Edisi Maret - April 2016

Page 1

Melayu Di ujung tanduk

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

1


2

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Salam Redaksi

Riau, Hutan, Sungai, Budaya dan Mahasiswa Saat Ini

Suasana Tradisi Panen Lubuk Larangan di Desa Batu Sanggan. Foto: Green Radio

B

AGAIMANA KABAR NEGERIMU HARI INI WAHAI ANAK MUDA? Jawaban dari pertanyaan ini sepertinya tak semua mahasiswa bisa menjawab. Alasannya, bisa jadi karena memang tak tahu soal kabar negerinya, atau karena teguh hati tak mau tahu. Riau kini tengah dihadapkan dengan berbagai musibah. Musibah ini mengikuti perubahan musim. Jika musim kemarau, musibah asap berbahaya bagi kesehatan masyarakat muncul. Berganti ke musim hujan, berganti pula bencananya. Banjir dimana-mana. Ibarat kata bukan jadi Kota Bertuah, tapi Kota Berkuah.

Saat kemarau, asap terjadi karena banyaknya pembakaran hutan dan lahan. Hutan yang sejatinya sebagai ‘ember’ alami untuk melanjutkan kehidupan di bumi sudah kritis. Perluasan lahan untuk kebutuhan manusia makin tinggi, hutan sudah banyak beralih jadi tempat tinggal dan perkebunan. Untuk persingkat waktu dan biaya yang keluar, pakai cara jitu, hutan dibakar. Akibat hilangnya hutan sebagai tempat penyimpanan air, hujan datang, hutan hilang, sungai meluap. Inilah kabar negeri kami Provinsi Riau. Musim kemarau kekurangan air, musim hujan kelebihan air. Almarhum Tennas Effendi menuliskan, masyarakat melayu menye-

but hutan, tanah serta isinya bukan hanya tempat mencari na ah. Juga menjadi simbol pengukuhan tuah dan marwah sebagai sumber falsafah dan nilai budaya. Sayangnya ini hanya jadi pesan kiasan yang entah kapan bisa benar-benar dibuktikan. Untuk itu, melalui tulisan di majalah kali ini, kami ingin memberitahu kepada seluruh generasi muda dan penerus bangsa, bagaimana keadaan Riau kini. Jangan lagi kita tak tahu apa yang terjadi dengan negeri kita. Dan jika sudah tahu, apa tindakan yang akan dilakukan? Pembaca yang Budiman, Menjawab pertanyaan diatas, kami fokus membahas keadaan hutan dan sungai kini. Di Laporan Utama kami menyajikan data keadaan hutan dan sungai di Riau. Serta akibat yang harus kita tanggung terhadap lingkungan yang telah rusak. Juga ada bincang-bincang dengan UU Hamidy, Budayawan Riau. Dia sering kritik keadaan fenomena masyarakat Riau kini yang jadi bagian perusak lingkungan. Dalam rubrik Feature, kami mengangkat soal Kuala Napu, bagian dari Desa Kesuma di Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan. Kuala Napu dulunya ibu kota Kecamatan Sorek, ia merupakan desa terapung di tengah Sungai Nilo. Namun kini, Kuala Napu sudah mulai ditinggalkan.

Manan. Ia tokoh masyarakat dari Sungaitohor yang konsisten menjaga lingkungan di desanya. Sampai pada akhir tahun lalu, sekat kanal buatan mereka ditinjau langsung oleh Joko Widodo, Presiden Indonesia. Cerita ini kami sajikan di rubrik Tokoh. Karena ini merupakan majalah edisi khusus membahas kebudayaan, di rubrik Khasanah, kami sajikan tradisi masyarakat didaerah Giam Siak Kecil. Mereka kerap melakukan tradisi gotong royong membersihkan desa secara bersama-sama. Di rubrik Alumni kami sajikan profil Taufik Ikram Jamil sebagai sastrawan Riau. Seorang budayawan yang masih melestarikan budaya melayu lewat puisi & sajaknya. Terakhir, ada bedah buku Tiga Lorong. Buku yang berisi hasil penelitian terkait sejarah kebudayaan Indragiri Hulu yang dipengaruhi oleh tiga keturunan raja dari Jambi. Semoga sajian kami bermanfaat dan selamat membaca !

Berikutnya kami sajikan profil dari Cik

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

3


Seulas

nang

Akan Melayu Hilang di Bumi HUTAN DAN SUNGAI KERAP DISANDINGKAN DENGAN MARWAH MELAYU. Ia dianggap sebagai tempat bagi masyarakat melayu belajar serta mereeksi diri. Tunjuk ajar yang berbentuk pantun, kerap disuarakan para tokoh budaya, memberitahu, jagalah hutan dan sungai. Jagalah mereka hingga lestari. Namun sayangnya semua hanya sebatas kata-kata. Tunjuk ajar hanyalah jadi hiasan kata yang didengarkan namun entah benar atau tidak akan diresapi dalam hati. Dimaknai serta diterapkan dalam tingkah laku sehari-hari. Hutan dan sungai, menjadi marwah bagi melayu. Ketika kedua hal ini hilang, melayu bagaikan orang rendahan yang hidup menumpang. Tenas Eendi mencontohkan dalam tunjuk ajar berikut,

Inilah gambaran ketika melayu tak lagi memiliki hutan tanah dan sungai. Dimana didalam hutan, banyak contoh teladan, didalam rimba banyaklah tuah, di belantara banyak faedah dan didalam bumi serta air banyak tempat berpikir. Maka bertolak dari tunjuk ajar tersebut, hilanglah pula para suri tauladan di bumi melayu. Takkan ada lagi yang istimewa dan hal-hal bermanfaat dari Riau. Dan

4

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Seulas apakah yang paling parah, takkan ada lagi pemikiran yang baik dari Bumi Lancang Kuning ini? Riau seharusnya cukup bangga. Atau haruskah dikatakan putra daerahnya, bangga dengan kekayaan alam yang dimiliki. Ia memiliki hutan yang luas kaya akan sumber kekayaan hayati, serta dilalui 4 sungai besar yang juga kaya sumber daya alam. Mulai dari mineral, hasil hutan hingga minyak. Namun, justru bukan pelestarian dan pengelolaan yang baik dilakukan. Perusakan terjadi dimana-mana. Luasan hutan berkurang tahun demi tahun. Hutan alam yang hijau dan asri, paru-paru dunia, perlahan namun pasti menghilang digantikan petak-petak lahan industri. Bagaikan seonggok tubuh manusia yang sedikit demi sedikit kehilangan oksigen. Tubuh itu tersentak-sentak menggelepar mencoba meraup oksigen. Mirisnya, bukan oksigen yang diperoleh, malah gas-gas udara yang lebih berbahaya harus dihirup. Ia terakumulasi saat musim kemarau datang, hutan dan lahan terbakar atau dibakar, kabut putih menghalang pandangan, siap-siap nyawa satu demi satu diregang. Masyarakat gundah, gelisah dan mencoba mencari tempat mengadu. Pemerintah jadi pilihan pertama. Namun apakah pemerintah masih memikirkan rakyatnya? Manakah yang lebih penting bagi sang penguasa, investasi atau kesejahteraan masyarakatnya? Pembangunan dimana mana atau kebakaran dan banjir yang siap menerjang? Atau pemerintah lebih memilih diam pura-pura tak tahu. Inilah sebab tuah dan marwah itu sudah tak lagi ada di Riau. Inilah akibatnya ketika hutan-tanah dan sungai hilang, dirusak demi keserakahan individu. Parahnya, yang menerima akibat adalah

nang

masyarakat Riau tanpa pandang bulu. Bayi, anakanak, orang dewasa bahkan lanjut usia. Semua pukul rata merasakan bahaya udara karena asap dan banjir.

Sebuah hipotesis muncul. Jika berbagai tradisi dan budaya berkaitan dengan hutan dan sungai, maka tradisi dan budaya merupakan falsafah, tuah dan marwah Riau. Ini berarti keberadaan dari hutan dan sungai memperkaya tradisi dan budaya melayu. Sehingga Riau dikatakan sebagai negeri yang menjunjung tinggi tuah dan marwahnya tersebut. Bagaimana jika hutan dan sungai tak ada lagi? Apakah berarti tradisi dan budaya akan hilang? Maka apakah Riau tak lagi memiliki marwah? Atau pertanyaannya, masih adakah Bumi Melayu Lancang Kuning ini? Seperti kutipan tunjuk ajar melayu berikut,

Maka hilangnya hutan dan sungai di Riau menandakan hilang pulalah bumi melayu ini.#

Ilustrasi: Www.Freepik.com

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

5


6

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Warga setempat tengah memancing ikan di aliran sungai siak. Riak gelombang membuat sampan kayu kecil tersebut ikut bergoyang. Foto: Yaya BM Bahana Mahasiswa Edisi Maret-April 2016

7


Laporan Utama

Melayu Celaka Tak Berhutan Tanah

Kawasan hutan di Desa Tanjung Belit air terjun Batu Dinding, Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Foto: Yaya BM

T

ERTUNDUK MALU SEKUMPULAN ANAK-ANAK SESEKALI MENCURI PANDANG. Ketika bertemu mata, mereka kembali menunduk sambil tersenyum dan tertawa cekikikan. Tak sampai lima detik, curi-curi pandang kembali terjadi. Duduk melingkar dengan jumlah tak lebih 15 orang, mereka berumur dari tujuh hingga sebelas tahun. Kala itu, anak-anak ini tengah diberi pertanyaan. Jika bisa menjawab, ada hadiah yang diberikan. Pertanyaannya, apa itu hutan? “Tempat yang banyak pohonpohonnya,” ujar seorang anak

8

Bahana Mahasiswa

perempuan dengan kaus ungu. Ia baru kelas 4 sekolah dasar di Desa Batu Sanggan, Kampar Kiri Hulu. Tepuk tangan menyambut keberaniannya setelah beberapa teman lain menghindar untuk menjawab. Menerima bingkisan, ia tersenyum dan kembali menunduk memandang bungkusan tersebut. Bagi anak-anak ini, hutan bukanlah hal asing. Sepanjang mereka tak berada dalam ruangan tertutup, hutan akan mereka lihat sangat dekat. Sebab, desa mereka berada dalam Kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling— dikenal dengan sebutan SM

Edisi Maret-April 2016

Rimbang Baling. Hutan tersisa yang sedikit demi sedikit mulai terancam keberadaannya.

KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA MENDEFINISIKAN HUTAN SEBAGAI TANAH LUAS YANG DITUMBUHI PEPOHONAN. Ia juga dijelaskan dalam Undangundang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Disebutkan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati. Ia didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tak dapat dipisahkan.


Laporan Utama pentingnya hutan-tanah bagi melayu dijabarkan dalam “Penekanan petuah berikut: Apa tanda melayu celaka, hidup tidak berhutan-tanah, muda melarat tuanya susah, tuah hilang marwah pun punah. ” Dalam produk hukum tersebut dijelaskan pula berbagai bentuk hutan. Jika suatu wilayah tertentu ditunjuk serta ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, ia disebut kawasan hutan. Jika ia berada dalam kawasan dan diperuntukkan kepada masyarakat adat namanya menjadi hutan adat. Disebut hutan hak bila ia berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah. Jika hak atas tanah milik negara, maka ia menjadi hutan negara. Atau bisa berbentuk Hak Guna Usaha atau HGU dimana hutan digunakan untuk sebuah usaha.

Forest Watch Indonesia, organisasi jaringan pemantau hutan, merilis lembar informasi hutan pada 2014. Dalam laporannya dituliskan bahwa luasan hutan makin tahun selalu berkurang. Pada 2009, Indonesia memiliki luasan sekitar 87 juta hektar dan berkurang hampir 5 juta hektar pada 2013. Data ini diperoleh dari analisa citra satelit Landsat 7 ETM+, satelit yang digunakan untuk melihat ketampakan alam bumi.

BAGI MASYARAKAT MELAYU, hutan memiliki definisinya sendiri pula. Riau dengan slogan Bumi Lancang Kuning mempertegas dirinya menjadi tempat adat dan budaya melayu ditegakkan. Ini juga Sedangkan hutan yang memiliki dicerminkan dari visi Provinsi Riau. fungsi untuk memproduksi hasilnya Ia berbunyi terwujudnya Provinsi diberi nama hutan produksi. Ia Riau yang maju, masyarakat menjadi kawasan yang hasilnya sejahtera, berbudaya melayu dan digunakan untuk memenuhi berdaya saing tinggi. Penurunan kebutuhan masyarakat. kemiskinan, tersedianya lapangan pekerjaan serta pemantapan Jenis lainnya ialah hutan lindung. aparatur dijelaskan sebagai visi Dimana kawasan ini berfungsi pembangunan Riau 2014 hingga sebagai tempat perlindungan 2019. sistem penyangga kehidupan. Jadi tempat pengaturan tata kelola air, Almarhum H Tengku Nasaruddin mencegah banjir, mengendalikan Said Effendy atau lebih dikenal erosi hingga memelihara kesuburan dengan Tenas Effendy menjelaskan tanah. Ada pula kawasan untuk makna hutan bagi masyarakat perlindungan keanekaragaman melayu. Budayawan Melayu Riau tumbuhan dan satwa serta ini—yang telah meninggal 28 ekosistemnya yang disebut hutan Februari 2015 lalu—menuliskannya suaka margasatwa atau SM. dalam makalah berjudul Norma Masyarakat Hukum Adat Melayu Luas hutan di Indonesia dari tahun Terhadap Pelestarian Hutan. ketahun makin berkurang. Tercatat Tebalnya 23 halaman. dari data luasan penetapan kawasan hutan dikeluarkan Hutan-tanah, begitulah masyarakat Departemen Kehutanan Republik melayu kerap menyebut bentang Indonesia, pada 1950 adalah alam disekitar mereka. Hutan 162 juta hektar. Penurunan luas tanah ini mencakup tanaman, kawasan menjadi 118,7 juta hektar binatang serta seluruh isinya. Ia tak terjadi 42 tahun kemudian. Kembali hanya dijadikan tempat hidup dan berkurang menjadi 110 juta hektar mencari na ah, namun merupakan pada 2003 dan tahun 2005 tinggal simbol tersendiri. 93,92 juta hektar.

Ia merupakan pengukuhan tuah dan marwah, serta menjadi sumber falsafah dan nilai budaya yang dianut. Tulis Tenas dalam makalah yang disampaikannya di Jakarta pada Desember 2001 silam. Kata tuah dan marwah bersinonim dengan keistimewaan dan harga diri. “Namun memaknai dalam pandangan melayu, kata ini berada dalam tingkat yang sakral,” ujar Elmustian Rahman, mantan Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan atau P2KK Universitas Riau. El—sapaan akrabnya— menjelaskan tak ada aturan tertulis seperti undang-undang untuk memaknai hutan sebagai marwah melayu. Ia biasa disampaikan dalam ungkapan atau pantun. Barang siapa tiada berhutan-tanah, hilanglah tuah habislah marwah Apabila hutan-tanah sudah hilang, hidup terhina marwah terbuang Hilang hutan binasa badan, hilang tanah tercampak tuah Penekanan pentingnya hutan-tanah bagi melayu dijabarkan dalam petuah berikut: Apa tanda melayu celaka, hidup tidak berhutan-tanah, muda melarat tuanya susah, tuah hilang marwah pun punah. Bagaimana keadaan hutan-tanah itu sendiri?

PULAU SUMATERA BERADA DALAM PERINGKAT KETIGA TERKAIT LUASAN WILAYAH HUTAN. Kawasan terluas berada di Papua sekitar 32 juta hektar, menyusul Kalimantan dengan 28 juta hektar. Sumatera 14 juta hektar dan Sulawesi di posisi selanjutnya dengan 8 juta hektar. Maluku,

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

9


Laporan Utama Jawa serta Bali dan Nusa Tenggara tercatat memiliki luasan antara 2 hingga 4 juta hektar. Riau yang berada di bagian tengah pulau Sumatera, pesisir Selat Malaka juga memiliki kawasan hutan yang luas. Ia berbatasan dengan Provinsi Jambi, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Ada 12 kabupaten atau kota di Riau. Pertama Kabupaten Bengkalis, Kepulauan Meranti, Pelalawan dan Kampar. Lalu Indragiri Hulu dan Hilir serta Rokan Hulu dan Hilir. Ditambah Kuantan Singingi, Siak dan dua Kota, Pekanbaru serta Dumai. Data Dinas Kehutanan Provinsi Riau tahun 2013 menjelaskan luasan keseluruhan Riau mencapai 10.793.271 hektar. Sekitar 80 persen berupa daratan, yaitu 8.915.016 hektar. Sisanya adalah wilayah perairan. Dengan kabupaten terluas ada di Indragiri Hilir, sedangkan luasan terkecil di ibu kota provinsi, Pekanbaru. Badan Pembangunan dan Perencanaan Daerah atau Bappeda Riau 2013 merilis data penggunaan lahan. Sekitar 87.347,72 hektar digunakan untuk persawahan, sedangkan lahan kering ada sekitar 3.676.348,31 hektar. Dua peruntukkan lain dengan jumlah yang besar untuk perkebunan dan hutan. Sekitar 2.203.245 hektar untuk kebun dan 2.866.750 hektar untuk hutan tanaman dan hutan alam.

terbatas. Sedangkan sisanya untuk hutan konversi—kepentingan pembangunan— dan peruntukkan lain seluas 1.268,767 hektar.

Sama dengan kondisi luasan hutan Indonesia, di Riau, pengurangan luas kawasan hutan terus terjadi. Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau atau Jikalahari merilis data laju pengurangan areal tutupan Namun berdasarkan fungsinya, hutan alam, serta perubahan dalam Menteri Kehutanan dan kawasan hutan. Biasa disebut Lingkungan Hidup, Zulkifli Hasan deforestasi - degradasi. Jikalahari keluarkan Keputusan nomor 878/ merupakan lembaga swadaya Menhut-II/2014 tentang kawasan masyarakat yang fokus melakukan hutan di Riau. Dibagi berdasarkan analisis terhadap kondisi hutan fungsinya, luasan hutan Riau Riau. Menggunakan hasil pantauan sekitar 5.499.693 hektar. Dengan citra satelit Landsat 8—satelit yang hutan lindung seluas 234,015 hektar digunakan untuk mendapatkan dan kawasan Suaka Alam 633,42 citra ketampakan alam di Bumi— hektar. mereka menghitung luasan tutupan hijau hutan alam di Riau. “Gambar Untuk hutan produksi, jumlah yang diperoleh dari satelit dilihat luasan lahannya sangat besar. mana areal yang masih ditutupi Untuk hutan produksi tetap ada hutan alam dengan menafsirkan 2.331.891 hektar dan 1.031.600 pola gambar,” ujar Rahmadi Azaini, hektar untuk hutan produksi

10

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016

staf bagian pemetaan Jikalahari. Ia tambahkan ini hanya bisa dilakukan mereka yang paham soal metode pengindraan jarak jauh. Dalam Catatan Akhir Tahun Jikalahari 2015, dituliskan bahwa luasan hutan alam tersisa di Riau pada 2015 hanya 1.644.862 hektar. Padahal pada 2013, luasan hutan alam Riau masih tersisa 2.005.512,96 hektar. Sehingga dalam 2 tahun saja, hutan alam Riau telah berkurang mencapai 400 ribu hektar. Apakah berkurangnya jumlah luasan hutan di Riau sebagai Bumi Melayu berpengaruh terhadap budaya melayu?

BUDAYA DIARTIKAN SEBAGAI CARA HIDUP YANG BERKEMBANG. Berasal dari bahasa , berarti budi atau akal manusia. Dari


Laporan Utama

Peta deforestasi hutan alam di Riau. Pada tahun 2015, tutupan hutan alam tinggal 1.644.864 hektar. Sumber: Jikalahari

menurut Tenas.

tersedia di hutan.

Selain tempat tinggal, ada tanah untuk berkebun, disebut tanah dusun. Tanah ini diperbolehkan dimiliki pribadi sehingga dapat diolah untuk kepentingan sendiri. Ketiga adalah tanah peladangan, areal untuk berladang seperti padi, namun tidak ada atas milik pribadi. Secara bergantian masyarakat akan mengelola ladang selama 3 tahun. Setelah waktu yang ditetapkan, orang yang mengelola ladang akan berganti.

Lalu ada upacara mengkaji asal, berupa tradisi meneliti apakah kawasan tersebut milik orang lain atau bekas dari rimba larangan. Ini untuk menghindari konflik dengan suku lainnya serta menghindari memasuki kawasan rimba larangan. “Semuanya ada upacara, ada aturan, baik mengambil hasil hutan ataupun berburu hewan,” ujar El.

“Ini mengajarkan masyarakat hidup adil sehingga semua bisa merasakan manfaatnya,” kata Dosen di Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UR ini. Kawasan keempat adalah rimba larangan. Terbagi dua, rimba kepung sialang dan rimba simpanan. Perbedaannya rimba kepung sialang harus dilindungi karena adanya berbagai tumbuhan dan hewan yang hidup disana. Sedangkan rimba simpanan merupakan rimba yang hasilnya boleh dimanfaatkan. dijelaskan bahwa budaya diwariskan secara turun temurun dan telah menjadi bagian dari diri sendiri. Jika dikaitkan dengan budaya melayu, Tenas menjelaskan bahwa sumbernya adalah hutan tanah. “Makanya hutan itu marwah yang harus dijaga, jika hilang hutan berarti tak ada lagi melayu,” ujar Elmustian. Tenas menjelaskan bagaimana budaya masyarakat melayu dalam memanfaatkan hutan tanah. Keseluruhannya agar hutan tanah dapat bermanfaat untuk seluruh lapisan masyarakat. Sehingga ada 4 pembagian kawasan.

Rimba simpanan biasanya menghasilkan rotan, damar, getah dan berbagai jenis kayu seperti meranti atau kulim dan lainnya. “Tapi sesuai dengan kebutuhan dan sesuai aturan adatnya. Ada musyawarah kampung dulu,” Elmustian menekankan, apa hasil hutan yang diambil, harus disiapkan penggantinya. Sebab rimba simpanan bermakna menjadi tempat penyimpanan kebutuhan masyarakat. Harus dijaga hingga bisa dirasakan keturunan selanjutnya.

Hutan sebagai sumber budaya juga didasarkan pada banyak upacara adat dan tradisi yang tak terpisah dengannya. Seperti untuk membuka sebuah tanah kampung Tempat untuk para manusia hidup ataupun tanah ladang, ada upacara disebut tanah kampung. “Jadi . Mengkaji lahan disini orang membangun rumah yang akan ditempati memenuhi untuk tinggal, biasanya menghadap kebutuhan masyarakat atau tidak. sungai,” Elmustian menjelaskan Yang dikaji berupa kondisi air, makna dari 4 pembagian kawasan tanah dan sumber daya alam yang

Upacara yang berkaitan dengan rimba kepung sialang biasa dilakukan oleh Orang Petalangan. Salah satu suku asli Riau yang berada di pedalaman Sungai Kampar. Dari Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau, desadesa Petalangan ini berada sekitar 60 hingga 95 kilometer dari Pekanbaru. Suku ini hidup di pinggiran atau dalam hutan. Tepian Sungai Kampar juga menjadi pilihan tempat bermukim. Diperkirakan luas permukiman mereka mencapai 8.490 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 83.292 orang. Mereka memiliki hutan tanah ulayat Petalangan, diwariskan turun temurun dan dikelola dengan hukum adat. Dalam tanahnya, terdapat Rimba Kepung Sialang. Dimana rimba ini menjadi tempat tinggal lebah Sialang menghasilkan madu. Jika orang Petalangan mau mengambil madu, maka mereka harus gelar upacara . Upacara pembacaan mantera berupa nyanyian. Intinya berupa permintaan izin kepada lebah untuk diperbolehkan mengambil madu. Dengan tradisi ini, nilai yang diajarkan kepada masyarakat ialah bersahabat dengan alam. “Manusia butuh sesuatu dari alam, ada cara mengambilnya, tidak bisa seenaknya saja,” ujar El. Adat Petalangan juga mengatur perlindungan hutan. Dimana kawasan hutan ulayat yang ditumbuhi pohon Sialang tidak boleh dirusak. Hutan harus

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

11


Laporan Utama dilindungi dari berbagai bentuk perusakan. “Hukumannya jika menebang pohon Sialang, maka ia harus beri makan orang sekampung selama 1 tahun,” ujar El.

HUTAN ULAYAT JUGA DIBAHAS DALAM BUKU PEMETAAN ADAT MASYARAKAT MELAYU RIAU KABUPATEN/KOTA SE-PROVINSI RIAU. Buku ini disusun Bidang Penelitian/Pengkajian dan Penulisan Lembaga Adat Melayu Riau. Hutan ulayat dalam buku ini dianggap sebagai sebuah pusaka tingi yang dimiliki oleh kaum adat. Ia dibagi kepada kaum adat atas aturan yang dibuat oleh para datuk atau bathin dari kaum tersebut. Hutan ini dibagi fungsinya menurut kebutuhan para kaum. Ada Hutan Soko, dimana hutan ini ditujukan untuk penghargaan terhadap jasa atau menjadi jaminan hidup bagi para datuk. Namun Hutan Soko bisa juga digunakan untuk kepentingan bersama. Seperti untuk membangun sekolah, surau, pekuburan dan kepentingan jalan kampung. Menurut aturannya, Hutan Soko diberikan kepada kemanakan perempuan yang dapat digunakan untuk membangun rumah, ladang atau kebun. Tenas menuliskan bahwa untuk pembukaan hutan sebagai areal berladang ini juga ada larangannya. Tidak diperbolehkan untuk menebang pohon yang sedang berbuah ataupun berbunga. Juga tidak boleh menebang pohon tunggal-tunggalan, atau yang sudah tinggal sedikit jenisnya. Larangan buka lahan dengan cara bakar juga dijadikan landasan larangan ini. Semuanya berujung pada menjaga kelestraian alam. Sebagai tempat perlindungan, maka ada Hutan Larangan. Hutan ini terdiri dari hutan lindung, hutan suaka margasatwa dan hutan kepung Sialang. Wilayah ini tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Ia harus dipelihara dan dijaga hingga anak cucu dari

12

Bahana Mahasiswa

keturunan kaum tersebut dapat merasakan manfaatnya. “Disini hukum adat berlaku jika ada yang merusak hutan larangan,” ujar Elmustian.

Manusia butuh “sesuatu dari alam, ada cara mengambilnya, tidak bisa seenaknya saja,

Jenis hutan selanjutnya, Hutan Pencadangan. Hutan ini digunakan untuk kepentingan tertentu, dimana saat menggunakannya harus didasarkan pada hasil musyawarah. Hasil tersebut diambil oleh para petinggi dari tiap unsur, adat, agama, pemerintah dan Ia jelaskan niatannya agar para cendekiawan. jurnalis dapat memberitahukan kepada masyarakat bahwa masih Menurut aturan adat dan dikaitkan ada hutan yang harus dilindungi. dengan aturan negara, hutan Kondisi perusakan hutan Pencadangan ini termasuk dalam membayangi SM Rimbang Baling jenis hutan industri, suaka alam, tersebut. Kepunahan berbagai jenis produksi terbatas, hutan tetap dan tumbuhan dan binatang yang ada hutan cadangan lainnya. disini berbanding lurus dengan hilangnya hutan sedikit demi Dari dinyatakan sedikit. bahwa hutan ini dapat dipergunakan hasilnya baik dengan “Kita tahu ada kerusakan, tapi yang menebang habis pepohonan— harus dilakukan saat ini adalah hutan produksi tetap—atau tindakan nyata penyelamatannya. dengan tebang pilih—hutan Maka media punya peran produksi terbatas—sesuai aturan penting untuk menyuarakan ini. yang ditetapkan. Artinya dengan Menyadarkan masyarakat,” Sari tebang pilih, hanya pepohonan bercerita. Sejak Green Radio yang memenuhi kriteria yang boleh mengudara, Desa Tanjung Belit ditebang. dan Batu Sanggan di SM Rimbang Baling jadi tempat liputan mereka Namun persoalan muncul ketika terkait lingkungan. seluruh hutan ditebang tanpa memperhatikan aturan yang ada. SM Rimbang Baling berbentuk dataran Bukit Barisan yang membentang dari utara ke “JUDULNYA KITA INGIN selatan Sumatera. Ia terletak di MENYELAMATKAN HUTAN RIAU Provinsi Riau dan berbatasan TERSISA,” ujar Sari Indriati, langsung dengan Sumatera Barat. Radio Pekanbaru. Terbentang di dua kabupaten Riau, Green Radio merupakan media Kampar dan Kuantan Singingi. elektronik yang khusus menyiarkan Ini dijelaskan dalam laporan isu lingkungan. Pertama kali kondisi taman nasional dan suaka mengudara pada Desember 2013. margasatwa yang dibuat Badan Konservasi Sumberdaya Alam Ia menceritakan hal ini menjadi Provinsi Riau pada 1997. latar belakang kegiatan yang diadakan Green Radio Pekanbaru Luasan SM Rimbang Baling pada 22 hingga 23 Januari lalu. mencapai 136 ribu hektar dan telah Mereka memfasilitasi para jurnalis ditetapkan sebagai SM sejak 21 Juni dan berbagai pihak yang peduli 1982 oleh Gubernur Riau. Hal ini dengan penyelamatan lingkungan ditetapkan dalam Surat Keputusan untuk berkunjung ke Kampar Kiri Gubernur Kepala Daerah Tk I Hulu. Dengan nama kegiatan Riau nomor 149/V/1982. Kawasan ke SM ini dijadikan tempat tinggal bagi Rimbang Baling jadi fokusnya. banyak flora dan fauna yang

Edisi Maret-April 2016


Laporan Utama hampir punah.

Batu Sanggan dan Ludai.

Lebih dari 10 desa masuk dalam kawasan SM Rimbang Baling. Diantaranya Desa Tanjung Belit dan Desa Batu Sanggan yang jadi tujuan kegiatan kali ini. Sebelum ditetapkan sebagai daerah suaka margasatwa, kawasan ini telah ditempati oleh masyarakat. Dengan pemanfaatan lahan paling besar digunakan untuk berkebun karet.

Di Desa Tanjung Belit, kami bertemu dengan Datuk Marajo, Datuk Singo dan Datuk Paduko Sindo. Mereka biasanya yang turut mengurusi persoalan adat. Sedangkan di Desa Batu Sanggan, ada Datuk Godang.

“Disini penyakit kalau waktu air besar, banyak kayu lewat,” ujar Datuk Marajo yang bernama Amril. Ia menceritakan Cerita dari ketika air sungai sedang masyarakat terkait pasang sebab hujan, keadaan lingkungan mengakibatkan arus air disekitar mereka pun didengarkan. menjadi besar. Jika saat itu datang, Kebanyakan warga berasal dari kegiatan terjadi persukuan seperti Domo, Melayu di sekitar SM Rimbang Baling. dan Piliang. Mereka menerapkan Kayu-kayu hutan ditebang, diikat hukum adat dalam menjalankan membentuk rakit dan dialirkan ke aktivitasnya. Terutama penegakkan hilir Sungai Subayang atau diangkut aturan terkait pengelolaan sungai untuk dijual. dan hutan. Dari pada 19 Kawasan ini juga dibelah Sungai Februari lalu, Badan Konservasi Subayang yang merupakan bagian Sumber Daya Alam atau BKSDA dari Sungai Kampar. Sungai dengan Riau berhasil mengamankan lebar antara 10 hingga 30 meter kayu olahan yang berasal dari dengan hulu di Provinsi Sumatera perambahan liar di SM Barat dan bermuara di Kabupaten Rimbang Baling. Kayu Kuantan Singingi. Sehingga desa yang diambil dari membuat kebijakan terkait hutan kawasan di Kampar dan sungai. Kiri Hulu ini akan dijual ke Medan Untuk mengurusi hal ini, maka oleh perambah yang ada ninik mamak dan datuk dari bermukim di Muara tiap suku. Di wilayah Kampar Kiri Lembu Kuantan ini ada 4 ke Khalifahan—sistem Singingi. “Itulah kojo pemerintahan adat— yaitu urang—kerja orang— Kekhalifahan Kuntu, Ujung Bukit, desa,” Datuk Singo atau

Himbauan untuk terus menjaga hutan alam. Foto: Yaya BM

Ujang dan Datuk Paduko Sindo yang bernama Bardiansyah sesekali menimpali. Menurut mereka pelakunya orang-orang desa juga yang dibayar pihak lain. “Padahal uangnya tak seberapa,” tambah Datuk Marajo. Datuk Godang yang bernama Lahasyim dari Batu Sanggan juga punya cerita sama. Sebagai Khalifah di Batu Sanggan, ia merupakan orang yang mengambil keputusan terkait adat. “Kita ini tak bisa olah kayu karena sudah jadi hutan lindung, cuma damar atau karet,” ceritanya. Namun persoalan muncul saat membicarakan kebutuhan hidup masyarakat, “sudah susah, jadinya banyak muncul pembalakan.” Jurnal Ilmu Lingkungan yang dimuat dalam jelaskan ancaman yang membayangi SM Rimbang Baling. Jurnal ini ditulis oleh Indra Suandy, Aras Mulyadi, Setyo S Moersidik dan Emirhadi Suganda. Degradasi kawasan hutan adalah salah satu ancaman. Dalam abstrak dijelaskan, masyarakat dalam kawasan SM Rimbang Baling berprofesi sebagai pekebun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, salah satu caranya dengan mengkonversi kawasan hutan alam menjadi lahan perkebunan. Akibatnya, kualitas lingkungan merosot dan akibatkan terganggunya ekosistem satwa, pendangkalan dan pencemaran sungai, erosi hingga longsor. Hal ini dibenarkan oleh Lahasyim. Karena kebutuhan yang tak terpenuhi, masyarakat mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ketika di SM Rimbang Baling tak bisa mengkonversi hutan lindung menjadi areal kebun, penebangan

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

13


Laporan Utama hutan jadi pilihan. Budaya masyarakat adat yang dulunya melindungi hutan terancam ikut punah seiring dengan hilangnya hutan.

