BIMIKI Vol 1 No 1

Page 1


Kata pengantar Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala yang dimiliki oleh organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI). Berkala ini ditebitkan guna memberikan informasi tentang informasi-informasi terbaru dalan dunia keperawatan dan memberikan sarana kepada mahasiswa keperawatan untuk mempublikasikan hasil penelitiannya maupun artikel ilmiah yang lain. BIMIKI ini secara garis besar menyajikan artikel-artikel ilmiah yang bersikan informasi terbaru tentang keperawatan, termasuk di dalamnya terdapat penelitian asli, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu keperawatan dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Berkala ini tidak hanya terbatas pada mahasiswa saja, namun juga insane keperawatan pada umumnya. Atas diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia ini, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, khususnya kepada seluruh penulis yang berperan aktif, tim penyusun, mitra bebestari dan seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan berkala ini.

Penyusun,


Sambutan Pemimpin Umum Rasa syukur yang berlipat ganda, saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) pada edisi pertama ini. Setelah melalui perjalanan panjang dan perjuangan yang tiada henti dari semua pihak yang selalu turut memberikan dukungan atas keberhasilan BIMIKI ini. Tantangan merupakan bukan suatu penghalang kesuksesan. Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan yang ada di Indonesia yang bertujuan untuk menghasilkan berkala mahasiswa keperawatan elektronik yang memberi peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah yang berbasis ilmu dan teknologi. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka diperlukannya sebuah wadah yang mampu menjadi penampung hasil kreativitas mahasiswa khususnya terkait publikasi artikel ilmiah. Penerbitan berkala ini terselenggara atas kerja sama berbagai pihak, antara lain dari organisasi mahasiswa keperawatan yakni Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (ILMIKI) yang diampu langsung oleh Direktorat Jenderal Pendidikan dan Penelitian (PENDPEL) bekerja sama dengan HPEQ Students, serta dukungan berbagai institusi keperawatan di Indonesia. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan yang tiada akhir, dalam membangun arus keprofesionalan dalam keperawatan dengan menunjang sistem long life learning dan menutup segala keterbatasan informasi keilmiahan terbaru bagi mahasiswa keperawatan. Harapan yang besar ketika keberadaan berkala ini dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh insan keperawatan di Indonesia. Bermula manfaat ditujukan kepada mahasiswa keperawatan di belahan daerah Indonesia manapun, semoga berkala ini dapat mempermudah dalam mengakses informasi-informasi ilmiah terbaru, maupun wadah penampung kreativitas mahasiswa keperawatan. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan pada penulisan, ataupun petikan kata-kata yang terdapat pada BIMIKI edisi pertama ini. Sempurna merupakan hal yang masih jauh untuk diucapkan, oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi yang selanjutnya. Hidup mahasiswa! Kobarkan selalu semangat muda, karena suatu saat kitalah pejuangnya.


DAFTAR ISI Penelitian Asli Hubungan Dukungan Sosial Terhadap Kejadian Pos Traumatic Disorders (PTSD) Pada Wanita Usia Produktif: Analisa Pada Kejadian Erupsi Gunung Berapi Yogyakarta, Oktober 20120

Vivi Leona Amalia S.Kep.: Ema M. S.Kep., Ns., M.Kes; Elsi Dwi H, S.Kep., M.s., D.S...............................................................................................................5

LOGOTERAPI MENINGKATKAN PURPOSE IN LIFE PADA MASYARAKAT DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER PASCA ERUPSI MERAPI DI SHELTER GONDANG 1, SLEMAN, YOGYAKARTA

Eriyono Budi Wijoyo, Reny Noorharyanti, Anisa Hidayah, Cahyani Budi Lestari, Uki Noviana...................................................................................................9

KAPTEN (KADER ANTI HIPERTENSI) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN SEKUNDER KEJADIAN HIPERTENSI DI KELURAHAN SEMOLOWARU RW 01 KAPTEN KADER ANTI HIPERTENSI) as Secondary Preventive of Hypertension in Semolowaru Village RW 01

Nurul Hikmatul Qowi........................................................................................................................16

KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UGM PADA PELAKSANAAN KEGIATAN INTERPROFESSIONAL EDUCATION

Cahyani Budi Lestari, Martina Sinta Kristanti, Totok Harjanto....................................................20

KEJADIAN FLEBITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJALAYA

Deya Prastika F. Sri Susilaningsih, Afif Amir A............................................................................27

Pengaruh Pendampingan Suami terhadap Tingkat Kecemasan Primigravida pada Proses Persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh – Jombang Atikah Fatmawati................................................................................................................31

TINJAUAN PUSTAKA PreMan-actiV, SANG PENYELAMAT IBU HAMIL Nuzul Sri Hertanti, Erawati Werdiningsih, Hella Meldy Tursina, Wiwin Lismidiati.................................................................................................................35

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

Hubungan dukungan sosial terhadap kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada wanita usia produktif: analisa pada kejadian erupsi Gunung Merapi, Yogyakarta, Oktober 2010 Vivi Leona Amalia S.Kep.: Ema M. S.Kep., Ns., M.Kes; Elsi Dwi H, S.Kep., M.s., D.S

LATAR BELAKANG

Bencana adalah suatu peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis1. , bencana alam dapat menyebabkan tingginya tingkat stres, kecemasan ketakutan dan traumatik. Tidak seperti kejadian traumatik lainnya, selain mengakibatkan kerusakan fasilitas fisik dan banyaknya dana yang dibutuhkan, lebih lanjut bencana alam akan mempengaruhi tingkat stres dan mengganggu daya dukungan2. Pria dan wanita memiliki perbedaan dalam mengalami kejadian PTSD selama kehidupannya. Pada usia yang sama, rasio kejadian antara wanita dan pria yaitu 3:1, rasio tertinggi yang terjadi antara wanita dan pria ditemukan pada usia 21 hingga 25 tahun2. Pada satu komunitas terdapat 20-30% wanita mengalami PTSD setidaknya sekali pada pengalaman kehidupannya, dan yang paling besar terdapat pada wanita pada usia produktif dengan rentang sebesar 10,4% hingga 13,8%6. Dukungan sosial merupakan faktor utama dalam membantu orang-orang dengan efek negatif dari kejadian traumatik dan PTSD. Dukungan sosial yang tinggi mengurangi perkembangan PTSD setelah kejadian trauma, sehingga dukungan sosial menjadi dasar pengembangan treatment psikologikal pada PTSD.

Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian non experimental dengan rancangan cross sectional. Penelitian dilakukan di Dusun Ngepringan, Sleman, Yogyakarta pada bulan April hingga Mei 2011. Populasinya d adalah wanita usia produktif berusia 18-44 tahun warga Dusun Ngepringan, Sleman, Yogyakarta. Teknik sampling yang digunakan adalah total sampling dengan kriteria inklusi , mengalami kejadian erupsi Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 dan bersedia menjadi responden penelitian, kriteria eksklusi tidak berada ditempat saat penelitian berlangsung dan memiliki riwayat dirawat khusus untuk pelayanan gangguan kejiwaan sebelum terjadi bencana erupsi Gunung Merapi tanggal 26 Oktober 2011. Berdasar kriteria inklusi dan eksklusi, didapat responden sebanyak 114 orang. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kriteria diagnostik dari DSM-IV untuk PTSD, dan Support Social Quetionaire (SSQ) untuk melihat bentuk dukungan social. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan sebelum proses pengambilan data dengan nilai korelasi product moment instrumen PTSD sebesar 0,496 hingga 0,871, instrumen dukungan sosial sebesar 0,375 hingga 0,899. Sementara hasil uji reliabilitas menunjukkan nilai r= 0,786; hasil uji reliabilitas pada instrumen dukungan sosial sebesar 0,916. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisia statistik deskripstif. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara kejadian PTSD dengan dukungan sosial menggunakan Uji Lambda.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

1


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Gambar 1. Diagram gambaran kejadian PTSD yag dialami oleh responden wanita usia produktif di Dusun Ngepringan, Sleman, Yogyakarta n=14)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat penelitian yang dihasilkan bahwa satu komunitas terdapat 20-30% wanita mengalami PTSD8. Pada penelitian kali ini menunjukkan bahwa angka kejadian PTSD sebesar 58,77%, ini merupakan angka yang cukup tinggi karena setengah lebih dari populasi mengalami PTSD. K a r a k t e r i s t i k Non PTSD responden

PTSD

P Value

Usia (tahun)

29,21 ± 7,12

30,28 ± 7,02

0,983

7/11 (63,63%) 18/44 (40,9%) 22/59 (37,28%)

4/11 (36,37%) 26/44 (59,1%) 37/59 (62,72%)

3/10 (30%) 43/100 (43%) 1/4 (25%)

7/10 (70%) 57/100 (57%) 3/4 (75%)

0,569

8/10 (80%) 36/94 (38,29%)

2/10 (20%) 58/94 (61,71%)

0,01

1,18 ± 0,81 9/11 (81,81%) 22/65 (33,84%) 10/22 (45,45%) 3/5 (60%)

1,25 ± 0,57 2/11 (18,19%) 43/65 (66,16%) 12/22 (54,55%) 2/5 (40%)

0,046

0/5 (0%) 5/16 (31,25%) 42/93 (45,16%)

5/5 (100%) 11/16 (68,75%) 51/93 (54,84%)

Penghasilan Ada penghasilan Tidak ada penghasilan

14/25 (56%) 33/89 (37,07%)

11/25 (44%) 56/89 (62,92%)

Kerabat meninggal Ada Tidak ada

3/15 (20%) 44/99 (44,44%)

12/15 (80%) 55/99 (55,56%)

Pendidikan terakhir SD SMP

0,228

≥SMA Status pernikahan Belum menikah Sudah menikah Janda Kepemilikan anak Belum punya anak Sudah mempunyai anak Jumlah anak Belum Satu Dua Tiga Pekerjaan Pelajar Bekerja Tidak bekerja

2

yang

0,093

0,001

0,073

Hasil statistik diatas yang menunjukkan hubungan secara signifikan adalah pada karakteristik kepemilikan anak, jumlah anak dan penghasilan, Karakteristik ini merupakan ciri khas pada kelompok wanita usia produktif, yaitu faktor resikonya adalah riwayat maternal yaitu kehamilan, kepemilikan anak yaitu pada primipara dan multipara6. Resiko terbesar kejadian PTSD pada wanita terjadi pada usia antara 25 dan 34 tahun, sehingga hasil yang ditunjukkan pada penelitian yang saat ini dilakukan tidak jauh berbeda yaitu yang menunjukkan kejadian PTSD dengan hasil tinggi ada pada kelompok usia 18 - 30 tahun12. Hal ini juga dikuatkan juga bahwa resiko terbesar ditunjukkan pada usia antara 18 dan 24 tahun pada wanita Hubungan antara status pernikahan responden dengan kecenderungan terjadinya PTSD tidak signifikan . Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kecenderungan terjadinya PTSD pada semua jenis status pernikahan, baik itu belum menikah, telah menikah dan janda. Angka kejadian memang lebih besar terdapat pada kelompok responden yang telah menikah, baik itu masih menikah atau pernah menikah (janda) yaitu sebesar 57% dan 75% serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya didapatkan bahwa PTSD lebih mudah ditemukan pada kelompok yang dalam status pernikahan ataupun yang pernah menikah (perceraian, meninggalnya pasangan)5. Hasil yang didapatkan adalah yang lebih mempengaruhi kecenderungan terjadinya PTSD bukanlah jenis pekerjaan yang dimiliki tetapi seberapa besar pendapatan yang mereka peroleh. Salah satu dari ketakutan yang dialami oleh seseorang yang mengalami PTSD adalah ketakutan akan adanya masa depan, sehingga adanya pendapatan dari seseorang akan dapat menjamin masa depan orang tersebut12. Adanya kerabat yang meninggal akan mengurangi sumber dukungan yang diberikan kepada pasien, dan hal ini salah satu faktor resiko terjadinya PTSD pada pasien13. Pada hasil penelitian ini didapatkan memang pada kelompok responden yang mengalami kematian kerabat memiliki angka kejadian PTSD yang paling besar yaitu 80% dari kelompok responden yang kerabatnya ada yang meninggal.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Vivi Leona Amalia S.Kep.: Ema M. S.Kep., Ns., M.Kes; Elsi Dwi H, S.Kep., M.s., D.STabel 2 Sumber Dukungan sosial yang diterima oleh responden wanita usia produktif di Dusun Ngepringan, Sleman, Yogyakarta

Sumber dukungan sosial Primer

Jumlah Persentase (%) 43 37,7

Sekunder

17

14,91

3

2,63

35

30,70

Tersier Primer dan sekunder Primer dan tersier

0

0

Sekunder dan tersier

2

1,75

Primer, sekunder, dan 14 tersier Total 114

mencuci piring, memandikan anak, dan mengajak anak bermain. Gambar 3. Diagram Tingkat Dukungan Sosial yag dimiliki responden (n=14)

12,3

Sebesar 58,77% responden mendapatkan dukungan sosial pada tingkatan yang rendah. Tingkat dukungan sosial ditentukan oleh aspek kualitas yaitu tingkat kepuasan terhadap dukungan Dukungan sosial yang paling banyak diterima yang diberikan13. Dukungan yang diberikan pada oleh responden berasal dari sumber primer, yaitu responden tidak banyak, setelah tinggal di rumah berasal dari keluarga, pasangan, anak, orang tua, hunian yang merupakan bantuan dari pihak swasta, saudara kandung. Dukungan yang paling banyak tidak ada lagi bantuan yang diberikan kepada diterima oleh wanita yang mengalami PTSD adalah responden, padahal dalam pemenuhan kebutuhan berupa dukungan primer yaitu yang berasal dari sehari-sehari masih mengalami kesulitan karena keluarga inti, yang merupakan bagian yang selalu sebagian besar dari mereka tidak kehilangan menemani wanita6. tempat untuk bekerja yaitu sawah, atau ternak yang sebelumnya merupakan sumber mata pencaharian Gambar 2. Diagram Bentuk Dukungan Sosial yang dimiliki mereka. 100

responden (n=1140

Tabel 3. Hubungan antara dukungan sosial dengan kejadian PTSD pada responden (n=114) PTSD PTSD n Dukungan Rendah Sosial Tinggi Total

Dukungan instrumental merupakan dukungan yang berupa bantuan langsung misalnya bantuan bantuan nyata diberikan oleh orang lain berupa tersedianya barang atau jasa sepanjang masa stres14. Hal ini sesuai dengan kenyataan yang ditemukan peneliti bahwa keluarga inti membantu responden untuk memperbaiki rumah hunian, membantu untuk membelikan perabotan rumah, menggendong anak, dan membantu dalam pekerjaan sehari-hari seperti BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

67

% 58,77

P

Non PTSD n

%

5

4,39

0

0

42

36,84

67

58,77

47

41,23

0,045

Berdasarkan tabel 3, nilai signifikansi (p) = 0,045 (p<0,05) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa hipotesis nol diterima atau ada hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan kejadian PTSD. Dukungan sosial yang tinggi mengurangi perkembangan PTSD setelah kejadian trauma, dukungan sosial yang baik berkaitan berkaitan dengan tingginya signifikansi terkait strukturisasi kognitif dan atau exposure theraphy untuk PTSD13. Dukungan sosial merupakan faktor utama dalam membantu orang-orang dengan efek negatif dari kejadian traumatik dan PTSD. Responden 3


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

mengatakan bahwa dengan dukungan yang diberikan kepadanya, sekecil apapun bentuk dukungan tersebut sangat membantunya untuk mengurangi kesulitan yang dihadapi7.

KESIMPULAN

1. Wanita usia produktif di Dusun Ngepringan Yogyakarta pasca bencana erupsi Gunung Merapi yang mengalami kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) sebesar 58,77% dari total populasi. 2. Tingkat dukungan sosial yang dimiliki oleh wanita usia produktif di Dusun Ngepringan Yogyakarta pasca bencana erupsi Gunung Merapi termasuk dalam kategori rendah (58,77%), sumber dukungan sosial yang dimiliki tertinggi adalah sumber primer (37,7%). 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial terhadap kejadian Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada wanita usia produktif di Dusun Ngepringan Yogyakarta pasca bencana erupsi Gunung Merapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sunarto. 2009. Mitigasi Bencana. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 2. Ditlevsen D, Elklit A. 2010. The Combined Effect of Gender and Age on Post Traumatic Stress Disorder: Do Men and Woman Show Differences in the Lifespan Distribution of The Disorder?. Annals of General Psychiatry, 9:32. 3. Paton, Douglas. 2010. Predictor of intention to Prepare for Volcanic Risk in Mt Merapi, Indonesia. Journal of Pasific Rim Psychology, Vol. 3, pp. 47-54.

4

4. Adrian. 2010. Merapi Murka, UMKM Terancam Gulung Tikar. Spirit Bisnis, edisi 10, Desember 2010. 5. Busari AO. 2010. Prevalence of Risk Factors and Posttraumatic Stress Disorder in low Income Pregnant Woman. European Journal of Social Science, Vol. 14 Number 3, pp. 480-488. 6. Tull, Mattew. 2009. An Overview of PTSD Symptoms. Akses: 20 Januaari 2011. From: http://www.about.com/ anoverviewptsdsymptoms.htm 7. Robins L., Cottler, L., Bucholz K., Compton M., North C., Rouke K. 2007. Diagnostic Interview Schedule Fact The DSM-IV (FIV-IV). Akses: 15 Februari 2011. From: http:// epi.wast.edu/Dis/dishisto.htm 8. Robert L., Michael B, Jerome C. Wakefield b. 2007. Saving PTSD from itself in DSM-V. Journal of Anxiety Disorders 21, pp. 233–241. 9. Leaning, J. 2008. Disaster and Emergency Planning. Annals of Emergency Medicine. Vol. 22, 1715-1720. 10. McDowell, I. Newell, C. 1996. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and Questionnaires (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Pp. 130-134. 11. Steil and Ehlers. 2000. Belief On Coping With Illness: A Consumer’s Perspective. Soc. Sci. Med. Vol. 44, No. 5, pp. 553-559. 12. Thrasher S, Michael P, Nicola M, Isaac M, Tim D. 2010. Social Support Moderates Outcome in A Randomized Controlled Trial of Exposure Therapy and (or) Cognitive Restructuring for Chronic Posttraumatic Stress Disorder. The Canadian Journal of Psychiatry, Vol. 55, No. 3, pp. 187-190. 13. McDowell, I. Newell, C. 1996. Measuring Health: A Guide to Rating Scales and Questionnaires (2nd ed.). New York: Oxford University Press. Pp. 130-134. 14. Taylor MK, Louis Sharpe. 2008. Trauma and Post-traumatic Stress Disorder Among Homeless Adults in Sidney. Australian and New Zealand Journal of Psychiatry ; 42:206_213.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

LOGOTERAPI MENINGKATKAN PURPOSE IN LIFE PADA MASYARAKAT DENGAN POST TRAUMATIC STRESS DISORDER PASCA ERUPSI MERAPI DI SHELTER GONDANG 1, SLEMAN, YOGYAKARTA Eriyono Budi Wijoyo1), Reny Noorharyanti1), Anisa Hidayah1*), Cahyani Budi Lestari1), Uki Noviana2)

1)Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2)Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

