10 minute read

Memetakan Kerentanan dari Atas Papan Luncur Bersama

Untuk bermain skateboard, perlu beberapa tips dan trik agar bisa bertahan berdiri di atas papan. Mungkin juga, butuh keberanian untuk melawan perasaan takut jatuh agar bisa lebih percaya diri berdiri di atas papan–begitu ungkap salah satu teman yang sudah bermain skateboard lebih dari empat belas tahun. Selain sebagai olahraga, skateboard juga lekat dengan gaya hidup tertentu misalnya saja dengan musik hip hop dan budaya jalanan yang akhirnya melekatkan permainan skateboard bukan hanya sekedar olahraga biasa. Selain itu, permainan skateboard juga melibatkan unsur keahlian di dalamnya karena tentu saja membutuhkan keahlian tertentu untuk bisa bermain bahkan hingga menjadi ahli. Ketika permainan skateboard tidak terbatas kepada pelaku hobi saja, pada titik itu muncul beberapa lapisan permasalahan yang lain misalnya saja tentang permasalahan ruang dan praktek keahlian. Contohnya saja ketika saya berkunjung ke Bangkok pada tahun 2017 dalam rangka persiapan pameran bersama rekan Lembaga Kajian Budaya Kunci, saya banyak menemui taman kota yang dilengkapi oleh fasilitas taman bermain skateboard. Namun, kenyataan taman kota yang megah dan lengkap ini menggiring

MEMETAKAN KERENTANAN DARI ATAS PAPAN LUNCUR BERSAMA KOMUNITAS SKATE LADPRAO, BANGKOK, THAILAND

Advertisement

Oleh: Gatari Surya Kusuma (Peneliti dan pekerja kebudayaan dari

Kunci Cultural Studies)

saya menemui persoalan tentang bagaimana relasi kuasa tersebut bekerja di taman-taman itu hingga mampu menciptakan kontrol-kontrol yang tidak nyata. Taman kota dan arena bermain skate di Bangkok dalam tulisan ini hanyalah menjadi satu contoh simulasi bagaimana sebuah kuasa bekerja dan bagaimana sebuah sistem besar mampu menciptakan lingkaran-lingkaran kecil yang justru terus ter-reproduksi membentuk lingkaran besar lainnya. Tulisan ini akan melihat apa yang terjadi di luar lingkaran besar? lalu apakah yang dihasilkan oleh lingkaran-lingkaran kecil yang ter-reproduksi di luar lingkaran besar?

Taman sebagai satu kontrol yang tak terlihat

Taman bermain skate yang dibangun oleh pemerintah Bangkok memang cukup indah. Lokasi yang berada di pusat kota Bangkok seperti di area Sukhumvit Road atau Hua Mak sub-distrik selalu mudah dijangkau oleh transportasi umum. Taman bermain skate itu tidak ada yang berdiri sendiri, ada yang bergabung dengan taman pusat perbelanjaan, taman kota atau berada di komplek pusat olahraga. Bentuknya yang memiliki kurva melengkung memang menjadi pelengkap di antara garis-garis kaku pagar dan kursi fasilitas taman. Taman bermain skate dibangun dengan material kayu dan beton dengan teknis penyelesaian yang mendekati sempurna dalam fungsi praktisnya. Membayangkan suara yang akan ditimbulkan dari hasil gesekan roda papan dengan permukaan arena akan sangat merdu dan terasa menantang, seolah memanggil orang untuk datang dan bermain 5 skateboard. Selain infrastruktur taman dan skatepark, akses transportasi menuju lokasi tersebut juga sangat mudah. Banyak MRT (Mass Rapid Transit) atau BTS (Bangkok Mass Transit System) yang bertitik di tamantaman tersebut. Selain itu ada transportasi lainnya misalnya taksi konvensional maupun online. Pemerintah akan selalu mencoba untuk memenuhi dan memperbaiki segala aspek yang dibutuhkan oleh masyarakatnya termasuk taman bermain skate ini. Dan semua hasil fasilitas itu tidak lain adalah aset besar sebuah wilayah yang harus dijaga dengan berbagai upaya agar “wajah” kota selalu tampak baik sesuai dengan apa yang diinginkan. Kehadiran fasilitas publik muncul atas dasar logika memperbaiki sesuatu dengan pandangan yang umum. Seperti misalnya; sebuah kota tidak memiliki ruang terbuka hijau, maka dari itu pemerintah akan membangun taman kota hingga jumlah yang memenuhi, tapi tidak melihat bagaimana taman itu benar-benar diperlukan sebagai apa. Kebijakan pemerintah untuk membangun taman seperti contoh di atas bisa disebut sebagai kebijakan. Kebijakan adalah bentuk baru dari perintah yang berdasarkan atas kebutuhan dan fungsi atas perintah yang diperintahkan tersebut¹. Banyak perdebatan tentang pembangunan di berbagai wilayah, kota dan negara, termasuk di Kota Bangkok ini. Walaupun secara menyeluruh pembangunan akan memberi wajah yang baik terhadap suatu wilayah, namun kebijakan pembangunan tidak akan mampu untuk menembus batasbatas reproduksi sosial. Untuk memberi gambaran tentang reproduksi sosial apa yang berlaku di dalam teks ini, saya akan mengutip yang dituliskan Harney & Moten

