6 minute read

Minoritas di Filipina

MINORITAS DI FILIPINA: DISKRIMINASI DAN KETEGANGAN

Oleh: Y. Tri Subagya (Pengajar di Program Magister Institut Religi

Advertisement

dan Budaya, Universitas Sanata Dharma)

Filipina merupakan negara yang terdiri dari gugusan pulau terbesar di Asia Tenggara setelah Indonesia. Tercatat 7.107 pulau di negara itu. Penduduknya sangat heterogen dari segi etnik mau pun agama. Secara geografis, mereka tersebar menghuni tiga pulau besar yaitu Luzon, Visayas dan Mindanao. Luzon berada di wilayah bagian utara yang menjadi pusat pemerintahan sejak masa kolonial. Visaya berada di bagian tengah dan Mindanao di bagian selatan yang berdekatan dengan Malaysia, Brunei dan Indonesia. Di masing-masing wilayah tersebut dapat ditemukan bahasa yang dominan. Setiap etnik memiliki bahasa yang berbeda satu sama lainnya meski Tagalog yang berada di pusat pemerintahan kemudian dipilih sebagai bahasa nasional. Di Visayas hingga Cebu dikenal bahasa Visayas, sementara Mindanao memiliki bahasa campuran yang penduduknya menamakan diri sebagai bangsa Moro. Perbedaan menonjol dengan wilayah di utara yang sebagian besar penduduknya orang Kristiani adalah bahwa bangsa Moro ini umumnya beragama Islam. Agama Islam diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan musafir pada abad ke 14. Resistensi terhadap kolonialisme Spanyol di kawasan itu membuat bangsa Moro membangun identitas tersendiri melalui agama dan berlanjut hingga paska kolonial. Selama berabad-abad bangsa Moro menangkal pengaruh Kristen dari utara dan melakukan perjuangan senjata untuk merdeka, memisahkan diri demi membentuk negara Islam. Pada tahun 1989, Mindanao memperoleh status otonomi khusus (Autonomous Region in Muslim Mindanao, ARMM) dari pemerintah Filipina. Di Mindanao sendiri, tidak semua organisasi Islam menyetujui otonomi khusus di wilayah itu. Awalnya hanya kelompok MNLF (Moro National Liberation Front) yang mau berunding dan membuat kesepakatan dibentuknya ARMM dengan pemerintah Filipina. Kelompok MILF (Moro Islamic Liberation Front) dan Abu Sayyaf melakukan perlawanan di bawah tanah walaupun MILF tahun 2012 akhirnya menerima dan memberi dukungan bagi pengembangan wilayah otonomi khusus tersebut. Abu Sayyaf tetap

Bendera Moro National Liberation Front

Sumber foto: https://en.wikipedia.or g/wiki/Moro_National_ Liberation_Front melawan dan belakangan memperluas jaringan dengan berbaiat kesetiaan pada ISIS dan menyediakan tempat latihan militer gerakan radikal dari Asia Tenggara. Mengidentifikasikan kelompok minoritas di Filipina seperti halnya di negara lain perlu ketelitian dalam menggunakan konsepnya karena kompleksitas permasalahan yang menyangkut kelompok tersebut. Konsep minoritas dalam pengertian umum merujuk pada ukuran kelompok (group size) yang kecil jumlahnya didasarkan pada statistik penghitungan populasi kelompok tersebut. Karena populasi yang kecil secara sosio-politik cenderung tersubordinasi dari kelompok-kelompok yang lebih besar. Dominasi atas kelompok minoritas membuat rentan terjadinya diskriminasi dan marginalisasi. Dengan demikian, hubungan minoritas dan mayoritas tidak hanya menyangkut perkara jumlah atau ukuran kelompok, tetapi juga relasi kuasa yang berimplikasi pada perbedaan otoritas dan status yang dimiliki kelompok tersebut. Di Filipina kategori minoritas terkait dengan kelompok etnolinguistik dan agama. Secara umum, kategori minoritas yang kini relevan dipakai di Filipina merujuk pada kelompok Islam di Mindanao. Beberapa ahli lain juga memasukkan orang-orang asli (indigenous people) ke dalam kategori minoritas. Kategori terakhir ini agaknya tumpang tindih dengan kelompok agama karena baik kelompok Kristen mayoritas dan kelompok muslim minoritas juga terdiri dari kelompok-kelompok orang asli yang kecil populasinya. Orang Kristen kebanyakan tinggal di wilayah utara seperti di Luzon, Visaya dan Mindanao Utara, sedangkan orang Islam menghuni

wilayah Mindanao Selatan, Zulu dan Palawan. Populasi orang Kristen di Filipina adalah 92%, dan sekitar 81% di antaranya menganut Katolik. Mereka tersebar dan menjadi kelompok dominan di wilayah utara negara itu, sementara orang Islam di wilayah selatan menjadi minoritas. Meski pun demikian, bangsa Moro di wilayah selatan dominan sebagai kelompok mayoritas dan orang Kristen menjadi minoritasnya. Dua kategori kelompok agama yang menjadi mayoritas dan minoritas tersebut terdiri dari berbagai kelompok ethnolingusitik yang beranekaragam dan jumlahnya bervariasi yang membentuk kelompok dominan dan subordinan di dalamnya. Di wilayah utara dikenal enam kelompok ethnolinguistik, yaitu Tagalog, Visaya, Cebuano, Ilocano, Ilongo dan Bicolano yang sebagian besar memeluk agama Kristen. Orang Tagalog tersebar menghuni di sekitar Manila, orang Ilocano di utara pulau Luzon dan Bicolano di selatan Luzon. Orang Ilongo dan Visaya di wilayah tengah dan Cebuano di Mindanao Utara. Masing-masing kelompok itu memiliki bahasanya sendiri yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Demikian pula di Mindanao, bangsa Moro terdiri dari 13 kelompok etno-linguistik. Tiga besar di antaranya adalah Maranao, Tausug dan Maguindanao. Mereka semua beragama Islam dan tersebar di enam propinsi di wilayah otonomi khusus ARMM: Lanao del Sur, Maguindanao, kepulauan Sulu dan Tawi-Tawi, Basilan dan Marawi. Di wilayah ini orang Kristen yang kebanyakan berasal dari Visaya dan Cebu menjadi minoritas. Hubungan kelompok mayoritas dan minoritas yang melekat dengan identitas agama tersebut mewarnai dinamika politik di Filipina kendati tidak serta merta menjadi pertikaian agama. Dalam sejarah kolonialisme Filipina, bangsa Moro merupakan persekutuan berbagai kelompok etnik di Mindanao yang sebagian besar identitasnya Islam melawan penguasa Spanyol. Identitas tersebut dibangun oleh Kasultanan Sulu dan Maguinadao antara 1450-1520. Kedatangan para pelaut dan pasukan Spanyol tahun 1565 dihadapi melalui perang dan membuat kelompok Moro terisolasi di wilayah selatan. Penguasa Spanyol kemudian menamakan kepulauan itu Filipina yang berasal dari nama raja mereka, Raja Philips 2. Para misionaris juga mengembangkan agama Katolik di wilayah utara. Situasi itu berlangsung hingga akhir abad 19 ketika Amerika Serikat berhasil mengusir Spanyol melalui perjanjian Paris. Di bawah kolonialisme Amerika, situasi politik sedikit banyak berubah tetapi tidak merubah formasi kekuasaan. Para elit di Mindanao memperoleh jaminan otonomi yang diberikan oleh penguasa Amerika Serikat, sementara para tuan tanah dan elit yang disebut illustrados di wilayah utara bersifat kompromis. Paska kemerdekaan Filipina, baik di Luzon maupun Mindanao, kekuasaan masih berada di tangan tuan-tuan tanah atau haciendaros. Bahkan ketika pemerintah otoritarian Ferdinand Marcos berkuasa di tahun 1972, Mindanao berada dibawah kontrol tuan tanah yang bernama Mohamad Ali Dipamoro. Dia diberi kekuasaan politik di Mindanao karena kesetiaan pada diktator itu. Di tahun-tahun berikutnya ketika otoritarianisme tumbang, tuan-tuan tanah dan keluarganya masih menguasai politik di wilayah selatan negara itu. Selain Dipamoro di Lanao del Norte, keluarga Ampatuan berkuasa di Maguindanao. Keduanya memiliki

hubungan dekat dengan penguasa pemerintah Filipina, semasa Gloria Macapagal Arroyo menjadi presiden. Ketegangan politik di Mindanao selain selalu memanas dengan pemerintah pusat di Manila, juga diperparah oleh persaingan keluarga dalam mempertahankan atau bersaing mendapat kekuasaan. Keluargakeluarga luas itu memiliki pasukan partikelir mau pun milisi bersenjata untuk mendukung mereka. Tahun 2009 lalu misalnya kita dikejutkan dengan pembantaian keluarga Mangundadato yang merupakan pesaing politik keluarga Ampatuan di Maguindanao. Beberapa anggota keluarga itu dibantai bersama ketika sedang melakukan perjalanan. Mereka ditemukan masih berada di dalam mobil-mobil mereka yang ditimbun di dekat lokasi pembantaian untuk menghilangkan jejak. Saat ini gubernur di wilayah ARMM dijabat oleh Mujiv Hataman, seorang Muslim dari etnis Yakan dari Basilan. Tampilnya Mujiv Hataman mengurangi ketegangan dari tiga kelompok etnik besar, yaitu Maguindanao, Tausug dan Maranao yang bersaing memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di wilayah Mindanao Selatan. Ketimpangan sosial ekonomi dan kesenjangan sosial tampak di wilayah tersebut dibandingkan di bagian utara. Mata pencaharian penduduk lebih didasarkan pada budi daya lingkungan alam dan pengolahan hasil bumi. Mereka umumnya menjadi petani, nelayan peternak, pedagang eceran dan wiraswasta. Sedikit sekali dibandingkan yang berada di metro Manila, penduduk di mindanao

Peta Mindanao, Filipina

Sumber peta: https://www.google.co m/maps/place/Mindan ao/@10.2308128,119. 0144897,6.45z/data=! 4m5!3m4!1s0x3255e4 0590d9b7c3:0xc7b9f2 64ecd3cfb4!8m2!3d8. 49613!4d123.3034062

selatan yang bisa bekerja di sektor pekerjaan profesional seperti bisnis, perdagangan, jasa,pengusaha industri maupun pegawai pemerintah. Pembangunan infratruktur juga lebih berkembang di wilayah Visaya dan Luzon ketimbang di Mindanao. Sejarah panjang kolonialisme, konflik bersenjata dan segregasi sosial mewarnai hubungan kelompok Kristen dan Islam dan persepsi yang sering keliru antar kelompok keagamaan tersebut. Masing–masing memiliki persepsi negatif, stereotipe dan prasangka satu sama lain hingga setiap kelompok cenderung eksklusif dan menghindar berinteraksi dengan kelompok lain. Hal ini juga beririsan dengan kalangan kelompok etnis. Superioritas etnis yang dominan dan relasi hierarkis mewarnai pergaulan sosial di antara mereka. Misalnya masing-masing tidak mau memilih pemimpin di luar kelompok mereka, membatasi pertemanan apalagi pasangan hidup dari kelompok lainnya.

Bibliografi

Abanes, M. S. (2014). Ethno-religious identification and intergroup contact avoidance: An empirical study on Christian-Muslim relations in the Philippines (Vol. 50). LIT Verlag Münster. Gowing, P. G. (1968). Mandate in Moroland: The American Government of Muslim Filipinos, 1899-1920. Tolibas-Nuñez, R., & Bolongaita, E. P. (1997). Roots of Conflict: Muslims, Christians, and the Mindanao Struggle. Asian Institute of Management. Vellema, S., Borras Jr, S. M., & Lara Jr, F. (2011). The agrarian roots of contemporary violent conflict in Mindanao, Southern Philippines. Journal of Agrarian Change, 11(3), 298-320. Zialcita, F. N. (2005). Authentic though not exotic: Essays on Filipino identity (p. 211). Quezon City: Ateneo de Manila University Press.

This article is from: