Path of Life / Hues of Life / Dokumentation der Arbeit der NGO LEssan, Yogyakarta, Indonesien

Page 1

Hasil kerja sebuah LSM di Yogyakarta, Indonesia Jalani Hidup – Warnai Hidup

Path of Life – Hues of Life The Work of a small NGO in Yogyakarta, Indonesia


Pada tahun 2002/2003, Chri­ stoph Uhle dan saya me­la­ku­kan intern­ship di Lessan, sebuah LSM di Yogyakarta, Jawa, Indonesia. Keda­t angan ka­mi di­du­kung oleh Program ASA dari Carl-Duisberg-Gesellschaft, Jerman. Selama di Yogyakarta, kami mendapatkan kesempatan untuk memahami dan me­­ra­s­a­­ kan bekerjasama dengan Lessan. Kami belajar banyak mengenai suka-duka dari ak­ti­­vi­­ tas ke­se­harian mereka dan merasakan bagaimana istilah Empowerment bukan ha­n­ya seke­dar sebuah kata dalam Psikologi Komunitas Barat, namun menjadi nyata dan sig­ nifikan sebagai sebuah pengalaman real. Mendapatkan pemahaman mengenai kehidupan di ujung dunia lain merupakan sua­t u keuntungan dan hadiah tersendiri yang hanya dapat terwujud dengan bantuan banyak pihak. Untuk itu kami harus mengucapkan banyak terimakasih kepada semua staf Lessan. Kami bertujuan untuk memberikan suatu gambaran dan berbagai informasi mengenai organisasi yang kecil namun kokoh ini Artikel ini adalah hasil kerjasama kami dengan Lessan. Em powe r m e nt – b u kan hanya s e ke dar kata

2 Em powe r m e nt – not j ust a wor d  In 2002/2003 Christoph Uhle and I

did an internship at Lessan in Yogya­ karta, Java, Indonesia. Our stay was supported by the ASA-Program from Carl-DuisbergGesellschaft, Germany. During our time in Yogya, we had the opportunity to get an insight into what it is like to live and work with Lessan. We learned a lot about the problems and pleasures of their daily work and experienced how the term Empowerment is not merely a sloppy word in West­ ern Community Psychology but becomes vivid and meaningful as a lived experience. Acquiring insight into the life at the other end of the world is a privilege and a present, and only made possible through the people who allow you to take a look. Therefore, we greatly thank all the staff from Lessan. The intention of this publication is to give some information and draw a portrayal of this small but strong organization. The articles are mainly a coproduction of Lessan and us.

Berlin/Yogyakarta, Januari/January 2003

Susanne Raetzer Christoph Uhle


15


Ongkos kesehatan yang ma­hal di In­do­ne­sia menye­ bab­kan ban­yak orang mis­kin tidak dapat membayar ongkos perawatan ke­se­hatan yang di dalamnya ter­ma­suk ongkos rumah sakit, jasa dokter dan obat. Sakit merupakan bencana bagi orang miskin karena mereka tidak memiliki uang un­t uk membayar biaya pemulihan kesehatan mereka. Sementara jaringan kerja­sama dokter, pabrik obat (industri farmasi) dan rumah sakit sudah sedemikian eratnya yang me­ nyebabkan pasien tidak mempunyai pilihan lain selain menu­r uti nasihat dokter yang mengobatinya untuk memakai obat-obatan tertentu. Sementara untuk menghindari biaya pemulihan kesehatan mereka, biasanya masya­ rakat miskin memilih membeli obat-obatan kimia yang dijual bebas di berbagai toko di pelosok desa. Hal tersebut sangat disayangkan karena sebenarnya Indonesia masih mempunyai sis­tem pengobatan sendiri yang cukup aman dan murah, yaitu sistem pengobatan Pe layanan ke s e hatan masyarakat d i I n don e s ia

4 Pu b lic H ealth Car e Syste m i n I n don e s ia  Expensive health costs in

Indonesia create difficulties for a lot of people in paying for their health care which consists of hospital expenses, doc­ tors’ services and medicine. Sickness is a disaster for underprivileged people since they do not have the money to pay for their health recovery expenses. Meanwhile, the network between doctors, pharma­ ceutical industry and hospitals has become so closely knitted to the point where patients have no other choice but to follow doctors’ suggestion to use certain medicine. Moreover, underprivileged people often choose to buy chemical drugs sold openly in several stores without any doctors’ recommendation in order to avoid expensive consultation fees. Indonesia in fact has its own traditional system of health treatment that is relatively cheap and safe, known as Jamu. However, local knowledge about this system of medication is slowly disintegrating.

Apa yang m e m b uat an da te rtar i k u ntu k m u lai b e ke rja d i ls m? “Saya ingin belajar dari /bekerja dengan masyarakat. Saya tidak mau duduk di belakang meja... Saya ingin melakukan se­ suatu untuk masyarakat yang terpinggirkan.” IIS


tra­d i­sional (jamu). Namun demikian, pengetahuan lokal mengenai sistem pen­go­ batan tradisional ini perlahan mulai hilang. Untuk itu, Lessan berusaha men­gem­ balikan kepercayaan masyarakat terhadap sistem pen­gobatan tradisional se­ba­g ai salah satu alternatif pemeca­han masalah kesehatan mereka dengan lebih mu­r ah dan aman. Tujuan  1. Mengembalikan kepercayaan masyarakat pada sistem pengobatan tradi­sio­ nal. 2. Mengembangkan sistem pengobatan alternatif yang murah, aman dan efektif. 3. Mengembangkan kesadaran masyarakat pada masalah-masalah kesehatan yang di­ hadapi. Pe r m u laan  Sebelumnya, staf Lessan bergabung dengan Yayasan Pengembangan Budaya yang bekerja dalam isu-isu budaya. Tahun 1990, staf yang pe­­ du­li terhadap kesehatan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan jamu, mem­ ben­t uk lembaga sendiri dengan nama Lessan. M e le star i kan I n d ig e n ious Knowle dg e  Kegiatan ini berawal dari desa Nga­ lan­gan, Ka­­bu­­pa­ten Sleman, Dae­­rah Isti­me­wa Yogyakarta. Antara tahun 1990 hingga 1991, Les­san mulai meng­in­venta­ri­ 5 Therefore, Lessan is attempting to restore people’s confidence and faith on the tradi­ tional system of medication as a cheaper and safer alternative solution to their health problems. Aims of Lessan’s Work  1. To restore people’s confidence on the tradi­tional system of me­

dication. 2. To develop a cheap, safe and effective alternative system of medication. 3. To increase people’s awareness about their health problems. Th e B eg i n n i ng s  The founders of Lessan previously joined the Cultural Deve­

lop­ment Foundation that worked with cultural issues. In 1990, staff members who were concerned about the health condition of the community, par­ ticularly those that are related to jamu, established their own foundation named Lessan. Preserving Indigenious Knowledge  All commenced in Ngalangan villa­

ge, Sle­man regen­c y, Special Region of Yogya­karta. During the year 1990-1991, the members of Lessan began to make an

