BIMGI Vol 1 No.1

Page 1


SUSUNAN KEPENGURUSAN Pelindung: Prof. Dr. dr Kusharisupeni M.Sc Pimpinan redaksi Aidah Auliyah, S.Gz Sekretaris Umum Friska Arthalina T Dewan redaksi Tony Arjuna, S.Gz Adila Prabasiwi, SKM Saskia Piscesa, S.Gz Mutia Imro A ,S.Gz Mutia Anggun Sayekti Rujito Lini Anisfatus Sholihah Fadilla Ajani

Tata letak dan ilustrasi jurnal Fitya Shafira Apriyan Pratama Keuangan Mega Dwi Kartika

Promosi Ratu Tatya Rachman Adila Fahmida Saptari Novia Akmaliyah Rudianto Desy Prima Lestari Mief Qurani Baiq Fitria Rio Aditya

BIMGI | Volume 1 | November 2012

[i]


DAFTAR ISI 1. Faktor risiko asupan fe, inhibitor kalsium dan jarak kelahiran terhadap kejadian osteoporosis pada ibu hamil di klinik nurani godean (presentasi oral pada simposium gizi nasional fk ugm, 15 oktober 2011) Sandy ardiansyah, tri siswati, elza ismail, nur dwi handayani ……………………………… 1 2. Pengaruh pemberian nata de coco terhadap kadar kolesterolldl dan hdlpada tikus hiperkolesterolemi Diyan yunanto setyaji …………………………………………………………………………..... 12 3. Hubungan asupan makanan dan faktor lain dengan obesitas pada pegawai unit pelayanan gizipelayanan kesehatan sint carolus jakarta tahun 2012 Herlin mey sartika hutajulu …………………………………………………………………….... 20 4. Hubungan antara karakteristik siswa, pengetahuan, media massa dan teman sebaya dengan konsumsi makanan jajanan pada siswa sma negeri 68 jakarta tahun 2012 Imam aulia ………………………………………………………………………………………… 29 5. Dampak komposisi minuman berenergi bagi tubuh katondio bayumitra wedya ………………………………………………………………………. 36 6. Perbedaan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat gizi mikro antara balita stunted dan non-stunted di kelurahan kartasura, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo Punto tyas aditya putra ………………………………………………………………………….. 41 7. Hubungan Faktor Resiko Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI Tahun 2011 agus hidayatulloh, ery irawan, faizal firdaus, fitriatul isnaini, nurul fadhilah, riefyan adhi, santosa aji nurcahya dan syafira rembulan sari ................................................................ 48

[ii]

BIMGI | Volume 1 | November 2012


PENELITIAN FAKTOR RISIKO ASUPAN FE, INHIBITOR KALSIUM DAN JARAK KELAHIRAN TERHADAP KEJADIAN OSTEOPOROSIS PADA IBU HAMIL DI KLINIK NURANI GODEAN (Presentasi Oral pada Simposium Gizi Nasional FK UGM, 15 Oktober 2011)

Sandy Ardiansyah1, Tri Siswati2, Elza Ismail3, Nur Dwi Handayani4 1. 2. 3. 4.

Jurusan Gizi Potekkes Kemenkes Yogyakarta (sandy_ahligizi@ymail.com, 081367766648) Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta (tiur_gizi_yogya@yahoo.com, 081227614547) Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Yogyakarta Ahli Gizi RSUP Dr Sardjito Yogyakarta

ABSTRAK Osteoporosis bisa terjadi ketika seorang perempuan sedang hamil atau menyusui. Wanita yang sedang hamil harus mempunyai asupan Fe, kalsium yang lebih bagi perkembangan janin. Faktor inhibitor penyerapan kalsium adalah zat organik yang dapat bersenyawa dengan kalsium membentuk garam yang tidak larut, antara lain konsumsi asam oksalat, natrium dan serat. Jarak kelahiran yang pendek juga dapat memngaruhi risiko osteoporosis, karena ibu belum mempunyai waktu yang cukup untuk mengembalikan kesehatan setelah persalinan sebelumnya. Penelitian case-control ini dilakukan di Klinik Nurani Godean pada tahun 2011 dengan tujuan mengetahui faktor risiko asupan Fe, inhibitor kalsium dan jarak kelahiran terhadap kejadian osteoporosis pada ibu Hamil. Sebanyak 90 ibu hamil terdiri dari 30 osteoporosis dan 60 non osteoporosis diteliti sebagai sampel. Data yang diteliti meliputi asupan Fe, inhibitor kalsium, jarak kelahiran, dan Bone Mineral Density. Sebagian besar ibu hamil osteoporosis terjadi pada trimester III (60%), mempunyai asupan Fe berisiko (93,3%), asupan asam oksalat berisiko (53,3%), asupan natrium yang berisiko (56,7%), asupan serat berisiko (56,7%) dan jarak kelahiran berisiko (3,3%). Sebagian besar ibu hamil non osteoporosis terjadi pada trimester II (35%) dan trimester III (33,3%), mempunyai asupan Fe berisiko (91,7%), asupan asam oksalat berisiko (30%), asupan natrium berisiko (45%), asupan serat berisiko (48,3%) dan jarak kelahiran berisiko (1,7%). Kata Kunci : Asupan Fe, Inhibitor Kalsium, Jarak Kelahiran, Osteoporosis

ABSTRACT Osteoporosis happened when a woman is pregnant or lactating. Pregnant women must have more iron intake, more calcium intake for development babies inside. A factor that inhibitors calcium absorption is the presence of organic substances that can be compound with calcium to form insoluble salts, such as the consumption of oxalic acid, sodium and fiber. Birth space of near can also being the risk of osteoporosis, the mother which no time to recover health after child birth. Observasional research with design of case-control study. Research conducted at Klinik Nurani Godean. There are 90 sample pregnant women such as 30 pregnant women as osteoporosis and 60 pregnant women as non osteoporosis. As data research iron intake, calcium inhibitor, birth space, and Bone Mineral Density. Most pregnant women with osteoporosis happen in the third trimester (60%), iron consumption risk (93,3%), oxalic acid consumption risk (53,3%), sodium consumption risk (56,7%), fiber consumption risk (56,7%) and birth space risk (3,3%). After that, the majority of pregnant women on non-osteoporosis happen in the second trimester (35%) and the third trimester (33,3%), iron consumption risk (91,7%), oxalic acid consumption risk (30%), sodium consumption risk (45%), fiber consumption risk (48,3%) and birth space risk (1,7%). Keywords : Iron intake, Calcium inhibitor, Birth space, Osteoporosis

BIMGI | volume 1 | November 2012

[1]


B im g i

|

B er k a la

I lm i ah

A. Latar Belakang Hidup sehat, bugar, dan tetap aktif merupakan dambaan banyak orang. Namun seiring dengan bertambahnya usia, fungsi organ tubuh pun berangsur-angsur menurun dan berakibat timbulnya berbagai penyakit, salah satunya adalah kepadatan tulang1. Osteoporosis didefinisikan sebagai kepadatan mineral tulang (Bone Mineral Density) yang kurang dari -2,5 SD dibawah rata-rata, hingga saat ini wanita muda di Indonesia belum diketahui secara pasti, namun risiko terjadinya osteoporosis cukup tinggi. Menurut penelitian Badan Litbang Depkes Tahun 2005, 1 dari 3 wanita dan 1 dari 5 pria memiliki kecenderungan menderita osteoporosis2. Berdasarkan analisis data dari Puslitbang Gizi dan Makanan Kemenkes RI, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempati urutan tertinggi ke-3 (23,5%) setelah Sumatra (27,7%) dan Jawa Tengah (24,02%)3 dalam hal penderita osteoporosis. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Ramayulis tahun 2005 tentang kepadatan tulang di Jakarta dengan subyek penelitian 1503 wanita yang berusia antara 20-65 tahun selama tahun 2005 (26 februari-11 desember 2005) didapatkkan hasil ; 331 orang (22%) dinyatakan osteoporosis, 532 orang (35,4%) dinyatakan osteopenia dan 640 orang merupakan

salah

Pada umumnya pencegahan osteoporosis melalui diet yang dianjurkan adalah meningkatkan konsumsi makanan sumber kalsium dan vitamin D. Namun, penelitian terkini menunjukkan bahwa zat besi berperan untuk mempertahankan kepadatan mineral tulang yang berkaitan dengan fungsinya pada sintesis kolagen (protein berserat pada jaringan ikat, tulang, tulang rawan) yang merupakan komponen kunci tulang. Zat besi berperan sebagai kofaktor (komponen-komponen nonprotein enzim) bagi enzim-enzim yang terlibat dalam sintesis kolagen1. Osteoporosis bisa terjadi ketika seorang wanita sedang hamil atau menyusui. Perempuan yang sedang mengandung akan kehilangan lebih banyak kalsium karena asupan yang dibutuhkan dua kali asupan normal. Jika asupan tidak terpenuhi, maka janin akan menyerap asupan kalsium ibunya. Kasus ini ditemukan ketika masa trimester ketiga (usia

kehamilan

6-9

bulan)7

.

Penelitian

8

Kumar pada 233 wanita hamil untuk dinilai densitas mineral tulang dan hasilnya dianalisis dengan TScore untuk insiden massa tulang normal, osteopenia, dan osteoporosis pada dua kelompok yang berbeda yaitu primigravidas (riwayat melahirkan satu kali) dan multigravidas (riwayat melahirkan lebih dari satu kali) diperoleh hasil bahwa dari 233 wanita hamil, 23,6% memiliki cadangan tulang normal, 41,6%

(42,6%) mempunyai kepadatan tulang baik 4. Kalsium

M a h as is wa G i zi

satu

makromineral dan unsur mineral terbanyak yang dibutuhkan oleh tubuh manusia yaitu kurang lebih 800 mg pada orang dewasa dan ditambah 400 mg pada kondisi hamil5. Salah satu faktor yang menghalangi (inhibitor) penyerapan kalsium adalah adanya zat organik yang dapat bersenyawa dengan kalsium membentuk garam yang tidak larut antara lain konsumsi serat yang berlebihan penggunaan garam yang berlebihan juga menjadi pemicu penghambat karena garam akan memaksa kalsium keluar dari tubuh yang terbuang melalui urin. Asam oksalat yang berlebihan juga dapat membentuk senyawa kalsium oksalat yang tidak larut sehingga

adalah osteopenia dan 34,8% osteoporosis. Paritas merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis karena pembentukan kerangka tulang janin akan mengambil 3% kalsium tulang ibu. Selama kehamilan trimester pertama kurang lebih 5 mmol/hari (200 mg/hari) kalsium diperlukan untuk pertumbuhan janin. Jarak kelahiran yang optimal dapat memberikan kesempatan bagi ibu untuk memperbaiki kesehatan setelah melahirkan adalah 2 tahun9. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko asupan Fe, inhibitor kalsium dan jarak kelahiran terhadap kejadian osteoporosis pada ibu hamil di Klinik Nurani Godean.

tidak dapat diserap oleh tubuh6. [2]

BIMGI | volume 1 | November 2012


F a k t o r R i s i k o A s u p a n F e, I n h i b i t o r K a l s i u m , d a n J a r a k K e l a h i r a n t e r h a d a p O s t e o p o r o s i s p a d a B um i l

A. Metode

pendidikan ibu akan mempengaruhi sikap dan keterampilan dalam menerapkan prinsip gizi12. Tingkat pendidikan yang

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode observasional dan

lebih tinggi akan memudahkan seseorang untuk menyerap

rancangan penelitian studi kasus-kontrol. Observasi dimulai dengan pendefinisian individu-individu

Berdasarkan status pekerjaan, sebagian besar ibu

sebagai kasus atau kontrol, kemudian ditelusuri ke belakang untuk mengamati riwayat karakteristik atau paparan yang diduga mengakibatkan terjadinya penyakit osteoporosis10. Penelitian dilakukan di Klinik Nurani Godean tahun 2011. Sebanyak 90 ibu hamil terdiri dari 30 osteoporosis dan 60 non osteoporosis diteliti sebagai sampel. Data yang dikumpulkan meliputi asupan Fe, inhibitor kalsium (asupan asam oksalat, natrium dan serat), jarak kelahiran, dan kepadatan tulang. Data asupan zat gizi dikumpulkan dengan metode FFQ Semikuantitatif dan dianalisis dengan nutrisurvey dan CD Menu (program komputer untuk mencari nilai suatu bahan pangan). Kepadatan tulang diukur dengan Quantitative Ultrasound Bone Densitometry. Analisis data meliputi deksriptif dan statistik untuk mencari nilai odds ratio dari masingmasing variabel.

B. Hasil dan Pembahasan 1. Karakteristik Responden Responden berjumlah 90 orang yang terbagi menjadi 30 kasus dan 60 kontrol. Sebagian besar ibu hamil yang osteoporosis berumur 20 – 35 tahun yaitu 86,7% dan sebanyak 95% ibu hamil yang non osteoporosis. Batasan umur sehat untuk masa reproduksi adalah antara 20 – 35 tahun, karena pada usia ini seorang wanita telah siap secara fisik dan psikis untuk melahirkan11. Karakteristik

ibu

hamil

informasi dan mengimplementasikan kesehatan dan gizi13. hamil tidak bekerja yaitu 56,7% osteoporosis dan 60% yang non osteoporosis. Sedangkan menurut usia kehamilan, sebagian besar ibu hamil yang menjadi responden kehamilannya 7-9 bulan (trimester III) sebesar 60% osteoporosis dan pada ibu hamil yang non osteoporosis pada kehamilan trimester I (31,7%) dan III (33,3%). Usia kehamilan mempengaruhi kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil diantaranya Fe. Rentang kehamilan dimulai dari trimester II merupakan umur kehamilan dengan tingkat kebutuhan dan penyerapan Fe yang tinggi12. Seluruh data karakteristik responden yang telah diuraikan sebelumnya berdasarkan umur, trimester kehamilan, pendidikan, dan pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Responden Osteoporosis n=30 %

Variabel Umur a. 20 – 35 tahun b. > 35 tahun Tingkat pendidikan a. Tamat SD/MI b. Tamat SMP/ SLTP/MTS c. Tamat SMA/ SLTA/MA d. Tamat Akademi/PT Pekerjaan a. Tidak bekerja b. Buruh c. Guru d. Karyawan swasta e. PNS Usia kehamilan a. Trimester I b. Trimester II c. Trimester III

Non Osteoporosis n=60 %

26 4

86,7 13,3

57 3

95 5

1 1 17 11

3,3 3,3 56,7 36,7

0 1 36 23

1,7 60 38,3

17 0 3 10 0

56,7 10 33,3 -

30 1 3 24 2

50 1,7 5 40 3,33

3 9 18

10 30 60

19 21 20

31,7 35 33,3

berdasarkan

pendidikan, sebagian besar mempunyai pendidikan tamat SMA/SLTA/MA sebesar 56,7% pada kasus osteoporosis dan 60% pada non osteoporosis. Tingkat BIMGI | volume 1 | November 2012

[3]


B im g i

|

B er k a la

I lm i ah

produksi hemoglobin yang ada dalam darah. Fe juga mencegah terjadinya anemia, sehingga ibu hamil memiliki batas anjuran Fe lebih banyak

2. Asupan Fe Rata-rata asupan Fe responden yang berasal dari makanan adalah 14,9 ± 8,8 mg/hari (61,1% AKG) dengan rentang 4,3 – 68 mg/hari.

dibandingkan dengan sebelum hamil14.

Secara rinci rata-rata asupan Fe dapat dilihat

3. Asupan Inhibitor Kalsium

pada tabel 2.

a. Asam Oksalat

Tabel 2. Rata-rata Asupan Fe Osteoporosis Non Osteoporosis Asupan Fe n=30 n=60 Mean ± SD (mg/hari) 13,9 ± 4,8 15,4 ± 10,3 Minimal (mg/hari) 6,2 4,3 Maksimal (mg/hari) 26 68 % AKG 57,9 64,2 Bila

dikelompokkan

menjadi

2

kelompok, yakni asupan risiko (80% AKG = <24 mg/hari) dan tidak berisiko (80% AKG = ≥24 mg/hari) maka kedua kelompok ibu hamil osteoporosis dan non osteoporosis mempunyai asupan yang kurang dari 24 mg/hari. Masingmasing sebesar 93,3% dan 91,7%. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 1. 100

M a h as is wa G i zi

93,3

Rata-rata asupan asam oksalat ibu Total 14,9 ± 8,8 4,3 68 61,1

hamil adalah 159,1 ± 195,7 mg/hari. Rata-rata asupan asam oksalat pada osteoporosis dan non osteoporosis dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Asupan Asam Oksalat Osteoporosis Non Osteoporosis Asupan Asam Oksalat Total n=30 n=60 Mean±SD (mg/hari) 236,3 ± 275,8 120,4 ± 125,7 159,1 ± 195,7 Minimal (mg/hari) 2,7 3,5 2,7 Maksimal (mg/hari) 1289 575,2 1289 Berdasarkan Tabel 3, diperoleh ratarata asupan asam oksalat ibu hamil sebagai kasus osteoporosis adalah 236,3 ± 275,8 dengan rentang 2,7 – 1289 mg. Ibu hamil yang Non-osteoporosis diperoleh nilai rata-rata

91,7

80

asupan asam oksalat sebesar 120,4 ± 125,7 denganrentang nilai 3,5 - 575,2 mg.

60 40 20

6,7

8,3

0 Osteoporosis Risiko (< 24 mg/hari)

Non Osteoporosis Tidak Risiko (≥ 24 mg/hari)

Sebagian besar ibu hamil osteoporosis mempunyai asupan asam oksalat yang berlebih yaitu rata-rata dari asupan ibu hamil dalam penelitian >159 mg/hari sebesar 53,3% sedangkan pada ibu hamil yang non

Gambar 1. Distribusi Asupan Fe Sebagian besar ibu hamil yang osteoporosis mempunyai asupan Fe yang berisiko (93,3%). Asupan Fe rata-rata ibu hamil yang berasal dari asupan makanan yaitu 57,9% AKG dan masih berada dibawah angka kecukupan gizi (AKG), mengakibatkan terjadinya proses penyerapan Fe yang kurang optimal. Asupan Fe yang berisiko atau kurang akan membuat proses pengaturan tulang melalui enzim menjadi terganggu sehingga mengakibatkan tulang menjadi rapuh.1 Selain itu, pada ibu hamil, Fe berfungsi membantu

osteoporosis

sebagian

besar

mempunyai

asupan yang tidak berisiko (70%). Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 2. 70 60 50

70 53,3 46,7

40

30

30 20 10 0 Osteoporosis Risiko (> 159 mg/hari)

Non Osteoporosis Tidak Risiko (≤ 159 mg/hari)

Gambar 2. Distribusi Asupan Asam Oksalat

[4]

BIMGI | volume 1 | November 2012


F a k t o r R i s i k o A s u p a n F e, I n h i b i t o r K a l s i u m , d a n J a r a k K e l a h i r a n t e r h a d a p O s t e o p o r o s i s p a d a B um i l

Sebesar 53,3% ibu hamil yang osteoporosis mempunyai asupan asam oksalat berisiko yaitu asupan lebih dari 159 mg/hari sedangkan 46,7%

60

asupan ibu hamil tidak berisiko. Hal ini disebabkan karena konsumsi makanan ibu hamil yang tidak

40

seimbang dan kurang beraneka ragam, sehingga

20

menyebabkan banyak makanan yang dikonsumsi

10

yang mengandung inhibitor kalsium yaitu asam oksalat.Penelitian Mahyuddin15 mendapatkan hasil rata-rata asupan oksalat pada responden

0

56.7

50

55 43.3

45

30

Osteoporosis )> 350 mg/hari(Risiko

Non Osteoporosis )≤ 350 mg/hari(Tidak Risiko

sebesar 4,4 mg dengan rentang 0,119 – 6,93 mg. Responden yang mempunyai asupan asam oksalat berlebih sebesar 42,9% menderita osteoporosis. Hal ini terjadi dikarenakan

Gambar 3. Distribusi Asupan Natrium Sebagian besar ibu hamil yang osteoporosis mempunyai asupan natrium yang berisko atau lebih dari

tingginya

350 mg/hari sebesar 56,7%. Hal ini dikarenakan konsumsi

tingkat konsumsi sayuran dan buah. Asam oksalat

asupan natrium yang tinggi yang banyak berasal dari garam dapur (NaCl).

yang ada dalam berbagai makanan nabati cenderung membentuk garam kalsium oksalat yang tidak mampu diserap usus sehingga akan menghambat terjadinya penyerapan kalsium16.

Konsumsi garam yang tinggi akan merugikan kesehatan tulang. Natrium memaksa kalsium keluar dari tubuh melalui air kencing secara berlebihan. Oleh karena itu perlu diperhatikan makanan yang dikonsumsi. Makanan yang asin dapat merugikan kesehatan antara lain menaikkan

b. Natrium Rata-rata asupan natrium ibu hamil adalah

tekanan darah, jantung, ginjal menaikkan berat badan serta menambah pembuangan kalsium17

350,6 ± 190,6 mg/hari. Rata-rata asupan natrium pada osteoporosis dan non osteoporosis dapat dilihat pada Tabel 4.

c. Serat Rata-rata asupan serat ibu hamil adalah 10,9 ± 3,4

Tabel 4. Rata-rata Asupan Natrium Non Osteoporosis Osteoporosis Asupan Natrium n=30 n=60 Mean±SD(mg/hari) 376,8 ± 194,8 337,5 ± 188,8 Minimal (mg/hari) 115,9 38,3 Maksimal (mg/hari) 872,9 967

Total

gram/hari. Secara rinci rata-rata asupan serat osteoporosis dan non osteoporosis dapat dilihat pada Tabel 5.

350,6 ± 190,6 38,3 967

Tabel 5. Rata-rata Asupan Serat

Sebagian besar ibu hamil yang osteoporosis mempunyai asupan natrium yang berlebih yaitu berdasarkan rata-rata asupan natrium ibu hamil dalam penelitian sebesar 350 mg/hari. Sebanyak 56,7% ibu

Asupan Serat Mean ± SD (g/hari) Minimal (g/hari) Maksimal (g/hari)

Osteoporosis n=30 11,6 ± 3,6 7,1 25,2

Non Osteoporosis n=60 10,5 ± 3,2 5,2 20,1

Total 10,9 ± 3,4 5,2 25,2

hamil osteoporosis mempunyai asupan natrium yang berisiko sedangkan 55% ibu hamil non osteoporosis tidak berisiko. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 3.

Berdasarkan Tabel 5 diperoleh rata-rata asupan serat ibu hamil osteoporosis 11,6 ± 3,6 dengan rentang nilai 7,1-25,2 gram/hari. Ibu hamil yang non osteoporosis diperoleh rata-rata asupan serat sebesar 10,5 ± 3,2 dengan rentang nilai 5,2-20,1 gram/hari. Sebagian besar ibu hamil yang osteoporosis mempunyai asupan serat yang berisiko (56,7%) sednagkan non osteoporosis yang tidak berisiko sebesar 51,7%. Secara rinci dapat dilihat pada Gambar 4.

