Skripsi Menakar Ulang Gelora Aktivisme Mahasiswa: Produksi Pengetahuan dan Terbentuknya Jejaring Pergerakan (Studi Kasus Aksi #GejayanMemanggil di Yogyakarta)
Pembimbing: Wahyu Kustiningsih, MA.
Disusun Oleh: Arya Malik Nurrizky 16/394662/SP/27268
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2020
Thesis Rethinking The Surge of Student Activism: Production of Knowledge and The Formation of Movement Network (Case Study of #GejayanMemanggil Action in Yogyakarta)
Thesis Guide: Wahyu Kustiningsih, MA.
Arranged By: Arya Malik Nurrizky 16/394662/SP/27268
Departement of Sociology Faculty of Social and Political Sciences Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2020
Kata Pengantar Secara khusus segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas kehadirannya dalam segala ruang dan waktu. Lahirnya karya ini sebagai buah dari kerja-kerja yang telah penulis lakukan, tidak terlepas dari beragam bentuk dukungan dan bantuan dari banyak pihak, terutama dan paling utama, rasa terimakasih penulis ungkapkan secara mendalam kepada orang tua, adik, dan keluarga penulis, yang terus memberikan dukungan dalam bentuk-bentuk yang tidak dapat digambarkan dan dibalaskan. Kemudian, rasa terimakasih penulis sampaikan sebesar-besarnya kepada Mba Wahyu Kustiningsih MA.—selaku pembimbing utama skripsi, Bung AB Widyanta MA., dan Mas Oki Rahadianto Sutopo Phd.—selaku penguji skripsi, di mana mereka selalu memfasilitasi penulis dengan berbagai saran, masukkan, kritik, dan dukungan yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Berikutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman Aliansi Rakyat Bergerak—yang tidak dapat penulis sampaikan identitasnya, karena telah berkenan untuk berpartisipasi dalam proses penyusunan tulisan ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada saudara G.R. Wibawanto dan M. H. Ersada, karena telah berbagi waktu dan pikirannya untuk berdiskusi dan mengkritisi karya penulis. Rasa terimakasih turut penulis sampaikan kepada teman-teman Rumah Cemara, teman-teman 47 Yogyakarta, KMSosiologi dan KM FISIPOL, Departemen Sosiologi, serta civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, karena kehadiran mereka adalah satu bentuk keberuntungan dan kemewahan yang penulis miliki selama berproses di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
ii
Tulisan ini, selain menjadi syarat utama dalam menyelesaikan studi penulis, juga merupakan kristalisasi dari ragam bentuk kompleksitas dan realita di lapangan, yang berusaha penulis proyeksikan dalam bentuk kerja-kerja ilmiah secara sederhana namun komprehensif. Sehingga, terlahirlah karya dalam bentuk skripsi berjudul “Menakar Ulang Gelora Aktivisme Mahasiswa: Produksi Pengetahuan dan Terbentuknya Jejaring Pergerakan” yang merupakan hasil dari studi kasus terhadap Aksi #GejayanMemanggil di Yogyakarta. Jauh dari kata sempurna, tulisan ini memiliki berbagai limitasi dan kelemahan yang mungkin akan ditemui oleh pembaca saat menelusurinya. Namun, dengan sangat terbuka, sudilah kiranya kekurangan-kekurangan tersebut dapat dikritisi, diulas, maupun diuji, agar mencipta lahirnya ruang-ruang percakapan atas diskursus yang lebih apik. Semoga dengan munculnya karya ini, dapat ikut berkontribusi dalam dinamika ranah akademis dan memperpanjang nafas intelektual di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, maupun Indonesia. Akhir kata, karya ini telah dikerjakan sebaik-baiknya, semoga kelak harapan-harapan atas perjuangan dapat tercapai dengan sehormat-hormatnya, panjang umur perjuangan, a luta continua vitória acerta, terimakasih. Yogyakarta, 21 November 2020
Arya Malik
iii
Daftar Isi BAB I.................................................................................................................................. 1 PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang....................................................................................................... 1 1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................. 5 1.3. Tujuan Penelitian................................................................................................... 5 1.4. Kajian Pustaka ....................................................................................................... 6 1.5. Landasan Teoritis .................................................................................................. 8 1.6. Metode Penelitian................................................................................................. 14 1.6.1. Lokasi ............................................................................................................. 15 1.6.2. Karakteristik dan Teknik Pemilihan Informan ......................................... 15 1.6.3. Jenis Data....................................................................................................... 16 1.6.4. Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 16 1.6.5. Teknik Pengolahan Data .............................................................................. 18 BAB II .............................................................................................................................. 22 Dinamika Pergerakan Mahasiswa di Indonesia........................................................... 22 2.1. Lintasan Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Indonesia ................................... 22 2.1.1. Pergerakan Mahasiswa sebelum Era Reformasi ....................................... 23 2.1.2. Pergerakan Mahasiswa di Era Reformasi .................................................. 28 2.1.3. Pergerakan Mahasiswa Era Informasi ....................................................... 34 2.2. Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Generasi Sosial ....................................... 37 2.2.1. Mahasiswa sebagai Generasi Muda ............................................................ 38 2.3. Gaung Perjuangan Rakyat dari Jalan Gejayan............................................... 43 2.4. Deskripsi Subjek Penelitian ................................................................................ 47 BAB III............................................................................................................................. 50 Menampik Kelam Memantik Terang: Generasi Muda Mahasiswa dan Gejayan untuk Moses yang Tersenyum ....................................................................................... 50 3.1. Oligarki dan Kebijakan-kebijakan Tak Kasat Mata ....................................... 52 3.2. Membangun Keterlibatan Masyarakat ............................................................. 56 3.2.1. Inklusifitas Publik ......................................................................................... 60 3.2.2. Negosiasi atas Perbedaan ............................................................................. 63 3.2.3. Klaim terhadap Ruang Publik..................................................................... 66
ii
3.3. Opini Publik dan Penerimaan Masyarakat....................................................... 68 3.3.1 Pro dan Kontra terhadap Pergerakan ......................................................... 68 3.3.2. Dukungan dan Simpati Masyarakat ........................................................... 70 3.4. Limitasi terhadap Pluralitas Generasi Muda Mahasiswa................................ 72 BAB IV............................................................................................................................. 76 Konstelasi Intelektual Gerakan: Agensi Mahasiswa dalam Produksi Pengetahuan dan Jejaring Aksi #GejayanMemanggil ....................................................................... 76 4.1. Dimensi Pengetahuan dalam Aksi #GejayanMemanggil ................................. 76 4.1.1. Mahasiswa sebagai Intelektual Gerakan ........................................................ 78 4.1.2. Praxis Kognitif Aksi #GejayanMemanggil ..................................................... 81 4.2. Jejaring Sosial dalam Aksi #GejayanMemanggil ............................................. 88 4.2.1. Karakteristik Jejaring .................................................................................. 89 4.2.2. Proses Berjejaring......................................................................................... 92 Bab V................................................................................................................................ 97 Penutup ............................................................................................................................ 97 5.1. Kesimpulan........................................................................................................... 97 5.2. Limitasi Studi ..................................................................................................... 101 5.3. Rekomendasi ...................................................................................................... 102 Daftar Pustaka .............................................................................................................. 104
Daftar Gambar Gambar 3.1. Aksi teatrikal dari beberapa massa aksi dengan kostum. Halaman 66 Gambar 3.2. Seorang massa aksi membawa poster. Halaman 67 Gambar 3.3. Seorang massa aksi membawa poster. Halaman 67 Gambar 4.1. Pertunjukan musik dalam aksi #GejayanMemanggil. Halaman 86 Daftar Tabel Tabel 2.1. Latar Belakang Informan. Halaman 49
iii
Abstrak Berbagai problematika di akhir tahun 2019, mendorong munculnya gerakan mahasiswa di berbagai daerah, salah satunya adalah Aksi #GejayanMemanggil. Sebuah gerakan sosial yang ditempuh melalui aksi demonstasi turun ke jalan, dan dipelopori oleh mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta. Kemunculan Aksi #GejayanMemanggil berhasil melibatkan ribuan orang dengan latar belakang dan identitas yang beragam, terlaksana secara tertib dan damai, serta mendapat respons dari publik yang cukup positif. Namun, realita yang dihidupi generasi muda hari ini, mereka dianggap apatis terhadap dinamika sosial-politik sebagai waga negara. Stigma tersebut cenderung tidak merekognisi eksistensi generasi pemuda, dan justru menegasikan generasi muda sebagai warga negara secara utuh. Studi ini berusaha menunjukkan bagaimana mahasiswa sebagai generasi muda, melakukan aktivisme politik kewargaan pada Aksi #GejayanMemanggil, sebagai bentuk kontribusinya sebagai warga negara. Studi ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dan menggunakan metode studi kasus. Kata Kunci: generasi pemuda, mahasiswa, #GejayanMemanggil, aktvisme dan pergerakan, kewargaan pemuda
Abstract Various problems at the end of 2019 have prompted the emergence of student movements in various regions, one of which is the #GejayanMemanggil Action. A social movement that was pursued through demonstrations took to the streets, and was spearheaded by students from several campuses in Yogyakarta. The emergence of the #GejayanMemanggil Action succeeded in involving thousands of people with diverse backgrounds and identities, carried out in an orderly and peaceful manner, and received a fairly positive response from the public. However, the reality of today's youth generation is that they are considered apathetic to the socio-political dynamics as state agents. This stigma tends not to recognize the existence of the youth generation, and instead negates the younger generation as citizens as a whole. This study seeks to show how students, as the younger generation, carry out civic political activism in the #GejayanMemanggil Action, as a form of contribution as citizens. This study was conducted through a qualitative approach and used a case study method. Key Words: youth generation, students, #GejayanMemanggil, activism and movement, youth citizenship
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Era demokrasi yang saat ini telah dicapai oleh bangsa Indonesia, tidak semata-mata hadir sebagai pemberian dari langit. Apabila ditelisik dari sejarah Indonesia, pada akhir tahun 90-an, demokrasi yang kita nikmati hari ini adalah buah tangan hasil perjuangan kalangan mahasiswa bersama rakyat. Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998, menjadi pemantik timbulnya gejolak ekonomi, sosial, dan politik pada saat itu. Kerusuhan, demonstrasi massa, dan pendudukan gedung parlemen di Jakarta oleh para mahasiswa, memaksa berakhirnya totalitarianisme Orde Baru. Peristiwa tersebut menjadi momen yang dimenangkan rakyat demi mencapai demokrasi, sekaligus menjadi torehan tinta emas dalam sejarah gerakan mahasiswa sebagai kaum muda di Indonesia. Pada saat itu, mahasiswa dianggap sebagai katalisator dari gerakan reformasi yang memproklamasikan transisi Indonesia menuju demokrasi, dan menunjukkan antusiasme politik yang tinggi dari pemuda (Lee, 2011). Pasca peristiwa reformasi 1998, gerakan pemuda dan mahasiswa tetap hadir mewarnai kehidupan demokrasi dengan beragam isu yang melatarbelakanginya. Mahasiswa sebagai kalangan pemuda cendekiawan (Budiman, 1983), berproses melalui partisipasi politik dan perannya dalam masyarakat, dan menjadikannya sebagai ‘agent of change’ (Dewantara & Widhyharto, 2015). Salah satu contoh peranan pemuda dapat dilihat dalam aksi menolak proyek reklamasi pantai Teluk
1
Benoa di Bali, yang dilatarbelakangi isu lingkungan dan kesejahteraan warga lokal. Selain itu, aksi demonstrasi merespons isu korupsi yang melibatkan institusi kepolisian negara dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang dikenal dengan istilah ‘Cicak vs. Buaya’, turut melibatkan pemuda dengan berbagai peranannya. Partispasi pemuda melalui aksi demonstrasi menjadi salah satu jalan yang digunakan mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat, untuk berparstisipasi dalam konstelasi sosial-politik (Rubio, Fainé, & Pàmpols, 2019). Namun, dalam perjalanannya, gerakan mahasiswa saat ini cenderung dinilai tidak sebaik gerakangerakan mahasiswa di era sebelumnya. Gerakan mahasiswa hari ini dianggap apatis, vaccum, dan tidak lagi peka terhadap problematika sosial yang terjadi di masyarakat. Generasi Z, anak-anak muda yang lahir setelah 1996, seringkali dianggap abai pada persoalan politik. Jelang pemilu, berbagai lembaga menggelar sosialisasi mengajak anak muda mau "lebih peduli" pada pesta demokrasi (Victory & Hastanto, 2019). Bertolak dari hal tersebut, berbagai problematika terkait isu hukum dan HAM, diskirminasi masyarakat Papua, korupsi, lingkungan hidup, kriminalisasi aktivis, ketenagakerjaan, hingga reforma agraria, menjadi pemicu munculnya gerakan mahasiswa di era ini. Terjadi berbagai aksi protes di beberapa daerah, dan salah satunya adalah aksi #GejayanMemanggil. Sebuah gerakan merespon kondisi negara, yang ditempuh melalui aksi demonstasi turun ke jalan, dan dipelopori oleh mahasiswa
dari
beberapa
kampus
di
Yogyakarta.
Kemunculan
#GejayanMemanggil melibatkan ribuan orang dengan beragam latar belakang dan identitas yang berbeda, mulai dari mahasiswa, dosen, aktivis, buruh, seniman, jurnalis, hingga pelajar.
2
Berdasarkan artikel berita dari laman daring Tempo.co (Maharani, 2019), banyak yang menyebut aksi itu bisa saja berakhir rusuh seperti yang terjadi di beberapa kota lainnya seperti Jakarta, Bandung, Makassar hingga Kendari. Tapi, tuduhan itu tak terbukti. Humas dari aksi #GejayanMemanggil, menyatakan bahwa demonstrasi tersebut sejak awal melarang segala bentuk kekerasan. Mereka menyiapkan aksi dengan menggelar rapat teknis lapangan di kantin Fakultas Filsafat UGM atau dikenal dengan “Bonbin”, yang menjadi tempat berkumpulnya perwakilan demonstran untuk merumuskan konsep aksi. Terdapat berbagai faktor yang dapat menjelaskan bagaimana keberhasilan itu dapat tercapai. Sebagai tindakan kolektif, gerakan sosial tentu tidak terlepas dari kehadiran individu yang berpartisipasi di dalamnya. Pengetahuan dan basis sosial dalam sebuah gerakan menjadi konteks yang melekat dengan gerakan massa layaknya aksi demonstrasi. Pada titik ini, jejaring sosial dalam hubungan individu dan jaringannya, juga menjadi hal penting untuk keterlibatan dalam aksi kolektif, keberlanjutannya dari waktu ke waktu, dan koordinasi dalam mengambil tindakan (della Porta & Diani, 2006). Jejaring sosial dalam sebuah gerakan berkaitan dengan relasi antar aktor yang terlibat, dan menentukan jejaring akan memperkuat pengetahuan kita tentang aksi kolektif dengan mengklarifikasi mekanisme serta dinamikanya, dengan menjembatani struktur dan agensi (Passy, 2003). Aksi #GejayanMemanggil dapat diibaratkan menjadi salah satu tonggak bangkitnya gerakan pemuda Indonesia hari ini. Pelaksanaan aksi demonstrasi yang pada Senin 23 September 2019 di Jalan Affandi, aksi #GejayanMemanggil berjalan dengan damai dan tertib. Sehari setelahnya, berbagai aksi mahasiswa di beberapa
3
kota ikut merespons dan mewarnai konstelasi demokrasi Indonesia selama seminggu
berturut-turut,
hingga
pada
30
September
2019,
aksi
#GejayanMemanggil yang kedua, dilaksanakan kembali. Aksi ini menuai simpati dari publik karena berlangsung dengan damai, mereka juga membersihkan sampah yang ada di lokasi demonstrasi, dan menyatakan aksi mereka nirkekerasan (Maharani, 2019).
Aksi-aksi yang digelar beruntutan tersebut
membuktikan, pemuda mungkin apatis pada politik praktis di kotak suara, tapi tidak untuk Politik dengan 'P' besar—politik yang berkaitan dengan kepentingan semua orang (Victory & Hastanto, 2019). Mahasiswa sebagai generasi muda, yang juga merupakan warga negara, mengartikulasikan politik kewargaan melalui cara-cara yang berbeda dengan generasi sebelumnya, seperti yang terjadi pada aksi #GejayanMemanggil. Akan tetapi, realita yang dihidupi generasi muda hari ini erat dengan stigma yang tidak merekognisi eksistensinya sebagai warga negara. Kecenderungan yang muncul justru menegasikan peran dan statusnya sebagai warga negara. Sebagai konstruksi sosial, pemuda akan selalu berada dalam proses “becoming” atau menjadi; dengan kata lain, sebagai subyek yang senantiasa harus bernegosiasi dengan kondisi sui generis, berupa relasi kuasa yang tidak seimbang (Sutopo, 2016). Studi ini berusaha melihat aksi #GejayanMemanggil melalui pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, untuk menunjukkan kehadiran mahasiswa sebagai generasi muda, dalam sebuah aktivisme gerakan sosial. Melalui bangunan pengetahuan dan jejaring sosial mereka, memobilisasi gerakan, serta pembentukan agensi dalam membangun pengetahuan terkait aksi tersebut, menjadi eksplorasi
4
terhadap keberadaan mahasiswa pada aksi #GejayanMemanggi. Bahasan dalam studi ini memiliki limitasi atas cakupan data yang dipaparkan, hal ini berdasarkan subjek penelitian yang menjadi informan adalah lima orang mahasiswa yang terlibat
secara
aktif
pada
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
aksi
#GejayanMemanggil. Dengan limitasi tersebut, studi ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan studi kepemudaan, khususnya terkait dengan aktivisme kaum muda, untuk mendorong perkembangan diskursus yang lebih luas terhadap bahasan-bahasan mengenai eksistensi generasi muda.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah yang disusun dalam studi ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana mahasiswa membangun pengetahuan terkait gerakan sosial dalam aksi #GejayanMemanggil? 2. Bagaimana proses pembentukan jejaring sosial antar mahasiswa dalam aksi #GejayanMemanggil?
1.3. Tujuan Penelitian Dalam konteks #GejayanMemanggil, mahasiswa sebagai kaum muda memiliki peranan melalui pengetahuan dan jejaring sosialnya terkait dengan gerakan sosial. Berdasarkan hal tersebut, studi ini bertujuan untuk:
5
Melihat lebih jauh mengenai peran mahasiswa sebagai subjek pemuda pada
gerakan
sosial,
dalam
mewacanakan
pengetahuan
dan
pemahamannya tentang gerakan sosial.
Mengeksplorasi peran dan fungsi jejaring sosial terkait dengan bangunan pengetahuan mahasiswa tentang gerakan sosial.
Mengetahui lebih dalam seperti apa dinamika konstelasi agen dan struktur jejaring sosial, dalam aksi yang digawangi oleh mahasiswa.
Agar bisa menjadi wawasan dan juga referensi bagi penulis pribadi dan masyarakat secara umum, serta berkontribusi terhadap studi-studi terkait pemuda dan gerakan sosial di masa mendatang.
1.4. Kajian Pustaka Studi mengenai perkembangan gerakan pemuda (youth movement) telah banyak dilakukan sebelumnya, salah satunya oleh Sukarieh dan Tannock (2011), yang melihat gerakan pengembangan pemuda sebagai pergeseran konseptualisasi dominan tentang pemuda di Amerika. Hasil dari studi ini menawarkan pandangan yang lebih positif tentang pemuda, agensi, kontribusi, dan kemampuan pemuda dalam masyarakat, yang harus diakui, dirayakan dan didukung (Sukarieh & Tannock, 2011). Studi mengenai pemuda dan gerakan sosial di era informasi juga dilakukan oleh Dewantara dan Widhyharto (2015) pada komunitas pemuda yang berada di Yogyakarta. Dalam studinya yang membahas tentang bagaimana media sosial digunakan oleh kaum muda dalam membentuk aktivisme dalam realitas online maupun offline. Studi ini menemukan bahwa kaum muda yang terhimpun di
6
dalam komunitas, telah berhasil dalam menciptakan ruang baru di media sosial untuk memicu sebuah gerakan (Dewantara & Widhyharto, 2015). Studi lainnya juga dilakukan pada kelompok PSU (Philadelphia Student Union) di Amerika oleh Rosen (2019). Studi ini mempertimbangkan bagaimana keterlibatan pemuda dalam gerakan sosial membentuk identitas, dan mengeksplorasi implikasi dari pergeseran identitas ini dalam konteks sosial dan politik neoliberal (Rosen, 2019). Studi lainnya terkait gerakan sosial dan pembangunan wacana di dalamnya juga telah dilakukan oleh Kevin McDonald (2004), ia menunjukkan bahwa bentukbentuk gerakan yang signifikan tidak dapat dianalisis dalam hal identitas kolektif, yang mencerminkan identitas sosial, tetapi sebaliknya perlu dipahami sebagai bentuk pengalaman yang paling baik dianalisis bukan dalam hal hubungan individu dengan kolektif, tetapi dalam hal hubungan dengan yang lain, di mana diri menjadi yang lain. Hal ini mengingatkan kita pada etika kehadiran yang muncul dalam gerakan-gerakan seperti itu, ke tempat pribadi yang semakin meningkat dalam tata bahasa konflik, pada pentingnya bentuk-bentuk komunikasi yang diwujudkan, dan pada munculnya tata bahasa tindakan yang secara radikal berbeda dari yang ada dalam bingkai (McDonald, 2004). Selain itu, studi mengenai jejaring pada gerakan sosial (movements network) juga telah dilakukan sebelumnya. Salah satunya adalah studi mengenai jejaring sosial di jalanan (street network) terhadap sifat struktural pusat dan implikasinya terhadap pergerakan gerakan, oleh Omer dan Kaplan (2018). Hasil temuan dari studi ini menunjukkan bahwa korelasi antara sentralitas jaringan jalan (street networks) dan aliran gerakan (movements flow) yang disimulasikan, superioritas
7
sudut sentral dalam hal ini, dapat dipengaruhi oleh dua sifat struktural yang saling terkait dalam jaringan, pada agen dan sub-jaringan (Omer & Kaplan, 2018). Sementara dalam studi ini, konteks pemuda, relasi sosial, dan jejaring pada gerakan, menjadi fokus yang menghubungkan proses pembentukan jejaring sosial dan pengetahuan pemuda dalam kasus aksi #GejayanMemanggil. Bangunan pengetahuan, serta relasi aktor dan jejaring sosialnya, menjadi bahasan utama yang mendasari studi ini. Melalui konteks tersebut, studi mengenai gerakan perlu menambah bahan pokok analisis pergerakan tingkat makro (macro-level) dan mikro (micro-level) dengan investasi yang lebih serius pada metode yang dirancang untuk memberi pemahaman empiris pada dinamika di tingkat meso (meso-level) yang membentuk dan mempertahankan tindakan kolektif dari waktu ke waktu (Diani & McAdam, 2003)
1.5. Landasan Teoritis Munculnya Aksi #GejayanMemanggil dalam dinamika sosial politik pada kehidupan demokrasi di Indonesia, berkaitan erat dengan partisipasi mahasiswa sebagai pemuda. Untuk melihat secara lebih mendalam tentang bagaimana proses sosial yang terjadi, studi ini menggunakan konsep generasi sosial, praxis kognitif, dan modal sosial. Konsep-konsep tersebut diterapkan sebagai landasan teoritik dalam menelaah proses sosial mahasiswa sebagai pemuda, pada lingkup generasi secara komprehensif dan kontekstual, serta pada tataran relasi kolektif yang terjalin pada Aksi #GejayanMemanggil. Definisi dan konseptualisasinya dalam studi ini, dijelaskan pada bagian berikut.
8
Generasi Sosial Konteks pemuda dalam kajian sosiologis memiliki beberapa perspektif, salah satunya adalah perspektif generasi. Perspektif ini melihat pemuda sebagai generasi baru, dengan konteks kehidupan yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Dalam kajian kepemudaan, perspektif generasi banyak mengadopsi salah satu karya tokoh sosiologi, Karl Manheim (1952) tentang generasi sosial (social generation). Menurut Sutopo (2014) menjelaskan tiga konsep Mannheim mengenai generasi, yaitu generasi sebagai lokasi (as a site), setiap generasi selalu melekat dengan lokasi sosial dan konteks sosio-historis. Sebagai aktualitas (as an actuality), kesamaan orientasi pengetahuan dan disposisi dalam rentang waktu memungkinkan generasi menjadi dorongan politik bagi generasi tersebut. Sebagai unit generasional (as a generational unit), generasi merupakan sekelompok orang yang memiliki identifikasi khusus, berbeda dengan kelompok lain, dan menjadi mekanisme respon atas kondisi yang dihadapi generasi tersebut. Fakta bahwa orang dilahirkan pada saat yang sama, atau bahwa masa muda, dewasa, dan usia tua mereka bertepatan, tidak dengan sendirinya melibatkan kesamaan lokasi suatu generasi. Apa yang menciptakan lokasi yang serupa adalah bahwa mereka berada dalam posisi untuk mengalami peristiwa dan data yang sama, dan terutama bahwa pengalaman-pengalaman ini menimpa kesadaran 'bertingkat' yang sama (Mannheim, 1952). Keterkaitan antara generasi dengan lokasi sosial dan konteks sosio-historis, proses pembentukan kesadaran dalam suatu generasi menjadi argumen Mannheim mengkaji mengenai terjadinya konflik antar generasi dan generasi sebagai aktor
9
politik dalam proses perubahan sosial (Sutopo, 2014). Melalui konsep ini, pembacaan terhadap mahasiswa sebagai generasi muda, dapat dilakukan dengan merekognisi konteks kehidupannya yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Sosiologi generasi pada studi kepemudaan dapat menyediakan kerangka kerja eksplisit dalam menghubungkan perubahan sosial, pemuda, dan kehidupan, dengan klaim utamanya adalah, bahwa pada titik-titik tertentu kaum muda akan menghadapi kondisi yang cukup berbeda, dari yang generasi sebelumnya hadapi saat mereka muda (Woodman, The sociology of generations and youth studies, 2016).
