2 minute read

Profil: Penwadee Nophaket Manont

Keluarga bisa dibilang menjadi pengaruh terbesar yang membuat Pooh, panggilan akrabnya, mengenal dan begitu fokus terhadap isu sosial serta politik dalam praktek kerjanya. Ayahnya adalah seorang politisi dan sempat menjadi anggota parlemen di Thailand, sangat aktif dalam pergerakan dan melihat permasalahan sosial yang terjadi. Sehingga, hal ini membuat kehidupan Pooh sangat dekat dengan isu-isu politik. Mengenyam pendidikan di dua negara sekaligus, Amerika dan Thailand, Pooh memulai studinya di bidang desain grafis. Kemudian ia melanjutkan pendidikan magisternya di Thailand, Environmental Management, School of Social and Environmental Development, National Institute of Development Administration. Pooh sudah lama menaruh perhatian terhadap dunia seni, sehingga setelah ia mengenyam pendidikan di bidang desain grafis, ia memutuskan untuk beralih ke pengelolaan seni, lebih khususnya sebagai asisten kurator di 304 Alternative Art Space di tahun 2001. Kemudian karir Pooh dalam bidang kuratorial ia kembangkan melalui

MERESPON UNTUK MEMAHAMI

Advertisement

Tim kurator Biennale Jogja Equator #5

Penwadee Nophaket Manont (Kurator independen, pekerja kebudayaan, pendiri Rai.D Collective dan Direktur Pengatur di Southeast Asia Fiction Film Lab (SEAFIC))

pengalamannya bekerja sebagai tim kurator di The Jim Thompson Art Center selama kurang lebih lima tahun ia berada disana. Karirnya yang bergeser dan menyentuh ranah seni, menurut Pooh ditandai dengan salah satu momen di mana ia berkesempatan mengikuti sebuah lokakarya kuratorial di pertengahan tahun 90-an. Baginya, momen mengikuti lokakarya tersebut sangatlah penting, terlebih saat ia juga berkesempatan bertemu dengan Gridthiya Gaweewong dan Klaomas Yipintsoi. Setelah lokakarya tersebut ia semakin yakin untuk mengembangkan dan memfokuskan pekerjaannya dalam ranah kuratorial. Suami Pooh yang bekerja sebagai sutradara, membuat Pooh juga banyak bekerja dalam dunia perfilman. Saat ini pun, dia aktif bekerja sebagai direktur pelaksana dari SEAFIC (Southeast Asia Fiction FIlm Lab). Sebelumnya pun dia juga sempat menjadi produser dalam beberapa pembuatan film pendek, salah satu diantaranya berjudul The Whole Nine Yard dan Cool BKK, yang dibuat oleh Lek Manont.

Berbicara mengenai perjalanan karirnya yang bisa dibilang sudah cukup panjang, hampir dua puluh tahun lebih lamanya, saat muncul pertanyaan peristiwa penting apa yang paling diingat sepanjang ia bekerja sebagai kurator? Peristiwa pertama adalah saat ia terlibat menjadi salah satu pengurus sebuah gerakan bernama ANT's Power di tahun 2014. Di tahun tersebut, Bangkok, tempat di mana ia berada mengalami sebuah krisis politik saat Yingluck perdana menteri yang terpilih di tahun 2011, menyalahgunakan kekuasaannya. Salah satunya dengan membentuk RUU amnesti untuk mempermudah kembalinya Thaksin Shinawatra. Peristiwa ini membuat Pooh merasa harus melakukan sesuatu, permasalahan ini harus dibicarakan. Setelah terjadinya krisis politik, terjadi sebuah proses transisi di masyarakat Thailand. Pameran Condemn To Be Free, menjadi bentuk kerja lain yang dia rasa penting dalam perjalanan karirnya. Kepekaan Pooh dalam melihat situasi politik yang terjadi, dia mencoba merefleksikannya lebih dekat lagi dalam membaca posisi tiap-tiap individu. Ada yang secara jelas mengambil posisi oposisi tapi juga ada yang berusaha netral — yang mana bagi Pooh, perihal ini penting untuk dibongkar melalui bentuk kolaborasi. Bentuk kolaborasi yang melibatkan seniman dan praktisi lain dengan beragam latar belakang, ia coba untuk diaplikasikan agar mendapatkan macam-macam perspektif dalam melihat permasalahan. Terkait dengan fokus Biennale Jogja tahun ini yang mencoba melihat Asia Tenggara melalui pinggiran, bagi Pooh ia mencoba memahami pinggiran bukan sebagai kawasan. Salah satu usahanya membahas mengenai pinggiran telah dimulai dengan proyek yang sedang ia kerjakan terkait wilayah Pattani, bagian selatan Thailand. Kondisi di wilayah tersebut banyak ditekan oleh pemerintah pusat. Pinggiran baginya dapat dilihat sebagai bentuk imajinasi, bukan sesuatu yang nyata dapat dilihat begitu saja. Konsep pinggiran sendiri merupakan ciptaan manusia, bukan sesuatu yang tercipta begitu saja. Perlu adanya cara, bentuk, dan format kolaborasi yang tepat agar nantinya bisa membongkar pemahaman mengenai pinggiran ini sendiri.

This article is from: