Portfolio: Billy Gerrardus Santo

Page 1

BILLY GERRARDUS SANTO

portfolio architecture & design writing


CURRICULUM VITAE

Billy Gerrardus Santo billygerrardus.x@gmail.com (+62) 81 2222 77 269 @billygerrardus Iromejan GK III/783 RT34 RW09 Klitren Gondokusuman Yogyakarta

educational background 2011-present

Architectural Engineering University of Atma Jaya Yogyakarta Undergraduate Studies

2010-2011

Engineering Physics University of Gadjah Mada Yogyakarta Undergraduate Studies

2008-2010

Strada Saint Thomas Aquino Senior High School Tangerang

2007-2008

Harapan Christian Senior High School Denpasar

organization & work experience 2014-present

KKN 66 (Kuliah Kerja Nyata) UAJY Team Coordinator

2013-present

ARÇAKA Architectural Magazine UAJY Editor & Contributor

2013 & 2014 2013-2014

2013

2010-2011

Teaching Assistant Mata Kuliah Utilitas Bangunan Research & Writing Division Architecture Student Association- TRIÇAKA UAJY Biro Penelitian dan Penulisan Himpunan Mahasiswa TRIÇAKA UAJY Coordinator Design Competition Division of Sepekan Arsitektur UAJY 2013 Biro Klinik (Lomba Desain) Panitia Sepekan Arsitektur UAJY 2013 Crew Enterpreneurship Division Engineering Physics Student Association UGM Biro Kewirausahaan Keluarga Mahasiswa Teknik Fisika UGM Crew


publication projects / writing & photo competitions Aug 2014 - present

Dec 2014

Sep 2014 - Nov 2014

languages

ARÇAKA ISSUE #03 (On Progress) TRIÇAKA Architectural Magazine UAJY As Editor & Contributor Sensasi Taman Kota dalam Mall: The Breeze Mall BSD Sinar Mas Land Writing & Photo Contest First Winner for Writing Contest (Public Category) Sinar Tanudjaja Memorial Book Project A Memorial Book of a Lecturer of Architecture Undergraduate Studies UAJY As Editor, Contributor & Layout Designer

Sep 2014

Tensions (Photo) Kompas Travel Fair 2014 Photo Competition Best 50 & Daily Photo Winner (September 21st 2014)

Sep 2014

Hong Kong Disneyland: Retouching Childhood Memories Kompas Travel Fair 2014 Blog Competition Competition Entry

Dec 2013 - May 2014

ARÇAKA ISSUE #02 Warisan Arsitektur Nusantara TRIÇAKA Architectural Magazine UAJY As Editor, Contributor & Layout Designer

Aug 2013 - Nov 2013

ARÇAKA ISSUE #01 The Era of Green Architecture TRIÇAKA Architectural Magazine UAJY As Contributor & Layout Designer Bahasa Indonesia native language

skills

English speak fluently and read/write with good competence Microsoft Office (Word, Excel, Powerpoint) Corel Draw Adobe Photoshop Adobe InDesign Adobe Lightroom AutoCAD SketchUp VRay Lumion

other architectural & travel photography | graphic design | travelling


writing photo & design 01 02 03 04 05 06

Dialog dengan Arsitek: Effan Adhiwira

Bukan Bangunan Bambu Biasa

Tensions

07

On Progress

08

Headquarter Green Office Park

Bamboo 360

09

A Place to Learn . A Place to Act

Centralized

10

Balada Jalan Pulang

11

Stingray Leather Seater

12

Sensasi Taman Kota dalam Mall

The Breeze Mall BSD

Kantor dengan Empat Elemen Alam

Bumi Pemuda Rahayu

A Memorial Book Project

Christian Sinar Tanudjaja

The Next Gen Opera House

Guangzhou Opera House

Studio Arsitektur 05 Museum Batik Kontemporer Yogyakarta

13


writing / book project blog post photos design

contents


photos on this page by Steven Demarsega


01 Dialog dengan Arsitek: Effan Adhiwira

Bukan Bangunan Bambu Biasa

month / year place project status word count

: : : : :

March / 2014 Denpasar ARÇAKA Architectural Magazine UAJY - Issue #02 Warisan Arsitektur Nusantara Printed & Published 1096

Dalam rangka penulisan majalah ARÇAKA edisi kedua, tim ARÇAKA melakukan ekspedisi pertama dibawah Biro Penelitian dan Penulisan HIMA TRIÇAKA UAJY ke Jawa Timur dan Bali, dengan berpegang pada tema Warisan Arsitektur Nusantara. Effan Adhiwira, seorang arsitek asal Yogyakarta, dipilih sebagai narasumber untuk profil arsitek muda untuk majalah ARÇAKA edisi kedua. Dalam proses wawancara, beliau tengah bersaing dengan arsitek-arsitek lokal dan asing di Bali dengan mengandalkan bambu sebagai material utama. Sang arsitek tidak hanya pandai mengkombinasikan bambu-bambu melengkung menjadi struktur yang fantastis secara visual, tapi juga secara fungsional dan kultural mewarisi nilai-nilai arsitektur nusantara.


“A

rsitektur lokal yang peka jaman.” Itulah kalimat pertama yang diucapkan Effan Adhiwira, seorang alumni Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, ketika ditanya mengenai arsitektur nusantara. Setelah perjalanan sekitar satu jam dari pusat kota Denpasar menuju Ubud, keramahtamahan langsung Tim ARÇAKA rasakan ketika bertemu dengan pak Effan di sebuah restoran yang merupakan salah satu karyanya, yaitu Bamboe Koening Resto. Sambil berjalan menuju tempat duduk yang nyaman untuk seluruh Tim ARÇAKA, beberapa kali kami kehilangan fokus karena takjub dengan bagaimana material bambu ditekuk dan dibentangkan pada bangunan ini. Bambu, yang tumbuh di 75 negara tropis maupun sub-tropis, tumbuh melimpah di seluruh kepulauan di Indonesia. Selain menjadi bagian dari sejarah sebagai senjata perang, material bambu telah akrab digunakan oleh leluhur masyarakat nusantara untuk membuat konstruksi bangunan. Mulai dari konstruksi saung sawah, gedhek (sayatan kulit bambu yang dianyam menjadi lembaran yang biasanya berfungsi sebagai pembatas ruang), hingga berbagai macam furnitur seperti kursi dan meja, material bambu telah menjadi bagian yang tak terlepaskan dari kehidupan masyarakat nusantara.

photos on this page by Billy Gerrardus

Dengan menjunjung tinggi lokalitas dan sustainable architecture, arsitek yang banyak terinspirasi dari arsitek Santiago Calatrava ini melakukan pembuktian nyata bagaimana material “tradisional” ini bertransformasi menjadi bentuk yang tidak mainstream. Dimulai dari Sebuah Tantangan Pada awalnya, setelah lulus dari Jurusan Arsitektur UGM Yogyakarta pada tahun 2005 pak Effan berniat untuk berangkat ke Aceh sebagai salah satu relawan. Namun karena proses yang kurang jelas, pak Effan kemudian memilih opsi lain yaitu bekerja untuk TomaHouse, sebuah perusahaan bangunan prefabrikasi yang dicetuskan oleh Frank Thoma. Bersama TomaHouse pak Effan mendesain bangunan dengan aluminium prefabrikasi berteknologi tinggi. Dengan sentuhan lokal Indonesia seperti cover kayu, bambu, dan kain tradisional, hasil desain dijual lagi keluar negeri. Di satu kesempatan, pak Effan ditawari untuk mendesain struktur sebuah bangunan dengan sisa tenda, dengan budget tidak lebih dari Rp500.000,00. Terbiasa dengan budget besar dalam membuat desain, tawaran ini memancing pak Effan berpikir lebih kreatif hingga menemukan sebuah solusi, yaitu penggunaan material bambu.

Walaupun pekerjaannya membawa pak Effan “jalan-jalan” ke berbagai negara seperti Jamaika, Inggris dan Australia, rasa bosan yang tak terbendung membuat pak Effan memutuskan untuk keluar pada tahun 2007 dan mendaftar ke PT Bambu, yang pada saat itu sedang memulai proyek Green School. Saat mulai bekereja di PT Bambu, Pak Effan harus kembali memulai dari bawah setelah lama menjabat sebagai arsitek senior. Di sinilah Pak Effan bersama dengan arsitek-arsitek lain yang lebih banyak berasal dari luar negeri mengeksplorasi bambu menjadi bentuk-bentuk yang tidak biasa. “Wah ini harus dicolong ilmunya, aku lihat sedikit ada orang Indonesianya. Wah ini gak boleh, kekayaan kita lho,” canda Pak Effan. Bersama dengan PT Bambu yang dipimpin oleh seorang desainer bernama John Hardy, Pak Effan banyak beresperimen membuat bentuk bangunan dengan struktur bambu yang tidak biasa. ”Bikin yang kayak jamur, boleh. Bikin yang kayak keong juga boleh,” gurau Pak Effan. Setelah keluar dari PT Bambu pada tahun 2011, Pak Effan kemudian mengikuti Summer Course tentang lokalitas di Architectural Association School (AA School) di London, Inggris. Sepulang dari London, Pak Effan mulai membuka studio sendiri di Bali dengan mengandalkan kemampuannya sebagai arsitek spesialis bambu.



photos on this page by Billy Gerrardus


Bambu, Sebuah Warisan Arsitektur Nusantara Setelah asyik ber-flashback sembilan tahun kebelakang mengenai perjalanan karirnya, satu hal yang sangat ingin Tim ARÇAKA dengar adalah bagaimana pandangan Pak Effan tentang arsitektur nusantara. Setelah membahas pengalaman Tim ARÇAKA bertemu dan berdiskusi dengan Pak Joseph Prijotomo, kemudian percakapan kami tiba di sebuah pertanyaan mengenai pandangan Pak Effan tentang Arsitektur Nusantara. “Nah ini!” sahut pak Effan yang sudah menduga pertanyaan ini akan keluar dari mulut saya cepat atau lambat. Pak Effan memiliki pandangan dan caranya sendiri dalam menerapkan arsitektur nusantara. “Walaupun bentuknya begini, esensinya adalah pernaungan. Kalau di tropis teritisannya harus lebar biar udara enggak panas kalau hujan enggak tampias, udara panas bisa keluar dengan dibuat berlapis-lapis, walaupun dengan gaya yang kekinian karena adaptasi pasti ada.” Arsitektur nusantara menurut pak Effan adalah arsitektur pernaungan yang peka jaman dan punya karakter daerahnya sebagai bagian dari nusantara. Melalui karya-karyanya, Pak Effan menekankan kembali konsep dasar studio yang menggunakan bambu secara optimal dengan mengangkat nilai bambu itu sendiri. Pemikiran tersebut juga diimplementasikan pada desain restoran Bamboe Koening Resto, untuk mendobrak ekspektasi masyarakat awam tentang bambu. Bentuk restoran didominasi dengan garis-garis lengkung, yang dimaksudkan untuk memberikan kontras visual terhadap bentuk-bentuk bangunan sekitarnya yang didominasi bentuk kotak dan

sudut siku-siku. Selain penataan ruang yang terbuka, konsep arsitektur nusantara kembali ditekankan dengan merespon iklim dengan atap yang bertingkat, memberikan celah-celah yang membebaskan udara panas. “Ini struktur murah. Lebih murah dari struktur kayu, tapi tidak murahan.” Dengan maksud mengangkat kembali nilai bambu, Bamboe Koening Resto menunjukkan perkawinan antara bambu yang “tradisional” dan teknologi modern. Tidak hanya kekayaan variasi bentuk, penggunaan material bambu yang melengkung juga relatif murah. Hal ini dikarenakan oleh bambu yang panjang dan lurus, seperti kayu yang banyak dijual, lebih laku di pasaran. Padahal kenyataannya sifat material bambu dan kayu sangat berbeda. “Ini bambu bulat, ini bambu yang dibelah-belah kemudian disatukan menjadi balok kayu. Tapi bagusnya, ini serupa dengan balok kayu tapi bisa melintir, karena bambu elastis,” jelas Pak Effan mengenai teknologi bambu yang dapat diterapkan saat ini. Beralih ke titik lain di nusantara, sebuah karya yang dinamai Dodoha Mosintuwu dibangun sebagai headquarter untuk Mosintuwu Institute, sebuah LSM yang memperjuangkan kedaulatan rakyat di wilayah pasca konflik Poso. Pak Effan menggunakan rumbia sebagai material penutup atap. Berbeda dengan rumbia dari Bali dan Jawa yang hanya tahan sekitar tiga tahun karena sudah menggunakan pupuk urea, rumbia yang digunakan adalah tanaman liar, dengan jumlah melimpah dan tahan hingga sepuluh tahun. Selain menekan carbon footprint, menggunakan material lokal juga menjunjung tinggi nilai lokal dan mengembangkan daerah sekitar dalam aspek sosial dan ekonomi.

