Bimiki edisi 2

Page 1

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


Kata pengantar Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala yang dimiliki oleh organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI). Berkala ini ditebitkan guna memberikan informasi tentang informasi-informasi terbaru dalan dunia keperawatan dan memberikan sarana kepada mahasiswa keperawatan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya maupun artikel ilmiah yang lain. BIMIKI ini secara garis besar menyajikan artikel-artikel ilmiah yang bersikan informasi terbaru tentang keperawatan, termasuk di dalamnya terdapat penelitian asli, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu keperawatan dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Berkala ini tidak hanya terbatas pada mahasiswa saja, namun juga insane keperawatan pada umumnya. Atas diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia edisi kedua ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada seluruh penulis yang berperan aktif, tim penyusun, mitra bebestari dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan berkala ini.

Penyusun


Sambutan Pemimpin Umum Rasa syukur yang berlipat ganda, saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) pada edisi kedua ini. Setelah melalui perjalanan panjang dan perjuangan yang tiada henti dari semua pihak yang selalu turut memberikan dukungan atas keberhasilan BIMIKI ini. Tantangan merupakan bukan suatu penghalang kesuksesan. Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk menghasilkan berkala mahasiswa keperawatan elektronik yang memberi peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah yang berbasis ilmu dan teknologi. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka diperlukannya sebuah wadah yang mampu menjadi penampung hasil kreativitas mahasiswa khususnya terkait publikasi artikel ilmiah. Penerbitan berkala ini terselenggara atas kerja sama berbagai pihak, antara lain dari organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) yang diampu langsung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan dan Penelitian (PENDPEL) bekerja sama dengan HPEQ Students, serta dukungan berbagai institusi keperawatan di Indonesia. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan yang tiada akhir, dalam membangun arus keprofesionalan dalam keperawatan dengan menunjang sistem long life learning, dan menutup segala keterbatasan informasi keilmiahan terbaru bagi mahasiswa keperawatan. Harapan yang besar ketika keberadaan berkala ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh insan keperawatan di Indonesia. Bermula manfaat ditujukan kepada mahasiswa keperawatan di belahan daerah Indonesia manapun, semoga berkala ini dapat mempermudah dalam mengakses informasiinformasi ilmiah terbaru, maupun wadah penampung kreativitas mahasiswa keperawatan. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan pada penulisan, ataupun petikan kata-kata yang terdapat pada BIMIKI edisi kedua ini. Sempurna merupakan hal yang masih jauh untuk diucapkan, oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi yang selanjutnya. Hidup mahasiswa! Kobarkan selalu semangat muda, karena suatu saat kitalah pejuangnya.

Susunan redaksi Pimpinan Utama:

Hella Meldy Tursina Pimpinan Redaksi:

Fitri Arkham Fauziah Sekretaris:

Muhammad Jauhar Bendahara:

Prasetyo Aji Nugroho Tim Redaksi:

Ade Martiwi Muhammad Zulfatul A’la Nurita Aryakhiyati Weni Widya Shari Tim Layouter dan Tata Letak:

Putri Darari Ardriati Taufik Isnanto Tim Promosi:

Anisa Hidayah Eka Afdi Septiyono Nahla Jovial Nisa


DAFTAR ISI Literatur Review 1. PERAWATAN LUKA DENGAN MADU MANUKA Nazwar Hamdani, Anita Fauzia Rahman, Deis Isyana Putri, Meilita Enggune, Yani Trihandayani...............................................................................................

Penelitian Asli 1. ANALISA PERSEPSI DAN KESIAPAN DOSEN FKIK UNSOED TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE) Arif Eko Yuniawan1 Wastu Adi Mulyono, M.Kep2 Dwi Setiowati, M.Kep2............................... 2. HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN KETERAMPILAN DETEKSI DINI PERTUMBUHAN ANAK PADA KADER POSYANDU DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II BANTUL YOGYAKARTA Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum.......................................................................... 3. PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGAN Rahma Nur Faizin, Ibrahim Rahmat, Sumarni....................................................................................... 4. PENGARUH PEMBERIANUSAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP TINGKAT DEPRESI SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGAN SLEMAN YOGYAKARTA Lindri Riahawa N., Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas Machira................................................. 5. PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP TINGKAT KECEMASAN SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI SEYEGAN Risma Isnaini, Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas Machira...........................................................

Tinjauan Pustaka 1. DELiMa SARANA PENYELAMATAN UNTUK DIABETIKA Anisa Hidayah, Erawati Werdiningsih, Nuzul Sri Hertanti, Haryani.....................................................


LITERATUR REVIEW

B

IMIKI

PERAWATAN LUKA DENGAN MADU MANUKA Nazwar Hamdani R1 Anita Fauzia Rahman2 Deis Isyana Putri3 Meilita Enggune4 Yani Trihandayani5 1,2,3,4,5

Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Keperawatan FIK UNPAD Email: nazwarrahil@yahoo.com, nhrahil@gmail.com

INTISARI Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ. Bahan yang sering digunakan dalam perawatan luka adalah Sodium Klorida 0,9 %. Normal saline aman digunakan untuk kondisi apapun. Larutan yang juga sering digunakan untuk perawatan luka adalah larutan povodine-iodine. Dewasa ini madu mempunyai nilai penting untuk pengobatan tradisional dan dapat digunakan untuk mengurangi resiko infeksi klinik dan meningkatkan proses penyembuhan luka. Tujuan kajian literatur ini adalah untuk menganalisa efektivitas pengggunaan madu khususnya madu Manuka pada pasien dengan luka, mengingat adanya penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan yang dilakukan sebelumnya yang hasilnya efektif terhadap penyembuhan luka dengan menggunakan madu. Artikel didapat dari pencarian elektronik melalui MEDLINE, CINAHL, SCHOLARGOOGLE dan PROQUEST dengan kriteria inklusi jurnal yang diterbitkan dalam kurun waktu antara tahun 20022012 dan bisa mengakses full text. Lima jurnal yang ada menjelaskan secara konsisten mengenai manfaat madu Manuka Manuka Honey meningkatan insiden penyembuhan, lebih berkhasiat dalam pengurangan pengelupasan dan memiliki tingkat infeksi yang rendah, Penggunaan madu Manuka sebagai dressing pada perawatan luka secara statistik signifikan dalam menurunkan pH dan ukuran luka Kata Kunci : Madu Manuka, Perawatan Luka, Penyembuhan Luka.

PENDAHULUAN

Luka adalah suatu gangguan dari kondisi normal pada kulit (Taylor, 1997). Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain (Kozier, 1995). Bahan yang sering digunakan dalam perawatan luka adalah Sodium Klorida 0,9 %. Sodium klorida adalah larutan fisiologis yang ada di seluruh tubuh karena alasan ini tidak ada reaksi hipersensitivitas dari sodium klorida. Normal saline aman digunakan untuk kondisi apapun (Lilley & Aucker, 1999). Sodium klorida atau natrium klorida mempunyai Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Handerson, 1992). Sodium klorida tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium klorida 0,9 %. Ini adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan untuk alasan ini sodium klorida disebut juga normal saline (Lilley & Aucker, 1999). Larutan yang juga sering digunakan untuk perawatan luka adalah larutan povodine-iodine. Iodine adalah element non metalik yang tersedia dalam bentuk garam yang dikombinasi dengan bahan lain (Lilley & Aucker, 1999). Larutan ini akan melepaskan iodium anorganik bila kontak dengan kulit atau selaput lendir sehingga cocok untuk luka kotor dan terinfeksi bakteri gram positif dan negatif, spora, jamur, dan protozoa. Bahan ini agak iritan dan alergen serta meninggalkan residu (Sodikin, 2002). Berbagai penelitian ilmiah membuktikan bahwa kandungan fiskal dan kimiawi dalam madu, seperti kadar keasaman dan pengaruh osmotik, berperan besar membunuh kuman-kuman (Dixon, 2003). Madu memiliki sifat anti bakteri yang membantu mengatasi


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--infeksi pada luka dan anti inflamasinya dapat mengurangi nyeri serta meningkatkan sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan (Hamad, 2008). Beberapa hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu sangat efektif digunakan sebagai terapi topikal pada luka melalui peningkatan jaringan granulasidan kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan (Suguna et al., 1992;1993; Aljady et al.,2000). Dalam Ann Plast. Surg, edisi bulan Februari 2003, dilakukan sebuah uji coba terhadap 60 orang Belanda yang terkena luka dengan berbagai jenis tipe luka. Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa penggunaan madu efektiv bagi setiap orang yang sakit atau luka. Madu cepat membereskan luka dan tidak menimbulkan efek samping ketika digunakan untuk menyembuhkan luka (Syafaka, 2008). Dalam The Journal of Family Practise (2005) dikatakan bahwa proses penyembuhan luka terjadi lebih cepat bila dibandingkan dengan terapi farmakologis, terbukti dalam waktu dua minggu jaringan granulasi pada luka diabetik tumbuh. Madu juga mengandung antibiotika sebagai antibakteri dan antiseptik menjaga luka. Molan (1997, dalam Saptorini, 2003) mengatakan sifat antibakteri dari madu membantu mengatasi infeksi pada perlukaan dan aksi anti inflamasinya dapat mengurangi nyeri serta meningkatkan sirkulasi yang berpengaruh pada proses penyembuhan. Madu juga merangsang tumbuhnya jaringan baru, sehingga selain mempercepat penyembuhan juga mengurangi timbulnya parut atau bekas luka pada kulit (Saptorini, 2003). Kebanyakan madu adalah monofloral, seperti contohnya Manuka honey. Beberapa lainnya mungkin berasal dari 26 floral yang berbeda, dan itu juga mempengaruhi kandungan antibakterial yang secara signifikan berbeda (Allen et al., 1991). Manuka (pohon teh) adalah tanaman kecil/ semak-semak asli dari New Zealand dan Australia Selatan. Tanaman Manuka dikenal dengan nama Maori di New Zealand, dan pohon teh adalah nama yang biasa digunakan di Australia. Tanaman Manuka mempunyai efek antibakterial dan mempunyai kandungan antibakterial yang tinggi dari madu yang dihasilkannya. Tanaman

6

Manuka yang dikenal juga sebagai tanaman Maori mengandung antibakterial yang kuat dan unik yang dikenal dengan UMF (Unique Manuka Factor).

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam telaah jurnal ini adalah mengumpulkan dan menganalisis artikel-artikel penelitian mengenai terapi hipotermi pada pasien setelah henti jantung. Artikel didapat dari pencarian elektronik yang ada dalam MEDLINE, CINAHL, SCHOLARGOOGLE dan PROQUEST dengan menggunakan kata kunci spesifik untuk penyembuhan luka, perawatan luka, madu manuka. Kriteria inklusi pada review jurnal ini adalah penelitian dengan jurnal yang diterbitkan dalam kurun waktu antara tahun 2002-2012 dan studi yang bisa mengakses full text.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Gethin dan Cowman (2008) perbandingan penggunaan manuka honey dengan hydrogel dalam kemampuan pengelupasan dan penyembuhan luka pada vena ulcer yang diteliti pada 4 minggu dan 12 minggu. Setelah empat minggu, 80% (n = 86) dari semua luka mengalami penurunan pengelupasan > 50%. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik pada minggu ke 4 antara perlakuan dengan menggunakan manuka honey dan hydrogel. Pengurangan pengelupasan minimal 50% pada minggu 4 dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi untuk penyembuhan pada 12 minggu di semua kelompok Epithelisasi terlihat pada tahap awal pada kelompok Manuka Honey dan perbedaan ini bermakna (signifikan) secara statistik (v2 = 9.906; p = 0.042). Kelompok Manuka Honey mengalami penurunan 34% dalam ukuran rata-rata dan 13% pada kelompok Hydrogel therapy, perbedaan ini bermakna secara statistik (z =-4.609; p <0.001). Ketika disesuaikan dengan skor Margolis, tingkat penyembuhan pada 12 minggu secara signifikan lebih tinggi pada kelompok Manuka Honey Periode pengamatan selama 4 minggu dapat membimbing klinisi untuk melanjutkan pengobatan berdasarkan

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Nazwar H., Anita F. R., Deis I. P., Meilita E., Yani T--ukuran luka. Tetapi, untuk menentukan kemanjuran agen penyembuhan harus dievaluasi selama setidaknya 12 minggu. Luka yang dirawat dengan Manuka Honey memiliki keunggulan secara statistic setelah 12 minggu pada ukuran dan durasi. Menurut Thomas, Hamdan, Hailes, Walker (2011) Dari total 19 pasien yang awalnya akan dijadikan sampel, dua diantaranya lost to follow up sehingga tidak bisa diikuti perkembangannya. Dari 17 pasien yang tersisa (15 pria, 2 wanita) dengan rentang usia 17-64 tahun, didapatkan hasil sebagai berikut : 1. Rata-rata waktu saat pasien mendapatkan terapi Manuka Honey pertama kali post operasi = 93 hari 2. Rata-rata waktu penyembuhan luka pasien setelah mndapatkan terapi Manuka Honey = 65 hari 3. Satu orang pasien tidak dilanjutkan terapinya karena mengalami reaksi inflamasi 4. Dua orang pasien mengalami kekambuhan kembali beberapa bulan setelah luka sembuh sempurna dengan Manuka Honey Terapi perawatan luka dengan Manuka Honey menunjukkan hasil yang efektif sebagai treatment untuk pasien dengan PSD kronis atau berulang, namun perlu penelitian lebih lanjut untuk menentukan protokol/ metode yang tepat demi mendapatkan hasil yang lebih optimal dalam penyembuhan luka post operasi. Menurut Coulboum, Hampton, Tadej (2009) Algivon adalah suatu Mannuronic Calcium Alginate yang mengandung antibakterial honey yang dapat melindungi dengan cara aksi desloughing osmotik dan mengontrol bau atau eliminasi. Exudat dari luka akan bergabung dengan madu dan alginate sehingga membentuk komplek gel honey. Hal ini akan memberikan lingkungan yang ideal untuk penyembuhan luka. Kandungan Manuka honey pada Algivon ini mempunyai efek osmotik yang dapat mengurangi bau pada luka dengan cara menghilangkan bakteri selama pemberian gel complex ini dan menjaga lingkungan agar tetap lembab yang dapat menunjang

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

pada proses penyembuhan luka. Akan tetapi bila selama penggunaan algivon ini menimbulkan rasa yang tidak nyaman yang tidak dapat dihilangkan dengan pemberian analgetik, maka sebaiknya dressing dilepaskan dan jangan dilanjutkan. Algivon hendaknya diganti setiap hari, tetapi dressing ini juga dapat digunakan sampai dengan 7 hari. Hasil studies dari 10 pasien yang dilakukan evaluasi selama pemberian Algivon selama 2 minggu periode. Hasil evaluasi menunjukkan adanya perubahan dari luka ditinjau dari bau, nyeri, cairan luka dan proses penyembuhan. Nyeri adalah tanda yang buruk dari luka kompleks, dan bisa dimungkinkan dengan penggunaan Algivon honey ini akan meningkatkan rasa nyeri. Yang pasti, fungsi osmotik dari madu dapat berimplikasi pada nyeri luka. Dalam studi ini tidak semua kasus nyerinya dapat berkurang. Pada aktivitas bakterial saat balutan diambil pada hari pertama dan hari ke-14. Dan hasilnya tidak diragukan lagi bahwa Algivon mempunyai efek anti bakterial, sedangkan untuk cost efektiveness algivon lebih hemat bila dibandingkan dengan jenis dressing yang lainnya, karena efek dari antibakterialnya dapat mempercepat proses penyembuhan. Menurut Gethin, Cowman, Conroy (2008) Penurunan pH luka setelah dilakuakan perawatan mengguanakan madu Manuka secra statistik signifikan (P<0,001). Luka dengan pH ≼ 8,0 tidak mengalami pengecilan luka, sedangkan pH ≤7,6 30% persen penderita mengalami peneurunan ukuran luka. Penurunan tiap 0,1 pH berhubungan dengan penurunan ukuran luka sebesar 8,1% sesuai dengan analisa statistik (P<0,012). Penggunaan madu Manuka sebagai dressing pada perawatan luka secara statistik signifikan dalam menurunkan pH dan ukuran luka. Perubahan pH dari basa ke asam memiliki efek pada kurva dissosiasi oksigenhaemoghlobin, yaitu meningkatkan pelepasan oksigen ke jaringan, mengurangi toksisitas bakteri dan produksi amonia, meningkatkan penghancuran kolagen yang abnormal, menurunkan aktivitas enzime protease,meningkatkan aktivitas fibroblast

7


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--dan makrofag dan mengontrol aktivitas enzim. Menurut Gethin dan Cowman (2005) Penelitian dilakukan dengan mengamati 8 kasus ulserasi kaki dengan consecutive sampling. Semua luka dibalut sekali atau 2 kali seminggu. Rata-rata ukuran luka di awal 5-62 cm2 dan diakhir perawatan setelah 4 mgg, diamati rata-rata ukuran luka menjadi 2-25 cm2. Beberapa pasien melaporkan merasa nyeri saat dioleskan madu pada luka. Secara umum efek madu sangat baik. Rata-rata berkurang nya luas area luka 54.8% setelah periode 4 minggu. Profesional perawat percaya bahwa penyembuhan luka yang terbaik adalah dengan membuat lingkungan luka tetap kering (Potter.P, 1998). Perkembangan perawatan luka sejak tahun 1940 hingga tahun 1970, tiga peneliti telah memulai tentang perawatan luka. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab lebih baik daripada lingkungan kering. Winter (1962) mengatakan bahwa laju epitelisasi luka yang ditutup poly-etylen dua kali lebih cepat daripada luka yang dibiarkan kering. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa migrasi epidermal pada luka superficial lebih cepat pada suasana lembab daripada kering, dan ini merangsang perkembangan balutan luka modern ( Potter. P, 1998). Perawatan luka lembab tidak meningkatkan infeksi. Pada kenyataannya tingkat infeksi pada semua jenis balutan le:mbab adalah 2,5 %, lebih baik dibanding 9 % pada balutan kering (Thompson. J, 2000). Rowel (1970) menunjukkan bahwa lingkungan lembab meningkatkan migrasi sel epitel ke pusat luka dan melapisinya sehingga luka lebih cepat sembuh. Konsep penyembuhan luka dengan teknik lembab ini merubah penatalaksanaan luka dan memberikan rangsangan bagi perkembangan balutan lembab ( Potter. P, 1998) Penggantian balutan dilakukan sesuai kebutuhan tidak hanya berdasarkan kebiasaan, melainkan disesuaikan terlebih dahulu dengan tipe dan jenis luka. Penggunaan antiseptik hanya untuk yang memerlukan saja karena efek toksinnya terhadap sel sehat. Untuk membersihkan luka hanya memakai normal saline (Dewi, 1999). Citotoxic agent seperti

8

povidine iodine, asam asetat, seharusnya tidak secara sering digunakan untuk membersihkan luka karena dapat menghambat penyembuhan dan mencegah reepitelisasi. Luka dengan sedikit debris dipermukaannya dapat dibersihkan dengan kassa yang dibasahi dengan sodium klorida dan tidak terlalu banyak manipulasi gerakan. (Walker. D, 1996) Tepi luka seharusnya bersih, berdekatan dengan lapisan sepanjang tepi luka. Tepi luka ditandai dengan kemerahan dan sedikit bengkak dan hilang kira-kira satu minggu. Kulit menjadi tertutup hingga normal dan tepi luka menyatu. Beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain Infeksi Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi. Sirkulasi (hipovolemia) dan Oksigenasi Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok. Kurangnya volume darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk penyembuhan luka. Hematoma Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka. Benda asing Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Nazwar H., Anita F. R., Deis I. P., Meilita E., Yani T--sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin, jaringan sel mati dan lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“Pus�). Diabetes Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh. Keadaan Luka Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu. Usia Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesis dari faktor pembekuan darah. Nutrisi Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diit kaya protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klien kurang nutrisi memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekuat. Cara Kerja Manuka Honey Pertama, madu memberikan efek osmotik pada dasar luka yaitu menarik cairan dari jaringan luka yang lebih dalam ke permukaan (Chirife et al. 1982). Proses ini membantu membersihkan dan menghilangkan jaringan devitalisasi (Chirife et al. 1982). Kedua, madu mempertahankan lingkungan luka tetap lembab (Condon 1993, Cooper 2001, Molan 2001), yang memfasilitasi terjadinya otolisis (Sieggreen & Malkebust 1997, Baharestani 1999, Ayello & Cuddigan 2004). Selain otolisis, Manuka Honey juga dapat menurunkan luka pH (Gethin et al. 2008). Penelitian menunjukkan penurunan yang signifikan secara statistik (p <0.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

001) pada pH dari luka kronis setelah dua minggu penggunaan Manuka Honey (Gethin dkk.2008). Dalam studi terakhir, ketika terjadi pengelupasan di dasar luka, pH meningkat menjadi 7,7 dan ukuran luka meningkat sebesar 6%. Sebaliknya, ketika pengelupasan tidak terjadi, pH adalah ≤ 7,6. Temuan secara klinis dan secara statistik yang signifikan dari penelitian ini adalah bahwa pengurangan dalam satuan pH 0,1 berkorelasi dengan pengurangan 8,1% dalam ukuran luka (p = 0,012;. Gethin et al 2008). Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi dengan kandungan gula yang tinggi danmempunyai interaksi kuat dengan molekul air sehingga akan dapat menghambat pertumbuhanmikroorganisme dan mengurangi aroma pada luka. Salah satunya adalah pada luka infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Seperti yang dilaporkan Cooper et al (1999), hasilstudi laboratorium menunjukkan madu memiliki efek anti bakteri pada beberapa jenis luka infeksi,misalnya bakteri Staphylococcus aureus. Hasil penelitian lain melaporkan madu alam dapat membunuh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Clostritidium (Efem & Iwara, 1992). Luka dapatmenjadi steril terhadap kuman apabila menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi topikal. Percobaan di laboratorium menunjukkan madu manuka bisa merusak pertahanan bakteri sehingga dapat bermanfaat untuk mengobati infeksi bakteri ganas seperti MRSA. Hasil penelitian ini telah dipresentasikan dalam pertemuan Society for General Microbiology. Profesor Rose Cooper dari University of Wales Institute Cardiff menemukan variasi madu dari lebah yang mencari makan di pohon manuka di Selandia Baru sehingga diberi nama madu manuka. Madu ini terbukti efektif melawan infeksi bakteri. Madu manuka ini sudah digunakan untuk merawat luka di seluruh dunia dengan cara menyaringnya dan membuang kotoran yang terkandung di dalamnya. Selama berabad-abad orang telah mengenal kekuatan antiseptik dari madu. Studi Profesor Cooper menggunakan 3 jenis bakteri yang resisten terhadap berbagai antibiotik

9


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--yaitu Pseudomonas aeruginosa, Group A Streptococci DAFTAR PUSTAKA dan Meticillin-resistant Staphylococcus aureus 1. Bachsinar B, Bedah Minor, Hipokrates, Jakarta, 1995. 2. Coulboum A, Hampton S & Tadej M, Discuss the Use of (MRSA). Didapatkan bahwa madu manuka bisa Algivon Dressing in the Treatment of Complex Wounds, Joumal of Community Nursing, volume 23, June 2009 menghalangi masuknya bakteri ke dalam jaringan 3. Dudley HAF, Eckersley JRT, Paterson-Brown S, yang merupakan langkah penting dalam inisiasi Pedoman Tindakan Medik dan Bedah, EGC Jakarta 2000. infeksi akut. Jika madu manuka bisa mencegah 4. Gethin G and Cowman S, Manuka Honey vs. Hydrogel – a Prospective, Open label, Multicentre, Randomised Controlled Trial masuknya bakteri ke jaringan maka hal ini akan to Compare Desloughing Efficacy and Healing Outcomes in Venous Ulcers, Jurnal/Journal of Clinical Nursing, 18, 466–474, 2008 menghalangi pembentukan biofilm, yaitu lapisan 5. Gethin G, Cowman S, Case Series of Use of Manuka Honey in Leg yang bisa melindungi bakteri dari antibiotik dan Ulceration. International Wound Journal, Mar; 2 (1) : 10-5, 2005 memungkinkannya menjadi infeksi terus menerus. 6. Gethin G, Cowman S, Conroy R M, The Impact of Manuka Honey Dressings on the Surface pH of Chronic Hasil terakhir yang didapatkan di laboratorium Wounds, International Wound Journal Vol 5 No 2, 2009 menunjukkan bahwa madu Manuka bisa membuat 7. Illustrated Guide, Little Brown, Boston, USA, 1992. 8. Kaplan Kaplan NE, Hentz VR, Emergency MRSA lebih sensitif terhadap antibiotik seperti Management of Skin and Soft Tissue Wounds, An Illustrated Guide, Little Brown, Boston, USA, 1992. oxacillin, hal ini berarti efektif membalikkan 9. Oswari E, Bedah dan perawatannya, Gramedia, Jakarta, 1993 resistensi antibiotik. Ini menunjukkan bahwa 10. Puruhito, Dasar-daasar Teknik Pembedahan, AUP Surabaya, 1987. antibiotik yang ada mungkin lebih efektif melawan 11. Saleh M, Sodera VK, Ilustrasi Ilmu Bedah Minor, Bina Rupa Aksara, Jakarta 1991. infeksi yang sudah resisten terhadap obat jika 12. Thomas M., Hamdan M, Hailes, Walker M, Manuka Honey as an Effective Treatment for Chronic Pilonidal Sinus Wounds, penggunaannya dikombinasikan dengan madu Journal of Wound care vol 2 0 , no 5 2 8 1 1 , November 2 0 1 1 manuka(Cooper, 2011). Menurut Prof Cooper 13. Thorek P, Atlas Teknik Bedah, EGC , Jakarta, 1994. GG, Rich NM, Prinsip-prinsip bahwa menemukan kombinasi yang efektif dengan 14. Wind Teknik Bedah, Hipokrates Jakarta, antibiotik sehingga bisa bekerja secara klinis pada 15. Zachary CB, Basic Cutaneous Surgery, A Primer1992. in Technique, Churchill Livingstone, London GB, 1990 pasien. Selain itu madu manuka kemungkinan tidak menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap madu.

