Bimabi edisi 2

Page 1


Susunan Pengurus

Penasihat

Uswatun Khasanah, M.Keb

Pimpinan Umum Anggi Saptiwi Oktavani

Sekretaris Umum Annisatus Sholehah

Pimpinan Redaksi Ayu Sholehati Agustina

Dewan Redaksi

Herdhika Ayu Devi Arine Kusumawardani Khoiriyah Noviastuti Luthfiana Husnaini Utami Diana Pratiwi

Tata Letak

Farida Fitriana Diana Permatasari Azzahrah Putri Rahmawati

Keuangan Rizqi Nurul R.

Promosi

Siti Fatimah Laili Nur Azizah Ade Septiari Rahman

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) The Journal of the Indonesian Midwifery Student Association

B

erkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) atau The Journal of the Indonesian Midwifery Student Association oleh Ikatan Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) merupakan satu-satunya berkala resmi mahasiswa kebidanan Indonesia yang khusus memuat hasil karya tulis dan penelitian mahasiswa kebidanan se-Indonesia. BIMABI memuat artikel original, dan review yang berhubungan dengan dunia kebidanan dan kesehatan masyarakat. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dari mahasiswa kebidanan dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan. Setelah melalui seleksi dari peerreviewer yang terdiri dari dewan redaksi dan mitra bebestari, BIMABI akan di up load ke situs www. bimkes.org sehingga dapat diakses oleh mahasiswa kebidanan Indonesia pada khususnya, dan mahasiswa kesehatan pada umumnya. Dengan demikian, BIMABI dapat menjadi simbol kompetensi sekaligus kontribusi mahasiswa ke-

bidanan Indonesia bagi peningkatan ilmu pengetahuan dalam dunia kebidanan dan kesehatan.

[ii]

BIMABI

Vol. I No. 2

Juni 2013


Salam dari Pimpinan Umum Assalamualaikum Warahmatullahi Wabaraktuh. Salam sejahtera bagi kita semua.

B

erkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia (BIMKES) merupakan salah satu program kerja dari Health Professional Education Quality Project Student (HPEQ- Student) yang bertujuan untuk memfasilitasi mahasiswa dalam publikasi ilmiah sesuai mandat dari Surat Dirjen DIKTI No. 152/E/T/2012 mengenai wajib publikasi ilmiah bagi lulusan S1/S2/S3. Dengan adanya publikasi ilmiah ini, diharapkan tidak hanya semata-mata untuk melaksanakan mandat tersebut, namun yang paling utama adalah untuk menumbuhkan budaya publikasi ilmiah dikalangan mahasiswa yang pada kenyataannya lebih jarang dibandingkan dengan budaya menulis karya ilmiah itu sendiri.

Berkaya Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia (BIMKES) ini meliputi 7 ikatan mahasiswa seprofesi, termasuk mahasiswa kebidanan. Adapun berkala ilmiah untuk mahasiswa kebidanan disebut Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) merupakan wadah bagi mahasiswa kebidanan untuk publikasi ilmiah. Dengan demikian, harapan kami adanya BIMABI ini akan dapat meningkatkan kualitas pendidikan pada khususnya dan peningkatan kualitas kesehatan pada umumnya. Wassalamu’alaikum Warahmatullabi wa Barakatuh.

[iii]

BIMABI

Vol. I No. 2

Juni 2013


>>> Editorial

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

BIMABI

Iklim Menulis Mahasiswa Kebidanan Diana Pratiwi S1 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya - Indonesia

T

ulisan ini akan saya awali dengan data dari Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) 2001 dan 2006 yang memperlihatkan bahwa tingkat literasi anak-anak Indonesia usia 9-15 tahun sangat rendah, berada di peringkat lima terbawah sedunia (Kompas, 23 November 2010). Kondisi ini menggambarkan minimnya literasi anak Indonesia di awal usianya. Hal ini bisa jadi salah satu faktor mengapa mahasiswa, jenjang lanjut usia anak, kurang merasakan iklim literasi (membaca dan menulis) dalam dunia mereka. Pemerintah, sebagai ganti orang tua mahasiswa, telah mencoba mendatangkan stimulus untuk kemampuan menulis anak-anak mereka. Melalui Sudat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 125/E/T/2012, para orang tua itu kemudian memberi titah. Bagi mahasiswa untuk dapat lulus S1 wajib mempublikasikan makalah yang diterbitkan di jurnal ilmiah, untuk S2 berupa makalah yang diterbitkan jurnal tingkat nasional dan mahasiswa S3 berupa makalah yang diterbitkan di jurnal internasional. Ketentuan ini akan diberlakukan terhitung untuk lulusan setelah Agustus 2012. Lalu, bagaimana kabar iklim menulis mahasiswa bidan sekarang? Cerah semangat? Mendung berawan? Atau malah hujan badai? Saya akan kembali menghadirkan data yang kali ini hadir dari Forum Ekonomi Dunia dengan surveynya yang berjudul, “Global Growth Competitiveness Index”. Melibatkan 114 negara dan Indonesia hadir menempati urutan ke-50 setelah Singapura di peringkat 2, Malaysida di peringkat 25, Brunei di 28, dan Thailand yang menempati urutan 38. Penyebab salah satunya, seperti yang dikatakan oleh Menteri Riset dan Teknologi, adalah publikasi karya ilmiah Indonesia yang jauh dari memuaskan. Hal itu mencerminkan produktivitas dan teknologi yang ada di Indonesia. Padahal, harusnya mahasiswa bidan berperan. Membuktikan kualitas dari segi intelektual. Kemana mereka? Apa yang tidak serba tersedia di zaman sekarang? Menjamurnya sosial media seperti facebook dan twitter yang sangat akrab dengan “update status” nya. Setingkat diatas “update status” ada blog. Setingkat diatas itu ada beberapa yang membuka web online untuk menampung “surat pembaca” seperti kompasiana. Buku-buku, surat kabar, dan ensiklopedia

BIMABI

Vol. 1 No.2

Juni 2013

[1]


BIMABI

>>> Artikel original

BIMABI

>>> Artikel original

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

online. Dan begitu banyak jembatan yang menjadi jalan untuk menambah literasi, khususnya bagi mereka, mahasiswa yang ingin menulis. Ada begitu banyak hal yang harusnya mahasiswa bagi kepada masyarakat selain lewat aksi demo dan tampilnya ide-ide mereka di televisi. Contohnya saja, seorang mahasiswa bidan. Keadaan Indonesia sudah cukup parah mengenai Angka Kematian Ibu dan Bayi. Lalu apakah yang dilakukan hanya yang penting lulus, bekerja dengan keringat sendiri untuk mencegah AKI-AKB? Bidan akan selamanya di garis nomor dua jika kondisinya seperti itu. Bukankah anda juga harus memperbarui ilmu-ilmu anda melalui jurnal-jurnal ilmiah yang tersedia? Kalau semua hanya pembaca? Siapa yang akan menulis? Mungkin jika anda memiliki blog, pasti anda ingin sekali readers blog anda mengomentari setiap tulisan yang ada. Intinya berkontribusi meski hanya sebuah comment. Entah menilai baik/buruk, bagus/tidak, bermanfaat/tidak. Nah maka dari itu, jadilah satu bagian lagi dari pembaharu ilmu-ilmu kebidanan. Entah itu hanya sekedar kultwit via twitter, tulisan di blog, atau bahkan jurnal dan PKM. Menulis memang berawal dari persepsi. Jika persepsi anda mengenai menulis itu tidak menyenangkan, selamanya ia akan menjadi teman jauh untuk anda. Bayangkan masa mahasiswa anda itu sebuah buku, anda hanya akan berkesempatan untuk menyaksikan jalan ceritanya. Tapi jika persepsi anda mengenai menulis itu menyenangkan. Anda akan berkesempatan menjadi yang mem-plot alur ceritanya. Anda bebas berada di semua bab karena itu buku anda. Selagi usia belum memakan. Bukankah usia mahasiswa itu usia kontribusi? Baik, pertanyaannnya hanya satu. Jika bukan anda, maka siapa yang akan menulis?

HUBUNGAN PARITAS DAN UMUR IBU DENGAN KEJADIAN PERDARAHAN POSTPARTUM PRIMER DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK SITI FATIMAH MAKASSAR Hidayati S2 Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang - Indonesia

ABSTRAK Informasi: Perdarahan postpartum adalah penyebab utama mortalitas ibu di seluruh dunia. Di banyak negara, setidaknya seperempat dari mortalitas ibu disebabkan oleh pendarahan. Tujuan: Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perdarahan postpartum Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif, dengan populasi semua ibu yang melahirkan dan seksio caesaria di Rumah Sakit Umum daerah Majene periode 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2005. Hasil: Pada periode 1 Januari 2003 sampai 31 Desember 2005, kasus perdarahan postpartum diperoleh setinggi 71 kasus (11,2%) dari 635 pervaginam dan seksio caesarea. Postpartum perdarahan tertinggi dibagi menjadi dua faktor dari petugas kesehatan dan dari pasien. Sesuai dengan tenaga kesehatan yang menangani persalinan sebesar 46%, persalinan dengan ekstraksi vakum 38,1%. Dari faktor pasien, kehamilan terlalu banyak 56,3%, jarak kelahiran <2 tahun 24%, paritas ≥ 4 14%, usia ibu ≥ 35 tahun 14,3%. Pendidikan <6 tahun 12,5%, usia kehamilan 26 - 37 minggu 25,0%. Sehingga dari pasien sebesar 34,0% dan bantuan melahirkan di luar rumah sakit seperti persalinan oleh dukun 36,1%. Kesimpulan: Tingginya perdarahan postpartum disebabkan oleh faktor yang sangat kompleks, faktor yang paling umum adalah pengiriman persalinan yang dibantu oleh dukun. Kata Kunci: perdarahan postpartum, faktor predisposisi, karakteristik ibu dan sistem rujukan.

ABSTRACT Information: The postpartum haemorrhage is the main cause of mother’s mortality around the world. In many countries, at least one fourth of mother’s mortality were caused by bleeding. Purpose: To recognize the factors that relating to postpartum haemorrhage Method: This research was accomplished with descriptive method, with the population of all mothers who birth and sectio caesaria at Majene District General Hospital period of January 1st 2003 until December 31st 2005. Result: In the period of January 1st 2003 until December 31st 2005, the case of postpartum haemorrhage was obtained as high as 71 cases (11.2%) from 635 vaginally and sectio caessarea. The highest postpartum haemorrhage event according to childbirth type was prolonged labor 46%, childbirth with vacuum extraction 38.1%. Multiple pregnancy 56.3%, Birth’s distance of < 2 years 24%, parity ≥ 4 14%, mother’s age ≥ 35 years 14.3%. Education < 6 years 12.5%, ages of pregnancy 26 – 37 weeks 25.0%. Refered patient 34.0% and childbirth assistance outside hospital by traditional birth attendant 36.1%. Conclusion: The high of postpartum haemorrhage was caused by a very complex factors, the most common factor is the delivery assisted by the traditional birth attendant. Keywords: Hemorrhage postpartum, predisposition factors, mother’s characteristic and referral system. BIMABI

Vol. 1 No.2

Juni 2013

[2]

BIMABI

Vol. 1 No.2

Juni 2013

[3]


BIMABI

>>> Artikel original

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia LATAR BELAKANG Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berlandaskan Pancasila sebagai landasan idiil dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992, adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomi. Dalam konstitusi WHO tahun 1948 ditetapkan antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah hak yang fundamental setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya. Menurut WHO, diperkirakan 600.000 wanita meninggal dunia setiap tahun akibat komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan, persalinan dan nifas (Gema Pria, 2006 ). Tragisnya 99 % kematian ini terjadi di negara-negara berkembang. Data mengenai angka kematian ibu tahun 2003 di beberapa Negara ASEAN tercatat; Vietnam 95/100.000 kelahiran hidup, Malaysia 30/100.000 kelahiran hidup, Singapura 9/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan Indonesia sendiri menempati urutan teratas dengan angka 307/100.000 kelahiran hidup atau terjadi kematian ibu 352 per minggu atau 2 orang ibu meninggal per jam (Dharma Wanita Persatuan, 2006 ). Departemen kesehatan menargetkan tahun 2010, Angka kematian ibu turun menjadi 125/100.000 kelahiran hidup. Untuk itu berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka kematian ibu, misalnya melalui program Mater-

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original

nal and Child Health, Safe Motherhood, Making pregnancy Safer dan Gerakan Sayang Ibu. Perkiraan angka kematian ibu di Sulawesi Selatan pada tahun 2004 mencapai 110/100.000 kelahiran hidup. Penyebab angka kematian ibu yaitu; perdarahan 60 orang (64,11%), preeklampsi / eklampsi 13 orang (15,38%), infeksi 7 orang (3,85%) dan lain-lain 30 orang (16,66 %). Hasil penelitian kami terdahulu di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar tahun 2003, di dapatkan 48 kasus perdarahan postpartum primer yang disebabkan oleh retensio plasenta 19 orang (39,58%), atonia uteri 12 orang (25,00%), sisa plasenta 9 orang (18,75 %), laserasi jalan lahir 8 orang (16,67 %). Data yang diperoleh dari medical record RSIA Siti Fatimah Makassar periode tahun 2004, tercatat 75 kasus perdarahan, 54 kasus diantaranya adalah perdarahan antepartum dan 21 kasus lainnya adalah perdarahan postpartum. Selain penyebab perdarahan post partum tersebut di atas, beberapa faktor predisposisi yang memicu terjadinya perdarahan postpartum adalah, umur ibu, paritas, anemia, peregangan uterus yang berlebihan, riwayat perdarahan postpartum sebelumnya. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian observasional dengan rancangan case control study yang ditujukan untuk menerangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian perdarahan postpartum di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2005.

[4]

Rancangan penelitian case control study

Besar sampel sebanyak 82, dengan rincian 41 sampel dari ibu yang mengalami perdarahan postpartum primer dan 41 ibu yang tidak mengalami perdarahan postpartum primer sebagai kontrol. 4. Prosedur Pengambilan sampel Prosedur pengambilan sampel terdiri atas : a. Sampel untuk kasus, diambil secara total sampling b. Sampel untuk kontrol, diambil secara sim ple random sampling

INSTRUMEN PENELITIAN LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatimah Makassar, pada bulan Mei sampai Juli 2006. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin yang pernah dirawat inap di bagian kebidanan RSIA Siti Fatimah Makassar sebesar 2389. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah ibu bersalin yang pernah dirawat inap di bagian kebidanan RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2005 sesuai dengan kriteria variabel yang diteliti. 3. Besar Sampel

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

Instrumen penelitian yang digunakan adalah check list dengan mengambil data dari rekam medik berdasarkan variabel yang ingin di teliti METODE PENGUMPULAN DATA Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari laporan persalinan tahun 2005 di RSIA Siti Fatimah Makassar. Pengolahan dan Penyajian Data Data diolah menggunakan alat elektronik komputer.

[5]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia ANALISIS DATA Data hasil penelitian yang telah diolah kemudian dievaluasi dan dianalisis dengan memakai uji statistic (chi square) dengan tingkat kemaknaan = 0,05 Rumus Chi Square

Dimana : X2 = chi square O = Frekuensi Observasi E = Expected (nilai yang diharapkan) Interpretasi a. Bermakna : bila X2 hitung > X2 tabel atau nilai p < 0,05 b. Tidak bermakna : bila X2 hitung <X2 tabel atau nilai p > 0,05 Dimana df = 1 alfa = 0,05 X2 tabel = 3,841 Bila terdapat hubungan antara variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen) maka uji Phi dengan maksud untuk melihat variabel tersebut dengan rumus:

Dimana : Phi : Besar hubungan X2 : Chi Square n : jumlah sampel

Nilai Phi terletak antara 0-1, semakin mendekati nilai 1, semakin erat hubungan antara variabel bebas (independen) dengan variabel terikat (dependen)

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBJEKTIF 1.Perdarahan Postpartum Primer Yang dimaksud dengan perdarahan postpartum primer dalam penelitian ini adalah kehilangan darah 500 cc atau lebih dari jalan lahir dalam 24 jam setelah persalinan. Kriteria obyektif Perdarahan postpartum primer :Apabila terjadi kehilangan darah 500 cc atau lebih dari jalan lahir dalam 24 jam setelah persalinan atau sesuai hasil diagnosa yang tercatat dalam kartu status penderita. Tidak ada perdarahan postpartum primer : Apabila tidak terjadi kehilangan darah 500 cc atau lebih dari jalan lahir dalam 24 jam setelah persalinan atau sesuai hasil diagnosa yang tercatat dalam kartu status penderita. 2. Umur ibu Umur ibu dalam penelitian ini adalah umur ibu pada saat melahirkan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Siti Fatima Makassar sesuai yang tercatat dalam kartu status penderita. Kriteria Objektif : Berisiko: Apabila umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih 35 tahun sesuai yang tercatat dalam kartu status penderita. Tidak berisiko :Apabila umur ibu diantara 20 – 35 tahun sesuai yang tercatat dalam kartu status penderita. 3. Paritas Paritas dalam penelitian ini adalah jumlah persalinan yang pernah dialami oleh seorang ibu, baik lahir hidup maupun mati dengan be-

[6]

rat janin lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu sesuai hasil diagnosa yang tercatat dalam kartu status penderita di rumah sakit. Kriteria objektif : Paritas tinggi : Apabila dalam kartu status penderita didapatkan paritas 4 atau lebih Paritas rendah : Apabila dalam kartu status penderita didapatkan paritas 1-3 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil survey dengan pendekatan deskriptif untuk mendapatkan gambaran kejadian perdarahan postpartum primer di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2003. Hasil pengumpulan data berdasarkan pencatatan di RSIA Siti Fatimah, tercatat 48 orang ibu melahirkan dengan perdarahan post partum primer akibat atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan laserasi jalan lahir yang sekaligus menjadi sampel dari total populasi sebanyak 2.235 orang. Data tersebut kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif yang disajikan sebagai berikut : KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pada ibu yang melahirkan pervaginam dan megalami perdarahan post partum primer di RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2003, dapat ditarik kesimpulan bahwa : 1. Data dari Medical Record RSIA Siti Fatimah Makassar tahun 2003 tercatat 2.235 ibu melahirkan pervaginam dari total 2.269 persalinan. 2. Jumlah perdarahan terdapat 78 kasus. Dari 78 kasus perdarahan tersebut, 48 (61,54 %) kasus akibat perdarahan postpartum primer. Angka ini

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

sangat tinggi dibanding penyebab perdarahan lainnya yaitu 30 kasus (38,46%). Penyebab perdarahan postpartum primer yang terbanyak adalah retensio plasenta (39,58 %), atonia uteri (25 %), sisa plasenta (18,75 %) dan terakhir laserasi jalan lahir (16,67 %). Saran 1. Perlunya peningkatan keterampilan bidan dalam memberikan pelayanan dan pertolongan persalinan terutama pada kala III persalinan untuk mencegah perdarahan. 2. Kemampuan pelayanan bagi tenaga kesehatan yang berkesinambungan perlu peningkatan melalui pendidikan dan pelatihan, baik formal maupun informal. 3. Deteksi dini terhadap ibu hamil yang beresiko mengalami perdarahan postpartum melalui antenatal care yang teratur disertai penyuluhan secara intensif. DAFTAR PUSTAKA 1. M Chrisdiono,Achdiat.2004.Prosedur Tetap Obstetri & Ginekologi Cetakan I.Jakarta:Penerbir Buku Kedokteran EGC 2. Departemen Kesehatan RI. 1999. Indonesia Sehat 2010.Jakarta:Departemen Kesehatan RI 3. Departemen Kesehatan RI.1999. Modul Perdarahan Post Partum. Jakarta:Departemen Kesehatan RI 4. Departemen Kesehatan RI.2004. Buku Acuan Pelatihan Asuhan Persalinan Normal.Jakarta: JNPK-KR-JHPIEGOPRIME

[7]


BIMABI

>>> Artikel original

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG KB PRIA DENGAN STATUS PENGGUNAAN ALAT KONTRASEPSI PADA SUAMI

5. Manuaba,Ida Bagus Gde.1988. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kendungan dan Keluarga Berencana Cetakan I. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC 6. Rustam, Mustar.1998.Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi Jilid I Edisi 2, Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC 7.Soekidjo, Notoatmodjo.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta :Penerbit Rineka Cipta 8. A.B., Saifuddin.2002.Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta :Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo 9.A.B., Saifuddin.2002.Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawihardjo

Rizka Ayu Setyani, SST D IV Bidan Pendidik Fakultas Kedokteran UNS Surakarta - Indonesia

ABSTRAK Latar belakang penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan tentang KB pria dengan status penggunaan alat kontrasepsi pada suami. Metode penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Dilaksanakan bulan Februari Juli 2012 di Kelurahan Sangkrah. Data yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner pada 286 responden dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Hasil dari uji analisis ChiSquare diperoleh nilai X2 hitung = 164,262, p = 0,000. X2 hitung lebih besar dari X2 tabel dan harga p kurang dari 0,05. Hal ini menunjukkan H0 ditolak dan Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan suami tentang KB pria maka semakin tinggi status penggunaan alat kontrasepsi pada suami.

 

Kata kunci : Pengetahuan, Status Penggunaan, KB

ABSTRACT Based on the information provider in the Information Center Billing Ovulation Method, AOS Malang, for guiThe objective of this Scientific Work is to find out the relationship between knowledge level of man Family Planning and the contraceptive use status in husband. Analytical observational research methods with cross-sectional approach. Held in February-July 2012 in Kelurahan Sangkrah. Data were collected using questionnaires from 286 respondents with different levels of education. Results of Chi-Square test analysis obtained X2 values count = 164.262, p = 0.000. X2 count is greater than the table of X2 and the price p is less than 0.05. This indicates H0 is rejected and Ha accepted, so it can be concluded that the better is the husband’s knowledge about man family planning, the higher is the contraceptive use status in husband. Keyword: Natural Family Planning, Billings Ovulation Method, Operational Constraints.

Key words : Knowledge, Use Status, Family Planning

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[8]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[9]


BIMABI

>>> Artikel original

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang memiliki banyak masalah kependudukan yang hingga saat ini belum dapat diatasi. Untuk mewujudkan penduduk Indonesia yang berkualitas maka pemerintah memiliki visi dan misi baru, yaitu mewujudkan “Keluarga yang berkualitas tahun 2015”. Salah satu masalah dalam upaya mensukseskan visi misi tersebut adalah rendahnya partisipasi pria atau suami dalam pelaksanaan program KB.1 Menurut data SDKI 2002-2003, partisipasi pria dalam ber-KB masih sangat rendah, yaitu sekitar 1,3 persen (vasektomi 0,4% dan kondom 0,9%), sedangkan berdasarkan hasil SDKI 2007 mencapai 1,5% (vasektomi 0,2% dan kondom 1,3%). Ini menunjukkan masih rendahnya pencapaian peserta KB pria sedangkan untuk unmetneed/ingin KB tetapi belum terlayani masih 9,1%. Hal ini selain disebabkan oleh keterbatasan jenis alat kontrasepsi pria, juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan mereka akan hak-hak dan kesehatan reproduksi serta kesetaraan dan keadilan gender. Demikian pula, penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi masih belum mantap jika dilihat dari aspek kesetaraan dan keadilan gender.2 Cakupan peserta KB aktif di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 78,37%. Partisipasi pria untuk menjadi peserta KB aktif masih sangat kecil, yaitu vasektomi sebanyak 1,71% dan kondom 7,02%. Apabila dibandingkan dengan tahun 2009, pada tahun 2010 cakupan pengguna kondom meningkat menjadi 13,75% dan cakupan peserta kontrasepsi mantap menurun menjadi

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

0,2%.3 Masih rendahnya partisipasi pria ini karena terbatasnya pilihan kontrasepsi yang disediakan bagi pria, dan sebagian pria masih beranggapan bahwa KB merupakan urusan istri.2 Partisipasi kaum pria di Surakarta dalam memakai alat kontrasepsi sebanyak 4.857 orang dan berdasarkan hasil rekapitulasi sampai bulan Desember tahun 2011 Kota Surakarta memiliki total peserta KB aktif pria yaitu 5.090 orang, yang terdiri dari vasektomi 183 orang (3,6%) dan kondom 4.907 orang (96,4%). Meskipun peserta aktif KB pria di Kota Surakarta meningkat, tetapi jumlah ini masih rendah apabila dibandingkan dengan jumlah pasangan usia subur.4 Kelurahan Sangkrah adalah salah satu kelurahan terpadat penduduknya di Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta yang terdiri dari 13 RW dengan jumlah pasangan usia subur sebanyak 1.749 orang. Mayoritas warganya masih berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah dengan tingkat pendidikan formal yang beragam. Hal ini mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang KB yang berdampak pada status penggunaan dalam menggunakan alat kontrasepsi pada suami. Selain itu terdapat beberapa pemahaman masyarakat tentang KB yang masih dipengaruhi oleh adat istiadat dan lingkungan sosial budaya misalnya adanya anggapan kalau banyak anak banyak rejeki, KB hanya urusan istri, bahkan mengharamkan KB kecuali dengan sistem kalender. Hal ini dapat menjadi salah satu

[10]

BIMABI

>>> Artikel original

penyebab rendahnya partisipasi suami dalam menggunakan alat kontrasepsi, yaitu vasektomi sebanyak 0,3% dan kondom sebanyak 5,2%.5 Berdasarkan latar belakang di atas, Penulis tertarik untuk memilih judul “Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang KB Pria dengan a. Status Penggunaan Alat Kontrasepsi Pada Suami”. Karya Tulis Ilmiah serupa pernah dilakukan oleh Indarsih, mahasiswi Akademi Kebidanan Husada Jombang dengan judul “Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Suami Tentang Kontrasepsi MOP di Kelurahan Karangsari Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban” pada tahun 2007. Hal yang membedakan dengan Karya Tulis Ilmiah sebelumnya meliputi subyek, waktu, lokasi, metodologi, dan hasil penelitiannya METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah metode observasional analitik dengan desain penelitian cross-sectional. Penelitian dilakukan di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta dengan waktu penelitian adalah bulan Februari-Juli 2012. Populasinya adalah pria-pria yang sudah menikah dari pasangan usia subur (PUS) yang berada di Kelurahan Sangkrah dan terdaftar di UPT Bapermas, PP, PA, dan KB Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah simple random sampling. Pengambilan sampel sebanyak 286 orang secara acak dari populasi pasangan usia subur (PUS) sebanyak 1749 orang di 13 RW Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta yang memenuhi kriteria inklusi anta-

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

ra lain : pria yang sudah menikah, merupakan pasangan usia subur (PUS), dan bertempat tinggal di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang sudah diuji validitas dan reliabilitasnya. Analisis data untuk menguji keeratan hubungan menggunakan uji korelasi chi-square dengan bantuan SPSS versi 19.00 for windows. HASIL Distribusi penyebaran kuesioner berdasarkan pendidikan terakhir yaitu dari 286 responden, sebanyak 38 orang (13,3%) pendidikan terakhirnya SD, 91 orang (31,8%) SMP, 107 orang (37,4%) SMA, dan 50 orang (17,5%) Perguruan Tinggi. Sedangkan distribusi penyebaran kuesioner berdasarkan jenis pekerjaan yaitu dari 286 responden, sebanyak sebagai 59 orang (20,6%) PNS, 83 orang (29%) swasta, 44 orang (15,4%) wiraswasta, dan 100 orang (35%) buruh. Berikut ini hasil penelitian berupa data tingkat pengetahuan suami tentang KB, status penggunaan alat kontrasepsi pada suami, dan hubungan antara keduanya adalah :

[11]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia 1. Data variabel tingkat pengetahuan suami tentang KB pria Tabel 1 Data Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Suami Tentang KB Pria di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta Tingkat pengetahuan Frekuensi Persentase suami tentang KB pria (orang) (%) Baik

104

36,4

Cukup

95

33,2

Kurang

87

30,4

Total

286

100

Sumber : Data di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta periode 1 - 31 Mei 2012 2. Data variabel status penggunaan alat kontrasepsi pada suami Berdasarkan data, dari 32,9% suami dari pasangan usia subur yang menggunakan alat kontrasepsi, ada 29,5% yang menggunakan alat kontrasepsi kondom, dan 3,4% yang menggunakan vasektomi. Tabel 2 Data Distribusi Status Penggunaan Alat Kontrasepsi Pada Suami di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta Status penggunaan alat Frekuensi Persentase kontrasepsi pada suami (orang) (%) Menggunakan

104

36,4

Tidak menggunakan

95

33,2

Total

87

30,4

Sumber : Data di Kelurahan Sangkrah Kecamatan

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Pasar Kliwon Kota Surakarta periode 1 - 31 Mei 2012 3. Hubungan antara tingkat pengetahuan suami tentang KB pria dengan status penggunaan alat kontrasepsi pada suami Tabel 3 Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang KB Pria dengan Status Penggunaan Alat Kontrasepsi Pada Suami Tingkat Peng- Menggunakan Tidak mengguetahuan Suami KB nakan KB Tentang KB Pria Baik 83 orang 21 orang Cukup

9 orang

86 orang

Kurang

2 orang

85 orang

Hasil analisis data tersebut diperoleh X2 hitung sebesar 164,262 dan p = 0,000. Koefisien korelasi yang ditemukan sebesar 0,604. Hal ini berarti bahwa p < Îą atau 0 < 0,05 sedangkan koefisien korelasi sebesar 0,604 termasuk pada kategori kuat, maka dapat dinyatakan bahwa H0 ditolak, artinya ada hubungan positif yang signifikan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan suami tentang KB pria maka semakin tinggi status penggunaan alat kontrasepsi pada suami. Dengan demikian berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya dapat terbukti kebenarannya. PEMBAHASAN Dengan meningkatnya pengetahuan suami tentang KB pria, maka mendorong suami untuk berpartisipasi aktif menggunakan alat kontrasepsi, sehingga status penggunaan alat kontrasepsi pada

[12]

suami pun juga meningkat. Seseorang dapat menentukan pilihan menggunakan alat kontrasepsi pada dasarnya melalui beberapa proses. Seseorang yang memiliki tingkat pengetahuan tentang KB pria baik, mereka mengetahui apa saja yang berkaitan dengan alat kontrasepsi pria terutama keuntungan/manfaat, dan kerugian/ efek samping yang selanjutnya ia akan menyadari pentingnya menggunakan alat kontrasepsi pria tersebut, kemudian mempertimbangkan apakah akan menggunakan atau tidak menggunakan alat kontrasepsi pria tersebut. Apabila dalam proses menimbang-nimbang tadi faktor pengaruhnya ke arah positif, maka akan timbul suatu sikap dimana suami akan menggunakan alat kontrasepsi.6 Meskipun begitu, tidak semua suami yang tingkat pengetahuannya baik menggunakan alat kontrasepsi. Proses yang paling berpengaruh adalah saat suami berada pada proses menimbang-nimbang, karena pada proses inilah yang mempengaruhi seseorang dengan pengetahuan tentang KB pria baik, ada yang memilih untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi. Menurut penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya pada tahun 2006, ketidaksediaan suami untuk menggunakan alat kontrasepsi walaupun memiliki pengetahuan tentang KB pria yang baik sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : (1) Pendidikan dapat berpengaruh karena karakteristik individu yang berbeda-beda yang mempengaruhi pola pikir dalam menolak menggunakan alat kontrasepsi. Karakteristik pendidikan

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

yang berbeda dapat berpengaruh dalam proses pemahaman setelah mereka mengetahui keuntungan dan kerugian dari alat kontrasepsi tersebut. Responden yang memiliki pendidikan terakhir SD memiliki pemahaman atau pola pikir yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan yang pendidikan terakhirnya SMA/Perguruan Tinggi. (2) Pekerjaan dapat berpengaruh ketika penghasilannya rendah, biaya untuk memperoleh pelayanan KB menjadi tidak terjangkau. Dalam penelitian ini, didapatkan pekerjaan responden yang beragam, yaitu dari 286 responden, sebanyak sebagai 20,6% PNS; 29% swasta; 15,4% wiraswasta, dan 35% buruh. Walaupun selisih persentase tidak terlalu jauh, namun menggambarkan bahwa sosial ekonomi di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta ini menengah ke bawah. (3) Kondisi lingkungan dan budaya setempat yang diharapkan dapat menerima adanya sosialisasi tentang program KB pria. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa sebagian besar responden yang tidak menggunakan alat kontrasepsi menyatakan bahwa KB hanya urusan istri saja. Hal ini merupakan pemahaman yang kurang tepat dan dapat menghambat penerimaan sosialisasi tentang program KB pria sehingga mengakibatkan rendahnya status penggunaan alat kontrasepsi di Kelurahan Sangkrah Kota Surakarta. (4) Pengalaman menggunakan kualitas pelayanan yang baik dimana klien diharapkan mendapatkan tingkat kepuasan sebagai akseptor KB. Hal ini

[13]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia mempengaruhi status penggunaan alat kontrasepsi pada suami, karena pada saat penelitian, penulis mendapatkan bahwa ada calon responden yang tegas menolak untuk dimintai data kuesioner karena mengatakan tidak ber-KB karena dahulu pernah menggunakan alat kontrasepsi kondom tetapi gagal, dan mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan.7 Sebaliknya, pada suami yang memiliki pengetahuan tentang KB pria kurang, cenderung untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi. Pengetahuan tentang KB yang cukup atau kurang bukan berarti ia tidak tahu sama sekali karena Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta merupakan desa binaan KB, sehingga informasi tentang KB pria telah tersampaikan ke seluruh masyarakat setiap bulannya. Tingkat pengetahuan yang kurang timbul dari kurangnya pemahaman setelah informasi didapat yang dipengaruhi oleh karakteristik pendidikan suami yang beragam. Disamping itu adanya pengaruh beberapa faktor dalam proses menimbang-nimbang yang menimbulkan sikap suami enggan menggunakan alat kontrasepsi. Permasalahan status penggunaan alat kontrasepsi yang rendah dikarenakan oleh kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat, dan keluarga yang masih menganggap partisipasi pria belum penting dilakukan, pengetahuan dan kesadaran pria dan keluarga mengenai KB relatif masih rendah, keterbatasan penerimaan dan aksesbilitas pelayanan kontrasepsi pria, serta permasalahan lain yang turut mendukung seperti peran tokoh agama yang masih kurang, sarana pelayanan KB bagi pria yang masih perlu ditingkatkan, dan terbatasnya pilihan alat kontrasepsi yang tersedia.6

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Faktanya, sebagian besar responden yang tidak menggunakan alat kontrasepsi menyatakan bahwa KB hanya urusan istri saja. Selain itu sebagian besar masih memiliki pemahaman yang kurang tepat tentang KB pria, misalnya pernyataan bahwa vasektomi dianggap sama dengan kebiri sehingga mempengaruhi dalam ejakulasi dan hubungan seksual, hal ini tentu saja tidak benar. Pemahaman inilah yang menyebabkan suami enggan untuk ber-KB meskipun setiap bulannya di Kelurahan Sangkrah selalu ada program safari KB secara gratis, termasuk pelayanan KB pria yaitu kondom dan vasektomi. Berdasarkan hasil penelitian ternyata ada responden yang memilih untuk menggunakan alat kontrasepsi walaupun memiliki pengetahuan tentang KB pria yang kurang. Keadaan sosial ekonomi, jumlah anak, dan pengalaman menjadi faktor yang dapat mempengaruhi, dimana pendapatan yang rendah dengan jumlah anak yang banyak, kemudian pengalaman kegagalan istri dalam ber-KB mengharuskan suami untuk menggunakan alat kontrasepsi. Faktor-faktor itulah yang akhirnya mempengaruhi pola pikir kemudian memunculkan sikap suami untuk menggunakan alat kontrasepsi meskipun memiliki pengetahuan tentang KB pria yang kurang. Berbeda dengan penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya oleh Indarsih. Persentase responden yang memiliki tingkat pengetahuan tentang KB pria baik lebih tinggi sekitar 36,4%, apabila dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan cukup (33,2%) atau rendah (30,4%). Namun selisih antara tingkat

[14]

pengetahuan baik, cukup, dan kurang tidak terlalu banyak, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan karakteristik individu berdasarkan tingkat pendidikan yaitu sebanyak 13,3% pendidikan terakhirnya SD; 31,8% SMP; 37,4% SMA, dan 17,5% Perguruan Tinggi. Selain itu lingkungan sosial budaya juga dapat mempengaruhi pola pikir dalam menanggapi, menerima, dan menolak program KB pria.8 Faktanya penulis temukan saat proses penelitian, dimana ada sebagian besar dari calon responden di 1 RW (20 dari 23 responden) tidak bersedia dimintai data dengan alasan bahwa KB hanya merupakan urusan istri saja. Hal ini menunjukkan pengaruh lingkungan sosial budaya sangat besar terhadap kesadaran suami untuk menggunakan alat kontrasepsi, meskipun menurut hasil wawancara dengan Kepala Kelurahan Sangkrah, daerah ini termasuk dalam desa binaan KB. Menurut data SDKI 2007, partisipasi pria dalam ber-KB masih sangat rendah, yaitu sekitar 1,5% (kondom 1,3% dan vasektomi 0,2%), berarti yang tidak menggunakan alat kontrasepsi sekitar 98,5%. Sedangkan berdasarkan profil kesehatan Jawa Tengah (2010), partisipasi pria untuk menjadi peserta KB aktif sekitar 13,95% (kondom 13,75% dan vasektomi 0,2%), serta yang tidak menggunakan alat kontrasepsi sekitar 86,05%. Rendahnya status penggunaan alat kontrasepsi pada suami juga ditemukan dalam penelitian di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta ini, bahwa sekitar 67,1% tidak menggunakan alat kontrasepsi, sedangkan dari 32,9% suami yang menggunakan alat kontrasepsi, terdapat 29,5% yang menggunakan alat kontrasepsi kondom, dan 3,4% yang menggunakan vasektomi. Kondisi ini

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

sebanding dengan data cakupan KB dari Bapermas, PP, PA, KB di Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta yaitu sekitar 5,5% yang menggunakan alat kontrasepsi (kondom 5,2% dan vasektomi 0,3%), serta 94,5% tidak menggunakan alat kontrasepsi.5 Meskipun hasil penelitian ini dapat membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya, namun dalam pelaksanaannya masih ditemui kendala, yaitu sebagian besar dari calon responden di 1 RW (20 dari 23 responden) tidak bersedia dimintai data dengan alasan bahwa KB hanya merupakan urusan istri. Pengalaman suami yang gagal dalam menggunakan alat kontrasepsi juga menjadi alasan tidak bersedianya untuk menjadi responden penelitian. Ada calon responden yang tegas menolak untuk dimintai data kuesioner karena mengatakan tidak ber-KB karena dahulu pernah menggunakan alat kontrasepsi kondom tetapi gagal, dan mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Berdasarkan kendala tersebut, solusi dari peneliti adalah mengambil 20 responden dari RW lain di Kelurahan Sangkrah Kota Surakarta secara random atau acak. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil pada penelitian ini adalah (1) Tingkat pengetahuan suami tentang KB pria di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta yaitu baik ada 104 orang (36,4%), cukup ada 95 orang (33,2%), dan kurang ada 87 orang (30,4%). Hal ini berarti sebagian besar suami dari pasangan usia subur me-

[15]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia miliki pengetahuan tentang KB pria yang baik. (2) Status penggunaan alat kontrasepsi pada suami di Kelurahan Sangkrah Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta yaitu suami dari pasangan usia subur yang menggunakan alat kontrasepsi ada 94 orang (32,9%), sedangkan yang tidak menggunakan alat kontrasepsi ada 192 orang (67,1%). Hal ini berarti partisipasi aktif suami dalam menggunakan alat kontrasepsi masih kurang. (3) Terdapat hubungan positif yang signifikan bahwa semakin baik tingkat pengetahuan suami tentang KB pria maka semakin tinggi status penggunaan alat kontrasepsi pada suami, dengan kekuatan korelasi kategori kuat. SARAN Bagi BKKBN dan tenaga kesehatan, diharapkan perlu mengadakan pembinaan dan pengembangan program KB pria secara interpersonal, khususnya kepada kelompok suami dari pasangan usia subur yang tingkat pengetahuannya tentang KB masih kurang bahkan yang menolak untuk menggunakan alat kontrasepsi. Selain itu juga peningkatan pelayanan KB pria oleh tenaga kesehatan ke semua lapisan masyarakat. (2) Bagi masyarakat, diharapkan adanya kesadaran bagi para suami untuk meningkatkan status penggunaan alat kontrasepsi dengan cara meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang Keluarga Berencana, khususnya KB pria.

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

DAFTAR RUJUKAN 1. Saifuddin, A.B., Affandi B., Baharuddin M., Soekir S., 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kontrasepsi. ed.2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sawono Prawirohardjo. h : MK 17-21, MK 85-8 2. Parwieningrum E., 2009. Gender Dalam KB/KR. Jakarta : BKKBN. h : 9 3. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, 2010. Buku Saku 2010-Visualisasi Data Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Semarang. h : 74 4. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana, 2011. Laporan Umpan Balik, Hasil Pelaksanaan Program KB Nasional Kota Surakarta. Surakarta. h : 2 5. Sarsuti, 2011. Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Desa/Kelurahan. Surakarta 6. BKKBN, 2007, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Pria Dalam ber-KB. http://www.gemapria.com. (11 Februari 2012) 7. Wijayanti. 2006. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Gender Suami dan Pemilihan Kontrasepsi Pada Ibu Akseptor KB di BPS Elis Djoko P, Banyuanyar Surakarta. Universitas Sebelas Maret. KTI 8. Indarsih, 2007. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Suami Tentang Kontrasepsi MOP di Kelurahan Karangsari Kecamatan Tuban Kabupaten Tuban. Akademi Kebidanan Husada Jombang. KTI

[16]

HUBUNGAN PEMBERIAN KOLOSTRUM, FREKUENSI, DAN DURASI PEMBERIAN ASI DENGAN IKTERUS FISIOLOGIS NEONATUS DI POLI ANAK DAN RUANG NEONATOLOGI RSUD DR. SOETOMO SURABAYA Oktaviany Ismiarika S., Martono Tri U., Linda Dewanti S1 Pendidikan Bidan Fakultas Kedokteran UNAIR Surabaya - Indonesia

ABSTRAK Ikterus merupakan pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan.Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian. Bayi yang diberi minum lebih awal, lebih sering dan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis.Permasalahan tersebut mendasari tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pemberian kolostrum, frekuensi, dan durasi menyusui ASI dengan kejadian ikterus fisiologis pada neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Data diambil dari poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya pada 6-20 Juni 2012. Responden dari penelitian ini adalah seluruh neonatus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Teknik sampling dengan caraconsecutive sampling denganjumlah sampel sebanyak 40 neonatus. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terpimpin dan observasi. Variabel independen yang diteliti antara lain pemberian kolostrum, frekuensi dan durasi pemberian ASI. Analisis data dengan uji chi square(ᾪ2). Hasil penelitian menunjukkan dari tiga variabel bebas yang diteliti yaitu pemberian kolostrum, frekuensi, dan durasi menyusui ASI, hanya pemberian kolostrum yang memiliki hubungan dan korelasi sedang dengan ikterus fisiologis neonatus (p= 0,000;C=0,594). Frekuensi ASI (p=0,129) dan durasi menyusui (p=0,524) menghasilkan p>ι. Simpulan penelitian didapatkan bahwa ada hubungan pemberian kolostrum dengan ikterus fisiologis neonatus.Kolostrum yang diberikan pada neonatus dapat mencegah terjadinya ikterus fisiologis neonatus.

Kata Kunci: Kolostrum, Frekuensi, Durasi, Ikterus Fisiologis Neonatus

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[17]


BIMABI

>>> Artikel original

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

PENDAHULUAN

ABSTRACT Jaundice is caused by the accumulation of the yellow-orange pigment bilirubin on the skin and sclerae. Neonatal jaundice is one of the most common clinical phenomena that encountered in newborns. It is most common on first week after birth(60% term and 80% preterm). This condition is phisiologic on newborn. Otherwise, it can produce pathologic process. Newborn who receive initiation of breastfeeding, adequate of feeding and early meconeum release can prevent phisiologic neonatal jaundice. The objective of this study is to find the relation between colostrum, frequency, and duration of breastfeeding on physiologic neonatal jaundice at child polyclinic and neonatal room of RSUD dr. Soetomo Surabaya. This study used analitical methods with cross sectional. The data were collected at child polyclinic and neonatal room of RSUD dr. Soetomo Surabaya from June 6thto 20th 2012. Respondent of this study are neonatus who meet the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling is used to get 40 samples of this study. Independent variabels of this study were colostrum, frequency, and duration of breastfeeding. The dependent variabel were physiologic neonatal jaundice. The data were collected by interview and observation then being analysed with chi square (ᾪ2). The result showed among three independet variabels, it was only colostrum had relation and moderate correlation between physiologic neonatal jaundice (p=0,000; C=0,594). Breastfeeding frequent (p=0,129) and duration of feeding (p=0,524) showed that p higher than ι. Conclusion of this study showed that colostrum have a relation with physiologic neonatal jaundice. Colostrum can prevent physiologic neonatal jaundice. Key

Word:

Colostrum,

Frequency,

Duration,

Physiologic

Neonatal

Jaundice

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original

[18]

Target Millenium Development Goals (MDG), AKB merupakan salah satu target pembangunan yang harus diselesaikan. Data hasil Suvei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) jumlah AKB pada tahun 2007 sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita (AK Balita) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup1. Angka kematian neonatal menunjukkan penurunan yang lambat. Target yang harus dicapai pada tahun 2015 adalah 23 per 1000 kelahiran hidup untuk AKB dan 32 per 1000 kelahiran hidup untuk AK Balita2. Di ruang neonatologi RSUD Dr. Soetomo pada tahun 2011 tercatat sebanyak 52 bayi meninggal dunia (Data primer, 2012). Hasil Riskesdas 2007, penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di Indonesia adalah gangguan pernapasan 36,9%, prematuritas 32,4%, sepsis 12%, hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6% dan lain-lain. Upaya penurunan AKB dan AK Balita perlu memberikan perhatian yang besar pada upaya penyelematan bayi baru lahir dan penanganan penyakit infeksi (diare dan pneumonia)2. Berbagai penyebab tingginya AKB di Indonesia, 6,6% diantaranya adalah akibat dari ikterus2. Data yang didapatkan dari ruang neonatologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya, didapatkan 10 besar penyakit pada bayi pada tahun 2011, pasien tertinggi adalah dengan diagnosa hiperbilirubin yang ditandai dengan ikterus sebanyak 27,4% dari jumlah total pasien pada tahun 2011. Hiperbilirubin sebanyak 27,4%, infeksi bakterial 17,3%, congenital anomali 19,1%, neonatus prematur 16,2%, sepsis 9,7%, diare akut 4,5%, asfiksi 2,8%, pneumonia 2,6%, RDS 1,4%, dan cholecthasis 0,9%. Di poli anak RSUD Dr. Soetomo, tahun 2010 pen-

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

yakit yang sering dijumpai pada bayi antara lain ikterus sebanyak 40,6%, moniliasis 21,9%, rhenitis 17%, ISPA 50 bayi 12,8%, dan faringitis 7,7%. Pada tahun 2011 menjadi: moniliasis 39,7%, ikterus 30,6%, rhenitis 13,9%, faringitis 9,1%, dan ISPA 6,7% (Data Primer, 2012). Ikterus merupakan pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan oleh penumpukan bilirubin. Umumnya mulai tampak pada sklera (bagian putih mata) dan muka, selanjutnya meluas secara sefalokaudal (dari atas ke bawah) ke arah dada, perut dan ekstremitas. Pada bayi baru lahir, ikterus seringkali tidak dapat dilihat pada sklera karena bayi baru lahir umumnya sulit membuka mata. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan. Hal ini adalah keadaan yang fisiologis. Sebagian bayi akan mengalami ikterus yang berat sehingga memerlukan pemeriksaan dan tata laksana yang benar untuk mencegah kesakitan dan kematian3. Ikterus yang ditemukan pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologis (terdapat 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan) atau dapat merupakan hal yang patologis misalnya pada inkompatibilitas rhesus dan ABO, sepsis, galaktosemia, penyumbatan saluran empedu dan sebagainya. Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak memiliki dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya menca-

[19]


BIMABI

>>> Artikel original

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia pai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia4. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukoronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah5. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi. Bayi yang diberi minum lebih awal, lebih sering dan pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis5. Bayi yang tidak cukup mendapatkan kolostrum pada awal kelahiran memungkinkan keterlambatan pengeluaran mekoneum. Bilirubin pada mekoneum yang tidak dapat di reabsorbsi pada aliran darah dapat menyebabkan penumpukan kadar bilirubin6. Pemberian minum segera dan frekuensi menetek dapat mencegah ikterus fisiologis. Bayi tidak menyusui dengan sering dan baik dapat meningkatkan kadar bilirubin hingga 15 mg/dl (255 µmol/L). Sebuah penelitian ditemukan, pemberian ASI minimum 9 kali dalam 24 jam dapat mencegah ikterus fisiologis secara bermakna. Bayi yang diberikan ASI antara 9-11 kali per hari sejak lahir dan meningkat 86% pada hari kedua lebih efektif dikonsumsi dibanding dengan pemberian ASI ≤ 6 kali per hari. Bayi dengan frekuensi menyusui minimal 8 kali sehari memiliki kadar bilirubin 3 kali lebih rendah dari bayi dengan frekuensi minum kurang dari 8 kali per hari. Menyusui setiap dua jam sekali juga ditemukan

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original

kadar bilirubin yang rendah6. Selain itu proses menyusui juga dapat membantu proses bounding attachment antara ibu dan bayi baru lahir. Permasalahan tersebut mendasari tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan pemberian kolostrum, frekuensi, dan durasi menyusui ASI dengan kejadian ikterus fisiologis pada neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya. TINJAUAN PUSTAKA Ikterus Neonatorum Ikterus adalah perubahan warna menjadi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera yang disebabkan oleh peningkatan kadar bilirubin dalam darah7. Ikterus neonatorum merupakan keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/Dl5. Pada bayi cukup bulan, kadar puncak bilirubin terjadi pada usia hari ketiga. Ikterus dapat diakibatkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan, imaturitas sistem konjugasi di hati, atau kelainan biliaris pada ekskresi bilirubin terkonjugasi. Semua faktor ini berperan pada berbagai derajat ikterus pada neonatus yang bervariasi8. Pada bayi aterm, ikterus tampak jika konsentrasi bilirubin serum mencapai 85-120 µmol/L (5-7 mg/dl) dengan progresi sefalo-kaudal saat kadarnya meningkat9. Gejala ikterus pada anak-anak maupun orang dewasa dapat menunjukkan keadaan patologis, tidak demikian dengan pada bayi baru lahir10.

[20]

IKTERUS FISIOLOGIS NEONATUS Pada lingkungan normal, kadar bilirubin dalam serum talipusat yang bereaksi-indirek adalah 1-3 mg/dl dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian, ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dl dan menurun sampai dibawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-711. Ikterus fisiologis umumnya terjadi pada bayi baru lahir, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dl5. Ikterus fisiologis tidak pernah tampak sebelum 24 jam pertama kehidupan, biasanya menghilang pada usia satu minggu dan kadar bilirubin tidak pernah melebihi 200-215 µmol/L (12-13 mg/dl)9. Faktor risiko untuk mengalami hiperbilirubin indirek meliputi: diabetes pada ibu, ras (Cina, Jepang, Korea, dan Amerika Asli), prematuritas, obatobatan (vitamin K3, novobiosin), tempat yang tinggi, polisitemia, jenis kelamin laki-laki, trisomi-21, memar kulit, sefalhematom, induksi oksitosin, pemberian ASI, kehilangan berat badan (dehidrasi atau kehabisan kalori), pembentukan tinja lambat, dan ada saudara yang mengalami ikterus fisiologis11. Sebesar 50-60% terjadi pada bayi kurang bulan dan 80% terjadi pada bayi cukup bulan. Kebanyakan bayi fenomena ini rigan dan dapat membaik tanpa pengobatan. Ikterus fisiologis tidak disebabkan oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan dengan maturitas fisiologis bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam sirkulasi pada bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan clearance bilirubin.

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

Peningkatan ketersediaan bilirubin merupakan hasil dari produksi bilirubin dan early bilirubin yang lebih besar serta penurunan usia sel darah merah. Resirkulasi aktif bilirubin di enterohepatik, yang meningkatkan kadar serum bilirubin tidak terkonjugasi, disebabkan oleh penurunan bakteri flora normal, aktifitas β-glukoronidase yang tinggi dan penurunan motilitas usus halus5. Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat ditegakkan hanya dengan mengesampingkan sebab-sebab ikterus yang diketahui berdasarkan riwayat dan tanda-tanda klinis serta laboratorium. Pada umumnya, penelitian untuk menentukan penyebab ikterus harus dibuat jika (1) ikterus muncul pada usia 24 jam pertama; (2) bilirubin serum naik dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam; (3) bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi cukup bulan (terutama bila tidak ada faktor risiko) atau 10-14 mg/dl/24 jam pada bayi preterm; (4) ikterus menetap sesudah usia 2 minggu; atau (5) bilirubin yang bereaksi direk lebih besar dari 1 mg/dl pada setiap saat11. Ikterus pada bayi baru lahir merupakan tantangan bagi bidan karena penting untuk membedakan antara bayi sehat dengan respons fisiologis normal yang tidak memerlukan penanganan aktif dan yang memerlukan pemeriksaan bilirubin serum. Salah satu cara menggunakan praktik berdasarkan bukti untuk menangani hiperbilirubin adalah membantu wanita menyusui bayinya dengan efektif sejak lahir9. Pengaruh Pemberian Kolostrum, Frekuensi, dan Durasi Menyusui ASI terhadap Ikterus pada Neonatus Etiologi ikterus neonatus berhubungan dengan proses menyusui pada tiga tanda klinis antara lain: pemberian ASI ekskulif pada bayi baru lahir pada minggu awal kelahiran, bayi baru

[21]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia lahir dengan frekuensi menyusui yang inadekuat dan tingginya konsentrasi bilirubin indirek pada minggu pertama kelahiran (“breastfeeding jaundice”), dan bayi menyusui yang mengalami prolong hiperbilirubin (breastmilk jaundice). Breastfeeding jaundice berhubungan dengan besarnya penurunan berat badan pada hari ketiga setelah kelahiran dan keterlambatan pemberian ASI maupun frekuensi menyusui yang tidak adekuat. Breastmilk jaundice berhubungan dengan kandungan pada ASI, yaitu UDP-glukoronidase inhibitor, beta-glukoronidase, yang dapat menyebabkan penumpukan bilirubin dan menyebabkan hiperbilirubin. Pemberian pengetahuan pada ibu tentang menyusui dan memperhatikan kebutuhan menyusui bayi dapat membantu mencegah ikterus neonatus12. Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan ikterus pada bayi yang mendapat ASI. Akibat asupan cairan karena kelaparan, frekuensi menyusui, kehilangan berat badan/dehidrasi. Hambatan ekskresi bilirubin hepatik akibat pengaruh pregnandiol, lipase-free fatty acids, unidentified inhibitor. Internal reabsorbption of bilirubin akibat pasase mekonium terlambat, pembentukan urobilinoid bakteri, beta glukoronidase, hidrolisis alkaline, asam empedu5. Pemberian ASI segera dan frekuensi menyusui yang baik dapat mencegah terjadinya ikterus fisiologis pada neonatus. Jika bayi tidak menyusui sering dan baik, bilirubin level dapat meningkat hingga 15 mg/dl (255 µmol/L). Sebuah penelitian disebutkan pada setiap 24 jam pertama telah diberikan ASI dan frekuensi menyusui yang baik pada hari pertama dapat mencegah terjadinya ikterus neonatus secara bermakna. Bayi yang mendapatkan minum 7-11 kali perhari sejak lahir

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

ditemukan terjadi peningkatan konsumsi ASI (86% lebih banyak pada hari kedua) dibanding bayi yang diberi minum ≤ 6 kali perhari. Bayi yang tidak mendapatkan kolostrum yang cukup segera setelah kelahirannya dapat menyebabkan mekonium terlambat keluar (bilirubin akan menumpuk dalam tubuh). Bilirubin pada mekonium dapat di reabsorbsi pada peredarah darah bayi, dan mengakibatkan peningkatan akumulasi kadar bilirubin. Dari keseluruhan penelitian ditemukan bagaimana managemen pemberian kolostrum yang terdapat pada ASI dapat mempengaruhi kadar bilirubin hingga minggu pertama kehidupan bayi. Pada minggu awal kelahiran, bayi terkena ikterus akibat pengaruh breastfeeding sehingga perlu peningkatan frekuensi minum pada bayi. Pada ikterus yang memanjang, dapatdipengaruhi oleh breastmilk. Gaurley dan Arend menyebutkan adanya β-glukoronidase pada ASI dapat meningkatkan sirkulasi enterohepatik pada bayi, namun penelitian selanjutnya gagal membuktikan hipotesis tersebut. Peningkatan absorbsi bilirubin, dibanding tingginya produksi bilirubin, menjelaskan hubungan peningkatan breastmilkjaundice13. Frekuensi menyusui dapat membantu bayi mengeluarkan bilirubin dengan menstimulasi bowel movement sehingga bilirubin pada mekoneum tidak dapat direabsorbsi pada usus dan peredaran darah. Frekuensi menyusui segera pada awal kelahiran juga dapat menstimulasi pengeluaran ASI sehingga ASI matur dapat keluar lebih cepat, memenuhi kebutuhan cairan dan kalori.

[22]

Pada penelitian ditemukan bahwa pada bayi dengan frekuensi menyusui lebih banyak, kadar bilirubinnya lebih rendah dibanding bayi yang frekuensi menyusuinya kurang. Ditemukan pula pada bayi dengan frekuensi menyusui minimal 8 kali sehari memiliki kadar bilirubin 3 kali lebih rendah dari bayi dengan frekuensi minum kurang dari 8 kali per hari. Menyusui setiap dua jam sekali juga ditemukan kadar bilirubin yang rendah6. Hasil penelitian di RSB Adiguna Surabaya pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 30 bayi cukup bulan ada 7 bayi cukup bulan yang mengalami ikterus neonatorum seluruhnya adalah bayi dengan frekuensi pemberian ASI antara 8-12 kali perhari, sedangkan dari 23 bayi cukup bulan yang tidak mengalami ikterus neonatorum hampir seluruhnya adalah bayi dengan frekuensi pemberian ASI antara 8-12 kali perhari 22 bayi (95,65%). Terdapat hubungan frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus neonatorum14. Meningkatkan frekuensi BAB bayi juga dapat membantu menurunkan kadar bilirubin darah. Dalam sehari minimal bayi BAB sebanyak 2x hingga 3 hari kehidupannya. Ekskresi bilirubin terdapat pada mekonium bayi. Lebih banyak frekuensi pengeluaran mekonium, maka semakin cepat pula penurunan kadar bilirubin dalam tubuh. Jika pengeluaran mekonium pada bayi kurang dari 2 kali perhari hingga 3 hari dari kelahirannya, maka perlu dilakukan stimulasi untuk menyusui lebih sering dan lebih aktif untuk membantu mengurangi eliminasi bilirubin lebih cepat. Menerima cukup asupan lemak ASI yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bilirubin lewat mekoneum dengan cepat. Lemak yang terkandung

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

pada kolostrum ASI dibutuhkan pada bayi untuk menstimulasi bowel movements, mengeliminasi bilirubin lebih cepat dari usus bayi. Jika bayi sudah tidak menghisap dan menelan, hentikan pemberian ASI. Berikan stimulasi untuk menyusui sesuai kebutuhan dengan waktu menyusui antara 10-20 menit6. HIPOTESIS • Ada hubungan pemberian kolostrum dengan ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya. • Ada hubungan frekuensi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya. • Ada hubungan durasi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya. METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien neonatus di poli anak dan ruang neonatus RSUD dr. Soetomo Surabaya pada minggu ke-III dan ke-IV bulan Juni 2012. Sampel yang diambil adalah yang memenuhi kriteria inklusi hadir pada saat pengambilan data, bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent, bayi cukup bulan dengan segala persalinan, bayi usia 2-7 hari Serta kriteria eksklusinya adalah BBLR dan ikterus patologis. Besar sampel sebanyak 40 neonatus dengan teknik sampling adalah non

[23]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia probability sampling yaitu consecutive sampling. Variabel penelitian diantaranya: (1) Variabel bebas; Pemberian Kolostrum, frekuensi, dan distribusi menyusui pada neonatus. (2) Variabel terikat (Dependent) ikterus fisiologis neonatus. Sumber data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer dengan wawancara dan pengamatan. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kuantitatif dengan menggunakan analisis univariat dengan uji chi square (x2) yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif k sampel independen bila datanya berbentuk numerik dan nominal. Analisis ini menggunakan SPSS versi 17.0. H0 ditolak bila nilai signifikansi (p) ≤ α (0,05), yang berarti ada hubungan antara pemberian kolostrum, frekuensi, dan durasi menyusui dengan kejadian ikterus fisiologis pada neonatus. Untuk memperkuat bila ada hubungan antarvariabel menggunakan uji koefisien kontigensi. HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa dari data

umum yang dimiliki memiliki hasil p>α maka Ho diterima, artinya tidak ada yang memiliki hubungan signifikan dengan ikterus fisiologis neonatus. Tabel 2 data umum memiliki hasil p>α maka Ho diterima artinya tidak ada yang memiliki hubungan signifikan dengan pemberian kolostrum. Dari tabel 3 terlihat bahwa dari 17 bayi cukup bulan seluruhnya yang tidak mengalami ikterus adalah bayi yang diberikan kolostrum, sedangkan 23 bayi yang mengalami ikterus fisiologis neonatus enam diantaranya (26,09%) diberikan kolostrum dan 17 bayi (73,91%) tidak diberikan kolostrum. Hasil uji analisa bivariat adalah p = 0,000 <alfa =0,05 maka Ho

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

ditolak, yang berarti ada hubungan positif antara pemberian kolostrum dengan ikterus fisiologis neonatus. Pemberian kolostrum dapat mengurangi risiko terjadinya ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo 2012. Hal ini diperkuat dengan hasil coefficient contingency antara variabel pemberian kolostrum dengan ikterus fisiologis neonatus sebesar C=0,594, tingkat hubungannya adalah sedang. Dari 38 bayi yang diberikan ASI, sebagian besar mengalami ikterus sebanyak 21 bayi (55,3%). Sebagian besar bayi dengan frekuensi menyusui ASI <8 kali/hari. Bayi yang ikterus sebagian besar memiliki frekuensi menyusui <8kali/hari dan sebagian kecil dengan frekuensi menyusui 8-12 kali/hari. Dari 17 bayi yang tidak ikterus, hampir setengahnya memiliki frekuensi menyusui 8-12 kali/hari dan sebagian besar dengan frekuensi <8 kali/hari. Didapatkan hasil p value (significancy level) > α (0,129 > 0,005) berarti hipotesis penelitian (Ho) diterima yaitu tidak ada hubungan frekuensi menyusui ASI dengan kejadian ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo 2012. Bayi dengan ikterus fisiologis neonatus sebagian besar (61%) memiliki durasi menyusui <20 menit. Bayi dengan durasi menyusui cukup (20-60 menit) hampir setengahnya (39%) mengalami ikterus. Sedangkan bayi yang tidak mengalami ikterus fisiologis neonatus sebanyak 17 bayi dengan sebagian besar durasi menyusui <20 menit (71%) dan hampir setengahnya dengan durasi menyusui antara 20-60 menit (29%). Hasil uji analisa bivariat antara variabel pemberian kolostrum dan kejadian ikterus fisiologis neonatus adalah p = 0,524 > alfa =0,05 maka Ho diterima yang be

[24]

rarti tidak ada hubungan durasi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo 2012.

Tabel 2. Tabulasi silang analisis data umum terhadap pemberian kolostrum di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya tanggal 6-20 Juni 2012.

Tabel 1. Tabulasi silang analisis data umum terhadap ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya tanggal 6-20 Juni 2012.

Uji Chi Square, ** Uji Fisher Exact, *** Uji Phi Sumber: Data Primer, 2012 Tabel 3. Tabulasi silang analisis data khusus terhadap ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya tanggal 6-20 Juni 2012.

* Uji Chi Square, ** Uji Fisher Exact, *** Uji Phi Sumber: Data Primer, 2012

* Uji Chi Square, ** Uji Fisher Exact, *** Uji Phi Sumber: Data Primer, 2012

* Uji Chi Square, ** Uji Fisher Exact, *** Uji Phi Sumber: Data Primer, 2012

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[25]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia PEMBAHASAN Hubungan Pemberian Kolostrum dengan Ikterus Fisiologis Neonatus Berdasarkan hasil uji silang pada pada tabel 3 didapatkan seluruhnya yang tidak mengalami ikterus adalah bayi yang diberikan kolostrum, sedangkan yang mengalami ikterus fisiologis neonatus sebagian besar tidak diberikan kolostrum dan hampir setengahnya diberikan kolostrum. Terdapat hubungan pemberian kolostrum dengan ikterus fisiologis neonatus. Menurut para ahli, bayi yang tidak mendapatkan kolostrum yang cukup segera setelah kelahirannya dapat menyebabkan mekonium terlambat keluar (bilirubin akan menumpuk dalam tubuh). Bilirubin pada mekonium dapat di reabsorbsi pada peredarah darah bayi dan mengakibatkan peningkatan akumulasi kadar bilirubin. Dari keseluruhan penelitian ditemukan bagaimana manajemen pemberian kolostrum yang terdapat pada ASI dapat mempengaruhi kadar bilirubin hingga minggu pertama kehidupan bayi. Penelitian yang pernah dilakukan terdahulu tidak secara langsung meneliti pengaruh kolostrum terhadap kejadian ikterus fisiologis neonatus dan jumlahnya juga terbatas. Sebuah penelitian disebutkan pada setiap 24 jam pertama telah diberikan ASI dan frekuensi menyusui yang baik pada hari pertama dapat mencegah terjadinya ikterus neonatus secara bermakna13. Menerima cukup asupan lemak ASI yang dibutuhkan untuk mengeluarkan bilirubin lewat mekoneum dengan cepat terutama melalui kolostrum. Perawatan akan aktif saat ibu mengajak bayinya menyusui payudara secara bergan-

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

tian selama menyusui. Lemak yang terkandung pada kolostrum ASI dibutuhkan pada bayi untuk menstimulasi bowel movements, mengeliminasi bilirubin lebih cepat dari usus bayi. Meningkatkan frekuensi BAB bayi juga dapat membantu menurunkan kadar bilirubin darah. Dalam sehari minimal bayi BAB sebanyak 2x hingga 3 hari kehidupannya. Ekskresi bilirubin terdapat pada mekonium bayi. Lebih banyak frekuensi pengeluaran mekonium, maka semakin cepat pula penurunan kadar bilirubin dalam tubuh. Jika pengeluaran mekonium pada bayi kurang dari 2x/hari hingga 3 hari dari kelahirannya, maka perlu dilakukan stimulasi untuk menyusui lebih sering dan lebih aktif untuk membantu mengurangi eliminasi bilirubin lebih cepat6. Pemberian ASI dapat mengikat bilirubin indirek pada usus dan dikeluarkan melalui anus menjadi mekoneum. Seringnya pemberian ASI dapat meningkatkan jumlah mekonium sehingga bilirubin tidak menumpuk pada tubuh. Kandungan kolostrum pada ASI dapat efektif mengeluarkan mekoneum yang lengket pada usus bayi sehingga tidak terjadi penumpukan bilirubin3. Bilirubin hanya dapat larut dalam lemak, dalam ASI terdapat kandungan lemak yang dapat membantu mempercepat melarutkan bilirubin sehingga meminimalisir terjadi penumpukan kadar bilirubin pada tubuh4. Pemberian kolostrum pada neonatus dapat menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan merangsang aktifitas usus halus hingga pada akhirnya dapat mencegah terjadinya ikterus. Pada penelitian yang dilakukan di RSUD dr. Soetomo ini terlihat sebagian besar bayi telah di-

[26]

berikan kolostrum sesuai dengan anjuran yang diberikan Rumah Sakit akan tetapi masih ada hampir setengah dari sampel yang diteliti tidak diberikan kolostrum. Hal ini dipengaruhi oleh tempat perawatan bayi, riwayat persalinan, umur, pekerjaan, maupun pendidikan ibu. Tempat perawatan bayi yang tidak rawat gabung dapat mempersulit pemberian kolostrum pada bayi. Riwayat persalinan ibu juga demikian, ibu dengan riwayat persalinan SC biasanya dapat menemui bayinya pada hari ke-3 post partum. Usia dapat mempengaruhi kualitas pengeluaran kolostrum. Ibu yang tidak mengetahui manfaat kolostrum dapat menyebabkan perilaku ibu untuk tidak memberikan kolostrum pada bayinya. Ibu yang bekerja dapat pula mempersulit pemberian kolostrum pada bayinya. Dari seluruh data umum yang diteliti (tabel 1) tidak didapatkan hubungan dengan pemberian kolostrum. Ini berarti masih ada faktor lain yang tidak diteliti yang berpengaruh terhadap pemberian kolostrum. Sesuai dengan teori yang ada bahwa pemberian kolostrum memberikan pengaruh terhadap kejadian ikterus fisiologis neonatus, demikian dengan hasil penelitian (tabel 3) seluruh bayi yang tidak ikterus merupakan bayi dengan pemberian kolostrum. Pemberian kolostrum dapat menurunkan risiko terjadinya ikterus fisiologis pada neonatus dengan kekuatan hubungan antara keduanya sedang. Namun tidak seluruhnya bayi yang mengalami ikterus merupakan bayi yang tidak diberikan kolostrum, hampir setengah dari bayi yang tidak ikterus diberikan kolostrum. Hal ini terjadi karena dapat disebabkan oleh penyebab ikterus yang bersifat multifaktoral yang artinya tidak hanya satu penyebab saja yang dapat mempengaruhi ikterus

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

namun dapat juga akibat penyebab lainnya. Pada tabel 1 tidak terlihat adanya data umum (umur, jenis kelamin, berat badan bayi, riwayat persalinan, umur, paritas, pendidikan, maupun pekerjaan ibu) yang dapat mempengaruhi kejadian ikterus yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Diluar dari data umum yang diteliti, masih terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian ikterus seperti golongan darah, riwayat pemakaian obat-obatan, defisiensi enzim G6PD, infeksi, kelainan kongenital, imaturitas hepar, dan penyebab lainnya. Hubungan Frekuensi Pemberian ASI dengan Ikterus Fisiologis Neonatus Dari tabel 3 terlihat bahwa Dari 38 bayi yang diberikan ASI, sebagian besar mengalami ikterus dan memiliki frekuensi menyusui ASI <8 kali/ hari. Bayi yang ikterus sebagian besar memiliki frekuensi menyusui <8kali/hari dan sebagian kecil dengan frekuensi menyusui 8-12 kali/hari. Dari bayi yang tidak ikterus, hampir setengahnya memiliki frekuensi menyusui 8-12 kali/ hari dan sebagian besar dengan frekuensi <8 kali/hari. Didapatkan tidak ada hubungan signifikan antara frekuensi pemberian ASI dengan ikterus fisiologis neonatus dan diperkuat dengan tingkat hubungan yang tergolong rendah. Berdasarkan teori yang ada, frekuensi menyusui yang baik dapat mencegah terjadinya ikterus fisiologis pada neonatus. Jika bayi tidak menyusui sering dan baik, bilirubin level dapat meningkat hingga 15 mg/dl (255 Âľmol/L). Sebuah penelitian disebutkan pada setiap 24 jam

[27]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

pertama telah diberikan ASI dan frekuensi menyusui yang baik pada hari pertama dapat mencegah terjadinya ikterus neonatus secara bermakna. Bayi yang mendapatkan minum 7-11 kali perhari sejak lahir ditemukan terjadi peningkatan konsumsi ASI (86% lebih banyak pada hari kedua) dibanding bayi yang diberi minum ≤ 6 kali perhari13. Ditemukan pula bahwa pada bayi dengan frekuensi menyusui lebih banyak, kadar bilirubinnya lebih rendah dibanding bayi yang frekuensi menyusuinya kurang. Frekuensi menyusui minimal 8 kali sehari memiliki kadar bilirubin 3 kali lebih rendah dari bayi dengan frekuensi minum kurang dari 8 kali per hari. Menyusui setiap dua jam sekali juga ditemukan kadar bilirubin yang rendah6. Hasil penelitian di RSB Adiguna Surabaya pada tahun 2011 menunjukkan bahwa dari 30 bayi cukup bulan ada 7 bayi cukup bulan yang mengalami ikterus neonatorum seluruhnya adalah bayi dengan frekuensi pemberian ASI antara 8-12 kali perhari, sedangkan dari 23 bayi cukup bulan yang tidak mengalami ikterus neonatorum hampir seluruhnya adalah bayi dengan frekuensi pemberian ASI antara 8-12 kali perhari 22 bayi (95,65%). Terdapat hubungan frekuensi pemberian ASI dengan kejadian ikterus neonatorum14. Di Italia, bayi yang diberikan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan diberikan ASI setelah di ruangan, dengan frekuensi menyusui sesuai kebutuhan 10-12 kali per hari, tidak diberikan suplemen tambahan (air atau dekstrose), memperlihatkan penurunan berat badan 4,2% dari berat badan lahir. Hal yang sama juga terjadi pada bayi yang diberikan susu formula. Bilirubin indirek > 12,9 mg/

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

dl (220,6 mmol/L) pada 4,6% bayi yang diberikan ASI dan 3,5% bayi yang diberikan susu formula. De Carvalho dan asosiasinya menyatakan teori bahwa bayi dengan frekuensi menyusui >8 kali perhari sebelum berusia 3 hari memiliki kadar bilirubin lebih rendah (6,5 mg/dl dan 9,3 mg/dl) dibandingkan dengan frekuensi menyusui <8 kali perhari. Insisiasi menyusui pada jam pertama kelahiran, diikuti dengan 10-12 kali menyusui perhari, tanpa suplemen tambahan seperti air maupun cairan lain, dengan teknik yang dapat efektif menstransfer nutrisi pada ASI ke bayi dapat meminimalkan konsentrasi bilirubin pada bayi12. Schneider melakukan uji metaanalisis pada 25 bayi dan memperlihatkan 13% bayi yang mendapat ASI memiliki Total Serum Bilirubin (TSB) sebesar 12 mg/dl lebih tinggi 4% dibanding bayi yang mendapat PASI. Sepertiga dari bayi yang menyusui terdeteksi ikterus pada minggu ketiga kehidupan, pada beberapa bayi hingga 2-3 bulan kehidupan. Peneliti menyebutkan bahwa peningkatan frekuensi ini tidak berhubungan dengan jenis dari ASI akan tetapi dari proses menyusuinya. Penurunan frekuensi menyusui dapat menyebabkan ikterus fisiologis. Sarankan pada ibu untuk memberikan ASI kepada bayinya 10-12 kali per hari untuk mengurangi keluhan ikterus15. Frekuensi menyusui dapat membantu bayi dengan ikterus untuk mengeliminasi bilirubin dalam tubuh. Ketika bayi memberikan tanda ikterus pada tubuhnya, hal ini dapat diminimalkan dengan menyusui bayi sesering mungkin (setiap 2 jam), berikan stimulasi pada bayi jika bayi mengantuk atau letargis. Frekuensi menyusui dapat membantu bayi

[28]

mengeluarkan bilirubin dengan menstimulasi bowel movement sehingga bilirubin pada mekoneum tidak dapat direabsorbsi pada usus dan peredaran darah. Frekuensi menyusui segera pada awal kelahiran juga dapat menstimulasi pengeluaran ASI sehingga ASI matur dapat keluar lebih cepat, memenuhi kebutuhan cairan dan kalori6. Hasil yang berbeda dengan teori didapatkan pada penelitian ini, sebagian besar bayi yang tidak diberikan ASI secara eksklusif bahkan masih ada bayi yang tidak diberikan ASI. Sebagian besar bayi juga belum mendapatkan asupan ASI secara efektif sesuai dengan teori yang ada. Hal ini dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari bayi, ibu, maupun lingkungan Rumah Sakit. Didapatkan juga tidak adanya pengaruh frekuensi menyusui ASI dengan ikterus fisiologis neonatus. Penyebab dari ikterus neonatus bersifat multifaktoral yaitu faktor yang satu terikat dengan faktor yang lain dan banyak faktor risiko lain yang dapat menyebabkan ikterus fisiologis neonatus dapat mempengaruhi ketidak sesuaian fakta dengan teori yang ada. Pada tabel 1 tidak terlihat adanya data umum (umur, jenis kelamin, berat badan bayi, riwayat persalinan, umur, paritas, pendidikan, maupun pekerjaan ibu) yang dapat mempengaruhi kejadian ikterus yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Diluar dari data umum yang diteliti, masih terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian ikterus seperti golongan darah, riwayat pemakaian obat-obatan, defisiensi enzim G6PD, infeksi, kelainan kongenital, imaturitas hepar, dan penyebab lainnya. Selain itu metode yang digunakan adalah wawan-

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

cara pada ibu responden sehingga dapat memberikan ketidak tepatan pada hasil penelitian.Tempat penelitian yang dipilih pada ruang neonatus dimana ibu dan bayi tidak dilakukan rawat gabung juga dapat berpengaruh. Hal tersebut yang dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak terdapat kesamaan dengan teori yaitu tidak ada hubungan antara frekuensi menyusui ASI dengan ikterus fisiologis neonatus. Hubungan Durasi Menyusui dengan Ikterus Fisiologis Neonatus Berdasarkan tabel 3, bayi dengan ikterus fisiologis neonatus sebagian besar memiliki durasi menyusui <20 menit. Bayi dengan durasi menyusui cukup (20-60 menit) hampir setengahnya mengalami ikterus. Sedangkan bayi yang tidak mengalami ikterus fisiologis neonatus sebagian besar durasi menyusui <20 menit dan hampir setengahnya dengan durasi menyusui antara 20-60 menit. Terlihat tidak ada hubungan durasi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus. Hasil ini diperkuat dengan tingkat hubungan kedua variabel yang tergolong sangat rendah. Beberapa teori yang ada menyebutkan bahwa menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan adalah sama. Jika bayi sudah tidak menghisap dan menelan, hentikan pemberian ASI. Berikan stimulasi untuk menyusui sesuai kebutuhan dengan waktu menyusui antara 10-20 menit6. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan

[29]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia menyusui yang lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan adalah sama5. Kemampuan bayi untuk mendapatkan ASI kaya lemak tidak ditentukan oleh lamanya waktu menghisap payudara, tetapi oleh kualitas penempelan bayi pada payudara. Bayi perlu benar-benar menempel pada payudara sehingga ia dapat menggunakan lidahnya secara maksimal, mengambil ASI dari payudara, tidak sekedar mengandalkan refleks pengeluaran ASI ibunya. Bayi yang tidak dapat menempel dengan baik dapat mengalami kesulitan dalam mendapatkan lemak yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan dapat lebih sering menyusu untuk mendapat cukup kalori dari menyusu dengan kadar lemak rendah. Bayi yang menempel dengan baik, disisi lain, dapat memperoleh semua yang dibutuhkannya dalam waktu singkat16. Hingga saat ini penelitian mengenai durasi menyusui masih belum dilakukan. Penelitian yang ada terkait dengan ASI dan menyusui hanya sebatas meneliti untuk membandingkan jenis nutrisi yang diberikan pada bayi, frekuensi menyusui, dan pengeluaran mekonium terhadap ikterus neonatus. Adanya teori mengenai durasi menyusui dapat memberikan pengaruh terhadap ikterus neonatus dan belum adanya peneliti yang meneliti hal ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara keduanya. Namun hasil yang didapatkan bertentangan dengan teori yang ada. Tidak adanya pengaruh durasi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus dapat disebabkan karena penyebab dari ikterus neonatus bersifat multifaktoral yaitu faktor yang satu terikat dengan faktor yang lain dan banyak faktor risiko lain yang dapat menyebabkan ikterus neonatus. Pada tabel 1 tidak terlihat adanya data umum (umur, jenis kelamin, berat

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

badan bayi, riwayat persalinan, umur, paritas, pendidikan, maupun pekerjaan ibu) yang dapat mempengaruhi kejadian ikterus yang dapat mempengaruhi hasil penelitian. Diluar dari data umum yang diteliti, masih terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi kejadian ikterus seperti golongan darah, riwayat pemakaian obatobatan, defisiensi enzim G6PD, infeksi, kelainan kongenital, imaturitas hepar, dan penyebab lainnya. Selain itu metode yang digunakan adalah wawancara pada ibu responden sehingga dapat memberikan ketidak tepatan pada hasil penelitian.Tempat penelitian yang dipilih pada ruang neonatus dimana ibu dan bayi tidak dilakukan rawat gabung juga dapat berpengaruh. Hal tersebut yang dapat mempengaruhi hasil penelitian sehingga tidak terdapat kesamaan dengan teori yaitu tidak ada hubungan antara durasi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus. KESIMPULAN DAN SARAN Setelah dilakukan penelitian secara analitik cross sectional mengenai hubungan antara pemberian kolostrum, frekuensi, dan durasi menyusui dapat disimpukan bahwa: 1.Sebagian besar responden diberikan kolostrum. 2.Hampir seluruh bayi dengan frekuensi menyusui ASI <8 kali dalam sehari. 3.Sebagian besar memiliki durasi menyusui <20 menit. 4.Sebagian besar terdiagnosisikterus neonatorum. 5. Ada hubungan yang bermakna antara pemberian kolostrum dengan ikterus fisiologis neonatus. Kekuatan korelasinya sedang. Pem[30]

berian kolostrum dapat mengurangi risiko terjadinya ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo 2012. 6. Tidak ada hubungan frekuensi menyusui ASI dengan kejadian ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo Surabaya 2012. 7. Tidak ada hubungan durasi menyusui dengan ikterus fisiologis neonatus di poli anak dan ruang neonatologi RSUD dr. Soetomo 2012. Saran untuk institusi pendidikan hasil penelitian ini dapat dijadikan peningkatan dalam pemahaman ilmu pengetahuan bahwa pemberian kolostrum dapat mencegah terjadinya ikterus neonatus. Untuk institusi pelayanan kesehatan untuk lebih memperhatikan pelayanan kesehatan neonatus dengan memberikan nutrisi terbaik pada bayi yaitu ASI serta mengutamakan pemberian kolostrum pada neonatus, memperhatikan mekanisme pemberiannya dengan memperhatikan frekuensi dan durasi menyusuinya, serta memberikan pelayanan pendidikan kesehatan pada keluarga bayi. Untuk keluarga yang memiliki bayi supaya lebih memperhatikan nutrisi yang diberikan pada bayi yaitu ASI serta mengutamakan pemberian kolostrum, selain itu juga memperhatikan mekanisme pemberiannya meliputi frekuensi dan durasi menyusui untuk mencegah terjadinya ikterus neonatus. Untuk peneliti selanjutnya hendaklah memperhatikan Lokasi penelitian, metode penelitian, dan meminimalisir variabel perancu. Sebaiknya memilih ruangan rawat gabung ibu dengan bayi untuk menghindari faktor perancu. Metode penelitian sebaiknya dengan menggunakan data primer. Lebih baik lagi jika penelitian selanjutnya dapat dengan melakukan pengamatan (perspektif/retropesktif) maupun eksperimen langsung pada sampel

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

untuk mendapatkan hasil yang akurat. Minimalisasi variabel perancu dengan memberikan kontrol. DAFTAR PUSTAKA 1. SDKI, 2007, Indonesia Demografic and Health Survey, diakses dari: http://www.kesehatananak. depkes.go.id/images/stories/data/SDKI%202007.pdf pada 12 Maret 2012. 2. Kemenkes, 2011, Ibu Selamat, Bayi Sehat, Suami Siaga, diakses dari :http://www.depkes.go.id/ index.php/berita/press-release/790-ibu-selamatbayi-sehat-suami-siaga.html pada 12 Maret 2012. 3. IDAI, 2009, Air Susu Ibu dan Ikterus, diakses dari: http://www.idai.or.id/asi/artikel. asp?q=20109693639 pada 12 Maret 2012. 4. Hassan, Rusepno dan Alatas, Husein, 2007, Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. 5. Sukadi, Abdulrahman, 2010, Hiperbilirubinemia, dalam: Kosim, M. Sholeh, dkk, 2010, Buku Ajar Neonatologi, Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 6. Mohrbacher, Nancy dan Stock, BA. Julie, 2000, The Breastfeeding Answer Book Revised Edition, Schaumburg: La Leche League. 7. Callahan M., James, 2005, Ikterus, dalam: Schwartz, M. William, 2005, Pedoman Klinis Pediatri, Jakarta: EGC. 8. Akinbi, Henry, 2005, Ikterus pada Bayi Baru Lahir, dalam: Schwartz, M. William, 2005, Pedoman Klinis Pediatri, Jakarta: EGC. 9. Percival, Patricia, 2009, Ikterus dan Infeksi, dalam: Fraser, M. Diane dan Cooper, A. Margaret, 2009, Myles Buku Ajar Bidan Ed. 14, Jakarta: EGC. 10. Evans, David, 2006, Neonatal Jaundice Clinical Evidence Child Health, BMJ Publishing Group, PP:2.

[31]


BIMABI

>>> Artikel original

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia Hubungan Pengetahuan Ibu Hamil Tentang HIV/AIDS dengan Sikap Terhadap VCT di RSUD IBNU SINA

ABSTRACT Information: The postpartum haemorrhage is the main cause of mother’s mortality around the world. In many The implementation of HIV Voluntary Counseling and Testing (VCT) of pregnant women in Gresik remains considerably low. In 2010, there were only 160 (0,04%) out of 20.108 pregnant women attending pre-test counseling of prevention of HIV infection or Preventing Mother-to-child Transmission (PMTCT) who completed VCT. Meanwhile, in 2011, 0,02% of them completed VCT. In RSUD Ibnu Sina Gresik which constitutes the HIV counseling and testing center only 0,08% of pregnant women completed VCT. Methods : this study was analytical observational with cross sectional approach. The population was pregnant women aged 15 to 49 years, in their I-III trimesters, whose educational backgrounds were at least Junior High School graduates. There were 305 pregnant women attending antenatal clinics or regular medical and nursing care in maternity clinic of RSUD Ibnu Sina Gresik in March 2012. The sample was taken by consecutive sampling technique, and its number was 100 pregnant women. The variable independent was pregnant women’s knowledge of HIV/ AIDS, and the dependent variable was the pregnant women’ attitude for VCT. The instruments used were in the forms of questionnaire and interview. The data were analyzed by using the Chi square test and contingency coefficient. Results : most of the pregnant women, 38% of the 100 pregnant women, had enough knowledge of HIV/ AIDS, and 56% of them had negative attitude for VCT. The Chi square test result showed there was a relation between pregnant women’s knowledge of HIV/ AIDS with their attitude for VCT. The contingency coefficient indicated that there was a significant correlation. Conclusions : knowledge of HIV/AIDS constitutes one of the important factors that can influence someone’s attitude for VCT, because women would realize the potential risks of HIV infection and the advantage of the test as well. The commitment of health workers is highly needed in order to improve the pregnant women’s interest of completing the antenatal HIV test, so that HIV infected women could be identified during their antenatal care and the transmission to children can be prevented; this can reduce HIV infection on children.

Chasanah, Relly Yanuari Primariawan, Budiono Program Studi Pendidikan Bidan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya - iNdonesia email: ana_himastronnasa@yahoo.com

ABSTRAK Pelaksanaan konseling dan tes HIV sukarela (VCT) pada ibu hamil di Gresik masih sangat rendah. Tahun 2010, 20.108 ibu hamil yang diberi konseling pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi (PMTCT) hanya 160 ibu hamil (0,04%) yang melakukan VCT. Sedangkan tahun 2011 hanya 0,02% yang melakukan VCT. Di RSUD Ibnu Sina Gresik yang merupakan pusat rujukan pasien HIV sekitar 0,08% dari ibu hamil yang melakukan VCT. Metode : penelitian ini adalah analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah ibu hamil umur 15-49 tahun, trimester I-III, dan latar belakang pendidikan minimal SMP yang memeriksakan diri di poli Hamil RSUD Ibnu Sina Gresik pada bulan Maret 2012 sejumlah 305 ibu hamil. Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling dan besar sampel 100 ibu hamil. Variabel independen pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dan variabel dependen sikap ibu hamil terhadap VCT. Instrumen menggunakan kuesioner dengan wawancara. Analisis data menggunakan uji chi square dan koefisisen kontingensi. Hasil penelitian : sebagian besar ibu hamil memiliki pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS yaitu 38% dan sebagian besar ibu hamil memiliki sikap negatif terhadap VCT yaitu sebesar 56%. Hasil uji square menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap VCT. Hasil koefisien kontingensi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan Kesimpulan : pengetahuan tentang HIV/AIDS merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi sikap seseorang terhadap VCT, karena wanita akan menyadari potensial resiko dari penularan HIV dan manfaat tes. Komitmen petugas kesehatan sangatlah diharapkan agar terjadi peningkatan minat untuk melakukan pemeriksaan HIV antenatal dengan tujuan bahwa wanita yang terinfeksi HIV diidentifikasi selama asuhan antenatal sehingga penularan pada bayi dapat dicegah dan dapat menurunkan angka HIV pada anak.

Keywords: Knowledge of HIV/ AIDS, Attitude for VCT, Pregnancy woman

Kata kunci : Pengetahuan HIV/AIDS, Sikap terhadap VCT, Ibu hamil

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[32]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[33]


BIMABI

>>> Artikel original

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia PENDAHULUAN Perkembangan kasus HIV/AIDS di Indonesia sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Gresik merupakan daerah yang perlu perhatian khusus, karena merupakan daerah epidemi terkonsentrasi HIV/AIDS dengan kantong-kantong epidemi dengan prevalensi lebih dari 5%. Jumlah kasus HIV/AIDS di kabupaten Gresik tahun 2011 terus mengalami peningkatan yang diperkirakan masih banyak kasus yang belum atau tidak dilaporkan.1 Salah satu penyebab terus meningkatnya kasus HIV/AIDS adalah kurangnya pengetahuan pada kelompok usia produktif (15-49 tahun) tentang HIV dan AIDS. Pada tahun 2010 menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa pengetahuan tentang HIV dan AIDS pada kelompok usia itu baru 11,4 persen, padahal targetnya 75%.2 Ibu hamil sebagian besar merupakan usia reproduksi, sehingga dikhawatirkan risiko penularan ibu ke bayi akan semakin besar, salah satu upaya pencegahan penularan adalah dengan program PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) yang memiliki potensi untuk menyelamatkan nyawa, membantu menurunkan HIV pada anak, dan meningkatkan kesehatan perempuan dan anak.3-5 VCT (Voluntary HIV Counseling and Testing) adalah layanan tes, konseling, dukungan, akses untuk terapi suportif, terapi infeksi oportunistik, dan Antiretroviral therapy (ART).6-7 Komite skrining nasional terus merekomendasikan agar semua ibu hamil ditawarkan pemeriksaan HIV diawal kehamilan.8 Salah satu tempat yang terdapat VCT di Kabupaten Gresik adalah RSUD Ibnu Sina Gresik

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

yang menjadi pusat rujukan pasien HIV/AIDS.1 Dinkes Kabupaten Gresik (Bidang Kesga) mengadakan program konseling PMTCT pada setiap ibu hamil dengan target 65% dari K1 dan 20% melakukan VCT dari ibu hamil yang diberi konseling PMTCT. Tetapi masih belum diketahui apakah konseling ini benar-benar diterapkan. Dinkes menggratiskan semua ibu hamil yang melakukan VCT, tetapi kendala yang sering ditemukan adalah kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, kurangnya pemahaman bidan untuk menyarankan ibu hamil melakukan VCT dan pemberian konseling PMTCT. Sampai saat ini, pelaksanaan VCT masih sangat jauh dari harapan. Pada tahun 2011 hanya 0,02% ibu hamil yang melakukan VCT (Dinkes Gresik, 2011). Di RSUD Ibnu Sina Gresik sekitar 0,08% ibu hamil yang melakukan VCT. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap VCT di RSUD IBNU SINA GRESIK. METODE Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasinya adalah ibu hamil umur 15-49 tahun, trimester I-III, dan latar belakang pendidikan minimal SMP yang memeriksakan diri di poli Hamil RSUD Ibnu Sina Gresik pada bulan Maret 2012 sejumlah 305 ibu hamil. Pengambilan sampel dengan teknik consecutive sampling dan besar sampel 100 ibu hamil. Instrumen menggunakan kuesioner dengan wawancara. Analisis data menggunakan uji chi square dan koefisisen kontingensi.

[34]

BIMABI

>>> Artikel original

HASIL

Tabel 1 pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap VCT

Mayoritas responden penelitian adalah ibu hamil umur 20-35 tahun (80%), pendidikan menengah (43%), nullipara (38%), tidak bekerja (52%), status ekonomi sedang (54%). Sebagian besar ibu hamil pernah mendengar tentang HIV/AIDS (92%), sumber informasi yang paling banyak memberikan informasi HIV/AIDS adalah media elektronik (TV dan radio) yaitu sebesar 36,2%, tidak mengetahui keberadaan poli VCT di RSUD Ibnu Sina Gresik yaitu sebesar 85%, sumber informasi yang paling banyak memberikan informasi tentang keberadaan poli VCT di RSUD Ibnu Sina Gresik adalah tenaga kesehatan lain (Perawat dan dokter) sebesar 56,2%, sebagian besar ibu hamil belum melakukan VCT (98%), alasan ibu hamil belum melakukan VCT karena ibu hamil merasa sehat (52%), ibu hamil mengatakan bahwa tenaga kesehatan tidak menyarankan ibu untuk melakukan VCT (92%). Mayoritas ibu hamil memiliki pengetahuan cukup tentang HIV/AIDS yaitu 38% dan sebagian besar ibu hamil memiliki sikap negatif terhadap VCT yaitu sebesar 56%. Hasil uji square menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap VCT. Hasil koefisien kontingensi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan.

Tabel tersebut menunjukkan trend yang semakin baik pengetahuan ibu hamil maka persentase sikap positif terhadap VCT akan semakin besar, begitu juga sebaliknya. VCT telah diidentifikasi sebagai alat yang efektif dalam mengurangi penularan HIV. Hal ini telah terbukti memberikan perubahan perilaku dan dukungan emosional bagi mereka yang tes positif HIV dan layak dan diterima dalam mengurangi penularan virus dalam masa perinatal.9 92% ibu hamil mengatakan bahwa tenaga kesehatan tidak menganjurkan untuk melakukan VCT, inilah salah satu alasan mengapa VCT sangat rendah sampai saat ini padahal VCT digratiskan untuk semua ibu hamil mulai tes sampai pengobatan jika hasilnya positif. Pengenalan konseling dan tes sukarela (VCT) untuk infeksi HIV pada wanita hamil merupakan prioritas kesehatan masyarakat karena kemampuan ART untuk mencegah infeksi HIV pada bayi dan menjaga kesehatan ibu selama kehamilan.10

PEMBAHASAN Pada penelitian ini pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS meliputi pengertian, gejala klinis, penularan, diagnosa, pencegahan, dan pengobatan.

Strategi penanggulangan AIDS Nasional 20032007 menegaskan bahwa pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Beberapa kebijakan pemerintah

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[35]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia tentang pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi adalah menjadikan konseling HIV salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan dan tes HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit rujukan ODHA yang telah ditetapkan pemerintah.6-7 VCT telah menunjukkan pengurangan risiko HIV di beberapa negara dan direkomendasikan secara luas sebagai strategi pemecahan, meskipun bukti efektifitas VCT sebagai intervensi pencegahan risiko tidak konsisten. VCT juga memberikan pencegahan HIV baik primer, sekunder dan tersier. Dengan mengurangi stigma, mendorong dukungan dan kepedulian masyarakat, serta melayani sebagai pintu masuk untuk mengakses layanan sosial dan medis untuk orang yang terkena HIV diharapkan dapat memaksimalkan pencegahan penularan HIV/AIDS.11 Dari hasil penelitian sebelumnya dengan karakteristik responden penelitian yang berbeda yang dilakukan oleh Nuraeni (2011) juga menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dan VCT dengan sikap terhadap konseling dan tes HIV/AIDS secara sukarela di Puskesmas Karangdoro Semarang. Beberapa survey yang telah dilakukan di negara lain juga mendapatkan hasil yang tidak jauh berbeda. Jereni, et al (2008) melakukan survey pada klien VCT di Malawi untuk menilai motivasi dalam melakukan tes HIV, dan menemukan bahwa mendapatkan pengetahuan tentang HIV merupakan motivasi utama untuk mencari pelayanan VCT. Hasil yang sama juga ditemukan oleh

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Sherr, et al (2007). Mengetahui resiko infeksi HIV mempunyai pengaruh besar dalam kesediaan untuk melakukan VCT. Pengetahuan yang sedikit tentang resiko infeksi HIV adalah alasan paling banyak untuk menolak VCT di beberapa tempat.12-15 Pengetahuan tentang penularan ibu ke janin dan mengetahui seseorang yang terkena HIV diduga secara positif berhubungan dengan pemanfaatan tes HIV, karena wanita akan menyadari potensial resiko dari penularan HIV dan manfaat tes.15 Semakin baik pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS maka keinginan untuk melakukan VCT akan semakin besar karena akan mengetahui dari manfaat VCT. Adanya pengetahuan terhadap manfaat VCT akan menyebabkan orang mempunyai sikap positif terhadap VCT. Yang selanjutnya sikap ini karena mempengaruhi niat untuk melakukannya dan ada pemikiran tentang segi positif dan segi negatif dari VCT. Pengetahuan tentang segi positif dan segi negatif akan menentukan sikapnya, sehingga diharapkan konseling PMTCT akan memberikan banyak segi positif tentang VCT. Apakah niat dapat dilanjutkan dengan melakukan VCT sangat tergantung pada beberapa faktor seperti akses untuk menjangkau pelayanan, anjuran tenaga kesehatan yang akan semakin memantapkan niat, dan lain-lain. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pembahasan sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu hamil tentang HIV/AIDS dengan sikap terhadap VCT. Hasil koefisien kontingensi menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan. Tempat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sebaiknya menempatkan poli VCT di tempat yang strategis sehingga mudah dijangkau terutama oleh