dalam kumpulan essay nya yang berjudul “The Undercommons: Fugitive Planning and Black Study” pada halaman 74, yaitu dalam konteks undercommons², kenyataan reproduksi sosial bisa diibaratkan dengan melihat posisi perencana kebijakan adalah bagian dari rencana kebijakan itu sendiri. Sehingga, kebijakan akan terus mereproduksi bentuk-bentuk rencana dan perintah untuk mengubah dan memperbaiki. Dengan ambisi mengubah dan memperbaiki, maka kebijakan dan rencana kebijakan akan terus mengejar titik baik hingga sempurna. Posisi-posisi yang terambisi untuk menciptakan hal-hal yang sempurna akan terus ter-reproduksi. Maka dari itu, segala kebijakan akan terus mereproduksi segala aturan, rencana dan perintahnya hingga membentuk satu rezim tertentu.

Menjadi lambat di tengah ritme bermain yang sangat cepat

Dalam kunjungan selama empat minggu di Bangkok pada bulan Mei, saya tertarik dengan satu wilayah di pinggir kota bangkok bernama Ladprao. Area itu bisa dibilang cukup jauh dari pusat kota Bangkok, mengingat akses transportasi umum yang tidak mudah dan kemacetan yang cukup menjebak. Untuk menuju area tersebut, kita membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam di sore hari dengan tingkat kemacetan rata-rata (tidak begitu macet tapi masih bisa jalan). Saat itu saya dan teman-teman lainnya memilih untuk naik mobil pribadi dibanding harus mencari kendaraan umum. Pertimbangannya saat itu adalah masalah efisiensi waktu dan tenaga. Hari itu adalah hari Kamis sekitar pukul 4 sore waktu Thailand, jalanan padat oleh orang-orang yang bergegas meninggalkan kantor menuju tempat makan, rumah atau pusat perbelanjaan. Kami memilih untuk menggunakan jalan tol, tentunya dengan pertimbangan untuk menghindari kemacetan. Sewaktu keluar dari jalan tol, saya banyak melihat rumah yang sekaligus toko atau tempat usaha namun tidak semuanya buka. Agak sedikit susah untuk menemukan pusat perbelanjaan atau galeri seni megah seperti yang ada di pusat kota Bangkok. Selain itu, uniknya di area tersebut tidak memiliki taman terbuka seperti yang banyak tersebar di pusat kota Bangkok. Mungkin memang tidak ada alasan turis untuk mengunjungi area tersebut, jadi tidak perlu sibuk memikirkan citra apa yang ingin dihadirkan oleh area tersebut.

Di Ladprao ada satu lahan kosong yang sengaja dibangun untuk skatepark. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari segi penampilan tempat itu. Banyak rumput liar mengitarinya. Dan hanya sepertiga bagian dari lahan itu yang ditutup oleh semen untuk digunakan bermain skateboard. Lokasi itu dibatasi oleh pagar kawat yang ditumbuhi oleh rerumputan. Sekitar 250 meter dari tempat bermain skate itu terdapat satu sekolah swasta elit yang memiliki akses keluar masuk menuju jalan utama selalu melalui taman bermain skate itu. Dengan perwujudan seperti itu, tidak heran jika orang memandang tempat itu sangat privat namun menaruh curiga tentang apa yang sebenarnya terjadi di dalamnya. Dalam kunjungan pertama pada waktu itu, saya mendapati kurang lebih 9 laki-laki dan 1 perempuan di usia 20 tahun ke atas hingga 30 tahun sedang berada di dalam area taman. Empat di antaranya sedang sibuk dengan semen dan alat bangunan