KESIMPULAN SARAN

Konsep perawatan luka untuk mencegah terjadinya infeksi dan mempercepat penyembuhan luka adalah dengan mempertahankan lingkungan luka tetap lembab dan dalam suasana asam (Balance Moist) Madu dapat digunakan untuk terapi topikal sebagai dressing pada luka ulkus kaki, luka dekubitus,ulkus kaki diabet, infeksi akibat trauma dan pasca operasi, serta luka bakar. Perlunya penelitian lebih lanjut tetatang kombinasi penggunaan antara antibiotik dengan madu untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Perlu adanya standar operating prosedur utnuk perawatan luka dengan menggunakan madu

10

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


B

PENELITIAN ASLI

IMIKI

ANALISA PERSEPSI DAN KESIAPAN DOSEN FKIK UNSOED TERHADAP INTERPROFESIONAL EDUCATION (IPE) 1

2

Arif Eko Yuniawan1 Wastu Adi Mulyono, M.Kep2 Dwi Setiowati, M.Kep2

Student of Nursing Departement, Faculty of Medicine and Health Sciences, Jenderal Soedirman University, Purwokerto Basic Nursing Departement, Nursing Departement, Faculty of Medicine and Health Sciences, Jenderal Soedirman University, Purwokerto

INTISARI Latar Belakang: Interprofessional Education (IPE) dapat mendorong praktik kolaboratif untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. FKIK Unsoed telah mengenal konsep ini tetapi belum mengadopsi. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti mispersepsi dan ketidaksiapan dari mahasiswa, dosen, dan pengelola. Persepsi dan kesiapan mahasiswa terhadap IPE dilaporkan sangat baik, demikian juga dengan fasilitator. Analisis persepsi dan kesiapan juga perlu dilakukan pada dosen sebagai salah satu komponen penting IPE. Tujuan: Penelitian ini menganalisis persepsi dan kesiapan dosen terhadap IPE di FKIK Unsoed. Metode: Rancangan cross sectional dipersiapakan untuk meneliti 73 sampel dosen FKIK dari jurusan kedokteran, kesehatan masyarakat, keperawatan, farmasi, kedokteran gigi, dan ilmu gizi. Interprofessional Education Perceptions Scale (IEPS) dan Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) dimodifikasi dan dipakai sebagai instrumen pengukuran. Hasil: Paling banyak responden dari kedokteran (26,0%), perempuan (57,5%), pernah berkolaborasi (95,5%), dan bekerja < 10 tahun (76,7%). Persepsi (84,9%) dan kesiapan (94,5%) adalah baik dan sama diantara dosen di semua jurusan dengan nilai p 0,606 dan 0,535 secara berurutan. Kesimpulan: Persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE di setiap jurusan adalah baik. Terdapat hubungan positif yang lemah tetapi bermakna antara persepsi dan kesiapan dosen. Saran: FKIK perlu membentuk bagian khusus untuk mengelola IPE. Penelitian lanjutan perlu menggali lebih dalam tentang teknis model pembelajaran IPE. Kata Kunci: Interprofessional education, persepsi, kesiapan, dosen. ABSTRACT Background: Interprofessional Education (IPE) improves collaborative practices that enhance service quality. The concept has been exposed, but FKIK has not adopted. Multifactors might responsible such IPE misperceived among students, lecturers, and managers. Students’ perceptions were reported well, so did facilitators. A similar analysis was needed for lecturers as they are IPE’s important components. Objective: This research was to analyse lecturers’ perception and readiness for IPE at FKIK Unsoed. Method: Cross sectional design was set to investigate 73 FKIK lecturers from departments: medicine, public health, nursing, dentist, pharmacy, and nutrition. Modified Interprofessional Education Perceptions Scale (IEPS) and Readiness Interprofessional Learning Scale (RIPLS) were tested before appliying. Results: Most respondent are medicine departments lecturers (26.0%), female (57.5%), experienced collaboration (95.9%), ≤ 10 years worked (76.7%). Both perception (84.9%) and readiness (94.5%) for facilitating IPE were good and equal among lecture at departments by p value 0.606 and 0.535 respectively. There was a positive, and weak correlation but significant between perception and readiness (r: 0.302; p: 0.009) Conclusion: Lecturers of FKIK Unsoed at departments have good perception and good readiness for IPE. There was positive and weak but significant correlation between lecturers’ perception and readiness. Recomendation: FKIK Unsoed was recommended to develop a special department to manage IPE. Following studies were recommended to explore thoroughly for identifying technical learning model. Keywords: Interprofessional education, perception, readiness, lecturers.


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--PENDAHULUAN

Education Perceptions Scale (IEPS) dan Readiness Tuntutan pelayanan kesehatan yang berkualitas semakin Interprofessional Learning Scale (RIPLS) yang meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dimodifikasi. Penelitian ini menggunakan purposive tentang kesehatan. Keith (2008) menyatakan kunci sampling yang mengacu pada kriteria inklusi dan dari pelayanan kesehatan yang bermutu dengan kriteria eksklusi yang ditetapkan oleh peneliti. biaya yang efisien adalah dengan meningkatkan kolaborasi yang efektif antar tenaga kesehatan. HASIL Salah satu upaya untuk mewujudkan Analisis Univariat kolaborasi antar tenaga kesehatan adalah dengan Karakteristik Responden memperkenalkan sejak dini paktik kolaborasi melalui Responden pada penelitian ini adalah 73 orang dosen proses pendidikan (WHO, 2010). Interprofessional yang terdiri dari dosen-dosen jurusan kedokteran education (IPE) adalah salah satu konsep pendidikan umum, kesehatan masyarakat, keperawatan, farmasi, terintegrasi untuk peningkatan kemampuan kedokteran gigi, dan program studi ilmu gizi. kolaborasi. IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih Paling banyak responden dari kedokteran (26,0%), mahasiswa dari program studi kesehatan yang berbeda perempuan (57,5%), pernah berkolaborasi belajar bersama yang bertujuan untuk meningkatkan (95,5%), dan bekerja < 10 tahun (76,7%). kerja sama dan kualitas pelayanan kesehatan. Persepsi terhadap IPE Mahasiswa sudah memiliki persepsi dan kesiapan Mayoritas dosen pengajar FKIK Unsoed yang positif terhadap IPE. Penelitian yang dilakukan mempunyai persepsi terhadap IPE dalam kategori oleh Sedyowinarso dkk., (2011) menunjukkan baik (84,9%), 15,1% dalam kategori sedang dan mahasiswa kesehatan Indonesia memiliki persepsi tidak ada dosen dengan persepsi buruk. Secara yang baik terhadap IPE sebanyak 73,62% dan lebih lanjut peneliti menjabarkan distribusi sebanyak 79,90% mahasiswa memiliki kesiapan yang kategori persepsi terhadap IPE berdasarkan baik terhadap IPE. Keberhasilan proses pendidikan jurusan tempat dosen FKIK Unsoed mengajar. interprofesional di perguruan tinggi tidak dapat Secara berurutan persepsi dosen berdasarkan terlepas dari peran dosen. Inisiatif mahasiswa untuk masing-masing jurusan tempat mengajar yang berada belajar bersama dapat terjadi jika terfasilitasi oleh pada kategori baik mulai dari persentase yang paling lingkungannya seperti sistem dan juga tenaga dosen. tinggi adalah dosen program studi ilmu gizi (100%), FKIK Unsoed sudah mulai terpapar dengan IPE jurusan farmasi (92,9%), kedokteran umum (89,5%), terbukti dari diselenggarakannya beberapa seminar kedokteran gigi (85,7%), keperawatan (76,9%) nasional maupun internasional yang mengangkat dan yang terakhir kesehatan masyarakat (75%). tema IPE. Akan tetapi wujud konkrit penerapan Selanjutnya untuk mengetahui lebih dalam tentang IPE di FKIK Unsoed masih belum terlihat. Oleh persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE, dilakukan karena itu dibutuhkan riset untuk meneliti persepsi analisis terhadap komponen persepsi terhadap IPE dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE. yang meliputi 1) kompetensi dan otonomi, 2) persepsi kebutuhan untuk bekerja sama, 3) bukti bekerja sama METODE dan 4) pemahaman terhadap profesi lain. Seluruh Penelitian dengan rancangan cross sectional komponen persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap dipersiapakan untuk meneliti 73 sampel dosen FKIK IPE dalam kategori baik. Persentase komponen baik dari jurusan kedokteran, kesehatan masyarakat, yang paling tinggi yaitu pada komponen bukti bekerja keperawatan, farmasi, kedokteran gigi, dan ilmu gizi. sama (90,4%) dan yang paling rendah yaitu pada Instrumen pengukuran menggunakan Interprofessional

12

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Arif Eko Yuniawan, Wastu Adi Mulyono, Dwi Setiowati--komponen pemahaman terhadap profesi lain (63%). terhadap IPE selanjutnya dilakukan berdasarkan karakteristik responden jenis kelamin, pengalaman Kesiapan terhadap IPE Mayoritas dosen FKIK Unsoed memiliki kesiapan berkolaborasi dan lama mengajar. Hasil uji terhadap IPE dalam kategori baik (94,5%). Kemudian komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap gambaran kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan jenis kelamin dan pengalaman IPE berdasarkan jurusan menunjukkan bahwa berkolaborasi menggunakan uji t tidak berpasangan kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi menunjukkan tidak ada perbedaan. Uji komparatif IPE berada pada kategori baik. Secara berurutan persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE mulai dari persentase yang paling tinggi adalah berdasarkan lama mengajar menggunakan uji Manndosen jurusan farmasi (100%), kedokteran gigi Whitney juga menghasilkan tidak ada perbedaan. (100%), kedokteran umum (94,7%), kesehatan masyarakat (93,8%), keperawatan (92,3%) dan yang terakhir program studi ilmu gizi (75%). Variabel kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE, dilakukan analisis lebih dalam pada komponen kesiapan terhadap IPE yang meliputi 1) teamwork dan kolaborasi, 2) identitas profesi dan 3) peran dan tanggung jawab. Tabel 4.7 menunjukkan bahwa seluruh komponen kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE dalam kategori baik. Persentase komponen baik yang paling tinggi yaitu pada komponen teamwork dan kolaborasi (98,6%) dan yang paling rendah yaitu pada komponen peran dan tanggung jawab (63,0%). Analisis Bivariat Perbandingan persepsi terhadap IPE Uji komparatif terhadap persepsi dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan. Uji komparatif ini menggunakan uji parametrik yaitu One-Way ANOVA. Sebelum menentukan jenis uji, peneliti melakukan uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilk karena jumlah responden pada masing-masing kelompok termasuk jumlah sampel kecil (Dahlan, 2009). Hasil uji normalitas menghasilkan sebaran data normal. Hasil uji menunjukkan bahwa signifikansi persepsi p > 0,05 (0,606), maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang bermakna persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan. Uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

Perbandingan kesiapan terhadap IPE Uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan menggunakan uji Kruskall-Wallis karena distribusi data tidak normal. Hasil uji menunjukkan bahwa signifikansi kesiapan p> 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho diterima atau tidak ada perbedaan yang bermakna persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE pada masing-masing jurusan. Uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE selanjutnya dilakukan berdasarkan karakteristik responden jenis kelamin, pengalaman berkolaborasi dan lama mengajar. Hasil uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan jenis kelamin dan lama mengajar menggunakan uji Mann-Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan. Uji komparatif kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berdasarkan pengalaman berkolaborasi menggunakan uji t tidak berpasangan juga menghasilkan tidak ada perbedaan. Hubungan antara persepsi dan kesiapan Data nilai persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE berupa data numerik yang terdistribusi normal dilakukan uji korelatif untuk menilai seberapa kuat hubungan di antara kedua variabel tersebut. Jenis uji yang digunakan yaitu uji Pearson Product Moment. Hasil uji diperoleh nilai sig 0,009 yang menunjukkan bahwa korelasi antara nilai persepsi dan kesiapan adalah bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar 0,302 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah.

13


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--PEMBAHASAN

Analisis Univariat Karakteristik responden Pembagian karakteristik responden mengacu pada penelitian serupa yang dilakukan oleh Curran et al (2007). Hasil penelitian menyebutkan dari beberapa jenis karakteristik yang berhubungan dengan sikap dan kesiapan dosen pengajar terhadap keja sama interdisipliner dan IPE adalah jenis kelamin dan pengalaman bekerja kolaborasi interdisipliner sebelumnya (Curran, et al 2007). Sejalan dengan Turner (1999) yang menyebutkan bahwa latar belakang profesi memengaruhi kesiapan terhadap IPE. Menurut Thoha (2004) dalam Fauziah (2010) perbedaan karakteristik responden menyebabkan perbedaan dalam memersepsikan sesuatu, termasuk persepsi terhadap IPE. Menurut Hawk (2002) perbedaan latar belakang profesi dapat mempengaruhi persepsi terhadap IPE. Hal ini terlihat dari penelitian yang mengatakan terdapat perbedaan persepsi yang bermakna berdasarkan jenis profesinya (p=0,001). Persepsi terhadap IPE Hasil pengukuran persepsi menunjukkan bahwa mayoritas dosen pengajar FKIK Unsoed mempunyai persepsi terhadap IPE dalam kategori baik (84,9%), sebanyak 15,1% responden memiliki persepsi dalam kategori sedang dan tidak ada satu pun dosen FKIK Unsoed yang memiliki persepsi yang buruk terhadap IPE. Pengkuran persepsi menggunakan 18 pernyataan dengan pilihan “Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju” dan “Sangat Tidak Setuju”. Pernyataan yang mendekati sangat setuju diantaranya yaitu “Orang-orang dalam profesi saya membutuhkan kontribusi dari profesi lain dalam bekerja”, “Orang-orang dalam profesi saya merupakan orang-orang yang terampil”, “Orang-orang dalam profesi saya senang untuk berbagi informasi dan pengetahuan dengan profesi lain” dan “Orangorang dalam profesi saya berusaha untuk memahami kemampuan dan kontribusi dari profesi lain”. Hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa dosen FKIK Unsoed memiliki kepercayaan diri dengan kompetensi

14

dan otonomi profesinya dan menunjukkan setiap profesi kesehatan membutuhkan kerja sama dengan profesi lain, serta menunjukkan pemahaman yang baik terhadap profesi lain. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Suter et al (2009) menyatakan profesi kesehatan di kota Alberta, Edmonton dan Canada mempunyai persepsi yang positif terhadap pentingnya pemahaman terhadap profesi lain. Nilai rerata keempat komponen persepsi menunjukkan bahwa komponen pemahaman terhadap profesi lain memiliki rerata yang paling rendah. Sejalan dengan Cameron et al (2009) dalam Fauziah (2010) menunjukkan peserta IPE Faculty Development Course in May 2006 mempunyai persepsi yang positif terhadap IPE, tetapi pemahaman terhadap profesi lain mempunyai persentase terendah. Menurut Hall (2005) kurang maksimalnya pemahaman terhadap profesi lain disebabkan masih adanya kerancuan peran di antara profesi kesehatan seperti dokter dan perawat. Oleh karena itu penerapan IPE dalam sistem pembelajaran diharapkan dapat memperjelas peran dan tanggung jawab masing-masing profesi (Fauziah, 2010). Kesiapan terhadap IPE Hasil pengukuran kesiapan dosen FKIK Unsoed mayoritas mempunyai kesiapan terhadap IPE dalam kategori baik (94,5%), lebih dari tujuh belas kali lipat dari jumlah dosen yang berada pada kategori kesiapan sedang (5,5%) dan tidak ada dosen yang berada pada kategori kesiapan buruk. Menurut Barr (1998) dosen dengan kesiapan yang baik untuk memfasilitasi IPE akan lebih membantu mahasiswa untuk mencapai kompetensi IPE yang diharapkan. Pengukuran kesiapan menggunakan 19 pernyataan dengan pilihan “Sangat Setuju”, “Setuju”, “Tidak Setuju” dan “Sangat Tidak Setuju”. Dari pernyataan tersebut diketahui jawaban responden yang mendekati sangat setuju diantaranya yaitu “kemampuan kerja sama tim merupakan hal yang sangat penting”, “belajar bersama mahasiswa profesi kesehatan lain akan membantu mahasiswa menjadi anggota tim pelayanan kesehatan yang lebih baik”. Sementara jawaban tidak setuju muncul pada

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Arif

Eko Yuniawan, Wastu Adi Mulyono, Dwi Setiowati---

pernyataan “tidak penting bagi mahasiswa profesi kesehatan untuk belajar bersama� dan “saya tidak mau membuang-buang waktu saya untuk mendidik mahasiswa profesi lain�. Jawaban responden tersebut menunjukkan bahwa dosen FKIK Unsoed menyadari pentingnya untuk belajar berkolaborasi. Hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran IPE ini adalah kejelasan standar kompetensi yang harus dicapai oleh mahasiswa itu sendiri, sehingga adanya IPE akan memperjelas kontribusi setiap profesi kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan. Seperti yang diungkapkan oleh Sedyowinarso (2011) bahwa meskipun IPE dirancang untuk kelompok, pada akhirnya bertujuan untuk pengembangan masing-masing individu. Komponen kesiapan IPE dibagi menjadi tiga komponen. Secara berurutan nilai rata-rata komponen kesiapan yang paling tinggi adalah komponen teamwork dan kolaborasi (98,6%), kemudian identitas profesi (90,4%) dan terakhir adalah komponen peran dan tanggung jawab (63%). Hal ini serupa dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Aryakhiyati (2011) yang menunjukkan komponen teamwork dan kolaborasi memiliki nilai tertinggi sedangkan peran dan tanggung jawab memiliki nilai terendah pada dosen FK UGM. Nilai tertinggi yang ditunjukkan pada komponen teamwork dan kolaborasi dapat diasumsikan bahwa dosen FKIK Unsoed telah menyadari bahwa dengan model pemebalajaran terintegrasi seperti IPE ini dapat menjadikan mahasiswa siap untuk bekerja dalam tim. Sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang mahasiswa dalam IPE, diharapkan setiap mahasiswa memiliki kemampuan untuk: 1) berbagi sumber daya, keahlian dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama dalam praktik kolaboratif, 2) membangun komitmen dan mempertahankan partisipasi dalam suatu tim interprofesional, 3) mengenali saat ada ketidak sesuaian dalam praktik kolaborasi tersebut, 4) mengatasi masalah dan konflik menggunakan teknik penyelesaian masalah dan manajemen konflik yang

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

tepat, 5) menggunakan pengambilan keputusan yang sesuai dengan tim kolaborasi (Interprofessional Education Consortium, 2002 dalam Fauziah, 2010) Nilai rendah yang ditunjukkan pada komponen peran dan tanggung jawab dapat diasumsikan bahwa pemahaman antar profesi kesehatan tentang peran masing-masing profesi kesehatan pada dosen FKIK Unsoed perlu ditingkatkan. Pemahaman tentang peran dan tanggung jawab masing-masing profesi membuat profesional di bidang kesehatan akan memahami apa yang sebenarnya akan dilakukan tiap-tiap profesi dalam pekerjaannya (Gilbert et al, 2005). Dengan mengetahui peran dan tanggung jawab setiap profesi, maka pelaksana pembelajaran IPE akan semakin siap untuk bekerja bersama dalam tim (Morison et al, 2003). Analisis Bivariat Perbandingan persepsi terhadap IPE Uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan persepsi berdasarkan kelompok jurusan dan karakteristik responden. Hasil uji One-Way ANOVA persepsi dosen FKIK Unsoed berdasarkan jurusan tempat mengajar menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna persepsi dosen FKIK Unsoed terhadap IPE dengan signifikansi persepsi > 0,05 yaitu 0,606. Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Fauziah (2010) yang menyebutkan tidak ada perbedaan persepsi mahasiswa profesi pendidikan dokter dan ilmu keperawatan terhadap IPE. Meichati (2006) dalam Fauziah (2010) menyebutkan bahwa luas dan kualitas persepsi dipengaruhi oleh perhatian dan pengalaman masa lalu. Tidak adanya perbedaan nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed dimungkinkan karena dosen FKIK Unsoed telah terpapar dengan model pembelajaran IPE melalui kegiatan seminar yang dilakukan pihak fakultas. Selain itu data dari bagian kepegawaian FKIK Unsoed menunjukkan bahwa beberapa dosen juga mengajar di beberapa jurusan yang berbeda. Hasil uji komparatif persepsi dosen FKIK Unsoed berdasarkan karakteristik jenis kelamin (p=0,859), pengalaman berkolaborasi (p=0,802) dan lama

15


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--mengajar (0,729) menunjukkan tidak ada perbedaan. Menurut Anderson et al (2006) menyatakan bahwa dosen dengan pengalaman mengajar lebih sedikit akan lebih peduli pada pekerjaan mengajar bersama dengan mahasiswa yang mendukung proses belajar dan diskusi. Dalam kondisi ini peran dosen sebagai role model sangat penting untuk memastikan mahasiswa merasa nyaman dalam pembelajaran IPE (Forte et al, 2009). Perbandingan kesiapan terhadap IPE Uji komparatif dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE antara keenam kelompok. Hasil uji Kruskall-Wallis menunjukkan nilai p>0,05 yaitu 0,535 yang dapat diinterpretasikan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi IPE yang bermakna antara dua kelompok jurusan tempat mengajar. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Aryakhiyati (2011) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dengan nilai p= 0,032, kemudian dilakukan uji analisis Post Hoc yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata nilai kesiapan dosen kedokteran dan keperawatan serta perbedaan kesiapan rerata nilai kesiapan dosen kedokteran dan gizi. Penerapan IPE sangat membutuhkan role model yaitu dosen pendidik yang berkomitmen terhadap IPE dan lingkungan pembelajaran yang mendukung terciptanya teamwork dan mampu menggabungkan teori dan prakatik (Gaudet et al, 2007 dalam Aryakhiyati, 2011). Kesiapan yang baik dari seluruh dosen FKIK Unsoed terhadap IPE merupakan potensi FKIK Unsoed untuk mengembangkan model pembelajaran IPE ini. Hasil uji komparatif nilai kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk memfasilitasi IPE berdasarkan karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, pengalaman berkolaborasi dan lama mengajar menunjukkan tidak ada perbedaan nilai kesiapan yang bermakna. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Curran et al (2007) yang menyatakan terdapat perbedaan kesiapan dosen yang bermakna antara dosen laki-laki dan perempuan,

16

dengan dosen perempuan memiliki rerata nilai sikap yang lebih tinggi secara bermakna. Penelitian yang dilakukan Aryakhiyati (2011) menunjukkan adanya perbedaan rerata nilai kesiapan dosen FK UGM yang bermakna berdasarkan pengalaman mengajar. Hubungan persepsi dan kesiapan Uji korelatif persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE menggunakan uji Pearson Product Moment karena jenis data penelitian ini berupa numerik yang terdistribusi normal. Uji Pearson digunakan untuk menilai seberapa kuat hubungan di antara kedua variabel tersebut. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p< 0,05 yang dapat diinterpretasikan terdapat korelasi yang bermakna antara kedua variabel. Nilai korelasi Pearson sebesar 0,302 menunjukkan korelasi positif dengan kekuatan korelasi yang lemah. Hubungan yang muncul di antara kedua variabel ini dapat terjadi karena adanya persamaan komponen di antara keduanya, yaitu komponen bukti bekerja sama dengan teamwork dan kolaborasi. Salah satu outcome yang diharapkan dalam penerapan IPE adalah terjadinya teamwork dan kolaborasi yang kuat antar profesional kesehatan dari disiplin ilmu yang berbeda. Responden dalam penelitian ini mayoritas mempersepsikan bahwa pembelajaran terintegrasi akan meningkatkan penerapan kolaborasi interdisipliner dalam tatanan klinik yang akan membantu mahasiswa untuk siap menjadi tim pelayanan kesehatan yang lebih baik, sehingga dosen FKIK Unsoed menyatakan sangat terbuka dan siap untuk mengajar pada kelompok belajar mahasiswa dari profesi kesehatan yang berbeda-beda. Persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed yang menunjukkan kategori baik berdasarkan hasil pengukuran menggunakan modifikasi instrumen IEPS dan RIPLS merupakan nilai positif bagi FKIK Unsoed ketika akan menerapkan model pembelajaran IPE lebih lanjut. Tahapan selanjutnya yang akan dilakukan oleh FKIK Unsoed adalah tahap bergerak (moving) sebagaimana teori berubah. Kurt Lewin (1951) dalam Hidayat (2008) menyatakan bahwa pada tahap moving ini terjadi apabila seseorang telah

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Arif

Eko Yuniawan, Wastu Adi Mulyono, Dwi Setiowati---

memiliki informasi yang cukup serta kesiapan untuk berubah. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa FKIK Unsoed sudah dapat untuk mulai menerapkan model pembelajaran IPE karena telah memiliki persepsi dan kesiapan yang baik terhadap IPE. Kekuatan korelasi yang lemah (0,302) berdasarkan hasil uji Pearson antara variabel persepsi dan kesiapan menunjukkan bahwa untuk membentuk kesiapan yang baik dalam penerapan IPE di FKIK Unsoed yang menjadi perhatian lebih lanjut bukan lagi membentuk persepsi dosen, melainkan faktor-faktor lain juga yang mempengaruhi penerapan IPE di institusi pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Sedyowinarso (2011) mengungkapkan bahwa hal yang harus dipersiapkan untuk menerapkan IPE adalah dimulai dengan penyamaan pemahaman mengenai IPE sehingga terbentuknya kesepakatan antar fakultas profesi kesehatan dan sinkronisasi birokrasi serta bagian administrasi khusus untuk mengkoordinasikan kegiatan pembelajaran IPE. Selain itu ditindaklanjuti dengan menyediakan fasilitas, pengajar, standar kurikulum dan penyelenggaraan IPE. Kemudian perlu adanya dukungan secara eksternal yaitu kebijakan dan regulasi dari universitas maupun pemerintah bagian terkait. Kerja sama dengan mitra lahan praktik pun perlu direncanakan secara detail.

KESIMPULAN

jenis kelamin, maupun pengalaman kerja. Terdapat hubungan positif yang lemah antara persepsi dan kesiapan dosen FKIK Unsoed terhadap IPE. Uji kemaknaan menunjukkan hubungan yang bermakna antara kedua. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan perhatian terhadap faktor-faktor lain yang mempengaruhi IPE selain persepsi untuk meningkatkan kesiapan FKIK Unsoed dalam menerapkan IPE.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta kesimpulan yang dibuat, beberapa saran dari peneliti terkait IPE adalah: Institusi pendidikan disarankan untuk mulai mengembangkan model pembelajaran IPE dalam kurikulum pendidikan karena tidak ada resistensi akibat persepsi yang buruk, selain itu mayoritas dosen sudah memiliki kesiapan yang baik. Agar model pembelajaran IPE dapat berkembang di FKIK Unsoed, sebuah bagian khusus diperlukan untuk mengelola dan melakukan manajemen terhadap pelaksanaan IPE. Aplikasi IPE dalam kurikulum dan pengelolaannya dapat mencontoh University of Queensland. Penelitian selanjutnya, diharapkan menggali lebih dalam mengenai model pembelajaran IPE secara kualitatif dan mengembangkan teknikteknik dan metode pelaksanaannya. Penerapan IPE dalam kurikulum pendidikan memerlukan penjelasan teknis dalam aplikasinya agar IPE dapat berjalan secara efektif dan efisien.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: Responden terbanyak berasal dari dosen pengajar DAFTAR PUSTAKA jurusan kedokteran umum. Mayoritas responden 1. Anderson, E., Manek, N., & Davidson, A. (2006). Evaluation of model for maximizing interprofessional education in an acute perempuan, memiliki pengalaman berkerja dalam hospital. Journal of Interprofessional Care; 20(2): 182-194. tim multiprofesi, dan bekerja kurang dari 10 tahun. 2. Aryakhiyati, N. (2011). Analisis sikap dan kesiapan dosen fk ugm terhadap interprofessional education (IPE). Skripsi Program Studi Mayoritas dosen FKIK Unsoed memiliki persepsi baik Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. terhadap IPE dan tidak ada nilai persepsi yang buruk. 3. Barr, H. (1998). Competent to collaborate: Towards a competency-based model for interprofessional Kesiapan dosen FKIK Unsoed untuk education. Journal of Interprofessional Care 12: 181-187. memfasilitasi pembelajaran IPE mayoritas 4. Curran, V.R. Deacon, D.R. & Fleet, L. (2007). Attitudes of health sciences faculty members towards interprofessional baik tanpa ada kategori buruk. Tidak terdapat teamwork and education. Blackwell Publishing, perbadaan bermakna baik dalam persepsi maupun Learning in Health and Social care, 7 (3):145-156. kesiapan dosen terhadap IPE berdasarkan 5. Fauziah, F.A. (2010). Analisis gambaran persepsi dan kesiapan mahasiswa profesi FK UGM terhadap interprofessional education karakteristik jurusan, pengalaman berkolaborasi, di tatanan pendidikan klinik. Skripsi Program Studi Ilmu

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

17


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Forte, A. & Fowler, P. (2009). Participation in interprofessional education : An evaluation of student and staff experiences. Journal of Interprofessional Care, 23(1): 58-66. 7. Gilbert, J.H.V. (2005). Interprofessional education for collaborative, Patient-Centered Practice. Nursing Leadership volume 18 number 2. 8. Hall, P. (2005). Interprofessional teamwork: Professional cultures as barriers. Journal of Interprofessional Care Suplement 1: 188-196. 9. Hawk, C., Buckwalter, K., Byrd, L., Cigelman, S., Dofman, L., Ferguson, K., (2002). Health professions students’ perceptions of interprofessional relationships. Academic Medicine, 77(04): 354-357. 10. Hidayat, A. A. A. (2008). Pengantar konsep dasar keperawatan, Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika. 6.

18

11. Morison, S., Boohan, M., Moutray, M., & Jenkins, J. (2004). Developing pre-qualification inter-professional education for nursing and medical medical students: sampling student attitudes to guide development. Nurse Education in Practice 4: 20-29. 12. Sedyowinarso, M., Fauziah, F. A., Aryakhiyati, N., Julica, M. P., Sulistyowati, E., Masriati, F. N., Olam, S. J., Dini, C., Afifah, M., Meisudi, R., & Piscesa, S. (2011). Persepsi dan kesiapan mahasiswa dan dosen profesi kesehatan terhadap model pembelajaran pendidikan interprofesi. Proyek HPEQ-Dikti. 13. Suter, E., Arndt, J., Arthur, N., Parboosingh, J. Taylor, E., & Deutschlander, S., (2009). Role understanding and effective communication as core competencies for collaborative practice. Journal of Interprofessional Care 23(1): 41-51.

Â

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN MOTIVASI DENGAN KETERAMPILAN DETEKSI DINI PERTUMBUHAN ANAK PADA KADER POSYANDU DI WILAYAH PUSKESMAS SEWON II BANTUL YOGYAKARTA Suis Galischa Wati 1), Sri Hartini 2), Ema Madyaningrum 2) 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran UGM

INTISARI Latar Belakang: Deteksi dini gangguan pertumbuhan anak merupakan salah satu program posyandu untuk mengurangi angka kematian anak di Indonesia, termasuk di Puskesmas Sewon II Bantul, Yogyakarta. Keterampilan kader dianggap sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan deteksi ini. Teori sebelumnya menyebutkan bahwa keterampilan turut dipengaruhi oleh pengetahuan dan motivasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan motivasi dengan keterampilan kader. Tujuan: Mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak di Puskesmas Sewon II Bantul, Yogyakarta. Metode: Penelitian ini adalah deskriptif korelasional dengan pendekatan cross-sectional. Dilaksanakan pada bulan November 2012. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan pengamatan dilakukan pada satu waktu. Subjek penelitian berjumlah 41 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Cluster dan Proportional sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Pearson Product Moment. Hasil: Kader poyandu (n=41) rata-rata memiliki tingkat pengetahuan sedang (61%), tingkat motivasi tinggi (61%), dan tingkat keterampilan sedang (65,9%). Hasil perhitungan hubungan antara pengetahuan dan keterampilan kader didapatkan rho=0.789 dan p=0,01; hasil perhitungan hubungan antara motivasi dan keterampilan didapatkan nilai p=0.969. Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan kader; tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan keterampilan kader. Kata kunci: pertumbuhan anak, pengetahuan, motivasi, keterampilan, posyandu.

ABSTRACT Background: Early detection of children’s growth is one of posyandu’s program to minimizing child mortality in Indonesia, including in Sewon II Health center. Skills of posyandu cadres considered as a factor affecting the success rate of detection. Previous theory states that skills influenced by the knowledge and motivation. Therefore it is necessary to do research about relationship between knowledge and motivation with cadres skills. Objective: Identify association between knowledge and motivation with skills of posyandu cadres in early detection of children growth at Sewon II Health Center Bantul, Yogyakarta. Method: The study was a descriptive correlation with cross sectional design. Data were obtained through questionnaire and observation was undertaken at one time, in November 2012. Subject of the study involving 41 respondents. Samples were taken through cluster and proportional sampling techniques. Bivariate analysis used Pearson Product Moment test. Result: Posyandu cadres (n=41 people) had average knowledge (61%), high motivation (61%), and average skills (65.9%). Score of correlation between knowledge and skills was rho = 0.789 and p = 0.01; score of correlation between motivation and skills was p = 0.969. Conclusion: There was significant association between knowledge and skills; there was no significant association between motivation and skills of cadres. Keywords: Children growth, knowledge, motivation, skill, posyandu.


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--PENDAHULUAN

Hasil survei Badan Pusat Statistik di tahun 2010 menyatakan bahwa dari total jumlah penduduk di Indonesia 22.960.000 diantaranya adalah balita, yakni mencapai 10% dari total jumlah populasi¹. Sayangnya peningkatan jumlah tersebut tidak selalu diimbangi dengan peningkatan kualitas kesehatan pada balita, salah satunya dalam aspek pertumbuhan, dimana dari tahun ke tahun permasalahan mengenai pertumbuhan balita di Indonesia masih saja ditemukan². Pada tahun 2000-2003 prevalensi balita dengan kasus gizi kurang tercatat sebanyak 26,1%, 27,3%, dan 27,5% ³ sedangkan survey pada tahun 2010 menunjukkan 17,9% anak di Indonesia menderita gizi kurang, 4,9% gizi buruk, 17,1% gangguan pertumbuhan pendek, dan 18,5% sangat pendek 4. Deteksi dini penyimpangan pertumbuhan anak merupakan bagian dari kegiatan Stimulasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK) oleh Departemen Kesehatan RI. Tujuannya adalah untuk mendeteksi secara dini gangguan pertumbuhan pada anak sehingga dapat dilakukan intervensi lebih awal5. Deteksi ini dilakukan dengan cara pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala sesuai dengan jadwal deteksi. Semakin awal tanda dan gejala gangguan pertumbuhan tersebut diketahui maka akan semakin mudah pula penanganannya. Deteksi ini biasa dilakukan mulai dari tingkat pelayanan kesehatan dasar salah satunya adalah posyandu. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan strategi jangka panjang pemerintah yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian anak di Indonesia salah satunya dengan melaksanakan deteksi dini pertumbuhan6. Saat ini terdapat sebanyak 266.827 posyandu yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dan 5.654 diantaranya terdapat di provinsi D.I.Yogyakarta6. Pada kenyataannya pelaksanaan deteksi dini pertumbuhan anak oleh kader posyandu saat ini belum optimal. Dari keseluruhan jumlah anak balita di Indonesia hanya sekitar 26,8% yang dilakukan penimbangan secara rutin, 49,4% dilakukan 4 kali penimbangan dalam 6 bulan, dan

20

3,8% diantaranya bahkan tidak pernah ditimbang dalam kurun waktu 6 bulan terakhir4. Mahmudiono menyebutkan bahwa 61% kader posyandu dibeberapa wilayah kurang teliti dan 97% tidak akurat dalam melakukan penimbangan8. Kegiatan posyandu kian meredup dan kualitasnya mengalami penurunan, dari total jumlah posyandu yang ada di Indonesia saat ini hanya 50% saja yang diperkirakan masih aktif dengan tingkat partisipasi 40-60%9. Tinggi rendahnya mutu pelayanan posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak dipengaruhi oleh pengetahuan dan keterampilan kader posyandu sebagai penggerak dan pelaksana kegiatan posyandu10. Motivasi atau keinginan seseorang untuk melakukan suatu tindakan juga dapat berpengaruh pada perilakunya11. Puskesmas Sewon II terletak di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Di wilayah tersebut terdapat sebanyak 46 posyandu balita yang dibagi kedalam dua wilayah yakni 22 posyandu dari wilayah Bangunharjo dan 24 posyandu dari wilayah Panggungharjo dengan kader rata-rata berjumlah 5 orang disetiap posyandunya. Penimbangan balita dilakukan secara rutin setiap satu bulan sekali dengan jadwal kunjungan puskesmas antara tanggal 1-23. Kader posyandu di wilayah tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai deteksi dini pertumbuhan anak. Selain itu di wilayah tersebut belum pernah dilakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan dan motivasi dengan keterampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai”Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Keterampilan Deteksi Dini Pertumbuhan Anak pada Kader Posyandu di Wilayah Puskesmas Sewon II Bantul, Yogyakarta”.

METODE

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif korelasional dengan pendekatan cross sectional. Dilaksanakan di Griya Lare Utami (Children House) wilayah Dusun Bakung Bangunharjo Sewon Bantul

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum--dengan jumlah responden sebanyak 41 kader, 20 Tabel 1. Karakteristik kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul Yogyakarta (n=41) responden berasal dari Desa Bangunharjo dan 21 Karakteristik Responden Jumlah Persentase (%) responden berasal dari Desa Panggungharjo, pada Umur 30- 40 tahun 22 53,7 bulan November 2012. Sebagai responden penelitian >40-50 tahun 19 46,3 adalah mereka yang memenuhi kriteria inklusi: Jumlah 41 100 Tingkat SMP 13 31,7 berusia 30-50 tahun, berpendidikan minimal SMP, Pendidikan SMA/Sederajat 22 53,7 dan bersedia menjadi responden penelitian. Sebagai D3/Sarjana 6 14,6 kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: kader Jumlah 41 100 posyandu yang tidak mengikuti kegiatan penelitian Lama menjadi ≤ 5 tahun 26 63,4 secara keseluruhan. Teknik pengambilan sampel Kader > 5 tahun 15 36,6 Jumlah 41 100 menggunakan Cluster dan Proportional sampling. Sumber : Data Primer Untuk mengetahui hubungan antara variabel digunakan uji Product Moment dari Pearson dengan Distribusi kader posyandu berdasarkan mengorelasikan skor dari masing-masing variabel. Untuk mengukur tingkat pengetahuan kader tingkat pengetahuan dapat dilihat pada tabel 2 dan digunakan kuesioner yang dibuat oleh peneliti distribusi kader posyandu berdasarkan karakteristik berdasarkan buku panduan Stimulasi Deteksi dan responden dapat dilihat pada tabel 3 berikut: Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak (SDIDTK)5 Tabel 2. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul berdasarkan tingkat pengetahuan November 2012 (n=41) yang telah diuji validitas sebanyak 21 item pertanyaan Tingkat Pengetahuan Frekuensi Persentase (%) dengan skor berkisar antara 0-21. Pengetahuan Rendah 8 19, 5 dikatakan rendah jika skor < 12, sedang jika skor 12Sedang 25 61 16, dan tinggi jika skor>1631. Motivasi diukur dengan Tinggi 8 19, 5 menggunakan kuesioner motivasi dari Uno12 sebanyak Jumlah 41 100 Sumber : Data primer 13 item pertanyaan dengan rentang skor antara 13-52. Motivasi dikatakan rendah jika skor < 39, sedang jika Tabel 3. Distribusi tingkat pengetahuan berdasarkan karakteristik kader posyandu skor 39 ≤ x < 49, tinggi jika ≥4929. Tingkat keterampilan di wilayah Puskesmas Sewon II November 2012 (n=41) kader diukur dengan menggunakan instrumen berupa Karakteristik Responden Tingkat Pengetahuan Jumlah checklist yang terdiri dari 15 poin sesuai dengan Rendah Sedang Tinggi F(%) buku panduan SDIDTK5 dengan skor berkisar antara F % F % F % Umur 30-40 tahun 3 7,3 14 34,1 5 12,2 22(53,7%) 0-15. Apabila skor<10 maka keterampilan dikatakan >40-50 tahun 5 12,2 11 26,8 3 7,4 19(46,3%) rendah, jika skor 10 ≤ x < 14 keterampilan dikatakan Jumlah 8 19,5 25 60,9 8 19,6 41(100%) sedang, dan keterampilan tinggi jika skor ≥ 1429. Tingkat SMP 5 12,2 8 19,5 0 0 13(31,7%) Pendidikan SMA/Sederajat 3 7,3 14 34,1 5 12,2 22(53,7%) HASIL PENELITIAN D3/Sarjana 0 0 3 7,3 3 7,4 6(14,6%) Karakteristik responden dalam penelitian ini Jumlah 8 19,5 25 60,9 8 19,6 41(100%) Lama menjadi ≤ 5 tahun 2 4,9 17 41,4 7 17,2 26(63,4%) meliputi: umur, tingkat pendidikan, dan lama menjadi Kader > 5 tahun 6 14,6 8 19,5 1 2,4 15(36,6%) kader posyandu. Berdasarkan penelitian yang telah Jumlah 8 19,5 25 60,9 8 19,6 41(100%) dilakukan diketahui bahwa karakteristik responden Sumber : Data primer paling banyak berusia 30-40 tahun (53,7%) dengan Data yang diperoleh menunjukkan bahwa rata-rata usia 40,32 tahun ± 1,042 Standar Deviasi (SD). Karakteristik responden pada penelitian ini kader paling banyak memiliki tingkat pengetahuan selengkapnya ini dapat dilihat pada tabel 1 berikut: sedang dengan rata-rata skor: 13,78 ± 2,57 SD.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

21


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--Berdasarkan olah data diketahui bahwa sebanyak 61% kader memiliki tingkat motivasi tinggi dalam deteksi dini pertumbuhan anak dengan rata-rata skor: 44,05 ± 4,52SD. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

Tabel 4. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II berdasarkan tingkat motivasi November 2012 (n=41) Tingkat Motivasi Frekuensi Persentase (%) Rendah 0 0 Sedang 16 39 Tinggi 25 61 Jumlah 41 100 Sumber : Data primer Data mengenai distribusi tingkat motivasi berdasarkan karakteristik kader posyandu selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:

Tabel 6. Distribusi kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II Bantul berdasarkan tingkat keterampilan Tingkat Keterampilan Frekuensi Persentase (%) Rendah 7 17, 05 Sedang 27 65, 9 Tinggi 7 17, 05 Jumlah 41 100 Sumber : Data primer Kader yang memiliki keterampilan sedang tersebut paling banyak berusia 30-40 tahun, berpendidikan SMA/Sederajat, dan telah menjadi kader selama ≤ 5 tahun. Distribusi keterampilan berdasarkan karakteristik kader posyandu selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7 berikut:

Tabel 7. Distribusi tingkat keterampilan berdasarkan karakteristik kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II November 2012 (n=41). Karakteristik Responden Tingkat Keterampilan Jumlah Rendah Sedang Tinggi F(%) F % F % F % Umur 30-40 tahun 4 9,8 14 34,1 4 9,8 22(53,7%) >40-50 tahun 3 7,3 13 31,7 3 7,3 19(46,3%) Jumlah 7 17,1 27 65,8 7 17,1 41(100%) Tingkat SMP 4 9,8 9 22 0 0 13(31,7%) Pendidikan SMA/Sederajat 2 4,9 16 39 4 9,8 22(53,7%) D3/Sarjana 1 2,4 2 4,8 3 7,3 6(14,6%) Jumlah 7 17,1 27 65,8 7 17,1 41(100%) Lama menjadi ≤ 5 tahun 5 12,2 15 36,6 6 14,7 26(63,4%) Kader > 5 tahun 2 4,9 12 29,2 1 2,4 15(36,6%) Jumlah 7 17,1 27 65,8 7 17,1 41(100%) Sumber : Data primer

Tabel 5. Distribusi tingkat motivasi berdasarkan karakteristik kader posyandu di wilayah Puskesmas Sewon II November 2012 (n = 41). Karakteristik Responden Tingkat Motivasi Jumlah Rendah Sedang Tinggi F(%) F % F % F % Umur 30-40 tahun 0 0 11 26,8 11 26,8 22(53,7%) >40-50 tahun 0 0 5 12,2 14 34,1 19(46,3%) Jumlah 0 0 16 39 25 60,9 41(100%) Tingkat SMP 0 0 6 14,6 7 17,1 13(31,7%) Pendidikan SMA/Sederajat 0 0 9 22 13 31,7 22(53,7%) D3/Sarjana 0 0 1 2,4 5 12,2 6(14,6%) Jumlah 0 0 16 39 25 60,9 41(100%) Lama menjadi ≤ 5 tahun 0 0 11 26,8 15 36,6 26(63,4%) Kader > 5 tahun 0 0 5 12,2 10 24,3 15(36,6%) Hasil uji korelasi antara pengetahuan dengan Jumlah 0 0 16 39 25 60,9 41(100%) keterampilan kader posyandu menunjukkan nilai Sumber : Data primer Keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak paling banyak berada pada tingkat sedang dengan rata-rata skor: 11,83 ± 2,07 SD. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6 berikut:

22

p = 0,01 dengan nilai r = 0,789. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8 berikut:

Tabel 8. Hubungan antara tingkat pengetahuan dengan keterampilan kader di wilayah Puskesmas Sewon II dalam deteksi dini pertumbuhan anak (n=41) Variabel independen Variabel dependen r p Pengetahuan Keterampilan 0,789 0, 01 *Pearson Product Moment test

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum--Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini ditemukan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak dan memiliki kekuatan korelasi yang kuat dengan arah korelasi positif yang berarti semakin tinggi tingkat pengetahuan kader maka semakin tinggi pula tingkat keterampilan kader. Hasil analisis data mengenai hubungan antara motivasi dengan keterampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak, didapatkan hasil sesuai dengan tabel 9. sebagai berikut:

Tabel 9. Hubungan antara tingkat motivasi dengan keterampilan kader di wilayah Puskesmas Sewon II dalam deteksi dini pertumbuhan anak (n=41) Variabel independen Variabel dependen p Motivasi Keterampilan 0, 969 *Pearson Product Moment test Data tersebut menunjukkan bahwa nilai p = 0,969. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara motivasi dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak.

