BERANGKAT DARI PINGGIRAN

Page 1

ISSN: 9772442302172

THE EQUATOR Vol. 7/No. 1 Januari - Maret 2019 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta

BERANGKAT DARI PINGGIRAN

9 772442 302172


Salam hangat para pembaca yang budiman! Tidak terasa tahun ini Biennale Jogja Equator #5 akan segera berlangsung. Berbagai kegiatan pun sudah dimulai dalam usaha memulai penelitian terkait Asia Tenggara. “Berangkat Dari Pinggiran” merupakan judul besar yang menaungi edisi newsletter kali ini. Pinggiran merupakan titik berangkat tapi juga semangat yang coba diangkat dalam Biennale Jogja Equator #5. Bagian pertama akan langsung disambut dengan tulisan oleh tim kuratorial yang memberikan pengantar mengenai sudut pandang “pinggiran” yang mereka gunakan dalam melihat Asia Tenggara. Pinggiran juga coba mereka lihat tidak hanya sebagai kawasan tapi juga untuk melihat permasalahan yang nyata terjadi. Edisi sebelumnya, kami sudah memperkenalkan Arham Rahman dan Akiq AW sebagai kurator biennale tahun ini. Sekarang, kami akan memperkenalkan anggota tim kurator yang baru, berasal dari Thailand, yaitu Penwadee Nophaket Manont atau akrab dipanggil dengan Pooh. Berkenalan dengan praktek kerja Pooh yang banyak membahas mengenai kondisi politik di Thailand dan juga fokusnya pada kelompok pinggiran di wilayah Pattani. Kami juga menyajikan dua tulisan terkait dengan konteks wilayah, yaitu dari Filipina dan Thailand. Dari Filipina, Tri Subagya, pengajar di Program Magister Institut Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma menuliskan mengenai kelompok minoritas yang berada di Filipina. Sedangkan Gatari Surya Kusuma, peneliti dan pekerja kebudayaan dari Kunci Cultural Studies menceritakan pengalamannya bekerja bersama kelompok skater di Bangkok yang melakukan pengorganisasian mandiri untuk “melawan”. Akhir dan awal tahun ini pun kami mempunyai dua kegiatan dalam menyambut Biennale Jogja Equator #5, yaitu Focus Group Discussion (FGD) dan sosialisasi biennale. Dalam FGD yang diadakan akhir Desember tahun lalu, kami mengundang beberapa praktisi dan akademisi yang fokus pada kajian Asia Tenggara untuk mendiskusikan pandangan mereka terkait konteks politik, sosial, dan budayanya. Kemudian, kami juga mengadakan sosialisasi biennale yang pertama di Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat. Selama satu tahun ini, melalui newsletter yang diterbitkan kami akan mencoba memberikan konten yang menggambarkan proses kerja kami. Besar harapan newsletter ini dapat menjadi jembatan komunikasi pemikiran kami dengan publik yang lebih luas lagi. Salam hangat, Tim Redaksi. The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Januari-Maret 2019, 1000 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Khairunissa. Kontributor: Gatari Surya Kusuma, Tri Subagya Fotografi: Penulis, IVAA, Internet


KONTRIBUTOR

4| Belajar dari Gagasan “Pinggiran” Oleh: Tim Kurator Biennale Jogja Equator #5 (Arham Rahman, Akiq AW, dan Penwadee Nophaket Manont) 8| Minoritas di Filipina: Diskriminasi dan Ketegangan Oleh: Y. Tri Subagya

Y. Tri Subagya

13| Memetakan Kerentanan dari Atas Papan Luncur Bersama Komunitas Skate Ladprao, Bangkok, Thailand Oleh: Gatari Surya Kusuma 19| Profil: Penwadee Nophaket Manont 21| Menyulam Gagasan Asia Tenggara Melalui Pinggiran 24| Sosialisasi Biennale 27| Tentang Biennale Jogja

Gatari Surya Kusuma

SAMPUL

Gatari Surya Kusuma

Foto sampul: Gatari Surya Kusuma Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27

Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, Inco pro, PKKH UGM, Tirana Art House & Kitchen, Galeri Lorong, Toko Gerak Budaya

ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space Makasar: Yayasan Makasar Biennale

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000


4

BELAJAR DARI GAGASAN “PINGGIRAN” Oleh: Tim Kurator Biennale Jogja Equator #5 (Arham Rahman, Akiq AW, dan Penwadee Nophaket Manont)

Tim kurator (ki-ka): Penwadee Nophaket Manont, Akiq AW, dan Arham Rahman Dokumentasi oleh: Fajar Riyanto

Isu pinggiran, di dalam perhelatan seni rupa arus utama semacam Biennale, sama sekali bukanlah hal baru. Ia sering digunakan sebagai bingkai gagasan (kuratorial), atau biasa juga sebagai usaha untuk “taking position”–seperti global south art, misalnya, yang dikonsolidasikan lewat Havana Biennale dan diarahkan untuk mengevaluasi gagasan tentang Seni Global. Meskipun begitu, isu pinggiran tidak selalu berhasil diartikulasikan dan rawan terjebak pada berbagai persoalan: entah direpresentasikan secara eksotik, dibicarakan dengan romantik, atau kalau tidak, kosmopolitanisasi atas isu pinggiran saja. Lalu, jika isu pinggiran diketengahkan dalam perhelatan Biennale Jogja, bagaimana jebakan-jebakan tersebut diatasi? Apa


5

pentingnya persoalan pinggiran dibicarakan di dalam konteks Biennale? Perspektif Pinggiran Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kami merasa perlu untuk terlebih dahulu mendedahkan secara sederhana bagaimana pinggiran akan dipandang. Secara istilah, pinggiran selalu dikaitkan dengan lokasi geografis yang berada di luar kawasan pusat, entah kawasan satelit maupun rural (dalam istilah lain; pelosok). Padahal, pinggiran tidak melulu soal tempat, tetapi yang juga penting adalah tentang subjek atau komunitas yang menghidupinya. Subjek-subjek yang tidak diuntungkan atau dirugikan secara ekonomi-politik di dalam struktur masyarakat tertentu. Karena itu, (subjek) pinggiran sudah barang tentu juga hadir di kawasan utama, yang secara antagonistik menjadi antinomi bagi “yang pusat”. Secara ringkas, pinggiran mencakup isuisu, praktek hidup atau subjek yang tidak/belum masuk menjadi wacana akademis, kebijakan publik, dan wacana media. Juga terkait dengan masalah relasi kuasa, perihal bagaimana subjek pinggiran berhadap-hadapan dengan kekuasaan yang hegemonik di manapun subjek-subjek atau masyarakat pinggiran itu hadir. Pandangan ini setidaknya bisa membantu kita untuk memperluas cakupan pembicaraan mengenai pinggiran dan melihat narasi jenis apa yang berupaya ditawarkan oleh sesuatu yang ditandai atau menandai dirinya sebagai “pinggiran”. Sebagai isu, pinggiran bisa kita kaitkan dengan berbagai persoalan yang berlangsung di sekitar kita. Masalah ketidakadilan gender, pelanggaran hak

asasi atas kelompok masyarakat tertentu, persoalan perburuhan terutama yang terkait dengan isu buruh migran, diskriminasi berdasarkan ras atau agama, dll. Sementara dalam soal praktek hidup, bisa kita lihat dari berbagai laku hidup yang telah dipraktekkan secara turun-temurun, yang diwariskan melalui pengajaran tradisi, mitos-mitos yang dituturkan, serta yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai sebuah kesatuan, yang tersingkir karena cara hidup eksploitatif-kapitalistik yang melihat kuasa manusia atas alam. Isu-isu dan praktek hidup dari subjeksubjek pinggiran semacam itu yang kiranya perlu dilihat, dipelajari, dan memungkinkan untuk dibicarakan dalam konteks Biennale. Meskipun rentan jebakan, membicarakan pinggiran di dalam konteks Biennale bukanlah hal yang mustahil dilakukan. Lagipula, sebagai sebuah perhelatan seni rupa, Biennale mempunyai cara ungkapnya sendiri untuk membicarakan persoalan-persoalan yang berusaha diusung. Biennale perlu diposisikan sebagai salah satu metode atau instrumen untuk membicarakan berbagai jenis persoalan, yang di dalam konteks ini, mengenai persoalan pinggiran. Pinggiran yang hendak dibicarakan di dalam Biennale Jogja perlu diberikan konteks, sehingga tidak sekadar menampilkannya sebagai sekumpulan data telanjang lalu merayakannya dengan gegap-gempita, tetapi melihat pinggiran dalam konteks terkininya dan dengan siapa mereka berhadap-hadapan. Biennale Jogja Equator #5 yang menggandeng negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebagai mitra kolaborasi,


6

Peta Asia Tenggara Sumber foto peta: https://www.sejarahnegara.com/2017/06/p eta-asia-tenggaralengkap.html

tidak diarahkan untuk “merepresentasikan” pinggiran itu sendiri–atau dalam istilah yang cukup menyebalkan: “sebagai sumber inspirasi”. Akan tetapi dengan berusaha menunjukkan bagaimana yang pinggiran mengekspresikan dirinya dan membicarakan narasi atau persoalan tentang dirinya sendiri. Kepentingan Persoalan Pinggiran Pinggiran di dalam Biennale Jogja juga tidak hanya membicarakan tentang isu-isu yang melingkupinya, tetapi juga membicarakan bagaimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara berbagi permasalahan yang sama. Dengan kata lain, pinggiran adalah jembatan penghubungnya. Biennale Jogja berupaya menghubungkan berbagai wilayah yang mempunyai kompleksitas persoalannya sendiri-sendiri: Jogja, Aceh, Pontianak, Polman, Sabah, Pattani, Mindanao, Suluh, Ho Chi Minh, dll. Selain berbagi persoalan bersama, dengan isu pinggiran, kita juga hendak melihat beberapa soal umum. Pertama, bagaimana subjeksubjek pinggiran membayangkan kawasan (Asia Tenggara) dan dunia global. Istilah “Asia Tenggara” bukanlah istilah generik yang lahir dari basis kesadaran masyarakat di kawasan ini. Asia Tenggara, sebagai penyebutan kawasan, muncul sebagai tampias dari perang dingin. Ada relasi-relasi tradisional yang pernah berlangsung di kawasan ini, jauh sebelum batas-batas teritori dari negara-negara di kawasan ini ditetapkan. Kita tidak bermaksud untuk meromantisir relasi-relasi tradisional itu, tetapi hendak melihat efek-efek setelah era kolonialisme dan munculnya batas antar-negara-bangsa. Kawasan-kawasan semacam Pattani dan Sulu, misalnya, yang


7

tidak hanya menjadi kawasan “antara”, tetapi juga berusaha membedakan dirinya dengan negara-negara yang kini membawahinya. Dinamika tersebut dapat kita telisik dari ekspresi-ekspresi kebudayaan atau kesenian mereka. Kedua, pinggiran sebagai salah satu sarana untuk memahami kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, terutama perihal masyarakat yang terbelah karena hegemoni kekuasaan tertentu. Situasi tersebut banyak berlangsung saat ini, pembelahan masyarakat karena perbedaan preferensi politik atau perbedaan-perbedaan lainnya. Kadang kita gagal membaca situasi itu, sekonyongkonyong mengambil posisi yang kita anggap paling benar. Di dalam masyarakat pinggiran, dinamika antara kelompok penindas dan yang ditindas selalu hadir. Satu kelompok tertindas menindas kelompok tertindas lainnya, melahirkan pusaran konflik yang tidak ada habisnya. Semacam kelompok yang merasa paling demokratis menuding suatu masyarakat tertentu sebagai kelompok fundamentalis, begitu juga sebaliknya. Atau antara kelompok kaos merah dan kaos kuning di Thailand. Polarisasi semacam ini hadir, tetapi luput dipahami sebagai bagian dari permainan kekuasaan. Ketiga, bagaimana kita belajar dari perspektif pinggiran. Sebagai gambaran, kita bisa belajar dari bagaimana masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dalam mempertahankan hak ulayatnya dari ekspansi PT LONSUM yang ditopang oleh negara. Perusahaan tersebut, sejak era kolonial, sedikit-demi sedikit mencaplok

tanah ulayat masyarakat adat untuk dijadikan perkebunan karet. Sejak beberapa tahun belakangan ini, mereka berupaya melakukan pendudukan, reclaiming, di atas lahan-lahan yang dirampas oleh PT LONSUM, kendati mesti berhadapan dengan aparat. Begitu juga dengan perjuangan petani-petani Kendeng yang tengah berupaya melawan PT Semen Indonesia yang hendak mengeksploitasi pegunungan Kendeng, dan secara langsung mengganggu kehidupan masyarakat setempat. Kedua kasus tersebut bukan hanya perkara hajat dan ruang hidup masyarakat yang terganggu, namun juga menjadi ancaman atas cara hidup yang diyakini masyarakat setempat–adat Sedulur Sikep di Kendeng dan Tallasa' Kamase-masea (hidup sesederhana mungkin) di Kajang. Keduanya mempunyai prinsip yang sama: manusia dan alam sebagai entitas yang tidak bisa dipisahkan. Sialnya prinsip hidup semacam itu, saat berhadapan dengan kekuatan ekspansif berdalih investasi atau pembangunan, acap kali dilabeli sebagai prinsip hidup yang anti-kemajuan. Kepentingan-kepentingan dari Biennale Jogja untuk menyoroti isu pinggiran tersebut sekaligus menjawab persoalan kedua yang diajukan sebelumnya. Pinggiran perlu kita pahami bukan hanya sebagai konsep, tetapi juga memahami situasi nyata yang diberlangsung di berbagai tempat.


