B A C K P A C K I N’ fu n rel a x
l ow budg e t
BACKPACKER PEMULA JALAN-JALAN Kepulauan Seribu | Pulau Onrust BUDAYA Upacara Kasodo TOKOH Ilma Dityaningrum ON THE SPOT Bromo
Editorial
Daftar Isi Editorial Catper
Seribu eksotika kepulauan seribu Onrust oh onrust
Budlok
Kasodo untuk Bromo
Mau Pergi Kemana Kita?
3
Coba kita ingat ketika kita pertama kali melakukan sebuah perjalanan. Ketika timbul keragu-raguan untuk memulai perjalanan tersebut. Ketakutan baik itu masalah dana yang mungkin kurang memadai. Ataupun bayangan seram tentang pergi ke tempat yang belum pernah kita jelajahi sebelumnya. Mungkin juga kita mengingat tentang semangat dan antusiasme kita untuk memulai suatu perjalanan. Pada saat kita akan pergi ke tempat baru dengan suasana yang tidak seperti biasanya kita temui di kehidupan seharihari. Kita pun mesti berinteraksi dengan masyarakat sekitar yang memiliki kebiasaan berbeda dengan masyarakat di kehidupan kita.
4 18
10
On The Spot
Melangkahi Bromo
Tokoh
Ilma Dityaningrum lokomotif Backpacker Indonesia
The journey is the reward.
14
8
Info
Menyatukan hati Backpacker Indonesia di gathering ke-1
22
Perjalanan yang dimaksud dari tulisan dia atas itu biasa kita kenal dangan nama backpacking. Backpacking biasa diartikan sebagai perjalanan dimana kita menggunakan dana seminim mungkin untuk mencapai suatu tempat wisata yang akan kita tuju. Kita pun melakukan perjalanan itu secara independen yang artinya kita tidak melakukan perjalanan tersebut dengan difasilitasi oleh jasa travel. Dimana kita hanya mendepositokan sejumlah uang kemudian penyedia jasa tersebutlah yang akan mengatur segala aspek dari perjalanan tersebut. Baik itu akomodasi, transportasi, dan juga konsumsi. Intinya perjalanan backpacking itu lebih menantang!! Sebenarnya backpacking bisa dilakukan oleh semua orang. Siapapun dia, dari manapun asalnya, dan berapa pun jumlah uangnya. Hanya ada satu pertanyaan ketika kita akan melakukan sebuah kegiatan backpacking yaitu, “Mau pergi ke mana kita?”. Seperti yang akan diceritakan oleh seorang gadis di dalam majalah ini. Tetapi kenapa tidak semua orang mau dan berani untuk melakukan itu? Jawabannya mungkin terletak pada sebuah hal yang bernama informasi. Tentu saja tidak semua orang memiliki pengetahuan yang sama tentang bagaimana kondisi suatu tempat, dan juga kondisi yang sama tentang bagaimana melakukan sebuah perjalanan dengan cara backpacking. Dan perbedaan informasi itulah yang sering kali menjadi penghalang bagi banyak orang untuk memulai perjalanan backpacking. Sepertinya kita harus merasa beruntung telah hidup di zaman keemasan internet komunitas. Dimana kita dapat memasuki sebuah komunitas, berinteraksi dengan orang – orang di dalamnya, dan mendapatkan informasi dari anggota komunitas tersebut cukup dengan memiliki sebuah layar monitor dan koneksi ke internet. Komunitas – komunitas inilah yang dapat menjadi ’jembatan informasi’ untuk lebih memasyarakatkan kegiatan backpacking.
Chinese Proverb Pimpinan Umum Jeremy Gemarista
Pimpinan Redaksi Ambar Arum
Pimpinan Produksi Aditya Hadi Pratama
Tim Redaksi
Adi Widiyanto Hana Ariesta Muhammad Iqbal Nizar Wogan Sri Anindiaty Nursastri Suci Humaira Sophia Yeni Diah W
Salah satu dari sekian banyak komunitas tersebut adalah sebuah komunitas di Facebook yang bernama “Backpacker Indonesia”. Sama seperti komunitas pada umumnya selain informasi kita pun dapat memperoleh keberanian untuk ber-backpacking setelah memperoleh teman seperjalanan yang akan menemani mereka. Dari komunitas ini pula, lahirlah edisi pertama dari sebuah majalah elektronik yang membahas tentang kegiatan backpacker bernama Backpackin’. Yang diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana serunya dunia ini. Juga inspirasi dari kisah – kisah orang di dalamnya.. Seorang backpacker pernah berkata. Daripada bertanya, ”Bisakah kita pergi ke sana?”. Akan lebih baik kalau kita bertanya, ”Mau pergi kemana kita?”. Untuk kemudian memulai perjalanan kita.
Tim Produksi
Ricky Akbar Wahyudi Panggabean
2 | b a c k p a c k i n’
3 | b a c k p a c k i n’
Catper
Seribu Eksotika Kepulauan Seribu oleh: Sri Anindiaty Nursastri
Tak bisa kupejamkan mata ketika membayangkan hari esok. Tubuhku kembali membalik arah, dari sisi kanan ke sisi kiri. Tengkurap, lalu terlentang lagi. Suara sangat kecil dalam tubuhku berkata, “Terpejam.. terpejam..” Namun bayangan akan serunya hari esok sangat persuasif. Kutegakkan tubuhku, dan melihat kedua temanku telah terlelap di kasur berbeda. Mereka menginap di rumahku, mungkin tak sabar juga menunggu. Esok adalah Sabtu, 18 April 2009. Saatnya perjalanan pertamaku ke Kabupaten Kepulauan Seribu yang terletak di Provinsi DKI Jakarta. Rasa deg-deg-an itu memuncak ketika menyadari bahwa baru kali ini aku mengikuti trip yang diadakan Backpacker Indonesia. Semoga mendapat banyak teman baru dan merasakan nikmatnya jalan-jalan bersama mereka, harapku. Ah, siapa yang tidak pernah dengar tentang Kepulauan Seribu. Pesonanya sudah sampai hingga telinga orang mancanegara sana. Lagipula, siapa yang tidak suka pantai? Beruntunglah kita hidup di negeri yang tak melulu pegunungan. Kepulauan Seribu mencakup daratan dan lautan, yang sekurang-kurangnya terdapat 110 pulau. Berdasarkan ensiklopedia yang kubaca, di tempat ini kita tidak hanya menemukan eksotika pantai, namun juga peninggalan sejarah seperti benteng di Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Selain itu, terdapat beberapa titik snorkeling dan diving yang tidak kalah dengan tempat-tempat penyelaman kelas dunia. Jantungku mulai berdegup lebih kencang tanda tak sabar. Aku terlelap dengan bayangan laut berwarna biru muda dan pasir putih, persis seperti yang tergambar di ensiklopedia.
4 | b a c k p a c k i n’
Esok harinya, aku dan kedua temanku bergegas ke pelabuhan Muara Angke, tepatnya di pom bensin yang memang satu-satunya di tempat itu. Rencana berkumpul adalah pukul 06.45 WIB. Penyelenggara trip mengecek satu per satu backpacker yang akan ikut. Ah, senangnya aku boleh menyandang gelar itu sekarang. Alasan pertama, karena aku memang membawa sebuah backpack. Alasan kedua, karena kami ingin berpetualang semaksimal mungkin dengan biaya seminim mungkin. Kami (saya dan beberapa kawan) mempergunakan waktu untuk menunggu backpacker lain dengan berkenalan satu sama lain. Aku berusaha semaksimal mungkin mengingat nama masingmasing, karena yang ikut kali ini mencapai 30 orang. Menurutku cukup banyak, mengingat trip kali ini hanya memakan waktu dua hari satu malam. Tiba di pelabuhan, aku sedikit terpana dengan kapal yang akan kami naiki. Bukan, bukan kapal mewah. Memang ada dua tingkat, namun kapal itu layaknya kapal nelayan yang di atasnya ditambah geladak lagi. Ongkosnya Rp 30 ribu sekali jalan, berangkat tiap hari pukul 07.00 dan 13.00. Ternyata kapal sudah hampir setengahnya terisi, banyak backpacker asing di geladak atas. Aku dan beberapa teman lain masuk ke geladak bawah. Kegiranganku mulai terlihat ketika menaiki kapal. Aku melompat dan menerobos masuk, melangkahi beberapa ibu-ibu. Sadar akan perbuatanku, aku menunduk minta maaf.
Perjalanan kami diiringi cuaca yang pas, angin dan matahari pun sangat bersahabat. Perlahan kami menjauh dari pelabuhan. Riak ombak menggiring kapal kami menjauh dari hiruk pikuk dan polusi kota Jakarta, menuju perairan lebih jernih dan tenang di utaranya. Tujuan utama kami adalah Pulau Pramuka, yang adalah tempat administratif di Kepulauan Seribu. Pulau ini termasuk dalam kelurahan Pulau Panggang. Kami tiba kurang-lebih tiga jam kemudian. Ah, segarnya mataku dimanjakan oleh pantai bersih dan tak bersampah. Kontras sekali dengan pantai-pantai Jakarta. Pelajaran pertama, jika ingin pergi ke pantai besih namun tak jauh dari ibukota, Anda dapat menceklis Kepulauan Seribu. Air di tempat kami berlabuh tergolong dangkal, dengan banyak ganggang hijau di dasarnya. Kesempatan pertama, kami berfoto ria. Belum apa-apa aku dan kedua temanku sudah kegirangan. Sesaat kemudian kami beranjak menuju homestay. Pulau Pramuka sudah cukup maju, terbukti dengan adanya gedung-gedung sekolah dan pemerintahan. Luas pulau ini sekitar 9 hektar, dan menampung kurang-lebih 1000 jiwa. Masjid dengan mudah ditemukan di pulau tersebut. Aku dan kawan-kawan berjalan menyusuri pantai dan perumahan penduduk sana. Mayoritas penduduk pulau Pramuka adalah dari Bugis, Tangerang, dan Jakarta. Seiring perjalanan, para penduduk seperti “menonton” kami. Mungkin karena kami ribut dan asyik mengomentari pulau itu. Pulau ini layaknya desa maju, rumah penduduknya pun banyak yang sudah memadai. Mungkin karena mayoritas mata pencaharian mereka adalah nelayan. Homestay tempat kami menginap terletak cukup jauh dari pantai, kurang lebih 1 kilometer. Namanya Tiga Bersaudara. Memang hanya ada tiga kamar di homestay ini, namun lengkap dengan kamar mandi dan ruang tamu. Homestay itu terletak di tengah pemukiman penduduk, namun tetap menyajikan tempat yang bersih dan nyaman. Satu kamar bertarif Rp 350 ribu per malam, dan kami menyewa ketiga kamar itu untuk menginap. Kami memosisikan diri masing-masing senyaman mungkin. Beristirahat, mengobrol, dan makan siang bersama. Ada beberapa tempat makan di pulau Pramuka. Menunya tidak beragam, memang. Tak apalah, yang penting perut ini terisi dan siap menuju acara selanjutnya. Menu makan siangku adalah nasi goreng dan es teh manis, total Rp 10 ribu.
5 | b a c k p a c k i n’
Pukul 12.30 adalah waktu yang ditunggu-tunggu. Ya, untuk pertama kalinya aku akan melakukan snorkeling. Senang, tak sabar, sekaligus takut. Kami mencoba memakai peralatan snorkeling masingmasing. Biaya menyewa alat yaitu Rp 35 ribu seharian, termasuk safety jacket dan kaki katak. Sekadar tips, memilih kaki katak harus benar-benar sesuai dengan ukuran kaki kita agar tidak menyulitkan kita bergerak dalam air. Untuk mencapai titik penyelaman, dibutuhkan sewa kapal. Sewa kapal berkisar Rp 300.000 per harinya, sehingga masingmasing orang cukup patungan Rp. 10 ribu saja. Sebelum ber-snorkeling-ria, kami menyempatkan diri melihat penangkaran elang di Pulau Kotok. Pulau Kotok merupakan salah satu pulau yang vegetasinya masih asli. Selain menjadi tempat penangkaran elang, dermaga pulau tersebut juga kerap digunakan untuk berlatih snorkeling. Elang yang dikonservasi di sini adalah elang Bondol yang menjadi maskot provinsi DKI Jakarta. Masing-masing membayar Rp 5 ribu untuk penjaga pulau. Itu pun plus jasanya menjadi guide pulau tersebut. Puas berkeliling, berfoto dan melihat elang (bahkan biawak), kami bergegas melaksanakan ‘ritual’ satu ini. Seorang guide dengan kaos bertuliskan “PASKIBRAKA” di belakangnya memandu kami perlahan. Jamal—begitu ia dipanggil—menunjukkan cara kerja masing-masing alat snorkeling. Kami patungan masing-masing Rp 10 ribu untuk menyewa 6 orang guide. Aku yang berjilbab, merasa aneh memakai maskernya. Kacanya tidak menempel pas di wajahku. Biarlah, lepas saja sesekali, pikirku. Latihan snorkeling dilakukan di dermaga pulau Kotok yang permukaannya dangkal. Bukan dalam artian selutut atau pinggang tentunya, setidaknya cukup untuk kami mengambang. Oya, tak usah takut tenggelam karena safety jacket setia menemani asal kita mengikatnya dengan kuat. Titik selam pertama yaitu sekitar pulau Semak Daun. Pulau ini termasuk gugusan utara Kepulauan Seribu. Pulau Semak Daun sudah tersohor di mata turis karena keindahan pantainya. Pasir putih dan permukaannya yang cenderung dangkal memudahkan kita untuk bermain di pantai. Plus, bebas bulu babi. Kami terjun ke laut dengan gaya masing-masing, ada yang turun tangga, ada pula yang langsung melompat ke dalam air. Melompatnya pun penuh gaya, tak lupa mewanti-wanti orang yang memegang kamera untuk mengabadikan pose mereka.
Catper Tibalah saatku masuk ke air. Lewat tangga tentunya, terlihat sekali masih amatir. Itu pun menunggu giliran teman-temanku yang juga newbie. Pertama kalinya melihat ke bawah permukaan air… aku merinding. Bukan karena dingin, tapi karena tepat di bawah kakiku terhampar hutan koral berwarna-warni, dikelilingi oleh ikanikan yang menari di atasnya. Seperti balerina. Mengutip dari situs google, pulau-pulau di Kepulauan Seribu umumnya dikelilingi oleh terumbu karang tepian (fringing reefs) dengan kedalaman 0,5 – 5 m yang juga merupakan habitat bagi berbagai jenis biota laut. Jenis-jenis karang yang dapat ditemukan termasuk kedalam jenis karang keras (hard coral) seperti karang batu (massive coral), karang meja (table coral), karang kipas (gorgonion), karang daun (leaf coral), karang jamur (mushroom coral) dan jenis karang lunak (soft coral). Total terdapat 54 jenis koral,baik keras maupun lunak. Selain itu ada 144 jenis ikan, 2 jenis kima (kerang berukuran besar penghuni perairan laut hangat), 3 kelompok ganggang seperti Rhodophyta, Chlorophyta dan Phaeophyta, 6 jenis rumput laut seperti Halodule sp., Halophila sp., dan Enhalus sp., serta 17 jenis burung pantai. Waktu serasa tak berharga pada saat aku melakukan snorkeling untuk pertama kalinya. Kami berenang tanpa melihat waktu, mengikuti guide menyusuri hutan koral, bertemu beberapa jenis ikan bahkan ubur-ubur kecil. Sempat aku bertanya pada sang guide, “Ubur-ubur ini menyengat?” ia jawab tidak. Jariku mulai meraba ubur-ubur mungil itu, dan waktu seakan terhenti di sana. Inilah aku sekarang, di tengah hutan koral dengan berbagai ikan, memegang ubur-ubur yang menggeliat di tanganku. Aku takjub. Berhasil melewati tantangan snorkeling pertama, kami sangat merasa tertantang untuk tempat snorkeling kedua: Pulau Air. Sebenarnya banyak bulu babi di sekitar pulau ini, sehingga bisa mengganggu para penyelam. Namun terdapat satu titik di mana terumbu karangnya masih asli dan terawat.
6 | b a c k p a c k i n’
Di perjalanan, aku takjub pada sebuah pulau kecil (sangat kecil, sekitar 9 meter persegi). Tak ada apa pun di pulau itu selain pasir putih. Ingin rasanya menggapai pulau itu. Duduk di atasnya ditemani sebatang pohon kelapa seperti di film-film. Ah, khayalan saja. Tapi, mungkin Kepulauan Seribu tak genap jadinya bila tak ada pulau mungil satu ini. Sudah sore hari ketika kami tiba di titik penyelaman ke dua. Karena maskerku yang agak kebesaran, mataku beberapa kali kemasukan air laut. Cukup pedih ternyata. Aku jadi membayangkan anak-anak kecil yang sering menyelam tanpa menggunakan peralatan apa pun. Di tengah snorkeling, salah seorang temanku menunjukkan satu spesies aneh bin ajaib. “Namanya bulu seribu,” tegasnya. Bulu Seribu (nama asingnya Crown of Thorn) masih satu spesies dengan bintang laut. Bentuknya tak jelas, seperti amoeba. Warnanya sangat mencolok, yaitu merah-biru dengan banyak duri berwarna putih. Indah, namun beracun. Jamal bilang, sekali kena durinya dua minggu kita tidak berhenti demam. Kami mengakhiri snorkeling hari ini dengan melihat sunset. Bayangkan rasanya, mengambang di tengah lautan, hanya memandang matahari terbenam tepat di depan mata kita! Aku takjub untuk yang kesekian kalinya. Masih di sekitar pulau Air, terdapat beberapa pulau kecil tak berpenghuni. Beberapa pulau ini membentuk selat, yang airnya berwarna hijau muda terang. Orang sekitar menyebutnya “kolam renang”. Rupanya titik ini adalah tempat orang berlatih jetski. Warnanya kontras dengan hijaunya Cemara yang banyak tumbuh di pulaupulau sekitarnya. Sungguh indah.
untuk satu porsi soto ayam+nasi dan es teh manis. Kami melakukan acara ramah tamah, yang dimulai dengan perkenalan masing-masing orang. Ramah tamah diakhiri dengan acara ‘bakar-bakar’ ikan tuna, yang dilanjutkan dengan acara tidur pulas. Agenda dimulai lebih awal keesokan harinya. Pukul 05.00, kami sudah bergegas ke salah satu sisi pulau Pramuka untuk melihat sunrise. Pagi hari di pulau Pramuka sungguh menyenangkan. Dingin, namun tersentuh cahaya matahari yang perlahan mulai memoles sang pulau. Warga, terutama nelayan, tengah melakukan aktivitas masing-masing. Kami melewati perumahan penduduk di sisi lain pulau itu yang juga sama ramahnya. Tiba di pantai, sayangnya pada saat itu sunrise tak terlihat jelas. Namun kami tetap mengobrol, bermain pasir, bahkan bernyanyi menikmati suasana pantai pagi hari. Ombak tergolong kecil, sangat nyaman untuk bermain air yang juga terasa hangat. Beberapa kumang tampak malu-malu muncul dan berlari kecil menjauh dari kami. “Jangan jual kami, jangan jual kami!” itu mungkin maksudnya. Akhirnya tujuan kami bergeser, dari melihat sunrise menjadi obrolan dan keramaian pagi hari di tepi pantai. Kembali ke homestay, saatnya bersiap untuk keliling pulau Pramuka. Nasi kuning dan lauk pauk telah tersedia sebagai penghasil tenaga pagi itu. Pukul 08.30, kami memulai perjalanan keliling pulau administratif tersebut. Persinggahan pertama adalah penangkaran penyu.
Pukul 18.30 kami tiba di pulau Pramuka. Kami membersihkan diri, tak lupa menunggu giliran mandi. Beberapa orang sedang mempersiapkan acara ramah tamah. Aku dan beberapa teman keluar homestay untuk mencari makan malam. Aku menghabiskan sekitar Rp 15 ribu
7 | b a c k p a c k i n’
Adalah satu bangunan dengan beberapa ruang di dalamnya, yang masing-masing berisi kolam dengan penyu berbagai ukuran. Penyu yang dikembangbiakkan di sini adalah penyu sisik, salah satu spesies penyu yang hampir punah. Selain itu, ada pula penangkaran kupu-kupu. Tempat penangkaran kupu-kupu berupa kubah berbentuk huruf L, yang dapat menampung sebanyak 150-250 ekor. Pukul 12.00, kami mulai packing dan beranjak ke pelabuhan. Kapal yang sama telah menunggu kami. Pelabuhan Muara Angke akan kembali kami jajaki sekitar pukul 15.00. Saatnya kembali ke Jakarta dengan polusi dan kebisingannya. Saatnya kembali ke realitas, batinku. Jumlah pulau di Kepulauan Seribu mungkin tidak ‘seheboh’ namanya, namun kepulauan ini menyajikan seribu eksotika dan pengalaman. Sulit sekali rasanya meninggalkan pulau ini, tak rela meninggalkan keindahannya. Aku menaiki kapal sambil bersyukur karena Indonesia memilikinya. *Penulis mendapat data-data mengenai Kepulauan Seribu dari Adhityo Prabowo sebagai penyelenggara trip di atas. foto : Erland dan Sri Anindiaty Nursastri
jangan hanya baca-baca saja, ikutan kirim cerita perjalanan kalian ke redaksiezinebi@yahoo.com
Tokoh
Ilma Dityaningrum
Lokomotif Backpacker Indonesia oleh: Muhammad Iqbal
Ia berhasil membuat komunitas Backpacker Indonesia lewat facebook. Hanya dengan bantuan facebook, Ilma berhasil mengumpulkan 6000 lebih anggota di dunia maya dan 30 lebih di dunia nyata lewat gathering perdana. Walaupun tidak sehebat satu juta facebooker dukung KPK tapi gerakan Ilma ini juga banyak menggerakkan jiwa-jiwa muda untuk berkelana lebih jauh lagi. Berikut wawancara kami dengan Ilma:
Gimana awalnya kok bisa punya ide untuk bikin komunitas Backpacker Indonesia? Iya, awalnya dimulai dari keisengan saya yang baru punya facebook dan karena pada saat itu saya belum menemukan komunitas para backpacker di facebook. Jadi, saya buatlah komunitas backpacker di facebook. Dan itu ternyata membantu sekali.
Bisa didongengkan sedikit tentang trip perdananya Backpacker Indonesia? foto : Ilma Dityaningrum
B
ackpacker menjadi semakin eksis bagi anak muda. Sejak kereta yang meraup trayek seluruh Jawa dan sejak harga tiket pesawat semakin bersaing, komunitas-komunitas backpacker bermunculan di sana-sini, lokal maupun nasional, bahkan internasional. Backpackin’ kali ini mengangkat Ilma Dityaningrum sebagai tokoh backpacker yang patut diberikan tepuk tangan yang meriah.
8 | b a c k p a c k i n’
Trip pertama Backpacker Indonesia berawal dari tulisan-tulisan di discussion board group. Dan ‘celetukan’ seorang member yang saya lupa namanya, yang mengajak saya untuk trip bersama. Lalu, saya dibantu oleh Khemal Nugroho mulai merencanakan dan membuat voting di group untuk tujuan trip pertama Backpacker Indonesia. Akhirnya, melalui banyak proses dan waktu, sepakat Malang menjadi trip pertama Backpacker Indonesia.
Ada sepuluh orang yang berangkat dari berbagai kota (Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Surabaya ). Dan trip pertama kami diberi nama Ekspedisi Malangkucecwara. Karena tujuan trip pertama kami adalah P.Sempu, Kota Malang dan Bromo. Malangkucecwara sendiri diambil dari kota Malang. Ekspedisi Malangkucecwara adalah trip paling berkesan karena itu adalah pertama kalinya bagi saya dan mungkin juga sebagian dari kami. Yang harus menghabiskan beberapa hari dengan orangorang yang sebelumnya belum saling jumpa. Kami hanya berkomunikasi melalui dunia maya. Tanpa sembilan orang lainnya, perjalanan kemarin pasti kurang berkesan.
Siapa saja sih anggotanya dan dari daerah mana?
Sepuluh orang itu terdiri dari saya, Khemal, dan Ricco dari Bandung, Daicy, Adhit, dan Rizky Sawaldi dari Jakarta, Andy, Bayu, dan Sulfandi Sultan dari Yogyakarta. Serta Mujtahid Aktanto dari Surabaya.
Apa sisipan harapan dari komunitas ini?
Harapan - harapam pada group ini sebenarnya berkembang. Awalnya, harapan dari komunitas ini hanya untuk memperluas jaringan sosial. Memperbanyak teman yang memiliki satu hoby dan dapat saling tukar pengalaman dan info antar member. Lalu, dengan banyaknya perubahan yang terjadi, harapan pun berkembang. Dan sampai saat ini, harapan dari adanya komunitas ini adalah sekaligus
untuk mengembangkan dan memperkenalkan tempat-tempat wisata yang ada di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Selain itu juga, harapan dari adanya komunitas ini adalah dapat menjadi wadah untuk memperkenalkan ‘backpacker’ pada masyarakat luas di Indonesia dan bisa menjadi contoh bagi para wisatawan untuk berwisata dengan sopan dan baik. Satu lagi adalah agar para backpacker juga dapat menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat lokal di Indonesia yang hidup dari pariwisata Indonesia. Lalu, di group facebook Backpacker Indonesia sekarang ini aktivitasnya apa aja? Setelah gathering 3 mei lalu, teman-teman di group Backpacker Indonesia menjadi aktif untuk mengadakan pertemuanpertemuan mandiri. Seperti buka puasa bersama, mengadakan trip bersama, dan salah satunya adalah pembuatan ezine dari teman-teman yang berada di dalam keanggotaan ezine.
Kalau menurut Ilma sendiri, apa enaknya jadi seorang backpacker? Mungkin bisa jadi inspirasi buat kita-kita yang masih awam supaya tertarik ikut berkelana?
Saya tipe orang yang selalu ingin tahu dan senang jalan-jalan. Dan itu adalah hobi yang cukup menghabiskan banyak uang. Dengan menjadi seorang backpacker saya bisa melakukan hobi saya tanpa harus merogoh banyak uang. Selain itu juga, saya belajar banyak dari sebuah perjalanan yang penuh dengan kejutan dan spontanitas. Menjadi seorang backpacker bukan berarti menderita, menjadi seorang backpacker adalah sebuah tantangan yang seru.
9 | b a c k p a c k i n’
Apalagi dulu saya adalah backpacker independen, yang sering berpergian seorang diri. Sebagai seorang wanita, ini menjadi sebuah tantangan tersendiri. Saya belajar banyak tentang survive di tempat baru, belajar untuk memanage segalanya sendiri, mulai dari transportasi, penginapan sampai tujuan perjalanan. Dan ini membuat saya merasa lebih mandiri. Selain itu juga, saya bisa bertemu dengan orang-orang baru di tempat baru. Berkelana ala backpacker sangat mengasyikkan bagi saya yang sangat menyukai hal-hal baru. banyak hal-hal yang tidak kita bayangkan sebelumnya yang kita dapat. Perjalanan saya menjadi lebih berisi. Tidak hanya potret-potret lalu pulang. Tetapi banyak hal yang bisa didapatkan. Teman baru, pengalaman baru, tantangan baru dan spot-spot baru. Saya belum sampai keliling indonesia, apalagi ke luar negeri. Baru beberapa kota dan tempat yang saya kunjungi, tetapi sudah banyak sekali yang bisa saya dapatkan. Apalagi, saya kuliah di Jurusan Antropologi Sosial, yang mempelajari budaya dan manusia. Jadi, dalam setiap perjalanan saya, saya mencoba untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang saya dapat . Dan saya sangat menikmatinya.
Pembaca Backpackin’ juga mau tips-tips dari Ilma nih, apa yang harus diperhatikan sebagai backpacker pemula? Saya juga masih harus belajar banyak dari seorang backpacker yang sudah ‘senior’ yang sudah malang melintang di dunia Backpacker. Tapi jika ditanya tips dari saya untuk menjadi backpacker adalah.
1. Selalu mencari info sebanyakbanyaknya tentang tempat yang akan kita tuju. Banyak sumbernya, bisa dari orang yang sudah pergi ke sana sebelumnya, internet, buku, koran, dan sebagainya. 2. Selalu membawa tanda pengenal dan foto kopi tanda pengenal. 3. Membawa Peta. Menurut saya ini sangat berguna sekalipun sepertinya tidak efektif. 4. Tidak terlalu ramah dengan orang yang baru kita kenal di tempat baru. 5. Selalu membawa catatan. Karena menurut saya, setiap kota atau tempat memiliki cerita sendiri. Karena itu sebelum kita kembali sebaiknya ditulis sedikit agar tidak lupa. 6. Selalu memberi kabar lewat sms atau telpon pada orang rumah atau orang terdekat ketika kita sampai di suatu lokasi. Apalagi jika kita berencana mengunjungi beberapa lokasi dalam satu kali perjalanan. Ini agar jika kita ada sesuatu yang darurat atau hilang, orang yang mencari kita tidak kehilangan jejak. 7. Usahakan membawa sleeping bag dan alat – alat survival sebagai pegangan jika sewaktu-waktu dibutuhkan. mungkin itu tips dasar untuk bepergian ala backpacker dari saya.
Bulok
Kasodo untuk Bromo
pemuda bernama Jaka Seger yang meminang pemudi cantik, Rara Anteng (Tengger adalah gabungan nama keduanya). Rara Anteng adalah anak dari raja Brawijaya yang kala itu sedang berkuasa, sekitar abad ke-14. Mereka menikah dan hidup bahagia sampai suatu saat jenuh karena tidak kunjung diberikan buah hati. Maka pergilah mereka ke gunung Bromo untuk berdoa pada dewa agar mereka diberikan anak.
oleh: Muhammad Iqbal
Terkabul, mereka diberikan anak, lagi, dan lagi, sampai jumlahnya 25 orang. Namun, mereka sebelumnya terlanjur berjanji untuk mengorbankan anak terakhirnya. Setelah yakin bahwa anak itu adalah anak terakhir mereka maka untuk menepati janjinya, mereka betul-betul mengorbankan anak bungsunya di kawah Bromo. Belum berakhir. Setelah itu, terdengar suara seorang anak dari kawah Bromo. Suara itu meminta dirutinkannya persembahan setiap hari ke-14 di bulan Kasodo. Persembahan tahunan itulah yang kemudian banyak disebut-sebut upacara Kasodo. Dua puluh empat anak Rara Anteng dan Joko Seger tersebut yang kemudian menjadi nenek moyang penduduk Tengger yang sekarang.
B
agi para pencuri foto dan para pecinta Budaya yang fanatik, sepertinya Kasodo sudah tidak asing lagi. Upacara ini sudah menjadi agenda tahunan yang mahsyur dikenal, bahkan sampai luar Indonesia. Indikasinya mudah, banyak wisatawan mancanegara yang selalu tampak dalam upacara.
10 | b a c k p a c k i n’
Mayoritas dari mereka berasal dari Perancis dan Amerika.
Tengger
Indonesia selalu seru dengan legenda-legendanya. Biasanya, pengaruh agama adalah dorongan yang paling kuat dalam penyusunannya. Tidak jarang, dalam satu kejadian banyak cabang
cerita yang terpapar, termasuk Kasodo. Makna kata Kasodo sendiri dari kata kasada, artinya sepuluh, menyirat makna bulan kesepuluh pada kalender Tengger, waktu dilangsungkannya upacara Kasodo.
kan rotasi bulan seperti kalender di Arab. Tidak sepaham juga dengan kalender matahari seperti yang umum dipakai penduduk dunia. Penduduk Tengger punya anutan sendiri dalam menentukan penanggalan.
menentukan penanggalan yang berlaku untuk empat tahun berikutnya. Acara tersebut disebut Unan-Unan. Salah satu syarat penanggalan adalah jumlah hari dalam empat tahun yang ditentukan tersebut tidak boleh ganjil.
Kalender Tengger bukan sembarang kalender. Bukan berdasar-
Setiap empat tahun sekali, penduduk Tengger berkumpul untuk
Asal-muasal upacara Kasodo sendiri berawal dari seorang
11 | b a c k p a c k i n’
Versi lain menyebutkan, zaman dulu di Jawa, Hindu menjadi agama utama bagi penduduknya. Setelah Islam masuk dan mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari penduduk, maka sedikit demi sedikit penganut Hindu pindah ke lereng-lereng gunung, termasuk ke daerah Tengger. Mereka yang pindah ke Tengger ini yang dinobatkan sebagai nenek moyang Tengger.
Bulok Versi pertama lebih popular dibicarakan banyak orang. Legenda memang lebih indah untuk dinikmati bukan diperdebatkan.
Luhur Poten
Pura indah yang berada tepat di bawah kaki Bromo itu punya nama Luhur Poten. Bangunan ini dikelilingi pagar asal batu menegaskan kewibawaan sekaligus kesombongannya. Pohon-pohon di sekeliling Pura yang sangat terawat sepertinya melambailambai mengajak kembali ke zaman kerajaan Mataram. Sedikit banyak, Kasodo punya hubungan dengan Luhur Poten. Paling tidak,keduanya sama-sama dari garis Hindu. Kasodo lahir jauh lebih awal daripada Luhur Poten yang baru dibangun pada tahun 1983. Sebelum Poten tegak, upacara Kasodo tidak menggunakan acara mampir dahulu ke Poten. Sejak adanya Poten sampai sekarang, terkesan Poten menjadi salah satu mata rantai upacara yang tidak boleh ditinggalkan. Padahal tidak demikian. Maka wajar sekali kalau akhir-akhir ini masyarakat Tengger tidak mampir dulu ke Poten, mereka langsung menuju kawah, melemparkan hasil buminya. Ada sedikit gap di dalam intern masyarakat Tengger. Hindu Tengger dengan Hindu Bali punya budaya yang berbeda. Penetrasi Hindu Bali semakin kuat di Tengger sehingga budaya mampir ke Poten terlebih dahulu semakin ditinggalkan. Mata rantai pertama dalam rangkaian kegiatan Kasodo adalah pengambilan air dari tiga titik. Ada upacara sendiri untuk kegiatan ini, namanya Mendak Tirta. Tiga sumber air yang dilibatkan yaitu air Gunung Widodaren di lautan pasir, air terjun Madakirapura di Keca-
12 | b a c k p a c k i n’
matan Lumbung Probolinggo, dan Watu Plosot di Gunung Semeru. Ada yang mengatakan, membersihkan Pura Poten juga merupakan rantai wajib dalam upacara Kasodo. Biasanya dilakukan satu minggu sebelum acara puncak. Tapi sepertinya acara bersih-bersih tersebut hanyalah tambahan semata, mengingat Poten baru tegak sejak 1983 sedangkan upacara Kasodo sudah mengisi absen jauh sebelum itu. Satu hari sebelum acara puncak, dukun-dukun dari setiap desa bergumul. Bukan dukun yang mistis seperti dalam film Suzana. Bukan pula dukun anak atau dukun yang menyembuhkan penyakit. Dukun yang dimaksud lebih mirip sebagai pemuka agama. Ada kitab yang harus dihapalnya agar bisa dinobatkan menjadi dukun. Dukun-dukun yang hadir adalah dukun yang akan dinobatkan menggantikan dukun desanya yang sebelumnya. Setiap desa punya dukun masing-masing. Acara ini menjadi semacam regenerasi bagi dukun-dukun itu. Desa yang pada tahun tersebut tidak perlu mengganti dukunnya maka tidak perlu jua hadir dalam pergumulan dukun-dukun ini. Dukun baru yang terlibat akan dinobatkan menggantikan dukun lama di desanya. Pada malam sebelum acara pelemparan hasil bumi yang dinobatkan sebagai acara puncak, Poten dan sekitarnya sudah riuh. Penduduk membaca-baca mantra, sembahyang, dan mengumpulkan hasil bumi yang hendak dipersembahkan di penghujung malam. Kegiatan ini bisa juga dimasukkan dalam rantai kegiatan upacara Kasodo.
Dari
Bumi
Menuju
Bumi
Pelemparan hasil bumi yang dilakukan ketika Subuh itu bukanlah
satu-satunya pelemparan. Setelah itu, ada saja yang melemparkan hasil buminya. Jumlahnya lebih sedikit daripada pelemparan yang pertama kali. Masyarakat Tengger merasa punya kewajiban pribadi yang tidak bisa diwakilkan untuk melemparkan hasil buminya. Hasil bumi yang terlibat bukan hanya sayur-sayuran dan buahbuahan, tapi juga ayam dan kambing. Kadang terlihat kambing yang masih hidup mencoba mendaki kembali setelah dikorbankan. Banyak terlihat orang yang berebut hasil bumi tersebut setelah dilemparkan. Mereka
adalah penduduk di luar Tengger. Tidak ada pencegahan yang dilakukan oleh penduduk asli Tengger. Penduduk luar Tengger memang diperbolehkan untuk memungut hasil bumi yang telah dikorbankan di kawah Bromo. Mereka beradu cepat mendapatkannya. Kadang terlihat menegangkan ketika mereka menjatuhkan diri ke bibir kawah. Ceroboh sedikit bisa patah-patah tulangnya. Tapi sepertinya mereka sudah terbiasa melakukan itu. Bagi masyarakat Tengger sendiri, ada harapan yang muncul dari Kasodo. Mereka berharap per-
13 | b a c k p a c k i n’
lindungan, kesehatan, dan panen yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Motif yang sama dengan upacara-upacara daerah yang juga melibatkan hasil bumi. Apriadi Kurniawan yang sudah melakukan riset fotografi Kasodo selama dua tahun belakangan memberikan beberapa saran jika hendak mengabadikan Kasodo. Pertama, Kasodo ini bukan ritual yang hanya melempar hasil bumi ke kawah Bromo saja, tapi sekitar empat hari sebelumnya ritual sudah dimulai dengan pengambilan air dan sebagainya. Titik puncak kegiatannya memang
pelemparan hasil bumi, tapi kalau mau mencuri foto penuh ritual ini, maka datanglah sejak sekitar empat hari sebelum acara puncak. Kedua, butuh persiapan fisik yang cukup karena acara puncaknya nonstop dari malam sampai subuh. Perjalanan dari penginapan (Cemoro Lawang) ke kawah Bromo pun tidak mudah. Kearifan lokal punya makna yang dalam sekali, saking dalamnya terkadang tidak tampak. Khasanah budaya tersebut selalu punya nilai penting untuk dilestarikan. foto: Dandy Priangga Ibrahim
On The Spot
Melangkahi Bromo oleh: Muhammad Iqbal
Pegunungan Tengger memang selalu menjadi pilihan menarik bagi penikmat tracking. Satu-satunya gunung di Jawa yang butuh waktu berhari-hari untuk mendakinya sampai puncak adalah Semeru, salah satu anggota dari pegunungan Tengger. Bromo, yang juga masuk dalam pegunungan Tengger, sebenarnya merupakan sebentuk kecil dari Pegunungan Tengger. Dulu Tengger adalah gunung tertinggi di Jawa dengan tinggi lebih dari 4000 meter dpl, sekarang hanya tersisa Bromo yang masih aktif dengan ketinggian setengah dari Tengger pada zaman dulu. Ada satu bangunan unik yang apik berdiri di bawah kaki Bromo dan Batok (tetangga Bromo), yaitu Pura yang megah sebagai tempat ibadah teman-teman Hindu. Selain unik karena bentuknya, pura ini juga unik karena letaknya yang cukup ekstrem, di tengah lautan Pasir, di mana rumput pun enggan untuk tumbuh. Butuh menapaki sekian kilometer untuk mendapati rumah penduduk dari Pura ini. Penduduk daerah ini sebagian besar memang beragama Hindu. Konon, dulu ketika ajaran islam masuk ke Jawa, pemeluk agama Hindu semakin tersisih sehingga terjadi hijrah besar-besaran ke Bali dan pegunungan. Mungkin itu yang menjadi alasan penduduk Bali sebagian besar memeluk Hindu, begitu pula dengan penduduk Bromo. Untuk mencapai Bromo, wisatawan kebanyakan mengambil jalan lewat Probolinggo. Kalau tidak menggunakan kendaraan pribadi, kita bisa menggunakan jasa Elf dari Probolinggo sampai Cemoro Lawang, yaitu daerah tempat wisatawan berkumpul untuk menikmati Bromo keesokan paginya.
di satu gang tempat kediaman Cak Nu, pemilik persewaan Jeep dan Truk. Kalau pembaca yang budiman benar-benar mau ke sana, hubungi kami untuk mendapat nomor Cak Nu. Berangkatlah sore hari karena kalau kemalaman kemungkinan angkutan tidak ada lagi, kalau kepagian jadi bingung mau ngapain di sana. Perjalanan memakan waktu sekitar 1 jam dengan biaya sekitar 4 ribu. Rumah Cak Nu sering kali didatangi orang-orang yang tidak dikenalnya, dengan motif sama: nebeng sampai Jemplangan atau bahkan Ranu Pane. Saking sudah biasanya, Cak Nu menyediakan kamar khusus untuk tamu. Sekitar pukul 7, truk Cak Nu berangkat. Tujuannya adalah mengantarkan barang-barang pertanian ke satu tempat dekat Ranu Pane, danau yang kontroversial itu. Untuk jasa nebeng sampai Jemplangan, biasanya dikenakan biaya 25 ribu/penebeng (nego). Perjalanan truk memakan waktu 1 jam tepat. Satu jam yang diisi dengan ratusan kali decakan kagum. Penebeng biasanya ditempatkan di belakang truk sehingga bisa melihat dengan leluasa. Pemandangan yang sungguh menyenangkan mata dan memantapkan doktrin bahwa manusia bukan apaapa. Hampir sepanjang perjalanan dijalani dengan mendaki. Pertama-tama, mata kita disuguhi dengan sebuah desa yang hampir di setiap halaman rumahnya ditanami dengan dua buah pohon apel. Udara yang memang sudah dingin ditambah hempasan angin yang semakin kencang akibat percepatan truk membuat tangan semakan kaku. Kaos,
sweater, dan jaket tebal yang serempak dipakai sekaligus pun tidak bisa unjuk gigi. Tapi pemandangan berikutnya seakan menghangatkan semua itu. Semeru terlihat jelas di sebelah kanan jalan. Indahnya gunung ini, apalagi ketika asap tebal sedang diembuskannya setiap 20 menit sekali. Di sebelah kiri, bermacam tanaman tertata rapi, simetris. Kebun kol diselingi dengan jagung. Sekalisekali daun bawang yang diselingi jagung. Kadang ketiganya berkolaborasi dalam satu lahan menampakkan formasi seperti upacara SD di masa kecil dulu. Mungkin ini yang disebut dengan tumpang sari. Secara menakjubkan, akan terlihat sebuah desa. Sebuah desa di ketinggian sekitar 2000 meter dpl! Ngadas namanya. Ini merupakan desa tertinggi dengan nomor urut dua setelah salah satu desa di Jayawijaya. Desa ini bisa dikatakan cukup padat, bahkan lebih padat dari desa sebelumnya yang halamannya diisi dengan pohon apel. Dari Jemplangan, petualangan dimulai. Kita harus menuruni bukit yang cukup curam dan licin. Harus hati-hati melewatinya karena ada beberapa titik yang lebar tracknya hanya pas untuk 2 buah telapak kaki yang dirapatkan, lengah sedikit, khatam sudah. Bukit ini dipenuhi dengan rerumputan dan semak belukar sehingga mata masih bisa melihat jauh berkilo-kilometer ke kanan, kiri, dan depan. Pemandangan gunung Telletubies (entah apa nama sebenarnya, tapi bentuknya mirip rumah Telletubies, maka sebut saja demikian) sedapnya bukan main. Juga pemandangan hamparan sabana di bawah sana, harum. Terkadang kita akan menemui track yang putus karena sudah berhari-hari tidak ada orang yang lewat. Inilah bagian paling sulit. Setelah menuruni bukit selama satu jam, sampailah ke Bantengan, yaitu shelter yang bentuknya seperti gazebo.
Indie Way to Bromo
Dari Malang, tepatnya terminal Arjosari, carilah angkutan warna putih yang menuju Tumpang. Turun
14 | b a c k p a c k i n’
15 | b a c k p a c k i n’
Perjalanan selanjutnya adalah jalan datar yang beberapa kali dilewati jeep. Di kanan kiri jalan, hamparan rerumputan indah melambai bersahutsahutan. Di kiri jalan juga terlihat gunung telletubies. Walaupun pemandangan monoton hanya pada rerumputan dan gunung teletubbies, tapi itu sama sekali tidak menimbulkan rasa bosan. Dari Bantengan sampai perbatasan Sabana dengan lautan pasir memakan waktu perjalanan 2 jam. Perbatasan Sabana dan lautan pasir bisa dijadikan tempat peristirahatan dan foto-foto. Pemandangan Bapak tua yang membawa rumput hasil ngaritnya yang melebihi besar badannya menjadi hal yang biasa terihat. Mungkin mereka membawa rumput dari kawasan Sabana. Sepertinya untuk makanan Kuda. Maklum saja, Kuda menjadi alat transportasi utama di Tengger. Satu setengah jam berikutnya tidak ada jeep track seperti sebelumnya. Tidak pula rerumputan. Sepertinya tidak ada rumput yang sanggup hidup di lautan pasir. Lautan pasir luas yang ditaburi pecahan-pecahan batu. Patokan perjalanannya adalah Cemoro Lawang yang ditandai dengan beberapa tower. Mudah untuk mengidentifikasikannya. Pemandangannya berubah menjadi padang pasir. Di sebelah kiri, kita akan ditemani oleh Gunung Batok yang bersebelahan dengan Bromo. Sesekali kabut asap Bromo turun. Baunya jelas seperti Belerang. Berbahaya kalau terlalu banyak menghirupnya. Karena itulah disarankan untuk membatalkan pendakian kalau asap mengepul.
Cemoro Lawang
Bermacam hotel yang ditawarkan di Cemoro Lawang. Harga tentu beragam. Salah satu Hotel ada yang harga kamarnya 50 ribu dengan dua buah dipan. Sepertinya itu yang termurah. Kalau uang berlebih, bisa juga menginap di Long View, hotel
On The Spot
terbaik di Cemoro Lawang.
Sebagai bekal di malam harinya, kita bisa membeli topi kupluk, sarung tangan, dan syal. Jangan lupa menawar sebelum membeli. Sarung tangan seharga 3 ribu. Kupluk dan syal masingmasing 7500.
Bahkan ada juga penyewaan jaket tebal, 25 ribu per hari. Untuk mempersiapkan perjalanan keesokan paginya menuju Pananjakan dan Bromo, kita harus mencari Jeep terlebih dahulu. Pananjakan adalah nama perbukitan tertinggi yang mengelilingi Bromo, Batok, dkk. Mayoritas wisatawan yang menginap di Cemoro Lawang menargetkan Pananjakan dan Bromo. Di Pananjakan mencari view sun rise sedangkan di Bromo mencari view kawah. Sebetulnya kita tinggal membeli voucher seharga 275 ribu untuk perjalanan satu Jeep ke Pananjakan dan Bromo. Isi Jeep maksimal 6 orang. Mudah sekali kalau kita pergi rombongan. Tinggal harga jeep 275 ribu dibagi 6 saja. Tapi kalau kita Cuma sendiri atau berdua, kalau mau irit, kita harus mencari wisatawan lain yang bisa berangkat dengan kita supaya biaya Jeep bisa dibagi banyak orang, mudah mencarinya kalau weekend karena wisatawan bejibun, dan hamper semuanya mau ke Pananjakan dan mau harga murah. Akan banyak calo yang menawarkan sewa Jeep seharga 325 ribu/Jeep. Lebih mahal memang, tapi ada servis tambahan dari sang calo untuk membangunkan kita pukul 3 pagi, tentunya dengan memberitahukan letak hotel kita terlebih dahulu. Ada lagi biaya wisatawan 6 ribu/ orang, dipungut saat Jeep mau meluncur. Tentang makanan, banyak pilihan yang tersedia. Nasi pecel dengan telur di salah satu warung kecil dibandrol 5 ribu, nasi soto ayam 7500. Yang lebih mewah juga banyak, tentu harga akan ikut mewah. Sekedar saran, tidurlah lebih cepat supaya besok paginya bisa bangun cepat. Jangan lupa mempersiapkan jaket, sarung tangan, kupluk, dan sedikit makanan dari malam hari karena ketika bangun keesokan paginya, itu adalah puncak perasaan dingin yang luar biasa. Berbicara saja terbatabata karena otot rahang tidak mau berdamai.
Pananjakan-Bromo
Pukul 3.15 si calo akan membangunkan kita. Jeep berkumpul di Cemoro Indah. Kalau sudah bayar, Jeep bisa langsung jalan. Setengah jam kira-kira perjalanan ke Pananjakan. Ramai sekali kalau weekend. Jangan lupa hapalkan plat nomor Jeep dan tempat parkirnya. Repot kalau lupa karena ada puluhan (mungkin ratusan) Jeep lain yang bodinya mirip semua. Dari tempat parkir menuju view area, kira-kira 15 menit perjalanan. Sebagian jalan aspal, sebagian lagi menaiki tangga. Sepanjang perjalanan itu, banyak sekali pedagang. Ada yang menyewakan jaket. Pedagang edelweiss. Penjual kupluk, sarung tangan, dan syal. Ada juga yang menawarkan jasa ojeg sampai bawah tangga. Kios-kios kecil juga menjamur. Kalau kurang beruntung, sunrise yang dikejar tidak tampak karena tertutup awan. Namanya juga alam. Kalau mau aman, datanglah ke Bromo ketika musim kemarau karena langit akan bersih. Tapi siap-siap dengan suhu yang lebih mencekam. Bisa dua kali lipat lebih dingin. Memang aneh suhu di sini, berbanding terbalik dengan cuaca. Biaya Jeep itu sudah termasuk mampir di Bromo. Tempat pemberhentian Jeep bukan di bawah kaki Bromo, tapi masih lumayan jauh. Jeep tidak bisa masuk sampai kaki Bromo karena bisa terjadi adu jotos dengan penyewa jasa antar dengan kuda. Ini masalah perut, susah. Sejak turun dari Jeep sampai mencapai puncak Bromo butuh waktu perjalanan 30 – 45 menit. Sebagian jalan pasir yang menanjak, sebagian lagi tangga. Yang tidak menyenangkan adalah sepanjang perjalanan menuju bawah tangga, banyak kotoran kuda. Ratusan kuda berseliweran bolak-balik tak henti-hentinya. Ada beberapa kuda yang bagian belakangnya dipasang semacam kain sehingga kotoran tidak terbuang ke jalan. Tapi hanya beberapa saja yang demikian. Kenikmatan pemandangan mulai terasa ketika menaiki tangga. Di sebelah kanan, jelas terlihat gunung Batok. Di sebelah kiri tampak lautan pasir. Di bawah tampak Pura megah yang tertata sangat apik. Sampai di atas, kita bisa puas memandang ke sekeliling. Bonusnya adalah pemandangan kawah Bromo. Asap putih masih tak henti-hentinya keluar dari beberapa titik di kawah menandakan Bromo
17 | b a c k p a c k i n’
masih aktif. Tidak ada apa-apa di dalam kawah, hanya kumpulan pasir yang membentuk daratan kecil tidak penuh dihiasi dengan beberapa lubang yang lebih mirip jurang tanpa terlihat dasarnya. Samar-samar terlihat di dasar kawah tersebut ada susunan batu
yang membentuk satu tulisan. KIPPALA. Sepertinya nama sekumpulan pecinta alam. Entah bagaimana mereka bisa sampai di bawah sana. Entah bagaimana mereka melewati jurang-jurang tanpa dasar tersebut. Mengambil risiko menghirup asap putih berbau belereng itu. Hebat. Setelah puas dengan perjalanan itu, tidak ada jalan lain, harus menuruni tangga melelahkan itu lagi, mengarungi jalanan pasir berkotoran kuda itu lagi, baru sampai di parkiran Jeep. Dengan ritmik perjalanan seperti itu, kira-kira akan sampai di Cemoro Lawang lagi pukul 9. Jadi, total perjalanan ke Pananjakan dan Bromo memakan waktu 5 jam. Cukup melelahkan, tapi menyenangkan. Elf menuju Probolinggo selalu siaga di Cemoro Lawang. Pemandangan selama perjalanan di Elf ini masih menyenangkan. Masih dipenuhi dengan kebun kol yang berseling dengan jagung dan bawang. Udara juga masih sejuk. Dari Probolinggo, ada bis non-AC ke Malang (Arjosari) dengan biaya 14 ribu. Kalau mau langsung pulang ke Jakarta silakan cari lagi angkutan yang menuju stasiun Malang. foto : Muhammad Iqbal
Budgeting Wisata Pananjakan-Bromo dari Jakarta (Indie Way) Kereta Jakarta – Malang Stasiun – Arjosari Arjosari – Gang Cak Nu Perbekalan (cokelat+roti+air) Biaya nebeng truk Hotel Kupluk + sarung tangan + syal Jeep (asumsi 1 jeep=6 orang) Cemoro Lawang – Probolinggo Probolinggo – Malang Arjosari – Stasiun Malang – Jakarta Makan 10 x 7000 TOTAL
55.000 2.500 4.000 20.000 25.000 50.000 18.000 50.000 25.000 14.000 2.500 55.000 70.000 392.000
O
Catper
nrust h nrust…
oleh: Yeni Diah W
D
iawali dengan woroworo dari juragan Ilma si empunya group Backpacker Indonesia tentang pembentukan tim redaksi ezine yang akan dilakukan di pulau Onrust, maka aku memberanikan diri untuk ikut gabung. Teryata keinginanku ini direspon dengan baik oleh juragan-juragan di sana. Lalu di lanjutkan pengumuman kedua tentang waktu pelaksanaan yang bikin aku geleng-geleng kepala: hari pertama di bulan puasa ramadhan!! ..Weledeleh ..tapi demi Onrust dan Ezine... “LANJUTKAN!“ Aku belum pernah bepergian ke pulau lain sebelumnya. Karena itulah aku sangat bersemangat. Ditambah lagi ada rencana untuk membuat majalah elektronik khusus tentang backpacking, ”menarik sekali!” pikirku. Aku memang selalu ingin belajar menulis, namun belum menemukan teman dan wadah yang tepat. Semoga Ezine Backpacker Indonesia ini bisa menjadi tempatku berlabuh untuk mengasah kemampuan menulisku..
Pemberangkatan
Disepakati titik pertemuan untuk trip ini ada dua tempat, yaitu di Citraland atau langsung di Muara Kamal. Aku memilih untuk menunggu di depan Ramayana Cengkareng. Alasan pertama adalah karena tempat tinggalku berada di dekat situ. Sedangkan alasan kedua adalah karena aku tahu bahwa mereka yang berkumpul di Citraland, pasti akan melewati Ramayana Cengkareng untuk menuju Muara Kamal. Karena angkot menuju Muara Kamal semuanya “ngetem” di depan Ramayana Cengkareng. Dengan tarif Rp 5000 Rupiah kita sudah sampai Muara kamal.
18 | b a c k p a c k i n’
Pk 08.30, aku sampai di Ramayana Cengkareng pk. 08.30. Sudah ada 13 orang backpackers disana yang siap menuju Muara Kamal. Maka naiklah kami ke dua angkot disana. Tanpa disadari, angkot pertama berisi para backpackers cewek, sedangkan angkot kedua dipenuhi backpackers cowok. ”Kita kayak mau pengajian nih..” ujar Ilma Dityaningrum, seorang backpacker tangguh yang juga pendiri komunitas Backpacker Indonesia. Sampai Kamal kita disambut dengan bau amis karena dari sini lautnya sudah mulai terlihat dan terdapat tempat pelelangan ikan. Agak becek walaupun ga ada ojek tapi banyak perahu yang dapat kita sewa untuk menyebrang kemana pun kita mau. Kami menggunakan perahu KM Darussalam milik Pak Haji Kasim yang sudah kami pesan sejak jauh-jauh hari. Biaya per orang Rp 25.000,00 pulang pergi. Kami tak langsung berangkat karena harus menunggu dua backpackers lain dari bandung yang belum datang. Tepat jam 11:00 mereka datang, kini jumlah kami ber-16, siap menuju Onrust!
Muara Kamal-Onrust
Jarak tempuh untuk menuju Onrust kurang dari satu jam. Selama dalam perjalanan mataku miris melihat keadaan lautnya. Sampah dimana-mana! Bahkan selembar karpet shamira telihat mengapung (sudah seperti di Pasar Tanah Abang). Entah karpet itu sengaja di buang atau terbawa banjir, aku sangat kesal. Laut ini seperti di jadikan tempat sampah raksasa oleh manusia. Warna laut menjadi coklat gelap, tak lagi biru. Sedangkan burung-burung laut sangat sedikit yang dapat kita lihat.
Selamat Datang Di Pulau Onrust
Tak berbeda jauh dengan Muara kamal, di Kepulauan Onrust ini juga banyak terdapat sampah. Di depan dermaga saja, kami sudah disambut tumpukan sampah yang terdampar di tepi pulau. Sempat tercetus ide dari temanteman untuk mengadakan bersihbersih laut, tapi rasanya itu tidak akan banyak membantu kalau kesadaran masyarakat yang tinggal di pesisir pantai kurang. Sama saja seperti menulis di atas air, akan hilang tak berbekas. Segera kami meloncat ke dermaga. Sempat foto-foto selamat datang dulu, lalu kami menuju tempat kami akan bermalam, yaitu di bawah pohon rindang dan berhadapan langsung dengan laut. Lokasinya jauh dari dermaga, sehingga kami tidak terganggu dengan pemandangan sampah itu. Fiuh.. Tiga tenda didirikan dan sebuah flysheet dibentangkan di tengahtengahnya kelompok tenda untuk memayungi kami dari sinar matahari. Namun menjelang sore, flysheet itu menyerah kalah oleh hembusan kencang angin laut. Kegiatan pertama pastilah perkenalan, karena banyak di antara kami yang belum saling mengenal. Lalu di lanjutkan dengan diskusi mengenai ezine Backpacker Indonesia. Jeremy Gemarista, pencetus ide ezine ini memaparkan maksud dan tujuan dari pembentukan ezine. Ada tiga hal utama yang menjadi tujuan pembentukan media elektronik ini, yaitu sebagai sarana pembelajaran teman-teman Backpacker Indonesia, sebagai wadah untuk mempublikasikan tulisan teman-teman backpacker, dan juga untuk media pertukaran informasi
19 | b a c k p a c k i n’
mengenai dunia backpacking. Setelah itu kami membahas mengenai persoalan-persoalan strategis dari majalah elektronik ini. Misalnya konsep dasar ezine, sasaran pembaca, juga rubrikasi dan alur kerja tim. Semua peserta diskusi aktif memberikan komentar, semuanya bersemangat untuk mewujudkan ezine ini! Perbincangan sesi pertama selesai. Kini saatnya acara bebas! Sebagian besar dari kami memilih untuk tidur. Maklumlah, ini hari pertama puasa, dan tidur adalah ibadahnnya orang puasa. Namun aku memilih untuk berkeliling seorang diri mengitari pulau. Tentunya tak lupa membawa kamera digital untuk mengabadikan tiap sudut pulau ini. Take nothing but picture, salah satu motto para backpacker, itulah yang akan kulakukan sekarang. Tak sampai satu jam kita sudah dapat mengelilingi pulau ini, itupun sudah termasuk foto-foto, jalan super santai sedikit, sekaligus bengong dan kesulitan berjalan. Karena meskipun kepulauan Onrust ini ada jalan konblok, namun banyak yang sudah rusak karena berbagai sebab. Tapi semua itu tidak mengurangi kekagumanku akan pulau ini. Onrust dulunya pernah menjadi tempat peristirahatan raja-raja Banten. Kemudian VOC menduduki pulau ini dan menjadikannya tempat galangan kapal. Saat itulah pulau ini selalu sibuk dan orang-orang menyebutnya on rust yang artinya un rest atau tidak pernah istirahat. Selain itu pulau kecil ini juga pernah menjadi tempat karantina haji dan penjara. Ketika berkeliling, aku menemukan banyak peninggalan makam. Mulai dari makam keluarga Belanda, hingga makam salah seorang pimpinan DI/TII
yang diduga wiryo.
adalah
Kartosu-
Serangan Inggris berkali-kali dan bencana badai besar akibat meletusnya gunung Krakatau membuat bangunan disini hancur dan rata dengan tanah. “Tempat ini sungguh menyimpan banyak cerita,” pikirku. “Namun kini aku hanya bisa merekam puing-puing bisu dengan kameraku. Tak apa, biar diam, mereka tetap bercerita…” Puas mengelilingi pulau, aku kembali ke basecamp. Ternyata kawan-kawan masih tertidur namun tak lama mereka mulai bangun satu persatu. Langit mulai gelap, dan magrib akan segera tiba. Untuk perhatian. disini tidak terdapat air tawar sehingga untuk wudhu pun kami menggunakan air asin. Di malam hari, tempat kami bertenda sangat gelap karena penerangan hanya ada di deket dermaga, itupun sangat terbatas. Maka alat penerangan sangat diperlukan seperti senter, dan lampu duduk. Untuk masalah makan tak usah khawatir, disini terdapat beberapa warung yang buka 24 jam dan bisa di pesan, walaupun dengan harga yang sedikit lebih mahal dibanding di Jakarta.
Saatnya makan!
Tanpa kami ketahui ternyata salah satu dari kawan kami, yaitu Wahyudi Panggabean alias “Why” sudah mempersiapkan menu berbuka berupa barbeque seekor ikan dan ber ekor-ekor cumi montok! Waah tentu saja kami menjadi girang. Dengan cekatan beberapa kawan kami yang terbiasa bermain-main di hutan segera membuat unggun. Sebagian dibakar dan sebagian lainnya digoreng tepung. Jadilah calamari atau cumi goring tepung. Hmmmm yummy pastinya!
ditempati oleh tas-tas kami. Kami tidur-tiduran di atas terpal, tas kami tidur-tiduran di dalam tenda. Tiba-tiba mba Nizar Wogan mengeluarkan sekantong stik dan membagikannya kepada kami satu persatu. Awalnya (karena gelap) aku bingung benda apa ini.. Namun setelah korek api dinyalakan, stik didekatkan ke api, muncullah percikan api yang menyalanyala. Aha!! Ini kembang api!!!!
Bagiku dan beberapa teman yang lain, ini adalah kali pertama kami bertemu. Ezine-lah yang mempertemukan kami di pulau kecil ini. Namun ternyata tidak butuh waktu lama untuk saling berbagi. Baik berbagi ide, berbagi tenaga, berbagi tawa, dan tentunya berbagi makanan! Momen ini membuat kami semakin akrab satu sama lain, sekaligus menjadikan malam ini tidak terlupakan bagiku.
kapten divisi catper, sedangkan Jeremy Gemarista kapten divisi non-catper, dan Wahyudi Panggabean sebagai kapten divisi teknis. Kemudian kami membahas aturan main masing-masing divisi. Ezine mulai terlihat wujudnya. Awalnya hanya sebuah ide yang abstrak, namun malam ini di On-
Kegiatan Malam
Walau kegiatan ini dilakukan di bulan ramadhan, namun kami masih sempat melaksanakan shalat taraweh pertama di pulau ini. Seusai sholat dan makan, kami melanjutkan diskusi mengenai ezine, sambil berusaha keras menghabiskan makanan yang ternyata lebih dari cukup. Berkah Ramadhan. Alhamdulilllah.. Kini diskusi kami mulai mengerucut ke persoalan teknis. Alur kerja redaksi dibagi menjadi tiga divisi yaitu divisi catatan perjalanan (catper), divisi non catper, dan divisi teknis yang bertugas mengurus layout dan lain sebagainya. Untuk mempermudah koordinasi, maka dipilihlah kapten untuk setiap divisi. Ambar Arum menjadi
20 | b a c k p a c k i n’
Maka kami bermain kembang api, sambil menahan perut yang sakit akibat terlalu banyak tertawa. Sungguh pengalaman yang tak terduga! Lima belas menit kemudian, kembang api habis, namun tawa kami masih bergelora memecah sunyinya malam di Onrust. Kemudian sambil menikmati kerlip lampu kota Jakarta dari kejauhan, kami saling bercerita mengenai banyak hal. Waktu untuk sahur pun akan segera tiba. Hati kami pun tenang karena Ilma sang juragan sudah memesan makanan untuk sahur. Ketika sahur, kami dibagi dua kloter karena sebagian dari kami harus ada yang menjaga tenda.
Sunrise
rust, kami bersama-sama membentuk ide tersebut menjadi lebih konkrit. Kami yakin ezine Backpacker Indonesia ini akan dapat terwujud secara nyata dan menjadi berguna bagi pembacanya. Meskipun kami tahu ini tidak mudah, namun kami percaya pada proses yang akan terus menjadikan kami lebih baik. Diskusi berakhir sebelum jam sepuluh. Sambil menunggu pagi, kami berbincang ngalor ngidul di atas terpal, beratapkan langit. Tiga tenda yang kami dirikan hanya
Apalagi yang di cari kalau di pantai kalau bukan Sunrise! Ketika sang primadona itu muncul perlahan dengan anggun, sudah saatnya para banci kamera beraksi. Kang Yossi ‘Kociw’, fotografer handal kita, dengan telaten membingkai kami dalam kameranya. Ia menghasilkan banyak foto-foto yang bagus dan beberapa diantaranya adalah candid. Puas foto-foto, selanjutnya aku dan kawan-kawan harus bersiapsiap untuk pulang. Tapi tunggu! Ternyata masih ada satu pulau lagi yang akan kita singgahi, yaitu pulau Cipir yang berada dekat sekali dengan Onrust. Sebenarnya kun-
jungan ke pulau itu tidak masuk dalam agenda, namun karena rasa penasaran sebagian dari kami (termasuk aku tentunya) akan pulau tersebut, maka kami memutuskan untuk mampir kesana. Yippie!
Pulau Cipir
Jarak pulau Cipir dan Onrust tidaklah terlalu jauh. Hanya dalam 5 menit kita sudah sampai. Dulunya pulau ini memiliki jembatan yang terhubung dengan pulau Onrust. Namun serangan Inggris, bencana Krakatau, dan abrasi laut membuat jembatan itu tidak lagi terlihat. Untuk masuk ke pulau ini kita harus membeli tiket seharga Rp 2000, 00. Sebenarnya kondisi bangunan di pulau Cipir ini lebih baik, tembok-temboknya masih utuh dan bentuk bangunan nya masih terlihat jelas. Namun pulau ini lebih tidak terawat, sampah di mana-mana, terlihat bekas bakar-
bakaran yang berantakan, dan banyak terdapat pecahan beling. Di pulau cipir ini terdapat meriam, dan pilar seperti pintu gerbang. Bangunan-bangunan disini tidak dilengkapi dengan papan infomasi sehingga membuat kita sulit mengetahui sejarah dari bangunan tersebut. Berbeda dengan Onrust yang banyak terdapat papan informasi. Kami tak berlama-lama di sini, sekitar pukul 11.30 kami bergegas kembali ke kapal KM Darussalam yang akan membawa kami kembali ke muara kamal, kembali ke peradaban, kembali pulang.. Hmm‌ sudah terbayang es blewah di rumah untuk menu berbuka puasa. Pasti makyus!! foto : Ambar dan Yeni Diah W
Info munculkan ide diadakannnya sebuah gathering. Kembali ke hari Jumat, tanggal 2 Mei 2009. Sekelompok Backpacker dari Jakarta itu akhirnya telah tiba di Bandung dan bertemu dengan para backpacker yang datang dari berbagai tempat di Terminal Dago. Mereka pun tiba ke tempat yang akan dijadikan tempat acara tersebut, sebuah vila di daerah Dago Atas.
Backpacker Indonesia di Gathering Ke-1
H
ari Sabtu, 2 Mei 2009. Pagi hari itu matahari masih belum terbit di stasiun Gambir dan waktu masih menunjukkan pukul 5 pagi. Terlihat beberapa orang bergerombol di depan pintu loket KA Parahyangan Jakarta – Bandung. Tidak seperti penumpang lainnya yang langsung menuju kereta setelah membeli tiket. Gerombolan ini malah bersalam – salaman terlebih dahulu sambil bertukar cerita. Ternyata mereka adalah sekelompok orang yang akan mengikuti “Gathering Ke-1 Backpacker Indonesia”. Beberapa bulan sebelum tibanya hari itu. Ilma dan beberapa kawan di Backpacker Indonesia, sebuah komunitas Facebook yang telah tercipta sejak tanggal 17 Oktober 2008. Sedang merencanakan untuk membuat sebuah acara yang dapat mengumpulkan para anggota Backpacker Indonesia Facebook grup. Baik itu orang – orang yang sudah memiliki pengalaman di dunia backpacking. Juga para anggoranya yang mungkin belum pernah menjadi seorang backpacker satu kali pun. Kenapa ide untuk mengadakan acara ini bisa timbul? Ketika ditanya Ilma menjawab kalau ide muncul karena perkembangan jumlah dan aktivitas grup ini sendiri. Grup yang awalnya hanya berjumlah puluhan orang berkembang menjadi ratusan bahkan ribuan orang. Jumlah itupun dibarengi dengan aktivitas grup yang makin sering diadakan, Salah satunya adalah ekspedisi yang bernama Ekspedisi Malangkucecwara pada tanggal 5 Februari 2009. Dengan rute sebagai berikut: Malang kota - Sindang biru - Pulau Sempu - Malang - Bromo - Ranu pane dan Ranu kumbolo - Malang Kota. Ekspedisi ini pun yang me-
22 | b a c k p a c k i n’
Setelah berkenalan satu sama lain, acara pun dimulai dengan suatu kegiatan yang sangat informatif dan juga inspiratif, terutama bagi kita sebagai seorang backpacker. Mas. Tirtoandayanto seorang travel writer dan juga fotografer berbagi kisah tentang bagaimana tulisan dan foto yang kita dapatkan dalam perjalanan, dapat kita jual untuk membiayai kembali perjalanan kita. Seru kan? Sepertinya banyak yang sangat tertarik ketika Mas Tirto memberikan penjelasan. Kegiatan yang sangat inspiratif tersebut pun selesai dan tibalah kita di acara puncak dari gathering ini. Yaitu saling mengenal satu sama lainnya!! Belajar dari orang lain dan kisah – kisah mereka. Baik itu kisah perjalanan maupun kisah kehidupan, adalah hal yang paling menarik dari kegiatan ini. Kita dapat mendengar bagaimana Akta, seorang backpacker dari Surabaya. Menceritakan tentang perjalanannya ke berbagai negara di Asia. Wahyudi, yang mendirikan Bali Backpacker sebagai pusat infomasi gratis bagi siapapun yang membutuhkan informasi tentang tempat – tempat di Indonesia, khususnya Jawa, Bali, dan Lombok. Buddy, seorang ksatria dari Pati, yang dengan kegigihannya berjalan seorang diri ke acara ini dari tempat yang jauh. Bayu dan berbagai kisahnya sebagai seorang ”Lonely Backpacker’. Dimana ia sering kali melakukan perjalanan backpacking seorang diri.
Tak lupa juga Phil, backpacker dari negara Kanada yang sudah lebih dari 2 bulan berada di Indonesia. Kemudian Ilma, yang awalnya mungkin hanya berawal dari keisengan ketika membuat grup ini di Facebook. Tetapi kemudian berhasil mengembangkan komunitas internet tersebut ke tahap yang lebih jauh. Masih banyak lagi cerita dari masing – masing orang yang sangat menarik untuk diceritakan. Pada hari Minggu Sore, ketika tiba waktunya untuk mengakhiri acara ini. Masih terasa berat bagi kami untuk mengucapkan kata berpisah. Masih banyak pula cerita yang masih ingin didengarkan. Tidak ada yang menyangka sebuah pertemuan komunitas internet, dimana banyak diantara kami yang baru pertama kali bertemu di acara tersebut. Dapat berpisah sambil berkata ’sahabat’ pada orang – orang tersebut, sampai saat ini. Gathering nasional pertama ini pun yang telah melahirkan sebuah ide dibuatnya majalah elektronik tentang backpacker dan kegiatannya. foto: Muhammad Iqbal text: Jeremy Gemarista
Kesan Buddy: “Hahaha...Gathering Backpacker Indonesia. Berangkat sendirian dari Tuban, Jawa Timur ke Bandung yang notabene baru pertamanya ke sini. Datang paling pagi, ampe bangunin nyang punya gawe. Sorry yach guys, gw gangguin tidur nyenyak lo pade..haha. Belom lagi ngetrip yang lebih tepat kalo disebut uji nyali. Busyet malem - malem maen ke hutan dago pakar, belom lagi pas ke kawah Ciwidey, ampe Situ Patengang yang juga uji nyali...beuuuuh. Gak nyadar kalo kita bisa ngelakuin hal - hal di luar nalar. Balik ke Bandung, niat cari warung kaki lima..tapi ujung - ujungnya ke Mc D (Saya, Kiki, Roiz, Akta, Jerry), cuma karena di McD bisa numpang ngecharge baterai hp. (Lalu) malam hari terpaksa harus mengusir temen dari kamarnya gara-gara kamarnya kita booking tuk tidur. Kalian amazing guys, merupakan anugerah Tuhan dapat mengenal kalian semua^^” Rizki: “akhirnya acara perkenalan pun dimulai, gw langsung mencoba memperkenalkan diri sekalian mempromosikan diri kalo gw masih single, tapi kenapa ya sampai sekarang kok belum juga ada yang mau sama gw ya? Memang kalian anak yang ga betah di rumah ya, di luar skenario pun kalian masih bisa mengadakan trip dadakan ke gua Jepang. disini gw bisa melihat karakter kalian yang memang bernaluri untuk menjelajah, bahkan bisa dibilang sebagai orang yang mampu memanajemen waktu seminimal mungkin untuk trip. Salut!! Disini banyak pengalaman yang gw dapat, baik dari cerita - cerita kalian ataupun yang gw dapat pas gathering ini. Pokoknya gw sangat bahagia bisa hadir disana pada hari itu.. Jalan - jalan memang menyenangkan, tapi lebih menyenangkan lagi saat jalan - jalan bersama kalian. Ade Inayah: “waktu di gathering Bacpkacker Indonesia, aku aku merasa ada di tempat yang selama ini aku cari, aku ketemu dengan orang - orang yang berjalan dengan apa adanya tanpa suatu predikat apapun. Bisa menikmati setiap perjalanan dengan jujur dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan. Ternyata kebersamaan itu mudah dan murah :) Farchan Noor Rachman: Berkumpul dengan orangorang hebat yang belajar arti kehidupan dalam setiap perjalanan. Belajar arti persaudaraan dan menautkan hati dalam sebuah perjalanan. Bersatu karena tas punggung, sungguh pengalaman yang hebat. Acara yang luar biasa, sampai sekarang masih terasa auranya. Betapa sempurnanya gathering kemarin.
gabung bersama kami, berbagi cerita perjalanan dan ngetrip bareng
ezinebackpackerindonesia. wordpress.com