihnya dunia berputar demi tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi tentunya kita sangat berharap bahwasanya kegiatan bakurehini, sebagai kegiatan yang melanggengkan semangat gotong royong, tetap lestari di masyarakat dan tidak kehilangan eksistensinya. Olva Yosnita Solok, 7 Juni 2018
[1] Bangunan yang tidak permanen dibuat sebagai dapur sementara untuk bakureh atau memasak dalam pesta adat.
55
56
Mempertajam Bingkaian di Pulau Sawo Catatan Focus Group Discussion Bakureh Project #1 Setelah pemaparan materi Lokakarya Daur Subur selama satu minggu penuh, sebagai tahap awal dalam rangkaian Bakureh Project, para partisipan mulai mengerucutkan kerangka riset pada masing masing daerah yang mereka pilih untuk didalami nantinya. Riset ini diagendakan selama dua bulan kedepan. Perekembangan riset tersebut akan dibahas secara bertahap melalui kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Kali ini, sembari Komunitas Gubuak Kopi merealisasikan liburan tahunan, sekaligus barayo (berhari raya) bersama di Pulau Sawo, yang juga berdekatan dengan jadwal FGD pertama maka para partisipan diajak sekaligus mengikuti kemping di Pulau tersebut pada 22-24 Juni 2018.
FGD pertama ini difokuskan membahas riset awal yang telah dijalankan oleh para partisipan untuk dipresentasikan, dan pendalaman outline atau rencana penulisan yang sebelum telah dibuat oleh partisipan. FGD dilakukan tepatnya pada hari Sabtu, 23 Juni 2018, di sebuah pondok kayu bekas resto, yang kini biasanya digunakan nelayan untuk beristirahat atau berteduh jika terjadi cuaca buruk di laut. Pada presentasi FGD pertama dimulai oleh pemaparan outline Nahlia Amarullah atau biasa kami sapa Nahal, yang focus membahas bakureh sebagai media komunikasi dan informasi antar warga. Dalam outline yang disampaikan, peserta FGD menyimak dan memberi masukan dari pandangan riset yang dipaparkan.
Pada kesempatan kali ini Nahal menjelaskan pengertian bakureh yang ia pahami dari materi lokakarya sebelumnya, yakni, bakureh pada dasarnya tidak hanya sebuah agenda
57
gotong royong memasak, tetap terdapat peristiwa lainnya, seperti adab berkomunikasi, pengathuan kuliner, dan lainnya. Sebagai perbandingan, ia menjabarkan tradisi bakureh di tiga nagari (desa) di Solok yang telah ia observasi, yakni Koto Baru, Sinapa, dan Kinari. Nahal juga menjelaskan hubungan warga dengan bakureh itu sendiri, pada sosial tradisi, Nahal tertarik dengan adanya fenomena komunikasi langsung antar warga dalam tradisi bakureh. Ia bersumsi ini merupakan salah satu faktor yang membuat kekuatan sosial antar warga tetap terjalin harmonis, sehingga teknologi yang berjalan saat ini tidak terlalu mempengaruhi sistem kebudayaan gotong royong itu sendiri. Proses komunikasi ini secara spesifik, salah satunya pada aktivitas mamanggia (memanggil), yakni, adab mengajak orang untuk melakukan tradisi bakureh.
Nahal juga membahas hubungan bakureh sebagai media pendidikan lokal, sebagai contoh pada prinsip bakureh itu sendiri selalu mengajak keturunannya untuk mengikuti tradisi ini, Nahal mempunyai pandangan bahwasannya di sinilah remaja mengenal masakan-masakan pada tradisi alek. Ade Surya Tawalapi, salah seorang partisipan, menaggapi tentang kesinambungan bakurehsebagai media, secara tak sadar orang tua (pelaku bakureh) mengajak anak-anaknya untuk terjun langsung melihat dan melakukan tradisi bakureh itu sendiri, yang didalamnya juga banyak kaba (informasi) yang disampaikan warga pada saat bakureh itu berlangsung. Beberapa daerah tidak melanggengkannya lagi, Ade menambahkan perlunya membahas praktik serta pemaknaan bakureh dulu dan kini. Sefniwati, juga salah seorang partisipan, juga menambahkan fenomena komunikasi lainnya dalam tradisi ini, seperti yang telah dibahas di lokakarya, bahwa dalam tradisi bakureh, ketika proses masak-memasak itu sendiri, tidak jarang orang-orang yang terlibat saling bergosip, dan bercanda, seperti halnya yang kini juga beralih ke media sosial. Presentasi berikutnya dilanjutkan oleh Dyah Roro Asmarani, atau yang biasa disapa Roro. Penelitian berfokus pada adab berpakaian dalam tradisi bakureh. Temuan Roro dalam observasi awalnya menunjukan bahwa realitas bakureh tersebut juga mempunyai aturan-aturan tersendiri dalam berpakaian, yang menjadi penanda bahwasannya dalam tradisi bakureh dan peristiwa adat lainnya mempunyai makna dan falsafah tersendiri. Hal itu terlihat dari pilihan kostum maupun simbol-simbol/motif yang ada pada baju tersebut. Roro mengidentifikasi perbedaan-perbedaan pakaian upacara adat, baik didalam
58
upacara baralek (upacara pernikahan), batagak panghulu (pengangkatan penghulu/pemuka adat), kematian, dan lainnya, yang relevan dengan isu terkait, dan Roro juga mengidentifikasi isu dengan konteks penurunan/perubahan adab berpakaian dulu hingga kini, dengan mencari arsip-arsip yang terdahulu. Ade juga menanggapi dalam adab berpakaian yang ada di Kinari, adab berpakaian di Kinari dikategorikan ade sebagai identitas dari suku, tugas, dan peran setiap masyarakat dari perhelatan upacara adat yang ada di daerah itu.
Outline selanjutnya dipresentasikan oleh Ade yang berfokus pada bararak baralek (arak-arakan pesta pernikahan). Salah satu tradisi dalam upacara adat, di dalamnya terdapat unsur dan nilai-nilai bakureh/gotong royong, dalam hal ini Ade menempatkan observasi riset pada daerah Kinari sebagai pemantik awal dari isu yang dipilih. Dalam bararak sendiri makanan yang di bawa merupakan hasil bakureh ibu-ibu. Dalam hal ini Ade lebih mengerucutkan situasi dan lokasi riset hingga masuk ke wilayah situasi sosial daerah tersebut dan bisa mengidentifikasi kembali siapa saja pelaku bararak itu sendiri, seperti perbandingan yang disampaiakan Ade tentang praktik bararak di daerah Pekanbaru dengan daerah Kinari. Anisa Nabila Khairo, atau yang biasa kami sapa Ica, menanggapi bahwasannya perlunya ada penjelasan yang khusus dalam praktik bararakdulu dan kini, sebab bararak dahulunya dilakukan dengan sukarela, sedangkan kini upaya bararak ditentukan dengan finansial dalam lokasi tertentu seperti di Dhamasraya yang menyewa marching band dalam praktik bararak, hal ini perlu dipetakan kembali dalam konteks bakurehterhadap perbandingan-perbandingan yang relevan dengan situasi sosial di daerah tersebut.
Memperdalam pembahasan itu, Albert Rahman Putra, Pegiat Komunitas Gubuak Kopi yang juga menjadi pemandu FGD ini, juga menanggapi tentang fenomena tradisi sebagai ‘objek visual’ semata, yang sering kali dibalik tradisi itu telah terjadi penyerdahanaan proses, yang juga merubah esensi dan nilai-nilai tradisi itu sendiri. Sering kali ini terjadi karena ingin instan dan mengepankan tradisi sebagai potensi ekonomis wisata. Sebagai contoh, dalam bararak yang menggunakan upah agar supaya dalam acara alek terlihat ramai dan mewah, walau pun bentuk visual itu tidak lagi dapat kita pastikan sebagai representasi kegotong-royongan masyarakat tersebut, seperti halnya yang diyakini tradisi masa lampau. Namun, menurut Albert, penting juga untuk membaca fenomena ini sebagai perkembangan dari tradisi itu sendiri.
59
Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Nurul Hakiki yang biasa kami sapa Kiu-kiu. Risetnya berfokus pada pemaknaan, mitos, dan falsafah samba (lauk) yang hadir pada upacara adat. Pada pengantar Kiu-kiu memaparkan tentang Alek Datuak (Upacara Datuak/Pemuka Adat), di kampungnya, di daerah Sungai Jariang, Agam. Ada beberapa poin utama yang disampaikan Kiki dalam konteks alek datuak yaitu situasi daerah dan sosial, mufakaik (kata mufakat/kesepakatan), baambalau (menyembelih kerbau). Dalam prosesi baambalau masyarakat bersama-sama mendirikan pale-pale (pondok untuk memasak). Kiu-kiu menyampaikan hidangan dalam prosesi bajamba (makan bersama) mempunyai makna khusus, seperti contoh dalam makan bajamba terdiri dari 6 orang mempunyai makna di daerah terdiri dari 6 suku. Sefni menanggapi tentang samba dan kepercayaan anak muda kini dalam konteks mileneal, perlunya mencari pandangan dari hal tersebut. Joe Datuak, salah seorang fasilitator, menambahkan bahwasannya di dalam prosesi alek datuak tidak semuanya dilakukan tradisi bararak, dalam konteks patah tumbuah hilang baganti (pergantian datuak/penurunan gelar jika terjadi kemalangan) atau pengangkatan secara mendadak di beberapa nagari tidak dilakukan prosesi bararak atau menyembelih kerbau.
Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Ica yang berfokus pada perluasan makna bakureh sebagai platform dan nilai-nilai kebudayaan, yang bersinggungan dengan budaya gotong royong dan tradisi lisan, yang merujuk pada spesifikasi adat perkawinan dalam istilah badoncek pada pemaparan materi Buya Khairani sebelumnya, yaitu bakureh atau gotong royong dalam prosesi adat alek, yang melibatkan keluarga dan tetangga terdekat, di dalamnya terdapat sisitem sosial dan kaitannya dengan aturan sosial yang tidak pernah dituliskan, dan budaya terbangun dengan sendirinya dikarenakan kebiasaan tersebut, salah satu pengaruhnya dengan tradisi lisan atau disebut kaba. Ica menyampaikan bahwasannya bakureh memiliki makna yang kompleks, untuk mengidentifikasi kompeksitas tersebut, Ica mencoba melihat perbandingan penurunan makna dan kata dalam bakureh, juga sering disebut dengan pengertian berkuli, adanya pengaruh modernitas salah satu penyebab makna dan kata itu turun dan menjadikan itu sebuah profesi. Untuk memperdalam outline ini, Albert merangkai dari kompleksitas makna bakureh, yang pada dasarnya tidak bisa diharfiahkan seagai gotong royong masak saja, akan tetapi banyak pemaknaan di dalamnya. Bakureh sebagai sebuah platform meliputi gotong royong, distribusi pengetahuan, budaya lisan, adab, yang secara keseluruhan dapat kita lihat sebagai upaya merawat kekuatan sosial. Seperti halnya pemaknaan kata dada sebagai cikal bakal dadaisme, di Prancis yang secara harfiah berarti mainan kuda-kudaan, akan tetapi makna dadaisme tersebut mengadung makna yang kompleks sebagai upaya penolakan terhadap pakem seni sebelumnya yang sangat eksklusif.
Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Olva Yusnita, yang membahas peran bakurehpada upacara kematian. Beberapa poin utama dalam isu yang disampaikan yaitu mengenai, bakureh dan spontanitas atas rasa kepedulian yang ada di masyarakat, nantinya akan dibahas melalui teori Emil Duchamp dalam kesadaran kolektif, tanpa disadari masyarakat berkumpul bersama, membuat aturan-aturan yang berbeda di setiap daerah. Pada perbedaan alek kematian datuak biasanya ditemukan perbedaan-perbedaan, seperti membentangkan kain putih panjang sampai ke pintu rumah sebagai prosesi kematian tersebut. Olva mengambil teori August Comte bahwa pola pikir masyarakat bersifat empiris dengan menggunakan kajian yang ilmiah, ada tiga tahapan pola pikir manusia yaitu theologis, metafisik, dan positif. Masyarakat pada dasarnya mengalami perubahan pola pikir dari awal, theologis mempercayai setiap benda itu mempunyai roh, dan pada metafisik mulai muncul agama yang bersifat kekeramatan (animisme) yang merujuk pada kebendaan. Dan pada saat ini masyarakat sudah masuk ke ranah pola pikir postif. Ada insting kemanusiaan yang kentara
60
pada alek kematian, pada saat terjadi kemalangan di salah satu daerah, masyarakat sekitar mempunyai tanggung jawab untuk melakukan upacara itu sampai selesai dalam prinsip bakureh dalam konteks kematian. Presentasi outline selanjutnya disampaikan oleh Sefni. Ia mencoba memetakan isu kultur pertanian berkaitan dengan kegotong-royongan dalam penyelenggaraan pesta adat. Sefni melakukan observasi lanjutan di daerah Batu Basa Pariaman, dalam tradisi nilai gotong royong yang ada di Pariaman meliputi seperti membersihkan saluran irigasi atau istilah di kampungnya itu, mambukak kapalo banda, julo-julo (arisan) menggarap sawah dari menanam hingga memanen tanpa adanya upah. Sefni mencoba menyeleraskan sejarah masa lampau sebagai penggalian isu terhadap tradisi pertanian tersebut, ada beberapa kegiatan tradisi gotong royong yang ada di daerah tersebut seperti mambantai (membantai) menyembelih ternak, kegiatan ini dilakukan biasanya dilakukan sebelum hari raya Idul Fitri, kegiatan ini dilakukan biasanya di pasar tradisional, umumnya laki-laki yang melakukan kegiatan ini, baik itu menyembelih ataupun membeli daging sapi tersebut, pada tradisi ini sapi biasanya dibayar setelah pembukuan selesai. Pada prosesi penyembelihan kerbau, tradisi lisan juga dipakai, seperti candaan-candaan ketika bekerja. Setelah para partisipan mempresentasikan outlinenya masing-masing, Albert selaku narasumber pemandu diskusi, bersama Delva Rahman selaku pimpinan proyek ini mempertajam kembali isu-isu yang dibahas oleh partisipan dengan megkritisi ulang outline yang telah dirancang. Setelah revisi outline, para partisipan akan melanjutkan risetnya masing-masing, dan akan dibahas lagi perkembangan di FGD berikutnya. Selain itu, di sela-sela liburan, para partisipan juga membangun diskusi-diskusi kecil terkait proyek ini. Liburan yang berisi. Ogy Wisnu Suhandha 08 July 2018
61
Pertemuan Degan Bakureh Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project
T
radisi dan budaya memang selalu menarik untuk dibahas mengingat dirinya yang terus berkembang. Sumatera Barat dengan berbagai tradisi yang ada juga memungkinkan siapa saja untuk mendalaminya. Saya yang notabenenya tidak dibesarkan di Ranah Minang, sangat tertarik untuk mempelajari dan mendalami berbagai tradisi-tradisi yang ada. Salah satu tradisi yang akan dibahas dalam salah satu proyek penelitian yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi, yakni Bakureh Project. Proyek ini berupaya mendalami dan mengkaji nilai-nilai yang terkadung dalam tradisi bakureh di Solok, maupun dengan penamaan yang berbeda di daerah lainnya di Minangkabau.
