Yayasan Biennale Yogyakarta

Page 1

ISSN: 9772442302226

THE EQUATOR Vol. 8/No. 2 April - Juni 2020 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta


Pembaca yang baik, Newsletter edisi kali ini diawali dengan gambar sampul yang terlihat menjadi pemandangan yang normal ditemui dua bulan belakangan. Bagi banyak orang, berada di rumah dan menjalani pertemuan demi pertemuan secara daring menjadi kebiasaan yang baru. Tentu, dalam beberapa pekerjaan harus disesuaikan selama pandemi ini berlangsung, tidak terkecuali aktivitas didalam Yayasan Biennale Yogyakarta. Kami pun turut menjalankan pekerjaan dengan jarak jauh, termasuk dengan kelas Asana Bina Seni yang baru saja dimulai beberapa pekan yang lalu. Kelas Kuratorial Asana Bina Seni pada bulan Mei pertengahan telah selesai dengan membuat tiap pertemuan secara daring. Berakhirnya kelas, kami pun kemudian mengajak peserta yang terlibat untuk turut menyumbangkan opini-opini mereka terkait dengan materi pengajaran yang telah berlangsung. Terkumpullah empat tulisan yang berbentuk ulasan karya dan peristiwa dari Biennale Jogja Equator #5 yang lalu. Anam Khoirul melihat bahwa Biennale Jogja Equator #5 merupakan pameran yang lengkap secara topik, termasuk mengenai isu gender. Misalnya melalui karya Ika Vantiani, Citra Sasmita, Tamarra, dan Ferial Afif, Anam Khoirul melihat ruang untuk mendekonstruksi pemahaman atas gender serta potensi untuk meresonansikan ke publik yang lebih luas. Manshur Zikri disisi lain, melalui karya Nguyen Trinh Thi, ia mencoba untuk berangkat dari pemahaman “ko-ordinat” sehubungan dengan tema pinggiran untuk menciptakan relasi yang selaras tanpa mengesampingkan pertarungan didalamnya. Ketertarikan atas topik mengenai tradisi dan sejarah mengantarkan Prima Abadi Sulistyo untuk melihat lebih jauh dua aspek tersebut pada karya yang dibuat oleh Ipeh Nur. Sedangkan Putri R.A.E Harbie menyampaikan opinininya terkait dengan peristiwa pagelaran biennale dalam empat fragmen; kelanjutan dari equator, isu mengenai generasi, seni ditengah pandemi, dan kehidupan dari pekerja seni. Masih dalam semangat yang sama, Ibrahim Soetomo hadir sebagai penulis tamu diluar peserta kelas kuratorial. Ibrahim dengan gaya penulisan yang hangat dan terasa akrab saat dibaca, menuliskan responnya atas kumpulan tulisan Oei Sian Yok. Dalam tulisannya, Ibrahim membangun suasana pembaca, seakan-akan sedang membaca sebuah surat yang mana juga merupakan salah satu bentuk yang dipakai Oei Sian Yok dalam ulasan-ulasan karya yang dibuatnya. Menulis, merupakan salah satu cara untuk memperpanjang daur hidup sebuah pengetahuan. Harapannya setelah membaca beberapa tulisan disini, dapat menjadi katalis untuk terus menuliskan ide-ide atau opini yang selama ini tersimpan. Semoga edisi kali ini bisa menjadi ruang jeda ditengah kesibukan dan kepenatan pikiran ditengah pandemi. Salam hangat, Tim redaksi

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org April-Juni 2020, 500 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Khairunnisa. Kontributor: Ibrahim Soetomo, Manshur Zikri, Anam Khoirul, Prima Abadi Sulistyo Putri R.A.E. Harbie


KONTRIBUTOR Ibrahim Soetomo Manshur Zikri Anam Khoirul Prima Abadi Sulistyo Putri R.A.E. Harbie

4

YANG BISA KITA PELAJARI DARI SURAT-SURAT OEI SIAN YOK KEPADA LAN Oleh: Ibrahim Soetomo

10

SAMPUL

“KO-ORDINAT”: NOTABENE DAN ANOTASI SINEMATIK ATAS WACANA PINGGIRAN Oleh: Manshur Zikri

17 Tim Dokumentasi Biennale

DEKONSTRUKSI GENDER: NARASI MELWAN MARGINALISASI DALAM BIENNALE JOGJA #5 Oleh: Anam Khoirul

25

BIENNALE JOGJAKARTA EQUATOR #5: MERAWAT INGATAN MELAWAT TRADISI Oleh: Prima Abadi Sulistyo

10 TAHUN 31 FRAGMEN-FRAGMEN BIENNALE JOGJA SERI EQUATOR DAN SEKITARNYA Oleh: Putri R.A.E. Harbie

36

Fotografi: Tim Dokumentasi Biennale, Gevi Novianti Foto sampul: Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil

PANGGILAN TERBUKA PROPOSAL KARYA NORMALBARU

Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, Inco pro, PKKH UGM,

Tirana Art House & Kitchen, Galeri Lorong, Toko Gerak Budaya ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

YANG BISA KITA PELAJARI DARI SURAT-SURAT OEI SIAN YOK KEPADA LAN Oleh: Ibrahim Soetomo


5

Pembaca yang baik, Belakangan, saya menyusuri kembali ulasan-ulasan pameran oleh seorang penulis bernama Oei Sian Yok (OSY) pada 1957 yang terdapat di buku Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Tulisan Oei Sian Yok 1956 - 1961¹. Ada satu penggalan di salah satu tulisannya yang memikat hati dan nikmat dibaca berkali-kali: Kepada Lan, Pernahkah saja katakan kepadamu, bahwa saja tiap kali pergi kepameran lukisan dengan penuh pengharapan? Seperti anak ketjil jang masuk ketempat tidurnja pada malam sebelum Sinterklaas datang, atau seperti seorang jang duduk dalam kereta api jang akan membawanja kenegeri² asing. Penuh pengharapan, ta' mengetahui apa jang akan datang, peristiwa apa jang akan dialami. Bukankah sebuah lukisan merupakan avontuur jang telah terdjemah diatas kanpas atau kertas, terdjemahan sebuah peristiwa dalam djiwa pentjipta, jakni seorang seniman? Dan kita sebagai penonton boleh menjusul si seniman dalam perdjalanannja. Sudah tentu pengharapan tidak selalu dipenuhi, kadang² sangat terketjewa, djika tidak ada jang menarik hati.2 Paragraf ini membuka ulasannya yang bertajuk “Pelukis Nashar: spontan, segar dan djudjur”. OSY mengulas pameran tunggal Nashar di Jakarta yang menampilkan lukisan potret dan

pemandangan pohon. Ia menilai lukisan potret Nashar segar, jujur dan sederhana. Ketiga ciri ini nampak pada sebuah lukisan seorang gadis berbaju biru dan strip putih bernama Herta yang duduk termenung, kelelahan, namun sabar hati. Akan tetapi, OSY menilai bahwa lukisan pemandangan pohon sang pelukis terlihat lemah jika dibandingkan potret. Mungkin di sini letak kekecewaan sang penulis. Bahkan ada satu lukisan yang menurutnya tak perlu dipamerkan. Dari sini ia menyimpulkan bahwa “Nashar lebih perhatikan manusia dari pada alam sekelilingnja, dan potret adalah kekuatan kepandaiannja.”3 Ulasan ini kemudian diakhiri dengan bubuhan nama “Sian”. Siapa itu Lan? Entahlah, mungkin saja ia seorang teman OSY, atau justru kitalah para Lan yang ia tuju. Pembaca mungkin akan terkesima melihat gaya surat menyurat yang tak lazim untuk sebuah ulasan atau kritik seni rupa. Terlebih, ulasan ini terbit di majalah bernama Star Weekly. Sebagaimana kita membaca surat atau jurnal seseorang, tulisan ini terasa lugas dan intim. OSY seakan meleburkan batas antara 'pewarta' dan 'pembaca', dan memilih pendekatan yang bersahabat dalam menceritakan pengamatan dan perasaannya. Perhatikan juga bagaimana ia mengumpamakan dirinya sebagai seorang anak kecil yang menanti-nanti hadiah dari Sinterklaas ketika mengunjungi pameran. Tidakkah kita sesekali demikian? Sedangkan sebuah lukisan dianggapnya sebagai 'terjemahan' suatu peristiwa dan avontuur (petualangan) yang dialami para seniman. Pembaca akan menemukan cukup banyak gaya dan perumpamaan penuh harap ini di tulisan lainnya.


6

OSY (1926 - 2002) merupakan seorang penulis yang berpendidikan seni rupa. Ia belajar di Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar, kini FSRD ITB, pada 1949 - 1953, kemudian melanjutkan studi sejarah seni di Belanda. Ia menulis untuk Star Weekly sejak 1956 hingga 1961 ketika majalah ini dibredel pemerintah. Nama 'Oei Sian Yok' mungkin jarang kita dengar, karena sang penulis kerap menggunakan nama atau alias 'Pembantu Seni Lukis Kita' dalam tulisannya. Ia baru terangterangan menuliskan namanya di tulisan bergaya surat-menyurat, serta tulisan-tulisannya di 1961. Mengapa 'Pembantu Seni Lukis Kita'? Bisa saja kita artikan sesederhana itu: ia membantu kita menikmati dan mengapresiasi seni lukis dan seni rupa pada umumnya. Sebagai orang yang terpelajar, tentunya OSY punya pengetahuan seputar teknik, teori beserta sejarah seni lukis. Dalam salah satu ulasannya mengenai pameran bersama pelukis muda Bandung dan Jakarta, kali ini ditujukan pada seorang bernama Giok, ia menulis demikian: … Mungkin engkau akan mengira bahwa menggambar dengan tjat air lebih mudah daripada dengan tjat minjak. Tetapi anggapan jang umum ini tidaklah benar. Melukis dengan tjat air memerlukan lebih banjak kepandaian dalam hal tehnik karena kalau sekali dilukiskan tak dapat


7

diubah lagi, sedangkan lukisan tjat minjak jang gagal masih dapat diperbaiki lagi. … 4 Saya pikir OSY sadar betul akan tugasnya sebagai penulis, yang, selain mewartakan 5W1H, juga harus membahasakan idiomidiom seni rupa, untuk menuntun dan menumbuhkan pemahaman dan apresiasi di kalangan pembacanya; Suatu inisiatif yang wajar mengingat 1950-an adalah dekade bagi akademi-akademi seni, seperti FSRD ITB dan ISI Yogyakarta, yang melahirkan seniman seperti G. Sidharta, A.D Pirous, Achmad Sadali atau Popo Iskandar; Deretan seniman yang karyanya pernah diulas oleh OSY, dan kini menjadi nama-nama besar di kancah seni rupa modern Indonesia. OSY, pun, bisa kita sebut sebagai representasi dekade akademi seni ini, hanya saja ia berada di sisi kepenulisan dan kritik seni. Dari penggalan Sinterklaas tadi, kita tahu bahwa OSY piawai dalam mengilustrasikan suasana hatinya. Namun, ia juga tak kalah piawai dalam menggambarkan suasana suatu pameran yang hadir di depan mata. Ada satu penggalan di suratnya kepada Lan yang menceritakan suasana pameran kelompok Pelukis Rakyat dengan begitu cantik: Pameran Pelukis Rakjat di Djakarta ini djuga ikut membantu melaksanakan tudjuan ini. Pameran ini merupakan pusparagam jang menarik, demikianlah kesanku jang pertama2. Tetapi bukankah kehidupan di Indonesia ini memang penuh warna warni? Seorang asing jang berasal dari daerah dingin akan merasakan

warna2 itu sangat menjilaukan. Sebatang pohon flamboyant jang sedang berbunga tak akan luput dari perhatiannja. Dan orang2nja pun ikut menambah puspa warna itu dengan pakaiannja. Bahkan pakaian pria jang dulunja hanja terbatas pada warna2 jang sederhana sadja, kini dihiasi dengan kain Mambo, Scotchlight dsb.5 Tidakkah gambaran ini terasa glamor dan eksotis? Perhatikan pemilihan diksi yang menciptakan nuansa itu: 'pusparagam', 'menyilaukan', 'pohon flamboyan', 'puspawarna', 'Mambo', 'Scotchlight'. Terasa betul kemewahannya. OSY mungkin saja bermaksud mencatat suasana pembukaan pameran itu. Ia berdiri di tengah-tengah kerumunan kemudian menangkap suasana yang dilihatnya. Namun, sebagai penulis, ia tetap memberi jarak dan tidak tenggelam di dalam kerumunan itu. Ia mampu menulis dengan jernih. Upaya menjaga jarak ini bisa kita baca juga dalam penggalan ulasannya mengenai pameran kelompok seniman beretnis Tionghoa bernama Lembaga Seniman Yin Hua: Kepada Lan, Melihat lukisan2 merupakan kesenangan bagi saja. Tetapi maupun kesenangan djika berkelebihan tak dapat dirasakan pula. Demikian rasa saja setelah melihat intensip 181 (seratus delapan puluh satu!) lukisan jang ber-deret2 pada pameran ke-II Lembaga Seniman „Yin Hua” ini. Mendjadi merah, kuning, hidjau, ja segala warna pelangi menjilaukan mata saja dan bentuk2 rumah,


8

pohon, manusia dan lainnja berputar dalam kekatjauan. Maka, dalam keadaan demikian lebih baik membiarkan kekatjauan meresap seperti kopi tubruk jg. baru dituangi air hingga essence, jang merupakan bagian jang terbaik, terapung keatas.6 Esensi kopi yang terapung ke atas! Pembaca yang baik, tidakkah ini perumpamaan yang dramatik? Saya tak henti-henti mengaguminya. Seperti apa bagasi pengetahuan seorang OSY sehingga ia bisa menulis demikian? Saya jadi teringat, kritikus Bambang Bujono pun pernah menulis perumpamaan yang mirip ketika ia menggambarkan satu lukisan yang menonjol seakan menebarkan kabut bagi lukisan-lukisan yang lain dalam sebuah pameran.7 Kiranya, seorang penulis memiliki cara yang beragam dalam menggambarkan pengalamannya bertatap muka, berdialog dan bergulat dengan karya/pameran yang ditulisnya. Saya menyayangkan bahwa surat-surat OSY pada Lan dan Gion hanya hadir di 1957. Entah apa yang membuatnya atau mungkin redaktur Star Weekly dalam memberhentikan hal ini. Artinya, masih banyak tulisannya yang bisa kita telaah dari segi gaya dan wacana di zamannya. Namun, dari tulisan seperti itu kita bisa belajar: kita


9

diingatkan kembali akan pentingnya suatu moda penulisan seni yang enak, ramah dan eksploratif, yang mengajak kita mengandaikan dan mengimajinasikan karya, pameran maupun gagasan penulis sebagai suatu peristiwa yang asyik. Suatu karya tulis yang tidak melulu kering, kaku, terlalu deskriptif dan penuh jargon yang mengerikan, namun tetap tidak menelantarkan kaidah-kaidah jurnalistik dalam media, atau pun meninggalkan pertimbangan rasional akan nilai baik dan buruk sebuah karya/pameran yang menjadi kaidah utama sebuah kritik seni. Kita juga bisa melihat peran Star Weekly, sebagai media massa, dalam menampung tulisan surat-menyurat ini. Walau kita harus menelusuri kebijakan redaksional Star Weekly lebih jauh, kita bisa menspekulasikan bahwa para redaktur telah memberikan ruang yang luang bagi tulisan yang cenderung bebas dan bukan pewartaan yang datar. Kini, media independen yang menampung eksplorasi kepenulisan terbilang sedikit. Ulasanulasan masih harus menumpang media massa umum yang tentunya memiliki kebijakan dan kecepatan penerbitannya sendiri. Lagipula, menjalankan media independen yang memanjakan penulis dan tulisan yang kita idam-idamkan itu tidaklah mudah. Biaya dan tenaganya yang terlalu besar untuk minat baca yang minim. Saya pikir, penulis saat ini harus mahir dalam menyiasati kebijakan media dan keinginan artistik pribadinya, atau justru menjadi media itu sendiri, mengingat banyaknya platform publikasi yang tersedia kini. Pembaca yang baik, dari OSY kita belajar bahwa kritik seni pun adalah sebuah catatan avontuur yang dialami oleh penulis

ketika ia berhadapan dengan karya atau peristiwa. Kita, sebagai pembaca, bisa menyusul sang penulis ke dalam petualangan itu, sebagaimana OSY menyusul para seniman ke dalam karyanya. Tidakkah hal ini membuat kegiatan membaca sebuah kritik, beserta laku menulis itu sendiri, menjadi sesuatu yang seru? Sekian dari saya. Ibrahim Soetomo

1

Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Tulisan Oei Sian Yok 1956 - 1961 (Brigitta Isabella [ed.], 2020) merupakan bagian dari Trilogi Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa yang diterbitkan oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta dan penerbit Gang Kabel bersamaan dengan pameran Mengingat-ingat Sanento Yuliman, Galeri Cipta ll, 2019 - 2020. 2 Oei Sian Yok, “Pelukis Nashar: spontan, segar dan djudjur”. Star Weekly. 30 Maret 1957. Pada tulisan ini saya mempertahankan ejaan tulisan sebagaimana yang tertera pada buku. 3 Idem. 4 Oei Sian Yok, “Gabungan pelukis2 Bandung dan Djakarta”. Star Weekly. 9 Februari 1957. 5 Oei Sian Yok, “Pameran Pelukis Rakjat”. Star Weekly. 2 Maret 1957. 6 Oei Sian Yok, “Yin Hua Berpameran di Hotel des Indes”. Star Weekly. 12 Oktober 1957. 7 Bambang Bujono, “Antara Lukisan dan Ruang”, dalam Ardi Yunanto (ed.). Melampaui Citra dan Ingatan: Bunga Rampai Tulisan Seni Rupa 1968 - 2017. 2017. Jakarta: Yayasan Jakarta Biennale. Hal 12 - 13.


10

“KO-ORDINAT”: NOTABENE DAN ANOTASI SINEMATIK ATAS WACANA PINGGIRAN Oleh: Manshur Zikri

DALAM ARAS DISIPLIN komunikasi dan kajian budaya, konon dikenal beberapa ilustrasi umum untuk memahami bahasa, salah satunya adalah dengan memahami model isyarat pada APILL (alat pemberi isyarat lalu lintas) yang bekerja menyampaikan makna tertentu, melalui suatu kerja representasi, kepada para pengendara motor di jalan. Menurut Stuart Hall (1997), sebagai sebuah sistem penandaan, lampu lalu lintas bisa menandakan makna “stop”, “jalan”, ataupun “bersiap-siap” bukan karena warna “merah”, “hijau”, dan “kuning” itu sendiri, tetapi justru karena adanya pengetahuan [dari budaya] kita tentang fakta bahwa ketiga lampu itu masing-masing memiliki spektrum yang berbeda dan, yang terutama, ketiganya diletakkan dalam susunan dan urutan serta posisi tertentu. Merujuk para konstruksionis, ia menyatakan bahwa “perbedaan antara Merah dan Hijau-lah yang menandakan” (Hall, 1997, hlm. 27). Sengaja saya menukil ilustrasi teoretis di atas agar dapat, terlebih dahulu, menggiring arah pembahasan kita tentang upaya pencarian makna baru dari hubungan antara wacana “pusat” dan “pinggiran”. Tentu saja bukan dengan maksud untuk mengungkitungkit pembedaan sifat dari keduanya (dalam pengertian dikotomis) ataupun untuk mengesampingkan potensi dialektis yang sangat dimungkinkan dalam relasi mereka satu sama lain. Akan tetapi, di dalam esai ini, saya ingin mencoba memaparkan refleksi mengenai gagasan “Pinggiran”—yang mendasari topik kuratorial Biennale Jogja XV 2019: Do We Live in the Same Playground?—dengan suatu anotasi sinematik terhadap sebuah karya yang juga turut dipamerkan pada acara seni dua tahunan Yogyakarta tersebut. Karya yang hendak saya elaborasi adalah


11

Letters from Panduranga (2015), sebuah film experimental yang menggunakan pendekatan esaistik, yang dibuat oleh Nguyen Trinh Thi, seorang sutradara dan seniman media yang berasal dari Hanoi, Vietnam. “Ko-ordinat” sebagai Titik Berangkat Gagasan Emansipasi Terkait tema Biennale, apa yang perlu kita garis bawahi terlebih dahulu—sebagaimana kuratorial Biennale Jogja 2019 sudah tegaskan juga—ialah tentang keberadaan “pinggiran” di dalam kontestasi dan hubungan-hubungan kekuasaan: ia kerap digunakan untuk mengafirmasi keberadaan “pusat”. Namun, lewat sudut pandang itu, kita juga bisa berujar bahwa “yang pusat” menjadi berarti justru karena ada “yang pinggiran”, dan begitu pula sebaliknya (perlu kita akui) bahwa “yang pinggiran” menjadi penting karena “yang pusat” itu tetap ada. Tapi yang menarik, membedakan (atau menegaskan keberadaan) keduanya masing-masing dengan cara tersebut, malah menggaungkan suatu nuansa kesetaraan—dari segi filosofisnya, tentu saja, yang bisa menggeser (atau membuat kita beranjak dari) pembagian “ordinat” vs “sub-ordinat”—yang mana sebenarnya ada domain ketiga yang sering terlupakan, yaitu “super-ordinat”—ke pengertian yang lebih bersifat seimbang, yaitu tatkala semuanya dilihat sebagai hal-hal yang terletak pada derajat yang sama, dan hubungannya dapat dipahami sebagai suatu bentuk “ko-ordniat”. “Ko-ordinat” dalam hal ini tentu saja murni dari pemboncengan gagasan “konformitas” karena “keselarasan” yang dimaksud bukanlah dalam arti menafikan keberadaan

“konflik”, terlebih-lebih gagasan yang mengarah pada penghilangan kesadaran [pertentangan] kelas. Imajinasi tentang “yang pinggir menyeimbangi yang pusat” ini, dalam hemat saya, sebetulnya memiliki orientasi pada peluruhan pandangan stereotipikal kita mengenai “yang pinggir selalu tunduk (atau tidak berdaya) terhadap yang pusat”, ataupun labelisasi tentang “yang pinggir yang selalu memberontak”—atau bersifat “histerikal” (meminjam istilah para kurator Biennale Jogja 2019)—kepada yang pusat. Sudut pandang ini, dengan kata lain, perlu diketengahkan sebagai suatu upaya yang bisa mengafirmasi potensi berdaya dari apa yang selama ini dianggap “subordinat” atau “pinggiran”, alih-alih melanggengkan nilai superioritas dari “yang pusat” atau yang [super]ordinat itu. Demikianlah, sebagaimana dramaturgi pameran Biennale Jogja XV (Do We Live in the Same Playground?, 2019), terdapat tiga kategori pengalaman terkait topik tersebut, yaitu “pengalaman subordinasi”, “pengalaman resistensi”, dan “pengalaman emansipasi”, dan gagasan tentang “koordinat” yang saya maksud dalam esai ini, agaknya, merujuk pada model pengalaman yang ketiga. Berkaitan dengan ulasan atas karya, kita pun patut bertanya: bagaimana seniman mengartikulasikan pengalamanpengalaman emansipatif ke dalam karya yang menekankan bahasa metrik—mempertimbangakan hitunganhitungan puitik…? Anotasi Sinematik atas Gagasan “Koordinat” Kembali kita kepada contoh di awal, Stuart Hall menegaskan bahwa makna bersifat “relasional”—antara tanda dan konsep


12

yang ditetapkan lewat sandi tertentu (Hall, 1997, hlm. 27). Menarik konteksnya ke dalam kajian lingustik, terutama mengenai sandi, telah lama disepakati bahwa salah satu faktor utama dari suatu keterbacaan sandi adalah aspek sekuensial yang memungkinkan adanya celah antara satu huruf ke huruf yang lain. Pada celah-celah inilah relasi itu sesungguhnya bekerja sebagai sistem penandaan dan bergulir di dalam rezim bahasa. Setiap elemen pada sandi berdiri sama rata, saling ber-“koordinasi”. Dalam sejarah pemikiran mengenai sinema (atau bahasa film), dikenal apa yang dinamakan montase (seni menyusun gambar), yang dalam beberapa segi juga mengamini model sekuensial yang bekerja pada sandi. Pada visual gambar bergerak, misalnya, atau film, sebuah shot dapat dianalogikan seperti sebuah “kata”, sedangkan sebuah frame—shot terdiri dari kumpulan frame—bisa disejajarkan dengan sebuah “huruf”. Maka, sebuah skena (kumpulan shot) adalah “kalimat”, sementara sebuah sekuen (kumpulan skena) adalah sebuah “paragraf”. Namun, dalam mazhab Montase Rusia, teoretisasi Eisenstein—teori montase yang paling banyak diacu dan terbuktikan secara praktis—cenderung beranjak dari logika persandian semacam itu. Ia justru—dalam rangka menerapkan pendekatan materialisme ala Marxis—melihat bahwa montase bekerja secara utuh dalam pengertian “dialektika Hegelian”. Sebuah shot jika diikuti oleh shot yang lain, menciptakan suatu tegangan yang akan memancing lahirnya makna baru sebagaimana halnya hubungan “tesisantitesis-sintesis”. Pengertian relasi dalam pendekatan teoretik semacam ini masih

bersifat “mengikat” (sangat lekat dalam suatu asoiasi) dan mengerdilkan kemungkinan bagi suatu image (atau shot) untuk bisa menjadi bebas dan berdiri sendiri. Selain itu, penekanannya ialah pada “kualitas kontras” antar dua gambar dan sering kali juga terjebak pada hubungan yang “subordinatif”. Pendekatan lain yang lebih kontekstual dengan gagasan ini, saya kira, ada pada pemikiran Dziga Vertov (1919) tentang “teori interval”. Dalam pandangan teoretisnya, Vertov menekankan “hubungan ritmis” antara dua image (atau shot, atau frame) terlepas sejauh apa “kualitas kontras”-nya, yang diintervensi ke dalam suatu pola kinestetik. Sebab, menurut Vertov, dengan memanfaatkan permainan ritmis terhadap peluang yang dihadirkan “intervalitas” antar-image (yaitu, celah-celah dari setiap image), penonton justru akan merasakan sensasi kinesthesia—resolusi kinetik. Mengacu Vertov, jika kita menaruh perhatian yang besar terhadap “hubungan” (yang juga berarti “celah di antara”) dua image, maka sebagai suatu deretan objek yang berturutan, kedua image tersebut akan terlepas dari beban mengenai kualitas substansi yang dikandungnya. Dan dalam situasi itu, sebuah gambar, jika merupakan bagian dari suatu sekuens, akan tetap berhubungan dengan gambar yang lain, tetapi keberadaannya tidak terikat dalam sebuah asosiasi. Hubungan antar-image pun menjadi horizontal dan setara. Selain itu, dengan peluangnya untuk bisa saling berdiri sendiri meskipun dalam satu sekuen, akan menciptakan keterhubungan yang (bisa jadi) tidak nyambung, atau mempunyai daya untuk menghasilkan diskontinuitas yang unik. Meminjam istilah Deleuze (Deleuze, 1989),


13

yang terjadi ialah keterhubungan ulang dari citra-citra yang independen alih-alih terasosiasi. Dengan kata lain, sebuah celah, atau interval, antara dua objek pada dasarnya juga membuka “dialektika” (upaya penemuan makna baru) meskipun tidak melulu dalam konsepsi Hegelian (lihat juga pembahasan teoretik dari Rascaroli, 2017). Refleksi Gagasan “Ko-ordinat” pada “Pinggiran” Biennale Jogja Dengan melandaskan argumen pada pemaparan saya di dua subjudul sebelumnya, saya hendak menyatakan bahwa konsep “Pinggiran” pada Biennale Jogja, agaknya, akan lebih bermakna jika kita menyikapinya sebagai sesuatu yang dihubungkan secara setara dengan “Pusat”. Sikap inilah yang menunjukkan kekuatan “berdaya” daripada terjebak dalam jargon “pemberdayaan” (mengejar kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan). Sikap ini mengandaikan suatu situasi bahwa setiap elemen dalam sebuah sistem memiliki dayanya masing-masing yang dengan demikian menawarkan spekulasi tentang situasi yang seimbang. “Keseimbangan” yang semacam itulah yang membuat “wacana tanding” menemukan tujuan politisnya secara subtil. Dari sekian banyak karya yang dipamerkan pada Biennale Jogja XV yang berlangsung tanggal 20 Oktober hingga 30 November 2019, menarik untuk meninjau kembali karya Nguyen Trinh Thi yang berjudul Letters from Panduranga (2015).


14

Baik dari segi modus pengungkapan secara visual maupun pendekatan naratif, Nguyen menggaungkan gagasan “koordinat” yang sudah saya coba paparkan di atas. Menggunakan model epistolari (berbalas surat), film ini bermain-main dengan apa yang patut disebut sebagai “ruang-antara” (lihat Rascaroli, 2017, hlm. 151-154), yang dengan kata lain, ia menaruh perhatian yang tinggi terhadap “hubungan”. Sebagaimana juga termuat dalam sinopsis film ini (Thi, 2015), disebutkan bahwa Letters from Panduranga membingkai fakta sosial tentang kebijakan pemerintah Vietnam yang, baik secara langsung maupun tidak, mengancam kelangsungan hidup masyarakat pribumi dan budaya Hindu matriarkal kuno Champa. Film ini bermain-main pula dengan hubungan antara “yang fiksi” dan “non-fiksi” (yang dengan kata lain menunjuk langsung rezim kategorisasi sinema berbasis pandangan subordinatif tentang mana yang lebih unggul, film fiksi atau dokumenter). Selain itu, film ini juga bermain dengan resepsi penonton mengenai “latar depan dan belakang, antara penggambaran yang dekat dan pemandangan yang jauh…”, serta menawarkan refleksi mengenai “posisi seniman” (Thi, 2015, para.2) yang kerap berhadapan dengan “situasi antara”: ketika terlibat dengan masyarakat di lokasi produksi, dan ketika harus memutuskan untuk pergi (menyudahi kegiatan produksi, dan meninggalkan mereka); juga permainan tentang keterhubungan ulang antara masa lalu, masa kini, dan masa depan, serta antara pengalaman terhadap kolonialisme dan kenyataan teraktual dari hari-hari sekarang (Thi, 2015, para. 3). Apa yang menarik dari film ini ialah keputusannya untuk menggunakan

pendekatan “esaistik” sebagai gaya ungkap. Karakteristik esai cenderung menawarkan makna terbuka daripada simpulan yang bersifat tertutup, yang pada derajat tertentu bisa saja menyiratkan kebimbangan personal yang kritis dari sisi si pengarang/sutradara, tetapi secara bersamaan tetap menunjukkan opimismenya yang kuat untuk tetap mempertahankan ekspresi. Ambiguitas sikap ini pun pada akhirnya mengafirmasi permainan atau eksperimen dalam tataran konseptual tentang—lagi-lagi—hubungan antara “yang pasti” dan “tidak pasti”, antara “hal berbasis bukti” dan “spekulasi”. Keterbukaan gaya ungkap dari esai film, dengan demikian, membuka interpretasi yang begitu luas bagi penonton. Sebagaimana esai—dalam pengertian Theodor W. Adorno (Adorno, 1991, dalam Rascaroli, 2017, hlm. 5)—“esai film” juga mengamini “pertentangan terhadap zaman”, menolak apa yang telah mapan—dalam hal ini adalah bahasa/montase sinema. Letters from Panduranga berada pada ranah itu. Alih-alih menghadirkan konflik yang bersifat dialektis ala Hegelian, ia menggunakan pendekatan “ko-ordinat” dengan sangat cemerlang. “Ko-ordinat” dalam arti bahwa setiap elemen di dalam filmnya memiliki saya untuk berdiri sendiri, tetapi hubungan dari kesemuanya berlangsung secara horizontal dan tetap merangsang pemaknaan baru bagi penonton. Lihatlah, misalnya, adegan ketika kamera menyoroti para lelaki Cham dalam bentuk split screens ('layar terbagi'), yang sengaja diatur menampilkan adegan (dengan sudut ambilan gambar) yang sama persis tetapi dalam momen durasi yang berbeda


15

beberapa detik. Sejumlah orang dengan sadar melihat ke kamera, sedangkan yang lain sengaja menghidari tatapan kamera. Dua realitas yang terbagi ke dalam dua layar tersebut menegaskan kesetujuan Thi atas karakteristik esai yang cenderung menjukstaposisi setiap elemen daripada mengikatnya ke dalam suatu bangunan deduktif yang bersifat menjelaskan. Seiring dengan gerak kamera, suara laki-laki memaparkan tentang sudut pandang media arus utama mengenai posisi kaum pribumi (atau kaum pinggiran; kaum subordinat) yang kerap “terdikte” oleh kamera. Menyusul dengan kalimat tersebut, ialah suara perempuan (suara Thi sendiri) yang menyiratkan kritisismenya terhadap kontrol kamera yang dipegang oleh seorang sutradara. Aspek eksperimentasi pada Letters from Panduranga justru mencolok dalam hubungan ketiga elemen yang, jika dideretkan dalam satu persandian sekuensial, justru menciptakan suatu diskordansi. Alih-alih saling men-subordinat atau men-superordinat satu sama lain, masing-masing elemen dalam adegan ini berdiri dalam hubungan horizontal yang sama rata, tetapi merancang kritisisme kita, penonton, tentang kerja ideologi kolonial (yaitu: pembangunan nuklir dan kerja aparatus film—kamera) terhadap warga pribumi yang terancam hilang. Dengan konstruksi sebagaimana contoh dalam adegan tersebut, Thi justru melakukan kritik diri, yaitu tentang posisinya sebagai “pemegang kuasa (lewat kamera)” terhadap subjek yang ia rekam, tetapi juga posisinya sebagai pihak yang memiliki ikatan dengan kelompok masyarakat Cham terhadap rezim pemerintah. Dengan kata lain, Thi menempatkan dirinya sendiri di “ruang-antara” dan berposisi dalam relasi yang “ko-ordinatif” alih-alih membawahi dan membawahkan yang lain. Perlakuan yang sama, tentang indikasi bahwa Thi bukan saja menguak latar subjek-subjek yang ia rekam, tetapi juga mengiterogoasi dirinya sendiri sebagai pembuat film, sekaligus investigasi terhadap ketidakadilan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah Vietnam, juga dapat kita lihat pada adegan-adegan diam (“potret sejumlah subjek”). Modus seperti ini, sebagaimana diakui oleh Thi sendiri, memang menjadi ciri khasnya dalam berkarya: “…saya menjelajahi hubungan kekuatan antara si perekam dan subjek yang direkam karena kamera mempunyai semacam kekuatan atas subjeknya.” (Thi, Curiosity and the role of the artist: Vietnamese artist and filmmaker Nguyen Trinh Thi – interview, 2017)


16

Menutup esai ini, saya ingin menyampaikan bahwa kehadiran Letters from Panduranga di Biennale Jogja XV 2019: Do We Live in the Same Playground? barangkali menjadi salah satu tancapan penting bagi kita untuk tetap menguatkan pemikiran mengenai usaha untuk menyetarakan esensi “Pinggiran” terhadap yang “Pusat” tanpa menghilangkan kesadaran kita sendiri mengenai adanya pertarungan kelas yang tetap harus diperjuangkan. Namun, Letters from Panduranga sudah memprovokasi kita, bahwa usaha penciptaan “wacana tanding” tidak perlu dilakukan secara histeris, tetapi juga bisa lewat gumam-gumam naratif yang puitik. *** Bibliografi Hall, S. (1997). Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London, Thousand Oaks & New Delhi: Sage Publications & Open University. Arham Rahman, A. A. (2019). Do We Live in the Same Playground? In I. N. Anshari (Ed.), Do We Live in the Same Playground? (hlm. 31-34). Yogyakarta: Yayasan Biennale Yogyakarta. Deleuze, G. (1989). Cinema 2: The Time-Image. (H. T. Galeta, Terj.) Minneapolis: University of Minnesota Press. Thi, N. T. (2015). Letters from Panduranga (2015). Diakses dari Nguyen Trinh Thi: https://nguyentrinhthi.wordpress.com/2015/05/21/in-smoke-and-clouds2015/ Adorno, T. W. (1991). The Essay As Form. In T. W. Adorno, & R. Tiedemann (Ed.), Notes to Literature (S. W. Nicholsen, Trans., Vol. I, hlm. 3-23). New York: Columbia University Press. Thi, N. T. (17 Desember 2017). Curiosity and the role of the artist: Vietnamese artist and filmmaker Nguyen Trinh Thi – interview. (A. Radar, Pewawancara) Rascaroli, L. (2017). How the Essay Film Thinks. New York: Oxford University Press.


17

DEKONSTRUKSI GENDER: NARASI MELWAN MARGINALISASI DALAM BIENNALE JOGJA #5 Oleh: Anam Khoirul

Pada 2019, Biennale Jogja seri Equator (khatulistiwa) yang diperhitungkan dalam konstelasi seni internasional memasuki proyek kelima dari enam agenda pameran, dari tahun 2011 sampai 2021. Pada tahun ini, Biennale Jogja bekerja sama dengan negaranegara di kawasan Asia Tenggara, mengangkat isu tentang “pinggiran” dalam fenomena sosial, politik, dan kebudayaan yang terjadi di Asia Tenggara, yang mana bukan lagi hal baru di skena seni. Bertajuk “Do we live in the same playground?” dikuratori oleh tiga kurator; Akiq AW dan Arham Rahman (Indonesia), dan Penwadee Nophaket Manont (Thailand), bekerja sama dengan 52 seniman individu maupun kelompok, 33 seniman Indonesia dan 19 seniman Asia Tenggara. Digelar di tiga lokasi; Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jogja National Museum (JNM) dan Kampung Ketandan-Jogoyudan, pada tanggal 20 Oktober - 30 November.


18

Masuk kedalam pameran terbaik 2019 dari 15 pameran di seluruh dunia versi Hyperallergic ini terlihat sangat kompleks dan berlapis, namun lengkap. Kenapa saya katakan lengkap? Tak lain karena karyakarya artistik yang dipamerkan dalam Biennale Jogja #5 ini mencakup berbagai aspek yang sering kali mencoba dipisahkan dari seni, ataupun dikotakkotakan dalam keranjang yang berbeda. Seperti masalah identitas (agama, ras dan gender), sosial, politik, sejarah, lingkungan, kemanusian dan kebudayaan. Kita dapat melihat “pinggiran” tidak terbatas pada geografis atau tempat. Tetapi lebih mengarah pada subjek yang dirugikan atau dimarjinalkan dalam struktur masyarakat, yang didialogkan kurator dan seniman dalam “playground” yang disebut menjadi ruang hidup dan ekspresi. Hal ini menjadi menarik dalam sebuah pameran seni, dan tentunya karya-karya tersebut relevan dalam konteks hari ini. Mengingat di mana Indonesia dan kawasan Asia Tenggara mempunyai sejarah kolonialisme dan neokolonialisme yang sama. “Do we live in the same playground? Pinggiran?” pertanyaan kritis inilah yang dijadikan tajuk dan pegangan dialog dalam pameran. Namun, dalam pameran tersebut tidak merepresentasikan politik secara langsung yang menyebut sebagai pinggiran di medan seni Internasional (global art world), karena melihat Asia Tenggara dan Indonesia sendiri juga membuat konstruksi geopolitik (pinggir dan pusat). Bagi saya, karya-karya yang dipamerkan sangat menarik semua dalam segi wacana dan estetika, dan membuat saya terkesan. Dari ke 52 karya yang saya lihat, saya tertarik dengan beberapa karya yang

mengangkat tentang isu gender. Seperti karya Citra Sasmita dengan Timur Merah Project: The Embrace of My Motherland, Tamarra dengan Menelusuri Bissu, Ika Vantiani dengan Proyek Kata untuk Perempuan, Yosep Arizal feat Laviaminora dengan Tanggalan Barohiwiyah, Ferial Afif dengan PU/S/T/A/T/K/R/A berkolaborasi dengan sembilan seniman, dan Muslimah Collective dengan kehidupan muslim di Pattani, Thailand. Narasi Melawan Marginalisasi oleh Patriarki Umumnya, seniman mempresentasikan, mengekspresikan diri maupun mengkritisi lingkungannya pada karya yang ia ciptakan. Demikian yang dapat kita lihat dari karya-karya seni yang disajikan dalam pameran ini. Isu gender dalam ke-enam karya yang sudah saya sebutkan tersebut memiliki fokus masing-masing, ada yang menyoal tentang konter narasi budaya patriarki, feminisme, seksualitas male gaze, kesetaraan gender, dan sistem gender. Berangkat dari teori sosiologi gender, status dianggap paling penting —yang kita peroleh melalui upaya sendiri atau dengan anggapan yang dilahirkan— seperti jenis kelamin, ras, dan kelas sosial. Mengapa? Karena status adalah sebuah posisi dalam sistem sosial. Adanya kelas sosial menyebabkan adanya sebuah peran yang terkait dengan suatu status, yang sesuai dengan norma sosial dalam situasi tertentu. Norma sosial menentukan hak istimewa dan tanggung jawab yang dimiliki status. Seperti wanita dan pria, ibu dan ayah, dan anak perempuan dan laki-laki, semuanya berstatus melekat dengan persyaratan peran normatif yang berbeda,


19

yang kita sebut gender role (peran gender). Struktur sosial, status, dan peran memungkinkan mengatur kehidupan kita dengan cara yang konsisten. Hal ini menimbulkan stereotip, di mana terkadang stereotip yang negatif dapat mengakibatkan seksisme. Kemudian seksisme diabadikan oleh sistem patriarki, struktur sosial yang didominasi laki-laki. Norma-norma berpusat pada laki-laki yang beroperasi di semua lembaga sosial, menjadi standar yang dipatuhi semua orang. Mengarah pada keyakinan bahwa status perempuan lebih rendah daripada status laki-laki, dan tidak dapat diubah karena peran gender ditentukan secara biologis (Linda L Lindsey, 2015, p. 2-3). Sebagai seniman Citra Sasmita hadir untuk mengonter narasi demikian —kontra-narasi terhadap teks-teks kanon budaya Bali kuno yang mendukung kuasa laki-laki dan kepahlawanan (masculine)— yang kerap menjadi sentral kekuasaan dan lahir di lingkungan elit pria istana. Karya seri kedua dalam proyek Timur Merah —setelah The Harbour of Restless Spirits— adalah sebuah kritik yang sama, bagaimana Citra menggambarkan perempuan menjadi tokoh sentral dalam setiap karyanya. Narasi ini ingin menawarkan interpretasi alternatif yang mungkin memberi jalan bagi pengetahuan baru, yang membahas tentang penciptaan dan hubungan manusia. Dalam konteks ini, Citra mencoba merekonstruksi narasi lama yang sangat patriarkis dalam teks kanon terutama babad di Bali, seperti peperangan dan seksualitas. Selain Citra, Ferihal Affif dalam Program Residensi Kelana dan


20

Rimpang Nusantara juga menghasilkan narasi baru tentang kepahlawanan atau tokoh-tokoh perempuan —yang tidak dikenal dalam narasi sejarah arus utama yang didominasi oleh laki-laki— selama menelurusi Sumatera Timur. Dalam penelusuran tersebut, Ferial mengunjungi situs, membaca arsip, dan menggali cerita dari narasumber. Kemudian ia mengajak sembilan seniman perempuan muda; Anjani Citra, Aurora Sastika P, Dwi Kartika Rahayu, Ida Ratnaningrum, Irene Indirasari, Reza Prastica Hasibuan, Saranova Sandradewi, Titiek Sundari, dan Veronica Liana untuk menggambarkan citra wajah perempuan ini melalui cerita-cerita yang ia hadirkan. Proyek ini menjadi upaya bersama sebagai narasi tandingan dan untuk membangkitkan kembali sejarah yang dimarginalkan. Citra dan Ferial menolak dalam struktur sosial yang dibentuk dominasi laki-laki, yang secara konsisten diabadikan dalam budaya patriarki. Dalam “Proyek Kata untuk Perempuan” juga memberi prespektif lain dari narasi dominan, meskipun tidak terlalu radikal dan provokatif seperti Citra. Ika Vantiani mengawalinya dengan lokakarya kolase yang dilakukan pada bulan Oktober 2015, di mana peserta dari lokakarya menjawab pertanyaan “apa satu kata yang artinya perempuan untukmu?” untuk membuat sebuah kolase. Hal ini dilakukan Ika mengingat narasi utama dalam budaya patriarki tidak mampu mendeskripsikan tentang perempuan secara luas dan adil. Menariknya, Ika tidak sendiri untuk membuat narasi baru tentang perempuan, ia melibatkan partisipasi publik.


21

Dipresentasikan lewat bahasa yang dipergunakan sehari-hari, kemudian diilustrasikan melalui kolase manual, yang ditampilkan kembali ke publik. Kata-kata yang muncul dari proyek ini sangat bermacam-macam, seperti tough, pemimpin, gossip, kuat, belanja, Potret lain menyoal marginalisasi perempuan juga datang dari luar Indonesia, perlawanan melalui seni datang dari bagian paling Selatan Thailand. Mereka adalah Keeta Isran, Nuriya Waji, Heedayah Mahavi, Kusofiyah Nibuesa, dan Arichama Pakapet. Lima seniman yang tergabung dalam Muslimah Collective ini berusaha mengangkat realitas masyarakatnya dalam bingkai pandangan tentang jilbab, dengan merepresentasikan keseharian muslimah di pinggiran Thailand yang mayoritas agamanya Buddha. Mereka ingin menunjukan bagaimana nilai keperempuanan dan refleksi kecantikan tidak hanya datang dari pusat, dengan kata lain mereka ingin memperjuangkan identitas mereka, soal kesetaraan dan harapan tentang perdamaian. Hal senada juga hadir dari irama musik heavy metal, oleh remaja-remaja muslimah asal Garut pada pembukaan pameran. Lewat seni sebagai simbol resistensi, mereka berusaha melawan pandangan Islam konservatif di pinggiran Jawa Barat. Semangat yang sama antara Voice of Baceprot dan Muslimah Collective, dalam bingkai pandangan soal jilbab.