Why d i d you start to wor k i n an NGO? “I want to learn from / work with the community. I didn’t want to sit behind a desk... I want to do something for marginalised people.” IIS


sasi tanaman-tanaman obat dari pengetahuan orang tua. Mere­ka juga memulai dengan membuka pos-pos jamu bersama petani. Pos jamu ada­ lah semacam toko kecil dimana jamu dijual dengan harga yang murah dan kualitas yang baik. Pelayan-pelayan di pos biasanya juga memiliki pengetahuan mengenai penya­ kit dan bersedia dimintai konsultasi gratis serta informasi mengenai peraturan dalam memi­num jamu. Dari catatan penjualan jamu di pos ini, akan diketahui jenis penyakit yang sering ter­ ja­di di desa yang nantinya didiskusikan bersama masyarakat desa guna mencegah ter­ ja­dinya penyakit lebih lanjut. Petani berperan sebagai pemasok bahan mentah yang­ mana bisa meningkatkan pendapatannya. Pada tahun 1992, Lessan sudah menerbitkan satu buku kecil berjudul › 10 Penyakit yang Perlu Anda Ketahui ‹. Lewat buku ini mereka mem­be­ri­kan informasi mengenai penyakit-penyakit yang se­ ring ada di desa dan tentang resep-resep jamu untuk menyembuhkan penyakit-pen­ya­ kit tersebut. Penerbitan buku ini merupakan salah satu usaha untuk men­gem­balikan

6 inventory of all herbal plants from the knowledge of the elders. They also started to open jamu posts together with the farmers. Jamu posts are small kiosks where good quality jamu are sold cheaply. The assistants on duty were usually knowledgeable about illnesses and were willing to provide free consultations regarding jamu issues and their usage guidelines. From the records of the jamu sales at these posts, information concerning frequently occurring diseases could be attained and discussed with the villagers in order to prevent further occurrence. By being suppliers of raw products, farmers increased their income. In 1992, Lessan published a book titled ‘10 Diseases You Should Know ’, providing in­ formation on common diseases that occur in villages as well as jamu recipes to cure them. The publication of this book was an attempt to restore knowledge from the people for the people.

“Ada banyak ketidak-adilan

“There was lack of

yang terjadi di universi­ tas

justice at my university,

saya, saya mulai mem­ bi­ ca­ ra­ kan

I started to talk with

hal ini dengan teman-teman

the others about it.

lainnya. Mereka yang tertarik

The people who were

adalah orang-orang LSM...

interested in it were

Setelah itu saya mencoba

NGO-people... Later on I

pekerjaan lain, saya tidak

tried to do another job.

menyukainya.”

I didn’t like it.”




pen­ge­t ahuan dari masyarakat untuk masyarakat itu sendiri. Tentang Jamu  Jamu adalah salah satu penemuan masyarakat Indonesia untuk mence­

gah dan menyembuhkan penyakit-penyakit. Sudah sejak ja­man dahulu terdapat tana­ man-tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan. Pengetahuan tersebut diwarisi dari nenek moyang mereka. Jaman dahulu orang memandang penge­ tahuan jamu ini sebagai berkah alam, bukan komoditas. Orang yang bisa mengobati memberikan pengobatan secara gratis dan pengetahuan­ nya juga diberikan kepada orang lain dengan gratis. Tetapi sekarang, sistem pengoba­ tan itu mu­lai hilang. Orang cenderung memilih jalan praktis bila mereka sakit, yaitu pergi ke toko dan membeli obat kimia. Perusahaan obat kimia melihat kecenderungan ini sebagai pasar besar. Akibatnya kadang cukup jelek, yaitu masyarakat menjadi tidak kritis ter­ha­dap efek samping obat kimia karena informasi mengenai efek samping tersebut ku­rang lengkap. Selain itu, harga obat kimia lebih mahal daripada jamu. Cukup sulit men­gembalikan minat masyarakat terhadap jamu karena iklan obat sangat gencar di ber­bagai tempat. Jika tidak ada lagi orang minum jamu, maka pengetahuan tentang ja­mu akan hilang 9 About Jamu  Jamu is one of the discoveries made by the Indonesian people to prevent and

cure illnesses. Since a very long time ago there has been plants that are commonly used by the people for medicinal purposes. The knowledge about these plants was inherited from their ancestors. Previously, people considered the knowledge about Jamu as a nature’s gift, not a commodity. Those who were able to cure gave treatments free of charge. They also transferred their knowledge to other people without expecting anything in return. However, this system of treatment is becoming rare. People tend to choose a more practical way of dealing with their illnesses, which is to simply purchase chemical drugs from the store. Chemical drugs com­ panies perceive this tendency as having great marketing possibilities, which in fact does not always produce beneficial consequences for the people. People become uncritical about the side effects of chemical drugs due to a lack of information. Furthermore, chemical drugs are often more expensive than Jamu. It was a strenuous task to recover people’s interest on Jamu due to the ever-persistent drug advertisements that exist. It was only when the ›going


perlahan-lahan. Ketika di Barat terjadi gerakan back to nature, barulah masyarakat sa­ dar bahwa pengobatan alam merupakan alternatif yang lebih baik. Sa­yang­nya, mereka sudah hampir tidak mempunyai pengetahuan lagi men­ge­nai jamu kecuali orang-orang yang berusia limapuluh tahun ke atas. Jamu mempunyai keuntungan lain, yaitu bahwa obat ini bekerja secara konstruktif, tidak merusak, walaupun reaksinya kurang cepat dibanding obat kimia. Jamu juga bisa digunakan sebagai obat preventif. Sayangnya, banyak pabrik jamu memberi campuran obat kimia di dalamnya sehingga membahayakan konsumen. Jamu yang diproduksi petani bersama Lessan hanya terdiri dari tanaman kering atau segar yang direbus den­ gan air. M e ngorgan i s i r Masyarakat  Pada tahun 1993, Lessan mengorganisir mas­ya­ra­ kat melalui training dan pendirian pos-pos jamu agar kesejahteraan masyarakat meningkat, karena rendahnya tingkat kese­jah­te­ra­an erat kaitanya dengan berbagai jenis penyakit. Banyak orang tidak mepunyai cukup uang untuk membayar makanan bergizi dan air bersih. Persoalan intinya adalah bahwa sekalipun mereka sudah sangat ber­he­mat, 10 back to nature’ movement occurred in the western countries that people began to realize that natural treatment is a better option. Unfortunately, they no longer possess comprehen­ sive knowledge about it, save for older people of fifty years of age and above. Jamu also has other benefits. This form of medicine works constructively, with­out caus­ ing any harm, although the effects manifest slower in comparison to chemical drugs. Jamu could also be used for preventive purposes. Unfor­tunately, a lot of Jamu factories mix their potion with chemical drugs that endanger the consumers. Jamu produced by farmers under the supervision of Lessan consist only of either fresh or dried herbs that are boiled in water. Organizing the Community  Realizing trainings and constructions of Jamu

Posts since 1993, Lessan is also trying to organ­ ize the community that people could find possibilities to improve their welfare situation. The standard of living is closely related to several types of diseases. A large number of people did not have sufficient amount of money to afford nutritious food and clean water. The main problem is that even though they spend money sparingly,


namun karena penghasilan rendah mereka tidak mempunyai tabungan. Ber­s a­ ma dengan masyarakat, Lessan mencoba ide-ide baru untuk mengatasi masa­lahmasalah tersebut, misalnya: beternak ayam, membuat kerupuk, keripik, dan men­ dirikan pos-pos jamu yang juga dapat membantu menambah penghasilan mereka, dan lain-lain. Untuk mengatasi jeratan rentenir (lintah darat), mereka bersama mem­ buat CU (Credit Union) dengan bunga rendah. Proses › Masuk Desa ‹  3 langkah proses masuk desa, yaitu: 1. Investigasi dan Observasi Lessan mencoba mengumpulkan data ten­t ang desa yang akan didampingi kemudian data tersebut di cross cek di lapangan bersama masyarakat. 2. Integrasi Agar dapat diterima masyarakat, Lessan berbaur ber­sama masyarakat dan hidup bersama mereka, mengikuti kegiatan petani sehari-hari tanpa merasa lebih tinggi daripada mereka (egaliter). 3. Aksi Setelah masalah diru­muskan, Lessan bersama masyarakat membuat prioritas penanganan masalah dimana didiskusikan apa yang dapat dilakukan masyarakat dan apa yang dapat dilakukan oleh LESSAN guna memecahkan masalah paling penting dalam daftar yang dibuat. 11 they did not have savings due to their low income. Together with the local community, Lessan carried out new ideas to overcome those problems, such us breeding chicken and producing foodstuff. Jamu posts could also assist them in attaining additional income. To avoid being caught in entanglements with the usurer, they established CU (Credit Union) with a low interest rate. Process of › Entering the Village ‹  The three steps involved in this activity are: 1. Investigation and Observation Lessan collected data about the village to be supervised and cross­

checked the data on field along with the local community. 2. Integration In order to be accepted within the community, Lessan socialized and settled

with the locals, attending the farmers’ daily activities without feeling more superior com­ pared to them. 3. Action After the problem had been formulated, Lessan along with the locals made a

scale of priority concerning solutions to problems and discussed what the locals and Les­ san were able to do to intervene in effort to solve the most urgent matter on the list.

“Saya tertarik pada masalah- “I was interested in the masalah yang ada di desa

problems of my village,

saya, masalah para petani

the problems the farmers

sebagai dampak dari revolusi had with the consequences hijau. Itulah alasan mengapa of the green revolution. saya mulai bekerja dengan

That’s why I started to

isu-isu pertanian organik.”

work with organic farming

SUNARJO

issues.” SUNARJO



Pada tahun 1994 ketika gunung Merapi meletus dan mene­was­­ kan 66 orang, Lessan terlibat dalam emergency program ber­sama 7 LSM lain. Mereka membantu di dapur umum untuk menyediakan maka­­nan ba­gi para pengungsi, mengontrol kualitas bantuan makanan dan kondisi kese­ha­t an pen­gungsi, serta menyediakan pendidikan alternatif. Kegiatan tersebut kemudian di­lan­­jutkan dengan advokasi yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah untuk me­re­lokasi masyarakat dari lereng Merapi ke tempat lain. Masyarakat menolak untuk pindah den­ gan alasan bahwa mereka sudah tinggal turun temurun dan sudah mema­hami segala resiko bertempat tinggal di kawasan sekitar gunung berapi. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 1995. Pada tahun 1996, Lessan bersama masyarakat melakukan usaha reboisasi hutan yang ter­ bakar akibat letusan gunung Merapi. Selain itu juga membentuk kelompok-kelom­pok penghijauan, kesehatan dan advokasi. Tahun 1997 bersama masyarakat lereng Merapi melakukan advokasi penolakan penga­ lihan pemanfaatan sumber air dari masyarakat ke hotel berbintang dan perumahanperumahan di kota karena menyebabkan penduduk lereng Merapi tidak mendapatkan Dae rah M e rapi

13 M e rapi R eg ion  In 1994, when mount Merapi erupted and killed 66 people, Les­

san was involved in an emergency program along with 7 other NGO. They assisted in the public kitchen to provide food for the escapees, controlled the quality of food aid and the health condition of them as well as providing alternative education. Lessan was also involved in the advocacy matter related to the government policy to relocate the local community from the mountainside to another location. The people refused to be relocated, insisting that they have lived there for generations and were aware of the all the risks of residing within the vicinity of a volcanic mountain. This activity continued until 1995. In 1996, Lessan along with the locals made an attempt to restore forests that were burnt during the Merapi eruption, as well as forming greening, health and advocacy groups.

“Saat saya masih kecil ada banyak kegiatan yang dilakukan pemerintah orde

“As I was young there were many activities of the orde baru

baru. Mereka ingin agar para petani

administration. They wanted the farmers

membangun jalan-jalan dan memasang

to make streets and markings to prise

rambu-rambu untuk menandakan kemajuan

the society’s progress, for example, of

yang terjadi dalam masyarakat, tentunya

course all in their colours yellow and

menggunakan warna mereka, yaitu kuning

blue... (H ENY)

dan biru... (H ENY)


air bersih. Dalam proses advokasi relokasi dan masalah air ini akhirnya masyarakat ber­ha­sil memenangkan tuntutannya. Kr i s mon dan Ke lom pok Petan i bar u  Pada tahun 1997, hampir semua ne­ga­ra di Asia Tenggara terkena dam­pak krisis moneter Asia. Istilah dalam bahasa Indonesia adalah krismon, satu isti­lah yang baik untuk mengekspresikan akibatnya bagi masyarakat Indonesia. Ekonomi Indonesia hancur, menyebabkan jutaan orang kehilantgan pekerjaannya. Ni­ lai mata uang Indonesia jatuh terpuruk sehingga harga kebutuhan sehari-hari berlipat. Hal ini belum pernah terjadi selama kurun waktu 30 tahun. Puncak krismon terjadi ketika angka malnutrisi membengkak. Pada saat itu Lessan me­ ma­su­ki daerah Gunung Kidul (76 km arah tenggara dari Yogyakarta). Musim ke­ma­ rau yang panjang dan tanah yang berbatu-batu menjadikan kehidupan sangat sulit. Penduduk dilanda krismon paling berat karena mereka tidak mempunyai simpa­nan. Salah satu anggota Lessan mengatakan bahwa orang-orang di satu desa yang se­ring dikunjunginya tidak memasak atau menggoreng dengan menggunakan min­yak se­la­­

14 One year later, Lessan opposed together with the community the plans to redirect water resources from the community to a five star hotel and housing complex in the city which will prevent the residents on the Merapi mountainside from receiving clean water. The lo­ cal community eventually succeeded in fulfilling their demands. Mon etary Cr i s i s an d n ew G rou ps of Action  In 1997, almost every

South East Asian na­ tion suffered the impact of the monetary crisis occurring throughout Asia. In the Indone­ sian language, the term krismon is employed to express the impacts of monetary crisis on the Indonesian population. The Indonesian economy was destroyed, causing millions of people to loose their jobs. The value of the Indonesian currency collapsed, causing daily expenses to increase ten folds, a phenomenon that has not occurred within the space of 30 years.

...Ibu saya cukup kritis dan tidak mau mengikuti hal ini. Saya bersimpati dengan

...My mother was critical and didn’t want to follow. I sympathized

beliau, tetapi sebenarnya saya hanya

with her, but actually I was

sendiri. Setelah itu saya bertemu orang-

alone. Later on I met people from

orang dari Yogyakarta, mulai menulis tentang

Yogya, started to write about the

keadaan di desa saya. Mereka mendukung saya,

conditions in my village. They

saya pindah ke Yogyakarta, tidak tahu akan

encouraged me, and I moved to Yogya,

melakukan apa, tetapi yang jelas saya merasa

not knowing what to do

lebih baik, terbebaskan.” H ENY

but feeling better, freed.” H ENY


ma tiga bulan karena harga minyak yang terlalu mahal. Para anggota Les­san me­ma­­su­ki desa, menjual makanan pokok dengan harga jauh di bawah har­ga pasar, mem­ban­­t u memberikan nutrisi suplemen untuk anak-anak penderita mal­nutrisi dan mem­be­ rikan bantuan jamu pada orang-orang yang sakit di desa. Me­­re­­ka melakukan training mengenai obat-obatan tradisional dan mendiskusikan ma­sa­lah-masalah kesehatan sehari-hari beserta solusinya bersama penduduk di pe­de­saan. Di samping kegiatan di bidang perawatan kesehatan dasar, setelah me­meriksa kondisi kehidupan desa lebih dalam, mereka melakukan beberapa kegia­t an untuk memperbaiki situasi dan kondisi hidup di sana seperti membangun tem­pat penampungan air dan fasilitas lain, serta memberi dukungan untuk mem­bangkitkan kelompok ekonomi masyarakat. Selama musim kemarau, hasil pertanian hampir tidak bisa diandalkan. Untuk me­ ning­­katkan pendapatan masyarakat, Lessan memfasilitasi terbentuknya kelompok baru atau mendukung yang sudah ada bagi perempuan seperti Credit Union atau in­ dus­tri kecil. Sebagai contoh, di beberapa desa, penduduk setempat membuat bermacam-macam

15 The monetary crisis reached its peak when the malnutrition rate inflated. At that time Lessan entered Gunung Kidul area (76 km south east of Yogyakarta). The prolonged dry season and rocky soil made life all the more grueling. The locals suffered the worst im­ pact of monetary crisis for they did not own any savings. A member of Lessan reported that the residents of a village she frequently visited did not cook nor fry food using cook­ ing oil for an entire three months due to the exceedingly expensive price. The members of Lessan entered the villages, selling basic food stuff with prices far below the market price, assisting in providing supplement nutrition for children suffering malnutrition, and sup­ plied Jamu for the sick. They conducted training on traditional medicine and discussed daily health problems and their solutions with the villagers. Besides training on basic health care, after examining the life conditions further, they also started several activities in effort to improve living conditions such us building a water reservoir. During the dry


kerupuk singkong dan pisang untuk dijual di pasar. Kelompok lain membuat makanan kecil seperti tahu, tempe atau warung kecil dan menjual produknya di sekolah, rumah sakit atau juga di pasar. Lessan memberikan modal awal dan mendukung kelompok untuk mengakses pasar dan meningkatkan kesadaran mereka untuk berkooperasi dari­pada terlibat dalam persaingan antar individu. Dengan kegiatan tersebut penda­ patan me­re­ka meningkat kira-kira Rp 5000,–/hari. Di setiap desa, sistem simpan pinjam dikembangkan dengan modal awal dari Les­san. Anggota Credit Union dapat meminjam sejumlah kecil uang dengan laju bunga 2% hing­ ga 5%. Di luar sistem ini, suku bunga dapat mencapai 25% untuk bisnis kecil. Di desa Ploso, modal awal sebesar satu juta rupiah sudah berlipat ganda tiga ta­hun kemudian. Kelompok lain seperti petani jamu menanami tanahnya yang digu­na­kan untuk tana­ man obat dan menjual bahan mentah tersebut di pasar. Bibit dan pen­getahuan dise­ diakan oleh Lessan. Salah satu anggota Lessan mengatakan bahwa di desa Prigi dengan penghasilan kira-kira Rp 300.000,– per kelompok sudah bisa membeli kam­bing un­ tuk beternak.

16 season, farming could hardly be depended upon. To increase the people’s income, Les­ san facilitated the establishment of new groups for women such as Credit Union or small industries. In a number of villages the locals produced a variety of food products to be sold in markets, schools, and hospitals. Lessan provided the initial capital to support the groups in accessing the market and increasing the people’s awareness to cooperate instead of being involved in individual competitions. According to Lessan, the people’s income increased by approximately Rp 5000,–/day. In each village, the loan system was developed with the initial capital provided by Lessan. Credit Union members were able to borrow small amounts of money with an interest rate of 2 % to 5 % which was a much lower rate compared to other systems in which the interest rate could reach up to 25 % for small businesses. In the village of Ploso, an initial capital of one million rupiah multiplied within three years. Other groups such as Jamu farmers cul­


9


Untuk memperbaiki sistem kesehatan, Lessan membangun satu pabrik jamu kecil yang mempekerjakan 8 orang perempuan. Beberapa produk jamunya dijual di pos jamu di beberapa desa. M e nci ptakan Jar i ngan Ke rja  Pada bulan Mei 2002, setelah men­gi­kuti trai­ning untuk petani jamu, penduduk ber­sa­­ma Lessan menciptakan jaringan kerja karena mereka menyadari bahwa me­re­ka meng­hadapi masalah yang selalu sama, dan bekerjasama merupakan jalan yang efektif untuk meme­cahkan persoalan mereka. Jaringan kerja tersebut akan memperbaiki komunikasi antar desa-desa dan menunjang pertukaran pengetahuan, pengalaman serta bahan pertanian seperti bibit lokal dan lain-lain. Jika terorganisir dengan baik, posisi tawar mereka akan lebih kuat terutama pada saat menjual hasil panen. Alternatif lain adalah mereka mencoba menciptakan pasar sendiri, misalnya kelom­ pok petani jamu menjual produknya ke jaringan kerja, dan pabrik jamu kecil mem­ proses bahan mentah tersebut menjadi jamu untuk dijual di pos jamu di desa-desa. Untuk masa depan ada rencana untuk mengubah pola pertanian modern kembali ke 18 tivated their lands with herbal plants and sold the raw products in the market. Seedlings and knowledge were provided. One member of Lessan reported that in the village of Prigi, with an income of Rp 300.000,– each group was able to purchase a sheep to be bred. To improve health systems, Lessan built a small Jamu factory that employed 8 female workers. Several products were sold in Jamu posts in a number of villages. Cr eati ng a N etwor k  In May 2002, after attending training for Jamu farmers,

the villagers along with Lessan created a network, aware that they were constantly facing similar problems and cooperating served as an effec­ tive way to solve the problems. The network will improve communication between vil­ lages and encourage the exchange of knowledge, experience, and agricultural resources such as local seedlings etc., which in turn will increase their bargaining power particu­ larly during harvesting period. Another alternative would be to create their own market.


pertanian tradisional dan ekologis serta pemasaran sendiri produk-produk pertanian oleh para petani. Namun demikian, jalan yang harus ditempuh masih panjang dan su­ lit. Anggota jaringan kerja tersebut harus berjuang bersama di tingkat politik untuk menyuarakan kepentingan kelompok, seperti melakukan kegiatan untuk melawan ancaman dari WTO mengenai peraturan hak paten. Sumber kehidupan dan kebe­ basan petani terancam oleh peraturan tersebut. Lessan mengadakan training untuk para petani guna meningkatkan kesadaran dan pengertian politik mereka agar mereka dapat mempengaruhi keputusan politik mengenai kepetingan petani. Jaringan kerja tersebut akan memperkuat posisi petani dalam rangka berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik.

19 For example, Jamu farmers could sell their products to the network, and small Jamu factories could process raw products into Jamu to be sold in Jamu posts throughout the villages. Future plans consist of transforming modern agricultural model to traditional and eco­ logical agricultural model as well as marketing the farmers’ own products. However, the process to reach that point is still long and complex. The network members must struggle at a political level to voice the interest and welfare of the people, such as fighting against the threat of WTO’s patent law regulation. With the existence of this regulation, the life and freedom of farmers are in jeopardy. Lessan conducts training for farmers in effort to increase their awareness and political understanding to be able to affect the political deci­ sions made concerning their welfare. The network will strengthen the farmers’ position in order to participate in the political decision-making process.

“Saya meniru anak-anak muda seusia saya. ‘Apakah kamu inigin mempelajari sesuatu?’

“I followed some other young people at my age. ‘Do you want to learn something?’

Kami belajar, menari, bercanda. Orang

We learned, danced, laughed – my parents

tua saya tidak suka itu. Mereka

didn’t want that. They asked: ‘What

bertanya: ‘Apa yang kamu kerjakan di

are you doing there?’ Then I worked

sansa?’ Kemudian saya bekerja di Jakarta

in Jakarta for one year, in a factory,

selama satu tahun, di sebuah pabrik,

doing assembly line work...

bagian pemasangan... IRAH

IRAH


Menjadi terlupakan bukan lagi satu-satunya ancaman bagi pengobatan tradisional di Indonesia. Tanaman-tana­ dari Susanne Raetzer man yang penting bagi bentuk pengobatan alami semacam ini ti­dak han­ya menjadi perhatian Lessan dan para petani saja, na­mun juga berbagai perusahaan farmasi asing. Perusahaan-perusa­haan Indone­ sia menggunakan resep-resep kuno dan memperbaikinya dengan zat-zat aditif yang lebih efektif. Cara yang paling efisien bagi perusahaan asing dari negara-negara maju untuk mema­ sar­kan tanaman herbal yang berasal dari negara-negara berkembang adalah dengan mem­buat hak paten terhadap tanaman tersebut. Sebagai konsekuensinya, di masa yang akan datang petani dan penjual tanaman tersebut harus membayar royalti ke­pa­da perusahaan yang memegang hak paten. Bagaimana mungkin seseorang dapat menga­ jukan hak paten atas sesuatu yang sebenarnya jelas-jelas tidak dimilikinya ? Ancaman Bag i Jam u Saat i n i

20 Todays Dang e r s

To be forgotten is no longer the only threat the tradition­

for Jam u

al Indonesian medicine faces. Meanwhile, the plants, that

by Susanne Raetzer

are essential for this special form of herbal medicine, are not only of interest to Lessan and the farmers but also be­

come increasingly so to large Indonesian and foreign pharmaceutic companies. The Indo­ nesian companies use the ancient recipes and ›improve ‹ them with more or less effective additives. For foreign companies from industrial nations the most efficient way to market the me­ dicinal herbs from developing countries is to patent the plants. This has the result, that in the future farmers and sellers of the plants will have to pay a royalty to the patent holding company. How is it possible that someone can apply for a patent for something he obvi­ ously has no ownership of ?

...Saya mulai sakit dengen

...I started to get sick

pekerjaan itu, gaya hidup yang

from this work, this way

seperti itu. Kemudian saya

of living... Then I had the

mendapat kesempatan untuk kembali

possibility to come back to

bekerja die LSM. Dan saya benar-

NGO-Work. And I really enjoy

benar menikmatinya, bekerja

it, to work with friends, on

dengan teman-teman, menangani

a certain, important issue –

isu-isu penting – sesuai dengan

in my own tempo.” IRAH

tempo kerja saya sendiri.” IRAH



Hingga saat ini, hak paten di negara-negara industri hanya diber­ ikan untuk penciptaan dan bukan untuk penemuan. Se­ba­gai contoh, teleskop sebagai hasil cipta dapat dipatenkan, namun tidak demikian dengan bintang-bintang yang ditemukan melalui teleskop tersebut. Namun demi­kian, dalam beberapa tahun terakhir banyak upaya telah dilakukan dalam bidang bioteknologi un­ tuk memutar-balikkan prinsip ini. Trend yang muncul sekarang ada­lah mendapatkan hak paten atas rekayasa genetik, macam-macam tanaman, hewan, dan sifat-sifat gene­ tis. Perusahaan farma dan bioteknologi berargumentasi bahwa upa­ya penciptaan dari berbagai penemuan merupakan aspek yang sangat signifikan, se­hingga produk-produk hasil penemuan tersebut sudah seharusnya diberlakukan sebagai penciptaan. Sejak akhir tahun 70-an, negara-negara industri tampak semakin berminat untuk mem­bentuk Intellectual Property Rights (IPR) atau hak paten intelektual (HAKI) yang berlaku secara internasional. Dalam bidang bioteknolgi, tujuannya adalah un­t uk mematenkan hak atas gen, bagian dari gen, atau bahkan tumbuhan maupun he­wan utuh.Erna Bennet dari NGO Grain memaparkan berbagai implikasi dari perkemban­ gan ini: »Hak paten membentuk dan melegalisasi penemuan pribadi menjadi aktivitas Sejarah Hak Paten

22 H i story of Pate nt Law  Until now patents in industrialized nations were only

issued for inventions but – not for discoveries. E.g. the invention of the telescope could be patented, but not the stars it helped to discover. With­ in the last years though numerous efforts had been taken in the field of biotechnologies to turn this principle upside down. The trend is to have genetic engineering, plant varieties, animals and genetic properties patented. The pharma- and biotechnology industry argues that the inventive effort of discovering is such a significant aspect that subsequently the products resulting from the discoveries ought to be treated as inventions. Since the end of the seventies, at the latest, there is a notable increase of interest on be­ half on the industrialized nations, to establish Intellectual Property Rights (IPR) inter­ nationally. In the field of biotechnologies the aim is to patent genes, parts of genes, or even whole plants or animals. Erna Bennet of the NGO Grain explicates the implica­ tions of this development: »Patents formalize and legalise private claims to the result of innovative genetic activities of which a significant part are social in origin …IPRs

Apa yang an da rasa su lit dalam pe ke rjaan i n i? “Diskriminasi, orang-orang mengatakan: oh, LSM, tentu banyak uang! Atau

What i s d i fficu lt about th i s wor k for you? “Prejudices, other people say: oh, NGO, sure, there is much money! Or they say –

mereka mengatakan – seperti orang tua,

esp. Parents, near relatives: working

saudara: bekerja di LSM? Itu bukan

in a NGO? This is not ‘real’ work.”

kerja ‘sungguhan’.”


genetik yang inovatif dimana mayoritas asalnya bersifat sosial …IPR semakin mendo­ mi­nasi kebijakan dan kerangka pikir dalam PBB dan badan-badannya. Mereka juga se­ma­kin berpengaruh atas taktik dan strategi LSM yang ada.« (s. › seedling ‹, July 2002, p. 4, www.grain.org)

Secara resmi, undang-undang mengenai isu-isu hak paten difor­ mulasikan dalam perjanjian WTO mengenai Trade-Related In­ tellectual Property Rights (TRIPS). Perjanjian tersebut mewajibkan semua anggota untuk menyediakan perlindungan hak intelektual untuk ragam tanaman di tingkat nasional, baik melalui hak paten atau »suatu system sui generis yang efektif«, atau ke­ du­a­nya. (Art, 27.3b). TRIPS tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan »system sui generis yang efektif«. Saat TRIPS tengah dibentuk, negara-negara industri men­ gacu pada sistem UPOV, meskipun hal tersebut tidak disebutkan dalan Perjanjian. Hal tersebut mengindikasikan bahwa juri juga tidak mempunyai formulasi jelas menge­ nai apa yang dianggap sebagai sistem yang › efektif‹ di bawah TRIPS. Konvensi UPOV merupakan perjanjian internasional yang menetapkan aturan mengenai hak yang me­ nyerupai hak paten untuk memonopoli ragam tanaman. Konvensi tersebut sangat bias WTO dan TRIPS

23 came to dominate the policies and mind-set within the UN and ist agencies. They also came to weight heavily on the tactics and strategy of NGOs.« (s. › seedling ‹, July 2002, p. 4, www.grain.org)

WTO an d TRIPS  Formally, laws about the patent issue are formulated in the World

Trade Organisation’s (WTO) agreement on Trade-Related Intel­ lectual Property Rights (TRIPS). It obliges all members to provide intellectual property protection for plant varieties at the national level, either through patents or »an effective sui generis system« or both (Art. 27.3b). TRIPS does not define what an »effective sui generis system« might be. Industrialised countries had the UPOV system in mind when TRIPS was drafted, although it’s not mentioned in the Agreement. This means that the jury is out on what is to be considered an ›effective ‹ system under TRIPS. The UPOV Convention is an international agreement which sets rules for patent-like monopoly rights over crop varieties. It is highly biased toward industrial farming conditions and the bulk of UPOV’s members are rich countries of the North.

