Bimfi vol 3 no 2

Page 1



SUSUNAN PENGURUS PENASIHAT

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt.

Dekan Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

Subehan, S.Si, M.Pharm.Sc.,Ph.D., Apt. Dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

BOARD OF DIRECTOR

Syarifatul Mufidah, S. Far

PENANGGUNG JAWAB ISMAFARSI PIMPINAN UMUM

Hardiana Arsyad Universitas Hasanuddin

PIMPINAN REDAKSI Delvina Ginting

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SEKRETARIS - BENDAHARA I

Rifka Nurul Utami Universitas Hasanuddin

SEKRETARIS - BENDAHARA II Riri Nurul Suci

Universitas Indonesia

MITRA BESTARI Subehan, S.Si., M.Pharm.Sc.,Ph.D., Apt

Universitas Hasanuddin

Phebe Hendra, Ph.D., Apt.

Universitas Sanata Dharma

Rezi Riadhi Syahdi, S. Farm., M. Farm

ii

Universitas Indonesia

Dr. rer nat Rachmat Mauludin Institut Teknologi Bandung

DEWAN REDAKSI

Rudiarfiansyah Universitas Hasanuddin Ihin Solihin Universitas Islam Indonesia

Erwin Prawirodiharjo UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Raisatun Nisa Universitas Gadjah Mada

Rizkia Lazuardina Institut Teknologi Bandung

Herlina Tri Setiyowati Universitas Indonesia

Wuri Kinanti

Universitas Sanata Dharma

HUMAS DAN PROMOSI

Citra Utami Universitas Hasanuddin Khiratul Azizi Universitas Andalas

Ummum Nada

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hardyanti Eka Putri UIN Alauddin Makassar Denny Bachtiar UIN Syarif Hidayatullah Pramadevi Almira M. V. Universitas Islam Sultan Agung

Nursela Hijriani

Mei Elvina

Universitas Muhammadiyah Malang

Sekolah Tinggi Farmasi Bandung

Dicky Juniawan Putra Universitas Tanjungpura

TATA LETAK DAN LAYOUT

Vishilpy Dimalia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Akhyar Sukardi Universitas Hasanuddin Tito Gumelar Universitas Gadjah Mada Ahmad Mu’arif

Universitas Hasanuddin

Intan Permata Sari Institut Teknologi Bandung Tiara Vista Ramadhani Universitas Airlangga Dewi Laksmita Universitas Brawijaya


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-7851

Susunan Pengurus............................................................................................................................... Daftar Isi.................................................................................................................................................. Petunjuk Penulisan............................................................................................................................. Setitik Ilmu............................................................................................................................................. Sambutan Pimpinan Umum............................................................................................................

ii iii iv ix x

PENELITIAN

Pengaruh Ekstrak Etanolik Batang Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) Terhadap Penurunan Jumlah Folikel dan Ketebalan Dinding Uterus Pada Mencit Betina (Mus musculus) Azhari.A.H, Fauzi R. dan Khairunnisa

.............................................................................................................................................................................................................................

Aktivitas Antiinflamasi Ekstrak Herba Rumput Teki (Cyperus rotundus) Pada Tikus Putih Wistar Jantan (Rattus novergicus)

1

Muhammad Priyadi, Rachmanur Kurniansyah Jam’an, Nur Farahiyah Amalina, Ariyo Handono Putro, Rawina Nurmarianita

.............................................................................................................................................................................................................................

Isolasi Andrografolida Herba Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)

Selly M., Arina S. Hidayati, Maria Z. A. Yordan, Veronica N., Parrishany E. Saputra, Feni D. Anggraini, Irvan S. .............................................................................................................................................................................................................................

Penapisan Virtual Senyawa Pada Tanaman Benalu Teh (Scurrula atropurpurea) Sebagai Ligan Pada Reseptor Estrogen Alfa (ERÎą)

7 13

Okta Nursanti dan Linda Erlina

.............................................................................................................................................................................................................................

Pengaruh Kombinasi Krospovidon, AC-DI-SOL, dan Primojel Terhadap Waktu Hancur Sediaan Orally Disintegrating Tablet Dimenhidrinat

19

Didi, Inding Gusmayadi dan Fahjar Prisiska

.............................................................................................................................................................................................................................

26

TINJAUAN PUSTAKA

Ekstraksi Astaxantin Dari Hasil Pengolahan Limbah Udang Sebagai Sarana Menuju Kemandirian Bangsa Dalam Penyediaan Bahan Baku Obat Evelyn Yuliusman, Jennifer Christie dan Antonius Julio

.............................................................................................................................................................................................................................

Pharmaceutical Care Dalam Pemberian Edible Vaccine Guna Meningkatkan Taraf Kesehatan Daerah Tertinggal Di Indonesia

32

Nurul Fajry Maulida, Muhammad Ikhsan dan Evelyn Yuliusman

............................................................................................................................................................................................................................

38 iii


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) Indonesian Pharmacy Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMFI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu farmakologi, farmasetika, teknologi sediaan farmasi, farmakognosi, fitokimia, kimia farmasi, bioteknologi farmasi, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi. Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, dan ilmu dasar farmasi. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia farmasi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi farmasi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu farmasi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topiktopik yang sangat menarik dalam dunia farmasi atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau farmasi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia farmasi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar farmasi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang farmasi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia farmasi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa farmasi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai obat atau kombinasi obat terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

iv


Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMFI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksi bimfi@bimkes.org dan bimfi@ismafarsi.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Metode - Hasil - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 6. Judul 7. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 8. Pendahuluan 9. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Laporan kasus - Pembahasan - Kesimpulan 5. Daftar Rujukan v


8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. SERIAL

Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman. Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

2. BUKU

i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.

ii. Dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. vi


i. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. ii. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956.

iii. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.

iv. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.

viii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969. ix. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. x. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

3. PUBLIKASI ELEKTRONIK

i. Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku.

vii


www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

i. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm>

ii. Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>.

iv. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http:/www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.

viii


SETITIK ILMU

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) Indonesian Pharmacy Student Journal Satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) atau Indonesian Pharmacy Student Journal merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) setiap enam bulan sekali. Berkala ilmiah ini merupakan langkah awal ISMAFARSI dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan berkala ilmiah dan upaya pemetaan penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia. Maka dari itu, BIMFI berazaskan dari, oleh, dan untuk mahasiwa. Kriteria jenis tulisan yang tercantum dalam BIMFI adalah penelitian asli, tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar, editorial, petunjuk praktis, dan advertorial yang dibuat oleh mahasiswa farmasi Indonesia. Karya ilmiah yang dipublikasikan merupakan artikel terbaik yang sudah menjalani tahap penyaringan dan penilaian. Hal tersebut didukung oleh sistem redaksional yang digunakan, yaitu seleksi oleh editor dan redaktur, serta penilaian oleh mitra bestari, yang ahli di bidangnya masing-masing. Karya ilmiah yang dimuat dalam BIMFI terbagi dalam kelompok bidang ilmu, seperti Farmakologi, Farmakoterapi, Farmasetika, Teknologi Sediaan Farmasi, Farmakognosi, Fitokimia, Kimia Farmasi, Analisis Farmasi, Mikrobiologi Farmasi, dan Bioteknologi Farmasi. Karya yang dipublikasikan adalah tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi. Sebagai tahap awal penyebaran, BIMFI dalam bentuk cetak akan dibagikan ke beberapa Fakultas atau Prodi Farmasi di Indonesia. Pada tahap selanjutnya, BIMFI akan dibagikan ke seluruh Fakultas atau Prodi Farmasi, Asosiasi Institusi Farmasi, Organisasi Profesi Farmasi, dan beberapa perpustakaan di Indonesia untuk menjamin penyampaian informasi kepada para mahasiswa farmasi Indonesia. Selain itu, BIMFI juga tersedia dalam bentuk electronic journal yang bisa diakses di website. Dengan demikian, BIMFI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan informasi ilmu kefarmasian.

ix


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

Salam Dari Pimpinan Umum Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga alhamdulillah BIMFI bisa hadir kembali sebagai wadah publikasi ilmiah dan sarana informasi bagi dunia kefarmasian Indonesia. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman. Menulis sebuah artikel ilmiah bagi sebagian besar mahasiswa farmasi mungkin bukan menjadi hal baru. Namun, untuk mempublikasikan karya yang telah dibuat, masih kurang membudaya bagi mahasiswa. Melalui BIMFI, mahasiswa farmasi di Indonesia akan semakin mudah untuk dapat mempublikasikan artikelnya. Sebagai wadah jurnal mahasiswa farmasi pertama dan satu satunya di Indonesia, BIMFI telah berhasil menjadi konsumsi yang produktif untuk perkembangan ilmu kefarmasian bagi mahasiswa dan akademisi farmasi. BIMFI dapat dijadikan acuan referensi jurnal bagi mahasiswa sesuai kebutuhannya. Kehadiran BIMFI ini merupakan, bukti nyata adanya komitmen positif ISMAFARSI dalam menunjukkan kesungguhannya dalam mendukung Dirjen Dikti Kemendikbud Republik Indonesia, mengenai Wajib Publikasi Ilmiah bagi S1, sehingga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia. Pada tahun ketiga ini, BIMFI telah tersebar luas di beberapa kampus farmasi dari Aceh hingga Manado dan menoreh prestasi sebagai Sub BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia) terbaik di tahun kedua. BIMFI diharapkan dapat terus menjadi salah satu wadah mahasiswa yang dapat menumbuh kembangkan budaya publikasi, tulis dan kultur ilmiah yang merupakan atribut yang melekat dari sebuah civitas akademika. Terus berkarya dan terus menghasilkan jurnal-jurnal yang berkualitas. Dengan adanya berkala ilmiah ini, kami juga berharap dapat melakukan pemetaan terhadap penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia. Dengan mengingat bahwa ilmu kefarmasian terbagi dalam banyak bidang ilmu, artikelartikel yang dipublikasikan dalam BIMFI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tulisan. Sebanyak 5 artikel penelitian dan 2 artikel tinjauan pustaka dimuat pada edisi ini. Hanya artikel yang berkualitas dan terbaik yang bisa dimuat di BIMFI karena artikel-artikel yang masuk telah melalui proses seleksi yang panjang dan proses revisi dari dewan redaksi bersama mitra bestari. Besar harapan kami, semoga BIMFI Volume 3 Nomor 2 ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat sehingga mampu meningkatkan wawasan pembaca dan dapat membangun jiwajiwa kritis khususnya di dunia kefarmasian Indonesia. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses perjalanan hingga terbitnya BIMFI ini. Akhir kata terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada kesalahan yang telah penyusun lakukan. Sampai berjumpa pada edisi berikutnya, partisipasi teman-teman mahasiswa farmasi akan selalu kami nantikan agar kedepannya BIMFI bisa hadir kembali dengan lebih baik. Hidup Mahasiswa Farmasi Indonesia! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Hardiana Arsyad

x


Penelitian

PENGARUH EKSTRAK ETANOLIK BATANG PAKAN BANYU (Croton argyratus Blume) TERHADAP PENURUNAN JUMLAH FOLIKEL DAN KETEBALAN DINDING UTERUS PADA MENCIT BETINA (Mus musculus) Azhari. A. H,1* Fauzi. R1 dan Khairunnisa1 Program Studi Farmasi, Fakultas MIPA, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin *Corresponding author’s email: ahadizhr23@gmail.com

1

ABSTRAK Pendahuluan: Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) merupakan salah satu tanaman asal Kalimantan Selatan yang secara empiris digunakan oleh masyarakat sebagai kontrasepsi. Salah satu senyawa yang terkandung dalam batang pakan banyu adalah saponin triterpenoid yang diduga berperan dalam efek antifertilitas khususnya terhadap penurunan jumlah folikel dan ketebalan dinding uterus. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh ekstrak batang pakan banyu terhadap ketebalan uterus dan pertumbuhan jumlah folikel mencit betina. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan mencit betina yang dibagi dalam 5 kelompok dengan masing-masing perlakuan yaitu kelompok perlakuan dengan Mycrogynon 2,5 mg/kgBB, Na-CMC 0,5%, ekstrak batang pakan banyu 100 mg/KgBB, 200 mg/KgBB, dan 300 mg/KgBB selama 9 hari secara per oral. Mencit di diskolasi leher pada akhir percobaan, kemudian uterus dan ovarium diambil, lalu diamati preparat histologinya. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi dosis ekstrak maka ketebalan uterus dan jumlah folikel semakin mengecil. Kesimpulan: Ekstrak etanolik batang tumbuhan Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) mampu menurunkan jumlah folikel dan ketebalan dinding uterus. Kata kunci : Pakan Banyu, jumlah folikel, dinding uterus ABTRACT Introduction: Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) is one of original plant from South Kalimantan that are empirically used by the societyas a contraception. One of the compounds in the Pakan Banyu is triterpenoid saponins alleged to have a role in the antifertility effect in particular to the decrease in the number of follicles and the thickness of the uterine wall. This study aims to demonstrate the effects of the rod extract pakan banyu against uterine thickness and growth in the number of follicles female mice. Methods: This study was an experimental study using female mice were divided into 5 groups treated by Mycrogynon 2.5 mg/kgBB, 0.5% Na-CMC, rod extract Pakan Banyu 100 mg/KgBW, 200 mg/KgBW, and 300 mg/KgBW for 9 days orally. At the end of the experiment,the mice was dislocated , then the uterus and ovaries were taken, then observed the histology preparations. Results: The results showed the higher dose of the extract, the thickness of the uterus and the number of follicles is getting smaller where the thickness of the uterus and the smallest number of follicles found in a dose of 300 mg / KgBW. Conclusion: The ethanolic extract of plant rod Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) is able to reduce the number of follicles and the thickness of the wall the uterus. Keywords: Pakan Banyu, number of follicles, uterine wall

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

1


1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, baik hasil bumi, fauna, maupun flora karena Indonesia memiliki beragam spesies tumbuhan yaitu sekitar 30 000 jenis tumbuhan dari total 40 000 jenis tumbuhan di dunia, 940 jenis diantaranya diketahui sebagai tumbuhan berkhasiat obat (jumlah ini merupakan 90% dari jumlah tumbuhan obat di Asia) yang tersebar di seluruh daerah Indonesia termasuk di Kalimantan Selatan.[8] Provinsi Kalimantan Selatan merupakan daerah yang kaya akan keanekaragaman jenis tumbuhan berkhasiat obat.[14] Tumbuhan obat pakan banyu (Croton Argyratus Blume) merupakan salah satu tumbuhan khas Kalimantan selatan yang berasal dari daerah Kintap tepatnya di Desa Riam Adungan. Secara empiris masyarakat setempat (kaum wanita) menggunakan tumbuhan obat ini sebagai obat kontrasepsi dengan mengambil batangnya lalu direbus. Setelah itu air rebusan tersebut diminum oleh wanita yang ingin ber KB. Adanya tumbuhan obat seperti pakan banyu yang berkhasiat sebagai obat KB ini dapat dijadikan solusi untuk menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia dan adanya isu back to nature serta dengan kondisi krisis ekonomi global yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat terhadap obat-obatan sintesis dan cenderung beralih ke obat-obatan tradisional dari berbagai racikan tumbuhan yang berasal dari alam. Kandungan senyawa yang diduga terdapat pada tumbuhan pakan banyu (Croton argyratus Blume.) yang dapat berpengaruh terhadap kontrasepsi adalah saponin triterpenoid. Pada penelitian pengaruh pemberian ekstrak daun pegagan (Centella asiatica (L) Urban) terhadap kadar hormon estradiol terjadi penurunan akibat dari kandungan daun pegagan yaitu triterpenoid saponin dan penelitian bahwa ekstrak pegagan (Centella asiatica (L) Urban) dapat menurunkan jumlah folikel.[1,7] Berdasarkan data empiris tumbuhan pakan banyu (Croton Argyratus Blume) masyarakat desa Riam Adungan serta data ilmiah terkait kandungan saponin triterpenoid yang berperan dalam aktivitas sebagai kontrasepsi, maka perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk membuktikan pengaruh ekstrak tumbuhan pakan banyu terhadap pertumbuhan folikel dan ketebalan uterus pada hewan mencit betina (Mus musculus).

2

2. METODE 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juli 2014, bertempat di laboratorium FarmakognosiFitokimia dan Farmakologi-Toksikologi, Program Studi Farmasi Universitas Lambung Mangkurat serta Histopatologi Balai Veteriner, Banjarbaru, Kalimantan Selatan. 2.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca analitik (Ohauss Explorer Pro dan GF-3000), alat-alat gelas (Pyrex Iwaki Glass), cawan porselin, mortir & stamper (RRC), mikroskop (Olympus Cx22), tabung reaksi (pyrex), penjepit kayu, kaca objek (Pyrex), pipet tetes, oven (Memmert), pipet volume, pengaduk, alat suntik tumpul (OneMed), chamber, dan blender (Miyako). Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian meliputi sampel tanaman yang diperoleh di Kintap, Kecamatan Tanah Laut, Kalimantan Selatan, air suling, CMC, amonia, reagen Mayer, reagen Dragendrof, iodin, etanol, Pb (II) asetat P, FeCl3, NaCl, H2SO4, HCl etil asetat, metanol, NaOH, Floroglusin, plat KLT, formalin dan bahanbahan untuk pembuatan sediaan histologis ovarium dan uterus dengan menggunakan metode parafin dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin. 2.3.Prosedur Kerja Pertama dilakukan pengambilan sampel tumbuhan pakan banyu, lalu sampel dibuat simplisia dan dilakukan determinasi tumbuhan. Kemudian dilakukan Pemeriksaan Farmakognostik Meliputi Pemeriksaan morfologi dan organoleptis serta ekstraksi secara soxletasi. Selanjutnya dilakukan identifikasi senyawa kimia dan analisis kualitatif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Pada tahap perlakuan, mencit diadaptasikan di dalam kandang selama 7 hari dan diberikan pakan standar. Kemudian mencit dibagi menjadi 5 kelompok yaitu 3 kelompok perlakuan dosis 100mg/KgBB, 200mg/KgBB, 300mg/KgBB, 1 kelompok Mycrogynon 2,5 mg/kgBB, dan 1 kelompok NaCMC 0,5%. Dimulai melalui pengamatan siklus birahi kemudian dilakukan perlakuan per oral selama 9 hari.[5] Selanjutnya mencit di diskolasi leher kemudian dibedah dan dibuat Preparat sediaan histologis uterus dan ovarium mencit dengan metode parafin dengan pewarnaan Hematoksilin - Eosin. Selanjutnya dilakukan pengambilan data

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


dengan mengamati pengaruh terhadap penurunan jumlah folikel primer, sekunder, tersier, dan penurunan ketebalan dinding uterus pada mencit betina (Mus musculus) dengan bantuan mikroskop (Olympus Cx22) dengan perbesaran 10x40. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini diawali dengan esktraksi tumbuhan pakan banyu dengan metode soxletasi menggunakan pelarut etanol dari 450 gram simplisia menghasilkan rendemen esktrak sebesar 1,28%. Ekstrak kemudian dilakukan skrining fitokimia untuk mengetahui metabolit sekunder yang terkandung. Hasil menunjukkan bahwa tumbuhan pakan banyu mengandung senyawa saponin dimana pada uji saponin menunjukkan hasil positif berupa timbulnya busa. Uji selanjutnya ialah analisa kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mengetahui jenis dari senyawa saponin apakah saponin steroid ataupun saponin triterpenoid. Eluen yang digunakan adalah kloroform:metanol:air (13:7:2) dengan fase diam silica gel GF 254.[13] Nilai Rf yang dihasilkan dari dua plat yang digunakan adalah Rf1= 0,587 dan Rf2= 0,675

dimana hasil ini menunjukkan bahwa jenis saponin yang terkandung adalah saponin triterpenoid.[5] Hasil penelitian mengenai efek pemberian ekstrak batang pakan banyu (Croton argyratus Blume) terhadap tebal uterus mencit dan pertumbuhan sel folikel (folikel primer, folikel sekunder, dan folikel de graff) dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 dilihat bahwa jumlah folikel pada ovarium mencit dan tebal uterus mencit mengalami penurunan dengan dosis yang semakin tinggi. Secara teori, hal ini dipengaruhi oleh adanya senyawa saponin dalam tumbuhan pakan banyu dimana saponin triterpenoid masuk dalam jalur biosintesa hormon.[10] Selanjutnya dari jalur sintesa hormon estrogen tersebut dihasilkan senyawa baru analog yang alami yaitu fitoestrogen. Bekerja sebagai kompetitor yang akan berikatan dengan reseptor estrogen.[9] Efek yang dihasilkan adalah inhibisi reseptor estrogen sehingga akan menghambat efek normal estrogen.[9] Berdasarkan Gambar 1. Menunjukkan tebal uterus pada fase estrus. Berdasarkan gambar dapat dilihat bahwa se-

Tabel 1. Profil Tebal Uterus dan Jumlah Folikel Perlakuan

Variabel Fase Birahi

Tebal

Folikel Folikel Primer Sekunder

Folikel De Graff

Jumlah Folikel

Kontrol Negatif

Estrus

583,10

4

2

-

6

Metestrus

413,60

-

-

-

-

(Na-CMC)

Estrus

564,93

20

1

-

21

Kontrol Positif (Mycrogynon)