8

MINORITAS DI FILIPINA:

DISKRIMINASI DAN KETEGANGAN Oleh: Y. Tri Subagya (Pengajar di Program Magister Institut Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma)

Filipina merupakan negara yang terdiri dari gugusan pulau terbesar di Asia Tenggara setelah Indonesia. Tercatat 7.107 pulau di negara itu. Penduduknya sangat heterogen dari segi etnik mau pun agama. Secara geografis, mereka tersebar menghuni tiga pulau besar yaitu Luzon, Visayas dan Mindanao. Luzon berada di wilayah bagian utara yang menjadi pusat pemerintahan sejak masa kolonial. Visaya berada di bagian tengah dan Mindanao di bagian selatan yang berdekatan dengan Malaysia, Brunei dan Indonesia. Di masing-masing wilayah tersebut dapat ditemukan bahasa yang dominan. Setiap etnik memiliki bahasa yang berbeda satu sama lainnya meski Tagalog yang berada di pusat pemerintahan kemudian dipilih sebagai bahasa nasional. Di Visayas hingga Cebu dikenal bahasa Visayas, sementara Mindanao memiliki bahasa campuran yang penduduknya menamakan diri sebagai bangsa Moro. Perbedaan menonjol dengan wilayah di utara yang sebagian besar penduduknya orang Kristiani adalah bahwa bangsa Moro ini umumnya beragama Islam. Agama Islam diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan musafir pada abad ke 14. Resistensi terhadap kolonialisme Spanyol di kawasan itu membuat bangsa Moro membangun identitas tersendiri melalui agama dan berlanjut hingga paska kolonial. Selama berabad-abad bangsa Moro menangkal pengaruh Kristen dari utara dan melakukan perjuangan senjata untuk merdeka, memisahkan diri demi membentuk negara Islam. Pada tahun 1989, Mindanao memperoleh status otonomi khusus (Autonomous Region in Muslim Mindanao, ARMM) dari pemerintah Filipina. Di Mindanao sendiri, tidak semua organisasi Islam menyetujui otonomi khusus di wilayah itu. Awalnya hanya kelompok MNLF (Moro National Liberation Front) yang mau berunding dan membuat kesepakatan dibentuknya ARMM dengan pemerintah Filipina. Kelompok MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan Abu Sayyaf melakukan perlawanan di bawah tanah walaupun MILF tahun 2012 akhirnya menerima dan memberi dukungan bagi pengembangan wilayah otonomi khusus tersebut. Abu Sayyaf tetap


9

Bendera Moro National Liberation Front Sumber foto: https://en.wikipedia.or g/wiki/Moro_National_ Liberation_Front

melawan dan belakangan memperluas jaringan dengan berbaiat kesetiaan pada ISIS dan menyediakan tempat latihan militer gerakan radikal dari Asia Tenggara. Mengidentifikasikan kelompok minoritas di Filipina seperti halnya di negara lain perlu ketelitian dalam menggunakan konsepnya karena kompleksitas permasalahan yang menyangkut kelompok tersebut. Konsep minoritas dalam pengertian umum merujuk pada ukuran kelompok (group size) yang kecil jumlahnya didasarkan pada statistik penghitungan populasi kelompok tersebut. Karena populasi yang kecil secara sosio-politik cenderung tersubordinasi dari kelompok-kelompok yang lebih besar. Dominasi atas kelompok minoritas membuat rentan terjadinya diskriminasi dan marginalisasi. Dengan demikian, hubungan minoritas dan mayoritas tidak hanya menyangkut perkara jumlah atau ukuran kelompok, tetapi juga relasi kuasa yang berimplikasi pada perbedaan otoritas dan status yang dimiliki kelompok tersebut. Di Filipina kategori minoritas terkait dengan kelompok etnolinguistik dan agama. Secara umum, kategori minoritas yang kini relevan dipakai di Filipina merujuk pada kelompok Islam di Mindanao. Beberapa ahli lain juga memasukkan orang-orang asli (indigenous people) ke dalam kategori minoritas. Kategori terakhir ini agaknya tumpang tindih dengan kelompok agama karena baik kelompok Kristen mayoritas dan kelompok muslim minoritas juga terdiri dari kelompok-kelompok orang asli yang kecil populasinya. Orang Kristen kebanyakan tinggal di wilayah utara seperti di Luzon, Visaya dan Mindanao Utara, sedangkan orang Islam menghuni


10

wilayah Mindanao Selatan, Zulu dan Palawan. Populasi orang Kristen di Filipina adalah 92%, dan sekitar 81% di antaranya menganut Katolik. Mereka tersebar dan menjadi kelompok dominan di wilayah utara negara itu, sementara orang Islam di wilayah selatan menjadi minoritas. Meski pun demikian, bangsa Moro di wilayah selatan dominan sebagai kelompok mayoritas dan orang Kristen menjadi minoritasnya. Dua kategori kelompok agama yang menjadi mayoritas dan minoritas tersebut terdiri dari berbagai kelompok ethnolingusitik yang beranekaragam dan jumlahnya bervariasi yang membentuk kelompok dominan dan subordinan di dalamnya. Di wilayah utara dikenal enam kelompok ethnolinguistik, yaitu Tagalog, Visaya, Cebuano, Ilocano, Ilongo dan Bicolano yang sebagian besar memeluk agama Kristen. Orang Tagalog tersebar menghuni di sekitar Manila, orang Ilocano di utara pulau Luzon dan Bicolano di selatan Luzon. Orang Ilongo dan Visaya di wilayah tengah dan Cebuano di Mindanao Utara. Masing-masing kelompok itu memiliki bahasanya sendiri yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Demikian pula di Mindanao, bangsa Moro terdiri dari 13 kelompok etno-linguistik. Tiga besar di antaranya adalah Maranao, Tausug dan Maguindanao. Mereka semua beragama Islam dan tersebar di enam propinsi di wilayah otonomi khusus ARMM: Lanao del Sur, Maguindanao, kepulauan Sulu dan Tawi-Tawi, Basilan dan Marawi. Di wilayah ini orang Kristen yang kebanyakan berasal dari Visaya dan Cebu menjadi minoritas. Hubungan kelompok mayoritas dan minoritas yang melekat dengan identitas agama tersebut mewarnai dinamika politik di Filipina kendati tidak serta merta menjadi pertikaian agama. Dalam sejarah

kolonialisme Filipina, bangsa Moro merupakan persekutuan berbagai kelompok etnik di Mindanao yang sebagian besar identitasnya Islam melawan penguasa Spanyol. Identitas tersebut dibangun oleh Kasultanan Sulu dan Maguinadao antara 1450-1520. Kedatangan para pelaut dan pasukan Spanyol tahun 1565 dihadapi melalui perang dan membuat kelompok Moro terisolasi di wilayah selatan. Penguasa Spanyol kemudian menamakan kepulauan itu Filipina yang berasal dari nama raja mereka, Raja Philips 2. Para misionaris juga mengembangkan agama Katolik di wilayah utara. Situasi itu berlangsung hingga akhir abad 19 ketika Amerika Serikat berhasil mengusir Spanyol melalui perjanjian Paris. Di bawah kolonialisme Amerika, situasi politik sedikit banyak berubah tetapi tidak merubah formasi kekuasaan. Para elit di Mindanao memperoleh jaminan otonomi yang diberikan oleh penguasa Amerika Serikat, sementara para tuan tanah dan elit yang disebut illustrados di wilayah utara bersifat kompromis. Paska kemerdekaan Filipina, baik di Luzon maupun Mindanao, kekuasaan masih berada di tangan tuan-tuan tanah atau haciendaros. Bahkan ketika pemerintah otoritarian Ferdinand Marcos berkuasa di tahun 1972, Mindanao berada dibawah kontrol tuan tanah yang bernama Mohamad Ali Dipamoro. Dia diberi kekuasaan politik di Mindanao karena kesetiaan pada diktator itu. Di tahun-tahun berikutnya ketika otoritarianisme tumbang, tuan-tuan tanah dan keluarganya masih menguasai politik di wilayah selatan negara itu. Selain Dipamoro di Lanao del Norte, keluarga Ampatuan berkuasa di Maguindanao. Keduanya memiliki