22

Objektifikasi Tubuh Perempuan Upaya mendekonstruksi gender melalui narasi baru untuk melawan patriarki dalam memarginalkan perempuan adalah hal penting. Suatu langkah untuk penghapusan penindasan perempuan terutama dalam segi struktural. Namun —dilihat dari sejarah hingga saat ini— mengapa dalam semua proyek tersebut masih menggunakan objek perempuan? Pertanyaan ini mengingatkan saya pada poster yang menampilkan tubuh bergambar dari Grande Odalisque Ingres berkepala gorila —yang dibuat kolektif feminis the Guerrilla Girls tahun 1989— dengan teks “Apakah perempuan harus telanjang untuk masuk Museum? Kurang dari 5% seniman dari bagian seni modern adalah perempuan, tetapi 85% nya adalah perempuan telanjang”. Pertanyaan tentang objektifikasi tubuh perempuan mengantarkan saya pada tulisan Citra Sasmita di laman Jurnal Perempuan, yang mengkritisi pendapat Basoeki Abdullah tentang “perempuan itu lebih cocok dilukis bukan sebagai pelukis”. Dalam tulisanya, ia berpendapat bahwa, “Dalam membentuk paradigma seni rupa di Indonesia, tidak cukup banyak perempuan perupa yang mengungkapkan pengalaman objektif mereka dalam bentuk karya, karena subyektifitas masih membelenggu mereka dalam gagasan-gagasan visual”. Citra juga menjelaskan alasan mengapa ia lebih memilih objek perempuan telanjang yang ditonjolkan pada karya-karyanya, dalam artikel Mendobrak Nilai-Nilai Patriarki Melalui Karya Seni (2018), alihalih mengobjektifikasi laki-laki. Ia mengatakan “rasa malu yang dialami perempuan ketika melihat kemaluannya sendiri merupakan konstruksi dari

masyarakat patriarkis”. Ketelanjangan di sini merepresentasikan sebagai simbol untuk kejujuran dan kemurnian identitasnya. Namun, saya menangkap hal yang lebih mendasar dari sekedar mengobjektifikasi tubuh perempuan. Berdasarkan analisa saya, tubuh perempuan dalam karya Citra tidak memiliki peran pasif sebagai objek tontonan pria. Sependapat dengan Citra yang mengatakan bahwa ketelanjangan dalam karyanya tidak menggambarkan sosok telanjang secara realistis. Tidak seperti karya-karya Basoeki Abdullah yang cenderung menonjolkan keindahan dalam artian superfisialnya saja. Ini berbeda dengan S. Sudjojono pada karya “Di Depan Kelambu Terbuka” (1939), meski sama sama melukis dengan objek perempuan. Untuk contoh lain, coba bandingkan “Gadis Bali” (1942) karya Basoeki Abdullah dan “Gadis Bali di Pintu Batu” (1941-1946) karya Emiria Soenassa. Kita dapat melihat perbedaanya, dalam “Gadis Bali” diperhitungkan sebagai objek hasrat. Di sini male gaze (tatapan laki-laki) bergerak antara pandangan ilmiah dan estetika seksual dengan visual. Berbeda dengan “Gadis Bali di Pintu Batu”, Emiria menggambarkan perempuan secara hidup. Alih-alih menonjolkan keindahan dan keeksotisan gadis bali, ia justru menggambarkan perempuan yang terlihat terhimpit oleh sebuah bangunan batu, yang dimetaforakan sebagai konstruksi budaya yang menghimpit. Emiria juga berusaha menolak pengidealan tubuh perempuan dan male gaze ketika melukis perempuan. Begitupun dengan karya Citra “The Embrace of My Motherland” pada Biennale Jogja ini. Jadi, hubungan perempuan dengan objek-objek visual ini tidak pernah polos. Perhatian terhadap perempuan


23

sebagai pemirsa aktif harus menghadapi politik dari berbagai pertemuan visual. Berhubungan dengan male gaze, kita diarahkan pada karya Yosep Arizal “Tanggalan Barohiwiyah” yang menarik perhatian. Karya apropriasi dari sebuah teks primbon Jawa yang menghimpun pengetahuan seksualitas. Di mana terdapat sistem penanggalan 15 hari, yang bercerita tentang 15 bagian badan perempuan yang perlu disentuh pada hari-hari tertentu sebelum bercinta. Tentu sama seperti teks-teks kanon lain, dalam kitab ini ditulis dengan pandangan laki-laki (male gaze). Hal ini punya narasi resistensi yang sama dengan Citra soal seksualitas, tetapi yang berbeda dan menarik adalah ketika Yosep memiliki status laki-laki yang menempel, dan ia memberi intervensi dengan membuat narasi tandingan melalui ubahan posisi laki-laki sebagai objek tatapan dalam karyanya. Namun, posisi Yosep sebagai laki-laki membuatnya sadar akan keobjektifannya dipertanyakan. Oleh karena itu, untuk menjaga keobjektifan dalam tatapan (non male gaze), ia mengandeng seorang seniman sekaligus penggiat isu perempuan, Farah Al-Kaff (Laviaminora). Ini adalah sebuah negosiasi yang baik. Alih-alih dibingkai fokus pada kesenangan visual laki-laki dalam tubuh perempuan, interpretasi perlu mengakui multiplikasi konteks, hubungan penerimaan, keberagaman, kontingen makna, dan efek representasi.


24

Dekonstruksi Gender Dalam dialog antar karya yang sudah kita bahas di atas, ada celah kelemahan dan kekurangan dalam narasi tandingan arus utama (patriarki). Bagi Butler's dalam Gender Trouble (1990), ketika narasi alternatif semakin kuat memperlakukan "perempuan" sebagai kelompok yang koheren dan bersatu adalah titik awal sebuah masalah. Baik budaya mainstream dan feminisme cenderung setuju bahwa "perempuan" adalah kategori yang logis: apakah itu membenarkan stereotip dan diskriminasi terhadap perempuan, atau memperjuangkan hak dan kesetaraan bagi perempuan. Hal ini, menunjukkan bahwa menjadi seorang wanita bukanlah ciri identitas yang menentukan mereka terhindar dari penindasan lainnya. Dengan kata lain, malah berisiko mempertegas dan memperkuat hubungan gender yang mendukung ketidaksetaraan dan penindasan. Maka dari itu, setiap orang —termasuk feminis— harus menghindari generalisasi dan asumsi universal tentang "perempuan" atau "laki-laki" seolah-olah itu adalah kategori yang logis. “Jenis kelamin” dalam hal ini tidak hanya kategori biologis atau kategori sosial —dan karenanya berbeda dari “gender” — tetapi kategori linguistik yang ada, seolah-olah, ada perbedaan antara sosial dan biologis. Istilah “jenis kelamin yang bukan satu” dipahami dengan tepat sebagai apa yang tidak dapat ditangkap oleh angka. Pendekatan lain bersikeras bahwa "transgender" tidak benar-benar jenis kelamin ketiga, tetapi mode perpindahan antar jenis kelamin, tokoh gender interstitial dan transisi yang tidak dapat direduksi menjadi desakan normatif pada satu atau dua. Hal ini

mengajarkan kita bahwa gender adalah "suatu hubungan" termasuk seperangkat hubungan, dan bukan atribut individu. Untuk itu, seperti pendapat saya diawal yang mengatakan bahwa pameran ini lengkap untuk sebuah perhelatan. Bagaimana narasi alternatif soal resistensi melawan marginalisasi oleh patriarki, dengan apik dilengkapi oleh narasi lain soal sistem gender yang tidak biner. Penyeimbang untuk mendekonstruksi gender tersebut dapat dilihat pada karya Tamarra —aktif melakukan berbagai riset dan proyek terkait dengan isu-isu transgender— berjudul “Menelusuri Bissu”. Dalam hal ini, perbedaan cara orang mengembangkan seksualitas dan menggambarkan bahwa tubuh tidak perlu dianggap sebagai pria atau wanita. Keragaman historis dan budaya dalam bagaimana gender dipahami menunjukkan kepada kita bahwa identitas tidak harus bersifat biner, atau berdasarkan pada pemahaman kita saat ini tentang apa itu menjadi maskulin atau feminin. Meskipun Tamarra tidak fokus membahas sistem gender, isu ini penting untuk penyeimbang narasi feminis. Pada karya ini, Tamarra fokus pada pengalaman perjalanannya sebagai subjek yang tengah melakukan “perjalanan spiritual” atau ziarah, untuk bertemu dengan komunitas Bissu. Tamarra menampilkan karya yang memberi gambaran perihal kehidupan spiritual komunitas Bissu serta aneka persoalan yang mereka hadapi, baik yang berlangsung di masa lalu maupun sekarang. Karya ini disajikan dengan konsep yang menarik, dengan ruangan yang gelap tanpa cahaya kecuali dari layar monitor, menggunakan senter untuk melihat gambaran kehidupan komunitas


25

Bissu. Sangat simbolis, penonton diajak ikut merasakan perjalanan spiritual ini. Selain karya tersebut, Tamarra juga ikut andil menginisiasi kelompok penyanyi transpuan yang dinamakan Amuba. Mereka juga tampil untuk melengkapi pada pameran kali ini. Hal ini juga penting, menjadi sebuah gambaran dari gerakan kelompok queer yang termarginalkan, untuk menunjukkan pernyataan bagaimana praktik seni memberi dukungan pada kelompok-kelompok tersebut. Di mana tema yang coba didialogkan kurator sudah sangat sesuai dengan konteks hari ini.

