Bimgi vol 2 no 2

Page 1


SUSUNAN PENGURUS BOARD OF TRUSTEE dr. Endang L. Achadi, MPH. Dr PH (Universitas Indonesia) Fillah Fithra Dieny, S.Gz., M.Si (Universitas Diponegoro)

TIM REDAKSI Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia Azwar Burhan Universitas Hasanuddin Shabira Utami Institut Pertanian Bogor Elok Sekarini Stikes Surabaya Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin Santi Jaelani Universitas Indonesia

BOARD OF DIRECTION Lini Anisfatul, S.Gz (Universitas Indonesia)

PIMPINAN UMUM Rudianto Universitas Hasanuddin

SEKRETARIS Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor

BENDAHARA Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya

TIM HUMAS Mief Qur’ani S Universitas Brawijaya Hoiriyah Stikes Surabaya Alexandra Tatgyana Universitas Indonesia Damelya Patricia Universitas Hasanuddin Fortunella Stikes Surabaya Adinda Rizki Pemb. Veteran Mardhiati Universitas Hasanuddin Sarinah Institut Pertanian Bogor

TIM LAYOUT Karina Muthia Shanti Universitas Brawijaya Anneke Wulansari Universitas Brawijaya

PIMPINAN REDAKSI Fadilla Anjani Universitas Indonesia

i BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-6448

Susunan Pengurus................................................................................................................................... Daftar Isi...................................................................................................................................................... Petunjuk Penulisan ……......................................................................................................................... Sambutan Pimpinan Redaksi..............................................................................................................

i ii iii ix

Research EDUKASI DUA SISI UNTUK MEWUJUDKAN JAJANAN SEHAT BAGI ANAK SEKOLAH DASAR Fhadilla Amelia .................................................................................................................................................................................................................................1

FORMULATION COMPLIMENTARY FEEDING BABY BISCUITS WITH COMPOSITE SUBSTITUTION ARROWROOT STARCH, SOYBEAN FLOUR, AND ORANGE-FLESHED SWEET POTATO FLOUR Nur Ilaika Zulfa, Ninik Rustanti .................................................................................................................................................................................................................................8

THE FACTOR RELATED TO SNACKS PREFERENCE IN ELEMENTARY SCHOOL CHILDREN Bondika Ariandani Aprillia, Fillah Fithra Dieny

.................................................................................................................................................................................................................................26

FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN POLA ASUH PEMBERIAN MP-ASI UNTUK BAYI USIA 6-11 BULAN DI LINGKUNGAN PADAT PENDUDUK KELURAHAN CIPINANG MELAYU JAKARTA TIMUR

Eldina Christiani, Paramitha Wirdani N. Marlina .................................................................................................................................................................................................................................44

STRATEGI PENERAPAN COUNSELING PREVENTIONDAN RAPID DIAGNOSISNEGLECTEDSOIL-TRANSMITTED HELMINTH DISEASEPADA KLINIK KESEHATAN IBU DAN ANAK SEBAGAI UPAYA KONTROL DAN PENCEGAHAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DAN ANEMIA IBU HAMIL

Naili Nur Sa’adah Nuhriawangsa,Yoga Mulia Pratama, dan Ega Caesaria Pratama Putra .................................................................................................................................................................................................................................57

Literature Study UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN MELALUI STUDI PERSIAPAN BERAS TIRUAN DARI UMBI GADUNG SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL : KAJIAN PUSTAKA

Dwi Yuwono Kristanto, Arif Sabta Aji, Rois Alfarisi, Rizal Yahya .................................................................................................................................................................................................................................65

PERAN PUSKESMAS DALAM PENANGANAN MASALAH GIZI GANDA DI INDONESIA

Yayuk Estuningsih .................................................................................................................................................................................................................................72

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

ii


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal

Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi. Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi).

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

iii


7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman. 3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimgi@bimkes.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul karangan (Title) 2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution) 3. Abstrak (Abstract) 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

iv


- Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. 7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis. 9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i. Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12. ii. Suatu organisasi sebagai penulis

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

v


The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in noninsulindependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. x.

Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.

xi. Nomor halaman dalam angka Romawi

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

vi


Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii. 2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; 1996. iii. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. v. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996. vi. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis 1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor : Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

vii


Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. 2. Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research. viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. ix. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995. 3. Materi elektronik i. Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm ii. Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995. iii. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

viii


SAMBUTAN PIMPINAN REDAKSI Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT di bulan Ramadhan kali ini BIMGI bisa kembali hadir menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi Indonesia. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota ILMAGI. Seperti edisi sebelumnya, BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 nomor 2 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh tim redaksi BIMGI. Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.Untuk itu kami berharap bahwa edisi BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi. Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi. Pimpinan Umum Rudianto

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

ix


Research

EDUKASI DUA SISI UNTUK MEWUJUDKAN JAJANAN SEHAT BAGI ANAK SEKOLAH DASAR

Fhadilla Amelia* *Program Studi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia

ABSTRAK Jajanan menjadi salah satu sumber gizi bagi anak sekolah dasar. Pedagang jajanan anak sekolah menjual berbagai makanan dan minuman menarik dengan harga yang murah. Hal tersebut menjadi daya tarik yang membuat sebagian besar anak sekolah memilih untuk jajan. Pedagang jajanan memiliki pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga cenderung mengabaikan hygiene dan sanitasi pengolahan makanan. Pedagang berasal dari kelas ekonomi rendah, sehingga mereka cenderung menggunakan bahan berbahaya seperti formalin dan boraks untuk membuat makanan agar menarik serta tahan lama. Hal tersebut akan menimbulkan dampak kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang. Upaya yang dapat dilakukan adalah edukasi gizi dan kesehatan bagi pedagang jajanan serta anak sekolah. Para pedagang diberikan edukasi mengenai hygiene dan sanitasi pengolahan makanan serta memilih bahan makanan yang baik. Anak sekolah dipaparkan berbagai materi yang mampu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai jajanan sehat. Upaya tersebut dapat diwadahi melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), materi pelajaran di sekolah, serta pendidikan gizi di rumah. Upaya dari ke dua sisi ini diharapkan memberikan dampak yang signifikan dalam mewujudkan generasi muda yang lebih sehat. Terdapat berbagai tantangan dalam proses edukasi. Namun, tantangan tersebut dapat diminimalisir dengan kontrol yang teratur pada pedagang, serta monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan. Katakunci: Edukasi, Pedagang Jajanan, Anak Sekolah

ABSTRACT Street food become the one source of nutrition for primary school children. Vendor selling it in interesting variety of food and drinks at a cheap price. Street food trader have low education and skills so that tends to ignore the hygiene and sanitation of food processing. Vendor come from lower economic classes , so they tend to use harmful ingredients such as formaldehyde and borax to make food so appealing and durable. This will cause both short-long term health effects and long term. Efforts to do is nutrition and health education for street food vendors as well as school children. The traders are given education about hygiene and sanitation of food processing and also choosing good foods. School children are given the knowledge of various materials that can enhance their knowledge about healthy food. Such efforts can be accommodated through the School Health Unit, the subject, and nutrition education at home. The efforts of the two sides is expected to give a significant impact in creating a healthier younger generation . There so many challenge. However, these challenges can be minimized with regular controls on vendor, as well as continuous monitoring and evaluation. Keywords: Education, Vendors, Primary School Children

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

1


1.

PENDAHULUAN

menunjukan adanya zat kimia berbahaya pada lima

sejumlah jajanan anak sekolah seperti: otak-

menyajikan

otak dan bakso yang mengandung borak, tahu

saji

yang

goreng dan mi kuning basah yang mengandung

umumnya berada di sepanjang jalanan atau

formalin, dan es sirup yang mengandung

Pedagang merupakan makanan

jajanan

pedagang dan

tempat-tempat

atau

yang

minuman

siap

1.

lainnya

kaki

Makanan

dan

pewarna

rhodamin

B.

Selain

dari

segi

penggunaan

bahan

makanan,

minuman yang disajikan sangat bervariasi

keamanan

dengan harga yang terjangkau. Di negara

dampak

berkembang

pedagang

ditimbulkan dari cara penyajian makanan yang

jajanan merupakan sumber mata pencaharian

tidak higienis. Hal ini mencakup personal

bagi kebanyakan penduduk yang memiliki

hyigiene pedagang dan kebersihan alat-alat

pendidikan

.

yang digunakan. Penelitian pada salah satu

Pedagang jajanan tersebut memenuhi ruang

sekolah dasar di Kecamatan Bangkinang Riau,

publik

menunjukan adanya hubungan yang signifikan

seperti

dan

seperti

Indonesia,

keterampilan

sekolah,

terbatas

tempat

wisata,

negatif

jajanan

kaki

lima

juga

antara penyajian makanan dan kontaminasi E.

perkantoran, maupun perumahan. Salah satu pedagang jajanan yang

Coli pada makanan jajanan 3, 4. Makanan jajanan yang tidak aman

perlu mendapat perhatian adalah pedagang jajanan anak sekolah. Selain adanya kantin, di

tentunya

sekolah biasanya juga terdapat pedagang

kesehatan jangka pendek maupun jangka

jajanan kali lima yang menjual berbagai

panjang.

makanan dan minuman yang menarik bagi

berbahaya dalam makanan seperti borax,

anak-anak. Jajanan tersebut merupakan salah

formalin, dan pewarna tekstil akan terakumulasi

satu sumber asupan gizi dan energi bagi

di dalam tubuh dan bersifat karsinogen yang

sebagian besar anak-anak 2.

dapat memicu tumor dan kanker. Selain itu, zat

Uang jajanan

menimbulkan

Penggunaan

tertentu

pada

berbagai

masalah

bahan-bahan

makanan

kimia

yang diberikan oleh orang tua umumnya akan

kimia

mampu

dibelikan pada makanan dan minuman yang

mengganggu fungsi otak dan menyebabkan

dijual di lingkungan sekolah.

gangguan perilaku pada anak sekolah, seperti

Besarnya peranan jajanan sekolah

konsentrasi belajar menurun dan anak menjadi

memenuhi

perlu

hiperaktif. Dari sisi hygiene, berbagai penelitian

mendapat perhatian yang serius. Makanan

menunjukan adanya kasus foodborne disease

jajanan kaki lima menyumbang 36% asupan

pada anak sekolah akibat mengkonsumsi

energi harian anak, 29% protein, dan 52% zat

makanan jajanan. Penelitian di salah satu

besi sehingga hal ini sangat berpengaruh bagi

sekolah

pertumbuhan anak. Namun, keamanan jajanan

sebesar 64,5% responden pernah menderita

dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih

diare saat mengkonsumsi makanan jajanan.

perlu dipertanyakan 3.

Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor

dalam

kebutuhan

anak

dasar

di

Banjarmasin

misalnya,

menunjukan

seperti: tempat jajan, kebiasaan cuci tangan,

adanya Salmonella paratyphi A pada 25-50%

jenis makanan yang dikonsumsi, kebersihan

sampel minuman yang dijual pedangang kaki

tempat jajan, dan kebersihan penjual jajanan

lima. Penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur

5.

Penelitian

di

Bogor

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

3,

2


Program Edukasi Gizi dan Kesehatan bagi 2.

PEMBAHASAN

Pedagang Jajanan Anak Sekolah

Berbagai Upaya dari Pemerintah dalam Menciptakan Jajanan Sehat

Edukasi gizi dan kesehatan adalah suatu hal yang penting bagi para pedagang

Pemerintah telah melakukan berbagai

jajanan anak sekolah. Pedagang tersebut

upaya untuk mencegah anak sekolah dasar

umumnya

mengkonsumsi makanan yang tidak aman.

pendidikan yang cukup baik, khususnya dalam

Badan

hal hygiene dan sanitasi pengolahan makanan.

Pengawasan

(BPOM)

dan

Obat

dan

Departemen

Makanan Kesehatan

tidak

Pendidikan

memiliki

yang

latar

rendah

belakang

akan

membuat

menyampaikan materi komunikasi tentang

pengetahuan pedagang terbatas, sehingga

keamanan pangan. Selain itu, ada program

mereka tidak mampu mengenali bahan-bahan

Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah

berbahaya dan dampaknya bagi kesehatan

(AN PJAS) yang dicanangkan sejak tahun 2011

dalam

oleh Wakil Presiden Boediono. PJAS yang

sanitasi yang buruk dilandasi oleh rendahnya

memenuhi syarat meningkat dari 56-60% pada

pengetahuan

tahun 2008-2010 menjadi 65% (2011), 76%

makanan yang baik. Hal-hal ini merupakan akar

(2012) dan 80,79 (2013). Pemerintah juga

dari

melaksanakan koordinasi lintas sektoral berupa

pedagang jajanan 9.

pembuatan

jajanan.

mereka

permasalahan

Hygiene

terkait

yang

dan

pengolahan

sering

dialami

Focus Group Discussion (FGD) pangan jajanan

Salah satu upaya untuk meningkatkan

anak sekolah pada Februari 2014. Tujuannya

pengetahuan pedagang jajanan adalah melalui

adalah untuk mengidentifikasi dan memadukan

edukasi gizi dan kesehatan. Edukasi gizi

kegiatan AN PJAS tahun 2014 yang akan

memberikan informasi kepada para pedagang

dilaksanakan oleh instansi terkait pada tingkat

terkait bahan-bahan makanan yang aman dan

pusat maupun daerah6, 7.

berbahaya,

Pemerintah perundang-undangan

melalui berusaha

berbagai melindungi

makanan

proses yang

pengolahan

baik,

serta

bahan

memotivasi

pedagang menjual makanan yang bergizi.

anak sekolah dari bahaya jajanan yang tidak

Edukasi

aman. Beberapa perundangan seperti Undang-

mengenai

Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009,

pengolahan makanan. Hal-hal yang dapat

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

diintervensi seperti: mencuci tangan sebelum

perlindungan anak, Undang-Undang Nomor 8

dan sesudah mengolah makanan, mencuci

tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,

peralatan hingga bersih dengan air mengalir,

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996, dan

dan menjaga kesehatan pedagang itu sendiri

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004

terkait

tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,

membersihkan rambut, menyikat gigi, dan lain-

tetapi sanksi dari pelanggaran peraturan ini

lain). Program edukasi gizi dan kesehatan ini

belum ditetapkan secara tegas 8. Hal ini menjadi

dapat dirangkum menjadi sebuah program yang

kendala

tujuan

bernama “Edukasi Pedagang untuk Generasi

terwujudnya jajanan sehat yang aman bagi

Sehat dan Berprestasi�. Program ini dapat

anak sekolah.

dilaksanakan

besar

dalam

mencapai

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

kesehatan hygiene

PHBS

akan dan

(seperti

oleh

memaparkan

sanitasi

dalam

memotong

pemerintah

kuku,

bersama

3


masyarakat secara berkala, misalnya sekali per

dalam memilih jajanan juga berubah ke arah

bulan. Program dapat diisi dengan kegiatan

yang positif

penyuluhan, demo masak jajanan sehat, lomba

satu bukti bahwa edukasi gizi dan kesehatan

PHBS antar pedagang, serta kegiatan yang

bagi anak sekolah menjadi poin penting yang

relevan lainnya.

mencegah anak mengkonsumsi makanan tidak

Merubah

perilaku

dan

kebiasaan

10.

Contoh tersebut menjadi salah

aman.

pedagang tentu tidak bisa terjadi secara

Usaha

Kesehatan

Sekolah

(UKS)

singkat. Pelaksanaan program edukasi gizi dan

tentunya bisa diharapkan sebagai sarana

kesehatan ini membutuhkan pendampingan

dalam memberikan edukasi gizi dan kesehatan

dan monitoring secara berkala. Program harus

bagi anak sekolah. UKS sebagai salah satu

dilaksanakan

pilar penunjang kesehatan bagi peserta didik

secara

berkesinambungan,

sehingga pedangang dan masyarakat benar-

dapat

benar merasakan dampaknya.

memperkaya

Program Edukasi Gizi dan Kesehatan bagi

melaksanakan

kegiatan

yang

siswa,

seperti:

pengetahuan

penyuluhan gizi setiap minggunya, pembuatan majalah dinding (mading) yang berisi informasi

Anak Sekolah

gizi dan kesehatan, lomba membuat jajanan Edukasi gizi dan kesehatan bagi anak sekolah menjadi hal penting untuk mencegah mereka dari konsumsi jajanan yang tidak aman. Edukasi

gizi

pengetahuan

dapat anak

meliputi tentang

peningkatan cara

memilih

makanan sehat dan bergizi, menerapkan sarapan

sehat

untuk

mengurangi

sehat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan UKS sebaiknya tidak hanya memenuhi tugastugas pokok yang telah ditetapkan, guru beserta tim pembina harus mampu berkreasi menjadik UKS sebagai wadah yang memiliki tanggungjawab dalam membentuk generasi bangsa yang sehat dan cerdas

11.

ketergantungan anak pada jajanan, serta pemahaman pada anak terkait Pola Umum Gizi

Pelaksanaan dan Masalah di Lapangan

edukasi

Program edukasi gizi dan kesehatan

kesehatan dilaksanakan melalui penerapan

bagi pedagang jajanan maupun anak sekolah

PHBS. Edukasi ini dapat dirangkum ke dalam

diharapkan

sebuah program yang bernama “Jajan dan

muda yang lebih sehat. Pedagang yang telah

Hidup Sehat, Tubuhku Sehat�. Program ini

teredukasi dan berubah perilakunya dalam

dapat diisi dengan kegiatan penyuluhan PUGS

menangani jajanan ke arah yang lebih baik,

dan jajanan sehat, lomba PHBS antar siswa,

tentu akan mengurangi risiko dan dampak

diari sarapan, serta berbagai kegiatan relevan

kesehatan yang tidak diinginkan. Anak sekolah

lainnya yang menarik bagi anak-anak.

yang memiliki wawasan yang lebih baik

Seimbang

(PUGS).

Sebuah

Sedangkan

penelitian

menggunakan

metode

ular

meningkatkan

pengetahuan

dilakukan tangga anak

mampu

menciptakan

generasi

mengenai jajanan sehat, tentu akan berhati-hati

untuk

dalam memilih apa yang akan mereka beli. Jika

sekolah

hal ini terlaksana dengan baik, maka status

dasar dalam pemilihan jajanan sehat. Hasilnya,

kesehatan masyarakat akan jauh lebih baik.

anak yang diedukasi melalui metode tersebut

Pelaksaan program ini tentu akan

mengalami peningkatan pengetahuan dalam

mengalami sejumlah tantangan. Pedagang

memilih jajanan sehat. Selain itu, sikap anak

jajanan anak sekolah umumnya orang yang

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

4


memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas

mengabaikan hygiene dan sanitasi pengolahan

. Akan sulit bagi mereka untuk menerima

makanan.

perubahan secara serta-merta. Dibutuhkan

berasal dari kelas ekonomi rendah, sehingga

edukasi

mereka

dan

monitoring

yang

Pedagang

menggunakan

tersebut

bahan

umumnya

berbahaya

berkesinambungan. Selain itu, masalah lainnya

seperti formalin dan boraks untuk membuat

adalah pedagang jajanan yang berasal dari

makanan agar menarik serta tahan lama. Hal

kelas ekonomi rendah. Akan sulit bagi mereka

tersebut

menggunakan bahan-bahan yang alami dan

memperoleh keuntungan yang besar, namun

segar karena harganya relatif mahal. Untuk

dengan modal yang kecil.

memperoleh keuntungan yang tinggi dengan modal

yang

pedagang

pedagang

untuk

Upaya yang dapat dilakukan adalah

jajanan

edukasi gizi dan kesehatan bagi pedagang

yang

jajanan serta anak sekolah. Para pedagang

berbahaya. Penggunaan formalin dan boraks

diberikan edukasi mengenai hygiene dan

sering

sanitasi pengolahan makanan

cenderung

rendah,

dilakukan

menggunakan

dijadikan

alternatif

bahan

bagi

pedagang

serta memilih

jajanan karena daya awetnya yang baik,

bahan makanan yang baik. Anak sekolah

harganya yang murah, dan mudah diperoleh di

dipaparkan berbagai materi yang mampu

pasaran 12.

meningkatkan pengetahuan mereka mengenai

Edukasi gizi dan kesehatan bagi anak

jajanan sehat. Upaya tersebut dapat diwadahi

sekolah dapat terintegrasi dengan program

melalui UKS, materi pelajaran di sekolah, serta

pendidikannya.

bisa

pendidikan gizi di rumah. Upaya dari ke dua sisi

menyampaikan materi gizi dan kesehatan

ini diharapkan memberikan dampak yang

dalam berbagai bentuk, misalnya diskusi,

signifikan dalam mewujudkan generasi muda

dongeng, atau soal-soal ujian yang diberi

yang lebih sehat.

muatan gizi dan kesehatan. Selain itu, UKS

Program

Guru

di

kelas

edukasi

ini

tentunya

sebagai pilar kesehatan di sekolah juga

terkendala oleh berbagai faktor. Misalnya,

berperan penting dalam mengedukasi para

pendidikan para pedagang yang rendah akan

siswa. Orang tua juga mampu memberikan

menyulitkan mereka dalam memahami hygiene

pengetahuan mengenai jajanan dan makanan

dan sanitasi pengolahan makanan. Selain itu,

sehat.

pedagang yang berasal dari kelas ekonomi

Jadi,

intervensi

pada

anak

akan

memberikan hasil yang lebih baik dalam

rendah

meningkatkan

menggunakan bahan yang segar dan bermutu

pengetahuannya

terkait

makanan yang sehat, bergizi, dan aman.

akan

sulit

diintervensi

untuk

baik karena harganya relatif lebih mahal. Perilaku anak-anak dalam memilih jajanan juga

3.

KESIMPULAN

membutuhkan diintervensi.

Jajanan berkontribusi besar terhadap konsumsi anak-anak selama mereka berada di sekolah. Sayangnya, jajanan yang dijual tidak aman bagi kesehatan. Pedagang jajanan anak sekolah umumnya memiliki pendidikan dan

upaya Namun,

ekstra

akan

bisa

tantangan-tantangan

tersebut dapat diminimalisir dengan kontrol yang teratur pada pedagang jajanan, misalnya melalui inspeksi mendadak pada sejumlah pedagang.

monitoring

dan

evaluasi

juga

dibutuhkan untuk melihat seberapa besar

keterampilan yang rendah sehingga cenderung BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

5


perubahan

positif

terjadi

pada

pedagang

maupun anak sekolah.

ew/berita/5361/Jajanan-SekolahSehat-Membentuk-GenerasiCerdas.html.

4.

3. Judarwanto, Widodo. Perilaku Makan

SARAN Melihat permasalahan yang terjadi,

maka direkomendasikan saran-saran sebagai berikut: 1. Edukasi pendidikan gizi dan kesehatan pada pedagang jajanan anak sekolah sebaiknya

dilakukan

secara

berkesinambung. 2. Pendidikan gizi dan kesehatan pada anak

dapat

dilakukan

dengan

fungsi

UKS,

memaksimalkan

memasukan materi gizi dan kesehatan dalam

proses

pembelajaran,

serta

pendidikan gizi di rumah. 3. Dilakukan

pengawasan

berkesinambungan

bagi

secara pedagang

jajanan anak sekolah, misalnya melalui inspeksi

mendadak

kepada

para

pedagang. 4. Dilaksanakan proses monitoring dan evaluasi secara berkala untuk melihat keberhasilan program edukasi terkait pengetahuan gizi dan kesehatan pada pedagang jajanan serta anak sekolah.

5.

1. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Street Foods [cited

March

12].

Available

from:

http://gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2012/05/perilakumakan-anak-sekolah.pdf. 4. Yepi Kurniadi, Zulfan Saam, Dedi Afandi. Faktor Kontaminasi Bakteri E. coli

pada

Makanana

Lingkungan

Kantin

Jajanan

Sekolah

di

Dasar

Wilayah Kecamatan Bangkinang.Jurnal Kesehatan Lingkungan 2013:7 (1):3732. 5. Aditya

Pradipta

H,

Djalallalluddin,

Meitria S. N. Hubungan Perilaku Jajan dengan Kejadian Diare pada Anak Sekolah Dasar. Berkala Kedokteran 2013:9 (4)86:82. 6. Departemen

Kesehatan.

Perluas

Cakupan Melalui Gebyar Aksi Nasional Pangan

Jajanan

[Internet].

[cited

Anak 2014

Sekolah

March

Available

12]. from:

http://www.depkes.go.id/index.php?vw =2&id=NW.20142170001. 7. Focus Group Discussion (FGD) Lintas

DAFTAR PUSTAKA

[Internet].

Anak Sekolah. [Internet]. [cited 2014

2014

March

Available

12]. from:

http://www.fao.org/fcit/foodprocessing/street-foods/en/. 2. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jajanan Sekolah Sehat Membentuk Generasi Cerdas [Internet] 2014 March 4 [cited 2014 March 12]. Available from: http://www.pom.go.id/new/index.php/vi BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

Sektor Pangan Jajanan Anak Sekolah 2014 [Internet] 2014 Feb 28 [cited 2014 feb

12].

Available

from:

http://www.pom.go.id/new/index.php/vi ew/berita/5351/Focus-GroupDiscussion--FGD--Lintas-SektorPangan-Jajanan-Anak-Sekolah2014.html. 8. Kementrian

Kesehatan:

Direktorat

Jenderal Bina Gizi dan KIA. Hati-Hati Jajan

Sembarangan

[Internet].2011

6


Feb 14 [cited 2014 March 12]. Available

Sehat Menggunakan Alat Permainan

from:

Edukatif Ular Tangga. [cited 2014

http://www.gizikia.depkes.go.id/archive

March

s/837.

http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Artikel

9. I Nengah Sujaya, Ni Made Utami Dwipayanti, Ni Ketut Sutiarti, L.P Lila Wulandari, Ni Kadek Tresna Adhi.

12].

Available

from:

%20anak_%202%20jajanan%20sehat. doc. 11.Kementrian

Pendidikan

Pembinaan Pedagang Makanan Kaki

Kebudayaan.

Lima untuk Meningkatkan Higiene dan

dan Pengembangan Usaha Kesehatan

Sanitasi Pengolahan dan Penyediaan

Sekolah.

Makanan di Desa Penatih, Denpasar

Available

Timur. [cited 2014 March 12]. Available

http://www.mebermutu.org/admin/lamp

from:

iran/pedoman-pembinaan-uks.pdf.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/jum/artic le/viewFile/1957/1227.

12.Sari,

Pedoman

dan

[cited

Devi

2014

Pembinaan

March

12]. from:

Diyas.

Penyalahgunaan

Formalin pada Makanan [Internet].

10.Lila Oktina Saputri, Kristiawati, Ilya

[cited 2014 March 12]. Available from:

Krisnana. Peningkatan Pengetahuan

http://eprints.uny.ac.id/9174/21/10%20

dan Sikap dalam Memilih Jajanan

LKPD%20Formalin%20PPT.pdf.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

7


Research

FORMULATION COMPLIMENTARY FEEDING BABY BISCUITS WITH COMPOSITE SUBSTITUTION ARROWROOT STARCH, SOYBEAN FLOUR, AND ORANGE-FLESHED SWEET POTATO FLOUR Nur Ilaika Zulfa* Ninik Rustanti ** * Student Nutrition Science Program Faculty of Medicine, Diponegoro University ** Lecturer Program of Nutritional Sciences Faculty of Medicine Diponegoro University

ABSTRACT BACKGROUND: Complementary feeding baby biscuits with composite substitution arrowroot starch, soybeans flour, and orange-fleshed sweet potato flour is a public nutrition improvement effort through local food diversity approach. OBJECTIVE: To analyze the effect of substitution of composite flour on the organoleptic, physical properties, nutrient content and digestibility values. METHOD: An experimental study with one factor randomized design that substitution of composite flour is K, P1, P2, and P3. Organoleptic analysis was tested using Friedman and Wilcoxon test, while physical properties, nutrient content and digestibility of protein using One Way ANOVA test. RESULT: Substitution of composite flour have no significant effect on the organoleptic quality and increased levels of nutrients content, water absorption, and the level of hardness , while the carbohydrate content decreased. Calcium levels, kamba density and brew study are not significantly different from the control biscuits. Protein digestibility values in the formula biscuits is highest in treatment P3 (85.07%) and the lowest in P2 (77.98%). CONCLUSION: Consumption 50 g of P3 biscuits able to fulfill 40.63% energy, 31.31% protein, 31.27% vitamin A, calcium 62%, and 18.75% zinc in infants. Keywords: complimentary feeding, physical properties, nutrients content, protein digestibility, arrowroot starch, soybean flour, orange-fleshed sweet potato flour.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

8


1.

INTRODUCTION Fulfillment nutrients in infants and

toddlers are vital for growth and development. Growth and development that are not optimal in childhood can lead to children of short stature (stunting). Nearly a third of children under five in developing countries experiencing stunting and most of their deficiency are one or more micronutrients. Micronutrients associated with stunting are vitamin A, calcium, and zinc.1.2

One of the important nutrients in the complimentary feeding is the role of protein for growth and maintenance of body cells.6 Ministry

of

Health

has

established

requirements one of which is the nutrient content of protein that must be met in the 100g baby biscuits is 8-12 g.7 Quality protein foods are not only determined by the protein content in the food, but also on its ease to be digested and absorbed (digestibility and absorpability) and amino acid composition contained therein.

Based on the results of Basic Health Research (Riskesdas) in 2010 the prevalence of stunting in children under five nationally is

Scores of amino acids on the complimentary feeding is quite high around 70 Net Protein Utilization (NPU) or at least 60 NPU.8

35.6%, although down 1.2% compared to 2007 (36.8%) but it has not reached the target nutritional

improvement

of

the

National

Medium-Term Development Plan (RPJMN) 2015 by 20%. The incidence of stunting if visited by age group, the prevalence of stunting in infants 6-11 months is 32.1% and increased to 41.5% at age 12-23 months.3

in infants 6-24 months based on results of a survey by Indonesian Ministry of Health are the low quality of complementary feeding and parenting discrepancy given that the adequacy of energy and some micronutrients such as vitamin A, calcium, and zinc are not met. Age 6-24 months is prone to malnutrition due to an increased need up to 24-30%. Therefore, in this period the child was introduced to feeding

(complimentary

feeding). Provision of complementary feeding with micronutrient density and frequency of administration

should

be

be done with increased food consumption through

considered

appropriate since children aged 6 months to prevent stunting.4.5

food

diversification

approach.9

Complementary feeding baby biscuits are usually made from wheat flour or rice flour. Substitution of wheat flour composite aims to increase the content of nutrients and improve the

Factors affecting the growth disorders

complementary

Efforts to improve public nutrition can

physical

properties

of

materials.10

Complimentary feeding heavily marketed in the form of porridge and biscuits. The shape of biscuits can train a baby to learn to grasp, have a bite, and able to rehydrate so it can be diluted into baby porridge.11 Flour composites in this study are a mixture of arrowroot starch, soy, sweet potatoes and yellow. Arrowroot starch is chosen because it has the similiar nature and content of nutrients with wheat flour or rice flour. High starch digestibility of 84.35% and protein digestibility of 86%. Nevertheless, the low protein content of arrowroot starch 0.4% and amylose content as low as 29.67 to 31.34%, and a high flower power 54% make softer biscuits, crisp, and easy to digest. However, with a low protein content, it needs

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

9


to be supplemented by protein content so it can fulfill nutrients in complementary feeding. 12

Based research

in

on

this

the

background,

organoleptic,

the

physical

One of the local food sources of

properties, nutrient content, and in vitro protein

protein that can be used as a complementary

digestibility of complementary feeding baby

feeding is soybean. Protein content is high at

biscuits

35-38% and 41.7% in the form of flour. In

composite arrowroot starch, soybeans, and

addition, the amino acid content of lysine in

orange-fleshed sweet potatoes flours.

with

the

main

ingredients

flour

soybean meal as high as 400 mg / g of flour so that it can complement flour that have low lysine

content.13

2.

In addition to the high protein

content, soybean also contains calcium and zinc that are sufficiently high to complement the nutrients in complimentary feeding.14 High protein soybean meal increases the absorption of water on the biscuits so that biscuits are more resistant when stored. However, the increase in protein also causes hardness in

METHOD This research, based on scientific

area, is carried out in the areas of food production. This study was conducted from June to September 2013 at the Laboratory of Food

biscuit for complementary feeding is 25%.15 Levels

of

vitamin

A

in

the

complementary feeding can be improved by using

the

orange-fleshed

sweet

potato

because its levels of β-carotene are high. βcarotene is pro-vitamin A which usually found in plant foods, of which 6 mg β-carotene is equivalent to 1 mg retinol (the active form of vitamin A).16 Orange-fleshed sweet potato flour containing β-carotene around 250-500 μg/100 g. Previous studies showed that substitution of orange-fleshed sweet potato flour as much as 20% on sweet bread would increase βcarotene content of 12.1%. But protein content in sweet potato flour is low 0.5 g/100 with limiting amino acid leucine.17 Substitution of orange-fleshed sweet potato flour in addition to increase the levels of vitamin A can also make biscuits soluble and easy to digest because the

Soegijapranata

Catholic

University Semarang and Biochemistry and Microbiology Laboratory, Bogor Agricultural University PAU. This study was an experimental study

biscuit texture. Previous studies showed that maximum substitution of soybean flour in

Science

with a completely randomized design one factor substitution arrowroot starch (Marantha arundiaceae L), soybean flour (Glycine max) and

orange-fleshed

sweet

potato

flour

(Ipomoea batatas) and the complementary feeding instant baby biscuits. There are four treatments in the form of biscuits control and biscuits with a combination of substitution of wheat flour with arrowroot starch, soy flour and sweet

potato

flour

yellow.

Percentage

substitution arrowroot starch, soy flour and sweet potato flour yellow is determined by calculating the estimated total nutrient content of raw materials biscuits by considering the levels of protein, energy, vitamin A, calcium and zinc in the MP-ASI in accordance with the Decree of the Minister of Health No.: 224 / Menkes/SK/II/2007 using Nutrisurvey program for Windows 2005.7 Each treatment was repeated

3

times

and

organoleptic

content of reducing sugar is hygroscopic.17.18

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

10


measurements

performed

1

time.

The

treatment in this study can be seen in Table 1. Table 1. Formulation MP-ASI Biscuits Garut Substitution Starch, Soybean Meal, and Orange-fleshed sweet potato Flour Formulation Material Type Wheat flour Arrowroot starch Soy flour Orange-fleshed sweet potato flour K

100%

0%

0%

0%

P1

20%

40%

15%

25%

P2

20%

30%

20%

30%

P3

20%

35%

25%

20%

Preparation

complementary

assessment of color, aroma, texture, and

feeding baby biscuits with substitution

flavor using a hedonic test with 3 A scale is

arrowroot starch, soybean flour and orange-

1 = Dislike, 2 = Neutral, and 3 = Like.

fleshed sweet potato flour made with cream

Organoleptic assessment was performed on

method

the

30 untrained panelists that is the baby's

margarine, eggs and sugar until it forms a

mother in the village Wonosari South

homogenous cream and flour then add milk

Semarang. In organoleptic assessment,

and stir until dough is easy to shape

complementary feeding baby biscuits served

produce.

in a ready meal.

which

The

of

begins

by

mixing

composition

of

early

complementary feeding baby biscuits before

The physical properties include

being substituted are egg yolk 12.9%, skim

Kamba density which is the ratio between

milk 12.9%, margarine 25.8%, refined sugar

the weight and volume of biscuits, water

12.9%, and wheat flour 55%. Arrowroot

absorption is determined by the difference in

starch and soybean flour is derived from the

wet weight by the initial weight of the sample

product 'GASOL'. Orange-fleshed sweet

weight compared at 14% moisture content,

potato flour used is the result flouring

brew study is the amount of water needed for

orange-fleshed

(Ipomoea

rehidrate biscuits, and the texture test in this

batatas) from Sabrangan, Mount Pati,

study analyzes the biscuits level of hardness

Central Java which is made by way of thinly

using texture analyzer.19 Nutritional content

sliced, aerated, dried 3 days, milled, and

includes levels of a protein with the Kjeldahl

sieved with a 80 mesh sieve.

method,20

sweet

potato

fat

with

Soxhlet

method,

In this research, formulation and

calculating carbohydrate with the method of

data collection is conducted on dependent

carbohydrates by difference, biscuits energy

variable. Data collected from the dependent

obtained by converting the amount of

variable,

data

protein, fat, and amount of carbohydrates

organoleptic, physical properties, nutrients

into energy, β-carotene were analyzed using

and protein digestibility value. Organoleptic

spectrophotometer method, and calcium

among

others,

the

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

11


Absorption

feeding baby biscuits tested with One Way

Specthrophotometer (AAS).21 Meanwhile,

Anova with a degree of confidence of 95%,

serving size is determined based on the

followed by the Tukey Test Posthoc to know

fulfillment of third adequacy of protein intake

the difference of protein digestibility values

in a single baby. Contributions per serving

between treatments.

and

zinc

using

Atomic

complementary feeding baby biscuits are 3.

determined based on the results of the

RESULTS AND DISCUSSION 3.1

analysis of the levels of energy, protein,

Organoleptic

calcium, and zinc compared with the RDI (Recommended

Daily

Intake)

of

Organoleptic

composite

7-12

biscuits

substitution

with

arrowroot

starch, soybean and orange-fleshed

months baby.22.23 Value biscuits protein

sweet potato flour using hedonic test

digestibility were analyzed using in vitro with

(level A) with 30 untrained panelists

multienzyme method. 13

from the infant's mother in South

Data were analyzed using SPSS 16

Semarang Wonosari area. The results

for Windows. Effect of variation in the

of the analysis of the reception of color,

percentage of substitution arrowroot starch,

aroma, texture, and flavor biscuits

soybean flour and sweet potato flour yellow

substitution arrowroot starch, soy flour,

using Friedman test and Wilcoxon test

and orange-fleshed sweet potato flour

further. Meanwhile, the data of physical

are presented in Table 2.

properties, nutrient content and digestibility of the protein value of complementary

Table 2. Mean Acceptance of Color, Aroma, Texture and Flavor Biscuit Starch Substitution Garut, Soybean Meal, and Orange-fleshed sweet potato Flour. Formulation Color Aroma Texture Flavor Mean K P1 P2 P3

3.1.1

most

Info

2.60 + like 0.56 2.50 + neutral 0.57 2.53 + like 0.63 2.47 + neutral 0.68 p = 0.50

Mean

Info

2.60 + Like 0.56 2.60 + Like 0.50 2.50 + Neutral 0.63 2.67 + Like 0.48 p = 0.54

Mean

Info

2.50 + Neutral 0.50 2.43 + Neutral 0.63 2.43 + Neutral 0.63 2.40 + Neutral 0.68 p = 0.86

Mean

Info

2.50 + neutral 0.57 2.30 + neutral 0.60 2.37 + neutral 0.67 2.23 + neutral 0.77 p = 0.26

Color

orange-fleshed sweet potato flour was

Based on data analysis, the

not significantly different compared to

preferred

color

biscuits

are

control biscuits (p = 0.50). In addition to

biscuits control (K), although the results

control biscuits, biscuit color with 20%

of the analysis showed substitution

substitution of soybean meal, orange-

biscuits arrowroot starch, soy flour, and

fleshed

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

sweet

potato

starch

and

12


arrowroot starch 30% 30% (P2) is also

formulation

preferred. Meanwhile, P1 and P3

panelists. Based on the analysis of

biscuit color is neutral when assessed

data, formulation substitution biscuits

by panelists. All biscuits are acceptable

with arrowroot starch, soybean flour,

by the panelists.

and orange-fleshed sweet potato flour

Substitution

of

arrowroot

starch, soy flour, and orange-fleshed

P2

rated

neutral

by

biscuits are not significantly different from controls (p = 0.54).

sweet potato flour produces biscuits

Baby biscuits have a fragrant

with the color of yellow until golden

aroma. Making biscuits in this study

brown. Acceptance of color in biscuit

using vanilla to reduce the unpleasant

with various substitution percentages

aroma derived from soybean flour. The

between arrowroot starch, soybean

process of soaking and heating during

flour, and orange-fleshed sweet potato

the making of soybean flour can also

flour biscuits is not significantly different

disable the lipoxygenase enzymes that

from controls. This is because the color

cause unpleasant odors in soybean. 25

of soybean flour is light yellow, while the

Aroma that is generated from arrowroot

color of orange-fleshed sweet potato is

starch

pale yellow. However, arrowroot starch

organoleptic test showed that the

has a white degree similar to flour which

higher the number of substitutions in

is 74.2%.

12

is

neutral.

26

Result

from

The higher the percentage

the orange-fleshed sweet potato flour,

substitution of soy flour and orange-

the lower the panel like it as fragrant

fleshed sweet potato flour biscuits, it will

aroma of biscuits is reduced.

produce increasingly brownish yellow. The

color

brown

is

also

3.1.3

Texture

generated from the Maillard reaction is

Texture control biscuits and

the result of non-enzymatic browning

biscuits with substitution formulation

between the amino acid lysine in

arrowroot starch, soybean flour, and

soybean meal with a hydrolysis group

orange-fleshed sweet potato flour rated

of reducing sugar contained in the

neutral by panelists. Based on the

orange-fleshed sweet potato flour in

analysis of data, biscuits substitution

heat causing foodstuffs to turn brown in

arrowroot starch, soy flour, and orange-

color. Maillard reaction may occur due

fleshed sweet potato flour are not

to

significantly affect the biscuit texture (p

the biscuit baking process with

temperatures above 115 ° C. 24

= 0.86). Acceptance among biscuit texture substitution arrowroot starch,

3.1.2

Aroma

soy flour, and orange-fleshed sweet

Aroma control biscuits, biscuits

potato flour biscuits are not significantly

with P1 and P3 formulation preferred by

different,

the panelists while the biscuits with the

because the control biscuits and biscuit

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

including

visual

control

13


texture with formulation substitution

biscuits,

arrowroot starch, soy flour, and orange-

preference. This because the biscuits

fleshed sweet potato flour are all the

will be denser in texture and less crisp

same.

which is due to the high protein content Biscuit produced both control

the

lower

the

panelists’

that can affect density of biscuits.

and biscuits with various formulations have dense and crunchy texture. It is

3.1.4

influenced by the fat that has the effect

Flavor Flavor of control biscuits and

of shortening in baked goods such as

biscuit

biscuits, pastries, and bread to be

substitution arrowroot starch, soybean

crisper. Fat content in biscuits comes

flour, and orange-fleshed sweet potato

mostly from butter and egg yolks. In

flour rated neutral by panelists. Based

addition, the fat content of the flour,

on the analysis of data, formulation

soybean, arrowroot starch and sweet

substitution arrowroot starch, soybean

potato starch yellow sequentially is 1%,

flour, and orange-fleshed sweet potato

16.7%, 0.2%, 2.01%.13.18 Fat will break

starch as raw material substitution baby

its structure then coat the starch and

biscuits are not significantly affect the

gluten, so that the resulting biscuits

taste preferences of biscuits (p = 0.26).

were crunchy. Fat can improve the

However, biscuits with 25% substitution

physical

as

of soybean meal, orange-fleshed sweet

development, softness, texture, and

potato flour 20% and 35% arrowroot

aroma. In addition, products with high

starch

protein content also require high fat to

difference with control biscuits because

prevent a decrease in water absorption.

the resulting flavor is rather bland.

structure

such

If the water absorption decreases, it will produce a product with a hard and dense texture.

27

baby

(P3)

with

formulation

showed

significant

Baby biscuits produced either control

or

biscuits

with

various

formulations have sweet and savory

In addition, the texture of

flavors. The taste can be caused by

biscuits produced is sandy and soft. It is

several factors such as the use of

also influenced by the degree of

support material as well as the taste of

fineness of arrowroot starch, soybean

the raw material itself. In this study, the

flour, and orange-fleshed sweet potato

addition of the type and amount of

flour. Soybean flour and arrowroot

support

starch is a product of the brand of food

formulation is the same baby biscuits.

'GASOL' with a 100 mesh sieve, while

The resulting flavor of arrowroot starch

the orange-fleshed sweet potato flour

is bland.28 The usage of margarine in

used

on

the making produce savory biscuits

the

while the usage of sugar baby can

in

produce a sweet taste. In addition, it

80

mesh

organoleptic substitution

sieve.

test, of

the

soybean

Based higher flours

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

material

for

the

third

14


can also improve aroma, color and

3.2

Physical Properties

texture of the biscuits. Organoleptic test

The biscuits physical properties

data showed that the more orange-

were analyzed by Kamba density, water

fleshed sweet potato flour substitution

absorption,

in

increasing

textures. The results of the analysis of

fondness for the taste by panelists as it

biscuit physical properties can be seen

is sweeter.

in Table 3 below

baby

biscuits,

the

brew

study

and

test

Table 3. The mean MP-ASI Physical Properties Baby Biscuit Starch Substitution Garut, Soybean Meal, and Orange-fleshed sweet potato Flour Formulation Mean physical properties

K

Water absorption Texture Test (gf) Kamba Density (g / Brew study (ml) (%) ml) 110.00 ± 3.43 b 508.00 ± 100.80 b 0.63 ± 0.06 35 ± 5

P1

112.73 ± 7.48 b

935.97 ± 210.35 a 0.61 ± 0.02

30 ± 5

P2

122.27 ± 5.07 b

1024.24 ± 95.79 a 0.63 ± 0.03

25 ± 5

P3

138.03 ± 5.48 a

1155.02 ± 14.85 a 0.62 ± 0.04

35 ± 5

Description: numbers followed by different superscript letters (a, b, c, d) indicate significant difference (p <0.005) Based on Table 4 above, the substitution soybean

of

flour,

arrowroot and

water absorption. Biscuits P3 with the

starch,

highest protein content (10.02%) have

orange-fleshed

the highest water absorption which is

sweet potato flour significantly increase

138.03%.

water absorption and hardness of

A high amount of protein can

biscuits. Water absorption and protein

caused an imbalance in flour to bind

content influenced the level of hardness

water, thus disrupt the gelatinous

in the biscuits. Water absorption is one

process. The result is a hardened

of the hydration properties of proteins

product. The protein sources in the

which is the protein's ability to hold

biscuits mostly come from soybean

water in a food system. The higher the

flour with 41,7 g/100 g protein. Soybean

protein content in the biscuits, it will

flour usage is restricted to a maximum

increase water absorption. The physical

of 25% because it harden the biscuits.

properties associated with the shelf life

Hardeness of the biscuits related to the

of biscuits. Good quality biscuits are

crispiness. Crispiness of the biscuits

biscuits with high water absorption so

decreased

with

that the biscuits are more durable when

hardeness.

Baby

stored.15

hardeness of 948-1196 gf have a

soybean

Substituted arrowroot starch, flour,

and

the

increasing

biscuits

with

orange-fleshed

moderately hard texture and is not

sweet potato flour significantly increase

easily shattered, earning its place as a

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

15


finger food. P3 biscuits 25% substituted

added, 25 ml/. The amount of water

with soybean flour have the highest

added should not be too much because

hardeness by 1155,02 gf and still fulfill

it can make the baby quickly gorged

the hardeness rate of baby biscuits.

before the energy filled. The lower the

Seen from its water absorbance and

solubility of the biscuits, the least water

hardeness rate, P3 biscuits have a

used to rehydrate.

good physical because they are more durable

when stored and doesn’t

Solubility of the biscuits can decreased

because

of

crushed easily so it can be used as a

higroscopically

finger food. But, seen from the kamba

Orange-fleshed sweet potato contain

density and brew study of the cracker

43,89% reducing sugar. P2 biscuits

P3 isn’t differ than control.

with a substitution of 30% orange-

Kamba

density

showed

reducing

the sugar.

a

fleshed sweet potato need less water

comparison of the weight to the volume.

than P1 biscuits with a substitution of

Complementary breast feeding for the

25% orange-fleshed sweet potato and

baby should be kamba so that the baby

P3 with a substitution of 20% orange-

doesn’t gorged easily because of a

fleshed

small stomach capacity. P1 biscuits

showed that the higher subtitution

substituted with 40% arrowroot flour

percentage, the lower solubility of

have the smallest kamba density, 0,61

biscuits the least water needed to

g/ml. Arrowroot flour are easily expand

rehydrate biscuits.

sweet

potato.

This

result

, 54% so that the baby biscuits have a large volume. The more arrowstrach substituted, the more volume of the biscuits, which lowered the kamba density of the biscuits. Brew study is a definition of ratio between water added with the amount of food in every servings. P2 biscuits need the least water to be

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

3.3

Nutrient Content The analyzed nutrient content

are protein, fat, carbohydrate, calorie, calcium, , β-karoten, and zinc. The result

from

analyzing

content

of

nutrient in biscuitss that subtitutes with arrowroot, soybean and orange-fleshed sweet potato can be seen on table 4 below

16


Tabel 4. Average Nutrient Content of Complementary Breastfeeding with Baby Biscuits subsituted with Arrowroot, Soybean, and Orange-fleshed sweet potato Flour Formula Nutrient Content K P1 P2 P3 Protein (%) 8,61±0,21c Fat (%) 26,13±0,31b Carbohydrate (%) 57,04±0,99a Energy (kkal/100 497,77±1,36b g) β-karoten (mg/100 0,033±0,004c g) Calcium (mg/100 247,33±26,6 g) 5 Zinc (mg/100 g) 0,80±0,12c Note: numbers followed by a different (p<0,005) Based

2,

b

b

0,099±0,02b

0,153±0,27a

10,02±0,38a 28,98±0,07a 52,86±0,49b 512,30±3,27a 0,064±0,016c

266,67±37,4 287,67±82,0 310,00±67,6 3 4 4 0,90±0,12bc 1,29±0,23ab 1,50±0,17a superscript letters (a,b,c,d) showed a real difference

because protein is needed for growth.

subtitution flour from arrowroot, soy

Serving determine by biscuits P3 with

bean,

highest

yellow

table

9,50±0,31ab 28,18±0,60a 53,11±0,52b 504,08±2,41a

the

and

on

9,10±0,04bc 27,59±1,36ab 55,22±2,03ab 505,53±4,62a

potato

on

protein

content,

10,02%.

complementary breast feeding baby

Serving biscuits P3 meet 1/3 protein

biscuits significantly increase protein,

that needed (16 g) that is 50 g (2 pcs

fat, and zinc whereas lowering the

biscuits).

carbohydrate content. Calcium content

complementary breast feeding baby

in all the subtitution biscuits not

biscuits determined from analizing the

significantly different from the control

results calorie, protein, calcium, and

biscuits. P3 biscuits have the highest

zinc content compared to AKG (Angka

content of protein, fat, calorie, calcium,

Kecukupan Gizi) 7-12 month old baby.

and zinc, however P3 have the least

Contribution

content of carbohydrate and β-karoten

complementary breast feeding baby

than P1 and P2.

biscuits

Adequacy of proteins is a major consideration to determine serving,

Contribution

per

per

subtituted

by

serving

serving

arrowroot,

soybean, and yellow potato flour, can be seen from table 5 below :

Tabel 5. Contribution per servings of complementary breast feeding baby biscuits with a substitution from arrowroot, soy bean, and yellow potato flour to nutritional adequacy in 7-12 months baby Formulation K P1 P2 P3 Energy Amount per serving 248,88 252,76 252,04 253,94 (kkal) AKG (kkal) 625 625 625 625 % nutritional adequacy 39,82 40,44 40,32 40,63 Protein Amount per serving (g) 4,30 4,55 4,75 5,01 AKG (g) 16 16 16 16 % nutritional adequacy 26,87 28,44 29,68 31,31 Vitamin A Amount per serving (µg) 122,5 128 132,55 125,11 AKG(µg) 400 400 400 400

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

17


% nutritional adequacy Amount per serving (mg) AKG (mg) % nutritional adequacy Amount per serving (mg) AKG (mg) % nutritional adequacy

Calsium

Zinc

30,62 123,66 250 49,46 0,40 4 10

32 133,33 250 53,33 0,45 4 11,25

Protein content of all biscuits meet

the

spesification

33,14 143,83 250 57,53 0,64 4 16,12

31,27 155 250 62 0,75 4 18,75

The quality of protein in food

of

product not only seen from the content

complementary breast feeding baby

of protein but also from the content of

biscuits, equal to 8-12%. The protein

essential amino acid. Amino acid that

comes from soybean flour that have

separate between soybean flour, cereal

41,7 g/ 100 g. The more soybean flour

and tuber corps (arrowroot and yellow

used to subtitute, the protein content

potato flour) is lysine, methionine, and

will be higher. P3 biscuits with a

leucine. Biscuits with subtitution of

subtitution of 25% soybean flour have

arrowroot, soybean, and yellow potato

the highest content of protein which is

flour compared with FAO reference as

10,02% compared to P1 biscuits with a

a standard content amino acid in food

subtitution of 15% soybean flour and P2

product can be seen in Table 6

biscuits with a subtitution of 20%

below.13,31

soybean flour. Tabel 6. Amount of amino acid Lysin, Methionin, and Leucyn in complementary breast feeding baby biscuits with a substitution of from arrowroot, soy bean, and yellow potato flour compared with FAO pattern Formula FAO Amino acid pattern K P1 P2 P3 Lycin (mg/100 g) 234,37 267,97 276,58 285,19 270 Methionin (mg/100 g) 138,47 118,11 118,66 119,29 144 Leucyn (mg/100 g) 433,75 384,96 395,38 405,81 306 Based on table 5,the content of lysin and leucine in biscuits with a

corps is lower than flour made of cereals.

subtitution arrowroot, soybean and

Total energy from

a food

orange-fleshed sweet potato is higher

product are affected by fat, protein, and

than FAO pattern, whereas methionine

carbohydrate content in biscuits. Fat

lower. P3 biscuits have content of

can be converted to 9 kcal, protein and

amino acid lysine, methionine, and

carbohydrate can be convert to 4 kcal

leucine higher than biscuits P1 and P2.

each. All the fat content in all biscuits is

However the content of methionine and

10 – 18 % higher than the fat content on

leucine lower than control biscuits. This

complementary breast feeding baby

happens

of

biscuits. This caused by the content of

methionine and leucine from tuber

margarine that is 25,8%. Fat in the

because

the

content

biscuits

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

funtion

as

shortening

for

18


making the texture and the savory of the

with 35% subtitution. P2 have the

biscuits, therefore reducing the content

highest β-caroten content which is

of fat can make the biscuits tough and

153,33 µg/100 g. The higher the

lose it’s savory.

amount of yellow potato flour, the

Ingredients to make biscuits with a high fat content aside margarine

higher

β-caroten

content

in

β-caroten

content

can

baby

biscuits.

is egg yolk and soybean. The magarine

be

and egg yolk that is used were all in

reduced and spoiled from the making

same amount for all of biscuits formula,

process. The double bond structure of

therefore the escalation of fat content

β-caroten is easy to oxidated becauseof

can be affected by percentage of

the heating process. The process of

subtitution soybean flour. 15% soybean

making bread with a substitution of

flour subtitution on composite flour

yellow potato flour with a baking

formula with 20% arrowroot flour in

process on

making

reduce

noodles,

resulting

in

an

±160 °C for 15 minutes

β-caroten

by

68,5%.

The

increased protein and fat content but a

reduction is greater if there is an

decrease in carbohydrate content. P3

increase in temperature and time of

biscuits wit highest protein and fat

baking.

content have the lowest carbohydrate

β-carotene is a provitamin A

content which only 52,86%. Although

found in plant foods, where 6 μg β-

having the carbohydrate decrease, the

karoten same as 1 μg retinol (active

total calories of baby biscuits still meet

forrm of vitamin A). β-caroten content in

the requirement complementary breast

all biscuits haven’t met the requirement

feeding baby biscuits by 400kcal/100g.

complementary breast feeding baby

P3 biscuits have the highest

biscuits which must met 250-266,7

energy which is 507,89 kcal/100g. Total

µg/100 g, Vitamin A source not only

energy

serving

come from β-carotene in plant foods but

contribute 40,63% energy sufficiency.

also retinol from animal based food,

Based on WHO research breast feed

which in this research couldn’t analyzed

on 7-12 month baby contributes an

because the research only measured β-

energy of 413 kcal so that sufficient

carotene. Retinol source in biscuits

energy can be met by the provision of

comes from skimmed milk, egg yolk

breast feeding and 2 serving of biscuits.

and margarine with ratio 12,9%, 12,9%

The source of β-caroten on

and 25,8%. Based on secondary data,

biscuits come from yellow potato flour

retinol content on three food ingredients

with 250-500 µg/100 g. P3 biscuits with

are 39 μg, 606 μg, 606 μg/100 g. The

20% yellow potato flour have lower β-

total of retinol from three ingredients are

caroten content than P1 biscuits with

239,55 μg/100 g. The summarize of

25% yellow potato flour and P2 biscuits

retinol comes from the conversion of β-

P3

biscuits

per

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

19


karoten with

retinol from the three

ingredients. The total of retinol in biscuits can be seen on table 7 below. Tabel 7. Total retinol in complementary breast feeding baby biscuits Retinol dari konversi βFormulasi Total retinol biskuit μg/100 g* karoten (μg/100 g) K 5,45 245 P1 16,45 256 P2 25,55 265,1 P3 10,67 250,22 Note : * the total sum of retinol in the conversion of β-karoten with retinol from skim milk, egg yolk, and margarine (239,55 μg/100 g) Based on Table 6 above, the

formulations

thus

that

affects

the

level of vitamin A in biscuit P3 had

increase of calcium and zinc is soy

already met the specification of a baby

flour. Soy flour has 346 g/100 g of

biscuit as a complementary breast-

calcium and 4 g/100 g of zinc.14 The

feeding that is a minimum of 250 μg/100

higher substitution levels of soy flour in

g. Levels of vitamin A per serving in

biscuits increases the level of calcium

biscuits P3 contributed 31.27%. A

and zinc. Biscuits P3 with 25% soy flour

contribution of vitamin A from the

substitution had the highest levels of

complementary breast-feeding is at

calcium and zinc that are 310 mg/100 g

least 60% of the RDI, which is 400

and 1.50 mg/100 g. Calcium and zinc

μg/100

g.7

Consumption of two servings

per serving biscuits P3 contributed 62%

of biscuits have met the adequacy

and 18.72% of adequacy. Consumption

levels of vitamin A for a baby.

of

All

biscuits

meet

servings

of

biscuits

had

the

adequate levels of calcium for a baby,

specifications of a baby biscuit as the

while zinc was not fulfilled. This is due

complementary breast-feeding calcium

to the substitution of soy flour in biscuits

levels that is 200-400 mg/100 g.

is limited because it can make the baby

Meanwhile,

biscuit

the

can

two

composite

flour

texture

hard.

Maximum

substitution significantly increases the

substitution of soy flour in composite

levels of zinc in biscuits. Although zinc

flour to have an acceptable texture by

levels increase, it has not met the

consumers is 25% .1

specifications

complementary

Soybeans contain anti-nutrition

breast-feeding baby biscuit that is 2.5-

factors such as antitrypsin and phytic

3.0 mg/100

of

g.7

acid

that

can

bind

to

minerals,

Calcium and zinc in the biscuits

especially calcium, zinc, iron, and

come from skim milk, egg yolk, and soy

magnesium so its bioavailability is low.

flour. The amount of skim milk and egg

Anti nutrition can be decreased by the

yolks that used are equal in all

heating process. The decrease of anti

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

20


nutrition in soybean can reach 20% in

and calcium and zinc supplies on

the heating process with a temperature

complementary breast-feeding.13, 34

of 121oC for 5 minutes, anti nutrition 3.4

levels will continue decreasing with the increase in processing time. Therefore,

Protein Digestibility Value The analysis results of baby

biscuits protein digestibility values with

anti nutrition factor is not an issue in the

substitution of arrowroot starch, soy

soybeans usage as a source of protein

flour and orange-fleshed sweet potato flour can be seen in Table 8.

Table 8. The analysis results of baby biscuits protein digestibility values Treatment Protein Digestibility Value (%) K

85,64 + 1,45a

P1

81,84 + 1,63ab

P2

77,98 + 3,60b

P3

85,07 + 2,13a p = 0,014

Note: a different letter behind the figure shows a different real with Tukey test Îą=0.05 Based on the data analysis, substitution

treatment

in

substituted

arrowroot

biscuits by arrowroot starch, soy flour

starch, soy flour and orange-fleshed

and orange-fleshed sweet potato flour

sweet potato flour significantly affected

may still exist such as antitrypsin and

protein digestibility values in baby

phytic acid, although anti-nutrition can

biscuits (p = 0.014). Statistically, P1 and

be decreased by the heating process.

P3 biscuits protein digestibility values

Decrease of antitrypsin contained in

were not different from the control

soy may reach 20 % in the heating

biscuits

process for 5 minutes at a temperature

(K),

while

of

Anti-nutrition

the

protein with

of 1210C, while phytic acid can be

substitution of 30% arrowroot starch,

reduced by 13 % in the process of

20% soy flour and 30% orange-fleshed

soaking and heating soy flour. Similarly,

sweet potato flour (P2) which is 77.98%

trypsin inhibitor in soybean and orange-

significantly different from the control

fleshed

biscuits (K). Protein digestibility values

decreased when boiled, baked, and

in baby biscuits with substitution of

process with heat and pressure. The

arrowroot starch, soy flour and orange-

decrease in trypsin inhibitors can reach

fleshed sweet potato flour can be

20 % on heating for 30 minutes and

influenced by several factors, such as

then will continue decreasing with the

anti-nutrition factors and food material

increase

processing.13

Arrowroot starch substitution did not

digestibility

value

of

biscuits

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

sweet

of

potatoes

processing

can

be

time.34

21


affect the protein digestibility value for

the Maillard reaction plays a role in the

protein digestibility value of arrowroot

decrease of protein digestibility value.

starch is 86 %, but it contents only 0.4 % of

protein.12

In

addition,

the

Maillard

Therefore, protein

reaction will also cause discoloration of

digestibility value were lower in the

the product and flavor.13 Discoloration

treatment

anti-

due to Maillard reactions on baby

nutrition derived from soy flour and

biscuits substitution of arrowroot starch,

orange-fleshed sweet potato flour had

soy flour and orange-fleshed sweet

not completely disappeared.

potato flour could be proved from the

biscuits

Meanwhile,

because

biscuits

with

change of them becoming more brown

substitution of 30% arrowroot starch,

as the increasing substitution of soy

20% soy flour and 30% orange-fleshed

flour and orange-fleshed sweet potato

sweet potato flour (P2) had the lowest

flour biscuits like P2 biscuits. The

digestibility value 77.98% as biscuits P2

higher substitution of orange-fleshed

had the highest percentage of orange-

sweet potato flour in baby biscuits

fleshed sweet potato flour substitution.

would

Orange-fleshed sweet potatoes contain

reaction and the decrease of protein

high reducing sugar as a result of the

digestibility values.

cause

the

higher

Maillard

gelatinization process during the starch production

process.