yang ternyata mereka sedang membangun trek bermain. Lalu, sisanya sibuk bermain skateboard ke sana kemari. Skatepark itu tidak memiliki nama khusus, bahkan ketika saya menanyakan tentang siapa yang menjadi anggota dalam skatepark ini, mereka tidak memilikinya. Namun, ada beberapa orang yang mengawali untuk menggunakan lahan kosong itu menjadi skatepark. Mereka adalah Rainny, Olarn dan satu teman lagi yang saya belum sempat bertemu. Mereka menjadi penemu tempat ini dikarenakan Rainny tinggal tidak jauh dari lokasi itu, sedangkan Olarn dan satu temannya adalah teman baik dari Rainny. Singkat cerita, mereka bertemu dan memutuskan untuk membersihkan lahan yang telah lama kosong dan tertutup oleh semak belukar lalu menyulapnya menjadi sebuah taman bermain skate. Dalam proses membangun skatepark, Olarn dan Rainy banyak menghabiskan waktu, tenaga dan biaya di tempat itu. Mereka telah menekuni dunia skateboard semenjak mereka duduk di bangku sekolah menengah pertama, kira-kira 15-16 tahun yang lalu. Mereka telah menjajaki beberapa skatepark yang ada di Bangkok. Bahkan mereka juga pernah mengalami masa dimana bermain skateboard memang tidak harus di skatepark dan bisa dimana saja seperti di trotoar dan halaman rumah. Hanya saja, kini bagi mereka bermain skate identik dengan taman skate yang megah. Lagi-lagi banyak pihak seperti gemerlap perlombaan olimpiade, hingga branding-branding dari merk kelas dunia yang sedang berusaha untuk memasuki wilayah mereka dengan menyediakan segala taman bermain skate.

Sejauh ini status taman bermain skate yang dibangun oleh Olarn, dan kawankawan masih bersifat temporer. Taman itu dibangun di atas tanah bertuan yang terbengkalai cukup lama. Mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa memiliki lahan tersebut. Selain itu, sewaktu-waktu bisa saja taman itu harus dihancurkan dan hilang karena si pemilik memintanya kembali. Kita yang terlibat pembicaraan sore hari itu tidak ada yang mengetahui kepastian akan hal itu. Dan tentunya, mereka bersepakat bahwa upaya yang dilakukannya tidaklah sia-sia dan menghilang jika taman itu harus hilang dan diganti dengan bangunan yang baru. Saya jadi teringat tentang bagaimana orang-orang di sekitar kantor tempat saya bekerja (Kunci, Yogyakarta) memanfaatkan lahan kosong bertuan yang terbengkalai. Mereka tidak ingin mencari tahu bagaimana memiliki lahan tersebut atau berfikir untuk menghancurkannya karena terlihat kumuh dengan bangunan yang setengah jadi dan rumput belukar hidup liar di dalamnya. Secara perlahan, mereka menggunakan lahan tersebut berdasarkan kebutuhannya terhadap lahan terbuka. Contohnya adalah untuk meletakkan kandang ayam yang akan digunakan untuk aktivitas sabung ayam atau berkumpul untuk menghabiskan malam minggu³. Perilaku menggunakan lahan juga sama halnya dengan bagaimana mereka menciptakan ruang bersama dari pemanfaatan akan lahan kosong. Hal ini juga diungkapkan oleh Stavros Stavrides dalam artikelnya yang berjudul Common Space as a Threshold Space dalam halaman ke-2, bahwa ruang bersama tercipta atas dasar kebutuhan mereka terhadap dunia yang sama seperti rumah sehingga mampu mendukung atau untuk mengekspresikan komunitas/orang yang bergabung di dalamnya. Namun, kebutuhan akan sebuah ruang bersama juga perlu adanya kesadaran yang dimiliki bersama tentang apa yang mendesak untuk memiliki ruang bersama tersebut, dan tidak semata-mata hanya menjadikannya sebagai identitas baru untuk ambisi menjadikannya satu rezim penguasa lainnya. Barangkali bisa melihat taman bermain skate yang dibangun oleh Olarn, Rainny, dan satu teman lainnya adalah gejala bahwa mereka membutuhkan satu ruang yang berbeda dari ruang-ruang bermain skate yg tersedia di Bangkok. Seperti halnya permainan berbasis keahlian lainnya, skateboard juga memiliki beberapa permasalahan terkait mahir dan tidak mahir. Untuk menjadi mahir, harus banyak berlatih dari hal dasar seperti berdiri di atas papan hingga mampu mengaplikasikan beberapa trik permainan. Untuk memulai mengendalikan keseimbangan di atas papan, baiknya memulainya tidak di taman bermain karena akan mengganggu pemain lain yang sedang melaju kencang. Sebenarnya tidak ada peraturan tertulis yang menciptakan hierarki penggunaan ruang macam ini tapi gerak pemain skateboard yang sudah mahir biasanya serba cepat, seolah tidak memberi celah pada gerak-gerak pemain skateboard pemula yang lebih lambat dan riskan jatuh kapan saja. Ketika berada di taman bermain skate, tampak semua orang bergerak begitu cepatnya ke sana kemari. Semua orang tengah berkonsentrasi

