Bimfi vol 3 no1

Page 1



SUSUNAN PENGURUS

PENASIHAT

Prof. Dr. Elly Wahyudin, DEA., Apt.

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Farmasi Indonesia

Subehan, S.Si, M.Pharm.Sc.,Ph.D., Apt.

Dosen Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin

BOARD OF DIRECTOR

Syarifatul Mufidah, S. Far

PENANGGUNG JAWAB ISMAFARSI

PIMPINAN UMUM

Hardiana Arsyad Universitas Hasanuddin

PIMPINAN REDAKSI Delvina Ginting

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

SEKRETARIS - BENDAHARA I Rifka Nurul Utami

Universitas Hasanuddin

SEKRETARIS - BENDAHARA II Riri Nurul Suci

Universitas Indonesia

MITRA BESTARI

Ismiarni Komala, Ph.D., Apt.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Erna Tri Wulandari, Apt.

Universitas Sanata Dharma

Phebe Hendra, Ph.D., Apt. Universitas Sanata Dharma

Dr. Kusnandar Anggadiredja, S.Si.,M.Si

Institut Teknologi Bandung

Dr. Delina Hasan, M.Kes., Apt.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Rezi Riadhi Syahdi, S. Farm., M. Farm

ii

Universitas Indonesia

Dr. rer. nat. Sophi Damayanti

Institut Teknologi Bandung

Dr. Sri Hartati Yuliani, Apt. Universitas Sanata Dharma

Dr. Lucy D. N. Sasongko Institut Teknologi Bandung

DEWAN REDAKSI

Rudiarfiansyah Universitas Hasanuddin Ihin Solihin Universitas Islam Indonesia

Erwin Prawirodiharjo UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Raisatun Nisa Universitas Gadjah Mada Rizkia Lazuardina Institut Teknologi Bandung Herlina Tri Setiyowati Universitas Indonesia Wuri Kinanti Universitas Sanata Dharma

HUMAS DAN PROMOSI

Citra Utami Universitas Hasanuddin

Khiratul Azizi Universitas Andalas

Ummum Nada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Hardyanti Eka Putri UIN Alauddin Makassar Denny Bachtiar UIN Syarif Hidayatullah Pramadevi Almira M. V. Universitas Islam Sultan Agung Nursela Hijriani Universitas Muhammadiyah Malang Mei Elvina Sekolah Tinggi Farmasi Bandung Dicky Juniawan Putra Universitas Tanjungpura

TATA LETAK DAN LAYOUT

Vishilpy Dimalia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Akhyar Sukardi Universitas Hasanuddin Tito Gumelar Universitas Gadjah Mada Ahmad Mu’arif

Universitas Hasanuddin

Intan Permata Sari

Institut Teknologi Bandung

Tiara Vista Ramadhani Universitas Airlangga Dewi Laksmita Universitas Brawijaya


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-7851

Susunan Pengurus................................................................................................................................................. Daftar Isi.................................................................................................................................................................... Petunjuk Penulisan............................................................................................................................................... Setitik Ilmu............................................................................................................................................................... Sambutan Pimpinan Umum..............................................................................................................................

ii iii iv ix x

PENELITIAN

Analisis In Silico Sanggenol-N Dalam Murbei (Morus alba) sebagai Inhibitor HIV Reverse Transcriptase Terhadap Resistensi Mutasi K103N dan Y181C Erisa Adellia P., Fitri Arum S., Fitria Handayani, dan Muhammad Ikhsan

....................................................................................................................................................................................................................................................

Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Kulit Batang Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb) Terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7 Menggunakan Metode MTT

1

Muhamad Rozi Saputra, Fatma Sri Wahyuni, dan Elidahanum Husni

....................................................................................................................................................................................................................................................

Aktivitas Antioksidan Isolat Fungi Endofit dari Tanaman Secang (Caesalpinia sappan Linn.) Yayan Hebrianto R, Herlina Rante, dan Abdul Rahim

....................................................................................................................................................................................................................................................

Kajian Farmakokinetika Klinik pada Pasien Hipertensi yang Dirawat Di RSUD Padang Panjang

6 12

Fadhila Helnisa, Henny Lucida, dan Herli Hasan

....................................................................................................................................................................................................................................................

Efek Gastroprotektif Ekstrak Etanol Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) Terhadap Mukosa Lambung Mencit (Mus musculus) Jantan dengan Penginduksi Aspirin

20

Hasriadi, Mukhriani, dan Dewi yuliana

....................................................................................................................................................................................................................................................

TINJAUAN PUSTAKA

Terapi Kemosaturasi untuk Penyakit Kanker Payudara

33

Adi Surya Kusuma dan Joko Gumilang

....................................................................................................................................................................................................................................................

Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) sebagai Agen Kemopreventif dengan Menghambat Angiogenesis yang Diinduksi oleh iNOS

38

Jabal Rahmat Hedar

....................................................................................................................................................................................................................................................

43

iii


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) Indonesian Pharmacy Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMFI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu farmakologi, farmasetika, teknologi sediaan farmasi, farmakognosi, fitokimia, kimia farmasi, bioteknologi farmasi, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi. Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu farmasi, kesehatan masyarakat, dan ilmu dasar farmasi. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia farmasi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi farmasi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu farmasi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia farmasi atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau farmasi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia farmasi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar farmasi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang farmasi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia farmasi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa farmasi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa farmasi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai obat atau kombinasi obat terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

iv


Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMFI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas. Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimfi@bimkes.org dan bimfi@ismafarsi@org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Metode - Hasil - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 6. Judul 7. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 8. Pendahuluan 9. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Laporan kasus - Pembahasan - Kesimpulan 5. Daftar Rujukan v


8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan katakata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. SERIAL

Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman. Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

2. BUKU

i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.

ii. Dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994.

vi

iii. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, Walter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.


iv. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.

v. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956.

vi. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.

vii. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.

viii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969. ix. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. x. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

3. PUBLIKASI ELEKTRONIK

i. Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://

vii


www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

ii. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm>

iii. Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla. html>.

iv. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http:/ www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.

viii


SETITIK ILMU

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) Indonesian Pharmacy Student Journal Satu-satunya jurnal mahasiswa farmasi Indonesia

Berkala Ilmiah Mahasiswa Farmasi Indonesia (BIMFI) atau Indonesian Pharmacy Student Journal merupakan berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Ikatan Senat Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia (ISMAFARSI) setiap enam bulan sekali. Berkala ilmiah ini merupakan langkah awal ISMAFARSI dalam memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan berkala ilmiah dan upaya pemetaan penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia. Maka dari itu, BIMFI berazaskan dari, oleh, dan untuk mahasiwa. Kriteria jenis tulisan yang tercantum dalam BIMFI adalah penelitian asli, tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar, editorial, petunjuk praktis, dan advertorial yang dibuat oleh mahasiswa farmasi Indonesia. Karya ilmiah yang dipublikasikan merupakan artikel terbaik yang sudah menjalani tahap penyaringan dan penilaian. Hal tersebut didukung oleh sistem redaksional yang digunakan, yaitu seleksi oleh editor dan redaktur, serta penilaian oleh mitra bestari, yang ahli di bidangnya masing-masing. Karya ilmiah yang dimuat dalam BIMFI terbagi dalam kelompok bidang ilmu, seperti Farmakologi, Farmakoterapi, Farmasetika, Teknologi Sediaan Farmasi, Farmakognosi, Fitokimia, Kimia Farmasi, Analisis Farmasi, Mikrobiologi Farmasi, dan Bioteknologi Farmasi. Karya yang dipublikasikan adalah tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa farmasi. Sebagai tahap awal penyebaran, BIMFI dalam bentuk cetak akan dibagikan ke beberapa Fakultas atau Prodi Farmasi di Indonesia. Pada tahap selanjutnya, BIMFI akan dibagikan ke seluruh Fakultas atau Prodi Farmasi, Asosiasi Institusi Farmasi, Organisasi Profesi Farmasi, dan beberapa perpustakaan di Indonesia untuk menjamin penyampaian informasi kepada para mahasiswa farmasi Indonesia. Selain itu, BIMFI juga tersedia dalam bentuk electronic journal yang bisa diakses di website. Dengan demikian, BIMFI diharapkan dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa farmasi akan informasi ilmu kefarmasian.

ix


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM

Salam Dari Pimpinan Umum Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga alhamdulillah BIMFI bisa hadir kembali sebagai wadah publikasi ilmiah dan sarana informasi bagi dunia kefarmasian Indonesia. Sholawat dan salam semoga selalu tercurah keharibaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman. Menulis sebuah artikel ilmiah bagi sebagian besar mahasiswa farmasi mungkin bukan menjadi hal baru. Namun, untuk mempublikasikan karya yang telah dibuat, masih kurang membudaya bagi mahasiswa. Melalui BIMFI, mahasiswa farmasi di Indonesia akan semakin mudah untuk dapat mempublikasikan artikelnya. Sebagai wadah jurnal mahasiswa farmasi pertama dan satu satunya di Indonesia, BIMFI telah berhasil menjadi konsumsi yang produktif untuk perkembangan ilmu kefarmasian bagi mahasiswa dan akademisi farmasi. BIMFI dapat dijadikan acuan referensi jurnal bagi mahasiswa sesuai kebutuhannya. Kehadiran BIMFI ini merupakan, bukti nyata adanya komitmen positif ISMAFARSI dalam menunjukkan kesungguhannya dalam mendukung Dirjen Dikti Kemendikbud Republik Indonesia, mengenai Wajib Publikasi Ilmiah bagi S1, sehingga dapat memberikan manfaat bagi perkembangan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia. Memasuki tahun ketiga, BIMFI telah tersebar luas di beberapa kampus farmasi dari Aceh hingga Manado dan menoreh prestasi sebagai Sub BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia) terbaik di tahun kedua. BIMFI diharapkan dapat terus menjadi salah satu wadah mahasiswa yang dapat menumbuh kembangkan budaya publikasi, tulis dan kultur ilmiah yang merupakan atribut yang melekat dari sebuah civitas akademika. Terus berkarya dan terus menghasilkan jurnal-jurnal yang berkualitas. Dengan adanya berkala ilmiah ini, kami juga berharap dapat melakukan pemetaan terhadap penelitian terkait ilmu kefarmasian di Indonesia. Dengan mengingat bahwa ilmu kefarmasian terbagi dalam banyak bidang ilmu, artikel-artikel yang dipublikasikan dalam BIMFI diklasifikasikan menjadi beberapa jenis tulisan. Sebanyak 5 artikel penelitian dan 2 artikel tinjauan pustaka dimuat pada edisi ini. Hanya artikel yang berkualitas dan terbaik yang bisa dimuat di BIMFI karena artikel-artikel yang masuk telah melalui proses seleksi yang panjang dan proses revisi dari dewan redaksi bersama mitra bestari. Besar harapan kami, semoga BIMFI Volume 3 Nomor 1 ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat sehingga mampu meningkatkan wawasan pembaca dan dapat membangun jiwa-jiwa kritis khususnya di dunia kefarmasian Indonesia. Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses perjalanan hingga terbitnya BIMFI ini. Akhir kata terima kasih atas perhatiannya dan mohon maaf apabila ada kesalahan yang telah penyusun lakukan. Sampai berjumpa pada edisi berikutnya, partisipasi teman-teman mahasiswa farmasi akan selalu kami nantikan agar kedepannya BIMFI bisa hadir kembali dengan lebih baik. Hidup Mahasiswa Farmasi Indonesia! Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Hardiana Arsyad

x


Penelitian

ANALISIS IN SILICO SANGGENOL-N DALAM MURBEI (Morus alba) SEBAGAI INHIBITOR HIV REVERSE TRANSCRIPTASE TERHADAP RESISTENSI MUTASI K103N DAN Y181C Erisa Adellia P.,1* Fitri Arum S.,1 Fitria Handayani,1 dan Muhammad Ikhsan1 1

Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok Corresponding author’s email : fitriahandayani.02@gmail.com

*

ABSTRAK Pendahuluan: HIV-1 merupakan bentuk virus yang paling virulen dan prevalensinya lebih banyak terjadi pada AIDS. HIV memiliki enzim yang berperan penting dalam menjaga proses masuknya partikel virus, salah satunya adalah enzim transkriptase balik (RT). Salah satu contoh anti HIV-1 RT adalah kelas NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor). Senyawa NNRTI ini diketahui dapat ditemukan dalam bahan alam, salah satunya adalah Morus alba yang diduga memiliki aktivitas inhibisi terhadap HIV-1 transkriptase balik. Pada NNRTI ditemukan kejadian resistensi mutasi dan yang paling sering terjadi adalah resistensi mutasi K103N dan Y181C. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi aktivitas senyawa Sanggenol N yang terdapat dalam Morus alba sebagai anti HIV-1 transkriptase balik terhadap mutasi K103N dan Y181C. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode penapisan virtual menggunakan perangkat AutoDock dengan bantuan piranti lunak PyRx 0.9. Hasil: Hasil penapisan virtual menunjukkan bahwa mutasi enzim RT membuat interaksi antara sanggenol N dengan enzim semakin kuat karena adanya penggantian gugus hidroksil dengan gugus amida atau sulfidhril. Didapatkan hasil docking mutasi Y181C dengan nilai -11,2; diikuti dengan mutasi K103N dengan nilai -11,02; mutasi K103N/Y181C dengan nilai -10,95. Nilai energi ikatan tersebut lebih rendah dibandingkan obat anti-HIV nevirapin. Kesimpulan: Dengan demikian, sanggenol N berpotensi untuk dikembangkan menjadi obat anti HIV. Kata kunci: HIV-1, transkriptase balik, sanggenol N, docking, mutasi ABSTRACT Background: HIV-1 is the most virulent retrovirus and its prevalence is more common in AIDS. HIV has enzymes that takes an important role in maintaining the entrance of virus particles such as enzyme reverse transcriptase. One example of anti-HIV-1 Reverse Transcriptase is NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors). NNRTI compounds are known to be found in herbal or natural products, one of the product is Morusalba. Morusalba alleged to have an inhibitory activity like NNRTI. In NNRTI, the incidence of resistance mutations was observed and the most common resistance mutation was K103N and Y181C. The purpose of this study is to know the potencial activity of Sanggenol N contained in Morusalba as an anti-HIV-1 reverse transcriptase against K103N and Y181C mutations. Methods: The study was conducted by using the virtual screening method with the help of the software PyMOL, AutoDock 0.9, and PyRx. Results: Virtual screening results indicate that mutations in the RT enzyme makes the interaction between the enzyme and sanggenol N getting stronger due to the replacement of the hydroxyl group with the amide group or sulfidhril. Y181C mutation docking results obtained with a value of -11.2; followed by the value of -11.02 K103N mutation; mutation K103N/Y181C the value -10.95. Value of the bond energy is lower than the anti-HIV drug nevirapine. Conclusion: Thus, sanggenol N may have a potency to be developed as an anti-HIV drug. Keywords: HIV-1, reverse transcriptase, sanggenol N, docking, mutation

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

1


1. PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah anggota dari famili Retroviridae yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Terdapat dua jenis HIV yang menginfeksi manusia yaitu HIV-1 dan HIV-2.[1] HIV-1 merupakan bentuk virus yang paling virulen dan prevalensinya lebih banyak dibandingkan HIV-2.[2] Berdasarkan data dari Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes, hasil statistik menunjukkan terdapat 19 139 penderita HIV-1 laki-laki baru dan 7 255 penderita HIV-1 perempuan baru untuk setiap 100 000 penduduk tahun 2011 di Indonesia.[3] Indonesia menduduki peringkat 8 dengan estimasi kasus HIV sebesar 310 000 pada tahun 2009.[4] Siklus hidup HIV menggambarkan suatu peristiwa yang diawali oleh proses masuknya partikel virus tunggal ke dalam sel T CD4+ serta menggunakan instrumen pada inang untuk membentuk suatu partikel viral baru.[2] Dalam siklus hidupnya, virus HIV memiliki enzim-enzim yang berperan penting dalam menjaga proses tersebut salah satunya adalah enzim transkriptase balik. Enzim ini membantu proses transkripsi balik yang berperan dalam produksi DNA viral untai ganda.[5] Enzim transkriptase balik virus HIV merupakan target utama perancangan kemoterapi pasien HIV.[6] Enzim transkriptase balik HIV-1 merupakan enzim heterodimer yang digunakan virus HIV-1 untuk mengubah ssRNA menjadi dsDNA. Enzim ini terdiri dari dua subunit yaitu P66 dan P51. Tingkat mutasi HIV-1 diperkirakan 1,4 × 10-5 - 5.4 × 10-5 mutasi dalam sistem assay sel. Selain itu, produksi virus yang banyak sekitar 1,03 × 1010 virion/ hari/ individu memungkinkan HIV-1 untuk menghasilkan keragaman genetik untuk menghindari respon imun inang dan obat antiretroviral. Hasil analisis beberapa genotip HIV-1 menunjukkan mutasi resisten terhadap inhibitor NRTI berupa M41L, D67N, K70R, L210W, T215Y/F, K219Q/E. Sedangkan mutasi resisten terhadap NNRTI yang paling sering ditemui adalah K103N, diikuti dengan Y181C and G190A.[7] Selama 25 tahun setelah penyakit HIV-AIDS ditemukan, banyak senyawa anti-HIV yang dikembangkan untuk menghentikan mutasi. Secara umum, senyawa anti HIV terbagi ke dalam beberapa golongan, satu di antaranya adalah Anti HIV-1 Reverse Transkriptase (RT). Golongan senyawa Anti HIV-1 RT terbagi ke dalam kelas, yaitu NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor), NtRTI (Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor), dan NNRTI (Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor).[8] NtRTI bekerja secara kompetitif memutus2

kan sintesis untai DNA.[9] NRTI (zidovudine, lamivudine, didanosine) berinteraksi dengan sisi katalitik dan enzim NNRTI (efavirenz, nevirapin) bekerja dengan menghambat transkripsi dari HIV-1 transkriptase balik secara non-kompetitif dengan menginduksi perubahan konformasi di dalam RT dan menurunkan aktivitas katalitik. Senyawa NNRTI juga ditemukan dalam bahan alam, 46 herba dari 51 tanaman diketahui dapat menghambat pembentukan sel dan memperlihatkan aktivitas penghambatan HIV-1 reverse transcriptase (RT).[10] Berdasarkan nilai IC50 dari 40 tanaman yang diujikan, aksi penghambatan terhadap HIV-1 RT paling kuat terdapat pada tujuh tanaman antara lain Cinnamomum loureiroi, Morus alba, Quercus infectoria, Plumbago indica, Artocarpus heterophyllus, Acorus calamus, Allium sativum, dan Ocimum sanctum.[11] Umumnya, tanaman yang diujikan mengandung senyawa flavonoid yang memiliki efek sebagai anti HIV-1 RT. Aktivitas antiviral flavonoid golongan biflavonoid ditemukan dapat membunuh beberapa virus yang berkembang di dalam sel.[12] Jenis flavonoid seperti Robustaflavon dan Hinokliflavon yang diisolasi dari daun Rhus succedanea memperlihatkan inhibisi yang kuat terhadap polymerase HIV-1 reverse transcriptase. Senyawa lain yang diduga memiliki aktivitas inhibisi terhadap HIV-1 reverse transcriptase adalah Morus alba. Penelitian mengenai buah murbei (Morus alba) terus dikembangkan hingga didapatkan hasil bahwa flavonoid diduga memiliki aktivitas sebagai anti-HIV. [13] Berdasarkan hasil penelitian mengenai penapisan virtual transkriptase balik menggunakan AutoDock, senyawa yang menempati 10 peringkat tertinggi diantaranya adalah sanggenol N yang merupakan turunan flavonoid dari famili Moracae seperti Artocarpus fretessi, A. gomezanius Wallich ex Trexcul, A. heterophyllus, Morus alba, M. australis Poir, dan M. Mongolica. [14] Penelitian tersebut memaparkan bahwa flavonoid dari Morus alba memiliki aktivitas anti-HIV.[15] Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat aktivitas senyawa sanggenol N yang terdapat dalam Morus alba sebagai anti HIV-1 transkriptase balik terhadap mutasi K103N dan Y181C sehingga dapat diketahui potensi senyawa ini untuk dikembangkan menjadi obat anti-HIV. 2. METODE 2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Komputer Fakultas Farmasi UI pada bulan April – Mei 2014.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


2.2. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan berupa perangkat keras komputer dengan spesifikasi Random Access Memory 1926 MB dan prosesor Intel速 CoreTM yang dilengkapi dengan monitor, CPU, keyboard, dan mouse, serta perangkat lunak berupa program PyMOL, AutoDock, dan PyRx 0.9. Bahan yang digunakan dalam penelitian berupa kristal tiga dimensi dari enzim HIV-1 Reverse Transkriptase (RT) dan struktur tiga dimensi senyawa mutan yang resisten terhadap obat tertentu yang diunduh dari RCSB Protein Data Bank, serta struktur tiga dimensi senyawa obat Sanggenol N. 2.3. Preparasi Struktur Protein Target Pada tahap ini dilakukan proses pencarian dan pengunduhan struktur molekul protein, serta pembersihan molekul. A. Pencarian dan Pengunduhan Struktur Molekul Protein Struktur makromolekul protein yang akan digunakan dicari melalui RCSB Protein Data Bank di http://rcsb.org. Makromolekul yang dipilih (ID PSB: 3BGR, 4I2Q, dan 1JLA) merupakan struktur yang berkompleks dengan ligan dan memiliki nilai eksklusi resolusi < 2,6 A, kemudian diunduh dalam format .pdb untuk digunakan pada tahap berikutnya. B. Optimasi Struktur Protein Optimasi dilakukan dengan membersihkan makromolekul dari molekul pelarut dan kofaktor yang jauh dari sisi pengikatan ligan menggunakan program PyMOL. C. Pemisahan Ligan dan Pendefinisian Tempat Ikatan Ligan dipisahkan dari struktur kristal makromolekul dengan menggunakan program PyMOL lalu dicari koordinat (x, y, dan z) pengikatan pada ligan menggunakan program AutoDock. 2.4. Preparasi Basis Data Ligan Pada tahap ini, ligan diubah menjadi bentuk .pdbqt untuk dilakukan penapisan virtual dengan menggunakan AutoDock. 2.5. Penapisan Virtual Pada penelitian ini, penapisan virtual dilakukan menggunakan perangkat lunak AutoDock dengan bantuan program PyRx. Langkah yang dilakukan adalah preparasi ligan dan makromolekul dengan program PyRx, kemudian diatur pemetaan grid sebesar 50 x 50 x 50 unit untuk AutoDock, dan dijalankan dengan program AutoDock dengan pengaturan penambatan Lamarckian GA yang sebelumnya telah diatur maximum number of energy

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

evaluations sebesar 1 000 000. 2.6. Analisis dan Visualisasi Hasil Penapisan Virtual Hasil penapisan virtual menggunakan AutoDock akan disimpan dalam berkas .dlg. Kemudian, hasil penapisan virtual menggunakan AutoDock divisualisasikan menggunakan program PyMOL. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Validasi dilakukan menggunakan nevirapin sebagai kontrol positif. Nevirapin dipilih karena merupakan obat anti-HIV golongan NNRTI yang memiliki energi ikatan paling rendah pada enzim RT.[2] Validasi dilakukan menggunakan AutoDock Vina dan diperoleh RMSD <2,0 Angstrom. Nevirapin juga digunakan sebagai standar pembanding pada percobaan ini. Tabel 1. Hasil Penapisan Virtual Nevirapin pada Enzim RT dan Mutasinya Enzim

Binding Energy (kkal/mol)

Enzim RT

-5,20

3BGR (K103N/ Y181C)

-6,91

4I2Q (K103N)

-8,12

1JLA (Y181C)

-7,24

Selanjutnya sanggenol N diuji terhadap enzim RT dan mutasinya sehingga diperoleh data tabel 2. Tabel 2. Hasil Penapisan Virtual Sanggenol N pada Enzim RT dan Mutasinya Enzim

Binding Energy (kkal/mol)

Enzim RT

-10,36

3BGR (K103N/Y181C)

-10,95

4I2Q (K103N)

-11,02

1JLA (Y181C)

-11,20

Berdasarkan hasil penapisan virtual di atas, enzim RT yang tidak bermutasi dapat berikatan dengan senyawa sanggenol N dengan energi ikatan -10,36 kkal/mol. Sedangkan pada enzim RT yang telah bermutasi asam amino K (Lys) 103 menjadi N (Asn) memiliki energi ikatan yang lebih rendah, yaitu -10,95 dan -11,02 kkal/mol. Hasil penapisan virtual pada enzim RT yang bermutasi Y (Tyr) 181 menjadi C (Cys) juga menunjukkan energi ikatan yang lebih rendah, yaitu -11,2 kkal/mol.

3


Gambar 1. Struktur(2S)-5,7,2’-Trihydroxy-5’-prenyl-6’’,6’’-dimethylpyrano [2’’,3’’:4’,3’] flavanone (Sanggenol N) Berdasarkan visualisasi menggunakan PyMol terlihat adanya interaksi spesifik antara gugus aromatis sanggenol N dengan gugus aromatis dari sekuens asam amino dalam enzim RT yaitu Tyr (Y), Trp (W), Phe (F). Selain itu, adanya 6”,6” dimetil juga dapat berinteraksi dengan gugus Pro (P) dan rantai karbon asam amino lainnya dengan gaya Van der Walls. Adanya 3 gugus hidroksi dapat membentuk ikatan hidrogen dengan sekuens asam amino pada enzim RT dan mutasinya.

Gambar 2. Visualisasi Sanggenol N dengan enzim RT tidak bermutasi

Gambar 3. Visualisasi Sanggenol N dengan 3BGR

4

Gambar 4. Visualisasi Sanggenol N dengan 4I2Q

Gambar 5. Visualisasi Sanggenol N dengan 1JLA Mutasi enzim RT membuat interaksi antara sanggenol N dengan enzim tersebut menjadi semakin kuat. Hal ini yang menyebabkan energi ikatan lebih rendah dibandingkan dengan enzim RT tanpa mutasi (Wild type). Mutasi K103N menyebabkan perubahan Lys menjadi Asn sehingga menambah gugus amida. Gugus amida ini dapat membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksi pada sanggenol N. Sedangkan mutasi Y181C, terjadi perubahan Tyr menjadi Cys. Gugus hidroksi dari Tyr digantikan oleh gugus sulfhidril dari Cys. Gugus sulfhidril tersebut tetap dapat berinteraksi dengan gugus hidroksi dari sanggenol. Dengan demikian, sanggenol N memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat anti HIV untuk menghambat enzim RT walaupun telah bermutasi. 4. KESIMPULAN Senyawa aktif sanggenol N yang terdapat dalam buah murbei diprediksi memiliki potensi sebagai anti-HIV RT karena mampu menghambat enzim reverse transcriptase (RT) virus yang mudah bermutasi dengan energi ikatan terendah didapatkan dari hasil docking dengan mutasi Y181C dengan nilai -11,2; diikuti dengan mutasi K103N dengan nilai -11,02; mutasi K103N/ Y181C dengan nilai -10,95. Nilai energi

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


ikatan tersebut lebih rendah dibandingkan obat anti-HIV Nevirapin sehingga sanggenol N memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai obat anti HIV. DAFTAR PUSTAKA [1]. Levinson, W., Jawetz, E. Microbiologiamédica e imunologia (10th ed.). Porto Alegre: Art Med, 2010. [2]. Syahdi, Rezi Riadhi. Penapisan Virtual Basis Data Senyawa Tanaman Obat di Indonesia sebagai Inhibitor EnzimEnzim HIV-1. Depok: Universitas Indonesia, 2011. [3]. Willyandre, A., et al. “Microfluidic Chipbased Nucleic Acid Testing using Gingival Crevicular Fluid as a New Technique for Detecting HIV-1 Infection.” Journal of Dentistry Indonesia 18:2 (2011): 45-50. [4]. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2012. [5]. Braz, V. A. Binding of the Nonnucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor Evafirenz to HIV-1 Reverse Transcriptase Monomers and Dimers. Case Western Reserve University. 2010. [6]. Tsai, C.H, et al. “Antiviral Therapy Targeting Viral Polymerase.” Current Pharmaceutical Design (2006): 13391355.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

[7]. Ibe, Shiro, Wataru, Sugiura. “Clinical Significance of HIV Reverse Transcriptase Inhibitor Resistance Mutations.” Future Microbio 6:3 (2011): 295-315. [8]. Clercq, Eric. “Anti-HIV drugs: 25 compounds approved within 25 years after the discovery of HIV.” International Journal of Antimicrobial Agents 33 (2009): 307-320. [9]. Bethune, Marie. “Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs), their discovery, development, and use in the treatment of HIV-1 infection: A review of the last 20 years (1989–2009).” Antiviral Research 85 (2010): 75–90. [10]. Yamasaki, et al. “Anti-HIV-1 Activity of Herbs in Labiatae.” Biol. Pharm. Bull 21:8 (1998): 829-833. [11]. Silprasit, et al. “Anti-HIV-1 reverse transcriptase activities of hexane extracts from some Asian medicinal plants.” Journal of Medicinal Plants Research 5:19 (2011): 4899-4906. [12]. Yadav, et al. “Anti-HIV Drugs From Natural Sources.” The Pharma Research 01 (2009). [13]. Chauhan, Seema, et al. “Mulberry: Life Enhancer.” Journal of Medicinal Plants Research 2:10 (2008): 271-278. [14]. Afendi FM., et al. “Plant Cell Physiol.” 53:e1 (2012). [15]. Yanuar, A., et al. “Virtual Screening of Indonesian Herbal Database as HIV1 Reverse Transcriptase Inhibitor.” 8:4 (2012).

5


Penelitian

EFEK SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG ASAM KANDIS (Garcinia cowa Roxb) TERHADAP SEL KANKER PAYUDARA MCF-7 MENGGUNAKAN METODE MTT Muhamad Rozi Saputra,1* Fatma Sri Wahyuni,1 dan Elidahanum Husni1 1 *

Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang.

Corresponding author’s email : rozi.pharmacy010@gmail.com

ABSTRAK Pendahuluan: Kanker payudara merupakan kanker yang frekuensi kejadiannya paling tinggi pada perempuan. Obat antikanker yang digunakan sekarang tidak selektif karena tidak hanya membunuh sel kanker tapi juga membahayakan sel normal disekitarnya. Oleh karena itu, perlu usaha untuk mencari sumber obat baru yang berasal dari alam. Salah satu usahanya adalah dengan dilakukan uji efek sitotoksik ekstrak etanol kulit batang asam kandis (Garcinia cowa Roxb.) terhadap sel kanker payudara MCF-7 secara in-vitro. Metode: Potensi ekstrak etanol diuji dengan metode MTT. Prinsipnya adalah terjadinya reduksi garam kuning tetrazolium MTT oleh sistem reduktase dalam mitokondria sel-sel hidup yang membentuk kristal formazan berwarna ungu dan tidak larut air. Penambahan DMSO akan melarutkan kristal formazan yang kemudian diukur absorbannya menggunakan microplate reader. Sampel ekstrak dibuat empat konsentrasi yaitu 0,1 μg/mL, 1 μg/mL, 10 μg/mL, dan 100 μg/mL. Hasil: Dari pengujian yang dilakukan diperoleh nilai IC50 ekstrak etanol kulit batang asam kandis terhadap sel kanker payudara MCF-7 sebesar 35,89 µg/mL ± 7,44. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa ekstrak etanol kulit batang asam kandis mampu menghambat pertumbuhan sel kanker payudara MCF-7 secara signifikan pada konsentrasi 100 µg/mL (P < 0,05). Kesimpulan: ekstrak etanol kulit batang asam kandis (Garcinia cowa Roxb) memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan berpotensi dapat dikembangkan sebagai agen kemoterapi yang baru dan baik. Kata Kunci: Ekstrak Kulit Batang, Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb.), Sel Kanker Payudara MCF-7, Metode MTT ABSTRACT Background: Breast cancer is one of the cancer with the highest rate of occurrence in women. Anticancer drugs used nowadays were not selective not only they killed cancer cells but also harmed normal cells in the process. Therefore, it is necessary to look for a new source of drug from nature. One of this efforts was to test the cytotoxic evaluation of ethanol extracts of the stem bark asam kandis (Garcinia cowa Roxb.) against breast cancer cells MCF-7 in vitro. Methods: The potency of ethanol extract was tested with MTT assay method. The test was done by a reduction of tetrazolium salt MTT in a reductase system in mitochondria of living cells to form purple non-water soluble formazan crystals. The addition of DMSO to dissolve the formazan crystals were then measured the absorbances by using a microplate reader. Sample extracts were made ​​in four concentration of 0.1 ug/mL, 1 ug/mL, 10 ug/mL, and 100 ug/mL. Results: From the test, it was obtained that IC50 value of ethanolic extract of stembark kandis acid against MCF-7 cells was 35.89 mg/mL±7.44. The result of statistical analysis showed that the ethanolic extract can inhibit the growth of MCF-7 cells significantly at a concentration of 100 ug/mL (P <0.05). Conclusions: Ethanol extracts of stem bark asam kandis has a potency of cytotoxicity effect against breast cancer cells MCF-7 and can be developed as a new chemotherapy agent. Keywords: Stem bark extract, Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb.), MCF-7 Breast Cancer Cells, MTT Method

6

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


1. PENDAHULUAN Kanker atau tumor ganas adalah pertumbuhan sel/jaringan yang tidak terkendali, terus bertumbuh/bertambah dan bersifat immortal (tidak dapat mati). Sel kanker dapat menyusup ke jaringan sekitar dan dapat membentuk anak sebar. Diagnosis kanker maupun jenis kanker ditegakkan berdasarkan hasil wawancara dokter terhadap pasien yang pernah didiagnosis menderita kanker dengan pertanyaan.[1] Menurut WHO 2008, kanker menempati urutan kedua yang menyebabkan kasus kematian pada 7,6 juta jiwa atau 21% dari total kematian NCD (Non-Communicable Diseases) di dunia. Di Indonesia, kanker payudara merupakan salah satu kanker yang frekuensi kejadiannya paling tinggi di antara kanker jenis lain pada kaum perempuan setelah kanker leher rahim.[2] Pada pengobatan kanker dengan menggunakan teknik kemoterapi hanya efektif untuk beberapa periode waktu saja.[3] Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian untuk mencari obat antikanker yang memiliki kerja yang selektif terhadap sel kanker tanpa merusak sel normal.[4] Salah satu usaha untuk mengatasi permasalahan diatas adalah dengan melakukan pencarian sumber bahan-bahan obat baru yang berasal dari tanaman. Hal ini dilakukan karena sifat bahan alam yang renewable, mudah terdekomposisi dan dapat dikeluarkan dari dalam tubuh.[5] Tumbuhan Garcinia (Clusiaceae) mengandung berbagai jenis senyawa metabolit sekunder seperti santon, benzofenon dan flavonoid. Berdasarkan uji bioaktivitas, beberapa senyawa fenolat dari tumbuhan Garcinia menunjukkan aktivitas secara farmakologi sebagai anti HIV, antikanker, antiinflamasi, antitumor, pengobatan penyakit hepatitis, pengobatan radang usus, antileukimia,[6-7] sebagai antimikobakteri,[8] dan juga sebagai antiradikal bebas atau antioksidan.[9-10] Senyawa santon terutama dikenal dengan potensinya sebagai antikanker. [11]

Salah satu tanaman di genus ini yang mulai banyak diteliti yaitu Garcinia cowa Roxb. Tanaman ini memiliki nama daerah asam kandis atau kandis. Di Indonesia, asam kandis banyak digunakan sebagai bumbu masak, terutama di Sumatera Barat. Peneliti sebelumnya sudah menguji efek sitotoksik ekstrak etanol kulit batang, akar, daun, dan kulit buah asam kandis terhadap sel kanker payudara T47D dengan metoda MTT. Salah satu diantaranya adalah ekstrak etanol kulit batang asam

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

kandis terhadap sel kanker payudara T47D dan mendapatkan nilai IC50 5.1 µg/mL.[12] Selain sel T47D, terdapat sel kanker payudara lain yang disebut dengan sel MCF 7. Walaupun keduanya merupakan sel kanker payudara, sel T47D dan sel MCF 7 memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Sel kanker payudara T47D mengekspresikan mutasi gen,[13] sedangkan sel kanker MCF-7 mengekspresikan mutasi reseptor estrogen.[14] Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan karakteristik kedua sel tersebut, perlu dilakukan pengujian ekstrak etanol kulit batang asam kandis terhadap sel kanker payudara MCF-7. Semoga penelitian ini dapat menambah kegunaan dari tumbuhan Garcinia cowa Roxb.sebagai anti kanker. 2. METODE 2.1. Alat dan Bahan 2.1.1. Peralatan Alat-alat yang digunakan untuk uji kandungan metabolit sekunder, ekstraksi, dan karakterisasi berupa corong, spatel, botol coklat, vial, kertas saring, rotary evaporator (Buchi®). Alat-alat yang digunakan untuk uji aktivitas sitotoksik berupa sarung tangan karet, botol semprot, erlenmeyer (Iwaki®), gelas piala, flask T-25 (Iwaki®), botol Duran, mikrotube, pipet mikro (Appendrof ®), hemasitometer, timbangan analitik, autoklaf (Hirayama®), lemari es (Sharp®), inkubator 370C/5% CO2 (Thermo Scientific®), microbiological safety cabinet air flow kelas II (Thermo Scientific®), vortex (Ika®), penangas air (Memert®), sentrifus (Thermo Scientific®), tabung sentrifus (Iwaki®), mikroskop inverted (Zeiss®), plat 96 sumuran (Iwaki®), dan spektrofotometer microplate (xMarkTM). 2.1.2. Bahan Bahan yang digunakan untuk uji kandungan metabolit dan karakterisasi berupa kulit batang asam kandis, etanol 70%, norit, pasir bersih, kloroform, asam sulfat, pereaksi Mayer, pereaksi Lieberman-burchard, asam klorida pekat, besi (III) klorida, serbuk logam magnesium, amonia, asam sulfat 2N, dan aquadest. Sedangkan bahan yang digunakan untuk uji efek sitotoksik yaitu sel kanker payudara manusia MCF-7 diperoleh dari koleksi Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Universitas Gajah Mada, dimetil sulfoksida (DMSO), etanol 70%, air purifikasi, medium Dulbecco’s modified Eagle’s medium (DMEM) (Gibco®), Fetal Bovine Serum (FBS, Gibco®), Penicillin-Streptomycin (Gibco®), Tripsin-EDTA (Gibco®), Phosphate buffer Saline (PBS, Gibco®), dan reagen MTT [3-(4,5dimetilthiazol-2-il)-2,5-difeniltetrazolium bromida] (Sigma®).

7


2.2. Identifikasi dan Pemeriksaan Kandungan Metabolit Sekunder Sampel yang berupa kulit batang asam kandis diambil pada bulan Juni 2013 di daerah Batu Busuk, Limau Manis, Padang, Sumatera Barat. Setelah itu, sampel di identifikasi di Herbarium ANDA Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang. Untuk pemeriksaan kandungan metabolit sekunder, dilakukan pemeriksaan meliputi, pemeriksaan alkaloid,[15] terpenoid, steroid, saponin, fenolik, dan pemeriksaan flavonoid.[16] Selain itu, sampel juga ditentukan rendemen, susut pengeringan, dan kadar abu total.[17] 2.3. Ekstraksi Sampel kulit batang asam kandis dipisahkan, bersihkan, dan keringkan kemudian dimasukkan ke dalam wadah gelas berwarna gelap dan dimaserasi dengan etanol 70% dilakukan sebanyak 3-5 kali pengulangan. Hasil maserasi diuapkan pelarutnya dengan alat rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental.[18] 2.4. Kultur Sel 2.4.1. Persiapan Perlatan Peralatan yang digunakan untuk pengerjaan dengan sel harus dalam keadaan bersih dan steril. Wadah plastik dipersiapkan hanya untuk satu kali pemakaian dan sterilitasnya terjamin selama kemasan tidak rusak. Untuk alat-alat berbahan gelas, wadah dicuci bersih dan dikeringkan. Kemudian disterilkan dengan autoklaf pada suhu 1210C tekanan 15 lbs selama 15 menit. Sedangkan Laminar air flow disterilkan dengan menggunakan sinar UV dan disemprot dengan etanol 70%. 2.4.2. Persiapan Larutan Uji A. Larutan Induk Ditimbang ekstrak kulit batang asam kandis sebanyak 100 mg. Larutkan ekstrak dalam 1 mL DMSO untuk mendapatkan konsentrasi larutan 100 mg/mL. Ekstrak harus larut sempurna didalam pelarut. B. Pengenceran Larutan Uji Sebanyak 180 µL medium dipipet ke dalam 5 mikrotube. Larutan induk dibuat dengan konsentrasi 10 mg/mL dengan cara memipet 20 µL larutan stok, kemudian dipindahkan ke dalam tabung pertama, aduk sempurna. Dilakukan pengenceran bertingkat dengan cara memindahkan 20 µL larutan uji dari tabung pertama ke tabung kedua. Dilakukan hal yang sama untuk tabung selanjutnya sehingga akan diper-

8

oleh larutan dengan konsentrasi 100, 10, 1, dan 0,1 µg/mL pada masing-masing sumur pada plat 96 sumuran. 2.4.3. Persiapan Sel Sel kanker payudara MCF-7 yang digunakan adalah koleksi dari Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Universitas Gadjah Mada. Sel kanker dikeluarkan dari freezer (-800C), dihangatkan dalam penangas air pada suhu 370C selama 2-3 menit. Setelah mencair, sel dipindahkan ke dalam flask yang telah berisi 10 mL media, diinkubasi selama 3-4 jam pada suhu 370C/ 5% CO2, kemudian diamati di bawah mikroskop untuk melihat apakah sel melekat di dasar flask dan membentuk lapisan monolayer. Medium pertumbuhan diganti sekali dalam dua hari dan bila jumlah sel di dalam flask mencapai 70-85%, dilakukan sub-kultur sel. 2.4.4. Perhitungan Jumlah Sel Ditambahkan 2 mL tripsin-EDTA ke dalam flask yang berisi kultur sel, kemudian inkubasi 5-10 menit. Larutan tripsin-EDTA yang berisi sel disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit. Supernatan dibuang, lalu pelet disuspensikan dalam 2 mL medium DMEM. Ambil 10 µL suspensi sel, letakkan pada masing-masing kotak penghitungan sel hemasitometer. Setelah itu, dilakukan penghitungan di bawah mikroskop. ditentukan rata-rata jumlah sel aktif yang ada untuk dapat membuat suspensi sekitar 5000 sel dalam setiap sumur pada plat 96 sumuran. 2.4.5. Peletakan Sel Dibuat suspensi sel dalam medium (jumlah dan volume terukur), campur sempurna. dimasukkan sebanyak 180 µL suspensi ke dalam masing-masing sumur kecuali sumur pada kolom pertama dan terakhir 200 µL. Kolom pertama dan terakhir merupakan blanko yang hanya berisi medium, sedangkan kolom kedua merupakan kontrol yang berisi suspensi sel dalam medium. Inkubasi pada suhu 370C, 5% CO2 selama 72 jam. 2.5. Uji Sitotoksik Sel (Uji MTT) 2.5.1. Penambahan Larutan Uji (Hari ke-3) Plat uji yang berisi sel dan telah diinkubasi selama 72 jam. Setiap bagian dirancang untuk empat kali replikasi. Peletakan larutan uji dimulai dari konsentrasi paling rendah. dipindahkan 20 µL larutan uji ke dalam masing-masing sumur uji. Ke dalam sumur kontrol masukkan 200 µL media yang mengandung sel dan blanko han-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


ya diisi dengan 200 µL media. Plat kembali diinkubasi selama 72 jam dalam inkubator 370C/5% CO2. Diamati perubahan yang terjadi pada sel selama masa inkubasi. 2.5.2. Penambahan Larutan MTT (Hari ke-6) Pada hari ke-6, dipipet 20 µL larutan MTT 5 mg/mL ke dalam masing-masing sumur. Inkubasi selama 3-4 jam pada 370C, 5% CO2. Setelah 3-4 jam, akan terlihat adanya endapan ungu kristal formazan. Medium yang mengandung reagen MTT dibuang dengan cara dihisap dari setiap sumur, sehingga yang tertinggal hanya endapan ungu kristal formazan. Larutkan endapan pada setiap sumur dengan 100 µL DMSO. Ukur serapannya dengan spektrofotometer micrroplate pada λ 550 nm. 2.6. Analisis Data Dengan menggunakan data absorban yang diperoleh dari pengukuran, dapat ditentukan persentase sel yang terhambat dengan menggunakan rumus sebagai berikut : % Viabilitas sel Rata abs uji-Rata abs blanko X 100% = Rata abs kontrol-Rata abs blanko Hubungan antara konsentrasi larutan uji dengan viabilitas sel dapat ditampilkan dalam bentuk grafik log konsentrasi dengan presentase sel hidup. Dari grafik tersebut dapat ditentukan harga IC50 (konsentrasi yang dapat menghambat 50% pertumbuhan sel) larutan uji. Selanjutnya, data hubungan antara konsentrasi sediaan uji dengan absorban dianalisis secara statistik menggunakan analisa varian (ANOVA) satu arah yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Dari hasil pemeriksaan metabolit sekunder diketahui bahwa sampel kulit batang asam kandis mengandung senyawa flavonoid, terpenoid, steroid, saponin, dan fenolik. Dari 500 g sampel kering kulit batang asam kandis (Garcinia cowa Roxb) yang diekstraksi dengan metode maserasi didapatkan 125,25 g (25,05%) ekstrak kental etanol kulit batang asam kandis dengan bau khas, rasa asam dan warna coklat. Simplisia kulit batang asam kandis yang didapat memiliki susut pengeringan 13,71 ± 0.22 % dan kadar abu total 1,18 ± 0,36 %. Berdasarkan hasil uji MTT yang telah

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

Gambar 1. Kurva hubungan Log Konsentrasi dengan % Viabilitas dilakukan diketahui bahwa ekstrak etanol kulit batang asam kandis memiliki nilai IC50 35,89 µg/mL ± 7,44. Penurunan persentase viabilitas sel meningkat seiring peningkatan konsentrasi ekstrak etanol kulit batang asam kandis, namun terdapat beberapa yang mengalami penurunan viabilitas. Penurunan terjadi karena jumlah sel dalam tiap sumur kurang merata. Pada konsentrasi 0,1 µg/mL diperoleh rata-rata persen viabilitas ± SD dengan nilai 75,4489 ± 2,23, konsentrasi 1 µg/mL diperoleh 71,2413 ± 4,43, konsentrasi 10 µg/mL diperoleh 71,5150 ± 3,96, dan konsentrasi 100 µg/mL diperoleh 33,8019 ± 1,12 (Gamber 1). Dari hasil pengolahan data dengan uji Analisa Varian (Anova) satu arah antara persentase viabilitas sel kanker payudara MCF-7 dengan konsentrasi sediaan uji didapat nilai signifikan 0,000 (P<0,05) dan nilai F hitung 110,548, sedangkan hasil pengolahan data lanjutan menggunakan uji wilayah berganda duncan hanya menunjukkan dua subset yang berbeda yaitu kelompok konsentrasi 100 µg/mL dan kelompok konsentrasi 10 µg/mL, kelompok konsentrasi 1 µg/mL dan 0,1 µg/mL. 3.2. Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sitotoksik ekstrak etanol kulit batang asam kandis secara in vitro. Uji in vitro dilakukan terhadap sel kanker payudara. Sel kanker payudara yang digunakan pada penelitian ini yaitu sel MCF-7. Sel kanker payudara MCF-7 merupakan sel yang sensitif terhadap agen kemoterapi dan memiliki kemampuan replikasi yang cepat sehingga sangat cocok digunakan untuk uji sitotoksik. Sel kanker payudara MCF-7 yang digunakan merupakan lini sel hasil subkultur. Media yang dipakai selama menumbuhkan sel adalah Dulbecco’s modified Eagle’s medium (DMEM). Media yang dipakai terdiri dari asam amino esensial, vitamin, garam, glokosa, dan mineral yang membantu

9


dalam pertumbuhan sel tersebut. Dalam uji sitotoksik ini, ekstrak uji dilarutkan dalam DMSO. DMSO digunakan untuk melarutkan ekstrak uji karena telah dilaporkan bahwa penggunaan DMSO tidak mempengaruhi proliferasi sel.[19] Sediaan uji disiapkan sesuai dengan konsentrasi yang telah ditentukan yaitu 100, 10, 1 dan 0,1 µg/ mL. Metoda uji yang digunakan yaitu uji MTT, dimana uji MTT merupakan suatu metoda uji sitotoksik secara kolorimetri untuk menentukan jumlah sel yang hidup berdasarkan perubahan larutan 3-( 4, 5- dimetilthiazol-2-il) -2, 5- difeniltetrazolium bromida (MTT) yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna ungu oleh mitokondria yang aktif pada sel hidup. MTT diabsorpsi ke dalam sel hidup dan dipecah melalui reaksi reduksi oleh enzim reduktase dalam rantai respirasi mitokondria menjadi formazan yang tidak larut dalam air. Intensitas warna ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme. Semakin tajam warna yang dibentuk, maka akan semakin tinggi nilai absorban dan semakin banyak sel yang hidup.[20] Dari hasil uji MTT diketahui bahwa ekstrak etanol kulit batang asam kandis memiliki IC50 35,89 µg/mL ± 7,44. Dengan demikian, ekstrak etanol kulit batang asam kandis dikatakan memiliki aktivitas sitotoksik. Beberapa penelitian yang berhubungan dengan nilai IC50 menunjukan bahwa suatu ekstrak dikatakan memiliki aktivitas sitotoksik dengan nilai IC50 < 100 µg/mL. Salah satunya adalah penelitian terhadap fraksi n-Heksan, etil asetat, dan n-butanol kulit batang asam kandis (Garcinia parvifolia. Miq) dengan objek Sel HeLa dan Sel Vero dengan nilai IC50 berturut-turut 39,81 µg/ mL, 2,34 µg/mL, dan 18,56 µg/mL.[21] Berdasarkan hasil Analisa Varian (Anova) satu arah menunjukkan hubungan antara konsentrasi ekstrak etanol kulit batang asam kandis dengan persentase viabilitas sel didapatkan nilai P 0,000<0,05 dan F hitung 110,548. Artinya, pemaparan ekstrak etanol kulit batang asam kandis memberikan pengaruh secara nyata terhadap persentase viabilitas sel kanker payudara MCF-7. Untuk mengetahui perbedaan dari setiap variasi konsentrasi terhadap persentase viabilitas, pengolahan data dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan. Dari hasil uji wilayah berganda Duncan terdapat dua kelompok subset yang menunjukkan terdapat dua kelompok konsentrasi yang memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase viabilitas, yaitu

10

kelompok konsentrasi 100 µg/mL dan kelompok konsentrasi 10 µg/mL, 1 µg/mL, dan 0,1 µg/mL. Berdasarkan viabilitas sel, konsentrasi 100µg/mL yang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap sel kanker payudara MCF-7 dan berpotensi dikembangkan sebagai agen kemoterapi kanker yang baik karena konsentrasi yang dibutuhkan untuk menghambat proliferasi sel relatif kecil. Dari pemeriksaan metabolit yang telah dilakukan diketahui bahwa kulit batang asam kandis mengandung senyawa fenolik, terpenoid, dan saponin. Berdasarkan hal tersebut, efek sitotoksik dari kulit batang asam kandis ini, biasanya berhubungan dengan gugus fenolik yang terdapat didalamnya. Fenolik berperan sebagai antioksidan karena dapat menangkap radikal bebas dengan melepaskan atom hydrogen dari gugus hidroksilnya. Dengan mekanisme demikian, radikal bebas dapat dihancurkan atau distabilkan (berpasangan) yang pada akhirnya dapat menekan terjadinya kasus kanker.[22] Apabila dihubungkan dengan karakter sel kanker payudara MCF-7 yang dapat menyebabkan mutasi reseptor estrogen, senyawa yang terkandung didalam nya mampu mencegah terjadinya mutasi pada reseptor estrogen. Sama halnya dengan MCF-7, apabila dihubungkan dengan Sel HeLa yang mempunyai karakter mengekspresikan 2 onkogen yaitu E6 dan E7. Onkogen E6 akan berikatan dengan tumor suppresor protein p53 dan mempercepat degradasi p53 sedangkan E7 dapat mengikat bentuk aktif terhipofosforilasi dari p105Rb. Ikatan ini berperan menekan transkripsi gen yang diperlukan untuk cell cycle progression[23], senyawa yang terkandung dalam asam kandis mampu mencegah ikatan antara 2 onkogen tersebut pada gen p53 dan p105Rb. Namun hal itu perlu teliti lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme pencegahan mutasi pada reseptor estrogen tersebut. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ekstrak etanol kulit batang asam kandis (Garcinia cowa Roxb) memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker payudara MCF-7 dengan nilai IC50 35,89 µg/mL ± 7,44 dan berpotensi dapat dikembangkan sebagai agen kemoterapi yang baru dan baik. 5. SARAN Disarankan kepada peneliti selanjutnya untuk melakukan fraksinasi terhadap ekstrak etanol kulit batang asam kandis (Garcinia cowa Roxb.), menyelidiki aktivitas