11

Peta Mindanao, Filipina Sumber peta: https://www.google.co m/maps/place/Mindan ao/@10.2308128,119. 0144897,6.45z/data=! 4m5!3m4!1s0x3255e4 0590d9b7c3:0xc7b9f2 64ecd3cfb4!8m2!3d8. 49613!4d123.3034062

hubungan dekat dengan penguasa pemerintah Filipina, semasa Gloria Macapagal Arroyo menjadi presiden. Ketegangan politik di Mindanao selain selalu memanas dengan pemerintah pusat di Manila, juga diperparah oleh persaingan keluarga dalam mempertahankan atau bersaing mendapat kekuasaan. Keluargakeluarga luas itu memiliki pasukan partikelir mau pun milisi bersenjata untuk mendukung mereka. Tahun 2009 lalu misalnya kita dikejutkan dengan pembantaian keluarga Mangundadato yang merupakan pesaing politik keluarga Ampatuan di Maguindanao. Beberapa anggota keluarga itu dibantai bersama ketika sedang melakukan perjalanan. Mereka ditemukan masih berada di dalam mobil-mobil mereka yang ditimbun di dekat lokasi pembantaian untuk menghilangkan jejak. Saat ini gubernur di wilayah ARMM dijabat oleh Mujiv Hataman, seorang Muslim dari etnis Yakan dari Basilan. Tampilnya Mujiv Hataman mengurangi ketegangan dari tiga kelompok etnik besar, yaitu Maguindanao, Tausug dan Maranao yang bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di wilayah Mindanao Selatan. Ketimpangan sosial ekonomi dan kesenjangan sosial tampak di wilayah tersebut dibandingkan di bagian utara. Mata pencaharian penduduk lebih didasarkan pada budi daya lingkungan alam dan pengolahan hasil bumi. Mereka umumnya menjadi petani, nelayan peternak, pedagang eceran dan wiraswasta. Sedikit sekali dibandingkan yang berada di metro Manila, penduduk di mindanao


12

selatan yang bisa bekerja di sektor pekerjaan profesional seperti bisnis, perdagangan, jasa,pengusaha industri maupun pegawai pemerintah. Pembangunan infratruktur juga lebih berkembang di wilayah Visaya dan Luzon ketimbang di Mindanao. Sejarah panjang kolonialisme, konflik bersenjata dan segregasi sosial mewarnai hubungan kelompok Kristen dan Islam dan persepsi yang sering keliru antar kelompok keagamaan tersebut. Masing–masing memiliki persepsi negatif, stereotipe dan prasangka satu sama lain hingga setiap kelompok cenderung eksklusif dan menghindar berinteraksi dengan kelompok lain. Hal ini juga beririsan dengan kalangan kelompok etnis. Superioritas etnis yang dominan dan relasi hierarkis mewarnai pergaulan sosial di antara mereka. Misalnya masing-masing tidak mau memilih pemimpin di luar kelompok mereka, membatasi pertemanan apalagi pasangan hidup dari kelompok lainnya.

Bibliografi Abanes, M. S. (2014). Ethno-religious identification and intergroup contact avoidance: An empirical study on Christian-Muslim relations in the Philippines (Vol. 50). LIT Verlag Münster. Gowing, P. G. (1968). Mandate in Moroland: The American Government of Muslim Filipinos, 1899-1920. Tolibas-Nuñez, R., & Bolongaita, E. P. (1997). Roots of Conflict: Muslims, Christians, and the Mindanao Struggle. Asian Institute of Management. Vellema, S., Borras Jr, S. M., & Lara Jr, F. (2011). The agrarian roots of contemporary violent conflict in Mindanao, Southern Philippines. Journal of Agrarian Change, 11(3), 298-320. Zialcita, F. N. (2005). Authentic though not exotic: Essays on Filipino identity (p. 211). Quezon City: Ateneo de Manila University Press.


13

MEMETAKAN KERENTANAN DARI ATAS PAPAN LUNCUR BERSAMA KOMUNITAS SKATE LADPRAO, BANGKOK, THAILAND Oleh: Gatari Surya Kusuma (Peneliti dan pekerja kebudayaan dari Kunci Cultural Studies)

Untuk bermain skateboard, perlu beberapa tips dan trik agar bisa bertahan berdiri di atas papan. Mungkin juga, butuh keberanian untuk melawan perasaan takut jatuh agar bisa lebih percaya diri berdiri di atas papan–begitu ungkap salah satu teman yang sudah bermain skateboard lebih dari empat belas tahun. Selain sebagai olahraga, skateboard juga lekat dengan gaya hidup tertentu misalnya saja dengan musik hip hop dan budaya jalanan yang akhirnya melekatkan permainan skateboard bukan hanya sekedar olahraga biasa. Selain itu, permainan skateboard juga melibatkan unsur keahlian di dalamnya karena tentu saja membutuhkan keahlian tertentu untuk bisa bermain bahkan hingga menjadi ahli. Ketika permainan skateboard tidak terbatas kepada pelaku hobi saja, pada titik itu muncul beberapa lapisan permasalahan yang lain misalnya saja tentang permasalahan ruang dan praktek keahlian. Contohnya saja ketika saya berkunjung ke Bangkok pada tahun 2017 dalam rangka persiapan pameran bersama rekan Lembaga Kajian Budaya Kunci, saya banyak menemui taman kota yang dilengkapi oleh fasilitas taman bermain skateboard. Namun, kenyataan taman kota yang megah dan lengkap ini menggiring


14

saya menemui persoalan tentang bagaimana relasi kuasa tersebut bekerja di taman-taman itu hingga mampu menciptakan kontrol-kontrol yang tidak nyata. Taman kota dan arena bermain skate di Bangkok dalam tulisan ini hanyalah menjadi satu contoh simulasi bagaimana sebuah kuasa bekerja dan bagaimana sebuah sistem besar mampu menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang justru terus ter-reproduksi membentuk lingkaran besar lainnya. Tulisan ini akan melihat apa yang terjadi di luar lingkaran besar? lalu apakah yang dihasilkan oleh lingkaran-lingkaran kecil yang ter-reproduksi di luar lingkaran besar? Taman sebagai satu kontrol yang tak terlihat Taman bermain skate yang dibangun oleh pemerintah Bangkok memang cukup indah. Lokasi yang berada di pusat kota Bangkok seperti di area Sukhumvit Road atau Hua Mak sub-distrik selalu mudah dijangkau oleh transportasi umum. Taman bermain skate itu tidak ada yang berdiri sendiri, ada yang bergabung dengan taman pusat perbelanjaan, taman kota atau berada di komplek pusat olahraga. Bentuknya yang memiliki kurva melengkung memang menjadi pelengkap di antara garis-garis kaku pagar dan kursi fasilitas taman. Taman bermain skate dibangun dengan material kayu dan beton dengan teknis penyelesaian yang mendekati sempurna dalam fungsi praktisnya. Membayangkan suara yang akan ditimbulkan dari hasil gesekan roda papan dengan permukaan arena akan sangat merdu dan terasa menantang, seolah memanggil orang untuk 5 datang dan bermain skateboard. Selain infrastruktur taman dan skatepark,

akses transportasi menuju lokasi tersebut juga sangat mudah. Banyak MRT (Mass Rapid Transit) atau BTS (Bangkok Mass Transit System) yang bertitik di tamantaman tersebut. Selain itu ada transportasi lainnya misalnya taksi konvensional maupun online. Pemerintah akan selalu mencoba untuk memenuhi dan memperbaiki segala aspek yang dibutuhkan oleh masyarakatnya termasuk taman bermain skate ini. Dan semua hasil fasilitas itu tidak lain adalah aset besar sebuah wilayah yang harus dijaga dengan berbagai upaya agar “wajah” kota selalu tampak baik sesuai dengan apa yang diinginkan. Kehadiran fasilitas publik muncul atas dasar logika memperbaiki sesuatu dengan pandangan yang umum. Seperti misalnya; sebuah kota tidak memiliki ruang terbuka hijau, maka dari itu pemerintah akan membangun taman kota hingga jumlah yang memenuhi, tapi tidak melihat bagaimana taman itu benar-benar diperlukan sebagai apa. Kebijakan pemerintah untuk membangun taman seperti contoh di atas bisa disebut sebagai kebijakan. Kebijakan adalah bentuk baru dari perintah yang berdasarkan atas kebutuhan dan fungsi atas perintah yang diperintahkan tersebut¹. Banyak perdebatan tentang pembangunan di berbagai wilayah, kota dan negara, termasuk di Kota Bangkok ini. Walaupun secara menyeluruh pembangunan akan memberi wajah yang baik terhadap suatu wilayah, namun kebijakan pembangunan tidak akan mampu untuk menembus batasbatas reproduksi sosial. Untuk memberi gambaran tentang reproduksi sosial apa yang berlaku di dalam teks ini, saya akan mengutip yang dituliskan Harney & Moten


15

dalam kumpulan essay nya yang berjudul “The Undercommons: Fugitive Planning and Black Study” pada halaman 74, yaitu dalam konteks undercommons², kenyataan reproduksi sosial bisa diibaratkan dengan melihat posisi perencana kebijakan adalah bagian dari rencana kebijakan itu sendiri. Sehingga, kebijakan akan terus mereproduksi bentuk-bentuk rencana dan perintah untuk mengubah dan memperbaiki. Dengan ambisi mengubah dan memperbaiki, maka kebijakan dan rencana kebijakan akan terus mengejar titik baik hingga sempurna. Posisi-posisi yang terambisi untuk menciptakan hal-hal yang sempurna akan terus ter-reproduksi. Maka dari itu, segala kebijakan akan terus mereproduksi segala aturan, rencana dan perintahnya hingga membentuk satu rezim tertentu. Menjadi lambat di tengah ritme bermain yang sangat cepat Dalam kunjungan selama empat minggu di Bangkok pada bulan Mei, saya tertarik dengan satu wilayah di pinggir kota bangkok bernama Ladprao. Area itu bisa dibilang cukup jauh dari pusat kota Bangkok, mengingat akses transportasi umum yang tidak mudah dan kemacetan yang cukup menjebak. Untuk menuju area tersebut, kita membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam di sore hari dengan tingkat kemacetan rata-rata (tidak begitu macet tapi masih bisa jalan). Saat itu saya dan teman-teman lainnya memilih untuk naik mobil pribadi dibanding harus mencari kendaraan umum. Pertimbangannya saat itu adalah masalah efisiensi waktu dan tenaga. Hari itu adalah hari Kamis sekitar pukul 4 sore waktu Thailand, jalanan padat oleh orang-orang yang bergegas meninggalkan

kantor menuju tempat makan, rumah atau pusat perbelanjaan. Kami memilih untuk menggunakan jalan tol, tentunya dengan pertimbangan untuk menghindari kemacetan. Sewaktu keluar dari jalan tol, saya banyak melihat rumah yang sekaligus toko atau tempat usaha namun tidak semuanya buka. Agak sedikit susah untuk menemukan pusat perbelanjaan atau galeri seni megah seperti yang ada di pusat kota Bangkok. Selain itu, uniknya di area tersebut tidak memiliki taman terbuka seperti yang banyak tersebar di pusat kota Bangkok. Mungkin memang tidak ada alasan turis untuk mengunjungi area tersebut, jadi tidak perlu sibuk memikirkan citra apa yang ingin dihadirkan oleh area tersebut. Di Ladprao ada satu lahan kosong yang sengaja dibangun untuk skatepark. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari segi penampilan tempat itu. Banyak rumput liar mengitarinya. Dan hanya sepertiga bagian dari lahan itu yang ditutup oleh semen untuk digunakan bermain skateboard. Lokasi itu dibatasi oleh pagar kawat yang ditumbuhi oleh rerumputan. Sekitar 250 meter dari tempat bermain skate itu terdapat satu sekolah swasta elit yang memiliki akses keluar masuk menuju jalan utama selalu melalui taman bermain skate itu. Dengan perwujudan seperti itu, tidak heran jika orang memandang tempat itu sangat privat namun menaruh curiga tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Dalam kunjungan pertama pada waktu itu, saya mendapati kurang lebih 9 laki-laki dan 1 perempuan di usia 20 tahun ke atas hingga 30 tahun sedang berada di dalam area taman. Empat di antaranya sedang sibuk dengan semen dan alat bangunan


16

yang ternyata mereka sedang membangun trek bermain. Lalu, sisanya sibuk bermain skateboard ke sana kemari. Skatepark itu tidak memiliki nama khusus, bahkan ketika saya menanyakan tentang siapa yang menjadi anggota dalam skatepark ini, mereka tidak memilikinya. Namun, ada beberapa orang yang mengawali untuk menggunakan lahan kosong itu menjadi skatepark. Mereka adalah Rainny, Olarn dan satu teman lagi yang saya belum sempat bertemu. Mereka menjadi penemu tempat ini dikarenakan Rainny tinggal tidak jauh dari lokasi itu, sedangkan Olarn dan satu temannya adalah teman baik dari Rainny. Singkat cerita, mereka bertemu dan memutuskan untuk membersihkan lahan yang telah lama kosong dan tertutup oleh semak belukar lalu menyulapnya menjadi sebuah taman bermain skate. Dalam proses membangun skatepark, Olarn dan Rainy banyak menghabiskan waktu, tenaga dan biaya di tempat itu. Mereka telah menekuni dunia skateboard semenjak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama, kira-kira 15-16 tahun yang lalu. Mereka telah menjajaki beberapa skatepark yang ada di Bangkok. Bahkan mereka juga pernah mengalami masa dimana bermain skateboard memang tidak harus di skatepark dan bisa dimana saja seperti di trotoar dan halaman rumah. Hanya saja, kini bagi mereka bermain skate identik dengan taman skate yang megah. Lagi-lagi banyak pihak seperti gemerlap perlombaan olimpiade, hingga branding-branding dari merk kelas dunia yang sedang berusaha untuk memasuki wilayah mereka dengan menyediakan segala taman bermain skate.


17

Sejauh ini status taman bermain skate yang dibangun oleh Olarn, dan kawankawan masih bersifat temporer. Taman itu dibangun di atas tanah bertuan yang terbengkalai cukup lama. Mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa memiliki lahan tersebut. Selain itu, sewaktu-waktu bisa saja taman itu harus dihancurkan dan hilang karena si pemilik memintanya kembali. Kita yang terlibat pembicaraan sore hari itu tidak ada yang mengetahui kepastian akan hal itu. Dan tentunya, mereka bersepakat bahwa upaya yang dilakukannya tidaklah sia-sia dan menghilang jika taman itu harus hilang dan diganti dengan bangunan yang baru. Saya jadi teringat tentang bagaimana orang-orang di sekitar kantor tempat saya bekerja (Kunci, Yogyakarta) memanfaatkan lahan kosong bertuan yang terbengkalai. Mereka tidak ingin mencari tahu bagaimana memiliki lahan tersebut atau berfikir untuk menghancurkannya karena terlihat kumuh dengan bangunan yang setengah jadi dan rumput belukar hidup liar di dalamnya. Secara perlahan, mereka menggunakan lahan tersebut berdasarkan kebutuhannya terhadap lahan terbuka. Contohnya adalah untuk meletakkan kandang ayam yang akan digunakan untuk aktivitas sabung ayam atau berkumpul untuk menghabiskan malam minggu³. Perilaku menggunakan lahan juga sama halnya dengan bagaimana mereka menciptakan ruang bersama dari pemanfaatan akan lahan kosong. Hal ini juga diungkapkan oleh Stavros Stavrides dalam artikelnya yang berjudul Common Space as a Threshold Space dalam halaman ke-2, bahwa ruang bersama tercipta atas dasar kebutuhan mereka terhadap dunia yang sama seperti rumah

sehingga mampu mendukung atau untuk mengekspresikan komunitas/orang yang bergabung di dalamnya. Namun, kebutuhan akan sebuah ruang bersama juga perlu adanya kesadaran yang dimiliki bersama tentang apa yang mendesak untuk memiliki ruang bersama tersebut, dan tidak semata-mata hanya menjadikannya sebagai identitas baru untuk ambisi menjadikannya satu rezim penguasa lainnya. Barangkali bisa melihat taman bermain skate yang dibangun oleh Olarn, Rainny, dan satu teman lainnya adalah gejala bahwa mereka membutuhkan satu ruang yang berbeda dari ruang-ruang bermain skate yg tersedia di Bangkok. Seperti halnya permainan berbasis keahlian lainnya, skateboard juga memiliki beberapa permasalahan terkait mahir dan tidak mahir. Untuk menjadi mahir, harus banyak berlatih dari hal dasar seperti berdiri di atas papan hingga mampu mengaplikasikan beberapa trik permainan. Untuk memulai mengendalikan keseimbangan di atas papan, baiknya memulainya tidak di taman bermain karena akan mengganggu pemain lain yang sedang melaju kencang. Sebenarnya tidak ada peraturan tertulis yang menciptakan hierarki penggunaan ruang macam ini tapi gerak pemain skateboard yang sudah mahir biasanya serba cepat, seolah tidak memberi celah pada gerak-gerak pemain skateboard pemula yang lebih lambat dan riskan jatuh kapan saja. Ketika berada di taman bermain skate, tampak semua orang bergerak begitu cepatnya ke sana kemari. Semua orang tengah berkonsentrasi untuk bisa menggunakan trik tertentu. Sehingga akan sangat susah untuk bisa hadir di sana sebagai orang

yang tidak bermain, satu hal yang bisa dilakukan adalah melihat semua


18

pergerakan orang-orang dengan papan luncurnya4. Area bermain skateboard benar-benar dipenuhi oleh suara gesekan roda papan luncur dengan lantai. Benar-benar sudah tidak ada celah untuk menjadi lambat di sana. Jika membicarakan tentang ruang hidup dan laku hidup, memang tidak pernah terlepas dari tuntutan untuk bergerak baik lebih cepat atau bergerak maju. Dorongan untuk menjadi cepat akan terus muncul seiring berjalannya perkembangan kota dan makin banyak manusia yang bergerak. Segala hal yang ada di kota akan terus bergerak maju meninggalkan semua hal yang berdiam atau bergerak lambat di belakangnya, sama halnya dengan bermain skate yang memiliki tuntutan untuk menjadi cepat ketika berada di atas papan. Rasa-rasanya seperti bermain video game, semua pemainnya didorong untuk memiliki ambisi menguasai satu level dan menjadi lebih cepat dibanding pemain lainnya. Lalu, ketika semua orang yang ada di arena tersebut bergerak begitu cepat dan semua berambisi untuk menguasai tantangan permainan, bagaimana dengan orang yang ingin belajar? Apakah mereka tidak memilki kesempatan untuk menjadi gagal dan lambat dalam area bermain? Jika memang iya, ruang seperti apakah yang harus diciptakan untuk memberi celah pada kegagalan dan menjadi lambat? Lalu, lingkaran besar seperti apa yang harus ter reproduksi jika kesempatan untuk belajar dan jatuh gagal menjadi sulit untuk dicapai? Paling tidak, apa yang dilakukan oleh Rainy dan teman-teman mampu menunjukkan simulasi tentang bagaimana berada di luar lingkaran besar bukan lah hal mudah. Mereka harus siap dengan kenyataan bahwa posisi mereka sangat labil, bisa kapanpun hilang dan bisa kapanpun mereka ditinggalkan. ¹ Harney&Moten, The Undercommons: Fugitive Plannings&Black Study, (New York: Minor Composition, 2013), hal: 74 [Benerin format pengutipannya ya, dibuat konsisten mau pakai sistem format pengutipan apa, Harvard, MLA, dsb kamu bisa cari di Internet]

² Pembacaan atas fenomena sosial tetapi tidak dengan logika antagonisme. Stefano Harney dalam wawancaranya dengan media “Class War University” mengatakan bahwa undercommons bukanlah ruang atau wadah untuk menciptakan perang, melainkan tempat lebih melihat kepada hal yang berada dan terjadi saat ini. Selanjutnya bisa dilihat di https://classwaru.org/2012/11/12/studying-through-theundercommons-stefano-harney-fred-moten-interviewed-by-stevphen-shukaitis/

³ Permainan adu ayam, biasanya pemainnya melakukan ini untuk judi atau hiburan semata. Permainan ini cukup populer di Jawa. 4

Penjelasan atas perasaan ini dialami ketika saya berada di taman bermain skate Ladprao, Bangkok pada bulan Mei tahun 2017.


19

MERESPON UNTUK MEMAHAMI Tim kurator Biennale Jogja Equator #5 Penwadee Nophaket Manont (Kurator independen, pekerja kebudayaan, pendiri Rai.D Collective dan Direktur Pengatur di Southeast Asia Fiction Film Lab (SEAFIC))

Keluarga bisa dibilang menjadi pengaruh terbesar yang membuat Pooh, panggilan akrabnya, mengenal dan begitu fokus terhadap isu sosial serta politik dalam praktek kerjanya. Ayahnya adalah seorang politisi dan sempat menjadi anggota parlemen di Thailand, sangat aktif dalam pergerakan dan melihat permasalahan sosial yang terjadi. Sehingga, hal ini membuat kehidupan Pooh sangat dekat dengan isu-isu politik. Mengenyam pendidikan di dua negara sekaligus, Amerika dan Thailand, Pooh memulai studinya di bidang desain grafis. Kemudian ia melanjutkan pendidikan magisternya di Thailand, Environmental Management, School of Social and Environmental Development, National Institute of Development Administration. Pooh sudah lama menaruh perhatian terhadap dunia seni, sehingga setelah ia mengenyam pendidikan di bidang desain grafis, ia memutuskan untuk beralih ke pengelolaan seni, lebih khususnya sebagai asisten kurator di 304 Alternative Art Space di tahun 2001. Kemudian karir Pooh dalam bidang kuratorial ia kembangkan melalui


20

pengalamannya bekerja sebagai tim kurator di The Jim Thompson Art Center selama kurang lebih lima tahun ia berada disana. Karirnya yang bergeser dan menyentuh ranah seni, menurut Pooh ditandai dengan salah satu momen di mana ia berkesempatan mengikuti sebuah lokakarya kuratorial di pertengahan tahun 90-an. Baginya, momen mengikuti lokakarya tersebut sangatlah penting, terlebih saat ia juga berkesempatan bertemu dengan Gridthiya Gaweewong dan Klaomas Yipintsoi. Setelah lokakarya tersebut ia semakin yakin untuk mengembangkan dan memfokuskan pekerjaannya dalam ranah kuratorial. Suami Pooh yang bekerja sebagai sutradara, membuat Pooh juga banyak bekerja dalam dunia perfilman. Saat ini pun, dia aktif bekerja sebagai direktur pelaksana dari SEAFIC (Southeast Asia Fiction FIlm Lab). Sebelumnya pun dia juga sempat menjadi produser dalam beberapa pembuatan film pendek, salah satu diantaranya berjudul The Whole Nine Yard dan Cool BKK, yang dibuat oleh Lek Manont. Berbicara mengenai perjalanan karirnya yang bisa dibilang sudah cukup panjang, hampir dua puluh tahun lebih lamanya, saat muncul pertanyaan peristiwa penting apa yang paling diingat sepanjang ia bekerja sebagai kurator? Peristiwa pertama adalah saat ia terlibat menjadi salah satu pengurus sebuah gerakan bernama ANT's Power di tahun 2014. Di tahun tersebut, Bangkok, tempat di mana ia berada mengalami sebuah krisis politik saat Yingluck perdana menteri yang terpilih di tahun 2011, menyalahgunakan kekuasaannya. Salah satunya dengan membentuk RUU amnesti untuk

mempermudah kembalinya Thaksin Shinawatra. Peristiwa ini membuat Pooh merasa harus melakukan sesuatu, permasalahan ini harus dibicarakan. Setelah terjadinya krisis politik, terjadi sebuah proses transisi di masyarakat Thailand. Pameran Condemn To Be Free, menjadi bentuk kerja lain yang dia rasa penting dalam perjalanan karirnya. Kepekaan Pooh dalam melihat situasi politik yang terjadi, dia mencoba merefleksikannya lebih dekat lagi dalam membaca posisi tiap-tiap individu. Ada yang secara jelas mengambil posisi oposisi tapi juga ada yang berusaha netral — yang mana bagi Pooh, perihal ini penting untuk dibongkar melalui bentuk kolaborasi. Bentuk kolaborasi yang melibatkan seniman dan praktisi lain dengan beragam latar belakang, ia coba untuk diaplikasikan agar mendapatkan macam-macam perspektif dalam melihat permasalahan. Terkait dengan fokus Biennale Jogja tahun ini yang mencoba melihat Asia Tenggara melalui pinggiran, bagi Pooh ia mencoba memahami pinggiran bukan sebagai kawasan. Salah satu usahanya membahas mengenai pinggiran telah dimulai dengan proyek yang sedang ia kerjakan terkait wilayah Pattani, bagian selatan Thailand. Kondisi di wilayah tersebut banyak ditekan oleh pemerintah pusat. Pinggiran baginya dapat dilihat sebagai bentuk imajinasi, bukan sesuatu yang nyata dapat dilihat begitu saja. Konsep pinggiran sendiri merupakan ciptaan manusia, bukan sesuatu yang tercipta begitu saja. Perlu adanya cara, bentuk, dan format kolaborasi yang tepat agar nantinya bisa membongkar pemahaman mengenai pinggiran ini sendiri.


21

MENYULAM GAGASAN ASIA TENGGARA MELALUI PINGGIRAN Diskusi Kelompok Pertama Biennale Jogja19 Desember 2018

Akhir tahun lalu, Yayasan Biennale Yogyakarta mengadakan sebuah diskusi kelompok tertutup dengan mengundang beberapa narasumber dengan latar belakang bidang akademis dan pekerja seni, berlokasi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Asia Tenggara menjadi fokus utama yang diangkat oleh biennale pada tahun 2019 ini. Sejalan dengan itu, pada diskusi kali ini, kami ingin mencoba melihat dan mencari gagasan alternatif dari Asia Tenggara. Alia Swastika, sebagai Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, memantik diskusi dengan tawaran pertanyaan; bagaimana melihat Asia Tenggara tidak lagi berangkat dari wacana pusat, tetapi melihatnya melalui pinggiran? Saat berbicara mengenai Asia Tenggara, berdasarkan kawasan yang terkait dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya rujukan kita akan selalu kepada kota-kota besar, misalnya; Thailand dengan Bangkok, Malaysia denga Kuala Lumpur, Vietnam dengan Hanoi, dan FIlipina dengan Manila. Pinggiran yang ditawarkan


22

dalam diskusi ini adalah melihat bukan melalui wilayah utamanya. Juga, wilayah utama dapat diartikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Hadir pada hari itu, Bambang Purwanto, dosen sejarah Universitas Gadjah Mada, mencoba memahami konteks Asia Tenggara melalui orang-orang Austronesia, yang ia sebut sebagai pengarung atau penjelajah khatulistiwa. Bagi Bambang, orangorang Austronesia saat ini tidak dianggap dan menjadi minoritas dalam konteks Asia Tenggara. Padahal secara posisi politik, orangorang Austronesia memiliki pemahaman yang dalam mengenai darat dan laut. Seiring terjadinya perubahan, orang-orang Austronesia mengalami transformasi menjadi Melayu. Sayangnya, Bambang mengatakan bahwa Melayu yang sekarang telah mengalami proses eksklusifitas, yang kemudian meliyankan posisi orang-orang Austronesia di dalamnya. Sudut pandang lain dalam melihat Asia Tenggara melalui pemahaman mengenai batas, juga disampaikan oleh Farabi, dosen jurusan sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pada awal penciptaan Asia Tenggara bagi Farabi merupakan proses yang sangat politis, yang merupakan hasil bentukkan dari geopolitik yang dilakukan oleh Inggris. Juga, ditambahkan oleh Profesor Laksono dari jurusan antropologi Universitas Gadjah Mada, bahwa bayangan mengenai Asia Tenggara itu terkait dengan posisi Amerika Serikat di Perang Dunia Kedua. Memang, pada akhirnya dalam melihat kawasan akan terlihat bagaimana kepentingan politik bermain, siapa yang menciptakan definisi, dialah yang memiliki kekuasaan lebih. Maka kemudian penting untuk membongkar lagi batas-batas yang diciptakan oleh negara ataupun oleh mereka yang berkuasa dalam wilayah Asia Tenggara.

Potret Dodo Hartoko Dokumentasi Yayasan Biennale Yogyakarta


23

Diskusi kemudian berlanjut membahas mengenai diaspora. Tentu, saat membicarakan Asia Tenggara tidak akan lepas dari diaspora atau pergerakan manusianya. Sehingga melalui diaspora kita dapat menciptakan definisi kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Alia, daripada mencari asal-usul mengenai keaslian dari satu masyarakat atau wilayah, lebih baik menggalinya melalui sejarah, untuk dapat keluar dari ciptaan definisi yang sudah mapan. Proses diaspora sendiri, menurut Profesor Laksono dapat menjadi cara untuk masyarakat saling berinteraksi, di mana juga menjadi salah satu proses persebaran seni. Sehubungan dengan persebaran seni di Asia Tenggara, hadir Gintani Swastika dan Sita Magfira, sebagai perwakilan dari program Arisan Tenggara. Arisan Tenggara sendiri hadir sebagai satu pelatar bagi kolektif-kolektif seni di Asia Tenggara bertemu, berbagi, dan bekerja bersama untuk menciptakan suatu jaringan yang berkelanjutan. Melalui pengalaman Arisan Tenggara, mereka berfokus pada pertukaran dan penyebaran pengetahuan akan praktek kerja dari tiap partisipan. Dalam mengenal praktek kerja, tidak hanya pada lingkup seni saja tapi juga bagaimana konteks wilayah di mana mereka tinggal dan bekerja. Melalui diskusi kelompok yang pertama ini, timbul harapan dan masukan kedepannya untuk penyelenggaraan biennale tahun ini. Disampaikan oleh Tri Subagya, pengajar di Universitas Sanata Dharma, agar nantinya biennale tidak lagi berangkat dari titik yang bersifat rigid dan sistematis. Pandangan ini dianggap oleh Tri nantinya akan menciptakan kategorisasi dalam melihat permasalahan, yang akan mengarah pada

esensialisme. Sehingga, penting untuk menciptakan pemikiran yang reflektif, sebagaimana diungkapkan juga oleh Profesor Laksono, kerja seni sebaiknya bermuara kepada refleksi untuk dapat lanjut ke tahap proses redefinisi. Proses kedepannya, penting untuk terus mengingat bagaimana kacamata pinggiran ini dapat menjadi wacana baru dalam melihat Asia Tenggara dan terus mengingat mengenai persebaran pengetahuannya yang bisa menggapai berbagai kalangan. Juga, dalam penciptaan wacana baru ini, apakah mungkin kemudian menciptakan “jiwa” yang baru pula dari Asia Tenggara?


24

SOSIALISASI BIENNALE Pada bulan Februari, kami dari Yayasan Biennale Jogja mengadakan sosialisasi pertama di Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat. Kesempatan kali ini kami gunakan untuk memaparkan titik berangkat dari tim kurator untuk Biennale Jogja Equator #5 yang berfokus pada Asia Tenggara. “Pinggiran” kemudian dipilih sebagai satu kerangka berpikir yang tidak hanya terbatas pada konteks wilayah. Selain itu, pada sosialisasi ini kami juga melakukan syukuran menyambut terselenggaranya Biennale Jogja Equator #5 dan juga kerjasama dengan Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat melalui program terbarunya Rimpang Nusantara. Foto: Dokumentasi Cemeti - Institut untuk Seni dan Masyarakat


25

PERCAKAPAN TENTANG NARASI PINGGIRAN Proyek Kemitraan antara: Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat & Biennale Equator

Di dalam proses persiapan Biennale Equator #5, 2019 dan Rimpang Nusantara/ Rizhomatic Archipelago 2019 – 2021, program terbaru Cemeti-Institut untuk Seni dan Masyarakat, kami bertemu di satu titik gagasan untuk membicarakan narasi “pinggiran”. Kami pun bersepakat merancang rangkaian proyek bersama yang berisi seri diskusi (tertutup & terbuka), penelitian, publikasi, dan presentasi dalam berbagai ragam format di sepanjang tahun 2019. Terminologi pinggiran memang agak sulit dipisahkan dengan lokasi tertentu, yang secara sosial, ekonomi-politik, dan geografis berada di luar dari struktur kekuasaan yang hegemonik. Hanya saja, kita perlu menempatkannya secara tepat, menghindari kesan umum tentang wilayah tertentu dari sudut pandang pusat yang tengah melihat atau membaca Liyan. Pinggiran muncul, tetapi yang memunculkan kekuatan hegemonik global. Dalam hal ini, pinggiran sekadar diposisikan sebagai objek. Sudut pandang semacam itu, male-gaze perspective, seringkali gagal dalam menempatkan kondisi atau praktek hidup pinggiran. Kami meyakini, ada lapislapis lain yang berlangsung di sana. Lalu, bagaimana agar lapislapis lain itu hadir? Bentuk praktek pinggiran seperti apa yang telah dan akan kita sasar? Menjelajahi “narasi pinggiran”, kami merasa penting membuka dialog dengan individu/komunitas/organisasi yang telah atau sedang bekerja membangun relasi dan kerjasama di seputar wilayah atau wacana “pinggiran”. Oleh karena itulah, kami merancang forum diskusi tertutup, mengundang kawan-kawan


26

untuk saling berbagi pengalaman dan praktek. Lebih jauh lagi secara bersama-sama kita akan mengelaborasi pandangan dan gagasan mengenai hubungan antara seni dan masyarakat dalam dalam konteks praktek kerja di kawasan “pinggiran”.


BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian

biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.


Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan

YAYASAN

YOGYAKARTA


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.