untuk bisa menggunakan trik tertentu. Sehingga akan sangat susah untuk bisa hadir di sana sebagai orang yang tidak bermain, satu hal yang bisa dilakukan adalah melihat semua

pergerakan orang-orang dengan papan luncurnya . Area bermain 4 skateboard benar-benar dipenuhi oleh suara gesekan roda papan luncur dengan lantai. Benar-benar sudah tidak ada celah untuk menjadi lambat di sana. Jika membicarakan tentang ruang hidup dan laku hidup, memang tidak pernah terlepas dari tuntutan untuk bergerak baik lebih cepat atau bergerak maju. Dorongan untuk menjadi cepat akan terus muncul seiring berjalannya perkembangan kota dan makin banyak manusia yang bergerak. Segala hal yang ada di kota akan terus bergerak maju meninggalkan semua hal yang berdiam atau bergerak lambat di belakangnya, sama halnya dengan bermain skate yang memiliki tuntutan untuk menjadi cepat ketika berada di atas papan. Rasa-rasanya seperti bermain video game, semua pemainnya didorong untuk memiliki ambisi menguasai satu level dan menjadi lebih cepat dibanding pemain lainnya. Lalu, ketika semua orang yang ada di arena tersebut bergerak begitu cepat dan semua berambisi untuk menguasai tantangan permainan, bagaimana dengan orang yang ingin belajar? Apakah mereka tidak memilki kesempatan untuk menjadi gagal dan lambat dalam area bermain? Jika memang iya, ruang seperti apakah yang harus diciptakan untuk memberi celah pada kegagalan dan menjadi lambat? Lalu, lingkaran besar seperti apa yang harus ter reproduksi jika kesempatan untuk belajar dan jatuh gagal menjadi sulit untuk dicapai? Paling tidak, apa yang dilakukan oleh Rainy dan teman-teman mampu menunjukkan simulasi tentang bagaimana berada di luar lingkaran besar bukan lah hal mudah. Mereka harus siap dengan kenyataan bahwa posisi mereka sangat labil, bisa kapanpun hilang dan bisa kapanpun mereka ditinggalkan.

¹ Harney&Moten, The Undercommons: Fugitive Plannings&Black Study, (New York: Minor Composition, 2013), hal: 74 [Benerin format pengutipannya ya, dibuat konsisten mau pakai sistem format pengutipan apa, Harvard, MLA, dsb kamu bisa cari di Internet] ² Pembacaan atas fenomena sosial tetapi tidak dengan logika antagonisme. Stefano Harney dalam wawancaranya dengan media “Class War University” mengatakan bahwa undercommons bukanlah ruang atau wadah untuk menciptakan perang, melainkan tempat lebih melihat kepada hal yang berada dan terjadi saat ini. Selanjutnya bisa dilihat di https://classwaru.org/2012/11/12/studying-through-theundercommons-stefano-harney-fred-moten-interviewed-by-stevphen-shukaitis/ ³ Permainan adu ayam, biasanya pemainnya melakukan ini untuk judi atau hiburan semata. Permainan ini cukup populer di Jawa. 4 Penjelasan atas perasaan ini dialami ketika saya berada di taman bermain skate Ladprao, Bangkok pada bulan Mei tahun 2017.

This article is from: