SUSUNAN PENGURUS BOARD OF TRUSTEE dr. Endang L. Achadi, MPH, Dr PH (Universitas Indonesia)
Fillah Fithra Dieny, S. Gz, M.Si (Universitas Diponegoro)
PIMPINAN UMUM
TIM REDAKSI Ayu Prieska Priscila Universitas Indonesia Azwar Burhan Universitas Hasanuddin Shabira Utami Institut Pertanian Bogor Elok Sekarini Stikes Surabaya Dimas Pradipta P Universitas Respati Yogya Zumrah Hatma Universitas Hasanuddin Santi Jaelani Universitas Indonesia
Rudianto Universitas Hasanuddin
SEKRETARIS Cahyuning Isnani Institut Pertanian Bogor
BENDAHARA Wardatul Ashifia Universitas Brawijaya
PIMPINAN REDAKSI Fadilla Anjani Universitas Indonesia
TIM HUMAS Mief Qur’ani S Universitas Brawijaya Hoiriyah STIKES Surabaya Alexandra Tatgyana S Universitas Indonesia Damelya Patricia D Universitas Hasanuddin Fortunella STIKES Surabaya Adinda Rizki Pemb. Veteran Mardhiati Universitas Hasanuddin Sarinah Institut Pertanian Bogor
TIM LAYOUT M. Firman Alamsyah Institut Pertanian Bogor Anneke Wulansari Universitas Brawijaya Karina Muthiah Santi Universitas Brawijaya
II
DAFTAR ISI
ISSN : 2303-3932
Susunan Pengurus................................................................................................................................... Daftar Isi...................................................................................................................................................... Petunjuk Penulisan................................................................................................................................ Sambutan Pimpinan Umum...............................................................................................................
ii iii iv ix
PENELITIAN Uji Daya Terima Terhadap Olahan Produk Lawa Bale (Makanan Tradsional Sulawesi Selatan) Astri Ayu Novaria1
..................................................................................................................................................................................................................................
1
Karakteristik Kimia dan Mikrobiologi Kefir Air Pada Berbagai Suhu dan Kerapatan Fermentasi Lina Lidia1 dan Neneng Sugiharti1
..................................................................................................................................................................................................................................
9
Perbedaan Proporsi Sindrom Metabolik Pada Guru Sekolah Dasar Obes Sentral dan Non-Obes Sentral Berdasarkan Lingkar Perut Qonita Rachmah1
..................................................................................................................................................................................................................................
19
Biskuit Moringa Ria Sebagai Suatu Strategi Penanggulangan Gizi Kurang dan Gizi Buruk pada Balita Miskin Berbasis Masyarakat Rudianto,1 Ainum Jhariah Hidayah,2 Irma Ariany Syam3 ..................................................................................................................................................................................................................................
27
ADVERTORIAL Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut: Pengembangan Diversifikasi Pangan Guna Memanfaatkan Potensi Lokal Sulawesi Selatan Ainum Jhariah Hidayah,1 Irma Ariany Syam,2 Sri Rahayu Indah S3
.................................................................................................................................................................................................................................. 33
Efektivitas Kinerja Millenium Development Goals Dalam Rangka Penurunan Tingkat Kematian Anak di Indonesia Novi Luthfiana Putri1
.................................................................................................................................................................................................................................. 41
Genetik, Obesitas, Dan Teori Relativitas Berat Badan Andi Imam Arundhana1, Asry Dwi Muqni2 .................................................................................................................................................................................................................................. 51
III
PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) Indonesian Nutrition Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia (BIMGI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMGI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan kelompok bidang ilmu gizi dasar, ilmu gizi terapan, gizi masyarakat, gizi klinis, pendidikan gizi, biokimia gizi, ilmu pangan, sanitasi dan ketahanan pangan, nutrigenomik, serta artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu gizi dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa ilmu gizi.
Kriteria Artikel 1. Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu gizi, ilmu pangan, kesehatan masyarakat, dan ilmu gizi dasar. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan teks (pendahuluan, metode, hasil, pembahasan/diskusi, kesimpulan, dan saran). 2. Tinjauan pustaka: tulisan artikel review/sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia gizi, ditulis dengan memerhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca. 3. Laporan kasus: artikel tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Artikel ini ditulis sesuai pemeriksaan, analisis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi ilmu gizi. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4. Artikel penyegar ilmu gizi: artikel yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia pangan, gizi, dan atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Artikel bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau gizi yang perlu diketahui oleh pembaca. 5. Editorial: artikel yang membahas berbagai hal dalam dunia pangan, gizi dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar gizi, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang pangan dan gizi, lapangan kerja sampai karir dalam dunia pangan dan gizi. Artikel ditulis sesuai kompetensi mahasiswa ilmu gizi. 6. Petunjuk praktis: artikel berisi panduan analisis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa ilmu gizi). 7. Advertorial: artikel singkat mengenai ilmu pangan dan gizi, kesehatan dan atau kombinasi terbaru, beserta penelitian, dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.
IV
Petunjuk Bagi Penulis 1. BIMGI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris yang baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas. Naskah diketik di atas kertas A4 dengan dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi. Ketikan tidak dibenarkan dibuat timbal balik. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Batas atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2.5 cm. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman. 3. Naskah harus diketik dengan komputer dan harus memakai program Microsoft Word. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksibimgi@bimkes.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul karangan (Title) 2. Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution) 3. Abstrak (Abstract) 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (Introduction) - Metode (Methods) - Hasil (Results) - Pembahasan (Discussion) - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan (Reference) 6. Judul ditulis dengan huruf besar, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan anak judul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. 7. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 8. Abstrak harus dibuat dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul makalah dan nama penulis. V
9. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 10. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 11. Tabel 12. Gambar 13. Metode statistik 14. Ucapan terima kasih 15. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat 1. Artikel dalam jurnal i.
Artikel standar Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
Suatu organisasi sebagai penulis The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. Tanpa nama penulis Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. Volum dengan suplemen Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. Edisi dengan suplemen Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. Volum dengan bagian Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in non-insulin VI
viii.
ix.
x.
xi.
dependent diabetes mellitus. Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. Edisi dengan bagian Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. Edisi tanpa volum Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4. Tanpa edisi atau volum Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33. Nomor halaman dalam angka Romawi Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.
2. Buku dan monograf lain i.
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
Penulis perseorangan Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. Editor, sebagai penulis Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; 1996. Organisasi dengan penulis Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. Bab dalam buku Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. Prosiding konferensi Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996. Makalah dalam konferensi Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5. VII
vii.
Laporan ilmiah atau laporan teknis 1. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor : Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. 2. Diterbitkan oleh unit pelaksana : Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National Academy Press; 1995. Contract no.: AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research.
viii.
ix.
x.
Disertasi Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. Artikel dalam Koran Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). Materi audiovisual HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995.
3. Materi elektronik i.
ii.
iii.
Artikel journal dalam format elektronik Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm Monograf dalam format elektronik CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995. Arsip computer Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993.
VIII
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Salam sehat luar biasa untuk seluruh mahasiswa gizi Indonesia Alhamdulillah, dengan rahmat Allah SWT. Akhirnya BIMGI kembali berinovasi menyajikan jurnal elektronik yang merupakan kumpulan artikel ilmiah dari mahasiswa gizi Indonesia. BIMGI yang merupakan bagian dari BIMKES (Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Indonesia) adalah wadah bagi mahasiswa gizi untuk mempublikasikan karya ilmiahnya. BIMGI merupakan jurnal elektronik mahasiswa gizi yang pertama dan satu-satunya di Indonesia. sejak pertama kali digagas, BIMGI sudah eksis diberbagai universitas anggota ILMAGI. Salah-satu bukti dari eksistensi BIMGI adalah antusiasme mahasiswa gizi yang mengirimkan artikelnya melebihi target yang telah ditentukan. BIMGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa Gizi Indonesia) volume 2 edisi 1 kali ini berisi tujuh artikel penelitian dari berbagai mahasiswa gizi Indonesia. Ketujuh artikel tersebut merupakan hasil seleksi yang dilakukan oleh tim redaksi BIMGI. Kami menyadari bahwa salah-satu faktor utama yang mendorong kesuksesan dalam menerbitkan jurnal ilmiah adalah kualitas dari artikel-artikel yang dimuat. Untuk itu, kami berusaha untuk menyajikan artikel-artikel yang berkualitas yang mampu menjawab isu isu terkini dan permasalahan yang ada di masyarakat.Untuk itu kami berharap bahwa edisi BIMGI kali ini, mampu memberikan informasi-informasi ilmiah terkait kesehatan dan gizi. Kesuksesan BIMGI dalam menyusun jurnal ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu kami ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penerbitan jurnal elektronik ini. Kritik dan saran senantiasa kami nantikan demi menciptakan edisi jurnal yang lebih baik lagi.
Pimpinan Umum Rudianto
IX
Penelitian
UJI DAYA TERIMA TERHADAP OLAHAN PRODUK LAWA BALE (MAKANAN TRADSIONAL SULAWESI SELATAN) Astri Ayu Novaria
1
1
Prodi lmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
ABSTRAK Makanan tradisional di Sulawesi Selatan beraneka ragam salah satunya Lawa Bale yang dibuat dari ikan mentah dimasak dengan proses rendaman cuka atau blansir. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan teri. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui daya terima terhadap tiga formula Lawa Bale makanan tradisional dari segi warna, tekstur, aroma dan rasa. Dari beberapa formula Lawa Bale yang terdapat di rumah makan, setelah dilakukan observasi, didapatkan tiga resep sebagai sampel yang akan diuji yaitu formula A menggunakan rendaman cuka 20 menit, penambahan o kelapa sangrai, dan sedikit garam, formula B diberi perlakuan blansir dengan suhu 70 C, perendaman jeruk nipis 2 menit, penambahan kelapa sangrai dan pemberian garam sedikit, serta formula C diberi o pula perlakuan blansir dengan suhu 70 C, diberi air asam jawa, lalu penambahan jantung pisang, kelapa sangrai dan pemberian sedikit garam. Pada penilaian uji daya terima, penilaian yang dilakukan berdasarkan skor dan selanjutnya diolah untuk melihat rata-rata nilai perbedaan antara ke tiga formula baik dari segi warna, aroma, tekstur, rasa serta nilai perbedaan yang diperoleh dari uji kruskal-wallis. Hasil yang didapatkan bahwa formula yang paling disukai adalah formula B walaupun dari segi harga yang lebih murah adalah formula C dibandingkan dengan formula A maupun B. Oleh karena itu, masyarakat disarankan untuk memilih formula B untuk segi rasa dan dari segi ekonomis untuk memilih formula C. Kata kunci: uji daya terima,Lawa Bale, makanan tradisional
ABSTRACT Traditional foods in south sulawesi variegated one of them made Lawa Bale of raw fish cooked in vinegar or blansir, the process of marinade. The fish that is commonly used anchovy. The study is done to know the power of receipt of three formulation Lawa Bale traditional foods , in terms of color texture , the smell and taste . Of some formula Lawa Bale in a restaurant after the observation then obtained three recipes as a sample to be tested using the formula A vinegar marinade, adding 20 minutes to toast the coconut, and a little salt, formula B was given preferential treatment blansir with o the temperature of 70 C, soaking lemon 2 minutes, adding coconut toast and the granting of the salt a o bit, as well as a formula C was also blansir treatment with temperature 70 C tamarind water, are given, then the addition of banana, toast the coconut and the granting a bit of salt, on the assessment of the power test is done on the basis of assessment received the score and then processed to see the average value of the difference between the three formulas both in terms of color, aroma, texture, flavor and value differences obtained from kruskal-wallis test. The result obtained was that formula most favored formula B although in terms of a lower price is formula C compared with formula A and B. So, the public is advised to choose the formula B for in terms of taste and in terms of economical to choose the formula C. Keywords : the resources received, Lawa Bale, tradisional foods
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
1
1. PENDAHULUAN Preferensi
Oleh karena itu, untuk menaikkan nilai di mata terbentuk
persepsi
masyarakat perlu adanya pemanfaatan ikan teri
terhadap suatu produk. Preferensi adalah derajat
sebagai produk olahan pangan yang memiliki
kesukaan, pilihan, atau sesuatu hal yang lebih
nilai tambah yang tinggi.
disukai oleh konsumen.
dari
1
tradisional
di
Beberapa makanan
Sulawesi
selatan
diolah
Preferensi juga dapat diartikan sebagai
mengunakan teknik pengasaman, seperti lawa
tingkatan kesukaan. Tingkat kesukaan yang
teri yang hanya dimatangkan dengan air cuka
dimaksud yaitu secara kualitas dan atau bila
atau
dibandingkan dengan tingkat kesukaan terhadap
Pembuatan Lawa Bale yang
sesuatu yang lain.
2
air
ikan
Suatu makanan tidak akan disukai bila belum pernah dicoba. Selain itu, suatu makanan
teri
terlalu
pengolahan
proses
pemasakan.6
berbahan
salah
baku
satu alternatif
ikan teri
sebagai
produk pangan. Lawa Bale adalah makanan khas suku
dikonsumsi,
bugis dan Makassar yang berbahan dasar dari
menyebabkan alergi atau reaksi fisiologis, dan
ikan teri yang masih segar (mentah). Proses
berhubungan dengan efek penyakit setelah
pembuatannya tidak sulit dan bahan-bahannya
mengkonsmsinya. Sikap suka atau tidak suka
mudah didapatkan. Adapun Lawa Bale yang
terhadap pangan hanyalah salah satu alasan
paling sering dikonsumsi masyarakat Sulawesi
yang membentuk preferensi pangan. Preferensi
Selatan terkhusus suku bugis adalah Lawa Bale
pangan lebih menunjuk pada keadaan ketika
dengan kelapa sangrai, sedangkan Lawa Bale
seseorang harus melakukan pilihan terhadap
jantung pisang adalah modifikasi dari Lawa Bale
pangan dengan menunjukkan reaksi penerimaan
dengan menambahkan jantung pisang. Oleh
hedonik atau rasa makanan yang data diukur
karena itu, penulis tertarik untuk meneliti uji daya
secara
terima dari Lawa Bale dengan menggunakan tiga
verbal,
ekspresi wajah.
dengan
biasa
tanpa
merupakan
diversifikasi
bisa tidak disukai jika setelah dicoba terasa membosankan,
jeruk
skala atau dengan
3
variasi sebagai alternatif makanan pokok yang
Penampilan makanan ketika disajikan
dapat dibuat sendiri di tingkat rumah tangga
dapat mempengaruhi selera makan. Faktor-faktor
khususnya bagi masyarakat yang menyukai
yang menentukan penampilan makanan antara
makanan tradisional.
lain warna, tekstur, bentuk, konsistensi dan rasa makanan.
4
2. METODE
Ikan merupakan sumber protein hewani utama
dalam
menu
diseluruh
terutama bagi penduduk yang kurang mampu.5 Indonesia merupakan salah satu negara maritim terbesar
di dunia dengan hasil
laut yang
melimpah. Salah satu contoh hasil tianyak dihasilkan
di daerah
laut yang
pesisir
pantai
lndonesia adalah ikan: diantaranya ikan teri. lkan
teri kebanyakan dikonsumsi oleh
kalangan masyarakat menengah
2
2.1 Lokasi Penelitian
Indonesia,
ke
bawah.
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kuliner Lanjut Fakultas Kesehatan Masyarakat. Alasan pemilihan laboratorium kuliner lanjut adalah
salah
satunya
dikarenakan
proses
penilaian terhadap uji daya terima yang akan dilakukan rus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
6
Pengujian
dilakukan
dalam
bilik
pencicip, suasana, dan peralatan serta sarana. Bilik pencicip ditujukan untuk memberikan sekat B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan menghindari adanya komunikasi antara
akan menilai proses uji daya terima ini harus
setiap panelis. Suasana yang diharapkan dalam
memenuhi kriteria inklusi maupun eksklusi.\
pengujian daya terima sama yang dirasakan oleh setiap panelis. Peralatan dan sarana pada laboraorium
kuliner
lanjut
telah
2.4 Pengumpulan Data
memenuhi
Data awal dikumpulkan oleh petugas dari
standarisasi alat dan lengkap untuk mendukung
proses
wawancara
untuk
memenuhi
syarat
uji daya terima ini.
kriteria inklusi dan kriteria ekslusi panelis yang akan menilai dalam proses uji daya terima ini.
2.2 Desain dan Variabel Penelitian
Kriteria inklusi yang harus dipenuhi adalah
Jenis penelitian yang digunakan adalah
panelis setidaknya pernah mengonsumsi Lawa
penelitian analitik dengan desain case control
Bale, terdiri dari mahasiswa angkatan 2008 dan
design. Penelitian ini menggunakan metode
2009 (telah melewati proses perkuliahan kuliner
analitik
laboratorium,
dasar maupun lanjut), tidak memiliki alergi
menggunakan tiga perlakuan masing-masing
terhadap ikan, masih mempunyai alat indera
formulasi dengan dua kali pengulangan (Duplo).
pengecap
Penelitian dilakukan
dijadikan panelis. Kriteria ekslusi yaitu panelis
dengan
analisa
pada dua tahap yaitu
yang
baik,
dan
dilakukan pembuatan Lawa Bale berdasarkan
tidak
hasil observasi formula Lawa Bale di berbagai
terhadap uji daya terima ini.
Rumah Makan dan uji daya terima pada setiap
bersedia
Data
untuk
bersedia
melakukan
selanjutnya
untuk
penilaian
diperoleh
dari
produk olahan Lawa Bale. Variabel dalam
karakteristik panelis dan penilaian yang telah
penelitian ini adalah Lawa Bale sebagai variabel
dilakukan pada saat proses penilaian dengan
dependen dan uji daya terima sebagai varibel
menilai empat faktor yang diujikan, yaitu warna,
independen.
tekstur, aroma dan rasa.
2.3 Populasi dan Sampel Penelitian
2.5 Analisis Data
Populasi adalah Lawa Bale yang ada di
Data
yang
telah
dikumpulkan
Makassar. Pemilihan sampel ditarik berdasarkan
dimasukkan kedalam komputer menggunakan
observasi yang sebelumnya telah dilakukan.
software SPSS 16,0 dan microsoft excel. Data
Pemilihan sampel ditentukan dengan
yang dimasukkan ke dalam komputer adalah
resep yang dapat diperoleh untuk diuji cobakan
skor penilaian yang dilakukan panelis. Skor yang
dalam uji daya terima ini. Proses pengambilan
diberikan adalah 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 =
sampel dalam hal ini resep Lawa Bale dilakukan
agak suka, 2 = kurang suka, dan 1 =tidak suka.
dengan pendekatan personal agar resep asli dari
Data diolah untuk melihat rata-rata tingkat
rumah makan yang telah diobservasi dapat
kesukaan terhadap empat faktor yang dinilai
diberikan.
yaitu warna, tekstur, aroma, dan rasa, agar dapat
Proses
terima
dilihat perbedaan untuk setiap formula dari segi
dilakukan oleh 20 panelis semi terlatih, yaitu
rata-rata skor yang diberikan. Selanjutnya data
panelis
untuk
hasil penilaian uji daya terima dikonversikan juga
Panelis yang
ke uji kruskal-wallis untuk melihat perbedaan
yang
penilaian
uji
daya
sebelumnya
mengetahui sifat-sifat tertentu.
dilatih 6
yang signifikan antara tiga formula yang diujikan.
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
3
Formula pertama menggunakan rendaman cuka
arasa, aroma, dan tekstur adalah formula B,
dan penambahan kelapa sangrai, jeruk nipis, dan
selanjutnya formula C dan terakhir yang disukai
sedikit garam, formula dua diberi perlakuan
adalah formula A.
blansir setelah itu diberi rendaman jeruk nipis
Tabel 2. Rata-rata Skoring Menurut Kriteria Uji
dan penambahan kelapa sangrai dan sedikit
Tingkat Kesukaan Pada ke-3 Formula Lawa
garam, serta formula tiga diberi juga perlakuan
Bale
blansir lalu direndam dengan air asam jawa kemudian
diberi
tambahan
jantung
pisang,
kelapa sangrai dan sedikit garam. Penilaian untuk melihat perbedaan dari tingkat kesukaan untuk
setiap
produk
formula
Lawa
Bale
Karakteristik Uji Kesukaan Warna Tekstur Aroma Rasa
Rata-rata Skoring Formula Lawa A B C 3,275 3,525 3,425 3,15 3,45 3,325 3,125 3,525 3,25 2,775 3,45 3
diimbangi pula dengan dihitung unit cost harga setiap formula per 100 gram.
3.3 Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula Lawa Bale
3. HASIL
Rata-Rata Keseluruhan Untuk 3 Formula
3.1 Karakteristik Panelis
Lawa Bale dapat dilihat pada Tabel 3. Terlihat
Karakteristik panelis dapat dilihat pada
rata-rata skoring untuk tiap kriteria uji tingkat
Tabel 1. Terlihat pada jumlah panelis yang
kesukaan diperoleh hasil bahwa pada formula B
menilai pada uji daya terima ini sebanyak 20
lebih disukai para panelis dibandingkan dengan 2
orang yaitu 2008 terdiri dari 16 orang (80%) dan
formula lainnya setelah dilakukan pengulangan
2009
percobaan 2 kali. Formula yang paling disukai
(20%)
perbandingan
jenis
kelamin
perempuan berbanding laki-laki yaitu 17:3.
adalah formula yang diberi perlakuan blansir
Tabel 1. Karasteristik Panelis Uji Daya
kemudian direndam perasan jeruk nipis, setelah
Terima Lawa Bale
ditiriskan selama 2 menit lalu dicampur dengan
Karakteristik Panelis Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Angkatan 2008 2009
kelapa sangrai dan garam.hal ini dikemukakann N=20 17 3
% 85 15
oleh beberapa panelis, bahwa formula Lawa Bale
16 4
80 20
Dan yang disukai diurutan kedua adalah formula
yang B dilihat dari warna, aroma, tekstur, dan rasa lebih baik dibandingkan dengan yang lain.
C yang diberi perlakuan blansir lalu ditambahkan air asam jawa kemudia
3.2 Rata-Rata Skoring Menurut Karakteristik Uji Tingkat Kesukaan Rata-rata skoring menurut karakteristik uji tingkat kesukaan dapat dilihat pada Tabel 2. Terlihat hasil tentang rata-rata pada keempat kriteria pada uji tingkat kesukaan baik dari segi warna, aroma, tekstur maupun rasa. Pada keempat kriteria dari 3 formula Lawa Bale tersebut yang paling disukai dari segi warna,
4
jantung
pisang,
dan
diberi penambahan
kelapa
sangrai
serta
garam.diurutan ketiga adalah formula A yang direndam larutan cuka dengan penambahan kelapa sangrai. Tabel 3. Rata-Rata Penilaian Tingkat Kesukaan Pada 3 Formula Lawa Bale Rata-Rata Kesukaan Panelis Pada Ke-3 Formula Lawa Penilaian A B C Rata-rata 3,0125 3,4875 3,2 B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Pada penelitian kali ini, para panelis yang
percobaan 1 Rata-rata percobaan 2 Total rata-rata
3,0875
3,4875
3,3
ditunjuk dalam proses penilaian baik dari segi
3,05
3,4875
3,25
warna, aroma, tekstur dan rasa adalah panelis semi
terlatih,
yang
dikriteriakan
pernah
mengonsumsi Lawa sebelumnya, cukup terlatih
3.4 Uji Kruskal-Wallis Uji Kruskal-Wallis yang diperoleh dapat
dalam menilai citarasa dalam hal ini dipilihlah
dilihat pada Tabel 4. Terlihat hasil bahwa setelah
angkatan 2009 dan 2008 yang telah melakukan
di uji menggunakan pengujian kruskal-wallis
proses pembelajaran kuliner, tidak memiliki alergi
dalam SPSS 16,00 dengan Îą=0,05 didapati nilai
terhadap ikan ataupun bahan yang terkandung
yang menunjukkan tidak ada perbedaan yang
dalam formula Lawa yang akan dibuat, dan
signifikan antara ke 3 formula dilihat dari segi
bersedia dalam berkontribusi pada penelitian ini.
faktor yang mempengaruhi uji tingkat kesukaan
Panelis yang rata-rata terdiri dari suku Bugis ini
pada penelitian uji daya terima ini.
pernah mencoba setidaknya lebih dari 3 kali
3.5 Analisi rincian biaya formula Lawa Bale/ 100 gr
mengonsumsi Lawa Bale, karena hal itu pula
Analisis harga untuk biaya pembuatan
Lawa Bale sebelumnya. Panelis dalam mencicipi
formula Lawa Bale per 100 gram dapat dilihat
setiap formula mempunyai tanggapan tersendiri
pada Tabel 5. Terlihat Pada perhitungan unit
untuk tiap formula yang diujikan. Kecenderungan
cost, harga disetiap formula per 100 gram-nya
panelis dalam penilaian tingkat kesukaan kali ini
perbandingan harga yang cukup berbeda terlihat
rata-rata memilih formula B dibandingkan dengan
jelas. Formula yang memakai biaya di setiap
formula A maupun C. Kecenderungan panelis
pembuatan formula per 100 gram nya yaitu
dalam memilih formula B, lebih dikarenakan
formula C, dan paling banyak mengeluarkan
formula A rasa cuka yang masih sangat terasa
biaya di antara ketiga formula yang dibuat adalah
akibat sisa dari perendaman yang dilakukan,
formula A.
sedangkan pada formula C menurut persepsi
panelis lulus dalam uji kriteria pernah merasakan
panelis rasa penambahan jantung pisang yang 4. PEMBAHASAN
tidak biasa mereka konsumsi sebelumnya inilah
Pada kali ini penelitian yang dilakukan yaitu uji daya terima (uji tingkat kesukaan) dari 3
yang menyebabkan Formula C rata-rata dipilih menjadi peringkat yang kedua. Dalam
formula Lawa Bale. Formula Lawa Bale yang diujikan
yaitu
menggunakan
pertama: rendaman
Lawa larutan
dengan cuka
dan
tamabahan kelapa sangrai, kedua: Lawa yang diberi perlakuan blansir, rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa sangrai, ketiga: Lawa yang diberi perlakuan blansir, rendaman air asam jawa, penambahan kelapa sangrai dan jantung pisang.