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


sitotoksik masing-masing fraksi, dan mengamati tipe kematian sel dari fraksi yang paling aktif. DAFTAR PUSTAKA [1]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013. [2]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. [3]. Meiyanto, Edy. “Ekstrak Etanolik Biji Buah Pinang (Areca catechu L.) mampu menghambat proliferasi dan memicu apoptosis sel MCF-7.” Majalah Farmasi Indonesia 19:1 (2008): 12-19. [4]. Nafrialdi, dan Gan, S,. Antikanker dan imunosupresan. Ed. In Ganiswara, S. G. et al. Farmakologi dan terapi. Edisi keempat, Jakarta: UIP, 1995. [5]. Oktaviani Jamil, Dwi, Taslim Ersam. “Pelacakan Aktivitas Antikanker Terhadap Tiga Senyawa Santon Terprenilasi Dari Spesies Garcinia.” Prosiding Skripsi Semester Gasal 2009/2010, 2010. [6]. Dharmaratne, H.R.W., Wanigasekera, W.M.A.P. “Xanthones from Root Bark of Calophyllum thwaitesii.” Phytochemistry 42:1 (1996): 249-250. [7]. Peres, V., Nagem, T.J., dan Fernando, O. “Tetraoxygenated naturally occurring xanthones.” Phytochemistry 55 (2000): 683–710. [8]. Suksamrarn, S., et al. “Antimicobacterial Activity of Prenylated Xanthones from the Fruit of Garciniamangostana.” Chem. Pherm. Bull 51:7 (2003): 857-859. [9]. Lannang, A.M., et al. “Bangangxanthone A and B, two xanthones from the Stem bark of Garcinia poliantha Oliv.” Phytochemistry, 66 (2005): 23512355. [10]. Minami, H., et al. “Novel Prenilated Xanthones with Antioksidant Property from the wood of Garcinia subelliptic.” Chem. Pharm. Bull 44: 11 (1996): 2103-2106. [11]. Chiang, Y., Kuo, Y., Oota, S., dan Fukuyama, Y. “Xanthones and benzophenones from the stems of Garcinia multiflora.” J Nat Prod 66 (2003): 1070–1073. [12]. Nahari, Faras. Uji Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol Kulit Batang Asam Kandis (Garcinia cowa Roxb.) Terhadap Sel Kanker Payudara T47D Den-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

gan Metoda MTT Assay. Skripsi S1. 2013. [13]. Burdall, E.S., Hanby M.A., Landsdown, R.J.M., dan Speirs, V. “Breast Cancer Cell Line.” Breast Cancer Res 5:2 (2003): 89-95. [14]. Levenson, S. A. dan V.Craig Jordan, MCF-7: The First Hormone-responsive Breast Cancer Cell Line. Robert H.Lurie Cancer Centre. Chicago: Northwestern University Medical School.1997. [15]. Culvenor, C.C., dan Fitzgerald, J.F. “A Field Method for Alkaloid Screening of Plant.” Journal of Pharmaceutical Science 52 (1963): 303-304. [16]. Simes, J. J. H., J. G. Tracey, L. J. Webb dan W. J. Dunstan. An Australian Phytochemical Survey Saponins and Eastern Australian Flowering Plant. Australia: Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, 1959. [17]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008. [18]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Parameter standar umum ekstrak tumbuhan obat tradisional. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 2000. [19]. Maryati, dan Sutrisna, EM. “Potensi Sitotoksik Tanaman ceplukan (Physalis angulata L) terhadap Sel HeLa.” Pharmacon 8:1 (2007). [20]. Mosmann, T. “Rapid Colorimetric Assay for Cellular Growth and survival: Application to Proliferation and Cytotoxicity Assays.” J. Immunol. Methods 65: 1-2 (1983): 55-63. [21]. Shahidi, F. dan M. Naczk. Food Phenolics: Sources, Chemistry, Effects, Applications. Ed. Technomic Publishing Co.Inc. 1995. [22]. Wiguna, Chandra. Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol Kulit Batang Asam Kandis (Garcinia parvifolia.Miq) Pada Sel Vero dan Sel HeLa Dengan Menggunakan Metode Mikro Tetrazolium. Skripsi S1, 2007. [23]. DeFillipis, R.A., Goodwin, E.C., Wu, L., DiMaio, D. “Endogenous Human Papillomavirus E6 and E7 Proteins Differentially Regulate Proliferation, Senescence, and Apoptosis in HeLa Cervical Carcinoma Cells.” Journal of Virology 77:2 (2003):1551-1563.

11


Penelitian

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN ISOLAT FUNGI ENDOFIT DARI TANAMAN SECANG (Caesalpinia sappan Linn.) Yayan Hebrianto R,1* Herlina Rante,1 dan Abdul Rahim1 Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar Corresponding author’s email : leader.pharmacope@gmail.com

1 *

ABSTRAK Pendahuluan: Salah satu sumber baru penghasil senyawa bioaktif akhir-akhir ini yang banyak dieksplorasi adalah mikroba endofit. Mikroba endofit merupakan mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman tanpa menganggu tanaman induknya. Mikroba endofit memiliki kemampuan menghasilkan senyawa bioaktif yang mirip dengan senyawa yang dihasilkan oleh tanaman induknya. Mikroba endofit dapat berupa bakteri maupun fungi, namun yang paling sering dieksplorasi adalah fungi endofit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh fungi endofit dari tanaman secang (Caesalpinia sappan Linn.) yang berpotensi sebagai penghasil senyawa antioksidan. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menumbuhkan fungi endofit dengan cara meletakkan jaringan tanaman di atas medium pertumbuhan fungi (potato dextrose agar), isolasi fungi endofit, fermentasi fungi endofit pada medium fermentasi (potato dextrose yeast), ekstraksi medium fermentasi (ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler) maupun ekstraksi miselia fungi (ekstrak metabolit sekunder intraseluler), analisis profil kromatografi dengan KLT (Kromatografi Lapis Tipis) untuk ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler dan ekstrak metabolit sekunder intraseluler, uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (2,2-difenil-1-pikrilhidrazil) untuk ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler dan ekstrak metabolit sekunder intraseluler. Hasil: Dari dua isolat fungi endofit yang berhasil diisolasi, satu isolat diperoleh dari jaringan daun (CsD-Y) dan satu isolat diperoleh dari jaringan ranting (CsR-Y). Ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler isolat CsD-Y memiliki nilai IC50 yang paling baik, yaitu 139,637 ¾g/mL. Kesimpulan: Hasil analisis golongan senyawa menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam semua ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler maupun intraseluler yang aktif sebagai senyawa antioksidan adalah senyawa triterpenoid. Kata kunci : Caesalpinia sappan Linn., fungi endofit, aktivitas antioksidan ABSTRACT Background: One of the new resource of bioactive compounds that has been explored lately are endophytic microbes. Endophytic microbes are microbes that able to live in a tissues of plant without being disturbance to a plant host. Endophytic microbes have the ability to produce bioactive compounds similar to the compounds that produced by it’s host. Endophytic microbes found in form of either fungi or bacteria but the mostly explored one is endophytic fungi.The aims of this study was to obtain endophytic fungi from Secang (Caesalpinia sappan Linn.) that has potency to produce antioxidant compounds. Methods: This research was conducted by putting plant tissues in fungal growth medium (potato dextrose sugar) in order to grow the endophytic fungi, isolation of endophytic fungi, endophityc fungi fermentation in the fermentation medium (potato dextrose yeast), extraction of fermentation medium (secondary metabolites extracellular extracts), and extraction of fungal mycelia (secondary metabolites intracellular extracts), chromatographic profile analysis by TLC (Thin Layer Chromatography) and analysis of antioxidant activity using DPPH method (2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl) to the extracts of intracellular and extracellular secondary metabolites. Results: Two endophytic fungi were isolated, one isolate was obtained from leaf tissue (CsD-Y) and one isolate was obtained from twig tissue (CsR-Y). Extracts of secondary metabolites extracellular of CsD-Y has the best IC50 values, 139.637 ug/mL. Conclusions: Results of analysis showed that compounds contained in all secondary metabolites extracellular and intracellular that active as an antioxidant was triterpenoid compounds. Keywords : Caesalpinia sappan Linn., endophytic fungi, antioxidant activity 12

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


1. PENDAHULUAN Sumber baru bahan bioaktif yang akhir-akhir ini banyak dieksplorasi adalah mikroba endofit. Mikroba endofit adalah mikroba yang hidup di dalam jaringan tumbuhan pada periode tertentu dan mampu membentuk koloni dalam jaringan tumbuhan tanpa membahayakan inangnya, bahkan seringkali bersimbiosis secara mutualistis. Mikroba endofit dapat berupa bakteri atau jamur, tetapi saat ini yang lebih banyak dieksplorasi adalah jamur-jamur endofit.[1,2] Setiap tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya ke dalam mikroba endofit.[3] Salah satu fakta yang menarik tentang mikroba endofit adalah kemampuannya untuk memproduksi senyawa-senyawa bioaktif, baik yang sama dengan inangnya ataupun tidak sama tetapi seringkali memiliki aktivitas biologis yang serupa dengan senyawa bioaktif yang diproduksi inangnya [1]. Beberapa metabolit endofit menunjukkan aktivitas antibakteri, antifungi, hormon pertumbuhan tanaman, insektisida, imunosupresan, dan lain-lain. [4] Mikroba endofit dapat pula menghasilkan senyawa antioksidan. Antioksidan merupakan senyawa yang mampu menghambat oksigen reaktif dan radikal bebas.[5] Tanaman yang secara empiris dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat sebagai obat tradisional adalah secang (Caesalpinia sappan L.). Selain sebagai tanaman hias, kayu secang (C. sappan L.) mempunyai banyak khasiat yang dipercaya oleh masyarakat antara lain digunakan untuk penyakit diare, sebagai antialergi, antikoagulan, antitrombus selain itu juga digunakan untuk batuk darah, penyakit mata dan disentri. Kandungan secang (C. sappan L.) yang banyak ini sangat berguna untuk pengobatan penyakit secara tradisional, kandungannya antara lain senyawa terpenoid, fenilpropan, alkaloid steroid, sapanin dan fenolik lain antara lain flavonoid. Batang dan daun mengandung alkaloid, tanin, fitosterol dan zat warna brazilin serta minyak atsiri.[6] Penelitian yang dilakukan oleh Shrishailapp, dkk (2003), diperoleh bahwa ekstrak kayu secang (C. sappan L.) memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Uji antioksidan DPPH menunjukkan nilai IC50 ekstrak etil asetat, metanol, dan air masing-masing sebesar 1.71 ± 0,15 μg/mL, 1.44 ± 0.12 μg/mL, dan 4.09 ± 0.31 μg/mL.[7] Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan isolasi fungi endofit dari

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

tanaman secang (C. sappan L.) yang dapat menghasilkan senyawa antioksidan. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh isolat fungi endofit dari tanaman secang (C. sappan L) yang dapat menghasilkan senyawa antioksidan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi baru dalam menemukan senyawa antioksidan dari tanaman secang (C. sappan L.). 2. METODE 2.1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah autoklaf (Hirayama®), BSC II (Biohazard®), cawan petri, cawan porselen, corong pisah (Pyrex®), enkas, labu Erlenmeyer (Pyrex®), gelas piala (Pyrex®), inkubator (P-Selecta®), labu tentukur (Pyrex®), lampu UV, lemari pendingin (Panasonic®), mikropipet (Socorex®), mikrowell plate, ose bulat, oven (Fisher®), pinset, sentrifuge (model DKC1006T®), shaker, sonikator (Elena®), spektrofotometer UV-VIS (Shimadzu ®), spoit (OneMed®), tabung reaksi (Pyrex®), timbangan analitik (Sartorius®), vial. Bahan yang digunakan adalah air suling, alkohol 70%, asam formiat, aseton, DPPH (2,2-difenil-1-pikril hidrazil), etil asetat, spiritus, larutan natrium hipoklorit 5,3%, metanol p.a, PDA (Potato Dextrose Agar), PDY (Potato Dextrose Yeast), pereaksi Dragendorf, FeCl3, Liebermen Bouchart, Sitroborat, dan Vanilin-HCl, sampel daun dan ranting secang, silika gel F254 (E-Merck), toluen. 2.2. Sterilisasi Alat Alat-alat yang terbuat dari gelas dicuci hingga bersih dengan menggunakan detergen. Cawan petri dan alat-alat lainnya yang tidak berskala dibungkus dengan kertas dan disterilkan dalam oven pada suhu 180°C selama 2 jam. Adapun alat-alat yang berskala dan tidak tahan terhadap pemanasan disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 2 atm selama 15 menit. Ose disterilkan dengan cara dipijarkan pada nyala api bunsen. 2.3. Pengambilan dan Penyiapan Sampel Penelitian Sampel penelitian yang digunakan berupa daun dan ranting Secang (Caesalpinia sappan Linn.) yang diambil pada tanggal 23 November 2013 di Desa Cakkela, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Daun dan ranting secang yang masih segar diambil, kemudian sampel didesinfeksi dengan alkohol 70% (1 menit), natrium hipoklorit 5,3% (1 menit), dan dibilas dengan air sul-

13


ing steril (3 kali). Sampel ditiriskan kemudian daun secang dipotong dengan pisau bedah steril dengan ukuran ± 1cm dan rantingnya dibelah menjadi 2 bagian.

2.4.2. Pembuatan PDY (Potato Dextrose Yeast) Ekstrak yeast dan pepton masingmasing ditimbang sebanyak 10 g dan dekstrosa ditimbang sebanyak 20 g lalu dilarutkan dalam 1000 mL air suling dan dipanaskan. Selanjutnya, medium yang sudah jadi disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C tekanan 2 atm selama 15 menit.

kertas saring. Media fermentasi dimasukkan ke dalam corong pisah, ditambahkan etil asetat dengan jumlah yang sama banyak dengan jumlah media sambil digojok untuk mengekstraksi metabolit sekunder ekstraselulernya. Akan terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan cairan penyari (etil asetat) dan lapisan bawah (media fermentasi). Lapisan atas ditampung pada cawan porselen dan diuapkan untuk memperoleh ekstrak metabolit sekunder ektstraseluler dan pada lapisan bawah ditambahkan lagi etil asetat dengan perbandingan 1:1 dan digojok kembali untuk proses ekstraksi. Proses ini dilakukan selama 3 kali. Miselia fungi diekstraksi dengan metanol sambil disonikasi dengan frekuensi gelombang 20 kHz dan daya 60 Watt selama 30 menit, kemudian cairan penyari disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit, bagian residu dibuang dan supernatannya diuapkan dan akan diperoleh ekstrak metabolit sekunder intraseluler.[9]

2.4.3. Isolasi Fungi Endofit Medium PDA dituang ke dalam cawan petri steril, ditunggu hingga memadat. Kemudian, bagian-bagian sampel yang telah dipotong, diletakkan di atas medium diinkubasi pada suhu 25°C selama 3-5 hari atau sampai ada pertumbuhan fungi endofit. Sebagai kontrol, diinokulasikan air cucian eksplan terakhir pada medium PDA. Setelah terjadi pertumbuhan koloni, segera isolasi guna mendapatkan biakan murni.

2.7. Pengujian Aktivitas Antioksidan 2.7.1. Pengujian Kualitatif Masing-masing ekstrak ditotolkan pada lempeng KLT silika gel F254, lalu dielusi dengan eluen toluen : aseton : asam formiat dengan perbandingan 3 : 3 : 0,5. Dilakukan penyemprotan dengan larutan DPPH 0,2%, diamati perubahan warna yang terjadi. Warna kuning terang menunjukkan spot KLT yang aktif sebagai antioksidan.

2.5. Pemurnian Koloni Fungi Medium yang digunakan untuk pemurnian fungi endofit adalah medium PDA. Fungi endofit yang telah tumbuh dipindahkan ke cawan petri lain, berisi medium PDA yang telah padat. Kemudian diinkubasi pada suhu 25°C selama 3-5 hari.

2.7.2. Pembuatan Larutan DPPH 0,4 Mm DPPH ditimbang sebanyak 7,9 mg, kemudian dilarutkan dalam metanol p.a hingga volume 50 mL.

2.4. Pembuatan Medium dan Isolasi Fungi Endofit 2.4.1. Pembuatan PDA (Potato Dextrose Agar) Medium PDA ditimbang sebanyak 39 g lalu dilarutkan dalam 1000 mL air suling dan dipanaskan. Selanjutnya, medium yang sudah jadi disterilkan di autoklaf pada suhu 121°C tekanan 2 atm selama 15 menit.

2.6. Produksi Metabolit Sekunder 2.6.1. Pembuatan Starter dan Fermentasi Diambil koloni yang tumbuh pada medium PDA, kemudian dimasukkan ke dalam medium PDY sebagai starter, lalu diinkubasi pada suhu 25°C selama 3 hari sambil diletakkan di atas shaker. Diambil sebanyak 10% dari starter secara aseptis kemudian dimasukkan ke dalam medium PDY baru, diinkubasi pada suhu 25°C selama 11 hari sambil diletakkan di atas shaker.[8] 2.6.2. Ekstraksi Metabolit Sekunder Miselia fungi dipisahkan dari media fermentasi dengan cara filtrasi menggunakan

14

2.7.3. P enentuan Panjang Gelombang Maksimum DPPH 0,4 mM Larutan DPPH 0,4mM dimasukkan dalam 2 buah kuvet. Masing-masing kuvet dimasukkan dalam spektrofotometer UVVIS , lalu dilakukan pembacaan panjang gelombang maksimum. 2.7.4. Pengujian Aktivitas Antioksidan Sampel Dibuat larutan stok 1000 μg/mL dari ekstrak ekstraseluler dan intraseluler dengan cara menimbang sebanyak 5 mg sampel dan dicukupkan dengan 5 mL metanol p.a. Dari larutan stok ini, dibuat larutan uji dengan beberapa seri konsentrasi dengan rumus :

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


Jumlah mL yang dipipet dari larutan stok =

konsentrasi (Âľg/mL)

1000 Âľg/mL (konsentrasi larutan stok)

x 5 ml

Dimana 5 mL merupakan kapasitas labu tentukur. Larutan sampel yang akan diuji yang telah diambil dari larutan stok kemudian ditambahkan 900 ¾L larutan DPPH 0.4 mM dan dicukupkan dengan metanol p.a hingga volume 5 mL. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37°C selama 30 menit, kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 516 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel dinyatakan dengan persen inhibisi, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut : % inhibisi serapan blanko-serapan sampel = serapan blanko

x 100

2.8. Identifikasi Golongan Senyawa Masing-masing ekstrak ditotolkan pada lempeng KLT silika gel F254, lalu dielusi dengan eluen toluen : aseton : asam formiat (3 : 3 : 0.5). Dilakukan penyemprotan dengan dengan pereaksi Dragendorf, FeCl3, Liebermen Buchard, Sitroborat, dan VanilinHCl. Diamati perubahan warna yang terjadi. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Isolasi Fungi Endofit Mikroba endofit yang diisolasi dari daun dan ranting secang (C. sappan) dengan metode tanam langsung. Pengisolasian dan pemurnian isolat menggunakan medium PDA. Dari proses isolasi diperoleh 1 isolat

Fungi endofitCsD-Y

dari daun dengan kode CsD-Y serta 1 isolat dari ranting dengan kode CsR-Y. Sedangkan pengamatan mikroskopis dilakukan dengan bantuan mikroskop perbesaran 40x10. Terlihat masing-masing fungi memiliki bentuk hifa septa yang ditandai dengan adanya sekat-sekat yang membagi hifa. Adapun perbedaan antara keduanya yaitu, hifa CsD-Y memiliki favic chandelier yaitu kelompok kecil hifa yang secara kolektif menyerupai tanduk rusa atau lampu gantung (Gambar 2.a) sedangkan hifa CsR-Y hanya berbentuk benang-benang filament tanpa memiliki struktur khusus (Gambar 2.b). 3.2. Fermentasi dan Ekstraksi Produksi metabolit sekunder dari fungi endofit yang berhasil diisolasi dilakukan dengan fermentasi, yang dimulai dengan pembuatan starter (fermentasi pendahuluan) dengan mendispersikan isolat ke dalam medium pembenihan PDY, selama 3x24 jam sambil di shaker agar konsentrasi nutrisi dan oksigen dalam media dapat dipertahankan homogenitasnya. Pembuatan starter bertujuan untuk mempercepat fase lag dari pertumbuhan mikroba. Kemudian dilanjutkan dengan medium PDY baru selama 11x24 jam sambil di shaker. Tahap fermentasi kedua ini di dalamnya termasuk fase logaritma dan fase stasioner. Selama fase stasioner ini metabolit sekunder akan dibentuk dan pada akhir tahap ini proses fermentasi dihentikan. Kemudian, miselia fungi dipisahkan dari media fermentasi dengan cara filtrasi menggunakan kertas saring. Media fermentasi dimasukkan ke dalam corong pisah, ditambahkan etil asetat dengan jumlah sama banyak dengan jumlah media sambil digojok untuk mengekstraksi metabolit sekunder ekstraseluler nya. Akan terbentuk 2 lapisan yaitu lapisan atas yang

Fungi endofitCsR-Y

Gambar 1. Pertumbuhan koloni fungi endofit CsD-Y dan CsR-Y dari tanaman secang (Caesalpinia sappan Linn.)

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

15


Tabel 1. Karakterisasi makroskopik isolat fungi endofit dari tanaman C.sappan L. Pengamatan Makroskopik

Isolat

Warna permukaan koloni

Warna sebalik koloni

Bentuk koloni

CsD-Y

Putih dengan sedikit jingga

Putih

Berserabut

CsR-Y

Putih lama kelamaan kehitaman

Putih, medium menjadi berwarna kuning

Berserabut

(a)

(b)

Gambar 2. Pengamatan mikroskopik fungi endofit (a) CsD-Y dan (b) CsR-Y. Keterangan: pembesaran gambar 40 x 10 merupakan cairan penyari (etil asetat) dan lapisan bawah (media fermentasi). Lapisan atas ditampung pada cawan porselen dan diuapkan untuk memperoleh ekstrak metabolit sekunder ektstraseluler dan pada lapisan bawah ditambahkan lagi etil asetat dengan perbandingan 1:1 dan digojok kembali untuk proses ekstraksi. Proses ini dilakukan selama 3 kali. Miselia fungi diekstraksi dengan metanol sambil di sonikasi dengan frekuensi gelombang 20 kHz dan daya 60 Watt selama 30 menit, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit, bagian residu dibuang dan supernatannya diuapkan dan akan diperoleh ekstrak metabolit sekunder intraseluler. Proses sonikasi menggunakan gelombang ultrasonik yang akan menghasilkan getaran kuat dan menyebabkan gelombang kejut dan radikal bebas reaktif (radikal hidroksil dan hydrogen peroksida) sehingga sel menjadi pecah dan terjadi inaktivasi struktur mikrobia. Material sel akan pecah dan masuk ke dalam medium penyarinya. Metode ini sederhana dan tidak menghasilkan produk toksik yang dapat membahayakan sampel. Hasil sonikasi kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit, bagian residu dibuang

16

dan supernatannya diuapkan [9]. Rendamen yang diperoleh setelah ekstraksi untuk ekstrak ekstraseluler isolat CsD-Y dan CsR-Y adalah 0,0357 %b/v dan 0,0495 %b/v, sedangkan untuk ekstrak intraseluler isolat CsD-Y dan CsR-Y adalah 31,0960% b/b dan 22,6323% b/b. Persentase tersebut menunjukkan banyaknya senyawa bioaktif yang terekstraksi (Tabel 2). 3.3. Uji Aktivitas Antioksidan dan Uji Golongan Senyawa Ekstrak metabolit sekunder yang telah diperoleh ditotolkan pada lempeng KLT GF 254 kemudian dielusi dengan campuran eluen toluen : aseton : asam formiat dengan perbandingan 3:3:0,5 lalu disemprot dengan larutan DPPH 0,2%. Tahap ini sebagai uji pendahuluan deteksi senyawa antioksidan yang ditandai dengan adanya noda kuning dengan latar ungu. Dalam penelitian ini, Aktivitas antioksidan ditentukan dengan metode DPPH, dimana absorban yg dihasilkan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 516 nm. Radikal DPPH merupakan senyawa organik berwarna ungu yang mengandung nitrogen tidak stabil dengan absorbansi kuat pada 位max 516 nm. Setelah bereaksi

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


Tabel 2. Hasil perolehan rendamen ekstrak fungi endofit dari Secang (C. sappan L.) Jenis ekstrak Ekstraseluler Intraseluler

Isolat

bobot miselia atau volume medium

Hasil ekstraksi

Rendemen

CsD-Y

750 mL

0,2681 g

0,0357% b/v

CsR-Y

1000 mL

0,4951 g

0,0495% b/v

CsD-Y

5,1267 g

1,5942 g

31,0960% b/b

CsR-Y

9,0470 g

2,0385 g

22,6323% b/b

Tabel 3. Hasil perhitungan IC50 yang dihasilkan fungi endofit dari Secang (C. sappan L.) Ekstrak Vitamin C Baku Ekstraseluler Intraseluler

Isolat -

IC50 (Îźg/mL) 2,402

CsD-Y

139,964

CsR-Y

418,618

CsD-Y

799,54

CsR-Y

839,326

Gambar 3. Histogram IC50 yang dihasilkan fungi endofit dari Secang (C. sappan L.)

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

17


(c)

(a)

(b)

(d) (d)

(e)

(f)

(h)

(i)

(d) (g)

Gambar 4. Kromatogram ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler dan intraseluler yang dihasilkan fungi endofit dari Secang (C. Sappan L.). Dengan Fase diam : Silika gel G 60 F-254 dan Fase gerak : aseton : toluene : asam formiat (3 : 3 : 0,5) Keterangan: (a) visualisasi dengan sinar UV 254 nm (b) visualisasi dengan sinar UV 366 nm (c) visualisasi dengan H2SO4 10% (d) visualisasi dengan DPPH 0,2% (jika berwarna kuning = aktif sebagai senyawa antioksidan) (e) visualisasi dengan sitroborat dan UV 366 nm (jika noda berpendar = flavonoid) (f) visualisasi dengan FeCl3 ( jika berwarna biru keabu-abuan = fenolik) (g) visualisasi dengan dragendorf (jika berwarna jingga = alkaloid) (h) visualisasi dengan vanilin + HCl (jika berwarna merah = tanin terkondensasi) (i) visualisasi dengan liebermen buchard (jika berwarna merah keunguan = triterpen, biru = steroid)

18

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


dengan senyawa antioksidan, DPPH tersebut akan tereduksi dan warnanya akan memudar (penurunan intensitas warna) [10]. Setelah diperoleh nilai persen inhibisi masing-masing ekstrak, maka dihitung nilai probit serta nilai IC50 nya. Diperoleh IC50 masing-masing ekstrak adalah; ektrak ektraseluler CsD-Y 139,964 μg/mL, ektrak ektraseluler CsR-Y 418,618 μg/mL, ektrak intraseluler CsD-Y 799,54 μg/mL, ektrak intraseluler CsR-Y 839,326 μg/mL, dan vitamin C baku sebagai pembanding 2,402 μg/mL (Tabel 3). Aktivitas antioksidan ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler CsD-Y tergolong aktif namun efektivitasnya masih dianggap rendah. Untuk ekstrak lain, dianggap tidak aktif sebagai antioksidan. Setelah dilakukan perhitungan IC50, maka dilakukan uji golongan senyawa dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Fase diam yang digunakan adalah silika gel G 60 F-254, dan fase gerak yang digunakan adalah kombinasi aseton, toluene, dan asam formiat dengan perbandingan 3:3:0,5. Setelah dielusi, maka lempeng KLT disemprot dengan perekasi golongan yang sesuai dan diamati perubahan warna yang terjadi. Berdasarkan hasil uji identifikasi senyawa, senyawa yang aktif sebagai antioksidan menunjukkan hasil positif untuk senyawa golongan triterpenoid yang ditunjukkan dengan perubahan warna menjadi merah keunguan setelah disemprot dengan pereaksi Liebermen Buchard [11] dan semua ekstrak menunjukkan hasil positif untuk senyawa golongan flavonoid yang ditunjukkan fluoresensi dari noda setelah disemprot dengan pereaksi sitroborat dan diamati di bawah UV 366 nm (Gambar 4). 4. KESIMPULAN Dari penelitian yang dilakukan, berhasil diisolasi dua fungi endofit dari tanaman secang yaitu fungi endofit dari bagian daun dengan kode CsD-Y dan dari bagian ranting dengan kode CsR-Y. Namun berdasarkan uji antioksidan secara kualitatif maupun kuantitatif, maka yang dianggap aktif adalah ekstrak metabolit sekunder ekstraseluler CsD-Y dengan nilai IC50 139,964 μg/ mL namun kategorinya masih rendah sebagai antioksidan. Berdasarkan hasil uji golongan senyawa, maka senyawa yang aktif sebagai antioksidan pada semua ekstrak diperkirakan senyawa triterpenoid. Meskipun kategori efek antioksidan yang diperoleh dari penelitian ini masih rendah, namun merupakan suatu peluang yang besar di masa depan dalam hal upaya penemuan

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

senyawa antioksidan yang baru tanpa harus mengeksploitasi tanaman asli melalui teknologi pengembangan fungi endofit. DAFTAR PUSTAKA [1]. Sinaga E, Noverita, dan Fitria D. “Daya Antibakteri Jamur Endofit yang Diisolasi dari Daun dan Rimpang Lengkuas (Alpinia galangal SW).” Jurnal Farmasi Indonesia 4:4 (2009): 161-170. [2]. Goveas SW, Madtha R, Nivas SK, dan D’Souza L. “Isolation of Endophytic Fungi from Coscinium fenestratum – A Red Listed Endangered Medicinal Plant.” EurAsian Journal of Biosciences (2011): 48-53. [3]. Radji M. “Peranan Biotekhnologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal.” Majalah Ilmu Kefarmasian 2:3 (2005): 113-126. [4]. Hakim, E.H., Achmad, S.A., Makmur, L., Mujahidin, D., dan Syah, Y.M. “Profil Kimia Annonaceae.” Bull Soc. Nat. Prod. Chern.1:1 (2001). [5]. Rohmatussolihat. “Antioksidan, Penyelamat Sel-Sel Tubuh Manusia.” BioTrends, 4:1 (2009): 5-9. [6]. Kumala S, Yuliani, dan Tulus D. “Pengaruh Pemberian Rebusan Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Mencit yang Diinfeksi Bakteri Eschericia coli.” Jurnal Farmasi Indonesia 4:4 (2009): 188 -198. [7]. Badami S, Moorkoth S, Rai SR, Kannan E, dan Bhojraj S. “Antioxidant Activity of Caesalpinia sappan Heartwood.” Biol. Pharm. Bull 26:11 (2003): 1534—1537. [8]. Bharathidasan R, dan Panneerselvam A. “Isolation and identification of endophytic fungi from Avicennia marina in Ramanathapuram District.” European Journal of Experimental Biology (2011): 31-36. [9]. Khan A. “Isolasi Funfi Endofit dari Ongkea (Mezzatia parviflora Becc.) sebagai Penghasil Senyawa Antioksidan.” Skripsi S1. Fakultas Farmasi Universitas Hasanuddin. Makassar. (2013): 33. [10]. Mensor LL, Menezes FS, Leitao GG, Reiz AS, dos Santos TC, Coube CS, dan Leitao SG. “Screening of Brazilian Plant Extracts for Antioxidant Activity by the Use of DPPH Frrr Radical Method.” Phytotherapy research (2001) 127-130. [11]. Purwanto. “Isolasi dan Identifikasi Senyawa Penghambat Polimerisasi Hemdari Fungi Endofit Tanaman Artemisia annua L.” Tesis. Fakultas Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta, (2011): 39.

19


Penelitian

KAJIAN FARMAKOKINETIKA KLINIK PADA PASIEN HIPERTENSI YANG DIRAWAT DI RSUD PADANG PANJANG Fadhila Helnisa,1* Henny Lucida,1 dan Herli Hasan2 Fakultas Farmasi, Universitas Andalas, Padang Puskesmas Kebun Sikolos Padang Panjang * Corresponding author’s email : fadhilahelnisa@yahoo.com 1 2

ABSTRAK Pendahuluan: Penelitian tentang farmakokinetika klinik pada pasien hipertensi telah dilakukan di Instalasi Rawat Inap (IRNA) penyakit dalam RSUD Padang Panjang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan penggunaan obat antihipertensi dalam pencapaian target tekanan darah dan melihat aspek farmakokinetika klinik seperti interaksi obat dan regimen dosis berdasarkan fungsi hati dan ginjal pasien. Metode: Penelitian ini dilakukan pada Desember 2013 sampai Februari 2014. Data diambil secara prospektif dan diperoleh 49 pasien yang memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi. Analisa data dilakukan secara deskriptif. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan 39.58% tidak efektif dan 60,42% efektif terhadap penggunaan obat antihipertensi dalam pencapaian tekanan darah. Dari hasil analisa fungsi ginjal pasien, sebanyak 3 kasus ditemukan penggunaan obat tidak tepat regimen dosis yaitu 1 kasus penggunaan furosemid, 1 kasus penggunaan digoksin dan 1 kasus penggunaan kaptopril. Dosis kaptopril dan digoksin pada kasus tersebut diberikan melebihi dosis individual yang dihitung menggunakan persamaan farmakokinetika. Dalam penelitian ini ditemukan 14 kasus interaksi farmakokinetika dan 2 kasus interaksi farmakodinamika. Tujuh (14,58%) dari 14 kasus interaksi farmakokinetika yang berpengaruh terhadap pengontrolan tekanan darah pasien adalah penggunaan kombinasi amlodipin dan diltiazem. Dalam penggunaan kombinasi kedua obat ini terjadi interaksi farmakokinetika karena diltiazem menurunkan metabolisme amlodipin dengan cara menginhibisi enzim CYP 3A3/4. Kesimpulan: Dari penelitian tentang kajian farmakokinetika klinik pada pasien hipertensi di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang selama +3 bulan (Desember 2013 – Februari 2014) dapat disimpulkan masih terdapat ketidaktepatan pemilihan obat antihipertensi. Kata kunci: Farmakokonetika klinik, hipertensi, regimen dosis, interaksi obat ABSTRACT Background: A study on clinical pharmacokinetics aspect of drugs in patients with hypertension at the Internal Medicine Department of Hospital Padang Panjang has been conducted. The aims of the research was to determine the accuracy of antihypertensive medications to achieve targeted blood pressure and to assess the dosage regimen based on liver and/or kidney functions, also drug interactions. Methods: The study was performed from December 2013 to February 2014. This is observational prospective study with 49 patients who met the inclusion and exclusion criteria. Data was analyzed descriptively. Results: Results showed that 60,42% antihypertensive medications were effective but 39.58% is not effective to reach the targeted blood pressure. There were 3 cases in appropriate dose regimen covering 1 case digoxin, 1 case furosemid and 1 case captopril. From the cases, doses exceed individual dose included digoxin and captopril. There were 14 cases of pharmacokinetic interactions and 2 cases of pharmacodynamic interactions. Interaction between amlodipine and diltiazem (7 patients, 14,58%) influenced the blood pressure control in patient. These are pharmacokinetic interaction because diltiazem decrease metabolism of amlodipine by inhibiting enzyme CYP 3A3/4. Conclusion: Based on the research of clinical pharmacokinetics studies in hypertensive patients in the hospital IRNA Leopold disease during +3 months (December 2013 - February 2014) concluded that there are inaccuracies antihypertensive drug selection. Keywords: Clinical pharmacokinetics, hypertension, dosage regimen, drug interactions

20

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


1. PENDAHULUAN Hipertensi merupakan silent killer (pembunuh diam-diam) yang secara luas dikenal sebagai penyakit kardiovaskular yang sangat umum. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang bahkan kemungkinan seumur hidup. Pada pasien hipertensi sering kali ditemui adanya komplikasi penyakit lain karena dengan meningkatnya tekanan darah dan gaya hidup yang tidak seimbang dapat meningkatkan faktor resiko munculnya berbagai penyakit seperti jantung koroner, gagal jantung, stroke dan gagal ginjal.[1] Dalam pengobatannya, pasien tidak hanya diberikan obat antihipertensi saja namun diberikan juga obat-obat lain untuk mengatasi komplikasi penyakit. Tujuan pengobatan adalah untuk mencapai efek yang menguntungkan dengan meminimalkan efek yang merugikan. Pengobatan yang rasional tidak hanya tepat dalam pemberian obat yang sesuai dengan penyakit pasien tetapi juga dosis dan regimen dosis yang tepat dengan memperhatikan organ-organ vital.[2] Suatu pendekatan yang rasional untuk mencapai tujuan ini dengan mengkombinasikan prinsip-prinsip farmakokinetika dan farmakodinamika.[3] Farmakodinamika merupakan ilmu yang mempelajari tentang efek obat terhadap tubuh, sedangkan farmakokinetika merupakan ilmu yang mempelajari tentang nasib obat didalam tubuh yang meliputi proses absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Farmakokinetika klinik yang merupakan penerapan konsep dan prinsip farmakokinetika pada manusia untuk merancang dosis individu dengan mengoptimalkan respon terapi dan meminimalkan efek samping yang tidak diinginkan dalam pengobatan.[4] Farmakokinetika berperan penting dalam memilih rute pemberian obat yang tepat, penetapan dosis yang tepat untuk setiap individu (dossage regimen individualization) khususnya untuk obat-obat dengan indeks terapeutik sempit, menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan obat maupun obat dengan makanan.[5] Subjek penelitian ini difokuskan pada pasien yang menggunakan obat-obat diekskresikan di ginjal dalam bentuk utuh >70% dan obat yang bersifat nefrotoksik serta obat yang bersifat hepatotoksik. Obat-obat yang dibersihkan melalui ginjal sering memerlukan penyesuaian sesuai dengan fungsi ginjal. Akumulasi dan toksisitas dapat meningkat dengan cepat apabila dosis tidak disesuaikan pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal.[6,7] Hal ini dapat ditentukan dengan menghitung

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

bersihan kreatinin dari pengukuran serum kreatinin tunggal.[3] Berdasarkan data penyakit terbanyak dari Instalasi Farmasi RSUD Padang Panjang, hipertensi merupakan 1 dari 10 penyakit terbanyak setiap tahunnya di RSUD Padang Panjang, baik untuk pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan. Penyakit hipertensi ini bertanggung jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang.[1] Healthy People 2010 for Hypertension menganjurkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif guna mencapai pengontrolan tekanan darah secara optimal. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan partisipasi aktif para sejawat apoteker yang melaksanakan praktek profesinya pada setiap tempat pelayanan kesehatan.[1] Beberapa penelitian mengenai aspek farmakokinetika klinik sudah dilakukan di Rumah Sakit Dr. M. Djamil Padang, meliputi : penelitian tentang aspek farmakokinetika klinik pada pasien hipertensi berdasarkan fungsi ginjal di IRNA penyakit dalam pada periode Desember 2010 sampai Maret 2011, dengan hasil 35,29% pasien mengalami penurunan fungsi ginjal yang dikarenakan pemberian obat-obat yang berpotensi nefrotoksik dan sebagian besar diekskresikan di ginjal.[8] Penelitian lain mengenai penyesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal di IRNA Penyakit Dalam pada Juni-September 2011 dengan hasil 7,84% penggunaan obat ditemukan melebihi dosis individual yang dihitung secara farmakokinetika.[6] Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah penggunaan obat antihipertensi sudah tepat dalam pencapaian targettekanan darah dan untuk mengetahui apakah penggunan obat-obat pada pasien hipertensi sudah mempertimbangkan aspek farmakokinetika klinik seperti kesesuaian dosis berdasarkan fungsi hati dan ginjal pasien serta interaksi obat. Berdasarkan latar belakang tersebut dan belum adanya penelitian terkait dilakukan di RSUD Padang Panjang, maka dilakukan penelitian tentang kajian farmakokinetika klinik pada pasien hipertensi yang dirawat di IRNA penyakit dalam. RSUD Padang Panjang sejak awal 2013 telah melaksanakan fungsi pharmaceutical care. Fungsi pharmaceutical care ini merupakan tanggung jawab dari Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) disamping fungsinya sebagai menejerial. Dengan adanya penelitian ini diharapkan sebagai penunjang

21


pelayanan asuhan kefarmasian di rumah sakit ini. 2. METODE Penelitian dilaksanakan selama bulan Desember 2013 hingga Februari 2014 di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang. Penelitian dilakukan dengan menggunakan data observasi prospektif pada pasien hipertensi yang dirawat di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang berdasarkan periode waktu penelitian. 2.1. Prosedur Penelitian 2.1.1. Penetapan Kriteria Penderita Kriteria inklusi : Penderita yang dipilih adalah pasien pre hipertensi dan hipertensi dengan atau tanpa penyakit penyerta. Kriteria eksklusi : 1. Pasien yang menjalani hemodialisia. 2. Pasien dengan penyakit keganasan. 3. Pasien meninggal. 2.1.2. Penetapan Kriteria Obat 1. Obat-obat sebagian besar diekresikan di ginjal dalam bentuk utuh >70%. 2. Obat yang berpotensi nefrotoksik serta hepatotoksik. 3. Obat-obat antihipertensi. 2.1.3. Pengambilan Data Data yang diambil adalah data rekam medik pasien hipertensi yang menerima terapi obat dan dirawat di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang serta data observasi kepada pasien atau keluarga pasien. Data rekam medik tersebut disalin kedalam lembar pengamatan pasien. Data rekam medik dan laboratorium yang diperlukan antara lain : 1. Identitas pasien: nama, jenis kelamin, umur, berat badan, tinggi badan. 2. Data pengobatan: obat-obatan yang digunakan. 3. Data laboratorium: kreatinin serum, SGOT, SGPT, albumin dan parameter fungsi hati lainnya. 4. Tekanan darah pasien. 5. Riwayat penyakit pasien. 6. Riwayat penggunaan obat. 7. Catatan perawat. 8. Data penunjang lainnya. 2.2. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan cara sebagai berikut. 1. Kajian penggunaan obat antihipertensi dilihat dari pencapaian tekanan darah pasien dari awal rawatan sampai sampai

22

pasien dinyatakan pulang. 2. Kajian penggunaan obat berdasarkan aspek farmakokinetika klinik dilihat dari interaksi obat dan analisa hasil laboratorium fungsi hati dan ginjal dengan kesesuaian dosis obat yang diberikan. Untuk penilaian fungsi ginjal pasien digunakan perhitungan kuantitatif fungsi ginjal. Sedangkan penilaian fungsi hati digunakan metode Child-Pugh Score (jika kriteria terpenuhi). Jika kriteria tersebut tidak terpenuhi, penilaian fungsi hati menggunakan data laboratorium (nilai SGOT dan SGPT). 2.2.1. Pengukuran Kuantitatif Fungsi Ginjal Perhitungan creatinine clearance sebagai berikut: 1. Menggunakan rumus Cockcroft and Gault[4] Pasien dengan usia lebih dari 18 tahun dan tidak memiliki kelebihan berat badan lebih dari 30% berat badan idealnya, diukur kreatinin klirensnya dengan rumus: Untuk laki-laki : (140-umur) x BW CrClest = 72 x Scr Untuk perempuan : 0,85 x (140-umur) x BW CrClest = 72 x Scr

2. Menggunakan rumus Jellife and Jellife[4] Pasien yang memiliki konsentrasi kreatinin serum yang tidak stabil, kreatinin klirensnya dihitung dengan persamaan Jeliffe and Jeliffe. Rumus ini dituliskan dalam persamaannya sebagai berikut : Essmale= IBW [29,3-(0,203xumur)] Essfemale = IBW [25,1-(0,175xumur)] dimana Ess adalah nilai ekskresi kreatinin, IBW adalah berat badan ideal dalam kg dan umur dalam tahun. Setelah didapatkan nilai penafsiran ekskresi kreatinin, dilakukan perhitungan terhadap nilai koreksi produksi kreatinin dengan rumus : Esscorrected = Ess [1,035 – (0,0337 x Scrave)] 4 IBW (Scr2- Scr1)

E = Esscorrected –

∆t

CrCl(in mL/min/1,73m2)=E/(14,4xScrave) 3. Menggunakan rumus Salazar and Corcoran[4] Pasien yang memiliki kelebihan berat badan lebih dari 30% berat badan idealnya, diukur kreatinin klirensnya dengan menggunakan persamaan Salazar and Corcoran

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


sebagai berikut : CrClest(males)= CrClest(females)=

2 (139-umur)[(0,285 x Wt)+ (1,21 x Ht ) 51 x SCr

2 (146-umur)[(0,287 x Wt)+ (9,47 x Ht ) 60 x SCr

2.2.2. Parameter nilai Child-Pugh pada pasien gangguan fungsi hati[4] Tabel 1. Nilai Child-Pugh 1 poin

2 poin

Bilirubin (total)

Gejala

<2,0

2,03,0

>3,0

mg/dL

Serum albumin

>3,5

2,83,5

<2,8

g/L

Waktu protrombin

<4

4-6

>6

Detik

Ascites

Tidak ada

Ringan

Berat

-

Tidak ada

Tingkat I-II (sedang)

Tingkat III-IV (ber-at)

-

Ensefalopati hepatic

3 poin Satuan

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Setelah dilakukan penelitian tentang kajian farmakokinetika klinik pada pasien hipertensi di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang selama +3 bulan ( Desember 2013 – Februari 2014), diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Dari 49 pasien, sebanyak 48 pasien memenuhi kriteria inklusi dan 1 pasien (meninggal) memenuhi kriteria eksklusi. Jumlah pasien perempuan 31 orang dan pasien laki-laki 17 orang. Jika pasien dikelompokkan berdasarkan klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII tahun 2003, pre hipertensi sebanyak 1 pasien, hipertensi stage 1 sebanyak 7 pasien dan hipertensi stage 2 sebanyak 40 pasien. Hanya 1 dari 48 pasien tersebut yang menderita hipertensi tanpa komplikasi atau penyakit penyerta. Berdasarkan kelompok usia, sebanyak 2 pasien berusia <20 tahun, 17 pasien berusia 21-55 tahun, 13 pasien berusia 56-64 tahun dan 16 pasien berusia >65 tahun. 2. Obat antihipertensi tunggal yang paling banyak digunakan adalah amlodipin (22,92%). Sedangkan untuk antihipertensi kombinasi, yang paling banyak digunakan adalah kombinasi amlodipin dan diltiazem . Persentase pencapaian target terapi setelah pasien diberikan

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

obat antihipertensi dengan lama penggunaan bervariasi (1 – 15 hari) adalah 60,42% optimal menormalkan tekanan darah dan 39,58% tidak optimal menormalkan tekanan darah. Sebanyak 32 dari 48 pasien memiliki data kreatinin serum. Tabel 2. Hasil perhitungan bersihan kreatinin LFG (mL/mnt/1,73m2)

Jumlah Pasien

>90

6

60-89

11

30-59

8

15-29

5

<15

2

Tidak ada data kreatinin serum

16

Hasil uji statistik menggunakan korelasi pearson (kekuatan hubungan) menunjukkan hubungan lemah positif antara kerusakan ginjal dengan lama menderita hipertensi. Selama masa rawatan, pasien yang mengalami peningkatan serum kreatinin sebanyak 5 orang (10,42%). 3. Penggunaan obat-obat yang diekskresikan sebagian besar melalui ginjal dalam bentuk tidak berubah dalam terapi meliputi; kaptopril, ranitidin, digoksin, hidroklorotiazid, dan furosemid. Obat-obat ini perlu penyesuaian dosis pada pasien yang memiliki bersihan kreatinin <60 mL/menit. Dari hasil penelitian ditemukan 15 pasien hipertensi yang memiliki serum kreatinin <60 mL/menit. Dari 15 pasien tersebut, 1 kasus penggunaan digoksin, 2 kasus penggunaan furosemid, 1 kasus penggunaan kaptopril, 12 kasus penggunaan ranitidin dan 1 kasus penggunaan hidroklorotiazid. Berdasarkan analisa fungsi ginjal terhadap obat yang digunakan pasien, ditemukan 3 kasus tidak tepat dalam pemberian regimen dosis obat. Tiga kasus tersebut meliputi, 1 kasus penggunaan furosemide, 1 kasus penggunaan digoksin dan 1 kasus penggunaan kaptopril. Dari hasil perhitungan dosis menggunakan persamaan farmakokinetika berdasarkan fungsi ginjal pasien dosis furosemide, kaptopril dan digoksin tersebut melebihi dosis individual. 4. Penilaian fungsi hati pasien tidak dapat dilakukan menggunakan metode ChildPugh Score karena data laboratorium tidak mencukupi.

23


Tabel 3. Penilaian fungsi hati pasien berdasarkan nilai SGOT dan SGPT. Data laboratorium

Jumlah pasien

Normal

22

SGPT di atas normal

4

SGOT di atas normal

4

SGOT dan SGPT di atas normal

1

Tidak ada data laboratorium

17

5. Obat-obat yang berpotensi hepatotoksik yang digunakan pasien berupa parasetamol, NSAIDs, omeprazol, clopidogrel, kaptopril, dan simvastatin. 6. Dalam pengobatan pasien hipertensi ditemukan 16 kasus interaksi obat dengan rincian 2 kasus interaksi farmakodinamika dan 14 kasus interaksi farmakokinetika. Tujuh dari 14 kasus interaksi farmakokinetik (penggunaan bersaamaan amlodipin dan diltiazem) berpengaruh terhadap pengontrolan tekanan darah pasien dalam terapi hipertensi. 3.2. Pembahasan 3.2.1.Gambaran Umum Pasien Jumlah pasien hipertensi sebanyak 49 orang. Dari data tersebut 48 pasien memenuhi kriteria inklusi dan 1 pasien (meninggal) memenuhi kriteria eksklusi. Selama periode penelitian, jumlah pasien hipertensi di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang menurun setiap bulannya. Pasien hipertensi yang dirawat selama Desember 2013 sebanyak 21 pasien, Januari 2014 sebanyak 17 pasien dan Februari 2014 sebanyak 12 pasien. Kecenderungan penurunan jumlah pasien tersebut dikarenakan sudah berlakunya BPJS sejak 1 Januari 2014. Dalam aturan BPJS tersebut, terdapat 144 penyakit yang harus tuntas dilayani di fasilitas kesehatan primer (puskesmas), hipertensi merupakan salah satu dari 144 penyakit tersebut dan pasien dapat di rawat di rumah sakit jika sudah mendapat rujukan dari puskesmas. Dari hasil pengamatan, penderita hipertensi baik perempuan maupun lakilaki terbanyak pada usia >40 tahun. Hal ini dikarenakan elastisitas pembuluh darah semakin berkurang seiring pertambahan usia. Dengan bertambahnya usia, elastin dan kolagen yang terdapat dalam otot polos pembuluh darah tidak seimbang. Ketidakseimbangan kedua elemen inilah yang menyebabkan elastisitas pembuluh

24

darah berkurang saat pertambahan usia. Berkurangnya elastisitas pembuluh darah akan menurunkan kemampuan relaksasi otot polos pembuluh darah sehingga menyebabkan penurunan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung, peningkatan tahanan perifer dan peningkatan tekanan darah.[9] Jumlah pasien hipertensi perempuan sebanyak 31 orang dan 17 orang pasien laki-laki. Sebanyak 26 dari 31 pasien perempuan tersebut berusia >50 tahun. Menopause biasanya terjadi antara usia 45- 52 tahun. Banyaknya wanita yang menderita hipertensi pada usia tersebut dikarenakan menurunnya kadar estrogen secara mendadak setelah menopause. Penurunan kadar estrogen tersebut mengakibatkan disfungsi endotelial dan pertambahan lemak tubuh yang menyebabkan kenaikan pada aktivasi saraf simpatik.[10] Aktivasi saraf simpatik akan menstimulasi renin dan angiotensin II. Peningkatan angiotensin II akan meningkatkan tahanan vaskular sistemik yang menyebabkan meningkatnya tekanan arteri. Selain itu, usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Di Indonesia, usia harapan hidup perempuan meningkat dari usia 48,1 tahun di tahun 1970 menjadi usia 70 tahun di tahun 2000. Berbeda dengan laki-laki, dari usia 45 tahun menjadi 65 tahun.[11] Dengan demikian tidaklah mengherankan jika penyakit atau kondisi terkait dengan usia seperti hipertensi, mempunyai pengaruh yang lebih besar pada kaum perempuan. Pasien P39 dengan pre hipertensi memiliki komplikasi penyakit berupa gangguan gastrointestinal dan vertigo. Selama masa rawatan, pasien tidak diberikan obat antihipertensi. Pada pasien dengan pre hipertensi belum membutuhkan obat, cukup dengan modifikasi gaya hidup. Pasien ini memiliki BMI (Body Mass Index) 27,31, angka ini menunjukkan bahwa pasien ini mengalami overweight. Pasien perlu diedukasi untuk mengurangi berat badan dengan cara berolahraga teratur, diet, menjaga pola makan yang sehat dan mengurangi asupan garam. Dari 7 pasien dengan hipertensi stage 1: 1. Sebanyak 3 pasien dengan penyakit penyerta berupa gangguan gastrointestinal, 1 pasien dengan 2 penyakit penyerta berupa DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) dan kolik abdomen karena infeksi saluran kemih.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


2. Sebanyak 1 pasien dengan 3 komplikasi berupa gangguan gastrointestinal, hepatitis dan angina pektoris. 3. Sebanyak 1 pasien dengan 3 komplikasi berupa gangguan gastrointestinal, ISK (Infeksi Saluran Kemih) dan kista terpuntir, 1 pasien dengan komplikasi berupa osteoartritis dan DM tipe II. Dilihat dari komplikasi penyakit pasien, semakin tinggi derajat hipertensi maka keparahan komplikasi penyakit pasien juga semakin tinggi. Keparahan komplikasi penyakit pasien dilihat dari penyakit penyerta yang melibatkan organ-organ vital, seperti ginjal pada CKD (Chronic Kidney Disease), pembuluh darah otak pada stroke,dan jantung pada CHF (Congestive Heart Failure). Hasil uji statistik menggunakan korelasi pearson (kekuatan hubungan) adalah +0,06 (r) dan nilai signifikan adalah +0.756 . Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan secara signifikan antara lama menderita hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (bersihan kreatinin). Tabel 4. Penyakit penyerta disamping hipertensi stage 2 Penyakit

Jumlah Pasien

CKD (Chronic Kidney Disease)

3

Stroke

4

DM tipe II

4

CHF (Congestive Heart Failure)

3

gangguan psikosomatik

2

gangguan gastrointestinal

24

Terdapat 2 pasien (P2 dan P46) dengan penyakit penyerta berupa gastropati NSAIDs. Bedasarkan riwayat penggunaan obat, pasien P46 dan P2 sering mengkonsumsi obat untuk sakit kepala (penghilang rasa sakit). Mekanisme kerja obat penghilang rasa sakit (golongan NSAIDs) adalah dengan menghambat pelepasan enzim cyclooxygenase (COX 1 dan COX 2). Dihambatnya pelepasan kedua enzim ini mengakibatkan berkurangnya sintesa prostaglandin (PGE1 dan PGE2), PGE1 ini terdapat di lambung, jika sintesa PGE1 dihambat maka sekresi mukus sebagai proteksi lambung juga dihambat. Akibatnya penggunaan jangka lama dari obat-obat penghilang rasa sakit (golongan NSAIDs)

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

dapat menyebabkan iritasi pada lambung. Beberapa hasil penelitian juga menunjukkan penggunan NSAIDs dapat meningkatkan tekanan darah 5-10 mmHg. Mekanisme yang mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan darah ini adalah penghambatan dari sintesa prostaglandin oleh kerja obat-obat NSAIDs sehingga terjadi retensi cairan dan natrium. NSAIDs dapat meningkatkan tekanan darah baik pada pasien normotensif maupun pasien hipertensi.[12] 3.2.2. Kajian Penggunaan Obat-Obat Anti hipertensi Dalam standar pelayanan medis RSUD Padang Panjang yang mengacu kepada JNC VII, terdapat petunjuk pemilihan obat antihipertensi berdasarkan penyakit penyerta. Pilihan obat antihipertensi untuk pasien dengan komplikasi CHF (Congestive Heart Failure) adalah golongan diuretik/ β-bloker/ ACE-inhibitor/ ARB/ antagonis aldosteron. Pilihan obat antihipertensi untuk pasien dengan komplikasi CKD (Chronic Kidnye Disease) adalah ACE-inhibitor/ARB. Pilihan obat antihipertensi untuk pasien diabetes adalah golongan diuretik/ β-bloker/ ACE-inhibitor/ ARB/ antagonis kalsium. Pilihan obat antihipertensi untuk mencegah terjadinya stroke berulang adalah golongan diuretik/ ACE-inhibitor.[13] Namun, dalam pelaksanaan terapi pasien belum sepenuhnya sesuai dengan JNC VII. Pasien P8 dengan komplikasi penyakit berupa CHF (Congestive Heart Failure), obat antihipertensi yang diresepkan untuk pasien meliputi amlodipin 1x5 mg selama 2 hari dan diltiazem 2x30 mg selama 6 hari. Terapi yang diberikan kepada pasien ini tidak sesuai dengan standar pelayanan medis RSUD Padang Panjang karena obat golongan antagonis kalsium (diltiazem dan amlodipin) bukanlah obat pilihan untuk terapi hipertensi dengan komplikasi penyakit CHF (Congestive Heart Failure). Meskipun demikian, tekanan darah pasien dapat kembali normal setelah 3 hari masa rawatan. Antagonis kalsium bukan merupakan pilihan terapi pada CHF (Congestive Heart Failure) karena dapat menyebabkan takikardia dan meningkatkan curah jantung. [3]

Pasien P2 dengan komplikasi penyakit berupa CKD (Chronic Kidney Disease) stage 4 diberikan amlodipin 1x10 mg selama 3 hari dan diltiazem 1x1 ampul iv selama 3 hari. Pada hari pertama rawatan tekanan darah pasien 180/60 mmHg dan pada hari kedua rawatan tekanan darah pasien 190/90 mmHg. Terapi yang diberi-

25


kan kepada pasien ini tidak sesuai dengan standar pelayanan medis RSUD Padang Panjang karena obat golongan antagonis kalsium (diltiazem dan amlodipin) bukanlah obat pilihan untuk terapi hipertensi dengan komplikasi CKD (Chronic Kidney Disease). Pilihan terapi untuk penyakit hipertensi dengan komplikasi CKD (Chronic Kidney Disease) adalah ACE-inhibitor/ ARB. Pada pasien dengan penyakit hipertensi dan CKD (Chronic Kidney Disease), aliran darah ke ginjal menurun. Penurunan aliran darah ke ginjal akan merangsang sel juxtra glomerulus untuk meningkatan pelepasan renin, selanjutnya renin diubah dengan Angiotensin Converting Enzyme menjadi angiotensin II. Peningkatan angiotensin II akan meningkatkan tahanan vascular sistemik yang menyebabkan meningkatnya tekanan arteri. Dengan pemberian ACE-inhibitor/ ARB, tekanan darah pasien dapat mencapai normal karena dihambatnya pembentukan angiotensin II dengan menekan sekresi Angiotensin Converting Enzyme oleh ACEinhibitor ataupun oleh ARB yang bekerja pada reseptor angiotensin. Pasien P16 dengan komplikasi penyakit berupa CHF dan DM tipe II diberikan terapi antihipertensi berupa ramipril 1x10 mg selama 4 hari dan bisoprolol 1x2,5 mg selama 3 hari. Terapi yang diberikan kepada pasien ini sudah sesuai menurut standar pelayanan medis RSUD Padang Panjang. Pada pasien hipertensi dengan DM, penurunan tekanan darah yang diharapkan <130/80 mmHg. Akan tetapi, hasil pemeriksaan akhir tekanan darah pasien sangat jauh dari nilai yang diharapkan . Pada pemeriksaan awal rawatan, tekanan darah pasien 190/120 mmHg dan pada akhir masa rawatan, tekanan darah pasien 180/110 mmHg. Pasien P17 dengan komplikasi penyakit berupa DM tipe II diberikan terapi antihipertensi berupa valsartan 1x80 mg selama 5 hari, amlodipin 1x80 mg selama 4 hari dan furosemid (Lasix速) 1x1 ampul iv selama 4 hari. Penurunan tekanan darah pasien sesuai dengan apa yang diharapkan (dari 170/100 mmHg menjadi 130/80 mmHg). Seharusnya pasien hanya diberikan 2 kombinasi obat saja (furosemid dan valsartan). Amlodipin tidak perlu diberikan pada pasien ini, amlodipin (antagonis kalsium) tidak direkomendasikan untuk pasien hipertensi dengan komplikasi penyakit DM. Pasien P43 dengan komplikasi penyakit DM tipe II diberikan terapi antihipertensi berupa kaptopril 2x12,5 mg selama 6 hari dan tekanan darah akhir rawatan pasien 120/70 mmHg. Terapi yang diberikan kepada pasien ini sudah sesuai dengan standar

26

pelayanan medis RSUD Padang Panjang. Pada pasien ini pengobatan yang dilakukan sudah optimal karena tekanan darah yang diharapkan sudah tercapai (<130/80 mmHg). Pasien dengan kode P11, penurunan tekanan darah tidak optimal sampai akhir masa rawatan. Pasien ini hanya diberikan amlodipin 1x10 mg pada hari pertama, tekanan darah pasien pada awal rawatan 200/100 mmHg, kemudian obat dihentikan pada hari ke dua rawatan. Padahal tekanan darah pasien masih tinggi (180/90 mmHg). Seharusnya pada hari kedua rawatan pasien masih harus diberikan amlodipin 1x10 mg sampai tekanan darah pasien mencapai <140/90 mmHg. Seiring dengan berlakunya BPJS sejak awal tahun 2014, menteri kesehatan mengeluarkan aturan No. 328/MENKES/ SK/IX/2013 tentang formularium nasional. Dalam formularium nasional tersebut dijelaskan pemberian obat antihipertensi harus didasarkan pada prinsip dosis titrasi, mulai dari dosis terkecil hingga tercapai dosis dengan pencapaian tekanan darah terbaik. Adapun obat-obat yang memerlukan titrasi dosis adalah amlodipin, atenolol, bisoprolol, doksazosin, imidapril, irbesartan, kandesartan, kaptopril, lisinopril, ramipril, valsartan dan verapamil. Berdasarkan data pengobatan pasien, pada umumnya penggunaan obat-obat tersebut dosisnya tidak dititrasi. Obat-obat tersebut diberikan dalam dosis yang sama pada awal terapi sampai akhir terapi. Hanya 1 pasien (P6) yang diberikan amlodipin dengan dosis yang dititrasi. Pada 4 hari awal pengobatan, pasien diberikan amlodipin 1x5 mg, kemudian pada 6 hari selanjutnya pasien diberikan amlodipin 1x10 mg. Pada akhir masa rawatan target tekanan darah pasien tercapai (120/80 mmHg). Dari obat-obat antihipertensi yang diberikan kepada pasien, penggunaan obat paling banyak adalah pemberian tunggal amlodipin (22,92%). Untuk antihipertensi kombinasi paling banyak diresepkan adalah amlodipin dan diltiazem (14,58%). Dalam penelitian ini, terapi pasien hipertensi secara umum belum optimal karena tidak semua pasien mencapai tekanan darah yang diharapkan. Target terapi dari penyakit hipertensi adalah pencapaian tekanan darah yang optimal sesuai dengan komplikasi penyakit. Dalam pengobatan pasien yang diberikan obat antihipertensi ditemukan sebanyak 60,42% optimal menormalkan tekanan darah dan 39,58% tidak optimal menormalkan tekanan darah pada akhir masa rawatan. Banyak hal yang dapat mempengaruhi

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


keberhasilan terapi pasien seperti ketepatan pemilihan obat berdasarkan kondisi pasien, dosis obat yang diberikan, faktor psikis seperti adanya white coat hypertention yang diartikan sebagai ketakutan pasien saat berada di rumah sakit berhadapan dengan dokter atau perawat. Disamping terapi farmakologis, pasien harus diedukasi untuk melakukan terapi non farmakologis, seperti memberhentikan kebiasaan merokok, mengurangi asupan garam, mengontrol agar BMI (Body Mass index) normal, dan melakukan olahraga secara teratur. 3.2.3. Kajian Penggunaan Obat-Obat berdasarkan Aspek Farmakokinetika Interaksi Obat Dalam pengobatan ditemukan 16 kasus interaksi obat baik secara farmakokinetika dan farmakodinamik. Tujuh dari 16 kasus tersebut merupakan ineraksi sesama obat yang berpengaruh terhadap pencapaian tekanan tekanan darah pasien pada akhir masa rawatan, yaitu penggunaan kombinasi amlodipin dan diltiazem. Amlodipin dimetabolisme dalam hati oleh enzim CYP 3A3/4 sedangkan diltiazem merupakan inhibitor enzim tersebut.[14] Inhibisi oleh diltiazem menyebabkan menurunnya kecepatan metabolisme amlodipin. Saat kedua obat ini diberikan secara bersamaan, metabolisme amlodipin oleh enzim CYP 3A3/4 akan menurun. Dengan demikian, akan terjadi penurunan efektivitas terapeutik kedua obat tersebut. Dari hasil penelitian, 7 kasus penggunaan kombinasi amlodipin dan diltiazem ditemukan 4 kasus pencapaiaan tekanan darah pasien tidak optimal. Pada keempat pasien ini amlodipin dan diltiazem diberikan pada waktu bersamaan dan lama pemakaian kedua obat tersebut juga sama. Sementara itu, 2 pasien (P8 dan P40) diberikan amlodipin dan diltiazem pada lama pemakaian yang berbeda, pada akhir masa rawatan mencapai tekanan darah yang optimal. Pasien P8, amlodipin dan diltiazem hanya diberikan secara bersamaan selama 2 hari. Kemudian, Pemberian amlodipin dihentikan dan dilanjutkan dengan diltiazem sampai akhir masa rawatan dengan tekanan darah pasien 120/80 mmHg. Pasien dengan kode P40 diberikan amlodipin dan diltiazem secara bersamaan pada awal masa rawatan (3 hari), tekanan darah pasien berturut-turut selama 3 hari tersebut adalah 170/100 mmHg. 170/100 mmHg dan 180/100 mmHg. Kemudian pada hari ke-4 pemberian diltiazem dihentikan, sementara itu pemberian amlodipin tetap dilanjutkan sampai akhir masa rawatan (hari ke-6). Tekanan darah pasien bertu-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

rut-turut setelah penghentian kombinasi kedua obat tersebut adalah 140/80 mmHg, 130/80 mmHg, 130/90 mmHg dan 140/90 mmHg.Untuk itu, penggunaan bersamaan amlodipin dan diltiazem seharusnya dihindari. Dalam terapi hipertensi seharusnya pasien hanya diberikan amlodipin atau diltiazem saja ataupun mengganti salah satu dan dikombinasikan dengan obat golongan lain sesuai dengan penyakit pasien. Interaksi lain yang bisa diamati yaitu penggunaan bersama insulin dan aspirin merupakan interaksi farmakodinamika. Aspirin akan meningkatkan efek dari insulin sehingga terjadi hipoglikemia. Pada pasien P6 yang mendapat terapi insulin 2x8 IU dan aspirin 1x80 mg selama 1 hari. Dari hasil pengamatan, pasien tidak mengalami hipoglikemia. Interaksi kedua obat tersebut merupakan interaksi minor. 3.2.4. Analisa Penggunaan Obat Berdasarkan Fungsi Hati Dari hasil penelitian ini, parameter Child-Pugh tidak terpenuhi. Untuk penilaian fungsi hati pasien berdasarkan nilai SGOT dan SGPT. Obat-obat yang berpotensi hepatotoksik yang diberikan kepada pasien meliputi, parasetamol, obat golongan NSAIDs, simvastatin, kaptopril, dan clopidogrel. Berdasarkan hasil penelitian, pasien P22 memiliki nilai SGPT 445 U/L, nilai ini 10 kali lebih besar dari nilai SGPT normal. Untuk penggunan obat yang berpotensi hepatotoksik pada pasien ini sudah diperhatikan karena pemberian parasetamol tunggal sudah dihindari, parasetamol diberikan dalam bentuk kombinasi dengan n-acetylcysteine (Sistenol速). Meskipun demikian, dalam terapinya pasien masih mendapatkan obatobat lain yang berpotensi hepatotoksik meliputi aspirin, clopidogrel, dan simvastatin. Pasien ini dirawat selama 9 hari. Nilai SGPT pasien di periksa setelah 1 hari masa rawatan dan tidak ada pemeriksaan ulang selama pasien dirawat. Sementara itu, sejak awal sampai 6 hari masa rawatan pasien diberikan aspirin, ketoprofen (obat golongan NSAIDs), clopidogrel, dan simvastatin. Seharusnya selama masa rawatan, pemberian obat-obat berpotensi hepatotoksik dihindari pada pasien ini. Pasien P22 didiagnosa menderita hipertensi stage 1 dengan komplikasi dispepsia, angina pektoris dan hepatitis. Clopidogrel bersifat hepatotoksik dengan cara meningkatkan enzim alanin dan bilirubin total.[15] Aspirin dan clopidogrel diberikan kepada pasien untuk antiplatelet dalam terapi angina pektoris, sebaiknya pada pasien

27


ini cukup diberikan clopidogrel 1 x 75 mg saja karena aspirin bersifat hepatotoksik dengan cara meningkatkan nilai SGPT. Sebagai hepatoprotektor, pasien diberikan curcuma dan Hepa Q速 sebagai koboransia. Sebanyak 2 pasien (P4 dan P31) menggunakan obat-obat berpotensi hepatotoksik mengalami peningkatan nilai SGPT selama masa rawatan. Pasien P4 diberikan parasetamol 500 mg selama 4 hari masa rawatan. Pemeriksaan ekstremitas pasien berupa akral hangat tetapi tidak ada pemeriksaan suhu tubuh pasien. Seharusnya sebelum pemberian parasetamol, dilakukan pemeriksaan suhu tubuh pasien dan diberikan parasetmol jika suhu tubuh > 370C. Pasien P31 selama 4 hari masa rawatan diberikan obat natrium diklofenak (obat golongan NSAIDs) dan parasetamol. Parasetamol dan obat golongan NSAIDs bersifat hepatoseluler dengan cara meningkatkan nilai SGPT. Peningkatan nilai SGPT (21 U/L ; 23 U/L) pasien terjadi selama masa rawatan diduga kerena penggunaan obat berpotensi hepatotoksik yaitu natrium diklofenak dan parasetamol. Sentrilobular hepatik nekrosis dapat terjadi secara akut saat pemakaian overdosis parasetamol >140 mg/kg pada anak dan >6 g pada dewasa. Bukti laboratorium menunjukkan hepatotoksik terjadi setelah 3-4 hari paparan akut.[14] Penggunaan kedua obat ini tidak perlu dihentikan karena peningkatan nilai SGOT dan SGPT masih dalam rentang normal, tetapi perlu monitoring fungsi hati pasien untuk pemakaian jangka lama kedua obat ini. Sebanyak 5 dari 48 pasien yang diberikan kaptopril selama masa rawatan. Hanya 1 pasien yang memiliki data nilai SGPT (normal), 4 pasien lainnya tidak dilakukan pemeriksaan nilai SGPT. Sebaiknya pada pasien yang menggunakan kaptopril jangka panjang, fungsi hati pasien juga dimonitoring disamping fungsi ginjal. Dari banyak kasus yang dilaporakan, hepatotoksik terjadi pada pemakaian kaptopril dan enalapril (obat golongan ACE-inhibitor) dengan mekanisme kolestatik, hepatoseluler ataupun gabungan keduanya.[14] Dalam penelitian ini ditemukan penggunaan parasetamol sebanyak 24 kasus baik pasien yang memiliki nilai SGPT normal maupun diatas normal. Sebanyak 4 pasien dari 24 pasien tersebut diberikan parasetamol selama masa rawatan. Dalam penelitian ini banyak ditemukan penggunaan parasetamol. Parasetamol bersifat hepatotoksik, untuk itu perlu perhatian khusus dalam peresepan parasetamol terhadap pasien dengan kerusakan fungsi hati. Jika parasetamol tetap harus diberikan ke-

28

pada pasien dengan gangguan fungsi hati, rekomendasi obat adalah kombinasi parasetamol dan n-acetylcysteine (Sistenol速). N-acetylcysteine bersifat sebagai antidotum dari parasetamol. Disamping itu pasien dapat diberikan coboransia berupa curcuma. Kandungan kurkumin dalam curcuma tersebut bekerja sebagai antioksidan yang membantu regenerasi sel hati.Untuk penyesuaian dosis berdasarkan fungsi hati tidak dapat dilakukan karena data Child Pugh Score tidak terpenuhi. Sampai saat ini, belum ada penanda yang akurat untuk fungsi metabolisme obat di hati yang dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan bersihan oleh hati seperti halnya penggunaan bersihan kreatinin sebagai penanda (marker) bersihan obat oleh ginjal.[3] 3.2.5. Analisa Penggunaan Obat berdasarkan Fungsi Ginjal Fungsi ginjal normal jika bersihan keratin >90 mL/menit. Ketika terjadi penurunan bersihan kreatinin, eliminasi obat-obat yang sebagian besar diekskresikan melaui ginjal (>70%) akan menurun dan mengakibatkan terjadinya akulumasi bahkan toksisitas pada tubuh pasien, terutama untuk penggunaan obat dengan indeks terapeutik sempit. Ada 2 macam obat yang perlu diperhatikan pada pasien yang mengalami kerusakan ginjal, yaitu obat-obat yang berpotensi nefrotoksik pada pemakaian jangka lama dan obat-obat yang sebagian besar diekskresikan melalui ginjal (>70%). Pasien yang memiliki bersihan kreatinin serum 60-89 mL/menit (gangguan fungsi ginjal ringan) sebanyak 11 pasien. Obatobat berpotensi nefrotoksik yang digunakan pasien meliputi parasetamol, ramipril (ACEinhibitor), sefadroksil, sefotaksim (antibiotik golongan sefalosporin), furosemid (Lasix速), natrium diklofenak, ketoprofen (golongan NSAIDs), siprofloksasin (antibiotik golongan flouroquinolon). Adapun penggunaan obat-obat yang sebagian besar diekskresikan melaui ginjal meliputi ranitidin dan metformin. Pada pasien ini penggunaan obat tersebut belum membutuhkan penyesuaian dosis karena fungsi ginjal pasien lebih dari 60% fungsi ginjal normal. Penyesuaian dosis perlu dilakukan jika fungsi ginjal pasien menurun 50% dari fungsi ginjal normal (< 60 mL/menit). Sebanyak 2 dari 11 pasien tersebut mengalami peningkatan kreatinin serum selama masa rawatan. Pasien dengan kode P17 mengalami peningkatan kreatinin serum dari 0,6 mg/dL menjadi 0,72 mg/dL. Obat-obat yang berpotensi nefrotoksik dan sebagian besar diekskresikan di ginjal yang diberikan kepada pasien ini berupa injeksi

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


sefotaksim dan furosemid (LasixÂŽ) selama 4 hari. Kedua obat ini tidak perlu dilakukan penyesuaian dosis pada pasien ini karena bersihan keratin pasien 69,87 mL/menit dan penurunan nilai kreatinin pasien tidak begitu drastis. Tetapi, fungsi ginjal pasien harus selalu dimonitoring jika pemakaian obat ini dilanjutkan. Pasien P31 dengan bersihan kreatinin 71,87 mL/menit mengalami peningkatan kreatinin serum menjadi 1,5 mg/dL dari 0,86 mg/dL. Riwayat penggunaan obat pasien meliputi penggunaan NSAIDs selama + 2 tahun (pengobatan osteoarthritis), pemakaian jangka lama obat ini berpotensi nefrotoksik. Selama 4 hari masa rawatan, pasien diberikan obat berupa parasetamol 3x500 mg, natrium diklofenak 2x25 mg, dan metil prednisolon 2x1 ampul intaartikular serta ranitidine 2x1 ampul. Obat-obat tersebut berpotensi nefrotoksik. Penurunan nilai kreatinin serum pada pasien ini cukup besar, tetapi tidak dapat dikoreksi apakah penurunan nilai kreatinin serum tersebut diakibatkan oleh obat yang berpotensi nefrotoksik karena tidak dilakukan pengujian akumulasi obat pada tubuh pasien. Sebaiknya dipertimbangkan penggunaan obatobat pada pasien ini agar terapi pasien lebih optimal. Jika terapi menggunakan NSIADs ini dilanjutkan, sebaiknya fungsi ginjal pasien dimonitoring secara berkala. Pilihan terapi lain untuk mengurangi rasa sakit pada sendi pasien adalah dengan pemberian topikal analgesik seperti kapsaisin 0,025% atau topikal metil salisilat.[16] Sebaiknya pada pasien ini dicoba pemberian analgesik secara topikal. Jika efektif, penggunaan analgesik oral (obat golongan NSAIDs) dapat dihentikan sehingga pada pasien ini penurunan terhadap fungsi ginjal dan iritasi lambung (gastritis) dapat dihindari. Selain itu, pasien juga disarankan untuk mengkonsumsi suplemen makanan yang mengandung glukosamin dan kondroitin. Pasien yang memiliki bersihan kreatinin 30-59 mL/menit (gangguan fungsi ginjal sedang) sebanyak 8 pasien. Pada kondisi ini, fungsi ginjal pasien menurun 50% dari fungsi normalnya. Penurunan fungsi ginjal ini akan menyebabkan terganggunya proses eliminasi obat-obat yang sebagian besar diekskresikan di ginjal sehingga dibutuhkan penyesuaian dosis individual berdasarkan fungsi ginjal pasien. obat-obat sebagian besar ekskresi di ginjal dalam bentuk tidak berubah yang diberikan kepada pasien tersebut adalah injeksi ranitidin. Sebanyak 6 dari 8 pasien tersebut diberikan injeksi ranitidin dan dihitung dosis individual meng-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

gunakan metode Giusti-Hayton. Hasil perhitungan dosis tersebut menunjukkan dosis ranitidin yang diberikan kepada pasien sudah tepat. Pasien dengan kode P47 berusia memiliki bersihan kreatinin sebesar 30,73 mL/menit memiliki diagnosa penyakit penyerta berupa gastropati NSAIDs. Pasien ini mengaku sering membeli sendiri obat-obat penghilang rasa sakit kepala di warung. Kerusakan ginjal sedang pada pasien ini diduga karena sering menggunakan obat golongan NSAIDs dan faktor pertambahan usia yang menyebabkan penurunan fungsi organ. Penggunaan obat obat NSAIDs dalam jangka lama, disamping menyebabkan iritasi lambung juga dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Sebanyak 0,5-1% ditemukan kasus kerusakan fungsi ginjal pada pasien yang menggunakan NSAIDs, resiko meningkat seiring pertambahan usia dan penyakit penyerta lainnya. [14] Sebaiknya pasien ataupun melalui keluarga pasien, diedukasi untuk tidak membeli sendiri obat dalam mengatasi penyakit. Pasien yang memiliki bersihan kreatinin sebesar 15-29 mL/menit (gangguan ginjal berat) sebanyak 5 pasien. Obat-obat yang digunakan pasien sebagian besar diekskresikan melalui ginjal meliputi injeksi ranitidin dan digoksin. Obat-obat tersebut membutuhkan penyesuaian dosis berdasarkan fungsi ginjal pasien. Sebanyak 4 dari 5 pasien tersebut diberikan ranitidin dan dosis yang diresepkan oleh dokter tidak melebihi perhitungan dosis individual. Dalam penelitian ini, sebanyak 1 kasus ditemukan penggunaan digoksin. Selain diekskresikan sebagian besar utuh melaui ginjal, digoksin merupakan obat dengan indeks terapeutik sempit. Pasien P11 diresepkan digoksin 2x0,125 mg (2 x ½ tablet) selama 8 hari, pasien ini memiliki bersihan kreatinin sebesar 15,8 mL/menit. Digoksin sebagian besar diekskresikan melalui ginjal dalam bentuk utuh dengan fe 0,72+0,09. Dari hasil perhitungan dosis individual menggunaka metode Giusti-Hayton, dosis digoksin yang diterima pasien berlebih. Seharusnya pasien ini diberikan digoksin tidak melebihi 0,04-0,15 mg/hari, tetapi dosis digoksin yang diresepkan untuk pasien ini sebesar 0,25 mg/hari. Jadi, regimen pemberian dosis pada pasien ini seharusnya adalah 1x ½ tablet atau 2 x Ÿ tablet. Gejala toksisitas dari digoksin berupa anoreksia, mual, muntah, aritmia, takikardia.[17] Hiperkalemia dapat disebabkan oleh overdosis digitalis akut atau keracunan berat dan terjadi berbagai macam gangguan irama jantung, meliputi bradikardia sinus, blokkade AV,

29


takikardia, dan aritmia ventrikular lainnya. Gejala hiperkalemia meliputi lemah otot, keluhan gastrointestinal, apati, gangguan fungsi ginjal dan perubahan EKG.[18] Selama pengobatan dengan digoksin pasien selalu merasa lemas, mual, muntah dan nafsu makan menurun. Hal ini merupakan gejala dari hiperkalemia (overdosis dari digoksin). Tetapi, tidak dapat diketahui apakah pasien ini mengalami hiperkalemia atau tidak karena kadar kalium pasien tidak diperiksa. Seharusnya kadar kalium pasien di periksa sehingga terapi yang diberikan lebih optimal. Pasien yang memiliki bersihan kreatinin <15 mL/menit (gagal ginjal) sebanyak 2 pasien (P6 dan P26). Satu dari 2 pasien tersebut mengalami peningkatan kreatinin serum selama masa rawatan. Pasien dengan kode P6 memiliki nilai kreatinin serum 5,2 mg/dL; 7,03 mg/dL; 6,5 mg/dL. Obatobat yang berpotensi nefrotoksik yang diberikan kepada pasien adalah lisinopril. Lisinoril merupakan ACE-inhibitor masa kerja long acting (waktu paruh 12 jam). Resiko terjadinya kerusakan ginjal lebih besar ditimbulkan oleh ACE-inhibitor long acting seperti enalapril atau lisinopril dibandingkan dengan kaptopril.[14] Dalam standar pelayanan medis SMF Penyakit Dalam RSUD Padang panjang, pada penggunaan ACE-inhibitor diperlukan evaluasi kreatinin serum dan kalsium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin serum >35% atau timbul hiperkalemia dan penggunaan obat harus dihentikan. Dalam terapi pasien, pada awal rawatan diberikan lisinopril selama 2 hari. Pada hari pertama rawatan, hasil pemerikasaan keratin serum pasien adalah 5,2 mg/dL, kemudian kreatinin serum pasien diperiksa kembali pada hari ketiga rawatan (7,2 mg/dL). Terjadi peningkatan kreatinin serum pasien sebesar 35,19%. Kemudian pada hari ketiga rawatan pemberian lisinopril dihentikan dan diganti dengan valsartan. Hal ini sudah sesuai dengan standar pelayanan medis rumah sakit. Hasil pemeriksaan serum kreatinin pasien pada hari ke-7 rawatan adalah 6,5 mg/dL. Hasil pemeriksaan tersebut telah menurun daripada pemeriksaan sebelumnya tetapi masih tinggi daripada pemeriksaan awal masa rawatan. Pasien juga diberikan injeksi furosemid (LasixŽ) 2x1 ampul selama 12 hari (selama masa rawatan). Furosemid berpotensi nefrotoksik dan diekskresikan sebagian besar dalam bentuk utuh melalui ginjal dengan fe 0,74+0,007. Dosis lazim pemberian furosemid secara iv pada pasien dengan fungsi ginjal normal adalah 20 mg – 50 mg.[19] Waktu paruh furosemid 0,3-1,5 [3]

30

jam pada pasien fungsi ginjal normal, 1,9+ 0,1 jam pada pasien gangguan fungsi ginjal.[6,20] Pemberian furosemid pada pasien ini berfungsi untuk mengoreksi udem pada pasien. Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal, dosis furosemid tidak perlu dihitung secara farmakokinetika melainkan berdasarkan respon klinis pasien.[14] Seharusnya regimen dosis pemberian furosemid pada pasien ini adalah 1x1 ampul per hari karena waktu paruh yang lebih panjang pada pasien ini disbanding pasien dengan fungsi ginjal normal. Dari status akhir, pasien ini dirujuk untuk melakukan hemodialisa. Pasien P26 memiliki bersihan kreatinin sebesar 12,01 mL/menit. Penggunaan obat-obat yang sebagian besar diekskresikan melalui ginjal meliputi kaptopril dan injeksi ranitidin. Dari hasil perhitungan dosis individual berdasarkan fungsi ginjal, dosis injeksi ranitidin yang diresepkan sudah tepat. Meskipun dosis yang diberikan sudah tepat, lebih baik penggunaan injeksi ranitidin pada pasien ini dihindari karena tidak tepat indikasi. Ranitidin diindikasikan untuk penyakit gangguan saluran cerna (gastrointestinal). Sementara hasil diagnosa pasien, berupa CKD stage 5 dan hipertensi stage 2. Pada pasien ini, peresepan kaptopril melebihi dosis yang dihitung dengan persamaan farmakokinetika. Kaptopril diekskresikan sebagian besar dalam bentuk utuh melalui ginjal dengan fe 40-50% dan bersifat nefrotoksik pada penggunaan jangka panjang. Pasien ini diresepkan kaptopril 2x25 mg, perhitungan dosis individual berdasarkan fungsi ginjal adalah 6,88-13,75 mg (2-3 kali sehari). Pasien ini mendapatkan kaptopril 50 mg sehari seharusnya hanya 41,25 mg. Dosis kaptopril tidak perlu diturunkan pada pasien ini karena kelebihan dosis berdasarkan perhitungan farmakokinetika masih dapat ditoleransi dan kaptopril merupakan obat dengan indeks terapeutik lebar. Jika dibandingkan dengan literatur lain, dosis kaptopril yang diberikan pada pasien masih dalam rentang wajar. Dosis kaptopril yang disarankan pada pasien dengan bersihan kreatinin 10-20 mL/menit adalah tidak lebih 70 mg/hari.[19] Selama masa rawatan, pasien yang mengalami peningkatan serum kreatinin sebanyak 5 pasien (10,42%). Empat dari pasien tersebut yang sudah dijelaskan di atas, mengalami peningkatan kreatinin serum dikarenakan pemberian obat yang berpotensi nefrotoksik dan sebagian besar diekskresikan melalui ginjal. Pasien dengan kode P2 memiliki komplikasi penyakit hemathemesis, gastropati NSAIDs dan

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


CKD (Chronic Kidney Disease) stage 4. Diagnosa CKD (Chronic Kidney Disease) stage 4 (bersihan kreatinin 26,79 mL/menit) ditegakkan setelah dilakukan pengukuran kuantitatif fungsi ginjal menggunakan rumus Cocroft and Gault. Hal ini dilihat dari adanya perhitungan tersebut di lembar catatan dokter dalam rekam medis pasien. Dengan begitu, pengukuran fungsi ginjal menggunakan perhitungan kuantitatif terhadap pasien yang menderita hipertensi sudah dilakukan di RSUD Padang Panjang, tetapi bukan untuk perhitungan penyesuaian dosis obat melainkan untuk menentukan diagnosa kerusakan ginjal. Meskipun asuhan kefarmasian sudah diterapkan di RSUD Padang Panjang, akan tetapi penerapannya belum optimal. Seharusnya setiap pasien memiliki lembar asuhan kefarmasian sehingga aspek farmakokinetika seperti regimen dosis dalam penggunaan obat dapat diterapkan secara optimal, yang dalam hal ini dipantau dan diisi oleh apoteker rumah sakit. 4. KESIMPULAN Dari penelitian tentang kajian farmakokinetika klinik pada pasien hipertensi di IRNA penyakit dalam RSUD Padang Panjang selama +3 bulan (Desember 2013 – Februari 2014) dapat disimpulkan : 1. Masih terdapat ketidaktepatan pemilihan obat antihipertensi karena 39,58% tidak optimal menormalkan tekanan darah dan 60,42% optimal menormalkan tekanan darah pada akhir masa rawatan pasien. 2. Aspek farmakokinetika klinik belum seutuhnya diterapkan karena : a. Dalam pengobatan pasien ditemukan 16 kasus total interaksi obat dengan rincian 2 kasus interaksi farmakodinamika dan 14 kasus interaksi farmakokinetika. Tujuh dari kasus interaksi farmakokinetika tersebut adalah penggunaan kombinasi amlodipin dan diltiazem yang berpengaruh terhadap pencapaian targettekanan darah. b. Analisa penggunaan obat berdasarkan fungsi ginjal, ditemukan 3 kasus tidak tepat dalam regimen dosis, meliputi 1 kasus penggunaan digoksin, 1 kasus penggunaan kaptopril dan 1 kasus penggunaan furosemid. Selama masa rawatan, 5 pasien (10,42%) mengalami peningkatan serum kreatinin. Empat dari 5 pasien yang mengalami peningkatan kreatinin serum diduga karena penggu-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

c.

naan obat yang berpotensi nefrotoksik dan sebagian besar dieksresikan di ginjal. Analisa penggunaan obat berdasarkan fungsi hati, ditemukan 1 kasus penggunaan obat-obat yang berpotensi hepatotoksik pada pasien hepatitis. Selama masa rawatan 2 pasien (4,17%) mengalami peningkatan nilai SGPT yang diduga karena penggunaan parasetamol.

DAFTAR PUSTAKA [1]. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006. [2]. Faul, R. “Prescribing in Renal Disease.” Australia Prescriber 30:1 (2007): 17-20. [3]. Katzung, B.G.. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta: EGC, 2011. [4]. Bauer, L.A.. Clinical Pharmacokinetics Handbook. Washinton: McGram Hill, 2008. [5]. Santoso, B.. Farmakokinetika Klinik. Cermin Dunia Kedoteran, 1985. [6]. Trisnawati, R.Analisis “Farmakokinetika Penyesuaian Dosis Obat Pada Pasien Gagal Ginjal di Irna Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang.” Skripsi Universitas Andalas, Padang, 2011. [7]. Swan, S.K., Bennett, W.M. “Drug Dosing Guidlien in Patients with Renal Failure.” West J Med 6:156 (1992): 633638. [8]. Astiani, R. “Aspek Farmakokinetik Klinik Obat-Obat Pada Pasien Hipertensi berdasarkan Fungsi Ginjal di Irna Penyakit Dalam RSUP Dr.M.Djamil Padang” Skripsi Universitas Andalas, Padang, 2011. [9]. Smeltzer, Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal Beda. Edisi 8 volume 2. Jakarta: EGC, 2005. [10]. Georgitis, W.J. Endocrine Secrets. Canada: Mcdermott, 1994. [11]. Setiati, S., Purwita W.L. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Jakarta: Pusat penerbitan Dep. Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. [12]. Galesic, K., Jelakovic, B., dan Vejsn, L. “Nonsteroidal Antirheumatics and hypertension.” PubMed 133 (2011): 101-6. [13]. Standar Terapi SMF Interne Penyakit Dalam. Padang Panjang: RSUD Padang Panjang, 2009. [14]. Anderson, P.O., Knoben, J.E., dan Troutman, W.G. Handbook of Clinical Drug Data. United States: The McGrawHill Companies, 2002.

31


[15]. Navarro, V., dan John R.S. “Drug-Related Hepatotoxicity.” New England Journal of Medicine 347:7.(2006). [16]. J.T., Barbara, G.W., Schwinghammer, dan T.L. Dipiro. Pharmacotherapy. Edisi ketujuh. United States: The McGraw-Hill Companies, 2009. [17]. Hand, K. Therapeutic Drug Monitoring and Penicillin Allergy. SUHT, 2007.

32

[18]. Mutschler, E. Dinamika Obat. Edisi 5. Bandung: ITB, 1991. Trans. of Widianto, M.B., Ranti, A.S. [19]. British National Formulary. Volume 57. London: BMJ Group, 2009. [20]. Brater, D.C. “Diuretic therapy.” New England Journal of Medicine 339(1998), 38795.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


Penelitian

EFEK GASTROPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL DAUN SAMBUNG NYAWA (Gynura procumbens) TERHADAP MUKOSA LAMBUNG MENCIT (Mus musculus) JANTAN DENGAN PENGINDUKSI ASPIRIN Hasriadi,1* Mukhriani,1 dan Dewi yuliana1

Jurusan Farmasi, Fakultas Ilmu Kesehatan, UIN Alauddin, Makassar Corresponding author’s email : adhiehasri@gmail.com

1 *

ABSTRAK Pendahuluan: Telah dilakukan penelitian efek gastroprotektif ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) terhadap mukosa lambung mencit (Mus musculus) jantan dengan penginduksi aspirin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktifitas ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) dalam mengobati ulkus peptik dengan konsentrasi tertentu. Metode: Penelitian ini dilakukan dengan mengekstraksi daun Sambung Nyawa dengan pelarut etanol 70%. Ekstrak yang didapat kemudian dilakukan pengujian awal dalam lima kelompok dengan metode pengamatan makroskopik. Ekstrak daun Sambung Nyawa 140, 280, dan 560 mg/kg dengan penginduksi aspirin (kelompok uji), NaCMC 1% dan aspiri 80mg/kg (kelompok kontrol negatif), Omeprazol 1,04 mg/kg dan penginduksi aspirin (kelompok kontrol positif). Hasil: Dari hasil pengamatan makroskopik menunjukkan pada kelompok kontrol negatif terdapat ulkus peptik pada mukosa lambung mencit. Pada kelompok kontrol positif tidak terdapat ulkus peptik pada mukosa lambung mencit. Sedangkan pada kelompok uji dosis ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) 280 mg/kg mempunyai aktivitas paling baik dalam mencegah ulkus peptik. Kesimpulan: Ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) mempunyai aktivitas dalam mengobati ulkus peptik. Kata kunci: Gastroprotektif, ekstrak etanol, daun sambung nyawa (Gynura procumbens), mukosa lambung, ulkus peptik ABSTRACT Background: A research about ethanol extracts of the leaves of Sambung Nyawa (Gynura procumbens) on male mice’s (Mus musculus) gastric mucosa which is induced by aspirins had been studied. The purpose of this research is to understand the activity of ethanol extracts of the leaves of Sambung Nyawa (Gynura procumbens) in curing the pepticum ulcer based on concentration varieties. Methods: This research was done by extracting the leaves of Sambung Nyawa with ethanol 70%, then the extract was induced in five group by using macroscophic view method. The leaves extract of Sambung Nyawa (Gynura procumbens) 140, 280, and 560 mg/kg with aspirin inductor (test group), NaCMC 1% and aspirin 80 mg/kg (negative control group). Omeprazol 1,04 mg/kg and aspirin inductor (positive control group). Results: The macroscophic observation showed that negative control group have injured in mice’s gastric mucosa. Positive control group did not injure the mice’s gastric mucosa. Conclusion : Based on the test group, the dose of 280 mg/kg ethanol extract of sambung nyawa (Gynura procumbens) leaf have the best activity on the treatment of pepticum ulcer. Keywords: Gastroprotective, Ethanol Extract, The leaf of Sambung Nyawa (Gynura procumbens), Gastric Mucosa, Pepticum Ulcer

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

33


1. PENDAHULUAN Penggunaan ramuan tradisional sebagai obat gastroenterologika banyak ditemukan berdasarkan pengalaman empiris saja, belum didukung adanya penelitian tentang uji farmakologinya. Salah satu contoh tanaman yang dapat digunakan sebagai obat tukak peptik adalah tanaman Sambung Nyawa (Gynura procumbens). Namun demikian penggunaan Sambung Nyawa (Gynura procumbens) sebagai obat gastroenterologika masih berdasarkan bukti empiris saja sehingga dibutuhkan penetapan khasiat farmakologik ekstrak kemudian bisa diikuti dengan isolasi komponen murninya. Salah satu diantara kandungan kimia dari daun Sambung Nyawa adalah flavanoid.[1] Di dalam tubuh prostaglandin bertanggung jawab bagi sebagian besar gejala peradangan.[2] Flavonoid berperan dalam meningkatkan prostaglandin dan menghambat sekresi histamin dari sel mast dan beberapa senyawa lainnya yang berperan dalam perlindungan mukosa pada saluran cerna.[3] Ulkus didefinisikan sebagai defek pada mukosa saluran pencernaan yang mengenai lapisan mukosa hingga submukosa atau lebih. Ulkus dapat terjadi pada seluruh saluran pencernaan, tapi ulkus yang sering terjadi adalah ulkus pada gaster dan duodenum.[4] Berdasarkan penelitian di Indonesia, kira-kira 500.000 orang tiap tahunnya menderita tukak lambung dan 70% diantaranya berusia 25-64 tahun. Sebanyak 48% penderita tukak lambung disebabkan karena infeksi H. Pylori dan 24% karena penggunaan obat NSAID. Insidensi ulkus gaster meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Bakteri Helicobacter pylori dan pengguna NSAID merupakan faktor risiko dalam terjadinya ulkus gaster[5] Penggunaan NSAID secara kronik dapat menekan sintesis prostaglandin pada mukosa gaster. Salah satu contoh NSAID adalah asetosal yang merupakan zat iritan yang dapat mengiritasi mukosa gaster.[5] Oleh karena itu penggunaan obat tradisional dalam hal ini daun Sambung Nyawa penting untuk diketahui kegunaannya sebagai anti ulserogenik, mengingat obat golongan NSAID memiliki potensi yang besar terjadinya ulkus peptik. Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian tentang Pengaruh Daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) terhadap Kerusakan Histologis Lambung Mencit (Mus musculus) Jantan dengan Penginduksi Aspirin� dari berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun Sambung Nyawa.

34

2. METODE 2.1. Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Pendekatan penelitian menggunakan metode ekperimentatif laboratorik dan rancangan yang digunakan adalah Posttest Only Control Group Design. 2.2. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens). Pengambilan sampel dilakukan dari populasi daun sambung nyawa (Gynura Procumbens) dengan teknik simple random sampling yaitu dalam pengambilan sampelnya peneliti memberi hak yang sama kepada populasi untuk memperoleh kesempatan dipilih menjadi sampel sehingga terlepas dari ingin mengistimewakan satu atau beberapa elemen populasi untuk dijadikan sampel dan teknik ini dapat dilakukan pada anggota populasi yang homogen. 2.3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi eksperimental. Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan terhadap proses yang sedang berlangsung. Observasi dilakukan dengan dua cara yaitu mengamati dan melakukan pencatatan hasil secara teliti (1) Penyiapan ekstrak daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) (2) Pengujian ekstrak daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens). Hewan uji berjumlah 15 ekor, dibagi dalam 5 kelompok yang masing-masing kelompok terdiri dari 3 ekor. Kemudian terhadap tiap kelompok diberi perlakuan sebagai berikut: A. Kelompok I Mencit diberi ekstrak daun Sambung Nyawa dengan dosis 140 mg/kgBB mencit dengan penginduksi aspirin. B. Kelompok II Mencit diberi ekstrak daun Sambung Nyawa dengan dosis 280 mg/kgBB mencit dengan penginduksi aspirin. C. Kelompok III Mencit diberi ekstrak daun sambung nyawa dengan dosis 560 mg/kgBB mencit dengan penginduksi aspirin. D. Kelompok IV Mencit diberi Na CMC 1% selama tujuh hari dengan penginduksi aspirin sebagai kontrol negatif. E. Kelompok V Mencit diberi Omeprazol dengan dosis 1,04 mg/20 g BB mencit dua kali se-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


hari selama tujuh hari dengan penginduksi aspirin sebagai kontrol positif. 2.4. Pengamatan Makroskopik Pengamatan makroskopik diperlukan untuk mengamati lesi yang terjadi pada mukosa lambung yang kemudian akan ditentukan tingkat lesinya berdasarkan pengamatan, dan dapat diberi skor sebagai ketentuan berikut: Tabel 1. Tabel rujukan skor lesi lambung mencit (Ashok et al, 2006: 143) Macam Lesi Lambung berwarna normal Pewarnaan merah Noda ulcer Pendarahan Ulcer > 3 tetapi < 5 Ulcer > 5

Skor 0 0,5 1 1,5 2 3

2.5. Instrumen Penelitian Alat yang digunakan antara lain adalah alat-alat gelas, bejana maserasi, blender, cawan porselin, rotavapor, timbangan analitik, kanula, pisau bedah, scalpel, pinset, gunting anatomis, jarum, meja lilin, kandang mencit, dan mikroskop. Bahan yang digunakan adalah air suling, daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens), etanol 70%, Aspirin, Na CMC, Omeprazol, mencit (Mus musculus) jantan, dan makanan hewan uji (pelet). 2.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan software SPSS dengan uji Kruskall Wallis dan Mann Withney. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Data skor ulkus berdasarkan hasil pengamatan dianalisis dengan uji statistik nonparametrik Kruskal Wallis diperoleh hasil dengan nilai p<0,05 yang menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan. Untuk mengetahui hubungan antara tiap kelompok perlakuan, maka dapat dilanjutkan dengan uji Mann Whitney yang hasilnya dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan hasil uji Mann Whitney menunjukkan bahwa perbandingan antara kontrol negatif (Na CMC) dibandingkan dengan kontrol positif (Omeprazol), kelompok 2, dan kelompok 3 terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) yang berarti kontrol negatif tidak memiliki efek anti-ulser yang sama seperti kontrol positif serta kelompok 2 dan kelompok 3. Hasil uji Mann Whitney ekstrak daun Sambung Nyawa kelompok 1 yang dibandingkan dengan kelompok 2 dan kontrol

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

positif terdapat perbedaan bermakna (p<0,05). Berbeda dengan kelompok 3 yang tidak memiliki perbedaan bermakna. Perbedaan yang bermakna dalam hal ini dapat menunjukkan bahwa kelompok 1 kurang memiliki kemampuan sebagai anti-ulser dibandingkan dengan kelompok 2 dan kelompok 5 (kontrol positif). Sedangkan pada kelompok 2 dan kelompok 3 tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) dengan kelompok 5 (kontrol positif) yang menunjukkan bahwa kedua konsentrasi ini memiliki efek dalam mengobati ulkus. Hasil uji Mann Whitney kelompok 2 dan kelompok 3 dibandingkan dengan kontrol positif (Omeprazol) tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) yang menunjukkan bahwa kedua kelompok ini memiliki efek yang dapat sebanding dengan Omeprazol dalam mengobati ulserogenik Asetosal. Dari beberapa penelitian telah diketahui bahwa tanaman Sambung Nyawa memiliki kandungan senyawa aktif, yaitu alkaloida, flavonoida, tanin, triterpenoid, polifenol, dan sterol.[6,7,8] Salah satu kandungan dari ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens) yakni flavonoid berfungsi sebagai anti-ulser pada lambung sebagai antioksidan yang berperan penting dalam proses pencegahan dan penyembuhan ulkus yang terjadi pada lambung.[3,9] Ulkus peptikum berpotensi merangsang terjadinya proses inflamasi pada lambung.[6] Konsekuensi serius dari inflamasi adalah terbentuknya radikal bebas di jaringan yang merupakan efek samping dari aktifitas fagosit pada proses inflamasi. Radikal bebas dibentuk oleh aktifitas enzim xanthin oksidase dalam jaringan, terbentuk selama kehabisan oksigen, menghasilkan superoksida dari oksigen ketika tersedia lagi. Jenis kerusakan ini meliputi bentuk dari ulkus peptik, dan telah ditemukan pada lambung tikus. Sebagai catatan, radikal bebas dapat mempercepat inflamasi, dan inflamasi akan meningkatkan radikal bebas, kemudian memperkuat terjadinya respon inflamasi.[10] Pada penelitian ini, Aspirin digunakan untuk menginduksi ulkus lambung pada mencit. Aspirin adalah salah satu obat anti-inflamasi golongan NSAID.[11] Penggunaan NSAID dapat menyebabkan ulkus dan pendarahan pada saluran cerna.[12] Obat NSAID boleh menyebabkan erosi dan ulkus gastrointestinal. Kebanyakan NSAID bertindak sebagai inhibitor non-selektif dari enzim siklooksigenase, menghambat baik siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Aspirin menghambat cyclooxygenase-1 (COX-1) lebih besar daripada

35


Tabel 2. Data Skor Ulkus yang Diperoleh Berdasarkan Hasil Percobaan Kelompok Perlakuan

Modus Skor Ulkus pada Mencit

Mean

I

II

III

Kelompok 1 (K1)

1,5

1

1

1.1667

Kelompok 2 (K2)

0,5

0,5

0

0,3333

Kelompok 3 (K3)

0,5

0,5

1

0,6667

Kelompok 4 (K-)

3

1,5

3

2,5000

Kelompok 5 (K+)

0,5

0

0

0,1667

Tabel 3. Hasil Uji Mann Whitney Anti-Ulcer ekstrak daun sambung nyawa (Gynura Procumbens) terhadap skor ulkus mencit jantan Kelompok Perlakuan

Signifikan

Keterangan

K(-) vs K1

0,068

Berbeda tidak bermakna

K(-) vs K2

0,043

Berbeda bermakna

K(-) vs K3

0,043

Berbeda bermakna

K(-)vs K(+)

0,043

Berbeda bermakna

K1 vs K2

0,043

Berbeda bermakna

K1 vs K3

0,099

Berbeda tidak bermakna

K1 vs K(+)

0,043

Berbeda bermakna

K2 vs K3

0,197

Berbeda tidak bermakna

K2 vs K(+)

0,456

Berbeda tidak bermakna

K3 vs K(+)

0,099

Berbeda tidak bermakna

Keterangan : K1 : Kelompok 1 (140 mg/kgBB) K2 : Kelompok 2 (280 mg/kgBB) K3 : Kelompok 3 (560 mg/kgBB) K(-) : Kelompok Kontrol Negatif K(+) : Kelompok Kontrol Positif cyclo-oxygenase-2 (COX-2). COX-1 mensintesis prostaglandin, jadi terhambatnya COX-1 diikuti juga dengan terhambatnya prostaglandin.[13] Isoenzymes. siklooksigenase mengkatalisis pembentukan prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Asam arakidonat sendiri berasal dari lapisan ganda fosfolipid seluler oleh A2 fosfolipase). Prostaglandin bertindak (antara lain) sebagai molekul pembawa pesan dalam proses peradangan. NSAID biasanya diindikasikan untuk pengobatan kondisi akut atau kronik di mana nyeri dan peradangan yang hadir[10] Proses reaktif ini dapat merusak protein, asam nukleat, sel lemak, serta merusak jaringan. Radikal bebas mengikat lebih banyak leukosit ke dalam sel radang sebagai hasil dari aktivasi faktor NF-kB yang mendorong produksi dari sitokin IL-1, IL-8, dan TNF yang menyebabkan reaksi inflamasi. Hasil kerusakan ini dapat diturunkan baik dengan menghambat radikal oksigen

36

itu sendiri atau menghambat respon inflamasi yang meningkat karena radikal bebas.[9] Kerusakan jaringan oleh oksidatif meliputi produksi radikal bebas terjadi dalam reperfusi luka. Antioksidan yang terdapat di dalam ekstrak daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens) berperan mencegah terjadinya luka pada mukosa lambung. Ekstrak daun Sambung Nyawa (Gynura Procumbens) juga mengurangi produksi radikal bebas di dalam sel.[14] 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan bahwa : 1. Ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) mempunyai aktivitas dalam mengobati ulkus peptik. 2. Dosis ekstrak etanol daun Sambung Nyawa (Gynura procumbens) 280 mg/ kgBB mencit mempunyai aktivitas paling baik dalam mengobati ulkus peptik.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


5. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk variasi dosis yang lebih efektif dengan kontrol pembanding yang berbeda dengan penelitian ini. 2. Diharapkan penelitian-penelitian baru pada tanaman yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai anti-ulser. 3. Penelitian ini dapat dikembangkan menjadi sediaan obat dengan tujuan pengobatan anti-ulser. DAFTAR PUSTAKA [1] Suharmiati et al. Khasiat Manfaat Daun Dewa dan Sambung Nyawa. Tangerang: PT Agro Media Pustaka, 2003. [2] Robinson, T. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keempat. Bandung: ITB, 1995. [3] EJT, Sihning. “Pengaruh Rumput laut terhadap gambaran histopatologi jaringan jejunum tikus dengan enteritis yang diinduksi oleh Non Steroidal Anti-inflamatory Drug.” Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran, Universitas Hang Tuah. Surabaya, 2008. [4] Hadi, Sujono. Gastroenterologi. Bandung: P.T. Alumni, 2013. [5] Nie, Yan, et al. “The Effect Of Kencur’s Rhizome Ethanol Extract (Kaempferia Galangal L.) Against Gastric Mucosal To Swiss Webster Mice In Induced By Asetosal.” Jurnal Medika Planta 8:1 (2012). [6] Backer CA, Brink RCB. Flora of Java (Spermatopytes Only). Groningen The Netherlands: P.Noordhoof, 1963. [7] Hermanto, Ning. Herbal untuk keluarga Jus herbal segar dan menyehatkan. Jakarta: PT Elex Media komputindo, 2007. Terjemahan dari Tumbuhan berguna Indonesia, 1987.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

[8] Priadi, Andang. Daun Dewa Tanaman berkhasiat Obat. Jakarta: Kanisius, 2004. [9] Ashok, P., Rajani, G. P., Arulmozhi, S., Hulkoti, B. H., dan Rajendra, R. “Anti inflamatory and Anti Ulcerogenic Effect of Crotalaria Juncea Linn. In Albino Rats.” IJPT Iranian Journal of Pharmacology and Therapeutic 5:2 (2006): 141-144 . [10] Masrukin, Sarah. “Efek Jus Pisang (Musa paradisiaca sapientum) terhadap jumlah sel radang pada ulkus lambung tikusgalur wistar yang diinduksi dengan Indometasin.” Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Malang, 2010. [11] Djam`an, Qathrunnada. “Pengaruh air perasan daun cyclea barbata Miers. (Cincan Hijau) terhadap konsentrasi HCl lambung dan gambaran histopatologik lambung tikus galur wistar yang diinduksi acetylsalicylic acid.” Tesis Sarjana. Program Pasca Sarjana, Magister Ilmu Biomedik, Universitas Diponegoro. Semarang, 2008. [12] Fadhilah, DA, Ilmul. “Perbedaan efek penggunaan ekstrak jahe Merah dan Simetidin untuk mengurangi terjadinya ulkus gastrik pada tikus yang diinduksi Indhometasin.” Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Malang, 2007. [13] Rachmawati, Pediana. “Efek perlindungan ekstrak meniran (Pyllantus niruri Linn.) terhadap kerusakan Histologik lambung Mencit (Mus musculus) yang diinduksi Aspirin.” Skripsi Sarjana, Universitas Sebelas Maret. Surakarta, 2010. [14] Kalsum, Umi. “Pengaruh pemberian madu dalam mengurangi tingkat keparahan ulkus peptikum pada lambung tikus yang telah diinduksi indometasin.” Skripsi Sarjana. Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya. Malang, 2007.

37


Tinjauan Pustaka

TERAPI KEMOSATURASI UNTUK PENYAKIT KANKER PAYUDARA Adi Surya Kusuma1 dan Joko Gumilang2* Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Depok * Corresponding author’s email : joko_gumilang@ymail.com 1 2

ABSTRAK Pendahuluan: Terapi kemosaturasi telah diketahui lebih efektif dibandingkan pengobatan alternatif (best alternative care) lain untuk pengobatan kanker hati. Artikel ini bertujuan untuk membahas penerapan terapi kemosaturasi pada pengobatan kanker payudara. Diharapkan terapi kemosaturasi ini dapat memperoleh hasil yang kurang lebih sama dan dapat mengungguli metoda umum yang digunakan untuk pengobatan kanker payudara, serta dapat meningkatkan keberlangsungan hidup pasien. Pembahasan: Metoda ini melibatkan pemblokiran dari jalur masuk darah (arteri) dan jalur keluar darah (vena) dengan inflated balloon (balon yang dipompa) yang dipasang di dalam pembuluh-pembuluh darah. Selama durasi isolasi, organ yang terlibat akan disaturasi dengan dosis obat yang tinggi. Durasi dari saturasi akan berlangsung kurang lebih selama 60 menit, setelah itu darah akan disaring keluar dengan penyaring khusus yang akan membersihkan darah dari obat. Terapi kemosaturasi sangat efektif ketika dilakukan pada pasien kanker hati dan telah menunjukkan perkembangan yang signifikan dan tingkat keberlangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan alternatif terbaik (best alternative care) lain. Diharapkan dengan hasil yang sama pada metoda yang digunakan, pengobatan kanker payudara dapat lebih efektif dan menghasilkan efek samping yang lebih sedikit daripada kemoterapi standar. Kesimpulan: Dengan memodifikasi peralatan yang digunakan, memperkecil ukuran inflated balloon untuk mengisolasi aliran darah ke jaringan payudara, dan mengontrol konsentrasi obat yang digunakan, jaringan kanker dapat menunjukkan perlambatan dari progresi kanker dan dapat berpotensi meningkatkan keberlangsungan hidup pasien. Kata kunci: Terapi, Kanker Payudara, Kemosaturasi, Isolasi Organ ABSTRACT Background: Chemosaturation therapy has been known to be more effective than other alternative treatments for liver cancer treatment. This article aims to discuss the application of chemosaturation therapy for a treatment of breast cancer. It is expected that chemosaturation therapy will have more or less same or better result than conventional method used for a treatment of breast cancer and improve survival rate patients. Discussion: This method involves blocking the artery and vena with an inflated balloon which installed in the blood vessels. During the duration of isolation, organs involved will be saturated with high doses of drugs. The duration of saturation will last for approximately 60 minutes and then blood is filtered with a special filter that will clean the blood from the drug. Chemosaturation therapy is very effective when used in patients with liver cancer and has shown significant growth and survival rate than other alternative treatments. It is expected with the results showed with aforementioned method will be more effective and produce fewer side effects than standard chemotherapy for treatment of breast cancer. Conclusions: By modifying the equipment used, reducing the size of inflated balloon used to isolate the blood flow to the breast tissue, and controlling the concentration of the drug used, the progression of cancer can be slowed and potentially improve survival rate of patients. Keywords: Therapy, Breast Cancer, Chemosaturation, Organ Isolation

38

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


1. PENDAHULUAN Di seluruh dunia, kanker payudara meliputi 22,9% dari semua jenis kanker (tidak termasuk kanker kulit non-melanoma) pada wanita. Pada tahun 2008, kanker payudara menyebabkan 458.503 kematian di seluruh dunia (13,7% dari kematian karena kanker pada wanita). Kanker payudara 100 kali lebih umum terjadi pada wanita daripada pada pria, meskipun pria cenderung memperoleh akibat yang lebih buruk akibat diagnosis yang terlambat. Kasus kanker payudara terus meningkat pada banyak negara di dunia terutama di negara-negara berkembang.[1] Pada stadium awal kanker payudara tanpa adanya metastasis, tingkat kesembuhan pasien dapat mencapai 70%. Namun, dengan pengobatan yang tersedia kini, kanker payudara yang telah mengalami metastasis masih dianggap tidak dapat disembuhkan. Dua kemajuan utama dalam pengobatan kanker payudara kini telah mengubah konsep-konsep pengobatan secara berarti. Pertama, penilaian risiko pada stadium awal, khususnya node – negative disease (kanker yang belum menyebar ke nodus limpa) menggunakan profiling molekuler dapat mencegah pengobatan yang berlebihan (over-treatment). Kedua, ketersediaan pengobatan tertarget yang efektif telah memberikan pilihan yang menjanjikan pada terapi kanker payudara konvensional.[2] Terapi-terapi yang umumnya digunakan dalam penanganan kanker payudara adalah terapi pra atau pasca reseksi bedah. Terapi radiasi biasa dilakukan setelah pembedahan untuk penyakit pada stadium awal dan menunjukkan penurunan pada kekambuhan lokal hingga 26% setelah follow-up 3 tahun. Radiasi payudara parsial melalui radioterapi intraoperatif (radioterapi yang diberikan selama pembedahan), brakiterapi (radiasi yang diberikan melalui kateter), atau radioterapi konformal 3 dimensi telah dinilai dalam percobaan klinik. Pada wanita pascamenopause, kanker payudara yang positif terhadap reseptor estrogen dan progesteron biasanya diobati dengan terapi anti-estrogen. Tamoxifen telah menjadi andalan utama dalam terapi endokrin, obat ini merupakan inhibitor langsung pada reseptor estrogen. Inhibitor aromatase terkini telah dikembangkan, misalnya letrozol, exemestan, dan anastrozol. Obat jenis ini memblok sintesis estrogen dengan menghambat enzim aromatase (CYP19A1). Terapi untuk penanganan kanker payudara lainnya adalah terapi tertarget dengan menggunakan antibodi monoklonal. Trastuzumab (Herceptin) telah digunakan sejak

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

1988 pada pasien-pasien yang telah teridentifikasi overekspresi dari agen HER2 melalui immunohistochemistry atau amplifikasi gen ERBB2 (gen yang mengkode HER2) menggunakan FISH (fluorescence in situ hybridization). Overekspresi gen HER2/ amplifikasi gen ERBB2 umumnya terjadi pada hampir 30% tumor payudara dan trastuzumab diberikan pada pasien kasus ini dalam kombinasi dengan regimen.[3] Kemoterapi sitotoksik merupakan terapi yang sangat efektif terhadap sel-sel yang membelah dengan cepat, terutama sel-sel kanker. Namun, efek negatif dari mekanisme kemoterapi adalah jaringan-jaringan inang yang terdiri atas sel-sel yang cepat membelah juga akan dirusak.[4] Hal ini sangat berbahaya apabila kemoterapi diberikan dalam dosis besar, yang juga meningkatkan efek samping mungkin terjadi. Oleh karena itu, pengobatan dengan kemoterapi memiliki keterbatasan pada jumlah dosis yang dapat diberikan pada pasien. Kemoterapi yang menginduksi mual dan muntah adalah salah satu efek samping paling menyusahkan pasien pada pengobatan kanker. Sebelum adanya obat antiemetik moderen, banyak pasien yang mengalami mual dan muntah sebagai efek toksik sistemik dari kemoterapi. Sekarang, kemoterapi yang menginduksi emesis masih terus mempengaruhi kualitas hidup pasien secara negative dan dapat menghalangi pasien untuk melanjutkan terapi yang dijalankan. Mual dan muntah yang berhubungan dengan kemoterapi dapat bersifat akut (dalam jangka waktu 24 jam masa pengobatan), tertunda (terjadi lebih dari 24 jam hingga satu minggu setelah pengobatan), dan anticipatory (sebelum kemoterapi pada pasien sebagai akibat dari kontrol emesis yang buruk dari kemoterapi sebelumnya).[3] 2. PEMBAHASAN 2.1. Kemoterapi Kemoterapi adalah pengobatan dengan obat-obatan pembunuh sel-sel kanker yang dapat diberikan secara intravena (diinjeksi melalui pembuluh vena) atau melalui konsumsi oral. Obat-obatan yang diberikan ini akan masuk ke dalam aliran darah untuk mencapai sel-sel kanker pada hampir seluruh bagian tubuh. Kemoterapi diberikan dalam siklus, dengan setiap periode pengobatan diikuti dengan sebuah periode penyembuhan. Pengobatan biasanya berlangsung selama beberapa bulan.[5] Kemoterapi biasanya direkomendasikan pada keadaan setelah pembedahan (kemoterapi adjuvan), sebelum pembedahan (kemoterapi neoadjuvan), atau kanker

39


payudara yang semakin berkembang. Pada banyak kasus (khususnya pengobatan adjuvan dan neoadjuvan), kemoterapi paling efektif ketika kombinasi lebih dari satu obat digunakan. Banyak kombinasi obat telah digunakan, dan tidak jelas bahwa suatu kombinasi tunggal memberikan hasil terbaik. Studi klinis terus membandingkan pengobatan paling efektif dalam penanganan kanker payudara.[5] Contoh kombinasi obatobatan kemoterapi yang sering digunakan tertera pada Tabel 1. Obat-obatan kemoterapi bekerja dengan menyerang sel-sel yang membelah dengan cepat, hal yang membuatnya bekerja terhadap sel-sel kanker. Namun, sel-sel lain di dalam tubuh, misalnya sel-sel sumsum tulang, lapisan sel pada mulut dan usus, dan sel-sel folikel rambut, juga merupakan sel-sel yang membelah dengan cepat, sehingga kemoterapi dapat menimbulkan efek samping pada bagian-bagian sel ini.[5] 2.2. Metoda Kemosaturasi Metoda kemosaturasi adalah metode distribusi obat dengan mengkonsentrasikan dosis tinggi obat pada bagian target yang telah diisolasi dari tubuh. Isolasi or-

gan target dari tubuh dilakukan dengan menyumbat pembuluh darah vena dengan sumbatan mekanik yaitu balon karet yang dapat digelembungkan dengan udara. Dengan disumbatnya aliran darah yang keluar dari organ, maka pemberian obat pada organ tersebut dapat dilakukan dengan dosis tinggi tanpa perlu khawatir penyebarannya ke seluruh tubuh. Hal ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat yaitu sekitar 30 - 60 menit. Aliran darah yang keluar dari organ kemudian dialirkan menuju penyaringan kateter yang menghilangkan partikelpartikel obat yang terkandung dalam darah sebelum dikembalikan lagi ke tubuh.[8] Prosedur dilakukan dengan pasien dalam kondisi bius total. Obat kanker diinjeksikan dalam konsentrasi tinggi melalui pembuluh arteri yang menuju organ tubuh. Dosis tinggi obat yang diberikan pada organ akan secara efektif membunuh sel-sel kanker dibandingkan dengan dosis rendah dalam jangka waktu singkat. Prosedur ini juga meminimalkan efek samping dari kemoterapi karena sistem kontrol distribusi obat dalam tubuh yang mencegah tersebarnya obat ke seluruh bagian tubuh lain melalui aliran darah.[8]

Tabel 1. Pilihan Kemoterapi untuk Kanker Payudara [3] Terapi Kemoterapi kombinasi

Kode terapi

Siklofosfamid, metotreksat, 5-fluorourasil

CMF

Siklofosfamid, doksorubisin, 5-fluorourasil

CAF (FAC)

Doksorubisin, siklofosfamid

AC

Epirubisin, siklofosfamid

EC

Dosetaksel, doksorubisin, siklofosfamid

TAC

Doksorubisin, siklofosfamid, diikuti dengan paklitaksel atau dosetaksel

ACT

Doksorubisin, diikuti dengan CMF (siklofosfamid, metotreksat, 5-fluorourasil)

ACMF

Siklofosfamid, epirubisin, 5-fluorourasil, dengan atau tanpa dosetaksel

FEC(D) (CEF(D))

Dosetaksel, siklofosfamid

TC

Gemsitabin, paklitaksel

GT

Agen kemoterapi lainnya Karboplatin Sisplatin Vinorelbin Kapesitabin

40

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


Gambar 1. Sistem Perdarahan Kelenjar Payudara [6]

pada

Gambar 2. Metoda Terapi Kemosaturasi yang Telah Dilakukan pada Pengobatan Kanker Hati [9] 2.3. Analisis Metoda Kemosaturasi pada Kanker Payudara Kelenjar payudara (mammary glands) kaya akan suplai pembuluh darah yang berasal dari arteri dan vena. Terdapat empat arteri yang menyuplai darah pada kelenjar B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

payudara, yaitu: arteri torakalis interna, arteri torakalis lateral, arteri interkostalis dan arteri torakoakromial.[7] Cabang dari arteri torakalis interna menembus ruang antara iga dua, tiga, dan empat untuk memperdarahi setengah dari bagian medial payudara. Arteri ini menembus sampai otot-otot interkostalis dan membran interkostalis anterior untuk mensuplai otot-otot pektoralis mayor dan pektoralis minor di kedua payudara. Cabang-cabang kecil interkostalis anterior juga mensuplai darah untuk payudara bagian medial. Di daerah lateral, payudara disuplai oleh cabang dari arteri aksilaris dan arteri torakalis lateral. Cabang dari arteri aksilaris adalah arteri-arteri torakoakromial, kemudian bercabang lagi menjadi ateri pektoralis.[7] Aliran balik pembuluh vena dari kelenjar payudara mengikuti aliran arteri secara berlawanan. Darah kembali menuju vena cava melalui vena aksilaris dan vena torakalis interna. Selain itu, darah juga kembali ke vena cava melalui pleksus vertebralis.[7] Prosedur biasanya dilakukan pada pasien yang telah dianestesi umum. Dibutuhkan pula antikoagulasi pada saat dilakukan terapi. Sebuah kateter infus dimasukkan ke pembuluh darah arteri yang mengalir langsung ke kelenjar payudara, yaitu: arteri torakalis interna dan arteri torakalis lateral. Vena torakalis interna dan lateral lalu dikanulasi dan double-baloon kateter lalu dimasukkan ke vena-vena tersebut. Baloon lalu dipompa dan diposisikan sedemikian rupa agar darah mengalir memasuki kateter ini melalui vena. Obat kemoterapi dengan dosis tinggi lalu diinfusikan secara langsung ke dalam darah melalui arteri torakalis interna dan lateral selama periode waktu 60 menit. Selama waktu ini, darah akan meninggalkan jaringan kelenjar payudara melalui sebuah sistem filtrasi yang akan menghilangkan hampir seluruh obat kemoterapi sebelum darah dikembalikan ke peredaran darah melalui sebuah kateter.[8] 2.4. Metoda Kemosaturasi pada Kanker Hati Metoda kemosaturasi yang sama telah efektif dilakukan pada pengobatan kanker hati. Prosedur yang dilakukan dengan memasang kateter infus dan memasukkannya ke dalam arteri femoral yang mengarah ke arteri hepatika. Vena femoral kemudian dikanulasi dan balon kateter dimasukkan melalui inferior vena cava dan melalui vena-vena hepatika. Balon lalu dipompa dan diposisikan sedemikian rupa sehingga darah meninggalkan hati melalui

41


vena hepatika memasuki kateter ini dan tidak memasuki peredaran darah sistemik. Dosis tinggi dari obat kemoterapi lalu dimasukkan secara langsung ke hati melalui kateter infus arteri hepatika selama periode 30 – 60 menit.[8] Hal-hal yang perlu dipertimbangkan kemudian adalah perbedaan antara sistem perdarahan pada organ hati dan kelenjar payudara. Perbedaan ini meliputi diameter dan percabangan dari pembuluh-pembuluh darah di antara kedua organ. Cara yang dapat dilakukan untuk menjadikan metoda terapi ini efektif pada pengobatan kanker payudara adalah dengan memodifikasi peralatan-peralatan yang digunakan dalam terapi kemosaturasi ini. Dengan menggunakan metoda yang sama pada pengobatan kanker payudara untuk memperoleh hasil yang kurang lebih sama dan dapat mengungguli metoda umum yang masih digunakan dan akhirnya, dapat meningkatkan keberlangsungan hidup pasien.[8] 3. KESIMPULAN Dengan memodifikasi peralatan yang digunakan, memperkecil ukuran inflated balloon untuk mengisolasi aliran darah ke jaringan payudara, dan mengontrol konsentrasi obat yang digunakan, jaringan kanker dapat menunjukkan perlambatan dari progresi kanker dan dapat berpotensi meningkatkan keberlangsungan hidup pasien. DAFTAR PUSTAKA [1]. Lakshmi R, Athira R, Mary, JT, Vijayalakshmi S. “Breast Cancer Risk Factors: Preventable and Non-Preventable.” In-

42

ternational Research Journal of Pharmacy 3:10 (2012): 48-52. [2]. Harbeck N, Salem M, Nitz U, Gluz O, Liedtke C. “Personalized Treatment of Early-Stage Breast Cancer: Present Concepts and Future Directions.” Cancer Treatment Reviews 36 (2010): 584 – 594. [3]. Marsh S, Liu G. “Pharmacokinetics and Pharmacogenomics in Breast Cancer Chemotherapy.” Advanced Drug Delivery Reviews 61 (2009): 381 – 389. [4]. Schiff E, Ben-Arye, E. “Complementary Therapies for Side Effects of Chemotherapy and Radiotherapy in the Upper Gastrointestinal System.” European Journal of Integrative Medicine 3 (2011): 11 – 16. [5]. American Cancer Society. Breast Cancer. American Cancer Society, 2014. [6]. Dashner, Roger A. Clinical Anatomy of the Breast. Ohio University College of Health Sciences and Professions, 2012. [7]. Poggi MM, Kathleen H. The Breast. In: Decherney, Allan H., Laurent Nathan, T. Murphy Goodwin, Neri Laufer., eds. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecologic. Edisi kesepuluh. North America: McGraw-Hill, 2003. [8]. National Institute for Health and Care Excellence. Chemosaturation via Percutaneous Hepatic Artery Perfusion and Hepatic Vein Isolation for Primary Metastatic Liver Cancer. NICE Interventional Procedure Guidance, 2014, 488. [9]. “Chemosat”. Delcath Systems, Inc. 2012. <http://www.chemosat.com/about/ diakses pada 22 Januari 2014, 23.40.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


Tinjauan Pustaka

KAYU SECANG (Caesalpinia sappan L.) SEBAGAI AGEN KEMOPREVENTIF DENGAN MENGHAMBAT ANGIOGENESIS YANG DIINDUKSI OLEH iNOS Jabal Rahmat Hedar Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar Corresponding author’s email : jabalgang@gmail.com

ABSTRAK Pendahuluan: Berbagai buah dan sayuran yang banyak mengandung antioksidan disarankan untuk rutin dikonsumsi dalam rangka menurunkan prevalensi kanker. Telah dilaporkan bahwa senyawa hasil isolasi dari secang memperlihatkan aktivitas antioksidan melawan Reactive Oxygen Spesies (ROS) yang potensial memicu aktifitas dan ekspresi iNOS pada pembentukan tumor. Namun mekanisme antioksidan dalam melawan ROS belum diketahui secara pasti. Artikel ini bermaksud memaparkan kemungkinan mekanisme kerja dari secang (Caesalpinia sappan L.), dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan malignansi kanker. Pembahasan: Tumor termasuk angiogenesis dependent disease. Sehingga terapi antiangiogenik yang menargetkan salah satu komponen dari penentu perubahan angiogenesis akan sangat membantu dalam mengontrol pertumbuhan dan metastasis tumor. Berbagai studi telah melaporkan peran penting dari iNOS dalam angiogenesis, sehingga diprediksi bahwa asupan makanan dan nutrisi yang mampu menghambat ekspresi iNOS juga akan mampu mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumor. Senyawa-senyawa antioksidan yang dikandung dalam kayu secang dapat mencegah terbentuknya pembuluh darah baru bagi tumor. Kesimpulan: Mekanisme kerja dari senyawa-senyawa tersebut diduga dengan menghambat aktifitas dan ekspresi dari enzim iNOS yang distimulasi oleh senyawa radikal bebas (ROS) dalam tubuh sehingga VEGF dan NO (yang diinduksi iNOS) tidak dapat bekerja dalam memicu angiogenesis. Kata Kunci: Kemopreventif, Growth factor, Angiogenesis, Caesalpinia sappan L., iNOS ABSTRACT Background: Various fruits and vegetable which contain antioxidants are recommended to regularly consumed in order to reduce the prevalency` of cancer. It has been reported that the isolated compounds from secang showed antioxidant activity against Reactive Oxygen Species (ROS) are potential triggers iNOS activity and expression in forming tumors. However, antioxidant mechanisms against ROS is not explainable.This article intends to describe the possibility of the mechanism of action of secang (Caesalpinia sappan L.), in suppressing the growth and development of cancer malignancy. Discussion: tumors are the angiogenesis-dependent disease. The anti-angiogenic therapy that targets a component from determining the change of angiogenesis will be helpful in controlling the growth and metastasis of tumors. Various studies have reported the important role of iNOS in angiogenesis, thus predicted that the intake of foods and nutrients that inhibit the expression of iNOS also be able to control the growth and the development of tumors. Antioxidant compounds contained in secang wood can prevent the formation of new blood vessels to tumors. Conclusion: The mechanism of action from these compounds is suspected to inhibit the activity and expression from iNOS enzyme stimulated by free radicals (ROS) in the body,therefore VEGF and NO (induced iNOS) may not work in triggering angiogenesis. Keyword: Chemoprevention, Growth factor, Angiogenesis, Caesalpinia sappan L., iNOS

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

43


1. PENDAHULUAN Caesalpinia sappan L. atau lebih dikenal dengan secang, merupakan salah satu tanaman tropis yang sudah sejak lama dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai rempah dalam berbagai hidangan. Selain itu, secang juga digunakan secara empiris dalam membantu mengobati berbagai macam penyakit dan kelainan yang mereka alami. Aksi farmakologi secang juga telah dibuktikan dari beberapa penelitian diantaranya seperti, agen relaksasi pembuluh darah[1], analgetik[2], hipoglikemik[3], antiinflamasi[4], antikonvulsan[5], antiosteoporosis[6] antibakteri[7,8], anti virus[9], sitotoksik [10,11], dan antioksida.[12] Hu dkk.[13] melaporkan beberapa senyawa hasil isolasi dari secang seperti Brazilein, Protosappanin A, dan Protosappanin B memperlihatkan aktifitas antioksidan melawan Reactive Oxygen Spesies (ROS) secara In Vitro yang merupakan senyawa radikal bebas dalam tubuh. ROS berperan pada peningkatan oxidative stress, salah satu pemicu pembentukan tumor. [14] Konsep kemopreventif dalam terapi kanker merujuk pada suatu usaha pencegahan pertumbuhan dan perkembangan sel termutasi menjadi kanker malignan.[15] Pada perkembangan malignansi, sel kanker bertumbuh dengan sangat cepat dan tidak terkendali sehingga membutuhkan banyak asupan nutrisi dan oksigen. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sel kanker mengeluarkan sitokin- sitokin berupa growth factor yang akan memicu terbentuknya pembuluh darah baru yang ekslusif untuk dirinya.[16] Proses ini disebut Angiogenesis, dan berperan penting dalam kehidupan sel kanker.[17] Salah satu bentuk kemopreventif adalah menghambat Proses Angiogenesis, dengan demikian dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel kanker. Beberapa growth factor yang dilaporkan menginduksi terbentuknya angiogenesis pada sel kanker adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), matrix metalloproteinases (MMP), transforming growth factor beta-1 (TGFβ1), epidermal growth factor (EGF), dan angiopoitein-1. Selain sitokin berupa growth factor, juga telah dilaporkan mengenai peran iNOS, sebuah epigenetik, sebagai pemicu terbentuknya angiogenesis. [18] Sehingga senyawa-senyawa yang dapat mengeridikasi pencetus sitokin dan/atau epigenetik juga berarti dapat menghambat terbentuknya pembuluh darah baru (angiogenesis). Berbagai buah dan sayuran yang banyak mengandung antioksidan disarankan untuk rutin dikonsumsi dengan maksud dapat

44

menurunkan prevalensi kanker.[19] Namun mekanisme mengenai bagaimana mereka berefek belum diketahui secara pasti. Tulisan ini bermaksud memaparkan kemungkinan mekanisme kerja dari secang (Caesalpinia sappan L.), dalam menekan pertumbuhan dan perkembangan malignansi kanker. 2. PEMBAHASAN 2.1. Kemopreventif Kanker Istilah kanker selalu dikaitkan dengan perkembangan sel yang tidak terkendali dan berimpas pada kerusakan jaringan tempatnya bertumbuhkembang, mendorong banyak penelitian mengarah kepada pengujian dan pengembangan obat-obat sitotoksik yang bertujuan membunuh sel kanker secara langsung. Sayangnya, kebanyakan obat-obatan sitotoksik tidak selektif sehingga juga menyerang sel normal pada berbagai organ dan jaringan tubuh. Reaksi iatrogenik sepeti ini sering terjadi pada kemoterapi utamanya pada sel-sel di saluran cerna, sum-sum tulang belakang, jantung, paru-paru, ginjal dan otak. Kanker merupakan manifestasi akhir sebuah penyakit kronik dari pertumbuhan dan perkembangan sel yang tidak normal dan membentuk sebuah jaringan baru dalam tubuh, bahkan proses perkembangannya bisa menjadi infasif dan metastasis ke jaringan tubuh lain. Untuk mencapai hingga fase ini, sel kanker membutuhkan waktu yang cukup lama dan melalui proses yang kompleks, sehingga kita harus lebih fokus mengupayakan dalam mengontrol karsinogenesis dibandingkan menyerang fase akhir dari kanker itu sendiri. Tentu akan lebih mudah memperbaiki sesuatu hal yang belum terlalu parah rusaknya dan dalam jumlah yang lebih sedikit. Sayangnya, pandangan ini tidak banyak dialokasikan pada penelitian dalam memerangi kanker. Konsep kemopreventif kemudian muncul sebagai solusi pendekatan farmakologi untuk menginterfensi kesatuan proses yang terjadi saat karsinogenesis, dan menghambat tumbuh kembang sel kanker menuju ke fase akhir sebagaimana yang dimaksud sebelumnya. Karsinogenesis diatur oleh mutasi dan banyak variabel epigenetik terkait dengan pengaturan kerja autokrin, parakrin dan endokrin yang merupakan faktor penting dalam periode laten selama kurang lebih 20 tahun sebelum terjadinya infasif dan metastasis. Modulasi farmakologi di jalur ini merupakan target efektif dari obat ataupun micronutrient yang dapat menghambat kerusakan DNA, lebih lanjut memberikan potensi mencegah terjadinya kanker.[15]

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


2.2. Angiogenesis Angiogenesis dapat diartikan sebagai pertumbuhan pembuluh darah baru dalam tubuh. Fenomena ini bisa terjadi dalam dua kondisi, yakni pada kondisi normal (Angiogenesis Fisiologis) dan pada kondisi tidak normal (Angiogenesis Patologis). Angiogenesis fisiologis berlangsung selama proses normal dalam tubuh, seperti reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan embrio, serta pada penyembuhan luka. Ciri umumnya terlokalisasi di suatu jaringan dan dibatasi waktu. [20] Pada umumnya angiogenesis fisiologis merujuk kepada perkembangan pembuluh darah mikro yang ukurannya mirip dengan pembuluh darah kapiler, dari sebuah proses normal yang diatur oleh keseimbangan antara stimulasi (growth factor) dan inhibisi angiogenik.[21] Sedangkan angiogenesis patologis bertujuan untuk “memberi makan� kepada jaringan penyakit melalui pembuluh darah eksklusif dan juga bertujuan untuk merusak jaringan sehat dengan memonopoli nutrisi dan oksigen. Berbeda dengan angiogenis fisiologis, pembentukan pembuluh darah baru pada kondisi ini bisa berlangsung bertahun-tahun dan menunjukkan gejala klinis. Regulasi antara senyawa stimulan dan inhibitor menjadi tidak terkendali, terdapat banyak sekresi sitokin growth factor dan penghambatan sekresi inhibitor angiogenesis. 2.3. Angiogenesis dan kanker Tumor dengan ukuran diameter yang lebih kecil dari 1-2 mm memenuhi kebutuhan nutrisi dan oksigennya cukup lewat cara difusi dari pembuluh darah sekitarnya. [22] Dengan bertambahnya ukuran dari tumor akan berdampak pada peningkatan kebutuhan nutrisi, oksigen, growth factor, juga bertambahnya produksi hasil metabolisme sel kanker. Suplai kebutuhan sel yang tidak memadai untuk berproliferasi, membuat sebagian dari badan sel tumor ber-kadar glokusa rendah, ber-pH rendah, konsentrasi oksigen rendah, dan mengarah kepada menyusutnya ukuran tumor atau bahkan kematian sel (apoptosis/nekrosis).[16,22] Demi menjamin keberlangsungan hidupnya, sel tumor mengembangkan jaringan pembuluh darah sendiri dengan mengubah fungsi angiogenesis fisiologis untuk membuat pembuluh darah baru eksklusif bagi sel tumor. Perubahan fungsi angiogenesis seperti ini juga merupakan salah satu contoh angiogenesis patologis. Indikator dari perubahan fungsi angiogenesis adalah meningkatnya stimulasi angiogenik, vascular endothelial growth factor (VEGF), basic fibroblast growth factor (bFGF), ma-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

trix metalloproteinase (MMP), transforming growth factor beta-1 (TGFβ1), epidermal growth factor (EGF), dan angiopoitein-1; atau menurunnya inhibitor angiogenik, thrombospondin-1 (TSP-1) , angiostatin, dan endostatin; dan/atau kombinasi keduanya.[23] Tumor termasuk angiogenesis dependent disease. Oleh karena itu, terapi anti-angiogenik yang menargetkan salah satu komponen dari penentu perubahan angiogenesis akan sangat membantu dalam mengontrol pertumbuhan dan metastasis tumor. Angiogenik utama yang diketahui mempunyai peran kritis dalam proses ini adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) dengan memfasilitasi rekruitmen sel endotel baru dari sum-sum tulang (24). Oleh karena itu, penghambatan stimulasi VEGF akan menghambat perubahan fungsi angiogenesis dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan tumor. 2.4. Penghambatan Angiogenesis lewat iNOS Nitrit Nitrit Oksida (NO) diproduksi dalam tubuh oleh family enzim sintase nitrit oksida (NOS), yang mengubah L-arginin menjadi sitrullin dengan bantuan NADPH dan oksigen. NO adalah molekul gas anorganik dilaporkan sebagai salah satu faktor angiogenik potensial.[25] Terdapat tiga gen NOS di tubuh manusia, yakni : (a) NOS1, berperan pada sel saraf, rangka, dan sel otot jantung, terletak di kromosom 12, (b) NOS2, berperan dalam berbagai jenis sel, juga dikenal sebagai iNOS dan (c) NOS3, berperan pada sel endotel dan terletak di kromosom 7.iNOS (dalam nano mol) mensintesis NO ribuan kali lebih banyak dibandingkan dengan hasil sintesis oleh NOS1 dan NOS3. Ketiga enzim ini juga diekspresikan pada banyak sel kanker dan yang paling dominan adalah iNOS.[26] Senyawa NO hasil sintesis enzim iNOS pun akan memfasilitasi proses neovascularization, oleh karena itu jalur ini dapat menjadi target potensial dalam mengontrol angiogenesis tumor. Karakteristik pro-angiogenik yang dihasilkan iNOS yaitu meningkatnya permeabilitas vaskuler, oksigenasi, aliran darah, sekresi dan ekspresi sitokin, serta pertumbuhan dan penebalan kapiler darah.[25,26] Eksperesi enzim iNOS pada tumor juga dilaporkan lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan normal disekitarnya sehingga hal ini memberikan implikasi hubungan positif antara potensi angiogenik dan potensi metastasis dari tumor. [26,27]

Studi terbaru melaporkan bahwa penghambatan iNOS akan menghambat tumoru-

45


genesis pada paru-paru mencit yang diinduksi karsinogen, disertai dengan menurunnya kadar VEGF.[29] Berbagai studi juga telah melaporkan peran penting dari iNOS dalam angiogenesis, sehingga bisa diprediksi bahwa asupan makanan dan nutrisi yang mampu menghambat ekspresi iNOS juga akan mampu mengontrol pertumbuhan dan perkembangan tumor.[18] 2.5. Potensi Secang dalam Penghambatan Ekspresi iNOS Secang (Caesalpinia sappan L.) merupakan tumbuhan yang banyak hidup di daerah tropis Asia, termasuk di Indonesia. Bagian tanaman yang paling sering digunakan adalah batang kayu yang telah dikuliti dan dikeringkan. Di Indonesia sendiri kayu secang digunakan dalam berbagai keperluan seperti sebagai rempah, dan dikonsumsi sebagai teh secang yang secara empirik memiliki banyak manfaat untuk kesehatan tubuh manusia. Salah satu maksud penggunaan secang adalah untuk mencegah serangan kanker. Hal ini tentu beralasan mengingat beberapa penelitian mengungkapkan efek ekstrak secang sebagai agen sitotoksik dan antiproliveratif. Seperti yang dilaporkan Park dkk.() mengenai efek sitotoksik dari ekstrak methanol secang terhadap hepatocellular carcinoma cell lines (Hep3B dan HepG2) dengan nilai IC50, 11 µg/ml. Selain itu Ueda dkk.() juga melaporkan efek antiproliveratif dari ekstrak secang terhadap human HT-1080 fibrosarcoma cells dan murine Lewis lung carcinoma (LLC) dengan nilai EC50, 15,8 µg/ml. Walaupun belum dielusidasi, namun kemungkinan besar efek sitotoksik dan antiproliveratif dari secang ditengarai oleh aktivitas antioksidannya. Antioksidan merupakan salah satu manfaat yang paling utama dari kayu secang. Kemampuan anti oksidan dari kayu secang berasal dari kandungan senyawa fenolik yang mampu menetralkan senyawa radikal bebas dan menghambat enzim yang bertanggung jawab dalam produksi senyawa radikal bebas. Beberapa senyawa fenolik yang telah diisolasi dari Caesalpinia sappan L, diantaranya homoisofalvonoid dan senyawa turunannya, protosappanin A, protosappanin B, brazilin, dan Brazilein. [12.30]

Senyawa radikal bebas atau disebut juga sebagai Reactive oxygen species (ROS), diproduksi oleh beberapa sistem intraseluler, seperti siklooksigenase, lipoksigenase, sitokrom P450, respirasi mitokondria, oksidase NADPH dan oksidase senyawa xantin, pada berbagai kondisi tubuh baik fisi-

46

ologis normal maupun konsidi patologis seperti inflamasi, iskemia, repurfusi, sepsis dan iradiasi ion. Senyawa ROS yang paling utama adalah anion superoksida (O2-), radikal hidroksi (OH-) dan hydrogen peroksida (H2O2). Senyawa-senyawa ini diketahui mampu meningkatkan fosforilasi protein[31,32] dan mengaktifkan faktor transkripsi NF-ҡB[33,34]. Pada kondisi yang sama, makrofag juga akan memproduksi H2O2, mengaktifkan NF-ҡB dan mengakibatkan peningkatan ekspresi iNOS sehingga terjadi peningkatan produksi NO.[35] Dari berbagai hasil studi diatas dapat diketahui peran penting dari ROS dalam tahapan transduksi sinyal mitogenik untuk menghasilkan beberapa growth factor termasauk yang bersifat angiogenik.[36.37] Efek antioksidan dari ekstrak kayu secang dan senyawa isolat protosappanin A, protosappanin B, dan Brazilein telah dibuktikan secara in vitro[13] dengan profil penghambatan yang berbeda, dimana senyawa isolat protosappanin A, protosappanin B memperlihatkan aktifitas antioksidan terhadap H2O2; sedangkan Brazilein memperlihatkan aktifitas terhadap OH-. Polytarchou dan Papadimitriou[38] menegaskan peran dari ROS (O2- dan H2O2), terhadap angiogenesis yang diinduksi oleh ekspresi dan aktifitas iNOS secara in vivo menggunakan model chicken embryo chorioallontoic membrane (CAM) assay. Pembentukan angiogenesis meningkat selaras dengan meningkatnya ekspresi dan aktifitas enzim iNOS serta produksi NO (sebagai hasil sintesis enzim iNOS) sedangkan setelah penetralan H2O2 dan OH- memperlihatkan penurunan ekspresi dan aktifitas keduanya, sehingga dapat diduga peran penting H2O2 dan OH dalam mengontrol angiogenesis lewat pengaturan ekspresi dan aktifitas enzim iNOS. 3. KESIMPULAN Kemopreventif menjadi salah satu kunci sukses dalam mengontrol perkembangan dan malignansi tumor, mengingat banyaknya kerugian-kerugian yang ditimbulkan akibat efek samping dari kemoterapi. Ketidakselektifan dari obat-obat sitotoksik berdampak kepada ketidaknyamanan pasien bahkan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Mengonsumsi buah-buahan atau sayuran yang kaya antioksidan merupakan pilihan yang banyak dilakukan oleh masyarakat guna menurunkan prevalensi kanker. Salah satu pilihan efektif adalah dengan denga rutin mengonsumsi teh secang. Senyawa-senyawa antioksidan yang dikandung dalam kayu secang dapat mencegah terbentuknya pembuluh darah baru bagi tumor. Mekanisme kerja dari senyawa-senya-

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015


wa tersebut diduga dengan menghambat aktifitas dan ekspresi dari enzim iNOS yang distimulasi oleh senyawa radikal bebas (ROS) dalam tubuh sehingga VEGF dan NO (yang diinduksi iNOS) tidak dapat bekerja dalam memicu angiogenesis. Daftar Pustaka [1]. Hu CM, Kang JJ, Lee CC, Li CH, Liao JW, Cheng YW. “Induction of vasorelaxation through activation of nitric oxide synthase in endothelial cells by brazilin.” Eur J Pharmacol 468:1 (2003): 37–45. [2]. Oh GT, Choi JH, Hong JJ, Kim DY, Lee SB, Kim JR, et al. “Dietary hematein ameliorates fatty streak lesions in the rabbit by the possible mechanism of reducing VCAM-1 and MCP1 expression.” Atherosclerosis 159:1 (2001):17–26. [3]. Sudeep Parameshwar KKS. “Oral Antidiabetic Activities of Different Extracts of Caesalpinia bonducella Seed Kernels.” Pharm Biol 40:8 (2002): 590–5. [4]. Hong CH, Hur SK, Oh O-J, Kim SS, Nam KA, Lee SK. “Evaluation of natural products on inhibition of inducible cyclooxygenase (COX-2) and nitric oxide synthase (iNOS) in cultured mouse macrophage cells.” J Ethnopharmacol 1:2 (2002): 153–9. [5]. Baek NI, Jeon SG, Ahn EM, Hahn JT, Bahn JH, Jang JS, et al. “Anticonvulsant compounds from the wood of Caesalpinia sappan L.” Arch Pharm Res 23:4 (2000): 344–8. [6]. Rifai Y, Subehan, Mufidah. “Karakterisasi dan Uji Antiosteoporosis Ekstrak Kayu Secang (Caesalpinia sappan).”, 2012. Universitas Hasanuddin. 25 November 2014. <http://repository. unhas.ac.id/handle/123456789/3489> [7]. Kim K-J, Yu H-H, Jeong S-I, Cha J-D, Kim S-M, You Y-O. “Inhibitory effects of Caesalpinia sappan on growth and invasion of methicillin-resistant Staphylococcus aureus.” J Ethnopharmacol 91:1 (2004): 81–7. [8]. Woldemichael GM, Singh MP, Maiese WM, Timmermann BN. “Constituents of antibacterial extract of Caesalpinia paraguariensis Burk.” Z Für Naturforschung C J Biosci 58:1-2 (2003): 70–5. [9]. Chiang LC, Chiang W, Liu MC, Lin CC. “In vitro antiviral activities of Caesalpinia pulcherrima and its related flavonoids.” J Antimicrob Chemother 52:2 (2003): 194–8. [10]. Kap Joo Park SY. “Cytotoxic Effects of Korean Medicinal Herbs determined

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015

with Hepatocellular Carcinoma Cell Lines.” 40:3 (2008):189–95. [11]. Ueda J, Tezuka Y, Banskota AH, Le Tran Q, Tran QK, Harimaya Y, et al. “Antiproliferative activity of Vietnamese medicinal plants.” Biol Pharm Bull 25:6 (2002): 753–60. [12]. Badami S, Moorkoth S, Rai SR, Kannan E, Bhojraj S. “Antioxidant activity of Caesalpinia sappan heartwood.” Biol Pharm Bull 26:11 (2003): 1534–7. [13]. Hu J, Yan X, Wang W, Wu H, Hua L, Du L. “Antioxidant Activity In Vitro of Three Constituents from Caesalpinia sappan L.” Tsinghua Sci Technol 13:4 (2008): 474–9. [14]. Pervin S, Tran L, Urman R, Braga M, Parveen M, Li SA, et al. “Oxidative stress specifically downregulates survivin to promote breast tumour formation.” Br J Cancer. 108:4 (2013): 848–58. [15]. Sporn MB, Suh N. “Chemoprevention of cancer.” Carcinogenesis 21:3 (2000): 525–30. [16]. Gimbrone MAJ, Leapman SB, Cotran RS, Folkman J. “Tumor dormancy in vivo by prevention of neovascularization.” J Exp Med 136:2 (1972): 261–76. [17]. Brem S, Brem H, Folkman J, Finkelstein D, Patz A. “Prolonged tumor dormancy by prevention of neovascularization in the vitreous.” Cancer Res 36:8 (1976):2807–2812. [18]. Singh RP, Agarwal R. “Inducible nitric oxide synthase-vascular endothelial growth factor axis: a potential target to inhibit tumor angiogenesis by dietary agents.” Curr Cancer Drug Targets 7:5 (2007): 475–83. [19]. Dragsted LO, Strube M, Larsen JC. “Cancer-protective factors in fruits and vegetables: biochemical and biological background.” Pharmacol Toxicol 72:1 (1993): 116–35. [20]. Folkman J. “Angiogenesis: an organizing principle for drug discovery?” Nat Rev Drug Discov. 6:4 (2007): 273–86. [21]. Sholley MM, Ferguson GP, Seibel HR, Montour JL, Wilson JD. “Mechanisms of neovascularization. Vascular sprouting can occur without proliferation of endothelial cells.” Lab Investig J Tech Methods Pathol 51:6 (1984): 624–34. [22]. Vaupel P, Kallinowski F, Okunieff P. “Blood flow, oxygen and nutrient supply, and metabolic microenvironment of human tumors: a review.” Cancer Res 49:23 (1989): Dec 1;49(23):6449–65. [23]. Bouck N, Stellmach V, Hsu SC. “How tumors become angiogenic.” Adv Can-

47


cer Res 69 (1996): ;69:135–74. [24]. Rafii S, Heissig B, Hattori K. “Efficient mobilization and recruitment of marrow-derived endothelial and hematopoietic stem cells by adenoviral vectors expressing angiogenic factors.” Gene Ther 9:10 (2002): May;9(10):631–41. [25]. Morbidelli L, Donnini S, Ziche M. “Role of nitri c oxide in tumor angiogenesis.” Cancer Treat Res 117 (2004): 155–67. [26]. Xu W, Liu LZ, Loizidou M, Ahmed M, Charles IG. “The role of nitric oxide in cancer.” Cell Res 12:5-6 (2002): 311–20. [27]. Liu CY, Wang CH, Chen TC, Lin HC, Yu CT, Kuo HP. “Increased level of exhaled nitric oxide and up-regulation of inducible nitric oxide synthase in patients with primary lung cancer.” Br J Cancer 78:4 (1998): 534–41. [28]. Fukumura D, Gohongi T, Kadambi A, Izumi Y, Ang J, Yun CO, et al. “Predominant role of endothelial nitric oxide synthase in vascular endothelial growth factorinduced angiogenesis and vascular permeability.” Proc Natl Acad Sci U S A 98:5 (2001): Feb 2604–9. [29]. Kisley LR, Barrett BS, Bauer AK, Dwyer-Nield LD, Barthel B, Meyer AM, et al. “Genetic ablation of inducible nitric oxide synthase decreases mouse lung tumorigenesis.” Cancer Res 62:23 (2002): 6850–6. [30]. Safitri R, Tarigan P, Freisleben HJ, Rumampuk RJ, Murakami A. “Antioxidant activity in vitro of two aromatic compounds from Caesalpinia sappan L.” BioFactors Oxf Engl 19:1-2 (2003): 71–7. [31]. Ushio-Fukai M, Alexander RW, Akers M, Griendling KK. “p38 Mitogen-activated protein kinase is a critical component of the redox-sensitive signaling pathways activated by angiotensin II. Role in vascular smooth muscle cell hypertrophy.” J Biol Chem. 273:24 (1998): 15022–9. [32]. Frank GD, Eguchi S, Yamakawa T, Tanaka S, Inagami T, Motley ED. “Involvement

48

of reactive oxygen species in the activation of tyrosine kinase and extracellular signal-regulated kinase by angiotensin II.” Endocrinology 141:9 (2000): 3120–6. [33]. Clerk A, Fuller SJ, Michael A, Sugden PH. “Stimulation of “stress-regulated” mitogen-activated protein kinases (stress-activated protein kinases/c-Jun N-terminal kinases and p38-mitogenactivated protein kinases) in perfused rat hearts by oxidative and other stresses.” J Biol Chem 273:13 (1998): 7228–34. [34]. Meyer M, Schreck R, Baeuerle PA. “H2O2 and antioxidants have opposite effects on activation of NF-kappa B and AP-1 in intact cells: AP-1 as secondary antioxidant-responsive factor.” EMBO J 12:5 (1993): May;12(5):2005–15. [35]. Han YJ, Kwon YG, Chung HT, Lee SK, Simmons RL, Billiar TR, et al. “Antioxidant enzymes suppress nitric oxide production through the inhibition of NF-kappa B activation: role of H2O2 and nitric oxide in inducible nitric oxide synthase expression in macrophages.” Nitric Oxide Biol Chem Off J Nitric Oxide Soc 5:5 (2001): ;5(5):504–13. [36]. Wang Z, Castresana MR, Newman WH. “Reactive oxygen and NF-kappaB in VEGF-induced migration of human vascular smooth muscle cells.” Biochem Biophys Res Commun 285:3 (2001): Jul 20;285(3):669–74. [37]. Lin M-T, Yen M-L, Lin C-Y, Kuo M-L. “Inhibition of vascular endothelial growth factor-induced angiogenesis by resveratrol through interruption of Src-dependent vascular endothelial cadherin tyrosine phosphorylation.” Mol Pharmacol 64:5 (2003): Nov;64(5):1029–36. [38]. Polytarchou C, Papadimitriou E. “Antioxidants inhibit angiogenesis in vivo through down-regulation of nitric oxide synthase expression and activity.” Free Radic Res 38:5 (2004): 501–8.

B I M F I Volume 3 No.1 | Januari - Juni 2015



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.