SUSUNAN PENGURUS Board of Director
Dewan Redaksi
Nuning Khurotul Af’ida
Charnis Nurul M.
Pelindung
Petrisia Ristantini
Ahmad Rizal (Sekertaris Jendral ILMIKI)
Penasehat Muhammad Zulfatul A’la Weni Widya Sari
Pimpinan Umum Tiara Dea Ananda Universitas Brawijaya
Universitas Gajah Mada
Universitas Brawijaya
Ryharti Amaliatus S. Universitas Brawijaya
Adzanea Al Hafiz Universitas Brawijaya
Maufiroh Universitas Indonesia
Tim Public Relations Selvia Maysari
Universitas Lambung Mangkurat
Bernadetta Germia A.
Pimpinan Redaksi Sifak Nikmatul F. Universitas Gajah Mada
Sekretaris
Universitas Lambung Mangkurat
Muhammad Imam M. STIKES Kepanjen Malang
Cindy Safitri Utami Universitas Gajah Mada
Pratidina Dwinda H.E. Universitas Brawijaya
Bendahara Siti Marina Wiastuti Universitas Negeri Jember
Tim Layouting Farid Dwiyanto Nugroho Universitas Brawijaya
Fatimah Az-Zahra Universitas Brawijaya
Sandy Dwi Aryanto Universitas Gajah Mada
Galih Adi Pratama Universitas Gajah Mada
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│i
PENYUNTING AHLI UNIVERSITAS INDONESIA Ns. Muhamad Adam M.Kep., Sp.Kep.M.B Hanny Handiyani S.Kep., M.Kep Yulia, S.Kp, M.N, Ph.D
UNIVERSITAS GAJAH MADA Dr. Ibrahim Rahmat, S.Kp,. SPd., M.Kes
UNIVERSITAS BRAWIJAYA Ns. Septi Dewi Rachmawati,. S.kep, Mng Ns. Ahmad Hasyim Wibisono, M.Kep, MN, CWCC Septi Rachmawati, Mng
UNIVERSITAS JEMBER Ns. Zulfatul A’la, S.Kep., M.Kep.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│ii
DAFTAR ISI
ISSN : 2338-4700
Susunan Pengurus . ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Penyunting Ahli ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Daftar Isi ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Petunjuk Penulisan ........ ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Sambutan Pimpinan Umum ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... .......
i ii iii v x
Penelitian Uji Potensi Ekstrak Etanol Daun Kemangi (Ocimum basilicum) Sebagai Insektisida Lalat Rumah (Musca domestica) dengan Metode Elektrik Mohamad Daroini, Agustin Iskandar, Dina Dewi SLI .......................................................................................................................................................................................................................
1
Hubungan Antara Konsep Diri dengan Kebermaknaan Hidup pada Narapidana Remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang Prasetyo Aji Nugroho .......................................................................................................................................................................................................................
8
Gambaran Persepsi Perawat terhadap Efektifitas Penggunaan Electronic Nursing Record sebagai Inovasi Dokumentasi Asuhan Keperawatan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta Maufiroh, Shintia Silvana, Pipit Lestari .......................................................................................................................................................................................................................
18
Tinjauan Pustaka Paket Hemat Bebas Pasung (PAHE FREEPAS): Solusi Inovatif Aplikasi Model Keperawatan Jiwa Eksistensial dan Sosial dalam Menangani Kesehatan Jiwa Nuning Khurotul Af’ida, Heri Iswanto, Windiarti Rahayu, Retno Lestari ......................................................................................................................................................................................................................
27
Disfagia Post Stroke dan Penatalaksanaannya Bayu Fandhi Achmad, Anastasia Anna Iskandar ......................................................................................................................................................................................................................
36
Intervensi Keperawatan Pada Pasien Penyakit Kardiovaskular yang Melaksanakan Latihan Aktivitas Fisik Rehabilitasi Jantung Fase I (Inpatient) Nabila Chairani ......................................................................................................................................................................................................................
43
Advertorial Diabetes Self Management Application (DSMA): Aplikasi Mobile untuk Meningkatkan Kemandirian Perawatan Diri Pasien Diabetes Melitus Roma Radlah, Khoirunnisa D, Ratna S, Gandhana ......................................................................................................................................................................................................................
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
51
│iii
Penggunaan Set Alat ManDi (Manajemen Diri) pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 sebagai Inovasi Teknologi dalam Keperawatan Widi Jatmiko, Risyda Zakiyah Hanim, Fajar Kharisma, Nur Widayati .......................................................................................................................................................................................................................
59
Pemanfaatan Kalender Modifikasi pada Manajemen Mandiri Teknik Rotasi Injeksi Insulin untuk Mencegah Lipohipertrofi pada Pasien Diabetes Mellitus Ester YunitaPuspitasari, Hendrikus Tonbesi, Eky Gasaty Viktor ......................................................................................................................................................................................................................
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
65
│iv
PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Indonesian Nursing Student Journal
1. BIMIKI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah
ditulis
dalam
bahasa
Indonesia
yang
baik,
benar,
lugas,
dan
ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim
melalui
email ke alamat
redaksi.bimiki@bimkes.org atau
bimiki.ilmiki.gmail.com dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -
Pendahuluan
-
Metode
-
Hasil
-
Pembahasan
-
Kesimpulan
-
Saran
5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -
Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
-
Pembahasan
-
Kesimpulan
-
Saran
5. Daftar Rujukan
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│v
6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar
dan Artikel
Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -
Pendahuluan
-
Laporan kasus
-
Pembahasan
-
Kesimpulan
5. Daftar Rujukan 8.
Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim.
Penulisan
judul
diperbolehkan
menggunakan
titik
dua
tapi
tidak
diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak.
Abstrak Bahasa Inggris dan
keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│vi
15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. BUKU i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. ii. Dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. iii. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, alter, et al. Teaching Shakespeare. Princeton. Princeton UP, 1997. iv. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. v. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. vi. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│vii
vii. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. viii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969. ix. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. x. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.
2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman. Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.
3. PUBLIKASI ELEKTRONIK i. Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│viii
September 1998 <http://viiiwww.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. ii. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.”
Exemplaria
9.1
(1997).
22
June
1998
<http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm> iii. Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>. iv. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│ix
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Syukur tiada henti saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Volume Ketiga Edisi Kedua ini, setelah melalui perjalanan panjang dan dukungan oleh semua pihak. BIMIKI merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah berbasis teknologi. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah tempat yang mampu menampung dan menyebarluaskan hasil kreativitas mahasiswa, khususnya terkait publikasi artikel ilmiah. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan tiada akhir dalam meningkatkan profesionalisme keperawatan yang menunjang sistem long life learning bagi mahasiswa Ilmu Keperawatan. Kami menorehkan harapan pada berkala ilmiah ini agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh insan keperawatan di Indonesia. Semoga BIMIKI dapat mempermudah mahasiswa Ilmu Keperawatan dalam mengakses perkembangan informasiinformasi ilmiah terbaru, baik dalam bentuk penelitian asli, tinjauan pustaka, dan jenis artikel lainnya. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan pada BIMIKI Volume Ketiga Edisi Kedua ini. Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi selanjutnya. Hidup mahasiswa! Jadikanlah hidupmu dikenang dengan membuat sebuah karya ilmiah!
Tiara Dea Ananda
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;x
Penelitian
UJI POTENSI EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI (Ocimum basilicum) SEBAGAI INSEKTISIDA LALAT RUMAH (Musca domestica) DENGAN METODE ELEKTRIK 1
2
Mohamad Daroini , Agustin Iskandar , Dina Dewi SLI
3
1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 3 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya
ABSTRAK Pendahuluan: Kemangi mengandung senyawa saponin dan flavonoid yang diduga berperan sebagai insektisida. Tujuan: Untuk mengetahui potensi insektisida ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) terhadap lalat Musca domestica dewasa. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris murni dengan menggunakan metode post test only control group design dan pengulangan penelitian sebanyak 4 kali. Terdapat 3 jenis perlakuan dengan konsentrasi larutan ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) yaitu sebesar 20%, 30%, dan 40%. Perlakuan diamati setiap pada jam ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, dan jam ke-24. Larutan ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) dilarutkan kedalam gabus dan dipanaskan menggunakan alat pemanas obat nyamuk elektrik kemudian dimasukkan ke dalam sangkar plastik yang telah berisi 20 ekor lalat Musca domestica. Hasil: Hasil yang didapatkan konsentrasi 40% adalah konsentrasi paling efektif untuk membunuh lalat. Analisis data dengan uji statistik One-way ANOVA dan uji post-hoc menunjukkan perbedaan yang signifikan pada konsentrasi ekstrak dan waktu terhadap potensi insektisida ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum). Kesimpulan: Ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) mempunyai potensi sebagai insektisida terhadap lalat Musca domestica dengan metode elektrik. Kata Kunci :
insektisida, Musca domestica, Ocimum basilicum ABSTRACT
Introduction: Basil contain saponins and flavonoid compounds that are thought to contribute as an insecticide. Aim: This study aims to determine the potential of ethanol extract insecticide of basil (Ocimum basilicum) against adult flies Musca domestica. Method: This research was purely laboratory experimental research using the post-test only control group design study and repetition 4 times. There are 3 types of treatment with ethanol extract solution concentration basil (Ocimum basilicum) is equal to 20%, 30%, and 40%. Any observed treatment at the 1st, 2nd, 3rd, 4th, 5th, 6th, and the 24th hour. Solution of ethanol extract of leaves of basil (Ocimum basilicum) is dissolved into the cork and heated using an electric heater coils and then put in a plastic cage that had contained 20 fly Musca domestica. Result: The results obtained concentration of 40% was the most effective concentration for killing flies. Data analysis with statistical tests One-way ANOVA and post-hoc tests showed significant differences in the concentrations of extract and time to potential insecticides ethanol extract of basil leaves (Ocimum basilicum). Conclusion: In conclusion ethanol extract of basil leaves (Ocimum basilicum) has potential as an insecticide against flies Musca domestica with electrical methods. Keywords : insecticide, Musca domestica, Ocymum basilicum
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;1
1. PENDAHULUAN Pembangunan bidang kesehatan di Indonesia saat ini diarahkan untuk menekan angka kematian yang disebabkan oleh berbagai penyakit yang jumlahnya semakin meningkat. Masalah umum yang dihadapi dalam bidang kesehatan adalah jumlah penduduk yang besar dengan angka pertumbuhan yang cukup tinggi dan penyebaran penduduk yang belum merata, tingkat pendidikan dan sosial ekonomi yang masih rendah. Keadaan ini dapat menyebabkan lingkungan fisik dan biologis yang tidak memadai sehingga memungkinkan [1] berkembang biaknya vektor penyakit. Kejadian Diare menpunyai trend yang semakin naik pada periode tahun 1996-2006. Sedangkan dari tahun 2006 sampai tahun 2010 terjadi sedikit penurunan angka kesakitan, yaitu dari 423 menjadi 411 per 1000 penduduk. Untuk angka kesakitan diare balita Tahun 2000-2010 tidak menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan [2] (berfluktuasi). Begitu pula dengan kasus typhus, dari hasil mortalitas penyakit typhus menduduki peringkat ke enam yaitu sebesar 3,8% sedangkan dari data morbiditas mencapai 81.116 [3] kasus (3,15%). Berbagai penyakit tersebut di atas biasanya terjadi terutama di wilayah dengan faktor resiko, kesehatan lingkungan yang buruk sebagai tempat perindukkan lalat dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masih rendah yang memungkinkan lalat menyebarkan penyakit ke manusia. Oleh karena demikian besar penyebaran penyakit yang dapat ditularkan melalui lalat, maka perlu dilakukan pengendalian lalat dengan cermat untuk meningkatkan [3] derajat kesehatan masyarakat. Lalat merupakan jenis serangga, termasuk subordo Cyclorrapha, ordo Diptera yang sering di jumpai dalam keseharian kita dan pada hampir semua jenis lingkungan. Di ekosistem, lalat dapat berperan dalam proses pembusukan, sebagai predator, parasit pada serangga, dan dapat berperan sebagai vektor penyakit saluran pencernaan seperti kolera, [4] typhus, disentri. Usaha pengendalian lalat dapat dilakukan dengan berbagai cara.
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Pertama, usaha perbaikan lingkungan. Kedua, usaha pengendalian secara biologis. Ketiga, usaha membasmi lalat diantaranya dengan menyemprotkan [5] pembasmi lalat (insektisida). Insektisida sintetik organik yang sering digunakan sebagai pembasmi lalat dewasa diketahui mempunyai dampak negatif. Asapnya mempunyai dampak pencemaran lingkungan, dan gangguan kesehatan merupakan beberapa contoh dari dampak negatif penggunaan insektisida sintetik. Efek samping penggunaan insektisida sintetis dapat dihindari dengan suatu usaha guna mendapatkan insektisida alternatif yang lebih efektif dalam daya rusaknya, cepat dan mudah terdegradasi, dan mempunyai dampak [6] yang kecil terhadap lingkungan. Hasil penelitian menunjukan bahwa ekstrak etanol daun kemangi (Ocymum basilicum) mengandung senyawa yang diduga dapat digunakan sebagai insektisida nabati yaitu saponin [7] dan flavonoid. Penggunaan ekstrak daun kemangi sebagai insektisida bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya yaitu dengan menggunakan metode elektrik. Dosis yang terkandung dalam insektisida elektrik lebih kecil daripada insektisida bakar maupun semprot karena bekerja dengan cara mengeluarkan asap tetapi dengan daya [8] elektrik. Untuk menindak lanjuti informasi tersebut maka pada penelitian ini akan dilakukan pengujian efektivitas ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) terhadap lalat rumah (Musca domestica) dengan metode elektrik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi ekstrak etanol daun kemangi (Ocymum basilicum) sebagai insektisida lalat rumah (Musca domestica) dengan metode elektrik. 2.
METODE Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan rancangan true eksperimentalpost test only control group design, yaitu rancangan peneltian yang bertujuan untuk mengetahui dan membandingkan efek beberapa konsentrasi Ekstrak Etanol Daun Kemangi (Ocymum basilicum) sebagai insektisida terhadap Lalat Rumah (Musca domestica).
â&#x201D;&#x201A;2
Populasi penelitian ini adalah lalat rumah (Musca domestica) di Labolatorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Sedangkan sampel yang digunakan adalah lalat rumah (Musca domestica) dewasa yang diperoleh dari sekitar Laboraturium Parasitolgi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Pada percobaan ini akan digunakan 20 ekor lalat per kandang. Pada percobaan ini menggunakan 3 perlakuan, 1 kontrol positif dan 1 kontrol negatif. Rumus untuk estimasi jumlah pengulangan yaitu: P (n-1) ≥ 16 5 (n-1) ≥ 16 5n – 5 ≥ 16 5n ≥ 21 n ≥ 4,2 ~ 4 Ket : P n
: Jumlah perlakuan : Jumlah pengulangan Jadi dari hasil perhitungan didapatkan bahwa pengulangan yang dilakukan dalam penelitian ini minimal adalah 4 kali. Tiap perlakuan menggunakan 20 ekor lalat rumah (Musca domestica) dewasa. Dalam penelitian ini digunakan 5 sangkar, masing masing sangkar [9] berisi 20 lalat. Sehingga jumlah total lalat rumah yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 400 lalat. Pada penelitian ini lalat dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu : a Kelompok kontrol positif, yaitu kelompok yang diberikan perlakuan menggunakan insektisida elektrik dengan gabus yang mengandung d-aletrin 0,01 lg/l b Kelompok kontrol negatif, yaitu kelompok yang diberikan perlakuan menggunakan alat insektisida elektrik dengan gabus yang direndam dengan aquades c Kelompok yang diberi perlakuan menggunakan alat insektisida elektrik dengan gabus yang direndam dengan ekstrak etanol daun kemangi (Ocymum basilicum) dengan konsentrasi 20%, 30%, 40%.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, pada bulan Mei 2013. Cairan pelarut daun kemangi yang digunakan adalah larutan aquades. Larutan stok ekstrak etanol daun kemangi dibuat untuk mempermudah proses penyiapan larutan uji. Stok ekstrak etanol daun kemangi (Ocymum basilicum) yang ada kemudian diencerkan dengan menggunakan rumus :
M1 x V1 = M2 x V2 Keterangan : M1 : konsentrasi larutan stok yang besarnya 100% V1 : volume larutan stok yang harus dilarutkan M2 : konsentrasi larutan yang diinginkan V2 : volume larutan sesudah pengenceran (6 ml) Lalat rumah dewasa yang telah disiapkan diletakkan dalam sangkar kaca yang berukuran 100 cm x 100 cm x 60 cm. Lalat dewasa yang telah diidentifikasi sebelumnya diletakkan dalam sangkar kaca yang telah disediakan untuk kemudian digunakan sebagai sampel. Percobaan dilakukan dengan menggunakan 2 buah kotak plastik berbentuk bujur sangkar berukuran 3 100x100x60 cm . Jumlah lalat yang mati pada setiap perlakuan dihitung setelah penyemprotan pada jam ke-0, jam ke-1, jam ke-2, jam ke-3, jam ke-4, jam ke-5, jam ke-6, hingga jam ke-24. Keadaan semua kelompok perlakuan diamati untuk mencari perubahan jumlah lalat yang hidup. Jumlah lalat yang mati dihitung dan dimasukkan dalam tabel. Untuk mengetahui apakah terdapat keragaman antar perlakuan, dilakukan uji hipotesis komparatif. Metode yang dapat digunakan yaitu uji One-way ANOVA. Kemudian untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda dilakukan post-hoc test dengan uji Tukey HSD Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi dengan potensi insektisida digunakan uji Korelasi Pearson.
│3
3. HASIL Dalam penelitian uji potensi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) sebagai insektisida terhadap lalat rumah (Musca domestica) dewasa ini terdapat lima macam perlakuan yaitu perlakuan dengan menggunakan konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi 20%, 30%, dan 40% disertai perlakuan sebagai kontrol yaitu kontrol positif (larutan d-aletrin 0,01 lg/l) dan kontrol negatif (larutan aquades steril). Penelitian ini diulang sebanyak empat kali. Berikut data lalat yang mati pada 4 perlakuan setiap jam K K K K K Waktu (-) (+) 20% 30% 40% 0 18 1 2 4 0 18 1 3 4 1 0 19 2 4 5 0 18 1 2 4 0 20 3 5 9 0 20 4 6 10 2 0 20 4 7 8 0 20 3 5 8 0 20 5 9 13 0 20 7 9 14 3 0 20 7 10 12 0 20 6 8 11 0 20 7 13 16 0 20 9 12 19 4 0 20 9 13 15 0 20 8 11 15 0 20 9 15 19 0 20 11 15 20 5 0 20 11 16 19 0 20 11 14 18 0 20 12 18 20 0 20 14 18 20 6 0 20 13 18 20 0 20 13 17 20 0 20 17 20 20 0 20 18 20 20 24 0 20 17 20 20 0 20 18 20 20 3.1 Analisis Data Uji statistik yang pertama adalah untuk menentukan normalitas data potensi insektisida dengan menggunakan metode uji normalitas Kolmogorov Smirnov. Hasil uji ini menunjukan bahwa data potensi insektisida memiliki distribusi data yang normal yaitu sebesar p = 0,895 (p > 0,05).
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Tabel 1. Kolmogorov - Smirnov Asymp. Sig. (2-tailed)
Waktu Pengamatan .895
Setelah menentukan normalitas data, selanjutnya menentukan apakah data potensi insektisida pada kelompok perlakuan memiliki varians yang berbeda atau tidak dengan menggunakan uji homogenitas Levene. Hasil uji ini menunjukan bahwa data potensi insektisida pada kelompok perlakuan memiliki varian yang relatif homogen yaitu sebesar p = 0,988 (p > 0,05). Tabel 2. Levene Sig.
Waktu .988 pengamatan Dari hasil beberapa uji statistik di atas, maka dapat diketahui bahwa data potensi insektisida memiliki data yang berdistribusi normal dengan varian data yang homogen. Dengan demikian, dapat dilakukan pengujian dengan ANOVA pada tahap berikutnya karena asumsi kenormalan distribusi dan homogenitas ragam data telah terpenuhi. Analisis dengan uji ANOVA digunakan untuk membandingkan mean dari dua kelompok sampel. Berdasarkan analisis pada lampiran 3, diperoleh nilai signifikansi dari efektifitas ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) terhadap lalat rumah (Musa domestica) pada waktu pengamatan jam ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 24 masing masing menunjukkan nilai signifikansi secara berturut turut sebesar p = 0,000 (p < 0,05, Ho ditolak). Tabel 3. ANOVA Waktu Sig. JamKe_1 .000 JamKe_2 .000 JamKe_3 .000 JamKe_4 .000 JamKe_5 .000 Jamke_6 .000 JamKe_24 .000 Metode post hoc test sebagai uji pembandingan berganda (multiple comparisons) terhadap perbedaan antara variasi konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) sebagai insektisida terhadap lalat rumah
â&#x201D;&#x201A;4
(Musca domestica) pada setiap pengamatan lamanya waktu pengamatan, dilakukan uji Tukeyâ&#x20AC;&#x2122;s Test. Dari hasil post hoc test menjelaskan bahwa dari jam ke-1 sampai dengan jam ke-24 perbandingan dengan kontrol negatif dengan seluruh konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) hasilnya adalah Berbeda Signifikan, kecuali pada jam ke-1 untuk konsentrasi 20%. Sedangkan perbandingan kontrol positif dengan setiap konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) saat jam ke-1 sampai jam ke24 hasilnya adalah Berbeda Signifikan, kecuali pada jam ke-5, dan jam ke-6 untuk konsentrasi 40% dan pada jam ke 24 untuk konsentrasi 30% dan 40% hasilnya adalah tidak berbeda signifikan. Untuk mengetahui besarnya hubungan antara konsentrasi ekstak etanol daun kemangi terhadap potensi insektisida bagi lalat Musca domestica digunakan uji korelasi Pearson dan didapatkan hasil pengujian pada konsentrasi 20% = 0,984, pada konsentrasi 30% = 0,992 dan pada konsentrasi 40% = 0,948. Sehingga dapat disimpulkan bahwa antara konsentrasi dengan potensi insektisida memiliki hubungan yang sangat kuat (r > 0,800) dengan arah yang positif. Tabel 4. Korelasi Pearson Mati_ 1 Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
.984
**
Mati_ 2 .992
**
Mati_ 3 .948
**
.000
.000
.000
28
28
28
4. PEMBAHASAN Sebelum dilakukan penelitian, dilakukan terlebih dahulu penelitian pendahuluan untuk mendapatkan konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) yang efektif (larutan dengan konsentrasi minimum dengan daya bunuh maksimum) yaitu dengan cara menggunakan metode elektrik, dengan modifikasi gabus yang telah direndam kedalam larutan dengan konsentrasi 10%, 20%, 30%, dan 40%. Setelah didapatkan konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) yang
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
efektif, yaitu konsentrasi 30% kemudian dilakukan step down dari konsentrasi tersebut untuk kemudian digunakan dalam penelitian sehingga didapatkan konsentrasi 20% , 30% , 40% . Setelah didapatkan ketiga konsentrasi tersebut, kemudian dilakukan penelitian. Terdapat 5 kelompok perlakuan pada penelitian ini yaitu 2 kelompok kontrol dan 3 kelompok larutan ekstrak daun kemangi. Kelompok kontrol terdiri dari kelompok lalat yang dengan d-aletrin 0,01 lg/l sebagai kontrol positif dan kelompok lalat dengan aquades sebagai kontrol negatif. d-aletrin 0,01 lg/l dipilih sebagai bahan untuk kontrol positif karena merupakan insektisida yang standar dan sudah dipakai secara luas di masyarakat, sedangkan larutan aquades dipilih sebagai kontrol negatif karena bahan ini yang digunakan untuk pelarut ekstrak etanol daun kemangi dan tidak berpengaruh terhadap potensi insektisida ekstrak etanol daun kemangi. Perlakuan kontrol negatif (aquades) dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan efektivitasnya dengan ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum). Hasil yang didapatkan adalah tidak ada lalat Musca domestica yang mati setelah pengamatan 24 jam. sedangkan perlakuan kontrol positif (dalethrin) dilakukan dengan dengan tujuan pembanding efektivitas dengan konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum). d-alethrin saat ini masih banyak digunakan dalam insektisida Pengendalian Hama Permukiman (PHP), terutama pada insektisida rumah tangga seperti lingkaran anti lalat (MC), aerosol dan oil spray. d-alethrin merupakan zat yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol, hexane, xylene dan petroleum eter. Zat ini bersifat toksik untuk lalat, lalat, kecoak dan serangga lainnya. Mekanisme kerja dari d-alethrin yaitu bekerja sebagai stimulan susunan saraf pusat. Paparan yang berat pada sistem respirasi dapat menyebabkan kematian pada lalat. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) yang diberikan, maka efektivitas insektisida terhadap lalat Musca domestica juga akan semakin
â&#x201D;&#x201A;5
meninggi karena jumlah lalat Musca domestica yang mati semakin banyak. Sedangkan didapatkannya variasi ratarata persentase kematian lalat Musca domestica pada masing masing pengulangan dengan konsentrasi yang sama, kemungkinan disebabkan oleh daya sensitivitas dari masing masing lalat coba Musca domestica yang berbeda beda, berkaitan dengan resistensi lalat Musca domestica dengan toksikan tertentu. Metode oneway ANOVA digunakan untuk menganalisis apakah pemberian ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) dapat memberikan pengaruh terhadap lalat Musca domestica dengan melihat signifikansi yang diperoleh dengan membandingkan jumlah kematian lalat Musca domestica antara kelompok lalat Musca domestica yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan kelompok lalat Musca domestica yang mendapat perlakuan dengan ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) masing masing konsentrasi. Pada analisis uji oneway ANOVA didapatkan nilai p=0,000 (signifikansi p<0,05) sehingga analisis awal didapatkan bahwa rata rata persentasi efektifitas insektisida terhadap lalat Musca domestica antar dua kelompok atau lebih berbeda secara signifikan. Nilai signifikansi diatas menunjukkan bahwa ada konsentrasi pada ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) yang memiliki efek berbeda dengan kontrol positif maupun kontrol negatif. Dengan menggunakan analisis oneway ANOVA hanya dapat menyimpulkan adanya perbedaan persentase efektivitas insektisida terhadap lalat Musca domestica antar dua kelompok atau lebih, tetapi tetap tidak diketahui perlakuan mana yang berbeda antar kelompok satu dengan kelompok yang lain. Oleh karena itu perlu dilakukan uji post hoc test. Berdasarkan hasil uji analisis Post Hoc Test diketahui bahwa ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) pada konsentrasi 40% lebih efektif daripada konsentrasi 30% dan 20% . Hal ini diduga karena adanya perbedaan konsentrasi tersebut yang menyebabkan terjadinya perbedaan pada efek insektisida tiap konsentrasi
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) yang diujikan terhadap lalat Musca domestica. Terlihat pada tabel 5.3 (post hoc test dengan kontrol negatif) menunjukkan bahwa konsentrasi 20% , 30% , dan 40% pada jam ke-1 sampai jam ke-24 menunjukkan hasil yang berbeda signifikan kecuali konsentrasi 20% pada jam pertama. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga konsentrasi tersebut tidak menyerupai kontrol negatif. Pada lampiran 5 juga dijelaskan bahwa konsentrasi 30% pada jam ke-24 menunjukkan hasil yang tidak berbeda signfikan dan konsentrasi 40% pada jam ke-5, 6 dan 24 juga menunjukkan angka yang tidak berbeda signifikan pula. Sehingga konsentrasi 30% pada jam ke-24 dan konsentrasi 40% pada jam ke-5, 6 dan 24 lebih menyerupai kontrol positif. Oleh karena itu, ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) ini memiliki efek sebagai insektisida karena efek sebagai insektisida ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) lebih menyerupai kontrol positif. Keefektifan konsentrasi 40% yang sudah dapat membunuh semua lalat pada jam ke 6 menunjukkan bahwa konsentrasi yang paling efektif dalam membunuh lalat dengan waktu yang singkat adalah konsentrasi 40% . Berdasarkan analisis diatas penulis menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) memiliki efek sebagai insektisida terhadap lalat Musca domestica dan ramah lingkungan. Daun kemangi mempunyai beberapa kandungan aktif yang diperkirakan memiliki aktivitas sebagai Insektisida. beberapa senyawa dalam daun kemangi yaitu eugenol. Dalam eugenol sendiri terdapat beberapa senyawa seperti : saponin, tannin, alkaloid, glikosida dan flavonoid. Senyawa Saponin dapat merusak mukosa kulit lalat, menyebabkan rasa terbakar pada kulit lalat dan mengganggu saluran pernafasan pada lalat. Sedangkan Flavonoid menyebabkan vasokonstriksi yang berlebihan sehingga permeabilitas rongga badan pada lalat Musca domestica menjadi rusak dan hemolimfe tidak dapat didistribusi secara sempurna.
â&#x201D;&#x201A;6
Penelitian ini mempunyai keterbatasan antara lain kondisi lalat yang berbeda-beda saat dilakukan penelitian dan juga beberapa faktor eksternal lain yang tidak dapat dikontrol seperti suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya walaupun tiap pengulangan dibuat pada kondisi yang relatif sama. Sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut sebelum penggunaan ekstrak etanol daun kemangi sebagai insektisida dipakai secara luas. 5. KESIMPULAN & SARAN 5.1 KESIMPULAN Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut : a. Ekstrak etanol daun kemangi mempunyai potensi sebagai insektisida terhadap lalat rumah dengan metode elektrik dengan konsentrasi optimal 40% b. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak etanol daun kemangi (Ocimum basilicum) maka semakin tinggi potensi insektisida terhadap lalat Musca domestica 5.2 SARAN Saran-saran yang dapat diberikan untuk penelitian selanjutnya adalah : a Mempertimbangkan kondisi lalat yang digunakan dalam penelitian seperti mengetahui umur lalat agar hasil penelitian lebih akurat b Dilakukannya penelitian tentang uji toksisitas pada daun kemangi pada hewan coba untuk mengetahui kadar yang berbahaya dalam penggunaanya pada manusia. c Dilakukannya penelitian tentang pengaruh kondisi lingkungan sekitar seperti pengaruh suhu, kelembaban, dan waktu penyimpanan ekstrak terhadap potensinya sebagai insektisida. d Dilakukannya penelitian yang mendalam tentang interval waktu pemberian insektisida yang efektif pada lalat.
2. 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
374/Menkes/PER/III/2010. Tentang Pengendalian Vektor. 1992. Menkes RI.Situasi Diare Di Indonesia. 2011. Depkes RI, Dit.Jen.PPM dan PL. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta : 2006. Santi, D.N. Manajemen Pengendalian Lalat. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara ; 2001. Dinata, Arda.Basmi Lalat Dengan Jeruk Manis. 2001. (Online), (http://www.litbang.depkes.go.id/lok aciamis/artikel/lalat-arda.htm) (12 desember 2012). Salmah L. Uji Efek Larvasida Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius) Terhadap Larva Aedes sp. Skripsi. Malang: FKUB. 2005. CCRC FARMASI UGM. Daun Kemangi (Ocymum Basilicum). 2008. (Online), (http://ccrcfarmasiugm.wordpress.c om/ensiklopedia/ensiklopediatanaman-anti-kanker/j/selasih/, diakses pada 12 Januari 2012) Ana. Dampak Buruk Obat Nyamuk. 2010. http://kesehatan.kompas.com/read/ 2010/02/16/15581070/Dampak.Bur uk.Obat.Nyamuk (diakses tanggal 10 mei 2013) WHO. Insecticide Resistance And Vector Control. Seventeenth Report Of The WHO Expert Committee On Insecticides. Geneva : WHO, Hal.47. 1970.
DAFTAR PUSTAKA 1. Menkes RI, Dit.Jen.PPM dan PL. Petunjuk Teknis tentang Pemberantasan Lalat. Jakarta : Peraturan Mentri Republik Indonesia nomor
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;7
Penelitian
HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEBERMAKNAAN HIDUP PADA NARAPIDANA REMAJA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS I SEMARANG Prasetyo Aji Nugroho
1
1
Mahasiswa Program Studi S1 Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Islam Sultan Agung Semarang
ABSTRAK Pendahuluan: Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri dimana individu mengalami pergolakan emosi yang labil. Remaja yang bermasalah dengan hukum akan mengalami suatu perubahan psikologis yang bisa mempengaruhi pembentukan konsep diri dan kebermaknaan hidup yang dimilikinya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik konsep diri dan kebermaknaan hidup narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik korelasional yang menggunakan desain penelitian cross sectional. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampling jenuh dengan jumlah responden sebanyak 31 responden. Hasil: Hasil penelitian diperoleh bahwa sebanyak 4 responden (12,9%) mempunyai konsep diri negatif dengan makna hidup rendah dan 1 responden (3,2%) mempunyai konsep diri negatif dengan makna hidup tinggi. Sebanyak 7 responden (22,6%) mempunyai konsep diri positif dengan makna hidup rendah dan 19 responden (61,3%) mempunyai konsep diri positif dengan makna hidup tinggi. Kesimpulan: Adanya hubungan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup dengan p value 0,0042 menggunakan uji alternatif uji Fisher. Berdasarkan hasil uji keeratan variabel menunjukkan nilai kontingensi 0,617 yang berarti bahwa kekuatan korelasi kuat dengan arah korelasi positif. Berdasarkan hasil penelitian, hal yang bisa dilakukan perawat adalah berkolaborasi dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang untuk mengidentifikasi karakteristik konsep diri dan kebermaknaan hidup pada narapidana remaja. Kata Kunci :
Konsep Diri, Makna Hidup, Narapidana Remaja ABSTRACT
Introduction: Adolescent is a time to find self-identity where individual was experienced that labile emotion. Adolescent who got a problem in law, they would be experienced a change of psychology who could infulence their self-concept and meaning of life. This study aimed to know characteristic of self-concept and meaning of life for convict adolescence in class I Prison of Semarang. Method: This study was descriptive-correlational that used cross sectional design. The method sampling was using total sampling whereas the amount of sample was 31 and adolescence aged between 10-21 years old. Result: The result of this study obtained that 4 convict adolescence (12,9%) had a negative self-concept with low meaning of life and 1 convict adolescence (3,2%) had a negative self-concept with high meaning of life. Also, 7 convict adolescence (22,6%) had a positive self-concept with low meaning of life and 19 convict adolescence (61,3%) had a positive self-concept with high meaning of life. Conclusion: There is relation between self-concept with meaning of life that p value 0,0042 be using Fisher test. According to closeness variable test to point out contingential value 0,617 that means a strong correlation with positive correlation.
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;8
Suggestion for nursing is collaboration with staff class I Prison of Semarang to identify characteristic self-concept and meaning of life for convict adolescence. Keywords : Self-Concept, Meaning of Life, Convict Adolescence
1. PENDAHULUAN Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri dimana individu mengalami pergolakan emosi yang labil. Apabila terjadi kegagalan pada masa remaja, maka berpengaruh besar terhadap masa berikutnya dan menimbulkan kebingungan bahkan kekacauan identitas diri, seperti melakukan tindakan kriminalitas, melarikan diri atas tanggung jawab, dan [1] menjadi gila (psikosis). Remaja yang melakukan perilaku antisosial seperti berbuat onar di sekolah, melarikan diri dari rumah, hingga tindakan kriminal akan mengarahkan individu pada kenakalan [2] remaja. Berdasarkan laporan Polda Metro Jaya terjadi peningkatan kenakalan remaja sebesar 36,3% pada [3] tahun 2012. Mulyadi mengatakan kenakalan remaja tidak hanya melakukan tawuran, narkoba, dan mabuk. Tetapi, sudah mengacu pada tindak kejahatan, seperti pencurian, pemerkosaan, perampokan, hingga [4] pembunuhan. Semakin lama kenakalan remaja yang mengacu pada tindak kriminalitas terus meningkat. [5] Berdasarkan data UNICEF tahun 2000 terdapat sekitar 5000 anak yang bermasalah dengan hukum tiap tahunnya, dimana hanya 10% anak yang mendapatkan pelayanan hukum, psikososial dan kesehatan. Angka kriminalitas remaja di Indonesia, berdasarkan data kriminalitas Mabes Polri tercatat sekitar 3100 pelaku tindak kriminal remaja pada tahun 2007, 3300 remaja pada tahun 2008 dan 4200 remaja pada tahun 2009. Berdasarkan jenis kelamin, keberadaan remaja nakal laki-laki (93,5%) lebih dominan jika dibandingkan dengan remaja nakal [6] wanita (6,5%). Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial dibandingkan anak perempuan karena [7] pengaruh lingkungan. Menurut catatan kepolisian, pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang melakukan
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
kejahatan sekitar 50 kali lipat [8] dibandingkan remaja perempuan. Data yang diambil dari Kejaksaan Negeri Semarang tercatat dari kurun waktu 2011-2012 sebanyak 55 kasus tindak pidana yang dilakukan oleh remaja dimana 85% kasus tindak pidana dilakukan oleh remaja laki-laki dan di awal tahun 2013 ada peningkatan 20% dari tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Klas I Semarang menyatakan bahwa jumlah narapidana remaja laki-laki sebanyak 926 pada tahun 2010, 862 pada tahun 2011, 714 pada tahun 2012 dan pada bulan Januari 2013 sebanyak 54 narapidana remaja laki-laki. Atmasasmita menyatakan remaja yang baru pertama kali sebagai narapidana akan mengalami perubahan psikologis. Hal ini dikarenakan mereka harus melakukan penyesuaian diri dengan peraturan di penjara dan rutinitas kehidupan penjara sehingga emosi-emosi negatif yang muncul akan [9] mempengaruhi konsep dirinya. Penelitian tentang analisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada narapidana remaja oleh Manik[10] didapatkan hasil bahwa faktor yang mempengaruhi konsep diri seperti reaksi dari orang lain, perbandingan dengan orang lain, peranan individu dan identifikasi terhadap orang lain tidak mempengaruhi konsep diri. [11] Bastaman menyatakan bahwa kemunculan emosi-emosi negatif seperti perasaan hampa, gersang, merasa tidak memiliki tujuan hidup, merasa tidak berarti, bosan dan apatis akan menimbulkan kehilangan kebermaknaan hidup. Hilangnya makna hidup akan membuat remaja tidak memiliki arah dan tujuan hidup serta mereka tidak tahu apa yang akan mereka lakukan di masa yang akan datang. Penelitian yang dilakukan oleh [12] Nisa tentang hubungan antara konsep diri pada narapidana wanita
â&#x201D;&#x201A;9
didapatkan hasil bahwa semakin positif konsep diri maka semakin tinggi kebermaknaan hidupnya. Penelitian lain tentang kebermaknaan hidup narapidana ditinjau dari konsep diri dan kecerdasan adversity oleh Hastjarjo & [13] Nurdin didapatkan hasil bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara konsep diri dan kecerdasan adversity terhadap kebermaknaan hidup. Penelitian tentang kebermaknaan hidup yang berhubungan dengan konsep diri remaja di Panti Asuhan yang dilakukan oleh Mayaza & [14] Supradewi sebagai penelitian pembanding didapatkan hasil bahwa remaja mampu menemukan makna hidup dengan mengubah cara berpikir terhadap kesulitan atau memandang suatu hambatan sebagai perjalanan hidup untuk menjadi lebih sukses. Penelitian lain tentang gambaran makna hidup pada remaja penderita leukimia yang dilakukan oleh [15] P.L, Mikarsa & Hartiani didapatkan hasil bahwa kebermaknaan hidup yang baik karena adanya dukungan dari keluarga dan adanya keinginan untuk membuat bahagia keluarga dengan mewujudkan impiannya. Penelitian tentang makna hidup remaja putri pengguna napza di Lapas [16] IIA yang dilakukan oleh Sitohang didapatkan hasil bahwa dukungan spiritual berpengaruh besar dalam menemukan makna hidup karena semakin mendekatkan diri kepada Tuhan maka semakin bsar keyakinan bahwa Tuhan masih memberikan kasih sayang. Remaja yang bermasalah dengan hukum akan mengalami suatu perubahan psikologis. Hal ini bisa menjadikan konsep diri pada remaja akan berpengaruh pada kebermaknaan hidup yang dimilikinya. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mempunyai keinginan untuk meneliti tentang hubungan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup pada narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. 2.
METODE Penelitian ini adalah penelitian analitik korelasional yang menggunakan desain penelitian cross sectional yakni variabel sebab/ resiko dan akibat/ kasus
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
yang terjadi pada objek penelitian diukur dan dikumpulkan secara simultan, sesaat atau satu kali saja dalam satu kali waktu (dalam waktu yang bersamaan) dan tidak ada tindak lanjut [4] terhadap pengukuran yang dilakukan. Responden dalam penelitian ini adalah narapidana remaja yang berusia > 10 tahun dan ≤ 21 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 April- 27 Mei 2013 sebanyak 31 responden. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner demografi, kuesioner konsep diri dan kuesioner kebermaknaan hidup. Kuesioner demografi berisi identitas narapidana remaja yang meliputi: umur, pendidikan, kasus/ tindak kejahatan, dan lama masa tahanan. Kuesioner konsep diri terdiri 30 pertanyaan dengan bentuk favourable menggunakan skala Likert yaitu jawaban Sangat Setuju(SS) = 4, Setuju(S) = 3, Tidak Setuju(TS) = 2, Sangat Tidak Setuju(STS) = 1. Hasil penilaian: konsep diri negatif ≤ 90 dan konsep diri positif > 90. Kuesioner kebermaknaan hidup memiliki 20 pertanyaan Purpose in Life Test (PIL Test) oleh Crumbaugh dan Maholick menggunakan skala Semantic Differential yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Niniek [17,18] Kartini. Skala kebermaknaan hidup ini sudah teruji validitasnya dan reliabilitasnya dengan hasil 0,776. Hasil penilaian: makna hidup tinggi > 100 dan makna hidup rendah ≤ 100. 3. HASIL 3.1 Analisis Data 1. Umur Tabel 1. Distribusi frekuensi responden berdasarkan umur di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang (n=31) Karakteristik Umur 10-13 14-18 19-21 Total
Frekuensi 0 7 24 31
Persentase (%) 0 22,6 77,4 100
Tabel 1 menunjukkan hasil bahwa jumlah usia responden terbanyak dalam penelitian ini adalah usia 19-21 tahun yang berjumlah 24 responden (77,4%). Sedangkan usia
│10
14-18 tahun berjumlah 7 responden (22,6%). 2. Pendidikan Tabel 2. Distribusi frekuensi responden berdasarkan pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang (n=31) Karakteristik Pendidikan Tidak Sekolah/ Putus Sekolah SD SMP SMA Total
Frekuensi
Persentase (%)
2
6,5
5 14 10 31
16,1 45,2 32,2 100
Tabel 2 menunjukkan hasil bahwa pendidikan responden yang terbanyak dalam penelitian ini adalah tamat SMP sebanyak 14 responden (45,2 %) dan tidak sekolah/ putus sekolah sebanyak 2 responden (6,5%). 3. Kasus/ Tindak Kejahatan Tabel 3. Distribusi frekuensi responden berdasarkan kasus/ tindak kejahatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang (n=31) Karakteristik Kasus Penganiayaan Perlindungan Anak Narkotika Pembunuhan Teroris Pencurian Penggelapan Total
10
Persentase (%) 32,3
6
19,4
4 2 2 6 1 31
12,9 6,4 6,4 19,4 3,2 100
Frekuensi
Tabel 3 menunjukkan hasil bahwa tindak kejahatan yang banyak dilakukan oleh remaja adalah penganiayaan sebanyak 10 responden (32,3%) dan tindakan kejahatan yang frekuensinya rendah adalah penggelapan sebanyak 1 responden (3,2%). 4. Lama Masa Tahanan Tabel 4. Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang (n=31) Karakteristik Umur
Frekuensi
< 6 bulan 6 bulan-1 tahun > 2 tahun-3 tahun > 3 tahun Total
1 7 2 21 31
Persentase (%) 3,2 22,6 6,5 67,7 100
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Tabel 4 menunjukkan hasil bahwa lama masa tahanan responden > 3 tahun mempunyai nilai yang paling besar yaitu sebanyak 21 responden (67,7%) dan lama masa tahanan < 6 bulan sebanyak 1 responden (3,2%) 3.2 Hasil Analisa Data 1. Analisa Univariat a. Konsep Diri Tabel 5. Distribusi frekuensi responden berdasarkan konsep diri di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang (n=31) Konsep diri Positif Negatif Total
Jumlah 26 5 31
Prosentase (%) 83,9 16,1 100
Tabel 5 menunjukkan hasil bahwa konsep diri positif sebanyak 26 responden (83,9%) dan konsep diri negatif sebanyak 5 responden (16,1%). b. Kebermaknaan Hidup Tabel 6. Distribusi frekuensi responden berdasarkan kebermaknaan hidup di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang (n=31) Makna Hidup Tinggi Rendah Total
Jumlah 20 11 31
Prosentase (%) 65,5 35,5 100
Tabel 6 menunjukkan hasil bahwa sebagian besar mempunyai makna hidup tinggi yaitu sebanyak 20 responden (65,5%) dan makna hidup rendah yaitu sebanyak 11 responden (35,5%). 2. Analisa Bivariat Tabel 7. Tabel silang hubungan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup (n=31) Konsep Diri Negatif Positif
Makna Hidup Rendah Tinggi F % F % 4 12,9 1 3,2 7 22,6 19 61,3
(50,0% memiliki nilai expected count < 5) Tabel 7 menunjukkan hasil bahwa konsep diri negatif dengan makna hidup rendah sebanyak 4 responden (12,9%) dan konsep diri negatif dengan makna hidup tinggi sebanyak 1 responden (3,2%). Sedangkan konsep diri positif
â&#x201D;&#x201A;11
dengan makna hidup rendah sebanyak 7 responden (22,6%) dan konsep diri positif dengan makna hidup tinggi sebanyak 19 responden (61,3%). 4. PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Responden a. Umur Masa remaja pertengahan adalah remaja yang berusia 14-18, sedangkan masa remaja akhir adalah [19] remaja yang berusia 19-21 tahun. Masa remaja pertengahan ada kecenderungan narsistik yaitu mencintai diri sendiri dan menyukai teman sebaya yang mempunyai sifat yang sama dengan dirinya. Masa perkembangan remaja akhir, remaja berusaha menetapkan tujuan vokasional dan mengembangkan [20] senses of personal identity. Narapidana remaja sebagian besar berusia 19-21 tahun termasuk dalam masa remaja akhir. Masa remaja akhir, remaja sudah bisa menentukan apa yang ingin dilakukan dan seharusnya dilakukan. Jadi, mereka sudah menyadari tindakan yang dilakukannya karena konsep diri mereka sudah terbentuk konsep diri yang matang dan mereka sudah bisa menemukan makna hidup dalam dirinya. Masa remaja pertengahan, remaja cenderung melakukan hal yang sangat disukai dan pengaruh teman sebaya sangat kuat. Remaja mulai dalam tahapan mengembangkan kematangan tingkah laku dan belajar mengendalikan impulsivitas, narapidana remaja yang termasuk dalam masa pertengahan cenderung melakukan tindakan kejahatan atas dasar meniru teman sebaya atau orang dewasa. Pada masa ini, mereka belum seutuhnya menemukan makna hidup dalam dirinya karena mereka dalam tahapan perkembangan untuk berpikir realistis dalam mencapai tujuan hidup dan konsep diri mereka belum mencapai kematangan. b. Pendidikan [2] Menurut Santrock remaja yang nakal sering kali memiliki harapan untuk menempuh jenjang pendidikan sangat rendah. Menurut
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
[4]
semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin besar pemahaman seseorang terhadap sesuatu. Pendidikan narapidana yang terbanyak adalah tamat SMP. Remaja yang hanya menyelesaikan pendidikannya tamat SMP tidak bisa mengendalikan emosi dan mengalami kebingungan antara sesuatu yang ideal dan praktis, maka remaja akan menemukan pemecahan masalah yang tidak sesuai dengan norma dan nilai di masyarakat. Narapidana remaja yang tamat SMP akan mengalami kebingungan dalam menilai kemampuan yang ada dalam dirinya karena pemikiran mereka masih abstrak sehingga makna hidup yang mereka temukan juga masih belum jelas walaupun mereka mampu menentukan tujuan hidup mereka. c. Kasus/ Tindak Kejahatan Tindakan/ kasus kriminalitas yang dilakukan oleh narapidana remaja bersumber dari tiga peranan faktor yaitu faktor individu, faktor [6] lingkungan dan faktor psikososial. Dalam kasus ini, narapidana remaja yang melakukan penganiayaan akan dinilai oleh orang lain merupakan hal yang negatif akan tetapi mereka mempunyai konsep diri yang cenderung positif. Hal ini terjadi karena pembentukan konsep diri mereka sudah mulai terbentuk yang dipengaruhi oleh faktor significant other. Mereka melakukan tindakan ini bersama kelompok teman sebayanya. Maka itu, faktor individu bersumber dari diri sendiri yaitu keinginan untuk melakukan tindakan, faktor lingkungan yaitu saat mereka akan mengikuti hal yang dilakukan oleh teman sebayanya dan faktor psikososial yaitu aspek yang mengacu pada identitas sebagai teman yang saling menolong. Sehingga pembentukan konsep diri mereka menjadi matang dan mereka sudah bisa menemukan makna hidup karena mereka mampu mengenali dan memahami dirinya. d. Lama Masa Tahanan Konsep diri dapat dibentuk melalui pandangan diri terhadap Notoadmojo
â&#x201D;&#x201A;12
[21]
pengalaman situasi tertentu. Hal itu akan berpengaruh pada kemampuan diri dalam menentukan sikap saat [11] menghadapi penderitaan. Konsep diri positif terbentuk pada narapidana remaja dengan masa tahanan yang paling lama melalui pandangan diri dan pengalaman positif saat berada di penjara. Sehingga, mereka bisa menentukan sikap dan mengubah pemikiran bahwa ada hikmah dibalik penderitaan. e. Konsep Diri Remaja yang mempunyai konsep diri positif dapat menguasai pengalaman baru dan sebelumnya. Pengalaman masa lalu bisa mempengaruhi perkembangan konsep diri seseorang. Pengalaman baru diperoleh saat individu berinteraksi [22,23] dengan lingkungan barunya. Karakteristik konsep diri terbentuk karena ada perasaan mampu melakukan sesuatu, hubungan personal dan interpersonal, karakteristik personal yang mempengaruhi harapan diri dan perwujudan diri yang stabil dapat mengarahkan pada tujuan [23] perkembangan masa dewasa. Selain itu, karakteristik dan pembentukan konsep diri remaja juga dipengaruhi oleh interaksi sosial dan pengaruh teman sebaya atau orang [21] terdekat. Pengalaman baru yang diperoleh narapidana remaja adalah saat mereka berada di penjara. Apabila narapidana remaja bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang dapat menunjang kenyamanan dan perbaikan psikologis, maka perkembangan konsep dirinya bisa menjadi lebih positif. Konsep diri yang positif memberikan rasa berarti, menyeluruh dan konsisten pada seseorang. Narapidana remaja yang menganggap tindakannya sebagai suatu trauma dalam hidupnya, maka konsep diri yang terbentuk cenderung negatif. Narapidana remaja yang menilai tentang gambaran dirinya bahwa mereka masih mempunyai fungsi tubuh yang baik serta bentuk tubuh yang sama seperti teman lainnya sehingga mereka masih bisa
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
melakukan kegiatan sehari-hari di penjara, maka akan membuat konsep dirinya menjadi positif. Sedangkan narapidana remaja yang menilai gambaran dirinya sebagai suatu perbedaan dari orang lain sehingga merasa tidak percaya diri dengan bentuk tubuhnya, dalam hal ini mereka ada keinginan untuk memiliki bentuk tubuh yang sama dengan temannya. Hal tersebut akan membuat konsep dirinya menjadi negatif. Narapidana remaja yang mendapatkan binaan kemandirian seperti membuat kerajinan handycraft, sepatu, tekstil seta kaligrafi dan binaan kepribadian di penjara yaitu pekerjaan yang membuat perasaan dirinya bertambah, meningkatkan motivasi untuk aktif secara sosial dan optimis sehingga konsep dirinya bisa terbentuk positif. Mereka mempunyai tanggung jawab besar terhadap apa yang mereka kerjakan sehingga mereka dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik. Harapan mereka setelah mendapatkan binaan dari penjara, mereka bisa menerapkan binaan tersebut untuk bekerja saat berada dilingkungan masyarakat dan keinginan untuk meraih cita-cita kembali supaya menjadi orang sukses yang bisa membahagiakan kedua orangtua mereka. Narapidana remaja akan sering berinteraksi dengan teman sebaya atau orang terdekat karena mereka berada dalam lingkungan yang sama sehingga orang terdekat mempengaruhi siklus hidupnya dan mereka akan belajar diri sendiri melalui proyeksi orang lain. Apabila mereka berpikir dalam dirinya tidak bisa melakukan hal-hal sebaik yang dilakukan orang lain, membuat dirinya tidak percaya diri, malu dengan dirinya sekarang dan merasa orang lain tidak menghargai dirinya, maka konsep diri yang terbentuk adalah konsep diri negatif. Narapidana remaja akan dihadapkan dengan kondisi mereka dengan mengakui dirinya sebagai narapidana. Penerimaan kondisi ini akan membuat penilaian yang negatif terhadap dirinya. Mereka mempunyai
â&#x201D;&#x201A;13
pemikiran bahwa apabila mereka keluar penjara, mereka merasa orang lain tidak akan menerimanya karena sebagai narapidana. Hal tersebut akan membuat mereka cemas dengan kondisinya saat mereka keluar dari penjara. f. Kebermaknaan Hidup Makna dan nilai-nilai hidup bersifat menuntut manusia untuk memenuhinya bukan hanya sebagai 24 ungkapan keberadaan manusia . Seseorang menemukan makna hidupnya melalui salah satu sumber makna hidup yaitu kemampuan diri untuk menentukan sikap dan mengubah pemikiran dibalik penderitaan akan ada hikmah yang [25] tersembunyi. Narapidana remaja yang berada dalam penjara dituntut untuk memenuhi makna dan nilai-nilai hidupnya karena mereka merasakan adanya pengalaman di masa lalu sehingga mereka harus menemukan makna hidup yang sesungguhnya atas kejadian yang dialaminya. Walaupun narapidana remaja mengalami hal yang dianggapnya sebagai penderitaan, tetapi mereka bisa mengambil sikap yang tepat dalam menghadapinya sehingga makna hidup masih dapat ditemukan. g. Hubungan antara Konsep Diri dengan Kebermaknaan Hidup Hasil penelitian dari kedua variabel menunjukkan adanya hubungan positif antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup. Hal ini terbukti dari hasil uji hubungan konsep diri dengan kebermaknaan hidup di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang diperoleh nilai p sebesar 0,042 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup pada narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Berdasarkan nilai koefisien kontingensi 0,617 yang menunjukkan bahwa kekuatan korelasi kuat (0,6-0,8) dengan arah korelasi positif. Artinya, semakin positif konsep diri, maka semakin tinggi makna hidup. Sebaliknya,
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
semakin negatif konsep diri, maka semakin rendah makna hidup. Apabila individu memahami dan mengenali dirinya sangat bermanfaat untuk mengembangkan potensi-potensi dan sisi positif serta mengurangi sisi negatif maka kualitas hidup dapat meningkat dan individu dapat menjadikan hidupnya bermakna. Peran dari orang lain khususnya keluarga sebagai petunjuk hal-hal yang mungkin berarti bagi individu sehingga individu menyadari sumber-sumber makna hidup serta 11 tujuan yang hendak dicapai . Selain itu, potensi-potensi dan sisi positif, dukungan spiritual juga berpengaruh besar dalam menemukan makna [16] hidup. Dalam hal pengembangan potensi dan sisi positif, narapidana remaja diberikan kebebasan untuk mengikuti kegiatan di dalam penjara seperti bermain futsal, volly dan bidang kesenian. Selain itu, mereka yang sudah berusia 18-21 diberikan keterampilan mandiri sehingga pengembangan konsep diri bisa terbentuk dan kualitas hidup meningkat yang dapat menjadikan hidupnya bermakna. Narapidana remaja dibina dalam pemenuhan spiritual dengan disediakannya tempat ibadah dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menunjang pemenuhan kebutuhan spiritual sehingga konsep diri yang terbentuk bisa semakin positif dan narapidana bisa menemukan makna hidupnya melalui dukungan spiritual. Dukungan keluarga bagi narapidana remaja adalah hal yang sangat penting. Mereka yang mendapatkan dukungan keluarga dimana keluarga melakukan kunjungan yang rutin akan membuat dirinya mempunyai keinginan untuk segera pulang dan membahagiakan kedua orangtuanya. Sedangkan keluarga yang tidak rutin melakukan
â&#x201D;&#x201A;14
kunjungan, membuat narapidana merasa keluarga tidak menerima kondisinya sebagai narapidana sehingga mereka menjalankan kehidupan tanpa tujuan hidup dan mereka beranggapan bahwa hidup mereka tidak berharga. 5. KESIMPULAN & SARAN 5.1 KESIMPULAN Konsep diri dan kebermaknaan hidup pada narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang mempunyai hubungan yang sangat erat. Semakin positif konsep diri yang terbentuk, maka semakin tinggi makna hidupnya. Konsep diri positif didukung dengan adanya pembinaan kemandirian dan kepribadian sehingga kemampuan narapidana untuk memaknai hidup semakin tinggi karena mereka tidak merasa bosan dengan kegiatan di penjara dan mereka mempunyai tujuan hidup setelah bebas dari penjara. Karakter konsep diri narapidana remaja sudah terbentuk sebelum mereka masuk penjara. Di dalam penjara, pembentukan konsep diri semakin matang karena dipengaruhi oleh teman sebaya. Konsep diri positif ditandai dengan gambaran diri positif, harga diri tinggi, mempunyai tujuan hidup, bertanggung jawab terhadap tugas, dan penerimaan diri sebagai narapidana. Konsep diri rendah ditandai dengan gambaran diri negatif, harga diri rendah, tidak mempunyai tujuan hidup, tidak dapat melaksanakan tugas, dan penolakan diri sebagai narapidana. Kemampuan memaknai hidup sudah mulai terbentuk saat mereka berada di penjara dan menyadari bahwa tindakan yang mereka lakukan adalah hal yang tidak dibenarkan. Makna hidup tinggi ditandai dengan kemampuan untuk menentukan tujuan hidup, serta perasaan yang tidak membosankan saat berada dipenjara karena mereka mendapatkan keterampilan mandiri dan pembinaan kepribadian serta dukungan spiritual yang dapat terpenuhi. Makna
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
hidup rendah ditandai dengan perasaan bosan menjalani kegiatan dan tidak mempunyai tujuan hidup. 5.1 SARAN Bagi Profesi Hasil dari penelitian ini mampu memberikan tambahan ilmu pengetahuan kepada profesi tentang konsep diri dan keberkmaknaan hidup narapidana remaja yang mengalami perubahan psikologis. Sehingga bisa mengaplikasikan ilmu keperawatan untuk diberikan kepada narapidana remaja untuk mendapatkan konsep diri positif dan bisa memaknai hidup. Bagi Institusi Pendidikan Data dalam penelitian ini bisa dijadikan dasar bagi peneliti selanjutnya dan bagi institusi. Bagi peneliti selanjutnya bisa melakukan penelitian tentang perbedaan konsep diri dengan kebermaknaan hidup antara narapidana remaja laki-laki dan narapidana remaja perempuan. Bagi institusi untuk melakukan kerjasama dengan pihak Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang untuk membina narapidana remaja. Bagi Masyarakat Bagi narapidana remaja sebaiknya melakukan kegiatan-kegiatan positif untuk pengembangan kepribadian sehingga kualitas hidup tercapai sehingga mereka dapat memaknai hidupnya dan masyarakat dapat menerima narapidana setelah bebas dari penjara. DAFTAR PUSTAKA 1. Tridhonanto, A. Meraih Sukses dengan Kecerdasan Emosional. Jakarta: Elex Media Komputindo. 2010 2. Santrock, J. W. Adolescence Eleventh Edition: Remaja Jilid 2 Edisi 6 alih bahasa oleh Benedicta Widyasinta. Jakarta: Erlangga. 2007. 3. Beritasatu.com. 2012. http://www.beritasatu.com/megapoli tan/89874poldametro.html. Dipetik Februari 14, 2013. 4. Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. 2005. 5. Kemenkes RI. Pedoman Umum Perlindungan Kesehatan Anak Berkebutuhan Khusus. 2010.
â&#x201D;&#x201A;15
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
http://kemenkes.go.id/2010/Pedom an-Umum-PerlindunganKesehatan-Anak-BerkebutuhanKhusus/. Diperoleh 19 Januari 2013. Badan Pusat Statistik.Profil Kriminalitas Remaja. 2010. http://www.bps.go.id/hasil publikasi/flip_2011/4401003/files/se arch/searchtext.xml. Diperoleh 14 Januari 2013 Santrock, J. W. Adolescence Sixth Edition: Perkembangan Remaja Edisi 6 alih bahasa oleh Dra. Shinto B Adelar, M. Sc & Sherly Saragih, S. Psi. Jakarta: Erlangga. 2003. Kartono, D. K. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2011. Yulianti., Sriati Aat., & Widiasih, Restuning. Gambaran Orientasi Masa Depan Narapidana Remaja Sebelum dan Setelah Pelatihan di Rumah Tahanan Negara Kelas I Bandung. 2009. Volume 10, Nomor XXI, halaman 103. Diunduh 19 November 2012. Manik, Christa Gumanti. Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri pada narapidana remaja di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Anak Tajung Gusta Medan. Medan : Universitas Sumatera Utara. 2007. Bastaman, H. D. Logoterapi: Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: PT. Grafindo Persada. 2007. Nisa, Lailatu Rodhiatin. Hubungan antara konsep diri dengan kebermaknaan hidup pada narapidana (Lembaga Pemasyrakatan Wanita Malang). 2004. http://lib.umm.ac.id/skripsi/ fullchapter. Diperoleh 12 Februari 2013. Hastjarjo, Thomas Dicky & Nurdin, Muhammad Nur Hidayat. Kebermaknaan Hidup narapidana ditinjau dari konsep diri dan kecerdasan adversity. 2009. http://lib.ugm.ac.id/thesis/ fullchapter/ Diperoleh 12 Februari 2013. Mayaza, Kharisma Nail & Supradewi, Ratna. Konsep Diri dan Kebermaknaan Hidup Pada
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22. 23.
24.
Remaja di Panti Asuhan. Proyeksi, Vol. 6, 103-112, 2011. P. L, Widianita., Mikarsa, H L., & Hartiani, F. Gambaran Makna Hidup Remaja Penderita Leukimia. Indonesian Journal of Cancer. Jakarta: Fakultas Psikologi UI. 2009. Sitohang, Nursefty Wartiny. Makna Hidup Pada Remaja Putri Pengguna NAPZA di Lembaga Pemasyarakatan II A Palembang. Palembang: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. 2009. Kartini, N. Konseling Logoterapi untuk Meningkatkan Makna Hidup pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar. 2008. http://lib.uin-malang.ac.id/ thesis/fullchapter/04410013-niniekkartini.pdf. Diperoleh 14 Februari 2013. Nisfulaili, Y.Hubungan Antara Konsep Diri dan Kebermaknaan Hidup Kaum Waria di IWAMA (Ikatan Waria Malang).2010. http://lib.uin-malang.ac.id/thesis/ fullchapter/05410021-yulianisfulaili.ps. Diperoleh 12 Februari 2013. Perry, P. A., & Potter, A. G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik edisi 4 volume 1. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 2005. Agustiani, D. H.Psikologi Perkembangan. Bandung: Refika Aditama. 2009. Stuart, G. W. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 2007. Alimul. Aziz Hidayat. Konsep dasar keperawatan. Jakarta: EGC. 2006. Perry, Patricia A., & Potter, Anne Griffin. Fundamental Keperawatan buku I edisi 7. Jakarta: Salemba Medika. 2009. Alfian, N dan Suminar.Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup Remaja Akhir pada Berbagai Status Identitas Ego dan Jenis Kelamin sebagai Kovariabel Insan Vol 5. No. 2. Hal. 87-109. Surabaya: Fak. Psikologi Unair. 2003.Http://journal.unair.ac.id /filer PDF/PerbedaanTingkatKebermakn
â&#x201D;&#x201A;16
aanHidupRemajaAkhir.pdf. Diakses 10 Des 2012. 25. Frankl, V. E. Man’s Searching for Meaning. 1984. http://www.spiritualminds.com/philosophy/assorted/(eb ook)ViktorFranklMan'sSearchForMeaning (psychology,psychotherapy,philoso phy)-o.pdf. Diperoleh 8 Februari 2013.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│17
Penelitian
GAMBARAN PERSEPSI PERAWAT TERHADAP EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ELECTRONIC NURSING RECORD SEBAGAI INOVASI DOKUMENTASI ASUHAN KEPERAWATAN DI RUMAH SAKIT UMUM BUNDA JAKARTA 1
1
Maufiroh , Shintia Silvana , Pipit Lestari
1
1
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
ABSTRAK Pendahuluan: Sebuah inovasi dokumentasi asuhan keperawatan, Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan telah diimplementasikan di berbagai negara termasuk Indonesia, salah satunya di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Penelitian yang telah dilakukan di berbagai negara maju menunjukkan bahwa perawat memiliki perbedaan persepsi terhadap penggunaan Electronic Nursing Record dalam dokumentasi keperawatan berupa persepsi positif dan negatif yang menunjukan keefektifan penggunaan sistem. Penelitian mengenai efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record khususnya untuk dokumentasi keperawatan masih jarang dilakukan di Indonesia. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta dalam dokumentasi keperawatan sebagai referensi perkembangan sistem dokumentasi berbasis elektronik di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik deskriptif dan menggunakan studi cross-sectional. Metode sampling yang digunakan adalah total sampling dengan 31 responden. Instrumen kuesioner digunakan untuk menggambarkan persepsi positif dan negatif terhadap tampilan sistem, persepsi kemudahan, dan persepsi kebermanfaatan. Hasil: Penelitian dengan CI 95% menunjukkan persepsi positif pada tampilan sistem (56.77%), persepsi kemudahan (77.4%) dan persepsi kebermanfaatan (96.8%). Hasil wawancara menunjukkan bahwa perawat memberikan persepsi positif terhadap penggunaan ENR. Kesimpulan: Perawat menunjukkan persepsi positif terhadap efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Kata Kunci : asuhan keperawatan, dokumentasi keperawatan, Electronic Nursing Record, persepsi perawat ABSTRACT Introduction: As an innovation in nursing documentation, Electronic Nursing Record has been implemented in many countries, including Indonesia at Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Many researches that has been conducted in various developed countries showed that nurses have different perception toward the use of Electronic Nursing Record in nursing documentation, that is negative and positive perception which is showed the effectiveness of system’s use. Research about the effectiveness of Electronic Nursing Record for nursing documentation is still rare in Indonesia. Therefore, this research is conducted the description about the effectiveness of using Electronic Nursing Record at Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta as the model of electronic based nursing documentation development in Indonesia. Method: This research is an analytical descriptive study with cross sectional design. Total sampling method is used by this research with using 31 respondents. The
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│18
questionnaire was used to describe the positive and negative perception toward system appearance, perceived ease of use, and perceived of usefulness. Result: The study using univariat test with CI 95% showed that there’s positive perception in appearance system (56.77%), perceived ease of use (77.4%), and perceived of usefulness (96.8%). Interview showed that nurses’ have positive perception towards ENR. Conclusion: Nurses showed positive perception toward the effectiveness of using Electronic Nursing Record at Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Keywords : Electronic Nursing Record, nursing care plan, nurses’ perception, nursing documentation
1. PENDAHULUAN Asuhan keperawatan merupakan suatu proses tindakan perawat kepada klien yang terdiri dari lima bagian utama, yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Semua tindakan wajib didokumentasikan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa yang [1] telah dikerjakan perawat. Dokumentasi yang baik dan benar termasuk salah satu langkah dalam menunjukkan sikap profesionalisme seorang perawat. Oleh karena itu, dokumentasi yang dibuat oleh perawat harus lengkap, teratur, spesifik, tanpa ada pemalsuan data, serta didukung oleh media dokumentasi yang akurat. Pada awalnya dokumentasi dilakukan dalam bentuk tertulis (paperbased), tetapi saat ini telah berkembang menjadi bentuk elektronik (electronic systems atau bisa juga disebut Electronic Nursing Record). Sistem ini telah banyak diterapkan di negaranegara dunia terutama di Asia-Pasifik, diantaranya, yaitu Australia, Cina, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea, Selandia Baru, Filipina, Singapura, [2] Thailand, dan Taiwan. Electronic Nursing Record yang diterapkan di Rumah Sakit Umum (RSU) Bunda Jakarta merupakan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi asuhan keperawatan (disebut SIMKEP). Penggunaan dokumentasi berbasis elektronik memberikan lebih banyak keuntungan jika dibandingkan dengan menggunakan kertas. Keuntungan yang dapat diperoleh perawat, antara lain meningkatkan efektivitas kerja perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan, meningkatkan efektivitas kerja perawat dengan mengurangi workload perawat
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
dalam melakukan dokumentasi, menghasilkan standarisasi terhadap pencatatan rekam medis pasien, memberikan kemudahan komunikasi antara petugas kesehatan melalui pencatatan yang terintegrasi berbasis kolaborasi antar petugas kesehatan, meningkatkan legalitas, dan mengurangi duplikasi serta meningkatkan [3,4,5] kerahasiaan. Namun, masih banyak rumah sakit di Indonesia yang menggunakan kertas sebagai alat dokumentasi keperawatan. Penggunaan paper-based documentation oleh perawat memiliki kelemahan, yaitu data tidak terstandarisasi, membutukan waktu yang lama, serta tidak efektif. Menurut [6] Margreet & Stegwee, penggunaan teknologi informasi dalam bentuk elektronik dapat meningkatkan efektivitas dan relevansi dokumentasi serta mengurangi waktu untuk melakukan dokumentasi dibandingkan dengan tulis tangan. Penemuan teknologi Electronic Nursing Record di rumah sakit pada dasarnya diharapkan menjadi inovasi teknologi yang efisien dan banyak bermanfaat untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan kepada klien. Namun, pada kenyataannya masih terdapat persepsi yang berbeda-beda mengenai efektivitas dari penerapan sistem ini. Penelitian yang dilakukan [7] Munyisia et. al di Australia menyatakan bahwa pemberi layanan keperawatan merasakan manfaat dari penerapan Electronic Nursing Record, yaitu menghasilkan data lebih akurat, jelas, lengkap, dan mengurangi pengulangan pemasukan data. Kemudian, penelitian [8] J. E. de Veer & Francke di Belanda menunjukkan perawat yang menggunakan Electronic Patient Record
│19
merasakan manfaatnya dalam memperbaiki pelayanan dan keamanan pasien. Namun, mereka juga khawatir akan terjadi peningkatan biaya perawatan pasien di rumah sakit sebagai dampak dari penggunaan sistem tersebut. Penelitian Kipturgo et. [9] al di Kenya menyimpulkan secara keseluruhan perawat memiliki persepsi positif terhadap komputerisasi. Menurut model penerimaan teknologi oleh Davis, terdapat dua konsep persepsi yang akan ditunjukan, yaitu merasakan kegunaan dan merasakan ketidakbergunaan suatu [8] teknologi tersebut. Apabila teknologi dirasa memiliki manfaat, maka persepsi seseorang akan menjadi positif dan menggunakan teknologi tersebut. [8] Menurut De Veer dan Fracke , perawat akan menunjukkan persepsi positif terhadap Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan apabila sistem tersebut menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan, mengurangi biaya, dan meningkatkan jumlah klien yang akan dirawat. Pada penelitian ini, persepsi perawat dalam menggunaan Electronic Nursing Record khususnya untuk dokumentasi keperawatan dapat berasal dari faktor eksternal maupun faktor internal yang dapat mempengaruhi efektivitas sistem tersebut. Persepsi perawat ini dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu kemudahan dan kebermanfaatan penggunaan serta faktor eksternal yang berupa infrastruktur dan kesiapan sistem. Penelitian di negara maju menunjukkan persepsi positif perawat terhadap penggunaan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian untuk mengidentifikasi gambaran persepsi perawat terhadap efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record sebagai inovasi dokumentasi asuhan keperawatan di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta, sebagai rumah sakit yang telah menerapkan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi gambaran secara deskriptif mengenai persepsi perawat terhadap efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record sebagai
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
media dokumentasi asuhan keperawatan dalam hal tampilan sistem, persepsi kemudahan, dan persepsi kebermanfaatan. 2.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian concurrent mix methods, yaitu penelitian yang menggabungkan antara data kuantitatif dan kualitatif dalam satu waktu dengan pendekatan triangulasi konkuren. Penelitian dilakukan pada Agustus - September 2014 di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Peserta penelitian memiliki kriteria inklusi, yaitu seorang perawat yang menggunakan dokumentasi berbasis elektronik dan bersedia mengisi kuesioner. Sampel penelitian diperoleh melalui teknik total sampling dengan sampel minimal 30 responden. Pada penelitian di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta diperoleh responden penelitian sejumlah 31 perawat. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tertutup yang terdiri dari empat bagian, yaitu informasi demografis, tampilan sistem, persepsi kemudahan, dan persepsi kebermanfaatan dengan jumlah 80 pertanyaan yang dikembangkan oleh peneliti dengan [10] merujuk penelitian Tavakoli, et al. Selain itu, penelitian ini juga didukung data wawancara dengan tiga informan perawat. Pengukuran reliabilitas dilakukan dengan rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbrach. Variabel tampilan sistem memiliki nilai r pada layar r=0.751; istilah r=0.749; sistem informasi r=0.751; pembelajaran r=0.881; kemampuan sistem Electronic Nursing Record r=0.735. Sedangkan nilai reliabilitas pada variabel persepsi kemudahan r=0.527 dan persepsi kebermanfaatan r=0.174. Setiap item dikatakan reliabel ketika memenuhi koefisien alpha â&#x2030;Ľ 0.7. Variabel yang diambil untuk mengukur persepsi perawat terhadap efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record adalah tampilan sistem, persepsi kemudahan, dan persepsi kebermanfaatan. Ketiga variabel ini diukur berdasarkan skala likert 1 â&#x20AC;&#x201C; 5 untuk variabel tampilan sistem serta skala positif dan negatif untuk variabel persepsi kemudahan dan persepsi
â&#x201D;&#x201A;20
kebermanfaatan. Kategori positif bila total skor setiap variabel berada di atas atau sama dengan nilai median, sedangkan kategori negatif bila skor setiap variabel berada di bawah nilai median. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis univariat dan deskriptif menggunakan distribusi frekuensi persentase yang digunakan untuk mengetahui karakteristik responden dan besar kecenderungan persepsi perawat dari setiap variabel yang diteliti. 3.
HASIL Tabel 1. Karakteristik Perawat RSU Bunda Jakarta Th.2014 (n=31) Karakteristik Persentase Frekuensi Responden (%) Umur 21-25 23 74.2 26-30 4 12.9 31-35 4 12.9 Jenis Kelamin Laki-Laki 9 27.3 Perempuan 22 66.7 Pendidikan SPK/SPR 2 6.1 D3 25 75.8 Keperawatan S1 4 12.1 Keperawatan Status Pernikahan Belum 22 66.7 Menikah Menikah 9 27.3 Lama Kerja (Tahun) 1 -5 26 83.87 6 - 10 2 6.45 11 – 15 1 3.23 16 – 20 2 6.45 Data hasil penelitian pada tabel 1. menggambarkan bahwa sebagian besar responden berumur 21-25 tahun, memiliki jenis kelamin perempuan, dan belum menikah. Sebagian besar pula memiliki jenjang pendidikan akhir DIII Keperawatan dengan lama kerja selama 1 – 5 tahun di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta. Tabel 2. Gambaran Persepsi Perawat RSU Bunda Jakarta Terhadap Tampilan Sistem Th.2014 (n=31) Kategori Positif Negatif Layar 18 13 (41.9%)
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
(58.1%) 22 9 ( 29 % ) ( 71% ) Sistem 16 15 (48.4%) Informasi (51.6%) Pembelajaran 16 15 (48.4%) (51.6%) Kemampuan 16 15 (48.4%) Sistem (51.6%) Tampilan 88 67(43.23%) Sistem (56.77%) Tabel. 2 menggambarkan bahwa perawat RSU Bunda Jakarta secara umum memiliki persepsi positif terhadap tampilan sistem Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan. Di setiap kategori, lebih dari 50% perawat telah menunjukan persepsi positif. Persepsi perawat yang paling positif adalah pada tampilan istilah yang digunakan, yaitu 71%. Hal ini menunjukan perawat merasa paling puas terhadap tampilan istilah keperawatan yang digunakan dalam Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan yang ada di RSU Bunda Jakarta. Istilah
Tabel 3. Gambaran Persepsi Perawat RSU Bunda Jakarta Terhadap Persepsi Kemudahan Th.2014 (n=31) Persepsi Frekuensi Persentase Perawat Positif 24 77.4 % Negatif 7 22.6 % Tabel. 3 menggambarkan 77.4 % perawat telah merasakan kemudahan penggunaaan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan. Sedangkan 22.6 % lainnya menggambarkan persepsi negatif. Perbedaan yang signifikan antara persepsi positif dan negatif sebanyak 54,8 % menunjukan bahwa penggunaan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan telah mudah digunakan oleh sebagian besar perawat. Tabel 4. Gambaran Persepsi Terhadap Perawat RSU Bunda Jakarta Terhadap Persepsi Kebermanfaatan Th. 2014 (n=31) Persepsi Frekuensi Persentase Perawat Positif 30 96.8 % Negatif 1 1.2 %
│21
Tabel 4 menggambarkan hasil yang sangat signifikan mengenai kebermanfaatan Electronic Nursing Record khusus keperawatan. Hampir seluruh perawat merasakan kebermanfaatan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan sebagai sarana dokumentasi yang mempermudah pekerjaan perawat. Data pada tabel 1, 2, dan 3 menunjukkan bahwa perawat di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta memiliki persepsi yang positif terhadap tampilan sistem, persepsi kemudahan, dan persepsi kebermanfaatan pada penggunaan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan. Sehingga, hasil tersebut menunjukan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan efektif untuk diterapkan di RSU Bunda Jakarta. 3.1 Hasil Wawancara 3.1.1 Variabel Tampilan Sistem Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada ketiga informan terkait tampilan sistem, perawat X mengatakan, “Pernah mengalami kendala pas masukin data. Kalau sudah di enter, gak bisa kembali lagi ke menu sebelumnya. Jadi, datanya ada yang belum sempat di entry. Tapi, sekarang sistem sudah diperbaiki. Tampilan sistem sudah cukup memuaskan. Satu sistem terhubung dengan berbagai sistem dan jarang error. “ Perawat Y menambahkan persepsinya terkait tampilan sistem, ”Tampilan sudah bagus, bahasa jelas. Kendalanya ada diagnosis yang tidak tersedia, misalnya risiko infeksi. Jadi ya pilih diagnosis lainnya yang tersedia. Saran untuk pengembangan selanjutnya diagnosis dilengkapi. Kalau bagian intrevensi, sudah sesuai dengan pengkajian.” Lain halnya pada Perawat Z yang menyampaikan persepsinya terkait pembelajaran, “Sejak kuliah yang diajarkan adalah paper based sehingga lebih terbiasa dan merasa lebih nyaman. Sebelumnya pernah dilakukan pelatihan selama satu bulan kemudian dipraktikan. Pelatihan masih kurang karena persepsi setiap orang berbeda dalam menerapkan ENR.”
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Pada segi pembelajaran, serupa dengan persepsi Perawat X yang mengatakan, “Pernah mendapatkan pelatihan, hanya saja pelatihannya tidak efektif. Iya, melakukan simulasi. Pelatihan hanya sekali, disediakan waktu tersendiri tapi dilaksanakan bersamaan dengan perawat lain yang sedang bekerja. Yang mengajari berganti-ganti karena sedang bekerja. Jadi saat mengisi bagian evaluasi setiap perawat memiliki cara yang berbedabeda.” 3.1.2 Variabel Persepsi Kemudahan Dari segi kemudahan penggunaan Electronic Nursing Record dalam dokumentasi asuhan keperawatan, Perawat X mengatakan “Sebenarnya lebih enak menggunakan komputer. Akan tetapi karena harus mengisi menggunakan kertas juga, jadinya lebih ribet. Karena kalau di Ruang Operasi, SIMKEPnya hanya sedikit yang harus diisi. Hanya laporan post operasi tanpa asuhan keperawatan. Hanya mengisi data dasar, laporan perkembangan pasien, diagnosa, dan imlementasi, tapi tidak melakukan evaluasi. Kalau di perawatan lebih detail.” Begitu pula dengan perawat Y yang mengatakan “Lebih menyukai elektronik, lebih mudah karena tidak perlu berpikir saat menentukan intervensi. Dokumentasi elektronik menyediakan fitur otomatis menampilkan intervensi setelah perawat memasukan data pengkajian dan diagnosis yang tepat. Elektronik lebih mudah karena sudah terbiasa.” Berbeda halnya dengan perawat Z yang menyatakan lebih suka menggunakan kertas dibandingkan dokumentasi asuhan keperawatan berbasis elektronik, “Menggunakan elektronik tapi tidak meninggalkan kertas. Banyak SIMKEP yang tidak sesuai dengan kondisi pasien. Sehingga untuk melengkapinya dibutuhkan dukungan dokumentasi kertas. Kalau di kertas bisa lebih up to date sesuai keluhan terkini pasien. Karena tidak semua perawat menerapan elektronik dengan benar.” 3.1.3 Variabel Persepsi Kebermanfaatan Dilihat dari segi kebermanfaatan penggunaan Electronic Nursing Record
│22
untuk dokumentasi asuhan keperawatan, perawat X mengatakan, “Manfaatnya sama aja, karena bagian perawat OK hanya tentang data dasar jadi tidak terlalu signifikan. Masalahnya sih kalau mati lampu, data tidak tersimpan jadi harus mengisi dari awal. Tapi biasanya menggunakan kertas dulu.” Perawat Y mengatakan, “memudahkan pekerjaan, terutama dalam hal waktu. Lebih valid, diagnose tidak perlu mencari-cari di buku. Elektronik bisa meningkatkan kualitas karena lebih fokus ke pasien.” Perawat Z mengatakan, “Data yang ada di elektronik tidak semuanya tersedia tindakannya. Karena sudah ada bahasa default di computer yng terkadang tidak sesuai dan tidak benarbenar dikerjakan oleh perawat. kalau dikertas, apa yang ditulis adalah yang benar-benar dikerjakan. Kalau kertas bisa diupdate setiap saat, kalau computer tidak karena butuh waktu”. 4.
PEMBAHASAN Pada umumnya perawat menunjukan persepsi positif terhadap penggunaan Electronic Nursing Record (ENR) khusus dokumentasi keperawatan. Persepsi perawat terhadap tampilan sistem pada ENR di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta menunjukkan persepsi yang positif dari segi layar, istilah, sistem informasi, pembelajaran, dan kemampuan sistem. Terdapat hasil yang cukup signifikan dari segi istilah pada tampilan sistem ENR bahwa perawat menunjukkan persepsi yang positif sebesar 71%. Pada segi layar, perawat menunjukkan persepsi positif sebesar 58.1%. Pada segi lainnya perawat menunjukkan persepsi positif yang tidak terlalu signifikan terhadap efektivitas sistem informasi, pembelajaran, dan kemampuan sistem pada ENR, yaitu sebesar 51.6% dan sebesar 48.4% dari perawat menunjukkan persepsi bahwa ketiga segi tampilan sistem ENR tersebut tidak efektif. Menurut teory TAM2 (Technology Acceptance Model 2), sikap perawat dibentuk melalui dua hal yaitu persepsi kemudahan dan persepsi kebermanfaatan dari sudut [10] pandang perawat terhadap ENR. Apabila ketiga komponen ini
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
menunjukkan hasil yang positif, maka ENR dapat digunakan secara efektif. Penelitian serupa terkait tampilan sistem terhadap Electronic Nursing Record di Iran menunjukkan bahwa sebesar 51.1% pengguna Electronic Nursing Record merasa puas dengan tampilan sistem. Sedangkan tingkat kepuasan dari segi istilah, data, dan pembelajaran pada sistem menunjukkan angka dibawah 50%. Tavakoli et al, menyebutkan bahwa faktor eksternal memiliki peran penting dalam penerimaan sistem Electronic [10] Nursing Record. Disamping itu, penelitian yang dilakukan oleh El Din ditemukan bahwa sebesar 27.9% petugas kesehatan tidak memahami fungsi utama Electronic Nursing Record dan sebesar 48% fungsi dari sistem tidak digunakan dengan maksimal dan mengurangi kebermanfaatan dari penggunaan sistem Electronic Nursing [11] Record. El Din juga menyebutkan bahwa pembelajaran sistem (training) memberikan kontribusi terhadap keefektifan penggunaan sistem [11] Electronic Nursing Record. Pelatihan yang tidak adekuat menyebabkan perawat memiliki pengetahuan dan pengalaman yang kurang mengenai Electronic Nursing Record. Kurangnya pengalaman perawat terhadap penggunaan komputer akan menjadi penghalang bagi perawat penghambat pelaksanaan [5] dokumentasi. Pengalaman akan memberikan familiaritas yang dapat dikonversi menjadi kemampuan. Kemampuan menggunakan sistem komputer yang merupakan basis dari ENR akan meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan menggunakan ENR. Sehingga menghasilkan persepsi positif [12] terhadap ENR. Pengalaman ini dapat diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan terhadap ENR. Sehingga, peneliti menyarankan diadakannya pelatihan yang intensif terhadap penggunaan ENR sebelum perawat mempraktekannya secara langsung. Pada persepsi kemudahan, sebagian besar perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta memiliki persepsi positif terhadap kemudahan pemakaian dokumentasi asuhan keperawatan berbentuk elektronik (77.4 %). Hal ini menunjukkan
│23
bahwa sebagian besar perawat mampu menggunakan Electronic Nursing Record secara efektif. Sedangkan 22.6 % lainnya merasa kesulitan dalam menggunakan Electronic Nursing Record. Persepsi kemudahan menunjukan tingkat kemudahan dan kepraktisan penggunaan ENR. Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi kemudahan perawat termasuk di dalamnya kelengkapan sistem, kepraktisan, serta familiaritas penggunaan teknologi. Menurut Kipturgurto, persepsi kemudahan berhubungan dengan usia, di mana usia lebih muda lebih merasakan persepsi kemudahan yang [9] positif. Dalam penelitian ini pun, 74,2 % perawat responden berusia 21-25 tahun menunjukan persepsi positif terhadap kemudahan penggunaan ENR. Hal ini kemungkinan disebabkan anak muda lebih terpapar teknologi daripada generasi yang lebih tua. Pelatihan juga menjadi hal yang penting dalam persepsi kemudahan juga dipengaruhi oleh kemampuan penggunaan komputer yang diperoleh melalui pendidikan dan [12] pelatihan ENR. Menurut perawat yang peneliti wawancarai sebagai salah satu pendukung hasil penelitian menunjukan bahwa mereka menyatakan mendapatkan pelatihan hanya sambil bekerja yang menyebabkan mereka masih bingung. Akibatnya perawat merasa dokumentasi elektronik kurang efektif. Hasil analisis terhadap persepsi kebermanfaatan atau merasakan kebermanfaatan, perawat cenderung merasakan kebermanfaatan dari penggunaan dokumentasi elektronik. Hal ini didukung oleh persentase perawat yang memiliki persepsi positif terhadap kebermanfaatan Electronic Nursing Record (96,8 %). Menurut De Veer dan Francke, perawat akan menunjukan persepsi positif terhadap kebermanfaatan Electronic Nursing Record, apabila penggunaan Electronic Nursing Record menunjukkan peningkatan kualitas pelayanan, mengurangi biaya, dan meningkatkan [8] jumlah klien yang akan dirawat. Hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan beberapa perawat di RSU Bunda Jakarta yang menunjukkan bahwa secara umum Electronic Nursing
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Record membuat pekerjaan mereka menjadi lebih mudah, terutama dalam hal waktu yang menjadi lebih efisien. Efisiensi waktu terjadi karena dalam sistem Electronic Nursing Record telah terdapat standar baku penulisan. Menurut model yang dikembangkan oleh Englebright dkk., borang isian pada Electronic Nursing Record istilah tindakan yang harus ditulis dalam borang untuk setiap komponen basic nursing care disederhanakan menjadi lebih singkat untuk meningkatkan [3] efektivitasnya. Setelah memasukan data di form, perawat tidak perlu mencari bahan untuk menentukan intervensi, karena semua sudah otomatis tersedia dan terelaborasi dengan pilihan diagnosis yang dipilih perawat. Sehingga, perawat tidak perlu menulis panjang lebar untuk merencanakan intervensi. Akan tetapi, sistem ini memiliki kelemahan. Menurut Perawat Z yang peneliti wawancarai menyatakan bahwa terkadang perawat perlu menuliskan di kertas beberapa data pengkajian yang tidak tersedia di sistem Electronic Nursing Record. Sehingga, konten dari Electronic Nursing Record harus dilengkapi. Menurut Li et al, Electronic Nursing Record dapat memberikan kemudahan komunikasi antara petugas kesehatan melalui pencatatan yang terintegrasi berbasis kolaborasi antar petugas kesehatan[4], misalnya perawat dapat melihat catatan dokumentasi perawat lain pada pasien karena dokumentasi tercatat dalam satu tempat atau bahkan antar petuga profesional lainnya. Pencatatatan terintegrasi atau multiple user akan meningkatkan kualitas, efisiensi, keamanan/safety [5] pelayanan klien. Akan tetapi, data yang peneliti temukan di lapangan, sistem Electronic Nursing Record untuk dokumentasi asuhan keperawatan belum terintegrasi dengan sistem dokumentasi yang dibuat oleh dokter. Dokter di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta masih menggunakan sistem paper based documentation. Hal ini menambah workload perawat untuk melakukan dokumentasi tindakantindakan kolaborasi dengan dokter seperti pemberian obat. Karena dokter masih memberikan instruksi dalam kertas yang harus disalin ke komputer
â&#x201D;&#x201A;24
oleh perawat untuk pendokumentasian perawat. Sehingga, peneliti menyarankan untuk pengembangan sistem dokumentasi elektronik terintegrasi ke seluruh profesi kesehatan agar kebermanfaatan sistem dokumentasi elektronik dapat dirasakan secara maksimal. Berdasarkan analisis variabelvariabel di atas, pada umumnya perawat di RSU Bunda Jakarta memiliki persepsi positif terhadap penggunaan Electronic Nursing Record. Meskipun pada praktiknya, masih banyak kendala dan kesulitan yang dialami perawat. Beberapa kendala di antaranya adalah kurangnya familiaritas terhadap komputer dan diagnosis yang tidak [10] lengkap. Menurut Tavakoli dkk , keefektifan Electronic Nursing Record di rumah sakit akan dipengaruhi faktor eksternal, meliputi sistem software termasuk tampilan sistem dan infrastruktur dari penyedia layanan Electronic Nursing Record serta tata kelola sistem. Persepsi perawat dibentuk melalui dua hal, yaitu persepsi kemudahan dan persepsi kebermanfaatan dari sudut pandang perawat terhadap Electronic Nursing [10] Record. Sehingga untuk mewujudkan keefektifan penggunaan Electronic Nursing Record sebelum menggunakan Electronic Nursing Record sebagai dokumentasi asuhan keperawatan, maka rumah sakit harus memastikan bahwa perawat memiliki persepsi positif terhadap ketiga variabel tersebut. 5. KESIMPULAN & SARAN Perawat di Rumah Sakit Umum Bunda Jakarta menunjukkan persepsi positif terhadap efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record. Hasil uji analisis univariat menghasilkan bahwa perawat menunjukkan persepsi positif terhadap tampilan sistem (56,77%). Pada variabel persepsi kemudahan (77.4%) dan persepsi kebermanfaatan (96.8%), perawat juga menunjukkan persepsi positif terhadap efektivitas penggunaan Electronic Nursing Record sebagai inovasi dokumentasi asuhan keperawatan. Sehingga, Electronic Nursing Record bisa menjadi salah satu program inovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia, karena perawat Indonesia
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
mampu menerapkan Electronic Nursing Record secara efektif, meskipun dengan berbagai kendala. Oleh karena itu, pengembangan sistem, infrastruktur, dan pelatihan yang adekuat dapat menjadi kunci sukses penerapan Electronic Nursing Record khusus dokumentasi keperawatan secara efektif. DAFTAR PUSTAKA 1. College of Registered Nurses of British Columbia. Nursing Documentation. 2013. Diambil dari: URL: www.crnbc.ca. Diakses pada 25 Juli 2014. 2. Kimura M, et. al. Survey on medical records and EHR in Asia-Pacific region: languages, purposes, IDs and regulations. PubMed. 2011;50(4):386-391. 3. Englebright J, Aldrich K, Taylor CR. Defining and incorporating basic nursing care actions into the electronic health record. J Nursing Scholarship. 4. Li J, et. al. The role of ICT in supporting disruptive innovation: a multi-site qualitative study of nurse practitioners in emergency departments. BMC Med Informatics Decision Making. 2012:27. DOI 10.1186/1472-6947-12-27. Diambil dari: URL: http://www.biomedcentral.com/14726947/12/27. Diakses pada 1 Agustus 2014. 5. Conrad D, Schneider JS. Enhancing the visiblity of NP practice in Electronic health record. J Nurse Practitioners. Desember 2011;7(10). 6. Margreet B. Michel-Verkerke, Robert A. Stegwee: Electronic Health Records In The Netherlands, Luctor Et Emergo: What Emerged After A Decade Of Struggle? ECIS 2013: 6 7. Munyisia, EN, Yu P, Hailey D. The changes in caregiversâ&#x20AC;&#x2122; perceptions about the quality of information and benefits of nursing documentation associated with the introduction of an electronic documentation system in anursing home. Intl J Med Informatics. 2011;80(2):116-126. 8. De Veer AJE, Francke AL. Attitudes of nursing staff towards electronic patient records: A questionnaire
â&#x201D;&#x201A;25
survey. International Journal of Nursing Studies. 2010;47:846-854. 9. Kipturgo, MK, Bitok LWK, Karani AK, Muiva MM. Attitudes of nursing staff towards computerisation: A case of two hospitals in Nairobi, Kenya. BMC Med Informatics Decision Making. 2014;14:35. Diambil dari: URL: http://www.biomedcentral.com/14726947/14/35. Diakses pada 27 Juli 2014. 10. Tavakoli N, et. al. Users’ acceptance and attitude in regarding Electronic Nursing Record at central polyclinic of oil industry in Isfahan, Iran. J Educ Health Promot. 2013;2:59. Diambil dri: URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arti cles/PMC3908728/. Diakses pada 27 Juli 2014.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
11. El Din, Moustafa M M. Physicians’ Use of and Attitudes Toward Electronic Nursing Record System Implemented at A Teaching Hospital in Saudi Arabia. J Egypt Public Health Assoc. 2007;82:359 12. Gagnon M, et. al. Systematic review of factors influencing the adoption of information and communication technologies by Healthcare professionals. J Med Syst. 2012;36:241–277. DOI 10.1007/s10916-010-9473-4.
│26
Tinjauan Pustaka
PAKET HEMAT BEBAS PASUNG (PAHE FREEPAS): SOLUSI INOVATIF APLIKASI MODEL KEPERAWATAN JIWA EKSISTENSIAL DAN SOSIAL DALAM MENANGANI KESEHATAN JIWA 1
1
Nuning Khurotul Af’ida , Heri Iswanto , Windiarti 1 2 Rahayu , Retno Lestari 1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya
ABSTRAK Pendahuluan: Kondisi kesehatan jiwa masyarakat Indonesia masih sangat kurang, salah satu faktor yang bisa memicu menurunnya kualitas kesehatan mental yang akan berujung pada tindakan pemasungan adalah kemiskinan. Berdasarkan riset penelitian, data signifikan menunjukkan jumlah yang tinggi terhadap orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Jumlah ini belum diimbangi dengan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang memadai di Indonesia. Salah satu permasalahan yang serius terhadap penanganan kesehatan jiwa adalah tindakan pasung. Pemerintah Indonesia sudah mencanangkan program Bebas Pasung 2012, yang didukung dengan beberapa program seperti MMHS, Desa Siaga, dan CMHN. Namun belum terlaksana karena kurangnya fasilitas kesehatan jiwa dan pengetahuan masyarakat. Pemasungan ODMK tidak manusiawi dan justru dapat memperburuk keadaannya, selain mengganggu psikologi juga dapat mengganggu fisiknya. PAHE FREEPAS menjadi inovasi solutif program kegiatan holistik aplikasi dari model keperawatan jiwa sosial dan eksistensial yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang didukung dengan adanya pos keswa serta monev. Sehingga diharapkan efektif dalam menangani masalah pasung dan meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat. Tujuan: Untuk meningkatkan partisipasi aktif baik dari pemerintah maupun masyarakat. Melalui upaya ini diharapkan dapat memperbaiki program yang sudah ada atau bahkan dapat menjadi inovasi yang aplikatif sesuai dengan penerapan dari teori model keperawatan jiwa dan mensukseskan program pemerintah Indonesia Bebas Pasung. Kata Kunci: model keperawatan jiwa sosial dan eksistensial, ODMK, PAHE FREEPAS, pasung ABSTRACT Background: Indonesian community mental health conditions is still lacking, one factor that could trigger a decline in the quality of mental health that would lead to deprivation is poverty. Based on the research study, the data showed significantly higher amounts towards people with psychiatric problems. This amount has not been matched with adequate facilities of mental health services in Indonesia. One of the serious problems in mental health is an act of deprivation. The Indonesian government has launched Free Deprivation Program 2012, which is supported by several programs such as MMHS, alert village, and CMHN. But not yet implemented due to lack of mental health facilities and community knowledge. Deprivation can actually worsen the situation, in addition to disturbe psychology can also interfere with the physical. PAHE FREEPAS as innovation holistic nursing program of the application of social life and existential which include promotive, preventive, curative, and rehabilitative. Thus expected to be effective in dealing with deprivation and improve the mental health community.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│27
Aim: To increase the active participation of both government and society. It also improve existing programs or innovations that can even be the application of the nursing mental theory and support government programs "Indonesia Free Deprivation." Keywords: FREEPAS
deprivation, nursing model of social life and existential, ODMK, PAHE
1. PENDAHULUAN Riset penelitian yang dilakukan oleh Keliat (2012) menunjukkan data yang signifikan terhadap orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Data tersebut menunjukkan bahwa 772.800 penyandang gangguan jiwa berat di Indonesia dan gangguan mental emosional 19,5 juta orang. Jumlah ini belum diimbangi fasilitas pelayanan kesehatan jiwa yang memadai. Indonesia hanya memiliki 33 rumah sakit jiwa. Hal ini jelas membuktikan bahwa kesehatan jiwa masyarakat Indonesia masih sangat kurang salah satu faktor yang bisa menjadi pemicu menurunnya kualitas kesehatan mental yang pada akhirnya akan berujung pada tindakan pemasungan adalah kemiskinan dan rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap [1] masalah kejiwaan. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang penanganan gangguan jiwa menjadikan berbagai macam tindakan menjadi sah dimata masyarakat untuk dilakukan pada ODMK. Tindakan pasung yang sudah terjadi sejak jaman dahulu yaitu sekitar abad 18, dimana pasien dengan gangguan jiwa dikucilkan dan diisolasi dirumahnya sendiri. Bahkan tindakan pasung tersebut dijadikan sebagai tindakan yang pantas karena pasien gangguan jiwa dianggap dirasuki makhluk halus dan tidak bisa disembuhkan. Meski sudah lama digencarkan tentang terapi pasien gangguan jiwa, masih tetap ada tindakan tidak manusiawi pada pasien gangguan jiwa seperti dikurung, hingga dipasung ditempat yang kotor dan kumuh akibat minimnya pengetahuan dan kemiskinan. Berbagai alasan pemasungan dikemukakan oleh anggota keluarga, antara lain karena khawatir pasien gangguan jiwa akan menyakiti dirinya sendiri atau orang-orang [2] disekitarnya.
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Pemasungan adalah tindakan yang tidak manusiawi, terkadang masih saja disiksa meskipun pasien gangguan jiwa sudah dipasung. Tindakan ini dapat membawa dampak buruk baik pada kondisi fisik maupun psikologisnya. Kondisi fisik yang semakin memburuk biasanya mulai muncul dengan tanda mudah sakit karena imunitas tubuh yang buruk akibat tidak terpenuhinya kebutuhan hidup dasar dengan baik seperti makan, tidur, istirahat, dan berpakaian layak. Selain itu juga berpengaruh terhadap imobilisasi atau lumpuh pada alat gerak tubuh akibat atrofi otot yang lama tidak difungsikan secara normal. Sedangkan dampak pada kondisi psikologisnya seperti pasien dengan gangguan jiwa yang ringan menjadi semakin parah misalnya skizofrenia (gangguan jiwa berat). Menteri Kesehatan, dr. Nafsiah Mboi, Sp.PA, MPH mengatakan, pemerintah Indonesia menargetkan di tahun 2012 Indonesia sudah bebas pasung bagi penderita sakit jiwa. Namun belum dapat terealisasikan karena masih kurangnya fasilitas kesehatan jiwa, kurangnya pengetahuan masyarakat, serta banyaknya penanganan gangguan jiwa melalui tindakan kuratif daripada preventif. Sosialisasi terus digencarkan dengan melibatkan pemerintah daerah, masyarakat dan pihak terkait, oleh karena itu diperlukan solusi efektif berbasis individu dan masyarakat untuk menegakkan kembali usaha mencapai [3] Indonesia Bebas Pasung. Pendekatan model keperawatan jiwa merupakan dasar teori yang efektif dalam mengatasi masalah kesehatan jiwa. Berdasarkan analisa yang telah dilakukan pada beberapa penelitian sebelumnya, kombinasi model keperawatan jiwa yang tepat untuk diaplikasikan karena berbasis pada individu dan masyarakat adalah model keperawatan jiwa sosial dan
â&#x201D;&#x201A;28
eksistensial. Model keperawatan jiwa sosial berfokus pada dukungan sosial seperti SDM, SDA, komunikasi, adat, dan budaya yang sangat berpengaruh terhadap individu dalam menjalani kehidupannya sehingga menjadi faktor penentu terhadap kesehatan jiwa individu dalam melakukan respon sosial. Model ini menekankan pada peran serta klien dalam pemilihan terapi yang akan diberikan dan didukung dengan edukasi untuk meningkatkan kesadaran bahwa pasien gangguan jiwa butuh kepedulian masyarakat agar bisa sembuh kembali, bukan dikucilkan karena dianggap berbeda. Peran individu yang ada dari pasien gangguan jiwa dan dukungan dari masyarakat sebagai pemberi respon sosial menjadi perpaduan yang tepat dalam rehabilitasi kesehatan jiwa. Sedangkan model keperawatan jiwa eksistensial berfokus pada pengalaman individu. Pandangan model eksistensial terhadap penyimpangan perilaku dapat terjadi jika individu putus hubungan dengan dirinya dan lingkungannya. Keasingan akan dirinya dan lingkungannya dapat terjadi karena berbagai hambatan seperti merasa putus asa, sedih, sepi, kurang sadar akan dirinya dan penerimaan diri yang mencegah partisipasi dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain. Menurut model keperawatan ini seseorang dapat mengalami gangguan jiwa bila individu gagal dalam menemukan jati diri dan tujuan hidupnya [4] sehingga membenci dirinya sendiri. Berdasarkan fenomena tingginya masalah kejiwaan dan kasus pemasungan serta kajian teori kombinasi dari 2 model keperawatan jiwa tersebut maka penulis mencetuskan program PAKET HEMAT BEBAS PASUNG (PAHE FREE PAS): Solusi Inovatif Aplikasi Model Keperawatan Jiwa Eksistensial dan Sosial sebagai Upaya Holistik dalam Menangani Masalah Pasung dan Meningkatkan Kesehatan Jiwa di Indonesia. 2. METODE Karya tulis ini menggunakan metode pengumpulan data dengan studi literatur, untuk mengetahui fakta mengenai kesehatan jiwa di Indonesia. Berdasarkan fakta yang ditemukan,
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
penulis berinisiatif menerapkan metode yang tepat untuk menangani masalah tersebut dengan memperoleh informasi dan data kualitatif melaui memperkaya bacaan dari berbagai literatur seperti buku, internet, jurnal penelitian, buletin, makalah atau rujukan dari peneliti sebelumnya dan sebagainya, yang dapat mendukung atau menjawab rumusan masalah yang telah ditentukan. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Kondisi Kesehatan Jiwa Masyarakat Indonesia Masalah kesehatan terutama gangguan jiwa saat ini angka insidennya masih tinggi. Berdasarkan hasil survey kesehatan mental rumah tangga (SKMRT) tahun 1995 menemukan bahwa 185 dari 1000 penduduk rumah tangga dewasa menunjukkan adanya gejala gangguan kesehatan jiwa. Hasil SKRT 1995 menunjukkan, gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas adalah 140 per 1.000 penduduk dan 5-14 tahun sebanyak 104 per 1.000 [5] penduduk. Menurunya produktifitas penderita gangguan jiwa dan keluarga dengan penderita gangguan jiwa merupakan hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut. Apabila penderita dirawat di Rumah Sakit Jiwa, maka penderita tersebut tidak dapat produktif, dan keluarga yang merawat juga menurun produktifitasnya sebagai akibat hospitalisasi tersebut. Pemerintah berupaya menggalakkan kembali program Bebas Pasung bagi penderita gangguan jiwa. Sebab, hingga kini masih banyak keluarga penderita atau masyarakat yang memasung orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Itu dilakukan dengan dalih ODMK mengganggu lingkungannya. Terkait program itu, pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa. Ini dilakukan dengan melibatkan peran dan aktif dari masyarakat. Termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan gangguan jiwa untuk masyarakat miskin. Alasan pemasungan pasien gangguan jiwa berat adalah karena
â&#x201D;&#x201A;29
perilaku kekerasan (agresivitas)-nya sudah tak bisa ditolerir. Padahal, berdasarkan hasil penelitian, perilaku kekerasan pasien sakit jiwa berubah akal (psikotik) jauh lebih rendah dibandingkan pelaku yang akalnya masih waras (utuh). Sesugguhnya, kekerasan yang mereka lakukan sering didahului oleh tanda-tanda yang terprediksi, misalnya, mulai marahmarah tanpa alasan yang jelas, intonasi suara lebih keras dari biasanya, tatapan matanya sinis, mengancam, membawa senjata tajam, dan lain-lain. Hal seperti ini sering kali dianggap remeh dan sepele. Seharusnya ada kepedulian keluarga dan masyarakat agar melapor ke kader kesehatan jiwa. Kader biasanya melajutkan ke perawat CMHN dan diteruskan ke dokter. Dokter akan berkoordinasi dengan Satpol PP atau polsek sebagai upaya antisipasi sesuatu yang membahayakan. Kita biasanya baru ada respons jika telah terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Kondisi terpasung membuat pasien rentan kekurangan gizi, infeksi, disabilitas, dan kecelakaan. November 2011, misalnya, seorang balita di Malang, Jatim, tewas terbakar akibat kebakaran rumah dalam kondisi kakinya terantai. Di Sumatera Utara: Januari 2010 seorang pemuda 29 tahun meninggal dalam jeritan meminta tolong yang memilukan akibat rumahnya terbakar sementara kakinya terikat rantai. Januari 2013 pemuda yatim piatu dengan kaki terpasung, tewas terpanggang dalam kobaran api yang membakar rumah. 3.2 Efektivitas Program yang Sudah Ada dalam Menangani Masalah Pasung dan Meningkatkan Kesehatan Jiwa 3.2.1 Mobile Mental Health Services (MMHS) MMHS merupakan upaya peningkatan kesehatan jiwa masyarakat melalui pelayanan kesehatan keliling. Metode ini baru diterapkan di beberapa wilayah seperti Jakarta dan Bali. Keunggulannya masyarakat mendapatkan konseling kesehatan jiwa secara rutin sesuai dengan jadwal tertentu yang dilayani oleh tenaga ahli. Namun, di sisi lain MMHS memiliki kekurangan yaitu keterbatasan SDM
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
yang bersedia melakukan kunjungan rutin kepada masyarakat karena berbagai kesibukan yang dimiliki di ranah pelayanan kesehatan lain. Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2013 perlu adanya SDM khusus yang diperuntukkan untuk program ini sehingga tenaga kesehatan yang memang dialokasikan untuk MMHS bisa lebih fokus dalam menangani masalah [6,11] kesehatan jiwa masyarakat. 3.2.2 Desa Siaga Desa Siaga merupakan gambaran masyarakat yang sadar, mau dan mampu mencegah dan mengatasi berbagai ancaman terhadap kesehatan masyarakat, seperti kurang gizi, kejadian bencana, termasuk didalamnya gangguan jiwa, dengan memanfaatkan potensi setempat secara gotong royong, [1,6] menuju Desa Siaga. Desa Siaga Sehat Jiwa merupakan satu bentuk pengembangan dari pencanangan Desa Siaga yang bertujuan agar masyarakat ikut berperan serta dalam mendeteksi pasien gangguan jiwa yang belum terdeteksi, dan membantu pemulihan pasien yang telah dirawat di rumah sakit, serta siaga terhadap munculnya masalah kesehatan jiwa di masyarakat. Dalam pelaksanaannya desa siaga menemui banyak kendala karena kurangnya dukungan dari pemerintah terhadap penyediaan fasilitas serta monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan program. 3.2.3 Community Mental Health Nursing (CMHN) CMHN merupakan bagian dari program keperawatan jiwa yang menitikberatkan pada kemampuan keperawatan jiwa komunitas yang dimiliki oleh perawat agar bisa diaplikasikan secara nyata sebagai [7,8] upaya pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian kasus pemasungan pun dapat diminimalisir melalui peran aktif perawat dalam melakukan edukasi dan pelatihan kader untuk [9,10] pengmbangan CMHN. Namun, dalam pelaksanaannya CMHN tidak berjalan secara optimal karena kurangnya kolaborasi antar tenaga kesehatan yang bertanggungjawab terhadap wilayah tersebut.
â&#x201D;&#x201A;30
3.3 Efektivitas PAHE FREEPAS dalam Menangani Masalah Pasung dan Meningkatkan Kesehatan Jiwa 3.3.1 Definisi PAHE FREEPAS merupakan program kegiatan holistik yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam menangani masalah pasung dan meningkatkan kesehatan jiwa masyarakat. Program ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi aktif baik dari pemerintah maupun masyarakat. Melalui upaya ini diharapkan dapat memperbaiki program yang sudah ada atau bahkan dapat menjadi inovasi yang aplikatif sesuai dengan penerapan dari kombinasi teori model keperawatan jiwa sosial dan eksistensial sehingga juga dapat mensukseskan program pemerintah â&#x20AC;&#x153;Indonesia Bebas Pasung 2014.â&#x20AC;? 3.3.2 Sasaran Sasaran Primer Sasaran primer dalam program ini adalah masyarakat sebagai promotor yang berperan aktif dalam upaya pembebasan kasus pasung dan meningkatkan kesadaran pentingnya kesehatan jiwa. Sasaran Sekunder Sasaran sekunder adalah tenaga kesehatan yang bertanggungjawab pada wilayah tertentu seperti perawat dan bidan desa, serta kepala puskesmas. Komponen ini diharapkan dapat turut serta dalam upaya pembebasan masalah pasung dan meningkatkan kesehatan jiwa dengan cara: - Berperan sebagai panutan. - Turut menyebarluaskan informasi program. - Berperan sebagai kelompok penekan (pressure group) guna mempercepat terlaksananya PAHE FREEPAS. Sasaran Tersier Sasaran tersier adalah para pembuat kebijakan publik yaitu pemerintah secara terpusat maupun pemerintah yang membawahi suatu wilayah yang berupa peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan dan bidang-bidang lain yang berkaitan serta mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan sumber daya. Mereka diharapkan turut serta
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
dalam upaya efektivitas penerapan PAHE FREEPAS. 3.3.3 Kegiatan PROLIS (Program Holistik) PROVEN (Promotif dan Preventif) A. Deteksi Dini (Deni) Deteksi dini (screening) merupakan suatu proses dengan maksud agar penyakit-penyakit atau kelainan-kelainan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi dengan menggunakan uji-uji yang dapat diterapkan secara cepat dalam sebuah skala yang besar (Beaglehole,dkk,1997). Pada konteks kesehatan jiwa deteksi dini pun dapat dilakukan sehingga merupakan upaya awal preventif yang tepat agar yang mengalami gangguan jiwa ringan tidak jatuh dalam kondisi gangguan jiwa berat dan yang beresiko dapat diantisipasi, serta yang sehat dapat terus produktif meningkatkan kesehatannya. Dengan aplikasi model keperawatan jiwa sosial maka Deni bisa dilakukan oleh perawat desa yang berkolaborasi dengan kaderkader masyarakat yang terlatih. Deni menggunakan form pendataan dari keterangan pemerintah desa serta home visit sehingga dapat mendeteksi dan mengklasifikasi kondisi masyarakat sesuai dengan 3 kriteria yaitu sehat jiwa, gangguan psikosial, dan gangguan jiwa berat. - Kartu Kesehatan Jiwa (Karkeswa) Karkeswa merupakan program lanjutan yang dilaksanakan dengan bantuan para kader Deni dengan mengklasifikasi kondisi setiap individu yang ada dalam keluarga-keluarga di masyarakat, kemudian diberikan kartu penanda dalam bentuk kartu kesehatan jiwa. Kartu kesehatan jiwa atau Karkeswa ini memilki konten yaitu warna kartu sebagai penanda cepat klasifikasi, serta poin edukasi yang berisi cir-ciri klasifikasi berdasarkan warna dan tindakan yang sebaiknya dilakukan saat ODMK kambuh. Warna tersebut digolongkan dalam 3 warna klasifikasi yaitu hijau, kuning, merah. Warna yang berbeda memudahkan intervensi selanjutnya yang akan dilakukan kepada keluarga tersebut, kriteria warnanya antara lain:
â&#x201D;&#x201A;31
-
Warna hijau : sehat jiwa Warna kuning : gangguan psikososial - Warna merah : gangguan jiwa berat Karkeswa ini nantinya akan dipegang oleh kepala keluarga sehingga dapat ditunjukkan saat berkonsultasi kepada perawat, kader Deni atau tenaga kesehatan lain yang melakukan kunjungan rumah. - Funi (Fun Information) Funi merupakan upaya promotif melalui penyuluhan yang dilakukan pada forum-forum tertentu di desa, seperti forum PKK, tahlil, dan Posyandu. Penyuluhan diberikan kepada seluruh lapisan masyarakat dengan metode yang menarik dan aplikatif seperti simulasi opera dan drama wayang wong yang mengangkat budaya masyarakat desa sekitar sehingga edukasi yang diberikan dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat. Pemeran opera bisa dilakukan melalui kolaborasi tokoh masyarakat, kader terlatih, dan perawat desa. B. Kuratifď&#x192; Sayankes (Sadar Pelayanan Kesehatan) Upaya kuratif berhubungan dengan upaya pengobatan yang menjadi ranah tenaga kesehatan untuk melakukan intervensi dan terapi farmakologis terhadap masyarakat yang memiliki masalah kesehatan jiwa dalam kriteria gangguan psikososial maupun gangguan jiwa berat yang membutuhkan pengawasan ketat. Sayankes juga merupakan aplikasi dari model keperawatan jiwa sosial sehingga diharapkan peran penting elemen masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) tidak harus selalu dipasung atau dibatasi ruang geraknya. Tapi, segera dibawa ke pusat pelayanan kesehatan terdekat untuk mendapatkan terapi intensif dan saran dari tenaga kesehatan tentang upaya tepat terkait perawatan yang harus segera dilakukan terhadap ODMK. C. Rehabilitatifď&#x192; Terima Mereka Kembali (Terali) Tahap ini merupakan bagian penting dari program karena sangat membutuhkan peran serta masyarakat untuk memberikan dukungan sesuai
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
dengan model keperawatan jiwa sosial. Disinilah peran kader terlatih dan perawat desa untuk secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat menciptakan iklim yang kondusif agar masyarakat mampu menerima kembali ODMK yang setelah beberapa waktu dirawat di RSJ. Para perawat, dokter dan para kader serta didukung pejabat desa atau wilayah setempat berdiskusi bersama untuk menciptakn iklim penerimaan kembali tersebut, misalnya bila ODMK adalah wanita maka mengajak ODMK turut serta dalam kegiatan masyarakat yaitu dalam kegiatan PKK, kegiatan masak bersama dalam acara tasyakuran, pengajian bersama dan lain sebagainya. Kemudian jika ODMK yang telah sembuh adalah lelaki, maka bisa diajak turut serta dalam kegiatan kerja bakti, kegiatan remaja masjid, kegiatan karang taruna. Pada akhirnya ODMK yang telah sembuh akan disambut dengan baik oleh masyarakat dengan kegiatan umum yang melibatkan banyak individu dalam masyarkat, sehingga tujauan dasar dari teori social pun akan tercakup didalam mewujudkan kesehatan jiwa. D. Pos Kesehatan Jiwa (POS KESWA) POS KESWA diharapkan menjadi tempat rujukan masyarakat dalam mencari informasi preventif, kuratif, dan rehabilitatif kesehatan jiwa sehingga secara perlahan akan mengubah pandangan masyarakat bahwa layanan kesehatan jiwa hanya untuk penderita yang mengalami gangguan jiwa kronis. Hal ini pun sesuai dengan aplikasi model keperawatan jiwa eksistensial yang mengutamakan kemampuan individu untuk memahami kondisi kejiwaannya sehingga dapat memilih terapi sesuai dengan penjelasan yang dilakukan oleh perawat jiwa atau dokter spesialis jiwa. Macam-macam kegiatan POS KESWA diklasifikasi berdasarkan tingkatan dari sehat jiwa, gangguan psikososial hingga gangguan jiwa. Untuk sehat jiwa dan gangguan psikososial difasilitasi dengan adanya forum sharing bersama penderita gangguan psikososial yang telah sembuh dan konsultasi dengan tenaga
â&#x201D;&#x201A;32
kesehatan khusunya perawat dan dokter. Sedangkan untuk penderita gangguan jiwa lebih dikhususkan dengan diberikan tahapan kegiatan, diantaranya adalah 1. Rujukan ke puskesmas untuk ODMK yang sedang kambuh 2. Konsultasi bersama tenaga kesehatan jiwa yaitu perawat jiwa atau dokter spesialis jiwa. 3. Terapi aktivitas kelompok (TAK) untuk terapi bersama para pasien gangguan jiwa dan difasilitasi beberapa perawat jiwa dan dokter jiwa. 4. Latihan produktifitas yang diberikan pada pasien gangguan jiwa yang kondisinya sudah mendekati normal dengan pelatihan menghasilkan suatu hal ataupun benda sehingga bisa mengasah produktifitas pasien. Pelaksanaan POS KESWA bisa dilakukan atas dukungan pemerintah daerah dan pusat dalam penyediaan sarana dan fasilitas serta tenaga kesehatan terkait dan kader terlatih untuk memberikan pelayanan paripurna terhadap konseling serta mempersiapkan rujukan apabila dibutuhkan ke pelayanan kesehatan yang lebih lanjut seperti RSJ. E. Monitoring dan Evaluasi (MONEV) Monev dilakukan oleh dinas kesehatan setempat dan pemerintah pusat secara rutin dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Tujuan monev ini adalah untuk melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan program, dilakukan secara statistik kuantitatif dan kualitatif untuk menilai keberhasilan program dan ketepatan sasaran terhadap efektivitas PAHE FREEPAS yang telah dilakukan. F. Pihak-pihak yang Terlibat 1. Perawat Desa Perawat desa yang memiliki kemampuan dan pengetahuan terkait masalah kesehatan jiwa diharapkan dapat menyalurkan informasi yang dimiliki dan dapat secara aktif melakukan pelatihan terhadap kader dan upaya pemberdayaan masyarakat. 2. Masyarakat Kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya kesehatan jiwa sangat
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
berdampak signifikan terhadap keberhasilan program dalam meminimalisir masalah pasung dan meningkatkan kesehatan jiwa. Tokoh masyarakat dan kader terlatih diharapkan secara aktif melakukan berbagai edukasi kepada masyarakat dalam mewujudkan Indonesia Bebas Pasung. 3. Pemerintah Pemerintah diharapkan mendukung pelaksanaan dengan meningkatkan penyediaan sarana prasarana yang layak untuk institusi kesehatan. Keterlibatan pemerintah dalam hal ini kementrian kesehatan juga diharapkan untuk melakukan pemantauan langsung serta monitoring dan evaluasi pelaksanaan agar program dapat berjalan dengan baik. 4. KESIMPULAN Permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi polemik dan belum bisa teratasi seutuhnya. Hal ini terbukti dengan tingginya angka penderita gangguan jiwa dan kasus pemasungan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Sistem pelayanan kesehatan jiwa serta program pemerintah yang sudah ada seperti MMHS, Desa Siaga, dan CMHN belum bisa mengatasi masalah kesehatan jiwa secara optimal sesuai dengan mutu ideal pelayanan kesehatan jiwa. Untuk itu perlu adanya solusi alternatif dan tepat sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa. Inovasi PAHE FREEPAS, sebuah program aplikasi model keperawatan jiwa sosial dan eksistensial yang secara aktif menggali permasalahan yang dialami penderita gangguan jiwa dan memberdayakan masyarakat dalam upaya holistik (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) dan pos kesehatan jiwa serta monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan program diharapkan mampu meningkatkan kualitas kesehatan jiwa masyarakat Indonesia secara optimal. 5. SARAN - Perlu adanya peran serta yang lebih aktif dari berbagai pihak untuk
â&#x201D;&#x201A;33
-
mendukung pelaksanaan PAHE Free Pas (Paket Hemat Bebas Pasung). Pemantauan lebih lanjut agar program ini dapat berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang dan bisa bermanfaat bagi semua pihak terutama dalam meninggkatkan kualitas kesehatan jiwa di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA 1. “Indonesia Bebas Pasung 2014”. British Broadcasting Corpporation. 2011. http://www.bbc.co.uk/indonesia/lapo ran_khusus/2011/10/111004_mental 6.shtml diakses tanggal 24 Juni 2013 jam 19.00 WIB 2. Morison, S., Boohan, M., Moutray, M & Jenkins, J. “Developing prequalification Interprofessional Education for Nursing and Medical Studenrs: Sampling Student Attitudes to Guide Development”. Nurse Education in Practice (4), (2004): 20-29. 3. Azwar, S. Pengukuran Skala Psikologis. Jakarta: Rineka Cipta, 2010. 4. “Masih Ada Praktik Pemasungan”. Replubika. 2011. http://www.republika.co.id/berita/regi onal/nusantara/12/01/25/lybt56masih-ada-praktek-pemasungan-23pasien-jiwa-di-agam-sumbar, diakses tanggal 24 Juni 2013, jam 16.30 WIB 5. “Hentikan Praktik Pemasungan”. Liputan Indonesia. 2011. http://medialiputanindonesia.com/lip utan/depsos/45943-mensoshentikan-praktik-pemasungan.html. diakses tanggal 24 Juni 2013, jam 16.15 WIB 6. DPR RI. Laporan Kunjungan Kerja Spesifik Komisi IX DPR RI ke Provinsi NTB terkait Pengawasan
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Program Indonesia Bebas Pasung 2014. 2011. 24 Juni 2013 jam 10.11 WIB http://www.dpr.go.id/complorgans/co mmission/commission9/visit/K9_kunj ungan_LAPORAN_KUNJUNGAN_K ERJA_KASUS_SPESIFIK_KOMISI_ IX_DPR_RI__KE_PROV._NTB___T GL__6__S.D._8__FEBRUARI__201 2.pdf. 7. Freeth, D. “Sustaining Interprofessional Collaboration”. Journal of Interprofessional Care, 15, 2001: 37 – 46 8. Harsono dan Yohannes, H.C., “Kurikulum Terpadu”. Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2005 : 6 9. “Indonesia Bebas Pasung 2014”. British Broadcasting Corporation. 2013. 24 Juni 2013 jam 13.13 WIB http://www.bbc.co.uk/indonesia/lapo ran_khusus/2011/10/111004_mental 6.shtml 10. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Rumah Sakit Masih Mendominasi Pelayanan Kesehatan Jiwa. 2011. 24 Juni 2013 jam 13.15 WIB http://www.depkes.go.id/index.php/b erita/press-release/249-rumah-sakitmasih-mendominasi-pelayanankesehatan-jiwa.html 11. Pusat Komunikasi Publik Setjen Kementerian Kesehatan. Hentikan Pemasungan. 2011. 24 Juni 2013 jam 17.15 http://kliping.depkes.go.id/file/17330 _Hentikan%20Pemasungan.PDF 12. Suriyanto. Pemasungan Gangguan Jiwa Melanggar HAM. 2013. 24 Juni 2013 jam 19.15 WIB http://www.jurnas.com/news/90879/ Mensos:_Pemasungan_Penderita_ Gangguan_Jiwa_Langgar_HAM/1/S osial_Budaya/Humaniora
│34
LAMPIRAN
Jadwal Kegiatan
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│35
Tinjauan Pustaka
DISFAGIA POST STROKE DAN PENATALAKSANAANNYA 1
Bayu Fandhi Achmad , Anastasia Anna Iskandar
2
1
Mahasiswa Magister Keperawatan Universitas Padjadjaran Dosen Fakultas Keperawatan Universitas Padjadjaran
2
ABSTRAK Pendahuluan: Disfagia merupakan komplikasi yang sering dialami oleh pasien stroke. Terjadinya pneumonia aspirasi, dehidrasi, malnutrisi, memanjangnya lama rawat di rumah sakit, mahalnya biaya perawatan, serta menurunya kualitas hidup, merupakan berbagai kerugian yang diakibatkan oleh komplikasi tersebut. Tujuan: Di Indonesia saat ini belum memiliki penanganan khusus guna menangani disfagia pada pasien post stroke, untuk itulah diperlukan review literatur mengenai disfagia post stroke sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan standar prosedur yang sesuai terkait penatalaksanaan disfagia pada pasien post stroke. Metode: Literature Review. EBSCOHost, Sage Premier Journal, ScienceDirect, dan SpringerLink merupakan database yang digunakan dalam review ini. Terminologi yang digunakan untuk pencarian artikel yaitu “dysphagia”, “post stroke”, “management”, dan “impaired swallowing”. 45 artikel ilmiah berhasil ditemukan berdasarkan proses pencarian literatur, namun setelah dilakukan seleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan maka didapatkan 23 artikel ilmiah yang selanjutnya digunakan sebagai sumber pustaka dalam tinjauan literatur ini. Kesimpulan : Prinsip penatalaksaan disfagia post stroke yaitu memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan pasien, mencegah komplikasi, serta menjaga dan meningkatkan fungsi menelan yang dimiliki pasien. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien disfagia post stroke antara lain pengaturan posisi tubuh, modifikasi nutrisi terkait tekstur dan viskositas, pemberian nutrisi enteral, neuromuscular electrical stimulation, serta repetitive transcranial magnetic stimulation. Kata kunci:
disfagia, kesulitan menelan, stroke ABSTRACT
Introduction: Dysphagia is a frequent complication experienced by stroke patients. Aspiration pneumonia, dehydration, malnutrition, prolonged length of stay in hospital, the high cost of care, as well as the decline in quality of life is a variety of losses caused by its complications. Aim: Indonesia currently do not have any special treatment to handle post-stroke dysphagia patients. Therefore, it is necessary reviews literature on dysphagia post-stroke as consideration to establish the appropriate standards of procedures to manage the patients with post-stroke dysphagia. Methods: Literature Review.EBSCOHost, Sage Premier Journal, ScienceDirect, and SpringerLink is a database used in this review. The terminology used to search the article is "dysphagia", "post-stroke", "management", and "impaired swallowing". 45 scientific articles were found by searching the literature, but after selection based on predetermined criteria, 23 scientific articles were obtained which subsequently used as a source of literature in this literature review. Conclusion: Principles of management of dysphagia post-stroke is to meet the patient's nutritional and fluid needs, prevent complications, as well as maintain and improve patient’s swallowing function. Management can be conducted in patients with dysphagia post-stroke including body position arrangement, modifications of nutrition, enteral nutrition, neuromuscular electrical stimulation and repetitive transcranial magnetic stimulation. Keywords: dysphagia, impaired swallowing, stroke
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│36
.
1. PENDAHULUAN Salah satu komplikasi yang menyertai penyakit stroke adalah disfagia post stroke. Disfagia post stroke merupakan kondisi di mana seseorang mengalami kesulitan ataupun rasa tidak nyaman saat menelan sesaat setelah [1] mengalami serangan stroke. Insidensi terjadinya disfagia post stroke adalah sekitar 14% - 94%. Tingginya angka insidensi tersebut berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien dan memperpanjang lama rawat akibat dehidrasi, malnutrisi, serta komplikasi [2] paru. Komplikasi paru yang sering terjadi akibat disfagia post stroke adalah pneumonia aspirasi. Hal tersebut didukung oleh data National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) yang menunjukkan bahwa sebanyak 43% 50% pasien stroke mengalami pneumonia aspirasi dengan tingkat [3] mortalitas mencapai 45%. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebanyak 30% - 50% pasien mengalami pneumonia aspirasi pada saat fase akut stroke, sedangkan 5% pasien mengalami pneumonia aspirasi pada saat fase kronik, disamping itu terdapat silent aspiration yang terjadi pada 38% - 48% pasien setelah dua sampai tiga bulan pasca [4] serangan stroke. Untuk itulah diperlukan penanganan yang tepat guna mencegah dan mengatasi disfagia post stroke. Stroke Association menjelaskan bahwa tujuan penanganan disfagia pada pasien post stroke adalah untuk memperbaiki koordinasi sistem syaraf dan otot yang berfungsi untuk proses menelan, untuk meningkatkan safety saat proses menelan dan mencegah aspirasi, serta untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan cairan pasien, yang pada akhirnya berdampak positif [5] terhadap kualitas hidup pasien. Beberapa contoh metode untuk menangani disfagia post stroke yaitu penyesuaian posisi tidur pasien, pemberian nutrisi dan cairan dengan viskositas yang sesuai, oropharingeal exercise, swallowing manuever, serta [3] stimulasi termal. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tindakan penanganan yang dilakukan harus sesuai dengan hasil pengkajian terhadap kondisi pasien. Pengkajian tersebut dapat
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
dilakukan melalui pemeriksaan fisik maupun melalui penilaian dengan menggunakan instrumen. Kedua hal tersebut harus dilakukan untuk mengetahui tingkat keparahan penyakit dan kebutuhan terkait penanganan yang [6] sesuai. Di Indonesia, saat ini belum memiliki penanganan khusus guna menangani disfagia pada pasien post stroke. Pasien bahkan tetap diberikan bubur sumsum yang beri kuah larutan gula tanpa ada modifikasi tekstur dan viskositas pada diit. Hal tersebut tentu dapat meningkatkan resiko aspirasi pada pasien. Berdasarkan fakta dan penjelasan sebelumnya, maka penting untuk dilakukan eksplorasi lebih jauh tentang disfagia post stroke sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan standar prosedur yang sesuai terkait pencegahan dan penanganan resiko aspirasi pada pasien disfagia post stroke. 2. METODE Artikel-artikel yang digunakan dalam literatur ini didapatkan dari beberapa sumber data online seperti EBSCOHost, Sage Premier Journal, ScienceDirect, dan SpringerLink dengan menggunakan terminologi “dysphagia”, “post stroke”, “management”, dan “impaired swallowing”. Terminologiterminologi tersebut digunakan secara kombinasi (saling dipasangkan) agar artikel yang ditemukan menjadi lebih spesifik. Artikel yang digunakan sebagai literatur harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) isi artikel mengacu pada disfagia post stroke dan penatalaksanaannya; 2) artikel dapat berupa telaah literatur maupun artikel penelitian; 3) penerbitan artikel mulai tahun 2004 sampai tahun 2014. Empat puluh lima artikel ilmiah berhasil ditemukan berdasarkan pencarian menggunakan terminologi yang telah ditentukan. Artikel-artikel tersebut kemudian dilakukan seleksi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sehingga didapatkan hasil yaitu sebanyak 23 artikel ilmiah untuk selanjutnya digunakan sebagai sumber pustaka dalam tinjauan literatur ini. 3. PEMBAHASAN 3.1 Disfagia post stroke
│37
Disfagia merupakan kondisi dimana seseorang mengalami kesulitan dalam menelan ataupun memindahkan makanan atau minuman dari mulut ke [7] perut. Lebih lanjut Stroke Association mendefinisikan disfagia post stroke sebagai komplikasi penyakit stroke yang terjadi akibat gangguan pada bagian otak yang mengatur proses menelan sehingga menyebabkan pasien mengalami kesulitan ataupun nyeri pada saat minum, mengunyah, dan menelan [5] makanan. 3.2 Patofisologi disfagia post stroke Respon menelan dihasilkan oleh pusat menelan yaitu Central Pattern Generator (CPG) di medulla oblongata. CPG yang berupa jaringan neuronal yang menerima input dari korteks serebri dan dari input sensori perifer yaitu dari laring dan faring. Area kortikal dan subkortikal memungkinkan tubuh untuk menerima rangsangan untuk deglusi, mengontrol respon saraf motorik dan melakukan proses menelan secara aman. Secara spesifik, area otak yang terlibat dalam proses menelan meliputi kaudolateral, korteks sensorikmotorik, premotor, orbitofrontal dan konteks temporopolar, insula, serebellum, serta amygdala. Area-area tersebut berada pada kedua lateral otak, namun memiliki fungsi independen [8] dengan kewenangan yang asimetris. Lebih lanjut Stroke Association menjelaskan bahwa disfagia post stroke merupakan akibat dari kerusakan pada pharyngeal cortex â&#x20AC;&#x153;dominanâ&#x20AC;? yang berguna untuk memproses input dari saraf sensori perifer yang berguna untuk merangsang respon menelan awal secara involunter dan memicu untuk proses menelan. Kerusakan tersebut mengakibatkan rangsangan yang ditransmisikan melalui cabang maksila dari saraf trigeminal, cabang faring melalui saraf glosofaringeal, dua cabang dari saraf vagus, serta saraf laring superior menjadi tidak efektif. Komplikasi yang sering terjadi pada pasien disfagia post stroke adalah aspirasi. Penyebab terjadinya aspirasi adalah terkait dengan lambatnya penutupan vestibulum faring dan lambatnya pembukaan spinkter eshofagus bagian atas. Selain itu pada pasien stroke sering disertai adanya penurunan rangsangan sensori pada
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
saraf laringofaring sehingga pasien cenderung mudah tersedak. Kemungkinan terkait prognosis yang dialami adalah sebanyak 50% pasien mengalami kesembuhan spontan selama seminggu pertama setelah terjadinya serangan stroke, sedangkan 50% yang lain mengalami penyembuhan disfagia yang memanjang bahkan mengalami disfagia yang [5] menetap. 3.3 Tanda dan gejala disfagia post stroke Tanda dan gejala yang sering muncul pada pasien disfagia post stroke meliputi ketidakmampuan untuk menelan, kesulitan dalam mengunyah dan menelan makanan, batuk, ataupun tersedak sebelum maupun saat menelan, kesulitan dalam menjaga makanan agar tetap berada di dalam mulut, mengeluarkan air liur, suara serak, serta merasa makanan tersumbat [5] di tenggorokan. Selain tanda dan gejala diatas, tanda dan gejala lain yang sering muncul yaitu menurunnya gag refleks, ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas, dan [6] disfraksia. 3.4 Pengkajian dan penatalaksanaan a. Pengkajian Sebelum memberikan nutrisi peroral, seorang perawat harus melakukan pengkajian terkait kesulitan menelan yang dialami pasien. Pengkajian tersebut dapat dilakukan dengan tes menelan menggunakan air ataupun makanan kemudian perawat dan dokter mengamati apakah terdapat [6] gejala aspirasi pada pasien. Volume air yang digunakan dalam tes menelan tersebut yaitu dimulai dari 3 ml, 5 ml, 10 ml, 30 ml, sampai 60 ml tergantung dari tingkat kesulitan menelan yang dialami pasien. Kondisi lain yang juga perlu diperiksa adalah adanya disfraksia, kelemahan otot wajah, kelemahan otot faring dan laring, batuk, sesak nafas, serta perubahan suara pasien (suara [9] parau). Sejalan dengan pendapat sebelumnya, Stroke Foundation menjelaskan mengenai pengkajian terkait kesulitan menelan yaitu antara lain: 1) memeriksa kekuatan dan kemampuan koordinasi otot-otot yang berfungsi dalam proses mengunyah dan menelan; 2) memeriksa kemampuan
â&#x201D;&#x201A;38
.
mengunyah dan menelan pasien menggunakan sedikit makanan dan minuman; 3) menggunakan pencitraan x-ray (videoflouroscopy) untuk melihat apakah makanan dan minuman mampu tertelan dengan baik; serta 4) menggunakan pencitraan fibreoptik endoscopic evaluation of swallowing 10 (FEES) . Pemeriksaan menggunakan teknik pencitraan baik melalui videoflouroscopy maupun FEES berguna untuk melihat adanya silent aspiration yang tidak mampu teridentifikasi melalui pemeriksaan [6] klinis. b. Penatalaksanaan disfagia post stroke Prinsip penatalaksaan disfagia post stroke antara lain: 1) memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan pasien; 2) mencegah komplikasi terutama aspirasi; 3) menjaga dan meningkatkan fungsi [9] menelan yang dimiliki pasien. Lebih lanjut dijelaskan mengenai strategi penatalaksanaan disfagia post stroke antara lain: - Pengaturan posisi tubuh Pengaturan posisi tubuh digunakan untuk menjaga jalan nafas agar tetap terbuka, mencegah aspirasi, mencegah refluks, mencegah infeksi dan pneumonia serta memberikan [11] kenyamanan pada pasien. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan dan kontraksi otot-otot yang berfungsi dalam proses menelan antara posisi supinasi dengan posisi duduk tegak, menurut penelitian ini posisi duduk tegak merupakan posisi yang terbaik saat makan untuk pasien [12] disfagia. Posisi yang aman saat makan bagi pasien disfagia yaitu sebagai berikut: 1) memberikan posisi duduk tegak (90 derajat) pada pasien dengan kepala sedikit kedepan dan dagu kebawah (fleksi leher); 2) jika kepala pasien tidak stabil maka dapat diberikan bantuan dengan menyangga dahi dengan tangan (cervical collar sebaiknya tidak digunakan karena dapat menghambat proses menelan); 3) untuk pasien yang tidak dapat duduk tegak maka dapat diberikan posisi high fowler, kepala dan leher dapat dibantu dengan penyangga sehingga leher sedikit fleksi;
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
4) jika pasien mengalami hemiplegi, maka hindari ekstensi leher dengan cara sedikit memiringkan kepala pasien kesisi yang tidak hemiplegi kemudian memutar kepala pasien pada sisi tubuh yang mengalami hemiplegi, untuk membantu pasien mendeteksi makanan yang berada di dalam mulut; 5) menyarankan pasien untuk menahan nafas sesaat sebelum menelan untuk menjaga pharyngeal clearance sehingga [11] mampu menurunkan resiko aspirasi. - Modifikasi nutrisi terkait tekstur dan viskositas Nutrisi merupakan komponen penting sebagai sumber energi yang berguna dalam proses penyembuhan. Tujuan dari modifikasi nutrisi pasien adalah untuk meningkatkan keamanan dalam proses menelan sehingga dapat mencegah terjadinya aspirasi untuk itu perlu diperhatikan terkait tekstur dan viskositas nutrisi yang diberikan pada [13] pasien. Lebih lanjut dijelaskan bahwa makanan semisolid berupa puding memiliki tekstur yang menyatu (blended) dan viskositas yang tepat sehingga sangat baik untuk nutrisi pasien dengan [14] disfagia. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang menjelaskan bahwa puding yang memiliki viskositas sebesar 3931,2 mPa s lebih baik dalam mencegah aspirasi dibandingkan dengan liquid yang memiliki viskositas [15] sebesar 20,4 mPa s. Selain itu, penggunaan peralatan makan yang adaptif sangat diperlukan untuk membantu pasien dalam mengkonsumsi nutrisi yang diberikan, mencegah cedera, meningkatkan kemandirian pasien, meningkatkan harga diri, serta membantu proses rehabilitasi jangka [11] panjang. -
Pemberian nutrisi enteral Pemberian nutrisi enteral melalui nasogastrictube (NGT) dilakukan apabila pasien benar-benar mengalami disfagia berat sehingga beresiko tinggi terjadi aspirasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menjelaskan bahwa pemasangan NGT pada pasien disfagia dapat menimbulkan ketidaknyamanan, meningkatkan resiko infeksi dan luka pada lambung, sehingga perlu pengkajian yang tepat guna memustuskan apakah pasien benar-
â&#x201D;&#x201A;39
benar layak untuk menerima nutrisi [16] secara enteral. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pasien yang terpasang NGT adalah sebagai berikut: 1) memposisikan pasien dengan posisi semifowler (30 derajat); 2) jika pasien dapat berkomunikasi, maka tanyakan apakah pasien mengalami intoleransi gastrointestinal seperti mual, perut terasa penuh, ataupun kram perut. Jika pasien mengalami tanda-tanda tersebut maka perawat harus waspada terhadap kemungkinan regurgitasi dan aspirasi isi lambung; 3) mengukur volume residual lambung sesaat sebelum makan maupun setiap 4 sampai 6 jam untuk mengetahui adanya intoleransi gastrointestinal pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi; 4) penggunaan agen promotility perlu dipertimbangkan jika pasien memiliki volume residu [17] lambung ≥ 250 ml. - Neuromuscular electrical stimulation Neuromuscular electrical stimulation (NMES) merupakan terapi dengan menggunakan arus listrik yang rendah pada transcutaneous melalui elektroda untuk merangsang neuromuscular juction sehingga mampu menciptakan kontraksi otot. NMES pada pasien disfagia dilakukan dengan menstimulasi otot kepala dan leher serta merangsang otot-otot yang lemah atau hemiparetik menggunakan pulsa listrik. NMES biasanya dikombinasikan dengan terapi menelan menggunakan makanan dengan tekstur dan viskositas yang [18] aman bagi pasien. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menjelaskan bahwa terapi NMES mampu meningkatkan kekuatan otot thyrohyoid sehingga berdampak positif terhadap kemampuan menelan pada pasien disfagia. Kelebihan lain dari terapi NMES yaitu NMES merupakan terapi noninvasif yang dapat menurunkan resiko perdarahan, infeksi, nyeri dan kecemasan pasien sehingga dapat menjadi terapi alternatif yang [19] menguntungkan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam terapi ini, pasien mendapatkan stimulasi NMES yang ditransmisikan pada elektrode menuju otot dasar rahang dengan frekuensi 80 Hz. Setiap stimulasi tersebut dilakukan selama 4
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
detik untuk memicu pasien menelan ludah dengan mudah sebanyak 60 kali. Rata-rata arus listrik NMES yang digunakan pada laki-laki adalah 18±4,7 mA, sedangkan pada perempuan [20] sebesar 17,12±3,0 mA. - Repetitive transcranial magnetic stimulation Repetitive transcranial magnetic stimulation (rTMS) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1985. RTMS merupakan sebuah terapi noninvasif menggunakan alat yang dapat memancarkan medan magnet dan mentransmisikan arus listrik tegangan rendah (elektromagnetik) melalui tengkorak sehingga mempengaruhi fungsi saraf otak. Terapi rTMS dilakukan dengan menempatkan alat yang berupa kumparan kecil dengan diameter 9 cm diatas kulit kepala kemudian medan elektromegnetik yang dihasilkan oleh alat tersebut mampu menembus kulit kepala dan tengkorak yang pada akhirnya dapat menstimulasi saraf [8] melalui korteks serebri. Prosedur terapi NMES yaitu pasien diposisikan duduk dengan nyaman dan dipasang alat rTMS diatas oesophageal cortical area pada hemisfer yang terpengaruh selama 10 menit pada 5 hari berturut-turut. Setiap sesi dalam satu hari terdiri dari 10 kali stimulasi yang masing-masing berlangsung selama 10 detik dan diulang setiap menit menggunakan frekuensi 3 Hz. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang menjelaskan bahwa terapi rTMS pada pasien disfagia post stroke dapat meningkatkan kemampuan motorik dan koordinasi dalam proses menelan sehingga mampu menurunkan resiko [22] aspirasi secara signifikan. Hal tersebut diperkuat juga oleh penelitian yang menyebutkan bahwa terapi rTMS dapat meningkatkan koordinasi sarafotot laring dan faring, memperbaiki reflek menelan, serta meningkatkan fungsi menelan sehingga rTMS dapat menjadi alternatif terapi bagi pasien [23] disfagia post stroke. 4. KESIMPULAN Aspirasi merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien disfagia post stroke. Pengkajian dan penanganan yang tepat harus dilakukan
│40
.
untuk mencegah aspirasi pada pasien disfagia post stroke. Perawat harus melakukan bedside clinical examination dan instrumental investigation untuk mengidentifikasi resiko aspirasi pada pasien. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien disfagia post stroke antara lain pengaturan posisi tubuh, modifikasi nutrisi terkait tekstur dan viskositas, pemberian nutrisi enteral, neuromuscular electrical stimulation, serta repetitive transcranial magnetic stimulation. DAFTAR PUSTAKA 1. Andersen UT, Beck AM, Kjaersgaard A, Hansen T, Poulsen I. Systematic review and evidence based recommendations on texture modified foods and thickened fluids for adults (≥18 years) with oropharyngeal dysphagia. ESPEN J. 2013;8:e127–e134. 2. Langdon PC, Lee AH, Binns CW. Dysphagia in acute ischaemic stroke: Severity, recovery and relationship to stroke subtype. J Clin Neurosci. 2007;14:630–4. 3. Huang KL, Liu TY, Huang YC, Leong CP, Lin WC, Pong YP. Functional outcome in acute stroke patients with oropharyngeal dysphagia after swallowing therapy. J Stroke Cerebrovasc Dis. 2014;1– 7. 4. Kojima A, Imoto Y, Osawa Y, Fujieda S. Predictor of rehabilitation outcome for dysphagia. Auris Nasus Larynx. 2014;41:294–8. 5. Stroke Association. Swallowing problems after stroke. [serial online]. 2012. [cited 2014 Nov 28]. Available from: URL: http://www.stroke.org.uk/sites/defaul t/files/Swallowing%20problems%20 after%20stroke.pdf 6. Singh S, Hamdy S. Dysphagia in stroke patients. Postgrad Med J. 2006;82:383–91. 7. Zargaraan A, Rastmanesh R, Fadavi G, Zayeri F, Mohammadifar MA. Rheological aspects of dysphagia-oriented food products: A mini review. Food Sci Hum Well. 2013;2:173–8. 8. Rofes L, Vilardell N, Clave P. Poststroke dysphagia: progress at last. J
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Neurogastroenterol Motil. 2013;25:278–82. Teasell R, Folley N, Martino R, Richardson M, Bhogal S, Speechley M. Dysphagia and aspiration following stroke. [serial online]. 2013. [cited 2014 Nov 27]. Available from: URL: http://www.ebrsr.com/sites/default/fil es/Chapter15_Dysphagia_FINAL_1 6ed.pdf Stroke Foundation. Swallowing problems after stroke. [serial online]. 2012. [cited 2014 Nov 27]. Available from: URL: http://strokefoundation.com.au/site/ media/FS15_Swallowing_web.pdf Corcoran AL. Nutrition and hydration tips for stroke patients with dysphagia. Nurs Times. 2005;101(48): 24–7. Kelly BN, Huckabee ML, Jones RD, Frampton CMA. Integrating swalloeing and Respiration: preliminary result of the effect of body position. J Med Speech Lang Pathol. 2007;15(4):347-55. Rowat A. Malnutrition and dehydration after stroke. Nursing Standard. 2011;26(14):42–6. Foley N, Teasell R, Salter K, Kruger E, Martino R. Dysphagia treatment post stroke: a systematic review of randomised control trials. Oxford J. 2008;37:258–64. Clave P, Kraa MDE, Arreola V, Girvent M, Farre R, Palomera E, et al. The effect of bolus viscosity on swallowing function in neurogenic dysphagia. Aliment Pharm Ther. 2006;24:1385–94. Dennis M. Effect of timing and method of enteral tube feeding for dysphagic stroke patients (FOOD): a multicentre randomised controlled trial. Lancet. 2005;365:764-72. Metheny NA. Preventing aspiration in older adults with dysphagia. Best Pract Nurs. 2012;(20). Langdon C, Blacker D. Dysphagia in stroke: a new solution. Stroke Res Treat. 2010;1-6. Lee KW, Kim SB, Lee JH, Lee SJ, Ri JW, Park JG. The effect of early omuscular electrical stimulation therapy in acute/subacute ischemic stroke patient with dysphagia.
│41
Annals of Rehabilitation Medicine. 2014;38:153-9. 20. Heck FM, Doeltgen SH, Huckabee ML. Effects of Submental Neuromuscular Electrical Stimulation on Pharyngeal Pressure Generation. Arch Phys Med Rehabil. 2012;93:2000–7. 21. Khedr EM, Elfetoh AN, Rothwell JC. Treatment of post-stroke dysphagia with repetitive transcranial magnetic stimulation. Acta Neurol Scand. 2009;119:155–61.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
22. Verin E, Leroi AM. Poststroke dysphagia rehabilitation by repetitive transcranial magnetic stimulation: a noncontrolled pilot study. Dysphagia. 2009;24:204-10. 23. Momosaki R. Bilateral repetitive transcranial magnetic stimulation combined with intensive swallowing rehabilitation for chronic stroke dysphagia: a case series study. Case Rep Neurol. 2014;6:603–6
│42
Tinjauan Pustaka
INTERVENSI KEPERAWATAN PADA PASIEN PENYAKIT KARDIOVASKULAR YANG MELAKSANAKAN LATIHAN AKTIVITAS FISIK REHABILITASI JANTUNG FASE I (INPATIENT) Nabila Chairani
1
1
Mahasiswa Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK Pendahuluan: Penatalaksanaan medis terhadap pasien penyakit kardiovaskular setelah kondisi akut teratasi dan status hemodinamik stabil dianjurkan mengikuti program pemulihan melalui program rehabilitasi jantung. Program rehabilitasi jantung merupakan program multifase yang dirancang untuk memulihkan gangguan jantung terutama gangguan pembuluh darah koroner jantung. Program ini meliputi latihan aktivitas fisik, konseling psikologis, dan terapi perilaku menuju gaya hidup sehat. Pada program rehabilitasi jantung fase I (inpatient) dilakukan edukasi terhadap pasien mengenai penyakitnya kemudian dilanjutkan dengan program latihan aktivitas fisik yang dapat dilakukan 48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat kontraindikasi. Latihan aktivitas fisik pada rehabilitasi jantung terbukti menurunkan angka mortalitas sebesar 27% pada pria dan wanita yang menderita penyakit infark miokardium, revaskularisasi dan angina. Tujuan: Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah mengidentifikasi intervensi keperawatan pada pasien penyakit kardiovaskular yang melaksanakan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I. Intervensi keperawatan yang dapat diterapkan yaitu teaching: prescribed activity/exercise dan cardiac care: rehabilitative. Kata kunci: latihan aktivitas fisik, rehabilitasi jantung fase I, penyakit kardiovaskular, intervensi keperawatan ABSTRACT Introduction: Medical management for patients with cardiovascular disease after acute condition is resolved and a stable hemodynamic status are encouraged to follow the recovery program through a cardiac rehabilitation program. Cardiac rehabilitation program is a multiphase program designed to restore cardiovascular disorders, especially coronary vascular disorders. The program includes physical activity, psychological counseling and behavioral therapy towards a healthier lifestyle. Phase-I (inpatient) cardiac rehabilitation program includes education about the disease and then continued with exercise program of physical activity that can be done 48 hours after cardiac disorders along there are no contraindications to physical activity. Cardiac rehabilitation have proven to reduce mortality by 27% in men and women who suffering from myocardial infarction, revascularization and angina. Aim : The purpose of this literature review identified nursing interventions in patients with cardiovascular disease who carried out physical activity in phase-Icardiac rehabilitation.Nursing interventions following for physical activity in phase Icardiac rehabilitation is teaching: prescribed activity/ exercise and cardiac care: rehabilitative. Keywords: physical activity, phase- I cardiac rehabilitation, cardiovascular disease, nursing interventions
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;43
1. PENDAHULUAN Penyakit kardiovaskular merupakan gangguan pada jantung dan pembuluh darah termasuk penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, infark miokardium, penyakit vaskular periferal dan penyakit jantung [12] lainnya. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kematian di dunia dan 3 dari 10 kematian di dunia [19] disebabkan oleh penyakit ini. Pada tahun 2012 sebanyak 17,5 juta orang meninggal dan diperkirakan pada tahun 2030 lebih dari 23,3 juta orang meninggal akibat penyakit [18] kardiovaskular. Prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia sebesar 1,5%.Sedangkan prevalensi gagal [7] jantung di Indonesia sebesar 0,13% . Penatalaksanaan medis terhadap pasien penyakit kardiovaskular setelah kondisi akut teratasi dan status hemodinamik stabil dianjurkan mengikuti program pemulihan melalui program rehabilitasi jantung. Program rehabilitasi pada penderita gangguan jantung merupakan program multifase yang dirancang untuk memulihkan gangguan jantung terutama gangguan pembuluh darah koroner jantung. Program ini meliputi latihan aktivitas fisik, konseling psikologis, dan terapi perilaku menuju [14] gaya hidup sehat. Program ini bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi jantung, menghilangkan masalah psikologis, dan meningkatkan kualitas [1] hidup pasien. Program rehabilitasi jantung terdiri dari empat fase, yaitu fase I selama pasien dirawat di rumah sakit yang difokuskan pada ambulasi dini dan pendidikan kesehatan. Fase II segera setelah pasien keluar rumah sakit yang dilakukan dalam pengawasan tim rehabilitasi. Fase III segera setelah fase II masih dalam pengawasan dan fase IV merupakan fase pemeliharaan jangka [6] panjang. Rujukan untuk program rehabilitasi jantung diindikasikan kelas I (berguna dan efektif) pada sebagian besar pedoman tata laksana klinis penyakit jantung seperti pada pasien pasca sindroma koroner akut, angina pektoris kronis stabil, pasca operasi bedah pintas koroner (Coronary Artery Bypass Graft/ CABG), pasca intervensi
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
koroner perkutan (PCI), pasca PTCA (Percutaneus Transluminal Coronary Angioplasty), gagal jantung, penyakit jantung katup, dan penyakit arteri [16] perifer. Tujuan program rehabilitasi jantung akan tercapai bila terdapat tiga komponen penting dalam perencanaan dan implementasi program. Komponen tersebut yaitu penerapan konsep rehabilitasi dini, pendidikan kesehatan bagi pasien beserta keluarganya, dan kesiapan staf pelaksana dalam [9] penanganan pasien. Program rehabilitasi dini dilakukan sejak pasien masih dirawat di rumah sakit yang termasuk dalam program rehabilitasi fase I (inpatient). Tujuan dari rehabilitasi pada fase I adalah mempercepat proses pemulihan dan meminimalisasi risiko dari istirahat berkepanjangan dan imobilisasi, seperti deep venous [8] thrombosis dan pelemahan otot. Penerapan rehabilitasi dini terbukti aman dan tidak ditemukan peningkatan angka reinfark ataupun mortalitas. Rehabilitasi dini mampu memulihkan berbagai gangguan akibat tirah baring yang lama (penurunan kapasitas fungsi, penurunan kekuatan otot, ansietas, dan [17] hipotensi ortostatik). Pasien yang melaksanakan program rehabilitasi dini merasa lebih segar, serta mampu mengerjakan aktivitas sehari-hari dan [17] berolahraga. Manfaat dari program rehabilitasi jantung fase I yaitu menurunkan angka morbiditas maupun mortalitas, menurunkan depresi dan kecemasan pasien, serta waktu [9] perawatan pasien lebih singkat. Melalui program ini pasien pasca CABG atau pasca angioplasti balon hanya memerlukan perawatan selama 10 [17] hari. Pada program rehabilitasi jantung fase I (inpatient) dilakukan edukasi terhadap pasien mengenai penyakitnya kemudian dilanjutkan dengan program latihan aktivitas fisik yang dapat dilakukan 48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak [1] terdapat kontraindikasi Latihan aktivitas fisik pada rehabilitasi jantung terbukti menurunkan angka mortalitas sebesar 27% pada pria dan wanita yang
â&#x201D;&#x201A;44
menderita penyakit infark miokard, [13] revaskularisasi dan angina. Evaluasi program latihan aktivitas fisik dilakukan pada akhir fase I, yang mencakup perubahan aspek fisik meliputi keluhan angina berkurang, adanya perbaikan kapasitas fungsional; perubahan aspek mental seperti pasien tampak tenang; dan perubahan aspek pengetahuan berupa kepatuhan menjalani program [9] latihan. Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan pasien penyakit kardiovaskular. Masalah keperawatan yang dapat ditegakkan pada pasien yaitu risiko intoleransi aktivitas, ansietas, [6] dan defisit pengetahuan. Intervensi keperawatan (Nursing Intervention Classification) pada pasien penyakit kardiovaskular yang melaksanakan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I yaitu cardiac care: rehabilitative [4] dan teaching: activity/ exercise. 2. PEMBAHASAN 2.1 Latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I Program latihan aktivitas fisik dapat dilakukan setelah 48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat kontraindikasi. Program latihan aktivitas fisik rehabilitatif bagi penderita gangguan jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan, dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum [1] mengalami gangguan jantung . Program latihan dapat meningkatkan toleransi aktivitas pada wanita dan pria pada semua usia 1 termasuk usia diatas 75 tahun .Latihan aktivitas fisik juga menurunkan gejala angina, gejala gagal jantung, dan meningkatkan clinical measurement [6] pada iskemia. Selain memiliki manfaat vital, latihan fisik pada pasien gangguan jantung dapat pula mencetuskan serangan ulang. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, latihan fisik dikontraindikasikan pada keadaaan tertentu. Sebab itu, sebelum pasien memulai program latihan aktivitas fisik,
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
pasien harus mendapatkan [1] rekomendasi dari dokter. Indikasi relatif untuk memulai latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung [11] fase I yaitu: a. Gagal jantung terkompensasi minimal selama 3 minggu b. Dapat berbicara tanpa dispnea (RR <30 kali permenit) c. HR rest <110 kali permenit d. Tidak merasa kelelahan e. Indeks jantung â&#x2030;Ľ2.1 L/min/m2 atau CVP <12 mmHg Kontraindikasi latihan aktivitas [1] fisik rehabilitasi jantung fase I yaitu: a. Angina tidak stabil b. Tekanan darah sistolik istirahat > 200 mm Hg atau diastolik istirahat >100 mmHg c. Hipotensi ortostatik sebesar â&#x2030;Ľ 20 mmHg d. Stenosis aorta sedang sampai berat e. Gangguan sistemik akut atau demam f. Disritmia ventrikel atau atrium tidak terkontrol g. Sinus takikardia (>120 denyut/menit) h. Gangguan jantung kongestif tidak terkontrol i. Blok atrio ventrikular j. Miokarditis dan perikarditis aktif k. Embolisme l. Tromboflebitis m. Perubahan gelombang ST (>3mm) n. Diabetes tidak terkontrol f. Masalah ortopedis yang menganggu istirahat. 2.2 Peresepan latihan aktivitas fisik (exercise prescription) rehabilitasi jantung fase I Program latihan aktivitas fisik disusun berdasarkan tingkat kesadaran dan kebutuhan individual pasien (status medis, profil faktor risiko, stabilitas muskuloskeletal, motivasi terhadap latihan, dan hasil EKG). Program latihan sebaiknya dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut nadi, perceived exertion maupun prediksi METs (Metabolic Equivalents). Metode METs dapat menilai kebutuhan latihan dan [1] aktivitas pasien. Satu METs menunjukkan kebutuhan oksigen individu saat istirahat atau setara
â&#x201D;&#x201A;45
[6]
dengan 3,5 ml O2/kg/ menit. Peningkatan acupan oksigen baru dapat diperoleh secara maksimal bila latihan dinamis dilakukan selama 15â&#x20AC;?60 menit, tiga hingga lima kali dalam seminggu dengan intensitas 50 â&#x20AC;&#x201C; 80% dari kemampuan maksimalnya, dan disertai waktu singkat untuk pemanasan dan [8] pendinginan. Protokol pelaksanaan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung bersifat submaksimal atau dibatasi terhadap keluhan. Protokol submaksimal memiliki hasil akhir yang telah ditentukan, yaitu denyut jantung maksimal 120 denyut per menit atau 70 % dari perkiraan denyut jantung [8] maksimal, atau setinggi 5 METs. Latihan aktivitas fisik dilakukan terbatas pada intensitas ringan dan tidak menyebabkan kelelahan. Bentuk latihan dapat berupa aktivitas perawatan diri, latihan sederhana seperti ROM (range of motion), dan terapi fisik ambulasi yang diawasi misalnya berjalan, bersepeda, latihan ergometri lengan dan [6] aquatic exercises. Latihan aktivitas fisik diresepkan berdasarkan bentuk, intensitas, durasi, dan frekuensi latihan. Intensitas latihan berkisar antara 1-3 METs, HR (heart rate) selama latihan tidak melebihi 20x/ menit HR selama istirahat. Skala perceived exertion tidak lebih dari 11 (light exertion) berdasarkan 6-20 skala Borg. Durasi latihan selama 3-5 menit dan ditingkatkan hingga 15 menit. Frekuensi latihan di ICU adalah 3-4 sesi perhari dan diikuti dengan 1-2 sesi [11] perhari di departemen terapi fisik. Tes yang dibatasi gejala dibentuk untuk terus melaksanakan latihan hingga munculnya tanda dan gejala yang memaksa dihentikannya tes, protokol yang paling sering dipergunakan adalah modified Bruce, modified Naughton dan Bruce [8] standard. Tes sederhana lain yang sering dilaksanakan yaitu 6 minute walk test. Tes ini bertujuan untuk mengkaji kapasitas fungsional pasien dengan melihat jarak tempuh dalam sejumlah waktu tertentu. Walk test dilakukan pada awal dan akhir program latihan untuk mengkaji kemampuan pasien berjalan dalam waktu enam menit, perkiraan METs, keluhan selama latihan, waktu
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
istirahat serta pengukuran tekanan [3] darah dan frekuensi denyut nadi. Pasien perlu monitoring ketat untuk melihat timbulnya tanda dan gejala iskemik miokardium, ventrikular disritmia atau kriteria-kriteria yang menyebabkan latihan aktivitas fisik perlu dihentikan. Latihan aktivitas fisik harus dihentikan jika terdapat tanda dan gejala [6] berikut yaitu: a. Kelelahan, pusing, dispnea dan mual b. Perubahan ritme jantung c. Gejala angina d. Penurunan denyut nadi lebih dari 10 kali/ menit e. Penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg f. Peningkatan denyut nadi lebih dari 20 kali/ menit untuk pasien infark miokardium g. Peningkatan tekanan darah lebih dari batas yang dianjurkan saat exercise testing sebelumnya Latihan pada fase ini menuntut kesiapan tim yang dapat mengatasi keadaan gawat darurat apabila pada [1] saat latihan terjadi serangan jantung. Apabila terjadi gejala gangguan jantung, ortopedik maupun neuromuskular perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap [1] program latihan. Rehabilitasi pada pasien yang disertai komplikasi dilakukan apabila komplikasi sudah dapat diatasi dan setiap tahap memerlukan waktu yang lebih lama. Program aktivitas fisik yang terarah dan teratur akan meningkatkan kapasitas kerja fisik yang baik sehingga lebih banyak pekerjaan yang dapat dilakukan [5] pasien. 2.3 Pelaksanaan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I Program rehabilitasi jantung fase I terdiri dari edukasi pasien dan mobilisasi pasien rawat inap (latihan [10] aktivitas fisik). Topik edukasi pasien rawat inap yaitu: a. Penjelasan mengenai penyakit jantung, pengobatan, prosedur yang akan dilakukan b. Perubahan fisik dan sosial akibat penyakit, seperti pekerjaan, mengemudi, dan aktivitas sosial c. Penjelasan mengenai program rehabilitasi
â&#x201D;&#x201A;46
d. Penjelasan mengenai obat-obatan kardiovaskular (indikasi, efek samping dan sebagainya) e. Penjelasan mengenai modifikasi faktor risiko, nutrisi/ diet, target berat badan dan tekanan darah, target aktivitas fisik f. Penjelasan manajemen nyeri dada saat di rumah g. Penjelasan mengenai program rehabilitasi di rumah Program mobilisasi (latihan aktivitas fisik) membantu mengembalikan tingkat aktivitas pasien hingga mandiri. Program ini harus ditinjau secara teratur dan memandu pasien untuk melewati stage 1-6. Pada beberapa situasi stage latihan dapat [10] tercapai pada satu hari saja. Program latihan aktivitas fisik pada pasien rawat inap yaitu: Stage 1
-
2
-
3
-
-
Latihan aktivitas fisik Ke toilet dengan kursi roda Perawat memandikan pasien di kursi roda Dari toilet dengan kursi roda Duduk di kursi saat makan Mobilisasi tangan dan kaki seperti dicontohkan Ke toilet dengan kursi roda Perawat memandikan pasien di kursi roda Dari toilet dengan kursi roda Duduk di kursi saat makan Mobilisasi tangan dan kaki seperti dicontohkan Berjalan perlahan 1-2 menit 2x sehari Pasien dapat mandi sendiri sambil duduk Berjalan ke toilet sendiri jika perlu Duduk di kursi sesering mungkin sesuai kehendak pasien Berjalan perlahan 2-3 menit 2x sehari
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
4
-
5
-
6
-
Mandi sendiri (berdiri) Berjalan biasa 3-4 menit 2x sehari Sebagai tambahan pasien dapat berjalan sendiri atas keinginan pasien Mandi sendiri Berjalan biasa 4-5 menit 2x sehari Mendaki 1 set tangga dengan supervisi dari perawat/ fisioterapis Mandi sendiri Berjalan biasa 10 menit 2x sehari Mendaki 2 set tangga dengan supervisi dari perawat/ fisioterapis
2.4 Diagnosis keperawatan, tujuan terapeutik, dan intervensi keperawatan pada pasien rehabilitasi jantung fase I Kategori diagnostik NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) yang relevan pada pasien dengan uncomplicated disease seperti infark miokardium dan pasca angioplasti yaitu risiko intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan pola latihan aktivitas, ansietas, dan defisit [6] pengetahuan. Diagnosis keperawatan yang mungkin muncul pada pasien kardiovaskular (kematian jantung mendadak atau memiliki kondisi jantung yang parah, gagal jantung kongestif, aritmia ventrikular yang serius atau aritmia komleks, disfungsi ventrikular kiri, iskemik miokardium, dan perubahan spesifik EKG dengan latihan) yaitu intoleransi aktivitas, penurunan curah jantung, dan perubahan perfusi [6] jaringan. Tujuan dilaksanakan rehabilitasi jantung fase I adalah mengurangi risiko dengan monitoring intensif, diagnosis segera, dan penanganan terhadap masalah dan komplikasi, rekondisi melalui mobilisasi (latihan aktivitas fisik), serta kembali ke [6] komunitas. Intervensi keperawatan (Nursing Intervention Classification) pada pasien dengan uncomplicated disease adalah cardiac care,cardiac care: rehabilitative, teaching: disease process, teaching:
â&#x201D;&#x201A;47
prescribed diet, teaching: prescribed activity/ exercise, teaching: individual, dan teaching: pescription management. Sedangkan pada pasien dengan berbagai masalah jantung yang berat adalahcardiac precautions,cardiac care: acute, dysrythmia management, shock management: cardiac, dan [6] haemodynamic regulation. Intervensi keperawatan yang relevan selama rehabilitasi jantung fase [6] I yaitu: 1. Monitor a. Status jantung meliputi preload, afterload, perfusi (angina dan perubahan gelombang ST), konduksi (interval PT memanjang, frekuensi PV, ektopi mendekati T) b. Tekanan darah, parameter hemodinamik (CVP, PCWP, PAP, CO, indeks jantung, left ventricular work load index jika diperlukan) c. Intake dan output, output urin, berat badan harian jika diperlukan + 2+ d. Elektrolit (K , Mg ) jika diperlukan e. Oxygen delivery deficit (PaO2, hemoglobin, CO) jika diperlukan f. Fungsi ginjal (BUN, CR) jika diperlukan g. Fungsi hati h. Pemeriksaan koagulasi (PT, PTT, platelet, fibrinogen, degradasi fibrin) jika diperlukan i. Efektivitas dan efek samping obat-obatan 2. Kaji a. Nyeri dada b. Suara jantung, irama jantung, denyut jantung, denyut nadi, CRT, temperatur, dan warna ekstremitas) c. Status neurologis d. Distensi vena jugular e. Edema periferal 3. Intervensi keperawatan lainnya a. Pertahankan monitoring jantung dan akses intrevena b. Periksa EKG c. Mengurangi nyeri/ iskemik d. Perbaiki defisit oksigen, keseimbangan asam basa, dan elektrolit e. Menyediakan lingkungan yang tenang dan mengurangi stresor eksternal
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
f. Berikan cairan intravena dan medikasi (vasodilator termasuk nitrat, diuretik, vasokonstriktor, inotropik) g. Tingkatkan preload yang optimal (nitrat dan posisi) h. Tingkatkan afterload reduction (vasodilator dan alat pompa jantung) i. Tingkatkan perfusi arteri koroner (MAP >60 mm/Hg, kontrol takikardia j. Cegah valsava maneuver (pelunak feses, antiemetik, dan tidak menggunakan termometer anal). k. Cegah DVT (Deep Venous Thrombosis) l. Pertahankan nutrisi (makan dengan frekuensi kecil, diet sehat, rendah kafein, natrium, kolesterol, dan lemak) m. Dokumentasi disritmia (frekuensi/ durasi, respon hemodinamik, adanya nyeri dan sinkop 2.5 Intervensi keperawatan pada pasien penyakit kardiovaskular yang melaksanakan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I Intervensi keperawatan pada pasien penyakit kardiovaskular yang melaksanakan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I berdasarkan NIC (Nursing Intervention Classification) [4] yaitu: 1. Teaching: prescribed activity/ exercise a. Menilai tingkat aktivitas dan pengetahuan pasien tentang latihan yang diresepkan b. Informasikan kepada pasien tentang tujuan, manfaat latihan c. Instruksikan kepada pasien tentang cara melaksanakan latihan d. Instruksikan kepada pasien tentang cara menilai toleransi terhadap aktivitas e. Instruksikan kepada pasien tentang aktivitas yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi pasien saat ini f. Instruksikan kepada pasien tentang cara meningkatkan latihan dengan aman
â&#x201D;&#x201A;48
g. Peringatkan kepada pasien tentang bahaya jika pasien menaksir kemampuannya terlalu tinggi h. Instruksikan kepada pasien tentang cara menjaga energi tubuh i. Instruksikan kepada pasien tentang pentingnya dan cara pemanasan dan pendinginan saat latihan j. Instruksikan kepada pasien tentang postur dan mekanik tubuh yang baik k. Bantu pasien dalam menjalankan latihan l. Libatkan keluarga m. Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi [5] Topik edukasi yang diberikan yaitu: a. Manfaat latihan b. Menetapkan target HR c. Menggambarkan fase latihan d. State slow down precaution Isi edukasi terdiri dari: a. Definisi aktivitas dan latihan b. Manfaat (fisiologis dan psikologis) c. Uji toleransi latihan (respon HR, respon tekanan darah, tanda dan gejala) d. Menetapkan target HR e. Energy expenditure (Metabolic equivalent/ METs: aplikasinya ke aktivitas sehari-hari;latihan: tingkat, interval, teknik menyimpan energi) f. Prinsip umum untuk latihan (dinamik/ isometrik; pemanasan dan pendinginan; periode, lokasi, dan waktu latihan; tindakan umum pencegahan) 2. Cardiac care: rehabilitative a. Monitor toleransi aktivitas pasien b. Pertahankan jadwal ambulasi sesuai dengan toleransi pasien c. Instruksikan kepada pasien dan keluarga tentang penanganan mandiri nyeri dada d. Instruksikan pasien dan keluarga untuk mengikuti regimen latihan termasuk pemanasan, daya tahan saat latihan (endurance), dan pendinginan e. Instruksikan kepada pasien dan keluarga untuk membatasi mengangkat atau mendorong benda berat f. Instruksikan kepada pasien dan keluarga tentang hal-hal yang harus diperhatikan saat melakukan
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
aktivitas sehari-hari (membatasi akivitas dan berisitirahat) 2.6. Peran perawat dalam tim rehabilitasi jantung Model kolaborasi tim rehabilitasi memungkinkan perawatan lebih terkoodinasi dan cost-effective. Tim rehabilitasi terdiri dari berbagai disiplin yang dibedakan berdasarkan pendidikan, professional expectations, dan tanggung jawab. Setiap anggota tim memiliki perspektif yang unik dan keahlian tertentu. Anggota tim bekerja sama menyeimbangkan kebutuhan pasien secara fisik, psikologis, emosional, spiritual, sosial, dan vokasional untuk mencapai outcomes yang optimal. Anggota tim rehabilitasi yang terlibat tergantung pada berbagai faktor, termasuk kebutuhan pasien dan penyedia pelayanan rehabilitasi. Contoh anggota tim rehabilitasi yaitu perawat, dokter, terapis okupasi, terapis fisik, psikiatri, neuropsikologis, ahli gizi, dan konselor spiritual. Peran perawat dalam [2] tim rehabilitasi jantung yaitu : a. Memberikan perawatan yang holistik pada pasien dan keluarga b. Membuat tujuan dan intervensi kolabotif dengan tim rehabilitasi yang menghasilkan kemungkinan outcome yang terbaik untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga c. Mempertahankan komitmen yang kuat kepada tim rehabilitasi d. Berpartisipasi dalam pertemuan tim dan menawarkan masukan dalam pembuatan keputusan e. Berkomunikasi dengan efektif dan berinteraksi dalam membangun tim f. Memberikan reinforcement terhadap anggota tim g. Mengoordinasikan aktivitas tim h. Mengevaluasi efektivitas rencana pengobatan secara berkelanjutan i. Memberikan advokasi pada pasien dan keluarga j. Berperan sebagai anggota tim rehabilitasi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan klinis yang dibutuhkan dalam memberikan perawatan pada pasien dengan disabilitas fisik dan penyakit kronik k. Saling bertukar pengetahuan.
â&#x201D;&#x201A;49
3. KESIMPULAN 1. Intervensi keperawatan yang dapat diterapkan pada pasien penyakit kardiovaskular yang melaksanakan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I yaitu teaching: prescribed activity/exercise dan cardiac care: rehabilitative. 2. Perawat berperan penting dalam tim rehabilitasi jantung yaitu menjadi koordinator perawatan serta berhubungan dengan pasien, keluarga/ caregiver, dan tenaga profesional untuk mengatasi masalah dan meningkatkan kemandirian pasien ke tingkat yang maksimal. DAFTAR PUSTAKA 1. Arovah, N. I. Program Latihan Fisik Rehabilitatif pada Penderita Penyakit Jantung 2012. Diakses dari http://staff.uny.ac.id. 2. Association of Rehabilitation Nurses. (2007). Role of the Nurse in the Rehabilitation Team An ARN Position Statement. Diakses pada 13 Januari 2015, dari www.rehabnurse.org/pdf/PSRole.pdf. 3. Babu, A. S., Noone, M. S., 1 Haneef, M., & Naryanan, S. M. Protocol-Guided Phase-1 Cardiac Rehabilitation in Patients with STElevation Myocardial Infarction in A Rural Hospital. Heart Views 2010 Jun-Aug; 11(2): 52–56. 4. Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. Nursing th Interventions Classification (NIC). 5 ed. Kidlington: Elsevier Global Right; 2008. 5. Derstine, J. B. & Hargrove, S. D. Comprehensive Rehabilitation Nursing. USA: Saunders Company; 2001. 6. Hoeman, S. P. Rehabilitation Nursing: Process, Application & Outcome. Canada: Mosby Inc; 2002 7. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Diakses dari http://www.litbang.depkes.go.id 8. Lubis, A. C. Jantung Paska Infark Miokard Departemen Kardiologi dan kedokteran vaskular FK USU 2009. Diakses dari http://repository.usu.ac.id.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
9. Mertha, I. M. Pengaruh Latihan Aktivitas Rehabilitasi Jantung Fase I terhadap Efikasi Diri dan Kecemasan Pasien Penyakit Jantung Koroner di RSUP Sanglah Denpasar. Thesis. Magister Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010. 10. National Heart Foundation of Australia. Recommended Framework for Cardiac Rehabilitation ’04 2004. Diakses dari http://heartfoundation.com.au. 11. Papathanasioui, G., Tsamis, N., Georgiadou, P., & Adamopoulos, S. Beneficial Effects of Physical Training and Methodology of Exercise Prescription in Patients with Heart Failure. Hellenic J Cardiol 2008, 49: 267-277. 12. Price, S. A & Wilson, L. M. Patofisiologi: Konsep Klinis ProsesProses Penyakit (Edisi ke-5). Jakarta: EGC; 2005. (1) 13. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Cardiac Rehabilitation A National Clinical Guideline. Edinburgh: SIGN Executive; 2002. 14. Tedjasukmana, D. Rehabilitasi Jantung 2010. Diakses dari http://kesehatan.kompasiana.com. 15. Udjianti, W. J. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta: Salemba Medika; 2010. 16. Wenger, N. K. Current Status of Cardiac Rehabilitation. Journal of American College of Cardiology 2008, 51(16), 19-31. 17. Yusuf, M. Y. Rehabilitasi Penyakit Jantung. Jurnal Universitas Wijaya Kusuma 2007, 1(1), 41-48. 18. World Health Organization. Cardiovascular Disease (CVDs) 2013. Diakses dari http://www.who.int/mediacentre/facts heets/fs317/en/. 19. World Health Organization. The Top Causes of Death 2014. Diakses dari http://www.who.int/mediacentre/facts heets/fs310/en/.
│50
Advertorial
DIABETES SELF MANAGEMENT APPLICATION (DSMA): APLIKASI MOBILE UNTUK MENINGKATKAN KEMANDIRIAN PERAWATAN DIRI PASIEN DIABETES MELITUS 1
1
1
Roma Radiah , Khoirunnisa D , Ratna S. Gandhana . 1
Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia
ABSTRAK Pendahuluan: Peningkatan komplikasi DM terjadi karena kurang efektifnya pengobatan DM di masyarakat. Pengobatan DM yang diinisiasi pemerintah pun belum efektif karena program yang dilakukan belum mampu menjangkau dan memandirikan penderita DM dalam menangani penyakitnya. Kemandirian penderita DM dapat didapatkan dari mana saja, salah satunya dari edukasi tenaga kesehatan terutama yang memahami penanganan dan perawatan DM. Dengan demikian perlu dibuat suatu metode untuk menghubungkan para tenaga kesehatan ahli DM yang terbatas jumlahnya dengan pasien DM yang membutuhkan mereka. Oleh karena itu penghubungan antara ahli DM dengan masyarakat diwujudkan dalam suatu aplikasi kesehatan berbasis mobile yang disebut dengan Diabetes Self Management Application (DSMA). Metode: Metode pengumpulan data dan informasi dalam penulisan karya tulis ini adalah dengan menggunakan studi pustaka atau literatur dan analisis. Hasil: Pemandirian penderita DM ditunjukkan dengan kemampuan aplikasi ini untuk membantu penderita DM memilih gaya hidup yang sehat, melakukan pengontrolan kadar gula darah dengan melakukan suntik insulin dengan tepat dan benar secara rutin, serta melakukan kontrol atau konsultasi khusus jika mengalami kondisi yang berbeda atau jangkal. DSMA mampu memandirikan penderita DM dalam merawat dirinya serta membantu penderita DM melakukan tindakan tertentu atau pengingat untuk melakukan kontrol ke klinik DM atau pusat pelayanan kesehatan tertentu jika mengalami kondisi yang berbeda. Kata kunci: ahli diabetes, DSMA, penderita diabetes, self care management ABSTRACT Introduction: Increased Diabetes Mellitus (DM) complications occur due to lack of effective treatment of diabetes in the community. DM treatment which was initiated by the government have not been effective because the programs that do not yet able to reach and be independent for diabetic patient in dealing with the disease. The independence of people with DM can be obtained from anywhere, including educating health workers, especially who understand the handling and caring of diabetes. Thus need to be made of a method for connecting the DM skilled health personnel are limited in number in patients with DM who require them. Therefore connection between DM expert with the community embodied in a mobile-based healthcare applications called DSMA (Diabetes Self Management Application). Methods: The method of collecting the data and information in the writing of this paper is using literature and literature analysis. Results: The independence of DM patient is shown by the ability of these applications to help people with diabetes choose a healthy lifestyle, controlling blood sugar levels by injecting insulin properly and correctly on a regular basis, and to exercise control or specialized consulting if experienced different conditions. DSMA able to be independent diabetic patient in taking care of themselves as well as helping people with diabetes take
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;51
a specific action or a reminder to do to control diabetes clinic or certain health care center if subjected to different conditions. Keywords: diabetes experts, DSMA, people with diabetes, self-care management
1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus Diabetes melitus terbanyak ke empat di dunia. Menurut Federasi Diabetes Internasional pada [1] tahun 2013, terdapat sekitar 382 juta kasus DM. Sedangkan menurut Dinas Kependudukan Kementerian Dalam [2] Negeri RI, jumlah kasus DM di Indonesia pada tahun 2013 terdapat 5 juta jiwa. Tingginya angka DM di Indonesia membuat Pemerintah melakukan upaya pengendalian DM. Bentuk upaya yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia untuk mengendaliakan DM terdiri atas pendekatan faktor risiko penyakit tidak menular terintegrasi di fasilitas layanan primer (Pandu PKM), Pos Pembinaan Terpadu Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM), dan Program CERDIK dan PATUH di Balai Gaya Hidup [3] Sehat. Tujuan umum dari programprogram pengendalian DM ialah untuk membantu pasien DM untuk dapat hidup mandiri dengan DM dan mencegah munculnya penyakit komplikasi lainnya yang lebih berat. Namun, faktanya di lapangan program-program tersebut tidak berfungsi secara efektif. Bentuk ketidakefektivitasan program Pemerintah dilihat dari terbatasnya jumlah ahli DM atau endokrinologis, sulitnya akses untuk melakukan edukasi atau konseling dengan ahli DM atau endokrinologis, dan keterbatasan pengetahuan edukator di Posbindu mengenai penatalaksanaan DM. Diabetes melitus memerlukan penatalaksanaan yang tepat dan benar dari ahli kesehatan atau individu yang benar-benar memahami cara penatalaksanaan DM itu sendiri. Fakta yang ada di Indonesia, jumlah ahli yang memahami DM atau endokrinologis sangatlah minim. Hal ini dibuktikan dengan data yang menyatakan bahwa perbandingan endokrinologis dengan jumlah pasien diabetes ialah 1: [4] 118.000. Selain itu, para endokrinologis tersebut umumnya
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
tersebar di kota-kota besar saja sehingga dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi masyarakat yang tidak tinggal di kota besar untuk memiliki kesempatan mendapatkan edukasi ataupun berkonsultasi dengan para endokrinologis tersebut. Pada program yang diinsiasi pemerintah memang memberikan layanan edukasi dan konsultasi kurang efektif dalam mengendalikan kasus DM. Layanan edukasi dan konsultasi di Posbindu PTM yang diinisiasi Pemerintah hanya dilakukan beberapa kali saja dalam setahun. Layanan edukasi dan konsultasi di Posbindu PTM juga tidak sepenuhnya mendukung pengendalian DM karena para kader yang bertugas memberikan edukasi dan konseling tidak memiliki latar belakang pengetahuan mengenai DM sebaik dan komprehensif seperti ahli endokrinologis. Fakta ini didukung oleh hasil penelitian pada Posbindu di daerah Petamburan, Jakarta Barat terhadap 36 kader Posbindu dan menghasilkan data proporsi tingkat pendidikan akhir kader yang bervariasi, sebagian besar memiliki pendidikan akhir setingkat SMA (58,5%), diikuti dengan pendidikan akhir SD (19,5%), DIII/Sarjana (17,1%), dan [5] SMP (4,9%). Pemberian edukasi sangatlah penting untuk dilakukan oleh petugas kesehatan dalam penatalaksanaan DM. Hal ini sesuai dengan hasil Konsensus [6] Perkumpulan Endokrinologi Indonesia yang menyatakan bahwa terdapat empat pilar penatalaksanaan DM yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Edukasi sangat berperan dalam peningkatan kemandirian pasien DM karena dengan edukasi yang komprehensif dan pemberian motivasi untuk hidup sehat yang diberikan oleh edukator mampu membantu pasien DM untuk mencapai perubahan perilaku hidup sehat sehingga mencegah timbulnya penyakit komplikasi. Berdasarkan kesenjangan antara fakta yang terjadi di lapangan
â&#x201D;&#x201A;52
dengan bentuk tindakan yang seharusnya terjadi, maka diusulkanlah penggunaan DSMA, suatu aplikasi berbasis mobile dengan materi edukasi dan perawatan pasien DM dari ahli DM. Aplikasi tersebut berisi informasi umum DM pengkajian umum DM, pengkajian khusus DM, serta panduan untuk melakukan pemeriksaan rutin atau melakukan pemeriksaan khusus apabila mengalami suatu keadaan yang berbeda serta pengingat untuk melakukan kontrol secara rutin dan atau saat muncul tanda-tanda kesehatan yang berbeda. 2. METODE Metode pengumpulan data dan informasi dalam penulisan karya tulis ini adalah dengan menggunakan studi pustaka atau literatur dan analisis. Penulis mengumpulkan informasi dan data dari berbagai literatur, seperti jurnal, situs resmi organisasi formal, buku, artikel ilmiah, dan artikel populer dari internet. Data dan informasi yang terkumpul kemudian dijabarkan dan dianalisis oleh penulis. Hasilnya ialah berupa solusi dari permasalahan yang ada dan tingkat keberhasilannya. 3. PEMBAHASAN a. Analisis Solusi Terdahulu untuk Pasien Diabetes Melitus Prevalensi DM di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Selain itu, DM di Indonsia merupakan yang terbesar ke-empat di dunia. Padahal pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk mengatasi DM, seperti menyediakan pelayanan primer dan melaksanakan berbagai program, misalnya, Posbindu PTM, Pandu PTM, dan Program PATUH dan CERDIK. Penulis menyadari bahwa solusi terdahulu yang telah dilaksanakan masih memiliki berbagai kekurangan, sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan pasien diabetes melitus. Berikut adalah analisis penulis terhadap berbagai solusi yang telah ditawarkan sebelumnya: 1. Pelayanan Primer di Indonesia Pelayanan primer di Indonesia ada banyak. Namun keefektifannya masih belum dapat dikatakan ideal atau mendekati ideal. Di dalam suatu
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
pelayanan primer, 52% konsultasi dengan dokter dan perawat tidaklah optimal, hal itu dikarenakan waktu konsultasi hanya sekitar sepuluh menit. Padahal konsultasi yang baik membutuhkan waktu lebih dari itu agar [7] tercapai pemahaman yang baik pula. Maka dari itu, pasien tidak mendapatkan informasi dan edukasi yang memadai mengenai pengobatan yang dijalaninya. Pada akhirnya banyak pasien yang tidak mampu melakukan perawatan diri secara mandiri sehingga mengalami ketidakefektifan dalam pengobatan. 2. Posbindu PTM Pelaksanaan kegiatan Posbindu yang dilakukan sangatlah terbatas. Posbindu PTM tingkat Pratama hanya melakukan kegiatan sebanyak 1-2 kali dalam setahun, Posbindu PTM tingkat Madya hanya melakukan kegiatan 3-4 kali setahun, Posbindu PTM tingkat Purnama hanya melakukan kegiatan sebanyak 4-6 kali setahun dan hanya Posbindu PTM tingkat Mandiri yang dapat melakukan kegiatan lebih dari 6 kali dalam setahun. Jumlah kegiatan yang beragam ini tidaklah efektif karena hal itu dapat membatasi kesempatan masyarakat dengan diabetes untuk melakukan konsultasi terkait diabetes, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya penyakit komplikasi. Penyakit komplikasi dapat terjadi apabila masyarakat tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang bagaimana cara [9] merawat diri. Selain itu materi konseling yang diberikan Posbindu kurang memadai. Pada Posbindu PTM tingkat Pratama bahkan tidak ada kegiatan konseling. Pada Posbindu PTM tingkat Madya hanya ada konseling tentang diet, Posbindu PTM tingkat Purnama hanya ada konseling seputar diet dan merokok, dan baru hanya pada Posbindu PTM tingkat Mandiri ada konseling untuk semua aspek terkait penyakit tidak [8] menular. 3. Pandu PTM Pelayanan ini tidak semuanya menggunakan ahli DM. Sehingga konsultasi yang diberikan pun tidak memadai. Hal ini dikarenakan kurangnya tenaga ahli DM di Indonesia. 4. Program PATUH dan CERDIK Program ini bertujuan untuk mengubah kebiasaan individu. Namun,
â&#x201D;&#x201A;53
untuk dapat mengubah kebiasaan individu itu tidaklah mudah. Terlebih program ini hanya dilaksanakan dalam satu kali seminar tanpa ada pengingat dan tolok ukur. Maka hal ini tentu tidak begitu efektif untuk mengubah kebiasaan pasien diabetes. 5. Telehealth Telehealth yang ada saat ini baru berupa pemberian informasi. Pemberian informasi ini disebarkan ke setiap rumah di komunitas melalui internet. Informasi yang didapatkan oleh masyarakat Indonesia banyak dari web yang belum memiliki kredibilitas, termasuk penulis yang bukan ahli diabetes. b. Pelayanan Kesehatan yang Ideal untuk Pasien Diabetes Melitus Pelayanan kesehatan yang ideal bagi pasien DM ialah pelayanan kesehatan yang mengedukasi dan mendukung pasien untuk melakukan perawatan diri secara mandiri untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko komplikasi jangka [9] panjang. Sehingga selain intervensi dari tenaga kesehatan, pasien dapat melakukan perawatan secara mandiri. Perawatan secara mandiri ini sangat penting untuk bisa dilakukan mengingat waktu yang dihabiskan pasien bersama dengan tenaga kesehatan lebih sedikit daripada waktu pasien sendiri. Dengan begitu, perawatan mandiri ini sangat berperan untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi risiko jangka panjang dari penyakit diabetes melitus. c. Diabetes Self Management Application (DSMA) Penulis berusaha untuk memperbaiki beberapa kelemahan sebelumnya dengan DSMA. DSMA adalah suatu aplikasi android yang berfungsi untuk menjadi guidance dalam self care management dari setiap pasien diabetes. Self care management adalah aplikasi personal dari perubahan kebiasaan yang menghasilkan keinginan untuk merubah kebiasaan tersebut. Self management dapat digunakan untuk mendapatkan hidup yang lebih efektif dan efisien, mengancurkan kebiasaan yang buruk dan mendapatkan kebiasaan baru yang lebih baik, menyelesaikan tugas yang [10] sulit, dan meraih tujuan personal. Hal ini sangat penting untuk diterapkan agar
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
pengobatan pasien diabetes berjalan dengan efektif.
dapat
Self Care Toolkit Gambar 2. Konsep DSMA DSMA memiliki beberapa konsep yang membedakannya dengan solusi terdahulu. Konsep tersebut yaitu: 1. Kolaborasi tenaga kesehatan ahli diabetes. Ahli diabetes di Indonesia sangat tidak sebanding dengan jumlah penderita yang ada, yaitu satu tenaga ahli DM berbanding 118.000 pasien DM. Bahkan, sebagian besar pelayanan primer yang ada di Indonesia didominasi oleh tenaga kesehatan umum dan bukan ahli diabetes, baik dokter maupun [4] perawatnya. Padahal masalah diabetes bukanlah masalah yang mudah dan memerlukan adanya seorang tenaga ahli di bidangnya. Maka dari itu salah satu konsep dari DSMA adalah adanya kolaborasi antar tenaga kesehatan yang ahli dalam penanganan diabetes. Kolaborasi yang dilakukan ialah berupa penyusunan informasi yang terkandung di dalam aplikasi DSMA dan layanan konsultasi yang berkualitas. Tujuan akhir dari kolaborasi ini adalah untuk membantu meningkatkan mutu pelayanan di pelayanan primer. Sehingga walaupun pemberi layanan primer bukanlah seorang ahli diabetes, tapi setidaknya ada sekelompok ahli diabetes yang memiliki kemampuan untuk memberi layanan yang tepat. 2. Adanya Informasi Umum Informasi umum ini mencakup informasi-informasi mengenai diabetes yang secara umum harus diketahui oleh pasien. Hal ini sangat penting agar pasien diabetes memiliki pengetahuan dasar mengenai pengobatannya, sehingga bisa memberikan consent yang memadai. Selain itu pengetahuan umum ini diharapkan dapat membuat
â&#x201D;&#x201A;54
pasien menyadari mengenai pentingnya melakukan pengobatan yang tepat untuk diabetes melitus. 3. Adanya Pengkajian Secara Umum Pengkajian secara umum adalah pengkajian mengenai hal-hal yang dialami oleh pasien diabetes secara umum, misalnya pengukuran gula darah, tekanan darah, jumlah kolesterol, tinggi badan, berat badan, dan data-data mengenai kebiasaan. Teknis penggunaannya ialah sebagai berikut: 1) Pasien menginput data mengenai gula darah, tekanan darah, jumlah kolesterol, tinggi badan dan berat badan ke aplikasi di bagian pengkajian umum 2) Pasien menginput data mengenai kebiasaan, seperti kebiasaan makan, minum obat, olahraga, dan gaya hidup lainnya. 3) Pasien menekan tombol entry apabila sudah mengisi semua input data yang harus diisi untuk mendapatkan rekomendasi dari sistem. 4. Adanya Pengkajian Secara Khusus Pengkajian secara khusus artinya pengkajian yang dilakukan hanya pada bagian-bagian tertentu dan tidak semua pasien DM mengalaminya. Pengkajian ini dibagi-bagi berdasarkan organ-organ yang mungkin terkena dampak dari DM. Cara menggunakannya ialah sebagai berikut: 1) Pasien memilih lokasi pengkajian sesuai organ yang bersangkutan 2) Pasien memasukan data yang relevan sesuai dengan organ tersebut dipandu oleh sistem (data bisa berupa tulisan maupun gambar yang akan dikaji oleh sistem), misalnya untuk pengkajian daerah kaki, pasien dapat melakukan inspeksi, palpasi, dan perkusi secara mandiri dan menginput data yang dia temukan ke dalam sistem. Selain itu, ada juga fitur analisis gambar, sehingga pasien dapat mengambil foto kelainan pada kakinya dan membiarkan sistem menganalisis foto tersebut. 3) Pasien menekan tombol entry apabila sudah mengisi input data yang harus diisi untuk
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
mendapatkan rekomendasi dari sistem. 5. Adanya Rekomendasi Sistem akan mengkaji data di tahap pengkajian tersebut, kemudian menghasilkan keluaran berupa self care, konsultasi dengan ahli, dan rujukan. Self care artinya pasien dapat mengatasi masalah tersebut secara mandiri dengan beberapa cara yang disampaikan oleh sistem, konsultasi artinya pasien harus melakukan konsultasi dengan ahli diabetes yang menyusun DSMA, dan rujukan artinya pasien harus segera mengunjungi pelayanan primer untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Apabila pasien harus melakukan self care, maka sistem aplikasi akan menyediakan suatu alarm yang telah disiapkan untuk mengingatkan pasien dalam melakukan self care, misalnya bila waktu pemakaian insulin untuk pasien ternyata tidak tepat, maka sistem akan membantu pasien mengatur waktu agar pemberian insulin sesuai waktu. 6. Self Care Toolkit Self Care Toolkit merupakan informasi dan tips untuk mendukung pasien dengan kondisi kesehatan kurang baik yang persisten seperti pasien DM. Ada 12 hal di dalam self care toolkit ini, diantaranya ialah, menerima keadaan dan move on, membuat support system, pacing (melakukan self care sedikit demi sedikit), belajar untuk memprioritaskan dan merencanakan hidup, membuat rencana hidup, bersabar, belajar kemampuan relaksasi, olahraga, menuliskan perkembangan yang sudah dilalui, membuat perencanaan kembali, kerja sama, dan secara konsisten melakukan sebelas hal lain dengan memasukannya ke dalam aktivitas [11] sehari-hari. d. Sistem Kerja DSMA Sistem kerja DSMA hampir sama seperti aplikasi lainnya yang menghubungkan pengguna, server, dan juga pengelola. Perbedaannya hanyalah pada subjek pada DSMA, misalnya, pengguna DSMA adalah pasien DM, server merupakan perangkat internet yang disediakan oleh Internet Service Provider dan dikelola oleh tenaga yang ahli dalam bidang komputer, dan
â&#x201D;&#x201A;55
pengelola aplikasi DSMA ini adalah seorang ahli DM. Terdapat beberapa peran berbeda yang ada pada setiap subjek yang mengoperasikan DSMA. Peranperan tersebut yaitu, pasien menginput data yang dibutuhkan ke server untuk diproses, kemudian server akan memberikan rekomendasi sesuai analisa yang telah dilakukan. Lalu, ahli DM berperan untuk menginput dan memperbaharui sistem informasi mengenai DM yang ada pada aplikasi tersebut agar kualitasnya tetap terjaga. Server mengirimkan saran perbaikan yang dikirimkan oleh pasien sebagai bentuk kepedulian untuk peningkatan kualitas aplikasi DSMA. Apabila rekomendasi dari server adalah untuk melakukan konsultasi, maka server akan menghubungkan pasien dan ahli diabetes untuk melakukan konsultasi dua arah. e. Prediksi Keberhasilan DSMA Penggunaan aplikasi kesehatan berbasis mobile saat ini bukanlah hal yang baru dan semakin menjamur. Handphone yang sudah menjadi barang wajib dimiliki semua orang membuat alat ini dapat digunakan. Menjamurnya aplikasi kesehatan pada handphone merupakan suatu penanda bahwa ada dampak yang diberikan bagi penggunanya. Dampak penggunaan aplikasi [12] kesehatan pun diuji dalam penelitian dan menghasilkan kesimpulan bahwa aplikasi kesehatan untuk pasien diabetes menghasilkan dampak yang positif dimana terjadi penurunan kadar gula darah yang signifikan secara intensif dalam waktu lebih dari satu tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa aplikasi kesehatan dapat meningkatkan memandirikan pasien diabetes dalam menjalani kehidupannya. Dampak inilah yang juga diharapkan penulis muncul dari aplikasi yang diusulkan penulis. Selain memberikan dampak peningkatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan pasien secara mandiri, aplikasi kesehatan juga memiliki dampak positif lainnya. Dampak positif lainnya ialah menghemat waktu dan biaya operasional yang digunakan ketika melakukan konsultasi langsung, mengurangi kunjungan yan tidak perlu ke klinik atau tempat
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
pelayanan kesehatan, meningkatkan efektivitas praktik dan produktivitas kerja praktisi kesehatan saat melakukan [13] konsultasi secara langsung. Dampakdampak positif seperti diataslah yang membuat masyarakat mulai melihat dan mencoba menggunakan aplikasi kesehatan. Aplikasi kesehatan berbasis mobile yang diusulkan penulis mampu membantu pasien diabetes dalam menjalani kehidupnya dengan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan pasien diabetes akan penyakit yang dimilikinya melalui fiturfitur yang ada di dalam aplikasi. Sehingga prediksi penulis apabila pasien diabetes menggunakan aplikasi ini disamping menjalani pengobatan ialah, adanya penurunan kadar gula darah yang signifikan dan intensif dengan adanya alert dari sistem aplikasi DSMA, terpenuhinya kebutuhan konsultasi yang tepat karena dilayani oleh para ahli diabetes yang berkolaborasi, pasien mampu mengkaji dirinya sendiri sehingga dapat membuat konsultasi online dan klinik menjadi lebih efektif walau dengan waktu yang sedikit, pasien mampu membuat keputusan yang tepat dengan didukung oleh pengetahuan yang memadai, dan tertanganinya pasien diabetes oleh tenaga ahli diabetes walau hanya melalui aplikasi mobile. Pada akhirnya, pasien dapat melakukan self management untuk membantu pengobatan diabetes melitus. 4. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan Angka diabetes melitus di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Salah satu permasalahan yang memicu meningkatnya komplikasi diabetes melitus yaitu kurangnya informasi yang diterima oleh pasien DM untuk bisa melakukan self management dengan baik. Meskipun pemerintah telah melaksanakan program untuk melengkapi pelayanan primer penyakit diabetes mellitus yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan kader-kader kesehatan di rumah sakit atau klinik, seperti Pandu PTM, Posbindu PTM, Program CERDIK dan PATUH namun angka kasus diabetes tidak mengalami penurunan.
â&#x201D;&#x201A;56
Meningkatnya kasus komplikasi diabetes tersebut disebabkan oleh kurangnya self care management dari setiap pasien sehingga meningkatkan kejadian komplikasi DM. Hal tersebut disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya ialah kurangnya tenaga ahli DM, kurangnya kualitas pemberi layanan DM yang sudah ada, serta persebaran tenaga ahli DM yang tidak merata di seluruh Indonesia. Hal itu menyebabkan pengobaatan pasien DM menjadi tidak efektif. Maka, diperlukan sebuah inovasi untuk mengatasi penyebab-penyebab tersebut agar pengobatan DM menjadi efektif. Salah satu inovasi tersebut adalah Diabetes Self Management Application (DSMA). DSMA memiliki 5 konsep, yaitu, kolaborasi tenaga kesehatan ahli diabetes, adanya informasi umum, adanya pengkajian umum, adanya pengkajian khusus, dan Rekomendasi. Selain itu, ada feature tambahan yang merupakan konsep umum dari DSMA, yaitu self care toolkit untuk membantu pasien DM beradaptasi dengan penyakitnya. Dengan adanya DSMA maka self care management pasien DM pun dapat ditingkatkan. 4.2 Saran Penulisan ini akan sangat bermanfaat apabila dijadikan sebagai referensi oleh pemerintah, lembaga diabetes, dan masyarakat. Kami harap referensi ini akan mendorong pihakpihak terkait untuk membantu merealisasikan keberadaan DSMA. DSMA akan sangat bermanfaat bagi pasien diabetes mellitus di Indonesia, terlebih karena di Indonesia tenaga ahli diabetes masih belum memadai. DAFTAR PUSTAKA 1. International Diabetes Federation. th IDF Diabetes atlas. 6 Ed. 2013. Avalable from http://www.idf.org/sites/default/files/E N_6E_Atlas_Full_0.pdf 2. Kementerian Dalam Negeri RI. Rekapitulasi data kependudukan per provinsi. 2014. Tersedia dari http://www.dukcapil.kemendagri.go.id /detail/rekapitulasi-datakependudukan-per-provinsi-edisi-31desember-2013 3. Kementerian Kesehatan RI. Petunjuk Teknis Pos Pembinaan Terpadu
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
Penyakit Tidak Menular (Posbindu PTM). Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2012. 4. Novonordisk. The Challenges of Diabetes Care in Indonesia. 2013. May 8th, 2015, at 22.00 WIB Available from: http://www.novonordisk.com/aboutnovonordisk/default/stories/citizenship/the -challenges-of-diabetes-care-inindonesia.html 5. Fatmah & Nasution, Y. Peningkatan pengetahuan dan Keterampilan kader Posbindu dalam pengukuran tinggi badan prediksi lansia, penyuluhan gizi seimbang dan hipertensi studi di kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Media Medika Indonesiana. 46(1), 2012: 61-68 6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2011. 7. Abdulhadi, N., Al-Shafaee, M A., Ostenson, C., Vernby, A., & Wahlstrom R. Quality of Interaction between Primary Health-Care Providers and Patients with Type 2 Diabetes in Muscat, Oman: an Observational Study. BMC Family Practice, 7, 2006:72 8. Kementerian Kesehatan RI. Tingkat perkembangan Posbindu PTM. (2013). Diakses pada 8 Mei 2015 tersedia dari http://pptm.kemkes.go.id/cms/fronten d/?p=newsmore&id=346 9. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes 2015. Journal of clinical and applied research and education diabetes care vol 38, supplement 1, (2015): 1-94. 10. Cooper, John O., Heron, Timothy E., & Heward, William L. Applied Behaviour Analysis 2nd ed. Cambridge: Pearson. 2007. 11. Moore, P. & Cole, F. The Self Care Toolkit. (2009). May 8th, 2015, at 23.16 WIB Available from: http://www.nhs.uk/Planners/yourhealt h/Documents/Self%20Care%20Toolk it%20Booklet%20%20Oct%2010%20-%20READ.pdf ,
â&#x201D;&#x201A;57
12.American College of Physicians.
Quinn, C. C., Shardell, M. D., Terrin, M. L., Barr, E. A., Ballew, S. H., & Gruber-Baldini, A. L. (2011). ClusterRandomized Trial of a Mobile Phone Personalized Behavioral Intervention for Blood Glucose Control. Diabetes Care, 34(9), 1934–1942. doi:10.2337/dc11-0366
Communicating patients electronically (Via telephone, email, & web sites). (2008). Diakses pada 7 Mei 2015 dari https://www.acponline.org/running_pr actice/technology/comm_electronic.p df
LAMPIRAN
Server Menginput & Memperbaharui sistem informasi
Input data Sistem Saran Kerja Perbaikan DSMA sistem Rekomendasi
Ahli Diabetes
Pasien
Konsultasi dua arah
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│58
Advertorial
PENGGUNAAN SET ALAT MANDI (MANAJEMEN DIRI) PADA PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2 SEBAGAI INOVASI TEKNOLOGI DALAM KEPERAWATAN 1
1
Widy Jatmiko , Risyda Zakiyah Hanim , Fajar 1 2 Kharisma , Nur Widayati 1
Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Jember Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Jember
2
ABSTRAK Pendahuluan: Jumlah penderita DM di Indonesia diprediksikan akan meningkat dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Pada tahun 2013, Indonesia menempati peringkat ke-7 negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak di dunia. Selain itu, pengobatan dan perawatan pasien diabetes membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga manajemen diri merupakan hal yang penting untuk pasien. Namun, menejemen diri pasien diabetes melitus masih belum optimal. Oleh karena itu, dibutuhkan program efektif dan efisien untuk meningkatkan manajemen diri pasien diabetes melitus. Metode: Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu literature review. Dalam penelitian ini menggunakan analisis model alir. Hasil: Penelitian ini menggagas sebuah program manajemen diri dengan menggunakan set alat ManDi yang terdiri atas dua komponen utama, yaitu alat yang digunakan user (hand phone yang terkoneksi dengan layanan SMS premium, alat uji gula darah dan assessment card) dan alat yang digunakan oleh operator (komputer yang terkoneksi internet, mesin pencetak kartu, scanner pembaca assessment card). Metode ini dipandang cukup efektif karena pasien dapat melakukan konsultasi sewaktu-waktu tanpa harus bertemu secara langsung. Selain itu, kelebihan program ini tidak membutuhkan sumber daya manusia yang banyak namun hanya membutuhkan sedikit sumber daya manusia terlatih. Kata Kunci: diabetes melitus, set alat manjemen diri, SMS premium ABSTRACT Introduction: The number of patients with diabetes mellitus (DM) in Indonesia is predicted to increase from 8.4 million in 2000 to 21.3 million in 2030. In 2013, Indonesia ranked as the seventh country with the highest number of people with diabetes mellitus in the world. Management and care of patients with diabetes requires a relatively long time so that self-management is important for the patient. However, patients' self management of diabetes melitus is still not optimal. Therefore, effective and efficient programs needed to improve patient self-management of diabetes mellitus. Method: Data collection techniques used are literature review. In this study using a flow model analysis. Result: This study was initiated a self-management program by using the tool sets bath consisting of two main components, namely a tool used user (mobile phone is connected to premium SMS services, blood sugar testing instruments and assessment card) and tools used by the operator (computer Internet-connected, machine card printer, scanner assessment card reader). This method is considered fairly effective because patients can consult at any time without having to meet in person. In addition, the advantages of this program does not require a lot of human resources, it requires trained human resources. Keywords: diabetes mellitus, self-management tool set, premium SMS
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
â&#x201D;&#x201A;59
1. PENDAHULUAN Diabetes melitus diklasifikasikan menjadi beberapa tipe. Terdapat empat klasifikasi diabetes melitus yaitu, (1) diabetes melitus tipe 1, (2) diabetes melitus tipe 2, (3) diabetes gestasional atau diabetes kehamilan, dan (4) tipe [1] khusus lain. Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien dengan diabetes menunjukkan gejala yang eksplosif polidipsi, poliuri, polifagia, lemah, somnolen, berat badan turun, dan terjadi ketoasidosis yang dapat menimbulkan kematian jika tidak [2] ditangani dengan tepat. Penyakit diabetes melitus dicetuskan oleh beberapa faktor, yaitu cara hidup yang tidak sehat seperti pola makan yang tidak sehat, kegemukan dan kurang olah raga. Penyakit DM akan menimbulkan komplikasi jika dibiarkan kadar gula darah tidak terkendali dan akan menyebabkan kematian. Komplikasi yang dapat timbul seperti penyakit jantung, ginjal, kebutaan dan [3] amputasi. Berdasarkan studi populasi penderita diabetes melitus di berbagai negara yang dilakukan WHO pada tahun 2000, prevalensi diabetes melitus di Indonesia mencapai 8,6 % dari total penduduk yaitu sekitar 8,4 juta, dan jumlah ini diprediksikan akan meningkat menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia menempati peringkat ke-7 negara dengan jumlah penderita diabetes melitus terbanyak di dunia [4] pada rentang usia 20-79 tahun. Hal ini semakin membuktikan bahwa penyakit diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang sangat serius. Pengobatan dan perawatan pasien diabetes membutuhkan waktu yang relatif lama sehingga manajemen diri merupakan hal yang penting. Oleh karena itu perlu adanya kombinasi perawatan yang melibatkan tenaga kesehatan, pasien, dan keluarga. Bentuk perawatan tersebut dapat dilakukan secara mandiri di rumah setelah melakukan pengobatan di rumah sakit. Tujuan dari kombinasi perawatan ini adalah untuk meningkatkan manajemen diri pasien diabetes melitus. Layanan keperawatan seperti pemberian pendidikan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
pengetahuan pasien dan keluarga sehingga diharapkan mampu melakukan perawatan mandiri dan mengelola penyakitnya dengan baik dan benar. Tujuan pendidikan kesehatan kepada pasien diabetes melitus adalah meningkatkan perawatan diri pasien agar mampu melakukan perawatan mandiri terhadap penyakitnya dan mengetahui kapan harus pergi ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan pengarahan atau [5] pengobatan lebih lanjut. Penanganan mandiri tersebut meliputi pola pengaturan makan (diet), latihan jasmani, perawatan kaki, monitoring [5] gula darah, dan terapi farmakologis. Merujuk pada penelitian terdahulu, masih terdapat pasien diabetes melitus yang tidak mengetahui penatalaksanaan mandiri penyakit diabetes melitus secara mendalam dan benar, karena dari pihak tenaga kesehatan hanya menyarankan untuk mengatur jadwal makan, melakukan aktivitas ringan dan harus rutin cek kesehatan tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai bentuk manajemen diet dan terapi aktivitasnya. Selain itu, menajemen diri pasien diabetes melitus belum optimal seperti pasien kurang beraktivitas, pola diet yang tidak terkontrol, dan belum ada tindakan untuk memantau gula darah secara [5] berkelanjutan dan konsisten. 2. METODE PENELITIAN Adapun data yang diperoleh bersumber dari buku (text book), artikel baik dalam bentuk jurnal maupun internet, dan sebagainya. Data tersebut berupa data-data umum yang menyajikan gambaran umum variablevariabel dalam penelitian ini. Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini yaitu, studi kepustakaan. Studi kepustakaan merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Solusi yang Pernah Ada Solusi untuk meningkatkan manajemen diri pada pasien DM dapat dilakukan melalui edukasi. Salah satu
â&#x201D;&#x201A;60
3.2. Kelemahan Solusi yang Pernah Ada Diabetes Self Management Education (DSME) sebenarnya efektif diterapkan untuk meningkatkan manajemen diri pada pasien DM tipe 2. Namun, metode DSME yang dilakukan selama ini memiliki kekurangan, sehingga efektivitas penggunaannya masih harus dilakukan uji coba dan dilakukan pembandingan terhadap metode lainnya. Berdasarkan data yang ditemukan peneliti, terdapat beberapa kelemahan dari metode DSME yang selama ini diterapkan yang disebabkan [7,8] oleh faktor luar (eksternal), yaitu : a. Keterbatasan waktu yang dimiliki oleh perawat, perawat sebagai suatu profesi terdepan dalam pelayanan kesehatan memiliki berbagai tugas yang harus dilakukan dengan waktu yang terbatas. Sehingga, perawat tidak dapat melaksanakan program DSME, b. Kurangnya SDM yang dapat menerapkan program DSME, program DSME membutuhkan SDM yang dapat memberikan pendidikan dan promosi kesehatan terkait DM tipe 2. Tidak semua perawat, memiliki keahlian atau kecakapan khusus dalam memberikan pendidikan dan promosi kesehatan khususnya pada penyakit DM tipe 2,
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
c.
Keberlanjutan DSME belum optimal. Hal ini disebabkan, petugas kesehatan hanya menerapkan program DSME saat pasien akan pulang dari RS dan tidak berekelanjutan. Berdasarkan kekurangan program DSME tersebut, maka perlu dilakukan uji efektifitas dan menggagas program-program pembanding lainnya. 3.3. Solusi yang Ditawarkan Berdasarkan fakta empiris yang ada dan solusi yang pernah ditawarkan, maka upaya terobosan untuk meningkatkan manajemen diri pasien DM tipe 2 dapat dilakukan melalui penggunaan set alat ManDi (Manajemen Diri). Dalam program ini terdapat dua komponen utama yaitu, user (pasien DM tipe 2) dan operator (perawat). User menggunakan Set alat ManDi yang terdiri dari tiga buah alat, yaitu: a. Alat uji gula darah, yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah user setiap satu bulan sekali. Pengontrolan gula darah ini dilakukan dengan tujuan untuk memonitoring gula darah pasien,
Gambar 1. Glucometer b. Hand phone (HP) yang terkoneksi dengan SMS premium, berfungsi untuk mengkomunikasikan hasil tes gula darah dan kondisi umum yang dialami pasien, dan c. Assessment card yang terintegrasi chip, digunakan untuk mendokumentasikan data-data pengkajian pasien yang berkelanjutan yang dimulai dari awal pasien masuk (berkonsultasi). Nama dan Logo Rumah Sakit
Identitas Pasien
} Tanggal pembuatan
{
& Kadaluarsa
Chip
Nomor Telp RS
Ketentuan kartu & Alamat RS
program yang pernah digagas adalah dengan DSME (Diabetes Self Management Education). DSME adalah suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri. DSME merupakan suatu proses memberikan pengetahuan kepada pasien mengenai aplikasi strategi perawatan diri secara mandiri untuk mengoptimalkan kontrol metabolik, mencegah komplikasi, dan memperbaiki kualitas hidup pasien [8] DM. Tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan keputusan, perilaku perawatan diri, pemecahan masalah dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan untuk memperbaiki hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas [6] hidup.
TTD Pasien
{
Kode Pasein
Gambar 2. Assessment Card
â&#x201D;&#x201A;61
Operator (perawat) menggunakan alat penunjang yang meliputi: a. Komputer yang terkoneksi internet dan SMS premium, komputer ini berfungsi untuk menyimpan sementara data-data pasien terkait data identitas pasien dan data status kesehatan pasien dan mengirimkan SMS preium dalam bentuk tips-tips kesehatan, tipstips pola makan, dan informasi kesehatan lainnya, b. Alat pencetak Assessment Card, data yang tersimpan di dalam komputer akan dimasukkan ke dalam chip yang terdapat pada assessment card melalui alat pencetak, dan
Gambar 3. Mesin Pencetak Kartu c.
Scanner Card.
pembaca
Assessment
Gambar 4. Scanner Berikut model gagasan penggunaan set alat ManDi yang digagaskan oleh peneliti, 1
2
3
4
5
Gambar 5. Skema Program Keterangan : 1) Tahap 1, perawat melakukan pengkajian dengan pasien menggunakan metode lama, yaitu mencatat data-data pasien. Pada
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
tahap ini perawat bertemu langsung dengan pasien (pertemuan pertama). Data yang harus ada meliputi identitas pasien dan data kesehatan pasein. 2) Tahap 2, perawat memasukkan data (input) ke dalam komputer. Didalam komputer sudah disiapkan sebuah program (softwere) dokumentasi keperawatan elektronik. 3) Tahap 3, perawat mencetak kartu assessment card melalui mesin pencetak khusus e-card. Setelah pencetakkan kartu, perawat memberikan kartu tersebut kepada pasien dan satu kartu lainnya untuk dokumen perawat (rekam medis). Hal ini diperlukan untuk backup data di komputer. 4) Tahap 4, dengan assessment card, pasien memiliki ID yang tersimpan dalam komputer operator. Pada tahap ke-4 ini akan berlangsung proses inti dari program ManDi. Pasien (user) wajib melakukan konsultasi kepada perawat (operator) melalui SMS Premium. Konsultasi tersebut dilakukan sebulan sekali. Pasien memberikan gambaran tentang kondisi pasien selama satu bulan terkait (makanan dan pola aktivitas) yang disertai dengan laporan nilai gula darah terakhir. Pasien dapat melakukan tes gula darah sendiri dirumah dengan menggunakan alat uji gula darah. Perawat (operator) wajib memberikan balasan atas konsultasi pasien meliputi pola makan dan aktivitas pasien. Selain itu setiap hari perawat wajib memberikan pendidikan dan promosi kesehatan melalui media SMS Premium. Pemberian pendidikan dan promosi kesehatan dengan cara memberikan tips-tips untuk meningkatkan manajemen diri pasien DM tipe 2. Tips-tips tersebut diberikan sekali setiap hari. Perawat juga memberikan pengingat (reminder) kepada pasien untuk melakukan perawatan diri seperti pengecekan kadar gula darah, dan aktivitas fisik. Gagasan peningkatan ini dapat diimplementasikan dengan beberapa tahap, antara lain:
â&#x201D;&#x201A;62
a. Tahap perencanaan program Pemerintah bersama kementrian kesehatan merancang program konsultasi, pendidikan, dan promosi kesehatan untuk pasien DM tipe 2 berbasis SMS premium. Dalam perancangan tersebut, pemerintah menggandeng perusahaan jasa telekomunikasi skala nasional yang memiliki jaringan luas. Selain itu, pemerintah menyiapkan alat-alat yang harus dimiliki oleh operator seperti komputer, mesin pencetak kartu, scanner pembaca kartu, dan bahan baku kartu. b. Tahap sosialisasi Pemerintah melalui kementrian informasi dan komunikasi melakukan sosialisasi kebijakan terhadap program yang telah dibuat. Sosialisasi dilakukan melalui penyebaran informasi secara nasional dengan media SMS. c. Tahap pelaksanaan program Pemerintah melalui dinas kesehatan melakukan implementasi program. Program akan dijalankan oleh tenaga kesehatan baik ners, bidan, atau dokter di puskesmaspuskesmas. d. Tahap evaluasi program Evaluasi terhadap program dilakukan bersama-sama oleh kementrian kesehatan, kementrian informasi dan komunikasi, dan pemerintah. Evaluasi dilakukan tidak hanya pada sistem, tetapi juga pada tim pelaksana (operator). Evaluasi dilakukan sekali dalam satu tahun. Hal ini dilakukan untuk revitalisasi program. Upaya pengimplementasian program akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh hal-hal strategis sebagai berikut. a. Pemerintah menggandeng lembaga terkait seperti kementrian kesehatan, kementrian informasi dan komunikasi, serta perusahaan jasa telekomunikasi untuk menerapkan program yang digagas. b. Adanya kerjasama secara kooperatif antara tenaga medis (ners, dokter, dan apoteker) untuk memberikan konsultasi berbasis SMS premium. c. Adanya riset berkelanjutan dalam pengembangan terhadap sistem yang telah digagas.
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
d. Penegasan kembali aturan penggunaan layanan SMS Premium dan optimalisasi layanan (jaringan) e. Diperlukan riset atau cost and benefit analysis untuk memperjelas tujuan, biaya, manfaat, dan dampak dari gagasan ini. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan bahwa metode manajemen diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang efektif dan efisien yakni melalui penggunaan set alat ManDi (Manajemen Diri) yang terdiri dari tiga buah alat, yaitu : (1) Alat Uji Gula Darah, (2) HP yang terkoneksi dengan SMS premium, dan (3) Assessment Card. Tiga alat tersebut yang akan membantu pasien dalam perawatan mandiri di rumah terhadap penyakit diabetes melitus. Langkah penerapan set alat ManDi (Manajemen Diri) terdiri atas 4 tahap. Tahap pertama, perawat melakukan pengkajian dengan pasien menggunakan metode lama, yaitu mencatat data-data pasien. Tahap kedua, perawat memasukkan (input) data ke dalam komputer yang sudah disiapkan sebuah program (software) dokumentasi keperawatan elektronik, dan data yang telah dimasukkan ke dalam komputer akan tercatat dalam assessment card yang dicetak melalui mesin pencetak. Setelah pencetakkan kartu, perawat memberikan kartu tersebut kepada pasien dan satu kartu lainnya untuk dokumen perawat. Tahap ketiga, assessment card yang diberikan pada pasien memiliki ID yang tersimpan dalam komputer operator. Tahap keempat, pasien (user) wajib melakukan konsultasi kepada perawat (operator) melalui SMS Premium. Pasien memberikan gambaran tentang kondisi pasien terkait perawatan diri yang disertai dengan laporan nilai gula darah terakhir. Pasien dapat melakukan tes gula darah sendiri dirumah dengan menggunakan alat uji gula darah. Perawat (operator) wajib memberikan balasan atas konsultasi pasien dan memberikan pendidikan serta promosi kesehatan melalui media SMS premium dengan memberikan tips-tips untuk meningkatkan manajemen diri pasien DM tipe 2. Perawat (operator) juga mengirim sms reminder bagi pasien
â&#x201D;&#x201A;63
untuk mengingatkan dan melakukan aktivitas manajeman diri. 5. 5. SARAN Berdasarkan uraian diatas, penulis memberikan saran sebagai berikut. a. Pemerintah Dengan hasil pembahasan ini, diharapkan pemerintah dapat menggalangkan pemograman pemakaian set alat ManDi (Managemen Diri) dalam penanganan penyakit diabetes melitus yang efektif dan efisien. b. Peneliti Diharapkan dapat mengembangkan jiwa kepenulisan dan menambah wawasan terhadap cara manajemen diri dalam penanganan pasien penyakit diabetes millitus yang efektif dan efisien. c. Masyarakat Diharapkan dapat menerapkan program set alat Mandi (Managemen Diri) dalam penanganan penyakit diabetes millitus demi terciptanya masyarakat yang mandiri dalam perawatan penyakit, guna menuju masyarakat yang sehat dan sejahtera. DAFTAR PUSTAKA 1. American Diabetes Association. Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus. Diabetes Care American Diabetes Association, Position, Statement, Implication Of The Diabetes Control and Complication Trial. Diabetes Spectrum 1993: 4 (3). 2005: 225 – 27 (Online) http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles.com (diakses 10 April 2015). 2. Price,S.A & Wilson, L.M. Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC). 2012. 3. Austin, M. M. Importance of selfcare behaviors in diabetes management. 2005. (Online) http://www.touchbriefings.com/pdf/1 479/austin_ bookforweb.pdf (diakses 24 April 2015). 4. Indriastuti. Laporan Asuhan Keperawatan Pada Ny.J dengan Efusi Pleura dan Diabetes Melitus di Bougenvil 4 RSUP dr.Sardjito
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
6.
7.
8.
Yogyakarta. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. 2008. Mardianti, Y. Tingkat Self Care Pasien Rawat Jalan Diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Kalirungkut Surabaya. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Calyptra, Fakultas Farmasi Universitas Surabaya vol.2 no.2. 2013. (Online) http://www.journal.ubaya.ac.id (diakses 10 April 2015). McGowan P. The Efficacy of Diabetes Patient Education and Self-Management Education in Type 2 Diabetes. Canadian Journal of Diabetes 35 (1). 2011: 46-53 (Online) http://www.canadianjournalofdiabete s.com (diakses 10 April 2015). American Association of Diabetes Educators (AADE). AADE Guidelines for the Practice of Diabetes Self-Management Education and Training (DSME/T). 2009. American Association of Diabetes Educators, Chicago, Illinois (Online) http://www.diabeteseducator.org (diakses 24 April 2015. Yuanita et al. Pengaruh Diabetes Self Management Education (DSME) terhadap Resiko Terjadinya Ulkus Diabetik pada Pasien Rawat Jalan dengan Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 di RSD dr. Soebandi Jember. e-Jurnal Pustaka Kesehatan vol.2 no.1. 2014. (online) http://www.repository.unej.ac.id (diakses 10 April 2015).
│64
Advertorial
PEMANFAATAN KALENDER MODIFIKASI PADA MANAJEMEN MANDIRI TEKNIK ROTASI INJEKSI INSULIN UNTUK MENCEGAH LIPOHIPERTROFI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS 1
1
Ester Yunita Puspitasari , Hendrikus Tonbesi , Eky 1 Gasaty Viktor 1
Mahasiswa Ilmu Keperawatan Stikes Maharani Malang
ABSTRAK Pendahuluan: Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit degeneratif yang angka kejadiannya yang cenderung mengalami peningkatan di Indonesia. World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami kenaikan jumlah pasien diabetes mellitus dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Terapi insulin diindikasikan bagi semua pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan sebagian besar dari pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 tingkat lanjut yang mengalami disfungsi sel β. Penggunaan insulin dalam jangka panjang dapat menyebabkan abnormalitas lemak subkutan lokal, akumulasi lemak lokal dan lipohipertrofi yang sampai saat ini masih merupakan masalah yang sering terjadi akibat durasi terapi yang lama dengan teknik rotasi injeksi yang tidak efektif. Mengkaji efektifitas media Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC) untuk mencegah terjadinya lipohipertrofi pada area penyuntikan insulin. Metode: Telaah pustaka Hasil: Berdasarkan telaah pustaka, pendekatan multimedia selama proses terapi dapat membantu pasien lebih memahami informasi yang disampaikan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC) merupakan media berupa kalender yang telah dimodifikasi dengan menambahkan gambar ilustrasi area injeksi pada sistem penanggalan kalender. Rotasi area injeksi insulin dapat mencegah terjadinya komplikasi lipohipertrofi pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Kesimpulan: Penggunaan I2RC dapat membantu pasien melakukan rotasi injeksi insulin secara tepat dan benar sehingga menghindarkan pasien dari komplikasi lipohipertrofi akibat terbatasnya rotasi injeksi. Kata Kunci: Diabetes mellitus tipe 2, Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC), manajemen mandiri, media visual (kalender), pencegahan lipohipertrofi teknik rotasi injeksi insulin. ABSTRACT Introduction: Diabetes mellitus is a degenerative disease. The incidence of this disease is likely increase in Indonesia. World Health Organization (WHO) predicted that Indonesia will has the increasing number of diabetes mellitus patient from 8.4 millions in 2000 to about 21.3 millions in 2030. The insulin therapy is indicated for all patients with type 1 diabetes mellitus and the most of type 2 diabetes mellitus patients with advanced cell dysfunction. The long-term use of insulin may causes local subcutaneous fat abnormalities, localized fat accumulation, and lipohypertrophy, that still become the problems. That are often associated with long duration of therapies with the rotation technique ineffectiveness of injection sites. Assessing the effectiveness of the Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC) to prevent lipohypertrophy.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
│65
Method: systematic review Results: According to systematic review, multimedia approach during the process of therapy can help patients' understanding with clearer information according to the goals to be achieved. The I2RC is the modified calender that has beed added with some pictures of injection areas. The rotations of injection areas can prevent lipohypertrophy. Conclusion: The use of the I2RC can enable the patient to rotate insulin injection correctly and thus prevent patients have lipohypertrophy complications due to lack of injection rotations. Keywords: Insulin-Dependent Diabetes, Insulin Injection Technique Rotation, Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC), Prevention Lipohypertrophy, Self-Management, Visual Media (Calendar).
1. PENDAHULUAN Diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit degeneratif degeneratif dengan angka kejadian di Indonesia yang cenderung mengalami [1] peningkatan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik di Indonesia (2003) diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta merupakan penderita diabetes mellitus. Prevalensi diabetes mellitus pada daerah urban sebesar 14,7% dan pada daerah rural sebesar 7,2%. World Health Organization (WHO) memprediksi bahwa Indonesia mengalami kenaikan jumlah penderita diabetes mellitus dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Jumlah yang sangat besar dan merupakan beban yang sangat berat untuk dapat ditangani oleh [1] semua tenaga kesehatan yang ada. Terapi insulin diindikasikan untuk semua pasien dengan diabetes mellitus tipe 1 dan sebagian besar dari penderita diabetes mellitus tipe 2 tingkat lanjut yang telah mengalami disfungsi [2] sel ď ˘. Hasil studi Veterans Affairs menunjukkan bahwa insulin telah digunakan oleh sebanyak 77% dari total pasien diabetes mellitus dan 70% pada [2,3] penderita diabetes tipe 2. Komplikasi umum pada manajemen mandiri penggunaan insulin yang tidak memadai dilaporkan terjadi pada hampir 50% dari pasien diabetes mellitus tipe 1 dengan [4] terjadinya lipohipertrofi. Komplikasi lipohipertrofi masih menjadi masalah yang sering akibat durasi terapi yang lama dan teknik rotasi [5] lokasi injeksi insulin yang tidak efektif. Lipohipertrofi merupakan penumpukan sel-sel lemak di bawah permukaan kulit pada area injeksi insulin yang dilakukan
â&#x201D;&#x201A;BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
secara terus menerus. Hal ini merupakan komplikasi utama penggunaan injeksi insulin dan ditandai oleh dengan terjadinya pembengkakan soft fatty di lokasi pengulangan suntikan [6] insulin. Teknik rotasi yang efektif sangat penting untuk mencegah terjadinya lipohipertrofi. Lipohipertrofi telah dikaitkan dengan buruknya kontrol glikemik, penurunan efektifitas terapi akibat penurunan absorbsi insulin [7] sebanyak 25%. Manajemen mandiri penggunaan insulin dapat dilakukan secara efektif jika disertai dengan pengetahuan tentang teknik injeksi yang baik. Pengetahuan tentang keterampilan menyuntik, rotasi tempat penyuntikan, dan faktor yang mempengaruhi absorbsi perlu dipahami dan diterapkan dengan [8] benar oleh pasien dan keluarganya. Rotasi dapat dilakukan pada daerah perut, lengan, dan kaki. Pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 1, penggunaan terapi injeksi insulin secara terus menerus dan teknik edukasi sistem rotasi yang buruk, menjadi masalah utama ketidakefektifan [7] manajemen ini. Perawat memiliki peran yang sangat penting dalam upaya preventif terjadinya komplikasi serta optimalisasi manajemen mandiri terapi [9] insulin. Pendekatan multimedia terutama media visual pada proses penyampaian informasi kesehatan memberikan dampak yang efektif dengan metode gambar dan tulisan. Hal ini dikarenakan penyampaian informasi dapat lebih jelas, aplikatif dan mudah dipahami serta sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Informasi tersebut juga dapat dikemas secara menarik disesuaikan dengan karakteristik dari
â&#x201D;&#x201A;66
[10]
media yang digunakan. Kalender merupakan salah satu bentuk media visual yang terdiri dari daftar hari dan [11] bulan dalam setahun. Skema umum pada media tertentu dapat digunakan sebagai informasi tempat suntikan insulin ke dalam beberapa kuadran yaitu perut, [12] paha, bokong, dan lengan. Kalender memiliki peran yang vital dan digunakan secara terus menerus pada sistem penanggalan. Disamping itu penggunaan desain gambar dan tulisan yang menarik pada kalender dapat menjadi media penyampaian informasi tertentu secara langsung dan berkelanjutan. I2RC merupakan kalender modifikasi sebagai panduan terkait rotasi injeksi insulin. Pada media ini penulis akan menggabungkan skema rotasi ke dalam penanggalan kalender yang telah dimodifikasi untuk meningkatkan efektifitas manajemen mandiri teknik rotasi injeksi insulin sehingga dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi lipohipertrofi dalam jangka waktu yang lama. 2. PEMBAHASAN 2.1. Efektivitas Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC) dalam Pencegahan Lipohipertrofi Rotasi tempat suntikan sangat penting untuk mencegah lipohipertrofi. Kurangnya pengetahuan pasien merupakan faktor penyebab buruknya sistem rotasi injeksi insulin. Akibat umum dari rotasi yang tidak memadai dilaporkan terjadi di hampir 50% dari individu yang menggunakan insulin. Media visual merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan dalam penyampaian informasi kesehatan. Media Visual yang berisi gambar ilustrasi dan tulisan dapat membantu pasien, karena informasi yang disampaikan bisa lebih jelas dan mudah dipahami sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Media visual yang digunakan sebagai panduan teknik rotasi injeksi insulin ini berupa kalender, hal ini dikarenakan kalender mudah ditemukan dan digunakan setiap hari sebagai penunjuk tanggal dan juga dapat berfungsi sebagai pengingat. Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC) merupakan jenis
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
kalender yang telah dimodifikasi dengan memasukkan gambar ilustrasi area injeksi ke dalam sistem penanggalan kalender. Adanya I2RC ini diharapkan dapat membantu pasien DM dapat melakukan rotasi injeksi insulin secara tepat dan benar demi menghindarkan pasien dari berbagai resiko komplikasi (terutama lipohipertrofi) akibat minimnya rotasi injeksi. 2.2. Aplikasi Penggunaan Insulin Injection Rotation Calendar (I2RC) Bentuk aplikasi dari I2RC berupa kalender yang telah dimodifikasi dengan memasukan gambar rotasi area Injeksi yang tepat dan benar kedalam sistem penanggalan. Penanggalan I2RC akan disesuaikan dengan sistem kalender Gregorian, sehingga dalam kalender I2RC akan tetap ada ketentuan-ketentuan baku misalnya Tanggal Merah. Dalam I2RC setiap tanggalnya dicantumkan gambar berupa anatomi tubuh yang akan menunjukan area yang tepat dan benar dalam melakukan injeksi, selain itu terdapat pula Note pada I2RC (I2RC Long Time maupun I2RC Short Time) yang berfungsi sebagai penjelasan tertulis tentang area injeksi dan juga sebagai area kosong yang dapat digunakan pasien sebagai tempat untuk mencantumkan informasi-informasi penting. 2.2.1. I2RC Long Time I2RC Long Time ditujukan bagi pasien yang mengunakan terapi injeksi insulin dengan frekuensi empat kali dalam sehari. Di dalam I2RC Long Time dicantumkan area-area injeksi secara umum seperti pada area paha, bokong, lengan, dan abdomen. Dengan rentang waktu area injeksi yang sama, yaitu setiap 8 hari sekali. Contoh: pada tanggal 1 dilakukan injeksi pada area abdomen bagian kanan maka injeksi pada area abdomen bagian kanan akan muncul lagi pada tanggal 9. Pengaturan rentang waktu sesuai dengan pendapat Diggle (2015) yang mengatakan bahwa “Skema rotasi tempat suntikan yang efektif melibatkan identifikasi daerah injeksi (perut, paha, bokong dan lengan) dan menggunakan masing-masing zona [13] injeksi hingga 1 minggu’’. I2RC Long Time juga dilengkapi dengan Note. Pada I2RC Long Time terdapat dua
│67
jenis Note, yang pertama Note yang berada disetiap tanggal, Note ini berisi penjelasan secara tertulis mengenai area penginjeksian sesuai dengan gambar pada tanggal tersebut, sehingga pasien dapat membaca Note tersebut sebagai panduan. Note yang kedua berada pada bagian bawah kalender, pada Note ini tidak terdapat tulisan atau kosong yang bertujuan untuk memudahkan pasien dalam menambahkan informasi-informasi khusus seperti menuliskan informasi mengenai hasil pemeriksaan gula darah pasien ataupun informasi-informasi lain sesuai dengan keinginan pasien. 2.2.2. I2RC Short Time I2RC Short Time ditujukan bagi pasien yang mengunakan terapi injeksi insulin dengan frekuensi lebih dari sekali dalam sehari. Menurut bentuk kalendernya, I2RC Short Time berbeda dengan I2RC Long Time. Pada I2RC Short Time dalam satu bulan terbagi menjadi 30 - 31 lembar kalender, setiap lembar tanggal memiliki pembahasan secara lebih terperinci. Pada I2RC Short Time tercantum seluruh anatomi tubuh manusia namun hanya difokuskan pada area injeksi yang akan dilakuan injeksi insulin saja. Dalam I2RC Short Time juga terdapat kolom area injeksi yang telah diperbesar dan dimodifikasi menyerupai tabel yang bertujuan agar pasien dapat memberi tanda () pada area yang telah dilakukan injeksi sebelumnya untuk menghindarkan pasien dari risiko injeksi berulang pada area yang sama. Sama seperti I2RC long time pada I2RC Short Time juga dilengkapi dengan NOTE yang bertujuan bertujuan untuk memudahkan pasien dalam menambahkan informasiinformasi khusus seperti menuliskan informasi mengenai hasil pemeriksaan gula darah ataupun informasi -informasi lain sesuai dengan keinginan pasien. 3. KESIMPULAN 1. Rotasi area injeksi insulin dapat mencegah terjadinya komplikasi lipohipertrofi pada pasien diabetes mellitus. Pendekatan media visual (kalender) pada manajemen terapi insulin dapat membantu memudahkan pasien pada teknik rotasi dikarenakan informasi yang disampaikan lebih jelas,
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
berkelanjutan dan mudah dipahami sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Penggunaan I2RC diharapkan dapat membantu pasien agar dapat melakukan rotasi injeksi insulin secara tepat dan benar sehingga menghindarkan pasien dari komplikasi lipohipertrofi akibat terbatasnya rotasi injeksi. 2. I2RC dibedakan dalam dua jenis yaitu I2RC Long Time dan I2RC Short Time sehingga masing-masing kalender ini dapat diaplikasikan pada pasien dengan terapi insulin long time (1x injeksi dalam sehari) serta pasien dengan penggunaan insulin short time (>1x injeksi dalam sehari). Teknik penggunaan kedua kalender ini dirancang secara mudah. 4. SARAN 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dengan menggabungkan kedua jenis kalender I2RC Long Time maupun I2RC Short time dalam satu kalender agar lebih memudahkan pasien dalam pemilihan area injeksi. 2. Perlunya mengkaji lebih jauh terkait dengan pemilihan area injeksi yang disesuaikan dengan lamanya proses penyerapan insulin pada masingmasing area injeksi. DAFTAR PUSTAKA 1. PERKENI, Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Semarang: PB PERKENI, 2011. 2. L. a. Donnelly, a. D. Morris, and J. M. M. Evans, “Adherence to insulin and its association with glycaemic control in patients with type 2 diabetes,” Qjm, vol. 100, no. 6, pp. 345–350, 2007. 3. J. Cramer and M. Pugh, “The Influence of Insulin Use on Glycemic,” vol. 28, no. 1, pp. 78–83, 2005. 4. B. Vardar and S. Kizilci, “Incidence of lipohypertrophy in diabetic patients and a study of influencing factors,” Diabetes Res Clin Pr., vol. 77, pp. 231–236, 2007. 5. O. Kordonouri, R. Lauterborn, and D. Deiss, “Lipohypertrophy in young patients with type 1 diabetes,” Diabetes Care, vol. 25, no. 3, p. 63, 2002.
│68
6. G. Teft, “Lipohypertrophy: patient awareness and implications for practice - clinical audit,” J Diabetes Nurs., vol. 6, no. 1, pp. 20 – 23, 2002. 7. U. Diabetes, “Lipohypertrophy and lipoatrophy,” Diabetes UK, London, 2006. 8. B. Tridjaja, Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 1. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009. 9. U. Johansson, S. Amberg, L. Hannerz, and E. Al, “Impaired absorption of insulin aspart from lipohypertrophic injection sites,” Diabetes Care, vol. 28, pp. 2025– 2027, 2005. 10. Kumboyono, “perbedaan efek penyuluhan kesehatan menggunakan media cetak dengan media audio visual terhadap peningkatan pengetahuan pasien tuberkulosis,” J. Ilm. Kesehat. Keperawatan, vol. 7, no. 1, pp. 9–25, 2011.
│BIMIKI | Volume 3 No 2 | Juli -Desember 2015
11. Kamus Besar Bahasa Indonesia, 4th ed. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. 12. M. Basi, D. Hicks, F. Kirkland, J. Pledger, and S. Burmiston, “Improving diabetes injection technique,” Clin Serv J, 2010. 13. J. Diggle, “The management of diabetes and best practice in injection technique,” vol. 13, no. 2, 2015.
│69