9 772442 302196
ISSN: 9772442302202
THE EQUATOR Vol. 7/No. 4 Oktober - Desember 2019 Terbitan triwulan | GRATIS Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta
BERHENTI DAN MELIHAT
Salam hangat para pembaca yang budiman! Memasuki tahun 2019, melalui setiap edisi newsletter kami ingin mengundang para pembaca untuk turut bergerak dan berjalan mengikuti setiap langkah yang kami ambil dalam mempersiapkan perhelatan Biennale Jogja Equator #5. Ajakan ini semata-mata kami lakukan untuk mendekatkan para pembaca dengan proses kerja kami sampai perhelatan Biennale Jogja Equator #5 dapat terlaksana. Atas usaha dari setiap individu yang terlibat dalam tim kerja, pada tanggal 20 Oktober 2019 kemarin, Biennale Jogja Equator #5 akhirnya dibuka. Setelah banyak bergerak, rasanya ditengah antusiasme dan kesibukan selama acara berlangsung, berhenti menjadi satu hal yang penting untuk dilakukan. Berhenti dan diam seringkali membuat kita kemudian melihat hal-hal yang luput dari pandangan. Kesempatan untuk berhenti yang pertama ditawarkan dari kegiatan lokakarya dan simposium publik yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta, bertajuk “As We Are Together: Rethinking Artists/Curators Initiatives In Art Ecosystem Of Southeast Asia”. Menawarkan sebuah ruang diskusi untuk mempertemukan para pekerja seni di Asia Tenggara— yang mungkin akan jarang terjadi, walaupun secara geografis lokasinya berdekatan. Diawali dengan tulisan Kinan Aji Nurdiansyah yang menyampaikan sebuah laporan singkat mengenai diskusi yang terjadi pada simposium publik. Sedangkan Eliesta Handitya, melalui tulisannya menyampaikan analisa lebih lanjut terkait dengan isuisu yang diangkat saat lokakarya berlangsung. Karya-karya seniman yang terlibat dalam Biennale Jogja Equator #5 pun menjadi dorongan untuk berpikir lebih lanjut mengenai masalah yang ada di sekitar kita. Bagas Nugroho mengajak kita untuk duduk dan melihat perjalanan Moelyono berkarir sebagai seniman— bagaimana ia merefleksikan pengalaman berkeseniannya yang bersinggungan dengan represi dari pemerintah. Sedangkan, di Thailand hal yang serupa juga terjadi, di mana Kiki Pea menuliskan cerita mengenai Pisitakun Kuntalaeng yang menggunakan karyanya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah. Pengalaman yang lebih personal kami coba hadirkan melalui tulisan Harmantyo Pradigto Utomo, salah satu anggota Studio Malya. Ia menghadirkan sudut pandang lain dalam melihat persiapan intens Studio Malya menjelang biennale. Terkait dengan isu kerja yang seringkali disamarkan melalui “semangat kolektif”, terutama untuk kerja lembur— yang akhirnya menjadikan diri mereka sebagai subjek pinggiran. Lalu, Irfan Darajat hadir untuk menawarkan kacamata lain dalam melihat Biennale Jogja Equator #5, yaitu melalui pendekatan suara. Ia melihat pameran kali ini sebagai perkampungan yang padat suara, di mana ada suara-suara yang terbungkam dalam arus kekuasaan dan kesempatan ini semua dicoba untuk diketengahkan. Melalui berhenti, besar harapan bahwa langkah ini dapat dilihat sebagai suatu pijakan awal untuk memulai sesuatu yang baru. Bagi kami sendiri, semoga setelah berhenti dan melihat apa yang tersembunyi, kami dapat lanjut bergerak untuk mempersiapkan diri lebih baik di tahun berikutnya. Terima kasih dan selamat membaca. Salam, Tim Redaksi The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs: www.biennalejogja.org Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema
terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan. Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Misi YBY adalah: Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai
upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010. Alamat: Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta
Telp: +62 274 587712 E-mail: the-equator@biennalejogja.org Oktober-Desember 2019, 1000 exp Penanggung jawab: Alia Swastika Redaktur Pelaksana: Khairunnisa. Kontributor: Kinan Aji Nurdiansyah, Eliesta Handitya, Kiki Pea, Bagas Nugroho, Harmantyo Pradigto Utomo,
KONTRIBUTOR Kinan Aji Nurdiansyah
6| Melihat Simposium Publik dan Kaitannya Dengan Biennale Jogja XV — 2019 Oleh; Kinan Aji Nurdiansyah
Eliesta Handitya Kiki Pea Bagas Nugroho Harmantyo Pradigto U.
10| Kolektif Seni di Asia Tenggara dan Spirit Melawan “Kemapanan” Oleh: Eliesta Handitya
Irfan Darajat
SAMPUL
17| Membicarakan karya Pisitakun Kuntalaeng di Biennale Jogja Equator #5 Oleh: Kiki Pea 22| Moelyono; Seniman Cum Aktivis Pergerakan Oleh: Bagas Nugroho 27| Tak Ada Malam di Peraduan; Mencatat Kerentanan Pekerja Kreatif dari Dekat Oleh: Harmantyo Pradigto Utomo 34| Perkampungan Padat Suara: Politik Suara dan Suara Politik dalam Jogja Biennale XV 2019 Oleh: Irfan Darajat 39| Tentang Biennale Jogja
Irfan Drajat Fotografi: Penulis, Foto sampul: Gevi Noviyanti, Fay Syahaniya Desainer: Yohana T. Outlet Penyebaran Jakarta Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum Bandung: Selasar Sunaryo Art Space,
Galeri Soemardja, Tobucil Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD, Cemeti Art House, LKiS, FSR ISI, In-
co pro, PKKH UGM, Tirana Art House & Kitchen, Galeri Lorong, Toko Gerak Budaya ISI Surakarta: Fakultas Seni Rupa dan Desain Semarang: Kolektif Hysteria Surabaya: C2O Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono Bali: Ketemu Project Space
Makasar: Yayasan Makasar Biennale Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke: Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615 Yayasan Biennale Yogyakarta BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72 NPWP: 03.041.255.5-541.000
6
MELIHAT SIMPOSIUM PUBLIK DAN KAITANNYA DENGAN BIENNALE JOGJA XV - 2019 Oleh: Kinan Aji Nurdinsyah
7
Setelah nyaman menjelajahi berbagai Benua, saatnya kembali pulang, yaitu ke Equator #5 – “Do We Live In The Same Playground: Indonesia With Southeast Asia” yang diselenggarakan pada 20 Oktober hingga 30 November 2019. Tahun ini, Yayasan Biennale Yogyakarta membuat sebuah lokakarya dan simposium publik sebagai pelatar yang bertujuan untuk mengenalkan kepada publik terkait tema besar yang diangkat oleh Biennale Jogja tahun ini, “pinggiran” untuk menjadi topik hangat yang diperbincangkan dalam melihat ekosistem seni berbasis kolektif atau organisasi/kelompok seni di Asia Tenggara, pada Selasa, 22 Oktober 2019 di Gedung Ajiyasa, Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Lokakarya dan simposium ini bertajuk, Public Symposium Critical Playground #1 kali ini mengangkat tema “As We Are Together: Rethinking Artists/Curators Initiatives In Art Ecosystem Of Southeast Asia”. Sejauh ini inisiatif pertumbuhan ruang kolektif bermunculan dibeberapa wilayah dengan jarak yang dimiliki dengan pusat pertumbuhan ekonomi di setiap negaranya, istilah artist run initiative atau artist run space mulai berubah secara terminologi dengan berjalannya kondisi saat ini, ujar Alia Swastika (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta) saat membuka sesi forum simposium publik. Sejalan dengan hal itu, masih banyak negara yang menghegemoni dengan tidak turut andil dalam pertumbuhan ruang yang secara mandiri perkumpulan kelompok yang biasa kita dengan dengan kolektif membangun sendiri ekosistem “Help Me To Help You” (salah satu mural karya Arisan Tenggara yang berada di Ruang Pamer TBY) yang lain tak bukan adalah semangat gotong royong, mereka tak mau disebut
sebagai organisasi yang mungkin lebih terlihat kaku dibandingkan komunitas. Rifki AP (KUNCI Study Forum and Collective, Yogyakarta) sore itu menjadi moderator mencoba merangkum kembali apa yang terjadi sebelum Public Symposium Critical Playground #1 berlangsung, yaitu sebuah lokakarya dengan tajuk yang sama; sesi pertama di hari pertama satu situasi pasca perang dingin (cold war) dan situasi di masingmasing kolektif, lalu pada sesi kedua estetika dan proses kreatif yang terjadi. Sesi ketiga ditutup dengan edukasi dan produksi pengetahuan, serta bagaimana proses menyebarkan pengetahuan itu berlangsung. Hari kedua dibuka dengan sesi sustainability dan regenerasi kolektif, dilanjutkan dengan conclusion. Membayangkan bagaimana kolektif di masa depan dan bagaimana mereka bisa bertahan, akhirnya memunculkan 2 pertanyaan untuk memantik para peserta di ruangan tersebut untuk saling berdiskusi. Pertama, apakah proses dari kolektif itu sendiri playful? Di tengah kondisi politik yang represif. How playful we organize the collective? Kedua; kesenjangan generasi apakah benar-benar terjadi atau hanya tentang perbedaan metode tentang bagaimana kita berkomunikasi/mengartikulasikan seni, politik, wacana sosial dari waktu ke waktu? Tanggapan muncul dari Sao Bin (Rumah Air Panas, Malaysia) menjelaskan bahwa salah satu tantangan yang dihadapi oleh kolektif ialah politik respons, sosial, dan lain-lain. Kerja sama untuk memprovokasi dan bereaksi akan hal-hal yang menjadi fenomena tertentu, lalu bagaimana kami mengatasinya dengan bermain-main untuk
8
memahami guna membentuk semacam pengetahuan untuk menilai serta berkontribusi pada perubahan artistik secara kritis. Seharusnya banyak orang memiliki perbedaan, dipisahkan diantara kelompok-kelompok dengan praktik yang berbeda kemudian melihat kelompok mana dengan pengaruh paling kuat. Menjadi dilema ketika kekuasaan di dunia, kita bersatu, dipisahkan dan kembali bersatu. Lee (Speedy Grandma, Thailand) mengatakan seiringnya berjalannya waktu, kami mencoba memahami praktik yang terjadi yang awalnya kita tahu bahwa dapat bermain-main. Aly (WSK, Manila) kita harus mengakui sebagai kolektif yang tidak hanya bekerja bersama namun menciptakan ketegangan bersama, bermain-main secara sadar untuk menggunakannya sebagai strategi kreatif. Sedangkan Aum (Omni Space, Bandung) berpendapat, bahwa sebuah ruang ketika kita merasa nyaman sebagai kolektif, mampu menjadikan ruang sebagai antitesis dari galeri/galeri seni. Kami senang bahwa Omni Space dapat memicu pertumbuhan kolektif di Bandung dan kota-kota lainnya. Alia Swastika menambahkan bahwa Sao Bin (Rumah Air Panas, Malaysia) menghubungkan gagasan tentang kolaborasi seniman dengan gagasan playground. Di satu sisi kita sebagai organisasi melihat ruang bermain dengan konteks yang beragam. Juga penting untuk melihat kebebasan berekspresi dari praktik seni oleh kolektif karena itulah yang mereka sukai seperti yang Aum lakukan. Setiap ruang punya rules, situasi ini tidak dapat dipisahkan dari proses bermain-main karena itu menjadi bagian itu sendiri. Rifki AP memantik pertanyaan lain, lalu bagaimana kita menyiasati masalah klise-
kondisi finansial-yang sering dihadapi kolektif/organisasi seni, kemudian syarat untuk memulai kolektif, dan kapan seniman menanggapi pasar seni? Bagi Lee saat ini banyak yang hanya sibuk memikirkan tentang mereka sendiri hingga individualisme itu tumbuh subur, baginya dengan melakukannya bersama-sama bukan demi uang adalah alasan Speedy Grandma ada. Lyno (Sa Sa Art Project, Kamboja) memahami praktik individu yang setara dengan praktik kolektif dalam posisi individu, sebagai seniman individu yang menempatkan energi dalam kolektif. Jadi sebagai individu yang aktif berkontribusi pada kolektif. Lyra (Green Papaya, Filipina) mengutarakan bahwa kontribusi individu untuk kolektif dengan seberapa banyak hasil pemikiran yang diejawantahkan tanpa memikirkan hasil keuangan, pendapat berbeda diungkapkan Lyno, yang mana baginya bersama-sama membuatnya cenderung menjadi romantis dalam berbagi ide, kita sadar bahwa setiap individu memiliki satu passion tertentu. Namun, Lyno tidak mempermasalahkan setiap individu yang berbeda-beda dalam satu kelompok yang sama. Pertanyaan muncul dari Ladija Triani, mahasiswi ISI Jogja yang sedang magang di Biennale Jogja ini, menanyakan perihal bagaimana kolektif generasinya dapat bertahan? Juga, ia bertanya terkait new collective dan established collective. Sanne, seorang kurator independen, melempar pertanyaan kepada Ladija; mengapa membuat kolektif? Visi bersamanya seperti apa? Sedangkan, bagi Ladija sebenarnya adalah bagaimana kolektif yang baru itu bisa terhubung dengan kolektif yang sudah lama berdiri untuk dapat saling berbagi?
9
Sao Bin mencoba melemparkan isu dengan berkata, selain tantangan pasar seni dan kapitalisme, bagaimana masingmasing membangun kolektif? Gintani (Ace House Collective) mencoba menjawab dengan menceritakan proses terbentuknya Ace House Collective muncul dari beberapa teman yang kebetulan lulusan ISI Jogja pada tahun 2010, berawal dari sekelompok mahasiswa yang sering berkumpul. Saat itu tidak akses semudah saat ini seperti adanya internet, menemukan kolektif yang sebelumnya telah muncul seperti KUNCI, MES 56, Cemeti, Kedai Kebun Forum dan ruang alternatif lainnya menjadi rujukan untuk mendalami seni. Tentu, permasalahan selalu ada ditiap generasi, tua maupun muda. Mereka mencoba berbagi mengapa kita hidup untuk seni dan apa yang menyatukannya. Gintani menyatakan bahwa hal yang selalu dipegang adalah selama kita masih bersama dan percaya bahwa friendship adalah yang pertama. Terkait dengan konteks “kolektif muda”, Aum menyatakan bahwa anak muda kini tak perlu memaksakan untuk menjadi kolektif secara konvensional, pelatar apapun sah untuk digunakan. Pengertian collectivism di Bandung dan kota lainnya berbeda, gagasan muncul biasanya dari kebiasaan nongkrong dengan sesama/lintas konsentrasi. Respon yang menarik dari Andrew (C2O, Surabaya), menganggapi Aum, bahwa membangun jaringan juga sangat penting, secara individu, kelompok, maupun organisasi. Itu sangat mempermudah akses dan terhubung secara publik. Dari serangkaian perdebatan sore itu, yang menarik dari kehidupan berkolektif, Indonesia dianggap sebagai sumber daya
yang tak ada habisnya, meskipun mendapatkan represi berupa kurangnya perhatian dan dukungan dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan dan fasilitator bagi masyarakatnya, namun kita juga perlu berterima kasih terhadap propaganda Orde Baru yang melarang kegiatan berkumpul, seperti nukilan puisi Peringatan kepunyaan Wiji Thukul “Maka hanya ada satu kata: lawan!” yang pada akhirnya banyak melahirkan kolektif-kolektif di Indonesia, sebagai contoh Cemeti Art House yang masih bertahan sejak 1980-an, kemudian ada KUNCI Cultural Studies yang baru saja merayakan hari jadinya yang ke-20 tahun pada bulan lalu dan berganti nama menjadi KUNCI Study Forum and Collective, kemudian Ketjil Bergerak yang sejak 2006 secara mandiri dan kolektif terhadap jalan pendidikan alternatif berbasis seni, Taring Padi yang masih masif melancarkan hulu ledaknya di kancah politik budaya dan aktivisme seni di Jogjakarta dan sekitarnya lebih dari dua dekade lamanya dan masih banyak contoh lainnya di Jogja maupun kota-kota besar lainnya yang memiliki prinsip berdikari.
10
KOLEKTIF SENI DI ASIA TENGGARA DAN SPIRIT MELAWAN “KEMAPANAN” Oleh: Eliesta Handitya
Keberadaan ruang-ruang inisiatif seni— atau yang saat ini lebih sering disebut sebagai kolektif— merupakan fenomena penting untuk dibicarakan. Di Indonesia sendiri, perkembangan ruang inisiatif seni tidak dapat dilepaskan dari kondisi pasca Reformasi, ketika demokratisasi mulai menyeruak di tengah kehidupan masyarakat. Pada masa Orde Baru, ekspresi seni dibatasi hanya pada ranah yang dikehendaki negara. Lembaga seni yang berada
11
dibawah naungan pemerintah mengontrol diskursus seni, implikasinya di masa itu, seni melulu bertumpu pada komodifikasi yang minim tendensi politik maupun gagasan kritis. Seni menjadi katak dalam tempurung; sulit untuk menghirup udara dengan bebas. Dalam lintasan sejarahnya, terbentuknya kolektif seni dapat dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi wacana seni yang “mapan”. Dalam hal ini, terma mapan mengacu pada pada perkembangan seni di periode sebelumnya, yakni di masa Orde Baru ketika pusat-pusat budaya dan institusi seni dibawah naungan pemerintah menjadi corong utama dalam menggaungkan wacana soal seni dan budaya. Di era Orde Baru (1965-1998), terminologi “alternatif” dan “inisiatif” banyak digunakan untuk mendefinisikan gerakan seni yang mendaku diri sebagai sekelompok seniman yang melawan wacana politik otoritatif (Juliastuti 2012), ataupun dibaca sebagai perlawanan terhadap wacana seni komersial (art fair dan galeri komersial) yang tidak kritikal. Lepasnya Belenggu Sentralitas Negara, Merebaknya Kolektif Seni di Indonesia Pasca Reformasi Terutama Pasca Reformasi 1998, arah gerak seni di Indonesia berkembang dari yang mulanya bersifat tersentral dan berada di bawah kendali “pemerintah”, menjadi lebih terbuka dan tersebar. Pada waktu itu, muncul semangat zaman (zeitgeist) untuk menciptakan pusat-pusat baru. Gagasan ruang alternatif atau kolektif seni bermunculan, berusaha melepaskan diri dari kerangka seni arus utama— dalam hal ini adalah institusi pemerintah (melalui lembaga seni dan budaya yang sudah
mapan, misalnya Dewan Kesenian, Biennale, atau museum)— dan seni komersial. Tod Jones dalam “Culture, Power, and Authoritarianism in the Indonesian State”, menengarai bahwa institusi semacam Taman Ismail Marzuki (TIM), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), pemerintah, adalah beberapa institusi yang di masa Orde Baru memang dianggap menjadi sentral dari persebaran wacana kesenian di Indonesia (Jones 2013). Selain itu, tentu juga Manikebu (Manifesto Kebudayaan) sebagai corong aktivitas kultural di masa orde baru, di mana Manikebu yang berprinsip humanisme universal, melihat kesenian seni sebagai seni (art for art's sake); menolak seni untuk bersetubuh dengan wacana politik. Terbentuknya kolektif seni Pasca Reformasi merupakan antitesis dari kondisi sebelumnya yang minim gagasan kritis. Banyak kelompok-kelompok sipil yang menggagas komunitas-komunitas baru— baik itu di ranah politik (Partai Politik), ekonomi politik (Serikat Buruh), masyarakat sipil (Organisasi Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat), hingga di ranah kesenian (kolektif seni berbasis wacana kritis politis, misal Taring Padi, dibentuk pada 21 Desember 1998). Di era Pasca Reformasi, ketika kebebasan bersuara mulai tergalakkan, institusi seni dan budaya yang berada di bawah kendali pemerintah, tidak lagi diangga suara kritis rakyat akhirnya dapat terwadahi dalam berbagai ruang, termasuk melalui ranah seni. Kolektif seni di masa itu sebagian besar lahir sebagai respon terhadap kondisi politik di tataran negara, sekaligus menjadi ruang untuk menyuarakan sikap politis. Suara-suara kritis masyarakat sipil yang terbungkam di masa Orde Baru,
12
menguarkan gaungnya di era pasca Reformasi. Namun kemudian, di masa selanjutnya, kecenderungan kolektif seni bergeser, dari yang awalnya bersikap kritis terhadap makro politik, bergeser jadi membicarakan isu lingkup mikro politik (wacana tentang isu personal yang dapat pula dilihat sebaga isu politis), mengingat hilangnya satu musuh bersama— yakni Rezim Orde Baru itu sendiri. Sejalan dengan wacana soal kekuasaan, di mana Power (kuasa) dengan huruf “P” besar— atau meminjam istilah Irham, yakni permasalahan makro politik— cenderung bergeser menjadi pembicaraan tentang power dengan huruf “p” kecil— yakni lingkup mikro politik, atau wacana mengenai isu-isu personal yang juga politis, misal kaitannya dengan isu identitas (ras, etnis, gender, dan agama) (Swastika, 2010), mengingat hilangnya satu musuh bersama— yakni Rezim Orde Baru itu sendiri.
Artikel ini, salah satunya bertujuan untuk menanggapi diskusi yang dilakukan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta bersama para pelaku kolektif seni di Asia tenggara, diantaranya The Artists Village (Singapura), Cemeti Institute for Art and Society, Komunitas Hysteria, Jatiwangi Art Factory, Omni Space, dan Ruang MES 56 yang merupaka kolektif seni berbasis di Indonesia; Muslimah Collective, dan Speedy Grandma dari Thailand, Green Papaya di Filipina, Nha San (Vietnam), Kamboja (SaSa Art Project), Myanmar, Malaysia (Persatuan Seni Rumah Air Panas), dan Timor Leste (REKREATIF). Diskusi bertajuk As We Are Together: Rethinking Artists/Curators Initiatives in Art Ecosystem of Southeast Asia¹ dilangsungkan sebagai upaya untuk merefleksikan gagasan mengenai kolektif seni baik secara retrospektif maupun terkait tantangan yang akan dihadapi di masa depan.
Kolektif Seni di Asia Tenggara: Tentang Perubahan Politik Global, Spirit Melawan Kemapanan, dan Prinsip Hidup Bertetangga
Saya mencoba membahas beberapa poin penting yang bisa dilihat sebagai pijakan awal terbentuknya kolektif seni di Asia Tenggara. Pertama, adalah soal fakta bahwa sebagian besar kolektif seni di Asia Tenggara, terbentuk di tengah iklim sosio politik pasca 1990 an, di mana pada masa itu, perubahan konstelasi politik global— yakni berakhirnya Perang Dingin, berimplikasi besar pada perubahan situasi sosio politik di negara-negara di Kawasan Asia Tenggara. Di era pasca Perang Dingin, negara-negara di Asia Tenggara, sebagai boneka yang sebelumnya menjadi medan perang kontestasi ideologi bagi dua negara adikuasa, akhirnya tidak lagi terpolarisasi. Pada masa itu, di Asia Tenggara juga sedang terjadi protes massa di mana-mana. Beberapa diantaranya, misal Revolusi massa (EDSA Revolution)
Kemunculan ruang alternatif seni tumbuh di tengah perubahan konstelasi politik, sebetulnya tidak hanya terjadi di lingkup Indonesia saja. Fenomena kemunculan kolektif seni yang beririsan dengan kelindan politik di level makro, rupanya merupakan fenomena yang khas terjadi di negara-negara di kawasan Asia Tenggara pasca tahun 1990 an. Ketika Perang Dingin berakhir di tahun 1990 an, lanskap ekonomi politik dunia berubah total, dan sejak saat itu, berakhir pula polarisasi negara-negara di Asia Tenggara oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet sepanjaang Perang Dingin berlangsung (Lenzi 2011).
13
di Filipina tahun 1986 yang berhasil melengserkan pemerintahan otoriter Ferdinand Marcos (Lenzi 2011). Selain itu, di tahun yang sama, Pemerintahan Sosialis Vietnam melalui kebijakan pintu terbuka (Doi Moi), mulai membuka kesempatan bagi investasi asing untuk memasuki era ekonomi pasar “berorientasi sosialis". Selain itu, ada pula Timor Leste yang secara geopolitis masuk dalam kawasan Asia Tenggara, merdeka dari Indonesia di tahun 1999. Di masa ketika masyarakat di beberapa negara di kawasan Asia Tenggara mulai mencicip era keterbukaan inilah kemudian memungkinkan masyarakatnya untuk mengeksplorasi bentukbentuk ekspresi, termasuk melalui ruang-ruang inisiatif seni. Kolektif-kolektif seni di Asia Tenggara cenderung dibentuk sebagai respon atas kondisi sosial politik negara yang represif di masa sebelumnya— atau yang hingga hari ini juga masih represif, di Thailand, misalnya. Perubahan konstelasi politik otoritatif ke arah lebih demokratis, rupanya mendorong terciptanya kecenderungan untuk membangun ruang-ruang alternatif, yang kemudian di masa selanjutnya ditilik sebagai arah gerak penting bagi perkembangan ekosistem seni di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, karakteristik kolektif seni di Asia Tenggara pasca 1990 an, dibentuk karena adanya ketertarikan/minat yang sama terhadap sebuah diskursus seni— yang biasanya beririsan dengan wacana politis. Misal, Cemeti Institute for Art and Society (Indonesia), yang lahir di tahun 1998, mengawali ruang ini sebagai platform bagi seniman muda yang ingin memamerkan karya mereka. Cemeti lahir ketika nafas
14
dan semangat Reformasi masih bertebaran di udara. Di waktu itu, rasa-rasanya tidak mudah menemukan ruang-ruang seni untuk mengadakan ekshibisi. Menurut Mella Jaarsma, sang pendiri, ruang-ruang seni mapan dan institusional di masa itu pun jarang sekali membicarakan seni dalam gagasan kritikal secara lebih lanjut. Sementara dalam kolektif Nha San, didirikan oleh Nguyen Manh Duc dan Tran Luong di wilayah sub-urban tahun 1998, lahir di tengah situasi politik tahun 1990 an Vietnam pasca diberlakukannya Doi Moi. Selain itu, kolektif seni di Asia Tenggara hadir sebagai peneguhan spirit dalam melawan suatu kondisi sosial tertentu. Seperti Green Papaya, kolektif seni berbasis di Filipina yang didirikan pada tahun 2000, yang hingga saat berada di tengah iklim politik Filipina yang represif— sebuah kondisi sosio politik nan lekat dengan keadaan negara-negara di Kawasan Asia Tenggara hingga hari ini; Lepas dari Green Papaya, ada pula Muslimah Collective, sebuah kolektif seni, didirikan di Narathiwat, yang hingga saat ini menjadi daerah Operasi Militer di Thailand. Muslimah Collective sendiri dibangun sebagai upaya untuk berbagi isu pollitik sehari-hari melalui gagasan seni. Selain itu, Sa Sa Art Project yang berbasis di Kamboja (2007), didirikan sebagai respon atas terbatasnya ruang-ruang berkarya seni di Kamboja. Di Kamboja, hanya ada satu universitas seni sejak tahun 1980 an. Vuth Lyno, salah satu penggagas Sa Sa Art Project menyebutkan bahwa kelompok ini merupakan upaya untuk membawakan praktik seni ke publik yang lebih luas—keluar dari ruang belajar seni formal yang terbatas (Asia Art Archive in America 2014). Kehadiran ruang inisiatif juga dapat menjelma perlawanan terhadap
kemandegan diskusi dari suatu wacana seni itu sendiri, misal Ruang MES 56 yang lahir dengan kesadaran untuk mempertanyakan ulang gagasan tentang fotografi di ranah akademis, dan memilih untuk keluar dari tradisi, dan mengkritisi perekembangan fotografi di dalam institusi universitas yang dianggap stagnan, kurang eksploratif, dan tidak kritis. Keberadaan infrastruktur— salah satunya melalui ruang fisik— rupanya juga menjadi faktor yang penting bagi perkembangan kolektif baik secara gagasan, ide, termasuk dalam membentuk jejaring sosial. Ruang fisik tidak hanya dimaknai sebagai saksi bisu perjalanan sebuah kolektif, tetapi juga merupakan bagian yang inheren dengan perkembangan kolektif seni itu sendiri. keberadaan infrastruktur fisik ini dapat dilihat sebagai penghubung ideologis (ideologically hub) yang mempertemukan ide-ide dan orang-orang yang terlibat dalam proses menyajikan sebuah karya atau wacana. Keberadaan satu basis ruang fisik menjadi organ penting yang turut menghidupi sebuah kolektif baik dalam segi gagasan/wacana kritis, serta juga kaitannya dengan bagaimana kolektif seni mengjaga jejaring sosial mereka. Lokus dimana kolektif seni didirikan juga sangat mempengaruhi produksi pengetahuan yang diciptakan oleh satu kolektif tertentu. Setiap kolektif seni tentu menghadapi situasi sosial yang berbedabeda. Misal, Jatiwangi Art Factory (Majalengka, Indonesia) yang berstrategi dengan membangun interkoneksi yang intensif dengan masyarakat, aparat, bahkan preman demi menjaga keberlangsungan kolektif seni ini di tengah masyarakat. Selain itu, mereka mengaku diri mereka bukan sebagai “seniman” saja,
15
melainkan juga menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri. Hidup komunal, bertetangga, merespon situasi sosial di sekitar, dan menjadi bagian dari komunitas sosial di sekitar lokus kolektif seni, sepertinya juga menjadi salah satu karakter khas dari kolektif seni yang tumbuh di Kawasan Asia Tenggara². Mengintip Masa Depan Kolektif Seni: Tantangan Regenerasi dan Sustainibilitas Usai membicarakan kolektif seni di Asia Tenggara secara retrospektif, perbincangan mengenai kolektif seni pada akhirnya tidak akan bisa dilepaskan dari wacana mengenai regenerasi. Ketika wacana tentang regenerasi mulai diangkat dalam topik diskusi, tensi obrolan jadi lebih meningkat. Semua orang— baik mereka yang dilihat sebagai “pendiri”, atau mereka yang menjadi “generasi berikutnya”, mulai saling melemparkan pendapat, beradu argumen tentang “problema antar generasi”, atau yang dalam diskusi tersebut dibicarakan dalam terminologi krisis generasional (generational crisis), yakni ketika regenerasi sebuah kolektif seni menjadi sulit karena adanya ketidakpercayaan dari generasi “pendiri” untuk menyerahkan tongkat estafet kepada generasi anggota yang lebih muda. Sementara, saya sendiri meyakini bahwa setiap generasi pasti menghadapi tantangan yang berbeda, sehingga cara mengartikulasikan praktik seni, tentu juga tak sama dengan masa sebelumnya. Seni dalam kolektif sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari peran individu sebagai agensi, sehingga apapun dilakukan oleh kolektif seni, pada dasarnya selalu beririsan dengan praktik individual. Maka, menjadi bagian dari kolektif seni tidak
berarti menegasikan praktik personal. Bahkan, setiap individu dalam kelompok harusnya merupakan agensi aktif yang menjadi bensin bagi keberlanjutan sebuah kolektif seni. Jika tidak demikian, kolektif seni akan menjadi sebuah komunitas yang terpatronase— dengan satu dua orang saja sebagai penggerak sementara yang lainnya hanya menjadi anak-anak buah yang bisa saja akan kesulitan mengartikulasikan diri mereka sebagai agen yang punya kehendak bebas— dan kita malahan akan terjebak dalam konsep “kolektivisme” itu sendiri. Sejalan dengan pernyataan salah satu peserta diskusi, yang melihat bahwa menjadi bagian dari kolektif seni, adalah proses pembelajaran personalnya sebagai seorang individu dan seniman. Kolektif seni seharusnya digerakkan dengan inisiatif dan kesadaran bersama, alih-alih oleh keterpaksaan atau kerja-kerja yang sifatnya mendikte. Regenerasi bisa dimungkinkan menjadi ruang bagi generasi yang lebih muda mengartikulasikan diri mereka dalam kolektif seni, bukan dengan membiarkan kelompok menyetir bagaimana seharusnya individu-individu muda ini bergerak. Dengan demikian, individu dalam kolektif seni secara aktif dimungkinkan untuk terus menciptakan terobosan-terobosan aktivitas dan praktik yang baru dan segar. Maka dari itu, kita perlu menyadari bahwa setiap generasi punya cara sendiri untuk mengartikulasikan gagasan kolektif seni. Selain persoalan regenerasi, beberapa faktor-faktor lain juga dianggap signifikan dalam menjaga keberlanjutan kelompok, salah satunya terkait bagaimana memenuhi kebutuhan finansial— misalnya untuk membiayai program dan juga menyewa rumah sebagai ruang temu.
16
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi adalah pertanyaan tentang bagaimana kolektif seni menjaga napas dengan terus menggulirkan wacana kritis sebagai koridor spirit dalam “melawan kemapanan”— baik melawan wacana di tataran “makro politik” maupun “mikro politik. Penting juga bagi kolektif seni untuk mengkritisi diri agar tak terjebak dalam romantisme, yakni dengan terus mempertanyakan praktik-praktik kolektif yang sedang (dan akan) dilakukan di masa depan, demi menghadapi tantangan zaman yang terhampar luas di depan sana. [] Artikel ditulis oleh Eliesta Handitya, Mahasiswa Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Keterangan ¹ Diskusi dilaksanakan pada 21 Oktober dan 22 Oktober 2019 di Gedung Ajiyasa Fakultas Seni Rupa Institut Seni Rupa (ISI) Yogyakarta. ² Berdasarkan pengalaman pelaku kolektif seni yang hadir dalam diskusi As We Are Together: Rethinking Artists/Curators Initiatives in Art Ecosystem of Southeast Asia, 21 Oktober dan 22 Oktober 2019. Referensi Anshari, Irham Nur. 2015. "Memetakan Seni “Politis” Indonesia Pasca 1998." Study on Art Practices 1-11. Asia Art Archive in America, Asia Art Archive in America. 2014. http://www.aaa-a.org. March 2. Accessed November 4, 2019. http://www.aaa-a.org/programs/apresentation-by-lyno-vuth-sa-sa-art-projects/. Jones, Tod. 2013. Culture, Power, and Authoritarianism in the Indonesian State. Leiden: KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean). Juliastuti, Nuraini. 2012. "Ruangrupa: A Conversation on Horizontal Organisation." Afterall: A Journal of Art, Context and Enquiry , Issue 30 (Afterall: A Journal of Art, Context and Enquiry , Issue 30, pp. 118- 125) pp. 118- 125. Kusno, Abidin. 2009. "Sutiyoso, Kelonggaran di Pusat, dan Puing-Puing Kota." In Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto, by Abidin Kusno, 98-126. Yogyakarta: Ombak. Lenzi, Iola. 2011. https://aaa.org.hk. Accessed November 4, 2019. https://aaa.org.hk/en/ideas/ideas/art-as-voice-political-art-in-southeastasia-at-the-turn-of-the-twenty-first-century. Swastika, Alia. 2010. “Manifesto of the New Aesthetic.” Manifesto of the New Aesthetic: Seven Artist from Indonesia. Singapore & Jakarta: Institute of the Contemporary Art & Ark Galerie
17
MEMBINCANGKAN KARYA PISITAKUN KUANTALAENG DI BIENNALE JOGJA EQUATOR #5 Oleh: Kiki Pea
Pisitakun Kuantalaeng memulai karir sebagai seniman visual pada 2009, dan mulai memainkan musik beberapa waktu kemudian dengan ketertarikan pada bagaimana ekspresi dibentuk melalui berbagai lingkungan media. Peristiwa sejarah, bunyi sintetis, dan instrumen musik menginspirasi lagu-lagu seniman asal Thailand ini. Praktik Pisitakun merepresentasikan keterputusan dari banyak teman sebayanya di Thailand pada saat berlakunya darurat militer sejak terjadi kudeta pada 22 Mei 2014. Dia mempertanyakan nilainilai fundamental, yang makin menjadi universal, tanpa mengabaikan isu tentang korupsi dan sebagainya. Karya-karyanya berbasis pada spekulasi politik dan frustasi internal dan eksternal yang dihadapi seniman. Seperti pada Pameran Utama Biennale Jogja XV, karyanya berada di antara dunia pararel
18
masa lalu dan masa kini, yang muncul dalam penggunaan “Kaen” dalam pengolahannya atas Elektronik Dance musik khas Isan, yang masih menggunakan gaya Mor Lam sebagai nada dasarnya. Dalam masa Chao Anouvong ketika Raja Rama III masih bertahta, musik Lao Pan banyak mengangkat perjuangan dan situasi politik pada masa itu. Musik tersebut biasanya dinyanyikan oleh tawanan perang Laos yang dibawa ke Thailand. Lagu tersebut merupakan lagu perlawanan, yang menceritakan bagaimana kerasnya hidup sebagai budak. Sekarang ini, versi modern Lao Pan telah disunting dan dinyanyikan lagi oleh Bank–seorang tawanan yang dipenjara karena pelanggaran atas pasal 112. Ia membuat lagu tersebut di balik terali besi, dan liriknya diubah sesuai apa yang terjadi di dalam penjara. Waktu selalu bisa mengubah semangat perjuangan musik Isan. Perjuangan politik telah mendorong masyarakat Isan untuk bertarung melalui musik mereka dari dulu sampai sekarang. Terjadinya insiden Kabote-Phi Boon (1901 – 1902) yang dipimpin oleh orang Isan pada masa Raja Rama V telah menjadi politik depolitisasi dan juga mendorong partisipasi orang Isan untuk United Front for Democracy against dictatorship (2006 – sekarang). Hal itu menjadi contoh yang tepat bagaimana waktu telah membangun budaya perlawanan menjadi lebih intens. Masing-masing dunia yang paralel ini menegaskan peran musik Isan dan penggunaan “Kaen” dalam beragam dimensi, mulai menjadi medium bagi ekspresi perjuangan politik hingga praktik hidup sehari-hari.
Selama dua bulan, Ia melakukan riset dan wawancara di tempat-tempat dimana banyak mahasiswa tewas karena aksi demonstrasi tahun 2010. Pisitakun menanyakan bagaimana orang-orang tersebut meninggal. Dari riset tersebut, sebagian foto didapatkannya secara ilegal dan harus membuatnya berurusan dengan persidangan. Perubahan Konsep Karya Karya Pisitakun pada Biennale Jogja XV ini sempat mengalami perubahan konsep. Sebelumnya ia ingin mengangkat bagaimana bisnis online-shop berkembang sangat pesat di Asia Tenggara. Sektor bisnis seperti sandang, makanan, perhiasan, mainan anak-anak, hingga bahan bangunan dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang bisa didapatkan secara online kian marak. Tidak hanya menjamur di kota-kota besar, fenomena ini juga kian merambah ke daerah rural, 'pinggiran'. Pada kunjungannya April 2019 lalu, pria yang belajar seni rupa di Universitas King Mongkut, Thailand ini menemukan situasi yang agak berbeda sejak kedatangan pertamanya ke Indonesia, 2012 silam. Kini, ia melihat banyak teman-temannya, termasuk para seniman yang menjalani bisnis lewat online, termasuk usaha kuliner. Sekembalinya di Thailand, Pisitakun mengunjungi beberapa kenalannya, terutama teman-teman sekolahnya yang kini bekerja di kantoran dan sebagian lainnya menjalani usaha online. Ia berbicara dan membahas banyak hal dengan teman-temannya tentang perkembangan online shop kini berkembang sangat cepat, bahkan lebih cepat dari yang banyak orang bayangkan sebelumnya. Ada beberapa kemungkinan
19
yang terjadi, satu di antaranya karena konsumen yang dijangkau sangat tidak terbatas, bukan hanya mereka yang berada di satu kota saja, tapi juga menjangkau pelanggan dari luar kota, bahkan dari belahan dunia lainnya. Begitu juga yang terjadi pada penjualnya dimana mereka tidak perlu memproduksi sendiri barang yang dijual, cukup dengan media internet untuk memperoleh barang. Mereka tidak hanya mendapatkannya dari lingkungan sekitar, tapi bisa dari tempat lain yang bahkan belum pernah dikunjungi sebelumnya. Kini lewat internet, batas negara seakan menjadi lebur. Kebanyakan masyarakat mengaktualisasikan dirinya di jagad maya. Pisitakun mencoba mendalami maraknya bisnis online yang kini dijalani temantemannya, bisnis yang hanya cukup bermodalkan platform digital. Ia juga mendalami mereka yang mendulang uang dengan memanfaatkan situs YouTube dan Instagram, seperti selebgram dan Youtuber. Jika dihubungkan dengan konteks Biennale Jogja Equator #5 yang mengangkat isu 'pinggiran', Pisitakun ingin menampilkan relasi-relasi yang ada antara Indonesia dengan Thailand atas fenomena ini. Meskipun berubah konsep karya, gagasan ini bakal ia lanjutkan sebagai project selanjutnya. Relasi Dengan Jogja Perkenalannya dengan Yogyakarta dimulai sejak 2012 silam, dimana ia pertama kali bertemu dan bersinggungan dengan banyak seniman di kota ini. Hingga pada 2018 lalu, salah satu Kurator Biennale Jogja Equator #5 Penwadee Nophaket
Manont menawarkannya untuk berpartisipasi di helatan seni rupa yang dihelat dua tahunan ini. Tawaran tersebut tentu saja langsung diterimanya, karena ia ingin lebih tahu lebih banyak tentang Yogyakarta. “Di Jogja banyak sekali seniman, ruang, pergerakan, dan kolektif seni, hampir semua orang di kota ini adalah seorang seniman,” kata Pisitakun di Galeri Lorong, Selasa, (18/6/2019) lalu. Pada April 2019 lalu, Pisitakun sempat bertandang ke Jogja untuk proyek musiknya. Lewat kolaborasi antara Yes No Klub (Yogyakarta) dengan Neighbours Collective (Bangkok) ia menggelar tur untuk musisi eksperimental Asia di Indonesia. Bertajuk 'Neighbours Collective Indonesia Tour 2019', para musisi eksperimental ini telah tampil di Denpasar, Yogyakarta, Jakarta, dan Bogor. Jadi Incaran Militer Thailand Di jazirah musik eksperimental, nama Pisitakun Kuantalaeng cukup disegani. Ia telah merilis dua album elektronik eksperimental bersama Chinabot asal London, dan kini sedang proses produksi album ketiganya. Nama Pisitakun semakin dikenal atas karya-karya radikal yang membuatnya harus menjadi incaran militer Thailand. Pada 2012, Pisitakun menampilkan karya seni yang kontroversial. Setelah mendengar bahwa karya tersebut menjadi viral dan mulai menyebar di media sosial, teman-temannya mengatakan kepadanya bahwa dia harus pergi. Lantas, ia meninggalkan Bangkok lalu ke Indonesia, dan kemudian Jepang, Pisitakun kembali ke Thailand pada tahun 2013.
20
Seniman asal Bangkok ini mulai membuat seni visual dan musik sejak 2014. Dalam berkarya, ia tertarik pada musik di lingkungan media yang berbeda. Banyak hal yang menjadi inspirasi dalam karyakaryanya, seperti acara bersejarah, suara sintetis, dan alat musik. Paska kudeta militer di Thailand, Pisitakun juga berjuang untuk kebebasan berpendapat, ia dianggap berhasil mengubah duka menjadi seni. Album pertamanya 'Black Country' mulai dikerjakan pada tahun 2016, ketika ia menyaksikan pertengkaran antara kelompok politik yang berseteru di Thailand. “Orang-orang tidak mau saling mendengarkan, mereka hanya marah dengan korupsi. Saat itulah saya benarbenar ingin mengungkapkan sesuatu yang tidak memungkinkan untuk dialog. Bukan sesuatu yang merupakan negosiasi selangkah demi selangkah, tapi sesuatu yang berisik,” katanya. Hasilnya adalah album 'Black Country' yang menggunakan campuran suara musik tradisional dengan irama berbaris dan teriakan para jendral militer yang mengumumkan bahwa mereka telah menguasai negara, ia menciptakan sebuah karya eklektik untuk mencerminkan kondisi negaranya yang kisruh. Tidak lama setelah ia menyelesaikan karya tersebut, Raja Thailand Bhumibol Adulyadej meninggal. Thailand pun berduka, dimana semua orang memakai pakaian hitam selama setahun. Black Country juga mengadopsi Black Metal, “Genre musik ini tentang agama Kristen, tetapi saya mengadaptasinya untuk membicarakan masalah-masalah yang ada di Thailand. Meski band-band
Black Metal memiliki lirik, tetapi Anda tidak dapat memahaminya karena gaya bernyanyinya seperti itu. Bagi saya sangat bagus untuk mengkritik sesuatu dengan menggunakan cara ini. Anda bisa lolos dengan mengatakan lebih banyak hal, dan memperdengarkannya dengan keras”. “Kami adalah negara yang sangat santai; negara yang tersenyum. Tapi itu tidak berarti bahagia sepanjang waktu, kami hanya menyimpannya di dalam. Terkadang itu adalah propaganda ketika dikatakan bahwa kita adalah orang yang baik, tenang, dan tidak perlu bertarung. Kami punya banyak protes di mana orang-orang dibunuh oleh pemerintah. Hanya propaganda yang bisa mengatakan kepada dunia bahwa kita adalah negara yang tersenyum." kata Pisitakun pada wawancaranya dengan thequietus.com. Setahun kemudian Pisitakun memakai 'Black Country' sebagai pertunjukan multimedia berupa parade improvisasi musik selama tiga hari, tanpa henti, ditambah dengan pemutaran film dan resital puisi yang dirancang untuk menguji kesunyian di Thailand. Namun pada hari ketiga pertunjukan di Thong Lor Art Space tersebut, tiba-tiba saja polisi datang mendekatinya dan menanyakan acara tersebut. Pisitakun mengatakan bahwa pertunjukan itu tentang Jepang, bukan Thailand, tak lama para polisi itu pergi. Namun ternyata ada lebih banyak lagi petugas yang berdatangan. Mereka mengambil tiga lukisan, sekitar 20 artwork, dan semua poster yang ada. Ketika mencoba protes, polisi mengatakan bahwa jika karya seni itu tidak bersalah, dia bisa datang dan mengambilnya dalam waktu beberapa hari. Karena masih belum mendapatkan pekerjaannya kembali, dan khawatir bahwa konfrontasi akan
21
berdampak tidak baik bagi keberuntungannya, Pisitakun terpaksa harus menutup pertunjukannya lebih awal, dan membatalkan tiga pertunjukan lain yang telah direncanakannya. Di Thailand terdapat undang-undang ketat yang mengatur kebebasan berbicara. UU ini telah berlaku sejak awal 1900-an, dan ditegakkan dengan kekerasan yang meningkat sejak militer menggulingkan pemerintah Thailand dalam kudeta tahun 2014 lalu. UU tersebut dapat menjatuhkan hukuman penjara dari 3 hingga 15 tahun bagi mereka yang terkena tuduhan menghina monarki Thailand. Meski Undang-undang yang ketat membatasi diskusi publik di Thailand, Pisitakun telah menemukan cara untuk menjelajahi halhal yang tidak terungkap melalui musik noise eksperimental. Bahkan ia melakukan tur Eropa dan berbicara tentang protes, dan propaganda. (*) Wawancara dengan Pisitakun Kuantalaeng di Galeri Lorong, Selasa, (18/6/2019) dan Jogja National Museum, Senin, (21/10/2019)
22
MOELYONO: SENIMAN CUM AKTIVIS PERGERAKAN Oleh: Bagas Nugroho
“Karena pengalaman masa kecil itu (peristiwa di tahun 65') membuat saya melakukan ini (mengangkat tema-tema sosial politik dalam karyanya)”. Moelyono—
23
Moelyono merupakan salah satu seniman yang berpartisipasi di acara Biennale tahun ini. Dengan mengangkat isu yang sama 26 tahun yang lalu yaitu, Marsinah, Moelyono merepresentasikan kematian Marsinah sedikit berbeda. Dipamerkan di Jogja National Museum, karya yang dibuat saat ini punya makna lain yang menantang narasi usang Orde Baru. Instalasi yang sengaja dibuat seolaholah sedang dalam tahap pembangunan memiliki arti jika pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah masih belum tuntas. Selain itu perlawanan narasi Orde Baru lewat instalasi berbentuk monumen yang sedang dibangun juga jadi tanda mencolok jika karya yang dipamerkan saat ini punya makna perlawanan. Selain itu lewat seni rupa penyadaran juga Moelyono bergerak dalam menyuarakan isu-isu sosial dan politik. Sepak terjangnya dalam kesenian yang bergumul dengan masyarakat, membuat dirinya selalu terkesan menjadi seniman aktivis. Berbekal dari ingatan masa kecil dan realitas sosial yang dirasakan sendiri menjadi formula yang dipakai Moelyono untuk terus berkarya dan berjuang. Hingga kini aktivitasnya tidak jauh-jauh dari dunia seni rupa dan advokasi masyarakat. Masa Kecil, Ingatan Tak Terlupakan. Hidup dan tumbuh besar di masa terjadinya genosida massal pasca peristiwa 65', Moelyono kecil punya pengalaman yang terus membekas diingatannya. Lahir di Tulungagung pada 5 Agustus 1957, nampaknya menjadi periode yang sulit bagi Moelyono. Masa kanak-kanaknya berada pada masa pergantian dari Orde lama ke Orde Baru yang lebih represif, menjadikan ia memilki pengalaman buruk perlakukan rezim pada saat itu.
Setiap berangkat sekolah Moelyono melihat mayat-mayat yang—diduga berpaham kiri atau simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI)—mengapung di sungai. Moelyono menceritakan di tahun 1965, pada waktu itu ia masih kelas 3 Sekolah Dasar dan bersama temantemannya bermain mendorong tubuh-tubuh terapung dengan ranting yang tersangkut di pepohonan perdu agar hanyut ke tengah sungai agar terseret banjir. Selain itu, pengalaman lain pun dialami Moelyono. Ketika maghrib menjelang bapaknya bersembunyi di bak tampungan air yang kosong, sedang ibunya memalangkan pintu dengan bambu, mengaji, meredupan lampu minyak dan Moelyono tidur disamping ibunya. Hal ini dilakukan keluarganya untuk menghindari sweping oleh sakerah yang memburu orang-orang dicap berpaham kiri. Padahal menurut Moelyono, bapaknya tidak pernah memakai tanda PKI. Namun, dari kantornya— ayah Moelyono sebagai pegawai pesuruh di kabupaten di Tulungagung—sering membawa majalah Soviet yang foto-fotonya disukai oleh Moelyono. Mungkin atas dasar ini, ketakutan dicap kiri meneror keluarga Moelyono. Pada saat itu lazim halnya sweping orangorang berpaham kiri. Hal ini atas dasar peristiwa yang terjadi di dini hari 1 Oktober 1965 itu. Buntutnya ideologi kiri ini dilarang pemerintah dan selama hampir dua tahun (1965 s.d. 1967) terjadi “perburuan” dan pembantaian orang-orang kiri oleh pemerintah lewat militer. Pengalamanpengalaman masa kecil inilah yang menjadikan Moelyono, punya tekad dan berniat untuk menerjunkan dirinya ke masyarakat.
24
Pengalaman dan Pemikiran membentuk “Seni Supa Penyadaran” Ketika beranjak dewasa, Moelyono mulai menyukai menggambar. Lulus SMA dia mendaftar di Akademi Seni Rupa Indonesia. Mendapat IPK yang tinggi Moelyono pernah mendapatkan beasiswa dari Affandi. Namun kehidupannya di kampus belum membawa Moelyono ke dunia aktivis. Pengenalan dengan dunia aktivis dia dapat justru dari luar. Menginjak semester 3 di universitas, Moelyono mulai mengenal lingkungan Kos Gampingan 23. Di lingkungan ini Moelyono kenal dengan Haris Purnomo, Gendut Ryanto, Ronald Manulang, Dede Ari Supria, Bonyong, dan banyak lagi. Kegiatan mereka disela-sela perkuliahan adalah diskusi, menulis dan membaca sebanyak yang bisa mereka capai. Dengan lingkungan seperti ini Moleyono seperti ditempa untuk menjadi progresif. Alhasil dengan proses tempaan itu Moleyono diajak untuk pameran Kepribadian Apa (Pipa) di tahun 1979 yang mampu menjadi perhatian dunia seni rupa Jogja waktu itu. Akan tetapi, lukisannya yang berisi tematema sosial menurut Moelyono tidak terlalu berdampak luas ke masyarakat dan tidak menyelesaikan permasalahan sosial. Akhirnya ketika Moelyono pulang ke Tulungagung dia berencana membuat kesenian yang punya pengaruh di masyarakat. Terbentuklah ide untuk memecahkan masalah sosial di desa Waung yang selalu jadi rawa. Moelyono Ikut-ikutan membantu membuat lahan apung dari enceng gondok yang dibalik dan diberi tanah untuk ditanami bayam, jagung dan cabe. Melihat kondisi ini tercetus ide membuat karya bernama “Kesenian Unit Desa”.
Moelyono membuat karya berbentuk paparan 12 lembar tikar merah, setiap tikar ada pincuk tempat nasi daun pisang berisi tanah dengan tunas kangkung, kacang, bayam, cabe, jagung, ubi, dan satu gubuk pendek berisi tikar dengan sketsa wajah konglomerat, di ujung deretan tikar dipasang podium dengan mirophone untuk suara gelombang gemerisik diberi radio transistor. Di ujung paparan tikar diletakkan pengeras bersuara gemerisik gelombang radio. Karya yang dibuat ini rencananya untuk syarat ujian S1. Namun, karyanya tidak masuk syarat dalam seni lukis, ujiannya pun ditolak. Keadaan ini, tidak membuat semangatnya jadi kendur, justru sebaliknya. Hasil karyanya yang dibuat ujian itu pada tahun 1985 malah ikut dipamerkan bersama kelompok Proses' 85 dengan judul pameran Seni Rupa Lingkungan di Galeri Ancol, Jakarta. Pameran ini pun bekerja sama dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang didirekturi Erna Witoelar pada waktu itu. Ada salah satu pengalaman hidup Moelyono yang paling terlihat untuk kegiatan Turba (Turun ke Bawah) ke masyarakat yaitu ketika ia menjadi guru gambar di Teluk Brumbun, Tulungagung. Menjadi guru gambar adalah salah satu cara untuk bisa diterima di masyarakat. menurut Moelyono, embel-embel seniman malah membuat dirinya ditolak masyarakat. Pada saat pertama kali mengajar gambar kepada murid SD, Moelyono bingung karena muridnya tidak memiliki buku gambar. Akhirnya tercetuslah ide untuk menggambar di media pasir pantai. kegiatan menggambar pun menjadi rutin setiap sabtu dan minggu. Pada Maret 1987, 100 karya anak-anak ini dipamerkan di salah satu dinding rumah warga. Karya anak-anak inipun berdasarkan realitas
25
yang terjadi di Brumbun waktu itu, mulai dari masalah kesehatan, tidak adanya pembangunan, sulitnya mendapatkan ikan dan susahnya air bersih. Pada 1988, Moelyono diundang Asosiasi Peneliti Ilmu Sosial Indonesia (API) untuk menceritakan aktivitasnya di Brumbun. Pasca itu Moelyono berencana mengadakan pameran di Jakarta dan persiapannya didokumentari tim dari WALHI termasuk Harsono di dalamnya. Namun, belum pameran di Jakarta Moelyono sudah dipanggil dahulu oleh pihak keamanan. Dia ditanyai seputar kegiatannya di Brumbun dan dicurigai berkaitan dengan kegiatan partai kiri—katanya daerah Brumbun dahulu bekas pembataian orang-orang PKI. Kecurigaan pihak keamanan ini membuat Moelyono diancam tidak bisa mengajar lagi di Brumbun. Segala kegiatannya harus lewat izin Koramil. Namun, setelah surat izin dikeluarkan oleh Departemen kebudayaan kota (lewat Kepala Seksi Ema Kusmadi) saat itu, akhirnya Moelyono boleh mengajar kembali—tetapi harus dikawal dua prajurit. Pasca itu, Moelyono bisa kembali beraktivitas lagi. pamerannya pun dilakukan di beberapa kota dan keuntungannya dipakai untuk membantu warga Brumbun membeli selang air—membangun fasilitas air bersih. Selain itu juga ada banyak kegiatan kesenian yang dibangun Moelyono bersama masyarakat dengan kelokalitasannya. Contohnya pada tahun 1995 di desa Winong—tempat Moelyono tinggal—kelompok kesenian Jaran Jowo. Pada 1998 di desa Kebonsari, Pacitan dibuat kegiatan berlatih kesenian untuk anak-anak seperti kesenian Lesungan, Reog, Ketoprak dan Karawitan dengan pengajarnya tokoh seniman desa.
Kegiatan yang dilakukan Moelyono selama inilah yang menjadikan dia menjadi seniman dengan sebutan seniman penyadaran. Seni rupa yang Moelyono buat nyatanya punya pengaruh buat masyarakat. Sebutan ini sebenarnya muncul dari ulasannya wartawan kompas dengan headline besar “Seni Rupa Penyadaran”. Selain itu pada Tahun 1989 s.d. 1991 pameran seni rupa bertajuk “Seni Rupa Penyadaran” dilakukan di beberapa tempat antara lain Surabaya, Solo, Salatiga, Yogya. Pameran yang merupakan karya integratif anak-anak Brumbun dan moelyono ini dibantu para aktivis LSKBHSurabaya, Sanggar Suka Banjir-Solo, FDPY, FKMY, SMID-Solo, Yayasan GeniSalatiga. Pada tahun 1997 juga terbit buku berisi pengalaman Moelyono selama di dunia kesenian dengan judul yang sama yaitu “Seni Rupa Penyadaran”. Karya Marsinah yang dibredel Berkelindan dengan kehidupan buruh saat di Krukut (Surabaya), membuat Moelyono setidaknya tahu persis permasalahan yang dihadapi. Rumah kontrakannya satu lingkungan dengan para buruh. Keadaan buruh yang dirasa Moelyono sangat memprihatinkan membuat dia tergerak untuk melakukan sesuatu. Moelyono mengadakan pelatihan jahit untuk para buruh perempuan di lingkungannya, hal ini juga dilakukan sebagai cara untuk mendekati buruh secara diam-diam. Pasalnya pemerintah saat itu cukup represif terhadap gerak-gerik kaum buruh. kegiatan ini membawa Moelyono punya “kedekatan” dengan Marsinah. Marsinah merupakan salah satu buruh PT. Catur Putra Surya yang cukup vokal
26
melakukan aksi di tahun 1993. Namun, amat disayangkan Marsinah ditemukan tidak bernyawa di tengah hutan jati Desa Jegong, Nganjuk dan disinyalir akibat kegiatannya belakangan. Kejadian ini memicu kecaman dari banyak pihak tak terkecuali Moelyono. Bersama teman-teman buruhnya, Moelyono berencana membuat pameran untuk memperingati 100 hari kematian Marsinah. Menurut Moelyono karyanya ini sebagai penghormatan bagi Marsinah dan menyimbolkan Marsinah sebagai bara dalam menuntut keadilan kaum buruh. Inilah persinggungan antara Moelyono dan Marsinah walau keduanya belum pernah bertatap muka langsung. Pameran dilaksanakan di Gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS) di Jl. Pemuda, Surabaya yang rencananya dilakukan pada 12-16 Agustus 1993. Instalasi ini berisi diorama introgasi Marsinah yang digambarkan lewat patung jerami, ada juga patung muka Marsinah yang dipajang dan Hardboard cut yang dibuat teman-teman buruh.
dilakukan lewat program Early Chilhood Care for Development (ECCD) dengan pengaplikasian “Seni Rupa Penyadaran” dibeberapa daerah. Daerah-daerah terpencil seperti Atambua, Kefa, Alor, Rote, Kupang dan Maliana –Timor Leste (NTT); Jayapura dan Wamena (Papua); Sungai Pinyu, Singkawang, Bengkayang dan Sambas (Kalimantan Barat); Tentena, Poso dan Luwu (Sulawesi); Ambon dan MasohiPulau Seram; Pulau Nias; Aceh, Meulaboh (Sumatera); Desa Kebonsari-Pacitan, Desa Sumber-Ponorogo, Pesantren ' Arrosyaad', Balong dan Kediri (Jawa). Salah satu kegiatannya adalah membuat model pendidikan anak usia emas yang dikelola oleh masyarakatnya sendiri dengan pelajaran budaya lokal. pendekatan yang dilakukan pun mulai dari melakukan pelatihan terhadap bapakbapak, ibu-ibu dan remaja sebagai pengajar lokal untuk usia 4 s.d. 6 tahun dengan menggunakan kesenian lokal seperti lagu, tari-tarian, permainan sebagai mata pelajarannya.
Pameran ini juga dibantu oleh Komite Solidaritas Untuk Marsinah, Dewan Kesenian Surabaya (DKS) dan Yayasan Seni Rupa Komunitas (YSRK). menjelang pembukaannya, pameran ini dibredel oleh kepolisian. Pembredelan pameran ini mendapat kecaman dari para aktivis dan lembaga bantuan hukum, salah satunya Munir. Namun, pameran itu pada akhirnya tetap tidak diizinkan.
Penulis: Bagas Nugroho (Volunteer Media Biennale Jogja XV)
Pejuang Tak Henti
Moelyono, “Seni Rupa Penyadaran”, https://gerakseraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19 Seni-rupa-penyadaran/ diakses pada 17/10/2019 pukul 17.34 WIB
Pasca Orde Baru tumbang dan masa Reformasi mulai berjalan kegiatan Moelyono tidak berhenti begitu saja. Moleyono malah aktif juga di luar kegiatan pameran seni, salah satunya mengadvokasi masyarakat. advokasi ini
Sumber: Moelyono, “Seni Rupa Penyadaran”, https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19 Seni-rupa-penyadaran/ diakses pada 17/10/2019 pukul 17.34 WIB Moelyono, “Menyisir dari Desa ke Desa”, https://moelyonoart.blogspot.com/ diakses pada 17/10/2019 pukul 17.23 WIB
Moelyono, “Seni Rupa Penyadaran”, https://gerakgeraksenirupa.wordpress.com/2013/05/19 Seni-rupa-penyadaran/ diakses pada 17/10/2019 Pukul17.34 WIB
27
Tak Ada Malam di Peraduan
MENCATAT KERENTANAN PEKERJA KREATIF DARI DEKAT Oleh: Hartmantyo Pradigto Utomo (Studio Malya)
Hartmantyo Pradigto Utomo (Studio Malya) Instalasi audio bukanlah peristiwa “pengobatan”. Begitu juga obat tidak secara serampangan dianggap semacam eksperimen seni meracik semenjak Zaman Alkimia (Pereira, 1994, hal. 3).
28
Akan tetapi, karya instalasi barangkali memiliki kedekatan sifat dengan racikan obat yang mengandung unsur kimiawi. Keduanya boleh jadi mujarab, tetapi tak jarang pula menjengkelkan. Mujarab karena mampu menawar sedikit demi sedikit kondisi-kondisi ketidakberesan fisikal. Namun, menjengkelkan karena hanya dapat dilakukan dengan dosis tertentu dan tidak serta merta dapat dikonsumsi berulang kali. Dalam ulang alik keduanyalah sisi lain kerja-kerja kreatif Studio Malya dapat diungkap. Pada mulanya, karya instalasi adalah suatu peristiwa yang diciptakan dari kerja-kerja tersebut. Sedang setelahnya, peristiwa pengobatan mengikuti sebagai konsekuensi yang seolah-olah tak terhindarkan. Keduanya menjadi akrab, menjadi lekat, dan mengapa juga bisa menjadi dekat? Ke Dalam, Ke Luar: Catatan AutoEtnografi “Anak muda kok sehat?” olok-olok seperti itu sering saya lontarkan lepas tanpa pikir panjang. Namun, semuanya tak akan pernah benar-benar sama. Sampai tiba saatnya hanya bisa rebahan dan mengeluh ketika terpapar nyeri. Seperti tenggat tugas akhir yang sedang saya upayakan, lelucon itu seolah berdenyut sepanjang ubun-ubun hingga telapak kaki. Denyut nyeri akibat penumpukan purin berlebih yang terasa begitu nyata ketimbang upaya permintaan maaf negara. 03.43, dini hari pada hari terakhir bulan Juli yang dingin dan senyap. Instalasi audio Have You Heard It Lately? masih belum terpasang betul dan teman-teman memutuskan untuk beristirahat barang sejenak. Seperti hari-hari sebelumnya, keputusan menuju peraduan dibarengi
dengan membiarkan pekerjaan menumpuk, terbengkalai, dan saling memasrahkan. Belum genap lima jam beristirahat semenjak adzan subuh terdengar, saya menelpon Satya, seorang yang menjadi “mandor” instalasi. “Saaatt, voltadex, Saaatt! Biasa, kaki kiriku. Stokmu masih, to?” tanya saya meringis kepada sesama pengidap asam urat itu. “Hihihi, udah kubilang kalau makan babi dua kali sehari itu namanya pekok. Kamu nggak kontrol!” Kalau dipikir ulang, omongannya memang benar tapi brengsek. Tapi, nafsu melahap babi kecap dan olahan Bali di sore dan siang hari dengan dalih melepas penat memang jauh lebih brengsek lagi. Betapa sial kambuhnya rasa nyeri di telapak kaki kiri. Nyeri yang menjadi agenda rutin dua tahun belakangan kembali pada waktu yang tidak tepat benar. Saya harus meminta permakluman ke teman-teman untuk datang terlambat pada sore hari. Sekedar untuk beristirahat, alihalih meredakan rasa nyeri. Sedang saya tahu, suasana kerja di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) memang sedang tak menyenangkan menjelang pembukaan pameran yang tidak lagi lebih dari 24 jam. Pada paruh hari yang penuh penyesalan tersebut, ingatan saya berlompatan mengarah ke peristiwa lampau. Menuju jauh sebelum pihak Biennale Jogja mengumumkan lolosnya Studio Malya dalam Program Panggilan Terbuka Seniman Muda pada 25 April 2019. Yaitu pada masa “perencanaan yang berisi asumsi-asumsi prematur” yang sudah berjalan semenjak bulan Maret. Bulan yang menjadi penanda diumumkannya peluang berpartisipasi dalam program tersebut. “Mbok kalau lagi nggak bisa dateng rapat itu ngabari siangnya. Jangan mendadak
29
pas habis magrib.” Diucapkan dengan setengah kesal oleh Mega ketika saya dan beberapa teman mulai tak konsisten. Tak ada yang luput dari Mega, yang di kemudian hari berperan sebagai direktur artistik. Karenanya nongkrong, kuliah, hingga pacaran menjadi permakluman amatir yang terdengar layaknya olok-olok di tengah kepanikan mengejar tenggat proposal pendaftaran. Memasrahkan kerja protokoler dan manajerial pada Mega, seseorang yang mungkin sama putus asanya dengan meminta negara menuntaskan kasus HAM dalam satu periode politik. Mega tak hanya berkutat dengan tugas akhir yang sudah mangkrak hampir setengah tahun. Tetapi, juga kebutuhan “kerja profit” untuk sekadar membeli kuota internet, Magnum Mild 16, dan tentu juga Domperidone. Racikan obat penawar Janssen Pharmaceutica dengan jenama global Motilium. Medical gaze bagi Mega ketika rasa mual asam lambung sedang tinggi-tingginya. Tapi, bukannya hal itu memang biasa terjadi? Kebiasaan mencekik-kan harapan pada seseorang untuk melepas tekanan dan beban bagi segelintir kalangan lainnya barangkali adalah warisan paling ganjil dari dinasti kolutif pemberangus hak pekerja: Orde Baru. Selebihnya, “terima beres” adalah alegori murahan dari keinginan untuk berbagai kebiasaan saling memasrahkan. Nasib instalasi audio nyaris sama sialnya dengan rasa nyeri yang tak kunjung reda. Lewat tengah malam, 64 flashdisk yang berisi rekaman 51 wawancara dan nyanyian mengenai upaya dan pengalaman rekonsiliasi '65 belum juga terpasang di modul. Artinya, Studio Malya hanya memiliki tenggat 19 jam sebelum
pameran benar-benar dibuka. Serta 10 jam tersisa sebelum penilaian dilakukan juri. Kecerobohan tersebut berkutat begitu “klasik”: persoalan manajerial. “Dewe ki ncen manajerialnya jelek banget, kok,” renung Putu setengah menguap yang mengeluhkan jam kerja Malya yang awutawutan. Hingga gelaran pra-Biennale tersebut, Putu belum terbiasa untuk tidur melebih pukul 00.00. Akan tetapi, siapa saja paham, bahwa keran kreatifitas baru akan mengalir deras ketika lewat jam malam. Oleh karena itu, jadwal pertemuan tiap pukul 7 malam di Studio terlewat begitu saja sebagai “pemanasan” rapat dengan dalih adu ketangkasan FIFA di Playstation 4. Menguap, mengantuk, dan melamun adalah gimik dari Putu untuk undur diri tanpa izin dari PKKH jam 03.10 dini hari. Sedikit lebih awal ketimbang beberapa teman lainnya karena mendapat mandat untuk mengawal proses penjurian siang nanti. Selain juga karena Putu harus menggembleng waktu paginya untuk mengurus tugas akhir yang kabarnya sudah sampai bab 4. “Cuman belum diketik di laptop, masih catetan aja,” ucapnya biasa mengelak ketika nyinyiran “seniman kok lulus” dari saya dan kawan-kawan di studio. Hanya menyisakan beberapa orang saja di PKKH subuh kala itu. Di antaranya adalah Agus, Yesa, dan Rafi. Agus harus memastikan kualitas dan jarak dengar audio lebih baik dan nyaman di telinga. Begitu pula Yesa dan Rafi harus memastikan tak ada yang luput dari detaildetail instalasi: cat di wiremesh, pustek dan telepon merah, modul audio terjaga tetap menyala, hingga menyepuh 64 kaleng yang digantung agar tidak kusam.
30
Agus terus menerus berkutat dengan Ableton-nya untuk menyunting kualitas audio yang digempur bising dari instalasi lainnya di lantai 1 PKKH. Hingga jam 8 terik ketika saya terbangun dengan pincang, Agus masih saja menyunting, dan menyunting, dan menyunting. Sedang pukul 9 pagi adalah jadwalnya bekerja sebagai purchasing di sebuah kafe di bilangan Seturan. Memenuhi daftar belanja menuju beberapa tempat dari utara Jogja hingga di Kota Gede. “Sleep is for the weak,” ucap Agus setengah terlelap di lantai-lantai dengan kaos birunya. “Haha pincang og piye mas e!?” seloroh Yesa ketika melihat saya terbangun menuju kamar mandi PKKH dengan telapak kaki kiri diangkat setengah. Yesa yang sedang leyeh-leyeh bukan karena pekerjaan sudah selesai 2 jam menjelang penilaian. Melainkan menunggu Yusi yang sedang membelikan modul audio baru untuk menggantikan kerusakan. Karena siapa pun paham, kerja manajerial instalasi cukup krusial dan berat. Yesa harus menakuk flow kerja, peralatan elektronik terbeli dan berfungsi, hingga alur keluar masuk neraca keuangan. Seluruh kerja manajerial instalasi digarap Yesa dengan tidak mengacuhkan kerjanya yang lain. Yaitu menjadi tim media dan dokumentasi di sebuah lembaga profit yang berbasis pada, “Subversi kurikulum sekolah,” biasa diucapkan setengah bangga sembari meringis. Karena suka tak suka, jam kerja awut-awutan memang tak lagi mungkin dibarengi dengan kerjaan lainnya. Dan bagaimana pula melakukan “subversi kurikulum” ketika waktu untuk sekadar memikirkannya tak lagi ada? Rafi hanya terdiam sejenak sebelum meminta izin untuk pamit pada pukul 5
tepat. Entah lelah, entah pagob, entah juga kagol, tapi yang saya tahu ia tetaplah semangat. Sembari melangkah keluar dari ruang pameran dengan mata sedikit sembab, Rafi berjanji untuk, “Jam delapan nanti aku balik lagi ke sini. Rebahan dilit, adus, karo sarapan.” Rafi mengawali pagi “keduanya” dengan mengeset modul baru dan telepon merah tetap menyala agar audiens bisa bertukar cerita. Selanjutnya adalah untuk memastikan tidak ada korsleting di aliran listrik yang dipararel dengan dua stabilizer bekas. Pertaruhan genting, karena jika sekalinya korslet, tak akan terdengar lagi rekaman “Sayonara” yang pernah dilantunkan ibu-ibu penyintas ketika meninggalkan Plantungan di medio 70-an. Sampai “tulisan” ini selesai diketik, pengerjaan di PKKH pagi itu adalah pertemuan terakhir Rafi dengan Studio Malya. Bahkan ketika berakhirnya gelaran pra-Biennale yang dilanjut dengan pembongkaran instalasi pada malam 20 Agustus ia tak juga hadir. Selain harus segera menyelesaikan tugas akhirnya, Rafi juga harus bolak balik Jogja Surabaya setiap 3 hari sekali sebagai tuntutan pekerjaannya di bagian ekspor impor. Barangkali, kamar kerja dan pelabuhan Tanjung Perak saat ini lebih akrab baginya ketimbang studio yang beberapa bulan lalu digelutinya untuk kerja-kerja kreatif. Tak Ada Malam di Peraduan Kerja kantoran memang tampak mengerikan, tetapi kerja tanpa jam kerja adalah kengerian yang iseng menyamar sebagai semangat kolektif. Siasat kerja tanpa batasan waktu memang tidak akan menghadapi presensi sidik jadi, kewajiban berseragam rapi, maupun alarm pukul setengah enam pagi. Akan tetapi,
31
menghadapi suatu hal yang tak kalah bengisnya. Apa lagi kalau bukan risiko dan konsekuensi dari kerentanan kerja kreatif? Pada kebutuhan untuk menyelami risiko dan konsekuensi yang kadang bersembunyi di balik “semangat kolektif” tersebutlah penjabaran kondisi kerja Studio Malya digarap dengan catatan naratif auto-etnografi. Siasat dekat yang memungkinan melakukan ulang alik antara kondisi riil dan wacana politik, antara refleksi dengan kedalaman bahasa. Atau dengan kata lain, menembus
32
kompleksitas keseharian (Skott-Myhre, Weima, & Gibbs, 2012, hal. vx). Boleh jadi proses penciptaan karya yang tak mengenal batasan waktu adalah siasat lumrah bagi kerja kreatif. Namun ada dua persoalan yang mesti dipertimbangkan jauh. Pertama, adalah rerata usia rekanrekan Studio Malya yang masih mahasiswa dan freshgraduate. Kedua, adalah kecenderungan siasat kerja global yang sedang marak hari-hari ini. Tepat pada dua persoalan tersebut risiko dan konsekuensi dari kerentanan kerja kreatif hadir. Persoalan usia “persimpangan” menjadi begitu klasik bagi rekan-rekan Studio Malya. Keragu-raguan antara kerja kantoran dan kerja kreatif selalu hadir. Diiringi dengan beban kerja dengan pihak lain yang rentan dengan “ucapan terima kasih” sebagai kompensasi biaya kerja. Sedangkan Studio Malya yang baru saja dibentuk pada Desember 2017 tentu belum sama sekali mampu menunaikan dan menjamin persoalan keuangan hingga ke kantong personal. Oleh karena kondisi tersebut, setiap dari kami bisa saja mengubah pilihan dengan cepat untuk tidak meneruskan kerja kreatif di studio. Secepat itu juga bisa memilih untuk bertahan dan mengupayakan proses-proses penciptaan kreatif selanjutnya. Tepat di persimpangan inilah “semangat kolektif” justru dapat menyaru menjadi perekat yang tak lekang. Karenanya, persoalan siasat dan beban kerja juga menjadi ulang alik antara persoalan etis individu dengan sosial kolektif (Polimpung, 2018). Fleksibilitas menjadi kecenderungan siasat kerja global di era kiwari (Standing, 2011, hal. 6). Tentu saja rekan-rekan Studio Malya turut arus dalam kecenderungan
tersebut. Akan tetapi, lebih pada pola kelenturan, bukan dalam tujuan untuk tenggelam dalam siasat kerja tersebut. Melalui pola kerja fleksibel yang muskil menerima beban, jam, dan pembagian kerja ketat itulah kerentanan pekerja kreatif dihasilkan melalui konsekuensi berupa prekarisasi. Kondisi-kondisi prekarisasi yang mewujud dalam kerentanan pada penyakit fisikal, tertundanya kelulusan, kondisi keuangan yang tidak stabil, hingga friksi-friksi kecil antar sesama rekan dalam studio. Beragam resiko dan konsekuensi yang menjadi tak tertanggung oleh bentuk jaminan kerja karena posisi pekerja kreatif yang berada di luar demarkasi negara. Kerentanan yang dalam derajat tertentu dapat dipahami sebagai rembesan dari persoalan ekonomi politik global yang meneteskan risiko kerja menjadi persoalan individu dan personal. Terdapat beberapa penjabaran kondisi dan situasi melalui catatan auto-etnografi. Agus dan Yesa menghadapi kondisi kerentanan paling rendah karena hanya berhadapan dengan kerja profit. Begitu pula Putu yang hanya berhadapan dengan tugas akhir skripsi. Sedangan Rafi dan saya berada di tengah karena berhadapan dengan dua faktor. Pertama adalah tugas akhir skripsi dan tesis. Selebihnya Rafi menghadapi kerja profit, sedangkan saya dengan persoalan kesehatan. Mega memiliki tingkat kerentanan yang tertinggi karena harus berhadapan dengan: tugas akhir skripsi, kerja profit dan persoalan kesehatan. Analisa dan catatan auto-etnografi di atas tentu tidak menyinggung dua hal: persoalan keuangan dan kontribusi rekanrekan Studio Malya yang lain. Karena,
33
kondisi keuangan rerata berada di tingkat yang hampir sederajat. Dalam artian, belum ada yang memiliki penghasilan secara berkelanjutan selama lebih dari dua tahun dengan jumlah di atas Upah Minimum Kabupaten (UMK). Belum ada yang mampu meneguhkan diri untuk hidup “hari esok”. Sedangkan kontribusi rekan-rekan Studio Malya lainnya berada dalam kedekatan personal yang berbeda. Sehingga cukup rawan dan rapuh untuk diketengahkan. Namun, pembahasan mengenai kontribusi rekan-rekan yang lain sebenarnya tampak cukup krusial, terutama pada rekan kolaborator yang lekat dengan kredit “cuma bantu-bantu aja”. Karena dalam pemahaman dan pengalaman tertentu, beban kerja “cuma bantu-bantu aja” bisa membludak tak karuan. Ketika Studio Malya berusaha untuk mengetengahkan wacana rekonsiliasi '65 menuju gelanggang perbincangan publik. Seketika itu juga rekan-rekan Studio Malya justru tertinggal bersama risikorisiko kecil dan konsekuensi laten yang jarang dipahami. Tertinggal sebagai “Subjek Pinggiran” itu sendiri. Subjek yang diwacanakan kurator untuk “diketengahkan” pada gelaran pra-Biennale kemarin Agustus. Tak ada malam di peraduan, tak ada malam panjang untuk beristirahat bagi pekerja kreatif. Hanya ada luapan dari keran-keran kerja kreatif dan rebahan sembari mengeluhkan beban kerja. Hingga konsumsi obat penawar sebagai konsekuensi tak terhindarkan dari madical gaze, dari kerja-kerja kreatif penciptaan instalasi audio Have You Heard It Lately? tiga bulan lalu. Rujukan Teks Pereira, M. (1994). Medicina in the Alchemical Writings Attributed to Raimond Lull (14th-17th Centuries). Dalam P. Rattansi, & A. Clericuzio, Alchemy and Chemistry In The 16th and 17th Centuries (hal. 1-16). Heidelberg: Springer Science+Business Media Dordrecht. Polimpung, H. Y. (2018, January 9). Potret prekariat sukarela di sektor kreatif Indonesia. Diambil kembali dari theconversation.com: https://theconversation.com/potret-prekariat-sukarela-di-sektor-kreatifindonesia-85347 Skott-Myhre, K., Weima, K., & Gibbs, H. (2012). Writing the Family; Women, AutoEthnography, and Family work. Rotterdam: Sense Publishers. Standing, G. (2011). The Precariat; The New Dangerous Class. London dan New York: Bloomsbury Academic.
34
PERKAMPUNGAN PADAT SUARA: POLITIK SUARA DAN SUARA POLITIK DALAM JOGJA BIENNALE XV 2019 Oleh: Irfan Darajat
Ketika memasuki ruang pamer Biennale XV 2019 di Jogja National Museum, saya merasa disambut oleh sayup-sayup sirine tanda bahaya. Langkah kaki saya bahkan belum sampai pada meja front desk, tetapi suara tersebut sudah lebih dahulu sampai di telinga. Selepas mengisi berkas dari meja penerima tamu, saya berdiri mematung di depan papan tulis berwarna hitam selama kurang lebih dua menit. Di sana terpampang tulisan tangan dengan
35
menggunakan kapur, berbunyi “Memahami Pinggiran” dan penjelasan singkat atasnya. Tapi bunyi sirine tanda bahaya tetap memanggil, kali ini diselingi dengan suara seorang lelaki yang berbahasa melayu dan bunyi-bunyi gitar, dari arah ruangan yang lain. Sampai di sini, saya merasa bahwa pameran seni rupa ini begitu melibatkan unsur bunyi di dalamnya; riuh. Berangkat dari kesan yang saya terima ini, alhirnya saya memutuskan untuk mendekati pameran ini dengan pendekatan suara dan atau bunyi. Bagaimana pameran ini membunyikan pinggiran? Politik Suara Kita mengenal lema 'suara' sebagai sesuatu yang menghasilkan bunyi. Lebih spesifik, bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia. Tapi, sama dengan beberapa istilah lain dalam kehidupan kita, ia pun mampu mengemban makna yang lain. Suara, memiliki makna literal dan metaforis sekaligus. Terlebih lagi, jika suara ini dilekatkan dalam konteks politik. Suara dalam politik bisa bermakna literal, yaitu bunyi, dan bisa bermakna metaforis yaitu yang berhubungan dengan artikulasi atau performativitas politik. Suara politik dalam makna literal misalnya, dapat ditemui pada suara orang-orang yang berteriak dalam sebuah demonstrasi, bunyi knalpot motor pada kampanye partai politik, atau contoh yang lain. Melalui microphone dan perangkat amplifikasi, bunyi dari mulut orang-orang itu terdengar lebih keras. Melalui lubang pembuangan sepeda motor, perayaan mereka mungkin dirasa lebih meriah.
Kita sering mendengar bagaimana pihakpihak yang terpinggirkan atau termarjinalkan dalam arus kekuasaan sebagai orang-orang yang tidak punya suara, orang-orang yang terbungkam, dan lain sebagainya. Untuk alasan itu, kiranya tepat untuk mendudukkan persoalan pinggiran yang ditawarkan oleh Biennale XV 2019 untuk kemudian didekati dengan modus politik suara. Pertama mari kita mulai dengan suarasuara literal yang hadir dalam ruang JNM. Suara sirine yang mengaung sedari awal masuk ke ruang pameran adalah karya dari kelompok seni Gegerboyo yang berjudul “Geger Boyo”. Karya tersebut membicarakan areal perbukitan di sekitar lereng Gunung Merapi. Ia berfungsi sebagai tameng dari letusan Merapi, juga mengemban makna khusus dalam pendekatan kosmologi Jawa. Masyarakat sekitar masih terus mempertahankan ritus hidup mereka yang arif, dan tengah menghadapi ancaman tambang pasir. Motif bunyi literalnya adalah sirine tanda bahaya, bisa dibayangkan suara tersebut akan berbunyi ketika status Merapi meningkat kewaspadaannya. Motif bunyi yang hadir di sana selanjutnya adalah suara burung, dan wawancara dengan salah seorang masyarakat yang memiliki pengetahuan lebih tentang situs ini. Pola-pola kehadiran motif bunyi seperti ini akan berulang di beberapa karya. Karya audiovisual berjudul “Kecek” oleh Gan Siong King menghadirkan motif bunyi seri percakapan dengan seorang pengkarya ampli gitar dan pandangan-pandangannya tentang kerja dalam kehidupannya, diiringi bunyi gitar dan potongan-potongan musik populer. Wacana-wacana yang hadir muncul percakapan yang terkesan ringan dan sambil lalu.
36
Suasana riuh ini terbangun di semua lantai yang digunakan oleh Biennale di JNM. Risiko dari kehadiran bunyi dalam ruang pamer yang tersekat-sekat adalah kemungkinannya untuk bocor dan mengisi ruangan yang tidak memiliki motif bunyi literal, tapi memiliki motif bunyi metaforis sebagaimana ruangan “Kecek” berdempetan dengan ruang “Tanggalan Barohwiyah”. Yosep Arizal menggunakan medium seni visual dan bermain-main dengan kitab primbon Jawa yang ditulis dengan huruf pegon, motif suara metaforis yang terkandung dalam karya adalah soal seksualitas Jawa. Karya tersebut kontras dengan motif bunyi yang bocor dari bilik sebelahnya.
riuh ini terbangun di semua lantai yang digunakan oleh Biennale di JNM. Kita akan menemukan paduan medium visual dan bunyi nyaris di setiap karya yang dipajang. Motif bunyi yang hadir bisa berupa musik sebagai salah satu unsur estetik yang menyatu dengan karya, bisa lanskap suara, atau dalam bentuk percakapan yang membantu menjembatani wacana yang diangkat seniman kepada publik. Jika ada satu karya yang hanya menggunakan unsur visual saja, maka motif bunyi dari karya lain pun dapat melekat padanya karena berada pada ruang yang sama, meskipun tentu saja motif bunyi tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan karya tersebut.
Apa yang bisa dibayangkan ketika mendapati kenyataan atas penataan ruang yang seperti ini? Kampung? Padat penduduk? Indekos? Beberapa hal tersebut melintas dalam benak. Suara memang seringkali menembus batas-batas yang dibangun hanya untuk membatasi gerak fisik saja. Jika batas-batas tersebut tidak didesain untuk meredam gerak suara, maka ia bisa lalu-lalang dari ruang-ruang yang telah disekat tersebut.
Jadi dapatkah kita katakan kalau semua karya di dalam ruang pamer ini memiliki motif bunyi literal? Saya tidak memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut. Yang jelas, setiap karya dalam ruang pamer ini memiliki motif bunyi metaforis. Setiap karya mengemban wacana. Apakah wacana tersebut hadir dalam ujudnya sebagai karya seni? Yang pasti kesemuanya hadir dalam teks deskripsi karya yang terpampang di dinding.
Pisitakun Kuantalaeng menghadirkan medium visual yang sangat muncul, sekaligus motif suara yang jelas. Lagipula karyanya memang sedang mengetengahkan karya musik yang dianggap subversif pada masanya. Karya ini sepertinya cocok dengan semua kerangka berpikir yang coba dihadirkan dalam tulisan ini. Ia memiliki motif suara literal dan metaforis, ia memiliki bentuk visual yang utuh, dan ia memiliki wacana tentang yang terpinggirkan.
Motif-motif bunyi yang hadir secara literal dan metaforis ini adalah yang dibayang sebagai apa-apa yang terpinggirkan, kini mereka diketengahkan.
Pola-pola kehadiran motif bunyi seperti ini akan berulang di beberapa karya. Suasana
Suara Politik Studio Malya bersama dengan mitra kolaborasinya menggunakan unsur suara dengan sangat tepat guna dalam menghadirkan karyanya. Instalasi audio yang terdiri dari 64 buah telepon kaleng yang memperdengarkan beragam kesaksian dan komentar mengenai peristiwa 65', serta sebuah telepon
37
berwarna merah yang berfungsi sebagai sarana bagi audiens untuk menyampaikan responsnya terkait peristiwa 65'. Motif bunyi literal dan metaforisnya mampu menghadirkan sesuatu yang politis dengan cara tutur yang kuat. Di tempat yang lain, Pendulum menghadirkan wacana tentang pekerjapekerja urban dan ruang mereka yang dipinggirkan. Melalui intervensi penyediaan bean bag, mereka memproblematisasi ruang istirahat bagi para pekerja ini. Meskipun hasil akhir karya mereka adalah fotografi, tapi ada unsur lain yang menurut saya justru lebih kuat. Unsur tersebut mampu memperluas pembicaraan tentang motif bunyi yang tengah kita bicarakan. Ia adalah unsur teks. Pemajangan kutipan dari pekerja yang dipajang di dinding dengan kreasi tipografi khas anak muda zaman sekarang memiliki unsur suara politik yang kuat. Jika kita lihat bagaimana media sosial kini merusuhi hidup kita, perdebatan yang terjadi dalam wilayah tekstual dalam media sosial kerap kali dilekatkan dengan istilah yang memiliki kaitan dengan bunyi. Ketika pilpres 2019, kita menyebut orang yang geger dengan berita palsu dengan sebutan membuat kegaduhan. Gaduh adalah istilah dalam wilayah bunyi, motif bunyi literal dalam penyusunan teks barangkali hanya tiktak papan ketik, atau bunyi ujung jari bertemu layar ponsel, tapi ia tetap mampu menghadirkan kegaduhan. Teks, sebagaimana kita ketahui, megandung motif bunyi literal, gramatikal, maupun metaforis. Teks yang dihadirkan oleh Pendulum memiliki suara politik yang nyaring, yang tidak pernah dianggap serius sebelumnya.
Sementara penataan pemajangan karya dalam ruang pamer ini memiliki kesan yang tidak terlalu ketat dalam mengkategorikan varian isu melekat di dalamnya. Kaitan antara satu isu dan isu lainnya bisa jadi tidak selalu senada dan seirama. Perlu upaya serius dan khusus untuk dapat menjalin isu-isu yang sebetulnya saling berkaitan dalam pameran ini. Yang tidak terbatas pada lokasi geografis, sebagaimana semangat “Do We Live In The Same Playground” bersama negaranegara Asia tenggara dalam pameran ini. Lantas perlukah suara-suara yang bervariasi ini diorkestrasi? Senada, seirama, dan selaras barangkali perlu dicurigai bukan sebagai ideologi yang dianut dalam penyusunan suara dalam pameran ini. Barangkali kebisingan, keriuhan, dan kepekakan adalah jalan yang diambil untuk membuat orang mendengar sesuatu yang selama ini terlalu lama diabaikan. Dugaan ini dapat diperkuat dengan modus penghadiran pertunjukan Bunyi Kontemporer yang dilakukan di Bilik Taiwan. Eksperimentasi bunyi yang dihadirkan di sini tidak memiliki ideologi senada, seirama, sebagai musik bagi awam, tapi barangkali ia kini menjadi selaras dengan bangunan ideologi politik suara yang dianut oleh Biennale. Persoalan identitas, narasi-narasi kecil, konflik sosial-politik, liminalitas, perburuhan, lingkungan, adalah beberapa hal yang bisa dideretkan untuk mengidentifikasi isu apa saja yang muncul di sini. Ketika semua suara-suara yang memiliki variasi isu tersebut dihadirkan bersama, maka ruang ini menjadi
38
perkampungan padat suara. Suara yang tadinya dipinggirkan, kini hadir bersama, dan berharap didengar. Mengheningkan Cipta Di ruangan semi terbuka itu kini berdiri sebuah monumen penghormatan terhadap Marsinah. Monumen Marsinah hadir sebagai upaya untuk mengabadikan ingatan kita tentang perjuangan Marsinah. Adalah ingatan bagaimana rezim Soehato telah menggunakan kekuasaan dengan sewenang-wenang. Adalah monumen yang hadir secara fisik, padat, kasat, bisa dirasakan, tidak abstrak, tidak gaib dan bukan monumen yang dibangun untuk merayakan rezim. Ini adalah monumen yang dibangun untuk menandai perjuangan yang belum usai dari upaya agar kasus ini didengar dan diselesaikan oleh negara. Dan motif bunyi yang ada di sana hanya keheningan. Setelah keriuhan motif bunyi dalam ruang pamer dan kebisingan dalam pertunjukan musik, keheningan ini terdengar sangat memekik.
39
BIENNALE JOGJA BIENNALE JOGJA adalah biennale internasional yang berfokus pada seni rupa, diadakan setiap dua tahun sejak tahun 1988. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja bekerja di sekitar Khatulistiwa 23.27 derajad Lintang Utara dan Lintang Selatan. Biennale Jogja mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis. Khatulistiwa adalah titik berangkat dan akan menjadi common platform untuk 'membaca kembali' dunia. Biennale Jogja diorganisasi oleh Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). YBY juga menyelenggarakan Simposium Khatulistiwa yang diadakan pada tahun berselang dengan even Biennale Jogja. Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 YBY bertekad menjadikan Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam konstelasi seni rupa internasional. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, kebutuhankebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia. Dimulai pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA). Rangkaian
biennale ini mematok batasan geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap penyelenggaraannya BJ bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai 'rekanan', dengan mengundang senimanseniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta. Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan Nusantara itu sendiri. Selain itu YBY yang baru berdiri pada Agustus 2010 memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja XI pada tahun 2011. Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negaranegara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negaranegara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021). BJ seri Khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Dinas Kebudayaan
YAYASAN
YOGYAKARTA