Formula Lawa Bale diteliti untuk
mengetahui
tingkat
kesukaan
para
terhadap 3 pilihan Lawa yang diberikan. B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
panelis
pengolahan
data
hasil
dari
penelitian uji daya terima (uji tingkat kesukaan) didapatkan rata-rata secara keseluruhan dari ketiga formula Lawa Bale, rata-rata kriteria pembentuk uji daya terima yaitu warna, tekstur, aroma,
dan
rasa,
serta
penilaian
dengan
menggunakan uji kruskal-wallis. Pengolahan data dengan melihat ratarata secara keseluruhan
digunakan untuk
menilai keseluruhan formula Lawa Bale yang dilihat dari total rata-rata yaitu akumulasi rata-
5
Tabel 4. Kruskal-Wallis Pada Uji Tingkat Kesukaan 3 Formula Lawa Bale Kruskal-Wallis uji Kesukaan Warna Tekstur Aroma Rasa ChiDf Asymp. ChiDf Asymp. Chidf Asymp. Chidf Asymp. Square sign Square sign Square sign Square sign 3,309 2 0,191 2,281 2 0,320 4,167 2 0,125 4,856 2 0,088
Formula
A
B
C
Tabel 5. Analisis Rincian Biaya Formula Lawa Bale/ 100 gram Bahan Standar Porsi Harga Satuan (Rp) 30.000.Ikan teri segar tanpa 85 gr (800 gr tanpa kepala kepala) 2.000.Cuka 15 ml (200ml) Kelapa parut 3.500.15 gr (disangrai) (1 btr) 500.Jeruk nipis ½ butir (1 butir) 500.Garam 3 gr (500 gr) Total 30.000.Ikan teri segar tanpa 80 (800 gr tanpa kepala) Kelapa parut 3.500.20 gr (disangrai) (1 butir) 500.Jeruk nipis 1 butir (1 butir) 500.Garam 3 gr (500 gr) Total 30.000.Ikan teri segar 60 gr (800 gr tanpa kepala) Kelapa Parut 3.500.15 gr (disangrai) (1 butir) 3.000.Jantung Pisang 20 gr (1,2 kg) 500.Asam Jawa 8 gr (20) 500.Garam 7,5 gr (500 gr) Total
rata pengujian awal ditambah rata-rata pengujian akhir.
Jumlah (Rp) 3200.150.132.250.3.3.735.3.000.175.500.3.3.678.2.250.132.50.200.7,5.2.639,5.-
Penilaian ketiga dilihat dari segi statistik yaitu menggunakan uji kruskal-wallis, pengujian
Penilaian kedua yaitu dilihat dari rata-rata
dilakukan untuk melihat uji yang dilakukan
keempat kriteria yang diteliti, hal ini dilakukan
terdapat perbedaan atau diterima sesuai dengan
untuk tidak hanya membandingkan formula Lawa
pernyataan Ho diterima jika Îą< 0,05, dan Ho
secara keseluruhan tapi juga untuk melihat
ditolak jika Îą >0,05.
perbedaan yang terlihat dari setiap kriteria
Dari
hasil
pengolahan
data
yang
pembangun uji daya terima dalam hal ini tingkat
dilakukan, hasil yang didapatkan menunjukkan
kesukaan.
formula yang paling disukai adalah formula yang kedua. Formula kedua paling disukai dilahat dari
6
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
penilaian rata-rata secara keseluruhai segi warnn
mengeluarkan biaya yang lebih banyak daripada
formula yang diteliti dan rata-rata dari keempat
formula lainnya adalah formula A. Formula C
kriteria syarat uji daya terima. Dari segi warna,
memakai biaya yang sedikit di antara lainnya
formula yang paling disukai setelah dilakukan
dihitung per 100 gram nya karena pada formula
percobaan dua kali adalah formula B, formula
ini pemakaian ikan teri segar lebih sedikit yaitu
o
yang diberi perlakuan blansir dengan suhu 70 C,
hanya 65 gram dibandingkan dengan formula A
rendaman jeruk nipis, dan penambahan kelapa
yang memakai 85 gram dan formula B yang
sangrai, sama halnya dilihat dari segi tekstur,
memakai 80 gram, walaupun pada bahan
aroma dan rasa, formula yang paling disukai
pelengkap ditambahkan jantung pisang tetapi,
adalah formula B.
tidak sebanding dengan harga jantung pisang
Formula kedua paling disukai disebabkan dilihat
dari
alasan
formula yang paling disukai adalah formula B
penerimaan para panelis. Pada formula pertama
tetapi, dari segi harga per 100 gram setiap
rasa cuka yang
formula dianjurkan memilih formula C.
walau
sudah
perbandingan
setiap
yang cenderung lebih mahal. Jadi, walaupun
di tampakkan sangat terasa dibersihkan
beberapa
kali,
sedangkan untuk formula ketiga dilihat dari nilai
5. SIMPULAN
tidak terlalu signifikan perbedaannya denga formula yang kedua. Walaupun formula kedua
Sesuai tujuan penelitian maka dari hasil
paling disukai menurut kedua penilaian tersebut,
pembahasan penelitian dapat ditarik kesimpulan,
tetapi pada uji statistik kruskal-wallis didapatkan
yaitu; Formula Lawa Bale yang dibuat dan diteliti
hasil bahwa tidak ada perbedaan antara ketiga
adalah formula pertama menggunakan rendaman
formula yang diteliti baik dari segi warna, tekstur,
larutan cuka dan penambahan kelapa sangrai,
aroma dan rasa dengan kata lain Ho diterima.
formula kedua menggunakan perlakuan blansir,
Pada ketiga formula Lawa Bale setelah
rendaman jeruk nipis dan penambahan kelapa
dilihat dari harga satuan yang dihitung, dapat
sangrai, terakhir formula ketiga diberi perlakuan
terlihat jelas perbedaan biaya yang digunakan
blansir,
pada
penambahan
setiap
formula
Lawa
Bale.
Tujuan
menghitung unit cost harga setiap formula per 100 gram nya untuk
mengetahui biaya yang
dikeluarkan dalam setiap formula per 100 gram, sehingga terlihat perbedaan biaya yang dipakai, dan yang pada akhirnya akan menjadi acuan dalam
mempromosikan
makanan
tradisional
Lawa Bale kepada masyarakat dilihat dari tingkat ekonomis yaitu jangkauan daya beli masyarakat terhadap
pembelian
suatu
produk.
rendaman kelapa
air
asam
sangrai
jawa, serta
dan
jantung
pisang; formula yang paling disukai menurut penilaian rata-rata secara keseluruhan dan ratarata menurut kriteria syarat uji daya terima adalah formula dua, dan; formula yang paling ekonomis dari segi harga per 100 gram tiap formula adalah formula C. 6. SARAN
Pada
Dari hasil penelitian yang diperoleh,
perhitungan unit cost harga setiap formula,
maka dapat ditarik saran yaitu; Berdasarkan
formula yang paling sedikit mengeluarkan biaya
penelitian ini, Masyarakat disarankan mengolah
per 100 gram nya adalah formula C dibandingkan
Lawa Bale mengonsumsi formula B dengan
dengan formula A maupun B. Formula yang
menggunakan proses blansir terlebih dahulu
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
7
kemudian direndam jeruk nipis dan bahan pelengkap berupa kelapa sangrai dilihat dari tingkat kesukaan yang telah diteliti, sedangkan
6. Rahayu, W.P. Diktat Penuntun Praktikum Penilaian Organolepik. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Bogor Institut Pertanian Bogor; 1998.
dilihat dari unit cost harga yang dikeluarkan untuk 100 gram tiap formula disarankan untuk memilih formula C karena harga yang lebih murah dibandingkan
dengan
yang
lain;
dilakukan
penelitian mengenai inovasi untuk menambahkan variasi dalam penambahan bahan-bahan yang dapat meningkatkan jual beli Lawa ataupun perubahan baik dari rasa, aroma, tektur maupun warna dari produk olahan Lawa Bale yang telah ada, dan; berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini bahwa perbedaan bahan-bahan untuk setiap formula Lawa Bale mempengaruhi daya terima seseorang dalam mengonsumsi suatu makanan, maka disarankan kepada para ahli gizi, tata boga, dan kuliner agar melakukan penelitian
mengenai
uji
daya
terima
pada
makanan tradisional lainnya sehingga dapat mempertahankan makanan tradisional sebagai pangan lokal dan sebagai alternatif mengatasi masalah ketahanan pangan dan gizi.
DAFTAR PUSTAKA 1. Assael H. Consumer Behaviors and Marketing Action. Boston: 1992. 2. Martiani D. Kebiasaan Jajan dan Preferensi terhadap Makanan Jajanan pada Mahasiswa IPB di Wilayah Dramaga, Bogor. Skripsi Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor: Fakultas Pertanian IPB; 2000. 3. Prasatya ER. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Preferensi dan Frekuensi Konsumsi Buah pada Golongan Lanjut Usia di Lembaga Seni Pernafasan Satria Nuasantara Bogor. [Skripsi]. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Bogor :Fakultas Pertanian, IPB; 1998. 4. Palacio JP, Theis M. Introduction to Foodservice. 11th Ed. Ohio: Pearson Education; 2009. 5. Sediaoetama, A.D. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat; 1991.
8
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
KARAKTERISTIK KIMIA DAN MIKROBIOLOGI KEFIR AIR PADA BERBAGAI SUHU DAN KERAPATAN FERMENTASI 1
Lina Lidia dan Neneng Sugiharti 1
1
University Djuanda Bogor campus faculty of Food Technology and Nutrition
ABSTRAK Biji kefir atau biasa disebut algae kristal merupakan starter dalam pembuatan kefir air yang terdiri dari berbagai jenis mikroba. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba dalam algae kristal adalah konsentrasi gula. Pada penelitian ini diamati perubahan karakteristik kimiawi kefir air yang difermentasikan pada berbagai konsentrasi gula. Biji kefir difermentasikan pada media air dengan perlakuan konsentrasi gula (2%, 5%, 8%, dan 11%) selama 72 jam. Setiap 12 jam dilakukan pengamatan meliputi total padatan terlarut, kadar gula, total asam laktat, dan nilai pH. Konsentrasi larutan gula berpengaruh nyata terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap total asam dan nilai pH. Selama 72 jam fermentasi, total padatan terlarut tidak mengalami perubahan, kadar gula dan nilai pH menurun, sedangkan total asam meningkat. Kefir air dengan konsentrasi gula 2% layak dikonsumsi hingga fermentasi 79 jam, sedangkan kefir air dengan konsentrasi gula 5%, 8%, dan 11% layak dikonsumsi berturut-turut hingga fermentasi 73 jam, 81 jam, dan 78 jam. Kata kunci: kefir air, laktobasillus, fermentasi ABSTRACT Kefir grain or cristal algae is starter of water kefir making which contains various microorganisms. One of factors affecting the growth of microorganisms in kefir grain is sugar concentration. In this research, the chemical properties changes of water kefir were determined. Kefir grains were fermented in water containing various sugar concentration (2%, 5%, 8%, and 11%) for 72 hours. Every 12 hours, total soluble solid, total sugar, total lactic acid, and pH value were measured. Sugar concentration significantly affected on total soluble solid and total sugar, but did not affect significantly on total of lactic acid and pH value. During 72 hours of fermentation, total soluble solid did not change, total sugar and pH value decreased, and total lactic acid increased. Water kefir with 2% sugar can be consumed until 79 hours of fermentation, and water kefir with 5%; 8%; and 11% sugar can be consumed respectively until fermentation of 73 hours, 81 hours, and 78 hours. keywords: water kafier, lactobacillus, fermentation
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
9
1. PENDAHULUAN
dan bermanfaat bagi kesehatan. Kefir mulanya
Kebutuhan pangan kesehatan bagi
hanya dikonsumsi oleh Masyarakat Caucasus
masyarakat saat ini sudah semakin tinggi.
selama ratusan tahun, menurut sejarah
Pangan
maupun
kefir diberikan oleh Nabi Muhammad kepada
minuman saat ini selain dikonsumsi untuk
Rakyat Caucasus dan menjadi semacam
pemenuhan energi bagi kelangsungan hidup
pusaka yang diwariskan turun-temurun, dan
manusia juga diharapkan memberikan efek
akhirnya kefir menjadi bagian dari kehidupan
kesehatan maupun perbaikan kesehatan bagi
mereka.
baik
berupa
pengkonsumsinya.
makanan
Jenis
pangan
yang
memberikan efek kesehatan semakin dicari oleh masyarakat. Masyarakat mulai kembali ke pangan tradisional, organik, herbal, maupun jenis-jenis pangan baru yang memberikan efek kesehatan, seperti kefir.
mampu memberikan efek kesehatan bagi pengkonsumsinya. Di beberapa situs internet dikatakan bahwa kefir mampu memberikan efek yang sangat baik bagi tubuh seperti meningkatkan stamina, mood, dan pernafasan (Anonim, 2010a), di situs lain dikatakan bahwa kefir atau kristal algae sebagai obat alternative kanker kolorektal (Anonim, 2010b). kefir
mempunyai
dua
wujud,
kristal disebut juga sebagai biji kefir (kefir grain). Algae kristal yang berwarna putih keruh pada
fermentasi
kefir
susu
(Stepaniak, 2002), sedangkan algae kristal yang
bening
adalah
algae
kristal
yang
digunakan pada fermentasi air. Algae kristal merupakan simbiosis kompleks antara bakteri asam laktat dan khamir (Bottazzi et al, 1994; Waldherr et al, 2010; Beccary, 2011).
bersimbiotik
bersama-sama
dengan
unsur lain membentuk jaringan padat. Kultur bakteri biji kefir berusia lebih dari
5000
tahun, Kefir Grains mengandung lebih dari 35 probiotik bakteri yang sangat menguntungkan
10
pertumbuhannya (Sunatmo, 2009 dan Fardiaz, 1992), begitu juga algae kristal. Pada alga kristal terdapat beberapa mikroorganisme yang
khamir yang saling bersimbiosis. Sehingga memungkinkan dapat tumbuh di kisaran suhu yang luas. Di pegunungan Kaukasus, suhu ruang yang digunakan untuk memfermentasi o
kefir rata-rata 15 C (Anonim, 2011). Menurut Robinson
dan
Tamime
(1981),
biji
kefir
o
diinkubasi pada suhu sekitar 23 C, sedangkan Itmawardi (1987) menginkubasi biji kefir pada o
26-28 C.
Suhu
fermentasi
pada
pembuatan kefir sederhana adalah suhu ruang o
(20-25 C) (Deptan, 2007). Menurut Waldherr et al (2010), kefir air adalah minuman yang difermentasi berbahan dasar larutan sukrosa dengan ekstrak buah. Kefir air yang ia kembangkan
menggunakan
Lactobacillus
hilgardii
memproduksi
granula
yang dekstran
strain mampu yang
menunjukkan aktivitas optimumnya pada suhu o
40-45 C. Algae kristal mengandung berbagai jenis mikroorganisme asam laktat maupun
Biji kefir merupakan koloni bakteri yang
minimum, optimum, dan maksimum untuk
suhu
berwarna putih keruh dan yang bening. Algae
digunakan
Setiap mikroorganisme memiliki suhu
berbeda, seperti bakteri asam laktat, dan
Kefir adalah minuman kesehatan yang
Biji
biji
khamir,
sehingga
memungkinkan
dapat
tumbuh pada range suhu yang sangat luas. Dengan pertumbuhan bakteri asam laktat dan khamir yang berbeda-beda di setiap suhu pertumbuhan
sehingga
mempengaruhi
karakteristik kimiawi produk yang dihasilkan. B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Pada penelitian ini akan diamati pengaruh o
2.1. Rancangan Percobaan
o
berbagai suhu fermentasi (5 C, 15 C, dan
Rancangan dalam
percobaan penelitian
ini
yang
suhu ruang) terhadap karakteristik kimiawi kefir
digunakan
adalah
air.
Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari satu faktor, masing-masing yakni suhu
2. METODE PENELITIAN Penelitian
ini
fermentasi (A), dengan dua taraf perlakuan diantaranya
yaitu
o
(4 C dan 25
o
C), dan dua kali ulangan.
memfermentasi algae kristal pada media air
Kerapatan fermentasi (B), dengan dua taraf
dengan perlakuan berbagai suhu fermentasi
perlakuan (rapat dan longgar), dan dua kali
o
(4 C dan 25 fermentasi
o
C) dan berbagai kerapatan
(tertutup
rapat
dan
ulangan.
tertutup
A1 = fermentasi dengan suhu fermentasi 2%
longgar). Keduanya dilakukan masing-masing
A2 = fermentasi dengan suhu fermentasi 5%
selama 5 hari, yang dimulai dari 0 hari. Setiap
B1 = fermentasi dengan tutup rapat
satu perlakuan suhu fermentasi dilakukan 2
B2 = fermentasi dengan tutup longgar
kali ulangan sehingga terdapat 12 sampel.
Model matematika yang digunakan adalah: Yij = Âľ + Ai + Îľij
Formulasi pembuatan kefir air dapat dilihat Keterangan:
pada tabel 1. Tabel 1. Formulasi pembuatan kefir air
Formulasi Bahan Biji kefir
Yij : nilai pengamatan pada satuan percobaan perlakuan konsentrasi
A1
A2
B1
B2
ulangan ke-j
5%
5%
5%
5%
Âľ
2% 2% 2% 2% Gula 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah Kismis 4oC 25oC 4oC 4oC Suhu Rapat Rapat Rapat Longgar Kerapatan Sumber: Modifikasi Beccary (2011) dan Lidia (2012).
:
nilai
tengah
larutan gula taraf ke-i
populasi
(rata-rata
sesungguhnya) Ai : pengaruh perlakuan taraf ke-i eij : pengaruh galat i : taraf perlakuan (1, 2) j : ulangan (1, 2)
Gula 2% dalam 200 ml air
2.2. Analisis Produk
Biji Kefir 5% Kismis 1 buah
Pencampuran
Analisis produk yang dilakukan pada Kefir Air
penelitian ini adalah uji kimia dan mikrobiologi o
pada kefir air dengan suhu fermentasi 4 C dan Fermentasi 5 hari tertutup rapat suhu (A) : o o A1= 4 C, A2= 25 C
Fermentasi 5 hari tertutup Suhu 4oC Tertutup (B): B1=rapat, B2=longgar
o
25 C, serta kerapatan fermentasi rapat dan longgar, yang telah difermentasi selama 5 hari. Uji kimia dan mikrobiologi pada kefir air dilakukan per hari selama 5 hari untuk
Uji kimia dan mikrobiologi per hari: a. total padatan terlarut b. total sebaran gula c. total asam d. nilai pH e. total mikroba f. total khamir
Gambar 1. Diagram alir pembuatan kefir air
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
mengetahui pengaruh berbagai suhu dan kerapatan fermentasi terhadap parameter yang diuji.
2.3. Prosedur Analisis
11
Prosedur analisis yang dilakukan yaitu
tidak hanya memecah komponen-komponen
uji kimia yang meliputi uji total padatan terlarut
terlarut, tetapi juga memecah komponen yang
menggunakan
dkk.,
tidak larut (pati dan protein yang tidak larut)
1997), uji sebaran gula dengan metode UFLC
menjadi komponen yang larut (gula sederhana
(Ultra Fast Liquid Chromatography) (AOAC,
dan protein yang larut). Oleh sebab itu,
1977), uji kadar asam dengan metode titrasi
pemecahan protein menjadi asam amino,
asam basa (Apriyantono, dkk., 1985), dan uji
pembentukan vitamin, pirin, pirimidin dan lain-
pH menggunakan pH meter (Apriyantono, dkk.,
lain yang digunakan bakteri asam laktat untuk
1985). Sedangkan uji mikrobiologi terdiri dari
pertumbuhannya (Jay, 1978) dapat terukur
uji total mikroba dan total khamir.
oleh refraktometer, sehingga perlakuan suhu
refraktometer
(Sutadi,
fermentasi terhadap total padatan terlarut tidak 2.4. Analisis Data
berbeda nyata.
Data hasil penelitian ini dikumpulkan dalam suatu tabel. Pengolahan data dilakukan
Tabel 2. Nilai rata-rata total padatan terlarut o
secara vertikal dan horizontal. Pengolahan
( Brix) kefir air pada berbagai suhu fermentasi
data secara vertikal dianalisis dalam bentuk ANOVA
(Analisys
mengetahui
of
pengaruh
Varians) suhu
untuk
fermentasi,
A1
sehingga diperoleh nilai p. Jika nilai p < 0.05
(4oC)
maka perlakuan berpengaruh
A2
nyata, dan
dilanjutkan dengan uji T untuk mengetahui perlakuan tersebut berbeda nyata atau tidak. Sedangkan secara data
dilakukan
mengetahui
uji
horizontal, Regresi
perubahan
Waktu fermentasi (hari)
Suhu
(25oC)
0
1
2
3
4
5
2,20a
2,20a
2,30a
2,30a
2,30a
2,30a
2,20a
2,20a
2,25a
2,30a
2,30a
2,30a
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu kolom
pengolahan Linier
(penurunan
menunjukkan
tidak
berbeda nyata pada Îą = 0.05.
untuk atau
peningkatan) parameter yang diuji. Kemudian
3.2. Perubahan
total
padatan
terlarut
selama fermentasi
dilakukan uji Korelasi untuk mengetahui kuat tidaknya hubungan antara waktu fermentasi terhadap parameter karakteristik kimiawi (total padatan terlarut, total fruktosa, total glukosa, total sukrosa, total asam, dan nilai pH).
3. PEMBAHASAN
Gambar 2. Grafik total padatan terlarut kefir air
3.1. Suhu fermentasi Dari
hasil
pada berbagai suhu fermentasi.
analisis
sidik
ragam
(ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan suhu fermentasi
(A)
tidak
berpengaruh
terhadap total padatan terlarut
nyata
Dari Gambar 2, terlihat bahwa total padatan
terlarut
dalam
kefir
air
o
dengan o
(p > 0.05).
perlakuan suhu fermentasi 4 C dan 25 C
Hal ini diduga karena mikroba yang aktif
mengalami perubahan selama fermentasi 5
selama fermentasi pada kedua suhu tersebut
hari.
12
Hal
ini
ditunjukkan
dengan
fungsi
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
persamaan masing-masing y = 0.022x + 2.186
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
dan y = 0.024x + 2.173 yang menyatakan
kolom menunjukkan tidak berbeda
bahwa
nyata
total
perlakuan
padatan
terarut
mengalami
o
pada
kenaikan
tiap
sebesar
o
pada Îą = 0.05.
X = Jenis Gula
0.022 Brix dan 0.024 Brix per hari. Kenaikan
Y = Suhu
perlakuan A1 bernilai sedang, sesuai nilai r
A = sukrosa (Suhu A1 4 C, A2 25 C)
(koefisien korelasi)
yang dihasilkan yakni
B = Glukosa (Suhu A1 4 C, A2 25 C)
0.685. Hal ini menunjukkan hubungan linier
C = Fruktosa (Suhu A1 4 C, A2 25 C)
o
o
o
o
o
o
yang sedang antara waktu fermentasi dengan total padatan terlarut. Sedangkan perlakuan A2
mempunyai
nilai
r
=
0.854
yang
menunjukkan hubungan linier yang cukup kuat antara waktu fermentasi dengan total padatan terlarut. Hal ini diduga pada fermentasi suhu o
25 C
mikroba
dibandingkan
yang
hidup
fermentasi
lebih
suhu
banyak
o
4 C.
Dari
mikroba yang hidup tersebut terdapat hasil metabolisme yang terukur bersama sumber nutrisinya, sehingga terlihat bahwa perlakuan o
A2 (25 C) lebih kuat peningkatannya dibanding o
A1 (suhu 4 C).
3.3. Pengaruh berbagai suhu fermentasi
Gambar 3. Grafik sebaran gula kefir air pada berbagai suhu fermentasi
terhadap sebaran gula Bakteri
asam
laktat
merupakan
kelompok spesies bakteri yang mempunyai kemampuan untuk membentuk asam laktat dari metabolisme karbohidrat (Sudarmadji, dkk., 1989). Khamir Saccharomices cereviceae menghasilkan enzim zimase dan invertase. Enzim zimase berfungsi merombak sukrosa menjadi monosakarida (glukosa dan fruktosa), dan enzim invertase akan mengubah glukosa menjadi etanol (Judoamidjojo, et al., 1992).