INTISARI Latar Belakang : Letusan gunung Merapi pada tahun 2010 melanda masyarakat Kaliadem di lereng Gunung Merapi. Hal ini mengakibatkan masyarakat tersebut tinggal di Shelter Gondang I. Dilaporkan dari berbagai wilayah, 756 orang mengalami gangguan mental. Diantaranya yaitu Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang berakibat pada pemaknaan hidup yang rendah. Oleh sebab itu, diperlukan semacam pendampingan psikososial yang dapat meningkatkan pemaknaan hidup seseorang yaitu Logoterapi. Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh logoterapi pada penduduk dengan PTSD dalam peningkatan Purpose in Life (PIL) di kawasan Erupsi Merapi, Yogyakarta. Metode : Penelitian ini merupakan kuasi eksperimen, one group pre and post test design. Dilakukan pada bulan Desember 2011 di di Shelter Gondang I, Sleman, Yogyakarta, total sampel 29 orang yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok gejala PTSD (14 orang) dan kelompok dengan PTSD (15 orang). Instrumen yang digunakan IES-R (Impact of Event Scale-Revised), PIL test dan ceklist Logoterapi. Analisa data menggunakan uji Paired t-test dan Wilcoxon. Hasil : Pada kelompok PTSD terdapat perbedaan rerata skor PIL yang signifikan antara sebelum dan setelah logoterapi (p=0,04). Begitu pula kelompok gejala PTSD dengan nilai (p=0,001). Kesimpulan : Logoterapi meningkatkan tujuan hidup warga dengan gejala PTSD dan PTSD di X korban erupsi Merapi. Kata Kunci : Logoterapi, PTSD,bencana, purpose in life ABSTRACT Background: The Merapi eruption in 2010 was destroyed Kaliadem village, . Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) impacted on decreasing of the victim’s meaning of life. Psychosocial support was important especially to improve the meaning of life with logotherapy. Objective: To determine the effect of logotherapy on the Purpose in life (PIL)’s improvement in PTSD people in the location of Merapi eruption. Method: This study was a quasi-experimental study with one group pre and post test design. It was undertaken in December 2011. Total sample were 29 peoples, the first group consisted of people with symptom of PTSD (14 peoples) and the second group consisted with people suffering from PTSD (15 peoples). The instruments were IES-R (Impact of Event Scale-Revised), PIL test and checklist of logotherapy. The data were analyzed using Paired t-test and Wilcoxon test. Result: There were a significant difference (p<0.05) between pre and post test mean score both in two groups. P value 0.04 in the PTSD group and p value 0.001 in the PTSD symptom group. Conclusion: Logotherapy was increasing on the purpose in life of refugees with PTSD living in Shelter Gondang I. Keywords: Logotherapy, PTSD, symptom of PTSD, disaster, purpose in life BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

5


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

PENDAHULUAN

METODE

Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk dalam “the ring of fire” sehingga banyak terjadi gempa bumi dan letusan vulkanik . Hal tersebut mengakibatkan Indonesia rawan akan terjadinya bencana, dikarenakan wilayahnya berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif ditambah banyaknya gunung yang masih aktif 1. Salah satu gunung yang aktif di Indonesia yaitu Gunung Merapi yang berada di utara kota Yogyakarta. Pada tanggal 26 Oktober 2010 Gunung Merapi meletus dan berakibat pada kerusakan fisik, emosional, ekonomi, dan sosial serta dapat menimbulkan trauma psikologis psikis bagi orang yang mengalaminya warga sekitar Gunung Merapi yang menjadi korban.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan pendekatan quasi-experiment rancangan one group pre and post test. Penelitian dimulai sejak awal bulan November hingga 9 Desember 2011 di shelter Gondang I, Sleman, Yogyakarta. Penentuan kelompok sampel gejala PTSD dan kelompok PTSD, dilakukan dengan mengunakan teknik random sampling pengisian instrument Impact of Event Scale-Revised (IES-R) dari Daniel S.Weiss dan Charles R6. Untuk mendapatkan data yang eligible, peneliti menentukan kriteria inklusi dan eksklusi. Kriteria inklusi: 1) masyarakat Kaliadem, yang tinggal di shelter Gondang I, 2) nilai kuisioner IES-R untuk kelompok kecenderungan PTSD adalah ≥ 33, sedangkan kelompok gejala PTSD skor antara 12-32. Adapun kriteria eksklusinya: 1) menderita penyakit demensia, 2) usia ≤15 tahun dan ≥ 60 tahun, 3) Nilai IES-R <12. Besarnya kelompok gejala PTSD adalah 20 orang dan kelompok PTSD juga 20 orang. Variabel yang diukur adalah intervensi logoterapi sebagai variabel bebas dan purpose in life sebagai variable terikat. Tingkat purpose in life diukur menggunakan kuesioner purpose in life (PIL) test dari J. Crumbaugh. Dalam penelitian ini, pre-test dilakukan dengan meminta sampel mengisi kuesioner PIL test terlebih dahulu. Setelah selesai, kemudian dilakukan 4 sesi intervensi logoterapi yang dibagi dalam 2 kali pertemuan pada subyek. yang terdiri dari: 1) sesi I: membina hubungan yang baik dan nyaman serta mengidentifikasi masalah yang muncul pada kelompok, 2) sesi II: mengidentifikasi reaksi dan respons klien terhadap masalah yang dirasakan, 3) sesi III: terapis membantu klien mendiskusikan masalah yang belum teratasi dan membantu menyelesaikannya, 4) sesi IV: mengevaluasi hasil pelaksanaan logoterapi melalui teknik paradoxical intention, menemukan makna hidup dan mampu menerima perpisahan. Keempat sesi tersebut dilaksanakan dalam dua pertemuan, pertemuan pertama untuk sesi I dan II, dan pertmuan kedua untuk sesi III dan IV. Pengisian PIL test kembali dilakukan pada akhir pertemuan sebagai post-test. Data karakteristik responden dan tingkat purpose in life yang telah diperoleh disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Uji wilcoxon digunakan untuk menganalisis pengaruh logoterapi pada kelompok gejala PTSD, sedangkan untuk kelompok PTSD menggunakan paired t-test7.

Menurut Dinkes Sleman erupsi Merapi berdampak pada kondisi psikologi masyarakat. Sebanyak 756 orang dilaporkan mengalami gangguan mental, dan 52 orang di antaranya diklasifikasikan sebagai gangguan mental berat2. Masyarakat Kelurahan Kaliadem yang berjarak 5 km dari puncak gunung, pasca erupsi Gunung Merapi ini memiliki kecenderungan mengalami PTSD. . Menurut studi pendahuluan didapatkan bahwa beberapa warga mengeluhkan mengalami banyak perubahan sejak terjadinya bencana, baik dalam mencari kebutuhan serta dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, perlu semacam pendampingan psikososial yang tepat sehingga dapat membantu individu mengembangkan mekanisme koping yang ada dalam dirinya. Berdasarkan data tersebut, peneliti mencoba untuk melakukan terapi yang bisa meningkatkan purpose in life pada warga yang mengalami kecenderungan PTSD pada masyarakat Kelurahan Kaliadem dengan metode Logoterapi. Logoterapi merupakan suatu terapi untuk memaknai hidup seseorang, di mana klien sendiri yang harus memutuskan apakah tugas hidupnya, klien juga bertanggung jawab terhadap masyarakat atau terhadap hati nuraninya sendiri dengan bantuan pendampingan seorang terapis3. Tujuan dari logoterapi adalah membangkitkan kemauan agar kehidupan dari individu tersebut menjadi bermakna4. Hasil penelitian lain/sebelumnya menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna terhadap respon ansietas sebelum dan setelah diberikan logoterapi pada penduduk pasca gempa di Klaten5. Oleh sebab itu, peneliti mencoba untuk menerapkan logoterapi pada penduduk kaliadem yang berada di shelter Gondang I pasca erupsi merapi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran prevalensi kecenderungan penduduk Kaliadem yang berada di shleter Gondang I mengalami PTSD pasca erupsi merapi, serta mengetahui pengaruh intervensi Logoterapi pada warga di daerah tersebut. 6