Bakureh pada dasarnya mempunyai arti yang beragam bagi beberapa orang di Minangkabau itu sendiri. Menurut Mak Katik, salah satu budayawan di Sumatera Barat dalam kelasnya di Gubuak Kopi, bakureh sederhananya merupakan upaya mendapatkan sesuatu. Di lain kelas di Gubuak Kopi, Ibu Suarna, yakni tokh Bundo Kanduang, Tembok, Kota Solok, mendefenisikan bakureh sebagai kerja sama atau gotong royong, secara spesifik ia identik dengan tradisi masak bersama untuk alek (pesta) pernikahan. Sejalan dengan itu, menurut Buya Khairani, seorang tokoh adat di Solok, mendefinisikan bakureh adalah aktivitas yang mengeluarkan segala kemampuan untuk tolong-menolong dalam sebuah kegiatan.
Pada kesempatan ini, dalam Lokakarya Daur Subur, sebagai bagian dari Bakureh Project ini, saya melakukan observasi ke beberapa temat di Solok. Observasi ini saya mulai melalui obrolan dengan warga di Koto Baru dan Kinari, Kabupaten Solok. Kedua nagari tersebut, mereka tidak memakai istilah bakureh, walaupun mereka juga mengenali istilah itu digunakan oleh masyarakat Kota Solok, sebagai tradisi masak bersama, tapi di sini warga biasa menyampaikannya dengan “pai manolong urang memasak di dapua ” (pergi menolong orang memasak di dapur).
62
Di Nagari Koto Baru, Kabupaten Solok, saya bertemu dengan ibu Hermita, ia bercerita bahwa tradisi bakureh yang kita maksud ini masih terus dijalani oleh masyarakat Koto Baru. Bakurehdiadakan jika ada pernikahan atau baralek dan acara aqiqah. Prinsip dari bakureh menurut beliau memang tolong menolong jika ada orang kampung akan mengadakan baralek (pesta).
Biasanya bakureh akan dilakukan oleh perempuan yang sudah bersuami. Cara mengajaknya adalah mendatangi rumah ibu-ibu satu persatu memintanya untuk membantu memasak dengan keperluan baralek ataupun aqiqah. Untuk menyebarkan informasinya, biasanya pihak akan mengadakan suatu perhelatan akan mengundang secara tatap muka ke rumah-rumah masyarakat sekitar. Seperti yang dicontohkan Ibu Hermita “assalamualaikum, bu Eli bisuak wak manggulai di rumah mah, tibo yo” (assalamualaikum Bu Eli, besok kita mau masak di rumah, datang ya). Di beberapa Nagari di Solok, yang memanggil rumah ke rumah ini bukan dari pihak keluarga penyelenggara kegiatan langsung, biasanya adalah tetangga terdekat, namun tetap mewakili pihak yang berpesta. Dapat dilihat komunikasi yang terjalin dari warga Koto Baru yang masih sangat terjaga, dengan mementingkan komunikasi langsung antarmuka. Ibu Hermita juga percaya mengenai apa yang ia sebut ‘hukum timbal balik’, yakni: jika menolong orang lain dengan tulus, ia akan ditolong orang kembali. Oleh karena itu, Ibu Hermita selalu menyempatkan diri untuk membantu orang memasak saat ada acara/alek dengan pengharapan agar saat ia mengadakan alek akan banyak juga yang membantunya nanti. Selain ibu Hermita, di Koto Baru saya juga bertemu Bundo Kanduang di nagari tersebut, yang akrab dipanggil Tek Erih. Beliau juga menjelaskan mengenai sosok rubiah dalam bakureh masak memasak. Rubiah merupakan seorang pemegang “kunci biliak” (istilah kunci kamar yang berarti penjaga lauk pauk yang sudah selesai dimasak) tempat samba (lauk pauk) sehabis memasak disimpan. Hal lain yang menarik dalam kegiatan bakureh adalah obrolan ibu-ibu saat proses memasak. Tidak dapat dipungkiri jika ibu-ibu sudah berkumpul, katanya, tentu ada saja yang dibicarakan mulai dari menggosip, membahas bahan makanan, bahkan sampai menjodohkan anak.
63
Lain ceritanya saat saya mengunjungi Nagari Kinari, kampung yang penuh dengan sawah-sawah yang terbentang luas, dan juga banyak Rumah Gadang yang masih dihuni. Tradisi bakureh di sini biasa disampaikan dengan ucapan pai manolong urang, yang sama konteksnya dengan bakurehsecara umum di Solok. Bakureh yang mereka lakukan di sini tidak hanya untuk baralek atau pesta pernikahan saja, tetapi juga dilakukan saat acara aqiqah, membadak (anak baru lahir yang dirayakan seperti adat turun mandi), bahkan acara buka puasa bersama. Dalam melaksanakan bakureh untuk baralek saja, si pembuat hajat harus mendatangi ibu-ibu di sana untuk menolong masak dengan menggunakan pakaian khusus yaitu atasan hitam dan kain songket dengan berkata “bisuak wak pai menggulai cubadak Volta yo” (besok kita pergi menggulai nangka Volta ya), dalam artian besok tolong saya masak ya untuk hajatannya Volta, seperti yang dicontohkan Ibu Elva, salah seorang warga Kinari yang mempunyai anak bernama Volta.
Ibu Elva juga menjelaskan mengenai sosok janang yaitu penentu jalan dari sebuah alek (acara). Janang menentukan jalan sebuah alek dengan mengatur tempat duduk dari ninik mamak dan sumando serta mempelai, mengantar serta menyajikan makanan. Selain itu, sebelum menyajikan makanan Janang akan berpantun terlebih dahulu. Dalam pandangan saya Gotong royong di Nagari Kinari sangatlah kental dan cukup dijaga dengan baik. Hal ini juga dipertegas oleh Ibu Elva yang mengatakan bahwa jika ada suatu alek, para perempuan akan memasak dan lelaki akan membuat suduang-suduang atau rumah kajang, semacam dapur dadakan yang dibuat untuk acara tertentu. Saya mendapatkan kesempatan yang sangat berharga dengan langsung melihat kegiatan bakureh yang dilaksanakan warga Kinari untuk melaksanakan buka puasa bersama. Di sana saya dapat melihat kegiatan bakureh secara langsung, dimana bapak-bapak melakukan pai mambantai atau memotong sapi dan juga ibu-ibunya memasak yang diawali dengan memotong bawang dan memetik batang cabai.
Hal yang saya lihat dan rasakan di sini adalah kebersamaan dan keakraban yang terjadi antara ibu-ibu yang memasak bersama. Berbeda dengan Nagari Koto Baru yang melakukan bakurehhanya perempuan yang sudah bersuami, di Nagari Kinari, perempuan yang terbilang muda dan belum menikah pun dapat ikut serta dalam kegiatan bakureh. Obrolan dari ibu-ibu yang memasak saat itu yang saya dengar seputar bumbu-bumbu yang harus dilengkapi, percakapan sehari-hari dan membicarakan seseorang. Saya sempat bertanya kepada salah satu ibu yang sedang memasak, darimana bahan-bahan dapur seperti bawang, cabai dan lain-lain. Ternyata saya mendapatkan jawaban yang mengesankan, yaitu ibu-ibu disana membawa bahan-bahan tersebut dari rumahnya sendiri. Selain itu, saya juga melihat ibu-ibu disana sangat banyak, akhirnya mereka membuat kelompok untuk mengobrol dan bercanda gurau satu sama lain yang ada di dekat mereka.
Berbicara mengenai obrolan-obrolan di dalam bakureh, saya juga menemukan hal-hal unik. Seperti yang diceritakan oleh Ibu Suarna dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi, yang menceritakan bahwa obrolan di bakureh bisa menjadi ajang “biro jodoh””. Ibu Suarna bercerita, terkadang ibu-ibu di sana membahas anak-anak mereka yang belum mendapatkan pasangan untuk dijodoh-jodohkan. Hal ini juga dipertegas oleh Hendra Nasution, kelas lainnya dalam rangkaian Bakureh Project. Ia seorang dosen yang juga sudah meneliti bakureh, bahwa “biro jodoh” tidak dapat dipisahkan dari obrolan saat bakureh. Selain obrolan mengenai “biro jodoh”, tentunya cerita-cerita mengenai keseharian juga dibicarakan saat bakureh. Warga di Kinari biasanya membicarakan mengenai cara mereka bersawah, seperti pupuk baru atau tips baru bertani.
64
Selain di Kinari, di Koto Baru pun saat bakureh ibu-ibu memberikan informasi mengenai keadaan di sekitar, misalnya seperti yang dikatakan Tek Erih misalnya “anak Ibu tu yang marantau lah baliak a ” (anak ibu yang merantau itu sudah balik lagi ke kampung lagi). Dapat dilihat bakurehternyata juga menjadi media pesebaran informasi antar warga mengenai sebuah berita baru di sekitar mereka.
Tidak dapat dipungkiri juga, obrolan dalam bakureh tidak dapat lepas dari bagunjiang (bergosip). Ibu Hermita di Koto Baru berkata “induak-induak kalau lah sobok tu bagunjiang wajib mah” (ibu-ibu kalua sudah bertemu tentunya wajib menggosip). Tidak hanya Ibu Hermita, Tek Erih pun berkata hal yang sama “yo namonyo induak-induak pastilah bagunjiang” (namanya ibu-ibu pasti menggosip). Tidak hanya di Koto Baru, di Kinari pun Ibu Elva mengatakan hal yang sama bahwa bakureh pasti menggosip. Akan tetapi, ada yang menarik dari cerita ibu Elva. Yaitu terkadang, bakureh menjadi ajang untuk mencurahkan hati ibu-ibu. Bahkan pernah, menurut cerita beliau saat ada bakureh, ada seorang ibu yang menangis hanya karena mendengar cerita dari ibu lainnya. Ternyata, bakureh tidak hanya tempat menggosip saja, tetapi juga menjadi tempat untuk meningkatkan empati seseorang. Hal yang penting dalam obrolan bakureh adalah pengajaran kepada anak muda bagaimanabakureh dilakukan seperti yang dilakukan oleh warga Kinari. Di Kinari, seperti yang saya lihat saat itu, ada bakureh untuk buka puasa bersama, perempuan-perempuan muda juga ada yang ikut bakureh untuk membantu memasak. Ibu-ibu di sana mengenalkan kepada mereka mengenai bumbu-bumbu untuk membuat suatu hidangan seperti kaliyo dan dendeng. Saya juga melihat mereka sepertinya sudah biasa melakukan bakureh dengan melihat cekatannya mereka bekerja, salah satunya mereka bisa mengupas dan memotong bawang dengan cepat. Saya sempat juga mengobrol dengan salah satu ibu-ibu di Kinari selepas acara buka puasa bersama di sana. Beliau berkata memang di Kinari perempuan-perempuan muda juga ikut membantu bakureh agar mereka dapat belajar memasak dan melanjutkan tradisi gotong royong ini. “gadih-gadih ko ka mamasak, baa bumbu-bumbunyo, diajaan dimasak basamo ko”
(ketika gadis-gadis mau memasak, ia diajarkan mengenai bumbu-bumbunya saat gotong royong untuk masak bersama), Ibu Elva.
Bakureh pun juga menjadi media pendidikan untuk generasi muda agar tradisi ini terus berlanjut dan tidak hilang. Berdasarkan pengalaman saya sendiri yang tidak lahir dan besar di wilayah Sumatera Barat, saya tidak pernah mendapatkan pendidikan masak secara langsung seperti yang dilakukan di bakureh. Oleh karena itu, saya merasa tradisi bakureh sangat penting sebagai media pendidikan. Bagaimana bakureh secara tidak langsung sebagai alat untuk pembelajaraan generasi muda.
Setelah selama tujuh hari saya mengikuti lokakarya dari Komunitas Gubuak Kopi dalam rangkaian Bakureh Project, berseta kegiatan observasinya, saya merasa bahwasanya tradisi bakurehsangatlah mengesankan dan harus selalu tetap dilestarikan. Dapat dilihat pada obrolan-obrolan dalam bakureh adalah bakureh berfungsi sebagai media komunikasi dan informasi antarwarga. Di dalamnya, terdapat pertukaran informasi yang tentunya bisa membawa pengetahuan baru bagi yang mendapatkannya. Selain itu, dilihat dari generasi muda yang juga mengikuti kegiatan bakureh, ternyata bakureh juga berfungsi sebagai media pendidikan budaya, karena bakurehmembuat mereka melihat dan belajar.