X A B C
Y A1 A2 A1 A2 A1 A2
3 0,855a 0,670a 1,110a 0,860a 0,130a 0,320a
4 1,435a 0,215a 1,700a 1,500a 0,210a 0,760a
o
dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan o
25 C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan y = 0.280x + 2.681
menyatakan bahwa kadar sukrosa pada kefir air mengalami penurunan sebesar 0.280% dan 0.561% tiap hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang dihasilkan masing-masing yakni
hubungan korelasi yang sedang sampai kuat 5 1,225a 0,073a 1,475a 1,410a 0,393a 1,068a
antara
waktu
fermentasi
dengan
kadar
sukrosa. Hal ini diduga pada perlakuan A2 o
(25 C) mikroba lebih banyak hidup daripada o
perlakuan A1 (4 C), sehingga gula yang digunakan
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan -0.561x + 3.198 yang
0.692 dan 0.964. Hal ini menunjukkan terdapat
Tabel 3. Pengaruh fermentasi dengan gula Waktu fermentasi (hari) 0 1 2 2,470a 2,260a 1,960a a a 2,605 2,230 1,610a 1,514a 1,410a 2,285a 1,497a 1,410a 2,285a 0,483a 0,540a 0,275a 0,516a 0,565a 0,480a
Dari Gambar 3, kadar sukrosa kefir air
lebih
banyak
untuk
13
pertumbuhannya.
Dengan
bertambahnya
Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu
jumlah produk, maka sumber karbon yang
kolom
dibutuhkan semakin banyak, sehingga kadar
nyata
menunjukkan
berbeda
pada Îą = 0.05.
sukrosa yang terukur mengalami penurunan. Dari Gambar 3, kadar glukosa kefir air o
dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan o
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, suhu
fermentasi
(A)
berpengaruh
nyata
25 C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal
terhadap total asam tertitrasi (p < 0.05).
ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
Kemudian dilanjutkan dengan uji T, maka
masing-masing yaitu y = -0.014x +1.632 dan -
terlihat bahwa bertambahnya suhu, maka total
0.045x + 1.652 yang menyatakan bahwa total
asam yang dihasilkan mengalami kenaikan.
padatan terarut pada kefir air mengalami
Hal ini diduga karena kemampuan hidup
penurunan sebesar 0.014% dan 0.045% tiap
mikroorganisme khususnya bakteri asam laktat
hari dengan nilai r (koefisien korelasi) yang
menurun pada suhu 4 C. Sedangkan pada
dihasilkan masing-masing yakni 0.004 dan
kefir air yang difermentasi pada suhu 25 C
0.034. Hal ini menunjukkan tidak terdapat
pertumbuhan mikroba lebih cepat dengan
hubungan korelasi antara waktu fermentasi
menghasilkan asam laktat lebih banyak karena
dengan kadar glukosa. Hal ini diduga karena
suhu optimum pertumbuhan bakteri asam
pada kedua suhu tersebut mikroba yang
laktat dan khamir mendekati suhu 25 C,
terdapat pada kefir air memecah sukrosa
sehingga total asam terlihat signifikan. Menurut
menjadi glukosa dalam jumlah sedikit, sesuai
Fardiaz (1992), di dalam makanan yang
kebutuhannya. Menurut Gilliland dan Kim
didinginkan juga sering tumbuh beberapa
(1984),
akan
mikroorganisme psikrofilik yang dapat tumbuh
menggunakan karbohidrat sebagai sumber
pada suhu pendinginan, tetapi mempunyai
energi lebih dari yang dibutuhkan untuk
suhu optimum di atas 20 C.
bakteri
asam
laktat
tidak
o
o
o
o
pertumbuhannya.
3.4. Pengaruh berbagai suhu fermentasi terhadap total asam tertitrasi Menurut Frazier dan Westhoff (1987), pengukuran total asam tertitrasi didasarkan
Gambar 4. Grafik total asam tertitrasi kefir air
pada komponen asam yang terdapat di dalam
pada berbagai suhu fermentasi
larutan, baik yang terdiasosiasi maupun yang tidak terdiasosiasi. Asam laktat merupakan
Dari Gambar 4, total asam tertitrasi
salah satu metabolit primer yang dihasilkan
kefir air dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C
dalam proses fermentasi.
dan 25 C mengalami perubahan selama 5
Tabel 4. Pengaruh fermentasi dengan asam
o
o
hari.
Hal
ini
ditunjukkan
dengan
fungsi
persamaan masing-masing y = 0.002x + 0.000 dan y = 0.019x â&#x20AC;&#x201C; 0.022, yang menyatakan bahwa rata-rata total asam laktat pada pada tiap perlakuan mengalami kenaikan sebesar
14
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
0.002% dan 0.019% tiap hari, dengan nilai r
jasad renik dapat tumbuh pada kisaran pH 3-6,
yang dihasilkan masing-masing yaitu 0.932
bakteri dapat tumbuh pada pH optimum sekitar
dan 0.922. Hal ini menunjukkan hubungan
6,5-7,5. Khamir tumbuh pada kisaran pH 2,5-
korelasi
8,5; optimumnya tumbuh pada
yang
cukup
kuat
antara
waktu
pH 4-5.
fermentasi dengan total asam laktat. Hal ini
Secara umum nilai pH menunjukkan derajat
diduga adanya aktifitas mikroba yang dapat
keasaman
mengubah karbohidrat (gula) menjadi asam-
Semakin rendah nilai pH produk menunjukkan
asam
derajat keasaman produk tersebut semakin
organik,
yakni
terdapat
bakteri
homofermentatif yang menghasilkan asam laktat, sedangkan bakteri heterofermentatif
atau
kebasaan
suatu
produk.
tinggi. Tabel 5. Pengaruh fermentasi dengan pH
yang menghasilkan sedikit asam asetat. Pada o
perlakuan A1 (4 C) nilai regresinya terlihat o
lebih kuat dibanding A2 (25 C). Hal ini diduga adanya khamir yang hidup lebih optimal pada suhu
o
fermentasi
25 C,
sehingga
dapat
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
mempengaruhi total asam karena OH yang
kolom
dihasilkannya
berbeda nyata pada Îą = 0.005.
tersebut,
walaupun
dalam
menunjukkan
tidak
jumlah yang relatif sedikit. Berdasarkan Gambar 4, menunjukkan
Dari
hasil
analisis
sidik
ragam
bahwa semakin lama fermentasi, maka dapat
menunjukkan bahwa perlakuan berbagai suhu
meningkatkan
yang
fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap
terbentuk. Hal ini disebabkan karena dengan
nilai pH (p < 0.05). Hal ini diduga karena pada
semakin lama waktu fermentasi, maka proses
suhu fermentasi 25 C tidak hanya bakteri
perombakan karbohidrat oleh bakteri asam
asam laktat yang hidup, namun terdapat pula
laktat dan khamir akan lebih lama dan optimal
khamir yang dapat mempengaruhi nilai pH
sehingga
yang
disebabkan gugus OH yang dihasilkannya,
Menurut
walaupun pengaruhnya kecil. Oleh karena itu,
Pederson (1960), peningkatan total asam
nilai pH yang terukur pada perlakuan suhu
tertitrasi disebabkan karena mikroba yang aktif
fermentasi
dihasilkan
jumlah
asam
laktat
akan
asam
dan
semakin
laktat
alkohol
tinggi.
o
o
25 C
tidak o
selama fermentasi memanfaatkan karbohidrat
dibanding suhu 4 C.
yang dapat difermentasi dan menghasilkan
diketahui
asam-asam organik.
fermentasi
bahwa tidak
terlihat
signifikan
Berdasarkan Tabel 5, semakin
tinggi
menyebabkan
nilai
suhu pH
semakin menurun. Hal ini diduga beragamnya 3.5. Pengaruh suhu fermentasi terhadap nilai pH
mikroba yang hidup dalam kefir air termasuk khamir mempengaruhi nilai pH yang dihasilkan
Menurut Priyantono (1987), salah satu
oleh bakteri asam laktat.
faktor pertumbuhan mikroba dipengaruhi oleh pH, semakin tinggi nilai pH maka pertumbuhan mikroba
semakin
meningkat
pula
dan
sebaliknya. Menurut Fardiaz (1989), umumnya
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
15
rendah untuk memfermentasikan gula menjadi alkohol.
Oleh
karena
itu,
jika
kefir
air
difermentasi lebih lama, dapat memungkinkan bertambahnya kadar alkohol dan juga dapat memicu timbulnya kontaminasi mikroba lain yang dapat menimbulkan toksik bagi yang Gambar 6. Grafik nilai pH kefir air pada berbagai suhu fermentasi
Dari Gambar 6, kadar pH kefir air
mengkonsumsinya.
3.6. Pengaruh suhu fermentasi terhadap total mikroba
o
dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan o
25 C, mengalami perubahan selama 5 hari.
Tabel 6. Nilai rata-rata total mikroba kefir air pada berbagai suhu fermentasi
Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan masing-masing suhu yaitu y = -0065x + 6.590 dan y = -0.509x +7.16, yang menyatakan bahwa kadar pH pada kefir air pada suhu o
fermentasi
4C
o
dan
25 C
mengalami
Keterangan: Huruf yang berbeda dalam satu
penurunan sebesar 0.065 dan 0.509 tiap 12
kolom
hari dengan masing-masing nilai r (koefisien
menunjukkan
berbeda
nyata pada Îą = 0.005.
korelasi) yang dihasilkan yakni 0.306 dan 0.835. Hal ini menunjukkan hubungan korelasi yang
lemah
sampai
kuat
antara
waktu
fermentasi dengan nilai pH. Korelasi
yang
Dari
hasil
analisis
sidik
ragam
menunjukkan bahwa pada perlakuan berbagai suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap
lemah
pada
suhu
total mikroba (p < 0.05). Kemudian dilanjutkan
fermentasi 4 C diduga karena kondisi suhu
dengan uji T, maka perlakuan A1 berbeda
o
yang
dapat
menghambat
pertumbuhan
nyata dengan A2. Hal ini diduga pada suhu
mikroba, sehingga penurunan nilai pH terlihat
25 C lebih sesuai untuk pertumbuhan mikroba
rendah atau lambat. Sedangkan pada suhu
yang terdapat pada kefir air, sehingga mikroba
o
o
fermentasi 25 C, mikroba yang hidup dapat tumbuh
lebih
cepat,
sehingga
dapat
terus
berkembang
biak
dan
jumlahnya
semakin banyak seiring dengan bertambahnya
menghasilkan produk yakni asam laktat lebih
hari, yang menyebabkan hasilnya terlihat
cepat pula, sehingga penurunannya terlihat
signifikan dibanding suhu fermentasi 4 C.
kuat atau tahan. Yusmarini dan Efendi (2004), bahwa
o
Menurut
Buckle
(1987),
suhu
dapat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme
semakin banyak sumber gula yang dapat
dengan
dimetabolisme, maka semakin banyak pula
kenaikan sekitar suhu optimalnya, kecepatan
asam-asam organik yang dihasilkan, sehingga pH juga akan semakin rendah. Fermentasi asam laktat dapat terhenti dengan menurunnya nilai pH, namun khamir masih dapat hidup dalam lingkungan pH 16
cara
apabila
suhu
mengalami
metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat sedangkan bila suhu turun sekitar suhu optimalnya,
kecepatan
metabolisme
akan
menurun dan pertumbuhan juga diperlambat. Menurut Winarno (2002), menyebutkan bahwa B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
setiap penurunan suhu 8°C akan membuat
(1992),
kecepatan
mikroorganisme sangat dipengaruhi oleh suhu,
reaksi
berkurang
menjadi
setengahnya.
kecepatan
pertumbuhan
dimana kecepatannya akan semakin menurun dengan menurunnya suhu.
3.7. Pengaruh suhu fermentasi terhadap total khamir Tabel 7. Nilai rata-rata total khamir kefir air pada berbagai suhu fermentasi Gambar 7. Grafik total mikroba kefir air pada berbagai suhu fermentasi
Dari Gambar 7, total mikroba kefir air o
dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan
Keterangan: Huruf yang sama dalam satu
o
25 C, mengalami perubahan selama 5 hari.
kolom menunjukkan tidak berbeda
Hal ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
nyata pada Îą = 0.005.
masing-masing suhu yaitu y = 98910x + 17991 dan y = 3E+07x â&#x20AC;&#x201C; 5E+07, yang menyatakan bahwa total mikroba pada kefir air pada suhu o
o
fermentasi 4 C dan 25 C mengalami kenaikan 7
Dari
hasil
nalisis
sidik
ragam
menunjukkan bahwa pada perlakuan suhu fermentasi tidak berpengaruh nyata terhadap
sebesar 98,910 koloni/mL dan 3x10 koloni/mL
nilai pH (p > 0.05). Hal ini diduga khamir dapat
tiap
r
hidup walaupun dibawah suhu optimumnya.
(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.05
Pada dasarnya, jumlah khamir lebih banyak
dan 0.857. Hal ini menunjukkan hubungan
pada
korelasi yang lemah sampai kuat antara waktu
signifikan terhadap 4 C. Menurut Rahman
fermentasi dengan total mikroba.
(1989), khamir mempunyai suhu pertumbuhan
hari
dengan
Selama
masing-masing
fermentasi,
nilai
rata-rata
o
total
suhu
o
25 C,
namun
hasilnya
tidak
o
o
o
optimum pada 20 C-30 C.
o
mikroba pada suhu 4 C dan 25 C mengalami o
kenaikan tiap hari. Namun pada suhu 25 C, o
kenaikannya lebih kuat dibanding suhu 4 C. o
Hal ini diduga pada suhu 25 C, mikroba yang terdapat pada kefir air lebih cocok untuk bertahan hidup, sehingga mikroba dapat terus aktif dan terus berkembang biak lebih cepat
Gambar 8. Grafik total khamir kefir air pada
o
dibandingkan suhu 4 C yang diduga mikroba
berbagai suhu fermentasi
di dalamnya cukup terhambat akibat suhu yang dingin, yang menyebabkan pertumbuhan
Dari Gambar 8, total khamir kefir air
dan jumlah produk yang dihasilkan kurang
dengan perlakuan suhu fermentasi 4 C dan
optimal. Hal ini membuktikan bahwa jika waktu
25 C mengalami perubahan selama 5 hari. Hal
fermentasi diperpanjang maka total mikroba
ini ditunjukkan dengan fungsi persamaan
mengalami
masing-masing suhu yaitu y = 24619x - 41310
peningkatan.
Menurut
Fardiaz
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
o
o
17
dan y = 2E+08x - 4E+08, yang menyatakan
dikonsumsi tidak lebih dari
bahwa total khamir pada kefir air pada suhu
fermentasi.
o
o
fermentasi 4 C dan 25 C mengalami kenaikan 8
Sedangkan
kefir
79 jam air
dengan
konsentrasi larutan gula 5%; 8%; dan 11%
sebesar 24,619 koloni/mL dan 2x10 koloni/mL
masing-masing layak dikonsumsi tidak lebih
tiap
dari 73 jam; 81 jam; dan 78 jam fermentasi.
hari
dengan
masing-masing
nilai
r
(koefisien korelasi) yang dihasilkan yakni 0.694 dan 0.484. Hal ini menunjukkan hubungan
5. SARAN
korelasi yang lemah sampai sedang antara waktu fermentasi dengan total khamir. Hal ini o
Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
pada kefir air dengan menguji kadar alkohol
diduga pada suhu 25 C khamir lebih banyak
tiap 12 jam. Selain itu, dilakukan penggantian
yang hidup, maka dengan bertambahnya masa
sumber nutrisi seperti buah-buahan atau umbi-
sel, khamir pun mengalami persaingan hidup,
umbian.
sehingga kenaikannya lemah dibandingkan o
pada suhu 4 C walaupun pengarunya kecil
DAFTAR REFERENSI
namun terus mengalami kenaikan.
[1]
4. KESIMPULAN Berdasarkan
hasil
analisis,
karakteristik kimiawi kefir air dengan berbagai konsentrasi larutan gula memberikan pengaruh terhadap total padatan terlarut dan kadar gula, namun tidak memberikan pengaruh terhadap total asam tertitrasi dan nilai pH selama 72 jam. Oleh karena itu, untuk efisiensi bahan dalam
pembuatan kefir
digunakan
konsentrasi
air, maka dapat larutan
gula
2%.
Namun untuk menambah rasa manis, dapat dipilih konsentrasi larutan gula 5%; 8%; atau 11%. Dari pengamatan waktu fermentasi, diketahui bahwa dengan bertambah lamanya waktu fermantasi, maka total padatan terlarut mengalami
penurunan
dengan
hubungan
linear yang lemah, kadar gula turun dengan hubungan
linear
yang
kuat,
total
Angulo, et al. 1993. In: Abraham, A.G. and De Antoni, G.A. 1999. Characterization of Kefir Grains Grow in Cowâ&#x20AC;&#x2122;s Milk and Soya Milk. www.sciencedirect.com. Journal of Diary Reasearch 66 [2]:327-333 (Diakses tanggal 23 Mei 2011). [2] Anonim. 2003. Pengetahuan Bahan Pangan, Amankan Pangan dan Bebaskan Produk dari Bahan Berbahaya. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan. BPOM. Jakarta. [3] Anonim. 2010. Algae Kristal Jepang Kaya Akan Manfaat. www.kompasiana.com/post/type/raport. (Diakses tanggal 11 Mei 2011). [4] Anonim. 2011. Air Minum. www.wikipedia.org/wiki/air_minum. (Diakses tanggal 7 Juni 2011). [5] Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N.L., Sedarnawati, dan Budiyanto, S. 1985. Analisis Pangan. IPB-Press, Bogor. [6] Beccary. 2011. Crystal Algae. www.crystalgae/sobatonline.com. (Diakses tanggal 11 Mei 2011). [7] Bottazi. 1983. Other Fermented Dairy Products. In: Biotechnology. Fifth volume. Rehm, H.J. and Reed, G. (ed.). Reed, G. (vol. ed.). Verlag Chemie. Florida, Basel.
asam
meningkat dengan hubungan linear kuat, dan pH menurun dengan hubungan linear sangat kuat. Dengan merujuk pada pH kefir yang layak dikonsumsi yakni 4.6, maka kefir air dengan konsentrasi larutan gula 2% layak
18
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
PERBEDAAN PROPORSI SINDROM METABOLIK PADA GURU SEKOLAH DASAR OBES SENTRAL DAN NONOBES SENTRAL BERDASARKAN LINGKAR PERUT Qonita Rachmah 1
1
Program Studi Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
ABSTRAK Obesitas atau berat badan lebih merupakan salah satu masalah gizi di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia. Prevalensi obesitas dan obesitas sentral di Indonesia cukup tinggi yaitu sebesar 19,1% dan 18,8%. Obesitas sentral sangat erat kaitannya dengan sindrom metabolik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindrom metabolik pada populasi guru SD obes-sentral (lingkar perut laki-laki ≥90 cm; perempuan ≥80 cm). Penelitian dilakukan pada guru SD di Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan. Status obesitas sentral diukur menggunakan lingkar perut sedangkan sindrom metabolik menggunakan pengambilan sampel darah responden (kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa), pengukuran lingkar pinggang, dan tekanan darah. Jumlah sampel penelitian sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 guru SD obes sentral dan 30 guru SD non obes-sentral. Uji statistik yang digunakan untuk mengetahui perbedaan proporsi sindorm metabolic yaitu uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan 16 (26,7%) guru SD obesitas sentral mengalami sindrom metabolik dan hanya 1 (1,7%) guru SD non-obesitas sentral yang mengalami sindrom metabolik berdasarkan kriteria NCEP ATP III modifikasi asia pasifik. Secara statistik juga terdapat hubungan yang signifikan antara obesitas sentral dengan sindrom metabolik (p=0.000; OR=33,14; CI 95%). Dapat disimpulkan bahwa obesitas sentral lebih berhubungan dengan sindrom metabolik pada guru. Kata kunci: lingkar perut, sindrom metabolik, guru SD
ABSTRACT Obesity is one of the nutrition issue in developing countries, including Indonesia. The prevalence of obesity and central obesity in Indonesia is quite high at 19,1% and 18,8%. Central obesity is closely associated with metabolic syndrome. This study aims to determine the differences of metabolic syndrome proportion among central-obese (abdominal circumference of male ≥90 cm; women ≥80 cm) and non-central obese elementary school teachers. The study was conducted at school in District Cilandak, South Jakarta. Central-obese status was measured by using abdominal circumference, while metabolic syndrome was determined by using blood sample (HDL cholesterol, trygliceride, fasting glucose), waist circumference measurements, and blood pressure.Total sample are 60, each population represent by 30 respondents. Chi square test is used to determine the difference of metabolic syndrome proportion in both population. The result shows that 16 (26,7%) central-obese teachers were having metabolic syndrome and only 1 (1,7%) non-central obese elementary school teachers were having metabolic syndrome based on NCEP ATP III Asia- Pasific modification criteria. There was also a statistically significant correlation between central obesity with metabolic syndrome (p=0.000; OR=33.14; 95% CI). It can be concluded that central obesity is more associated with metabolic syndrome in teachers. Keywords: abdominal circumference, metabolic syndrome, elementary school teacher
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
19
2. PENDAHULUAN
terjadinya penimbunan lemak pada jaringan
Pola hidup masyarakat perkotaan saat
adiposa yang berada di daerah abdominal.
ini mulai mengalami modernisasi ke arah yang
Obesitas sentral dapat diukur menggunakan
lebih instan. Perubahan pola hidup tersebut
lingkar perut dan lingkar pinggang. Namun,
akan berdampak pada terjadinya masalah
lingkar perut prediktor yang lebih baik untuk
kesehatan, seperti penyakit degeneratif yang
menentukan
risiko
sindrom
metabolik (5)
masih menjadi pembunuh nomor satu di
dibandingkan RLPP maupun IMT.
Indonesia. Data Riskesdas 2007 menunjukkan
sindrom metabolik sering ditemukan pada
sekitar
individu dengan
60%
mortalitas
disebabkan
oleh
penyakit degeneratif.
sentral,
namun
sindrom metabolik juga dapat dialami oleh
Penyebab utama terjadinya penyakit degeneratif
obesitas
Walaupun
adalah
munculnya
individu normal atau non-obesitas sentral.
sindrom
Profesi guru SD merupakan profesi
metabolik. Orang dengan sindrom metabolik
yang tidak menuntut aktivitas fisik terlalu berat
akan berisiko tiga kali lebih besar mengalami
dengan
serangan jantung/stroke dan dua kali lebih
dibandingkan
berisiko untuk meninggal dibandingkan orang
menjadi panutan bagi siswa sekolah dasar
tanpa sindrom metabolik. Sindrom sebagai
suatu
(1)
dalam
metabolik keadaan
didefinisikan dimana
terjadi
jam
hal
kerja guru
yang
lebih
SMP/SMA
penanaman
sedikit
dan
nilai-nilai
juga
positif
termasuk dalam hal kesehatan. Apabila guru tidak
memiliki
perilaku
maupun
kondisi
kelainan metabolik yang meliputi minimal tiga
kesehatan yang baik, maka dapat berdampak
dari lima kondisi berikut; lingkar pinggang di
pada produktivitas dan perilaku kesehatan
atas normal, kenaikan kadar glukosa plasma,
murid yang kurang baik. Oleh karena itu,
penurunan kadar kolesterol HDL, tekanan
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
darah yang tinggi (hipertensi), dan kenaikan
prevalensi sindrom metabolik serta perbedaan
kadar
proporsinya pada guru SD obesitas sentral
trigliserida
Prevalensi belahan
(NCEP-ATP
sindrom dunia
III,
metabolik
sudah
menjadi
2001).
diberbagai
dan non-obesitas sentral.
masalah
kesehatan masyarakat, berdasarkan kriteria
2. METODE
NCEP-ATP III, prevalensi di seluruh dunia berkisar antara 15-30%, berkisar
antara
(2)
Penelitian
ini
dilakukan
dengan
pada populasi Asia
menggunakan desain studi cross sectional
(3)
yang dilakukan pada guru sekolah dasar di
10-15%.
Sedangkan
di
Indonesia, pada tahun 2004 prevalensinya
Kecamatan
mencapai 24,4% (Himpunan Studi Obesitas
Populasi studi pada penelitian ini yaitu guru
Indonesia) dan di DKI Jakarta pada tahun
sekolah dasar yang bekerja di sekolah dasar
2006
sindrom
yang tersebar di wilayah Lebak Bulus dan
metabolik yang lebih besar yaitu sebesar
Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta
menunjukkan
prevalensi
(4)
28,4%.
Salah satu faktor utama munculnya
Cilandak,
Jakarta
Selatan.
Selatan. Sedangkan sampel penelitian yaitu guru SD yang berusia di atas 20 tahun dan
sindrom metabolik adalah kondisi obesitas
bekerja
sentral. Obesitas sentral merupakan kondisi
responden yaitu 30 guru SD obesitas sentral
20
di
wilayah
penelitian.