100 mg/KgBB

200 mg/KgBB

300 mg/KgBB

Estrus

533,76

-

-

-

-

Proestrus

311,33

5

-

4

9

Diestrus

403,33

2

-

1

3

Proestrus

623,33

1

1

1

1

Diestrus

377,93

-

-

-

-

Estrus

470,81

3

4

4

11

Estrus

443,16

15

-

-

15

Metestrus

446,70

9

2

-

11

Estrus

488,66

5

2

5

12

Estrus

472,30

8

2

2

12

Estrus

373,20

8

7

1

16

Metestrus

339,77

3

5

2

10

Estrus

331,11

4

4

3

11

Estrus

323,30

2

2

1

5

Estrus

249,67

4

3

-

7

Estrus

453,57

4

2

6

12

Estrus

358,10

4

4

-

8

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

3


Tebal uterus (Âľm) 600 500

1 Kontrol negatif 560,59

2 100 mg/KgBB

467,54

400

391,53

300

3 200 mg/KgBB 346,63

200

4 300 mg/KgBB

100 0 1

2

3

4

Gambar 1. Diagram Batang Pengukuran Ketebalan Uterus Setelah Pemberian Ekstrak Batang Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) makin tinggi dosis maka terjadi penurunan jumlah ketebalan uterus. Pada fase estrus ditandai dengan sel-sel epitel yang mengalami penandukan (kornifikasi), tanpa inti dan berwarna pucat.[13] Perubahan yang terjadi pada tebal uterus adalah regulasi dari hormon, seperti hormon estradiol. Hasil penelitian [12] bahwa ukuran tebal endometrium uterus baik fase proestrus, estrus dan metestrus ukuran endometrium tetap tebal walaupun kandungan estrogen sudah turun. Hasil penelitian ini menunjukkan penurunan tebal uterus dimana tebal pada perlakuan dosis kontrol negatif sebesar 560,59 , perlakuan dosis ekstrak 100 mg/KgBB sebesar 467,54 , perlakuan dosis ekstrak 200 mg/KgBB sebesar 391,53 , dan perlakuan dosis ekstrak 300mg/ KgBB sebesar 346,63 . Berikut ini adalah gambaran preparat Sediaan histologis uterus dengan metode paraffin dengan pewarnaan HematoksilinEosin. Uterus merupakan salah satu bagian dari sistem reproduksi betina. Uterus sangat responsif terhadap perubahan kadar hormon.[3] Jika salah satu hormon reproduksi terhambat oleh agen kontrasepsi maka akan terjadi penurunan ketebalan dinding uterus, dimana uterus memiliki fungsi sebagai tempat sel telur yang sudah dibuahi tumbuh. Jika dinding uterus tidak siap sebagai tempat dari sel telur yang telah dibuahi tumbuh maka proses kehamilan pun akan terhalangi.[11]

4

Dinding Uterus

Lumen

Gambar 2. Sayatan Melintang Uterus Mencit dengan Metode Parafin dan Pewarnaan HE Cooke, et al (1998) menyatakan secara normal bahwa aktivitas estrogenik hormon estrogen akan mempengaruhi aktivitas proliferasi pada sel stroma dan sel epitelium. [2] Mekanisme estrogen dalam mempengaruhi aktivitas proliferasi sel adalah hormon estrogen akan berikatan dengan reseptor hormon pada sel target sehingga mampu mengubah konformasi reseptor hormon. Perubahan konformasi ini menyebabkan komplek estrogen-reseptor menjadi aktif sehingga mampu berikatan dengan tempat pengikatan (site binding) pada rantai DNA, khususnya pada sisi akseptor. Interaksi antara komplek estrogen-reseptor dengan sisi akseptor DNA menyebabkan ekspresi gen menjadi meningkat. Ekspresi gen ini dikatalisis oleh enzim RNA polymerase yang

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Jumlah Folikel 16 14 12 10 8 6 4 2 0

13.5

13

12.67 8

1

2

3

1

Kontrol negatif

2

100 mg/KgBB

3

200 mg/KgBB

4

300 mg/KgBB

Dosis

4

Gambar 3. Diagram Batang Jumlah Folikel pada Ovarium Setelah Pemberian Ekstrak Batang Pakan Banyu (Croton argyratus Blume) menyebabkan peningkatan mRNA. Pada sisi lain sintesis tRNA juga akan meningkat sehingga pada akhirnya sintesis materi sel menjadi meningkat yang mendukung aktivitas proliferasi sel.[6] Adanya fitoestrogen yang dihasilkan oleh saponin triterpenoid mengakibatkan hambatan efek normal estrogen yang berupa hambatan proliferasi sel stroma dan sel epitelium. Hal ini akan menyebabkan hambatan pertumbuhan sel folikel dan ketebalan uterus. Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat terjadi penurunan jumlah folikel dari dosis 100-300. Artinya semakin tinggi dosis menurunkan jumlah folikel. Menurut penelitian folikel yang normal adalah folikel yang berkembang mulai dari folikel primer hingga folikel de graff dan menghasilkan pembuahan.[7] Perkembangan folikel ovarium yang tertekan membuktian bahwa fitoestrogen berikatan dengan reseptor estrogen sehingga biosintesis estrogen alami tubuh menjadi tertekan.[9] Pada hewan betina, Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH) disekresikan dari hipotalamus merangsang pelepasan Lutenising Hormone (LH) and Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari pituitari anterior. FSH and LH disekresikan dengan taraf yang berbeda pada periode siklus estrus. Pada awal siklus (fase follicular), FSH merangsang perkembangan folikel-folikel, salah satu diantaranya berkembang cepat menjadi folikel de Graff (GF). Folikel de Graaf mensekresikan hormon estradiol.[4] Dimana pada jumlah folikel pada perlakuan dosis kontrol negatif sebesar 13,5 folikel, perlakuan dosis ekstrak 100 mg/KgBB sebesar 13 folikel, perlakuan dosis ekstrak 200 mg/KgBB sebesar 12,67 B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

dan perlakuan dosis ekstrak 300 mg/KgBB sebesar 8 folikel. Berikut ini adalah gambaran preparat Sediaan histologis ovarium dengan metode paraffin dengan pewarnaan HematoksilinEosin.

3 1 2 (1) Folikel primer; (2) Folikel sekunder; (3) Folikel de graff Gambar 4. Sayatan melintang ovarium mencit dengan metode parafin dan pewarnaan HE. Berdasarkan Gambar 4, dapat dilihat folikel mengandung oosit (bakal sel telur) dimana memiliki 3 tahap hingga dikeluarkannya sel telur yaitu folikel primer, sekunder dan de graff. Menurunnya jumlah folikel berpengaruh pada sel telur yang dihasilkan, sehingga dengan tidak adanya sel telur maka tidak ada pembuahan.[15] Berdasarkan Gambar 4. Dapat dilihat bahwa ekstrak batang pakan banyu memiliki efek antifertilitas. 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Ekstrak batang pakan banyu (Croton argyratus Blume) berpengaruh terhadap 5


penurunan jumlah folikel dan penurunan tebal dinding uterus pada mencit betina (Mus musculus). 4.2. Saran Diharapkan dengan adanya penelitian mengenai uji antifertilitas dapat dikembangkan dan didukung dalam penelitiannya hingga menjadi sebuah produk yang dapat membantu permasalahan kepadatan penduduk di Indonesia. Harapannya dapat dilanjutkan untuk menjadi sebuah produk obat KB. 5.UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Dosen pembimbing Noor Cahaya, M.Sc., Apt., Balai Veteriner Banjarbaru, Laboratorium FMIPA UNLAM, teman-teman yang ikut membantu dalam penelitian ini serta DIKTI yang telah membiayai penelitian ini melalui program kreativitas mahasiswa. DAFTAR PUSTAKA [1]. Mahsyud. Lokakarya Nasional Tanaman Obat Indonesia. 2010. <http:// www.dephut.go.id/index.php/news/details/7044> [2]. Syaifuddin. Pelestarian Tumbuhan Berkhasiat Obat Khas Kal-Sel. 2013. <http://foreibanjarbaru.or.id/archives/543> [3]. Andria, Y. “Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Pegagan (Centella Asiatica (L) Urban) terhadap Kadar Hormon Estradiol dan Kadar Hormon Progesteron Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Betina.” Tesis. Program Studi Ilmu Biomedik, Universitas Andalas. Padang, 2012. [4]. Kristanti, A. N. “Potensi Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) Dosis Tinggi Sebagai Antifertilitas Pada Mencit (Mus musculus) Betina.” Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malang, 2010. [5]. Puspitasari, Y danByba, M. S. “PemberianEkstrak Ethanol Biji Pepaya (Carica papaya) Sebagai Bahan Antifertilitas Alternatif Pada Tikus Betina (Rattus novergicus) Terhadap Jumlahdan Kualitas Sel Telur.” Veterina Medika Vol 7. No.1. (2014). [6]. Suharto, M. A. P., Hosea, J. E dan Jo-

6

vie, M. D. “Isolasi dan Identifikasi Senyawa Saponin Dari Ekstrak Metanol Batang Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum L.).” Program Studi Farmasi, FMIPA UNSRAT. Manado, 2011. [7]. Jaya, A. M. “Isolasi dan Uji Efektifitas Antibakteri Senyawa Saponin Akar Putri Malu (Mimosa pudica).” Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Terapan Teknologi, UIN Maulana Malik Ibrahim. Malang, 2010. [8]. Nurliani, A. “Study Antifertility Potency from Bark of the Durian (Durio zibenthinus Murr) by Phytochemistry Screening.” Sains dan Terapan Kimia1:2 (2007). [9]. Mardiati S. M. dan Agung. J. S. “Korelasi Jumlah folikel Ovarium dengan Konsentrasi Jumlah Hormon Estrogen Mencit (Mus Musculus) setelah Konsumsi Harian tepung Kedelai selama 40 Hari.” Buletin Anatomi dan Fisiologi16:2 (2008). [10]. Sitasiwi, A. J. “Hubungan Kadar Hormon Estradiol 17-β dan Tebal Endometrium Uterus Mencit (Mus musculus L.) selama Satu Siklus Estrus.” Jurnal Anatomi Fisiologi. (2008): 38-45. [11]. Dallmann, H. D dan E. M. Brown. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi Kedua. Jakarta: UI press, 1992. [12]. Puspitadewi, S dan Sunarno. “Potensi Agensia Anti Fertlitas Biji Tanaman Jarak (Jatropha curcas) dalam Mempengaruhi Profil Uterus Mencit (Musmusculus) Swiss Webster.”JSM15:2 (2007). [13]. Cooke, P. S, et al. “Mechanism of Oestrogen Action : Lesson from the Oestrogen Receptor-alpha Knockout Mouse.” Biol. Respond 59 (1998): 470-475. [14]. Johnson, M. H dan B. J. Everitt. Essential Reproduction Third Edition. London: Blackwell Sei, Punlishing, 1995. [15]. Hernawati. “Perbaikan Kinerja Reproduksi Akibat Pemberian Isoflavon dari Tanaman Kedelai.” Skripsi. Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA, Universitas Pendidikan Indonesia. 2011. [16]. Yatim, W. Histologi. Bandung: Tarsito, 1994.

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Penelitian

AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK HERBA RUMPUT TEKI (Cyperus rotundus) PADA TIKUS PUTIH WISTAR JANTAN (Rattus novergicus) Muhammad Priyadi,1* Rachmanur Kurniansyah Jam’an,1 Nur Farahiyah Amalina,1 Ariyo Handono Putro,1 Rawina Nurmarianita1 Program Studi Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Malang *Corresponding author’s email: farahiyahnur@gmail.com

1

ABSTRAK Pendahuluan: Inflamasi adalah respon biologis kompleks dari jaringan vaskular karena adanya bahaya seperti patogen, kerusakan sel, iritasi atau penyakit. Penggunaan obat golongan steroid dan NSAID dalam mengatasi inflamasi diketahui memberikan cukup banyak efek samping sehingga perlu mencari terapi alternatif yang memiliki efek samping minim. Rumput Teki (Cyperus rotundus) memiliki kandungan flavonoid yang dapat berfungsi sebagai antiinflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas ekstrak etanol herba Rumput Teki sebagai antiinflamasi dalam mengurangi pembengkakan. Metode: Ekstraksi herba Rumput Teki dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 96% dan diidentifikasi mengandung senyawa flavonoid menggunakan metode KLT. Uji antiinflamasi dilakukan secara pre post test design menggunakan induksi karagenin 1% 0,1 mL pada tikus. Penelitian ini menggunakan dosis ekstrak 300 mg/kgBB, 450 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB. Hasil: Hasil persen inhibisi berturut-turut, yaitu 36,62%; 43,19%; 44,29% dan kontrol positif sebesar 73,35%. Analisis hasil menggunakan metode One Way Anova serta uji Post Hoc Tuckey jika berbeda nyata (p<0,05) yang memperlihatkan perbedaan persen inhibisi antara kelompok ekstrak dengan kontrol positif dan negatif. Sedangkan antar kelompok ekstrak tidak terdapat perbedaan persen inibisi secara signifikan. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa ekstrak etanol herba Rumput Teki (Cyperus rotundus) mempunyai efek antiinflamasi dengan efek inhibisi yang lebih optimal sebesar 44,29% pada dosis 600mg/kgBB. Kata kunci : Cyperus rotundus, antiinflamasi, maserasi, flavonoid ABSTRACT Background: Inflammation is a complex biological response of vascular tissues because of the danger such as pathogens, cell damage, irritation or disease. The use of steroids and NSAIDs in addressing inflammation is known to give quite a lot of side effects that need to search for alternative therapies that have minimal side effects. Rumput Teki (Cyperus rotundus) contains flavonoids which can serve as anti-inflammatory. This study aimed to examine the activity of the ethanol extract of the herb as an anti-inflammatory to reduce swelling. Methods: Rumput Teki herb was extracted with maceration method using ethanol 96% and containing flavonoids which identified using TLC method. Antiinflammatory test conducted pre post test design using induction of karagenin 1% 0.1 ml in mice. This study used the extract dose of 300 mg/kg weight, 450 mg/kg weight, and 600 mg/kg weight. Results: The results of percent inhibition respectively are 36.62%; 43.19%; 44.29% and 73.35% for positive control. Analysis of the results using the One Way Anova and Tuckey Post Hoc test if significant differences (p <0.05) which shows the difference between the percent inhibition of extracts with positive and negative controls. While there is no intergroup differences percent extract significantly inibition. Conclusions: It was concluded that the ethanol extract of the rumput teki (Cyperus rotundus) has anti-inflammatory effect with a more optimal inhibition effect 44.29% at a dose of 600 mg/kg weight. Keywords : Cyperus rotundus, antiinflamatory, maceration, flavonoid B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

7


1. PENDAHULUAN Inflamasi adalah respon biologis kompleks dari jaringan vaskular karena adanya bahaya seperti patogen, kerusakkan sel, atau iritasi. Gejala umum proses inflamasi yang sudah dikenal yaitu, kalor, rubor, tumor, dolor, dan function laesa. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan inflamasi antara lain radang sendi (artritis), pneumonia, asma, gastritis dan sebagainya.[1] Prevalensi penyakit peradangan menurut Riskesdas 2013 cenderung meningkat setiap tahunnya.[2] Penatalaksanaan farmakologis inflamasi yaitu dengan mengatasi radang menggunakan golongan obat AINS (Anti Inflamasi Non Steroid) atau golongan steroid. Namun, penggunannya seringkali menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan sehingga perlu dilakukan penelitian untuk mencari terapi alternatif yang memiliki efek samping yang minim. [3] Sekarang ini penggunaan obat tradisional cenderung terus meningkat. Konsumsi masyarakat terhadap obat tradisional di negara berkembang mencapai 80% dari jumlah populasinya dan hasil SUSENAS 2007 menunjukkan Âą 23,7 juta jiwa penduduk Indonesia memilih menggunakan obat tradisional yang dinilai aman karena memiliki efek samping yang relatif kecil. [4,5,6] Salah satu tanaman herbal yang berpotensi dapat dimanfaatkan sebagai terapi antiinflamasi adalah Rumput Teki (Cyperus rotundus). Rumput Teki (Cyperus rotundus) merupakan herba menahun yang tumbuh liar dan mudah ditemukan di sekitar kita. Kurangnya informasi menyebabkan pemanfaatan yang minim dari rumput teki. Adapun kandungan fitokimia dari rumput teki antara lain tanin, saponin, flavonoid, alkaloid, kuinon, terpenoid, fenol, kumarin, dan karbohidrat.[7,8] Senyawa flavonoid memiliki aktivitas farmakologi sebagai antiinflamasi. Adanya kandungan flavonoid pada Rumput Teki berpotensi bekerja sebagai antiinflamasi. Selain itu, pemanfaatan kandungan senyawa fitokimia pada herba Rumput Teki dapat menjadi alternatif pengendalian gulma yang berwawasan lingkungan. [9] Hal ini menjadi perhatian utama kami dengan mengindikasikan bahwa herba Rumput Teki berpotensi memiliki aktivitas antiinflamasi pada beberapa penyakit peradangan. Aktivitas antiinflamasi ini diuji dengan ekstrak etanol herba Rumput Teki terhadap edema telapak kaki tikus putih (Rattus novergicus) jantan galur Wistar yang diinduksi dengan karagenin. Penelitian sebelumnya mengenai aktivitas antiinflamasi Rumput Teki hanya

8

menggunakan bagian organ akar dan umbi. [10,11] Sehingga pada penelitian ini digunakan herba yakni seluruh bagian tumbuhan agar diperoleh persen inhibisi yang lebih optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi ekstrak etanol herba Rumput Teki (Cyperus rotundus) terkait dengan aktivitas antiinflamasinya sehingga dapat memberikan kontribusi terhadap penemuan obat herbal dalam bidang farmasi khususnya pengembangan produk obat bahan alam asli Indonesia yang bermutu. 2. METODE 2.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Terpadu Prodi Farmasi dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang selama 3 bulan. 2.2. Populasi dan Sampel Populasi dari penelitian ini adalah 25 ekor tikus putih (Rattus novergicus) jantan yang memiliki berat badan 100 g - 200 g dengan umur sekitar 2-3 bulan. Karakteristik sampel penelitian dibagi menjadi kriteria inklusi yang terdiri dari tikus putih jantan, sedangkan kriteria eksklusi terdiri dari tikus yang mati saat perlakuan. Pengambilan sampel ini dengan metode simple random sampling. Dengan alasan mengunakan simple random sampling karena populasi dianggap homogen. 2.3. Proses Ekstraksi Herba Rumput Teki Sampel berupa serbuk simplisia herba Rumput Teki sebanyak 500 gram dimaserasi menggunakan etanol 96% sebanyak 2 L. Sampel dimaserasi dalam beaker glass selama 1 hari dan sesekali diaduk. Setelah 1 hari, rendaman tersebut disaring dengan kertas saring (filtrat 1). Sisa ekstrasi dimaserasi kembali sebanyak dua kali dengan etanol 95% masing-masing 1,5 liter selama 1 hari lalu disaring (diperoleh filtrat 2 dan 3). Kemudian, filtrat 1, 2 dan 3 digabung kemudian diuapkan dengan evaporator pada suhu 50°C sampai menjadi ekstrak kental. 2.4. Identifikasi Senyawa Flavonoid dengan Metode KLT Ekstrak dan n-heksana diekstraksi beberapa kali hingga larutan menjadi bening. Kemudian diambil bagian residunya dan ditambah etanol secukupnya. Setelah itu ditotolkan pada plat KLT dan dieluasi dengan fase gerak kloroform:etil asetat(1:1). Noda diamati di bawah lampu UV. Kemudian plat KLT diderivatisasi ke

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


dalam larutan penampak noda H2SO4 :Aquadest (9:1) dan dipanaskan di atas hot plate hingga timbul warna kekuningan. 2.5. Uji Aktivitas Antiinflamasi Sebanyak 25 hewan uji dibagi ke dalam 5 kelompok, tiap kelompok terdiri atas 5 ekor. Masing-masing tikus ditimbang berat badannya. Lalu, pada sendi belakang salah satu kaki tikus ditandai dengan spidol. Kemudian, volume awal kaki tikus diukur dan dicatat (menit ke-0). Setelah itu, masing-masing kelompok diberi perlakuan per oral. Kelompok kontrol negatif diberi suspensi NaCMC 0,5% 0,5 ml. Kelompok kontrol positif diberi Na-Diklofenak 10 mg/ kg BB dan kelompok uji masing-masing diberi ekstrak dengan dosis 300 mg/kg BB, 450 mg/kg BB dan 600 mg/kg BB. Setelah 30 menit pemberian larutan kontrol dan ekstrak, diinduksikan secara subplanar larutan karagenin 1% pada telapak kaki tikus sebanyak 0,1 ml. 30 menit setelah induksi karagenin, volume kaki diukur pada alat pletismometer air raksa dengan cara mencelupkan telapak kaki hingga garis tanda spidol. Pengukuran dilakukan setiap 30 menit selama 3 jam setelah induksi karagenin. 2.6. Teknik Pengukuran Data Data didapatkan melalui pengamatan data primer yaitu langsung dari hewan uji dan secara kuantitatif dengan mengukur volume udem pada telapak kaki hewan uji. Setiap kelompok tikus dihitung persentase inhibisi radang ratarata untuk setiap zat uji dengan rumus: 100% % Inhibisi radang = Keterangan: a = volume udem pada kelompok hewan kontrol. b = volume udem pada kelompok hewan uji.

Gambar 1. Hasil Uji KLT jukkan hasil positif dengan terjadinya perubahan warna berupa warna kuning.[6] Dari hasil pengujian aktivitas antiinflamasi diperoleh data volume edema tiap 30 menit selama 3 jam. Pada kelompok kontrol negatif diketahui mengalami peningkatan volume edema dari menit ke-30 hingga menit ke-180. Pada kelompok kontrol positif terjadi penurunan volume edema dari menit ke-60 hingga menit ke-180. Pada kelompok uji terjadi penurunan dan peningkatan pada waktu tertentu. Kelompok ekstrak 300 mg/kgBB mengalami penurunan terendah pada menit ke-120, kelompok ekstrak 450 mg/kgBB mengalami penurunan terendah pada menit ke-60, kelompok ekstrak 600 mg/kgBB mengalami penurunan terendah pada menit ke-90. Data hasil pengukuran volume edema terhadap 5 kelompok hewan uji dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 2.