“MARWAHNYA SUDAH TAK ADA LAGI,” UJAR ELMUSTIAN. Ia jelaskan bagaimana pergeseran masyarakat melayu kini yang tak lagi bisa menerapkan budaya melindungi hutan tanah seperti dulu. Menurutnya penyebab pertama karena tanah dusun dan tanah ladang masyarakat sudah menghilang. Lahan yang dapat dikelola untuk kepentingan rumah tangga serta kelola dengan sistem bergantian tak lagi bisa dilakukan. “Lahan-lahannya sudah diberikan ke pengusahapengusaha, jadi masyarakat mau dapat lahan mana lagi?” Tenas Effendi menuliskan bahwa pembukaan kawasan menjadi lahan industri memang menjadi aset daerah. Namun ini menimbulkan berbagai dampak negatif untuk masyarakat tempatan dan lingkungannya. Kawasan adat yang menjadi hak masyarakat telah dikuasai pihak lain dengan izin yang diberikan oleh pemerintah. Elmustian mengatakan jika pemerintah sendiri tak memperhatikan hak adat, maka hutan secara keseluruhan di Riau akan terus berkurang tahun demi tahun. “Ya begitulah hukum yang berlaku saat ini,” kesalnya. Tenas Effendy menyimpulkan ada 3 penyebab hutan-tanah masyarakat melayu tak lagi dianggap berharga. Persoalan pemberian izin yang tak diiringi dengan pengawasan yang ketat jadi penyebab pertama. Malah pada periode 2009 hingga 2014, proses pemberian izin

14

Bahana Mahasiswa

sudah diberikan ke “Lahan-lahannya pengusaha-pengusaha, jadi masyarakat mau dapat lahan mana lagi? ” pengelolaan hutan di Riau menjerat para pemimpin daerah ke jeruji besi. Gubernur Riau, Rusli Zainal, dua bupati, Tengku Azmun Jaafar dan Arwin AS serta 3 Kepala Dinas Kehutanan harus menerima hukuman pidana penjara. Dari pantauan — media online yang memantau jalannya persidangan kasus-kasus tersebut—proses pemberian izin diiringi dengan penyuapan oleh para pengusaha. Agar para pengusaha memperoleh izin untuk memanfaatkan hasil hutan jadi industri kayu, mereka melicinkan jalannya dengan uang. Dan persoalan lainnya karena izinizin yang dikeluarkan tidak pada tempatnya. Rata-rata izin yang dikeluarkan berada dalam kawasan hutan alam dengan pepohonan yang berdiameter besar. Dimana seharusnya pohon-pohon tersebut tidak diperbolehkan untuk ditebang atau dibebankan izin. Tenas menuliskan bahwa proses pemberian izin dilakukan tanpa melihat langsung ke lokasi bagaimana keadaan sebenarnya. Akibatnya izin-izin tersebut tumpang tindih dan bahkan menghilangkan hak-hak adat.

menerima suap agar lahan milik Gulat dikeluarkan dari kawasan hutan. Penyebab kedua karena kurangnya tanggung jawab moral terhadap perlindungan lingkungan. Menurut Tenas karena adanya perlindungan dari oknum yang memiliki jabatan tinggi, sehingga tindakan perusakan tersebut bisa berjalan lancar. Ibarat mengepit kepala harimau, mereka jadi sombong dan melakukan tindakan menyimpang, akibatkan kerugian pada masyarakat. Tulis Tenas. Menurutnya karena izin yang mereka punya, pengusaha bisa dengan seenaknya melakukan apa saja tanpa memperhatikan lingkungan serta keadaan masyarakat. Kerugian paling besar dirasakan masyarakat Riau ialah merasakan bahayanya udara yang dihirup kala musim kebakaran hutan dan lahan datang. Asap dari kebakaran telah 18 tahun terus melanda Riau. Setiap musim kemarau, kondisi hutan dan lahan yang kering menjadi sangat sensitif, sehingga kebakaran mudah terjadi.

Mirisnya, justru bagi beberapa perusahaan, pembakaran menjadi pilihan untuk menguntungkan bisnis mereka. Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hutan dan lahan yang juga Dosen di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor punya argumentasi soal Dan pada September 2014, ini. Menurutnya, abu hasil dari Gubernur Riau yang baru dilantik pembakaran dapat dijadikan pupuk pada Februari 2014, Annas Maamun untuk meningkatkan produktivitas turut masuk bui. Penyebabnya, sawit perusahaan. ia tertangkap tangan tengah menerima suap dari Gulat Ia juga katakan, pilihan membuka Manurung, Dosen Fakultas lahan dengan cara bakar dapat Pertanian Universitas Riau. Annas mengurangi pengeluaran

Edisi Maret-April 2016


Laporan Utama Tercatat ada 4.677 untuk iritasi mata dan 5.899 untuk iritasi kulit. Dipicu oleh keadaan udara yang tak “Disini masalahnya, kita-kita yang di sehat, juga ada 5 orang masyarakat Riau yang merasakan dampaknya,” Riau yang meninggal. Penyebabnya kekurangan oksigen atau asma. ujar Elmustian. Selama 18 tahun asap karena karhutla menyebar di Menganggap masyarakat melayu Riau. Bahkan pada 2015, kondisi terutama di kawasan hutan tak udara Riau selama berminggupunya wawasan soal lingkungan. minggu berada dalam status Itu adalah alasan ketiga yang ditulis berbahaya. Kondisi dimana udara Tenas. Ia menyesalkan bahwa tidak sehat untuk dihirup dan berdampak buruk pada kesehatan. seharusnya para pengusaha dan penguasa berlapang dada untuk belajar soal menjaga kelestarian Keputusan Mentri Lingkungan alam, justru dari mereka yang Hidup nomor 45/MENLH/10/1997 telah lama hidup di hutan. “Ini menjelaskan tentang Indeks karena masyarakat adat punya Standar Pencemaran Udara atau aturan adat yang teguh dengan ISPU. Jika udara dalam kategori nilai-nilai leluhurnya,” ujar tidak sehat, maka kualitas udara Elmustian menjelaskan pandangan merugikan bagi manusia ataupun masyarakat adat. kelompok hewan yang sensitif. Kerusakan pada tumbuhan ataupun nilai estetika dapat terjadi Hal ini sesuai seperti yang dijelaskan sebelumnya. Bagaimana dalam level ini. pantangan menebang serta merusak hutan, serta sanksi Jika keadaan meningkat menjadi yang diberikan jika masyarakat sangat tidak sehat, maka akan melanggar aturan adat. terjadi kerugian kesehatan terhadap populasi yang terpapar udara tidak sehat tersebut. Pada “KITA PUNYA ATURAN ADAT level berbahaya, udara akan UNTUK JAGA HUTAN, sebab merugikan kesehatan secara dulu kita ada lagi sejak zaman serius. Masyarakat diminta untuk kerajaan,” ujar Lahasyim. Khalifah mengungsi, terutama untuk Batu Sanggan ini menceritakan mereka yang berada dalam bagaimana sulitnya kini kondisi kategori rentan. Anak-anak, ibu masyarakat untuk dapat memenuhi hamil serta orangtua yang lanjut kebutuhan periuk nasinya. usia. perusahaan untuk membersihkan lahan.

Dan tak tanggung-tanggung angka penderita penyakit akibat paparan asap berbahaya ini hampir mencapai 100 ribu masyarakat Riau. Tercatat data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau, ada 81.514 orang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut, penderita pneumonia atau radang paru mencapai 1.305 orang. Penderita iritasi mata dan kulit juga anyak.

Menurutnya, aturan yang ada saat ini tidak mengakomodir kebutuhan masyarakat adat, namun malah menguntungkan penguasaha. Ia mengeluhkan tidak ditindak tegasnya para pengusaha yang menebang hutan, namun jika masyarakat yang melakukannya, pihak kepolisian segera menangkap.

keadaan desanya. “Kami ingin masyarakat tahu kekayaan alam dan adat yang ada di desa kami, dan ini juga bisa jadi sumber pendapatan bagi masyarakat,” tambahnya. Menurut Dion, hutan alam yang ada di Batu Sanggan harus dijaga oleh masyarakatnya. Sebab ada potensi wisata yang bisa dikembangkan dari areal ini. Ia katakan ada air terjun yang bisa dijadikan objek wisata ditambah kekayaan kuliner di Batu Sanggan. “Justru adat yang ada disini bisa diperkenalkan ke orang-orang agar sadar untuk terus menjaganya.” Elmustian berpikir hal yang sama. “Pemerintah harus bersikap.” Menurutnya jika pemerintah lebih mawas diri, sebaiknya menyerahkan pengelolaan lingkungan berdasarkan hukum adat. Tidak ada salahnya jika pemerintah mau berdiskusi dan duduk bersama membahas hukum dan kearifan lokal terkait pelestarian lingkungan. “Sebab kearifan lokal sudah turun temurun untuk menjaga kelangsungan alam, juga untuk generasi mereka selanjutnya.” Ia juga mengusulkan agar dilakukan moratorium, sehingga tidak ada aktivitas penebangan ataupun pemberian izin dikawasan hutan Riau. Hutan yang hanya tinggal sedikit, perusahaan yang terus mengajukan permohonan diberi izin dan pada akhirnya pemerintah yang kebablasan juga mengesahkan izin, ikut berkontribusi merusak hutan dan alam Riau.#

Alfion Susanto, pemuda dari Desa Batu Sanggan punya pemikiran lain. “Kita berusaha kembangkan ekonomi kreatif untuk warga disini,” ujarnya. Pemuda yang kerap disapa Dion ini membentuk Kelompok Kerja Batu Belah Batu Sanggan. Pokja ini merupakan kumpulan para pemuda yang berinisiatif memperbaiki

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

15


Foto: Fadli BM

Antara Hukum Adat atau Hukum Pengusaha

T

ERHITUNG SEJAK AGUSTUS HINGGA NOVEMBER 2015, rakyat Riau kedatangan tamu tak diundang. Ia hadir dan mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat Bumi Lancang Kuning. Setia menemani makhluk hidup di provinsi ini selama 24 jam. Tak pandang bulu, dari kelas bawah hingga kelas atas ia datangi. Ada yang pilih mengungsi, ada yang tak punya pilihan lain, bersiap diri menghadapinya. Tamu ini telah 18 tahun terus datangi Riau. Ia adalah asap. Asap di Riau muncul disebabkan terjadinya pembakaran hutan dan lahan. Sejak 1997 hingga 2015, telah dipastikan, tahun lalulah kondisi paling parah asap melanda berbagai daerah di Riau. Data dari Jikalahari, pada 2015 terdapat 8.399 hotspot—titik panas yang berpotensi menjadi titik api kebakaran—lebih dari 3 ribu hotspot ada di kawasan perizinan pengelolaan hutan untuk industri. Hutan dan lahan dibakar, muncullah asap.

16

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016

Pada 2014, negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura protes karena Indonesia—khususnya Riau—mengirim asap tak bermanfaat ke mereka. Pada 2015, hal itu terjadi lagi. Riau yang dulunya menjadi negeri penghasil asap selama 18 tahun, juga dikirimi asap dari provinsi tetangga. Dan meneruskannya ke negara tetangga lainnya. September dan Oktober, asap benar-benar menjadi malapetaka buat makhluk hidup di Riau. Ia bercampur di udara dan membuat kualitas udara tak layak untuk dihirup. Indeks Standar Pencemaran Udara atau ISPU berminggu-minggu menampilkan kata Berbahaya. Pembakaran hutan berbanding lurus dengan pengurangan jumlah tutupan hutan. Semakin banyak pembakaran, maka makin banyak pula hutan yang hilang. Untuk 2014, luasan hutan di Riau tinggal 5,5 juta hektar. Hutan banyak diubah menjadi areal industri baik untuk bahan baku pembuatan kertas, atau dijadikan areal sawit.


Laporan Utama Umar Usman Hamidy, Budayawan Riau, menyayangkan hal ini terus terjadi di Riau. Sumber daya alam yang kaya di Riau terus berkurang karena di eksploitasi. Menurutnya, Riau bagai ladang perburuan, dimana pemburunya adalah cukong dan pengusaha bahkan pemerintah. Dan yang diburu adalah kekayaan alam Riau. Hilangnya kekayaan alam ini mengakibatkan lingkungan hidup tak lagi seimbang, kerusakan dampak dari eksploitasi terjadi. Menurut UU Hamidy—sapaan akrabnya—semua dapat dihindari jika masyarakat diberi kepercayaan untuk kelola hutan dan lahan tersebut. Masyarakat melayu, memiliki hukum adat yang konsisten untuk menjaga lingkungan. Sebab mereka juga hidup dari alam, maka menjaganya, adalah kewajiban. Kru Bahana Mahasiswa, Ahlul Fadli, berbincang dengan tokoh Riau ini soal kondisi lingkungan Riau dan solusi dari masalah ini. Berikut petikannya.

Bagaimana kondisi lingkungan Riau saat ini? Mengkhawatirkan. Hutan terus di rusak demi kepentingan pribadi, baik itu pengusaha, cukong ataupun oknum pemerintah. Hutan banyak dirusak untuk dijadikan lahan sawit ataupun tanaman akasia, bahan pembuatan bubur kertas. Kawasan hutan lindung juga turut di rusak. Mulai dari hutan Tesso Nilo yang terus dirambah, bahkan ancaman hutan alam terus berkurang juga mengkhawatirkan. Ditambah lagi persoalan pembakaran hutan dan lahan yang akibatkan asap. Tanggapan terkait terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Riau? Ini kejadian yang patut disayangkan. Sebab jika semuanya sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak akan menjadi persoalan. Namun disinilah masalahnya, kita dicelakakan oleh sistem yang kita buat sendiri. Pemerintah sibuk memadamkan api saat kebakaran, namun tidak ada tindakan tegas untuk pelaku pembakar lahan. Coba dilihat perusahaan-perusahaan itu, apakah mereka sudah mengerjakan lahannya sesuai dengan aturan? Ada tidak laporannya. Pemerintah seolah-olah dibutakan dari kesalahan yang dilakukan pengusaha ataupun cukong ini. Sekarang kalau ada kebakaran hutan dan lahan, sibuk menyalahkan masyarakat. Kalau pepatah melayu itu, gajah dipelupuk mata tak tampak, tungau diseberang laut sana tahu. Padahal masyarakat melayu punya aturan sendiri soal pengolahan hutan. Bagaimana pengelolaan hutan ala masyarakat melayu? Masyarakat melayu punya hukum

adat, dimana tiap masyarakat punya hak kelola ladang seluas 2 hektar. Ketika mereka hendak membuka hutan ataupun areal peladangan, mereka akan membuat sekat. Ia jadi batas api agar tak menyebar ke lahan lainnya. Biasa dijaga oleh yang kelola lahan, sehingga jika membuka lahan dengan cara bakar, tidak perlu waktu lama untuk dipadamkan. Karena hanya 2 hektar. Ini beda dengan lahan yang dibuka oleh perusahaan sampai beratus dan beribu hektar dibakar. Pantas saja asap selalu muncul di Riau. Ditambah lagi perusahaan buat kanal di tanah gambut dan tak dijaga dengan baik, rusaklah lingkungan itu. Yang jelas, masyarakat melayu punya hukum adat yang didasarkan pada penjagaan pelestarian lingkungan.

Konik antar masyarakat jadi masalah selanjutnya. Bathin ataupun masyarakat yang menolak perusahaan sering dipecah belah dengan uang ataupun jabatan. Tak jarang ditemui, perusahaan menggunakan kepala desa ataupun ninik mamak untuk dijadikan tameng, berhadapan dengan masyarakat yang menolak perusahaan. Atau dalam tingkat lebih tinggi, oknum-oknum dari pemerintah yang berwenang diberi uang, jadilah hutan Riau ini terus hilang sedkit demi sedikit. Apa yang harus dilakukan?

Apa persoalan yang dihadapi masyarakat adat terkait pengelolaan hutan mereka saat ini?

Pemerintah harus belajar bagaimana masyarakat adat mengelola hutan. Toh mereka dibesarkan di tanah melayu, seharusnya juga tahu. Jangan dibutakan oleh harta dan jadi manusia serakah. Yang namanya hutan larangan dan rimba simpanan, tak boleh diganggu gugat. Baik perusahaan atau siapapun. Karena ini untuk kelangsungan hidup masyarakatnya.

Sekarang wilayah adat mereka terancam diambil oleh pihak pengusaha. Hutan adat yang jadi wilayah tempat hidup masyarakat sedikit demi sedikit mulai dieksploitasi dan diambil. Parahnya, mereka dengan mudah hanya menunjukkan selembar kertas izin dari pemerintah. Bahwa mereka berhak untuk mengambil wilayah adat masyarakat ini. Kalau tanah mereka sudah diambil, dimana lagi masyarakat adat hendak tinggal dan hidup.

Pemerintah harus buat aturan yang jelas. Bagaimana pembagian hutan untuk dijaga kelestrariannya, mana untuk pemukiman dan mana untuk industri. Aturan harus memperhatikan lingkungan. Tak ada salahnya belajar dari hukum adat. Dahulu orang-orang patuh pada hukum adat, ada rasa takut melanggar hukum serta merasa berdosa jika merusak alam. Berbeda dengan hukum sekarang yang terus saja dilanggar.

Persoalan lain, jika sudah terjadi kebakaran. Masyarakat yang hidup dihutan ini menjadi korban pertama. Entah mereka disalahkan jadi penyebab pembakaran, atau mereka merasakan dampak asapnya. Padahal kawasan itu tak lagi milik mereka. Ada kaum adat yang berani melawan dan menentang pengusaha memiliki lahan. Persoalan baru jadi muncul.

Juga harus dipikirkan bagaimana anak cucu nanti bisa bertahan dengan keadaan lingkungan yang sudah rusak. Bukan hanya sekedar menanam pohon tapi juga belajar dari masyarakat adat bagaimana melestarikan lingkungan.#

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

17


Profil Kru Aisyah Nurul Surayya—Fotografer SAYA LAHIR DI SURABAYA, 27 Agustus 1995 dan merantau ke Siak Sri Indrapura. Setiap bulan Safar masyarakat Siak punya tradisi menyusuri sungai gunakan sampan di malam hari. Setelah shalat isya, mereka akan berdzikir dipimpin para tetua adat di Siak. Tujuannya menolak bala, minta keselamatan negeri serta terhindar dari malapetaka dan bahaya. Tradisi ini namanya tradisi . Gabungan dari kata ghatib berarti dzikir, sedangkan beranyut artinya hanyut diatas perahu.

Nurul Fitria—Pemimpin Redaksi PEKANBARU ADALAH KOTA KELAHIRAN SAYA. Dikala liburan jelang Ramadhan tiba, teman-teman sibuk bahas pulang kampung. Ceritanya hendak dan sahur bersama keluarga. Belimau, tradisi membersihkan diri jelang Ramadhan gunakan air perasan jeruk atau limau dan beberapa jenis bunga. Dulu, orang-orang Pekanbaru akan mendatangi Sungai Siak untuk laksanakan acara ini. Sebutannya Petang Megang. Namun sekarang saya bertanya-tanya, masih adakah yang mau belimau di Sungai Siak saat ini?

Trinata Pardede—Sekretaris Umum BANGUN-BANGUN SEJENIS SAYURAN. Dipercaya lancarkan air susu ibu. Dinikmati saat atau — menyambut kelahiran sang bayi. Warga sekampung berdatangan untuk lihat bayi. Beri bantuan berupa beras, kado dan uang. Ada juga kunjungan hula-hula atau tulang—keluarga datang bawa makanan secara khusus untuk nyatakan sukacita dan rasa syukur atas kelahiran bayi. Bagi Nata, lebih nikmat makan bangun-bangun yang dicampur daging ayam. Tradisi ini sebagai bentuk nyata kehidupan masyarakat batak untuk saling tolong-menolong atau .

Ade Syntia—Staff Iklan SAYA LAHIR DI SEI SARIMAH, Sumatera Utara. Berasal dari keluarga Jawa tulen, merantau ke Riau untuk belajar di perguruan tinggi. Walaupun jauh dari tanah Jawa, namun berbagai tradisi masih tetap di jalankan. Salah satunya, . Tradisi menyambut bulan Ramadhan dengan mengadakan kenduri di masjid. Setiap yang datang membawa makanan khas Jawa, kue Apam dan nasi urap. Nantinya makanan ini akan dibagikan kepada seluruh warga setempat.

Wilingga—Bendahara Umum SYEKH ZAINUDDIN MERUPAKAN TOKOH MASYARAKAT DI ROKAN HILIR. Ia mengembangkan ajaran islam didaerah ini. Ketika ia telah meninggal, makamnya kerap didatangi para peziarah. Berlokasi di Tanah Putih, Tanjung Melawan, masyarakat percaya jika memiliki keinginan, dapat datangi makam ini. Bisa jadi terkabul. Nenek saya juga percaya itu. Ketika kunjungi makam, ia meminta saya meminum air di ember yang berada disamping makam. Menurut mereka, air ini membawa berkah.

Eko Permadi—Redaktur Majalah BERAS DIMASAK SAMPAI JADI BUBUR. Setengah dari bubur dipisahkan untuk dicampur gula merah. Saat dihidangkan, ada sepiring bubur putih, bubur yang dicampur gula merah dan urap—campuran aneka macam sayur ditambah parutan kelapa dan telur rebus. Ia di jadikan santapan saat acara . Syukuran atas tujuh hari kelahiran sekaligus beri nama sang bayi. Ini jadi tradisi suku Jawa. Dan dilakukan tujuh hari sejak saya lahir pada 13 Oktober 1995. Kini saya belajar di Fakultas Hukum UR

Martha Novia Manullang—Sirkulasi SAYA MERANTAU DARI DOLOKSANGGUL KE RIAU UNTUK KULIAH. Walaupun dinegeri orang, adat budaya leluhur tetap melekat dalam diri. Yang paling diingat ialah tradisi , membongkar kuburan leluhur dan mengambil tulang belulangnya. Ini ditujukan untuk mengenang kerabat yang sudah meninggal, dimana tulang-tulang dibersihkan dan diletakkan di Tugu Marga. Sampai sekarang tradisi ini masih dilestarikan.

Eka Kurniawati—Redaktur Buletin SEBAGIAN MASYARAKAT SUNGAI MANDAU MEYAKINI KUNYIT OBAT SAKIT KEPALA. Caranya sederhana. Kunyit dipotong berbentuk balok, lalu dibelah dua. Letak dipunggung tangan dan baca doa-doa yang tak boleh disebutkan. Ia hanya bisa manjur dilakukan oleh ahlinya. Dan tanpa dipungut biaya, pengobatan ini disebut dari Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak. Tempat kelahiran Eka Kurniawati, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP.

18

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Agus Alfinanda—Penelitian dan Pengembangan BERBICARA SOAL HUTAN ULAYAT, saya ingat soal adat istiadat Kekhalifahan Kuntu. Dalam pengelolaan ulayat, dikenal istilah aleh. Sebuah sistem bagi hasil pengolahan hutan, dimana pengelolaannya dipercayakan kepada penghulu suku. Hasil dari pancung aleh digunakan untuk kepentingan bersama warga kampung. Bisa untuk pembangunan, kegiatan masyarakat ataupun kegiatan sosial.

Rizky Ramadhan—Redaktur Online RIZKY RAMADHAN, lahir di Pekanbaru, 31 Januari 1996. Kemudian besar di Kampar tepatnya di Desa Perhentian Raja. Disini masyarakat punya tradisi adakan gotong royong persiapan kenduri. Nama kegiatannya . Perempuan sibuk memasak, lelaki persiapkan peralatan dan tenda. Bisa makan waktu 2 hingga 3 hari. Bergotong royong dari pagi hingga petang

Ahlul Fadli—Pimpinan Umum BAKAR LEMANG JADI TRADISI WARGA KAMPAR SAMBUT BULAN PUASA. Bambu sepanjang 70 cm dan bagian dalamnya dilapisi kulit pisang jadi wadah buat lemang. Bambu ini diisi pulut atau tepung ( ). Jika diisi pulut, yang digunakan bambu jenis bambu tolang ( ). Jika tepung, digunakan bambu (periang/pring). Cara membakar lemang dengan membuatnya berdiri sejajar di dekat kayu yang dibakar. Sekali masak, lemang akan dibuatt dalam jumlah banyak.

Jeffri Novrizal Torade Sianturi—Redaktur Pelaksana TRADISI ERAT KAITANNYA DENGAN SUNGAI TAPUNG. Ia berupa cara penangkapan ikan yang dilakukan secara adat oleh masyarakat desa. Ikan yang ditangkap jenis Kupiat, dan jika hendak menangkapnya harus izin dahulu kepada penghulu. Menggunakan pepah—pagar kayu—untuk menggiring ikan ke perairan dangkal, baru setelah disetujui penghulu, ikan ditangkap gunakan jala.

Suryadi—Pemimpin Perusahaan SAYA LAHIR HAMPIR DUA PULUH TIGA TAHUN LALU. Di Panipahan, satu desa di Kabupaten Rokan Hilir. Masyarakat didesa ini punya kebiasaan buat sabai saat bulan tiba. sebutan untuk bulan Sya’ban dan yang dibuat adalah makanan semacam surabi. Saat bulan tiba, saya kerap menelpon ibu di kampung. “Dah buat ?”

Budaya di Kampung Kami. Setiap daerah memiliki kewajiban untuk menjaga budayanya masing-masing. Dan putra daerahnya memiliki kewajiban untuk menjaga agar tak ditelan zaman. Jangan sampai “Bagaikan kacang lupa kulitnya”, mengalir di tiap pikiran generasi. Untuk itu, Bahana Mahasiswa kali ini mengangkat cerita singkat soal khasanah budaya dari setiap daerah asal tiap kru. Kami juga memperkenalkan gambar para pengurus dan kru magang di LPM Bahana Mahasiswa.

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

19


20

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Laporan Utama

Ketika Sungai Bukan Lagi Urat Nadi Melayu Sungai yang dulunya sebagai jalur transportasi utama masyarakat Riau kini mulai ditinggalkan. Berbagai masalah muncul seiring ditinggalkannya sungai ini. Pencemaran, pendangkalan bahkan budaya melayu sendiri mulai hilang. Oleh Nurul Fitria

D

ERU MESIN TERDENGAR DARI ARAH EKOR PERAHU. Awalnya bersuara pelan, dan detik demi detik bertambah kencang. Ia diiringi dengan pergerakkan perahu yang sedikit terombang ambing ke kanan atau kiri. Terlihat dari arah badan para penumpang yang ikut bergoyang. Perahu bergerak perlahan meninggalkan dermaga, dalam hitungan menit, ia tengah mengarungi Sungai Siak.

bagian kiri dan kanan penumpang ditutup badan speedboat hingga ke bagian atap. Untuk melihat sungai, hanya bisa melalui jendela selebar satu jengkal tangan lelaki dewasa. Di bagian depan, badan tertutup hanya sampai seukuran bahu saat duduk di kursi penumpang. Saat sudah memulai perjalanan, bagian ini ditutup terpal besar, agar tak kepanasan, atau kehujanan.

Perahu ini kerap disebut . Perahu cepat yang melintas Sungai Siak. Ia dijadikan moda transportasi antar kabupaten. Dari Pekanbaru menuju Selat Panjang, Bengkalis ataupun Siak. Para penumpang bisa menggunakan —biasa disingkat—dengan membeli tiketnya di Pelabuhan Sungai Duku.

Barang-barang penumpang diletakkan di atap . Ia diikat atau ditutup terpal pula. Seorang petugas duduk di bagian atap ini jika ia tak berada di samping nakhoda. Jika berangkat dari Pelabuhan Sungai Duku dengan tujuan Pelabuhan di Kota Siak Sri Indrapura, penumpang cukup membayar tiket Rp 80 ribu sampai Rp 90 ribu perorang. Perjalanan yang ditempuh sekitar satu atau satu setengah jam. Lebih cepat dibanding tempuh jalan darat yang bisa mencapai 2 hingga 3 jam.

Di dalam berjajar tempat duduk penumpang. Di bagian kiri dan kanan. Di belakang nakhoda speed ada delapan baris kursi kayu panjang dilapisi busa tipis. Masingmasing bisa memuat dua orang dewasa. Begitu pula di bagian kiri. Empat baris dari belakang speed,

Jika bosan berada di kursi penumpang, keluar ke bagian dekat mesin bisa

jadi pilihan. Atau naik ke bagian atap. Menikmati pemandangan menyusuri Sungai Siak. Resikonya, mendengarkan deru mesin speedboat mengganggu pendengaran. RIAU MERUPAKAN PROVINSI YANG PUNYA LUAS PERAIRAN MENCAPAI 18,8 RIBU KILOMETER PERSEGI. Ia punya empat sungai besar, salah satunya Sungai Siak, sungai terdalam di Riau ataupun Indonesia. Dari dijelaskan dahulu kedalamannya mencapai 30 meter. Sungai ini kerap dijadikan sarana transportasi air bagi kapal besar membawa peti kemas atau kapal tanker. Ia membentang di Pekanbaru, Kampar, Siak dan Bengkalis. Sungai besar lainnya, Sungai Kampar, ia membentang di dua provinsi, Sumatera Barat dan Riau. Dengan hulu di Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Lima Puluh Koto Sumatera Barat dan hilir di pesisir Riau. Ia dijadikan sumber penggerak di Pembangkit Listrik Tenaga Air XIII Koto Kampar.

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

21


Laporan Utama Sungai Duku, Kuala Cenako, Sei Buatan, Panipahan dan Sinaboi. “DAHULU ORANG MEMBANGUN RUMAH ITU MENGHADAP SUNGAI,” ujar Elmustian. Ia menjelaskan makna sungai bagi masyarakat melayu.

Peta wilayah sungai Provinsi Riau. Sumber: BLH Provinsi Riau.

Sungai terluas Indragiri, membentang di dua provinsi. “Sungai ini dari Danau Singkarak dan melintasi Kuantan Singingi hingga Indragiri Hilir,” ujar Tengku Ariful Amri, Dosen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengatahuan Alam Universitas Riau. Ia juga Direktur Rona Lingkungan UR yang banyak meneliti soal keadaan sungai. Sungai besar terakhir ialah Sungai Rokan. Ariful menjelaskan sungai ini melintas tiga provinsi. Dimana hulunya berada di Sumatera Utara, bagian tengah di Riau dan hilirnya di Sumatera Barat. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau tahun 2013 oleh BLH Riau, menyebut Sungai Indragiri yang terpanjang, mencapai 645 kilometer. Disusul posisi kedua dan ketiga, Sungai Kampar, 580 kilometer dan Siak 345 kilometer. Sedangkan Sungai Rokan sekitar 325 kilometer. Air dari sungai-sungai tersebut secara keseluruhan untuk kebutuhan perekonomian ataupun pemenuhan kebutuhan rumah tangga. “Kalau dari zaman dulu, sungai itu dijadikan alat transportasi,” ujar Elmustian, Ketua Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan (P2KK) Universitas Riau. Ariful sependapat dengan Elmustian. Menurutnya selain transportasi, sungai juga sumber pengairan untuk kebun atau lahan

22

Bahana Mahasiswa

pertanian. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 membagi kriteria pemanfaatan air dalam empat kelas. Kelas pertama jika air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan baku air minum. Kedua air yang diperuntukkan untuk sarana prasarana rekreasi, budidaya ikan tawar, peternakan atau pengairan tanaman. Kelas selanjutnya khusus untuk budidaya ikan, peternakan dan pengairan tanaman. Kelas terakhir adalah air yang digunakan untuk pengairan tanaman. BLH menjelaskan 92 persen keempat kelas itu dipenuhi oleh 4 sungai besar di Riau. Masyarakat menggunakan sungai sebagai pemenuhan kebutuhan sesuai pembagian peraturan tersebut. Data dari Dinas Perhubungan Provinsi Riau tahun 2013, sebagai sarana transportasi, sekitar enam belas pelabuhan dibangun di perairan Riau. Ada pelabuhan untuk bongkar muat barang, kargo ataupun pelabuhan penumpang. Sebanyak 10 pelabuhan bongkar muat barang dan Kargo di Sei Pakning, Pekanbaru, Sungai Guntung dan Rengat. Daerah lainnya di Tembilahan, Kuala Enok, Selat Panjang, Batu Panjang, Tanjung Medang dan Kuala Gaung. Untuk pelabuhan umum penumpang terdapat di Pelabuhan