Praxis Kognitif Menurut Eyerman dan Jamison (1991) gerakan sosial dapat dilihat sebagai kekuatan konstruktif sosial yang menentukan pengetahuan fundamental manusia, karena konseptualisasi gerakan sosial sebagai "praksis kognitif", berasal dari sains, ideologi, dan pengetahuan sehari-hari, yang dikembangkan menjadi perspektifperspektif baru. Proses yang menjadikan suatu gerakan dibentuk membangun identitas gerakan tersebut, dan menjadi sebuah proses kognitif. Karena dalam proses kreasi, artikulasi, formulasi pemikiran dan ide-ide baru atau pengetahuan baru, berhubungan dengan bagaimana gerakan sosial mendefinisikan dirinya dalam masyarakat (Eyerman & Jamison, 1991, p. 55) Selanjutnya,
proses
kognitif
berkembang
dalam
penciptaan
dan
pengembangan gerakan, seperti #GejayanMemanggil yang menghasilkan identitas sebagai gerakan rakyat. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk pengetahuan baru, dan
10
merupakan praksis kognitif. Gerakan sosial turut berhubungan dengan proses pembelajaran dari elemen penyusunnya, yang mana secara tidak langsung menjadikan mereka sebagai pusat produksi pengetahuan. Bentuk-bentuk pengetahuan yang ada dalam masyarakat merupakan salah satu hasil dari gerakan sosial yang telah muncul dan berdampak bagi masyarakat tersebut. Pengetahuan berhubungan dengan serangkaian pertemuan sosial, yang terjadi di dalam gerakan, di antara gerakan, atau di antara gerakan dan oposisi gerakan, (Eyerman & Jamison, 1991, p. 57). Proses yang mencakup pengetahuan gerakan tersebut berhubungan dengan kehadiran aktor-aktor, yang terlibat dalam merumuskan tensi, mengartikulasikan tema, dan merangkai definisi terhadap persepsi sosial. Mereka mendefinisikan kembali apa yang nyata dan apa yang mungkin, dengan sekaligus mengembangkan ide-ide provokatif untuk memantik perubahan sosial atau memunculkan resistensi terhadapnya (Hosseini, 2010). Serangkaian aktor tersebut, memiliki kapasitas pengetahuan dan melakukan diseminasi kepada individu lain yang berpartisipasi. Serangkaian aktor tersebut dapat dikatakan sebagai ‘intelektual gerakan’, yang merupakan individu-individu yang mengartikulasikan minat pengetahuan dan identitas kognitif dari gerakan sosial (Eyerman & Jamison, 1991, p. 98). Mengacu pada pandangan Eyerman & Jamison (1991) tentang konsep praksis kognitif (praxis cognitive), pengetahuan gerakan sosial dapat dilihat melalui tiga dimensi
diantaranya adalah, kosmologis
(cosmological), organisasi
(organizational), dan teknologis (technological). Konsep tersebut secara umum dapat dilihat sebagai proses yang saling berkaitan, yang memungkinkan sebuah
11
gerakan menjadi sebuah praxis kognitif. Dimensi kosmologis, mencakup pandangan umum tentang dunia sosial dan cita-cita dari gerakan tersebut. Dalam prosesnya, dimensi kosmologis memerlukan praktik, seperti pembentukan tindakan kolektif, yang dapat dilihat sebagai dimensi organisasi. Selanjutnya, proses tersebut berpotensi menghasilkan sebuah pengetahuan, yang dalam hal ini menjadi dimensi teknologis. Berangkat dari pemaparan tersebut, konsep mengenai ‘praxis kognitif’ (cognitive praxis), diterapkan dalam membahas pengetahuan pada aksi #GejayanMemanggil.
Modal Sosial Gerakan sosial tidak terlepas dari kehadiran individu yang berpartisipasi di dalamnya. Masing-masing individu yang hadir dan terlibat dalam gerakan sosial, terhubung melalui relasi sosial yang membentuk jejaring. Jejaring sosial dalam sebuah gerakan berkaitan dengan relasi antar aktor yang terlibat, dan menentukan jaringan akan memperkuat pengetahuan kita tentang aksi kolektif dengan mengklarifikasi mekanisme dan dinamika, dengan menjembatani struktur dan agensi (Passy, 2003). Jejaring sosial dapat dilihat melalui konsep modal sosial (social capital), sebagai kompleks relasi saling kenal di mana aktor sosial, baik individu maupun kelompok, dilekatkan (Bourdieu & Wacquant, 1992). Aksi kolektif layaknya gerakan sosial, dalam perkembangan selanjutnya dipengaruhi oleh distribusi modal sosial dalam konstituensi gerakan yang potensial, di mana sumber daya bersirkulasi, dan kepercayaan serta norma dihasilkan dan direproduksi (Diani, 1997).
12
Konsep mengenai modal sosial, salah satunya dikemukakan oleh Bourdieu, yang melihat modal sosial dalam ranah relasional. Menurut Adkins (2005), modal sosial dalam pandangan Bourdieu memiliki empat karakteristik. Pertama, modal sosial dibentuk dalam jaringan, tertanam dan diwujudkan dalam jaringan relasi di mana volume modal sosial berhubungan dengan daya tahan dan kepadatan ikatan sosial. Kedua, modal sosial adalah sumber daya yang memiliki nilai tukar. Ketiga, modal sosial dapat diakumulasikan dan dimiliki oleh individu dan kolektivitas. Keempat, modal sosial memiliki struktur temporal. Modal sosial Bourdieu terdiri dari serangkaian jaringan hubungan yang dapat dimobilisasi sebagai sumber daya dalam proses pembedaan kelas, sebagai akumulasi kerja manusia, yang dapat dipahami sebagai sumber daya (Adkins, 2005). Penempatan jejaring sosial gerakan pada konsep modal sosial, dalam aksi #GejayanMemanggil terkait dengan ekskalasi dan mobilisasi dari keberlangsungan gerakan tersebut. Hal ini berhubungan dengan modal sosial yang terbentuk dari relasi sosial. Dalam hal ini, relasi dari aktor atau intelektual gerakan pada proses mobilisasi, sangat bergantung pada jaringan pertukaran dan solidaritas yang sebelumnya telah terbentuk (McAdam, 1988). Sehingga, konsep mengenai modal sosial digunakan untuk melihat bagaimana proses terbentuknya jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil, melalui bangunan relasi yang dimiliki kalangan mahasiswa
13
1.6. Metode Penelitian Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menafsirkan suatu spesifikasi kasus dalam suatu kejadian baik itu yang mencakup individu, kelompok budaya ataupun suatu potret kehidupan, yang dalam hal ini dipergunakan untuk mengamati kehadiran mahasiswa sebagai generasi muda, dalam aksi #GejayanMemanggil di Yogyakarta. Studi kasus adalah strategi penyelidikan di mana peneliti mengeksplorasi secara mendalam suatu program, acara, kegiatan, proses, atau satu atau lebih individu, kasus terbatas oleh waktu dan aktivitas, peneliti mengumpulkan informasi terperinci menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu yang berkelanjutan (Creswell, 2009). Pemilihan metode studi kasus dilakukan, mengingat gerakan sosial pada aksi #GejayanMemanggil sebagai bentuk tindakan kolektif terikat oleh aktivitas dan tindakan subjek yang mengisi, lokasi yang digunakan sebagai ruang pelaksanaan, dan waktu yang ditetapkan sebagai agenda melaksanakannya. Sejalan dengan itu, Creswell (2009) mengemukakan beberapa karakteristik dari suatu studi kasus yaitu: (1)mengidentifikasi “kasus” untuk suatu studi; (2)kasus tersebut merupakan sebuah “sistem yang terikat” oleh ruang dan waktu; (3)menggunakan berbagai sumber informasi dalam pengumpulan datanya untuk memberikan gambaran secara terinci dan mendalam tentang respons dari suatu peristiwa dan; (4)melalui studi kasus, peneliti akan “menghabiskan waktu” dalam menggambarkan konteks dari kasus tersebut.
14
1.6.1. Lokasi Pelaksanaan studi ini dilakukan di Yogyakarta, khususnya pada beberapa kampus yang ikut terlibat secara langsung dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pasca-pelaksanaan aksi #GejayanMemanggil. Pemilihan lokasi tersebut berdasarkan dari kemunculan #GejayanMemanggil, dan basis dari pergerakannya yang bertempat di Yogyakarta. Menjadikan lokasi yang dipilih dalam studi ini memungkinkan, bahkan diharuskan untuk dilakukan di Yogyakarta. Mengingat #GejayanMemanggil ditempatkan sebagai sebuah kasus yang spesifik dalam studi ini.
1.6.2. Karakteristik dan Teknik Pemilihan Informan Informan dalam studi ini adalah mahasiswa-mahasiswa dari beberapa kampus di Yogyakarta yang dalam pelaksanaan aksi #GejayanMemanggil. Pemilihan informan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan intensitas keterlibatannya pada aksi, sebagai
sumber
informasi
dan
data
yang
dibutuhkan.
Beberapa mahasiswa yang menjadi informan dalam studi ini diantaranya adalah Endang yang merupakan koordinator divisi kajian pada aksi #GejayanMemanggil. Rama, koordinator lapangan aksi #GejayanMemanggil. Amerta, divisi dokumentasi aksi
#GejayanMemanggil.
Marko,
15
divisi
acara
aksi
#GejayanMemanggil. Sinta, tim jurnalis pers mahasiswa yang meliput aksi #GejayanMemanggil.
1.6.3. Jenis Data Data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer berasal dari data yang langsung diambil melalaui kegiatan lapangan penelitian seperti wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi lapangan. Data ini bertujuan untuk mendapatkan data yang sesungguhnya dengan bertemu langsung dengan pihak terkait agar mendapat penjelasan dan gambaran secara lebih rinci. Kemudian data sekunder didapatkan melalui studi pustaka terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan studi ini, serta dokumentasi kegiatan selama pengumpulan data sekunder dilakukan.
1.6.4. Teknik Pengumpulan Data Wawancara Wawancara yang dilakukan peneliti dengan teknik ini adalah untuk mengetahui alasan-alasan lain dan keadaan yang mungkin
tidak
pengumpulan
mungkin
data
untuk
melalui
diprediksikan.
wawancara,
Teknik
memungkinkan
didapatkannya informasi mengenai latar belakang dan rekam jejak
16
historis para aktor mahasiswa dalam prosesnya membentuk gerakan dan melancarkan aksi demonstrasinya. Selain itu proses ini dipergunakan untuk menemukan jawaban secara mendalam dan spesifik, guna menyusun narasi yang dapat dipergunakan dalam membaca keadaan yang terjadi di lokasi penelitian, serta menjadi materi dalam melakukan komparasi terhadap data-data dari luar lokasi penelitian seperti literatur dan data sekunder lainnya.
Observasi Observasi dilakukan untuk mendapatkan data primer di lapangan, terkait dengan kondisi dan dinamika yang terjadi di lokasi penelitian. Penulis terjun langsung ke lapangan selama pengambilan
data
primer
dilakukan.
Penulis
juga
turut
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan dari para aktor seperti konsolidasi, diskusi, rapat teknis, dan kegiatan lainnya yang dilakukan
untuk
menunjang
keberlangsungan
dari
#GejayanMemanggil. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan gambaran riil situasi dan kondisi di lapangan, guna menjadi informasi dan data tambahan dalam studi ini.
17
Studi Pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data-data pendukung melalui artikel, jurnal, buku, dan literatur lainnya, yang relevan dan sesuai dengan konteks dari studi ini. Teknik ini dilakukan untuk menunjang kebutuhan terkait data dan informasi, yang dibutuhkan dalam melakukan studi ini, serta menjadi materi tambahan dalam melakukan komparasi terhadap temuan-temuan dari data dan informasi di lapangan, yang didapatkan secara langsung.
1.6.5. Teknik Pengolahan Data Pengelompokan Data Pada tahap ini peneliti melakukan pengelompokan dan pemilihan data kedalam satu kesatuan yang sama. Data yang dihasilkan berjumlah banyak dan berbentuk naratif-deskriptif, oleh karena itu diperlukan penyaringan data agar menyesuaikan antara data yang seragam dan sejenis (kata, kalimat, atau sebuah cerita lengkap dengan tema yang sama), sehingga tidak melebar dari fokus yang dituju dalam studi ini.
Catatan Lapangan Setelah pengorganisasian data, selanjutnya dilakukan pendataan terhadap catatan di lapangan yang berfungsi dalam
18
memaknai database secara keseluruhan, dengan membaca transkrip-transkrip terkait secara berulang kali agar mendapatkan detail yang diinginkan. Sebagai contoh dalam studi ini akan membutuhkan catatan perihal dimana wawancara dilakukan, seperti apa kerterkaitan antar informan, apa saja aktivitas yang seragam, maupun bentuk-bentuk penjelasan hasil interview yang sama antar subjek penelitian, yang berguna untuk menunjang kebutuhan penelitian, agar tidak terlewat, dan terpisah.
Pengkodean Data Tahap
ini
dilakukan
dengan
mendeskripsikan,
mengklasifikasikan, dan menafsirkan data, yang merupakan inti dari sebuah analisis data kualitatif, karena deskripsi secara detail, mengembangkan tema, dan memberikan penafsiran menurut sudut pandang informan, serta perspektif dalam literatur. Dimulai dengan mengelompokan data menjadi kategori informasi yang lebih kecil melalui pengkodean (coding), dan kemudian memberikan label pada kode tersebut. Data yang masuk dalam bentuk deskriptif-naratif akan melalui penyaringan data (data filtering), untuk meperinci dan memfokuskan data. Pengkodean dilakukan untuk mendeskripsikan informasi dan mengembangkan tema. Dalam penelitian ini pengkodean terhadap beberapa macam tema dibedakan dan ditafsirkan sesuai konteks tema. Lebih lanjut
19
kode ini memungkinkan informasi yang dibutuhkan dalam studi, informasi diluar prediksi penulis, atau secara konseptual menarik bagi peneliti.
Penafsiran Data Penafsiran
merupakan
pemaknaan
terhadap
data,
penafsiran dalam penelitian kualitatif berarti keluar dari kode dan tema, menuju makna yang lebih luas dari data. Hal ini merupakan proses yang dimulai dengan pengembangan kode, pembentukan tema dari kode tersebut, dan disusul dengan perorganisasian tema menjadi satuan abstraksi yang lebih luas untuk memaknai data. Terdapat
beberapa
bentuk
penafsiran,
seperti
penafsiran
berdasarkan prasangka, pandangan, dan intuisi, yang kemduian dihubungkan dengan literatur-literatur maupun berbagai hasil studi yang relevan dan sesuai dengan konteks dalam studi ini. Data disajikan dengan bentuk tema baru hasil olahan data sebelumnya, bagian ini mencakup pematangan subjek dan objek kajian, sebelum mampu disajikan dan divisualkan dalam bentuk deskriptif-naratif.
Dalam
konteks
penelitian
studi
kasus,
penafsiran ini juga berfungsi untuk memperkaya data yang didapatkan dari berbagai macam sumber yang saling berkaitan antara satu sama lain.
20
Penyajian dan Visualisasi Data Tahap ini dilakukan untuk menyajikan data, mengemas apa yang ditemukan dalam bentuk teks, tabel, atau bagan dan gambar
yang bertujuan untuk menciptakan gambaran atau
visualisasi dari data dan informasi. Data dapat disajikan dengan tabel perbandingan, diagram, maupun matrikulasi data, yang disesuaikan, sebagai bukti dan hasil akhir dari studi yang telah selesai dilaksanakan. -o0o-
21
BAB II Dinamika Pergerakan Mahasiswa di Indonesia Gejolak perubahan dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan yang selalu hadir dari waktu ke waktu. Penyebabnya pun cenderung berbeda dan memiliki asosiasi dengan konteks serta kondisi sosial yang berlaku. Di Indonesia sendiri khususnya, perubahan sosial turut melibatkan mahasiswa sebagai salah satu elemen yang hadir dalam tatanan masyarakat. Torehan sejarah menunjukkan bagaimana eksistensi dari kalangan mahasiswa dalam sebuah perubahan sosial, karena mahasiswa memiliki sikap kritis dan tidak pernah puas menerima kenyataan yang ada, serta selalu mempertanyakan kebenaran yang berlaku saati ini untuk mencari kebenaran yang lebih unggul dan ideal (Coser dalam Budiman, 1983).
2.1. Lintasan Sejarah Pergerakan Mahasiswa di Indonesia Kecenderungan yang nampak dari eksistensi mahasiswa dapat kita cermati pada beberapa babak sejarah dalam dinamika sosial yang terjadi di Indonesia. Dalam setiap kurun waktu, terdapat problematika yang menjadi pemantik munculnya proses perubahan sosial yang membentuk konteksnya masing-masing di tiap zaman, dan menjadikan fungsi serta peranan dari mahasiswa selalu berada dalam proses perubahan (Hikam, 1999). Berikut ini merupakan beberapa penggalan sejarah yang menunjukkan keterlibatan mahasiswa dalam dinamika sosial di Indonesia, dari lingkup waktu sebelum reformasi, era reformasi, dan pada era informasi.
22
2.1.1. Pergerakan Mahasiswa sebelum Era Reformasi Gerakan mahasiswa telah menuai beberapa catatan sejarah mengenai keterlibatannya dalam dinamika sosial dan politik di Indonesia, salah satunya dapat dirunut pada era 1960-an, di mana Indonesia pada saat itu mengalami proses transisi kekuasaan dari Rezim Orde Lama menuju Rezim Orde Baru. Pada saat itu, terjadi gejolak sosial politik akibat terbunuhnya 7 jenderal TNI AD pada peristiwa Gerakan 30 September. Kalangan mahasiswa merespon kondisi tersebut dengan membentuk gerakan yang dikenal dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), yang melakukan propaganda anti komunis. Melalui propaganda Tritura atau Tiga Tuntutan Rakyat, yang bertujuan untuk membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia) beserta ormas-ormasnya (Lekra, Gerwani, dsb.), merombak Kabinet Dwikora, menurunkan harga sembako, dan beriringan dengan berbagai aksi pembunuhan serta penangkapan terhadap gerakan kiri, yang membuat posisi Soekarno beserta kelompok kiri semakin terdesak (Aspinall, 2012). Peran kalangan mahasiswa anti-komunis dan anti-soekarnois ini diangkat oleh penguasa baru sebagai agen penggerak perubahan, mitos mahasiswa sebagai agen perubahan menguat, dan menggeser peran “pemuda”, yang mana semasa revolusi kemerdekaan, pemuda digambarkan sebagai agen perubahan politik yang revolusioner (Novianto, 2016). Kalangan
mahasiswa
dan
mantan
mahasiswa
(alumni)
yang
mengartikulasikan posisi politik moralis di akhir tahun 1960 dan awal 1970-an adalah mereka yang sangat mendukung kenaikan militer pro-Soeharto berkuasa pada 1965- 1966. Kekuatan moral tersebut berfikir bahwa cara mengekspresikan
23
kekecewaan atau melakukan protes terhadap rezim baru, hanya melalui tuntutan koreksi saja, gerakan moral ini terbentuk salah satunya akibat dari tindakan represif rezim orba, yang membuat gerakan mahasiswa juga dipaksa menjadi bersikap halus (Aspinall, 2012). Pondasi kelas sosial dari kalangan kelas atas, serta berbedanya pemahaman dengan kaum kiri mengenai revolusi, menjadikan gerakan moral tersebut memiliki kapasitas menentang represifitas negara yang kurang menekan. Gerakan moral ini muncul dan berkembang paska pembantaian pada peristiwa 65, yang membuat kaum mahasiswa revolusioner dibunuh, ditangkap, dan ditanamkan ketakutan-ketakutan (Novianto, 2016) Kemudian, memasuki era 70-an, gerakan mahasiswa cenderung timbul dan tenggelam serta sporadis, salah satunya adalah muncul propaganda Golongan Putih (Golput) sebagai respon terhadap pemilu tahun 1971, yang bertujuan untuk menghimpun orang-orang yang menolak atau tidak ikut pemilu (Novianto, 2016). Protes besar mahasiswa terhadap pemerintah meningkat di tahun 1974 ketika terjadi kerusuhan di Jakarta, yang dikenal dengan peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari. Pada peristiwa ini, terjadi gerakan protes terhadap kedekatan pemerintah dengan pengusaha Tionghoa dan penolakan terhadap kedatangan investor Jepang (Jazimah, 2013). Gerakan mahasiswa pada saat itu tidak dapat berlangsung secara berkelanjutan akibat tindakan represif negara yang begitu kuat dalam meredam gerakan-gerakan yang muncul, dan secara tidak langsung kondisi tersebut melanggengkan logika moralis padapergerakan mahasiswa. Di tambah dengan kebijakan yang otoritaitf oleh rezim orde baru, gerakan mahasiswa mengalami depolitisasi dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
24
No. 0156/U/1978 tentang NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan membentuk BKK (Badan Kordinasi Kampus). Dengan terbitnya peraturan tersebut, lembagalembaga kemahasiswaan dibubarkan, organisasi ekstra kampus dilarang beraktivitas di dalam kampus, dan semua aktifitas kemahasiswaan berada di bawah pengawasan BKK, yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah, dan akhirnya mendorong aktivisme mahasiswa bergerak secara bawah tanah (Kusumah, 2007). NKK/BKK terbukti ampuh dalam menghancurkan infrastruktur dari peran fungsi mahasiswa, orientasi mahasiswa berubah lebih kepada pekerjaan dan akhirnya menyebabkan gerakan mahasiswa menjadi pasif terhadap kondisi sosial politik bangsa, yang didorong oleh terjadinya militerisasi di lingkungan kampus. Setahun setelahnya juga dikeluarkan Surat Keputusan No.37/U/1979 yang mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan, yang membuat pemerintah mengontrol dengan ketat kegiatan-kegiatan politik yang dijalankan oleh para mahasiswa (Usman dalam Novianto, 2016). Memasuki era 80-an, gerakan mahasiswa semakin menurun akibat diberlakukannya NKK/BKK. Kecenderungan yang muncul adalah pergerakan kaum mahasiswa hadir dalam lingkup-lingkup kecil, dan mulai bermunculan kelompok-kelompok studi yang cukup jauh dari jangkauan rezim. Pada masa ini pula, hadir lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berkembang dan menjadi jalur alternatif pergerakan mahasiswa. Selain itu, keberadaan organisasi ekstra kampus juga menjadi alternatif lainnya bagi pergerakan mahasiswa, karena berada di luar kampus dan cukup bebas dari bayang-bayang represivitas orde baru. Para aktivis membentuk jaringan bawah tanah di dalam dan di luar negeri,
25
berkomunikasi dengan kelompok-kelompok asing yang simpatik, menemukan rekan-rekan senegaranya di kampus-kampus universitas lain, mengamankan pelanggan, dan mengadvokasi gerakan lingkungan, petani, buruh, dan hak-hak adat yang sensitif secara politis, yang sering bertemu dengan kekerasan yang disponsori negara (Lee, 2016). Memasuki era 90-an, pergerakan mahasiswa mulai bangkit dengan menembus batasan-batasan yang dibentuk oleh kebijakan NKK/BKK, ditambah dengan situasi Indonesia saat itu yang sedang mengalami krisis ekonomi pada 1997, kondisi ini semakin memperlemah dominasi kekuatan rezim orde baru, karena menimbulkan ketidakpuasan di masyarakat secara umum. Terjadi berbagai aksi protes yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa di beberapa daerah seperti Jakarta, Solo, Surabaya, dan Yogyakarta. Karakteristik rezim yang represif, merespon dengan tindak kekerasan yang akhirnya menimbulkan gesekan secara fisik dalam rangkaian aksi protes di berbagai daerah tersebut. Seperti di Jakarta, di mana terjadinya Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi I & II, yang menyebabkan 4 mahasiswa dari Universitas Trisakti tewas meninggal dunia, serta Tragedi Gejayan (Jalan Gejayan/ Jalan Affandi) di mana gugurnya seorang mahasiswa bernama Moses Gatotkaca, yang meninggal dunia akibat tindak kekerasan dari aparat.1 Kondisi sosial-politik yang semakin carut marut, bahkan hingga menimbulkan korban jiwa, memantik solidaritas dari sebagian besar masyarakat yang mengecam tindakan represif rezim orba. Kalangan mahasiswa turut merespon situasi ini dan membentuk barisan massa, dengan berbagai manuver politik gerakan
1
https://tirto.id/sejarah-demo-mahasiswa-turunkan-presiden-tahun-1998-di-yogyakarta-eiDX
26
mobilisasi massa yang terus terjadi, dengan eskalasi massa yang juga terus meningkat, hingga pada 21 Mei 1998 memaksa Soeharto mengundurkan diri (Novianto, 2016). Barisan massa menuntut reformasi birokrasi Indonesia dengan beberapa agenda seperti, amandemen UUD 1945; penghapusan dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia); penegakkan supremasi hukum; penghormatan hak asasi manusia; serta pemberantasan korupsi-kolusi-dan nepotisme; desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah; mewujudkan kebebasan pers; serta mewujudkan kehidupan demokrasi. Peristiwa ini dikenal dengan Reformasi 1998 di mahasiswa menjadi garis depan perjuangan, mereka yang terbunuh menjadi martir dan pahlawan Reformasi, sementara mereka yang selamat menjadi pelopor demokrasi Indonesia (Lee, 2016). Dalam perjalanannya, babak sejarah pergerakan mahasiswa di era sebelum reformasi menghadapi berbagai tantangan, mulai dari pembungkaman hak berdemokrasi, intervensi kebebasan mimbar akademik, hingga penindasan secara represif yang harus menelan nyawa dari sejumlah mahasiswa. Meskipun gerakan mahasiswa di masa ini cenderung berjarak dengan rakyat, erat dengan heroisme dan gerakan moral, serta mengabaikan rekrutmen dan pembangunan kader tanpa dukungan organisasi yang kuat (Prastyatonko & Indriyo, 2001). Namun, bila dicermati lebih jauh, di masa ini bayang-bayang represifitas penguasa begitu kental, mendorong gerakan mahasiswa mencari ruang yang lebih aman bagi pergerakan mereka, sehingga fragmentasi dengan masyarakat secara umum terkesan menguat. Kondisi ini menimbulkan kesan heroisme dari gerakan moral, karena sulit untuk melebur bersama masyarakat sipil.
