SUSUNAN PENGURUS BOARD OF TRUSTEE dr. Endang L. Achadi, MPH. Dr PH (Universitas Indonesia) Fillah Fithra Dieny, S.Gz., M.Si (Universitas Diponegoro)
TIM REDAKSI Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia Azwar Burhan Universitas Hasanuddin Shabira Utami Institut Pertanian Bogor Elok Sekarini Stikes Surabaya Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin Santi Jaelani Universitas Indonesia
BOARD OF DIRECTION Lini Anisfatul, S.Gz (Universitas Indonesia)
PIMPINAN UMUM Rudianto Universitas Hasanuddin
SEKRETARIS Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor
BENDAHARA Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya
TIM HUMAS Mief Qur’ani S Universitas Brawijaya Hoiriyah Stikes Surabaya Alexandra Tatgyana Universitas Indonesia Damelya Patricia Universitas Hasanuddin Fortunella Stikes Surabaya Adinda Rizki Pemb. Veteran Mardhiati Universitas Hasanuddin Sarinah Institut Pertanian Bogor
TIM LAYOUT Karina Muthia Shanti Universitas Brawijaya Anneke Wulansari Universitas Brawijaya
PIMPINAN REDAKSI Fadilla Anjani Universitas Indonesia
i BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
DAFTAR ISI
ISSN : 2302-6448
Susunan Pengurus................................................................................................................................... Daftar Isi...................................................................................................................................................... Petunjuk Penulisan ……......................................................................................................................... Sambutan Pimpinan Redaksi..............................................................................................................
i ii iii ix
Research EDUKASI DUA SISI UNTUK MEWUJUDKAN JAJANAN SEHAT BAGI ANAK SEKOLAH DASAR Fhadilla Amelia .................................................................................................................................................................................................................................1
FORMULATION COMPLIMENTARY FEEDING BABY BISCUITS WITH COMPOSITE SUBSTITUTION ARROWROOT STARCH, SOYBEAN FLOUR, AND ORANGE-FLESHED SWEET POTATO FLOUR Nur Ilaika Zulfa, Ninik Rustanti .................................................................................................................................................................................................................................8
THE FACTOR RELATED TO SNACKS PREFERENCE IN ELEMENTARY SCHOOL CHILDREN Bondika Ariandani Aprillia, Fillah Fithra Dieny
.................................................................................................................................................................................................................................26
FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN POLA ASUH PEMBERIAN MP-ASI UNTUK BAYI USIA 6-11 BULAN DI LINGKUNGAN PADAT PENDUDUK KELURAHAN CIPINANG MELAYU JAKARTA TIMUR
Eldina Christiani, Paramitha Wirdani N. Marlina .................................................................................................................................................................................................................................44
STRATEGI PENERAPAN COUNSELING PREVENTIONDAN RAPID DIAGNOSISNEGLECTEDSOIL-TRANSMITTED HELMINTH DISEASEPADA KLINIK KESEHATAN IBU DAN ANAK SEBAGAI UPAYA KONTROL DAN PENCEGAHAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DAN ANEMIA IBU HAMIL
Naili Nur Sa’adah Nuhriawangsa,Yoga Mulia Pratama, dan Ega Caesaria Pratama Putra .................................................................................................................................................................................................................................57
Literature Study UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN MELALUI STUDI PERSIAPAN BERAS TIRUAN DARI UMBI GADUNG SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL : KAJIAN PUSTAKA
Dwi Yuwono Kristanto, Arif Sabta Aji, Rois Alfarisi, Rizal Yahya .................................................................................................................................................................................................................................65
PERAN PUSKESMAS DALAM PENANGANAN MASALAH GIZI GANDA DI INDONESIA
Yayuk Estuningsih .................................................................................................................................................................................................................................72
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
ii
PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi. Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi).
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
iii
7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka. Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman. 3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimgi@bimkes.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul karangan (Title) 2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution) 3. Abstrak (Abstract) 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
iv
- Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. 7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis. 9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i. Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12. ii. Suatu organisasi sebagai penulis
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
v
The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. iii. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. iv. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in noninsulindependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. x.
Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33.
xi. Nomor halaman dalam angka Romawi
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
vi
Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii. 2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; 1996. iii. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. iv. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. v. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996. vi. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis 1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor : Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
vii
Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. 2. Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research. viii. Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. ix. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995. 3. Materi elektronik i. Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm ii. Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995. iii. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
viii
SAMBUTAN PIMPINAN REDAKSI Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT di bulan Ramadhan kali ini BIMGI bisa kembali hadir menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi Indonesia. Salawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan umat manusia hingga akhir zaman. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota ILMAGI. Seperti edisi sebelumnya, BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 nomor 2 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh tim redaksi BIMGI. Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.Untuk itu kami berharap bahwa edisi BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi. Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi. Pimpinan Umum Rudianto
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
ix
Research
EDUKASI DUA SISI UNTUK MEWUJUDKAN JAJANAN SEHAT BAGI ANAK SEKOLAH DASAR
Fhadilla Amelia* *Program Studi Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
ABSTRAK Jajanan menjadi salah satu sumber gizi bagi anak sekolah dasar. Pedagang jajanan anak sekolah menjual berbagai makanan dan minuman menarik dengan harga yang murah. Hal tersebut menjadi daya tarik yang membuat sebagian besar anak sekolah memilih untuk jajan. Pedagang jajanan memiliki pendidikan dan keterampilan yang rendah sehingga cenderung mengabaikan hygiene dan sanitasi pengolahan makanan. Pedagang berasal dari kelas ekonomi rendah, sehingga mereka cenderung menggunakan bahan berbahaya seperti formalin dan boraks untuk membuat makanan agar menarik serta tahan lama. Hal tersebut akan menimbulkan dampak kesehatan jangka pendek maupun jangka panjang. Upaya yang dapat dilakukan adalah edukasi gizi dan kesehatan bagi pedagang jajanan serta anak sekolah. Para pedagang diberikan edukasi mengenai hygiene dan sanitasi pengolahan makanan serta memilih bahan makanan yang baik. Anak sekolah dipaparkan berbagai materi yang mampu meningkatkan pengetahuan mereka mengenai jajanan sehat. Upaya tersebut dapat diwadahi melalui Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), materi pelajaran di sekolah, serta pendidikan gizi di rumah. Upaya dari ke dua sisi ini diharapkan memberikan dampak yang signifikan dalam mewujudkan generasi muda yang lebih sehat. Terdapat berbagai tantangan dalam proses edukasi. Namun, tantangan tersebut dapat diminimalisir dengan kontrol yang teratur pada pedagang, serta monitoring dan evaluasi yang berkesinambungan. Katakunci: Edukasi, Pedagang Jajanan, Anak Sekolah
ABSTRACT Street food become the one source of nutrition for primary school children. Vendor selling it in interesting variety of food and drinks at a cheap price. Street food trader have low education and skills so that tends to ignore the hygiene and sanitation of food processing. Vendor come from lower economic classes , so they tend to use harmful ingredients such as formaldehyde and borax to make food so appealing and durable. This will cause both short-long term health effects and long term. Efforts to do is nutrition and health education for street food vendors as well as school children. The traders are given education about hygiene and sanitation of food processing and also choosing good foods. School children are given the knowledge of various materials that can enhance their knowledge about healthy food. Such efforts can be accommodated through the School Health Unit, the subject, and nutrition education at home. The efforts of the two sides is expected to give a significant impact in creating a healthier younger generation . There so many challenge. However, these challenges can be minimized with regular controls on vendor, as well as continuous monitoring and evaluation. Keywords: Education, Vendors, Primary School Children
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
1
1.
PENDAHULUAN
menunjukan adanya zat kimia berbahaya pada lima
sejumlah jajanan anak sekolah seperti: otak-
menyajikan
otak dan bakso yang mengandung borak, tahu
saji
yang
goreng dan mi kuning basah yang mengandung
umumnya berada di sepanjang jalanan atau
formalin, dan es sirup yang mengandung
Pedagang merupakan makanan
jajanan
pedagang dan
tempat-tempat
atau
yang
minuman
siap
1.
lainnya
kaki
Makanan
dan
pewarna
rhodamin
B.
Selain
dari
segi
penggunaan
bahan
makanan,
minuman yang disajikan sangat bervariasi
keamanan
dengan harga yang terjangkau. Di negara
dampak
berkembang
pedagang
ditimbulkan dari cara penyajian makanan yang
jajanan merupakan sumber mata pencaharian
tidak higienis. Hal ini mencakup personal
bagi kebanyakan penduduk yang memiliki
hyigiene pedagang dan kebersihan alat-alat
pendidikan
.
yang digunakan. Penelitian pada salah satu
Pedagang jajanan tersebut memenuhi ruang
sekolah dasar di Kecamatan Bangkinang Riau,
publik
menunjukan adanya hubungan yang signifikan
seperti
dan
seperti
Indonesia,
keterampilan
sekolah,
terbatas
tempat
wisata,
negatif
jajanan
kaki
lima
juga
antara penyajian makanan dan kontaminasi E.
perkantoran, maupun perumahan. Salah satu pedagang jajanan yang
Coli pada makanan jajanan 3, 4. Makanan jajanan yang tidak aman
perlu mendapat perhatian adalah pedagang jajanan anak sekolah. Selain adanya kantin, di
tentunya
sekolah biasanya juga terdapat pedagang
kesehatan jangka pendek maupun jangka
jajanan kali lima yang menjual berbagai
panjang.
makanan dan minuman yang menarik bagi
berbahaya dalam makanan seperti borax,
anak-anak. Jajanan tersebut merupakan salah
formalin, dan pewarna tekstil akan terakumulasi
satu sumber asupan gizi dan energi bagi
di dalam tubuh dan bersifat karsinogen yang
sebagian besar anak-anak 2.
dapat memicu tumor dan kanker. Selain itu, zat
Uang jajanan
menimbulkan
Penggunaan
tertentu
pada
berbagai
masalah
bahan-bahan
makanan
kimia
yang diberikan oleh orang tua umumnya akan
kimia
mampu
dibelikan pada makanan dan minuman yang
mengganggu fungsi otak dan menyebabkan
dijual di lingkungan sekolah.
gangguan perilaku pada anak sekolah, seperti
Besarnya peranan jajanan sekolah
konsentrasi belajar menurun dan anak menjadi
memenuhi
perlu
hiperaktif. Dari sisi hygiene, berbagai penelitian
mendapat perhatian yang serius. Makanan
menunjukan adanya kasus foodborne disease
jajanan kaki lima menyumbang 36% asupan
pada anak sekolah akibat mengkonsumsi
energi harian anak, 29% protein, dan 52% zat
makanan jajanan. Penelitian di salah satu
besi sehingga hal ini sangat berpengaruh bagi
sekolah
pertumbuhan anak. Namun, keamanan jajanan
sebesar 64,5% responden pernah menderita
dari segi mikrobiologis maupun kimiawi masih
diare saat mengkonsumsi makanan jajanan.
perlu dipertanyakan 3.
Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor
dalam
kebutuhan
anak
dasar
di
Banjarmasin
misalnya,
menunjukan
seperti: tempat jajan, kebiasaan cuci tangan,
adanya Salmonella paratyphi A pada 25-50%
jenis makanan yang dikonsumsi, kebersihan
sampel minuman yang dijual pedangang kaki
tempat jajan, dan kebersihan penjual jajanan
lima. Penelitian yang dilakukan di Jakarta Timur
5.
Penelitian
di
Bogor
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
3,
2
Program Edukasi Gizi dan Kesehatan bagi 2.
PEMBAHASAN
Pedagang Jajanan Anak Sekolah
Berbagai Upaya dari Pemerintah dalam Menciptakan Jajanan Sehat
Edukasi gizi dan kesehatan adalah suatu hal yang penting bagi para pedagang
Pemerintah telah melakukan berbagai
jajanan anak sekolah. Pedagang tersebut
upaya untuk mencegah anak sekolah dasar
umumnya
mengkonsumsi makanan yang tidak aman.
pendidikan yang cukup baik, khususnya dalam
Badan
hal hygiene dan sanitasi pengolahan makanan.
Pengawasan
(BPOM)
dan
Obat
dan
Departemen
Makanan Kesehatan
tidak
Pendidikan
memiliki
yang
latar
rendah
belakang
akan
membuat
menyampaikan materi komunikasi tentang
pengetahuan pedagang terbatas, sehingga
keamanan pangan. Selain itu, ada program
mereka tidak mampu mengenali bahan-bahan
Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah
berbahaya dan dampaknya bagi kesehatan
(AN PJAS) yang dicanangkan sejak tahun 2011
dalam
oleh Wakil Presiden Boediono. PJAS yang
sanitasi yang buruk dilandasi oleh rendahnya
memenuhi syarat meningkat dari 56-60% pada
pengetahuan
tahun 2008-2010 menjadi 65% (2011), 76%
makanan yang baik. Hal-hal ini merupakan akar
(2012) dan 80,79 (2013). Pemerintah juga
dari
melaksanakan koordinasi lintas sektoral berupa
pedagang jajanan 9.
pembuatan
jajanan.
mereka
permasalahan
Hygiene
terkait
yang
dan
pengolahan
sering
dialami
Focus Group Discussion (FGD) pangan jajanan
Salah satu upaya untuk meningkatkan
anak sekolah pada Februari 2014. Tujuannya
pengetahuan pedagang jajanan adalah melalui
adalah untuk mengidentifikasi dan memadukan
edukasi gizi dan kesehatan. Edukasi gizi
kegiatan AN PJAS tahun 2014 yang akan
memberikan informasi kepada para pedagang
dilaksanakan oleh instansi terkait pada tingkat
terkait bahan-bahan makanan yang aman dan
pusat maupun daerah6, 7.
berbahaya,
Pemerintah perundang-undangan
melalui berusaha
berbagai melindungi
makanan
proses yang
pengolahan
baik,
serta
bahan
memotivasi
pedagang menjual makanan yang bergizi.
anak sekolah dari bahaya jajanan yang tidak
Edukasi
aman. Beberapa perundangan seperti Undang-
mengenai
Undang Kesehatan Nomor 36 tahun 2009,
pengolahan makanan. Hal-hal yang dapat
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
diintervensi seperti: mencuci tangan sebelum
perlindungan anak, Undang-Undang Nomor 8
dan sesudah mengolah makanan, mencuci
tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,
peralatan hingga bersih dengan air mengalir,
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996, dan
dan menjaga kesehatan pedagang itu sendiri
Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004
terkait
tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
membersihkan rambut, menyikat gigi, dan lain-
tetapi sanksi dari pelanggaran peraturan ini
lain). Program edukasi gizi dan kesehatan ini
belum ditetapkan secara tegas 8. Hal ini menjadi
dapat dirangkum menjadi sebuah program yang
kendala
tujuan
bernama “Edukasi Pedagang untuk Generasi
terwujudnya jajanan sehat yang aman bagi
Sehat dan Berprestasi�. Program ini dapat
anak sekolah.
dilaksanakan
besar
dalam
mencapai
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
kesehatan hygiene
PHBS
akan dan
(seperti
oleh
memaparkan
sanitasi
dalam
memotong
pemerintah
kuku,
bersama
3
masyarakat secara berkala, misalnya sekali per
dalam memilih jajanan juga berubah ke arah
bulan. Program dapat diisi dengan kegiatan
yang positif
penyuluhan, demo masak jajanan sehat, lomba
satu bukti bahwa edukasi gizi dan kesehatan
PHBS antar pedagang, serta kegiatan yang
bagi anak sekolah menjadi poin penting yang
relevan lainnya.
mencegah anak mengkonsumsi makanan tidak
Merubah
perilaku
dan
kebiasaan
10.
Contoh tersebut menjadi salah
aman.
pedagang tentu tidak bisa terjadi secara
Usaha
Kesehatan
Sekolah
(UKS)
singkat. Pelaksanaan program edukasi gizi dan
tentunya bisa diharapkan sebagai sarana
kesehatan ini membutuhkan pendampingan
dalam memberikan edukasi gizi dan kesehatan
dan monitoring secara berkala. Program harus
bagi anak sekolah. UKS sebagai salah satu
dilaksanakan
pilar penunjang kesehatan bagi peserta didik
secara
berkesinambungan,
sehingga pedangang dan masyarakat benar-
dapat
benar merasakan dampaknya.
memperkaya
Program Edukasi Gizi dan Kesehatan bagi
melaksanakan
kegiatan
yang
siswa,
seperti:
pengetahuan
penyuluhan gizi setiap minggunya, pembuatan majalah dinding (mading) yang berisi informasi
Anak Sekolah
gizi dan kesehatan, lomba membuat jajanan Edukasi gizi dan kesehatan bagi anak sekolah menjadi hal penting untuk mencegah mereka dari konsumsi jajanan yang tidak aman. Edukasi
gizi
pengetahuan
dapat anak
meliputi tentang
peningkatan cara
memilih
makanan sehat dan bergizi, menerapkan sarapan
sehat
untuk
mengurangi
sehat. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan UKS sebaiknya tidak hanya memenuhi tugastugas pokok yang telah ditetapkan, guru beserta tim pembina harus mampu berkreasi menjadik UKS sebagai wadah yang memiliki tanggungjawab dalam membentuk generasi bangsa yang sehat dan cerdas
11.
ketergantungan anak pada jajanan, serta pemahaman pada anak terkait Pola Umum Gizi
Pelaksanaan dan Masalah di Lapangan
edukasi
Program edukasi gizi dan kesehatan
kesehatan dilaksanakan melalui penerapan
bagi pedagang jajanan maupun anak sekolah
PHBS. Edukasi ini dapat dirangkum ke dalam
diharapkan
sebuah program yang bernama “Jajan dan
muda yang lebih sehat. Pedagang yang telah
Hidup Sehat, Tubuhku Sehat�. Program ini
teredukasi dan berubah perilakunya dalam
dapat diisi dengan kegiatan penyuluhan PUGS
menangani jajanan ke arah yang lebih baik,
dan jajanan sehat, lomba PHBS antar siswa,
tentu akan mengurangi risiko dan dampak
diari sarapan, serta berbagai kegiatan relevan
kesehatan yang tidak diinginkan. Anak sekolah
lainnya yang menarik bagi anak-anak.
yang memiliki wawasan yang lebih baik
Seimbang
(PUGS).
Sebuah
Sedangkan
penelitian
menggunakan
metode
ular
meningkatkan
pengetahuan
dilakukan tangga anak
mampu
menciptakan
generasi
mengenai jajanan sehat, tentu akan berhati-hati
untuk
dalam memilih apa yang akan mereka beli. Jika
sekolah
hal ini terlaksana dengan baik, maka status
dasar dalam pemilihan jajanan sehat. Hasilnya,
kesehatan masyarakat akan jauh lebih baik.
anak yang diedukasi melalui metode tersebut
Pelaksaan program ini tentu akan
mengalami peningkatan pengetahuan dalam
mengalami sejumlah tantangan. Pedagang
memilih jajanan sehat. Selain itu, sikap anak
jajanan anak sekolah umumnya orang yang
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
4
memiliki pendidikan dan keterampilan terbatas
mengabaikan hygiene dan sanitasi pengolahan
. Akan sulit bagi mereka untuk menerima
makanan.
perubahan secara serta-merta. Dibutuhkan
berasal dari kelas ekonomi rendah, sehingga
edukasi
mereka
dan
monitoring
yang
Pedagang
menggunakan
tersebut
bahan
umumnya
berbahaya
berkesinambungan. Selain itu, masalah lainnya
seperti formalin dan boraks untuk membuat
adalah pedagang jajanan yang berasal dari
makanan agar menarik serta tahan lama. Hal
kelas ekonomi rendah. Akan sulit bagi mereka
tersebut
menggunakan bahan-bahan yang alami dan
memperoleh keuntungan yang besar, namun
segar karena harganya relatif mahal. Untuk
dengan modal yang kecil.
memperoleh keuntungan yang tinggi dengan modal
yang
pedagang
pedagang
untuk
Upaya yang dapat dilakukan adalah
jajanan
edukasi gizi dan kesehatan bagi pedagang
yang
jajanan serta anak sekolah. Para pedagang
berbahaya. Penggunaan formalin dan boraks
diberikan edukasi mengenai hygiene dan
sering
sanitasi pengolahan makanan
cenderung
rendah,
dilakukan
menggunakan
dijadikan
alternatif
bahan
bagi
pedagang
serta memilih
jajanan karena daya awetnya yang baik,
bahan makanan yang baik. Anak sekolah
harganya yang murah, dan mudah diperoleh di
dipaparkan berbagai materi yang mampu
pasaran 12.
meningkatkan pengetahuan mereka mengenai
Edukasi gizi dan kesehatan bagi anak
jajanan sehat. Upaya tersebut dapat diwadahi
sekolah dapat terintegrasi dengan program
melalui UKS, materi pelajaran di sekolah, serta
pendidikannya.
bisa
pendidikan gizi di rumah. Upaya dari ke dua sisi
menyampaikan materi gizi dan kesehatan
ini diharapkan memberikan dampak yang
dalam berbagai bentuk, misalnya diskusi,
signifikan dalam mewujudkan generasi muda
dongeng, atau soal-soal ujian yang diberi
yang lebih sehat.
muatan gizi dan kesehatan. Selain itu, UKS
Program
Guru
di
kelas
edukasi
ini
tentunya
sebagai pilar kesehatan di sekolah juga
terkendala oleh berbagai faktor. Misalnya,
berperan penting dalam mengedukasi para
pendidikan para pedagang yang rendah akan
siswa. Orang tua juga mampu memberikan
menyulitkan mereka dalam memahami hygiene
pengetahuan mengenai jajanan dan makanan
dan sanitasi pengolahan makanan. Selain itu,
sehat.
pedagang yang berasal dari kelas ekonomi
Jadi,
intervensi
pada
anak
akan
memberikan hasil yang lebih baik dalam
rendah
meningkatkan
menggunakan bahan yang segar dan bermutu
pengetahuannya
terkait
makanan yang sehat, bergizi, dan aman.
akan
sulit
diintervensi
untuk
baik karena harganya relatif lebih mahal. Perilaku anak-anak dalam memilih jajanan juga
3.
KESIMPULAN
membutuhkan diintervensi.
Jajanan berkontribusi besar terhadap konsumsi anak-anak selama mereka berada di sekolah. Sayangnya, jajanan yang dijual tidak aman bagi kesehatan. Pedagang jajanan anak sekolah umumnya memiliki pendidikan dan
upaya Namun,
ekstra
akan
bisa
tantangan-tantangan
tersebut dapat diminimalisir dengan kontrol yang teratur pada pedagang jajanan, misalnya melalui inspeksi mendadak pada sejumlah pedagang.
monitoring
dan
evaluasi
juga
dibutuhkan untuk melihat seberapa besar
keterampilan yang rendah sehingga cenderung BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
5
perubahan
positif
terjadi
pada
pedagang
maupun anak sekolah.
ew/berita/5361/Jajanan-SekolahSehat-Membentuk-GenerasiCerdas.html.
4.
3. Judarwanto, Widodo. Perilaku Makan
SARAN Melihat permasalahan yang terjadi,
maka direkomendasikan saran-saran sebagai berikut: 1. Edukasi pendidikan gizi dan kesehatan pada pedagang jajanan anak sekolah sebaiknya
dilakukan
secara
berkesinambung. 2. Pendidikan gizi dan kesehatan pada anak
dapat
dilakukan
dengan
fungsi
UKS,
memaksimalkan
memasukan materi gizi dan kesehatan dalam
proses
pembelajaran,
serta
pendidikan gizi di rumah. 3. Dilakukan
pengawasan
berkesinambungan
bagi
secara pedagang
jajanan anak sekolah, misalnya melalui inspeksi
mendadak
kepada
para
pedagang. 4. Dilaksanakan proses monitoring dan evaluasi secara berkala untuk melihat keberhasilan program edukasi terkait pengetahuan gizi dan kesehatan pada pedagang jajanan serta anak sekolah.
5.
1. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Street Foods [cited
March
12].
Available
from:
http://gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2012/05/perilakumakan-anak-sekolah.pdf. 4. Yepi Kurniadi, Zulfan Saam, Dedi Afandi. Faktor Kontaminasi Bakteri E. coli
pada
Makanana
Lingkungan
Kantin
Jajanan
Sekolah
di
Dasar
Wilayah Kecamatan Bangkinang.Jurnal Kesehatan Lingkungan 2013:7 (1):3732. 5. Aditya
Pradipta
H,
Djalallalluddin,
Meitria S. N. Hubungan Perilaku Jajan dengan Kejadian Diare pada Anak Sekolah Dasar. Berkala Kedokteran 2013:9 (4)86:82. 6. Departemen
Kesehatan.
Perluas
Cakupan Melalui Gebyar Aksi Nasional Pangan
Jajanan
[Internet].
[cited
Anak 2014
Sekolah
March
Available
12]. from:
http://www.depkes.go.id/index.php?vw =2&id=NW.20142170001. 7. Focus Group Discussion (FGD) Lintas
DAFTAR PUSTAKA
[Internet].
Anak Sekolah. [Internet]. [cited 2014
2014
March
Available
12]. from:
http://www.fao.org/fcit/foodprocessing/street-foods/en/. 2. Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jajanan Sekolah Sehat Membentuk Generasi Cerdas [Internet] 2014 March 4 [cited 2014 March 12]. Available from: http://www.pom.go.id/new/index.php/vi BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
Sektor Pangan Jajanan Anak Sekolah 2014 [Internet] 2014 Feb 28 [cited 2014 feb
12].
Available
from:
http://www.pom.go.id/new/index.php/vi ew/berita/5351/Focus-GroupDiscussion--FGD--Lintas-SektorPangan-Jajanan-Anak-Sekolah2014.html. 8. Kementrian
Kesehatan:
Direktorat
Jenderal Bina Gizi dan KIA. Hati-Hati Jajan
Sembarangan
[Internet].2011
6
Feb 14 [cited 2014 March 12]. Available
Sehat Menggunakan Alat Permainan
from:
Edukatif Ular Tangga. [cited 2014
http://www.gizikia.depkes.go.id/archive
March
s/837.
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/Artikel
9. I Nengah Sujaya, Ni Made Utami Dwipayanti, Ni Ketut Sutiarti, L.P Lila Wulandari, Ni Kadek Tresna Adhi.
12].
Available
from:
%20anak_%202%20jajanan%20sehat. doc. 11.Kementrian
Pendidikan
Pembinaan Pedagang Makanan Kaki
Kebudayaan.
Lima untuk Meningkatkan Higiene dan
dan Pengembangan Usaha Kesehatan
Sanitasi Pengolahan dan Penyediaan
Sekolah.
Makanan di Desa Penatih, Denpasar
Available
Timur. [cited 2014 March 12]. Available
http://www.mebermutu.org/admin/lamp
from:
iran/pedoman-pembinaan-uks.pdf.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jum/artic le/viewFile/1957/1227.
12.Sari,
Pedoman
dan
[cited
Devi
2014
Pembinaan
March
12]. from:
Diyas.
Penyalahgunaan
Formalin pada Makanan [Internet].
10.Lila Oktina Saputri, Kristiawati, Ilya
[cited 2014 March 12]. Available from:
Krisnana. Peningkatan Pengetahuan
http://eprints.uny.ac.id/9174/21/10%20
dan Sikap dalam Memilih Jajanan
LKPD%20Formalin%20PPT.pdf.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
7
Research
FORMULATION COMPLIMENTARY FEEDING BABY BISCUITS WITH COMPOSITE SUBSTITUTION ARROWROOT STARCH, SOYBEAN FLOUR, AND ORANGE-FLESHED SWEET POTATO FLOUR Nur Ilaika Zulfa* Ninik Rustanti ** * Student Nutrition Science Program Faculty of Medicine, Diponegoro University ** Lecturer Program of Nutritional Sciences Faculty of Medicine Diponegoro University
ABSTRACT BACKGROUND: Complementary feeding baby biscuits with composite substitution arrowroot starch, soybeans flour, and orange-fleshed sweet potato flour is a public nutrition improvement effort through local food diversity approach. OBJECTIVE: To analyze the effect of substitution of composite flour on the organoleptic, physical properties, nutrient content and digestibility values. METHOD: An experimental study with one factor randomized design that substitution of composite flour is K, P1, P2, and P3. Organoleptic analysis was tested using Friedman and Wilcoxon test, while physical properties, nutrient content and digestibility of protein using One Way ANOVA test. RESULT: Substitution of composite flour have no significant effect on the organoleptic quality and increased levels of nutrients content, water absorption, and the level of hardness , while the carbohydrate content decreased. Calcium levels, kamba density and brew study are not significantly different from the control biscuits. Protein digestibility values in the formula biscuits is highest in treatment P3 (85.07%) and the lowest in P2 (77.98%). CONCLUSION: Consumption 50 g of P3 biscuits able to fulfill 40.63% energy, 31.31% protein, 31.27% vitamin A, calcium 62%, and 18.75% zinc in infants. Keywords: complimentary feeding, physical properties, nutrients content, protein digestibility, arrowroot starch, soybean flour, orange-fleshed sweet potato flour.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
8
1.
INTRODUCTION Fulfillment nutrients in infants and
toddlers are vital for growth and development. Growth and development that are not optimal in childhood can lead to children of short stature (stunting). Nearly a third of children under five in developing countries experiencing stunting and most of their deficiency are one or more micronutrients. Micronutrients associated with stunting are vitamin A, calcium, and zinc.1.2
One of the important nutrients in the complimentary feeding is the role of protein for growth and maintenance of body cells.6 Ministry
of
Health
has
established
requirements one of which is the nutrient content of protein that must be met in the 100g baby biscuits is 8-12 g.7 Quality protein foods are not only determined by the protein content in the food, but also on its ease to be digested and absorbed (digestibility and absorpability) and amino acid composition contained therein.
Based on the results of Basic Health Research (Riskesdas) in 2010 the prevalence of stunting in children under five nationally is
Scores of amino acids on the complimentary feeding is quite high around 70 Net Protein Utilization (NPU) or at least 60 NPU.8
35.6%, although down 1.2% compared to 2007 (36.8%) but it has not reached the target nutritional
improvement
of
the
National
Medium-Term Development Plan (RPJMN) 2015 by 20%. The incidence of stunting if visited by age group, the prevalence of stunting in infants 6-11 months is 32.1% and increased to 41.5% at age 12-23 months.3
in infants 6-24 months based on results of a survey by Indonesian Ministry of Health are the low quality of complementary feeding and parenting discrepancy given that the adequacy of energy and some micronutrients such as vitamin A, calcium, and zinc are not met. Age 6-24 months is prone to malnutrition due to an increased need up to 24-30%. Therefore, in this period the child was introduced to feeding
(complimentary
feeding). Provision of complementary feeding with micronutrient density and frequency of administration
should
be
be done with increased food consumption through
considered
appropriate since children aged 6 months to prevent stunting.4.5
food
diversification
approach.9
Complementary feeding baby biscuits are usually made from wheat flour or rice flour. Substitution of wheat flour composite aims to increase the content of nutrients and improve the
Factors affecting the growth disorders
complementary
Efforts to improve public nutrition can
physical
properties
of
materials.10
Complimentary feeding heavily marketed in the form of porridge and biscuits. The shape of biscuits can train a baby to learn to grasp, have a bite, and able to rehydrate so it can be diluted into baby porridge.11 Flour composites in this study are a mixture of arrowroot starch, soy, sweet potatoes and yellow. Arrowroot starch is chosen because it has the similiar nature and content of nutrients with wheat flour or rice flour. High starch digestibility of 84.35% and protein digestibility of 86%. Nevertheless, the low protein content of arrowroot starch 0.4% and amylose content as low as 29.67 to 31.34%, and a high flower power 54% make softer biscuits, crisp, and easy to digest. However, with a low protein content, it needs
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
9
to be supplemented by protein content so it can fulfill nutrients in complementary feeding. 12
Based research
in
on
this
the
background,
organoleptic,
the
physical
One of the local food sources of
properties, nutrient content, and in vitro protein
protein that can be used as a complementary
digestibility of complementary feeding baby
feeding is soybean. Protein content is high at
biscuits
35-38% and 41.7% in the form of flour. In
composite arrowroot starch, soybeans, and
addition, the amino acid content of lysine in
orange-fleshed sweet potatoes flours.
with
the
main
ingredients
flour
soybean meal as high as 400 mg / g of flour so that it can complement flour that have low lysine
content.13
2.
In addition to the high protein
content, soybean also contains calcium and zinc that are sufficiently high to complement the nutrients in complimentary feeding.14 High protein soybean meal increases the absorption of water on the biscuits so that biscuits are more resistant when stored. However, the increase in protein also causes hardness in
METHOD This research, based on scientific
area, is carried out in the areas of food production. This study was conducted from June to September 2013 at the Laboratory of Food
biscuit for complementary feeding is 25%.15 Levels
of
vitamin
A
in
the
complementary feeding can be improved by using
the
orange-fleshed
sweet
potato
because its levels of β-carotene are high. βcarotene is pro-vitamin A which usually found in plant foods, of which 6 mg β-carotene is equivalent to 1 mg retinol (the active form of vitamin A).16 Orange-fleshed sweet potato flour containing β-carotene around 250-500 μg/100 g. Previous studies showed that substitution of orange-fleshed sweet potato flour as much as 20% on sweet bread would increase βcarotene content of 12.1%. But protein content in sweet potato flour is low 0.5 g/100 with limiting amino acid leucine.17 Substitution of orange-fleshed sweet potato flour in addition to increase the levels of vitamin A can also make biscuits soluble and easy to digest because the
Soegijapranata
Catholic
University Semarang and Biochemistry and Microbiology Laboratory, Bogor Agricultural University PAU. This study was an experimental study
biscuit texture. Previous studies showed that maximum substitution of soybean flour in
Science
with a completely randomized design one factor substitution arrowroot starch (Marantha arundiaceae L), soybean flour (Glycine max) and
orange-fleshed
sweet
potato
flour
(Ipomoea batatas) and the complementary feeding instant baby biscuits. There are four treatments in the form of biscuits control and biscuits with a combination of substitution of wheat flour with arrowroot starch, soy flour and sweet
potato
flour
yellow.
Percentage
substitution arrowroot starch, soy flour and sweet potato flour yellow is determined by calculating the estimated total nutrient content of raw materials biscuits by considering the levels of protein, energy, vitamin A, calcium and zinc in the MP-ASI in accordance with the Decree of the Minister of Health No.: 224 / Menkes/SK/II/2007 using Nutrisurvey program for Windows 2005.7 Each treatment was repeated
3
times
and
organoleptic
content of reducing sugar is hygroscopic.17.18
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
10
measurements
performed
1
time.
The
treatment in this study can be seen in Table 1. Table 1. Formulation MP-ASI Biscuits Garut Substitution Starch, Soybean Meal, and Orange-fleshed sweet potato Flour Formulation Material Type Wheat flour Arrowroot starch Soy flour Orange-fleshed sweet potato flour K
100%
0%
0%
0%
P1
20%
40%
15%
25%
P2
20%
30%
20%
30%
P3
20%
35%
25%
20%
Preparation
complementary
assessment of color, aroma, texture, and
feeding baby biscuits with substitution
flavor using a hedonic test with 3 A scale is
arrowroot starch, soybean flour and orange-
1 = Dislike, 2 = Neutral, and 3 = Like.
fleshed sweet potato flour made with cream
Organoleptic assessment was performed on
method
the
30 untrained panelists that is the baby's
margarine, eggs and sugar until it forms a
mother in the village Wonosari South
homogenous cream and flour then add milk
Semarang. In organoleptic assessment,
and stir until dough is easy to shape
complementary feeding baby biscuits served
produce.
in a ready meal.
which
The
of
begins
by
mixing
composition
of
early
complementary feeding baby biscuits before
The physical properties include
being substituted are egg yolk 12.9%, skim
Kamba density which is the ratio between
milk 12.9%, margarine 25.8%, refined sugar
the weight and volume of biscuits, water
12.9%, and wheat flour 55%. Arrowroot
absorption is determined by the difference in
starch and soybean flour is derived from the
wet weight by the initial weight of the sample
product 'GASOL'. Orange-fleshed sweet
weight compared at 14% moisture content,
potato flour used is the result flouring
brew study is the amount of water needed for
orange-fleshed
(Ipomoea
rehidrate biscuits, and the texture test in this
batatas) from Sabrangan, Mount Pati,
study analyzes the biscuits level of hardness
Central Java which is made by way of thinly
using texture analyzer.19 Nutritional content
sliced, aerated, dried 3 days, milled, and
includes levels of a protein with the Kjeldahl
sieved with a 80 mesh sieve.
method,20
sweet
potato
fat
with
Soxhlet
method,
In this research, formulation and
calculating carbohydrate with the method of
data collection is conducted on dependent
carbohydrates by difference, biscuits energy
variable. Data collected from the dependent
obtained by converting the amount of
variable,
data
protein, fat, and amount of carbohydrates
organoleptic, physical properties, nutrients
into energy, β-carotene were analyzed using
and protein digestibility value. Organoleptic
spectrophotometer method, and calcium
among
others,
the
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
11
Absorption
feeding baby biscuits tested with One Way
Specthrophotometer (AAS).21 Meanwhile,
Anova with a degree of confidence of 95%,
serving size is determined based on the
followed by the Tukey Test Posthoc to know
fulfillment of third adequacy of protein intake
the difference of protein digestibility values
in a single baby. Contributions per serving
between treatments.
and
zinc
using
Atomic
complementary feeding baby biscuits are 3.
determined based on the results of the
RESULTS AND DISCUSSION 3.1
analysis of the levels of energy, protein,
Organoleptic
calcium, and zinc compared with the RDI (Recommended
Daily
Intake)
of
Organoleptic
composite
7-12
biscuits
substitution
with
arrowroot
starch, soybean and orange-fleshed
months baby.22.23 Value biscuits protein
sweet potato flour using hedonic test
digestibility were analyzed using in vitro with
(level A) with 30 untrained panelists
multienzyme method. 13
from the infant's mother in South
Data were analyzed using SPSS 16
Semarang Wonosari area. The results
for Windows. Effect of variation in the
of the analysis of the reception of color,
percentage of substitution arrowroot starch,
aroma, texture, and flavor biscuits
soybean flour and sweet potato flour yellow
substitution arrowroot starch, soy flour,
using Friedman test and Wilcoxon test
and orange-fleshed sweet potato flour
further. Meanwhile, the data of physical
are presented in Table 2.
properties, nutrient content and digestibility of the protein value of complementary
Table 2. Mean Acceptance of Color, Aroma, Texture and Flavor Biscuit Starch Substitution Garut, Soybean Meal, and Orange-fleshed sweet potato Flour. Formulation Color Aroma Texture Flavor Mean K P1 P2 P3
3.1.1
most
Info
2.60 + like 0.56 2.50 + neutral 0.57 2.53 + like 0.63 2.47 + neutral 0.68 p = 0.50
Mean
Info
2.60 + Like 0.56 2.60 + Like 0.50 2.50 + Neutral 0.63 2.67 + Like 0.48 p = 0.54
Mean
Info
2.50 + Neutral 0.50 2.43 + Neutral 0.63 2.43 + Neutral 0.63 2.40 + Neutral 0.68 p = 0.86
Mean
Info
2.50 + neutral 0.57 2.30 + neutral 0.60 2.37 + neutral 0.67 2.23 + neutral 0.77 p = 0.26
Color
orange-fleshed sweet potato flour was
Based on data analysis, the
not significantly different compared to
preferred
color
biscuits
are
control biscuits (p = 0.50). In addition to
biscuits control (K), although the results
control biscuits, biscuit color with 20%
of the analysis showed substitution
substitution of soybean meal, orange-
biscuits arrowroot starch, soy flour, and
fleshed
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
sweet
potato
starch
and
12
arrowroot starch 30% 30% (P2) is also
formulation
preferred. Meanwhile, P1 and P3
panelists. Based on the analysis of
biscuit color is neutral when assessed
data, formulation substitution biscuits
by panelists. All biscuits are acceptable
with arrowroot starch, soybean flour,
by the panelists.
and orange-fleshed sweet potato flour
Substitution
of
arrowroot
starch, soy flour, and orange-fleshed
P2
rated
neutral
by
biscuits are not significantly different from controls (p = 0.54).
sweet potato flour produces biscuits
Baby biscuits have a fragrant
with the color of yellow until golden
aroma. Making biscuits in this study
brown. Acceptance of color in biscuit
using vanilla to reduce the unpleasant
with various substitution percentages
aroma derived from soybean flour. The
between arrowroot starch, soybean
process of soaking and heating during
flour, and orange-fleshed sweet potato
the making of soybean flour can also
flour biscuits is not significantly different
disable the lipoxygenase enzymes that
from controls. This is because the color
cause unpleasant odors in soybean. 25
of soybean flour is light yellow, while the
Aroma that is generated from arrowroot
color of orange-fleshed sweet potato is
starch
pale yellow. However, arrowroot starch
organoleptic test showed that the
has a white degree similar to flour which
higher the number of substitutions in
is 74.2%.
12
is
neutral.
26
Result
from
The higher the percentage
the orange-fleshed sweet potato flour,
substitution of soy flour and orange-
the lower the panel like it as fragrant
fleshed sweet potato flour biscuits, it will
aroma of biscuits is reduced.
produce increasingly brownish yellow. The
color
brown
is
also
3.1.3
Texture
generated from the Maillard reaction is
Texture control biscuits and
the result of non-enzymatic browning
biscuits with substitution formulation
between the amino acid lysine in
arrowroot starch, soybean flour, and
soybean meal with a hydrolysis group
orange-fleshed sweet potato flour rated
of reducing sugar contained in the
neutral by panelists. Based on the
orange-fleshed sweet potato flour in
analysis of data, biscuits substitution
heat causing foodstuffs to turn brown in
arrowroot starch, soy flour, and orange-
color. Maillard reaction may occur due
fleshed sweet potato flour are not
to
significantly affect the biscuit texture (p
the biscuit baking process with
temperatures above 115 ° C. 24
= 0.86). Acceptance among biscuit texture substitution arrowroot starch,
3.1.2
Aroma
soy flour, and orange-fleshed sweet
Aroma control biscuits, biscuits
potato flour biscuits are not significantly
with P1 and P3 formulation preferred by
different,
the panelists while the biscuits with the
because the control biscuits and biscuit
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
including
visual
control
13
texture with formulation substitution
biscuits,
arrowroot starch, soy flour, and orange-
preference. This because the biscuits
fleshed sweet potato flour are all the
will be denser in texture and less crisp
same.
which is due to the high protein content Biscuit produced both control
the
lower
the
panelists’
that can affect density of biscuits.
and biscuits with various formulations have dense and crunchy texture. It is
3.1.4
influenced by the fat that has the effect
Flavor Flavor of control biscuits and
of shortening in baked goods such as
biscuit
biscuits, pastries, and bread to be
substitution arrowroot starch, soybean
crisper. Fat content in biscuits comes
flour, and orange-fleshed sweet potato
mostly from butter and egg yolks. In
flour rated neutral by panelists. Based
addition, the fat content of the flour,
on the analysis of data, formulation
soybean, arrowroot starch and sweet
substitution arrowroot starch, soybean
potato starch yellow sequentially is 1%,
flour, and orange-fleshed sweet potato
16.7%, 0.2%, 2.01%.13.18 Fat will break
starch as raw material substitution baby
its structure then coat the starch and
biscuits are not significantly affect the
gluten, so that the resulting biscuits
taste preferences of biscuits (p = 0.26).
were crunchy. Fat can improve the
However, biscuits with 25% substitution
physical
as
of soybean meal, orange-fleshed sweet
development, softness, texture, and
potato flour 20% and 35% arrowroot
aroma. In addition, products with high
starch
protein content also require high fat to
difference with control biscuits because
prevent a decrease in water absorption.
the resulting flavor is rather bland.
structure
such
If the water absorption decreases, it will produce a product with a hard and dense texture.
27
baby
(P3)
with
formulation
showed
significant
Baby biscuits produced either control
or
biscuits
with
various
formulations have sweet and savory
In addition, the texture of
flavors. The taste can be caused by
biscuits produced is sandy and soft. It is
several factors such as the use of
also influenced by the degree of
support material as well as the taste of
fineness of arrowroot starch, soybean
the raw material itself. In this study, the
flour, and orange-fleshed sweet potato
addition of the type and amount of
flour. Soybean flour and arrowroot
support
starch is a product of the brand of food
formulation is the same baby biscuits.
'GASOL' with a 100 mesh sieve, while
The resulting flavor of arrowroot starch
the orange-fleshed sweet potato flour
is bland.28 The usage of margarine in
used
on
the making produce savory biscuits
the
while the usage of sugar baby can
in
produce a sweet taste. In addition, it
80
mesh
organoleptic substitution
sieve.
test, of
the
soybean
Based higher flours
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
material
for
the
third
14
can also improve aroma, color and
3.2
Physical Properties
texture of the biscuits. Organoleptic test
The biscuits physical properties
data showed that the more orange-
were analyzed by Kamba density, water
fleshed sweet potato flour substitution
absorption,
in
increasing
textures. The results of the analysis of
fondness for the taste by panelists as it
biscuit physical properties can be seen
is sweeter.
in Table 3 below
baby
biscuits,
the
brew
study
and
test
Table 3. The mean MP-ASI Physical Properties Baby Biscuit Starch Substitution Garut, Soybean Meal, and Orange-fleshed sweet potato Flour Formulation Mean physical properties
K
Water absorption Texture Test (gf) Kamba Density (g / Brew study (ml) (%) ml) 110.00 ± 3.43 b 508.00 ± 100.80 b 0.63 ± 0.06 35 ± 5
P1
112.73 ± 7.48 b
935.97 ± 210.35 a 0.61 ± 0.02
30 ± 5
P2
122.27 ± 5.07 b
1024.24 ± 95.79 a 0.63 ± 0.03
25 ± 5
P3
138.03 ± 5.48 a
1155.02 ± 14.85 a 0.62 ± 0.04
35 ± 5
Description: numbers followed by different superscript letters (a, b, c, d) indicate significant difference (p <0.005) Based on Table 4 above, the substitution soybean
of
flour,
arrowroot and
water absorption. Biscuits P3 with the
starch,
highest protein content (10.02%) have
orange-fleshed
the highest water absorption which is
sweet potato flour significantly increase
138.03%.
water absorption and hardness of
A high amount of protein can
biscuits. Water absorption and protein
caused an imbalance in flour to bind
content influenced the level of hardness
water, thus disrupt the gelatinous
in the biscuits. Water absorption is one
process. The result is a hardened
of the hydration properties of proteins
product. The protein sources in the
which is the protein's ability to hold
biscuits mostly come from soybean
water in a food system. The higher the
flour with 41,7 g/100 g protein. Soybean
protein content in the biscuits, it will
flour usage is restricted to a maximum
increase water absorption. The physical
of 25% because it harden the biscuits.
properties associated with the shelf life
Hardeness of the biscuits related to the
of biscuits. Good quality biscuits are
crispiness. Crispiness of the biscuits
biscuits with high water absorption so
decreased
with
that the biscuits are more durable when
hardeness.
Baby
stored.15
hardeness of 948-1196 gf have a
soybean
Substituted arrowroot starch, flour,
and
the
increasing
biscuits
with
orange-fleshed
moderately hard texture and is not
sweet potato flour significantly increase
easily shattered, earning its place as a
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
15
finger food. P3 biscuits 25% substituted
added, 25 ml/. The amount of water
with soybean flour have the highest
added should not be too much because
hardeness by 1155,02 gf and still fulfill
it can make the baby quickly gorged
the hardeness rate of baby biscuits.
before the energy filled. The lower the
Seen from its water absorbance and
solubility of the biscuits, the least water
hardeness rate, P3 biscuits have a
used to rehydrate.
good physical because they are more durable
when stored and doesn’t
Solubility of the biscuits can decreased
because
of
crushed easily so it can be used as a
higroscopically
finger food. But, seen from the kamba
Orange-fleshed sweet potato contain
density and brew study of the cracker
43,89% reducing sugar. P2 biscuits
P3 isn’t differ than control.
with a substitution of 30% orange-
Kamba
density
showed
reducing
the sugar.
a
fleshed sweet potato need less water
comparison of the weight to the volume.
than P1 biscuits with a substitution of
Complementary breast feeding for the
25% orange-fleshed sweet potato and
baby should be kamba so that the baby
P3 with a substitution of 20% orange-
doesn’t gorged easily because of a
fleshed
small stomach capacity. P1 biscuits
showed that the higher subtitution
substituted with 40% arrowroot flour
percentage, the lower solubility of
have the smallest kamba density, 0,61
biscuits the least water needed to
g/ml. Arrowroot flour are easily expand
rehydrate biscuits.
sweet
potato.
This
result
, 54% so that the baby biscuits have a large volume. The more arrowstrach substituted, the more volume of the biscuits, which lowered the kamba density of the biscuits. Brew study is a definition of ratio between water added with the amount of food in every servings. P2 biscuits need the least water to be
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
3.3
Nutrient Content The analyzed nutrient content
are protein, fat, carbohydrate, calorie, calcium, , β-karoten, and zinc. The result
from
analyzing
content
of
nutrient in biscuitss that subtitutes with arrowroot, soybean and orange-fleshed sweet potato can be seen on table 4 below
16
Tabel 4. Average Nutrient Content of Complementary Breastfeeding with Baby Biscuits subsituted with Arrowroot, Soybean, and Orange-fleshed sweet potato Flour Formula Nutrient Content K P1 P2 P3 Protein (%) 8,61±0,21c Fat (%) 26,13±0,31b Carbohydrate (%) 57,04±0,99a Energy (kkal/100 497,77±1,36b g) β-karoten (mg/100 0,033±0,004c g) Calcium (mg/100 247,33±26,6 g) 5 Zinc (mg/100 g) 0,80±0,12c Note: numbers followed by a different (p<0,005) Based
2,
b
b
0,099±0,02b
0,153±0,27a
10,02±0,38a 28,98±0,07a 52,86±0,49b 512,30±3,27a 0,064±0,016c
266,67±37,4 287,67±82,0 310,00±67,6 3 4 4 0,90±0,12bc 1,29±0,23ab 1,50±0,17a superscript letters (a,b,c,d) showed a real difference
because protein is needed for growth.
subtitution flour from arrowroot, soy
Serving determine by biscuits P3 with
bean,
highest
yellow
table
9,50±0,31ab 28,18±0,60a 53,11±0,52b 504,08±2,41a
the
and
on
9,10±0,04bc 27,59±1,36ab 55,22±2,03ab 505,53±4,62a
potato
on
protein
content,
10,02%.
complementary breast feeding baby
Serving biscuits P3 meet 1/3 protein
biscuits significantly increase protein,
that needed (16 g) that is 50 g (2 pcs
fat, and zinc whereas lowering the
biscuits).
carbohydrate content. Calcium content
complementary breast feeding baby
in all the subtitution biscuits not
biscuits determined from analizing the
significantly different from the control
results calorie, protein, calcium, and
biscuits. P3 biscuits have the highest
zinc content compared to AKG (Angka
content of protein, fat, calorie, calcium,
Kecukupan Gizi) 7-12 month old baby.
and zinc, however P3 have the least
Contribution
content of carbohydrate and β-karoten
complementary breast feeding baby
than P1 and P2.
biscuits
Adequacy of proteins is a major consideration to determine serving,
Contribution
per
per
subtituted
by
serving
serving
arrowroot,
soybean, and yellow potato flour, can be seen from table 5 below :
Tabel 5. Contribution per servings of complementary breast feeding baby biscuits with a substitution from arrowroot, soy bean, and yellow potato flour to nutritional adequacy in 7-12 months baby Formulation K P1 P2 P3 Energy Amount per serving 248,88 252,76 252,04 253,94 (kkal) AKG (kkal) 625 625 625 625 % nutritional adequacy 39,82 40,44 40,32 40,63 Protein Amount per serving (g) 4,30 4,55 4,75 5,01 AKG (g) 16 16 16 16 % nutritional adequacy 26,87 28,44 29,68 31,31 Vitamin A Amount per serving (µg) 122,5 128 132,55 125,11 AKG(µg) 400 400 400 400
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
17
% nutritional adequacy Amount per serving (mg) AKG (mg) % nutritional adequacy Amount per serving (mg) AKG (mg) % nutritional adequacy
Calsium
Zinc
30,62 123,66 250 49,46 0,40 4 10
32 133,33 250 53,33 0,45 4 11,25
Protein content of all biscuits meet
the
spesification
33,14 143,83 250 57,53 0,64 4 16,12
31,27 155 250 62 0,75 4 18,75
The quality of protein in food
of
product not only seen from the content
complementary breast feeding baby
of protein but also from the content of
biscuits, equal to 8-12%. The protein
essential amino acid. Amino acid that
comes from soybean flour that have
separate between soybean flour, cereal
41,7 g/ 100 g. The more soybean flour
and tuber corps (arrowroot and yellow
used to subtitute, the protein content
potato flour) is lysine, methionine, and
will be higher. P3 biscuits with a
leucine. Biscuits with subtitution of
subtitution of 25% soybean flour have
arrowroot, soybean, and yellow potato
the highest content of protein which is
flour compared with FAO reference as
10,02% compared to P1 biscuits with a
a standard content amino acid in food
subtitution of 15% soybean flour and P2
product can be seen in Table 6
biscuits with a subtitution of 20%
below.13,31
soybean flour. Tabel 6. Amount of amino acid Lysin, Methionin, and Leucyn in complementary breast feeding baby biscuits with a substitution of from arrowroot, soy bean, and yellow potato flour compared with FAO pattern Formula FAO Amino acid pattern K P1 P2 P3 Lycin (mg/100 g) 234,37 267,97 276,58 285,19 270 Methionin (mg/100 g) 138,47 118,11 118,66 119,29 144 Leucyn (mg/100 g) 433,75 384,96 395,38 405,81 306 Based on table 5,the content of lysin and leucine in biscuits with a
corps is lower than flour made of cereals.
subtitution arrowroot, soybean and
Total energy from
a food
orange-fleshed sweet potato is higher
product are affected by fat, protein, and
than FAO pattern, whereas methionine
carbohydrate content in biscuits. Fat
lower. P3 biscuits have content of
can be converted to 9 kcal, protein and
amino acid lysine, methionine, and
carbohydrate can be convert to 4 kcal
leucine higher than biscuits P1 and P2.
each. All the fat content in all biscuits is
However the content of methionine and
10 â&#x20AC;&#x201C; 18 % higher than the fat content on
leucine lower than control biscuits. This
complementary breast feeding baby
happens
of
biscuits. This caused by the content of
methionine and leucine from tuber
margarine that is 25,8%. Fat in the
because
the
content
biscuits
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
funtion
as
shortening
for
18
making the texture and the savory of the
with 35% subtitution. P2 have the
biscuits, therefore reducing the content
highest β-caroten content which is
of fat can make the biscuits tough and
153,33 µg/100 g. The higher the
lose it’s savory.
amount of yellow potato flour, the
Ingredients to make biscuits with a high fat content aside margarine
higher
β-caroten
content
in
β-caroten
content
can
baby
biscuits.
is egg yolk and soybean. The magarine
be
and egg yolk that is used were all in
reduced and spoiled from the making
same amount for all of biscuits formula,
process. The double bond structure of
therefore the escalation of fat content
β-caroten is easy to oxidated becauseof
can be affected by percentage of
the heating process. The process of
subtitution soybean flour. 15% soybean
making bread with a substitution of
flour subtitution on composite flour
yellow potato flour with a baking
formula with 20% arrowroot flour in
process on
making
reduce
noodles,
resulting
in
an
±160 °C for 15 minutes
β-caroten
by
68,5%.
The
increased protein and fat content but a
reduction is greater if there is an
decrease in carbohydrate content. P3
increase in temperature and time of
biscuits wit highest protein and fat
baking.
content have the lowest carbohydrate
β-carotene is a provitamin A
content which only 52,86%. Although
found in plant foods, where 6 μg β-
having the carbohydrate decrease, the
karoten same as 1 μg retinol (active
total calories of baby biscuits still meet
forrm of vitamin A). β-caroten content in
the requirement complementary breast
all biscuits haven’t met the requirement
feeding baby biscuits by 400kcal/100g.
complementary breast feeding baby
P3 biscuits have the highest
biscuits which must met 250-266,7
energy which is 507,89 kcal/100g. Total
µg/100 g, Vitamin A source not only
energy
serving
come from β-carotene in plant foods but
contribute 40,63% energy sufficiency.
also retinol from animal based food,
Based on WHO research breast feed
which in this research couldn’t analyzed
on 7-12 month baby contributes an
because the research only measured β-
energy of 413 kcal so that sufficient
carotene. Retinol source in biscuits
energy can be met by the provision of
comes from skimmed milk, egg yolk
breast feeding and 2 serving of biscuits.
and margarine with ratio 12,9%, 12,9%
The source of β-caroten on
and 25,8%. Based on secondary data,
biscuits come from yellow potato flour
retinol content on three food ingredients
with 250-500 µg/100 g. P3 biscuits with
are 39 μg, 606 μg, 606 μg/100 g. The
20% yellow potato flour have lower β-
total of retinol from three ingredients are
caroten content than P1 biscuits with
239,55 μg/100 g. The summarize of
25% yellow potato flour and P2 biscuits
retinol comes from the conversion of β-
P3
biscuits
per
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
19
karoten with
retinol from the three
ingredients. The total of retinol in biscuits can be seen on table 7 below. Tabel 7. Total retinol in complementary breast feeding baby biscuits Retinol dari konversi βFormulasi Total retinol biskuit μg/100 g* karoten (μg/100 g) K 5,45 245 P1 16,45 256 P2 25,55 265,1 P3 10,67 250,22 Note : * the total sum of retinol in the conversion of β-karoten with retinol from skim milk, egg yolk, and margarine (239,55 μg/100 g) Based on Table 6 above, the
formulations
thus
that
affects
the
level of vitamin A in biscuit P3 had
increase of calcium and zinc is soy
already met the specification of a baby
flour. Soy flour has 346 g/100 g of
biscuit as a complementary breast-
calcium and 4 g/100 g of zinc.14 The
feeding that is a minimum of 250 μg/100
higher substitution levels of soy flour in
g. Levels of vitamin A per serving in
biscuits increases the level of calcium
biscuits P3 contributed 31.27%. A
and zinc. Biscuits P3 with 25% soy flour
contribution of vitamin A from the
substitution had the highest levels of
complementary breast-feeding is at
calcium and zinc that are 310 mg/100 g
least 60% of the RDI, which is 400
and 1.50 mg/100 g. Calcium and zinc
μg/100
g.7
Consumption of two servings
per serving biscuits P3 contributed 62%
of biscuits have met the adequacy
and 18.72% of adequacy. Consumption
levels of vitamin A for a baby.
of
All
biscuits
meet
servings
of
biscuits
had
the
adequate levels of calcium for a baby,
specifications of a baby biscuit as the
while zinc was not fulfilled. This is due
complementary breast-feeding calcium
to the substitution of soy flour in biscuits
levels that is 200-400 mg/100 g.
is limited because it can make the baby
Meanwhile,
biscuit
the
can
two
composite
flour
texture
hard.
Maximum
substitution significantly increases the
substitution of soy flour in composite
levels of zinc in biscuits. Although zinc
flour to have an acceptable texture by
levels increase, it has not met the
consumers is 25% .1
specifications
complementary
Soybeans contain anti-nutrition
breast-feeding baby biscuit that is 2.5-
factors such as antitrypsin and phytic
3.0 mg/100
of
g.7
acid
that
can
bind
to
minerals,
Calcium and zinc in the biscuits
especially calcium, zinc, iron, and
come from skim milk, egg yolk, and soy
magnesium so its bioavailability is low.
flour. The amount of skim milk and egg
Anti nutrition can be decreased by the
yolks that used are equal in all
heating process. The decrease of anti
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
20
nutrition in soybean can reach 20% in
and calcium and zinc supplies on
the heating process with a temperature
complementary breast-feeding.13, 34
of 121oC for 5 minutes, anti nutrition 3.4
levels will continue decreasing with the increase in processing time. Therefore,
Protein Digestibility Value The analysis results of baby
biscuits protein digestibility values with
anti nutrition factor is not an issue in the
substitution of arrowroot starch, soy
soybeans usage as a source of protein
flour and orange-fleshed sweet potato flour can be seen in Table 8.
Table 8. The analysis results of baby biscuits protein digestibility values Treatment Protein Digestibility Value (%) K
85,64 + 1,45a
P1
81,84 + 1,63ab
P2
77,98 + 3,60b
P3
85,07 + 2,13a p = 0,014
Note: a different letter behind the figure shows a different real with Tukey test Îą=0.05 Based on the data analysis, substitution
treatment
in
substituted
arrowroot
biscuits by arrowroot starch, soy flour
starch, soy flour and orange-fleshed
and orange-fleshed sweet potato flour
sweet potato flour significantly affected
may still exist such as antitrypsin and
protein digestibility values in baby
phytic acid, although anti-nutrition can
biscuits (p = 0.014). Statistically, P1 and
be decreased by the heating process.
P3 biscuits protein digestibility values
Decrease of antitrypsin contained in
were not different from the control
soy may reach 20 % in the heating
biscuits
process for 5 minutes at a temperature
(K),
while
of
Anti-nutrition
the
protein with
of 1210C, while phytic acid can be
substitution of 30% arrowroot starch,
reduced by 13 % in the process of
20% soy flour and 30% orange-fleshed
soaking and heating soy flour. Similarly,
sweet potato flour (P2) which is 77.98%
trypsin inhibitor in soybean and orange-
significantly different from the control
fleshed
biscuits (K). Protein digestibility values
decreased when boiled, baked, and
in baby biscuits with substitution of
process with heat and pressure. The
arrowroot starch, soy flour and orange-
decrease in trypsin inhibitors can reach
fleshed sweet potato flour can be
20 % on heating for 30 minutes and
influenced by several factors, such as
then will continue decreasing with the
anti-nutrition factors and food material
increase
processing.13
Arrowroot starch substitution did not
digestibility
value
of
biscuits
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
sweet
of
potatoes
processing
can
be
time.34
21
affect the protein digestibility value for
the Maillard reaction plays a role in the
protein digestibility value of arrowroot
decrease of protein digestibility value.
starch is 86 %, but it contents only 0.4 % of
protein.12
In
addition,
the
Maillard
Therefore, protein
reaction will also cause discoloration of
digestibility value were lower in the
the product and flavor.13 Discoloration
treatment
anti-
due to Maillard reactions on baby
nutrition derived from soy flour and
biscuits substitution of arrowroot starch,
orange-fleshed sweet potato flour had
soy flour and orange-fleshed sweet
not completely disappeared.
potato flour could be proved from the
biscuits
Meanwhile,
because
biscuits
with
change of them becoming more brown
substitution of 30% arrowroot starch,
as the increasing substitution of soy
20% soy flour and 30% orange-fleshed
flour and orange-fleshed sweet potato
sweet potato flour (P2) had the lowest
flour biscuits like P2 biscuits. The
digestibility value 77.98% as biscuits P2
higher substitution of orange-fleshed
had the highest percentage of orange-
sweet potato flour in baby biscuits
fleshed sweet potato flour substitution.
would
Orange-fleshed sweet potatoes contain
reaction and the decrease of protein
high reducing sugar as a result of the
digestibility values.
cause
the
higher
Maillard
gelatinization process during the starch production
process.
Hydrolysis
of
starch became reducing sugar has happened
during
gelatinization
4.
CONCLUSION AND SUGGESTION 4.1 Conclusion
process. During processing, 42-95%
a. The panelists can accept
starch contained in orange-fleshed
color, aroma, texture, and
sweet potato changed to 72-99%
taste of the instant baby
maltose and the rest changed to
biscuits with substitution of
dextrin. In addition there are also other
arrowroot starch, soy flour
sugars such as fructose, glucose and
and
raffinose.35
potato flour.
Reducing sugar contained
orange-fleshed
sweet
in the orange-fleshed sweet potato
b. Consumption of two servings
could bind to soy flour amino acid called
of biscuits with substitution of
Maillard reaction.
35% arrowroot flour, 25%
Maillard reaction starts with the
soybeans, and 20% orange-
reaction between amino acids and
fleshed sweet potatoes can
reducing sugars to form an unstable
meet the nutritional adequacy
Schiff bases. Products unstable Schiff
of
bases
of
addition, the biscuits have
Melanoidin reactions produce a fairly
good physical properties for
will
undergo
a
series
infant except
zinc.
In
stable of Amadori product. Therefore,
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
22
c.
water absorption and the level
time in order to obtain an
of solidity.
acceptable baby biscuits by
Substitution
of
arrowroot
panelists with high nutrient
starch, soy flour and orange-
content
fleshed sweet potato flour
digestibility values and with
significantly
good physical properties.
affect
protein
and
high
protein
digestibility values of baby biscuits. Biscuits with protein
5.
ACKNOWLEDGEMENTS
digestibility values similar to the
control
biscuits
Thanksgiving to God who always
are
gives grace and ease that these papers can
biscuits with substitution of
be resolved. Author thanks goes to PT
25% soybean meal, 20%
Indofood as Indofood program funding in the
orange-fleshed sweet potato
period
flour, and
arrowroot
panelist organoleptic test, as well as those
starch (P3). However, the
who have helped and provided support in the
value
implementation of this study.
35%
of
the
protein
2013-2014
Research
Nugraha,
digestibility with substitution of arrowroot starch biscuits is
6.
REFERENCES
30%, soy flour is 20% and
1. Marıa JS, Marcela BZ, Alexis EL,
sweet potato flour yellow 30%
Ricardo AC, Ricardo Weill, Jose RB.
(P2)
The role of zinc in the growth and
which
77.98%
significantly different from the
development
of
children.
control biscuits (K).
Science Inc 2002; 18: 510-9.
Elsevier
2. Frances E. Aboud, Sohana Shafique, 4.2 Suggestion
Sadika Akhter. A responsive feeding
a. Biscuits that recommended
intervention increases children’s self-
as complementary of breast-
feeding and maternal responsiveness
feeding
but not weight gain. The Journal of
are
biscuits
with
substitution of 35% arrowroot flour, 25% soybeans, and
Nutrition 2009; 139: 1738-43. 3. Kementrian
Kesehatan
20% orange-fleshed sweet
Indonesia.
potato with a serving of 50 g
(Riskesdas).
(2
Kesehatan; 2010.
biscuits).
divided
into
Biscuits two
are
servings
4. Departemen
Riset
Republik
Kesehatan
Jakarta:
Kesehatan
Kementrian
Republik
when babies consume only
Indonesia.
breast milk.
makanan pendamping ASI. Jakarta:
b. It
is
required
biscuit
processing techniques with the optimal temperature and
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
Pedoman
Dasar
pemberian
Departemen Kesehatan; 2004. 5. Kementrian
Kesehatan
Republik
Indonesia. Program prioritas tahun
23
2010-2014 dan capaian program 100 hari. Jakarta: Kementrian Kesehatan; 2010.
gizi protein. Bandung: Alfabeta; 2010. 14. Michihiro Sugano. Soy in health and
6. Zakaria FR. Produksi MP-ASI lokal sebagai
terobosan
untuk
menganggulangi masalah kekurangan gizi.
13. Dedy Muchtadi. Teknik evaluasi nilai
Seminar
Pangan.
Studi
pengaruh
tepung
Institut
Pertanian
penstabil
terhadap
mutu
makanan
pendamping asi biskuit [tesis]. Sumatra
Indonesia
224/Menkes/SK/II/2007 Spesifikasi
Teknis
N.
Pertanian Universitas Sumatra Utara;
tentang
2010.
Makanan
Optimasi
pendamping
asi
response
Utara: Program Studi Teknologi Hasil
Nomor:
Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI).
menggunakan
YS.
komposit biji-bijian dan konsentrasi
7. Surat Keputusan Menteri Kesehatan
makanan
15. Dian
Teknologi
Bogor; 1999.
8. Hadiningsih
Francis Grup; 2006.
Nasional
Bogor:
Republik
disease prevention. Londen: Tayler and
16. Murray, Robert K, Daryl K. Granne, Victor
WR.
Harper’s 27th
ed.
illustrated
formula
biochemistry,
USA:
The
dengan
McGraw Hill Companies Inc 2007;
surface
p.505-6.
methodology [tesis]. Bogor: Sekolah
17. Idolo I. Sensory and nutritional quality
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;
of madiga produced from composite
2004
flour of wheat and sweet potato. Pak J
9. Ani Kurniawan. Policies in alleviating micronutrient deficiencies: indonesia’s
Nutr 2011; 10 (11): 1004-7. 18. Indrie
Ambarsari,
Abdul
experience. Asia Pacific J Clin Nutr
Rekomendasi
2002; 11(3): S360-70.
standar mutu tepung ubi jalar. Jurnal
10. Widowati. Tepung aneka umbi sebuah solusi ketahanan pangan. Balai Besar Penelitian
dan
dalam
Choliq.
penetapan
Standardisasi 2009; 11 (3): 212-9. 19. Shiv
Kumar,
Rekha,
Lalan
K.
Pengembangan
Evaluation of quality characteristics of
Pascapanen Pertanian Dimuat dalam
soy based millet biscuits. Pelagia
Tabloid Sinar Tani 6 Mei 2009; hal 45-
Research Library 2010; 1 (3): 187-96.
7.
20. Dendy DAV, Dobraszczykbj. Cereal
11. Nanden Kirana. Finger food kue kecil untuk cemilan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2006. 12. Widaningrum, Sriwidowati, Suwarno TS. Pengayaan tepung kedelai pada pembuatan mie basah dengan bahan
and cereal products: chamistry and technology. USA: Springer; 2001. 21. AOAC. Official methods of analysis of the association of official analytical chemistry. Arlington: AOAC Inc; 1995. 22. Dewey KG, Brown KH. Update on
baku tepung terigu yang disubstitusi
technical
tepung garut. J. Pascapanen 2005; 2
complementary
(1): 41-8.
children in developing countries and
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
issues feeding
concerning of
young
24
implications for intervention programs.
Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Food and Nutrition Bulletin The United
Bogor; 2001.
Nations University 2003; 24:1.
31. Padmaja G. Uses and nutritional data of
23. LIPI. Angka Kecukupan Gizi (AKG).
sweet potato. In: George T, editor. The
Widyakarya Nasional Pangan; 2004.
sweet potato. Berlin: Springer Science
24. Cauvin SP. Bread making improving 1st
quality.
ed. Camridge: Woodhead
Publishing Limited 2003; p.62.
bahan
Departemen
Pendidikan
Kebudayaan.
Direktorat
32. Christina Mumpuni Erawati. Kendali stabilitas betakaroten selama proses
25. Muchtadi, T.R. dan Sugiono. Ilmu pengetahuan
2009; p.190-199,212.
produksi tepung ubi jalar (Ipomoea
pangan.
batatas L.). [tesis]. Bogor: Sekolah
dan
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor;
Jenderal
2006.
Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan
33. Mien KM, Nils AZ, editor. Tabel
dan Gizi. Bogor: Institut Pertanian
komposisi pangan Indonesia. Jakarta:
Bogor; 1992.
PT Elex Media Kopuntindo; 2008.
26. Cicik Suprihatin. Pemanfaatan Tepung
34. Stanijevic, Vucelic R, Barac, Pesic. The
Pati Garut (Marantha arundinaceae)
effect of autoclaving on soluble protein
sebagai bahan makanan tambahan
composition and trypsin inhibitot activity
anak
of cracked soybean. APTEFF 2004;
balita.
Bogor:
Jurusan
Gizi
Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian IPB; 1991. 27. Matz
SA.
Cookies
35:48-57. 35. Anggita Widhi R. Kajian formulasi
and
crakers
cookies ubi jalar (Ipomoea batatas L.)
technology. Westport Connectricut: The
dengan
AVI Publishing Co. Inc; 2001.
menyerupai cookies keladi. Bogor:
28. Yovita Roessalina Wijayanti. Subtitusi
karakteristik
tekstur
Institut Pertanian Bogor; 200
tepung gandum (Triticum aestivum) dengan
tepung
garut
(Maranta
arundinaceae L) pada pembuatan roti tawar (skripsi). Yogyakarta: Fakultas Teknologi
Pertanian
Universitas
Yogyakarta; 2007. 29. Yoanasari QT. Pembuatan bubur bayi instan dari pati garut [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2003. 30. Lisia Yusianti dan Purwiyatno Hariyadi. Kajian
formulasi
dan
proses
pemanggangan roti kaya karotenoida dengan substitusi tepung ubi jalar dan minyak sawit. [skripsi]. Bogor: Fakultas
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
25
Research
THE FACTOR RELATED TO SNACKS PREFERENCE IN ELEMENTARY SCHOOL CHILDREN Bondika Ariandani Aprillia1 Fillah Fithra Dieny2 1
Student of Nutrition Science Study Program, Medical Faculty of Dipenegoro University Lecturer of Nutrition Science Study Program, Medical Faculty of Dipenegoro University
2
ABSTRACT Background: The habit of eating snacks is popular among Indonesian, especially in school aged children. This study aims to identify the most related factor to snack preference in elementary school children. Method: This study was an observational research and the samples were 73 fourth to sixth grade of elementary school children at Pekunden State Elementary School selected by using simple random sampling. The data collection included snacks preference, amount of money for snacks purchase, mother formal education, breakfast frequency, bringing the lunch box frequency, snacks availability, and the role of mass media which is collected based on interview result through questionnaire. Result: The children’s knowledge about nutrition and snacks were only amount 24,7% included in good category (45,2%). Mother’s formal education were good enough that mostly at senior high school level (37%) or in upper level. Majority number of money for snack purchase revolved between Rp 500 – Rp 5000 at school (95,9%) and Rp 500 – Rp 2500 when at home (52,05%). The children used to having their breakfast everyday (71,2%), whereas frequency of bring the lunch box were in sometime category (1-3 times a week) (69,9%). Healthy snacks were a lot of available at home whereas unhealthy snacks like high natrium snacks, high fat snacks, high sugar snacks, and high sugary beverage were a lot of available outside home. Frequency of bring the lunch box to school had the most correlated factor for snacks preference in elementary school children. Conclusion: Frequency of bring the lunch box to school had the most correlated factor for snacks preference in elementary school children. Keywords: snacks preference, factor-factor, elementary school children
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
26
1.
PENDAHULUAN
tidak tepat oleh produsen pangan jajanan
Jenis makanan jajanan yang beragam berkembang dengan
pesat
Indonesia
sejalan
pengetahuan produsen mengenai keamanan
Pada
makanan jajanan. Ketidaktahuan produsen
pembangunan.1
pesatnya
umumnya,
di
anak
sekolah
adalah salah satu contoh rendahnya tingkat
menghabiskan
mengenai
penyalahgunaan
tersebut
dan
seperempat waktunya setiap hari di sekolah.
praktik higiene yang masih rendah merupakan
Data lain menunjukkan bahwa hanya sekitar
faktor utama penyebab masalah keamanan
5% dari anak-anak tersebut membawa bekal
makanan jajanan.7
dari rumah, sehingga kemungkinan untuk membeli makanan jajanan lebih tinggi.
2
minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh
Makanan jajanan bermanfaat terhadap penganekaragaman
makanan
pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-
kecil
tempat keramaian umum lain yang langsung
dalam rangka peningkatan mutu gizi makanan
dimakan atu dikonsumsi tanpa pengolahan
dikonsumsi.3
yang
Salah
sejak
Makanan jajanan adalah makanan dan
satu
upaya
atau persiapan lebih lanjut. Istilah makanan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia
jajanan tidak jauh dari istilah junk food, fast
pada kelompok anak sekolah adalah dengan
food, dan street food karena istilah tersebut
menyediakan makanan jajanan yang bergizi
merupakan
guna memenuhi kebutuhan tubuh selama
jajanan.8
mengikuti pelajaran di sekolah.4 Makanan
bagian
dari
Pemilihan
istilah
makanan
makanan
jajanan
jajanan memberikan kontribusi masing-masing
merupakan perwujudan perilaku. Faktor-faktor
sebesar
terhadap
yang mempengaruhi terbentuknya perilaku
keseluruhan asupan energi dan protein anak
berupa faktor intern dan ekstern.9 Faktor yang
sekolah dasar.5
mempengaruhi pemilihan makanan dibagi
22,9%,
dan
15,9%
Aspek negatif makanan jajanan yaitu apabila
dikonsumsi
berlebihan
menjadi tiga kelompok yaitu faktor terkait
dapat
makanan, faktor personal berkaitan dengan
menyebabkan terjadinya kelebihan asupan
pengambilan keputusan pemilihan makanan,
energi. Sebuah studi di Amerika Serikat
dan faktor sosial ekonomi.10
menunjukkan bahwa anak mengonsumsi lebih
Pengetahuan merupakan faktor intern
dari sepertiga kebutuhan kalori sehari yang
yang
berasal dari makanan jajanan jenis fast food
jajanan. Pengetahuan ini khususnya meliputi
dan
pengetahuan
soft
drink
meningkatkan kebutuhan
sehingga
kecerdasan,
makanan
persepsi,
melebihi
emosi, dan motivasi dari luar.9 Pendidikan dan
menyebabkan
obesitas.6
pengetahuan merupakan faktor tidak langsung
Masalah lain pada makanan jajanan berkaitan dengan
gizi,
pemilihan
yang
asupan
dan
berkontribusi
mempengaruhi
tingkat
keamanannya.
yang mempengaruhi perilaku seseorang.11 Pengetahuan
yang
diperoleh
Penyalahgunaan bahan kimia berbahaya atau
seseorang tidak terlepas dari pendidikan.
penambahan bahan tambahan pangan yang
Pengetahuan gizi yang ditunjang dengan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
27
pendidikan yang memadai, akan menanamkan
Faktor ketersediaan makanan jajanan yang
kebiasaan dan penggunaan bahan makanan
sehat
yang baik. Ibu yang mempunyai pengetahuan
menentukan pemilihan makanan jajanan yang
luas tentang gizi, maka dapat memilih dan
sehat pula. 16,17
memberi makan anaknya dengan lebih baik. Peran
orang
mengarahkan
tua
terutama
anaknya
ibu,
dalam
menjadi
Faktor
salah
lain
satu
yang
faktor
dalam
mempengaruhi
untuk
pemilihan makanan jajanan adalah uang saku.
pemilihan
Anak usia sekolah memperoleh uang saku dari
makanan jajanan cukup besar.11,12
orang tuanya. Uang saku tersebut digunakan
Anak sekolah mempunyai banyak
untuk memenuhi berbagai kebutuhan anak,
aktivitas sehingga sering melupakan waktu
salah satunya digunakan untuk membeli
makan.
jajanan.18
Anak
yang
tidak
sarapan
pagi
Sebuah
studi
di
Jakarta
cenderung mengonsumsi energi dan zat gizi
menunjukkan bahwa uang saku anak berkisar
lebih sedikit daripada anak yang sarapan pagi.
antara Rp 1000,00 â&#x20AC;&#x201C; Rp 5000,00 sebesar
Kebiasaan makan pagi perlu diperhatikan
81,5%, sebanyak 13,3% anak mendapat uang
untuk menyediakan energi bagi tubuh dan agar
saku Rp 5500,00 â&#x20AC;&#x201C; Rp 10.000,00, 2%
anak lebih mudah menerima pelajaran.13
mendapat
Kebiasaan membawa bekal makanan pada
20.000,00 dan 1,8% anak mendapat uang
anak ketika sekolah memberikan beberapa
saku >Rp 21.000,00. Hal ini menunjukkan
manfaat antara lain dapat menghindarkan dari
potensi daya beli anak yang cukup tinggi.
gangguan rasa lapar dan dari kebiasaan jajan.
Sementara di sekitar mereka banyak terpapar
Hal ini sekaligus menghindarkan anak dari
oleh makanan jajanan kaki lima yang sebagian
bahaya jajanan yang tidak sehat dan tidak
besar
aman.
12
uang
kurang
saku
sehat
11.000,00
dan
tidak
â&#x20AC;&#x201C;
Rp
aman
dikonsumsi.19
Kebiasaan seseorang berhubungan
Media massa berupa radio, surat
dengan karakteristik personal dan faktor
kabar serta iklan-iklan yang terdapat di papan
lingkungan. Dalam hal ini, lingkungan yang
reklame maupun billboard juga berpengaruh
paling berpengaruh pada perilaku makan anak
besar
dalam
pembentukan
opini
dan
sekolah.14,15
kepercayaan seseorang. Media massa berisi
Ketersediaan jajanan sehat dan tidak sehat di
pesan yang mengandung sugesti yang dapat
rumah
mempengaruhi pendapat seseorang, gaya
adalah
keluarga
berpengaruh
dan
terhadap
pemilihan
makanan jajanan pada anak-anak. Anak
hidup,
cenderung untuk membeli makanan jajanan
mendapat paparan iklan dari berbagai media.
yang
dengan
Iklan merupakan medium untuk sosialisasi dan
keberadaannya. Oleh sebab itu, jajanan yang
internalisasi nilai-nilai sosial pada anak. Iklan
sehat seharusnya tersedia baik di rumah,
makanan
maupun di lingkungan sekolah agar akses
karakteristik fisik makanan seperti rasa renyah,
anak terhadap jajanan sehat tetap terjamin.
gurih,
tersedia
paling
dekat
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
selera,
atau
nilai,
tidak
manis.
norma.
jarang
Hal
Anak-anak
menonjolkan
ini
memberikan
28
dorongan bagi anak untuk terpengaruh dengan
siswa yang tersedia. Kriteria inklusi yaitu Anak
produk yang ditawarkan, karena karakteristik
kelas
IV-VI
di
SDN
Taman
Pekunden
20,21
Semarang pada tahun ajaran 2011/2012 dan
Peningkatan asupan makanan tinggi lemak
bersedia menjadi subjek penelitian dengan
dan makanan jajanan manis padat energi
mengisi informed consent dan mengikuti
dapat dipengaruhi oleh iklan. Iklan di media
prosedur penelitian. Berdasarkan perhitungan
massa
anak yang cenderung mudah tertarik.
mendorong
mengonsumsi
jajanan
anak-anak
untuk
besar sampel, jumlah sampel yang dibutuhkan
yang
sehat
dalam penelitian ini sejumlah 71 orang.
tidak
walaupun tidak semua makanan jajanan yang diiklankan adalah jajanan yang tergolong tidak sehat.
21
yang
dikumpulkan
dalam
penelitian ini yaitu data identitas sampel meliputi nama, jenis kelamin, usia, tanggal
Lokasi penelitian
Data
ini
pengambilan di
SD
data
Negeri
dalam
lahir, kelas. alamat, nomor telepon, pendidikan
Pekunden
ibu, data pengetahuan tentang gizi dan
Semarang. Sekolah dasar ini merupakan
makanan
sekolah negeri yang terletak di tepi jalan di
kebiasaan sarapan pagi, bekal sekolah, uang
pusat kota dan banyak terdapat penjual
jajan, peran media massa dan pemilihan
makanan maupun minuman jajanan, serta
makanan jajanan yang diperoleh berdasarkan
siswa memiliki karakteristik sosial ekonomi
pengisian kuesioner yang telah disiapkan dan
yang bervariasi. Penelitian ini bertujuan untuk
dilakukan
mendeskripsikan dan menganalisis berbagai
sebelumnya. Variabel bebas dalam penelitian
faktor yang berhubungan dengan pemilihan
ini
makanan jajanan pada anak sekolah dasar di
pengetahuan
SDN Pekunden Semarang.
jajanan,
yaitu
jajanan,
uji
ketersediaan
validitas
lama
dan
tahun
tentang
ketersediaan
jajanan,
realibilitas
pendidikan
gizi
ibu,
dan
makanan
jajanan,
frekuensi
sarapan pagi, frekuensi membawa bekal 2.
METODE
makanan sekolah, besar uang jajan di rumah
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan
dan di sekolah, dan peran media massa, serta
Mei 2011. Penelitian ini merupakan penelitian
pemilihan makanan jajanan sebagai variabel
observasional dengan desain cross sectional.
terikat. Tiap variabel diuji normalitas datanya
Populasi target dalam penelitian ini adalah anak-anak yang mengikuti pendidikan formal Sekolah Dasar, dan populasi terjangkaunya adalah semua siswa dan siswi sekolah dasar yang mengikuti pendidikan formal di SDN Pekunden Semarang. Subjek diambil dengan metode simple random sampling menggunakan tabel angka random yang dilakukan berdasarkan data
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
29
Tabel 1. Nilai Minimum, Maksimum, dan Rerata Variabel penelitian Variabel Minimum Maksimum Rerata SD Usia Subjek 9 tahun 11 tahun 10,4 tahun 0,64 tahun Uang Jajan di Sekolah Rp 500 Rp 10000 Rp 3611,1 Rp 1789,14 Uang Jajan di Rumah Rp 500 Rp 5000 Rp 1888,9 Rp 1315,12 Lama Tahun Pendidikan Ibu 6 tahun 18 tahun 13 tahun 2,93 tahun Frekuensi Sarapan Pagi 0 kali/ 7 kali/ 5,9 kali/ 2,03 kali/ minggu minggu minggu minggu Frekuensi Membawa Bekal 0 kali/ 6 kali/ 2,4 kali/ 1,45 kali/ Makanan minggu minggu minggu minggu Skor Pengetahuan Gizi dan 29 100 70,8 16,06 Makanan Jajanan Skor T Pemilihan Makanan 152 402 278,5 43,80 Jajanan Tabel 2. Distribusi Frekuensi Variabel Variabel Laki-laki % 4,1 24,65 23,28
Umur 9 tahun 10 tahun 11 tahun
n 3 18 17
Pengetahuan Gizi dan Makanan Jajanan Kurang Sedang Baik
n
%
20 33 20
27,4 45,2 27,4
Pendidikan Ibu SD/MI SMP/Mts SMA/MA Akademi
1 12 27 13
1,4 16,4 37,0 17,8
26
35,6
19 19 7 2
26 26 9,7 2,7
Besar Uang Jajan di Rumah Rp500 – Rp 5000 >Rp 5000 – Rp 10.000 Tidak Jajan
70 2 1
95,9 2,7 1,4
Frekuensi Sarapan Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu
2 12 7 52
2,7 16,4 9,6 71,2
Pekerjaan Ibu Tidak Bekerja Bekerja - Pegawai swasta - Pedagang/Wiraswasta - Pegawai negeri/ ABRI/ POLRI - Lain-lain
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
Perempuan n % 3 4,1 14 19,17 18 24,65
Jumlah n % 6 8,2 32 43,8 35 47,9
30
Frekuensi Membawa Bekal Tidak Pernah Kadang-kadang Sering Selalu
15 51 4 3
20,05 69,9 5,5 4,1
Sumber Informasi Iklan Jajanan Televisi Radio Media cetak Lainnya
69 1 1 2
94,4 1,4 1,4 2,7
Ketersediaan Makanan Jajanan Sehat Jenis Jajanan Susu Produk Olahan Susu Jus Buah Buah Jajanan Cukup Energi Jajanan Cukup protein
Ketersediaan Makanan Jajanan Tidak Sehat Jenis Jajanan Jajanan Tinggi Natrium Jajanan Tinggi Gula Jajanan Tinggi Lemak Minuman Tinggi Gula Western Fast food
Item Pemilihan Makanan Jajanan Jajan di tempat terbuka Jajanan tinggi gula Jajanan tinggi lemak Jajanan tinggi natrium Jajanan dengan bahan tambahan pangan/ bumbu yang tidak aman Jajanan instan dalam kemasan Jajanan cukup energi Jajanan cukup protein Jajanan berbahan dasar buah (jus buah, buah segar, rujak) Jajanan golongan susu (susu cair kemasan, susu segar, susu skim) Jajanan yang bersih Memilih memperhatikan kandungan gizi dan tanggal kadaluarsa
Di Rumah % 90,4 41,1 74 78,1 72,6 82,2
Di Sekolah/ Sekitarnya % 93,2 20,5 15,1 5,5 76,7 75,3
Di Warung Sekitar Rumah % 93,2 54,8 64,4 54,8 74 80,8
Di Rumah % 58,9 53,4 68,5 27,4 47,9
Di Sekolah/ Sekitarnya % 84,9 98,6 82,2 58,9 46,6
Di Warung Sekitar Rumah % 86,3 93,2 78,1 78,1 32,9
Tidak Pernah % 22,6 15,1 7,3 34,2 37
KadangKadang % 68,5 67,1 70,8 56,2 53,4
Selalu % 8,9 17,8 21,9 9,6 9,6
17,8 11 0 6,8
58,9 68,5 60,3 61,6
23,3 20,5 39,7 31,6
4,1
42,5
53,4
4,8 11
34,9 43,8
60,3 45,2
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
31
kemudian digunakan uji korelasi r-Pearson bila
ibu subjek yang tertinggi adalah perguruan tinggi
data berdistribusi normal dan Rank Spearman bila
dengan tingkat S2 dan yang terendah adalah
data
sekolah dasar. Rerata lama tahun pendidikan 13
terdistribusi
tidak
normal.
berikutnya
dilakukan analisis multivariat untuk mengetahui
± 2,93.
faktor yang paling berhubungan dengan pemilihan
4.
makanan jajanan.
Pekerjaan Ibu Pekerjaan ibu subjek dibedakan menjadi
ibu yang bekerja dan tidak bekerja. Ibu yang 3.
HASIL PENELITIAN
bekerja kemudian dibedakan lagi sesuai dengan
A. Karakteristik Subjek
kategori
profesinya
masing-masing.
Penentuan dan pengambilan subjek sesuai
Berdasarkan tebel 5 dapat diketahui bahwa
dengan yang telah ditetapkan secara acak
sebagian besar ibu subjek bekerja (65,4%),
sederhana. Subjek yang diambil sebanyak 73
dimana profesi terbanyak sebagai pegawai
orang yang terdiri dari kelas IV dan V, karena
swasta (26%) dan pedagang/wiraswasta (26%).
siswa kelas VI sudah menempuh ujian akhir
5.
Besar Uang Jajan
sehingga sulit ditemui di sekolah. Ringkasan
a.
Uang Jajan di Sekolah
nilai minimum, maksimum, dan rerata variabel
Besar uang jajan yang digunakan oleh
penelitian dapat dilihat pada tabel 1.
subjek untuk membeli jajanan saja di sekolah
1.
bervariasi. Besar uang jajan minimum yaitu Rp
Usia Subjek Perbandingan
jumlah
laki-laki
dan
500 dan maksimum sebesar Rp 10.000. Rata-
perempuan tidak jauh berbeda yaitu 38 (52,1%)
rata subjek menggunakan uang sakunya untuk
laki-laki dan 35 (47,9%) perempuan. Sebagian
membeli jajan. Hanya satu dari 73 subjek yang
besar subjek berusia 11 dan 10 tahun dengan
tidak menggunakan uang sakunya untuk jajan.
rerata 10,40 ± 0,64.
Alokasi uang yang digunakan subjek untuk
2.
Pengetahuan Gizi dan Makanan Jajanan
membeli jajan di sekolah sebagian besar
Pengetahuan tentang gizi dan makanan
(95,9%) berkisar antara Rp 500 – Rp 5000.
jajanan subjek bervariasi. Skor minimum yang
b.
Uang Jajan di Rumah
diperoleh yaitu 29 dan skor maksimum 100
Sebagian besar subjek membeli jajan di
dengan rerata skor pengetahuan 70,83 ± 16,60.
rumah selain jajan di sekolah. Subjek yang
Pengetahuan subjek tentang gizi dan makanan
memperoleh uang saku ketika di rumah dan
jajanan yang termasuk dalam kategori baik
mempergunakannya untuk jajan berjumlah 45
hanya sebesar 45,2%. Subjek yang masuk
subjek dari 73 subjek yang ada. Sebanyak 38
kategori kurang dan baik memiliki proporsi yang
dari 45 subjek (52,1%) menghabiskan uang
sama (27,4%).
untuk membeli jajan dengan rentang Rp 500 –
3.
Pendidikan Ibu
Rp
Sebagian besar ibu subjek mempunyai latar
menghabiskan Rp 2500 – Rp 5000. Sisanya,
belakang pendidikan formal yang cukup. Hal ini
sebanyak 28 subjek mengaku tidak memperoleh
dilihat dari mayoritas ibu subjek menempuh
uang jajan atau tidak membeli jajan ketika di
pendidikan tingkat SMA (37%), sedangkan ibu
rumah.
yang menempuh pendidikan tingkat sekolah
6.
2500.
Sejumlah
7
subjek
(9,6%)
Frekuensi Sarapan Pagi Subjek
dasar hanya 1 orang (1,4%). Pendidikan formal BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
32
Sebanyak
52
subjek
(71,2%)
selalu
Jajanan
tidak
sehat
hampir
selalu
sarapan pagi setiap hari baik pada hari sekolah
ditemukan di luar rumah. Sebagian besar
maupun hari libur dan hanya 2 subjek (2,7%)
jajanan tidak sehat seperti jajanan tinggi
yang mengaku tidak pernah sarapan pagi setiap
natrium, tinggi gula, dan tinggi lemak paling
hari.
banyak tersedia di sekolah/sekitar sekolah,
7.
Frekuensi Membawa Bekal Makanan
Sekolah
jajanan golongan minuman tinggi gula paling banyak tersedia di warung sekitar rumah,
Kebiasaan subjek dalam membawa bekal
sedangkan jajanan golongan Western fast food
makanan ke sekolah bervariasi. Kebiasaan
paling banyak tersedia di rumah.
membawa bekal subjek diukur dengan tingkat
10. Pemilihan Makanan Jajanan
keseringan
berupa
frekuensi
per
minggu.
Pemilihan makanan jajanan diukur dengan
Jumlah total subjek yang membawa bekal yaitu
jawaban yang menyatakan tingkat keseringan
58 subjek dengan frekuensi berbeda. Sebagian
terhadap item pertanyaan yang tersedia. Tingkat
besar subjek membawa bekal dengan frekuensi
keseringan tersebut yaitu tidak pernah, kadang-
1-3 kali/minggu yaitu 51 orang (69,9%), sisanya
kadang, sering, dan selalu. Pemilihan makanan
sebanyak 15 subjek (20,05%) mengaku tidak
dan minuman jajanan pada 73 subjek yang
pernah membawa bekal makanan ke sekolah.
diteliti
8.
Peran Media Massa
Pemilihan makanan jajanan meliputi pertanyaan
Sumber Informasi
favorable dan unfavorable.
menunjukkan
hasil
yang
beragam.
Hampir seluruh subjek 69 subjek (94,5%)
Pemilihan makanan jajanan pada anak-
terpapar iklan jajanan melalui media televisi.
anak sangat beragam. Hal ini menunjukkan
Melalui media radio dan media cetak masing-
bahwa
masing 1 subjek (1,4%) dan 2 subjek (2,7%)
makanan jajanana yang baik dan tidak baik.
melalui sumber lainnya.
Sebagian besar subjek termasuk dalam kategori
9.
kadang-kadang dalam memilih berbagai jenis
Ketersediaan Makanan Jajanan Pada
penelitian
ini,
diperoleh
data
anak
belum
dapat
membedakan
jajanan. Namun, mayoritas subjek
selalu
ketersediaan makanan jajanan yang dibagi
memilih jajanan gologan susu (53,4%), jajanan
menjadi ketersediaan jajanan sehat dan tidak
yang bersih (60,3%), serta memperhatikan
sehat yang dibedakan dalam tiga tempat yaitu di
kandungan gizi dan tenggal kadaluarsa (45,2%).
kantin/pedagang sekitar sekolah, di warung
Subjek
sekitar rumah, dan di dalam rumah.
golongan lemak (70,8%), dan hanya 7,3% yang
Ketersediaan jajanan golongan susu dan
kadang-kadang
memilih
jajanan
tidak pernah mengonsumsinya. Selain itu, tidak
cukup protein hampir sama baik di rumah, di
ada
(0%)
subjek
yang
tidak
sekolah/sekitar sekolah dan warung sekitar
mengonsumsi jajanan golongan protein.
pernah
rumah. Jajanan golongan buah, jus buah, dan jajanan cukup energi paling banyak tersedia di
B. Hubungan Beberapa Variabel dengan
rumah dengan persentase 78,1%, 74%, dan
Pemilihan Makanan Jajanan
82,2%, sedangkan produk olahan susu paling
Ringkasan hasil uji hubungan beberapa
banyak terdapat di warung sekitar rumah
variabel dengan pemilihan makanan jajanan
(54,8%). BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
33
pada anak sekolah dasar dapat dilihat pada
hubungan yang bermakna. Namun, analisis
tabel 3.
bivariat frekuensi membawa bekal makanan dengan
pemilihan
makanan
jajanan
Tabel 3. Analisis Bivariat Hubungan Beberapa
menunjukkan adanya hubungan yang bermakna
Variabel dengan Pemilihan Makanan Jajanan
(r = 303; p = 0,009). Hal ini berarti bahwa
Variabel
r
p
semakin sering frekuensi membawa bekal
Besar Uang Jajan di Sekolah
-0,140
0,237*
makanan sekolah maka pemilihan makanan
Besar Uang Jajan di Rumah
-0,057
0,632*
jajanan semakin baik.
Lama Tahun Pendidikan Ibu
0,161
0,173*
Total Ketersediaan Jajanan
0,200
0,09*
C. Variabel
yang
Paling
Berhubungan
dengan Pemilihan Makanan Jajanan
Sehat Total Ketersediaan Jajanan
0,108
0,364*
Hasil
analisis
multivariat
menunjukkan
bahwa frekuensi membawa bekal makanan
Tidak Sehat Frekuensi Sarapan Pagi
0,041
0,730*
memiliki hubungan yang paling dekat dengan
Frekuensi Membawa Bekal
0,303
0,009*
pemilihan makanan jajanan. Pada uji Anova diperoleh nilai p = 0,009. Hal ini menunjukkan
Makanan Sekolah Pengetahuan Gizi dan
0,212
0,072**
persamaan regresi yang diperoleh layak untuk digunakan. Hasil analisis data regresi linier
Makanan Jajanan *UjiKorelasi Rank Spearman
didapatkan angka Adjusted R2 = 0,116 yang
**Uji Korelasi Pearson Product Moment
dapat
diartikan
bahwa
11,6%
pemilihan
makanan jajanan dapat dipengaruhi oleh besar Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak
uang jajan di sekolah, besar uang jajan di rumah,
terdapat hubungan yang bermakna antara besar
pengetahuan
uang jajan, baik di sekolah (r = -0,140, p = 0,237)
pendidikan
maupun di rumah (r = -0,057 , p = 0,632) dengan
frekuensi membawa bekal makanan sekolah,
pemilihan makanan jajanan. Demikian pula pada
dan peran media massa, sedangkan 88,4%
hasil analisis pengetahuan tentang gizi dan
dipengaruhi oleh variabel lain. Persamaan
makanan jajanan (r = 212; p = 0,072) dengan
regresi yang didapatkan : Pemilihan makanan
pemilihan makanan jajanan tidak menunjukkan
jajanan = 24,437 + 0,875 (frekuensi membawa
hubungan bermakna.
bekal makanan sekolah). Hal ini berarti setiap
Analisi bivariat menunjukkan tidak terdapat
gizi ibu,
dan
makanan
frekuensi
jajanan,
sarapan
pagi,
peningkatan frekuensi membawa bekal sebesar
ketersediaan
1 kali akan memperbaiki pemilihan makanan
makanan jajanan sehat (r = 0,200 , p = 0,09) dan
jajanan pada anak sekolah dasar sebesar 0,896.
tidak sehat (r = 0,108, p = 0,364) dengan
Nilai signfikansi korelasi yaitu p = 0,009
pemilihan makanan jajanan, demikian pula pada
menunjukkan bahwa frekuensi membawa bekal
variabel lama tahun pendidikan ibu (r = 0,161 , p
makanan
= 0,173).
dengan pemilihan makanan jajanan.
hubungan
bermakna
antara
berhubungan
secara
signifikan
Hasil analisis varabel frekuensi sarapan pagi (r = 0,041, p = 0,730) dengan pemilihan makanan
jajanan
menunjukkan
tidak
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
ada 34
4.
PEMBAHASAN
Pemilihan makanan jajanan merupakan
Makanan jajanan memegang peranan
perwujudan perilaku.9 Faktor yang mempengaruhi
penting dalam memberikan kontribusi tambahan
pemilihan makanan dibagi menjadi tiga kelompok
untuk kecukupan gizi, khususnya energi dan
yaitu faktor terkait makanan, faktor personal, dan
protein. Kebiasaan jajan di sekolah terjadi karena
faktor sosial ekonomi dalam konteks pemilihan
3-4 jam setelah makan pagi perut akan terasa
makanan.
lapar kembali.27 Rendahnya sumbangan zat gizi
kandungan gizi, serta komponen kimia dan fisik
dari makanan jajanan yang disebabkan sebagian
makanan. Faktor personal meliputi persepsi
besar
sensori
anak
sekolah
dasar
mengonsumsi
Faktor
seperti
terkait
aroma,
makanan
rasa,
dan
meliputi
tekstur,
makanan jajanan yang kandungan zat gizinya
sedangkan faktor sosial ekonomi meliputi harga,
kurang bervariasi karena hanya terdiri dari 1 atau
merk, ketersediaan, serta budaya.10
2 jenis zat gizi saja.28 Makanan
Uang saku yang rutin diberikan pada anak
jajanan
sebaiknya
tidak
dapat membentuk sikap dan persepsi anak bahwa
dikonsumsi pada waktu makan utama. Konsumsi
uang saku adalah hak mereka dan mereka bisa
jajanan dapat menjaga kecukupan energi anak
menuntutnya. Kurangnya nasihat dan arahan dari
sebelum waktu makan utama tiba. Namun,
orang tua tentang pemanfaatan uang saku akan
konsumsi jajanan yang berlebihan juga dapat
mendorong anak untuk memanfaatkannya secara
menyebabkan peningkatan berat badan apabila
bebas.31 Pemberian uang saku mempengaruhi
pilihan jajanan berupa makanan yang tinggi kalori,
kebiasaan jajan pada anak usia sekolah. 32
lemak, gula, dan rendah zat gizi yang dibutuhkan
Sebanyak 70 subjek menghabiskan uang
oleh anak-anak. Banyak iklan makanan yang
saku Rp 500 â&#x20AC;&#x201C; Rp 5000 untuk membeli jajan di
menawarkan jajanan seperti keripik, kue kering,
sekolah, hanya 1 subjek di antaranya menyatakan
permen, dan minuman soda yang tidak termasuk
tidak pernah jajan di sekolah. Besar uang jajan
pilihan jajanan yang baik.29
yang tertinggi yaitu Rp 10.000. Variasi uang jajan
Pemilihan makanan jajanan merupakan
dapat berkaitan dengan tingkat sosial ekonomi
salah satu bentuk perilaku kesehatan. Perilaku
keluarga subjek yang berbeda-beda. Rerata uang
kesehatan merupakan hal-hal yang berkaitan
jajan subjek dalam sehari di sekolah yaitu Rp
dengan tindakan atau kegiaan seseorang dalam
3611,1. Penelitian sebelumnya di Semarang
memelihara
menyatakan
dan
meningkatkan
kesehatan.
bahwa
rata-rata
siswa
Perilaku sendiri dibentuk melalui suatu proses dan
menghabiskan uang saku sebesar Rp 5.090,91
berlangsung dalam interaksi manusia dengan
per hari untuk membeli makanan jajanan.33 Rerata
lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil rerata
terbentuknya perilaku dibedakan menjadi dua,
pada penelitian ini. Perbedaan angka rerata
yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern
tersebut dapat berkaitan dengan perbedaan
mencakup pengetahuan, kecerdasan, persepsi,
karakteristik lokasi penelitian dan karakteristik
emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi
subjek. Subjek menyatakan bahwa tidak seluruh
mengolah rangsang dari luar. Sedangkan faktor
uang saku yang diperoleh dipergunakan untuk
ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik
membeli
maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial
menyatakan bahwa sisa uang saku yang tidak
ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya.30
digunakan untuk jajan tetapi ditabung.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
jajanan.
Sebagian
besar
subjek
35
Hasil uji hubungan antara besar uang
yang mempengaruhi proses sosialisasi anak
saku di sekolah dengan pemilihan makanan
menjadi konsumen dalam memergunakan uang
jajanan menunjukkan tidak terdapat hubungan
jajan yaitu teman sebaya, media massa, dan
yang bermakna di antara keduanya. Hal ini dapat
lingkungan tempat tinggal anak.35
dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor dukungan
Hasil uji hubungan antara besar uang
(support) dari pihak lain dapat mendukung
jajan di rumah dengan pemilihan makanan jajanan
perwujudan
ini
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
pemilihan makanan jajanan. Karakteristik anak
yang bermakna di antara keduanya. Hal ini
sekolah dasar yaitu suka meniru orang-orang di
berkaitan dengan faktor ekologi antara lain
sekitarnya termasuk orang tua, guru, dan teman
pengetahuan ibu, kebiasaan makan ibu, durasi
sebaya. Perilaku yang kerap muncul adalah
menonton televisi, dan frekuensi mengonsumsi
meniru teman sebayanya meskipun tidak sesuai
jajanan. Sebuah penelitian di Korea menunjukkan
suatu
dirinya.30
dengan
tindakan
Anak
dalam
hal
sekolah
dasar
bahwa faktor ekologi
berhubungan dengan
daripada
frekuensi anak dalam membeli makanan.34 Hal ini
kandungan gizi dalam membeli jajanan dan
berkaitan dengan faktor dalam keluarga dimana
manis.34
kebiasaan makan yang baik dimulai di rumah atas
Selain itu, ketersediaan makanan jajanan yang
bimbingan orang tua. Peranan ibu yang paling
sehat menjadi salah satu faktor penting dalam
banyak
menentukan pemilihan makanan jajanan yang
kebiasaan makan anak-anak di dalam rumah. 12
menganggap
rasa
lebih
penting
mereka lebih sering membeli jajanan
sehat pula.16,17
berpengaruh
terhadap
pembentukan
Faktor lain yang mempengaruhi pemilihan
Besar uang jajan yang diterima subjek di
makanan jajanan adalah sarapan pagi. Sarapan
sekolah dan di rumah berbeda. Rerata besar uang
pagi pada umumnya menyumbang gizi sekitar
jajan subjek di rumah sebesar Rp 1888,9 lebih
25% dari angka kebutuhan gizi sehari. Anak yang
kecil dari pada rerata besar uang jajan di sekolah.
tidak sarapan pagi cenderung mengonsumsi
Tidak seluruh subjek memperoleh uang jajan di
energi dan zat gizi lebih sedikit daripada anak
rumah. Subjek yang tidak memperoleh uang jajan
yang sarapan pagi.36 Hasil uji hubungan antara
di rumah sebanyak 28 subjek (38,4%). Hal ini
frekuensi
menunjukkan bahwa tidak semua orang tua
makanan jajanan menunjukkan angka p = 0,730
memberikan kelonggaran kepada anaknya untuk
berarti bahwa tidak terdapat hubungan yang
membeli
konsumen masa
signifikan antara kedua variabel tersebut. Hasil
kanak-kanak (childhood consumer socialization)
penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
mengacu pada proses di mana anak memperoleh
subjek (71,2%) selalu sarapan pagi setiap hari.
kedewasaan, pengetahuan, dan sikap yang
Frekuensi sarapan pagi pada subjek tidak
relevan
sebagai
berkaitan dengan kebiasaan jajan di sekolah. Hal
konsumen, dalam hal ini konsumen makanan
ini ditunjukkan dengan hasil bahwa terdapat 50
jajanan. Agen sosialisasi anak sebagai konsumen
subjek yang tetap membeli jajan di sekolah
yaitu orang tua yang memiliki kontak langsung
walaupun sudah sarapan pagi. Hal ini dapat
dengan anak. Orang tua bertanggung jawab atas
berkaitan dengan banyaknya jam istirahat di
kegiatan anak sebagai konsumen, salah satunya
sekolah, dimana dalam sehari terdapat 2-3 kali
melalui pemberian uang saku. Faktor-faktor lain
jam istirahat. Pada penelitian lain disebutkan
jajan.
dengan
Sosialisasi
fungsi
mereka
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
sarapan
pagi
dengan
pemilihan
36
bahwa anak-anak membeli makanan jajanan
frekuensi membawa bekal makanan ke sekolah,
pada saat jam istirahat sekolah (92,2%) dengan
maka pemilihan makanan jajanan semakin baik.
alasan untuk mengurangi rasa lapar setelah
Dalam penelitian ini, bekal makanan yang dibawa
beberapa jam belajar di kelas.33
ke sekolah adalah bekal makanan yang dibawa
Pada penelitian ini, subjek dengan ibu
dan
dipersiapkan
dari
rumah.
Kebiasaan
yang bekerja lebih banyak daripada ibu yang tidak
membawa bekal makanan merupakan salah satu
bekerja.
faktor pemudah yang mendorong terwujudnya
Ibu
yang
tidak
bekerja
lebih
pemilihan
bagi anaknya, sedangkan ibu yang bekerja tidak
Ketersediaan jajanan tidak sehat seperti jenis
memiliki banyak waktu sebagaimana ibu yang
jajanan tinggi lemak, tinggi natrium, tinggi gula,
tidak bekerja. Hal ini berkaitan dengan adanya
dan minuman bersoda banyak tersedia di kantin
hubungan
ibu,
sekolah, dan gerai jajanan.39 Ketika anak sudah
pengetahuan ibu, dan kesempatan sarapan,
membawa bekal makanan ke sekolah, maka anak
dengan kebiasaan sarapan.37
cenderung mengonsumsi bekal makanan yang
antara
jenis
pekerjaan
Selain sarapan pagi, frekuensi membawa bekal makanan
pada
anak
ketika sekolah
makanan
jajanan
yang
baik.30
berkesempatan untuk menyediakan sarapan pagi
dibawa dari rumah. Oleh karena itu, bekal sekolah dapat
menghindarkan
anak
dari
kebiasaan
memberikan beberapa manfaat antara lain anak-
membeli jajan yang sekaligus menghindarkan
anak dapat dihindarkan dari gangguan rasa
anak dari bahaya jajanan yang tidak sehat dan
lapar.12
tidak aman.12
Pada penelitian ini, sebanyak 58 subjek
(79,45%) membawa bekal ke sekolah sedangkan
Pengetahuan juga salah satu faktor yang
sisanya sebanyak 15 subjek mengaku tidak
mempengaruhi
pernah membawa bekal makanan ke sekolah. Di
Pengetahuan adalah hasil tahu, dan ini terjadi
antara 58 subjek tersebut, sebagian besar subjek
setelah orang melakukan penginderaan terhadap
(69,9%) membawa bekal dengan frekuensi 1-3
suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
kali/minggu
pancaindera
(kadang-kadang).
Frekuensi
ini
pemilihan
manusia.
makanan
Sebagian
jajanan.
besar
berhubungan dengan kegiatan subjek di sekolah.
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan
Subjek menyatakan bahwa mereka membawa
telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan
bekal makanan terutama pada hari Senin â&#x20AC;&#x201C; Rabu,
domain yang sangat penting untuk terbentuknya
karena pada hari tersebut, subjek menghabiskan
tindakan seseorang (overt behaviour). Hal ini
banyak waktu di sekolah berkaitan dengan
didasarkan pada pengalaman berbagai penelitian
adanya jam tambahan pelajaran di sekolah (les).
yang menyatakan bahwa perilaku yang didasari
Bekal
makanan
pengetahuan akan lebih tahan lama daripada
tambahan karena kebutuhan gizi anak yang
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.
semakin
Pengetahuan termasuk di dalamnya pengetahuan
makanan
dapat
meningkat
menjadi
sedangkan
saluran cerna anak masih
kemampuan
terbatas.38
Hasil uji hubungan frekuensi membawa
gizi, jajan, dan makanan jajanan dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun informal.30
bekal makanan dengan pemilihan makanan
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa
jajanan menunjukkan bahwa terdapat hubungan
sebagian besar subjek yaitu sebanyak 33 subjek
yang signifikan antara kedua variabel tersebut.
(45,2%) memiliki pengetahuan tentang gizi dan
Hubungan yang diperoleh yaitu semakin sering
makanan jajanan dengan kategori sedang dan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
37
masih ada subjek yang masuk dalam kategori
tentang gizi dan ditunjang dengan pendidikan
kurang yaitu sebanyak 20 subjek (27,4%). Masih
yang tinggi, maka dalam memilih maupun
kurangnya pengetahuan anak tentang gizi dan
memberikan makanan kepada anaknya semakin
makanan
baik.12
jajanan
dapat
disebabkan
oleh
kurangnya sumber internal atau pengalaman yang
Mayoritas ibu subjek telah menempuh
diperoleh dari berbagai sumber misalnya media
pendidikan formal yang cukup. Hal ini dapat dilihat
massa, media elektronik, buku, maupun dari
dari jenjang pendidikan yang paling banyak
sumber eksternal yaitu yang berasal dari orang
ditempuh oleh ibu subjek yaitu SMA/MA sebanyak
lain,
27
misalnya
pendidikan
gizi
yang
dapat
menambah pengetahuan anak.40
subjek
(37,0%)
dan
yang
menempuh
pendidikan sekolah dasar hanya 1 subjek (1,4%).
Hasi uji hubungan antara pengetahuan
Distribusi pendidikan ibu subjek yang diperoleh
tentang gizi dan makanan jajanan dengan
dari hasil penelitian ini cukup beragam mulai dari
pemilihan makanan jajanan menunjukkana angka
jenjang sekolah dasar hingga pendidikan tinggi
signifikansi 0,072 yang berarti bahwa tidak
strata dua (S2). Keragaman pendidikan ibu ini
terdapat hubungan bermakna antara kedua
dapat dipengaruhi oleh faktor latar belakang sosial
variabel tersebut. Hal ini karena pengetahuan
dan ekonomi yang bervariasi pada masing-
yang baik belum tentu diwujudkan dalam perilaku
masing keluarga subjek.
yang baik. Terbentuknya suatu perilaku baru
Hasil analisis bivariat antara pendidikan
dimulai pada domain kognitif. Dalam arti, subjek
ibu
tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
berupa materi atau objek di luarnya sehingga
bermakana
menimbulkan pengetahuan baru pada subjek
pemilihan makanan jajanan. Hubungan yang tidak
tersebut dan selanjutnya menimbulkan respons
bermakna tersebut dapat disebabkan oleh proses
batin dalam bentuk sikap terhadap objek yang
adopsi
diketahui tersebut. Namun, seseorang dapat
Pendidikan
bertindak atau berperilaku tanpa mengetahui
pengetahuan. Pengetahuan merupakan domain
dahulu makna stimulus yang diterimanya. Dengan
yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
kata lain, tindakan (practice)
seseorang
seseorang tidak
harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.30 Pengetahuan
antara
makanan
pendidikan
perilaku
yang
sebagai
(behaviour).
jajanan
ibu
dengan
belum
sempurna.
sumber
informasi
Apabila
penerimaan
perilaku baru atau adopsi perilaku tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku
pendidikan. Pendidikan secara umum adalah
tersebut tidak dapat berlangsung lama atau
segala
untuk
bersifat langgeng (long lasting). Kepercayaan, ide,
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok,
dan konsep terhadap suatu objek, kehidupan
atau masyarakat, sehingga mereka melakukan
emosional atau evaluasi emosional terhadap
pendidikan.41
suatu objek, dan kecenderungan untuk bertindak
Peran orang tua terutama ibu untuk mengarahkan
merupakan komponen yang secara bersama-
anak dalam pemilihan makanan jajanan cukup
sama membentuk sikap yang utuh (total attitude).
besar.
Namun, suatu sikap belum tentu terwujud dalam
yang
terlepas
pemilihan
dari
upaya
tidak
dengan
direncanakan
apa yang diharapkan oleh pelaku
Pendidikan
gizi
bertujuan
untuk
mengarahkan anak kepada pembiasaan dan cara
suatu
makan yang baik. Ibu dengan pengetahuan luas
mewujudkan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
tindakan
(overt
suatu
sikap,
behaviour). diperlukan
Untuk faktor 38
pendukung
atau
yang
jajanan yang tidak sehat. Oleh sebab itu, jajanan
memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Di
sehat sebaiknya tersedia di semua tempat
samping faktor fasilitas, faktor dukungan (support)
terutama di rumah, agar akses anak terhadap
dari
jajanan sehat terjamin.
pihak
lain
suatu
penting
kondisi
untuk
mendukung
terbentuknya suatu tindakan.30
Hasil
Media massa merupakan salah satu
analisis
bivariat
menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara
faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan
ketersediaan
jajanan. Media massa sebagai media komunikasi
sehat dengan pemilihan makanan jajanan. Hal ini
massa berperan untuk menyampaikan informasi.
karena membentuk pola makan yang lebih sehat
Sumber informasi iklan jajanan yang paling
pada
banyak diakses oleh subjek adalah melalui media
banyak pihak seperti orang tua, keluarga, dan
elektronik berupa televisi. Hampir seluruh subjek
sekolah. Keluarga, terutama orang tua berperan
yaitu sebanyak 69 subjek (94,4%) menggunan
penting terhadap perkembangan pola makan
televisi sebagai sumber informasi iklan jajanan.
anak dan kualitas diet.42 Apabila jajanan sehat
Hal ini karena, sebagai sumber pesan, televisi
tidak tersedia di rumah, maka anak akan mencari
merupakan media audio visual yang paling luas
jajanan di luar rumah yang sebagian besar
jangkauannya.
terdapat
merupakan jajanan yang tidak sehat. Anak-anak
visualisasi, figur, serta bentuk yang menarik
belum dapat membedakan makanan yang sehat
sehingga sasaran dapat lebih mudah dalam
dan
menyerap informasi yang disampaikan. Menonton
membutuhkan pendampingan orang tua dalam
televisi juga tidak memerlukan keterampilan
memilih makanan jajanan di luar rumah. Pengaruh
khusus sebagaimana internet dan relatif lebih
teman sebaya merupakan faktor sosial yang juga
murah dibandingkan media sejenisnya.30
mempengaruhi
Pada
media
ini
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pemilihan
makanan
jajanan
adalah
faktor
ketersediaan. Ketersediaan makanan jajanan
jajanan baik sehat maupun tidak
anak-anak
tidak
Meniru
atau
sehat
membutuhkan
dengan
pemilihan
keterlibatan
baik,
sehingga
makanan
mempelajari
kebiasaan
jajanan. teman
sebaya mempengaruhi pengambilan keputusan dalam memilih jajanan.43
dapat diartikan apakah jajanan tersedia di lingkungan anak-anak dalam kehidupan sehari-
Faktor yang Paling Berhubungan dengan
hari, termasuk dijual di pertokoan dekat rumah,
Pemilihan Makanan Jajanan
lingkungan sekolah, terdapat di rumah, dan dibeli oleh
anak-anak.16
Hasil analisis multivariat menunjukkan
Berdasarkan hasil penelitian
bahwa frekuensi membawa bekal makanan
yang diperoleh, dapat diketahui bahwa jajanan
memiliki hubungan yang paling dekat dengan
sehat banyak tersedia di rumah dan sebaliknya,
pemilihan makanan jajanan. Persamaan regresi
jajanan tidak sehat banyak dijumpai baik di
yang didapatkan sebagai berikut : Pemilihan
lingkungan rumah maupun di sekolah/sekitar
makanan jajanan = 24,437 + 0,875 (frekuensi
sekolah.
sehat
membawa bekal makanan sekolah). Hal ini berarti
dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan
setiap peningkatan frekuensi membawa bekal
Konsumsi
kesempatan
untuk
jajanan membeli.16
tidak
Ketersediaan
makanan sebesar 1 kali akan memperbaiki
makanan jajanan di rumah dapat menjadi faktor
pemilihan makanan jajanan pada anak sekolah
protektif agar anak terhindar dari mengonsumsi
dasar sebesar 0,875. Hal ini karena pemilihan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
39
makanan jajanan merupakan bentuk penerapan kebiasaan bekal
makan.44
makanan
Anak-anak yang membawa dari
sikap,
pengetahuan tentang
kepercayaan,
dan
makanan.43
Frekuensi membawa bekal makanan
menyediakan waktu lebih banyak untuk makan
adalah kebiasaan yang berkaitan dengan faktor
tanpa meningkatkan tingkat konsumsi mereka,
biologis
sehingga anak juga dapat meluangkan waktu
mempengaruhi
lebih
memperhatikan
biologis dalam hal ini yaitu rasa lapar. Sistem saraf
makanannya.36 Kebiasaan makan merupakan
pusat berperan dalam mengontrol keseimbangan
cara individu atau kelompok masyarakat dalam
antara rasa lapar, stimulasi nafsu makan, dan
memilih,
asupan makanan.
untuk
mengonsumsi,
rumah
psikologis,
dapat
banyak
sehat
faktor
dan
menggunakan
makanan yang tersedia, yang didasarkan pada latar
belakang
salah
pemilihan
47
satu
faktor
makanan.
yang Faktor
Ketika berada di sekolah,
anak berada di antara waktu makan pagi dan
Kebiasaan
waktu makan siang sehingga sering timbul rasa
membawa bekal makanan yang baik merupakan
lapar yang mendorong anak untuk mengonsumsi
salah satu penerapan kebiasaan makan yang baik
jajanan. Akibatnya, anak jajan di sekolah sekadar
yang dapat membantu memenuhi kebutuhan gizi
untuk
saat di sekolah sekaligus mengajarkan contoh
mempertimbangkan mutu dan keseimbangan
makanan
sosial
budaya.44
sebagai
yang
sehat.45
Oleh
rasa
lapar
tanpa
itu,
asupan gizi. Kebiasaan membawa bekal ini juga
kebiasaan membawa bekal makanan sehat dapat
terkait dengan faktor ketersediaan, apabila anak
mengurangi
sudah membawa bekal makanan, maka akses
kebiasaan
karena
menghilangkan
jajan
sekaligus
mengurangi pemilihan jajanan yang tidak sehat. Hasil
analisis
data
didapatkan angka Adjusted diartikan bahwa
regresi
linier
sehingga kemungkinan untuk membeli jajan
= 0,116 yang dapat
menjadi lebih kecil. Selain itu, orang tua sebagai
makanan
bagian dari lingkungan sosial budaya dapat
jajanan dapat dipengaruhi oleh variabel dalam
memperkenalkan kebiasaan makan pada anak
penelitian ini, sedangkan 88,6% dipengaruhi oleh
tentang apa, kapan, dan dimana sebaiknya
variabel lain. Hal ini karena pemilihan makanan di
makan. Bekal makanan yang dibawa dari rumah
tingkat individu bersifat kompleks. Pengalaman
ke sekolah merupakan makanan yang dipilihkan
dan
akan
oleh ibu, sedangkan jajanan yang diperoleh di luar
yang
rumah merupakan makanan yang dipilih sendiri
berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Faktor
oleh anak. Dengan demikian frekuensi membawa
utama mencakup idealisme, faktor personal,
bekal makanan dapat mengurangi kebiasaan
sumber daya, konteks sosial, dan konteks
jajan
makanan. Pengaruh tersebut menginformasikan
kemungkinan mengonsumsi jajanan yang tidak
pengembangan berbagai sistem personal untuk
sehat yang banyak tersedia di luar rumah. Selain
memilih makanan dengan menggunakan nilai-nilai
itu, Oleh karena itu, kebiasaan membawa bekal
dan strategi perilaku.46 Pemilihan makanan tidak
makanan hendaknya selalu dipertahankan dan
hanya ditentukan oleh kebutuhan psikologis dan
ditekankan
kebutuhan gizi saja. Beberapa faktor yang
keluarga.12,22,48
perjalanan
mempengaruhi
11,6%
R2
anak terhadap makanan menjadi lebih mudah
hidup
pemilihan
seseorang
faktor-faktor
utama
sehingga
oleh
membantu
orang
tua
mengurangi
dalam
setiap
mempengaruhi pilihan makanan meliputi faktor biologis, faktor ekonomi, faktor fisik, faktor sosial, BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
40
5.
SIMPULAN
pengawasan yang lebih intensif terhadap penjaja
Pada berbagai item pemilihan makanan
makanan
di
lingkungan
Penelitian
jajanan, sebagian besar subjek termasuk dalam
selanjutnya
kategori
anak
jajanan perlu melakukan observasi lebih lanjut
mengenai gizi dan makanan jajanan yang masuk
tentang hubungan masing-masing faktor agar
kategori baik hanya sebesar 24,7%, sebagian
diperoleh hasil yang lebih mendalam.
kadang-kadang.
Pengetahuan
mengenai
sekolah.
pemilihan
makanan
besar masuk dalam kategori sedang (45,2%). Seluruh
ibu
berpendidikan
cukup
dengan
sebagian besar menempuh pendidikan tingkat
7.
DAFTAR PUSTAKA 1. Winarno
FG.
Makanan
Jajanan.
SMA (37%). Besar uang jajan di sekolah
Laporan Akhir Proyek Makanan jajanan.
mayoirtas (95,9%) berkisar antara Rp 500 – Rp
Bogor: Institut pertanian Bogor; 1993.
5000 dengan rerata Rp 3611,1 ± 1789,136. Besar
2. Februhartanti J. Amankah makanan
uang jajan di rumah sebagian besar berkisar
jajanan anak sekolah di Indonesia?.
antara Rp 500 – Rp 2500. Frekuensi sarapan pagi
[serial online] 2004 [Diakses 21 Januari
setiap hari terdapat pada sebagian besar anak
2011].
(71,2%), sedangkan frekuensi membawa bekal
http://www.gizi.net.
Tersedia
dari:
URL:
sebagian besar (69,9%) termasuk dalam kategori
3. Winarno FG. Potensi dan masalah
kadang-kadang (1-3 kali/minggu). Jajanan sehat
makanan jajanan. Dalam: Keamanan
banyak ditemukan di rumah, sedangkan jajanan
pangan.
tidak sehat banyak ditemukan di luar rumah
Institut Pertanian Bogor; 1997. Hal. 98.
Naskah
akademis.
Bogor:
terutama di sekitar sekolah. Frekuensi membawa
4. Hidayat TS, Mujianto TT, Susanto D.
bekal makanan ke sekolah merupakan faktor yang
Pola kebiasaan jajan murid Sekolah
paling berhubungan dengan pemilihan makanan
Dasar
jajanan pada anak sekolah dasar.
jajanan tradisional di lingkungan sekolah
dan
ketersediaan
makanan
di Propinsi Jawa Tengah dan D. I. 6.
SARAN
Yogyakarta.
Widyakarya
Nasional
Peran orang tua murid dalam mendidik
Khasiat Makanan Tradisional. Jakarta:
dan memberikan pendidikan gizi diluar pendidikan
Kantor Mentri Negara Urusan Pangan
formal sekolah perlu ditingkatkan agar anak dapat
Republik Indonesia;1995.hal.597-602.
memilih dan membedakan antara makanan
5. Rahmi
AA,
Muis
jajanan
SF.
Kontribusi
jajanan sehat dan tidak sehat. Orang tua
makanan
terhadap
tingkat
hendaknya menyediakan jajanan sehat di rumah
kecukupan energi dan protein serta
agar anak terhindar dari mengonsumsi jajanan
status gizi anak Sekolah Dasar Siliwangi
tidak sehat yang banyak terdapat di luar rumah.