Edisi Maret-April 2016

Sungai sebelum masa kemerdekaan merupakan urat nadi transportasi dan perekonomian masyarakat. Terutama di Riau. Sebagai sungai besar yang menghubungkan Kerajaan Siak, Sungai Siak menjadi pilihan utama. Begitu pula daerah lainnya. Pusat perdagangan akan dilakukan di sungai. Pengangkutan karet ataupun barang dagangan yang hendak di bawa ke Malaka akan gunakan kapal dan melalui sungai. Kehidupan masyarakat melayu pada kala itu kental dengan melayu pesisir. Sebab mereka memang hidup di pinggiran sungai. “Biasanya tiap satu rantau selalu ada masyarakat yang mendiaminya. Maksud dari satu rantau ialah jarak dari satu tanjung menuju teluk di sebuah pinggiran sungai. Tanjung merupakan bagian tanah yang menjorok ke sungai dan teluk adalah bagian sungai yang menjorok ke daratan. Diantara teluk dan tanjung tersebut, masyarakat melayu akan membangun kampung. Kampung inilah yang menjadi hutan tanah bagi masyarakat melayu. Pembagiannya ada tempat tinggal, tanah dusun, tanah peladangan dan rimba larangan. Masyarakat akan menggunakan sungai sebagai sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Seperti sumber air ataupun mencari ikan. Ketika membangun kampung, daerah tanjung akan dihindari untuk areal kelola. Sebab bahaya terjadinya abrasi atau pengikisan daratan akibat aliran sungai. “Nanti bisa jarak berapa rantau, ada desa lagi. Ini tergantung tanah kampung bisa dikelola atau tidak,” ujar Elmustian. Ariful menjelaskan hal senada. Ia


Laporan Utama tekankan, walaupun sungai menjadi sumber kehidupan masyarakat, bukan berarti masyarakat dahulunya merusak sungai. “Kalau mencuci limbah rumah tangga, justru mereka mengangkat air ke rumah,” tukas dosen yang banyak meneliti soal pencemaran daerah aliran sungai ini. Ia jelaskan, soal mencuci piring dan pada akhirnya membuang sampah rumah tangga di sungai ikut berkontribusi menyebabkan pencemaran sungai. “Inilah pergeseran gaya hidup orangorang zaman sekarang,” sesalnya. Menurutnya justru kini banyak orang dengan seenaknya membuang sampah ke sungai. Elmustian berpendapat sama. Sejak jalan di daratan dibangun, masyarakat tak lagi membangun rumah menghadap ke sungai. “Justru rumah itu membelakangi sungai, makanya limbah-limbah rumah tangga jadi enak dibuang ke sungai,” kata Elmustian. PERGESERAN PEMAHAMAN TERKAIT MEMANFAATKAN SUNGAI MEMBAWA DAMPAK BESAR. Ariful menjelaskan dampak terbesar ialah pencemaran kualitas air sungai. Disusul dengan berkurangnya daya dukung dan daya tampung sungai. Dan pada akhirnya ini berdampak pada kelayakan air sungai digunakan sebagai pemenuhan kelas yang disebutkan PP Nomor 82 Tahun 2001. Terkait pencemaran sungai, BLH melaporkan penyebab terbesarnya

karena kegiatan industri, penambangan emas tanpa izin atau PETI serta limbah rumah tangga, insutri ataupun rumah sakit. Dampak terbesar, dalam beberapa tahun kedepan, bisa terjadi krisis air di Riau. Pencemaran lingkungan hidup dalam hal ini sungai juga dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009. Pencemaran lingkungan air berarti masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lainnya kedalam air. Karena hal ini baku mutu lingkungan yang telah ditetapkan terlampaui dan kualitas air menurun sehigga tak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Perdana Ginting menuliskan dalam penelitiannya terkait sistem pengelolaan lingkungan dan limbah industri terkait kondisi air yang tercemar. Jika terjadi perubahan pH air, serta terjadi perubahan fisika warna berupa perubahan warna, bau dan suhu, ada indikasi air tercemar. Juga jika permukaan air tertututp lapisan terapung seperti minyak, lemak dan bahan padatan lain dan terjadi peningkatan bahan organik. Ariful pernah melakukan penelitian terkait pencemaran sungai di Riau ini. Ia meneliti di Sungai Siak pada 2005. Pada saat itu ia merilis hasil penelitiannya pada 2007. Ia jelaskan dampak dari banyaknya residu tersuspensi di sungai, menyebabkan kedalaman sungai berkurang. Ia meneliti kedalaman Sungai Siak sejak 1996. “Saat itu kedalaman Sungai Siak masih

Suasana dibawah jembatan Siak III, terlihat eceng gondok yang mengapung ditengah sungai. Foto: Yaya BM

sekitar 29 meter,” ceritanya. Tahun demi tahun berlalu, kini kedalaman Sungai Siak tak lagi melebihi 20 meter. “Paling tidak lebih dari 15 meter.” Ia katakan pada 2013 melakukan pengukuran kedalaman Sungai Siak di Pelabuhan Indonesia, Senapelan. Dari hasil temuannya, sampah plastik di dasar sungai hingga mencapai ketebalan 3 meter. “Setiap tahun bisa diperkirakan rata-rata terjadi pendangkalan sungai sebesar 70 sentimeter,” ujarnya. BLH Provinsi Riau menetapkan ada 3 parameter untuk menetapkan apakah baku mutu lingkungan hidup terlampaui atau tidak. Pertama terkait parameter fisika, dengan melihat berapa banyak terdapat residu tersuspensi atau banyaknya zat padat yang ada di sungai dan tidak terlarut dengan air. Kedua dilihat dari parameter kimia anorganik. Diantaranya, perubahan derajat keasaman (pH) dan berapa besar pemenuhan kebutuhan oksigen bagi bakteri. Oksigen ini digunakan bakteri di air untuk mengurai zat-zat yang ada di sungai menjadi bahan organik lebih sederhana, biasa disebut . Selanjutnya juga ada Chemical , jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organik ataupun anorganik. Dan terakhir melihat kadar oksigen atau . Semakin tinggi kadar oksigen, maka semakin bagus kualitas sungai. Ia berbanding terbalik dengan BOD dan COD, dimana jika nilai keduanya tinggi, maka sungai dalam kondisi tercemar. Parameter ketiga ialah melihat mikrobiologi yang terkandung didalam sungai. Yang dilihat, berapa banyak konsentrasi atau jumlah dari dan . Ini merupakan bakteri yang digunakan untuk melihat apakah telah terjadi pencemaran pada suatu perairan atau tidak. Jika jumlah dari meningkat, maka ia sudah dalam

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

23


Laporan Utama Riau hanya mengenal soal banjir sekali dalam 5 tahun. Dimana daya tampung dan dukung dari sungai sudah tak sanggup lagi menahan debit air, sehingga terjadilah banjir. Dulu, hanya terjadi dalam periode 5 tahun. “Sebab dulu hutan masih sanggup menyimpan air.” Ia menyayangkan kini kondisi hutan Riau sudah banyak berkurang, hingga hutan alam di sekitar aliran sungai sebagai cadangan air tak ada lagi. Dampaknya, banjir menjadi hal wajib yang dihadapi setiap tahun. Warga di pinggiran Sungai Siak menggunakan sungai sebagai tempat mencuci pakaian. Foto: Yaya BM

kategori tercemar. BLH melaporkan keadaan keempat sungai di Riau pada 2013. Dimulai dari Sungai Kampar, dinyatakan bahwa residu tersuspensi mencapai 200 mg/L. Terutama diwilayah Muara Lembu, Kenegerian Lipatkain dan Paku Singingi. Sedangkan perubahan pH terjadi penurunan dari batas normal. Dimana baku mutu pH berada dalam kisaran 6 hingga 9. Namun pH di Sungai Kampar kurang dari 6, bahkan di Muara Sungai Nilo, pH mencapai tingkat asam, yaitu 4. Begitu pula dengan kadar BOD dan COD yang tinggi sedangkan DO tidak memenuhi standar baku mutu. Sehingga kondisi Sungai Kampar telah melampaui baku mutu yang ada.

merangkum penyebab dari pencemaran ini menjadi lima poin. Pertama banyaknya kegiatan ataupun usaha yang membuang limbah di sungai. Baik itu industri, penginapan, rumah makan, rumah sakit ataupun klinik. Kedua, banyaknya pabrik kelapa sawit yang terletak didekat sumber air yang membuang limbah cair ke aliran sungai tersebut. Ketiga, banyaknya penambang emas tanpa izin atau PETI yang membuat sungai keruh dan tercemar logam berat raksa pengolahan emas. Peti banyak ditemukan didaerah Sungai Indragiri serta Sungai Kampar.

Keempat terkait banyaknya kegiatan MCK yang dilakukan masyarakat di pinggiran sungai. Ini menjadi penyebab meningkatnya Bagaimana dengan ketiga sungai parameter . Dan lainnya? terakhir pengelolaan limbah rumah tangga yang pada akhirnya Hal yang sama juga terjadi. Telah membuat tercemar sumber air. Air terjadi pendangkalan dari tiap yang tercemar menjadi penyebab sungai, perubahan pH yang menjadi munculnya berbagai penyakit lebih asam bahkan peningkatan seperti diare, hepatitis, kolera, bakteri . BLH tipus ataupun disentri. menjelaskan salah satu dampak dari peningkatan ini adalah “PENYEBAB PENDANGKALAN kegiatan industri di sungai serta JUGA KARENA TERJADINYA tingginya aktifitas pembuangan ABRASI,” ujar Ariful. Menurutnya limbah baik rumah tangga, industri selain limbah yang dibuang ataupun mandi, cuci dan kakus di sembarangan, banyaknya abrasi keempat sungai tersebut. yang terjadi juga jadi sebab. Hal ini dikaitkannya dengan kondisi hutan Bahaya pencemaran air sungai di Riau saat ini. menjadi isu prioritas yang ditangani BLH. Secara garis besar mereka Ia jelaskan, sepuluh tahun lalu,

24

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016

BLH Riau melaporkan kabupaten yang rawan banjir diantaranya Kampar, Kuantan Singingi, Pekanbaru, Rokan Hulu dan Hilir, Indragiri Hulu, Pelalawan dan Dumai. Selain karena letak dari Riau yang berada dalam alliran 4 sungai besar, berkurangnya areal tutupan hutan juga jadi alasan. Dalam sepuluh tahun terakhir, tutupan hutan disekitar Sungai Kampar berkurang hampir 100 ribu hektar. Diperkirakan tiap tahunnya hampir 10 ribu hektar hilang sebagai area resapan air. “Juga diperhatikan, hutan hilang sekarang, malah digantikan oleh sawit,” ujar Ariful. Ia jelaskan bahwa tanaman sawit dalam 1 hari membutuhkan 12 liter air perpohon. Dari dijelaskan sawit merupakan tanaman yang tumbuh dalam kawasan yang memiliki curah hujan stabil. Dimana areal tersebut tidak akan tergenang saat hujan serta tak kering saat kemarau. “Masalahnya sawit ini boros air, butuh banyak air, tapi saat air melimpah—banjir—dia malah tidak bisa menyerap air itu,” kata Ariful. Sawit yang tumbuh di kawasan gambut dan tak dikelola dengan baik turut andil sebabkan banjir tersebut. Gambut sebagai kawasan yang terbentuk dari pengendapan sisa tumbuhan dengan kadar bahan organik tinggi ini membutuhkan kondisi yang basah. Ia dapat menyimpan air dengan kapasitas yang besar. Kawasan gambut di Riau luasnya mencapai 1,3 juta hektar.


Laporan Utama

Masalahnya sawit ini boros air, butuh banyak air, tapi saat air melimpah— banjir—dia malah tidak bisa menyerap air itu

Dari situs dijelaskan dalam kawasan gambut, areal yang menjadi tempat penyimpanan air, disebut kubah gambut. Ia menjadi penyedia cadangan air pada musim kemarau bagi kawasan disekitarnya. Dan saat hujan tiba, ia menjadi seperti ember yang menampung air tersebut. Masalah akan muncul ketika gambut mengalami kekeringan dan pasokan air tidak ada untuk menjaga kawasan ini. Basuki Wasis, Dosen Institut Pertanian Bogor dan ahli kerusakan lingkungan hidup jelaskan dampak dari kurangnya air bagi gambut. Jika kadar air tidak dijaga, maka gambut yang ditanami sawit akan mengalami kekeringan. Ketika sudah kering karena konsumsi air dari sawit yang boros, maka fungsinya tidak dapat berjalan. Diperlukan usaha pemulihan yang memakan banyak biaya. “Karena gambut ini terbentuk beratus-ratus tahun terdahulu,” ujarnya. BLH Riau menyatakan bahwa sekitar 200 ribu hektar gambut di Riau telah rusak terhitung pada 2013. Masalah muncul ketika hutan sudah mulai hilang dan gambut tidak berfungsi semestinya. Terjadilah abrasi atau pengikisan tanah. Karena tak ada lagi penahan dipinggiran sungai, tanah jadi jatuh ke sungai dan membuat sedimentasi atau endapan didasar sungai. Semakin banyak endapan disungai, maka kedalaman sungai akan terus berkurang.

kedalaman yang sama dengan Sungai Rokan. Efek dari pendangkalan, daya tampung air di sungai menjadi berkurang, daerah resapan air sudah hilang, “Datanglah banjir tiap tahun,” ujar Ariful. Data dari Dinas Sosial Provinsi Riau, lebih dari 75 ribu jiwa terkena dampak bencana banjir tersebut. Ia tersebar di kawasan-kawasan rawan banjir yang telah disebutkan sebelumnya. Selain kerugian fisik berupa rusaknya rumah, sekolah atau jalan, masyarakat juga harus menanggung penyakit yang diakibatkan oleh banjir. HUTAN DAN SUNGAI SEBAGAI TUAH DAN MARWAH MELAYU RIAU. Melambangkan harga diri dan tempat masyarakat melayu belajar. Dijelaskan dalam pantun-pantun serta tunjuk ajar melayu, bahwa banyak ilmu yang diambil dari alam. Seperti yang dijelaskan Tenas Effendy, didalam hutan banyak contoh teladan, didalam rimba banyak bermakna, didalam tanah banyak berfaedah, didalam laut banyak yang patut.

Sungai di Riau banyak digunakan oleh masyarakat untuk menjadi Data dari BLH Riau memaparkan tempat penyelenggaraan tradisi. kedalaman dari Sungai Rokan pada Diantaranya tradisi pacu jalur 2013 berada dalam kisaran 6 hingga yang diselenggarakan di Kuantan 8 meter. Sedangkan Sungai Siak Singingi. Jalur sampan yang dibuat berada diantara 8 hingga 12 meter. dari kayu dan dibentuk menjadi Kedalaman Sungai Kampar 6 meter sebuah perahu dengan panjang 25 dan Sungai Indragiri memiliki hingga 40 meter akan mengarungi

sungai. Dengan jumlah pendayung di tiap jalur sekitar 25 orang. Balimau juga kerap dilakukan di sungai-sungai Riau. Di Pekanbaru, sehari jelang masuknya Ramadhan, akan diadakan acara atau kerap disebut untuk di Pekanbaru dan Balimau Kasai untuk daerah Kampar. Masyarakat melayu memaknai kegiatan ini untuk menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Dari Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau, Balimau telah dilakukan sejak 1935 didaerah Kampar. Pusat pelaksanaanya di Desa Batu Belah, Batu Sanggan. Bahan yang diperlukan seperti beras, kencur dan limau yang nantinya akan diperas. Beras dan kencur serta campuran bahan lain akan ditumbuk dan dicampur dengan air mendidih. Begitu pula dengan air perasan limau. Bahan ini bisa dibuat oleh masingmasing warga atau dibuat secara berkemlompok. Setelah bahan untuk belimau siap, ia akan dibawa menuju tempat upacara di tepi sungai. Sebelum melakukan belimau bersama, masyarakat akan mendengarkan pesan dan nasehat dari ninik mamak di surau atau mushala. Setelah itu barulah semua berangkat ke sungai dan mandi membersihkan diri. Tradisi lainnya yang berhubungan dengan sungai ialah adanya lubuk larangan. Ini merupakan tradisi yang dimiliki masyarakat didaerah aliran sungai. Mereka akan menangkap ikan dalam waktu tertentu saja dan dilakukan sesuai dengan hukum adat didaerah tersebut. Lubuk larangan biasa dimiliki oleh setiap desa. Daerah Kabupaten Kampar Kiri Hulu merupakan areal yang banyak memiliki lubuk ini. Lahasyim, Khalifah dari Desa Batu Sanggan yang terletak dialiran Sungai Subayang, Kampar Kiri Hulu