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Eriyono Budi W, Reny Noorharyanti, Anisa Hidayah1, Cahyani Budi L, Uki Noviana-

HASIL Data Demografi Setelah 1 tahun terjadi bencana erupsi merapi tahun 2010, didapatkan hasil skrining pada 57 warga Kaliadem yang berada di hunian sementara di Shelter Gondang I, terdapat 33 orang mengalami kecenderungan PTSD dan 22 orang mengalami gejala kecenderungan PTSD (tabel 1). Tabel 1. Hasil Skrining apa?pada siapa?dimana? n-? Pembagian

Jumlah

PTSD

33

Gejala PTSD

22

Tidak PTSD

2

Sumber: Data Primer

Responden yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini yaitu sebanyak 40 orang, terdiri dari 20 orang PTSD dan 20 orang gejala PTSD. Selama penelitian dilaksanakan, responden yang terlibat hingga kegiatan logoterapi selesai sebanyak 29 orang, yaitu 14 responden PTSD dan 15 responden gejala PTSD. Awalnya mereka menyetujui untuk mengikuti penelitian ini, tetapi saat penelitian dilaksanakan mereka masih ada yang bekerja, hal ini dikarenakan para responden kebanyakan berjenis laki-laki dan 1 responden pada hari terakhir dilakukan penelitian tidak hadir karena menunggu orang tuanya sakit. Karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 2 ini:

Klasifikasi Tingkat Purpose in Life Klasifikasi tingkat purpose in life yang digunakan oleh peneliti mengikuti klasifikasi yang digunakan oleh Crumbaugh, J, C, & Maholick, L, T. dalam Journal of Clinical Psychology yaitu dikatakan tinggi apabila total skornya 140-113, sedang apabila total skornya 112-92 dan rendah apabila total skornya ≼ 91 8. Klasifikasi purpose in life pada responden dapat dilihat pada tabel 3 : Tabel 3. Distribusi Tingkat Purpose in Life Responden berdasarkan nilai pretest-posttest No Klasifikasi tingkat Purpose in Life

Pretest f

%

f

%

f

%

f

%

1

Tinggi

5

33,3

8

53,3

5

35,7

10

71,4

2

Sedang

9

60

7

46,7

8

57,2

4

28,6

3

Rendah

Total

PTSD

Gejala PTSD

(n=14)

(n=15)

Gejala PTSD

Posttest

Pretest

Posttest

1

6,7

-

0

1

7,1

-

0

15

100

15

100

14

100

14

100

Sumber: Data Primer

Perbedaan Purpose in Life pada Kegiatan Logoterapi Uji komparatif menggunakan uji t berpasangan terhadap tingkat purpose in life responden, uji ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan nilai rerata purpose in life sebelum dan sesudah pemberian logoterapi. Hasil uji komparatif pada responden PTSD disajikan pada tabel 4 berikut:

Tabel 2. Data Demografi Responden (n=29)

Karakteristik Responden

PTSD

Total

Tabel 4. Hasil Uji t-test tingkat purpose in life responden PTSD

(n=29)

berdasarkan Pretest-Posttest

Jumlah

%

Jumlah

%

Jumlah

%

Laki-laki

3

20

5

35,7

8

27, 6

Perempuan

12

80

9

64,3

21

72,4

≤ 30 tahun

6

40

2

14,2

8

27,6

Sumber: Data Primer

> 30 tahun

9

60

12

85,7

11

37.9

SMA

5

33,3

2

14,4

7

24,1

SMP

3

20

4

28,5

7

24,1

SD

7

46,7

7

50

14

48,3

Tidak tamat

-

0

1

7,1

1

3,5

Bekerja

4

26,7

7

50

11

37,9

Tidak Bekerja

11

73,3

7

50

18

62,1

1

6,67

1

7,1

2

6,9

93,33

13

92,9

27

93,1

Hasil Uji t pada kelompok PTSD menunjukan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara rerata skor PIL yang signifikan antara sebelum dan setelah logoterapi, dimana rerata nilai sebelum dilakuakan logoterapi (106,13) lebih rendah dibandingkan dengan nilai posttest-nya (111,40). Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui nilai p=0,04. Uji wilcoxon digunakan pada responden dengan gejala PTSD. Uji komparatif ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh pemberian logoterapi, yang dilihat dari nilai pre dan post. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Sex

Usia

Pendidikan

Pekerjaan

Keluarga yang meninggal Ya

Tidak 14 Sumber: Data Primer

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

MEAN

MEDIAN

STD.DEVIASI

Pre

Post

Pre

Post

Pre

106.13

111.40

110.00

113.00

8.871 8.517

p

Post 0.040

7


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Tabel 5. Hasil Uji Wilcoxon purpose in life responden Gejala PTSD berdasarkan Pretest-Posttest MEAN Pre

MEDIAN Post

Pre

107.36 120.14

STD.DEVIASI Post

Pre

109.50 121.00

p

Post

12.792 10.712 0.001 Sumber: Data Primer

Hasil analisis uji wilcoxon pada kelompok gejala PTSD menunjukan terdapat perbedaan secara bermakna sebelum dan sesudah dilakukan logoterapi dengan nilai p=0,001. Perbedaan Purpose in Life Berdasarkan Usia Perbedaan tingkat purpose in life dilihat dari karakteristik responden yaitu usia responden dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel 6. Uji Komparatif Tingkat Purpose in Life Berdasarkan Usia Responden Gejala PTSD Warga Shelter Gondang I Bulan Desember 2011 (n=14) Karakteristik Responden

Jumlah

Mean

SD

P

Interpretasi

≤30 tahun

2

111,50

2,121

0,015

>30 tahun

12

121,58

10,925

Ada Perbedaan

Usia

Sumber: Data Primer

Tabel 7. Uji Komparatif Tingkat Purpose in Life Berdasarkan Usia Responden PTSD Warga Shelter Gondang I Bulan Desember 2011 (n=15) Karakteristik Responden

Jumlah

Mean

SD

P

Interpretasi

≤30 tahun

6

105,83

8,060

0,044

>30 tahun

9

115,11

6,900

Ada Perbedaan

Usia

Sumber: Data Primer

PEMBAHASAN Data Demografi Berdasarkan tabel karakteristik responden, mayoritas responden dalam penelitian ini adalah yang berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 72,4%. Rentang usia responden dalam penelitian ini paling banyak diatas 30 tahun sebanyak 11 orang (37,9%). Hal ini dikarenakan masyarakat yang terlibat adalah masyarakat yang dapat membaca dan menulis serta dapat berkomunikasi dengan baik. Tingkat pendidikan responden paling banyak berpendidikan SD yaitu 68,8%, pendidikan masih cukup mahal bagi kalangan mereka dan hanya kalangan tertentu saja yang bersekolah sampai jenjang lebih tinggi. Berdasarkan pekerjaannya, sebesar 62,1 % responden tidak bekerja dan 37,9% responden 8

bekerja. Hal ini dipengaruhi pada warga berjenis kelamin perempuan yang tinggal di shelter Gondang 1 lebih banyak memiliki waktu luang di bandingkan yang berjenis kelamin laki-laki. Hal ini dibenarkan oleh warga di shelter tersebut bahwa setelah terjadinya erupsi merapi, mereka sudah tidak punya pekerjaan lagi. Mereka yang dulunya beternak sapi, mencari rumput, sekarang sudah tidak mempunyai sapi, sehingga lebih banyak melakukan kegiatan di rumah. Klasifikasi Tingkat Purpose in Life Berdasarkan tabel 3, pada kelompok PTSD sebelum dilakukan intervensi logoterapi mayoritas responden tingkat purpose in life berada pada kategori sedang (60%), setelah diberikan intervensi jumlah responden dalam kategori tinggi mengalami peningkatan kurang lebih 1,5 kali lipat, sehingga meningkat menjadi 53,5% dengan jumlah 8 dari 15 orang. Begitu juga dengan kategori sedang dan rendah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Begitu pula pada kelompok gejala, sebelum pemberian logoterapi, 5 dari 14 responden gejala PTSD (35,7%) memiliki pemaknaan hidup tingkat tinggi. Setelah diberikan logoterapi, mayoritas responden berada pada tingkat purpose in life tinggi (71,4 %). Klasifikasi pemaknaan hidup tingkat sedang menurun sebanyak 4 responden dan klasifikasi tingkat rendah mengalami perubahan menjadi 0%. Hasil tersebut diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Shipherd & Beck menyatakan bahwa pasien dengan PTSD mempunyai permasalahan dalam hal kognitif yaitu mengalami penurunan ingatan serta dalam penerimaan terhadap diri sendiri. Dalam mengatasi keadaan tersebut, maka terapi peningkatan penerimaan terhadap diri sendiri merupakan salah satu cara dalam menangani permasalahan akibat PTSD9. Logoterapi merupakan terapi yang berfokus pada pemaknaan pada individu maupun kelompok10. Dalam logoterapi terdapat 3 pilar yaitu kebebasan berkehendak, kehendak hidup bermakna dan kemaknaan hidup. Dimana jika ketiga hal tersebut dimotivasi dapat membuat seseorang merasakan kemaknaan hidup dalam dirinya sehingga meningkatkan tujuan hidup seseorang3. Perbedaan Purpose in Life pada Kegiatan Logoterapi Berdasarkan tabel 4 dan tabel 5, dapat dilihat bahwa setelah dilakukan uji t-test dan wilcoxon didapatkan nilai p=0.040 dan p=0,001. Hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah pemberian logoterapi (p<0,05

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Eriyono Budi W, Reny Noorharyanti, Anisa Hidayah1, Cahyani Budi L, Uki Noviana-

Sesuai dengan penelitian Sutejo yang mengatakan bahwa setelah dilakukan logoerapi pada penduduk paska gempa, hasil uji statistik menunjukkan bahwa logoterapi berkontribusi dalam menurunkan ansietas para responden5. Pada daerah yang sering terdapat peperangan, penerapan logoterapi pada pasien yang mengalami post traumatic, dapat meningkatkan persepsi pemaknaan hidup dan penurunan perasaan takut akan terjadinya peperangan di lingkungan mereka12. Dalam proses konseling psikologis terhadap penderita PTSD maupun yang masih gejala memerlukan penekanan kepada coping stres. Sedangkan agar dalam coping stress dapat lebih efektif, hendaknya memasukkan agama dan spiritual atau religi, mengingat keduanya dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya mengatasi stress13. Logoterapi merupakan sebuah terapi menggunakan teknik paradoxical intention yaitu menggunakan kemampuan manusia dalam mengambil keputusan dan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Selama kegiatan logoterapi dilaksanakan, dalam setiap sesi, terapis membantu responden untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan mengubah pemahaman responden tentang kejadian erupsi merapi untuk menemukan makna dan hikmah dalam peristiwa tersebut. Perbedaan Purpose in Life Berdasarkan Usia Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil uji komparatif dengan menggunakan uji t tidak berpasangan didapatkan nilai p=0,015 pada responden gejala PTSD dan responden PTSD didapatkan hasil nilai p=0,044 yang berarti bahwa ada perbedaan antara usia responden dengan tingkat kemampuan purpose in life responden. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock dan Long menjelaskn bahwa semakin tua usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir, hal tersebut akibat dari pengalaman yang sudah dilalui dan kematangan dalam jiwanya14. 5 .Pada responden yang sudah lebih dewasa logoterapi dapat memberikan kemaknaan dan pengharapan yang baik, serta logoterapi membantu dalam menghubungkan antara kemaknaan dan dimensi spiritual16.

KESIMPULAN

Makna hidup dapat dijadikan sebagai tujuan hidup seseorang dalam menjalani kehidupannya. PTSD merupakan salah satu kondisi yang bisa dialami BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

pada masyarakat di daerah yang mengalami bencana alam. Seseorang yang mengalami PTSD cenderung memiliki tingkat pemaknaan hidup yang sedang atau rendah. Logoterapi merupakan salah satu terapi yang bertujuan untuk membangkitkan kemauan untuk bermakna pada diri seseorang. . Terdapat perbedaan yang signifikan pada purpose in life masyarakat dengan PTSD (p=0,04) dan pada masyarakat dengan gejala PTSD (p=0,001) antara sebelum diberikan logoterapi dan sesudah diberikan logoterapi.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa logoterapi efektif untuk meningkatkan purpose in life pada seseorang dengan PTSD. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Subdirektorat Peningkatan Pertumbuhan Kepemimpinan Berkualitas (PPKB), Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah membantu keuangan penelitian ini. Ibu Uki Noviana sebagai Dosen Pembimbing penelitian ini yang senantiasa mendampingi kami dari awal sampai akhir kegiatan. Para terapis serta warga Gondang 1, Sleman, Yogyakarta yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini dan seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu. DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana.2010 diakses dari www.bnpb.go.id/ pada tanggal 22 November 2011 pukul 19.20 2. Dinkes Kabupaten Sleman.2010. diakses dari situs http:// dinkes.slemankab.go.id/ pada tanggal 20 September 2011 pukul 12.20 3. Frankl, V.E. Logoterapi: Terapi Psikologi Melalui Pemaknaan Eksistensi. Yogyakarta:Kreasi Wacana.2006 4. Pandia, V.Penerapan Konsep Logoterapi dalam Konselin Kristen.2007. diambil dari situs http://www.tiranus.net 5. Sutejo.Pengaruh Logoterapi Kelompok terhadap Ansietas pada Penduduk Pasca Gempa di Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah.Depok:Universitas Indonesia. 2009. 6. Rash, Carla et al.Psychometric Properties of the IES-R in Traumatized Substanve Dependent Individuals with and Without PTSD.2008 Diakses dari http://www.elsevierhealth.com/journals/nepr pada tanggal 3 Januari 2012. 7. Dahlan M.S.Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Seri 1. Jakarta:PT. Arkans.2009. 8. Crumbaugh J.C. & Maholick L.T.An Experimental Study In Existentialism: The Psychometric Approach To Frankl’s Concept Of Noogenic. Journal of Clinical Psychology, 20, 200-207.1964. 9. Shipherd, Jillian C & Pedneault, Kristalyn S.Attention, Memory, Intrusive Thoughts and Acceptance in PTSD: An Update on the Empirical Literature for Clinicians. Cognitive and Behavioral Practice.2008. 15 p.349-363 10. Somov, P.G..Meaning of Life Group: Group Application of Logotherapy for Substance Use Treatment. The Journal For Specialists In Group Work. December 2007 11. Fatimah, A.Pengaruh Logoterapi terhadap 9


____________________Berkala

12.