Referensi: Barker, M. J. (2016). Queer: A graphic history. Icon Books. Butler, J. (2004). Undoing gender. Psychology Press. Butler, J. (2011). Gender trouble: Feminism and the subversion of identity. routledge. Lindsey, L. L. (2015). Gender roles: A sociological perspective. Routledge. Nash, C. (1996). Reclaiming vision: looking at landscape and the body. Gender, Place and Culture: A Journal of Feminist Geography, 3(2), 149-170. Putri, A. D. H. P., Bahari, N., Wahyuningsih, N., & Sasmita, C. (2018). Mendobrak NilaiNilai Patriarki Melalui Karya Seni: Analisis Terhadap Lukisan Citra Sasmita. Ekspresi Seni: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Karya Seni, 19(2), 159-173. https://historia.id/kultur/articles/menolak-pandangan-lelaki-lewat-lukisan-D8JQ1 https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/metanarasi-perempuan-dalam-senirupa https://www.artandmarket.net/dialogues/2020/3/9/conversation-with-balinese-artistcitra-sasmita https://artreview.com/reviews/ara_spring_2020_review_biennale_jogja_xv/


26

BIENNALE JOGJAKARTA EQUATOR #5: MERAWAT INGATAN MELAWAT TRADISI Oleh: Prima Abadi Sulistyo

Mengingat (belajar dari pinggiran) Mengingat kembali, pameran Biennale Jogja Equator #5, seperti halnya mengingat tema kuratorial yang dicanangkan oleh para kuratornya, “Pinggiran”. Bagi saya (orang awam) yang hadir sebagai apresiator di pameran tersebut, menganggap isu “pinggiran” begitu tepat dan sesuai dengan keadaan negeri ini khususnya, dan Asia Tenggara pada umumnya. Pameran Biennale Jogja hadir menghadirkan sebuah isu dan tawaran tema yang saya rasa faktual, tak pernah lepas dari beragam isu isu kiwari ini . Melalui tema yang mengangkat “Pinggiran” kali ini, Biennale Jogja Equator #5 seolah memberikan sebuah tawaran dan gagasan ide yang menghubungkan koneksi antara wilayah-wilayah di Indonesia dan Asia Tenggara. Bukan hanya menyoal pada hal itu, lebih jauhnya Biennale Jogja Equator #5 memberikan segala isu yang berada di kawasan Asia Tenggara ini, semisal menyoal tradisitradisi yang hampir sama di kawasan Asia Tenggara sebelum terbentuk negara dan bangsa, pun segala permasalahan yang menyelimutinya. Adapun Biennale Jogja Equator #5 membahas terkait bagaimana pada akhirnya konflik kepentingan elit atas negeri ini membuat sebuah garis batas yang besar di masyarakat atas terciptanya segmentasi pinggiran, karena berbeda paham (berujung fanatisme) kemudian saling tak sepaham lalu baku hantam. Satu yang saya ingat betul dari ide kuratorial Biennale Jogja Equator #5 kali ini : Pinggiran perlu kita pahami bukan hanya sebagai konsep, tetapi juga memahami situasi nyata yang diberlangsung di berbagai tempat. Secara pribadi, pameran Biennale Jogja Equator #5, memberikan sebuah pandangan dan pengalaman baru bagi saya. Sebagai orang awam di dunia seni rupa, melihat pameran Biennale Jogja Equator #5 kali ini menjadikan saya untuk lebih memahami makna


27

yang disajikan dari berbagai bentuk kekaryaan dan makna visual filosofis para senimannya (termasuk isu yang mereka bawa). Hal itu juga memunculkan saya sebuah ilham dan tanda tanya. Bagi saya khususnya, memuncul pertanyaan; bagaimana pada akhirnya makna tradisi dan sisi historis disematkan dalam karya para seniman Biennale Jogja Equator #5 pada karya-karyanya? Melalui tema Biennale Jogja Equator #5 yang mengangkat tema “Pinggiran” kali ini, saya kemudian mempunyai suatu sudut pandang baru tentang tradisi dan sisi historis yang berangkat dari berbagai karya para seniman Biennale Jogja Equator #5. Adapun juga tentang ilham yang muncul dari program residensi para seniman yang meliputi Residensi Kelana (laut, darat, dan sungai) dan program Residensi Rimpang Nusantara sebagai bagian di pameran Biennale Jogja Equator #5 kali ini. Membaca dari beberapa seniman: tradisi/sisi historis sebagai inspirasi Sebenarnya, sub judul ini terilhami dari salah satu kumpulan esai/tulisan ilmiah dalam buku “Relasi dan ekspansi medium seni rupa” terbitan Program studi seni rupa dan desain ITB. Termaktub di salah satu esai karya Muksin MD. Dari salah satu esai itu, kemudian saya mencoba mengaitkannya dengan pameran Biennale Jogja Equator #5 yang bagi saya banyak seniman mencoba mengulik seni dan kekaryaan dengan latar belakang riset data tentang tradisi dan hsitoris. Dari hasil pengamatan dan pembacaan tulisan karya para seniman di gelaran Biennale Jogja Equator #5 rasanya saya mempunyai simpulan tentang para seniman yang banyak mengangkat sisi historis dan tradisi dari berbagai daerah di nusantara

khususnya. Sebut saja seniman seperti Ipeh Nur, Kolektif Gegerboyo, Suvi Wahyudianto, Ferial Afif, Tajrani Thalib, dan Citra Sasmita. Itu hanya gambaran dari banyak lagi seniman dan kolektif yang mengungkit sisi historis dari kekaryaannya. Saya dengan asumsi pribadi, menganggap para seniman Biennale Jogja Equator #5 adalah seorang antropolog. Bagaimana tidak? Masing masing dari mereka, dalam membuat kekaryaan seninya juga melakukan riset data dan turun ke lapangan bak antropolog, melihat dari dekat kehidupan masyrakat dan perilaku budaya mereka, serta tak lupa bagaimana pada akhirnya hal apa saja yang mereka hadapi dalam kehidupan keseharian mereka, termasuk isu-isu yang melingkupinya. Ipeh Nur dan karya tradisinya (gambaran tradisi di sekitaran pambusuang dalam kekaryaannya) Bisa dilihat semisal dari karya Ipeh Nur yang berkesempatan mengikuti program Residensi Kelana Laut di Desa Pambusuang, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Dari kekaryaan seni instalasi tersebut, Ipeh mencoba mengulik tradisi atau ritus masyarakat di desa Pambusuang. Membaca dari catatan perjalanan yang ia tuliskan dan publikasikan di newsletter Biennale Jogja, Ipeh, menurut saya cermat, teliti dan lugas dalam membaca keadaaan masyrakat Pambusuang. Berangkat dari penelitian Ipeh di lapangan tentang isu dan konflik antara pemerintah setempat dan para nelayan pambusuang. Dalam kasus ini, seolah-olah pemerintah dengan serta merta melakukan pembangunan tanggul dengan alasan mencegah abrasi air laut


28

27

padahal menurut para aktivis lingkungan disana, pembangunan tanggul itu belum ada kajian yang mendalam dan menghabiskan dana yang tak sedikit, sekitar 20 milyar Rupiah untuk membeton sepanjang pantai di pesisir di kabupaten Polewali Mandar. Bagaimana kemudian tanpa kajian pendalam itu, pembangunan tembok beton itu tentunya berimbas dan mempunyai banyak dampak negatif. Sebut saja permasalahan ekologi di sekitar pantai, atau masalah kapal kapal cadik milik nelayan yang bersandar di pesisir pantai mengalami dampak, karena kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Bagi saya, dampak ekologi, ekonomi, pun juga budayalah yang membuat Ipeh tergerak untuk melakukan penelitian dalam kekaryaan yang ia buat di Biennale Jogja Equator #5 ini. Berangkat dari berbagai isu tadi, Ipeh kemudian memfokuskan pada desa Pambusuang, mengulik dan mendalami tradisi masyarakat di wilayah itu. Mengulik mengenai bagaimana tradisi di sana merupakan sebagai bagian khazanah tradisional Nusantara yang tak seharusnya hilang ditelan kemajuan zaman dan dengan dalih pembangunan yang pemerintahakan canangkan. Dimulai dari bagaimana masyarakat Pambusuang membuat kapal cadik tradisional (sebagai sentra pembuatan perahu Sandeq, perahu bercadik tradisional khas daerah itu), tradisi dan kepercayaan masyrakat sekitar tentang laut, pun juga elaborasi tradisi budaya dengan Islam sebagai bagian yang tak terpisahkan.


28

29

Ipeh mencoba mengejawantahkan tradisi tentang laut dan mitos kepercayaan masyarakat Pambusuang menyoal akan hal ghaib, hantu laut, dan kisah Nabi Khidir. Lebih dalam lagi ia mencoba meneliti tradisi yang memperlakukan teknologi yang mereka buat dengan disandingkan dengan ritual-ritual keagamaan sebagai konsep keselarasan. Dalam hal ini simbol rumah dan perahu, yang bagi mereka mempunyai ruh atau jiwa. dari hal itu dilakukanlah ritual Mapposiq (pemberian pusar). Konteks tradisi ritual itu unuk pengandaian sebuah keselamatan dan rejeki bagi mereka saat melaut, pun juga yang dirumah untuk meminta keselamatan dan berkah bagi mereka yang melaut. Dari Residensi Laut ini, Ipeh mencoba menggambarkan tradisi masyarakat desa Pambusuang ke dalam bentuk kekaryaannya. Ipeh secara menarik mencoba menyelipkan pesan-pesan tersembunyi dalam kekaryaannya. Menyimbolkan tradisi leluhur dan Islam dapat hidup berdampingan dalam masyarakat nelayan Pambusuang, Polewali Mandar. Ipeh memilih untuk menggunakan karya instalasi dalam pengejawantahan medium ide/konsep karyanya. Saya mencoba mendedah satu persatu dengan simbolitasnya: 1. Tiang pancang kayu, dengan kubah dan spion kaca 4 penjuru Ipeh menggambarkan pusar dalam bentuk tiang panjang kayu setinggi sekitar 2,5 meter dengan kubah dan spion empat penjuru


30

27

dengan lampu sorot di bawahnya. Ipeh mengandaikan itu sebagai perlambang mercusuar, sebagai arah jalan pulang bagi para pelaut untuk menemukan kembali rumah daratnya. Dari empat spion itu, sebagai perlambang konsep empat penjuru mata angin yang menjadi sinyal kemana arah angin dan kordinat tempat pelaut akan melaut dan pulang ke daratan. Dalam tulisan perjalanannya, Ipeh menuliskan tentang masuknya Islam datang ke Mandar (dibawa oleh Syaikh Abdurahman Kamaluddin) dengan dasar cara penyampaian dan pengajaran yang tidak menghilangkan tradisi dan paham sebelumnya. Ipeh secara kuat mencoba memberikan penyimbolan kubah masjid yang berada atas tiang pancang itu sebagai sebuah simbol keagamaan, yang dimana Islam di sana bisa bersanding mesra dengan tradisi dan ritual-ritual kebudayaan di sana, sebagai wujud keharmonisan 2. Kerangka tubuh bagian bawah dengan sarung tenun khas Pambasuang dan video dokumenter Kemudian ipeh memberikan semacam video perjalanan dalam sebuah gawai yang dimasukkan dalam kerangka besi gambaran tubuh bagian manusia (dari pusar sampai kaki). Yang mana kerangka itu dibaluti oleh sarung tenun khas daerah Pambusuang, sebagai simbol lokalitas masyarakat tersebut dan sebagai simbol atas rumah sebagai pusar daratan. Di dalam video dokumenter, Ipeh menjelaskan sedikit banyak proses berjalanannya tradisi ritual yang diadakan di salah satu rumah. Segala macam hasil bumi dan


28

31

rempah-rempah kemudian dijadikan satu dalam pusat rumah dan tiang pancang yang dianggap sebagai simbol pusar dari rumah itu. 3. Gambaran laut dan pusar kapal Ipeh menggunakan layar yang terbuat dari karung plastik yang disusun datar dan dari jauh nampak seperti gambaran sederhana akan laut. Masyarakat disana sebagian besar berprofesi sebagai pelaut dan kapal yang mereka tumpangi diandaikan seperti pusar yang saling terkoneksi dengan rumah yang ada di daratan. 4. Pakaian nelayan yang hilang dan gambar sketsa pembuatan kapal Ipeh membawa baju asli nelayan yang hilang, korban dari kuasanya lautan. Di sampingnya tergambar 4 sketch sebagai perlambangan pembuatan kapal dan pembuatan pusar gaib yang ada di lambung kapal. Mengambil contoh dari kekaryaan Ipeh ini memberikan gambaran tradisi sangat dekat dan menubuh dalam kehidupan tradisi masyarakat Pambusuang. Dengan simbol-simbol kekaryaan yang Ipeh rakit dan susun sedemikan rupa di dalam karyanya. Ipeh seakan terinspirasi dari benda-benda dan ritual tradisi masyarakat seperti perahu, rumah, gambaran sosio-antro karyanya, yang kemudian ipeh mencoba membuat bentuk baru dan simbol-simbol tradisi dengan pendekatan tradisi yang ia amati di lokasi bermukimnya. Pada karya ini Ipeh mencoba menjelaskan secara tersembunyi tentang bagaimana sikap dan kedekatan dan sekaligus gambaran penghargaan masyarakat Pambusuang dengan alam sekitarnya mereka hidup dan mencari berkah. Ipeh juga seakan-akan membentuk citra bahwa kekayaan tradisi di masyarakat pesisir tidak bersifat tradisional primitif. Bahkan sebaliknya, Ipeh seolah mengangkat tradisi adalah sumber inspirasi dan kekayaan budaya yang tak boleh menjadi sesuatu yang terpinggirkan. Bahwanya tradisi masyarakat ini harus tetap dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan maritim NUSANTARA.