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

25


Laporan Utama menjelaskan bahwa tradisi lubuk larangan menjadi kekayaan budaya lokal. Biasanya akan dilangsungkan pembukaan lubuk larangan pada saat air dangkal 1 kali setahun. Selama lubuk belum dibuka, masyarakat dilarang untuk menangkap ikan diareal tersebut. Tradisi ini ditujukan untuk menjaga kelestarian ikan yang berada di Sungai Subayang. Sehingga pada masa panen, jumlah ikan yang diperoleh sangat banyak, bahkan dalam ukuran yang beragam. “Ini bisa dijadikan objek wisata budaya di desa kami ini,” ujar Lahasyim. Salah satu desa yang juga memiliki lubuk larangan adalah Desa Tanjung Belit. Amril atau yang bergelar Datuk Marajo menceritakan bahwa memang lubuk larangan menjadi khasanah lokal, namun berbagai ancaman sedang menghantui keadaan Sungai Subayang. Amril bersama Ujang yang bergelar Datuk Singo dan Bardiansyah yang bergelar Datuk Paduko Sindo merupakan ninik mamak di Desa Tanjung Belit. Mereka mengeluhkan soal keadaan sungai. Sungai menjadi urat nadi kehidupan masyarakat di Kampar Kiri Hulu ini. Ia jadi satu-satunya jalur transportasi antar desa, serta tempat untuk mencari ikan. “Air kami ini mulai keruh, ikan juga mulai tak banyak lagi,” ujar Amril. Menurut ketiga datuk, karena adanya penebangan kayu ilegal serta peti, inilah yang jadi penyebab terbesar masalah di sungai muncul. Menurut Arsyad, staff yang sering melakukan kegiatan didaerah Sungai Subayang, kedua persoalan tersebut muncul silih berganti. Saat musim hujan dan air sungai menjadi pasang, penebangan kayu ilegal terjadi. Kayu-kayu hutan yang diikat menyerupai rakit akan ditemui mengalir di sungai. Ketika kemarau dan debit air berkurang, muncullah peti. PETI merupakan kegiatan penambangan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok bahkan perusahaan untuk menggali

26

Bahana Mahasiswa

Salahsatu dermaga bongkar muat kargo di Sungai Siak. Foto: Yaya BM

emas. Untuk didaerah Sungai Subayang, menurut Arsyad yang pernah melakukan investigasi,PETI, dilakukan secara tradisional. Mereka mengunakan perahu kecil yang dilengkapi mesin pengolahan emas. “Mesin ini bisa dibeli ditokotoko peralatan mesin, jadi semua orang punya peluang menjadi penambang emas tradisional,” ujar Arsyad. PETI cenderung memberikan dampak kerusakan lingkungan yang sangat besar. Menyebabkan air sungai menjadi keruh dari pengolahan emas banyak bahan kimia berbahaya yang digunakan. Zat yang digunakan ialah air raksa dan merkuri. “Ini buat ikan-ikan tak lagi banyak disungai, buka lubuk laranganpun tak banyak lagi ikan didapat,” ujar Amril. Para ninik mamak khawatir efek dari bahaya zat kimia yang terlarut di air mengakibatkan penyakit bagi masyarakat. Sebab desa disepanjang Sungai Subayang menggunakan air dari sungai sebagai sumber kehidupan seharihari. LAJU SPEED BERKURANG KETIKA DARI ARAH BERLAWANAN JUGA TERDAPAT SAMPAN ATAU KAPAL. Saat itu saya melihat sebuah kapal tongkang melintas dengan muatan kayu yang akan diolah. Kayu-kayu ini akan dijadikan bahan untuk pembuatan bubur kertas.

Edisi Maret-April 2016

Tak lama berselang, laju kembali berkurang. Kali ini ada tongkang bermuatan pasir. Saya memilih untuk keluar dari tempat duduk penumpang, lalu naik ke atap . Mengabadikan pemandangan di jalur Sungai Siak dari Pekanbaru menuju Siak Sri Indrapura melalui lensa kamera. Silih berganti tongkang membawa kayu, pasir ataupun sampan kecil nelayan mengapung di sungai ini. Ketika melewati pemukiman warga dipinggiran sungai, tampak beberapa wanita tengah mencuci pakaian. Anakanak kecil ikut melompat ke sungai untuk mandi sambil bersenda gurau tertawa dan bermain air. Beberapa lelaki yang duduk disampan sambil menangkap ikan sesekali melambaikan tangan. Ia melihat saya mengarahkan lensa kamera kearahnya. Sungai Siak masih dijadikan jalur transportasi untuk pengangkutan barang ataupun penumpang dan sumber kehidupan masyarakat pinggiran sungai. Sampai kapan sungai ini masih bisa digunakan?

Kapal tongkang yang mengangkut hasil tebangan kayu akasia gunakan Sungai Siak sebagai jalur transportasi. Foto: Yaya BM


Bedah Buku Judul: TIGA LORONG teguh berdiri di tengah persimpangan riuh ramai Penulis: Junaidi-Syam, Elmustian Rahman, Mardan gelar Jo Mangkuto Penerbit: Unri Press Halaman: 400 hlm

Mencari Jejak Orang Tiga Beradik dalam Buku Tiga Lorong TIGA LORONG MERUPAKAN SEBUTAN KHAS SATU TEMPAT YANG BERADA DI TEPIAN SUNGAI INDRAGIRI. Secara topograďŹ wilayah ini tidak tercatat dalam peta. Sebutan tiga lorong ini muncul setelah adanya pembagian wilayah kekuasaan pada orang tiga beradik yang datang dari Batujangko, Jambi. Mereka bernama Sembilu Jati, Jo Mangkuto dan Tiala. Sembilu Jati dan Tiala dua beradik yang diminta oleh ayahnya Datuk Kebaya untuk meninggalkan tanah kelahiran, Jambi. Dua beradik ini terkena hukuman karena melakukan kesalahan berat. Sudah menjadi adat bagi orang Jambi, jika kesalahan itu dilakukan pada raja maka mati hukumannya, apabila kesalahan itu dilakukan pada penghulu maka hutang hukumannya. Meski begitu, Datuk Kebaya tidak merasa enak hati atas perbuatan kedua anaknya. Bagaimana pun, perbuatan yang telah menghilangkan nyawa seseorang tidaklah cukup diganti hanya dengan memotong seekor kambing atau kerbau. Diperintahkan pada kedua anaknya untuk meninggalkan Batujangko bersama Jo Mangkuto, pamannya. Jo Mangkuto keponakan Datuk Kebaya dari saudara perempuannya. Rijal bin Haji Umar adalah nama aslinya, sedangkan Jo Mangkuto merupakan gelar adat soko Melayu. Diperoleh dari garis keturunan ibu atau garis keturunan matrilineal. Jo Mangkuto terkenal kuat. Saat Datuk Kebaya beserta dua anaknya Sembilu Jati dan Tiala mengalami serangan dari orang-orang Batujangko, ialah yang turut membela. Sebab itulah Datuk Kebaya meminta Jo Mangkuto ikut pergi bersama kedua anaknya meninggalkan Batu Jangko. Permintaan Datuk Kebaya ini diamini Jo Mangkuto. Ia diharapkan jadi penengah apabila dua beradik tadi mengalami perselisihan atau berbeda pendapat. Perjalanan tiga orang ini dimulai dari Batu-

jangko, menuju Padang Laweh hingga ke Ibul Cundung kawasan Kuantan. Dari sini mereka terus bergerak ke perbatasan Indragiri. Menetap di Koto Sembung dan mereka bangun perkampungan di sana. Keberadan mereka diketahui oleh Siaja Penghulu. Ceritanya, saat itu Sultan Hasan Raja Indragiri bertolak dari Pekantua menuju Peranap untuk menjumpai Siaja Penghulu. Ia diminta untuk mencarikan Hulu Balang yang tangguh dan kuat. Siaja Penghulu dipercaya oleh Sultan Hasan yang punya relasi dan hubungan dengan orang-orang kampung sepanjang rantau sungai Indragiri.

Siaja Penghulu meminta tiga orang beradik tersebut menjumpai Sultan Hasan di Pekantua, pusat Kerajaan Indragiri. Sampainya di istana Kerajaan Indragiri, Sultan Hasan menyampaikan maksud dan tujuannya pada tiga orang beradik tersebut. Sembilu Jati, Jo Mangkuto dan Tiala diminta untuk membunuh Siaja Dubalang. Titah Sultan ini tidak langsung dilaksanakan oleh tiga orang beradik tadi. Mereka meminta waktu selama tiga hari untuk menimbang perintah Sultan. Setelah tiga hari, tiga orang beradik kembali ke Istana dan menyanggupi perintah Sultan. Mereka berangkat menuju Koto Sibuayatinggi dengan kawalan dua belas orang. Para pengawal tidak membawa senjata. Sembilu Jati membawa ayam jantan berbulu betina dan keris bersarung emas. Jo Mangkuto membawa sebilah pedang jenawi dan Tiala membawa lembing bersarung emas. Tiba di Koto Sibuayatinggi, tiga orang beradik mengajak Siaja Dubalang sabung ayam. Sabung ayam ini dilakukan dengan beberapa peraturan dan taruhan. Ayam Siaja Dubalang mati digelanggang. Ia marah dan hendak menikam Sembilu Jati. Namun Sembilu Jati lebih dulu menikam Siaja Dubalang disambut oleh Jo Mangkuto dengan tebasan di leher hingga kepalanya putus.

Kepala Siaja Dubalang lalu dibungkus dengan kain oleh Tiala dan dipikul dibawa menghadap Sultan Hasan. Sultan menghadiahi tiga orang beradik pangkat penghulu. Mereka diberi gelar kebesaran, Sultan Hasan mengalami masalah karena ke- wilayah kekuasaan beserta dengan rakyat datangan Siaja Dubalang di Koto Sibuayating- yang akan dipimpinnya. gi yang membuat keonaran. Siaja Dubalang datang dari Kerajaan Pagaruyung membunuh Sembilu Jati diberi gelar Danang Lelo. Ia juga orang-orang dikerajaan Indragiri, melarikan diberi bendera hitam dan menjadi penghulu istri orang dan membuat arena sabung ayam adat Tiga Lorong mewakili Datuk Bendahara sebagai tempat perjudian. Indragiri. Bendera hitam bermakna kekuatan dan ketangguhan. Semua ini bermula karena Sultan Hasan menolak pinangan salah seorang anak dari Kera- Tiala adik bungsu Sembilu Jati diberi gelar Lelo jaan Pagaruyung. Atas penolakan ini keempat Deghajo dan dikarunia bendera putih. Wilayah anak Raja Pagaruyung turun langgang dan kekuasaan Lelo Deghajo masuk dalam wilayah menyerang Kerajaan Indragiri. Sultan Hasan kekuasaan Jo Mangkuto. Jo Mangkuto sendiri sempat meninggalkan kerajaan Indragiri dan tetap memakai gelarnya dan dikarunia bendmelarikan diri. Namun berkat bantuan Raja era berwarna merah. Merah melambangkan Haji Kelana dari Bugis, Sultan Hasan dijemput keberanian. kembali untuk memimpin kerajaannya karena keempat anak Raja Pagaruyung telah dipukul mundur. TEMBO TIGA BERADIK INI DIMUAT DALAM BUKU TIGA LORONG. Buku ini ditulis oleh JuTidak hanya mendapat bantuan dari Bugis, naidi-Syam, Elmustian Rahman dan Mardan Kerajaan Indragiri juga mendapat bantuan dari gelar Jo Mangkuto yang diterbitkan oleh kerajaan di Jambi. Hal ini karena kedekatan Unri Press. Buku ini memuat analisis yang hubungan Kerajaan Indragiri dengan raja-raja tajam terhadap peninggalan sejarah berupa di Jambi hingga Bugis. manuskrip. Para penulis juga mengunjungi tempat-tempat yang bersetautan dari IndragiKembali soal pertemuan Siaja Penghulu den- ri hingga ke Jambi. gan tiga orang beradik di Koto Sembung tadi. Setelah mendapat titah dari Sultan Hasan un- Analisis yang tajam hingga membandingkan tuk mencari Hulu Balang yang kuat untuk men- dengan literatur yang terlebih dahulu ada galahkan Siaja Dubalang, Siaja Penghulu ber- membuat enak dibaca dan mudah dipahami. keliling kampung sepanjang rantau Indragiri Meski cerita ini melebar, jejak orang tiga besampai akhirnya bertemu dengan orang tiga radik tetap dapat ditemukan dalam buku ini. beradik di Koto Sembung.

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

27


Tokoh

Petisi Manan Buat Jokowi Datang “

pada kampung halaman membuatnya ambil keputusan berhenti bekerja. Pada 2008 ia kembali ke Sungai Tohor.

Manan masih ingat gotong-royong yang dilakukannya bersama warga sebelum kedatangan Joko Widodo, Presiden RI. Dalam seminggu mereka membuat dua kanal sepanjang empat meter. Bertungkus lumus kerja dari pagi hingga petang.

Tanah kelahirannya ini terkenal sebagai penghasil sagu. Ketika ia memutuskan untuk kembali, rencana soal mengembangkan olahan sagu sudah berkecamuk dalam pikirannya. Membuat olahan sempolet, mi sagu hingga lemak sagu, ini ide yang muncul di benaknya. Walhasil, kembali ke Sungai Tohor, ia jadi petani sagu. “Yang penting, tradisi masyarakat disini tak pernah biarkan gambut kering, makanya sagu-sagu tumbuh subur,” ujar Cik Manan.

INILAH SEKAT KANAL YANG KAMI BUAT BERSAMA WARGA,” ucap Abdul Manan.

Kini sekat kanal yang sudah dibuat itu jadi kebanggaan, sebab beri banyak manfaat untuk warga. Sekat kanal banyak ditiru dan panjangnya terus bertambah, sehingga dapat digunakan untuk mengalirkan tual sagu. Juga dengan disekatnya kanal, tinggi air terus terjaga dan tak buat tanah gambut jadi kering. Ia ingat ini pesan Jokowi saat datang pada 27 November 2014 lalu. Alhasil, tiap ada tamu datang ke Desa Sungai Tohor, selalu ia ajak berkeliling melihat hasil karyanya tersebut.

Seorang pria yang merasa miris melihat keadaan kampung halamannya yang semakin hari terus rusak. Tak mau kerusakan ini berlanjut, ia buat berbagai gerakan. Ini dia Cik Manan dari Sungai Tohor. Oleh Agus Alfinanda

28

Bahana Mahasiswa

CIK MANAN IA KERAP DISAPA. Lahir pada 1 Mei 1973 dan tinggal di Desa Sungai Tohor. Sebuah desa di Kecamatan Tebingtinggi Timur daerah administrasi Kabupaten Kepulauan Meranti. Ia menempuh pendidikan dasar di tanah kelahirannya tersebut. Lalu pada 1986 menempuh sekolah menengah di daerah Tanjung Samak. Hanya setengah tahun, ia pindah ke Selat Panjang dan menyelesaikan pendidikan hingga menengah atas. Selama lima belas tahun ia bekerja di pabrik pengolahan kelapa dan nenas milik PT Riau Sakti United Plantation. Namun kerinduannya

Edisi Maret-April 2016

Pertengahan 2008 lalu, Gubernur Riau saat itu, Rusli Zainal datang ke Sungai Tohor. Tujuannya meresmikan kilang sagu basah dan biasa disebut juga bangsal milik warga. Sampai saat ini Cik Manan tetap bertahan jadi petani. Walaupun ia juga sering melakukan peruntungan lain untuk kembangkan kemampuannya. MANAN PERNAH MENCALONKAN DIRI JADI ANGGOTA DEWAN DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI. Namun ia gagal dalam pemilihan legislatif. “Hanya selisih delapan suara,” ucap Manan sambil tertawa ketika mengingatnya lagi. Manan katakan, sejak sekolah menengah atas ia sudah bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan. Selama jadi kader ia tidak terlalu aktif lebih fokus cari pekerjaan. Ia juga pernah jadi Ketua Cabang partai berlambang Ka’bah ini di Kecamatan Tebing Tinggi Timur. Sekarang, ia jadi Wakil Ketua Cabang di Kabupaten Meranti.


Tokoh

anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia datang bersama lembaga Non Government Organization atau NGO dari 28 negara. Mereka minta perhatian pimpinan dunia untuk menanggulangi pemanasan global.