2.7. Analisis Data Hasil percobaan dianalisis secara statistik menggunakan metode One Way Anova dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tuckey jika berbeda nyata (p<0,05). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Diperoleh ekstrak berwarna hitam kecoklatan sebanyak 9,96 gram dengan hasil randemen 2%. Hasil identifikasi ekstrak (Gambar 1) menunjukkan noda berwarna kuning pada plat KLT yang artinya ekstrak mengandung senyawa flavonoid dengan nilai Rf 0,54 (diamati di sinar UV pada 位 = 365 nm). Harbone menjelaskan bahwa pada uji fitokimia terhadap senyawa golongan flavonoid akan menun-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

Gambar 2. Rata-Rata Volume Edema Tiap Waktu Pada inhibisi kelompok kontrol positif memberikan persentase hambatan terbesar pada menit ke-150 sebesar 85,71%, Ekstrak 300 mg/kgBB pada menit ke-120 sebesar 58,33%, Ekstrak 450 mg/kgBB pada menit ke-150 sebesar 46,43%, dan Ekstrak 600 mg/kgBB pada menit ke-180 sebesar 60,71%. Hasil penghambatan proses inflama-

9


Tabel 1. Rata-Rata Volume Edema (mmHg) Tiap Waktu Waktu (Menit)

Kelompok

0

30

60

90

120

150

180

Kontrol (-)

0,54

0,6

0,57

0,63

0,69

0,8

0,8

Kontrol (+)

0,31

0,26

0,23

0,2

0,11

0,11

0,11

Ekstrak 300mg/kgBB

0,49

0,49

0,4

0,37

0,29

0,51

0,51

Ekstrak 450mg/kgBB

0,6

0,34

0,31

0,37

0,43

0,43

0,43

Ekstrak 600mg/kgBB

0,74

0,4

0,37

0,29

0,51

0,34

0,31

Tabel 2. Persentase Inhibisi Tiap 30 Menit Kelompok

Waktu(Menit) 30

60

90

120

150

180

Kontrol (+)

57,14%

60,00%

68,18%

83,33%

85,71%

85,71%

Ekstrak 300mg/kgBB

19,05%

30,00%

40,91%

58,33%

35,71%

35,71%

Ekstrak 450mg/kgBB

42,86%

45,00%

40,91%

37,50%

46,43%

46,43%

Ekstrak 600mg/kgBB

33,33%

35,00%

54,55%

25,00%

57,14%

60,71%

si dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 3. Data hasil percobaan dianalisis secara statistik dengan program SPSS 17 menggunakan metode One Way Anova dan dilanjutkan dengan Uji Post Hoc Tuckey jika berbeda nyata (p<0,05).Dari hasil analisis data diketahui adanya perbedaan signifikan antar kelompok dengan nilai p=0,000 (p<0,05). Uji Post Hoc Tuckey menunjukan adanya perbedaan persen inhibisi antara ekstrak dengan kontrol positif dan negatif. Sedangkan antar ekstrak tidak terdapat perbedaan persen inibisi secara signifikan.

Gambar 3. Grafik % Inhibisi Tiap Waktu Dari hasil analisis diperoleh rata-rata persen inhibisi dari kontrol positif sebesar 73,35%. Adapun persen inhibisi dari ekstrak yakni ekstrak 300 mg/kgBB, 450 mg/kgBB, dan 600 mg/kgBB berturut-turut adalah 36,62%, 43,19%, dan 44,29%. Hasil ratarata % inhibisi dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan penelitian Dang et al., ekstrak akar Rumput Teki dengan dosis 270 mg/kgBB memiliki persentase inhibisi

10

terhadap inflamasi sebesar 9,31% sedangkan pada penelitian Fridiana didapatkan hasil bahwa ekstrak etanol umbi Rumput Teki 30% lebih optimal sebagai antiinflamasi dibandingkan pada konsentrasi 10% dan 20% karena mampu menekan volume edema lebih baik. Pada penelitian kami, digunakan seluruh bagian tanaman Rumput Teki (herba) dan didapatkan efek inhibisi yang lebih optimal sebesar 44,29% pada dosis 600 mg/kgBB.[10,11]

Gambar 4. Grafik Rata-Rata % Inhibisi Tiap Kelompok Yuan et al. mengatakan saponin dan flavonoid memiliki aktivitas antiinflamasi. Jenis flavonoid seperti quersetin, apigenin, dan luteolin mempunyai aktivitas antinflamasi. Menurut Shandar et al. flavonoid memiliki aktivitas farmakologi sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat COX-2.[12,13,14,15] Flavonoid bekerja dengan menghambat enzim siklooksigenase yang dapat menurunkan sintesis prostaglandin sehingga mengurangi terjadinya vasodilatasi pembuluh darah

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


pada aliran darah lokal sehingga migrasi sel radang pada area radang menurun. [16] Beberapa mekanisme yang menjelaskan aktivitas antiinflamasi flavonoid, seperti (a) antioksidan dan radikal bebas, (b) pengaturan kegiatan selular terkait peradangan sel, (c) modulasi aktivitas enzim yang memetabolisme asam arakidonat (fosfolipase A2, siklooksigenase, lipoksigenase) dan oksida nitrat sintase, (d) modulasi produksi molekul proinflamasi lainnya, (e) modulasi ekspresi gen proinflamasi. [17] Inflamasi merupakan respon tubuh karena lepasnya mediator inflamasi seperti prostaglandin yang dibentuk oleh enzim siklooksigenase. Adanya kemampuan flavonoid dalam menghambat sintesis mediator inilah yang berperan dalam mengurangi edema. Selain menghambat metabolisme asam arakidonat, flavonoid juga menghambat sekresi enzim lisosom yang merupakan mediator inflamasi. Oleh karena itu, flavonoid yang menghambat siklooksigenase mampu untuk menurunkan pembentukan mediator inflamasi dan mengurangi pembengkakan. 4. KESIMPULAN Ekstrak etanol herba Rumput Teki (Cyperus rotundus) mempunyai efek antiinflamasi terhadap edema telapak kaki tikus putih jantan galur Wistar sehingga berpotensi dapat digunakan sebagai terapi antiinflamasi. Di mana efek inhibisi yang lebih optimal sebesar 44,29% pada dosis 600 mg/ kgBB. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait isolasi jenis senyawa flavonoid spesifik yang dapat berefek menurunkan volume edema pada telapak kaki tikus. 5. SARAN Penelitian ini diharapkan sebagai dasar penelitian selanjutnya yang lebih komprehensif terutama dalam pengembangan ekstrak Rumput Teki (Cyperus rotundus) sebagai produk obat herbal sehingga dapat menjadi alternatif pengobatan inflamasi yang efektif dan relatif terjangkau oleh masyarakat. 6. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada Allah SWT, keluarga, pembimbing, temanteman, pihak DPPM DIKTI yang telah mendanai dan pihak lain yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA [1]. Gard, P. Human Pharmacology Chapter IX. London: Taylor & Francis, 2001. [2]. Riskesdas. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Ke-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

menterian Kesehatan RI, 2013. [3]. Depkes. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Arthritis Rematik. Jakarta: Depkes RI, 2006. [4]. Kurdi, Aserani. Tanaman Herbal Indonesia: Cara Mengolah dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Tanjung, 2010. [5]. Sari, L. “Pemanfaatan Obat Tradisional Dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya.” Majalah Ilmu Kefarmasian 3:1 (2006): 01-07. [6]. WHO. Traditional Medicine. 2008. 10 Maret 2015. <http://www.who.int/ mediacentre/factsheets/fs134/en/>. [7]. Lydia, J. And Sundarsanam, D. “Phytoconstituents Of Cyperus rotundus L. that Attribute to Its Medicinal Value And Antioxidant Property.” IJPSR3(9) (2012):3304-3308. [8]. Sivapalan S.R., and Jeyadevan, P. “Physico-Chemical and Phyto-Chemical Study of Rhizome of Cyperus rotundus Linn.” IJPPT1:2(2012):2277-3436. [9]. Sandhar H.K., Kumar B., Prasher S., Tiwari P., Salhan M., and Sharma P. “A Review of Phytochemistry and Pharmacology of Flavonoids.” Internationale Pharmaceutica Sciencia1:1(2011):25-41. [10]. Dang G.K., Parekar R. R., Kamat S. K., Scindia A. M. dan Rege N. N.. “Antiinflammatory Activity of Phyllanthus emblica, Plumbago zeylanica and Cyperus rotundus in Acute Models of Inflammation.” Phytother. Res25:6(2011): 904–908. [11]. Fridiana, D. “Uji Antiinflamasi Ekstrak Umbi Rumput Teki (Cyperus rotundus L.) pada Kaki Tikus Wistar Jantan yang Diinduksi Karagen.” Skripsi. Bogor,2012. [12]. Chi Y.S., Jong H.G., Son K.H., Chang H.W., Kang S.S., and Kim H.P. “Effects of Naturally Prenylated Flavonoids on Enzymes Metabolizing Arachidonic Acid: Cyclooxygenases and Lipoxygenases.” Biochem Pharmacol 62:11(2001): 85–91. [13]. Sandhar H.K., Kumar B., Prasher S., Tiwari P., Salhan M., and Sharma P. “A Review of Phytochemistry and Pharmacology of Flavonoids.” Internationale Pharmaceutica Sciencia 1:1(2011):2541. [14]. Tapas A.R., Sakarkar D.M., and Kakde R.B. “Flavonoids as Nutraceuticals: A Review.” Tropical Journal of Pharmaceutical Resear ch7:3(2008):1089-1099. [15]. Yuan, G., Wahlqvist, M. L., He, G., Yang, M. and Li, D. “Natural Products and Anti-Inflammatory Activity.” Asia Pac J Clin Nutr15:2(2006):143-152.

11


[16]. Sutrisna, E.M. “Uji Efek Antiinflamasi Ekstrak Etil Asetat Buah Semu Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Terhadap Edema Pada Telapak Kaki Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Wistar Yang Diinduksi Karagenin.” Biomedika2:1(2010): 33-37.

12

[17]. Lafuente A. G., Guillamo´n E., Villares A., Rostagno M. A., and Martı´nez J. A. “Flavonoids As Anti-Inflammatory Agents: Implications in Cancer and Cardiovascular Disease.” Inflamm. Res 58:9(2009):537–552.

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Penelitian

ISOLASI ANDROGRAFOLIDA HERBA SAMBILOTO (Andrographis paniculataNees) Selly M.,1* Arina S. Hidayati,1 Maria Z.A. Yordan,1 Veronica N.,1 Parrishany E. Saputra,1 Feni D. Anggraini,1 Irvan S.1 Fakultas Farmasi, Universitas Padjadjaran, Jatinangor *Corresponding author’s email: sellymariska@gmail.com

1

ABSTRAK Pendahuluan: Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu tumbuhan yang berkhasiat sebagai obat. Salah satu kandungan metabolit sekunder utama yang berkhasiat sebagai obat adalah senyawa golongan terpenoid seperti andrografolid. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi senyawa golongan terpenoid dari simplisia herba sambiloto. Metode: Metode yang digunakan dalam isolasi senyawa terpenoid ini adalah maserasi menggunakan etanol 70%, fraksinasi dengan metode ekstraksi cair-cair dengan menggunakan n-heksan sebagai pelarut non polar, etil asetat sebagai pelarut semi polar, dan air sebagai pelarut polar, dan isolasi dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif dengan pengembang kloroform:metanol (9:1) dan penjerap silika gel. Hasil: Pada tahap maserasi didapatkan hasil berupa ekstrak kental dengan rendemen 14,426% b/b. Selanjutnya pada tahap fraksinasi, fraksi etil asetat diisolasi dengan metode kromatografi lapis tipis preparatif. Pada proses isolasi didapatkan sebanyak 13 pita. Pita ke-10 diambil dan dievaluasi dengan KLT sehingga didapatkan nilai Rf 0,69. Isolat kemudian diuji kemurniannya dengan KLT dua arah dengan pengembang I kloroform:etanol (8,5:1,5) dan pengembang II yaitu etil asetat:etanol:air (9:3:2). Kesimpulan: Dari hasil yang didapatkan, dapat ditarik kesimpulan bahwa isolat yang didapatkan berupa isolat murni. Kata kunci: Isolasi, Andrografolid, Andrographis paniculata Nees, Terpenoid ABSTRACT Introduction: Sambiloto (Andrographis paniculata Nees) is one of herbs which has medical function. One of the main containt of secondary metabolites which has medical function is terpenoid group such as andrographolide. This study aims to isolate terpenoid group from dried sambiloto herb. Methods: The methods that was used to isolate terpenoid group in this study were maceration used ethanol 70%, liquid-liquid extraction used n-hexane as non-polar solvent, ethyl acetate as semi-polar solvent, and water as a polar solvent, and preparative thin layer chromatography used chloroform:methanol (9:1) as mobile phase and silica gel as stationary phase. Result: Thick crude extract was obtained with yield 14,426% w/w. Fraction of ethyl acetate was isolated by preparative thin layer chromatography. Thirteen bands was obtained from isolation process and the tenth band was taken and evaluated with TLC and was obtained Rf value 0,69. The purity of the isolate was tested by t-two dimension TLC with the first mobile phase was chloroform:ethanol (8,5:1,5) and the second mobile phase was ethyl acetate:ethanol:water (9:3:2). Conclusion: From the result of this step, it could be concluded that the isolate was pure. Keywords: Isolation, Andrografolida, Andrographis paniculata Nees., Terpenoid

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

13


1. PENDAHULUAN Pada penelitian ini akan dilakukan isolasi senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tumbuhan sambiloto, yaitu andrografolid. Sambiloto merupakan tumbuhan liar yang memiliki nama latin Andrographis paniculata (Burm. F.) Nees dan termasuk ke dalam famili Acanthaceae. Tumbuhan ini tersebar secara luas di daerah Asia tropis dan subtropis, Asia Tenggara, dan India. Sambiloto tergolong tanaman terna (perdu) yang tumbuh tegak dengan tinggi 40-0 cm, memiliki batang berkayu dan memilki banyak cabang yang terletak berlawanan. Bentuk daun lanset, ujung daun dan pangkal daun tajam atau agak tajam. Tepi daun rata, permukaan halkus, dan berwarna hjau. Panjang daun 3-12 cm, lebar 1-3 cm. Panjang tangkai daun 5-25 mm, daun bagian atas bentuknya seperti daun pelindung.[1] Senyawa utama yang terdapat dalam sambiloto adalah kelompok diterpen lakton, baik dalam kondisi bebas maupun yang berbentuk glikosida, yang terdiri atas andrographolide, deoxyandrographolide, 11,12-didehydro-14-deoxyandrographolide, neoandrographolide, andrographiside, deoxyandrographiside dan andropanoside. Dari semua jenis diterpen lakton, kandungan andrographolide dalam sambiloto berkisar 6%.[2] Sambilata (melayu); sambiloto (jawa tengah); ki oray (sunda); pepaitan (maluku); chuan xin lian, yi jian xi, lan he lian (china); xuyen tam len, cong-cong (vietnam); kirata, mahatitka (india); creat, green chiretta, hakviva, kariyat (inggris).[3] Kegunaan dari sambiloto yang didukung oleh data klinis antara lain sebagai profilaksis dan pengobatan gejala infeksi pernafasan atas, seperti flu dan sinusitis, bronkitis, dan faringotonsilitis, infeksi saluran kemih, dan diare akut.[4] Aktivitas bologis lain dari sambiloto antara lain sebagai antimikroba, antifungi, antihipertensi, antiinflamasi, antitrombin, analgesic, antipiretik, hipoglikemik, antispasmodic, antifertilitas, teratogenik, antitumor, hepatoprotektif.[5] 2. METODE PENELITIAN Pada percobaan ini dilakukan penapisan fitokimia terlebih dahulu terhadap andrografolida. Penapisan fitokimia dilakukan dengan mereaksikan simplisia yang telah digerus halus dengan reagen-reagen tertentu. Untuk alkaloid, digunakan reagen Dragendorff dan Mayer dimana hasil positif ditandai dengan endapan coklat untuk Dragendorff dan endapan putih untuk Mayer. Untuk polifenolat, digunakan reagen FeCl3 14

dimana hasil positif ditandai dengan warna biru-hitam. Untuk tanin, digunakan reagen gelatin 1% dimana hasil positif ditandai dengan endapan putih. Untuk flavonoid, digunakan reagen amil alkohol dimana hasil positif ditandai dengan tertariknya warna kuning hingga merah pada lapisan amil alkohol. Untuk monoterpenoid dan sesquiterpenoid, digunakan reagen vanilin sulfat 10% dimana hasil positif ditandai dengan warna-warna. Untuk steroid dan triterpenoid, digunakan reagen Liebermann-Buchard dimana hasil positif ditandai dengan warna biru-hijau untuk steroid dan warna ungu untuk triterpenoid. Untuk kuinon, digunakan reagen KOH dimana hasil positif ditandai dengan warna kuning hingga merah. Untuk saponin, digunakan reagen HCl 2N dan dilakukan pengocokan dimana hasil positif ditandai dengan dihasilkannya busa. Kemudian digunakan metode ekstraksi berupa maserasi karena senyawa terpenoid yaitu andrografolid yang akan diisolasi merupakan senyawa yang termolabil atau tidak tahan terhadap panas. Selanjutnya metode fraksinasi menggunakan metode esktraksi cair-cair. Tahap isolasi menggunakan metode kromatografi lapis tipis preparatif. Sebelum melakukan ekstraksi, penapisan fitokimia perlu untuk dilakukan, karena merupakan langkah awal yang sangat penting dalam identifikasi suatu metabolit sekunder yang terdapat dalam suatu tumbuhan Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah herba sambiloto (andrographidis herba), etanol 70%, etanol 95%, metanol, etil asetat, plat silika gel KLT, plat silika gel KLT preparatif, amonia 10%, kloroform, HCl 2N, pereaksi mayer, pereaksi dragendorf, FeCl3 1%, aquades, serbuk Mg, amilalkohol, eter, vanilin 10 %, H2SO4 pekat, pereaksi liebermann burchard, KOH 5%, dan toluen. Peralatan yang digunakan dalam percobaan ini adalah cawan penguap, timbangan analitis, rotavapor, maserator, penangas air, pipet, pipa kapiler, piknometer, tanung reaksi, penjepit kayu, dan alat penyinar lampu UV. 3. HASIL 3.1. Penapisan Fitokimia Tabel 1. Hasil Penapisan Fitokimia Golongan Senyawa

Hasil

Alkaloid

-

Polifenolat

+

Tanin

-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Flavonoid

+

Monoterpenoid dan Sesquiterpenoid

+

Steroid

-

Triterpenoid

-

Kuinon

+

Saponin

-

Keterangan: + : terdeteksi - : tidak terdeteksi

Pada plat KLTP, pita nomor sepuluh dapat berfluoresensi warna biru pada panjang gelombang 366 nm. Pita tersebut diambil sebagai isolat target. Pita tersebut dikerok kemudian dilarutkan dalam metanol dan dievaluasi dengan KLT menggunakan campuran pengembang kloroform:metanol (9:1). Hasilnya terdapat satu spot yang diduga sebagai isolat target yaitu andrografolid yang terlihat dengan sinar UV 254 nm dan 366 nm.

3.2. Ekstraksi Rendemen ekstrak yang didapatkan sebesar 14,426% b/b. 3.3. Fraksinasi Dari fraksinasi dihasilkan fase heksan yang berwarna bening, fase etil asetat yang berwarna hijau muda,dan fase air sebanyak air yang berwarna hijau tua. KLT fraksi etil asetat dengan pengembang kloroform:metanol (9:1) didapatkan Rf 0,5. 3.4. Isolasi Hasil KLTP ini dilihat dengan sinar UV 254 nm, dimana silika gel sebagai background akan berfluoresensi dan terdapat banyak pita dari senyawa yang berbedabeda sedangkan dengan sinar UV 366 nm silika gel akan berwarna gelap sementara pita yang terbentuk berfluoresensi. Dari hasil KLTP, diketahui terdapat 13 pita pada plat silika.

Gambar 3. Hasil Evaluasi KLT Isolat (254 nm)

Gambar 4. Hasil Evaluasi KLT Isolat (366 nm)

Gambar 1. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (254 nm)

Uji kemurnian isolat dilakukan dengan menggunakan KLT dua arah. KLT dua arah memakai dua jenis pengembang, yaitu kloroform:etanol (8,5:1,5) dan etil asetat:etanol:air (9:3:2). Hasil uji kemurnian KLT dengan pengembang pertama menghasilkan spot dengan nilai Rf 0,467. Hasil uji kemurnian KLT dengan pengembang kedua menghasilkan satu spot dengan nilai Rf 0,93.

Gambar 2. Hasil Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (366 nm) B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

15


dan pengendapan. Setelah dilakukan penapisan fitokimia disimpulkan bahwa tumbuhan Andrographis paniculata dengan simplisia andrographidis herba mengandung senyawa metabolit sekunder senyawa polifenolat, flavonoid, monoterpenoid dan sesquiterpenoid, dan kuinon.

Gambar 5. Hasil Uji Kemurnian KLT Dua Arah dengan Pengembang Kloroform:Etanol(8,5:1,5) (254 nm)

Gambar 6. Hasil Uji Kemurnian KLT Dua Arah dengan Pengembang Etil Asetat:Etanol:Air (9:3:2) (254 nm)

Gambar 7. Hasil Uji Kemurnian KLT Dua Arah dengan Pengembang Etil Asetat:Etanol:Air (9:3:2) (366 nm) 4. PEMBAHASAN 4.1. Penapisan Fitokimia Penapisan fitokimia merupakan langkah awal yang sangat penting dalam pengidentifikasian suatu metabolit sekunder yang terdapat dalam suatu tumbuhan. Penapisan fitokimia merupakan pengujian yang sederhana namun dapat diandalkan. Penapisan fitokimia berfungsi untuk mengetahui metabolit sekunder tumbuhan secara kualitatif. Penapisan fitokimia umumnya mengguankan metode reaksi warna

16

4.2. Ekstraksi Ekstraksi merupakan tahap awal pada jalur isolasi metabolit sekunder dari tumbuhan obat sebelum dilakukan prosedur yang selanjutnya yaitu fraksinasi dan isolasi. Pada percobaan kali ini, isolat yang ingin diambil adalah senyawa andrografolid yang terkandung dalam tumbuhan andrographidis herba. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman andrographidis herba bersifat termolabil sehingga dilakukan ekstraksi dengan maserasi. Metode maserasi memerlukan alat yang bernama maserator. Alat tersebut digunakan untuk menempatkan simplisia dan pelarutnya. Pemilihan pelarut pada proses ekstraksi digunakan pelarut yang dapat melarutkan semua metabolit sekunder yang terdapat dalam simplisia. Simplisia herba sambiloto sebanyak 500 gram diblender secukupnya (jangan sampai terlalu halus) lalu dimasukkan ke dalam alat maserator yang telah dilapisi oleh kapas pada bagian bawahnya. Kemudian setelah dilakukan penempatan tanaman simplisia pada maserator, kemudian ditambahkan etanol 70% secukupnya untuk membasahi simplisia, setelah itu ditambahkan pelarut etanol 70% kembali hingga simplisia terendam sekitar 1 cm diatas permukaan simplisia. Prosedur selanjut nya adalah proses pendiaman. Simplisia yang sudah di rendam selama 3 x 24 jam didiamkan sambil sesekali diaduk. Lalu ekstrak tersebut ditampung pada wadah botol kaca. Lalu ukur volume ekstrak cair yang diperoleh dan dipekatkan dengan rotavapor kira- kira selama 1 jam sampai ekstrak mengental. Ekstrak kental yang didapatkan selanjutnya diuapkan kembali diatas cawan penguap. Rendemen esktrak sebanyak yang didapat yaitu 14,426% b/b. 4.3. Fraksinasi Setelah ekstrak kental didapat, dilakuakan proses fraksinasi dengan ekstraksi cair-cair. Fraksinasi adalah pengelompokkan berdasarkan sifat-sifat kimia. Setelah dipekatkan, ekstrak pekat ditambahkan larutan eter untuk memisahkan senyawa polar, semi polar dan non polar.

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Sebanyak 10 g ekstrak kental dilarutkan dalam fase air sebanyak 150 ml. Karena ekstrak tidak larut air maka dilarutkan lebih dulu dalam etanol secukupnya,sesedikit mungkin. Jumlah air yang ditambahkan dikurangi jumlah etanol yang digunakan. Lalu ditambahkan n-heksan sebanyak 150 ml. Lalu dikocok sebentar. Pengocokan harus dilakukan dengan perlahan agar tidak terbentuk emulsi. Kemudian dipisahkan fase air dan n-heksan. Fase air dimasukkan kembali dalam corong pisah dan ditambahkan n-heksan sebanyak air. Dilakukan ECC lagi seperti sebelumnya. Setelah n-heksan tidak menarik zat lagi, maka diganti dengan etil asetat dan dilakukan ECC lagi sampai etil asetat tidak menarik zat lagi yang ditandai dengan etil asetat yang sudah berwarna bening. Proses ini dilakukan sampai ekstrak habis. Dihasilkan fase heksan yang berwarna bening, fase etil asetat yang berwarna hijau muda,dan fase air sebanyak air yang berwarna hijau tua. Fase etil asetat yang didapatkan dalam jumlah banyak menunjukkan bahwa banyak zat yang yang bersifat semipolar dan tertarik oleh etil asetat. Kemudian dilakukan KLT dengan pengembang kloroform:metanol 9:1. Dan pada fraksi etil asetat didapat Rf 0,5. Menurut Farmakope Herbal Indonesia (2008), senyawa andrografolida murni akan menghasilkan Rf 0,55 jika dilakukan KLT dengan pengembang kloroform:metanol 9:1. Diduga fraksi yang mengandung andrografolide adalah fraksi etil asetat karena Rf mendekati Rf dari andrografolid menurut Farmakope Herbal Indonesia.[1] 4.4. Isolasi Teknik isolasi yang digunakan untuk andrographidis herba adalah KLTP. KLTP (Kromatografi Lapis Tipis Preparatif) adalah metode pemisahan untuk sampel dalam jumlah banyak (gram). Pelat yang digunakan pun lebih tebal dari KLT biasa. Sampel ditutulkan tanpa ada jarak membentuk suatu pita/ garis sehingga ketika diamati pada sinar UV 254 nm dan 366 nm spektrum yang terbentuk berupa pita yang terpisah-pisah. Pita tersebut dapat dikerok kemudian dilarutkan dengan pelarut yang sesuai untuk mengambil isolat yang diinginkan. Pengembang yang digunakan untuk KLTP yaitu kloroform:metanol (9:1). Pengembang ini digunakan berdasarkan literatur yang ada pada Farmakope Herbal Indonesia. Pada KLT dengan pengembang pertama, isolat cair yang telah ditutulkan pada salah satu sudut akan tertarik dan naik menghasilkan spot. Spot ini dilihat di

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Selanjutnya pelat diputar 90o sehingga spot yang dihasilkan pada pengembangan pertama menjadi garis awal. Dengan pengembang yang kedua, spot ini akan tertarik dan naik pula. Kemurnian terlihat jika spot yang dihasilkan pada pengembangan kedua ini hanya terdiri dari satu spot saja. Jika hasil dari pengembangan yang kedua terbentuk dua spot atau lebih, menandakan bahwa isolat yang didapatkan tidak murni, karena terdapat lebih dari satu jenis senyawa. Setelah pola kromatogram diamati di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm, didapatkan hasil yaitu hanya terdapat satu spot saja. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa isolat yang didapatkan adalah senyawa yang murni. 5. KESIMPULAN Senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam herba sambiloto adalah senyawa kuinon, polifenolat, flavonoid, monoterpenoid dan sesquiterpenoid. Selain itu dapat diketahui tahapan rinci isolasi senyawa terpenoid dari herba sambiloto yang dimulai dengan maserasi, fraksinansi menggunakan ekstraksi cair-cair, hingga dilakukan proses isolasi menggunakan metode kromatografi lapis tipis preparatif. Senyawa terpenoid yang diduga andrografolid dari ekstrak etil asetat herba sambiloto dapat diisolasi dengan rendemen sebesar 0.0008% dan nilai Rf sebesar 0.69. 6. SARAN Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan menggunakan instrumen spektrofotometer massa, UV-Visible, Inframerah, NMR, dan KCKT untuk mengidentifikasi isolat yang didapat merupakan murni senyawa andrografolid golongan terpenoid 7. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih sudah sepatutnya kami ucapkan kepada para pihak yang telah memberikan dukungan secara moral maupun material sehingga artikel ini dapat tersusun dengan baik. Terima kasih kami ucapkan kepada Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran, khususnya Tim Dosen Analisis Fitokimia, serta semua saudara dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. DAFTAR PUSTAKA [1]. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Herbal Indonesia Edisi Ke-1. Jakarta:Departemen Kesehatan RI, 2008. [2]. Departemen Kesehatan RI. Materia

17


Medika Indonesia Jilid Ke-3. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 1979. [3]. Widyawati, T. “Aspek Farmakologi Sambiloto (Andrographis Paniculata Ness)�. Majalah Kedokteran Nusantara.Universitas Sumatera Utara,2007. [4]. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Inventaris Tanaman Obat Indonesia I. Jakarta: Badan Penelitian dan

18

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 1991. [5]. World Health Organization. WHO Monographs On Selected Medicinal Plants Vol 2. Genewa: World Health Organization, 2002. [6]. Kardono, L., et al. Selected Indonesia Medicinal Plants Monographs And Descriptions Vol 1. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2003.

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Penelitian

PENAPISAN VIRTUAL SENYAWA PADA TANAMAN BENALU TEH (Scurrula atropurpurea) SEBAGAI LIGAN PADA RESEPTOR ESTROGEN ALFA (ERα) Okta Nursanti,1* Linda Erlina1 Fakultas Farmasi, Universitas Pancasila, Jakarta *Corresponding author’s email: okta.nursanti@yahoo.com

1

ABSTRAK Pendahuluan: Tanaman benalu teh (Scurrula atropurpurea) mengandung beberapa senyawa yang telah diteliti memiliki aktivitas sebagai antikanker. Oleh karena itu, Scurrula atropurpurea sangat potensial untuk dikembangkan menjadi kandidat obat antikanker. Proses mendesain senyawa obat baru sampai dapat dipasarkan membutuhkan waktu yang lama, melewati tahap yang kompleks dan biaya yang sangat besar. Salah satu strategi untuk mengurangi waktu dan biaya untuk mendesain obat baru yang kini sedang berkembang pesat yaitu pendekatan menggunakan metode kimia komputasi. Metode: Pada penelitian ini, senyawa yang terkandung dalam Scurrula atropurpurea diuji sebagai ligan terhadap reseptor estrogen alfa. Senyawa tersebut diuji dengan metode penapisan virtual berbasis struktur Structure Based Virtual Screening (SBVS) dengan aplikasi terintegrasi meliputi: sistem operasi Linux Ubuntu, BKChem, PLANTS, PyMOL, Open Babel, dan analisis statistik menggunakan R computational statistics. Hasil: Bedasarkan hasil penapisan virtual ditemukan ada dua belas senyawa yang aktif sebagai ligan pada reseptor estrogen alfa yaitu (Z)-9-Octadecenoic acid, (Z,Z)-Octadeca-9,12-dienoic acid,(Z,Z,Z)-Octadeca-9,12,15-trienoic acid, Octadeca-8,10-diynoic acid, (Z)-Octadec-12-ene-8,10-diynoic acid, Octadeca-8,10,12-triynoic acid, Icariside B, Aviculin, Catechin, Epicatechin, Epicatechin-3-O-gallate, Epigallocatechin-3-O-gallate, Gallocatechin, dan Epigallocatechin. Empat senyawa lainnya yaitu Theobromine, Caffeine, Quercitrin, dan Rutin dinyatakan tidak aktif sebagai ligan pada reseptor estrogen alfa. Kata Kunci: Scurrula atropurpurea, penapisan virtual, reseptor estrogen alfa, ligan ABSTRACT Background: Scurrula atropurpurea contain few compounds that have been researched as anticancer. Therefore, Scurrula atropurpurea has potential to be developed as anticancer drug. In fact, the process of designing new drugs and distribute took a high cost to the public is a long and complex process that can take many years. One of strategy that has been developed to reduce time and costs for designing a new drug molecules, is using the computational chemistry methods. Methods: In this research, the activity of the compounds contained in Scurrula atropurpurea tested against estrogen receptor alpha (ERα) which is, alpha estrogen receptors associated with breast cancer. The activity was tested by Structure Based Virtual Screening (SBVS) with integrated applications include: Linux Ubuntu, BKChem, PLANTS, PyMOL, Open Babel, and Computational Statistics R. Result: From virtual screening results, there are twelve active compounds as ligands to the ERα are (Z)-9-octadecenoic acid; (Z,Z)-octadeca-9,12-dienoic acid; (Z,Z,Z)-octadeca9,12,15-trienoic acid; octadeca-8,10-diynoic acid; (Z)-octadeca-12-ene-8,10-diynoic acid; octadeca-8,10,12-triynoic acid; icariside B2; aviculin; catechin; epicatechin; epicatechin3-O-gallate and epigallocatechin-3-O-gallate. Other compounds from Scurrula atropurpurea were shown to be inactive: theobromine, caffeine, quercitrin and rutine. Keywords : Scurrula atropurpurea, virtual screening, estrogen receptor alpha, ligand

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

19


1. PENDAHULUAN Benalu teh (Scurrula atropurpurea) adalah salah satu tanaman parasit asli Indonesia yang biasa digunakan dalam ramuan-ramuan tradisional. Sebagai tanaman parasit, benalu tidak banyak dimanfaatkan, hal ini berkaitan dengan sifat dari parasit benalu yang dapat merusak tanaman inang, sementara sebagai salah satu tanaman obat, benalu juga mempunyai peranan yang tidak kecil. Secara tradisional benalu digunakan antara lain sebagai obat batuk, kanker, diuretik, penghilang nyeri dan perawatan setelah persalinan.[1] Ekstrak benalu teh spesies Scurulla atropurpurea mengandung 16 bahan bioaktif yang terdiri dari enam senyawa asam lemak, dua santin, dua glikosida avonol, satu glikosida monoterpen, satu glikosida lignan, dan empat flavon.[2] Benalu teh yang berasal dari spesies Scurulla atropurpurea BL. Dans merupakan tanaman parasit pada pohon benalu teh (Thea sinensis L.) yang sejak zaman dahulu telah digunakan untuk mencegah dan mengobati berbagai penyakit seperti sakit pinggang, jamu pasca melahirkan dan mengobati kanker. Benalu teh kering yang direbus airnya dapat diminum untuk menyembuhkan penyakit kanker. Oleh karena itu benalu teh berpotensi untuk dikembangkan menjadi obat antikanker yang berkaitan dengan hormon estrogen, antara lain kanker payudara. Estrogen dan reseptornya memegang peranan penting pada perkembangan gen dan keganasan dari kanker payudara. Estrogen merupakan kunci regulasi dari berbagai variasi jaringan target, seperti sistem reproduksi pria dan wanita, jaringan tulang, jantung dan sistem saraf pusat. Estrogen digunakan untuk pencegahan dan pengobatan gejala postmenopause dan sebagai kontrasepsi, sedangkan antagonis estrogen digunakan dalam pengobatan kanker payudara. Estrogen alfa mengatur transkripsi berbagai gen sebagai faktor transkripsi. Ekspresi dari estrogen alfa sangat erat kaitannya dengan kanker payudara, khususnya dalam perkembangan tumor. [3] Parameter ini dapat digunakan untuk menemukan senyawa obat antikanker payudara yang mempunyai mekanisme kerja sebagai antagonis ERα. Proses mendesain obat baru dan mengedarkannya ke masyarakat merupakan proses panjang dan kompleks yang dapat memakan waktu bertahun-tahun (5-7 tahun) dan biaya tidak sedikit (50-100 juta USD). Hal ini menjadi tantangan bagi peneliti untuk menghasilkan strategi dan upaya efektif dan ekonomis untuk penemuan

20

obat baru. Salah satu strategi yang banyak dikembangkan untuk desain molekul obat baru adalah pemanfaatan metode kimia komputasi (computational chemistry). Kemajuan simulasi dan pemodelan, terutama kimia komputasi, dapat menurunkan biaya dan waktu yang diperlukan desain proses kimia dan senyawa baru. Desain katalis baru suatu proses kimia akan menaikkan keunggulan produksi, mereduksi emisi dan limbah, dan membangun proses kimia berkategori kimia hijau (green chemistry). [4] Komputer menawarkan metode in silico, yaitu suatu metode yang menggunakan kemampuan komputer dalam merancang obat sebagai komplemen dari in vitro dan in vivo. Kemampuan komputasi yang meningkat secara eksponensial merupakan peluang mengembangkan simulasi dan kalkulasi dalam perancangan obat baru.[5] Pada penelitian ini dilakukan penapisan virtual 16 senyawa yang terdapat dalam benalu teh terhadap ERα secara in silico. Penapisan virtual ini menggunakan protokol docking tervalidasi hasil penelitian Anita et al.[6] Pada penelitian tersebut dilakukan validasi dan kontruksi protokol Structure Based Virtual Screening (SBVS) untuk mengidentifikasi antagonis ERα yang paling poten. Senyawa yang diuji adalah senyawa dimer dan analog dari eugenol. Protokol docking tersebut memiliki nilai Enrichment Factor 1% (EF1%) sebesar 21,2 yang sudah termasuk dalam kategori nilai EF yang baik menurut jurnal Huang et al.[7] Oleh karena itu, protokol ini sangat direkomendasikan dikembangkan lebih lanjut untuk menemukan antagonis ERα yang lebih poten. 2. METODE 2.1. Alat yang digunakan Perangkat keras: satu set komputer dengan spesifikasi prosesor: Intel Pentium Core i5TM 2450M, 2.5Ghz, RAM 4GB, NVIDIA 1GB. Perangkat lunak: a. Sistem operasi Linux Ubuntu 10.04 desktop 32 bit LTS – the lucid lynxreleased in April 2010. b. BKChem untuk menggambar struktur (BKChem n.d.).[8] c. SPORES untuk preparasi ligan dan protein (Brink, T. Ten. Exner n.d.).[9] d. PLANTS 1.2 untuk simulasi docking (Exner, T.E. Korb, O. Stutzle n.d.).[10] e. PyMOL untuk visualisasi struktur (Delano & Ph n.d.).[11] f. Open Babel Versi 2.3.0 untuk konversi tipe file, pencarian konformer dan energi minimisasi (Hutchison n.d.). [12]

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


g. R computational statistics versi 2.14.0 untuk uji statistik.

gallocatechin - 3 – O - gallate; theobromine; caffeine; quercitrin and rutine (Gambar 2).

2.2. Bahan Penelitian Senyawa pembanding: ZINC 01914469 (Gambar 1A). Senyawa rujukan: senyawa 4-[4-hidroksi-3(prop-2-en-1-yl) fenil]-2-(prop-2-en-1-yl) (senyawa dimer nomor 11) (Gambar 1B). Senyawa uji: Scurrula atropurpurea mengandung 16 senyawa yaitu: (Z)-9-octadecenoic acid; (Z,Z) octadeca-9,12-dienoic acid; (Z,Z,Z)-octadeca-9,12,15-trienoic acid; octadeca-8,10-diynoic acid; (Z)-octadeca12-ene-8,10-diynoic acid; octadeca-8,10,12triynoic acid; icariside B2; aviculin; catechin; epicatechin; epicatechin-3-O gallate; epi-

2.3. Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium komputer di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Jakarta. 2.4. Tahap Penelitian Senyawa uji pada tanaman benalu teh (Scurrula atropurpurea) digambar dengan menggunakan aplikasi BKChem dalam bentuk 2 dimensi. Ligan referensi dan target virtual dipreparasi dengan menggunakan aplikasi SPORES. Skor ChemPLP senyawa uji dibandingkan dengan skor ChemPLP senyawa pembanding (ZINC 01914469).

Gambar 1. Senyawa pembanding: ZINC 01914469 (A) dan Senyawa rujukan: senyawa 4-[4-hidroksi-3-(prop-2-en-1-yl) fenil]-2(prop-2-en-1-yl) (senyawa dimer nomor 11) (B)

Gambar 2.

Senyawa yang terkandung dalam Scurrula atropurpurea.[6]

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

21


Hasil docking diuji dengan metode korelasi Spearman rank menggunakan aplikasi R computational statistics. Visualisasi senyawa representatif aktif dan inaktif dengan PyMOL dalam bentuk 3D.

Berdasarkan hasil perhitungan nilai MCC (Matthews Correlation Coefficient) terdapat jumlah nilai True Positive sebanyak 12 dan nilai True Negative sebanyak 4 (Tabel 2 dan Tabel 3).

3. HASIL Berdasarkan hasil penapisan virtual didapatkan nilai skor ChemPLP senyawa uji dan senyawa pembanding, namun secara keseluruhan nilai ChemPLP senyawa uji lebih besar nilainya dibandingkan dengan senyawa pembanding ZINC 01914469. Oleh karena itu digunakan nilai senyawa rujukan berdasarkan saran pada penelitian Anita et al. (2012) yaitu menggunakan senyawa rujukan: senyawa 4-[4-hidroksi3-(prop-2-en-1-yl) fenil]-2-(prop-2-en-1-yl) (senyawa dimer nomor 11) yang memiliki nilai ChemPLP sebesar -84,502 (Tabel 1).

4. PEMBAHASAN Penapisan virtual menggunakan protokol penapisan virtual tervalidasi hasil penelitian Anita et al. (2012) untuk mengidentifikasi senyawa yang berpotensial sebagai antagonis ERÎą akan menghasilkan nilai ChemPLP Âą SD dari senyawa uji dan senyawa pembanding dengan minimal 3 kali replikasi.[6] Dari hasil tersebut dilakukan analsis data terhadap nilai ChemPLP dibandingkan dengan nilai ChemPLP senyawa pembanding. Jika nilai senyawa uji lebih kecil dari nilai senyawa pembanding maka senyawa uji dinyatakan aktif sebagai

Tabel 1. Hasil penapisan virtual senyawa Scurrula atropurpurea Nama Senyawa

Nilai ChemPLP Senyawa Uji

Nilai ChemPLP Senyawa Pembanding

Prediksi Aktivitas Antagonis ERÎą

(Z)-9-octadecenoic acid

-94,4111

-84,502

+

(Z,Z)-octadeca-9,12dienoic acid

-95,4781

-84,502

+

(Z,Z,Z)-octadeca-9,12,15trienoic acid

-93,9512

-84,502

+

Octadeca-8,10-diynoic acid

-94,1187

-84,502

+

(Z)-octadeca12-ene-8,10-diynoic acid

-90,0030

-84,502

+

Octadeca-8,10,12-triynoic acid

-91,0125

-84,502

+

Icariside B2

-87,1467

-84,502

+

Aviculin

-90,7277

-84,502

+

Catechin

-85,5306

-84,502

+

Epicatechin

-86,6060

-84,502

+

Epicatechin-3-O-gallate

-95,4571

-84,502

+

Epigallocatechin-3-Ogallate

-91,1779

-84,502

+

Theobromine

329,4380

-84,502

-

Caffeine

374,9860

-84,502

-

Quercitrin

-78,7453

-84,502

-

Routine

-82,4526

-84,502

-

Tabel 2. Hubungan antara konfirmasi dan prediksi uji-er.sh Konfirmasi Uji

22

Prediksi menggunakan aplikasi uji-er.sh Positive

Negative

Positive

True Positive (TP)

False Negative (FN)

Negative

False Positive (FP)

True Negative (TN)

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Tabel 3. Hasil tes konfirmasi antara in silico dan in vitro

Nama Senyawa

Nilai in silico (ChemPLP)

Nilai in vitro (% Aktivitas Inhibitor)

Prediksi

Keterangan

(Kazuyoshi et al. 2003)

(Z)-9-octadecenoic acid

-94,4111

13,0

+

TP

(Z,Z)-octadeca-9,12-dienoic acid

-95,4781

15,7

+

TP

(Z,Z,Z)-octadeca-9,12,15trienoic acid

-93,9512

19,3

+

TP

Octadeca-8,10-diynoic acid

-94,1187

61,1

+

TP

(Z)-octadeca-12-ene-8,10diynoic acid

-90,0030

89,8

+

TP

Octadeca-8,10,12-triynoic acid

-91,0125

99,4

+

TP

Icariside B2

-87,1467

19,4

+

TP

Aviculin

-90,7277

20,2

+

TP

Catechin

-85,5306

34,0

+

TP

Epicatechin

-86,6060

20,3

+

TP

Epicatechin-3-O-gallate

-95,4571

59,9

+

TP

Epigallocatechin-3-Ogallate

-91,1779

72,8

+

TP

Theobromine

329,4380

Tidak ada aktivitas

-

TN

Caffeine

374,9860

Tidak ada aktivitas

-

TN

Quercitrin

-78,7453

Tidak ada aktivitas

-

TN

Routine

-82,4526

Tidak ada aktivitas

-

TN

antagonis ERα. Sebaliknya jika nilai senyawa uji lebih besar dari nilai senyawa pembanding maka dinyatakan inaktif sebagai antagonis ERα. Secara keseluruhan nilai senyawa pembanding (ZINC 01914469) berkisar dari -116 sampai -124 dan nilai senyawa uji yang berkisar -85 sampai -95, maka dapat dinyatakan senyawa uji inaktif sebagai antagonis pada ERα. Senyawa pembanding yang digunakan memiliki aktivitas yang terlalu kuat sebagai antagonis ERα. Oleh karena itu pada penelitian Anita et al. (2012) disarankan senyawa pembanding diganti dengan senyawa rujukan (senyawa dimer nomor 11) yang memiliki nilai ChemPLP sebesar -84,502.[6] Perbandingan senyawa uji dengan senyawa rujukan menunjukkan senyawa yang aktif sebagai antagonis ERα yaitu: (Z)-9-octadecenoic acid; (Z,Z)-octadeca-9,12-dienoic acid; (Z,Z,Z)-octadeca-9,12,15-trienoic acid; octadeca-8,10-diynoic acid; (Z)-octadeca-12-ene-8,10-diynoic acid; octadeca8,10,12-triynoic acid; icariside B2; aviculin; catechin; epicatechin; epicatechin-3-Ogallate dan epigallocatechin-3-O-gallate

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

dan senyawa yang inaktif sebagai antagonis ERα yaitu: theobromine, caffeine, quercitrin dan routine. Pada uji korelasi Spearman didapatkan hasil sebesar 0,2657 yang artinya korelasi antara nilai persentase aktivitas inhibitor dengan nilai ChemPLP uji secara in silico memiliki korelasi yang lemah. Pada Tabel 2 menunjukan hasil MCC (Matthews Correlation Coefficient) yang menunjukan nilai yang sangat baik yaitu +1. Artinya akurasi antara prediksi dan observasi sangat tepat. Dalam penelitian ini nilai sensitivitas protokol tervalidasi yang diujikan dengan senyawa benalu teh memiliki nilai sebesar 1 dan nilai spesifisitasnya sebesar 1. Artinya protokol tervalidasi hasil penelitian Anita et al. (2012) sensitif terhadap senyawa yang berikatan dengan ERα dan selektif untuk menemukan senyawa yang memiliki nilai sebesar senyawa rujukan. Nilai in vitro yang digunakan pada uji konfirmasi dan prediksi yaitu hasil penelitian dari Kazuyoshi et al. (2003). Pada Gambar 3 terlihat visualisasi senyawa representatif aktif yaitu epicatechin-3-O-gallate yang memiliki nilai skor ChemPLP yang paling besar

23


A

B

Gambar 3. Visualisasi 3D dari senyawa yang representatif aktif dengan PyMOL (A) Struktur 3D epicatechin-3-O-gallate; (B) epicatechin-3-O-gallate dalam protein_bindingsite_fixed. mol2. yaitu -95,4571. Senyawa tersebut berikatan dengan residu asam amino pada protein_ bindingsite_fixed.mol2. Berdasarkan Gambar 4 diatas menunjukkan residu asam amino yang penting untuk aktivitas ligan terhadap reseptor estrogen alfa (ERα). Residu asam amino tersebut yaitu ASP351, GLU353, THR347 dan ARG394. Pada senyawa uji dengan nilai ChemPLP terbaik yaitu senyawa epicatechin-3-O-gallate memiliki interaksi dengan keempat residu asam amino tersebut. Sebaliknya untuk senyawa uji yang memiliki nilai ChemPLP terendah yaitu senyawa caffeine hanya berinteraksi dengan beberapa residu asam amino yang potensial sebagai ligan terhadap reseptor estrogen alfa (ERα). 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari penapisan virtual terhadap senyawa Scurrula atropur-

24

Gambar 4. Visualisasi residu asam amino yang berperan penting pada aktivitas ligan terhadap reseptor estrogen alfa (ERα) (A dan B). purea, ada 12 senyawa yang aktif sebagi ligan terhadap reseptor estrogen alfa (ERα) yaitu: (Z)-9-octadecenoic acid; (Z,Z)-octadeca-9,12-dienoic acid; (Z,Z,Z)-octadeca9,12,15-trienoic acid; octadeca-8,10-diynoic acid; (Z)-octadeca-12-ene-8,10-diynoic acid; octadeca-8,10,12-triynoic acid; icariside B2; aviculin; catechin; epicatechin; epicatechin-3-O-gallate dan epigallocatechin-3-O-gallate. Senyawa lainnya yaitu theobromine, caffeine, quercitrin dan rutine dinyatakan tidak aktif sebagai ligan reseptor estrogen alfa (ERα). DAFTAR PUSTAKA [1]. Pitojo, S. Benalu Holtikultura Pengendalian dan Pemanfaatan, Ungaran: Trubus Agriwidya, 1996. [2]. Hashi, K.O. et al., “Indonesian Medicinal Plants. XXV Cancer Cell Invasion Inhibitory Effects of Chemical Constituents in the Parasitic Plant Scurrula atropurpurea (Loranthaceae)”. Chem. Pharm. Bull51(3) (2003): 343–345. [3]. Hayashi, S. et al., “The expression and function of estrogen receptor α and β

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


in human breast cancer and its clinical application”. Endocrine-Related Cancer10 (2003): 193–202. [4]. Pranowo,H.D.&Hetadi,A.K.R.,Pengantar Kimia Komputasi, Bandung: Penerbit Lubuk Agung.2011. [5]. Purnomo, H.,Kimia Komputasi: Molecular Docking PLANTS (Protein Ligand Ant System), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. [6]. Anita, Y. et al., “Structure-based design of eugenol analogs as potential estrogen receptor antagonists”. Bioinformation8(19) (2012): 901–906. [7]. Huang, Niu. Schoichet, Brian K. Irwin, J.J., “Benchmarking Sets for Molecular Docking”. Journal of Medicinal Chemistry 49(23) (2006): 6789–6801. [8]. BKChem, BKChem. Available at: http://www.bkchem.zirael.org/. [9]. Brink, T. Ten. Exner, T.E., SPORES: Structure PrOtonation and REcognition System. Available at: http://www.

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

tcd.uni-konstanz.de/research/spores. php. [10].Exner, T.E. Korb, O. Stutzle, T., PLANTS: Protein-Ligand ANTSystem. Available at: http://www.tcd.uni-konstanz.de/reserach/plants.php. [11]. Delano, W.L. & Ph, D., PyMOL : An Open-Source Molecular Graphics Tool. [12]. Hutchison, G.R., Open Babel: An Open Chemical Toolbox. Available at: http:// www.jcheminf.com/content/3/1/33. [13]. Anita Y, Radifar M, Kardono LBS, Hanafi M, Enade P. “Structure-based design of eugenol analogs as potential estrogen receptor antagonists”. Abstract : Background : 8(19)(2012). [14]. Kazuyoshi Ohashi, Hendig Winarno, Mutsuko Mukai, Masahiro Inoue, Made Sri Prana.“Cancer Cell Invasion Inhibitory Effects of Chemical Constituents in the Parasitic Plant”. Chem. Pharm. Bull51(3) (2003): 343—345.

25


Penelitian

PENGARUH KOMBINASI KROSPOVIDON, AC-DI-SOL, DAN PRIMOJEL TERHADAP WAKTU HANCUR SEDIAAN ORALLY DISINTEGRATING TABLET DIMENHIDRINAT Didi,1* Inding Gusmayadi,1 Fahjar Prisiska1 Fakultas Farmasi dan Sains, Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka Jakarta * Corresponding author’s email: didimustaqim@gmail.com 1

ABSTRAK Pendahuluan: Krospovidon, Ac-Di-Sol, primogel merupakan superdisintegran yang mekanisme disintegrasinya berbeda. Krospovidon bekerja dengan sedikit mengembang, kemudian dengan aksi kapiler. Ac-Di-Sol bekerja dengan mengembang menjadi 4 sampai 8 kali dalam waktu kurang dari 10 detik. Primogel bekerja dengan mengembang menjadi 7 sampai 12 kali dalam waktu kerang dari 30 detik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kombinasi superdisintegran krospovidon, Ac-Di-Sol, primogel terhadap waktu hancur sediaan orally disintegrating tablet. Metode: Orally disintegrating tablet dibuat dalam 7 formula dengan konsentrasi superdisintegran krospovidon, Ac-Di-Sol, primogel 1:0:0, 0:1:0, 0:0:1, 1:1:0, 1:0:1, 0:1:1, 1:1:1. Tiap formula dilakukan evaluasi massa tablet dan evaluasi tablet. Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa kombinasi superdisintegran krospovidon, AcDi-Sol, primogel mempengaruhi waktu hancur orally disintegrating tablet. Dengan hasil waktu hancur formula 1 sampai 7 adalah 12,43”; 19,07”; 24,98”; 11,27”; 11,66”; 10,36”; 9,06” Hasil perhitungan statistik one way ANOVA terhadap waktu hancur diperoleh p<0,05 menyatakan terdapat perbedaan waktu hancur yang bermakna. Kesimpulan: Dapat disimpulkan adanya pengaruh kombinasi superdisintegran krospovidon, Ac-Di-Sol, primogel terhadap waktu hancur sediaan orally disintegrating tablet. Kata kunci: ODT, Orally Disintegrating Tablet, Superdisintegran, Krospovidon, Ac-Di-Sol, Primojel, dimenhidrinat ABSTRACT Introduction: Crospovidone, ac-di-sol, primogel are superdisintegrant that have the differences of disintegration mechanism. Crospovidone work with swelling, by the capillary action. Ac-di-sol works by swelled 4 until 8 times for less than 10 seconds. Primogel works by swelled 7 until 12 times for less then of 30 seconds. The purpose of this research to know whether the combinations of superdisintegrant crospovidone, ac-di-sol, primogel to the disintegration time of preparation orally disintegrating tablet. Methods: Orally disintegrating tablet made by 7 formulas with the concentration superdisintegrant crospovidone, ac-di-sol, primogel 1:0:0, 0:1:0, 0:0:1, 1:1:0, 1:0:1, 0:1:1, 1:1:1. Each formula evaluated by tablet mass evaluation and tablet evaluation. Results: The results of this research showed that the combination superdisintegrant crospovidone, ac-di-sol, primogel influenced the disintegration time of orally disintegrating tablet. The result for the formula with the disintegration time 1 until 7 are 12,43”; 19,07”; 24,98”; 11,27”; 11,66”; 10,36”; 9,06”. By one way ANOVA on the disintegration time obtained p<0.05 mean there are significant differences of the disintegration time. Conclusion: It can be summarized the combination of superdisintegrant crospovidone, acdi-sol, primogel to the preparation disintegration time of orally disintegrating tablet. Keywords: ODT, Orally disintegrating tablet, Superdisintegrant, Crospovidone, Ac-Di-Sol, Primogel, Dimenhidrinate

26

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


1. PENDAHULUAN Beberapa orang merasakan mual karena mabuk perjalanan maupun karena kehamilan, sehingga perlu dibuat sediaan untuk mengatasi rasa mual tersebut. Dimenhidrinat adalah senyawa yang khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan muntah karena kehamilan.[8] Dimenhidrinat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan dalam kloroform, agak sukar larut dalam eter.[3] Sediaan yang akan digunakan untuk dimenhidrinat adalah orally disintegrating tablet, tablet tersebut hancur menjadi butiran kecil atau meleleh di dalam mulut dari bentuk padat menjadi seperti gel, sehingga mudah ditelan oleh pasien. Pasien utama untuk orally disintegrating tablet adalah anak-anak, usia lanjut, dan yang terbaring di tempat tidur, pasien dengan rasa mual kuat, dan pasien yang memiliki sedikit atau tanpa akses ke air.[4] Orally disintegrating tablet dengan rasa dan aroma yang baik akan meningkatkan penerimaan obat pahit oleh berbagai kelompok penduduk.[6] Orally disintegrating tablet adalah tablet yang ketika diletakkan pada lidah terdisintegrasi dengan cepat melepaskan obat yang melarut atau terdispersi dalam air liur. Menurut Farmakope Eropa, Tablet orodispersibel harus terdispersi atau terdisintegrasi kurang dari tiga menit. Pendekatan dasar dalam pengembangan tablet melarut cepat ini adalah penggunaan bahan superdisintegran seperti karboksi metil selulosa yang di cross-link (croscarmellosa), sodium starch glycolate (primojel, explotab), polivinylpyrolidone (polyplasdone) dan lain lain, yang menghasilkan disintegrasi segera dari tablet setelah diletakkan di atas lidah dan melepaskan bahan obat dalam air liur.[1] Pada penelitian ini orally disintegrating tablet dimenhidrinat akan menggunakan formula dengan superdisintegran Ac-Di-Sol, krospovidon, dan primojel serta kombinasinya yang dibuat dalam konsentrasi 5% untuk melihat adanya pengaruh kombinasi superdisintegran terhadap pengunaan superdisintegran tunggal dilihat dari waktu hancurnya, dan mengetahui waktu hancur tercepat. Krospovidon bekerja dengan sedikit mengembang, kemudian dengan aksi kapiler, Ac-Di-Sol bekerja dengan mengembang menjadi 4 sampai 8 kali dalam waktu kurang dari 10 detik, sedangkan primogel bekerja dengan mengembang menjadi 7 sampai 12 kali dalam waktu kerang dari 30 detik.[5] Dengan adanya perbedaan mekanisme kerja superdisintegran diharapkan ketika menggunakan kombinasi superdisin-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

tegran akan memberikan waktu disintegrasi yang lebih cepat. Diharapkan hasil dari penelitian ini berguna untuk masyarakat banyak. Oleh karena itu, harapan penelitian ini adalah mendapatkan formula yang waktu terdisintegrasinya tercepat dari sediaan orally disintegrating tablet dimenhidrinat yang dibuat dalam konsentrasi 5%. 2. METODOLOGI 2.1. Bahan dan Alat Bahan penelitian: dimenhidrinat, acdi-sol, krospovidon, primojel, manitol, aspartam, talkum, mg stearat, avicel ph 102. Alat-alat penelitian: Timbangan analitik, alat-alat gelas, kertas millimeter blok, stopwatch, lumpang dan alu, alat uji sifat alir, desikator, mesin kempa tablet, hardness tester, friability tester, disolution tester, dan jangka sorong, spektrofotometer uv-vis. 2.2. Perhitungan formula satu tablet Perhitungan dosis satu tablet digunakan untuk menentukan berapa miligram tiap bahan yang dipakai untuk pembuatan 1 batch, dengan bobot 1 tablet sebanyak 200 mg. Formula tablet tertera dalam Tabel 1. 2.3. Pembuatan orally disintegrating tablet Pembuatan orally disintegrating tablet dimenhidrinat menggunakan metode cetak langsung. Dimenhidrinat dicampurkan dengan bahan-bahan lain sesuai tabel 1 kemudian dihomogenkan. Setelah itu massa yang didapat tadi dievaluasi dengan uji massa tablet meliputi waktu alir, sudut diam dan indeks pemampatan. Kemudian massa tadi dikempa langsung menggunakan mesin pencetak tablet sehingga didapat tablet dengan bobot 200 mg. Setelah tablet tersebut selesai dicetak, lakukan evaluasi terhadap tablet yaitu uji kekerasan tablet, uji friabilitas, uji keseragaman ukuran, uji keseragaman bobot, uji waktu hancur, dan uji keseragaman sediaan. 2.4. Evaluasi massa tablet dan tablet Uji massa tablet meliputi waktu alir, sudut diam dan indeks pemampatan. Sedangkan evaluasi tablet meliputi uji kekerasan tablet, uji friabilitas, uji keseragaman ukuran, uji keseragaman bobot, uji waktu hancur, dan uji keseragaman sediaan. 2.5. Analisa Data Hasil data penelitian uji waktu hancur diuji secara statistik dengan menggunakan ANOVA satu arah untuk mengetahui per-

27


Tabel 1. Formula orally disintegrating tablet dimenhidrinat Bahan

F1

F2

F3

F4

F5

F6

F7

Fungsi

Dimenhidrinat (mg)

12,5

12,5

12,5

12,5

12,5

12,5

12,5

Zat Aktif

Krospovidon (%)

5

-

-

2,5

2,5

-

1,66

Disintegran

Ac-Di-Sol (%)

-

5

-

2,5

-

2,5

1,66

Disintegran

Primojel (%)

-

-

5

-

2,5

2,5

1,66

Disintegran

Manitol (%)

61,75

61,75

61,75

61,75

61,75

61,75

61,75

Pengisi

Avicel PH 102 (%)

20

20

20

20

20

20

20

Pengisi

Aspartam (%)

5

5

5

5

5

5

5

Pemanis

Mg stearat (%)

1

1

1

1

1

1

1

Pelincir

Talkum (%)

1

1

1

1

1

1

1

Pelincin, pelincir,

bedaan bermakna antar formula. Apabila dalam uji ANOVA didapatkan perbedaan bermakna maka uji dilanjutkan dengan uji tukey HSD. dengan taraf kepercayaan 95% (α=0,05). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Uji Massa Tablet Dimenhidrinat Uji sudut diam Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa sudut diam dari formula 1 sampai 7 cukup baik berkisar antara 35-40º, dengan sudut diam terbaik pada formula 5 yaitu 35º 32 menit 45 detik dan yang terburuk ada pada formula 3 yaitu 37º 23 menit 9 detik. Tetapi perbedaan ini tidak terlalu berarti karena semua formula hanya memiliki sedikit perbedaan, dan semua formula termasuk dalam sifat alir yang cukup baik. Untuk kebanyakan massa tablet nilai sudut diam berkisar dari 25º sampai 45º, dengan nilai yang rendah menunjukkan karakteristik yang lebih baik.[7] Uji indeks kemampatan Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada uji indeks kemampatan menghasilkan nilai kisaran 9,67-12,33%. Berarti kategori indeks kompresibilitas yang dihasilkan adalah sangat baik sampai baik. Indeks kompresibilitas formulasi 2 adalah yang paling baik karena indeks kompresibilitas yang dihasilkan sebesar 9,67%. Indeks kemampatan formulasi 3 adalah yang paling tinggi yaitu sebesar 12,33%. Hal ini tidak menjadi masalah karena semua formula yang diuji memiliki indeks kemampatan yang baik. Semakin tinggi nilai indeks kemampatan semakin buruk sifat alir.

28

Uji waktu alir Pada uji waktu alir, mengahasilkan nilai kisaran 5,32-7,59 g/detik. formula 1 mempunyai nilai yang paling baik yaitu 7,59 gram/detik dan yang paling buruk adalah formula 2 dengan nilai 5,32 gram/detik. waktu alir yang baik adalah 10 gram/detik, setiap formula memiliki sifat alir yang tidak terlalu baik hal ini disebabkan konsentrasi manitol yang tinggi pada setiap formula, karena manitol memiliki sifat alir yang buruk.[7] Penggunaan manitol dengan konsentrasi yang tinggi diharapkan memiliki rasa yang enak dan memiliki raba mulut yang baik. Tetapi hal ini masih dapat diterima karena serbuk masih dapat mengalir walaupun dengan nilai kurang dari 10 g/detik. Sifat aliran granul yang kurang baik dapat diperbaiki salah satunya dengan penambahan aktivator aliran yang biasanya disebut glidan. Glidan yang biasanya digunakan seperti talkum dan mg stearat, tetapi hal itu tidak perlu dilakukan karena dengan hasil sudut diam yang berkisar 36-40 dalam kategori cukup baik dan tidak perlu penambahan apapun lagi, sedangkan untuk uji waktu alir walaupun tidak mencapai 10 g/ detik, tetapi serbuk masih dapat mengalir. Pada uji indeks kemampatan nilai yang didapatkan kisaran 9,67-12,33%, hal ini disebabkan karena hampir seluruh ukuran partikel dalam massa cetak tablet memiliki ukuran partikel yang kecil. 3.2 Hasil Uji Tablet Dimenhidrinat Uji keseragaman bobot Evaluasi keseragaman bobot tablet bertujuan untuk mengetahui keseragaman bobot antar tablet dalam satu formula

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


Tabel 2. Hasil Uji Massa Tablet Dimenhidrinat Formula

sudut diam (º)

indeks kemampatan (%)

waktu alir (g/detik)

1

36º 12’ 15”

10 + 1,265

7,5867 + 0,877

2

36º 40’ 22”

9,67 + 1,505

5,3183 + 0,599

3

37º 23’ 9”

12,33 + 1,505

6,2833 + 0,502

4

37º 8’ 38”

10,33 + 1,505

5,6367 + 0,786

5

35º 32’ 45”

11 + 1,095

5,96 + 0,749

6

37º 19’ 6”

10,67 + 1,033

6,7783 + 0,971

7

36º 36’ 53”

11,33 + 2,066

5,6033 + 0,56

Tabel 3. Hasil Uji Tablet Dimenhidrinat Formula

Keseragaman Bobot (%)

Kekerasan (kg/cm2)

Friabilitas (%)

Waktu Hancur (g/detik)

Diameter (cm)

Tebal (cm)

Keseragaman Sediaan (%)

1

2,1500

2,35

1,0075

12,4267

0,9

0,2575

109,8477

2

2,2957

2,35

0,7417

19,0700

0,9

0,2508

103,5341

3

2,1368

3,00

1,1236

24,9800

0,9

0,2470

105,3153

4

2,0710

2,85

0,6330

11,2733

0,9

0,2445

105,2209

5

1,9706

2,20

0,8395

11,6617

0,9

0,2463

104,2249

6

2,0353

2,70

1,1206

10,3617

0,9

0,2477

103,6787

7

0,9504

1,90

0,8320

9,0617

0,9

0,2548

102,3936

setelah dilakukan proses pencetakan, agar menghasilkan bobot yang dikehendaki dan seragam. Dari uji keseragaman bobot dari formula 1 sampai 7 nilai rata-rata dapat dilihat pada tabel 3. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pada keseragaman bobot yang dilakukan terhadap 20 tablet memiliki % penyimpangan rata-ratanya tidaklah terlalu besar, dan semua formula memenuhi persyaratan keseragaman bobot walaupun memiliki bobot yang beragam, dengan ratarata 151-300 mg persyaratannya yaitu tidak lebih dari dua tablet menyimpang lebih besar dari 7,5 % dan tidak satu tablet pun yang menyimpang lebih besar dari 15 %. Hal ini dikarenakan saat pencetakan tablet alat mesin kempa tablet diatur tekanannya agar memiliki bobot yang tidak berbeda jauh. Uji kekerasan Pada uji kekerasan yang dilakukan pada formula 1 sampai formula 7 nilai ratarata dapat dilihat pada tabel 3. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa seluruh formula memiliki kekerasan yang beragam dari 1 - 4 kg/cm2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kekerasan tablet adalah tekanan kompresi dan sifat bahan yang dikempa, semakin besar tekanan yang diberikan saat pentabletan akan meningkatkan kekerasan

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

tablet. Peningkatan jumlah bahan pengikat akan meningkatkan kekerasan tablet meskipun dengan tekanan kompresinya sama. Kekerasan yang beragan dari tiap formula kemungkinan dikarenakan tekanan kompresi yang diberikan saat mencetak tablet tidak sama. Hal ini terjadi akibat menggunakan alat cetak tablet yang manual, sehingga tekanan yang diberikanpun berubah-ubah agar dapat tercetak tablet dengan bobot tablet yang diharapkan. Seluruh tablet memenuhi persyaratan tablet dikarenakan untuk tablet ODT diperbolehkan dengan kekerasan 1-3 kg/cm2, tetapi lebih diharapkan untuk lebih dari 3 kg/cm2. Uji Friabilitas Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa pada uji friabilitas ada beberapa formula yang memenuhi persyaratan dan beberapa formula yang tidak memenuhi persyaratan karena pada uji friabilitas tidak boleh melebihi 1% untuk orally disintegrating tablet. Pada formula 2, 4, 5, dan 7 memenuhi persyaratan dengan nilai 0,7417 %, 0,6330 %, 0,8395 %, dan 0,8320 %, sedangkan pada formula 1, 3 dan 6 tidak memenuhi persyaratan yaitu dengan nilai 1,0075 %, 1,1236 %, dan 1,1206 %. Hal ini dapat disebabkan karena berbagai hal, seperti pengaruh dari bahan superdisintegran, bahan

29


yang digunakan adalah serbuk, maupun karena akibat dari mesin cetak yang kurang kuat dalam pengempaan, seperti kurangnya tekanan pada saat pengempaan dapat membuat tablet menjadi rapuh sehingga ketika diuji friabilitasnya tablet memiliki kerapuhan yang tinggi dan tidak memenuhi persyaratan. Semakin besar % friabilitasnya semakin besar tablet mangalami laminasi, kaping maupun retak. Uji keseragaman ukuran Pada uji keseragaman ukuran yang dilakukan pada formula 1 sampai formula 7 nilai rata-rata dapat dilihat pada tabel 3. Seluruh formula tidak memenuhi persyaratan, hal ini dikarenakan ukuran die yang ada tidak sesuai untuk tablet dengan bobot 200 mg, sehingga tablet tidak memenuhi syarat dikarenakan ukuran diameter tablet melebihi 3 kali tebal tablet, dengan diameter tablet 0,9 cm dan ketebalan tari tiap formula yang berbeda berkisar antara 0,2403 cm sampai 0,2584 cm. Diameter pada tablet melebihi 3 kali tebal tablet maka dapat dikatakan untuk keseragaman ukuran suluruh formula tidak memenuh persyaratan. Dikatakan memenuhi persyaratan apabila diameter tablet tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 4/3 tebal tablet. Uji waktu hancur Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pada uji waktu hancur seluruh tablet memenuhi persyaratan yaitu kurang dari 3 menit. Formula yang paling cepat hancur terdapat pada formula 7 dengan rata-rata waktu hancur 9,06 detik, kemudian formula 6 dengan rata-rata 10,36 detik, formula 4 dengan rata-rata 11,27 detik, formula 5 dengan rata-rata 11,66 detik, formula 1 dengan rata-rata 12,43 detik, formula 2 dengan rata-rata 19,07 detik, formula 3 yang paling lama dengan rata-rata 24,98 detik. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa dengan mengkombinasi superdisintegran dapat mempercepat waktu hancur pada tablet. Dengan perbedaan mekanisme kerja setiap superdisintegran dapat disimpulkan bahwa superdisintegran yang menggunakan mekanisme kerja mengembang memiliki waktu hancur lebih lama dibandingkan dengan superdisintegran dengan mekanisme kerja kapiler. Untuk orally disintegrating tablet ini dapat dikatakan hancur apabila tablet menjadi partikel kecil maupun menjadi seperti gel. Waktu hancur yang terjadi terhadap tablet dipengaruhi oleh bahan tambahan yang digunakan, metode pembuatan tablet, jenis dan konsentrasi pelicin, tekanan me-

30

sin pada saat pentabletan, dan sifat fisika kimia bahan penyusun tablet. Pada uji anova terhadap waktu hancur nilai Sig 0,00 < 0,05 sehingga dapat dilihat adanya perbedaan bermakna terhadap tiap formula, sehingga dilanjutkan dengan uji tukey HSD dan terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna terhadap formula 2 dan formula 3 yaitu pada penggunaan superdisintegran Ac-Di-Sol dan primogel. Pada penggunaan superdisintegran Ac-Di-Sol waktu disintegrasi rata-rata adalah 19,07 detik dan penggunaan superdisintegran Primogel waktu disintegrasi rata-rata adalah 24,98 detik. Dengan adanya kombinasi superdisintegran dapat membuat tablet dengan superdisintegran AcDi-Sol dan primogel memiliki waktu hancur yang lebih cepat, terlihat pada formula 4, 5, 6, dan 7 yang memiliki waktu hancur lebih cepat. Tetapi tidak terlalu berpengaruh terhadap krospovidon karena hanya sedikit mempercepat waktu hancurnya apabila dikombinasikan. Uji keseragaman kandungan Pada uji keseragaman sediaan yang dilakukan adalah uji keseragaman kandungan. Hal ini disebabkan tablet yang dibuat yaitu tablet dimenhidrinat dengan berat satu tablet 200 mg dan mengandung dimenhidrinat 12,5 mg. Untuk semua formula memenuhi persyaratan yaitu jumlah zat aktif dalam masing-masing dari 10 satuan sediaan seperti yang ditetapkan dari cara keseragaman bobot atau dalam keseragaman kandungan terletak antara 85,0 hingga 115,0% dari yang tertera pada etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6,0%. Pada formula 1 dengan rata-rata 109,85% dengan SBR 0,61%, formula 2 dengan rata-rata 103,53% dengan SBR 2,97 %, pada formula 3 dengan rata-rata 105,32 % dengan SBR 2,51 %, pada formula 4 dengan rata-rata 105,22 % dengan SBR 3,25 %, pada formula 5 dengan rata-rata 104,22% dengan SBR 3,31%, pada formula 6 dengan rata-rata 103,68% dengan SBR 4,95 %, pada formula 7 dengan rata-rata 102,39% dengan SBR 5,10 %. Dilihat dari SBR seluruh formula memenuhi persyaratan dan tidak ada satu tabletpun yang kandungan zat aktifnya lebih kecil dari 85% dan lebih besar dari 115%. Dilihat dari keseluruhan data hasil uji massa tablet dan tablet pada formula 1 sampai 7 dapat diketahui bahwa pada seluruh formula memenuhi persyaratan untuk uji indeks kemampatan, uji sudut diam, uji kekerasan, uji waktu hancur, uji keseragaman bobot, dan uji keseragaman sediaan. Hasil

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


evaluasi uji waktu alir seluruh formula tidak memenuhi persyaratan yaitu 10 g/detik, hal ini masih dapat diterima karena serbuk masih dapat mengalir walaupun dengan nilai kurang dari 10 g/detik. Pada uji keseragaman ukuran seluruh formula tidak memenuhi persyaratan dikarenakan die yang digunakan untuk mencetak tablet tidak sesuai dengan bobot 200 mg, sehingga tablet yang tercetak memiliki diameter yang melebihi 3 kali ketebalan. Pada uji friabilitas formula 2, 4, 5, dan 7 memenuhi persyaratan, tetapi formula 1, 3, dan 6 tidak memenuhi persyaratan. Hal ini disebabkan bahan superdisintegran yang digunakan atau pengaruh alat cetak tablet seperti adanya perubahan tekanan dapat mempengaruhi friabilitas tablet. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada penggunaan superdisintegran krospovidon, primogel dan Ac-Di-Sol yang dikombinasi memiliki waktu hancur yang lebih cepat dibandingkan dengan penggunaan superdisintegran krospovidon, primogel dan AcDi-Sol secara tunggal. DAFTAR PUSTAKA [1]. Bhowmik D, Chiranjib B, Krishnakanth, Pankaj, Chandira RM.“FastDissolving TabletAn Overview”. Dalam: Journal of Chemical and Pahrmaceutical Re-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

search1(1):(2009): 163-177. [2]. Departemen Kesehatan RI.Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1979. [3]. Departemen Kesehatan RI. Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 1995. [4]. Fu Y, Yang S, Jeong SH, Kimura S, dan Park K. “Orally Fast Disintegrating Tablets: Developments, Technologies,TasteMasking and Clinical Studies”. Dalam: Therapeutic Drug Carrier Systems21(6): (2004):433-475. [5]. Hadisoewignyo L, Fudholi A.Sediaan Solida.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013. [6]. Kumar RB, Vedavathi T. “Formulation And Evaluation Of Sumatriptan Succinate Oral Disintegrating Tablets and Comparision of Disintegrating Property Between Superdisintegrants And Simpledisintegrants”. Dalam: THE PHARMA INNOVATION1:(9) (2012). [7]. Siregar CJP.Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar-dasar Tablet. Jakarta: UI Press, 2010: 35-36. [8]. Tjay TH, Rahardja K. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya. Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007.

31


Tinjauan Pustaka

EKSTRAKSI ASTAXANTHIN DARI HASIL PENGOLAHAN LIMBAH UDANG SEBAGAI SARANA MENUJU KEMANDIRIAN BANGSA DALAM PENYEDIAAN BAHAN BAKU OBAT Evelyn Yuliusman,1* Jennifer Christie,1 Antonius Julio1 Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia Corresponding author’s email: evelyn.yuliusman@yahoo.com

1 *

ABSTRAK Pendahuluan: Saat ini, sekitar 95% dari bahan baku obat yang ada di Indonesia merupakan barang impor, termasuk astaxanthin. Padahal, bahan mentah termurah untuk memproduksi astaxanthin, yaitu limbah udang, dapat diperoleh dalam jumlah besar di Indonesia. Astaxanthin juga dapat diekstraksi dari limbah udang tanpa mengurangi jumlah kitin yang ada dalam limbah udang tersebut. Dari hasil studi literatur, diketahui bahwa banyak penelitian terkait metode ekstraksi astaxanthin telah dilakukan di luar negeri. Dengan membandingkan kekurangan dan kelebihan dari masing-masing metode tersebut, penulis mengusulkan sebuah metode ekstraksi astaxanthin yang murah, mudah, efisien, ramah lingkungan serta dapat diterapkan di Indonesia. Pembahasan: Metode ekstraksi tersebut adalah metode ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan alat soxhlet dan agen pengekstrak berupa minyak kelapa sawit mentah dengan tekanan dan temperatur yang dinaikkan. Proses ekstraksi astaxanthin ini dilakukan sebelum melakukan ekstraksi kitin dari limbah udang yang sama. Setelah proses ekstraksi, minyak kelapa sawit mentah yang telah mengandung astaxanthin dapat diolah menjadi sediaan farmasi dalam bentuk cair, dijadikan sediaan farmasi dalam bentuk kapsul lunak atau dimurnikan lebih lanjut untuk dijadikan bahan baku obat berupa astaxanthin murni. Kesimpulan: Astaxanthin hasil ekstraksi kemudian dapat digunakan oleh masyarakat sebagai sumber vitamin murah atau diolah menjadi bahan baku obat asli Indonesia untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam pengadaan bahan baku obat. Kata kunci: minyak kelapa sawit mentah, limbah udang, ekstraksi, astaxanthin ABSTRACT Introduction: About 95% of Indonesia’s drug raw materials are imported, including astaxanthin. Whereas shrimp waste, which is found abundantly in Indonesia’s seafood processing industries, is the cheapest natural source of astaxanthin. Astaxanthin can be extracted from shrimp wastes without demaging or reducing the amount of chitin. From the literature study, it is known that many researches about astaxanthin extraction have been done abroad. However, most of the extraction methods are difficult to be implemented in Indonesia because of their complexity and apparatus’s limitation. By comparing the cost and benefit of astaxanthin extraction methods, a new, cheap, easy, eco-friendly and applicable extraction method is proposed. Discussion: The idea is to extract astaxanthin using soxhlet apparatus with crude palm oil (CPO) with elevated temperature and pressure, prior to chitin extraction from the same shrimp waste. The CPO which already contained astaxanthin can be directly processed to make liquid pharmacy products, soft gel capsules or pure astaxanthin. Conclusion: The extracted astaxanthin then is expected to be used as cheap vitamin and to be processed as drug’s raw material to improve nation’s independency in drug’s raw material provision. Key words: crude palm oil, shrimp waste, extraction, astaxanthin

32

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


1. PENDAHULUAN Udang merupakan salah satu komoditi ekspor non migas terbesar di Indonesia. Dalam pengolahan udang untuk ekspor maupun untuk konsumsi dalam negeri, dihasilkan limbah udang dalam jumlah besar. Total bobot limbah udang ini, meliputi kepala dan kulit udang, mencapai 40-48% dari bobot udang.[1] Limbah udang dapat diperoleh dengan mudah dalam jumlah besar pada industri-industri pengolahan udang untuk kebutuhan ekspor, industri kerupuk udang, dan pasar ikan.[2] Dalam pemanfaatannya, limbah udang banyak digunakan sebagai makanan hewan ternak[2] atau sebagai sebagai bahan baku kitin yang kemudian diolah menjadi kitosan.[3] Limbah udang digunakan sebagai makanan ternak karena harganya murah dan diketahui mengandung berbagai macam vitamin, mineral, asam lemak dan protein. Vitamin yang ada dalam limbah udang sebagian besar merupakan astaxanthin, yaitu pigmen yang termasuk dalam kelas karotenoid.[4]Astaxanthin merupakan antioksidan yang kuat, sepuluh kali lebih kuat dari karotenoid lain seperti zeaxanthin, lutein, tinaxanthin, canthaxanthin dan betakaroten serta seratus kali lebih kuat dari vitamin E. Astaxanthin juga dapat digunakan sebagai antiinflamasi[5] dan antikanker.[5] Untuk meningkatkan nilai jual limbah udang, pemanfaatannya dialihkan dari sebagai makanan hewan ternak menjadi sumber kitin. Kitin terdapat dalam jumlah besar dalam limbah udang, yaitu sebesar 14-30% dari total berat limbah udang. [4] Harga kitin dari limbah udang yang lebih tinggi dibandingkan penggunaan limbah udang sebagai makanan ternak menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk mengolah limbah udang menjadi kitin daripada makanan ternak. Jika telah diambil kitinnya, limbah udang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi meski di dalam limbah udang tersebut masih mengandung vitamin dalam bentuk pigmen astaxanthin. Di negara-negara maju seperti Jepang, astaxanthin sengaja diproduksi dalam jumlah besar untuk tujuan komersil dari alga (Haematococcus pluvialis). Indonesia pernah mencoba membudidayakan alga tersebut untuk diambil astaxanthinnya. Astaxanthin yang diperoleh kemudian digunakan sebagai bahan baku obat (suplemen makanan). Namun, harga H. pluvialis cukup mahal dan alga tersebut sulit bertahan hidup di iklim tropis. Hal ini mengakibatkan Indonesia memilih mengimpor bahan baku astaxanthin atau mengimpor sediaan farmasi yang mengandung astaxanthin sehingga

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

harga jual sediaan farmasi yang mengandung astaxanthin menjadi mahal. [6] Limbah udang yang menjadi sumber astaxanthin tersedia dalam jumlah besar di Indonesia. Terlebih lagi, limbah udang tersebut dapat diperoleh secara gratis jika ekstraksi astaxanthin dilakukan tepat sebelum melakukan ekstraksi kitin sehingga astaxanthin yang diperoleh hanya bersifat hasil sampingan. Astaxanthin juga dapat diekstraksi dari limbah udang tanpa merusak ataupun mengurangi jumlah kitin dalam limbah udang tersebut.[7] Jumlah astaxanthin dalam limbah udang ini cukup besar, yaitu sepertiga dari jumlah astaxanthin yang dapat diperoleh dari H. pluvialis budidaya.[8] Dengan pemilihan metode ekstraksi astaxanthin dari limbah udang yang mudah dilakukan, memiliki biaya produksi yang rendah, efisien, ramah lingkungan, serta cocok diterapkan Indonesia, serta dengan pengetahuan akan astaxanthin yang cukup, diharapkan masyarakat Indonesia tertarik melakukan ekstraksi astaxanthin dari limbah udang untuk mengatasi masalah pembuangan limbah, meningkatkan nilai tambah hasil pengolahan limbah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 2. PEMBAHASAN Berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh penulis, diketahui bahwa cara ekstraksi astaxanthin yang paling konvensional adalah dengan menggunakan pelarut organik seperti heksan[9] dan menggunakan minyak tumbuhan.[6] Berdasarkan hasil studi pustaka, diketahui bahwa ekstraksi astaxanthin menggunakan pelarut organik dinilai tidak efisien terhadap waktu, membutuhkan biaya yang tinggi, menghasilkan astaxanthin dalam jumlah sedikit dan berbahaya untuk kesehatan. Metode ekstraksi tersebut tidak efisien terhadap waktu sebab melibatkan beberapa langkah dalam prosesnya. Biaya produksinya juga relatif mahal, sebab metode ekstraksi ini membutuhkan pelarut organik dalam jumlah besar. Pelarut organik yang sering digunakan, yaitu heksan, tidak dapat diproduksi di Indonesia sehingga harus diimpor dari negara lain. Heksan dipillih sebab heksan merupakan pelarut nonpolar sehingga dapat digunakan untuk mengekstraksi astaxanthin yang juga bersifat nonpolar. Selain itu, heksan mudah diuapkan saat proses ektsraksi telah selesai. Akan tetapi, metode ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan pelarut organik ini dapat berbahaya untuk kesehatan, sebab pelarut yang digunakan merupakan senyawa organik yang bersifat toksik. Jika

33


proses pengeringan hasil ekstraksi tidak berlangsung sempurna, akan ada pelarut yang tertinggal dalam ekstrak sehingga berbahaya dikonsumsi oleh masyarakat. [10,11]

Metode ekstraksi astaxanthin konvensional yang berikutnya adalah menggunakan minyak tumbuhan.[6]Hampir sama dengan metode ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan pelarut organik, metode ini juga memerlukan waktu yang lama serta menghasilkan astaxanthin dalam jumlah sedikit.[10,11] Namun, jika proses ekstraksi dilakukan menggunakan minyak tumbuhan yang diproduksi di Indonesia, biaya produksi yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan dengan metode ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan pelarut organik. Selain itu, ekstrak astaxanthin yang diperoleh dengan metode ini lebih aman untuk dikonsumsi sebab minyak tanaman tidak bersifat toksik dan minyak tumbuhan itu sendiri mengandung berbagai vitamin dan mineral. Metode ekstraksi ini merupakan metode ekstraksi yang ramah lingkungan sebab menggunakan bahan alam sebagai agen pengekstrak serta tidak menghasilkan limbah yang berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Meski konvensional, metode ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan pelarut organik atau minyak tumbuhan memiliki dua keunggulan. Pertama, astaxanthin yang diperoleh tidak dalam bentuk berikatan dengan protein, sehingga tidak memerlukan proses hidrolisis. Astaxanthin dalam bentuk bebas ini mudah terurai, namun jika dalam proses ekstraksi ditambahkan antioksidan, astaxanthin tidak akan terurai. Kedua, penggunaan pelarut organik ataupun minyak tanaman dapat mengurangi jumlah pengotor dalam hasil ekstraksi astaxanthin yang berupa kitin dan abu.[12] Sedikitnya jumlah pengotor pada ekstrak dapat mengurangi biaya pemurnian astaxanthin dan meminimalisir jumlah kitin yang terbuang sehingga kitin yang tersedia untuk proses ekstraksi selanjutnya jumlahnya hampir tidak berkurang. Pada ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan metode fermentasi[12], diperoleh astaxanthin dalam jumlah yang cukup besar jika dibandingkan dengan menggunakan minyak tumbuhan ataupun pelarut organik. Metode ini juga tidak membutuhkan penambahan zat antioksidan sebab astaxanthin yang terekstraksi berada dalam bentuk berikatan dengan protein sehingga lebih stabil. Namun pada prosesnya, ekstraksi astaxanthin menggunakan metode fermentasi membutuhkan waktu

34

yang jauh lebih lama dibandingkan dengan menggunakan pelarut organik ataupun minyak tumbuhan.[13] Metode ini melibatkan beberapa tahap, antara lain tahap fermentasi dan tahap hidolisis hasil fermentasi dengan menggunakan enzim[12]. Selain itu, saat ini belum diketahui apa jenis mikroba penghasil enzim hidrolisis yang dapat dibudidayakan dengan mudah di Indonesia untuk memproduksi astaxanthin. Selain metode ekstraksi astaxanthin konvensional di atas, terdapat beberapa metode modern seperti metode ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan pelarut organik panas dengan tekanan tinggi, dengan gas CO2 superkritis, dan dengan pelarut subkritis. Metode estraksi dengan menggunakan pelarut organik panas dengan tekanan tinggi[13] secara umum dikenal dengan istilah pressurized liquid extraction (PLE). Prinsip dari PLE ini mirip dengan ekstraksi dengan menggunakan soxhlet, hanya saja suhu dan tekanan ekstraksi dinaikkan, sehingga ekstraksi dapat dilakukan menggunakan pelarut dalam jumlah kecil dan dalam waktu singkat. Selain itu, pelarut yang panas dan tekanan yang tinggi lebih efektif dalam mempenetrasi sampel dan melarutkan senyawa yang ingin diekstraksi sehingga hasil ekstraksi astaxanthin dari limbah udang yang diperoleh dengan cara ini lebih banyak dibandingkan dengan ekstraksi menggunakan metode konvensional. Metode ekstraksi dengan menggunakan gas CO2 superkritis[11], dan metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut subkritis secara umum dikenal dengan istilah supercritical fluid extraction (SFE). Dalam proses ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan metodeSFE, banyak variabel yang harus dikontrol untuk memperoleh hasil ekstraksi maksimal. Variabelvariabel tersebut antara lain lama waktu ekstraksi, tekanan, temperatur, laju aliran pelarut, ukuran partikel, dan kandungan kelembaban.[14] Secara umum, alat yang digunakan pada ketiga metode di atas juga merupakan alat canggih dan mahal, sehingga biaya produksi astaxanthin dengan metode-metode tersebut relatif tinggi. Berdasarkan studi literatur yang telah dilakukan, metode ekstraksi astaxanthin yang paling cocok diterapkan di Indonesia merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan minyak tumbuhan seperti metode yang diperkenalkan oleh Sachindra dan Mahendrakar pada tahun 2005, dengan modifikasi berupa penggunaan minyak kelapa sawit mentah yang telah mengalami proses degumming sebagai agen pengekstrak, serta dengan tekanan dan suhu yang

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


dinaikkan. Minyak kelapa sawit yang digunakan adalah minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil atau CPO) yang belum mengalami proses refine, bleaching, deodorizing (RBD) namun sudah mengalami proses degumming, karena harganya lebih murah. Minyak kelapa sawit mentah yang digunakan adalah minyak yang telah melalui proses degumming, sebab minyak tersebut telah bebas dari logam dan potongan-potongan biji kelapa sawit serta telah ditambahkan air sehingga tidak terlalu kental, namun masih mengandung vitamin dan lemak-lemak yang bergizi tinggi. Selain itu, minyak kelapa sawit mentah yang belum mengalami proses RBD dinilai lebih ramah lingkungan sebab belum mengalami proses kimia lebih lanjut. Setelah minyak kelapa sawit mentah tersebut digunakan untuk mengekstraksi astaxanthin, jumlah vitamin yang terkandung di dalamnya akan meningkat. Jumlah total astaxanthin dari minyak tersebut juga dapat ditingkatkan dengan cara menggunakan minyak hasil ekstraksi astaxanthin sebelumnya untuk mengekstraksi limbah udang yang baru.[6] Minyak kelapa sawit mentah yang telah mengandung astaxanthin tersebut kemudian dapat langsung dijadikan sediaan farmasi dalam bentuk cair atau dalam bentuk kapsul lunak. Hal ini berarti pemanfaatan lain dari minyak kelapa sawit mentah dan peningkatan nilai jualnya. Mengenai teknis ekstraksi yang dilakukan, ekstraksi astaxanthin dengan menggunakan CPO yang belum mengalami proses RBD tersebut dilakukan dengan menggunakan alat soxlet skala industri, dengan tekanan dan suhu yang dinaikkan. Suhu dan tekanan alat tersebut dinaikkan agar CPO yang digunakan untuk melakukan ekstraksi dapat menjadi panas dengan waktu yang lebih singkat, sehingga lebih efisien dan ramah lingkungan. Setelah melakukan ekstraksi astaxanthin dari limbah udang, limbah udang yang sama dapat digunakan untuk mengekstraksi kitin dengan berbagai metode yang telah diterapkan berbagai industri kitin di Indonesia. Ekstraksi astaxanthin dari limbah udang ini merupakan ekstraksi pendahuluan dan bersifat sebagai proses sampingan dari ekstraksi kitin sehingga tidak dibutuhkan biaya untuk membeli bahan baku limbah udang lagi. Jika ingin dilakukan pemurnian terhadap astaxanthin hasil ekstraksi untuk dijadikan bahan baku obat, dapat digunakan metode pemurnian astaxanthin yang diperkenalkan oleh Ishizaki, et al.[15] Namun, metode pemurnian ini juga harus dimodifikasi agar sesuai dengan metode ekstraksi yang digunakan. Modifi-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

kasi tersebut berupa penarikan astaxanthin hasil ekstraksi dengan minyak kelapa sawit mentah menggunakan pelarut organik alkohol rantai rendah, yaitu etanol food grade. Perbandingan antara pelarut organik dan astaxanthin hasil ekstraksi yang optimum adalah 2:1. Setelah astaxanthin ditarik dengan etanol, etanol didestilasi sehingga terbentuk endapan astaxanthin. Etanol hasil destilasi tersebut kemudian dapat digunakan untuk mencuci endapan astaxanthin. Etanol yang digunakan untuk mencuci endapan astaxanthin dapat didestilasi kembali untuk selanjutnya digunakan untuk menarik astaxanthin dari minyak kelapa sawit mentah lain sehingga tidak ada etanol yang terbuang. Penggunaan etanol secara berulang-ulang ini mendukung konsep ramah lingkungan yang dibawa serta mendukung konsep efisiensi dalam hal pemanfaatan bahan. Menurut Ishizaki, et al.[15] ada empat keuntungan dari metode pemurnian sederhana di atas. Pertama, tidak dibutuhkan metode yang rumit dalam pelaksanaannya. Kedua, metode ini menghasilkan tingkat kemurnian astaxanthin yang cukup tinggi (lebih dari 95%) tanpa membutuhkan pemurnian lebih lanjut dengan metode pemurnian yang lebih rumit seperti kromatografi kolom. Ketiga, biayanya lebih murah dibandingkan jika melakukan pemurnian astaxanthin menggunakan metode kromatografi. Terakhir, pelarut yang digunakan dalam pemurnian astaxanthin ini dapat diperoleh kembali dengan mudah menggunakan metode destilasi sehingga tidak ada pelarut yang terbuang. Metode sederhana ini banyak digunakan oleh industri bahan baku astaxanthin di Jepang yang mensuplai bahan baku astaxanthin ke industri makanan, obat-obatan, dan kosmetik, sehingga hasil pemurnian yang diperoleh telah terbukti aman untuk dikonsumsi. Metode ekstraksi dengan menggunakan minyak kelapa sawit mentah yang telah mengalami proses degumming namun belum mengalami proses refine, bleaching dan deodorizing dengan menggunakan alat soxlet dengan tekanan dan suhu yang dinaikkan ini mudah dilakukan, membutuhkan biaya yang murah, ramah lingkungan, serta bahan baku dan bahan pengekstraksinya merupakan bahan asli dari Indonesia sehingga metode ini diharapkan dapat diterapkan oleh berbagai lapisan masyarakat secara berkesinambungan dan ketika dijual harga produk akhirnya, yaitu astaxanthin, lebih murah daripada astaxanthin impor sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku obat asli Indonesia. Hal ini secara

35


langsung akan meningkatkan kemandirian bangsa dalam hal penyediaan bahan baku obat. Astaxanthin hasil ekstraksi kemudian dapat digunakan sebagai sumber vitamin murah bagi masyarakat. 3. KESIMPULAN Di luar negeri, berbagai metode telah dilakukan untuk mengekstraksi astaxanthin dalam H. pluvialis atau dalam limbah udang. Namun, tidak semua metode ekstraksi tersebut dapat diaplikasikan di Indonesia karena metode yang rumit dan harga alat yang mahal. Berdasarkan hasil studi pustaka, metode ekstraksi astaxanthin sebagai ekstraksi pendahuluan sebelum ekstraksi kitin dari limbah udang yang paling cocok diterapkan di Indonesia adalah dengan menggunakan alat soxhlet dengan tekanan dan suhu yang dinaikkan dengan menggunakan agen pengekstrak berupa minyak tumbuhan, yaitu minyak kelapa sawit mentah, dengan tekanan dan suhu yang dinaikkan. Metode ekstraksi ini mudah dilakukan, memiliki biaya produksi yang murah, efisien, serta ramah lingkungan. Astaxanthin yang diekstraksi dengan minyak kelapa sawit mentah dapat langsung dijadikan sediaan farmasi berbentuk cairan atau kapsul lunak, atau dijadikan bahan baku obat dalam bentuk astaxanthin murni. Astaxanthin hasil ekstraksi kemudian dapat digunakan sebagai sumber vitamin murah bagi masyarakat, terutama untuk mengurangi tingkat kebutaan masyarakat Indonesia, atau digunakan sebagai bahan baku obat asli Indonesia untuk meningkatkan kemandirian bangsa dalam hal penyediaan bahan baku obat. 4. SARAN Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memperoleh kondisi optimum dalam proses ekstraksi astaxanthin dari limbah udang menggunakan minyak kelapa sawit mentah. Kondisi optimum yang perlu diteliti meliputi temperatur optimum ekstraksi, jumlah ekstrasi dan tekanan optimum untuk melakukan ekstrasi tanpa merusak kandungan astaxanthin dalam limbah udang. DAFTAR PUSTAKA [1] Sachindra NM, Narayan B, Mahendrakar NS. “Carotenoids in Different Body Components of Indian Shrimps”. Journal of the Science of Food and Agriculture 85: (2005):167-172. [2] Pratiwi RD, Ari ES, Siska EK, Fauzi A, Heri W. Pelatihan Pembuatan Chitosan dari Limbah Udang Sebagai Bahan

36

Pengawet Kami untuk Memperlama Daya Simpan pada Makanan di Kelurahan Pucang Sawit. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2008. [3] Prasetyaningrum A, Rokhati N, dan Purwintari S. “Optimasi Derajat Deasetilasi pada Proses Pembuatan Chitosan dan Pengaruhnya sebagai Pengawet Pangan”. Rekayasa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi1(1) (2007): 39-46. [4] Kandra P, Murali MC, Hemalatha KPJ. “Efficient use of Shrimp Waste: Present and Future Trends”. Application of Microbiology Biotechnology 93 (2012):17-29. [5] Capelli B, Gerald RC. Natural Astaxanthin: King of the Carotenoids. Hawaii: Cyanotech Corporation, 2007. [6] Sachindra NM, Mahendrakar NS. “Process Optimization for Extraction of Carotenoid from Shrimp Waste with Vegetable Oil” Bioresource Technology96 (2005): 1195-1200. [7] Mikaelsen G. Method for Recovery and Separation of Chitin, Proteins and Astaxanthin and Esters Thereof. US5210186 A (Patent) 1993. [8] Breithaupt DE. “Identification and Quantification of Astaxanthin Esters in Shrimp (Pandalus borealis) and in Microalga (Haematococcus pluvialis) by Liquid Chromatography – Mass Spectrometry Using Negative Ion Atmospheric Pressure Chemical Ionization”. Journal of Agriculture Food Chemistry52(12) (2004): 3870-3875. [9] Sachindra NM, Narayan B, Mahendrakar NS. “Recovery of Carotenoids from Shrimp Waste in Organic Solvents”. Waste Management 26(2006): 10921098. [10] Lopez M, Arce L, Garrido J, Rios A, Valcarcel M. “Selective Extraction of Astaxanthin From Crustaceans by Use of Supercritical Carbon Dioxide” Talanta 64 (2004):726-731. [11] Al-Nehari A, Kim SB, Lee YB, Lee HY, Chun BS. “Characterization of Oil Including Astaxanthin Extracted from Krill (Euphausia euperba) Using Supercritical Carbon Dioxide and Organic Solvent as Comparative Method “Korean Journal of Chemistry Engineering 29(3) (2012): 329-336.an di Indonesia Tertinggi Kedua Dunia Setelah Ethiopia. 9 Maret 2012.news.unpad. ac.id/?p=52709 (diakses 27 Februari 2014) [12] Park KH, et al. “Effective Extraction of Astaxanthin Pigmen from Shrimp Us-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


ing Proteolytic Enzyme”. Biotechnology Bioprocess Engineering(4) (1999): 199-204. [13] Quan C, Charlotta T. “Extraction of Astaxanthin from Shrimp Waste Using Pressurized Hot Ethanol”. Chromatographia 70 (2009): 247-251 [14] Yuqian H, Qinchuan M, Wang L, Xue C. “Extraction of Astaxanthin from Eupha-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

sia pacific Using Subcritical 1,1,1,2-tetrafluoroethane”. Journal of Ocean University China 11(4) (2012): 562-568 [15] Ishizaki T, Satoru I, Akira T, Kazuaki H. Production of Carotenoid. US8097761 B2 (Patent) 2012. [16] Hawkins L. “Astaxanthin Provides Broad Spectrum Protection”. Life Extension Magazine. April 2013: 1-4.

37


Tinjauan Pustaka

PHARMACEUTICAL CARE DALAM PEMBERIAN EDIBLE VACCINE GUNA MENINGKATKAN TARAF KESEHATAN DAERAH TERTINGGAL DI INDONESIA Nurul Fajry Maulida,1* Muhammad Ikhsan,1 Evelyn Yuliusman1 Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok Corresponding author’s email : nurulfm93@ymail.com

1 *

ABSTRAK Pendahuluan: Penyakit infeksi masih menjadi persoalan serius di bidang kesehatan pada daerah-daerah tertinggal. Pemberian vaksin konvensional sulit dilakukan karena lokasi yang terisolasi dan rumitnya penyimpanan vaksin konvensional. Edible vaccine mampu mengatasi persoalan vaksin di daerah tertinggal. Di sisi lain, edible vaccine juga memiliki efek samping terkait dosis. Tingkat kemasakan buah atau sayur yang akan dikonsumsi dan kandungan senyawa di tiap buah yang dapat berbeda mengakibatkan penentuan dosis menjadi rumit. Perlu adanya pharmaceutical care dalam pemberian edible vaccine untuk mengatasi masalah tersebut. Pembahasan: Apoteker merupakan profesi yang bertanggung jawab dalam melakukan pharmaceutical care. Pharmaceutical care berfungsi mengidentifikasi potensi terjadinya masalah terkait obat; menyelesaikan masalah terkait obat; serta mencegah terjadinya masalah-masalah yang mungkin terjadi terkait pemberian obat, termasuk vaksin. Untuk mengatasi masalah edible vaccine, apoteker harus mengontrol permintaan vaksin dengan cara memastikan ketepatan vaksin yang diberikan kepada pasien; menyiapkan dan mendistribusikan vaksin sekaligus mengatur dosisnya; memberikan informasi dan konsultasi terkait vaksin yang diberikan; mengevaluasi respon pasien terhadap imunisasi yang diberikan; serta memantau kondisi pasien. Kesimpulan: Dengan demikian, pharmaceutical care dalam pemberian edible vaccine di daerah tertinggal berperan penting agar imunisasi di daerah tertinggal lebih terarah dan tepat sasaran. Kata Kunci: Edible vaccine, daerah tertinggal, apoteker, pharmaceutical care ABSTRACT Background: Infectious disease still become a threat in remote areas. In such places, conventional vaccine is difficult to be given since the places are hard to be accessed and lack of storage resource. To address that problem, edible vaccine could be implemented. However, this kind of vaccine still has serious problems such as it’s side effect and it’s dosage. The ripeness of the fruit could be vary among them, so the calculation of the dosage could be complicated. Therefore, a pharmaceutical care should be incorporated to the system to overcome the problems. Discussion: A Pharmacist is a person who is responsible to deliver pharmaceutical care. Pharmaceutical care has several functions: drug related problems potention identification; drug related problems completion; and drug delivery problems prevention. To address the edible vaccine problems, pharmacist should control the vaccine demand by ensuring the accuracy of the given vaccine; dispensing and delivering the vaccine; calculating the evaccine’s dosage; giving adequate information and consultation about the vaccine; evaluating patient’s response about the immunization; and monitoring patient’s condition. Conclusions: Pharmaceutical care has a big role in the delivery of the edible vaccine in remote areas. It’s needed for the accurateness of the vaccine delivery. Keywords: Edible vaccine, remote areas, pharmacist, pharmaceutical care

38

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


1. PENDAHULUAN Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah suatu daerah di bawah sistem pemerintahan NKRI, dengan jumlah penduduk tertentu, dan belum disebut sebagai kelurahan.[1] Tidak semua desa dapat berkembang dengan baik, di Indonesia masih banyak desa atau daerah yang tertinggal. Daerah yang tertinggal adalah daerah kabupaten (yang terdiri dari desadesa) yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional.[2] Secara umum, desa atau daerah tertinggal memiliki letak geografis yang relatif sulit dijangkau, tidak memilki sumber daya alam atau memiliki sumber daya alam yang besar namun tidak dapat dieksploitasi, masyarakatnya memiliki tingkat pendidikan, pengetahuan, dan ketrampilan yang relatif rendah, terdapat keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan yang lainnya. Selain itu, secara fisik lokasinya amat terisolasi.[2] Di Indonesia masih terdapat 183 kabupaten tertinggal dengan jumlah terbanyak berada di bagian timur Indonesia.[2] Persoalan yang paling krusial ada di bidang kesehatan. Berdasarkan data dari WHO, setiap 8 juta hingga 10 juta anak di dunia meninggal akibat penyakit infeksi yang dalam hal ini masih menjadi persoalan serius di bidang kesehatan pada desa-desa tertinggal.[3] Terkait dengan hal ini, pemerintah lebih mengutamakan tindakan promotif dan preventif dibandingkan dengan kuratif. [4] Oleh karena itu, secara periodik, anakanak mendapatkan vaksin melalui program imunisasi. Pemberian vaksin adalah salah satu cara yang efektif untuk mencegah terkenanya penyakit infeksi.[5] Sayangnya, kegiatan ini sulit untuk menjangkau anakanak di desa tertinggal. Bukan hanya karena lokasinya yang terisolasi sehingga sulit dijangkau, tetapi juga rumitnya penyimpanan vaksin selama perjalanan.[6] Penting untuk diketahui bahwa vaksin memerlukan kondisi penyimpanan khusus, yaitu suhu ruangan yang harus selalu dijaga serta tidak boleh terkena paparan cahaya matahari, panas, dan dingin yang berlebihan. [6] Apabila kondisi penyimpanan tidak dapat dipenuhi akibat kekurangan atau kehabisan sumber listrik selama perjalanan, maka vaksin akan menjadi rusak.[6] Ditambah lagi dibutuhkan biaya yang cukup besar untuk mendapatkan kondisi penyimpanan vaksin tersebut secara optimal. Kini terdapat temuan yang menjadi