27
Sikap negara yang otoritatif dan represif juga memaksa gerakan mahasiswa mengambil peluang-peluang untuk bergerak, dan kurang memprioritaskan kaderisasi melalui organisasi. Akan tetapi, kemunculan generasi baru seakan menjadi udara segar dalam titik jenuh tersebut. Regenerasi berlangsung sebagai pembaruan dari gerakan kaum muda di masa selanjutnya. Generasi baru tetap melakukan pengawalan terhadap agenda reformasi karena pengetahuan secara historis membentuknya, dan militansi yang dilakukan pun berasosiasi dengan kondisi yang juga ikut berubah. Beberapa penggalan sejarah dan peristiwa yang ditorehkan oleh generasi baru mahasiswa, dalam mewarnai era reformasi yang lebih demokratis, akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut ini.
2.1.2. Pergerakan Mahasiswa di Era Reformasi Peristiwa Reformasi Mei 1998 menjadi titik awal sistem demokrasi berlaku di Indonesia. Setelah era Suharto yang sarat dengan pembatasan politik berakhir, era reformasi menjanjikan tingginya partisipasi politik, akibat proses liberalisasi. Pemilihan umum diadakan dan larangan pengorganisasian politik dicabut, menyebabkan munculnya 150 partai baru. Di sisi lain, era reformasi menghasilkan disjunctive democracy, di mana demokratisasi lembaga politik tidak disertai dengan perbaikan struktural hak-hak sipil, dan demokrasi politik tanpa dasar seperti itu, memungkinkan kekerasan, ketidakadilan, dan impunitas menjadi hal yang banal dalam kehidupan masyarakat (Caldeira & Holston, 1999). Dalam masa transisi kekuasaan, mendekati sidang MPR, muncul ketegangan karena terdapat potensi kerusuhan. Pada saat itu, Jakarta menjadi
28
benteng militer, banyak kantor, toko, dan sekolah ditutup, ditambah dengan hadirnya kelompok pertahanan sipil, Pam Swakarsa (Pengawal Keamanan Sukarela), yang pada awal November 1998 muncul di Jakarta untuk mendukung Habibie pada sidang MPR, dengan merapat dalam blokade keamanan militer. Namun, mahasiswa bertahan untuk melakukan longmarch besar di seluruh kota, dan mendapat dukungan dari penduduk setempat, yang juga tersinggung dengan kehadiran Pam Swakarsa di lingkungan mereka. Kemunculan Pam Swakarsa menjadi faktor simpati publik kepada para siswa, rektor dari 159 universitas turut mengeluarkan pernyataan mendesak militer untuk melindungi para mahasiswa, karena merupakan kekuatan moral dan intelektual dalam memperjuangkan reformasi (van Dijk, 2001). Pada hari terakhir sidang MPR, puluhan ribu pengunjuk rasa menuju Kompleks Parlemen, namun tertahan di Jembatan Semanggi oleh blokade pasukan bersenjata, yang dilengkapi tank dan kawat berduri. Negosiasi dilakukan oleh mahaiswa, di saat bersamaan, tiba-tiba ratusan Pam Swakarsa muncul dan menyerang mereka, memukuli salah satu dari mereka hingga tewas. Kerusuhan terjadi, tembakan dilepaskan, tabung gas air mata dilemparkan, dan meriam air digunakan untuk menyerbu kerumunan massa. Bentorkan ini menimbulkan korban tewas mencapai dua puluh orang, termasuk enam mahasiswa meninggal, dan ratusan lainnya terluka. Protes mahasiswa berlanjut dan menjadi lebih agresif setelah penembakan Semanggi pada November 1998 tersebut. Mahasiswa kembali berhadapan dengan pasukan keamanan sebulan setelahnya, dan berhasil menerobos barikade, memaksa
29
pasukan keamanan untuk mundur. Tembakan peringatan dilepaskan, namun massa tetap mengejar dan menyerang pasukan keamanan. Mahasiswa memenangkan bentrokan tersebut, tetapi sekaligus mereduksi simpati publik dan menyebabkan publik mempertanyakan sifat 'moral' mahasiswa. Hal ini memicu perdebatan publik, walaupun ekspektasi publik terhadap gerakan mahasiswa tetap tinggi. Akan tetapi, ruang bagi pergerakan mahasiswa menyusut, kampus melarang posko mahasiswa, kelonggaran akademis untuk aktivis mahasiswa diperketat, akses ke sumber daya dan fasilitas untuk pergerakan turut menghilang. Di tambah dengan munculnya undang-undang No. 9 Tahun 1998, tentang izin resmi untuk demonstrasi, yang tanpa lisensi tersebut, demonstran dapat ditangkap dan diadili (Sastramidjaja, 2016, p. 340). Perhatian publik turut menyusut pada saat pemilihan umum pada Juni 1999, di mana PDI-P mendapat 34 p ersen suara; Partai PKB 13 persen, dan Golkar berakhir 23 persen. Selain itu, pembubaran ABRI membuat kursi yang dialokasikan di parlemen berkurang secara signifikan, memantik militer mendorong penerbitan RUU darurat, yang menimbulkan aksi protes mahasiswa di Jakarta dan kota-kota lain. Situasi meningkat ketika RUU disahkan pada 23 September 1999, yang mana memantik sekitar sepuluh ribu mahasiswa di Jakarta turun ke jalan menuju Parlemen. Mereka diblokir oleh pasukan bersenjata lengkap, dan kerusuhan meletus. Dengan peluru karet dan gas air mata, para siswa dipaksa kembali ke persimpangan Semanggi-Sudirman. Keesokan harinya, kerusuhan meluas dan mahasiswa bergabung dengan ribuan warga sipil, Habibie mengumumkan bahwa RUU itu ditangguhkan untuk meredam kerusuhan. Para mahasiswa merayakan kemenangan
30
mereka, tetapi tidak lama setelahnya, kerumunan massa ditembaki truk tentara yang melaju dengan kecepatan tinggi. Tercatat, enam orang terbunuh, ratusan orang terluka dan puluhan ditangkap dalam peristiwa yang dikenal sebagai 'Semanggi Dua', beberapa hari berikutnya, beberapa mahasiswa juga tewas dalam aksi solidaritas di Lampung dan Palembang (Sastramidjaja, 2016, p. 345). Sidang MPR pada Oktober 1999 beragendakan pemilihan presiden baru, sekaligus
pidato
pertanggungjawaban
Habibie.
MPR
menolak
pidato
pertanggungjawaban Habibie, dan memilih Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sebagai presiden serta Megawati sebagai wakil presiden. Pada tahun pertama kepemimpinan Gus Dur, gerakan mahasiswa cenderung mereda. Namun, masa kepresidenan Gus Dur banyak dinodai oleh konflik berdarah di berbagai daerah, perombakan kabinet, dan skandal desas-desus politik, yang menimbulkan situasi politik memanas, ditambah setelah delapan fraksi menerima laporan Panitia Khusus DPR-RI, terkait kasus Buloggate dan Bruneigate (Syahban, Karni, & Hidayat, 2001). Konflik politik di tataran elit-elit menimbulkan polarisasi gerakan mahasiswa, mobilisasi massa terpecah dalam kubu penentang Gus Dur yang mengusung kegagalan dalam melaksanakan visi reformasi dan tuntutan mundur, dan kubu lainnya tetap mendukung Gus Dur sebagai presiden. Tidak seperti gerakan reformasi 1998, demonstrasi yang terjadi antara November 1999 hingga akhir Januari 2000 itu tak lebih dari kerumunan massa yang saling sikut hanya untuk membela kepentingan para elite politik.2 Hal ini memberikan pengalaman
2
https://tirto.id/bulog-gate-brunei-gate-yang-berujung-lengsernya-gus-dur-evB9 31
traumatis, di samping kekerasan dan konflik bagi gerakan mahasiswa, tetapi sekaligus
menjadi
pengalaman
politik
bagi
mereka,
untuk
mulai
mempertimbangkan kembali kerangka pergerakan, terkait parameter identitas dan agensi politik mereka (Sastramidjaja, 2016, p. 356). Pada 23 Juli 2001, MPR memaksa Gus Dur untuk mengundurkan diri. Tiga hari kemudian Megawati dan Hamzah Haz dilantik sebagai presiden dan wakil presiden. Tidak ada protes karena mahasiswa cenderung menghindari permainan politik para elite, untuk fokus pada pembangunan gerakan politik baru. Setelah Megawati menjabat, protes pertama terhadap Megawati dipicu oleh tragedi terorisme 9/11 di Amerika Serikat, di mana Megawati sepenuhnya mendukung perang melawan teror, tetapi sekaligus membentuk RUU Terorisme yang kontroversial. Kemudian muncul skandal korupsi yang dikenal sebagai 'Buloggate Dua', dan memicu kebangkitan protes mahasiswa. Mahasiswa menggelar aksi protes, namun tidak sebesar seperti aksi protes 'Buloggate Satu', dan penyelidikan parlemen berulang kali diblokir hingga akhirnya dibatalkan. Selanjutnya, dalam seratus hari Megawati menjabat—pada akhir November—berbagai kalangan aktivis mahasiswa menggunakan kesempatan untuk berkumpul dan membahas pembentukan front persatuan bersama rakyat yang juga ikut bergabung. Reorientasi perjuangan
mahasiswa
ini
diperjelas
pada
awal
rapat
umum
dengan
dideklarasikannya 'Sumpah Rakyat' (Sastramidjaja, 2016, p. 360). Kemudian, pada bulan April 2002, terbentuk aliansi Front untuk Revolusi 2002, dengan kelompok kerja yang disebut Posko Turunkan Harga, melibatkan berbagai organisasi mahasiswa, serta kelompok bentukan aktivis dari gerakan
32
mahasiswa tahun 1970-an, 1980-an, dan awal 1990-an. Beberapa aksi unjuk rasa digelar selama bulan Mei, antara lain pada Hari Buruh Internasional, dengan lebih dari sepuluh ribu mahasiswa dan buruh turun ke jalan di Jakarta; pada tanggal 13 Mei peringatan insiden Trisakti, mahasiswa menuntut Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II untuk diselidiki, dan pada 21 Mei, memperingati empat tahun reformasi, gerakan mahasiswa menyerukan pengunduran diri Megawati karena gagal melaksanakan reformasi. Selain itu, kenaikan tajam harga bahan bakar, tarif listrik dan telepon, memicu aksi protes meletus di semua kota besar, dengan ribuan demonstran dari hampir semua organisasi mahasiswa, LSM, buruh, petani, angkutan umum dan pengemudi truk, hingga pengusaha kecil bergabung dalam demonstrasi di Istana Negara dan Parlemen. Kenaikan tarif telepon ditunda dan banyak yang menganggap hal ini sebagai kemenangan yang mengesankan bagi gerakan mahasiswa, karena terbukti dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah (Sastramidjaja, 2016, p. 364). Di era reformasi, kekerasan merajalela, termasuk konflik berdarah antar etnis dan agama, perang militer melawan separatis, serangan teror, meningkatnya kejahatan terorganisir dan keadilan main hakim sendiri, serta kekerasan terburuk terhadap protes mahasiswa yang dalam sejarah Indonesia (Sastramidjaja, 2016, p. 365). Setelah masa jabatan megawati berakhir pada 2004, Indonesia kembali melaksanakan pemilu, dan untuk pertamakalinya dilakukan secara luberjurdil (langsung, umum, bebas, rahasisa, jujur, dan adil). Kemudian, Indonesia memasuki babak baru dinamika kehidupan demokrasi, sekaligus konteks baru bagi pergerakan mahasiswa.
33
2.1.3. Pergerakan Mahasiswa Era Informasi Untuk kali pertama, pemilu secara luberjurdil diadakan di tahun 2004. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapatkan suara terbanyak, dan terpilih sebagai presiden ke-enam Indonesia, didampingi wakil presiden Jusuf Kalla (JK), dengan periode kepemimpinan 2004-2009. Pada era ini pula, tercetus wadah pergerakan mahasiswa melalui lembaga eksekutif kampus, yang dikenal sebagai Aliansi BEM-SI (Badan Eksekutif Mahasiswa – Seluruh Indonesia). Aliansi ini digagas pada tahun 2007 dalam kongres di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) 2-3 November 2015, disusul pertemuan kedua pada 21-24 Desember 2007 di Bogor. Pada awal berdirinya, BEM-SI beranggotakan 37 Perguruan Tinggi di Indonesia. Kemudian, Aliansi BEM-SI melakukan evaluasi besar-besaran dengan membuat tuntutan “Tujuh Gugatan Rakyat” (Tugu Rakyat) dan melakukan aksi nasional pada Mei 2008 di depan Istana Negara. Poin dari “Tujuh Gugatan Rakyat” tersebut adalah: 1) Nasionalisasi aset strategis bangsa; 2) Mewujudkan pendidikan yang bermutu, terjangkau, dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia; 3) Tuntaskan kasus BLBI dan korupsi Soeharto beserta kroni-kroninya sebagai perwujudan kepastian hukum di Indonesia; 4) Kembalikan kedaulatan bangsa pada sektor pangan, ekonomi dan energi; 5) Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan harga kebutuhan pokok bagi rakyat; 6) Tuntaskan reformasi birokrasi dan berantas mafia pendidikan; 7) Selamatkan lingkunga Indonesia dan tuntut Lapindo Brantas untuk mengganti rugi seluruh dampak dari Lumpur Lapindo (ibid). Melalui “Tujuh Gugatan Rakyat” tersebut pemerintahan SBY-JK dianggap gagal (Novianto, 2016).
34
Pada pemilu 2009, SBY kembali terpilih sebagai presiden periode 20092014, dengan didampingi Boediono sebagai wakil presiden. Di era ini pula, kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berkembang di Indonesia. Namun, gerakan mahasiswa di era ini cenderung menurun skalanya dan lebih mengarah kepada isu-isu sektoral dan regional. Dalam periode ini, pemerintahan SBY diwarnai oleh mencuatnya beberapa kasus korupsi yang menyangkut pejabat pemerintah. Pada saat itu, lembaga pemberantasan korupsi, KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), mengungkap berbagai kasus korupsi pejabat, salah satunya menyangkut salah satu pejabat tinggi kepolisian. Kasus ini menuai perhatian publik yang tinggi karena wacana kriminalisasi terhadap pihak KPK, dan berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia. Kasus ini berkembangan dengan istilah “Cicak vs Buaya”, yang menggambarkan KPK sebagai cicak yang lemah, melawan kepolisian sebagai buaya yang kuat. Berbagai elemen masyarakat sipil merespon hal ini dengan mendukung KPK dan mengecam pihak kepolisian, termasuk kalangan mahasiswa yang menyerukan dukungan terhadap KPK. Bentuk dukungan pun beragam, mulai dari aksi turun ke jalan, hingga aktivisme melalui media digital turut dilakukan. Pada masa ini, penggunaan media digital sebagai wadah pergerakan sipil berkembang dengan pesat, karena fasilitas penunjang seperti jaringan internet dan teknologi komunikasi juga berkembang. Masa kepemimpinan SBY di periode kedua ini, juga turut diwarnai dengan munculnya generasi Z dalam konstelasi politik gerakan mahasiswa, sekaligus semakin berkembangnya penggunaan media digital. Munculnya generasi Z dalam kancah pergerakan mahasiswa, juga
35
membawa perubahan dalam dinamika gerakan sosial di Indonesia. Menguatnya peran media digital, dan munculnya generasi yang tumbuh bersama dengan teknologi tersebut, menjadikan aktivisme dan gerakan sosial berkembang menyesuaikan perubahan zaman. Generasi Z adalah mereka yang lahir di tahun 1995 hingga 2010, dan sangat dibentuk oleh kemajuan teknologi, masalah kekerasan, ekonomi yang fluktuatif, dan gerakan keadilan sosial (Seemiller & Grace, 2017). Selepas masa pemerintah SBY, pemilu kembali diadakan pada 2014, dan Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai presiden dengan masa jabatan 2014-2019. Dalam masa pemerintahan Jokowi, intensitas gerakan mahasiswa cenderung mengalami penurunan cukup tajam. Sikap-sikap “kompromistis” mahasiswa terhadap kebijakan pemerintah lebih tampak dibandingkan dengan sikap-sikap kritis mahasiswa terhadap kekuasaan. Basis massa pergerakan mahasiswa kembali terpecah dengan isu-isu sektoral yang semakin banyak berseliweran dalam mediamedia digital. Hingga pada 2015, gerakan mahasiswa kembali muncul melalui BEM-SI. Gerakan ini berusaha mengkritisi masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dengan mempropagandakan “Rapor Merah Jokowi-JK”. Berkembangnya demokrasi, proses liberalisasi hampir di setiap lini kehidupan masyarakat, serta pesatnya perkembangan teknologi, menjadi beberapa faktor yang mendukung transformasi tersebut. Seiring berjalannya kehidupan di era reformasi, konfigurasi pendidikan tinggi di Indonesia ikut berkembang ke arah liberalisasi pendidikan yang mendorong peningkatan jumlah perguruan tinggi, sehinga jumlah mahasiswa secara keseluruhan ikut meningkat. Kampus sebagai
36
bagian dari otonomi negara, tidak bisa menghindar dari kepentingan ekonomipolitik pemerintah dan mendorong terjadinya kapitalisasi kampus di mana pendidikan dikomersialikan, kurikulum yang bias kelas, mahasiswa menjadi sapi perah, dan tradisi intelektual yang membebaskan kaum tertindas dan tersubordinasi dibuat senyap (Novianto, 2016).
2.2. Gerakan Mahasiswa dalam Perspektif Generasi Sosial Dua dekade lebih pasca peristiwa reformasi 1998, di mana menjadi proses transisi Indonesia menuju demokrasi. Dalam perjalanannya, proses ini turut melahirkan generasi baru, dengan konteks Indonesia yang turut mengalami perubahan. Perkembangan zaman dan perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan yang tentunya akan terus bergulir. Bagaimana sebuah generasi memaknai realita, mengambil sikap dan keputusan, atau memahami konteks, tentu akan berbeda dengan yang dialami oleh generasi sebelumnya. Perbedaan tersebut, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh konteks yang berbeda, yang dialami oleh setiap generasi. Pada konsep generasi sosial yang dibangun oleh Mannheim (1952) melalui karyanya “The Problem of Generations”, mengklaim bahwa generasi bukan hanya sekedar kolompok orang yang lahir di waktu yang hampir sama, setidaknya mereka harus berbagi pada tingkatan signifikan, pengalaman dan tantangan, dalam sebuah lokasi generasional, yang akan membentuk mode tindakan, ekspresi, dan perasaan dari orang-orang yang tumbuh di dalamnya. Lebih lanjut, konsep Mannheim mengenai generasi, seperti yang di jelaskan oleh Sutopo (2014), terbagi menjadi tiga, pertama, generasi sebagai lokasi (as a
37
site), di mana setiap generasi selalu melekat dengan lokasi sosial dan konteks sosiohistoris. Kedua, sebagai aktualitas (as an actuality), menyangkut kesamaan orientasi pengetahuan dan disposisi dalam rentang waktu, yang memungkinkan generasi menjadi dorongan politik bagi generasi tersebut. Terakhir, sebagai unit generasional (as a generational unit), mengenai generasi sebagai sekelompok orang yang memiliki identifikasi khusus, yang berbeda dengan kelompok lain, dan menjadi mekanisme respon atas kondisi yang dihadapi generasi tersebut.
2.2.1. Mahasiswa sebagai Generasi Muda Kehadiran mahasiswa dalam dinamika sosial-politik di Indonesia, dapat dilihat sebagai generasi yang hidup dengan situasi dan kondisi sosial, historis, ekonomi, dan politik pada kurun waktu tertentu. Konteks kehidupan bagi kalangan pemuda dari setiap generasi, menjadi lokasi generasionalnya masing-masing, yang akan berbeda dari waktu ke waktu, bersamaan dengan munculnya generasi yang baru. Begitu pula dengan mahasiswa sebagai pemuda dalam kerangka generasi sosial. Dalam lintasan sejarah pergerakan mahasiswa yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, terdapat karakteristik yang berbeda dari masing-masing generasi, karena pada titik-titik tertentu kaum muda akan menghadapi kondisi yang cukup berbeda dari yang generasi sebelumnya hadapi saat muda (Woodman, The sociology of generations and youth studies, 2016). Untuk itu, pada bagian ini pembahasan lebih menitikberatkan pada perbedaan konteks dari setiap pergerakan mahasiswa yang pernah terjadi di Indonesia. Bahasan tersebut, lebih banyak
38
menyoroti bagaimana kondisi serta tantangan yang dihadapi oleh masing-masing generasi. Pada era sebelum reformasi, di awal pemerintahan rezim orde baru, mahasiswa di tahun 60-an menjadi generasi yang hadir dalam proses transisi pemerintahan orde lama ke orde baru. Momen gerakan 30 September 1965 menjadi salah satu peristiwa yang dialami kehidupan generasi ini. Posisi politik moralis yang mendominasi generasi mahasiswa pada era ini, dipengaruhi represifitas rezim, terutama terhadap golongan kiri, yang menimbulkan ketakutan bagi generasi ini untuk bergerak lebih konfrontatif dalam pergerakannya. Hal itu berbeda dengan generasi mahasiswa di tahun 70-an, gerakan yang cukup konfrontatif mulai muncul, seperti propaganda Golput (1971) dan peristiwa Malari (1974). Namun, kalangan mahasiswa masih melakukan perlawanan secara sporadis. Lagi-lagi, karena represifitas rezim orde baru begitu kuat, dan sikap otoriter dari pemerintahan Soeharto, memberikan tekanan kuat terhadap pergerakan-pergerakan yang muncul. Sedangkan pada era 80-an, represifitas orde baru semakin kuat dengan terbitnya sistem NKK/BKK. Kondisi yang minim ruang demokrasi di lingkungan kampus, menjadikan pergerakan mahasiswa generasi ini semakin sulit menyampaikan aspirasinya, dan membentuk generasi yang hidup dalam dominasi logika pergerakan moralis. Pada masa ini pula LSM mulai berkembang dan menjadi basis pergerakan mahasiswa di luar lingkungan kampus, dan juga pertukaran pengetahuan antara mahasiswa di dalam negeri dengan mahasiswa yang berkuliah di luar negeri. Pergerakan mahasiswa pada generasi ini, cenderung bergerak secara bawah tanah dan rata-rata terjadi di luar lingkungan kampus.
39
Setelah tiga dekade dalam kepemimpinan Soeharto, di tahun 90-an, negara mengalami krisis ekonomi besar. Basis pergerakan mahasiswa telah meluas secara bawah tanah, menjadi fasilitas bagi generasi mahasiswa di era ini untuk melakukan pergerakan. Di tambah dengan melemahnya dominasi rezim akibat kondisi krisis, memberikan ruang bagi kalangan mahasiswa untuk melancarkan gerakan. Pada era ini pula terjadi beberapa peristiwa traumatis seperti, Insiden 27 Juli (Kudatuli), kerusuhan, kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Tionghoa, Tragedi Trisakti, dan Tragedi Semanggi I&II, yang menjadi konteks bagi generasi mahasiswa saat itu. Konteks tersebut, melalui kaca mata generasi sosial, berpengaruh dalam ekskalasi menuju gerakan reformasi 98 yang digawangi generasi muda mahasiswa. Di masa awal setelah peristiwa reformasi, kehidupan demokrasi di mulai di Indonesia. Kalangan mahasiswa dari generasi sebelumnya, membentuk basis-basis pergerakannya melalui organisasi. Program-program kaderisasi dilakukan sebagai upaya meregenerasi keberlanjutan gerakan mahasiswa pada generasi yang baru. Kondisi ini menciptakan iklim pergerakan yang sarat dengan identitas golongan, dan mempertegas demarkasi perbedaan di kalangan mahasiswa generasi baru. Pada era transisi menuju demokrasi, konflik politik di tataran elite juga mempengaruhi kaum muda dalam kantong-kantong pergerakan mahasiswa. Seperti yang terjadi pada masa Habibie, Gusdur, dan Megawati, pergerakan mahasiswa terpecah belah dalam kepentingan masing-masing golongan. Generasi-generasi mahasiswa di era sebelumnya, yang telah terjun dalam konstelasi politik negara, melakukan kaderisasi yang sarat dengan logika identitas dan golongan terhadap generasi yang baru. Artikulasi gerakan untuk kepentingan rakyat, tergeser dengan romantisme
40
heroik demo mahasiswa 98, yang menjadikan gerakan layaknya panggung bagi para aktivis mahasiswa untuk karir politiknya di kemudian hari. Pada era berikutnya, Indonesia telah berhasil melancarkan pemilu secara demokratis, dan perkembangan teknologi layaknya internet mulai merambah di kalangan masyarakat. Kondisi sosial-politik pada masa ini cenderung stabil, dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan bernegara sudah berbeda dengan masa sebelumnya. Keterbukaan informasi dan kemudahan berkomunikasi melalui teknologi digital, memungkinkan masyarakat lebih mudah memantau kinerja rezim pemerintahan. Dalam perjalanannya, era ini diwarnai dengan kemunculan generasi digital native yang tumbuh dan berkembang dalam transformasi demokrasi dan kemajuan teknologi digital. Generasi mahasiswa yang hidup di masa ini, turut terpapar dengan perubahan yang muncul, sehingga pergerakan mahasiswa melalui internet pun mulai berkembang di samping pergerakan mahasiswa konvensional seperti aksi demonstrasi tetap berjalan. Dalam
konsep
generasi
sosial,
setiap
generasi
memiliki
lokasi
generasionalnya tersendiri, yang melekat dalam keberlangsungan generasi tersebut. Sementara, lokasi generasional akan tergantikan dengan yang baru, selaras dengan terjadinya perubahan sosial, dan munculnya generasi baru yang akan menghidupi lokasi generasional tersebut. Pada titik inilah, patahan-patahan sejarah menunjukkan proses munculnya generasi muda di masyarakat. Setiap era melahirkan generasi baru yang memiliki karakteristik serta konteks kehidupan yang baru pula, dan membentuk bagaimana cara mereka bersikap dan bertindak di masanya.
41
Setiap karakteristik pergerakan mahasiswa di masing-masing generasi, terbentuk oleh konteks yang mereka hidupi seperti pada era orde baru, era demokrasi reformasi, ataupun era informasi. Konstruksi sosial atas kaum muda juga membentuk karakteristik generasi mahasiswa, seperti konstruksi bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, ataupun konstruksi berbasis historis atas generasi sebelumnya. Kondisi sosial-politik-ekonomi yang berlangsung pada masingmasing era juga berpengaruh bagi setiap generasi, layaknya peristiwa G30S-1965, represifitas rezim orde baru, reformasi 1998, transisi Indonesia menuju demokrasi, ataupun perkembangan teknologi digital. Lebih lanjut, di setiap generasi mahasiswa, selalu muncul lokasi generasional yang baru, bersamaan dengan proses munculnya generasi muda mahasiswa, sebagai generasi yang baru. Generasi muda hari ini, dapat dilihat sebagai generasi baru dengan seperangkat lokasi generasionalnya sendiri, sebagai generasi yang tumbuh dan berkembang saat kehidupan demokrasi telah berjalan dua dekade lebih di Indonesia. Proses Indonesia mendewasakan demokrasi terus berjalan, dalam perkembangan zaman yang diwarnai kemajuan teknologi dalam era digitalisasi. Konteks ini sangat mendukung generasi muda dapat dengan mudah mengakses informasi dan mengembangkan kesadaran serta pemahaman politiknya dalam kehidupan bernegara. Namun, di saat yang sama, kondisi Indonesia juga menghadapi tantangan baru. Menguatnya neoliberalisme, privatisasi aset ekonomi di berbagai sektor, dominasi oligarki dalam ranah kepemerintahan negara, menjadi tantangan baru. Hal itu diperkeruh dengan munculnya berbagai wacana kebijakan kontroversial seperti
42
RKUHP, RUU KPK, Omnibus Law, dan sederet wacana kebijakan lain yang dinilai berpotensi merusak merugikan rakyat. Kenyataan ini menjadi konteks yang mau tidak mau juga harus dihadapi dan sekaligus menjadi tantangan bagi generasi muda, karena suka tidak suka, akan bersinggungan dengan masa depan dan eksistensi mereka sebagai warga negara. Kehidupan generasi muda hari ini juga menyangkut kondisi yang muncul akibat perkembangan teknologi. Konteks era informasi dengan segenap kemajuan teknologi, memunculkan terjadinya proses digitalisasi di Indonesia. Hal tersebut turut berlaku dalam diskursus mengenai pergerakan, di mana pergerakan dalam perjalanannya juga semakin berkembang dalam ruang-ruang digital seperti pada platform media daring internet dan juga media sosial. Kemunculan narasi-narasi yang hadir dari masyarakat pada tatanan digital, seperti buzzer dan influencer, kerap menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda saat ini. Pada akhirnya, terdapat kemungkinan akan adanya perubahan dalam pergerakan mahasiswa pada era demokrasi yang semakin terdigitalisasi.
2.3. Gaung Perjuangan Rakyat dari Jalan Gejayan Peristiwa aksi demonstrasi turun ke jalan, yang terjadi pada penghujung tahun 2019 di Yogyakarta, atau dikenal dengan #GejayanMemanggil, dilaksanakan sebanyak dua kali. Aksi #GejayanMemanggil berlangsung pada 23 September 2019, dan seminggu setelahnya, aksi yang kedua diselenggarakan pada 30 Oktober 2019. Aksi #GejayanMemanggil melibatkan mahasiswa, aktivis, buruh, seniman, hingga pelajar. Dalam pelaksanaannya, kedua aksi ini mengatasnamakan diri sebagai
43
“Aliansi Rakyat Bergerak”. Kemunculan #GejayanMemanggil mendapat respons yang tinggi dari khalayak ramai, aksi ini berhasil melibatkan ribuan orang dalam pelaksanaannya. Respons serupa juga terjadi di media sosial Twitter dan Instagram. Berdasarkan data SNA (Social Network Analysis) Drone Emprit Publication 3 , “#GejayanMemanggil” menjadi trending topic sebanyak 12.500 lebih tweets selama 2 hari di Twitter. Akun Instagram #GejayanMemanggil, di satu sisi juga mendapatkan pengikut mencapai lebih dari 20.000 akun dalam beberapa minggu. Pada aksi #GejayanMemanggil pertama, Senin, 23 September 2019, dimulai dengan pengumpulan massa, setelah massa aksi mulai memadati tiga lokasi titik kumpul, yakni Bundaran UGM di titik barat, UIN Sunan Kalijaga di titik selatan, dan Universitas Sanata Dharma di titik utara. Setelah itu, massa aksi mulai dimobilisasi dengan berjalan kaki (long march) ke titik utama aksi di pertigaan Colombo-Gejayan (Jalan Affandi). Aksi diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan orasi-orasi dari tiap perwakilan massa dan koordinator lapangan. Pertama-tama, dilakukan deklarasi, menegaskan bahwa Aliansi Rakyat Bergerak adalah ‘aksi damai’ yang terdiri dari gabungan mahasiswa berbagai universitas dan elemen masyarakat di Yogyakarta, dan tidak terikat dengan afiliasi politik tertentu. Aksi dilanjutkan dengan aksi tidur di jalanan secara massal, sebagai bentuk simbolisasi matinya demokrasi di Indonesia. Aksi partisipatif pun dilakukan oleh massa dengan menuliskan frasa “RAKYAT MELAWAN” di tubuh massa aksi (body painting). Selanjutnya perwakilan massa aksi secara bergilir memberikan orasi di atas panggung yang disiapkan. Sisir Tanah, salah satu musisi yang ikut
3
https://pers.droneemprit.id/gejayanmemanggil/ 44
berpartisipasi, turut menyumbangkan karyanya dalam bentuk pertunjukan musik. Setelahnya, aksi teatrikal yang merepresentasikan mosi tidak percaya kepada DPR RI dan elit politik, turut disampaikan oleh beberapa massa aksi. Berdasarkan rilis4 dari aksi #GejayanMemanggil pertama, terdapat 7 point pernyataan sikap: 1) Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP; 2) Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia; 3) Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia; 4) Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja; 5) Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agrarian; 6) Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; 7) Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sector. Sedangkan pada aksi #GejayanMemanggil II, Senin 30 September 2019, juga diawali dengan pengumpulan massa aksi pada tiga titik kumpul yang sama, dan kemudian di mobilisasi menuju titik aksi yang juga bertempat sama di pertigaan Colombo, Gejayan. Perbedaannya dengan aksi yang pertama, pada aksi kedua ini, terdapat beberapa titik yang dijadikan sebagai panggung aksi. Titik-titik tersebut, membentang di sepanjang Jalan Affandi, mulai dari pertigaan kampus Sanata
4
Dapat diakses melalui: bit.ly/RakyatBergerak 45
Dharma hingga pertiggan Colombo. Di awali dengan estafet mobil komando dari setiap titik panggung aksi, yang kemudian kembali ke panggung utama di pertigaan Colombo.
Puncak kegiatan dalam aksi yang kedua ini, dilakukan menjelang
sore hari, dengan mempersilahkan masing-masing perwakilan massa aksi menyampaikan aspirasinya. Terdapat pelajar sekolah menengah atas yang turut terlibat dalam aksi tersebut dan juga turut menyampaikan keresahannya. Kemudian, dilanjutkan dengan pertunjukkan seni musik dari kalangan seniman, dan dipenghujung sore, massa aksi membubarkan diri dengan berpesta dangdut sembari memunguti sampah. Pada aksi ini, terdapat 9 point dalam pernyataan sikapnya: 1) Hentikan segala bentuk represi dan kriminalisasi terhadap gerakan rakyat; 2) Tarik seluruh komponen militer, usut tuntas pelanggaran HAM, buka ruang demokrasi seluasluasnya di Papua; 3) Mendesak pemerintah pusat untuk segera menanggulangi bencana dan menyelamatkan korban, tangkap dan adili pengusaha dan korporasi pembakar hutan, serta cabut HGU dan hentikan pemberian izin baru bagi perusahaan besar perkebunan; 4) Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU KPK; 5) Mendesak presiden untuk menerbitkan Perppu terkait UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan; 6) Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; 7) Merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah dalam RKUHP dan meninjau ulang pasal-pasal tersebut dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil; 8)menolak RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber, dan RUU Minerba; 9)tuntaskan pelanggaran HAM dan HAM berat serta adili penjahat HAM.
46
Aksi #GejayanMemanggil dilakukan demi menyuarakan keresahan terhadap berbagai isu nasional yang ada di Indonesia saat ini, terutama terkait dengan problematika RKUHP, pelemahan pemberantasan korupsi dalam RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, lambatnya penanganan terhadap kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disepakati, serta permasalahan mengenai kekerasan dan pelanggaran HAM. Komposisi isu yang berasal dari berbagai sektor, menciptakan demografi massa dengan beragam identitas serta kepentingan yang menaunginya. Kompleksitas perbedaan latar belakang tersebut memiliki potensi keteganggan yang destruktif bagi sebuah gerakan layaknya #GejayanMemanggil, sehingga proses konsolidasi, kompromi dan negosiasi menjadi penawar terhadap gesekangesekan yang berpotensi muncul.
2.4. Deskripsi Subjek Penelitian Studi ini melibatkan kalangan mahasiswa yang ikut berperan dalam aksi #GejayanMemanggil. Mahasiswa yang berpartisipasi dalam studi ini berjumlah lima orang, yang masing-masing memiliki peran dalam keikutsertaannya pada aksi #GejayanMemanggil. Dari kelima mahasiswa tersebut diantaranya adalah Endang, Rama, Amerta, Sinta, dan Marko. Pada saa studi ini dijalankan, penulis berkesempatan untuk melakukan wawancara secara langsung bersama masingmasing informan. Mereka semua, pada saat proses pengambilan data, masih berstatus mahasiswa aktif dari beberapa kampus di Yogyakarta.
47
Informan pertama adalah Endang. Endang merupakan mahasiswa tingkat akhir di salah satu universitas di Yogyakarta, dan mengambil studi mengenai politik. Endang merupakan koordinator kajian pada divisi kajian aksi #GejayanMemanggil. Selain itu, ia merupakan mantan anggota organisasi semacam lembaga ekskutif kemahasiswaan di kampusnya. Berikutnya adalah Rama yang menjadi informan dalam studi ini. Rama adalah mahasiswa tahun ke dua jurusan administrasi dan pemerintahan negara, pada salah satu kampus di Yogyakarta. Rama termasuk mahasiswa yang aktif berorganisasi di lingkungan kampus, ia merupakan anggota badan eksekutif tingkat fakultas
di
lingkungan
universitasnya.
Pada
saat
pelaksanaan
aksi
#GejayanMemanggil, Rama berperan sebagai koordinator lapangan untuk kampusnya. Ia juga tergabung dalam divisi acara aksi #GejayanMemanggil. Informan selanjutnya adalah Amerta yang merupakan mahasiswa jurusan sejarah di salah satu kampus di Yogyakarta. Ia tergabung dalam lembaga pers mahasiswa di kampusnya. Sama seperti Rama, Amerta merupakan mahsiswa tahun ke dua. Sebelum menginjak bangku perkuliahan, dirinya mengaku sudah pernah mengikuti kegiatan-kegiatan sosial seperti membuka lapakan buku. Amerta merupakan anggota divisi humas aksi #GejayanMemangil. Pada saat pelaksanaan aksi, dirinya bertugas bersama tim dokumentasi. Kemudian, mahasiswa berikutnya adalah Sinta yang berpartisipasi dalam studi ini. Sinta merupakan mahasiswa tingkat akhir dari salah satu kampus di Yogyakarta, yang mengambil studi jurusan sastra. Sinta merupakan staff dari lembaga pers mahasiswa di universitasnya. Sebagai jurnalis mahasiswa, Sinta
48
cukup aktif terlibat dalam peliputan isu-isu sosial di lingkungan kampus dan di Yogyakarta. Sinta merupakan salah satu jurnalis mahasiswa yang menjadi perwakilan lembaga persnya dalam meliput aksi #GejayanMemanggil. Informan terakhir adalah Marko. Marko adalah mahasiswa tingkat akhir jurusan politik dari salah satu kampus di Yogyakarta. Pengalamannya dalam ranah pergerakan mahasiswa sudah dilalui semenjak awal masuk kuliah. Ia pernah bergabung di lembaga eksekutif mahasiswa tingkat fakultas dan universitas. Marko merupakan anggota dari divisi acara pada aksi #GejayanMemanggil.
Tabel 2.1. Latar Belakang Informan Marko
Mahasiswa, 24 tahun, divisi acara aksi #GejayanMemanggil
Endang Mahasiswa, 22 tahun, divisi kajian aksi #GejayanMemanggil Sinta
Mahasiswa, 22 tahun, jurnalis pers mahasiswa
Rama
Mahasiswa, 20 tahun, koordinator lapangan aksi #GejayanMemanggil
Amerta
Mahasiswa, 20 tahun, divisi humas dan dokumentasi aksi #GejayanMemanggil
-o0o-
49
Pernah menjabat pada beberapa organisasi kemahasiswaan; memiliki pengalaman terlibat dalam beberapa aksi demonstrasi di Yogyakarta Pernah menjabat pada beberapa organisasi kemahasiswaan; memiliki pengalaman terlibat dalam beberapa aksi demonstrasi di Yogyakarta Aktif dalam pers mahasiswa; memiliki pengalaman meliput beberapa aksi demonstrasi di Yogyakarta Aktif dan menjabat pada beberapa organisasi kemahasiswaan; memiliki pengalaman terlibat dalam beberapa aksi demonstrasi di Yogyakarta Aktif dalam pers mahasiswa; memiliki pengalaman terlibata dalam beberapa aksi demonstrasi di Yogyakarta
BAB III Menampik Kelam Memantik Terang: Generasi Muda Mahasiswa dan Gejayan untuk Moses yang Tersenyum Pergerakan masyarakat untuk menuntut hak-hak sebagai warga negara merupakan fenomena yang sering terjadi dalam sistem demokrasi. Pada tahun 2019 lalu, terjadi berbagai aksi penolakan terhadap wacana kebijakan dari pemerintah oleh berbagai elemen masyarakat. Kala itu, serentetan wacana kebijakan dari pemerintah, menuai pro dan kontra karena bersiko terhadap keberlangsungan hidup warga negara. Hal ini menjadi problema yang memicu respon dari berbagai elemen masyarakat di berbagai daerah. Gerakan #ReformasidiKorupsi, hadir sebagai artikulasi yang digaungkan dalam merespon kondisi ini. Terjadi berbagai aksi protes di banyak daerah, dan seakan-akan menjadi ‘pekan aksi nasional’ karena berlangsung selama sepekan dengan skala yang luas dalam menyuarakan protes terhadap pemerintah. Daerah Istimewa Yogyakarta tidak luput oleh kemunculan aksi demonstrasi. Tepatnya pada tanggal 23 dan 30 September 2019, gerakan yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Rakyat Bergerak ini terjadi dalam sekala masif, dan dikenal dengan aksi #GejayanMemanggil. Aksi ini diikuti oleh ribuan orang dengan demografi massa aksi yang beragam. Mahasiswa, pelajar, buruh, dosen, aktivis pegiat isu dari beragam organisasi kemasyarakatan, bersatu padu dalam simfoni pergerakan warga sipil. Pertigaan jalan yang menghubungkan Jalan Colombo dengan Jalan Affandi, atau dikenal dengan Jalan Gejayan, menjadi saksi bagaimana rakyat menyampaikan aspirasinya merespon isu-isu nasional yang tengah
50
menghangat. Dari utara, barat, dan timur, gelombang massa secara berangsur datang sembari menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan jargon perlawanan saat melakukan long march. Menjelang petang, barisan massa kian memenuhi setiap sudut pertigaan jalan. Dalam pelaksanaannya, mayoritas kalangan yang menyusun demografi massa adalah mahasiswa. Hal ini dapat dianggap sebagai kewajaran, mengingat fakta sejarah – seperti yang telah dibahas pada bab II, kalangan mahasiswa cenderung menjadi katalisator dari beberapa gerakan yang pernah terjadi di Indonesia. Mengacu pada konsep Mannheim (1952) tentang generasi sosial yang mencakup lokasi, aktualitas dan unit generasional, kalangan mahasiswa dapat dilihat sebagai generasi muda, yang memiliki konteks kehidupan pada masa transisi Indonesia menuju demokrasi sebagai salah satu lokasi generasionalnya. Hal ini berhubungan dengan berubahnya struktur sosial yang memerlukan mode aksi dan ekspresi baru, yang berpotensi memberikan katalisator bagi gerakan sosial baru sebagai penggerak perubahan generasi dalam suatu budaya (Woodman, The sociology of generations and youth studies, 2016). Keterkaitan antara lokasi sosial dan konteks sosio-historis, proses pembentukan kesadaran dalam suatu generasi menjadi argumen Mannheim mengkaji mengenai terjadinya konflik antar generasi, dan generasi sebagai aktor politik dalam proses perubahan sosial (Sutopo, 2014). Konteks yang menjadi lokasi generasional generasi muda, aktualitas generasional dari pandangan mereka terhadap konteks tersebut, dan keputusan untuk meresponnya melalui sebuah tindakan sebagai unit generasional, mendorong usaha perjuangan generasi muda mahasiswa melalui aksi #GejayanMemanggil.
51
Kenyataan ini menjadi suatu hal yang membedakan generasi dalam ‘pekan aksi nasional’ 2019, khususnya pada aksi #GejayanMemanggil, dengan gerakangerakan terdahulu. Bagian ini menceritakan secara lebih jauh mengenai karakteristik pergerakan generasi mahasiswa hari ini. Lebih lanjut, bagian ini juga membahas mengenai perbedaan karakteristik generasi yang muncul dari generasi mahasiswa pada aksi #GejayanMemanggil.
3.1. Oligarki dan Kebijakan-kebijakan Tak Kasat Mata Kehidupan demokrasi pasca reformasi, menciptakan dinamika yang berbeda dengan konteks zaman di era-era sebelumnya. Cita-cita yang telah dicapai untuk membawa demokrasi dalam kehidupan bernegara, ternyata memiliki tantangan yang baru. Dalam perjalanannya, era demokrasi menemui beragam permasalahan, salah satunya akibat wacana kebijakan yang cenderung tidak berpihak kepada rakyat. Kurang lebih, dalam dua tahun terakhir, pemerintah sebagai pelaksana negara, cukup menuai pro dan kontra di masyarakat karena kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan elit. Serentetan wacana kebijakan seperti RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba, menjadi beberapa kebijakan yang dianggap berpotensi menyengserakan masyarakat secara luas. Kecenderungan
dari
kebijakan-kebijakan
tersebut
lebih
menguntungkan
kepentingan elit-elit penguasa. Sementara rakyat, sangat mungkin dirugikan bila regulasi ini disahkan, karena perlindungan hak sebagai warga negara akan tereduksi.
52
Selain itu, regulasi mengenai pemberantasan korupsi justru terjadi potensi pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui terbitnya kebijakan UU KPK. Lembaga independen yang menangani permasalahan korupsi ini, malah diperlemah dengan pembatasan ruang geraknya melalui aturan tersebut. Wacana kebijakan lain seperti RKUHP juga memunculkan permasalahan, karena terdapat beberapa pasal yang memungkinkan seseorang dapat dipidanakan tanpa proses hukum yang adil. Sedangkan, perjuangan masyarakat untuk mendapat perlindungan hukum, menyangkut tindak kekerasan seksual melalui RUU PKS, justru terhambat karena tidak juga disahkan oleh pemerintah. Dari beberapa wacana kebijakan bermasalah tersebut, menggambarkan konteks yang dihadapi oleh mahasiswa sebagai generasi muda. Konteks ini menjadi salah satu alasan mengapa generasi mahasiswa dalam ‘pekan aksi nasional’ pada 2019 memiliki perbedaan dengan generasi-generasi pada gerakan terdahulu. “…Kamu coba baca tulisannya Mba Linda yang di The Conversation, dia meng-higlights anak muda di sana. Ini adalah upaya anak muda menemukan konteksnya sendiri dalam bergerak, karena memang, seperti yang dijelaskan oleh Mba Linda, dulu lawan kita adalah laras panjang dan sepatu boot, sekarang belum tentu gitu, sekarang adalah tangan-tangan kuasa yang tidak terlihat, yang lahir dari oligarki, dari kebijakan, lebih soft…proxy-nya itu adalah sesuatu yang kita gabisa raba. Beda ketika dulu adalah peraturan negara, yang physically kelihatan, dan dilawannya secara fisik, langsung gitu...”(Wawancara Endang 25 Desember 2020).
Seperti yang diutarakan oleh Endang, Mba Linda atau Amalinda Savirani, merupakan dosen politik pemerintah Universitas Gadjah Mada, dan sekaligus mantan ketua BEM FISIPOL serta aktivis Angkatan ’98. Pandangannya mengenai gelombang pergerakan mahasiswa yang terjadi pada 2019, dimuat dalam artikel pada laman daring Theconversation.com dengan tajuk “Catatan aktivis ’98 untuk
53
demo mahasiswa 2019: lanjutkan perjuangan!”. 5 Dirinya berpendapat bahwa gerakan yang muncul dari generasi mahasiswa di tahun 2019 memiliki perbedaan karakteristik dengan Angkatan ’98. Menurutnya, gerakan 2019 memiliki isu beragam dan sektoral, berbeda dengan Angkatan ’98 yang cenderung dihadapkan dengan represifitas orde baru, dan menuntut rezim Soeharto untuk mundur. Perbedaan tersebut menjadi konteks yang melatarbelakangi pergerakan generasi muda hari ini. Kondisi Indonesia yang kini menerapkan sistem demokrasi memungkinkan generasi muda untuk lebih mudah terlibat dalam dinamika politik negara, dan menampilkan respon dengan karakteristik generasi ini. Berbeda dengan pergerakan generasi sebelumnya, yang mendapat tekanan dari kebijakan-kebijakan otoriter ala orde baru, dan seringkali harus berhadapan dengan represifitas aparat. Namun, seperti yang dibahas di atas, tantangan baru bagi generasi muda hari ini muncul akibat hadirnya elit-elit penguasa di tataran pemerintahan. Sehingga upaya perlawanan yang muncul akan berasosiasi dengan konteks dalam pergerakan mereka. Bentuk perlawanan ini, dapat dilihat dari bagaimana aksi-aksi pada pekan aksi nasional ini berjalan. Marko, berbagi pandangannya mengenai hal tersebut, “…ada semacam sentimen yang muncul di generasi anak-anak muda hari ini, yang sentimennya berbeda. Mungkin kamu bisa jumpai, ada semacam hal-hal menarik ya, bahwa gerakan #gejayanmemanggil kemarin, atau #reformasidikorupsi di beberapa daerah, itu merupakan gerakan paling liberal yang pernah ada dalam sejarah Indonesia pasca reformasi, bukan pasca reformasi, bisa jadi itu gerakan paling liberal yang ada di Indonesia selama ini, dan ini bisa jadi merupakan, ada semacam gap tentang kelas, bukan kelas sosial, tapi lebih ke gap generasi, yang hari ini bisa jadi potret menarik. Ada semacam ledakan dari kaum muda, untuk menuntut, atau dalam hal ini, mereka punya frame berbeda dari kelompok-kelompok terdahulu…” (Wawancara Marko 11 Januari 2020).
https://theconversation.com/catatan-aktivis-98-untuk-demo-mahasiswa-2019-lanjutkanperjuangan-124130 5
54
Kerangka yang berbeda dari generasi muda, seperti yang diutarakan Marko, berkaitan erat dengan konteks demokrasi yang mendukung kebebasan warga negara untuk menyuarakan aspirasinya. Hal ini kemudian menjadi faktor mengapa pergerakan generasi muda dapat diklaim sebagai gerakan paling liberal sepanjang sejarah Indonesia. Fenomena tersebut, melalui kacamata generasi sosial, menunjukkan bahwa perkembangan zaman secara berkesinambungan turut membawa perubahan terhadap lokasi generasional setiap generasi. Konteks yang melingkupi suatu zaman turut menjadi kerangka yang menaungi bagaimana sebuah peristiwa dialami suatu generasi. Peristiwa yang terjadi pada era tertentu menjadi pengalaman bagi generasi yang hidup pada saat itu, dan dalam perjalanannya akan menjadi pengetahuan historis bagi generasi berikutnya. Proses berubahan ini yang kemudian membentuk generasi-generasi sosial di masyarakat. Realita yang menjadi konteks bagi generasi muda, membentuk lokasi generasional yang berdampak pada cara pandang generasi muda terhadap realita, hal ini terjadi karena setiap generasi terbentuk oleh lokasi temporal-strukturalnya masing-masing (Woodman, 2012). Aksi protes berskala nasional pada September 2019 tersebut, menjadi gambaran bagaimana generasi muda merespon problema dari wacana kebijakan dan berkembangnya beragam isu. Kondisi bangsa dianggap memerlukan perubahan karena kebijakan yang berpotensi merenggut hak-hak masyarakat sebagai warga negara. Resiko ini tentu juga berdampak bagi keberlangsungan hidup generasi muda di masa yang akan datang, dan menjadi pemantik kepedulian dari kalangan mahasiswa sebagai generasi muda untuk mengambil kendali. Bagian berikut akan
55
membahas
bagaimana
mahasiswa
pada
aksi
#GejayanMemanggil
memanifestasikan akualitas generasi, dalam eksistensinya membangun keterlibatan dan kesadaran warga negara.
3.2. Membangun Keterlibatan Masyarakat Di samping wacana kebijakan yang bermasalah, konteks tahun politik pasca pemilu 2019 kental dengan kontestasi elit. Hal ini menimbulkan polarisasi identitas di tataran masyarakat, yang sarat dengan sentimen antar golongan. Kondisi ini turut membentuk konteks lokasi generasional generasi muda. Iklim politik yang berdampak buruk bagi masyarakat tersebut, mendapat tanggapan dari generasi muda sebagai sesuatu yang seharusnya tidak perlu muncul di kehidupan masyarakat. Pada akhirnya, tanggapan tersebut dimanifestasik oleh gerakan yang berusaha untuk melakukan perubahan. “…polarisasi yang sebenarnya bukan pada tataran, yang menurut saya secara personal itu berada pada tataran substansial, yang terjadi cenderung pada polarisasi masyarakat yang berkaitan dengan identitas mereka, bukan pada elemen masyarakat sipil, yang mereka punya pandangan politik tertentu yang sangat clear tentang kesejahteraan, mereka punya pandangan tentang bagaimana mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan sebagainya, tetapi lebih kepada perihal identitas. Nah, respon terhadap gejayanmemanggil di hari itu, dengan adanya partisipasi yang luas dari berbagai macam elemen masyarakat, itu menunjukkan bahwa polarisasi identitas itu ternyata bisa di-keep, dia ngga keluar...”( Wawancara Marko 11 Januari 2020).
Pandangan Marko menunjukkan bagaimana generasi muda, memiliki caranya sendiri dalam berpartisipasi dan mengekspresikan kehidupan demokrasi di Indonesia. ). Lokasi generasional yang mencakup dinamika sosial dan politik di Indonesia, melingkupi konteks terbentuknya aksi #ReformasidiKorupsi ataupun
56
#GejayanMemanggil. Dari situ, kita dapat melihat proses aktualisasi generasi muda berhubungan dengan konteks sosial yang sedang bergulir, karena orientasi dalam keadaan tertentu memungkinkan sebuah kekuatan politik atau 'aktualitas' (Woodman, 2013). Akan tetapi, walaupun lokasi generasional yang cenderung sama dan sezaman, mereka memiliki kesadaran berbeda yang mengarahkan mereka untuk mengalami dan mendekati fenomena sama secara berbeda (Pilcher, 1994). Bila dibandingkan dengan pergerakan yang ada di Jakarta maupun di kota-kota lain, yang mengusung aksi #ReformasidiKorupsi, terdapat perbedaan dengan #GejayanMemanggil. Pada kenyataannya, beberapa aksi #ReformasidiKorupsi terlibat bentrokan dengan aparat. Namun terdapat faktor tertentu yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi, seperti yang disampaikan oleh Amerta, “…penempatan di gejayan tuh sangat baik, dan itu memang banyak basisbasis kampus, dan basis-basis buruh, dan segala macem, itu sebagai titik tengah. Tapi, kalo misalkan kita bertahan dalam pergerakan, dan hanya di seputaran Gejayan aja, aku pikir ga ada pressure politik. Ya memang sangat bagus, agitasinya itu sangat banyak gitu, tapi setelah agitasi lalu apa, kalo seperti ini terus ya negara kesenengan hahaha…”( Wawancara Amerta 19 Januari 2020).
Konteks lokasi yang tidak memberikan dampak signifikan terhadap potensi kerusuhan, tidak berpotensi menggangu stabilitas aset-aset pemerintahan. Lebih lanjut, Amerta menunjukkan bagaimana perbedaan secara kontras, dalam hal pemilihan lokasi antara #GejayanMemanggil dengan beberapa aksi yang ada di kota lain, “…di kota lain juga aksi damai, tapi kan pada akhirnya ada kontak fisik dengan aparat, dan itu memang bukan dari temen-temen gerakan sendiri yang melakukan kontak fisik, tapi aparat. Tapi apa yang menyebabkan, mahasiswa atau temen-temen yang lain bisa kontak fisik, aku pikir karena, pertama, mereka langsung ke aset politik, misalkan mereka langsung ke aset
57
pemerintah, itu aset politk, di mana pemerintahan akan terganggu, kinerjanya…”(Wawancara Amerta 19 Januari 2020).
Karakteristik generasi pada aksi #GejayanMemanggil memiliki perbedaan dari cara mereka merespon isu, yang dapat dilihat pada tujuan utama #GejayanMemanggil yang ingin meningkatkan keterlibatan dan kesadaran masyarakat. Sementara gerakan #ReformasidiKorupsi dengan serangkaian aksi protesnya
di
beberapa
daerah,
memiliki
perbedaan
dengan
aksi
#GejayanMemanggil, di Yogyakarta. Perbedaan tersebut, salah satunya dapat dilihat pada perbedaan konteks terkait akses dalam melakukan pergerakan. “…Jakarta punya sesuatu yang kita ga punya di Jogjga. Akses, mereka punya akses. Aku yakin banget memang mereka akan sangat ingin menggedor gedung DPR dan dapatkan deal dengan DPR, dari yang DPR hadir turun ke bawah, menemui massa aksi, dan harus diakui mungkin itu berujung pada gesekan, dan berbeda pada Jogja, kita ga menuntut pihak dari negara untuk turun pada saat itu juga, kita menuntut respon iya, tapi kita ga menuntut mereka untuk naik garuda (pesawat) kesini ketemu massa aksi, itu ngga, yang pada saat real time, yang kita butuhkan engagement dari publik yang lebih luas, dan diharapkan bisa longterm, sembari kita nunggu respon negara” (Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Dari penuturan Endang, dapat kita pahami bahwa implementasi aksi #ReformasidiKorupsi di Jakarta cenderung fokus pada tuntutan yang ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintahan, sehingga memerlukan tekanan politik dari massa aksi untuk mendapat tanggapan secara langsung. Sedangkan pada aksi #GejayanMemanggil, tuntutan tetap menjadi agenda prioritas gerakan, tetapi membangun kesadaran dan partisipasi masyarakat sipil lebih ditekankan. Hal ini menjadi bentuk aktualitas generasi yang berbeda aksi #GejayanMemanggil dengan #ReformasidiKorupsi. Karena konteks lokasi yang tidak memiliki aset politik, menjadi perbedaan dalam aksi #GejayanMemanggil untuk memunculkan tekanan
58
politik secara signifikan bagi rezim. Namun, terdapat hal menarik di mana aksi #GejayanMemanggil mengelola sumber daya yang tersedia di lokasi. “…karena kita harus membuat ruang publik Gejayan, setidaknya ya Gejayan, itu menjadi ada narasi politik di sana, yang itu menekan, walaupun hanya narasi gitu. Kan kita gabisa menekan secara langsung, itu yang coba kita hadirkan…”(Wawancara Endang 25 Januari 2019).
Konteks antar daerah yang berbeda, membentuk aktualitas generasi yang berbeda. Lokasi generasional pada tataran yang lebih spesifik, memiliki perbedaan konteks atas cakupan yang lebih luas. Generasi mahasiswa pada aksi #GejayanMemanggil memiliki lokasi generasional yang juga sama dengan generasi mahasiswa pada #ReformasidiKorupsi, akan tetapi mereka turut mengalami perbedaan konteks spesifik, seperti perbedaan akses antara Yogyakarta dan Jakarta. Hal ini yang selanjutnya membentuk narasi keterlibatan masyarakat pada agenda pergerakan aksi #GejayanMemanggil. Selain itu, perbedaan yang mencolok antara konteks lokasi generasional tersebut, adalah konteks historis yang secara spesifik terjadi di Yogyakarta. Tragedi Gejayan pada 1998 silam, menjadi kenangan kelam akibat gugurnya mahasiswa bernama Moses Gatotkaca pada saat gelombang pergerakan terjadi. Perisitiwa ini, menjadi salah satu basis pengetahuan historis bagi pergerakan mahasiswa di Yogyakarta. “…ada aspek historis, 98, Moses, orang selama ini berpikir, Gejayan adalah tempat paling berdarah di Jogja, ketika kita ngomongin aksi ya, nah itu yang sedikit banyak kita luput sih. Kita pengen tuh ada lagi gerakan yang masif di Jogja setelah 98, karena kan terakhir 98, gapernah ada lagi, baru #GejayanMemanggil ini kan. Nah, kita pengen mengganti narasi bahwa Gejayan adalah tempat martir, kita ingin menghadirkan ‘Moses yang tersenyum’, ibaratnya kaya gitulah…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019)
59
Dari pemaparan di atas, fenomena yang muncul antara gerakan-gerakan pada September 2019 menujukkan bahwa, dalam generasi muda mahasiswa pun memiliki karakter yang serupa tapi tak sama. Secara tidak langsung, klaim bahwa antar generasi memiliki perbedaan konteks kehidupan menjadi sebuah keniscayaan atas pembaruan realita bagi setiap generasi. Pada titik ini, generasi dalam aksi #GejayanMemanggil dapat dilihat sebagai unit generasional, karena berbeda dengan kelompok lain, dan reaksi yang mereka kembangkan adalah sebagai respons terhadap kondisi generasi tersebut (Woodman, 2013). Hal ini menjadi menarik karena kemunculannya berhubungan dengan proses aktualisasi generasi dalam narasi keterlibatan masyarakat sipil yang hadir pada aksi #GejayanMemanggil. Melalui bahasan berikut, penulis berusaha untuk membahas lebih dalam seperti apa proses tersebut berlangsung.
3.2.1. Inklusifitas Publik Diskursus keterlibatan masyarakat menjadi bentuk aktualisasi generasi muda pada aksi #GejayanMemanggil, melalui proses penalaran atas kondisi yang dihadapi generasi tersebut. Resiko dari wacana kebijakan yang bermasalah, sisasisa sentimen polarisasi identitas dari tahun politik, dan karakteristik dari konteks spesifik yang berbeda, mendorong generasi pada aksi #GejayanMemanggil mencari jalan pergerakan yang mungkin untuk dilakukan. Melalui keterlibatan masyarakat sipil, aksi #GejayanMemanggil berusaha mengartikulasikan kondisi negara yang carut marut dengan upaya penyadaran masyarakat tentang problema yang terjadi. “…kan kita pengen menyebarkan isu, keresahan, dinaikkan dikalangan masyarakat, dan kita pengen, yang kedua, karena kita gabisa menekan 60
institusi publik negara secara langsung, kita mau pake jalur lain, yaitu engagement (keterlibatan) masyarakat...kita inigin menghadirkan narasi bahwa ada sesuatu yang bisa dilakukan. Meskipun, mungkin gak semenekan yang kita pikir, dan gak se-transformatif yang kita pikir…” (Wawancara Endang 25 Desember 2019)
Narasi
ini
terbangun
dari
kondisi
yang
melatarbelakangi
aksi
#GejayanMemanggil. Mengingat kondisi tahun politik yang sarat dengan polarisasi identitas, mengakibatkan keterlibatan masyarakat dalam kehidupan bernegara tereduksi. Oleh karenanya, aksi #GejayanMemanggil seolah-olah menjadi alternatif untuk menengahi kejengahan atas perpecahan di masyarakat. “… gejayan memanggil lahir untuk menjadi pelopor dari lahirnya poros politik baru. Poros politik baru ini bisa diartikan, pertama memang, gejayanmemanggil ini bukan partisan dari kelompok partai politik manapun, atau naungan elit manapun. Dia menjadi pelopor untuk keluar dari sentimen identitas, atau dalam hal ini kita melihat pasca pemilu ada perpecahan dimasyarakat, polarisasi, yang sebenarnya bukan pada tataran yang menurut saya secara personal itu berada pada tataran substansial. Yang terjadi cenderung pada polarisasi masyarakat yang berkaitan dengan identitas mereka, bukan pada elemen masyarakat sipil yang mereka punya pandangan politik tertentu yang sangat clear tentang kesejahteraan…”(Wawancara Marko 11 Januari 2020).
Di sisi lain, munculnya aksi demonstrasi tidak terlepas dari proses yang pada akhirnya dapat melibatkan ribuan massa. Sama halnya dengan aksi #GejayanMemanggil yang berhasil melibatkan ribuan orang dari berbagai kalangan. Ekskalasi massa menjadi poin penting bagi sebuah gerakan untuk meningkatkan partisipasi orang banyak. Seperti yang telah dibahas di atas, keterlibatan masyarakat menjadi narasi yang berusaha diartikulasikan. Namun di samping itu, terdapat proses lain yang berfungsi dalam tahap mengekskalasi massa. Merespon isu dan mengkontekstualiskannya, adalah salah satu hal yang mendasari gerakan untuk merelevansikan tujuannya dengan kondisi yang ada. Kesenjangan pada wacana kebijakan oligarki, menjadi bahasan yang hadir karena
61
berangkat dari keresahan warga negara terhadap sikap sewenang-wenang pemerintah. Namun, realita pada masyarakat secara umum, problematika tersebut tidak mudah ditemui, dan aksi #GejayanMemanggil berusaha menghadirkan keresahan tersebut. “…oligarki ini, dia aksesnya tuh horizontal, setara dengan negara. Beda dengan sipil yang dia vertical, dia jauh. Sipil, dia tetep harus, sipil yang ga tergabung tadi ya, akademisi, politisi, birokrat, korporasi, itu. dia tuh harus lewat musrembang, terus nanti ke musrembang desa, musrembang kota, kabupaten, ke porvinsi, ke-cut…ke-cut…ke-cut, ujung-ujungnya ga dapet aspirasinya. Jadi partisipasinya ga ada. Jadi kita ngangkat itu, itu terbukti dengan hadirnya isu-isu, yang kita bahkan gatau, ga dilibatkan, dan dilaksanakan secara tertutup, sidang merekan kan tertutup, paripurnanya. UU KPK pembahasannya tertutup, di hotel pula. Nah itu kemudian membuat orang-orang yang tadinya ga konsern dengan isu ini, ketika kita mencoba menarasikan itu, orang-orang yang gapunya konsern spesifik sebelumnya jadi kayak "oh gila ya gak transparan"...” (Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Berangkat dari penyajian isu yang kontekstual dan relevan, penerimaan masyarakat membuahkan kesadaran atas permasalahan yang terjadi. Ketika kesadaran tersebut dimunculkan, dapat membuka pemikiran bahwa ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja pada negara. Hal ini pada akhirnya memantik kemauan untuk ikut terlibat dan melakukan sesuatu melalui partisipasi dalam aksi #GejayanMemanggil. “…orang-orang yang dateng cuman karena diajak, dan gatau mau aksi, jadi
tuh akhirnya pengen aksi, itu dengan bahas isu. Dan kita selalu memainkan narasi hope (harapan), kita bukan narasi kayak negara kacau, kita ditindas, kita ga pake narasi itu. Kita mainkan narasi soal, ada celah buat kita lakuin sesuatu, ketika negara kayak gini, lagi kacau. Jadi, narasi kita adalah, narasi engagement sipil kita itu tuh bisa menghasilkan sesuatu…” (Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Dalam membawa isu memasuki ranah pergerakan, metode turun ke jalan aksi #GejayanMemanggil turut berperan mengakomodasi individu yang terlibat. Kesan konvensional dari aksi turun ke jalan yang selama ini erat dengan
62
maskulinitas, sangat mungkin menjadi hambatan dalam memperluas jangkauan ekskalasi massa. Berbeda dengan apa yang dihadirkan oleh #GejayanMemanggil, inklusifitas warga negara dalam ruang publik justru dipraktekan untuk dapat meminimalisir kesan maskulin yang eksklusif dari pergerakan. “…selama ini demonstrasi tuh sangat maskulin kan, dalam artian ketika kita memandang demonstrasi akan berujung pada chaos (kekacauan), kita langsung berpikir "oke yang barisan paling depan adalah laki-laki", laki-laki yang kuat, punya tenaga, berani, heroik, megang toa. Mungkin itu menguntungkan buat orang-orang yang udah terbiasa, jadi kalo dipukulin gapapa. Tapi, itu sangat gak menguntungkan untuk, pertama demografi partisipasinya, partispasi demografi, yang kedua massa yang lebih banyak, dalam artian, ketika orang sudah berpikir seperti itu, orang-orang difabel itu ga pengen aksi gitu, atau perempuan yang ga biasa dengan gesekan dia gamau, atau laki-laki yang mungkin ga semaskulin itu dia mungkin cenderung ga mau, introvert dan segala macem. Nah makanya kita hadirkan karena dari awal gejayan memanggil tujuannya, bukan berarti tujuannya bukan untuk mengolkan tuntutan, tuntutan penting, tapi tujuan aksi protes pada tanggal 23 dan 30 adalah mengklaim kembali ruang publik dan menghadirkan publicness…” (Wawancara Endang 25 Desember 2019)
Dari pemaparan di atas, memperjelas bentuk aktualisasi generasi mahasiswa pada aksi #GejayanMemanggil. Selain upaya pergerakan yang berusaha meningkatkan partisipasi masyarakat, gerakan ini turut mempertimbangkan bagaimana berjalannya aksi dapat dilakukan secara inklusif. Hal ini menjadi poin penting, mengingat kebanyakan gerakan biasanya terjebak dalam ekslusifitas kultur aktivisme, dan cenderung menghambat gerakan untuk mencakup basis massa dalam jangkauan yang luas.
3.2.2. Negosiasi atas Perbedaan Proses yang melatarbelakangi aksi #GejayanMemanggil, menjadi suatu hal yang penting untuk dilihat dalam memahami seperti apa kehadiran generasi
63
mahasiswa. Secara umum, dalam pembentukan sebuah gerakan layaknya aksi demonstrasi, diperlukan adanya proses konsolidasi untuk keberlangsungannya. “…jadi kalo aksi ini, awalnya memang dicetuskan dari bonbin, bahwa ini ya bener, itu fakta. Tetapi, fakta ini tidak boleh lantas mengaburkan, bahwa juga bisa jadi, terjadi konsolidasi-konsolidasi di kelompok-kelompok lain, bukan hanya mahasiswa, tapi di elemen-elemen lain. Kebetulan, apa yang dimunculkan oleh temen-temen UGM disambut baik oleh temen-temen di luar, dan terjadilah konsolidasi…”(Wawancara Marko 11 Januari 2020).
Hal ini berhubungan dengan aksi #GejayanMemanggil sebagai aktivitas kolektif, yang memiliki demografi massa aksi yang cukup kompleks dengan jumlah yang besar. Terdapat beragam latar belakang identitas yang berbeda dari masingmasing subjek yang hadir. Menjadi sebuah keniscayaan bahwa kompleksitas dalam proses bernegara sangat mungkin terjadi, termasuk pada ranah-ranah pergerakan. “…memperhatikan gimana ini berjalan gitu loh, gimana ribetnya nanggepin orang-orang gimana demokrasi ternyata serumit ini gitu loh, karena orangorang pada akhirnya, ketika kita mau tujuan yang sama itu mereka juga, ternyata ga sepemikiran sama kita, meskipun tujuannya sama gitu loh. Ada, ada sedikit dari mereka misalnya, melenceng, misalnya apa, gitu menurutku, tapi menurut mereka itu bener dan segala macem, ketemu mufakatnya itu susah banget ternyata…”(Wawancara Rama 10 Januari 2020).
Kompleksitas tersebut berhubungan dengan keragaman isu dan tuntutan pada aksi #GejayanMemanggil. Dengan keragaman tersebut, sangat berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Namun, dalam prakteknya kompleksitas perbedaan isu yang diangkat, justru membentuk kolektifitas bagi gerakan untuk bernegosiasi tanpa menegasikan perbedaan. “…gejayanmemanggil itu, satu-satunya aksi yg ku ikutin dengan tuntutan lebih dari satu gitu loh. Nah itu kan membuat massa tuh seharusnya terbelah, karena mereka punya fokus isu yang berbeda, mereka dateng kesana dengan membela apa yang mereka ingin bawa gitu kan misalnya. Tapi ternyata, yang aku sadar di #GejayanMemanggil itu, mereka ga, apa istilahnya, ga berantem satu sama lain gitu loh. Mereka menyisakan ruang untuk saling berempati, untuk saling mengisi kekosongan…”(Wawancara Rama 10 Januari 2020).
64
Proses dari terbentuknya kolektifitas besar kemungkinannya berhubungan erat dengan sentimen terhadap penguasa dan kaum elit kelas atas, yang bersikap semena-mena melalui perumusan berbagai wacana kebijakan. Hal ini menjadi sesuatu yang memunculkan keresahan bersama, dan membentuk rasa persatuan untuk bergerak bersama-sama. “…kelompok-kelompok dari berbagai macam elemen yang selama ini sering bersinggungan, sering enggan, ketika ada satu kelompok ini ikut mereka menarik diri dan sebagainya, itu mau melebur, bergerak dalam satu front yang sama, satu barisan yang sama, untuk bersama-sama menyuarakan yang kita resah terhadap ini…” (Wawancara Marko 11 Januari 2020)
Aksi ini pada akhrinya menyatukan massa aksi yang kompleks, agar bersatu padu dalam payung pergerakan sebagai solidaritas kolektif. Hal ini menjadi salah satu fenomena yang sangat menarik dari aksi #GejayanMemanggil. Karena pada akhirnya, apa yang dibentuk oleh gerakan ini berhubungan dengan proses negosiasi dan toleransi antar sesama warga negara. “…ada negosiasi yang luar biasa dari berbagai macam elemen, bahwa kita harus sadari tidak semua paham tentang RUU PKS, tidak semua paham tentang RUU Ketenagakerjaan, tidak semua paham tentang RUU Pertanahan, tetapi ada ruang negosiasi yang luar biasa, yang terbentuk di dalam barisan massa. Itu yang jadi satu hal menarik yang aku lihat, ya negosiasi atau praktek-praktek kompromi yang selama ini muncul, kenapa kok kemarin gejayanmemanggil gaada ngomongin isu toleransi dan sebagainya, ya toleransi itu dalam dimensi praktikal kemarin, semua bisa melebur dalam satu…”(Wawancara Marko 11 Januari 2020).
Aksi #GejayanMemanggil menunjukkan sebuah bentuk kolektifitas yang bersemayam dalam keberagaman. Perbedaan yang hadir dari masing-masing individu dan golongan, pada prakteknya membuka ruang negosiasi dan toleransi. Sebagai bentuk pergerakan rakyat, #GejayanMemanggil telah memanifestasikan proses bernegara. Dengan upaya membangun wadah bersama, yang dilakukan bersama, dan demi kepentingan bersama.
65
3.2.3. Klaim terhadap Ruang Publik Bagaimana aksi #GejayanMemanggil memanifestasikan narasi tentang keterlibatan masyarakat sipil, berhubungan dengan penyampaian tujuan yang dapat diterima secara luas. Permasalahan utama dari wacana kebijakan, erat dengan terancamnya ruang publik masyarakat. Karena wacana kebijakan tersebut, berpotensi mempermudah tindakan-tindakan elit penguasa untuk memprivatisasi aset publik yang menjadi ruang penghidupan bagi rakyat. Upaya untuk mengklaim kembali ruang publik, menjadi artikulasi yang disampaikan dengan gaya generasi muda hari ini. Kultur generasi muda yang erat dengan budaya populer, hadir dalam aksi #GejayanMemanggil. Hal ini menjadi keunikan tersendiri dari aksi #GejayanMemanggil, karena dalam membumikan narasi keterlibatan masyarakat, kultur generasi muda menjadi dimensi yang mengantarkan upaya untuk mengklaim ruang publik. “…kultur generasi sekarang, atau misalkan musik-musik indie dan segala macem, kita gunakan budaya populer itu, atau budaya mainstream, ataupun sidestream, yang itu punya basis massa di sana, kita temukan dengan kesadaran politik, kita artikulasikan melalui sebuah upaya mengklaim ruang publik…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019). Gambar 3.1. Aksi teatrikal dari beberapa massa aksi dengan kostum.
Sumber: cmbcindonesia.com
66
Gambar 3.2. Seorang massa aksi membawa poster.
Sumber: krjogja.com Gambar 3.3. Seorang massa aksi membawa poster
Sumber: tempo.co
Pembahasan mengenai aktualisasi dan eksistensi kaum muda pada aksi #GejayanMemanggil, menunjukkan bagaimana kalangan mahasiswa memiliki gaya generasionalnya sendiri. Artikulasi mengklaim ruang publik dilakukan dengan komodifikasi kultur generasi, yang dikontekstualisasikan dalam pertunjukan teatrikal dengan gaya generasi muda atau poster aksi yang berisi kritik dalam bentuk lelucon dan meme. Beberapa gambar di atas, merupakan ilustrasi bagaimana bentuk kultur generasi muda yang dituangkan dalam aksi #GejayanMemanggil.
67
3.3. Opini Publik dan Penerimaan Masyarakat Kehadiran aksi #GejayanMemanggil dengan bentuk artikulasi dan penyampaiannya di ranah publik, mendapatkan reaksi yang beragam dari masyarakat secara umum. Penerimaan dan penolakan publik terhadap gerakan tersebut muncul dalam pandangan publik atas sebagian, atau keseluruhan dari aksi #GejayanMemanggil. Hal ini menjadi kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi. Kalangan mahasiswa, sebagai generasi muda, dan sebagai mayoritas kalangan yang berpartisipasi dalam #GejayanMemanggil, turut mendapat reaksi yang dilontarkan masyarakat. Pada konteks yang lebih spesifik, kalangan mahasiswa menuai kritik dari generasi sebelumnya terkait bentuk pergerakan yang berbeda. Di sisi lain, dukungan juga mereka dapatkan dari generasi terdahulu. Bagian ini membahas bagaimana narasi-narasi yang hadir atas reaksi masyarakat terhadap aksi #GejayanMemanggil dan generasi mahasiswa dalam pergerakannya.
3.3.1 Pro dan Kontra terhadap Pergerakan Dalam perjalanannya, upaya generasi muda melakukan pergerakan dalam aksi #GejayanMemanggil turut mendapat respon negatif. Narasi-narasi yang kontra dengan pergerakan, bermunculan di kalangan masyarakat. Diantaranya terdapat narasi-narasi miring yang menuduh bahwa aksi #GejayanMemanggil ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Sejumlah pihak, termasuk buzzer, melabeli
68
#GejayanMemanggil sebagai gerakan "yang ditunggani kepentingan busuk" Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).6 Selain itu, sikap rektor dari beberapa universitas, cenderung tidak mendukung aksi #GejayanMemanggil. Dengan mengeluarkan surat edaran yang menyatakan bahwa kampusnya tidak terlibat dan tidak mendukung aksi #GejayanMemanggil. Beberapa kampus yang mengeluarkan keputusan tersebut adalah Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma, dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 7 Narasi yang kontra gerakan juga ditemukan dalam bentuk-bentuk kesenjangan generasi, yang muncul dari generasi sebelumnya terhadap aksi #GejayanMemanggil. Salah satunya adalah upaya ‘penggembosan’ pergerakan terhadap aksi #GejayanMemanggil. “…jadi upaya penggembosan gerakan dari luar itu ternyata juga hadir dari Angkatan ‘98, baik yang ada di Jogja maupun yang ga di Jogja…” (Wawancara Endang 25 Desember 2019)
Bentuk kesenjangan tersebut diantaranya adalah kritik terhadap pergerakan yang dianggap main-main. “…untuk yang tidak mendukung gerakan ini, karena kan memang, mereka bilang kayak "kok kayak ga terstruktur dan segala macem", "kok nyeleneh (aneh atau tidak biasa)", kan ga kaya tahun dia kan…”(Wawancara Amerta 19 Januari 2020).
Kesenjangan ini pada dasarnya berhubungan dengan karakteristik generasi muda dalam merespon permasalahan, yang terbentur dengan romantisme dari generasi sebelumnya. Sebagai generasi yang lebih dekat dengan masalah-masalah saat ini, mereka secara dramatis sadar akan proses destabilisasi yang berlangsung
6 7
https://tirto.id/di-balik-munculnya-isu-khilafah-dalam-gerakan-gejayanmemanggil-eiAN https://tirto.id/gejayan-memanggil-dan-respons-ugm-usd-atma-jaya-uny-eiyw
69
dan memiliki keberpihakan pada hal tersebut, sementara generasi tua berpegang teguh pada reorientasi yang telah menjadi drama masa muda mereka (Mannheim, 1952).
3.3.2. Dukungan dan Simpati Masyarakat Walaupun ditemukan adanya narasi-narasi yang cenderung tidak mendukung aksi #GejayanMemanggil, namun mayoritas publik tetap memberi penerimaan terhadap aksi tersebut. Pergerakan yang murni karena keresahan kondisi terhadap kondisi negara, memungkinkan aksi #GejayanMemanggil melalui tuntutannya dapat bermanfaat bagi kepentingan rakyat dan dapat diterima secara luas. Selain itu, penerimaan ini salah satunya adalah berkat pelaksanaan aksi yang dilakukan secara damai dan tidak terlibat gesekan ataupun bentrokan dengan elemen manapun, termasuk aparat negara. “…kita gabisa dapet engagement sipil kalo ada kekerasan. Mereka ga akan simpatik, mereka ga akan ikut, dengan narasi itu. Akhirnya, kita sepakat dengan itu tadi, ga ada gesekan, karena kita fokus pada partisipasi sipil pada saat itu, masyarakat sekitar juga…” (Wawancara Endang 25 Desember 2020)
Karena semangat dari pelaksanaan aksi yang berorientasi secara damai dan menghindari pertikaian. Aksi #GejayanMemanggil mendapat sambutan yang hangat dari publik, dengan cara yang disampaikan masyarakat sekitar sebagai bentuk simpati terhadap aksi ini. “…ada orang yang lempar buah gitu kan, itu aku ngeliatnya publik juga bersimpati sama aksi ini, karena mungkin mereka sadar bahwa ini dampaknya juga bakal ke mereka nanti…”(Wawancara Rama 10 Januari 2020).
70
Selain itu, bentuk dari simpati masyarakat juga hadir dari warga yang berda di sekitaran lokasi aksi. Bentuk dukungan tersebut, secara sederhana dapat dilihat dari penerimaan masyarakat yang berkesan baik terhadap aksi #GejayanMemanggil. “…bapak-bapak, pegawai pabrik, gabisa turun dong karena harus kerja, dia naik ke lantai paling atas, yang ada balkonnya, dia keluar, dia tepuk tangan dan bilang “lanjutkan!”. Itu, itu yang kita cari, itu kita cari. Atau bapakbapak, gabisa turun ke bawah, karena rame banget, ga bisa nafas, akhirnya dia naik ke rumahnya, dia keluarin soundsystem, dia pasang musik, kita dangdutan bareng, dan dia selesai aksi, dia teriak "lawan-lawan!", itu mungkin artikulasi yang sangat sederhana, tapi itu mungkin yang sangat distinct (perbedaan mencolok) …”(Wawancara Endang 25 Desember 2020).
Sejauh ini, karakteristik pergerakan yang muncul dari #GejayanMemanggil, menunjukkan hubungan terhadap penerimaan publik. Apa yang disuarakan mengenai resiko bagi rakyat atas kebijakan-kebijakan bermasalah, membuahkan hasil yang ditunjukkan melalui dukungan masyarakat. Tidak hanya itu, penerimaan masyarakat tentang kesadaran atas isu yang diusung dalam #GejayanMemanggil, menjadi suatu hal yang menunjukkan keberhasilan aksi tersebut untuk membangun keterlibatan masyarakat. Dengan membuka wacana tentang permasalahan yang terjadi, diskursus keterlibatan warga negara dapat termanifestasikan melalui munculnya percakapan-percakapan yang hidup di masyarakat, terkait problematika kebijakan. “…dia menjadi diskursus yang hidup dan diperbincangkan oleh masyarakat sehari-hari. Banyak masyarakat mulai membicarakan tentang pemberantasan korupsi, masyarakat membicarakan tentang kekerasan seksual, terlepas nanti dengan pro dan kontranya. Masyarakat membicarakan tentang kabut asap karhutla (kebakaran hutan dan lahan), karena itu merupakan salah satu dari tujuh tuntutan gejayanmemanggil. Itu merupakan apa bagi saya, tujuan yang mungkin direspon dengan baik karena masyarakat menjadikan itu pembicaraan sehari-hari, masuk ke sektor-sektor privat toh berarti, nah itu salah satu yang menurut saya, potret yang menarik dari apa yang terjadi di gejayanmemanggil kemarin…” (Wawancara Marko 11 Januari 2020).
71
Dari
serangkaian
pembahasan
tersebut,
menunjukkan
bagaimana
karakteristik generasi muda yang dihadirkan oleh kalangan mahasiswa pada aksi #GejayanMemanggil. Kondisi negara, pengetahuan historis tentang generasi lama, dan konteks Yogyakarta, memberikan bentuk tersendiri pada lokasi generasional mereka. Kemudian, dalam merespon dengan pemahaman konteks lokasi generasional, memberikan gambaran tentang aktualitas generasi yang dimiliki oleh generasi ini. Tantangan neoliberalisme dengan hadirnya oligarki di ranah kebijakan, dan era informasi dengan segala kemungkinan yang makin hari dapat muncul dalam ruang-ruang digital, menjadi realita tersendiri yang tentunya memiliki penerimaan yang berbeda dari setiap generasi. Pada akhirnya, apa yang dimunculkan oleh generasi muda melalui aksi #GejayanMemanggil, melekat dengan pandangan dan orientasi aktualitas generasi mereka. Pada akhirnya, proses tersebut memantik kesadaran atas narasi yang lebih besar, dan melahirkan unit generasi pada aksi #GejayanMemanggil sebagai ‘unit pergerakan’ tersendiri, dalam konstelasi aktivisme dan pergerakan generasi muda di Indonesia.
3.4. Limitasi terhadap Pluralitas Generasi Muda Mahasiswa Pemaparan di atas telah menunjukkan bentuk kolektifitas generasi muda yang terlihat utuh dan solid, dalam artikulasi gerakan rakyat pada aksi #GejayanMemanggil. Namun, terdapat pula karakter generasi yang plural dan muncul pada tataran internal gerakan, karena aksi #GejayanMemanggil memiliki keragaman individu yang hadir dan berpartisipasi dengan latarbelakang identitas
72
yang berbeda-beda, termasuk generasi muda mahasiswa. Hal tersebut menjadi fakta yang perlu disampaikan, atas eksplorasi terhadap demografi massa aksi yang memiliki keterbatasan pada lima orang mahasiswa yang menjadi informan dalam studi ini. Kenyataan tersebut berhubungan dengan bagaimana identitas dan kesadaran secara kolektif pada artikulasi #GejayanMemanggil, menaungi karakteristik generasi muda yang plural dan bervariasi dari masing-masing individu. Melalui kacamata generasi sosial, hal ini merupakan sebuah keniscayaan yang diamini dan menjadi ciri khas dalam pembacaan terhadap generasi sosial. Perbedaan yang muncul dari ekspresi tiap-tiap subjek dalam aksi #GejayanMemanggil, menunjukkan bahwa pluralitas di dalam sebuah generasi berhubungan dengan bagaimana disposisi dari masing-masing individu. Keterkaitan antara lokasi, aktualisasi, dan unit generasional dari setiap individu memiliki kemungkinan yang berbeda. Menurut Mannheim, lokasi sosial serta konteks sosio-historis tertentu membentuk nilai, kepercayaan dan pandangan hidup bagi sebuah generasi, bagaimana sebuah generasi sulit memahami generasi lainnya dan bagaimana proses pertentangan antar generasi tersebut berlangsung ( Woodman dalam Sutopo, 2014). Narasi dominan yang hadir dalam sebuah generasi, membentuk konteks yang dalam lokasi generasional. Sementara persepsi yang merespon kondisi terhadap konteks tersebut, bekerja dalam aktualisasi generasi. Sedangkan tindakan yang menjadi ekstensi dari respon tersebut, menjadi manifestasi dari terbentuknya generasi sebagai sebuah unit.
73
Proses yang berkesinambungan tersebut tidak hanya berlaku dalam melihat kesenjangan antara generasi, tetapi juga perbedaan yang menjadi pluralitas dalam sebuah generasi yang berhubungan dengan proses tersebut. Apa yang dimunculkan oleh kelima orang informan mahasiswa dalam studi ini, merupakan pandangan mereka terkait narasi dominan yang hadir dalam konteks lokasi generasionalnya. Latarbelakang kelima orang mahasiswa yang cenderung lekat dengan aktivisme dan pergerakan, berhubungan dengan respon mereka dalam proses aktualitas generasionalnya, dan pergerakan pada aksi #GejayanMemanggil menjadi implementasi atas eksistensi mereka sebagai unit generasional. Berdasarkan hal tersebut, pembahasan mengenai generasi muda dalam studi ini memiliki keterbatasan dalam mengeksplorasi secara lebih mendalam tentang pluralitas generasi yang muncul pada aksi #GejayanMemanggil. Pembahasan yang telah disampaikan di atas merupakan bahasan atas fenomena yang muncul secara dominan pada tataran kolektif, dan berhubungan dengan artikulasi serta identitas gerakan yang menjadi narasi besar bagi kalangan mahasiswa, khususnya informan mahasiswa dalam studi ini. Sementara pada lingkup-lingkup bahasan mengenai generasi di tataran mikro, tidak menjadi fokus yang diprioritaskan. Perlu untuk digarisbawahi, keterbatasan yang ada dalam studi ini cenderung merepresentasikan pandangan subjektif kalangan mahasiswa yang terlibat secara aktif
dalam
penyelenggaraan
dan
pengelolaan
gerakan
pada
aksi
#GejayanMemanggil. Sangat mungkin apabila terdapat realita yang berbeda dari bahasan mengenai generasi dalam aksi #GejayanMemanggil, yang nyatanya belum tersentuh oleh pembahasan pada studi ini. Oleh karena itu, diskursus mengenai
74
generasi muda yang berusaha dibangun dalam pembahasan di atas, tidak bertujuan untuk menggeneralisasi realita yang muncul di lapangan. Lebih jauh, diskursus mengenai generasi dalam studi ini cenderung berupaya untuk membuka percakapan yang lebih luas tentang eksistensi generasi muda, dan mendorong ekplorasi yang lebih variatif di kemudian hari. -o0o-
75
BAB IV Konstelasi Intelektual Gerakan: Agensi Mahasiswa dalam Produksi Pengetahuan dan Jejaring Aksi #GejayanMemanggil Aksi #GejayanMemanggil yang melibatkan banyak kalangan, memiliki artikulasi yang dihadirkan dalam narasi keterlibatan warga negara. Pada bagian sebelumnya, telah dibahas bagaimana artikulasi tersebut berhubungan dengan konteks kehidupan generasi muda. Sedangkan pada bagian ini, pembahasan mengenai aksi #GejayanMemanggil diletakan pada dimensi pengetahuan dan jejaring sosial gerakan.
4.1. Dimensi Pengetahuan dalam Aksi #GejayanMemanggil Pengetahuan mengenai pergerakan menjadi poin krusial dalam aksi #GejayanMemanggil, di mana mana berhubungan dengan narasi keterlibatan sipil yang mencakup demografi massa secara luas. Pengetahuan dalam gerakan sosial, selain dibentuk juga dapat menghasilkan pengetahuan tentang dunia sosial, secara spesifik, gerakan menghasilkan pengetahuan dari bawah tentang kesengsaraan dan ketertindasan masyarakat (Cox & Fominaya, 2009). Gerakan sosial dapat dipahami sebagai proses kreasi kolektif yang memberi masyarakat ide, identitas, dan cita-cita, yang ditempatkan dalam artikulasi identitas gerakan sebagai ‘praxis kognitif’, melalui aktor atau ‘intelektual gerakan’, pada konteks artikulasi budaya dan institusi politik (Eyerman & Jamison, 1991).
76
Pengetahuan dalam gerakan menjadi salah satu hal yang penting untuk keberlangsungan sebuah gerakan. Pengetahuan tersebut selain menciptakan dasar bagi pergerakan, juga memungkinkan pengaruh dari gerakan dapat diperluas. Sebagai contoh, gerakan reformasi 98, memiliki semangat untuk menurunkan rezim orde baru yang dianggap zalim. Gerakan ini menghasilkan pengetahuan tentang penindasan dan perjuangan meraih demokrasi, hal ini secara tidak langsung, menciptakan kesadaran kelas yang dimanifestasikan dalam artikulasi menantang opresi dan dominasi kekuasaan (Cox & Fominaya, 2009). Dalam membedah pengetahuan yang hadir dalam #GejayanMemanggil, konsep praxis kognitif diterapkan melalui dimensi kosmologis, organisasi dan teknologis. Ketiga dimensi tersebut bekerja melalui keterlibatan intelektual gerakan yang menjadi aktor. Secara sederhana, cara kerja konsep ini saling berkaitan. Persepsi terhadap kondisi sosial secara umum – permasalahan sosial dan solusi yang diharapkan, berada pada dimensi kosmologis. Terbentuk gerakan dengan tatacara pengelolaan serta manajemennya, yang berhubungan dengan pengetahuan pada dimensi organisasi. Dampak yang muncul dari gerakan ini, berpotensi membentuk pengetahuan baru pada dimensi teknologis. Berangkat dari pemaparan tersebut, konsep praxis kognitif difokuskan pada keterlibatan kalangan mahasiswa, sebagai salah satu intelektual gerakan yang membentuk pengetahuan dalam aksi #GejayanMemanggil.
77
4.1.1. Mahasiswa sebagai Intelektual Gerakan Kehadiran kalangan mahasiswa sebagai unsur yang paling banyak menyusun demografi massa aksi, turut membentuk pengetahuan dalam aksi #GejayanMemanggil. Mahasiswa dapat dianggap sebagai intelektual gerakan, yang menjadi motor dalam sebuah tindakan kolektif. Hal ini berhubungan dengan keterlibatan mereka dalam memobilisasi artikulasi dan identitas kolektif gerakan, yang membentuk kekuatan bagi gerakan dalam mendefinisikan tentang "Yang Lain", atau oposisi gerakan (Harold, 1995). Kehidupan mahasiswa yang lekat dengan interaksi di lingkungkan kampus, keterlibatan dalam organisasi, maupun berpartisipasi dalam tindakan-tindakan kolektif layaknya aksi demontrasi atau gerakan sosial, merupakan beberapa hal yang berhubungan dengan proses pengetahuan terbentuk. Orang mengubah pemahaman mereka tentang dunia sosial dalam pengalaman individu dan kolektif, fitur kognitif ini relevan dengan 'aktor gerakan' sosial yang terlibat lebih aktif dan penuh perhatian dalam menangani isu dan permasalahan sosial (Hosseini, 2010). Proses yang dialami kalangan mahasiswa dalam kehidupan kampus, dapat menjadi jembatan yang menghubungkan mereka dalam memperoleh pemahaman terkait gerakan sosial. “…kalo gua ga kuliah jurusan politik, atau ketemu orang-orang yang bahas itu, atau terekspos dengan tools (perangkat) analisis itu, gua mungkin ga akan punya kesadaran politik seperti ini…”(Wawancara Endang 25 Desember 2020).
Endang yang merupakan divisi kajian pada aksi #GejayanMemanggil, sebagai salah satu orang yang terlibat dalam penyusunan kajian, memiliki kesadaran politik yang didapatkan melalui interaksi di kampusnya, yang 78
membentuk pengetahuan terkait gerakan. Latar belakang jurusan politik yang diambil oleh Endang juga memungkinkan pemahaman politiknya terbentuk dari ranah akademis. Hal ini menjadi penting dalam perannya mengelola dan mengkaji isu yang mendasari landasan aksi. Selain itu, keterlibatan dalam organisasi juga berpotensi sebagai proses yang melatarbelakangi aktivisme dan pergerakan mahasiswa. “…pas kuliah, aku masuk dewan mahasiswa kan, nah dari sana ketemu sama senior-senior, mereka banyak ngajarin soal turun aksi, trus soal propaganda, dan beberapa kali kita merespon isu-isu dalam skala kampus, nasional, internasional, ya akhirnya seiring berjalannya waktu aku udah mulai ngerti kenapa harus turun, kenpa ini kenapa itu.…” (Wawancara Rama 10/01/2020).
Pengalaman berorganisasi di lingkungan kampus, seperti yang dialami Rama, memungkinkan mahasiswa memiliki akses terhadap ranah aktivisme pergerakan. Selain itu, kehadiran senior dalam sebuah organisasi turut berperan dalam proses transfer pengetahuan mengenai gerakan. Proses tersebut berjalan pada interaksi yang muncul dalam relasi di tataran organisasi. Di samping itu, konteks lingkup pergaulan di lingkungan kampus turut menjadi medium yang berpotensi membentuk pengetahuan tentang gerakan. “…ngeliat temen-temen yang kadang ngomongin soal aksi dan sebagainya, jadi emang tertariknya dari situ, soalnya aku kayak dicuci otak gitu hahaha, ngga dicuci otak tapi apa ya, otokritik lah, otokritik, temen aku ngomongin otokritik, dan lingkungannya mendukung…”( Wawancara Sinta 25 Desember 2020).
Penuturan Rama, Sinta dan Endang, menunjukkan bahwa lingkungan kampus yang mencakup interaksi, keterlibatan dalam organisasi, dan relasi pertemanan berhubungan dengan pemahaman terkait aktivisme dan pergerakan. Kesadaran politik, pengetahuan mengenai aktivisme dan pergerakan, serta
79
pemahaman terhadap isu-isu sosial, dapat difasilitasi oleh kehadiran narasi-narasi di lingkungan kampus. Pada titik ini, kehidupan kampus sebagai salah satu realita bagi generasi muda mahasiswa, menjadi salah satu medium untuk membentuk pengetahuan terkait aktivisme dan pergerakan mereka. Hal ini turut berhubungan dengan identitas mahasiswa, yang lekat dengan ranah intelektualitas. “…identitas mahasiswa itu membentuk intelektualitas tertentu di anak-anak muda yang terlibat, tapi itu digunakan untuk membongkar narasi struktural negara, kekuasaan negara dibongkar untuk kemudian kita artikulasikan bersama yang semua orang itu bisa terlibat, yang gaperlu identitas mahasiswa yang selama ini di stigmakan. Jadi kupikir, itu tidak dilepaskan sepenuhnya, itu dilepaskan pada konteks nama gerakan, tapi itu tidak dilepaskan dalam konteks membangun pengetahuan terhadap persoalan publik…(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Proses yang melatarbelakangi hadirnya narasi keterlibatan sipil pada aksi #GejayanMemanggil,
berhubungan
dengan
intelektualitas
dan
aktivisme
mahasiswa, di mana hal tersebut menjadi pondasi dalam wacana pengetahuan pergerakan mereka. Dengan menanggapi masalah sosial dan merumuskannya untuk masyarakat, gerakan sosial menciptakan ruang baru untuk kegiatan intelektual dan memacu diskusi publik (Hosseini, 2010). Dimensi pengetahuan mahasiswa sebagai individu, terkait dengan lingkungan kampus
yang
memungkinkan reproduksi pengetahuan mengisi ruang-ruang percakapan tentang pergerakan. Sehingga, membentuk ranah intelektualitas yang melekat pada identitas kemahasiswaan, dan menjadi medium yang memungkinkan disposisi pengetahuan mengenai pergerakan terinternalisasi ke dalam individu mahasiswa.
80
4.1.2. Praxis Kognitif Aksi #GejayanMemanggil Dari sub bahasan di atas, proses yang dialami mahasiswa pada kehidupan kampus, membentuk seperangkat wawasan dalam tataran individu, terkait pengetahuan tentang gerakan. Dari proses tersebut, individu mahasiswa dapat dianggap sebagai salah satu intelektual gerakan dalam aksi #GejayanMemanggil, di mana terdapat proses yang mempertemukan pengetahuan intelektual-intelektual gerakan dari berbagai kalangan. Proses ini menghasilkan pengetahuan dalam bentuk kolektif. Hal ini yang kemudian memungkinkan narasi keterlibatan warga negara hadir dan menjadi artikulasi pergerakan. Mengacu pada pandangan Eyerman & Jamison (1991) tentang konsep praksis kognitif (praxis cognitive), pengetahuan gerakan sosial dapat dilihat melalui tiga dimensi
diantaranya adalah, kosmologis
(cosmological), organisasi
(organizational), dan teknologis (technological). Konsep tersebut secara umum dapat dilihat sebagai proses yang saling berkaitan, yang memungkinkan sebuah gerakan menjadi sebuah praxis kognitif. Dimensi kosmologis, mencakup pandangan umum tentang dunia sosial dan cita-cita dari gerakan tersebut. Dalam prosesnya, dimensi kosmologis memerlukan praktik, seperti pembentukan tindakan kolektif, yang dapat dilihat sebagai dimensi organisasi. Selanjutnya, proses tersebut berpotensi menghasilkan sebuah pengetahuan, yang dalam hal ini menjadi dimensi teknologis. Dimensi-dimensi praxis kognitif tersebut, dalam aksi #GejayanMemanggil salah satunya dapat dilihat pada diskursus terkait konteks generasi muda, yang telah dibahas pada Bab II, sebagai dimensi kosmologis. Dimensi kosmologis tersebut
81
adalah konteks di mana aksi #GejayanMemanggil terjadi, seperti isu terkait kebijakan bermasalah, minimnya ruang keterlibatan masyarakat, dan konteks historis-sosial-kultural-politik yang melingkupi aksi #GejayanMemanggil. Dimensi kosmologis juga dapat dilihat pada kajian terhadap isu-isu yang memberikan dasar artikulasi gerakan. “…gua coba pake soal policy network. Jadi satu teori, satu konsep, dalam good governance, yang paradox banget, good governance kan tuh partisipasi sipil, partisipasi orang-orang di luar negara kan, ternyata tuh paradox, dalam artian, good governance itu menciptakan yang namanya policy network. Jadi ibaratnya, yang terlibat dalam arena kebijakan bukan lagi hanya negara, tapi ada swasta di sana, ada birokrat level atas, ada politisi, ada akdemisi, tapi jarang banget sipil, terbentuklah oligarki yang gak cuma di nasional akhirnya, tapi juga di daerah, ada desentralisasi oligarki yang terjadi, ibaratnya kaya gitu. Makanya, ibaratnya, policy network ini, oligarki ini, dia aksesnya tuh horizontal, setara dengan negara, beda dengan sipil yang dia vertikal, dia jauh. Jadi kita ngangkat itu, itu terbukti dengan hadirnya isu-isu yang kita bahkan gatau, ga dilibatkan, dan dilaksanakan secara tertutup. Sidang mereka kan tertutup paripurnanya, UU KPK pembahasannya tertutup, di hotel pula. Nah itu kemudian membuat orang-orang yang tadinya ga konsern dengan isu ini, ketika kita mencoba menarasikan itu, orang-orang yang gapunya konsern spesifik sebelumnya, jadi kayak "oh gila ya gak transparan"...” (Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Landasan aksi diarahkan pada permasalahan mengenai sempitnya ruang partisipasi masyarakat sipil dalam pembentukan kebijakan, untuk mencakup semua sektor yang bermasalah dalam wacana kebijakan pemerintah. Pada titik ini, intelektualitas dari kalangan mahasiswa pada pergerakan aksi #Gejayanmemanggil, disematkan dalam membentuk artikulasi tentang partisipasi warga negara. Artikulasi ini secara lebih lanjut, selain bertujuan untuk menembus sekat-sekat yang terbentuk dari identitas-identitas parsial seperti mahasiswa, latar belakang dari setiap isu yang diangkat oleh aksi #GejayanMemanggil juga merupakan problem bagi setiap warga negara.
