Bimgi edisi 2

Page 1



SUSUNAN KEPENGURUSAN Pelindung: Prof. Dr. dr Kusharisupeni Djokosujono, M.Sc Pimpinan redaksi Aidah Auliyah, S.Gz Sekretaris Umum Friska Arthalina T Dewan redaksi Tony Arjuna, S.Gz Adila Prabasiwi, SKM Saskia Piscesa, S.Gz Mutia Imro A ,S.Gz Mutia Anggun Sayekti Rujito Lini Anisfatus Sholihah Fadilla Ajani Tata letak dan ilustrasi jurnal Fitya Shafira Apriyan Pratama Keuangan Mega Dwi Kartika Promosi Ratu Tatya Rachman Adila Fahmida Saptari Novia Akmaliyah Rudianto Desy Prima Lestari Mief Qurani Baiq Fitria Rio Aditya

BIMGI | Volume 1 Nomor 2| Juni 2013

[i]


SALAM REDAKSI Salam hangat untuk mahasiswa gizi seluruh Indonesia! Perkenalkan, saat ini telah hadir jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi di seluruh Indonesia. Jurnal elektronik yang bernama Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi (BIMGI) ini juga merupakan bagian dari Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan (BIMKES) yang merupakan pusat pangkalan jurnal elektronik dari tujuh organisasi mahasiswa (ormawa) kesehatan di Indonesia. Berdasarkan surat edaran Dikti No. 152/E/T/2012 yang menyatakan bahwa jumlah publikasi karya ilmiah dari Perguruan Tinggi di Indonesia masih terhitung sedikit maka Dikti berharap bahwa setiap mahasiswa harus mempublikasikan artikel ilmiahnya sebagai syarat kelulusan. Menindaklanjuti surat edaran Dikti dan dengan maksud turut mensukseskan program tersebut, maka kami tim penyusun BIMGI menyediakan wadah untuk membangun budaya mempublikasikan tulisan ilmiah para mahasiswa gizi Indonesia. Menulis dan menyajikan jurnal ilmiah yang baik dan mampu dipahami oleh pembaca memang bukanlah hal yang mudah. Diperlukan serangkaian proses yang membutuhkan kerja sama yang solid antara penulis, tim redaksi dan mitra bestari. Oleh karena itu, selaku penyusun , kami mengucapkan terima kasih kepada para penulis yang telah mengirimkan jurnalnya serta kepada mitra bestari yang dengan senang hati memberikan saran perbaikan bagi penulisan jurnal ilmiah yang baik. Semoga dengan adanya BIMGI dapat memicu lahirnya budaya baru dalam mempublikasikan setiap artikel ilmiah agar lebih memberi manfaat bagi dunia ilmu pengetahuan gizi. Kami berharap BIMGI dapat menjadi salah satu referensi dan pemicu munculnya ide-ide kreatif nan cemerlang untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

Salam Semangat, Salam Intelektualitas Muda Pimpinan Redaksi,

Aidah Auliyah, S.Gz

[ii]

BIMGI | Volume 1 Nomor 2| Juni 2013


DAFTAR ISI 1. Pengaruh Suplementasi Micronutrient Sprinkle terhadap Nilai Z score BB/U, TB/U, dan BB/TB pada Anak Stunting usia 12-36 Bulan Nadia Hapsari Oktarina, Martha Irene Kartasur……………………………………………………....1 2. Gambaran Kejadian Kegemukan dan Obesitas serta Perbedaan Pola Konsumsi Sumber Karbohidrat pada Usia Dewasa (>18 Tahun) di Desa Tepus, Yogyakarta dan Kelurahan Cinangka, Jawa Barat Tahun 2012 Rifqah Indri Amalia…………………………………………………………………………………..... 12 3. Gambaran Asupan Zat Gizi, Status Gizi, dan Tingkat Kebugaran Atlet Olahraga Bermain di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP) Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sulawesi Selatan Mustamir Kamaruddin ………………………………………………………………………...…….... 20 4. Fortifikasi Zat Besi pada Permen Belimbing Wuluh dengan Metode Mikroenkapsulasi sebagai Salah Satu Upaya Mengurangi Prevalensi Anemia Gizi Besi pada Anak-Anak Sakinah Ulfiyanti...……………………………………………………………………………………… 29 5. Manfaat Isoflavon dalam Produk Kedelai : Menanggulangi Diabetes serta Mencegah Obesitas dan Osteoporosis Andi Imam Arundhana………... ………………………………………………………………………. 36 6. Suplementasi Vitamin A Dosis Tinggi di Indonesia Anindhita Syahbi Syagata, Silvi Lailatul Mahfida…………………………………………………….41

7. Model Posyandu Swasembada sebagai Upaya Menyelamatkan Anak-Anak Korban Bencana Gunung Merapi Dari Loss Generation Sandy Ardiansyah, Waryana………………………….................................................................. 48

BIMGI | Volume 1 Nomor 2| Juni 2013

[iii]


PENGARUH SUPLEMENTASI MICRONUTRIENT SPRINKLE TERHADAP NILAI Z SCORE TB/U, BB/U, DAN BB/TB PADA ANAK STUNTING USIA 12-36 BULAN Nadia Hapsari Oktarina1, Martha Irene Kartasurya2 1

Departemen Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro

2

Departemen Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro

ABSTRAK Asupan mikronutrien yang kurang merupakan salah satu penyebab masalah gizi di Indonesia, sehingga suplementasi mikronutrien dapat digunakan untuk meningkatkan status gizi balita.Di negara berkembang,suplementasi micronutrientsprinkle telah dilakukan untuk program suplementasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pemberian micronutrient sprinkle terhadap status antropometri indeks BB/U, TB/U dan BB/TB pada anak stunting usia 12-36 bulan. Desain penelitian adalah eksperimental denganpre dan post test dengan control group. Populasi penelitian adalah anak usia 12-36 bulan di Kelurahan Rowosari, Tembalang, Semarang. Lima puluh subjek dari posyandu dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol secara acak.Kelompok perlakuan berupa pemberian 30 bungkusmicronutrient sprinkleselama 60 hari. Kedua kelompok diberi penyuluhan gizi, 2 minggu sekali. Asupan zat gizi diperoleh melalui 3x24 jam recall. Pengukuran BB dan TB dilakukan pada sebelum, 1 bulan dan 2 bulan setelah perlakuan. Analisis data menggunakan Anova dan independent t-test. Rerata BB kelompok perlakuan meningkat dari 9,3 ± 1,3 kg menjadi 9,8 ± 1,2 kg setelah 2 bulan sementara di kelompok kontrol berubah dari 9,3 ± 1,5 kg menjadi 9,4 ± 1,4 kg. Rerata TB kelompok perlakuan dari 76,2 ± 6,2 cm menjadi 79,3 ± 5,5 cm, sedangkan kelompok kontrol dari 76,5 ± 5,9 cm menjadi 78,4 ± 5,8 cm. Rerata peningkatan TB kelompok perlakuan lebih tinggi dari kelompok kontrol.Skor z indeks TB/U pada kelompok perlakuan meningkat dari -3,1 ± 0,7 menjadi -2,5 ± 0,6 dan dari -3,0 ± 0,8 menjadi -2,9 ± 0,9 untuk kelompok kontrol. Rerata peningkatan skor z indeks TB/U pada kelompok perlakuan lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Kata kunci : micronutrient sprinkle, anak stunting usia 12-36 bulan ABSTRACT Micronutrient inadequacy is one of child nutritional problems in Indonesia, thereforemicronutrient supplementation can be used to improve child nutritional status. In developing countries, micronutrient sprinkle has been used for supplementation program. This study aimed to analyze the effect of micronutrient sprinkle supplementation on WAZ, HAZ and WHZ scores of stunting children aged 12-36 months. Experimental design with pre post test andcontrol group was used in this study. Thestudy population was children aged 12-36 months in Rowosari village, Tembalang, Semarang. Fifty subjects from posyandu were divided randomly into treatment and control groups. The treatment group received 30 sachets of micronutrient sprinkle for 60 days. Both groups received nutrition education every 2 weeks. Nutrient intake was measured by 3x24 hour recall. Weight and height were measured at baseline, one and two months after intervention started. Data were analyzed by Anova andindependent t-tests.


The mean body weight of the treatment group increased from 9.3 ± 1.3 kg to 9.8 ± 1.2 kg after 2 months, while in the control group change from 9.3 ± 1.5 kg to 9.4 ± 1.4 kg. The mean height ofthe treatment group increased from 76.2 ± 6.2 cm to 79.3 ± 5.5 cm, while in the control group increased from 76.5 ± 5.9 cm to 78.4 ± 5.8 cm. The mean increase in height in treatment group were higher than the control group. HAZ scoresin the treatment group increased from -3.1 ± 0.7 to -2.5 ± 0.6, while in the control group increased from -3.0 ± 0.8 to -2.9 ± 0.9. The mean HAZ score increase in the treatment group were higher than the control group. Keywords : micronutrient sprinkle, stunting children aged 12-36 months

PENDAHULUAN Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan grafik pertumbuhan yang terhambat terjadi selama periode sebelum dan sesudah kehamilan karena kekurangan zat gizi dalam jangka 1 panjang. Sekitar 43% anak-anak di seluruh dunia menderita stunting. Prevalensi stunting di Indonesia berdasarkan Nutrition and Heath Surveillance Survey (NSS) tahun 2001 yaitu 2 46,6%. Jawa Tengah (2010) memiliki prevalensi balita pendek 17% dan prevalensi untuk balita sangat pendek 16,9%.3Kota Semarang (2011) memiliki prevalensi anak pendek 13,57% dan anak sangat pendek 7,09% sedangkan prevalensi anak stunting di kecamatan Tembalang untuk anak pendek 20,08% dan sangat pendek 20,08%. Faktor penyebab stunting terdiri dari faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung disebabkan karena defisiensi makronutrien serta mikronutrien dan penyakit infeksi yang sering terjadi pada balita, seperti ISPA dan diare. Faktor tidak langsung seperti pendidikan, demografis, ketersediaan pangan dan pelayanan kesehatan.4 Kekurangan asupan zat gizi individu merupakan salah satu penyebab masalah zat gizi dan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak. Defisiensi zat gizi makro memberi dampak terhadap penurunan status gizi dalam kurun waktu yang singkat tetapi defisiensi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) memberi dampak terhadap penurunan status gizi dalam kurun 5,6 waktu yang lebih lama. Studi efikasi menunjukkan bahwa micronutrient sprinkle mampu menurunkan 7,8 anemia secara bermakna. Penelitian di Skotlandia menunjukkan bahwa suplementasi micronutrient sprinkle selama 3 minggu meningkatkan indeks skor zindeks TB/U sebesar 1 SD pada anak usia 6-59 bulan dan mencapai tumbuh kejar 9 sepenuhnya sekitar 2 bulan. Penelitian di Pangkep menunjukkan bahwa pemberian micronutrient sprinkle dengan dosis satu kali

sehari selama 4 bulan meningkatkan status gizi 6 balita (20,7%) dari 29 balita gizi 10 kurang. Kecamatan Tembalang merupakan daerah terpilih untuk penelitian micronutrient sprinklekarena tingginya prevalensi anak stunting di wilayah tersebut. Subjek penelitian adalah balita berusia 12-36 bulan karena prevalensi stunting paling banyak pada usia balita dan pada usia 12 bulan sudah bisa diberi makanan pendamping ASI (MP ASI). METODE Desain penelitian yang digunakan adalah true experimentdengan rancangan pre dan post test with control group. Penelitian dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2012 di Kelurahan Rowosari, Kecamatan Tembalang Semarang. Anak usia 12-36 bulan yang menderita stunting di posyandu Kelurahan Rowosari diikutsertakan dalam penelitian ini. Selanjutnya, 50 subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol secara acak, di akhir penelitian hanya terdapat 20 subjek kelompok perlakuan dan 21 subjek kelompok kontrol, tetapi jumlah tersebut telah memenuhi sampel minimal penelitian. Terdapat 8 subjek drop out dalam penelitian dikarenakan tidak mengikuti prosedur penelitian dan 1 subjek drop out karena subjek pindah tempat tinggal. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu pemberian taburia. Taburia mengandung 16 vitamin dan mineral (vit A 417 mcg, vit B1 0,5 mg, vit B2 0,5 mg, vit B3 0,5 mg, vit B6 5 mg, vit B12 1 mcg, vit D3 5 mcg, vit E 6 mg, vit K 20 mcg, vit C 30 mg, asam folat 150 mcg, asam pantotenat 3 mg, yodium 50 mcg, zat besi 10 mg, seng 6 mg dan selenium 20 mcg). Dosis pemberiannya yaitu 2 hari sekali selama 2 bulan (dihitung manggunakan form daya terima). Variabel terikat adalah status antropometri berupa skor z indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. TB subjek diukur menggunakan microtoisedengan ketelitian 0,1 cm sedangkan BB diukur menggunakan tumbangan digital dengan


ketelitian 0,1 kg. Variabel perancu adalah asupan makan balita(dihitung menggunakan form food recall). Food recall 3x24 jam dilakukan sebelum, pada saat dan setelah perlakuan. Data penyakit diare dan ISPA diperoleh melalui wawancara menggunakanformulir morbiditas, dihitung berdasarkan persentase jumlah hari sakit dibandingkan jumlah hari selama pengamatan (60hari). Kelompok perlakuan dan kontrol diberikan edukasi gizi setiap dua minggu sekali selama penelitan. Normalitas diuji menggunakan Saphiro-Wilk. Perbedaan skor z indeks sebelum, 1 bulan dan 2 bulan setelah intervensi pada masing-masing kelompok diuji dengan Anova. Perbedaan skor z indek santara kedua kelompok diuji dengan independent t-test. Pengujian dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% dan dikatakan signifikan p<0,05. HASIL PENELITIAN Karakterisitik subjek penelitian pada kedua kelompok disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Perlakuan Kontrol (n=20) (n=21) Variabel p Mean ± SD Mean ± SD s Usia 23,4 ± 8,7 24,5 ± 6,5 0,38 (bulan) i TKE 96,1 ± 21,9 98,6 ± 0,776 sebelum 32,7 i TKP 111,8 ± 110,6 ± 0,929 sebelum 37,8 46,6 N % N % p Jenis 13 65 8 38,1 Kelamin 0,885s 7 35 13 61,9 Keterangan:s= uji Chi-square, i= independent t-test

Rerata usia subjek pada kelompok perlakuan 23,4 bulan dan tidak berbeda dengan kelompok kontrol 24,5 bulan. Tidak adanya perbedaan tingkat kecukupan energi dan protein pada kelompok perlakuan dan kontrol sebelum dilakukan penelitian. Tidak ada perbedaan jenis kelamin antara kedua kelompok. Status Antropometri Sebelum dan Setelah Intervensi BB dan TB subjek pada kelompok perlakuan dan kontrol mengalami peningkatan setelah satu dan dua bulan perlakuan tetapi peningkatan ini tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Pada kelompok perlakuan, ada

perbedaan skor z indeks TB/U antara sebelum satu bulan dan dua bulan setelah perlakuan (p=0,03) dari -3,1 ± 0,7 menjadi 2,5 ± 0,6. Selanjutnya uji Post Hoc dengan LSD menunjukkan bahwa antara sebelum dan 2 bulan ada perbedaan signifikan dengan skor z indeks TB/U(p=0,010), sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan yang signifikan. Tidak ada perbedaan skor z indeks BB/U dan BB/TB kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol.Uji perbedaan BB, TB, skor z indeks BB/U, TB/U dan BB/TB sebelum dan setelah intervensi pada kedua kelompok dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh intervensi dapat dilihat pada Tabel 2. Perubahan Status Antropometri Antara Kelompok Perlakuan dan Kontrol Adanya peningkatan TB dan skor z indeks TB/U yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kontrol setelah satu bulan dan dua bulan intervensi. Tidak ada perbedaan peningkatan skor z indeks BB/U dan BB/TB yang bermakna (p>0,05). Perbedaan perubahan BB, TB, skor z indeks BB/U, TB/U dan BB/TB antara kelompok perlakuan dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 3. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Sebelum dan Setelah Intervensi Pada kelompok perlakuan, ada perbedaan tingkat kecukupan energi antara sebelum, satu bulan dan dua bulan (p=0,024) selanjutnya uji Post Hoc dengan LSD menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara sebelum dan satu bulan (p=0,036) serta sebelum dan dua bulan intervensi (p=0,010), sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada perbedaan. Tidak ada perbedaan tingkat kecukupan protein pada kelompok perlakuan maupun kontrol. Perbedaan tingkat kecukupan energi dan protein dapat dilihat pada Tabel 4.


Tabel 2. StatusAntropometriSebelum dan Setelah Intervensi Variabel Perlakuan (n=20) Kontrol (n=21) Mean ± SD p Mean ± SD P BB (kg) 9,3 ± 1,1 Sebelum 9,3 ± 1,5 A A 9,6 ± 1,2 0,352 1 bulan 9,4 ± 1,3 0,901 9,8 ± 1,2 2 bulan 9,4 ± 1,4 TB (cm) 76,2 ± 6,2 76,5 ± 5,9 Sebelum A 78,6 ± 5,7 0,259A 77,9 ± 5,8 0,554 1 bulan 79,3 ± 5,5 78,4 ± 5,8 2 bulan Skor z BB/U -1,9 ± 0,9 Sebelum -2,1 ± 1,3 A -1,8 ± 0,5 0,806K 1 bulan -2,0 ± 1,2 0,899 -1,8 ± 0,8 2 bulan -2,2 ± 1,1 Skor z TB/U -3,1 ± 0,7 Sebelum -3,0 ± 0,8 A A -2,7 ± 0,7 0,030 1 bulan -2,8 ± 0,9 0,693 -2,5 ± 0,6 2 bulan -2,9 ± 0,9 Skor z BB/TB -0,1 ± 1,3 Sebelum -0,7 ± 1,7 K A -0,6 ± 0,9 0,565 1 bulan -0,8 ± 1,7 0,903 -0,7 ± 1,0 2 bulan -0,9 ± 1,5 Keterangan: A= ANOVA, K= Kruskal-Wallis Tabel 3. Perbedaan Skor Z Sebelum dan Setelah Intervensi Antara Kelompok Perlakuan dan Kontrol Variabel Perlakuan (n=20) Kontrol (n=21) P Mean/Median ± SD Mean/Median ± SD Δ BB(kg) 0,290w 0,1± 0,9 0,5± 0,5 sebelum - 1 bulan w -0,1± 0,8 0,2± 0,2 1 - 2 bulan 0,061 i 0,2 ± 0,6 0,5 ± 0,7 sebelum - 2 bulan 0,76 Δ TB (cm) i Sebelum - 1 bulan 1,8 ± 1,1 1,4 ± 1,1 0,297 w 1 - 2 bulan 1,3 ± 0,7 0,3 ± 0,5 0,000 i sebelum - 2 bulan 3,0 ± 1,2 1,9 ± 1,2 0,004 Δ Skor z indeks BB/U w Sebelum - 1 bulan 0,3± 0,5 0,0± 0,8 0,246 w 1 - 2 bulan -0,1± 0,3 -0,2 ± 0,7 0,175 i sebelum - 2 bulan 0,1 ± 0.5 -0,1 ± 0,6 0,171 Δ Skor z indeks TB/U 0,190i 0,2 ± 0,4 0,4 ± 0,4 Sebelum - 1 bulan w -0,1 ± 0,2 0,2 ± 0,2 1 - 2 bulan 0,000 i 0,2 ± 0,4 0,5 ± 0,4 Sebelum - 2 bulan 0,003 Δ Skor z indeks BB/TB i Sebelum - 1 bulan 0,0 ± 0,8 -0,1 ± 1,2 0,836 w 1 - 2 bulan -0,1 ± 0,6 -0,2± 1,0 0,557 w sebelum - 2 bulan -0,3 ± 0,9 -0,3 ± 0,8 0.548 Keterangan: i= independent t-test, w= Mann-Whitney

Tabel 4.Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Sebelum dan Setelah Intervensi Variabel

Perlakuan (n=20) Mean ± SD p

Kontrol (n=21) Mean ± SD

P


Tingkat Kecukupan Energi Sebelum 1 bulan 2 bulan Tingkat Kecukupan Protein Sebelum 1 bulan 2 bulan Keterangan: A= ANOVA

96,1 ± 21,9 110,9 ± 22,1 114,5 ± 21,2

0,024A

98,6 ± 32,7 103,8 ± 43,1 105,9 ± 37,8

0,815

111,8 ± 37,8 132,6 ± 22.34 133,4 ± 34,8

0,129A

110,6 ± 46,6 118,4 ± 59,2 119,9 ± 58,2

0,841

Perubahan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Sebelum dan Setelah Intervensi Antara Kelompok Perlakuan dan Kontrol Tabel 5 menunjukkan tidak ada perbedaan peningkatan tingkat kecukupan

A

A

energi dan protein sesudah intervensi pada kelompok perlakuan dan kontrol (p>0,05). Perbedaan peningkatan tingkat kecukupan energi dan protein sebelum dan setelah intervensi pada kedua kelompok dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Perbedaan Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Setelah Intervensi Antara Kelompok Perlakuan dan Kontrol Variabel Perlakuan (n=20) Kontrol (n=21) p Mean ± SD Mean ± SD Δ Peningkatan TKE 0,090w -0,6 ± 3,3 9,5 ± 1,9 Sebelum - 1 bulan i 2,2 ± 2,7 3,5 ± 7,8 1 - 2 bulan 0,825 w 6,5 ±2,7 12,8 ± 1,9 sebelum -2 bulan 0,144 Δ Peningkatan TKP i Sebelum - 1 bulan 20,8 ± 2,7 7,8 ± 5,5 0,345 i 1 - 2 bulan 0,9 ± 2,2 1,5 ± 1,4 0,946 i sebelum -2 bulan 21,6 ± 2,6 9,3 ± 4,4 0,287 Keterangan: pi = independent t-test, w = Mann-Whitney

Tidak ada korelasi antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan skor z indeks BB/U (p=0,565;0,236), TB/U (p=0,835;0,397) dan BB/TB (p=0,416;0,138) dalam dua bulan intervensi. Dapat dinyatakan tingkat kecukupan energi dan protein bukan merupakan variabel pengganggu dalam penelitian ini. Kejadian Diare dan ISPA pada Kelompok Perlakuan dan Kontrol Data morbiditas pada penelitian ini adalah ISPA (infeksi saluran pernafasan atas) sertadiare. Kejadian diare hanya dialami oleh dua orang anak pada kelompok perlakuan dan kontrol selama satu hari, sehingga data diare tidak dianalisis. Tabel 6. Kejadian ISPA

Variabel

Perlakuan (n=20) Mean ± SD

Persentase hari sakit

10,0 ± 6,8

Kontrol (n=21) Mean ± SD 10,4 ± 6,4

p 0,837i

ISPA Keterangan: i = independent t-test

Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kejadian ISPA antara kedua kelompok sehingga variabel ISPA bukan merupakan variabel pengganggu dalam penelitian ini. PEMBAHASAN Rerata TB kelompok perlakuan mengalami peningkatan lebih besar dibandingkan kelompok kontrol dari 76,2 cm menjadi 78,6 dalam satu bulan dan 79,3 dalam dua bulan perlakuan, sedangkan kelompok kontrol mengalami peningkatan dari 76,5 cm menjadi 77,9 cm dalam satu bulan dan 78,4 dalam dua bulan. Hal ini sejalan dengan peningkatan rerata skor z indeks TB/U pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Rerata skor z indeks TB/U meningkatdari -3,1 ± 0,7 menjadi-2,5 ± 0,6 (p=0,03) untuk kelompok perlakuan sedangkan -3,0 ± 0,8 menjadi -2,9 ± 0,9 untuk kelompok kontrol selama dua bulan perlakuan. Skor z indeks BB/U meningkat dari -1,9 ± 0,9 menjadi -1,8 ± 0,8 pada kelompok


perlakuan namun skor z indeks BB/U dan BB/TB tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Perubahan skor z indeks BB/TB yang tidak signifikan dapat disebabkan karena peningkatan BB dan TB namun tidak sesuai dengan umur. Berdasarkan WHO Anthro (2005) anak usia 12-36 bulan memiliki berat badan rata-rata 12 kg dan tinggi rata-rata 8590 cm. Rerata berat badan dan tinggi badan subjek dalam penelitian ini masih dibawah standar WHO. Suplementasi micronutrient sprinkle mempunyai efek langsung terhadap peningkatan skor z indeks TB/U pada kelompok perlakuan. Hal ini dibuktikan dengan data skor z indeks TB/U selama dua bulan intervensi dengan tingkat kecukupan energi dan protein tidak ada korelasi yang signifikan (p>0,05). Hal ini juga sesuai dengan penelitian Chhagan et all (2010) yang meneliti bahwa suplementasi dengan berbagai mikronutrien pada anak usia 6-24 bulan selama 6 bulan dengan kategori stunting mengalami peningkatan skor z indeks TB/U sebanyak 0,7 pada anak yang berusia lebih dari 18 bulan namun untuk perubahan skor z indeks BB/U tidak mengalami perubahan 14 yang signifikan. Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan rerata berat badan walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari 9,3 kg menjadi 9,8 kg dengan dosis dua hari sekali selama 2 bulan (60 hari) intervensi pada kelompok perlakuan, lebih tinggi daripada kelompok kontrol dari 9,3 kg menjadi 9,4 kg. Peningkatan berat badan ini dapat disebabkan karena terjadinya peningkatan nafsu makan sebagai efek dari pemberian micronutrient sprinkle. Salah satu zat gizi mikro yang terkandung dalam micronutrient sprinkle yaitu seng. Asupan seng yang diberikan melalui taburia pada kelompok perlakuan meningkat sehingga terjadi penurunan absorbsi dan peningkatan ekskresi melalui usus, membuat anak menjadi lebih cepat lapar sehingga asupan makan anak 25 juga dapat meningkat. Berat badan merupakan indikator energi yang adekuat/inadekuat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa terdapat peningkatan yang signifikan terhadap tingkat kecukupan energi pada kelompok perlakuan dari 96,1% menjadi 114,5% dalam dua bulan perlakuan. Komposisi taburia sudah disesuaikan dengan rekomendasi perhari dari WHO. Micronutrient sprinkle mengandung mikronutrien yang terdiri dari 16 vitamin dan mineral yang mendukung proses pertumbuhan balita. Dalam berbagai penelitian, kejadian defisiensi zat gizi yang

terjadi pada balita di negara berkembang dengan satu jenis suplementasi mikronutrien mempunyai efek terbatas terhadap pertumbuhan. Padahal di berbagai penelitian defisiensi zinc, vitamin A, besi dan mikronutrien lain sering ditemukan bersamaan. Penelitian terbaru menemukan bahwa mineral berperan terhadap hampir semua enzim dan sisi aktif enzim sebagai kofaktor sedangkan vitamin sebagai koenzim. Micronutrient sprinkle mengandung berbagai macam vitamin dan mineral yang mempengaruhi metabolisme antara lain vitamin A yang berpengaruh terhadap sintesis protein dan pertumbuhan sel sedangkan vitamin B1, B2, B3, B6, B12 dimanfaatkan dalam metabolisme lemak, protein dan karbohidrat.10,16 Seng mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan anak apabila indikator status antropometrinya di bawah rata-rata.11Seng mempengaruhi hormon pertumbuhan dan sistem insulin-like growth factor yang berpengaruh terhadap 17 metabolisme tulang. Besi sangat esensial untuk mengikat dan transpor oksigen, sangat baik untuk regulasi dan diferensiasi sel pertumbuhan. Intake yodium yang adekuat mempengaruhi perkembangan intelektual serta pertumbuhan fisik.20 Vitamin D berperan dalam tumbuh kembang tulang. Status vitamin D yang adekuat diperlukan untuk absorbsi kalsium dan mengatur kadar kalsium dan fosfat yang dibutuhkan dalam darah 23 untuk mineralisasi tulang. Vitamin K meningkatkan fungsi dari vitamin D yang penting untuk kesehatan tulang.24 Berdasarkan observasi, sebelum intervensi terdapat subjek yang semula hanya mau mengonsumsi ASI, namun setelah dua bulan perlakuan subjek mulai mengonsumsi nasi. Berdasarkan wawancara dengan orang tua subjek pada kelompok perlakuan, sejak mengikuti intervensi micronutrient sprinkle, subjek menjadi lebih cepat lapar sehingga mempengaruhi nafsu makan yang semakin meningkat pula serta subjek menjadi anak yang lebih aktif. Berdasarkan hasil recall, asupan energi dan protein pada kelompok perlakuan dan kontrol sebagian besar berasal dari jajanan sehingga sumber makanan yang mengandung mikronutrien sangat kurang. Hal ini dibuktikan dengan rerata asupan besi pada kelompok perlakuan 3,6 mg dan kelompok kontrol 3,1 mg serta asupan seng kelompok perlakuan 2,5 mg dan kelompok kontrol 2,4 mg. Rerata asupan besi dan seng pada kedua kelompok masih dibawah standar AKG yaitu 8 mg besi dan 8,2 mg seng. Meskipun asupan makanannya adekuat namun bioavailabilitas


zat gizi seperti besi, kalsium, seng, vitamin A, dan lain-lain kurang. Suplementasi dengan micronutrient sprinkle sangat tepat karena dapat memberikan dampak terhadap status antropometri terutama skor z indeks TB/U dan peningkatan nafsu makan. Hal ini sesuai dengan penelitian 22 Kounnavong S, et al yang meneliti bahwa suplementasi mikronutrien pada anak usia 653 bulan selama 24 minggu dengan dosis 2 kali seminggu atau 1 kali perhari mempunyai efek yang positif terhadap pertambahan tinggi badan. Tidak maksimalnya efek suplementasi dikarenakan kualitas asupan makanannya 22 kurang dibanding dengan kuantitasnya. Faktor makanan yang kurang memenuhi kebutuhan zat gizi, mungkin anak cukup kenyang, tetapi makanannya tidak cukup kandungan gizinya sehingga anak tersebut mengalami gangguan pertumbuhan dan kekurangan zat gizi tertentu. Edukasi gizi selama 2 bulan yang diadakan dalam penelitian ini bertujuan untuk menyamakan persepsi orang tua subjek terhadap gizi seimbang. Hal ini memberikan dampak, dibuktikan dengan meningkatnya tingkat kecukupan energi dan protein selama 2 bulan penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol, walaupun pada kelompok kontrol tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Efektivitas intervensi micronutrient sprinkle dalam memperbaiki status gizi dapat dirasakan setelah satu bulan intervensi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan rerata BB, TB dan skor z indeks TB/U mengalami perubahan yang signifikan setelah 1 bulan intervensi (Tabel 3).

KESIMPULAN Suplementasi micronutrient sprinkle selama 2 bulan meningkatkan skor z indeks TB/U pada anak stunting usia 12-36 bulan tetapi tidak meningkatkan skor z indeks BB/U dan BB/TB pada anak stunting usia 12-36 bulan.

SARAN Anjuran pemberian makanan dengan gizi seimbang disertai dengan pemberian micronutrient sprinkle dapat dilakukan pada anak stunting untuk membantu peningkatan pertumbuhan.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Sedgh G, M. Guillermo H, Penelope N, Alawia el A, Wafaie WF. Dietary Vitamin A Intake and Nondietary Factors Are Associated with Reversal of Stunting in Children. American Society for Nutritional Science . 2000 Jun 14. 2. Lapriore C, Tamina G, Andre B, Fransesco B. Spread Fortified with Vitamins and Minerals Induces Catch-Up Growth and Eradicates Severe Anemia in Stunted Refugee Children Aged 3-6 y. Am J Clin Nutr. 2004;80:973-81. 3. RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) 2010. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Republik Indonesia; 2010. 4. Taguri AE, Ibrahim B, Salah MM, Abdel MA, Oliver G, Pilar G, Serge H. Risk Factors for Stunting among Under-fives in Libya. Public Healtth Nutrition. 2008 Sept 15: 12(8). 1411-1149. 5. Mandal G C, Kaushik B, Samiran B, Sanjib G. Undernutrition among Integrated Child Development Services (ICDS) Scheme Children Aged 2-6 Years of Arambag, Hooghly District, WestBengal, India: A serious public health problem. IJPH. 2008. 6. Astari LD, Amini N, Cesilia MD. Hubungan Konsumsi ASI dan MP-ASI Serta Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan di Kabupaten Bogor. Media Gizi dan Keluarga. 2006 Jul. 7. Helmi AF, A. Razak T, Ridwan M. Thaha. Kepatuhan Ibu dalam Pemberian TABURIA pada Anak Umur 6-24 Bulan di Kabupaten Pangkep Tahun 2011. 8. Zlotkin SH, Claudia S, Anna C, et al. Micronutrient Sprinkles to Control Childhood Anemia. PloS Medicine. 2005 Jan. Available from http:// www.plosmedicine.org 9. Golden M H. Proposed Recommended Nutrient Densities for Moderately Malnourished Children. Food and Nutrition Bulletin, vol 30, no 3. 2009. 10. Rauf S, Faramitha. Pengaruh Pemberian Taburia terhadap Perubahan Status Gizi Anak Gizi Kurang Umur 12-24 Bulan di Kecamatan Pangkep Tahun 2010. Makassar: Gizi Poltekkes Kemenkes. Vol XIII, Edisi 1, 2012. 11. Bui DT, Werner S, Drupadi D, Rainer G, Nelly DL, Ha HK. Effect of Daily and Weekly Micronutrient Supplementation on Micronutrient Deficiencies and Growth in Young Vietnamese Children. Am J Clin Nutr. 1999; 69:80-6


12. Malina R. Normal Weight Gain in Growing Children. Healthy Weight Journal. 1999 June. Vol 13. 13. WHO: Global Database on Child Growth and Malnutrition. 14. Chhagan MK, Jan VB, Kany AL, Nontobeko M, Andrew T, Michael LB. Effect on Longitudinal Growth and Anemia of Zinc or Multiple Micronutrients Added to Vitamin A: a Randomized Controlled Trial in Children Aged 6-24 Months. BMC Public Health. 2010,10:145. 15. Lipoeto NI, Novi M, Andani EP. Malnutrisi dan Asupan Kalori pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas. 2006. Vol 56 no 11. 16. Shenkin A, The Key Role of Micronutrients. Elsevier Clinical Nutrition Journal. 2006. 17. Eckhardt CL. Micronutrient Malnutrition, Obesity and Chronic Disease in Countries Undergoing the Nutrition Transition: Potential Links and Program/policy Implications. International Food Policy Research Institute. 2006 Nov. 18. Erna KW. Hubungan Episode Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dengan Pertumbuhan Bayi Umur 3 Sampai 6 Bulan. Semarang: Magister Gizi Masyarakat Universitas Diponegoro. 2005 Des. 19. Bhandari N, Rajiv B, Sunita T. Effect of Micronutrient Supplementation on Linear Growth of Children. British Journal of Nutrition. 2001; p. 131-137 20. Caulfield LE, Stephanie AR, Juan AR, Philip M, Robert B. Stunting, Wasting and Micronutrient Disorders. ch. 28. 21. Measuring Change in Nutritional Status: Guidelines for Assessing the Nutritional Impact of Supplementary Feeding Programmes for Vulnerable Groups. Geneva: WHO. 1983. 22. Kounnavong S, et all. Effect of Daily Versus Weekly Home Fortification with Multiple Micronutrient Powder on Haemoglobin Concentration of Young Children in a Rural Area, Lao People’s Democratic Republic: A Randomised Trial. Nutrition Journal. 2011,10:129. 23. European Food Safety Authority. Vitamin D and Bone Growth. The EFSA Journal. 2008;827, 1-10. 24. Bonjour JP, Leon G, Cristina P, Martin JS, Connie MW. Mineral and Vitamins in Bone Health: The Potential Value of

Dietary Enhancement. British Journal of Nutrition. 2009, 101, 1581-1596. 25. Sjarif DR, Endang DL, Maria M, Sri SN. Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Jakarta: IDAI. 2011. 26. Castillo L. Macronutrient Requirement for Growth: Protein and Amino Acids. London: Nutrition in Pediatrics. Ed 3.2003:73-85.


GAMBARAN KEJADIAN KEGEMUKAN DAN OBESITAS DAN PERBEDAAN POLA KONSUMSI SUMBER KARBOHIDRAT PADA USIA DEWASA (>18 TAHUN) DI DESA TEPUS, YOGYAKARTA DAN KELURAHAN CINANGKA, JAWA BARAT TAHUN 2012 Rifqah Indri Amalia* 1

Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ABSTRAK Kejadian kegemukan dan obesitas di seluruh dunia termasuk Indonesia semakin meningkat. Kegemukan dan obesitas memiliki kaitan yang sangat erat dengan perilaku mengonsumsi makanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui banyaknya kejadian kegemukan dan obesitas serta melihat adanya perbedaan indeks massa tubuh dan perbedaan jumlah, jenis, dan frekuensi konsumsi sumber karbohidrat di pedesaan (Desa Tepus, Wonosari, Yogyakarta) dan di perkotaan (Kelurahan Cinangka, Kota Depok, Jawa Barat). Data penelitian terdiri dari pola konsumsi sumber karbohidrat (jenis, jumlah dan frekuensi) diambil menggunakan metode recall 24-hour dan food frequency questionnaire. Status 2 kegemukan dan obesitas diketahui dengan mengukur indeks massa tubuh (kg/m ). Analisis bivariat menggunakan uji t independen untuk melihat perbedaan di pedesaan dan perkotaan. Jumlah sampel penelitian ada sebanyak 58 orang yang tersebar merata sebanyak 29 orang baik di pedesaan maupun perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kegemukan dan obesitas lebih banyak terjadi di perkotaan (27.6%) di bandingkan di wilayah pedesaan (17.2%). Terdapat perbedaan yang signifikan (p=0.006) pada indeks massa tubuh subjek penelitian di pedesaan dan perkotaan dimana rata-rata indeks masa tubuh di perkotaan sudah memasuki kategori kegemukan. Perbedaan yang signifikan (p=0.007) antara di pedesaan dan perkotaan juga terjadi pada frekuensi sumber karbohidrat berupa umbi berpati dan hasil olahannya. Kata kunci: indeks massa tubuh, umbi berpati, gizi lebih, karbohidrat

ABSTRACT World’s occurence of overweight and obesity is increasing, included Indonesia. Overweight and obesity have strong relations with food consumption behaviour. The aim of this study is to observe the prevalence of overweight and obesity and also to see the differences of body mass index, variations and frequency of carbohydrate sources consumption between people in rural (Tepus, Wonosari, Yogyakarta) and urban (Cinangka, Depok, West Java). Variable of this study consists of carbohydrate source consumption patterns (variation, amount and frequency) which gathered by 24-hour recall also food frequency questionnaire and body mass index (kg/m2) as an indicator to determine the status of overweight and obesity. Bivariate data analysis using t-test for two independent samples, in order to know the differences between the prevalence in rural dan urban. Total samples are 58 people, each population represent by 29 respondents. Study result shows that the percentage of overweight and obesity in urban population (27.6%) greater than rural (17. 2%). As the result, body mass index average (p=0.006) and frequency of starchy tubers and its derivative products consumption (p=0.007) show significant differences between people in urban and rural. Keywords: body mass index, starchy tubers, over-nutrition, carbohydrate


PENDAHULUAN Kelebihan berat badan atau overweight yang juga umum dinyatakan dengan istilah kegemukan merupakan suatu fenomena yang terjadi akibat ketidakseimbangan antara energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan dengan energi yang digunakan untuk melakukan kegiatan dan aktifitas fisik. Kegemukan yang tidak segera diatasi dapat berkembang menjadi obesitas. Kedua bentuk dari kondisi gizi lebih tersebut merupakan pintu dari kemunculan dan perkembangan penyakit degeneratif yang berkaitan dengan kelainan metabolisme seperti diabetes melitus dan dislipidemia. Dunia mengalami beban gizi ganda saat ini karena ketika masalah gizi kurang belum tuntas teratasi, di sisi lain sedang terjadi perkembangan dari gizi lebih. Pada tahun 2008, ada lebih dari 1.4 milyar orang dewasa di dunia yang memiliki status gizi lebih dimana 200 juta laki-laki dan 300 juta perempuan mengalami 1 obesitas . Pada tahun 2008 sebanyak 20,7% orang dewasa berusia di atas 20 tahun di Indonesia mengalami obesitas 2. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, terdapat 10% penduduk dewasa (>18 tahun) yang mengalami kegemukan dan 11.7% mengalami obesitas 3. Hasil penelitian di Kota Depok, Jawa Barat menunjukkan bahwa faktor risiko yang paling dominan berhubungan dengan obesitas berdasarkan kategori IMT Depkes adalah tempat tinggal (desa dan kota). Obesitas berdasarkan kategori IMT sampel paling berhubungan dengan asupan karbohidrat. Risiko terjadinya obesitas di daerah perkotaan 2,11 kali dibandingkan dengan daerah pedesaan 4. Faktor diet merupakan peran yang dominan dalam menyebabkan kejadian 5 kegemukan dan obesitas . Konsumsi karbohidrat memiliki hubungan dengan besarnya kemungkinan menjadi gemuk atau obesitas pada orang dewasa sehat. Risiko terendah mengalami kegemukan atau obesitas dapat diraih dengan mengonsumsi 47%-64% energi yang berasal dari 6 karbohidrat . Kandungan karbohidrat pada makanan cenderung berbanding terbalik terhadap kepadatan energi di dalam makanan. Makanan yang kepadatan energinya tinggi memiliki hubungan dengan kandungan lemak yang tinggi sedangkan kandungan karbohidratnya tidak tinggi 5. Setiap jenis sumber karbohidrat memliki kepadatan energi yang berbeda-beda. Perlu diketahui bahwa pola konsumsi pangan di pedesaan lebih banyak mengonsumsi karbohidrat disertai dengan hasil pertanian yang belum diolah dan kesejahteraan masyarakat masih rendah. Perkotaan dengan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik pola konsumsinya

didominasi oleh protein dengan gaya hidup dan 7 keamaan pangan yang relatif rendah . Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui banyaknya kejadian kegemukan dan obesitas di pedesaan dan perkotaan serta melihat adanya perbedaan indeks massa tubuh dan perbedaan jumlah, jenis dan frekuensi konsumsi sumber karbohidrat di dua daerah penelitian.

METODE Desain penelitian ini menggunakan pendekatan cross-sectional yang dilakukan di dua lokasi yaitu desa tepus, wonosari, yogyakarta (mewakili pedesaan) dan kelurahan cinangka, depok, jawa barat (mewakili perkotaan). Populasi adalah seluruh orang dewasa laki-laki maupun perempuan berusia lebih dari 18 tahun yang bermukim di wilayah penelitian. Sampel adalah orang yang terpilih dewasa laki-laki maupun perempuan berusia lebih dari 18 tahun bermukim di wilayah penelitian. Total sampel yang di peroleh sebanyak 58 orang. Data primer yang dikumpulkan pada penelitian adalah karakteristik individu yang terdiri dari umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, indeks massa tubuh, dan pola konsumsi sumber karbohidrat (jumlah, jenis dan frekuensi konsumsi sumber karbohidrat). Pengukuran indeks massa tubuh dilakukan dengan membagi antara berat badan dalam satuan kilogram (kg) dengan tinggi badan dalam 2 satuan meter persegi (m ). Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember di tahun 2012. Jumlah konsumsi sumber karbohidrat merupakan asupan sumber karbohidrat makanan yang dikonsumsi selama penelitian yang diperoleh dari hasil recall 24-hour. Jenis dan frekuensi sumber karbohidrat merupakan variasi asupan berbagai jenis sumber karbohidat makanan yang dikonsumsi selama sebulan terakhir yang diperoleh dengan food frequence questionnaire. Pada lembar food frequence dicantumkan 14 sumber questionnaire karbohidrat makanan yang paling sering di konsumsi di kedua daerah. Klasifikasi sumber karbohidrat makanan dibagi menjadi dua yaitu kelompok serealia dan hasil olahannya (nasi, jagung, roti, mie basah, mi kering, bihun, tepung terigu, tepung beras, biskuit, ketan hitam dan ketan putih) serta umbi berpati dan hasil olahannya (singkong, kentang dan ubi). Data yang dikumpulkan merupakan data primer. Pengumpulan data dilakukan oleh tiga orang asisten peneliti yang merupakan mahasiswa program studi gizi fakultas kesehatan masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI). Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian adalah timbangan injak (CAMRY


model BR9015B) untuk mengukur berat badan (ketelitian 0,5 kg) dan microtoise untuk mengukur tinggi badan (0,1 cm). Saat dilakukan penimbangan berat badan (BB), subjek tidak diperbolehkan menggunkan alas kaki, mengantongi barang bawaan, serta menggunakan pakaian yang tebal. Tinggi badan (TB) diukur menggunakan microtoise yang digantung di dinding setinggi dua meter dari lantai dasar dengan permukaan yang rata. Subjek diukur dalam kondisi tegak, muka menghadap lurus ke depan, tangan berada di samping badan dalam keadaan lepas, tanpa alas kaki dan bersandar pada dinding. Pita pengukuran tinggi badan ditarik ke bawah sampai menyentuh kepala bagian atas subjek kemudian skala pengukuran dibaca. Analisis data menggunakan perangkat lunak khusus untuk pengolahan data. Analisis deskriptif yang ditampilkan merupakan perbandingan karakteristik dan status kegemukan subjek penelitian di pedesaan dan perkotaan. Perbedaan antara subjek di pedesaan dan perkotaan akan di deskripsikan melalui hasil analisis statistik uji T independen.

HASIL Total subjek yang terlibat di dalam penelitian sebanyak 58 orang. Tabel 1 menggambarkan karakteristik subjek berdasarkan usia, tingkat pendidikan serta status kegemukan dan obesitas. Berdasarkan hasil analisis di ketahui bahwa dari 29 subjek penelitian di masing-masing wilayah kejadian kegemukan dan obesitas lebih banyak terjadi di wilayah perkotaan (27,6%) di bandingkan di wilayah pedesaan (17,2%). Seperti yang ditunjukkan pada tabel 2 rata-rata indeks massa tubuh di pedesaan diketahui lebih kecil (22.89 kg/m2) dibandingkan dengan di perkotaan (25.90 2 kg/m ) dan diketahui ada perbedaan yang signifikan (P= 0.006). Pola konsumsi karbohidrat di bagi lagi menjadi jumlah, frekuensi dan variasi konsumsi jenis sumber karbohidrat. Jumlah konsumsi sumber karbohidrat selama penelitian yang dihitung dalam persen asupan sehari. Rata-rata Jumlah konsumsi sumber karbohidrat di pedesaan (54.97%) lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan (55.07%) namun tidak ditemukan perbedaan yang signifikan (P= 0.976).

Tabel 1. Karakteristik subjek berdasarkan usia, tingkat pendidikan serta status kegemukan dan obesitas

Variabel

Pedesaan (n= 29) n %

Usia 20-30 tahun 7 12.1 31-40 tahun 9 15.5 41-50 tahun 11 19 51-60 tahun 1 1.7 >60 tahun 1 1.7 Tingkat Pendidikan Tamat SD 4 6.9 Tidak Tamat 1 1.7 SMP Tamat SMP 12 20.7 Tidak Tamat 1 1.7 SMA Tamat SMA 9 15.5 D3 0 0 S1 2 3.4 Status Kegemukan dan Obesitas Tidak 19 32.8 Ya 10 17.2

Perkotaan (n= 29) n % 8 8 8 4 1

13.8 13.8 13.8 6.9 1.7

6 0

10.3 0

7 0

12.1 0

13 2 1

22.4 3.4 1.7

13 16

22.4 27.6

a Status kegemukan dan obesitas ditentukan dengan kategori indeks massa tubuh menurut Depkes RI. Subjek yang memiliki IMT > 25.00 dikategorikan ke dalam kegemukan dan obesitas.

Frekuensi konsumsi sumber karbohidrat dibagi berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi sumber serealia dan olahannya serta umbi berpati dan olahannya. Rata-rata frekuensi konsumsi sumber serealia dan olahannya tidak memiliki perbedaan signifikan (P= 0.726) antara di pedesaan dan perkotaan (173.34 dan 166.79 kali) dalam satu bulan.


Tabel 2. Nilai rata-rata dan perbedaan pada indeks massa tubuh serta pola konsumsi sumber karbohidrat pada subjek.

2

Indeks Massa Tubuh (kg/m ) Pola Konsumsi Sumber Karbohidrat Asupan karbohidrat (%) Frekuensi Konsumsi  Serealia Dan Hasil Olahan*  Umbi Berpati Dan Hasil Olahan* Variasi Jenis**

Nilai Rata-Rata Pedesaan Perkotaan n= 29 n= 29 22.89 25.90

P Value

0.006

54.97

55.07

0.976

173.34 35.43 9

166.79 23.57 9

0.726 0.007 0.518

*) Frekuensi konsumsi sumber karbohidrat dalam satu bulan **) Total jenis sumber karbohidrat yang dimakan dalam satu bulan dari total 14 jenis sumber karbohidrat yang dicantumkan di dalam kuesioner

Di samping itu terdapat perbedaan yang signifikan (P= 0.007) pada rata-rata frekuensi konsumsi sumber umbi berpati dan olahannya di pedesaan (35.43 kali) dan di perkotaan (23.57 kali) dalam satu bulan. Perlu diketahui juga bahwa rata-rata variasi jenis sumber karbohidrat yang dikonsumsi di pedesaan dan di perkotaan sama yaitu sebanyak 9 jenis, tidak ada perbedaan yang signifikan (P= 0.518).

PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kegemukan dan obesitas lebih banyak terjadi di perkotaan di bandingkan di pedesaan. Di samping itu terdapat perbedaan yang signifikan pada indeks massa tubuh dan rata-rata frekuensi konsumsi umbi berpati dan hasil olahannya antara responden di pedesaan dan di perkotaan. Perbedaan yang signifikan antara indeks massa tubuh orang perkotaan dan pedesaan sangat jelas digambarkan dari perbedaan rata-rata indeks massa tubuh diantara keduanya. Sudah jelas bahwa ratarata indeks massa tubuh penduduk perkotaan sudah lebih dari batas indeks massa tubuh normal. Selain itu persentase kegemukan dan obesitas pada penduduk di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hasil tersebut menunjukkan hasil yang sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada populasi dewasa di Saudi Arabia. Diketahui bahwa terdapat perbedaan signifikan pada kegemukan dan obesitas di perkotaan maupun pedesaan pada hasil penelitian tersebut8. Penelitian yang dilakukan pada orang dewasa di tahun 2010 yang berlokasi di Kota Depok, Jawa Barat juga menunjukkan bahwa berdasarkan kategori

IMT pada standar Kementerian Kesehatan RI, risiko obesitas lebih tinggi terjadi di daerah urban (kota) dibandingkan 4 daerah rural (desa) . Meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah konsumsi sumber karbohidrat di pedesaan dan perkotaan namun diketahui bahwa rata-rata konsumsi karbohidrat di pedesaan lebih rendah dibandingkan dengan di perkotaan. Tentunya perbedaan gaya hidup di pedesaan dan perkotaan menjadi pengaruh bagi pola konsumsi pangan dan pemilihan makanan 7 masyarakat di dalamnya . Penelitian lainnya juga menemukan bahwa 20% jumlah asupan sumber karbohidrat lebih tinggi pada wanita yang mengalami kegemukan dan obesitas 9. Sebagaimana diketahui bahwa karbohidrat juga menghasilkan energi dan memiliki kontribusi dalam total asupan energi per hari yang memungkinan untuk menimbulkan keseimbangan energi positif sehingga 5 terjadilah kegemukan dan obesitas . Pada penelitian ini rata-rata frekuensi konsumsi serealia dan hasil olahannya pada subjek penelitian di pedesaan maupun perkotaan lebih tinggi dibandingkan frekuensi konsumsi umbi berpati dan hasil olahannya. Hal yang sama juga dikemukakan dalam analisis data Susenas 1999-2005 mengenai konsumsi pangan masyarakat Indonesia. Meskipun laju konsumsi beras pada tahun 2002-2005 mengalami penurunan baik di kota maupun di desa namun tetap lebih tinggi konsumsi per kilogram pada tiap kapita per tahun dibandingkan konsumsi jagung, ubi kayu dan ubi jalar 10. Terdapat perbedaan yang signifikan pada frekuensi konsumsi sumber karbohidrat berupa umbi berpati dan hasil olahaannya di pedesaan dan perkotaan. Pada tahun 2005 konsumsi ubi kayu dan ubi


jalar mencapai 19,8 dan 5,8 kg (kapita/tahun) di pedesaan sedangkan di perkotaan hanya 10 9.6 dan 5.98 kg (kapita/tahun) . Asupan energi merupakan hasil dari porsi makanan dikalikan dengan kepadatan energi dikalikan dengan frekuensi konsumsi 5 makanan . Mengonsumsi beberapa sumber bahan makanan dalam jumlah porsi dan frekuensi yang sama namun dengan kepadatan energi yang berbeda dapat menyebabkan perbedaan asupan energi. Rata-rata kepadatan energi serealia dan umbi berpati yang merupakan sumber karbohidrat kompleks tergolong tidak tinggi bila dibandingkan dengan dengan sumber karbohidrat sederhana seperti kue kering, gula, permen dan sirup. Berdasarkan perhitungan menggunakan sebuah software didapati bahwa rata-rata kepadatan energi sumber serealia dan hasil olahannya sebesar 1,7 kkal/g dan umbi berpati sebesar 1 kkal/g sedangkan gula, permen dan sirup memiliki rata-rata kepadatan energi sebesar 3,3 kkal/g. Sedangkan pada kue kering dan sejenisnya yang merupakan sumber karbohidrat sederhana kepadatan energinya mendekati 4 5 kkal/g . Sehingga mengonsumsi karbohidrat sederhana dalam porsi dan frekeunsi yang sama dengan mengonsumsi karbohidrat kompleks akan lebih tinggi asupan energi yang dihasilkan dari mengonsumsi karbohidrat sederhana. Maksud uraian pada paragraf sebelumnya adalah untuk menunjukkan adanya keterkaitan yang logis pada data-data hasil penelitian. Persentase kegemukan dan obesitas yang lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan di perkotaan dihubungkan dengan frekuensi konsumsi sumber serealia, umbi berpati dan hasil olahan di daerah pedesaan yang memang lebih tinggi, namun jumlah asupannya lebih rendah dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Terlebih lagi rata-rata kepadatan energi sumber serealia, umbi berpati dan hasil olahannya sama saja. Pada akhirnya, tujuan riset untuk mengetahui banyaknya kejadian kegemukan dan obesitas di pedesaan dan perkotaan tercapai. Hasil analisis perbedaan indeks massa tubuh pada kedua daerah juga memberikan perbedaan yang signifikan dan mampu dilihat kertekaitannya dengan pola konsumsi sumber karbohidrat. Untuk pengembangan penelitian kedepan sebaiknya jenis sumber karbohidrat di buat lebih rinci per sumber bahan makanan tidak lagi berdasarkan kelompok bahan makanan.

KESIMPULAN Dari 58 sampel penelitian (29 orang di pedesaan dan 29 orang di perkotaan) menunjukkan bahwa kejadian kegemukan dan obesitas lebih banyak terjadi di perkotaan (27,6%) dibandingkan di wilayah pedesaan (17,2%). Terdapat perbedaan yang signifikan (P= 0.006) pada indeks masa tubuh subjek penelitian di pedesaan dan perkotaan dimana rata-rata indeks masa tubuh di perkotaan 2 (25.90 kg/m ) sudah memasuki kategori kegemukan. Selain itu juga frekuensi sumber karbohidrat berupa umbi berpati dan hasil olahannya memiliki perbedaan yang signifikan (P= 0.007) pada pola konsumsi sumber karbohidrat di pedesaan dan perkotaan.

SARAN Dalam rangka pengembangan penelitian dengan topik yang terkait kedepannya jumlah sampel penelitian harus lebih banyak dan perlu diketahui hubungan pola konsumsi sumber karbohidrat dengan kejadian kegemukan dan obesitas.

DAFTAR PUSTAKA 1. Obesity and Overweight. (2012, Mei). Available from: http://www.who.int/mediacentre/factsheets /fs311/en/index.html 2. Global Health Observatory Data Repository. (n.d.). Avilable from: http://apps.who.int/gho/data/?vid=2469# 3. Diterbitkan oleh unit pelaksana Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. 4. Nurzakiah, Achadi, E., & Sartika, Faktor Risiko Obesitas pada Dewasa Urban dan Rural. Kesehatan Masyarakat Agustus;5(1): 29-34.

R. A. Orang Jurnal 2010

5. Dam, R. V., & Seidell, J. Carbohydrate Intake and Obesity. European Journal of Clinical Nutrition 2007;61(1): 575-599. 6. Merchant, A. T. et al. Carbohydrate Intake and Overweights and Obesity among Healthy Adults. J Am Diet Assoc 2009;109: 1165-1172. 7. Wora, V. M., Aspatria, U., & Seran, S. (s.f.). Studi Pola Konsumsi Pangan dan


status Gizi Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan Kabubapten Itu (Timor Tengah Utara). Jurnal Kesehatan Masyarakat;5364.

8. Alsaif, M. A., Hakim, I. A., Harris, R. B., Alduwaihy, M., Al-Rubeaan, K., Al-Nuaim, A. R, et al. Prevalence and Risk Factor of Obesity and Overweight in Adult Saudi Population. Nutrition Research 2002 Jun 8;22: 1243-1252. 9. Saraswati, I., & Dieny, F. F. (2012). Perbedaan Karakteristik Usia, Asupan Makanan, Aktivitas Fisik, Tingkat Sosial Ekonomi dan Pengetahuan Gizi pada Wanita Dewasa Dengan Kelebihan Berat Badan Antara di Desa dan Kota. Journal of Nutrition College 2012;1(1): 606-627. 10. Ariani, M. (s.f.). Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia Analisis Data Susenas 1999-2005. Available from:http://www.google.com/url?sa=t&rct= j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&cad=rja &ved=0CFQQFjAD&url=http%3A%2F%2 Fpersagi.org%2Fdocument%2Fmakalah %2F114_makalah.doc&ei=gTHzUJCdFIL 7kgWczICYDA&usg=AFQjCNHWB22VBC RyWgjMPesn1D4J6Uw4w&sig2=HiDK43jPdmZ x08LRu36cHw&bvm=bv.13


GAMBARAN ASUPAN ZAT GIZI, STATUS GIZI, DAN TINGKAT KEBUGARAN ATLET OLAHRAGA BERMAIN DI PUSAT PENDIDIKAN DAN LATIHAN OLAHRAGA PELAJAR (PPLP) DINAS PEMUDA DAN OLAHRAGA PROVINSI SULAWESI SELATAN Mustamir Kamaruddin1

1

Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin

ABSTRAK Asupan zat gizi adalah jumlah zat gizi yang dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran asupan zat gizi, status gizi, dan tingkat kebugaran atlet olahraga bermain di PPLP Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara total sampling. Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan asupan energi, karbohidrat, lemak, vitamin C, dan kalsium semua atlet (100%) berada pada kategori kurang. Asupan vitamin D semua atlet (100%) berada pada kategori cukup. Asupan protein sebagian besar atlet yang berada pada kategori cukup yaitu 96,6% dan untuk asupan Fe dan Zn sebagian besar atlet berada pada kategori kurang yaitu 82,8% dan 96,6%. Status gizi dengan pengukuran antropometri semuanya berada pada status gizi normal yaitu 100% sedangkan pengukuran biokimia (kadar Hb) sebagian besar dalam kategori normal yaitu 66,5%. Tingkat kebugaran sebagian besar dalam kategori baik sekali yaitu 55,2% yang diukur dengan menggunakan lari multi tahap. Melalui penelitian ini disarankan para atlet untuk mengkonsumsi beraneka ragam makanan serta mengkonsumsinya sesuai dengan kebutuhan. Perlu adanya ahli gizi yang dapat memberikan pengetahuan tentang gizi secara rutin. Kata Kunci : Asupan Zat Gizi, Status Gizi, Tingkat Kebugaran, Atlet Olahraga Bermain

ABSTRACT The nutrient intake is the amount of nutrient consumed to fulfil their needs. This research is aimed to know about the description of nutrient intake, nutritional status, and the fitness level of sport athletes who play in PPLP of Department of Youth and Sport in South Sulawesi. This research is using observational method with descriptive approach. Sample is taken using total sampling. The data used including primary data and secondary data. The result shows that the intake of energy, carbohydrate, fat, vitamin C, and calcium of all athletes (100%) were in the category of less. Intake of vitamin D all athletes (100%) was in the category of enough. Intake of protein of most athletes is in the prologue and enough namely 96.6% and for intake of Fe and Zn most athletes are in the prologue and less namely 82.8% and 96.6%. Nutritional status that measured by anthropometry is on the status of normal nutrition is 100% while the measurement of biochemistry (levels of Hb) mostly in the category of normal namely 66.5%. Level of fitness mostly in the category of good which is amount collected by 55.2% were measured using multi stage run. From this research, it is suggested to the athletes to consume variegated food and in accordance with their needs. The nutritionist is also needed to give them nutritional education regularly. Keyword :

Nutrient Intake, Nutritional Status, Level of Fitness, Playing Sports of Athletes


PENDAHULUAN Olahraga merupakan aktivitas fisik secara terencana untuk berbagai tujuan antara lain mendapatkan kesehatan, kebugaran, rekreasi, pendidikan, dan prestasi. Prestasi olahraga merupakan akumulasi kualitas fisik, teknik, taktik, dan kematangan psikis yang mampu ditampilkan olahragawan dalam suatu 1 pertandingan . Menurut laporan WHO pada tahun 1999, kasus penyakit tidak menular seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, kencing manis, kanker, serta berat badan berlebih hampir 60% menyebabkan kematian dan merupakan 43% dari seluruh beban penyakit penyakit di dunia (Global Burden Disease). Pada tahun 2020 penyakit tidak menular diperkirakan akan meningkat menjadi 73% sebagai penyebab kematian dan merupakan 60% dari seluruh beban penyakit. Penyakit tidak menular sangat erat kaitannya dengan gaya hidup seperti pola makan tidak seimbang, rendahnya aktivitas fisik, 2 dan kebiasaan merokok . Kebutuhan gizi atlet mempunyai kekhususan karena tergantung pada cabang olahraga. Untuk mendapatkan atlet yang berprestasi, faktor gizi sangat perlu diperhatikan sejak saat pembinaan di tempat pelatihan 3 sampai pada saat pertandingan . Venkarteswarlu (1982) menambahkan bahwa atlet yang mempunyai pengetahuan tentang gizi cenderung jarang memilih makanan berdasarkan tradisi, adat, maupun iklan yang umumnya kurang mengandung zat gizi yang berimbas 4 pada kemunduran prestasi olahraga . Warren, Bonner, dan Stitt (1985) menyarankan bahwa pelatih perlu memberikan informasi mengenai kebutuhan cairan, suplemen makanan, dan metode untuk meningkatkan atau menurunkan berat badan. Mereka menyatakan bahwa pengetahuan tentang gizi sebaiknya dikembangkan dan ditampilkan dalam format 5 ilmiah oleh para pelatih . Berdasarkan hasil observasi di Pusat Pendidikan dan Latihan Olahraga Pelajar (PPLP), kami memperoleh sejumlah data mengenai atlet, aktivitas, dan jenis olahraga. PPLP merupakan salah satu insititusi yang memiliki atlet yang dipersiapkan untuk mengikuti kejuaraan nasional, regional, maupun internasional tanpa selalu menunggu pelaksanaan pemusatan pelatihan yang insidentil dan mendadak sehingga kami bermaksud mengadakan penelitian untuk memperoleh gambaran asupan zat gizi, status

gizi, dan tingkat kebugaran atlet olahraga bermain di tempat tersebut. BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di PPLP yang terletak di Sudiang, Makassar. PPLP merupakan salah satu program pembinaan atlet usia sekolah yang telah lulus seleksi penerimaan sekaligus diasramakan yang digagas oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Sulawesi Selatan. Desain dan Variabel Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah metode observasional dengan pendekatan deskriptif untuk mengetahui gambaran asupan zat gizi, status gizi, dan tingkat kebugaran atlet olahraga bermain di PPLP. Adapun variabel pada penelitian ini meliputi asupan zat gizi, status gizi, dan tingkat kebugaran. Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah semua atlet olahraga bermain yang berstatus sebagai atlet aktif di PPLP dengan jumlah 29 orang. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, yaitu semua populasi tersebut dimasukkan sebagai sampel penelitian. Pengumpulan Data Data primer meliputi asupan makanan yang diperoleh dengan wawancara serta melakukan food recall 1x24 jam. Status gizi diperoleh dengan mengukur tinggi badan (menggunakan microtoise) dan berat badan (menggunakan timbangan) serta menanyakan umur sebagai acuan untuk menghitung kebutuhan zat gizi. Dilakukan pula pengecekan kadar Hb dan tingkat kebugaran yang diukur dengan menggunakan lari multi tahap (Bleep Test). Data sekunder didapatkan dari hasil wawancara dengan pembina atlet ataupun pengelola di PPLP. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan program WHO Antro, NutriSurvey, dan SPSS 16. HASIL PENELITIAN Deskripsi Karakteristik Umum Berdasarkan Tabel 1 responden terbanyak adalah olahraga sepak takraw yaitu


55,2%. Responden didominasi oleh jenis kelamin laki-laki, yaitu sebesar 82,8% karena jenis olahraga yang diteliti lebih diminati oleh laki-laki. Berdasarkan umur, jumlah responden

berumur < 17 tahun sebanyak 58,6%. Responden sebanyak 93,1% yang sedang mengenyam pendidikan di tingkat SMA dan 62,1% tidak mengkonsumsi suplemen.

Tabel 1. Distribusi Responden menurut Karakterisik Umum Atlet Olahraga Bermain di PPLP Dispora Sulawesi Selatan Karakteristik Umum Jenis Olahraga Sepak Bola Sepak Takraw Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Kategori Umur < 17 tahun ≼ 17 tahun Tingkat Pendidikan SMP SMA Konsumsi Suplemen Ya Tidak

Asupan Energi Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan bahwa semua atlet (100%) masuk

n (29)

%

13 16

44,8 55,2

24 5

82,8 17,2

17 12

58,6 41,4

2 27

6,9 93,1

11 18

37,9 62,1

dalam kategori asupan energi yang kurang yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Responden Menurut Status Gizi, Status Anemia, Tingkat Kebugaran, dan Asupan Zat Gizi Atlet Olahraga Bermain di PPLP Dispora Sulawesi Selatan Variabel Penelitian Status Gizi Normal Status Anemia Normal Anemia Tingkat Kebugaran Baik sekali Baik Asupan Energi Kurang Asupan Karbohidrat Kurang Asupan Protein Kurang Cukup Asupan Lemak Kurang Asupan Vitamin C Kurang

n (29)

%

29

100,0

19 10

66,5 34,5

16 13

55,2 44,8

29

100,0

29

100,0

1 28

3,4 96,6

29

100,0

29

100,0


Asupan Vitamin D Cukup Asupan Kalsium Kurang Asupan Fe Kurang Cukup Asupan Zn Kurang Cukup Asupan Zat Gizi Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar asupan protein berada pada kategori cukup yaitu 96,6%, sebagian besar asupan Fe dan Zn berada pada kategori kurang berturutturut yaitu 82,8% dan 96,6%. Didapatkan pula bahwa semua atlet (100%) masuk dalam kategori asupan vitamin D yang cukup. Sementara untuk asupan karbohidrat, lemak, vitamin C, dan kalsium didapatkan bahwa semua atlet (100%) masuk dalam kategori yang kurang. Tabel 3.

29

100,0

29

100,0

24 5

82,8 17,2

28 1

96,6 3,4

Status Gizi Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa status gizi atlet berdasarkan pengukuran antropometri menunjukkan status gizi normal (100%) yang ditunjukkan pada Tabel 2 dimana nilai Z-Score gizi normal yaitu antara -2 SD sampai +2 SD. Tabel 3 menunjukkan rata-rata (mean) nilai Z-Score IMT/U yaitu -0,54 (normal) dan Z-Score terendah adalah -1,99, nilai ini mendekati status gizi kurang.

Nilai Mean dan Standar Deviasi Z-Score IMT/U Atlet Olahraga Bermain di PPLP Dispora Sulawesi Selatan Z-Score IMT/U Mean SD Minimum Maximum

Status Anemia Tabel 2 menunjukkan terdapat 34,5% yang mengalami anemia. Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai mean kadar Hb atlet laki-laki adalah 13,43 (normal) dan nilai mean kadar Hb atlet perempuan adalah 12,64 (normal). Kadar Hb

Nilai - 0,54 0,49 - 1,99 0,33 dari atlet perempuan lebih kecil dibandingkan dengan atlet laki-laki karena dipengaruhi faktor menstruasi yang dialami setiap perempuan usia remaja setiap bulan.

Tabel 4. Nilai Mean Kadar Hb Berdasarkan Jenis Kelamin Atlet Olahraga Bermain di PPLP Dispora Sulawesi Selatan Kadar Hb Mean Minimum Maksimum

Nilai Laki-laki 13,43 11 16,6

Perempuan 12,64 10,9 14,6

Tingkat Kebugaran Tabel 2 menunjukkan sebagian besar atlet memiliki tingkat kebugaran baik sekali yaitu 55,2% dan 44,8% yang memiliki tingkat kebugaran baik. Peranan kebugaran sangat

penting untuk usia remaja khususnya atlet yang mengalami pembinaan sejak usia dini. PEMBAHASAN Gambaran Asupan Energi


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 29 responden yang berstatus gizi normal, semuanya termasuk dalam kategori asupan energi kurang yaitu 100% yang artinya asupan energi semua atlet kurang dari 75% total kebutuhan energi. Dalam penelitian ini, asupan energi atlet diperoleh melalui wawancara dengan metode food recall 1x24 jam dengan menanyakan makanan yang dikonsumsi dalam sehari dari bangun tidur hingga tidur kembali. Berdasarkan wawancara tentang asupan energi yang dikonsumsi ternyata para atlet tidak memperhitungkan kebutuhan energi sesuai dengan kebutuhan mereka dan tidak mempunyai pengetahuan tentang berapa besar asupan energi yang harus dikonsumsi oleh seorang atlet pada saat latihan sehingga energi yang dikonsumsi setiap harinya tidak tercukupi. Selain itu juga terdapa keterbatasan peneliti dalam menggali informasi lebih dalam mengenai asupan yang dikonsumsi atlet. Gambaran Asupan Zat Gizi Karbohidrat Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua atlet masuk dalam kategori asupan kurang yang berarti asupan atlet kurang dari 60% total kebutuhan sehari. Frekuensi makan utama atlet hanya tiga kali dalam sehari dan makanan atlet tergantung pada menu apa yang disajikan di asrama. Disamping itu atlet mempunyai aktivitas harian selain olahraga seperti belajar dan mengikuti kegiatan ektrakurikuler di sekolah. Oleh karena itu, kebutuhan energi dan zat gizi atlet meningkat namun atlet kurang memperhatikan asupan yang seharusnya dikonsumsi setiap hari yang sesuai dengan kebutuhan. Hasil konsensus dalam bidang nutrisi olahraga menyebutkan bahwa penting bagi atlet untuk memenuhi 60-70% dari total kebutuhan energi melalui konsumsi karbohidrat. Kebutuhan ini dapat dipenuhi melalui konsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat kompleks seperti roti, gandum, sereal, pasta, nasi, jagung, kentang, dan kacang hijau, sedangkan untuk membantu dalam menyediakan energi secara cepat pada saat sebelum, saat sedang, dan setelah latihan/ pertandingan olahraga dapat mengkonsumsi karbohidrat sederhana seperti 6 glukosa, sukrosa, ataupun juga fruktosa . Protein Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar atlet masuk dalam kategori

asupan cukup yaitu 96,6% yang berarti asupannya antara 10-15% dari total kebutuhan yang dianjurkan. Sebagian besar asupan cukup dikarenakan atlet sering mengkonsumsi makanan yang mengandung tinggi protein seperti tempe, tahu, kacang-kacangan, dan sumber protein lainnya. Namun ada pula yang asupannya kurang disebabkan karena konsumsi sumber protein yang kurang, misalnya tidak menyukai makanan terterntu seperti olahan tahu. Atlet mengkonsumsi makanan sesuai selera masing-masing meskipun telah disediakan oleh pihak asrama. Protein bagi atlet yang masih remaja sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan pembentuk tubuh guna mencapai tinggi badan yang optimal. Protein di dalam tubuh mempunyai fungsi utama yang khas dan tidak dapat digantikan oleh zat gizi lain yaitu untuk membangun serta menjaga jaringan dan sel-sel 7 tubuh . Lemak Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua atlet termasuk dalam asupan kategori kurang yang berarti asupannya kurang dari 20% dari yang dianjurkan. Sebagian besar asupan yang kurang disebabkan dengan kebiasaan makan yang cenderung memilih makanan dari sumber makanan laut (ikan segar) daripada makanan daging dan olahannya. Total konsumsi lemak diharapkan tidak melebihi 25% dari total kebutuhan energi tubuh. Kelebihan lemak bagi atlet sangat dihindari karena lemak yang berlebih akan menyebabkan peningkatan berat tubuh dan juga akan menurunkan kapasitas kecepatan, power, dan 8 enduran . Vitamin Dari hasil penelitian didapatkan bahwa semua atlet masuk kategori asupan vitamin C kurang yaitu 100% yang artinya asupan atlet kurang dari 90% dari yang dianjurkan, sedangkan asupan vitamin D semua atlet masuk kategori cukup yaitu 100% yang artinya asupan atlet ≼ 90% dari yang dianjurkan. Sebagian besar asupan kurang disebabkan karena kurang mengkonsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, dan sumber vitamin lainnya. Vitamin sangat penting terutama untuk mengukur reaksi kimia zat gizi penghasil energi. Pada seorang atlet, kebutuhan vitamin terutama vitamin yang larut dalam air, meningkat sesuai dengan kebutuhan 8 energi .


Mineral Dari hasil penelitian didapatkan bahwa sebagian besar asupan Fe dan Zn dalam kategori kurang yaitu 82,8% dan 96,6%. Sementara itu untuk asupan kalsium semua atlet dalam kategori kurang (100%). Zat besi (Fe) merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia dan hewan yaitu sebanyak 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Zat besi mempunyai fungsi esensial di dalam tubuh sebagai alat angkut 9 oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh . Zat besi banyak terdapat dalam bahan makanan hewani, contohnya daging, ayam, ikan maupun dalam bahan makanan nabati contohnya 8 kangkung dan bayam . Pengkategorian cukup atau tidaknya asupan zat gizi berdasarkan AKG 2004 bagi orang Indonesia. Hampir semua asupan zat gizi atlet termasuk dalam kategori kurang. Hal ini disebabkan asupan energi yang dikonsumsi atlet ternyata sebagian besar tidak memperhitungkan kebutuhan energi yang sesuai dengan kebutuhan yang mereka butuhkan dan tidak mempunyai cukup pengetahuan tentang berapa besar asupan energi yang dikonsumsi seorang atlet pada saat latihan sehingga asupan energi yang dikonsumsi tidak tercukupi. Selain itu hal ini disebabkan pula karena atlet ingin mempertahankan berat badan namun pengaturan makanan atlet tidak sesuai dengan aktivitas harian. Gambaran Status Gizi Antropometri Hasil analisis status gizi berdasarkan asupan energi menunjukkan bahwa atlet yang berkategori asupan energi kurang yaitu 100% yang semuanya berstatus gizi normal. Berdasarkan penelitian tentang status gizi atlet, semuanya berstatus gizi normal sedangkan asupan energi yang dikonsumsi oleh atlet berada pada kategori kurang. Hasil ini berbanding terbalik dengan teori yang dikemukakan oleh Hasan (2008) yang menyatakan bahwa status gizi seseorang berkaitan erat dengan asupan gizi dari makanan yang dikonsumsi baik kuantitas maupun 10 kualitasnya . Hal ini terjadi karena atlet ingin mempertahankan berat badan sehingga membatasi asupan makanannya. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang akan digunakan secara

efisien sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan kemampuan kerja untuk mencapai tingkat 11 kesehatan yang optimal . Hemoglobin (Hb) Hasil pengukuran berdasarkan kadar Hb didapatkan sebagian besar atlet berada pada kategori normal yaitu 66,5% dan kategori anemia yaitu 34,5%. Pengambilan kadar Hb metode cyanmethemoglobin menggunakan karena lebih akurat dan praktis. Hb merupakan senyawa pembawa oksigen pada sel darah merah. Kandungan Hb yang rendah dapat mengindikasikan anemia. Berdasarkan pada metode yang digunakan, nilai hemoglobin menjadi akurat sampai 2-3%. Metode yang lebih dulu dikenal adalah metode Sahli yang menggunakan teknik kimia dengan membandingkan senyawa akhir secara visual 12 terhadap standar gelas warna . Gambaran Tingkat Kebugaran Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar atlet dalam kategori baik sekali yaitu 55,2% dan atlet dengan kategori baik yaitu 44,8%. Secara fisiologis kesegaran jasmani adalah kemampuan melakukan penyesuaian terhadap pembebanan fisik yang diberikan tanpa menimbulkan kelelahan yang berlebihan. Hal ini mengandung pengertian bahwa semua bentuk kegiatan selalu memerlukan dukungan fisik, sehingga masalah kemampuan fisik merupakan faktor dasar bagi setiap aktivitas. Olahragawan yang memiliki kesegaran jasmani yang baik akan mempunyai kemampuan fisik seperti kekuatan, daya tahan, kecepatan, daya tahan jantung, 13 daya tahan otot, dan daya tahan paru-paru . KESIMPULAN DAN SARAN Asupan energi, karbohidrat, lemak, vitamin C, dan kalsium semuanya berada pada kategori kurang. Asupan protein sebagian besar pada kategori cukup yaitu 96,6%. Asupan vitamin D semuanya berada pada kategori cukup. Sebanyak masing-masing 82,8% dan 96,6% atlet memiliki asupan Fe dan Zn pada kategori kurang. Status gizi antropometri memiliki status gizi normal yaitu 100% sedangkan pengukuran biokimia (kadar Hb) sebagian besar dalam kategori normal yaitu 66,5%. Tingkat kebugaran sebagian besar pada kategori baik sekali yaitu 55,2%. Perlu adanya ahli gizi yang dapat memberikan pengetahuan tentang gizi secara


rutin sehingga atlet dapat mengetahui jenis dan jumlah makanan yang mereka butuhkan serta mereka dapat mengetahui besarnya pengaruh makanan terhadap daya tahan dan penampilan mereka. Atlet disarankan untuk lebih banyak mengkonsumsi makanan beraneka ragam serta mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan. DAFTAR PUSTAKA 1. Kusumawati. Hubungan antara pola komsumsi protein dan fe dengan daya tahan jantung paru atlet sepakbola PS Semen Padang tahun 2003. Jurnal Gizi Klinik Indonesia 2005 : 2 (1) : 8-12. 2. Departemen Kesehatan RI. Materi advokasi kesehatan olahraga. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat ; 2003. 3. Departemen Kesehatan RI. Pedoman pelatihan gizi olahraga untuk prestasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat ; 2000. 4. Dominic OL, Onifade OA. Dietary attitude of University of Ilorin athletes. Departement Of Physical Ang Health Education University Of Ilorion ; 2004. 5. Zawila LG, Steib CM, Hoogenboom B. The female collagiate cross-country runner: nutrirional knowledge and attitudes. Journal Of Athlete Training 2003 : 38 (1) : 67-74.

6.

7. 8. 9. 10. 11.

12. 13.

Napu, Arifasno. Pengaturan berat badan dalam menunjang kemampuan fisik atlet. Terdapat pada : www.gizi.net. Diakses pada 20 Oktober, 2011. Irawan, Djoko Pekik. Panduan gizi lengkap keluarga dan olahragawan. Yogyakarta: Penerbit Andi ; 2008. Departemen Kesehatan RI. Gizi olahraga untuk prestasi. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat ; 1997. Almatsier, Sunita. Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama ; 2005. Hasan, S. Kesegaran jasmani atlet sepak bola pra-pubertas. Jurnal Iptek Olahraga 2008 : 10 (3) : 188-202. Departemen Kesehatan RI. Pedoman praktis terapi gizi medis. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat ; 2006. Supariasa, I Dewa Nyoman. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran ; 2002. Sharkey, B. Kebugaran dan kesehatan devisi buku sport. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada ; 2003.


FORTIFIKASI ZAT BESI PADA PERMEN BELIMBING WULUH DENGAN METODE MIKROENKAPSULASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI PREVALENSI ANEMIA GIZI BESI PADA ANAK-ANAK Sakinah Ulfiyanti1 1

Departemen Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK Pemanfaatan belimbing wuluh sebagai bahan olahan permen dengan fortifikasi zat besi dapat menambah nilai ekonomis dan daya guna dari belimbing wuluh yang selama ini tidak termanfaatkan secara maksimal. Permen merupakan salah satu pangan yang digemari oleh anak-anak. Oleh karena itu, permen dianggap cocok menjadi salah satu produk yang difortifikasi dengan alasan fortifikasi pada makanan pokok sulit dikendalikan terkait asupan. Besi yang digunakan untuk fortifikasi adalah fero glukonat, karena penyerapannya (bioavailabilitas) lebih tinggi jika dibandingkan dengan besi jenis fero fumarat dan fero sulfat. Mikrokapsul yang terpilih untuk digunakan dalam pembuatan permen adalah 7,5% fero glukonat dengan kandungan besi 6,6 mg/gram mikrokapsul. Proses fortifikasi zat besi pada permen belimbing wuluh adalah ditambahkan konsentrasi besi sebanyak 5%, 10%, dan 20% dari AKG besi per hari pada anak-anak (10 mg) untuk setiap satu buah permen. Pemberian permen belimbing wuluh terfortifikasi pada anak-anak adalah permen dengan formula 3, yaitu adonan belimbing wuluh 10 gram dengan mikrokapsul besi 2,25 gram dan mengandung konsentrasi besi 15 gram. Sehingga dapat memenuhi 15% berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau setara dengan 1,5 mg. Angka Kecukupan Gizi pada anak adalah 10 mg/hari. Jadi permen belimbing wuluh dapat diberikan 1-2 kali sehari. Kata Kunci: Fortifikasi, zat besi, permen, anemia, belimbing wuluh

PENDAHULUAN Era globalisasi menuntut setiap negara untuk melakukan peningkatan produktivitas dan kualitas sumber daya manusia. Salah satu indikator pengukur tinggi rendahnya kualitas tersebut adalah Indeks Kualitas Hidup Manusia (HDI) (Azwar, 2000). Tahun 2004, HDI Indonesia menempati urutan ke 111 dari 177 negara (Syamsi dan Sutaryo, 2005). Tiga faktor yang penentu HDI yang dikeluarkan oleh UNDP (United National Development Program) adalah pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dimana ketiga faktor tersebut erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (Azwar, 2000). Masalah gizi masyarakat yang utama di Indonesia masih didominasi oleh masalah gizi kurang energi protein (KEP), GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium), kurang vitamin A (KVA), dan masalah anemia gizi. Untuk masalah Anemina gizi, diperkirakan 25% dari penduduk dunia menderita anemia (Urtula dan Triasih, 2005). Zat gizi yang paling berperan

dalam proses terjadinya anemia gizi adalah zat besi (Supariasa dkk, 2000). Anemia gizi besi merupakan salah satu masalah kekurangan zat gizi mikro yang menimpa hampir separuh anak-anak di negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi anemia di Indonesia yang ditunjukkan oleh laporan Depkes (2005) yaitu pada remaja wanita 26,50%, wanita usia subur (WUS) 26,9%, ibu hamil 40,1% dan pada anak balita 47,0%. Anemia gizi besi yang terjadi pada masa bayi dan anak-anak berdampak pada perkembangan mental dan motorik yang kemungkinan akan mempunyai dampak pada masa selanjutnya (Idjradinata & Pollit, 1993). Beberapa faktor yang menyebabkan anemia antara lain asupan zat besi yang kurang, infeksi berbagai macam cacing, berkurangnya persediaan zat besi di dalam tubuh, meningkatnya kebutuhan akan zat besi, serta kehilangan darah yang kronis (Almatsier, 2004).


Selama ini upaya penanggulangan anemia gizi besi di Indonesia masih berkisar pada suplementasi, baik dalam bentuk cairan sirup maupun kapsul. Strategi lain yang dianggap lebih efektif adalah fortifikasi pangan sebagai suatu metode yang sukses untuk mengurangi defisiensi gizi besi. Program fortifikasi diharapkan mampu menghasilkan produk pangan dengan kandungan fortifikan yang dapat mencegah terjadinya defisiensi jika dikonsumsi pada jumlah normal serta memiliki harga yang lebih terjangkau. Salah satu bahan pangan yang masih belum banyak dimanfaatkan di masyrakat dan memilki banyak khasiat serta dapat didapat dengan harga terjangkau adalah belimbing wuluh. Belimbing wuluh merupakan buah yang kaya akan vitamin C. Tanaman ini tumbuh subur tanpa perawatan khusus, bahkan buah ini dapat tumbuh tanpa mengenal musim (Lin, 1994). Menurut FAO (1972) buah belimbing wuluh memiliki kandungan asam askorbat sebanyak 35mg/100 gram buah. Rasanya yang sangat asam menjadikan buah ini jarang dikonsumsi langsung sebagai buah segar, melainkan hanya digunakan sebagai obat tradisional seperti obat batuk, sariawan, sakit perut, gondongan, jerawat, tekanan darah tinggi, memperbaiki fungsi pencernaan, dan radang rektum. Pemanfaatan belimbing wuluh sebagai bahan olahan permen dengan fortifikasi zat besi dapat menambah nilai ekonomis dan daya guna dari belimbing wuluh yang selama ini tidak termanfaatkan secara maksimal. Permen merupakan salah satu pangan yang digemari oleh anak-anak. Oleh karena itu, permen dianggap cocok menjadi salah satu produk yang difortifikasi dengan alasan fortifikasi pada makanan pokok sulit dikendalikan terkait asupan pada masing-masing individu. Adanya vitamin C pada belimbing wuluh sangat membantu penyerapan besi-nonhem dengan merubah bentuk feri menjadi fero sehingga bioavailabilitas zat besi pada tubuh meningkat (Almatsier, 2004). Maka berdasarkan latar belakang di atas, tercetuslah sebuah ide “Fortifikasi Zat Besi pada Permen Belimbing Wuluh dengan Metode Mikroenkapsulasi sebagai Salah Satu Upaya Mengurangi Prevalensi Anemia Gizi Besi Pada Anak-Anak� RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, dalam penyusunan karya ilmiah ini ada beberapa rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu : 1. Bagaiman cara pembuatan permen belimbing wuluh?

2. Berapa konsentrasi zat besi yang dibutuhkan untuk fortifikasi pada permen belimbing wuluh? 3. Bagaimana proses fortifikasi zat besi pada permen belimbing wuluh? PEMBAHASAN 2.1 Cara Pembuatan Permen Belimbing Wuluh Peralatan dan bahan yang digunakan dalam proses pembuatan permen belimbing wuluh antara lain timbangan, kompor gas, panci, pengaduk kayu, termometer, alat pencetak, gula pasir, sirup fruktosa, sorbitol, dan belimbing wuluh. Cara pembuatan permen belimbing wuluh adalah sebagai berikut: 1. Belimbing wuluh dicuci bersih, dipotongpotong dan dihancurkan sampai halus dengan blender tanpa penambahan air 2. Disiapkan bahan-bahan permen dengan perbandingan tertentu gula: fruktosa: sorbitol = 60:50:10 3. Belimbing wuluh yang sudah hancur disaring untuk mendapatkan sarinya. 4. Tambahkan 60 gram gula , 50 gram fruktosa, dan 10 gram sorbitol. Sorbitol digunakan untuk membuat tekstur agak keras sehingga adonan mudah dibentuk saat pembuatan permen. 5. Setelah semua bahan tercampur, pemanasan dilakukan sampai mendidih sambil terus diaduk. 6. Dituang sedikit ke dalam cetakan 7. Didinginkan untuk mengeraskan permen

2.2 Konsentrasi Zat Besi yang Dibutuhkan untuk Fortifikasi pada Permen Belimbing Wuluh Bahan-bahan yang digunakan untuk fortifikasi besi pada permen belimbing wuluh adalah gum arab, maltodekstrin, dan akuades. Senyawa besi yang dipilih harus berupa jenis zat besi yang tingkat penyerapannya dalam usus cukup tinggi. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis besi fero glukonat. Harga besi jenis ini memang cukup mahal, namun penyerapannya (bioavailabilitas) lebih tinggi jika dibandingkan dengan besi jenis fero fumarat dan fero sulfat. Komposisi mikrokapsul besi yang digunakan terdiri atas gum arab : maltodekstrin : serbuk besi = 70%:30%:7,5% atau 14 g gum arab, 6 g maltodekstrin, dan 15 g serbuk besi dalam 200 ml air (pelarut). Komposisi ini diambil dari metode Purnamasari (2009) yang merupakan modifikasi dari metode Fitriani (2001). Mikrokapsul yang dihasilkan kemudian dianalisis kimia kandungan besinya


dengan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometri). Berdasarkan hasil analisis kadar besi dengan menggunakan AAS tersebut, mikrokapsul yang terpilih untuk digunakan dalam pembuatan permen adalah 7,5% fero glukonat dengan kandungan besi 6,6 mg/gram mikrokapsul. Formula ini dipilih karena mempunyai nilai kehilangan besi yang lebih rendah (efisiensi 47,3%) pada saat mikrokapsul dibuat. Pada umumnya beberapa faktor perlu dipertimbangkan dalam memilih bahan pembawa untuk fortifikasi (carrier) adalah bahan pembawa harus merupakan bahan yang dikonsumsi dalam jumlah yang cukup oleh kelompok target. Bahan pembawa yang ideal adalah bahan yang dimakan setiap hari dan dalam jumlah konstan oleh kelompok sasaran, dapat membawa zat gizi dalam jumlah yang ditetapkan serta tersedia di pasaran agar mudah diperoleh. Kedua, bahan pembawa yang telah difortifikasi seharusnya tetap stabil dan tidak banyak mengalami perubahan dari aspek sensorinya (Dary dan Kim, 2002). Untuk meningkatkan penyerapan zat besi, fortifikasi dapat dilakukan dengan metode penambahan senyawa pendorong (enhancers), salah satunya adalah asam askorbat. Vitamin C dapat meningkatkan penyerapan zat besi sebesar dua atau tiga kali lipat. Belimbing wuluh merupakan salah satu buah tropis yang kaya akan vitamin C. Vitamin C mampu merubah bentuk zat besi feri menjadi fero yang relatif mudah diserap. Zat besi dalam bentuk kelat terlindungi dari senyawa inhibitor di dalam usus dan zat besi non-hem dapat dipertahankan kelarutannya ketika masuk dalam lingkungan alkali usus halus sehingga dapat menetralkan efek dari senyawa inhibitor (Almatsier, 2004). Pemberian gum arab bertujuan untuk untuk memperbaiki viskositas, tekstur, dan bentuk makanan (Wahyuni, 2005). Sedangkan maltodekstrin dikenal memiliki banyak fungsi dalam pengolahan pangan diantaranya sebagai emulsifier dan pengental (Luthana, 2008). Keunggulan penggunaan maltodekstrin yaitu dapat larut dalam air dingin, memiliki kemampuan mengikat air, sifat browning yang rendah, dan rendah kalori (Rini, 2011).

2.3 Proses Fortifikasi Zat Permen Belimbing Wuluh

Besi

pada

Pada umumnya fortifikasi zat besi ke dalam bahan pangan dilakukan dengan cara

membuat premix yaitu dengan terlebih dahulu mencampurkan zat besi ke dalam sebagian kecil produk sebagai bahan pembawa, kemudian mencampurkannya ke dalam keseluruhan produk hingga homogen. Pada penelitian ini mikroenkapsulasi besi dicampur dengan selai belimbing wuluh. Terdapat beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih senyawa untuk fortifikasi (fortifikan), antara lain: (1) bioavailabilitas relatif fortifikan, (2) reaktivitas fortifikan yang mengakibatkan terjadinya diskolorisasi (perubahan warna) atau perubahan bau dan cita rasa yang tidak diinginkan; (3) stabilitas fortifikan selama penyimpanan dan pengolahan pangan; serta (4) kompatibitas atau kecocokannya dengan senyawa atau zat gizi lain. Dalam memilih zat besi sebagai fortifikan, di antara beberapa faktor tersebut yang paling utama harus mendapatkan perhatian adalah bioavalibilitas relatifnya. Jika dipilih fortifikan dengan bioavalabilitas relatif kecil, maka untuk mencapai target pemenuhan kebutuhan zat gizi yang diinginkan diperlukan fortifikan dalam jumlah besar. Besarnya jumlah fortifikan akan berdampak pada tingginya harga dan kemungkinan timbulnya efek sensori yang tidak diinginkan. Vitamin C merupakan jenis vitamin yang membantu penyerapan zat besi dalam tubuh (Dary dan Kim, 2002) Belimbing wuluh merupakan buah yang kaya akan vitamin C. Tanaman ini tumbuh subur tanpa perawatan khusus, bahkan buah ini dapat tumbuh tanpa mengenal musim (Lin, 1994). Menurut FAO (1972) buah belimbing wuluh memiliki kandungan asam askorbat sebanyak 35mg/100 gram buah. Rasanya yang sangat asam menjadikan buah ini jarang dikonsumsi langsung sebagai buah segar, melainkan hanya digunakan sebagai obat tradisional seperti obat batuk, sariawan, sakit perut, gondongan, jerawat, tekanan darah tinggi, memperbaiki fungsi pencernaan, dan radang rektum. Pemanfaatannya yang hanya sebatas pada penggunaan obat tradisional, membuat kurangnya efisiensi dari buah ini. Oleh karena itu untuk mengefisienkan buah belimbing wuluh dan menambah nilai guna dari buah ini, maka dibuatlah permen yang terfortifikasi dengan besi jenis fero glukonat. Pada penelitian ini digunakan permen jenis permen keras. Permen keras dipilih karena (hard candy) memiliki tekstur yang keras, penampakan yang bening seperti kaca sehingga dapat menarik anak-anak untuk mengkonsumsinya. Proses fortifikasi zat besi pada permen belimbing wuluh adalah ditambahkan


konsentrasi besi sebanyak 5%, 10%, dan 20% dari AKG besi per hari pada anak-anak (10 mg) untuk setiap satu buah permen. Produk permen yang akan dihasilkan berupa permen keras. Mikrokapsul besi ini akan ditambahkan ke permen belimbing wuluh. Sehingga di dalam permen belimbing wuluh berisi besi yang sudah terenkapsulasi. Formulasi untuk 10 permen keras yang akan diisi dengan adonan permen belimbing wuluhyang telah difortifikasi disajikan pada Tabel 5 berikut: Tabel 5 Komposisi permen belimbing wuluh (bagian luar permen) Formula Gula pasir Fruktosa (sukrosa) (g) (g) A1 60 50 A2 60 50 A3 60 50

Pemberian permen belimbing wuluh terfortifikasi pada anak-anak adalah permen dengan formula 3, yaitu adonan belimbing wuluh 10 gram dengan mikrokapsul besi 2,25 gram dan mengandung konsentrasi besi 15 gram. Sehingga dapat memenuhi 15% berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau setara dengan 1,5 mg. Angka Kecukupan Gizi pada anak adalah 10 mg/hari. Jadi permen belimbing wuluh dapat diberikan 1-2 kali sehari. Selain kecukupan besi diperoleh dari permen belimbing wuluh terfortifikasi, anak-anak juga dapat memenuhi kebutuhan akan zat besi dari pangan hewani maupun nabati yang dikonsumsinya.

KESIMPULAN Proses fortifikasi zat besi pada permen belimbing wuluh adalah ditambahkan konsentrasi besi sebanyak 5%, 10%, dan 20% dari AKG besi per hari pada anak-anak (10 mg). Pada pemberian permen belimbing wuluh terfortifikasi pada anak-anak adalah menggunakan permen dengan formula 3, yaitu adonan belimbing wuluh 10 gram dengan mikrokapsul besi 2,25 gram dan mengandung konsentrasi besi 15 gram. Sehingga dapat memenuhi 15% berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) atau setara dengan 1,5 mg. Jadi permen belimbing wuluh dapat diberikan 1-2 kali sehari untuk memenuhi Angka Kecukupan Gizi (AKG).

SARAN Konsumsi permen berlebihan dapat menyebabkan karies, sehingga disarankan jangan terlalu banyak mengkonsumsi permen ini. Cukup 1-2 kali sehari dan asupan zat besi dapat dari pangan hewani yang kaya akan Fe.

DAFTAR PUSTAKA 1. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2. [Depkes] Departemen Kesehatan. 2005. Gizi dalam Angka sampai dengan tahun 2003. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. 3. Dary O, Freire W dan Kim S. 2002. Iron compounds for fortifications: guidelines for Latin America and the Carribean. Nutr Rev. Vol 60 No 7 4. Fitriani S. 2001. Mikroenkapsulasi mineral besi untuk untuk fortifikasi mentega [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 5. Hurrel R. 2010. Use of ferrous fumarate to fortify foods for infants and young children. Nutr Rev 68 (9): 522-530. 6. Husaini MA, Husaini YK, Uhum LS, Susilo D. 1989. Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 7. Jackson EB. 1999. Sugar Confectionery Manufacture. Cambridge: Cambridge University Press. 8. Purnamasari T. 2009. Fortifikasimikrokapsulbesipadapermencok elatuntukmengatasidefisiensibesipadarem ajaputri [skripsi]. Bogor: FakultasEkologiManusia, InstitutPertanian Bogor. 9. Rahmalia R. 2008. Kajian mikroenkapsulasi ekstrak vanili dan retensi vanili selama penyimpanan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 10. Rini. 2011. Pengaruh penambahan maltodekstrin.bbrp2b.kkp.go.id/journal/inde x.php/semnasbbrp2b/article/view/9 [ 03 Maret 2013] 11. Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.


12. Wahyuni. 2005. Karakteristik gum arab. repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/1234 56789/.../D05nwa.pdf?...2 [03 Maret 2013] 13. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: LIPI.


MANFAAT ISOFLAVON DALAM PRODUK KEDELAI MENANGGULANGI DIABETES SERTA MENCEGAH OBESITAS DAN OSTEOPOROSIS Andi Imam Arundhana1 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Minat Gizi dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

ABSTRAK Di Indonesia, produk olahan kedelai seperti tempe, tahu, susu kedelai dan beberapa jenis makanan lainnya dapat diperoleh dengan mudah. Kacang kedelai mengandung isoflavon, kaya serat protein, memiliki indeks glikemik rendah, dan tergolong sebagai makanan fungsional. Hal ini yang mendasari pemanfaat kacang kedelai secara khusus dalam penatalaksanaan obesitas, diabetes dan komorbiditas lainnya. Beberapa penelitian RCT untuk menguji efek isoflavon dari produk kedelai, menunjukkan bahwa isoflavon menurunkan risiko berbagai masalah kesehatan seperti kanker payudara dan prostat, penyakit jantung koroner, mencegah hilangnya kepadatan tulang pada usia lanjut, dan memiliki potensi untuk mencegah obesitas dan diabetes. Sumber isoflavon tidak hanya dari produk kedelai tetapi dapat juga diperoleh dari kacang-kacangan, dan gandum meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kacang kedelai. Adapun kebutuhan isoflavon harian individu, tidak ada referensi yang menunjukkan rekomendasi batasan isoflavon. Namun semakin banyak antioksidan dan anti-inflamasi dalam tubuh semakin baik. Meskipun demikian, asupan sumber isoflavon juga perlu diperhatikan, karena bahan makanan sumber isoflavon mengandung tinggi protein dan jika asupan protein yang berlebihan akan berdampak pada kesehatan ginjal serta kadar albumin dalam serum meningkat. Sebaiknya tetap mengacu pada kebutuhan dasar individu akan protein, dan pemilihan bahan makanan sumber protein tersebut berasal dari produk kedelai dengan begitu kebutuhan harian protein dan isoflavon dapat terpenuhi. Kata kunci : Kacang kedelai, isoflavon, antioksidan, penyakit kronik

ABSTRACT In Indonesia, processed of soy products such as tempe, tofu, soy milk and some other foods can be obtained easily. Soybean contains isoflavones, protein fiber, has a low glycemic index, and classified as a functional food. It is the underlying beneficiary of soybeans specifically in the management of obesity, diabetes and other co-morbidities. Several RCT studies to examine the effects of isoflavones from soy products, suggesting that isoflavones reduce the risk of health problems such as breast and prostate cancer, coronary heart disease, prevent the loss of bone density in the elderly, and has the potential to prevent obesity and diabetes. Not only the source of isoflavones from soy products but can also be obtained from nuts, and wheat although fewer in number than soybeans. As for the daily needs of the individual isoflavones, there is no reference that shows the limits on isoflavones. However, the more antioxidants and anti-inflammatory in the body better. Nonetheless, the source of intake of isoflavones is also worth noting, because the food sources of isoflavones contain high protein and if the protein intake constantly excessive will impact the health of the kidneys and increases in


serum albumin levels. We recommend that you keep referring to the basic needs of an individual protein, and the selection of food sources of protein derived from soy products so protein and isoflavones daily needs can be met. Keywords: Soybean, isoflavon, antioxidant, chronic diseases

PENDAHULUAN Fitoestrogen merupakan senyawa mirip estrogen yang berasal dari tumbuhan. Senyawa ini terdiri dari tiga jenis yaitu flavonoid, isoflavon, dan coumestrol. Isoflavon merupakan komponen bioaktif yang termasuk golongan senyawa metabolik yang terdapat pada tumbuhan sehingga Isoflavon juga dijuluki sebagai estrogen nabati. Salah satu sumber isoflavon terbesar dari bahan makanan adalah kacang kedel kedelai dan olahannya, yakni jenis isoflavon dalam bentuk 1 glukosida (genistein, daidzein, dan glisitein). Makanan yang berasal dari kacang kedelai (soy bean)) mengandung banyak isoflavon, yakni berkisar 2-4 4 mg/g kacang kedelai atau 3,1 mg isoflavon per tiap gram m protein dalam 2 kedelai. Aktivitas fisiologis senyawa isoflavon telah banyak diteliti dan berbagai aktivitas tersebut berkaitan dengan struktur senyawanya yaitu aktivitas estrogenik karena senyawa tersebut mirip dengan estrogen. Aktivitas estrogenik isoflavon lavon terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat estrogenik, bahkan, bisa jadi mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari stilbestrol. Stilbestrol merupakan hormon sintetik estrogen yang digunakan seba sebagai obat. Menurut Oilis (1962), dalam Pawiroharso (2001) menunjukkan bahwa jenis isoflavon daidzein merupakan senyawa yang aktivitas estrogeniknya lebih tinggi dibandingkan 3 dengan jenis isoflavon lainnya.

Isoflavon memberikan banyak manfaat bagi kesehatan manusia, berbagai penelitian yang dilakukan pada tikus maupun manusia untuk melihat manfaat dari isoflavon yang terdapat dalam produk olahan kedelai, sebagian besar menunjukkan hasil positif bagi

kesehatan manusia. Beberapa penelitian epidemiologi menunjukkan kkan hasil yang kuat bahwa isoflavon berperan dalam mencegah berbagai masalah kesehatan seperti kanker 4 payudara dan prostat , menurunkan risiko penyakit jantung koroner, mencegah 5 hilangnya kepadatan tulang pada usia lanjut , dan memiliki potensi manfaat da dalam 6 mencegah obesitas dan diabetes.

PEMBAHASAN 1. Isoflavon dan glukosa darah – menanggulangi diabetes mellitus Seperti yang telah direkomendasikan oleh American Diabetes Association (ADA) bahwa penyandang diabetes perlu menjaga kadar gula darah, kadar lipoprotein khususnya LDL dan berat badan dalam keadaan normal untuk mengurangi risiko diabetes. Oleh karena itu pengaturan pola makan dan aktivitas, serta rutinitas menimbang berat badan n perlu dilakukan. Dalam sebuah konferensi diabetic management management, para ahli mengemukakan bahwa protein dan serat yang terdapat dalam kedelai dan olahannya mampu menjaga normalisasi glukosa darah dan kadar lipoprotein. Selain karena kandungan isoflavonnya, kedelai delai merupakan salah satu pilihan yang baik untuk dikonsumsi penderita diabetes sebab mengandung karbohidrat kompleks sehingga membuat tubuh cepat kenyang dan indeks glikemik yang rendah sehingga tidak akan membuat kadar glukosa dalam darah naik dengan cepat. Telah diduga bahwa makanan kedelai utuh maupun komponen dari kedelai seperti isoflavon dan protein dapat membantu 7 mencegah perkembangan diabetes tipe 2. Suatu studi cross-sectional telah menilai hubungan antara asupan isoflavon dan toleransi glukosa. Penelitian tersebut menemukan tingkat konsentrasi insulin yang lebih rendah dari orang dengan asupan isoflavon tinggi dibandingkan yang asupannya 8 rendah. Penelitian RCT yang dilakukan Liu et al.. (2009) menunjukkan hasil yang tidak signifikan dalam melihat pengaruh isoflavon dalam mengubah glukosa puasa. Liu menyimpulkan bahwa pada dasarnya manfaat klinis dari isoflavon terhadap manusia


tergantung pada kemampuan untuk menghasilkan metabolit dari daidzein yaitu 9 equol. Namun berbeda dari hasil penelitian RCT dari Curtis et al. (2012) pada wanita pasca-menopause, ditemukan bahwa asupan isoflavon yang dikombinasikan dengan flavan3-ols (dari golongan flavonoid) secara signifikan meningkatkan penanda dari sensitivitas insulin.10 Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ekstrak genistein yang memilki manfaat terhadap penurunan 11 resistensi insulin namun hasil tersebut masih memerlukan penelitian yang lebih mendalam. Begitu pula penelitian yang dilakukan pada tikus, menunujukkan kadar glukosa darah puasa yang lebih rendah pada tikus yang diberi makanan berbahan kedelai daripada kelompok yang mendapatkan intervensi diet yang berbeda. Dari beberapa hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa isoflavon memiliki manfaat yang berkaitan dengan gula darah dan respons insulin, seperti terhadap orang yang memiliki masalah intoleransi glukosa maupun resistensi insulin. Isoflavon menghasilkan perbaikan dalam sensitivitas insulin, juga membuat penderita diabetes tipe 1 mendapatkan asupan energi sehingga dapat beraktivitas dengan nyaman4, karena itu diet yang mengandung isoflavon yang tinggi sangat baik dalam menanggulangi masalah diabetes. Menurut Alrasyid (2007), isoflavon dalam kedelai dan olahannya dapat menekan sekresi insulin dan glukagon sehingga hal ini akan menghambat proses lipogenesis dan menurunkan kadar LDL.2 2. Kombinasi asupan isoflavon dan olahraga – mencegah osteoporosis Osteoporosis merupakan masalah umum yang terjadi pada masa pasca menopause wanita, karena produksi hormon estrogen menurun seiring dengan bertambahnya usia. Seperti yang telah diketahui bersama bahwa hormon estrogen berperan dalam regulasi metabolisme kalsium dalam tubuh terutama yang menyangkut kepadatan mineral tulang. Defisiensi estrogen memainkan fungsi penting terhadap kejadian osteoporosis dan penyakit kronik lain yang berkaitan dengan menopause. Meskipun terapi estrogen dapat mengatasi dan mencegah keropos tulang tetapi disisi lain terapi tersebut meningkatkan risiko kanker 13 14 rahim , penyakit jantung koroner dan 15 kanker payudara invasif serta efek samping lainnya. Sehingga cara yang aman dan alami untuk mengisi peran estrogen adalah dengan 16 isoflavon.

Peran isoflavon dalam metabolisme kalsium juga mirip dengan estrogen yakni memiliki efek estrogenik meskipun efeknya jauh lebih lemah dari estrogen. Banyak peneliti telah mengusulkan efek estrogenik ini diperoleh dari bakteri usus yang mengubah daidzein (isoflavon utama kacang kedelai) menjadi equol yang merupakan metabolit yang sangat aktif. Equol ini mempunyai struktur yang mirip dengan hormon estrogen 3 dan mudah untuk diserap. Equol telah disarankan untuk menjadi faktor tunggal yang paling penting memengaruhi manfaat klinis dari isoflavon produk kedelai dalam 17 mencegah pengeroposan tulang. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian RCT dengan sari kedelai basah yang menunjukkan bahwa pemberian sari kedelai basah dengan volume 4 ml pada tikus putih usia muda tidak hanya memacu pertumbuhan panjang tulang tetapi juga meningkatkan kepadatan tulang hingga 29%.18 Estrogen merupakan salah satu faktor yang cukup potensial terhadap metabolisme kepadatan tulang yang meliputi pembentukan tulang (bone formation) dan pembongkaran 18 tulang (bone resorption). Hal ini disebabkan sifat isoflavon yang hampir sama dengan estrogen, sehingga isoflavon juga berperan terhadap pengaturan sistem skeletal tersebut. Isoflavon dapat menghambat kehilangan kalsium dari tulang, karena adanya daya hambat pengeluaran kalsium melalui urin dari isoflavon. Hasil meta-analisis menemukan bahwa intervensi dengan isoflavon dari kedelai dapat meningkatkan biomarker kepadatan tulang dengan spesifikasi kalsium dan fosfat yang tinggi.6 Isoflavon akan mengikat dengan reseptor estrogen yang berada di nukleus dengan melibatkan ikatan DNA (aksi genomilk) yang kemudian merangsang aktivitas proliferasi dan deferensiasi dari sel osteoblast. Jika hal ini terbukti maka proses pembentukan tulang akan lebih cepat, sehingga pertumbuhan tulang akan lebih cepat pula. Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berasal dari sel progenitor dan ditemukan dipermukaan tulang. Selain terapi dengan isoflavon kedelai, kombinasi dengan stimulasi mekanik misalnya olahraga mungkin saja dapat membantu mencegah osteoporosis pada wanita pasca menopause. Penelitian yang dilakukan Wu et al., (2004) menunjukkan bahwa olahraga sedang (moderate) dapat meningkatkan penyerapan kalsium dan memaksimalkan peran vitamin D dalam regulasi absorpsi kalsium dan fosfat pada tulang. Penelitian Wu juga menemukan bahwa terapi isoflavon saja


hanya dapat menghalangi kehilangan mineral pada tulang yang dapat menyebabkan keropos sedangkan apabila digabungkan dengan olahraga sedang, tidak hanya dapat mencegah keropos pada tulang tetapi juga menambah kepadatan tulang.20 Perlu diketahui bahwa salah satu manfaat dari olahraga adalah mencegah osteoporosis. Tulang akan merespon kekuatan biomekanik yang berhubungan dengan olahraga, hal ini juga diakui bahwa kegiatan menahan beban yang rutin dilakukan menunjukkan efek osteogenik.8 Sebagai kesimpulan bahwa isoflavon dari kedelai disertai olahraga menjadi cara yang efektif memberikan efek tidak hanya dalam pembentukan tulang melainkan juga mencegah pengeroposan tulang. Seperti hasil penelitian RCT dari Ma et al. (2008) dan Taku et al. (2010) yang menunjukkan hasil signifikan peran isoflavon dalam meningkatkan kepadatan mineral tulang pada wanita menopause. Jenis terapi olahraga yang baik untuk penderita osteoporosis adalah melakukan tahan beban pada kaki (weight-bearing), senam aerobik, berjalan kaki setiap hari, dan jogging. Hasil penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa intervensi gabungan suplemen isoflavon dan olahraga ringan mungkin merupakan cara yang efektif untuk mencegah obesitas, osteoporosis, dan 6 hiperkolesterolemia pada wanita menopause. 3. Isoflavon dan pencegahan obesitas Obesitas merupakan masalah kesehatan yang dampak dan penyebabnya multifaktor. Obesitas disebabkan oleh genetik dan sebagian besar oleh lingkungan. Obesitas digolongkan sebagai masalah metabolik kompleks yang terjadi sebagai hasil ketidakseimbangan antara asupan energi dan energi yang dikeluarkan, sehingga menyebabkan akumulasi dari lemak di jaringan adiposa dan beberapa organ. Perkembangan obesitas juga berkaitan dengan masalah-masalah metabolik lainnya. Dalam beberapa tahun terakhir, diet ketat dan olahraga yang berat diyakini sebagai metode yang tepat untuk mengatasi masalah obesitas. Akan tetapi saat ini telah banyak penelitian yang menunjukkan keberhasilan itu akan lebih efektif jika orang yang obesitas memahami mekanisme dari setiap intervensi yang dilakukan.9 Baru-baru ini, perhatian menuju kepada mekanisme isoflavon dari kedelai dalam menurunkan asupan makanan dan asupan kalori sebagai salah satu cara manajemen berat badan.10 Berdasarkan hasil penelitian Crespillo et al. (2008) dan penelitian lainnya menunjukkan bahwa

intervensi isoflavon (daidzein) sebanyak 50 mg dapat menurunkan asupan makanan, asupan kalori, dan berat badan dan jaringan 26,27,28,29,30 adiposa. Dari sebuah studi yang dipublikasikan dalam Food Chemistry menunjukkan bahwa efek isoflavon, terutama dari kedelai, mampu mereduksi peradangan kronik dan resistensi insulin yang berkaitan dengan obesitas yaitu dengan mencegah sekresi sinyal proinflamasi dari sel imun pada jaringan 30,31,32,33,34 adiposa. Suatu penelitian terhadap 100 orang penderita obesitas yang diberi intervensi makanan berbahan kedelai (soybased diet) selama 12 minggu, hasilnya telah terjadi penurunan berat badan dan massa lemak secara signifikan dibandingkan grup kontrol.10 Demikian juga menurut Davis et al., yang melakukan penelitian RCT terhadap tikus menunjukkan bahwa tikus yang diberi makan kacang kedelai (mengandung isoflavon) selama 36 minggu secara signifikan memiliki berat badan dan kolesterol yang lebih rendah. Genistein sebagai salah satu isoflavon memiliki peran menurunkan ekspresi gen yang berkaitan dengan metabolisme lipid begitu pula dengan daidzein yang memainkan peran untuk membalikkan efek pro-inflamasi dari TNF-ι yang mengirim sinyal inflamasi. Kedua jenis isoflavon tersebut masing-masing memiliki peran mencegah obesitas dan pengaruhnya terhadap inflamasi pada gen yang berkaitan dengan obesitas.9 Selain itu, isoflavon mampu meningkatkan proses lipolisis dan menurunkan lipogenesis pada jaringan adiposa. Lipolisis merupakan proses pemecahan cadangan lemak (trigliserida) dalam jaringan adiposa menjadi asam lemak, sedangkan lipogenesis merupakan proses pengubahan glukosa menjadi lemak yang akan disimpan dalam jaringan lemak. Apabila proses lipolisis meningkat dan lipogenesis diturunkan maka tidak akan terjadi penumpukan lemak dalam tubuh. Reseptor estrogen ι (ERι) dan reseptor estrogen β (ERβ) yang dimiliki oleh sel adiposa tentunya memiliki efek 35 Efek estrogenik pada sel estrogenik. adiposit adalah meregulasi jaringan adiposa dengan meningkatkan lipolisis dan memodulasi ekspresi gen yang meregulasi deposisi lemak dalam sel adiposa. Perlu diketahui bahwa reseptor estrogen pada jaringan otak dan hati mengatur keseimbangan energi maupun deposisi jaringan adiposa akibat perubahan metabolisme. Pengaruh langsung dari estrogen pada jaringan adiposa dapat melalui mekanisme modulasi keinginan makan atau


menghambat aktivitas lipoprotein lipase (LPL), suatu enzim yang mengatur lipogenesis oleh adiposa. Sedangkan efek secara tidak langsung dapat mempengaruhi proses lipolisis. Dengan tingginya asupan makanan sumber isoflavon akan dapat meningkatkan metabolisme energi, memodulasi keinginan makan, serta meningkatkan proses lipolisis dan menurunkan lipogenesis pada jaringan adiposa dimana semua faktor-faktor tersebut 36 merupakan kontributor terjadinya obesitas.

KESIMPULAN Telah kita ketahui bersama beberapa pengaruh biologis dari isoflavon menguntungkan bagi kesehatan individu. Beberapa penelitian randomized clinical trial telah dilakukan untuk menguji efek isoflavon dari produk olahan kedelai. Di Indonesia, produk olahan kedelai dapat dengan mudah diperoleh seperti tempe, tahu, dan susu kedelai, kandungan isoflavonnya berturutturut sebesar 3,1 mg/gram protein, 2,1 37 mg/gram protein dan 2,0 mg/gram protein. Selain kandungan isoflavonnya, golongan makanan tersebut juga termasuk sebagai makanan yang memiliki indeks glikemik rendah. Hal itu mendasari pemanfaatannya secara khusus dalam lingkup penatalaksanaan obesitas, diabetes dan 2 komorbiditas lainnya. Dari beberapa pembahasan diketahui bahwa pengaruh isoflavon (baik genistein maupun daidzein) terhadap kesehatan tidak berdampak secara langsung melainkan melalui produksi molekul equol dari isoflavon. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa equol merupakan pengubah penting dan mempengaruhi efek isoflavon. Molekul equol ini dihasilkan di saluran pencernaan ketika produk makanan dari kacang kedelai dicerna. Diketahui bahwa equol juga berfungsi untuk memblokir fungsi hormon dyhidro-testosteron (DHT) yang mendorong tumbuhnya kanker prostat dan kebotakan pada pria.35 Sumber isoflavon tidak hanya dari kacang kedelai, tahu, ataupun produk olahan kedelai lainnya tetapi dapat juga diperoleh dari kacang-kacangan, dan gandum, meskipun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kacang kedelai. Adapun kebutuhan harian individu terhadap isoflavon, belum ditemukan referensi yang menunjukkan rekomendasi batasan. Akan tetapi semakin banyak antioksidan dan anti-inflamasi dalam tubuh akan memberikan efek yang semakin baik. Meskipun demikian, asupan sumber isoflavon perlu diperhatikan, karena bahan

makanan sumber isoflavon mengandung tinggi protein. Apabila asupan protein yang dikonsumsi berlebihan akan berdampak pada kesehatan ginjal serta kadar albumin dalam serum meningkat. Sebaiknya batasan tetap mengacu pada kebutuhan dasar individu akan protein (sesuai angka kecukupan gizi individu) dan kebutuhan isoflavon dapat terpenuhi dalam sehari. Terkait tentanng kesehatan tulang, karena perannya yang mirip dengan estrogen maka isoflavon juga akan berpengaruh terhadap dua proses yang terjadi ketika remodeling tulang yaitu: 1) mempengaruhi kepadatan tulang melalui aktivasinya terhadap gen yang mempengaruhi bone formation yaitu gen c-fos dan gen c-bfa yang bekerja untuk meningkatkan aktivitas osteoblas; dan 2) mempengaruhi kepadatan tulang melalui hambatannya terhadap bone dengan cara meningkatkan resorption ekspresi gen osteoprotogerin yang bekerja untuk menghambat pematangan sel osteoklas. Sedangkan sebuah studi terbaru yang mungkin memiliki relevansi yang lebih besar untuk melawan obesitas adalah dengan intervensi gabungan antara diet yang mengandung isoflavon kedelai dengan aktivitas fisik moderat. Intervensi terpisah hanya memberi efek yang lebih kecil dibandingkan dengan intervensi gabungan tersebut. Jika hanya beraktivitas fisik moderat hanya meningkatkan pengeluaran energi, sedangkan jika hanya asupan isoflavon hanya meningkatkan proses lipolisis dan menurunkan lipogenesis pada jaringan adiposa. Dengan intervensi gabungan tersebut akan dapat mencegah terjadinya penumpukan lemak melalui proses lipolisis dan lipogenesis, meningkatkan pengeluaran energi, serta mencegah pengeroposan tulang. SARAN Kacang kedelai sebagai sumber protein nabati sangat baik dikonsumsi karena memberi nilai kebermanfaatan bagi kesehatan manusia khususnya untuk mencegah timbulnya penyakit akibat radikal bebas. Untuk ibu hamil, terutama yang memasuki trimester pertama, sebaiknya menghindari untuk mengonsumsi produk kedelai karena kandungan fitoestrogen dapat memicu keguguran. Akan tetapi secara keseluruhan, terapi dengan produk olahan kedelai ini sangat layak diterapkan karena efek samping dan kerugiannya hampir tidak ada kecuali bagi mereka yang mengalami


kondisi-kondisi khusus seperti gagal ginjal atau yang alergi terhadap kacang kedelai. Konsumsi produk kedelai dapat dikombinasikan dengan bahan makanan lain misalnya daging sebagai sumber zat besi. Protein hewani tetap diperlukan tubuh karena memiliki nilai biologis yang tinggi. Mengonsumsi makanan yang bervariasi secara tidak langsung seseorang telah menerapkan salah satu prinsip gizi seimbang yaitu makan makanan bervariasi. Selain itu, kombinasi dengan aktivitas fisik dapat menjadi cara yang efektif dalam menekan pertambahan berat badan dalam rangka menghindari terjadinya obesitas. DAFTAR PUSTAKA 1.

2.

3.

4.

5.

6. 7.

8.

Orgaard A., and Lotte J. The Effect of Soy Isoflavones on Obesity. Experimental Biology and Medicine 2008; (233): 1066-1080. Alrasyid, Harun. Peran Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan Komorbid. Majalah Kedokteran Nusantara 2007; (40)3:203-210. Pawiroharsono, Suyanto. Prospek dan Manfaat Isoflavon untuk Kesehatan. Direktorat Teknologi Bioindustri. Jakarta; Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi: 2001. Posadzki P., Lee M.S., Onakpoya I., Lee H.W., Ko B.S., and Ernst E. Dietary Supplements and Prostate Cancer: A Systematic Review of Double-blind, Placebo-controlled Randomized Clinical Trials. Maturitas (2013); 1-6. Liu, 2009 Liu J., Ho SC., Su Y., Chen W., Zhang C., Chen Y. Effect of Long-term Intervention of Soy Isoflavones on Bone Mineral Density in Women: A Metaanalysis of Randomized Controlled Trials. Bone 2009; (44): 948-953. Orgaard A, Jensen L: The Effects of Soy Isoflavones on Obesity. Exp Bio Med 2008, 233:1066-1080. Mueller et al., 2012 Mueller N.T., Odegaard A.O., Gross M.D., Woon-Puay, Yu M.C., Jian-Min., and Pereira M.A. Soy Intake and Risk of Type 2 Diabetes Mellitus in Chinese Singaporeans: Soy Intake and Risk of Type 2 Diabetes. Eur J Nutr. 2012 December ; 51(8): 1033– 1040. Goodman-Gruen D, Kritz-Silverstein D. Usual Dietary Isoflavone Intake is Associated with Cardiovascular Disease Risk Factors in Postmenopausal Women. J Nutr. 2001;131:1202-6.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

Liu, Zhao-min, Chen, Ho S.C., Ho Y.P., and Woo J. Effects of Soy Protein and Isoflavones on Glycemic Control and Insulin Sensitivity: A 6-mo Double-blind, Randomized, Placebo-controlled Trial in Postmenopausal Chinese Women with Prediabetes or Untreated Early Diabetes. Am J Clin Nutr 2010;91:1394–401. Curtis P.J., Samson M., Potter J., Dhatariya K., Kroon P.A., Cassidy A. Chronic Ingestion of Flavan-3-ols and Isoflavones Improves Insulin Sensitivity and Lipoprotein Status and Attenuates Estimated 10-Year CVD Risk in Medicated Postmenopausal WomenWith Type 2 Diabetes. Diabetes care 2012; (35): 226-232. Ricci E, Cipriani S, Chiaffarino F,Malvezzi M, Parazzini F. Effects of Soy Isoflavones and Genistein on Glucose Metabolism in Perimenopausal and Pascamenopause non- Asian Women: a Meta-analysis of Randomized Controlled Trials. Menopause 2010;17:1080–1086. Bahthena and Velasquez. Beneficial Role of Dietary Phytoestrogen in Obesity and Diabetes 1, 2. Am J Clin Nutr 2002; (7) 6: 1191-1201. Beresford SAA, Weiss NS, McKnight B. Risk of Endometrial Cancer in Relation to Use of Oestrogen Combined with Cyclic Progestagen Therapy in Pascamenopause Women. Lancet 1997;349:458–61. Manson JE, Hsia J, Johnson KC, et al; Women’s Health Initiative Investigators. Estrogen Plus Progestin and the Risk of Coronary Heart Disease. N Engl J Med 2003;349:523–34. Rossouw JF, Anderson GL, Prentice, et al; Writing Group for the Women’s Health Initiative Investigators. Risks and Benefits of Estrogen Plus Progestin in Healthy Pascamenopause Women: Principal Results from the Women’s Health Initiative Randomized Controlled Trial. JAMA 2002; 288:321–33. Alekel DL., Van Loan, Koehler K.J., Hanson L.N., Stewart J.W., Hanson K.B., Kurzer M.S., and Peterson C.T. The Soy Isoflavones for Reducing Bone Loss (SIRBL) Study: a 3-year RCT in Postmenopausal Women. Am J Clin Nutr 2010;91:218–30. Setchell KD, Brown NM, Lydeking-Olsen E. The Clinical Importance of the Metabolite Equol-a Clue to the Effectiveness of Soy and Its Isoflavones. J Nutr. 2002;132:3577–84.


18. Mahmudati Nurul, 2008. Activation Estrogen receptor αExtracelluler Signal Regulated Kinase (ERK1/2) Expression on Osteoblast in Influencing Bone Density in The Female Young Rat after Exercise Training. DISERTASI. UNAIR 19. Ma DF., Qin LQ., Wang PY., Katoh R. Soy Isoflavone Intake Inhibits Bone Resorption and Stimulates Bone Formation in Menopausal Women: Metaanalysis of Randomized Controlled Trials. Eur J Clin Nutr 2008; (62):155–61. 20. Wu Jian, Wang X., Chiba H., Higuchi M., Nakatani T., Ezaki O., Cui H., Yamada K., Ishimi Y. Combined Intervention of Soy Isoflavones and Moderate Exercise Prevents Body Fat Elevation & Bone Loss in Ovarioectomized Mice. J.metabol 2004; (53) 7:942-948. 21. Ma DF, Qin LQ, Wang PY, Katoh R. Soy Isoflavone Intake Increases Bone Mineral Density in the Spine of Menopausal Women: Meta-analysis of Randomized Controlled Trials. Clin Nutr. 2008;27:57– 64. 22. Taku K, Melby MK, Takebayashi J, Mizuno S, Ishimi Y, Omori T, Watanabe S. Effect of Soy Isoflavone Extract Supplements on Bone Mineral Density in Menopausal Women: meta-analysis of randomized controlled trials. Asia Pac J Clin Nutr. 2010;19:33–42. 23. Bray, George A. The Metabolic Syndrome and Obesity. New York; Human press: 2007. 24. Allison, Gadburry, Schwartz, Murugesan, Kraker, Heshka, Fontaine, and Heymsfield. A Novel Soy-based Meal Replacement Formula for Weight Loss among Obese Individuals: a randomized controlled clinical trial. European Journal of Clinical Nutrition 2003; (57): 514–522. 25. Crespillo A., Alonso M., Vida M., Pavóni F.J., Serrano A., Rivera P., RomeroZerbo, Fernández-Llebrez, Martínez A., Pérez-Valero, Bermúdez-Silva, Suárez J., and FR de Fonseca. Reduction of Body Weight, Liver Steatosis and Expression of Stearoyl-CoA Desaturase 1 by the Isoflavone Daidzein in Dietinduced Obesity. British Journal of Pharmacology (2011) 164 1899–1915. 26. Michael MR, Wolz E, Davidovich A, Pfannkuch F, Edwards JA, Bausch J (2006). Acute, Subchronic and Chronic Safety Studies with Genistein in Rats. Food Chem Toxicol 44: 56–80. 27. Na XL, Ezaki J, Sugiyama F, Cui HB, Ishimi Y (2008). Isoflavone Regulates Lipid Metabolism Via Expression of

28.

29.

30.

31.

32. 33. 34.

35.

36.

37.

Related Genes in OVX Rats Fed on a High-fat. Diet 21: 357–364. Davis J, Higginbotham A, O’Connor T, Moustaid-Moussa N, Tebbe A, Kim YC et al. (2007). Soy Protein and Isoflavones Influence Adiposity and Development of Metabolic Syndrome in Obese Male ZDF Rat. Ann Nutr Metab 51: 42–52. Guo Y, Wu G, Su X, Yang H, Zhang J (2009). Antiobesity Action of a Daidzein Derivative on Male Obese Mice Induced by a High-fat Diet. Nutr Res 29: 656–663. Kim MH, Park JS, Jung JW, Byun KW, Kang KS, Lee YS (2010). Daidzein Supplementation Prevents Non-alcoholic Fatty Liver Disease through Alternation of Hepatic Gene Expression Profiles and Adipocyte Metabolism. Int J Obes doi:10.1038/ijo.2010.256 [Epub ahead of print]. Messina M, Gardner C, Barnes S. Gaining Insight into the Health Effects of Soy but a Long Way Still to Go: Commentary on the Fourth International Symposium on the Role of Soy in Preventing and Treating Chronic Disease. J Nutr 2002; 132: 547S–551S. Clarkson TB. Soy, Soy Phytoestrogens and Cardiovascular Disease. J Nutr 2002; 132: 566S–569S. Cassidy A, Hooper L. Phytoestrogens and cardiovascular disease. J Br Menopause Soc 2006; 12: 49–56. Zhang C, Ho SC, Lin F, Cheng S, Fu J, Chen Y. Soy Product and Isoflavone Intake and Breast Cancer Risk Defined by Hormone Receptor Status. Cancer Sci 2010; 101: 501–507. Evans M, Lin X, Odle J, McIntosh M: Trans-10, cis-12 Conjugated Linoleic Acid Increases Fatty Acid Oxidation in 3T3-L1 preadipocytes. J Nutr 2002,132:450-455. Anderson JW, Johnstone BM, Newell MEC. Meta Analysis of The Effects of Soy Protein Intake on Serum Lipids. N Eng J Med 1995; 276–82. Muthyala, R. S.; Ju, J.-H.; Sheng, S.; Williams, L. D.; Doerge, D. R.; Katzenellenbogen, B. S.; Helferich, W. G. & Katzenellenbogen, J. A. Equol, a Natural Estrogenic Metabolite from Soy Isoflavones: Convenient Preparation and Resolution of R- and Sequols and Their Differing Binding and Biological Activity through Estrogen Receptors. Bioorganic & Medicinal Chemistry 2004; 12: 15591567.


SUPLEMENTASI VITAMIN A DOSIS TINGGI DI INDONESIA Anindhita Syahbi Syagata1, dan Silvi Lailatul Mahfida2 Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Gajah Mada 2 Magister Kesehatan Masyarakat, Universitas Gajah Mada 1

ABSTRAK Survei WHO tahun 2005 sudah menunjukkan penurunan angka kejadian Kurang Vitamin A (KVA) di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Keberhasilan program tersebut secara langsung juga ditunjukkan oleh penurunan prevalensi xeropthalmia dan kematian akibat infeksi pada anak-anak dan ibu hamil.Program suplementasi tersebut diberikan dua kali dalam satu tahun dengan dosis 100.000IU pada anak-anak dan 200.000IU pada wanita. Akan tetapi, National Institutes of Health mengemukakan bahwa dosis 10.000IU sudah merupakan dosis toksin yang akan berpengaruh pada kesehatan tulang. Pemberian suplementasi vitamin A dosis tinggi ini perlu mendapat pengkajian lebih lanjut.Terutama efeknya pada kesehatan tulang berkaitan dengan gangguan penyerapan kalsium dan pembentukan radikal bebas akibat suplementasi vitamin A dengan dosis yang berlebihan. Kata kunci: suplementasi vitamin A, toksisitas, kesehatan tulang

ABSTRACK Survey of World Health Organization on 2005 has shown the decreasing of number Vitamin A Deficiency (VAD) in developing country, including Indonesia. One of the achievements of the program directly is decreasing xerophthalmia prevalence and infection mortalilty in children and pregnant women. It is given twice a year with 100.000IU dose for children and 200.000IU dose for women. But National Institutes of Health reveals that 10.000IU dose is being toxic influencing bone health. It needs many studies, especially the effect on calcium absorption and free radical forming. Keywords: vitamin A supplementation, toxicity, bone health.

PENDAHULUAN Kurang Vitamin A (KVA) masih menjadi masalah gizi utama di banyak negara berkembang.Akan tetapi, survei WHO tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia sudah dimasukkan pada kelompok tidak mempunyai masalah kesehatan terkait dengan defisiensi vitamin A, terutama pada ibu hamil. Akan tetapi, untuk angka buta senja pada anakanak, WHO masih memasukkannya menjadi masalah walaupun pada tingkat rendah.1 Pada tahun 90-an, kurang vitamin A menjadi masalah yang cukup krusial untuk diselesaikan. Hal tersebut berkaitan dengan tingginya angka kematian anak-anak akibat kebutaan dan infeksi. Selain itu, sumber vitamin A yang diasup oleh masyarakat Indonesia cenderung didapatkan dari sumber nabati yang merupakan jenis vitamin A tidak aktif. Provitamin A dalam bentuk karotenoid (jenis vitamin A tidak aktif) mengalami tingkat penyerapan yang lebih rendah, yakni 20-50%. Persentasenya tiga kali lebih rendah dibandingkan bentuk ester retinil (jenis aktif) yang dapat diserap hingga 70-90%.

Disamping itu, kurangnya vitamin A di negara berkembang juga dapat disebabkan oleh asupan lemak yang rendah. Sejumlah besar serat pangat seperti pektin ternyata dapat 2 mengurangi bioavailabilitas karotenoid. Padahal, nasi adalah sumber karbohidrat untuk masyarakat Indonesia dan masyarakat Indonesia mendapatkan sumber vitamin A dalam bentuk karotenoid. Penurunan masalah vitamin A di Indonesia disinyalir karena pemberian suplementasi vitamin A pada kelompok rentan tersebut, yakni ibu nifas dan anak-anak. Dosis yang diberikan adalah 200.000IU untuk ibu nifas dan 100.000IU untuk bayi balita. Program yang telah dicanangkan WHO sejak tahun 1995 tersebut memang menurunkan prevalensi KVA yang cukup signifikan.3 Vitamin A sendiri termasuk zat gizi esensial yang penting bagi tubuh. Banyak fungsi dari vitamin A, antara lain untuk kesehatan mata, pertumbuhan, dan imunitas. Dalam skala histologi, vitamin A berfungsi 4,5 untuk pembelahan dan regulasi sel. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa vitamin A

1


adalah vitamin yang larut lemak. Dosis yang terlalu tinggi akan menyebabkan toksisitas bagi tubuh. Beberapa penelitian telah mengemukakan hasil berkaitan dengan hal tersebut.6,7,8,9,10 PEMBAHASAN 2,5,11 Metabolisme vitamin A Vitamin A adalah zat gizi mikro yang memainkan peranan penting pada penglihatan, pertumbuhan tulang, reproduksi, pembelahan sel, dan regulasi sel. Vitamin A diperoleh dari berbagai sumber. Dua sumber paling utama adalah retinol dan beta-karoten. Retinol seringkali disebut dengan “true� vitamin A, karena mudah digunakan kembali oleh tubuh. Retinol banyak ditemukan di pangan hewani, seperti hati, telur, dan ikan. Senyawa ini juga dapat ditemukan pada banyak makanan yang difortifikasi, seperti sereal, dan dapat juga diperoleh dari suplemen. Beta-karoten adalah prekursor vitamin A. Tubuh perlu untuk mengubah bentuk beta-karoten ini menjadi retinol atau vitamin A untuk digunakan. Beta-karoten dapat diperoleh dari sayur-sayuran berdaun gelap dan buah-buahan berwarna oranye. Vitamin A dan beta-karotenoid memperlihatkan spektrum absorpsi yang khas dan dapat digunakan untuk identifikasi serta kuantifikasi vitamin A dan karotenoid pada sampel biologis. Vitamin A dan karotenoid dilepas dari protein melalui proteolisis di dalam lambung, kemudian mengalami agregasi dengan senyawa lipid lainnya untuk selanjutnya masuk ke dalam usus halus. Dengan adanya garam empedu, pada hakikatnya semua retinil ester dan sebagian karotenoid (xanthophylls) terhidrolisis, terutama oleh enzim yang berada dalam brushborder sel-sel mukosa intestinal dan oleh esterase pankreas. Retinol tidak teresterifikasi yang dihasilkan xanthophylls, dan karotenoid provitamin A dalam bentuk micelles diabsorbsi oleh sel-sel mukosa intestinal. Di dalam sel-sel mukosa tersebut, karotenoid provitamin A dipecah melalui reaksi oksidasi oleh 15,15’dioksigenase yang khusus untuk membentuk retinol yang terikat dengan protein pengikat retinol seluler (CRBP [cellular retinol binding protein] tipe II) dan kemudian direduksi menjadi retinol oleh enzim retinal reduktase. Dalam sel-sel mukosa, retinol mengalami esterifikasi oleh dua sistem enzim yang berbeda, yaitu lesitin: retinol asiltransferase dan asil koenzim-A (asil-KoA) retinol transferase.

1,3

Suplementasi vitamin A Suplementasi vitamin A menggunakan kapsul vitamin A dosis tinggi. Sasaran suplementasi vitamin A di Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Bayi usia 6-11 bulan Bayi usia 6-11 bulan diberikan kapsul vitamin A 100.000 SI warna biru pada bulan Februari atau Agustus. 2. Anak balita usia 12-59 bulan Balita usia 12-59 bulan diberikan kapsul vitamin A 200.000 SI warna merah setiap bulan Februari dan Agustus. 3. Ibu nifas (0-42 hari pasca melahirkan) Ibu nifas diberikan segera setelah melahirkan 1 kapsul vitamin A 200.000 SI warna merah dan 1 kapsul lagi diberikan dengan selang waktu minimal 24 jam setelah pemberian kapsul pertama. Alasan pemberian kapsul vitamin A pada ibu nifas adalah untuk meningkatkan kandungan vitamin A dalam ASI selama 60 hari (dengan pemberian 1 kapsul vitamin A merah), menambah kandungan vitamin A dalam ASI sampai bayi berusia 6 bulan (dengan pemberian 2 kapsul vitamin A merah), mempercepat pemulihan kesehatan ibu setelah melahirkan, dan mencegah infeksi pada ibu nifas. Jika sampai 24 jam setelah melahirkan ibu tidak mendapat vitamin A, maka kapsul vitamin A dapat diberikan pada kunjungan ibu nifas, pada KN 1 (6-48 jam) saat pemberian imunisasi hepatitis B, pada KN 2 (saat bayi berumur 3-7 hari), atau pada KN 3 (bayi berumur 8-28 hari). 4. Saat KLB campak dan infeksi lain Suplementasi vitamin A diberikan pada seluruh balita yang ada di wilayah tersebut sebanyak 1 kapsul sesuai dosis umurnya. Balita yang telah menerima kapsul vitamin A dalam jangka waktu kurang dari 30 hari tidak dianjurkan lagi untuk diberi kapsul. 5. Pengobatan xeroftalmia, campak, dan gizi buruk Diberikan 1 kapsul vitamin A saat ditemukannya kasus, kemudian pada hari berikutnya diberikan lagi 1 kapsul, dan 2 minggu berikutnya diberikan 1 kapsul dengan dosis sesuai usia anak.

2


Cakupan Suplementasi Vitamin A di Indonesia Program suplementasi kapsul vitamin A dosis tinggi sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1995. Tujuannya untuk mencegah masalah kebutaan karena kurang vitamin A, dan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Pada tahun 2006, studi gizi mikro dilakukan di 10 provinsi di Indonesia, menunjukkan prevalensi xeropthalmia 0,13%, dan indeks serum retinol <20 Îźg/dl pada balita sebesar 14,6%. Hal ini menunjukkan terjadinya perbaikan kondisi dari tahun 1992 dimana terdapat 50% balita dengan serum retinol <20 Îźg/dl. Menurut hasil Riskesdas 2007, cakupan suplementasi vitamin A telah mencapai 71,5%. Namun jika dilihat pada tingkat proovinsi, masih terdapat kesenjangan distribusi dimana beberapa daerah cakupannya sangat tinggi sedangkan daerah lain masih sangat rendah.3 Sedangkan Riskesdas 2010 menunjukkan cakupan kapsul vitamin A di Indonesia sebesar 70,5% dimana cakupan di perkotaan lebih tinggi (75,3%) daripada di perdesaan (65,6%). Akses paling mudah untuk mendapatkan kapsul vitamin A terutama bagi anak balita adalah di Posyandu. Menurut Sandjaja (2011), anak balita yang tidak mendapatkan kapsul vitamin A berhubungan dengan kepemilikan KMS, imunisasi yang tidak lengkap atau belum diimunisasi, rendahnya kunjungan ke Posyandu, pertolongan kelahiran bukan oleh tenaga kesehatan, dan tidak adanya pemeriksaaan kesehatan oleh tenaga kesehatan saat bayi. Sedangkan faktor jenis kelamin, umur, kepemilikan buku

KIA, dan status gizi (underweight, wasting, stunting) tidak berhubungan 12 dengan cakupan kapsul vitamin A. Kelebihan Vitamin A Bersifat Toksik Kapasitas tubuh untuk memetabolisme vitamin A hanya terbatas, dan asupan yang berlebihan dapat menyebabkan penimbunan yang melebihi kapasitas protein pengikat sehingga vitamin A dalam bentuk tidak-terikat merusak jaringan. Gejala toksisitas berpengaruh pada susunan saraf pusat (nyeri kepala, mual, ataksia, dan anoreksia, semuanya berkaitan dengan peningkatan tekanan cairan serebrospinal); hati (hepatomegaly disertai perubahan histologis dan hyperlipidemia); homeostatis kalsium (penebalan tulang panjang, hiperkalsemia, dan kalsifikasi jaringan lunak); dan kulit (kekeringan berlebihan, deskuamasi, dan alopesia).11 Kontroversi suplementasi vitamin A Suplementasi vitamin A memang terbukti menurunkan prevalensi kejadian KVA di Indonesia, baik secara fisik maupun klinis.2,3 Sejak tahun 1992, Indonesia dinyatakan bebas masalah xeropthalmia, namun 50% balita masih mempunyai serum retinol kurang dari 20 Îźg/dl yang akan berdampak pada risiko 3 kebutaan dan kematian karena infeksi. Survei WHO tahun 2005 telah menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori rendah hingga sedang untuk masalah kurang vitamin A (Gambar 1, 2, 3).1

3


Gambar 1. Kurang Vitamin A secara biokimia (retinol) pada anak-anak

Gambar 2. Buta senja pada ibu hamil

4


Gambar 3. Buta senja pada anak-anak Walaupun keberhasilan program tersebut dirasa cukup signifikan, namun ada hal lain yang perlu diperhatikan. NIH (National Institute of Health) pada tahun 2012 mengemukakan bahwa dosis racun untuk vitamin A adalah 10.000IU. Apabila dikonsumsi lebih dari dosis tersebut, akan berdampak negatif pada kesehatan tulang.5 Berbagai penelitian menunjukkan bahwa vitamin A dosis tinggi atau lebih dari dua kali angka kecukupan akan menghambat pembentukan kalsium tulang.7,8,9,10 Selain itu, Penelitian Fahmy dan Soliman (2009) melaporkan bahwa konsumsi vitamin A dosis tinggi dapat menyebabkan peningkatan senyawa radikal bebas yang dapat menyebabkan osteoporosis.6 Dari penjelasan secara teori, juga telah dikemukakan bahwa toksisitas vitamin A berkaitan dengan homeostatis kalsium (penebalan tulang panjang, hiperkalsemia, dan kalsifikasi 11 jaringan lunak). KESIMPULAN Vitamin A merupakan zat gizi esensial yang diperlukan oleh tubuh. Banyak fungsi vital yang diperankan oleh vitamin A, antara lain penglihatan, pertumbuhan, sistem imun, diferensiasi, dan regulasi sel. Akan tetapi, dosis berlebihan dalam konsumsi vitamin A, termasuk dari suplemen perlu mendapat perhatian khusus. Masih diperlukan

penelitian tingkat seluler untuk membuktikan hubungan tersebut. Sehingga, harapannya program yang berhasil menurunkan prevalensi kejadian KVA ini tidak menimbulkan efek samping yang mempengaruhi kesehatan, terutama bayi, balita, dan ibu nifas. SARAN Masih diperlukan penelitian di berbagai tingkat, baik seluler hingga tubuh manusia untuk mengkaji efek toksisitas suplementasi vitamin A dosis tinggi terhadap kesehatan tulang. DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995– 2005. WHO Global Databaseon Vitamin A Deficiency. Geneva, World Health Organization. 2009. 2. Ahmed, F dan Darnton-hill, I. Defisiensi vitamin A dalam gizi kesehatan masyarakat. Editor Michael J. Gibney, Barrie M. Margetts, John M. Kearney, Lenore Arab. Alih bahasa Andry Hartono. Jakarta: EGC. 2005. 3. Depkes RI, Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A. Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Jakarta. 2009. 4. Mahan, LK, Escott-Stump, S. Krause’s food and nutrition therapy (international

5


5.

6.

7.

8.

9. 10.

11. 12.

edition). Canada: Saunders Elsevier. 2008. p 614-635. NIH Osteoporosis and Related Bone Disease National Resource Center. Vitamin A and bone health. USA: Circle Bethesda. 2012. Fahmy S.R. and Soliman A.M. Oxidative Stress as a Risk Factor of Osteoporotic Model Induced by Vitamin A in Rats. Australian Journal of Basic and Applied Sciences 2009, 3(3): 1559-1568. Lind, P.M., S. Johansson, M. Ronn, and H. Melhus. Subclinical hypervitaminosis A in rat: measurements of bone mineral density (BMD) do not reveal adverse skeletal changes. Chem. Biol. Interact. 2006,159(1): 73- 80. Muthusami, S., I. Ramachandran, B. Muthusami, G. Vasudevan, V. Prabhu, V. Subramniam, A. Jagadeesan, and S. Narasimhan. Ovariectomy induces oxidative stress and impairs bone antioxidant system in adult rats. Clinica Chimica Acta, 2005, 360: 81-86. Penniston, KL, Tanumihardjo SA. The acute and chronic toxic effects of vitamin A. Am J Clin Nutr.2006;83:191-201. Rothenberg, A.B., W.E. Berdon, J.C. Woodard, and R.A. Cowles. Hypervitaminosis A-inducedpremature closure of epiphyses (physeal obliteration) in humans and calves (hyena disease): a historical reviewof the human and veterinary literature. Pediatr. Radiol., 2007, 37(12): 1264- 1267. Murray, R.K, Granner, D.K, Rodwell, V.W. Biokimia Harper Edisi 27. Jakarta: EGC. 2006: p 504-520. Sandjaja. Cakupan Suplementasi Vitamin A dalam Hubungannnya dengan Karakteristik Anak Balita dan Akses Pelayanan Kesehatan di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). Gizi Indon 2011, 34(2):82-91

6


MODEL POSYANDU SWASEMBADA SEBAGAI UPAYA MENYELAMATKAN ANAK-ANAK KORBAN BENCANA GUNUNG MERAPI DARI LOSS GENERATION Sandy Ardiansyah1, Waryana2 Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta 2 Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta 1

ABSTRAK Bencana alam letusan Gunung Merapi mengakibatkan banyak kerugian, diantaranya rusaknya lingkungan, dan ekonomi masyarakat menurun. Ketersediaan pangan yang kurang akan mengakibatkan meningkatnya kasus KEP dan gizi buruk pada anak-anak. Terjadi peningkatan kasus KEP, yaitu sebesar 14,5% dan dinyatakan gizi buruk sebesar 1,3%. Anak-anak yang menderita gizi buruk bila tidak ditangani dengan tepat dapat mengakibatkan terjadinya “lost generation“. Perlu dilakukan revitalisasi posyandu untuk menanggulangi masalah di Merapi. Dengan suatu model sebagai upaya menyelamatkan anak-anak korban bencana. Data diperoleh melalui observasi lapangan, dan wawancara mendalam terhadap Ibu balita, Kader Posyandu, PKK, dan tokoh masyarakat. Model ”Posyandu Swasembada” merupakan bentuk revitalisasi posyandu dengan kegiatan konsultasi gizi, pemberian makanan tambahan (PMT), pemberian obat tradisional (jamu) pada anak yang sulit makan, pemijitan, dan rujukan. Posyandu swasembada dapat dijadikan sebagai solusi model Posyandu dalam upaya untuk meyelamatkan anak-anak korban bencana Merapi dari loss generation. Kata Kunci : Posyandu, Swasembada, KEP, Anak-anak, Merapi

ABSTRACT Merapi eruption of natural disasters, has resulted in many losses. Losses that occur include the loss of property, damage of environment, decreases community economic. Loss of or damage to property and the environment, especially agricultural land causes family decreases. The food less will result in an increase of protein energy malnutrition (PEM). Based on the cases of nutritional status on the eruption of Merapi mountain, Sleman District, PEM was found in children increased. Children who suffer from PEM at 14.5% and children who otherwise malnutrition 1.3%. The purpose of the research to share knowledge about how to save the children on Merapi mountain from loss generation. The research using field observation, and interview with Cader, and community leaders. Model "Posyandu Swasembada" is the type of modification Posyandu to increase function Posyandu as community agent to prevent cases of PEM and malnutrition, child growth monitoring and intervention in the region after the eruption of Merapi mountain. The typical model in the table intervention, such as: nutrition education, supplementary feeding, giving of traditional medicine (herbal) in children is a fussy eater, massage, and referral. Model Posyandu Swasembada to save the children from PEM and malnutrition with the basic are empowerment in community itself. Keywords : Posyandu Swasembada Model, PEM, Lost generation, Merapi Mountain


PENDAHULUAN

berdampak

Indonesia mempunyai geografis

adalah

karakteristik yang

pada penurunan

persediaan

negara

yang

pangan di tingkat rumah tangga. Persediaan

geologis

dan

pangan yang kurang akan mengakibatkan

menempatkan

wilayah

meningkatnya KEP dan gizi buruk.

Indonesia rawan terhadap berbagai bencana

Berdasarkan hasil pemantauan status

alam. Kata bencana merupakan sebuah kata

gizi yang dilakukan DPD persagi DIY terhadap

yang tidak asing lagi, bahkan sangat akrab

pengungsi, didapatkan kasus KEP pada anak-

dengan telinga masyarakat kita, jika kita

anak

membayangkan dan memikirkan mengenai

menderita KEP sebesar 14,5% dan balita yang

bencana maka yang akan terlintas dalam

dinyatakan

pikiran adalah rumah hancur, berbagai gedung

Sementara

hancur, dan orang meninggal serta lingkungan

masyarakat dalam mengikuti Posyandu di

hancur

alam

Puskesmas

bumi,

Gunung Merapi bulan Desember tahun 2010

porak-poranda.

diantaranya

adalah

Bencana

banjir,

gempa

gunung meletus dan tanah longsor.

1

pengungsi

meningkat.

gizi

buruk

data

Balita

sebesar

tentang

Cangkringan

menunjukkan penurunan,

yang

1,3%.

2

partisipasi

pasca

letusan

jumlah anak yang

Berbicara tentang gunung berapi, ada

ditimbang dibandingkan dengan semua anak

beberapa gunung berapi di Indonesia, gunung

yang terdaftar di posyandu (D/S) adalah

berapi yang termasuk paling aktif adalah

sebesar 74,17%. Data hasil penimbangan

Gunung Merapi di Indonesia yang terletak di

(N/D) pasca gempa sebesar 64,11%. Angka

perbatasan

ini merupakan pencapaian yang paling rendah

antara

Yogyakarta

dengan

Daerah Jawa

Istimewa

Tengah.

Pada

diantara semua Puskesmas yang ada di

tanggal 5 November 2010, gunung merapi

Kabupaten Sleman. Hal ini diakibatkan karena

meletus

menyebabkan

dampak dari letusan Gunung Merapi.

kerugian

yang

kerusakan

dan

3

empat

Masalah KEP dan gizi buruk anak-

kabupaten yaitu Magelang, Boyolali, Klaten di

anak korban bencana letusan Gunung Merapi

Jawa Tengah dan Sleman di Yogyakarta.

perlu penanganan yang serius. Kejadian KEP

cukup

besar

di

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas

Badan

Nasional

Penanggulangan

dan

gizi

buruk

mengancam

pada

kualitas

anak-anak

generasi

akan

Indonesia

Bencana (BNPB) mengatakan jumlah nilai

kedepannya. Paradigma program kesehatan

kerusakan akibat letusan Gunung Merapi

yang berorientasi pada pengobatan penyakit

mencapai Rp 1.138 triliun atau 27 persen,

harus

sedangkan nilai kerugian adalah Rp 3.089

penyakit. Anak yang menderita KEP dan gizi

triliun atau 73%. Kerugian terbesar dialami

buruk

sektor

kerugian

manusia, karena gizi merupakan salah satu

mencapai Rp 1.326 triliun atau sebesar 43%

penentu kualitas sumber daya manusia. Akibat

dari

kekurangan

pertanian

total

menyebabkan

nilai

dengan

nilai

kerugian.

perekonomian

Sehingga warga

yang

berubah

akan

pada

upaya

mempengaruhi

gizi

pada

pencegahan

sumberdaya

anak

akan

menyebabkan beberapa efek serius seperti

sebagian besar bermata pencaharian sebagai

kegagalan

petani

Kurangnya

optimalnya perkembangan dan kecerdasan.

ketersediaan pangan dan rusaknya lingkungan

Akibat lainnya adalah terjadinya penurunan

menjadi

lemah.

pertumbuhan

fisik

serta

tidak


produktifitas, menurunnya daya tahan tubuh

posyandu, yang dalam pelaksanaannya tetap

terhadap penyakit yang akan meningkatkan

perlu

risiko

dan

pemerintah, serta menjalin kemitraan dengan

generasi

berbagai pihak.. Model posyandu swasemba

kesakitan

menyebabkan

dan

kematian

terjadinya

4

kebodohan.

memperoleh

merupakan

Anak-anak yang menderita gizi buruk

bantuan

tehnis

posyandu

mengedepankan

aspek

dari

dengan pemberdayaan

akibat bencana Gunung Merapi bila tidak

masyarakat yaitu adanya penanganan kasus

ditangani

mengakibatkan bangsa

KEP dan gizi buruk secara tuntas dengan

Indonesia akan mengalami “lost generation“,

kegiatan intervensi terhadap balita KEP dan

menurunnya kualitas sumberdaya manusia

gizi buruk di daerah korban bencana erupsi

pada generasi penerus bangsa. Bangsa dan

Merapi.

dapat

negara akan kehilangan sumberdaya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang karena anak merupakan generasi penerus

RUMUSAN MASALAH 1.

bencana gunung merapi menurun

bangsa. Anak-anak yang sudah menderita gizi kurang (KEP) harus diperhatikan, karena jika tidak

diperhatikan

akan

2.

Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga menurun.

mengakibatkan

terjadinya gizi buruk. Penanganan masalah

Kondisi ekonomi masyarakat korban

3.

Meningkatnya kasus KEP dan gizi

gizi buruk memerlukan keterlibatan keluarga

buruk

pada

anak-anak

secara penuh dalam mendampingi anak.

bencana Gunung Merapi.

korban

Perhatian yang cukup dan pola asuh anak yang tepat akan memberi pengaruh yang

STUDI PUSTAKA

besar

1. Dampak bencana letusan Gunung Merapi Gunung Merapi merupakan gunung

dalam

memperbaiki

status

gizi

anak.Lembaga masyarakat yaitu Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) turut membantu dalam mencegah terjadinya gizi kurang. Peran Posyandu sebagai salah satu sistem penyelenggaraan pelayanan kebutuhan kesehatan dasar dalam rangka peningkatan kualitas sumberdaya manusia, memang sudah diakui keberadaannya. Agar Posyandu dapat

berapi paling aktif di dunia. Gunung Merapi mempunyai ketinggian 2.968 meter di atas permukaan air laut. Gunung Merapi meletus pada saat akhir tahun 2010. Akibat yang dihasilkan dari letusan gunung merapi antara lain : a. Kerusakan Lingkungan Dalam majalah Letusan Merapi 2010

melaksanakan fungsi dasarnya di wilayah bencana merapi, maka perlu upaya revitalisasi terhadap fungsi dan kinerja posyandu. Upaya revitalisasi posyandu perlu menyertakan aspek pemberdayaan masyarakat secara konsisten. Hal ini menuntut konsekuensi bahwa aspek pemberdayaan masyarakat menjadi tumpuan upaya mengatasi masalah KEP dan gizi buruk pada balita dengan revitalisasi

disebutkan

bahwa

pasca

letusan,

Desa

Kinahrejo yang memiliki radius paling dekat dengan puncak Gunung Merapi benar-benar sudah hancur. Rumah-rumah penduduk dalam kondisi

yang

rusak,

pohon-pohon

sudah

tumbang, dan titik api masih terlihat di sejumlah titik. Lingkungan yang dahulu asri sudah rusak akibat bencana letusan Gunung Merapi.


Menurunnya daya tahan tubuh sehingga anak

b. Ekonomi Ekonomi

korban

bencana

letusan

rentan

terjangkitnya

penyakit

infeksi.

Gunung Merapi akan melemah diakibatkan

Disamping itu, terjadinya kegagalan dalam

hilangnya

pertumbuhan fisik, berat badan dan tinggi

harta

benda

dan

pendapatan mata

badan tidak naik sesuai dengan pertambahan

pencaharian utama warga di kawasan Gunung

umur. Anak yang menderita KEP dan gizi

Merapi.

buruk

keluarga.

Pertanian

Akibat

merupakan

bencana,

lahan

pertanian

6

akan

mengalami

gangguan

menjadi rusak.

perkembangan otak yang berpengaruh pada

c.

rendahnya tingkat kecerdasan. Diperkirakan

Persediaan pangan Persediaan

pangan

pasca

bencana

akan mengalami penurunan. Data BNPB menyebutkan kerugian terbesar dialami sektor

Indonesia akan kehilangan 220 juta IQ poin akibat

kekurangan

gizi,

produktivitas 20-30%.

dan

menurunkan

7

pertanian dengan nilai kerugian mencapai Rp 1.326 triliun atau sebesar 43% dari total nilai

3.

Peran

Posyandu

Sebagai

Wadah

kerugian. Persediaan pangan yang menurun

Pemberdayaan Mayarakat Bidang Kesehatan. Pemberdayaan masyarakat di wilayah

dan lemah akan berdampak pada kesehatan

bencana Gunung Merapi secara lugas dapat

dan status gizi anak-anak.

diartikan

sebagai

suatu

proses

yang

membangun manusia atau masyarakat melalui

d. Kesehatan dan status gizi. Kesehatan dan status gizi anak-anak

pengembangan

kemampuan

perilaku

masyarakat,

adalah dampak dari bencana letusan Gunung

perubahan

masyarakat,

Merapi. Dampak anak yang menderita gizi

pengorganisasian masyarakat sebagai upaya

kurang atau KEP sangat merugikan bagi

untuk

kehidupan selanjutnnya. Apabila anak KEP

bencana merapi dari loss generation. Disaat

tidak mendapat perhatian dan intervensi maka

persediaan pangan yang lemah, diperlukan

akan mengakibatkan terjadinya gizi buruk. Gizi

modal yang besar. Masyarakat tidak mampu

buruk akan mengakibatkan terjadinya loss

untuk memenuhi kesediaan pangan karena

generation.

harta benda sudah habis akibat bencana

menyelamatkan

letusan Gunung Merapi. 2. Masalah Kurang Energi Protein dan Gizi Buruk

kurang

gizi

yang

disebabkan

rendahnya

korban

6

KEP dan gizi buruk pada anak-anak di wilayah

Kurang Energi Protein adalah keadaan

anak-anak

dan

merapi

dapat

dicegah

dengan

memberdayakan masyarakat melalui kegiatan mengenali tanda awal dan cara mencegah,

konsumsi energi dan protein dalam makanan

dengan

sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka

pertumbuhan anak di posyandu. Posyandu

kecukupan gizi terjadi dalam waktu yang

merupakan

cukup lama.

5

Akibat dari KEP bila tidak ditangani

melakukan

kegiatan

wadah

untuk

pemantauan

melakukan

pecegahan KEP dan gizi buruk. Posyandu adalah

kegiatan

akan mengakibatkan gizi buruk. Gizi buruk

diselenggarakan

akan menyebabkan terjadinya generasi bodoh.

masyarakat

yang

kesehatan dari,

oleh

dibantu

dasar

yang

dan

untuk

oleh

petugas


kesehatan di suatu wilayah kerja Puskesmas,

serta tidak opteamalnya perkembangan dan

dimana program ini dapat dilaksanakan di

kecerdasan. Akibat lainnya adalah terjadinya

balai dusun, balai kelurahan, maupun tempat-

penurunan produktifitas, menurunnya daya

tempat

tahan tubuh terhadap penyakit yang akan

yang

mudah

didatangi

oleh

8

meningkatkan risiko kesakitan dan kematian.

masyarakat.

Gotong royang merupakan kearifan

5

Masalah gizi buruk bila tidak ditangani

lokal Indonesia. Ditambah dengan budaya

dengan tepat dapat

tepa selira bagi orang Jawa yang selalu

Indonesia akan mengalami “lost generation“

dikembangkan. Untuk mewujudkan Posyandu

kehilangan

yang sesuai di wilayah bencana Gunung

berkualitas di masa yang akan datang karena

Merapi

anak merupakan generasi penerus bangsa.

yang

kendala

masyarakatnya

ekonomi

sumberdaya

manusia

yang

membantu

Untuk mengatasi masalah KEP dan

mengembangkan berjalannya Posyandu, perlu

gizi buruk, sejak tahun 1960-an pemerintah

dilakukan revitalisasi Posyandu. Disamping itu,

mengembangkan

sarana, peralatan yang kurang baik ditambah

Keluarga (UPGK). UPGK adalah kegiatan

dengan dana yang diperoleh oleh Posyandu

yang

bersumber bantuan dari Puskesmas sangat

pemberdayaan keluarga dan masyarakat yang

minim sekali.

dalam

mempunyai

mengakibatkan bangsa

8

berintikan

Usaha

Perbaikan

pendidikan

gizi

Gizi

melalui

didukung oleh kegiatan lintas sektoral. Pada

Selama ini kegiatan posyandu belum

tahun

1985

kegiatan

utama

UPGK

optimal banyak kekurangan dan kendala.

diintegrasikan dalam kegiatan Posyandu yang

Kendala-kendala

harus

pada tahun 2000 diperkirakan ada 240.000

ditangani agar tidak terus-menerus terjadi

Posyandu yang tersebar di seluruh wilayah

kegagalan apalagi di wilayah bencana seperti

Indonesia.

Gunung

Merapi

pada

Posyandu

yang

sangat

6

Hasil

perlu

pengamatan

langsung

pada

diperhatikan. Revitalisasi pada model baru

kegiatan posyandu dan wawancara mendalam

Posyandu

dengan

yang

akan

dilakukan

adalah

responden

ibu

balita,

tokoh

masyarakat, kader posyandu, dan pengurus

”Posyandu Swasembada”.

PKK di Shelter pengungsi dapat disimpulkan PEMECAHAN MASALAH

bahwa kegiatan posyandu yang selama ini

Masalah KEP dan gizi buruk pada

berjalan

dianggap

sebagai

tempat

anak-anak apabila tidak ditangani maka akan

penimbangan

mengakibatkan

kegagalan

kegiatan penanggulangan KEP dan gizi buruk

pertumbuhan fisik, berat badan dan tinggi

secara tuntas. Ibu-ibu datang menimbang

badan tidak naik sesuai dengan pertambahan

anak kemudian langsung pulang, lebih lanjut

umur. Kejadian gizi buruk telah mengancam

ketika bencana terjadi, hal ini mengakibatkan

kualitas sumberdaya generasi muda, karena

ibu tidak tahu tentang pertumbuhan fisik, dan

gizi merupakan salah satu penentu kualitas

kesehatan, serta permasalahan yang terjadi

sumber daya manusia. Akibat kekurangan gizi

pada anaknya.

pada anak akan menyebabkan beberapa efek

Model

terjadinya

serius seperti kegagalan pertumbuhan fisik

saja,

belum

”Posyandu

menunjukkan

Swasembada”

merupakan bentuk modifikasi posyandu yang


selama ini sudah dilaksanakan masyarakat intervensi

dengan dalam

menambah

bentuk

pada

baik di wilayah pasca bencana maupun

kegiatan

wilayah lain yang tidak terkena bencana alam.

konsultasi

gizi,

Posyandu swasembada berbasis masyarakat

pemberian makanan tambahan, pengbatan

dan

tradisional, pemijitan pada anak, dan rujukan.

sendiri.

Model posyadu swasembada sebagai wadah

dijadikan sebagai solusi model Posyandu

untuk menanggulangi masalah KEP dan gizi

dalam upaya untuk meyelematkan anak-anak

buruk pada balita secara mandiri dan tuntas.

korban bencana Merapi dari loss generation

Posyandu

(generasi kebodohan).

swasembada

menumbuhkan

diharapkan

dapat

dikembangkan

oleh

Posyandu

masyarakat

swasembada

itu

dapat

pemberdayaan masyarakat ALUR MODEL POSYANDU SWASEMBADA ANAK DITIMBANG

BUAT GRAFIK BB

Umur / bl

5

6

7

8

9

10

11

12

13

Berat /kg

6,5

7,0

7,2

7,8 7,8

8,1

8,5

8,8 8,8

9,0

9,1 9,1

N2 N2

N2

N2 N2

N2

N2 N2

N2

N2 N2

N2

Interpretasi

CERMATI GRAFIK PERTUMBUHAN ANAK

Naik dan Tumbuh Normal

Konsultasi

Pemberian Makanan Tambahan Pemberian Jamu Pemijitan Rujukan

INTERVENSI

Gambar 1. Skema Model Posyandu Swasembada Intervensi

yang

dilakukan

pada

posyandu swasembada meliputi: konsultasi

KEP, gizi buruk, tidak naik berat badannya, dan sakit.

gizi, PMT, pemberian obat tradisional (jamu),

2. Pemberian Makanan Tambahan

pemijitan, dan rujukan.

Untuk menunjang dalam pemenuhan

1. Konsultasi Gizi

gizi

Setelah anak ditimbang dan diketahui

anak-anak,

tambahan

perlu

setiap

diberikan

makanan

pelaksanaan

kegiatan

hasilnya maka ibu balita diberi penyuluhan dan

Posyandu. PMT untuk anak-anak ini beraneka

berupa konsultasi gizi. Tujuan konsultasi gizi

ragam. Dalam pemberian makanan tambahan,

agar

bahan

ibu

balita

mengerti

hasil

dari

pangan

yang

diolah

berasal

dari

penimbangan apakah naik atau turun serta

pemanfaatan pekarangan dari Posyandu dan

tindakan yang harus dilakukan. Ibu mengerti

bantuan dari masyarakat.

pertumbuhan dan kesehatan anaknya. Materi disampaikan

oleh

ahli

gizi

3. Pengobatan Tradisional atau Jamu

Puskesmas

Model Posyandu swasembada ini juga

setempat atau kader yang telah diberikan

menitikberatkan pada pemanfaatan Tanaman

pelatihan mengenai hasil penimbangan dan

Obat Keluarga (TOGA)

tindakan ibu balita yang harus dilaksanakan di

kepada anak-anak yang menderita penyakit.

rumah jika anak menghadapi masalah seperti

Salah satunya adalah penggunaan temulawak

sebagai tindakan

yang dimanfaatkan untuk menambah nafsu


makan pada anak-anak. TOGA ini diambil dari

tanaman

pemanfaatan pekarangan yang dikelola oleh

ditujukan

Posyandu.

(Posyandu) yang dapat dipergunakan untuk

4. Pemijitan pada anak

lokal.

Pemanfaatan

pada

pekarangan

kelompok

masyarakat

PMT ataupun bagi individu atau keluarga

Sering terjadi anak susah makan

pasca

bencana

Gunung

Merapi

untuk

sehingga asupan gizi anak akan berkurang.

meningkatkan

Untuk meningkatkan nafsu makan anak salah

meningkatkan pendapatan keluarga melalui

satu cara dapat ditempuh dengan pemijitan

pemanfaatan

pada anak. Pemijitan dilakukan oleh tenaga

pangan yang dapat ditanam di pekarangan

fisioterapi dan kader yang telah memperoleh

sayuran seperti: bayam, terong, cabai, sawi,

palatihan.

kacang panjang, daun singkong, dan lain-lain.

Pemijitan

memperlancar

pada

peredaran

anak

darah

dapat

sehingga

Apabila

Jenis

dan

tanaman

Menggunakan obat-obatan tradisional (jamu)

5. Rujukan

pekarangan.

pangan

2. Tanaman Obat Keluarga

menambah nafsu makan dan meningkatkan kesehatan anak.

persediaan

yang

berasal

dari

pemanfaatan

pekarangan merupakan bentuk inovasi dari terdapat

anak

yang

model baru Posyandu Swasembada. Tanaman

mmenderita gizi buruk dan penyakit-penyakit

obat yang ditanam dapat dipergunakan untuk

infeksi lainnya maka hal yang dapat dilakukan

mengatasi masalah kesehatan yang sering

adalah merujuk anak tersebut ke Puskesmas

terjadi pada anak-anak. Misalkan : diare, untuk

atau ke rumah sakit.

menambah nafsu makan, dan lain-lain. Anak-

Agar kegiatan Posyandu dapat lestari,

anak sering susah makan karena nafsu makan

berkesinambungan secara rutin dilaksanakan

yang rendah. Hal ini bisa diatasi dengan

masyarakat secara mandiri untuk mengatasi

memberikan jamu cekok pada anak, sehingga

masalah KEP dan gizi buruk yang ada di

nafsu makan anak meningkat. Meningkatnya

masyarakat khsususnya di wilayah bencana

nafsu makan anak akan meningkatkan asupan

Gunung Merapi, maka perlu digali potensi

gizi terutama energi dan protein sehingga

sumber

dapat mencegah KEP dan gizi buruk.

lokal.

pemberdayan

Perlu

masyarakat

ditumbuhkan

Untuk menilai keberhasilan posyandu

dengan

mengupayakan potensi sumberdaya. Salah

model

satu potensi sumberdaya masyarakat yang

pengukuran

saat ini masih belum dimanfaakan seperti

menggunakan indikator. Indikator keberhasilan

pemanfaatan

Masyarakat

dari Posyandu Swasembada adalah partisipasi

difasilitasi agar memanfaatkan pekarangan

masyarakat, jumlah anak yang ditimbang

untuk ditanami tanaman pangan dan obat

dibandingkan dengan semua anak yang ada

tradisional (jamu).

(D/S), pencapaian hasil penimbangan, jumlah

pekarangan.

1. Tanaman Pangan Lokal

swasembada hasil

perlu kinerja

dilakukan dengan

anak yang berat badannya naik dibandingkan

Disaat kekurangan persediaan pangan

dengan jumlah balita yang ditimbang (N/D),

dikarenakan ekonomi yang lemah diperlukan

Jumlah kader aktif, tingkat kelangsungan

solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

program Pelaksanaan Posyandu Swasembada

Pemanfaatan pekarangan dengan menanam

(D/K), pemanfaatan pekarangan pada setiap


keluarga, dan penurunan kasus KEP dan gizi

2.

buruk pada anak-anak.

Harian Jogja dan Solo Pos. Letusan Merapi 2010.

3. KESIMPULAN

DPD Persagi DIY. 2011. Data Penilaian Status Gizi pada Pengungsi Merapi.

Model

”Posyandu

Swasembada”

merupakan bentuk modifikasi posyandu yang

Yogyakarta. 4.

Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman.

selama ini sudah dilaksanakan di masyarakat

2010. Data Pencapaian SKDN di Masing-

dengan menambah kegiatan intervensi dalam

masing

bentuk konsultasi gizi, pemberian makanan

Sleman. Sleman;DIY. Soekirman.

(2000).

pada anak yang susah makan, pemijitan pada

Aplikasinya

untuk

anak,

Masyarakat.Jakarta

tambahan, pemberian obat tradisional (jamu)

dan

rujukan.

swasembada

Model

sebagai

posyandu

wadah

balita

Posyandu

secara

mandiri

swasembada

menumbuhkan

dan

diharapkan

6.

Ilmu

Gizi

Keluarga :

dan dan

Departemen

Depkes. RI. 2005. (RAN) Pencegahan 2005-

2009.

dapat 7.

Dinas

Kesehatan

Kabupaten

Bantul.

2011. Modul DB4MK Plus2. Bantul ; DIY.

baik di wilayah pasca bencana maupun wilayah lain yang tidak terkena bencana alam.

Kabupaten

dan Penanggulangan Gizi Buruk

tuntas.

pemberdayaan masyarakat

di

Pendidikan Nasional.

untuk

menanggulangi masalah KEP dan gizi buruk pada

5.

Puskesmas

8.

Depkes.

RI,

1999.

Status

Gizi

dan

Posyandu swasembada berbasis masyarakat

Imunisasi Ibu dan Anak di Indonesia,

dan

Jakarta.

dikembangkan

oleh

masyarakat

itu 9.

sendiri.

Dep. Gizi dan Kesehatan Masyarakat, 2007

SARAN

10. Ismawati, 2010. Posyandu dan Desa Kepada pemerintah, untuk mengatasi

masalah KEP dan gizi buruk pada balita dapat ditempuh dengan cara melakukan revitalisasi posyandu yang selama ini sudah berjalan dengan

”model

posyandu

swasembada”

menambah kegiatan intervensi dalam bentuk kegiatan konsultasi gizi, pemberian makanan tambahan, pemberian obat tradisional (jamu), dan rujukan.

DAFTAR PUSTAKA 1.

Subiyantoro. (2010)

Selayang Pandang

Tentang Bencana (Overview On Disaster) :

Journal

Dialog

Penanggulangan

Bencana Vol. 01, No. 1, Tahun 2010 Halaman 43-36.

Siaga. Yogyakarta ;Muha Medika.



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.