[36]

ibu hamil, lebih memaksimalkan sumberdayasumberdaya petugas kesehatan yang telah ada untuk bertanggung jawab pada tugas yang telah diberikan pada layanan VCT, menjadikan VCT menjadi prosedur rutin dalam pemeriksaan HIV/AIDS. Para bidan diharapkan berkomitmen untuk mau dan mampu memberikan konseling PMTCT untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang HIV/AIDS yang merupakan bagian dari pelayanan antenatal, selain itu petugas kesehatan diharapkan untuk lebih memberikan perhatian pada layanan VCT sehingga pelayanan VCT yang diberikan pada klien dapat maksimal serta meningkatkan sumber informasi dan meningkatkan promosi tentang HIV/AIDS dengan menggunakan iklan atau tokoh masyarakat agar menarik masyarakat sehingga masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang HIV/AIDS yang baik sehingga stigma tentang HIV/AIDS dapat diminimalkan. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk mengetahui stigma masyarakat dan dukungan tenaga kesehatan tentang HIV/AIDS yang berhubungan dengan sikap terhadap VCT. DAFTAR PUSTAKA 1. Dinkes Gresik, 2010, Profil kesehatan Gresik 2011, Retrieved : March 15, 2012, from http:// www.dinkes-gresik.net/wpcontent/uploads/2011/ profil%20kesehatan%20gresik%202010.pdf. 2. Ditjen PP&PL Kemenkes RI, 2011, Laporan situasi perkembangan HIV&AIDS di Indonesia sampai dengan September 2011, Retrieved : March 16, 2012, from http://www.aidsindonesia.or.id/download/LT3Kemkes2011.pdf. 3. WHO, 2011, Aids info, fact sheets, Retrieved : March 18, 2012, from http://whqlibdoc.who.int/hq/2011/WHOHIV 11.01 eng.pdf. 4. WHO, 2011, Global HIV/AIDS response, epidemic

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

update and health sector progress towards universal access, progress report 2011, Retrieved : March 18, 2012, from http://whqlibdoc.who. int/publications/2011/9789241502986eng.pdf. 5. WHO, 2011, Progress report 2011: Global HIV/AIDS response epidemic update and health sector progress towards universal access WHO, UNICEF, UNAIDS, Retrieved : March 16, 2012, from http://www. who.int/hiv/pub/progress report2011/en/. 6. Depkes RI, 2006, Pedoman nasional pencegahan penularan HIV from ibu ke bayi, Jakarta. 7. Depkes RI, 2006, Pedoman pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS secara sukarela (Voluntary counselling and testing), Jakarta. 8. Medforth, J, et al, 2011, Kebidanan oxford, Jakarta : EGC. 9. Holmes, CN, Preko, PO, Bolds, R, Baidoo, J, Jolly PE, 2008, “Acceptance of voluntary counselling, testing and treatment for hiv among pregnant women in Kumasi, Ghana�, Ghana Medical Journal, pp 8-13. 10. Schuman, P, Jones, TB, Laken, MP, Ohmit, S, Marbury C, 2004, Voluntary HIV counseling and testing of pregnant womenan assessment of compliance with Michigan Public Health Statutes, Retrieved : May 25, 2012, from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pmc/articles/PMC1395799/?tool=pmcentrez. 11. Kouyoumdjian, FG, Seisay, AL, Kargbo, B, Khan, SH, 2011, The voluntary HIV counselling and testing service in Kenema District, Sierra Leone, 2004-2006: a descriptive study, Retrieved : May 25, 2012, from http:// www.biomedcentral.com/1472-698X/10/4. 12. Sherr, L, Lopman, B, Kakowa, M, Dube, S, Chawira, G, et al, 2007, Voluntary counselling and testing: uptake, impact on sexual behaviour, and HIV incidence in a rural Zimbabwean cohort, Retrieved : May 25, 2012, from http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17415040. 13. Fylkesnes, K, Siziya, S, 2004, A randomized trial on acceptability of voluntary

[37]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

HIV counselling and testing, Retrieved : May 25, 2012, from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15117300. 14. Nakanjako, D, Kamya, M, Daniel, K, Mayanja, KH, Freers, J, et al, Acceptance of routine testing for HIV among adult patients at the medical emergency unit at a national referral hospital in Kampala, Uganda, Retrieved : May 25, 2012, from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17096199. 15 Ma, W, Detels, R, Feng, YJ, Wu, ZY, Shen, LM, et al, 2007, Acceptance of and barriers to voluntary HIV counselling and testing among adults in Guizhou province, China, Retrieved : May 25, 2012, from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18172381. 16. Turan, Bukusi, JM, EA, Onono, M, Holzemer, WL, Miller, S, et al, 2007, HIV/AIDS stigma and refusal of HIV testing among pregnant women in Rural Kenya: results from the MAMAS study, Retrieved : May 25, 2012, from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20827573.

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[38]


BIMABI

>>> Artikel original Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia

Hubungan antara IMT (Indeks Massa Tubuh) Prahamil dan Kenaikan Berat Badan Selama Kehamilan dengan Berat Badan Lahir Bayi (Di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya) Irma Maya Puspita, Sulistiawati, Ernawati Program Studi Pendidikan Bidan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Email: eershya_may_a1@yahoo.com

ABSTRAK Status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi berat badan lahir bayi. Berat badan ibu sebelum hamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan kurang (underweight) atau lebih (overweight) dari normal akan membuat kehamilan menjadi berisiko. Masalah dari penelitian ini adalah masih tingginya jumlah kematian bayi pada tahun 2011 yang diakibatkan oleh BBLR yaitu sebesar 1.874. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari hubungan antara IMT (indeks massa tubuh) prahamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan dengan berat badan lahir bayi di RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel dari penelitian ini adalah seluruh ibu postpartum di ruang nifas RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya selama tiga minggu periode Mei – Juni 2012 yang memenuhi kriteria penelitian. Besar sampel sebanyak 79 ibu postpartum. Analisa data yang digunakan adalah koefisian korelasi Spearman (rs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua variabel bebas yaitu indeks massa tubuh (IMT) ibu prahamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap berat badan lahir bayi. Signifikasi IMT (p = 0,040 < 0,05). Signifikasi kenaikan berat badan selama kehamilan (p = 0,000 < 0,05). Simpulan penelitian didapatkan bahwa indeks massa tubuh ibu prahamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan mempengaruhi berat badan lahir bayi di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya. Kata kunci : indeks massa tubuh, kenaikan berat badan selama kehamilan, berat badan lahir bayi

ABSTRACT Mother nutrition status before and during pregnancy is one of factor that affect neonatal birth weight. The underweight or overweight of mother pre-pregnancy weight and weight gain during pregnancy will make a risky pregnancy. The problem of this study is the high rate of fetal death in 2011 that caused by low birth weight (1874 incidents). The objective of this study is to learn the correlation between pre-pregnancy BMI (body mass index) and gestational weight gain with neonatal birth weight. This study used observational analytic with cross sectional phenomenological. The sample of this study is all of postpartum mother at postpartum room in RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya during 3 weeks on Mei-Juni 2012 period of time that fullfiled this study criteria. The number of sample are 79 postpartum mothers. The data analysis of this study is Spearman correlation coefficient (rs). The result showed that two free variables (pre-pregnancy BMI and gestational weight gain) have significant correlation to neonatal birth weight. The significanty of the BMI (P= 0,040 < 0,05). Weight gain significanty during pregnancy (P= 0,000 < 0,05). The conclusion showed that pre-pregnancy body mass index (BMI) and gestational weight gain affected neonatal birth weight. Key words: Body mass index, gestational weight gain, neonatal birth weight.

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[39]


>>> Artikel original

PENDAHULUAN Kehamilan merupakan masa kehidupan yang penting, di masa ini ibu harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menyambut kelahiran bayinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu adalah keadaan gizi ibu.1 Wanita dengan status gizi rendah atau biasa dikatakan BMI rendah, memiliki efek negatif pada hasil kehamilan, biasanya berat badan lahir bayi rendah atau kelahiran preterm, sedangkan wanita dengan status gizi berlebihan atau IMT obesitas dikatakan memiliki risiko tinggi terhadap kehamilan seperti keguguran, persalinan operatif, preeklamsi, tromboemboli, kematian perinatal dan makrosomia.2 Menilai berat badan sebelum kehamilan sangat penting dari segi kesehatan bagi ibu dan bayi. Jika Ibu hamil dengan berat badan yang berlebihan sebelum kehamilan, maka pertambahan yang dianjurkan harus lebih kecil daripada ibu dengan berat badan ideal karena bila ibu hamil itu mempunyai peningkatan berat badan yang terlalu berlebihan akan berisiko terjadinya komplikasi kehamilan seperti diabetes gestasional (kenaikan kadar gula darah karena adanya proses kehamilan) atau terjadinya preeklampsia (keracunan kehamilan karena terjadi peningkatan tekanan darah).3 Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, oleh karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi, dan metabolisme tubuh ibu. Kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan ibu saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Ibu hamil memerlukan semua tambahan zat gizi, namun yang seringkali menjadi kekurangan adalah energi protein dan beBIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original

HASIL Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya, rumah sakit ini adalah rumah sakit kelas tipe C milik Pemerintah Kota Surabaya yang terletak di jalan Tambakrejo 45-47 Surabaya dan merupakan rumah sakit rujukan. Jenis pelayanan yang terdapat di rumah sakit ini adalah 1) pelayanan medis/ pelayanan kesehatan antara lain pelayanan rawat inap meliputi: rawat inap anak, rawat inap bersalin, rawat inap bedah, rawat inap penyakit dalam, rawat inap jantung, rawat inap paru dan pelayanan rawat jalan meliputi: poliklinik penyakit dalam, poliklinik anak, poliklinik kandungan dan kebidanan, poliklinik bedah umum, poliklinik jantung, poliklinik penyakit mata, poliklinik THT, poliklinik penyakit kulit dan kelamin, poliklinik gigi, poliklinik paru, poliklinik orthopedi, pelayanan klinik VCT. 2) Pelayanan non-medis berupa fasilitas ruang kantor dan ruang rapat, fasilitas pelayanan publik dan unit laundry. 3) Pelayanan penunjang meliputi pelayanan radiology, pelayanan laboratorium, farmasi/ apotek, konsultasi gizi, ambulance. 4). Pelayanan rawat darurat yang dibuka selama 24 jam setiap hari. Dilihat dari penyajian data khusus menunjukkan bahwa indeks massa tubuh ibu prahamil yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini paling banyak terdapat pada kelompok rentang normal yaitu sebanyak 37 (46,8%) responden dan sebagian besar 33 (41,8%) responden mengalami kenaikan berat badan secara normal. Analisis penelitian descriptive statistics antara indeks massa tubuh prahamil dengan berat badan lahir bayi dengan uji statistik Spearman’s didapatkan nilai signifikasi 0,040 yang berarti signifikasi <0,05, maka Ho ditolak menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara indeks massa tubuh prahamil dengan berat badan lahir bayi. Nilai koefisian korelasi (r) sebesar 0,232 menunjukkan bahwa hubungan yang

berapa mineral seperti zat besi dan kalsium.1 Prevalensi BBLR lebih tinggi di Asia dari pada di tempat lain, hal ini terutama dipengaruhi oleh gizi buruk ibu sebelum dan selama kehamilan.4 Kematian neonatal tahun 2010 di Jawa Timur sebanyak 4.634, BBLR menjadi penyebab tertinggi yaitu sebanyak 1.821. Jumlah kematian bayi tahun 2011 di Jawa Timur sebanyak 6.095. Penyebab teratas kematian bayi tersebut adalah BBLR sebanyak 1.874 kemudian diikuti oleh asfiksia sebanyak 1.309 dan kelainan kongenital sebanyak 854.5 Kasus BBLR di Surabaya mengalami penurunan dari tahun 2010 sebesar 1.596 (3,91%) menjadi 889 (2,47%) pada tahun 2011.6 Tujuan dari penelitian ini mempelajari hubungan antara IMT (indeks massa tubuh) prahamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan dengan berat badan lahir bayi di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya dengan hipotesis ada hubungan antara indeks massa tubuh ibu prahamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan dengan berat badan lahir bayi di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya. METODE Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu postpartum di ruang nifas RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya periode Mei – Juni 2012 selama tiga minggu yang memenuhi kriteria penelitian. Sampel dari penelitian ini adalah seluruh ibu postpartum di ruang nifas RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya selama tiga minggu periode Mei – Juni 2012 yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Besar sampel sebanyak 79 ibu postpartum. Analisa data yang digunakan adalah koefisian korelasi Spearman (rs), dengan nilai sgnifikasi < 0,05.

[40]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI terjadi antara kedua variabel adalah lemah. Hasil crosstabulation antara kenaikan berat badan selama kehamilan dengan berat badan lahir bayi dengan uji statistik Spearman’s didapatkan nilai signifikasi 0,000 yang berarti signifikasi <0,05, maka Ho ditolak menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara kenaikan berat badan selama hamil dengan berat badan lahir bayi. Nilai koefisian korelasi (r) sebesar 0,424 menunjukkan bahwa hubungan yang terjadi antara kedua variabel adalah agak lemah. PEMBAHASAN 1. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh Ibu Prahamil dengan Berat Badan Lahir Bayi IMT (indeks massa tubuh) atau BMI (Body Mass Index) adalah petunjuk sederhana dari berat dan tinggi badan yang biasanya digunakan untuk mengklarifikasikan status berat badan kurang, berat badan berlebih, dan obesitas pada orang dewasa, yaitu dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi badan dalam meter persegi. Berat badan lahir merupakan hasil interaksi dari berbagai faktor melalui suatu proses yang berlangsung selama berada dalam kandungan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berat badan lahir bayi salah satunya adalah status gizi ibu.7 Peningkatan berat badan yang tepat bagi setiap ibu hamil saat ini didasarkan pada indeks massa tubuh prakehamilan (body mass index/ BMI) yang menggambarkan perbandingan antar berat badan dengan tinggi badan ibu.8 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mei-Yueh Chang (2010) yang menggunakan 263 responden untuk mengetahui pengaruh indeks massa tubuh sebelum hamil terhadap berat badan lahir bayi, rata-rata IMT yang didapat dari penelitian

[41]


BIMABI

>>> Artikel original

tersebut 21,19 kg/m2 (standar deviasi 16,22 – 32,05). Rata-rata berat badan bayi yang lahir 3192,57 gram (standar deviasi 2120 – 4390). Ibu dengan IMT sebelum hamil 24-27 melahirkan bayi dengan berat badan lebih tinggi daripada ibu yang memiliki IMT > 27 dan < 18,5 (nilai p dari penelitian ini sebesar 0.001), yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara IMT sebelum hamil dan berat badan lahir bayi. Hasil penelitian ini, nilai koefisien korelasi sebesar 0,232 menunjukkan hubungan yang terjadi antara kedua variabel adalah rendah. Hal ini terjadi dikarenakan sebagian besar sampel berasal dari kelompok bayi dengan berat badan lahir normal, sedangkan kelompok sampel dengan berat badan lahir rendah dan makrosomia tidak banyak. 2. Hubungan antara Kenaikan Berat Badan Selama Kehamilan dengan Berat Badan Lahir Bayi Kenaikan berat badan selama hamil kurang (underweight) atau lebih (overweight) dari normal akan membuat kehamilan menjadi berisiko. Kekurangan gizi pada ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada bayi, asfiksia intra partum, dan berat badan lahir rendah.1 Berat badan ibu sebelum hamil dan penambahan berat badan selama hamil merupakan penentu utama berat bayi saat lahir. Wanita dengan berat badan rendah (misalnya <55 kg) sebelum hamil yang mencapai sedikit kenaikan berat badan (<4.500 gram) selama hamil mempunyai insiden lebih tinggi untuk melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah dibandingkan ibu-ibu dengan berat badan lebih besar yang mencapai lebih banyak kenaikan berat badan selama hamil.9 Peningkatan berat badan selama kehamilan mencakup produk konBIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

>>> Artikel original

BIMABI

DAFTAR PUSTAKA

sepsi (janin, plasenta, dan cairan amniotik), dan hipertrofi beberapa jaringan ibu hamil (uterus, payudara, darah, cadangan lemak, cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler). Sebagian besar protein terdapat pada janin, tetapi terdapat juga pada uterus, darah, plasenta, dan payudara. Sebagian besar deposit lemak terdapat pada jaringan adiposa maternal, terutama regio gluteal dan paha atas, dan juga janin yang merupakan satu-satunya hal penting utama lainnya.8 Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hayati (2011) menyebutkan bahwa dari sampel yang berjumlah 101 orang, mayoritas ibu hamil (71 orang) memiliki pertambahan berat badan saat kehamilan >20% dari berat badan sebelum hamil. Bayi yang dilahirkan mayoritas memiliki berat lahir >2.500 gr. Hasil penelitian ini didapati bahwa ada hubungan antara pertambahan berat badan ibu saat hamil dengan berat bayi lahir dimana p= 0,003 (<0,05).

1. Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama 2. Sativa, Gadis. 2011. Pengaruh Indeks Massa Tubuh pada Wanita Saat Persalinan terhadap Keluaraan Maternal dan Perinatal di RSUP DR. Kariadi Perode Tahun 2011. Diakses: 12 April 2012. Diunduh dari http://eprints. undip.ac.id/33295/1/Gadis_Sativa.pdf 3. Suririnah. 2008. Buku Pintar Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 4. Muthayya, Sumithra, 2009. “Maternal Nutrition and Low Birth Weight”. Indian J Med Res,130, pp. 600 5. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, 2010-2011 6. Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2010-2011 7. WHO. 2006. BMI Classification. Diakses: 5 Mei 2012. Diunduh dari http://apps.who.int/bmi/ index/gsp?intropage=intro_3.html 8. Fraser, Diane M. and Cooper, Margaret A., 2009. Myles Buku Ajar Bidan. Jakarta: EGC 9. Benson, Ralph C. and Pernoll, Martin L., 2008. Buku Saku Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: EGC

SIMPULAN Hasil penelitian mengenai hubungan antara indeks massa tubuh ibu prahamil dan kenaikan berat badan selama kehamilan dengan berat badan lahir bayi di RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya dapat disimpulkan bahwa: 1) Indeks massa tubuh ibu sebelum hamil mempengaruhi berat badan lahir bayi di RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya. 2) Kenaikan berat badan ibu selama hamil mempengaruhi berat badan lahir bayi di RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya. 3) Berat badan bayi yang dilahirkan di RSUD Dr. M. Soewandhie Surabaya bervariasi, yaitu <2500, 2500 – 4000, dan >4000 gram, dan jumlah paling banyak terdapat pada kelompok bayi dengan berat badan lahir 2500 – 4000 gram.

[42]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[43]


BIMABI

>>> Artikel original

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA MEDIA BUKU SAKU TERHADAP PENGETAHUAN PENCEGAHAN PENYAKIT MENULAR SEKSUAL SISWI SMA NEGERI 1 KANDAT KEDIRI

PENDAHULUAN Remaja Indonesia saat ini sedang mengalami perubahan sosial yang cepat dari masyarakat tradisional menuju masyarakat moderen yang juga mengubah norma-norma, nilainilai dan gaya hidup mereka. Remaja yang dahulu terjaga secara kuat oleh sistem keluarga, adat budaya, agama serta nilainilai tradisional yang ada telah mengalami pengikisan yang disebabkan oleh urbanisasi dan industrialisasi yang cepat. Hal ini diikuti pula oleh adanya revolusi media yang terbuka bagi keragaman gaya hidup dan pilihan karir. Berbagai hal tersebut mengakibatkan peningkatan kerentanan remaja terhadap berbagai macam penyakit, terutama yang berhubungan dengan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk ancaman yang meningkat terhadap penyakit menular seksual.1 Pemerintah (cq. BKKBN) merespon permasalahan remaja tersebut, mereka telah melaksanakan dan mengembangkan program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga bagi Remaja yang diarahkan untuk mencapai Tegar Remaja dalam rangka Tegar Keluarga untuk mewujudkan Keluarga Kecil Bahagia Sejahtera. Selain itu Pemerintah besama BKKBN juga mengembangkan program lain seperti Youth Center-PKBI, PIKKRR, demi terciptanya remaja yang sehat, peduli dan tau akan pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Selain itu juga dikembangkan program puskesmas PKPR yang menyediakan pelayanan klinik medis, pelayanan penunjang, penyuluhan, pendidikan konseling, yang dikenal dengan sebutan Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja, namun beberapa progam BKKBN yang menjangkau kelompok remaja sekolah, anak jalanan, karang tarunan, remaja masjid, dan lain-lain ini dirasa belum mampu merubah keadaan remaja bangsa ini melihat pada kenyataannya sampai saat ini masih banyak fenomena remaja yang mengkhawatirkan.2

Fatma Kurnia Sari, Sunjoto, Klanting Kasiati Program Studi Pendidikan Bidan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, email: phaatime_stepsister@yahoo.com

ABSTRAK Penyebaran penyakit menular sekarang tidak hanya menginfeksi orang-orang dewasa, tetapi juga menyebar pada remaja. Kurangnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja perlu dipertimbangkan sebagai sumber masalah dalam hal ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari buku saku sebagai media pendidikan kesehatan reproduksi remaja dalam meningkatkan pengetahuan siswa perempuan mengenai pencegahan penyakit menular seksual. Metode penelitian yang digunakan pre-experimental static-group comparison. Populasi adalah siswi SMA Negeri 1 Kandat, Kediri pada bulan Juni 2012. Sampel dikumpulkan secara acak berdasarkan kriteria inklusi, 72 siswa perempuan dipilih dan dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberi pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui media buku saku, sedangkan kelompok kontrol tidak. Data obeservasi dikumpulkan dari kuesioner pre-test dan post-test dan dianalisis dengan menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test dan Mann Whitney Test dengan signifikansi α = 0,05 Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test pada kelompok eksperimen p < 0,0001 sedangkan pada kelompok kontrol p = 0,023. Hasil temuan menunjukkan bahwa metode yang diterapkan pada kelompok eksperimen menunjukkan pengaruh pada peningkatan pengetahuan lebih baik daripada grup kontrol. Hasil analisis dengan Mann Whitney p < 0,0001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan pengetahuan tentang kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah diberi perlakuan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja ‘memiliki pengaruh pada peningkatan pengetahuan siswa perempuan tentang pencegahan penyakit menular seksual. Kata kunci: Remaja, Buku Saku, penyakit menular seksual.

ABSTRACT

The widely spread of transmitted disease nowdays is not only infect the adult people, but also spread to the teenagers.. The lack of knowledge about the health of teenagers’ reproduction is concidered as the source of that problem. The goal of the research was to find out the influence of pocket book as the education media of health reproduction of teenagers’ reproduction in increasing the knowledge of female students concering sexuallytansmitted diseases prevention. The rasearch method used was pre-experimental static-group comparison design. The population were the female students o SMA Negeri 1 Kandat, Kediri by the month of June 2012. The samples were gathered randomly based of inclution criteria, 72 female students were selected and were divided into two groups. The experimental group and the control group. The experimental group was given health education on teenager’s reproduction through pocket book media, while the control group did not have the treatment. The data obeservation was collected from pre-test and post-test quetionnaires and analyzed by using Wilcoxon Signed Rank Test and Mann Whitney Test with significance of α=0,05 The research findings revealed that by using Wilcoxon Signed Rank Test on the experimental group was p<0,0001 while on the control group was p=0,023. The result finding showed that the method applied on the experimental group showed the the influence on the increasing knowledge was better than control group.On the Mann Whitney Test was p<0,0001. The result showed that there was a difference of knowledge on the experimental group and the control group after being given the treatments. It can be concluded that the health education of teengers’ reproduction has influence on the female students increase of knowledge on preventing sexually-transmitted diseases. Key word : Teenager, Pocket Book, sxually-transmitted diseases.

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

>>> Artikel original

[44]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI Remaja menghadapi masalah kesehatan yang kompleks, walaupun selama ini diasumsikan sebagai kelompok yang sehat. Besaran masalah remaja diketahui dari beberapa survei sebagaimana ditunjukkan oleh data berikut: survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007 menunjukkan 17% perempuan yang saat itu berusia 45-49, menikah pada usia 15 tahun. Survei kesehatan reproduksi remaja Indonesia (SKRRI) tahun 2007 pada persentase perempuan dan lelaki yang tidak menikah, berusia 15-19 tahun. Perempuan pertama kali pacaran pada usia 12-14 tahun sebanyak 22,6% dan pada usia usia 15-17 tahun sebanyak 39,5%. Diantara responden tersebut telah melakukan petting saat pacaran sebanyak 19,2%, dan yang telah memiliki pengalaman seksual pada perempuan sebanyak 1,3%. Delapan puluh empat orang (1%) dari responden pernah mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) dan 60% diantaranya mengalami atau melakukan aborsi.3 WHO (2012) memperkirakan bahwa kesehatan reproduksi yang buruk berjumlah 33% dari jumlah total beban penyakit pada wanita dibandingkan dengan 12,3% pada pria pada usia yang sama. Di Amerika Serikat, remaja usia 15–17 tahun dan dewasa muda 18 – 24 tahun merupakan kelompok usia penderita penyakit menular seksual yang tertinggi dibandingkan dengan kelompok usia lain. Metaanalisis dari berbagai publikasi di Medline mengemukakan bahwa prevalensi klamidia pada wanita usia 15 - 24 tahun di klinik keluarga berencana (KB) adalah: 3,0% -14,2% dan gonore 0,1% - 2,8%.4 Meningkatnya penderita penyakit kelamin ini karena pendidikan seks yang kurang dan itu terjadi bukan hanya di Jakarta tetapi di seluruh Indonesia. Belum pernah ada pendidikan seks di sekolah, apalagi di rumah. Data mengejutkan diungkap oleh Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ida Bagus Nyoman Banjar pada jum’at, 15 Oktober 2010. Angka penderita penyakit kelamin di Jakarta [45]


BIMABI

>>> Artikel original

secara keseluruhan berjumlah 9.060 orang, dengan rincian 5.051 orang berjenis kelamin perempuan dan sisanya pria, dari total jumlah penderita tersebut 3,007 di antaranya masih berusia antara 14 dan 24 tahun.5 Dalam permasalahan ini, Bidan diharapkan dapat berperan sebagai salah satu penggerak dalam kegiatan PIK-KRR. Bidan juga diharapkan mampu menjadi tenaga terlatih sebagai konselor mengenai kesehatan reproduksi remaja. Bidan juga diharapkan mampu memanajemen program PIK-KRR. Bidan juga tentunya berperan sebagai tenaga paramedis, memberikan pelayanan dasar klinis kesehatan remaja. Data awal yang diambil peneliti menunjukkan bahwa Kecamatan Kandat di Kabupaten Kediri termasuk salah satu daerah yang kurang bergairah dalam hal meningkatkan kualitas kesehatan reproduksi remaja. BKKBN menyajikan data tentang PIK KRR (Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja) Kabupaten Kediri, yaitu dari 12 Kelurahan/Desa di Kecamatan Kandat, tidak ada satupun memiliki PIK KRR, belum ada ada program yang berjalan, dan tidak ada data yang menunjukkan adanya tenaga yang terlatih baik di instansi sekolah, keagamaan, maupun tempat pelayanan kesehatan (data PIK KRR Kabupaten kediri, 2008). Remaja perlu mengetahui kesehatan reproduksi agar memiliki informasi yang benar mengenai proses reproduksi serta berbagai faktor yang berpengaruh. Remaja diharapkan memiliki sikap dan tingkah laku yang bertanggung jawab mengenai proses reproduksi dengan mendapat informasi yang benar tentang hal tersebut.6 Hasil studi dan data awal di atas menjadi dasar untuk dilakukan penelitian tentang pendidikan kesehatan reproduksi remaja di SMA Negeri 1 Kandat Kediri. Memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja secara intens dan langsung merupakan salah satu jalan yang dapat diambil untuk mengatasi permasalahan di atas yang notabene BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

>>> Artikel original

tas dewasa, serta peralihan dari ketergantungan sosio ekonomi menjadi mandiri. Seorang anak mengalami pubertas secara biologis dianggap sebagai indikator awal masa remaja. Namun karena tidak adanya pertanda biologis yang berarti untuk menandai berakhirnya masa remaja, maka faktor-faktor sosial, seperti pernikahan, biasanya digunakan sebagai petanda untuk memasuki masa dewasa (Widyastuti, 2009). Adanya pertumbuhan dan perkembangan fisik yang khas pada masa remaja juga ditandai dengan peningkatnya perkembangan jiwa seorang anak menjadi dewasa (termasuk perasaannya). Wajar apabila saat ini seorang remaja sudah mulai timbul rasa tertariknya pada orang lain (lawan jenisnya). Masa remaja dikenal istilah pacaran dalam berhubungan dengan lawan jenis. Beberapa tingkatan dalam proses pacaran, yaitu berkenalan (knowing), kencan (dating), pernyataan cinta (stating), saling mencumbu dan membelai (touching), berciuman (kissing), saling berdekapan (petting), dan berhubungan seksual (sexual intercourse) (Sastriyani (2006) dalam Imron, 2012). Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2001) mendefinisikan remaja hanya meliputi penduduk berusia 10-19 tahun dan belum kawin. Remaja adalah individu baik perempuan, maupun laki-laki yang berada pada masa/usia antara anak-anak dan dewasa. United Nations menyebut remaja bagi mereka yang berusia 15-24 tahun (BKKBN, 2001) Bidang kegiatan WHO yaitu kesehatan, masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan remaja adalah kehamilan yang terlalu awal, oleh karena itu WHO menetapkan batas usia 10-19 tahun sebagai batasan usia remaja (Narendra (2008) dalam Sarwono, 2011).

bersumber dari kurangnya pengetahuan remaja akan kesehatan reproduksi remaja. Pendidikan kesehatan secara langsung kepada remaja menggunakan media yang sesuai dengan karkteristik remaja pada umumnya, selain itu media diharapkan mudah diadakan, murah dan dapat langsung diberikan kepada sasaran, yaitu remaja. Penelitian ini mengenai seberapa besar pengaruh metode pendidikan kesehatan reproduksi menggunakan media buku terhadap pengetahuan tentang pencegahan penyakit menular seksual siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri. Buku pada dasarnya menjadi jembatan buat manusia untuk dijadikan acuan buat berkembang, baik sebagai bahan pembelajaran dan pemahaman. Metode pendidikan kesehatan reproduksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendidikan menggunakan media buku, yaitu buku saku. Buku saku adalah buku dengan ukurannya yang kecil, ringan, dan bisa disimpan di saku. Sehingga praktis untuk dibawa kemanamana, dan kapan saja bisa dibaca.7 Buku saku tersebut berisi tentang pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi sederhana yang bisa dipelajari dan dipahami dengan mudah oleh remaja, sehingga dengan mempelajari isi buku tersebut siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri mengetahui tentang kesehatan reproduksi remaja dan cara pencegahan terhadap penyakit menular seksual. TINJAUAN PUSTAKA Remaja Masa remaja merupakan peralihan masa kanak-kanak menjadi dewasa yang melibatkan perubahan berbagai aspek seperti biologis, psikologis, dan sosial-budaya. WHO mendefinisikan remaja sebagai perkembangan dari saat timbulnya tanda seks sekunder hingga tercapainya maturasi seksual dan reproduksi, suatu proses pencapaian mental, fisik terhadap identi-

Kesehatan Reproduksi Kesehatan reproduksi secara umum menunjuk pada kondisi kesejahteraan fisik, mental, [46]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI dan sosial secara utuh dalam segala hal yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, termasuk hak dan kebebasan untuk bereproduksi secara aman, efektif, tepat, terjangkau, dan tidak melawan hukum (WHO (1992) dalam Imron, 2012). Ruang lingkup kesehatan reproduksi antara lain yang pertama adalah pelayanan Keluarga Berencana. Pelayanan ini meliputi memberikan konseling KB dan penyediaan alat kontrasepsi, lengkap dengan nasihat atau tindakan apabila timbul efek samping. Kedua adalah pelayanan kebidanan. Pelayanan ini meliputi memberikan pelayanan kesehatan atau asuhan bagi perempuan dari masa pranikah, prakehamilan, hingga melahirkan, nifas, menyusui, interval antarkehamilan,hingga masa menopouse, juga pelayanan kepada bayi baru lahir dan balita (safe motherhood), serta pencegahan komplikasi aborsi. Pelayanan Penyakit Menular Seksual. Pelayanan ini termasuk infeksi saluran reproduksi dan interfertilitas, HIV, dan AIDS. Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja. Pelayanan ini meliputi pemberian informasi atau pendidikan kesehatan kepada para remaja tentang kesehatan reproduksi meliputi pendidikan seks dini, penyakit-penyakit menular seksual akibat aktivitas seksual yang bebas, bahaya-bahaya narkoba, pernikahan usia muda yang dapat meyebabkan tingginya angka kematian ibu melahirkan, kurang siapnya metal dan psikologis dan dampak meningkatnya angka perceraian yang akan memberikan dampak sosial (Sastriyani (2006) dalam Imron, 2012). Kesehatan Reproduksi Remaja Kesehatan reproduksi remaja adalah suatu kondisi sehat yang menyangkut sistem, fungsi dan proses reproduksi yang dimiliki oleh remaja. Pengertian sehat disini tidak semata-mata berarti bebas penyakit atau bebas dari kecacatan namun juga sehat secara mental serta sosial kultural (Adjie, 2009). [47]


>>> Artikel original Remaja perlu memahami tentang kesehatan reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi remaja, karena keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi mempunyai konsekuensi atau akibat jangka panjang dalam perkembangan dan kehidupan sosial. Masalah yang sering dialami remaja adalah masalah yang berkaitan dengan seksualitas atau kesehatan reproduksi. Perubahan fisik dan mulai berfungsinya organ reproduksi terkadang menimbulkan permasalahan, terutama apabila remaja kurang memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi. Survei dari BKKBN tahun 2004 juga memperkuat fenomena hubungan seksual (HUS) pranikah remaja (BKKBN (2008) dalam Nasution, 2010). Permasalahan lain yang muncul adalah kekerasan seksual terutama pada masa pacaran, kehamilan tidak diinginkan (KTD), aborsi, Penyakit Menular Seksual (PMS), sampai terjangkitnya HIV/AIDS. Permasalahan tersebut merupakan serangkaian damapak minimnya pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi. (Imron, 2012). Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja

Pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses mendidik individu atau masyarakat agar dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya. Tujuan pendidikan kesehatan adalah megajarkan individu, kelompok, atau masyarakat untuk dapat menumbuhkan perilaku sehat (Imron, 2012). Pengetahuan dasar kesehatan reproduksi yang perlu diberikan kepada remaja. 1) Pengenalan mengenai sistem, proses dan fungsi alat reproduksi (aspek tumbuh kembang remaja). Pengetahuan ini disampaikan agar remaja mudah memahami serta mengatasi berbagai keadaan yang membingungkannya (misalnya tentang haid, mimpi basah dan tentang alat reproduksi laki-laki dan perempuan. BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original berikan melalui media cetak dan elekronik yang disebut sebagai pendidikan seks, penayangan film tertentu di televisi dapat menyebabkan salah persepsi/pemahaman yang kurang tepat tehadap kesehatan reproduksi. 6) Pengetahuan tentang kekerasan seksual dan bagaimana menghindarinya. 7) Mengembangkan kemampuan berkomunikasi termasuk memperkuat kepercayaan diri agar mampu menangkal hal-hal yang bersifat negatif. 8) Hak-hak reproduksi, keadaan di lapangan menunjukkan bahwa hampir di semua lapisan masyarakat sering terjadi pelanggaran hak-hak reproduksi seperti pelecehan seksual, pemaksaan dalam penggunaan alat kontrasepsi, kekerasan terhadap perempuan oleh suami atau orang lain. Pelanggaran hak reproduksi sering sekali tidak dilaporkan korban karena rendahnya pengetahuan tentang hak-hak reproduksi yang dimilikinya, atau karena tidak tahu kemana harus mengadu atau mencari perlindungan atas segala pelanggaran hak yang dialaminya. Keadaan ini membuktikan bahwa masyarakat kita termasuk para remaja masih belum terpapar oleh informasi tentang hak-hak reproduksi, bahkan pemerintah atau pihak LSM dan swasta juga masih belum menyediakan wadah yang memadai untuk para korban pelanggaran hak-hak reproduksi.

2) Mendewasakan usia kawin serta merencanakan kehamilan agar sesuai dengan keinginannya dan pasangannya. Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) adalah upaya untuk meningkatkan usia pada perkawinan pertama, sehingga pada saat perkawinan mencapai usia minimal 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi lakilaki. Batasan usia ini dianggap sudah siap baik dipandang dari sisi kesehatan maupun perkembangan emosional untuk menghadapi kehidupan berkeluarga. PUP bukan sekedar menunda perkawinan sampai usia tertentu saja, akan tetapi juga mengusahakan agar kehamilan pertama terjadi pada usia yang cukup dewasa (Muads, 2010). 3) Penyakit menular seksual dan HIV/ AIDS serta dampaknya terhadap kondisi kesehatan reproduksi. Remaja perlu mengetahui bahwa penyakit menular seksual atau yang disebut infeksi menular seksual dapat ditularkan melalui hubungan seksual antara lain penyakit gonorea (GO), sifilis, klamidia trichomatis, herpes simpleks, virus papiloma, Trichomonas vaginalis dan HIV AIDS. 4) Bahaya penggunaan obat obatan/ narkoba pada kesehatan reproduksi. Penyalahgunaan NAPZA (Narkoba, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya) memberikan dampak negatif dan ketergantungan pada penggunanya. Ditinjau dari segi penyakit bisa terjadi kerusakan hati, paru, hepatitis C, penyakit menular seksual (PMS) termasuk HIV bahkan kematian. Pengaruh NAPZA dapat mengarah ke pemerkosaan, melakukan seks bebas, dan kehamilan. 5) Pengaruh sosial dan media terhadap perilaku seksual. Banyak sekali informasi melalui media cetak, elektronik yang ditayangkan vulgar dan bersifat tidak mendidik, tetapi lebih cenderung mempengaruhi dan mendorong perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Keterpaparan remaja terhadap pornografi dalam bentuk bacaan berupa buku porno, melalui film porno semakin meningkat. Konsultasi seks yang di-

Media Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja Daradjat (1984) mengatakan bahwa pengertian alat pendidikan dan media pendidikan serta sarana pendidikan adalah sama. Media berasal dari bahasa latin dan bentuk jamak dari medium, secara harfiah berarti perantara atau pengantar (Herdianto, 2005). Untuk menampung dan menjawab kebutuhan remaja dalam memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi dapat dikembangkan forum diskusi dengan mempertimbangkan potensi dan jalur yang sudah ada di masyarakat. Bentuk kegiatannya dapat [48]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI mengacu pada pendidikan kesehatan reproduksi sesuai Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992, serta penyediaan bahan bacaan berkualitas yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi baik dalam isi, format, maupun harga serta jalur distribusinya (Pinem, 2009). Buku Saku Hidayat (2008) mengatakan bahwa membaca buku termasuk salah satu metode bibliokonseling, yaitu konseling yang menggunakan bahan pustaka. Konseling dipahami sebagai suatu strategi untuk membantu klien mengatasi masalahnya. Terdapat beberapa syarat harus dipenuhi pustaka dalam pemberian konseling, salah satunya adalah kemenarikan. Buku yang mungil, ada ilustrasi tingkah laku tertentu. Buku itu bisa berupa buku-buku saku yang dapat dibawa kemana-mana, bahasannya menarik dan sedikit sugestibel. Pengertian buku secara umum adalah kumpulan kertas tercetak dan terjilid berisi informasi yang dapat dijadikan salah satu sumber dalam proses belajar dan membelajarkan. Buku saku adalah buku dengan ukurannya yang kecil dan ringan. Penggunaan media buku saku diharapkan mempermudah untuk dapat membawa kemanapun, dikarenakan ukuran yang kecil memungkinkan untuk dapat di masukan ke dalam saku celana dan mempermudah pengemasan informasi kedalam media buku saku (Muhammad, 2010). Keefektifan buku saku menjadi buku pedoman sebagai media untuk meningkatkan pengetahuan ditunjukkan oleh beberapa penelitian, yaitu pada penelitian yang berjudul “Pengaruh Penyuluhan Gizi terhadap Pengetahuan Ibu tentang Gizi Balita Di Desa Argotirto Kabupaten Malang�, hasil uji-t menunjukkan pengetahuan ibu tentang gizi balita pada metode buku saku sebelum penyuluhan gizi termasuk kategori sedang (16,46), setelah penyuluhan gizi pengetahuan ibu meningkat menjadi (22,33). Peneliti menyimpulkan metode buku saku dapat digunakan [49]


>>> Artikel original sebagai media penyuluhan gizi (Ditamarte, 2011). Penelitian lain, yaitu penelitian yang berjudul “Penggunaan Buku Saku Fisika (BSF) Untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa Dalam Belajar Fisika”. Berdasarkan data hasil penelitian didapatkan hasil sebagai berikut: rata-rata nilai awal fisika siswa kelas kontrol adalah 51,6, rata-rata nilai akhir fisika siswa kelas kontrol adalah 71,3, rata-rata nilai awal fisika kelas eksperimen adalah 52, rata-rata nilai akhir fisika kelas eksperimen adalah 78,0. Sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai fisika siswa kelas kontrol meningkat sebesar 19,7, nilai fisika siswa kelas eksperimen meningkat sebesar 25,9. Kesimpulannya bahwa penggunaan buku saku fisika (BSF) dapat meningkatkan kemampuan fisika siswa (Kamil, 2011). Penyakit Menular Seksual Penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi apapun yang terutama didapatkan melalui kontak seksual (Benson & Pernoll, 2009). PMS merupakan salah satu infeksi saluran reproduksi (ISR) yang cara penularan utamanya adalah melalui hubungan kelamin tetapi dapat juga ditularkan melalui tranfusi darah atau kontak langsung dengan cairan darah atau produk darah, dan dari ibu ke anak selama kehamilan, pada persalinan atau sesudah bayi lahir. PMS dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, virus dan parasit (Pinem, 2009). Beberapa PMS disebabkan oleh bakteri, dan beberapa yang lain disebabkan oleh virus, dan sedikit diantaranya disbabkan oleh organisme yang lain. Perbedaan antara infeksi bakteri dan infeksi virus sangat penting karena infeksi bakteri dapat diobati dengan menggunakan antibiotik..(Hyde & Delamater, 2008). Virus HIV terdapat dalam darah, cairan sperma dan cairan vagina sehingga dapat menular melalui kontak darah atau cairan tubuh tersebut. HIV sangat mudah mati di luar tubuh manusia dan cangat

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI

>>> Artikel original HIPOTESIS

sensitif terhadap suhu, pada suhu 60 derajat Celcius, HIV sudah mati. Macammacam penyakit menular seksual adalah sifilis, ghonorheae, klamidia, herpes simplex, kutil genital, vaginosis bakteri, HIV.

Hipotesis penelitian ini adalah : “Ada pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi remaja media buku saku terhadap pengetahuan tentang pencegahan penyakit menular Siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri.”

Pencegahan Penyakit Menular Seksual Comittee on Preventation and Control of Sexuallity Transmitted Disease of the Institute of Medicine (1997) mempublikasikan laporan yang berjudul The Hidden Epidemic: Confronting Sexually Transmitted Disease. Laporan tersebut merinci sejumlah kesimpulan dan rekomendasi yang dibuat oleh komite di bidang pendidikan, kelompok polulasi dan praktik klinik. Rekomendasi praktik klinik dibagi atas dua kategori : (1) Pencegahan dan (2) penatalaksanaan dan pengobatan PMS sesuai pedoman dari CDC. Tindakan pencegahan penekankan pengkajian risiko, konseling, promosi kesehatan seksual, pemberitahuan pasangan dan penanganan : serta penggabungan pelayanan terkait PMS ke dalam perawatan kesehatan primer. Menurut Direktorat Remaja dan Hak-Hak Reproduksi dalam bukunya, Pendalaman Materi Memahami Remaja dan Memahami Dirinya, yang harus dilakukan remaja dalam mencegah penularan penyakit menular seksual adalah : Meningkatkan ketahanan moral melalui pendidikan agama. Menghindari melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Melakukan kegiatan-kegiatan positif, agar tidak terlintas untuk melakukan hubungan seksual. Mencari informasi yang benar sebanyak mungkin tentang risiko tertular PMS. Mendiskusikan dengan orang tua, guru atau teman mengenai hal-hal yang berkaitan dengan perilaku seksual, jangan malu untuk bertanya. Menolak ajakan pasangan yang meminta untuk hubungan seksual. Mengendalikan diri saat bermesraan. Bersikap waspada jika diajak ke suatu tempat yang sepi dan berbahaya (Winasti, 2008).

METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah preexperimental Static-group comparison design. Model rancangan ini berupaya untuk menentukan pengaruh dari suatu tindakan pada kelompok subjek yang mendapat perlakuan, kemudian dibandingkan dengan kelompok subjek yang tidak mendapatkan perlakuan. Pada penelitian ini, subjek populasi yang digunakan adalah siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri kelas X dan XI. Siswi kelas XII tidak dimasukkan menjadi populasi karena tidak di ijinkan oleh Kepala Sekolah agar fokus kepada Ujian Nasional. Kriteria populasi adalah siswi kelas X dan XI yang termasuk dalam rentang usia 10 – 19 tahun (definisi remaja menurut WHO). Jumlah siswi kelas X sebanyak 176 orang dan siswi kelas XI sebanyak 125 orang. Sehingga total populasi yang diteliti adalah sebanyak 301 siswi. Dari seluruh populasi yang tersedia dilakukan pemilihan sampel secara acak dan sederhana, setelah itu didapat 76 orang sampel yang dibagi menjadi dua, yaitu 38 orang sebagai kelompok perlakuan dan 38 orang sebagai kelompok kontrol, kemudian pada kelompok perlakuan diberi buku saku yang berisi pengetahuan kesehatan reproduksi remaja, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberi buku saku tersebut. Variabel penelitian ini adalah pendidikan reproduksi remaja dengan media buku saku dan pengetahuan tentang pencegahan penyakit menular seksual siswi SMA Negeri 1 Kandat. Analisis data menggunakan uji statistik Wilcoxon Sign Rank Test (uji komparasi 2 [50]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI sampel berpasangan) dengan derajat kemaknaan p≤ 0,05. Jika hasil analisis penelitian di dapatkan nilai p≤0,05 H1 diterima dan H0 ditolak, artinya ada perbedaan pengetahuan pada saat setelah perlakuan dan sebelum perlakuan, jadi juga dapat diartikan ada pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi dengan media buku saku terhadap pengetahuan pencegahan penyakit menular seksual siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri. Setelah itu digunakan pula uji statistik Mann Whitney test (uji komparasi 2 sampel bebas/independen) dengan derajat kemaknaan p<0,05. Uji ini digunakan untuk mengetahui perbedaan pengetahuan pencegahan pengetahuan seksual di kelompok perlakuan dan di kelompok kontrol. Jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai p≤0,05 H1 diterima dan H0 ditolak artinya ada perbedaan pengetahuan pencegahan penyakit seksual pada anak yang mendapat perlakuan dan tidak mendapat perlakuan. HASIL & ANALISIS PENELITAN Hasil uji statistik menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test nilai sig (2-tailed) pada kelompok perlakuan adalah p<0,0001 berarti p <0,05 maka HI diterima, artinya pendidikan kesehatan reproduksi remaja media buku saku berpengaruh terhadap pengetahuan kesehatan reproduksi remaja dan pencegahan penyakit menular seksual pada kelompok perlakuan. Pada kelompok kontrol didapatkan hasil uji statistik menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test nilai sig (2-tailed) adalah p=0,023 berarti p < 0,05 maka HI diterima, artinya kegiatan pada kelompok kontrol juga berpengaruh terhadap pengetahuan mereka tetapi tidak sebesar pengaruh pada kelompok perlakuan. Uji statistik menggunakan Mann-Whitney U Test dengan menghitung perubahan niai keseluruhan dari pretes ke postes. Hal ini dilakukan karena pada kedua kelompok memiliki tingkat pengetahuan yang ber[51]


>>> Artikel original

beda di awal sebelum dilakukan penelitian. Hasilnya adalah p<0,0001 yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan pengetahuan siswi pada kelompok perlakuan dan kontrol yang mana peningkatan pengetahuan pada kelompok pelakuan lebih besar daripada kelompok kontrol. PEMBAHASAN Pendidikan kesehatan pada dasarnya merupakan suatu proses mendidik individu atau masyarakat agar dapat memecahkan masalah-masalah kesehatan yang dihadapinya (Imron, 2012). Buku saku yang dibuat dengan memasukkan 2 aspek di atas diharapkan mendidik remaja sehingga dapat meningkatkan pengetahuan. Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Dengan kata lain, sebelum terjadi perubahan perilaku, seseorang akan mempersepsikan hal tersebut sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga apabila informasi yang diberikan jelas, maka hasil pembelajaran yang didapat juga akan optimal, begitu pula sebaliknya. Proses pembelajaran yang kurang optimal akan mempengaruhi persepsi seseorang sehingga perubahan untuk berperilaku hidup sehat akan sulit didapatkan. Persepsi proses informasi juga berhubungan dengan seleksi perhatian, kode dan ingatan (Nursalam, 2008). Pendidikan atau informasi yang diperoleh responden selama ini kurang maksimal, sehingga pemahaman tentang kesehatan reproduksi remaja tidak menyeluruh. Informasi yang diperoleh responden tersebut juga terkadang diperoleh tanpa sengaja dari media televisi atau internet, bisa juga atas inisiatif mereka sendiri tanpa pembimbing, sehingga jika terdapat pemahaman yang kurang tentang materi mereka tidak dapat bertanya. Media yang mudah dipahami dan menarik sangat baik dalam menjembatani ilmu kesehatan reproduksi remaja hingga sampai pada reBIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI sponden seperti halnya media buku saku ini. Dalam penelitian ini, perubahan pengetahuan yang diperoleh merupakan hasil dari pendidikan kesehatan media buku saku. Buku saku yang didesain sesuai dengan karakter remaja dengan desain menarik, berwarna, banyak ilustrasi dan bahasa yang ringan akan membuat remaja tidak bosan dalam membaca dan menyerap isi dari materi buku saku tersebut. Pada kelompok perlakuan, responden diberi kesempatan membaca buku saku selama kurang lebih 60 menit dengan panduan peneliti. Peneliti juga menjawab pertanyaan selama kegiatan membaca tersebut berlangsung. Berbeda dengan kelompok kontrol, responden pada kelompok ini seharusnya tidak diberi perlakuan apa-apa, namun untuk kepentingan etik penelitian, kelompok ini dipandu oleh peneliti membahas tentang topik yang berbeda dengan topik yang dibahas pada buku saku yang menjadi tema penelitian. Topik tersebut adalah rencana studi belajar universitas dan tentang problematika belajar, serta masalah remaja putri. Peningkatan pengetahuan yang terjadi di kelompok kontrol bisa terjadi karena bias dalam penelitian. Penelitian ini menghasilkan data-data yang menunjukkan peningkatan pengetahuan pada responden tentang kesehatan reproduksi remaja serta cara mencegah penyakit menular seksual. Yaitu dengan data-data yang tersaji dapat disimpulkan bahwa siswi telah memahami tentang kesehatan reproduksi remaja tahu bagaimana cara mencegah penyakit menular. Penelitian yang dilakukan olek Duma (2011) mengatakan bahwa buku saku sebagai metode dan media, efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap. Hasil pada penelitian ini sesuai dengan pernyataan tersebut, namun diperlukan adanya pemberian pendidikan kesehatan reproduksi remaja secara rutin dan diadakan evaluasi untuk sikap dan perilaku yang berkelanjutan. Berdasarkan informasi yang telah diterimanya, siswi remaja dapat memiliki mo-

tivasi dan tanggung jawab dalam menjaga kesehatan reproduksinya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi remaja media buku saku dapat meningkatkan pengetahuan siswi tentang pencegahan penyakit menular seksual apabila diberikan dengan prosedur yang benar. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil antara lain : 1. Tingkat pengetahuan Siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri tentang kesehatan reproduksi remaja meningkat setelah diberi pendidikan kesehatan reproduksi remaja menggunakan media buku saku. 2. Tingkat pengetahuan Siswi SMA Negeri 1 Kandat tentang pencegahan penyakit menular seksual meningkat setelah diberi perlakuan pendidikan kesehatan reproduksi remaja menggunakan media buku saku. 3. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja media buku saku mempengaruhi peningkatan pengetahuan pencegahan penyakit menular seksual pada Siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri. 4. Buku saku merupakan media yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan kesehatan reproduksi remaja pada Siswi SMA Negeri 1 Kandat Kediri. Saran untuk institusi pendidikan, hasil penelitian ini dapat dijadikan peningkatan dalam pemahaman ilmu pengetahuan khususnya seputar masalah kesehatan reproduksi remaja dengan penelitian lebih lanjut untuk mendukung sistem pendidikan dan pembelajaran serta memperkaya ilmu pengetahuan yang ada. Untuk sekolah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan bagi sekolah untuk lebih memperhatikan kesehatan reproduksi remaja putri dengan melakukan kegiatan pendidikan kesehatan reproduksi remaja berkelanjutan. Untuk remaja putri, hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran bagi kesehatan reproduksi remaja sehingga para

[52]

BIMABI

>>> Artikel original

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

remaja putri dapat lebih memperhatikan kesehatan reproduksinya, agar nantinya diharapkan para remaja putri tidak malu untuk memeriksakan diri ke tenaga kesehatan yang terdekat. Selain itu diharapkan bagi para remaja putri untuk senantiasa meningkatkan pengetahuan serta merubah perilaku kesehatan guna mencegah terjadinya masalah-masalah seputar kesehatan reproduksi wanita dan demi mencegah penyakit menular seksual. Untuk Peneliti Selanjutnya hasil penelitian dapat digunakan sebagai dasar bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dengan menambah variabel perilaku guna melihat hubungan yang ada. DAFTAR PUSTAKA 1. Suryoputro S, Ford NJ, Shaluhiyah Z, 2006, �Faktor-faktor yang mempengaruhi seksual remaja Jawa Tengah: implikasinya terhadap kebijakan dan layanan kesehatan seksual dan reproduksi�, Makara,Kesehatan,Vol. 10 2. Muadz M, Syaefuddin, Indrawarman, Muin, Nuranti A,dkk, 2010. Penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja, Jakarta : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi. 3. Pratiwi, 2009, Kesehatan remaja di Indonesia, http://www.idai.or.id / re m aj a / ar t i k el . a s p ? q = 2 0 1 0 4 7 1 0 1 1 2 (diakses tanggal 5 April 2012). 4. Adjie, 2009, Kesehatan reproduksi remaja dalam aspek sosial, http://www.idai. or.id/remaja /artikel.asp?q= 20103211494 (diakses tanggal 16 Maret 2012). 5. Widyastuti, 2011, PKBI remaja rentan terkena penyakit reproduksi http://www.waspada.co.id/index. php?option=com_content&view=article& id=196736:pkbi-remaja-rentan-terkenapenyakit-reproduksi&catid=47 :diskursus&

[53]


>>> Artikel original Itemid=130 (diakses tanggal 16 Maret 2012). 6. Muhammad, 2010, Strategi perancangan dan konsep visual http://elib. unikom.ac.id/files/disk1/539/jbptunikomppgdl-muhammadfi-26921-5-unikom_mi.pdf (diakses 12 April 2012). 7. Anas, SH , 2010,” Sketsa Kesehatan Reproduksi Remaja”,YinYang, Jurnal Studi Gender &Anak,Vol.5 Anonim, 2012, Program kerja di Indonesia program penelitian dan pengembangan kesehatan reproduksi, http:// www.who.or.id/ind/ ourworks.asp?id=ow3 (diakses tanggal 16 Maret 2012). Asrori M, Ali M, 2010, Psikologi remaja perkembangan peserta didik, Jakarta : PT Bumi Aksara. Benson & Pernoll, 2009, Buku saku obstetri dan ginekologi Ed. 9, Jakarta : EGC. Bowden J, Manning V, 2011, Promosi kesehatan dalam kebidanan : prinsip dan praktik Ed. 2. Jakarta : ECG. Krispinus, Duma, 2011, Modul Inovasi Penyuluhan Kesehatan dan Keselamatan Kerja Perusahaan Tambang Batubara di Kalimantan Timur Kajian terhadap Pola Hidup, Kelelahan Kerja dan Kecelakaan Kerja, disertasi, FKM : Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kusyogo, C, Tri prapto,K, , Ani, M, 2008, “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Praktik Kesehatan Reproduksi Remaja di SMA Negeri 1 Purbalingga Kabupaten Purbalingga” Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia,vol. 3/No. 2 Fraser dan Cooper,2009, Myles buku ajar bidan, Jakarta : EGC. Glasier,Anna, 2006, Keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, Jakarta : EGC. Herdianto,Deni, 2005, “Media pendidikan sebagai sarana pembelajaran yang aktif ”,Majalah Ilmiah Pembelajaran I, vol. 1 Hidayat, Alimul A.A, 2007, Metode penelitian kebidanan dan teknik analisis data, Jakarta : Salemba Medika. Hidayat,Y,2008, “Aplikasi bibliokonseling sebagai salah satu strategi membantu klien BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

BIMABI dalam konseling”, Lentera Pendidikan,vol 11 Hyde, Shibley J, 2008, Understanding human sexuality, New York: McGraw-Hill. Imron, Ali,2012, Pendidikan kesehatan reproduksi remaja: peer educator & efektivitas program PIK-KRR di sekolah, Jogjakarta : Ar-Ruzz Media. Mahfoedz, 2005,Gambaran tingkat pengetahuan remaja putri tentang seks bebas terhadap kesehatan reproduksi remaja, thesis, FKP: Universitas Muhammadiyah Semarang. Mikail B, Ana L, 2011. Kasus AIDS tertinggi di Jawa Timur, dari http://health. kompas.com/read/2011/11/26/07522958/ Kasus.AIDS. Tertinggi.di.Jawa. Timur (diakses 19 April 2012) Nasution, RM, 2010, Gambaran pengetahuan siswa SMA Negeri 5 Medan Tentang Kesehatan Reproduksi Remaja, skripsi, FKM : Universitas Sumatera Utara Medan. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Metodologi penelitian kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta. NS, Sallika, 2010, Serba serbi kesehatan perempuan, Jakarta : Bukuné. Nursalam, 2008, Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan Ed. 2, Jakarta : Salemba Medika Pinem, Sarohe, 2009, Kesehatan reproduksi dan kontrasepsi, Jakarta : CV. Trans Info Media. Prawirohardjo S, 2008, Ilmu kebidanan, Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. Santyasa, Wayan I, 2007, Landasan konseptual media pembelajaran, Bali : Unv. Pendidikan Ganesha. Sarwono, Sarlito W, 2011, Psikologi remaja, Jakarta : Rajawali Pers. Varney, Helen, 2007, Buku ajar asuhan kebidanan Ed.4, Jakarta : EGC. Wawan, A dan Dewi, M, 2010, Teori dan Pengukuran Pengetahuan Sikap dan Perilaku Manusia, Yogyakarta : Nuha Medika. Winastri V,Sutrisna, Kustrini R, Pubaningsih W, 2008, Pendalaman materi membantu remaja memahami dirinya,

>>> Artikel original

BIMABI

Jakarta : Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi.

[54]

BIMABI

Vol. I No. 2 Juni 2013

[55]


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.