Bimabi vol 3 no1

Page 1

COVER


SUSUNAN PENGURUS Pelindung Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) Ema Martawijaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Penyunting Ahli Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd. Universitas Airlangga

Tri Novi Kurnia, Sst, M.Kes. Universitas Brawijaya

Board of Director Farida Fitriana, S.Keb. Universitas Airlangga

Pimpinan Umum

Penyunting Pelaksana Novi Nurul Fadilla Universitas Airlangga Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga Dian Rahma Utari Universitas Brawijaya Christina Irianti Universitas Brawijaya

Winda Rinawan Universitas Brawijaya

Humas dan Promosi Pimpinan Redaksi Fatimah Nuril Alifah Universitas Airlangga

Himmatul ‘Inayah Universitas Airlangga Bintang Dwita Dewantari Universitas Airlangga Atika Nadia Universitas Airlangga Sauli Nur Laili Universitas Brawijaya Lisa Diana Putri Universitas Brawijaya

Sekretaris & Bendahara Rizqotul Maghfiroh Rojuli Universitas Airlangga

Tata Letak dan Layout Romadhinniar Febriana Universitas Airlangga Arintika Choirunnisa Islami Universitas Airlangga Mu’adzah Chamidatus S. Universitas Airlangga Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya Puput Maulidah Fatmala Universitas Brawijaya

i BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


DAFTAR ISI

ISSN : 2338-6460

Susunan Pengurus................................................................................................................................... i Daftar Isi...................................................................................................................................................... ii Petunjuk Penulisan ……......................................................................................................................... iii Sambutan Pimpinan Umum................................................................................................................ viii

Penelitian Hubungan Gaya Hidup Ibu Hamil Dengan Kejadian Preeklamsia Eryka I. Siswianti, Hilmi Yumni, Sulistiawati, Muhammad Ardian ..................................................................................................................................................................................................................................

1

Efektivitas Senam Nifas Pada Ibu Menyusui Terhadap Involusi Uterus (TFU) Ibu Multipara Hari 1-7 Postpartum Di Puskesmas Ciptomulyo Malang Devinda Febrianti Saputri, Tri Novi Kurnia Wardani, Tatit Nursetta ..................................................................................................................................................................................................................................

6

Faktor Risiko Pada Menarche Dini Vivi Nur Vitriani, Sri Utami, Sri Ratna Dwiningsih, Bambang Purwanto ..................................................................................................................................................................................................................................

17

Kadar Hemoglobin Ibu Hamil Pada Kejadian Partus Normal Dan Prematurus Betty Oktaviana, Djohar Nuswantoro, Aditiawarman, Hilmi Yumni ..................................................................................................................................................................................................................................

25

Hubungan Antara Irama Sirkadian Ibu Dengan Waktu Terjadinya Persalinan Fisiologis Di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara Farida Fitriana, Gadis Meinar Sari, Aditiawarman, Netti Herlina ..................................................................................................................................................................................................................................

33

Pengaruh Pijat Oksitosin Terhadap Pengeluaran Asi Pada Ibu Nifas Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013 Siti Fadhilah, Dian Monalisa Rusliani, Yuni Kusmiyati ..................................................................................................................................................................................................................................

41

Penyegar Gerakan 30 Menit Per Hari Menemani Anak Sebagai Upaya Untuk Menghindari Penyakit Sosial Dan Meningkatkan Sumber Daya Manusia Jepang 2020 Ida Mar’atus Sholihah ..................................................................................................................................................................................................................................

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

49

ii


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi) Indonesian Midwifery Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan. Petunjuk Bagi Penulis : 1. BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3.

Naskah

dikirim

melalui

email

ke

alamat

redaksibimabi@bimkes.org

dan

bimabi@ismafarsi@org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

-

Metode

-

Hasil

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

iii


-

Saran

5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

-

Saran

5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

-

Laporan kasus

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

5. Daftar Rujukan 8.

Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.

9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

iv


10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut:

Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut : Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku […] Contoh penulisan sitasi : Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1] Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2] A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.

Dengan dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

v


Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.

Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.

Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.

Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956.

Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.

Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.

Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh:

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

vi


Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du savoir, 1969.

Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78.

Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

3. PUBLIKASI ELEKTRONIK Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria

9.1

(1997).

22

June

1998

<http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm>

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

vii


Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel> Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003.

Purdue

University.

6

Februari

2003.

<http://owl.english.purdue.

edu/handouts/research/r_mla.html>.

Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel> Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

viii


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Assalamu’alaikum wr. Wb. Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ridhoNya BIMABI Volume 3 nomor 1 dapat kami terbitkan. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada seluruh tim penerbit, penulis, dan mitra bestari serta seluruh mahasiswa kesehatan Indonesia khususnya mahasiswa kebidanan yang telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI edisi pertama pada tahun 2015. Dukungan dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) serta Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) merupakan dorongan besar sekaligus membatu kami menyelesaikan beberapa hambatan dan rintangan dalam proses pembuatan hingga penerbitan BIMABI sekaligus beberapa pihak yang ikut terlibat lainnya. Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) merupakan satu-satunya berkala ilmiah yang memuat hasil tulisan, karya tulis ilmiah dan penelitian dari mahasiswa kebidanan Indonesia. Tulisan yang termuat dalam BIMABI merupakan tulisan yang telah melalui hasil serangkaian seleksi dari tim redaksi dan mitra bestari diharapkan dapat meningkatkan dan menjadikan tulisan yang berkualitas tinggi. Besar harapan saya untuk BIMABI ini dapat bertahan tetap konsisten menerbitkan hasil tulisan mahasiswa kebidanan ditengah kurangnya minat publikasi tulisan mahasiswa kebidanan. Semoga dengan terbitnya BIMABI vol.3 no.1 ini dapat mendorong dam memotivasi mahasiswa kebidanan dalam meningkatkan kesadaran menulis ilmiah dan mempublikasikan tulisannya. Dengan adanya peningkatan itu saya yakin bahwa mahasiswa kebidanan dapat turut andil dalam peningkatan ilmu pengetahuan terlebih untuk profesi Bidan itu sendiri. Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun pemilihan kata. Kami dengan terbuka menerima kritik dan saran guna membuat BIMABI menjadi lebih baik. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Wassalamu’alaikum wr.wb Malang, 26 February 2015

Winda Rinawan (Pimpinan Umum)

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

ix


Penelitian

HUBUNGAN GAYA HIDUP IBU HAMIL DENGAN KEJADIAN PREEKLAMSIA Eryka I. Siswianti1, Hilmi Yumni2, Sulistiawati3, Muhammad Ardian4 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya 3 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 4 Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya

Abstrak Pendahuluan : Gaya hidup merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang. Gaya hidup yang tidak sehat bisa mengakibatkan obesitas, hipertensi, maupun diabetes mellitus dan penyakit-penyakit ini meninghatkan risiko kejadian preeklamsia. Preeklamsia merupakan suatu penyakit yang terjadi pada ibu hamil setelah 20 minggu kehamilan dan merupakan peringkat kedua dari lima penyebab utama kematian ibu dalam bidang obstetri di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan gaya hidup dengan kejadian preeklamsia. Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik obsevasional dengan bentuk case control. Populasi yang digunakan adalah seluruh ibu hamil yang memeriksakan diri ke poli hamil RSUD dr. M. Soewandhie pada bulan Mei - Juni, dengan jumlah sebanyak 656 ibu hamil. Cara pengambilan sampel menggunakan quota sampling, dengan 100 responden yang terdiri dari 50 responden dari kelompok kontrol dan 50 responden dari kelompok kasus. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Analisis data menggunakan uji korelasi Chi Square. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan dari 50 responden dengan preeklamsia 30% memiliki gaya hidup yang cukup dan 70% lainnya dengan gaya hidup kurang. Sedangkan pada 50 responden normal 42% dengan gaya hidup cukup dan 58% dengan gaya hidup kurang. Hasil uji Chi Square p = 0,211. Sehingga p > Îą, maka H0 gagal ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara gaya hidup dengan kejadian preeklamsia. Kesimpulan : Kesimpulan penelitian ini, lebih dari separuh responden dari kelompok kontrol dan kelompok kasus memiliki gaya hidup kurang dan tidak ada hubungan gaya hidup dengan kejadian preeklamsia. Peningkatan gaya hidup perlu diupayakan untuk menurunkan risiko terjadinya preeklamsia. Kata kunci : gaya hidup, preeklamsia, ibu hamil Abstract Background : Lifestyle is one of the factors that affect a person's health. Unhealthy lifestyle can lead to obesity, hypertension, and diabetes mellitus and diseases of the increase occurrence risk of preeclampsia. Preeclampsia is a disease that occurs in pregnant women after 20 weeks of pregnancy and the second of the five major causes of maternal mortality in the field obstetrics in Indonesia. The purpose of this study was to determine the correlation of lifestyle and preeclampsia. Metode : This research uses analytic observational study design with case-control form. Populations used were all pregnant women who went to poly pregnant dr. M. Soewandhie in May-June, its 656 pregnant women. This research use quota sampling, with 100 respondents which consisting of 50 respondents from the control group and 50 respondents from the cases group. The data was collected using a questionnaire with closed questions. Data analysis using Chi Square test of correlation.

BIMABI Volume 3No.1 | Januari-Juni 2015

1


Result : The results showed 50 of cases group 30% have sufficient lifestyle and 70% more with less lifestyle. While the 50 control group with 42% sufficient lifestyle and 58% with less lifestyle. Results of Chi Square test p = 0.211. So that p > Îą, then H0 is rejected failing which means there is no significant correlation between lifestyle and incidence of preeclampsia. Conclusion : Conclusions of this study, more than half of the respondents of the case and control groups had less lifestyle and no association with the incidence of preeclampsia lifestyle. Improved lifestyle is necessary to reduce the risk of preeclampsia. Keywords: lifestyle, preeclampsia, pregnant women 1.

PENDAHULUAN AKI merupakan indikator kematian ibu, yaitu jumlah kematian ibu dalam 100.000 kelahiran hidup. Preeklamsia/ eklamsia merupakan salah satu penyebab AKI yang masih menjadi momok dalam dunia kebidanan[1]. Kesehatan seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya gaya hidup[2]. DI RSUD dr. M. Soewandhie bulan Maret 2013 terdapat 637 ibu hamil yang memeriksakan diri, sebanyak 96 (15,07%) ibu mengalami preeklamsia dan hanya 95 (14, 91%) yang merupakan ibu dengan kehamilan normal. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah adakah hubungan gaya hidup terhadap kejadian preeklamsia di Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Soewandhie? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi 1) umur, 2) paritas, 3) pendidikan, 4) penghasilan keluarga, 5) tingkat aktivitas, 6) pola makan, 7) keterpaparan terhadap rokok, serta untuk menganalisa hubungan 8) umur ibu terhadap kejadian preeklamsi, 3.

9) paritas ibu terhadap kejadian preeklamsi, 10) pendidikan ibu terhadap kejadian preeklamsi, 11) penghasilan keluarga ibu terhadap kejadian preeklamsi, 12) tingkat aktivitas ibu terhadap kejadian preeklamsi, 13) pola makan ibu terhadap kejadian preeklamsi, 14) keterpaparan terhadap rokok ibu terhadap kejadian preeklamsi. 2.

METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional berbentuk case control. Populasi penelitian sebanyak 656 dengan sampel 50 kasus untuk masing-masing kelompok. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan quota sampling. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dengan metode wawancara terpimpin. Analisa data yang digunakan untuk mencari tahu adanya hubungan antara gaya hidup ibu hamil terhadap kejadian preeklamsia dengan analisis unuvariat dan analisis bivariat dengan uji chi square dan tingkat kemaknaan (Îą) 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Umur dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p OR Normal Preeklamsia Umur Risiko rendah 39 23 0,001 4,162 Risiko tinggi 11 27 Jumlah 50 50

Lebih dari separuh (62%) responden berasal dari kelompok umur risiko tinggi. Terdiri atas 39 responden dari kelompok kontrol dan 23 responden dari kelompok kasus. Hasil analisis statistik hubungan umur dengan kejadian preeklamsia menunjukkan bahwa ibu hamil dengan

kelompok umur risiko tinggi berisiko 4,16 kali lebih besar mengalami preeklamsia selama kehamilannya (95% CI: 1,744 – 9,935). Umur yang ekstrim merupakan faktor risiko terjadinya preeklamsia. Umur yang ekstrim ini diterjemahkan sebagai umur < 20 tahun dan > 35 tahun[1,3].

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

2


Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Paritas dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p Normal Preeklamsia Paritas Primigravida 9 12 0,461 Multigravida 41 38 Jumlah 50 50 Sebagian besar (79%) responden berstatus multipara, yang terdiri atas 41 responden dari kelompok kontrol dan 38 responden dari kelompok kasus. Secara statistik tidak terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian preeklamsia.

Seorang primigravida berisiko 2 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklamsia dibandingkan ibu multigravida[4]. Terjadi kesenjangan antara hasil penelitian dengan teori, hal ini bisa terjadi karena instrumen yang tidak adekuat.

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pendidikan dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p Normal Preeklamsia Pendidikan Baik 20 20 1,00 Cukup 30 30 Jumlah 50 50 Lebih dari separuh (60%) responden memiliki pendidikan baik. Terdiri atas 30 responden dari kelompok kontrol dan 30 responden dari kelompok kasus. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendidikan dengan kejadian preeklamsia. Pendidikan

bukan merupakan faktor langsung yang memepengaruhi perilaku seseorang, melainkan pengetahuan.Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan[5].

Tabel 4 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Penghasilan dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p Normal Preeklamsia Penghasilan Baik 34 27 0,151 Cukup 16 23 Jumlah 50 50 Lebih dari separuh (61%) responden dengan penghasilan kurang. Terdiri atas 16 responden dari kelompok kontrol dan 23 responden dari kelompok kasus.Hasil uji statistik menunjukkan tidak adanya hubungan antara penghasilan dengan kejadian preeklamsia. Penghasilan keluarga menunjukkan tingkat kemampuan

seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat ekonomi seseorang mempengaruhi asupan nutrisi yang bisa ia dapatkan, namun dari tingkat ekonomipun bisa muncul masalah baru, yaitu pola makan yang buruk, baik pada golongan ekonomi menengah ke atas maupun golongan menengah ke bawah.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

3


Tabel 5 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Aktivitas dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p OR Normal Preeklamsia Aktivitas

Baik

7

20

Cukup

43 50

30 50

Jumlah Lebih dari separuh (73%) responden dengan aktivitas kurang. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara aktivitas dengan kejadian preeklamsia (p = 0,003). Ibu hamil dengan aktivitas kurang berisiko 4,09 lebih tinggi mengalami preeklamsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan

0,003

4,095

aktivitas fisik yang cukup. Kemajuan teknologi telah berangsur-angsur merubah gaya hidup masyarakat menjadi kurang gerak sehingga meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya preeklamsia[1,4].

Tabel 6 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pola Makan dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p OR Normal Preeklamsia Pola makan Baik 44 33 0,009 0,265 Cukup 6 17 Jumlah 50 50 Separuh (50%) responden dengan pola makan cukup. Hasil analisis statistik menunjuukan ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan kejadian preeklamsia (p = 0,009). Ibu hamil dengan pola makan kurang berisiko 0,26 lebih tinggi mengalami preeklamsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan pola makan yang cukup. Kebiasaan makan

masyarakat kini telah bergeser jauh, dari makanan yang sehatmenjadi ketergantungan terhadap makananmakanan berisiko seperti makanan cepat saji, makanan ringan olahan, dan minuman manis. Makanan jenis ini cenderung tinggi lemak dan kalori, sehingga meningkatkan risiko terjadinya hipertensi yang berarti meningkatkan risiko terjadinya preeklamsi.

Tabel 7 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Keterpaparan terhadap Rokok dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p Normal Preeklamsia Keterpaparan terhadap Rokok

Baik

23

14

Cukup

27 50

36 50

Jumlah Separuh (50%) responden memiliki keterpaparan terhadap rokok yang kurang. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara keterpaparan terhadap rokok dengan kejadian preeklamsia (p = 0,062). Perokok

0,062

berisiko 2 kali lipat mengalami proteinuri[6]. Pada kasus preeklamsia, proteinuri merupakan salah satu indikator penting untuk mendiagnosa tingkat keparahannya, disamping tekanan darah.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

4


Tabel 8 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Gaya Hidup dengan Kejadian Preeklamsia Kejadian Preeklamsia p Normal Preeklamsia Gaya hidup Baik 21 15 0,211 Cukup 29 35 Jumlah 50 50

Lebih dari separuh (64%) responden dengan gaya hidup kurang. Terdiri atas 29 responden dari kelompok kontrol dan 35 responden dari kelompok kasus. Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara gaya hidup dengan kejadian preeklamsia (p = 0,211). Gaya hidup merupakan frame of reference yang dipakai seseorang dalam bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu[7]. 4.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan dari penelitian ini adalah: 1) lebih dari separuh ibu hamil dengan umur risiko rendah, 2) sebagian besar ibu hamil dengan status multiparitas, 3) lebih dari separuh ibu hamil dengan pendidikan cukup, 4) lebih dari separuh ibu hamil dengan penghasilan cukup, 5) lebih dari separuh ibu hamil dengan aktivitas kurang, 6) separuh ibu hami dengan pola makan cukup, 7) lebih dari separuh ibu hamil dengan keterpaparan terhadap rokok kurang, 8) ada hubungan antara umur dengan kejadian preeklamsia, 9) tidak ada hubungan antara paritas dengan kejadian preeklamsia, 10) tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kejadian preeklamsia, 11) tidak ada hubungan antara penghasilan dengan kejadian preeklamsia, 12) ada hubungan antara aktivitas dengan kejadian preeklamsia, 13) ada hubungan antara pola makan dengan kejadian preeklamsia, 14) tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian preeklamsia, 15) tidak ada

BIMABI Volume 3No.1 | Januari-Juni 2015

hubungan antara gaya hidup dengan kejadian preeklamsia di Rumah Sakit Umum Daerah dr. M. Soewandhie. DAFTAR PUSTAKA 1. Saifuddin, Abdul Bari, 2010, Ilmu Kebidanan, Jakarta: Penerbit BP-SP. 2. Wijaya, I Putu A, 2009, Hubungan Gaya Hidup dengan Kejadian Hipertensi pada Pasien Rawat Jalan di Poli Penyakit Dalam Rumah Sakit Kepolisian Pusat Raden Said Sukanto Jakarta tahun 2009. Skripsi, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. 3. Scott, James L, 2002, Danforth Buku Saku Obstetri dan Ginekologi Edisi 3, Jakarta: Widya medika. 4. Billington, Marry dkk, 2009, Kegawatan dalam kehamilanpersalinan, Jakarta: EGC. 5. Notoatmodjo, Soekidjo, 2007, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. 6. Noborisaka, Yuka, et al., 2012, The Effects of Continuing and Discontinuing Smoking on The Development of Chronic Kidney Disease (CKD) in The Healthy MiddleAged Working Population in Japan, The Japanese, Environ Health Prev Med, vol 18, pp 24-32. 7. Franco, Oscar, 2004, Membidik Gaya Hidup, http://www.jakartaconsulting.com/art01 diakses tanggal 2 Maret 2009.

5


Penelitian

EFEKTIVITAS SENAM NIFAS PADA IBU MENYUSUI TERHADAP INVOLUSI UTERUS (TFU) IBU MULTIPARA HARI 1-7 POSTPARTUM DI PUSKESMAS CIPTOMULYO MALANG Devinda Febrianti Saputri1, Tri Novi Kurnia Wardani1, Tatit Nursetta2 1

Program Studi S1 Kebidanan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang 2 Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang

Abstrak Pendahuluan : Pada tahun 2008 angka kematian ibu di Indonesia sebanyak 228 dan tahun 2012 meningkat menjadi 359, penyebab terbanyak adalah perdarahan postpartum. Salah satu penyebab terjadinya perdarahan postpartum adalah penyusutan rahim yang tidak baik, hal ini diakibatkan karena tidak adanya kontraksi dan retraksi serabut otot uterus. Upaya yang dapat mencegah terjadinya perdarahan postpartum yang diakibatkan oleh penurunan fundus uteri yang lambat yaitu menyusui dan melakukan senam nifas. Menyusui dapat merangsang putting susu yang dapat mengeluarkan hormon oksitosin, yang memacu kontraksi otot rahim dan pada senam nifas, gerakannya dapat merangsang terjadinya kontraksi otot perut, sehingga dapat membantu proses involusi uterus dengan baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ibu nifas yang menyusui dengan diberi senam nifas lebih efektif terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri hari pertama sampai ketujuh postpartum. Metode : Desain penelitian eksperimen menggunakan static group comparison, terdapat kelompok kontrol dan perlakuan. Penelitian dilakukan tanggal 24Juni-24Juli 2014 di BPM Wilayah kerja Puskesmas Ciptomulyo kota Malang dengan sampel 30 orang, ditentukan secara purposive sampling, 15 orang menyusui dan 15 orang menyusui dengan diberi senam nifas. Hasil : Hasil uji normalitas dengan shapiro-wilk, sedangkan uji komparasi digunakan independent sample t test dan uji anova one way didapatkan ada penurunan tinggi fundus uteri (TFU) yang bermakna antar hari pada kelompok menyusui (p-value=0.000< ), rerata penurunannya 1cm, pada kelompok menyusui dengan diberi perlakuan senam nifas dengan hasil analisis (p-value=0.000< ), rata-rata penurunannya 2cm. Kesimpulan : Ada perbedaan penurunan bermakna antara ibu menyusui dan ibu menyusui yang diberi senam nifas, terlihat pada hari keempat postpartum dengan nilai hasil analisis (p-value=0.002< ). Kata kunci : Senam nifas, menyusui, multipara, involusi uteri Abstract Background : The death rate of pregnance women increased by 359 in 2012. The main cause of premature death in Indonesia is postpartum bleeding. The main reason for postpartum bleeding is due to the absence of uterus contraction which causes the womb does not come back to its original size. There is one way to stimulate contraction and lower the womb to avoid bleeding that is breastfeeding and postpartum exercise. The goal of this research is to inform whether breastfeeding mother and gymnastic is more effective to accelerate the lowering of fundus uteri since first day until seventh day of postpartum. Metode : The research design of this study was experimental research using static group comparison design, consisted of treatment group and control group. This research has conducted in 24 of June to 24 of July 2014 at BPM Ciptomulyo Health Center in Malang with 30 samples. The samples decided by purposive sampling method, where in 15 group of breastfeeding women and 15 group of breastfeeding women with gymnastic practicing.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

6


Result : The normality test resulted by shapiro-wilk, comparison test resulted by independent sample t-test and one way anova test, those are obtained the lowering high level of fundus uteri (TFU) which meant among the next day in breastfeeding group (control) (p-value=0.000< ) and on the average has declined to 1cm. Conclusion : The significant lowering has affected to the next day to the breastfeeding group by given to gymnastic with this analysis (p-value=0.000< ) and on the average has decined to 2cm. Keyword : Postpartum gymnastic, breasfeeding, multipara, uteri involution 1.

PENDAHULUAN Pada tahun 2008 angka kematian ibu di Indonesia sebanyak 228, tahun 2012 meningkat menjadi 359, penyebab kematian paling umum adalah penyebab obstetri yaitu perdarahan 42%[1,2]. Perdarahan postpartum merupakan 1 dari 3 (50-60%) penyebab umum pada kematian maternal, salah satu faktor predisposisinya adalah subinvolusi uterus akibat kelemahan otot rahim pada ibu postpartum multipara[3]. Gejala sub involusi uterus meliputi penurunan fundus uteri lambat, tonus uteri lembek, tidak ada perasaan mules pada ibu nifas yang mengakibatkan terjadinya perdarahan[4]. Involusi uterus merupakan suatu proses dimana uterus kembali ke kondisi sebelum hamil[5]. Involusi uterus disertai penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Hari 1 TFU diatas simpisis pubis sekitar 12cmse, setiap hari penurunan TFU 1cm, sehingga pada hari ke-7 TFU berkisar 5cm dan hari ke-10 TFU tidak teraba di simfisis pubis, pada proses kembalinya uteri inilah yang dapat mencegah perdarahan postpartum akibat ada kontraksi uteri yang baik dan normal[6,7]. Cara mencegah perdarahan postpartum yang diakibatkan oleh penurunan fundus uteri lambat (subinvolusi), karena kelemahan otot rahim dapat dipercepat dengan keadaan kelahiran tanpa komplikasi, pemberian ASI, dan pergerakan yaitu melakukan senam nifas[8]. Menurut Rifatul (2011), proses menyusui dapat mempercepat proses involusi uterus. Hal ini dikarenakan menyusui dapat merangsang putting susu terhadap ujung syaraf sensoris. Rangsangan putting susu akan diteruskan sampai kelenjar hipofisis belakang yang mengeluarkan hormon oksitosin. Hormon ini berfungsi memacu kontraksi otot polos dinding abdomen dan kontraksi otot rahim sehingga involusi rahim semakin cepat dan baik[9].

Larson (2002) melakukan penelitian dengan melakukan survey acak tentang efek senam nifas pada 1003 wanita postpartum Amerika. Pada penelitian ini didapatkan bahwa wanita Amerika setelah mengikuti program senam nifas dengan teratur mengaku rahim mengalami pengerutan lebih kuat dan mengalami penurunan berat badan[5]. latihan senam nifas dapat segera dimulai 24 jam setelah melahirkan[10]. Menurut laporan kematian ibu bulan Januari-Desember tahun 2013 di kota Malang, salah satu penyebab kematian yaitu perdarahan postpartum [11]. Berdasarkan survey di beberapa Puskesmas dan BPM kota Malang, bahwa selama ini senam nifas belum dilakukan baik di Puskesmas maupun di pelayananpelayanan BPM tertentu dan kenyataan di masyarakat masih banyak ibu-ibu postpartum belum tahu tentang senam nifas, sehingga ibu-ibu tidak melaksanakan. Hal ini disebabkan antara lain kurang informasi dan belum menyadari tentang manfaat senam nifas. Dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk penelitian mengenai “Efektivitas senam nifas pada ibu menyusui terhadap involusio uteri (TFU) ibu multipara hari 1-7 postpartum di Puskesmas Ciptomulyo Malang.� Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ibu nifas multipara yang menyusui dengan diberi senam nifas lebih efektif terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri hari 1-7 postpartum, dibandingkan dengan ibu nifas multipara yang hanya menyusui tanpa melakukan senam nifas. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, untuk mengembangkan, memahami dan menambah pengetahuan yang telah ada tentang efektivitas senam nifas pada ibu menyusui terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri (TFU) kepada mahasiswa sehingga berguna untuk mengembangkan riset kebidanan.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

7


2.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian. Penelitian menggunakan eksperimen dengan rancangan static group comparison. Terdapat kelompok perlakuan (senam nifas) dan kelompok pembanding (kontrol). Dimana peneliti melihat involusi uteri pada ibu postpartum dengan mengukur TFU pada kelompok perlakuan setelah melakukan senam nifas dan pada kelompok kontrol yang tidak diberi senam nifas. Populasi. Seluruh ibu postpartum multipara yang menyusui hari 1-7, pada periode 24 Juni-24 Juli 2014 di Puskesmas Ciptomulyo Malang. Jumlah Sampel dan Teknik Sampling Prosedur Penelitian. Jumlah sampel 30 ibu postpartum multipara yang menyusui dan dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 15 ibu menyusui dengan perlakuan (senam nifas) dan 15 ibu menyusui sebagai kelompok kontrol sampel diambil secara purposive sampling. Prosedur Penelitian. Peneliti melakukan studi pendahuluan pada bulan April di tempat penelitian yaitu di bidan praktek mandiri wilayah Puskesmas Ciptomulyo Malang untuk melihat banyaknya ibu multigravida yang bersalin di tempat tersebut. Mengumpulkan data ibu multigravida yang melakukan ANC pada kehamilan trimester tiga dan melihat taksiran persalinan pada 24 Juni-24 Juli 2014. Memilih responden penelitian sesuai dengan kriteria inklusi. Melakukan pendekatan, membina hubungan baik dengan calon responden, pengelola dan seluruh tenaga kesehatan di tempat penelitian. Metode Pengolahan Data dan Analisa Data. Dalam penelitian ini teknik analisis data dilakukan beberapa uji berturut-turut yaitu uji normalitas dengan uji shapiro-wilk, uji komparasi digunakan uji t sampel bebas (independent sample t-test), anova one way (uji F). Semua penghitungan dilakukan dengan bantuan piranti lunak (soft-ware) SPSS for windows 19.0.

3.

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA Berdasarkan gambar 1 diperoleh data bahwa keikutsertaan responden dalam melakukan senam nifas sebanyak 50% (15 orang) dan yang tidak melakukan senam nifas sebanyak 50% (15 orang).

Gambar 1. Diagram presentase keikutsertaan responden dalam senam nifas dan tidak melakukan senam nifas di Puskesmas Ciptomulyo kota Malang 3.1.

Hasil Uji Prasyarat Parametrik Hasil analisis data pada uji normalitas dilakukan dengan menggunakan uji shapiro-wilk. Adapun kriteria keputusan, yaitu bila nilai sig (pvalue) lebih besar dari=0,05 maka data terdistribusi normal dan sebaliknya bila nilai sig atau p-value lebih kecil dari =0,05 maka data tidak terdistribusi normal. Analisis uji shapiro-wilk diperoleh bahwa data tinggi fundus uteri kelompok kontrol tidak terdistribusi normal pada pengamatan hari ke-1 sampai dengan hari ke-7 kecuali pada hari ke-6 terdistribusi normal (pvalue=0.125> ). Sedangkan data tinggi fundus uteri kelompok perlakuan senam terdistribusi normal pada pengamatan hari ke-1 sampai hari ke-6 dan hari ke-7 tidak terdistribusi normal (p-value=0.037< ). 3.2.

Hasil Uji Perbandingan Kelompok Kontrol Dengan Perlakuan Senam Nifas Pada hasil uji perbandingan tinggi fundus uteri (TFU) antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan senam dengan menggunakan uji mann-whitney untuk data yang tidak terdistribusi normal dan menggunakan uji t sampel bebas (Independent Samples t test) dijelaskan dan ditunjukkan secara ringkas seperti tampak tabel di bawah ini

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

8


Tabel 1 Perbandingan Kelompok Kontrol Dengan Perlakuan Senam p-value pengamatan tiap kontrol Perlakuan senam hari mean±stan.dev mean±stan.dev Ke-1 2.03±0.13 12.00±0. 0.967 Ke-2 11.07±0.26 10,87±0.70 0.161 Ke-3 9.95±0.30 9.63±0.90 0.305 Ke-4 8.87±0.52 7.78±1.00 0.002 Ke-5 7.70±0.45 5.74±0.89 0.000 Ke-6 6.07±0.65 3.53±0.81 0.000 Ke-7 4.44±0.7 1.23±0.59 0.000 Keterangan: Jika p-value<0.05 berarti ada perbedaan yan bermakna dan jika pvalue>0.05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. Tampak pada Tabel 1, pengamatan hari 1 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (p-value=0.967> ) rerata TFU kelompok kontrol (12.03±0.13cm) dengan kelompok ibu kelompok perlakuan (12.00±0.50cm). Demikian pula pada pengamatan hari ke-2 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna (p-value=0.161> ) rerata TFU kelompok kontrol (11.07±0.26cm) dengan kelompok perlakuan (10.87±0.70cm). Pengamatan hari ke-3 menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna (pvalue=0.305> ) rerata TFU kelompok kontrol (9.95±0.30cm) dengan kelompok perlakuan (9.63±0.90cm). Hari ke-4 menunjukkan mulai ada perbedaan bermakna (p-value=0.002> ) rerata TFU kelompok kontrol (8.87±0.52cm) dengan kelompok perlakuan senam (7.78±1.00cm). Bila berdasarkan nilai reratanya tampak ada penurunan TFU pada kelompok perlakuan dibandingkan yang tidak diberi, berarti ada pengaruh pemberian perlakuan senam nifas pada ibu postpartum multipara yang menyusui yaitu senam mampu menurunkan secara signifikan TFU mulai hari ke-4. Pengamatan pada hari ke-5 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (p-value=0.000< ) rerata TFU kelompok kontrol (7.70±0.45cm) dengan

kelompok perlakuan (5.74±0.89cm). Pengamatan pada hari ke-6 menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (pvalue=0.000< ) rerata TFU kelompok kontrol (6.07±0.65cm) dengan kelompok perlakuan (3.53±0.81cm). Selanjutnya pengamatan pada hari ke-7 juga menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (p-value=0.000< ) rerata TFU antara kelompok kontrol (4.44±0.72cm) dengan kelompok ibu postpartum perlakuan (1.23±0.59cm). Bila berdasarkan nilai rerata mulai pengamatan hari ke-4 sampai hari ke-7 tampak ada penurunan TFU yang signifikan pada kelompok perlakuan dibandingkan yang tidak diberi. Hal ini berarti ada pengaruh pemberian senam nifas terhadap ibu postpartum multipara menyusui dan senam nifas mampu menurunkan secara signifikan TFU pada hari ke-7. 3.3.

Hasil Uji Perbandingan Antar Hari Atau Waktu Pada Kelompok Kontrol Hasil uji kruskal-wallis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (pvalue=0.000< ) rerata tinggi fundus uteri antar pengamatan selama 7 hari berturutturut pada ibu postpartum multipara yang menyusui tanpa perlakuan senam (kontrol)

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

9


Tabel 2 Hasil Perbandingan Pada Kelompok Kontrol p-value Pengamatan mean±stan.dev Hari ke-1 12.03±0.12a Hari ke-2 11.07±0.26b Hari ke-3 9.94±0.30c Hari ke-4 8.87±0.52d 0.000<α Hari ke-5 7.70±0.45e Hari ke-6 6.07±0.65f Hari ke-7 4.44±0.722g Keterangan: Jika p-value<0.05 berarti ada perbedaan yang bermakna dan jika pvalue>0.05 berarti tidak ada perbedaan yang bermakna Pada Tabel 2 berdasarkan hasil uji mann-whitney menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna rerata TFU antara pengamatan hari 1 sampai pengamatan hari ke-7. Pada Tabel 2 menjelaskan bahwa ada penurunan yang bermakna rerata TFU pada kelompok

kontrol. Secara keseluruhan pengamatan dari hari 1-7, rerata TFU ibu postpartum multipara menyusui tanpa perlakuan senam (kontrol) menunjukkan ada penurunan tiap-tiap hari yang signifikan secara statistic.

Gambar 5.2 Tren penurunan rerata tinggi fundus uteri pada kelompok kontrol Gambar 2 menunjukkan tren penurunan rerata tinggi fundus uteri pada ibu postpartum multipara menyusui tanpa perlakuan senam (kontrol) menunjukkan ada penurunan tiap-tiap hari yang signifikan secara statistik. Bila berdasarkan nilai reratanya tampak menunjukkan bahwa berkisar rata-rata penurunannya 1cm. Nilai rerata tinggi fundus uteri terendah dicapai pada saat pengamatan hari ke-7.

3.4.

Hasil Uji Perbandingan Antar Hari Atau Waktu Pada Kelompok Perlakuan Senam Nifas Hasil uji anova one way menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna (p-value=0.000< ) rerata tinggi fundus uteri antar pengamatan selama 7 hari berturut-turut pada ibu postpartum multipara menyusui dengan pemberian perlakuan senam nifas

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

10


Tabel 3 Hasil Perbandingan Pada Kelompok Perlakuan Senam Nifas p-value Pengamatan mean±stan.dev Hari ke-1 12.00±0.50a Hari ke-2 10.87±0.69b Hari ke-3 9.63±0.90c Hari ke-4 7.98±0.92d 0.000<α Hari ke-5 5.74±0.90e Hari ke-6 3.53±0.81f Hari ke-7 1.23±0.60 Keterangan: Jika p-value<0.05 berarti ada perbedaan yangbermakna dan jikap value>0.05berarti tidak ada perbedaan yang bermakna. Pada tabel 3 Berdasarkan hasil uji beda nyata terkecil (BNT) atau LSD menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna rerata TFU antara pengamatan hari 1 sampai pengamatan hari ke-7. Tabel 3 menjelaskan bahwa ada penurunan yang bermakna rerata TFU pada ibu postpartum

multipara menyusui diberi perlakuan senam nifas. Secara keseluruhan pengamatan dimulai dari hari 1-7 rerata TFU ibu postpartum multipara menyusui yang diberi perlakuan senam nifas menunjukkan ada penurunan tiap-tiap hari yang signifikan secara statis

Gambar 3 Tren penurunan rerata tinggi fundus uteri pada kelompok perlakuan senam nifas Gambar 3 menunjukkan tren penurunan normal pada pengamatan hari ke 1-7 rerata tinggi fundus uteri pada ibu kecuali pada hari ke-6 terdistibusi normal postpartum multipara yang menyusui diberi (p-value=0.125>∝). Sedangkan kelompok perlakuan senam menunjukkan ada perlakuan senam nifas, penurunan tinggi penurunan tiap-tiap hari yang signifikan fundus uteri terdistribusi normal pada secara statistik. Bila berdasarkan nilai pengamatan hari 1-6 dan pada hari ke-7 rerata tampak menunjukkan bahwa tidak terdistribusi normal (pberkisar rata-rata penurunannya 2cm. Nilai value=0.037<∝). Pada uji analisis di rerata tinggi fundus uteri terendah dicapai dapatkan nilai (p-value=0.000<∝), hasil pada saat pengamatan hari ke-7. analisis ini dapat disimpulkan bahwa ada perbandingan bermakna antara kelompok 4. PEMBAHASAN menyusui (kontrol) dan kelompok menyusui 4.1. Perbandingan Penurunan Tinggi dengan senam nifas yang terjadi mulai hari Fundus Uteri Antara Kelompok ke-4 postpartum hingga hari ke-7 Menyusui (Kontrol) Dan Kelompok postpartum. Jika di lihat dari nilai reratanya Menyusui Dengan Perlakuan tampak ada penurunan yang signifikan Senam Nifas tinggi fundus uteri pada kelompok ibu Hasil yang didapatkan tinggi fundus postpartum multipara yang menyusui uteri kelompok kontrol tidak terdistribusi dengan pemberian senam nifas

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

11


dibandingkan yang tidak diberi. Dapat disimpulkan bahwa senam nifas mampu ibu postpartum multipara yang menyusui, sehingga pemberian senam nifas pada ibu menyusui sangat efektif untuk mempercepat penurunan tinggi fundus uteri ibu postpartum. Hasil data dan uji analisis ini di dukung dengan teori-terori yang mengatakan bahwa menyusui dan senam nifas dapat mempercepat penurunan tinggi fundus uteri. Manuaba (2010) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan TFU yaitu senam nifas dan menyusui[8]. Menurut Varney (2008) Involusi sering dipercepat prosesnya bila ibu tersebut menyusui anaknya, sedangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi Involusi uteri adalah pergerakan pada saat postpartum[12]. 4.2.

Perbandingan Penurunan Tinggi Fundus Uteri Antara Kelompok Menyusui (Kontrol) Dan Kelompok Menyusui Dengan Perlakuan Senam Nifas Hasil yang didapatkan tinggi fundus uteri kelompok kontrol tidak terdistribusi normal pada pengamatan hari ke 1-7 kecuali pada hari ke-6 terdistibusi normal (p-value=0.125>�). Sedangkan kelompok perlakuan senam nifas, penurunan tinggi fundus uteri terdistribusi normal pada pengamatan hari 1-6 dan pada hari ke-7 tidak terdistribusi normal (pvalue=0.037<�). Pada uji analisis di dapatkan nilai (p-value=0.000<�), hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa ada perbandingan bermakna antara kelompok menyusui (kontrol) dan kelompok menyusui dengan senam nifas yang terjadi mulai hari ke-4 postpartum hingga hari ke-7 postpartum. Jika di lihat dari nilai reratanya tampak ada penurunan yang signifikan tinggi fundus uteri pada kelompok ibu postpartum multipara yang menyusui dengan pemberian senam nifas dibandingkan yang tidak diberi. Dapat disimpulkan bahwa senam nifas mampu menurunkan secara signifikan tinggi fundus uteri ibu postpartum multipara yang menyusui, sehingga pemberian senam nifas pada ibu menyusui sangat efektif untuk mempercepat penurunan tinggi fundus uteri ibu postpartum. Hasil data dan uji analisis ini di dukung dengan teori-terori yang mengatakan bahwa menyusui dan

menurunkan secara signifikan tinggi fundus uteri senam nifas dapat mempercepat penurunan tinggi fundus uteri. Manuaba (2010) mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan TFU yaitu senam nifas dan menyusui[8]. Menurut Varney (2008) Involusi sering dipercepat prosesnya bila ibu tersebut menyusui anaknya, sedangkan faktor lain yang dapat mempengaruhi Involusi uteri adalah pergerakan pada saat postpartum[12]. Pemberian ASI (menyusui) dapat membuat rahim berkontraksi dengan cepat, (hisapan puting susu merangsang dikeluarkannya hormon oksitosin yang membantu kontraksi rahim), mencegah perdarahan setelah proses persalinan dan dapat membantu mempercepat proses kembalinya rahim (involusi uterus) ke posisi semula[13]. Hasil penelitian sesuai dengan Bahiyatun (2009), bahwa involusi uterus salah satunya dipengaruhi oleh kesediaan ibu untuk menyusui. Karena hisapan bayi pada putting susu akan merangsang otot polos payudara yang kemudian merangsang susunan saraf di sekitarnya dan diteruskan ke otak. Otak memerintahkan kelenjar hipofisis posterior untuk mengeluarkan hormon pituitarin lebih banyak, sehingga hormon esterogen dan progesteron yang masih ada menjadi lebih rendah. Pengeluaran hormon pituitarin yang lebih banyak akan mempengaruhi kuatnya kontraksi otot-otot polos payudara dan uterus. Kontraksi otot payudara tersebut berguna untuk mempercepat involusi uterus. Wanita yang memilih untuk menyusui bayinya secara eksklusif, isapan bayi menstimulasi ekskresi oksitosin pada payudara, keadaan ini membantu kelanjutan involusi uterus dan pengeluaran ASI. Setelah plasenta lahir, sirkulasi HCG, esterogen, progesteron dan hormon laktogen plasenta menurun cepat, keadaan ini menyebabkan perubahan fisiologis pada ibu nifas atau postpartum. Ukuran uterus pada masa nifas umumnya akan kembali dengan sendirinya, akan tetapi dengan pemberian ASI eksklusif dapat membantu uterus berkontraksi dan mempercepat involusi uterus ibu postpartum. Hal ini bisa terjadi apabila ibu tetap menyusui bayinya. Produksi oksitosin yang terlepas dari kelenjar hipofise dapat memperkuat, mengatur kontraksi, mengkompresi

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

12


pembuluh darah, membantu proses hemoistasis[6]. Pada teori senam nifas juga dijelaskan bahwa manfaat dan tujuan dari senam nifas secara umum adalah membantu penyembuhan rahim, perut, dan otot pinggul yang mengalami trauma serta mempercepat kembalinya bagian-bagian tersebut ke bentuk normal salah satunya adalah involusio uterus[10,14]. Menurut Cristina Ibrahim (2012) senam nifas merupakan salah satu usaha untuk menguatkan kontraksi otot rahim, dimana dengan peningkatan kerja otot rahim yang mengakibatkan otot-otot dalam rahim akan terjepit dan kontraksi uterus dapat meningkat dengan adanya senam nifas. Hal ini terjadi dari adanya peningkatan ion kalsium di ekstra sel yang berikatan dengan komudulin, setelah komudulin dan kalium berikatan maka akan meningkatkan miosin kinase dan terjadi fosforilase pada kepala miosin yang berikatan dengan aktin sehingga terjadilah tarikan otot secara berkala sehingga terjadi kontraksi uterus yang terus menerus. Adanya kontraksi dan retraksi dari uterus yang terus menerus maka akan terjadi penjepitan pembuluh darah sehingga pembuluh darah pecah dan peredaran darah ke uterus terganggu dan menyebabkan jaringan otot kekurangan zat yang diperlukan sehingga ukuran jaringan otot uterus akan mengecil. Peredaran darah ke uterus yang kurang ini mengakibatkan uterus mengalami atropi dan ukuran akan kembali kebentuk semula[15]. Penurunan TFU ini terjadi secara gradual, artinya tidak sekaligus tetapi setingkat demi setingkat[16, 17]. Penelitian ini sama hasilnya dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuswanto, mengenai hubungan senam nifas terhadap involusi uterus di RSAB Muhamadiah Malang tahun 2008, bahwa senam nifas mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap penurunan tinggi fundus uteri, kontraksi uterus, dengan nilai p-value=0,00020. Hal ini disampaikan juga oleh penelitian yang dilakukan Cristina (2012) bahwa manfaat senam nifas adalah mempercepat involusi uteri yang salah satu tandanya yaitu penurunan TFU otot bisa mengecil dan ukuran rahim juga akan mengecil[16]. Dari hasil analisis data di atas, penelitian sebelumnya dan teori-teori yang mendukung, dapat disimpulkan bahwa menyusui dan senam nifas sama-sama

dapat menurunkan proses kembalinya tinggi fundus uteri pada ibu postpartum, dan jika menyusui dan senam nifas diberikan bersamaan pada ibu postpartum multipara hasil penurunannya akan lebih signifikan atau efektif. Maka pada penelitian ini dan didukung oleh teori tentang senam nifas, dapat disimpulkan bahwa penurunan tinggi fundus uteri ibu nifas yang melakukan senam dengan gerakan yang diajarkan oleh asisten bidan dimana gerakan tersebut mengarah ke kontraksi uterus dan kembalinya rahim ke posisi semula, cenderung lebih cepat mengalami proses Involusi Uterus (penurunan rahim). Ibu yang melakukan senam nifas seluruh tonus otot-otot polos dalam tubuh akan terangsang dan peredaran darah akan lancar mengalir ke uterus. Sehingga menyebabkan lebih efektifnya percepatan penurunan tinggi fundus uteri (TFU) dari pada yang tidak melakukan senam nifas. 4.2

Perbandingan Penurunan Tinggi Fundus Uteri Antar Hari Atau Antar Waktu Pada Kelompok Menyusui (Kontrol) Hasil analisis perbandingan penurunan tinggi fundus uteri antar hari pada kelompok menyusui menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (pvalue=0.000<�). Bila dilihat berdasarkan reratanya tampak ada penurunan tinggi fundus uteri dari hari pertama ke hari ketujuh pada ibu postpartum multipara yang menyusui tanpa perlakuan senam (kontrol), penurunan ini signifikan secara statistik. Bila berdasarkan nilai reratanya tampak menunjukkan bahwa rata-rata penurunannya berkisar 1cm. Rerata tinggi fundus uteri terrendah dicapai pada saat pengamatan hari ke-7 ibu postpartum. Bila dikaitkan dengan teori menurut Sarwono (2009) dan Bahiyatun (2009) yang mengatakan bahwa proses involusi uterus disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Pada hari 1, TFU diatas simpisis pubis atau sekitar 12 Cm. Proses ini terus berlangsung dengan penurunan TFU 1cm setiap harinya, sehingga pada hari ket-7 TFU berkisar 5 Cm dan pada hari ke-10 TFU tidak teraba di simfisis pubis[6, 17]. Menurut Ladewig (2006) yang menyebutkan bahwa segera setelah plasenta lahir, uterus berkontraksi, seukuran buah anggur, terlokalisir diantara simfisis pubis dan umbilikus. Uterus ukurannya meninggi secara bertahap

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

13


hingga garis umbilikus pada saat terkumpulnya darah dan terbentuknya bekuan darah dalam uterus. Proses involusi pada garis ini akan menetap selama 1 hari, kemudian menurun ukurannya kira-kira satu jari atau setiap hari berkurang 1 Cm, dalam 10 hari hingga 2 minggu uterus kembali letaknya ke rongga pelvis[8]. Dari hasil analisa statistik dan teori yang mendukung diatas maka dapat disimpulkan bahwa penurunan tinggi fundus uteri (TFU) pada kelompok menyusui tanpa diberi senam nifas (kontrol) dapat dikatakan masih dalam standar minimal atau normal penurunan tinggi fundus uteri (rahim) pada ibu postpartum. 4.3

Perbandingan Penurunan Tinggi Fundus Uteri Antar Hari Atau Antar Waktu Pada Kelompok Menyusui Dengan Perlakuan Senam Nifas Hasil analisis menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna (pvalue=0.000<�). Berdasarkan nilai reratanya tampak ada penurunan tinggi fundus uteri dari hari 1-7 pada ibu postpartum multipara yang menyusui dengan diberi perlakuan senam dan penurunan ini signifikan secara statistik. Berdasarkan nilai rerata tampak menunjukkan bahwa penurunannya berkisar 2 Cm. Nilai rerata tinggi fundus uteri terrendah dicapai pada saat pengamatan hari ketujuh. Bila sama-sama dikaitkan dengan teori Sarwono (2009) dan Bahiyatun (2009) yang mengatakan bahwa proses involusi uterus disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Pada hari 1, TFU diatas simpisis pubis atau sekitar 12 Cm. Proses ini terus berlangsung dengan penurunan TFU 1cm setiap harinya, sehingga pada hari ke-7 TFU berkisar 5 Cm dan pada hari ke-10 TFU tidak teraba di simfisis pubis[6, 17]. Maka dapat disimpulkan pada penelitian “Efektivitas senam nifas pada ibu menyusui hasil terhadap involusio uteri (TFU) ibu multipara hari 1-7 postpartum di Puskesmas Ciptomulyo Malang� bahwa pemberian senam nifas pada ibu menyusui lebih efektif terhadap percepatan penurunan tinggi fundus uteri. Hasil dari penelitian ini dapat diperkuat dengan hasil journal guidelines of the American college of obstetricians and gynecologists for exercise during pregnancy and the postpartum period,

mengatakan bahwa perubahan organorgan dan tubuh ibu postpartum akan kembali seperti sebelum hamil secara bertahap, akan tetapi dapat kembali lebih cepat jika ibu postpartum memberikan laktasi (menyusui) dan melakukan latihan gerakan-gerakan yang bertahap dari ringan hingga sedang sesuai dengan keadaan ibu postpartum dan dilakukan secara rutin[6]. Pada penelitian Masruroh (2007) juga menyimpulkan bahwa ada pengaruh senam nifas dengan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu postpartum. Hal ini dikarenakan ibu postpartum melaksanakan senam nifas dengan teratur dan sesuai dengan tehnik yang telah diajarkan. Selain itu ibu ini juga menyusui pada bayi mereka yang mana hal ini dianjurkan[5]. 4.4

Implikasi Untuk Asuhan Kebidanan Atau Pendidikan Kebidanan Dari hasil penelitian telah diketahui bahwa senam nifas yang diberikan pada ibu menyusui dapat digunakan sebagai salah satu upaya yang efektif untuk mempercepat penurunan tinggi fundus uteri ibu postpartum. Jadi, senam nifas dapat digunakan dalam asuhan kebidanan ibu postpartum untuk membantu percepatan penurunan tinggi fundus uteri (rahim), pemberian gerakan senam nifas juga dapat merangsang adanya kontraksi uterus yang baik sehingga dapat mencegah adanya perdarahan postpartum. Hasil ini seharusnya dapat memotivasi bidan agar dapat meningkatkan dan memberi pelayanan senam nifas sebagai upaya yang dapat merangsangi kontraksi uterus, mencegah perdarahan postpartum dan sebagai teknik percepatan penurunan tinggi fundus uteri (rahim) seperti sebelum hamil. 4.5

Keterbatasan Penelitian Penelitian ini masih memiliki keterbatasan yang dapat dijadikan acuan atau saran guna perbaikan penelitian berikutnya, yaitu dimana di Indonesia 90% ibu postpartum mengalami prolaps uteri dan pada penelitian ini ada faktor yang dapat mempengaruhi penurunan tinggi fundus uteri yang belum dapat dikaji oleh peneliti.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

14


5.

SIMPULAN DAN SARAN Ibu postpartum di wilayah puksesmas Ciptomulyo kota Malang yang menyusui dengan diberi senam nifas percepatan penurunan tinggi fundus uteri hari 1-7 postpartum lebih efektif, dibandingkan dengan ibu postpartum yang hanya menyusui tanpa diberi senam nifas. Berdasarkan hasil data penelitian dan uji analisis data senam nifas di wilayah Puskesmas Ciptomulyo kota Malang menunujukkan hasil yang signifikan terhadap penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Ada penurunan tinggi fundus uteri (TFU) yang bermakna antar hari pada kelompok menyusui (kontrol) dengan nilai hasil (p-value=0.000< ). Bila berdasarkan nilai reratanya dan terbukti secara statistik tampak menunjukkan bahwa pada kelompok menyusui penurunan tinggi fundus uteri (TFU) ibu postpartum rata-rata 1cm dan nilai rerata tinggi fundus uteri terendah dicapai pada saat pengamatan hari ket-7 ibu postpartum. Ada Penurunan TFU yang bermakna antar hari pada kelompok menyusui dengan diberi perlakuan senam nifas dengan nilai hasil analisis (p-value=0.000< ). Bila berdasarkan reratanya tampak menunjukkan pada kelompok menyusui dengan diberi senam nifas penurunan tinggi fundus uteri ibu postpartum rata-rata 2cm. Nilai rerata tinggi fundus uteri terendah dicapai pada saat pengamatan hari ke-7. Ada perbedaan penurunan tinggi fundus uteri yang bermakna antara kelompok menyusui (kontrol) dengan kelompok menyusui yang diberi senam nifas (perlakuan), berdasarkan uji analisis statistik perbedaan penurunan bermakna terlihat pada hari ke-4 postpartum dengan nilai (p-value=0.002< ). Diharapkan senam nifas dapat dijadikan prosedur tetap dalam pelayanan kebidanan saat melakukan perawatan postpartum. Tenaga kesehatan khususnya bidan untuk lebih aktif memberikan promosi kesehatan mengenai pentingnya senam nifas. Untuk peneliti selanjutnya diharapkan penelitian ini dikembangkan dengan menambahkan faktor lain yang dapat mempengaruhi penurunan tinggi fundus uteri dan dapat menambahkan variabel independent lain yang bersifat klinis, misalnya lochea (keputihan).

DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI. 2013. Survei Demogravi dan Kesehatan indonesia (SDKI 2012). Jakarta. 2. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI tahun 2013. Jakarta. 3. Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. EGC, Jakarta 4. Anggraini Y. 2010. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Pustaka Rihama, Yogyakarta. 5. Meyer, Larson (2002). Effect of Postpartum Exercise on Mothers and Their Offspring. (Abstrak). 6. Bahiyatun. 2010. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Nifas Normal. EGC, Jakarta. 7. Cunningham, et al. 2009. Obsietri Williams. Edisi 21.Volume 1. EGC, Jakarta. 8. Ladewing, et al. 2006. Asuhan Keperawatan Ibu – Bayi Baru Lahir. 9. Rifatul bafiroh, farida arintasari. 2011. Efektivitas menyusui Pada Proses Involusi Uteri Ibu Postpartum 0-10 Hari di BPS Kota Semarang. Jurnal Dinamika Kebidanan. 10. Danuatmaja, Bonny. 2010. 40 Hari Pasca Melahirkan. Puspa Swara, Jakarta. 11. Dinas Kesehatan Kota Malang Propinsi Jawa Timur. 2014. Laporan Kematian Ibu Bulan JanuariDesember tahun 2013, Kota Malang. 12. Varney, H. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan volume 2. EGC, Jakarta. 13. Roesli, Utami. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Pustaka Bunda, Jakarta 14. Widianti, Anggriyana dan Atikah Proverawati. 2010. Senam Kesehatan Aplikasi Senam Untuk Kesehatan. Medical Book, Yogyakarta. 15. Ibrahim, Cristina. 2012. Perawatan kebidanan (perawatan nifas). Bhratara. Jakarta. 16. Bobak, Lowdermilk, Jensen. 2008. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Ed. 4. Renata Komalasari (Penerjemah). EGC, Jakarta. 17. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirahrdjo, Jakarta.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

15


Penelitian

FAKTOR RISIKO PADA MENARCHE DINI Vivi Nur Vitriani1, Sri Utami2, Sri Ratna Dwiningsih3, Bambang Purwanto4 1

Progran Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Sekretaris Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya 3 Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 4 Departemen Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya

ABSTRAK Pendahuluan : Menarche dini merupakan onset menstruasi terjadi pada usia < 12 tahun. Saat ini, peningkatan yang drastis pada status sosial ekonomi dan kesehatan umum penduduk menyebabkan penurunan percepatan usia menarche. Menarche dini dikaitkan dengan beberapa gangguan kesehatan sistem reproduksi dan kardiovaskuler. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan antara status gizi, figur seorang ayah atau lakilaki dewasa di rumah, lama penggunaan televisi dan media elektronik lainnya, aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga, pendidikan orang tua, dan paparan asap rokok terhadap menarche dini. Metode : Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Populasinya seluruh siswi kelas V-VI SDN Kertajaya VII, VIII, X, XI di kelurahan Kertajaya-Surabaya pada bulan Mei 2013. Pengambilan sampel dengan cara stratified random sampling sebesar 92 responden. Variabel independen dalam penelitian ini adalah status gizi, figur ayah atau laki-laki dewasa di rumah, televisi dan media elektronik lainnya, aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga, pendidikan orang tua, dan paparan asap rokok. Variabel dependen adalah menarche dini. Instrument yang digunakan adalah timbangan berat badan, alat ukur tinggi badan, dan kuisioner. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda. Hasil : Prevalensi menarche dini dalam penelitian ini adalah 42,4%. Hasil penelitian menunjukkan besar faktor risiko terhadap menarche dini pada status gizi adalah 38 kali (95% CI: 4,977-285.935), lama penggunaan televisi dan media elektronik lainnya sebesar 10 kali (95% CI: 2,706-33.553), serta paparan rokok sebesar 6 kali (95% CI: 1,484-24.632). Kesimpulan : Faktor figur seorang ayah atau laki-laki dewasa di rumah, aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga, dan pendidikan orang tua tidak menunjukkan adanya hubungan terhadap menarche dini. Kata kunci : Menarche dini, Faktor risiko menarche dini. ABSTRACT Background : Early menarche is an onset menstruation that occurred before 12 years old. Nowadays, the dramatic improvement of socio economic conditions and the general health of populations have led to the fastening age of onset menstruation. Early menarche is known as a causal factor for several reproductive and cardiovascular diseases and other mental problems. This research assess the relations between early menarche and many risk factors such as the levels of nutrition, the absence of fatherhood in family, television viewing and electronic media usage, physical inactivity, levels of parental education, and exposure to cigarette smoke. Metode : This cross-sectional study is conducted in May 2013 to the students of Kertajaya VII, VIII, X and XI public school, especially to those between ages of 9 to 12 years old.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

16


Student in 5 th grade and 6 th grade elementary school was selected by using stratified random sampling. Other instruments used during the research are the measurement of weight and height, and distributing questionnaire. The data is processed by using chisquare and multiple logistic regressions. Result : As many as 92 students participated in this study. The study finds that the prevalence of early menarche is 42.4%. It is also found that the risk factor for early menarche in obesity is 38 times (OR = 37.7; 95% CI: 4.977-285.935), television viewing and electronic media usage is 10 times (OR = 9.5; 95% CI: 2.706-33.553), and exposure to cigarette smoke is 6 times (OR = 6.0; 95% CI: 1.484-24.632). Conclusion : On the contrary, another factors such as the absence of fatherhood in family, physical inactivity, and levels of parental education are not having significant relations with early menarche. The most influential for early menarche is status of nutrition. Keywords : risk factor, early menarche, students 1.

PENDAHULUAN Menarche dini merupakan kondisi dimana onset menstruasi terjadi pada usia kurang dari 12 tahun[1,2]. Selama abad ke20 peningkatan pada status sosial ekonomi dan status kesehatan umum penduduk di negara industri menyebabkan perubahan penurunan pada rata-rata usia menarche[3,4]. Remsberg et al.[5] dalam sebuah penelitiannya menyatakan bahwa menarche dini dikaitkan dengan beberapa gangguan kesehatan pada sistem reproduksi dan kardiovaskuler. Menarche dini adalah masalah yang tidak hanya timbul akibat penyebab tunggal yang sederhana. Sebaliknya, stressor lingkungan dan faktor risiko lain yang banyak dan bermacam-macam, berinteraksi dengan tubuh anak dan menghasilkan percepatan pematangan seksual[3,6]. Riset kesehatan dasar tahun 2010 menyatakan bahwa 5,2% anak-anak di 17 provinsi di Indonesia telah memasuki usia menarche di bawah usia 12 tahun. Indonesia sendiri menempati urutan ke-15 dari 67 negara dengan penurunan usia menarche mencapai 0,145 tahun per decade[7]. Di Jawa Timur, usia menarche pada anak kelompok umur 9-10 tahun sebesar 2,3% dan pada kelompok umur 1112 tahun sebesar 25,3%. Prosentase usia menarche, berdasarkan karakteristik tempat tinggal, pada anak kurang dari 12 tahun yang tinggal di perkotaan lebih besar dibandingkan dengan perdesaan[8]. Fenomena penurunan usia menarche pada anak serta dampak negatif dari penurunan usia menarche tersebut

merupakan faktor penting untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap menarche dini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko pada menarche dini. Faktor yang diteliti yakni status gizi; figur seorang ayah atau laki-laki dewasa di rumah; televisi dan media elektronik lainnya; aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga; pendidikan orang tua; dan paparan asap rokok. 2.

METODE Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional. Pengukuran atau observasi variabel independen dan variabel dependen diukur pada suatu waktu yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi kelas V-VI SDN Kertajaya VII, VIII, X, XI di kelurahan Kertajaya-Surabaya pada tahun 2013 dengan jumlah total 206 siswi. Besar sampel pada penelitian ini sebesar 92 responden. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik probability sampling yakni dengan cara stratified random sampling. Penelitian ini dilakukan di kelurahan Kertajaya-Surabaya, di SDN Kertajaya VII, VIII, X, XI Surabaya pada bulan Mei 2013 sampai dengan Juni 2013. Status gizi, figur seorang ayah atau laki-laki dewasa di rumah, televisi dan media elektronik lainnya, aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga, pendidikan orang tua, dan paparan asap rokok merupakan variabel independen, sedangankan variabel dependen adalah menarche dini. Instrument yang digunakan adalah timbangan berat badan, alat ukur tinggi

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

17


badan, dan kuisioner. Hasil pengolahan data yang telah didapatkan kemudian dianalisis. Analisis data dilakukan dengan dua tahapan yaitu Analisis Deskriptif dan Analisis Inferensial. Analisis Inferensial 3.

terdiri dari Analisis Bivariat dan Analisis Multivariat. Analisis bivariat menggunakan uji Chi Square dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Karakteristik responden di SDN Kertajaya VII, VIII, X, XI Surabaya bulan Mei tahun 2013.

Karakteristik Umur 10 tahun 11 tahun 12 tahun 13 tahun Menarche dini Menarche dini Tidak Menarche dini

n = 92

%

9 45 36 2

9,8 48,9 39,1 2,2

39 53

42,4 57,6

Status Gizi Obese Overweight Healthy Weight Underweight Keberadaan figur ayah atau laki-laki dewasa di rumah Ada figur ayah atau lakilaki dewasa di rumah Tidak ada figur ayah atau lakilaki dewasa di rumah Persepsi tentang karakter ayah Ayah meninggal Baik dan sabar Keras Lain-lain Waktu berkumpul dengan ayah Ayah meninggal Setiap hari Setiap minggu Setiap bulan Lain-lain Penggunaan televise dan media elektronik lainnya ≼ 4jam/hari < 4jam/hari Aktivitas Fisik sehari-hari dan olahraga Aktivitas ringan Aktivitas sedang Aktivitas berat Aktivitas sangat berat Pendidikan Orang Tua Pendidikan tinggi Pendidikan rendah Paparan asap rokok Ada paparan Tidak ada paparan

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

12 8 35 37

13,0 8,8 38,0 40,2

87 5

94,6 5,4

5 79 5 3

5,4 85,9 5,4 3,3

5 74 6 4 3

5,4 80,4 6,5 4,5 3,3

49 43

53,3 46,7

49 42 1 0

53,3 45,6 1,1 0,0

13 79

14,1 85,9

55 37

59,8 40,2

18


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 92 siswi, hampir setengahnya (48,9%) berumur 11 tahun, sebagian besar siswi (57,6%) tidak mengalami menarche dini. Data umum menunjukkan dari 92 responden hampir setengahnya (40,2%) berada pada kategori underweight, sebagian besar siswi (94,6%) memiliki figur ayah atau laki-laki dewasa yang tinggal bersamanya, sebagian besar siswi

(53,3%) menggunakan televisi dan media elektronik lainnya ≼ 4 jam/hari, sebagian besar siswi (53,3%) melakukan aktivitas ringan, sebagian besar siswi (85,9%) pendidikan ayah mereka berada pada kategori pendidikan rendah, dan sebagian besar siswi (59,8%) mendapatkan paparan rokok dari ayah mereka atau anggota keluarga yang tinggal bersama dengan mereka.

Tabel 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi menarche dini Variabel Tidak Total Menarche Dini Menarche Dini F % F % F % Status gizi Gizi lebih 18 90,0 2 10,0 20 100 Tidak gizi lebih 21 29,2 51 70,8 72 100 Figur ayah atau laki-laki dewasa di rumah Tidak ada figur ayah atau 3 60,0 2 40,0 5 100 laki-laki dewasa di rumah Ada figur ayah atau laki-laki 36 41,4 51 58,6 87 100 dewasa di rumah Penggunaan televisi dan media elektronik lainnya ≼ 4jam/hari 33 37,7 77 77,0 100 100 < 4jam/hari 6 11,3 Aktivitas Fisik sehari-hari dan olahraga Aktivitas ringan 22 44,9 27 55,1 49 100 Aktivitas berat 17 39,5 26 60,5 43 100 Pendidikan Orang Tua Pendidikan tinggi 7 53,8 6 46,2 13 100 Pendidikan rendah 32 40,5 47 59,5 79 100 Paparan asap rokok Ada anggota keluarga yang 31 56,4 24 43,6 55 100 merokok Tidak ada anggota keluarga 8 21,6 29 78,4 37 100 yang merokok Tabel diatas menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kejadian menarche dini status gizi, radiasi penggunaan televisi dan media elektronik lainnya, dan paparan asap rokok oleh anggota keluarga yang merokok. Pada faktor figur ayah atau laki-laki dewasa di rumah, aktivitas fisik dan olahraga, dan pendidikan orang tua tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian menarche dini.

Nilai p

< 0,001

0,647

< 0,001

0,604

0,367

0,001

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan status gizi dengan menarche dini. Penelitian yang dilakukan Derina[9] menunjukkan 33,3% siswi siswi SMPN 155 Jakarta dengan gizi lebih dan risiko gizi lebih mengalami menarche dini dan 87,7% dengan gizi baik dan gizi kurang mengalami menarche pada usia normal. McKenna[10]menyatakan bahwa gadis gemuk dengan kelebihan

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

19


berat badan 10 kilogram (22 pon) mulai menstruasi sebelum usia 12 tahun. Hubungan antara status gizi dan menarche dini dijelaskan oleh Steingraber[3] bahwa pengaruh obesitas pada menarche dini diakibatkan oleh jaringan lemak yang memproduksi enzim aromatase, dimana enzim aromatase tersebut mengubah androgen menjadi estrogen. Sel-sel lemak selain memproduksi aromatase juga memproduksi leptin. Leptin berfungsi sebagai agen yang mengizinkan aktivasi HPG (hypothalamic–pituitary–gonadal). Pada faktor figur ayah, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Bogert[11] menunjukkan bahwa tidak adanya figur ayah mempengaruhi usia menarche anak (p = 0,02). Penelitian yang dilakukan oleh Neberich[12] menunjukkan bahwa usia menarche berkorelasi signifikan dengan keberadaan figur ayah (p < 0,01). Perbedaan hasil tersebut kemungkinan diakibatkan perbandingan antara jumlah siswi yang memiliki figur ayah dan tidak memiliki figur ayah sangatlah jauh, sehingga tidak tampak adanya suatu hubungan walaupun dari siswi yang tidak memiliki figur ayah sebagian besar (60.0%) tidak mengalami menarche dini. Perbedaan hasil ini juga dapat terjadi mengingat bahwa menarche dini tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor adaya figur ayah saja, namun faktor lainnya juga sangat berpengaruh khusunya status gizi anak itu sendiri. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (72,3%) responden memiliki status gizi healthy weight dan underweight. Status gizi healthy weight dan underweight bukan merupakan faktor risiko menarche dini. Pada faktor radiasi penggunaan televisi dan media elektronik lainnya, hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi yang signifikan antara lama penggunaan televisi dan media elektronik lainnya dengan lama penggunaan lebih dari ratarata yakni ≼ 4 jam/hari dengan kejadian menarche dini. Pengaruh penggunaan televisi dan media elektronik memberikan dua dampak sekaligus pada anak-anak yakni meningkatkan risiko obesitas dan efek radiasi ketika menonton televisi dan media elektronik lainnya. Menonton televisi atau melihat video dikaitkan dengan

overweightness dan obesitas. Anak-anak yang banyak menonton televisi lebih banyak duduk dan juga mengeluarkan energi yang lebih rendah saat beristirahat sehingga berisiko mengalami kegemukan. Salti[13] melakukan studi observasional mengenai efek dari radiasi penggunaan televisi dan komputer pada produksi melatonin. Penelitian yang dilakukan Salti menunjukkan anak-anak usia 6-13 tahun yang tidak diberi akses televisi, komputer, dan video selama satu minggu mengalami peningkatan 30 persen dalam tingkat melatonin. Penggunaan televisi dan media elektronik lainnya seperti game komputer dan video tersebut secara tidak langsung akan mengakibatkan penurunan produksi melatonin yang akan diiringi dengan peningkatan GnRH pulse generator. Pada faktor aktivitas fisik, hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya. Mishra[6] dalam penelitiannya menyatakan bahwa aktivitas fisik di antara gadis di daerah pedesaan lebih tinggi dibandingkan aktivitas fisik di antara gadis dari daerah perkotaan. Peningkatan aktivitas fisik menyebabkan menarche tertunda pada gadis-gadis di daerah pedesaan. Perbedaan hasil ini dapat disebabkan kemungkinan karena responden memberikan jawaban yang tidak tepat. Seharusnya pertanyaan diisi dengan aktivitas yang benar-benar dilaksanakan rutin setiap hari oleh responden, namun saat pengisian kuisioner beberapa responden memilih sebagian besar aktivitas yang disediakan pada tabel aktivitas walaupun aktivitas tersebut tidak rutin setiap hari dia lakukan. Pada faktor pendidikan orang tua, hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori dan hasil penelitian sebelumnya. Teori menyatakan bahwa semakin tinggi status ekonomi orang tua maka pemenuhan status gizi akan semakin baik dan ini juga beriringan dengan peningkatan risiko obesitas. Status sosial ekonomi salah satunya juga dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikannya maka kesempatan dia mendapatkan pekerjaan yang baik dan meningkatkan status ekonominya juga semakin besar. Pendapatan orang yang lebih tinggi akan

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

20


meningkatkan daya beli keluarga baik itu daya beli makanan maupun akses pelayanan kesehatan [14]. Beberapa penelitian meneliti hubungan antara karakteristik sosial ekonomi anak (misalnya tingkat pendidikan orang tua, ukuran keluarga, dan kategori pekerjaan orang tua) dengan usia menarche. Secara umum, penelitian yang dilakukan baik di negara maju maupun negara berkembang menunjukkan bahwa tinggal di daerah perkotaan, pendapatan orang tua yang tinggi, dan tingkat pendidikan orang tua yang lebih tinggi, semuanya berhubungan dengan menarche dini[6]. Perbedaan hasil pada faktor pendidikan orang tua dapat terjadi karena status pendidikan orang tua itu sendiri tidak berpengaruh langsung terhadap usia menarche anak. Pada kenyataannya tidak semua keluarga dengan pendidikan tinggi akan pasti mendapatkan kesempatan kerja yang baik serta tidak semua orang dengan pendidikan rendah tidak dapat meningkatkan status ekonominya. Selain itu tidak semua anak dengan status ekonomi orang tua yang tergolong tinggi akan mengalami obesitas. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara paparan asap rokok oleh anggota keluarga yang merokok dengan kejadian menarche dini. Adanya hubungan antara paparan asap rokok dari anggota keluarga yang merokok dengan menarche dini didukung dengan beberapa penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan di California baru-baru ini mengemukakan bahwa paparan asap rokok pasif pada anak usia dini menurunkan usia menache anak sekitar empat bulan. Anak dengan orang tua perokok akan berisiko mendapatkan paparan rokok pasif lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua atau keluarga yang tidak merokok[15]. Adanya hubungan tersebut dapat dijelaskan bahwa menarche dini dapat

disebabkan akibat adanya zat pengganggu endokrin yang salah satunya adalah asap rokok. Zat pengganggu endokrin merupakan zat yang mengganggu regulasi beberapa aspek dari sistem endokrin. Zat tersebut mengganggu regulasi sistem endokrin dalam beberapa cara yakni dengan meniru hormon, menghalangi penyerapan mereka dengan reseptor, mengubah tingkat sintesis atau sekresi, mengganggu metabolisme atau eliminasi dari tubuh, atau mengubah jumlah situs reseptor hormon, sehingga membuat tubuh menjadi lebih atau kurang peka terhadap sinyal hormonal sendiri. Keterbatasan dalam penelitian ini meliputi keterbatasan instrumen penelitian yakni kuisioner. Kuesioner memiliki keterbatasan salah satunya yakni tidak dapat mengukur apa yang hendak diukur secara tepat, sehingga dimungkinkan kuesioner kurang mewakili tujuan penelitian. Adanya kemungkinan kesalahan responden dalam mengisi kuesioner, faktor situasional lain yang membuat responden malu sehingga tidak jujur dalam menjawab, responden terburu-buru untuk segera menyelesaikan kuisioner, serta responden terkadang malas untuk membaca pertanyaan sehingga mereka menjawab secara sembarangan. Keterbatasan penggunaan nilai MET untuk menilai variabel aktivitas fisik dan olahraga. Dapat terjadi kesalahan penilaian pada pengeluaran energi pada subjek penelitian yang gemuk ketika penghitungan dilakukan dengan metode pelaporan sendiri dengan menggunakan nilai MET standar. Penilaian figur ayah tidak menunjukkan adanya hubungan karena sebagian besar responden memiliki ayah. Penilaian pengaruh faktor figur ayah akan terlihat lebih jelas bila kita membandingkan usia menarche antara anak-anak yang tinggal di panti asuhan yang telah kehilangan sosok ayah sejak kecil dengan anak-anak yang memiliki figur ayah.

Tabel 3 Hasil analisis multivariat faktor risiko pada menarche dini di SDN Kertajaya VII, VIII, X, dan XI Surabaya bulan Mei tahun 2013. Variabel Bebas

B

p value *

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

OR

95.0% C.I.for EXP(B) Lower Upper

21


StatusGizi2

3,630

0,000

37,724

4,977

285,935

RadiasiElektronik

2,254

0,000

9,529

2,706

33,553

PaparanRokok

1,800

0,012

6.047

1,484

24,632

Constant

-3,465

0,000

0,031

*Uji regresi logistik ganda

Tabel 3 menunjukkan, uji regresi logistik ganda terhadap variabel status gizi, paparan rokok, dan radiasi elektronik menghasilkan nilai koefisien regresi (B) dengan p < 0,05 yang artinya koefisien regresi bermakna yaitu ada korelasi yang signifikan sehingga dapat dimasukkan ke dalam persamaan regresi logistik ganda. Variabel yang paling berpengaruh adalah status gizi berdasarkan hasil uji statistik. Anak perempuan dengan status gizi obesitas memiliki risiko 38 kali lebih besar (95% CI: 4,977-285.935) dibandingkan anak perempuan dengan status gizi tidak obesitas. Anak perempuan yang menggunakan televisi dan media elektronik lainnya ≥ 4 jam/hari memiliki risiko 10 kali lebih besar (95% CI: 2,706-33.553) dibandingkan dengan anak perempuan yang menggunakan televisi dan media elektronik lainnya < 4 jam/hari. Risiko menarche dini juga akan dialami oleh anak perempuan yang mendapatkan paparan asap rokok dari ayah atau anggota keluarga yang tinggal bersamanya dengan risiko 6 kali lebih besar (95% CI : 1,484 - 24.632) dibandingkan anak perempuan yang tidak mendapatkan paparan asap rokok dari ayah atau anggota keluarga yang tinggal bersamanya. 4.

SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi, lama penggunaan televisi dan media elektronik lainnya, serta paparan rokok dengan menarche dini. Faktor figur seorang ayah atau laki-laki dewasa di rumah, aktivitas fisik sehari-hari dan olahraga, dan pendidikan orang tua tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan terhadap menarche dini. Faktor yang paling berpengaruh pada menarche dini adalah status gizi. Beberapa faktor

lainnya seperti faktor genetik, riwayat BBLR dan Prematur, konten seksual media massa, dan paparan bahan kimia tidak diteliti dalam penelitian ini, sehingga dapat dilakukan penelitian selanjutnya untuk meneliti hubungan beberapa faktor tersebut terhadap menarche dini. Dinas kesehatan dan dinas pendidikan yang menjadi bagian dari pemerintahan diharapkan dapat bekerja sama membentuk sebuah program pencegahan untuk meminimalisir faktor risiko terhadap menarche dini seperti. DAFTAR PUSTAKA 1. Proverawati, A & Misaroh, S 2009, Menarche menstruasi pertama penuh makna, Nuha Medika, Yogyakarta. 2. Rosenthal, M. Sara 2009, Revolusi terapi hormon, B-First, Yogyakarta. 3. Steingraber, Sandra 2007, The falling age of puberty in U.S. girls: What we know, what we need to know, Breast Cancer Fund. 4. Olivia, Dina, Deliana, Melda, Supriatmo, Hakimi, Lubis, Siska Mayasari 2012, ‘Body mass index and age of menarche in young girls’, Paediatrica Indonesiana, vol. 52, no. 6, pp. 309-312. 5. Remsberg, Karen E., Demerath, Ellen W., Schubert, Christine M., Chumlea, Wm. Cameron, Sun, Shumei S., Siervogel, Roger M 2005, ‘Early menarche and the development of cardiovascular disease (CVD) risk factors in adolescent girls: the fels longitudinal study’, Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, vol. 90, no. 5 pp. 2718-2724. 6. Mishra, Gita D, Cooper, Rachel, Tom, Sarah E & Kuh, Diana 2009, ‘Early life circumstances and their impact on menarche and menopause’, Women’s Health, vol. 5, no. 2, pp. 175-190.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

22


7.

8.

9.

10. 13.

14.

Silvana, S 2008, ‘Pemodelan usia menarche dengan regresi logistik ordinal dan metode CHAID pada siswi SMP di kota Depok’, tesis, Institut Pertanian Bogor. Riskesdas 2010, Riset kesehatan dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Derina, Karis Amalia 2011, Faktorfaktor yang berhubungan dengan usia menarche pada remaja putri di SMPN 155 Jakarta tahun 2011, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. McKenna, Phil 2007, Childhood obesity brings early puberty for girls, Salti, R, Tarquini, R, Stagi, Stefano, Perfetto, F, Cornelissen, G, Laffi, G, Mazzocccoli, G, & Halberg, F 2006, ‘Age-dependent Association of Exposure to Television Screen with Children’s Urinary Melatonin Excretion?’, Neuro Endocrinology Letters, vol. 27, No.1-2, pp. 73-80. Pacarada, M, Lulaj, S, Kongjeli, G & Obertinca, B 2008, ‘Impact of socio

11.

12.

15.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

viewed 11 March 2013, <http://www.newscientist.com/article /dn11307-childhood-obesity-bringsearly-puberty-for-girls.html>. Bogaert, Anthony F. 2005, ‘Age at puberty and father absence in a national probability sample’, Journal of Adolescence, no. 28, pp. 541-546. Neberich, Wiebke, Penke, Lars, Lehnart, Judith & Asendorpf, Jens B 2010, ‘Family of origin, age at menarche, and reproductive strategies: A test of four evolutionarydevelopmental models’, Menarche and Reproductive Strategies, vol. 7, no. 2, pp. 153-177. economic factors on onset of menarche in kosovar girls’, Journal of Chinese, vol. 3, no. 10, pp. 541-547. Windham GC et al. 2004, ‘Age at Menarche in Relation to Maternal Use of Tobacco, Alcohol, Coffee, and Tea During Pregnancy’, American Journal of Epidemiology, vol. 159, pp. 862-71.

23


Penelitian

KADAR HEMOGLOBIN IBU HAMIL PADA KEJADIAN PARTUS NORMAL DAN PREMATURUS Betty Oktaviana1, Djohar Nuswantoro2, Aditiawarman3, Hilmi Yumni4 1 Program

Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 3 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 4 Jurusan Keperawatan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya

ABSTRAK Pendahuluan : Prematuritas merupakan penyebab utama 60-80% morbiditas dan mortalitas neonatal di seluruh dunia. Anemia ibu hamil merupakan salah satu faktor resiko yang dapat mempengaruhi kejadian partus prematurus. Namun penelitian mengenai nilai kadar hemoglobin ibu hamil yang berhubungan dengan kejadian partus prematurus masih belum dapat dijelaskan dengan pasti dan hasilnya sangat bervariasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari hubungan kadar hemoglobin ibu hamil pada kejadian partus prematurus di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Metode : Jenis penelitian, analitik observasional dengan pendekatan case control. Populasinya ibu bersalin di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya selama periode 2011-2012. Populasi kasus, ibu yang partus prematurus dan ibu yang partus normal sebagai kontrol,. Besar sampel sebanyak 98 kasus yang sesuai kriteria sampel. Diambil secara simple random sampling dengan perbandingan 1:1. Variabel independen, kadar hemoglobin ibu hamil, variabel dependen, partus prematurus dan sebagai confounding variable, umur, paritas, berat badan sebelum hamil, dan antenatal care. Instrumen yang digunakan lembar pengumpul data. Analisis data menggunakan uji t-test independent. Hasil : Rerata Hb ± simpang baku kelompok partus prematurus adalah 10,86 ± 1,23 g/dl, sedangkan rerata Hb ± simpang baku kelompok partus normal adalah 11,29 ± 0,79 g/dl. Secara statistik terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar hemoglobin ibu hamil antara kedua kelompok (p= 0,003). Perbedaan rerata kadar hemoglobin yang bermakna antara kedua kelompok terlihat pada kategori umur ≥ 35 tahun dan berat badan sebelum hamil yang kurang (p= 0,026 dan 0,038). Kesimpulan : Kadar hemoglobin ibu hamil yang rendah meningkatkan resiko partus prematurus. Umur ≥ 35 tahun dan berat badan sebelum hamil yang kurang berdasarkan IMT juga berhubungan dengan kejadian partus prematurus. Kata kunci : partus prematurus, kadar hemoglobin ibu hamil ABSTRACT Background : Prematurity is the leading cause of neonatal morbidity and mortality all over the world. Maternal anemia is one of the risk factors that may affect the incidence of preterm labor. However, study on maternal hemoglobin levels that associated with the incidence of preterm labor still can’t be explained certainly and the results were vary widely. The purpose of this study is to investigate the association between hemoglobin levels of pregnant women and preterm labor in Dr. Ramelan Navy Hospital. Metode : It was an observational analytical study with case control design. The population was women who delivered in Dr. Ramelan Hospital during 2011-2012. Population of case was pregnant women who had preterm labor and full term of pregnancy as control. Number of sample were 98 respondents according to the criteria of the sample. It was taken by simple random sampling with comparison case:control (1:1). Independent variable was hemoglobin levels of pregnant women, dependen variable was preterm labor and confounding variable were age, parity, prepregnancy weight, and antenatal care. The

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

24


instrument that used in this study was data collector sheet. Data was analyzed using t independent test. Result : Average hemoglobin level 10,86 g/dl in preterm labor, while the average in normal fullterm labor was 11,29 g/dl. Statistically, there was significant differences in hemoglobin levels of pregnant women between the two group (p= 0,003). Significant difference of hemoglobin level was seen in age category (≼ 35 years old) and prepregnancy underweight category (p= 0,026 dan 0,038). Conclusion : Low hemoglobin levels of pregnant women increased the risk of preterm labor. Age that ≼ 35 years old and prepregnancy underweight according to body mass index were also assosiated with preterm labor. Keyword: preterm labor, hemoglobin levels of pregnant women 1.

PENDAHULUAN Prematuritas merupakan penyebab utama 60-80% morbiditas dan mortalitas neonatal di seluruh dunia[1]. Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur menunjukkan angka kejadian partus prematurus tahun 2010 sebesar 1,29% dari total kelahiran hidup. Angka tersebut mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2009 yang sebesar 1,11%. Kota Surabaya sendiri pada tahun 2010 menduduki peringkat kedua setelah Kota Malang dengan jumlah kejadian partus prematurus sebanyak 559 kasus[2]. Data dari Rumkital Dr. Ramelan Surabaya menunjukkan jumlah partus prematurus pada tahun 2012 sebesar 7,77% dari total jumlah persalinan. Etiologi partus prematurus bersifat multifaktorial[3] dan melibatkan interaksi kompleks antara faktor fetus, plasenta, uterus dan maternal[4]. Nugroho menyebutkan anemia sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partus prematurus[5]. Indikator biokimia awal yang mudah dilakukan untuk menegakkan diagnosa anemia terutama pada kehamilan adalah kadar hemoglobin. Penelitian mengenai hubungan kadar hemoglobin ibu hamil dengan hasil kehamilan dan perinatal sendiri telah banyak dilakukan, namun untuk hubungannya dengan kejadian partus prematurus masih belum dapat dijelaskan dengan pasti dan hasilnya sangat bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan kejadian partus prematurus di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Pengenceran darah yang terjadi dalam kehamilan menyebabkan konsentrasi hemoglobin dalam darah menjadi lebih rendah. Ketidakadekuatan hipervolemia yang terjadi sebaliknya dapat mengakibatkan tingginya kadar hemoglobin ibu hamil[6,7]. Baik kadar Hb yang rendah

maupun tinggi dapat mempengaruhi terjadinya partus prematurus. Kadar Hb yang rendah, mengakibatkan insufisiensi plasenta yang akan mengaktivasi sumbu HPA (Hypothalamic-pituitary-adrenal axis) sehingga berujung pada partus prematurus[3,8]. Sedangkan kadar Hb yang tinggi berpotensi meningkatkan tekanan darah yang kemudian dihubungkan dengan kejadian partus prematurus elektif akibat meningkatnya resiko hipertensi[9]. Dalam penelitian ini, beberapa faktor risiko partus prematurus juga diperhatikan, yaitu umur, paritas, berat badan sebelum hamil dan antenatal care. Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan kejadian partus prematurus di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. 2.

METODE Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik observasional dengan pendekatan case control. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh ibu bersalin di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya selama periode 2011-2012 yang dibagi menjadi dua, populasi kelompok kasus adalah seluruh ibu bersalin yang mengalami partus prematurus sebanyak 230 orang, sedangkan populasi kelompok kontrol adalah seluruh ibu yang partus normal sebanyak 2480 orang. Besar sampel sebanyak 98 kasus yang sesuai kriteria sampel, diambil secara simple random sampling dengan perbandingan 1:1. Ibu yang bersalin dengan umur kehamilan tak dapat ditentukan, dengan hidramnion, gemelli, diabetes mellitus, penyakit jantung, ginjal, dan kelainan endokrin lainnya serta yang memiliki data rekam medik tidak lengkap tidak diikutsertakan sebagai sampel. Variabel dalam penelitian ini yaitu kadar hemoglobin ibu hamil (variabel independen), kejadian partus prematurus

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

25


(variabel dependen) dan sebagai confounding variable, umur, paritas, berat badan sebelum hamil, dan antenatal care. Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Rekam Medik Rumkital Dr. Ramelan Surabaya pada tanggal 31 Mei – 8 Juni 2013. Jenis data yang dikumpulkan merupakan data sekunder. Sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari rekam medik di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya meliputi data umur, paritas, berat badan sebelum hamil, antenatal care, data kadar hemoglobin TM II, dan data partus prematurus (berdasarkan umur kehamilan). Data tentang hasil pemeriksaan kadar hemoglobin yang dikumpulkan merupakan

kadar hemoglobin yang diperiksa saat kehamilan trimester kedua. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu lembar pengumpul data. Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis. Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi setiap variabel dari hasil penelitian. Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan, yaitu kadar hemoglobin dan kejadian partus prematurus. Uji statistik yang digunakan adalah uji t-test independent. Analisis berstrata juga dilakukan untuk mengendalikan pengaruh faktor confounding.

3. 3.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik responden Tabel 1 Karakteristik responden di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Karakteristik Responden N % Umur 0 0 < 20 tahun 151 77 20-34 tahun 45 23 ≼ 35 tahun Paritas 55 28,1 Nullipara 87 44,4 Primipara 53 27 Multipara 1 0,5 Grandemultipara Berat badan 56 28,6 BB kurang /underweight sebelum hamil 116 59,2 BB normal/normal weight 18 9,2 BB berlebih/overweight 6 3 Obesitas Antenatal care 158 80,6 Baik 38 19,4 Kurang baik Sumber : Data Primer, 2013 Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar ibu yang bersalin di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya selama periode 2011-2012 berumur antara 20-34 tahun. Hal yang sama juga tampak pada sebagian besar responden dengan partus prematurus, yang juga berada antara rentang umur tersebut. Umur 20-34 tahun merupakan kelompok umur reproduksi sehat sehingga hal tersebut kemungkinan menjadi penyebab besarnya jumlah responden yang bersalin pada rentang umur tersebut. Meskipun demikian, pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa pada kategori umur ≼ 35 tahun jumlah responden yang mengalami partus prematurus lebih besar dibanding dengan responden dengan

partus normal. Hal ini didukung oleh pendapat Holmes yang menyebutkan bahwa ibu yang sangat muda (yaitu yang berumur < 18 tahun) atau yang berusia > 35 tahun terbukti secara statistik memiliki insiden partus prematurus lebih tinggi[10]. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ibu yang berumur ≼ 35 tahun memiliki peluang partus prematurus 1,9 kali dibandingkan ibu yang berumur 20-30 tahun (95% CI: 1,432-2,461)[11]. Kehamilan pada umur yang terlalu muda dan terlalu tua termasuk dalam kriteria kehamilan resiko tinggi[12] sehingga keduanya berperan menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin, termasuk partus prematurus.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

26


Responden pada penelitian ini hampir separuhnya adalah primipara begitu pula dengan kelompok partus prematurus. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa ibu yang primipara memiliki peluang 1,48 kali partus prematurus dibandingkan ibu yang multipara[11]. Krisnadi berpendapat bahwa BB sebelum hamil yang rendah berhubungan dengan kejadian partus prematurus[3]. Pada penelitian ini, secara umum sebagian besar responden memiliki BB yang normal, begitu pula untuk responden dengan partus prematurus khususnya. Namun bila melihat hasil pada tiap kategori BB sebelum hamil pada tabel 4, ibu dengan BB sebelum hamil yang normal cenderung partus normal. Berbeda halnya pada kategori BB kurang yang cenderung untuk partus prematurus. Kecenderungan kejadian partus prematurus pada BB sebelum hamil yang kurang tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa IMT sebelum hamil yang rendah dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran premature[13]. Beberapa penelitian lain juga mengungkapkan hal yang senada, Preterm Prediction Study mendapatkan risiko relatif (RR) 1,5 pada ibu dengan Indeks Massa Tubuh (IMT = BMI/ Body Mass Index) yang rendah sedangkan Hendler et al., mendapatkan RR 2,5 pada IMT yang rendah[3]. Berat badan (BB) sebelum hamil terkait dengan perilaku ibu dalam hal pola makan/diet, sehingga mempengaruhi BB selama hamil dan pertumbuhan janin dalam kandungan. Kenaikan BB selama hamil juga perlu diperhatikan dalam hal ini, karena penelitian Schieve et al. dalam Krisnadi menunjukkan bahwa ibu dengan IMT rendah dan kenaikan BB selama hamil yang kurang akan meningkatkan resiko kejadian partus prematurus 6 kali lipat dibandingkan dengan ibu dengan IMT normal dan kenaikan BB selama hamilnya juga normal[3]. Antenatal care (ANC) dalam penelitian ini dikategorikan menjadi baik dan kurang baik berdasarkan atas standar

minimal untuk ANC yang telah ditetapkan, yaitu 4 kali kunjungan selama hamil[14]. Hal ini juga mengacu pada teori yang menyebutkan bahwa ibu hamil yang tidak mendapat pemeriksaan kehamilan, tidak mendapat pelayanan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas atau tidak cukup kuantitasnya, meningkat risikonya untuk mengalami partus prematurus[3]. Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki riwayat ANC yang baik. Hal ini mungkin disebabkan Rumkital Dr. Ramelan Surabaya merupakan Rumah Sakit yang melayani anggota TNI pada khususnya, sehingga mayoritas responden merupakan istri/keluarga dari anggota TNI yang biaya kesehatannya terjamin. Bila melihat pada kategori riwayat ANC kurang baik, maka akan didapati jumlah kejadian partus prematurus yang lebih tinggi dibandingkan dengan partus normal (lihat tabel 4). Kelompok partus normal memiliki riwayat ANC yang lebih baik dari segi kuantitasnya dibanding dengan kelompok yang mengalami partus prematurus. Hasil ini didukung oleh hasil penelitian yang mendapatkan bahwa ibu yang tidak melakukan antenatal care memiliki peluang satu kali partus prematurus dibandingkan ibu yang melakukan antenatal care (95% CI: 1,363-1,845)[11]. Hal ini sesuai dengan pendapat Keirse yang menyebutkan bahwa insiden partus prematurus dapat diturunkan dengan pemberian intervensi sosial yang layak dan antenatal care[15]. Antenatal care yang baik merupakan hal yang penting dan dapat memberi kesempatan untuk mendeteksi beberapa kondisi ibu dan janin yang dapat mengarah ke partus prematurus. Dimana beberapa dari kondisi tersebut dapat ditangani, seperti hipertensi dan anemia. Dengan menemukan berbagai penyulit yang menyertai kehamilan secara dini, maka langkah-langkah dalam penanganannya dapat diperhitungkan dan dipersiapkan dengan baik. Sehingga kesehatan ibu dan janin optimal hingga masa persalinan dan nifas.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

27


3.2. Kadar hemoglobin ibu hamil pada kejadian partus normal dan prematurus Tabel 2 Kadar hemoglobin ibu hamil pada kejadian partus normal dan prematurus di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Rerata ± Perbedaan rerata MinimalP Jenis partus N simpang baku (95% CI) maksimal Partus 98 10,86 ± 1,23 prematurus 0,44 (0,15-0,73) 0.003 8,2-13,8 Partus normal 98 11,29 ± 0,79 Sumber : Data Primer, 2013 Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok yang mengalami partus prematurus memiliki kadar hemoglobin yang rendah dengan variasi data lebih lebar dibandingkan dengan kelompok partus normal. Secara statistik dengan menggunakan uji statistik t-test independent terdapat perbedaan yang bermakna pada kadar hemoglobin ibu hamil antara kedua kelompok (p= 0,003). Hal penelitian ini senada dengan hasil penelitian Lone et al.[16] yang menunjukkan bahwa dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak anemia, ibu hamil dengan anemia 4 kali beresiko mengalami kelahiran prematur, 3,7 kali berisiko mengalami IUFD, 1,9 kali berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR), dan 1,8 kali berisiko melahirkan bayi dengan skor APGAR yang rendah. WHO sendiri mendefinisikan anemia dalam kehamilan sebagai kadar Hb kurang dari 11 g/dl, walaupun definisi kadar Hb kurang dari 10,5 g/dl lebih banyak digunakan secara luas pada trimester kedua, saat hemodilusi fisiologis mencapai nilai maksimal[17]. Studi retrospektif yang dilakukan Scanlon et al.[18]

menunjukkan hal yang serupa bahwa resiko kelahiran prematur meningkat pada wanita dengan kadar Hb rendah pada trimester I dan II. Dimana wanita yang menderita anemia sedang hingga berat selama trimester I (≤ 9,5 g/dl) beresiko 1,68 kali mengalami kelahiran prematur (95% CI 1,29-2,21). Sementara penelitian Ren et al.[19] menemukan bahwa kadar Hb trimester I yang rendah (antara 8 hingga 9,9 g/dl) meningkatkan resiko berat badan lahir rendah, kelahiran prematur dan kecil masa kehamilan (KMK) dibandingkan wanita dengan kadar Hb 10-11,9 g/dl. Hasil pada penelitian ini juga bertolak belakang dengan hasil penelitian Murphy et al.[20] di USA yang menunjukkan bahwa frekuensi kematian perinatal, BBLR dan partus prematurus lebih tinggi pada kadar Hb yang tinggi (> 14,5 g/dl) daripada kadar Hb menengah (10,4-13,2 g/dl). Bila kadar hemoglobin di kedua kelompok dianalisis menurut kategori Hb rendah (< 10,5 g/dl), Hb normal (10,5-12,9 g/dl) dan Hb tinggi (≥ 13 g/dl), maka akan dihasilkan tabel seperti berikut.

Tabel 3 Hubungan kadar hemoglobin ibu hamil dengan kejadian partus prematurus di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya Partus prematurus Partus normal OR p* Kadar Hb Persentase Persentase (95% CI) N N (%) (%) Hb beresiko 49 42,9 20 18,4 Hb tidak 3,90 49 50,0 78 79,6 < 0,001 beresiko (2,08-7,33) Jumlah 98 100 98 100 Sumber : Data Primer, 2013 Kategori Hb rendah dan tinggi digabung menjadi kategori Hb beresiko karena nilai pada ketegori tersebut dianggap beresiko. Secara statistik dengan menggunakan uji statistik Chi-square didapatkan hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan

kejadian partus prematurus (p< 0,001), artinya terdapat hubungan yang bermakna antara kadar hemoglobin ibu hamil dengan kejadian partus prematurus. Ibu dengan kadar Hb < 10,5 g/dl atau ≥ 13 g/dl beresiko 3,90 kali mengalami kejadian partus prematurus bila dibandingkan dengan ibu

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

28


hamil dengan kadar Hb trimester II yang normal (95% CI: 2,08-7,33). Berdasarkan teori yang telah diungkapkan, baik Hb yang rendah maupun tinggi dapat mempengaruhi terjadinya partus prematurus. Kadar Hb yang rendah, mengakibatkan insufisiensi plasenta yang akan mengaktivasi sumbu HPA (Hypothalamic-pituitary-adrenal axis) sehingga berujung pada partus prematurus3,8. Sedangkan kadar Hb yang tinggi berpotensi meningkatkan tekanan darah yang kemudian dihubungkan dengan

kejadian partus prematurus elektif akibat meningkatnya resiko hipertensi9. Pada penelitian ini didapatkan bahwa kadar Hb yang cenderung mempengaruhi kejadian partus prematurus di Rumkital Dr. Ramelan adalah kadar Hb yang rendah. Sedangkan pada kadar Hb yang tinggi tidak ditemukan adanya pengaruh, hal ini dikarenakan jumlah responden dengan kadar Hb yang tergolong tinggi hanya berjumlah 6 orang dan nilai kadar Hb maksimum yang ditemukan dari keseluruhan responden hanya mencapai nilai 13,8 g/dl.

Tabel 4 Analisis berstrata faktor umur, paritas, berat badan sebelum hamil dan antenatal care (ANC) Kadar Hb p* Variabel Kategori Jenis partus % (Rerata ± SD) Umur 20-34 tahun Prematurus 72,4 11,02 ± 1,22 0,124 Normal 81,6 11,28 ± 0,86 ≥ 35 tahun Prematurus 27,5 10,57 ± 1,30 0,026 Normal 18,4 11,36 ± 0,73 Paritas Nullipara Prematurus 33,7 11,06 ± 1,11 0,535 Normal 22,4 11,24 ± 0,89 Primipara Prematurus 38,8 10,89 ± 1,35 0,052 Normal 50 11,39 ± 0,91 Multipara Prematurus 26,5 10,71 ± 1,30 0,109 Normal 27,6 11,18 ± 0,64 BB BB kurang Prematurus 33,7 10,48 ± 0,91 0,038 sebelum Normal 22,5 11,00 ± 0,87 hamil BB normal Prematurus 52 10,94 ± 1,31 0,065 Normal 66,3 11,32 ± 0,69 BB berlebih Prematurus 10,2 11,93 ± 1,46 0,837 Normal 7,1 11,81 ± 0,97 Obesitas Prematurus 4,1 10,67 ± 0,66 0,390 Normal 4,1 11,47 ± 1,27 Antenatal Kurang baik Prematurus 33,7 10,67 ± 1,33 0,259 care (ANC) Normal 5,1 11,38 ± 0,97 Baik Prematurus 66,3 11,01 ± 1,20 0,104 Normal 94,9 11,29 ± 0,84 Sumber : Data Primer, 2013

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

29


Meskipun sebagian besar responden dengan partus prematurus berada pada rentang umur 20-34 tahun, hasil analisis berstrata dengan uji t-test independent tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna. Sebaliknya, perbedaan rerata kadar hemoglobin pada kategori umur ≥ 35 tahun yang justru menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna (p= 0,026). Sesuai dengan teori yang telah diuraikan, umur ≥ 35 tahun merupakan salah satu faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya partus prematurus. Oleh karena itu, faktor usia (≥ 35 tahun) sebagai salah satu faktor perancu resiko untuk terjadinya partus prematurus perlu dipertimbangkan dalam mengambil kesimpulan. Pada kategori paritas, hasil analisis berstrata dengan uji t-test independent tidak memperlihatkan satupun perbedaan yang bermakna di setiap stratanya. Hal ini berarti meskipun tampak adanya

perbedaan dalam rerata kadar hemoglobin ibu hamil antara kelompok partus normal dan prematurus, namun secara statistik perbedaan tersebut tak bermakna. Tabel 3 juga menunjukkan bahwa pada kategori BB kurang didapatkan perbedaan rerata kadar Hb yang bermakna antara kelompok partus normal dan prematurus (p= 0,038). Oleh karena itu, faktor BB sebelum hamil (BB kurang) sebagai salah satu faktor perancu resiko untuk terjadinya partus prematurus perlu dipertimbangkan dalam mengambil kesimpulan. Pada kategori antenatal care, baik itu yang baik maupun kurang baik, tidak menunjukkan perbedaan rerata kadar Hb yang bermakna antara kedua kelompok, sehingga antenatal care yang dapat merupakan faktor perancu resiko pada penelitian ini dapat disingkirkan.

4. SIMPULAN DAN SARAN Karakteristik ibu bersalin dengan partus prematurus di Rumkital Dr. Ramelan Surabaya sebagian besar adalah wanita yang berumur antara 20 – 34 tahun, primipara, memiliki berat badan sebelum hamil yang normal berdasarkan IMT, dan dengan riwayat antenatal care yang baik. Kelompok yang mengalami partus prematurus memiliki rerata kadar hemoglobin yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok partus normal. Kadar hemoglobin ibu hamil yang rendah meningkatkan resiko partus prematurus 3,90 kali dibandingkan ibu hamil dengan kadar hemoglobin yang normal. Umur ≥ 35 tahun dan berat badan sebelum hamil yang kurang berdasarkan IMT juga berhubungan dengan kejadian partus prematurus. Melihat dari hasil penelitian ini bahwa berat badan sebelum hamil yang kurang berhubungan dengan kadar hemoglobin dan partus prematurus, diharapkan peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ilmiah terkait hal tersebut.

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

DAFTAR PUSTAKA Kementrian Kesehatan Republik Indonesia 2010, Prediksi persalinan preterm, Dirjen Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI, Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur 2010, Rekapitulasi lahir hidup dan lahir mati serta angka kematian neonatal tahun 2010. Krisnadi SR, Jusuf SE, Adhi P 2009, Prematuritas, PT Refika Aditama, Bandung. Anonim, 2009, Kematian bayi yang dapat dicegah dan dikendalikan, http://www. jurnalmedika.com/edisitahun-2009/edisi-11-2009/113editorial/124-kematian-bayi-yangdapat-dicegah-dan-dikendalikan, update November 2009, viewed 3 March 2013. Nugroho, T 2012, Obsgyn: obstetri dan ginekologi untuk kebidanan dan keperawatan, Nuha Medika, Yogyakarta. Cunningham, FG, Leveno KJ, Bloom FL, Hauth JC, & Wenstrom KD 2006, Obstetri Williams, Vol.1, Edisi 21, EGC, Jakarta. Steer PJ, Maternal hemoglobin concentration and birth weight, 2000, Am J Clin Nutr, 71: 1285S-7S. Norwitz, ER & John OS 2008, At a glance obtetri dan ginekologi, Edisi Kedua, Penerbit Airlangga, Jakarta.

30


9.

10. 11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

Sherwood, L 2011, Fisiologi manusia: dari sel ke sistem, Edisi 6, EGC, Jakarta. Holmes, D & Philip NB 2011, Buku ajar ilmu kebidanan, EGC, Jakarta. Agustiana, T 2012, Faktor-faktor yang berhubungan dengan persalinan prematur di Indonesia tahun 2010 (analisa data Riskesdas 2010), Skripsi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Prianita, AW, 2011, Pengaruh faktor usia ibu terhadap keluaran maternal dan perinatal pada persalinan primigravida di RS Dr. Kariadi Semarang periode tahun 2010, http://eprints.undip.ac.id/32864/1/An na_Widi.pdf, viewed 1 July 2013. Savitz, DA, Quaker H, Anna MSR, Amy HH, Nancy D, & John MT Jr, 2012, ‘Behavioral influences on preterm birth’, Maternal and Child Health J, 16(6):1151-1163. Manuaba IBG 2010, Ilmu kebidanan, penyakit kandungan & keluarga berencana untuk pendidikan bidan, EGC, Jakarta. Keirse, MJNC, ‘New perspectives for the effective treatment of preterm labor’, 1995, Am J Obstet Gynecol, 173: 618-28. Karasahin E, Seyit TC, Umit G, Ugur K, & Iskender B, 2007, ‘Maternal anemia and perinatal outcome’, Perinatal Journal, Vol. 15, Issue 3, pp. 127-30. Bothamley, J & Maureen B 2012, Patofisiologi dalam kebidanan, EGC, Jakarta. Scanlon KS, Yip R, Schieve LA, Cogswell ME, High and low hemoglobin level during pregnancy: differential risks for preterm birth and small for gestational age, 2000, Obstet Gynecol J, 96: 741-8. Ren A, Wang J, Ye RW, Li S, Liu JM, & Li Z, 2007, ‘Low first trimester hemoglobin and low birth weight, preterm birth and small for gestational age newborns’, Int J Gynaecol Obstet, 98 (2): 124-8. Murphy JF, O’Riordan J, Newcombe RG, Coles EC, & Pearson JF, ‘Relation of haemoglobin levels in first and second trimesters to outcome of pregnancy’, 1986, Lancet, 1 (8488): 992-5.

BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015

31


Penelitian

HUBUNGAN ANTARA IRAMA SIRKADIAN IBU DENGAN WAKTU TERJADINYA PERSALINAN FISIOLOGIS DI BIDAN PRAKTIK MANDIRI WILAYAH SURABAYA UTARA Farida Fitriana1, Gadis Meinar Sari2, Aditiawarman3, Netti Herlina4 1

Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 3 Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya 4 Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Persalinan paling sering dan efektif adalah pada malam hari karena terdapat kesinergisan antara hormon melatonin (pengatur irama sirkadian) dan hormon oksitosin yang memacu kontraksi sel otot polos miometrium lebih kuat pada malam biologis ibu. Namun, di wilayah Surabaya Utara pada tahun 2012, sebagian besar persalinan (58.5%) terjadi pada siang hari. Penelitian bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara irama sirkadian (yang diatur oleh waktu aktivitas dan tidur siang) ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis. Metode : Penelitian ini menggunakan desain analisis case-control dengan konsekutif sampling dan wawancara terpimpin. Sampel meliputi 50 orang ibu bersalin pada siang sampai sore hari (jam 07.01 - 20.59) sebagai kelompok kasus, dan 50 orang ibu bersalin pada malam sampai awal pagi hari (jam 21.00 - 07.00) sebagai kelompok kontrol pada bulan Mei-Juni 2013. Variabel independen meliputi waktu aktivitas (saat siang hari: jam 06.00 - 18.00; saat malam hari: jam 18.01 - 05.59) dan tidur siang. Variable dependen meliputi waktu terjadinya persalinan fisiologis. Analisis data menggunakan Chi-square test dan koefisien kontingensi. Hasil : Penelitian menunjukkan adanya hubungan signifikan antara waktu aktivitas ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis (nilai signifikansi [p]=0.000; derajat kesalahan [α]=0.05 (p<α); nilai koefisien kontingensi=0.493 dengan p<0,05). Nilai Odds Ratio (Confidence Interval [CI] 95%)=18.763 (5,821 – 60,483) menunjukkan bahwa ibu yang beraktivitas siang hari memiliki kemungkinan 19 kali atau 95% berpotensi untuk bersalin pada malam sampai awal pagi hari. Sementara itu, tidak terdapat hubungan signifikan antara tidur siang ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis (p=0.227; α=0.05 (p > α)). Kesimpulan : Irama sirkadian ibu mempengaruhi waktu terjadinya persalinan fisiologis dalam hal waktu aktivitas, dan tidak pada tidur siang. Kata kunci : irama sirkadian, waktu persalinan ABSTRACT Background : The most frequent and effective birth are at night because the synergization between melatonin hormone (regulator of circadian rhytm) and oxytocin hormone which spur the contractility of myometrial smooth muscle cells of biological night mother. However in Northern Surabaya on 2012, most of births (58.5%) occur at noon. The study is directed to investigate the relationship between circadian rhythm (in terms of activity time and nap) and physiological birth time. Metode : This study uses case-control analytic design with consecutive sampling and guided interview. The sample is 50 mothers who given birth at noon until evening (07.01am - 08.59pm) as case group, and 50 mothers who given birth at night until early morning (09.00pm - 07.00am) as control group in May-June 2013. Independent variable is activity

32 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


time (at noon: 06.00am - 06.00pm; at night: 06.01pm - 05.59am) and nap. Dependent variable is birth time. Data analysis applies Chi-square test and contingency coefficient. Result : The research shows a significant relation between mother’s activity time and birth time (significance value [p]=0.000; degree of error [α]=0.05 (p<α); contingency coefficient value=0.493 with p<0,05). Odds Ratio Value (Confidence Interval [CI] 95%)=18.763 (5,821 – 60,483) signifies that mother who had activity at noon has 19 times possibility or 95% potential for giving birth in the night until early morning. Meanwhile, there is no significant correlation between nap and birth time (p=0.227; α=0.05 (p > α)). Conclusion : Therefore, mother’s circadian rhythms affect the physiological birth time in term of its activity time, but not its nap. Keywords: circadian rhythm, birth time 1.

PENDAHULUAN Irama sirkadian merupakan pusat jam biologis yang terdapat dalam otak, berperan seperti sebuah jalur untuk menjaga periode fisiologis dan perilaku selama 24 jam agar sesuai dengan hari kerja[1]. Irama sirkadian diatur oleh hormon melatonin yang diproduksi oleh kelenjar pineal sesuai siklus terang - gelap dan fotoperiodik lingkungan[2]. Siklus terang – gelap dan fotoperiodik lingkungan dapat dibentuk dari aktivitas dan tidur siang seseorang. Pada tahun 2010, penelitian mengidentifikasi miometrium (sel otot rahim) manusia sebagai target melatonin (MEL) yang merupakan sinyal luaran neuroendokrin yang mengatur irama sirkadian[3]. Pada manusia, konsentrasi melatonin dalam sirkulasi darah meningkat pada jam 21.00 sampai 07.00 dengan variasi individu yang luas. Puncak sekresi melatonin terjadi pada kurang lebih jam 04.00[3], hal ini didukung dengan hasil penelitian yang membuktikan bahwa persalinan terutama terjadi pada waktu malam sampai awal pagi hari[4]. Penelitian sebelumnya oleh Sharkey dkk [3] membuktikan bahwa persalinan terutama terjadi pada malam sampai awal pagi hari, dan persalinan malam lebih efektif dibandingkan persalinan siang karena fisiologis tubuh memproduksi melatonin terutama pada malam hari. Data jumlah waktu terjadinya persalinan yang diambil dari tiga Bidan Praktik Mandiri dengan jumlah persalinan terbanyak di Wilayah Surabaya Utara menunjukkan bahwa dari 1308 persalinan fisiologis pada tahun 2012 sebagian besar (58,5%) sebanyak 765 persalinan terjadi pada siang sampai sore hari, dan hampir setengahnya (41,5%) sebanyak 543 persalinan terjadi pada malam sampai awal pagi hari. Fakta tersebut menunjukkan bahwa di Wilayah Surabaya Utara persalinan terutama terjadi pada siang

sampai sore hari. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan fisiologis tubuh dalam memproduksi hormon melatonin (pengatur irama sirkadian). Perbedaan fisiologis tubuh dalam memproduksi hormon melatonin ini dapat dipengaruhi oleh stimulasi fotoperiodik dan siklus terang – gelap lingkungan yang dapat dibentuk dari aktivitas dan tidur siang ibu. Dengan demikian, penting untuk mengetahui hubungan antara aktivitas dan tidur siang yang membentuk irama sirkadian ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah ada hubungan antara irama sirkadian ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara. 2.

BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan analitik observasional dengan pendekatan case control. Kelompok kontrol adalah persalinan pada malam sampai awal pagi hari (jam 21.00-07.00), dan kelompok kasus adalah persalinan pada siang sampai sore hari (jam 07.01-20.59). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin fisiologis di Bidan Praktik Mandiri wilayah Surabaya Utara pada bulan Mei - Juni 2013. Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi ibu bersalin fisiologis dengan usia kehamilan cukup bulan (37–42 minggu), ibu bersalin di Bidan Praktik Mandiri wilayah Surabaya Utara yang digunakan sebagai tempat penelitian, dan ibu bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi persalinan yang dirujuk dengan berbagai sebab, dan persalinan yang mendapat intervensi atau bantuan dari luar (persalinan anjuran maupun persalinan buatan). Teknik sampling yang digunakan pada penelitian

33 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


ini adalah non probability sampling dengan teknik consecutive sampling pada bulan Mei – Juni 2013. Besar sampel pada penelitian ini untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol adalah 50 orang ibu bersalin fisiologis bulan Mei - Juni 2013 di Bidan Praktik Mandiri wilayah Surabaya Utara yang telah ditunjuk sebagai tempat penelitian. Variabel bebas adalah irama sirkadian ibu, yang terdiri dari dua subvariabel, yaitu kebiasaan aktivitas ibu pada siang hari (antara jam 06.00 – 18.00) atau malam hari (antara jam 18.01 – 05.59), dan kebiasaan tidur siang yang terdiri dari empat kategori, meliputi tidak tidur siang (kategori I), tidur siang antara jam 06.0008.59 (kategori II), tidur siang antara jam 09.00-14.59 (kategori III), serta tidur siang antara jam 15.00-18.00 (kategori IV). Variabel terikat pada penelitian ini adalah waktu terjadinya persalinan fisiologis, terdiri dari persalinan yang terjadi pada malam sampai awal pagi hari (antara jam 21.00 – 07.00), dan siang sampai sore hari (antara

jam 07.01 – 20.59). Teknik pengambilan data melalui wawancara terpimpin menggunakan kuisioner mengenai kebiasaan ibu melakukan aktivitas pada siang atau malam hari, dan kebiasaan tidur siang. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Uji Chi-square untuk mengetahui hubungan antarvariabel. Uji koefisien kontingensi untuk mengetahui tingkat kekuatan hubungan antar variabel. 3.

HASIL PENELITIAN Dari hasil penelitian didapatkan bahwa usia ibu bersalin pada rentang reproduksi sehat (21 – 34 tahun) adalah sebagian besar (58%) pada kelompok kasus, dan hampir seluruhnya (80%) pada kelompok kontrol. Pada kelompok kasus hampir seluruhnya (76%) jenis pekerjaan ibu bersalin adalah Ibu Rumah Tangga, dan pada kelompok kontrol sebagian besar (68%) jenis pekerjaan ibu bersalin adalah Ibu Rumah Tangga.

Tabel 1 Hubungan Antara Aktivitas Ibu dengan Waktu Terjadinya Persalinan Fisiologis di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara p Aktivitas Waktu Persalinan Jumlah Malam - awal pagi Siang-sore hari hari (jam 21.00(jam 07.0107.00) 20.59) n % n % N % Aktivitas siang hari 46 71 19 29 65 100 0,000 Aktivitas malam hari 4 11 31 89 35 100 Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 65 ibu yang terbiasa beraktivitas siang hari sebagian besar (71%) bersalin pada waktu malam sampai awal pagi hari (jam 21.00-07.00), dan dari 35 ibu yang terbiasa beraktivitas malam hampir seluruhnya (89%) bersalin pada waktu siang sampai sore hari (jam 07.01-20.59). Hasil uji statistik Chi-square (X2) dengan α = 0,05, didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,000 (p < α) yang menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara aktivitas ibu dengan

waktu terjadinya persalinan fisiologis. Nilai koefisien kontingensi = 0,493 dengan p < 0,05 yang berarti terdapat hubungan sedang dengan arah positif. Nilai OR (CI 95%) = 18,763 (5,821 – 60,483) menunjukkan bahwa ibu yang beraktivitas siang hari memiliki kemungkinan 19 kali untuk bersalin pada malam sampai awal pagi hari dibandingkan dengan ibu yang terbiasa beraktivitas malam hari. Probabilitas ibu yang beraktivitas pada siang hari untuk bersalin pada malam sampai awal pagi hari adalah sebesar 95%.

34 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Tabel 2 Hubungan Antara Tidur Siang Ibu dengan Waktu Terjadinya Persalinan Fisiologis di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara p Kategori Tidur siang Waktu Persalinan Jumlah Malam-awal Siang-sore pagi hari (jam hari (jam 21.00-07.00) 07.01-20.59) n % N % N % Tidak tidur siang (kategori I) 25 45 31 55 56 100 0,227 Tidur jam 06.00-08.59 (kategori II) 0 0 0 0 0 0 Tidur jam 09.00-14.59 (kategori 25 57 19 43 44 100 III) Tidur jam 15.00-18.00 (kategori 0 0 0 0 0 0 IV) Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa dari 56 ibu yang tidak tidur siang sebagian besar (55%) bersalin pada waktu siang sampai sore hari (jam 07.01-20.59), dan dari 44 ibu yang terbiasa tidur siang jam 09.00-14.59 sebagian besar (57%) bersalin pada waktu malam sampai awal pagi hari (jam 21.00-07.00).

Hasil uji statistik Chi-square (X2) dengan Îą = 0,05, didapatkan nilai signifikansi (p) = 0,227 (p > Îą) yang menunjukkkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tidur siang ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis.

Gambar 1 Persentase jumlah persalinan pada malam sampai awal pagi hari dan persalinan siang sampai sore hari pada empat kategori aktivitas dan tidur siang.

Aktivitas siang & tidur siang

Aktivitas siang & tidak tidur siang 35% 65%

Persalinan malam - awal pagi hari Persalinan siang - sore hari

79%

b

a 5%

Aktivitas malam & tidak tidur siang

Aktivitas malam & tidur siang

Persalinan malam awal pagi hari Persalinan siang - sore hari

95%

Persalinan malam - awal pagi hari Persalinan siang - sore hari

21%

c

Persalinan malam awal pagi hari

19%

Persalinan siang - sore hari

81%

d

35 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Gambar 1a menunjukkan bahwa ibu yang memilki aktivitas siang hari dan tidak tidur siang sebagian besar (65%) mengalami persalinan malam sampai awal pagi hari. Gambar 1b menunjukkan bahwa ibu yang memilki aktivitas siang hari dan tidur siang hampir seluruhnya (79%) mengalami persalinan malam sampai awal pagi hari. Gambar 1c menunjukkan bahwa ibu yang memiliki aktivitas malam hari dan tidak tidur siang hampir seluruhnya (95%) mengalami persalinan siang sampai sore hari. Gambar 1d menunjukkan bahwa ibu yang memiliki aktivitas malam hari dan tidur siang hampir seluruhnya (81%) mengalami persalinan siang sampai sore hari. 4. 4.1.

PEMBAHASAN Hubungan Aktivitas Ibu dengan Waktu Terjadinya Persalinan Fisiologis Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa ibu yang terbiasa beraktivitas siang hari sebagian besar (71%) mengalami waktu persalinan malam sampai awal pagi hari. Ibu yang terbiasa beraktivitas malam hari hampir seluruhnya (89%) mengalami waktu persalinan siang sampai sore hari. Terdapat hubungan sedang antara aktivitas ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tidak secara langsung meneliti pengaruh aktivitas ibu terhadap waktu terjadinya persalinan fisiologis. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yamauchi[5] bertujuan untuk membandingkan antara konsentrasi hormon melatonin siang hari dengan malam hari pada wanita hamil dan tidak hamil yang bekerja pada siang maupun malam hari menyimpulkan bahwa ekskresi aMT6s urin selama siang dan malam hari dipengaruhi oleh kebiasaan aktivitas ibu yang dilakukan pada siang atau malam hari[5]. Pada ibu yang terbiasa bekerja malam hari dan terbiasa tidur siang pada jam tertentu akan mengalami pergeseran irama sirkadian, sehingga tidak ada perbedaan mencolok antara kadar hormon melatonin dalam tubuh antara siang dan malam hari[5]. Penelitian yang dilakukan pada ibu bersalin fisiologis di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara ini terlihat bahwa ibu yang terbiasa beraktivitas pada siang hari sebagian besar (71%) mengalami waktu persalinan malam sampai awal pagi hari, hal ini telah sesuai dengan teori dan

penelitian Arendt[4] yang menyatakan bahwa hormon melatonin, terbukti bersinergi dengan oksitosin untuk memulai kontraksi sel miometrium, lebih diproduksi secara maksimal pada malam hari (saat biasanya ibu beristirahat). Oleh karena itu, ibu yang sebagian besar merupakan makhluk diurnal, akan mengalami waktu persalinan terutama pada malam sampai awal pagi hari. Hasil penelitian (Tabel 1) juga menunjukkan bahwa ibu yang terbiasa beraktivitas pada siang hari hampir setengahnya (29%) mengalami persalinan pada siang sampai sore hari. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor lain yang mungkin juga berpengaruh dalam produksi hormon melatonin seperti pengaruh tidur siang dan paparan gelap pada saat siang hari, paparan cahaya terang pada saat tidur malam, maupun kualitas tidur malam yang sangat berpengaruh terhadap produksi hormon melatonin. Ibu yang terbiasa tidur siang dalam gelap, kualitas tidur malam yang kurang nyenyak maupun paparan cahaya terang pada saat malam hari, dapat memperbesar kemungkinan produksi hormon melatonin pada siang hari, akibatnya, meskipun ibu beraktivitas siang hari maka dapat terjadi persalinan yang juga pada siang sampai sore hari. Hasil penelitian (Tabel 1) menunjukkan bahwa ibu yang terbiasa beraktivitas pada malam hari hampir seluruhnya (89%) mengalami persalinan siang sampai sore hari. Hal ini telah sesuai dengan penelitian Yamauchi[5] yang menyatakan bahwa pada ibu yang terbiasa beraktivitas malam hari, maka konsentrasi aMT6s urin selama bekerja malam hari mengalami penurunan dan perbedaan antara konsentrasi siang dan malamnya menjadi lebih kecil, sehingga peluang untuk diproduksinya hormon melatonin pada siang hari menjadi lebih besar. Hasil penelitian (Tabel 1) juga menunjukkan bahwa sebagian kecil (11%) ibu yang mengalami waktu persalinan malam sampai awal pagi hari terbiasa beraktivitas pada malam hari. Hal ini mungkin disebabkan produksi hormon melatonin tidak hanya bergantung pada kapan biasanya ibu beraktivitas dan beristirahat yang dapat membentuk irama sirakadian, tetapi juga adanya faktor lain seperti durasi kerja malam, paparan cahaya terang pada saat kerja malam, dan tingkat kewaspadaan saat kerja malam yang dapat

36 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


mempengaruhi produksi hormon melatonin pada malam hari. Kondisi ini dapat terjadi karena aktivitas malam hari yang dilakukan ibu kurang adekuat dalam memicu penurunan hormon melatonin atau belum mencapai adaptasi seseorang untuk beraktivitas malam hari, sehingga hormon melatonin tetap tinggi pada malam hari, akibatnya ibu bersalin pada malam sampai awal pagi hari. 4.2.

Hubungan Tidur Siang Ibu dengan Waktu Terjadinya Persalinan Fisiologis Hasil penelitian (Tabel 2) menunjukkan bahwa ibu yang terbiasa tidak tidur siang (kategori I) sebagian besar (55%) bersalin pada waktu siang sampai sore hari, dan ibu yang terbiasa tidur siang pada jam 09.00-14.59 (kategori III) sebagian besar (57%) bersalin pada malam sampai awal pagi hari. Tidak terdapat hubungan antara kebiasaan tidur siang ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tidak secara langsung meneliti pengaruh kebiasaan tidur siang ibu terhadap waktu terjadinya persalinan fisiologis, namun lebih meneiliti pengaruh tidur siang dalam pergeseran fase gelap irama sirkadian manusia terhadap sekresi melatonin. Hasil dari penelitian tersebut diperoleh bahwa paparan untuk tidur dan kegelapan pada pagi hari (tidur siang pukul 09.00 – 15.00) dapat menyebabkan keterlambatan irama sirkadian, dan paparan pada malam hari (tidur sebentar pukul 19.00 – 01.00) mengakibatkan kemajuan irama sirkadian relatif terhadap kontrol (tidak tidur siang). Penemuan ini menandakan bahwa irama sirkadian manusia bergantung pada waktu kegelapan dan atau paparan tidur[6]. Pembagian tidur siang pada penelitian ini tidak disamakan dengan penelitian sebelumnya (penelitian Buxton[6]), hal ini disebabkan pengelompokan jam tidur siang yang dilakukan kurang sesuai dengan kebiasaan orang Indonesia. Penelitian ini membagi tidur siang dalam jam selama adanya sinar matahari, dan dalam jam yang biasanya orang beraktivitas pagi (jam 06.00-18.00). Pembagian yang dilakukan yaitu tidak tidur siang (kategori I), tidur siang jam 06.00 – 08.59 (kategori II), tidur siang jam 09.00 –

14.59 (kategori III), dan tidur siang jam 15.00 – 18.00 (kategori IV). Penelitian Buxton[6] tidak menjelaskan secara rinci maksud dari keterlambatan irama sirkadian akibat paparan tidur siang jam 09.00-15.00, sehingga definisi keterlambatan irama sirkadian pada penelitian ini menggunakan penelitian dari Mircsof, et al.[7] yang menyebutkan bahwa keterlambatan irama sirkadian adalah semakin menggeser produksi hormon melatonin mendekati siang hari. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, secara teoritis ibu yang terbiasa tidur siang pada kategori III akan berhubugan dengan persalinan siang sampai sore hari. Hasil yang berbeda dengan penelitian Buxton, et al.[6] didapatkan pada penelitian ini, hal ini mungkin disebabkan tidur siang yang diteliti pada penelitian ini tidak berada dalam kondisi yang sama persis dengan penelitian sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari kategori tidur siang yang dibuat, kondisi pencahayaan antara di Indonesia (beriklim tropis yang lebih sering terpapar sinar matahari) dengan tempat penelitian sebelumnya di luar negeri yang beriklim subtropis. Pada penelitian sebelumnya, paparan tidur siang diberikan secara penuh pada setiap kategori tidur siang, dalam penelitian ini paparan tidur siang hanya berdasarkan durasi tertentu sesuai dengan kebiasaan ibu, lalu dikelompokkan berdasarkan kategori (tidur siang ibu tidak secara penuh dilakukan dalam rentang waktu kategori tertentu). Selain itu, pada penelitian sebelumnya, subjek penelitian bukan merupakan wanita hamil, padahal kadar melatonin pada wanita hamil lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil untuk semua yang beraktivitas siang maupun malam hari. Pada penelitian sebelumnya, kondisi subjek paparan dan kontrol berada dalam kondisi ideal, baik paparan cahaya maupun asupan nutrisi, sementara pada penelitian ini kondisi redup atau terang lingkungan tidur hanya didasarkan pada kondisi lampu subjek penelitian yang dimatikan atau dinyalakan. Dengan demikian, banyak faktor yang mempengaruhi efektifitas tidur siang, seperti kualitas, durasi, dan paparan cahaya saat tidur siang, sehingga dapat mempengaruhi produksi melatonin ibu yang berakibat pada waktu terjadinya persalinan fisiologis.

37 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


4.3.

Hubungan Irama Sirkadian Ibu dengan Waktu Terjadinya Persalinan Fisiologis Bagian ini membahas hubungan irama sirkadian ibu, meliputi ada atau tidaknya faktor paparan dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis. Faktor paparan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ada atau tidaknya penyimpangan dari kehidupan diurnal manusia. Kondisi menyimpang atau lingkungan yang tidak biasa meliputi aktivitas dan paparan cahaya pada malam hari serta paparan gelap dan tidur pada siang hari. Responden dibagi menjadi empat kelompok, satu kelompok yang merupakan kebiasaan diurnal murni (kelompok ibu beraktivitas siang hari dan tidak tidur siang), dua kelompok yang mendapat intervensi salah satu pada kehidupan siang atau malam harinya (kelompok ibu beraktivitas siang hari dan terbiasa tidur siang, serta kelompok ibu beraktivitas malam hari dan tidak tidur siang), dan satu kelompok yang mencerminkan kebiasaan nokturnal murni (kelompok ibu beraktivitas malam hari dan terbiasa tidur siang). Gambar 1 menunjukkan hubungan irama sirkadian ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis. Gambar tersebut menunjukkan bahwa persalinan malam sampai awal pagi hari sebagian besar terjadi pada aktivitas siang dan tidak tidur siang (65%), dan hampir seluruhnya terjadi pada aktivitas siang dan tidur siang (79%). Persalinan siang sampai sore hari hampir seluruhnya terjadi pada aktivitas malam, baik dengan maupun tanpa tidur siang (95% dan 81%). Penelitian di Bidan Praktik Mandiri Wilayah Surabaya Utara ini telah sesuai dengan penelitian Arendt[4] yang membuktikan bahwa irama sirkadian ibu yang terbentuk dari siklus terang-gelap lingkungan (kebiasaan aktivitas dan tidur siang) memilki hubungan dengan waktu terjadinya persalinan, dimana persalinan terjadi pada saat biasanya ibu beristirahat yang merupakan saat produksi hormon melatonin berada pada kadar tinggi dalam tubuh. Keterbatasan dalam penelitian ini meliputi keterbatasan teori penelitian yaitu pembahasan irama sirkadian yang lebih membahas pada hormon melatonin sebagai lokomotor irama sirkadian tubuh, selain itu pada responden yang kurang merepresentasikan kebiasaan aktivitas malam dan siang hari, dan teknik yang

hanya dengan wawancara terpimpin kurang merepresentasikan kondisi hormon melatonin sebenarnya dalam tubuh. 5.

SIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian menyimpulkan bahwa sebagian besar ibu terbiasa melakukan aktivitas siang hari, dan sebagian besar ibu terbiasa tidak tidur siang; Ibu yang terbiasa beraktivitas siang hari hampir seluruhnya mengalami waktu persalinan malam sampai awal pagi hari. Ibu yang terbiasa beraktivitas malam hari sebagian besar mengalami waktu persalinan siang sampai sore hari; Ibu yang terbiasa tidak tidur siang sebagian besar bersalin pada waktu siang sampai sore hari. Ibu yang terbiasa tidur siang sebagian besar bersalin pada malam sampai awal pagi hari; Ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan aktivitas ibu dengan waktu terjadinya persalinan dengan koefisien kontingensi sedang arah positif; Tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan tidur siang ibu dengan waktu terjadinya persalinan fisiologis; Ibu dengan kebiasaan aktivitas siang hari memiliki kemungkinan 19 kali untuk bersalin malam hari. Probabilitas ibu yang beraktivitas pada siang hari untuk bersalin pada malam sampai awal pagi hari adalah sebesar 95%. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pengetahuan baru bahwa aktivitas ibu yang dilakukan pada siang atau malam hari dapat berpengaruh terhadap waktu terjadinya persalinan fisiologis, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut, baik teori maupun hasil penelitiannya. Penelitian selanjutnya hendaklah memperhatikan metode penelitian, dan pemilihan sampel. Metode penelitian sebaiknya menggunakan eksperimen langsung untuk mengukur kadar hormon melatonin pada ibu yang terbiasa beraktivitas siang maupun malam hari untuk mendapatkan hasil yang akurat, dan pemilihan sampel sebaiknya benarbenar dapat menggambarkan ibu yang diurnal (terbiasa beraktivitas siang hari dan beristirahat malam hari) dan ibu yang nokturnal (terbiasa beraktivitas malam hari dan beristirahat siang hari) agar dapat membedakan dengan jelas irama sirkadian ibu dan meminimalisasi variabel perancu. DAFTAR PUSTAKA 1. Gibbs, M., Hampton, S., Morgan, L., & Arendt, J., 2005, “Effect of shift schedule on offshore shiftworkers’

38 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


2.

3.

4.

circadian rhythms and health”, Health and Safety Executive, retrieved: March 02, 2013 from The University of Surrey, Guildford, Surrey GU2 7XH. Web site: http://www.hse.gov.uk/research/rrpdf /rr318.pdf Sherwood, L., 2011, Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, diterjemahkan oleh: dr. Brahm U. Pendit, Jakarta: EGC. Sharkey, J.T., Cable, C., & Olcese, J., 2010, “Melatonin sensitizes human miometrial cells to oxytocin in a protein kinase C alpha/ extracellular-signal regulated kinasedependent manner”, The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism (JCEM), vol. 95, pp. 2902-2908. Arendt, J, 2010, “Shift work: coping with the biological clock”, Oxford Journals, retrieved: March 01, 2013, from

5.

6.

7.

http://occmed.oxfordjournals.org/con tent/60/1/10.full#sec-19 Yamauchi, H., 2004, “Effect of Night Work on Urinary Excretion Rates of 6-Sulfatoxymelatonin, Norepinephrine and Estriol in Pregnant Women”, Industrial Health 2004, vol. 42, pp. 268-276, retrieved: March 9, 2013, from http://ajpregu.physiology.org/content /287/1/R174.full.pdf+html Buxton, O.M., Baleriaux, M.L., Turek, F.W., & Van Cauter, E., 2000, “Daytime naps in darkness phase shift the human circadian rhythms of melatonin and thyrotropin secretion”, retrieved: March 26, 2013, from http://www.chronobiology.ch/publicat ions/2003_09.pdf Mircsof, D., Brown, S.A., 2013, “The Influence of Light, Exercise, and Behavior upon Circadian Rhythms”, Encyclopedia of Sleep, pp. 435-441.

39 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Penelitian

PENGARUH PIJAT OKSITOSIN TERHADAP PENGELUARAN ASI PADA IBU NIFAS DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL TAHUN 2013 Siti Fadhilah1, Dian Monalisa Rusliani1, Yuni Kusmiyati2 1 2

Program Studi D3 Kebidanan, STIKes Guna Bangsa, Yogyakarta Program Studi D3 Kebidanan, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta

ABSTRAK Pendahuluan : Delapan puluh persen dari ibu postpartum 1 jam di RSUD Panembahan Senopati Bantul belum mengeluarkan ASI yang mengakibatkan ibu tidak percaya diri untuk memberikan ASI ekslusif dan juga mengakibatkan rendahnya cangkupan ASI ekslusif. Pemberian pijat oksitosin dapat meningkatkan waktu pengeluaran ASI karena membantu pengeluaran hormon oksitosin yang berperan untuk memproduksi ASI. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh pijat oksitosin terhadap pengeluaran ASI pada ibu nifas di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Metode : Desain penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan rancangan posttest only control design, jumlah sampel 40 ibu nifas post partum 1 jam yang diambil dengan cara purposive sampling. Tehnik pengumpulan data menggunakan metode observasi. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis independent t-test dengan tingkat kepercayaan Îą=0,005. Hasil : Berdasarkan analisis secara keseluruhan didapatkan nilai p-value 0,000 < 0,05, dapat diartikan ada pengaruh pemberian tindakan pijat oksitosin pada responden yang diberikan tindakan pijat oksitosin dan pada responden yang tidak diberikan perlakuan. Kesimpulan : Hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa nilai signifikan p value 0,000 p value < 0,05 Ho ditolak sehingga terdapat perbedaan waktu pengeluaran ASI antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kata kunci : Pijat Oksitosin, waktu pengeluaran ASI, ibu nifas ABSTRACT Background : Eighty percent of mothers in the postpartum 1 hour Panembahan Senopati Bantul District Hospital has not issued a breastfeeding mother resulting lack confidence to give exclusive breastfeeding and exclusive breastfeeding results in lower cangkupan. Giving massages oxytocin can increase spending while breastfeeding because the hormone oxytocin which helps contribute to produce milk. The purpose is to determine the effect of oxytocin on expenditure massage milk to new mothers in hospitals Panembahan Senopati Bantul. Method : Design of this study used a quasi experimental design with posttest only control design, sample size 40 new mothers post partum 1 hour taken by purposive sampling. the results of the study were collected using observational methods. Statistical analysis used is the analysis of independent t-test with a confidence level Îą = 0.005. Results : Based on the overall analysis of the obtained p-value 0.000 <0.05, means no effect of massage action of oxytocin on respondents who provided massage action of oxytocin and the respondents were not given the treatment. Conclusion : Results of this study can be seen that the value of p value 0.000 significant p value <0.05 Ho rejected so there is a time difference between the expenditure milk treatment and control groups. Keywods : Oxytocin massage, spending time breastfeeding, mother chilbed

40 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


1.

PENDAHULUAN Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tinggi, jumlah bayi yang meninggal di Indonesia mencapai 34 kasus per 1.000 kelahiran. Jumlah tersebut lebih tinggi dari angka Millenium Development Goals (MDG's), yakni 25 kasus per 1.000 kelahiran[1]. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar bayi baru lahir mendapat ASI eksklusif (tanpa tambahan apa-apa) selama enam bulan, sebab ASI adalah nutrisi alamiah terbaik bagi bayi dengan kandungan gizi paling sesuai untuk pertumbuhan optimal[2]. ASI juga dapat membantu menurunkan angka kematian bayi. UNICEF menegaskan bahwa bayi yang diberi susu formula memiliki kemungkinan meninggal dunia pada bulan pertama kelahirannya, dan kemungkinan bayi yang diberi susu formula meninggal dunia 25 kali lebih tinggi dari pada bayi yang disusui oleh ibunya secara eksklusif [3]. Pemberian ASI dikenal sebagai salah satu hal yang berpengaruh paling kuat terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak. Penelitian menyatakan bahwa inisiasi menyusu dini dalam 1 jam pertama dapat mencegah 22% kematian bayi di bawah umur 1 bulan di Negara berkembang[1]. ASI Eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan, bersamaan dengan pemberian makanan pendamping ASI dan meneruskan ASI dari 6 bulan sampai 2 tahun, dapat mengurangi sedikitnya 20% kematian anak balita[4]. Suatu hasil penelitian di Ghana yang diterbitkan oleh jurnal pediatrics menunjukkan bahwa 16% kematian bayi dapat dicegah melalui pemberian ASI pada bayi sejak hari pertama kelahirannya. Angka ini naik menjadi 22% jika pemberian ASI dimulai dalam 1 jam pertama setelah kelahirannya. ASI adalah asupan gizi yang terbaik untuk melindungi dari infeksi pernafasan, diare, alergi, sakit kulit, asma, obesitas juga membentuk perkembangan intelegensia, rohani, perkembangan emosional. Hasil telaah dari 42 negara menunjukkan bahwa ASI eksklusif memiliki dampak terbesar terhadap penurunan angka kematian balita, yaitu 13% dibanding intervensi kesehatan masyarakat lainnya[4]. Menyusui bayi di Indonesia sudah menjadi budaya tetapi praktik pemberian ASI masih jauh dari yang diharapkan. Menurut Survei Demografi Kesehatan

Indonesia 2007 hanya 10% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama, yang diberikan ASI kurang dari 2 bulan sebanyak 73%, yang diberikan ASI 2 sampai 3 bulan sebanyak 53% yang diberikan ASI 4 sampai 5 bulan sebanyak 20% dan menyusui eksklusif sampai usia 6 bulan sebanyak 49%[1]. Di Indonesia, anjuran ASI ekslusif saat ini dipertegas dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif. Peraturan ini menyatakan kewajiban ibu untuk menyusui bayinya secara eksklusif sejak lahir sampai berusia 6 bulan. Kabupaten Bantul sudah dapat melampaui target MDG’s untuk Angka Kematian Bayi pada tahun 2015 ditargetkan 16 /1.000 kelahiran hidup. Untuk pencapaian ASI ekslusif sendiri untuk Kabupaten Bantul sebesar 32,63%, sedangkan cakupan ASI eksklusif secara nasional tahun 2007 sebesar 28,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Siregar (2004) menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain ASI tidak segera keluar setelah melahirkan atau produksi ASI kurang, kesulitan bayi dalam menghisap, keadaan puting susu ibu yang tidak menunjang, ibu bekerja, dan pengaruh atau promosi pengganti ASI. Penurunan produksi ASI pada harihari pertama setelah melahirkan dapat disebabkan oleh kurangnya rangsangan hormon prolaktin dan oksitosin yang sangat berperan dalam kelancaran produksi ASI. Hormon oksitosin diproduksi lebih cepat dari hormon prolaktin, bahkan hormon ini dapat bekerja sebelum bayi mulai menghisap. Hal penting lainnya mengenai hormon oksitosin adalah hormon ini berperan dalam kontraksi rahim pasca melahirkan yang sangat berguna untuk mengurangi pendarahan dan membantu mengembalikan kondisi rahim pasca melahirkan[5]. Hormon oksitosin dihasilkan oleh kelenjar pituitary dalam otak manusia ketika melahirkan, menyusui, melakukan hubungan seksual. Hormon oksitosin berperan dalam memproduksi ASI dan menjalin keeratan psikologi antara ibu dan bayi. Pengeluaran hormon oksitosin akan maksimal jika ibu dalam keadaan tidak stress dan keadaan psikologi ibu baik, hormon ini juga dapat dipacu dari pijat oksitosin (Mardianingsih, 2010). Manfaat pijat oksitosin antara lain mengurangi

41 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


bengkak (engorgement), mengurangi sumbatan ASI, merangsang pelepasan hormon oksitosin, mempertahankan produksi ASI ketika ibu dan bayi sakit[1]. RSUD Panembahan Senopati adalah rumah sakit umum daerah yang berada di Kabupaten Bantul. Rumah sakit ini merupakan salah satu rumah sakit rujukan yang memiliki standar pelayanan yang baik. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Panembahan Senopati Bantul yaitu sebanyak 80% ibu belum mengeluarkan ASI pada 1 jam setelah persalinannya, yang mengakibatkan ibu tidak percaya diri untuk menyusui bayinya dan bayi diberi susu formula. Masalah ini dapat mengakibatkan tidak berhasilnya program ASI di Indonesia khususnya Kabupaten Bantul. Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah penelitian ini dapat

dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut “Bagaimana Pengaruh Pijat Oksitosin terhadap Pengeluaran ASI pada Ibu Nifas di RSUD Panembahan Senopati Bantul? 2.

METODE PENELITIAN Desain Penelitian, Penelitian ini merupakan jenis penelitian quasi eksperimen dengan rancangan yang digunakan adalah Posttest Only Control Design yaitu adalah penelitian yang menggunakan dan memilih 2 kelompok secara acak, kemudian 1 kelompok diberi treatment, sedangkan yang lainnya tidak diberi perlakuan dan kemudian langsung diamati dan diukur. Kelompok perlakuan diberi tindakan pijat oksitosin pada 1 jam post partum.

Perlakuan Post test P ---------- X ---------- O1 S

R K ------------------------ O2

Gambar 3.1. Rancangan Penelitian Keterangan : S = sampel R = randomisasi P = subjek kelompok yang diberi perlakuan pijat oksitosin selama 5-10 menit atau sebanyak 3X K = subjek kelompok kontrol. X = tindakan pijat oksitosin. O1 = Waktu pengeluaran ASI pada post test kelompok perlakuan. O2 = Waktu pengeluaran ASI pada post test kelompok kontrol Populasi, Populasi penelitian adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti[6]. Populasi dari penelitian ini adalah ibu post partum 1 jam yang belum mengeluarkan ASI di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Sampel, Sebagian dari keseluruhan yang diteliti dianggap mewakili seluruh populasi[6]. Pada penelitian ini sampel yang digunakan adalah ibu 1 jam post partum yang dirawat di bangsal nifas RSUD Panembahan Senopati Bantul yang belum mengeluarkan ASI dan bersedia menjadi responden. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Porposive sampling. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis dengan tujuan menyederhanakan data yang

terkumpul. Analisis data dilakukan secara bertahap yaitu analisis univariat dan analisis bivariat dengan menggunakan program Statistical Product dan Service Solution (SPSS) 16.00 for windows. 3. 3.1.

HASIL Analisis Univariat Hasil penelitian mengenai pengaruh pijat oksitosin terhadap pengeluaran ASI pada ibu Nifas di RSUD Penembahan Senopati Bantul telah dilaksanakan selama 3 minggu di mulai tanggal 2 Mei sampai dengan 22 Mei 2013. Pijat oksitosin diberikan kepada kelompok perlakuan selama 3 kali pijatan (10 menit) pada responden 1 jam post partum dengan cara mengukur waktu

42 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


pengeluaran ASI setelah di lakukan pijat oksitosin. a. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah ibu nifas 1 jam post partum spontan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Responden dalam penelitian sebanyak 40 orang, yaitu 20 ibu mendapatkan perlakuan pijat oksitosin dan 20 ibu tidak mendapatkan perlakuan pijat oksitosin dengan karakteristik yang terdiri dari usia, pendidikan, dan pekerjaan. Rincian masing-masing karakteristik responden pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

a) Karakteristik responden berdasarkan usia Berdasarkan penelitian diperoleh data tentang usia reproduksi ibu post partum. Hasil penelitian menunjukan bahwa usia responden beragam, dalam hasil hitung diketahui rata-rata usia responden pada keompok kontrol dan kelompok perlakuan. Rata-rata usia responden dihitung untuk mengetahui homegen tidaknya kelompok penelitian.

Tabel 1 Perbandingan rata-rata umur kelompok perlakuan pijat oksitosin dan kelompok kontrol di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013. Perlakuan Kontrol Karakteristik T p value (mean) (mean) Umur 22 25 495 0,238 Keterangan : *) tidak bermakna Sumber : data primer 2013 Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa rata-rata subyek penelitian dilakukan pijat oksitosin adalah 23 tahun dan yang tidak dilakukan pijat oksitosin adalah 24 tahun dengan p value kedua kelompok adalah 0,238 dan memperlihatkan bahwa karakteristik usia pada kelompok pijat oksitosin dan kelompok kontrol mempunyai hasil hitung >0,005 dan menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna.

b) Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Berdasarkan penelitian diperoleh data tentang pendidikan ibu post partum yang menjadi responden. Hasil penelitian menunjukan bahwa pendidikan beragam, dan dihitung untuk mengetahui homogenitas kelompok penelitian

Tabel 2 Perbandingan Tingkat Pendidikan kelompok perlakuan pijat oksitosin dan kelompok kontrol di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013. Tingkat Perlakuan n% Kontrol n% X2 p value pendidikan Lulus SD 4 1 Lulus SMP 5 8 4.400 0,221 Lulus SMA 4 9 Lulus akademik 7 2 Keterangan : *) tidak bermakna Sumber : data primer 2013 Dari hasil hitung yang ada di tabel 4.2 didapatkan tingkat pendidikan antara kelompok pijat oksitosin dan kelompok kontrol dengan p value 0,221 menunjukkan bahwa >0,005, dapat diartikan bahwa kedua kelompok homogen dan kedua kelompok dapat

comparable atau layak untuk dibandingkan. c) Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh data tentang pekerjaan pasien yang menjadi responden dan didapatkan

44 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


perbandingan kelompok.

antara

kedua

Tabel 3 Perbandingan pekerjaan kelompok perlakuan pijat oksitosin dan kelompok kontrol di RSUD Panembahan Senopati Bantul Tahun 2013. Pekerjaan Perlakuan Kontrol C2 p value IRT 10 6 0,103 Swasta 5 12 4.550 PNS 5 4 Keterangan : *) tidak bermakna Sumber : data primer 2013 Berdasarkan tabel 4.3 karakteristik subyek penelitian didapatkan bahwa karakteristik kedua kelompok subyek baik kelompok pijat oksitosin maupun kelompok kontrol adalah sama atau tidak ada perbedaan yang bermakna, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kedua kelompok similar atau homogen, dikatakan homegen karena berdasarkan hasil hitung uji beda yang telah didapatkan menunjukkan karakteristik subyek penelitian memiliki p value 0,103, hal ini menunjukkan bahwa p value >0,005, kedua kelompok dapat

comparable atau dibandingkan.

layak

untuk

3.2. a.

Analisis Bivariat Rata-rata waktu pengeluaran produksi ASI yang dikeluarkan pada kelompok perlakuan pijat oksitosin dan pada kelompok kontrol. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh perbedaan lama waktu produksi ASI dari responden yang telah dilakukan pijat oksitosin dan dari responden yang tidak dilakukan pijat oksitosin. Ratarata produksi ASI pada ibu yang telah mendapatkan piat oksitosin adalah 94.75 menit dan pada kelompok kontrol 643.25 menit.

Tabel 4 Rata-rata waktu pengeluaran produksi ASI antara kelompok perlakuan dan kontrol di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Kelompok N Mean SD Pijat oksitosin 20 92.75 94.40 Kontrol 20 643.25 309.94 Sumber : data primer 2013 b.

Perbedaan waktu pengeluaran ASI pada kelompok perlakuan pijat oksitosin dan pada kelompo control Untuk membandingkan perbedaan waktu pengeluaran ASI pada responden yang diberikan tindakan pijat oksitosin dengan responden yang tidak diberikan tindakan pijat oksitosin dapat dilakukan dengan independent sampel t-test (Uji t tidak berpasangan). Sebelum dilakukan Independent Sampel t-test, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis

yaitu uji normalitas. Uji normalitas data dilakukan untuk mengetahui apakah data waktu pengeluaran ASI pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mempunyai distribusi normal atau tidak. Uji normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji kolmogorov-smirnov Z dan didapatkan nilai p pada kelompok perlakuan 0.214 dan pada kelompok kontrol 0,829 >0.05 sehingga dapat disumpulkan bahwa Ho diterima dapat diartikan data mempunyai sebaran (distribusi) normal.

Tabel 5 Perbedaan waktu pengeluaran ASI pada kelompok perlakuan pijat oksitosin dan kelompok kontrol di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Variabel Mean SD T P Pijat oksitosin 92.75 94.40 7.599 0.000 kontrol 643.25 309.94

45 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan nilai p sebesar 0,000. Dengan demikian nilai p lebih kecil dari nilai Îą (5%) atau 0,05 sehingga Ho ditolak dan Ha diterima, dan melalui hasil yang telah diperoleh dapat diartikan bahwa secara statistik ada perbedaan waktu pengeluaran ASI antara ibu nifas yang diberikan pijat oksitosin pada 1 jam post partum dan pada ibu nifas yang tidak diberikan pijat oksitosin pada 1 jam post partum. 4.

PEMBAHASAN Hasil karakteristik responden berdasarkan usia menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengeluaran ASI berdasarkan rata-rata usia yang telah didapatkan dari 40 responden, menurut jurnal pediatric (2010), usia seseoramg tidak mempengaruhi banyak atau tidaknya pengeluaran ASI pada ibu menyusui. Karakteristik berdasarkan pendidikan dan pekerjaan yang diperoleh dari hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pengeluaran ASI yang didapatkan dari responden kelompok perlakuan dan kelompok kontrol yang masing-masing memiliki status pendidikan dan pekerjaan yang beragam. Menurut[7], mengatakan bahwa pendidikan tidak mempengaruhi produksi ASI, dan menurut[8], pekerjaan tidak mempengaruhi pengeluaran ASI tetapi frekuensi isapan bayi yang kurang dapat mempengaruhi reflek prolaktin dan dapat mempengaruhi ASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh menunjukkan bahwa peningkatan waktu pengeluaran mempunyai rata-rata yang berbeda antara kelompok yang diberikan pijat oksitosin dan kelompok yang tidak diberikan pijat oksitosin. Melalui hasil yang diperoleh bahwa rata-rata waktu pengeluaran produksi ASI pada kelompok yang mendapatkan pijat oksitosin adalah 92.75 menit, pada kelompok yang tidak diberikan pijat oksitosin adalah 643.25 menit dan P valuenya adalah 0,000 lebih kecil atau dibawah 0.05 sehingga mempunyai makna signifikan dan dapat diartikan bahwa pelaksanaan pemberian tindakan pijat oksitosin pada ibu nifas 1 jam post partum dapat berpengaruh terhadap peningkatan waktu pengeluaran ASI dibanding dengan kelompok yang tidak mendapatkan pijat oksitosin. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini bersesuaian dengan teori yang disampaikan oleh Suradi & Tobing (2004), bahwa pijat oksitosin dilakukan untuk merangsang reflek oksitosin atau reflek let down untuk menskresi ASI. Pijat oksitosin ini dilakukan dengan cara memijat pada

daerah punggung sepanjang kedua sisi tulang belakang sehingga diharapkan dengan dilakukan pemijatan ini ibu akan merasa rileks dan membantu merangsang pengeluaran hormon oksitosin untuk memproduksi ASI. Oksitosin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pituitary dalam otak, hormon oksitosin dapat dirangsang saat bayi menghisap, rangsangan tersebut dikirimkan ke hipotalamus kemudian ke hipofisis anterior sehingga hormon oksitosin dikeluarkan dan mengalir ke dalam darah, kemudian masuk payudara menyebabkan otot-otot di sekitar alveoli berkontraksi dan membuat ASI mengalir di saluran ASI (milk ducts). Hormon oksitosin juga memacu kontraksi otot rahim sehingga involusi rahim makin cepat dan baik [9]. Hormon oksitosin juga membuat saluran ASI lebih lebar, membuat ASI mengalir lebih mudah. Hormon oksitosin diproduksi lebih cepat dari hormon prolaktin, bahkan hormon ini dapat bekerja sebelum bayi mulai mengisap dan hal itulah yang mempengaruhi perbedaan waktu pengeluaran ASI pada kelompok yang diberikan tindakan pijat oksitosin dan pada kelompok yang tidak diberikan tindakan pijat oksitosin. Tindakan pjat oksitosin dapat membantu ibu percaya diri untuk memberikan ASI sedini mungkin kepada bayinya, hal ini dapat membantu tercapainya cangkupan ASI ekslusif dan membantu tercapainya target MDGs yaitu mengurangi kematian anak karena ASI dapat membantu menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB)[1]. Menurut Riksani (2012) Pembentukan dan pengeluaran ASI juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain[10] : 1. Makanan Kualitas dan produksi ASI sangat dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu sehari-hari. Makanmakanan yang bergizi dan teratur dapat membantu produksi ASI. 2. Ketenangan jiwa dan pikiran

46 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Ibu yang mengalami stres pikiran tertekan, tidak tenang dan tegang maka akan mempengaruhi produksi ASI. 3. Faktor Fisiologi Hormon yang berperan penting dalam produksi ASI yaitu hormon prolaktin dan oksitosin. Hormon prolaktin menentukan produksi dan mempertahankan sekresi ASI, sedangkan hormon oksitosin menyebabkan sel-sel otot disekitar alveoli berkontraksi sehingga mendorong air susu masuk di sekitar alveoli dan mendorong air susu masuk kedalam saluran penyimpanan ASI. 4. Konsumsi Rokok Bagi ibu menyusi merokok dapat menyebabkan berkurangnya produksi ASI karena akan mengganggu hormon prolaktin dan oksitosin untuk memproduksi ASI. Merokok akan menstimulir pelepasan hormon adrelanil yang akan menghabat pelepasan hormon oksitosin. 4.1 a. 1.

2.

3.

b. 1.

2.

3.

Kesulitan dan Kelemahan Penelitian Kesulitan Penelitian Pada saat pengumpulan data primer memerlukan waktu yang relatif lama karena ibu postpartum primipara yang tidak dilakukan IMD tidak selalu ada pada saat peneliti akan melakukan penelitian. Kebijakan Rumah Sakit bahwa pasien yang bersalin secara spontan, normal dan keadaannya membaik diperbolehkan pulang setelah 1 hari post partum sehingga peneliti mengganti responden dengan responden yang baru. Sulitnya mengalihkan psikologi ibu dari trauma saat persalinan agar menjadi rileks dan membantu pengeluaran ASI. Kelemahan Penelitian Sampel dalam penelitian ini masih terbatas, teknik sampling dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, sampel ini belum bisa digunakan untuk generalisasi tentang waktu produksi ASI pada ibu post partum normal. Penelitian ini tidak mengontrol variabel pengganggu seperti nutrisi, psikologi dan sosial budaya responden sebagai faktor yang mungkin mempengaruhi waktu pengeluaran produksi ASI. Pijat Oksitosin dalam penelitian ini hanya dilakukan 1 kali pada saat 1 jam

post partum saja, sehingga waktu pengeluaran tidak smaksimal. 5.

Kesimpulan Hasil dari penelitian mengenai “Pengaruh pijat oksitosin terhadap pengeluaran ASI pada ibu nifas di RSUD Panembahan Senopati Bantul tahun 2013� adalah sebagai berikut : 1. Karakteristik rata-rata umur subyek penelitian yang dilakukan pijat oksitosin adalah 22 tahun dan yang tidak dilakukan pijat oksitosin adalah 25 tahun dengan hasil hitung >0,005 yaitu p value 0,238. 2. Karakteristik perbandingan tingkat pendidikan pada kelompok yang diberikan pijat oksitosin dan kelompok yang tidak diberikan pijat oksitosin adalah p value 0,221. 3. Kakteristik perbandingan berdasarkan pekerjaan pada kedua kelompok memiliki p value 0,103 menunjukkan bahwa >0,005. 4. Rata-rata pengeluaran ASI yang dikeluarkan pada kelompok perlakuan pijat oksitosin adalah 92.755 menit dari 20 responden yang dipijat oksitosin. 5. Rata-rata pengeluaran ASI yang dikeluarkan pada kelompok kontol adalah 634.25 menit dari 20 responden yang tidak dilakukan pijat oksitosin. 6. Ada perbedaan waktu pengeluaran ASI pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol mempunyai p value 0,000 dengan demikian lebih kecil dari 0,05 . 6.

Saran Berdasarkan penelitian diatas, maka peneliti menyarankan 1. Bagi Bidan di RSUD Panembahan Senopati Bantul a. Untuk dilakukannya kegiatan pijat oksitosin kepada ibu post partum yang berada di unit kamar bersalin maupun ruang nifas untuk membantu meningkatkannya produksi ASI dan membantu tercapainya ASI ekslusif. b. Pengetahuan tentang pelaksanaan pijat oksitosin dan

47 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


hal-hal yang mempengaruhi produksi ASI dapat membantu untuk meningkatkan pelayanan pada ibu bersalin dan dapat memotivasi ibu post partum untuk memberikan ASI ekslusif kepada bayinya. 2. Bagi Ibu Nifas di RSUD Panembahan Senopati Bantul DAFTAR PUSTAKA 1. Depkes RI, (2007). Angka Kematian Bayi Indonesia masih tinggi, http://health.detik.com, diakses pada tanggal 4 Januari 2013 2. Hegar, B. (2008). ASI Ekslusif Enam Bulan, http:www.fbuzz.com/2008/09/01/asiekslusif-enam-bulan/, diakses pada tanggal 4 April 2013. 3. Selasi. (2009). Susu formula dan Angka Kematian Bayi, http://selasi.net/indek.php?, diakses pada tangga 2 April 2013 4. Roesli, U. (2008). Inisiasi Menyusu Dini untuk Awali ASI Ekslusif, http://www.gizi.net/cgibin/berita/fulln ews.cgi?newsid122154870957747, di akses tanggal 2 April 2012

a. Meningkatkan pengetahuan dan kesiapan untuk memberikan ASI pada bayinya. b. Dilakukannya perawatan payudara atau pijat oksitosin di rumah dengan dibantu oleh suami atau keluarga.

5.

6.

7.

8.

9. 10.

Depkes RI, (2001). Rencana Strategi Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 2001-2010. Jakarta: Depkes &WHO Notoatmodjo S, (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta; Reneka Cipta Soetjiningsih, (1997). ASI Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan. Cetakan I. Jakarta; EGC Sulistyawati, (2009). Buku Ajar Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Yogyakarta; C.V Andi Suradi & Tobing, (2004). Manajemen Laktasi Catatan 2. Jakarta; Riksani R (2012). Keajaiban ASI. Yogyakarta; Niaga Swadaya

48 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Penyegar

GERAKAN 30 MENIT PER HARI MENEMANI ANAK SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGHINDARI PENYAKIT SOSIAL DAN MENINGKATKAN SUMBER DAYA MANUSIA JEPANG 2020 Ida Mar’atus Sholihah1 1

Program Studi S1 Kebidanan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang

Sumber Daya Manusia di Jepang Menurut Nawawi (2001) ada tiga pengertian Sumber daya manusia yaitu : 1. Sumber daya manusia adalah manusia yang bekerja dilingkungan suatu organisasi (disebut juga personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan. 2. Sumber daya manusia adalah potensi manusiawi sebagai penggerak organisasi dalam mewujudkan eksistensinya. 3. Sumber daya manusia adalah potensi yang merupakan asetdan berfungsi sebagai modal (non material/non finansial) di dalam organisasi bisnis, yang dapat mewujudkan menjadi potensi nyata (real) secara fisik dan non-fisik dalam mewujudkan eksistensi organisasi.[1] Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan. Secara makro, faktor-faktor masukan pembangunan, seperti sumber daya alam, material dan finansial tidak akan memberi manfaat secara optimal untuk perbaikan kesejahteraan rakyat bila tidak didukung oleh memadainya ketersediaan faktor HR, baik secara kualitas maupun kuantitas. Pengembangan SDM merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pendekatan bersifat terintegrasi dan holistik dalam mengubah prilaku orang-orang yang terlibat dalam suatu proses pekerjaan, dengan menggunakan serangkaian teknik dan strategi belajar yang relevan. Konsep ini mengandung makna adanya berbagai unsur kegiatan selama terjadinya proses mengubah prilaku, yaitu adanya unsur pendidikan, adanya unsur belajar, dan perkembangan. Unsur pendidikan dimaksudkan untuk menentukan teknik dan

strategi yang relevan untuk mengubah perilaku. Unsur belajar dimaksudkan untuk menggambarkan proses terjadinya interaksi antara individu dengan lingkungan, termasuk dengan pendidik. Adapun unsur perkembangan dimaksudkan sebagai proses gradual dalam perubahan dari suatu keadaan, misalnya dari keadaan tidak dimilikinya kompetensi menjadi keadaan memiliki kompetensi, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu.[2] Pelajaran yang dapat dipetik dari berbagai negara maju adalah kemajuan yang dicapai oleh bangsa-bangsa di negara-negara tersebut didukung oleh SDM yang berkualitas. Jepang, misalnya, sebagai negara pendatang baru (new comer) dalam kemajuan industri dan ekonomi memulai upaya mengejar ketertinggalannya dari negara-negara yang telah lebih dahulu mencapai kemajuan ekonomi dan industri (fore runners) seperti Jerman, perancis dan Amerika dengan cara memacu pengembangan SDM. Kualitas SDM sangat dipengaruhi oleh kualitas kesehatan (fisik dan psikis), kualitas pendidikan informal dan formal (yang berhubungan dengan keterampilan/keahlian kerja), kepribadian terutama moral/agama, tingkat kesejahteraan hidup dan ketersediaan lapangan kerja yang relevan.[3] Bukti empiris (khususnya dari negara lain yang sudah maju) menunjukkan bahwa peningkatan kualitas manusia merupakan kunci kesuksesan pembangunan atau kesejahteraan masyarakat. Pembangunan akan berhasil bila dilakukan oleh tenagatenaga yang memiliki skills dan knowledge serta dilengkapi dengan sifat-sifat serta sikap-sikap yang mendukung.[4] Hasibuan (2005) menyatakan bahwa perilaku dan sifat dari SDM ditentukan oleh keturunan

47 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya.[5] Jepang adalah sebuah negara kepulauan di Asia Timur. Letaknya di ujung Barat Samudera Pasifik, di sebelah Timur Laut Jepang dan bertetangga dengan Republik Rakyat Cina, Korea dan Rusia. Kata Delay dalam “The Art and Culture of Japan� Jepang adalah sebuah negara kepulauan yang terdiri dari empat pulau utama, dari utara ke selatan : Hokaido, Honsu (yang terbesar dan paling padat penduduknya), Kyushu, dan Shikoku. Dan lebih dari 3500 lebih pulau- pulau kecil. Jepang memiliki sejaran budaya yang unik dan kaya yang berkaitan dengan geografi, cinta, dan keindahan alam telah mempengaruhi semua budaya yang ada di Jepang.[6] Penduduk jepang pada 2009 menurut Biro Statistik Jepang, diperkirakan berjumlah 127.614 juta jiwa (perkiraan 1 Februari 2009). Jumlah keluarga kaya sebanyak 1,23 juta jiwa, menduduki peringkat kedua setelah Amerika. Tercatat pada 2009 jumlah penduduknya berkurang 75.000 orang, pengurangan yang terbesar sejak perang dunia II. Jumlah kelahiran tahun 2009 tercatat 1.069.000 jiwa, sementara jumlah kematian sebanyak 1.144.000 jiwa. Hal ini akan menjadi ledakan masalah bagi jepang 15 sampai 20 tahun lagi. Negeri industri maju tetapi angka tenaga kerja produktifnya sangat kecil. Mereka akhirnya menciptakan banyak robot untuk menggantikan tenaga kerja manusia. Jepang merupakan salah satu negara di Asia yang kondisi perekonomiannya menyamai perekonomian Amerika dan sudah menjadi salah satu negara yang berpengaruh di dunia. Kemajuan Jepang ini tentunya didukung oleh sumberdaya yang dimiliki oleh Jepang terutama sumber daya manusianya. [6] Orang Jepang menghayati Etos Bushido (etos para samurai = the way of the samurai) yang bersumber dari perpaduan filsafat Konfusianisme, Buddhisme, dan Shintoisme yang kemudian merupakan karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang. Etos tersebut terdiri dari tujuh prinsip sebagai berikut :[7] 1. Gi: Keputusan yang benar diambil dengan sikap yang benar berdasarkan kebenaran; jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, sebab kematian

yang demikian adalah kematian yang terhormat. 2. Yu:Berani dan bersikap kesatria. 3. Jin: Murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesama. 4. Re:Bersikap santun; bertindak benar. 5. Makoto: Bersikap tulus yang setulus-tulusnya; bersikap sungguh yang sesungguhsungguhnya; tanpa pamrih. 6. Melyo: Menjaga kehormatan, martabat dan kemuliaan. 7. Chugo: Mengabdian yang loyal. Kiranya juga jelas, kemajuan Jepang dalam kancah perekonomian dunia dapat dipahami sebagai akibat logis dari etos kerja di atas. Disamping etos kerja diatas, para pekerja Jepang bekerja lebih panjang dibanding rekannya di negara maju lainnya. Statistik menunjukan, setiap tahunnya pekerja Jepang bekerja lebih dari 2.000 jam. Selain itu, para pekerja Jepang lebih sering merelakan hari liburnya untuk bekerja. Hal ini timbul karena dorongan untuk bekerja lebih panjang demi prestasi kerja.[8] Penyakit Sosial di Jepang sebagai Manifestasi dari Etos Kerja Jepang merupakan negara maju dan orang jepang terkenal memiliki etos kerja seperti yang sudah dipaparkan di atas. Frekuensi jam kerja yang sangat tinggi yang bisa mencapai 16 jam dalam sehari yang berkesinambungan merupakan tuntutan kerja dan bentuk loyalitas pribadi terhadap perusahaan yang telah mempekerjakannya. Chie Nakane menyatakan perusahaan bagi orang Jepang ibarat satu keluarga, pimpinan adalah kepala keluarga dan bawahan sebagai anggota keluarga. Perusahaan adalah komunitas seorang pekerja, sedangkan rumah hanyalah sebagai tempat dimana ia tidur, perusahaan tidak dianggap semata-mata sebagai satu organisasi dimana seseorang terikat dengannya melalui kontrak, tapi dianggap sebagai tempat dimana seorang pekerja merupakan bagian darinya bahkan dianggap sebagai miliknya. Sehingga orang tua yang yang bekerja menjadi seorang pegawai, cenderung memiliki waktu yang tidak banyak bagi keluarganya. Sehingga berimbas pada perhatiannya kepada keluarga terutama anak.[9] Kartasaputra mendefinisikan bahwa perilaku penyimpangan adalah suatu

48 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, yang tidak sesuai atau tidak menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, baik yang dilakukan secara sadar ataupun tidak. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut, apabila terus berkembang akan menyebabkan timbulnya penyakit sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, penyakit sosial adalah bentuk penyimpangan terhadap norma masyarakat yang dilakukan secara terusmenerus. Sama halnya dengan penyakitpenyakit fisik pada umumnya, penyakit sosial pun tidak muncul secara seketika. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyakit sosial di masyarakat kita. Faktor-faktor tersebut antara lain:[10] 1. Tidak adanya figur yang bisa dijadikan teladan dalam memahami dan menerapkan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, apa yang dirasa benar, akan dilakukan terusmenerus tanpa memedulikan apakah hal itu melanggar norma atau tidak. 2. Pengaruh lingkungan kehidupan sosial yang tidak baik. Lingkungan yang sebagian besar masyarakatnya sering melakukan tindak penyimpangan, seperti prostitusi, perjudian, dan mabukmabukan, bisa memengaruhi kondisi masyarakat yang tinggal di daerah itu, sehingga warganya ikut terjangkit penyakit sosial serupa. 3. Proses sosialisasi yang negatif. Seseorang yang bergaul dengan para pelaku penyimpangan sosial, seperti kelompok preman, pemabuk, penjudi, dan sebagainya, lambat laun akan menjadi sama dengan temanteman sekelompok dengannya. 4. Ketidakadilan. Seseorang yang mendapatkan perlakuan tidak adil, bisa memicunya untuk melakukan protes, unjuk rasa, bahkan bisa menjurus ke tindakan anarkis Kemajuan Jepang ini memberikan dampak sosial yaitu berupa penyakit sosial. Anak- anak yang kurang mendapatkan perhatian orang tua tentunya merasakan dampaknya. Beberapa penyakit sosial yang ada di Jepang yang bisa dialami oleh seorang anak maupun remaja yang kurang mendapatkan perhatian :

1. Hikikomori. Hikikomori has been frequently described in Japan and is characterized by adolescents and young adults who become recluses in their parents' homes, unable to work or go to school for months or years. With up to 1,400,00 Japanese youth affected Hikikomori. Children of traditional middle and upper middle class families, whose parents are civil servants, teachers, farmers, corporate executives, and business owners, are highly likely to develop Hikikomori.[11] 2. Chuunibyou Chuunibyou or "Middle-school 2nd Year Syndrome", is a colloquial and rather derisive term in Japan which describes a person at the age of fourteen would either act like a know-it-all adult, or thinks they have special powers no one else has. Some would even go as far as being obnoxious, arrogant, and often look down on adults or older people. This way of thinking or acting is mostly seen in teenagers during adolescence, however there are people who still act like this even after reaching adulthood. Chuunibyou uses the word "病" for "syndrome" or "disease" but it does not actually relate to any medical condition or mental disorder. It can also be written as 厨二病 in Japanese, where "厨" means "-fag" in net slang. In English it is often abbreviated as chuu2. There are three types of people who have chuunibyou traits: 1. DQN (Ddokyun-kei) Pretends to be anti-social or acts like a delinquent when in fact he or she is not or cannot become like either one. Tells made up stories about gang fights or crimes, or boasts and pretends to know about that subculture. "DQN" is slang for "antisocial person" or "annoying delinquent". 2. Subcultural/Hipster (sabukaru-kei) Prefers non-mainstream or minor trends and establishes themselves as being special. People of this type do not really love the

49 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


subculture itself but rather strive to obtain the "cool" factor by not having the same interests as others. 3. Evil Eye (jakigan-kei) Admires mystical powers and thinks that he or she has a hidden power within them as well. It is this trait that they create an alias specifically for said power. This is also known as the delusional type.[12] 4. Nijikon 5. Nijikon adalah istilah yang merupakan feeling or opinion that two-dimensional anime, manga or game characters are more attractive (visually, physically or emotionally) than real-life people. [13]

Selain penyakit sosial, Jepang juga terkenal dengan fenomena Keroshi yaitu kematian mendadak yang disebabkan karena kerja yang berlebihan. Rekor korban karoushi pun hingga saat ini masih dipegang oleh Jepang dan bahkan menjadi pusat perhatian dunia. Gerakan 30 Menit Sehari Mendampingi Anak Masa anak-anak dimulai setelah melewati masa bayi yang penuh ketergantungan,yakni kira-kira usia 2 tahun sampai saat anak matang secara seksual, yakni kira-kira usia 13 tahun untuk wanita dan 14 tahun untuk pria. Selama periode ini terjadi sejumlah perubahan yang signifikan, baik secara fisik maupun psikologis. Sejumlah ahli membagi masa anak-anak awal dan masa anak-anak akhir. Masa anak-anak awal berlangsung dari umur 2 tahun sampai 6 tahun, dan masa anak-anak akhir dari usia 6 tahun sampai saat anak matang secara seksual.[14, 15] Masa usia sekolah - school age (6-12 tahun) dianggap sebagai usia yang paling cocok dalam menanamkan dan membentuk perilaku positif, karena pada masa itu anak belajar untuk membentuk kepribadian. Pada masa ini anak memasuki masa belajar di dalam dan di luar sekolah. Anak belajar di sekolah, tetapi membuat latihan pekerjaan rumah yang mendukung hasil belajar di sekolah. Banyak aspek perilaku dibentuk melalui penguatan verbal, keteladanan dan identifikasi. Perkembangan anak tidak terbatas hanya pekembangan fisik saja tetapi juga

perkembangan mental, sosial, dan emosional. Abraham Maslow menyatakan bahwa kepribadian anak sebenarnya terbentuk dan berkembang melalui proses komunikasi, oleh karena itu diperlukan komunikasi antar pribadi yang efektif yang akan mampu menciptakan suasana yang akrab, saling pengertian, keterbukaan, dan kedekatan antara orang tua dan anak. Komunikasi yang tepat dapat membentuk kepribadian positif yang akan tercermin melalui perillaku anak yang positif pula meliputi mandiri, disiplin, kreatif, terbuka, percaya diri, dan bertanggung jawab. [16] Komunikasi merupakan salah satu kebutuhan manusia, sekaligus dasar eksistensi suatu masyarakat yang dapat menentukan struktur suatu masyarakat dalam suatu lingkungan. Tanpa melakukan komunikasi, maka seseorang akan sulit untuk melangsungkan hidupnya. Komunikasi dan interaksi antarpribadi dianggap paling ampuh untuk mempengaruhi sikap, pendapat dan perilaku orang lain karena dari pengaruh yang ditimbulkannya terjadi sebuah proses psikologis yang akhirnya bermuara pada proses sosial. Komunikasi antarpribadi yang paling sederhana dapat kita amati di dalam keluarga. Suatu keluarga terdiri dari pribadi-pribadi yakni ayah, ibu dan anakanak. Peranan anggota keluarga dalam menciptakan suasana keluarga kuat sekali. Semua orang tua ingin memiliki anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan keinginan mereka. Perkembangan anak meliputi perkembangan fisik maupun mental. Komunikasi yang efektif menimbulkan lima hal yaitu:[17] 1. Pengertian 2. Penerimaan yang cermat oleh komunikan mengenai isi stimulus atau pesan seperti yang dimaksud oleh komunikator. 3. Kesenangan 4. Pengaruh pada sikap 5. Hubungan sosial yang baik 6. Tindakan Peran orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya adalah suatu keharusan dan mesti dilakukan orang tua kepada anak-anaknya, sebab anak-anak sangat membutuhkan beberapa hal berikut ini: [18] 1. Mencintai dan Dicintai Mencintai dan dicintai adalah kebutuhan paling mendasar bagi manusia. Artinya, secara konkrit

50 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


orang tua harus terbuka kepada anaknya agar dapat mengenalinya. 2. Perlindungan hingga merasa aman dan nyaman Percaya mempercayai adalah syarat mutlak menciptakan suasana aman, yaitu suasana keterbukaan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk ikut berbagi kebahagiaan, keberhasilan, juga kegagalan dan keprihatinan dari keluarga. 3. Bimbingan Bimbingan berarti orang tua harus menerima kemampuan anak apa adanya. Supaya kemampuan anak berkembang, orang tua harus menciptakan ruang lingkup yang menggairahkan dan menstimulus anak. Kemudian yang perlu dihindari adalah segala hal yang menekan. 4. Diakui Artinya orang tua harus menghargai pribadi anak. Meskipun anak masih tergantung pada orang tua, ia harus diperlakukan sebagi pribadi yang dihargai hak-haknya. 5. Disiplin Anak adalah manusia yang didewasakan. Sesuai dengan umurnya sedikit demi sedikit ia harus diajari dan dibiasakan hidup sebagai makhluk sosial. Ia harus bergul dengan orang lain/sesamanya. Dalam mengembangkan perilaku positif atau bahkan potensi anak, orang tua menjadi katalisator utamanya. Adapun peran orang tua dalam mengembangkan perilaku positif anak, yaitu: 1. Menciptakan atmosfir yang penuh penghargaan, waktu yang cukup untuk bermain dan kesempatan untuk mandiri. 2. Mengembangkan pola komunikasi yang positif . 3. Menyediakan aturan yang konsisten dan batas-batas yang jelas dari setiap aturan . 4. Menyediakan aktivitas yang mendukung penguasaan anak akan keterampilan-keterampilan yang harus dikuasainya dan membuat anak mengembangkan perasaan “mampu�.

5. Menyediakan kesempatan untuk belajar dengan anggota keluarga yang lain. 6. Menekankan pentingnya belajar. Untuk itu, betapa pentingnya peran orang tua dalam proses tumbuh kembang anak sehingga kelak ia menjadi pribadi tangguh, prestatif dan berkepribadian positif. Sehingga dengan sumber daya manusia yang sudah ada, Jepang akan semakin baik dengan adanya sebuah gerakan nasional yang mampu mendukung orang tua untuk bisa mencurahkan perhatian dan kasih sayang yang lebih untuk anak- anaknya. Selain itu, dapat menghindarkan anak dari kemungkinan penyakit sosial yang timbul karena anak kurang kasih sayang. Gerakan itu adalah “Gerakan 30 Menit Per Hari Menemani Anak sebagai Upaya Untuk Menghindari Penyakit Sosial dan Meningkatkan Sumber Daya Manusia Jepang 2020�. Gerakan ini memiliki tujuan : 1. Memberikan waktu kepada orang tua untuk mencurahkan kasih sayangnya kepada anak setelah menjalankan rutinitas kerja. 2. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menikmati waktu berharga disetiap harinya dengan orang tua. 3. Meningkatkan motivasi dan semangat kepada anak sehingga mampu membentuk kepribadian positif untuk anak. 4. Menyiapkan Sumber Daya Manusia yang lebih baik demi pembangunan negara. Gerakan ini dilakukan setelah orang tua pulang dari tempat kerja . Kegiatan yang dilakukan adalah : menemani dan mengajari anak belajar, menonton TV bersama, keluar rumah bersama, bercanda dan bercerita kepada anak, dll. Gerakan ini memerlukan dukungan yang kuat dari pemerintah Jepang terutama dalam pengaturan jadwal kerja. Selain itu, pemerintah Jepang perlu mempertegas UU Ketenagakerjaan Roudoukijunbi. UU ini sifatnya melindungi para pekerja, seperti membatasi waktu bekerja maksimal 8 jam/hari. Bagi perusahaan yang memiliki jadwal lembur,pemerintah perlu memberikan batasan. Seperti : jam maksimal lembur, pembatasan frekuensi lembur. Dan bagi yang sedang lembur kerja dan tidak sempat menemani anaknya, orang tua bisa menggantinya dengan

51 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


memberikan hadiah kepada anak atau reward yang lain kepada anak atau memaksimalkan hari libur untuk bisa menemani anak.

9.

Daftar Pustaka 1. Hadari Nawawi. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta 2. Megginson, D., Joy-Mattews, J., dan Banfield, P., (1993). Human Resource Development. London: Kogan-Page Limited. 3. Ohkawa dan Kohama 1989 dalam Tjutju Yuniarsih. Suwatno, 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia.Bandung; Alfabeta. 4. http://repository.usu.ac.id/handle/12 3456789/586 5. Hasibuan,M. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Bumi Aksara 6. Delay, Nelly. The Art and Culture of Japan. New York: Harry N. Abrams, 1999. ISBN: 0-8109-2862-0 7. http://repository.usu.ac.id/handle/12 3456789/32827 8. Robert N. Bellah. Tokugawa Religion. 1957. New York : The Free Press.

11. 12.

10.

13. 14. 15.

16.

17. 18.

http://gallery.mailchimp.com/0dd437 5963d6f1e4421737cf7/files/File_3_N utshel_8EK_ Prof.pdf Nakane, Chie. 1981. Masyarakat Jepang. Jakarta: Sinar Harapan. http://c3i.sabda.org Rhoades,F.George. Sar, Vedat.2005. Trauma and Dissociation in a Cross-Cultural Perspective: Not Just a North American Phenomenon. New York : The Haworth Maltreatment & Trauma Press http://en.dic.pixiv.net/a/Chuunibyou www.urbandictionary.com Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya Elizabeth B, Hurlock. (1978). Perkembangan Anak (jilid 1, terjemahan). Inggris: McGrawHill.Inc Koswara. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: Eresco Rakhmat, Jalaluddin. 1995 . Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi Contoh Analisis Statistik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

52 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


53 BIMABI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.