82
Di sisi lain, dimensi organsisasi pada kasus aksi #GejayanMemanggil, dapat dilihat pada keterlibatan intelektual gerakan, layaknya kalangan mahasiswa, yang membentuk definisi identitas kolektif tentang gerakan rakyat sebagai artikulasi #GejayanMemanggil, seperti ‘Aliansi Rakyat Bergerak’. Proses tersebut berkeja pada keberagaman latar belakang dari masing-masing individu. Seperti identitas mahasiswa, yang kemudian dilepaskan dalam identitas gerakan rakyat. “…kita harus akui bahwa yang terlibat di gejayan memanggil itu notabene mahasiswa, tapi biarkan publik melihat itu sebagai gerakan rakyat. Akhirnya tercetus nama aliansi rakyat bergerak, dan kita mencoba untuk mengajak lebih banyak elemen selain mahasiswa…”( Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Pada titik ini, proses membangun pengetahuan oleh generasi muda mahasiswa menjadi menarik, karena pada kenyataannya, diperlukan perlakuan yang berbeda terhadap identitas yang mereka miliki, untuk melibatkan kalangan lain selain mahasiswa dalam gerakan. “…kajian-kajian tersebut kan bukan hanya dari kaum akademisi ya, terlebih lagi, kajian-kajian tersebut ada karena praktek yang dilakukan, contohnya seperti misalkan, kasus omnibus law, itu kan kasus buruh, dan itu terlepas dari kaum akademisi gitu, secara praktek mereka sudah merasakan…”(Wawancara Amerta 19 Januari 2020).
Pemaparan di atas menunjukkan proses membentuk pengetahuan pada ruang-ruang pertemuan antarkalangan, yang mempertemukan antarintelektual gerakan dari beragam latarbelakang. Pertemuan tersebut menjadi salah satu kunci bagaimana kolektifitas dalam aksi #GejayanMemanggil dapat terbentuk, yang menjadi sebuah wadah untuk mencakup setiap elemen, yang menciptakan inklusifitas dari sebuah gerakan. “…ada satu isu yang kemudian mereka sepakati bersama, ya mereka akan melepas identitas mereka, mereka hadir bareng-bareng, mereka gerak kolektif buat tujuan ini. Kalo semisal pake identitas yang kaya gini, identitas
83
yang melekat kemudian ga kita lepasin, ya akhirnya yo, kita ga bakal mencapai satu tujuan yang sebenernya itu lebih penting dari identitas kita…”( Wawancara Sinta 25 Januari 2020).
Pengetahuan dalam dimensi organisasi pada artikulasi warga negara, secara tidak langsung turut berhubungan dengan kenyataan bahwa identitas sebagai warga negara bersifat menubuh, yang merupakan dimensi kosmologis. Dalam hal ini, terdapat keterkaitan antara dimensi kosmologis dengan dimensi organisasi. “…ketika ada surat larangan dari beberapa rektor universitas ya, yang berkaitan dengan pelarangan aksi, temen-temen tetep turun, kenapa, karena memang ketika kamu mendapatkan pelecehan seksual, kamu mendapati tilang di jalanan dan sebagainya, yang menyangsi bukan sanksi akademik, tapi sanksi di ranah negara. Itu kan sebenernya menunjukkan, bahwa respon kemarin adalah respon bukan hanya sebagai mahasiswa, tapi respon sebagai warga negara…”(Wawancara Marko 11 Januari 2020).
Narasi warga negara menjadi hal yang utama dari aksi #GejayanMemanggil. Dalam pelaksanaannya, narasi sebagai warga negara turut berperan sebagai medium dalam reproduksi pengetahuan pada aksi #GejayanMemanggil. “…kita jadi bisa belajar kan, masyarakat juga, dari sekarang itu bisa belajar bahwa ternyata, ada yang gabener nih dari pemerintahan, terus ada apa sih, nah mungkin masyarakat bisa belajar dari situ, muncul pertanyaanpertanyaan kenapa sih bisa seperti itu? Oh ternyata karena faktor pemerintah yang seperti ini, oh ternyata ada faktor ekonomi dan segala macem, oh ternyata ada faktor sosial budaya, kaya gitu, kupikir itu sih, penyadaran…”( Wawancara Amerta 19 Januari 2020).
Di samping itu, terdapat tantangan dalam penerapan artikulasi warga negara, khususnya bagi kalangan mahasiswa sebagai pemuda, dan juga intelektual pada aksi
#GejayanMemanggil.
Karakteristik
mahasiswa
yang
erat
dengan
intelektualitas, dan cenderung memiliki pandangan-pandangan idealis, berpotensi terbentur dengan realita yang ada. “…yang menjadi tantangan pemuda untuk, yang juga terpapar dengan intelektualitas tadi, untuk menempatkan diri di sipil, tantangannya adalah membenturkan yang ada dipikirannya dengan yang dilihat dia secara kasat mata gitu…” (Wawancara Endang 25 Desember 2019).
84
Realita yang kompleks dalam prakteknya terjadi dalam lingkup individu pemuda, dalam hal ini mahasiswa, yang terlibat dalam aksi #GejayanMemanggil. Hal ini menjadi proses saling bernegosiasi terhadap perbedaan, seperti latar belakang yang berbeda, atau kepentingan yang juga berbeda-beda. Penerapan tersebut, dapat dilihat pada cara penyampaian yang cair, tidak memberikan pemaksaan, atau penekanan dalam membangun narasi tersebut. “…kita tidak mencoba untuk mengganti realitas gejayan, tapi kita kemudian menambahkan, dan membalut realitas itu dengan narasi intelektual, dan penekanan politik, dan gerakan, dengan itu tadi, dengan engagement (keterlibatan) dengan ekonomi kelas bawah, atau ajakan mereka untuk terlibat partisipasi apapun gitu, atau mereka sesederhana teriak lawan, itu kan kemudian kita ingin menambah realitas mereka gitu, kita ga sedang ingin mengganti realitas bahwa ya gejayan adalah tempat pasar …”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Penyampaian narasi politik dilakukan dalam aksi #GejayanMemanggil, menjadi inti dari pergerakan ini, narasi politik tentang partisipasi warga negara dalam berjalannya pemerintahan. Hal ini menjadi nafas yang dihembuskan untuk mencapai tujuan dari aksi #GejayanMemanggil, yang disandarkan pada klaim ruang publik, sebagai artikulasi bahwa publik berhak untuk bersuara dan terlibat. Metode dalam memanifestasikan narasi politik tentang kewarganegaraan, dihadirkan di ruang publik seperti melalui pertunjukkan seni. Dengan cara penyamapaian tersebut, narasi keterlibatan sipil dapat diterima dan diikuti oleh semua kalangan. “…aksi, kita kan, di situ ada kan ada konser gitu, segala macem, itu kan lebih ke festival rakyat, pesta rakyat gitu, dan aku pikir itu sih yang paling mencolok dari agitasi itu, sehingga bisa memunculkan setiap orang, setiap individu yang ada, bisa merangkul gitu…”( Wawancara Amerta 19 Januari 2020).
85
Gambar 4.1. Pertunjukan musik dalam aksi #GejayanMemanggil
Sumber: balairungpress.com Pelaksanaan aksi #GejayanMemanggil yang menghadirkan pertunjukkan seni seperti ilustrasi gambar di atas, menjadi hal menarik yang dimunculkan oleh gerakan ini. Cara tersebut dapat memperkuat artikulasi infklusif, di mana semua orang dapat ‘menikmati’ proses dalam mengklaim ruang publik. Di samping itu, secara tidak langsung infklusifitas dalam aksi #GejayanMemanggil turut terpancar dari keberagaman massa aksi yang heterogen, yang mana turut diperhatikan oleh para intelektual gerakan agar dapat menciptakan ruang demonstrasi yang juga inklusif. “…kita hadirkan itu, demonstrasi ada orang pake tongkat, pake wheelchair (kursi roda) atau misalkan orang yang dia pake poster "saya gendut gabisa lari, terimakasih #GejayanMemanggil, ga membuat saya lari-lari", atau misalkan orang-orang yang sampai pada titik mokom (mobil komando) itu tidak hanya diisi oleh laki-laki yang pegang toa, mokom juga diisi ga cuman laki-laki Jawa ya tapi orang Papua, perempuan…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Penyampaian narasi keterlibatan warga negara, menjadi artikulasi yang inklusif. Proses kognitif pada dimensi kosmologis tersebut, berkembang menjadi tata cara pengelolaan dan pengorganisasian aksi secara inklusif pulan. Hal ini yang pada akhirnya menjadi medium penyampaian narasi tersebut dapat memunculkan
86
pengetahuan pada dimensi teknologis. Keberlangsungan aksi #GejayanMemanggil yang dapat diterima secara luas oleh masyarakat, memunculkan pengetahuan yang menembus sekat-sekat dari berbagai lapisan masyarakat. “…lebih banyak engagement (keterlibatan) dari masyarakat yang awalnya ga ikut jadi ikut. Sesederhana, tukang becak beliin minum buat kita semua, kita punya uang, pointnya bukan di minumannya, pointnya adalah dia belum punya poltical consciousness (kesadaran politik) yang mungkin dimiliki anak muda pada saat aksi, tapi dia melihat bahwa, ini adalah bentuk artikulasi yang itu bisa sampai dipenerimaan dia gitu…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Secara lebih lanjut, proses diseminasi pengetahuan tersebut, sedikit banyak membuahkan hasil berupa respon dari khalayak publik. Pada titik ini, konteks pengetahuan dalam aksi #GejayanMemanggil telah melalui proses praksis kognitif dari para intelektual gerakan, partisipan dan juga masyarakat secara umum. “…seperti pedagang buah yang turut berpartisipasi dalam aski, atau tementemen yang meliburkan diri atau absen saat hari kerja lalu mengikuti aksi dan sebagainya, itu kan sebenernya respon, tanggapan terhadap aksi dalam bentuk yang lain, bukan respon mereka mengapresiasi atau apa, tapi ini respon dalam bentuk simbol, yang kita bisa melihat bahwa itu ada di jalan gejayan kemarin…”(Wawancara Marko 11 Januari 2020).
Dari fenomena terebut, narasi keterlibatan sipil yang mendapat penerimaan dari khalayak publik, dapat dilihat sebagai salah satu bentuk pengetahuan pada dimensi teknologis. Diseminasi kesadaran dan keterlibatan sipil sebagai tujuan dari #GejayanMemanggil, berhubungan dengan bagaimana aksi #GejayanMemanggil membentuk alternatif narasi politik, melalui tindakan di ruang publik pertigaan Jalan Gejayan sebagai bentuk pengetahuan dimensi organisasi.
87
4.2. Jejaring Sosial dalam Aksi #GejayanMemanggil Konteks pengetahuan yang diangkat dalam #GejayanMemanggil, dalam prakteknya membutuhkan medium yang menghubungkan keterlibatan individu pada bentuk kolektif yang lebih luas. Selain pengetahuan, terdapat faktor lain yang perlu dipertimbangkan dalam pembahasan mengenai aksi #GejayanMemanggil, yaitu terkait jejaring sosial. Jejaring sosial sangat penting untuk keterlibatan dalam aksi kolektif, keberlanjutannya dari waktu ke waktu, dan koordinasi dalam mengambil tindakan (della Porta & Diani, 2006). Elemen masyarakat yang menyusun demografi massa aksi #GejayanMemanggil, seperti yang dibahas sebelumnya, berasal dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda, yang berpartisipasi dan pada akhirnya membentuk kolektifitas melalui aksi #GejayanMemanggil. Dalam ruang yang mempertemukan berbagai kalangan tersebut, terdapat proses yang melatarbelakangi bagaimana seseorang dapat terlibat. Untuk itu, pembahasan mengenai jejaring sosial diperlukan untuk melacak proses terbentuknya kolektifitas pada aksi #GejayanMemanggil. Sebagai tindakan kolektif, jejaring sosial dalam sebuah gerakan berkaitan dengan relasi antar aktor yang terlibat (Passy, 2003). Konteks relasi menjadi hal yang penting dalam pembahasan mengenai jejaring sosial, karena berhubungan dengan ikatan yang membentuk solidaritas kolektif. Relasi dalam solidaritas kolektif tersebut, dapat dilihat sebagai ‘modal sosial’ yang merupakan relasi antara aktor sosial baik individu maupun kelompok dilekatkan (Bourdieu & Wacquant, 1992). Modal sosial adalah agregat dari sumber
88
daya, terkait dengan keanggotaan dalam kelompok tertentu yang menyediakan sumber daya tersebut, dan mereka berfungsi sebagai kredensial (kepercayaan), sumber pengaruh, status, atau sesuatu yang bernilai (Bourdieu, 1986). Berangkat dari hal tersebut, konsep modal sosial menjadi konsep yang diterapkan pada pembahasan di bagian ini. Konsep modal sosial digunakan untuk melihat bagaimana proses terbentuknya jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil, melalui bangunan relasi yang dimiliki kalangan mahasiswa sebagai intelektual gerakan.
4.2.1. Karakteristik Jejaring Berbagai elemen masyarakat yang terlibat dalam aksi #GejayanMemanggil, membawa kita pada pembahasan mengenai karakteristik jejaring sosial yang terbentuk melalui keterhubungan mereka. Pada konteks mahasiswa khususnya, jejaring terbentuk dalam kepemilikan relasi sosial mereka, yang mencakup relasi informal seperti lingkar pertemanan atau relasi formal seperti kolega dalam organisasi yang diikuti. Konteks era informasi memungkinkan relasi-relasi tersebut turut mengisi ruang-ruang interaksi seperti di media sosial. Karena aksesibilitas internet di mana-mana saat ini, interaksi online sendiri mengandung dan memperluas modal sosial (Julien, 2014). Mahasiswa sebagai generasi muda, yang identik dengan digital native-nya, turut mengembangkan jejaring gerakan melalui mediasi jaringan digital. “…jejaring dalam gejayan memanggil itu sedikit banyak dibentuk melalui aspek digital, ruang-ruang virtual, group chat, medsos, segala macem…”( Wawancara Endang 25 Desember 2019).
89
Mengingat jumlah massa yang mencapai ribuan orang dalam aksi #GejayanMemanggil,
terdapat
perluasan
jejaring
dalam
perjalanannya.
Sehubungan dengan modal sosial, pendekatan terhadap jejaring bertumpu pada jenis hubungan—seperti saling percaya, timbal balik, atau ikatan sosial, konfigurasi relasi, dan bagaimana individu atau kelompok mendapat manfaat dari struktur relasi tersebut (Prell, 2006). Hal tersebut dapat kita lihat melalui kondisi awal pembentukan jejaring internal gerakan aksi #GejayanMemanggil. “…kita ga seberapa dengan relasi formal yang kita punya, makanya kita buka lagi percakapannya bukan hanya dengan organisasi yang kita tau, tapi dengan stranger litteral stranger gitu loh. Kita bikin diagram, kaya diagram setengah lingkaran, yang sini opponents, negara dan aparat, negara lah. Terus makin kesini politisi, oligarki. Makin kesini ada yang namanya potential opponents yang itu belum pasti jadi opponents tapi cenderung ke opponents, dan di sini juga ada potential allies, jadi ada allies yang fixed sama kita, tapi ada juga potential allies yang dia cenderung ke kita tapi belum mau ikut…”( Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Dari pemaparan Endang, terdapat proses perkembangan jaringan relasi sosial saat memasuki ranah yang lebih luas. Kategori jejaring opponents, potential opponents, potential allies, dan allies, merupakan bentuk relasi sosial yang disistematisasi dalam sebuah struktur jejaring potensial. Melalui konsep modal sosial, hal ini dapat dianggap sebagai agregat sumber daya aktual atau potensial terkait dengan kepemilikan jaringan (Bourdieu, 1986). Dengan sumber daya potensial, konsep modal sosial Bourdieu merujuk pada manfaat yang diterima seseorang melalui keanggotaan dalam kelas, keluarga, sekolah, atau lembaga tertentu (Prell, 2006). Berdasarkan hal itu, jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil terbagi dalam relasi di dunia nyata dan relasi di dunia maya. Senyatanya, baik relasi di dunia nyata ataupun maya, berhubungan satu sama lain, karena relasi di dunia maya 90
sedikit banyak juga merupakan ekstensi dari relasi di kehidupan nyata. Dalam perkembangannya pun, relasi juga dapat terbentuk di dunia maya, dan berlanjut menjadi relasi di dunia nyata. Terlepas dari ruang yang menaungi relasi-relasi dari jejaring sosial aksi #GejayanMemanggil, terdapat beberapa karakteristik yang berhubungan dengan jejaring sosial aksi #GejayanMemanggil. Dari kategori relasi opponents, potential opponents, potential allies, dan allies, menunjukkan bagaimana kategori tersebut membentuk struktur hirarkis berdasar potensi. Struktur tersebut menjadi pendakatan tahap awal yang menyusun jejaring gerakan. Namun, perlu digaris bawahi, struktur ini bersifat sementara dan hanya menjadi semacam metode (dimensi pengetahuan organisasi) dalam mengelola sumber daya untuk aksi #GejayanMemanggil. Bila diurutkan, relasi yang paling berpotensi mendukung adalah kategori aliies, kemudian potential allies. Selanjutnya, kategori potential opponents memiliki probabilitas yang lebih kecil untuk menjadi sumber daya, namun masih memiliki kemungkinan menjadi aliansi. Sementara opponents dapat dianggap sebagai kategori yang tidak potensial, dan cenderung menjadi oposisi gerakan. Pembahasan mengenai pembentukan jejaring, dapat dilakukan dengan menghubungan keempat kategori sosial tersebut, melalui penerapan konsep modal sosial dalam melihat jaringan pada aksi #GejayanMemanggil. Bagian berikut, membahas secara lebih jauh mengenai bagaimana proses yang berlangsung, terkait relasi sosial dan struktur kategori relasi, oleh intelektual gerakan mahasiswa dalam membangun jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil.
91
4.2.2. Proses Berjejaring Pelaksanaan aksi #GejayanMemanggil yang berhasil melibatkan ribuan orang dari berbagai kalangan. Pada kenyataannya, hal ini bukanlah suatu kebetulan ataupun sesuatu yang instan. Terdapat serangkaian proses yang melatarbelakangi bagaimana aksi tersebut dapat berlangsung dalam skala yang besar dan dengan demografi massa yang cukup heterogen. “…Awalnya tuh, kronologinya tuh hari Kamis, gua sama temen-temen gua
nyinyir soal BEM SI, isu-isu naik ga ada yang ngerespon, karena yang direspon cuma UU KPK waktu itu. Nah terus RKUHP naik, viral, waktu itu kita cuman ngobrolin kenapa kaya gini, segala macem. Sampe akhirnya salah satu temenku bilang, “cobalah besok kita kontakin orang-orang”, buat ngobrolin isu pada saat itu, ngobrolin isu doang. Akhirnya besok, temenku itu ngontakin orang-orang, ada sekitar 20 orang, orang-orang kultural yang gapernah ikut BEM. Rata-rata tuh gerak bareng di ‘2 Mei’ sama ‘Bonbin’. Waktu itu kita inventarisir isu, karena kita keresahannya juga sama, kenapa isu yang naik itu cuma dua, UU KPK sama RKUHP…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Dari penurutan Endang, proses awal jejaring pergerakan dibangun melalui sekelompok kecil lingkup aktivis mahasiswa, yang di waktu-waktu sebelumnya pernah terlibat secara kolektif. Hal ini menjadi modal sosial, yang berperan sebagai pondasi awal bangunan relasi yang lebih luas dapat terbentuk. Sehingga, diperlukan tindakan lainnya untuk memperluas cakupan jejaring. “…kita nyatet udah kayak agen MLM (multi level marketing), satu orang bawa organ mana aja. Rata-rata emang mahasiswa pada saat itu, kayak mungkin temenku dari UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), oh temen gua dari ini. Terus ada yang akhirnya nawarin ke WALHI, ada yang nawarin JPY, dan organ-organ sipil yang ada di Jogja pada saat itu. Kita-kita semua yang punya kontak, mau cuman satu orang, tiga orang, sampe satu organisasi, kita bawa semua, kita catet, diabsen, dan setiap nama, itu mau ngajak siapa aja. Sesederahana kayak gua ngajak tiga orang temen angkatan gua, gapapa, yang penting, karena pada saat itu kita mikir, aksi ini ga akan besar, makanya kita tuh, kita mikirnya 300 tuh maksimal, tapi gapapa gitu loh, seadanya, kita ajak dulu, dan pada saat itu kita ga ngajak mereka untuk turun aksi ke jalan, kita Cuma ngajak ketemuan ngomongin isu pada saat itu…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
92
Dari situ, dapat dipahami bagaimana pengembangan jejaring berawal dari relasi yang dimiliki oleh para intelektual gerakan. Tahap awal pengembangan jejaring tersebut, memainkan peran dalam mobilisasi massa selanjutnya. Potensi yang tersedia pada masa awal pembentukan jejaring sosial, melalui konsep modal sosial dapat dipahami sebagai sumber daya (Adkins, 2005). Ketersiadaan sumber daya, dalam hal ini jejaring yang dapat merangkul keterlibatan individu, menjadi basis massa dan sekaligus kekuatan bagi #GejayanMemanggil untuk melancarkan pergerakan. Berhubungan dengan itu, proses pengembangan tersebut berkaitan dengan kategori relasi yang sebelumnya telah dibahas. Dalam prakteknya, diperlukan perlakuan yang berbeda dari masing-masing kategori. “…nah itu, kita bedakan narasinya, ketika kita ngomongin potential allies, kita ga usa ribet lagi ngomongin soal aksi itu jelek, kita nanti baik kok, kita hanya ngomongin soal gimana caranya bisa bantu mereka, itu bisa terakumulasi lewat media populer tadi. Nah ketika ngomongin potential opponents, yang sebenernya mereka ga opponent-opponent amat tapi cenderung ga suka, kita mainkan narasi damai itu tadi, dalam artian ga akan ada hal-hal yang kalian benci dari aksi, itu kita komitmen biar ga terjadi, dan makanya, gejayanmemanggil dua itu lebih diverse (beragam), karena kita cukup banyak mengambil potential opponents tadi jadi allies kita…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Bila dicermati, jejaring sosial #GejayanMemanggil, berhubungan dengan kategori relasi yang memiliki kompleksitas terkait demografi massa dari berbagai kalangan dan latar belakang berbeda. Probabilitas dari setiap kategori relasi tersebut, berhubungan dengan potensi yang berdampak bagi gerakan -- sebagai potensi yang menguntungkan atau justru sebaliknya. Dari pemaparan Endang tersebut, menunjukkan potensi yang menjadi sumber daya gerakan. Hal ini berhubungan dengan bagaimana metode memperluas cakupan jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil, yang tidak hanya mengandalkan modal sosial yang ada,
93
tetapi juga mereproduksinya, atau bahkan menghasilkan modal sosial yang baru (Diani, 1997). Pada proses membangun jejaring tersebut memerlukan pemilahan terkait basis massa yang berpotensi untuk mendukung gerakan, atau justru menjadi ‘lawan’ bagi gerakan. Pemilahan tersebut menjadi hal yang dipertimbangkan terkait bagaimana menemukan basis-basis massa yang dapat mendukung aksi #GejayanMemanggil. Proses pembentukan jejaring secara terstruktur membuat mobilisasi gerakan dapat dilakukan dengan lebih terarah, dan berdampak positif dalam memobilisasi sumber daya potensial, bahkan pada sumber daya yang berpotensi kecil. Sumberdaya ini bertindak lebih jauh sebagai modal kolektivitas, yang dapat berbentuk kepercayaan, melalui keanggotaan aktor sosial pada kelas atau kelompok tertentu (Bourdieu, 1986). Hal ini dapat dilihat pada perluasan jejaring dalam kategori relasi potential opponents, melalui koordinasi perizinan aksi kepada warga sekitar. “…izin baik formal maupun informal, jadi kita kontakin (menghubungi) preman-preman sana, kontakin ketua-ketua RW sana, sampe bikin grup WA (WhatsApp) gitu…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Proses koordinasi dan perizinan untuk melakukan aksi, dapat dianggap sebagai salah satu bentuk perluasan jejaring pada kategori relasi potential opponents. Bila dicermati, hal ini berkembangan dengan pembentukan grup melalui aplikasi WhatsApp, antara aktor-aktor gerakan dengan warga sekitar. Hal ini menunjukkan perluasan jejaring turut memanfaatkan kehadiran teknologi digital. Pemanfaatan teknologi digital, khususnya media sosial, memiliki potensi untuk mendukung pengembangan modal sosial dalam jejaring gerakan. Karena modal
94
sosial sebagai kumpulan sumber daya yang terhubung dengan keanggotaan dalam kelompok tertentu, dapat berkembang biak di internet melalui ikatan dan keanggotaan
(Julien,
2014).
Pada
titik
ini,
keberlangsungan
aksi
#GejayanMemanggil, dengan kehadiran teknologi digital, membantu mobilisasi sumberdaya jejaring gerakan. “…ada poster-poster yang masuk di group gitu, udah ada poster yang masuk di DM (direct messages) hahaha. Aku pertamanya di DM dari temen, dari temen yang emang dia, mungkin temennya dia emang bener-bener aktif di gerakan, terus dia nyampein ke aku, taunya dari situ dari medsos…” (Wawancara Sinta 25 Januari 2020).
Selain itu, teknologi digital turut menjadi medium pengembangan modal sosial dari relasi yang tersebar di media sosial. Hal ini berdampak pada upaya memperluas jejaring sebuah gerakan, sebagai medium memperluas pengaruh dalam sebuah gerakan. “…banyak link (jejaring) yang kita ga kenal, buka jalur baru gitu, dan kita belum pernah ketemu sebelumnya, kayak followers-ku (pengikut) di Twitter, pada turun, yang bahkan aku gakenal mereka siapa, dan mereka pun bilang, nge-DM (direct messages/pesan personal), dengan bilang bahwa "sebenernya aku takut rusuh, gamau, cuman karena #GejayanMemanggil satu ga rusuh, aku coba ikut deh" gitu. Ada juga orang yang mutualan (saling mengikuti di media sosial) sama aku. akhirnya ku ajak. Baru ku follow (mengikuti) pasca gejayan memanggil pertama, tapi kita ngobrol soal siber, keamanan siber, akhirnya ku ajak karena sepertinya dia menarik banget untuk bikin kajian. Jadi yang awalnya cuma jadi masa aksi, yang hadir, yang diorganisir. Dia jadi ikut mengorganisir, dan akhirnya, menariknya adalah dia pulang dengan bilang bahwa "oh ternyata cara mengorganisir massa tuh seperti ini ya", jadi punya perspektif gerakan di situ…”(Wawancara Endang 25 Desember 2019).
Media sosial turut memperluas jejaring pada individu-individu yang awalnya ‘asing’ atau bahkan ragu terhadap #GejayanMemanggil. Peran media sosial dapat memperdalam keterlibatan seseorang pada sebuah gerakan. Relasi antara individu maupun kelompok yang terlibat dalam aksi #GejayanMemanggil, memungkinkan solidaritas baru juga terbentuk. Hal ini berlangsung melalui 95
interaksi atas pertukaran dan komunikasi dari lingkungan sosial yang berbeda (Diani, 1997). Hal ini memungkinkan modal sosial dalam keterlibatan kolektif menjadi ikatan sosial dan identitas baru, seperti keterikatan pada artikulasi identitas warga negara dibawah Aliansi Rakyat Bergerak. Dari pembahasan di atas, kita telah mendapat gambaran mengenai proses dari kalangan mahasiswa, sebagai intelektual gerakan, dalam membangun pergerakan. Terdapat beberapa hal penting menyangkut bagaimana kalangan mahasiswa
membangun
pengetahuan
serta
jejaring
dalam
aksi
#GejayanMemanggil. Salah satunya dapat dilihat pada narasi keterlibatan sipil, di mana menjadi bentuk pengetahuan yang diartikulasikan untuk meraih perhatian masyarakat. Narasi tersebut sekaligus membentuk pengetahuan terkait kesadaran masyarakat atas isu kebijakan. Di
samping
itu,
konteks
jejaring
sosial
gerakan
pada
aksi
#GejayanMemanggil turut berperan dalam keberlangsungan aksi ini. Upaya membangun jejaring sosial, pada prosesnya memiliki ketersediaan sumber daya yang beragam, terkait dengan kategori relasi potensial. Sehingga pendekatan yang digunakan berbeda di setiap kategori relasi. Penerapan tersebut pada akhirnya menghasilkan keterlibatan dari banyak kalangan dengan skala yang besar. Melalui bangungan jejaring sosial yang terbentuk, oleh intelektual gerakan layaknya mahasiswa, memungkinkan diseminasi pengetahuan dan distribusi wacana #GejayanMemanggil dapat berjalan pada cakupan yang luas. -o0o-
96
Bab V Penutup Kebijakan-kebijakan yang dibentuk oleh negara, akan berimbas terhadap warganya secara langsung maupun tidak langsung, apabila kebijakan-kebijakan tersebut tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara umum, dan cenderung justru merugikan, pada titik ini keterlibatan warga negara perlu ditingkatkan. Dalam konteks demokrasi, kedaulatan warga negara menjadi suatu hal yang seharusnya direkognisi oleh negara. Hubungannya dengan aksi #GejayanMemanggil, tindakan kolektif tersebut menjadi manifestasi dalam keterlibatan warga negara, untuk menentukan kebijakan yang lebih baik bagi rakyat. Sebagai bentuk respons terhadap beragam isu terkait kebijakan yang cenderung kontradiktif, berbagai cara ditempuh generasi muda untuk mengaspirasikan keresahan yang muncul, dan salah satu cara yang dilakukan melalui aksi turun ke jalan. Berkaitan dengan hal tersebut, aksi #GejayanMemanggil merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk merespons isu-isu yang berpotensi menciptakan problematika sosial di masyarakat.
5.1. Kesimpulan Dari pembahasan di beberapa bab sebelumnya, telah menunjukkan serangkaian faktor yang melingkupi kehadiran aksi #GejayanMemanggil terkait eksistensi generasi muda mahasiswa. Pada pembahasan awal, di BAB II, pemaparan tentang konteks gerakan mahasiswa dilakukan melalui penelusuran
97
historis rekam jejak gerakan mahasiswa di Indonesia. Bagian ini, menunjukkan dinamika pergerakan lintas generasi mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan zaman serta perubahan konteks di setiap periode, yang mana berdampak pada perubahan pola pergerakan dari kalangan mahasiswa. Pembahasan berikutnya, pada BAB III, bahasan memasuki pemaparan data di lapangan. Pemaparan tersebut, kemudian dikontekstualisasikan melalui konsep generasi sosial untuk melihat secara lebih jauh, hubungan antara konteks Indonesia terkait dengan beragam problematika terkait wacana kebijakan dari pemerintah. Kemudian, pembahasan berlanjut pada fenomena yang muncul dari generasi muda hari ini, khususnya terkait perbedaan yang ditunjukkan oleh kalangan mahasiswa pada aksi #GejayanMemanggil. Sedangkan pada pembahasan di BAB IV, dilakukan pelacakan terhadap proses pembentukan pengetahuan serta jejaring sosial gerakan pada aksi #GejayanMemanggil. Pada bagian ini, pembahasan mengenai pengetahuan menerapkan konsep praksis kognitif, yang bertumpu pada wacana keterlibatan sipil sebagai artikulasi aksi #GejayanMemanggil dalam gerakan yang mengklaim kembali ruang publik. Selanjutnya, pembahasan mengenai jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil, diterapkan konsep modal sosial. Konsep tersebut digunakan untuk mengamati proses berjejaring yang dikembangkan oleh aktor gerakan dalam memperluas cakupan jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil. Dari segenap pembahasan dalam studi ini, telah menunjukkan gambaran tentang proses pembentukan pengetahuan dan jejaring sosial dalam aksi
98
#GejayanMemanggil oleh generasi muda mahasiswa. Pembahasan tersebut mengacu pada data yang didapatkan melalui wawancara terhadap lima orang mahasiswa yang berpartisipasi secara aktif dalam aksi #GejayanMemanggil, yang merupakan informan penelitian dalam studi ini. Sehingga membangun
rumusan pengetahuan
masalah
mengenai
terkait
“Bagaimana
gerakan
sosial
mahasiswa
dalam
aksi
#GejayanMemanggil?”, dapat dijawab sebagai berikut: -
Pengalaman aktivisme dan konteks sosial yang bergulir, menjadi proses bagi informan mahasiswa untuk mendapatkan pengetahuan pada dimensi kosmologis sebagai intelektual gerakan.
-
Pengetahuan pada dimensi kosmologis memungkinkan mahasiswa sebagai intelektual gerakan merespon kondisi sosial dan membentuk pengetahuan pada dimensi organisasional, sebagai pengetahuan kolektif dalam mengelola pergerakan aksi #GejayanMemanggil.
-
Implementasi pengetahuan gerakan dari dimensi organisasional tersebut, menjadi proses reproduksi dari pengetahuan yang muncul pada aksi #GejayanMemanggil, dan membentuk seperangkat pengetahuan baru dalam dimensi teknologis. Sedangkan rumusan masalah mengenai, “Bagaimana proses terbentuknya
jejaring sosial mahasiswa dalam aksi #GejayanMemanggil?”, dijawab sebagai berikut: -
Jejaring mahasiswa berhubungan dengan relasi personal kalangan mahasiswa yang terbentuk melalui keterlibatan kolektif dalam ranah
99
aktivisme dan pergerakan sebelum aksi #GejayanMemanggil, yang mana hal tersebut menjadi salah satu sumberdaya dalam pembentukan jejaring sosial pada aksi #GejayanMemanggil. -
Proses memperluas jejaring berhubungan dengan upaya merebut bassis massa dalam membuka relasi sosial yang baru, yang memungkinkan jejaring sosial kalangan mahasiswa dikembangkan secara lebih luas untuk mencakup relasi-relasi sosial di luar jejaring mahasiswa.
-
Jejaring sosial dari mahasiswa dikembangkan melalui konsolidasi aksi #GejayanMemanggil untuk memperhitungkan cakupan relasi sosial tiaptiap individu dan posibilitas ekskalasi massa, untuk kemudian dilakukan manajemen sumberdaya dari modal sosial tiap-tiap relasi sosial individu guna membangun jejaring pergerakan yang lebih luas.
Sehingga, dapat ditarik sejumlah kesimpulan berdasarkan studi ini, diantaranya: -
Terdapat
karakteristik
yang
membedakan
pergerakan
aksi
#GejayanMemanggil, dan berhubungan dengan konteks generasi sosial, yang mencakup perbedaan konteks lokasi, aktualisasi, dan unit generasi. Terdapat kesenjangan antargenerasi dan intragenerasi, yang berpotensi menghambat pergerakan dalam keberlanjutannya. Namun, kenyataan di lapangan yang kompleks, menjadi salah satu alasan mengapa kesenjangan tersebut menjadi keniscayaan yang selalu hadir.
100
-
Konteks Yogyakarta dan konteks kehidupan dari generasi muda memberikan
dampak
terhadap
pembentukan
substansi,
terkait
permasalahan sosial dan isu dari wacana kebijakan, yang kemudian bertemu dengan konteks historis-sosial-kultural. Hal ini berhubungan dengan pemilihan aksi di Jalan Gejayan, metode nir-kekerasan, dan manifestasi budaya populer generasi muda. -
Narasi keterlibatan warga negara merupakan inti dari pelaksanaan aksi #GejayanMemanggil, yang diartikulasikan melalui wacana demokrasi, di mana warga negara memiliki hak untuk bersuara di ruang publik. Melalui narasi tersebut, diskursus pengetahuan bekerja dalam penyadaran masyarakat dengan proses diseminasi, yang berjalan melalui struktur jejaring sosial pergerakan dalam bangunan relasi baik di dunia nyata maupun di dunia maya.
-
Fakta bahwa kalangan mahasiswa merupakan unsur yang paling banyak menyusun demografi massa aksi #GejayanMemanggil, tidak berdampak pada munculnya bias egosektoral dari kalangan mahasiswa. Ditunjukkan dengan narasi keterlibatan sipil, pada artikulasi identitas warga negara yang inklusif.
5.2. Limitasi Studi Studi ini terbatas pada penelusuran konteks aksi #GejayanMemanggil. Pemilihan subjek penelitian dalam studi ini, dibatasi pada kalangan mahasiswa yang terlibat secara aktif pada proses penyelenggaraan aksi #GejayanMemanggil.
101
Sementara fokus utama pada studi ini adalah mengenai eksistensi dan agensi dari kalangan mahasiswa tersebut, dalam membentuk pengetahuan serta jejaring sosial gerakan pada aksi #GejayanMemanggil. Tidak dapat dipungkiri, bila mana dalam penyusunan hasil studi ini penulis cenderung memaparkan temuan-temuan berdasarkan wawancara dengan kelima orang informan mahasiswa, di mana dari latarbelakang setiap subjek menunjukkan karakteristik aktivis mahasiswa yang dominan. Sangat besar kemungkinannya akan terdapat kenyataan yang berbeda, khususnya terkait dengan pandangan subjektif partisipan lainnya yang terlibat dalam aksi #GejayanMemanggil.
5.3. Rekomendasi Dengan keterbatasan yang ada dalam studi ini, dirasa perlu pengkajian lebih lanjut pada kekosongan maupun kekurangan yang hadir bersama dengan studi ini. Salah satunya pengkajian terkait subjek lain yang belum mampu dicapai dalam studi ini, seperti kalangan lain (non-mahasiswa) yang turut berpartisipasi dalam aksi #GejayanMemanggil. Studi ini juga masih sedikit membahas tentang kultur generasi muda yang sebenarnya dapat digali lebih dalam pada ranah internal aksi #GejayanMemanggil. Selain itu, terdapat pula kemungkinan bagi minat studi demokrasi untuk melihat praktek bernegara yang sebenarnya cukup eksplisit dalam kasus aksi #GejayanMemanggil. Studi ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap studi-studi terkait gerakan mahasiswa di Indonesia. Dengan mengembangkan kerangka konseptual yang disusun dalam studi ini, eksplorasi terhadap generasi muda dan gerakan
102
mahasiswa sangat mungkin dikembangkan secara lebih luas. Terlebih lagi, mengingat dinamika sosial dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, menjadi menarik untuk membuka percakapan yang lebih dalam tentang pola dan karakteristik pergerakan sosial dari generasi muda di tiap-tiap daerah. Sehingga, memungkinkan terciptanya iklim intelektual yang dinamis dan selalu berkembang mengikuti transformasi sosial yang muncul dari pergerakan-pergerakan kolektif generasi muda. -o0o-
103
Daftar Pustaka Adkins, L. (2005). Social Capital: The anatomy of a troubled concept. Feminist Theory vol.6(2), 195-211. Albright, J., Hartman, D., & Widin, J. (2018). Bourdieu's Field Theory and the Social Sciences. Singapore: Springer. Ardanareswari, I. (2019, Mei 21). Cara Rezim SBY Perlakukan Para Penghina Presiden. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/cara-rezim-sbyperlakukan-para-penghina-presiden-dTlZ Ardanareswari, I. (2019, April 17). Sejarah Pemilu 2004: Pertama Kali Rakyat Memilih Langsung Presiden. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/sejarah-pemilu-2004-pertama-kali-rakyat-memilihlangsung-presiden-dme7 Aspinall, E. (2012). Indonesia: moral force politics and the struggle against authoritarianism. In M. L. Weis, & E. Aspinall, Student Activism in Asia: Between Protest and Powerlessness (pp. 153-180). London: University of Minnesota Press. Bourdieu, P. (1977). Outline the Theory of Practice. (R. Nice, Trans.) United Kingdom: Cambridge University Press. Bourdieu, P. (1984). Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard University Press.
104
Bourdieu, P. (1986). The Forms of Capital. In J. Richardson, Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press. Bourdieu, P. (1992). The Logic of Practice. (R. Nice, Trans.) United State of America: Stanford University Press. Bourdieu, P., & Wacquant, L. (1992). An Invitation to Reflexive Sociology. Chicago: University of Chicago Press. Budiman, A. (1983). Peranan Mahasiswa sebagai Intelegensia. In A. Mahasin, & I. Natsir, Cendekiawan dan Politik. LP3ES. Caldeira, T. P., & Holston, J. (1999). Democracy and Violence in Brazil. Comparative Studies in Society and History 41(6), 691–729. Cox, L., & Fominaya, F. (2009). Movement knowledge: what do we know, how do we create knowledge, and what do we do with it? Interface: a journal for and about social movements vol. 1(1): 1-20 (January 2009), 1-20. Creswell, J. W. (2009). Research Design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approaches (3 ed.). California: SAGE Publication. della Porta, D. (2014). Methodological Practices in Social Movement Research. New York: Oxford University Press. della Porta, D., & Diani, M. (2006). Social Movements: An Introduction. United Kingdom: Blackwell Publishing.
105
detiknews. (2005, September 30). Demo Tolak Kenaikan Harga BBM, 500 Mahasiswa Tiba di Istana. Retrieved from detikNews: https://news.detik.com/berita/d-452279/demo-tolak-kenaikan-harga-bbm500-mahasiswa-tiba-di-istana Dewantara, R. M., & Widhyharto, D. S. (2015). Aktivisme dan Kesukarelawanan dalam Media Sosial Komunitas Kaum Muda Yogyakarta. Jurnal Sosial Politik. Diani, M. (1997). Social Movements and Social Capital: a Network Perspective on Movement Outcomes. Mobilization: An Internal Journal, 1997, 2 (2), 129-147. Diani, M., & McAdam, D. (2003). Social Movement and Networks: Relational Approaches to Collective Action (Comparative Politics). New York: Oxford University Press. Eyerman, R., & Jamison, A. (1991). Social Movements: a Cognitive Approach. Cambridge: Politiy Press. Firdausi, F. A. (2020, January 29). Bulog Gate & Brunei Gate yang Berujung Lengsernya Gus Dur. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/bulog-gatebrunei-gate-yang-berujung-lengsernya-gus-dur-evB9 Flingsten, N., & McAdam, D. (2012). A Theory of Fields. New York: Oxford University Press.
106
Harold, J. (1995). Why Social Movements Matter: Adult Education Theory, Cognitive Praxis, and the Creation of Knowledge. Adul Education Quarterly, Volume 45, Number 25, Winter 1995, 95-111. Hikam, M. A. (1999). Demokrasi dan civil Society. Jakarta: Pustaka. Hosseini, S. A. (2010). Activist Knowledge: Interrogating the Ideational Landscape of Social Movements. The International Journal of Interdisciplinary Social Sciences Volume 5, Number 5, 2010,, 339-357. Husu, H.-M. (2013). Bourdieu and Social Movements: Considering Identity Movements in Terms of Field, Capital and Habitus. Social Movement Studies, 264-279. Irmawati. (2004, December 10). Mahasiswa Demo Tolak Rencana Kenaikan BBM. Retrieved from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/52643/mahasiswa-demo-tolak-rencanakenaikan-bbm Jazimah, I. (2013). MALARI: STUDI GERAKAN MAHASISWA MASA ORDE BARU. JURNAL AGASTYA VOL 03 NO 01 JANUARI 2013, 09-34. Julien, C. (2014). Bourdieu, Social Capital and Online Interaction. Sociology, 118. Kenelly, J. (2011). Citizen Youth: Culture, Activisme, and Agency in a Neoliberal Era. New York: PALGRAVE MACMILLAN.
107
Kusumah, I. (2007). RISALAH PERGERAKAN MAHASISWA. Bandung: INDYDEC PRESS. Lee, D. (2011). Images of Youth: on the Iconography of History and Protest in Indoensia. History and Anthropology, 22:3, 307-336. Lee, D. (2016). Activist archives : youth culture and the political past in Indonesia. Durham & London: Duke University Press. Maharani, S. (2019, September 30). Demo Mahasiswa Gejayan Memanggil Kembali Digelar di Yogyakarta. (J. Hantoro, Editor) Retrieved October 27, 2019, from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1253881/demomahasiswa-gejayan-memanggil-kembali-digelar-diyogyakarta/full&view=ok Maharani, S. (2019, October 1). Tips Demonstrasi Damai Gejayan Memanggil 2. (J. Hantoro, Editor) Retrieved October 27, 2019, from Tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/1254357/tips-demonstrasi-damai-gejayanmemanggil-2/full&view=ok Mannheim, K. (1952). The Problem of Generations. Essay on the Sociology of Knwoledge, 276-322. McAdam, D. (1988). Freedom Summer. Oxford & New York: Oxford University Press. McDonald, K. (2004). One Self to Another: From Social Movement to Experience Movement. Current Sociology, July 2004, Vol. 52(4) , 575–593.
108
Naafs, S., & White, B. (2012). Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies. The Asia Pasific Journal of Anthropolgy, vol. 13 no 1, 3-20. Novianto, A. (2016). Pergulatan Gerakan Mahasiswa & Kritik Terhadap Gerakan Moral. In A. Pramusinto, & Y. Purbokusumo, Indonesia Bergerak 2: Mozaik Kebijakan Publik 2016 (pp. 195-227). Yogyakarta: MKP-MAP FISIPOL UGM. Odabaş, M., & Adaman, F. (2018). Engaging with Social Networks: The Bourdieu-Becker Encounter Revisited. Forum for Social Economics, 305321. Omer, I., & Kaplan, N. (2018). Structural properties of the angular and metric street network's centralities and their implications for movement flows. EBP: Urban Analytics and City Science 2019, vol. 46 (6), 1182-200. Passy, F. (2003). Social Networks Matter. But How? In M. Diani, & D. McAdam, Social Movements and Networks: Relational Approaches to Collective Action (pp. 21-48). New York: Oxford University Press. Pilcher, J. (1994). Mannheim's sociology of generations: an undervalued legacy. BJS Volume no. 45 Issue no. 3 September 1994, 481-495. Pirro, A. L., Pavan, E., Fagan, A., & Gazi, D. (2019). Close ever, distant ever? Integrating protest event and social network approaches into the transforming of The Hungarian far right. Party Politics, 1-13.
109
Prastyatonko, A., & Indriyo, I. W. (2001). Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: YHDS. Prell, C. (2006). Social Capital as Network Capital: Looking at the Role of Social Networks Among Not-For-Profits. Sociological Research Online, Volume 11, Issue 4, 1-14. Purhonen, S. (2015). Generations on paper: Bourdieu and the critique of 'generationalism'. Social Science Information 2016, Vol. 55(1), 99-114. Raditya, I. N. (2019, September 24). Sejarah Demo Mahasiswa Turunkan Presiden Tahun 1998 di Yogyakarta. Retrieved from tirto.id: https://tirto.id/sejarah-demo-mahasiswa-turunkan-presiden-tahun-1998-diyogyakarta-eiDX Ritzer, G. (2005). Encyclopedia of Social Theory (Vol. 1 & 2). California: SAGE Publication. Rosen, S. M. (2019). "So Much of My Very Soul": How Youth Organizers' Identity Projects Pave Agentive Pathways for Civic Engagement. American Educational Journal, vol. 56, no. 3, 1033-1063. Rubio, C., Fainé, M. C., & Pàmpols, C. F. (2019). Youth and social movements on the move: political engagement among young Spanish migrants in London. Journal of Youth Studies, 22:2, 223-239. Sastramidjaja, Y. M. (2016). Playing politics: Power, memory, and agency in the making of the Indonesian. Amsterdam: UvA-DARE.
110
Seemiller, C., & Grace, M. (2017). Generation Z: Educating and Engaging the Next Generation of Student. About Campus, 22 (3), 21-26. Singh, S. (2016). What Is Relational Structure? Introducing History to the Debates on the Relation between Fields and Social Networks. Sociological Theory, vol. 34 (2), 128-150. Sukarieh, M., & Tannock, S. (2011). The Positivity imperative: a critical look at the 'new' youth development movement. Journal of Youth Studies 14: 6, 675-691. Suryana, W. (2019, September 26). 'Gejayan Memanggil' Patahkan Banyak Tudingan. (Y. Assidiq, Editor) Retrieved October 27, 2019, from Republika.co.id: https://nasional.republika.co.id/berita/pyfs3r399/gejayanmemanggil-patahkan-banyak-tudingan Sutopo, O. R. (2014). Perspektif Generasi dalam Kajian Kepemudaan. In N. M. Azca, O. R. Sutopo, & D. S. Widhyharto, Buku Panduan Studi Kepemudaan: Teori, Metodologi dan Isu-Isu Kontemporer (pp. 27-41). Yogyakarta: Youth Studies Centre Gadjah Mada University & Ministry of Youth and Sport Indonesia. Sutopo, O. R. (2016). Pemuda dan Resistensi: Sebuah Refleksi Kritis. JURNAL STUDI PEMUDA • VOL. 5 , NO. 2 , SEPTEMBER 2016, 502-506. Syahban, J., Karni, A. S., & Hidayat, R. (2001, February 10). Baku aksi di jalanan. Retrieved from Gatra.com: http://arsip.gatra.com/2001-0208/majalah/artikel.php?id=45285 111
van Dijk, C. (2001). A Country in Despair: Indonesia between 1997–2000. Leiden: KITLV. Victory, E. G., & Hastanto, I. (2019, September 23). Anak Muda Apatis? Climate Strike Sampai 'Gejayan Memanggil' Bukti Mereka Ogah Diam Saja. Retrieved October 27, 2019, from Vice.com: https://www.vice.com/id_id/article/59nyeb/anak-muda-apatis-climatestrike-sampai-gejayan-memanggil-bukti-mereka-ogah-diam-saja White, R., & Wyn, J. (1998). Youth Agency and Social Context. Journal of Sociology Vol. 34 No. 3, November 1998, 314-327. Woodman, D. (2013). Researching 'Ordinary' Young People in a Changing World: The Sociology of Generations and the 'Missing Middle' In Youth Research. Sociological Research Online Vol. 18, Issue 1, 2013, 179-190. Woodman, D. (2016). The sociology of generations and youth studies. In A. Furlong, Routledge Handbook of Youth and Young Adulthood (pp. 20-26). London: Routledge. Zald, M., & Ash, R. (1966). Social Movements in Organization: Coup d’Etat, Insurgency, and Mass Movements. American Journal of Sociology, 1983, January.
112