65
Menjadi hal yang menarik juga, bahwa bakureh merupakan alat dan media untuk menjalin hubungan yang harmonis antarwarga. Komunikasi antarwarga terjadi dengan adanya bakureh. Mulai dari menyampaikan pesan untuk melaksanakan bakureh, obrolan-obrolan dalam bakureh, dan budaya tolong menolong yang menjadi landasan dari bakureh itu sendiri. Tradisi dan budaya seperti inilah yang seharusnya tetap ada jangan sampai luntur apalagi di era modern sekarang. Saya sangat terkesan dengan penyampaian pesan yang di dalamnya mengedepankan komunikasi langsung yang tentunya pada zaman sekarang sulit ditemui, khususnya di daerah perkotaan. Bakureh membuat suatu ikatan antarwarga, dimana warga tidak akan merasa sendiri dan menganggap orang-orang di sekitarnya seperti keluarga sendiri. Sebagai orang yang bukan orang Minangkabau, dan punya banyak teman orang Minang, saya pikir hal inilah yang mungkin mereka rindukan saat berada di tanah rantau. Nahlia Amarullah Solok, 7 Juni 2018
66
Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project
K
egiatan Lokakarya Daur Subur dalam rangkaian Bakureh Project dari tanggal 1-7 Juli 2018 yang di fasilitasi oleh Komunitas Gubuak Kopi, mengantarkan saya pada tradisi bakureh. Bakureh yang saya temukan dalam sebuah blog yang mempublikasi Kamus Minang adalah jadi kuli[1]. Lain halnya kalau kita pergi ke Solok. Pertemuan saya dengan beberapa warga di Nan Balimo, Solok, mengantarkan saya pada makna lain dari istilah bakureh. Sekitar dua hari yang lalu, tepatnya pada tanggal 4 Yuni 2018, saya dan rekan saya sesama partisipan menemui Tek Deh, seorang petani sawah yang bertempat tinggal di daerah Tembok. Bakureh menurut Tek Deh artinya bertuju pada gotong royong bersama dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Misalnya bekerja untuk memanen padi, Tek Deh dan rekan-rekannya yang lain, akan disewa oleh yang punya tanah pertanian yang luas untuk menggarap dari awal sawah tersebut, mulai dari manyiangi atau membersihkan rumput-rumput liar di dekat batang padi; lalu mambajak sawah, kalau dulu aktivitas ini menggunakan kerbau tetapi untuk sekarang banyak petani menggunakan mesin, barang kali dengan mesin bisa lebih cepat; selanjutnya mananampadi, dan manyabik padi (memotong padi yang siap untuk dipanen). Dari obrolan saya dengan beliau, ternyata Tek Deh sendiri juga mempunyai sawah, dan juga menyewa orang lain utuk menggarap sawahnya. Ada hubungan timbal balik di sini. Bayaran yang diberi oleh Tek Deh kepada orang yang menggarap sebidang sawahnya ini, tentunya tidak sebesar keuntungan Tek Deh yang menggarap sawah milik orang lain, yang terbilang lebih besar. Walaupun seperti itu, jalinan kerjasama dan saling menguntungkan tetap terjaga di sini. Untuk pekerjanya juga tidak perempuan saja, biasanya laki-laki juga ikut bakureh dengan bayaran yang sama.
Setelah obrolan, dan memperhatikan ibu-ibu dan bapak-bapak yang umumnya berprofesi sebagai petani ini, saya bisa memahami cara mereka tetap menjaga kebersamaan dan adat, terlihat dari mereka tetap menjaga kata-kata sindiran atau kiasan untuk bahan candaan, dan tidak terlihat diskriminasi di sini. Saat ibu-ibu bisa membantu pekerjaan laki-laki tidak masalah, tapi seumpama ibu-ibu ini tidak bisa membantu pekerjaan laki-laki juga tidak masalah. Setengah jam sudah saya bercerita sembari memperhatikan keadaan sekitar sini, kami mememutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Kampai Tabu Karambia masyarakat
67
Solok biasanya menyebut kampung ini dengan istilah KTK saja (baca:ka-te-ka). Perjalanan saya menuju KTK melalui perjalanan yang sangat menyenangkan, perjalanan melewati beberapa kampung, sebelum sampai di KTK membuat imajinasi saya bebas, coretan di dinding menjadi media penyampai kreatifitas anak-anak ranah Minang, kata-kata carut marut yang dianggap tabu oleh masyarakat Minang bisa dengan mudah kita temui. Selain itu gonjong Rumah Gadang masih sering kita temui terutama di daerah Sambilan Korong, tapi suramnya Rumah Gadang ini tidak lagi dijaga dengan baik, banyak rumah yang sudah rusak parah, tidak diurus dan parahnya malah ditinggalkan. Padahal kita sudah mengetahui bahwasannya di Minangkabau kita mempunyai harato pusako (harta pusaka) yang bisa digunakan untuk memperbaiki Rumah Gadang, tetapi realitanya banyak Rumah Gadang yang terlihat tidak dijaga. Saya kira keadaan visual rumah gadang ini bisa mengantarkan kita pada cara memahami upaya kelestarian bakureh di daerah Sambilan Korong ini. Sesampainya saya di rumah Tek Yuni daerah KTK, kami langsung disambut banyak tanaman hias di halaman rumah beliau, ada beberapa bunga yang malahan tidak pernah saya lihat lagi. Tek Yuni seorang perempuan tangguh yang sudah puluhan tahun ikut serta dalam bakureh, selain itu Tek Yuni juga aktif di bidang bailau, ia juga sering terlibat di beberapa kegiatan di Gubuak Kopi untuk berbagi cerita tentang kesenian ilau.
Bakureh menurut Tek Yuni adalah silaturahmi, karna di bakureh lah kita bisa lebih bisa mengenal satu sama lain, dan mempertemukan saudara jauh. Di sini saya akan membahas bakureh dalam alek baminantu (perayaan pernikahan sepasang kekasih). Proses awalnya menuju bakureh, Niniak Mamak akan pergi maminang (meminang) ke rumah perempuan, yang dimusyawarahkan antara lain, tanggal pernikahan, musyawarah pemakaian adat untuk pernikahan kalau seumpama calon anak daro (calon mempelai wanita) dan calon marapulai (calon mempelai laki-laki) dari adat yang berbeda satu sama lain, penentuan alek ketek (pesta kecil) atau alek gadang (pesta besar). Setelah dapat kesepakatan ini dan Niniak Mamak sama-sama menyampaikan hasil musyawarah ke keluarga masing-masing, barulah ibu-ibu beraksi. Strategi bakureh yang turun menurun inipun direalisasikan, diawali dengan
68
aktivitas mamanggia (memanggil) dari rumah ke rumah, menginformasikan bahwasanya ada pesta pernikahan dan bakureh pada hari yang ditentukan oleh si Pangka (keluarga perempuan). Biasanya waktu bakureh untuk alek ketek (pesta kecil) H-1 sebelum pernikahan, atau bisa jadi H-3 sebelum pernikahan kalau seumpama alek yang digelar adalah alek gadang (pesta besar). Perbedaanya alek ketekdengan alek gadang ini pada jumlah hari. Dalam alek gadang jumlah hari bisa sampai satu minggu, kalau alek ketek kadang hanya satu hari. Lalu perbedaan selanjutnya terletak pada tahapan mandabiah jawi di alek gadang (memotong sapi di pesta pernikahan besar).
Prosesnya si Pangka pergi berbelanja kebutuhan lauk pauk untuk pesta ini, jadi ibu-ibu yang ikut bakureh hanya meracik bumbu dan memasak saja. Begitulah pembukaan penjelasan dari Tek Yuni, yang mengingatkan saya pada Mak Katik, seorang sastrawan Minang, dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi, ia mengatakan ada lauk pauk yang wajib untuk baralek dan mempunyai makna tersendiri, yang diungkapkan oleh Mak Katik dalam sebuah kelas di Gubuak Kopi seperti, hati bagoreang maknanya dua hati pasangan kekasih dijadikan satu, bukan hanya secara lahiriah tetapi juga secara batiniah, paragede kantang maksudnya berangkat dari cara pembuatan menu ini sendiri di bagian terahir pragede kantang ini akan dibaluri dengan putih telur. Bagian terakhir pembuatan ini menandakan sepasang kekasih yang disatukan oleh cinta sudah menikah, karupuak jangek juga memberikan pemaknaan kepada pasangan ini akan raso jo pareso saling jaga menjaga satu sama lain, samba pangek ikan maknanya melihat dari visual menu ini. Menu ini dibuat dengan cara ikan yang digulai menggunakan sedikit kuah, dan kuah yang sedikit ini lah yang menjadi makna dalam kehidupan si pengantin. Kalau seumpama si pengantin ini hidup dengan keadaan yang kekurangan di harapkan akan tetap menikmatinya. Ibarat sebuah ungkapan yang berkembang di Minangkabau, “kok bansaik iduik, makan tetap lamak” (kalaupun hidup miskin, makan tetap enak), selanjutnya ada lagi samba bakuah dan goreang maco, dan randang. Sembari saya mengingat-ingat obrolan dengan Mak Katik ini saya berfikir Minangkabau sungguh banyak hal tersimpan yang menarik untuk digali. Saya juga tidak bisa memastikan makna-makna di atas hanyalah sebuah karangan, atau memang sangat disadari oleh masyarakatnya, saya pun baru tahu. Tapi, menarik juga sebenarnya mengkaji bagaimana makna
69
itu disematkan di sana.
Kembali pada perbincangan dengan Tek Yuni, beliau juga menjelaskan sebelum bakureh mulai, apak-apak (bapak-bapak) akan mendirikan rumah kajang (tempat semi permanen yang dibangun untuk bakureh), dan juga mencari kayu. Nah, saat proses bakureh bapak-bapak ini tetap membantu, tapi cuman bantu mamangua karambia (memarut kelapa). Saat saya membicarakan ini dengan Tek Yuni, ia mendadak bernostalgia, “Ha, kalaa saisuak mah bakureh ko alaik-alaik mamasak dunsanak nan manolong bakureh nan mambaok, mode piriang, kukuran, kuali, sendok, batu lado. Rami dulu tu nan bakureh, indak nampak si miskin si kayo do, data kasadonyo tapi untuak kini lah serba instan, kok lado alah ado nan bagiliang di pasa, karambia lah bisa bali santan nyo sajo”
(Ha, kalua dahulu bakureh ini alat-alat masak saudara yang menolong bakurehyang membawa, seperti piring, alat parut, kuali bisa dikatakan penggorengan, sendok, batu menggiling cabai. Ramai dulu yang bakureh, tidak terlihat si miskin dan si kaya, semuanya setara, tapi untuk sekarang serba instan, kalau cabe sudah ada yang halus di pasar, kelapa sudah bisa beli santannya saja). Dan pada saisuak (dahulu) bakureh dilaksanakan pada malam hari, dan dari si pangka minta tolong tukang saluang (pemain saluang, alat musik tradisional), dan tukang dendang (penyanyi) untuk menghibur ibu-ibu yang bakureh ini. Tetapi untuk saat ini bakureh beralih ke siang hari, dan jarang si pangka memberikan hiburan kepada nan bakureh.