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

kabar baik bagi dunia kesehatan karena dapat mengatasi persoalan pemberian vaksin untuk daerah yang sulit dijangkau dan dapat diperoleh dengan biaya seminimal mungkin, yaitu adanya edible vaccine sehingga seluruh anak-anak di dunia hingga ke pelosok daerah dapat memperoleh imunisasi. Edible vaccine adalah tanaman yang direkayasa secara genetik untuk memproduksi vaksin sebagai produk pertanian dalam bentuk buah dan sayuran.[7] Tanaman ini disisipi gen yang memproduksi protein sebagai epitop suatu penyakit yang bila masuk ke dalam tubuh kita dapat berfungsi sebagai vaksin. Dengan model ini tanaman berfungsi sebagai bioreaktor atau pabrik yang memproduksi vaksin berupa buah dan sayur yang dapat dikonsumsi langsung. Dalam hal ini, buah pisang menjadi bioreaktor edible vaccine yang digemari karena keunggulannya yang cepat tumbuh di mana saja dan mudah dipanen.[7] Terlepas dari keunggulannya, ternyata produk ini juga menimbulkan kekhawatiran bagi beberapa pihak yaitu adanya ketakutan terhadap efek samping. Tingkat kemasakan buah atau sayur yang akan dikonsumsi berbanding lurus dengan kandungan vaksinnya sehingga penentuan dosis menjadi cukup rumit, bahkan kandungan senyawa di tiap buah juga dapat berbeda, akibatnya ketepatan penentuan dosis menjadi kunci keberhasilan penggunaan edible vaccine.[7] Oleh karena itulah dalam karya tulis ilmiah ini, gagasan kami adalah dengan menerapkan asuhan kefarmasian (pharmaceutical care) dalam pemberian edible vaccine. Dalam hal ini, apoteker yang berperan dalam pharmaceutical care tersebut, tidak akan hanya menentukan dosis edible vaccine secara tepat saja, tetapi juga memberikan pelayanan kefarmasian secara komprehensif yang meliputi pengelolaan, pemberian informasi, monitoring, hingga evaluasi penggunaan edible vaccine tersebut. Dengan demikian, diharapkan kesehatan anak-anak desa calon pemimpin Indonesia di masa depan dapat terjamin. 2. PEMBAHASAN 2.1. Gambaran Daerah Tertinggal Berdasarkan Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal, daerah tertinggal didefinisikan sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional.[2] Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar dan 27 indikator utama, yaitu:

39


(1) perekonomian masyarakat, dengan indikator utama persentase keluarga miskin dan konsumsi perkapita; (2) sumber daya manusia, dengan indikator utama harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf, (3) prasarana (infrastruktur), dengan indikator utama jumlah jalan dengan permukaan terluas aspal/beton, jalan diperkeras, dan jalan tanah, dan jalan lainnya, persentase pengguna listrik, telepon dan air bersih, jumlah desa dengan pasar tanpa bangunan permanen, jumlah prasarana kesehatan/1000 penduduk, jumlah dokter/1000 penduduk, jumlah SD-SMP/1000 penduduk, (4) kemampuan keuangan daerah, dengan indikator utama celah fiska, (5) aksesabilitas, dengan indikator utama rata-rata jarak dari desa ke kota kabupaten, jarak ke pelayanan pendidikan, jumlah desa dengan akses pelayanan kesehatan lebih dari 5 km, dan (6) karakteristik daerah dengan indikator utama persentase desa rawan gempa bumi, tanah longsong, banjir, dan bencana lainnya, persentase desa di kawasan lindung, desa berlahan kritis, dan desa rawan konflik satu tahun terakhir. Dengan kriteria tersebut, maka saat ini terdapat 183 kabupaten yang dikategorikan sebagai “Daerah Tertinggal� di Indonesia yang penyebaran daerah tertinggal sebagian besar (70%) terdapat di kawasan timur Indonesia.[2] Banyak penduduk di daerah tertinggal yang mengalami gangguan penyakit infeksi. Secara umum jenis penyakit yang dirasakan penduduk di daerah tertinggal dengan daerah lainnya hampir sama seperti ISPA, TB paru, dan diare. Bedanya dengan daerah lainnya yang bukan daerah tertinggal adalah tingginya penyakit malaria klinis. Di beberapa daerah penyakit malaria klinis menduduki urutan pertama dari 10 penyakit terbesar seperti di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan keadaan geografis daerah tersebut yang banyak terletak di pinggir pantai dan pegunungan.[8] Dalam hal ini, imunisasi dapat mencegah timbulnya penyakit infeksi tersebut, sebelum adanya imunisasi, banyak yang meninggal akibat penyakit infeksi.[9] Sulitnya akses dan minimnya fasilitas, imunisasi masih menjadi hal yang langka di daerah tertinggal. Edible Vaccine Vaksin adalah suatu suspensi mikroorganisme atau substansi mikroorganisme yang digunakan untuk menginduksi sistem imunitas. Vaksinasi atau disebut juga imunisasi merupakan suatu cara untuk

40

meningkatkan imunitas (sistem kekebalan) seseorang terhadap invasi mikroorganisme patogen atau toksin.[10] Program vaksinasi telah sukses menurunkan tindakan pengobatan medis yang mahal untuk berbagai penyakit.[11] Vaksin yang dapat dimakan disebut edible vaccine. Edible vaccine merupakan hasil kombinasi ilmu kedokteran dan biologi tumbuhan untuk menghasilkan sediaan farmasi yang murah dan terjangkau dengan khasiat yang tepat. Banyak penyakit yang harus dicegah dengan multiple antigen agar menginduksi dan mempertahankan sistem kekebalan. Tumbuhan memiliki kapasitas untuk mengekspresikan lebih dari satu transgen sehingga bisa dilakukan inokulasi berulang dengan multiple antigen. Selain itu, dinding sel tumbuhan yang kaku dan keras mampu melindungi senyawa protein vaksin dari degradasi lambung dan usus pada penggunaan oral.[11] Edible vaccine dibuat dengan teknologi rekayasa genetika dengan menyisipkan suatu gen yang berasal dari bakteri atau virus ke dalam suatu jenis tanaman. Tanaman hasil teknologi rekayasa genetik ini disebut tanaman transgenik. Tanaman tersebut mengandung fragmen DNA yang berasal dari bakteri atau virus. Fragmen DNA bakteri atau virus yang dikloning ke dalam suatu tanaman ini merupakan gen yang akan mengkode pembentukan protein, yang biasanya dipilih protein yang terletak di permukaan sel bakteri atau virus, sehingga bila tanaman tersebut dikonsumsi akan menghasilkan respon imun. Respon ini akan membuat tubuh mengenali epitopspesifik permukaan sel bakteri dan virus apabila ada bakteri atau virus yang masuk ke dalam tubuh. Dengan demikian, tubuh akan terhindar dari infeksi bakteri dan virus tersebut.[12] Pembuatan edible vaccine terdiri dari beberapa tahap. Tahap paling awal adalah mengisolasi gen terpilih dari mikroba yang akan dijadikan kandidat vaksin. Selanjutnya gen tersebut disisipkan ke dalam vektor plasmid.[12] Metode ini disebut plasmid/ vector carrier system method menggunakan Agrobacterium tumifaciens. A. tumifaciens dipilih karena secara alami merupakan bakteri yang terdapat di dalam tanah yang bersifat patogen pada tanaman. A. tumifaciens mampu mentransfer suatu segmen kecil DNA ke dalam genom tanaman, proses ini disebut transformasi. DNA A. tumifaciens yang telah dimodifikasi akan menginfeksi sel tanaman.[11] Bagian tanaman dimasukkan ke dalam suspensi bakteri yang telah disisip-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


kan gen antigen pada plasmidnya. Tanaman yang telah terinfeksi diseleksi dan dipilih yang mampu tumbuh dalam media buatan. Tanaman terseleksi tersebut dibiakkan dalam media buatan hingga muncul akar dan tunas batangnya. Selanjutnya tanaman ini siap ditumbuhkan pada tanah sebagai habitat aslinya.

Gambar 1. Cara Pembuatan Edible Vaccine pada Tanaman Kentang[13] Tanaman transgenik yang ingin dipakai untuk pembuatan edible vaccine dapat dipilih dari jenis tanaman lokal, murah, dapat ditanam dengan secara sederhana sesuai dengan daerah tumbuhnya, dan dapat diproduksi sebanyak mungkin sesuai kebutuhan. Tanaman inang yang telah berhasil dijadikan tanaman transgenik antara lain pisang, tomat, kentang, padi, kedelai, wortel, jagung, kacang-kacangan dan tembakau.[12] Saat ini, edible vaccine telah terbukti dapat mencegah berbagai penyakit seperti cacar air, kolera, hepatitis B dan C, serta penyakit-penyakit rongga mulut.[11] Edible vaccine memiliki banyak keunggulan dibandingkan vaksin konvensional. Vaksin ini dikonsumsi secara oral sehingga tidak memerlukan bantuan petugas kesehatan untuk menyuntikkannya. Vaksin yang akan diproduksi akan sangat ekonomis karena tidak memerlukan sarana distribusi khusus dan ruang pendingin seperti vaksin konvensional. Vaksin ini sangat aman karena tidak akan terjadi kemungkinan untuk kembali menjadi patogen sebagaimana yang terjadi pada vaksin konvensional, yang pembuatannya dengan cara mematikan atau melemahkan sifat virulensi dari mikroorganisme yang dipakai. Dalam tanaman transgenik tidak terdapat bakteri atau virus utuh melainkan hanya protein permukaan atau protein spesifik dari bakteri atau virus tersebut. Sebagai vaksin dalam bentuk yang dapat dimakan, tidak me-

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

merlukan proses pemurnian sebagaimana yang biasa dilakukan pada produksi subunit vaksin dengan menggunakan bakteri atau sel binatang sebagai inangnya.[12] Di sisi lain, edible vaccine juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu menjadi perhatian. Yang paling utama adalah dalam penentuan dosis yang tepat berhubungan dengan ukuran dan tingkat kemasakan buah dan sayur yang akan dikonsumsi berbanding dengan keadaan tubuh pengguna. Masalah dalam produksi bahan pertanian adalah ukuran yang tidak stabil. Pengguna bisa jadi memakan vaksin terlalu banyak atau sedikit yang menyebabkan salah perhitungan dosis, sehingga justru dapat mengakibatkan ledakan penyakit setelah imunisasi dengan edible vaccine.[7] 2.2. Peran Apoteker dalam Pharmaceutical Care Apoteker adalah salah satu profesi kesehatan yang bertanggung jawab dalam hal melakukan pekerjaan kefarmasian. Pekerjaan kefarmasian tersebut meliputi meracik, mencampur, mengadakan, menyimpan, mengontrol, mendistribusikan dan juga menilai serta memantau pengobatan yang dilakukan oleh rumah sakit ataupun instansi kesehatan lainnya. Pharmaceutical care adalah salah satu bentuk tanggung jawab apoteker dalam melakukan terapi pengobatan kepada pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Tujuantujuan dilakukannya pharmaceutical care adalah menyembuhkan penyakit; penghilangan ataupun pengurangan gejala penyakit pasien; menunda atau menghambat perkembangan penyakit; serta pencegahan terhadap penyakit dan gejalanya. Dalam prosesnya, pharmaceutical care melibatkan kooperasi dari apoteker dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya dalam mendesain, menerapkan dan memantau rencana terapi pasien agar memperoleh hasil yang diharapkan. Ada 3 fungsi utama dari pharmaceutical care yang dilakukan oleh farmasis. Fungsi tersebut antara lain mengidentifikasi potensi terjadinya masalah yang berkaitan dengan obat; menyelesaikan masalah yang terkait dengan obat; serta mencegah terjadinya masalah-masalah yang mungkin terjadi terkait pemberian obat. Dalam Undang Undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan, ada beberapa pasal yang berkaitan erat dengan pekerjaan kefarmasian dan pemberdayaan masyarakat.[14] Pasal-pasal tersebut antara lain:

41


Bab V Pasal 42 Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar. Bab VI Pasal 63 ayat (1) Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Bab VII Pasal 71 (1) Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam penyelenggaraan upaya kesehatan beserta sumber dayanya. (2) Pemerintah membina, mendorong, dan menggerakkan swadaya masyarakat yang bergerak dibidang kesehatan agar dapat lebih berdayaguna dan berhasilguna. Bab VIII Pasal 73 Pemerintah melakukan upaya pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan Peraturan lain yang juga berhubungan dengan pekerjaan kefarmasian adalah Peraturan Pemerintah no 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian.[15] Di dalam PP tersebut, terdapat sejumlah pasal yang berkaitan erat dengan tugas-tugas apoteker. Antara lain: Bab 1 Pasal 2 (1) Peraturan Pemerintah ini mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, atau penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi (2) Pekerjaan Kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 2.3. Pharmaceutical Care dalam Pemberian Edible Vaccine di Daerah Tertinggal Penerapan edible vaccine di Indonesia dapat menggunakan tanaman pisang. Pisang merupakan buah transgenik yang sangat diminati karena dapat tumbuh subur di seluruh dunia terutama di negara-negara tropis. Buah pisang dapat langsung dimakan tanpa perlu dimasak. Buah pisang juga mudah dikonsumsi balita yang belum memiliki gigi, sehingga cocok dijadikan tanaman transgenik untuk edible vaccine. Imunisasi balita dengan pisang transgenik ini akan membuat tubuh balita memproduksi imunoglobulin yang dapat melindungi dari penyakit infeksi13. Selain itu, kandungan gizi buah pisang dapat dikatakan lengkap, terdiri dari vitamin, mineral, karbohidrat, serat, protein, lemak dan zat penting lainnya,

42

sehingga apabila seseorang mengonsumsi buah pisang saja, sudah tercukupi secara minimal gizinya.[16] Edible vaccine dari tanaman pisang dibuat terlebih dahulu dengan metode plasmid/ vector carrier system dalam skala kecil untuk dilakukan beberapa pengujian seperti uji aktivitas biologis, uji keamanan, uji alergenitas dan efikasinya pada hewan coba. Apabila berhasil, dilanjutkan uji pada manusia.[12] Apabila telah teruji aman dan dapat meningkatkan sistem imun pada manusia, maka tanaman transgenik dapat diproduksi secara masal. Untuk melakukan pengujian ini, perlu adanya kerjasama dengan beberapa pihak, antara lain perusahaan vaksin, peneliti di perguruan tinggi dan lembaga riset di Indonesia. Dalam penelitian kerjasama ini, hasil yang ingin dicapai adalah vaksin yang baik, efikasi dan aman. Selain itu, yang juga penting adalah penentuan dosis pemberian vaksin dan waktu panen yang tepat untuk menghasilkan vaksin yang baik. Semua data penelitian tersebut diberikan kepada apoteker yang nantinya akan bertanggunjawab dalam pengawasan edible vaccine ini. Dengan demikian, kelemahan utama edible vaccine terkait dosis dapat diatasi. Dalam pemberian obat ke pasien, dibutuhkan peran seorang apoteker. Apoteker merupakan profesi yang bertanggung jawab dalam pemberian atau distribusi semua jenis obat dan alat kesehatan, tidak terkecuali vaksin.[15] Untuk itu dalam pemberian edible vaccine dalam buah pisang ini juga dibutuhkan peran apoteker dalam pengawasan dan pemberiannya. Apoteker bertanggung jawab atas jenis vaksin yang diberikan dan dosis vaksin. Apoteker juga bertanggung jawab menyiapkan dan mendistribusikan vaksin serta mengontrol permintaan vaksin dengan cara memastikan ketepatan vaksin yang diberikan kepada pasien; menyiapkan dan mendistribusikan vaksin sekaligus mengatur dosisnya melalui perhitungan yang kompleks; mengencerkan vaksin bila diperlukan; memberikan informasi dan konsultasi kepada tim medis lain, perawat, penyedia layanan kesehatan lainnya, pasien dan keluarga pasien terkait vaksin yang diberikan, cara pemberian vaksin dan informasi-informasi lain yang diperlukan; mengevaluasi respon pasien terhadap imunisasi yang diberikan; serta memantau kondisi pasien melalui review, interview dan melakukan tes jika diperlukan. Orang yang bertugas menanam, merawat dan memanen edible vaccine dalam bentuk buah pisang tersebut adalah

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015


masyarakat sekitar yang dipekerjakan oleh pemerintah pusat.[14] Masyarakat memperoleh benih buah pisang yang berisi edible vaccine dari pemerintah, mengikuti pelatihan tentang penanaman dan perawatan pohon pisang penghasil edible vaccine tersebut dan memperoleh pelatihan tentang cara pemanenan dan penyimpanan yang benar. Setelah bisa dipanen, hasil panen segera disimpan oleh masyarakat dengan cara yang telah diajarkan, kemudian langsung diberikan kepada apoteker. Di sini apoteker berperan juga dalam penyimpanan edible vaccine tersebut sebelum diberikan pada pasien. Untuk pemberian kepada pasien, dapat diberlakukan mekanisme seperti berikut ini. Tahap pertama, setelah memperoleh hasil panen edible vaccine dari masyarakat sekitar, apoteker diharapkan menghitung jumlah edible vaccine yang diperoleh dari sekali panen. Kemudian, apoteker melakukan peracikan vaksin, dalam hal ini dengan cara membuat edible vaccine dalam bentuk bubur buah pisang (buah pisang dihancurkan menggunakan sendok hingga menjadi massa lunak) agar memudahkan dalam perhitungan dosis dan pemberian ke masyarakat. Apoteker juga melakukan perhitungan dosis dan membagi-bagi bubur pisang vaksin tersebut ke dalam dosis-dosis tunggal untuk memudahkan distribusi dan pemberian ke pasien. Tahap kedua, apoteker memberikan undangan untuk imunisasi kepada masyarakat sesuai jumlah edible vaccine yang diperoleh dari hasil pembagian sediaan sesuai dosis tersebut. Kemudian, setelah pasien datang, apoteker memberikan bubur pisang vaksin kepada pasien dan mengawasi pasien mengkonsumsi vaksin tersebut. Setelah seluruh pasien mengkonsumsi bubur pisang vaksin sampai habis, apoteker memberikan penjelasan mengenai efek samping yang mungkin timbul setelah mengkonsumsi vaksin tersebut dan apa yang harus dilakukan jika timbul efek-efek samping yang umum terjadi. Di sini apoteker harus menekankan mengenai efek samping mana saja yang umum dan tidak berbahaya sehingga tidak perlu dikhawatirkan dan efek samping mana saja yang tidak umum dan berbahaya. Apoteker juga harus memberi masyarakat nomor teleponnya dan nomor telepon puskesmas serta menghimbau masyarakat untuk segera mengunjungi puskesmas terdekat bila ada masyarakat yang menderita efek samping vaksin yang tidak bisa ditoleransi atau berbahaya. Mekanisme pemberian edible vaccine pada pasien tersebut dapat diulang setiap kali selesai panen. B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015

3. KESIMPULAN Dengan adanya pharmaceutical care yang dilakukan oleh apoteker dalam pemberian edible vaccine dalam bentuk bubur pisang maka imunisasi di daerah tertinggal yang sulit mendapat stok vaksin konvensional dapat dilakukan secara maksimal. Pharmaceutical care dalam pemberian edible vaccine berperan penting agar imunisasi di daerah tertinggal lebih terarah dan tepat sasaran, yaitu tepat dosis; tepat prioritas pemberian yaitu untuk kaum yang rentan menderita penyakit; serta efek samping yang tidak diinginkannya dapat dihindari atau diminimalisasi. DAFTAR PUSTAKA [1]. Presiden Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Jakarta: Kementrian Sekretarian Negara RI, 2014. [2]. Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal. n.d. Daerah Tertinggal. 19 September 2014. <http://www. kemenegpdt.go.id/hal/300027/183kab-daerah-tertinggal> [3]. Boyce Thompson Institute. Incredible Edible Vaccine. New York: Staff Research and Staff Artist, 1995. [4]. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Pusat Promosi Kesehatan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 6 Oktober 2014.<http:// promkes.depkes.go.id> [5]. Langridge, William H. R.“Edible Vaccines,” Scientific American. 283:3 (2000): 66-71. [6]. Center for Disease Control and Prevention. Vaccine Storage and Handling Toolkit. USA: U. S. Department of Health and Human Services, 2014. [7]. P.J., Santoso. 2011. “Mengenal Edible Vaccine, Pemanfaatan Produk Holtikultura untuk Media Vaksin.” Iptek Holtikultura. 7 (2011): 24-27 [8]. Musadad, Anwar, Sutaryo, dan Dotti Indrasanto.“ Masalah Kesehatan di Daerah Terpencil.” Media Litbangkes4:1 (1994): 7-11. [9]. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013. [10]. Radji, Maksum. Imunologi dan Virologi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan, 2010. [11]. Mishra, Neeraj, et al. “Edible Vaccines: A New Approach to Oral Im-

43


munization.” Indian Journal of Biotechnology7 (2008): 283-294. [12]. Radji, Maksum.“Pemberian Vaksin Melalui Tanaman Transgenik.”2004. Dalam: Majalah Ilmu Kefarmasian. 1:1 (2008): 1-9. [13]. Langridge, William H. R. “Edible Vaccines.” Scientific American283:3 (2000): 66-71. [14]. Presiden Republik Indonesia. Undang-undang No. 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan. Jakarta: Lem-

44

baran Negara Republik Indonesia, 1992. [15]. Presiden Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta: Lembaran Negara Republik Indonesia, 2009. [16]. Khomsan, Ali. Sehat dengan Makanan Berkhasiat. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007.

B I M F I Volume 3 No.2 | Juli - Desember 2015



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.