Presiden Joko Widodo berikan bantuan dana kepada Cik Manan untuk membuat sekat kanal. Foto: Indra Nugraha, Mongabay.co.id

Manan juga kerap jadi pembicara mewakili masyarakat desa untuk promosikan tradisi lokal untuk jaga gambut tetap basah. September tahun lalu Ia pernah dijadwalkan untuk menghadiri acara ke 24 di Durban Afrika Selatan. Acara berkala tiap enam tahun ini, adalah forum berbagi pegetahuan dan pengalaman tentang konservasi, pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Sesuai jadwal Manan akan berbicara tentang pengalamannya memanfaatkan hutan sagu di Sungai Tohor. Namun keinginan Manan promosikan kekayaan lokal kampungnya ke luar negeri gagal. Ia tak jadi berangkat, namanya mirip dengan pejabat di Kepulauan Riau yang dicekal berpergian keluar negeri oleh pihak imigrasi bandara. Efendi, Penghulu Desa Sungai Tohor yang kemudian gantikan dirinya. Setelah berjarak sebulan dari acara yang lalu, Manan akhirnya berangkat ke luar negeri juga. Kali ini ke Paris, Prancis. Disana ada Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim – 21

“Saya dapat kabar dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) untuk berbagi cerita ke masyarakat Paris tentang kejadian kebakaran hutan,” ucap Manan. Ia merasa senang bisa berbagi pengalaman tentang budaya lokal Sungai Tohor dan kebakaran hutan di Riau kepada masyarakat dunia. “Tak pernah ada niat kesana, tapi kalau ke Mekkah ada. Cume belum sampai,” ucap Ayah tiga anak ini. Katanya ia banyak belajar tentang disiplin berkendaraan dan warga yang lebih pilih jalan kaki saat berpergian di Paris. Saat konferensi berlangsung ia dapat kabar baik, Siti Nurbaya Bakar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut izin penggunaan hutan tanaman industri PT Lestari Unggul Makmur yang berada dikampungnya.

SEJAK 2009 MASYARAKAT YANG BERADA DITANAH KELAHIRAN MANAN SUDAH BERKONFLIK DENGAN PT LUM SAPAAN AKRAB MASYARAKAT. Sejak keluar izin operasi 2007 lalu, perusahaan ini telah menyerobot lahan masyarakat dan lahan pemukiman warga. Masyarakat melakukan upaya penolakan. “Kita tolak karena Akasia tidak sesuai sama ekosistim desa. Nanti sagu tidak akan tumbuh lagi,” ucap Manan.

kan Manan yang ikut menolak keberadaan PT LUM dan minta segera dicabut izinnya. Mereka juga pernah menolak keberadaan PT Riau Andalan Pulp and Paper di Pulau Padang. Aksi penolakan dilakukan sampai ke kantor Bupati dan Dewan di Bengkalis. “Ini usaha kami untuk melindungi desa,” ucap Yet sapaan akrabnya. Di desa, Manan sering mengajak pemuda desa untuk peduli dengan lingkungan. Ia punya cara tersendiri. Para pemuda diajak di pojok rokok rumah Manan. Pojok rokok itu pondok di pekarangan rumah, tempat penghuni rumah dan tamu yang ingin merokok. Ia ingat saat pembahasan terkait upaya agar tetap menjaga tanah gambut tetap basah. “Awalnya kami dicakap karena cerita gambut biar tetap basah,” ucap Manan tersenyum.

KINI KABAR TENTANG DESA SUNGAI TOHOR DENGAN KEARIFAN LOCAL UNTUK MENGOLAH SAGU SUDAH DIKENAL BANYAK PENELITI. “Karena media banyak yang kampanyekan Sungai Tohor, juga ada datang dosen dari luar negeri, Craigh Dosen Senior dari Australia,” ucap Yet. Peneliti itu ingin mengetahui proses di kilang sagu dan pembuatan makanan dari bahan dasar sagu. Bersama Walhi, Cik Manan dan warga Sungai Tohor sempat mengadakan Festival Sagu yang menghadirkan Melanie Subono, Fadli Padi dan Iksan Skuter. Kedepan suami dari Andriati ingin wajibkan setiap warga desa dan tamu yang berkunjung ke Sungai Tohor menanam pohon. #

Muhamad Ridwan adalah re-

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

29


Khasanah PAGI ITU SEORANG LELAKI BERBAJU MELAYU HITAM POLOS BERDIRI DI DEPAN LUBANG. Tak besar, hanya selebar satu jengkal tangan pria dewasa dan kedalamannya sekitar 20 centimeter. Melihat ke dalam lubang, ada cairan kemerahan yang mengisinya. Ini darah dari tiga ekor kambing yang baru saja dipotong.

dalam lubang. 3 tahun lalu, kaki ditanam bersama potongan utuh kepala kambing. Karena pertimbangan masih banyak manfaatnya maka diganti tahun ini hanya irisan kulit kepala.

Ia dapat dari ayahnya, Supardi, Amir Yunus dan sesepuh yang pertama kali perkenalkan tradisi ini adalah Supardi. Kegiatan ini sudah berjalan selama tiga puluh lima tahun. Namun lima tahun pertama, mereka melakukannya sesuai dengan suku yang ada di desa. Sebab warga awal di Sungai Linau adalah transmigran berasal dari berbagai suku Jawa. Ada berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Wasono jelaskan darah dan irisan kulit dari kepala itu perlambang pemberian masyarakat dan ucapan syukur kepada Sang pencipta. Lelaki ini bernama Wasono. Ia Dari saku ia ambil secarik kertas, merupakan tetua di Desa Sungai dibakar, dan ia langsung berkoLinau. Berumur 58 tahun dan kerap mat-kamit. Tak tahu apa yang dikadisapa Mbah, ia diberi kepercayaan takannya. Setelah selesai, ia segera menjalankan ritual adat khas Sunmenutup semua bahan di lubang Setelah administrasi desa dibuat gai Linau, Kecamatan Siak Kecil, dengan tanah. Selesailah prosesi dan dipimpin seorang kepala desa, Bengkalis. Paritan. Wasono telah inti dari acara Bersih desa. barulah setiap ketua suku diperberdiri di depan lubang dan bersiap temukan untuk menyatukan acara menutupnya. Kain putih selebar bersih desa dengan satu kegiatan setengah meter ini dibentangkan. SUDAH DUA TAHUN WASONO dan nama baru. Semua sepakat, Satu bagian potongan kaki dan PIMPIN TRADISI BERSIH DESA. ucapan syukur dinamakan bersih irisan kulit kepala kambing disusun “Warga yang minta agar saya yang desa. diatasnya. Disimpul dalam satu terima arwah itu,� ucapnya. Ilmu ikatan, kemudian dimasukkan ke ini diwariskan dari silsilah keluarga. Bersih desa bermakna bersedekah

Bersih Desa, Tradisi Khas Desa Sungai Linau Cara masyarakat Desa Sungai Linau mengucap syukur terhadap limpahan rezeki yang mereka peroleh. Mulai dari yasinan hingga makan bersama.

Oleh Trinata Pardede

Doa bersama sebelum laksanakan kenduri dan yasinan. Foto: Nata BM

30

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Khasanah Berganti pagi, barulah tiga kambing yang tersedia didapat dari pungutan tiap warga dipotong oleh Ahmad Sujangik. Ia tokoh agama disana dan selalu dipercaya warga untuk memotong hewan ternak yang akan disajikan saat pesSalah satu kegiatan yang dilakukan ialah menanam kepala ta. Setelah didoakan oleh Wasono, kambing sebagai ucapan rasa syukur. Foto: Nata BM kambing dibakar dan dimasak oleh warga. kepada bumi. Dalam budaya Jawa, Siang harinya, balai pertemuan ini bentuk ucapan terima kasih adat desa ramai, dua sisi bilik pekepada tuhan karena masyarakat nuh warga. Panganan yang sudah diberi hasil panen yang banyak. dimasak bersama oleh warga satu Sehingga diperlukan upacara persatu mulai dikeluarkan. Nasi pengucapan syukur dan bersihkan suci atau nasi putih, gulai kambing diri untuk lebih ingat lagi dengan dan ayam yang pertama datang. pencipta. Ada tekol suci ulang tari atau nasi uduk selanjutnya dihidangkan. “Ini Paritan ke tiga puluh lima ini jatuh ungkapan syukur kita kepada Nabi pada 8 September tahun lalu. Muhamad sebagai tokoh panuDalam hitungan kalender Jawa, 24 tan,” ucap Wasono. Tidak lupa juga Sela 1948 di Selasa Kliwon. “Semua nasi tumpeng juga disajikan. “Benini sudah ada perhitungannya, tuk segitiga itu gambarkan harapan tidak bisa salah,” ucap Wasono. warga kampung agar tetap ‘lurus’ Perayaan ini jatuh dalam hari ketu- dan doa selama ini dikabulkan,” juh, pasaran lima tahun kedelapan lanjut Wasono. diwindu keempat. Kemudian ada warga yang bawa dua piring, sebelah kiri ketupat, SEBELUM ACARA INTI BERSIH kanan rebusan ubi kayu dan DESA PADA PAGI HARI, masyarkentang. Makanan ini perlambang akat sibuk siapkan rangkaian acara. obat yang akan menyembuhkan Mulai dari rapat pembahasan penyakit yang diderita warga. Juga hingga yasinan dan kenduri. Semua bubur nasi berwarna merah dan warga berpartisipasi mensuksesputih dua piring. Namun menurut kan kegiatan ini. penjelasan Wasono, seharusnya bubur nasi ini ada 5 piring. Dua Pada 7 September malam, akan piring berisi penuh masing-masing dilakukan makan bersama atau bubur merah dan putih. Dua lagi kenduri dilanjutkan wirid yasin. berisi setengah, terakhir dalam Masyarakat bersama membaca satu piring digabung dua warna doa agar desa mereka dapat selalu tadi. Merah perlambang keberanidilindungi dan dibersihkan dari an dan putih kesucian. berbagai kesalahan. Sehingga warga dapat hidup rukun dan mengHidangan terakhir, nasi kuning hasilkan panen yang baik. Setelah- dipadukan dengan telur rebus nya akan diisi dengan iringan musik dan pulut kunyit. “Ini buat sanak kompang. Menurut Wasono, juga danyang yang menjaga kampung,” pernah ada diisi dengan penampiucap Wasono. Sanak danyang lan kuda lumping, wayang ataupun sebutan warga untuk makhluk jaranan.

gaib. Ini bentuk permintaan maaf jika ada kesalahan yang dilakukan warga desa. Usai semua telah dihidangkan, seluruh warga menyatu santa p hidangan yang tersedia. Dalam tradisi masyarakat, warga akan membawa tempat makanan yang diletakkan di tengah. Setelah acara makan selesai, nanti akan diambil lagi karena para juru masak sudah memasukkan bekal makanan kedalamnya. Selagi persediaan makanan cukup, warga akan dibekali lebih, tiap mereka dapat satu kantong berisi makanan.

WALAUPUN INI ACARA DESA, Wasono mengeluhkan sekarang tidak banyak warga yang peduli. Untuk adakan makan bersama serta membeli kambing, tiap warga dimintai sumbangan Rp 50 ribu. Namun masih banyak yang belum mau berpartisipasi. “Ada yang nyumbang tapi cuma Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu,” keluh Wasono. Menurut Jangik—sapaan akrab Ahmad Sujangik—partisipasi masyarakat juga menurun. Ia bandingkan dengan empat tahun lalu, jumlah anak-anak yang datang hadiri prosesi acara ini ramai. Namun tiap tahun terus berkurang. Ia merasa kesadaran warga terkait makna dari beersih desa tidak banyak lagi yang tahu, “Malah lebih ramai pesta pernikahan,” ujarnya. Menurut Elmustian Rahman, Peneliti Kebudayaan Melayu Riau, budaya ini haruslah menyatu dengan masyarakat. Dimana tiap langkah dalam prosesinya memiliki makna tersendiri yang harus dipahami setiap warga. Sehingga lebih mengakar kepada masyarakat. “Seperti menanam kepala kambing, itu dimaknai sebagai tolak bencana, atau disebut disemah,” ujar Elmustian. Namun sudah banyak percampuran budaya, terutama dipengaruhi ajaran islam serta budaya melayu karena ada di Bengkalis.#

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

31


Feature oleh Datuk Laksamana Mangku Diraja atau Batin Batang Nilo. Datuk punya tugas untuk mengurus pemerintahan dan masyarakat secara teratur. Juga menyoal hukum adat terkait tanah ulayat dan pembagian kekuasaan sesuai persukuan. Masyarakat mengamalkan adat perpatihan atau pesukuan matrilinear, garis keturunan lewat ibu.

Kuala Napu Tinggal Cerita Kuala Napu yang sudah ditinggal pemilik dan sungai yang telah ditutupi eceng gondok. Foto: Yaya BM

Sebuah desa di Kabupaten Pelalawan berada diatas Sungai Nilo. Tempat tinggal mengapung ini sudah ditinggalkan. Dari sebuah desa, kini hanya tinggal satu rumah apung yang ditinggali. Kuala Napu diujung kepunahannya. Oleh Jeffri Novrizal Torade Sianturi

K

AYU-KAYU MENGAPUNG DI PERAIRAN COKLAT KEHITA MAN. Ikut bergoyang mengikuti riak air. Saat gelombang menghilang, kayupun tak lagi ikut terombang-ambing. Ia mengapung tenang di Sungai Nilo ini. Kayu tersebut cukup besar. Ia melebihi pelukan tangan lelaki dewasa. Tersusun membentuk rakit dengan tali mengikat erat satu bagian dan lainnya. Namun ia bukan rakit untuk membawa penumpang menyebrang. Kayu apung ini dijadikan pondasi untuk membuat tempat tinggal. Rumah terapung di Sungai Nilo. Riak air sungai terjadi jika sampan dengan penggerak mesin melintas. Saat itu saya mengarungi Sungai Nilo jelang tengah hari. Menempuh lebih dari 4 jam perjalanan dari Pekanbaru menuju Desa Kesuma, Kecamatan Pangkalan Kuras dengan sepeda motor. Namun jika hendak melihat rumah-rumah terapung ini, berganti moda transportasi harus dilakukan. Sampan kayu dengan mesin berbahan bakar premium yang dapat memuat maksimal 6 orang. Sekitar lima belas menit dari daratan, saya mulai melihat 5 rumah terapung yang berdekatan. Melewati rumah kelima, sampan berbelok ke kiri. Mesin telah dimatikan dan sampan mer-

32

Bahana Mahasiswa

apat perlahan ke rumah terdekat. Di bagian kiri berjajar dua rumah apung, namun didepan saya, rumah dengan ketinggian lebih dari 4 meter diatas permukaan sungai menjulang.

Keberadaan masyarakat di Sungai Nilo dijelaskan dalam penelitian Amri Marzali—Peneliti dari Akademi Pengajian Melayu Universitas Malaysia— tentang Sejarah Politik dan Pemerintahan Pelalawan, Riau. Dijelaskan sungai di Pelalawan termasuk Nilo adalah sarana angkutan dan penghubung masa lalu. Manfaatnya masih dirasakan hingga tahun 80-an. Saat zaman pemerintahan kerajaan Sungai Nilo jadi penting karena adanya pungutan . Pungutan cukai atas keluar masuknya barang. Hasil pancung alas dijadikan sumber pendapatan kerajaan. Berganti ke sistem pemerintahan, sungai tetap digunakan masyarakat sekitar. Ia jadi tempat pengangkutan getah karet untuk dijual. Tanaman karet diperkenalkan pada masyarakat sekitar Sungai Nilo pada 1930. Masyarakat mengumpulkan getah dan setelah siap dijual, dibawa dengan sampan ke sungai untuk dijual kepada penadah ataupun yang bersedia membeli. “Dulu banyak kapal-kapal datang beli getah karet dari sini, ada juga menampung hasil pertanian masyarakat,” cerita Zainun mengenang keadaan Kuala Napu dulu. Ceritanya kapal-kapal ini akan membawa muatan ke Semenanjung Kampar untuk dijual.