Sembari meracik bumbu dan memasak ibu-ibu ini mulai menggosip “tabaco nan indak-indak” (mengatakan yang tidak-tidak), seperti yang diceritakan oleh Tek Yuni sambil tersenyum, katanya di bakureh ini selain mengenali saudara jauh kita, juga menjadi ajang cari jodoh biasanya diawali oleh orang tua yang punya anak laki-laki membanggakan anaknya yang misalnya seorang polisi dan sekarang sedang berada di tanah Jawa, nanti ada saja yang juga menceritakan anak gadisnya misalnya seorang dokter, di sinilah terjadi kesepakatan ibuibu ini menceritakan dulu anaknya pernah pacaran, tapi suaminya tidak setuju, dan banyak lagi, sampai nanti ada yang berpantun-pantun spontan, bisa jadi isi pantun ini menyindir, menertawakan, tapi tidak sedikit yang benar-benar tersinggung, ambil hati omongan yang sebenarnya untuk penghibur saja, tapi permasalahan kecil ini biasanya tidak berlangsung lama. Kegiatan bakureh ini bukan hanya masyarakat Minang saja, tapi orang yang mempunyai suku di luar Minang turut diundang untuk ikut, misalnya di satu kampuang (kampung) kebetulan ada orang Batak dan ibu-ibu yang mengundang ini juga mengunadang orang Batak ini. Dan saat bakurehnya tidak ada rasis yang dibangun, tidak ada pembeda antara orang Minang dan orang Batak ini, selagi mau tolong menolong atau silaturahmi. Pada awalnya fungsinya membantu orang yang baralek tetapi tidak mempunyai keuangan yang mencukupi, karena pada dahulunya taraf ekonomi masyarakat Minang menengah ke bawah, untuk kemudian bakureh terulang-ulang dan ada aturan-aturan yang tidak sengaja dibangun dan saat ini di sebut tradisi. Tapi di satu sisi lain menurut Tek Yuni kalau gotong royong untuk panen padi tidak di sebut bakureh, walaupun yang panen ini juga mengadakan masak-masak. Di sini saya coba untuk memahami, bakureh menurut Tek Yuni ini realisasinya hanya pada upacara pernikahan dan upacara kematian, perbedaan yang sangat terlihat pada lauk-pauk yang hendak disuguhkan, kalau lauk-pauk pesta pernikahan menyatukan dua
70
pasangan keksih, lauknya ada tujuh seperti yang saya jelaskan sebelumnya, sedangkan untuk baralek datuaklauknya juga ada tujuh tetapi bedanya rendang diganti dengan kalio. Ada juga upacara akikah anak tapi yang datang bakureh induak bako si anak membuat samba duo baleh (lauk pauknya ada dua belas) enam manis dan enam pedas. Jadi, kalau upacara kematian juga berbeda, di Minangkabau melepas kematian masih ada upacara yang di gelar, seperti upacara mangaji manigo hari (mengaji tigo hari), mangaji manujuah hari (mengaji tujuh hari), dan mangaji manyaratuih hari (mengaji seratus hari). Lauk pauk yang dibuat oleh ibu-ibu bakureh hanya ada emapat macam yakninya kalio dagiang, toco (gulai yang dicampur dengan buncis), godok-godok(cemilan, biasanya berbentuk bulat tidak beraturan, tepung yang dicampur dengan pisang atau ubi dan digoreng), sarang bareh (juga bentuk bulat tidak beraturan terbuat dari tepung beras dan rasanya manis). Obrolanpun tetap berlanjut pada mitos-mitos seperti “jan dikaruak-karuak samba, beko tibo inyiak” (lauk tidak boleh dikacau-kacau, nanti datang harimau) Tek Yuni lebih memaknai kepada kalau seumpama lauk pauk yang sudah masak terlalu sering diaduk, terlebih yang terbuat dari santan akan cepat basi. Tapi perumpamaan ini masih tetap dipakai fungsinya sampai saat ini, lebih untuk mengingatkan, contoh lain seperti “nasi badarai, tando anak daro indak perawan”(nasi yang belum terlalu masak, menandakan pengantin perempuan sudah tidak perawan) sebenarnya ini lebih mengingatkan kepada yang memasak nasi, untuk kedepannya lebih berhati-hati lagi, bisa jadi nasi ini saat dimasak kekurangan air. Dalam hati saya secara tidak langsung menyetujui yang dikatakan Tek Yuni ini, dan mungkin akan saya lanjutkan lebih dalam nantinya. Tetapi tidak sedikit masyarakat yang percaya akan hal-hal mitos ini.
Senja pun makin memperlihatkan cahayanya, Tek Yuni masih bercerita. Pembahasan sampai ke penyesalan yang terjadi pada saat ini, pergeseran makna bakureh menurut saya telah terjadi. Tek Yuni menyayangkan saat ini orang yang diundang untuk bakureh menjadi peluang untuk mencari uang walaupun hanya beberapa orang saja, dan saat ini orangorang bakureh yang tidak dibayar hanya bakureh sampai jam makan siang, sedangkan yang dibayar sampai pesta pernikahan selesai, kalau dulu bayarannya memakai beberapa potong daging rendang. Dan yang mengikuti bakureh kebanyakan dari ibu-ibu yang sudah menikah, ada juga anak gadis yang ikut tapi cuman beberapa.
Cerita dari Tek Yuni sebenarnya juga hampir sama ketika saya bertemu dengan Bundo Kanduang Tembok (3/6) tetapi Bundo Kanduang lebih banyak menjelaskan kepada posisi ibu-ibu bakurehini. Di dalam bakureh tetangga yang ikut hanya sampai pukul sebelas saja, untuk sampai sore yang bakureh itu adalah si pangka. Di saat bakureh ini juga ada semacam negosiasi yang terjalin. Contohnya seperti ketika ada satu ibu-ibu tidak bisa ikut acara pesta pengantin hanya bisa ikut bakureh saja, biasanya si ibu sudah membawa beras dan amplop yang isinya uang. Dengan begitu ketidak hadir si ibu ini di saat pesta pernikahan tidak menjadi bahan gosip bagi ibu-ibu yang hadir. Kata beliau terkadang saat bakureh ada saja yang menjadi bahan gosip terutama bagi yang sering tidak memenuhi undangan bakureh, dan ini bisa berimbas ke keadaan lingkungan sosialnya. Bisa saja ibu ini dikucilkan, yang kemudian menurut saya akan memancing konflik sosial.
Bagi Bundo Kanduang, bakureh adalah kebersamaan dalam nilai-nilai adat sedangkan Mak Katik mengatakan bakureh adalah menguras tenaga baik tenaga secara fikiran atau tenaga secara fisik dengan cara gotong royong, tradisi bakureh berawal dari rasa saling memberikan keselamatan, adakala dilaksanankan di saat duka dan suka.
71
Lebih jauh lagi, Mak Katik menjelaskan fungsi dari bakureh ini antara lain melatih
kebersamaan, saling memberikan informasi, transfer nilai-nilai lokal, dan mengetahui seluk beluk kekerabatan. Di era yang serba modern ini membuat beberapa hal aturan-aturan tradisi bakureh yang alami terbentuk ini bergeser. Saya fikir pergeseran aturan-aturan tersebut di sebabkan karna adanya peluang bisnis, dan faktor ekonomi, perumpamaannya seperti ini: saya ingat waktu kecil satu plastik ukuran ¼ nasi goreng masih saya dapatkan dengan harga Rp.250 saja, kalau sekarang harga nasi goreng yang saya temui paling murah Rp. 2.000. Berangkat dari hal kecil ini menurut saya yang untuk kemudian membuat pergeseran aturan-aturan dalam bakureh terjadi.
Untuk penutupan hari ini saya bertanya kepada Tek Yuni hal apa yang paling terasa ketika pergesaran aturan-aturan bakureh ini, Tek Yuni menjawabnya sambil memandang lurus ke depan sambil berkata silaturahmi tidak sehangat dahulu lagi, ditambah dengan kehadiran ketring(catering) juga lebih memperlihatkan kasta di tengah masyarakat, walaupun ibu-ibu ini tetap bakureh, tapi tentu tidak seperti dulu lagi, tidak ada lagi tetangga-tetangga yang membawa batu lado sendiri, pangukua karambia sendiri, kuali sendiri, dan sebagainya. Kurang lebih setengah jam sudah saya berkunjung ke rumah Tek Yuni, obrolan tetap berlanjut seputar kegiatan sehari-hari Tek Yuni, ya, seperti itulah yang sering saya alami, kalau sudah ngumpul baik itu yang tua dengan yang muda, tetap terjalin komunikasi seputar permasalah kehidupan masing-masing. Dan saya rasa begitulah secara alamiah obrolan saat bakureh terjalin. Keadaan waktu memaksa saya dan kawan mohon izin untuk bergerak kembali ke markas Gubuak Kopi, di tengah perjalanan saya masih memperhatikan keadaan sekitar membuat saya bersyukur hidup di sini dengan garis matrilineal di era milenial ini. Sawah Solok yang terhampar luas dengan burung bangau yang membuat koreo secara alami, lagi-lagi saya hanya mengibaratkan mungkin seperti ini bakureh, aturan-aturan yang secara alami tercipta sendirinya. Perjalanan pulang saya ini, secara tidak langsung mempertemukan saya dengan seorang siswa dan temannya di salah satu SMA di Kota Solok ini, saya hanya bertanya ringan, apa mengetahui tentang tradisi bakureh, mereka jawab, tahu. Tapi pemaknaan yang dijelaskan kepada saya bakureh bukan untuk masak-masak saja tapi juga untuk bekerja mencari uang.
Hari kedua membuat saya kembali ke Tek Yuni yang kemudia juga mengantarkan pertemuan saya dengan Datuak Tan Ali. Menurut Datuak Tan Ali bakureh adalah gontong royong, tidak hanya di saat masak-memasak di saat upacara suka atau duka saja. Tetapi gotong royong membersihkan jalan juga disebut bakureh, karena pada dahulunya masyarakat Minangkabau mempunyai rasa sosial yang tinggi, salah satu contoh visualnya pagar rumah masyarakat di sini hanya sebatas dada saja. “Nan namonyo bakureh ko gontong royong, baiak itu padusi atau nan laki-laki”,
(yang disebut bakureh ini adalah gotong royong, baik dia perempuan, ataupun laki-laki), ucap Datuak Tan Ali.
Pertemuan demi pertemuan dengan pemangku adat atau dengan pelaksana bakureh itu sendiri membuat saya paham bahwa banyak sekali makna atau arti dari kata bakureh ini, tetapi ada satu hal yang bisa saya ambil poinnya, bakureh adalah jalinan mesra masyarakat Minangkabau, bakureh juga salah satu tradisi yang bisa menjaga kelestarian gontong rotong, rasa tanggung jawab dan rasa bermusyawarah. Karena pada dasarnya kita di sini terbiasa dengan turun temurun melalui lisan, yang membuat anak cucu nya semakin kritis menghadapi era milenial ini.
72
Bakureh ini bisa dikatakan sudah ada sebelum agama Islam masuk, masyarakat Minangkabau tentunya dahulu masih sangat percaya dengan tahayul-tahayul saya kira berkaitan dengan perjalanan saya pada hari ketiga, saya bertemu dengan Mintuo Gabak dan Buk Deh yang juga berpuluh tahun ikut bakureh, beliau pernah mengalami hal yang tidak biasa beras yang ditanak tidak masak, lauk pauk yang baru disalin ke wadah beberapa jam kemudian dikerubungi ulat, sampai anak daro (mempelai perempuan) mengalami pingsan selama tiga jam, untuk kemudian Mintuo Gabak dan Buk Deh memanggil dukun untuk manawa (menetralkan) rumah, lauk pauk, dan anak daro ini. Sesudah dukun ini manawa barulah semua kendala yang dirasakan kembali pulih. Menurut Mintuo Gabak dan Buk Deh kejadian ini kemungkinan karena ada orang yang tidak menyukai alek (pesta) ini. Di beberapa tempat sampai saat ini hal-hal seperti tidak bisa dipungkiri memang terlihat nyata. Walaupun ada tahayul seperti ini dibangun oleh masyarakat Minang pada dahulunya untuk kebutuhan menjaga.
Saya teringat kehadiran Pak Hendra Nasution, salah seorang dosen ISI Padangpanjang, saat mengisi sebuah kelas di Gubuak Kopi. Salah satu karya tarinya mengangkat tentang tradisi bakureh ini. Tari ini kemudian menjadi media penyampai untuk informasi bakureh dan media untuk tetap menjaga kelestariannya. Pertunjukan tari tentang tradisi bakureh ini sudah dipentaskan di beberapa negara tetangga, baik nasional maupun internasional. Di beberapa tempat ia sudah mengadakan worksop tentang bakureh ini. Pertunjukan berbasis riset ini tentunya sudah mulai dilirik oleh masyarakat yang berkesempatan hadir melihat langsung pertunjukan ini. Dan riset yang dilakukan oleh pak Hendra ini yaitu di Koto Baru salah satu nama daerah di Solok. Hal yang sangat inti yang disampaikan dalam karya ini adalah spirit dalam bakureh ini, dan menurutnya bakureh ini sendiri adalah masak bersama yang dilakukan oleh masyarakat Solok, yang di dalamnya ada kerjasama. Selain itu, hal yang didapatkan oleh Pak Hendra ini sedikit berbeda dari observasi saya dan salah seorang partisipan, perbedaannya terletak pada lauk pauk untuk baralek ini. “Kalau pada dahulunya lauk pauk untuk baralek hanya ada tiga macam yaitu rendang, sambal merah, dan sambal kuning, “ucapnya. Yang kemudian kami pahami dari visual warna sambal yang dijelaskan pak Hendra ini sama halnya dengan warna marawa, sejenis warna dan bendera di Minangkabau, yakni merah, kuning, dan hitam.
Banyak hal yang bisa kita gunakan untuk media penyampaian tentang bakureh ini, selain mengeksplorasi ke dalam karya seni, kita juga bisa menggungakan media sosial. Di era milenial ini tentu kita sudah tidak kabur lagi dengan penggunaan internet, banyak aplikasi yang bisa kita unduh untuk tempat kita bisa menuangkan sesuatu, bisa secara visual ataupun audio visual. Mataharipun kembali bersetubuh dengan kegelapan, bulan tanpa malu berbisik pada bintang untuk menemani perjalanan manusia di bumi ini. Tentu matahari dan bulan menjadi saksi menemani pergeseran-pergeseran peradapan dunia ini. Dan sampai saat ini mereka masih setia menyaksikannya. Nurul Haqiqi Solok, 7 Juni 2018 _________________
[1]Blog sarasah http://sarasah-nan.blogspot.com/2012/02/kamus-minang.html?m=1
73
74
Catatan Focus Group Discussion Bakureh Project
M
inggu, 1 Juni 2018, Bakureh Project kembali menggelar Focus Group Discussion (FGD) di Markas Komunitas Gubuak Kopi. FGD ini bertujuan untuk mengulas dan memperdalam materi masing-masing partisipan Bakureh Project, yakni sebuah proyek penelitian yang difasilitasi oleh Gubuak Kopi melalui program Daur Subur. Sebuah upaya membaca dan mengkaji kebudayaan masyarakat pertanian di Solok secara khusus, dan Sumatera Barat secara umum. FGD ini diselenggarakan untuk mempertajam sudut pandang mereka dalam membingkai isu. Kita juga mengundang narasumber untuk memberikan pembahasan dan materi. Menjelang siang, Pak Syahrial Chan, alias Datuak Bandaro Hitam, sudah berada di markas Komunitas Gubuak Kopi, memenuhi janjinya untuk memberikan tambahan materi pada FGD kita kali ini, khususnya terkait tradisi bakureh dan bararak (arak-arakan) di Solok.