Merespon iklim, Dodoha Mosintuwu juga memiliki atap bertingkat yang secara fungsional menghindari tampias dan sebagai sirkulasi udara yang secara tidak langsung mengadaptasi bentuk rumah adat Poso. Berbeda dengan Dodoha Mosintuwu yang secara visual terlihat “mengadaptasi” bentuk rumah adat, rancangan Pak Effan untuk restoran Hotel Almarik, Gili Trawangan, terlihat memiliki bentuk yang lebih bebas. Restoran yang tepat berada di pinggir pantai ini terinspirasi dari bentuk sandal jepit, dengan lengkungan mencapai delapan belas meter yang menyerupai struktur baja. Mengantisipasi pengaruh angin yang signifikan, kontekstualitas kembali ditekankan lewat bentuk atap yang multi-surface, memberikan ruang untuk meminimalisir beban angin pada masing-masing permukaan. Tidak berhenti sampai situ, Pak Effan juga memulai campaign secara aktif untuk mempromosikan penggunaan bambu lewat Bamboo Notion. Gerakan aktif seperti inilah yang Indonesia perlukan saat ini untuk mengurangi dampak buruk yang masuk lewat globalisasi dan mengglobalkan arsitektur nusantara. Perjalanan karir Pak Effan sebagai bamboo-specialized architect di berbagai tempat di nusantara seperti Bali, Poso, Cirebon, dan Lombok menunjukkan bahwa bambu, walaupun tidak lagi digunakan dengan cara tradisional, telah menyatu dengan kehidupan masyarakat sebagai sebuah warisan arsitektur nusantara.


Original Layout



Sensasi Taman Kota dalam Mall

The Breeze Mall BSD month / year place project status word count

: : : : :

November 2014 Tangerang Selatan

Sinar Mas Land Writing & Photo Contest 2014 First Winner for Public Category 485

“Innovations Towards Better Future�, adalah tema Sinar Mas Land Writing & Photo Contest 2014 yang diadakan dalam rangkaian acara mulai Juni hingga Desember 2014. Artikel yang dikirimkan merupakan pembahasan seputar inovasi dari Sinar Mas Land yang memberikan manfaat bagi masyarakat menuju masa depan yang leih baik. The Breeze Mall BSD merupakan sebuah mall yang berani menawarkan sebuah konsep yang belum pernah ada di Indonesia, sebuah taman kota di dalam pusat perbelanjaan. The Breeze merupakan sebuah inovasi lifestyle bagi warga Jakarta dan Tangerang yang selalu dekat dengan pusat-pusat perbelanjaan yang jauh dari ruang terbuka hijau.

photo on this page by Billy Gerrardus


02


Bosan dengan suasana mall yang selalu sama? Bulan Oktober kemarin saya menyempatkan diri untuk mampir ke The Breeze – Open Air Lifestyle Mall, Serpong, Tangerang. Mall ini berani tampil beda dengan menawarkan sebuah mall terbuka yang belum pernah ada di Indonesia. Paru-Paru Kota Spiro Kostof, seorang profesor arsitektur kota dari University of California menganalogikan sebuah kota dengan organ-organ manusia dimana jalan-jalan sebagai pembuluh darah, pusat kota sebagai jantung, dan ruang terbuka seperti taman kota sebagai paru-parunya. Di kota besar seperti Tangerang, kurangnya taman kota yang baik mengakibatkan adanya pergeseran fungsi ruang terbuka ke pusat perbelanjaan. Fenomena urban lifestyle ini menunjukkan bahwa penduduk kota lebih suka melepas penat di mall untuk nonton bioskop, makan bersama, ataupun hanya nongkrong dengan teman. Apa ini saja sudah cukup? Walau sudah ada banyak mall, belum ada ruang urban yang terbuka pada alam, lengkap dengan penataan taman sebagai tempat untuk refreshing dari kesibukan kerja dan kesesakan kota. (Green) Lifestyle Mall Sinar Mas Land bersama JERDE (foreign architecture & urban planning consultant) dan ARCADIA (local architecture & design consultant) menerapkan konsep outdoor lifestyle mall dalam perancangan The Breeze. The Breeze adalah sebuah fasilitas rekreasi alternatif yang tidak hanya menawarkan fungsi mall, tapi juga aktivitas dalam ruang terbuka hijau. Pertama kali saya sampai di lokasi, area drop off dengan kanopi memanjang menarik perhatian karena pintu masuk mall tidak terlihat. Rasanya benar-benar tidak seperti masuk ke mall. Mulai berjalan ke sebelah kiri, saya melewati sebuah jembatan berkanopi dengan tanaman rambat membentang di atas sebuah danau buatan. Di ujung jembatan terdapat Chakra Venue dan beberapa tenants, termasuk Gold’s Gym sebagai pusat kebugaran, serta area food court dua lantai yang menangkap pemandangan 360 derajat ke arah danau dan sungai.

photo on this page by Billy Gerrardus



photo on this page by Billy Gerrardus


Sangat nyaman rasanya menelusuri setiap sudut area The Breeze. Area pejalan kaki selalu dekat dengan pepohonan, rumput, dan kolam, yang menghadirkan suasana asri dan dekat dengan alam. Satu lagi yang menarik adalah suasana yang sangat hidup dengan adanya kolam ikan yang dapat disebrangi dengan batu-batu pijakan yang sangat disenangi anak-anak. Setelah melihat area selatan, saya berjalan ke area tengah yang dipenuhi berbagai macam restoran dan cafe ternama, mulai dari Sushi Tei, Oldtown White Coffee, J.CO Donuts & Coffee, dan masih banyak lagi. Di area tengah ini juga terdapat atrium terbuka yang bisa digunakan sebagai area pameran. Apa enggak ribet kalau hujan? Konsep arsitektur tropis modern diimplementasikan dengan pernaungan tenda raksasa di atas area tengah. Konstruksi ini tidak hanya memberikan kenyamanan bagi pengunjung ketika hujan, tapi juga memperlancar pergerakan udara sehingga suhu ruangan tetap nyaman dan tidak lembab, tanpa penghawaan buatan. The Breeze juga dirancang secara khusus memperhatikan arah matahari dan angin, serta tritisan atap yang lebar untuk mengantisipasi curah hujan yang tinggi. Setelah bertahun-tahun tinggal di Tangerang dengan asap, kemacetan, dan rekreasi yang itu-itu saja, suasana mall terbuka hijau yang ditawarkan The Breeze merupakan fasilitas publik yang sangat menarik dan tepat sasaran bagi masyarakat kota Tangerang. The Breeze adalah oasis di tengah suasana kota yang sibuk dan gersang.


photo on this page by Billy Gerrardus



Kantor dengan Empat Elemen Alam:

Headquarter Green Office Park month / year place project status word count

: : : : :

November 2014 Tangerang Selatan

Sinar Mas Land Writing & Photo Contest 2014 Competition Entry 502

Dalam menanggapi tema Sinar Mas Land Writing & Photo Contest 2014, “Innovations Towards Better Future�, timbul sebuah pertanyaan. Apakah Sinar Mas Land sendiri mengimplementasikan visi dan misinya ke dalam kantor-kantor karyawannya? Headquarter Green Office Park adalah sebuah kantor pusat Sinar Mas Land. Gedung kantor sebuah perusahaan seperti Sinar Mas Land seharusnya dapat menampilkan dan membuktikan eksistensi dirinya sebagai pengembang yang penuh inovasi dalam infrastruktur, perancangan dan pembangunan yang berkelanjutan, serta gaya hidup yang ramah lingkungan.

photo on this page by Billy Gerrardus


03


Dalam beberapa tahun terakhir isu-isu permasalahan lingkungan bermunculan. Pemanasan global, pemborosan energi, polusi limbah konstruksi, kerusakan ekosistem, dll. Sustainable development, sebuah konsep pengembangan arsitektur ramah lingkungan dan berkelanjutan, merupakan solusi nyata untuk menjawab isu-isu tersebut. Sebagai salah satu pengembang terbesar dan terpercaya di Indonesia, Sinar Mas Land terbukti berhasil menerapkan konsep sustainable development dalam rancangan Green Office Park BSD. Setelah mendengar tentang konsep Green Office Park (GOP) BSD yang menerapkan konsep sustainable development, saya segera meluncur ke lokasi bersama seorang teman. Dalam perjalanan menuju lokasi, bangunan Headquarter Sinar Mas Land di kawasan Green Office Park yang dirancang oleh architecture firm ternama dunia, Aedas Pte Ltd., ini terlihat menonjol di sisi kiri jalan beberapa puluh meter sebelum sampai pada jalur masuk yang berkontur menurun. Begitu mendapat ijin, saya mulai mengeksplorasi bangunan yang menarik ini. Dari pengalaman berharga ini, menurut saya tidak salah kalau bangunan ini mendapatkan sertifikasi Gold Green District oleh Building and Construction Authority of Singapore sebagai kawasan yang berhasil menerapkan desain yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. 4 Elemen Alam

Elemen angin diterapkan dengan perancangan ventilasi alami yang sangat baik. Kisi-kisi aluminium di bagian belakang menangkap angin yang kemudian diarahkan masuk ke dalam bangunan, lalu ke arah pintu utama yang juga terbuka sehingga terbentuk sebuah lorong angin yang menembus bangunan. Perputaran angin yang mengalir dari atrium, lobi lift dan toilet ini melancarkan pergantian udara dalam bangunan, sehingga ruangan menjadi sejuk dan kering. Elemen air diterapkan lewat water feature di depan dan belakang bangunan, sementara penerapan unsur tanah berupa green open space di belakang bangunan. Kolam dan fountain di depan bangunan menampilkan kemegahan bangunan, sementara perpaduan fountain dan beragam tanaman dalam sebuah taman di belakang bangunan menawarkan suasana rileks di sela-sela kesibukan aktivitas kantor. Tidak hanya itu, standar green district juga diterapkan dalam pengolahan air dan sampah. Green Lifestyle Tentu saja keempat elemen tersebut akan percuma kalau gaya hidup karyawannya tetap boros energi. Green lifestyle dibentuk di Green Office Park BSD dalam berbagai cara, salah satunya lewat budaya jalan kaki. Budaya jalan kaki sangat terlihat dari kebiasaan karyawannya untuk naik tangga melingkar pada atrium Headquarter Sinar Mas Land, hingga jalan kaki ke area makan dan refreshing yang berseberangan dengan gedung kantor.

“Mengakrabkan diri� dengan alam, Headquarter Sinar Mas Land memiliki seluruh empat elemen alam; yaitu api, angin, air dan bumi/tanah.

Kawasan Green Office Park BSD juga berada di dekat area residensial yang lengkap dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Sebuah efisiensi jejak karbon yang signifikan.

Elemen api, diterapkan dalam pemanfaatan cahaya matahari yang menembus masuk ke ruangan atrium setinggi lima lantai. Meskipun sudah menggunakan lampu LED, banyaknya lampu yang dimatikan di siang hari akan sangat menghemat energi. BCA Green Mark dalam websitenya juga mengatakan bahwa bangunan ini menghemat energi listrik hingga 46,720 kWh setiap tahunnya.

Kawasan ini selayaknya dapat menjadi role model sebagai kawasan ramah lingkungan yang “mencuri start� untuk menjadi perusahaan yang terdepan dalam membangun negeri dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan hidup. Green Office Park BSD telah terbukti berhasil mengakrabkan manusia pada alam melalui empat elemen: api, angin, air, dan bumi/tanah.

photo on this page by Billy Gerrardus



photos on this page by Billy Gerrardus



photo on this page by Billy Gerrardus


04 A Place to Learn . A Place to Act

Bumi Pemuda Rahayu month / year place project status word count

: : : : :

November / 2014 Nglinggo, Bantul, Yogyakarta ARÇAKA Architectural Magazine UAJY - Issue #03 To be Published 1179

Dalam rangka penulisan majalah ARÇAKA edisi ketiga dengan tema Arsitektur Rakyat, tim ARÇAKA mencoba bereksplorasi lebih jauh ke daerah yang belum banyak terekspos, namun memiliki karya arsitektur yang berpengaruh pada masyarakat. Bumi Pemuda Rahayu merupakan sebuah karya dari pemikiran-pemikiran brilian yang berani berpikir beda bahwa arsitektur tidak hanya untuk klien yang mampu membayar saja, tapi juga masyarakat sekitar bahkan alam di sekitarnya. Bumi Pemuda Rahayu menjadi sebuah tempat inkubasi bagi para pengunjung yang datang untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif untuk menanggapi permasalahan sosial, lingkungan, dan budaya,


B

rosur-brosur perumahan dan apartemen di pusat kota kini berlombalomba menjual unit huniannya dengan retorika seperti “mewah dan eksklusif”. Apakah arsitektur yang baik harus mewah dan eksklusif? Apa yang terjadi bila arsitektur diimplementasikan dengan begitu sederhana dan inklusif, bahkan menjadi katalis bagi pemberdayaan manusia di sekitarnya dalam skala kecil maupun besar? Bumi Pemuda Rahayu (BPR), sebuah sentra pendidikan, pelatihan dan pelestarian arsitektur, urbanisme, dan kebencanaan, adalah wujud nyata yang menjawab pertanyaan tersebut.

The Hidden Village Berlokasi di Desa Muntuk, Dlingo, Daerah Istimewa Yogyakarta, BPR merupakan hasil kolaborasi dari Rujak Urban Studies Center Jakarta dengan ARKOM (Arsitek Komunitas) Jogja dan KUNCI Cultural Studies Center. Selain digunakan untuk berbagai macam meeting komunitas arsitektur dan seni, BPR secara rutin membuka kesempatan residensi bagi seniman, penulis dan peneliti. Program ini mengajak para peserta residensi untuk saling berkolaborasi dalam berkarya bersama dan untuk lingkungan sekitar. Dibangun pada tahun 2011, BPR dirancang oleh arsitek-arsitek dari ARKOM Jogja, antara lain Marco Kusumawijaya, Effan Adhiwira, dan Andesh Tomo, untuk menampung kegiatan-kegiatan pelestarian yang kreatif. Salah satunya adalah workshop “Kreativitas dan Kesiagaan Bencana” yang didukung oleh Japan Foundation tahun 2013. Workshop ini mempertemukan berbagai pihak yang menaruh perhatian dalam isu kebencanaan. Berada di sebuah desa yang sangat jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota, BPR hadir dengan humble di antara rumah-rumah kecil di desa Muntuk. BPR bahkan relatif sulit untuk ditemukan apabila baru pertama kali datang, selain karena minimnya signage, juga karena tampak depan bangunan dengan warna dinding bata dan atap pelana yang begitu menyatu dengan lingkungan sekitarnya. Arsitektur yang Membumi Pada bagian depan, terdapat sebuah ruang workshop. Ruangan ini digunakan untuk kegiatan workshop yang banyak menggunakan material bambu, kayu, dan batu. Bangunan dirancang dengan sangat sederhana. Bata dan beton ekspos tanpa finishing beradu dengan vista pepohonan di belakang bangunan menghasilkan suasana ruang yang membumi sekaligus artistik. Kesan artistik juga terasa dalam kreativitas dalam susunan bata dan penataan ubin kombinasi warna biru, kuning dan merah secara acak. Mulai masuk ke area dalam, di sebelah barat terdapat sebuah pendopo joglo, sementara di sebelah timur terdapat sebuah panggung terbuka.

photo on this page by Billy Gerrardus

Pendopo ini dijadikan sebagai tempat diskusi dan pertemuan warga dan Karang Taruna, juga sebagai tempat sholat berjamaah. Panggung terbuka digunakan sebagai area presentasi peserta residensi, penampilan seni tari & teater, dan juga untuk tempat yoga. Menariknya, pendopo joglo ini “diselamatkan” dari adanya keinginan untuk membongkar joglo tersebut, sementara panggung terbuka dibuat tanpa menebang pohon-pohon mahoni yang ada. Keduanya merupakan sebuah aksi nyata pelestarian alam dan budaya yang diterapkan di BPR. Di tengah site, sebuah ruang serbaguna dengan naungan konstruksi bambu melengkung dengan atap rumbia terlihat jelas sebagai jantung BPR. Ruangan ini digunakan sebagai ruang pertemuan setiap acara yang diadakan di BPR, dan juga sebagai ruang pamer karya-karya peserta residensi dan anakanak. Di ruangan ini juga terdapat berbagai furnitur yang merupakan produk recycle yang kreatif dari Rumah Rempah Solo, seperti meja, kursi, dan rak buku yang digunakan untuk menyimpan buku anak-anak. “Rumah Bambu”, begitu warga menyebut bangunan ini, dikelilingi pohon-pohon mahoni dan bersebelahan dengan lahan yang digunakan untuk berkebun di sebelah barat. Suasana yang begitu alami juga dirasakan lewat pelestarian pohon-pohon mahoni eksisting yang “menembus” lantai beton. Skylight juga dibuat di beberapa titik untuk mencapai pohon-pohon di dalam ruang. Konstruksi tanpa dinding dan atap bertingkat dengan celah pergerakan udara menunjukkan pemanfaatan dan antisipasi beban angin pada bangunan. Duduk di bawah naungan Rumah Bambu ini terasa sangat nyaman dan sejuk, belum lagi dengan backsound suara-suara gesekan daun pada pepohonan dan kicauan burung-burung di sekitar. Area belakang digunakan untuk kamar tidur para peserta residensi, dengan peserta residensi senior di bagian timur dan peserta residensi junior di bagian barat. Kedua bangunan memanfaatkan view ke arah pepohonan bambu yang rindang di sisi selatan site. Penggunaan beton dan bata ekspos kembali diterapkan, kali ini dengan anyaman bambu untuk dan roster beton. Sebelum memasuki lorong ruang-ruang tidur, terdapat sebuah ruang teras untuk berkumpul, dilingkupi susunan bata tanpa acian dengan ketinggian sekitar 80cm yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Seperti rumah-rumah di dekatnya, keseluruhan area BPR yang berdiri di tanah yang berundag-undag ini juga dirancang tanpa pagar, sehingga batas ruang publik dan privat menjadi blur. Namun hal ini justru menarik, karena warga berlalu-lalang, menyapa, dan kadang berhenti sejenak untuk mengobrol dengan siapa saja yang sedang singgah di BPR.


Sebuah panggung terbuka “muncul� diantara rindangnya pepohonan mahoni


Pertemuan antara warna dan tesktur material alami dengan view pohon-pohon bambu yang begitu dekat berhasil menekankan konsep “membumi� pada ruang residensi senior

photo on this page by Billy Gerrardus


Sebuah Implementasi Pelestarian Lingkungan Mengemban misi pelestarian lingkungan, BPR dibangun dengan berbagai pendekatan ekologis. Upaya untuk meminimalisir jejak karbon dilakukan dengan penggunaan bahan-bahan bangunan yang diambil dari sekitar kota Yogyakarta. Salah satunya adalah material genting dan bata, yang berasal dari jalan Godean Yogyakarta. Untuk material bambu, BPR bekerja sama dengan BambuBos yang mengorganisir petani bambu di sekitar wilayah Piyungan. Penggunaan material bambu pada bangunan BPR ini mengajak masyarakat untuk melihat kembali bambu sebagai kekayaan alam Indonesia yang melimpah dan dapat digunakan sebagai material konstruksi bangunan, bahkan dengan skala yang lebih besar. Selain itu, tegel kunci yang digunakan di BPR merupakan tegel press yang tidak melalui proses pembakaran. Perlu diketahui, proses pembakaran material bangunan banyak menghasilkan karbon dioksida (CO2) yang merupakan salah satu gas yang menyebabkan efek rumah kaca. Penanganan limbah di BPR juga diperhatikan secara khusus dengan dibuatnya sistem pengolahan air limbah untuk kemudian dapat digunakan kembali di kebun. Sistem pengolahan kotoran berupa biodigester sewage treatment juga diterapkan untuk memanfaatkan kembali gas metan pada kotoran manusia. Namun dalam penerapannya sistem biodigester tersebut belum berjalan secara efektif karena minimnya limbah kotoran yang dihasilkan sehingga gas metan yang dihasilkan sangat sedikit. A Cultural & Social Catalyst Keterlibatan begitu banyak pihak dalam pembangunan dan perkembangan BPR sangat patut diacungi jempol. Sebelum bangunan BPR selesai dibangun saja, warga sudah banyak terlibat dalam pembangunan BPR. Menurut pengelola BPR, Lilik Rohmad Ahmadi, tenaga ahli konstruksi didatangkan dari luar, untuk kemudian mentransfer ilmu mereka ke warga di

sekitar lokasi. Para bapak dan pemuda-pemuda desa diajarkan membuat dinding bata ekspos dan konstruksi bambu yang cukup rumit. Setelah mendapat bekal dan pengarahan, mereka bersama-sama membangun BPR. Keahlian yang diberikan kemudian menjadi bekal bagi kehidupan mereka, bahkan kini banyak berkesempatan untuk bekerja ke luar kota berkat keahlian yang dipelajari dalam membangun BPR. Ibu-ibu di sekitar BPR juga ikut dilibatkan dalam berbagai kegiatan BPR, salah satunya untuk ikut memasak ketika ada banyak tamu yang datang. Para ibu juga diberi wawasan dan pelatihan untuk kembali memasak menu-menu tradisional, untuk membentuk ketahanan pangan dan mengurangi konsumsi makanan-makanan yang serba instan. Anak-anak seringkali diikutsertakan dalam kegiatan residensi bersama peserta. Selain diperbolehkan membaca buku di rak dengan bebas, sesekali anak-anak juga dilibatkan dalam pembuatan karya seni, contohnya ikut memetakan rumahnya masing-masing dengan potongan-potongan kertas dan melukis dengan cat di botol-botol kaca bekas. Cara ini memberikan sebuah pandangan baru bagi anak-anak terhadap limbah rumah tangga seperti botol kaca yang seringkali dianggap tidak berguna lagi. Masih banyak kegiatan-kegiatan yang dilakukan warga di BPR, seperti senam ibu-ibu, meeting tim voli desa, dan lain-lain. Selain bagi warga, BPR telah melahirkan peserta-peserta residensi yang secara kreatif berkarya dengan melibatkan warga tanpa melupakan kepedulian akan lingkungan sekitar. Para peserta residensi, selain diwajibkan berkarya bersama warga, juga harus memperhatikan peraturan-peraturan residensi seperti membawa kembali sampah plastik dan lingkungan bebas rokok dan alkohol. BPR boleh saja tersembunyi di dalam sebuah desa yang jauh dari kota, namun BPR telah memberikan begitu banyak kontribusi yang tak ternilai harganya.


Ruang workshop yang banyak digunakan untuk aktivitas warga dan peserta residensi

photo on this page by Billy Gerrardus


Ruang lorong residensi junior


sketch on this page by Eko Priyo


05 A Memorial Book Project of:

Ir. F. Christian J. Sinar Tanudjaja, M.S.A. month / year place project status

: : : :

September-November / 2014 Yogyakarta

Memorial Book Project of Sinar Tanudjaja Printed & Published

Ir. F. Christian J. Sinar Tanudjaja, M. S. A. atau yang biasa dipanggil Pak Sinar adalah sosok yang sangat dihormati di Program Studi Arsitektur dan Fakultas Teknik UAJY. Beliau wafat secara mendadak dan meninggalkan berbagai kenangan bagi segenap mahasiswa dan alumni program studi arsitektur UAJY. Dipublikasi saat 100 hari wafatnya Pak Sinar, buku ini mengumpulkan kisah hidup, karya dan kenangankenangan terakhir bersama beliaru sebagai pengajar sejarah arsitektur, kritika arsitektur dan feng shui, serta karya-karya mahasiswa dan alumni sebagai persembahan terakhir kepada beliau.


photo on this page by Billy Gerrardus


works of Sinar Tanudjaja : Gereja Babadan, Yogyakarta

G

ereja Babadan berlokasi ini berlokasi di Desa Dolo, Wedomartani, Ngemplak, Sleman, DIY. Dalam proses perancangannya, gereja yang dirancang dengan filosofi bentuk burung merpati dan sayapnya ini, Pak Sinar dibantu oleh Pak Wiryawan Sardjono P., Ir., M.T. Keseluruhan tapak yang direncanakan terdiri dari sekolah, gereja, pastoran, menara lonceng, selasar penghubung, teras depan dan garasi. Dalam perancangan bangunan gereja ini, unsurunsur arsitektur tropis disusun menjadi sebuah kesatuan bangunan yang kontekstual. Dari luar bangunan, bagian fasade terlihat didominasi oleh permainan atap pelana bertingkat yang tinggi dengan warna merah dpada lisplang dan dinding luar. Seperti kebanyakan bangunan gereja, langit-langit ruang ibadat dibuat tinggi untuk memberikan efek psikologis pada penggunanya sebagai umat yang ‘kecil’ di hadapan Tuhan. Namun berbeda dengan bagian dalam, teras depan yang merupakan area transisi dibuat lebih menyambut umat dengan atap yang lebih rendahdari ruang ibadat. Atap-atap dengan tritisan yang lebih rendah juga ditambahkan di area-area yang merupakan jalur keluar-masuk umat untuk mengantisipasi air hujan yang tampias.

Selain estetika dan bentuk arsitektur tropis, atap-atap berlapis tersebut memberikan ruang untuk menempatkan ornamen kaca patri yang merupakan teknik kerajinan turun temurun di Eropa yang sering dimanfaatkan untuk menghias gereja. Ornamentasi dengan kaca patri ini juga dimanfaatkan untuk memasukkan cahaya ke ruang altar, ke arah salib yang merupakan jantung gereja. Setelah area ‘penyambutan’ yang sederhana, suasana ruang ibadat yang tenang dan nyaman dapat dirasakan ketika sedang berdoa dengan khusyuk, menghadap ke arah altar dimana sinar matahari masuk menembus bangunan. Rangkaian kuda-kuda kayu yang membentang lebar mempertahankan warna aslinya, membentuk aksen berulang dalam ruang yang mengarah ke altar. Di sepanjang sisi kanan dan kiri ruang ibadat, kisi-kisi jendela dan ventilasi kayu yang disusun vertikal dan horizontal turut memperkaya suasana ruang. Walaupun kaya dalam ornamentasi elemenelemen ruang, unsur warna di dalam ruang justru diminimalisir. Warna yang tampak dalam ruang hanyalah krem, putih, dan warna dasar kayu pada konstruksi kuda-kuda. Hal ini membentuk suasana ruang yang tidak ‘ramai’, sehingga umat dapat memusatkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan.


photos on this page by Billy Gerrardus



Book Layout



photo on this page by Billy Gerrardus


05 The Next-Gen Opera House:

Guangzhou Opera House month / year place project status word count

: : : : :

July / 2014 Guangzhou, China

Blog Post for www.terasbilly.wordpress.com Published 849

Sepulang dari liburan di Guangzhou-China, saya berusaha mengungkapkan kembali hasil pemikiran brilian arsitektur ternama dunia, Zaha Hadid, yang karyanya selalu menarik perhatian dengan dasar arsitektur parametrik. Apakah dapat dikatakan bahwa Guangzhou Opera House dapat menggantikan Sydney Opera House yang ikonik? Dalam artikel ini saya mencoba membahas Guangzhou Opera House dari sudut pandang seorang mahasiswa penikmat arsitektur, dengan membahas berbagai keistimewaan hingga permasalahan dalam bangunan fantastis ini.


“Apa yang muncul di pikiran anda ketika mendengar opera house?” Ya, bentuk-bentuk cangkang Sydney Opera House karya Jorn Utzon pasti muncul di kepala anda, mau atau tidak. Ikon kota Sydney bergaya arsitektur ekspresionis modern ini juga seringkali muncul sebagai ikon Australia, sebuah keberhasilan dari proses perancangan arsitektur visioner sekitar 50 tahun yang lalu. 37 tahun setelah Sydney Opera House selesai dibangun, Guangzhou Opera House (GOH) diresmikan. Pemikiran dan pandangan starchitect Zaha Hadid diekspresikan dalam masterpiece ini untuk menjadi the new image of opera house bagi generasi selanjutnya. Lokasi GOH berseberangan dengan Guangdong Museum oleh Rocco Design Architect. Keduanya merupakan salah satu bangunan di area Zhujiang New Town, Guangzhou, China yang juga terhubung langsung dengan Zhujian Boulevard, central avenue of Guangzhou city. Sayembara desain GOH dimenangkan oleh Zaha Hadid Architects, kemudian diresmikan pada tahun 2010 setelah lima tahun masa pembangunan. Pembangunannya tidak hanya melibatkan Zaha Hadid, sebagai principal architect, tapi juga Sir Harold Marshall, seorang world top acoustic designer. Kolaborasi inilah yang menyukseskan GOH sebagai 10 best opera houses around the world oleh USA Today dan world’s most spectacular theatres oleh The Telegraph. The Double Pebble Bentuk bangunan GOH merupakan hasil perancangan dengan konsep arsitektur parametrik Zaha Hadid Architects yang mewakili dua buah batu kerikil yang terkikis oleh erosi air sungai Pearl River, yang berada tepat di samping site. Kedua massa bangunan merupakan gedung pentas dengan satu massa untuk auditorium utama dan yang lainnya untuk multifunction hall. Bentuk bangunan yang monumental dan state-of-the-art ini dicapai dengan menggukanan struktur rangka beton dan kaca berlapis dengan rangka baja. Berdiri di atas lahan berkontur di tepi sungai, arsitek menerapkan kembali keunggulannya merancang bangunan yang menyatu dengan alam. The Flow Konsep fluidity and nature yang menjadi kekuatan desain arsitek begitu terasa dalam berbagai aspek. Dalam proses mendekati bangunan, pengunjung akan bergerak dalam aliran-aliran ramp yang mengantar pengunjung mengeksplorasi wajah bangunan dari berbagai sudut.Aliran ramp di bagian eksterior seakan berlanjut ke bagian interior, mengajak pengunjung mengeksplorasi pengalaman visual dan sekuens demi sekuens sense of motion yang dinamis. “It is about no 90 degree corners,” prinsip dasar arsitek diekspresikan dalam bentuk lekukan-lekukan bentuk yang mendominasi mulai dari bentuk bangunan, path, hingga kesatuan antara dinding dan langitlangit.Prinsip tersebut bahkan diterapkan dalam penataan ruang, membentuk stacking spaces dengan bagian atas lebih kecil dari satu lapis di bawahnya. Bentuk penataan ruang “berkontur” ini membentuk diagonal visual continuity dari atas ke bawah.

photos on this page by Billy Gerrardus



photos on this page by Billy Gerrardus


The Glow Pada area transisi antara ruang luar dan ruang utama (auditorium), cahaya matahari dibiarkan menembus lapisan-lapisan kaca dengan rangka segitiga baja yang memberikan bentuk pada bangunan. Cahaya matahari masuk menerangi setiap sudut area transisi, menjadikan efisiensi energi sebagai salah satu keunggulan perancangan. Pada malam hari, indirect lighting mendominasi ruangan-ruangan interior maupun eksterior. Cahaya-cahaya lampu indirect light seakan berlari ke setiap sudut ruangan, mengikuti dinamika lekukan demi lekukan yang terbentuk oleh shape bangunan. Sebagai fasilitas utama yang ditawarkan, ruang auditorium juga memberikan nuansa yang berbeda. Konfigurasi smooth and flowing hard surfaces diterapkan pada dinding dan langit-langit dengan material Glass-fibre Reinforced Gypsum (GRG) dengan ketebalan 40-50mm yang dicetak off-site dan dipasang di konstruksi rangka baja. Bentuk pelingkup ruang yang amorf yang meliuk-liuk dirancang bersama dengan desainer akustik Sir Harold Marshall untuk memberikan kualitas akustik yang serupa untuk setiap 1800 tempat duduk penonton. Berbeda dengan dominasi indirect lighting di bagian luar, ruang auditorium menawarkan suasana ribuan bintang di langit dengan dominasi 3500 lampu LED. Kombinasi pencahayaan, akustika dan bentuk ruangan yang megah sungguh menjadi pengalaman ruang yang sulit tercipta di tempat lain. Nuansa serupa namun tak sama ditawarkan pada fungsi pendukung auditorium, Music & Ballet Rehearsal room. Perpaduan sempurna flowing shape, dynamic lighting dan acoustic engineering sekali lagi tercipta lewat kombinasi panel berlubang 25mm dari GRG dan Corian (solid surface material, developed by DuPont) untuk absorbsi suara dengan frekuensi rendah dan kaca fiber berkepadatan tinggi pada tepi panel untuk absorbsi suara dengan frekuensi tinggi.

The Fall Meski dikemas dengan apik dan memacu rasa takjub pengunjung di berbagai sudut, outer dan inner beauty bangunan ini tetap memiliki berbagai anomali. Ketika di satu sisi astounding exterior berhasil dicapai bersamaan dengan efisiensi energi dengan penggunaan material kaca pada interior ground floor, area lobby-entrance justru harus senantiasa menggunakan penerangan buatan. Akses cahaya ke dalam ruangan ini tertutup oleh ground-level plaza dan massa double pebble yang masif. Belum lagi satu aspek yang terlupakan, yaitu maintenance. Karya arsitektur sebaik apapun juga akan bermasalah tanpa building maintenance yang baik. Elemen air berupa kolam yang mengelilingi double pebble misalnya, dipenuhi oleh air keruh yang tidak bergerak, menghasilkan kontras dengan konsistensi aliran ramp dan sense of motion yang terbentuk. Elemen kaca yang sangat penting pada akhirnya juga menghadapi masalah seperti kusam dan noda bekas aliran hujan, dan dilansir dari thetelegraph.co.uk, ada juga kaca yang retak atau bahkan pecah. New Image Maintenance memang merupakan aspek yang sepertinya banyak dilewatkan pemerintah China, seperti yang terjadi pada miniatur-miniatur arsitektur di Window of the World, Shenzhen.Apabila terus diabaikan, aspek ini sepatutnya dikaji secara serius, untuk mempertahankan kualitas visionary designed Guangzhou Opera House, dengan inner dan outer beauty, lengkap dengan background gedung-gedung tinggi central business district Zhujiang New City untuk menjadi 21st century’s image of the opera house, sebagai “Sydney Opera House� yang baru.


photo on this page by Billy Gerrardus



Tensions month / year place project status

: : : :

February / 2014 Jembatan Suramadu, Madura

Kompas Travel Fair Photography Competition 2014 Best 50 & Daily Photo Winner (September 21st 2014)

#architecture #travelling



On Progress month / year place project status

: : : :

#architecture

November / 2014 Sinar Mas Land Headquarters, Tangerang Selatan

Sinar Mas Land Writing & Photo Contest 2014 Competition Entry


Bamboo 360 month / year place project

: : :

#architecture

February / 2013 Green School, Badung, Bali

Widya Wisata - Arsitektur UAJY 2013


Centralized month / year place project

: : :

#architecture

February / 2013 Green School, Badung, Bali

Widya Wisata - Arsitektur UAJY 2013


Balada Jalan Pulang month / year place project

: : :

#humaninterest

May / 2013 Societeit Building Taman Budaya, Yogyakarta

Sepekan Arsitektur 2013 Documentation


Stingray Leather Seater month / year place project

: : :

#product design

February / 2013 Yogyakarta Product Documentation STRAKX Design Furniture Yogyakarta



Studio Arsitektur 5

Museum Batik Kontemporer Yogyakarta month / year place project status

: : : :

August-December / 2014 Yogyakarta

Studio Perancangan Arsitektur 5 Submitted





thank you. billygerrardus.x@gmail.com


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.