Hydrolysis

of

starch became reducing sugar has happened

during

gelatinization

4.

CONCLUSION AND SUGGESTION 4.1 Conclusion

process. During processing, 42-95%

a. The panelists can accept

starch contained in orange-fleshed

color, aroma, texture, and

sweet potato changed to 72-99%

taste of the instant baby

maltose and the rest changed to

biscuits with substitution of

dextrin. In addition there are also other

arrowroot starch, soy flour

sugars such as fructose, glucose and

and

raffinose.35

potato flour.

Reducing sugar contained

orange-fleshed

sweet

in the orange-fleshed sweet potato

b. Consumption of two servings

could bind to soy flour amino acid called

of biscuits with substitution of

Maillard reaction.

35% arrowroot flour, 25%

Maillard reaction starts with the

soybeans, and 20% orange-

reaction between amino acids and

fleshed sweet potatoes can

reducing sugars to form an unstable

meet the nutritional adequacy

Schiff bases. Products unstable Schiff

of

bases

of

addition, the biscuits have

Melanoidin reactions produce a fairly

good physical properties for

will

undergo

a

series

infant except

zinc.

In

stable of Amadori product. Therefore,

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

22


c.

water absorption and the level

time in order to obtain an

of solidity.

acceptable baby biscuits by

Substitution

of

arrowroot

panelists with high nutrient

starch, soy flour and orange-

content

fleshed sweet potato flour

digestibility values and with

significantly

good physical properties.

affect

protein

and

high

protein

digestibility values of baby biscuits. Biscuits with protein

5.

ACKNOWLEDGEMENTS

digestibility values similar to the

control

biscuits

Thanksgiving to God who always

are

gives grace and ease that these papers can

biscuits with substitution of

be resolved. Author thanks goes to PT

25% soybean meal, 20%

Indofood as Indofood program funding in the

orange-fleshed sweet potato

period

flour, and

arrowroot

panelist organoleptic test, as well as those

starch (P3). However, the

who have helped and provided support in the

value

implementation of this study.

35%

of

the

protein

2013-2014

Research

Nugraha,

digestibility with substitution of arrowroot starch biscuits is

6.

REFERENCES

30%, soy flour is 20% and

1. Marıa JS, Marcela BZ, Alexis EL,

sweet potato flour yellow 30%

Ricardo AC, Ricardo Weill, Jose RB.

(P2)

The role of zinc in the growth and

which

77.98%

significantly different from the

development

of

children.

control biscuits (K).

Science Inc 2002; 18: 510-9.

Elsevier

2. Frances E. Aboud, Sohana Shafique, 4.2 Suggestion

Sadika Akhter. A responsive feeding

a. Biscuits that recommended

intervention increases children’s self-

as complementary of breast-

feeding and maternal responsiveness

feeding

but not weight gain. The Journal of

are

biscuits

with

substitution of 35% arrowroot flour, 25% soybeans, and

Nutrition 2009; 139: 1738-43. 3. Kementrian

Kesehatan

20% orange-fleshed sweet

Indonesia.

potato with a serving of 50 g

(Riskesdas).

(2

Kesehatan; 2010.

biscuits).

divided

into

Biscuits two

are

servings

4. Departemen

Riset

Republik

Kesehatan

Jakarta:

Kesehatan

Kementrian

Republik

when babies consume only

Indonesia.

breast milk.

makanan pendamping ASI. Jakarta:

b. It

is

required

biscuit

processing techniques with the optimal temperature and

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

Pedoman

Dasar

pemberian

Departemen Kesehatan; 2004. 5. Kementrian

Kesehatan

Republik

Indonesia. Program prioritas tahun

23


2010-2014 dan capaian program 100 hari. Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2010.

gizi protein. Bandung: Alfabeta; 2010. 14. Michihiro Sugano. Soy in health and

6. Zakaria FR. Produksi MP-ASI lokal sebagai

terobosan

untuk

menganggulangi masalah kekurangan gizi.

13. Dedy Muchtadi. Teknik evaluasi nilai

Seminar

Pangan.

Studi

pengaruh

tepung

Institut

Pertanian

penstabil

terhadap

mutu

makanan

pendamping asi biskuit [tesis]. Sumatra

Indonesia

224/Menkes/SK/II/2007 Spesifikasi

Teknis

N.

Pertanian Universitas Sumatra Utara;

tentang

2010.

Makanan

Optimasi

pendamping

asi

response

Utara: Program Studi Teknologi Hasil

Nomor:

Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).

menggunakan

YS.

komposit biji-bijian dan konsentrasi

7. Surat Keputusan Menteri Kesehatan

makanan

15. Dian

Teknologi

Bogor; 1999.

8. Hadiningsih

Francis Grup; 2006.

Nasional

Bogor:

Republik

disease prevention. Londen: Tayler and

16. Murray, Robert K, Daryl K. Granne, Victor

WR.

Harper’s 27th

ed.

illustrated

formula

biochemistry,

USA:

The

dengan

McGraw Hill Companies Inc 2007;

surface

p.505-6.

methodology [tesis]. Bogor: Sekolah

17. Idolo I. Sensory and nutritional quality

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;

of madiga produced from composite

2004

flour of wheat and sweet potato. Pak J

9. Ani Kurniawan. Policies in alleviating micronutrient deficiencies: indonesia’s

Nutr 2011; 10 (11): 1004-7. 18. Indrie

Ambarsari,

Abdul

experience. Asia Pacific J Clin Nutr

Rekomendasi

2002; 11(3): S360-70.

standar mutu tepung ubi jalar. Jurnal

10. Widowati. Tepung aneka umbi sebuah solusi ketahanan pangan. Balai Besar Penelitian

dan

dalam

Choliq.

penetapan

Standardisasi 2009; 11 (3): 212-9. 19. Shiv

Kumar,

Rekha,

Lalan

K.

Pengembangan

Evaluation of quality characteristics of

Pascapanen Pertanian Dimuat dalam

soy based millet biscuits. Pelagia

Tabloid Sinar Tani 6 Mei 2009; hal 45-

Research Library 2010; 1 (3): 187-96.

7.

20. Dendy DAV, Dobraszczykbj. Cereal

11. Nanden Kirana. Finger food kue kecil untuk cemilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2006. 12. Widaningrum, Sriwidowati, Suwarno TS. Pengayaan tepung kedelai pada pembuatan mie basah dengan bahan

and cereal products: chamistry and technology. USA: Springer; 2001. 21. AOAC. Official methods of analysis of the association of official analytical chemistry. Arlington: AOAC Inc; 1995. 22. Dewey KG, Brown KH. Update on

baku tepung terigu yang disubstitusi

technical

tepung garut. J. Pascapanen 2005; 2

complementary

(1): 41-8.

children in developing countries and

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

issues feeding

concerning of

young

24


implications for intervention programs.

Teknologi Pertanian Institut Pertanian

Food and Nutrition Bulletin The United

Bogor; 2001.

Nations University 2003; 24:1.

31. Padmaja G. Uses and nutritional data of

23. LIPI. Angka Kecukupan Gizi (AKG).

sweet potato. In: George T, editor. The

Widyakarya Nasional Pangan; 2004.

sweet potato. Berlin: Springer Science

24. Cauvin SP. Bread making improving 1st

quality.

ed. Camridge: Woodhead

Publishing Limited 2003; p.62.

bahan

Departemen

Pendidikan

Kebudayaan.

Direktorat

32. Christina Mumpuni Erawati. Kendali stabilitas betakaroten selama proses

25. Muchtadi, T.R. dan Sugiono. Ilmu pengetahuan

2009; p.190-199,212.

produksi tepung ubi jalar (Ipomoea

pangan.

batatas L.). [tesis]. Bogor: Sekolah

dan

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;

Jenderal

2006.

Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan

33. Mien KM, Nils AZ, editor. Tabel

dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian

komposisi pangan Indonesia. Jakarta:

Bogor; 1992.

PT Elex Media Kopuntindo; 2008.

26. Cicik Suprihatin. Pemanfaatan Tepung

34. Stanijevic, Vucelic R, Barac, Pesic. The

Pati Garut (Marantha arundinaceae)

effect of autoclaving on soluble protein

sebagai bahan makanan tambahan

composition and trypsin inhibitot activity

anak

of cracked soybean. APTEFF 2004;

balita.

Bogor:

Jurusan

Gizi

Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB; 1991. 27. Matz

SA.

Cookies

35:48-57. 35. Anggita Widhi R. Kajian formulasi

and

crakers

cookies ubi jalar (Ipomoea batatas L.)

technology. Westport Connectricut: The

dengan

AVI Publishing Co. Inc; 2001.

menyerupai cookies keladi. Bogor:

28. Yovita Roessalina Wijayanti. Subtitusi

karakteristik

tekstur

Institut Pertanian Bogor; 200

tepung gandum (Triticum aestivum) dengan

tepung

garut

(Maranta

arundinaceae L) pada pembuatan roti tawar (skripsi). Yogyakarta: Fakultas Teknologi

Pertanian

Universitas

Yogyakarta; 2007. 29. Yoanasari QT. Pembuatan bubur bayi instan dari pati garut [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2003. 30. Lisia Yusianti dan Purwiyatno Hariyadi. Kajian

formulasi

dan

proses

pemanggangan roti kaya karotenoida dengan substitusi tepung ubi jalar dan minyak sawit. [skripsi]. Bogor: Fakultas

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

25


Research

THE FACTOR RELATED TO SNACKS PREFERENCE IN ELEMENTARY SCHOOL CHILDREN Bondika Ariandani Aprillia1 Fillah Fithra Dieny2 1

Student of Nutrition Science Study Program, Medical Faculty of Dipenegoro University Lecturer of Nutrition Science Study Program, Medical Faculty of Dipenegoro University

2

ABSTRACT Background: The habit of eating snacks is popular among Indonesian, especially in school aged children. This study aims to identify the most related factor to snack preference in elementary school children. Method: This study was an observational research and the samples were 73 fourth to sixth grade of elementary school children at Pekunden State Elementary School selected by using simple random sampling. The data collection included snacks preference, amount of money for snacks purchase, mother formal education, breakfast frequency, bringing the lunch box frequency, snacks availability, and the role of mass media which is collected based on interview result through questionnaire. Result: The children’s knowledge about nutrition and snacks were only amount 24,7% included in good category (45,2%). Mother’s formal education were good enough that mostly at senior high school level (37%) or in upper level. Majority number of money for snack purchase revolved between Rp 500 – Rp 5000 at school (95,9%) and Rp 500 – Rp 2500 when at home (52,05%). The children used to having their breakfast everyday (71,2%), whereas frequency of bring the lunch box were in sometime category (1-3 times a week) (69,9%). Healthy snacks were a lot of available at home whereas unhealthy snacks like high natrium snacks, high fat snacks, high sugar snacks, and high sugary beverage were a lot of available outside home. Frequency of bring the lunch box to school had the most correlated factor for snacks preference in elementary school children. Conclusion: Frequency of bring the lunch box to school had the most correlated factor for snacks preference in elementary school children. Keywords: snacks preference, factor-factor, elementary school children

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

26


1.

PENDAHULUAN

tidak tepat oleh produsen pangan jajanan

Jenis makanan jajanan yang beragam berkembang dengan

pesat

Indonesia

sejalan

pengetahuan produsen mengenai keamanan

Pada

makanan jajanan. Ketidaktahuan produsen

pembangunan.1

pesatnya

umumnya,

di

anak

sekolah

adalah salah satu contoh rendahnya tingkat

menghabiskan

mengenai

penyalahgunaan

tersebut

dan

seperempat waktunya setiap hari di sekolah.

praktik higiene yang masih rendah merupakan

Data lain menunjukkan bahwa hanya sekitar

faktor utama penyebab masalah keamanan

5% dari anak-anak tersebut membawa bekal

makanan jajanan.7

dari rumah, sehingga kemungkinan untuk membeli makanan jajanan lebih tinggi.

2

minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh

Makanan jajanan bermanfaat terhadap penganekaragaman

makanan

pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-

kecil

tempat keramaian umum lain yang langsung

dalam rangka peningkatan mutu gizi makanan

dimakan atu dikonsumsi tanpa pengolahan

dikonsumsi.3

yang

Salah

sejak

Makanan jajanan adalah makanan dan

satu

upaya

atau persiapan lebih lanjut. Istilah makanan

meningkatkan kualitas sumber daya manusia

jajanan tidak jauh dari istilah junk food, fast

pada kelompok anak sekolah adalah dengan

food, dan street food karena istilah tersebut

menyediakan makanan jajanan yang bergizi

merupakan

guna memenuhi kebutuhan tubuh selama

jajanan.8

mengikuti pelajaran di sekolah.4 Makanan

bagian

dari

Pemilihan

istilah

makanan

makanan

jajanan

jajanan memberikan kontribusi masing-masing

merupakan perwujudan perilaku. Faktor-faktor

sebesar

terhadap

yang mempengaruhi terbentuknya perilaku

keseluruhan asupan energi dan protein anak

berupa faktor intern dan ekstern.9 Faktor yang

sekolah dasar.5

mempengaruhi pemilihan makanan dibagi

22,9%,

dan

15,9%

Aspek negatif makanan jajanan yaitu apabila

dikonsumsi

berlebihan

menjadi tiga kelompok yaitu faktor terkait

dapat

makanan, faktor personal berkaitan dengan

menyebabkan terjadinya kelebihan asupan

pengambilan keputusan pemilihan makanan,

energi. Sebuah studi di Amerika Serikat

dan faktor sosial ekonomi.10

menunjukkan bahwa anak mengonsumsi lebih

Pengetahuan merupakan faktor intern

dari sepertiga kebutuhan kalori sehari yang

yang

berasal dari makanan jajanan jenis fast food

jajanan. Pengetahuan ini khususnya meliputi

dan

pengetahuan

soft

drink

meningkatkan kebutuhan

sehingga

kecerdasan,

makanan

persepsi,

melebihi

emosi, dan motivasi dari luar.9 Pendidikan dan

menyebabkan

obesitas.6

pengetahuan merupakan faktor tidak langsung

Masalah lain pada makanan jajanan berkaitan dengan

gizi,

pemilihan

yang

asupan

dan

berkontribusi

mempengaruhi

tingkat

keamanannya.

yang mempengaruhi perilaku seseorang.11 Pengetahuan

yang

diperoleh

Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya atau

seseorang tidak terlepas dari pendidikan.

penambahan bahan tambahan pangan yang

Pengetahuan gizi yang ditunjang dengan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

27


pendidikan yang memadai, akan menanamkan

Faktor ketersediaan makanan jajanan yang

kebiasaan dan penggunaan bahan makanan

sehat

yang baik. Ibu yang mempunyai pengetahuan

menentukan pemilihan makanan jajanan yang

luas tentang gizi, maka dapat memilih dan

sehat pula. 16,17

memberi makan anaknya dengan lebih baik. Peran

orang

mengarahkan

tua

terutama

anaknya

ibu,

dalam

menjadi

Faktor

salah

lain

satu

yang

faktor

dalam

mempengaruhi

untuk

pemilihan makanan jajanan adalah uang saku.

pemilihan

Anak usia sekolah memperoleh uang saku dari

makanan jajanan cukup besar.11,12

orang tuanya. Uang saku tersebut digunakan

Anak sekolah mempunyai banyak

untuk memenuhi berbagai kebutuhan anak,

aktivitas sehingga sering melupakan waktu

salah satunya digunakan untuk membeli

makan.

jajanan.18

Anak

yang

tidak

sarapan

pagi

Sebuah

studi

di

Jakarta

cenderung mengonsumsi energi dan zat gizi

menunjukkan bahwa uang saku anak berkisar

lebih sedikit daripada anak yang sarapan pagi.

antara Rp 1000,00 – Rp 5000,00 sebesar

Kebiasaan makan pagi perlu diperhatikan

81,5%, sebanyak 13,3% anak mendapat uang

untuk menyediakan energi bagi tubuh dan agar

saku Rp 5500,00 – Rp 10.000,00, 2%

anak lebih mudah menerima pelajaran.13

mendapat

Kebiasaan membawa bekal makanan pada

20.000,00 dan 1,8% anak mendapat uang

anak ketika sekolah memberikan beberapa

saku >Rp 21.000,00. Hal ini menunjukkan

manfaat antara lain dapat menghindarkan dari

potensi daya beli anak yang cukup tinggi.

gangguan rasa lapar dan dari kebiasaan jajan.

Sementara di sekitar mereka banyak terpapar

Hal ini sekaligus menghindarkan anak dari

oleh makanan jajanan kaki lima yang sebagian

bahaya jajanan yang tidak sehat dan tidak

besar

aman.

12

uang

kurang

saku

sehat

11.000,00

dan

tidak

–

Rp

aman

dikonsumsi.19

Kebiasaan seseorang berhubungan

Media massa berupa radio, surat

dengan karakteristik personal dan faktor

kabar serta iklan-iklan yang terdapat di papan

lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan yang

reklame maupun billboard juga berpengaruh

paling berpengaruh pada perilaku makan anak

besar

dalam

pembentukan

opini

dan

sekolah.14,15

kepercayaan seseorang. Media massa berisi

Ketersediaan jajanan sehat dan tidak sehat di

pesan yang mengandung sugesti yang dapat

rumah

mempengaruhi pendapat seseorang, gaya

adalah

keluarga

berpengaruh

dan

terhadap

pemilihan

makanan jajanan pada anak-anak. Anak

hidup,

cenderung untuk membeli makanan jajanan

mendapat paparan iklan dari berbagai media.

yang

dengan

Iklan merupakan medium untuk sosialisasi dan

keberadaannya. Oleh sebab itu, jajanan yang

internalisasi nilai-nilai sosial pada anak. Iklan

sehat seharusnya tersedia baik di rumah,

makanan

maupun di lingkungan sekolah agar akses

karakteristik fisik makanan seperti rasa renyah,

anak terhadap jajanan sehat tetap terjamin.

gurih,

tersedia

paling

dekat

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

selera,

atau

nilai,

tidak

manis.

norma.

jarang

Hal

Anak-anak

menonjolkan

ini

memberikan

28


dorongan bagi anak untuk terpengaruh dengan

siswa yang tersedia. Kriteria inklusi yaitu Anak

produk yang ditawarkan, karena karakteristik

kelas

IV-VI

di

SDN

Taman

Pekunden

20,21

Semarang pada tahun ajaran 2011/2012 dan

Peningkatan asupan makanan tinggi lemak

bersedia menjadi subjek penelitian dengan

dan makanan jajanan manis padat energi

mengisi informed consent dan mengikuti

dapat dipengaruhi oleh iklan. Iklan di media

prosedur penelitian. Berdasarkan perhitungan

massa

anak yang cenderung mudah tertarik.

mendorong

mengonsumsi

jajanan

anak-anak

untuk

besar sampel, jumlah sampel yang dibutuhkan

yang

sehat

dalam penelitian ini sejumlah 71 orang.

tidak

walaupun tidak semua makanan jajanan yang diiklankan adalah jajanan yang tergolong tidak sehat.

21

yang

dikumpulkan

dalam

penelitian ini yaitu data identitas sampel meliputi nama, jenis kelamin, usia, tanggal

Lokasi penelitian

Data

ini

pengambilan di

SD

data

Negeri

dalam

lahir, kelas. alamat, nomor telepon, pendidikan

Pekunden

ibu, data pengetahuan tentang gizi dan

Semarang. Sekolah dasar ini merupakan

makanan

sekolah negeri yang terletak di tepi jalan di

kebiasaan sarapan pagi, bekal sekolah, uang

pusat kota dan banyak terdapat penjual

jajan, peran media massa dan pemilihan

makanan maupun minuman jajanan, serta

makanan jajanan yang diperoleh berdasarkan

siswa memiliki karakteristik sosial ekonomi

pengisian kuesioner yang telah disiapkan dan

yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk

dilakukan

mendeskripsikan dan menganalisis berbagai

sebelumnya. Variabel bebas dalam penelitian

faktor yang berhubungan dengan pemilihan

ini

makanan jajanan pada anak sekolah dasar di

pengetahuan

SDN Pekunden Semarang.

jajanan,

yaitu

jajanan,

uji

ketersediaan

validitas

lama

dan

tahun

tentang

ketersediaan

jajanan,

realibilitas

pendidikan

gizi

ibu,

dan

makanan

jajanan,

frekuensi

sarapan pagi, frekuensi membawa bekal 2.

METODE

makanan sekolah, besar uang jajan di rumah

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

dan di sekolah, dan peran media massa, serta

Mei 2011. Penelitian ini merupakan penelitian

pemilihan makanan jajanan sebagai variabel

observasional dengan desain cross sectional.

terikat. Tiap variabel diuji normalitas datanya

Populasi target dalam penelitian ini adalah anak-anak yang mengikuti pendidikan formal Sekolah Dasar, dan populasi terjangkaunya adalah semua siswa dan siswi sekolah dasar yang mengikuti pendidikan formal di SDN Pekunden Semarang. Subjek diambil dengan metode simple random sampling menggunakan tabel angka random yang dilakukan berdasarkan data

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

29


Tabel 1. Nilai Minimum, Maksimum, dan Rerata Variabel penelitian Variabel Minimum Maksimum Rerata SD Usia Subjek 9 tahun 11 tahun 10,4 tahun 0,64 tahun Uang Jajan di Sekolah Rp 500 Rp 10000 Rp 3611,1 Rp 1789,14 Uang Jajan di Rumah Rp 500 Rp 5000 Rp 1888,9 Rp 1315,12 Lama Tahun Pendidikan Ibu 6 tahun 18 tahun 13 tahun 2,93 tahun Frekuensi Sarapan Pagi 0 kali/ 7 kali/ 5,9 kali/ 2,03 kali/ minggu minggu minggu minggu Frekuensi Membawa Bekal 0 kali/ 6 kali/ 2,4 kali/ 1,45 kali/ Makanan minggu minggu minggu minggu Skor Pengetahuan Gizi dan 29 100 70,8 16,06 Makanan Jajanan Skor T Pemilihan Makanan 152 402 278,5 43,80 Jajanan Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel Variabel Laki-laki % 4,1 24,65 23,28

Umur 9 tahun 10 tahun 11 tahun

n 3 18 17

Pengetahuan Gizi dan Makanan Jajanan Kurang Sedang Baik

n

%

20 33 20

27,4 45,2 27,4

Pendidikan Ibu SD/MI SMP/Mts SMA/MA Akademi

1 12 27 13

1,4 16,4 37,0 17,8

26

35,6

19 19 7 2

26 26 9,7 2,7

Besar Uang Jajan di Rumah Rp500 – Rp 5000 >Rp 5000 – Rp 10.000 Tidak Jajan

70 2 1

95,9 2,7 1,4

Frekuensi Sarapan Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu

2 12 7 52

2,7 16,4 9,6 71,2

Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja - Pegawai swasta - Pedagang/Wiraswasta - Pegawai negeri/ ABRI/ POLRI - Lain-lain

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

Perempuan n % 3 4,1 14 19,17 18 24,65

Jumlah n % 6 8,2 32 43,8 35 47,9

30


Frekuensi Membawa Bekal Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu

15 51 4 3

20,05 69,9 5,5 4,1

Sumber Informasi Iklan Jajanan Televisi Radio Media cetak Lainnya

69 1 1 2

94,4 1,4 1,4 2,7

Ketersediaan Makanan Jajanan Sehat Jenis Jajanan Susu Produk Olahan Susu Jus Buah Buah Jajanan Cukup Energi Jajanan Cukup protein

Ketersediaan Makanan Jajanan Tidak Sehat Jenis Jajanan Jajanan Tinggi Natrium Jajanan Tinggi Gula Jajanan Tinggi Lemak Minuman Tinggi Gula Western Fast food

Item Pemilihan Makanan Jajanan Jajan di tempat terbuka Jajanan tinggi gula Jajanan tinggi lemak Jajanan tinggi natrium Jajanan dengan bahan tambahan pangan/ bumbu yang tidak aman Jajanan instan dalam kemasan Jajanan cukup energi Jajanan cukup protein Jajanan berbahan dasar buah (jus buah, buah segar, rujak) Jajanan golongan susu (susu cair kemasan, susu segar, susu skim) Jajanan yang bersih Memilih memperhatikan kandungan gizi dan tanggal kadaluarsa

Di Rumah % 90,4 41,1 74 78,1 72,6 82,2

Di Sekolah/ Sekitarnya % 93,2 20,5 15,1 5,5 76,7 75,3

Di Warung Sekitar Rumah % 93,2 54,8 64,4 54,8 74 80,8

Di Rumah % 58,9 53,4 68,5 27,4 47,9

Di Sekolah/ Sekitarnya % 84,9 98,6 82,2 58,9 46,6

Di Warung Sekitar Rumah % 86,3 93,2 78,1 78,1 32,9

Tidak Pernah % 22,6 15,1 7,3 34,2 37

KadangKadang % 68,5 67,1 70,8 56,2 53,4

Selalu % 8,9 17,8 21,9 9,6 9,6

17,8 11 0 6,8

58,9 68,5 60,3 61,6

23,3 20,5 39,7 31,6

4,1

42,5

53,4

4,8 11

34,9 43,8

60,3 45,2

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

31


kemudian digunakan uji korelasi r-Pearson bila

ibu subjek yang tertinggi adalah perguruan tinggi

data berdistribusi normal dan Rank Spearman bila

dengan tingkat S2 dan yang terendah adalah

data

sekolah dasar. Rerata lama tahun pendidikan 13

terdistribusi

tidak

normal.

berikutnya

dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui

± 2,93.

faktor yang paling berhubungan dengan pemilihan

4.

makanan jajanan.

Pekerjaan Ibu Pekerjaan ibu subjek dibedakan menjadi

ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Ibu yang 3.

HASIL PENELITIAN

bekerja kemudian dibedakan lagi sesuai dengan

A. Karakteristik Subjek

kategori

profesinya

masing-masing.

Penentuan dan pengambilan subjek sesuai

Berdasarkan tebel 5 dapat diketahui bahwa

dengan yang telah ditetapkan secara acak

sebagian besar ibu subjek bekerja (65,4%),

sederhana. Subjek yang diambil sebanyak 73

dimana profesi terbanyak sebagai pegawai

orang yang terdiri dari kelas IV dan V, karena

swasta (26%) dan pedagang/wiraswasta (26%).

siswa kelas VI sudah menempuh ujian akhir

5.

Besar Uang Jajan

sehingga sulit ditemui di sekolah. Ringkasan

a.

Uang Jajan di Sekolah

nilai minimum, maksimum, dan rerata variabel

Besar uang jajan yang digunakan oleh

penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

subjek untuk membeli jajanan saja di sekolah

1.

bervariasi. Besar uang jajan minimum yaitu Rp

Usia Subjek Perbandingan

jumlah

laki-laki

dan

500 dan maksimum sebesar Rp 10.000. Rata-

perempuan tidak jauh berbeda yaitu 38 (52,1%)

rata subjek menggunakan uang sakunya untuk

laki-laki dan 35 (47,9%) perempuan. Sebagian

membeli jajan. Hanya satu dari 73 subjek yang

besar subjek berusia 11 dan 10 tahun dengan

tidak menggunakan uang sakunya untuk jajan.

rerata 10,40 ± 0,64.

Alokasi uang yang digunakan subjek untuk

2.

Pengetahuan Gizi dan Makanan Jajanan

membeli jajan di sekolah sebagian besar

Pengetahuan tentang gizi dan makanan

(95,9%) berkisar antara Rp 500 – Rp 5000.

jajanan subjek bervariasi. Skor minimum yang

b.

Uang Jajan di Rumah

diperoleh yaitu 29 dan skor maksimum 100

Sebagian besar subjek membeli jajan di

dengan rerata skor pengetahuan 70,83 ± 16,60.

rumah selain jajan di sekolah. Subjek yang

Pengetahuan subjek tentang gizi dan makanan

memperoleh uang saku ketika di rumah dan

jajanan yang termasuk dalam kategori baik

mempergunakannya untuk jajan berjumlah 45

hanya sebesar 45,2%. Subjek yang masuk

subjek dari 73 subjek yang ada. Sebanyak 38

kategori kurang dan baik memiliki proporsi yang

dari 45 subjek (52,1%) menghabiskan uang

sama (27,4%).

untuk membeli jajan dengan rentang Rp 500 –

3.

Pendidikan Ibu

Rp

Sebagian besar ibu subjek mempunyai latar

menghabiskan Rp 2500 – Rp 5000. Sisanya,

belakang pendidikan formal yang cukup. Hal ini

sebanyak 28 subjek mengaku tidak memperoleh

dilihat dari mayoritas ibu subjek menempuh

uang jajan atau tidak membeli jajan ketika di

pendidikan tingkat SMA (37%), sedangkan ibu

rumah.

yang menempuh pendidikan tingkat sekolah

6.

2500.

Sejumlah

7

subjek

(9,6%)

Frekuensi Sarapan Pagi Subjek

dasar hanya 1 orang (1,4%). Pendidikan formal BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

32


Sebanyak

52

subjek

(71,2%)

selalu

Jajanan

tidak

sehat

hampir

selalu

sarapan pagi setiap hari baik pada hari sekolah

ditemukan di luar rumah. Sebagian besar

maupun hari libur dan hanya 2 subjek (2,7%)

jajanan tidak sehat seperti jajanan tinggi

yang mengaku tidak pernah sarapan pagi setiap

natrium, tinggi gula, dan tinggi lemak paling

hari.

banyak tersedia di sekolah/sekitar sekolah,

7.

Frekuensi Membawa Bekal Makanan

Sekolah

jajanan golongan minuman tinggi gula paling banyak tersedia di warung sekitar rumah,

Kebiasaan subjek dalam membawa bekal

sedangkan jajanan golongan Western fast food

makanan ke sekolah bervariasi. Kebiasaan

paling banyak tersedia di rumah.

membawa bekal subjek diukur dengan tingkat

10. Pemilihan Makanan Jajanan

keseringan

berupa

frekuensi

per

minggu.

Pemilihan makanan jajanan diukur dengan

Jumlah total subjek yang membawa bekal yaitu

jawaban yang menyatakan tingkat keseringan

58 subjek dengan frekuensi berbeda. Sebagian

terhadap item pertanyaan yang tersedia. Tingkat

besar subjek membawa bekal dengan frekuensi

keseringan tersebut yaitu tidak pernah, kadang-

1-3 kali/minggu yaitu 51 orang (69,9%), sisanya

kadang, sering, dan selalu. Pemilihan makanan

sebanyak 15 subjek (20,05%) mengaku tidak

dan minuman jajanan pada 73 subjek yang

pernah membawa bekal makanan ke sekolah.

diteliti

8.

Peran Media Massa

Pemilihan makanan jajanan meliputi pertanyaan

Sumber Informasi

favorable dan unfavorable.

menunjukkan

hasil

yang

beragam.

Hampir seluruh subjek 69 subjek (94,5%)

Pemilihan makanan jajanan pada anak-

terpapar iklan jajanan melalui media televisi.

anak sangat beragam. Hal ini menunjukkan

Melalui media radio dan media cetak masing-

bahwa

masing 1 subjek (1,4%) dan 2 subjek (2,7%)

makanan jajanana yang baik dan tidak baik.

melalui sumber lainnya.

Sebagian besar subjek termasuk dalam kategori

9.

kadang-kadang dalam memilih berbagai jenis

Ketersediaan Makanan Jajanan Pada

penelitian

ini,

diperoleh

data

anak

belum

dapat

membedakan

jajanan. Namun, mayoritas subjek

selalu

ketersediaan makanan jajanan yang dibagi

memilih jajanan gologan susu (53,4%), jajanan

menjadi ketersediaan jajanan sehat dan tidak

yang bersih (60,3%), serta memperhatikan

sehat yang dibedakan dalam tiga tempat yaitu di

kandungan gizi dan tenggal kadaluarsa (45,2%).

kantin/pedagang sekitar sekolah, di warung

Subjek

sekitar rumah, dan di dalam rumah.

golongan lemak (70,8%), dan hanya 7,3% yang

Ketersediaan jajanan golongan susu dan

kadang-kadang

memilih

jajanan

tidak pernah mengonsumsinya. Selain itu, tidak

cukup protein hampir sama baik di rumah, di

ada

(0%)

subjek

yang

tidak

sekolah/sekitar sekolah dan warung sekitar

mengonsumsi jajanan golongan protein.

pernah

rumah. Jajanan golongan buah, jus buah, dan jajanan cukup energi paling banyak tersedia di

B. Hubungan Beberapa Variabel dengan

rumah dengan persentase 78,1%, 74%, dan

Pemilihan Makanan Jajanan

82,2%, sedangkan produk olahan susu paling

Ringkasan hasil uji hubungan beberapa

banyak terdapat di warung sekitar rumah

variabel dengan pemilihan makanan jajanan

(54,8%). BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

33


pada anak sekolah dasar dapat dilihat pada

hubungan yang bermakna. Namun, analisis

tabel 3.

bivariat frekuensi membawa bekal makanan dengan

pemilihan

makanan

jajanan

Tabel 3. Analisis Bivariat Hubungan Beberapa

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna

Variabel dengan Pemilihan Makanan Jajanan

(r = 303; p = 0,009). Hal ini berarti bahwa

Variabel

r

p

semakin sering frekuensi membawa bekal

Besar Uang Jajan di Sekolah

-0,140

0,237*

makanan sekolah maka pemilihan makanan

Besar Uang Jajan di Rumah

-0,057

0,632*

jajanan semakin baik.

Lama Tahun Pendidikan Ibu

0,161

0,173*

Total Ketersediaan Jajanan

0,200

0,09*

C. Variabel

yang

Paling

Berhubungan

dengan Pemilihan Makanan Jajanan

Sehat Total Ketersediaan Jajanan

0,108

0,364*

Hasil

analisis

multivariat

menunjukkan

bahwa frekuensi membawa bekal makanan

Tidak Sehat Frekuensi Sarapan Pagi

0,041

0,730*

memiliki hubungan yang paling dekat dengan

Frekuensi Membawa Bekal

0,303

0,009*

pemilihan makanan jajanan. Pada uji Anova diperoleh nilai p = 0,009. Hal ini menunjukkan

Makanan Sekolah Pengetahuan Gizi dan

0,212

0,072**

persamaan regresi yang diperoleh layak untuk digunakan. Hasil analisis data regresi linier

Makanan Jajanan *UjiKorelasi Rank Spearman

didapatkan angka Adjusted R2 = 0,116 yang

**Uji Korelasi Pearson Product Moment

dapat

diartikan

bahwa

11,6%

pemilihan

makanan jajanan dapat dipengaruhi oleh besar Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak

uang jajan di sekolah, besar uang jajan di rumah,

terdapat hubungan yang bermakna antara besar

pengetahuan

uang jajan, baik di sekolah (r = -0,140, p = 0,237)

pendidikan

maupun di rumah (r = -0,057 , p = 0,632) dengan

frekuensi membawa bekal makanan sekolah,

pemilihan makanan jajanan. Demikian pula pada

dan peran media massa, sedangkan 88,4%

hasil analisis pengetahuan tentang gizi dan

dipengaruhi oleh variabel lain. Persamaan

makanan jajanan (r = 212; p = 0,072) dengan

regresi yang didapatkan : Pemilihan makanan

pemilihan makanan jajanan tidak menunjukkan

jajanan = 24,437 + 0,875 (frekuensi membawa

hubungan bermakna.

bekal makanan sekolah). Hal ini berarti setiap

Analisi bivariat menunjukkan tidak terdapat

gizi ibu,

dan

makanan

frekuensi

jajanan,

sarapan

pagi,

peningkatan frekuensi membawa bekal sebesar

ketersediaan

1 kali akan memperbaiki pemilihan makanan

makanan jajanan sehat (r = 0,200 , p = 0,09) dan

jajanan pada anak sekolah dasar sebesar 0,896.

tidak sehat (r = 0,108, p = 0,364) dengan

Nilai signfikansi korelasi yaitu p = 0,009

pemilihan makanan jajanan, demikian pula pada

menunjukkan bahwa frekuensi membawa bekal

variabel lama tahun pendidikan ibu (r = 0,161 , p

makanan

= 0,173).

dengan pemilihan makanan jajanan.

hubungan

bermakna

antara

berhubungan

secara

signifikan

Hasil analisis varabel frekuensi sarapan pagi (r = 0,041, p = 0,730) dengan pemilihan makanan

jajanan

menunjukkan

tidak

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

ada 34


4.

PEMBAHASAN

Pemilihan makanan jajanan merupakan

Makanan jajanan memegang peranan

perwujudan perilaku.9 Faktor yang mempengaruhi

penting dalam memberikan kontribusi tambahan

pemilihan makanan dibagi menjadi tiga kelompok

untuk kecukupan gizi, khususnya energi dan

yaitu faktor terkait makanan, faktor personal, dan

protein. Kebiasaan jajan di sekolah terjadi karena

faktor sosial ekonomi dalam konteks pemilihan

3-4 jam setelah makan pagi perut akan terasa

makanan.

lapar kembali.27 Rendahnya sumbangan zat gizi

kandungan gizi, serta komponen kimia dan fisik

dari makanan jajanan yang disebabkan sebagian

makanan. Faktor personal meliputi persepsi

besar

sensori

anak

sekolah

dasar

mengonsumsi

Faktor

seperti

terkait

aroma,

makanan

rasa,

dan

meliputi

tekstur,

makanan jajanan yang kandungan zat gizinya

sedangkan faktor sosial ekonomi meliputi harga,

kurang bervariasi karena hanya terdiri dari 1 atau

merk, ketersediaan, serta budaya.10

2 jenis zat gizi saja.28 Makanan

Uang saku yang rutin diberikan pada anak

jajanan

sebaiknya

tidak

dapat membentuk sikap dan persepsi anak bahwa

dikonsumsi pada waktu makan utama. Konsumsi

uang saku adalah hak mereka dan mereka bisa

jajanan dapat menjaga kecukupan energi anak

menuntutnya. Kurangnya nasihat dan arahan dari

sebelum waktu makan utama tiba. Namun,

orang tua tentang pemanfaatan uang saku akan

konsumsi jajanan yang berlebihan juga dapat

mendorong anak untuk memanfaatkannya secara

menyebabkan peningkatan berat badan apabila

bebas.31 Pemberian uang saku mempengaruhi

pilihan jajanan berupa makanan yang tinggi kalori,

kebiasaan jajan pada anak usia sekolah. 32

lemak, gula, dan rendah zat gizi yang dibutuhkan

Sebanyak 70 subjek menghabiskan uang

oleh anak-anak. Banyak iklan makanan yang

saku Rp 500 – Rp 5000 untuk membeli jajan di

menawarkan jajanan seperti keripik, kue kering,

sekolah, hanya 1 subjek di antaranya menyatakan

permen, dan minuman soda yang tidak termasuk

tidak pernah jajan di sekolah. Besar uang jajan

pilihan jajanan yang baik.29

yang tertinggi yaitu Rp 10.000. Variasi uang jajan

Pemilihan makanan jajanan merupakan

dapat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi

salah satu bentuk perilaku kesehatan. Perilaku

keluarga subjek yang berbeda-beda. Rerata uang

kesehatan merupakan hal-hal yang berkaitan

jajan subjek dalam sehari di sekolah yaitu Rp

dengan tindakan atau kegiaan seseorang dalam

3611,1. Penelitian sebelumnya di Semarang

memelihara

menyatakan

dan

meningkatkan

kesehatan.

bahwa

rata-rata

siswa

Perilaku sendiri dibentuk melalui suatu proses dan

menghabiskan uang saku sebesar Rp 5.090,91

berlangsung dalam interaksi manusia dengan

per hari untuk membeli makanan jajanan.33 Rerata

lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi

ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rerata

terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua,

pada penelitian ini. Perbedaan angka rerata

yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern

tersebut dapat berkaitan dengan perbedaan

mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi,

karakteristik lokasi penelitian dan karakteristik

emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi

subjek. Subjek menyatakan bahwa tidak seluruh

mengolah rangsang dari luar. Sedangkan faktor

uang saku yang diperoleh dipergunakan untuk

ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik

membeli

maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial

menyatakan bahwa sisa uang saku yang tidak

ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.30

digunakan untuk jajan tetapi ditabung.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

jajanan.

Sebagian

besar

subjek

35


Hasil uji hubungan antara besar uang

yang mempengaruhi proses sosialisasi anak

saku di sekolah dengan pemilihan makanan

menjadi konsumen dalam memergunakan uang

jajanan menunjukkan tidak terdapat hubungan

jajan yaitu teman sebaya, media massa, dan

yang bermakna di antara keduanya. Hal ini dapat

lingkungan tempat tinggal anak.35

dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor dukungan

Hasil uji hubungan antara besar uang

(support) dari pihak lain dapat mendukung

jajan di rumah dengan pemilihan makanan jajanan

perwujudan

ini

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

pemilihan makanan jajanan. Karakteristik anak

yang bermakna di antara keduanya. Hal ini

sekolah dasar yaitu suka meniru orang-orang di

berkaitan dengan faktor ekologi antara lain

sekitarnya termasuk orang tua, guru, dan teman

pengetahuan ibu, kebiasaan makan ibu, durasi

sebaya. Perilaku yang kerap muncul adalah

menonton televisi, dan frekuensi mengonsumsi

meniru teman sebayanya meskipun tidak sesuai

jajanan. Sebuah penelitian di Korea menunjukkan

suatu

dirinya.30

dengan

tindakan

Anak

dalam

hal

sekolah

dasar

bahwa faktor ekologi

berhubungan dengan

daripada

frekuensi anak dalam membeli makanan.34 Hal ini

kandungan gizi dalam membeli jajanan dan

berkaitan dengan faktor dalam keluarga dimana

manis.34

kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah atas

Selain itu, ketersediaan makanan jajanan yang

bimbingan orang tua. Peranan ibu yang paling

sehat menjadi salah satu faktor penting dalam

banyak

menentukan pemilihan makanan jajanan yang

kebiasaan makan anak-anak di dalam rumah. 12

menganggap

rasa

lebih

penting

mereka lebih sering membeli jajanan

sehat pula.16,17

berpengaruh

terhadap

pembentukan

Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan

Besar uang jajan yang diterima subjek di

makanan jajanan adalah sarapan pagi. Sarapan

sekolah dan di rumah berbeda. Rerata besar uang

pagi pada umumnya menyumbang gizi sekitar

jajan subjek di rumah sebesar Rp 1888,9 lebih

25% dari angka kebutuhan gizi sehari. Anak yang

kecil dari pada rerata besar uang jajan di sekolah.

tidak sarapan pagi cenderung mengonsumsi

Tidak seluruh subjek memperoleh uang jajan di

energi dan zat gizi lebih sedikit daripada anak

rumah. Subjek yang tidak memperoleh uang jajan

yang sarapan pagi.36 Hasil uji hubungan antara

di rumah sebanyak 28 subjek (38,4%). Hal ini

frekuensi

menunjukkan bahwa tidak semua orang tua

makanan jajanan menunjukkan angka p = 0,730

memberikan kelonggaran kepada anaknya untuk

berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang

membeli

konsumen masa

signifikan antara kedua variabel tersebut. Hasil

kanak-kanak (childhood consumer socialization)

penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar

mengacu pada proses di mana anak memperoleh

subjek (71,2%) selalu sarapan pagi setiap hari.

kedewasaan, pengetahuan, dan sikap yang

Frekuensi sarapan pagi pada subjek tidak

relevan

sebagai

berkaitan dengan kebiasaan jajan di sekolah. Hal

konsumen, dalam hal ini konsumen makanan

ini ditunjukkan dengan hasil bahwa terdapat 50

jajanan. Agen sosialisasi anak sebagai konsumen

subjek yang tetap membeli jajan di sekolah

yaitu orang tua yang memiliki kontak langsung

walaupun sudah sarapan pagi. Hal ini dapat

dengan anak. Orang tua bertanggung jawab atas

berkaitan dengan banyaknya jam istirahat di

kegiatan anak sebagai konsumen, salah satunya

sekolah, dimana dalam sehari terdapat 2-3 kali

melalui pemberian uang saku. Faktor-faktor lain

jam istirahat. Pada penelitian lain disebutkan

jajan.

dengan

Sosialisasi

fungsi

mereka

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

sarapan

pagi

dengan

pemilihan

36


bahwa anak-anak membeli makanan jajanan

frekuensi membawa bekal makanan ke sekolah,

pada saat jam istirahat sekolah (92,2%) dengan

maka pemilihan makanan jajanan semakin baik.

alasan untuk mengurangi rasa lapar setelah

Dalam penelitian ini, bekal makanan yang dibawa

beberapa jam belajar di kelas.33

ke sekolah adalah bekal makanan yang dibawa

Pada penelitian ini, subjek dengan ibu

dan

dipersiapkan

dari

rumah.

Kebiasaan

yang bekerja lebih banyak daripada ibu yang tidak

membawa bekal makanan merupakan salah satu

bekerja.

faktor pemudah yang mendorong terwujudnya

Ibu

yang

tidak

bekerja

lebih

pemilihan

bagi anaknya, sedangkan ibu yang bekerja tidak

Ketersediaan jajanan tidak sehat seperti jenis

memiliki banyak waktu sebagaimana ibu yang

jajanan tinggi lemak, tinggi natrium, tinggi gula,

tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan adanya

dan minuman bersoda banyak tersedia di kantin

hubungan

ibu,

sekolah, dan gerai jajanan.39 Ketika anak sudah

pengetahuan ibu, dan kesempatan sarapan,

membawa bekal makanan ke sekolah, maka anak

dengan kebiasaan sarapan.37

cenderung mengonsumsi bekal makanan yang

antara

jenis

pekerjaan

Selain sarapan pagi, frekuensi membawa bekal makanan

pada

anak

ketika sekolah

makanan

jajanan

yang

baik.30

berkesempatan untuk menyediakan sarapan pagi

dibawa dari rumah. Oleh karena itu, bekal sekolah dapat

menghindarkan

anak

dari

kebiasaan

memberikan beberapa manfaat antara lain anak-

membeli jajan yang sekaligus menghindarkan

anak dapat dihindarkan dari gangguan rasa

anak dari bahaya jajanan yang tidak sehat dan

lapar.12

tidak aman.12

Pada penelitian ini, sebanyak 58 subjek

(79,45%) membawa bekal ke sekolah sedangkan

Pengetahuan juga salah satu faktor yang

sisanya sebanyak 15 subjek mengaku tidak

mempengaruhi

pernah membawa bekal makanan ke sekolah. Di

Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi

antara 58 subjek tersebut, sebagian besar subjek

setelah orang melakukan penginderaan terhadap

(69,9%) membawa bekal dengan frekuensi 1-3

suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

kali/minggu

pancaindera

(kadang-kadang).

Frekuensi

ini

pemilihan

manusia.

makanan

Sebagian

jajanan.

besar

berhubungan dengan kegiatan subjek di sekolah.

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

Subjek menyatakan bahwa mereka membawa

telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan

bekal makanan terutama pada hari Senin – Rabu,

domain yang sangat penting untuk terbentuknya

karena pada hari tersebut, subjek menghabiskan

tindakan seseorang (overt behaviour). Hal ini

banyak waktu di sekolah berkaitan dengan

didasarkan pada pengalaman berbagai penelitian

adanya jam tambahan pelajaran di sekolah (les).

yang menyatakan bahwa perilaku yang didasari

Bekal

makanan

pengetahuan akan lebih tahan lama daripada

tambahan karena kebutuhan gizi anak yang

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

semakin

Pengetahuan termasuk di dalamnya pengetahuan

makanan

dapat

meningkat

menjadi

sedangkan

saluran cerna anak masih

kemampuan

terbatas.38

Hasil uji hubungan frekuensi membawa

gizi, jajan, dan makanan jajanan dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal.30

bekal makanan dengan pemilihan makanan

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa

jajanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan

sebagian besar subjek yaitu sebanyak 33 subjek

yang signifikan antara kedua variabel tersebut.

(45,2%) memiliki pengetahuan tentang gizi dan

Hubungan yang diperoleh yaitu semakin sering

makanan jajanan dengan kategori sedang dan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

37


masih ada subjek yang masuk dalam kategori

tentang gizi dan ditunjang dengan pendidikan

kurang yaitu sebanyak 20 subjek (27,4%). Masih

yang tinggi, maka dalam memilih maupun

kurangnya pengetahuan anak tentang gizi dan

memberikan makanan kepada anaknya semakin

makanan

baik.12

jajanan

dapat

disebabkan

oleh

kurangnya sumber internal atau pengalaman yang

Mayoritas ibu subjek telah menempuh

diperoleh dari berbagai sumber misalnya media

pendidikan formal yang cukup. Hal ini dapat dilihat

massa, media elektronik, buku, maupun dari

dari jenjang pendidikan yang paling banyak

sumber eksternal yaitu yang berasal dari orang

ditempuh oleh ibu subjek yaitu SMA/MA sebanyak

lain,

27

misalnya

pendidikan

gizi

yang

dapat

menambah pengetahuan anak.40

subjek

(37,0%)

dan

yang

menempuh

pendidikan sekolah dasar hanya 1 subjek (1,4%).

Hasi uji hubungan antara pengetahuan

Distribusi pendidikan ibu subjek yang diperoleh

tentang gizi dan makanan jajanan dengan

dari hasil penelitian ini cukup beragam mulai dari

pemilihan makanan jajanan menunjukkana angka

jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi

signifikansi 0,072 yang berarti bahwa tidak

strata dua (S2). Keragaman pendidikan ibu ini

terdapat hubungan bermakna antara kedua

dapat dipengaruhi oleh faktor latar belakang sosial

variabel tersebut. Hal ini karena pengetahuan

dan ekonomi yang bervariasi pada masing-

yang baik belum tentu diwujudkan dalam perilaku

masing keluarga subjek.

yang baik. Terbentuknya suatu perilaku baru

Hasil analisis bivariat antara pendidikan

dimulai pada domain kognitif. Dalam arti, subjek

ibu

tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang

menunjukkan tidak terdapat hubungan yang

berupa materi atau objek di luarnya sehingga

bermakana

menimbulkan pengetahuan baru pada subjek

pemilihan makanan jajanan. Hubungan yang tidak

tersebut dan selanjutnya menimbulkan respons

bermakna tersebut dapat disebabkan oleh proses

batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang

adopsi

diketahui tersebut. Namun, seseorang dapat

Pendidikan

bertindak atau berperilaku tanpa mengetahui

pengetahuan. Pengetahuan merupakan domain

dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan

yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan

kata lain, tindakan (practice)

seseorang

seseorang tidak

harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.30 Pengetahuan

antara

makanan

pendidikan

perilaku

yang

sebagai

(behaviour).

jajanan

ibu

dengan

belum

sempurna.

sumber

informasi

Apabila

penerimaan

perilaku baru atau adopsi perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku

pendidikan. Pendidikan secara umum adalah

tersebut tidak dapat berlangsung lama atau

segala

untuk

bersifat langgeng (long lasting). Kepercayaan, ide,

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok,

dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan

atau masyarakat, sehingga mereka melakukan

emosional atau evaluasi emosional terhadap

pendidikan.41

suatu objek, dan kecenderungan untuk bertindak

Peran orang tua terutama ibu untuk mengarahkan

merupakan komponen yang secara bersama-

anak dalam pemilihan makanan jajanan cukup

sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).

besar.

Namun, suatu sikap belum tentu terwujud dalam

yang

terlepas

pemilihan

dari

upaya

tidak

dengan

direncanakan

apa yang diharapkan oleh pelaku

Pendidikan

gizi

bertujuan

untuk

mengarahkan anak kepada pembiasaan dan cara

suatu

makan yang baik. Ibu dengan pengetahuan luas

mewujudkan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

tindakan

(overt

suatu

sikap,

behaviour). diperlukan

Untuk faktor 38


pendukung

atau

yang

jajanan yang tidak sehat. Oleh sebab itu, jajanan

memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di

sehat sebaiknya tersedia di semua tempat

samping faktor fasilitas, faktor dukungan (support)

terutama di rumah, agar akses anak terhadap

dari

jajanan sehat terjamin.

pihak

lain

suatu

penting

kondisi

untuk

mendukung

terbentuknya suatu tindakan.30

Hasil

Media massa merupakan salah satu

analisis

bivariat

menunjukkan

bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara

faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan

ketersediaan

jajanan. Media massa sebagai media komunikasi

sehat dengan pemilihan makanan jajanan. Hal ini

massa berperan untuk menyampaikan informasi.

karena membentuk pola makan yang lebih sehat

Sumber informasi iklan jajanan yang paling

pada

banyak diakses oleh subjek adalah melalui media

banyak pihak seperti orang tua, keluarga, dan

elektronik berupa televisi. Hampir seluruh subjek

sekolah. Keluarga, terutama orang tua berperan

yaitu sebanyak 69 subjek (94,4%) menggunan

penting terhadap perkembangan pola makan

televisi sebagai sumber informasi iklan jajanan.

anak dan kualitas diet.42 Apabila jajanan sehat

Hal ini karena, sebagai sumber pesan, televisi

tidak tersedia di rumah, maka anak akan mencari

merupakan media audio visual yang paling luas

jajanan di luar rumah yang sebagian besar

jangkauannya.

terdapat

merupakan jajanan yang tidak sehat. Anak-anak

visualisasi, figur, serta bentuk yang menarik

belum dapat membedakan makanan yang sehat

sehingga sasaran dapat lebih mudah dalam

dan

menyerap informasi yang disampaikan. Menonton

membutuhkan pendampingan orang tua dalam

televisi juga tidak memerlukan keterampilan

memilih makanan jajanan di luar rumah. Pengaruh

khusus sebagaimana internet dan relatif lebih

teman sebaya merupakan faktor sosial yang juga

murah dibandingkan media sejenisnya.30

mempengaruhi

Pada

media

ini

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pemilihan

makanan

jajanan

adalah

faktor

ketersediaan. Ketersediaan makanan jajanan

jajanan baik sehat maupun tidak

anak-anak

tidak

Meniru

atau

sehat

membutuhkan

dengan

pemilihan

keterlibatan

baik,

sehingga

makanan

mempelajari

kebiasaan

jajanan. teman

sebaya mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih jajanan.43

dapat diartikan apakah jajanan tersedia di lingkungan anak-anak dalam kehidupan sehari-

Faktor yang Paling Berhubungan dengan

hari, termasuk dijual di pertokoan dekat rumah,

Pemilihan Makanan Jajanan

lingkungan sekolah, terdapat di rumah, dan dibeli oleh

anak-anak.16

Hasil analisis multivariat menunjukkan

Berdasarkan hasil penelitian

bahwa frekuensi membawa bekal makanan

yang diperoleh, dapat diketahui bahwa jajanan

memiliki hubungan yang paling dekat dengan

sehat banyak tersedia di rumah dan sebaliknya,

pemilihan makanan jajanan. Persamaan regresi

jajanan tidak sehat banyak dijumpai baik di

yang didapatkan sebagai berikut : Pemilihan

lingkungan rumah maupun di sekolah/sekitar

makanan jajanan = 24,437 + 0,875 (frekuensi

sekolah.

sehat

membawa bekal makanan sekolah). Hal ini berarti

dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan

setiap peningkatan frekuensi membawa bekal

Konsumsi

kesempatan

untuk

jajanan membeli.16

tidak

Ketersediaan

makanan sebesar 1 kali akan memperbaiki

makanan jajanan di rumah dapat menjadi faktor

pemilihan makanan jajanan pada anak sekolah

protektif agar anak terhindar dari mengonsumsi

dasar sebesar 0,875. Hal ini karena pemilihan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

39


makanan jajanan merupakan bentuk penerapan kebiasaan bekal

makan.44

makanan

Anak-anak yang membawa dari

sikap,

pengetahuan tentang

kepercayaan,

dan

makanan.43

Frekuensi membawa bekal makanan

menyediakan waktu lebih banyak untuk makan

adalah kebiasaan yang berkaitan dengan faktor

tanpa meningkatkan tingkat konsumsi mereka,

biologis

sehingga anak juga dapat meluangkan waktu

mempengaruhi

lebih

memperhatikan

biologis dalam hal ini yaitu rasa lapar. Sistem saraf

makanannya.36 Kebiasaan makan merupakan

pusat berperan dalam mengontrol keseimbangan

cara individu atau kelompok masyarakat dalam

antara rasa lapar, stimulasi nafsu makan, dan

memilih,

asupan makanan.

untuk

mengonsumsi,

rumah

psikologis,

dapat

banyak

sehat

faktor

dan

menggunakan

makanan yang tersedia, yang didasarkan pada latar

belakang

salah

pemilihan

47

satu

faktor

makanan.

yang Faktor

Ketika berada di sekolah,

anak berada di antara waktu makan pagi dan

Kebiasaan

waktu makan siang sehingga sering timbul rasa

membawa bekal makanan yang baik merupakan

lapar yang mendorong anak untuk mengonsumsi

salah satu penerapan kebiasaan makan yang baik

jajanan. Akibatnya, anak jajan di sekolah sekadar

yang dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi

untuk

saat di sekolah sekaligus mengajarkan contoh

mempertimbangkan mutu dan keseimbangan

makanan

sosial

budaya.44

sebagai

yang

sehat.45

Oleh

rasa

lapar

tanpa

itu,

asupan gizi. Kebiasaan membawa bekal ini juga

kebiasaan membawa bekal makanan sehat dapat

terkait dengan faktor ketersediaan, apabila anak

mengurangi

sudah membawa bekal makanan, maka akses

kebiasaan

karena

menghilangkan

jajan

sekaligus

mengurangi pemilihan jajanan yang tidak sehat. Hasil

analisis

data

didapatkan angka Adjusted diartikan bahwa

regresi

linier

sehingga kemungkinan untuk membeli jajan

= 0,116 yang dapat

menjadi lebih kecil. Selain itu, orang tua sebagai

makanan

bagian dari lingkungan sosial budaya dapat

jajanan dapat dipengaruhi oleh variabel dalam

memperkenalkan kebiasaan makan pada anak

penelitian ini, sedangkan 88,6% dipengaruhi oleh

tentang apa, kapan, dan dimana sebaiknya

variabel lain. Hal ini karena pemilihan makanan di

makan. Bekal makanan yang dibawa dari rumah

tingkat individu bersifat kompleks. Pengalaman

ke sekolah merupakan makanan yang dipilihkan

dan

akan

oleh ibu, sedangkan jajanan yang diperoleh di luar

yang

rumah merupakan makanan yang dipilih sendiri

berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Faktor

oleh anak. Dengan demikian frekuensi membawa

utama mencakup idealisme, faktor personal,

bekal makanan dapat mengurangi kebiasaan

sumber daya, konteks sosial, dan konteks

jajan

makanan. Pengaruh tersebut menginformasikan

kemungkinan mengonsumsi jajanan yang tidak

pengembangan berbagai sistem personal untuk

sehat yang banyak tersedia di luar rumah. Selain

memilih makanan dengan menggunakan nilai-nilai

itu, Oleh karena itu, kebiasaan membawa bekal

dan strategi perilaku.46 Pemilihan makanan tidak

makanan hendaknya selalu dipertahankan dan

hanya ditentukan oleh kebutuhan psikologis dan

ditekankan

kebutuhan gizi saja. Beberapa faktor yang

keluarga.12,22,48

perjalanan

mempengaruhi

11,6%

R2

anak terhadap makanan menjadi lebih mudah

hidup

pemilihan

seseorang

faktor-faktor

utama

sehingga

oleh

membantu

orang

tua

mengurangi

dalam

setiap

mempengaruhi pilihan makanan meliputi faktor biologis, faktor ekonomi, faktor fisik, faktor sosial, BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

40


5.

SIMPULAN

pengawasan yang lebih intensif terhadap penjaja

Pada berbagai item pemilihan makanan

makanan

di

lingkungan

Penelitian

jajanan, sebagian besar subjek termasuk dalam

selanjutnya

kategori

anak

jajanan perlu melakukan observasi lebih lanjut

mengenai gizi dan makanan jajanan yang masuk

tentang hubungan masing-masing faktor agar

kategori baik hanya sebesar 24,7%, sebagian

diperoleh hasil yang lebih mendalam.

kadang-kadang.

Pengetahuan

mengenai

sekolah.

pemilihan

makanan

besar masuk dalam kategori sedang (45,2%). Seluruh

ibu

berpendidikan

cukup

dengan

sebagian besar menempuh pendidikan tingkat

7.

DAFTAR PUSTAKA 1. Winarno

FG.

Makanan

Jajanan.

SMA (37%). Besar uang jajan di sekolah

Laporan Akhir Proyek Makanan jajanan.

mayoirtas (95,9%) berkisar antara Rp 500 – Rp

Bogor: Institut pertanian Bogor; 1993.

5000 dengan rerata Rp 3611,1 ± 1789,136. Besar

2. Februhartanti J. Amankah makanan

uang jajan di rumah sebagian besar berkisar

jajanan anak sekolah di Indonesia?.

antara Rp 500 – Rp 2500. Frekuensi sarapan pagi

[serial online] 2004 [Diakses 21 Januari

setiap hari terdapat pada sebagian besar anak

2011].

(71,2%), sedangkan frekuensi membawa bekal

http://www.gizi.net.

Tersedia

dari:

URL:

sebagian besar (69,9%) termasuk dalam kategori

3. Winarno FG. Potensi dan masalah

kadang-kadang (1-3 kali/minggu). Jajanan sehat

makanan jajanan. Dalam: Keamanan

banyak ditemukan di rumah, sedangkan jajanan

pangan.

tidak sehat banyak ditemukan di luar rumah

Institut Pertanian Bogor; 1997. Hal. 98.

Naskah

akademis.

Bogor:

terutama di sekitar sekolah. Frekuensi membawa

4. Hidayat TS, Mujianto TT, Susanto D.

bekal makanan ke sekolah merupakan faktor yang

Pola kebiasaan jajan murid Sekolah

paling berhubungan dengan pemilihan makanan

Dasar

jajanan pada anak sekolah dasar.

jajanan tradisional di lingkungan sekolah

dan

ketersediaan

makanan

di Propinsi Jawa Tengah dan D. I. 6.

SARAN

Yogyakarta.

Widyakarya

Nasional

Peran orang tua murid dalam mendidik

Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta:

dan memberikan pendidikan gizi diluar pendidikan

Kantor Mentri Negara Urusan Pangan

formal sekolah perlu ditingkatkan agar anak dapat

Republik Indonesia;1995.hal.597-602.

memilih dan membedakan antara makanan

5. Rahmi

AA,

Muis

jajanan

SF.

Kontribusi

jajanan sehat dan tidak sehat. Orang tua

makanan

terhadap

tingkat

hendaknya menyediakan jajanan sehat di rumah

kecukupan energi dan protein serta

agar anak terhindar dari mengonsumsi jajanan

status gizi anak Sekolah Dasar Siliwangi

tidak sehat yang banyak terdapat di luar rumah.

Semarang. Media Medika Muda 2005;1:

Kebiasaan membawa bekal makanan sekolah

55-59.

dan sarapan pagi juga perlu dibiasakan setiap hari

6. Adair LS, Popkin BM. Are child eating

untuk mengurangi kemungkinan membeli jajanan.

patterns being transformed globally?.

Peran pihak sekolah dapat melalui penyampaian

Obesity Research. 2005; 13. p. 1281–

informasi mengenai pemilihan makanan jajanan,

1299.

pemasangan

poster-poster

kesehatan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

dan 41


7. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia.

Jajanan

Anak

sekolah. Sistem Keamanan Pangan

students. J School Health: 1984:54:280291. 16. Hang CM,Lin W,Yang HC, Pan WH. The relationship between snack intake and

Terpadu 2007; 1. 8. FAO. Street foods (FAO food and

its availability of 4th-6th graders in Taiwan.

nutrition paper) – Alimentation de rue

Asia Pac J Clin Nutr 2007;16. p. 547-

(etude FAO alimentation et nutrition) –

553.

Ahmentos que se venden en lavia

17. PeiLin H. Factors influencing students'

publica (Estudio FAO alimentaciony

decisions

nutricion). Report of An FAO Technical

unhealthy snacks at the University of

Meeting On Street Food. India-Roma.

Newcastle, Australia. Journal of Nursing

1997.

Research 2004; 12(2). p. 83-91.

9. Notoatmodjo S. Prinsip-prinsip dasar ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. Hal. 205.

to

choose

healthy

or

18. Budiyanto FX. Perilaku konsumen. Edisi 6. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. 19. Tyas ES. Gambaran perilaku jajan murid

10. Shepherd R, Sparks P. Modelling food

sekolah

dasar

di

Jakarta.

Jurnal

chioce. In: MacFie HJH, Thomson DMH.

Psikobuana Fakultas Atmajaya Jakarta

Measurement of Food Preferences.

2009;1:29-38.

Gaithersburg, MD: Aspen, 1999. 11. Mahfoedz I, Suryani S. Pendidikan kesehatan

bagian

dari

kesehatan.

Yogyakarta:

20. Rahayu TP. Politik identitas anak-anak dalam iklan anak-anak. Ilmu komunikasi

promosi

FISIP Unair Surabaya [serial online]

Fitramaya,

2003 [Diakses 17April 2011]. Tersedia

2007. Hal. 8-73.

dari: URL: http://www.jurnal.unair.ac.id.

12. Handayani N. Peran orang tua, sekolah,

21. Halford JCG, Boyland EJ, Hughes GM,

dan pedagang pada makanan jajanan

Stacey L, Kean SM, Dovey TM. Beyond-

anak [serial online]. 19 Jan 2009

brand

effect

of

[Diakses 2 Apr 2011]. Tersedia dari:

advertisement

on

URL: http://www.jurnal.pdii.lipi.go.id.

children: the effect of weight status.

13. Almatsier S, editor. Penuntun diit anak.

Public Health Nutrition;2007:11(9). p.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2003. Hal. 18-19. 14. Bandura A. Social foundation of thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs NJ: Prentice Hall, 1986.

television food

choice

food in

897-904. 22. Khomsan

A.

Teknik

pengukuran

pengetahuan. Bogor: Institut Pertanian Bogor;2000. Hal.30-35. 23. Department of Nutrition Services, The Ohio State University University Medical

15. Simon, Morton BC, Coates TJ, Saylor

center. Heart healthy diet: low fat, low

KE, Seroghy E, Barofsky I. Great

cholesterol, low sodium diet [serial

sensation: A program to encourage

online] Sept 30 2010 [Diakses pada Aug

heart healthy snacking by high school

8

2011].

Tersedia

dari

:

URL:http://www.ohio.edu BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

42


24. Whitney E, Rolfes SR. Understanding nutrition. 11th Ed. United States of America : Thomson Wadsworth; 2005. p.111,121,157,411-412. 25. Marliyati Kudapan

SA.

Formulasi PMT-AS,

Pengembangan

Makanan Pelatihan

Teknologi

dan

keamanan makanan kudapan, Bogor. 1999. 26. The British Dietetic Association. Food Fact Sheet: Sugar [serial online] May 2010 [Diakses Aug 8 2011]. Tersedia: URL:http//:www.bda.uk.com/foodfacts 27. Sihadi. Makanan jajanan bagi Anak sekolah.

Jurnal

Kedokteran

Yarsi;2004:12 (2).

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

43


Research

FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN POLA ASUH PEMBERIAN MP-ASI UNTUK BAYI USIA 6-11 BULAN DI LINGKUNGAN PADAT PENDUDUK KELURAHAN CIPINANG MELAYU JAKARTA TIMUR Eldina Christiani*, Paramitha Wirdani N. Marlina*

*STIK Saint Carolus

ABSTRACT Conditions of malnutrition in infants, aged 0-24 months can be caused by improper parenting in the provision of complementary feeding (MP-ASI) in quality and quantity. The objective of this study is to analyze the factors associated with parenting complementary feeding for baby ages 6-11 months in densely populated urban village Environment Cipinang Melayu in East Jakarta. This research was designed with cross sectional study with sample size was 60 baby ages 6-11 months. This research was conducted at in Densely Populated Urban Village Environment Cipinang Melayu in East Jakarta from January to June 2013. Primery and secondary data were collected in this research. The result showed that significant correlation between mother’s education (p-value=0,020) and per capita income family (p-value=0,021) with mother’s knowledge and parenting complementary feeding in terms of variety of complementary feeding with protein intake (p-value=0,022). The results showed that there was no significant correlation between maternal knowledge and local eating culture (p-value>0,05) with parenting complementary feeding. Found that the provision of parenting complementary feeding is not affected by the level of mother knowledge and the local food culture. Keywords : Parenting Complementary Feeding, Baby ages 6-11 months, Desenly populated

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

44


1.

PENDAHULUAN Krisis

kenaikan

besar otak telah mencapai 70% dari otak orang

ekonomi

global

harga-harga

menghambat

pangan

dinamakan

masa

“The

Golden

Period�.

Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2007, di

(Hardono 2012). Kemiskinan memberi dampak

DKI Jakarta khususnya Jakarta Timur angka

negatif dari kualitas pelayanan kesehatan,

status gizi kurang pada balita yaitu sebesar

tingkat pendidikan dan menurunkan daya beli

13,3%. Hal tersebut perlu diperhatikan agar

masyarakat termasuk daya beli makanan.

tidak menjadi masalah kronis.

2010

penurunan

dan

dewasa (Roesli 2005). Masa usia 6-24 bulan

kemiskinan

Riskesdas

laju

memicu

melaporkan

status

gizi

Banyak

faktor

yang

dapat

underweight, stunting dan wasting pada balita

mempengaruhi pemberian MP-ASI di rumah,

antara

salah

perkotaan

dan

pedesaan

hanya

satunya

ialah

pengetahuan

ibu.

memiliki selisih antara 3-9% (Kemenkes 2011).

Pengetahuan gizi ibu yang kurang dapat

Melihat hal tersebut, ternyata masih

disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu usia,

banyak balita yang mengalami status gizi

pendidikan, keterpaparan media informasi dan

kurang di daerah perkotaan yang terlihat lebih

sosial ekonomi. Selain itu, kota Jakarta Timur

maju dibandingkan pedesaan. Namun, dengan

dipilih karena merupakan kota yang memiliki

kemajuan tersebut banyak masyarakat yang

komposisi jumlah penduduk paling padat

tidak peduli dengan pentingnya kesehatan dan

dibandingkan

gizi.

untuk

sebesar 27% dibandingkan Jakarta Utara,

melihat

Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta

kesehatan dan gizi dari anak-anak penerus

Pusat yang masing-masing sebesar 16%,

bangsa. Jika dibandingkan dengan di desa,

24%, 23% dan 10% (BPS 2006). Oleh karena

akses

itu, penulis tertarik untuk mengetahui faktor-

Masyarakat

mencapai

kesuksesan

kesehatan

dijangkau Kondisi

berlomba-lomba

dan

di

kota

fasilitas

tersebut

tanpa

lebih

lebih

mudah

mencukupi.

tidaksemata-mata

faktor

yang

kota

terkait

Jakarta

lainnya

dengan

pola

yaitu

asuh

dapat

pemberian MP-ASI untuk bayi usia 6-11 bulan

menghilangkan masalah gizi yang timbul pada

di lingkungan padat penduduk Kelurahan

masyarakat terlebih anak-anak di perkotaan.

Cipinang Melayu Jakarta Timur.

Orang tua yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena bekerja, sehingga

2.

METODE

kualitas waktu bersama anak menjadi kurang.

2.1. Populasi dan Sampel

Kesehatan dan gizi merupakan faktor

Populasi dalam penelitian ini adalah

yang berpengaruh secara langsung pada

keluarga yang memiliki anak usia 6-11 bulan

kualitas

sumber

yang

sumber

daya

daya manusia

manusia.

Kualitas

ditentukan

oleh

terdapat

Kelurahan

di

Cipinang

lingkungan Melayu,

perkotaan Kecamatan

kecukupan akan zat gizi yang diperoleh dari

Makasar yang terdiri dari RW 3, RW 9 dan RW

makanan yang dikonsumsinya sejak janin

12. Responden adalah ibu yang memiliki anak

dalam kandungan. Saat bayi berusia 1 tahun,

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

45


usia 6-11 bulan. Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 6-11 bulan.

Pengumpulan data primer dilakukan melalui interview dengan kuesioner, observasi

Besar sampel minimal pada penelitian

dan pengukuran antropometri secara langsung

ini dihitung berdasarkan rumus Slovin :

sedangkan data sekunder diperoleh dari data

n

N

demografi lingkungan setempat. Data primer

1 + N(e)2

terdiri dari karakteristik orang tua, karakteristik

70

bayi, pengetahuan ibu, media informasi,

1 + 70(0,05)2

asupan zat gizi, status gizi dan budaya makan

=

=

= 60

. 2.4. Instrumen Penelitian

Keterangan : n

= Jumlah sampel

Instrumen

yang

digunakan

pada

N

= Populasi (70 dari RW 3, 9 dan 12)

penelitian ini antara lain kuesioner sebagai alat

e

= Presisi (5%)

bantu dalam interview mengenai karakteristik keluarga, karakteristik anak, media informasi,

Penanggulangan apabila ada sampel

pengetahuan ibu dan pola asuh pemberian

yang drop out, maka perhitungan sampel

MP-ASI. Selain itu, form recall 1x24 jam

ditambah 10% dari jumlah minimal sampel

sebagai alat bantu dalam mengetahui asupan

yaitu sebanyak 6 sampel. Total sampel yang

MP-ASI dan dapat terlihat ragam

didapat ialah sebanyak 66 sampel. Setelah

diberikan ibu apakah makanan yang diolah

melalui proses cleaning, sampel dari 66

sendiri

menjadi 60 sampel. Cara pengambilan sampel

diberikan ibu kepada anak usia 6-11 bulan.

pada penelitian ini dilakukan dengan metode

Adapun

memilih lokasi pengambilan sampel secara

pengukuran berat badan anak menggunakan

purposif.

timbangan

Metode

ini

digunakan

dengan

maksud atau tujuan tertentu dan berdasarkan pertimbangan penentuan

peneliti,

jumlah

sedangkan

sampel

atau

makanan

pengukuran

bayi

komersial

antropometri

dan

panjang

yang

yang

yaitu

badan

menggunakan alat ukur kayu.

dalam

menggunakan

simple random sampling.

2.5. Analisis Data Analisa

univariat

dilakukan

untuk

menyajikan dan mendeskripsikan sebaran 2.2. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

variabel dalam bentuk persen dan sebaran

Penelitian ini berlokasi di lingkungan

yang diteliti dalam kuesioner. Analisis bivariat

padat penduduk Kelurahan Cipinang Melayu

dilakukan untuk menguji dan menjelaskan

Jakarta Timur. Waktu penelitian dilakukan

hubungan antara variabel independen dan

selama 5 bulan yaitu bulan Januari sampai

variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan

dengan Juni 2013.

dengan menggunakan uji korelasi Spearman dengan Confident Interval 95% atau Îą=0,05.

2.3. Pengumpulan Data

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

46


penelitian 3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

ialah

Rp

838.111,00

Âą

Rp

512.820,00. Tingkat pendapatan menentukan

1.1. Karakteristik Keluarga

kuantitas

Usia orang tua dikategorikan menjadi

dan

dikonsumsi.

kualitas

Berdasarkan

makanan hasil

yang

penelitian

dua yaitu dewasa muda (20-39 tahun) dan

diperoleh bahwa hampir semua keluarga

dewasa

sampel

madya

keseluruhan

(40-65

keluarga

kecil.

Hasil

32,13Âą5,85 tahun dan rata-rata usia ibu ialah

sampel termasuk dalam keluarga kecil yang

28,62Âą4,76 tahun. Hal tersebut menunjukan

memungkinkan pembagian perhatian pada

bahwa usia ayah dan ibu termasuk dalam

masing-masing anggota keluarga semakin

kategori dewasa muda. Usia dewasa muda ini

merata.

memperhatikan

ibu

kebutuhan

ayah

tergolong

penelitian menunjukan bahwa sebagian besar

menjadikan

usia

Secara ialah

biasanya

rata-rata

tahun).

untuk dirinya

lebih sendiri

1.2. Karakteristik Anak

dibandingkan kepentingan anaknya sehingga

Sebaran

sampel

penelitian

dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas

berdasarkan jenis kelamin, terlihat dari seluruh

pengasuhan

tua

sampel terbagi menjadi dua yaitu 50% laki-laki

memiliki keterkaitan dengan kehidupan sosial

dan 50% perempuan. Penelitian Conn JA et al.

ekonomi dan kesehatan. Pekerjaan orang tua

(2009) menyebutkan bahwa perbedaan antara

dikategorikan

tidak

anak laki-laki dan perempuan ialah perbedaan

bekerja. Diketahui bahwa seluruh ayah bekerja

dalam hal ukuran konsumsinya. Bila dilihat dari

dan sebagian besar

Gambar 5.8 sebagian besar sampel termasuk

anak.

Pekerjaan

menjadi

bekerja

orang

dan

ibu tidak bekerja atau

sebagai ibu rumah tangga Ibu yang bekerja

dalam golongan usia 9-11 bulan.

cenderung mempercayakan anak mereka diawasi oleh anggota keluarga lainnya yang

1.3. Media Informasi

biasanya adalah nenek, saudara perempuan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui

atau anak yang sudah lebih besar (Mahlia

bahwa hampir sebagian besar dari ibu sudah

2009).

terpapar informasi terkait MP-ASI. Penelitian Berdasarkan hasil

yang

diperoleh

Hardinsyah (2007) menyatakan semakin tinggi

pada Gambar 5.4 terlihat bahwa hampir semua

pendidikan seseorang, semakin banyak media

orang tua dari sampel tergolong dalam

massa yang ia manfaatkan sebagai sumber

pendidikan menengah. Namun, bila dianalisis

infomasi guna menambah pengetahuannya.

berdasarkan UU pendidikan No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6

1.4. Pengetahuan Ibu

ayat 1 diperoleh hasil sebanyak 76,7% ayah

Berdasarkan hasil penelitian diketahui

sampel dan 86,7% ibu sampel telah mengikuti

hampir seluruh ibu memiliki pengetahuan yang

program Wajar 9 tahun. Hasil penelitian

kurang

menunjukan bahwa hampir seluruh keluarga

menunjukan bahwa rata-rata nilai ibu tergolong

memiliki pendapatan per kapita di atas US$

kurang yaitu 45,3 Âą 16,41, dengan nilai

2/hari. Rata-rata pendapatan per kapita pada

minimum ibu yaitu 10 poin dan nilai maksimum

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

yaitu

sebanyak

86,7%.

Hasil

47


ibu

70

poin.

Tingkat

pengetahuan

gizi

(Emiralda 2007). Hasil penelitian menunjukan

seseorang berpengaruh terhadap sikap dan

bahwa sebagian besar ibu sampel (55%)

perilaku dalam memilih makanan yang pada

melakukan pola asuh pemberian MP-ASI

akhirnya akan berpengaruh pada keadaan

dalam hal frekuensi makan secara tepat.

gizinya (Khomsan 2007). Berdasarkan analisis

Depkes (2005) menyatakan bahwa frekuensi

dapat diketahui bahwa pertanyaan yang paling

makan anak dalam sehari disesuaikan dengan

banyak (78,3%) ibu menjawab dengan benar

usia anak sehingga asupan anak tersebut

ialah usia anak untuk mendapatkan MP-ASI

dapat

yaitu ≼6 bulan. Selain itu, pertanyaan yang

pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain

paling sedikit (20%) ibu menjawab dengan

itu, sebagian besar ibu sampel memberikan

benar adalah pengaruh memberikan MP-ASI

MP-ASI hasil olahan sendiri. Banyaknya ibu

setelah usia 6 bulan yaitu asupan anak

yang memberikan MP-ASI hasil olahan sendiri

menjadi tidak mencukupi.

dimungkinkan dengan sebagian besar ibu

mencukupi

kebutuhan

untuk

(86,7%) adalah ibu rumah tangga. Hal ini 1.5. Budaya Makan Setempat Sampel

menunjukan bahwa waktu yang dimiliki ibu

Berdasarkan hasil penelitian diketahui

relatif lebih banyak untuk mengasuh anak

hampir seluruh dari ibu sampel sudah tidak

dalam pola asuh makannya dibandingkan ibu

percaya

yang bekerja.

ataupun

memiliki

kepercayaan

terhadap makanan tabu yaitu ada sebanyak 78,3%. Hal ini dikarenakan lingkungan tempat

1.7. Asupan Zat Gizi Sampel

tinggal ibu yang sudah berada di perkotaan.

Asupan zat gizi berpengaruh terhadap

Adat dan kebiasaan yang berasal dari suku

status gizi seseorang, dengan memperoleh

tertentu karena proses waktu yang lama akan

cukup zat gizi yang diperlukan yang digunakan

merubah perilaku individu atau keluarga yang

secara

menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan

tinggal yang baru (Yudi H 2008).

kesehatan (Almatsier 2004). Dilihat dari hasil

efisien,

sehingga

memungkinkan

penelitian bahwa sebagian besar sampel 1.6. Pola Asuh Pemberian MP-ASI Sampel

memiliki

tingkat

kecukupan

energi

lebih

Berdasarkan hasil penelitian dapat

(68,8%). Rata-rata asupan energi sampel ialah

diketahui bahwa sebagian besar ibu sampel

729,68Âą220,5 kkal. Hasil penelitian Jingxiong J

tepat dalam memberikan jenis MP-ASI yang

et al. (2008) di Beijing China menunjukan

sesuai dengan usia bayi yaitu sebanyak

bahwa asupan energi yang berlebihan lebih

58,3%. Jenis makanan adalah salah satu

beresiko untuk mengalami kelebihan berat

faktor yang perlu diperhatikan dalam pola asuh

badan, dan juga bila anak telah diberikan susu

makan anak karena pada usia balita organ

formula ataupun makanan semi padat sebelum

tubuh anak masih dalam tahap pertumbuhan

usia 4 bulan.

dan

perkembangan

termasuk

saluran

Selain itu berdasarkan hasil penelitian

pencernaan, sehingga kemampuan untuk

didapatkan juga sebagian besar

mencerna makanan masih sangat terbatas

memiliki tingkat kecukupan protein lebih. Rata-

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

sampel

48


rata asupan protein sampel ialah 21,05Âą9,56g. dengan status gizi anak balita. Artinya dengan Bila ditelaah lebih lanjut pada sampel yang pendapatan keluarga besar, maka balita pasti tergolong tidak normal tersebut ditemukan akan mendapatkan gizi yang baik pula. Sejalan adanya kombinasi asupan yang terdiri dari dengan penelitian Khotimah NN et al. (2012) kombinasi ASI, susu formula dan MP-ASI serta pada umumnya balita yang berstatus gizi baik kombinasi susu formula dan MP-ASI. Ada biasanya memiliki pola makan yang baik pula sebanyak

28,1%

sampel

mengkonsumsi karena pola makan merupakan salah satu faktor

kombinasi ASI, susu formula dan MP-ASI yang mempengaruhi status gizi. dengan jumlah susu formula rata-rata setiap harinya sebanyak 41,75g. Selain itu ada 37,5% sampel

mengkonsumsi

kombinasi

susu

formula dan MP-ASI dengan jumlah susu formula rata-rata setiap harinya sebanyak 119g.

Berdasarkan

Antara

Karakteristik

Keluarga dengan Pengetahuan Ibu Berdasarkan

hasil

uji

diketahui bahwa susu formula menyumbang

hubungan

protein lebih tinggi dibandingkan ASI. Hal ini

pendidikan ibu dan pendapatan per kapita

sesuai

yang

dengan pengetahuan ibu mengenai MP-

susu

ASI. Hal ini dapat diartikan bahwa

formula, kandungan protein ASI relatif lebih

meningkatnya pengetahuan ibu didukung

rendah,

oleh tingginya pendidikan seorang ibu dan

Nakita

bahwa

tetapi

(2010)

dibandingkan

lebih

seimbang

dengan

kebutuhan bayi.

menunjukkan

korelasi

Spearman

menyatakan

tersebut,

Hubungan

dapat

dengan

data

1.9. Analisis Hubungan

yang

bahwa

signifikan

ada

antara

pendapatan per kapita keluarga. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil uji

1.8. Status Gizi Sampel

statistik sebesar p-value=0,020 untuk

Berdasarkan hasil penelitian diketahui

pendidikan

dan

hampir semua sampel tergolong memiliki status

pekerjaan,

dengan

gizi normal (91,7%). Hal ini juga sejalan dengan

tersebut lebih kecil dari batas p-value

hasil penelitian status gizi anak menurut indeks

dalam penelitian ini yaitu 0,05. Hal ini

BB/U bahwa hampir semua sampel memiliki

sejalan dengan penelitian Octarina et al.

status gizi normal (90%). Berdasarkan status gizi

(2009)

sampel

kategori

hubungan antara pendidikan dan tingkat

berdasarkan indeks BB/PB dan indeks BB/U

pengetahuan dengan p-value= 0,000.

tergolong

Selain itu, biasanya ibu yang memiliki

terlihat

status

bahwa

gizi

dari

dua

normal.

Hal

ini

yang

p-value=0,021 demikian

menyatakan

hasil

adanya

dimungkinkan dengan pendapatan perkapita

dasar

yang mayoritas di atas US$ 2/hari maka

pengetahuan ibu akan bertahan lebih

keluarga dapat memenuhi kebutuhan makan

lama

bayi dengan baik yang akan mempengaruhi

lingkungan semata.

status gizinya. Hal ini sejalan dengan hasil

yang

dibandingkan

cukup,

berdasarkan

Selain itu juga pendapatan per kapita

penelitian Sarah (2008) yang menunjukan

memiliki

bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga

dengan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

pendidikan

untuk

hubungan

yang

pengetahuan

signifikan ibu.

Ini 49


dimungkinkan terjadi, dengan pendapatan

Pekerjaan

ibu

memiliki

per kapita yang memadai maka akses

hubungan

terhadap informasi baik yang verbal

pengetahuan

ataupun nonverbal dapat diperoleh ibu

karena hampir seluruh dari ibu (86,7%)

sehingga menambah pengetahuan ibu.

memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah

Hasil

hasil

tangga). Pekerjaan ibu sebagai ibu rumah

penelitian Nugroho et al. 2012 yang

tangga memungkinkan ibu berinteraksi

menyatakan adanya hubungan antara

hanya

pendapatan dengan tingkat pengetahuan

rumahnya

(p=0,019). Penelitian tersebut memiliki

informasi-informasi dari berbagai pihak

kriteria sampel yang sama yaitu ibu

yang dapat menambah pengetahuannya.

dengan bayi 6-12 bulan.

Selain itu, besar keluarga tidak memiliki

tersebut

Adapun

sejalan

hubungan

dengan

yang

tidak

yang

tidak

signifikan

ibu.

dengan

Ini

dimungkinkan

lingkungan

dan

hubungan

dengan

jarang

yang

sekitar menerima

signifikan

dengan

signifikan antara usia ayah dan ibu,

pengetahuan ibu (p-value=0,208). Ibu

pekerjaan ibu, pendidikan ayah, dan

yang berpengetahuan baik berasal dari

besar keluarga terhadap pengetahuan

keluarga kecil. Hal ini dimungkinkan dari

ibu. Hal ini menunjukan bahwa seiring

waktu yang lebih banyak dimiliki ibu untuk

dengan penambahan umur tidak selalu

mencari dan mendapatkan informasi yang

diikuti

dapat

dengan

penambahan

menambah

pengetahuannya

pengetahuan. Demikian juga dengan

dibandingkan dengan ibu yang berasal

tidak atau bekerjanya ibu tidak selalu

dari keluarga sedang yang memiliki

diikuti

tanggung jawab lebih banyak.

dengan

penambahan

pengetahuan. pengetahuan

Penambahan ibu

juga

tidak

seiring

dengan tinggi rendahnya pendidikan ayah dan besarnya keluarga. Hasil uji statistik

Hubungan

Antara Media Informasi

dengan Pengetahuan Ibu Hasil

penelitian

menunjukan

menunjukan nilai p-value >0,05 dan batas

menunjukan bahwa tidak ada hubungan

dalam penelitian ini ialah 0,05. Hal

antara

tersebut

dari

pengetahuan ibu. Hal ini menunjukan

sehingga

bahwa peningkatan pengetahuan tidak

dalam penelitian belum terlihat adanya

selalu dipengaruhi oleh keterpaparan ibu

hubungan dengan pengetahuan. Hasil

terhadap informasi. Disamping itu hasil uji

tersebut sejalan dengan hasil penelitian

statistik juga menunjukan bahwa nilai p-

Nugroho et al. (2012) bahwa umur tidak

value>0,05. Ini menunjukan bahwa ibu

menggambarkan

yang

responden

disebabkan relatif

sebaran

homogen

pengetahuan

media

informasi

mendapatkan

informasi

dengan

dapat

responden, karena pertambahan umur

meningkatkan pengetahuan yang ibu

responden

miliki. Selain itu, seperti yang telah

tidak

sejalan

dengan

peningkatan pengetahuan responden.

dijelaskan bahwa 66,7% ibu sampel tergolong dalam pendidikan menengah.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

50


Sejalan dengan penelitian Amalia (2009)

hasil bahwa tidak ada hubungan antara

yang

pendidikan

kepercayaan terhadap budaya makan

berhubungan dengan kemampuan dalam

setempat dengan pola asuh pemberian

menerima informasi kesehatan baik dari

MP-ASI (jenis MP-ASI, frekuensi, dan

media

ragam

menyatakan

tingkat

massa

maupun

petugas

kesehatan.

MP-ASI)

Berdasarkan

p-value>0,05.

hal

tersebut

dapat

disimpulkan bahwa pola asuh ibu dalam Hubungan Antara Pengetahuan Ibu

pemberian MP-ASI tidak terpengaruh

dengan Pola Asuh Pemberian MP-ASI

dengan budaya makan setempat. Hal ini

Hasil

uji

korelasi

Spearman

dapat disebabkan lingkungan tempat

menunjukan tidak ada hubungan yang

tinggal ibu

yang berada di daerah

signifikan antara pengetahuan ibu dengan

perkotaan

sehingga

pola asuh pemberian MP-ASI dalam jenis,

beradaptasi dengan adat dan kebiasaan

frekuensi

di

dan

ragam

MP-ASI.

lingkungan

ibu

yang

sudah

baru

dan

Berdasarkan hasil tersebut didapatkan

meninggalkan adat dan kebiasaan yang

bahwa pola asuh pemberian MP-ASI tidak

dibawa dari daerah masing-masing. Hal

terpengaruh

ini

oleh

tinggi

rendahnya

sejalan

dengan

hasil

penelitian

pengetahuan ibu dengan hasil uji statistik

Setijowati

N

et

al.

p-value>0,05. Hasil penelitian serupa juga

menggunakan

uji

spearman

ditemukan pada penelitian yang dilakukan

jumlah sampel 100 balita umur 12-59

oleh

yang

bulan menunjukan bahwa faktor sosial

mendapatkan hasil penelitian bahwa tidak

budaya tidak mempengaruhi pola asuh

ada hubungan nyata pengetahuan gizi ibu

makan karena ada maupun tidak ada

dengan praktek pemberian makanan bayi.

faktor sosial budaya mempunyai pola

Sampel dalam penelitian tersebut ialah 54

asuh makan kurang.

Sinambela

KH

(2000)

(2010)

yang dengan

keluarga yang memiliki anak berumur 0-4 bulan dan hasil dianalisis menggunakan

Hubungan

uji korelasi Spearman. Beda halnya

Pemberian MP-ASI dengan Asupan Zat

dengan hasil penelitian Wati EK &

Gizi

Rahardjo S (2011) dengan uji Chi-Square menunjukan

bahwa

ada

Hasil

Antara

uji

Pola

korelasi

Asuh

Spearman

hubungan

menunjukan tidak ada hubungan yang

pengetahuan gizi dengan pola konsumsi

signifikan antara pola asuh pemberian

makan balita (p-value=0,004).

MP-ASI dalam jenis MP-ASI, frekuensi makan dan ragam MP-ASI dengan tingkat

Hubungan

Antara

Setempat

dengan

Budaya

Makan

Pola

Asuh

Pemberian MP-ASI Berdasarkan

kecukupan

energi

(p-value>0,05).

Berdasarkan tiga hasil jenis, frekuensi dan ragam pemberian MP-ASI tidak

hasil

analisis

memiliki

menggunakan uji Spearman diperoleh

dengan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

hubungan asupan

yang

energi.

signifikan Didapatkan 51


bahwa tingkat kecukupan energi tidak

asuh jenis MP-ASI dan frekuensi MP-ASI

selalu

dengan tingkat kecukupan protein (p-

dipengaruhi

oleh

pola

asuh

pemberian MP-ASI. Namun bila dilihat

value>0,05).

bahwa pada anak yang memiliki tingkat

Kecukupan

asupan

protein

kecukupan energi normal berasal dari

dipengaruhi oleh pola asuh ibu dalam

kelompok

tepat,

pemberian ragam MP-ASI tetapi tidak

MP-ASI

dipengaruhi oleh jenis dan frekuensi

campuran. Hasil tersebut sejalan dengan

pemberian MP-ASI. Hal yang sama juga

hasil penelitian Mariani (2002) dengan

terlihat pada hasil penelitian Mariani

sampel berjumlah 74 anak balita dan

(2002)

ibunya yang menunjukan bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara pola

hubungan signifikan antara pola asuh

asuh makan dengan tingkat kecukupan

makan dengan tingkat kecukupan energi

protein (p-value=0,656). Hasil penelitian

dibuktikan dari nilai p-value=0,901. Hasil

tersebut tidak sejalan dengan penelitian

yang

Masithah et al. (2005) yang menyatakan

jenis

frekuensinya

MP-ASI

sesuai

sama

juga

dan

ditemukan

pada

yang

menunjukan

hasil

korelasi

ada

penelitian Setijowati N et al. (2010) yang

bahwa

menyatakan bahwa pola asuh makan

memperlihatkan ada hubungan antara

tidak mempengaruhi tingkat konsumsi

pola

energi dan protein balita.

kecukupan

asuh

uji

tidak

makan protein

Pearson

dengan batita

tingkat (p<0,05).

Selain itu hasil uji korelasi Spearman

Sampel pada penelitian tersebut ialah 132

menunjukan bahwa ada hubungan yang

rumah tangga yang memiliki anak berusia

signifikan antara pola asuh ragam MP-ASI

12-47 bulan.

dengan tingkat kecukupan protein. Hasil uji

statistik

p-value=0,022

yang

menunjukan bahwa p-value lebih kecil

Hubungan Antara Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi

dari batasan p-value 0,05.Ini ditunjukan

Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur

dari sebaran sampel yang memiliki tingkat

kimia yang terkandung dalam makanan

kecukupan protein yang normal berasal

yang

dari sampel yang diberikan MP-ASI

dalam tubuh secara normal. Zat gizi yang

campuran. Ini dimungkinkan anak yang

telah dikonsumsi tersebut akan digunakan

diberikan MP-ASI olahan sendiri dalam

oleh tubuh untuk mencapai status gizi

satu hari hanya terdiri dari satu menu,

yang optimal (Handono NP 2010). Hasil

sedangkan bila mengkonsumsi MP-ASI

uji korelasi Spearman menunjukan tidak

campuran terdiri dari beberapa menu

ada hubungan yang signifikan antara

yaitu menu yang diolah sendiri dan

asupan energi dan protein dengan status

pabrikan

gizi BB/PB (p-value>0,05). Begitu pula

maka

kecukupan

protein

diperlukan

dengan

Spearman

ada

menunjukan tidak ada hubungan yang

hubungan yang signifikan antara pola

signifikan antara asupan energi dan

tidak

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

uji

metabolisme

terpenuhi. Selain itu, hasil uji korelasi menunjukan

hasil

untuk

spearman

yang

52


protein dengan status gizi BB/U (p-

Dalam penelitian ini ditemukan hasil

value>0,05). Diketahui bahwa status gizi

bahwa pola asuh pemberian MP-ASI tidak

yang normal tidak hanya dipengaruhi oleh

dipengaruhi oleh tinggi rendahnya

normal

pengetahuan ibu serta budaya makan

tidaknya

tingkat

kecukupan

asupan zat gizi. Ini disebabkan sebaran

setempat yang dibuktikan dengan nilai p-

dari sampel relatif homogen sehingga

value >0,05.

dalam

penelitian

ini

belum

terlihat

hubungan antara asupan energi dan

4.2. Saran

protein dengan status gizi. Adapun faktor lain

selain

asupan

zat

gizi

1. Perlu adanya kesadaran keluarga

yang

muda

di

lingkungan

mempengaruhi secara langsung status

Cipinang

gizi yaitu penyakit infeksi.

mengatur pengeluaran keuangan demi

Hasil

tersebut

penelitian

Jata

sejalan D

dengan

(2000)

Melayu

Keluarahan

untuk

dapat

peningkatan ketersediaan pangan di

yang

rumah

tangga

dan

mendukung

menyatakan bahwa tidak ada hubungan

pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi

jumlah konsumsi energi dari MP-ASI

bayi.

dengan

status

gizi

anak.

Adapun

2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut

kemiripan jumlah sampel dalam penelitian

mengenai

yaitu responden

yang berjumlah 47

mendukung terciptanya pola asuh ibu

responden dengan rentang usia antara 4-

keluarga muda dalam pemberian MP-

24 bulan. Hasil penelitian Rosita D (2001)

ASI dan peningkatan pemberdayaan

menunjukan hal yang sama yaitu tidak

masyarakat dalam usaha peningkatan

ada hubungan yang bermakna antara

gizi bayi dan balita.

konsumsi protein dengan status gizi (p-

3. Untuk

sumber

informasi

mengurangi

yang

penyimpangan

value>0,05). Adapun hasil penelitian yang

yang terjadi dalam pemberian MP-ASI,

tidak sejalan yaitu hasil penelitian dari

perlu ada dukungan pihak lingkungan

Pakhri A et al. (2011) bahwa ada

setempat

hubungan yang bermakna antara asupan

menggalakkan mengenai pemberian

energi dengan status gizi anak usia 0-24

MP-ASI pada usia anak ≼6 bulan,

bulan. Hal yang sama juga terjadi pada

karena

penelitian Syukriawati R (2011) dengan uji

dengan kesiapan pencernaan anak

Chi-Square

untuk

yang

menunjukan

p-

value=0,040 yang berarti bahwa ada hubungan

antara

konsumsi

dan

hal

para

tersebut

menerima

kader

untuk

berhubungan

makanan

sesuai

dengan usianya.

protein

dengan status gizi kurang pada anak usia 24-59 bulan.

5.

DAFTAR PUSTAKA 1. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka

4.

SIMPULAN DAN SARAN

Utama.

4.1. Simpulan BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

53


2. Amalia I. 2009. Hubungan antara

Selogiri, Wonogiri. [artikel penelitian].

pendidikan, pendapatan, dan perilaku

Wonogiri : AKPER Giri Satria Husada.

hidup bersih dan sehat (PHBS) pada pedagang

hidangan

istimewa

kampong (HIK) di pasar kliwon dan Jebres

kota

Surakarta.

Surakarta

:

[skripsi]. Universitas

Muhammadiyah. 3. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta.

9. Hardono

GS.

Ketahanan Petani

Pangan

Di

Analisis

RumahTangga

Beberapa

[disertasi].

Bogor

Provinsi.

:

Sekolah

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 10.Jata D. 2000. Hubungan Pengetahuan Dan Praktik Ibu Dalam Pemberian Makanan Pendamping Asi Dengan Status Gizi Anak Umur 4-14 Bulan Di

4. Conn JA, Davies MJ, Walker RB, &

Desa Batuan Kecamatan Sukawati

Moore VM. 2009. Food and Nutrient

Kabupaten

Intakes of 9-month-old Infants in

[skripsi].

Adelaide,

Diponegoro.

Australia.

Public

Health

Nutrition:12(12),2448-2496.] 5. [Depkes] Republik

2012.

Departemen Indonesia.

Gianyar

Propinsi

Semarang

:

Bali.

Universitas

11.JingXiong J, Rosenqvist U, huishan W,

Kesehatan 2005.

Koletxko B, Guangli L, Jing H, greiner

Buku

T. 2008. Relationship of parental

Kesehatan Ibu dan Anak. Bandung :

characteristics and feeding practices

PT. Enka Parahiyangan.

tooverweight in infants and young

6. Emiralda. 2007. Pengaruh Pola Asuh Anak

terhadap

Terjadinya

Balita

Malnutrisi Di wilayah Kerja Puskesmas Montasik

Kecamatan

Montasik

children in Beijing, China. Public Health Nutrition:12(7),973-978. 12.Kementrian Kesehatan. 2011. Laporan Hasil

Riset

Kesehatan

Kabupaten Aceh Besar Tahun 2006.

(Riskesdas)

[tesis]. Medan : Universitas Sumatera

Tahun 2010 . Jakarta: Departemen

Utara.

Kesehatan RI.

7. Hardiansyah. 2007. Review Faktor Determinan

Keragaman

Konsumsi

Provinsi

DKI

Dasar Jakarta

13.Khomsan A. 2007. Teknik Pengukuran Pengetahuan

Gizi.

Masyarakat

55-74.

Keluarga. Bogor : Institut Pertanian

Pengetahuan

pada

Nutrisi,

Sumber

Gizi

Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan 2 (2):

8. Handono NP. 2010. Hubungan Tingkat

dan

Jurusan

Daya

Bogor.

Pola

14.Khotimah NN. Siregar R, Mardiana.

Makan, dan Energi Tingkat Konsumsi

Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dan

dengan Status Gizi Anak Usia Lima

Pola Makan Balita dengan Status Gizi

Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas

Balita (12-59 bulan) di Wilayah Kerja

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

54


Puskesmas Gandus

Gandus

Palembang

Kecamatan 2010.

AIDS Pada Masyarakat Indonesia.

Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6

Buletin Penelitian Sistem Kesehatan -

No.2 Tahun 2012.

Vol 12 No 4: 362-369.

15.Mahlia

Y.

Tahun

Pengetahuan, Sikap Terhadap HIV

2009.

Pengaruh

21.Pakhri A, Fanny L, Faridah S. 2011.

Karakteristik Ibu dan Pola Asuh Makan

Pendidikan

Terhadap

dan

Penimbangan, Asupan Zat Gizi dan

Perkembangan Bayi di Kecamatan

Status Gizi Anak Usia 0-24 Bulan.

Pangkalan Susu Kabupaten Langkat

Media Gizi Pangan, Vol.IX, Ed.1.

Tahun

Pertumbuhan

2008.

[tesis].

Medan

:

Universitas Sumatra Utara.

Makan, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita (studi di Desa Benda Baru Pamulang

Tanggerang

Propinsi Banten). [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

2005. Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi anak Batita Di Desa Mulya Harja. Media Gizi&Keluarga, 29(2):29-39.

Jakarta

:

PT.Gramedia.

2012. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang

ASI

D.

2001. Ibu

Hubungan

tentang

Pola

Energi dan Protein dengan Status Gizi Anak Umur 3-24 Bulan (Studi di Kelurahan

Ngaliyan). :

[skripsi].

Universitas

Negeri

Semarang. 24.Sarah M. 2008. Hubungan Tingkat Sosial

Ekonomi

Dan

Pola

Asuh

Dengan Status Gizi Anak Balita Di Kerja

Puskesmas

Pantai

Cermin Kecamatan

Tanjung

Pura

Kabupaten

Tahun

2008.

Langkat Medan

:

Universitas

Sumatera Utara. 25.Setijowati N, Wirawan NN, Apriyanto

eksklusif

D. 2010. Perbedaan Pola Asuh Makan

dnegan Pemberian MP-ASI Dini di

Pada Berbagai Tingkatan Posyandu

Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo.

terhadap Tingkat Konsumsi Energi

[laporan

dan Protein Balita. Studi Kasus di

penelitian].

ASI

Mengenal

Makanan Sapihan, Tingkat Kecukupan

[skripsi].

19.Nugroho FA, Rasyid HA, Wijayati M.

Menyusui

2005.

Pengetahuan

Wilayah

18.Nakita. 2010. Sehat & Bugar Berkat Seimbang.

23.Rosita

Semarang

17.Masithah T, Soekirman, Martianto D.

Gizi

U.

Keteraturan

Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya.

16.Mariani. 2002. Hubungan Pola Asuh

Kecamatan

22.Roesli

Ibu,

Malang

:

Universitas Brawijaya. 20.Octarina, Hanafi F& Budisuari AM.

Kecamatan Moyo hulu Kabupaten Sumbawa NTB.

2009. Hubungan Antara Karakteristik

26.Sinambela KH. 2000. Faktor-Faktor

Responden, Keadaan Wilayah dengan

yang Berhubungan dengan Praktek

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

55


Pemberian Makanan pada Bayi Umur 0-4 Bulan di Daerah Angka Kematian Bayi Tinggi. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 27.Sisdiknas

2003.

Undang-Undang

Republik Indonesia. 28.Syukriawati R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di Kelurahan Pamulang Barat Kota Tangerang

Selatan

Tahun

2011.

[skripsi]. Jakarta : UIN. 29.Wati EK & Rahardjo S. 2011. Peran Ibu

dalam

Konsumsi

Pembentukan

Makan

Pada

Pola

Balita di

Puskesmas II Sumbang Kabupaten Banyumas.

[prosiding

seminar

nasional]. 30.Yudi H. 2008. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota

Medan.

[tesis].

Medan

:

Universitas Sumatera Utara.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

56


Research

STRATEGI PENERAPAN COUNSELING PREVENTIONDAN RAPID DIAGNOSISNEGLECTEDSOIL-TRANSMITTED HELMINTH DISEASEPADA KLINIK KESEHATAN IBU DAN ANAK SEBAGAI UPAYA KONTROL DAN PENCEGAHAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DAN ANEMIA IBU HAMIL Naili Nur Sa’adah Nuhriawangsa*,Yoga Mulia Pratama**dan Ega Caesaria Pratama Putra*** * Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, (nailinsn@gmail.com) **Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, (zoga_box@yahoo.co.id) *** Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, (caesariaega@gmail.com)

ABSTRAK Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia dan di dunia masih tinggi. Salah satu penyebab tertinggi kematian ibu hamil adalah infeksi STH, dimana infeksi STH ini dapat meningkatkan angka prevalensi kematian bayi. Untuk meminimalisasi dan mengurangi hal tersebut maka kami merancang strategi pengintegrasian antara usaha counseling prevention dan penggunaan rapid diagnosis pada Klinik Kesehatan Ibu dan Anak (KKIA). Selain itu keberhasilan pengintegrasian ini akan menunjang percepatan pencapaian target MDGs yang sedang digalakkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Dari data hasil studi pustaka yang kami peroleh didapatkan faktor yang meningkatkan angka transmisi atau penularan STH pada daerah tropis yang kami rangkum dalam tabel 4.1 dan 4.2. Kemudian kami mensintesis strategi konseling praktis dalam tabel 4.3 yang dapat langsung diterapkan. Konseling menggunakan metode di atas dapat diterapkan pada Klinik Kesehatan Ibu dan Anak di puskesmas dan posyandu. Sedangkan untuk penerapan metode rapid diagnosis dapat dilakukan di puskesmas dengan menyesuaikan keadaan setempat. Penerapan metode ini kami integrasikan ke KKIA yang diharapkan dapat menjadi program terintegrasi secara nasional. Strategi penggabungan antara counseling prevention dan rapid diagnosis dapat diterapkan secara terintegrasi pada KKIA karena secara teoritis merupakan strategi yang efektif dan efisien untuk kontrol dan pencegahan berat badan lahir rendah dan anemia ibu hamil.

ABSTRACT Prevalence of helminthiasis in the world and Indonesia are still increased. One of the most causes of maternal deaths isSoil Transmitted Helminth (STH) infection, which can increase prevalence of infant mortality. To minimize and mitigate these conditions, we devise an integration strategy between prevention counseling efforts and rapid diagnosis on Maternal and Child Health Clinic (MCHC). In addition, this strategy will support the accelerated achievement of Millennium Development Growth (MDGs) that promoted by Indonesian Ministry of Health. Using literature study, we obtained factors that increase the transmission rate of STH in tropical region which summarized in table 1 and 2. Then, we synthesize practical counseling strategies in table 3. that can be directly applied to the MCHC at the health center. As an application of rapid diagnosis method can be done in health centers by adjusting local circumstances. We integrate this method into MCHC which is expected to be national integrated program. Strategies merger between counseling prevention and rapid diagnosis can be applied in an integrated manner on MCHC because theoretically an effective and efficient strategy to controlling and preventing of low birth weight and maternal anemia. Kata Kunci: Soil Transmitted Helminth, ibu hamil, anemia, berat badan lahir rendah, konseling, rapid diagnosis.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

57


1.

PENDAHULUAN

bisa mendiagnosis STH setelah timbul gejala

Infeksi soil-transmitted helminth (STH)

yang berat seperti anemia berat. Padahal untuk

kronis dapat menyebabkan kehilangan zat besi

penyakit seperti STH merupakan penyakit yang

melalui saluran cerna, kekurangan dan/atau

minimal membutuhkan pemeriksaan laboratorium

malabsorpsi nutrisi, yang dapat menyebabkan

mikroskopis

kekurangan zat besi, anemia, dan penyakit

Sedangkan untuk pemeriksaan rapid diagnosis

kekurangan gizi lain.1 Wanita hamil merupakan

merupakan metode pemeriksaan alternatif terpilih

kelompok yang paling terpengaruh oleh karena

karena

infeksi helminth. Data dari Center for Disease

spesifisitas lebih rendah dari uji mikroskopis,

Control and Prevention (CDC) lebih dari 1 juta

tetapi memiliki keunggulan dalam hal biaya yang

orang terinfeksi STH dan 44 juta wanita hamil di

lebih murah dan waktu diagnosis yang lebih cepat.

dunia terinfeksi oleh cacing

tambang.2

untuk

meskipun

penegakan

memiliki

diagnosis.

sensitivitas

dan

Sejak

Sedangkan untuk metode rapid diagnosis sendiri

tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit

penggunaan di klinis masih terbatas5 oleh karena

kecacingan secara berurutan di Indonesia adalah

itu perlu dilakukan studi pustaka rapid diagnosis

sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6

untuk digunakan sebagai penunjang diagnosis di

%.3

klinik kecil seperti Klinik Kesehatan Ibu dan Anak Wanita hamil merupakan kelompok yang

(KKIA) dengan program yang terintegrasi.

paling terpengaruh oleh karena infeksi helminth.

Strategi preventif merupakan strategi

Hal ini dikarenakan pada saat hamil diperlukan

yang paling baik dan hanya membutuhkan sedikit

nutrisi yang lebih. Kekurangan nutrisi pada ibu

biaya untuk mengeliminasi bahkan mengeradikasi

hamil dapat menyebabkan anemia ibu hamil,

STH.

berat badan lahir rendah (BBLR) dan bahkan

penyebaran dari STH pada daerah tropis terutama

hingga meningkatkan angka prevalensi kematian

di Asia Tenggara seperti yang telah dilaporkan.6,7,

bayi.1 Data Angka kematian ibu di Indonesia juga

8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18

masih tinggi yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup

beberapa faktor yang telah dilaporkan dan dari

pada tahun 2007. Padahal untuk target MDGs

common knowledge dapat digunakan sebagai

pada tahun 2015, AKI harus dapat turun menjadi

acuan tindakan preventif pada ibu hamil yang

102 per 100.000 kelahiran

hidup.4

Salah satu

penyebab tertinggi kematian ibu hamil adalah

Banyak

faktor

yang

mempengaruhi

Pencegahan oleh

kemudian kami sintesis dalam tindakan praktis berupa konseling.

infeksi STH, dimana infeksi STH ini dapat

Untuk meminimalisasi dan mengurangi

bayi.1

kejadian anemia ibu hamil, berat badan lahir

meningkatkan angka prevalensi kematian

Pencapaian program MDGs penurunan mortalitas

rendah,

anak

sudah

kematian bayi lahir, maka kami merancang

seharusnya tidak terlepas dari penanggulangan

strategi pengintegrasian antara usaha counseling

infeksi STH pada ibu hamil.

prevention dan penggunaan rapid diagnosis pada

dan

perbaikan

kesehatan

ibu

dan

menurunkan

angka

prevalensi

Banyak dari ibu hamil di Indonesia yang

KKIA. Selain itu keberhasilan pengintegrasian ini

tidak terjangkau oleh pemeriksaan kehamilan

akan menunjang percepatan pencapaian target

yang terpadu dan pemeriksaan laboratorium

MDGs yang sedang digalakkan oleh Kementrian

modern untuk penyakit infeksi. Sedangkan untuk

Kesehatan Republik Indonesia.4

diagnosis tanpa pemeriksaan penunjang baru BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

58


2.

PEMBAHASAN

6.

Tidak tangan makan

mencuci sebelum

Perbedaan signifikan antara mencuci tangan dan tidak mencuci tangan.

7.

Penggunaan bersama tempat buang air besar (BAB)

Salah satu jalur transmisi STH adalah lewat jalur fekal-oral.

Strategi konseling yang akan diterapkan pada program ini berupa sintesis dari data yang kami peroleh dari studi pustaka laporan faktor yang mempengaruhi transmisi cacing tambang. Dari data yang kami peroleh didapatkan faktor yang

meningkatkan

angka

transmisi

atau

penularan STH pada daerah tropis sebagai berikut: Tabel 1 Faktor risiko penularan STH. Faktor risiko dengan korelasi tinggi. 6,7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18

No

Faktor yang Mempengaruhi

Keterangan

1.

Sumber Air minum yang tidak aman

Sumber air minum tidak aman berasal dari air hujan sungai atau tampungan air hujan; sumber air minum aman dari perusahaan air minum yang disalurkan lewat pipa.

2.

3.

4.

5.

Tidak tangan buang (BAB)

mencuci setelah air besar

Perbedaan signifikan antara mencuci tangan dan tidak mencuci tangan.

Tidak memakai alas kaki ketika keluar rumah

Pemakaian sandal atau sepatu menurunkan transmisi STH

Anggota keluarga dalam satu rumah lebih dari 6 orang

Semakin banyak anggota keluarga dalam satu rumah meningkatkan prevalensi ascariasis.

Pemakaian bersama

toilet

Keberadaan toilet di rumah sendiri menurunkan risiko terkena infeksi STH

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

Tabel 2. Faktor risiko penularan STH. Faktor risiko dengan korelasi rendah. 6,7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18

No

Faktor yang mempengaruhi

Keterangan

1.

Pendidikan rendah

ayah

Berhubungan dengan pendidikan kepada anak.

2.

Pendidikan rendah

ibu

Berhubungan dengan pendidikan kepada anak.

3.

Penghasilan rendah

Berpengaruh terhadap kebersihan lingkungan dan jenis makanan yang dimakan

4.

Mempunyai peliharaan rumah

hewan dalam

Meningkatkan kemungkinan transmisi STH.

5.

Makan makanan yang bersumber dari tanah

Meningkatkan kemungkinan transmisi STH.

6.

Jarang kuku

Meningkatkan kemungkinan transmisi STH.

7.

Tidak mencuci buah dan sayur sebelum dimakan

Kemungkinan terdapat kontaminasi dari telur maupun daur hidup lain dari STH.

8.

Meminum air yang belum dimasak

Kemungkinan terdapat kontaminasi dari

memotong

59


telur maupun daur hidup lain dari STH.

2.Menyarankan penyediaan toilet yang lebih 5.

Pemakaian toilet bersama dengan orang luar rumah kediaman

Menyarankan untuk tidak menggunakan toilet bersama dan penyediaan toilet pada setiap rumah.

6.

Tidak tangan makan

1.Menyarankan cuci tangan sebelum makan

Dari hasil studi pustaka diatas kami mensintesis tentang cara pendekatan konseling yang bisa diterapkan kepada masyarakat luas terutama masyarakat awam. Hal ini tersaji dalam tabel 3. Tabel 3. Pendekatan konseling yang dapat dilakukan kepada pasien ibu hamil. No. 1.

Faktor Risiko Sumber Air minum yang tidak aman

Strategi Konseling

2.

Tidak mencuci tangan setelah buang air besar (BAB)

Tidak memakai alas kaki ketika keluar rumah

2.Menyarankan penulisan pengingat cuci tangan setelah cuci tangan di toilet

1.Menyarankan agar membiasakan memakai sandal atau sepatu jika keluar rumah 2.Menyarankan penyediaan sandal didalam rumah jika akan melewati lantai tanah

4.

Anggota keluarga dalam satu rumah lebih dari 6 orang

7.

Penggunaan bersama tempat buang air besar (BAB)

Menyarankan untuk tidak menggunakan tempat BAB bersama dan penyediaan toilet pada setiap rumah.

8.

Mempunyai hewan peliharaan dalam rumah

Menyarankan untuk memisah antara hewan peliharaan dengan tempat tinggal khususnya sewaktu hamil.

9.

Makan makanan yang bersumber dari tanah

Mencuci bersih segala makanan khususnya yang berasal dari tanah.

10.

Jarang memotong kuku

Intensifkan memotong kuku

11.

Tidak mencuci buah dan sayur sebelum dimakan

Mencuci bersih makanan, sayur dan buah, terutama yang berasal dari tanah.

12.

Meminum air yang belum dimasak

1.Memasak air sebelum diminum

1.Menyarankan mencuci tangan setelah BAB

3.Penyediaan handsinitizer 3.

2.penyediaan handsinitizer

1.Menyarankan untuk meminum air dari perusahaan air minum 2.Menyarankan untuk lebih sering mengonsumsi minuman kemasan tersterilisasi

mencuci sebelum

1.Menyarankan penerapan program KB

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

2.Lebih sering mengkonsumsi minuman kemasan steril

60


Penggunaan

rapid

yang

mikroskop. Pemeriksaaan ini dapat dilakukan

mungkin diterapkan adalah metode Kato Katz (K-

dalam waktu 30 menit sampai 1 jam, sehingga

K)19,

Baermann

hasil dapat diperoleh dengan cepat. Selain itu tes

tecnique (BM)21. Ketiga uji tersebut sudah pernah

ini sangat aplikatif mengingat biaya yang relatif

di uji klinik oleh Knopp et al.22 dan berhasil dengan

rendah. Untuk tutorial pemeriksaan dengan

rata-rata sensitivitas sebesar 90%. Sensitivitas

metode

Kato-Katz untuk mendeteksi Ascariasis mencapai

www.who.int/neglected_diseases/preventive_che

99,6%, untuk T. trichiura 95,1%, dan untuk cacing

motherapy.22

Koga Agar Plate

diagnosis

(KAG)20,dan

tambang 83,3%. Sensitivitas untuk uji cacing tambang

akan

meningkat

jika

digabungkan

dengan Koga Agar yaitu sebesar 93,1%. Berikut adalah alur diagnosis untuk STH dari ketiga uji diagnosis diatas.

Kato

Katz

dapat

dilihat

di

Metode yang lain, yaitu Koga Agar Plate. Metode ini menggunakan prinsip penanaman sampel ke dalam agar. Kemudian diinkubasi selama 2 hari, sambil diamati dengan mikroskop. Lalu, eluent dari plate yang sudah dilarutkan dengan larutan asetat-formalin disentrifuge dan diambil sedimennya kemudian dilihat dibawah mikroskop. Meskipun metode ini tidak terlalu mahal, tetapi waktu yang digunakan hingga 2 hari sehingga metode ini hanya untuk memperkuat diagnosis dan sensitivitas saja. Untuk tutorial pemeriksaan dengan metode Kato Katz dapat dilihat dari publikasi Koga et al.20 Prinsip

dari

pemeriksaan

Baermann

Technique seperti pada gambar 2. Pemeriksaan Gambar 1. Alur penggunaan tes diagnostik untuk STH. Untuk Ascaris, T. trichiura dan cacing tambang dapat menggunakan metode Kato Katz. Untuk Koga Agar dapat digunakan pada cacing tambang dan S. stercoralis. Sedangkan BM dapat digunakan untuk S. stercoralis. Pada intinya semua tes ini digunakan untuk mendiagnosis STH. Jika ingin menghemat biaya maka disarankan cukup menggunakan metode Kato Katz. Metode Kato Katz merupakan metode yang disarankan WHO untuk diagnosis STH. Kato

ini untuk mendeteksi larva stadium 3 helminth. Hal ini menggunakan prinsip bahwa larva dari kantung yang berisi feses aktif bermigrasi ke dalam corong air sehingga corong air yang diperiksa dengan mikroskop akan menunjukkan adanya larva stadium 3 dari helminth. Pemeriksaan ini dapat dilihat hasilnya kurang lebih setelah 30 menit. Biaya yang dikeluarkan dari pemeriksaan ini juga sangat murah.

Katz merupakan metode deteksi telur dari helminth yang dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi. Metode ini menggunakan mikroskop sederhana.

Untuk

menggunakan

mikroskop

mendeteksi digunakan

cepat selotip

khusus yang diberi larutan glyserol methylene blue sehingga telur dengan mudah terlihat di BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

61


Kato

Katz,

sedangkan

puskesmas

dengan

sumber daya manusia yang kurang dapat menggunakan metode McMaster. Untuk metode Koga Agar Plate dan Baermann Technique lebih baik jika digunakan pada Puskesmas dengan pendanaan tinggi untuk memperkuat diagnosis dan

meningkatkan

sensitivitas

pemeriksaan.

Untuk memperjelas alur penerapan metode Gambar 2. Prinsip pemeriksaan dengan Baermann Technique (BM). Sumber gambar:21 Metode

lain

yaitu

dengan

counseling prevention dan rapid diagnosis di atas sudah tergambar dalam kerangka pemikiran

metode

(gambar 3) pada bab metode penulisan.

McMaster yaitu metode sangat sederhana dengan membuat suspensi sampel feses yang kemudian

3.

diberikan ke slide (gelas benda) khusus dari kit McMaster.

Hasilnya

dilihat

KESIMPULAN 1. Penerapan strategi counseling prevention

menggunakan

sangat cocok diterapkan pada Klinik

mikroskop dan dapat menampakkan telur STH

Kesehatan Ibu dan Anak karena metode

dengan sangat jelas. Dari metode ini dapat

ini efektif dan efisien untuk pencegahan

diperoleh hasil yang cepat. Untuk tutorial metode

penyebaran

ini

Helminth terutama pada Ibu Hamil.

dapat

dilihat

di

http://www.vetparasitology.ugent.be/page30/page 30.html.

infeksi

Soil

2. Penegakan

diagnosis

Transmitted

Helminth

Transmitted

infeksi di

Soil daerah

Pemeriksaan yang baru dalam tahap

jangkauan puskesmas/rumah sakit dapat

pengembangan adalah tes Egg Hatch Assay

dilakukan dengan beberapa metode rapid

(EHA). Yaitu mendeteksi adanya telur STH tanpa

diagnosis, seperti Kato-Katz yang dapat

mikroskop dan hanya menggunakan metode

digunakan pada puskesmas/rumah sakit

assay sehingga hasilnya bisa dengan cepat

dengan pendanaan yang rendah karena

didapat.24Tapi pemeriksaan ini masih banyak

harganya

kekurangan karena antigen STH yang sering

dilakukan, sedangkan Koga Agar Plate

berubah-ubah sehingga meningkatkan negatif

dan Metode Baurmann baik dilakukan

palsu. Selain itu pemeriksaan ini belum menjalani

pada puskesmas/rumah sakit dengan

uji klinik sehingga belum bisa digunakan di klinik

pendanaan yang tinggi sebagai penguat

dan masyarakat luas.

pemeriksaan Kato-Katz.

Pemeriksaan menggunakan beberapa metode di atas dapat diterapkan pada Klinik Kesehatan

Ibu

dan

Anak

di

puskesmas.

Penerapan bermacam-macam metode ini di puskesmas juga menyesuaikan dengan keadaan setempat. Misalnya puskesmas dengan sumber

4.

yang

murah

dan

mudah

DAFTAR PUSTAKA 1. Imhoff-Kunsch Antihelminthics

B, in

Briggs

V.

pregnancy

and

maternal, newborn and child health. Paediatr Perinat Epidemiol. 2012; 1:22338.

pendanaan rendah dapat menggunakan metode BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

62


2. CDC.

Parasites

Soil-transmitted

9. Al-Mekhlafi MS, Atiya AS, Lim YA, Mahdy

Helminths (STHs). 2013 [cited 2013 Jun

AK, Ariffin WA, Abdullah HC et al. An

23]. Available from : URL : HYPERLINK

unceasing

http://www.cdc.gov/parasites/sth/.

helminthiases

3. Depkes

-

RI.

Insidensi

Penyakit

Kecacingan. 2006 [cited 2013 jun 23] Available

from

:

URL

:

problem: in

soil-transmitted rural

Malaysian

communities. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2007;38:998–1007. 10.Norhayati M, Zainudin B, Mohammod C,

HYPERLINKhttp://www.depkes.go.id/

Oothuman P, Azizi O, Fatmah MS. The

4. Depkes RI. Lima Strategi Turunkan Angka

prevalence of Trichuris, Ascaris and

Kematian Ibu. 2011[cited 2013 Jun 23].

hookworm infection in Orang Asli children.

Available from : URL : HYPERLINK

Southeast Asian J Trop Med Public

http://depkes.go.id/index.php/berita/press

Health. 1997;28:161–168.

-release/1387limastrategi-operasional-

11.Bundy DAP, Kan SP, Rose R. Age-related

turunkan-angka-kematian-ibu.html

prevalence,

intensity

and

frequency

5. Solomon AW, Engels D, Bailey RL, Blake

distribution of gastrointestinal helminth

IM, Brooker S, et al. A Diagnostics

infection in urban slum children from

Platform for the Integrated Mapping,

Kuala Lumpur, Malaysia. Trans R Soc

Monitoring, and Surveillance of Neglected

Trop Med Hyg.1988;82:289–294.

Tropical Diseases: Rationale and Target

12.Ngui R, Ishak S, Chuen CS, Mahmud R,

Product Profiles. PLoS Negl Trop Dis.

Lim YAL. Prevalence and risk factors of

2012;6(7): e1746.

intestinal parasitism in rural and remote

6. Nasr et al. Towards an effective control programme of soil-transmitted helminth infections among Orang Asli in rural Malaysia.

Part

1:

Prevalence

associated key factors.

and

Parasites

&

Vectors. 2013;6:27. 7. Nasr et al. Towards an effective control

West Malaysia. PLoS Negl Trop Dis. 2011;5:e974. 13.Tomono

N,

Anantaphruti

Jongsuksuntigul

P,

Thongthien

MT, P,

Leerapan P, Silapharatsamee Y et al. Risk factors of helminthiases among schoolchildren

in

southern

Thailand.

programme of soil-transmitted helminth

Southeast Asian J Trop Med Public

infections among Orang Asli in rural

Health. 2003;34:264–268.

Malaysia. Part 2: Knowledge, attitude, and

14.Anantaphruti MT, Waikagul J, Maipanich

practices Parasites & Vectors. 2013;6:28.

W, Nuamtanong S, Pubampen S. Soil-

8. Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Choy SH, Ithoi

transmitted helminthiases and health

I, Al-Adhroey AH, Abdulsalam AM et al.

behaviors among schoolchildren and

The burden of moderate-to-heavy soil-

community members in a west-central

transmitted helminth infections among

border area of Thailand. Southeast Asian

rural Malaysian aborigines: an urgent

J Trop Med Public Health. 2004;35:260–

need for an integrated control programme.

266.

Parasit Vectors. 2011;4:242.

15.Ahmed A, Al-Mekhlafi H, Azam M, Ithoi I, Al-Adhroey A, Abdulsalam A et al. Soil-

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

63


transmitted helminthiasis: a critical but neglected

factor

influencing

school

participation of Aboriginal children in rural Malaysia. Parasitol. 2012; 139:802–808.

22.World Health Organization (WHO). Action Against Worm. Issue 11. 2008. 23.Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Manual of veterinary parasitological

G.

laboratory techniques (Reference Book;

Prevalence, intensity and risk factors for

418), 3rd ed. London: Her Majesty’s

soil-transmitted helminth infection in a

Stationery Office (HMSO). 160 p. 1986.

South Indian fishing village. Acta Trop.

24.Albonico M, Wright V, Ramsan M, Haji HJ,

16.Naish

S,

McCarthy

J, Williams

2004;91:177–187.

Taylor

M,

Savioli

L,

Bickle

Q.

17.Luoba AI, Wenzel GP, Estambale B,

Development of the egg hatch assay for

Ouma JH, Alusala D, Ayah R et al. Earth-

detection of anthelminthic resistance in

eating

human

and

re-infection

with

intestinalhelminths among pregnant and

hookworms.

Int

J

Parasitol.

2005;35(7):803-11.

lactating women in western Kenya. Trop Med Int Health. 2005;10:220–227. 18.Quihui L, Valencia ME, Crompton DWT, Phillips S, Hagan P, Morales G et al. Role of the employment status and education of mothers in the prevalence of intestinal parasitic

infections

schoolchildren.

in Mexican rural

BMC

Publ

Health.

2006;6:225. 19.Katz N, Chaves A, Pellegrino J. A simple device for quantitative stool thick-smear technique in schistosomiasis mansoni. Rev Inst Med Trop Sa˜o Paulo 1972;14: 397–400. 20.Koga K, Kasuya S, Khamboonruang C, Sukhavat K, Ieda M, et al. A modified agar plate method for detection of Strongyloides stercoralis. Am J Trop Med Hyg. 1991;45(4):518-21. 21.Knopp

S,

Steinmann

Mgeni P,

AF,

Stothard

Khamis

IS,

JR,

al.

et

Diagnosis of soil-transmitted helminths in the era of preventive chemotherapy: effect of multiple stool sampling and use of different diagnostic techniques. PloS Negl Trop Dis 2. 2008;e331.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

64


Literature Study

UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN MELALUI STUDI PERSIAPAN BERAS TIRUAN DARI UMBI GADUNG SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL : KAJIAN PUSTAKA Dwi Yuwono Kristanto1, Arif Sabta Aji1, Rois Alfarisi1, Rizal Yahya1 1

Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya

ABSTRAK Beras merupakan bahan pangan dengan nilai indeks glikemik tinggi. Paradigma beras sebagai satusatunya sumber makanan pokok telah menyebabkan pergeseran pola konsumsi. Kecenderungan tersebut dapat berakibat munculnya berbagai permasalahan kesehatan seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan sindroma metabolik lainnya. Umbi gadung merupakan bahan pangan lokal Indonesia. Alternatif sumber karbohidrat selain dari beras, juga didapatkan pada umbi gadung. Sebagai pangan fungsional, umbi gadung mempunyai nilai indeks glikemik rendah dan kandungan polisakarida larut air sebesar 20,9%. Kandungan Polisakarida larut air dan indeks glikemik rendah diyakini mampu memiliki efek hipoglikemik.Beras tiruan merupakanpengembangan pangan sebagai upaya diversifikasi dengan memanfaatkan potensi lokal. Pembuatan beras tiruan diharapkan mampu menyamai bentuk dan rasa beras biasa sehingga tidak merubah aspek psikologis masyarakat dalam mengkonsumsinya. Katakunci: Diversifikasi, Umbi gadung, Beras tiruan, dan Pangan fungsional.

ABSTRACT Rice is food materials with a high glycemic index. The Paradigm of rice as the only source of staple food has caused shifting patterns consumption. This trend can be the emergence of health problem as diabetic mellitus, coronary heart disease and metabolic syndrome. Tuber gadung is a local food an Indonesia. As food functional, tuber gadung has value low glycemic index and content polysaccharides water-soluble of 20,9%. Content polysaccharides water-soluble and the low glycemic index is believed will have an effect hypoglycemic. Artificial rice is development food as a diversified by potentiality local. Artificial rice expected to match the form and sense of rice so not change psychologucal aspects of public in consume it. Keywords: Diversification, Tuber Gadung, Artificial Rice and Functional Food.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

65


1.

LATAR BELAKANG Pangan

penduduk3.

gizi

merupakan

kebutuhan

pangan

Program

meliputi

kegiatan

diversifikasi pemanfaatan

dasar yang merupakan hak setiap manusia

sumber daya alam hayati yang ada di

dan merupakan salah satu faktor penentu

Indonesia serta upaya promosi kepada

kualitas

sumberdaya

Faktor

masyarakat untuk mengonsumsi makanan

penentu

mutu

adalah

yang

keanekaragaman pangan

dan

manusia. pangan

(diversifikasi)

keseimbangan

jenis

gizi

dan

beragam.

Inovasi

produk

dalam

mendukung program diversifikasi pangan dapat

dilakukan

dengan

mempelajari

bahwa

kebiasaan atau pola makan masyarakat

ketidakseimbangan gizi akibat konsumsi

indonesia yang mayoritas mengkonsumsi

pangan yang kurang beraneka ragam akan

beras.

keamanan

pangan.

Disadari

berdampak pada timbulnya masalah gizi,

Beras juga dapat dimanfaatkan

baik gizi kurang maupun gizi lebih1. Lebih

sebagai pangan fungsional, yaitu sebagai

dari 50% penduduk dunia tergantung pada

bahan pangan yang mengandung satu atau

beras sebagai sumber kalori utama. Pola

lebih

konsumsi pangan di Indonesia masih belum

mempunyai fungsi fisiologi tertentu dan

sesuai dengan pola pangan yang ideal.

bermanfaat terhadap kesehatanBeras tiruan

Konsumsi dari kelompok padi-padian masih

merupakan pangan pokok berbentuk seperti

dominan baik di kota maupun di desa.

butiran beras padi yang bahan bakunya

Pangsa konsumsi energi seharusnya dari

dapat berasal dari kombinasi tepung pangan

kelompok padi-padian hanya 50%, namun

lokal.

kenyataannya masih sebesar 60,7%-63,9%.

kandungan gizi yang melebihi beras biasa 4.

Bahkan, konsumsi beras

Penggunaan sumber

di Indonesia

komponen

Beras

pembentuk

tiruan

dapat

daya

yang

memiliki

alam

umbi

mencapai 139 kilogram per kapita per tahun.

gadung dalam pembuatan beras tiruan

Angka ini tertinggi dibanding negara-negara

selain untuk penganekaragaman pangan

di Asia Tenggara2. Paradigma pangan

juga

hanya disimbolkan dengan beras semata

ekonomis pangan tersebut. Peningkatan

adalah merupakan inti permasalahannya.

nilai ekonomis umbi gadung akan memiliki

Bukan hanya demikian, dengan karakteristik

dampak

beras

kesejahteraan

yang

memiliki

indeks

glikemik

tergolong tinggi (>70) dapat menyebabkan

dapat

meningkatkan

terhadap

fungsi

nilai

peningkatan

petani

umbi-umbian

khususnya umbi gadung. Umbi gadung merupakan salah satu

beberapa penyakit seperti diabetes mellitus, penyakit jantung dan sindroma metabolik

sumber

lainnya.

memiliki nilai indeks glikemik rendah yaitu Diversifikasi pangan adalah upaya

51,

karbohidrat

selain

itu

yang

umbi

baik

gadung

karena

memiliki

penganekaragaman pola konsumsi pangan

kandungan polisakarida larut air yang dapat

masyarakat dalam rangka meningkatkan

digunakan

mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang

fungsional.

manfaatnya

guna

pangan

pada akhirnya akan meningkatkan status BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

66


Berdasar latar belakang tersebut,

tidak jauh berbeda antara pulau yang satu

dilakukan

dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100

maka manfaat

umbi

studi/kajian gadung

terhadap (1)

persen. Partisipasi konsumsi beras yang

Mendukung program diversfikasi pangan

masih rendah hanya terjadi di pedesaan

nasional. (2) Kandungan gizi umbi gadung

Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah

sehingga dapat digunakan sebagai pangan

dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80

fungsional

persen).

yang

dalam;

berdampak

terhadap

kesehatan. 5.

Dengan menggunakan data yang

PEMBAHASAN

terakhir yaitu Susenas 2002, 2005 dan 2008 data

menunjukkan semakin nyata bahwa pola

Susenas tahun 1990 pada Ariani dan Ashari

konsumsi pangan pokok masyarakat di

dalam Ariani (2010) sudah menunjukkan

Indonesia telah bergeser dari pola beragam

tingkat

Hasil

analisis

partisipasi

(persentase

jumlah

terhadap

konsumsi

beras

menjadi pola tunggal yaitu beras. Dari Tabel

orang

yang

1, terlihat bahwa pola konsumsi tunggal

mengonsumsi beras) di berbagai wilayah

beras

terjadi

pada

semua

tingkatan

cukup tinggi hampir mencapai 100 persen,

pendapatan, dari masyarakat miskin sampai

yang berarti hampir semua rumah tangga

masyarakat kaya. Dominasi beras sebagai

telah mengkonsumsi beras. Kecenderungan

pola pangan pokok utama terus berlangsung

tersebut tidak hanya terjadi pada rumah

di setiap propinsi dan tidak tergantikan oleh

tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga

jenis pangan pokok lain. Perubahan jenis

di pedesaan, walaupun umumnya tingkat

pangan pokok hanya terjadi pada komoditas

partisipasi di desa masih lebih rendah

bukan beras, seperti antara jagung dengan

daripada di kota. Bila dilihat antar pulau,

umbi dan sebaliknya.

maka tingkat partisipasi konsumsi beras Tabel 1. Pola Konsumsi Berdasar Tingkat Pengeluaran Kel. Pengeluaran (Rp/kap/bl) 2002 2005 2008 <60.000 B,J,UK B,T 60.000-79.999 B,J,UK,T B,T 80.000-99.999 B,T,UK B,T 100.000-149.999 B,T B,T B,T,J 150-199.999 B,T B,T B,T 200.000-299.999 B,T B,T B,T 300.000-499.999 B,T B,T B,T 500.000-749.999 B,T B,T B,T 750.000-999.999 B,T B,T B,T >1000.000 B,T B,T B,T Keterangan : B = Beras, T= Terigu, J= Jagung, UK= Ubi Kayu Beras selain sumber energi utama

Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh

dalam pola konsumsi masyarakat, juga

beras, dan beras berperan dalam ketahanan

sebagai Wage Goods dan Political Goods.

pangan, stabilitas ekonomi dan lapangan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

67


kerja. Sebagian besar masyarakat tetap

lebih tinggi dibandingkan dengan umbi-

menghendaki adanya pasokan dan harga

umbian dan jagung Tabel2. Belum lagi

beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu

adanya kebijakan program Raskin dalam

dan

terjangkau.

bentuk beras, yang penyalurannya untuk

Kebijakan pemerintah seperti penetapan

seluruh masyarakat tanpa memperhatikan

harga dasar gabah dan pengendalian harga

pola konsumsi pangan pokok setempat,

di tingkat konsumen mendorong masyarakat

jelas

untuk

konsumsi pangan yang selama ini juga

dengan

harga

mengonsumsi

yang

beras.

Walaupun

tingkat konsumi beras cenderung menurun,

menyalahi

konsep

diversifikasi

menjadi program pemerintah 5.

namun volume konsumsi beras masih jauh Tabel 2. Perubahan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/Kapita/tahun) Beras Jagung Terigu Ubikayu Ubijalar 115,5 3,4 8,5 12,8 2,8 105,2 3,3 8,4 15 4 104,9 2,9 11,2 12,9 2,8

Tahun 2002 2005 2008

Sumber : SUSENAS, diolah pusat PKP, Badan ketahanan pangan Konsumsi

beras

Sagu 0,3 0,5 0,5

adalah 138 kg/ kapita/ tahun atau setara dengan 212 kg gabah/ kapita/ tahun.

memang

Upaya mengurangi ketergantungan

cenderung menurun dari tahun ke tahun,

konsumsi

namun tingkat konsumsi tersebut masih

adalah dengan mengembangkan alternatif

lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa

pangan.

negara lainnya. Konsumsi beras di Jepang

belum dapat berhasil sepenuhnya karena

hanya

keterikatan masyarakat yang sangat kuat

sekitar

60

kg/kapita/tahun,

beras

masyarakat

Program

Indonesia

diversifikasi

pangan

sedangkan di Thailand, China dan India

dengan

sekitar 100 kg/kapita/tahun. Di Laos dan

dikembangkan

Myanmar, konsumsi beras masih tinggi yaitu

menyerupai

masing-masing sebesar 179 kg dan 190

terbuat dari beras. Beras tiruan diharapkan

kg/kapita/tahun6.

dapat mendekati bentuk beras asli sehingga

Kebutuhan beras terus

meningkat

akibat

peningkatan

penduduk.

Penduduk

jumlah

Indonesia

yang

konsumsi

mengonsumsinya

Maka

alternatif

beras

psikologi

beras.

namun

masyarakat merasa

perlu

pangan tidak

murni

yang mengonsumsi

semula berjumlah 194,7 juta jiwa pada tahun

beras. Metode pembuatan beras tiruan oleh

1995, diperkirakan akan meningkat menjadi

Budijanto et al. (2011) dengan cara ekstrusi

265 juta pada tahun 2025 yang berarti akan terjadi lonjakan kebutuhan beras. Pada saat ini tingkat konsumsi beras di Indonesia

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

68


memiliki tahapan penyangraian yang bertujuan

Gadung

merupakan

tanaman

untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semi

perkebunan yang tumbuh liar dihutan-hutan

gelatinisasi) ataupengondisian (conditioning)

maupun di pekarangan. Pada umumnya petani

adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi

tidak melaksankan pemeliharaan tanaman

meliputi proses pencampuran, pemanasan

seperti

(gelatinisasi) dan pencetakan melalui die.

pemupukan

Tahap berikutnya adalah ekstrudat

:

penyiangan, dan

hama/penyakit.

pembunuhan, pemberantasan

Tanaman

gadung

tidak

pasalnya

bisa

dikeringkan menggunakan oven dryer pada

mengenal

suhu 60°C selama 4 jam.Sebagai produk

ditanam kapan saja dan dimana saja. Tanaman

diversifikasi pangan, beras tiruan memiliki

ini juga merambat pada tongkak pohon dan

keunggulan jika dilihat dari komposisi bahan

buahnya

baku. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, bahwa

karbohidrat

kandungan zat gizi dalam beras tiruan bisa

mencapai 79,28%, kandungan pati tepung

disesuaikan dengan kebutuhan. Beras tiruan

umbi gadung mencapai 51,88%, kandungan

bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun

Polisakarida Larut Air (PLA) pada tepung umbi

antioksidannya dengan menyesuaikan bahan

gadung mencapai 20,9%.

musim

tanam,

putih8.

berwarna pada

tepung

Kandungan

umbi

gadung

baku. Beras tiruan bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Sumber

i. Mekanisme Polisakarida Larut Air Sebagai

karbohidrat bisa diperoleh dari tepung ubi kayu,

Agen Hipoglikemik.

ubi jalar, talas, garut, ganyong, jagung, sorgum,

1.

Memperlambat

pengosongan

hotong, sagu, dan sagu aren. Sumber protein

lambung

dapat diperoleh dengan menambahkan tepung

penyerapan glukosa darah.

dan

menghambat

kedelai, kacang merah, atau jenis kacang-

Peningkatan vikositas dalam saluran

kacangan lain. Serat makanan bisa diperoleh

pencernaan dianggap sebagai faktor

dari bekatul atau bahan lain7.

utama

Tabel 3. Informasi Perbandingan Nilai Gizi Beras Tiruan dengan Beras Biasa Komposisi BerasTIruan BerasBiasa Kadar air (%) 10,6 12,05 Kadar 6,75 8 protein (%) 1,17 0,92 Kadar lemak 91 89,86 (%) Kadar karbohidrat (%) Gadung

dipilih

karena

indeks

glikemiknya rendah. Makanan dengan indeks

dalam

mempengaruhi

faktor

kecepatan penyerapan glukosa9. Serat larut, terutama galaktomanan mampu membentuk

lapisan

air

yang

tidak

bergerak dalam usus, sehingga dapat mengurangi penyerapan gula10. Serat terlarut juga mampu untuk mengurangi kadar glukosa sesudah makan dan memperbaiki profil insulin sehingga serat larut memiliki sifat hipoglikemik 11. 2. Peningkatan Short Chain Fatty Acid

glikemik rendah memperlambat peningkatan

(SCFA)

kadar gula dalam darah. Kemudian memiliki

Pangan.

Melalui

Fermentasi

Serat

kelebihan dibanding tepung umbi-umbian yang

Konsentrasi dan jumlah SCFA dalam

lain yaitu memiliki tekstur yang lembut dan

caecum dan kolon lebih tinggi jika subtrat

kandungan amilosa yang tinggi.

fermentasinya adalah serat pangan.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

69


Adanya

fermentasi

serat

pangan

7. DAFTAR PUSTAKA

menyebabkan luminal SCFA infusion,

1. Cahyani GI. 2008. Analisis Faktor

peningkatan massa dan proliferasi kolon.

Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap

SCFA mempengaruhi transport sel epitel

Keanekaragaman Konsumsi Pangan

kolon,

colonocyte,

Berbasis Agribisnis di Kabupaten

diferensiasinya,

Banyumas. Thesis Program Magister

metabolisme

pertumbuhan

dan

kontrol lemak dan karbohidrat sehingga

Agribisnis Universitas Diponegoro.

meningkatkan persediaan energi otot,

2. Badan Pusat Statistik. 2004. Survey

ginjal, otak dan jantung. Hal ini juga

Sosial Ekonomi (SUSENAS). Jakarta:

berkaitan dengan menghasilkan SCFA

Badan Pusat Statistik hal 149.

asam asetat dan asam propionat yang

3. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu

mampu membantu kenaikan respon

Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

insulin dalam hati11.

Utama. Halaman 46. 4. Budijanto S, Yuliyanti. 2012. Studi

6.

KESIMPULAN

Persiapan

Program diversifikasi pangan telah menjadi

program

nasional,

tetapi

implementasinya masih pro dan kontra. Hal ini terbukti dari beberapa kebijakan yang dibuat

Tepung

Sorgum

dan

Aplikasinya pada Pembuatan Beras Analog. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 13 No.3. Bogor. 5. Ariani

M.

2010.

Diversifikasi

pemerintah tidak berjalan secara sinergis

Konsumsi

dalam mendukung upaya diversifikasi pangan.

Mendukung

Upaya diversifikasi pangan bertujuan untuk

Prosiding Pekan Serealia Nasional.

dapat meningkatkan ketahanan pangan baik

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

tingkat

Banten.

nasional

maupun

rumah

tangga.

Produksi pertanian umbi gadung yang belum

Pangan

Pokok

Swasembada

Beras.

6. Pambudy, R. T.E.Hari, Basuki dan

optimal, dapat ditingkatkan produksinya karena

Mardianto,

banyak manfaat terdapat dalam umbi gadung

Pertemuan Kebijakan Perberasan

seperti

Asia. Hasil Pertemuan Regional di

kandungan

karbohidrat

maupun

S.

2002.

Polisakarida larut air. Polisakarida larut air

Bangkok,

memiliki

Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta.

sifat

fungsional

tersendiri

bagi

Thailand.

Resume

Sekretariat

kesehatan karena mampu memiliki peranan

7. Widara, S.S. 2012. Formulasi dan

sebagai agen hipoglikemik. Selain itu, umbi

Karakterisasi Gizi Beras Analog

gadung memiliki nilai indeks glikemik rendah

Terbuat

sehingga

memperlambat

Sorgum, Mocaf, Jagung, Maizena

kenaikan kadar gula darah. Proses teknologi

dan Sagu Aren. Skripsi di Fakultas

dengan membuat menjadi produk seperti beras

Teknologi Pertanian IPB Bogor.

mampu

untuk

tiruan dapat diyakini sebagai salah satu

2006.

pangan

Berbasis

ketahanan

pangan

serta

pengembangan produk pangan. BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

Campuran

Tepung

8. Kasno, A., N. Saleh dan E. Ginting.

langkah dalam mencapai upaya diversifikasi dan

dari

Pengembangan

Pangan

Kacang-Kacangan

Umbi-Umbian

Guna

dan

Pemantapan 70


Ketahanan Pangan Nasional. Buletin Palawija no 12. 43-51. 9. Silalahi, J. dan Hutagalung N. 2008. Komponen-Komponen

Bioaktif

dalam Makanan dan Pengaruhnya Terhadap

Kesehatan.

Jurusan

Farmasi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan. 10. Torsdottir, I.; Alpsten, M.; Holm, G.; Sandberg, F.A.; and Ta-Lli, J. 1991. A Small Dose of Fiber

Soluble

Affects

Alginate-

Postprandial

Glycemia and Gastric Emptying In Humans With Diabetes. J. Nutr. 121: 795-799. 11. Maulida, D danTeti E. 2014. Efek Hipoglikemik Polisakarida Larut Air Umbi Gadung (Dioscoreahispida) dan

Alginat

:KajianPustaka.

J.

Pangandan Agroindustri Vol. 2 no.3 p.136-140. 12. Budijanto Rantai

S. Nilai

2011.

Pengembang

Serelalia

(IndegenousSereal)

Lokal Untuk

Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. [Laporan Program Riset Strategi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

71


Literature Study

PERAN PUSKESMAS DALAM PENANGANAN MASALAH GIZI GANDA DI INDONESIA Yayuk Estuningsih*

*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Alamat Korespondensi : yayuk.estu@gmail.com

ABSTRAK Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah gizi ganda yang sudah sangat mengkhawatirkan. Gizi ganda adalah suatu kondisi yang terjadi di masyarakat dimana masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Dalam masyarakat, fenomena masalah gizi ganda terjadi hampir di semua lini masyarakat dan berpotensi menurunkan kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia. Masalah gizi ganda ini memerlukan penanganan yang komprehensif dan memerlukan kerjasama lintas sektoral untuk menanggulanginya karena kondisi ini terutama pada anak-anak berpotensi menurunkan kualitas intelegensia pada anak-anak yang dampak jangka panjangnya adalah menurunkan kualitas SDM suatu bangsa. Puskesmas merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan di masyarakat harus mengambil peran aktif dalam upaya penanganan masalah gizi ganda yang diawali dengan program pemberdayaan masyarakat untuk melakukan screening balita gizi kurang dan gizi lebih melalui kegiatan Posyandu dan selanjutnya meningkatkan kegiatan promosi kesehatan melalui edukasi ke masyarakat terutama yang berpotensi mengalami gizi ganda. Kata kunci: Gizi ganda, gizi kurang, gizi lebih, peran Puskesmas

ABSTRACT Currently, Indonesia is faced with multiple nutritional problems which is very worrying. Double burden nutrition is a condition that occurs in communities where malnutrition problem is still not resolved completely, while more nutrition problems have emerged. In society, the phenomenon of multiple nutritional problems occur in almost all lines of society and has the potential to degrade the quality of life of Indonesian human resources. Multiple nutritional problems require comprehensive treatment and require collaboration across sectors to address them because of this condition, especially in children has the potential to degrade the quality of intelligence in children whose long-term impact is to lower the quality of a nation's human resources. Health centers are frontline health services in the community must take an active role in handling multiple nutritional problems that begins with community development projects for screening toddlers malnutrition and over nutrition through integrated health and further improve health promotion activities through education to the community, especially the potentially experiencing double burden nutrition. Keywords: double burden nutrition, under nutrition, over nutrition, the role of Puskesmas

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

72


1.

PENDAHULUAN

memerlukan kerjasama lintas sektoral untuk

Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi

ganda

Menurut

yang

data

amat mengkhawatirkan.

Riset

Kesehatan

Dasar

(Riskesdas) tahun 2010, jumlah penderita berat

menangulanginya. garda

terdepan

Puskesmas pelayanan

merupakan

kesehatan

di

masyarakat harus mengambil peran aktif dalam upaya penanganan masalah gizi ganda ini.

kurang di kalangan anak balita mencapai 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan

2.

13,0% gizi kurang, sementara prevalensi kegemukan pada anak balita secara nasional

Definisi masalah gizi ganda Saat ini Indonesia mengalami beban

berdasarkan indikator berat badan menurut

gizi ganda yang harus segera ditanggulangi

tinggi badan mencapai 14%.

karena

Kekurangan

gizi

pada

anak

dapat

menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak menjadi kurus dan sangat pendek (stunting). Bila hal ini tidak segera diatasi,

dalam

jangka

panjang

akan

mengakibatkan hilangnya potensi generasi muda yang cerdas dan berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak

PEMBAHASAN

baik bagi anak karena memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus,

hipertensi,

hiperkolesterol

dan

tersebut

akan

Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas dapat terjadi baik pada anak-anak hingga usia dewasa (1) Kekurangan gizi pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak menjadi kurus dan sangat pendek (stunting). Bila hal ini tidak segera diatasi,

dalam

jangka

panjang

akan

mengakibatkan hilangnya potensi generasi

penyakit jantung. Dalam masyarakat, fenomena masalah gizi ganda terjadi hampir di semua lini masyarakat

gizi

menciptakan berbagai persoalan di Indonesia.

produktif dan tidak mampu bersaing di masa depan. Sementara itu, kelebihan gizi juga tidak

masalah

dan

berpotensi

menurunkan

kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia.

muda yang cerdas dan berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak produktif dan tidak mampu bersaing di masa depan. Sementara itu, kelebihan gizi juga tidak

Banyak

faktor

yang

mempengaruhi

terjadinya masalah gizi ganda, diantaranya adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk

baik bagi anak karena memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus,

hipertensi,

hiperkolesterol

dan

penyakit jantung.

anak, kualitas pemberian ASI, Berat Badan Lahir

Rendah

(BBLR),

hygiene

sanitasi

lingkungan, akses ke makanan, serta factor lingkungan dan keluarga.

yang

Indonesia saat ini memiliki beban ganda masalah gizi. Menurut data Riset

Masalah gizi ganda ini memerlukan penanganan

Gambaran umum gizi ganda

komprehensif

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

dan

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, jumlah penderita berat kurang di kalangan anak balita 73


mencapai 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi

Untuk

mengatasi

masalah

gizi,

buruk dan 13,0% gizi kurang, sementara

khususnya balita kurang gizi diperlukan aksi

prevalensi kegemukan pada anak balita secara

lintas sektoral. Asupan makanan yang tidak

nasional berdasarkan indikator berat badan

memadai dan penyakit merupakan penyebab

menurut tinggi badan mencapai 14%. Masalah

langsung masalah gizi ibu dan anak. Hal ini bisa

gizi lebih yang paling mengkhawatirkan terjadi

terjadi karena praktek pemberian makan bayi

pada perempuan dewasa yang mencapai

dan anak yang tidak tepat dan, penyakit dan

26,9% dan laki-laki dewasa sebesar 16,3%.

infeksi yang berulang, perilaku hygiene sanitasi dan pengasuhan yang buruk. Pada gilirannya,

Masalah gizi pada masa balita

semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti

Usia balita adalah masa emas dalam

kurangnya

pendidikan

dan

pengetahuan

pertumbuhan manusia. Pada masa inilah perlu

tentang pengasuh anak, penggunaan air yang

disiapkan segala instrument untuk mendukung

tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat,

pertumbuhan dan perkembangannya untuk

keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan

menghasilkan sumber daya manusia yang

yang rendah(2)

berkualitas di kemudian hari. Kualitas sumber

Saat ini pelayanan gizi untuk balita di

daya manusia menjadi salah satu asset yang

posyandu binaan puskesmas masih terfokus

penting dalam menjamin kemajuan suatu

pada masalah kekurangan gizi. Ketika para

negara. Jadi tidak berlebihan bila dikatakan

pemangku kepentingan dihadapkan pada data

bahwa balita yang sehat adalah aset berharga

bahwa di area kerjanya terdapat kejadian balita

bagi negara.

gizi buruk maka akan timbul kepanikan yang

Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat

perkembangan

anak

muda,

dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam

kehidupan

jika di area kerjanya terdapat banyak balita yang mengalami obesitas.

Studi

Overweight dan Obesitas kini mulai

menunjukkan bahwa anak pendek sangat

diterima sebagai salah satu masalah kesehatan

berhubungan dengan prestasi pendidikan yang

serius

buruk, lama pendidikan yang menurun dan

Pandangan

pendapatan

sesuatu

dewasa.

yang

selanjutnya.

sangat hebat. Namun tidak demikian halnya

rendah

Anak-anak

sebagai

negara-negara mengenai

yang

tidak

berkembang.

obesitas

sebagai

berbahaya,

walau

menghadapi

bagaimanapun, sudah tidak dapat diterima lagi,

kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh

mengingat bukti-bukti yang telah dikumpulkan

menjadi

selama 10 tahun terakhir memperlihatkan hal

orang

pendek

orang

di

dewasa

yang

kurang

berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh

sebaliknya (3) Fenomena

obesitas

pada

masa

karena itu, anak pendek merupakan prediktor

kanak-kanak semakin banyak kita jumpai di

buruknya kualitas sumber daya manusia yang

sekitar kita. Beberapa orang tua semakin

diterima

bangga bila anak mereka semakin gemuk. Tak

secara

menurunkan

luas,

kemampuan

yang

selanjutnya

produktif

suatu

bangsa di masa yang akan datang.

jarang orang tua berpikir bahwa kegemukan pada masa kanak-kanak menjadi indicator keberhasilan pola asuh mereka.

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

74


Obesitas

pada masa kanak-kanak

berat badan dibawah garis merah (BGM)

harus menjadi perhatian para professional

namun juga balita yang memiki berat badan

kesehatan karena kegemukan pada anak

diatas normal yang berpotensi mengarah ke

terjadi akibat adanya proliferasi sel

kondisi obesitas.

peningkatan

jumlah

sel

lemak

atau

(adiposit).

Jumlah tersebut tidak menurun bila anak

Masalah gizi anak usia sekolah

menjadi kurus dan jumlah adiposity tidak

Adapun masalah-masalah yang timbul

berubah seumur hidup. Sedangkan pada orang

pada kelompok umur usia sekolah, antara lain

dewasa, kegemukan terjadi karena adanya

defesiensi Fe dan seringnya jajan di sekolah

hiperplasi sel (ukuran adiposity bertambah,

sehingga dirumah anak tidak mau makan dan

selnya menjadi besar namun jumlah sel lemak

pada umumnya mereka tidak sarapan (makan

tetap). Karena itulah kegemukan yang terjadi

pagi), makan siang di luar rumah tidak teratur

pada masa kanak-kanak seringkali bersifat

sehingga tidak tercukupi kebutuhan gizinya.

menetap hingga dewasa.

Hal ini diperparah dengan

Obesitas pada masa anak dapat

kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan

meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM)

yang kurang sehat dengan kandungan kalori

tipe 2. Selain itu, juga berisiko untuk menjadi

tinggi tanpa disertai konsumsi sayur dan buah

obesitas pada saat dewasa dan berpotensi

yang cukup sebagai sumber serat. Anak yang

mengakibatkan

metabolisme

berusia 5-7 tahun merupakan kelompok yang

glukosa dan penyakit degeneratif seperti

rentan terhadap gizi lebih. Oleh karena itu,

penyakit

anak dalam rentang usia ini perlu mendapat

jantung,

gangguan

penyumbatan

pembuluh

darah dan lain-lain. (4)

perhatian dari sudut perubahan pola makan

Selain itu obesitas pada masa kanak-

sehari-hari

karena

makanan

yang

biasa

kanak juga berpotensi menurunkan kualitas

dikonsumsi sejak masa anak akan membentuk

intelegensia pada anak-anak yang dampak

pola kebiasaan makan selanjutnya.

jangka

panjangnya

adalah

menurunkan

Kurang vitamin A pada anak balita

kualitas SDM suatu bangsa. Hal ini disebabkan

dapat

menurunkan

daya

karena studi terbaru menunjukkan, orang yang

meningkatkan

obesitas memiliki jaringan otak 8 persen lebih

meningkatkan resiko kematian akibat infeksi.

resiko

tahan

kebutaan,

tubuh, dan

sedikit dibanding pada orang yang berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami

Masalah gizi usia remaja

kemunduran sampai 16 tahun lebih tua

Remaja adalah anak yang berusia 10-

dibandingkan orang yang tak terlalu banyak

19 tahun. WHO mendefinisikan remaja sebagai

lemak. Orang gemuk memiliki jaringan otak

suatu masa dimana individu berkembang dari

empat persen lebih sedikit dan otaknya terlihat

saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

lebih tua 8 tahun (5)

seksual sekundernya (pubertas) sampai saat ia

Beberapa hal diatas menjadi alasan

mencapai kematangan seksual. Pada masa ini

bahwa saat ini masalah krusial yang harus

individu mengalami perkembangan psikologi

dicermati pada tahapan

screening gizi di

dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi

Posyandu bukan hanya balita yang memiliki

dewasa. Selain itu, terjadi peralihan dari

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

75


ketergantungan sosial dan ekonomi yang

menampilkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai

penuh kepada orang tua menuju keadaan yang

yang dianut oleh kelompok sebayanya.

relatif sedikit lebih mandiri Pada

Masalah gizi dan kesehatan remaja terjadi

boleh jadi berawal pada usia yang sangat dini.

yang sangat

Gejala sisa infeksi dan mallnutrisi ketika kanak-

signifikan. Perubahan fisik ditandai dengan

kanak akan menjadi beban pada usia remaja.

pertumbuhan badan yang pesat (growth spurt)

Mereka yang dapat selamat dari penyakit diare

dan

Laju

dan infeksi kronis saluran nafas terkait dengan

pertumbuhan badan berbeda antara wanita dan

mallnutrisi semasa bayi tidak akan mungkin

pria. Wanita mengalami percepatan lebih dulu

tumbuh

dibandingkan

normal.

perubahan fisik

masa

dan psikis

matangnya

organ

pria.

ini

reproduksi.

Karena

tubuh

wanita

sempurna

menjadi

remaja

yang

dipersiapkan untuk reproduksi. Sementara pria

Ada tiga alasan mengapa remaja

baru dapat menyusul dua tahun kemudian.

dikategorikan rentan terhadap masalah gizi.

Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan

Pertama,

pertambahan pesat berat badan (BB) dan tinggi

perkembangan tubuh memerlukan energi lebih

badan (TB). Pada masa ini pertambahan BB

banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan

wanita 16 gram dan pria 19 gram setiap

kebiasaan

harinya. Sedangkan pertambahan TB wanita

masukan

dan pria masing-masing dapat mencapai 15 cm

kehamilan, keikutsertaan dalam olah raga,

per tahun. Pertumbuhan remaja putra pada

kecanduan

usia 12-13 tahun dan mencapai puncaknya

meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi

percepatan

makan energi

pertumbuhan

menuntut dan

zat

alkohol

penyesuaian gizi.

dan

dan

Ketiga,

obat-obatan

pada usia 14 tahun dan selesai pada usia 19

Berbagai bentuk gangguan gizi pada

tahun. Pada masa ini remaja putra mengalami

usia remaja sering terjadi. Selain kekurangan

peningkatan massa otot, jaringan tanpa otot

energi dan protein anemia gizi dan defisiensi

dan tulang (6)

berbagai vitamin juga sering terjadi. Sebaliknya menyebabkan

juga masalah gizi lebih (overnutrition) yang

remaja membutuhkan asupan nutrisi yang lebih

ditandai oleh tingginya jangka obesitas pada

besar dari pada masa anak-anak. Ditambah

remaja terutama di kota-kota besar.

Pertumbuhan

fisik

lagi pada masa ini, remaja sangat aktif dengan

Berbagai

faktor

yang

memicu

berbagai kegiatan, baik itu kegiatan sekolah

terjadinya masalah gizi pada usia remaja

maupun olahraga. Khusus pada remaja putri,

antara lain adalah:

asupan nutrisi juga dibutuhkan untuk persiapan

1. Kebiasaan makan yang buruk

reproduksi. Perubahan

psikis

menyebabkan

Kebiasaan

makan

berpangkal

pada

yang

buruk

kebiasaan

yang makan

remaja sangat mudah terpengaruh oleh teman

keluarga yang juga tidak baik sudah

sebaya.

memperhatikan

tertanam sejak kecil akan terus terjadi pada

penampilan fisik untuk tampil menarik di depan

usia remaja. Mereka makan seadanya

teman-teman maupun lawan jenis mereka. Hal

tanpa mengetahui kebutuhan akan berbagai

tersebut menyebabkan remaja berusaha untuk

zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya

Mereka

sangat

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

76


kebutuhan

zat

gizi

tersebut

terhadap

kesehatan mereka.

ibu hamil dapat meningkatkan resiko kematian waktu melahirkan, meningkatkan resiko bayi

2. Pemahaman gizi yang keliru

yang

dilahirkan

kurang

zat

besi,

dan

Tubuh yang langsing sering menjadi idaman

berdampak buruk pada pertumbuhan sel-sel

bagi para remaja terutama wanita remaja.

otak anak, sehingga secara konsisten dapat

Hal itu sering menjadi penyebab masalah,

mengurangi kecerdasan anak. Anemia pada

karena untuk memelihara kelangsingan

orang dewasa dapat menurunkan produktivitas

tubuh mereka menerapkan pengaturan

sebesar 20-30 persen.

pembatasan sehingga

makanan

kebutuhan

secara

gizi

keliru

Tingginya prevalensi Berat Bayi Lahir

tak

Rendah (BBLR) akibat tingginya prevalensi

mereka

terpenuhi.

Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil.

3. Kesukaan

yang

berlebihan

terhadap

makanan tertentu

Pada

kondisi

gizi

buruk,

penurunan

produktivitas perorangan diperkirakan lebih dari

Kesukaan

yang

makanan

tertentu

berlebihan saja

terhadap

menyebabkan

kebutuhan gizi tak terpenuhi. Keadaan

10 persen dari potensi pendapatan seumur hidup

dan

secara

agregat menyebabkan

kehilangan PDB antara 2-3 persen (10))

seperti itu biasanya terkait dengan ‘mode’

Masalah gizi kurang juga dapat terjadi

yang tengah marak dikalangan remaja.

pada kelompok usia produktif, yang dapat

Masuknya produk-produk makanan baru

diukur dengan Lingkar Lengan Atas kurang dari

yang berasal dari negara lain secara bebas

23,5 cm (LILA < 23,5 cm). Ukuran ini

mempengaruhi

merupakan indikator yang menggambarkan

dianggap modern

kebiasaan

sebagai oleh

makan

lambang

para

dan

kehidupan

remaja.

resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK).

Padahal

Selain KEK, pada kelompok usia

berbagai jenis fast food itu mengandung

produktif juga terdapat masalah kegemukan

kadar lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi

(IMT>25) dan obesitas (IMT>27).

disamping kadar garam

Masalah gizi mikro lain yang perlu

4. Promosi yang berlebihan melalui media massa Usia

mendapat perhatian adalah kurang seng (Zinc ) pada ibu hamil. Kekurangan seng (kandungan

remaja

merupakan

usia

dimana

seng

<7

mg/dl

serum

menyebabkan

Kondisi

kehamilan dan bibir sumbing pada bayi yang

pengusaha

dimanfaatkan makanan

oleh untuk

dilahirkan.

Sedangkan

resiko

dapat

mereka sangat tertarik pada hal-hal baru. tersebut

tingginya

darah)

besarnya

komplikasi

masalah

mempromosikan produk mereka dengan

kurang zat gizi mikro lainnya seperti asam folat,

cara yang sangat mempengaruhi remaja.

selenium, kalsium, vitamin C, dan vitamin B1

Padahal,

produk

sampai kini belum diketahui.

bukanlah

makanan

makanan yang

tersebut

sehat

bila

Pola hidup generasi dewasa muda saat

(7)

ini mengalami perubahan karena berbagai

dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan

macam hiburan, pertemuan dan kegiatanMasalah gizi usia produktif Kurang zat besi (anemia gizi besi) pada BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

kegiatan lain seringkali menuntut fisik untuk tidak aktif, seperti menonton televisi, film, 77


pertunjukkan

dan

lain

sebagainya.

Hal-hal yang menjadi pemicu timbulnya

Pertambahan penduduk menyebabkan makin

masalah gizi pada lansia adalah:

berkurangnya ruang terbuka dan fasilitas

1. Berkurangnya

umum

serta

Dengan

makanan

ketiadaan fasilitas olahraga yang nyaman dan

ompong.

memadai

fasilitas

ditambah

kesadaran

dan

olahraga.

dengan

motivasi

pengetahuan, yang

kurang

kemampuan

akibat

2. Berkurangnya

kerusakan

indera

mengakibatkan

mencerna gigi

atau

pengecapan

penurunan

sensitivitas

menyebabkan frekuensi untuk berolahraga

terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan

sebagai salah satu bentuk aktivitas fisik juga

pahit.

semakin menurun.

3. Esophagus/kerongkongan

Meningkatnya

masalah

gizi

lebih

karena tingginya konsumsi makanan yang kaya karbohidrat, lemak, garam, rendah serat, kebiasaan merokok dan berkurangnya aktifitas

mengalami

pelebaran. 4. Rasa

lapar

menurun,

asam

lambung

menurun. 5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah

fisik mengakibatkan gizi lebih merupakan salah

dan biasanya menimbulkan konstipasi.

satu penyebab penyakit degeneratif (tidak

6. Penyerapan makanan di usus menurun. (9)

menular). (8) Fungsi Masalah gizi usia lansia

Puskesmas

berdasarkan

Kepmenkes nomor 128 tahun 2004

Masalah gizi yang sering terjadi pada

Berdasarkan

keputusan

menteri

masa lansia adalah :

kesehatan RI nomor 128 tahun 2004 tentang

1. Gizi berlebih

Kebiajakan

Dasar

Pusat

Kesehatan

Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di

Masyarakat dapat dilihat bahwa puskesmas

negara-negara barat dan kota-kota besar.

memiliki 3 fungsi yaitu :

Hal ini disebabkan karena pada lansia

1. Pusat

penggunaan

energy

menurun

karena

Puskesmas berperan menggerakkan

2. Gizi kurang :

dan

kurang

sering

pembangunan

berwawasan kesehatan

berkurangnya aktivitas fisik.

Gizi

penggerak

disebabkan

memantau

penyelenggaraan

oleh

pembangunan lintas sektor termasuk oleh

masalah-masalah social ekonomi dan juga

masyarakat dan dunia usaha di wilayah

karena gangguan penyakit.

kerjanya,

3. Kekurangan vitamin

sehingga

berwawasan

serta

mendukung pembangunan kesehatan.

Bila konsumsi buah dan sayuran dalam

Disamping

itu

memantau

kekurangan

makanan

kesehatan dari penyelenggaraan setiap

berkurang,

program pembangunan di wilayah kerjanya.

akibatnya

nafsu

penglihatan penampilan

dalam makan

menurun, menjadi

kulit lesu

dan

melaporkan

aktif

makanan kurang dan ditambah dengan protein

dan

Puskesmas

dampak

kering,

Khusus untuk pembangunan kesehatan

tidak

upaya yang dilakukan puskesmas adalah

bersemangat.

mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

pencegahan

penyakit

tanpa 78


mengabaikan penyembuhan penyakit dan

meningkatkan

pemulihan kesehatan.

mencegah penyakit

2. Pusat pemberdayaan masyarakat Puskesmas

selalu

kesehatan

serta

2. Puskesmas sebagai pusat pelayanan

berupaya

agar

kesehatan perseorangan primer dimana

perorangan terutama pemuka masyarakat,

peran Puskesmas dimaknai sebagai

keluarga dan masyarakat termasuk dunia

gate keeper atau kontak pertama pada

usaha memiliki kesadaran, kemauan dan

pelayanan

kemampuan melayani diri sendiri dan

penapis rujukan sesuai dengan standard

masyarakat untuk hidup sehat, berperan

pelayanan medik.

kesehatan

formal

dan

aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta

Untuk menanggulangi masalah gizi

ikut menetapkan, menyelenggarakan dan

ganda,

memantau

pelaksanaan

program

mengedepankan fungsi pertama dan kedua

kesehatan.

Pemberdayaan

perorangan,

sebagai implementasi karena tindakan promotif

keluarga

dan

masyarakat

ini

dan

puskesmas

preventif

di

ranah

hendaknya

kesehatan

akan

diselenggarakan dengan memperhatikan

membuahkan hasil yang jauh lebih baik

kondisi

daripada tindakan kuratif yang merupakan

dan

situasi,

khususnya

social

budaya masyarakat setempat.

fungsi puskesmas yang ketiga.

3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama Puskesmas

Tujuan

dasar

restrukturisasi

bertanggungjawab

Puskesmas adalah memperkokoh fungsi upaya

menyelenggarakan pelayanan kesehatan

kesehatan masyarakat (UKM) serta upaya

tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu

kesehatan perorangan (UKP). Pengembangan

dan

UKM

berkesinambungan.

Pelayanan

dan

UKP

menjadi

sangat

penting

kesehatan tingkat pertama yang menjadi

utamanya untuk mendukung diberlakukannya

tanggungjawab

meliputi

Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN)

pelayanan perorangan antara lain, rawat

mulai Januari 2014 serta penguatan layanan

jalan dan rawat inap serta, pelayanan

promotif dan preventif.

Puskesmas

kesehatan masyarakat yang bersifat public

Hingga kini masih sering dijumpai

dengan tujuan utama memelihara dan

pemandangan

meningkatkan kesehatan serta mencegah

masih berfokus pada pendekatan kuratif dari

penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan

pada preventif. Beberapa analisa menyebutkan

penyakit dan pemulihan kesehatan. (10)

bahwa akar dari praktek tersebut antara lain

Artinya,

upaya

kesehatan

di

adalah

adanya

umum

dimana

persepsi

dari

Puskesmas

pengambil

Puskesmas dipilah dalam dua kategori

keputusan ditingkat kabupaten/kota bahwa

yakni :

layanan kuratif lebih memberikan kontribusi

1. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat

yang berarti pada Pendapatan Asli Daerah

primer

yakni

puskesmas

sebagai

pemberi layanan promotif dan preventif dengan

sasaran

masyarakat

untuk

(PAD) Tambahan pula, persepsi masyarakat

kelompok

dan

yang masih menganggap Puskesmas hanya

memelihara

dan

sebagai penyedia pengobatan bagi orang sakit

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

79


atau sebagai fasilitas ‘orang sakit’ daripada fasilitas ‘menjadi sehat’. Paradigma sehat yang

4. Mengurangi aktivitas menonton televisi dan aktivitas duduk yang terlalu lama

selalu mengutamakan pendekatan promotif-

5. Meningkatkan kualitas tidur

preventif masih sangat sukar dipahami dan

6. Manajemen stress (12)

diadopsi masyarakat dan penyedia layanan di Puskesmas.

Tindakan

Paradigma Puskesmas

penyedia

masih

penyembuhan

layanan

berfokus

dan

pemulihan

di

pada dengan

yang

bisa

dilakukan

puskesmas sebagai salah satu

upaya

mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional

adalah mendorong

penekanan pada kuratif –rehabilitative, dan

kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan

paradigma ini sudah melekat kuat sehingga

masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini sejalan

tidak mudah tergantikan. Idealnya, peran

dengan salah satu fungsi puskesmas yaitu

Puskesmas sebagai gate keeper atau penyedia

sebagai pusat pemberdayaan masyarakat.

layanan

kesehatan

primer

yang

mampu

Dalam rangka meningkatkan cakupan

menggeser paradigma sakit yang ada dengan

pelayanan

mengedepankan paradigma sehat.

berbagai

Disisi lain, komposisi tenaga kesehatan

kesehatan

kepada

upaya

masyarakat

dilakukan

dengan

memanfaatkan potensi dan sumber daya yang

di Puskesmas diberbagai wilayah di Indonesia,

ada

pada umumnya masih jauh dari standar

bersumber

KEPMENKES No. 81 tahun 2004 tentang

diantaranya adalah Posyandu, Polindes, dan

Pedoman Penyusunan Sumber Daya Manusia

Pos Obat Desa (POD).

(SDM)

Kesehatan.

masyarakat. daya

Upaya

kesehatan

masyarakat

(UKBM)

profesional

Beberapa usulan kegiatan yang bisa

kesehatan yang beriorientasi pada kegiatan

dilakukan puskesmas berdasarkan fungsinya

promotif & preventif seperti ahli gizi, sanitarian

terutama

dan, analis kesehatan masih sangat minim.

prevalensi gizi ganda menyangkut fungsinya

Terbukti

sebagai

dari

hasil

Tenaga

di

survey

terbaru

yang

dalam

pusat

upaya

meminimalisir

penggerak

pembangunan

dilakukan Prof. Ascobat Gani di Nusa Tenggara

berwawasan

Timur (NTT) menemukan bahwa di sejumlah

pemberdayaan masyarakat adalah sebagai

kabupaten yang memiliki angka prevalensi

berikut :

busung lapar dan diare yang cukup tinggi tidak

1. Mengaktifkan

memiliki tenaga ahli gizi dan sanitarian.

(11)

kesehatan

dan

fungsi

pusat

Polindes

yang

merupakan salah satu bentuk peran serta

Tindakan yang bisa dilakukan untuk

masyarakat dalam rangka mendekatkan

meminimalisir angka kejadian obesitas adalah:

pelayanan kebidanan melalui penyediaan

1. Memilih bahan makanan dan minum yang

tempat

pertolongan

persalinan

sehat (biji-biian utuh, sayuran, buah, ikan,

pelayanan

dll)

termasuk keluarga berencana. Kegiatan

2. Membatasi asupan makanan yang tidak sehat

(gula,

minyak,

daging

merah,

makanan awetan, dll) 3. Membiasakan olah raga teratur BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

kesehatan

ibu

dan

dan anak

yang bisa dilakukan di Polindes adalah : a. Melakukan kesehatan pengecekan

pemeriksaan ibu

hamil

kadar

kondisi termasuk

Hb

untuk 80


meminimalisir kejadian anemia pada ibu hamil

5. Melalui

dinas

kesehatan

berkoordinasi

dengan dinas pertanian dan peternakan

b. Melakukan edukasi kepada ibu hamil tentang

pentingnya

pemberian

ekslusif

selama

bulan

untuk

mendukung

program

ketahanan

pertama

pangan (SKPG = Sistem Kewaspadaan

kehidupan bayi karena ASI memiliki

Pangan dan Gizi) terutama di pedesaan

faktor protector terhadap resiko obesitas

yang masih lahan produktif dan di daerah

c. Melakukan

6

ASI

untuk memanfaatkan tanah pekarangan

melalui

perkotaan dengan pemanfaatan lahan tidur.

kegiatan

6. Edukasi kepada kader untuk menciptakan

Antenatal Care (ANC) kepada ibu hamil

inovasi resep masakan baru berdasarkan

di area kerjanya.

bahan

pencatatan

dokumentasi dan

pelaporan

makanan

yang

tersedia

di

2. Edukasi kepada orang tua untuk memiliki

wilayahnya dan mengakomodir kearifan

pola hidup sehat sehingga bisa menjadi role

local untuk memanfaatkan bahan pangan

models bagi anak-anak dan waktunya bisa

lokal sebagai PMT saat kegiatan Posyandu

dikoordinasikan dengan pihak sekolah saat

dan bila perlu bekerja sama dengan

pengambilan raport siswa.

produsen

Salah satu hal yang harus menjadi perhatian

menjadikan kegiatan ini menjadi suatu

adalah edukasi kepada orang tua untuk

entertainment

lebih bijak dalam mengatur waktu bagi anak-

dengan

anak dalam pemanfaatan media komunikasi

menghadirkan narasumber kuliner.

visual maupun gadget.

bahan

TOGA

yang

menarik

memberikan

7. Mengaktifkan

3. Melakukan penyuluhan tentang makanan

makanan

kembali

(Taman

Obat

untuk

semisal

doorprize

atau

pembudidayaan Keluarga)

di

sehat dan upaya untuk menjaga hygiene

pekarangan atau lahan tidur sehingga

sanitasi perorangan ke sekolah dan PAUD

tercipta Warung Obat Desa (WOD) yang

yang

dan

merupakan wujud peran serta masyarakat

berkoordinasi dengan pihak sekolah untuk

dalam hal pengobatan sederhana, terutama

membuka kantin sehat untuk memberikan

untuk penyakit yang sering terjadi pada

edukasi secara nyata tentang makanan

masyarakat setempat. Kegiatan ini harus

sehat bagi para siswa.

terus dipupuk keaktifannya dan tidak hanya

berada

di

area

kerjanya

4. Berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan edukasi tentang hygiene sanitasi

digiatkan

saat

menjelang

perlombaan

lingkungan sehat.

dan keamanan pangan serta pemantauan

8. Menggerakkan partisipasi aktif masyarakat

kualitas produk secara berkala ke home

untuk mengoptimalkan cakupan Posyandu

industry pangan di wilayah kerjanya dan

sebagai informasi awal temuan kejadian

melalui dinas

kurang gizi dan obesitas pada balita.

kesehatan, mengusulkan

koordinasi dengan dinas deperindag untuk mencabut

Posyandu juga merupakan salah satu bentuk

ijin produksi dan ijin edar

UKBM yang paling dikenal oleh masyarakat.

makanan jajanan yang tidak sehat atau

Posyandu menyelenggarakan minimal 5

mengandung bahan tambahan makanan

program prioritas yaitu kesehatan ibu dan

yang berbahaya.

anak, keluarga berencana, perbaikan gizi,

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

81


imunisasi dan penanggulangan diare. 9. Melakukan

edukasi

kegiatan

ini

bermaksud

kesehatan

untuk menggerakkan peran serta masyarakat

reproduksi pada anak usia remaja sehingga

dalam menciptakan lingkungan yang bersih

diharapkan bisa menekan angka kehamilan

dan sehat untuk menunjang upaya peningkatan

yang tidak diinginkan pada usia dini

kesehatan untuk menunjang Perilaku Hidup

10. Melakukan

tentang

Kesemua

edukasi

dan

pemeriksaan

Bersih dan Sehat (PHBS) yang merupakan

kesehatan secara berkala pada kelompok

program utama kesehatan lingkungan yang

masyarakat yang memiliki resiko tinggi

harus dilakukan Puskesmas meliputi:

penyakit infeksius dan non infeksius misal di

a. Penyehatan air semisal kegiatan abatisasi

area lokalisasi

pada KLB DBD dan Kaporisasi pada sumur-

11. Melakukan penyuluhan tentang kesehatan

sumur yang tercemar pada KLB diare

kerja pada kelompok usia produktif yang

b. Penyehatan makanan dan minuman

bekerja di sector industry yang rawan

c. Pengawasan

terhadap

gangguan

kesehatan

dan

pengadaan kantin makanan sehat bagi para pekerja

pembuangan

kotoran

mannusia d. Pengawasan dan pembuangan sampah dan limbah

12. Berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menciptakan

peningkatan

di

bidang

e. Penyehatan pemukiman f. Pengawasan sanitasi tempat umum

ekonomi semisal gerakan one village one

g. Pengamanan polusi industri

product sehingga akan mengurangi angka

h. Pengamanan pestisida

urbanisasi karena salah satu penyebab

i. Klinik sanitasi

tingginya angka kejadian gizi buruk adalah pola pengasuhan anak yang tidak tepat

Dengan

diberlakukannya

Sistem

karena ditinggal orang tuanya bekerja di

Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada bulan

kota

Januari 2014 mendatang, diharapkan akan

13. Menggerakkan

komunitas

terjadi perubahan pada sistem pembiayaan

masyarakat dalam membentuk posyandu

Puskesmas. Dalam konteks tersebut maka

lansia dalam upaya peningkatan kualitas

pembiayaan Puskesmas akan didukung oleh

hidup dan kemandirian bagi para lansia

dana kapitasi dari Badan Penyelenggara

14. Koordinasi dengan pejabat setempat untuk

Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K). Artinya,

menyediakan sarana dan prasarana untuk

Puskesmas harus siap dan mampu mengelola

mengakomodir

raga

dana kapitasi tersebut demi pemenuhan SJSN

dan memberikan informasi

sekaligus sebagai masukan manfaat bagi

masyarakat

peran

serta

aktivitas

olah

kepada dinas kesehatan tentang kebutuhan

Puskesmas.

sarana dan prasarana yang diperlukan masyakarat

serta

menjalin

Peran

puskesmas

dalam

upaya

kerjasama

tindakan promotif dan preventif harus lebih

dengan pihak swasta untuk mendukung

ditingkatkan sehingga saat system kesehatan

upaya peningkatan sarana dan prasarana

nasional menerapkan system kapitasi maka

kesehatan masyarakat

akan

tercapai

suatu

kondisi

bilamana

masyarakat sehat dan sejahtera, maka salah BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

82


satu imbasnya adalah peningkatan financial

3. Khomsan, Ali (2004). Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta.

para pengawak puskemas.

PT Grasindo Anggota Ikapi. 3.

KESIMPULAN

4. Sjarif D. (2004). Anak gemuk, apakah

1. Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi ganda

yaitu kekurangan dan

2. Masalah gizi ganda berpotensi besar kualitas

SDM

suatu

Jakarta:

Divisi

anak

dan

penyakit metabolic. FKUI: Jakarta 5. Haris,

kelebihan gizi.

menurunkan

sehat?

Salim.

(2008).

Pengaruh

Gangguan Kognitif pada Lanjut Usia. Avaliable

From

:

http:/www.perdossi.or.id.

bangsa 3. Puskesmas sangat

memiliki

berperan

yang

6. http://ichikawai.wordpress.com/2013/0

dalam

2/25/gizi-pada-wanita-remaja-dan -

fungsi besar

menangani masalah gizi ganda di

dewasa sitasi tanggal 20 September

Indonesia

2013

4. Penanganan gizi ganda memerlukan

7. Jafar N. 2012. Repository.unhas.ac.id Perilaku gizi seimbang pada remaja

kerjasama lintas sektoral

8. http://www.bappenas.go.id/files.pdf sitasi tanggal 20 September 2013 4.

SARAN

9. http://resources.unpad.ac.id/unpadcon

Puskesmas harus bisa berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengupayakan kesehatan secara optimal Peran

puskesmas

dalam

upaya

tindakan promotif dan preventif harus lebih

tent/uploads/publikasi_dosen.pdf 10.Kepmenkes no 128 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat 11.http://aiphss.org/restoring-the-function-

ditingkatkan untuk penanganan masalah gizi

of-puskesmas Publish date July 26th,

ganda.

2013, sitasi tanggal 20 September

Puskesmas

bermetamorfosis

dengan

harus

mulai

menggeser

paradigma sakit yang ada saat ini berubah menjadi mengedepankan paradigma sehat

2013 12.http://www.hsph.harvard.edu/obesityprevention-source/obesity-prevention/ sitasi tanggal 14 September 2013

5.

DAFTAR PUSTAKA 1. Dewi Sartika. 2011. Jjournal.ui.ac.id/ health/article/download/, Factor resiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia sitasi tanggal 20 September 2013 2. http://www.unicef.org/indonesia/id/A6_ -_B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf sitasi tanggal 20 September 2013

BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

83


BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014

84


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.