Semarang. Media Medika Muda 2005;1:
Kebiasaan membawa bekal makanan sekolah
55-59.
dan sarapan pagi juga perlu dibiasakan setiap hari
6. Adair LS, Popkin BM. Are child eating
untuk mengurangi kemungkinan membeli jajanan.
patterns being transformed globally?.
Peran pihak sekolah dapat melalui penyampaian
Obesity Research. 2005; 13. p. 1281–
informasi mengenai pemilihan makanan jajanan,
1299.
pemasangan
poster-poster
kesehatan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
dan 41
7. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia.
Jajanan
Anak
sekolah. Sistem Keamanan Pangan
students. J School Health: 1984:54:280291. 16. Hang CM,Lin W,Yang HC, Pan WH. The relationship between snack intake and
Terpadu 2007; 1. 8. FAO. Street foods (FAO food and
its availability of 4th-6th graders in Taiwan.
nutrition paper) – Alimentation de rue
Asia Pac J Clin Nutr 2007;16. p. 547-
(etude FAO alimentation et nutrition) –
553.
Ahmentos que se venden en lavia
17. PeiLin H. Factors influencing students'
publica (Estudio FAO alimentaciony
decisions
nutricion). Report of An FAO Technical
unhealthy snacks at the University of
Meeting On Street Food. India-Roma.
Newcastle, Australia. Journal of Nursing
1997.
Research 2004; 12(2). p. 83-91.
9. Notoatmodjo S. Prinsip-prinsip dasar ilmu kesehatan masyarakat. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003. Hal. 205.
to
choose
healthy
or
18. Budiyanto FX. Perilaku konsumen. Edisi 6. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994. 19. Tyas ES. Gambaran perilaku jajan murid
10. Shepherd R, Sparks P. Modelling food
sekolah
dasar
di
Jakarta.
Jurnal
chioce. In: MacFie HJH, Thomson DMH.
Psikobuana Fakultas Atmajaya Jakarta
Measurement of Food Preferences.
2009;1:29-38.
Gaithersburg, MD: Aspen, 1999. 11. Mahfoedz I, Suryani S. Pendidikan kesehatan
bagian
dari
kesehatan.
Yogyakarta:
20. Rahayu TP. Politik identitas anak-anak dalam iklan anak-anak. Ilmu komunikasi
promosi
FISIP Unair Surabaya [serial online]
Fitramaya,
2003 [Diakses 17April 2011]. Tersedia
2007. Hal. 8-73.
dari: URL: http://www.jurnal.unair.ac.id.
12. Handayani N. Peran orang tua, sekolah,
21. Halford JCG, Boyland EJ, Hughes GM,
dan pedagang pada makanan jajanan
Stacey L, Kean SM, Dovey TM. Beyond-
anak [serial online]. 19 Jan 2009
brand
effect
of
[Diakses 2 Apr 2011]. Tersedia dari:
advertisement
on
URL: http://www.jurnal.pdii.lipi.go.id.
children: the effect of weight status.
13. Almatsier S, editor. Penuntun diit anak.
Public Health Nutrition;2007:11(9). p.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama; 2003. Hal. 18-19. 14. Bandura A. Social foundation of thought and action: A social cognitive theory. Englewood Cliffs NJ: Prentice Hall, 1986.
television food
choice
food in
897-904. 22. Khomsan
A.
Teknik
pengukuran
pengetahuan. Bogor: Institut Pertanian Bogor;2000. Hal.30-35. 23. Department of Nutrition Services, The Ohio State University University Medical
15. Simon, Morton BC, Coates TJ, Saylor
center. Heart healthy diet: low fat, low
KE, Seroghy E, Barofsky I. Great
cholesterol, low sodium diet [serial
sensation: A program to encourage
online] Sept 30 2010 [Diakses pada Aug
heart healthy snacking by high school
8
2011].
Tersedia
dari
:
URL:http://www.ohio.edu BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
42
24. Whitney E, Rolfes SR. Understanding nutrition. 11th Ed. United States of America : Thomson Wadsworth; 2005. p.111,121,157,411-412. 25. Marliyati Kudapan
SA.
Formulasi PMT-AS,
Pengembangan
Makanan Pelatihan
Teknologi
dan
keamanan makanan kudapan, Bogor. 1999. 26. The British Dietetic Association. Food Fact Sheet: Sugar [serial online] May 2010 [Diakses Aug 8 2011]. Tersedia: URL:http//:www.bda.uk.com/foodfacts 27. Sihadi. Makanan jajanan bagi Anak sekolah.
Jurnal
Kedokteran
Yarsi;2004:12 (2).
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
43
Research
FAKTOR-FAKTOR YANG TERKAIT DENGAN POLA ASUH PEMBERIAN MP-ASI UNTUK BAYI USIA 6-11 BULAN DI LINGKUNGAN PADAT PENDUDUK KELURAHAN CIPINANG MELAYU JAKARTA TIMUR Eldina Christiani*, Paramitha Wirdani N. Marlina*
*STIK Saint Carolus
ABSTRACT Conditions of malnutrition in infants, aged 0-24 months can be caused by improper parenting in the provision of complementary feeding (MP-ASI) in quality and quantity. The objective of this study is to analyze the factors associated with parenting complementary feeding for baby ages 6-11 months in densely populated urban village Environment Cipinang Melayu in East Jakarta. This research was designed with cross sectional study with sample size was 60 baby ages 6-11 months. This research was conducted at in Densely Populated Urban Village Environment Cipinang Melayu in East Jakarta from January to June 2013. Primery and secondary data were collected in this research. The result showed that significant correlation between mother’s education (p-value=0,020) and per capita income family (p-value=0,021) with mother’s knowledge and parenting complementary feeding in terms of variety of complementary feeding with protein intake (p-value=0,022). The results showed that there was no significant correlation between maternal knowledge and local eating culture (p-value>0,05) with parenting complementary feeding. Found that the provision of parenting complementary feeding is not affected by the level of mother knowledge and the local food culture. Keywords : Parenting Complementary Feeding, Baby ages 6-11 months, Desenly populated
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
44
1.
PENDAHULUAN Krisis
kenaikan
besar otak telah mencapai 70% dari otak orang
ekonomi
global
harga-harga
menghambat
pangan
dinamakan
masa
â&#x20AC;&#x153;The
Golden
Periodâ&#x20AC;?.
Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2007, di
(Hardono 2012). Kemiskinan memberi dampak
DKI Jakarta khususnya Jakarta Timur angka
negatif dari kualitas pelayanan kesehatan,
status gizi kurang pada balita yaitu sebesar
tingkat pendidikan dan menurunkan daya beli
13,3%. Hal tersebut perlu diperhatikan agar
masyarakat termasuk daya beli makanan.
tidak menjadi masalah kronis.
2010
penurunan
dan
dewasa (Roesli 2005). Masa usia 6-24 bulan
kemiskinan
Riskesdas
laju
memicu
melaporkan
status
gizi
Banyak
faktor
yang
dapat
underweight, stunting dan wasting pada balita
mempengaruhi pemberian MP-ASI di rumah,
antara
salah
perkotaan
dan
pedesaan
hanya
satunya
ialah
pengetahuan
ibu.
memiliki selisih antara 3-9% (Kemenkes 2011).
Pengetahuan gizi ibu yang kurang dapat
Melihat hal tersebut, ternyata masih
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu usia,
banyak balita yang mengalami status gizi
pendidikan, keterpaparan media informasi dan
kurang di daerah perkotaan yang terlihat lebih
sosial ekonomi. Selain itu, kota Jakarta Timur
maju dibandingkan pedesaan. Namun, dengan
dipilih karena merupakan kota yang memiliki
kemajuan tersebut banyak masyarakat yang
komposisi jumlah penduduk paling padat
tidak peduli dengan pentingnya kesehatan dan
dibandingkan
gizi.
untuk
sebesar 27% dibandingkan Jakarta Utara,
melihat
Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta
kesehatan dan gizi dari anak-anak penerus
Pusat yang masing-masing sebesar 16%,
bangsa. Jika dibandingkan dengan di desa,
24%, 23% dan 10% (BPS 2006). Oleh karena
akses
itu, penulis tertarik untuk mengetahui faktor-
Masyarakat
mencapai
kesuksesan
kesehatan
dijangkau Kondisi
berlomba-lomba
dan
di
kota
fasilitas
tersebut
tanpa
lebih
lebih
mudah
mencukupi.
tidaksemata-mata
faktor
yang
kota
terkait
Jakarta
lainnya
dengan
pola
yaitu
asuh
dapat
pemberian MP-ASI untuk bayi usia 6-11 bulan
menghilangkan masalah gizi yang timbul pada
di lingkungan padat penduduk Kelurahan
masyarakat terlebih anak-anak di perkotaan.
Cipinang Melayu Jakarta Timur.
Orang tua yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena bekerja, sehingga
2.
METODE
kualitas waktu bersama anak menjadi kurang.
2.1. Populasi dan Sampel
Kesehatan dan gizi merupakan faktor
Populasi dalam penelitian ini adalah
yang berpengaruh secara langsung pada
keluarga yang memiliki anak usia 6-11 bulan
kualitas
sumber
yang
sumber
daya
daya manusia
manusia.
Kualitas
ditentukan
oleh
terdapat
Kelurahan
di
Cipinang
lingkungan Melayu,
perkotaan Kecamatan
kecukupan akan zat gizi yang diperoleh dari
Makasar yang terdiri dari RW 3, RW 9 dan RW
makanan yang dikonsumsinya sejak janin
12. Responden adalah ibu yang memiliki anak
dalam kandungan. Saat bayi berusia 1 tahun,
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
45
usia 6-11 bulan. Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia 6-11 bulan.
Pengumpulan data primer dilakukan melalui interview dengan kuesioner, observasi
Besar sampel minimal pada penelitian
dan pengukuran antropometri secara langsung
ini dihitung berdasarkan rumus Slovin :
sedangkan data sekunder diperoleh dari data
n
N
demografi lingkungan setempat. Data primer
1 + N(e)2
terdiri dari karakteristik orang tua, karakteristik
70
bayi, pengetahuan ibu, media informasi,
1 + 70(0,05)2
asupan zat gizi, status gizi dan budaya makan
=
=
= 60
. 2.4. Instrumen Penelitian
Keterangan : n
= Jumlah sampel
Instrumen
yang
digunakan
pada
N
= Populasi (70 dari RW 3, 9 dan 12)
penelitian ini antara lain kuesioner sebagai alat
e
= Presisi (5%)
bantu dalam interview mengenai karakteristik keluarga, karakteristik anak, media informasi,
Penanggulangan apabila ada sampel
pengetahuan ibu dan pola asuh pemberian
yang drop out, maka perhitungan sampel
MP-ASI. Selain itu, form recall 1x24 jam
ditambah 10% dari jumlah minimal sampel
sebagai alat bantu dalam mengetahui asupan
yaitu sebanyak 6 sampel. Total sampel yang
MP-ASI dan dapat terlihat ragam
didapat ialah sebanyak 66 sampel. Setelah
diberikan ibu apakah makanan yang diolah
melalui proses cleaning, sampel dari 66
sendiri
menjadi 60 sampel. Cara pengambilan sampel
diberikan ibu kepada anak usia 6-11 bulan.
pada penelitian ini dilakukan dengan metode
Adapun
memilih lokasi pengambilan sampel secara
pengukuran berat badan anak menggunakan
purposif.
timbangan
Metode
ini
digunakan
dengan
maksud atau tujuan tertentu dan berdasarkan pertimbangan penentuan
peneliti,
jumlah
sedangkan
sampel
atau
makanan
pengukuran
bayi
komersial
antropometri
dan
panjang
yang
yang
yaitu
badan
menggunakan alat ukur kayu.
dalam
menggunakan
simple random sampling.
2.5. Analisis Data Analisa
univariat
dilakukan
untuk
menyajikan dan mendeskripsikan sebaran 2.2. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
variabel dalam bentuk persen dan sebaran
Penelitian ini berlokasi di lingkungan
yang diteliti dalam kuesioner. Analisis bivariat
padat penduduk Kelurahan Cipinang Melayu
dilakukan untuk menguji dan menjelaskan
Jakarta Timur. Waktu penelitian dilakukan
hubungan antara variabel independen dan
selama 5 bulan yaitu bulan Januari sampai
variabel dependen. Analisis bivariat dilakukan
dengan Juni 2013.
dengan menggunakan uji korelasi Spearman dengan Confident Interval 95% atau Îą=0,05.
2.3. Pengumpulan Data
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
46
penelitian 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
ialah
Rp
838.111,00
Âą
Rp
512.820,00. Tingkat pendapatan menentukan
1.1. Karakteristik Keluarga
kuantitas
Usia orang tua dikategorikan menjadi
dan
dikonsumsi.
kualitas
Berdasarkan
makanan hasil
yang
penelitian
dua yaitu dewasa muda (20-39 tahun) dan
diperoleh bahwa hampir semua keluarga
dewasa
sampel
madya
keseluruhan
(40-65
keluarga
kecil.
Hasil
32,13Âą5,85 tahun dan rata-rata usia ibu ialah
sampel termasuk dalam keluarga kecil yang
28,62Âą4,76 tahun. Hal tersebut menunjukan
memungkinkan pembagian perhatian pada
bahwa usia ayah dan ibu termasuk dalam
masing-masing anggota keluarga semakin
kategori dewasa muda. Usia dewasa muda ini
merata.
memperhatikan
ibu
kebutuhan
ayah
tergolong
penelitian menunjukan bahwa sebagian besar
menjadikan
usia
Secara ialah
biasanya
rata-rata
tahun).
untuk dirinya
lebih sendiri
1.2. Karakteristik Anak
dibandingkan kepentingan anaknya sehingga
Sebaran
sampel
penelitian
dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas
berdasarkan jenis kelamin, terlihat dari seluruh
pengasuhan
tua
sampel terbagi menjadi dua yaitu 50% laki-laki
memiliki keterkaitan dengan kehidupan sosial
dan 50% perempuan. Penelitian Conn JA et al.
ekonomi dan kesehatan. Pekerjaan orang tua
(2009) menyebutkan bahwa perbedaan antara
dikategorikan
tidak
anak laki-laki dan perempuan ialah perbedaan
bekerja. Diketahui bahwa seluruh ayah bekerja
dalam hal ukuran konsumsinya. Bila dilihat dari
dan sebagian besar
Gambar 5.8 sebagian besar sampel termasuk
anak.
Pekerjaan
menjadi
bekerja
orang
dan
ibu tidak bekerja atau
sebagai ibu rumah tangga Ibu yang bekerja
dalam golongan usia 9-11 bulan.
cenderung mempercayakan anak mereka diawasi oleh anggota keluarga lainnya yang
1.3. Media Informasi
biasanya adalah nenek, saudara perempuan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
atau anak yang sudah lebih besar (Mahlia
bahwa hampir sebagian besar dari ibu sudah
2009).
terpapar informasi terkait MP-ASI. Penelitian Berdasarkan hasil
yang
diperoleh
Hardinsyah (2007) menyatakan semakin tinggi
pada Gambar 5.4 terlihat bahwa hampir semua
pendidikan seseorang, semakin banyak media
orang tua dari sampel tergolong dalam
massa yang ia manfaatkan sebagai sumber
pendidikan menengah. Namun, bila dianalisis
infomasi guna menambah pengetahuannya.
berdasarkan UU pendidikan No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 6
1.4. Pengetahuan Ibu
ayat 1 diperoleh hasil sebanyak 76,7% ayah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
sampel dan 86,7% ibu sampel telah mengikuti
hampir seluruh ibu memiliki pengetahuan yang
program Wajar 9 tahun. Hasil penelitian
kurang
menunjukan bahwa hampir seluruh keluarga
menunjukan bahwa rata-rata nilai ibu tergolong
memiliki pendapatan per kapita di atas US$
kurang yaitu 45,3 Âą 16,41, dengan nilai
2/hari. Rata-rata pendapatan per kapita pada
minimum ibu yaitu 10 poin dan nilai maksimum
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
yaitu
sebanyak
86,7%.
Hasil
47
ibu
70
poin.
Tingkat
pengetahuan
gizi
(Emiralda 2007). Hasil penelitian menunjukan
seseorang berpengaruh terhadap sikap dan
bahwa sebagian besar ibu sampel (55%)
perilaku dalam memilih makanan yang pada
melakukan pola asuh pemberian MP-ASI
akhirnya akan berpengaruh pada keadaan
dalam hal frekuensi makan secara tepat.
gizinya (Khomsan 2007). Berdasarkan analisis
Depkes (2005) menyatakan bahwa frekuensi
dapat diketahui bahwa pertanyaan yang paling
makan anak dalam sehari disesuaikan dengan
banyak (78,3%) ibu menjawab dengan benar
usia anak sehingga asupan anak tersebut
ialah usia anak untuk mendapatkan MP-ASI
dapat
yaitu â&#x2030;Ľ6 bulan. Selain itu, pertanyaan yang
pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain
paling sedikit (20%) ibu menjawab dengan
itu, sebagian besar ibu sampel memberikan
benar adalah pengaruh memberikan MP-ASI
MP-ASI hasil olahan sendiri. Banyaknya ibu
setelah usia 6 bulan yaitu asupan anak
yang memberikan MP-ASI hasil olahan sendiri
menjadi tidak mencukupi.
dimungkinkan dengan sebagian besar ibu
mencukupi
kebutuhan
untuk
(86,7%) adalah ibu rumah tangga. Hal ini 1.5. Budaya Makan Setempat Sampel
menunjukan bahwa waktu yang dimiliki ibu
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
relatif lebih banyak untuk mengasuh anak
hampir seluruh dari ibu sampel sudah tidak
dalam pola asuh makannya dibandingkan ibu
percaya
yang bekerja.
ataupun
memiliki
kepercayaan
terhadap makanan tabu yaitu ada sebanyak 78,3%. Hal ini dikarenakan lingkungan tempat
1.7. Asupan Zat Gizi Sampel
tinggal ibu yang sudah berada di perkotaan.
Asupan zat gizi berpengaruh terhadap
Adat dan kebiasaan yang berasal dari suku
status gizi seseorang, dengan memperoleh
tertentu karena proses waktu yang lama akan
cukup zat gizi yang diperlukan yang digunakan
merubah perilaku individu atau keluarga yang
secara
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat
pertumbuhan fisik, perkembangan otak, dan
tinggal yang baru (Yudi H 2008).
kesehatan (Almatsier 2004). Dilihat dari hasil
efisien,
sehingga
memungkinkan
penelitian bahwa sebagian besar sampel 1.6. Pola Asuh Pemberian MP-ASI Sampel
memiliki
tingkat
kecukupan
energi
lebih
Berdasarkan hasil penelitian dapat
(68,8%). Rata-rata asupan energi sampel ialah
diketahui bahwa sebagian besar ibu sampel
729,68Âą220,5 kkal. Hasil penelitian Jingxiong J
tepat dalam memberikan jenis MP-ASI yang
et al. (2008) di Beijing China menunjukan
sesuai dengan usia bayi yaitu sebanyak
bahwa asupan energi yang berlebihan lebih
58,3%. Jenis makanan adalah salah satu
beresiko untuk mengalami kelebihan berat
faktor yang perlu diperhatikan dalam pola asuh
badan, dan juga bila anak telah diberikan susu
makan anak karena pada usia balita organ
formula ataupun makanan semi padat sebelum
tubuh anak masih dalam tahap pertumbuhan
usia 4 bulan.
dan
perkembangan
termasuk
saluran
Selain itu berdasarkan hasil penelitian
pencernaan, sehingga kemampuan untuk
didapatkan juga sebagian besar
mencerna makanan masih sangat terbatas
memiliki tingkat kecukupan protein lebih. Rata-
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
sampel
48
rata asupan protein sampel ialah 21,05Âą9,56g. dengan status gizi anak balita. Artinya dengan Bila ditelaah lebih lanjut pada sampel yang pendapatan keluarga besar, maka balita pasti tergolong tidak normal tersebut ditemukan akan mendapatkan gizi yang baik pula. Sejalan adanya kombinasi asupan yang terdiri dari dengan penelitian Khotimah NN et al. (2012) kombinasi ASI, susu formula dan MP-ASI serta pada umumnya balita yang berstatus gizi baik kombinasi susu formula dan MP-ASI. Ada biasanya memiliki pola makan yang baik pula sebanyak
28,1%
sampel
mengkonsumsi karena pola makan merupakan salah satu faktor
kombinasi ASI, susu formula dan MP-ASI yang mempengaruhi status gizi. dengan jumlah susu formula rata-rata setiap harinya sebanyak 41,75g. Selain itu ada 37,5% sampel
mengkonsumsi
kombinasi
susu
formula dan MP-ASI dengan jumlah susu formula rata-rata setiap harinya sebanyak 119g.
Berdasarkan
Antara
Karakteristik
Keluarga dengan Pengetahuan Ibu Berdasarkan
hasil
uji
diketahui bahwa susu formula menyumbang
hubungan
protein lebih tinggi dibandingkan ASI. Hal ini
pendidikan ibu dan pendapatan per kapita
sesuai
yang
dengan pengetahuan ibu mengenai MP-
susu
ASI. Hal ini dapat diartikan bahwa
formula, kandungan protein ASI relatif lebih
meningkatnya pengetahuan ibu didukung
rendah,
oleh tingginya pendidikan seorang ibu dan
Nakita
bahwa
tetapi
(2010)
dibandingkan
lebih
seimbang
dengan
kebutuhan bayi.
menunjukkan
korelasi
Spearman
menyatakan
tersebut,
Hubungan
dapat
dengan
data
1.9. Analisis Hubungan
yang
bahwa
signifikan
ada
antara
pendapatan per kapita keluarga. Hal tersebut ditunjukkan dengan hasil uji
1.8. Status Gizi Sampel
statistik sebesar p-value=0,020 untuk
Berdasarkan hasil penelitian diketahui
pendidikan
dan
hampir semua sampel tergolong memiliki status
pekerjaan,
dengan
gizi normal (91,7%). Hal ini juga sejalan dengan
tersebut lebih kecil dari batas p-value
hasil penelitian status gizi anak menurut indeks
dalam penelitian ini yaitu 0,05. Hal ini
BB/U bahwa hampir semua sampel memiliki
sejalan dengan penelitian Octarina et al.
status gizi normal (90%). Berdasarkan status gizi
(2009)
sampel
kategori
hubungan antara pendidikan dan tingkat
berdasarkan indeks BB/PB dan indeks BB/U
pengetahuan dengan p-value= 0,000.
tergolong
Selain itu, biasanya ibu yang memiliki
terlihat
status
bahwa
gizi
dari
dua
normal.
Hal
ini
yang
p-value=0,021 demikian
menyatakan
hasil
adanya
dimungkinkan dengan pendapatan perkapita
dasar
yang mayoritas di atas US$ 2/hari maka
pengetahuan ibu akan bertahan lebih
keluarga dapat memenuhi kebutuhan makan
lama
bayi dengan baik yang akan mempengaruhi
lingkungan semata.
status gizinya. Hal ini sejalan dengan hasil
yang
dibandingkan
cukup,
berdasarkan
Selain itu juga pendapatan per kapita
penelitian Sarah (2008) yang menunjukan
memiliki
bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga
dengan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
pendidikan
untuk
hubungan
yang
pengetahuan
signifikan ibu.
Ini 49
dimungkinkan terjadi, dengan pendapatan
Pekerjaan
ibu
memiliki
per kapita yang memadai maka akses
hubungan
terhadap informasi baik yang verbal
pengetahuan
ataupun nonverbal dapat diperoleh ibu
karena hampir seluruh dari ibu (86,7%)
sehingga menambah pengetahuan ibu.
memiliki pekerjaan sebagai ibu rumah
Hasil
hasil
tangga). Pekerjaan ibu sebagai ibu rumah
penelitian Nugroho et al. 2012 yang
tangga memungkinkan ibu berinteraksi
menyatakan adanya hubungan antara
hanya
pendapatan dengan tingkat pengetahuan
rumahnya
(p=0,019). Penelitian tersebut memiliki
informasi-informasi dari berbagai pihak
kriteria sampel yang sama yaitu ibu
yang dapat menambah pengetahuannya.
dengan bayi 6-12 bulan.
Selain itu, besar keluarga tidak memiliki
tersebut
Adapun
sejalan
hubungan
dengan
yang
tidak
yang
tidak
signifikan
ibu.
dengan
Ini
dimungkinkan
lingkungan
dan
hubungan
dengan
jarang
yang
sekitar menerima
signifikan
dengan
signifikan antara usia ayah dan ibu,
pengetahuan ibu (p-value=0,208). Ibu
pekerjaan ibu, pendidikan ayah, dan
yang berpengetahuan baik berasal dari
besar keluarga terhadap pengetahuan
keluarga kecil. Hal ini dimungkinkan dari
ibu. Hal ini menunjukan bahwa seiring
waktu yang lebih banyak dimiliki ibu untuk
dengan penambahan umur tidak selalu
mencari dan mendapatkan informasi yang
diikuti
dapat
dengan
penambahan
menambah
pengetahuannya
pengetahuan. Demikian juga dengan
dibandingkan dengan ibu yang berasal
tidak atau bekerjanya ibu tidak selalu
dari keluarga sedang yang memiliki
diikuti
tanggung jawab lebih banyak.
dengan
penambahan
pengetahuan. pengetahuan
Penambahan ibu
juga
tidak
seiring
dengan tinggi rendahnya pendidikan ayah dan besarnya keluarga. Hasil uji statistik
Hubungan
Antara Media Informasi
dengan Pengetahuan Ibu Hasil
penelitian
menunjukan
menunjukan nilai p-value >0,05 dan batas
menunjukan bahwa tidak ada hubungan
dalam penelitian ini ialah 0,05. Hal
antara
tersebut
dari
pengetahuan ibu. Hal ini menunjukan
sehingga
bahwa peningkatan pengetahuan tidak
dalam penelitian belum terlihat adanya
selalu dipengaruhi oleh keterpaparan ibu
hubungan dengan pengetahuan. Hasil
terhadap informasi. Disamping itu hasil uji
tersebut sejalan dengan hasil penelitian
statistik juga menunjukan bahwa nilai p-
Nugroho et al. (2012) bahwa umur tidak
value>0,05. Ini menunjukan bahwa ibu
menggambarkan
yang
responden
disebabkan relatif
sebaran
homogen
pengetahuan
media
informasi
mendapatkan
informasi
dengan
dapat
responden, karena pertambahan umur
meningkatkan pengetahuan yang ibu
responden
miliki. Selain itu, seperti yang telah
tidak
sejalan
dengan
peningkatan pengetahuan responden.
dijelaskan bahwa 66,7% ibu sampel tergolong dalam pendidikan menengah.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
50
Sejalan dengan penelitian Amalia (2009)
hasil bahwa tidak ada hubungan antara
yang
pendidikan
kepercayaan terhadap budaya makan
berhubungan dengan kemampuan dalam
setempat dengan pola asuh pemberian
menerima informasi kesehatan baik dari
MP-ASI (jenis MP-ASI, frekuensi, dan
media
ragam
menyatakan
tingkat
massa
maupun
petugas
kesehatan.
MP-ASI)
Berdasarkan
p-value>0,05.
hal
tersebut
dapat
disimpulkan bahwa pola asuh ibu dalam Hubungan Antara Pengetahuan Ibu
pemberian MP-ASI tidak terpengaruh
dengan Pola Asuh Pemberian MP-ASI
dengan budaya makan setempat. Hal ini
Hasil
uji
korelasi
Spearman
dapat disebabkan lingkungan tempat
menunjukan tidak ada hubungan yang
tinggal ibu
yang berada di daerah
signifikan antara pengetahuan ibu dengan
perkotaan
sehingga
pola asuh pemberian MP-ASI dalam jenis,
beradaptasi dengan adat dan kebiasaan
frekuensi
di
dan
ragam
MP-ASI.
lingkungan
ibu
yang
sudah
baru
dan
Berdasarkan hasil tersebut didapatkan
meninggalkan adat dan kebiasaan yang
bahwa pola asuh pemberian MP-ASI tidak
dibawa dari daerah masing-masing. Hal
terpengaruh
ini
oleh
tinggi
rendahnya
sejalan
dengan
hasil
penelitian
pengetahuan ibu dengan hasil uji statistik
Setijowati
N
et
al.
p-value>0,05. Hasil penelitian serupa juga
menggunakan
uji
spearman
ditemukan pada penelitian yang dilakukan
jumlah sampel 100 balita umur 12-59
oleh
yang
bulan menunjukan bahwa faktor sosial
mendapatkan hasil penelitian bahwa tidak
budaya tidak mempengaruhi pola asuh
ada hubungan nyata pengetahuan gizi ibu
makan karena ada maupun tidak ada
dengan praktek pemberian makanan bayi.
faktor sosial budaya mempunyai pola
Sampel dalam penelitian tersebut ialah 54
asuh makan kurang.
Sinambela
KH
(2000)
(2010)
yang dengan
keluarga yang memiliki anak berumur 0-4 bulan dan hasil dianalisis menggunakan
Hubungan
uji korelasi Spearman. Beda halnya
Pemberian MP-ASI dengan Asupan Zat
dengan hasil penelitian Wati EK &
Gizi
Rahardjo S (2011) dengan uji Chi-Square menunjukan
bahwa
ada
Hasil
Antara
uji
Pola
korelasi
Asuh
Spearman
hubungan
menunjukan tidak ada hubungan yang
pengetahuan gizi dengan pola konsumsi
signifikan antara pola asuh pemberian
makan balita (p-value=0,004).
MP-ASI dalam jenis MP-ASI, frekuensi makan dan ragam MP-ASI dengan tingkat
Hubungan
Antara
Setempat
dengan
Budaya
Makan
Pola
Asuh
Pemberian MP-ASI Berdasarkan
kecukupan
energi
(p-value>0,05).
Berdasarkan tiga hasil jenis, frekuensi dan ragam pemberian MP-ASI tidak
hasil
analisis
memiliki
menggunakan uji Spearman diperoleh
dengan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
hubungan asupan
yang
energi.
signifikan Didapatkan 51
bahwa tingkat kecukupan energi tidak
asuh jenis MP-ASI dan frekuensi MP-ASI
selalu
dengan tingkat kecukupan protein (p-
dipengaruhi
oleh
pola
asuh
pemberian MP-ASI. Namun bila dilihat
value>0,05).
bahwa pada anak yang memiliki tingkat
Kecukupan
asupan
protein
kecukupan energi normal berasal dari
dipengaruhi oleh pola asuh ibu dalam
kelompok
tepat,
pemberian ragam MP-ASI tetapi tidak
MP-ASI
dipengaruhi oleh jenis dan frekuensi
campuran. Hasil tersebut sejalan dengan
pemberian MP-ASI. Hal yang sama juga
hasil penelitian Mariani (2002) dengan
terlihat pada hasil penelitian Mariani
sampel berjumlah 74 anak balita dan
(2002)
ibunya yang menunjukan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara pola
hubungan signifikan antara pola asuh
asuh makan dengan tingkat kecukupan
makan dengan tingkat kecukupan energi
protein (p-value=0,656). Hasil penelitian
dibuktikan dari nilai p-value=0,901. Hasil
tersebut tidak sejalan dengan penelitian
yang
Masithah et al. (2005) yang menyatakan
jenis
frekuensinya
MP-ASI
sesuai
sama
juga
dan
ditemukan
pada
yang
menunjukan
hasil
korelasi
ada
penelitian Setijowati N et al. (2010) yang
bahwa
menyatakan bahwa pola asuh makan
memperlihatkan ada hubungan antara
tidak mempengaruhi tingkat konsumsi
pola
energi dan protein balita.
kecukupan
asuh
uji
tidak
makan protein
Pearson
dengan batita
tingkat (p<0,05).
Selain itu hasil uji korelasi Spearman
Sampel pada penelitian tersebut ialah 132
menunjukan bahwa ada hubungan yang
rumah tangga yang memiliki anak berusia
signifikan antara pola asuh ragam MP-ASI
12-47 bulan.
dengan tingkat kecukupan protein. Hasil uji
statistik
p-value=0,022
yang
menunjukan bahwa p-value lebih kecil
Hubungan Antara Asupan Zat Gizi dengan Status Gizi
dari batasan p-value 0,05.Ini ditunjukan
Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur
dari sebaran sampel yang memiliki tingkat
kimia yang terkandung dalam makanan
kecukupan protein yang normal berasal
yang
dari sampel yang diberikan MP-ASI
dalam tubuh secara normal. Zat gizi yang
campuran. Ini dimungkinkan anak yang
telah dikonsumsi tersebut akan digunakan
diberikan MP-ASI olahan sendiri dalam
oleh tubuh untuk mencapai status gizi
satu hari hanya terdiri dari satu menu,
yang optimal (Handono NP 2010). Hasil
sedangkan bila mengkonsumsi MP-ASI
uji korelasi Spearman menunjukan tidak
campuran terdiri dari beberapa menu
ada hubungan yang signifikan antara
yaitu menu yang diolah sendiri dan
asupan energi dan protein dengan status
pabrikan
gizi BB/PB (p-value>0,05). Begitu pula
maka
kecukupan
protein
diperlukan
dengan
Spearman
ada
menunjukan tidak ada hubungan yang
hubungan yang signifikan antara pola
signifikan antara asupan energi dan
tidak
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
uji
metabolisme
terpenuhi. Selain itu, hasil uji korelasi menunjukan
hasil
untuk
spearman
yang
52
protein dengan status gizi BB/U (p-
Dalam penelitian ini ditemukan hasil
value>0,05). Diketahui bahwa status gizi
bahwa pola asuh pemberian MP-ASI tidak
yang normal tidak hanya dipengaruhi oleh
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya
normal
pengetahuan ibu serta budaya makan
tidaknya
tingkat
kecukupan
asupan zat gizi. Ini disebabkan sebaran
setempat yang dibuktikan dengan nilai p-
dari sampel relatif homogen sehingga
value >0,05.
dalam
penelitian
ini
belum
terlihat
hubungan antara asupan energi dan
4.2. Saran
protein dengan status gizi. Adapun faktor lain
selain
asupan
zat
gizi
1. Perlu adanya kesadaran keluarga
yang
muda
di
lingkungan
mempengaruhi secara langsung status
Cipinang
gizi yaitu penyakit infeksi.
mengatur pengeluaran keuangan demi
Hasil
tersebut
penelitian
Jata
sejalan D
dengan
(2000)
Melayu
Keluarahan
untuk
dapat
peningkatan ketersediaan pangan di
yang
rumah
tangga
dan
mendukung
menyatakan bahwa tidak ada hubungan
pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi
jumlah konsumsi energi dari MP-ASI
bayi.
dengan
status
gizi
anak.
Adapun
2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut
kemiripan jumlah sampel dalam penelitian
mengenai
yaitu responden
yang berjumlah 47
mendukung terciptanya pola asuh ibu
responden dengan rentang usia antara 4-
keluarga muda dalam pemberian MP-
24 bulan. Hasil penelitian Rosita D (2001)
ASI dan peningkatan pemberdayaan
menunjukan hal yang sama yaitu tidak
masyarakat dalam usaha peningkatan
ada hubungan yang bermakna antara
gizi bayi dan balita.
konsumsi protein dengan status gizi (p-
3. Untuk
sumber
informasi
mengurangi
yang
penyimpangan
value>0,05). Adapun hasil penelitian yang
yang terjadi dalam pemberian MP-ASI,
tidak sejalan yaitu hasil penelitian dari
perlu ada dukungan pihak lingkungan
Pakhri A et al. (2011) bahwa ada
setempat
hubungan yang bermakna antara asupan
menggalakkan mengenai pemberian
energi dengan status gizi anak usia 0-24
MP-ASI pada usia anak â&#x2030;Ľ6 bulan,
bulan. Hal yang sama juga terjadi pada
karena
penelitian Syukriawati R (2011) dengan uji
dengan kesiapan pencernaan anak
Chi-Square
untuk
yang
menunjukan
p-
value=0,040 yang berarti bahwa ada hubungan
antara
konsumsi
dan
hal
para
tersebut
menerima
kader
untuk
berhubungan
makanan
sesuai
dengan usianya.
protein
dengan status gizi kurang pada anak usia 24-59 bulan.
5.
DAFTAR PUSTAKA 1. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT.Gramedia Pustaka
4.
SIMPULAN DAN SARAN
Utama.
4.1. Simpulan BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
53
2. Amalia I. 2009. Hubungan antara
Selogiri, Wonogiri. [artikel penelitian].
pendidikan, pendapatan, dan perilaku
Wonogiri : AKPER Giri Satria Husada.
hidup bersih dan sehat (PHBS) pada pedagang
hidangan
istimewa
kampong (HIK) di pasar kliwon dan Jebres
kota
Surakarta.
Surakarta
:
[skripsi]. Universitas
Muhammadiyah. 3. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Profil Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta.
9. Hardono
GS.
Ketahanan Petani
Pangan
Di
Analisis
RumahTangga
Beberapa
[disertasi].
Bogor
Provinsi.
:
Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 10.Jata D. 2000. Hubungan Pengetahuan Dan Praktik Ibu Dalam Pemberian Makanan Pendamping Asi Dengan Status Gizi Anak Umur 4-14 Bulan Di
4. Conn JA, Davies MJ, Walker RB, &
Desa Batuan Kecamatan Sukawati
Moore VM. 2009. Food and Nutrient
Kabupaten
Intakes of 9-month-old Infants in
[skripsi].
Adelaide,
Diponegoro.
Australia.
Public
Health
Nutrition:12(12),2448-2496.] 5. [Depkes] Republik
2012.
Departemen Indonesia.
Gianyar
Propinsi
Semarang
:
Bali.
Universitas
11.JingXiong J, Rosenqvist U, huishan W,
Kesehatan 2005.
Koletxko B, Guangli L, Jing H, greiner
Buku
T. 2008. Relationship of parental
Kesehatan Ibu dan Anak. Bandung :
characteristics and feeding practices
PT. Enka Parahiyangan.
tooverweight in infants and young
6. Emiralda. 2007. Pengaruh Pola Asuh Anak
terhadap
Terjadinya
Balita
Malnutrisi Di wilayah Kerja Puskesmas Montasik
Kecamatan
Montasik
children in Beijing, China. Public Health Nutrition:12(7),973-978. 12.Kementrian Kesehatan. 2011. Laporan Hasil
Riset
Kesehatan
Kabupaten Aceh Besar Tahun 2006.
(Riskesdas)
[tesis]. Medan : Universitas Sumatera
Tahun 2010 . Jakarta: Departemen
Utara.
Kesehatan RI.
7. Hardiansyah. 2007. Review Faktor Determinan
Keragaman
Konsumsi
Provinsi
DKI
Dasar Jakarta
13.Khomsan A. 2007. Teknik Pengukuran Pengetahuan
Gizi.
Masyarakat
55-74.
Keluarga. Bogor : Institut Pertanian
Pengetahuan
pada
Nutrisi,
Sumber
Gizi
Pangan. Jurnal Gizi dan Pangan 2 (2):
8. Handono NP. 2010. Hubungan Tingkat
dan
Jurusan
Daya
Bogor.
Pola
14.Khotimah NN. Siregar R, Mardiana.
Makan, dan Energi Tingkat Konsumsi
Hubungan Pengetahuan Gizi Ibu dan
dengan Status Gizi Anak Usia Lima
Pola Makan Balita dengan Status Gizi
Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas
Balita (12-59 bulan) di Wilayah Kerja
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
54
Puskesmas Gandus
Gandus
Palembang
Kecamatan 2010.
AIDS Pada Masyarakat Indonesia.
Jurnal Pembangunan Manusia Vol.6
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan -
No.2 Tahun 2012.
Vol 12 No 4: 362-369.
15.Mahlia
Y.
Tahun
Pengetahuan, Sikap Terhadap HIV
2009.
Pengaruh
21.Pakhri A, Fanny L, Faridah S. 2011.
Karakteristik Ibu dan Pola Asuh Makan
Pendidikan
Terhadap
dan
Penimbangan, Asupan Zat Gizi dan
Perkembangan Bayi di Kecamatan
Status Gizi Anak Usia 0-24 Bulan.
Pangkalan Susu Kabupaten Langkat
Media Gizi Pangan, Vol.IX, Ed.1.
Tahun
Pertumbuhan
2008.
[tesis].
Medan
:
Universitas Sumatra Utara.
Makan, Konsumsi Pangan dan Status Kesehatan dengan Status Gizi Anak Balita (studi di Desa Benda Baru Pamulang
Tanggerang
Propinsi Banten). [tesis]. Bogor : Institut Pertanian Bogor.
2005. Hubungan Pola Asuh Makan dan Kesehatan dengan Status Gizi anak Batita Di Desa Mulya Harja. Media Gizi&Keluarga, 29(2):29-39.
Jakarta
:
PT.Gramedia.
2012. Hubungan Pengetahuan Ibu tentang
ASI
D.
2001. Ibu
Hubungan
tentang
Pola
Energi dan Protein dengan Status Gizi Anak Umur 3-24 Bulan (Studi di Kelurahan
Ngaliyan). :
[skripsi].
Universitas
Negeri
Semarang. 24.Sarah M. 2008. Hubungan Tingkat Sosial
Ekonomi
Dan
Pola
Asuh
Dengan Status Gizi Anak Balita Di Kerja
Puskesmas
Pantai
Cermin Kecamatan
Tanjung
Pura
Kabupaten
Tahun
2008.
Langkat Medan
:
Universitas
Sumatera Utara. 25.Setijowati N, Wirawan NN, Apriyanto
eksklusif
D. 2010. Perbedaan Pola Asuh Makan
dnegan Pemberian MP-ASI Dini di
Pada Berbagai Tingkatan Posyandu
Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo.
terhadap Tingkat Konsumsi Energi
[laporan
dan Protein Balita. Studi Kasus di
penelitian].
ASI
Mengenal
Makanan Sapihan, Tingkat Kecukupan
[skripsi].
19.Nugroho FA, Rasyid HA, Wijayati M.
Menyusui
2005.
Pengetahuan
Wilayah
18.Nakita. 2010. Sehat & Bugar Berkat Seimbang.
23.Rosita
Semarang
17.Masithah T, Soekirman, Martianto D.
Gizi
U.
Keteraturan
Eksklusif. Jakarta : Trubus Agriwidya.
16.Mariani. 2002. Hubungan Pola Asuh
Kecamatan
22.Roesli
Ibu,
Malang
:
Universitas Brawijaya. 20.Octarina, Hanafi F& Budisuari AM.
Kecamatan Moyo hulu Kabupaten Sumbawa NTB.
2009. Hubungan Antara Karakteristik
26.Sinambela KH. 2000. Faktor-Faktor
Responden, Keadaan Wilayah dengan
yang Berhubungan dengan Praktek
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
55
Pemberian Makanan pada Bayi Umur 0-4 Bulan di Daerah Angka Kematian Bayi Tinggi. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. 27.Sisdiknas
2003.
Undang-Undang
Republik Indonesia. 28.Syukriawati R. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Kurang Pada Anak Usia 24-59 Bulan Di Kelurahan Pamulang Barat Kota Tangerang
Selatan
Tahun
2011.
[skripsi]. Jakarta : UIN. 29.Wati EK & Rahardjo S. 2011. Peran Ibu
dalam
Konsumsi
Pembentukan
Makan
Pada
Pola
Balita di
Puskesmas II Sumbang Kabupaten Banyumas.
[prosiding
seminar
nasional]. 30.Yudi H. 2008. Hubungan Faktor Sosial Budaya dengan Status Gizi Anak Usia 6-24 Bulan di Kecamatan Medan Area Kota
Medan.
[tesis].
Medan
:
Universitas Sumatera Utara.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
56
Research
STRATEGI PENERAPAN COUNSELING PREVENTIONDAN RAPID DIAGNOSISNEGLECTEDSOIL-TRANSMITTED HELMINTH DISEASEPADA KLINIK KESEHATAN IBU DAN ANAK SEBAGAI UPAYA KONTROL DAN PENCEGAHAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DAN ANEMIA IBU HAMIL Naili Nur Saâ&#x20AC;&#x2122;adah Nuhriawangsa*,Yoga Mulia Pratama**dan Ega Caesaria Pratama Putra*** * Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, (nailinsn@gmail.com) **Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, (zoga_box@yahoo.co.id) *** Mahasiswa Universitas Sebelas Maret, (caesariaega@gmail.com)
ABSTRAK Prevalensi penyakit kecacingan di Indonesia dan di dunia masih tinggi. Salah satu penyebab tertinggi kematian ibu hamil adalah infeksi STH, dimana infeksi STH ini dapat meningkatkan angka prevalensi kematian bayi. Untuk meminimalisasi dan mengurangi hal tersebut maka kami merancang strategi pengintegrasian antara usaha counseling prevention dan penggunaan rapid diagnosis pada Klinik Kesehatan Ibu dan Anak (KKIA). Selain itu keberhasilan pengintegrasian ini akan menunjang percepatan pencapaian target MDGs yang sedang digalakkan oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Dari data hasil studi pustaka yang kami peroleh didapatkan faktor yang meningkatkan angka transmisi atau penularan STH pada daerah tropis yang kami rangkum dalam tabel 4.1 dan 4.2. Kemudian kami mensintesis strategi konseling praktis dalam tabel 4.3 yang dapat langsung diterapkan. Konseling menggunakan metode di atas dapat diterapkan pada Klinik Kesehatan Ibu dan Anak di puskesmas dan posyandu. Sedangkan untuk penerapan metode rapid diagnosis dapat dilakukan di puskesmas dengan menyesuaikan keadaan setempat. Penerapan metode ini kami integrasikan ke KKIA yang diharapkan dapat menjadi program terintegrasi secara nasional. Strategi penggabungan antara counseling prevention dan rapid diagnosis dapat diterapkan secara terintegrasi pada KKIA karena secara teoritis merupakan strategi yang efektif dan efisien untuk kontrol dan pencegahan berat badan lahir rendah dan anemia ibu hamil.
ABSTRACT Prevalence of helminthiasis in the world and Indonesia are still increased. One of the most causes of maternal deaths isSoil Transmitted Helminth (STH) infection, which can increase prevalence of infant mortality. To minimize and mitigate these conditions, we devise an integration strategy between prevention counseling efforts and rapid diagnosis on Maternal and Child Health Clinic (MCHC). In addition, this strategy will support the accelerated achievement of Millennium Development Growth (MDGs) that promoted by Indonesian Ministry of Health. Using literature study, we obtained factors that increase the transmission rate of STH in tropical region which summarized in table 1 and 2. Then, we synthesize practical counseling strategies in table 3. that can be directly applied to the MCHC at the health center. As an application of rapid diagnosis method can be done in health centers by adjusting local circumstances. We integrate this method into MCHC which is expected to be national integrated program. Strategies merger between counseling prevention and rapid diagnosis can be applied in an integrated manner on MCHC because theoretically an effective and efficient strategy to controlling and preventing of low birth weight and maternal anemia. Kata Kunci: Soil Transmitted Helminth, ibu hamil, anemia, berat badan lahir rendah, konseling, rapid diagnosis.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
57
1.
PENDAHULUAN
bisa mendiagnosis STH setelah timbul gejala
Infeksi soil-transmitted helminth (STH)
yang berat seperti anemia berat. Padahal untuk
kronis dapat menyebabkan kehilangan zat besi
penyakit seperti STH merupakan penyakit yang
melalui saluran cerna, kekurangan dan/atau
minimal membutuhkan pemeriksaan laboratorium
malabsorpsi nutrisi, yang dapat menyebabkan
mikroskopis
kekurangan zat besi, anemia, dan penyakit
Sedangkan untuk pemeriksaan rapid diagnosis
kekurangan gizi lain.1 Wanita hamil merupakan
merupakan metode pemeriksaan alternatif terpilih
kelompok yang paling terpengaruh oleh karena
karena
infeksi helminth. Data dari Center for Disease
spesifisitas lebih rendah dari uji mikroskopis,
Control and Prevention (CDC) lebih dari 1 juta
tetapi memiliki keunggulan dalam hal biaya yang
orang terinfeksi STH dan 44 juta wanita hamil di
lebih murah dan waktu diagnosis yang lebih cepat.
dunia terinfeksi oleh cacing
tambang.2
untuk
meskipun
penegakan
memiliki
diagnosis.
sensitivitas
dan
Sejak
Sedangkan untuk metode rapid diagnosis sendiri
tahun 2002 hingga 2006, prevalensi penyakit
penggunaan di klinis masih terbatas5 oleh karena
kecacingan secara berurutan di Indonesia adalah
itu perlu dilakukan studi pustaka rapid diagnosis
sebesar 33,3 %, 33,0 %, 46,8 % 28,4 % dan 32,6
untuk digunakan sebagai penunjang diagnosis di
%.3
klinik kecil seperti Klinik Kesehatan Ibu dan Anak Wanita hamil merupakan kelompok yang
(KKIA) dengan program yang terintegrasi.
paling terpengaruh oleh karena infeksi helminth.
Strategi preventif merupakan strategi
Hal ini dikarenakan pada saat hamil diperlukan
yang paling baik dan hanya membutuhkan sedikit
nutrisi yang lebih. Kekurangan nutrisi pada ibu
biaya untuk mengeliminasi bahkan mengeradikasi
hamil dapat menyebabkan anemia ibu hamil,
STH.
berat badan lahir rendah (BBLR) dan bahkan
penyebaran dari STH pada daerah tropis terutama
hingga meningkatkan angka prevalensi kematian
di Asia Tenggara seperti yang telah dilaporkan.6,7,
bayi.1 Data Angka kematian ibu di Indonesia juga
8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
masih tinggi yaitu 228 per 100.000 kelahiran hidup
beberapa faktor yang telah dilaporkan dan dari
pada tahun 2007. Padahal untuk target MDGs
common knowledge dapat digunakan sebagai
pada tahun 2015, AKI harus dapat turun menjadi
acuan tindakan preventif pada ibu hamil yang
102 per 100.000 kelahiran
hidup.4
Salah satu
penyebab tertinggi kematian ibu hamil adalah
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi
Pencegahan oleh
kemudian kami sintesis dalam tindakan praktis berupa konseling.
infeksi STH, dimana infeksi STH ini dapat
Untuk meminimalisasi dan mengurangi
bayi.1
kejadian anemia ibu hamil, berat badan lahir
meningkatkan angka prevalensi kematian
Pencapaian program MDGs penurunan mortalitas
rendah,
anak
sudah
kematian bayi lahir, maka kami merancang
seharusnya tidak terlepas dari penanggulangan
strategi pengintegrasian antara usaha counseling
infeksi STH pada ibu hamil.
prevention dan penggunaan rapid diagnosis pada
dan
perbaikan
kesehatan
ibu
dan
menurunkan
angka
prevalensi
Banyak dari ibu hamil di Indonesia yang
KKIA. Selain itu keberhasilan pengintegrasian ini
tidak terjangkau oleh pemeriksaan kehamilan
akan menunjang percepatan pencapaian target
yang terpadu dan pemeriksaan laboratorium
MDGs yang sedang digalakkan oleh Kementrian
modern untuk penyakit infeksi. Sedangkan untuk
Kesehatan Republik Indonesia.4
diagnosis tanpa pemeriksaan penunjang baru BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
58
2.
PEMBAHASAN
6.
Tidak tangan makan
mencuci sebelum
Perbedaan signifikan antara mencuci tangan dan tidak mencuci tangan.
7.
Penggunaan bersama tempat buang air besar (BAB)
Salah satu jalur transmisi STH adalah lewat jalur fekal-oral.
Strategi konseling yang akan diterapkan pada program ini berupa sintesis dari data yang kami peroleh dari studi pustaka laporan faktor yang mempengaruhi transmisi cacing tambang. Dari data yang kami peroleh didapatkan faktor yang
meningkatkan
angka
transmisi
atau
penularan STH pada daerah tropis sebagai berikut: Tabel 1 Faktor risiko penularan STH. Faktor risiko dengan korelasi tinggi. 6,7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
No
Faktor yang Mempengaruhi
Keterangan
1.
Sumber Air minum yang tidak aman
Sumber air minum tidak aman berasal dari air hujan sungai atau tampungan air hujan; sumber air minum aman dari perusahaan air minum yang disalurkan lewat pipa.
2.
3.
4.
5.
Tidak tangan buang (BAB)
mencuci setelah air besar
Perbedaan signifikan antara mencuci tangan dan tidak mencuci tangan.
Tidak memakai alas kaki ketika keluar rumah
Pemakaian sandal atau sepatu menurunkan transmisi STH
Anggota keluarga dalam satu rumah lebih dari 6 orang
Semakin banyak anggota keluarga dalam satu rumah meningkatkan prevalensi ascariasis.
Pemakaian bersama
toilet
Keberadaan toilet di rumah sendiri menurunkan risiko terkena infeksi STH
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
Tabel 2. Faktor risiko penularan STH. Faktor risiko dengan korelasi rendah. 6,7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
No
Faktor yang mempengaruhi
Keterangan
1.
Pendidikan rendah
ayah
Berhubungan dengan pendidikan kepada anak.
2.
Pendidikan rendah
ibu
Berhubungan dengan pendidikan kepada anak.
3.
Penghasilan rendah
Berpengaruh terhadap kebersihan lingkungan dan jenis makanan yang dimakan
4.
Mempunyai peliharaan rumah
hewan dalam
Meningkatkan kemungkinan transmisi STH.
5.
Makan makanan yang bersumber dari tanah
Meningkatkan kemungkinan transmisi STH.
6.
Jarang kuku
Meningkatkan kemungkinan transmisi STH.
7.
Tidak mencuci buah dan sayur sebelum dimakan
Kemungkinan terdapat kontaminasi dari telur maupun daur hidup lain dari STH.
8.
Meminum air yang belum dimasak
Kemungkinan terdapat kontaminasi dari
memotong
59
telur maupun daur hidup lain dari STH.
2.Menyarankan penyediaan toilet yang lebih 5.
Pemakaian toilet bersama dengan orang luar rumah kediaman
Menyarankan untuk tidak menggunakan toilet bersama dan penyediaan toilet pada setiap rumah.
6.
Tidak tangan makan
1.Menyarankan cuci tangan sebelum makan
Dari hasil studi pustaka diatas kami mensintesis tentang cara pendekatan konseling yang bisa diterapkan kepada masyarakat luas terutama masyarakat awam. Hal ini tersaji dalam tabel 3. Tabel 3. Pendekatan konseling yang dapat dilakukan kepada pasien ibu hamil. No. 1.
Faktor Risiko Sumber Air minum yang tidak aman
Strategi Konseling
2.
Tidak mencuci tangan setelah buang air besar (BAB)
Tidak memakai alas kaki ketika keluar rumah
2.Menyarankan penulisan pengingat cuci tangan setelah cuci tangan di toilet
1.Menyarankan agar membiasakan memakai sandal atau sepatu jika keluar rumah 2.Menyarankan penyediaan sandal didalam rumah jika akan melewati lantai tanah
4.
Anggota keluarga dalam satu rumah lebih dari 6 orang
7.
Penggunaan bersama tempat buang air besar (BAB)
Menyarankan untuk tidak menggunakan tempat BAB bersama dan penyediaan toilet pada setiap rumah.
8.
Mempunyai hewan peliharaan dalam rumah
Menyarankan untuk memisah antara hewan peliharaan dengan tempat tinggal khususnya sewaktu hamil.
9.
Makan makanan yang bersumber dari tanah
Mencuci bersih segala makanan khususnya yang berasal dari tanah.
10.
Jarang memotong kuku
Intensifkan memotong kuku
11.
Tidak mencuci buah dan sayur sebelum dimakan
Mencuci bersih makanan, sayur dan buah, terutama yang berasal dari tanah.
12.
Meminum air yang belum dimasak
1.Memasak air sebelum diminum
1.Menyarankan mencuci tangan setelah BAB
3.Penyediaan handsinitizer 3.
2.penyediaan handsinitizer
1.Menyarankan untuk meminum air dari perusahaan air minum 2.Menyarankan untuk lebih sering mengonsumsi minuman kemasan tersterilisasi
mencuci sebelum
1.Menyarankan penerapan program KB
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
2.Lebih sering mengkonsumsi minuman kemasan steril
60
Penggunaan
rapid
yang
mikroskop. Pemeriksaaan ini dapat dilakukan
mungkin diterapkan adalah metode Kato Katz (K-
dalam waktu 30 menit sampai 1 jam, sehingga
K)19,
Baermann
hasil dapat diperoleh dengan cepat. Selain itu tes
tecnique (BM)21. Ketiga uji tersebut sudah pernah
ini sangat aplikatif mengingat biaya yang relatif
di uji klinik oleh Knopp et al.22 dan berhasil dengan
rendah. Untuk tutorial pemeriksaan dengan
rata-rata sensitivitas sebesar 90%. Sensitivitas
metode
Kato-Katz untuk mendeteksi Ascariasis mencapai
www.who.int/neglected_diseases/preventive_che
99,6%, untuk T. trichiura 95,1%, dan untuk cacing
motherapy.22
Koga Agar Plate
diagnosis
(KAG)20,dan
tambang 83,3%. Sensitivitas untuk uji cacing tambang
akan
meningkat
jika
digabungkan
dengan Koga Agar yaitu sebesar 93,1%. Berikut adalah alur diagnosis untuk STH dari ketiga uji diagnosis diatas.
Kato
Katz
dapat
dilihat
di
Metode yang lain, yaitu Koga Agar Plate. Metode ini menggunakan prinsip penanaman sampel ke dalam agar. Kemudian diinkubasi selama 2 hari, sambil diamati dengan mikroskop. Lalu, eluent dari plate yang sudah dilarutkan dengan larutan asetat-formalin disentrifuge dan diambil sedimennya kemudian dilihat dibawah mikroskop. Meskipun metode ini tidak terlalu mahal, tetapi waktu yang digunakan hingga 2 hari sehingga metode ini hanya untuk memperkuat diagnosis dan sensitivitas saja. Untuk tutorial pemeriksaan dengan metode Kato Katz dapat dilihat dari publikasi Koga et al.20 Prinsip
dari
pemeriksaan
Baermann
Technique seperti pada gambar 2. Pemeriksaan Gambar 1. Alur penggunaan tes diagnostik untuk STH. Untuk Ascaris, T. trichiura dan cacing tambang dapat menggunakan metode Kato Katz. Untuk Koga Agar dapat digunakan pada cacing tambang dan S. stercoralis. Sedangkan BM dapat digunakan untuk S. stercoralis. Pada intinya semua tes ini digunakan untuk mendiagnosis STH. Jika ingin menghemat biaya maka disarankan cukup menggunakan metode Kato Katz. Metode Kato Katz merupakan metode yang disarankan WHO untuk diagnosis STH. Kato
ini untuk mendeteksi larva stadium 3 helminth. Hal ini menggunakan prinsip bahwa larva dari kantung yang berisi feses aktif bermigrasi ke dalam corong air sehingga corong air yang diperiksa dengan mikroskop akan menunjukkan adanya larva stadium 3 dari helminth. Pemeriksaan ini dapat dilihat hasilnya kurang lebih setelah 30 menit. Biaya yang dikeluarkan dari pemeriksaan ini juga sangat murah.
Katz merupakan metode deteksi telur dari helminth yang dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi. Metode ini menggunakan mikroskop sederhana.
Untuk
menggunakan
mikroskop
mendeteksi digunakan
cepat selotip
khusus yang diberi larutan glyserol methylene blue sehingga telur dengan mudah terlihat di BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
61
Kato
Katz,
sedangkan
puskesmas
dengan
sumber daya manusia yang kurang dapat menggunakan metode McMaster. Untuk metode Koga Agar Plate dan Baermann Technique lebih baik jika digunakan pada Puskesmas dengan pendanaan tinggi untuk memperkuat diagnosis dan
meningkatkan
sensitivitas
pemeriksaan.
Untuk memperjelas alur penerapan metode Gambar 2. Prinsip pemeriksaan dengan Baermann Technique (BM). Sumber gambar:21 Metode
lain
yaitu
dengan
counseling prevention dan rapid diagnosis di atas sudah tergambar dalam kerangka pemikiran
metode
(gambar 3) pada bab metode penulisan.
McMaster yaitu metode sangat sederhana dengan membuat suspensi sampel feses yang kemudian
3.
diberikan ke slide (gelas benda) khusus dari kit McMaster.
Hasilnya
dilihat
KESIMPULAN 1. Penerapan strategi counseling prevention
menggunakan
sangat cocok diterapkan pada Klinik
mikroskop dan dapat menampakkan telur STH
Kesehatan Ibu dan Anak karena metode
dengan sangat jelas. Dari metode ini dapat
ini efektif dan efisien untuk pencegahan
diperoleh hasil yang cepat. Untuk tutorial metode
penyebaran
ini
Helminth terutama pada Ibu Hamil.
dapat
dilihat
di
http://www.vetparasitology.ugent.be/page30/page 30.html.
infeksi
Soil
2. Penegakan
diagnosis
Transmitted
Helminth
Transmitted
infeksi di
Soil daerah
Pemeriksaan yang baru dalam tahap
jangkauan puskesmas/rumah sakit dapat
pengembangan adalah tes Egg Hatch Assay
dilakukan dengan beberapa metode rapid
(EHA). Yaitu mendeteksi adanya telur STH tanpa
diagnosis, seperti Kato-Katz yang dapat
mikroskop dan hanya menggunakan metode
digunakan pada puskesmas/rumah sakit
assay sehingga hasilnya bisa dengan cepat
dengan pendanaan yang rendah karena
didapat.24Tapi pemeriksaan ini masih banyak
harganya
kekurangan karena antigen STH yang sering
dilakukan, sedangkan Koga Agar Plate
berubah-ubah sehingga meningkatkan negatif
dan Metode Baurmann baik dilakukan
palsu. Selain itu pemeriksaan ini belum menjalani
pada puskesmas/rumah sakit dengan
uji klinik sehingga belum bisa digunakan di klinik
pendanaan yang tinggi sebagai penguat
dan masyarakat luas.
pemeriksaan Kato-Katz.
Pemeriksaan menggunakan beberapa metode di atas dapat diterapkan pada Klinik Kesehatan
Ibu
dan
Anak
di
puskesmas.
Penerapan bermacam-macam metode ini di puskesmas juga menyesuaikan dengan keadaan setempat. Misalnya puskesmas dengan sumber
4.
yang
murah
dan
mudah
DAFTAR PUSTAKA 1. Imhoff-Kunsch Antihelminthics
B, in
Briggs
V.
pregnancy
and
maternal, newborn and child health. Paediatr Perinat Epidemiol. 2012; 1:22338.
pendanaan rendah dapat menggunakan metode BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
62
2. CDC.
Parasites
Soil-transmitted
9. Al-Mekhlafi MS, Atiya AS, Lim YA, Mahdy
Helminths (STHs). 2013 [cited 2013 Jun
AK, Ariffin WA, Abdullah HC et al. An
23]. Available from : URL : HYPERLINK
unceasing
http://www.cdc.gov/parasites/sth/.
helminthiases
3. Depkes
-
RI.
Insidensi
Penyakit
Kecacingan. 2006 [cited 2013 jun 23] Available
from
:
URL
:
problem: in
soil-transmitted rural
Malaysian
communities. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2007;38:998–1007. 10.Norhayati M, Zainudin B, Mohammod C,
HYPERLINKhttp://www.depkes.go.id/
Oothuman P, Azizi O, Fatmah MS. The
4. Depkes RI. Lima Strategi Turunkan Angka
prevalence of Trichuris, Ascaris and
Kematian Ibu. 2011[cited 2013 Jun 23].
hookworm infection in Orang Asli children.
Available from : URL : HYPERLINK
Southeast Asian J Trop Med Public
http://depkes.go.id/index.php/berita/press
Health. 1997;28:161–168.
-release/1387limastrategi-operasional-
11.Bundy DAP, Kan SP, Rose R. Age-related
turunkan-angka-kematian-ibu.html
prevalence,
intensity
and
frequency
5. Solomon AW, Engels D, Bailey RL, Blake
distribution of gastrointestinal helminth
IM, Brooker S, et al. A Diagnostics
infection in urban slum children from
Platform for the Integrated Mapping,
Kuala Lumpur, Malaysia. Trans R Soc
Monitoring, and Surveillance of Neglected
Trop Med Hyg.1988;82:289–294.
Tropical Diseases: Rationale and Target
12.Ngui R, Ishak S, Chuen CS, Mahmud R,
Product Profiles. PLoS Negl Trop Dis.
Lim YAL. Prevalence and risk factors of
2012;6(7): e1746.
intestinal parasitism in rural and remote
6. Nasr et al. Towards an effective control programme of soil-transmitted helminth infections among Orang Asli in rural Malaysia.
Part
1:
Prevalence
associated key factors.
and
Parasites
&
Vectors. 2013;6:27. 7. Nasr et al. Towards an effective control
West Malaysia. PLoS Negl Trop Dis. 2011;5:e974. 13.Tomono
N,
Anantaphruti
Jongsuksuntigul
P,
Thongthien
MT, P,
Leerapan P, Silapharatsamee Y et al. Risk factors of helminthiases among schoolchildren
in
southern
Thailand.
programme of soil-transmitted helminth
Southeast Asian J Trop Med Public
infections among Orang Asli in rural
Health. 2003;34:264–268.
Malaysia. Part 2: Knowledge, attitude, and
14.Anantaphruti MT, Waikagul J, Maipanich
practices Parasites & Vectors. 2013;6:28.
W, Nuamtanong S, Pubampen S. Soil-
8. Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Choy SH, Ithoi
transmitted helminthiases and health
I, Al-Adhroey AH, Abdulsalam AM et al.
behaviors among schoolchildren and
The burden of moderate-to-heavy soil-
community members in a west-central
transmitted helminth infections among
border area of Thailand. Southeast Asian
rural Malaysian aborigines: an urgent
J Trop Med Public Health. 2004;35:260–
need for an integrated control programme.
266.
Parasit Vectors. 2011;4:242.
15.Ahmed A, Al-Mekhlafi H, Azam M, Ithoi I, Al-Adhroey A, Abdulsalam A et al. Soil-
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
63
transmitted helminthiasis: a critical but neglected
factor
influencing
school
participation of Aboriginal children in rural Malaysia. Parasitol. 2012; 139:802–808.
22.World Health Organization (WHO). Action Against Worm. Issue 11. 2008. 23.Ministry of Agriculture, Fisheries and Food. Manual of veterinary parasitological
G.
laboratory techniques (Reference Book;
Prevalence, intensity and risk factors for
418), 3rd ed. London: Her Majesty’s
soil-transmitted helminth infection in a
Stationery Office (HMSO). 160 p. 1986.
South Indian fishing village. Acta Trop.
24.Albonico M, Wright V, Ramsan M, Haji HJ,
16.Naish
S,
McCarthy
J, Williams
2004;91:177–187.
Taylor
M,
Savioli
L,
Bickle
Q.
17.Luoba AI, Wenzel GP, Estambale B,
Development of the egg hatch assay for
Ouma JH, Alusala D, Ayah R et al. Earth-
detection of anthelminthic resistance in
eating
human
and
re-infection
with
intestinalhelminths among pregnant and
hookworms.
Int
J
Parasitol.
2005;35(7):803-11.
lactating women in western Kenya. Trop Med Int Health. 2005;10:220–227. 18.Quihui L, Valencia ME, Crompton DWT, Phillips S, Hagan P, Morales G et al. Role of the employment status and education of mothers in the prevalence of intestinal parasitic
infections
schoolchildren.
in Mexican rural
BMC
Publ
Health.
2006;6:225. 19.Katz N, Chaves A, Pellegrino J. A simple device for quantitative stool thick-smear technique in schistosomiasis mansoni. Rev Inst Med Trop Sa˜o Paulo 1972;14: 397–400. 20.Koga K, Kasuya S, Khamboonruang C, Sukhavat K, Ieda M, et al. A modified agar plate method for detection of Strongyloides stercoralis. Am J Trop Med Hyg. 1991;45(4):518-21. 21.Knopp
S,
Steinmann
Mgeni P,
AF,
Stothard
Khamis
IS,
JR,
al.
et
Diagnosis of soil-transmitted helminths in the era of preventive chemotherapy: effect of multiple stool sampling and use of different diagnostic techniques. PloS Negl Trop Dis 2. 2008;e331.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
64
Literature Study
UPAYA DIVERSIFIKASI PANGAN MELALUI STUDI PERSIAPAN BERAS TIRUAN DARI UMBI GADUNG SEBAGAI PANGAN FUNGSIONAL : KAJIAN PUSTAKA Dwi Yuwono Kristanto1, Arif Sabta Aji1, Rois Alfarisi1, Rizal Yahya1 1
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya
ABSTRAK Beras merupakan bahan pangan dengan nilai indeks glikemik tinggi. Paradigma beras sebagai satusatunya sumber makanan pokok telah menyebabkan pergeseran pola konsumsi. Kecenderungan tersebut dapat berakibat munculnya berbagai permasalahan kesehatan seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner dan sindroma metabolik lainnya. Umbi gadung merupakan bahan pangan lokal Indonesia. Alternatif sumber karbohidrat selain dari beras, juga didapatkan pada umbi gadung. Sebagai pangan fungsional, umbi gadung mempunyai nilai indeks glikemik rendah dan kandungan polisakarida larut air sebesar 20,9%. Kandungan Polisakarida larut air dan indeks glikemik rendah diyakini mampu memiliki efek hipoglikemik.Beras tiruan merupakanpengembangan pangan sebagai upaya diversifikasi dengan memanfaatkan potensi lokal. Pembuatan beras tiruan diharapkan mampu menyamai bentuk dan rasa beras biasa sehingga tidak merubah aspek psikologis masyarakat dalam mengkonsumsinya. Katakunci: Diversifikasi, Umbi gadung, Beras tiruan, dan Pangan fungsional.
ABSTRACT Rice is food materials with a high glycemic index. The Paradigm of rice as the only source of staple food has caused shifting patterns consumption. This trend can be the emergence of health problem as diabetic mellitus, coronary heart disease and metabolic syndrome. Tuber gadung is a local food an Indonesia. As food functional, tuber gadung has value low glycemic index and content polysaccharides water-soluble of 20,9%. Content polysaccharides water-soluble and the low glycemic index is believed will have an effect hypoglycemic. Artificial rice is development food as a diversified by potentiality local. Artificial rice expected to match the form and sense of rice so not change psychologucal aspects of public in consume it. Keywords: Diversification, Tuber Gadung, Artificial Rice and Functional Food.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
65
1.
LATAR BELAKANG Pangan
penduduk3.
gizi
merupakan
kebutuhan
pangan
Program
meliputi
kegiatan
diversifikasi pemanfaatan
dasar yang merupakan hak setiap manusia
sumber daya alam hayati yang ada di
dan merupakan salah satu faktor penentu
Indonesia serta upaya promosi kepada
kualitas
sumberdaya
Faktor
masyarakat untuk mengonsumsi makanan
penentu
mutu
adalah
yang
keanekaragaman pangan
dan
manusia. pangan
(diversifikasi)
keseimbangan
jenis
gizi
dan
beragam.
Inovasi
produk
dalam
mendukung program diversifikasi pangan dapat
dilakukan
dengan
mempelajari
bahwa
kebiasaan atau pola makan masyarakat
ketidakseimbangan gizi akibat konsumsi
indonesia yang mayoritas mengkonsumsi
pangan yang kurang beraneka ragam akan
beras.
keamanan
pangan.
Disadari
berdampak pada timbulnya masalah gizi,
Beras juga dapat dimanfaatkan
baik gizi kurang maupun gizi lebih1. Lebih
sebagai pangan fungsional, yaitu sebagai
dari 50% penduduk dunia tergantung pada
bahan pangan yang mengandung satu atau
beras sebagai sumber kalori utama. Pola
lebih
konsumsi pangan di Indonesia masih belum
mempunyai fungsi fisiologi tertentu dan
sesuai dengan pola pangan yang ideal.
bermanfaat terhadap kesehatanBeras tiruan
Konsumsi dari kelompok padi-padian masih
merupakan pangan pokok berbentuk seperti
dominan baik di kota maupun di desa.
butiran beras padi yang bahan bakunya
Pangsa konsumsi energi seharusnya dari
dapat berasal dari kombinasi tepung pangan
kelompok padi-padian hanya 50%, namun
lokal.
kenyataannya masih sebesar 60,7%-63,9%.
kandungan gizi yang melebihi beras biasa 4.
Bahkan, konsumsi beras
Penggunaan sumber
di Indonesia
komponen
Beras
pembentuk
tiruan
dapat
daya
yang
memiliki
alam
umbi
mencapai 139 kilogram per kapita per tahun.
gadung dalam pembuatan beras tiruan
Angka ini tertinggi dibanding negara-negara
selain untuk penganekaragaman pangan
di Asia Tenggara2. Paradigma pangan
juga
hanya disimbolkan dengan beras semata
ekonomis pangan tersebut. Peningkatan
adalah merupakan inti permasalahannya.
nilai ekonomis umbi gadung akan memiliki
Bukan hanya demikian, dengan karakteristik
dampak
beras
kesejahteraan
yang
memiliki
indeks
glikemik
tergolong tinggi (>70) dapat menyebabkan
dapat
meningkatkan
terhadap
fungsi
nilai
peningkatan
petani
umbi-umbian
khususnya umbi gadung. Umbi gadung merupakan salah satu
beberapa penyakit seperti diabetes mellitus, penyakit jantung dan sindroma metabolik
sumber
lainnya.
memiliki nilai indeks glikemik rendah yaitu Diversifikasi pangan adalah upaya
51,
karbohidrat
selain
itu
yang
umbi
baik
gadung
karena
memiliki
penganekaragaman pola konsumsi pangan
kandungan polisakarida larut air yang dapat
masyarakat dalam rangka meningkatkan
digunakan
mutu gizi makanan yang dikonsumsi yang
fungsional.
manfaatnya
guna
pangan
pada akhirnya akan meningkatkan status BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
66
Berdasar latar belakang tersebut,
tidak jauh berbeda antara pulau yang satu
dilakukan
dengan pulau yang lain, yaitu hampir 100
maka manfaat
umbi
studi/kajian gadung
terhadap (1)
persen. Partisipasi konsumsi beras yang
Mendukung program diversfikasi pangan
masih rendah hanya terjadi di pedesaan
nasional. (2) Kandungan gizi umbi gadung
Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah
sehingga dapat digunakan sebagai pangan
dengan ekologi sagu yaitu sekitar 80
fungsional
persen).
yang
dalam;
berdampak
terhadap
kesehatan. 5.
Dengan menggunakan data yang
PEMBAHASAN
terakhir yaitu Susenas 2002, 2005 dan 2008 data
menunjukkan semakin nyata bahwa pola
Susenas tahun 1990 pada Ariani dan Ashari
konsumsi pangan pokok masyarakat di
dalam Ariani (2010) sudah menunjukkan
Indonesia telah bergeser dari pola beragam
tingkat
Hasil
analisis
partisipasi
(persentase
jumlah
terhadap
konsumsi
beras
menjadi pola tunggal yaitu beras. Dari Tabel
orang
yang
1, terlihat bahwa pola konsumsi tunggal
mengonsumsi beras) di berbagai wilayah
beras
terjadi
pada
semua
tingkatan
cukup tinggi hampir mencapai 100 persen,
pendapatan, dari masyarakat miskin sampai
yang berarti hampir semua rumah tangga
masyarakat kaya. Dominasi beras sebagai
telah mengkonsumsi beras. Kecenderungan
pola pangan pokok utama terus berlangsung
tersebut tidak hanya terjadi pada rumah
di setiap propinsi dan tidak tergantikan oleh
tangga perkotaan tetapi juga rumah tangga
jenis pangan pokok lain. Perubahan jenis
di pedesaan, walaupun umumnya tingkat
pangan pokok hanya terjadi pada komoditas
partisipasi di desa masih lebih rendah
bukan beras, seperti antara jagung dengan
daripada di kota. Bila dilihat antar pulau,
umbi dan sebaliknya.
maka tingkat partisipasi konsumsi beras Tabel 1. Pola Konsumsi Berdasar Tingkat Pengeluaran Kel. Pengeluaran (Rp/kap/bl) 2002 2005 2008 <60.000 B,J,UK B,T 60.000-79.999 B,J,UK,T B,T 80.000-99.999 B,T,UK B,T 100.000-149.999 B,T B,T B,T,J 150-199.999 B,T B,T B,T 200.000-299.999 B,T B,T B,T 300.000-499.999 B,T B,T B,T 500.000-749.999 B,T B,T B,T 750.000-999.999 B,T B,T B,T >1000.000 B,T B,T B,T Keterangan : B = Beras, T= Terigu, J= Jagung, UK= Ubi Kayu Beras selain sumber energi utama
Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh
dalam pola konsumsi masyarakat, juga
beras, dan beras berperan dalam ketahanan
sebagai Wage Goods dan Political Goods.
pangan, stabilitas ekonomi dan lapangan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
67
kerja. Sebagian besar masyarakat tetap
lebih tinggi dibandingkan dengan umbi-
menghendaki adanya pasokan dan harga
umbian dan jagung Tabel2. Belum lagi
beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu
adanya kebijakan program Raskin dalam
dan
terjangkau.
bentuk beras, yang penyalurannya untuk
Kebijakan pemerintah seperti penetapan
seluruh masyarakat tanpa memperhatikan
harga dasar gabah dan pengendalian harga
pola konsumsi pangan pokok setempat,
di tingkat konsumen mendorong masyarakat
jelas
untuk
konsumsi pangan yang selama ini juga
dengan
harga
mengonsumsi
yang
beras.
Walaupun
tingkat konsumi beras cenderung menurun,
menyalahi
konsep
diversifikasi
menjadi program pemerintah 5.
namun volume konsumsi beras masih jauh Tabel 2. Perubahan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/Kapita/tahun) Beras Jagung Terigu Ubikayu Ubijalar 115,5 3,4 8,5 12,8 2,8 105,2 3,3 8,4 15 4 104,9 2,9 11,2 12,9 2,8
Tahun 2002 2005 2008
Sumber : SUSENAS, diolah pusat PKP, Badan ketahanan pangan Konsumsi
beras
Sagu 0,3 0,5 0,5
adalah 138 kg/ kapita/ tahun atau setara dengan 212 kg gabah/ kapita/ tahun.
memang
Upaya mengurangi ketergantungan
cenderung menurun dari tahun ke tahun,
konsumsi
namun tingkat konsumsi tersebut masih
adalah dengan mengembangkan alternatif
lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa
pangan.
negara lainnya. Konsumsi beras di Jepang
belum dapat berhasil sepenuhnya karena
hanya
keterikatan masyarakat yang sangat kuat
sekitar
60
kg/kapita/tahun,
beras
masyarakat
Program
Indonesia
diversifikasi
pangan
sedangkan di Thailand, China dan India
dengan
sekitar 100 kg/kapita/tahun. Di Laos dan
dikembangkan
Myanmar, konsumsi beras masih tinggi yaitu
menyerupai
masing-masing sebesar 179 kg dan 190
terbuat dari beras. Beras tiruan diharapkan
kg/kapita/tahun6.
dapat mendekati bentuk beras asli sehingga
Kebutuhan beras terus
meningkat
akibat
peningkatan
penduduk.
Penduduk
jumlah
Indonesia
yang
konsumsi
mengonsumsinya
Maka
alternatif
beras
psikologi
beras.
namun
masyarakat merasa
perlu
pangan tidak
murni
yang mengonsumsi
semula berjumlah 194,7 juta jiwa pada tahun
beras. Metode pembuatan beras tiruan oleh
1995, diperkirakan akan meningkat menjadi
Budijanto et al. (2011) dengan cara ekstrusi
265 juta pada tahun 2025 yang berarti akan terjadi lonjakan kebutuhan beras. Pada saat ini tingkat konsumsi beras di Indonesia
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
68
memiliki tahapan penyangraian yang bertujuan
Gadung
merupakan
tanaman
untuk menggelatinisasi sebagian adonan (semi
perkebunan yang tumbuh liar dihutan-hutan
gelatinisasi) ataupengondisian (conditioning)
maupun di pekarangan. Pada umumnya petani
adonan sebelum diekstrusi. Tahap ekstrusi
tidak melaksankan pemeliharaan tanaman
meliputi proses pencampuran, pemanasan
seperti
(gelatinisasi) dan pencetakan melalui die.
pemupukan
Tahap berikutnya adalah ekstrudat
:
penyiangan, dan
hama/penyakit.
pembunuhan, pemberantasan
Tanaman
gadung
tidak
pasalnya
bisa
dikeringkan menggunakan oven dryer pada
mengenal
suhu 60°C selama 4 jam.Sebagai produk
ditanam kapan saja dan dimana saja. Tanaman
diversifikasi pangan, beras tiruan memiliki
ini juga merambat pada tongkak pohon dan
keunggulan jika dilihat dari komposisi bahan
buahnya
baku. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3, bahwa
karbohidrat
kandungan zat gizi dalam beras tiruan bisa
mencapai 79,28%, kandungan pati tepung
disesuaikan dengan kebutuhan. Beras tiruan
umbi gadung mencapai 51,88%, kandungan
bisa dinaikkan kadar protein, serat, ataupun
Polisakarida Larut Air (PLA) pada tepung umbi
antioksidannya dengan menyesuaikan bahan
gadung mencapai 20,9%.
musim
tanam,
putih8.
berwarna pada
tepung
Kandungan
umbi
gadung
baku. Beras tiruan bisa dibuat menggunakan bahan baku lokal daerah terkait. Sumber
i. Mekanisme Polisakarida Larut Air Sebagai
karbohidrat bisa diperoleh dari tepung ubi kayu,
Agen Hipoglikemik.
ubi jalar, talas, garut, ganyong, jagung, sorgum,
1.
Memperlambat
pengosongan
hotong, sagu, dan sagu aren. Sumber protein
lambung
dapat diperoleh dengan menambahkan tepung
penyerapan glukosa darah.
dan
menghambat
kedelai, kacang merah, atau jenis kacang-
Peningkatan vikositas dalam saluran
kacangan lain. Serat makanan bisa diperoleh
pencernaan dianggap sebagai faktor
dari bekatul atau bahan lain7.
utama
Tabel 3. Informasi Perbandingan Nilai Gizi Beras Tiruan dengan Beras Biasa Komposisi BerasTIruan BerasBiasa Kadar air (%) 10,6 12,05 Kadar 6,75 8 protein (%) 1,17 0,92 Kadar lemak 91 89,86 (%) Kadar karbohidrat (%) Gadung
dipilih
karena
indeks
glikemiknya rendah. Makanan dengan indeks
dalam
mempengaruhi
faktor
kecepatan penyerapan glukosa9. Serat larut, terutama galaktomanan mampu membentuk
lapisan
air
yang
tidak
bergerak dalam usus, sehingga dapat mengurangi penyerapan gula10. Serat terlarut juga mampu untuk mengurangi kadar glukosa sesudah makan dan memperbaiki profil insulin sehingga serat larut memiliki sifat hipoglikemik 11. 2. Peningkatan Short Chain Fatty Acid
glikemik rendah memperlambat peningkatan
(SCFA)
kadar gula dalam darah. Kemudian memiliki
Pangan.
Melalui
Fermentasi
Serat
kelebihan dibanding tepung umbi-umbian yang
Konsentrasi dan jumlah SCFA dalam
lain yaitu memiliki tekstur yang lembut dan
caecum dan kolon lebih tinggi jika subtrat
kandungan amilosa yang tinggi.
fermentasinya adalah serat pangan.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
69
Adanya
fermentasi
serat
pangan
7. DAFTAR PUSTAKA
menyebabkan luminal SCFA infusion,
1. Cahyani GI. 2008. Analisis Faktor
peningkatan massa dan proliferasi kolon.
Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap
SCFA mempengaruhi transport sel epitel
Keanekaragaman Konsumsi Pangan
kolon,
colonocyte,
Berbasis Agribisnis di Kabupaten
diferensiasinya,
Banyumas. Thesis Program Magister
metabolisme
pertumbuhan
dan
kontrol lemak dan karbohidrat sehingga
Agribisnis Universitas Diponegoro.
meningkatkan persediaan energi otot,
2. Badan Pusat Statistik. 2004. Survey
ginjal, otak dan jantung. Hal ini juga
Sosial Ekonomi (SUSENAS). Jakarta:
berkaitan dengan menghasilkan SCFA
Badan Pusat Statistik hal 149.
asam asetat dan asam propionat yang
3. Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu
mampu membantu kenaikan respon
Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
insulin dalam hati11.
Utama. Halaman 46. 4. Budijanto S, Yuliyanti. 2012. Studi
6.
KESIMPULAN
Persiapan
Program diversifikasi pangan telah menjadi
program
nasional,
tetapi
implementasinya masih pro dan kontra. Hal ini terbukti dari beberapa kebijakan yang dibuat
Tepung
Sorgum
dan
Aplikasinya pada Pembuatan Beras Analog. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 13 No.3. Bogor. 5. Ariani
M.
2010.
Diversifikasi
pemerintah tidak berjalan secara sinergis
Konsumsi
dalam mendukung upaya diversifikasi pangan.
Mendukung
Upaya diversifikasi pangan bertujuan untuk
Prosiding Pekan Serealia Nasional.
dapat meningkatkan ketahanan pangan baik
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
tingkat
Banten.
nasional
maupun
rumah
tangga.
Produksi pertanian umbi gadung yang belum
Pangan
Pokok
Swasembada
Beras.
6. Pambudy, R. T.E.Hari, Basuki dan
optimal, dapat ditingkatkan produksinya karena
Mardianto,
banyak manfaat terdapat dalam umbi gadung
Pertemuan Kebijakan Perberasan
seperti
Asia. Hasil Pertemuan Regional di
kandungan
karbohidrat
maupun
S.
2002.
Polisakarida larut air. Polisakarida larut air
Bangkok,
memiliki
Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta.
sifat
fungsional
tersendiri
bagi
Thailand.
Resume
Sekretariat
kesehatan karena mampu memiliki peranan
7. Widara, S.S. 2012. Formulasi dan
sebagai agen hipoglikemik. Selain itu, umbi
Karakterisasi Gizi Beras Analog
gadung memiliki nilai indeks glikemik rendah
Terbuat
sehingga
memperlambat
Sorgum, Mocaf, Jagung, Maizena
kenaikan kadar gula darah. Proses teknologi
dan Sagu Aren. Skripsi di Fakultas
dengan membuat menjadi produk seperti beras
Teknologi Pertanian IPB Bogor.
mampu
untuk
tiruan dapat diyakini sebagai salah satu
2006.
pangan
Berbasis
ketahanan
pangan
serta
pengembangan produk pangan. BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
Campuran
Tepung
8. Kasno, A., N. Saleh dan E. Ginting.
langkah dalam mencapai upaya diversifikasi dan
dari
Pengembangan
Pangan
Kacang-Kacangan
Umbi-Umbian
Guna
dan
Pemantapan 70
Ketahanan Pangan Nasional. Buletin Palawija no 12. 43-51. 9. Silalahi, J. dan Hutagalung N. 2008. Komponen-Komponen
Bioaktif
dalam Makanan dan Pengaruhnya Terhadap
Kesehatan.
Jurusan
Farmasi Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara. Medan. 10. Torsdottir, I.; Alpsten, M.; Holm, G.; Sandberg, F.A.; and Ta-Lli, J. 1991. A Small Dose of Fiber
Soluble
Affects
Alginate-
Postprandial
Glycemia and Gastric Emptying In Humans With Diabetes. J. Nutr. 121: 795-799. 11. Maulida, D danTeti E. 2014. Efek Hipoglikemik Polisakarida Larut Air Umbi Gadung (Dioscoreahispida) dan
Alginat
:KajianPustaka.
J.
Pangandan Agroindustri Vol. 2 no.3 p.136-140. 12. Budijanto Rantai
S. Nilai
2011.
Pengembang
Serelalia
(IndegenousSereal)
Lokal Untuk
Memperkokoh Ketahanan Pangan Nasional. [Laporan Program Riset Strategi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
71
Literature Study
PERAN PUSKESMAS DALAM PENANGANAN MASALAH GIZI GANDA DI INDONESIA Yayuk Estuningsih*
*Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Alamat Korespondensi : yayuk.estu@gmail.com
ABSTRAK Saat ini Indonesia dihadapkan pada masalah gizi ganda yang sudah sangat mengkhawatirkan. Gizi ganda adalah suatu kondisi yang terjadi di masyarakat dimana masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Dalam masyarakat, fenomena masalah gizi ganda terjadi hampir di semua lini masyarakat dan berpotensi menurunkan kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia. Masalah gizi ganda ini memerlukan penanganan yang komprehensif dan memerlukan kerjasama lintas sektoral untuk menanggulanginya karena kondisi ini terutama pada anak-anak berpotensi menurunkan kualitas intelegensia pada anak-anak yang dampak jangka panjangnya adalah menurunkan kualitas SDM suatu bangsa. Puskesmas merupakan garda terdepan pelayanan kesehatan di masyarakat harus mengambil peran aktif dalam upaya penanganan masalah gizi ganda yang diawali dengan program pemberdayaan masyarakat untuk melakukan screening balita gizi kurang dan gizi lebih melalui kegiatan Posyandu dan selanjutnya meningkatkan kegiatan promosi kesehatan melalui edukasi ke masyarakat terutama yang berpotensi mengalami gizi ganda. Kata kunci: Gizi ganda, gizi kurang, gizi lebih, peran Puskesmas
ABSTRACT Currently, Indonesia is faced with multiple nutritional problems which is very worrying. Double burden nutrition is a condition that occurs in communities where malnutrition problem is still not resolved completely, while more nutrition problems have emerged. In society, the phenomenon of multiple nutritional problems occur in almost all lines of society and has the potential to degrade the quality of life of Indonesian human resources. Multiple nutritional problems require comprehensive treatment and require collaboration across sectors to address them because of this condition, especially in children has the potential to degrade the quality of intelligence in children whose long-term impact is to lower the quality of a nation's human resources. Health centers are frontline health services in the community must take an active role in handling multiple nutritional problems that begins with community development projects for screening toddlers malnutrition and over nutrition through integrated health and further improve health promotion activities through education to the community, especially the potentially experiencing double burden nutrition. Keywords: double burden nutrition, under nutrition, over nutrition, the role of Puskesmas
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
72
1.
PENDAHULUAN
memerlukan kerjasama lintas sektoral untuk
Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi
ganda
Menurut
yang
data
amat mengkhawatirkan.
Riset
Kesehatan
Dasar
(Riskesdas) tahun 2010, jumlah penderita berat
menangulanginya. garda
terdepan
Puskesmas pelayanan
merupakan
kesehatan
di
masyarakat harus mengambil peran aktif dalam upaya penanganan masalah gizi ganda ini.
kurang di kalangan anak balita mencapai 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi buruk dan
2.
13,0% gizi kurang, sementara prevalensi kegemukan pada anak balita secara nasional
Definisi masalah gizi ganda Saat ini Indonesia mengalami beban
berdasarkan indikator berat badan menurut
gizi ganda yang harus segera ditanggulangi
tinggi badan mencapai 14%.
karena
Kekurangan
gizi
pada
anak
dapat
menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak menjadi kurus dan sangat pendek (stunting). Bila hal ini tidak segera diatasi,
dalam
jangka
panjang
akan
mengakibatkan hilangnya potensi generasi muda yang cerdas dan berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak
PEMBAHASAN
baik bagi anak karena memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus,
hipertensi,
hiperkolesterol
dan
tersebut
akan
Masalah gizi di Indonesia saat ini memasuki masalah gizi ganda. Artinya, masalah gizi kurang masih belum teratasi sepenuhnya, sementara sudah muncul masalah gizi lebih. Kelebihan gizi yang menimbulkan obesitas dapat terjadi baik pada anak-anak hingga usia dewasa (1) Kekurangan gizi pada anak dapat menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak anak tidak optimal, anak menjadi kurus dan sangat pendek (stunting). Bila hal ini tidak segera diatasi,
dalam
jangka
panjang
akan
mengakibatkan hilangnya potensi generasi
penyakit jantung. Dalam masyarakat, fenomena masalah gizi ganda terjadi hampir di semua lini masyarakat
gizi
menciptakan berbagai persoalan di Indonesia.
produktif dan tidak mampu bersaing di masa depan. Sementara itu, kelebihan gizi juga tidak
masalah
dan
berpotensi
menurunkan
kualitas hidup sumber daya manusia Indonesia.
muda yang cerdas dan berkualitas (lost generation) sehingga anak menjadi tidak produktif dan tidak mampu bersaing di masa depan. Sementara itu, kelebihan gizi juga tidak
Banyak
faktor
yang
mempengaruhi
terjadinya masalah gizi ganda, diantaranya adalah status sosial ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk
baik bagi anak karena memicu munculnya berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus,
hipertensi,
hiperkolesterol
dan
penyakit jantung.
anak, kualitas pemberian ASI, Berat Badan Lahir
Rendah
(BBLR),
hygiene
sanitasi
lingkungan, akses ke makanan, serta factor lingkungan dan keluarga.
yang
Indonesia saat ini memiliki beban ganda masalah gizi. Menurut data Riset
Masalah gizi ganda ini memerlukan penanganan
Gambaran umum gizi ganda
komprehensif
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
dan
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, jumlah penderita berat kurang di kalangan anak balita 73
mencapai 17,9% yang terdiri dari 4,9 % gizi
Untuk
mengatasi
masalah
gizi,
buruk dan 13,0% gizi kurang, sementara
khususnya balita kurang gizi diperlukan aksi
prevalensi kegemukan pada anak balita secara
lintas sektoral. Asupan makanan yang tidak
nasional berdasarkan indikator berat badan
memadai dan penyakit merupakan penyebab
menurut tinggi badan mencapai 14%. Masalah
langsung masalah gizi ibu dan anak. Hal ini bisa
gizi lebih yang paling mengkhawatirkan terjadi
terjadi karena praktek pemberian makan bayi
pada perempuan dewasa yang mencapai
dan anak yang tidak tepat dan, penyakit dan
26,9% dan laki-laki dewasa sebesar 16,3%.
infeksi yang berulang, perilaku hygiene sanitasi dan pengasuhan yang buruk. Pada gilirannya,
Masalah gizi pada masa balita
semua ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti
Usia balita adalah masa emas dalam
kurangnya
pendidikan
dan
pengetahuan
pertumbuhan manusia. Pada masa inilah perlu
tentang pengasuh anak, penggunaan air yang
disiapkan segala instrument untuk mendukung
tidak bersih, lingkungan yang tidak sehat,
pertumbuhan dan perkembangannya untuk
keterbatasan akses ke pangan dan pendapatan
menghasilkan sumber daya manusia yang
yang rendah(2)
berkualitas di kemudian hari. Kualitas sumber
Saat ini pelayanan gizi untuk balita di
daya manusia menjadi salah satu asset yang
posyandu binaan puskesmas masih terfokus
penting dalam menjamin kemajuan suatu
pada masalah kekurangan gizi. Ketika para
negara. Jadi tidak berlebihan bila dikatakan
pemangku kepentingan dihadapkan pada data
bahwa balita yang sehat adalah aset berharga
bahwa di area kerjanya terdapat kejadian balita
bagi negara.
gizi buruk maka akan timbul kepanikan yang
Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat
perkembangan
anak
muda,
dengan dampak negatif yang akan berlangsung dalam
kehidupan
jika di area kerjanya terdapat banyak balita yang mengalami obesitas.
Studi
Overweight dan Obesitas kini mulai
menunjukkan bahwa anak pendek sangat
diterima sebagai salah satu masalah kesehatan
berhubungan dengan prestasi pendidikan yang
serius
buruk, lama pendidikan yang menurun dan
Pandangan
pendapatan
sesuatu
dewasa.
yang
selanjutnya.
sangat hebat. Namun tidak demikian halnya
rendah
Anak-anak
sebagai
negara-negara mengenai
yang
tidak
berkembang.
obesitas
sebagai
berbahaya,
walau
menghadapi
bagaimanapun, sudah tidak dapat diterima lagi,
kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh
mengingat bukti-bukti yang telah dikumpulkan
menjadi
selama 10 tahun terakhir memperlihatkan hal
orang
pendek
orang
di
dewasa
yang
kurang
berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit tidak menular. Oleh
sebaliknya (3) Fenomena
obesitas
pada
masa
karena itu, anak pendek merupakan prediktor
kanak-kanak semakin banyak kita jumpai di
buruknya kualitas sumber daya manusia yang
sekitar kita. Beberapa orang tua semakin
diterima
bangga bila anak mereka semakin gemuk. Tak
secara
menurunkan
luas,
kemampuan
yang
selanjutnya
produktif
suatu
bangsa di masa yang akan datang.
jarang orang tua berpikir bahwa kegemukan pada masa kanak-kanak menjadi indicator keberhasilan pola asuh mereka.
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
74
Obesitas
pada masa kanak-kanak
berat badan dibawah garis merah (BGM)
harus menjadi perhatian para professional
namun juga balita yang memiki berat badan
kesehatan karena kegemukan pada anak
diatas normal yang berpotensi mengarah ke
terjadi akibat adanya proliferasi sel
kondisi obesitas.
peningkatan
jumlah
sel
lemak
atau
(adiposit).
Jumlah tersebut tidak menurun bila anak
Masalah gizi anak usia sekolah
menjadi kurus dan jumlah adiposity tidak
Adapun masalah-masalah yang timbul
berubah seumur hidup. Sedangkan pada orang
pada kelompok umur usia sekolah, antara lain
dewasa, kegemukan terjadi karena adanya
defesiensi Fe dan seringnya jajan di sekolah
hiperplasi sel (ukuran adiposity bertambah,
sehingga dirumah anak tidak mau makan dan
selnya menjadi besar namun jumlah sel lemak
pada umumnya mereka tidak sarapan (makan
tetap). Karena itulah kegemukan yang terjadi
pagi), makan siang di luar rumah tidak teratur
pada masa kanak-kanak seringkali bersifat
sehingga tidak tercukupi kebutuhan gizinya.
menetap hingga dewasa.
Hal ini diperparah dengan
Obesitas pada masa anak dapat
kebiasaan mengkonsumsi makanan jajanan
meningkatkan kejadian diabetes mellitus (DM)
yang kurang sehat dengan kandungan kalori
tipe 2. Selain itu, juga berisiko untuk menjadi
tinggi tanpa disertai konsumsi sayur dan buah
obesitas pada saat dewasa dan berpotensi
yang cukup sebagai sumber serat. Anak yang
mengakibatkan
metabolisme
berusia 5-7 tahun merupakan kelompok yang
glukosa dan penyakit degeneratif seperti
rentan terhadap gizi lebih. Oleh karena itu,
penyakit
anak dalam rentang usia ini perlu mendapat
jantung,
gangguan
penyumbatan
pembuluh
darah dan lain-lain. (4)
perhatian dari sudut perubahan pola makan
Selain itu obesitas pada masa kanak-
sehari-hari
karena
makanan
yang
biasa
kanak juga berpotensi menurunkan kualitas
dikonsumsi sejak masa anak akan membentuk
intelegensia pada anak-anak yang dampak
pola kebiasaan makan selanjutnya.
jangka
panjangnya
adalah
menurunkan
Kurang vitamin A pada anak balita
kualitas SDM suatu bangsa. Hal ini disebabkan
dapat
menurunkan
daya
karena studi terbaru menunjukkan, orang yang
meningkatkan
obesitas memiliki jaringan otak 8 persen lebih
meningkatkan resiko kematian akibat infeksi.
resiko
tahan
kebutaan,
tubuh, dan
sedikit dibanding pada orang yang berat badannya normal. Akibatnya otak mengalami
Masalah gizi usia remaja
kemunduran sampai 16 tahun lebih tua
Remaja adalah anak yang berusia 10-
dibandingkan orang yang tak terlalu banyak
19 tahun. WHO mendefinisikan remaja sebagai
lemak. Orang gemuk memiliki jaringan otak
suatu masa dimana individu berkembang dari
empat persen lebih sedikit dan otaknya terlihat
saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda
lebih tua 8 tahun (5)
seksual sekundernya (pubertas) sampai saat ia
Beberapa hal diatas menjadi alasan
mencapai kematangan seksual. Pada masa ini
bahwa saat ini masalah krusial yang harus
individu mengalami perkembangan psikologi
dicermati pada tahapan
screening gizi di
dan pola identifikasi dari anak-anak menjadi
Posyandu bukan hanya balita yang memiliki
dewasa. Selain itu, terjadi peralihan dari
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
75
ketergantungan sosial dan ekonomi yang
menampilkan dirinya sesuai dengan nilai-nilai
penuh kepada orang tua menuju keadaan yang
yang dianut oleh kelompok sebayanya.
relatif sedikit lebih mandiri Pada
Masalah gizi dan kesehatan remaja terjadi
boleh jadi berawal pada usia yang sangat dini.
yang sangat
Gejala sisa infeksi dan mallnutrisi ketika kanak-
signifikan. Perubahan fisik ditandai dengan
kanak akan menjadi beban pada usia remaja.
pertumbuhan badan yang pesat (growth spurt)
Mereka yang dapat selamat dari penyakit diare
dan
Laju
dan infeksi kronis saluran nafas terkait dengan
pertumbuhan badan berbeda antara wanita dan
mallnutrisi semasa bayi tidak akan mungkin
pria. Wanita mengalami percepatan lebih dulu
tumbuh
dibandingkan
normal.
perubahan fisik
masa
dan psikis
matangnya
organ
pria.
ini
reproduksi.
Karena
tubuh
wanita
sempurna
menjadi
remaja
yang
dipersiapkan untuk reproduksi. Sementara pria
Ada tiga alasan mengapa remaja
baru dapat menyusul dua tahun kemudian.
dikategorikan rentan terhadap masalah gizi.
Pertumbuhan cepat ini juga ditandai dengan
Pertama,
pertambahan pesat berat badan (BB) dan tinggi
perkembangan tubuh memerlukan energi lebih
badan (TB). Pada masa ini pertambahan BB
banyak. Kedua, perubahan gaya hidup dan
wanita 16 gram dan pria 19 gram setiap
kebiasaan
harinya. Sedangkan pertambahan TB wanita
masukan
dan pria masing-masing dapat mencapai 15 cm
kehamilan, keikutsertaan dalam olah raga,
per tahun. Pertumbuhan remaja putra pada
kecanduan
usia 12-13 tahun dan mencapai puncaknya
meningkatkan kebutuhan energi dan zat gizi
percepatan
makan energi
pertumbuhan
menuntut dan
zat
alkohol
penyesuaian gizi.
dan
dan
Ketiga,
obat-obatan
pada usia 14 tahun dan selesai pada usia 19
Berbagai bentuk gangguan gizi pada
tahun. Pada masa ini remaja putra mengalami
usia remaja sering terjadi. Selain kekurangan
peningkatan massa otot, jaringan tanpa otot
energi dan protein anemia gizi dan defisiensi
dan tulang (6)
berbagai vitamin juga sering terjadi. Sebaliknya menyebabkan
juga masalah gizi lebih (overnutrition) yang
remaja membutuhkan asupan nutrisi yang lebih
ditandai oleh tingginya jangka obesitas pada
besar dari pada masa anak-anak. Ditambah
remaja terutama di kota-kota besar.
Pertumbuhan
fisik
lagi pada masa ini, remaja sangat aktif dengan
Berbagai
faktor
yang
memicu
berbagai kegiatan, baik itu kegiatan sekolah
terjadinya masalah gizi pada usia remaja
maupun olahraga. Khusus pada remaja putri,
antara lain adalah:
asupan nutrisi juga dibutuhkan untuk persiapan
1. Kebiasaan makan yang buruk
reproduksi. Perubahan
psikis
menyebabkan
Kebiasaan
makan
berpangkal
pada
yang
buruk
kebiasaan
yang makan
remaja sangat mudah terpengaruh oleh teman
keluarga yang juga tidak baik sudah
sebaya.
memperhatikan
tertanam sejak kecil akan terus terjadi pada
penampilan fisik untuk tampil menarik di depan
usia remaja. Mereka makan seadanya
teman-teman maupun lawan jenis mereka. Hal
tanpa mengetahui kebutuhan akan berbagai
tersebut menyebabkan remaja berusaha untuk
zat gizi dan dampak tidak dipenuhinya
Mereka
sangat
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
76
kebutuhan
zat
gizi
tersebut
terhadap
kesehatan mereka.
ibu hamil dapat meningkatkan resiko kematian waktu melahirkan, meningkatkan resiko bayi
2. Pemahaman gizi yang keliru
yang
dilahirkan
kurang
zat
besi,
dan
Tubuh yang langsing sering menjadi idaman
berdampak buruk pada pertumbuhan sel-sel
bagi para remaja terutama wanita remaja.
otak anak, sehingga secara konsisten dapat
Hal itu sering menjadi penyebab masalah,
mengurangi kecerdasan anak. Anemia pada
karena untuk memelihara kelangsingan
orang dewasa dapat menurunkan produktivitas
tubuh mereka menerapkan pengaturan
sebesar 20-30 persen.
pembatasan sehingga
makanan
kebutuhan
secara
gizi
keliru
Tingginya prevalensi Berat Bayi Lahir
tak
Rendah (BBLR) akibat tingginya prevalensi
mereka
terpenuhi.
Kurang Energi Kronik (KEK) pada ibu hamil.
3. Kesukaan
yang
berlebihan
terhadap
makanan tertentu
Pada
kondisi
gizi
buruk,
penurunan
produktivitas perorangan diperkirakan lebih dari
Kesukaan
yang
makanan
tertentu
berlebihan saja
terhadap
menyebabkan
kebutuhan gizi tak terpenuhi. Keadaan
10 persen dari potensi pendapatan seumur hidup
dan
secara
agregat menyebabkan
kehilangan PDB antara 2-3 persen (10))
seperti itu biasanya terkait dengan â&#x20AC;&#x2DC;modeâ&#x20AC;&#x2122;
Masalah gizi kurang juga dapat terjadi
yang tengah marak dikalangan remaja.
pada kelompok usia produktif, yang dapat
Masuknya produk-produk makanan baru
diukur dengan Lingkar Lengan Atas kurang dari
yang berasal dari negara lain secara bebas
23,5 cm (LILA < 23,5 cm). Ukuran ini
mempengaruhi
merupakan indikator yang menggambarkan
dianggap modern
kebiasaan
sebagai oleh
makan
lambang
para
dan
kehidupan
remaja.
resiko Kekurangan Energi Kronis (KEK).
Padahal
Selain KEK, pada kelompok usia
berbagai jenis fast food itu mengandung
produktif juga terdapat masalah kegemukan
kadar lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi
(IMT>25) dan obesitas (IMT>27).
disamping kadar garam
Masalah gizi mikro lain yang perlu
4. Promosi yang berlebihan melalui media massa Usia
mendapat perhatian adalah kurang seng (Zinc ) pada ibu hamil. Kekurangan seng (kandungan
remaja
merupakan
usia
dimana
seng
<7
mg/dl
serum
menyebabkan
Kondisi
kehamilan dan bibir sumbing pada bayi yang
pengusaha
dimanfaatkan makanan
oleh untuk
dilahirkan.
Sedangkan
resiko
dapat
mereka sangat tertarik pada hal-hal baru. tersebut
tingginya
darah)
besarnya
komplikasi
masalah
mempromosikan produk mereka dengan
kurang zat gizi mikro lainnya seperti asam folat,
cara yang sangat mempengaruhi remaja.
selenium, kalsium, vitamin C, dan vitamin B1
Padahal,
produk
sampai kini belum diketahui.
bukanlah
makanan
makanan yang
tersebut
sehat
bila
Pola hidup generasi dewasa muda saat
(7)
ini mengalami perubahan karena berbagai
dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan
macam hiburan, pertemuan dan kegiatanMasalah gizi usia produktif Kurang zat besi (anemia gizi besi) pada BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
kegiatan lain seringkali menuntut fisik untuk tidak aktif, seperti menonton televisi, film, 77
pertunjukkan
dan
lain
sebagainya.
Hal-hal yang menjadi pemicu timbulnya
Pertambahan penduduk menyebabkan makin
masalah gizi pada lansia adalah:
berkurangnya ruang terbuka dan fasilitas
1. Berkurangnya
umum
serta
Dengan
makanan
ketiadaan fasilitas olahraga yang nyaman dan
ompong.
memadai
fasilitas
ditambah
kesadaran
dan
olahraga.
dengan
motivasi
pengetahuan, yang
kurang
kemampuan
akibat
2. Berkurangnya
kerusakan
indera
mengakibatkan
mencerna gigi
atau
pengecapan
penurunan
sensitivitas
menyebabkan frekuensi untuk berolahraga
terhadap cita rasa manis, asin, asam, dan
sebagai salah satu bentuk aktivitas fisik juga
pahit.
semakin menurun.
3. Esophagus/kerongkongan
Meningkatnya
masalah
gizi
lebih
karena tingginya konsumsi makanan yang kaya karbohidrat, lemak, garam, rendah serat, kebiasaan merokok dan berkurangnya aktifitas
mengalami
pelebaran. 4. Rasa
lapar
menurun,
asam
lambung
menurun. 5. Gerakan usus atau gerak peristaltic lemah
fisik mengakibatkan gizi lebih merupakan salah
dan biasanya menimbulkan konstipasi.
satu penyebab penyakit degeneratif (tidak
6. Penyerapan makanan di usus menurun. (9)
menular). (8) Fungsi Masalah gizi usia lansia
Puskesmas
berdasarkan
Kepmenkes nomor 128 tahun 2004
Masalah gizi yang sering terjadi pada
Berdasarkan
keputusan
menteri
masa lansia adalah :
kesehatan RI nomor 128 tahun 2004 tentang
1. Gizi berlebih
Kebiajakan
Dasar
Pusat
Kesehatan
Gizi berlebih pada lansia banyak terjadi di
Masyarakat dapat dilihat bahwa puskesmas
negara-negara barat dan kota-kota besar.
memiliki 3 fungsi yaitu :
Hal ini disebabkan karena pada lansia
1. Pusat
penggunaan
energy
menurun
karena
Puskesmas berperan menggerakkan
2. Gizi kurang :
dan
kurang
sering
pembangunan
berwawasan kesehatan
berkurangnya aktivitas fisik.
Gizi
penggerak
disebabkan
memantau
penyelenggaraan
oleh
pembangunan lintas sektor termasuk oleh
masalah-masalah social ekonomi dan juga
masyarakat dan dunia usaha di wilayah
karena gangguan penyakit.
kerjanya,
3. Kekurangan vitamin
sehingga
berwawasan
serta
mendukung pembangunan kesehatan.
Bila konsumsi buah dan sayuran dalam
Disamping
itu
memantau
kekurangan
makanan
kesehatan dari penyelenggaraan setiap
berkurang,
program pembangunan di wilayah kerjanya.
akibatnya
nafsu
penglihatan penampilan
dalam makan
menurun, menjadi
kulit lesu
dan
melaporkan
aktif
makanan kurang dan ditambah dengan protein
dan
Puskesmas
dampak
kering,
Khusus untuk pembangunan kesehatan
tidak
upaya yang dilakukan puskesmas adalah
bersemangat.
mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
pencegahan
penyakit
tanpa 78
mengabaikan penyembuhan penyakit dan
meningkatkan
pemulihan kesehatan.
mencegah penyakit
2. Pusat pemberdayaan masyarakat Puskesmas
selalu
kesehatan
serta
2. Puskesmas sebagai pusat pelayanan
berupaya
agar
kesehatan perseorangan primer dimana
perorangan terutama pemuka masyarakat,
peran Puskesmas dimaknai sebagai
keluarga dan masyarakat termasuk dunia
gate keeper atau kontak pertama pada
usaha memiliki kesadaran, kemauan dan
pelayanan
kemampuan melayani diri sendiri dan
penapis rujukan sesuai dengan standard
masyarakat untuk hidup sehat, berperan
pelayanan medik.
kesehatan
formal
dan
aktif dalam memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta
Untuk menanggulangi masalah gizi
ikut menetapkan, menyelenggarakan dan
ganda,
memantau
pelaksanaan
program
mengedepankan fungsi pertama dan kedua
kesehatan.
Pemberdayaan
perorangan,
sebagai implementasi karena tindakan promotif
keluarga
dan
masyarakat
ini
dan
puskesmas
preventif
di
ranah
hendaknya
kesehatan
akan
diselenggarakan dengan memperhatikan
membuahkan hasil yang jauh lebih baik
kondisi
daripada tindakan kuratif yang merupakan
dan
situasi,
khususnya
social
budaya masyarakat setempat.
fungsi puskesmas yang ketiga.
3. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama Puskesmas
Tujuan
dasar
restrukturisasi
bertanggungjawab
Puskesmas adalah memperkokoh fungsi upaya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan
kesehatan masyarakat (UKM) serta upaya
tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu
kesehatan perorangan (UKP). Pengembangan
dan
UKM
berkesinambungan.
Pelayanan
dan
UKP
menjadi
sangat
penting
kesehatan tingkat pertama yang menjadi
utamanya untuk mendukung diberlakukannya
tanggungjawab
meliputi
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (SJSN)
pelayanan perorangan antara lain, rawat
mulai Januari 2014 serta penguatan layanan
jalan dan rawat inap serta, pelayanan
promotif dan preventif.
Puskesmas
kesehatan masyarakat yang bersifat public
Hingga kini masih sering dijumpai
dengan tujuan utama memelihara dan
pemandangan
meningkatkan kesehatan serta mencegah
masih berfokus pada pendekatan kuratif dari
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan
pada preventif. Beberapa analisa menyebutkan
penyakit dan pemulihan kesehatan. (10)
bahwa akar dari praktek tersebut antara lain
Artinya,
upaya
kesehatan
di
adalah
adanya
umum
dimana
persepsi
dari
Puskesmas
pengambil
Puskesmas dipilah dalam dua kategori
keputusan ditingkat kabupaten/kota bahwa
yakni :
layanan kuratif lebih memberikan kontribusi
1. Pusat pelayanan kesehatan masyarakat
yang berarti pada Pendapatan Asli Daerah
primer
yakni
puskesmas
sebagai
pemberi layanan promotif dan preventif dengan
sasaran
masyarakat
untuk
(PAD) Tambahan pula, persepsi masyarakat
kelompok
dan
yang masih menganggap Puskesmas hanya
memelihara
dan
sebagai penyedia pengobatan bagi orang sakit
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
79
atau sebagai fasilitas ‘orang sakit’ daripada fasilitas ‘menjadi sehat’. Paradigma sehat yang
4. Mengurangi aktivitas menonton televisi dan aktivitas duduk yang terlalu lama
selalu mengutamakan pendekatan promotif-
5. Meningkatkan kualitas tidur
preventif masih sangat sukar dipahami dan
6. Manajemen stress (12)
diadopsi masyarakat dan penyedia layanan di Puskesmas.
Tindakan
Paradigma Puskesmas
penyedia
masih
penyembuhan
layanan
berfokus
dan
pemulihan
di
pada dengan
yang
bisa
dilakukan
puskesmas sebagai salah satu
upaya
mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional
adalah mendorong
penekanan pada kuratif –rehabilitative, dan
kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan
paradigma ini sudah melekat kuat sehingga
masyarakat di wilayah kerjanya. Hal ini sejalan
tidak mudah tergantikan. Idealnya, peran
dengan salah satu fungsi puskesmas yaitu
Puskesmas sebagai gate keeper atau penyedia
sebagai pusat pemberdayaan masyarakat.
layanan
kesehatan
primer
yang
mampu
Dalam rangka meningkatkan cakupan
menggeser paradigma sakit yang ada dengan
pelayanan
mengedepankan paradigma sehat.
berbagai
Disisi lain, komposisi tenaga kesehatan
kesehatan
kepada
upaya
masyarakat
dilakukan
dengan
memanfaatkan potensi dan sumber daya yang
di Puskesmas diberbagai wilayah di Indonesia,
ada
pada umumnya masih jauh dari standar
bersumber
KEPMENKES No. 81 tahun 2004 tentang
diantaranya adalah Posyandu, Polindes, dan
Pedoman Penyusunan Sumber Daya Manusia
Pos Obat Desa (POD).
(SDM)
Kesehatan.
masyarakat. daya
Upaya
kesehatan
masyarakat
(UKBM)
profesional
Beberapa usulan kegiatan yang bisa
kesehatan yang beriorientasi pada kegiatan
dilakukan puskesmas berdasarkan fungsinya
promotif & preventif seperti ahli gizi, sanitarian
terutama
dan, analis kesehatan masih sangat minim.
prevalensi gizi ganda menyangkut fungsinya
Terbukti
sebagai
dari
hasil
Tenaga
di
survey
terbaru
yang
dalam
pusat
upaya
meminimalisir
penggerak
pembangunan
dilakukan Prof. Ascobat Gani di Nusa Tenggara
berwawasan
Timur (NTT) menemukan bahwa di sejumlah
pemberdayaan masyarakat adalah sebagai
kabupaten yang memiliki angka prevalensi
berikut :
busung lapar dan diare yang cukup tinggi tidak
1. Mengaktifkan
memiliki tenaga ahli gizi dan sanitarian.
(11)
kesehatan
dan
fungsi
pusat
Polindes
yang
merupakan salah satu bentuk peran serta
Tindakan yang bisa dilakukan untuk
masyarakat dalam rangka mendekatkan
meminimalisir angka kejadian obesitas adalah:
pelayanan kebidanan melalui penyediaan
1. Memilih bahan makanan dan minum yang
tempat
pertolongan
persalinan
sehat (biji-biian utuh, sayuran, buah, ikan,
pelayanan
dll)
termasuk keluarga berencana. Kegiatan
2. Membatasi asupan makanan yang tidak sehat
(gula,
minyak,
daging
merah,
makanan awetan, dll) 3. Membiasakan olah raga teratur BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
kesehatan
ibu
dan
dan anak
yang bisa dilakukan di Polindes adalah : a. Melakukan kesehatan pengecekan
pemeriksaan ibu
hamil
kadar
kondisi termasuk
Hb
untuk 80
meminimalisir kejadian anemia pada ibu hamil
5. Melalui
dinas
kesehatan
berkoordinasi
dengan dinas pertanian dan peternakan
b. Melakukan edukasi kepada ibu hamil tentang
pentingnya
pemberian
ekslusif
selama
bulan
untuk
mendukung
program
ketahanan
pertama
pangan (SKPG = Sistem Kewaspadaan
kehidupan bayi karena ASI memiliki
Pangan dan Gizi) terutama di pedesaan
faktor protector terhadap resiko obesitas
yang masih lahan produktif dan di daerah
c. Melakukan
6
ASI
untuk memanfaatkan tanah pekarangan
melalui
perkotaan dengan pemanfaatan lahan tidur.
kegiatan
6. Edukasi kepada kader untuk menciptakan
Antenatal Care (ANC) kepada ibu hamil
inovasi resep masakan baru berdasarkan
di area kerjanya.
bahan
pencatatan
dokumentasi dan
pelaporan
makanan
yang
tersedia
di
2. Edukasi kepada orang tua untuk memiliki
wilayahnya dan mengakomodir kearifan
pola hidup sehat sehingga bisa menjadi role
local untuk memanfaatkan bahan pangan
models bagi anak-anak dan waktunya bisa
lokal sebagai PMT saat kegiatan Posyandu
dikoordinasikan dengan pihak sekolah saat
dan bila perlu bekerja sama dengan
pengambilan raport siswa.
produsen
Salah satu hal yang harus menjadi perhatian
menjadikan kegiatan ini menjadi suatu
adalah edukasi kepada orang tua untuk
entertainment
lebih bijak dalam mengatur waktu bagi anak-
dengan
anak dalam pemanfaatan media komunikasi
menghadirkan narasumber kuliner.
visual maupun gadget.
bahan
TOGA
yang
menarik
memberikan
7. Mengaktifkan
3. Melakukan penyuluhan tentang makanan
makanan
kembali
(Taman
Obat
untuk
semisal
doorprize
atau
pembudidayaan Keluarga)
di
sehat dan upaya untuk menjaga hygiene
pekarangan atau lahan tidur sehingga
sanitasi perorangan ke sekolah dan PAUD
tercipta Warung Obat Desa (WOD) yang
yang
dan
merupakan wujud peran serta masyarakat
berkoordinasi dengan pihak sekolah untuk
dalam hal pengobatan sederhana, terutama
membuka kantin sehat untuk memberikan
untuk penyakit yang sering terjadi pada
edukasi secara nyata tentang makanan
masyarakat setempat. Kegiatan ini harus
sehat bagi para siswa.
terus dipupuk keaktifannya dan tidak hanya
berada
di
area
kerjanya
4. Berkoordinasi dengan pihak terkait untuk melakukan edukasi tentang hygiene sanitasi
digiatkan
saat
menjelang
perlombaan
lingkungan sehat.
dan keamanan pangan serta pemantauan
8. Menggerakkan partisipasi aktif masyarakat
kualitas produk secara berkala ke home
untuk mengoptimalkan cakupan Posyandu
industry pangan di wilayah kerjanya dan
sebagai informasi awal temuan kejadian
melalui dinas
kurang gizi dan obesitas pada balita.
kesehatan, mengusulkan
koordinasi dengan dinas deperindag untuk mencabut
Posyandu juga merupakan salah satu bentuk
ijin produksi dan ijin edar
UKBM yang paling dikenal oleh masyarakat.
makanan jajanan yang tidak sehat atau
Posyandu menyelenggarakan minimal 5
mengandung bahan tambahan makanan
program prioritas yaitu kesehatan ibu dan
yang berbahaya.
anak, keluarga berencana, perbaikan gizi,
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
81
imunisasi dan penanggulangan diare. 9. Melakukan
edukasi
kegiatan
ini
bermaksud
kesehatan
untuk menggerakkan peran serta masyarakat
reproduksi pada anak usia remaja sehingga
dalam menciptakan lingkungan yang bersih
diharapkan bisa menekan angka kehamilan
dan sehat untuk menunjang upaya peningkatan
yang tidak diinginkan pada usia dini
kesehatan untuk menunjang Perilaku Hidup
10. Melakukan
tentang
Kesemua
edukasi
dan
pemeriksaan
Bersih dan Sehat (PHBS) yang merupakan
kesehatan secara berkala pada kelompok
program utama kesehatan lingkungan yang
masyarakat yang memiliki resiko tinggi
harus dilakukan Puskesmas meliputi:
penyakit infeksius dan non infeksius misal di
a. Penyehatan air semisal kegiatan abatisasi
area lokalisasi
pada KLB DBD dan Kaporisasi pada sumur-
11. Melakukan penyuluhan tentang kesehatan
sumur yang tercemar pada KLB diare
kerja pada kelompok usia produktif yang
b. Penyehatan makanan dan minuman
bekerja di sector industry yang rawan
c. Pengawasan
terhadap
gangguan
kesehatan
dan
pengadaan kantin makanan sehat bagi para pekerja
pembuangan
kotoran
mannusia d. Pengawasan dan pembuangan sampah dan limbah
12. Berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menciptakan
peningkatan
di
bidang
e. Penyehatan pemukiman f. Pengawasan sanitasi tempat umum
ekonomi semisal gerakan one village one
g. Pengamanan polusi industri
product sehingga akan mengurangi angka
h. Pengamanan pestisida
urbanisasi karena salah satu penyebab
i. Klinik sanitasi
tingginya angka kejadian gizi buruk adalah pola pengasuhan anak yang tidak tepat
Dengan
diberlakukannya
Sistem
karena ditinggal orang tuanya bekerja di
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada bulan
kota
Januari 2014 mendatang, diharapkan akan
13. Menggerakkan
komunitas
terjadi perubahan pada sistem pembiayaan
masyarakat dalam membentuk posyandu
Puskesmas. Dalam konteks tersebut maka
lansia dalam upaya peningkatan kualitas
pembiayaan Puskesmas akan didukung oleh
hidup dan kemandirian bagi para lansia
dana kapitasi dari Badan Penyelenggara
14. Koordinasi dengan pejabat setempat untuk
Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS-K). Artinya,
menyediakan sarana dan prasarana untuk
Puskesmas harus siap dan mampu mengelola
mengakomodir
raga
dana kapitasi tersebut demi pemenuhan SJSN
dan memberikan informasi
sekaligus sebagai masukan manfaat bagi
masyarakat
peran
serta
aktivitas
olah
kepada dinas kesehatan tentang kebutuhan
Puskesmas.
sarana dan prasarana yang diperlukan masyakarat
serta
menjalin
Peran
puskesmas
dalam
upaya
kerjasama
tindakan promotif dan preventif harus lebih
dengan pihak swasta untuk mendukung
ditingkatkan sehingga saat system kesehatan
upaya peningkatan sarana dan prasarana
nasional menerapkan system kapitasi maka
kesehatan masyarakat
akan
tercapai
suatu
kondisi
bilamana
masyarakat sehat dan sejahtera, maka salah BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
82
satu imbasnya adalah peningkatan financial
3. Khomsan, Ali (2004). Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Jakarta.
para pengawak puskemas.
PT Grasindo Anggota Ikapi. 3.
KESIMPULAN
4. Sjarif D. (2004). Anak gemuk, apakah
1. Saat ini Indonesia mengalami masalah gizi ganda
yaitu kekurangan dan
2. Masalah gizi ganda berpotensi besar kualitas
SDM
suatu
Jakarta:
Divisi
anak
dan
penyakit metabolic. FKUI: Jakarta 5. Haris,
kelebihan gizi.
menurunkan
sehat?
Salim.
(2008).
Pengaruh
Gangguan Kognitif pada Lanjut Usia. Avaliable
From
:
http:/www.perdossi.or.id.
bangsa 3. Puskesmas sangat
memiliki
berperan
yang
6. http://ichikawai.wordpress.com/2013/0
dalam
2/25/gizi-pada-wanita-remaja-dan -
fungsi besar
menangani masalah gizi ganda di
dewasa sitasi tanggal 20 September
Indonesia
2013
4. Penanganan gizi ganda memerlukan
7. Jafar N. 2012. Repository.unhas.ac.id Perilaku gizi seimbang pada remaja
kerjasama lintas sektoral
8. http://www.bappenas.go.id/files.pdf sitasi tanggal 20 September 2013 4.
SARAN
9. http://resources.unpad.ac.id/unpadcon
Puskesmas harus bisa berperan aktif dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk mengupayakan kesehatan secara optimal Peran
puskesmas
dalam
upaya
tindakan promotif dan preventif harus lebih
tent/uploads/publikasi_dosen.pdf 10.Kepmenkes no 128 tahun 2004 tentang Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat 11.http://aiphss.org/restoring-the-function-
ditingkatkan untuk penanganan masalah gizi
of-puskesmas Publish date July 26th,
ganda.
2013, sitasi tanggal 20 September
Puskesmas
bermetamorfosis
dengan
harus
mulai
menggeser
paradigma sakit yang ada saat ini berubah menjadi mengedepankan paradigma sehat
2013 12.http://www.hsph.harvard.edu/obesityprevention-source/obesity-prevention/ sitasi tanggal 14 September 2013
5.
DAFTAR PUSTAKA 1. Dewi Sartika. 2011. Jjournal.ui.ac.id/ health/article/download/, Factor resiko obesitas pada anak 5-15 tahun di Indonesia sitasi tanggal 20 September 2013 2. http://www.unicef.org/indonesia/id/A6_ -_B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf sitasi tanggal 20 September 2013
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari â&#x20AC;&#x201C; Juli 2014
83
BIMGI Volume 2 No.2 | Januari – Juli 2014
84