Jumlah
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan
30
guru
SD
non-obesitas
sentral,
sehingga total responden yaitu 60 orang. Data
sekunder
yang
Pengolahan
data
menggunakan
perangkat lunak khusus. Analisis deskriptif
dikumpulkan
yang disajikan meliputi karakteristik individu
pada penelitian ini yaitu database guru SD di
serta
wilayah penelitian, sedangkan data primer
obesitas sentral dan non-obesitas sentral.
meliputi karakteristik individu (jenis kelamin,
Perbedaan proporsi sindrom metabolik pada
usia), lingkar perut, profil lipid darah (HDL dan
kedua populasi dianalisis menggunakan uji chi
trigliserida), serta kadar gula darah puasa.
square.
Pengambilan data dilakukan secara langsung
sindrom
metabolik
Sebelum
pada
melakukan
guru
SD
pengambilan
kepada responden dengan cara wawancara,
data, penelitian ini telah lulus sidang kaji etik
pengukuran antropometri, dan pemeriksaan
dan
biokimia darah.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Pengumpulan data dilakukan pada
mendapatkan
izin
dari
Komisi
Etik
Indonesia pada 25 April 2013.
bulan Maret-April 2013 oleh peneliti dan tiga orang asisten yang merupakan mahasiswa program
studi
gizi,
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia. Instrumen
yang
3. HASIL Responden dalam penelitian ini yaitu guru SD di wilayah Kecamatan Cilandak,
digunakan
yaitu
Jakarta Selatan berusia di atas 20 tahun.
kuesioner yang berisi informed consent serta
Responden perempuan (63%) lebih banyak
data karakteristik individu, pita ukur dengan
dibandingkan laki-laki (37%). Guru SD yang
skala 0,1 cm merk seca untuk mengukur
mengalami obes sentral lebih banyak berjenis
lingkar perut, alat ukur tekanan darah air raksa
kelamin perempuan (43,4%) dibandingkan
(sphygomamometer), dan alat ukur gula darah
laki-laki (6,7%).
dan profil lipid (kolesterol HDL dan trigliserida) untuk mendeteksi sindrom metabolik.
Rata-rata responden berusia 45 tahun dengan modus 36 tahun, median 48 tahun,
Pengukuran lingkar perut dilakukan
dan SD +9,613. Guru SD yang mengalami
pada daerah perut dengan melilitkan pita ukur
obesitas sentral lebih banyak berada pada
pada lokasi dua jari dibawah pusar, responden
range usia 51-60 tahun (50,0%) dibandingkan
diwajibkan membuka pakaian/ celana pada
pada usia >51 tahun. Tabel 1 menggambarkan
bagian
karakteristik subjek berdasarkan usia dan jenis
tersebut
untuk
menjaga
akurasi
pengukuran. Hasil pengukuran lingkar perut dalam sentimeter. Selain itu, responden juga diminta untuk berpuasa selama 8-10 jam sebelum
pengambilan
sampel
kecuali
atas
anjuran
dokter
dan
berolahraga
sebelum
pengambilan sampel darah. Sampel darah diambil dari vena di daerah Fossa Cubiti.
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Variabel
dan
diinformasikan kepada petugas serta tidak merokok,
Tabel 1. Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
darah.
Responden juga tidak dianjurkan meminum obat
kelamin.
Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Usia 20-30 th
Guru SD Obes Sentral (n=30) n %
Guru SD non-Obes Sentral (n=30) n %
26 4
43,4 6,7
12 18
20,0 30,0
0
0,0
6
10,0 21
31-40 th 41-50 th 51-60 th
2 9 19
3,3 31,7 50,0
8 11 5
13,3 18,3 8,3
Hasil analisis terhadap kriteria sindrom metabolik
yaitu
lingkar
pinggang,
Tekanan darah (mmHg) >130/85 18 30,0 5 8,3 <130/85 12 20,0 25 41,7 *) kriteria sindrom metabolik berdasarkan NCEP ATP III modifikasi Asia-Pasifik, 2005.
kadar
kolesterol HDL, trigliserida, gula darah puasa,
Kemudian rata-rata kadar trigliserida
dan tekanan darah ditunjukkan pada tabel 2.
118,52 mg/dl, median 95,50 mg/dl, modus 58
Kriteria sindrom metabolik yang paling banyak
mg/dl, dan SD +62,35. Kadar trigliserida tinggi
dialami yaitu kadar kolesterol HDL rendah
juga lebih tinggi pada kelompok guru SD obes
(45,0%), lalu diikuti oleh hipertensi (38,3%),
sentral (20,0%) dibandingkan pada kelompok
lingkar
kadar
guru SD non-obes sentral (13,3%). Rata-rata
trigliserida tinggi (33,3%), dan terakhir yaitu
untuk kadar gula darah puasa 101,17 mg/dl
gula darah puasa tinggi (15%).
dengan modus 86 mg/dl, median 89 mg/dl,
pinggang
tinggi
(35%),
Rata-rata responden memiliki lingkar
serta SD +10,61. Sama seperti beberapa
pinggang 80 cm dengan modus 86,5 cm,
kriteria sindrom metabolik lainnya, gula darah
median 81,3 cm, dan SD +1,017. Semua
puasa yang tinggi lebih banyak ditemukan
responden dengan lingkar pinggang tinggi
pada guru SD obes-sentral (10,0%) daripada
(35,0%) merupakan guru SD yang obes-
guru SD non-obes sentral (5,0%).
sentral. Untuk kadar kolesterol HDL, rata-
Rata-rata tekanan sistol yaitu 121
ratanya yaitu 49,9 mg/dl dengan modus 45,
mmHg dengan modus 110 mmHg, median 119
median 48 mg/dl, dan SD +10,61. Kadar K-
mmHg, dan SD +16,41, sedangkan rata-rata
HDL rendah lebih tinggi pada kelompok guru
tekanan diastol yaitu 78 mmHg dengan modus
SD obes-sentral (21,7%) dibandingkan pada
70 mmHg, median 79 mmHg, dan SD +9,24.
kelompok guru SD non-obes sentral (13,3%).
Semua responden dengan lingkar pinggang tinggi (35,0%) merupakan guru SD yang obes-
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kriteria Sindrom Metabolik* Guru SD Guru SD non- Obes Obes Sentral Sentral Variabel (n=30) (n=30) n % n % Lingkar Pinggang (cm) >90/>80 21 35,0 0 0,0 <90/<80 9 15,0 30 50,0 K- HDL (mg/dl) <40/<50 13 21,7 8 13,3 >40/>50 17 28,3 22 36,7 Trigliserida (mg/dl) >150 12 20,0 8 13,3 <150 18 30,0 22 36,7 Gula Darah Puasa (mg/dl) >110 6 10,0 3 5,0 <110 24 40,4 27 45,0
22
sentral.
Guru
SD
obes-sentral
yang
mengalami hipertensi (30,0%) lebh banyak dibandingkan
guru
SD
non-obes
sentral
(8,3%). Berdasarkann kriteria NCEP ATP III modifikasi Asia Pasifik,
(6)
didapatkan 17 guru
SD (28,4%) termasuk dalam kondisi sindrom metabolik, sedangkan 43 guru SD (71,7%) tidak
termasuk
dalam
kondisi
sindrom
metabolik. Sebaran
sindrom
metabolik
lebih
banyak terjadi pada perempuan, yaitu 12 dari 38 responden (31,6%), sedangkan pada lakilaki hanya 5 dari 22 responden (22,7%). Berdasarkan usia, sebarannya paling banyak
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
terjadi pada rentang usia 51-60 tahun (54,1%),
Prevalensi sindrom metabolik pada
diikuti rentang usia 41-50 tahun (15%), dan
guru SD lebih banyak pada perempuan
31-40 tahun (10,0%).
(31,6%) dibandingkan pada laki-laki (22,7%) dan meningkat seiring bertambahnya usia.
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Sindrom Metabolik pada Kedua Kelompok Sindrom Metabolik Ya Tidak n % n % 16 26,7 14 23,3
Variabel GuruSD Obes Sentral Non-Obes Sentral
P value
Pada usia 31-40 tahun prevalensinya hanya 1,7%, dan meningkat pada usia 41-50 tahun yaitu 5,0%, dan paling tinggi pada usia 51-60 tahun (21,7%).
0,000
Usia memiliki
1
1,7
29
48,3
dan
peran
jenis
kelamin
memang
dalam
terjadinya
penting
sindrom metabolik. Semakin bertambahnya usia, maka risiko terjadinya sindrom metabolik
Pada tabel 3 dapat dilihat sebaran
akan semakin meningkat.
(11)
Seiring dengan
sindrom metabolik pada kelompok guru SD
terjadinya proses penuaan, terjadi proses
obes-sentral dan kelompok guru SD non-obes
alami peningkatan lemak tubuh yang signifikan
sentral. Dapat dilihat bahwa sindrom metabolik
terjadi di atas usia 30 tahun. Selain itu,
pada kelompok guru SD obes sentral (26,7%)
kekuatan pembakaran energi juga menurun
lebih tinggi dibandingkan pada kelompok guru
sebanyak 5% dan menurun 10% setiap 10
SD non-obes sentral. Hasil uji statistik juga
tahun, sehingga lebih sedikit kalori yang dapat
menunukkan
yang
dibakar dan menyebabkan lebih banyak kalori
bermakna antara obesitas sentral dengan
disimpan sebagai lemak dalam tubuh jika tidak
sindrom metabolik, nilai p=0,000.
diikuti dengan aktivitas fisik. Peningkatan usia
adanya
hubungan
juga menyebabkan penurunan jumlah jaringan otot
4. PEMBAHASAN Berdasarkan NCEP-ATP III, kriteria
jika
jaringan
Peningkatan
lemak
jaringan
meningkat.
lemak
(12)
membawa
diagnosis sindrom metabolik ditegakkan jika
dampak pada akumulasi asam lemak bebas di
seseorang mengalami minimal tiga dari lima
dalam tubuh, sehingga usia tua lebih berisiko
kondisi yaitu lingkar pinggang di atas normal,
mengalami sindrom metabolik. Pada
hipertensi, hipertrigliseridemia, K-HDL rendah,
perempuan,
risiko
sindrom
metabolik meningkat setelah menopause. Saat
dan gula darah puasa tinggi. Pada penelitian ini, didapatkan 17 dari
mengalami menopause, konsentrasi hormon
60 guru SD (28,4%) yang mengalami sindrom
estrogen akan menurun dan menyebabkan
metabolik. Prevalensi tersebut cukup tinggi jika
peningkatan jumlah lemak, terutama lemak
dibandingkan dengan wilayah lain, misalnya
sentral.
populasi PNS di Depok (23,8%), etnis
minang
(22,8%),
(8)
Padang,
(7)
populasi
Sumatera
Barat
populasi kelompok eksekutif di
Jakarta (21,6%),
(9)
Semarang (16,6%).
dan populasi dewasa di (10)
Selain
menopause trigliserida dengan
juga yang
perempuan memiliki
tinggi,
bertambahnya
menopause
akan
persentasi
sehingga usia
terjadi
post-
dan
seiring efek
peningkatan
kandungan lemak tubuh, terutama distribusi lemak tubuh pusat.
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
itu,
(13,14)
Selain itu, perempuan
23
juga
melewati
proses
kehamilan
dimana
proses tersebut memiliki kecenderungan untuk meningkatkan
jaringan
lemak
baik
untuk
menentukan
risiko
sindrom
metabolik dibandingkan RLPP maupun IMT.
dan
Lingkar
perut
juga
(5)
merupakan
meningkatkan berat badan yang memberi
indikator untuk mengukur obesitas sentral atau
dampak akumulasi asam lemak bebasa dalam
penumpukan lemak pada daerah abdominal
(8)
tubuh.
seperti lingkar pinggang, namun lingkar perut
Secara statistik ditemukan perbedaan
diukur pada 2 jari dibawah pusar sedangkan
proporsi yang signifikan sindrom metabolik
lingkar pinggang pada pertengahan antara
antara guru SD obes sentral dan guru SD non-
ujung tulang iga dan suprailiak. Dengan cut off
obes sentral dengan p=0,000. Guru SD obes
poin sesuai standart WHO (2000) (6)
(18)
dan
yaitu â&#x2030;Ľ90
sentral berisiko hingga 33 kali lebih besar
NCEP ATP III Asia Pasifik (2005)
mengalami sindrom metabolik dibandingkan
cm
guru SD non-obes sentral (Odds Ratio =
perempuan.
33,134;
3,984-
konsekuensi yang tinggi terhadap peningkatan
275,72). Hasil tersebut sejalan dengan studi
asam lemak bebas di sirkulasi, terlebih sel
Aerobics Center Longitudinal Study yang
adiposit pada bagian abdominal berukuran
menyebutan bahwa lingkar perut merupakan
lebih besar dan kurang peka terhadap kerja
komponen yang penting dalam menentukan
antilipolisis
95%
Confidence
sindrom metabolik.
Interval
(15)
untuk
laki-laki
dan
Obesitas
sehigga
â&#x2030;Ľ80
cm
sentral
untuk
memiliki
berdampak
pada
peningkatan produksi asam lemak bebas dan
Studi lain pada populasi pedesaan di
trigliserida, mempengaruhi penurunan kadar
Korea menyebutkan pengukuran lingkar perut
K-HDL dengan perantaraan enzim CETP
memberi pengaruh
(Cholesteryl Ester Transferase Protein). Selain
yang positif terhadap
kejadian sindrom metabolik.
(16)
Bahkan pada
studi tersebut juga disebutkan bahwa hasil pengukuran
lingkar
perut
sebaiknya
itu, peningkatan trigliserida yang terakumulasi di
hati
insulin.
dapat
menyebabkan
resistensi
(19)
mempertimbangkan faktor etnis dan regional, misalnya di Korea, The Korean Society for the
5. SIMPULAN
Study of Obesity mengusulkan spesifik lingkar
Penelitian ini menemukan prevalensi
perut pada populasi korea sebesar 90 cm
sindrom metabolik pada guru SD yang cukup
untuk laki-laki dan 85 cm untuk perempuan,
besar yaitu 24,6%. Hal tersebut telah menjadi
sedangkan hasil penelitian lain di Jepang
masalah
menyatakan
memerlukan
estimasi
optimal
untuk
kesehatan upaya
masyarakat preventif.
yang
Perbedaan
mendeteksi sindrom metabolik melalui lingkar
sindrom metabolik pada responden obes
perut yaitu 85 cm pada laki-laki dan 75 cm
sentral dan non-obes sentral juga signifikan
pada perempuan.
(17)
Studi cross sectional lain
secara statistik. Hal tersebut menunjukkan
di Jepang menyebutkan bahwa prevalensi
bahwa kondisi obesitas sentral membawa
sindrom metabolik meningkat seiring dengan
dampak yang buruk terhadap manifestasi
peningkatan lingkar perut hingga 95 cm.
sindrom metabolik. Lingkar perut juga dapat
Lingkar perut juga menjadi prediktor yang lebih
menjadi pengkuran yang baik dan kuat untuk diagnosis sindrom metabolik.
24
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
6. SARAN Demi perkembangan penelitian sejenis
[10]
lain, kedepannya penelitian dapat dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak, meneliti variabel lain, maupun menggunakan desain studi lain untuk mengetahui hubungan sebab akibat yang lebih jelas. [11] DAFTAR PUSTAKA [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9]
Isomaa B, Almgren P, Tuomi T, dkk. Cardiovascular Morbidity and Mortality Associated With The Metabolic Syndrome. Diabetes Care 2001; 24:683– 9. Cameron AJ, JE. Shaw and PZ. Zimmet. The Metabolic Syndrome: Prevalence In Worldwide Populations. Endocrinol Metab Clin N Am 2004; 33:351-75. Wen-Harn Pan. Epidemiology of Metabolic Syndrome In Asia. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17(S1):37-42. Wen-Harn Pan. Epidemiology of Metabolic Syndrome In Asia. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17(S1):37-42. Kato, Masayuki Yoshihiko Takahashi, Manami Inoue, Shoichiro Tsugane, Takashi Kadowaki, et al. Comparisons between anthropometric indices for predicting the metabolic syndrome in Japanese. Asia Pac J Clin Nutr 2008; 17 (2):223-8. Executive Summary of the Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). JAMA 2011;285(19): 2486-97. Anita, Betri. Hubungan karakteristik Individu, Asupan Makan dan Faktor Lainnya terhadap Sindrom Metabolik pada Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintahan Kota Depok tahun 2009[tesis]. Program Pascasarjana IKM FKM UI.; 2009. Jalal, Fasli, dkk. Hubungan Lingkar Pinggang dengan Kadar Gula Darah, Trigliserida dan Tekanan Darah pada Etnis Minang di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Media Medika Indonesia 2008; 43(3):129-37. Kamso, Sudijanto, Purwantyastuti, Dharmayati Utoro Lubis, dkk. Prevalensi dan Determinan Sindrom Metabolik pada
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[12]
[13]
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
Kelompok Eksekutif di Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2011;6(2):85-90. Suhartono T, Pemayan TG, Nugroho H, Darmono, &Djokomoeljanto. Prevalensi Sindrom Metabolik di Poliklinik Endokrin dan Poliklinik Jantung RS Dr. Kariadi dan di Pekajangan, Pekalongan. The metabolic syndrome (the MetS) anticipating life style related disease. Surabaya Metabolic Syndrome 2005, Surabaya; 2005.p.242-4. Grundy SM, Brewer HB, Cleemean JI, et al. Definiton of metabolic syndrome. Report of the National Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association Conference on Scientific Issues Related to Definition. Circulation 2004; 109:433-8. Garrows JS, dkk. Human Nutrition And Dietetics. London. Churchill Livingstone; 2000. Hee Man Kim, Jong Park, So Yeon Ryu, Jongoh Kim. The Effect of Menopause on the Metabolic Syndrome Among Korean Women; The Korean National Health and Nutrition Examination Survey year 2001. Diabetes Care 2007;30:701–6. Harikedua, Vera T. Relation Between Nutrition Knowledge and Eating Behavior With Metabolic Syndrome Components in Religious Leaders at Manado Municipality [tesis]. The Graduate Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University, Yogyakarta.; 2011. Katzmarzyk, Peter T., Ian Janssen, Robert Ross, Timothy S. Church, et al. The Importance of Waist Circumference in the Definition of Metabolic Syndrome Prospective Analyses of Mortality in Men. Diabetes Care 2006;29;404–9. Hyun Koh, Jang, Sang Baek Koh, Mi Young Lee, Pil Moon Jung, Bo Hwan Kim, et al. Optimal Waist Circumference Cutoff Values for Metabolic Syndrome Diagnostic Criteria in a Korean Rural Population. J Korean Med Sci 2010;25:734-7. Millen, Barbara E, Michael J Pencina, Ruth W Kimokoti, Lei Zhu, et al.Reevaluation of Waist Circumference in Metabolic Syndrome: A Comparison between Japanese Men and Women. Acta Med Okayama 2007; 61(3):167-9. WHO. Definition of Metabolic Syndrome in Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus: Report of a WHO Consultation. Departement of Noncommunicable Disease Surveillance. Geneva 1999.
25
[19] Bray, George A. The Metabolic Syndrome and Obesity. United States of America. Humana Press Inc; 2007.
26
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Penelitian
BISKUIT MORINGA RIA SEBAGAI SUATU STRATEGI PENANGGULANGAN GIZI KURANG DAN GIZI BURUK PADA BALITA MISKIN BERBASIS MASYARAKAT 1
2
Rudianto, Ainum Jhariah Hidayah, Irma Ariany Syam
3
1
Mahasiswa Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Mahasiswa Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin 3 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar 2
ABSTRAK Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, prevalensi balita yang mengalami gizi kurang sebesar 13% (2.947.368 balita) dan malnutrisi 4,9% (906.882 balita). Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, balita termasuk dalam kelompok rentan mengalami kelainan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sebab mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat. Akibat dari kekurangan gizi ini, balita akan rentan terhadap penyakit-penyakit infeksi yang dapat menyebabkan meningkatnya angka kematian balita. Studi pustaka ini bertujuan memberikan solusi terhadap permasalahan gizi yang terjadi pada balita di Indonesia melalui pemberian biskuit Moringa Ria sebagai salah satu strategi penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin di masyarakat. Biskuit Moringa Ria adalah biskuit dengan tambahan kelor. Biskuit ini mengandung gizi makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak yang dapat mecukupi kebutuhan harian balita pada porsi tertentu. Dalam upaya penanggulangan masalah gizi balita, biskuit ini dapat diberikan melalui program pemberian makanan tambahan secara gratis. Dengan adanya biskuit ini diharapkan permasalahan gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia dapat tertanggulangi tanpa harus mengeluarkan anggaran yang besar, sehingga pencapaian Indonesia sehat dapat segera terwujud. Kata kunci: gizi balita, daun kelor, biskuit
ABSTRACT Based on Health Research Association in 2010, the prevalence of toddler suffering poor nutrition is 13 % (2,947,368 toddlers) and malnutrition 4.9 % (906,882 toddles). Terms of the health and nutrition problems, toddler included in the nutrition of vulnerable groups are the social group most easily suffers nutritional disorders, because they are undergoing a process of relatively rapid growth. As a result of malnutrition, the toddler will be susceptible to infectious diseases that can lead to increased child mortality. This literature review aims to provide a solution to the nutritional problems that occur in toddler in Indonesia through the provision of Moringa biscuit as one coping strategies malnutrition and malnutrition in toddler in poor communities. Moringa Ria biscuits are biscuits with Moringa extract. These biscuits contain macro nutrients such as carbohydrates, proteins, and fats that can daily supplicantâ&#x20AC;&#x2122;s toddler at a certain serving. In the response to nutritional problems, these biscuits can be provided through supplementary feeding programs for free. Given these biscuits expected problems of malnutrition and malnutrition in Indonesia can be overcome without having to spend a huge budget, so that the achievement of a healthy Indonesia may soon be realized. Keywords: toddler nutrition, Moringa leaves, biscuit
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
27
1. PENDAHULUAN
ini
Tantangan
pembangunan
mereka
sedang
mengalami
proses
suatu
pertumbuhan yang relatif pesat. Akibat dari
bangsa adalah pembangunan Sumber Daya
kekurangan gizi ini, kerentanan terhadap
Manusia
penyakit-penyakit
(SDM)
yang
berkualitas,
sehat,
infeksi
yang
dapat
cerdas, dan produktif. Upaya pengembangan
menyebabkan meningkatnya angka kematian
kualitas SDM dengan mengoptimalkan potensi
balita.
(5)
tumbuh kembang anak dapat dilaksanakan secara merata apabila sistem
Diperkirakan masih terdapat sekitar
pelayanan
1,7 juta balita terancam gizi buruk yang
kesehatan yang berbasis masyarakat dapat
keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok
dilakukan secara efektif dan efisien dan dapat
Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut
menjangkau
data Badan Koordinasi Keluarga Berencana
semua
membutuhkan layanan.
sasaran
yang
(1)
Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai
Status gizi dan kesehatan merupakan
17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk
salah satu faktor dari tiga faktor utama yang
2,7% per tahun, sedangkan berdasarkan data
sangat menentukan kualitas Sumber Daya
dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010
Manusia
jumlah
(SDM),
pendapatan.
(2)
selain
pendidikan
dan
Status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
(3)
balita
22.772.060.
(6)
di
Indonesia
adalah
United Nations Childrenâ&#x20AC;&#x2122;s Fund
(UNICEF) melaporkan
Indonesia berada di
Apabila jumlah zat
peringkat kelima dunia untuk negara dengan
gizi yang dikonsumsi tidak sesuai dengan
jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya
kebutuhan
paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7
gizi
tubuh
maka
dapat
menimbulkan masalah gizi yaitu gizi kurang
juta balita.
dan gizi buruk. Gizi kurang terjadi apabila
(7)
Menurut
UNICEF
1998
penyebab
asupan gizi lebih rendah dari yang dibutuhkan
utama gizi kurang dan gizi buruk adalah
tubuh, sedangkan gizi buruk terjadi apabila
kemiskinan. Masih banyaknya jumlah keluarga
asupan gizi sangat rendah.
yang miskin di Indonesia mengakibatkan
Indonesia saat ini sedang mengalami
kurangnya
atau
tidak
mampunya
suatu
masalah gizi yang cukup memperihatinkan.
keluarga untuk memenuhi kebutuhan zat gizi
Berdasarkan
bagi balitanya dan akhirnya terjadilah gizi
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) tahun 2010, prevalensi balita
kurang
yang mengalami gizi kurang sebesar 13%
Seharusnya, balita tersebut diberi asupan gizi
(2.947.368
yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan
balita)
(906.882 balita).
(4)
dan
gizi
buruk
4,9%
Oleh karenanya diperlukan
dan
dan
gizi
buruk
perkembangannya
pada
secara
balita.
optimal.
penanganan khusus secara menyeluruh dalam
Tingginya jumlah gizi kurang dan gizi buruk
upaya penanganan masalah tersebut.
pada balita di
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan
dengan
Indonesia memiliki kolerasi
tingginya
tingkat
kemiskinan
di
dan gizi, balita termasuk dalam kelompok
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah
rentan gizi yaitu kelompok masyarakat yang
penduduk miskin di indonesia.
paling mudah menderita kelainan gizi. Kondisi
data
ini sangat mengkhawatirkan, sebab pada saat
Indonesia
28
dari
Badan tahun
Pusat 2010,
(9)
Berdasarkan
Statistik jumlah
(BPS)
penduduk
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
miskin (penduduk dengan pengeluaran per
mencegah gizi kurang dan gizi buruk pada
kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di
balita miskin melalui pemberian makanan
Indonesia pada Maret 2010 mencapai 31,02
tambahan secara gratis berupa biskuit kelor
juta (13,33%).
(6)
Salah
terfortifikasi. satu
solusi
yang
dapat
Strategi
penanggulangan
berbasis
dilakukan adalah dengan mengembangakan
masyarakat artinya, masyarakat (Ibu dari balita
formula
Tambahan
yang mengalami masalah gizi) juga terlibat
(PMT) yang lebih bermutu dan bernutrisi tinggi
dalam proses penanggulangan masalah gizi
bagi balita gizi kurang dan gizi buruk yang
tersebut yang mana program ini dapat secara
berasal dari keluarga miskin.
terus menerus dilakukan dengan dua cara.
Pemberian
Makanan
Tujuan dari studi pustaka ini yaitu untuk
memberikan
solusi
Pertama,
biskuit
kelor
sebagai
makanan
terhadap
tambahan diberikan gratis oleh pemerintah
permasalahan gizi yang terjadi pada balita di
selama 90 hari (sesuai dengan aturan Depkes
Indonesia melalui pemberian biskuit Moringa
RI tahun 2000) hingga balita tersebut sembuh
Ria sebagai suatu strategi penanggulangan
dari gizi kurang dan gizi buruk.
gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin
sebagai
berbasis masyarakat.
tersebut tidak lagi menderita masalah gizi
bentuk
pencegahan
(7)
Kedua,
agar
balita
Manfaat dari biskuit Moringa Ria ini
kurang ataupun gizi buruk, maka Ibu dari balita
adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan
tersebut diberi pelatihan cara membuat biskuit
balita dengan terpenuhinya kebutuhan zat-zat
kelor terfortifikasi dengan pengolahan bahan
gizi pada balita serta dapat dijadikan sebagai
pangan lokal (kelor) sehingga status gizi balita
rekomendasi pemerintah untuk menurunkan
tetap sehat.
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk pada
Pemilihan
tanaman
kelor
sebagai
balita di Indonesia. Manfaat lain yang dapat
bahan pagan kaya nutrisi berdasarkan dari
diperoleh pemerintah adalah anggaran yang
hasil penelitian Lowell Fuglie pada tahun 2000
dikeluarkan untuk membuat biskuit kelor akan
tentang kandungan nutrisi daun kelor yang
lebih
dapat bermanfaat untuk perbaikan gizi. Hasil
murah
dari
pada
program
penanggulangan yang telah dilakukan hingga
penelitian
saat
pemanfaatan tanaman kelor untuk mengatasi
ini.
Selain
itu,
masyarakat
dapat
tersebut
menjadi
memanfaatkan tanaman kelor menjadi bahan
masalah gizi di Indonesia.
pangan yang kaya nutrisi untuk memperbaiki
Tanaman
status gizi masyarakat.
adalah
tanaman
landasan
(8)
kelor ordo
(Moringa
oleifera)
brassicales
yang
merupakan tanaman berkayu yang sangat mudah tumbuh, dengan tinggi mencapai 7-12
2. PEMBAHASAN Biskuit Moringa Ria adalah biskuit dengan tambahan kelor sebagai suatu strategi penanggulangan gizi kurang dan gizi buruk pada
balita
miskin
berbasis
masyarakat
merupakan suatu ide baru yang penulis tawarkan bertujuan untuk menanggulangi dan B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
meter dan diameter batangnya mencapai 2040 sentimeter. Tanaman kelor ini tersebar di daerah tropis sehingga mudah ditemukan. Tanaman kelor mengandung nutrisi
yang tinggi dan
sangat bermanfaat untuk perbaikan gizi.
(8)
29
Tanaman ini dapat diolah menjadi sumber
dijadikan bubur dengan cara diseduh dengan
makanan untuk mencegah dan mengatasi gizi
air
kurang dan gizi buruk.
kandungan gizi biskuit Moringa Ria telah
ataupun
dimakan
langsung.
Karena
Kandungan gizi tanaman kelor lebih
lengkap maka biskuit kelor dapat dijadikan
unggul dibandingkan dengan bahan gizi yang
sebagai pengganti susu formula dan minuman
biasa di konsumsi masyarakat selama ini. Dari
mix (minuman yang mengandung mineral-
suatu
bahwa
mineral untuk mengatasi dehidrasi pada balita
kandungan gizi daun kelor segar (lalapan),
yang mengalami gizi buruk). Dengan begitu
setara
yang
anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk
dikandung wortel, 7 kali vitamin C yang
membuat biskuit kelor akan lebih murah dari
terkandung pada jeruk, 4 kali mineral kalsium
pada program penanggulangan yang telah
dari susu, 3 kali mineral potassium pada
dilakukan hingga saat ini.
penelitian
dengan;
menunjukan
4
kali
vitamin
A
pisang, 3/4 kali zat besi pada bayam, dan 2 kali protein dari yogurt. Sedangkan kandungan
Selain mengatasi gizi buruk dan gizi
gizi daun kelor yang dikeringkan setara
kurang pada balita, biskuit Moringa Ria juga
dengan; 10 kali vitamin A yang dikandung
merupakan
wortel, 1/2 kali vitamin C yang terkandung
berbagai penyakit pada balita, seperti penyakit
pada jeruk, 17 kali mineral kalsium dari susu,
xeroptalmia dan rabun senja yaitu penyakit
15 kali mineral potassium pada pisang, 25 kali
mata sebagai akibat Kurang Vitamin A (KVA),
zat besi pada bayam, dan 9 kali protein dari
mencegah
yogurt.
(8)
penyakit
untuk
anemia
mencegah
gizi
karena
kekurangan zat besi, mencegah penyakit
Biskuit Moringa Ria dipilih sebagai makanan tambahan untuk mengatasi gizi kurang
alternatif
gondok akibat kekurangan zat iodium. Komposisi
biskuit
Moringa
Ria
dan gizi buruk pada balita karena
disesuaikan dengan jumlah energi dan protein
kandungan gizinya yang begitu tinggi mampu
yang harus diberikan kepada balita yang
memenuhi kebutuhan gizi makro dan gizi
mengalami gizi kurang dan gizi buruk sesuai
mikro
mengatasi
dengan formula yang telah ditetapkan oleh
kekurangan gizi pada balita. Kebutuhan gizi
WHO yaitu pemberian makanan tambahan
makro seperti karbohidrat, protein, dan lemak
dengan jumlah energi 100 kkal/kg berat
dapat
badan/hari,
untuk
mencegah
mecukupi
dan
kebutuhan
harian
balita
protein
1â&#x20AC;&#x201C;1,5
g/kg
berat
dengan mengonsumsi biskuit kelor pada dosis
badan/hari. Artinya perhitungan jumlah energi
tertentu sesuai dengan takaran yang telah
yang harus diberikan kepada balita yang
ditentukan. Selain itu, biskuit Moringa Ria
mengalami gizi kurang dan gizi buruk dalam
dapat mencukupi kebutuhan gizi mikro seperti
sehari adalah berat badan balita dikali dengan
vitamin A, vitamin B, vitamin C, vitamin E, zat
100 kkal, sedangkan jumlah protein yang
besi untuk mengatasi anemia gizi, kalsium
harus diberikan dalam sehari adalah berat
untuk pertumbuhan balita dan asam amino
badan balita dikali dengan 1â&#x20AC;&#x201C;1,5 g.
esensial lainnya. Biskuit
Komposisi dalam setiap potong biskuit Moringa
Ria
merupakan
makanan tambahan bagi balita yang dapat
30
mengandung 100 kkal energi dan 2,4 g protein. Adapun analisis berdasarkan kompo-
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Tabel 1. Kandungan Gizi Tanaman Kelor Tiap 100 gram Nutrien Biji Daun Kada air (%)
86.9
75
Tepung daun 7.5
Kalori
26
92
205
Protein (g)
2.5
6.7
27.1
Lemak (g)
0.1
1.7
2.3
Karbohidrat (g)
3.7
13.4
38.2
Serat (g)
4.8
0.9
19.2
Mineral (g)
2
2.3
-
Ca (mg)
30
440
2,003
Mg (mg)
24
24
368
P (mg)
110
70
204
K (mg)
259
259
1,324
Cu (mg)
3.1
1.1
0.57
Fe (mg)
5.3
7
28.2
S (mg)
137
137
870
Asam oksalat (mg)
10
101
1.60%
Vitamin A - B karoten (mg)
0.11
6.8
16.3
Vitamin B-choline (mg)
423
423
-
Vitamin B1-tia min (mg)
0.05
0.21
2.64
Vitamin B2 riboflavin-(mg)
0.07
0.05
20.5
Vitamin B3-asam nikotinat (mg)
0.2
0.8
8.2
Vitamin C-asam askorbat (mg)
120
220
17.3
Vitamin E-tokoferol asetat (mg)
-
-
113
Arginin (g/16g N)
3.6
6
1.33%
Histidin (g/16g N)
1.1
2.1
0.61%
Lisin (g/16g N)
1.5
4.3
1.32%
Triptofan (g/16g N)
0.8
1.9
0.43%
Phenylanaline (g/16g N)
4.3
6.4
1.39%
Metionin (g/16g N)
1.4
2
0.35%
Treonin (g/16g N)
3.9
4.9
1.19%
Leusin (g/16g N)
6.5
9.3
1.95%
Isoleusin (g/16g N)
4.4
6.3
0.83%
Valin (g/16g N)
5.4
7.1
1.06%
Tabel 2. Perbandingan Kandungan Nutrisi Kelor dengan Sumber Nutrisi Nabati Lainnya (per 100g bagian dimakan) Daun Daun KacangDaun Daun Nutrien Kacang Lobak Daun Kelor kacangan Singkong Waloh panjang (Turnip) Energi(Kcal) 320 45 35 90 25 95 Protein(g)
22
4.7
2.9
7.0
4.0
6.7
VitaminA (i.u)
85
389
708
1278
556
3767
Vitamin C(mg)
25
56
62
50
80
220
Calsium (mg)
22
225
160
410
475
440
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
31
Tabel 3. Komposisi Setiap Potong Biskuit Moringa Ria (42 gram) No.
Komposisi
1.
20 gram tepung beras 20 gram daun kelor 2 gram gula pasir Total
2. 3.
penanggulangan permasalahan gizi kurang dan gizi buruk
di Indonesia, sehingga pencapaian
Jumlah Energi (kkal) 72,6
Jumlah Protein (g) 1,1
19,4
1,3
penelitian lanjutan mengenai Biskuit Moringa
8
-
Ria/Biskuit kelor dalam mengatasi masalah gizi
100 kkal
2,4 gram
Indonesia sehat dapat segera terwujud. 4.
SARAN Perlu dilakukan uji organoleptik dan
kurang gizi buruk pada balita di Indonesia.
-sisi biskuit kelor terfortifikasi akan dijabarkan di DAFTAR PUSTAKA
dalam tabel 3. Berdasarkan tabel 3 maka biskuit kelor dapat mencukupi kebutuhan energi dan protein bagi balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Sehingga dengan pemberian biskuit kelor terfortifikasi sebagai makanan tambahan dapat mengatasi masalah gizi kurang dan gizi buruk pada balita miskin. Adapun jumlah pemberian biskuit kelor pada balita yang mengalami gizi kurang dan gizi disesuaikan dengan berat badan balita.
3.
SIMPULAN Tanaman kelor yang selama ini dikenal
sebagai tanaman pagar mengandung zat-zat gizi makro dan mikro yang sangat tinggi. Kehadiran kelor
sebagai
tanaman kaya
nutrisi
dapat
dijadikan sebagai jawababan untuk mengatasi masalah gizi kurang gizi buruk pada balita di Indonesia. Tanaman kelor yang kaya dengan nutrisi dapat diolah menjadi biskuit kelor sebagai makanan tambahan bagi balita untuk mengatasi gizi kurang dan gizi buruk pada balita. Dengan pemberian biskuit kelor terfortifikasi secara gratis bagi balita dari keluarga miskin, diharapkan mampu menurunkan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Indonesia, proses pertumbuhan dan perkembangan
balita
berlangsung
[1]
Depkes RI. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010 Diluncurkan; 2007. [diakses 19 Agustus 2013]. Available from: http://digilib.litbang.depkes.go.id. [2] AzwarA. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Depan. Jakarta: Derjen Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan; 2004. [diakses 20 Agustus 2013]. Available from: http://www.depkes.go.id. [3] Almatsier, Sunita. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan 9. Jakarta: PT SUN; 2009. [4] Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; 2010. [diakses 19 Agustus 2013]. Available from: http://www.depkes.go.id. [5] Soegeng S, Ann L. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta; 2004. [6] Badan Pusat Statistik. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, Garis Kemiskinan, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Menurut Provinsi ; 2010 [7] Departemen Kesehatan R.I. Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) bagi bayi. Jakarta: Dirjen Binakesmas Depkes R.I.; 2000. [8] Fuglie LJ. New Uses of Moringa Studied in Nicaragua. ECHO Development Notes #68, June 2000. Available from: http://www.echotech.org/network/modules.p hp?name=News&file=articlid=194Backer CA, van der Brink RCB. Flora of Java vol II. Groningen: N.V.P. Noorfhoff; 1963 [9] Unicef. 1998. The State of The Worldâ&#x20AC;&#x2122;s Children. 1998 [10] Suwahyono, Untung. Khasiat Ajaib si Pohon Gaib. Yogyakarta: Andi Offset; 2008
secara
optimal, meningkakan intelegensi balita, dan membantu pemerintah dalam penekanan biaya 32
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Advertorial
SUSHI BERBAHAN BERAS JAGUNG PULUT: PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN GUNA MEMANFAATKAN POTENSI LOKAL SULAWESI SELATAN 1
2
Ainum Jhariah Hidayah, Irma Ariany Syam, Sri Rahayu Indah S
3
1
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar 2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar 3 Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin Makassar
ABSTRAK Diversifikasi pangan merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan ketahanan pangan. Diversifikasi pangan dapat dilakukan dengan mengedepankan pangan unggulan lokal. Sulawesi Selatan termasuk salah satu daerah penghasil utama jagung di Indonesia, jagung merupakan bahan pangan pokok kedua setelah beras, pada tahun 2008 mengalami peningkatan sebesar 10,76% bila dibandingkan dengan produktivitas jagung pada tahun 2004. Jagung khas Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut merupakan jagung lokal dengan warna biji putih, rasa enak, gurih, dan pulen yang dapat dikonsumsi dalam berbagai jenis olahan. Studi pustaka ini bertujuan untuk mengetahui potensi sushi berbahan beras jagung pulut dapat mengembangkan diversifikasi pangan dan mengetahui peluang sushi ini sebagai tren di kalangan masyarakat. Sebagaimana kandungan nutrisi yang dimiliki jagung, menunjukkan bahwa sangat mendukung dalam upaya penganekaragaman pangan berbahan baku. Jagung termasuk jagung pulut yang diolah menjadi beras jagung pulut sebagai bahan pembuatan sushi yang memungkinkan untuk dikembangkan dalam menunjang diversifikasi pangan. Sushi berbahan beras jagung pulut ini menunjang dalam diversifikasi pangan karena jagung merupakan sumber kalori pengganti untuk dikonsumsi. Dengan demikian, sushi berbahan beras jagung pulut sangat berpotensi dalam upaya diversifikasi pangan dan mempunyai peluang menjadi tren di masyarakat karena disajikan dalam bentuk unik, bergizi dan harga lebih ekonomis. Kata kunci: diversifikasi pangan, jagung pulut, sushi
ABSTRACT Food diversification is one of the cornerstones in realizing food security. Diversification can be done by promoting local food excellent. South Sulawesi is one of the major maize producing areas in Indonesia; maize is the second staple food after rice, in 2008, an increase of 10.76 % when compared with the productivity of maize in 2004. South Sulawesi is typical corn corn sticky rice is a local maize seed with a white color, good taste, savory, and fluffier that can be consumed in a variety of preparations. This literature study aims to determine the potential know sushi rice made from sticky rice corn can develop diversification opportunities sushi and know this as a trend among the people. As the nutrient content owned corn, showed that strongly supports the efforts of diversification of food raw materials. Waxy corn including corn is processed into corn rice sticky rice as sushi making materials that allow it to be developed to support diversification. Waxy corn sushi rice is made to support the diversification of food because corn is a source of calories substitute for consumption. Thus, sushi made from sticky rice corn rice potential in diversification efforts and has the opportunity to be a trend in society as presented in the form of a unique, nutritious and more economical price. Keywords: diversification, corn sticky rice, sushi
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
33
1. PENDAHULUAN
gurih, dan pulen yang dapat dikonsumsi dalam
Konsumsi beras dunia rata-rata 60 kg per
kapita
per
tahun.
Namun
demikian,
berbagai
jenis
olahan
makanan
mendukung diversifikasi pangan.
konsumsi beras Indonesia mencapai 139 kg per
untuk
(3)
Diversifikasi konsumsi pangan pada
kapita per tahun pada tahun 2009. Angka
dasarnya
tersebut
dibandingkan
dalam kegiatan konsumsi sesuai dengan cita
Malaysia dengan 80 kg per kapita per tahun,
rasa yang di inginkan, menghindari kebosanan
Thailand 90 kg per kapita per tahun, dan
untuk mendapatkan pangan dan gizi agar dapat
(1)
hidup sehat. Agar masyarakat tertarik dengan
Tingginya konsumsi beras di Indonesia tidak
diversifikasi pangan terutama tanaman jagung,
sebanding dengan produksi beras nasional.
maka perlu dilakukan suatu inovatif dalam
Oleh sebab itu, diperlukan diversifikasi pangan
bentuk sajian unik. Tidak perlu langsung
untuk menurunkan konsumsi beras perkapita.
berganti secara total dalam konsumsi beras,
jauh
lebih
tinggi
Jepang sebesar 60 kg per kapita per tahun.
Diversifikasi pangan merupakan salah satu
pilar
dalam
mewujudkan
ketahanan
beras.
pangan
Salah
dapat
satu
pilihan
masyarakat
akan tetapi lebih kepada penurunan konsumsi beras.
pangan dan sebagai solusi dalam mengurangi konsumsi
memperluas
Sushi
merupakan
makanan
khas
diversifikasi
Jepang yang terbuat dari nasi yang dibentuk
dengan
dengan kombinasi isian seperti daging, ikan
dilakukan
mengedepankan pangan unggulan lokal. Salah
maupun
satu pangan unggulan lokal di Indonesia adalah
menggunakan seafood. Nasi yang digunakan
jagung. Jagung merupakan bahan pangan
diolah dari beras Jepang atau Japonica (Oryza
pokok kedua setelah beras. Selain sebagai
sativa var. japonica) yaitu beras berbulir pendek
sumber karbohidrat, jagung juga merupakan
(short-grain) yang memiliki tektur yang khas
sumber protein yang penting dalam menu
dan sifat lengket yang unik. Sushi ala Indonesia
masyarakat di Indonesia.
tidak berasal dari beras jepang melainkan dari
Sulawesi Selatan termasuk salah satu
sayuran
tetapi
pada
umumnya
beras biasa yang dicampur dengan beras ketan
daerah penghasil utama jagung di Indonesia.
agar
memiliki
Pada tahun 2008, daerah ini memiliki luas
Jepang.
panen jagung 261.490 ha, produksi 994.981 ton
sifat
lengket
seperti
beras
Jagung pulut memiliki sifat lengket
dengan produktivitas 3,81 t/ha. Produktivitas
yang
tersebut
sebesar
domestik cocok disajikan dalam bentuk sushi.
10,76% dibandingkan dengan tahun 2004 yang
Oleh karena itu, penulis mengangkat judul
mengalami
peningkatan
mencapai produktivitas sebesar 3,44 t/ha.
(2)
Umumnya jenis jagung yang disenangi
dapat
dikombinasikan
beras
â&#x20AC;&#x153;Sushi Berbahan Beras Jagung Pulut sebagai Sajian Unik dalam Upaya Pengembangan
masyarakat untuk dikonsumsi sebagai pangan
Diversifikasi
pokok adalah jagung putih varietas lokal. Salah
Potensi Lokal Sulawesi Selatanâ&#x20AC;&#x153;.
satu jenis
dalam
jagung putih varietas lokal adalah
Pangan
Berdasarkan
Guna
latar
Memanfaatkan
belakang
diatas,
Jagung pulut (Waxy Corn). Jagung pulut
maka perlu dilakukan studi pustaka untuk (1)
merupakan
mengetahui potensi sushi berbahan beras
jagung lokal
khas Sulawesi
Selatan dengan warna biji putih, rasa enak,
34
jagung
pulut
dapat
mengembangkan
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
diversifikasi pangan. (2) mengetahui peluang
potensi produksi padi mencapai 9 ton/ha.
sushi berbahan beras jagung pulut dapat untuk
Produksi padi di Sulawesi Selatan selain untuk
menjadi tren di kalangan masyarakat.
memenuhi kebutuhan penduduk di Sulawesi
Manfaat dari studi pustaka ini yaitu: (1) peluang
usaha
bagi
masyarakat;
(2)
Selatan juga kebutuhan penduduk di Sulawesi Selatan.
Meningkatkan nilai ekonomis jagung lokal Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut
luar
Kebutuhan
beras
setiap
tahun
mengalami peningkatan seiring pertumbuhan jumlah
2. PEMBAHASAN
penduduk.
Permintaan
beras
di
Sulawesi Selatan rata-rata 401.800 ton/tahun
Kementerian
perdagangan
(diasumsikan kebutuhan beras per orang 125
mengasumsikan, konsumsi beras masyarakat
kg/tahun). Dengan demikian, Sulawesi Selatan
di Indonesia mencapai kisaran 130 kg-140 kg
mengalami surplus beras yang cukup besar.
per orang per tahun atau tertinggi di kawasan
Surplus
ASEAN. Dibandingkan dengan konsumsi beras
memenuhi kebutuhan beras masyarakat yang
di
berdomisili di Sulawesi Selatan maupun luar
antara
negara-negara
ASEAN
lainnya,
seperti Thailand dan Malaysia hanya berkisar
beras
ini
akan
digunakan
Sulawesi Selatan yang terus meningkat.
untuk
(4)
65 kg-70 kg per orang per tahun. Berbagai
Namun demikian, produksi beras yang
pihak menilai, hal ini terkait dengan program
ada di Sulawesi Selatan belum tentu akan
diversifikasi
menutupi
semua
Indonesia
akan
pangan
seperti
singkong
dan
jagung belum berlangsung optimal.
kebutuhan beras.
Di
masyarakat samping
Dari data yang dilansir Kementerian
pemerintah
juga
Pertanian disebutkan, produksi padi nasional
masyarakat
Indonesia
mencapai 68,062 juta ton gabah kering giling
menurun tidak mencapai 140 kilogram per
per November 2011. Angka itu mengalami
orang
peningkatan
ton
mengandung karbohidrat tinggi dan unsur yang
dibandingakan pada 2010. Salah satu pemasok
kurang sehat, jika terlalu banyak mengonsumsi
tertinggi untuk beras di Indonesia adalah
beras.
sebesar
1,592
juta
Sulawesi Selatan.
pertahun.
Sejak
Sulawesi Selatan merupakan salah
menginginkan
itu
akan
Apalagi,
tahun
2006,
konsumsi
beras
makan
pola
bisa
beras
konsumsi
pangan pokok (sumber karbohidrat) masih
satu sentra produksi beras nasional dan juga
didominasi
dikenal
Ketergantungan yang berlebihan pada beras
sebagai
lumbung
beras
nasional.
beras
dan
menyebabkan
Selatan meliputi; Kabupaten Bone, Soppeng,
peluang untuk memanfaatkan bahan-bahan
Wajo, Sidrap, Pinrang, dan Luwu. Produksi padi
pangan yang sebenarnya dapat mensubtitusi
di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 mencapai
beras. Kerawanan pangan
4.324.179 ton dengan tingkat produktivitas 5
akibat diversifikasi konsumsi justru mengarah
ton/ha.
dapat
pada pangan olahan berbahan baku impor
teknologi
(gandum). Oleh karena itu, konsumsi pangan
ditingkatkan produksi
melalui
dan
tersebut penerapan
penanganan
panen
dan
sebagian
terigu.
Kawasan pengembangan padi di Sulawesi
Produktivitas
tertutupnya
tepung
besar
juga bertambah
masyarakat perlu didorong agar mengonsumsi
pascapanen yang tepat dan efisien. Karena
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
35
pangan sumber karbohidrat lainnya. Salah satunya adalah jagung.
Jagung pulut yang diolah menjadi beras jagung pulut sebagai bahan pembuatan
Jagung, sebagai bahan pangan pokok
sushi,
yang
memungkinkan
untuk
kedua setelah beras, selain sebagai sumber
dikembangkan dalam menunjang diversifikasi
karbohidrat juga merupakan sumber protein
pangan.
yang penting dalam menu masyarakat di Indonesia.
Jagung
kaya
akan
komponen
Sushi berbahan beras jagung pulut merupakan
adopsi
makanan
dari
negara
pangan fungsional antara lain; serat pangan
matahari terbit, Jepang sebagai sajian unik
yang
dalam
dibutuhkan tubuh (dietary fiber), asam
lemak esensial, isoflavon, mineral Fe (tidak ada dalam
terigu),
β-karoten (pro
upaya
pengembangan
diversifikasi
pangan dengan memanfaatkan salah satu
vitamin A),
potensi lokal Sulawesi Selatan yaitu jagung
komposisi asam amino esensial, dan lainnya.
pulut. Sushi berbahan beras jagung pulut ini
Pangan fungsional saat ini berkembang sangat
sangat menunjang dalam diversifikasi pangan
pesat,
karena
seiring
dengan
semakin
tingginya.
jagung
merupakan
sumber
kalori
Jagung merupakan komoditas palawija utama
pengganti atau suplemen bagi beras untuk
di Indonesia ditinjau dari aspek pengusahaan
dikonsumsi.
dan penggunaan hasilnya, yaitu sebagai bahan
karbohidrat, jagung juga merupakan sumber
baku pangan dan pakan. penduduk
Indonesia
(5)
Sekitar 18 juta
menggunakan
sebagai bahan makanan pokok. Produksi
jagung
jagung
(6)
yang
Selain
sebagai
sumber
protein yang penting dalam menu makanan sehingga gizi tetap terjaga. Kandungan serat pangan juga yang terkandung pada jagung
terkenal
di
memiliki peranan penting dalam memelihara
Sulawesi Selatan adalah produksi jagung pulut.
kesehatan tubuh serta membantu mencegah
Jagung pulut merupakan salah satu potensi
datangnya penyakit.
lokal Sulawesi Selatan, dimana cukup banyak
Munculnya beragam restoran Jepang di
digemari oleh masyarakat karena rasanya
Indonesia menunjukkan bahwa sushi diterima
enak, pulen dan gurih. Kandungan gizi dari
lidah orang Indonesia.
olahan jagung pulut cukup tinggi, sehingga baik
Sulawesi
untuk dikonsumsi dalam upaya diversifikasi
bermunculan restoran atau toko kuliner khas
pangan.
jepang utamanya sushi. Sushi ini dengan aneka Diversifikasi
sudah
pangan
didengungkan
Makassar
sudah
mulai
rasa yang berbeda dan dijamin cocok di lidah warga Makassar. Harga pun terbilang murah
Namun, perkembangannya sangat lambat dan
untuk makanan khas jepang, seperti ini diberi
jauh
harga mulai dari 15.000 rupiah hingga 30.000
harapan.
Untuk
tahun
Begitupun di Ibukota
50-an.
dari
sejak
sebenarnya
Selatan,
(7)
itu
diperlukan
perkembangan diversifikasi pangan ke arah
rupiah perporsinya.
yang lebih inovatif dan lebih mudah diterima
Pati jagung varietas pulut lokal terbukti
oleh masyarakat. Manfaat yang dimiliki jagung
memiliki daya cerna yang cukup rendah. Hal
sebagaimana
nutrisinya,
tersebut
menunjukkan bahwa sangat mendukung dalam
diabetes
upaya
pangan
kandungan
penganekaragaman
berbahan baku jagung.
36
pangan
yang
sangat
membantu
yang memerlukan karbohidrat
yang
bagi penderita pemenuhan tidak tercerna
sempurna menjadi glukosa. Berbeda dengan
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
penderita penyakit lambung, mengonsumsi
bahan
tidak dianjurkan
yang
mengandung
Sejauh ini, jagung pulut di Indonesia seolah menjadi
khas
Sulawesi
saja.
Masyarakat
amilopektin tinggi termasuk beras pulut maupun
Sulawesi Selatan khususnya mengonsumsi
jagung pulut.
jagung pulut sebagai salah satu makanan
Olahan jagung termasuk jagung pulut
pokok yang terus bertahan. Jagung pulut
dapat dijadikan sebagai pengganti konsumsi
Sulawesi
nasi dari beras dan kebutuhan pangan lainnya.
konsumen dibanding yang dihasilkan daerah
Dengan demikian, usaha tani jagung pulut
lain Indonesia. Cita rasanya dinilai lebih enak,
dapat
lebih gurih, lebih pulen dan lembut.
mendukung
kemandirian
pangan.
memang
lebih
memikat
selera
Berdasarkan hal ini, bagi stake holder yang berminat
menangkar
benih
jagung
pulut
peluangnya cukup menjanjikan karena usaha
Perbandingan Nilai Ekonomi dari Beras Biasa dan Beras Jagung Pulut.
tani jagung pulut efisien dan menguntungkan bagi
petani
sehingga
pendapatannya.
dapat
menambah
(8)
Nilai tambah yang dapat diperoleh dari usaha
pengolahan
menguntungkan
jagung
pulut
karena
adalah
menambah
Sushi berbahan beras jagung pulut diharapkan
menjadi
sebuah
komoditas
produk
lokal
trend
inovasi
yang
bernilai
internasional. Untuk wilayah Indonesia yang harus
mengimpor
beras
khusus
dalam
pembuatan sushi dianggap sebagai salah satu
pendapatan petani sehingga kegiatan tersebut
tantangan
member
Marakanya toko sushi yang mulai berkembang
harapan
untuk
dikembangkan.
tersendiri
dalam
Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku
merupakan
industri makanan terobosan seperti sushi akan
memiliki
member nilai tambah bagi usaha tani komoditas
dikembangkan menjadi salah satu tren bisnis
tersebut. Sehingga prospek pengembangan
baru. Namun demikian, kendala yang dihadapi
dalam pengolahan akan semakin didukung oleh
pelaku bisnis sushi dalam mengembangkan
bertambahnya keunggulan diversivikasi baik
pasar sushi yakni harga yang mahal karena
dari
beras grain medium sebagai bahan pembuatan
segi
kesehatan
dalam
pemenuhan
sebuah potensi
dianggap
indikasi
pemasarannya.
yang
sangat
bahwa bernilai
sushi untuk
kebutuhan gizi serta mendorong nilai tambah
sushi
mahal
dan
sosial ekonomi.
menyebabkan harga sushi menjadi mahal.
Jagung pulut atau jagung ketan (waxy
Beras Nishiki Rice grain medium merupakan
corn) termasuk jenis jagung khusus yang
beras impor dari Jepang serta salah satu bahan
semakin banyak dibutuhkan konsumen atau
utama membuat sushi. Beras tersebut tidak
industri. Jagung khusus ditandai keunggulan
dijual dipasaran secara umum karena harganya
tersendiri
yang
seperti
kandungan
tinggi
bahan
mahal
yakni
Rp.100.000
hingga
berguna atau fungsional tertentu. Termasuk di
Rp.190.000 untuk Botan Rice hingga kualitas
antaranya
paling baik termasuk biaya pengiriman. Bila
jagung
pulut
yang
kandungan
amilopektinnya tinggi di atas 90%.
terjadi peningkatan harga beras menyebabkan
Upaya pengembangan beberapa jenis
turunnya daya beli masyarakat. Penurunan
jagung khusus sedang digencarkan, namun
daya beli masyarakat dalam pola konsumsi
untuk jagung pulut perhatian masih kurang.
dapat
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
terjadi
tidak
baik
secara
kuantitas
37
maupun
secara
kualitas
khususnya
bagi
kelompok berpendapatan rendah.
kualitas
rendah
sudah
melampaui
harga
pembelian pemerintah (HPP). Harga beras
Kondisi tersebut kemudian membuat
termurah berkisar Rp 6.500 per kg, sementara
beberapa alternatif dalam mengembangkan
HPP beras Rp 5.060 per kg. Karena itu, ia
usaha sushi yang bernilai setara dengan makan
mengusulkan agar kenaikan HPP sekitar 28
di restoran dengan harga relatif lebih murah
persen.
dibandingkan dengan makan di restoran pada
Untuk mengatasi masalah kenaikan
umumnya. Salah satu alternatif yang digunakan
harga beras yang akan menjadi masalah dalam
salah satunya dengan mengganti penggunaan
pengembangan
beras
dengan
jagung pulut merupakan salah satu alternatif
menggunakan jenis beras Pandan Wangi.
dalam hal ini. Biaya yang harus dikeluarkan
Beras tersebut memiliki tekstur yang mirip
beras jagung pulut Rp.6.200 perkilogram. Jika
dengan beras bahan asli sushi. Harganya juga
dibandingkan dengan harga beras biasa yang
jauh lebih murah dibandingkan dengan beras
digunakan
asli
pengehematan
Botan
untuk
Rice
sushi
medium
yakni
grain
Rp
10,000.00
perkilogram.
usaha
sushi
terdapat
maka
perbedaan
hingga
14,5%
beras
dan
daripada
penggunaan beras biasa dengan harga yang
Namun demikian, seiring dengan hal
semakin
naik
2
kali
oleh pelaku usaha yaitu naiknya harga beras.
kandungan gizi tinggi namun masih kurang
Saat ini, harga beras di sejumlah wilayah Rp
dalam pemanfaatan. Namun,minat masyarakat
7.500-Rp 9.000 per kg. Dari pemantauan
dalm konsumsi berbasis jagung masih sangat
Kompas, harga beras kualitas medium di
kurang.
Merauke, pekan lalu, berkisar Rp 8.500 per kg,
pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi
sementara di Karawang Rp 8.200 per kg.
jagung,tampilan produk pangan jagung yang
Berdasarkan
kurang menarik,dan adanya anggapan bahwa
dari
Kementerian
Perdagangan di sejumlah kota besar, harga
konsumsi
ini
pulut
2011.
Komoditas
Hal
jagung
dalam
tersebut tantangan baru yang dihadapi kembali
pantauan
beras
lipat
dikarenakan
berbahan
jagung
rata-rata beras pada pekan pertama Januari
kalangan ekonomi lemah.
tercatat 7.970 per kg. Harga beras termurah
Kenyataan
ini
memiliki
kurangnya
hanya
untuk
(9)
kemudian
menjadi
ada di Gorontalo, yakni Rp 6.250 per kg, dan
peluang yang besar dalam memulai tren baru
termahal di Manokwari, Rp 11.000 per kg.
dalam pemanfaatan inovasi jagung yang diolah
Harga beras rata- rata tahun 2011 tercatat Rp
menjadi beras jagung pulut kemudian menjadi
7.372 per kg, naik Rp 860 per kg dari tahun
bahan dasar sushi yang bernilai gizi tinggi
2010. Harga beras rata-rata tertinggi tahun
dengan harga rendah. Keuntungan yang aka
2011 pada Desember, yakni Rp 7.802 per kg,
diraih tidak hanya konsumer produk sushi
sementara harga terendah pada Mei, yakni Rp
berbahan beras jagung pulut tetapi juga oleh
7.040 per kg.
pelaku bisnis sushi yang mampu menekan
Kenaikan
akan
biaya bahan bulanan hingga 14%. Kondisi ini
berdampak pada kenaikan harga jual lainnya
didukung pula oleh kenyataan di lapangan
seperti sushi yang menjadikan beras menjadi
bahwa
bahan utama pembuatannya. harga beras
sumber karbohidrat lainnya. Meski sudah ada
38
harga
beras
tentu
Peran beras belum tergantikan oleh
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
instruksi Presiden No 4 Tahun 1974 yang
gizi
yang
baik,
namun
belum
mendapat
disempurnakan menjadi Inpres No. 20 Tahun
perhatian yang lebih serta memiliki nilai jual
1979 soal Penganekaragaman Menu Makanan
sehingga pengelolaan beras jagung pulut layak
Rakyat .
untuk dikembangkan. Hingga kini pemanfaatan
Diversifikasi pangan terkait dengan
jagung pulut yang masih kurang pada wilayah
upaya mengubah selera dan kebiasaan makan.
pembuatan nasi yang dikenal dengan beras
Karena
jagung
itu,
pokok
peningkatan
kegiatan
pengetahuan,
ini
berupa
sosialisasi,
dan
pulut,
dikonsumsi
pakan
ternak
biasa
ayam,
oleh
serta
masyarakat.
promosi mengenai pola pangan beragam,
Pemanfaatan tersebut masih terbatas pada
bergizi, berimbang. Dengan mengonsumsi pola
konsumsi
pangan yang lebih beragam, bergizi dan
mentah yang masih kurang sehingga dengan
kandungan
inovasi
nutrisi
yang
berimbang,
maka
dasar
serta
pembuatan
pengelolaan
sushi
bahan
berbahan
beras
kualitas kesehatan akan semakin baik. Hasil
jagung pulut dianggap mampu menambah nilai
ikutannya adalah konsumsi beras per kapita
ekonomi untuk berbagai pihak yakni petani
diharapkan
menurun.
diasumsikan
mampu
inovasi
(10)
Data
tersebut
beras
jagung
pulut.
Sehingga
dengan
adanya
pemanfaatan jagung pulut (maxi corn) dapat
tren makanan sushi berbahan beras
menjadi salah satu solusi upaya peningkatan
mendukung
jagung pulut yang memiliki unsur nilai gizi yang
nilai
tambah
khususnya
baik dan belum terkelola dalam hal diversifikasi
ekonomi petani jagung pulut.
pada
nilai
sisio-
pangan. Masyarakat Indonesa sangat mengikuti
4. SIMPULAN
tren suatu produk di pasar saat ini yang dapat mendukung
berkembangnya
usaha
sushi
Sushi berbahan beras jagung pulut merupakan
adopsi
murah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi
pengembangan diversifikasi pangan dengan
perekonomian Indonesia yang baik serta selera
memanfaatkan
masyarakat untuk mencoba produk yang unik.
Sulawesi Selatan yaitu jagung pulut.
Bila
berbahan
kondisi
salah
beras
dalam
Jepang
sebagai
ketika
unik
dari
berbahan beras jagung pulut dengan harga
membandingkan
sajian
makanan
satu
jagung
upaya
potensi
pulut
ini
lokal Sushi sangat
perekonomian Indonesia yang dilanda krisis
menunjang dalam diversifikasi pangan karena
yang membuat daya beli menjadi turun, tren
jagung merupakan sumber kalori pengganti.
penjualan akan menjadi salah satu aspek yang
Komoditas beras jagung pulut memiliki
terkena dampak atas kondisi tersebut. Bila
kandungan gizi tinggi namun masih kurang
terjadi peningkatan harga beras menyebabkan
dalam pemanfaatan dan minat masyarakat
turunnya daya beli masyarakat. Penurunan
dalam konsumsi berbasis jagung masih sangat
daya beli masyarakat dalam pola konsumsi
kurang.
dapat
pengetahuan masyarakat akan kandungan gizi
terjadi
maupun
tidak
secara
baik
kualitas
secara
kuantitas
khususnya
bagi
kelompok berpendapatan rendah. Selain memiliki potensi
Hal
ini
dikarenakan
kurangnya
jagung, tampilan produk pangan jagung yang kurang menarik, dan adanya anggapan bahwa
dalam
hal
diversifikasi pangan karena memiliki kandungan
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
konsumsi
berbahan
jagung
hanya
untuk
kalangan ekonomi lemah. Hal ini dapat menjadi
39
peluang yang besar dalam memulai tren baru dalam pemanfaatan inovasi jagung yang diolah menjadi beras jagung pulut. Keuntungan yang aka
diraih
tidak
hanya
produsen
sushi
[10]. Suryana, A. dan S. Mardianto. Ketahanan Pangan, Mati-Hidupnya Suatu Bangsa, 2002. [Internet]. Available from: http://gigihnusantaraid@yahoo.com [diakses 1 Juli 2012]
berbahan beras jagung pulut tetapi juga oleh pelaku bisnis sushi yang mampu menekan biaya bahan bulanan hingga 14%.
5. SARAN Perlu
dilakukan
penelitian
tentang
perhitungan kalori dan kandungan gizi beras jagung pulut.
DAFTAR PUSTAKA [1]. Permanasari, Indira. Pangan Unggulan Lokal untuk Diversifikasi Pangan. [internet] Available from: www.kompas.com [diakses 7 Juli 2012]. [2]. BPS Indonesia Tahun 2009. [3]. Syuryawati, Margaretha, Hadijah. Pengolahan Jagung Pulut Menunjang Diversifikasi Pangan dan Ekonomi Petani. Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010; 619-626. [4]. TabloidSartini.com [internet]. Meningkatkan Surplus Beras. Available from: http://tabloidsinartani.com/Potensi/SulselMeningkatkan-Surplus-Beras.html [diakses 10 Juli 2012] [5]. Surasutha IGP. Kinerja Usaha Tani dan Pemasaran Jagung di Sentra Produksi. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2002;21(2). [6]. Suherman, O., Burhanuddin, Faesal, M. Dahlan, F. Kasim. Pengembangan jagung unggul nasional bersari bebas dan hibrida. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, 2002. [7]. Amaliafitri, Andhini. Sushi, Tren kuliner Masa Kini, 2009. [internet] Available from: http://ramadan.okezone.com [Diakses 7 juli 2012]. [8]. Syuryawati, Faesal. Usaha Tani Jagung Pulut Mendukung Kemandirian Pangan dan Peningkatan Pendapatan Petani. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. [Internet]. Available from: http:// balitsereal.litbang.deptan.go.id [diakses 20 Juni 2012]. [9]. Suwarni. Ragam Produk dari Serelia. Maros: Badan Penelitian Tanaman serelia. 2010. 40
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Advertorial
EFEKTIVITAS KINERJA MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DALAM RANGKA PENURUNAN TINGKAT KEMATIAN ANAK DI INDONESIA Novi Luthfiana Putri 1
1
Fakultas Ekologi Manusia, Gizi Masyarakat, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK Kematian pada anak (bayi, balita, dan anak-anak) adalah salah satu masalah yang merupakan persoalan utama bagi beberapa Negara. Kematian pada anak merupakan refleksi sosial, ekonomi, kondisi lingkungan, dan kesehatan anak-anak.Selain itu, kematian pada anak juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi populasi yang terkena serangan penyakit. Berbagai upaya dari berbagai Negara untuk menurunkan angka kematian anak adalah dengan membentuk MDGs ((Millennium Development Goals) yang terdiri dari delapan gol yang akan dicapai pada tahun 2015, salah satu gol MDGs adalah mengurangi tingkat kematian anak di bawah lima tahun hingga dua pertiga angka kelahiran mulai 1990 hingga 2015. Indonesia adalah salah satu Negara yang menyetujui MDGs. Angka kelahiran dan angka kematian anak di Indonesia masih relatif tinggi, terbukti dengan Indonesia yang masih jauh dari target MDGs yang diekspektasikan tercapai pada 2015. Banyak faktor yang harus diperhatikan untuk menurunkan angka kematian anak dalam rangka mencapai MDGs 2015. Kata kunci : kematian anak, MDG (Millennium Development Goals) ABSTRACT Death of children that consist of Infants, Toddlers, and kids is one of the problem that still a major issue for some countries. Child mortality is a reflection of the social, economic and environmental conditions of children living including their health care. Besides child mortality also can be used to identify a population who is attacked by disease. Efforts of some countries in the world to reduce the mortality rate in children is by shaping the MDGs (Millennium Development Goals) that consist of eight goals expected in 2015 and one of its goals is to reduce child mortality with a target of under-five kids mortality, between 1990 and 2015 reaching two per three of its fertility. Indonesia is one of the countries that agreed to the MDGs. Indonesia birth rates and child mortality rates are quite high. It reflects that Indonesia is still far from the target of the MDGs which is expected in 2015. There are many factors that must be tied to reduce child mortality in Indonesia to achieve the MDGs in 2015. Keywords: Child mortality, MDG (Millennium Development Goals)
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
41
1. PENDAHULUAN
Salah
Sebanyak 189 negara anggota PBB sepakat
untuk
tujuan
MDGs
adalah
menurunkan angka kematian anak hingga dua
Deklarasi
pertiga. Angka kematian anak yang dimaksud
Milenium Pada Konferensi
dalam MDGs mencakup angka kematian bayi,
Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan
balita, dan anak-anak. Kematian anak balita
Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000.
(anak usia di bawah 5 tahun) menjadi penting
Deklarasi ini menghimpun komitmen untuk
karena
menangani
keamanan,
kematian global anak-anak di bawah usia 18
kebebasan
tahun. AKA adalah jumlah anak yang dilahirkan
fundamental dalam satu paket. Dalam konteks
pada tahun tertentu dan meninggal dinyatakan
inilah, negara-negara anggota PBB kemudian
sebagai angka per 1000 kelahiran hidup.
mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium
Kematian anak merefleksikan kondisi sosial,
(Millennium Development Goals atau MDGs)
ekonomi dan lingkungan tempat anak-anak
sebagai kesepakatan bersama.
hidup termasuk perawatan kesehatan mereka.
Pembangunan
mengadopsi
satu
isu
pembangunan,
perdamaian,
hak
asasi
Pemerintah
dan
lebih
dari
90
persen
selaku
Angka kematian anak sering digunakan
Milenium,
untuk mengidentifikasi populasi yang mudah
berkomitmen menjadikan MDGs sebagai salah
atau rentan (vulnerable) terserang penyakit
satu acuan utama dalam penyusunan program
karena data insiden dan prevalen penyakit
pembangunan nasional, dan secara kontinyu
(data morbiditas) sering tidak tersedia dengan
melaporkan posisi pencapaian MDGs sampai
baik (SDKI, 2007). Menurut data, AKA di
dengan tahun 2015. Laporan pencapaian yang
Indonesia
pertama telah dikeluarkan pada tahun 2004
dibandingkan dengan negara lain di kawasan
yang memperlihatkan posisi pencapaian MDGs
ASEAN. Berdasarkan data BKKBN tahun 2012,
dari tahun 1990-2003. Dalam laporan MDGs
Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia
yang pertama, disampaikan bahwa pencapaian
mencapai 44 per 1.000 kelahiran dan Angka
MDGs di Indonesia bukan merupakan hal yang
Kematian Bayi Indonesia adalah 34/1.000
mudah. Diperlukan kerjasama semua pihak
kelahiran hidup. Sedangkan target MDGs pada
untuk
untuk
tahun 2015 adalah menurunkan AKBA hingga
mencapai tujuan-tujuan MDGs. Selain itu, salah
32/1000 kelahiran hidup dan Angka Kematian
satu permasalahan yang sangat penting dan
Bayi (AKB) sebesar 23 per 1000 kelahiran
perlu
hidup. Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang
penandatangan
Indonesia
mencakup
Deklarasi
melakukan
upaya
mendapatkan
bersama
perhatian
adalah
masih
tergolong
mengenai
pencapaian MDGs memerlukan biaya yang
Indonesia dalam mewujudkan target MDGs
sangat besar. Hal ini sesuai dengan hasil kajian
pada poin menurunkan angka kematian anak
yang dilakukan oleh UN Millennium Projects
sebagai upaya prevention, promotion, dan
bahwa pencapaian target MDGs akan sulit
proactive dalam bidang kesehatan masyarakat
dilakukan oleh negara miskin dan berkembang
di Indonesia.
adanya
peningkatan
signifikan dari negara maju.
bantuan
yang
Artikel mengulas Indonesia,
42
ilmiah
kinerja
jika
pembiayaan untuk pencapaian MDGs. Upaya
tanpa
efektivitas
tinggi,
ini
efektivitas khususnya
pemerintah
bertujuan
kinerja
untuk
MDGs
dalam
di
upaya
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
menurunkan
tingkat
kematian
anak
dan
Development
Index
(HDI)
(UNDP,
2001).
kaitannya dengan upaya-upaya prevention,
Ditinjau dari HDI, Indonesia menduduki ranking
promotion,
dan
bidang
109 dari 174 negara (UNDP, 2000), jauh
kesehatan
masyarakat
sebaiknya
tertinggal dari Negara-negara ASEAN lainnya.
proactive
dalam
yang
dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
Ranking
Indonesia dalam mewujudkan salah satu target
cenderung lebih buruk (tahun 2003 urutan 112
MDGs yaitu menurunkan tingkat kematian
dari
anak.
Indonesia juga menduduki urutan yang tak dapat
2. PEMBAHASAN Anak di
Indonesia
indikator
kuat
175
relatif
tak
negara).
beranjak,
Sementara
dibanggakan.
Menurut
bahkan
itu,
data,
AKA
angka
Kematian Bayi (AKB) di Indonesia masih
2.1. Realitas Tingkat Kematian
Tingkat
ini
tergolong tinggi, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN. Berdasarkan
kematian untuk
pembangunan
anak
menilai
merupakan
tinggi
2010, AKB di
keberhasilan
Indonesia mencapai 31 per 1.000 kelahiran.
suatu
Berikut ini adalah grafik mengenai angka
kesehatan
negara.Semakin
Human Development Report
tingkat
kematian
anak,maka semakin buruk kinerja pencapaian
kematian
bayi
di
Indonesia
dibandingkan
dengan Negara lainnya.
Millenium Development Goals (MDGs) suatu negara,sementara bila semakin rendah tingkat kematian anak di suatu Negara,maka semakin baik kinerja pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) Negara tersebut. Oleh sebab itu,penurunan tingkat kematian anak menjadi salah satu dari delapan target utama dalam pencapaian
Millenium
Development
Goals
(MDGs) 2000-2015. Sebelum tentang
tingkat
Indonesia,perlu
Gambar 1. Angka kematian bayi di Indonesia
menganalisis
di
lebih
kematian ketahui
jauh
anak
terlebih
dahulu
definisi dan perbedaan antara bayi dan anak. Bayi adalah manusia yang berusia 0 sampai 12 bulan. Anak (anak balita) adalah manusia yang berusia 1 sampai 5 tahun (BKKBN,2012). Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Anak (AKA), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup Waktu Lahir (AHH) telah ditetapkan sebagai indikator derajat kesehatan dalam Indonesia Sehat 2010 (Depkes, 2003). AHH bahkan digunakan sebagai salah satu komponen
untuk
menghitung
dengan negara lainnya (Sumber: WHO, 2005)
di
Human
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Berdasarkan
grafik
di
atas,
dapat
diketahui bahwa AKB di Indonesia lebih tinggi daripada Negara Muangthai, Filipina, Srilangka, dan
Malaysia
yaitu
menembus
46/1000
kelahiran hidup pada tahun 2005 (WHO 2005). Berdasarkan
data
yang
bersumber
dari
Kementerian Kesehatan tahun 2011 angka kelahiran hidup anak di berbagai provinsi di tanah air cukup tinggi. Namun, pada
data
Estimasi Angka Kematian Bayi, Balita dan Angka Harapan Hidup, menunjukkan realitas yang cukup kontradiktif, bahwa dari angka
43
kelahiran hidup yang relatif tinggi di Indonesia,
sekitar 8.74%. Selain itu, resiko kematian anak
ternyata estimasi tingkat kematian bayi dan
akan meningkat bila keadaan ibu yang terlalu
balita juga cukup tinggi, dimana estimasi
muda (untuk menikah, hamil, dan punya anak),
kematian balita lebih tinggi dari pada estimasi
usia
angka kematian bayi di berbagai provinsi di
kehamilan terlalu sering, dan jarak kehamilan
tanah air. Secara umum, dapat diidentifikasi
terlampau
bahwa angka harapan hidup perkelahiran hidup
keadaan masyarakat seperti pendidikan, sosial
di berbagai provinsi di tanah air, tidak ada yang
ekonomi dan budaya yang belum mumpuni
melebihi proporsi 80%. Artinya, realitas tingkat
dalam mendukung pola hidup sehat, tanggap
kematian anak hingga tahun 2011, secara
persalinan aman dan sehat serta tanggap
internal (33 provinsi di tanah air) di Indonesia
kesehatan bayi dan anak. Kondisi ini erat terkait
masih terbilang tinggi. Padahal program MDGs
dengan
telah berlangsung sejak tahun 2000, namun
kematian ibu dan anak (Depkes, 2004:41).
terlalu
tua
tetapi
dekat,
masih
kondisi
tingginya
ibu
tingkat
produktif,
yang
KEK,
kesakitan
dan
realitas yang terjadi secara internal (tingkat kematian anak di Indonesia) maupun eksternal
2.2. Keterkaitan
program
MDGs
dengan
(perbandingan tingkat kematian anak dengan
tingkat kematian anak di Indonesia
Negara-negara ASEAN lain) masih belum
periode 2000-2012
menunjukkan tanda-tanda perbaikan, padahal
Seperti
yang
telah
dibahas
program MDGs berjalan kurang lebih hanya
sebelumnya, penurunan tingkat kematian anak
tinggal empat tahun lagi dari 2011 hingga 2015.
menjadi salah satu target utama dari delapan
Menurut
hasil
Riskesdas
2007,
butir
target
yang
hendak
dicapai
dalam
penyebab kematian bayi baru lahir 0-6 hari di
Millenium Development Goals (MDGs) 2000-
Indonesia
2015. Menurut data BKKBN 2010, angka
36,9%,
adalah
gangguan
prematuritas
32,4%,
pernapasan 12%,
kematian bayi, balita, dan neonatal berkurang
hipotermi 6,8%, kelainan darah/ikterus 6,6%
dari tahun ke tahun. Target MDGs adalah
dan lain-lain. Selain itu, penyebab kematian
menurunkan angka kematian anak hingga dua
bayi 7-28 hari adalah sepsis 20,5%, kelainan
pertiga jumlah awal. Di Indonesia, pada tahun
kongenital
15,4%,
1991, angka kematian balita mencapai 91/1000
prematuritas dan BBLR 12,8% serta RDS
kelahiran hidup, sedangkan angka kematian
12,8%. Menurut UNICEF (2001), menurunnya
bayi mencapai 68/1000 kelahiran hidup. Target
kualitas hidup anak pada usia 3 tahun pertama
MDGs,
hidupnya adalah gizi buruk, ibu sering sakit,
menurunkan angka kematian balita hingga
status
dan
32/1000 kelahiran hidup dan angka kematian
diskriminasi gender. Bayi dengan gizi buruk
bayi hingga 23/1000 kelahiran hidup pada
mempunyai resiko 2 kali meninggal dalam 12
tahun 2015. Berikut akan disajikan grafik target
bulan pertama hidupnya. Tingkat bayi gizi buruk
MDGs dalam penurunan tingkat kematian anak
di Indonesia masih terbilang tinggi.
Indonesia dari tahun ke tahun.
18,1%,
kesehatan
Berdasarkan
sepsis
pnumonia
buruk,
BPS,
kemiskinan,
Susenas
khususnya
di
Indonesia
adalah
2001,
prevalensi gizi kurang pada balita Indonesia
44
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
penurunan
tingkat
kematian
anak
pada
program MDGs dengan realitas kematian anak di
Indonesia
yang
Pemaparan
pada
menjelaskan
dengan
masih sub
tetap
bab
detail
tinggi.
sebelumnya
bahwa
tingkat
kematian anak Indonesia masih tetap
tinggi
dan program MDGs 2000-2012 belum mampu menyelesaikan permasalahan kematian anak di Indonesia. Beberapa hal yang menjadi penyebab Gambar 2. Pencapaian Target MDGs Angka
kurang efektifnya program MDGs di Indonesia
Kematian Anak dan Bayi di Indonesia
adalah hasil pelaksanaan MDG di Indonesia
(Sumber: SDKI dan BKKBN 2010)
menunjukkan Berdasarkan data-data di atas dapat diidentifikasi dicanangkan
bahwa
program
berakhir
mentargetkan
pada
penurunan
MDGs
yang
tahun
2015
tingkat
kematian
hingga dua pertiga jumlah awal di akhir program MDGs pada tahun 2015. Sayangnya, kemampuan Indonesia untuk merealisasikan target MDGs juga komitmen promosi kesehatan sangat diragukan. Sejumlah kalangan secara terang-terangan
menyatakan
Indonesia
tak
mungkin mencapai target-target MDGs. Data menunjukkan, dicanangkan,
hingga
11
pencapaian
tahun
MDGs
Indonesia
atas
sejumlah target masih sangat lambat bahkan cenderung mundur untuk target tertentu. Dalam Laporan
Tahunan
Pembangunan
Manusia
(Human Development Report) bertajuk Beyond Scarcity: Power, Poverty, and the Global Water Crisis, posisi Indonesia kian anjlok. Kinerja MDGs di Indonesia yang sudah berjalan hampir dua belas tahun dari periode 2000 hingga 2012 belum memberikan dampak positif yang sesuai target secara keseluruhan dalam menjawab salah satu tujuan MDGs mengenai masalah penurunan tingkat kematian anak di Indonesia pada periode 2000-2012. Artinya tidak terdapat kesesuaian antara target B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
antar
ketidakseimbangan
daerah,
sistem
kemajuan
pelaporan
dan
pengawasan pelaksanaan MDG di Indonesia harus diperbaiki, sehingga kemajuan yang ada bisa dipantau dengan baik dan dievaluasi. Selain itu, terdapat tantangan yang berat untuk mencapai target-target MDG di Indonesia, hal ini salah satunya disebabkan karena terjadi banyak
bencana alam yang menimbulkan
kerusakan
fasilitas
umum
seperti
gedung
sekolah, sarana kesehatan, sarana sanitasi, lahan pertanian, pabrik dan pasar. Kejadian tersebut
akan
menyebabkan
kemunduran
kualitas kehidupan masyarakat dalam bidang ekonomi, sosial, pendidikan dan kesehatan. Oleh
karena
itu
pemerintah
harus
lebih
memberikan dukungan kepada masyarakat untuk membangun kembali sarana yang rusak. Masih
diperlukannya
sistem
pendidikan
peningkatan nasional,
kualitas
penambahan
tenaga kerja bidang kesehatan, peningkatan kualitas tenaga kerja bidang kesehatan dan penyebarannya, pengaturan laju pertumbuhan penduduk dan pemberdayaan perempuan di segala bidang kehidupan. Dukungan yang tidak kalah penting adalah alokasi anggaran yang mencukupi dalam APBN untuk melaksanakan program-program pendukung.
45
Pencapaian target-target MDG harus diselaraskan
dengan
tujuan
Pembangunan
sebagai
perbandingan
dalam
segi
angka
kematian anak.
Nasional Indonesia. Hal ini akan bisa dilakukan
Berbeda halnya dengan di Indonesia,
apabila ada dukungan dari pemerintah sebagai
tingkat kematian anak di Singapura tergolong
lembaga eksekutif pelaksana pemerintahan
cukup rendah. Berdasarkan Singapore and the
dengan DPR sebagai lembaga legislatif yang
Provision of Medical Services for the Region,
membuat
tingkat
acuan
untuk
terlaksananya
kematian
bayi
di
Singapura
pembangunan Indonesia dengan baik. Dalam
menunjukkan hasil yang positif yaitu sebesar 5
era otonomi daerah ini, pemerintah pusat harus
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1995
mampu
sampai tahun 1999. Singapura telah berhasil
memberikan
tanggung
jawab
arahan
yang
dan
jelas,
batasan sehingga
mencapai
target
program
MDGs
pelayanan kepada masyarakat bisa diperbaiki.
menurunkan
Pemerintah daerah, meliputi Kepala Daerah
dibandingkan dengan Indonesia. Pembenaran
Tingkat I dan II serta DPRD harus membuat
bahwa Singapura merupakan negara yang
suatu kemitraan kerja yang sinergis
dan
paling berhasil dalam mewujudkan program
pengawasan yang lebih baik terhadap program
kesehatan masyarakatnya telah terbukti. Hal ini
kerja pemerintah. Untuk mencapai target-target
disebabkan oleh pemerintah Singapura telah
MDGs, pemerintah harus tetap berkomitmen
menjadikan
untuk melaksanakan MDGs sebagai acuan.
kesehatan masyarakat sebagai salah satu
Pemerintah juga harus mampu mendorong,
fokus
memberikan motivasi kepada seluruh rakyat,
Pernyataan ini telah dibuktikan dengan adanya
agar
penyisihan GDP yang dilakukan oleh Singapura
bersama-sama
menerapkan
program
MDGs demi kesejahteraan rakyat.
dan
utama
sebesar
tingkat kematian
dalam
3%
anak
menggiatkan
negara
untuk
sejak
jika
program
tahun
program
1989.
kesehatan
masyarakat. Oleh karena itu, adanya program 2.3. Perbandingan Efektivitas Kinerja MDGs
MDGs yang diikuti oleh negara-negara di dunia
Indonesia dengan Singapura Terkait
untuk
dengan Tingkat Kematian Anak
semakin membantu Singapura dalam upaya
Menurut data BKKBN tahun 2012,
menurunkan
mewujudkan
tingkat
pembangunan
kematian
manusia
anak
yang
angka kematian bayi dan anak di Indonesia
sehat, adil, dan sejahtera. Sementara itu,
mengalami penurunan secara berturut-turut
program
sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup dan 44
Indonesia
per 1000 kelahiran hidup. Penurunan ini belum
optimal.
menunjukkan
memberikan
hasil
oleh yang
lainnya,
disinyalir tidak memberikan pengaruh yang
khususnya di kawasan ASEAN. Seperti yang
nyata bagi Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
kita ketahui, angka kematian bayi dan anak di
tingkat kematian anak dan bayi di Indonesia
Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Salah
masih tergolong tinggi. Faktor penyebab yang
satu Negara ASEAN yang memiliki angka
perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah
kematian anak relatif rendah adalah Singapura.
Pemerintah
Oleh karena itu, pemaparan di bawah ini
menyelaraskan target-target MDGs dengan
negara-negara
berarti
dilaksanakan
Ada atau tidaknya program MDGs
46
yang
belum
yang
jika
dibandingkan
dampak
MDGs
Indonesia
belum
mampu
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
tujuan pembangunan nasional serta belum
penurunan menjadi 34 per 1000 kelahiran hidup
mampu
kesehatan
pada tahun 2007. Demikian pula dengan angka
sebagai fokus utama negara seperti yang
kematian balita menurun dari 97 per 1000
dilakukan oleh Singapura. Hal ini terbukti dari
kelahiran hidup pada tahun 1991 menjadi 44
masih banyak masyarakat yang belum melek
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007.
akan
Angka kematian neonatal juga menurun secara
menjadikan
pentingnya
akses
layanan
beberapa
kesehatan,
kesehatan
daerah,
memperoleh
program
keterbatasan
yang
layak
keterbatasan
asupan
gizi
yang
di
perlahan dari 32 per 1000 kelahiran hidup pada
dalam
tahun 1991 menjadi 19 per 1000 kelahiran
dan
hidup pada tahun 2007. Melihat data tersebut,
baik
seimbang, penggunaan dukun dalam proses
target
persalinan dan penyembuhan penyakit, serta
kematian bayi sebesar 23 per 1000 kelahiran
kondisi lingkungan yang tidak mendukung,
hidup, angka kematian balita sebesar 32 per
seperti sanitasi yang buruk, sampah, dan
1000 kelahiran hidup, dan menurunnya angka
polusi. Melihat keberhasilan Singapura dalam
kematian
mencapai target MDGs, pemerintah kita perlu
Indonesia.
membenahi sektor-sektor yang mendukung program
kesehatan
masyarakat.
Berbagai
MDGs
tahun
neonatal
Namun, pencapaian
2015
dapat
perlu
target
berupa
angka
dicapai
oleh
disadari
program
bahwa
MDGs
2015
penyuluhan kesehatan, layanan kesehatan, dan
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
pelatihan
perlu
Berbagai kendala dan tantangan masih harus
digiatkan kembali dan dilakukan di seluruh
dihadapi dan diwaspadai oleh pemerintah
pelosok
demikian,
dalam upaya menurunkan tingkat kematian
masyarakat mulai menyadari dan menerapkan
anak. Secara faktual, keterbatasan ekonomi
perilaku hidup sehat di masing-masing rumah
masyarakat untuk asupan gizi yang baik dan
tangga, sehingga harapan Indonesia akan
seimbang,
tercapainya target MDGs untuk dalam waktu
terhadap pelayanan kesehatan yang baik,
kurang lebih 3 tahun mendatang
rendahnya
tenaga-tenaga
tanah
air.
kesehatan
Dengan
dapat
terealisasikan.
keterbatasan
tingkat
akses
masyarakat
pengetahuan
serta
kesadaran akan pentingnya kesehatan anak menjadi agenda penting bagi pemerintah dalam
2.4. Penyempurnaan
Program
MDGs
di
Indonesia Periode 2012-2015 Pelaksanaan Indonesia
hingga
dikatakan
belum
program sampai
MDGs
saat
mencapai
di
ini
dapat
hasil
yang
mewujudkan
pembangunan
sehat
sejahtera.
dan
manusia
yang
Menurut
laporan
pencapaian tujuan pembangunan
milenium
Indonesia tahun 2010, tantangan yang dihadapi dalam
pelaksanaan
program
menurunkan
maksimal. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya
tingkat kematian anak di Indonesia adalah:
angka kematian bayi dan anak yang masih
1. Pelaksanaan
tinggi dibandingkan negara-negara
ASEAN
program
imunisasi
untuk
masyarakat masih belum maksimal. Hal ini
lainnya. Menurut laporan pencapaian tujuan
disebabkan
pembangunan milenium Indonesia tahun 2010,
pengawasan program, kecukupan anggaran
angka kematian bayi pada tahun 1991 sebesar
untuk program imunisasi, intervensi program
68
berbasis fakta menuju universal coverage,
per
1000
kelahiran
hidup
mengalami
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
oleh
belum
memadainya
47
serta perencanaan yang strategis untuk
kesehatan, penguatan struktur manajemen
program imunisasi.
di tingkat pusat dan daerah, menjamin
2. Belum
optimalnya
deteksi
dini
dan
ketersediaan obat esensial, pelaksanaan
perawatan segera bagi balita sakit atau
MTBS di tingkat keluarga dan masyarakat,
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).
serta
Dalam hal ini, sekitar 35-60 persen anak-
kepada para ibu.
anak yang sakit tidak dapat mengakses
pemberian
penyuluhan
kesehatan
3. Menangani permasalahan gizi pada anak,
layanan kesehatan yang baik dan sebanyak
melalui
40 persen anak-anak tidak terlindungi dari
eksklusif, pemberian makanan tambahan,
penyakit yang dapat dicegah.
pemantauan tumbuh kembang anak, serta
3. Upaya perbaikan gizi untuk anak masih rendah dan memerlukan asupan gizi dengan biaya yang terjangkau bagi masyarakat.
peningkatan
pemberian
ASI
intervensi gizi mikro. 4. Menerapkan strategi kesehatan anak pada tingkat keluarga dan masyarakat, seperti
4. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran
memberikan imunisasi lengkap kepada anak
para ibu untuk memperhatikan kesehatan
sebelum berusia satu tahun, melindungi
anak.
anak-anak
5. Kurangnya kesadaran
masyarakat akan
dengan
di
daerah
kelambu
endemis
malaria
berinsektisida,
serta
pentingnya kesehatan lingkungan, seperti
perawatan secara intensif kepada anak
air bersih, sanitasi, polusi udara, dan
yang menderita infeksi.
sampah.
5. Menerapkan dan meningkatkan perilaku
6. Keterbatasan masyarakat dalam mengakses pelayanan kesehatan yang layak.
hidup bersih dan sehat di tingkat rumah tangga.
Oleh karena itu, integrasi yang sinergis
6. Meningkatkan neonatal
pihak layanan kesehatan sangat diperlukan
strategi kelangsungan hidup untuk bayi baru
dalam pencapaian target MDGs kurang lebih
lahir dan anak-anak, pelayanan emergensi
dalam 3 tahun terakhir. Intervensi-intervensi
obstetrik
terhadap layanan kesehatan perlu ditingkatkan
petugas kesehatan untuk mempromosikan
agar penurunan tingkat kematian anak di
praktek
Indonesia
vaksinasi dan pemberian suplemen zat besi.
memberikan
hasil
yang
optimal. Berbagai upaya yang dapat dilakukan,
dan
ibu,
kesehatan
di antara pemerintah, masyarakat, dan pihak-
dapat
dan
pelayanan meliputi
neonatal,
persalinan
7. Memperkuat dan
penerapan
pelatihan
yang
aman,
bagi
serta
meningkatkan kualitas
di antaranya adalah :
layanan kesehatan, seperti mempromosikan
1. Meningkatkan cakupan imunisasi campak,
pelayanan kesehatan dasar dan revitalisasi
melalui penyediaan sumber daya yang
posyandu, peningkatan fasilitas pelayanan
memadai dan memperjelas peran serta
kesehatan di pusat dan daerah, serta
pemerintah
menjamin tersedianya biaya operasional
pusat
dan
daerah
dalam
pelaksanaan program imunisasi. 2. Meningkatkan
pelaksanaan
kesehatan program
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), melalui
48
pelatihan
MTBS
bagi
petugas
untuk
rumah
sakit
dan
puskesmas. 8. Meningkatkan
pemantauan
terhadap
tumbuh kembang anak serta status gizi bayi
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
dan balita melalui penimbangan bulanan,
menyelaraskan target-target MDGs dengan
pemberian imunisasi lengkap, dan layanan
tujuan pembangunan nasional serta belum
kesehatan lainnya.
mampu
9. Meningkatkan
advokasi
kebijakan
bagi
daerah dengan tingkat target kesehatan anak
yang
masih
rendah,
masyarakat
khususnya
miskin,
kemampuan
tenaga
kesehatan
sebagai fokus utama negara seperti yang dilakukan oleh Singapura.
4. SARAN
peningkatan penyediaan anggaran publik kesehatan
program
melalui
pengalokasian sumber daya yang memadai,
untuk
menjadikan
Dalam rangka mewujudkan pencapaian
bagi
target MDGs khususnya penurunan angka
peningkatan
kematian anak, sangat diperlukan integrasi
kesehatan,
serta
yang
sinergis
di
pemerintah,
menjamin ketersediaan tenaga kesehatan di
masyarakat,
seluruh daerah.
kesehatan sangat diperlukan dalam kurang
10. Memadukan strategi lintas sektor untuk
lebih
dalam
dan
antara
3
pihak-pihak
tahun
terakhir.
layanan
Intervensi-
mempercepat pencapaian target penurunan
intervensi terhadap layanan kesehatan perlu
angka kematian bayi, balita, dan neonatal.
ditingkatkan agar penurunan tingkat kematian anak di Indonesia dapat memberikan hasil yang
Dengan demikian, komitmen Indonesia dalam mewujudkan pembangunan manusia yang sehat, adil, dan sejahtera dari segi preventive, promotion, dan proactive bidang kesehatan masyarakat dapat terwujud di tahun
optimal.
Kegiatan-kegiatan
bersifat
pencegahan penyakit, promosi kesehatan, dan kegiatan proaktif dalam bidang kesehatan masyarakat perlu ditingkatkan dalam upaya menyukseskan menurunkan
2015.
yang
salah angka
satu
target
kematian
MDGs,
anak
di
Indonesia. 3. KESIMPULAN Indonesia
DAFTAR REFERENSI merupakan
salah
satu
[1]
negara penandatangan MGDs pada September 2000 dimana salah satu dari tujuannya di tahun 2015 adalah menurunkan angka kematian anak hingga dua pertiga. Pencapaian yang telah dicapai
oleh
menunjukkan
negara hal
yang
Indonesia positif
[2]
tidak
dalam
arti
mendekati tujuan MDGs pada tahun 2015
[3]
dimana Singapura sebagai negara satu rumpun dengan Indonesia dan negara pembanding memilki tingkat perubahan MDGs pada tujuan
[4]
menurunkan angka kematian anak lebih besar dibandanding Indonesia. Faktor penyebab yang perlu digarisbawahi dalam hal ini adalah Pemerintah
Indonesia
belum
mampu
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[5]
[Departemen Kesehatan]. 2011. Laporan Tujuan Pembangunan Milenium Indonesia tahun 2010. gizi.depkes.go.id/wpcontent/uploads/2011/10/lap-pembmilenium-ind-2010.pdf . [25 November 2012]. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Riset Kesehatan Dasar 2010. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. BAPENAS. 2010. Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. BKKBN. 2012. Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia. [terhubung berkala]. http://dkijakarta.bkkbn.go.id. [25 November 2012]. Goedady, Ardy. 2012. Kebijakan dan Strategi Program Kesehatan Reproduksi Tahun 2012. Balikpapan: BKKBN.
49
[6]
KEMENKES RI. 2011. Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. [7] SDKI. 2007. Angka Kematian Anak dan Bayi di Indonesia. [terhububung berkala]. tebokab.bps.go.id/index.php/sdki. [25 November 2012]. [8] SUSENAS. 2001. Prevalensi gizi kurang balita Indonesia. [terhubung berkala]. www.bps.go.id. [25 November 2012]. [9] UNDP. 2001. Human Development Index (HDI). [terhububung berkala]. www.undp.or.id/. [24 November 2012]. [10] UNICEF. 2001. Kualitas Hidup Anak. [terhubung berkala]. www.unicef.org/indonesia/id/index.html. [25 November 2012]. [11] WHO. 2005. Angka kematian anak di Indonesia. [terhubung berkala]. www.who.or.id/ind/index.asp. [24 November 2012].
50
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
Advertorial
GENETIK, OBESITAS, DAN TEORI RELATIVITAS BERAT BADAN 1
Andi Imam Arundhana , Asry Dwi Muqni 1 2
2
Magister Kesehatan Masyarakat, FK UGM Magister Kesehatan Masyarakat, FKM UNHAS
ABSTRAK ABSTRAK Saat ini obesitas merupakan masalah kesehatan paling global yang dihadapi oleh negaranegara maju dan berkembang. Seratus juta orang di seluruh dunia telah mengalami obesitas dan banyak lagi yang berpotensi mengalami obesitas tersebut. Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran energi yang dihasilkan dari kebiasaan dan mekanisme fisiologi. Variabel-variabel yang diketahui menyebabkan terjadinya obesitas, yaitu faktor lingkungan, faktor genetik, serta interaksi keduanya. Perubahan perilaku dan kondisi fisiologis menyebabkan ketidakseimbangan energi dan berimplikasi pada pengaturan berat badan. Teori terbaru telah dikembangkan untuk menjelaskan interaksi antara genetik, lingkungan, dan pengaturan berat badan. Misalnya, teori gen thrifty, set point, dan settling point telah menjadi perdebatan tentang topik ini. Ada perbedaan mendasar antara teori-teori ini, namun semua itu dapat menjelaskan bahwa pengaruh regulasi genetik dan lingkungan yang mempengaruhi berat badan dan obesitas. Baik di teori set point dan settling point, kehadiran sistem kontrol fisiologis dan perilaku memainkan kunci penting untuk memahami teori relativitas berat badan . Kata kunci: lingkungan obesigenik, gen, obesitas, berat badan, ketidakseimbangan energi
ABSTRACT Currently obesity is the most global health issue that faced by developed and developing countries. A Hundred millions of people around the world have been obese, and many more who could potentially experience. Obesity occurs because of imbalance between energy intake and expenditure generated from the habits and physiology mechanism. At least, these variables are known to occur due to environmental factors, genetic factors, as well as interaction both of them. Changing in behavior and physiological condition leading to energy imbalance and implies to body weight regulation. Recent theories have been developed to elucidate the interaction of genetic, environmental, and body weight regulation. For example, the theory of thrifty genes, set point, and the settling point has become debate concerning this topic. There are fundamental differences between these theories, but all of it can explain the genetic and environmental that influences regulation of body weight and obesity. Both in set point and settling point theory, the presence of physiological control systems and behavior plays important key to understanding theory of relativity body weight. Keyword: obesigenic environment, gene, obesity, body weight, imbalance energy
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
51
1. PENDAHULUAN
berkaitan
Tidak diragukan lagi obesitas kini menjadi
masalah
faktor-faktor
determinan
yang dapat diubah seperti diet dan perilaku.
2
negara-negara
Beberapa peneliti menyimpulkan jika obesitas
berkembang, khususnya Indonesia. Jika saat
dan penyakit-penyakit kronik merupakan hasil
ini di negara-negara maju telah bersiap
dari interaksi gen dan lingkungan.
memerangi
epidemi
berkembang
justru
serius
dengan
obesitas, â&#x20AC;&#x153;panikâ&#x20AC;?
di
negara
Prinsip
dasar
3,4
terjadinya
obesitas
menghadapi
adalah ketidakseimbangan energi. Faktor yang
perkembangan obesitas. Obesitas menambah
dapat diubah-penurunan aktivitas fisik disertai
beban negara-negara berkembang yang saat
peningkatan
ini juga sedang fokus menanggulangi masalah
bertanggungjawab terhadap kejadian obesitas.
kurang gizi. Obesitas dapat pula dikatakan
Akan
sebagai penyakit, sama seperti penyakit-
memahami peran genetik terhadap obesitas.
penyakit
(hipertensi,
Mengapa demikian? Setiap individu memiliki
diabetes, stroke, jantung). Layaknya penyakit
variasi genetika yang berbeda-beda, dan
metabolik
terdapat
metabolik
tersebut,
lainnya
obesitas
dapat
pula
asupan
tetapi
juga
energi-
sangat
beberapa
mungkin
penting
gen-gen
dari
untuk
individu
menjadi penyebab kematian dan komplikasi
merupakan faktor penting dari kerentanan
penyakit. Secara jelas WHO mendefinisikan
terhadap obesitas. Telah diketahui bersama
bahwa obesitas merupakan kelebihan lemak
bahwa seseorang yang memiliki riwayat orang
tubuh yang tersimpan di dalam jaringan
tuanya obes akan meningkatkan risiko menjadi
lemak/adiposa dan menimbulkan masalah
obes pula. Tetapi tidak selalu seperti itu,
1
kesehatan.
dikarenakan obesitas timbul sebagai akibat
Faktor-faktor terdiri
dari
modifiable
5
determinan
modifiable factor.
factor Faktro
obesitas dan
dari multifaktor. Maka tidak heran jika ada
non-
orang yang meskipun orang tuanya obes dan
modifiable
orang tersebut obesitas, ada juga yang
merupakan faktor yang dapat diubah atau
sebaliknya.
diberikan
Seperti
dikembangkan untuk menjelaskan keterkaitan
misalnya lingkungan, sosial ekonomi, dan
genetik, berat badan dan obesitas misalnya
gaya hidup. Kemudian faktor non-modifiable
teori gen thrifty atau teori tentang relativitas
termasuk di dalamnya genetika, jenis kelamin,
berat badan.
intervensi
terhadapnya.
Teori-teori
terkini
telah
6
7
dan usia merupakan faktor determinan yang tidak dapat diubah. Dalam perkembangan
2. PEMBAHASAN
obesitas, sekitar 80-85% dipengaruhi oleh
2.1. Obesitas: Faktor Genetik vs Faktor
faktor-faktor
yang
dapat
dimodifikasi,
Lingkungan
sedangkan hanya 15-20% dijelaskan oleh
Menurut etiologinya, obesitas terjadi
faktor genetik. Meskipun demikian, peran
ketika
genetik dalam memberi kontribusi terhadap
dibandingkan
kejadian obesitas tidak sepenuhnya fixed.
dicermati secara sekilas, mungkin terlihat
Karena ternyata meskipun jalur genetik yang
sederhana.
menyebabkan
dapat
sebenarnya merupakan outcome dari proses
dijelaskan, tetapi diprediksi sedikit banyak
yang begitu kompleks yang berkaitan dengan
52
obesitas
belum
asupan
energi
energi
Meskipun
kronik
yang
berlebih
keluar.
demikian,
Jika
obesitas
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
sistem metabolik dan sistem endokrin manusia dalam mempengaruhi keseimbangan energi.
8
menyimpulkan memiliki
bahwa,
anggota
seseorang
keluarga
obes
meningkatkan
pada individu yang ternyata juga memberi
dibandingkan yang tidak memiliki anggota
kontribusi terhadap kejadian obesitas, yaitu
keluarga obes meskipun pola makan dan
genetik. Secara umum, genetik mempengaruhi
aktivitas yang sama. Menurut Mayer,
berat badan dan komposisi tubuh sesorang
kedua orang tua obes maka kemungkinan
melalui
80% keturunannya akan obes pula.
makan,
asupan
energi,
istirahat,
pengeluaran
energi
obesitas
8
pemilihan rasa, energi yang dikeluarkan pada saat
terjadinya
akan
Selain itu, masih terdapat satu komponen
nafsu
risiko
yang
11
jika
Lebih lanjut, dilakukan studi tentang
untuk
faktor genetik dan faktor lingkungan terhadap
mencerna makanan, dan efisiensi tubuh dalam
berat badan. Karena ternyata antara faktor
8
genetik dan lingkungan saling berkaitan satu
menyimpan energi yang tidak digunakan.
Meskipun telah diketahui secara teori peran
sama
lain,
dan
interaksi
tersebut
genetik terhadap berat badan, tetapi masih
meningkatkan
risiko
terjadinya
obesitas.
sangat sulit untuk mendapatkan fakta-fakta
Beberapa studi menunjukkan bahwa obesitas
yang kuat bahwa obesitas dipengaruhi oleh
menjadi rentan disebabkan oleh genetik ketika
genetik.
masih
individu tersebut memiliki riwayat keluarga
dianggap sebagai faktor yang memainkan
obes dan berada pada lingkungan yang
peran penting terhadap etiologi obesitas.
kondusif. Dengan kata lain, individu yang
Karena
faktor
lingkungan
Terdapat substrat dari genetik yang berinteraksi
dengan
faktor
lingkungan 9
secara genetik rentan obes lalu berada di lingkungan
Obesigenic
terhadap perkembangan obesitas. Beberapa
environment/westernized
studi pada keluarga sebagai subjek penelitian
memiliki risiko menjadi obes lebih besar lagi.
menemukan bahwa obesitas dipengaruhi oleh
Yang
keluarga,
sulit
misalnya konsumsi junk food, makanan tinggi
membedakan apakah itu disebabkan oleh
lemak dan kalori, dan kemudahan teknologi
lingkungan ataukah genetik. Atas dasar hal
yang
tetapi
masih
sangat
termasuk
Obesigenic
menyebabkan 13
society
akan 12
environment
seseorang
kurang
tersebut, dilakukan penelitian di Denmark
aktivitas fisik.
untuk memisahkan pengaruh faktor lingkungan
dipengaruhi oleh genetik dan lingkingan. Jika
dan
tersebut
genetik lebih banyak mempengaruhi fisiolgi,
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
maka lingkungan lebih menentukan perilaku
antara indeks massa tubuh (IMT) dari orang
individu. Hierarki kasual antara genetik dan
tua yang mengadopsi dengan anak-anak
lingkungan terhadap keseimbangan energi
mereka. Hasil lainnya menunjukkan trend
dapat dilihat pada gambar 1.
genetik.
peningkatan kandung.
10
memiliki
Hasil
IMT
penelitian
anak
dari
orang
Keseimbangan energi itu
tua
Kesimpulannya bahwa keturunan peran
penting
pada
risiko
perkembangan obesitas. Suatu studi dilakukan untuk mengungkap efek genetik versus efek lingkungan
terhadap
berat
badan
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
53
2.2. Teori Relativitas Berat Badan 2.2.1. Teori Gen Thrifty Saat
ini
banyak
teori
yang
mengungkapkan determinasi faktor genetik terhadap perkembangangan obesitas, salah satunya yaitu gen thrifty. Teori tentang gen thrifty ini pertama kali dikembangkan oleh Neel pada tahun 1962, yang menyebutkan bahwa diabetes dan obesitas secara alami diturunkan oleh nenek moyang kita melalui suatu gen Gambar 1. Hubungan antara genetik, efek
yaitu thrifty gene. Gen ini dianggap sangat
lingkungan, fisiologi, dan keseimbangan energi
4
efisien dalam penyimpanan lemak ketika asupan energi dan lemak dari makanan
Meskipun
seseorang
tinggal
di
berlebih.
18
Neel juga berhipotesis
bahwa
lingkungan yang sama, tetapi tidak semuanya
“aktivitasi” dari gen ini sangat dipengaruhi oleh
menjadi obes, karena pada individu terdapat
lingkungan. Neel beranggapan, secara historis
perbedaan kebiasaan dan fisiologis tubuh
gen ini bersifat menguntungkan bagi kaum
yang
sangat
primitif yang tidak pernah terpapar oleh
mempengaruhi faktor fisiologis individu, dan
makanan-makanan dalam periode waktu yang
sedikit
dengan
singkat, tetapi sangat merugikan di dunia yang
behavior. Pandangan alternatif yang muncul
serba moderen ini atau lingkungan modern
bahwa perbedaan perilaku memiliki pengaruh
(modernized environment). Bagi kaum primitif,
yang besar dari komponen genetik. Ketika
karena pada dasarnya mereka lebih aktif
berada
sama,
bergerak, sehingga energi ekspenditurnya
mengembangkan
tinggi. Jadi, gen thrifty bagi mereka membuat
obesitas karena “setting-an” genetik mereka
kondisi berat badan mereka lebih ramping
sedemikian rupa, sehingga mereka lebih
atau justru normal. Karena meskipun dalam
cenderung mengadopsi perilaku atau fisiologi
kondisi makanan yang tidak berlimpah, selama
(tingkat metabolisme istirahat yang rendah)
masih ada asupan makanan maka tetap
yang
efisien
berbeda-beda.
banyak
juga
dalam
beberapa
Genetik
berkaitan
lingkungan
orang
lebih
yang
membawa
mereka
ke
ketidakseimbangan
energi.
4,14
dalam
menyimpan
energi
yang
tidak
Dampak
digunakan. Sebaliknya bagi individu yang
kemajuan industrilisasi dan teknologi berakibat
hidup di lingkungan modern, suplai makanan
pada
senantiasa
penurunan
aktivitas
fisik
harian,
sehingga menyebabkan semakin menurunnya energi
yang
dikeluarkan
sehari-hari.
15
tersedia,
aktivitas
berkurang,
sehingga energi yang dikeluarkan juga sedikit, maka gen thrifty ini menjadi “aktif” dan
Beberapa peneliti juga berpendapat bahwa,
meningkatkan efisiensi penyimpanan lemak,
berat badan dan penyimpanan energi (dalam
akibatnya adalah obesitas.
bentuk trigliserida) dalam jaringan adiposa ditentukan
oleh
interaksi
lingkungan, dan psikososial. 54
faktor
genetik,
18
Selama kurang lebih 50 tahun sejak dikembangkannya hipotesis gen thrifty ini,
16,17
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
tidak
terlalu
banyak
mengungkapkan
bukti
penelitian empiris
yang
dari
teori
Menurut Sims dan Horton
19
bahwa
seseorang yang mengalami penurunan berat
tersebut. Memang tidak dipungkiri lagi bahwa
badan
obesitas juga ditentukan oleh genetik, akan
mendapatkan kembali berat badan yang hilang
tetapi sangat sulit membuktikannya karena; 1)
itu dengan cepat pada saat kondisi negatif
kecenderungan anak menjadi obes yang
keseimbangan energi terjadi. Kondisi negatif
diwarisi dari orang tua yang obes sangat kecil
keseimbangan energi adalah suatu kondisi
yakni tidak lebih dari 20%; 2) saat ini obesitas
tidak terjadinya keseimbangan energi pada
lebih cenderung dikaitkan dengan perilaku dan
siklus metabolisme. Orang yang mengalami
bahkan
penurunan berat badan secara ekstrim berarti
mekanisme
dibandingkan
genetik;
sistem 3)
endokrin lingkungan
karena
mengalami
kondisi
kondisi
tertentu
negatif
akan
keseimbangan
mendominasi faktor genetik, dan faktor ini baru
energi, akibatnya tubuh memerlukan asupan
akan â&#x20AC;&#x153;aktifâ&#x20AC;? ketika berada di lingkungan yang
energi yang juga ekstrim.
kondusif
(obesigenic).
menurut
kenaikan berat badan yang signifikan dan
Speakman,
6
untuk
secara cepat mendekati kondisi awal sebelum
sudah
Bahkan saatnya
15
Dampaknya terjadi
20
meninggalkan pembahasan tentang ini, dan
terjadi penurunan berat badan.
Kondisi
fokus terhadap faktor-faktor yang dapat diubah
demikianlah yang terjadi pada orang yang
(modifiable).
melakukan diet ketat, cenderung program diet ketat tersebut tidak berhasil dan ketika berat
2.2.2. Teori Set Point
badan telah turun secara ekstrim, sangat
Dasar dari teori set point ini adalah mengenali bahwa setiap inidvidu itu cenderung
berpotensi untuk kembali ke keadaan semula. Teori inilah yang disebut dengan set point.
memiliki kestabilan berat badan dan akan
Observasi ini telah dilakukan oleh
bertahan selama periode tertentu yang cukup
beberapa peneliti yang menemukan bahwa
lama. Misalnya, pada waktu SMA dulu, kita
konsep set point berat badan, seperti konsep
cenderung merasakan berat badan kita tidak
sistem
naik dan tidak turun, tetapi tetap pada kisaran
diprogram untuk menahan berat badan utama
tertentu. Contoh lain, pada saat kita merasa
(kisaran berat badan pada kondisi individu
nafsu makan kuat dan makan dalam kuantitas
saat
berlebih atau sebaliknya sangat malas makan,
melakukan studi eksperimen pada hewan
memang
badan
berhasil menunjukkan bukti bertahannya berat
secara spontan, akan tetapi sifatnya relatif
badan tertentu meskipun terjadi defisit ataupun
sementara dan kembali lagi bertahan pada
surplus energi. Akan tetapi, bukan berarti
kisaran
kondisi
dengan adanya set point ini berat badan kita
7
tidak akan terjadi perubahan. Pada dasarnya,
Meskipun terjadi penurunan berat badan
untuk mengubah set point dari berat badan,
ketika makan sedikit, namun hal itu tidak
perubahan pada mekanisme dasar sistem
cukup signifikan untuk bertahan dan akan
saraf pusat (CNS) yang mengatur asupan
kembali pada kondisi awal sebelum penurunan
energi yang masuk dan keluar diperlukan.
berat badan terjadi.
Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan
terjadi
yang
awal/sebelumnya
perubahan
sama
berat
dengan
(starting
condition).
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
keseimbangan
itu).
Keesey
dan
energi,
Corbett
memang
21
juga
22
55
pada hewan dengan merusak hipotalamus
Model settling point dapat memberikan
ventromedial di otak yang kemudian dikenal
keterangan yang cukup meyakinkan untuk
sebagai pusat rasa kenyang menyebabkan
banyak fenomena, sedangkan model set point
hewan tersebut overeating dan mencapai
tidak dapat menjelaskan. Pada settling point,
berat badan baru yang lebih berat (sebagai set
peningkatan prevalensi obesitas dijelaskan
point baru). Alternatif lain yaitu merusak
sebagai
hipotalamus lateral yang juga disebut sebagai
ketersediaan makanan atau eksposur yang
pusat makan, menghasilkan intake makan
lebih besar terhadap isyarat makanan (yaitu
berkurang, kehilangan berat badan, dan berat
asupan makanan tinggi) atau pergeseran
badan baru yang lebih ringan (juga sebagai
penurunan kebutuhan dari penurunan aktivitas
7
set point baru) .
konsekuensi
dari
peningkatan
fisik. Model settling point lebih didasarkan
Hasil dari teori set point menyatakan
pada efek dari faktor-faktor sosial, gizi dan
bahwa umpan balik dari homeostatis tubuh
lingkungan. Settling point dipengaruhi oleh
yaitu mengendalikan penyimpanan lemak. Jadi
perbedaan fisiologi, psikologi, dan kondisi
ketika tubuh mencapai kondisi homeostatis,
lingkungan
maka penyimpanan lemak juga tidak akan
penurunan tingkat aktivitas fisik mendorong
berubah, begitu pula dengan berat badan.
terjadinya ketidakseimbangan energi, berat
Dengan
badan menjadi meningkat.
kata
lain,
teori
set
point
ini
menyangkut regulasi metabolik dari berat 20
badan.
individu.
Sebagai
23
contoh,
Namun demikian,
kita tahu bahwa genotip hanya dapat bekerja
Hal ini didukung oleh penelitian pada
dalam konteks lingkungan, dan lingkungan
tahun 1989 oleh Elliot terhadap 7 wanita obes.
memiliki efek yang bergantung pada genotip.
Subjek diberikan perlakuan berupa metode
Oleh karena itu, dapat dikatakan teori settling
puasa yang dimodifikasi selama 8 minggu.
point ini lebih dapat menjelaskan pengaturan
Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa
berat badan sebagai implikasi dari interaksi
tidak terjadi perubahan berat badan pada
genetik dan lingkungan dibandingkan teori set
subjek penelitian, dan cenderung stabil pada
point.
kisaran berat sebelum intervensi.
12
20
3. KESIMPULAN 2.2.3. Teori Settling Point
Sebagai kesimpulan, bahwa genetik
Berkebalikan dari teori set point yang
dan lingkungan sangat sulit untuk dievaluasi
menyatakan bahwa berat badan cenderung
secara terpisah, karena terdapat interaksi
berada dalam kondisi stabil/konstan, dalam
antara
settling point, terdapat sedikit pengaturan aktif
lingkungan dan berimplikasi pada perilaku dan
dari berat badan. Terlihat bahwa berat badan
fisiologis tubuh. Pada akhirnya, perilaku dan
yang stabil pada dasarnya hasil dari keadaan
kondisi
stabil yang ditentukan oleh faktor lingkungan,
mempengaruhi regulasi keseimbangan energi
seperti diet dan gaya hidup. Apabila kondisi itu
dan
diubah, maka berat badan akan dapat diatur
pengaturan berat badan. Namun demikian,
kembali. Inilah yang menjadi prinsip dari
banyak teori yang muncul dan memaparkan
settling point.22
bahwa
56
faktor
genetik
fisiologis
sebagai
perubahan
tubuh
maupun
inilah
manifestasinya
berat
badan
faktor
yang
berupa
sebagai
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
st
manifestasi dari faktor genetik, lingkungan atau bahkan interaksi keduanya. Set point dan settling point saling
[9]
bertolak belakang, dan pada intinya, teori set point memberikan atribut obesitas disebabkan
[10]
oleh faktor fisiologis, sedangkan pada teori settling
point
disebabkan
oleh
faktor 22
lingkungan eksternal yang lebih dominan.
[11]
Perdebatan antara kedua teori ini masih berlangsung, tentang hipotesis mana yang lebih dominan terhadap terjadinya obesitas. Namun
demikain,
tanpa
24
[12]
memperhatikan
keduanya apakah teori set point ataukah settling point yang paling mempengaruhi berat badan, keberadaan sistem kontrol fisiologi yang mempertahankan berat badan tidak dapat juga diabaikan karena berdasarkan bukti yang tersedia (penelitian). [13] DAFTAR REFERENSI [1]
[2]
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
World Health Organization: Obesity: Preventing and managing the global epidemic. WHO technical report seies 894. Geneva: World Health organization; 2000. Lyon H.N., and Hirschhorn J.N. Genetics of common forms of obesity: a brief overview. Am J Clin Nutr. 2005; 82(suppl): 215sS-217S. de Castro JM. Genes, the environment and the control of food intake. Bri J Nutrition 2004;92:S59-S62. Speakman J.R. Obesity: Integrated roles of environment and genetics. J Nutrition 2004;134:2090S-2105S. Barsh GS, Farooqi IS, O’Rahilly S. Genetics of body-weight regulation. Nature 2000;404:644 –51 Speakman J.R. Thrifty genes for obesity and the metabolic syndrome -- time to call off the search. Diabetes and Vascular Disease Research 2006 3: 7-11. Berryman, Davy, and Edward. Control of Energy Balance. In Stipanuk MH and rd Caudill MA (3 eds.) Biochemical, Physiological, and Molecular Aspects of Human Nutrition. (pp.504). New York: Elsevier; 2013. Lee, Robert D. Energy balance and body weight. In Nelms M., Sucher K., and Long
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013
[14]
[15]
[16]
[17]
[18]
[19]
[20]
S. (1 ed.) Nutrition Therapy and Pathophysiology. (pp. 323-369). Belmont: Thomson Brooks/Cole; 2007. Bray MS. Genomics, genes, and environmental interaction: the role of exercise. J Appl Physiol 2000;88:788 –92. Stunkard, A. J. Genes, environment and human obesity. In: Progress in Obesity Research 1990 (Oomura, Y., Tarui, S., Inoue, S. & Shimazu, T., eds.), pp. 669– 674. John Libby, London, UK. Mayer J. Genetics factors in human obesity. Ann NY Acad Sci. 1965; 131:412-21. Speakman J.R., Levitsky D.A., Allison D.B., Bray M.S., deCastro J.M., Clegg D.J., Clapham J.C., Dulloo A.G., Gruer L., Haw S., Hebebrand J., Hetherington M.M., Higgs S., Jebb S.A., Loos R.J.F., Luckman S., Luke A., Ali V.M., O’Rahilly S., Pereira M., Perusse L., Robinson T.N., Rolls B., Sysmonds M.E., and Plantenga M.S. Set points, settling points and some alternative models: theoretical options to understand how genes and environments combine to regulate body adiposity. Dis Model Mech. 2011 November; 4(6): 733–745. Petrik, Melissa Hansen. Nutrigenomics. In st Nelms M., Sucher K., and Long S. (1 ed.) Nutrition Therapy and Pathophysiology. (pp. 237-258). Belmont: Thomson Brooks/Cole; 2007. Leibel RL, Rosenbaum M, Hirsch J. Changes in energy expenditure resulting from altered body weight. N Engl J Med 1995;332:621–628. Tremblay A., Perusse L., and Bouchard C. Energy balance and body-weight stability: impact of gene–environment interactions. British Journal of Nutrition (2004), 92, Suppl. 1, S63–S66. Spiegelman BM, Flier JS. Obesity and the regulation of energy balance. Cell 2001;104:531–543. Symonds M. E., Budge H., Perkins A. C., Lomax M. A. Adipose tissue development – impact of the early life environment. Prog. Biophys. Mol. Biol. 2011; 106: 300– 306. Neel JV. Diabetes mellitus: a 'thrifty' genotype rendered detrimental by 'progress'? Am J Hum Genetics 1962;4:352-3. Sims and Horton. Endocrine and metabolic adaptation to obesity and starvation. The American Journal of Clinical Nutrition 1968; 21:1455-1470. Weinsier R. L., Nagy T.R., Hunter G.R., Darnell B.E., Hensrud D.D., and Weiss
57
[21]
[22]
[23]
[24]
58
H.L. Do adaptive changes in metabolic rate favor weight regain in weight-reduced individuals? An examination of the setpoint theory. Am J Clin Nutr 2000;72:1088–94 Keesey and Corbett. Metabolic defense of the body weight set point. In A. J. Stunkard and E. Stellar (Eds.), Eating and its disorders (pp.87-96). New York: Raven Press; 1984. Tam J., Fukumura D., and Jain R.K. A Mathematical model of murine metabolic regulation by leptin: energy balance and defense of a stable body weight. Cell Metab. 2009 January 7; 9(1): 52–63. Hill et al. Obesity and the environment: Where do we go from here? Science 2003; 299: 853-855. Levin BE. Factors promoting and ameliorating the development of obesity. Physiol Behav 202505;86:633–639.
B I M G I Volume 2 No.1 | Juni - Desember 2013