Beliau dulu pernah menjadi guru SD, sempat kuliah di Akademi Seni Karawian Indonesia (ASKI) Padangpanjang, yang sekarang berganti menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Pak Chan mengawalinya dengan menjabarkan tentang proses bararak dalam acara pernikahan di dalam Nagari Kinari, Koto Baru, Solok. Beliau menerangkan bahwa, bararak dilakukan pada jalanan yang cukup besar, atau jalan utama kampung, karena bararak adalah media untuk memperkenalkan orang atau anak kemanakan telah menikah. Pepatah minang menyebutkan “arak iriang salingka nigari” (berarak mengelilingi nagari ). Bararakdilakukan oleh kaum ibu-ibu dan bundo kanduang sembari diiringi oleh pemain musik tradisional. Ia biasanya dimulai dari rumah anak daro (mempelai perempuan) menuju ke rumah marapulai (mempelai laki-laki). Pak Chan juga menjelaskan tentang tingkatan bararak dalam Nagari Kinari. Yang pertama bakajo, bararak ini biasanya dilakukan oleh orang yang mampu atau kaya. Orang Kinari menyebutnya Bararak Panjang. Yang kedua, Bajamba. Bararak ini biasanya hanya untuk ‘orang mampu’, masakan dalam acara baralek hanya memotong sapi; dan yang ketiga, Maantaan Kanji, alek ini hanya untuk orang biasa, masakan dalam acara ini biasanya
75
daging kambing atau makan masakan biasa saja.
Dalam melaksanakan bararak, ada urutan yang harus dilakukan sebelum memulai berjalan. Hulu Balang adalah salah satu orang nan ampek ( orang yang empat ), ada panghulu, malin, hulu balang dan manti. Dia orang yang akan mengatur barisan dalam acara bararak. Urutan yang paling depan adalah, Tangkuluak Tanduak, ini dari pihak laki-laki yang sama suku, urutan yang kedua anak Daro atau mempelai perempuan, belakangnya ada pengiring anak daro, biasanya wanita muda yang belum menikah, memakai sanggua sasak atau susuk sanggul. Di belakangnya andan–pasumandan atau isteri paman, membawa baban atau hidangan makanan dan kue, setelah itu induak bako atau saudara dari ayah, membawa jamba gadang atau mengeruk ayam bakar di dalam nasi kuning, di belakannya induak bako yang membawa lamang atau lemang dan barisan terakhir ada pemain musik untuk hiburan. Ada mitos atau kepercayaan masyarakat, itu boleh dipercaya atau tidak, yaitu ketika jamba gadang dihidangkan anggota keluarga bergiliran mengambil daging ayam di dalam nasi kuning, ketika kita mendapatkan sayapnya, diyakini bahwa nantinya kita akan mendapatkan usaha atau rezeki melalui merantau, kalau kepalanya, kita akan menjadi pimpinan keluarga yang baik. Pak Chan juga menyinggung tentang, pakaian bararak di Nagari Kinari: baju merah dipakai oleh kaum yang muda-muda sedangkan yang hitam dipakai oleh kaum ibu-ibu atau yang sudah tua, Pak Chan tidak menjelaskan maksud dari perbedaan warna tersebut. Beliau juga menjelaskan tentang lukuah atau kaluang (kalung adat) pada anak daro.
Liukuah ketek atau kalung kecil, maksudnya anak daro dibimbing oleh orang tuannya, ada lukuah manangah atau kalung yang sedang, maksudnya, anak daro menjaga diri sendiri atau hidup mandiri dan lukuah besar atau kalung besar, maksudnya anak daro dilindungi oleh kaum dan sukunya. Setelah beberapa lama menjelaskan tentang bararak dalam lingkup Nagari Kinari dan menyinggung materi yang lainnya, tidak terasa waktu Zuhur terlewatkan, Pak Chan pun menyudahi pembahasan kita kali ini. Setelah cukup mendapatkan informasi yang dirasa perlu, diskusi pun kita akhiri dan dilanjutkan foto bersama. Muhammad Riski 16 July 2018
76
Bakureh
Hingga Adab Berpakaian Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project
S
ore itu, Senin, 4 Juni 2018, saya bersama beberapa kawan melakukan observasi pertama mengenai isu-isu bakureh yang ada di Kelurahan Kampai Tabu Karambia (KTK), Kota Solok. Observasi ini bagian dari Lokakarya Daur Subur, sebagai tahap awal dari Bakureh Project. Sebuah upaya yang digagas oleh Gubuak Kopi, sebagai penelusuran dan mengembangkan nilai-nilai gotong royong masyarakat pertanian di Solok. Sebelum observasi, menjelang siang, sekitar pukul 11.00 WIB kami diberi materi bakureh oleh narasumber bersama Buya Khairani, beliau adalah salah satu pemuka adat di Kota Solok. Sayangnya saya tidak bisa mengikutinya karena saya masih berada di kantor dan saat itu belum mendapatkan izin untuk pulang. Sekitar jam setengah satu siang barulah saya kembali ke Kantor Gubuak Kopi untuk melanjutkan ketertinggalan saya. Hal pertama yang saya cari adalah meminta rekaman materi kuliah Buya Khairani kepada Ogy, ia adalah salah seorang fasilitator dalam Lokakarya Bakureh Project, lalu memfoto hasil catatan teman sesama partisipan lokakarya. Saya tidak mengikuti materi yang diberikan oleh Buya Khairani, saya mendengarkan materi beliau melalui rekaman suara yang direkam oleh fasilitator. Yang saya pahami dari materi tersebut bahwa bakureh itu secara harfiah ‘ber-kuras’ atau menguras tenaga, ada memakai modal materi ada juga memakai tenaga, ini adalah bentuk dari bergotong royong yang naluriah manusia yang dibawa sejak lahir, demikian ungkap Buya Khairani. Maka lahirlah prinsip adat yang menyatakan adat hiduik di dunie tolong-manolong, adat mati janguik-manjanguak, adat ado basaliang tenggang, adat kayo mambantu urang miskin (adat hidup di dunia tolong menolong, adat meninggal saling melayat, adat berkecukupan saling bertenggang rasa, adat kaya saling membantu yang kurang mampu). Menurut Buya Khairani bakureh mengeluarkan segenap tenaga untuk menolong orang karena lillahi ta’ala. Jika kita menolong orang dengan ikhlas, maka kita akan dapat balasan yang setimpal. Seperti istilah “julo-julo” atau arisan, kita akan mendapatkan giliran yang sama.
77
Setelah itu barulah kami dibagi dalam beberapa tim, di sini kami dibagi tiga kelompok untuk melakukan observasi. Saya ditemani Kiukiu salah seorang partisipan lokakarya “Bakureh Project” dan Ogy sebagai fasilitator. Kami melakukan observasi ke daerah KTK, karena kekurangan kendaraan maka kami menunggu kendaraan terlebih dahulu. Sekitar jam empat sore barulah kami mulai observasi, dalam perjalanan menuju KTK kami melihat sekumpulan masyarakat yang melakukan kegiatan manyabik padi (menyabit padi) pada salah satu sawah di Gurun Mutiara, karena penasaran melihat kegiatan mereka kami memutuskan untuk berhenti. Saya berjalan didekat sepetak sawah yang telah dipanen, di sana ada dua orang ibu-ibu yang mangipeh padi(mengipas padi), guna untuk memisahkan padi yang berisi dengan padi ampo (padi kosong), serta sampah. Lalu, kami berjalan menuju sekumpulan ibu-ibu yang sedang bercengkrama. Kami bertanya kepada salah satu ibu yang bernama Buk Des. Menurut buk Des bakureh merupakan ajang masak bersama-sama yang juga termasuk dengan bergotong-royong. Menurut Buk Des makna bakureh di Solok, bukan mencari nafkah. Seperti halnya pergi ke sawah dilakukan secara bergotong-royong tetapi pergi ke sawah diberi upah, sementara bakureh tidak diberikan upah hanya suka rela saja. Buk Des bercerita bahwa lamanya ke sawah sekitar 4 bulan dari membajak, bertanam, mayiang (menyiang), sampai memanen, nantinya mereka akan dibayar sekitar 1,2 juta rupiah.
Di tempat kedua kami pergi mendatangi rumah Tek Yuni, pelaku budaya lokal yang aktif memberi pelatihan tentang tradisi Ilau di KTK. Ilau adalah salah satu fenomena budaya menangisi kematian anak di perantauan, dengan beberapa adab khusus. Fenomena ini kemudian berkembang menjadi kesenian lokal di KTK, dan Tek Yuni adalah salah seorang pegiatnya. Tek Yuni mengatakan bakureh merupakan ajang silaturahmi oleh para tetangga maupun para sumandan (ipar). Bakureh tak hanya pada acara baralek (pesta pernikahan) saja, juga acara mangaji (mengaji), batamek kaji (katam quran), aqiqah, batagak panghulu (penangkatan pimpinan adat). Untuk peserta bakureh sendiri tidak hanya orang Minang saja, orang Batak ataupun orang luar Minang yang tinggal di daerah tersebut boleh ikut dalam bakureh, asalkan mereka mampu bersilaturahmi. Sebelum bakureh biasanya si pangka (keluarga inti) memanggil orang untuk ikut pergi bakureh ke acara mereka. Biasanya untuk para sumandan diberikan siriah,sedangkan tetangga hanya lewat lisan saja. Untuk pakaian mamanggia (memanggil/mengundang) tersebut memakai baju kuruang basiba dengan kain serong (sarung) didalam sama tingkuluak ketek (selendang kecil). Baju kuruang basiba merupakan pakaian diidentikan dengan pakaian khas kaum perempuan Minangkabau, khusunya di Solok. Baju kuruang atau baju basiba inilah yang dipakai oleh bundo kanduang sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang. Biasanya baju basiba longgar, tidak membentuk lekuk tubuh, dan panjangnya hingga ke lutut. Untuk acara pernikahannya sendiri sumandanmemakai baju kuruang basiba dan tingkuluak kain panjang sementara besannya memakai baju kuruang basiba dan tingkuluak silodang. Sumandan merupakan istri dari mamak (paman). Tek Yuni menjelaskan kenapa sumandan memakai tingkuluak kain panjang, adalah untuk menandakan dia sudah menjadi menantu orang. Sebelumnya, pada hari kedua lokakarya kami diberi materi oleh Mak Katik, beliau adalah seorang budayawan, seniman dan tokoh adat Minangkabau yang juga dikenal karena kepiawainnya dalam bidang sastra Minang. Sebelum masuk ke tema bakureh Mak Katik memberi pengantar tentang adab membaca, bahwa ketika membaca haruslah dengan suara lantang agar dapat di dengar oleh tubuh sendiri agar dewasa nanti tidak kekurangan kata. Aturanaturan ini menengenai sistem sosial ini pada dasarnya tidak pernah tertulis. Ia terangkum dalam sastra, yang biasa disiarkan secara lisan oleh orang-orang tua terdahulu. Menurut Mak Katik seluruh permainan ‘anak nagari’ melatih bakureh atau mengajarkan
78
mencari jati diri agar menjadi generasi yang mandiri. Setiap anak kecil di Minang selalu diajarkan berupaya sejak dini, keuntungan yang didapat setelah dewasa menjadikan mereka anak yang mandiri. Mak Katik juga menjelaskan bahwasanya bakureh adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu dengan cara gotong royong. Beliau juga berpendapat bahwa ada beberapa perbedaan dalam memakai kain serong (kain sarung), dalam falsafah adat Minang, jika kainnya diikat ke depan berarti masih seorang anak gadis, jika diikatkan kebelakang berarti sudah berkeluarga, sementara jika sudah menjanda kainnya dilipat dua ke depan. Saya tidak tahu pasti kenapa perbedaan itu sedemikian rupa dipertegas, dan apakah masih relevan untuk kita terapkan sekarang. Tapi menarik juga mengatahui tentang adab-adab berpakaian ini.
Pada lokakarya hari ketiga kami diberi materi oleh Buk Suarna, beliau adalah seorang bundo kanduang di Tembok. Buk Suarna juga berpendapat bahwa bakureh adalah kerja sama dalam suatu masyarakat. Beliau juga menjelaskan bahwa ketika mamanggia di daerah Tembok tuan rumah memakai kain-kain serong dan membawa kampia siriah/tas yang terbuat dari daun pandan untuk meletakkan daun sirih. Menurut Buk Suarna pakaian tersebut talah menjadi turun-temurun sejak dahulu. Buk Suarna mengatakan untuk pergi meminang kita membawa dua orang Bundo Kanduang dan satu orang nianiak mamak (orang yang dituakan dalam satu kaum) untuk membuat hitungan. Untuk meminang biasanya membawa nasi lamak, serta pisang. Dahulu bararak (arakarakan) berjalan dari rumah induak bako ke rumah, sekarang anak daro diarak dari rumah induak bako menggunakan kendaraan bermotor. Ketika bakureh tiap orang membawa peralatan-peralatan seperti, pangukuran, kuali, dan sebagainya. Biasanya tiap kaum memiliki perlengkapan lengkap dan bisa dipakai ketika membutuhkan.
Pada observasi hari kedua saya tidak terlalu mendapatkan banyak informasi mengenai bakureh. Kami melanjutkan kembali observasi ke rumah Tek Yuni. Di sana Tek Yuni mengarahkan kami untuk pergi menemui Datuak Tan Ali salah seorang tokoh adat di Solok. Sebenarnya kami kurang menemukan jawaban mengenai bakureh saat mengobrol bersama beliau. Datuak Tan Ali berpendapat bahwa bakureh merupakan gotong-royong bersama masyarakat. Dahulu sebelum gotong-royong orang-orang mengumumkan dengan menggunakan canang, semacam alat musik logam, sambil berkeliling di kampung pada malam hari.
79
Datuak Tan Ali mengatakan pada zaman dahulu tinggi pagar rumah masyarakat Minang hanya sebatas dada saja, agar bisa melihat kondisi tetangga terdekat begitupun sebaliknya, akan tetapi keadaan kini dengan kondisi tembok pagar rumah yang tinggi, sehingga kita sulit mengetahui kabar tetangga terdekat kita. Dari yang diceritakan Datuak Tan Ali saya membayangan bahwa dulu mereka memukul canang yang terbuat dari logam kuningan emas, bentuknya lebih besar dari talempong dan lebih kecil dari gong. Mengapa mereka mengumumkannya pada malam hari, supaya warga di daerah sana tidak lupa bahwa besok mereka akan bergotong-royong bersama-sama. Jika ada yang tidak bisa ikut maka mereka wajib membayar denda tergantung pada kesepakatan bersama. Observasi berikutnya, saya diajak oleh partisipan lain untuk bergabung menuju ke daerah Kinari. Sesampainya di sana kami diajak untuk berbuka bersama dalam acara aqiqahan anak nagari. Saya sangat kagum akan tradisi gotong-royong yang dimiliki oleh masyarakat Kinari saling membantu satu sama lain untuk menyelenggarakan acara tersebut, baik anak kecil, tua, ataupun muda antusias dalam kegiatan tersebut. Saya sangat terkesan oleh bapak-bapak yang menghidangkan makanan, bahkan menghidangkan makanan untuk para wanita tua. Menarik melihat ini, karena dalam keseharian sekarang kita melihat urusan masak dan hidang-menghidang selalu diajarkan sebagai tugasnya kaum perempuan. Sebelum kami berbuka bersama di Kinari, pagi harinya, kami ikut membantu masyarakat sana memasak. Senangr rasanya mengalami peristiwa bakureh itu, yang di lingkungan saya cukup jarang ditemukan. Setelah berbuka saya mencoba bertanya kepada seorang ibu-ibu tentang tradisi bakureh. Di Kinari, bakureh disebut dengan pai mamasak-masak, sedangkan kata bakurehsendiri disebut bekerja mencari uang. Berbeda dengan yang dipahami di Kota Solok, yang secara keadaatan adalah wilayah Nagari Solok. Di sana bakureh adalah gotong royong, dan memang makana kata ini pun sudah bergeser sekarang. Saya sedikit tertarik pada perbedaan adab berpakaian di daerah ini yaitu ketika mamanggia untuk memasak, si pangka memakai baju kuruang baludru warna hitam, di daerah Kinari untuk para lelaki tiap suku pasti berbeda-beda warna bajunya, misalnya untuk suku Sipanjang pakaiannya berwarna hijau sedangkan suku Jambak berwarna merah, begitu pula suku lainnya. Dalam observasi awal ini, banyak beberapa hal menarik untuk digali lebih lanjut. Hal ini pada dasarnya ada di sekitar kita, memang banyak yang mulai pudar, tapi banyak juga yang pernah saya rasakan. Selama ini seperti saya terlalu abai memahami hal-hal yang berkaitan dengan adab dan gotong royong ini, sehingga tidak pernah mengkritisi kepunahannya. Selama beberapa bulan ke depan, bersama Bakureh Project, saya dan kawan-kawan berusaha mendalami persoalan ini, sebagai upaya mengkritisi perkembangan zaman di kampung masing-masing. Perlu pula ditegaskan bahwa, ini tidak dalam rangka menolak perubahan dan perkembangan zaman itu sendiri, melainkan upaya untuk kritis terhadap perubahan itu sendiri. Dyah Roro Puspita Asmarani Solok, 7 Juni 2018
80
81
Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project
P
ada hari ke-empat Lokakarya Daur Subur, dalam rangkaian Bakureh Project, saya bersama Havis, Datuak dan Irfan menuju lapangan untuk observasi awal. Mereka adalah kawan-kawan yang juga merupakan partisipan dan fasilitator proyek seni yang berupaya merespon tradisi bakureh di Solok, dan tradisi serupa di Sumatera Barat secara umum. Lokasi observasinya adalah daerah sekitar sekretariat Gubuak kopi. Di perjalan kami menghampiri seorang bapak. Ia duduk di depan sebuah kedai yang sedang tutup. Kami awali dengan sapaan, memperkenalkan diri dan dengan ramah bapak itu ngobrol-ngobrol dengan kami.
Seperti dugaan saya, bapak itu adalah petani yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya di sawah yang bukan miliknya. Tadi ia mengerjakannya secara berkelompok, dan kebetulan yang punya sawah tidak ikut karena sedang bekerja di salah satu perkantoran di Kota Solok. Dalam kelompok tadi terdiri dari 15 orang, di antaranya laki laki dan perempuan. Mereka memulai pekerjaan dari jam 06.30 wib sampai jam 15.30 wib. Saya bertanya tentang sistem upah dan pembagian kerja. Beliau menjelaskan, bahwa sistem upah di sini dibayar dengan padi, jika dirupiahkan sama dengan Rp. 9.000 per-gantang, berisi 2 liter. Pembagian pekerjaannya tergantung kesanggupan tenaga saja. Biasanya pekerjaan yang berat, seperti manongkang (memukul pada alat tongkang/memisahkan dari batangnya), maangin (memisahkan padi berisi dan padi hampa), dan manjujuang (mengangkat) itu adalah bagian laki-laki. Manyabik (menyabit) itu bagian perempuan, tapi jika ibu-ibu sanggup mengerjakan pekerjaan yang dilakukan bapak-bapak itu, ya sah saja, katanya. Karena setiap upah yang didapat tergantung apa bagian yang telah dikerjakan. ***
Tradisi yang tengah kita pelajari melalui Bakureh Project, adalah tradisi bakureh itu sendiri. Kata bakureh dalam konteks tradisi ini adalah sebutan lazim bagi aktivitas gotong royong memasak dalam sebuah perhelatan sebagian besar warga Kota Solok. Beberapa narasumber dalam beberapa kelas di Gubuak Kopi, menjelaskan tentang adanya adab gotong royong
82
dalam kegiatan bakureh itu sendiri.
Memang, kebudayaan gotong royong itu sudah menjadi indentitas yang dilekatkan pada masyarakat Minangkabau dulunya, sehingga kebersamaan sudah menjadi sebuah kebiasaan dan rutinitas sebagian besar masyarakat. Dalam kata bakureh saya menemukan adanya proses penjagaan sebuah kebudayaan yang ada di Minangkabau yaitu kebudayaan gotong royong. Termasuk dalam sebuah acara kematian, perkawinan, dan alek nagari.
Selain itu, sebenarnya dalam bahasa Minang, kata bakureh juga memiliki makna yang beragam. Secara umum ia berarti bekerja atau usaha yang menghasilkan uang. Seperti pekerjaan yang dilakukan bapak tadi juga bisa disebut bakureh. Karena adanya proses usaha mencari upah untuk memenuhi kebutuhannya dengan tenaga.
Lanjut untuk mencari narasumber yang kedua, saya menemukan lagi kelompok petani yang sedang memanen Padi. Saya berkenalan dengan beberapa petani yang ada di sana. Kebetulan salah seorangnya sekampung dengan saya. Bapak itu terlihat senang ketika mendengarkan bahwa asal saya dari Payakumbuh. Ada semacam rindu yang lepas dari matanya. Ia bertanya di daerah mana saya di Payakumbuh? Ia juga menyebutkan daerah asalnya. Ia menyampaikan bahwa orang Payakumbuh banyak merantau ke sini. Kebetulan juga bapak itu pemimpin di kelompoknya. Walaupun Ia orang Payakumbuh tapi tidak jadi masalah bagi warga asli Solok untuk menjadikannya pimpinan dalam kelompok tani.
Keakraban anggota kelompok ini sangat terlihat, ketika saya ikut dalam kumpulan mereka saat beristirahat. Canda tawa, obrolan mereka sangat lepas. Sesekali mereka menertawai (menggunjing) seseorang yang terlihat aneh, “hoi, ndak bajajak kaki bajalan do mah” (hei, tidak ada jejak kakinya kalau berjalan). Ini dia teriakan ketika ada yang pulang tapi tidak pamit dulu kepada mereka. Kelompok ini sama dengan kelompok sebelumnya, ada beberapa perempuan yang ikut. Saya bertanya pada salah seorang ibu-ibu di sana, tentang kegotong-royongan mereka dalam mendapatkan upah. Tidak berbeda dari kelompok sebelumnya, Ibu tersebut juga mendapat bagian, kerja dan upah yang sama dengan cara kelompok sebelumnya. Di selang bercerita
83
ada seorang ibu yang kehilangan sabitnya (perkakas).
“Ma sabik den tadinyo, tu untuk pakureh dek den tumah!”(Mana sabit saya tadi, itu untuk bakurehbagi saya!), kata ibu itu sambil mencari-cari sabitnya.
Lagi-lagi saya mendengar kata bakureh di sini. Dari penjabaran ibu tersebut bahwa bakurehmerupakan salah satu kegiatan penyambung hidup yang ia jalani sehari-hari (suatu pekerjaan). Untuk itu saya langsung kaitkan dengan bakureh masak-memasak dalam sebuah perhelatan. “Sebenarnya bakureh itu apa buk? saya juga pernah mendengar bahwa orang Solok juga menyebut gotong royong memasak adalah bakureh” tanya saya.
Ia menjawab, ”bahwa memang bakureh disini juga diartikan gotong royong memasak,” ia menambahkan “Selain itu ketika ada tetangga yang akan melaksanakan perhelatan kami sengaja meliburkan hari kerja di sawah untuk gotong royong memasak di sana, katanya menjelaskan, lalu “Ketika kita tidak dapat ikut serta dalam bakureh, maka kita akan merasa tidak enak kepada yang punya perhelatan” tambahnya.
Ketika adat bakureh (gotong royong memasak) ia tinggalkan maka akan menimbulkan suatu permasalahan antar sosial ibu itu. Secara tidak langsung kebudayaan bakureh (memasak) juga memiliki tuntutan sosial dan menjadi kesadaran individu masyarakat di sana dalam hidup berkelompok.
Terkait dengan perubahan zaman, ibu ini menyampaikan bahwa ada perbedaan dalam sistem bakureh yang dahulu dengan sekarang. Sebagian masyarakat di sini sudah menggunakan jasa catering dalam membantu konsumsi dalam sebuah perhelatan. Tapi di sela-sela itu perhelatan sistem bakureh harus tetap dijalankan. Tetapi atmosfir gotong royong memasak ini menjadi hambar, beberapa tahapan terpotong, dan dulunya bakureh itu menggunakan sistem julo-julo (arisan) dan murni suka rela.
Menurut saya kebudayaan bakureh ini bisa juga disebut sebagai media. Media yang menjaga atau mempertahankan sebuah kebudayaan ber-gotong royong pada masyarakat Minangkabau. Ketika kebudayaan bakureh itu hilang, dikawatirkan akan berdampak pada ke-tidak-sesuaian identitas masyarakat yang telah terbentuk oleh kebudayaan. Proses sosial antar masyarakat Minangkabau dikawatirkan tidak sesuai dengan jati diri mereka yang sebelumnya, telah diwariskannya kebudayaan gotong royong dalam warih nan bajawek.
Warih nan bajawek memiliki peran dalam penjagaan aturan masyarakat hidup di alam Minangkabau. Penyampaian pesan atau aturan menggunakan warih nan bajawek itu bisa melalui kesenian dendang, saluang, pepatah, dan pitaruah. Berkaitan dengan kebudayaan gotong royong sesuai dengan pepatah Minang “barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang“ artinya berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Yang bermakna setiap pekerjaan itu dilakukan secara bersama-sama. itulah yang menjadi pedoman masyarakat Minang dalam bersosial. Untuk menjaga atau mempertahankan adat, kita membutuhkan media sebagai alat penghubung. Bakureh sebagai media bisa menjadi alat penyampai pesan antar generasi melalui kebiasaan atau rutinitas dalam beraktivitas. Dalam kegiatan bakureh terdapat banyak pelajaran, mulai dari bersosialisasi, memasak, bekerja sama, peduli, dan keakraban pun dapat terjaga melalui bakureh. Sebelum kegiatan bakureh dimulai dalam suatu perhelatan perkawinan di Minangkabau, biasanya dimulai dulu dari mamanggia (mengundang), bararak (arakarakan), lalu baru masak basamo(masak bersama) dan biasanya orang-orang yang sedang bakureh juga disuguhi sebuah hiburan, seperti saluang, dendang, rabab. Setiap tahapan itupun
84
juga terdapat adab-adab yang spesifik yang tentunya menarik untuk digali maknanya.
Beberapa daerah di Minangkabau menyebut gotong royong memasak itu dengan manolong mamasak saja. Sedangkan dengan bakureh mereka lebih mengartikan dengan penyebutan pada sebuah kegiatan yang mendapatkan hasil (upah). Ada pertentangan makna dari bakureh, antara diupah dan sukarela. Selain itu, di Solok sendiri yang sebelumnya menyebut bakureh sebagai gotong royong, kemudian juga disegeneralkan sebagai bekerja untuk upah. Terjadinya fenomena pergeseran atau penyempitan makna pada kata bakureh. Fenomena ini dapat dikaji pada perubahan makna kata melalui proses evolusi. Perubahan dalam konteks evolusi, yang diistilahkan dengan diakronis. Diakronis adalah suatu perubahan yang terjadi melalui proses. Kata bakureh mengalami perubahan makna karena adanya proses sosial.
Ada dua sisi disini yang dapat kita kaji, pertama Bakureh sebagai media penyampai pesan gotong royong, dalam konteks memasak bersama pada sebuah perhelatan, juga menjadi wadah bagi media warih nan bajawek (lewat lisan), seperti halnya pantun, dendang, salauang untuk penyampai pesan yang memiliki satu topik, yaitu tentang kebudayaan gotong royong atau kebersamaan. Menurut saya, ketika kegiatan bakureh memasak digantikan dengan kehadiran jasa catering, itu bisa menyebabkan terjadinya perubahan makna kata pada bakureh melalui proses (diakronis), yang akan dikhawatirkan melunturkan sebuah kebudayaan gotong royong, yang mencakup beberapa adab dan tahapan tadi. Suatu waktu ketika peran bakureh sebagai media penyampai pesan hilang, maka itu akan berpotensi terjadinya kekosongan. Di sanalah terjadinya pergeseran makna secara evolusi. Kedua, Bakureh yang merupakan sebuah usaha untuk mendapatkan hasil, bisa juga disebut sebagai media penyampai pesan terkait kebudayaan gotong royong, sesuai dengan pepatah Minang “sorang bapokok, sorang batanago” satu mempunyai modal, satu lagi mempunyai tenaga”. Seseorang yang memiliki modal bisa menjadi wadah bagi orang yang ingin berusaha untuk mendapatkan hasil demi keberlangsungan hidupnya. Adanya hubungan kegotong-royongan (timbal balik ) di sini. Sebagai contoh, hubungan timbal balik seorang pemilik modal dan petani. Si pemilik modal terbantu dalam memanen hasil sawah miliknya, dan pihak yang berusaha untuk mendapatkan hasil untuk keberlangsungan hidupnya juga terbantu.
Kejadian yang kedua juga bisa dikaitkan dengan salah satu contoh pergeserannya makna bakurehdi daerah Kinari, Solok. Di sana kata bakureh dinilai kasar, mereka memaknai bakureh dengan suatu pekerjaan yang memanfaatkan orang lain. Menurut saya berdasarkan contoh yang ada di sana, bakureh mengalami distorsi makna, sehingga merubah pesan yang disampaikan. Ketika seseorang yang berusaha untuk mendapatkan hasil, merasa tidak ada nilai kegotong royongan dan hubungan timbal balik, atau merasa dieksploitasi oleh pemilik modal, maka proses (diakronis) seperti inilah yang mempengaruhi perubahan makna kata pada bakureh.
Dapat kita simpulkan perubahan makna bakureh dapat dipengaruhi oleh proses (diakronis) sesuai dengan aspek evolusi. Dalam Pengkajian Linguistik, Anton M. Moeliono dan rekan-rekannya berpendapat bahwa makna adalah salah satu persoalan yang dapat dikaji secara mendalam. Penyelidikan makna dalam kajian linguistik disebut dengan semantik. Menurut J.W.M. Verhaar semantik itu ialah teori makna atau teori erti. Begitu juga dengan J. D. Parera yang mengemukakan bahawa semantik adalah ilmu tentang makna. John Lyons pula mendefinisikan semantik dengan penyelidikan makna. Dalam semantic perubahan makna dapat terjadi melalui dua konteks yaitu evolusi dan revolusi
85
Untuk perubahan makna pada kata bakureh itu, saya kira dipengaruhi oleh konteks
evolusi. Dalam perubahan makna melalui evolusi itu lebih menggambarkan suatu perubahan yang terjadi melalui proses, yang disebut diakronis. Penyebutan pada istilah kegiatan untuk mencari hasil, dan terjadinya perubahan pandangan seperti daerah Kinari yang menganggap kata bakureh itu kasar.
Dalam peristilahan bakureh dalam konteks masyarakat Solok, yang mendefenisikan ini sebagai gotong royong, menarik untuk membacanya kembali sebagai sebuah istilah yang pada dasarnya sangat kompleks. Bagaimanapun juga istilah yang beragam makna itu, pernah memiliki sebuah kompleksitas yang positif dalam sistem sosial. Bakureh tidak sesederhana bergotong royong, tidak pula sesederhana mencari upah, dalam prosesnya terdapat adab, proses mediasi pengetahuan dan nilai-nilai, dan pendidikan kearifan lokal yang menarik untuk kita bicarakan lagi dalam konteks sekarang, yang serba instan. Anisa Nabilla Khairo Solok, 7 Juni 2018
86
Janang Catatan Observasi Awal bersama Bakureh Project
S
elasa 05 Juni 2018 sekitar pukul 14.30 WIB, saya bersama salah seorang fasilitator dan dua orang partisipan kegiatan bakureh Project yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi menuju Jorong Pamujan di Kecamatan Kinari, Kabupaten Solok. Bu Eva salah seorang warga di sana yang saya temui. Dia mengatakan bahwa bakureh di daerahnya lebih dikenal dengan kegiatan pergi bekerja. ”misal ibuk sadang di heler, itu ibuk pai bakarajo namonyo kalau di siko”, Kata Bu Eva. (Misalnya ibu sedang di penggilingan padi, itu ibu sedang pergi bekerja maksudnya jika di daerah sini). Di daerahnya, Bu Eva mengatakan bahwa kegiatan bakureh dalam konteks Kota Solok dikenal dengan istilah gotong royong memasak, disini disebut manolong mamasak (membantu memasak) saja.
Sebelumnya pada pembekalan materi lokakarya Bakureh Project hari ke-3, Ibu Suarna yang menyampaikan yang merupakan seorang tokoh adat perempuan atau disebut Bundo Kanduang dalam istilah Minangkabau mengatakan bahwa, “tradisi bakureh secara umum dimaknai sebagai suatu kegiatan gotong-royong”. Kemudian Ibu Suarna juga mengatakan, pada kalangan ibu-ibu bakureh dimaknai sebagai kegiatan memasak yang dilakukan bersama-sama”. Namun menurut Ibu Suarna, semakin hari kegiatan bakureh sudah jarang dilakukan. Dia berpendapat, sekarang ini jika ada yang mengadakan acara alek (pesta) atau acara syukuran lebih banyak menggunakan jasa catering untuk memenuhi kebutuhan makanan. Meskipun demikian, Bu Suarna juga mengatakan di beberapa tempat masih ada yang melaksanakan kegiatan bakureh.
Senada dengan Ibu Suarna, pada hari ke empat pembekalan materi yang disampaikan oleh Buya Khairani yang merupakan salah seorang pemuka adat di Solok, mengatakan bahwa, “bakurehdimaknai sebagai suatu kegiatan gotong-royong”. Menurut Buya Khairani, kegiatan bakureh ini mengajarkan kita untuk dapat saling tolong-menolong dan bekerja dengan ikhlas. Artinya, kegiatan bakureh secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan bersama-sama atau gotong-royong. Di Solok misalnya, kegiatan bakureh dimaknai sebagai kegiatan masak-memasak. Meskipun demikian, istilah bakureh yang dikatakan Ibu Suarna lebih dikenal dengan manolong mamasak di tempat tinggal Bu Eva. Seperti yang diceritakan Bu Eva, kegiatan manolong mamasak di daerahnya dilaksanakan sebelum acara baralek (pesta pernikahan), turun mandi, akikah, dan buka puasa bersama warga kampung saat bulan Ramadhan.
87
Pada acara pesta pernikahan, manolong mamasak diawali dengan mamanggia atau menyampaikan informasi yang akan dilaksanakan kepada orang yang akan kita undang untuk hadir ke acara pesta pernikahan dan sekaligus menyampaikan informasi kepada orang-orang yang akan kita minta bantuannya untuk manolong mamasak atau bakureh. Sebelum mengakhiri ceritanya, Bu Eva mengatakan,
“kalau mamanggia nan padusi, yang pai mamanggia urang padusi pulo. Kalau mamanggia nan laki-laki, yang pai mamanggia urang laki-laki pulo. Tapi pai mamanggia tu indak buliah pulo sambarangan do, ado pulo caronyo”. (Jika kita mengundang perempuan, maka yang pergi mengungang perempuan pula. Jika kita mengundang laki-laki, maka yang pergi mengundang laki-laki pula. Tapi dalam pergi megundang tidak boleh sembarangan, karena ada cara-caranya).
Pak Jon, suami dari Bu Eva menjelaskan bahwa perempuan pergi mengundang ada pakain khususnya. Menggunakan baju kuruang basibah warna hitam dengan menggunakan tingkuluak (penutup kepala). Jika untuk mengundang laki-laki, membawa sebatang rokok dengan pakaian bebas dan menggunakan peci. “Ko mamanggia mamak ka baralek si itu, harinyo hari itu, yo datang mamak a”, (maksud kedatangan saya adalah mengundang bapak datang ke pesta si itu, harinya hari itu, dan kalau bisa bapak datang) demikian Pak Jon memberikan contoh cara mengundang untuk laki-laki. Pak Jon juga mengatakan bahwa cara penyampaiannya pun tidak boleh sembarangan, agar orang yang kita undang mau hadir ke acara yang kita maksud. Selanjutnya Pak Jon menegaskan bahwa yang pergi mengundang adalah orang yang sasuku (satu klan) dengan si Pangka (orang satu klan dengan yang menggelar acara pesta), Pasumandan sebutan untuk perempuan dan untuk laki-laki dilakukan oleh mamak (paman) atau biasa disebut sumando.
Setelah itu, Pak Jon juga bercerita tentang bagaimana laki-laki dalam tradisi manolong mamasak atau bakureh. Laki-laki memiliki tugas untuk membantu ibu-ibu sebelum memulai kegiatan memasak. Biasanya laki-laki melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga atau pekerjaan yang berat-berat. Seperti membuat rumah kajang atau di daerah Pak Jon disebut suduang-suduang (dapur sementara), menyembelih hewan, membuat tungku, dan mencari kayu bakar. Ini dapat dikatakan, dalam tradisi bakureh laki-laki juga memiliki peran meskipun tidak selalu berada di dapur. “laki-laki dalam acara alek memiliki tugas sebagai penyaji makanan dan disebut janang. Ia bertugas mengatur tata letak makanan dan posisi duduk dalam suatu alek”, terang Pak Jon. Sebagai salah seorang janang di dalam sukunya, Pak Jon menjelaskan bahwa janang biasanya berjumlah sekitar 4 sampai 5 orang dalam suatu acara alek dengan satu orang ditunjuk sebagai janang tuo (ketua penyaji makanan). Setiap suku memiliki janang masing-masing dan sudah ditunjuk dengan kesepakatan orang se-suku.
Di nagari tempat tinggal Pak Jon, janang memiliki seragam khusus dengan desain guntiang cino dan menggunakan sarung yang diikat di pinggang. Masing-masing suku di nagari Pak Jon, janang juga dibedakan dengan warna pakaian yang digunakan. Misalnya Pak Jon yang sukunya Panai, pakain janang berwarna cokelat. Tujuannya adalah sebagai pembeda dengan janang dari suku lainnya. Berbeda dengan acara baralek, pada acara buka puasa bersama semua orang yang datang untuk kegiatan manolong mamasak atau bakureh tidak diundang. Warga yang memiliki waktu luang akan datang dengan sendirinya menuju tempat acara. Seperti acara buka puasa bersama yang saya lihat di Jorong Bungo Harum, Nagari Kinari, Rabu, 6 Juni 2018 lalu. Warga di sana sudah mulai bakureh untuk persiapan acara buka puasa bersama yang akan dilaksanakan di Mesjid Nurul Hidayah itu mulai dari pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB.
88
Diawali dengan menyembelih sapi oleh sekitar sepuluh orang bapak-bapak yang hadir. Setelah sapi selesai disembelih, kemudian sapi dikuliti dan dibersihkan. Ketika membersihkan bagian isi perut sapi, saya melihat ada beberapa orang bapak yang sedang bergurau. “Jan yang itu pulo lai, yang iko sajo barasiahan dek gaek,” (tidak usah kerjakan yang itu, yang ini saja bersihkan, ‘pak tua’) kata seorang bapak bercanda kepada temannya.
“Jan disitu barasiahan gaek. Dakek siko sajolah, jauh bana di situ,” (jangan di sana membersihkannya, dekat sini saja, terlalu jauh) sahut salah seorang bapak lainnya.
Kemudian melihat si gaek (bapak tua) sudah berjalan mondar-mandir dan terlihat sedikit kebingungan, mereka semua tertawa. Beberapa kali saya pernah mendengar gurauan-gurauan seperti ini pada bapak-bapak yang sedang berkumpul di kedai kopi. Walaupun terkesan bullying, tapi sepertinya ini hal yang santai, pastinya ini adalah salah satu cara mereka merayakan gotong-royong ini. Sementara, bapak-bapak membersihkan daging sapi, ibu-ibu menyiapkan bumbu-bumbu untuk keperluan memasak. Seperti mengupas bawang, menggiling cabe, dan memeras santan yang akan digunakan untuk manggulai dagiang, ataupun keperluan memasak lainnya. Informasi yang saya dapat, acara berbuka bersama yang akan dilakukan itu sekaligus menggelar acara syukuran akikah salah seorang warga setempat. Menurut Volta, salah satu fasilitator dari Gubuak Kopi yang mendampingi kami, acara berbuka bersama yang dilaksanakan bersamaan dengan acara akikah ini hampir setiap tahun dilakukan warga di Nagari Kinari.
Saya yang masih penasaran dengan apa saja yang biasa dibahas oleh bapak-bapak atau laki-laki ketika sedang berkumpul pada kegiatan-kegiatan seperti bakureh. Saya mencoba menanyakan kepada Volta yang kebetulan tinggal di sana. Menurutnya, kebanyakan kaum laki-laki atau bapak-bapak saat kegiatan bakureh sering bercerita tentang masalah pekerjaan. “kama angku bisuak? Kalau lai indak kama-kama, pai bakarajo jo ambo bisuaklah,” (kama kamu besok, kalau tidak ada kegiatan, ayo pergi kerja dengan saya) dicontohkan Volta kepada saya. Jika pada salah satu kelas Bakureh Project, Ibu Suarna mengatakan bahwa ibu-ibu sering menjodohkan anak-anak mereka, bergosip, ataupun berdendang-bergurau dalam kegiatan bakureh. Laki-laki cenderung bercerita tentang pekerjaan atau bersenda-gurau. Meskipun demikian, sepertinya tidak hanya sekedar membahas pekerjaan atau sekedar bersenda-gurau. Mungkin masih ada beberapa hal lain yang diceritakan oleh laki-laki saat bakureh. Misalnya, tentang peran laki-laki sebagai mamak dalam suatu suku, hobi, atau mungkin bercerita tentang sejarah dan politik.
Sampai hari ketujuh yang merupakan hari terakhir saya mengikuti Lokakarya Daur Subur dalam rangkaian Bakureh Project, menarik untuk mengetahui lebih jauh bagaimana peran serta dan apa saja yang menjadi pembahasan laki-laki saat bakureh. Mengingat, bakureh di Kota Solok merupakan kegiatan gotong-royong memasak yang didominasi oleh ibuibu, dan ternyata laki-laki juga ikut serta dalamnya. Seperti yang dikatakan Pak Jon dan makna bakureh secara umum yang disampaikan oleh Mak Katik dan Buya Khairani. Bagi saya, sepertinya perlu untuk mengalami kegiatan bakureh itu sendiri dan bercerita lebih banyak lagi dengan orang-orang yang mengalaminya.
Mohammad Irvan Solok, 7 Juni 2018
89
90
91
Partisipan Ade Surya Tawalapi, biasa disapa Ade, pegiat sastra dan pertanian di Pekanbaru. Lulusan Sastra Rusia, Universitas Indonesia. Sekarang aktif di SAYURANKITA, sebuah platform yang digagas sebagai laboratorium berpikir dan praktik di ranah pertanian secara umum, yang dikombinasikan dengan sudut pandang sosiokultural dan pengelolaan media alternatif di Kota Pekanbaru. juga aktif menulis di blog personalnya www.adetawalapi.wordpress.com Nahlia Amarullah (Jakarta, 1995). Sekarang sedang menempuh pendidikan di FISIP Universitas Andalas (UNAND) Jurusan Ilmu Komunikasi, juga aktif di beberapa organisasi kampus, seperti Kopaja (Komisariat Perhimpunan Mahasiswa Jabodetabek) Universitas Andalas sebagai Koordinator bidang Seni dan Budaya, memliki keteratirkan dalam bidang teater, dan juga pernah mengikuti beberapa pelatihan terkait seni di kampusnya. Sebelumnya ia juga pernah bekerja sebagai penyiar salah satu radio swasta di Kota Padang. Nurul Haqiqi (Jakarta, 1994), biasa di panggil Qiqi Cupay. Sekarang sedang menempuh pendidikan di program studi Seni Teater, Institut Seni Indonesia Padang Panjang. Juga aktif di beberapa organisasi kampus dan komunitas seni di Sumatera Barat. Pernah terlibat di beberapa produksi pertunjukan di beberapa daerah, seperti pertunjukan Balega Di Tanah Minang karya Susas Rita Loravianti tahun 2017 di Jogja Art Festival dan Bedog Art Festival, peraih dana hibah dari Bakti Budaya Djarum Fondation dalam program Ruang Kreatif Seni Pertunjukan 2017. Dan saat ini aktif di kelompok Sumatera Senja (Padang Panjang). Dyah Roro Puspita Asmarani (Solok, 1996), biasa disapa Roro. Lulusan Informasi Perpustakaan dan Kearsipan di UNP. Pernah aktif berkegiatan di Teater Oase, Unit Kegiatan Kesenian UNP. Pernah terlibat dalam pertunjukan pantomime “Coolartboration” UKKES UNP (2015). Dan terlibat dalam pertunjukan “Teater Di Kampung Jawa” yang diselenggarakan Gubuak Kopi (2016). Saat ini bekerja sebagai pegawai kontrak di ATR/BPN Kota Solok. 92
Anisa Nabilla Khairo (Padang Ganting, 1992), biasa disapa Icha. Sekarang sedang menempuh pendidikan di program studi Sastra Inggris, Universitas Negeri Padang (UNP). Juga aktif di beberapa organisasi kampus dan komunitas seni di Sumatera Barat. Terlibat dalam ekspedisi 28 Gunung bersama Eiger at Gunung Talang (2017). Sekarang aktif berkegiatan di Teras Literasi (2018). Dan juga aktif menggelar lapak baca yang menamai diri Book N Rool, Padang (2018). Olva Yosnita. Perempuan kelahiran Solok biasa disapa Olva. Saat ini tengah menempuh studi di Jurusan Sosiologi, Universitas Andalas. Sebelumnya ia aktif berkegiatan di UKM Pengenalan Hukum dan Politik di kampuasnya. Saat ini Olva tertarik mendalami penulisan terkait isu-isu sosial dan kebudayaan di kampungnya.
Sefniwati (Padang Pariaman, 1992). Biasa disapa Sefni, lulusan Sosial Ekonomi Pertanian/Agribisnis, Universitas Andalas, dan sekarang sedang melanjutkan studi S2 Pengelolaan Terpadu Sumberdaya Alam, Universitas Andalas. Pernah terlibat sebagai Fasilitator Lapangan dalam Program Kemakmuran Hijau MCAI pada konsorsium Wanakita dengan lead Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) (2017). Mohammad Irvan atau yang biasa kami sapa Spansan, adalah mahasiswa tingkat akhir studi Ilmu Komunikasi di Universitas Riau (UNRI). Ia juga aktif berkegiatan di Komunitas Sinema Melayu (@sinelayu) di Pekanbaru. Ia merupakan partisipan Magang Gubuak Kopi 2018 priode I. Selama magang Spansan juga mendapat kesempatan mengikuti Lokakarya Daur Subur dalam rangkaian Bakureh Project dan kini tengah menjalankan workshop pemograman penayangan filem bersama @sinemapojok.
93
Tim Fasilitator Pimpinan Proyek Delva Rahman adalah salah satu pegiat media di Komunitas Gubuak Kopi, aktif sebagai Sekretaris Umum. Ia aktif menari di Ayeq Mapletone Company, sebuah kelompok tari yang berdomisili di Padang, Sumatera Barat. Pernah terlibat dalam lokakarya literasi media “Di Rantau Awak Se“, oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng (2017). Partisipan lokakarya video performance bersama Oliver Husain di Gubuak Kopi (2017). Pernah terlibat dalam pertunjukan “Perempuan Membaca Kartini” karya sutradara Irawita Paseban di Gudang Sarinah Ekosistem (2017). Fasilitator program Daur Subur (2017-2018). Selain itu ia juga diundang sebagai narasumber di beberapa festival film, seperti Malang Film Festival (2017) dan Andalas Film Exhibition (2017). Ia juga merupakan Alumna Akademi ARKIPEL 2018. Fasilitator M. Yunus Hidayat, biasa disapa Datuak. Lulusan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Padangpanjang. Fasilitator Komunitas Suku Asli bersama Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dengan lokasi Kajian Taman Nasional Bukit Dua Belas bagian Selatan (2015-2016). Seniman partisipan dalam kegiatan yang bertajuk Equality – Minang Young Artist Project, di Galeri Taman Budaya Sumatera Barat (2017). Ia juga merupakan partisipan lokakarya Daur Subur: Kutur Daur Subur (2017); Lokakarya Daur Subur: Lapuak-lapuak Dikajangi (2017); Lokakarya Daur Subur di Padang Sibusuk, yang digelar oleh Gubuak Kopi berkolaborasi PKAN Padang Sibusuk (2018). Dan kini terlibat sebagai salah seorang fasilitator program Daur Subur. Ogy Wisnu Suhandha biasa disapa Cugik, lahir di Bukittinggi, Desember 1991. Lulusan pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Padang. Aktif berkegiatan di Ladang Rupa Bukittinggi, sebuah kelompok yang menyebut diri sebagai pengembang seni dan budaya Kota Bukittinggi. Ia juga merupakan partisipan Lokakarya Media: Kutur Daur Subur yang diselenggarakan oleh Gubuak Kopi (2017). Terlibat dalam kegiatan pameran Minang Young Artist Project (2017). Pembicara dalam simposium “Ruang Alternatif dan Penontonnya” di Andalas Film Exibition (2017). 94
Muhammad Riski adalah salah satu pegiat di Komunitas Gubuak Kopi, aktif sebagai pengarsip. Saat ini sedang menempuh studi di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang (UNP). Terlibat dalam lokakarya media “Di Rantau Awak Se”, oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng. Selain itu ia juga aktif memproduksi karya seni mural dan stensil dan sibuk menggarap Minang Young Artist Project selaku ketua. Volta Ahmad Jonneva (Kinari, 16 Mei 1995) adalah mahasiswa Jurusan Senirupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Saat ini aktif sebagai salah satu anggota Komunitas Gubuak Kopi. Serta terlibat mengelola Layar Kampus, sebuah inisiatif ruang tonton alternatif di kampusnya. Tahun 2017, ia juga terlibat dalam open studio “Di Rantau Awak Se” oleh Gubuak Kopi dan Forum Lenteng. Dan juga sebagai salah satu partisipan festival forum di Arkipel (Jakarta International Dokumenter & Eksperimental Film Festival) 2017, Serta salah satu seniman yang berkontribusi di kegiatan pameran Minang Young Artist Project 2017. Zekalver Muharam biasa disapa Skalver adalah mahasiswa Jurusan Senirupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Padang. Saat ini aktif sebagai koordinator produksi di Komunitas Gubuak Kopi. Selain itu ia juga aktif membuat karya komik, mural, dan lukisan.
Editor / Knowladge Manajemen Albert Rahman Putra biasa disapa Albert, adalah seorang penulis, kurator, dan pegiat budaya. Merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang, dengan fokus studi pengkajian seni karawitan. Dia adalah pendiri Komunitas Gubuak Kopi dan kini menjabat sebagai Ketua Umum. Albert aktif sebagai penulis di akumassa.org. Ia juga memiliki minat dalam kajian yang berkaitan dengan media, musik, dan sejarah lokal Sumatera Barat. Manager Orkes Taman Bunga. Baru-baru ini ia bersama Forum Lenteng menerbitkan buku karyanya sendiri, berjudul Sore Kelabu di Selatan Singkarak (2018). 95
Gubuak Kopi - Art and Media Studies Lembaga Studi Seni dan Media Gubuak Kopi, atau lebih dikenal dengan nama Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok studi budaya nirlaba yang berbasis di Solok, berdiri sejak tahun 2011. Komunitas ini berfokus pada penelitian dan pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas di lingkup lokal Sumatera Barat. Gubuak Kopi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan literasi media melalui kegiatan-kegiatan kreatif, mengorganisir kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga, mengembangkan media lokal dan sistem pengarsipan, serta membangun ruang alternatif bagi pengembangan kesadaran kebudayaan di tingkat lokal. Alamat Jl. Tembok Raya, No. 322, Kelurahan Nan Balimo Kecamatan Tanjung Harapan, Kota Solok - Sumatera Barat. Email gubuakkopi@gmail.com www.gubuakkopi.id
Daur Subur Daur Subur adalah sebuah paltform yang digagas oleh Gubuak Kopi dalam mengarsipkan dan memetakan kultur pertanian di Sumatera Barat melalui pendidikan media berbasis komunitas. Kegiatan ini digagas pada tahun 2017, melibatkan sejumlah partisipan dari beragam disiplin dan perwakilan komunitas. Para partisipan yang terlibat diajak untuk mengikuti lokakarya literasi media, pengelolaan arsip, dan memproduksi karya berupa teks, gambar, dan audio visual. Portofolio program: http://gubuakkopi.id/daur-subur/
96
Bakureh Project Bakureh Project adalah sebuah studi nilai-nilai kebudayaan lokal melalui tradisi “masak bersama”. Bakureh secara harfiah berarti “berkuli”, namum dalam konteks ini defenisi bakureh merujuk pada tradisi ‘gotong-royong masak’ yang dikomandoi oleh ibu-ibu dalam perhelatan. Tradisi ini memungkinkan terjadinya pertemuan sejumlah perempuan mewakili keluarga untuk memasak bersama. Proses ini melanggengkan sejumlah adab yang sudah tertata menjadi tradisi, mulai dari cara ia dikabarkan, pilihan menu berdasarkan bentuk kegiatan, dan pendidikan kuliner, serta diperkaya dengan pemahaman filosofisnya.
Proyek ini secara khusus membaca dan mengembangkan posisi bakureh sebagai kekuatan sosial dan media kreatif lokal dengan tetap sadar akan sejarah, tradisi, dan perkembangan kontemporernya. Bakureh Project diprakarsai oleh Delva Rahman dalam kerangka kerja program Daur Subur, sebuah platform yang digagas oleh Komunitas Gubuak Kopi. Hasil dari pembacaan atau penelitian proyek ini nantinya akan disajikan dalam berbagai bentuk output, seperti produk media alternatif (teks, foto, dan video), penelitian berbasis kemasyarakatan, maupun karya seni kolaboratif lainnya. Portofolio project: http://gubuakkopi.id/bakureh-project/
Pimpinan Proyek Delva Rahman Fasilitator Lokakarya M. Yunus Hidayat, Ogy Wisnu S, Volta A. Jonneva,Muhammad Risky Partisipan Ade Surya Tawalapi, Sefniwati, Nahlia Nahal, Nurul Haqiqi, Dyah Roro Puspita Amarani, Anisa Nabilla Khairo, Olva Yosnita. Knowledge Management Albert Rahman Putra Dokumentasi Mohamad Irvan Database Daur Subur – Gubuak Kopi
Didukung oleh Cipta Media Ekspresi
97
98