Rumah ini tak gunakan kayu apung sebagai pondasi. Namun ia pakai tiang-tiang kayu yang ditancapkan kedasar sungai. Melompat dari sampan menuju kayu apung dikiri, dan melangkah mendekati tangga rumah panggung ini. Dengan sudut kemiringan tangga sekitar 60 derajat, tak ada kesulitan dalam menjejakkan kaki menuju teras rumah. Selain menjual getah karet, sungai ini juga dijadikan masyarakat untuk Di rumah panggung itu sudah transportasi antar desa bahkan hingmenunggu Zainun, lelaki yang ramga ke Pekanbaru. Kegiatan ekonomi butnya sudah memutih gunakan celmasyarakat dilakukan diatas perairan ana pendek duduk di kursi. Ia pemilik ini. Seperti Pasar Terapung, kegiatan rumah tersebut dan tinggal disana jual beli ikan, ataupun masyarakat bersama istri dan dua anak. “Disini dari desa seberang membawa hasil tinggal kami sendiri yang tinggal,” pertaniannya, semua dijual disekitar ujarnya. Rumah apung yang kami Kuala Napu. “Disini jadi pusat pemerlewati tadi juga terlihat ada penghun- intahan, ada sekolah, kantor camat inya sedang berberes rumah, “Cuma pun ada disini dulu,” kisah Zainun. jadi tepat singgah kalau musim ikan,” ia menjelaskan sambil melihat rumah Kuala Napu buat sebagian masyardidepannya. akat juga dikenal dengan Kota Banjir. Luapan air sungai yang besar hasilkan debit air tinggi sampai kapal besarKUALA NAPU DULU BERNAMA DESA pun bisa berlabuh. Supaya aktivitas PANGKALAN PASIR. Ia jadi tempat masyarakat aman, maka dibuatlah tinggal orang asli Suku Petalangan pondasi rumah dari kayu apung bedialiran Sungai Nilo dengan sistem sar. Jika keadaan air sedang pasang, perbatinan. Kepemimpinan dipegang rumah tetap berada diatas tak keban-

Edisi Maret-April 2016


Feature jiran. Ada juga yang buat rumah panggung seperti Zainun, namun tinggi tiang harus lebih dari 6 meter, untuk menghindari banjir. Kini, jika tak menemukan kayu apung, warga menggantinya dengan drum plastik besar atau drum minyak. Aziruddin, Tokoh masyarakat Desa Kuala Napu. Foto: Yaya BM DESA TERAPUNG

KINI MULAI DILUPAKAN. Setelah Tengku Sayed Harun, Raja Pelalawan menyerahkan kerajaannya ke Indonesia pada 1946, wilayah kerajaan Pelalawan-Siak berubah jadi Kewedanan atau Kabupaten Pelalawan. Kedatuan Datuk Laksamana Mangku Diraja yang mulanya di Pangkalan Pasir pindah ke Desa Sorek Satu. Perubahan dalam pembangunan mulai terjadi. Terutama pada saat pemerintahan Suharto. Pembangunan jalan raya digalakkan, termasuk didaerah Pelalawan. Jalan Lintas Timur dibangun. Pusat pemerintahan pun berada disekitar jalan besar tersebut. Masyarakat mulai banyak membangun disekitar akses jalan. Dampaknya, jalur sungai yang awalnya jadi jalur utama mulai ditinggalkan. Begitu pula di Sungai Nilo dan Desa Kuala Napu. Masyarakat mulai sepi diperairan dan punya keinginan pindah ke darat. Saat itu susahnya mendapat ikan untuk memenuhi kebutuhan warga juga jadi masalah. Kapal-kapal besar juga tak bisa lagi masuk ke sungai sebab ada penertiban. “Sekitar tahun 1977 kita sepakat untuk naik ke darat,” ujar Azziruddin, tokoh masyarakat Desa Kesuma. Ia juga awalnya tinggal di Kuala Napu. Azziruddin dan istrinya, Asiyah, bersama beberapa masyarakat memilih daratan sebagai sumber penghidupan baru. Azzirruddin ceritakan kala itu, Tengku Said Jaafar Muhammad jadi tokoh masyarakat yang punya gagasan untuk pindah ke darat. Ia lahir di Kuala Napu dan disegani banyak masyarakat. Gagasannya ini diterima dan pindahlah mereka ke daratan di pinggir Sungai Nilo. “Sudah dari 1965 Tengku Said Jaafar beli tanah di daratan dan masyarakat sudah diminta pindah. Tapi penuhnya 1977,” ucap Aziruddin. Ia cerita sambil buka tiap lembar buku catatan singkat perjalanan hidupnya.

Aziruddin katakan sejak awal ayah dari Tengku Azmun Jaafar itu sudah punya prediksi kehidupan masyarakat disana tidak akan bertahan lama. Persediaan ikan dan lalu lintas kapal untuk berdagang pasti akan berkurang. “Ketika itu jalan aspal jalur selatan sudah mulai dibuka,” ucap Aziruddin. Tak ada catatan pasti terjadi perpindahan pusat kecamatan. Ketika kegiatan masyarakat dan perdagangan di sungai mulai ditinggal, sejak itulah ibukota Kecamatan Pangkalan Kuras pindah ke Sorek. Ditambah jalur darat yang punya akses lebih dekat dengan ibukota kabupaten dan provinsi lain seperti Jambi dan kabupaten lain. Dicatatan Aziruddin, saat pindah itu masyarakat yang terdata ada sekitar enam puluh kepala keluarga. Semua tanah dibagi ke masyarakat untuk bangun rumah baru. Jadilah satu kampung ketika itu diberi nama oleh Tengku Said Jaafar yakni Desa Kesuma. Artinya kesadaran untuk maju. “Masyarakat harus sadar, jangan terlalu lama hidup senang. Harus berpikir maju,” ucap Aziruddin. Dalam catatan Badan Pusat Statistik Kecamatan Pangkalan Kuras, Pelalawan pada 2015, pertumbuhan penduduknya di Desa Kesuma adalah 6.947 jiwa. Aziruddin cerita ketika baru pindah dan persediaan pangan mulai menipis, masyarakat harus berpikir untuk lanjut hidup. Ada yang jadi buruh di ladang milik kampung tetangga. “Masalahnya, tanah yang dibeli ini cukup untuk tempat tinggal saja, untuk lahan bertani tak ada,” ujar Azziruddin. Sampai ada juga yang merantau keluar kampung, sebagian mereka pilih jadi pegawai dan pedagang.

banyak jadi pegawai ataupun pedagang. PERKEMBANGAN PENDUDUK DI DARATAN BERBANDING TERBALIK DENGAN PENDUDUK DI SUNGAI. Semakin banyak pusat pemerintahan serta kegiatan perekonomian di darat, kehidupan di perairan mulai ditinggalkan. “Memang susah kalau ada yang sakit atau ada keperluan mendesak,” ujar Zainun. Ia merasakan ketika ada anak atau cucu yang sakit pada malam hari, untuk dapat pengobatan, ia harus gunakan sampan menuju darat. Ditengah kegelapan malam dan hanya bermodal penerangan senter besar. Sebab bidan ataupun yang bisa mengobati ada di desa semua. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, ia masih merasakan hidup bertetangga di Kuala Napu. Sebab masih ada masyarakat yang tak kerasan tinggal di darat kembali ke sungai. Namun melihat keadaan sungai yang juga mulai menurun, membuat warga tak punya pilihan lain untuk pindah lagi. Sepanjang mata memandang, sungai sudah hampir ditutupi eceng gondok. Jumlah ikan yang dapat ditangkap juga semakin berkurang. Masyarakat yang biasanya bisa menangkap lebih dari 10 kilogram, harus puas dengan hanya memperoleh setengahnya, walaupun sudah mencari dalam waktu yang lama. Aisyah juga katakan keadaan sungai sudah berubah. “Dulu kalau mau ikan tinggal ambil dibelakang rumah, pasang kail langsung dapat,” ujarnya. Kini walaupun sudah menebar jala, ikan masih susah didapat.

Zainun dan keluarga merasa sudah tidak tahu harus bagaimana lagi. Ditengah permasalahan perseSebab jika ia pindah ke darat, ia diaan makanan menipis, ada juga tak memiliki tanah. Namun melihat masyarakat yang pilih kembali ke kondisi sungai saat ini, juga susah Kuala Napu. Hidup dari menangkap baginya untuk memenuhi kebutuhan ikan. “Karena kurang kemampuan keluarga. “Ada bantuan pemerintah mengolah ladang, ada yang jadi kalau banjir, tapi itu kalau banjir saja, nelayan,” Azziruddin memilih tetap kalau tidak, itu yang susah,” keluhtinggal di darat. nya. Menurutnya jika ia diberi tanah untuk bangun tempat tinggal, ia Kini Desa Kesuma telah berkembang bersedia pindah ke darat. hingga luasnya mencapai seratus kilometer persegi. Ia terbagi menjadi Jika itu terjadi, Kuala Napu, Desa 3 dusun, Dusun Kesuma, Dusun Bukit Terapung di Sungai Nilo hanya tinggal Kesuma dan Dusun Sei Medang. kenangan.# Dusun terdekat dari Kuala Napu adalah Dusun Kesuma yang jadi pusat pemerintahan desa. Mayoritas warga di Dusun Kesuma bekerja sebagai nelayan dan petani atau pekebun. Sedangkan di Desa Bukit Kesuma

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

33


Alumni Tak hanya membaca sajak, Taufik juga aktif menulis di media cetak saat di Sekolah Pendidikan Guru. Selesai belajar di sekolah setingkat menengah atas ini, ia ingin kuliah di Pulau Jawa. Pada 1983, ayah dari tiga anak ini minta izin untuk dibolehkan belajar di Jakarta. Sayang, restu tak didapat. Tak patah arang, ia minta izin untuk kuliah di Pekanbaru. Ia mendaftar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Karena keaktifannya menulis, Rida K Liamsi, pendiri Riau Pos Grup, menawarinya jadi wartawan koran Genta di Bengkalis. Tahun 1970-an hanya ada Koran Genta di Riau. Gayung bersambut, ia kuliah sambil bekerja sebagai wartawan. Tak hanya di Genta, ia juga menulis di Suara Karya. “Bisa mencukupi kebutuhan selama kuliah,” ujar Taufik. Kecintaannya dengan jurnalistik, membuat ia juga bergabung dengan Bahana Mahasiswa pada 1984. Selama 2 tahun ia berproses dan sampai menjadi Redaktur Pelaksana. Said Suhil Ahmad, alumni Bahana Mahasiswa yang juga rekan satu fakultas Taufik pada 1984 bercerita soal kepiawaian menulis Taufik. Menurutnya, karena Taufik sudah berpengalaman, tulisan yang dihasilkannya di Bahana sudah baik. “Proses kreatif menulisnya bagai sinar yang menembus segala waktu,” ujar Said Suhil. Ia juga bersama Taufik bekerja di Genta dan tinggal di kantor redaksi koran tersebut.

TIJ dari Sastra, Budaya dan Jurnalistik Oleh: Eko Permadi

TAUFIK MASIH INGAT PADA 1980-AN PEKANBARU SEDANG GENCAR-GENCARNYA PROMOSIKAN BUDAYA MELAYU. Karena berasal dari daerah kental dengan Melayu, ia pun tertarik mempelajarinya. Taufik kerap berdiskusi dengan Umar Usman Hamidy atau dikenal UU Hamidy, Budayawan Riau. Ia juga banyak berdiskusi dengan Tabrani Rab. Ia suka berdiskusi untuk menambah pengetahuannya. Cukup empat tahun Taufik menamatkan pendidikan strata satu. Pada 1988, Ada peluang untuk kerja di harian umum Kompas. Diterima, dua tahun pertama, ia ditugaskan di Pekanbaru. Setelah itu wilayah kerjanya pindah ke Jakarta. Desk liputan yang terlama yakni pendidikan dan kebudayaan.

Penggalan sajak berjudul Seperti Buku-buku Merindu diatas tersaji dalam buku sajak penggal ketiga Tersebab Daku Melayu. Ia buku berisi kumpulan sajak karya Taufik Ikram Jamil. Budayawan Riau. Ini adalah buku kumpulan karyanya yang kedelapan telah diterbitkan. Dan ia masih terus berkarya. TAHUN INI PADA 19 SEPTEMBER IA TEPAT BERUSIA 53 TAHUN. Lahir di Teluk Belitung, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, dari pasangan Jamil Nur dan Azizah. Anak ke empat dari 10 bersaudara ini mulai menyukai sastra sejak sekolah dasar. Prestasi ia raih ketika menjadi juara umum pada kompetisi baca sajak tingkat sekolah menengah pertama.

34

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016

Ia semakin dikenal didunia jurnalistik kerena pernah menulis laporan tentang mahasiswi UR yang jadi petugas pos ronda di sekitar Panam untuk lanjutkan kuliah. Kemudian juga laporan dari Pekanbaru tentang bantuan rakyat miskin yang diperjualbelikan. “Saya waktu itu sampai dikejar-kejar sama orang dinas,” kenang Taufik. Selama kurun waktu jadi wartawan kompas, ia aktif menulis sastra. Karya sastra berupa novel, cerpen dan puisi. Taufik tegaskan cerita fiksi yang diangkatnya berasal dari kenyataan. “Semua ada disekitar tinggal butuh pendalaman saja,” ungkapnya. Sebagian besar karyanya diangkat dari keseharian kegiatan masyarakat melayu. Karya-karya yang dihasilkannya antara lain, puisi sudah dibukukan yakni Tersebab Haku Melayu pada 1995, diterbitkan oleh Yayasan Membaca Pusaka Riau. Tersebab Aku Melayu pada 2010 diterbitkan Yayasan Pusaka Riau. Kumpulan puisi ini sempat masuk lima besar dalam Khatulistiwa Literary Award tahun 2010. Dan kumpu-


Alumni lan puisi penting versi majalah Tempo 2010. Kemudian terbitan 2015 lalu , Tersebab Daku Melayu mendapat predikat buku puisi pilihan Hari Puisi Indonesia 2015. Kumpulan cerpennya di 1996 yakni Sandiwara Hang Tuah diterbikan oleh Grasindo dijadikan buku pilihan sagang. Sampai pada 2003 Taufik Ikram Jamil dinobatkan sebagai seniman terbaik pilihan Sagang. Anugerah Sagang ini diberikan karena dedikasi terhadap kehidupan berkesenian dan budaya Melayu. Pada 1999, Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan berikan penghargaan untuk Kumpulan cerpennya dengan judul Membaca Hang Jebat. Kemudian kumpulan cerpen Hikayat Batu-batu diterbitan Kompas di 2005. Dan salah satu judulnya, Menjadi Batu dapat juara pertama dalam sayembara menulis cerpen Majalah Sastra Horison pada 1997. Terakhir cerpen Jumat Pagi Bersama Amuk, pada 1998 jadi cerpen utama Indonesia menurut Dewan Kesenian Jakarta. Yang sedang dalam proses penerbitan adalah kumpulan cerpen Hikayat Suara-suara dan biografi Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Untuk karya novel pernah bukukan yang berjudul Hempasan Gelombang diterbitkan Grasindo pada 1998. Dapat juara harapan dua dalam penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1997. Di 2001 lewat Kompas terbitkan novel Gelombang Sunyi. Peneliti dari University of Victoria, Canada yakni Michael Bodden menyebutkan karya Taufik adalah sebuah makna baru untuk novel karena warna lokal yang diutamakan. Kemudian diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang berbeda dengan penulisan penyair Indonesia pada umumnya. Dengan kondisi ini, Bodden melihat bahwa sastra Indonesia sedang menegaskan perubahan yang terjadi karena otonomi. Bentuk ideologi negara dan sebagian besar sifat politikus . Karya Taufik menunjukkan adanya rintisan gagasan baru tentang nasionalisme yang tetap pakai identitas lokal. Sedangkan Will Derkm Peneliti dari Universitas Leiden. Karya taufik adalah penyatuan antara kumpulan ka-

ta-kata dan pengucapannya sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi pusat. Ada juga buku sajak Taufik dalam tiga bahasa, diberi judul What’s Left and Other Poems oleh BTW, Jakarta tahun 2015. Karya sempat dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Dua buku sejarah juga pernah ditulis taufik bersama kawan-kawannya, Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau pada 2003 dan Tikam Jejak Pulau Bengkalis, 2004. TAUFIK JUGA SEORANG PENGGIAT SENI. Setelah berhenti dari Kompas pada 2002. Ia menjadi perintis bersama Yayasan Pusaka Riau sebagai cikal bakal Akademi Kesenian Melayu Riau atau AKMR. Kampus ini terdiri tiga program studi. Teater, tari dan musik. Berada di komplek Bandar Serai Raja Ali Haji. Tepat dibelakang Gedung Kesenian Anjungan Idrus Tintin. Dari awal buka Taufik menjadi dosen sampai terakhir 2012 lalu. Zuarman, sejak dua bulan lalu jabat Wakil Direktur I bidang akademis AKMR mengenal Taufik sejak 20 tahun lalu. “Taufik sosok yang konsisten dalam melestarikan budaya melayu. Modal semangatnya besar,” ujar Dosen Seni Musik ini. Sudal Analan, Kepala Tata Usaha AKMR banyak belajar dari Taufik. Terutama urusan surat-menyurat. Menurutnya Taufik orang yang teliti. Misal suatu ketika ingin mengirim surat dan butuh tanda tangan Taufik. Sering dibalikkan dan diminta ubah isinya. “Dia minta diperbaiki titik koma yang salah,” kenang Sudal. Taufik juga sempat jadi Ketua Dewan Kesenian Riau periode 2002 hingga 2007. Sekarang mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan Universitas Islam Riau. Suami dari Umi Kalsum ini sering bawa keluarganya menonton pertunjukan teater atau puisi. Dan dirumah selalu ajarkan budaya melayu dalam kegiatan sehari-hari. “Keluarga hanya beri dukungan moril pada bapak untuk terus berkarya,” ucap Megat, anak Taufik yangkuliah di Fakultas Hukum Universitas Riau. #

Edisi Maret-April 2016

Bahana Mahasiswa

35


Bahana Mahasiswa Universitas Riau

36

Bahana Mahasiswa

Edisi Maret-April 2016


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.