13.

14. 15.

16.

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Hipertensi pada Pasien Lanjut Usia. Tesis. Universitas Sebelas Maret: Surakarta.2009. Southwick, S., Gilmartin, R., Mcdonough, P., Morrissey, P..Logotherapy as an Adjunctive Treatment for Chronic Combat-related PTSD: A Meaning-based Intervention. American Journal Of Psychotherapy.2006.Diakses dari http://www.choixdecarriere.com/pdf/5671/47-2010.pdf pada tanggal 22 November 2011 Pitaloka, Ardaningtyas.Teror Management Theory : Religi dan Spiritualitas sebagai Coping Stres dalam Penanganan Psikologis Korban Tsunami. 2005. Diambil dari situs http://www.Kompascybermedia.com.Rabu, 19 Januari 2005 Tarwoto dan Watonah.Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.2003. Kang,Kyung-Ah,Shim,Jeoung-Sook.Jeon,Dae-Geun. Koh,Myung-Suk.The Effects of Logotherapy on Meaning in Life and Quality of Life of Late Adolescents with Terminal Cancer. J Korean Acad Nurs.Dec 2009;39(6):759-768 -14 Xu, J.Logotherapy: A Balm of Gilead for Aging?. Journal of Religion, Spirituality & Aging, 2010. 22:180–195

10

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

KAPTEN (KADER ANTI HIPERTENSI) SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN SEKUNDER KEJADIAN HIPERTENSI DI KELURAHAN SEMOLOWARU RW 01 KAPTEN (KADER ANTI HIPERTENSI) as Secondary Preventive of Hypertension in Semolowaru Village RW 01 Nurul Hikmatul Qowi* *Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya Telp/Fax: (031) 5913257. E-mail: new_yunkz@yahoo.co.id

ABSTRAK

Pendahuluan: Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang semakin meningkat. Hipertensi dapat dikontrol dengan gaya hidup sehat dan pengontrolan tekanan darah secara rutin. Partisipasi aktif masyarakat diperlukan dalam upaya deteksi dini hipertensi. Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di Kelurahan Semolowaru RW 01, Surabaya. Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk pemberdayaan KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengontrol tekanan darah secara rutin, menurunkan komplikasi hipertensi, serta merubah pola hidup masyarakat menuju pola hidup sehat yang pada akhirnya dapat membentuk masyarakat mandiri yang peduli bahaya hipertensi. Metode: Metode pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini meliputi screening (pemilihan calon KAPTEN), empowering (pemberdayaan KAPTEN), controlling (mengontrol tekanan darah dan perubahan pola hidup masyarakat), teaching, dan evaluating. Sasaran dari pengabdian masyarakat ini yaitu 5 orang KAPTEN dan 25 orang warga binaan di RW 01 Kelurahan Semolowaru, Surabaya. Hasil: Setelah pelaksanaan pengabdian masyarakat selama 3 bulan, diketahui tingkat pengetahuan KAPTEN mengalami peningkatan dari skor 2 dan 3 menjadi 4 dalam rentang 1-4 (1=kurang dan 4=sangat baik), pada controlling ke-4 di dapatkan 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 56% warga binaan tekanan darahnya stabil, dan 24% warga binaan tekanan darahnya naik, di samping itu terjadi perubahan pola hidup warga binaan menjadi lebih sehat yang mencapai 80%. Diskusi: Kesimpulannya bahwa program KAPTEN telah memberikan hasil yang sesuai harapan, sehingga perlu dilakukan pembinaan KAPTEN di RW lain Kelurahan Semolowaru. Pemantauan dari perluasan wilayah binaan KAPTEN akan dilakukan BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

langsung oleh puskesmas yang mempunyai wilayah kerja di daerah tersebut. Kata Kunci: KAPTEN, hipertensi, upaya preventif

ABSTRACT

Introduction: Hypertension is one of chronic disease with morbidity and mortality value that more increasing. Hypertension can control by healthy lifestyle and controlling blood pressure routinely. Active participation for society is needed for early hypertension detection. Public service program is done at Semolowaru Village RW 01, Surabaya. The purpose from this public service program is for empowering KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) as an effort to increase society awareness for controlling blood pressure routinely, decreasing complication of hypertension, and change habit to healthy lifestyle independently. Method: method that used in this public service program was screening (screening KAPTEN candidate), empowering (empowering KAPTEN), controlling (controlling client blood pressure and change of society’s lifestyle), teaching, and evaluating. The target from public service program was 5 people as KAPTEN and 25 people with hypertension as client at Semolowaru village RW 01, Surabaya. Result: after public service program along 3 month, there were increasing knowledge level for 2 and 3 score to 4 score in 1-4 (1= bad and 4= very good, at 4th controlling, there were 20 % client have blood pressure decreased, 56% client stable, and 24% client increased, society’s lifestyle also got change to healthy lifestyle up to 80%. Discussion: the conclusion was KAPTEN program have given positive impact, it’s main that this program is necessary to do in another RW in Semolowaru village. Monitoring the KAPTEN’s region will do by public health center that have work region in that village. Key words: KAPTEN, hypertension, preventive effort 11