BIMGI | volume 1 | November 2012

[5]


B im g i

|

B er k a la

I lm i ah

M a h as is wa G i zi

40

Tabel 6 Rata-rata Jarak kelahiran Osteoporosis Non Osteoporosis Jarak Kelahiran n=30 n=60 Mean ± SD (tahun) 0,53 ± 1,94 0,67 ± 2,12

Total 0,62 ± 2,05

30

Maksimal (tahun)

12

60 50

56.7 48.3

43.3

51.7

9

12

20

Berdasarkan Tabel 6, diperoleh rata-rata jarak kelahiran ibu hamil yang osteoporosis adalah

10 0 Osteoporosis Risiko (> 10 gram/hari)

Non Osteoporosis Tidak Risiko (≤ 10 gram/hari)

Gambar 4 Distribusi Asupan Serat Sebesar 56,7% ibu hamil yang osteoporosis 10 gram/hari yang didapatkan dari nilai rata-rata responden penelitian. Hal ini dikarenakan asupan Mahyudin15

kelahiran sebesar 0,67 ± 2,12 dengan rentang nilai 0 – 12 tahun. Secara rinci daoat dilihat pada Gambar 5. 98.3

96.7

100 80 60

konsumsi serat berlebihan. Penelitian

0,53 ± 1,94 dengan rentang nilai 0 - 9. Ibu hamil yang non osteoporosis diperoleh rata-rata jarak

menyatakan

40

osteoporosis sebanyak 20%. Serat yang berlebihan akan menurunkan absorbsi kalsium karena serat

0

menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran cerna5. Serat merupakan bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna secara enzimatis sehingga

3.3

1.7

Osteoporosis Risiko (< 2 tahun)

Non Osteoporosis

Tidak Risiko (0 dan ≥ 2 tahun)

Gambar 5. Distribusi Jarak kelahiran

bukan sebagai sumber makanan. Saraswati18,

Sebagian besar ibu hamil yang osteoporosis mempunyai jarak kelahiran tidak berisiko (96,7%).

menyatakan bahwa meskipun serat terbukti banyak manfaatnya bagi kesehatan, tetapi konsumsi yang

Sedangkan, ibu hamil yang non osteoporosis juga

berlebihan dapat mengganggu penyerapan kalsium dan sejumlah vitamin. Pernyataan ini sejalan dengan Hartono16 menyatakan bahwa terlalu banyak konsumsi serat justru akan menimbulkan gangguan pencernaan seperti, kembung, mulas, diare serta menurunkan penyerapan mineral termasuk kalsium yang dibutuhkan oleh tubuh.

mempunyai jarak kelahiran yang tidak berisiko (98,3%).

5. Kepadatan mineral tulang / Bone Mineral Density (BMD) Ibu Hamil Berdasarkan pengukuran BMD terhadap

4. Jarak Kelahiran Rata-rata jarak kelahiran ibu hamil adalah 0,62 ± 2,05 tahun. Berikut merupakan secara rinci

90 responden, diperoleh rata-rata T-Score -0,43 ± 1,21 dengan rentang nilai -2,60 - 2,50. Secara rinci rata-rata nilai T-Score responden berdasarkan BMD dapat dilihat pada Tabel 7:

rata-rata jarak kelahiran osteoporosis dan non osteoporosis dapat dilihat pada Tabel 6.

[6]

BIMGI | volume 1 | November 2012


F a k t o r R i s i k o A s u p a n F e, I n h i b i t o r K a l s i u m , d a n J a r a k K e l a h i r a n t e r h a d a p O s t e o p o r o s i s p a d a B um i l

T-score BMD Mean ± SD Minimal Maksimal

Tabel 7. Distribusi BMD Osteoporosis Non Osteoporosis -1,73 ±0,50 0,21±0,91 -2,60 -0.90 -1,00 2,50

Berdasarkan tabel 8 kriteria asupan Fe Total -0,43±1,21 -2,60 2,50

menyatakan

Sedangkan, ibu hamil yang non osteoporosis, sebesar 91,7% ibu hamil yang mempunyai asupan Fe berisiko serta 8,3% memiliki asupan Fe yang tidak berisiko.

kepadatan

Berdasarkan hasil analisis faktor risiko, didapatkan nilai OR (Odd ratio) adalah sebesar

tulang mencapai puncak (Peak Bone Mass) kirakira pada usia pertengahan 30 tahun dimana saat

1,27 (OR:1,27, 95% 0,232 - 6,979) yang artinya adalah asupan Fe yang berisiko atau kurang akan

itu terjadi kemunduran tulang. Oleh karena itu diperlukan konsumsi kalsium sejak dini yang harus tercukupi karena

kalsium

yang mempunyai asupan Fe berisiko merupakan osteoporosis (93,3%) dan ibu hamil memiliki asupan yang tidak berisiko namun osteoporosis (6,7%).

Berdasarkan Tabel 7, diperoleh rata-rata nilai T-Score ibu hamil yang osteoporosis adalah -1,73 ± 0,50 dengan rentang nilai -3,00 hingga -1,00. Ibu hamil yang non osteoporosis diperoleh rata-rata nilai T-Score sebesar 0,21 ± 0,90 dengan retang nilai -0,9 - 2,50. Hartono16

yang berisiko bila < 24mg/hari dan tidak berisiko bila ≥ 24mg/hari. Sebagian besar ibu hamil

mengakibatkan terjadinya osteoporosis sebanyak

merupakan

1,27 lebih besar bila dibandingkan dengan asupan Fe yang tidak berisiko.

elemen penting dan utama dalam pembentukan serta pemeliharaan tulang.

Peran Fe dalam pengaturan tulang yaitu

Dalam penelitian Mahyuddin15 nilai rentang T-Score -2,5 SD hingga -3,1 SD. Berdasarkan

membantu tulang dengan cara mengatur enzim yang menagkibatkan tulang menjadi lebih kuat. Selain itu, pada ibu hamil Fe berfungsi membantu

hasil penelitian pada pasien di Balai Pemeriksaan Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali,

produksi hemoglobin yang ada dalam darah. Fe juga mencegah terjadinya anemia, sehingga ibu

79,4% dari 34 responden tidak mengalami osteoporosis. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

hamil memiliki batas anjuran Fe lebih banyak dibandingkan dengan sebelum hamil1.

besar responden mampu menjaga tingkat kepadatan tulang.

7. Asupan Asam Osteoporosis

6. Asupan Fe dan Osteoporosis Kepadatan mineral tulang dipengaruhi

penghambat dalam hal tercapainya kebutuhan kalsium yang masuk ke dalam tubuh. Apabila

dibandingkan dengan wanita dewasa yang tidak sedang hamil, karena intake asupan juga dibutuhkan

zat tersebut berlebihan di dalam tubuh ibu hamil dan diabaikan saja maka kebutuhan kalsium di

untuk sang janin. Asupan Fe ibu hami dapat dilihat

dalam tubuh tidak akan tercukupi karena terjadi

pada tabel 8.

penghambatan. Asupan asam oksalat ibu hamil dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 8. Asupan Fe Ibu Hamil

Asupan Fe n

Non Osteoporosis

%

n

dan

Asam oksalat merupakan salah satu zat

secara langsung oleh asupan zat gizi. Terutama ibu hamil yang memerlukan asupan zat gizi lebih bila

Osteoporosis

oksalat

X2

P

OR

CI 95%

%

Risiko Tidak Risiko

28 2

93,3 6,7

55 5

91,7 8,3

Total

30

100

60

100

BIMGI | volume 1 | November 2012

0,2326,979

[7]


B im g i

|

B er k a la

I lm i ah

M a h as is wa G i zi

tulang sehingga mengakibatkan terjadinya

Tabel 9 Asupan Asam Oksalat Ibu Hamil Non Osteoporosis Osteoporosis Asupan Asam P OR X2 Oksalat n % n %

CI 95%

Risiko Tidak Risiko

16 14

53,3 46,7

18 42

30 70

1,0796,593

Total

30

100

60

100

0,227

0,03

2,66

kerapuhan tulang. Natrium yang sifatnya sebagai penghambat akan memaksa kalsium keluar dari tubuh melalui urin apabila konsumsi natrium berlebihan. Berikut merupakan, jumlah asupan natrium pada ibu hamil pada Tabel 10.

Berdasarkan Tabel 9, kriteria asupan asam oksalat yang berisiko bila ≼ 159mg/hari dan tidak

Tabel 10. Asupan Natrium Ibu Hamil Non Osteoporosis Osteoporosis X2 P N % n %

risiko bila < 159mg/hari. Sebesar 53,3% ibu hamil yang osteoporosis mempunyai asupan asam oksalat

Asupan Natrium

berisiko dan 46,7% ibu hamil mempunyai asupan tidak berisiko. Sedangkan ibu hamil yang non osteoporosis,

Risiko Tidak Risiko

17 13

56,7 43,3

27 33

45 55

sebesar 30% ibu hamil memiliki asupan asam oksalat berisiko dan 70% tidak berisiko.

Total

30

100

60

100

0,11

0,30

Hasil uji statistik terhadap analisis faktor risiko, didapatkan nilai OR sebesar 2,66 berarti asupan

Berdasarkan tabel 10, kriteria asupan natrium yang berisiko bila ≼ 350 mg/hari dan tidaK

asam oksalat berisiko atau berlebihan mengakibatkan kejadian osteoporosis ibu hamil sebesar 2,66 (OR:

berisiko bila < 350 mg/hari. Sebesar 56,7% ibu hamil yang mengonsumsi natrium berisiko merupakan

2,66, 95% 1,079 - 6,593) kali bila dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki asupan asam oksalat

osteoporosis dan 43,3% ibu hamil yang memiliki asupan natrium tidak berisiko juga osteoporosis.

tidak berisiko.

Sebagian besar ibu hamil non osteoporosis yang 15

menunjukkan

mempunyai asupan natrium tidak berisiko sebesar

bahwa responden yang osteoporosis mempunyai

55%. Natrium adalah mineral makro utama yang

42,9% asupan asam oksalat yang berlebih sedangkan

dalam cairan ekstraselular, 35-40% natrium ada di dalam kerangka manusia. Sumber natrium yang

Hasil penelitian Mahyuddin

63% responden mempunyai asupan asam oksalat lebih namun tidak mengalami osteoporosis. Hal ini dapat terjadi karena tingkat konsumsi terhadap sayuran

tinggi adalah garam dapur (NaCl).

daun dan buah yang banyak terdapat kandungan asam

risiko, didapatkan nilai (OR: 1,59 95% 0,661 - 3,866) yang artinya apabila OR>1 adalah mempertinggi

oksalat. Osteoporosis terjadi karena tingginya asupan asam oksalat yang mampu mengikat mineral kalsium menjadi garam kalsium oksalat yang tidak mampu diserap oleh usus karena sifatnya yang tidak mampu larut dalam air. Kekurangan ini ditunjang dengan

Hasil uji statistik terhadap analisis faktor

risiko yaitu asupan natrium yang berisiko atau berlebih akan menyebabkan kejadian osteoporosis pada ibu hamil sebesar 1,97 kali dibandingkan dengan konsumsi asupan natrium yang tidak berisiko.

kurangnya mengonsumsi lauk hewani16.

9. Asupan Serat dan Osteoporosis 8. Asupan Natrium dan Osteoporosis Tjandra17

makanan

absorpsi kalsium, diduga karena serat menurunkan

yang asin selain tidak baik untuk tekanan

waktu transit makanan di dalam saluran cerna

darah,

sehingga mengurangi kesempatan untuk absorpsi

Menurut jantung

dan

ginjal

juga

akan

mengakibatkan terjadinya pembuangan kalsium [8]

Menurut Almatsier5, serat menurunkan

kalsium. Asupan serat ibu hamil dapat dilihat tabel 11.

dalam BIMGI | volume 1 | November 2012

OR

CI 95%

1,59

0,6613,866


F a k t o r R i s i k o A s u p a n F e, I n h i b i t o r K a l s i u m , d a n J a r a k K e l a h i r a n t e r h a d a p O s t e o p o r o s i s p a d a B um i l

Asupan Serat

Tabel 11. Asupan Serat Ibu Hamil Non Osteoporosis Osteoporosis X2 P n % n %

Risiko Tidak Risiko

17 13

56,7 43,3

29 31

48,3 51,7

Total

30

100

60

100

0,079

0,462

OR

1,39

10. Jarak Kelahiran dan Osteoporosis

CI 95% 0,5793,377

Jarak kelahiran adalah perhitungan dalam tahun anak terakhir dengan anak sebelumnya. Jarak kelahiran ibu hamil dapat dilihat pada tabel 12.

Jarak Kelahiran

Tabel 12. Jarak Kelahiran Ibu Hamil Non Osteoporosis Osteoporosis X2 P OR n % n %

Risiko Tidak Risiko

1 29

3,3 96,7

1 59

1,7 98,3

Total

30

100

60

100

Berdasarkan tabel 11, kriteria asupan serat yang berisiko bila ≼ 10 mg/hari dan tidak risiko bila < 10 mg/hari. Sebesar 56,7% ibu hamil yang memiliki asupan serat berisko merupakan osteoporosis dan 43,3% mempunyai asupan yang tidak berisiko. Sedangkan, sebagian besar ibu hamil yang non osteoporosis mempunyai asupan berisiko sebesar 48,3% dan 51,7% tidak berisiko. Hasil uji statistik terhadap analisis faktor risiko, didapatkan nilai (OR: 1,39, 95% 0,579 – 3,377) artinya ibu hamil yang memiliki asupan serat berisiko atau lebih akan menyebabkan kejadian osteoporosis sebesar 1,39 kali lebih besar dibandingkan dengan asupan serat yang tidak

0,053

0,618

2,03

Berdasarkan tabel 12, kriteria jarak kelahiran yang berisiko adalah < 2 tahun dan tidak risiko bila ibu hamil primigravida dan lebih dari 2 tahun. Sebesar 96,7% ibu hamil osteoporosis mempunyai jarak kelahiran tidak berisiko termasuk primigravida yang belum mempunyai jarak kelahiran. Sedangkan 98,3% ibu hamil non osteoporosis mempunyai jarak kelahiran juga tidak berisiko. Hasil uji statistik terhadap analisis faktor

berisiko. Hasil penelitian

ini

sejalan

dengan

penelitian Mahyudin15 yaitu tidak ada responden osteoporosis yang mempunyai asupan

risiko, didapatkan nilai OR sebesar 2,03 (OR: 2,03 95% 0,123 - 33,69), berarti OR>1 mempertinggi

serat yang berlebih. Namun, 3,7% responden

faktor risiko yaitu jarak kelahiran yang berisiko akan menyebabkan terjadinya kejadian osteoporosis

mempunyai asupan serat yang berlebih tetapi tidak osteoporosis. Hal ini mungkin dikarenakan adanya

sebesar 2,03 kali bila dibandingkan dengan jarak kelahiran yang tidak berisiko pada ibu hamil.

keseimbangan asupan serat dengan makanan sumber kalsium. Menurut Hartono16, terlalu

Penelitian Kosnayani19 yang bertujuan mengetahui hubungan paritas terhadap

banyak konsumsi serat dapat menimbulkan risiko gangguan pencernaan seperti penurunan

kepadatan tulang

wanita

pascamenopouse,

penyerapan beberapa mineral termasuk kalsium

didapatkan hasil bahwa responden pernah melahirkan anak sebanyak tiga kali dengan

yang benar-benar diperlukan oleh tulang kita, diare, kembung serta mulas. Konsumsi serat sehari-hari

rentang 0 – 8. Setiap kenaikan kelahiran satu orang anak, maka kepadatan tulang akan

harus dikombinasi dengan produk hewani, ancaman kerapuhan tulang akibat kurangnya kalsium

berkurang sebanyak 1,5.10-2 g/cm2. Selain berpengaruh terhadap kepadatan tulang, jarak

dapat diminimalkan.

kelahiran dan paritas juga berpengaruh terhadap status gizi pada balita seperti penelitian Maidar9 menyatakan bahwa jarak kelahiran yang kurang optimal cenderung mengalami underweight dan wasted. Jarak kelahiran optimal akan memberikan kesempatan bagi ibu untuk memberi perhatian,

BIMGI | volume 1 | November 2012

[9]

CI 95% 0,12333,69


B im g i

|

B er k a la

I lm i ah

M a h as is wa G i zi

perawatan dan kasih sayang sebagai kebutuhan psikologi dan sosial anak sehingga meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Di samping itu, jarak kelahiran dekat akan berdampak pada status gizi dan kesehatan ibu11.

asupan kalsium dan Fe setelah proses persalinan.

E. Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih yang

C. Kesimpulan

sebesar-besarnya kepada Tri Siswati SKM, M.Kes dan Dra. Elza Ismail, M.Kes yang telah meluangkan

Ibu hamil dengan asupan Fe yang kurang mempunyai risiko untuk menderita osteoporosis sebesar 1,27 kali dibandingkan asupan Fe

yang

cukup, ibu hamil dengan asupan asam oksalat yang lebih mempunyai risiko untuk menderita osteoporosis sebesar 2,66 kali dibandingkan asupan asam oksalat yang cukup, ibu hamil dengan asupan natrium yang lebih mempunyai risiko untuk menderita osteoporosis sebesar 1,59

waktu dan memberikan bimbingan demi kesempurnaannya penelitian ini. Tak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Nur Dwi Handayani, S.SiT yang telah berkenan menjadi penguji dalam penelitian ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada dr. Ahmad Priyadi, Sp.OG beserta seluruh staff Klinik Nurani Godean, Sleman serta seluruh responden yang dengan kesediaannya menjadi subjek dalam penelitian ini.

kali dibandingkan asupan natrium yang cukup, ibu hamil dengan asupan serat yang lebih mempunyai risiko untuk menderita osteoporosis sebesar 1,39 kali dibandingkan asupan serat yang cukup dan ibu hamil dengan jarak kelahiran yang dekat mempunyai risiko untuk menderita osteoporosis sebesar 2,03 kali dibandingkan jarak kelahiran yang cukup.

D. Saran Banyak faktor yang berhubungan dengan faktor risiko kejadian osteoporosis pada ibu hamil. Faktor tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain, sehingga saran yang dapat peneliti berikan adalah : 1. Meningkatkan asupan Fe dari yang berasal dari makanan disamping ada penambahan suplemen. 2. Agar tidak terjadi interaksi penghambat pada inhibitor kalsium (asam oksalat, natrium dan serat) maka disarankan untuk mengimbangi dengan konsumsi sumber pangan yang beraneka ragam. 3. Memperhatikan pengaturan waktu jarak kelahiran anak untuk mempersiapkan kesehatan ibu dalam hal mengembalikan [10]

F. Daftar Pustaka 1.

Junaidi, Iskandar. Osteoporosis. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer. 2007. 2. Depkes RI, News Letter. 1 dari 3 Wanita dan 1 dari 5 Pria Memiliki Kecenderungan Menderita Osteoporosis. No.09, Edisi September. 2005. 3. Waspada.co.id. 2003. Serba-serbi Kesehatan. h ttp://wa spa d a .co .id /s e rba -se rbi/ kesehatan/artikel. Diakses pada tanggal 28 Desember 2010. 4. Ramayulis, Rita. Tesis : Hubungan Asupan Vitamin, Mineral,dan Rasio Asupan Kalsium dan Fosfor dengan Kepadatan Mineral tulang Kalkaneus Perempuan. Yogyakarta : FK UGM. 2008. 5. Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia. 2004. 6. Waluyo, Srikandi.2009. 100 Questions & Answers. Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 7. Tjahjadi, Vicynthia. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Killer Osteoporosis. Semarang : Pustaka Widyamara. 2009. 8. Kumar, Priti. 2005. Bone Morbidity in Pregnant Women. The Journal of Obstetrics and Gynecology India. Vol. 55, No. 5 : September/ October 2005. 9. Maidar, Tesis : Hubungan Jarak Kelahiran dengan Status Gizi Balita di Kabupaten Purworejo Provinsi Jawa Tengah. Yogyakarta : FK UGM. 2006. 10. Sastroasmoro dan Ismael. Dasar-Dasar BIMGI | volume 1 | November 2012


F a k t o r R i s i k o A s u p a n F e, I n h i b i t o r K a l s i u m , d a n J a r a k K e l a h i r a n t e r h a d a p O s t e o p o r o s i s p a d a B um i l

11. 12.

13.

14.

15.

16.

17.

18. 19.

Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : CV Agung Seto. 2002. Kristiyanasari, W.. Gizi Ibu Hamil. Yogyakarta : Nuha Medika. 2010 Susilo, Joko dan Hadi Hamam. Hubungan Asupan Zat Besi dan Inhibitornya Sebagai Prediktor Kadar Hemoglobin Ibu Hamil di Kabupaten Bantul Provinsi DIY. Jurnal Kedokteran Masyarakat XVIII. 2002. Atmarita, Tatang S., Falah. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Makalah pada Widyakarya Pangan Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Lukmasari, Winda Yulia. Skripsi : Perbedaan Pola Konsumsi Inhibitor Fe Pada Ibu Hamil Anemia dan Non Anemia di Wilayah Kerja Puskesmas Gamping II Yogyakarta. Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. 2010. Mahyuddin, Zulfah. Skripsi : Hubungan Antara Asupan Kalsium, Vitamin D, dan Inhibitor Kalsium dengan Osteoporosis di Balai Pemeriksaan Kesehatan Masyarakat Dinkes Kabupaten Boyolali-Jawa Tengah. Jurusan Gizi DIV : Poltekkes Kemenkes Yogyakarta. 2006. Hartono, Muljadi. Mencegah & Mengatasi Osteoporis. Jakarta : Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. 2000. Tjandra, Hans. Segala Sesuatu yang Harus Anda Ketahui tentang Osteoporosis. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2009. Saraswati, Idayu. Klinik Keluarga Terapi Osteoporosis. Jakarta : Progres. 2003. Kosnayani, Ai Sri. Tesis : Hubungan Asupan Kalisum, Aktivitas Fisik, paritas, INdeks Massa Tubuh, dan Kepadatan Tulang pada Wanita Menopause. Semarang : FK UNDIP. 2007.

BIMGI | volume 1 | November 2012

[11]


Pengaruh pemberian nata de coco terhadap kadar kolesterolldl dan hdlpada tikus hiperkolesterolemi

PENGARUH PEMBERIAN NATA DE COCO TERHADAP KADAR KOLESTEROLLDL DAN HDLPADA TIKUS HIPERKOLESTEROLEMI 1

Oleh: Diyan Yunanto Setyaji1 Mahasiswa, Program Studi Ilmu gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,Semarang

Abstrak Pendahuluan:Tingginya kadar kolesterol LDL dan penurunan kolesterol HDL meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Diet efektif menurunkan kadar kolesterol LDL, salah satunya dengan peningkatan asupan serat melalui konsumsi nata de coco. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh nata de coco terhadap kadar kolesterol LDL dan HDL pada tikus hiperkolesterolemi. Metode: Rancangan penelitian eksperimensebenarnya jenis pre-post test desain randomized control groups terhadap 30 ekor tikus Sprague Dawley hiperkolesterolemi yang dibagi acak 5 kelompok. Tikus diberi nata de coco kering personde dosis 0,88 g; 1,76 g; 2,65 g; dan 3,53 g per 200 g berat badan per hari. Kadar kolesterol diperiksa melalui perhitungan dan metode CHOD-PAP. Data dianalisis dengan uji paired t-test dan Anova pengukuran berulang dan uji LSD pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil:Pemberian nata de coco dosis 3,53 g menurunkan kadar kolesterol LDL dari 135,83 mg/dl menjadi 20,45 mg/dl dan dalam dosis 1,76 g, 2,65 g, dan 3,53 g meningkatkan kadar kolesterol HDL dari 49,51 mg/dl, 50,59 mg/dl, dan 49,73 mg/dl menjadi 67,20 mg/dl, 74,30 mg/dl, dan 82,58 mg/dl. Kesimpulan:Pemberian nata de coco selama dua minggu pada dosis 3,53 g mampu menurunkan kadar kolesterol LDL sebesar 115.38 mg/dl dan mampu meningkatkan kadar kolesterol HDL sebesar 32,85 mg/dl. Kata kunci:nata de coco, serat pangan, hiperkolesterolemi Abstract Introduction:The rising of LDL cholesterol level and the HDL cholesterol level declined to increase cardiovascular disease risk. Diet is the most efective method to decrease the LDL cholesterol level by increase dietary fiber intake withnata de coco’s intake. Thus a study was to prove the effect of nata de coco of different dosages on LDL and HDL cholesterol of hypercholesterolemic rats. Methods:An true experimental study using control group with pre and post test design was carried out to already made-hypercholesterolemic Sprague Dawley rats. They received 0,88 g/d, 1,76 g/d, 2,65 g/d, and 3,53 g/d dried nata de coco. LDL and HDL cholesterol were measured before and after the treatment, using CHOD-PAP methods respectively. Data were analyzed using paired t-test and repeated measurement Anova, followed by LSD at 95% confidence level. Results: The present of nata de coco dosages in 3,53 gwas able significantly to reduce the LDL cholesterol from 135,83 mg/dl to 20,45 mg/dl and increase the HDL cholesterol from 49,51 mg/dl, 50,59 mg/dl, and 49,73 mg/dl to 67,20 mg/dl, 74,30 mg/dl, and 82,58 mg/dl of the experiment rats. Conclusion:There was decreasing concentration of LDL cholesterol 115.38 mg/dland was increasing concentration of HDL cholesterol 32,85 mg/dl after given dried nata de coco in 3,53 g per day during 14 days. Key words: nata de coco, dietary fiber, hypercholesterolemia

[12]

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Bimgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

PENDAHULUAN Hiperkolesterolemia merupakan kondisi dimana kolesterol darah meningkat melebihi ambang normal yang ditandai dengan meningkatnya kadar LDL, trigliserida, dan kolesterol total. Kadar kolesterol total yang normal dalam plasma orang dewasa adalah sebesar 120200 mg/dl, sedangkan hiperkolesterolemia terjadi bila konsentrasi kolesterol total ≼ 240 mg/dl, LDL ≼ 160 mg/dl, 1 dan trigliserida ≼ 150 mg/dl. Tingginya kadar kolesterol LDL dan rendahnya kadar kolesterol HDL dapat meningkatkan risiko 2 aterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 26,3%, sedangkan kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di rumah sakit di Indonesia 3 pada tahun 2005 sebesar 16,7%. Faktor risiko terjadinya hiperkolesterolemia antara lain pola diet sehari-hari, jenis 4 kelamin, umur, dan genetik. Pengaturan pola diet dilakukan dengan mengurangi konsumsi lemak total dan lemak jenuh serta meningkatkan asupan serat. PERKI (Perhimpunan Kardiologi Indonesia) menyarankan asupan serat 25-30 g/hari untuk kesehatan jantung dan pembuluh darah, sedangkan rata-rata konsumsi serat penduduk Indonesia adalah 10,5 g tiap 5,6 harinya. Serat dapat diperoleh dari sumber alami seperti serealia, kacang-kacangan, sayur, dan buah maupun dari produk pangan olahan seperti nata de coco.Nata de coco dihasilkan dari fermentasi air kelapa oleh 7 bakteri Acetobacter Xylinum. Nata de coco mengandung sejumlah serat larut dan tak larut air seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin dengan jumlah serat pangan total sebesar 20,45% per 100 gr berat kering. Mekanisme hipokolesterolemi nata de coco terjadi dalam beberapa cara, antara lain melalui mekanisme penundaan pengosongan lambung dan berkurangnya sekresi insulin yang diikuti dengan penghambatan kerja 8 enzim HMG-KoA reduktase; serat larut air akan mengikat lemak, protein, dan karbohidrat yang mengakibatkan proses pencernaan dan penyerapan lemak menjadi 8 terganggu; serat larut air akan mengikat asam kenodeoksikolat yang akan menghambat kerja enzim HMG-KoA 8 reduktase; lignin dan pektin akan mengikat asam empedu dan membentuk formasi misel yang selanjutnya akan 9 rantai pendek bersama seperti asetat, dan diekskresikan feses; propionat, dan serat pangan di kolon akan difermentasikan BIMGI | Volume 1 | November 2012 menghasilkan asam lemak

butirat yang kemudian masuk sirkulasi darah menuju hati, kemudian propionat akan menghambat kerja enzim HMG-KoA reduktase yang menghambat sintesis 9-12 kolesterol di hati. Penelitian secara laboratoris pada tikus Sprague Dawley dengan memberikan oatbran selama 20 hari dalam dosis pemberian 8-10% mampu menurunkan kolesterol serum dan kolesterol hepar. Penelitian pada tikus Sprague Dawley dengan memberikan tepung jambu biji sebesar 16% dari total pakan mampu menurunkan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida serum secara signifikan serta meningkatkan kadar kolesterol 4 HDL meskipun tidak bermakna. Berdasarkan uraian diatas, diteliti pengaruh pemberian nata de coco terhadap kadar kolesterol LDL dan HDL pada hewan percobaan yaitu tikus yang telah dibuat hiperkolesterolemia. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perubahan kadar kolesterol HDL dan LDL pada tikus hiperkolesterolemia sebelum dan sesudah diberi nata de coco dengan dosis 0,88 g; 1,76 g; 2,65 g; dan 3,53 g selama dua minggu serta menganalisis perbedaan perubahan kadar kolesterol HDL dan LDL antar kelompok perlakuan. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai dasar untuk melakukan pengkajian pengaruh pemberian atau konsumsi nata de coco terhadap kadar kolesterol HDL dan LDL pada manusia. METODE PENELITIAN Penelitian bersama ini merupakan rancangan true eksperimen jenis pre-post test desain randomized control groups pre-post 13 design. Variabel bebas pada penelitian ini adalah dengan pemberian nata de coco dalam berbagai dosis sedangkan variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar profil lipid serum tikus hiperkolesterolemia yang meliputi kadar kolesterol LDL (Low Density Lipoprotein) dan kadar kolesterol HDL (High Density Lipoprotein). Sampel yang digunakan adalah tikus jantan Sprague Dawleyberjumlah 30 ekor dengan umur 8 minggu dan berat badan ratarata 150-200 g yang diperoleh dari laboratorium Pusat Studi ITB Bandung. Setelah diadaptasikan pada kandang percobaan selama 1 minggu, tikus dibuat hiperkolesterol dan selanjutnya dibagi secara acak menjadi 5 kelompok. Satu kelompok sebagai kontrol negatif dengan empat

[13]


Pengaruh pemberian nata de coco terhadap kadar kolesterolldl dan hdlpada tikus hiperkolesterolemi kelompok sebagai kelompok perlakuan. Perhitungan jumlah sampel minimal menggunakan rumus besar sampel experimental dan didapatkan besar sampel minimal 5 ekor. Dalam penelitian ini masingmasing kelompok terdiri atas 6 ekor. Penentuan subjek setiap kelompok dilakukan dengan simple random sampling. Di dalam penelitian ini digunakan tiga jenis pakan yang diberikan terhadap hewan percobaan yakni pakan standar, pakan hiperkolesterol, dan pakan standar disertai nata de coco yang diberikan secara sonde dalam berbagai dosis sebagai pakan perlakuan. Pakan standar dan pakan hiperkolesterol diberikan 20 g per hari dan air minum secara ad libitum. Pakan hiperkolesterol menggunakan campuran pakan standar dengan 10% minyak babi dan 1% kristal kolesterol yang dicampur secara homogen, dibentuk pelet, dan dikeringkan. Pakan perlakuan menggunakan pakan Kadar profil lipid standard diambil setelah satu minggu pemberian pakan standar. Kadar profil lipid awal (hiperkolesterolemi) diambil setelah dua minggu pemberian pakan hiperkolesterol, sedangkan kadar profil lipid akhir (setelah diberikan perlakuan) didapat setelah dua minggu pemberian pakan perlakuan. Kadar kolesterol HDL ditentukan dengan metode CHOP-PAP. Kadar kolesterol LDL didapat dari perhitungan kadar total kolesterol-kadar kolesterol HDL-1/5 kadar trigliserida. Kadar kolesterol setiap kelompok setelah diberi pakan hiperkolesterol dikatakan sudah mencapai hiperkolesterolemi jika peningkatan kadar kolesterol telah mencapai lebih dari dua kali dari kadar sebelumnya dan sebagai acuan adalah peningkatan kadar kolesterol LDL setelah pemberian pakan hiperkolesterol selama dua minggu. Hal ini sesuai dengan standar protokol dalam penelitian laboratorik.

standar yang disertai dengan pemberian nata de coco kering yang diberikan secara sonde. Nata de coco dipisahkan dari airnya dan dihancurkan dengan blender kemudian dijemur selama 2 hari di bawah sinar matahari. Nata de coco yang telah mengering dipotong sesuai dosis masing-masing perlakuan kemudian dilarutkan pada air hangat. Pemberian secara sonde ini dilakukan dua kali sehari, masing-masing separuh dari dosis. Hal ini dilakukan mengingat kapasitas lambung tikus yang kecil. Dosis yang diberikan sebagai perlakuan adalah 0,88 g, 1,76 g, 2,65 g, dan 3,53 g per 200 g berat badan per hari. Pemberian dosis ini berdasarkan anjuran kebutuhan serat seharihari manusia sebesar 20 - 35g yang telah dikonversi menjadi dosis untuk hewan coba sesuai dengan berat badannya dan disesuaikan dengan kandungan serat dalam nata de coco. Dilakukan analisis data secara deskriptif yang disajikan dalam bentuk tabel setelah dilakukan uji normalitas data menggunakan Kolmogorov-Smirnov test. Perubahan profil lipid sebelum dan setelah perlakuan diuji

Tabel 1. Tabel Kandungan Pakan Standar Kandungan Air Protein kasar Lemak kasar Serat kasar Abu Kalsium Fosfor

[14]

Jumlah Maks 12% Min 15% 3-7% Maks 6% Maks 7% 0,9-1,1% 0,6-0,9%

dengan t-test, dan perbedaan pengaruh dari masing-masing kelompok perlakuan dianalisis dengan Repeated Measurement Anova yang kemudian dilanjutkan dengan uji LSD dan menggunakan program komputer.

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Bimgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

HASIL PENELITIAN Profil Lipid awal dan sesudah Pemberian Pakan Hiperkolesterol Sebelum dilakukan perlakuan pemberian nata de coco, 30 ekor tikus dibagi menjadi 5 kelompok dan masing-masing dikondisikan dalam keadaan hiperkolesterolemi dengan pemberian pakan campuran dari pakan standar dan 10% minyak babi dan 1% kristal kolesterol yang dicampur secara homogen, dibentuk pelet, dan dikeringkan. Pakan standar diberikan selama satu minggu sedangkan untuk pakan

hiperkolesterol diberikan selama dua minggu.

enam minggu. Hal ini juga sesuai dengan penelitian pada tikus dengan rata-rata kadar kolesterol LDL awal sebesar 34 mg/dl menjadi 58,3 mg/dl setelah pemberian pakan 4 hiperkolesterol selama 30 hari , dan penelitian pada tikus dengan kadar kolesterol LDL awal sebesar 13,9 mg/dl menjadi 59,2 mg/dl setelah pemberian pakan hiperkolesterol 14 selama sembilan hari. Kadar Kolesterol LDL setelah Pemberian Nata de Coco Tabel 3 menunjukkan kandungan serat pada 100 g nata de coco. Hasil ini diperoleh dari uji proksimat di laboratorium Universitas

Katholik Soegyopranoto, Semarang. Tabel 3. Kandungan Serat Nata de

Berdasarkan data pada tabel 2, ternyata pemberian pakan hiperkolesterol meningkatkan kadar serum kolesterol LDL dan menurunkan kadar kolesterol HDL secara sangat bermakna. Rata-rata peningkatan kadar kolesterol LDL pada setiap kelompokperlakuan setelah pemberian pakan hiperkolesterol selama dua minggu lebih dari 450% atau lebih dari 110 mg/dl, sedangkan penurunan kadar kolesterol HDL di semua kelompok perlakuan lebih dari 21% atau lebih dari 13 mg/dl. Peningkatan kadar kolesterol LDL setelah pemberian pakan hiperkolesterol telah mencapai kondisi hiperkolesterolemia pada hewan coba sesuai dengan hasil penelitian pada tikus Sprague Dawley dengan rata-rata kadar kolesterol LDL awal sebesar 9,52 mg/dl menjadi 49,08 mg/dl setelah pemberian pakan hiperkolesterol selama

BIMGI | Volume 1 | November 2012

Coco Komponen Serat

Kandungan per 100 g bahan Basah

Kering

Serat kasar

1,11 %

7,27%

NDF

3,12%

20,45%

ADF

1,52 %

9,96%

Lignin

0,44%

2,92%

Substansi pektat

-

-

Selulosa

1,07%

7,03%

Hemiselulosa

1,60%

10,48%

Total pangan

3,12%

20,45%

serat

[15]


Pengaruh pemberian nata de coco terhadap kadar kolesterolldl dan hdlpada tikus hiperkolesterolemi

Kadar kolesterol LDL pada kelima kelompok diukur setelah dua minggu pemberian perlakuan. Data profil lipid antar kelompok perlakuan yang didapat kemudian dianalisis perbedaannya dengan menggunakan uji statistik

secara nyata setelah pemberian nata de coco selama dua minggu sedangkan kelompok kontrol mengalami penurunan kadar kolesterol HDL sebesar 4.14% atau sekitar 2.1 mg/dl. Peningkatan kadar kolesterol HDL yang paling

Repeated Measurement dengan uji LSD.

bermakna terjadi pada kelompok perlakuan P4 yang mendapatkan nata de coco 3,53 g yaitu sebanyak 32.85 mg/dl atau sekitar 66.05%.

Anova

dilanjutkan

Tabel 4 menunjukkan adanya penurunan kadar kolesterol LDL pada kelompok perlakuan P1, P2, P3, dan P4 secara nyata setelah pemberian nata de coco selama dua minggu sedangkan kelompok kontrol mengalami kenaikan kadar kolesterol sekitar 4%. Penurunan paling bermakna berdasarkan uji LSD terjadi pada kelompok P4 yang mendapatkan nata de coco sebanyak 3,53 g yaitu sebesar 115.38 mg/dl atau sekitar 84,94%. Kadar Kolesterol HDL setelah Pemberian Nata de Coco Seperti pada pengukuran kadar kolesterol LDL, kadar kolesterol HDL pada kelima kelompok diukur setelah dua minggu pemberian perlakuan. Data profil lipid antar kelompok perlakuan yang didapat kemudian dianalisis perbedaannya dengan menggunakan uji statistik Repeated Measurement Anova yang kemudian dilanjutkan dengan uji LSD. Tabel 5 menunjukkan adanya peningkatan kadar kolesterol HDL pada P1, P2, P3, P4

[16]

PEMBAHASAN Profil Lipid awal dan sesudah Pemberian Pakan Hiperkolesterol Pemberian pakan hiperkolesterol ke setiap kelompok mampu memberikan perubahan kadar kolesterol, baik pada kadar kolesterol LDL maupun kadar kolesterol HDL. Rata-rata peningkatan kadar kolesterol LDL pada setiap kelompok perlakuan setelah pemberian pakan hiperkolesterol selama dua minggu adalah lebih dari 110 mg/dl atau lebih dari 450%, sedangkan penurunan kadar kolesterol HDL di semua kelompok perlakuan lebih dari 13 mg/dl atau lebih dari 21% dari kadar kolesterol semula. Peningkatan kadar kolesterol LDL setelah pemberian pakan hiperkolesterol telah mencapai kondisi hiperkolesterolemia pada hewan coba sesuai dengan hasil penelitian pada tikus Sprague Dawley dengan rata-rata kadar kolesterol LDL awal sebesar 9,52 mg/dl menjadi 49,08 mg/dl setelah pemberian pakan

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Bimgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

hiperkolesterol selama enam minggu. Hal ini juga sesuai dengan penelitian pada tikus dengan rata-rata kadar kolesterol LDL awal sebesar 34 mg/dl menjadi 58,3 mg/dl setelah pemberian 4 pakan hiperkolesterol selama 30 hari , dan penelitian pada tikus dengan kadar kolesterol LDL awal sebesar 13,9 mg/dl menjadi 59,2 mg/dl setelah pemberian pakan hiperkolesterol selama 14 sembilan hari. Meningkatnya kadar kolesterol LDL setelah diberi pakan hiperkolesterol selama dua minggu dikarenakan tingginya kadar kolesterol dan asam lemak jenuh dalam pakan hiperkolesterol. Asupan lemak merupakan faktor penting yang menentukan konsentrasi kolesterol dalam darah. Pengaruh tersebut tergantung dari komposisi asam lemak yang ada di dalam lipid 15 tersebut. Dalam penelitian ini digunakan lemak babi yang mengandung asam lemak berantai panjang. Penelitian tentang asupan lemak jenuh, PUFA, dan kolesterol terhadap respon kadar kolesterol, setiap asupan lemak jenuh 1% dari total energi sehari diprediksi dapat meningkatkan 2,7 mg/dl kadar plasma 16,17 kolesterol. Penurunan kadar kolesterol HDL disebabkan oleh kondisi hiperkolesterolemia dan 2 faktor genetik. Asam lemak jenuh ganda di dalam pakan hiperkolesterol menyebabkan penurunan kadar kolesterol HDL dengan cara menekan sintesis kolesterol HDL melalui penurunan kadar apoprotein A-1 yang merupakan prekursor untuk pembentukan HDL. Hipertrigliseridemia meningkatkan katabolisme apoprotein A-1 HDL dengan menambah trigliserida sementara mengurangi kolesterol 18,19 ester di dalam inti HDL. Kadar Kolesterol LDL setelah Pemberian Nata de Coco Pemberian nata de coco selama dua minggu pada setiap kelompok perlakuan mampu memberikan pengaruh yang bermakna. Masingmasing dosis pemberian nata de coco di semua kelompok memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar kolesterol LDL sedangkan kelompok kontrol mengalami kenaikan kadar kolesterol sekitar 4% atau sebesar 5.43 mg/dl. Penurunan kadar kolesterol LDL yang paling signifikan dan mampu kembali ke kadar kolesterol standar dicapai oleh kelompok perlakuan pemberian nata de coco sebanyak 3,53 gr per 200 g berat badan per hari yaitu sebesar 115.38 mg/dl atau sekitar 84,94% dimana rata-rata kadar kolesterol LDL standard pada kelompok tersebut adalah 21,44 mg/dl. Penurunan kadar kolesterol LDL dipengaruhi oleh adanya serat pangan yang

BIMGI | Volume 1 | November 2012

terkandung di dalam nata de coco. Tiap 100 g nata de coco kering yang digunakan sebagai variabel bebas dalam penelitian ini mengandung 20,45% serat pangan. Penelitian di Amerika mengatakan bahwa dengan mengonsumsi sereal 50 g sehari akan menurunkan kolesterol total sebesar 19% dan kolesterol LDL 23%, karena kandungan serat larut air pada sereal 20 yang cukup tinggi, yaitu sekitar 14%. Kadar kolesterol serum menurun 10-20% ketika terdapat peningkatan asupan serat dari pangan 21 kaya serat larut air. Serat pangan dapat menurunkan sekitar 14% kolesterol LDL pada orang yang hiperkolesterolemia dan sekitar 10% 11 pada orang yang normokolesterolemia. Sebuah penelitian melaporkan bahwa di dalam usus halus, serat larut air dapat meningkatkan viskositas dan mempengaruhi 22 proses pencernaan dan penyerapan makanan. Penelitian lain mengatakan bahwa serat larut air mampu menurunkan konsentrasi kolesterol plasma darah pada hewan coba tikus, hamster, 23,24 dan babi. Pemberian makanan yang mengandung serat larut air akan mempengaruhi aktifitas enzim yang berperan dalam biosintesis kolesterol dan asam empedu. Terdapat beberapa mekanisme penurunan kadar kolesterol LDL oleh serat pangan, antara lain serat mampu mengubah absorbsi dan metabolisme asam empedu; serat dapat memodifikasi absorbsi dan metabolisme lipid; asam lemak rantai pendek sebagai hasil dari fermentasi serat mempengaruhi metabolisme kolesterol dan lipoprotein; dan serat dapat mengubah insulin atau konsentrasi hormon lain 21 atau sensitifitas jaringan terhadap hormon. Peningkatan kadar kolesterol LDL yang terjadi pada kelompok kontrol setelah pemberian pakan standar selama dua minggu menunjukan bahwa perubahan pakan belum mampu memberikan perubahan kadar kolesterol ke arah yang positif karena kadar kolesterol LDL semula yang terlalu tinggi akibat pemberian pakan hiperkolesterol selama dua minggu sebelumnya. Kadar Kolesterol HDL setelah Pemberian Nata de Coco Semua kelompok perlakuan yang mendapat nata de coco masing-masing dalam dosis 0,88 g; 1,76 g; 2,65 g; dan 3,53 g menunjukan adanya peningkatan kadar kolesterol HDL secara nyata sedangkan kelompok kontrol mengalami penurunan kadar kolesterol HDL sebesar 4.14% atau sekitar 2.1 mg/dl. Peningkatan kadar kolesterol HDL yang paling signifikan yang mampu kembali ke kadar kolesterol standar dicapai oleh kelompok perlakuan dengan dosis pemberian nata de

[17]


Pengaruh pemberian nata de coco terhadap kadar kolesterolldl dan hdlpada tikus hiperkolesterolemi

coco1,76 g, 2,65 g, dan 3,53 g per 200 g berat badan per hari yaitu sebesar 17,69 mg/dl, 23,71 mg/dl, dan 32,85 mg/dl atau sekitar 35,73%, 46,86%, dan 66,05% dimana rata-rata kadar kolesterol HDL standar pada ketiga kelompok tersebut adalah 63,19 mg/dl, 64,38 mg/dl, dan 70,68 mg/dl. Peningkatan kadar kolesterol HDL mungkin disebabkan oleh adanya kenaikan apolipoprotein A dengan mekanisme yang belum dapat diketahui dengan jelas. Apolipoprotein A merupakan salah satu protein pendukung 18 terbentuknya partikel HDL. Kolesterol HDL mempunyai mekanisme tersendiri, kadarnya di dalam serum lebih dipengaruhi oleh faktor genetik dan jenis kelamin. Penelitian lain yang menggunakan serat pangan dari produk oat memiliki kemampuan menurunkan serum kolesterol LDL dan meningkatkan secara 21 perlahan serum kolesterol HDL. Penurunan kadar kolesterol HDL yang terjadi pada kelompok kontrol setelah pemberian pakan standar selama dua minggu menunjukan bahwa kondisi hiperkolesterolemi masih berlangsung dan mempengaruhi kadar kolesterol HDL. KESIMPULAN Pemberian nata de coco dalam dosis 3,53 g per 200 g berat badan per hari menurunkan kadar kolesterol LDL dari 135,83 mg/dl menjadi 20,45 mg/dl atau sekitar 84,94% sedangkan pada dosis 1,76 g, 2,65 g, dan 3,53 g per 200 g berat badan per hari mampu meningkatkan kadar kolesterol HDL dari 49,51 mg/dl, 50,59 mg/dl, dan 49,73 mg/dl menjadi 67,20 mg/dl, 74,30 mg/dl, dan 82,58 mg/dl atau sekitar 35,73%, 46,86%, dan 66,05%. SARAN Perlu kiranya dirintis uji pemberian nata de coco pada manusia, karena sudah terbukti penelitian terhadap hewan coba pemberian serat nata de coco mampu menurunkan kadar LDL dan secara epidemiologis tidak ditemukan efek toksik terhadap hewan coba. Tingginya prevalensi hiperkoleste-rolemia dan adanya hubungan erat dengan terjadinya penyakit jantung koroner, maka serat pangan dalam nata de coco dapat digunakan untuk mengatur tingginya kadar kolesterol LDL pada orang dengan hiperkolesterolemi. UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan terima kasih kepada Ibu Tatik Mulyati, DCN.,

[18]

M.Kes yang telah membimbing dalam kegiatan penelitian. DAFTAR RUJUKAN 1.

Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2. Edisi ke-4. Alih Bahasa oleh Ismadi M. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1983.

2.

Krummel DA. Medical Nutrition Therapy in Cardiovaskuler Disease. In: Mahan LK, Escott-stump S. Krauseâ€&#x;s Food, Nutrition, th and Diet Therapy 12 Edition. Philadelphia: WB Saunders Company; 2008. 833-64.

3.

Andreas A. Aspek Medis Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Dalam : Pertemuan Ilmiah Nasional ke-3; 2007 juli 19-21; Semarang. Asosiasi Dietisien Indonesia DPD Jawa Tengah; 2007.

4. Maryanto S, Fatimah SM. Pengaruh Pemberian Jambu Biji (Psidium guajava L) pada Lipid Serum Tikus (Sprague Dawley) Hiperkolesterolemi. Media Medika Indonesiana 2004; 39 (2): 105-111. 5.

Nainggolan O dan Adimunca C. Diet Sehat dengan Serat. Cermin Dunia Kedokteran 2005; 147: 43-6.

6. Jahari A.B, Sumarno I. Epidemiologi Konsumsi Serat di Indonesia. Majalah Gizi Indonesia 2001; 25: 37-56. 7.

Pambayun R. Teknologi Pengolahan Nata de Coco. Yogyakarta: Kanisius; 2005.

8.

Groff LJ, Gropper SS. Advanced Nutrition rd and Human Metabolism 3 ed. US: Wadsworth; 2000: 106-22.

9.

Lupton JR, Turner D. Dietary Fiber. In : Biochemical and Physiological Aspect of Human Nutrition. London: WB Saunders Company; 2000.

10. Prangdimurti E, Palupi NS, Zakaria FR. Metode Evaluasi Nilai Biologis Karbohidrat dan Lemak. Bandung: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta IPB; 2007. 11. Hernawati. Peranan Berbagai Sumber Serat dalam Dinamika Kolesterol pada Individu Hiperkolesterolemi dan Normokolesterolemi. Bandung: Jurusan Pendidikan Biologi Universitas Pendidikan Indonesia; 2007. 12. Tala ZZ. Manfaat Serat bagi Kesehatan. Medan: Departemen Ilmu Gizi Fakultas

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Bimgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

Kedokteran Universitas Sumatera Utara; 2009. 13. Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2008: 10925. 14. Yuniastuti A. Pengaruh pemberian susu fermentasi lactobacillus casei galur shirota terhadap kadar fraksi lipid serum tikus hiperkolesterolemi. Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik. FK UNDIP Semarang. 2004.

in Hybrid F1B Hamsters. Eur J Nutr 2002; 41: 19-26.

24. Fernandez ML, W ilson TA, Conde K, Vergara-Jimenez M, Nicolosi RJ. Hamster and Guinea Pigs Differ in Their Plasma Lipoprotein Cholesterol Distribution when Fed Diets Varying in Animal Protein, Soluble Fiber, or Cholesterol Content. J. Nutr 1999;

15. Gotto AM, W ittels EH. Diet, kolesterol, lipoprotein serum, dan PJK. Dalam: Andrianto P, editor. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: EGC; 1994. 16. Mayes PA. Sintesis, Pengangkutan, dan Ekskresi Kolesterol. Dalam: Murray RK, Granner DK, Mayes PA, Rodwell VW, th editor. Biokimia harper 25 ed. Jakarta: EGC; 2003. 17. Soeharto I. Serangan Jantung dan Stroke. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2004. 51 – 5 18. Stryer L. Cholesterol Metabolism and Blood th Lipoprotein by Biochemistry 4 ed. Stanford University: WH Freeman and company; 1995: 525-44. 19. Voet D, Voet JG. Lipids and Membranes. nd Biochemistry 2 . New York: John Wiley & Sons Inc; 1995: 318-26. 20. Sugano M, Ikeda I, Imaizumi K, Lu YF. Dietary Fiber and Lipid Absorption. In: Kritchevsky D, Bonfield C and Anderson JW, editor. Dietary Fiber; Chemistry, Physiology, and Health Effects. New York: Plenum Press; 1990. 137-153. 21. Anderson JW, Deakins DA, Bridges SR. Soluble Fiber, Hypocholesterolemic Effects and Proposed Mechanisms. In: Kritchevsky D, Bonfield C and Anderson JW, editor. Dietary Fiber; Chemistry, Physiology, and Health Effects. New York: Plenum Press; 1990. 339-358. 22. Marounek M, Synytsya A, Capikova J, Sirotek K. Assay of Availability of Amidated Pectins for Colonic Microorganisms (In Czech). Chem Listy 2005; 99: 591-93. 23. Terpstra AHM, Lapre JA, De Vries HT, Beynen AC. The Hypocholesterolemic Effect of Lemon Peels, Lemon Pektin, and The Waste Stream Material of Lemon Peels

BIMGI | Volume 1 | November 2012

[19]


Hubungan asupan makanan dan faktor lain dengan obesitas pada pegawai unit pelayanan gizipelayanan kesehatan sint carolus jakarta tahun 2012

HUBUNGAN ASUPAN MAKANAN DAN FAKTOR LAIN DENGAN OBESITAS PADA PEGAWAI UNIT PELAYANAN GIZIPELAYANAN KESEHATAN SINT CAROLUS JAKARTA TAHUN 2012 Oleh: Herlin Mey Sartika Hutajulu 1 Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Jalan Universitas Indonesia Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia 1

Abstrak Penelitian bertujuan untuk mengetahui gambaran dan hubungan asupan makanan (asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak) dan faktor lain (karakteristik responden, kebiasaan sarapan pagi, faktor genetik, aktivitas fisik, dan durasi waktu tidur) dengan obesitas berdasarkan persen lemak tubuh pada pegawai Unit Pelayanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus (PKSC) Jakarta Tahun 2012. Penelitian menggunakan studi deskriptif dengan disain penelitian potong lintang. Pengambilan sampel menggunakan total populasi, dengan sampel penelitian sebanyak 57 orang. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran langsung status gizi (berat badan, tinggi badan, dan persen lemak tubuh), wawancara menggunakan kuesioner penelitian dan form recall 2x24 jam. Analisis data meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan 2 jenis uji statistik yaitu Uji Korelasi dan Uji Beda Dua Mean (Uji T). Hasil penelitian menunjukkan rata-rata Persen Lemak Tubuh (PLT) pegawai adalah 31,92 (SD 14,60). Rata-rata asupan energi adalah 78,74% energi Angka Kecukupan Gizi (AKG). Hasil analisis bivariat menunjukkan karakteristik responden (jenis kelamin dan umur), asupan energi dan asupan karbohidrat, dan kebiasaan sarapan pagi memiliki hubungan signifikan dengan obesitas (p<0,05). Asupan protein, asupan lemak, faktor genetik, aktivitas fisik, dan durasi waktu tidur tidak memiliki hubungan signifikan dengan obesitas (p>0,05). Kata kunci: persen lemak tubuh, asupan makanan, obesitas

Abstract Research was aimed to know the description and the relationship of food intake (energy, carbohydrate, protein and fat intake) and other factors (individual characteristics, breakfast habits, genetic factors, physical activity, and duration of sleep time) with obesity based on percent body fat of Nutritional Care Employees at Sint Carolus Jakarta Health Care in 2012.The study used descriptive study with cross sectional design. Sampling was conducted using total population, with sample study as many as 57 respondents. The data was collected through direct measurements of nutritional status (weigh, height and percent body fat), interviews using questionnaires and the 2x24-hour food recall method. Data analysis included univariate and bivariate analysis. Bivariate analysis performed with two types of statistical tests, Correlation Analysis and Independent Samples T-Test. The study result showed that mean of body fat percentage of employees was 31.92% (SD 14.60). The average energy intake was 78.74% recommended daily allowance (RDA) energy. Results of bivariate analysis showed characteristics of respondents (gender and age), energy intake, carbohydrate intake and breakfast frequency have a significant relation with obesity (p<0.05). Protein intake, fat intake, genetic factor, physical activity and sleep duration does not have a significant relation with obesity (p>0.05). Keywords: body fat percentage, food intake, obesity

[20]

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

PENDAHULUAN Obesitas, yang merupakan faktor risiko kunci dalam rangkaian terjadinya penyakit tidak menular dan penyakit kronik yang berperan meningkatkan tingginya angka kematian, telah menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia. Data tahun 2008 menunjukkan bahawa sebanyak 1,5 miliar penduduk dewasa mengalami overweight; lebih dari 200 juta laki-laki dan hampir 300 juta 1 perempuan mengalami obesitas. Prevalensi obesitas di Indonesia meningkat dari 10,3% (2007) 2,3 menjadi 11,7% (2010). Prevalensi obesitas tinggi pada kelompok dewasa (>18 tahun) yang bekerja sebagai PNS/TNI/Polri/Pegawai, pada laki-laki 3 (17,5%) dan perempuan (19,4%). Penelitian 4 Wahyuningrum pada pegawai Instalasi Gizi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan 2 bahwa prevalensi obesitas (IMT>27 kg/m ) sebesar 25%. Instalasi Gizi merupakan tempat bekerja petugas gizi yang diharapkan mampu mencapai dan mempertahankan status gizi yang optimal. Keberagaman jabatan dan jenis pekerjaan bukan menjadi masalah untuk memiliki status gizi yang normal, sehingga dapat melaksanakan aktivitas kerja dengan baik dan menjadi contoh yang baik bagi lingkungan di tempat kerja maupun masyarakat umum, ditinjau dari status gizi. Studi awal di Unit Pelayanan Gizi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus (PKSC) Jakarta mendapatkan informasi prevalensi obesitas pada pegawai sebesar 27%.

METODE Penelitian dilaksanakan di Unit Pelayanan Gizi PKSC yang berlokasi di Jl. Salemba Raya No.41 Senen, Jakarta Pusat. Penelitian menggunakan disain penelitian potong lintang (cross sectional). Proses pengumpulan data dilakukan pada tanggal 4-21 April tahun 2012. Populasi studi penelitian adalah seluruh pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta tahun 2012, baik yang berstatus pegawai tetap, tenaga tidak tetap atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dan tenaga harian lepas (THL), yang berada di lokasi penelitian saat pengambilan data dilakukan. Besar sampel dari populasi berjumlah 59 orang. Pengambilan sampel menggunakan total populasi, artinya seluruh responden yang berada di lokasi penelitian yang telah memenuhi kriteria inklusi menjadi sampel penelitian, sehingga didapatkan sampel penelitian sebanyak 57 orang. Adapun kriteria inklusi eksklusi adalah: kriteria inklusi yaitu

BIMGI | Volume 1 | November 2012

Pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta tahun 2012 baik laki-laki maupun perempuan; sedangkan kriteria eksklusi yaitu: (1) Pegawai perempuan yang sedang hamil maupun menyusui, (2) Pegawai yang sakit (dirawat atau mendapat cuti sakit), dan (3) Pegawai yang merencanakan cuti tahunan dan cuti besar ketika penelitian dilakukan. Variabel penelitian meliputi variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah obesitas (persen lemak tubuh), sedangkan variabel independen adalah karakteristik individu (jenis kelamin dan umur), asupan makanan (asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak), kebiasaan sarapan pagi, faktor genetik, aktivitas fisik dan durasi waktu tidur. Penelitian menggunakan data primer. Data status gizi dikumpulkan melalui penimbangan berat badan (Seca), pengukuran tinggi badan (microtoise), dan penilaian persen lemak tubuh (BIA Omron). Data aktivitas fisik melalui pengisian kuesioner 5 Baecke, et al. , dan data karakteristik individu dan faktor-faktor lain melalui pengisian kuesioner penelitian. Data asupan makanan didapatkan melalui wawancara food recall 2x24 jam yang dilakukan secara tidak berturut-turut, hari kerja dan hari libur. Analisis data penelitian meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat dilakukan berdasarkan bentuk data: data kategorik (jenis kelamin dan faktor genetik) dan data numerik (umur, asupan makanan, kebiasaan sarapan pagi, aktivitas fisik, dan durasi waktu tidur). Analisis bivariat dilakukan dengan dua jenis uji statistik yaitu Uji Korelasi dan Uji Beda Dua Mean (Uji T). Pengolahan data asupan makanan (food recall) dilakukan menggunakan Nutrisurvey 2007.

HASIL Distribusi Pegawai berdasarkan Kategorik

Jenis

Data

Distribusi pegawai berdasarkan jenis kelamin tidak merata, pegawai perempuan sebanyak 42 orang (73,7%) dan pegawai laki-laki 15 orang (26,3%). Pegawai yang tidak memiliki anggota keluarga yang obesitas berjumlah 39 orang (68,4%), dan pegawai yang memiliki anggota keluarga yang obesitas 18 orang (31,6%). Distribusi pegawai berdasarkan jenis data kategorik seperti pada Tabel 1.

[21]


Hubungan asupan makanan dan faktor lain dengan obesitas pada pegawai unit pelayanan gizipelayanan kesehatan sint carolus jakarta tahun 2012

perempuan mengalami obesitas. Diketahui 5 orang (9%) pegawai yang memiliki faktor genetik obesitas dan 12 orang (21%) pegawai yang tidak memiliki faktor genetik obesitas mengalami obesitas.

Tabel 1. Distribusi Pegawai berdasarkan Jenis Data Kategorik Variabel Jumlah Persenta se Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total Faktor Genetik Ya Tidak Total

15 42 57

26,3 73,7 100,0

18 39 57

31,6 68,4 100,0

Hubungan antara PLT menurut jenis kelamin dan faktor genetik pada pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta seperti pada Tabel 3. Rata-rata PLT pegawai laki-laki 23,41% (SD 9,56), dan pegawai perempuan 34,96% (SD 7,02). Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan rata-rata PLT pegawai laki-laki dan perempuan (p=0,0005).

Distribusi PLT pegawai menurut jenis kelamin dan faktor genetik berdasarkan Gallagher, 6 et al., seperti pada Tabel 2. Sebanyak 3 orang (5%) pegawai laki-laki dan 12 orang (21%) pegawai Tabel 2. Distribusi PLT Pegawai Menurut Jenis Kelamin dan Faktor Genetik Persen Lemak Tubuh (PLT) Variabel

Total Underfat N %

Healthy N %

Overfat N %

Obesitas N %

N

%

Laki-laki

2

4

3

5

7

12

3

5

15

26

Perempuan

1

2

14

25

15

26

12

21

42

74

Total

3

6

17

30

22

38

15

26

57

100

Ya

2

4

7

12

5

9

5

9

19

34

Tidak

1

2

10

17

15

26

12

21

38

66

Total

3

6

17

29

20

35

17

30

57

100

Jenis Kelamin

Faktor Genetik

Tabel 3. Distribusi Rata-rata PLT Menurut Jenis Kelamin dan Faktor Genetik Variabel

Mean

SD

P value

N

Laki-laki

23,41

9,56

0,0005*

15

Perempuan

34,96

7,02

Ya

29,03

11,33

Tidak

33,26

7,91

Jenis kelamin

42

Faktor Genetik

[22]

0,109

18 39

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

Keterangan: *Signifikan (p < 0,05)

Rata-rata PLT pegawai yang memiliki faktor genetik obesitas 29,03% (SD 11,33), dan pegawai yang tidak memiliki faktor genetik obesitas 33,26% (SD 7,91). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan rata-rata PLT pegawai yang memiliki faktor genetik obesitas dan pegawai yang tidak memiliki faktor genetik obesitas (p=0,109). Distribusi Pegawai Numerik

berdasarkan Jenis

Data

Rata-rata umur pegawai adalah 42,42 tahun. Pengelompokan umur berdasarkan AKG 2004 diketahui pegawai usia 19-29 tahun sebanyak 7 orang (12%), usia 30-49 tahun sebanyak 30 orang (53%) dan usia 50-64 tahun sebanyak 20 orang 7 (35%). Rata-rata asupan energi pegawai adalah 74,78% energi AKG (SD 20,96). Pengelompokan asupan energi berdasarkan AKG 2004 diketahui pegawai dengan asupan energi > 100% AKG sebanyak 10 orang (18%) dan asupan energi ≤

100% AKG sebanyak 47 orang (82%). Rata-rata asupan lemak 99,55% energi AKG (SD 31,96). Pengelompokan asupan lemak berdasarkan AKG 2004 diketahui pegawai dengan asupan lemak > 25% energi AKG sebanyak 27 orang (47%) dan asupan lemak ≤ 25% energi AKG sebanyak 30 orang (53%). Rata-rata berat badan pegawai adalah 62,4 kg (SD 15); rata-rata TB pegawai adalah 153,4 cm 2 (SD 7,9); rata-rata IMT 26,5 kg/m (SD 5,7); dan rata-rata PLT 31,92% (SD 9). Berdasarkan standar nilai IMT Depkes (2003), pegawai status gizi kurus 4 orang (7%), normal 21 orang (37%), overweight 6 orang (10%), dan obesitas 26 orang (46%). Pengelompokan PLT 6 berdasarkan Gallagher, et al. diketahui pegawai underfat 3 orang (5%), normal 17 orang (30%), overfat 22 orang (39%), dan obesitas 15 orang (26%). Distribusi pegawai berdasarkan jenis data numerik seperti pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Pegawai berdasarkan Jenis Data Numerik Variabel Umur Asupan Energi Asupan Karbohidrat Asupan Protein Asupan Lemak Kebiasaan Sarapan Pagi Aktivitas Fisik Durasi Waktu Tidur Berat Badan Tinggi Badan Indeks Massa Tubuh Persen Lemak Tubuh

Mean

SD

42,42 74,78 77,82 92,75 99,55 2,6 7,91 6,2 62,4 153,4 26,5 31,92

10,95 20,96 19,32 29,27 31,96 3 0,94 1,4 15 7,9 5,7 9

Distribusi PLT pegawai menurut umur, asupan makanan, kebiasaan sarapan pagi, aktivitas fisik dan durasi waktu tidur berdasarkan Gallagher, et al., seperti pada Tabel 5.Hubungan antara PLT menurut umur, asupan makanan, kebiasaan sarapan pagi, aktivitas fisik, dan durasi waktu tidur pada pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta seperti pada Tabel 6. Terdapat hubungan kuat dan berpola positif antara variabel umur dan PLT, artinya semakin bertambah umur maka nilai PLT semakin meningkat. Hasil uji statistik menunjukkan ada

BIMGI | Volume 1 | November 2012

N. Skewness -2,02 0,03 2,33 2,87 0,61 2,1 1,88 -0,77 3,5 1,3 1,4 -2,65

Min – Maks

95% CI

19 – 56 29,15 – 131,77 46,77 – 134,63 42,70 – 191,50 36,84 – 167,76 0–7 6,38 – 10,25 2,0 – 9,5 40,1 – 116,2 139,6 – 168,7 16,8 – 41,6 4,70 – 45,90

39,52 – 45,33 73,18 – 84,30 72,69 – 82,94 84,98 – 100,51 91,07 – 108,03 1,8 – 3,3 7,66 – 8,16 5,9 – 6,6 58,5 – 66,2 151,3 – 155,5 25,0 – 28,1 29,47 – 34,37

hubungan yang signifikan (p=0,0005). Hubungan berpola negatif ditunjukkan antara variabel asupan makanan (asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak) dan PLT pegawai, artinya semakin bertambah asupan makanan maka nilai PLT semakin menurun. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara PLT dengan asupan energi (p=0,021) dan asupan karbohidrat (p=0,048). Tidak ada hubungan yang signifikan antara PLT dengan asupan protein (p=0,071) dan asupan lemak (p=0,134).

[23]


Hubungan asupan makanan dan faktor lain dengan obesitas pada pegawai unit pelayanan gizipelayanan kesehatan sint carolus jakarta tahun 2012

Tabel 5. Distribusi PLT Pegawai Menurut Umur, Asupan Makanan, Kebiasaan Sarapan Pagi dan Durasi W aktu Tidur Persen Lemak Tubuh (PLT) Variabel

Total Underfat N %

Healthy N %

Obesitas N %

Overfat N %

N

%

Umur 19 – 29 tahun

2

4

6

10

0

0

0

0

8

14

30 – 49 tahun

1

2

7

12

13

23

8

14

29

51

50 – 64 tahun

0

0

5

9

10

17

5

9

20

35

Total

3

6

18

31

23

40

13

23

57

100

> 100% AKG

2

4

5

9

2

4

1

2

10

17

≤ 100% AKG

1

2

12

21

18

32

16

28

47

83

Total

3

6

17

30

20

36

17

30

57

100

> 60% Energi AKG

2

4

3

5

1

2

2

4

8

15

≤ 60% Energi AKG

1

2

14

24

19

33

15

26

49

85

Total

3

6

17

29

20

35

17

30

57

100

> 100% Protein AKG

3

5

7

12

4

7

5

9

19

33

≤ 100% Protein AKG

0

0

10

18

16

28

12

21

38

67

Total

3

5

17

30

20

35

17

30

57

100

> 25% Energi AKG

3

5

9

16

7

12

7

12

26

45

≤ 25% Energi AKG

0

0

8

14

13

23

10

18

31

55

Total

3

5

17

30

20

33

17

30

57

100

≤ 1 kali/minggu

0

0

5

9

14

24

10

18

29

51

2 – 3 kali/minggu

0

0

4

7

1

2

7

12

12

21

≥ 4 kali/minggu

3

5

8

14

5

9

0

0

16

28

Total

3

5

17

30

20

35

17

30

57

100

Indeks ≤ 5,6

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

Indeks > 5,6 – 7,9

1

2

12

21

14

24

7

12

34

59

Indeks > 7,9

2

4

5

9

6

10

10

18

23

41

3

6

17

30

20

34

17

30

57

100

< 7 jam

2

4

12

21

11

19

10

17

35

61

7 jam

1

2

1

2

4

7

6

10

12

21

> 7 jam

0

0

4

7

4

7

2

4

10

18

Total

3

6

17

30

19

33

18

31

57

100

Asupan Energi

Asupan Karbohidrat

Asupan Protein

Asupan Lemak

Kebiasaan Sarapan Pagi

Aktivitas Fisik

Total Durasi Waktu Tidur

[24]

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

Hubungan kuat dan berpola negatif antara variabel kebiasaan sarapan pagi dan PLT pegawai artinya semakin meningkat frekuensi kebiasaan sarapan pagi maka nilai PLT semakin menurun. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p=0,0005). Tidak ada hubungan atau

hubungan sangat lemah dan berpola negatif antara variabel aktivitas fisik dan PLT pegawai artinya semakin meningkat aktivitas fisik maka nilai PLT semakin menurun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p=0,948).

Tabel 6. Analisis Korelasi PLT Menurut Umur dan Faktor Lain Variabel Umur Asupan Energi Asupan Karbohidrat Asupan Protein Asupan Lemak Keb.Sarapan Pagi Aktivitas Fisik Durasi Waktu Tidur

Nilai Korelasi (r)

P value

0,525 -0,305 -0,246 -0,241 -0,201 -0,579 -0,009 -0,078

0,0005* 0,021* 0,048* 0,071 0,134 0,0005* 0,948 0,564

Keterangan: *Signifikan (p < 0,05) Hubungan lemah dan berpola negatif antara variabel durasi waktu tidur dan PLT pegawai artinya semakin bertambah durasi waktu tidur maka nilai PLT semakin menurun. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan (p=0,564).

pertumbuhan dan akumulasi massa otot. Remaja laki-laki rata-rata mengalami kenaikan BB 9 kg/tahun. Lemak tubuh menurun selama masa remaja, sehingga pada akhir masa pubertas rata9 rata lemak tubuh sekitar 12%.

PEMBAHASAN

Hubungan antara Umur dan Obesitas

Hubungan antara Jenis Kelamin dan Obesitas

Brown, et al. , menyebutkan terjadi perubahan berat dan komposisi tubuh secara dramatis pada masa remaja hingga dewasa. Ratarata lean body mass turun dari 80% menjadi 74% dan rata-rata lemak tubuh meningkat dari 16% menjadi 27% sampai usia dewasa. Penelitian H. Ito, 8 et al. , menunjukkan ada perbedaan yang signifikan rata-rata PLT laki-laki dan perempuan dewasa di Jepang untuk setiap kelompok umur. Rata-rata PLT laki-laki usia 20-29 tahun (18,7±6,6 %) meningkat usia 40-49 tahun (23,5±5,8 %) dan berangsur turun ketika usia 70-79 tahun (21,7±6,3%). Rata-rata PLT perempuan usia 20-29 tahun (28,4±7,0%) meningkat sampai usia 70-79 tahun (35,9±8,4%), peningkatan terjadi seiring bertambahnya usia.

9

Hasil uji statistik menunjukkan ada perbedaan yang signifikan rata-rata PLT pegawai berjenis kelamin laki-laki dan perempuan (p=0,0005). 8 Didukung oleh penelitian H. Ito, et al. , ada perbedaan yang signifikan rata-rata PLT laki-laki dan perempuan di Jepang yang diukur menggunakan DEXA. Menurut penelitian tersebut rata-rata PLT laki-laki membentuk garis melengkung atau berbentuk huruf U terbalik, artinya rata-rata PLT menurun seiring bertambah usia. Berbeda pada perempuan, rata-rata PLT membentuk garis lurus, artinya semakin bertambah usia, rata-rata PLT semakin meningkat. Perempuan akan mengalami pertambahan massa jaringan bebas lemak (lean body mass)44% dan pertambahan lemak tubuh 120% pada masa pubertas. Selama pubertas, remaja perempuan akan mengalami pertambahan massa lemak tubuh sekitar 1,14 kg/tahun sampai usia 15-16 tahun. Berbeda pada laki-laki, puncak pertambahan berat badan (BB) bertepatan dengan puncak

BIMGI | Volume 1 | November 2012

Proses penuaan juga berhubungan dengan perubahan komposisi tubuh, mencakup perubahan lean body mass, lemak dan otot. Rata-rata terjadi penurunan 15% massa lemak bebas pada usia 50 tahun. Perubahan tersebut berkaitan dengan menurunnya tingkat aktivitas fisik, asupan makanan 9 dan perubahan hormonal pada perempuan.

[25]


Hubungan asupan makanan dan faktor lain dengan obesitas pada pegawai unit pelayanan gizipelayanan kesehatan sint carolus jakarta tahun 2012 Hubungan antara Asupan Makanan dan Obesitas Asupan energi merupakan akumulasi dari total asupan zat gizi makro yaitu asupan karbohidrat, protein dan lemak. Analisis korelasi yang dilakukan pada masing-masing zat gizi makro menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p=0,0005). Keeratan hubungan sangat kuat dan berpola positif (r karbohidrat=0,825; r protein=0,786; dan r lemak=0,798). Hal ini berarti bahwa semakin meningkat asupan energi maka semakin meningkat asupan karbohidrat, protein dan lemak. Dapat diasumsikan bahwa asupan karbohidrat, protein dan lemak yang berlebih akan menyebabkan asupan energi tinggi sehingga berat badan dan PLT akan meningkat. Namun hasil yang berbeda didapatkan dari penelitian pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta. Hubungan yang berpola negatif ditunjukkan pada hasil korelasi asupan makanan dengan PLT. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh aktivitas fisik. Skor aktivitas fisik yang diklasifikasikan berdasarkan 10 Kamso dalam 3 kategori yaitu aktivitas ringan (indeks ≤ 5,6), aktivitas fisik sedang (indeks 5,6-7,9) dan aktivitas fisik berat (indeks > 7,9), maka aktivitas fisik pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta termasuk dalam kategori aktivitas fisik sedang (60%) dan aktivitas fisik berat (40%). Hasil analisis uji korelasi antara asupan makanan dan aktivitas fisik didapatkan keeratan hubungan lemah dan berpola positif (r asupan energi=0,032; r asupan karbohidrat =0,057; r asupan protein=0,037; dan r asupan lemak=0,185), artinya semakin meningkat asupan makanan maka semakin meningkat aktivitas fisik. Berdasarkan hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa peningkatan asupan makanan (asupan energi, karbohidrat, protein dan lemak) juga diimbangi dengan peningkatan aktivitas fisik sehingga tidak menyebabkan peningkatan PLT.

Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi dan Obesitas Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan (p=0,0005). Kebiasaan melewatkan sarapan pagi berkaitan dengan rendahnya kualitas makan secara keseluruhan sebab terjadi perubahan sejumlah mekanisme fisiologis dalam tubuh seperti regulasi atau pengaturan nafsu makan.

[26]

Perubahan nafsu makan akan berpengaruh pada pertambahan berat tubuh dan menjadi faktor risiko terjadinya penyakit kronis seperti diabetes melitus dan penyakit 11 12 kardiovaskular. Sinha, et al. , menyebutkan kebiasaan melewatkan jadwal makan berhubungan dengan keadaan kelebihan berat badan. Kebiasaan melewatkan sarapan pagi dan makan berlebih di malam hari telah terbukti menjadi penyebab terjadinya kelebihan berat badan.

Hubungan Faktor Genetik dan Obesitas Penelitian-penelitian telah membuktikan ada hubungan antara faktor genetik dan obesitas dengan memaparkan berbagai jenis gen dan mediator gen lainnya yang berpengaruh terhadap kejadian 13-15 obesitas. Hal penting yang perlu tetap diingat adalah faktor genetik bukan merupakan faktor independen sebab faktor genetik memiliki pengaruh yang besar pada faktor perilaku seperti perilaku makan dan 16 aktivitas fisik. Ketidakmampuan membuktikan adanya hubungan antara faktor genetik dan obesitas dalam penelitian ini mungkin disebabkan oleh instumen dan desain penelitian yang digunakan serta penilaian subjektif responden terhadap tingkat kegemukan pada orang tua dan saudara kandungnya. Pengelompokkan nilai PLT pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta 6

berdasarkan Gallagher, et al. diketahui responden yang memiliki faktor genetik obesitas mengalami obesitas sebanyak 4 orang (22%), sedangkan responden yang tidak memiliki faktor genetik obesitas mengalami obesitas sebanyak 13 orang (33%).

Hubungan Obesitas

antara

Aktivitas

Fisik

dan

Keseluruhan aktivitas fisik mengarah pada pengeluaran energi dan pemeliharaan kesehatan. Rendahnya aktivitas fisik dapat memperburuk kekuatan, daya tahan, yang berkaitan juga dengan keseimbangan.Aktivitas fisik akan membangun lean body mass, membantu memelihara keseimbangan dan 9 fleksibilitas. Ketidakmampuan untuk membuktikan adanya hubungan antara aktivitas fisik dan PLT dalam penelitian ini mungkin disebabkan

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

oleh instumen yang digunakan. Kuesioner 5 Baecke, et al., digunakan mengindentifikasi aktivitas fisik laki-laki dan perempuan di Belanda pada kelompok umur 19-21 tahun, 24-26 tahun, dan 29-31 tahun. Sedangkan 10 pengkategorian skor aktivitas fisik Kamso dilakukan pada kelompok usia lanjut. Hubungan antara Durasi Waktu Tidur dan Obesitas Kelenjar hipotalamus selain berfungsi dalam pengaturan asupan makanan, keseimbangan energi dan metabolisme, juga berhubungan dengan proses pengaturan waktu tidur. Neuron dalam hipotalamus menghasilkan orexin, yaitu neurotransmiter yang berperan mengatur nafsu makan dan kekuatan untuk terjaga. Penyimpangan orexin akan memberikan peluang terjadinya obesitas 17 disebabkan durasi waktu tidur. Analisis data persen lemak tubuh pegawai menunjukkan prevalensi obesitas lebih tinggi pada pegawai dengan durasi waktu tidur < 7 jam yaitu 10 orang (17%) dibandingkan durasi waktu tidur 7 jam sebanyak 6 orang (10%) dan durasi waktu tidur > 7 jam sebanyak 2 orang (4%).

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut: (1) Pemeriksaan kesehatan pegawai dilakukan setiap tahun meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap. Pemantauan status gizi pegawai dilakukan secara berkala, misalkan melakukan pengukuran nilai IMT yaitu dengan menimbang BB (kg) dan TB (cm), pemeriksaan PLT, dll. Pemantauan status gizi penting sebagai tindakan pencegahan terhadap risiko terkena penyakit kronis dan juga meningkatkan produktivitas kerja; (2) Mengadakan penyuluhan dan konsultasi bagi pegawai bersama ahli gizi mengenai informasi gizi seimbang, pola hidup sehat, dan pemantauan status gizi; (3) Pembuatan media komunikasi informasi dan edukasi (KIE) yang berisi pemantauan status gizi, pola hidup sehat dan gizi seimbang. Media tersebut dapat berupa poster yang ditempel di tempat makan pegawai (KMP) atau ruang Unit Pelayanan Gizi yang berfungsi untuk memberikan informasi sehingga timbul kesadaran untuk menerapkan pola hidup sehat.

DAFTAR RUJUKAN 1.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh kesimpulan penelitian sebagai berikut: (1) Rata-rata PLT pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta Tahun 2012 adalah 31,92% (SD 14,60). Diketahui pegawai underfat 3 orang (5%), normal 17 orang (30%), overfat 22 orang (39%), dan obesitas 15 orang (26%), (2) Rata-rata asupan energi pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Jakarta Tahun 2012 adalah 78,74% energi AKG. Asupan energi terendah 29,15% energi AKG dan tertinggi 131,77% energi AKG. Rata-rata asupan karbohidrat adalah 77,82% energi AKG; rata-rata asupan protein adalah 92,75% protein AKG; rata-rata asupan lemak adalah 99,55% energi AKG, (3) Faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan PLT pada pegawai Unit Pelayanan Gizi PKSC Tahun 2012 adalah faktor karateristik individu (jenis kelamin dan umur), asupan energi, asupan karbohidrat, dan kebiasaan sarapan pagi. Sedangkan faktor-faktor yang tidak berhubungan signifikan dengan PLT adalah asupan protein, asupan lemak, faktor genetik, aktivitas fisik dan durasi waktu tidur. SARAN

BIMGI | Volume 1 | November 2012

2.

3.

4.

5.

6.

World Health Organization. Overweight and Obesity Fact Sheet. World Health Organization Regional Office for SouthEast Asia: Department of Sustainable Development and Healthy Enviroments; 2011 Riset Kesehatan Dasar. Laporan Nasional Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia; 2007. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Nasional Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia; 2010. Wahyuningrum, Sri Rejeki. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) Pegawai Instalasi Gizi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta Tahun 2000 [Skripsi]. Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia; 2000. Baecke, Jos AH., Burema, Jan., Frijters, Jan E.R. A Short Questionnaire for The Measurement of Habitual Physical Activity in Epidemiological Studies. The American Journal of Clinical Nutrition. 1982;36: 936942. Gallagher, D., Heymsfield, Steven. B., Heo, Moonseong., Jebb, Susan A.,

[27]


Hubungan asupan makanan dan faktor lain dengan obesitas pada pegawai unit pelayanan gizipelayanan kesehatan sint carolus jakarta tahun 2012

7.

8.

9.

10.

Murgatroyd, Peter R., & Sakamoto, Yoichi. Healthy Percentage Body Fat Ranges: An Approach for Developing Guidelines Based on Body Mass Index. The American Journal of Clinical Nutrition. 2000;72: 694701. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) 2004 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1593/Menkes/SK/XI/2005 tentang Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia. 2005. H Ito, A. Ohshima, N Ohto, M Ogasawara, M Tsuzuki, K Takao, Chijii, H Tanaka, & K Nishioka. Original Communication Relation Between Body Composition and Age in Healthy Japanese Subjects. European Journal of Clinical Nutrition. 2001;55:462–470. Brown, Judith E., Issacs, Janer S., Krinke, U. Beate., Murtaugh, Maureen A., Sharbaugh, Carolyn., Stang, Jamie., & Wooldridge, Nancy H. Nutrition Through nd The Life Cycle. 2 ed. United States of America: Wadrworth, Thomson Learning; 2005. Kamso, Sudijanto. Nutritional Aspects of Hypertension in The Indonesian Elderly (A Community Study in 6 Big Cities) [Dissertation]. Leading to Doctorate Degree in Nutrition, Post Graduate Program University of Indonesia; 2000.

[28]

11. Timlin, Maureen T & Pereira, Mark A. Breakfast Frequency and Quality in The Etiology of Adult Obesity and Chronic Diseases. Nutrition Reviews. 2007;65(6): 268-281. 12. Sinha, Ashish & Kling, Scott. A Review of Adolescent Obesity: Prevalence, Etiology, and Treatment. Obesity Surgery. 2009;19:113-120. 13. Palou, A., Serra, F., Bonet, M. L., & Picó, C. Obesity: Molecular Bases of A Multifactorial Problem. European Journal of Nutrition. 2000;39:127-144. 14. Ichihara, S., & Yamada, Y. Genetic Factors for Human Obesity. Cellular and Molecular Life Sciences. 2008;65:1086-1098. 15. Smith, Graham. Fat: A Family Affair: Genetic and Enviromental Factors in Overweight, Obesity. Pharmacy News. 2008. 16. Thirlby, Richard C., & Randall, James. A Genetic “Obesity Risk Index” for Patients With Morbid Obesity. Obesity Surgery. 2002;12:25-29. 17. Patel, Sanjay R., Malhotra, Atul., W hite, David P., Gottlieb, Daniel J., & Hu, Frank B. Association between Reduced Sleep and Weight Gain in Women. American Journal of Epidemiology. 2006;164: 947954.

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Hubungan antara karakteristik siswa, pengetahuan, media massa dan teman sebaya dengan konsumsi makanan jajanan pada siswa sma negeri 68 jakarta tahun 2012

HUBUNGAN ANTARA KARAKTERISTIK SISWA, PENGETAHUAN, MEDIA MASSA DAN TEMAN SEBAYA DENGAN KONSUMSI MAKANAN JAJANAN PADA SISWA SMA NEGERI 68 JAKARTA TAHUN 2012 1

Imam Aulia Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok

1

Abstrak Perkembangan zaman berperan terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat. Salah satunya adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan telah menjadi kebiasaan di kalangan remaja. Konsumsi makanan jajanan yang berlebihan akan berdampak pada meningkatnya resiko obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa banyak faktor yang berhubungan dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan pada remaja. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional yang dilakukan di SMA Negeri 68 Jakarta pada bulan April 2012. Sampel dalam penelitian ini adalah 188 siswa kelas X dan XI SMA Negeri 68 Jakarta yang didapatkan dengan metode cluster sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengisian kuesioner mandiri dan wawancara food recall 24 jam. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan bivariat dengan menggunakan uji Chi Square. Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa 52,1% responden sering mengonsumsi makanan jajanan. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna (p-value < 0,05)antara jenis kelamin, kebiasaan sarapan, media massa dan teman sebaya dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan pada remaja. Tidak ada hubungan bermakna antara uang saku dan tingkat pengetahuan dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Kata Kunci : konsumsi makanan jajanan, remaja, media massa, dan teman sebaya

Abstract The timescontribute tochanges inconsumption patterns. One is thehabit of eatingstreet foodhas become ahabitamong adolescents.Excessiveconsumption ofstreetfoodswillresult in increasedrisk of obesity. Variousstudies have shownthatmanyfactors related to thefrequency ofconsumption ofstreet food. Therefore,this studyaimed todetermine the factorsassociated with thefrequency ofstreet foodconsumptionin adolescents. The designstudy is acrosssectional whichconductedinSenior High School68Jakarta inApril 2012. The sample inthis study is188studentsat class X andXISenior High School68Jakartaobtainedby the method ofclustersampling. Datacollectionis done byself-administered questionnaireandinterviews 24-hour food recall. Data analysis usedin this study isunivariate andbivariateanalysisusingChiSquaretest. The results ofunivariate analysisshowedthat52.1% of respondentsfrequently eatstreet foods. The results ofbivariate analysisshowedthat therewas a significant associationbetweengender,breakfasthabits, mass media,and peerswith thefrequency ofstreet foods consumptionin adolescents. There was nosignificantrelationshipbetween pocket money andknowledge level withfrequency ofstreet foods consumption. ResearcherssuggesttoSenior High School68Jakartatoconducteducationandcounselingabout nutritionand street foodsto bemoreselective in theireatingstreet foods. Keywords: street foods consumption, adolescents, mass media, and peers.

BIMGI | Volume 1 | November 2012

[29]


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

PENDAHULUAN Makanan jajanan merupakan makanan siap saji atau dimasak terlebih dahulu dan dijajakan oleh penjaja makanan atau pedagang 1 keliling di tempat-tempat umum. Makanan jajanan telah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dari masyarakat. Berdasarkan data hasil survei Sosial Ekonomi Nasional yang telah dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (2011) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk perkotaan per kapita per bulan untuk pembelian makanan jajanan telah meningkat dari 9,48% pada tahun 1999 menjadi 12,79% pada 2 tahun 2010. Sementara itu, menurut 3 penelitian yang dilakukan oleh Fuadiyati di Semarang menunjukkan bahwa remaja di dalam kota mengonsumsi makanan jajanan sebanyak 18,9 kali dalam seminggu, sedangkan remaja di pinggiran kota mengonsumsi makanan jajanan sebanyak 9,7 kali dalam seminggu. Remaja dalam mengonsumsi makanan jajanan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. 4 Menurut Notoatmodjo dalam Putriantini , terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi konsumsi makanan jajanan yaitu faktor internal 5 dan faktor eksternal. Menurut Silvis , yang termasuk faktor internal adalah pengetahuan, kepercayaan, dan body image sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah kebudayaan, faktor sosial-ekonomi, orang tua dan keluarga, teman sebaya, serta media massa. Selain itu, 6 Rahayu dan W idiyanti menyebutkan bahwa kebiasaan sarapan pagi juga dapat mempengaruhi kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian ini yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang behubungan khususnya karakteristik siswa (jenis kelamin, uang saku, dan kebiasaan sarapan), pengetahuan, teman sebaya, dan media massa dengan konsumsi makanan jajanan pada siswa SMA. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode cross sectional yang dilaksanakan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 68 Jakarta, Jalan Salemba Raya 18, Senen, Jakarta Pusat pada bulan April 2012. Populasi target dari penelitian ini adalah seluruh siswa/i SMA Negeri 68 Jakarta

[30]

Pusat tahun 2012. Sedangkan sampel dari penelitian ini adalah siswa kelas X atau XI di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 68 Jakarta dengan kriteria inklusi : (1) berstatus sebagai siswa aktif pada tahun ajaran 2011/2012 dan (2) bersedia menjadi responden serta hadir pada saat penelitian dilakukan. Sedangkan kriteria eksklusi : (1) Siswa X dan XI yang masuk dalam kelas internasional dan (2) Siswa yang tidak masuk sekolah pada saat penelitian dilakukan. Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis dua proporsi populasi dengan hipotesis dua arah dengan derajat kepercayaan 95% dan kekuatan uji sebesar 80%. Dari hasil perhitungan didapatkan besar sampel minimal yang digunakan dalam penelitian ini adalah 81 orang, lalu dengan mempertimbangkan desain efek maka jumlah sampel tersebut dikalikan 2 menjadi 162 orang sampel minimal. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster sampling. Alasan penggunaan teknik ini adalah pihak sekolah hanya akan memberikan beberapa kelas untuk memenuhi jumlah sampel yang akan diteliti dan semua siswa pada setiap kelas harus dijadikan sampel, sehingga peneliti mengacak atau mengundi kelas yang akan dijadikan sampel. Variabel dalam penelitian ini meliputi variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen adalah frekuensi konsumsi makanan jananan, sedangkan variabel independen adalah karakteristik individu (jenis kelamin, uang saku, dan kebiasaan sarapan), tingkat pengetahuan, paparan media massa, dan teman sebaya. Penelitian menggunakan data primer yaitu data frekuensi konsumsi makanan jajanan, karakteristik individu (jenis kelamin, uang saku, dan kebiasaan sarapan), tingkat pengetahuan, paparan media massa, dan teman sebaya. Data asupan makanan jajanan didapatkan melalui wawancara 24 hours recall food recall. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis univariat bertujuan untuk mengetahui gambaran dari dependen dan independen.. Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Hubungan antara karakteristik siswa, pengetahuan, media massa dan teman sebaya dengan konsumsi makanan jajanan pada siswa sma negeri 68 jakarta tahun 2012 variabel independen dengan variabel dependen. Uji statistik yang digunakan dalam analisis ini adalah Chi Square. Pengolahan data asupan makanan (food recall) dilakukan menggunakan Nutrisurvey 2007.

Besar Kecil

142 46

72,3 27,7

Total

188

100,0

Sebagian besar responden (72,3%) memperoleh uang saku yang besar dalam satu hari. Hanya sebesar 27,7% yang meroleh uang saku kecil.

HASIL 1. Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan 4. Kebiasaan Sarapan Tabel 1. Distribusi Responden berdasarkan Frekuensi Konsumsi Makanan Jajanan Variabel

Jumlah

Frekuensi Jajan Sering Jarang Total

Persent ase

98 90 188

52,1 47,9 100,0

Distribusi responden lebih banyak siswa yang sering mengonsumsi makanan jajanan (52,1%) dibandingkan dengan siswa yang jarang dalam mengonsumsi makanan jajanan (47,9%). 2. Jenis Kelamin Tabel 2. Distribusi Responden berdasarkan Jenis Kelamin Variabel

Jumlah

Jenis Kelamin Laki-laki

79

42

109 188

58 100

Perempuan Total

Persentase

Distribusi responden lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan (58%) dibandingkan dengan responden berjenis kelamin laki-laki (42%). 3. Jumlah Uang Saku Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan Jumlah Uang Saku Variabel

Tabel 4. Distribusi Responden berdasarkan Kebiasaan Sarapan

Jumlah

Uang Saku

BIMGI | Volume 1 | November 2012

Persent ase

Variabel

Jumlah

Persent ase

Tidak Rutin Rutin

92 96

48,9 51,1

Total

188

100

Kebiasaan Sarapan

Distribusi responden menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang jauh antara responden yang rutin mengonsumsi sarapan (51,1%) dengan responden yang tidak rutin mengonsumsi sarapan. 5. Tingkat Pengetahuan Tabel 5. Distribusi Responden berdasarkan Tingkat Pengetahuan Variabel Tingkat Pengetahuan Kurang Baik Total

Jumlah

Persent ase

130 58 188

69,1 30,9 100,0

Distribusi responden lebih banyak yang berpengetahuan kurang (69,1%) dibandingkan responden yang berpengetahuan baik (30,9%). 6. Pengaruh Media Massa Tabel 6. Distribusi Responden berdasarkan Pengaruh Media Massa Variabel

Jumlah

Persent ase

[31]


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

Pengaruh Media Massa Ada Pengaruh Tidak AdaPengaruh

104

55,3

84

44,7

Total

188

100,0

7. Pengaruh Teman Sebaya Tabel 7. Distribusi Responden berdasarkan Pengaruh Teman Sebaya Variabel

Jumlah

Persent

165

87,8

ase Pengaruh Teman Sebaya Ada Pengaruh

Distribusi responden yang mengonsumsi makanan jajanan karena terpengaruh oleh iklan makanan pada media massa (55,3%) lebih banyak dibandingkan dengan responden yang tidak terpengaruh (44,7%).

Tidak AdaPengaruh Total

23

12,2

188

100,0

Distrubusi responden yang tergolong terpengaruh oleh teman sebayanya (87,8%) lebih banyak dibandingkan responden yang tergolong tidak terpengaruh oleh teman sebayanya (12,2%).

8. Hasil Analisis Bivariat Tabel 8 Hasil Analisis Bivariat Variabel

Frekuensi Jajan Sering Jarang

p-value

OR (95% CI)

Jenis Kelamin (n = 188) Laki-laki Perempuan Jumlah Uang Saku (n = 188) Besar Kecil Kebiasaan Sarapan (n = 188) Tidak Rutin

50 (63,3%) 48 (44,0%)

29 (36,7%) 61 (56,0%)

0,014*

2,191 (1,210-3,967)

79 (55,6%) 19 (41,3%)

63 (44,4%) 27 (58,7%)

0,128

1,782 (0,908-3,496)

56 (60,9%)

36 (39,1%) 0,028*

2,000 (1,118-3,577)

1.000

1,024 (0.551-1,902)

0,015*

2,151 (1,198-3,863)

Rutin

42 (43,8%)

54 (56,2%)

Tingkat Pengetahuan (n = 188) Kurang Baik

68 (52,3%) 30 (51,7%)

62 (47,7%) 28 (48,3%)

Pengaruh Media Massa (n = 188) Ada Pengaruh

63 (60,6%)

41 (39,4%)

Tidak Ada Pengaruh

35 (41,7%)

49 (58,3%)

[32]

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Hubungan antara karakteristik siswa, pengetahuan, media massa dan teman sebaya dengan konsumsi makanan jajanan pada siswa sma negeri 68 jakarta tahun 2012

Pengaruh Teman Sebaya (n = 188) Ada Pengaruh

94 (57,0%)

71 (43,0%)

0,001

6,289 (2,049-19,301)

Tidak Ada Pengaruh 4 (17,4%) 19 (82,6%) *) Keterangan : hubungan bermakna signifikan (p-value< 0,05) hubungan yang bermakna antara kebiasaan PEMBAHASAN sarapan dengan frekuensi responden dalam Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna anatara jenis kelamin dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Secara teori, jenis kelamin memiliki hubungan dengan konsumsi makanan jajanan, seperti yang dikemukakan oleh Bothmer dan 7 Fridlund Mereka mengatakan bahwa karakteristik individu seperti jenis kelamin memiliki hubungan yang cukup erat dengan kebiasaan mengonsumsi makanan jajanan, dimana laki-laki akan lebih sering untuk mengonsumsi makanan jajanan yang tidak sehat. 8 Teori ini juga didukung oleh Soyer et al yang menyatakan bahwa laki-laki juga lebih suka dan sering mengonsumsi makanan diantara jam makan utama daripada perempuan. Oleh karena itulah, dalam penelitian ini laki-laki lebih cenderung senang untuk mengonsumsi makanan jajanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah uang saku dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Ketidakbermaknaan hubungan pada analisis tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti menurut penelitian 9 Estetika ,faktor yang dapat menjadi penyebab terjadinya ketidabermaknaan antara uang saku dan konsumsi makanan jajanan adalah harga makanan jajanan yang tidak terlalu mahal atau dapat dikatakan harga makanan jajanan dapat dijangkau oleh semua kalangan. Oleh karena itu, meskipun uang saku yang diterima oleh siswa merupakan jumlah kecil, ia tetap bisa membeli makanan jajanan yang ada disekitarnya. Namun demikian, secara teori, menurut Thoha dalam 10 Febry mengatakan bahwa setiap siswa memperoleh uang dari orang tuanya masingmasing. Tujuan dari orang tua memberikan uang saku kepada anaknya adalah untuk memenuhi kebutuhan anaknya dalam hal kebutuhan jajan dan kebutuhan lain seperti membeli alat tulis, transport dan lain-lain. Namun demikian, kebanyakan pada anak sekolah biasanya uang saku lebih diprioritaskan untuk membeli makanan jajanan. Hal ini dikarenakan dengan membeli makanan jajanan maka dapat memenuhi kebutuhannya dalam menjalani aktivitas seharihari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada

BIMGI | Volume 1 | November 2012

mengkonsumsi makanan jajan. Secara teori, seseorang yang tidak mengonsumsi sarapan pagi akan membeli makanan jajanan untuk mengisi perut yang lapar. Menurut W ardlaw dan 11 Hampl , seseorang yang tidak mengonsumsi sarapan dan makan siang secara teratur akan cenderung lebih sering mengonsumsi makanan jajanan untuk memenuhi kebutuhan mereka akan 12 makanan. Sama halnya dengan Altmatsier yang menyatakan bahwa individu tertentu akan mengonsumsi makanan jajanan ketika ia berada di luar rumah secara berlebihan jika ia tidak mengonsumsi sedikitpun makanan di pagi hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan responden dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan.Ketidakbermaknaan hubungan tersebut dapat disebabkan beberapa alasan yaitu menurut 13 penelitian Cho et al , individu yang memiliki pengetahuan baik bukan berarti memiliki perilaku yang baik pula dan sebaliknya individu dengan pengetahuan buruk memiliki perilaku yang buruk. Hal ini membuat pengetahuan tidak dapat berhubungan langsung dengan konsumsi makanan jajanan karena konsumsi makanan jajanan tersebut merupakan perilaku yang tercipta akibat interaksi individu tersebut dengan lingkungan disekitarnya. Penelitian tersebut juga 14 didukung oleh Stang dan Story yang menyatakan bahwa konsumsi makanan pada individu berhubungan erat dengan perilaku individu. Namun secara teori, menurut Horst et 15 al individu dengan pengetahuan rendah lebih cenderung mengonsumsi makanan jajanan yang tidak sehat dibandingkan dengan individu yang memiliki pengetahuan tinggi. Hal tersebut juga 16 didukung oleh teori Benjamin et al yang mengatakan bahwa pemilihan makanan seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya, khususnya pengetahuan mengenai gizi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengaruh media massa dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Secara teori, menurut Harris et 17 al iklan makanan pada media massa memiliki potensi yang kuat dalam mempengaruhi

[33]


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi seseorang untuk mengonsumsi makanan jajanan di antara jam makan utama. Iklan makanan dapat mempengaruhi emosi seseorang untuk mengonsumsi makanan tersebut dengan menggunakan pesan-pesan dalam iklan tersebut dan model-model yang menarik perhatian konsumen.

Setiarini Msc selaku dosen pembimbing, dosen beserta staff Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, SMA Negeri 68 Jakarta, serta seluruh mahasiswa Program Studi Gizi Universitas Indonesia angkatan 2008.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengaruh teman sebaya dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Secara teori, 18 Coleman menyatakan bahwa seorang remaja membutuhkan teman dalam kehidupannya dan teman tersebut akan saling mempengaruhi termasuk didalamnya kebiasaan dan frekuensi mengonsumsi makanan ringan atau jajanan. 19 Dixey et al juga menambahkan bahwa pengaruh teman sebaya tersebut akan lebih kuat daripada pengaruh keluarganya dikarenakan remaja akan lebih mendengarkan pendapat dari teman-teman dibandingkan keluarganya sendiri.

1. Draper, Alizon. 1996. Street Food In Developing Countries : The Potential For Micronutrient Fortification. London School of Hygiene and Tropical Medicine. 2. Badan Pusat Statistik. 2011. Survei Sosial Ekonomi Nasional. www.bps.go.id 3. Fuadiyati, Nur. 1999. Pola Konsumsi Makanan Jajanan dan Status Gizi Remaja Di Dalam Dan Pinggiran Kota Semarang (Studi Kasus Pada Siswa SMU Kesatrian 2 Dan SMU 2 Unggaran) [Skripsi]. Semarang : Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Dipenogoro. 4. Putriantini. 2010. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Mengenai Pemilihan Makanan Jajanan Dengan Perilaku Anak Memilih Makanan Di SDIT Muhammaditah Al Kautsar Gampang Kartasura [Skripsi]. Surakarta : Program Studi Gizi, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Surakarta. 5. Silvis, Katherine A. 2002. Determinants Of Adolescent Snacking Behavior. Georgia : The University of Georgia. 6. Rahayu, W iwit dan Erni Widiyanti. 2003. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan Mengkonsumsi Makanan Jajanan Pada Anak Balita Di Kota Surakarta. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran ; Vol 3, No. 2 : 99-104. 7. von Bothmer, Margareta I. dan Fridlund, Bengt. 2005. Gender Differences in Health Habits and in Motivation for a Healthy Lifestyle Among Swedish University Students. Nursing and Health Sciences; Vol. 7 : 107118. 8. Soyer, Meral Turk et al. 2008. Effects of Social Determinants on Food Choice And Skipping Meals Among Turkish Adolescents. Asia Pacific Journal Clinical Nutrition 2008; 17 (2) : 208-215. 9. Estetika, Shinta Laras. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Frekuensi Konsumsi Fast Food Pada Mahasiswa Program S1 Reguler Angkatan 2006 Di Universitas Indonesia [Skripsi]. Depok : Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. 10. Febry, Fatmalina. 2006. Penentuan Kombinasi Makanan Jajanan Tradisional Harapan Untuk Memenuhi Kecukupan Energi Dan Protein Anak Sekolah Dasar Di Kota Palembang [Tesis]. Semarang : Universitas Dipenogoro.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis statistik diperoleh kesimpulan bahwa lebih banyak responden yang sering mengonsumsi makanan jajanan yaitu sebesar 52,1%. Dari hasil analisis bivariate didapatkan bahwa tedapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin, kebiasaan sarapan, pengaruh media massa dan pengaruh teman sebaya dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan. Sedangkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah uang saku dan tingkat pengetahuan dengan frekuensi konsumsi makanan jajanan SARAN 1.

Sebaiknya diadakan kerjasama antara pihak sekolah dengan pengelola kantin agar memperhatikan makanan jajanan yang akan dijual dari segi kandungan gizi, sehingga siswa tidak hanya memperoleh makanan yang mengenyangkan tetapi juga memperoleh makanan yang bergizi. 2. Pihak sekolah dapat memberikan edukasi kepada siswanya mengenai gizi dan makanan jajanan yang sebaiknya dikonsumsi dikarenakan masih banyak siswa yang memiliki pengetahuan kurang mengenai gizi dan makanan jajanan. 3. Para siswa sebaiknya tidak mudah terpengaruh oleh iklan makanan dan teman dalam memilih dan mengonsumsi makanan jajanan. UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada Ir. Asih

[34]

DAFTAR RUJUKAN

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Hubungan antara karakteristik siswa, pengetahuan, media massa dan teman sebaya dengan konsumsi makanan jajanan pada siswa sma negeri 68 jakarta tahun 2012 11. Wardlaw, Gordon M. dan Jeffrey S. Hampl. 2007. Perspectives In Nutrition. Seventh Edition. USA : Mc Graw Hill Company. 12. Almatsier, Sunita dkk. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. 13. Cho, EA et al. 2010. Snack Consumption Behavior and Nutrition Knowledge among Elmentary School Students in Siheung-si. Korean Journal Community Nutrition ; 15(2) : 169-179. 14. Stang dan M. Story. 2005. Guidelines for Adolescent Nutrition Service. http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.sh tm 15. Horst, K. Van der et al. 2007. A Systematic Review of Environmental Correlates of

BIMGI | Volume 1 | November 2012

16.

17.

18. 19.

Obesity-Related Dietary Behaviors in Youth. Health Education Researc ; Vol. 22 : 203-226. Benjamin et al. 2004. Food Consumption in Antigua and Baruda : Qualitative Analysis of Dietary Patterns in Adolescents. Eastern Mediterranean Health Journal : Vol. 37 No. 2. Harris, Jennifer L. et al. 2009. Priming Effects of Television Food Advertising on Eating Behavior. Health Psychology NIH Public Access ; 28(4) : 404-413. Coleman, J. C. 1980. Friendship and The Peer Group in Adolescence. New York: Wiley. Dixey, Rachael et al. 2000. Healthy Eating for Young People in Europe. Eastren Mediterranean Health Journal. www.emro.who.int

[35]


Dampak komposisi minuman berenergi bagi tubuh

DAMPAK KOMPOSISI MINUMAN BERENERGI BAGI TUBUH Oleh: Katondio Bayumitra Wedya1 Fakultas Kesehatan Masyarakat, Program Studi Gizi, Universitas Indonesia

1

Abstrak Produk–produk minuman berenergi banyak sekali bermunculan akhir–akhir ini. Konsumen dijanjikan khasiat yang mampu memberi energi lebih untuk menjalani aktivitas atau membuat segar sepanjang hari di dalam setiap botol, kaleng atau sachet-nya. Biasanya yang menggemari minuman jenis ini adalah anak–anak, remaja, dan para pekerja kasar. Minuman berenergi adalah soft drinks yang mengandung banyak stimulan, vitamin, dan suplemen lainnya. Produk minuman berenergi asal Austria, Red Bull pada tahun 1997, menjadi minuman berenergi paling populer di Amerika. Red Bull sendiri mengandung 80 mg kafein per 8 ons. Red Bull memicu munculnya produk minuman sejenis, seperti Adrenaline Rush, Jolt, No Fear, dan Rockstar. Produk–produk ini mengandung kafein lebih dari 500 mg per delapan ons untuk beberapa minuman berenergi baru. Minuman berenergi adalah minuman tak beralkohol yang mengandung bahan–bahan yang dapat meningkatkan energi. Bahan utamanya adalah gula dan kafein. Bahan lainnya adalah vitamin, asam amino, guarana, karnitina, inositol, ginseng, asam glutamat, ginkgo biloba, royal jelly, yohimbe, dan lain–lain. Kekhawatiran akan bahaya kesehatan terus meningkat dengan memperhatikan komposisi pada minuman berenergi dan efek potensial negatif pada kesehatan terhadap konsumsinya, seperti jantung yang berdebar, serangan jantung, dan masalah cardiac arrest, merujuk kepada penulis artikel pada jurnal medikal Pediatrics. Penelitian ini mencoba untuk meneliti efek dari konsumsi minuman berenergi terhadap kesehatan tubuh manusia. Metode yang digunakan adalah metode literatur. Menurut sebuah survei yang dilakukan di Rosario pada tahun 2005 dengan mengambil sampel sebanyak 211 jiwa, didapatkan hasilnya, jika dilihat dari jenis kelaminnya, jumlah konsumen minuman berenergi paling banyak adalah laki-laki dibanding wanita. Lalu, jika dilihat dari status perkawinan maka penduduk yang lajang atau habis bercerai lebih tertarik untuk mengonsumsi minuman berenergi. Kemudian, orang yang bekerja ternyata lebih tertarik untuk mengonsumsi minuman berenergi dibanding dengan yang tidak bekerja. Kata Kunci: minuman, kafein, gula, energi

Abstract Energy drinks products popping up a lot today. Consumers were promised benefits who are able to give more energy to live activity or make fresh throughout the day in every bottle, cans or sachet. Usually, this type of drink is fond by children, adolescents, and rude workers. Energy drinks are soft drinks usually containing large amounts of stimulants, vitamins, and other supplements. In 1997 Red Bull, an Austrian import, became, America’s first popular energy drink. It contained 80 milligrams (mg) of caffeine in eight ounces. Red Bull started a frenzy of copycat beverages, such as Adrenaline Rush, Jolt, No Fear, and Rockstar. These contained caffeine levels up to 500 mg in eight ounces for some novelty high-energy beverages. Energy drinks are nonalcoholic beverages containing purportedly energy-enhancing ingredients. The Primary ingredients are sugar and caffeine. Other ingredients may include vitamins, amino acids, guarana, carnitine, inositol, ginseng, glutamic acid, ginkgo biloba, royal jelly, and yohimbe, among others. Concerns have been raised regarding the ingredients in energy drinks and their potential negative effects on health following consumption, including heart palpitations, seizures, and cardiac arrest, according to the authors of an article in the medical journal Pediatrics. This research attempts to examine the effects of energy drinks' consumption to the health of the human body. The method used is literature method. According to a

[36]

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

survey in Rosario, 2005 with taking samples as much as 211 people, obtained the result that the most energy drinks consumers are men compared to women if seen from the sex. Then, if seen from marital status then the residents who are single or divorced is more interested in consuming energy drinks. Then, people who work turned out to be more interested in consuming energy drinks compared to not working. Key words: beverage, caffeine, sugar, energy PENDAHULUAN Produk–produk minuman berenergi hampir ada di seluruh dunia. Banyak penduduk dunia yang menggemari minuman jenis ini, salah satunya karena rasanya yang enak. Selain itu, konsumen juga dijanjikan khasiat yang mampu memberi energi lebih untuk menjalani aktivitas atau membuat segar sepanjang hari di dalam setiap botol, kaleng atau sachet-nya. Biasanya yang menggemari minuman jenis ini adalah anak–anak, remaja, dan para pekerja kasar. Mereka yang sering mengonsumsi minuman berenergi biasanya tidak tahu efek samping dari minuman berenergi itu sendiri. Terkadang mereka yang sudah tahu, justru cenderung mengabaikan efek samping tersebut.

PEMBAHASAN

Kematian atlet–atlet setelah mengonsumsi minuman berenergi menyebabkan larangan konsumsi di beberapa negara. The American Association of Poison Control Centers mulai memantau tentang overdosis minuman berenergi dan efek samping nasional. Hasilnya, selama periode 3 bulan pada tahun 2010 ditemukan 677 kasus, yang kebanyakan korbannya adalah anak–anak dibawah umur 6 tahun. Beberapa profesional di bidang medikal berpendapat untuk memperingatkan pembacaan label tentang kemungkinan efek negatif minuman [1] berenergi. Konsumen minuman berenergi tentunya sangat beragam, baik pria atau wanita, yang sudah bekerja maupun yang tidak. Menurut sebuah survei yang dilakukan di Rosario pada tahun 2005 dengan mengambil sampel sebanyak [7] 211 jiwa, didapatkan hasilnya sebagai berikut:

Minuman Berenergi dan Bahayanya Minuman berenergi adalah salah satu jenis soft drinks yang mengandung banyak stimulan, vitamin, dan suplemen lainnya. Produk minuman berenergi asal Austria, Red Bull pada tahun 1997, menjadi minuman berenergi paling populer di Amerika. Red Bull sendiri mengandung 80 mg kafein per 8 ons. Red Bull memicu munculnya produk minuman sejenis, seperti Adrenaline Rush, Jolt, No Fear, dan Rockstar. Produk–produk ini mengandung kafein lebih dari 500 mg dalam delapan ons untuk beberapa minuman berenergi baru. Stimulan lain di dalam minuman berenergi adalah glucuronolactone dan taurin. Banyak juga minuman berenergi yang mengandung jumlah kandungan gula melebihi

Tabel1 - distribusi numerik dan persentase variabel sosiodemografik dalam total sampel, berdasarkan konsumsi minuman berenergi [7] (n=211). Rosario, 2005

jumlah maksimal rekomendasi harian dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan [1] kesehatan pada tubuh. Konsumsi minuman berenergi pada remaja dan orang dewasa muda meningkat dari 24% pada tahun 2001 ke 56 % pada tahun 2008. Kekhawatiran akan bahaya kesehatan terus meningkat dengan memperhatikan komposisi pada minuman berenergi dan efek potensial negatif pada kesehatan terhadap konsumsinya, seperti jantung yang berdebar, serangan jantung, dan masalah cardiac arrest, merujuk kepada penulis artikel pada jurnal medikal Pediatrics.

BIMGI | Volume 1 | November 2012

[37]


Dampak komposisi minuman berenergi bagi tubuh

Berdasarkan tabel di atas, jika dilihat dari jenis kelaminnya, jumlah konsumen minuman berenergi paling banyak adalah laki-laki dibanding wanita. Lalu, jika dilihat dari status perkawinan maka penduduk yang lajang atau habis bercerai lebih tertarik untuk mengonsumsi minuman berenergi. Kemudian, orang yang bekerja ternyata lebih tertarik untuk mengonsumsi minuman berenergi dibanding dengan yang tidak bekerja, dan sisanya dapat dilihat pada tabel.

Mencampur beberapa stimulan berbeda (kafein, guarana, kola nuts, yerba mate) dapat mengintensifkan efek mereka dan menjadi tidak aman.

Pemberhentian konsumsi minuman berenergi dan berkafein berat secara tiba– tiba dapat menyebabkan penarikan kafein. Penarikan gejala termasuk sakit kepala, suasana hati yang tak menentu dan kesulitan berkonsentrasi.

[2]

Acton (2011) mengutip temuan riset, „minuman berenergi: bahaya kesehatan baru untuk remaja, „telah didiskusikan dalam laporan baru. Merujuk pada sebuah studi dari Amerika Serikat, ”bahaya kesehatan baru untuk remaja adalah efek negatif kesehatan dari mengonsumsi minuman berenergi. Remaja yang mengonsumsi minuman tipe ini pada jumlah dan tingkat yang mengkhawatirkan.” “Efek spesifik yang dirasakan oleh para remaja adalah gelisah, gugup, pusing, sulit fokus, sulit berkonsentrasi, gangguan pencernaan, dan insomnia. Penyedia perawatan kesehatan melaporkan bahwa mereka melihat efek lanjutan dari konsumsi minuman berenergi, seperti dehidrasi, detak jantung yang cepat, cemas, kejang, akut mania, dan stroke. Artikel ini adalah review literatur yang komprehensif pada efek kesehatan minuman berenergi. Temuan dari artikel ini mengindikasikan butuhnya intervensi pendidikan sebagai pemberi informasi kepada para remaja tentang konsekuensi mengonsumsi minuman yang ada ini,” ditulis oleh N. [2] Pennington dan kolega, Universitas Ohio.

Komposisi Minuman Berenergi [3]

Boyle dan Roth (2012) juga menyatakan bahwa minuman berenergi adalah minuman tak beralkohol yang mengandung bahan–bahan yang dapat meningkatkan energi. Bahan utamanya adalah gula dan kafein. Bahan lainnya adalah vitamin, asam amino, guarana, karnitina, inositol, ginseng, asam glutamat, ginkgo biloba, royal jelly, dan yohimbe, dan lain–lain. [3]

Berikut adalah miniglossary mengenai bahan–bahan yang terdapat di dalam minuman berenergi: 

Kafein: Stimulan sistem gugup pusat.

Karnitin: Disintesis dari asam amino lisin dan metionin dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan banyak orang; menolong tubuh untuk mengubah asam lemak menjadi energi.

Kreatin: Asam amino yang disintesis di dalam tubuh; digunakan sebagai suplemen makanan untuk meningkatkan massa tubuh dan kekuatan; jumlah yang ditambahkan dalam minuman berenergi terlalu sedikit untuk didapatkan manfaatnya.

Ginkgo biloba: Tumbuhan yang digunakan untuk pengobatan dalam beberapa kondisi, termasuk kelelahan dan gagal memori.

Ginseng: Tumbuhan yang digunakan untuk mendukung kesehatan secara keseluruhan dan meningkatkan sistem kekebalan tubuh; penelitian belum cukup konklusif untuk membuktikan klaim kesehatannya.

Asam Glutamat: Asam amino non-esensial yang ditemukan dalam jaringan tanaman dan binatang; digunakan untuk mengintensifkan rasa bumbu.

Guarana: Ramuan kimiawi dengan kafein.

Inositol: Pertama kali diidentifikasikan dalam kumpulan vitamin B; Tipe gula (berhubungan dengan glukosa) ditemukan

[3]

Boyle dan Roth (2012) menyatakan beberapa kekhawatiran gizi dan kesehatan terhadap penggunaan minuman berenergi: 

Minuman berenergi yang tidak teregulasi oleh Food and Drug Administration. Banyak jumlah dan campuran bahan–bahannya dapat digunakan tanpa terbukti secara aman dan efektif.

Tingkatan kafein ditemukan dalam banyak minuman berenergi yang tidak cocok untuk anak – anak dan orang–orang yang sensitif terhadap kafein.

Mencampur minuman berenergi dengan alkohol meningkatkan resiko aritmia jantung.

Penggunaan minuman berenergi sebelum atau saat melakukan olahraga dapat menyebabkan gugup, berkunang–kunang, dan mual.

[38]

Kafein adalah diuretik dan dapat menjadi kontra-produktif untuk menggantikan cairan yang hilang selama berolahraga.

yang setara

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

disintesis di dalam tubuh dan banyak makanan. 

Kola nut: Ramuan kimiawi yang setara dengan kafein.

Piruvat: Dapat melawan kelelahan membakar lemak.

Royal Jelly: Substansi yang disekresikan dari kelenjar saliva lebah madu; menyediakan makanan untuk semua larva muda dan satu–satunya makanan larva yang akan berkembang menjadi ratu lebah. Dapat disalahartikan untuk memberi energi extra dan untuk memiliki sifat restoratif; dapat berpotensial menimbulkan bahaya untuk seseorang yang menderita alergi.

Vitamin B: Lebih dari 35 mg Niasin (B3) dapat menyebabkan pembilasan kulit. Asupan 3000 mg atau lebih dapat mengakibatkan keracunan hati. Sedangkan, lebih dari 100 mg vitamin B6 dapat menyebabkan masalah saraf sensoris (sensasi terbakar) atau lesi (luka) pada kulit.

Glucuronolactone: Walau tak ada efek samping yang dapat dilaporkan, tetapi tetap ada perdebatan mengenai keamanannya yang mana membuat Kanada, Inggris, Jerman, dan Prancis mengizinkannya tanpa resep.

dan

Yerba Mate: Ramuan kimiawi yang setara dengan kafein.

Yohimbe: Disebut–sebut sebagai afrodisiak (zat perangsang nafsu birahi), menyembuhkan semua disfungsi seksual; juga diklaim dapat mengubah massa tubuh, massa otot, atau performa olahraga ketika dikombinasikan dengan resistance training. Padahal, dalam penelitian tidak ada dari kandungan zat tersebut ditemukan keberadaannya.

Selain bahan – bahan yang sudah disebutkan di atas, sesuai dengan yang tertulis [3] dalam buku Boyle dan Roth (2012) , masih ada bahan–bahan lain yang terkandung di dalam minuman berenergi, diantaranya: 

Gula: Banyak minuman berenergi yang mengandung banyak gula yang berasal dari jagung berfruktosa (fructose corn syrup) dan/atau gula tebu. Beberapa menggunakan nama kreatif untuk membuat versi gula mereka yang terlihat lebih sehat, seperti “jus tebu alami” atau mereka menyebutnya “glukosa”. Minuman dengan kadar gula tinggi dihubungkan dengan obesitas epidemik dan peningkatan secara drastis penderita diabetes tipe 2. Gula dalam minuman energi menyebabkan insulin paku yang kemudian menimbulkan perasaan seperti “menabrak” (crash like feeling).

Taurin: Tidak ada efek samping dari taurin di dalam minuman berenergi yang telah didokumentasikan. Beberapa Negara (Prancis, Denmark, dan Norwegia) melarang adanya minuman berenergi karena konten Taurin di dalamnya, tapi kini telah dinyatakan bahwa mengonsumsi taurin itu aman berdasarkan tanggal masa berlakunya.

BIMGI | Volume 1 | November 2012

Berikut ini saya paparkan komposisi bahan–bahan yang terkandung di dalam Verve [6] Energy Drink. (Gambar 1) Di dalam minuman ini terlihat jumlah campuran mineral yang terdapat di dalamnya, serta mineral apa saja yang ada di dalamnya. Kita tahu bahwa jika kita mengonsumsi mineral dalam dosis berelebih dapat membahayakan tubuh. Kita tahu jika terlalu banyak mengonsumsi makanan dan minuman yang mengandung mineral timah maka akan dapat menyebabkan anemia. Konsumsi mineral aluminium berlebih dapat merusak sel otak (menyebabkan Alzheimer), kerusakan DNA, disfungsi ginjal dan, kanker payudara.

[39]


Dampak komposisi minuman berenergi bagi tubuh

Sumber: http://www.energyfiend.com/verve-energydrink-the-biggest-ingredients-list-ever

SARAN Setelah atau sebelum berolahraga atau selama melakukan aktivitas biasa, lebih baik mengonsumsi air putih saja yang jelas lebih sehat daripada mengonsumsi minuman berenergi yang jelas memiliki efek samping yang tidak baik bagi kesehatan tubuh.

DAFTAR PUSTAKA

Perhatikan jumlah ekstrak Guarana yang terdapat di dalamnya, yaitu mencapai 200 mg yang menghasilkan 80 mg kafein. Ini adalah jumlah yang tidak biasa, dimana kualitas Guarana yang paling baik sekalipun hanya mengandung kafein sekitar 22% atau dalam hal ini menghasilkan 44 mg kafein.

KESIMPULAN Dari pembahasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa minuman berenergi tidak disarankan untuk dikonsumsi terlebih dalam jumlah yang banyak. Hal itu didasarkan atas komposisi bahan–bahan yang terkandung didalamnya dan efek yang ditimbulkan jika mengonsumsinya.

[40]

1. Smith, AF. Fast Food and Junk Food: An Encyclopedia of W hat We Love to Eat. Santa Barbara (CA): Greenwood; 2011. 2. Acton, QA, editor. Issues in Nursing by Specialty: 2011 Edition. Atlanta (GA) ScholarlyEditions; 2012. 3. Boyle MA, Roth SL. Personal Nutrition. 7th ed. Belmont (CA). Yolanda Cossio; 2012. 4. http://www.energyfiend.com/energy-drinkside-effects (diakses 6 Agustus 2012) 5. http://www.smallcrab.com/kesehatan/898mineral-berbahaya-jika-asupan-berlebihan (diakses 9 Agustus 2012) 6. http://www.energyfiend.com/verve-energydrink-the-biggest-ingredients-list-ever (diakses 9 Agustus 2012) 7. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_ar ttext&pid=S0104-11692008000700009 oleh Martha Carmen Ballistreri dan Clarissa Mendonça Corradi-Webster (web diakses 9 Agustus 2012)

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Perbedaan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat gizi mikro antara balita stunted dan non-stunted di kelurahan kartasura, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo

PERBEDAAN TINGKAT KONSUMSI ENERGI, PROTEIN, DAN ZAT GIZI MIKRO ANTARA BALITA STUNTED DAN NON-STUNTED DI KELURAHAN KARTASURA, KECAMATAN KARTASURA, KABUPATEN SUKOHARJO Punto Tyas Aditya Putra1 Universitas Muhammadiyah Surakarta

1

Abstrak Usia balita adalah masa kritis dalam mencetak sumber daya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama kelahiran merupakan periode optimal pertumbuhan dan perkembangan sel otak. Pada kelompok umur inilah prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai angka tertinggi.Kekurangan gizi pada usia balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi seperti vitamin A, zat besi, yodium dan zink. Prevalensi balita pendek nasional adalah 35,6%. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perbedaan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat gizi mikro antara balita stunted dan non-stunted di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Penelitian ini menggunakan studi observasi dengan pendekatan cross sectional. Partisipan terdiri dari 35 balita stunted dan 35 balita nonstunted yang sesuai dengan kriteria inklusi. Penilaian status gizi dan z-score dilakukan melalui pengukuran tinggi dengan menggunakan papan bayi dan microtoice. Data asupan makanan dinilai melalui wawancara dengan menggunakan food recall yang dikumpulkan secara . Tes statistik pada penelitian ini meliputi Independent Sample T test dan Mann Whitney Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat konsumsi energi (p=0,001), protein (p=0,007), Fe (p=0,000), dan vitamin A (p=0,001) antara balita stunted dan non-stunted. Kata kunci: asupan energi, Fe, protein, stunted, vitamin A, Zn.

BIMGI | Volume 1 | November 2012

[41]


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

PENDAHULUAN Masa balita merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas, karena pada dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak yang optimal. Pada kelompok umur inilah prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai angka tertinggi. Kekurangan gizi pada usia balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi seperti vitamin A, zat besi, yodium dan zink (Hadi, 2005). Stunting yang terjadi pada balita disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya akibat gangguan pertumbuhan dalam kandungan, kurang gizi mikro, asupan energi yang kurang dan infeksi. Jika hal ini terjadi pada usia balita, maka menyebabkan gangguan pertumbuhan (Bhutta et al, 2008). Prevalensi stunting di dunia masih tinggi, dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Luter et al (2010) yang menemukan prevalensi stunting pada tahun 2008 sebesar 29,8%, sedangkan prevalensi nasional balita pendek (stunting) adalah 35,6% (Depkes, 2010). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2010 di Kecamatan Kartasura terdapat 72 (24,16%) dari 300 balita mengalami stunting (Dinkes Sukoharjo, 2010). Hal ini yang menjadikan alasan bagi penulis untuk melakukan penelitian tentang perbedaan tingkat konsumsi energi, protein dan zat gizi mikro antara anak balita stunting dan non stunting di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo.

METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Penelitian dilakukan selama 8 bulan dimulai bulan Juli 2011 sampai dengan Februari 2012 di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Populasi pada penelitian ini adalah anak balita usia 1-5 tahun baik laki-laki maupun perempuan yang bertempat tinggal di Kelurahan Kartasura, sebanyak 414 balita yang terdiri dari 361 balita normal dan 53 balita stunting dari 11 posyandu yang terdapat di Kelurahan Kartasura. Dari 361 balita normal sebanyak 211 balita memiliki nilai z-score >-1 SD dan 150 balita

[42]

memiliki nilai z-score <-1 SD. Adapun kriteria inklusi yaitu anak tidak cacat secara fisik, bersedia menjadi responden dalam penelitian ini, untuk balita yang stunting menggunakan indikator z-score <-2 SD dan untuk balita yang non stunting menggunakan indikator z-score >-1 SD. Untuk kriteria eksklusi yaitu sakit atau meninggal selama pengambilan data, berpindah tempat dan mengundurkan diri. Sampel dihitung menggunakan rumus Sastroasmoro (1995) dengan proporsi anak stunting sebesar 24,16 % (berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo tahun 2010). Perhitungan besar sampel tersebut adalah sebagai berikut:

Keterangan n P1 (0.24)

: Jumlah sampel :

Proporsi pada kelompok stunting

P2 : Proporsi pada kelompok non stunting (0.76) d

: Ketepatan absolute (0.20)

Îą

: Tingkat kemaknaan (1.96)

Data identitas responden dan data asupan makan sampel diperoleh dengan wawancara langsung kepada responden. Data asupan makan diambil dengan menggunakan form recall sebanyak 3 hari tidak berturut-turut. Pengukuran panjang badan untuk anak usia 1-2 tahun menggunakan baby board, sedangkan untuk anak usia > 2 tahun penggukuran tinggi badan menggunakan microtoice. Data panjang badan dan tinggi badan diambil pada awal penelitian. Jumlah pangan yang dikonsumsi kemudian dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2004. Tingkat konsumsi pangan akan dikategorikan menjadi jika lebih >120% AKG, normal 90-199% AKG, ringan 8089% AKG, kurang 70-79% AKG dan defisit <70% AKG. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Distribusi Tingkat Konsumsi Energi

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Perbedaan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat gizi mikro antara balita stunted dan non-stunted di kelurahan kartasura, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo Berdasarkan Gambar 1 didapatkan data konsumsi protein kurang dari 80% AKG, memiliki bahwa tingkat konsumsi energi defisit pada resiko terjadinya KEP ringan dan sedang sebesar balita stunting lebih besar dari pada asupan 6,9 kali lebih besar dibandingkan dengan anak balita non stunting. Tingkat konsumsi energi yang mengkonsumsi protein lebih dari 80% AKG. defisit pada balita stunting sebesar 26% dan 3. Distribusi Tingkat Konsumsi Fe untuk balita non stunting sebesar 11%. Hal ini Berdasarkan Gambar 3 didapatkan data dapat terjadi karena konsumsi energi melalui bahwa tingkat konsumsi Fe defisit pada balita makanan kurang dibandingkan dengan energi stunting lebih besar dari pada asupan balita non yang dikeluarkan. Bila terjadi pada bayi dan stunting. Tingkat konsumsi Fe defisit pada balita anak-anak, maka akan menyebabkan gangguan pertumbuhan (Almatsier, 2005).

2. Distribusi Tingkat Asupan Protein Berdasarkan Gambar 2 didapatkan data bahwa tingkat konsumsi protein defisit pada balita stunting lebih besar dari pada asupan balita non stunting. Asupan protein defisit pada balita stunting sebesar 17% dan untuk balita non stunting sebesar 3%. Menurut Budiyanto (2002) kebiasaan makan yang tidak cukup mengandung kalori dan protein akan menyebabkan terjadinya defisiensi protein dan kalori atau kombinasi keduanya yang akhirnya akan menyebabkan Kurang Energi Protein (KEP). Penelitian Adi (2005) di Semarang menyebutkan bahwa hubungan antara tingkat

BIMGI | Volume 1 | November 2012

[43]


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

stunting sebesar 74% dan untuk balita non stunting sebesar 31%. Hal ini dapat disebabkan tidak adanya atau tidak tersedianya Fe di dalam diet atau makanan (Linder, 2010).

6.

Perbedaan

Tingkat

Konsumsi Energi

4. Distribusi Tingkat Konsumsi Zn Berdasarkan Gambar 4 didapatkan data bahwa tingkat konsumsi Zn defisit pada balita stunting lebih besar dari pada asupan balita non stunting. Tingkat konsumsi Zn defisit pada balita stunting sebesar 97% dan untuk balita non stunting sebesar 43%. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya Zn di dalam makanan, defisiensi protein atau karena tingkat pengeluaran Zn dari tubuh yang meningkat (Linder, 2010).

5. Distribusi Tingkat Konsumsi Vitamin A Berdasarkan Gambar 9 didapatkan data bahwa tingkat konsumsi vitamin A defisit pada balita stunting lebih besar dari pada asupan balita non stunting.Tingkat konsumsi vitamin A defisit pada balita stunting sebesar 63% dan untuk balita non stunting sebesar 29%. Kekurangan vitamin A ini dapat merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat (Almatsier, 2005).

[44]

Antara Balita Stunting dan Non Stunting Rata-rata tingkat konsumsi energi pada balita stunting di Kelurahan Kartasura sebesar sebesar 76,42% AKG yang masuk dalam kriteria tingkat konsumsi kurang, sedangkan untuk balita non stunting untuk tingkat konsumsi energi sebesar 90,04% AKG atau termasuk dalam kategori tingkat konsumsi normal. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan p-value sebesar 0,001 yang berarti ada perbedaan tingkat konsumsi energi antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari et al (2009) di Kecamatan Rungkut Surabaya antara tingkat konsumsi energi dengan status gizi balita menurut indeks TB/U menunjukkan hubungan yang bermakna. Ini dapat diartikan bahwa tingkat konsumsi energi dapat berpengaruh terhadap status gizi balita menurut TB/U atau menunjukkan bahwa balita tersebut pendek (stunting). Selain itu balita dengan asupan energi

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Perbedaan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat gizi mikro antara balita stunted dan non-stunted di kelurahan kartasura, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo

yang kurang akan berisiko 2,52 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang asupan energinya normal (Hidayati et al, 2010). 7. Perbedaan Tingkat Konsumsi Protein Antara Balita Stunting dan Non Stunting Rata-rata tingkat konsumsi protein pada balita stunting di Kelurahan Kartasura sebesar 106,67% AKG yang masuk dalam kriteria tingkat konsumsi normal, sedangkan untuk balita non stunting tingkat konsumsi energi sebesar 129,67% AKG atau termasuk dalam kategori tingkat konsumsi lebih. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan p-value

sebesar 0,007 yang berarti ada perbedaan tingkat konsumsi protein antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati et al (2010) menyatakan bahwa ada perbedaan antara asupan protein pada anak stunting dan non stunting di wilayah kumuh perkotaaan. Menurut Asrar et al (2009) tentang penelitiannya di Kabupaten Maluku Tengah, yang menyebutkan bahwa ada hubungan antara asupan protein yang rendah dengan status gizi pendek (stunting) pada anak balita. Balita yang asupan proteinnya kurang akan berisiko memiliki status gizi pendek 3,7 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang memiliki asupan protein cukup. 8.

Perbedaan Tingkat Konsumsi Fe Antara Balita Stunting dan Non Stunting Rata-rata tingkat konsumsi Fe pada balita stunting di Kelurahan Kartasura sebesar

BIMGI | Volume 1 | November 2012

54,62% AKG yang masuk dalam kriteria tingkat konsumsi defisit sedangkan untuk balita non stunting untuk tingkat konsumsi Fe sebesar 92,46% AKG atau termasuk dalam kategori tingkat konsumsi normal. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan p-value sebesar 0,000 yang berarti ada perbedaan tingkat konsumsi Fe antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati et al (2010) menyatakan bahwa ada perbedaan antara asupan Fe pada anak stunting dan non stunting di wilayah kumuh perkotaaan.

Hubungantimbalbalikantarakeadaangizidengank ejadianinfeksi jugadiungkapkanolehBahletal. (1998)yaitukekurangangizi berhubunganeratdengantingginyakejadiandanke seriusandiaredan ISPA,sehinggaanak-anakyang menderitakekurangangiziakan mengalamipenurunandayatahantubuh. 9. Perbedaan Tingkat Konsumsi Zn Antara Balita Stunting dan Non Stunting Rata-rata tingkat konsumsi Zn pada balita stunting dan non stunting di Kelurahan Kartasura tidak jauh berbeda, keduanya masuk dalam kategori tingkat konsumsi defisit. Tingkat konsumsi Zn pada anak stunting sebesar 41,43% AKG dan untuk balita non stunting sebesar 55,68% AKG. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Independent Sample T Test, didapatkan dengan p-value sebesar 0,000 yang berarti ada perbedaan tingkat konsumsi Zn antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura.

[45]


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GIzi

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hidayati et al (2010) bahwa balita dengan asupan Zn yang kurang akan berisiko 2,67 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan balita yang asupan Zn yang normal. Kaitan antara Zn dengan pertumbuhan adalah Zn berperan dalam pembelahan dan pertumbuhan sel serta stabilitas fungsi berbagai jaringan, sehingga menjadikan seng sebagai zat gizi mikro yang esensial untuk mempertahankan kesehatan seseorang secara optimal (Hidayat, 2011). Suplementasi Seng dan Besi pada bayi yang dilakukan oleh Purwaningsih (2001) di Indramayu Jawa Barat didapatkan hasil bahwa kombinasi seng-besi mempunyai nilai tambah dalam peningkatan pertumbuhan linier terutama bayi laki-laki stunting, dibandingkan suplementasi seng atau besi tersendiri. 10. Perbedaan Tingkat Konsumsi Vitamin A antara Balita Stunting dan Non Stunting Rata-rata tingkat konsumsi vitamin A pada balita stunting di Kelurahan Kartasura sebesar 105,63% AKG yang masuk dalam kriteria tingkat konsumsi normal, sedangkan untuk balita non stunting tingkat konsumsi energi sebesar 134,85% AKG atau termasuk dalam kategori tingkat konsumsi lebih. Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Mann Whitney Test, didapatkan dengan p-value sebesar 0,001 yang berarti ada perbedaan tingkat asupan vitamin A antara anak stunting dan non stunting di wilayah Kelurahan Kartasura. Penelitian ini sejalan dengan penilitian Astari (2006) di Bogor, bahwa konsumsi vitamin A pada kelompok anak normal lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok anak yang stunting. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kirkwood et al (1996) dimana suplementasi vitamin A dapat mengurangi mortalitas dan morbiditas yang parah secara substansial pada usia 6-59 bulan. Menurut Suhardjo (2002) infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui berbagai mekanismenya dan antara status gizi dengan infeksi terdapat interaksi bolak-balik. KESIMPULAN Rata-rata tingkat konsumsi energi, protein, Fe, Zn, vitamin A balita stunting yang dibandingkan dengan AKG masing-masingadalah 76,42%, 106,67%, 54,62%, 41,43%, dan

[46]

105,63% sedangkan rata-rata tingkat konsumsi energi, protein, Fe, Zn, vitamin A balita non stunting masing-masingadalah adalah 90,04% , 129,67%, 92,46%, 55,68%, dan 134,85%. Adanya perbedaan antara tingkat konsumsi energi, protein, Fe, Zn dan Vitamin A antara balita stunting dan non stunting di Kelurahan Kartasura Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. DAFTAR ACUAN 1. Adi, MU. 2005. Pendugaan Hubungan Antara Kurang Gizi Pada Balita dengan Kurang Energi Protein Ringan dan Sedang Di Wilayah Puskesmas Sekaran Kecamatan Gunungpati Semarang. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negri Semarang. 2. Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia: Jakarta. 3. Arsar, M., Hadi, H., Boediman, D. 2009. Pola Asuh, Pola Makan, Asupan Zat Gizi dan Hubungannya dengan Status Gizi Anak Balita Masyarakat Suku Nuaulu di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Jurnal. ilib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId =10760. Diakses 8 Mei 2011 4. Astari, LD. 2006. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Stunting Anak Usia 6-12 Bulan Di Kabupaten Bogor. Tesis. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 5. Bahl,R.,Bhandari,N.,Hambidge,KM.,Bhan,M K, 1998. Plasma ZinkasaPredictorofDiarrhealandRespiratory MorbidityinChildrenin UrbanSlumSetting.AmJClinNutr,68:414s-7s 6. Bhutta, ZA., et al. 2008. Maternal and Child Undernutrition 3, What works? Interventions for Maternal and Child Undernutrition and Survival, www.find-docs.com. Diakses 22 April 2011 7. Budiyanto, MAK. 2002. Gizi dan Kesehatan. UMM Press: Malang 8. Depkes. 2010. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan: Jakarta 9. Dinkes Kabupaten Sukoharjo. 2010. PSG 2010 Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG)

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Perbedaan tingkat konsumsi energi, protein, dan zat gizi mikro antara balita stunted dan non-stunted di kelurahan kartasura, kecamatan kartasura, kabupaten sukoharjo Balita. Sukoharjo. 10. Hadi, H. 2005. Pidato Pengukuhan Guru Besar-Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan nasional. UGM. Yogyakarta. www.gizi.net. Diakses 18 April 2011. 11. Hadi, H., Stoltzfus, RJ., Dibley,MJ., Moulton, LH., West, KP., Kjolhede,CL., Sadjimin, T. 2000. Vitamin A supplementation selectively improves the linear growth of Indonesian preschool children: results from a randomized controlled trial. Am J Clin Nutr 71:507–13. Diakses 18 April 2011 12. Hidayat, Adi. 2011. Seng (Zink): Esensial Bagi Kesehatan. Universitas Trisakti. www.univmed.org/wpcontent/uploads/2011/.../Vol.18_no.1_3.pdf. Diakses 1 April 2012 13. Hidayati, L., Prasetyaningrum, J., dan Manaf, Z. 2010. Ragam Jajanan Anak dan Kontribusi Jajanan terhadap Kecukupan Energi dan Zat Gizi Anak Malnutrisi di Lingkungan Kumuh Perkotaan. Makalah pada Seminar Keamanan Produk Pangan Lokal : Mewujudkan Generasi Sehat dan Cerdas. 9 Maret 2010. Surakarta : Prodi Gizi FIK – Universitas Muhammadiyah Surakarta. 14. Kirkwood, BR., et al. 1996. Effect of vitamin A supplementation on the growth of young children in northern Ghana. . Am J Clin Nutr 63-773-81. Diakses 6 Mei 2012 15. Linder, MC. 2010. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. UI Press: Jakarta. 16. Luter, CK., Chaparro, CM., Munoz, S. 2010. Progress Towards Millennium Development Goal 1 In Latin America And The Caribbean: The Importance Of The Choice Of Indicator For Undernutrition. http://www.who.int/bulletin/volumes/89/1/10078618/en/. Diakses 6 Juni 2011 17. Nasution, E. 2000. Efek Suplementasi Zink dan Fe pada Status Gizi Anak Stunting Usia 6-24 bulan di Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. Tesis. Pascasarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. 18. Nugrohowati, A.K. 2010. Pengaruh penambahan fe pada suplementasi vitamin a terhadap kadar ferritin anak usia 2-5 tahun dengan status gizi kurang di kelurahan Semanggi kota Surakarta. Tesis. Pascasarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta. www.find-docs.com. Diakses 31 Desember 2010 19. Osendarp, SJM., Santosham, M., Black, RE., W ahed, MA., Raaij, JMAV., Fuchs, GJ. 2002. Effect Of Zink Supplementation Between 1 And 6 mo Of Life On Growth And

BIMGI | Volume 1 | November 2012

20.

21.

22.

23.

24.

25.

Morbidity Of Bangladeshi Infants In Urban Slums. Am J Clin Nutr 76:1401–8. Diakses 12 Mei 2011 Pudjiadi,S.2003. IlmuGiziKlinikPadaAnak.(ed.4),PenerbitFK UI.Jakarta. Purwaningsih, E. 2001. Pengaruh Suplementasi Seng dan Besi Terhadap Pertumbuhan, Perkembangan Psikomorik dan Kognitif Bayi: Uji Lapangan Di Indramayu, Jawa Barat. Karya Ilmiah. Universitas Diponegoro. Rimawati, Y. 2005. Hubungan Morbiditas Dan Stimulasi Dengan Tumbuh Kembang Anak Balita Berstatus Gizi Baik Dan Penderita Kurang Energi Protein (Kep) Di Kota Bogor. Skripsi. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor Sari, D., Suhartini., dan Utomo B. 2009. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi Dan Protein Terhadap Status Gizi Balita Dengan Indek Bb/U, Tb/U Dan Bb/Tb. isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/110916_2085028X.pdf. Diakses 28 Maret 2012 Sudiman, H. 2008. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Gizi Masyarakat Tantangan Litbang Lintas Disiplin dalam Penanggulangan Masalah Kemiskinan, Kelaparan dan Gizi Kurang Di Indonesia. Depkes. www.litbang.depkes.go.id/update/orasi/Orasi Herman.pdf. Diakses 17 Agustus 2011 Suhardjo. 2002. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta

[47]


Hubungan Faktor Resiko Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI Tahun 2011

Hubungan Faktor Resiko Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI Tahun 2011 1

1

1

1

1

Oleh: Agus Hidayatulloh , Ery Irawan , Faizal Firdaus , Fitriatul Isnaini , Nurul Fadhilah , 1 1 1 Riefyan Adhi , Santosa Aji Nurcahya dan Syafira Rembulan Sari 1

Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

Abstrak Obesitas merupakan status gizi berlebih pada manusia. Obesitas sentral merupakan salah satu jenis obesitas dengan penumpukan lemak di bagian abdominal tubuh. Obesitas sentral berperan besar pada perkembangan penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes, dan lainnya menjadi lebih cepat. Salah satu indikator pengukuran obesitas sentral adalah pengukuran rasio lingkar pinggang pinggul (RLPP). Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional untuk meneliti hubungan RLPP beresiko (RLPP laki-laki=0,9 dan perempuan=0,8) dengan 5 jenis faktor resiko obesitas yaitu jenis kelamin, pengetahuan, pendapatan, usia dan Indeks Massa Tubuh (IMT). Dari hasil penelitian, usia merupakan faktor berpengaruh paling besar pada RLPP beresiko dan pengetahuan merupakan faktor yang tidak memiliki hubungan dengan RLPP beresiko. Kata kunci: obesitas sentral, faktor resiko obesitas, RLPP, penyakit degeneratif

Abstract Obesity is an abnormality in human nutritional status. Central obesity is one kind of obesity with high-numbered abdominal fat deposity. Central obesity has a big role in degenerative disease depelovment such as cardiovascular disease, diabetics, and many others disease. Waist-to-hip ratio (WHR) is one kind of central obesity measurement indicator. This research uses crosssectional method to analyze the correlation between risked WHR (males=0,9 and females=0,8) and five risk factors of central obesity such as sex, knowledge, income, age and Body Mass Index (BMI). This research results age as the most influencing factor to risked WHR and knowledge as the less influencing factor which has no correlation with risked WHR. Keywords: Central obesity, obesity risk factors, WHR, degenerative disease

PENDAHULUAN Seiring dengan berkembangnya zaman, urbanisasi dan modernisasi semakin berkembang. Urbanisasi dan modernisasi ini menyebabkan perubahan pola dan gaya hidup masyarakat terutama di daerah perkotaan. Perubahan pola dan gaya hidup yang dapat kita lihat salah satunya adalah banyak tempat-tempat makan cepat saji yang menjual “Junk Food�. Junk food adalah makanan yang memiliki kadar nutrisi yang sangat rendah. Jenis makanan ini mengandung lemak jenuh (saturated fat), garam dan gula, serta bermacam-macam additive seperti

[48]

monosodium glutamate dan tartrazine dengan kadar yang tinggi. Junk food hampir tidak mengandung protein, vitamin serta serat yang sangat dibutuhkan tubuh. Tanpa kita sadari, pengonsumsian makanan jenis ini dapat membawa kita menuju penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh yaitu dari keadaan normal menjadi lebih buruk. Penyakit yang masuk dalam kelompok ini antara lain diabetes melitus,

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

stroke, jantung koroner, kardiovaskular, obesitas, dislipidemia dan sebagainya. Penyakit degeneratif yang tidak menular ini sejak beberapa dasawarsa silam telah menjadi permasalahan yang cukup serius bagi banyak negara di seluruh dunia. World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa penyakit degeneratif ini telah menambah peliknya kondisi kesehatan sebagian negara di dunia, yang selama ini telah dihimpit permasalahan banyaknya kasus penyakit menular dan infeksi yang tergolong non degeneratif. Obesitas merupakan salah faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan seseorag individu mengalami penyakit degeneratif. Obesitas dapat membawa kita pada diabetes, hipertensi, stroke dan penyakit kardiovaskular lainnya. Ada banyak faktor-faktor risiko yang dapat menyebabkan obesitas. Beberapa faktorfaktor tersebut adalah umur, jenis kelamin, kondisi sosial ekonomi, asupan makanan dan status gizi. Prevalensi nasional Obesitas Umum Pada Penduduk umur ≥ 15 Tahun berdasarkan Riskesdas tahun 2007 adalah 10,3%. Sebanyak 12 provinsi mempunyai prevalensi Obesitas Umum Pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau,DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, SulawesiTengah, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Berdasarkan perbedaan menurut jenis kelamin menunjukkan, bahwa prevalensi nasional Obesitas Umum Pada Laki-Laki Umur ≥ 15 Tahun adalah 13,9%, sedangkan prevalensi nasional Obesitas Umum Pada Perempuan Umur ≥ 15 Tahun

METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitan deskriptif dengan desain studi crosssectional. Populasi adalah seluruh mahasiswa FKM UI angkatan 2011 dan program pasca sarjana. Diambil total 54 sampel, 23 laki-laki dan 31 perempuan. Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pengetahuan gizi, kondisi ekonomi dan status gizi). Pengukuran dilakukan dengan menggunakan kuesioner danpengukuran antropometri seperti tinggi

[49]

adalah 23,8%. Prevalensi nasional Obesitas Sentral Pada Penduduk Umur ≥ 15 Tahun adalah18,8%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Obesitas Sentral Pada PendudukUmur ≥ 15 tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Bali,Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo,Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua Terdapat berbagai metode pengukuran antropometri tubuh yang dapat digunakan sebagai skreening obesitas. Metode tersebut antara lain pengukuran indeks massa tubuh, lingkar pinggang, lingkar panggul, lingkar lengan, serta perbandingan lingkar pinggang dan lingkar panggul. Lingkar pinggang merupakan pengukur distribusi lemak abdominal yang mempunyai hubungan erat dengan indeks massa tubuh (Bell et al., 2001). Studi Farmingham (2007) memperlihatkan bahwa peningkatan lingkar pinggang merupakan prediktor sindroma metabolik yang lebih baik dibandingkan indeks massa tubuh. (Sjostrom., 2001). Seseorang yang memiliki rasio lingkar pinggang panggul yang tinggi, memiliki risiko lebih tinggi terkena stroke. Hal ini mengindikasikan bahwa lingkar pinggang dan panggul sebagai salah satu indeks distribusi lemak tubuh bagian atas dan bawah mungkin dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu dengan kelebihan berat badan dan obesitas. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan faktor-faktor risiko obesitas dengan rasio lingkar pinggang dan panggul pada kalangan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. badan, berat badan dan RLPP. Alat dan bahan yang digunakan untuk pengukuran adalah timbangan badan SECA (ketelitian 0,1kg), pengukur tinggi badan microtoa (ketelitian 0,1cm) dan pita RLPP (ketelitian 0,1cm). Saat pengukuran berat badan, responden diminta untuk melepas alas kaki, mengeluarkan semua barang dari kantong, badan tegak serta pandangan mata lurus ke depan. Pengukuran tinggi badan oleh microtoa yang digantung pada dinding yang lurus dan tidak bergoyang. Responden juga diminta untuk melepaskan alas kaki, pandangan mata lurus ke depan, serta dipastikan belakang tumit, lutut, bokong,

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Hubungan Faktor Resiko Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI Tahun 2011

bahu dan kepala responden menempel ke dinding. Pita ditarik ke bawah sampai menyentuh bagian atas subjek dan dibaca skala yang ditunjukkan. Pengukuran RLPP dilakukan secara terpisah laki-laki dan perempuan. Rasio pinggang diperoleh dari mencari tulang supra illiac dan tulang rusuk paling bawah. Ukur dengan pita berapa jarak antara kedua titik tersebut, lalu bagi dua. Dari titik ini kita dapat mendapatkan lingkar pinggang dengan melingkarkan pita ukur. Linkag pinggul kita peroleh dengan mencari puncak bokong dan melingkarkan pita ukur. RLPP didapat dengan membagi lingkar pinggang dengan lingkar panggul. HASIL Tabel 1. Rerata nilai RLPP, IMT dan Pengetahuan Gizi Responden (N = 55) Variabel

Mea n

Media n

SD

RLPP

0,80 9 22,5

0,800

88,3

90

0,0 6 3,8 7 10

2

IMT (kg/m ) Pengetahua n

22,4

MinMak s 0,690,95 16,232,3 60100

Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan RLPP (N = 55) Variabel Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Pengetahuan Kurang Baik Pendapatan (dalam ribuan) > 2.000 < 2.000 Usia (tahun) > 39 20-39 <19 2 IMT (kg/m ) Underweight Overweight Normal

[50]

Risiko tinggi obesitas N % 4 18

17.4 58,1

2 20

33,3 41,7

14 7

73,7 20,6

7

77,8

10

58,8

5

17,9

0 10 12

0 71,4 37,5

Berdasarkan tabel 1, jumlah lakilaki yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 4 orang (17,4 %) dan tidak beresiko sebanyak 19 orang (82,6 %), kemudian jumlah perempuan yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 18 orang (58,1 %) dan tidak beresiko sebanyak 13 orang (41,9 %). Jenis kelamin dan RLPP memiliki hubungan dengan P value 0,006 (P<0,05). Dengan nilai OR 0,15, maka resiko perempuan untuk memiliki RLPP beresiko sebesar 6,67 kali (1/0,15) lebih besar dibanding laki-laki. Jumlah sampel dengan pengetahuan kurang yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 2 orang (33,3 %) dan tidak beresiko sebanyak 4 orang (66,7 %), kemudian jumlah sampel dengan pengetahuan baik yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 20 orang (41,7 %) dan tidak beresko sebanyak 28 orang (58,3 %). Pengetahuan dan RLPP tidak memiliki hubungan dengan P value 0,695 (P>0,05). Jumlah sampel dengan pendapatan lebih dari 2 juta yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 14 orang (73,7 %) dan tidak beresiko sebanyak 5 orang (26,3 %), kemudian jumlah sampel dengan pendapatan kurang dari sama dengan 2 juta yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 7 orang (20,6 %) dan tidak beresiko sebanyak 27 orang (79,4 %). Pendapatan dan RLPP memiliki hubungan dengan P value 0,0001 (P<0,05). Dengan nilai OR 10,8, maka resiko orang dengan Rnisdiakpoartaen dleabhih dari 2 juta untuk memiliki pe OR RLPo Pbebseitraesiko sebP esvaar lu1e0,8 kali 95le%biC hI N dibanding % orang dengan pendapatan besar kurang dari sama dengan 2 juta. 19 82,6 0,006* 0,15 13 Jum4la1h,9sampel dengan usi0a,0l4e-b0i,h55 dari 39 tahun yang memiliki RLPP beresiko seb 4anyak 766o ,7rang (07,76,985 %) dan tid-ak be2r8esiko se5b8a,3n yak 2 orang (22,2 %), kemudian jumlah sampel dengan usia an5 tara 20 h2in6g,3ga 390t, h 0u 01 n* yang me1 m0il,i8ki RL2P 7P beres7ik9o,4 sebanyak 10 oran2g,8(95-8 4,08,29 %) dan tidak beresiko sebanyak 7 orang (412,2 %), se2rt2a,2jumlah0s,0a0m1p*el dengan1u6s,1ia di bawah 19 tahun yang memiliki2,R 5-L1P0P 1,4 be7 resiko seb 4a 1n ,2yak 5 0o,0 ra1n2g* (17,9 %)6,d5a7n tidak beresiko sebanyak 23 orang (812,6,17-% 25).,77 Us2i3a memil8ik2i,1hubungan dengan RLPP beresiko dengan P value 0,001 (P<0,05) pa8 da usia lebi8h dari 390t,a0h7u9n dan dengan P val4ue 0,0122(8P,< 60,05) p0a,0d7a2 usia 20 hingga 3920tahun. N 6i2la,5i OR pada usia 39 tahun sebesar 16,1, berarti resiko orang dengan

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

usia lebih dari 39 tahun untuk memiliki RLPP beresiko sebesar 16,1 kali lebih besar dibanding dengan orang yang berusia di bawah 19 tahun, resiko ini meningkat dari nilai OR 6,57 untuk orang yang berusia 20 sampai 39 tahun, yang berarti orang yang berusia 20 sampai 39 tahun memiliki resiko 6,57 kali lebih besar dibanding orang yang berusia di bawah 19 tahun. Tidak ada sampel dengan IMT underweight yang memiliki RLPP beresiko dan jumlah sampel dengan IMT underweight yang memiliki RLPP tidak beresiko sebanyak 8 orang (8 %), kemudian jumlah sampel dengan IMT overweight yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 10 orang (71,4 %) dan tidak beresiko sebanyak 4 orang (28,6 %) serta jumlah sampel dengan IMT normal yang memiliki RLPP beresiko sebanyak 12 orang (37,5 %) dan tidak beresiko sebanyak 20 orang (62,5 %). IMT tidak memiliki hubungan dengan RLPP beresiko dengan P value 0,079 (P>0,05) pada IMT underweight dan P value 0,072 (P>0,05) pada IMT overweight.

BAHASAN 2.1 Hubungan RLPP dengan Jenis Kelamin Pada penelitian kali ini, perempuan beresiko 6,67 kali lebih besar untuk memiliki RLPP beresiko dibandingkan dengan laki-laki. Pada perempuan usia subur, terjadi penyimpanan lemak di daerah-daerah tertentu. Penyimpanan lemak ini biasanya terjadi di daerah tertentu untuk melindungi organ-organ penting reproduksi sehingga memperbesar perempuan untuk memiliki RLPP beresiko. Menurut, M. Cnop et al wanita memiliki kadar adiponektin dan leptin yang lebih tinggi sehingga memiliki lemak subkutan yang lebih tinggi juga dibanding 1 laki-laki . Hal tersebut didukung oleh pendapat Kuk et al yang menyatakan bahwa pengaruh hormonal dapat meningkatkan cut-off point RLPP pada 2 wanita yang mengalami menopause. Produksi hormone pada masa menopause seperti estrogen dapat berakibat pada

[51]

perubahan postur tubuh menjadi bungkuk dan mengakibatkan dorongan di bagian abdomen sehingga cut off point RLPP wanita mengalami kenaikan. 2.2 Hubungan RLPP dengan Pengetahuan Pengetahuan mengenai nutrisi dapat menjadi pedoman yang baik untuk menjaga kesehatan tubuh dan menjaga berat tubuh yang ideal. Berdasarkan beberapa penelitian, pengetahuan bersifat eksponensial terhadap tingkat kesehatan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah untuk menerima konsep tentang hidup sehat secara, mandiri, kreatif dan berkesinambungan sehingga memperkecil kemungkinan kelebihan gizi (Suhardjo, 1996). Pengetahuan berdasarkan buku gizi kesehatan masyarakat dari Michael j. Gibney et al juga menyatakan pentingnya upaya promotif dalam menangani obesitas dengan cara memberikan pegetahuan mengenai citra tubuh yang positif, pentingnya aktivitas, dan kemampuan menyaring informasi dari media massa. Dalam penelitian, didapati tidak ada hubungan antara RLPP dengan pengetahuan. Hal ini mungkin disebabkan karena sampel yang diambil adalah mahasiswa FKM yang mendapatkan pengetahuan tentang gizi selama berkuliah, sedangkan kondisi RLPP beresiko terbangun sejak saat manusia lahir. Hal ini dapat menyebabkan bias dalam hasil penelitian yang didapat. Selain itu, faktor yang mungkin menyebabkan tidak adanya hubungan antara RLPP dengan pengetahuan adalah rendahnya aplikasi terhadap pengetahuanpengetahuan yang dimiliki. Sebuah studi di Jepang menggunakan dua tipe soal pada anak SD dimana soal-soal pertama berisi tentang pertanyaan dasar yang teoritis dan soal kedua berisi tentang kasus-kasus dalam kehidupan sehari-hari yang mungkin terjadi. Didapatkan 82% murid mengerjakan soal-soal tipe pertama dengan benar dan hanya 63% murid yang menjawab soal kedua dengan benar. hal ini menunjukkan lemahnya pelajar dalam mengaplikasikan ilmu yang didapat.

BIMGI | Volume 1 | November 2012


Hubungan Faktor Resiko Obesitas dengan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul Mahasiswa FKM UI Tahun 2011

2.3 Hubungan RLPP dengan Pendapatan

2.4 Hubungan RLPP dengan Usia

Menurut Hadiyati, et al peningkatan pendapatan juga dapat mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Peningkatan kemakmuran di masyarakat yang diikuti oleh peningkatan pendidikan dapat mengubah gaya hidup dan pola makan tradisional ke pola makan makanan praktis dan siap saji yan dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak 3 seimbang . Pola makan praktis dan siap saji terutama di kota-kota besar di Indonesia, dan jika dikonsumsi secara tidak rasional akan menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan 4 obesitas.

Berdasarkan indikator obesitas melalui cut off point RLPP yang telah ditetapkan, didapatkan adanya hubungan antara usia dengan status obesitas. Hasil penelitian ini ditemukan hubungan (p = 0.001) yaitu dengan prosentase 77.8 % dari 9 orang dinyatakan beresiko obesitas. Hasil penelitian ini sejalan dengan riset nasional Depkes 2007. Pada kelompok usia yang lebih tua mengalami perubahan secara fisiologis termasuk komposisi tubuh. Pada kelompok usia tua, terjadi deposisi lemak tubuh sehingga komposisi lemak tubuh semakin meningkat sementara lean body mass menurun. Hal ini berhubungan dengan penurunan kebutuhan energi basal sebesar 100 kkal/dekade. Sehingga semakin tua usia seseorang maka berat badan meningkat sejalan dengan menurunnya BMR.

Peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat tertentu terutama di perkotaan menyebabkan perubahan pola makan. Pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar, dan rendah lemak berubah ke pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat kasar dan tinggi lemak sehingga menggeser mutu makanan ke arah tidak seimbang. Perubahan pola makan ini depercepat oleh makin kuatnya arus budaya makan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan globalisasi ekonomi. Perbaikan ekonomi juga menyebabkan berkurangnya aktivitas fisik bagi masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan aktivitas fisik ini mengakibatkan semakin banyaknya penduduk golongan tertentu mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan 5 obesitas. Pola umum perilaku konsumen terhadap makanan jadi (jajanan) adalah bahwa semakin tinggi pendapatan semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan jadi dari jumlah total pengeluaran pangan. Sekitar seperlima pengeluaran pangan rumah tangga di perkotaan pada tahun 1996 dialokasikan untuk makanan jadi, sedangkan di pedesaan sekitar seperdelapan dari total pengeluaran pangan. Pengeluaran untuk makanan jadi (termasuk fast food) di kota-kota besar seperti Jakarta dan Yogyakarta lebih besar lagi yaitu sekitar seperempat dari total 5 pengeluaran pangan.

[52]

2.5 Hubungan RLPP dengan IMT Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara RLPP dengan IMT dengan P value pada kategori underweight dan overweight melebihi 0,05. Menurut Tschoukalova et al, IMT merupakan kategori pengukuran yang membandingkan berat badan secara keseluruhan dengan tinggi badan tanpa memperhatikan distribusi lemak tubuh. RLPP sendiri merupakan rasio lingkar pinggang pinggul yang tentunya dipengaruhi oleh simpanan lemak di daerah .7 pinggang dan panggul Dengan kata lain, orang yang memiliki IMT rendah dapat memiliki RLPP beresiko apabila simpanan lemak pinggang dan panggulnya meningkatkan RLPP dan tentunya memiliki resiko lebih besar terhadap penyakit degeneratif. Hal ini juga berlaku sebaliknya ketika orang dengan IMT yang tinggi tetapi distribusi lemaknya tidak terpusat di bagian pinggang dan panggul sehingga memiliki RLPP yang tidak beresiko. Sementara itu, Price et al menyatakan bahwa IMT dan RLPP tidak dapat berdiri sendiri sebagai indikator obesitas yang dapat memicu penyakit 8 degeneratif.

BIMGI | Volume 1 | November 2012


BImgi | Be rkala IlmIah MahasIswa GI zi

IMT merupakan indikator umum status gizi seseorang yang dapat dikategorikan pada underweight, normal, overweight dan obese, sementara itu RLPP merupakan indikator pengukuran distribusi lemak di daerah pinggang dan panggul yang dapat memicu obesitas sentral yang dapat memicu penyakit degeneratif.

DAFTAR RUJUKAN 1.

2. KESIMPULAN Berdasarkan penelitian ini, faktor yang paling besar untuk mempengaruhi RLPP beresiko adalah usia dengan nilai OR 16,1 untuk orang dengan usia di atas 39 tahun, artinya seseorang yang berusia di atas 39 tahun memiliki resiko 16,1 kali lebih besar untuk terkena RLPP beresiko yang menjadi indikator obesitas sentral. Hal ini dikarenakan oleh deformasi tulang belakang yang mulai membungkuk sehingga mendorong bagian abdominal tubuh menjadi lebih maju dan menjadi tempat penumpukan lemak. Pengetahuan tidak memiliki hubungan dengan RLPP beresiko, hal ini juga berarti bahwa aplikasi pengetahuan dari pendidikan atau informasi yang didapat masih cukup rendah sehingga pola makan yang terbentuk dapat mengakibatkan peningkatan lemak sentral di bagian abdominal tubuh.

3.

4.

5.

6.

7. SARAN Untuk orang yang berusia di atas 39 tahun, resiko kejadian RLPP yang berujung pada obesitas sentral dapat dikurangi dengan menjaga kesehatan tulang sehingga deformasi tulang belakang dapat dicegah. Selain itu, orang berusia di atas 39 tahun harus mulai mengontrol asupan lemaknya karena perubahan hormonal pada usia tersebut dapat mempengaruhi penyimpanan lemak sentral di bagian abdominal tubuh. Aplikasi pengetahuan dari pendidikan dan informasi yang didapat juga harus ditingkatkan, agar pengetahuan mengenai pola konsumsi dapat bermanfaat untuk mencegah penumpukan lemak sentral yang bisa meningkatkan RLPP dan menyebabkan obesitas sentral.

[53]

8.

Cnop, M, et al. Relationship of adiponectin to body fat distribution, insulin sensitivity and plasma lipoproteins: evidence for independent roles of age and sex. Diabetologia. 2003. L. Kuk, Jennifer, et al. Waist circumference and abdominal adipose tissue distribution: influence of age and sex. American Journal of Clinical Nutrition. 2005. Hadiyanti, N.S., Irawan, R., dan Hidayat, B. 2006. Obesitas Pada Anak. http://www.pediatrik.com/ (diakses pada 9 Januari 2012) Virgianto, G., dan Purwaningsih, E., 2006. Konsumsi Fast Food Sebagai Faktor Risiko Terjadinya Obesitas Pada Remaja. http://www.m3undip.org/ (diakses pada 9 Januari 2012) Almatsier. Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 2003. Budianto, J., Hardiansyah, A.W., dan Deden, H.A. Strategi Menuju Perilaku Makan Sehat dan Implikasinya Pada Perencanaan Kesehatan Pangan dalam Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI, Jakarta. 1998. Tschoukalova, Yourka D, et al.. Subcutaneous adipocyte size and body fat distribution. American Journal of Clinical Nutrition. 2008. Price, Gill M, et al. Weight, shape, and mortality risk in older persons: elevated waist-hip ratio, not high body mass index, is associated with a greater risk of death. American Journal of Clinical Nutrition. 2006.

BIMGI | Volume 1 | November 2012



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.