“Sedikitnya dana: harus mengajukan proposal untuk segala hal, harus melaporkan setiap hal kecil kepada pemberi dana...” “Little money: to have to apply fo all, have to report everything to the funding...”


terhadap kondisi pertanian industri, dan sebagian besar dari anggota UPOV ada­lah negara-negara kaya dari Utara. Enam puluh sembilan negara berkembang yang tergabung dalam WTO sudah diha­ ruskan mengimplementasikan Art. 27.3b dari TRIPS mulai bulan Januari 2000. Mes­ ki­pun penelaahan terhadap dibentuknya TIPS Art. 27.3b telah berjalan sejak tahun 1999, belum ada tindakan konkrit untuk mengubah Perjanjian meskipun telah ada proposal jelas dari Selatan mengenai cara-cara penyempurnaannya. Walaupun opsi sui generis dalam TRIPS terlihat menjanjikan fleksibilitas, PVP jenis UPOV semakin ditekankan sebagai satu-satunya opsi sui generis di Selatan. Saat ini tam­pa­knya di negara-negara anggota WTO, opsi sui generis dalam TRIPS lambat laun dijadikan sebagai legislasi jenis UPOV. Alasan utama bagi hal tersebut adalah adanya tekanan langsung dari negara-negara industri untuk meratakan hak paten intelektual di seluruh dunia – tidak hanya melalui perjanjian global, namun juga melalui perjan­ jian dagang dan investasi regional dan bilateral. Hal ini membawa implikasi serius bagi kelestarian pertanian dan hak-hak petani, sebab mengakui UPOV merupakan langkah awal dalam mengakui hak paten penuh atas kehidupan. 24 The 69 developing country members of the WTO were supposed to have implement­ ed Art. 27.3b of TRIPS by January 2000. While a mandated review of the provisions of TRIPS Art. 27.3b has been under way since 1999, it has not yet resulted in any concrete actions to change the Agreement, despite very clear proposals from the South on how to improve it. Despite the flexibility the sui generis option in TRIPS seems to offer, UPOV-type PVP is increasingly being pushed as the only sui generis option in the South. At the moment it seems that country after country in the WTO, the sui generis option in TRIPS is grad­ ually being reduced to UPOV-type legislation. The main reason for this is direct pres­ sure from industrialised countries to harmonise intellectual property rights worldwide – not only through global treaties, but also through regional and bilateral trade and invest­ ment agreements. This carries serious implications for sustainable agriculture and farm­ ers’ rights, because accepting UPOV is the first step toward accepting full-fledged patents on life.


Pemerintah negara-negara berkembang me­­n­un­­ juk­kan reaksi yang berbeda-beda terha­dap si­­tua­si ini. Sebagai contoh, Brazil berminat untuk segera mewujudkan aturan hak paten terse­ but karena mereka berharap mendapatkan keuntungan tertentu dari pen­jua­lan hak pat­ en atau sumber daya genetika. India berjuang melawan pencurian atas ra­gam tanaman pertaniannya, dan sebagai hasil dapat mencegah perusahaan Amerika dari men­da­pat­kan hak paten atas curcuma, semacam bumbu dan tanaman herbal tradisional mere­ka. Thai­ land berupaya untuk mengembangkan sistem sui-generis mereka sendiri. Peme­rin­tah Indonesia tidak tampak terganggu sama sekali dengan isu-isu tersebut. Dik­ha­­wa­­tir­kan mereka hanya akan menerima varian UPOV, tanpa mempertimbangkan ke­pen­tin­gan para petani kecil dan tanpa diskusi terbuka mengenai isu tersebut. Bahaya terbesar bagi sistem kesehatan tradisional Indonesia yang bersifat preventif dan murah terletak pada konsekuensi dari perjanjian-perjanjian internasional, kepentingan dan ambisi perusahaan-perusahaan bioteknologi, serta kurangnya kemauan dari pihak pe­ merintah untuk mengambil posisi defensif terhadap mereka. Bagi Lessan, upaya me­nen­ tu­kan dan mempertahankan sikapnya sendiri bukanlah hal mudah: pemikiran-pemikiran yang mengarah pada legislasi hak paten berakar dari tradisi pola pikir yang sangat berbeda, Ke m u ng ki nan u ntu k M e lawan

25 Poss i b i liti e s for Offe r i ng R e s i stance The governments of the de­ve­lo­

ping countries react differently to this situation. Brazil e.g. is interested in a quick realization of the patent legislation, as they hope to gain some profit from selling patents or genetic resources. India is fighting the theft of its crop variety and achieved that curcuma, the ancient spice and medicinal herb was not patened by a US firm. Thailand tried to develop its own sui-generis-system. The Indonesian government appears not to be troubled by these issues at all. It is to fear that they will simply accept the UPOV-variant, regardless of the interests of the small farmers and without a public discussion on the issue. The greatest perils for the traditional, preventive and cheap health system of Indonesia lie in the implications of the international agreements, the powerful interests of the biotech­ nolgical companies, and the lack of eagerness on the side of the Indonesian government, to take a defensive stance towards them. For Lessan resistance and the possibility to de­ velop their own standpoint is not easy: the ideas that lead to patent legislation are rooted

“Harus tergantung pada

“To be dependent on a

pemberian dana: pada donor funding’s money: on a asing: kami mendorong

western funding’s money:

para petani untuk menjadi

we tell the farmers to

mandiri, tapi lihatlah

become ‘independent’, but,

kami sendiri...”

look at ourselves...”



sehingga untuk memahami semua implikasinya saja sudah merupakan tantangan ter­sen­ di­ri. Kebanyakan dari negara-negara ini kurang memiliki pengacara spesialis, infra­struk­tur judisial-administratif, dan juga bargaining power ataupun kekuatan yang dapat mem­ban­ tu bertahan dari kepentingan-kepentingan pihak Barat pada level negosiasi internasional. Sebagai hasil, mungkin saja kesinambungan bantuan E.U akan tergantung pada sebuah tanda-tangan dalam perjanjian tertentu. Hal yang serupa terjadi saat Cina ingin bergabung dalam WTO, dimana hal tersebut hanya berhasil saat mereka setuju untuk menerapkan varian UPOV dari legislasi hak paten. Namun mari kembali pada Jamu Jawa. Sementara ini, 21 dari beberapa ratus tanaman herbal yang telah diketahui telah dipatenkan atau tengah dalam proses pematenan. Bila pengajuan hak paten tersebut diijinkan, maka penduduk lokal dapat melanjutkan penanaman, peng­ gunaan dan pemasaran tanaman serta bagian dari tanaman tersebut hanya atas persetujuan dan syarat-syarat dari pemegang hak paten. Bagi orang-orang yang bersangkutan, hal ini ber­ arti ancaman yang sangat besar bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya, dimana alternatif pe­ masukan dan persediaan bahan pengobatan alami menjadi terancam punah.

27 in a very different tradition of thought, which to grasp in all its implications is a challenge of its own kind. Most of these countries lack specialized lawyers and a judicial-adminis­ trative infrastructure as well as means of pressure that would help to withstand western interests on a level of international negotiations. This way it could happen e.g. that the E.U. was able to attach the continuation of their development aid to a signature on a cer­ tain treaty. Equally when China wanted to join the WTO, it was only possible after they agreed to implement an UPOV-variant of patent legislation. But let’s get back to the Javanese Jamu. Meanwhile 21 of the several hundreds known me­ dicinal herbs have been patented or proceedings are still pending. If appeals are granted, this means that the local population can continue with the cultivation, use and marketing of the plants and parts of the plants only with the agreement and to the conditions of the patent holder. For the people concerned this means a radical interference with the possi­ bilities to fulfill their necessaries of life, whole vocational branches become threathened of extinction, options for extra earnings and the medicinal supply become endangered.

“Intimidasi dari aparat pemerintah.”

“Bila saya barus pergi ke sawah saat anak saya sakit.”

“Intimidation from the political apparatus.”

“If I have to go to the field and my child is sick.”




Program kesetaraan gender disosialisasikan Lessan ke desa-desa dengan tujuan agar perempuan berada pa­da posisi yang setara dengan laki-laki. Dalam kebu­­ da­­­ya­­an Jawa, kami tidak mengenal kesetaraan gen­­der karena posisi perempuan ada di bawah laki-laki. Ketika gerakan feminisme Barat mu­ lai bisa diterima di sebagian strata sosial mas­ya­ra­kat di Indonesia, Lessan ju­ga memulai gerakan kesetaraan ini di desa-desa na­mun dengan paradigma yang disesu­aikan den­ gan › irama jawa‹ supaya pengetahuan ba­r u yang bernama kesetaraan gender tersebut tidak membuat shock culture pada mas­yara­kat jawa (khususnya) di pedesaan. Isu-isu gender yang diusung adalah isu yang aktual merugikan kaum perempuan. Arti­nya isu-isu yang kongkret dan dihadapi perempuan pedesaan saja yang di­d is­­ ku­si­­­kan, sedang isu lain yang › abstrak ‹ dimata perempuan desa menempati prio­ ritas belakangan. Contoh isu yang dianggap relevan menurut hasil investigasi tim Lessan adalah: 1. Isu pemakaian kontrasepsi 2. Isu kekerasan dalam rumahtangga Prog ram Ke s etaraan G e n d e r d i pe d e saan dari Heny Yudea

3. Isu status sosial perempuan tidak menikah dan janda 4. Isu pembuat keputusan politis di tingkat desa. 30 G e n d e r Equality

Lessan socialized gender equality programs in vil­

Prog ram i n vi llag e s

lages with the purpose of placing women in an equal

by Heny Yudea

position to men. In the Javanese culture, we do not recognize gender equality since women are posi­

tioned below men. When the western feminist movement began to be accepted within the social strata of the Indonesian community, Lessan also began a similar equality move­ ment in villages that was integrated within the ›Javanese rhythm ‹ of life in order to pre­ vent culture shock from occurring to the Javanese people, especially those residing in the villages. Gender issues discussed were those that actually put women at a dis­ adavantaged

position.

Issues

discussed

were

only

those

that

are

actu­

“Birokrasi pemerintah. Campur tangan pemerintah.” “Governmental buerocracy. Governmental intervention.” “Bila proyek-proyek gagal.” “When projects fail.”


Isu ini diangkat karena banyaknya persoalan yang merugikan perempuan sehubungan den­­gan tekanan pemerintah pada masa orde baru. Pemerintah saat itu memaksa perem­puan untuk mensukseskan pengurangan jumlah penduduk melalui program KB (fa­mi­ly plan­ ning). Karena perempuan tidak pernah menolak kemauan pemerintah, maka pemerintah menggunakan perempuan untuk tujuan politiknya tanpa memperhatikan pende­ ritaan perempuan menyangkut kesehatan reproduksinya. Fakta yang ditemukan, per­ em­puan yang sudah menikah diwajibkan memakai salah satu kontrasepsi se­per­ti pil, suntik, spiral, susuk/implant atau operasi. Jika tidak melaksanakan perintah ini, mereka akan kesulitan ketika mencari KTP, mencari kredit atau urusan admi­ni­stratif lainnya. Setelah perempuan mema­k ai kontrasepsi, banyak keluhan muncul seperti sakit kepala terus menerus, men­ strua­si/pendarahan selama 40 hari, tidak mendapat menstruasi selama 9 tahun, spiral pin­d ah tempat sehingga perempuan menjadi hamil dan spiral yang pindah tempat se­r ing membahayakan janin di dalamnya. Tidak ada ganti rugi atau pera­ I su pe makaian kontras e ps i

31 al and directy faced by the village women. Issues that are too ›abstract ‹ for the village women were placed lower on the priority list of discussion issues. According to the result of Lessan’s investigation, examples of relevant issues include: 1. The use of contraception 2. Domestic violence 3. Social status of unmarried women and widows 4. Women’s political rights on a village level.

Th e Us e of Contrace ption This issue was raised due to the numerous prob­

lems caused for women regarding the govern­ ment’s pressure during the New Order. The government forced women to perform the family planning program in effort to decrease the number of population. Since women dared not resist the government, hence the government exploited women for its politi­ cal purposes without considering the women’s affliction concerning their reproductive

apa yang m e nye nang kan dalam pe ke rjaan i n i? “Ketika masyarakat mene­ rima

What do you li ke about th i s wor k? “When the community accepts us, understands us as

kami, memandang kami setara

equal: as a part of their

dengan mereka, se­ bagai

social class, as a part of

bagian dari kelas sosial

their family.”

mereka, sebagai ba­ gian dari keluarga mere­ ka.”


watan gra­tis seandainya terjadi kegagalan atau masalah yang ditimbulkan oleh alat kon­tra­sep­si tersebut. Negara telah berlaku sangat tidak adil terhadap perempuan karena tanggung­ja­w ab­­ nya yang minim dan laki-laki tidak diwajibkan dalam program KB ini padahal uru­ san rumahtangga seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Setelah masalah tersebut didiskusikan, maka solusinya adalah perlawanan › jawa ‹ yang melawan dengan tidak frontal. Sikap perempuan pedesaan sekarang adalah: Bebas untuk ikut atau tidak ikut KB; Memakai KB alamiah (dengan Billing Method atau kalender); Menuntut tanggungjawab tenaga medis melalui surat atau teguran ke puskesmas jika terjadi malpraktek; Membagi tanggungjawab untuk punya atau tidak punya anak lagi dengan laki-laki pasangan hidupnya; Tidak mentabukan laki-laki untuk datang ke posyandu membawa anak-anak; Mengharap pemerintah memberi alternatif alat kontrasepsi untuk laki-laki.

-

32 well-being. As it was, women were forced to use one of the contraception device such as the pill, spiral, implants or surgery. If this was not carried out, the women will face difficulties in acquiring residential permit, credit loan, and/or other administrative mat­ ters. After women began to use contraception, numerous complaints surfaced such as continuous headache, 40-days menstruation period, not menstruating for 9 years, mis­ placed position of a spiral which caused pregnancy, and damage to the foetus caused by the misplaced spiral. There were no compensation nor free medical service if failurie or damaged were to happen from using the contraception device. The state had acted far from justice toward women by showing its lack of responsibility and the fact that men were not required to abide by the family planning program, meanwhile household affairs should be the responsibility of both husband and wife. After the contraception issue was discussed, the solution which came up was the ›Java­ nese ‹ form of rebellion, which was to fight without being frontal. The attitudes of the vil­

“Saat kita mendapatkan

“When we get something

sesuatu dari mereka:

from them: information,

informasi, hadiah-hadiah

small presents, parts of

kecil, sebagian dari

their harvest...”

hasil panen mereka...”


Sangat sulit mengungkap kekerasan da­ lam rumahtangga. Dalam budaya jawa, pertengkaran atau kekerasan dalam rumahtangga adalah rahasia yang harus dijaga su­ paya orang lain tidak mendengar. Kebudayaan ini mengakibatkan kekerasan yang dia­ lami pasangan yang menikah menjadi sesuatu yang tersembunyi. Orang menderita dan sakit hati dengan diam. Diskusi ringan penuh humor untuk mendiskusikan apa yang terjadi di desa-desa menyangkut kekerasan agaknya sedikit bisa mengungkap raha­sia tadi. Mengapa harus penuh humor dalam diskusi ini, karena jika diskusi ini serius, pasti orang takut bicara tentang kekerasan yang dialami atau dilihat. Apa yang dirasa menyakiti hati dalam rumahtangganya mulai dari dimaki-maki suami karena suami tidak mau diserahi tugas mengasuh anak, istri yang ditinggal kabur suami, pendapat istri selalu kalah, perkosaan dalam rumahtangga hingga dipukul. Biasanya kasus-ka­ sus seperti ini menjadi gosip yang dibicarakan dimana-mana. Maka kemudian per­ empuan didorong untuk saling membantu jika sesamanya mendapat kekerasan bukan men­yalahkan seperti kalimat« mungkin kamu sebagai istri kurang melayani, kurang berdandan cantik, kurang enak masak dsb.) I su ke ke rasan dalam r u mahtangga

33 lage women nowadays are to:

- Be free to decide to implement the family planning program or not ; - Use a natural method of family planning (Billing method or the Calendar method); - Demand medical responsibility through written

or verbal complaints to the clinic in a case of malpractice;

- Share responsibility with their spouse to have or not to have more children; - Not viewing men visiting the clinic carrying their baby as something taboo; - Hope that the government will provide an alternative contraception device for men.

Dom e stic Viole nce  It is very difficult to expose domestic violence. In the Ja­

va­ne­­se culture, arguments or violence in the family are se­crets that must be kept from other people. This culture causes violence occurring bet­ ween married couples as something concealed. People suffer in silence. Light discussion filled with humor in discussing what actually occurs in villages concerning domestic vio­

“Ketika para petani menjalin jaringan kerja mereka, saat mereka menyatakan pendapat mereka.” “When the farmers are building up their network, when they explain their opinion.”


Demikian juga untuk isu-isu lain seperti membuat keputusan baik di tingkat rumah­ tangga maupun ditingkat desa, perempuan didorong untuk berani mem­berikan pan­ dan­gan-pandangannya. Tetapi dalam pelaksanaannya, di tingkat desa sering sulit, karena jika perempuan bi­ cara dianggap › sok tahu ‹ walaupun dia benar-benar tahu. Untuk hal ini diskusi gender juga melibatkan laki-laki, namun sayang mereka tidak tertarik untuk datang seperti halnya diskusi Family Planning, dari 43 peserta, hanya 2 peserta laki-laki. Alasannya Family planning adalah urusan perempuan. Yang agak menarik mungkin masalah perempuan yang terlambat menikah, tidak meni­kah atau janda. Di desa, urusan menikah seseorang seperti menjadi urusan pu­ blik. Jika seorang perempuan terlambat menikah, akan terlalu banyak nasehat dari orang­t ua, saudara dan tetangga untuk segera mengakhiri masa lajangnya. Nasehat itu bisa dibe­ri­kan dimana saja, seperti saat melayat bertemu tetangga dari desa sebelah, jika ki­t a cukup usia belum menikah atau tidak menikah mereka bisa saja tanpa diminta mem­be­ri­kan nasehat untuk segera menikah. Padahal jika menikah dan tidak bahagia mereka juga akan › cerewet‹ menasehati. Hal seperti ini juga terjadi pada janda yang

34 lence seem to expose a little of the secret. The discussion has to employ humor because in an otherwise serious discussion, people will be afraid to talk about violence that they have seen or experienced. Causes of suffering slowly surfaced, starting from scolded or even sworn at by the husband for asking him to also take care of the children, the hus­ band leaving his wife, the wife’s opinion never counts, rape and physical violence. These cases usually became talked about gossip everywhere. Therefore women are encouraged to support each other when one receives violence, and not accuse and say such things as »maybe as a wife you did not serve him well enough, you did not appear beautiful enough, did not cook tasty enough, etc.« Women are also encouraged to voice their opinions in making decisions both at a house­ hold or at a village level. However, in reality women encounter difficulties at a village lev­ el, since women who voice their opinion are perceived as ›know-it-all ‹ even though she

“Perasaan, bahwa kami

“The feeling, that we

tidak sendiri lagi...

are not alone anymore...

kadang saya merasa seakan-

sometimes I feel like we

akan kami sebuah keluarga

are a big family.”

besar.”


berusia mu­da. Untuk itu kemudian disosialisasikan, bahwa setiap orang (perempuan) bebas me­nentukan jalan hidupnya dan ini adalah wilayah privat bukan masalah yang masuk wila­yah publik. Demikian informasi seputar kegiatan menyangkut masalah gender di Lessan.

35 really does know what she is talking about. For this reason gender issues also involved the men. However, the men were not interested in attending these discussions. As could be seen from the Family Planning discussion, only 2 out of 43 participants were men. The reason for their absence was that family planning is a woman’s business. A rather interesting issue concerns the matter of women having a late marriage, women who are not married or widows. In the village, someone’s marriage status seems to be­ come a public matter. If a women is late in getting married, there would be a lot of advice from parents, relatives and neighbours to end their single status. The advice would be given anywhere, even at a neighbour’s funeral service. If a women is old enough to get married but does not, without being asked, people will give their advice - telling her to get married. On the other hand, if the marriage fails, the same people will be busy giving a different kind of advice. The same case applies for young widows. Therefore, it is then socialized, that all women were free to choose her own path in life, and that this is a pri­ vate matter and not a public one.

“Melihat perubahan-perubahan yang terjadi, perbaikanperbaikan, pengaruh dari kerja kami.” “To see the changes, the improvements, the influence of our work.”


Is a non-profit organization active in the field of community health development.

Adalah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang kesehatan masyarakat.

I M PRINT  This work is a coproduction of Lessan, especially I M PRINT  Karya ini adalah hasil kerjasama antara Lessan, terutama Heny Heny Yudea, Yogyakarta, Susanne Raetzer and Christoph Uhle, Yudea, Yogyakarta, Susanne Raetzer dan Christoph Uhle, Berlin  Pencetakan didukung oleh ASA, Berlin  Terjemahan: Fitria Siradz, Yogyakarta, Anna von Berlin.  The printing was financed by ASA, Berlin  Translation: Behr, Berlin  Layout: Fabian Hickethier, Berlin  Dalam proyek trilingual sesu­ Fitria Siradz, Yogyakarta, Anna von Behr, Berlin  Layout: Fabian lit ini, kesalahan dalam penerjemahan sukaruntuk dihindari. Untuk ini kami mohon maaf. Terimakasih kepada para penerjemah atas fleksibilitasnya. Artikel › Ancaman Bagi Jamu Saat ini  ‹ disusun menggunakan informasi dari Hickethier, Berlin  In such a difficult trilingual project, it cannot

be helped that there are errors in translation. For this, we want to GRAIN (Genetic Resources Action International). Untuk informasi lebih

apologize. Thanks to the translators for their flexibility. lanjut, Anda dipersilakan mengunjungi situs www.grain.org The article › Todays dangers for Jamu ‹ was produced by using information from GRAIN (Genetic Resources Action International). For more information, please visit www.grain.org

Alamat surat

Jl. Kaliurang Km. 10 dekat  SD Gentan Yogyakarta

Office Adress Alamat kantor  Jl. Kaliurang Km. 10 nearby SD Gentan Yogyakarta

Telpon (  0274  ) 883 848 E-mail Lessan@yogya.wasantara.net.id

Sleman Yogyakarta 55581 Indonesia

Mail Adress Tromol Pos 5 Ngaglik Tromol Pos 5 Ngaglik Sleman Yogyakarta 55581 Indonesia

Phone (  0274  ) 883 848 E-mail Lessan@yogya.wasantara.net.id

Sunarja, Irah Tohjaya, Iis, Suprapti, Danang Dewo Subroto, Cahyono, Kusnartuti, Heny Yudea

Le m baga Stu d i Ke s e hatan – LESSAN


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.