32

27

FRAGMEN-FRAGMEN 10 TAHUN BIENNALE JOGJA SERI EQUATOR DAN SEKITARNYA Oleh: Putri R.A.E. Harbie

Setelah EQUATOR Seri Equator sudah melewati edisi kelima sehingga di tahun 2021 Biennale Jogja akan mengusung seri yang baru. Seni rupa kontemporer sudah berkembang dan bisa disebut bahwa identitas seniman sudah tidak punya batasan geografis. Seniman-seniman yang terlibat dalam seri Equator membawa identitas selatan, namun apakah hal tersebut terlihat dalam seluruh karya, seniman dan wacana yang dibawakan? Wacana yang dibawakan Biennale Jogja selama 10 tahun terakhir berkisar pada 'selatan' garis khatulistiwa yang memiliki beberapa pengalaman kolektif secara sosial politik. Namun, yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa identitas dengan batasan geografis sudah menjadi lebih buram karena banyak pertukaran serta kelahiran diaspora yang dialami perupa kontemporer. Banyak seniman Asia yang bermukim atau aktif berkarya di Eropa atau Amerika, sehingga beberapa kritik yang beredar secara non formal


28

di media sosial hadir karena idealisme masing-masing tokoh tentang standar perhelatan biennial yang harus mencapai nilai tertentu atau kemiripan tertentu. Penilaian tersebut tidak selalu adil, karena format biennial tidak punya aturan baku tentang pemilihan wacana, kurator dan seniman. Jika melihat sejarah seluruh perhelatan biennial di dunia, Venice Biennale akan selalu menjadi tokoh utama sebagai yang tertua. Namun situasi dan agenda masing-masing kota penyelenggara perhelatan biennial tidak mungkin sama. Dalam halaman terakhir newsletter yang diterbitkan oleh Biennale Jogja disebutkan bahwa “Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus membuka diri untuk konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis.”. Hal ini juga pernah dibahas oleh Sabine B. Vogel (2010)1 bahwa kebanyakan peristiwa biennial berusaha menjadi ruang alternatif yang berbeda dari museum. Atas alasan tersebut, karya-karya yang ditampilkan jarang berbentuk lukisan dan lebih banyak berbentuk instalasi besar. Namun, jika melihat fenomena yang terjadi di Indonesia, kebanyakan museum dan manajemennya tidak punya posisi politis yang cukup kuat untuk 'disaingi' oleh perhelatan biennial. Apakah konfrontasi atas kemapanan harus terus dilanjutkan setelah 10 tahun? Lintasan seni Yogyakarta sudah tidak asing dengan tantang menantang konvensi perhelatan sejenis, tapi apakah kendala memapankan perhelatan ini tidak dapat diperjuangkan lagi hingga menjadi objek kebudayaan milik negara? Seri Biennale Jogja berikutnya seharusnya tidak terus melibatkan wacana serta

33

sumber daya manusia yang sama. 10 tahun merupakan waktu yang cukup untuk melakukan evaluasi tentang relevansi wacana dan lini pekerjaan yang dihadirkan tokoh seni post modern dan pekerja seni kontemporer. Rentang generasi yang terlibat dalam seri EQUATOR Biennale Jogja cukup jauh, pengetahuan secara wacana dan praktik tidak selalu berhasil dipindahkan ke generasi yang lebih muda. Pentingkah Memisahkan Perupa Lama dan Perupa Muda? Sebuah diskusi tentang biennial pernah dilakukan di Sarang Building beberapa waktu yang lalu. Hadir sebuah 'nyir-nyiran' yang menyebutkan bahwa “perupa muda terlalu mudah untuk bisa berpameran, mereka tidak susah seperti perupa di generasi kami”. Pernyataan tersebut tidak bisa disebut kritik, karena tidak memberikan solusi dan sangat sarat dengan ageism -mencela orang karena umurnya-. Pekerja seni dan perupa muda memang pantas disebut punya hidup yang lebih mudah dalam beberapa aspek, namun kesulitan masing-masing generasi pasti ada. Generasi seniman sebelumnya banyak berkarya dengan tema-tema rezim Suharto, aktivisme sosial politik, korupsi, krisis moneter yang berakhir pada boom seni rupa. Fenomena tersebut membuat semua merasa nyaman dengan formula tersebut. Perupa muda tidak punya banyak permasalahan politik praktis yang terjadi setiap hari, namun banyak konflik diri yang menjadi bahan wacana karya seperti kesehatan mental dan kesetaraan gender. Spektrum wacana yang digunakan bisa lebih luas dan kontekstual dengan hal-hal yang terjadi saat ini. Seluruh seniman baik muda maupun tua pasti pernah


34

mengeksekusi karya tidak sebesar wacana yang dibawakannya. Tuntutan seniman muda untuk lebih produktif juga tidak membuat karyanya kurang kontemplatif, bisa saja rencana eksekusi karya tersebut sudah dipikirkan jauh hari. Kebanyakan seniman tidak pernah berhenti berpikir tentang karya berikutnya, sepertinya tidak akan berbeda jika berbeda generasi. Seniman mungkin juga terjebak dalam wacana anti-mapan yang menjadikan hidupnya stagnan, terkesan egois karena terus membuat karya yang mirip dan merasa sebagai seniman paling hebat di dunia. Perupa lama pada umumnya akan menyebutkan bahwa kesalahannya berada pada institusi pendidikan seni yang kurang ini dan kurang itu, sehingga banyak perupa muda tidak sehebat dan seidealis generasi lama. Padahal tentu dalam sebuah perjalanan seniman untuk 'melanggar pakem seni' mereka harus tau dulu pakem yang ada. Institusi pendidikan juga tidak menjamin semua berhasil menemukan identitas dan gaya berkeseniannya setelah lulus pameran tugas akhir. Perupa lama juga punya peran penting untuk menjadi mentor bagi para perupa muda. Jika melihat sejarah seni yang umumnya ditulis, seniman Indonesia terkenal dengan hubungan guru dan muridnya. Saat itu mental guru yang melakukan mentoring tidak diliputi rasa takut bersaing, hal tersebut yang mungkin hilang pada generasi setelahnya. Luka-Luka Seni Modern di Seni Kontemporer dan Situasi Pandemi “Wacananya lebih besar dari eksekusi karya” merupakan hal yang sering menjadi landasan para kritikus untuk menyasar seniman muda di ranah kontemporer yang seakan punya exposure sangat tinggi.

27

Penilaian-penilaian tersebut terkadang sangat sulit dicari objektivitas-nya, karena seni tidak punya pakem khusus untuk menilai keberhasilan karya dari kacamata satu orang saja. Beberapa sarat politis dan dilatarbelakangi oleh rasa iri karena pernah ditolak oleh kelompok penyelenggara perhelatan tertentu. Beberapa juga berusaha mengadiluhungkan nilai seni yang dipercaya sebagai ideal sendiri lalu berkedok menjadi aktivis seni tinggi. Politik praktis sudah terlalu dilekatkan oleh luka-luka masa lalu para seniman Indonesia yang berusaha disuarakan generasi penerusnya. Namun, apakah sebenarnya ranah seni sudah tidak peduli estetika visual, kontemplasi objek dan wacana yang multidimensional? Wacana politik praktis masih menjadi sangat sering digunakan oleh para seniman muda yang kebanyakan datang dari latar belakang sosial, politik dan humaniora. Sedangkan seniman yang punya latar belakang seni seperti tenggelam dalam pasar wacana dan tidak bisa menunjukan karyanya dengan baik. Sebagai sebuah common ground yang membuat orang mudah merasa terkoneksi, isu politik praktis selamanya akan dianggap seksi dan kontroversial untuk dibawa ke ranah seni. Seni yang mengganggu menjadi lebih penting dari seni yang membuat terpukau dan membangkitkan perasaan bercampur aduk. Seni memang menjadi sebuah ranah yang bisa dimasuki semua orang dari semua latar belakang dengan bermodalkan wacana multidisiplin yang “seksi” dan kontroversial serta pengalaman berada di dalamnya. Saya juga jadi sangat salah jika mengatakan bahwa hanya orang dari latar belakang seni yang bisa masuk perhelatan besar seperti Biennale Jogja.


28

35

Kenyataannya seni global sudah dipenuhi banyak orang non-seni, semua pameran kontemporer sudah melahirkan banyak Michael Duchamp Wannabe yang sangat banyak menggunakan found object di ruang pamer. Seniman tanpa keahlian craftmanship apapun sudah mudah mengakses para artisan yang tersebar di seluruh Yogyakarta. Masa pandemi ini menjadi penyadaran tentang aktualitas yang baru karena tidak ada pameran besar yang bisa dilaksanakan secara fisik, beberapa seniman harus berada di rumah atau studionya sendiri tanpa artisan, penjualan karya virtual-pun menjadi masalah besar karena hanya dari foto, video dan pdf. Peristiwa ini menjadikan seni harus bersaing dengan semua konten visual yang padat produksi di dunia virtual dan relevansi wacana besar yang dieksekusi menjadi found object menjadi seperti disetarakan dengan penjual barang antik. Setelah pandemi, cara melihat seni dan memproduksi karya seni pasti akan punya perbedaan yang Renungan Tabu Pekerja Seni yang Tidak Biasa Terdengar Situasi kerja yang 'cair' membuat pekerja kesenian di Yogyakarta sering tidak punya kendali apa-apa dalam menjalani pekerjaannya. Kerja-kerja yang dilakukan tanpa kontrak terkadang membuat pihak yang mempekerjakan bisa dengan mudah memutus kerja di tengah jalan tanpa ada kompensasi apapun. Pekerja seni Yogyakarta kebanyakan merupakan pekerja freelance yang sering dirugikan karena hal-hal tersebut. Namun tidak jarang juga ada perhelatan


36

27

yang dirugikan jika sang pekerja seni mendadak mangkir/mengundurkan diri. Kontrak pada hikayatnya memang disebut sebagai instrumen yang terlalu rigid untuk digunakan dalam kerja kesenian, namun sebenarnya kontrak bisa menjadi jaring pengaman untuk kedua belah pihak. Dalam beberapa lini yang dianggap krusial, pembuatan kontrak sudah digunakan sebagai bentuk komitmen. Namun apakah hal tersebut mengartikan bahwa pekerja yang tidak punya kontrak dianggap tidak krusial? Jika seorang pekerja terpaksa keluar karena tidak merasa aman bekerja dengan sebuah perhelatan, apakah perhelatan bisa menyebut bahwa ada permasalahan attitude dengan pekerja tersebut? Di masa mendatang, perhelatan besar yang menyuarakan keadilan sosial, harus juga sadar kesehatan mental para pekerjanya. Tumpang tindih peran dalam sebuah perhelatan seni sudah tidak menjadi hal yang ajaib di ranah seni Yogyakarta. Banyak pekerjaan yang menjadi tidak maksimal karena direncanakan mendadak dengan satu penanggung jawab yang mengerjakan 3-5 pekerjaan sekaligus. Kapasitas kerja setiap orang juga tidak dapat disamakan. Belum tentu pekerja yang bisa mengerjakan banyak tugas sekaligus bisa melebihi ekspektasi karena energinya terurai di banyak tempat. Kultur kerja generasi yang aktif saat ini memang sudah jauh berbeda dengan 10 tahun lalu, kebutuhan dan kapasitasnya pun berbeda. Dahulu orang terbiasa belajar semua hal, namun tidak punya keahlian tertentu dalam satu bidang. Saat ini semua sudah dididik untuk fokus pada satu bidang hingga menjadi ahli. Saat ini pekerja seni juga lebih paham dengan hukum sehingga dapat dengan mudah menolak pekerjaan yang tidak diikat dengan komitmen hukum (kontrak). Tidak dipungkiri juga bahwa generasi sekarang punya dukungan emosional yang terlalu penuh motivasi positif, sehingga hanya akan bekerja dan berusaha sesuai dengan timbal balik material yang diberikan.

Referensi 1 Vogel, Sabine B. (2010). Biennials-Art on a Global Scale. SpringerWien: New York. Green, C. & Gardner, A. (2016). Biennials, Triennials and documenta: The Exhibitions That Created Contemporary Art. Wiley Blackwell: United Kingdom.


28

37


38

27

Sebuah Kerjasama Jakarta Biennale, Biennale Jogja dan Makassar Biennale PANGGILAN TERBUKA: PROPOSAL KARYA NORMAL BARU Situasi krisis yang disebabkan pandemi global COVID-19 memberikan tantangan baru, tak hanya bagi Jakarta dan Indonesia, tetapi juga seluruh dunia akan sebuah masa depan di mana kondisi kemanusiaan menjadi begitu rentan akan hadirnya ancaman biologis, seperti virus dan mutasi-mutasi baru dalam ekosistem hidup manusia. Segala tantangan ini menjadi sebuah kesempatan bagi seni rupa kontemporer generasi baru untuk berkontribusi dalam persoalan masyarakat dalam dekade kedua milennium ini. Jakarta Biennale, Biennale Jogja dan Makassar Biennale berkolaborasi menyelenggarakan program Panggilan Terbuka: Proposal Karya Normal Baru. Dengan situasi darurat Covid-19 sekarang ini yang tidak memungkinkan untuk perupa berpameran di ruang fisik, maka ruang virtual/daring menjadi saluran utama bagi perupa untuk tetap berekspresi dan mengkomunikasikan karyanya ke publik. Pertanyaannya kemudian: apakah ruang virtual itu cukup untuk mengakomodir pengkaryaan dan ekspresi perupa ke publik? Apakah sesederhana hanya memindahkan karya atau dokumentasi karya ke medium digital dan mengunggahnya ke cyberspace? Bagaimana kita bisa mendefinisikan ruang maya dalam koridor makna politisnya yang baru? Kami melihat bahwa format digital dan ruang online dengan segala kompleksitasnya sekarang ini justru bisa memberi berbagai kemungkinan baru bagi perupa kontemporer untuk memperluas cakrawala pengkaryaannya. Kami ingin memberikan tantangan bagi para perupa kontemporer untuk bereksplorasi dengan medium daring dan digital berdasar pemikiran tersebut di atas, dengan ketentuan: 1.Dukungan produksi karya sebesar Rp. 10.000.000,-/ karya untuk 30 proposal karya terpilih. 2 Proposal karya harus disertai dengan memilih salah satu tema dari ketiga Biennale. Pilihan tema (untuk uraian tema lihat di bawah):


28

39

● ● ●

Jakarta Biennale: Esok – Membangun Sejarah Bersama Biennale Jogja: Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru Makassar Biennale: Maritim – Sekapur Sirih

3. Pengajuan proposal karya berisi: ● Konsep berdasar pilihan tema, max. 400 kata ● Rencana eksekusi ● Sketsa ● CV Singkat 4. Medium dan strategi visual: ● Menggunakan platform digital seperti video, audio, media sosial, apps, yang nanti akan diupload secara online ● Menekankan aspek kolaborasi, eksperimentasi, interdisipliner; ● Terbuka untuk penggunaan medium dan jaringan non-fisik lainnya seperti: radio, televisi dan lain-lain ● Karya harus siap unggah/tayang 5. Terbuka untuk umum, khusus Warga Negara Indonesia. Pengajuan proposal bisa atas nama individu atau kolektif (dihitung satu proposal). Satu pelamar hanya dapat mengajukan satu proposal saja. 6. Proposal diajukan ke email: karyanormalbaru@gmail.com, paling lambat 12 Juni 2020. 7. Penting: harap cantumkan dengan jelas di subjek email kode pemilihan tema Biennale sebagai berikut: ● Kode tema Jakarta Biennale: JB-judul proposal-nama ● Kode tema Biennale Jogja: BJ-judul proposal-nama ● Kode tema Makassar Biennale: MB-judul proposal-nama 8. 30 proposal karya yang terpilih akan diumumkan 20 Juni 2020. Pameran karya secara daring dimulai 1 Agustus 2020. 9. Email karyanormalbaru@gmail.com hanya ditujukan untuk penerimaan proposal. Untuk pertanyaan lebih lanjut mengenai tema dan Biennale yang bersangkutan, harap layangkan pertanyaan ke email admin masing-masing penyelenggara: ● Jakarta Biennale: info@jakartabiennale.id ● Biennale Jogja: office.biennalejogja@gmail.com ● Makassar Biennale: sekretariat@makassarbiennale.org


40

27

URAIAN TEMA JAKARTA BIENNALE, BIENNALE JOGJA DAN MAKASSAR BIENNALE: 1. Jakarta Biennale: ESOK – Membangun Sejarah Bersama Memasuki milenium baru 2020, beragam perubahan telah dimulai: dari pergeseran politik global, polarisasi kelompok kanan-kiri, isu keberagaman, disrupsi digital, perubahan iklim, hingga penyebaran virus pandemi global Covid-19. Kita dipaksa menemukan solusi permasalahan dunia dan menguji solidaritas kemanusiaan dalam waktu singkat. Situasi krisis yang disebabkan pandemi global COVID-19 juga memberikan tantangan baru, tak hanya bagi Jakarta dan Indonesia, tetapi juga seluruh dunia akan sebuah masa depan di mana kondisi kemanusiaan menjadi begitu rentan akan hadirnya ancaman biologis, seperti virus dan mutasi-mutasi baru dalam ekosistem hidup manusia. Segala tantangan ini menjadi sebuah kesempatan bagi seni rupa kontemporer generasi baru untuk berkontribusi dalam persoalan masyarakat dalam dekade kedua milennium ini. Pada pergelaran 2021, Jakarta Biennale akan mengusung tema ESOK—Membangun Sejarah Bersama! Jelang akhir 2019, “ESOK, Membangun Sejarah Bersama” digagas sebagai tema sentral Jakarta Biennale. Pokok pikiran ini menyentuh beragam permasalahan kehidupan dunia; hak asasi manusia, lingkungan hidup, keberagaman, kesetaraan gender, perbedaan politik kirikanan, disrupsi digital sampai saat terkini dunia diguncang oleh wabah pandemi yang juga bersinggungan dengan potensi krisis ekonomi global. Persoalan-persoalan tersebut terus berputar; dibaca, direnungkan, diperbincangkan, dan diekspresikan dalam koridor seni kontemporer. Melalui pembacaan ulang sejarah dan tatapan masa depan, maka tawaran siasat dan eksperimentasi seni rupa menyandang urgensi dalam pencarian dan pemaknaan ESOK. Mengarak harapan untuk ESOK, bermutasi menyodorkan kebaruan masa depan. Ketika pandemi kelak berlalu, sejarah baru akan dibangun bersama, pada ESOK yang dinanti. 2. Biennale Jogja: Cur(e)ating the Earth, Shifting the Center: Tata Bumi Baru, Tata Seni Baru


28

41

Salah satu tulisan tentang pandemi yang paling banyak dirujuk karena melihat persoalan kemanusiaan dan ekses sistem kapitalis represif adalah teks yang ditulis Arundhati Roy, “The Pandemi is a Portal”. Tulisan itu dengan jelas menggarisbawahi kenyataan bahwa persoalan pandemi adalah perkara relasi kuasa yang tidak seimbang, penguasaan sumber daya alam dan ekonomi yang tidak berpihak pada yang terpinggir. Merefleksikan pemikiran Roy, kami melihat bahwa pandemi adalah sebuah wajah dari krisis kemanusiaan yang lebih besar, terutama berkaitan dengan relasi manusia dengan alam. Slogan perubahan iklim selama puluhan tahun tidak benar-benar berhasil memaksa kita mengubah cara kita berelasi dengan bumi, bahkan mengeksploitasi habis-habisan. Pada masa pandemi, bumi mengambil waktu merawat dirinya sendiri, sembari mengingatkan manusia untuk berpikir tentang kehidupan masa depan. Menggeser Pusat adalah salah satu pemikiran Biennale Jogja Equator dalam satu dasa warsa terakhir. Dalam konteks Pandemi, kita melihat bagaimana gagasan “Pusat” dan “Pinggiran” dipertanyakan secara nyata. Negara-negara Asia menunjukkan mereka bisa menjadi kasus-Kasus keberhasilan penanganan pandemi, dan justru memberikan dukungan logistik yang besar untuk negara yang tadinya dianggap lebih 'berkuasa'. Ada kompleksitas geopolitis yang bergerak. Dalam konteks lebih luas, Menggeser Pusat juga berarti melihat alam sebagai pusat kehidupan, dan tidak lagi melihat manusia sebagai poros; pasca antropo. Bagaimana kita merefleksikan gagasan-gagasan ini dalam Praktik kesenian? Kami mengundang para seniman untuk memikirkan kembali Praktik seni dengan upaya merawat bumi dan melihat alam sebagai Pusat hidup. Gagasan kurasi (dari kata cure, menyembuhkan/merawat) menjadi relevan dalam tindakan kita yang nyata untuk membangun ruang hidup bersama yang tidak hanya berkeadilan sosial, tetapi juga berkeadilan alam. 3. Makassar Biennale: Maritim: Sekapur Sirih Para cerdik cendikia mengakui bahwa semua sistem dunia, terutama sistem politik dan ekonomi, memang tak berkutik tatkala wabah COVID-19 merebak. Selama rentangan waktu itu pula, merespons wabah baru, masyarakat tampak dengan sigap membuka memori obat-obatan yang turun temurun diwariskan dan dipraktikkan di lingkungan terkecil mereka.


42

27

Fenomena tersebut hanya satu dari sekian cara warga menanggapi wabah. Ini sekaligus tanda bahwa sejak lama, berbekal ragam pengetahuan warisan, warga mampu bertahan menghadapi guncangan yang datang. Untuk itulah Makassar Biennale membuka ruang urunan bagi dunia kesenian untuk merespons ini. Dengan tetap berfokus pada pertalian ekspresi lanskap maritim, Makassar Biennale 2021 menetapkan subtema sekapur Sirih”. Sekapur Sirih merupakan istilah generik sajian pembuka saat menjamu tamu dalam kebudayaan Nusantara. Sebutan ini juga menjadi pintu masuk dunia kesenian menjelajahi simbol kekayaan dunia pengobatan Indonesia yang ditumbuhkan oleh alam untuk manusia (fitofarmaka). *Program kolaborasi ini didukung oleh SAM Art Fund*


28

43

BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.