PEMBAHASAN

Karakteristik Responden Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kurniasih15 yang didukung oleh pernyataan Latief et al. 26 yang menyebutkan bahwa 71% kader posyandu ratarata berusia ± 40 tahun. Menurut Hurlock17 usia 30-40 tahun merupakan usia dewasa awal yang merupakan masa penyesuaian diri dan memanfaatkan kebebasan yang dimilikinya. Anderson dalam Meppiere27 mengungkapkan pada tahap tersebut seseorang mulai memiliki kematangan psikologis dan mulai berorientasi pada tugas, memiliki tanggung jawab terhadap tugas-tugasnya, dan kemauan untuk belajar. Berdasarkan tingkat pendidikan diketahui bahwa responden paling banyak berpendidikan SMA/ Sederajat (53,7%). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa 57% kader posyandu berpendidikan SMA/Sederajat13.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

Utomo28 juga menyebutkan bahwa 47% kader posyandu di Yogyakarta berpendidikan SMA/Sederajat. Dalam penelitian ini responden paling banyak telah bekerja sebagai kader posyandu selama ≤ 5 tahun (63,4%) dengan rata-rata lama menjadi kader 5,78 tahun ± 1,036 SD. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kader posyandu di wilayah tersebut tergolong baru karena menurut Enardi6 kader posyandu dikatakan baru apabila mereka memiliki masa kerja di posyandu ≤ 5 tahun dan dikatakan lama apabila mereka sudah bekerja di posyandu > 5 tahun. Pengetahuan Kader Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa 59,1% dan 60% kader posyandu rata-rata memiliki tingkat pengetahuan sedang mengenai standar pemantauan pertumbuhan anak12,13. Sebagian besar responden yang memiliki tingkat pengetahuan sedang tersebut berusia 30-40 tahun, berlatar belakang pendidikan SMA/Sederajat, dan telah bekerja sebagai kader posyandu selama ≤ 5 tahun. Martoatmojo14 menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pendidikan dengan pengetahuan kader posyandu dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula pengetahuannya. Akan tetapi Kurniasih15 dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan yang tinggi tidak selalu berbanding lurus dengan tingkat pengetahuannya, karena pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya adalah jumlah paparan informasi yang tidak didapatkan melalui pendidikan formal. Menurut Evita12 tingkat pengetahuan kader posyandu juga dipengaruhi oleh usia dan masa kerja. Azwar29 juga menyebutkan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dapat berpengaruh pada tingkat pengetahuannya. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh diketahui bahwa kader posyandu yang bekerja ≤ 5 tahun justru memiliki tingkat pengetahuan lebih baik dibandingkan dengan kader yang telah bekerja > 5 tahun hal

23


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--tersebut dapat dipengaruhi oleh banyak faktor salah satunya keaktifan kader dalam mengakses sumber-sumber informasi baru terkait standar pemantauan pertumbuhan anak, karena berdasarkan keterangan yang diperoleh selama ini kader hanya belajar dan memperoleh informasi yang berasal dari kader-kader pendahulunya dari mulut kemulut. Pelatihan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang12. . Berdasarkan informasi yang diperoleh diketahui bahwa kader posyandu di wilayah tersebut belum pernah mendapatkan pelatihan mengenai deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak sesuai dengan standar SDIDTK, sehingga memungkinkan bahwa hal tersebut dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan kader posyandu yang tidak terlalu tinggi. Motivasi Kader Menurut beberapa penelitian, orang-orang yang biasanya menjadi seorang sukarelawan adalah orangorang yang telah berusia separuh baya, memiliki tingkat sosial ekomoni menengah, berjenis kelamin perempuan, sudah menikah, berpendidikan minimal SMA/Sederajat, dan mempunyai anak yang masih dalam usia sekolah30. Orientasi dan tujuan yang jelas dari suatu program, materi kegiatan yang menarik, kegiatan atau program yang berkelanjutan (follow-up), suasana komunitas yang sangat akrab, dan kedekatan diantara volunteer juga turut mempengaruhi motivasi kader untuk terlibat dalam suatu kegiatan. Menurut Hurlock17 usia >40-50 termasuk dalam dewasa menengah, pada usia ini seseorang cenderung memiliki semangat yang tinggi untuk bekerja dan mulai berorientasi pada tugasnya. Usia ini juga termasuk dalam usia produktif yang memungkinkan seseorang memiliki semangat dan motivasi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya sebagai kader posyandu1. Motivasi yang dimiliki oleh kader posyandu juga dapat dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor tersebut diantaranya adalah keinginan untuk membantu masyarakat dalam pelayanan kesehatan, memajukan dusun, dan menambah wawasan tentang kesehatan13.

24

Keterampilan Kader. Keterampilan seseorang dapat dipengaruhi oleh usia dan lama masa kerja19. Akan tetapi pernyataan tersebut tidak sesuai dengan pernyataan Enardi dan Pudjiraharjo yang menyatakan bahwa tidak ada alasan untuk meyakini bahwa orang-orang yang telah lama bertugas dalam suatu pekerjaan. memiliki kinerja yang lebih baik dari orang yang belum lama bekerja6, 20. Hal tersebut terlihat dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa kader yang bekerja ≤ 5 tahun justru memiliki keterampilan yang lebih baik dibandingkan dengan kader yang telah bekerja >5 tahun. Perubahan perilaku memerlukan proses yang kompleks dan waktu yang relatif lama serta dipengaruhi oleh faktor pendukung dan penguat seperti fasilitas, serta sarana, dan prasarana21. Hubungan Pengetahuan dengan Keterampilan Teori Green et al. 24 menyatakan bahwa keterampilan seseorang dipengaruhi oleh faktor diluar perilaku salah satunya adalah pengetahuan. Pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan dan keterampilan kader keduanya berada pada tingkat sedang. Hubungan Motivasi dengan Keterampilan Hasil dari penelitian ini tidak sesuai dengan pernyataan dari Bertnus21 yang mengatakan bahwa keterampilan seseorang dipengaruhi oleh motivasi. Theory of Reasoned Action menyatakan bahwa praktek dipengaruhi oleh kehendak, sedangkan kehendak dipengaruhi oleh sikap dan norma subjektif, dengan kata lain keterampilan seseorang dipengaruhi oleh gejala kejiwaannya salah satunya adalah motivasi22. Teori Attribusi atau Expectancy Theory menyatakan bahwa orang yang tinggi motivasinya tetapi memiliki kemampuan yang rendah akan menghasilkan kinerja yang rendah, begitu pula orang yang berkemampuan tinggi tetapi motivasinya rendah24. Oleh karena itu tidak ada jaminan untuk meyakini bahwa orang yang memiliki motivasi yang tinggi juga memiliki keterampilan yang tinggi pula.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Suis Galischa Wati, Sri Hartini, Ema Madyaningrum--KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak dan tidak ada hubungan antara motivasi dengan keterampilan kader.

9. 10.

11. 12.

SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka sebagai pihak yang berperan sebagai penanggung jawab dalam melakukan pembinaan dan penyelenggaraan kegiatan posyandu peneliti menyarankan kepada puskesmas untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kader dalam deteksi dini pertumbuhan anak diantaranya dengan menyelenggarakan kegiatan penyuluhan kesehatan, pembimbingan, dan pelatihan. Revitalisasi kader juga perlu dilakukan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan posyandu. Selain itu sebagai masukan dan dorongan bagi peneliti selanjutnya untuk meneliti lebih lanjut mengenai faktor-faktor apasajakah yang dapat mempengaruhi pengetahuan, motivasi, dan keterampilan kader posyandu dalam deteksi dini pertumbuhan anak.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6.

7. 8.

BPS. Sensus Penduduk. Data Kependudukan 2010 [dikutip 2012 Feb 23].Tersedia dalam: URL: http:// sp2010. bps. go. id/ index.php. Hadi, H. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional [tesis]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2005. Depkes RI. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Direktorat Bina Gizi Masyarakat, 2004. Depkes RI. Riset Kesehatan Dasar 2010[dikutip 2012 Feb 23]. Tersedia dalam: URL: http: //www. Kesehatan anak. depkes. go. id/ images/ data/ laporan-riskesdas-2010. Pdf. Depkes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi, dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak Di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006. Enardi, OP.,Wijanarka, A., Rialihanto, MP. Hubungan Karakteristik Kader Posyandu dengan Presisi, dan Akurasi Dalam Menimbang Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pariangan Kabupaten Tanah Datar. Jurnal Gizi Kita 2010;11(1): 17-25. Depkes RI. Data Posyandu Nasional 2009[dikutip 2012 Feb 23]. Tersedia dalam: URL: http://www. bankdata. depkes. go. id/nasional/public/report/create tablepti. Mahmudiono, T. Understanding the Increased of Child Height for Age Index during the Decline Coverage of Posyandu Using Intrinsic, Extrinsic and Macro-Environmental Factors Approach. The Indonesian Journal of Public Health 2007; 4(1).

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

13.

14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.

24. 25. 26.

27. 28. 29. 30. 31.

Jahari, A. Masalah Gagal Tumbuh Balita Masih Tinggi: Adakah yang Kurang Dalam Kebijkan Program Gizi di Indonesia?. Jurnal Gizi Indonesia 2008;31(2): 123-138. Khaidir. Pengaruh Pelatihan Berdasarkan Kompetensi Terhadap Pengetahuan, dan Keterampilan Kader Gizi Dalam Pengelolaan Kegiatan Posyandu di Kecamatan Pondok Kelapa Kabupaten Bengkulu Utara [Tesis]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2005. Emilia, O. Promosi Kesehatan Dalam Lingkup Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Cendekia, 2008. Evita, J. Pengaruh Pelatihan Terhadap Pengetahuan, Keterampilan, dan Kepatuhan Kader Posyandu Dalam Menerapkan Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita di Kabupaten Bitung Sulawesi Utara [Tesis]. Yogyakarta : Univ. Gadjah Mada, 2009. Kuscahyani. Hubungan Antara Motivasi Dengan Tingkat Pengetahuan Terhadap Kinerja Kader Kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Godean II Desa Sidokarto Godean Sleman Yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005. Martoatmodjo, S. Studi Evaluasi Usaha Perbaikan Gizi Keluarga. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, 1982. Kurniasih. Hubungan Motivasi dan Pengetahuan dengan Prestasi Posyandu di Desa Bangunjiwo Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan I Kabupaten Bantul [Skripsi]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2008. Noor, M. Motivasi Kader Dalam Implementasi Gerbangmas Posyandu di Kabupaten Tanah Laut [Tesis]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2009. Hurlock, Elizabet. Psikologi Perkembangan Anak Edisi 5. Jakarta: Erlangga, 2001. Sulistyaningrum.Implementasi Posyandu dan Supervisi Puskesmas [dikutip 2012 Juli 14]. Tersedia dalam : URL: http//: pdf. kq5.org/ Optimasi-Fermentasi. Lestari, W. Pengaruh Pelatihan Deteksi Dini Tumbuh Kembang Balita Terhadap Pengetahuan, Sikap, dan Keterampilan Bidan di Kabupaten Banjar [Tesis].Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2010. Pudjiraharjo, S. Hubungan Sikap dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Bertnus. Faktor yang Mempengaruhi Keterampilan[dikutip 2013 Januari 23]. Tersedia dalam: URL: http: //Digilib. unimus.ac.id/ files/disk1/115/jtptunimus-gdl-taufikhida-5749-2-babii.pdf. Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003. Mandasari, Dewi. Hubungan Pengetahuan, Sikap Dan Keterampilan Kader Posyandu Dalam Menimbang Balita Di Posyandu Puskesmas Kotobaru Kecamatan X Koto Kabupaten Tanah Datar [Skripsi]. Yogyakarta: Univ. Gadjah Mada, 2010. Green, L.W., Kreuter,M.W., Deeds, G.S., Patridge, B.A. Health Education Planning Diagnostic Approach. California: Mayfield Publishing, 1980. Siagian. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: BumiAksara, 2002. Latief D, Wibisono, Sastroamodjojo S, Sastroasmoro S, Kurniawan A, Hernawati I, Minarto, and Bernstein B. Family Nutrition and Under-Five Child Health (FN-CH) Program in Indonesia, A Review of the Programs and their Overall Achievements, with Recommendations for Priority Actions to Reduce Remaining Gaps and Disparities. Jakarta: The Directorate-General of Community Health, Ministry of Health, Republic of Indonesia, 2000. Mappiare, Andi. Psikologi Orang Dewasa Bagi Penyesuaian dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 1983. Utomo, Iwu D. Village Family Planning Volunteers in Indonesia: Their Role in the Family Planning Programme. Elsevier: Reproductive Health Matters. 2006:14(27):73–82. Azwar, S. Sikap Manusia:Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Thomas., Hewitt. A Latin Grammar In The Crude Form. USA: University of Michigan, 2001. Arikunto. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002.

25


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGAN Rahma Nur Faizin1, Ibrahim Rahmat2, Sumarni3

Student of Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University Undergraduate Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University 3 Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University 1

2

INTISARI Latar Belakang: Standar nilai Ujian Nasional (UN) yang semakin meningkat menyebabkan siswa SD mengalami kecemasan. Adanya kecemasan tersebut dapat dikatakan bahwa kecerdasan emosional/ EQ siswa belum optimal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa program pendidikan EQ dapat meningkatkan EQ seseorang. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi yang dapat meningkatkan EQ sehingga siswa lebih siap dalam menghadapi UN, yaitu dengan pemberian UKJS. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh pemberian UKJS terhadap tingkat kecerdasan emosional siswa SD kelas VI dalam menghadapi UN di Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Metode: Penelitian experiment dengan metode pretest-posttest control group design dilakukan pada 114 siswa SD kelas VI yang terbagi 57 responden kelompok intervensi dan 57 responden kelompok kontrol. BarOn Emotional Quotient Inventory: Youth Version digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional pada penelitian ini. Hasil: Pada kelompok intervensi rerata kecerdasan emosional dari pre test ke post test terjadi peningkatan, sehingga dikatakan terdapat perbedaan yang bermakna. Pada kelompok kontrol rerata kecerdasan emosional dari pre test ke post test terjadi penurunan, sehingga dikatakan tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Kesimpulan: Pemberian UKJS efektif dalam meningkatkan skor kecerdasan emosional siswa SD kelas VI dalam menghadapi ujian nasional di Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Kata Kunci: kecerdasan emosional, sekolah dasar, ujian nasional, usaha kesehatan jiwa sekolah ABSTRACT Background: Increasing standard score of national test causes anxiety to students. The emergence of anxiety shows that emotional quotient (EQ) of the students is not yet optimized. Some studies indicate that EQ education program can increase someone’s EQ. Thus intervention is needed to increase EQ in order that students are more prepared in taking national test through school mental health effort supplementation. Objective: To identify effect of school mental health effort implementation to EQ of elementary school students of grade VI in taking national test at Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Method: The study was an experiment with pre test post test control group design involving 114 students of grade VI comprising 57 students as intervention and 57 students as control group. Bar-On Emotional Quotient Inventory: Youth Version was used to assess EQ of the students. Result: Average EQ of the intervention group increased from pre test to post test; thus there was significant difference. Average EQ of the control group decreased from pre test to post test; thus there was no significant difference. Conclusion: School mental health effort implementation was effective to increase score of EQ of the students of grade VI in taking national test at Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Keywords: emotional quotient, elementary school, national test, school mental health effort


---Rahma Nur Faizin, Ibrahim Rahmat, Sumarni--PENDAHULUAN

Kelulusan siswa Sekolah Dasar (SD) dipengaruhi oleh Ujian Nasional (UN) yang merupakan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak siswa SD yang menunjukkan gejala kecemasan dan depresi saat menghadapi ujian 1,2. Berdasarkan kasus tersebut, dapat diidentifikasi bahwa kecerdasan emosional anak belum optimal dikarenakan kurangnya kemampuan mengatasi tuntutan dalam hal ini menghadapi UN. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa individu yang mengalami kecemasan, perasaan sedih, dan perasaan lain yang menekan berarti individu tersebut kurang mampu dalam mengelola emosi sehingga dapat mengganggu kestabilan diri individu tersebut3. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, memahami, dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual4. Kecerdasan emosional dapat dipelajari dan disempurnakan dengan pelatihan, kesungguhan, pengetahuan, dan kemauan5. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan emosional yang tinggi dapat membuat anak bersemangat dalam belajar, dan lebih disukai oleh teman-temannya di arena bermain6. Berdasar data dan kasus di atas, kesiapan yang diperlukan siswa SD dalam menghadapi ujian nasional tidak hanya kesehatan fisik saja tetapi juga kesehatan psikologis. Wadah untuk menyiapkan kesehatan fisik, di SD telah tersedia Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang memiliki program pokok disebut trias UKS7. Berdasar trias UKS, UKS belum memberikan pelayanan kesehatan psikologis bagi siswa. Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan dibentuknya Usaha Kesehatan Jiwa sekolah (UKJS). UKJS merupakan suatu program baru yang ditujukan bagi siswa di tingkat sekolah dasar dengan tujuan untuk meningkatkan tingkat kesehatan psikologis, salah satunya meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Diharapkan dengan adanya UKJS ini, kecerdasan

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

emosional siswa dapat berkembang optimal sehingga siswa lebih siap dalam menghadapi UN. Sekolah memiliki peran penting dalam 8 meningkatkan kesehatan mental anak . Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa program school health yang komprehensif secara efektif memberikan pengaruh positif terhadap perilaku kesehatan siswa, termasuk kesehatan psikologis9,10. Program UKJS ini diberikan pada siswa SD dikarenakan pada tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas sudah terdapat pelayanan kesehatan psikologis yaitu Bimbingan Konseling (BK). Seyegan dipilih sebagai tempat penelitian karena daerah tersebut merupakan daerah sub-urban, yaitu daerah pedesaan yang sedang mengalami perkembangan menjadi daerah perkotaan11, sehingga masih membutuhkan suatu intervensi untuk mewujudkannya, salah satunya dengan meningkatkan kesehatan psikologis siswa SD dalam menghadapi UN. Alasan dipilihnya SD Negeri dalam penelitian ini dikarenakan SD Swasta yang terdapat di kecamatan Seyegan merupakan sekolah berbasis agama yang memiliki kegiatan bersifat spiritual. Kegiatan tersebut secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan kondisi psikologis siswa dalam mengahadapi UN12. Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul pengaruh pemberian Usaha Kesehatan Jiwa Sekolah (UKJS) terhadap tingkat kecerdasan emosional siswa sekolah dasar kelas VI dalam menghadapi UN.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian experiment dengan metode pretest-posttest control group design. Dilaksanakan di SD Susukan, SD Sompokan, dan SD Gentan, Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa SD kelas VI di kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penarikan sampel SD

27


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--adalah metode cluster sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 114 siswa. Pembagian kelompok kontrol dan intervensi dilakukan menggunakan metode simple paired randomize. Metode ini dilakukan dengan cara membuat kertas undian A untuk kelompok intevensi dan B untuk kelompok kontrol sebanyak jumlah sampel dengan ketentuan jumlah kelompok A 50% dan kelompok B 50%. Kecerdasan emosional diukur dengan BarOn Emotional Quotient Inventory: Youth Version. Instrumen ini terdiri dari 60 item dari 6 subskala, menggunakan skala Likert dengan empat jawaban pilihan yaitu sangat sering, sering, jarang, dan sangat jarang13.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilaksanakan di tiga Sekolah Dasar Negeri yang tersebar di tiga kelurahan yang ada di kecamatan Seyegan, yaitu kelurahan Margo Mulyo dengan sekolah dasar yang diambil adalah SDN Sompokan, kelurahan Margo Agung adalah SDN Gentan, dan kelurahan Margo Luwih adalah SDN Susukan. Responden dalam penelitian ini berjumlah 114 siswa SD yang duduk di kelas VI angkatan tahun 2012/ 2013. Penelitian ini dilaksanakan di SDN Susukan sejumlah 37 siswa, SDN Gentan sejumlah 38 siswa, dan SDN Sompokan sejumlah 39 siswa. Adapun karakteristik subjek penelitian sebagai berikut:

usia pada kedua kelompok paling banyak berusia 11 tahun, dengan jumlah responden sebanyak 36 siswa (63.2%) pada kelompok intervensi dan 32 siswa (56.1%) pada kelompok kontrol. Berikut ini ditampilkan perbandingan kecerdasan emosional pre test pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol tanpa mempertimbangkan karakteristik responden. Tabel 2. Perbandingan Kecerdasan Emosional Pre Test dan Post Test pada Semua Kelompok di Kecamatan Seyegan (N=114), September 2012 Hasil Kelompok

Pre test

Post test

Kurang

Efektif

Tinggi

N

%

N

%

N

%

Intervensi

8

14

28

49.1

21

36.8

Kontrol

4

7

28

49.1

25

43.8

Intervensi

2

3.5

29

50.9

26

45.6

Kontrol

4

7

32

56.1

21

36.8

Sumber: Data primer

Mean kecerdasan emosional 103.56 Âą12.13 108.54 Âą13.47 112.04 Âą14.38 106.32 Âą13.47

p

0.04

0.03*

Berdasarkan tabel 2, terlihat bahwa sebagian besar responden memiliki kecerdasan emosional efektif, yaitu sebesar 49.1%. Meskipun demikian, masih terdapat responden dengan kecerdasan emosional kurang. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan emosional siswa belum optimal, didasarkan pada pendapat bahwa individu yang mengalami kecemasan, perasaan sedih, dan perasaan lain yang menekan berarti Tabel 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin individu tersebut kurang mampu dalam mengelola dan Usia di Kecamatan Seyegan (N=144) September, 2012 emosi sehingga dapat mengganggu kestabilan Intervensi Kontrol Karakteristik diri individu tersebut3. Kecemasan yang dialami N Presentase N Presentase Jenis kelamin dikarenakan siswa belum siap dalam menghadapi Laki-laki 23 40.4 % 32 56.1 % UN. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang Perempuan 34 59.6 % 25 43.9 % Usia menyatakan bahwa sebagian besar siswa mengalami permasalahan saat menghadapi UN yaitu mengalami 11 36 63.2 % 32 56.1 % 12 14 24.6 % 16 28.1 % kecemasan14. Penelitian Sarason (1999) yang berjudul 13 7 12.3 % 9 15.8 % Abnormal Physicology: The Problem of Maladaptive Sumber: Data primer Tabel 1 menunjukkan bahwa jenis kelamin Behaviour juga menyampaikan hal yang sama, bahwa pada kelompok intervensi sebagian besar adalah kecemasan yang dirasakan oleh siswa SD dapat dari perempuan sebanyak 34 siswa (59.6%) dan pada berbagai tingkat prestasi akademik dan kemampuan 2 kelompok kontrol sebagian besar adalah laki-laki intelektual . Oleh karena itu, penting bagi siswa untuk sebanyak 32 siswa (56.1%). Sedangkan karakteristik mempertahankan atau meningkatkan kecerdasan

28

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Rahma Nur Faizin, Ibrahim Rahmat, Sumarni--emosionalnya. Memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat membantu mengatasi masalah tersebut, baik masalah yang berhubungan dengan bidang akademis maupun yang tidak (Petrides, et al., 2004)15. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kontrol dengan p=0.03 (p<0.05). Rerata kecerdasan emosional saat post test pada kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, dengan rata-rata 112.04 pada kelompok intervensi dan 106.32 pada kelompok kontrol. Hal ini dikarenakan pada kelompok intervensi diberi perlakuan UKJS, sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberi perlakuan UKJS tetapi hanya melaksanakan kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan di sekolah. Hasil penelitian ini didukung adanya penelitianpenelitian yang menyebutkan bahwa dengan diberikannya program pendidikan dapat meningkatkan kecerdasan emosional seseorang. Penelitian yang berjudul The Effects of An Emotional Intelligence Education Program on The Emotional Intelligence of Children pada 120 siswa berusia 6 tahun di Ankara, Turkey selama 12 minggu menunjukkan bahwa program pendidikan kecerdasan emosional secara signifikan memberi pengaruh terhadap tingkat kecerdasan emosional anak16. Penelitian yang dilaksanakan di 13 kelas pada siswa SMP kelas I didapatkan hasil bahwa terjadi peningkatan skor kecerdasan emosional pada siswa secara signifikan bahkan dengan paparan program yang relative singkat17. Penelitian lain yang berjudul Teaching Prosocial Skills to Young Children to Increase Emotionally Intelligent Behavior pada anak usia 3-5 tahun sebanyak 65 siswa menunjukkan bahwa anakanak yang mengikuti program tersebut memiliki kecerdasan emosional dan perilaku sosial yang lebih tinggi18. Program pendidikan kecerdasan emosional tersebut diberikan kepada anak-anak dengan harapan anak mampu mengenali, memahami, dan mengatur emosi. Mendukung hasil penelitian ini, dalam penelitiannya yang berjudul Improving the Ability of Elementary School-Age Children to Identify Emotion

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

in Facial Expression juga menyebutkan bahwa kemampuan anak dalam mengenali, memahami, dan mengatur emosi dapat ditingkatkan dengan adanya program pendidikan khusus19. Penelitian lain berjudul Social and Emotional Learning Programs for Elementary School Students pada siswa SD kelas 2 dan 3 di Amerika Serikat, hasilnya menunjukkan bahwa program tersebut dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi secara adekuat20. Melihat hasil pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa kelompok intervensi berhasil meningkatkan EQ sehingga siswa lebih siap dalam menghadapi UN dengan diberikannya pelatihan UKJS. Berikut ini ditampilkan perbandingan kecerdasan emosional pre test dan post test pada kelompok intervensi tanpa mempertimbangkan karakteristik responden. Tabel 3. Perbandingan Kecerdasan Emosional Pre Test dan Post Test Kelompok Intervensi di Kecamatan Seyegan (N=114), September 2012 Hasil

Intervensi Pre test Post test

Kurang

Efektif

Tinggi

N

(%)

N

(%)

N

(%)

8

14

28

49.1

21

36.9

2

3.5

29

50.9

26

45.6

Mean kecerdasan emosional 103.56 Âą12.14 112.04 Âą14.38

p

.000*

Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik dengan p=0.00* (p<0.05) antara pre test dan post test pada kelompok intervensi. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan kecerdasan emosional pada kelompok intervensi yang dapat diketahui berdasarkan perhitungan mean dari pre test ke post test, yaitu dari 103.56 (kecerdasan emosional efektif) menjadi 112.04 (kecerdasan emosional tinggi). Hal ini dikarenakan pada kelompok intervensi diberi pelatihan UKJS yang terdiri dari 4 jenis kegiatan,yaitu kegiatan pada kelas besar, konseling personal, diskusi kelompok, dan kegiatan yang bersifat relaksasi. Pada pertemuan pertama, kegiatan yang diberikan berupa pemberian materi dan leaflet terkait kecerdasan emosional dan pentingnya kemampuan ini bagi siswa dalam penyesuaian terhadap berbagai situasi. Hasil

29


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--penelitian menyebutkan bahwa pemberian promosi kesehatan dengan metode pembelajaran memberi efek positif terhadap kesehatan mental anak21. School health program yang dilaksanakan di Pakistan juga mengembangkan metode pendidikan dengan empat metode pengembangan kesehatan, salah satunya yaitu school health education/ pendidikan kesehatan di sekolah22. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa program pendidikan dapat membantu mengembangkan kesehatan mental anak, mengembangkan pikiran positif, dan mengurangi risiko gangguan mental23. Konseling personal dilaksanakan pada pertemuan kedua dengan adanya interaksi personal antara siswa dengan pelatih UKJS. Pada pertemuan ini siswa dapat mengungkapkan perasaan terkait permasalahan dan kendala yang menyebabkan mereka mengalami kecemasan dalam menghadapi UN. Sesi ini juga memberi kesempatan bagi siswa untuk belajar bagaimana mengenali emosi mereka sesuai dengan situasi yang sedang terjadi. Penelitan yang berjudul Emotional Intelligence in the Classroom: Skill-Based Training for Teachers and Students menyebutkan bahwa anak yang mampu mengekspresikan emosi mereka secara efektif, baik secara verbal maupun non verbal, cenderung mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan24. Disebutkan juga dalam penelitian yang berjudul Do Programs Designed to Increase Emotional Intelligence at Work—Work? bahwa kemampuan sosial, salah satunya yaitu komunikasi, secara signifikan memberi pengaruh terhadap tingkat kecerdasan emosional seseorang25. Pertemuan ketiga diisi dengan kegiatan yaitu diskusi kelompok dengan didampingi pelatih UKJS. Pada kegiatan ini siswa dapat saling bertukar informasi dengan siswa lainnya tentang perasaan mereka menghadapi UN dan usaha apa yang mereka lakukan untuk mengurangi kecemasannya dalam menghadapi UN. Disebutkan dalam penelitian yang berjudul Peer Mediated Interventions Promoting Social Skill of Children and Youth with Behavior Disorder bahwa metode diskusi kelompok termasuk dalam penanganan

30

yang positif dalam mengembangkan keterampilan sosial26. Penelitian lain juga menjelaskan bahwa dengan berkelompok kemampuan dalam bidang akademik dan perilaku sosial seseorang lebih baik serta dengan berkelompok dapat mempertahankan keahlian atau kompetensi positif seseorang27. Pada pertemuan ketiga ini juga diisi dengan kegiatan, yaitu mengungkapkan perasaan secara tertulis. Melalui kegiatan ini, siswa dapat menuliskan perasaan mengenai permasalahannya mengenai UN, dengan harapan dapat meringankan masalah yang dihadapi siswa dalam menghadapi UN. Dijelaskan dalam sebuah teori bahwa Emotional Disclosure (ED) merupakan intervensi dimana anak dianjurkan untuk menulis tentang pengalaman atau hal-hal yang menmbuat mereka takut dan cemas28. Menurut teori ini, emosi negatif yang ditimbulkan oleh keadaan yang menekan dapat mengganggu fungsi imun, kesehatan fisik dan psikologis anak, dan dengan mengungkapkan perasaan secara tertulis dapat mengatasi hambatan ini28. Disebutkan juga dalam penelitian lain yang dilaksanakan pada anak usia 8-13 tahun dengan judul Emotional Disclosure in School Children bahwa ED merupakan intervensi yang efektif bagi anak yang terpapar suatu keadaan maupun peristiwa yang penuh tekanan atau bersifat traumatik29. Pertemuan keempat intervensi yang dilakukan berupa kegiatan yang bersifat relaksasi. Dijelaskan bahwa kegiatan yang bersifat relaksasi akan membuat seseorang merasa nyaman sehingga dapat meningkatkan kesehatan psikologis30. Kegiatan relaksasi yang dilaksanakan pada sesi ini berupa permainan dan menyaksikan video yang bersifat memotivasi. Permainan yang diberikan selain memberi rasa senang pada siswa, juga membutuhkan kerjasama antar anggota kelompok. Penelitian dengan judul The Effectiveness of Emotional Intelligence Training Program on Social and Academic Adjustment among First Year University Students menyebutkan bahwa penyediaan kegiatan yang membutuhkan kerjasama antar anggota kelompok dapat meningkatkan tingkat kecerdasan emosional seseorang31. Disebutkan juga

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Rahma Nur Faizin, Ibrahim Rahmat, Sumarni--bahwa adanya kerjasama dan kolaborasi yang baik antar anggota secara signifikan dapat meningkatkan tingkat kecerdasan emosional siswa25. Kegiatan selanjutnya yang diberikan pada pertemuan keempat adalah menyaksikan video yang bersifat memotivasi. Tujuan kegiatan ini agar siswa lebih semangat dan termotivasi dalam belajar serta untuk mengurasi kecemasan yang dirasakan siswa dalam menghadapi UN. Dijelaskan bahwa tingkat kecemasan anak lebih rendah setelah menyaksikan video32. Kecerdasan emosional anak memiliki hubungan positif dengan kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, kecemasan, masalah perilaku, masalah belajar24. Oleh karena itu, dengan kegiatan UKJS yang salah satu tujuannya menurunkan kecemasan siswa, maka kecerdasan emosional siswa menjadi meningkat. Program UKJS merupakan intervensi yang terdiri dari beberapa jenis kegiatan dengan tujuan dapat meningkatkan kesehatan psikologis siswa secara optimal. Hal ini sejalan dengan pernyataan bahwa program yang komplementer, multiple, terintegrasi lebih memberi hasil positif untuk meningkatkan kesehatan psikologis daripada program dengan satu kegiatan33 Di bawah ini ditampilkan peningkatan kecerdasan emosional pada kelompok intervensi dan penurunan kecerdasan emosional pada kelompok kontrol.

Gambar 1. Peningkatan Kecerdasan Emosional dari Pre Test ke Post Test pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol di Kecamatan Seyegan (N=114), Sepetember 2012

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

Berdasar hasil analisis mengenai peningkatan rerata kecerdasan emosional, terlihat perbedaan yang bermakna secara statistik dengan p=0.03 (p<0.05) antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Peningkatan kecerdasan emosional yang terjadi pada kelompok intervensi dari pre test ke post test – 8.47. Penurunan kecerdasan emosional yang terjadi pada kelompok kontrol yaitu 2.22 dari pre test ke post test. Keadaan ini membuktikan bahwa kegiatan UKJS memberi pengaruh terhadap kecerdasan emosional siswa.

KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa pemberian UKJS efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa SD kelas VI dalam menghadapi ujian nasional di kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Berdasarkan kekurangan yang terdapat dalam penelitian ini, maka peneliti menyarankan kepada pemerintah kecamatan Seyegan hendaknya mempertimbangkan hasil penelitian ini agar dapat ditetapkan sebagai program baru yang dapat diterapkan di tingkat pendidikan sekolah dasar. Bagi guru hendaknya juga ikut berperan dalam upaya meningkatkan kecerdasan emosional siswanya sehingga proses belajar mengajar menjadi lebih efektif. Bagi orang tua sebaiknya memperhatikan bahwa kesuksesan anak tidak hanya bergantung pada kemampuan kognitif tetapi juga kecerdasan emosional dan keterampilan afektif. Bagi siswa hendaknya mempertahankan dan meningkatkan kecerdasan emosional sehingga dapat membantu dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari, salah satunya dalam menghadapi UN. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian dengan menggunakan populasi yang lebih besar dan responden yang diikutsertakan tidak hanya siswa tetapi juga orang tua dan guru juga dilibatkan.

31


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.

11. 12. 13. 14.

15. 16. 17. 18.

32

Howell, C.C., Rice, M.H., Carmon, M., & Hauber, R.P. The Relationships among Anxiety, Anger, and Blood Pressure in Children. Applied Nursing Research 2007;20:17-23. Sarason, I.G. Abnormal Physiology: The Problem of Maladaptive Behavior. New Jersey: Prentice-Hall 1999. Goleman. Kecerdasan Emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2007. Stein, S.J. & Book, H.E. Ledakan EQ 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa 2002. Patton, P. Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja. Jakarta: Delapratasa 1998. Uno, H.B. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika Offset 2010. Effendi. Referensi Kesehatan. http://wwwmidewifehomesmine.blogspot.com/2012/07/usaha-kesehatan-sekolahmerupakan-salah.html. Diunduh tanggal 10 Juli 2012 2009. Wells, J.H., Barlow, J., Stewart-Brown, S. A Systematic Review of Universal Approaches to Mental Health Promotion in School. Health Education 2003;103:197-220. McBride, N. The Western Australian School Health Project: Comparing the Effects of Intervention Intensity on Organizational Support for School Health Promotion. Health Education Research 2000;15(1):59-72. Aldinger, C., Zhang, X.W., Liu, L.Q., Pan, X.D., Yu, S.H., Jones, J., Kass, J. Changes in Attitudes, Knowledge and Behavior Associated with Implementing a Comprehensive School Health Program in a Province of China. Health Education Research 2008;23(6):1049. Tarigan, R. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT Bumi Aksara 2005. Kelly, J. Spirituallity As a Coping Mechanism. Dimension of Critical Care Nursing 2004. Bar-On, R & Parker, J. The Emotional Quotient Inventory: Youth Version: Technical Manual. Toronto: Multi-Health Systems 2002. Nurhidayah, R. Efektivitas Terapi Permainan Tradisional (Engklek dan Gobak Sodor) terhadap Penurunan Skor Kecemasan Anak Kelas 6 Menghadapi Ujian Nasional di SDN Turus. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya 2012. Petrides, K.V., Frederickson, N., & Furnham, A. The Role of Trait Emotional Intelligence inAcademic Performance and Deviant Behavior at School. Personality and Individual Difference 2004;36(2004):277-293. Ulutas, I & Omeroglu, E. The Effects of an Emotional Intelligence Education Program on the Emotional Intelligence of Children. Social Behavior And Personality 2007;35(10):1365-1372. Bar-On, R. How Important Is It to Educate People to Be Emotionally Intelligent, and Can It Be Done?. Educating People to Be Emotionally Intelligent. Praeger 2007;(1):10. Kolb, K., & Weede, S. Teaching Prosocial Skills to Young Children to Increase Emotionally Intelligent Behavior. Eric Database 2001.

19. Grinspan, D., Hemphill, A., & Nowicki, J. S. Improving The Ability of Elementary School-Age Children To Identify Emotion In Facial Expression. The Journal of Genetic Psychology 2003;164(1):88-100. 20. Bruno, K., England, E., & Chambliss, C. Social and Emotional Learning Program for Elementary School Students. Eric Database 2002. 21. Lister-Sharp, D., Chapman, S., Stewart-Brown, S., & Sowden,A. Health Promotion in Schools: Two systematic reviews. Health Technology Assessment 1999;3(22):1–207. 22. Government of Pakistan. School Health Programme: A Strategic Approach for Improving Health and Education in Pakistan. Ministry of Education, Curriculum Wing 2010. 23. Greenberg, M. T., Domitrovich, C., & Bumbarger, B. The prevention of Mental Disorders in School-aged Children: current state of the field. American Psychological Association 2001. 24. Brackett, M.A., Rivers, S., & Salovey, P. Emotional Intelligence and Its Relation to Social, Emotional, and Academic Outcomes among Adolescents. Yale University 2005. 25. Sala, F. Do Program Designed to Increase Emotional Intelligence at Work-Work?. Consortium for Research on Emotional Intelligence in Organizations 2002. 26. Mathur, S. R., & Rutherford Jr, R. B. Peer-mediated Interventions Promoting Social Skills of Children and Youth with Behavioural Disorders. Education and Treatment of Children 1991;14(3):227–242. 27. Kalfus, G. R. Peer Mediated Intervention: A Critical Review. Child & Family Behaviour Therapy 2000;6(1):17–43. 28. Pennebaker, J. W. Putting Stress Into Words: Health, Linguistic and Therapeutic Implications. Behaviour Research and Therapy 1993;31:539–548. 29. Reynolds, M., Brewin, C. R., & Saxton, M. Emotional Disclosure in School Children. Journal of Child Psychology and Psychiatry 2000;41:151–9. 30. Saseno. Relaksasi sebagai Upaya Mengurangi Kecemasan Menghadapi Studi Mahasiswa Akper Dep.Kes Magelang. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM 2001. 31. Malek, T.J.,Noor-Azniza, I., Muntasir,A.T., Mohammad, N.G., Luqman, M.R. The Effectiveness of Emotional Intelligence Training Program on Social and Academic Adjustment among First Year University Students. International Journal of Business and Social Science 2011;2(24):251-6. 32. Weinstein, P., Raadal, M., Naidu, S., Yoshida, T., Kvale, G. Milgrom, P. A Videotaped Intervention to Enhance Child Control and Reduce Anxiety of the Pain of Dental Injections. European Journal Of Paediatric Dentistry: Official Journal Of European Academy Of Paediatric Dentistry 2003;4 (4):181-5. 33. Parslow, R., Morgan, A.J., Allen, N.B., Jorm,A.F., O’Donnell, C.P., Purcell,R. Effectiveness of Complementary and SelfHelp Treatments for Anxiety in Children and Adolescents. The Medical Journal of Australia 2008;188(6):355-9.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP TINGKAT DEPRESI SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI KECAMATAN SEYEGAN SLEMAN YOGYAKARTA Lindri Riahawa N.1, Ibrahim Rahmat2, Carla Raymondalexas Machira 3 2.

1. Student of Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University Undergraduate Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University 3. Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

INTISARI Latar Belakang : Tuntutan dunia pendidikan yang semakin hari semakin tinggi, UN sebagai salah satu syarat kelulusan siswa SD, nilai rata-rata mata pelajaran selalu ditingkatakan merupakan stresorstresor penyebab timbulnya depresi pada anak SD. Kondisi ini membutuhkan penanganan yang sesuai. UKJS merupakan suatu program baru untuk membantu mengatasi masalah kesehatan tersebut. Tujuan : Mengetahui pengaruh pelaksanaan UKJS terhadap tingkat depresi siswa kelas VI SD dalam menghadapi Ujian Nasional di Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman Yogyakarta. Metode : Experimen dengan rancangan pre test post tes control group design dengan jumlah responden 114, yang terbagi menjadi 57 kelompok intervensi dan 57 kelompok kontrol. Child Depression Inventory (CDI) digunakan untuk mengukur tingkat depresi pada penelitian ini. Hasil : Hasil rerata pre test dan post test pada kelompok intervensi adalah 9,04 menjadi 5,65 dengan p=0.000* (p<0,05) berarti signifikan terjadi perubahan. Hasil rerata pre test dan post test pada kelompok kontrol adalah 9,16 menjadi 8,35 dengan p=0,900 (p>0,05) berarti tidak berubah signifikan. Kesimpulan : Terdapat pengaruh pemberian intervensi UKJS terhadap tingkat depresi kelompok intervensi. Hasil dari rerata pre test 9,04 menjadi 5,65 pada post test dengan p=0,000* (p<0,05) yang berarti signifikan. Kata Kunci : UKJS, Depresi, Ujian Nasional, Sekolah Dasar. ABSTRACT Background: Higher demand in education such as national test as graduation requirement and increased average score in every lesson are stressors that cause depression in elementary school students. This condition requires relevant treatment. School mental health effort is a new program to solve the problem. Objective: To identify effect of school mental health effort implementation to depression in elementary school students of grade VI in taking national test at Subdistrict of Seyegan, District of Sleman Yogyakarta. Method: The study was an experiment with pre test - post test control group design, involving as many as 114 respondents consisting of 57 students as intervention group and 57 students as control group. Child Depression Inventory (CDI) was used to assess level of depression. Result: In the intervention group, average score depression in pre test was 9.04 and post test was 5.65 with p=0.000 (p<0.05); thus there was significant difference. In the control group, average score of depression in pre test was 9.16 and post test was 8.35 with p=0.900 (p>0.05); thus there was no significant difference. Conclusion: There was effect of school mental health effort implementation in the form of decreased level of depression in the intervention group. Keywords: school mental health effort, elementary school, depression national test


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--PENDAHULUAN

Tuntutan dunia pendidikan yang semakin hari semakin tinggi sering kali membuat seseorang khususnya para pelajar memiliki beban pikiran yang cukup tinggi. Kondisi ini masih diperparah dengan semakin kompleksnya materi pelajaran yang harus dikuasai oleh anak atau pelajar, sehingga membuat mereka menjadi rentan mengalami depresi dalam belajar dan menghadapi ujian. Diperkirakan 1 dari 10 anak usia sekolah mengalami kesulitan untuk menghindarkan diri dari gejala depresi, dan ditemukan tingkat depresi pada anak usia 9 sampai 12 tahun sebesar 12%1. Gejala depresi yang dialami pada anak usia sekolah sebagian besar terjadi ketika akan menghadapi ujian nasional. Penambahan mata pelajaran dan nilai rata-rata kelulusan, dapat meningkatkan beban kejiwaan siswa terutama beban psikologis 2. Ujian nasional yang sifatnya wajib harus dilaksanakan oleh semua tingkatan pendidikan di Indonesia dari sekolah dasar, menengah, dan atas. Pada tingkatan dasar atau anak-anak, perlu memperoleh perhatian yang lebih dimana kematangan mental perlu dipersiapkan karena rentang usia yang masih muda dapat memungkinkan ketidaksiapan dalam menghadapi stresor atau tekanan. Di Indonesia sendiri memang belum terdapat banyak data statistik yang pasti mengenai kasus depresi pada siswa dalam spesifik sebab menghadapi UN, namun hasil survei Substance Abuse and Mental Health Service Administration tahun 2004, menunjukkan bahwa manusia pada masa dewasa awal (usia 12 tahun) lebih rentan mengalami depresi sebanyak 5% 3. Studi pendahuluan informal yang dilakukan peneliti pada kelompok kecil anak kelas V dan VI SD di Kecamatan Seyegan melalui proses wawancara dapat disimpulkan bahwa, 8 dari 10 siswa kelas VI mengungkapkan takut menghadapi UN, jantung berdebar ketika mengingat UN, kesulitan menyelesaikan banyak tugas, sukar konsentrasi belajar, dan tidak nafsu makan yang merupakan tanda-tanda depresi. Hasil penelitian serta studi pendahuluan di atas menunjukan bahwa gangguan

34

depresi pada anak usia sekolah merupakan masalah kesehatan yang serius karena ketidaktahuan orang tua dan guru di sekolah, akan berdampak pada keterlambatan penanganannya, mengganggu prestasi, serta tidak menutup kemungkinan menimbulkan efek terburuk pada depresi yaitu keinginan bunuh diri, terdapat data yang menunjukkan dari 50% orang yang mengalami depresi, 15% diantaranya cenderung melakukan bunuh diri 4. Pada anak usia 10-14 tahun, bunuh diri merupakan penyebab kematian terbesar ke empat, sedangkan depresi menjadi penyebab 2-10% pada anak remaja yang melakukan bunuh diri 5.Disamping itu, disebutkan pula bahwa kejadian penuh stres yang paling sering dihadapi anak adalah hal-hal yang berhubungan dengan sekolah (seperti keharusan belajar untuk menghadapi ujian dan menghadapi nilai buruk), teman sebaya, dan hal-hal pribadi 6. Fakta lain yang berkaitan dengan hal-hal tersebut diatas yaitu deperesi dapat menyebabkan manifestasi psikomotor berupa keadaan gairah, semangat, aktivitas serta produktivitas yang menurun, konsentrasi dan daya pikir yang lambat. Manifestasi tersebut bisa bisa membawa pengaruh pada prestasi belajar jika penderita adalah siswa yang sedang aktif dalam proses belajar mengajar 7. Ketentuan materi akademik sudah terpenuhi oleh materi yang sistematis disediakan oleh tenaga pengajar, dalam hal kesehatan sudah terdapat Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), namun dalam hal kesiapan psikologis masih dibutuhkan wadah bagi para siswa SD untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional atau mentalnya dalam menghadapi UN. Satu bentuk program yang dimungkinkan dapat mengatasi hal tersebut adalah diadakannya Usaha Kesehatan Jiwa Sekolah (UKJS). UKJS merupakan suatu bentuk layanan kesehatan jiwa bagi anak sekolah dasar yang belum pernah ada di Indonesia. Dengan program ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan siswa dalam mempersiapkan mental atau psikologisnya menghadapi UN atau masalahmasalah lain berkenaan dengan psikologi belajar siswa SD. Berdasarkan paparan di atas, peneliti

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Lindri Riahawa N., Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas M.--tertarik untuk meneliti pengaruh pemberian UKJS di Kecamatan Seyegan yaitu daerah utara, tengah terhadap tingkat depresi siswa sekolah dasar dalam dan selatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menghadapi Ujian Nasional pada siswa kelas VI SD. pemilihan dari ketiga SDN tersebut dapat mewakili dari persebaran wilayah di Kecamatan Seyegan. Jumlah keseluruhan responden adalah sebanyak 114 BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian experimen dengan siswa dan seluruhnya termasuk dalam kriteria inklusi menggunakan metode pre test dan post test dengan responden. Jumlah 114 siswa tersebut dibagi secara kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan di SD yang random menjadi kelompok intervensi dan kelompok berada di Kecamatan Seyegan Kabupaten Sleman, kontrol. Berikut ini adalah tabel tentang katakteristik Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan SD Sompokan, responden berdasarkan jenis kelamin dan usia siswa. SD Susukan, dan SD Gentan. Waktu penelitian Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden (n=114) Karakteristik Intervensi Kontrol dilaksanakan pada bulan September-Oktober 2012. Jenis Kelamin Frekuensi (%) Frekuensi (%) Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas Laki-laki 23 40,4 32 56,1 Perempuan 34 59,6 25 43,9 VI SD di Kecamatan Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Usia 11 36 63,2 32 56,1 Metode yang digunakan dalam penarikan SD yang 12 15 24,6 16 28,1 dijadikan tempat penelitian dengan menggunakan 13 7 12,3 9 15,8 Sumber : data primer penarikan cluster sampling. Jumlah responden Tabel 1 menunjukkan distribusi frekuensi pada penelitian ini sebanyak 114 siswa. Pembagian kelompok kontrol dan intervensi menggunakan karakteristik responden yang terdiri dari kelompok metode simple paired randomization. Metode ini intervensi dan kontrol. Berdasar data tersebut dapat dilakukan dengan cara membuat kertas undian diketahui bahwa pada kelompok intervensi jumlah A (intervensi) dan B (kontrol) sebanyak jumlah responden paling banyak ada siswa perempuan sampel, dengan ketentuan jumlah A 50% dan B 50%. dengan jumlah 34 siswa (59,6%) , serta usia terbanyak Pengukuran kecenderungan depresi pada siswa SD adalah siswa berusia 11 tahun dengan jumlah menggunakan CDI (Child Depression Inventory), 36 siswa (63,2%). Pada karakteristik responden kuesioner ini digunkan untuk menilai kecenderungan kelompok kontrol didapat data bahwa jumlah depresi pada anak usia 7-17 tahun. Terdiri dari 27 siswa terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki item pernyataan yang mencerminkan gejala depresi, dengan jumlah 32 siswa (56,1 %). Berdasarkan usia, yaitu : mood depresif, anhedonia, berkurangnya didapakan data bahwa usia terbanyak adalah 11 tahun energi ditandai dengan mudah lelah, harga diri dan dengan jumlah dengan jumlah 32 siswa (56,1%). Dibawah ditampilkan tabel perbandingan kepercayaan diri yang menurun, serta adanya masalah hubungan sosial [7]. Setiap nomor terdapat 3 item tingkat depresi pre test pada kelompok pilihan pernyataan jawaban, dengan ketentuan tidak intervensi sebelum diberikan program UKJS terdapat gejala (absence) = 0, gejala sedang (moderate dan pre test pada kelompok kontrol untuk symptom) = 1, dan gejala berat (servere symptom) = 2. mengetahui perbandingan atau perbedaanya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tiga SD yang digunakan dalam penelitian ini adalah SDN Sompokan yang terdapat di Desa Margo Mulyo, SDN Gentan di Desa Margo Agung, dan SDN Susukan yang terdapat di Desa Margo Luwih. Ketiga desa tersebut tersebar pada tiga titik wilayah

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

Tabel 2. Perbandingan Tingkat Depresi Pre Test pada Kelompok Intervensi dan Pre Test pada Kelompok Kontrol (n=114, September 2012) Intervensi Pre test intervensi Pre test kontrol

Depresi

Hasil

21 (36,8%)

Tidak Depresi 36 (63,2%)

15 (26,3%)

42 (73,7%)

Mean

P

9,04 Âą 5,144 9,16 Âą 5,230

0.900

35


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--Berdasarkan analisis dari tabel 2, data pre test diketahui bahwa pada kelompok intervensi dan kontrol memiliki jumlah siswa dengan gejala depresi yang tidak jauh berbeda. Pada kelompok intervensi terdapat 36,8% siswa dan pada kelompok kontrol terdapat 26,3% siswa yang terdiagnosa mengalami depresi dari jumlah siswa yang sama yaitu masing-masing 57 siswa pada kelompok intervensi maupun kontrol. Hasil uji banding hasil rerata kedua kelompok tersebut, maka didapatkan nilai p = 0,900 (p > 0,05), maka dapat disimpulkan bahwa hasil perbandingan dari kedua kelompok tersebut adalah tidak berbeda signifikan. Hal ini bukan merupakan suatu fenomena yang mencengangkan, karena penelitian lain pada siswa SD, memperlihatkan hampir 30% siswa di sekolah yang mereka teliti mengalami gejala depresi yang tinggi, namun guru tidak siap dan tidak memiliki keterampilan mengidentifikasi gejala ini 8. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwinantoaji (2010) bahwa dari 457 siswa terdapat 155 siswa atau 33,9% mengalami depresi tingkat tinggi 9. Dibawah ditampilkan tabel perbandingan tingkat depresi post test pada kelompok intervensi dan post test pada kelompok kontrol untuk mengetahui perbandingan atau perubahannya.

p=0,038*, (p<0,05) yang berarti berbeda signifikan. Walaupun sama-sama mengalami penurunan, namun signifikansi penurunan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol jauh berbeda. Terlihat dari penurunan rerata atau mean dari pre test ke post test antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Pada kelompok intervensi pre test ke post test dari hasil mean yaitu dari 9,04 menjadi 5,65, sedangkan pada kelompok kontrol penurunan tidak terlalu signifikan yaitu dari 9,16 menjadi 8,35. Berikut ini ditampilkan tabel perbandingan tingkat depresi pre test dan post test pada kelompok intervensi. Tabel 4. Perbandingan Tingkat Depresi Pre Test dan Post Test pada Kelompok Intervensi. Hasil Mean P Intervensi Depresi Tidak Pre test

21 (36,8%)

Depresi 36 (63,2%)

Post test

2 (3,5%)

55 (96,5%)

Sumber : data primer

9,04 Âą 5,144 5,65 Âą 3,875

0,000 *

Tabel 4 memaparkan perbandingan antara hasil pre test dan post test pada kelompok intervensi dengan hasil pada saat pre test terdapat 21 siswa (36,8%) yang mengalami depresi. Kondisi ini diketahui sebelum dilakukannya program UKJS pada ke lima puluh tujuh siswa intervensi tersebut. Setelah Tabel 3. Perbandingan Tingkat Depresi Post Test pada Kelompok memperoleh program UKJS dilakukan post test dan Intervensi dan Post Test pada Kelompok Kontrol didapat perubahan hasil yaitu hanya terdapat 2 siswa Hasil Mean p (3,5%) yang mengalami depresi. Berdasarkan hasil Intervensi Depresi Tidak analisis penurunan rerata depresi, terlihat perbedaan Depresi yang bermakna secara statistik dengan p = 0.000 Post test 2 (3,5%) 55 (96,5%) 5,65 Intervensi Âą 3,875 0,038* (p < 0.05) antara pre test dan post test kelompok Post test 13 (22,8%) 44 (77,2%) 8,35 intervensi. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui Kontrol Âą 4,919 bahwa terjadi penurunan tingkat depresi pada Sumber : data primer Hasil paparan dari tabel 3 adalah setelah kelompok intervensi. Penurunan hasil ini disebabkan diberi perlakuan pada kelompok intervensi yang adanya perlakuan yaitu pemberian program UKJS mengalami depresi adalah sebanyak 2 siswa (3,5%), dengan 4 kali pertemuan pada kelompok intervensi. Pada pertemuan pertama, responden diberikan sedangkan pada kelompok kontrol, jumlah siswa yang mengalami depresi adalah sebanyak 13 siswa kegiatan berupa penjelasan mengenai materi (22,8%). Hasil analisis menunjukkan perbedaan tentang depresi. Kegiatan ini merupakan salah signifikan antara penurunan depresi antara kelompok satu pemberian landasan pengetahuan sekaligus intervensi dengan kelompok kontrol, yaitu hasil metode pengurangan tingkat depresi yang baik

36

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Lindri Riahawa N., Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas M.--Kegiatan pendidikan atau program edukasi dapat membantu mengembangkan kesehatan mental anak , mengurangi faktor resiko gangguan mental dan baik dalam pengembangan pikiran positif 10. Selain itu metode ini juga banyak digunakan dalam penelitianpenelitian yaitu dengan pemberian promosi kesehatan berbasis pembelajaran yang memberi efek positif pada kesehatan mental anak 11. Pengembangan metode pendidikan ini juga telah diberdayakan di Pakistan, yaitu melalui School Heath Programe yang memiliki empat metode pengembangan kesehatan, salah satunya adalah metode pendidikan kesehatan di sekolah atau disebut school heatth education 12. Pada pertemuan kedua, siswa diberi lanjutan intervensi berupa konseling personal antara pelatih UKJS dengan siswa. Pada fase ini siswa dapat mengungkapkan semua kekhawatirannya mengenai UN serta hal apa saja yang menjadi permasalahan terkait perasaan menghadapi UN. Disebutkan dalam sebuah buku yang berjudul Terapi Alternatif, bahwa salah satu manajemen masalah psikologi seperti cemas dan depresi adalah menggunakan terapi komunikasi 13. Terapi komunikasi menggunakan pendekatan komunikasi yang baik sehingga dapat terbina hubungan saling percaya dan kecemasan dapat teratasi. Penelitian menyatakan bahwa individual counseling lebih efektif daripada traditional non CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dalam menurunkan kecemasan, depresi, agresif, dan gangguan pemusatan perhatian/ hiperaktif 14. Pertemuan ketiga responden melakukan diskusi berkelompok dengan didampingi oleh pelatih UKJS. Kegiatan ini bertujuan agar antara satu siswadengan siswa lain dapat saling bertukar informasi mengenai cara mengurangi tanda dan gejala depresi yang mereka alami. Diskusi berkelompok diketahui sangat efektif dalam menurunkan permasalahan kesehatan mental. Hal ini dijelaskan dalam penelitian yang berjudul Peer Mediated Interventions Promoting Social Skill of Children and Youth with Behavior Disorder bahwa metode diskusi kelompok termasuk dalam penanganan yang positif dalam

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

mengembangkan keterampilan sosial 15. Konseling kelompok merupakan cara pendekatan yang baik untuk membantu membunuh faktor pendukung depresi 16. Survei mengindikasikan bahwa cara ini merupakan salah satu cara terampuh untuk mengatasi depresi. Secara berkelompok seseorang dapat lebih efektif dalam akademik dan perilaku sosial serta dapat mempertahankan kompetensi yang positif 17. Intervensi diskusi kelompok dilanjutkan dengan pengungkapan perasaan melalui media tulisan. Disini siswa menuliskan segala permasalahan dan kecemasannya mengenai UN ke dalam kertas. Kegiatan ini dimaksudkan agar siswa meluapkan segala permasalahannya dalam sebuah tulisan yang dapat membantu meringankan beban pikiran siswa. Emotional disclosure intervention atau ED merupakan salah satu intervensi berupa penyediaan media pengungkapan perasaan terhadap hal-hal yang dianggap menakutkan bagi mereka atau berupa pengalaman-pengalaman buruk yang dianggap menghambat seseorang 18. Studi terbaru menyatakan bahwa ED secara signifikan mengurangi masalah kesehatan mental pada penelitiannya yang dilakukan pada anak sekolah usia 8 sampai 13 tahun 19. Pertemuan keempat dilanjutkan dengan kegiatan yang bersifat relaksasi. Dimana kegiatan relaksasi akan membuat seseorang merasa nyaman sehingga dapat menurunkan kecemasan termasuk juga dalam menghadapi studi 20. Kegiatan yang pertama dilakukan dalam pertemuan ini adalah permaian. Permainan selain untuk memberikan kesenangan pada siswa, juga dapat meningkatkan kerjasama antar anggota kelompok, dan juga dapat membantu menurunkan tingkat depresi. Fakta lain menyebutkan bahwa yang termasuk dalam group cognitive-behavioral treatment adalah dengan pemberian competitive game, dimana dapat secara signifikan menurunkan ketidaknyamanan psikologis pada anak 21. Kegiatan selanjutnya dalam pertemuan keempat adalah menyaksikan video yang bersifat memberikan motivasi kepada siswa. Pemberian video ini bertujuan agar setelah menyaksikan video tersebut

37


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--siswa dapat lebih termotivasi untuk belajar serta dapat mengurangi depresi dalam menghadapi UN. Anak setelah menyaksikan video, skor kecemasan dan gejala resiko gangguan psikologisnya menjadi lebih rendah dari pada sebelum menyaksikan video 22 . Metode intervensi hiburan audiovisual juga digunakan untuk upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak, metode ini diyakini dapat meberi pengaruh terhadap psikologi dan pengetahuan secara langsung setelah seseorang melihat video atau film 23. Dibawah ini peneliti menampilkan gambar perbandingan penurunan tingkat depresi pada kelompok perlakuan dan kelompok intervensi

Gambar 1. Penurunan Tingkat Depresi dari Pre Test ke Post Test pada Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol.

ini hasil yang diharapkan adalah penurunan tingkat depresi pada kelompok intervensi 24. Hasil pada kelompok kontrol tidak begitu signifikan karena pada kelompok kontrol tidak dilakukan perlakuan khusus (program UKJS) seperti pada kelompok intervensi. Pada kelompok kontrol hanya dilakukan kegiatan biasa seperti kegiatan sehari-hari disekolah, sehingga tidak ada perubahan kegitan maupun perubahan dampak perubahan psikologogi yang signifikan pada kelompok kontrol.

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian diatas, peneliti menyimpulakan bahwa pemberian UKJS dapat menurunkan skor depresi yang terjadi pada siswa SD kelas VI dalam menghadapi UN di Kecamatan Seyegan Sleman Yogyakarta. Berdasarkan kekurangan yang masih terdapat dalam penelitian ini maka peneliti menyarankan pada guru-guru perlu lebih memperhatikan dan mengidentifikasi ketidaknormalan kondisi psikologis siswa yang terlihat dari perilaku sehari-hari maupun ungkapan verbal . Bagi pemerintah tingkat Kecamatan Seyegan, dapat melakukan perealisasian maupun pengembangan program UKJS. Bagi Peneliti selanjutnya, perlu melakukan penelitian serupa, dengan lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi depresi, serta dengan meminimalkan kelemahan penelitian yang telah dilakukan.

Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan penurunan tingkat depresi pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol dari pre test dan post test masing-masing PUSTAKA kelompok. Penurunan tingkat depresi yang signifikan DAFTAR 1. Widyanta, E.A. Diagnosis dan Penatalaksanaan pada Anak-Remaja. Referat. Fakultas Kedokteran UGM 2010. pada kelompok intervensi disebabkan oleh adanya 2. Sudaryanto. UN & Dualisme Pembelajaran 2008.[cited 12 program khusus yang diberikan kepada kelompok Februari 2012]. Available from http: www.pelita.or.id 2008. intervensi yaitu UKJS. Hal ini memberikan pengaruh 3. Muharrifah, A. Interaksi antara Remaja, Ayah, dan Sekolah serta Hubungannya dengan Tingkat Stres Dalam positif pada tingkat depresi siswa sehingga terjadi Menghadapi Ujian Nasional. Skripsi. Bogor: IPB 2009. penurunan tingkat depresi atau penurunan jumlah 4. Betz, C. & Sowden, L. Mosby’s Pediatric Nursing 6th Edition. MissourI : Mosby 2008. siswa yang mengalami depresi pada penelitian ini. 5. Reference. Kovacs, M. Child Depression Inventory. Gale Jenis program yang memiliki elemen lebih dari satu Encyclopediaof Mental Disorder 2003 [cited 3 Juli 2012]. Available from http://www.encyclopedia.com multi, terintegrasi, lebih dari satu elemen adalah 6. Finkelstein,D.M., Kubzansky, L.D., Goodman, E. lebih efektif dalam memberikan pengaruh positif Social Statuss, Stress and Adolescent Smoking. Journal of Adolescent Health. 2006; 39: 678-685. terhadap hasil yang diharapkan. Pada penelitian 7.

38

Widosari

Y.W.

Perbedaan

Derajat

Kecemasan

dan

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Lindri Riahawa N., Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas M.---

8. 9. 10.

11. 12. 13. 14. 15.

16.

Depresi Mahasiswa Kedokteran Preklinik dan KoAsisten di FK UNS Surakarta. Skripsi : UNS 2010. Howell, C.C., Rice, M.H., Carmon, M., Hauber, R.P. The Relationships among Anxiety, Anger, and Blood Pressure in Childern. Applied Nursing Research 2007; Volume. 20: 17-23 Dwinantoaji, H. Hubungan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Derajat Depresi pada Siswa Sekolah Dasar Di Kota Yogyakarta. Skripsi : Universitas Gadjah Mada 2011. Greenberg, M. T., Domitrovich, C., & Bumbarger, B. The prevention of mental disorders in school-aged children: current state of the field. Prevention & Treatment .American Psychological Association article 1,posted March 30, 2001[cited 10 februari 2012] Available on the World Wide Web at http:// journals.apa.org/prevention/volume4/pre0040001a.html Lister-Sharp, D., Chapman, S., Stewart-Brown, S., & Sowden,A. Health Promotion in Schools: Two systematic reviews. Health Technology Assessment;1999: 3(22), 1–207 Ministry of Education, Curriculum Wing Government of Pakistan. Team. School Health Program. 2010 Green, C.W & Setyowati, H. Terapi Alternative. Jakarta: Penerbit yayasan Spiritia 2004. Neil, A.L. & Christensen, H. Efficacy and Effectiveness of School-based Prevention and Early Intervention Programs for Anxiety. Clinical Psychology Review 2009;29:208–215. Mathur, S. R., & Rutherford Jr, R. B. Peer-mediated Interventions Promoting Social Skills of Children and Youth with Behavioural Disorders. Education and Treatment of Children 1991;14(3):227–242. Karami, S., et al. Effect of Group Conceling with CognitifBehavioural Approach on Reducing Divorce Childern’s Depression. Procedia-Social&Behaviour Science.2012; 46: 77-81

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

17. Kalfus, G. R. Peer Mediated Intervention: A Critical Review. Child & Family Behaviour Therapy 2000;6(1):17–43. 18. Pennebaker, J. W. Putting stress into words: Health, linguistic and therapeutic implications. Behaviour Research and Therapy. 1993; 31: 539–548. 19. Reynolds, M., Brewin, C. R., & Saxton, M. Emotional disclosure in school children. Journal of Child Psychology and Psychiatry. 2000; 41: 151–159. 20. Saseno. Relaksasi sebagai Upaya Mengurangi Kecemasan Menghadapi Studi Mahasiswa Akper Dep.Kes Magelang. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM 2001. 21. Lau, W., Chan, C.K., Ching-hong, J., Au, T. Effectiveness of Group Cognitive-behavioral Treatment for Childhood Anxiety in Community Clinics. Behaviour Research and Therapy 2010;48:1067-1077. 22. Weinstein, P., Raadal, M., Naidu, S., Yoshida, T., Kvale, G. Milgrom, P. A Videotaped Intervention to Enhance Child Control and Reduce Anxiety of the Pain of Dental Injections. European Journal Of Paediatric Dentistry: Official Journal Of European Academy Of Paediatric Dentistry 2003;4 (4):181-5. 23. Rispens, J., Aleman, A., & Goudena, P. Prevention of child sexual abuse victimization: A meta-analysis of school programs. Child Abuse & Neglect. 1997; 21: 975–987. 24. Parslow, R., Morgan, A.J., Allen, N.B., Jorm,A.F., O’Donnell, C.P., Purcell,R. Effectiveness of complementary and selfhelp treatments for anxiety in children and adolescents. The Medical Journal of Australia. 2008; Vol. 188 (6) : p. 355-9

39


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

PENGARUH PEMBERIAN USAHA KESEHATAN JIWA SEKOLAH TERHADAP TINGKAT KECEMASAN SISWA SEKOLAH DASAR KELAS VI DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL DI SEYEGAN Risma Isnaini1, Ibrahim Rahmat2, Carla Raymondalexas Machira3

2.

1. Student of Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University Undergraduate Nursing Study Program, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University 3. Department of Psychiatry, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University

INTISARI Latar Belakang: Standar nilai ujian nasional (UN) yang selalu dinaikkan menyebabkan kecemasan pada siswa SD. Kecemasan UN akan mengganggu fungsi kognitif dan penurunan konsentrasi siswa. Oleh karena itu diperlukan suatu intevensi untuk mengatasi permasalahan tersebut yaitu dengan pelatihan Usaha Kesehatan Jiwa Sekolah (UKJS). Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian UKJS terhadap tingkat kecemasan siswa SD kelas VI dalam menghadapi UN di Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Metode: Jenis penelitian yang digunakan adalah experiment dengan rancangan pretest - post-test control group design, jumlah responden 114, yang terbagi 57 responden kelompok intervensi dan 57 responden kelompok kontrol. Pengukuran tingkat kecemasan dalam penelitian ini menggunakan Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS). Hasil: Pada kelompok intervensi hasil rerata kecemasan pre-test dan post-test mengalami penurunan yaitu 9,72 menjadi 6,72 dan didapatkan nilai p=0,000* (p<0,005) menunjukkan terdapat perbedaan bermakna. Sedangkan pada kelompok kontrol rerata kecemasann pre-test yaitu 9,07 dan post-test yaitu 8,89 dengan nilai p=0,730 (p>0,05), yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna. Apabila hanya dilihat dari hasil post-testnya kelompok intervensi memiliki rerata kecemasan 6,72 dan kelompok kontrol 8,89 dengan nilai p=0,037* (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang signifikan. Kesimpulan: Pemberian pelatihan UKJS dapat menurunkan kecemasan yang terjadi pada siswa SD kelas VI dalam menghadapi UN di Seyegan. Kata kunci: UKJS, kecemasan, sekolah dasar, ujian nasional. ABSTRACT Background: Increased standard score of national test causes anxiety in elementary school students. Anxiety toward national test will disrupt cognitive function and concentration of the students. Therefore intervention is needed to overcome the problem through the implementation of school mental health effort. Objective: To identify effect of school mental health effort implementation to level of anxiety of elementary school students of grade VI in taking national test at Seyegan, Sleman, Yogyakarta. Method: The study was an experiment with pre test – post test control group design, involving 114 respondents with 57 students as intervention group and 57 students as control group. Level of anxiety in this study was assessed using Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMAS). Result: In the intervention group, average score of anxiety in pre test was 9.72 and post test was 6,72 and p=0.000 (p<0.05) which meant that there was significant difference. Meanwhile in the control group, average score of anxiety in pre test was 9.07 and post test was 8.89 and p=0.730 (p>0.05) which showed no significant difference. When only observed from the result of post test, the intervention group had average score of anxiety 6.72 and the control group 8.89 with p=0.037 (p<0.05) which showed there was significant difference. Conclusion: The implementation of school mental health effort could minimize anxiety of elementary school students of grade VI in taking national test at Seyegan. Keywords: school mental health effort, elementary school, anxiety, national test


---Risma Isnaini, Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas M.--PENDAHULUAN

Salah satu cara meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan taraf hidup bangsa adalah dengan pendidikan1. Sistem evaluasi dalam menentukan standar mutu pendidikan tingkat dasar dan menengah adalah Ujian Nasional (UN). Pasal 3 Permendiknas tentang UN, menjelaskan bahwa UN digunakan untuk mengetahui keefektifan berbagai upaya yang dilakukan dalam proses pendidikan, apakah telah membuahkan hasil yang memuaskan2. Namun, karena pemerintah menetapkan standar nilai kelulusan UN minimal yang harus dicapai dan selalu meningkat, maka hal tersebut telah menimbulkan beberapa permasalahan. Permasalahan yang paling sering dialami siswa ketika akan menghadapi ujian adalah kecemasan3. Kecemasan merupakan perasaan subjektif berupa ketakutan, ketegangan, dan kekhawatiran seseorang pada sesuatu yang belum terjadi4. Kecemasan yang dirasakan oleh siswa Sekolah Dasar (SD) dapat dari berbagai tingkat prestasi akademik dan kemampuan intelektual5,6. Siswa akan mengalami kecemasan yang tinggi sebelum, selama dan setelah ujian7. Kecemasan juga dialami karena adanya harapan tinggi dari orangtua untuk menjadi anak yang sukses dan bermanfaat bagi masyarakat8. Kecemasan yang dialami anak SD dalam menghadapi UN juga dirasakan oleh beberapa anak SD yang telah peneliti lakukan wawancara. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah peneliti lakukan, dari 41 siswa kelas V terdapat lebih dari 80% siswa mengalami kecemasan. Terdapat pula data yang menyebutkan 30% siswa SD disekolah yang mereka teliti mengalami gejala gangguan kesehatan mental seperti depresi, cemas, stres yang tinggi4. Namun para guru tidak siap dan tidak memiliki keterampilan untuk mengidentifikasi dan mengatasi masalah tersebut. Kecemasan menghadapi UN memiliki intensitas kuat dan bersifat negatif yang menimbulkan kerugian bahkan mengganggu keadaan fisik dan psikis siswa9. Kecemasan siswa yang tidak tertangani, dapat mengakibatkan kecemasan yang berkelanjutan salah satunya berdampak pada

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

penurunan konsentrasi belajar dan percaya diri pada siswa3. Selain itu, kecemasan juga bisa menjadi salah satu faktor penghambat seseorang dalam belajar dan mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah10. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dilaksanakan sebagai program yang berupaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal di lingkungan sekolah11. Prinsip dari usaha peningkatan kesehatan antara lain, sehat fisik, mental, sosial, maupun lingkungan12. Namun, sebagian besar program yang ada dalam UKS masih mencangkup masalah mengenai kesehatan fisiologis dan belum mencangkup masalah kesehatan psikologis siswa. Kesehatan yang dibutuhkan dalam mempersiapkan siswa menghadapi UN yaitu fisik dan juga psikologisnya. Untuk mempersiapkan siswa dalam hal psikologisnya maka sangat dibutuhkan suatu program yang dapat mengatasi masalah-masalah psikologis termasuk juga dengan kecemasan menghadapi UN. Karena masih terdapat banyak hal yang menunjukkan bahwa siswa SD merasa sangat cemas saat akan menghadapi UN, antara lain: sering takut karena terbayang-bayang tentang kelulusan, sering gemetar, susah dalam belajar, dan sering susah tidur.

BAHAN DAN CARA PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian eksperiment. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-test - post-test control group design. Penelitian ini dilakukan di SD Susukan, Sompokan, dan Gentan Kecamatan Seyegan, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2012. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VI SD di Kecamatan Seyegan, Sleman Yogyakarta. Metode yang digunakan dalam penarikan sampel SD yang dijadikan tempat penelitian adalah menggunakan metode cluster sampling. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 114 siswa. Pembagian kelompok kontrol dan kelompok

41


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--intervensi dilakukan dengan menggunakan metode simple paired randomization. Metode ini dilakukan dengan cara membuat kertas undian A untuk kelompok intevensi dan B untuk kelompok kontrol sebanyak jumlah sampel dengan ketentuan jumlah kelompok A 50% dan kelompok B 50%. Alat yang digunakan untuk mengukur tingkat kecemasan adalah RCMAS yang berbentuk kuesioner dengan 28 item pernyataan mengenai skala kecemasan yaitu gejala fisiologis, ketakutan/ konsentrasi, dan kekhawatiran.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Ada 3 SDN yang terpilih menjadi tempat penelitian. Ketiga sekolah tersebar di 3 Kelurahan di Kecamatan Seyegan. Adapun SDN yang terpilih adalah SD Gentan yang terletak di Kelurahan Margo Agung, SD Sompokan terletak di Kelurahan Margo Mulyo, dan SD Susukan di Kelurahan Margo Luwih. Ketiga Kelurahan tersebut tersebar di wilayah Seyegan bagian tengah, selatan dan utara, sehingga ketiga SD tersebut dapat mewakili persebaran wilayah. Jumlah keseluruhan responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebanyak 114 anak yang terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Berikut adalah tabel karakteristik responden penelitian: Tabel 1. Deskripsi Karakteristik Responden (n=114, September 2012) Intervensi Kontrol Karakteristik Responden N % N % Jenis Kelamin • Laki-laki • Perempuan Umur • 11 tahun • 12 tahun • 13 tahun Sumber: data primer

23 34

40,4 59,6

32 25

56,1 43,9

36 14

63,2 24,6 12,3

32

56,1

16 9

28,1 15,8

7

Berdasarkan tabel 1 tersebut di atas, dapat diketahui bahwa jumlah seluruh responden adalah 114 anak. Kelompok intervensi maupun kontrol memiliki jumlah responden yang sama yaitu 57 anak. Pada kelompok intervensi jenis kelamin terbanyak adalah perempuan yaitu 34 anak (59,6%)

42

dan sedangkan berdasarkan umur responden terbanyak berumur 11 tahun yaitu berjumlah 36 anak (63,2%). Pada kelompok kontrol, berdasarkan jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan yaitu 32 anak (56,1%), Umur responden yang terbanyak yaitu 11 tahun 32 anak (56,1%). Di bawah ini ditampilkan perubahan tingkat kecemasan pre-test dan post-test kelompok intervensi. Tabel 2. Perubahan Tingkat Kecemasan Pre-Test dan Post-Test Kelompok Intervensi (n=57, September 2012) Tidak N %

Hasil Ringan Sedang N % N %

Berat N %

28

49,1

15

26,3

13

22,8

1

1,8

39

64,8

16

28,1

2

3,5

0

0

Intervensi Pre test Post test

p: 0,000*

Mean 9,72 ±5,33 6,72 ±4,29

Sumber: data primer

Dilihat dari hasil pre-test dan post-test kelompok intervensi sesuai tabel 2 di atas, mayoritas responden tingkat kecemasannya mengalami perubahan berupa penurunan. Responden yang mengalami kecemasan berat jumlahnya turun dari 1 anak (1,8%) menjadi tidak ada dan yang tidak mengalami kecemasan meningkat dari 28 anak (49,1%) menjadi 39 anak (64,8%). Apabila dilihat dari rata-rata perolehan skor kecemasan dari pre-test dan post-test juga mengalami penurunan yaitu dari 9,72±5,33 menjadi 6,72±4,29. Setelah dilakukan uji banding antara hasil pre-test dan post-test didapatkan nilai p=0,000 (p<0,005) yang menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna. Hal ini terjadi dikarenakan pada kelompok intervensi diberikan pelatihan UKJS dengan berbagai aktivitas selama 4 kali pertemuan. Pada pertemuan pertama, responden diberikan kegiatan berupa penjelasan mengenai pengetahuan kecemasan. Kegiatan ini memberikan manfaat. Salah satu strategi untuk mencegah atau mengontrol kecemasan di kelas adalah dengan memberikan pendidikan pada siswa mengenai kecemasan13. Selain itu juga disampaikan bahwa manajemen primer untuk individu yang mengalami kecemasan adalah dengan memberikan edukasi tentang

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Risma Isnaini, Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas M.--cemas, upaya pencegahan, dan intervensi untuk mengatasinya[7]. Transfer informasi mengenai kecemasan kepada siswa juga merupakan metode yang signifikan menurunkan kecemasan14. Edukasi dapat menurunkan kecemasan anak pada saat akan dilakukan subsequent inhalational induction15. Pada pertemuan kedua, kegiatannya berupa konseling secara personal antara pelatih UKJS dengan siswa, dimana siswa dapat mengungkapkan semua kekhawatirannya mengenai UN serta hal apa saja yang menjadi permasalahan terkait perasaan menghadapi UN. Kegiatan konseling dapat memberikan pengaruh positif bagi siswa hal ini ditunjukkan bahwa individual counseling lebih efektif daripada traditional non CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dalam menurunkan kecemasan, depresi, agresif, dan gangguan pemusatan perhatian/ hiperaktif16. Dijelaskan pula bahwa komunikasi terbuka dari siswa dan berdiskusi bersama mengenai berbagai keterampilan koping yang baik, sangat membantu siswa dalam mengontrol kecemasannya di sekolah13. Konseling individu dapat memperbaiki gejala-gejala kecemasan17. Disebutkan pula dalam buku yang berjudul Terapi Alternatif, bahwa salah satu manajemen cemas adalah menggunakan terapi komunikasi, dimana terapi komunikasi menggunakan pendekatan komunikasi yang baik sehingga dapat terbina hubungan saling percaya dan kecemasan dapat teratasi18. Pertemuan ketiga responden berdiskusi secara berkelompok dengan didampingi oleh pelatih UKJS. Kegiatan ini bertujuan agar siswa dapat saling bertukar informasi mengenai cara mengurangi kecemasan. Diskusi secara berkelompok sangat efektif dalam menurunkan permasalahan kesehatan mental. Hal ini dijelaskan dalam penelitian yang berjudul Peer Mediated Interventions Promoting Social Skill of Children and Youth with Behavior Disorder bahwa metode diskusi kelompok termasuk dalam penanganan yang positif dalam mengembangkan keterampilan sosial19. Selain itu dijelaskan pula bahwa secara berkelompok seseorang dapat lebih efektif dalam akademik dan perilaku sosial serta

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

dapat mempertahankan kompetensi yang positif20. Setelah berdiskusi secara kelompok, siswa menuliskan segala permasalahan dan kecemasannya mengenai UN ke dalam kertas. Kegiatan ini dimaksudkan agar siswa dapat meluapkan segala permasalahannya dalam sebuah tulisan kemudian kecemasannya dapat berkurang dan hilang. Berdasarkan penelitian, disebutkan bahwa emotional disclosure intervention (ED) atau suatu kegiatan dimana anak diajak untuk menuliskan permasalahan, ketakutan, dan kecemasannya, dan ED signifikan untuk menurunkan masalah kesehatan mental pada seseorang yang terpapar stresor21. Emotional Disclosure Intervention selain dapat menurunkan masalah kesehatan mental juga dapat menurunkan gangguan fisik dan kesulitan psikososial pada anak usia 8-13 tahun di sekolah22. Pertemuan keempat kegiatan yang diberikan adalah kegiatan yang bersifat relaksasi. Dimana kegiatan relaksasi akan membuat seseorang merasa nyaman sehingga dapat menurunkan kecemasan termasuk juga dalam menghadapi studi23. Kegiatan yang pertama dilakukan dalam pertemuan ini adalah permaian. Permainan selain untuk memberikan kesenangan pada siswa, juga dapat meningkatkan kerjasama antar anggota kelompok, dan juga dapat membantu menurunkan kecemasan. Hal ini juga dijelaskan bahwa yang termasuk dalam group cognitive-behavioral treatment adalah dengan pemberian competitive game, dimana dapat secara signifikan menurunkan kecemasan pada anak24. Selain itu juga disampaikan bahwa dengan permainan tradisional dapat menurunkan kecemasan siswa kelas VI dalam menghadapi UN[3]. Kegiatan selanjutnya dalam pertemuan keempat adalah menyaksikan video yang bersifat memberikan motivasi kepada siswa. Pemberian video ini bertujuan agar setelah menyaksikan video tersebut siswa dapat lebih termotivasi untuk belajar serta dapat berkurang kecemasannya dalam menghadapi UN. Keefektifan video juga disampaikan bahwa dengan video dapat meningkatkan pengetahuan dan dapat

43


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--menurunkan kecemasan pasien25. Anak setelah menyaksikan video, skor kecemasannya menjadi lebih rendah dari pada sebelum menyaksikan video26. Berikut ini ditampilkan perubahan tingkat kecemasan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan hasil pre-test dan post-test Gambar 1. Perubahan Tingkat Kecemasan Kelompok Intervensi dan Kontrol Berdasarkan Pre-Test dan Post-Test

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberian pelatihan UKJS dapat menurunkan kecemasan yang terjadi pada siswa SD kelas VI dalam menghadapi UN di Seyegan. Berdasarkan kekurangan yang masih terdapat dalam penelitian ini, maka peneliti menyarankan kepada guru kelas VI untuk dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan permasalahan siswa. Bagi siswa dalam menghadapi UN, disikapi secara positif. Bagi pemerintah Kecamatan Seyegan untuk menggunakan program UKJS untuk mengatasi permasalahan kesehatan mental dalam menghadapi UN. Bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh pelatihan UKJS secara umum untuk semua masalah kesehatan mental pada siswa.

DAFTAR PUSTAKA Berdasarkan gambar tersebut, didapatkan beberapa data, yaitu kelompok intervensi maupun kontrol rata-rata skor kecemasan pada saat pre-test hampir seimbang yaitu 9,72 dan 9,07. Namun, pada kelompok intervensi responden mengalami penurunan rata-rata skor kecemasan yaitu dari 9,72 menjadi 6,72. Sedangkan pada kelompok kontrol penurunannya tidak signifikan yaitu dari 9,07 menjadi 8,89. Apabila dilihat dari hasil pre-test pada kedua kelompok hampir sama. Kecemasan dirasakan karena sebagian siswa sudah merasa cemas atau khawatir dalam menghadapi UN yang akan segera mereka hadapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan bahwa sebagian besar siswa mengalami permasalahan saat menghadapi UN yaitu mengalami kecemasan[3]. Penelitian yang berjudul Abnormal Physicology: The Problem of Maladaptive Behaviour juga menyampaikan hal yang sama, bahwa kecemasan yang dirasakan oleh siswa SD dapat dari berbagai tingkat prestasi akademik dan kemampuan intelektual[5][6].

44

1. 2. 3.

4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.

Depdiknas. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia 2003. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 78 Tahun 2008 Tentang Ujian Nasional SD, SMP/MTs/SMPLB, SMALB, dan SMK Tahun Pelajaran 2008/2009. Jakarta: Depdiknas 2008. Nurhidayah, R. Efektivitas Terapi Permainan Tradisional (Engklek dan Gobak Sodor) terhadap Penurunan Skor Kecemasan Anak Kelas 6 Menghadapi Ujian Nasional di SDN Turus. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya 2012. Howell, C.C., Rice, M.H., Carmon, M., Hauber, R.P. The Relationships among Anxiety, Anger, and Blood Pressure In Children. Applied Nursing Research 2007;20:17-23. Sarason, I.G. Abnormal Pyshiology: The Problem of Maladaptive Behaviour. New Jersey: Prentice-Hall 1999. Kritiyani, T. 2009. Mengurangi Cemas Saat Anak Hendak Ujian Nasional. [Diunduh tanggal 20 Maret 2012] Diunduh dari URL:http://www.kompas.com/ujian-cemas. Tomb, M. & Hunter, L. Prevention of Anxiety in Children and Adolescents in a School Setting: The role of Schoolbased Practitioners. Children & Schools 2004; 26 (2): 87-101 Hawadi, R.A. Akselerasi (A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual). Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia 2004. Sundari, S. Kesehatan Mental dalam Kehidupan. Jakarta: Rineka Cipta 2005. Sukadji. Psikologi Pendidikan dan Psikologi Sekolah. Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia 2000. DepKes. Modul Penatalaksanaan Gangguan Jiwa dan Penyalahgunaan NAPZA di Puskesmas. Jakarta: Direktorat Kesehatan Masyarakat Direktorat Kesehatan Jiwa DepKes RI 2004. Selvia, A. UKS Seri Pengetahuan. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka 2009.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Risma Isnaini, Ibrahim Rahmat, Carla Raymondalexas M.--14. Bourne, E.J. The Anxiety & Phobia Workbook. (4th ed.) Oakland, CA: New Harbinger Publications, Inc 2005. 15. Fisak Jr., B., & Grills-Taquechel, A.E. Parental Modeling, Reinforcement, and Information Transfer: Risk Factors in the Development of Child Anxiety? Clinical Child and Family Psychology 2007;10(3):213-231. 16. Hee, H.I., Lim, Q.C., Tan, Q.C., Bao, Z.Y., Loh, K.W. Effect of Preoperative Education on Behaviour of Children During Induction of Anaesthesia: a Randomised Clinical Trial of Efficacy. Department of Paediatric Anaesthesia 2012;40 (5):795-802. 17. Neil, A.L. & Christensen, H. Efficacy and Effectiveness of School-based Prevention and Early Intervention Programs for Anxiety. Clinical Psychology Review 2009;29:208–215. 18. Waddell, C., Godderis, R., Hua, J., McEwan, K., Wong, W. Preventing and Treating Anxiety Disorders in Children and Youth. Children’s Mental HealthPolicy Research Program 2004;1. 19. Green, C.W & Setyowati, H. Terapi Alternative. Jakarta: Penerbit yayasan Spiritia 2004. 20. Mathur, S. R., & Rutherford Jr, R. B. Peer-mediated Interventions Promoting Social Skills of Children and Youth with Behavioural Disorders. Education and Treatment of Children 1991;14(3):227–242.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

21. Kalfus, G. R. Peer Mediated Intervention: A Critical Review. Child & Family Behaviour Therapy 2000;6(1):17–43. 22. Reynolds, M., Brewin, C. R., & Saxton, M. Emotional Disclosure in School Children.. Journal of Child Psychology and Psychiatry 2000;41:151–159. 23. Pennebaker, J. W. Putting Stress Into Words: Health, Linguistic and Therapeutic Implications. Behaviour Research and Therapy 1993;31:539–548. 24. Saseno. Relaksasi sebagai Upaya Mengurangi Kecemasan Menghadapi Studi Mahasiswa Akper Dep.Kes Magelang. Tesis. Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM 2001. 25. Lau, W., Chan, C.K., Ching-hong, J., Au, T. Effectiveness of Group Cognitive-behavioral Treatment for Childhood Anxiety in Community Clinics. Behaviour Research and Therapy 2010;48:1067-1077. 26. Luck, A., Pearson, S., Maddern, Hewett, P. Effects of Video Information on Precolonoscopy Anxiety and Knowledge: a Randomised Trial 1999;354:2032–35. 27. Weinstein, P., Raadal, M., Naidu, S., Yoshida, T., Kvale, G. Milgrom, P. A Videotaped Intervention to Enhance Child Control and Reduce Anxiety of the Pain of Dental Injections. European Journal Of Paediatric Dentistry: Official Journal Of European Academy Of Paediatric Dentistry 2003;4 (4):181-5.

45


TINJAUAN PUSTAKA

B

IMIKI

DELiMa SARANA PENYELAMATAN UNTUK DIABETIKA Anisa Hidayah1*), Erawati Werdiningsih1), Nuzul Sri Hertanti1), Haryani2) 1) 2)

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

INTISARI Latar Belakang: Diabetes Melitus (DM) yang tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan komplikasi jangka panjang. Program pengobatan yang sudah ada cenderung kurang efektif karena program tersebut pada umumnya diberikan pada pasien yang datang sudah dengan komplikasi. Penting untuk memandirikan penderita DM dalam hal peningkatan kesadaran dan perubahan gaya hidup untuk mencegah munculnya komplikasi DM dengan Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa). Tujuan: meningkatkan kemandirian penderita DM dalam upaya pencegahan komplikasi akibat penyakit tersebut. Metode: literatur review digunakan dalam mengembangkan gagasan terkait program DELiMa. Pembahasan: Program DELiMa hanya dapat diperoleh di Puskesmas dengan dua pelayanan paket yaitu DELiMa Paket A untuk penderita DM tanpa luka dan DELiMa Paket B untuk penderita DM dengan luka. DELiMa Paket A berisi: buku panduan (berupa buku edukasi terkait DM dan manajemen kaki mandiri, lembar penilaian risiko luka kaki diabetes) dan diabetes kit (berupa handuk, sikat batu, lotion, pemotong kuku dan cermin). Sedangkan DELiMa Paket B berisi: buku panduan (berupa buku edukasi terkait DM dan pengelolaan luka mandiri) dan diabetes diary. Kesimpulan: Program ini dapat menjadi suatu inovasi solutif yang mudah, murah dan mandiri untuk mendeteksi dini komplikasi DM. Kata Kunci: Diabetes melitus, kaki diabetes, kaki ulkus, deteksi dini. ABSTRACT Background: Diabetes Mellitus (DM) is not managed properly can lead to long-term complications. Existing treatment programs are less effective because the program was generally given to patients who already come with complications. Independency is important for people with diabetes to increase awareness and lifestyle changes to prevent diabetes complications with Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) as a self early detection of diabetes wound program. Objective: to increase independency of diabetes patients in preventing complications. Methods: The literature review used in developing ideas of DELiMa’s program. Discussion: DELiMa only provided in primary health center with two services namely package of DELiMa A for DM patients without wound and package of DELiMa B for diabetes patients with wounds. Package of DELiMa includes: guide book (related to diabetes education and self-foot management, risk assessment’s sheet of wound diabetic foot) and diabetes kits (such as towels, brushes stones, lotion, nail clippers and a mirror). Package of DELiMa B contains: a guide book (related to diabetes education and self-wound management) and diabetes diary. Conclusion: This program can be an innovative solution which simple, inexpensive and independent for early detection of diabetes complications. Keywords: Diabetes Mellitus, diabetic foot, leg ulcers, early detection.


---Anisa Hidayah, Erawati Werdiningsih, Nuzul Sri, Haryani--PENDAHULUAN

Sistem Kesehatan Nasional menyatakan bahwa segala upaya dalam pembangunan kesehatan di Indonesia diarahkan untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih tinggi yang memungkinkan orang hidup lebih produktif baik sosial maupun ekonomi.1 Peningkatan status sosial dan ekonomi, pelayanan kesehatan masyarakat, perubahan gaya hidup, dan bertambahnya umur harapan hidup, membuat Indonesia mengalami pergeseran pola penyakit dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Kecenderungan meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular salah satunya adalah diabetes melitus. 2 Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT),3 diketahui adanya gambaran peningkatan prevalensi DM dari tahun 2001 sebesar 7,5% menjadi 10,4% pada tahun 2004. Prevalensi DM meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Akan tetapi saat ini penyakit DM tidak hanya menyerang pada kelompok usia tua akan tetapi juga sudah menyerang kelompok usia muda.4 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)3 pada tahun 2003 memperkirakan 194 juta orang atau 5,1% dari penduduk usia 20-79 tahun menderita DM dan pada tahun 2025 diperkirakan meningkat menjadi 333 juta orang. Diabetes Melitus yang tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan terjadinya masalah kesehatan seperti penyakit jantung, stroke, kebutaan, amputasi anggota gerak bagian bawah, serta kematian.4 Salah satu komplikasi jangka panjang dari DM lainnya adalah ulkus kaki diabetika.5 Prevalensi ulkus kaki diabetika sebesar 4-10%, dengan prevalensi pada usia muda sekitar 1,5-3,5% dan meningkat pada usia tua menjadi sekitar 5-10%.6 Perawatan ulkus ini memerlukan biaya yang tinggi, untuk pengobatan dibutuhkan dana 3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan penderita DM tanpa ulkus.7 Seorang pnderita DM mempunyai risiko sebesar 29 kali lebih besar mengalami ulkus kaki dibandingkan orang tanpa DM dan lebih dari 60% penderitanya mengalami amputasi.4 Penanganan yang saat ini telah dilakukan untuk

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

menangani ulkus kaki dan risiko terjadinya ulkus kaki adalah melalui program pemberian insulin, pengobatan komplikasi dan perawatan luka pada penderita yang sudah mengalami ulkus.4 Hal tersebut dirasa kurang efektif karena program tersebut pada umumnya diberikan pada pasien yang datang sudah dengan komplikasi. Selain itu fokus dari program yang sudah ada adalah tenaga kesehatan. Padahal yang sebenarnya perlu dijadikan fokus dalam penanganan DM adalah penderita DM. Pentingnya memandirikan penderita DM didukung oleh hasil penelitian Diabetes Prevention Program yang menunjukkan bahwa peningkatan kesadaran dan perubahan gaya hidup lebih efektif untuk mencegah munculnya komplikasi DM tipe 2 dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan.4 Oleh karena itu, dalam menghadapi kondisi ini diperlukan suatu program yang dapat meningkatkan kesadaran serta memandirikan penderita DM sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi lanjutan. Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) merupakan salah satu alternatif untuk memandirikan penderita DM sehingga pencegahan komplikasi akan lebih efektif. Program ini diharapkan mampu mengatasi persoalan komplikasi DM khususnya terkait ulkus kaki diabetika. Sehingga dengan adanya program ini, penderita DM dilatih untuk peka dan mampu mengontrol kondisi penyakitnya sehingga tidak berujung pada komplikasi amputasi, penurunan produktivitas kerja, dan peningkatan beban ekonomi keluarga ataupun negara.

METODE

Metode penulisan yang digunakan dalam mengembangkan gagasan Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) adalah menggunakan studi literatur. Literatur yang digunakan dalam metode penulisan didapatkan dari pustaka-pustaka terkait seperti text book, maupun sumber yang berasal dari jurnal cetak dan elektronik. Selama proses pembentukan gagasan hingga tahap penyusunan prosedur juga dilakukan konsultasi pakar bidang keperawatan medikal bedah.

47


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--HASIL DAN PEMBAHASAN

Sasaran Program DELiMA Sasaran program DELiMa meliputi masyarakat yang Analisis Kondisi Terkini telah mendapatkan diagnosa diabetes melitus tanpa Pemikiran mengenai Deteksi Dini Luka Diabetes luka dan masyarakat penderita diabetes dengan luka. Mandiri (DELiMa) ini dilatarbelakangi oleh banyaknya kejadian kaki diabetes pada pasien DM Pelaksana/Pihak yang Terlibat di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Nather Pelaksana program DELiMa ini merupakan integrasi et al menunjukkan bahwa dari hasil pemeriksaan antara pasien dan tenaga kesehatan di puskesmas pada 2137 diabetisi (3926 kaki) didapatkan 1307 yang meliputi perawat dan dokter. Perawat bertugas kaki (33,3%) mengalami neuropati, 510 kaki (13%) sebagai edukator, pemberi motivasi, memberikan mengalami vaskulopati.8 Vaskulopati dan neuropati pengetahuan mengenai manajemen kaki dan luka menyebabkan penderita mengalami mati rasa dan luka secara mandiri, serta melakukan pemeriksaan sesuai ulkus. 9 Keadaan tersebut sering terjadi pada bagian dengan standar. Peran dokter meliputi pengaturan tubuh yang selalu mendapat tekanan yaitu kaki, pemberian terapi insulin kepada pasien, penanganan sehingga diperlukan pemeriksaan sedini mungkin komplikasi lanjut yang ditimbulkan, pemberian untuk mencegah luka ulkus kaki bertambah parah. 8 obat sesuai kondisi pasien serta melakukan Salah satu faktor yang mempengaruhi manajemen pemeriksaan lanjutan sesuai dengan indikasi. kaki DM yaitu ketidakpatuhan dalam menjalani terapi. Gambaran Program DELiMa Ketidakpatuhan disebabkan oleh kurangnya dukungan Program ini dibagi menjadi dua dan edukasi dari tenaga kesehatan.10 Ketidakpatuhan kategori pelayanan, antara lain : dalam menjalani terapi dapat diatasi dengan suatu 1. DELiMa Paket A cara yaitu self management yang menjadi pokok Prinsip program ini adalah untuk melakukan dalam manajemen pasien berdasar kesepakatan. pencegahan luka pada penderita secara mandiri American Diabetes Association (ADA).4 Tindakan dan sedini mungkin pada penderita yang telah self monitoring merupakan salah satu tindakan efektif terdiagnosa DM tetapi belum mengalami ulkus. dalam peningkatan pemeriksaan glukosa darah.11 Paket ini hanya dapat diperoleh di Puskesmas Penulis mempunyai gagasan untuk setempat dengan harga DELiMa Paket A sebesar mengkombinasikan deteksi dini, peningkatan Rp 20.000,00. Paket ini berisi: buku panduan pengetahuan, serta pengelolaan kaki mandiri. (buku edukasi terkait DM dan manajemen Program ini dapat mengoptimalkan kesadaran dan kaki mandiri, lembar penilaian risiko luka kaki kemandirian penderita DM dalam pencegahan diabetes) dan diabetes kit (berupa handuk, maupun pengelolaan ulkus kaki diabetika. sikat batu, lotion, pemotong kuku dan cermin). Program Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri 2. DELiMa Paket B Paket B diberikan kepada penderita diabetes (DELiMa) melitus dengan luka ulkus di tubuhnya, Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) khususnya kaki. Fokus program paket B merupakan suatu prosedur deteksi dini yang berada pada kepatuhan melakukan terapi dan ditindaklanjuti dengan pencegahan dan pemantauan luka dengan bantuan diabetes pengelolaan ulkus kaki diabetika yang mudah, diary. Hal yang perlu dicatat dalam diabetes murah dan mandiri. DELiMa dapat menjadi diary meliputi kadar gula darah, tekanan darah, sarana untuk memantau penderita diabetes berat badan, tinggi badan, warna urin, aktivitas sehingga dapat mendukung optimalisasi dari fisik, nutrisi, sekret yang dikeluarkan, obat fungsi kesehatan penderita DM tersebut.

48

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Anisa Hidayah, Erawati Werdiningsih, Nuzul Sri, Haryani--yang dikonsumsi, terapi insulin, serta kebiasaan merokok, alkohol dan keluhan penderita. Paket B ini juga hanya bisa didapatkan di Puskesmas setempat dengan harga Rp 20.000,00. DELiMa Paket B berisi: buku panduan berupa buku edukasi terkait DM dan pengelolaan luka mandiri, diabetes diary) dan diabetes kit (berupa handuk, sikat batu, lotion, pemotong kuku dan cermin). Fasilitas Program DELiMa Pelaksanaan program DELiMa dapat berjalan dengan maksimal melalui pemberian fasilitas yang menunjang program, antara lain : 1. Edukasi dan Buku Panduan Fungsi buku panduan adalah sebagai sarana pelaksanaan program, memudahkan pasien dalam melakukan pencegahan luka di rumah, dokumentasi dan monitoring oleh petugas kesehatan untuk mengetahui perkembangan keadaan pasien. Kisi – kisi buku panduan DELiMa antara lain pengantar program DELiMa, penjelasan tentang penyakit diabetes, formulir deteksi luka dini, diabetes diary, dan manajemen kaki mandiri. 2. Diabetes Kit Program DELiMa juga menyediakan diabetes kit bagi pasien. Tujuan pemberian diabetes kit ini adalah untuk memfasilitasi penderita dalam pengelolaan kaki guna mencegah terjadinya ulkus diabetika. Diabetes kit berisi handuk, sikat batu, lotion, pemotong kuku, cermin. Prosedur Program DELiMa Program DELiMa difokuskan untuk diterapkan dilayananan kesehatan dasar yaitu puskesmas. Sosialisasi program dilakukan melalui brosur yang dibagikan pada pasien saat pendaftaran dan memanfaatkan kader-kader kesehatan yang ada di masing-masing daerah. Kader tersebut akan menghimbau masyarakat untuk datang ke puskesmas guna mengetahui lebih lanjut program DELiMa. Alur peserta menjalani program DELiMa sebagai berikut :

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

1. Pengunjung puskesmas akan mendapatkan formulir yang berisi tentang Tes Risiko DM. Formulir ini dapat diisi oleh siapa pun, baik orang yang baru berisiko hingga orang yang sudah terdiagnosa diabetes. Formulir dimodifikasi dari Diabetes Risk Test American Diabetes Association,12 yang terdiri dari 7 pertanyaan, yaitu umur, jenis kelamin, riwayat keluarga dengan diabetes, tekanan darah, aktivitas fisik, dan status berat badan. Apabila jumlah skor semua pertanyaan ≼5, maka individu tersebut termasuk dalam kelompok risiko tinggi. 2. Pasien yang masuk ke dalam risiko tinggi akan melakukan pemeriksaan lanjutan oleh tenaga medis atau dokter untuk mengetahui apakah pasien mendapatkan diagnosa DM atau tidak. Hasil pemeriksaan lanjutan dengan positif DM, maka akan dibedakan menjadi dua yaitu penderita DM tanpa luka atau tanpa luka. 3. Penderita diabetes tanpa luka akan mengikuti program DELiMa paket A. Fasilitas yang akan didapatkan antara lain a) Edukasi mengenai program DELiMa, dan buku panduan, penjelasan formulir skrining luka pada kaki yang dilakukan satu bulan sekali secara mandiri. Skor diinterpretasikan berdasar empat kategori untuk menentukan jadwal kunjungan ke puskesmas. b) Pada saat kunjungan ke tenaga kesehatan, pasien akan diperiksa oleh tenaga kesehatan yang hasilnya akan didokumentasikan di lembar pemeriksaan. Lembar pemeriksaan mengacu pada Annual Comprehensive Diabetes Foot Exam Form.13 Lembar pemeriksaan dilengkapi dengan rencana manajemen berikutnya oleh dokter. c) Pengecekan gula darah dilakukan setiap satu bulan sekali oleh pasien, secara mandiri ataupun dengan bantuan tenaga kesehatan di puskesmas. 4. Penderita diabetes dengan luka akan melakukan program DELiMa paket B. Pasien akan mendapatkan edukasi melalui buku panduan. Selain itu, pasien akan mendapatkan diabetes kit untuk

49


---Berkala Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia--pengelolaan luka secara mandiri di rumah. Hal yang membedakan DELiMa Paket A dan paket B yaitu program diabetes diary yang dapat diperoleh dalam buku panduan paket B. Pasien dianjurkan untuk mengisi diabetes diary tersebut setiap hari. Analisis Program DELiMa dengan Program Lainnya Pemeriksaan atau skrining risiko luka di Indonesia dan dilakukan oleh medis mencakup pemeriksaan sensorik14, pemeriksaan vaskuler15 dan pemeriksaan radiologi16. Pemeriksaan tersebut membutuhkan biaya yang tidak murah, sehingga masyarakat menengah ke bawah cenderung tidak melakukan pemeriksaan tersebut. Selain itu, semua puskesmas di Indonesia belum tentu mempunyai fasilitas pemeriksaan lengkap tersebut. DELiMa dapat menjadi suatu solusi yang mudah, murah dan mandiri. DELiMa memberikan lembar skrining yang mudah diisi, sehingga dapat dilakukan oleh masyarakat tanpa bantuan tenaga kesehatan. Program Self Monitoring Blood Glucose (SMBG) diterapkan pada pasien diabetes untuk mengontrol gula darah dan mencegah hipoglikemi. SMBG berisi level gula darah pada waktu tertentu17. Program ini hanya mencakup monitoring gula darah saja, padahal kebutuhan orang diabetes dalam mengontrol gaya hidup, tidak hanya dari gula darah, melainkan pengontrolan komplikasi yang lain. Kelebihan DELiMa dibandingkan dengan program SMBG yaitu DELiMa mengembangkan self monitoring melalui pemberian lembar pemeriksaan dini tentang risiko terjadinya ulkus diabetika. Selain itu, DELiMa juga memfasilitasi diabetes diary bagi penderita DM dengan luka ulkus diabetika.

pada pasien dan memberikan petunjuk kepada pasien dalam melakukan pemeriksaan dini. Keunggulan dari program DELiMa yakni tidak membutuhkan biaya yang tinggi sehingga dapat menjadi program deteksi dini yang merakyat dan akan membantu pasien dalam menangani masalah luka. Hal positif lainnya dari program DELiMa adalah penekanan kesadaran dan kemandirian terhadap penderita. Penyakit DM adalah penyakit yang tidak dapat diobati namun dapat dikontrol. Oleh karena itu tingginya kesadaran dan kemandirian pasien menjadi poin penting dalam keberhasilan pengelolaan komplikasi DM khususnya ulkus kaki. Program DELiMa dijalankan secara berkesinambungan dan diperlukan keterlibatan dari berbagai pihak, antara lain pemerintah dalam hal ini Kementrian Kesehatan, puskesmas, tenaga kesehatan yaitu perawat dan dokter, serta pasien penderita diabetes. Apabila program DELiMa dapat diterapkan dan disertai dengan dukungan beberapa pihak di atas, maka penulis optimis bahwa program DELiMa ini mampu solusi deteksi dini dalam menurunkan risiko terjadinya luka ulkus pada kaki penderita diabetes. Secara umum bahwa program deteksi dini melalui DELiMa ini mendukung program pemerintah untuk mengantisipasi peledakan penderita diabetes yang telah dihitung oleh WHO menjadi 21,3 juta penderita diabetes pada tahun 2030.

KESIMPULAN

Program Deteksi Dini Luka Diabetes Mandiri (DELiMa) merupakan salah satu program inovatif dan solutif dalam pencegahan dan pengelolaan luka ulkus diabetikum pada penderita diabetes Sintesis Penerapan Program DELiMa Program DELiMa memberikan kesempatan yang mandiri. Program ini mudah dilakukan dalam kepada pasien diabetes untuk lebih mandiri dan kalangan masyarakat, tidak membutuhkan biaya peka terhadap kondisi penyakit mereka. Program yang mahal (murah) dan memandirikan pasien ini dianggap mudah untuk diaplikasikan karena diabetes dalam pengelolaan kesehatan. DELiMa program ini dilengkapi dengan buku panduan merupakan program yang berguna dalam upaya yang dapat memberikan informasi tambahan preventif, serta meningkatkan pengetahuan dan

50

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013


---Anisa Hidayah, Erawati Werdiningsih, Nuzul Sri, Haryani--keterampilan masyarakat penderita diabetes dalam menjaga kebersihan daerah kaki di rumah.

SARAN

Pemerintah diharapkan dapat mendukung program ini dengan mejadikan program nasional dalam puskesmas. Tenaga kesehatan dapat mensosialisasikan program DELiMa dengan tepat agar menarik minat para penderita diabetes untuk mengikuti program ini. Masyarakat umum diharapkan dapat mengikuti tes risiko diabetes terlebih dahulu, kemudian untuk para penderita diabetes mengikuti dan menerapkan program ini sebagai upaya preventif dan pengelolaan luka ulkus diabetes.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Program Studi Ilmu Keperawatan dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah membantu dalam mengakomodasi kami mengikuti lomba karya tulis ilmiah ini, Ibu Haryani sebagai Dosen Pembimbing karya tulis ilmiah ini yang senantiasa membimbing kami dalam pembuatan proposal karya tulis ilmiah ini dan seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.

3. 4. 5.

6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

DAFTAR PUSTAKA

16.

2.

17.

1.

Suyono S. Masalah Diabetes di Indonesia. Dalam : Noer, dkk, editors, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi ketiga. Jakarta: Penerbit FK UI,1999. Bustan MN. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta, 1999.

BIMIKI | VOL 1 NO 2 | 2013

Departemen Kesehatan. Diabetes Mellitus Ancaman Umat Manusia di Dunia [online]. http:www.Depkes. go.id/ diakses pada 10 September 2012, 2008. Centers for Disease Control and Prevention. National diabetes fact sheet: national estimates and general information on diabetes and prediabetes in the United States, 2011. Atlanta, 2011. The Global Lower Extremity Amputation Study Group. Epidemiology of lower extremity amputation in centres in Europe, North America and East Asia. The Global Lower Extremity Amputation Study Group. Br J Surg, 87, 328-37, 2000. Katsilambors, N., Dounis, p., Tsapogas. Tentolouris. Atlas of Diabetes Foot. England: John Wiley & Sons, 2003. Rini, T. Faktor-Faktor Risiko Ulkus Diabetika Pada Penderita Diabetes Mellitus. Semarang: Universitas Diponegoro, 2008. Nather, A., Edin, F., Glas, F., Chionh, S. B., Tay, P. L. M., Aziz, Z., Dundee, M. B. C., et al. (n.d.). Foot Screening for Diabetics.Annals Academy of Medicine 472–475, 2010. Said, Gerard. Diabetic Neuropathy--A Review. Nature Clinical Practice Neurology 3(6):331-340, 2007. Tera, B.A.H. Determinan Tingkat Kepatuhan Diet Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. Skripsi Gizi Kesehatan UNDIP, 2011 Clar, C.,Barnard, K.,Cummins, E.,Royle, P., Waugh, N. Selfmonitoring of blood glucose in type 2 diabetes: systematic review. Health Technology Assessment; Vol. 14: No. 12, 2010 Dewi, A. Hubungan Aspe - Aspek Perawatan Kaki Diabetes dengan Kejadian Ulkus Kaki Diabetes pada Pasien Diabetes Melitus. FK UMY, 2006. National Diabetes Education Program (NDEP). Feet Can Last a Life Time : A Health Care Provider’s Guide to Preventing Diabetes Foot Problems, 2000. Armstrong, D.GG., Lavery. Diabetic Foot Ulcers: Prevention, Diagnostic and Classification. American Academy of Family Physicians. Available from http://www.aafp.org, 1998. Katsilambors, N., Dounis, p., Tsapogas. Tentolouris. Atlas of Diabetes Foot. England: John Wiley & Sons, 2003. Tiksnadi, B. Chaidir, M.R. Pendekatan Operatif Penderita dengan Kaki Diabetik dalam Masjhur, J.S., Kariadi, S.H. Endokrinologi Klinik 2000, Kongres Nasional Perkumpulan Endokrinologi Indonesia ke5. Bandung: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, p. 77, 2000. International Diabetes Federation. Guideline Self-Monitoring of Blood Glucose in Non-Insulin Treated Type 2 Diabetes, 2009

51



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.