____________________Berkala

PENDAHULUAN

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Hipertensi merupakan salah satu penyakit kronis dengan angka kematian 7 juta/tahun (CDC Health, 2007)1. Kurang pengetahuan tentang perilaku hidup sehat, diet tinggi garam, dan kegemukan semakin meningkatkan resiko hipertensi (JA Cutler et al, 2008)2. Hipertensi dapat dikontrol dengan perilaku hidup sehat dan pengukuran tekanan darah secara rutin. Akan tetapi, kurangnya jumlah petugas kesehatan menyebabkan banyak penderita hipertensi di masyarakat yang tidak terkontrol (Snedley, 2002)3. Partisipasi aktif masyarakat diperlukan dalam memaksimalkan upaya pencegahan komplikasi hipertensi (Kreiger et al, 1999)4. Kader kesehatan adalah tenaga sukarela yang dipilih oleh dan dari masyarakat, serta bertugas meningkatkan kesehatan masyakarat setempat (Zulkilfi, 2003)5. Kader dapat membantu petugas kesehatan dalam melakukan strategi pencegahan sekunder dengan meningkatkan pengetahuan, mengontrol tekanan darah, dan pemeriksaan tekanan darah sebagai upaya menurunkan resiko komplikasi pada penderita hipertensi (Browstein et al, 2005)6 Di dunia, hampir 1 milyar orang atau 1 dari 4 orang dewasa menderita tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi merupakan penyakit kronis serius yang bisa merusak organ tubuh. Setiap tahun darah tinggi menjadi penyebab 1 dari setiap 7 kematian (7 juta per tahun). Berdasarkan data WHO dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik (AND Medical, 2007)7. Hasil analisis menemukan prevalensi hipertensi di Indonesia pada tahun 2007 adalah 32,2%, dan prevalensi tertinggi ditemukan di Provinsi Kalimantan Selatan (39,6%), terendah di Papua Barat (20,1%). Cakupan tenaga kesehatan terhadap kasus hipertensi di masyarakat masih rendah, yaitu hanya 24,2% (Purnomo, 2009)8. Di Surabaya, menurut data di Puskesmas Menur, Surabaya penderita hipertensi sejak tahun 2010 mencapai 111 pasien baru. Sedangkan pasien lama yang datang untuk memeriksakan status hipertensinya sebanyak 2029 kunjungan pasien. Pemantauan tekanan darah secara rutin merupakan bagian penting dalam mencegah hipertensi (Purnomo, 2009)8. Dengan tekanan darah yang terkontrol, akan selalu ada usaha-usaha agar tekanan darahnya dalam rentang yang normal. Apabila hipertensi tidak terdeteksi secara dini, biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan lebih mahal. Hal ini akan membebani masyarakat dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah. Sebagai akibatnya, masyarakat akan menunda untuk memeriksakan kesehatannya. Jika hipertensi tidak terdeteksi, maka akan meningkatkan resiko 12

berbagai macam penyakit seperti stroke, serangan jantung, gagal jantung, dan penyakit ginjal (WHO, 2002)9. Pada dasarnya, hipertensi bisa dicegah dengan berbagai macam kegiatan seperti menurunkan berat badan bagi yang obesitas, mengurangi konsumsi garam, peningkatan aktivitas fisik/gerak badan, membatasi konsumsi alcohol, dan diet yang sehat (Obarzanek et al, 2001)10. Dengan pola hidup sehat, masyarakat bisa mencegah timbulnya hipertensi secara mandiri, murah, simple, dan efektif. Berangkat dari permasalahan kurangnya informasi atau pendidikan kesehatan tentang hipertensi untuk masyarakat serta dampak yang akan ditimbulkan jika hipertensi sudah berada pada tahap lanjut yaitu dipandang dari segi pembiayaan dan kesejahteraan hidup klien dan keluarga, kami menawarkan suatu program pelayanan kesehatan hipertensi yang bertolak pada upaya preventif bagi masyarakat yang kami sebut KAPTEN (Kader Anti Hipertensi). KAPTEN upaya pemberdayaan masyarakat setempat sebagai kader untuk mengontrol tekanan darah masyarakat yang telah menderita hipertensi. Program ini didesain agar mudah diakses masyarakat dan tanpa biaya. Bentuk upaya preventif tersebut berupa pendidikan kesehatan kepada masyarakat Surabaya dan pengontrolan tekanan darah secara rutin oleh para kader yang terlatih. Dari pendidikan kesehatan tersebut, diharapkan masyarakat menjadi peduli terhadap hipertensi dan mau melakukan pengontrolan tekanan darah secara teratur. Dengan adanya KAPTEN, diharapkan jumlah pasien hipertensi di Surabaya dapat ditekan sekecil mungkin dan menurunkan terjadinya komplikasi akibat hipertensi.

TUJUAN

Tujuan dari dilaksanakannya kegiatan pengabdian masyarakat ini adalah untuk pemberdayaan KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mengontrol tekanan darah secara rutin, menurunkan komplikasi hipertensi, serta merubah pola hidup masyarakat menuju pola hidup sehat yang pada akhirnya dapat membentuk masyarakat mandiri yang peduli bahaya hipertensi.

METODE

Kegiatan pengabdian masyarakat ini dilaksanakan di Kelurahan Semolowaru RW 01, Surabaya pada bulan Maret-Mei 2011 dalam rangka merealisasikan Program Kreatifitas Mahasiswa Pengabdian Masyarakat (PKMM) yang didanai DIKTI 2011. Sebelum melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat, persiapan yang dilakukan meliputi perijinan, survey

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Nurul Hikmatul Qowi-

lokasi, sosialisasi rencana pelaksanaan kegiatan, pendataan penderita hipertensi yang bersedia menjadi warga binaan, penyusunan jadwal, serta penyiapan sarana dan prasarana. Instrumen yang digunakan meliputi controlling card, lembar evaluasi, stetoskop, tensimeter, flipchart, leaflet, dan modul penyuluhan kesehatan tentang hipertensi dan dan pencegahannya. Metode pelaksanaan kegiatan pengabdian masyarakat ini meliputi screening, teaching, empowering, controlling, serta evaluating. Screening Screening ini merupakan pemilihan calon-calon KAPTEN (Kader Anti Hipertensi). Calon KAPTEN dipilih menggunakan beberapa persyaratan yaitu wanita / ibu-ibu, masyarakat asli daerah setempat, tidak sedang kerja di luar kota, bersedia mengikuti pelatihan dan mengaplikasikannya di program keberlanjutan, tidak ada rencana kegiatan lain ketika program berlangsung, dan melaksanakan program dengan sukarela. Berdasarkan hasil screening, akan dipilih 5 orang KAPTEN. Empowering Empowering berarti pemberdayaan KAPTEN sebelum mereka bertugas di masyarakat masyarakat secara langsung. KAPTEN diberikan modul dan pembekalan tentang materi hipertensi dan hal-hal penting yang harus disampaikan ketika melakukan penyuluhan kepada warga binaan. Controlling Controlling dilakukan 2x/bulan oleh mahasiswa dan bekerjasama dengan KAPTEN. Pada kegiatan ini, mahasiswa melakukan pengontrolan tekanan darah warga binaan KAPTEN. Sasaran controlling adalah 25 orang warga binaan KAPTEN. Kegiatan ini difasilitasi dengan controlling card, dimana masyarakat yang telah diukur tekanan darahnya akan diberi controlling card. Controlling card berisi nilai tekanan darah peserta di tiap kali pengontrolan untuk memudahkan monitoring perubahan tekanan darah. Teaching Kegiatan berupa penyuluhan kesehatan tentang hipertensi ke masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun kegiatan yang akan dilakukan adalah: Penyuluhan “Waspadai Hipertensi� Penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang hipertensi dan pentingnya upaya pencegahan. Penyuluhan dilakukan oleh 5 orang KAPTEN secara face to face kepada warga binaannya. Setiap 1 orang KAPTEN memiliki 5 orang warga binaan. Penyuluhan yang disampaikan terkait BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

bagaimana cara menurunkan dan mempertahankan tekanan darah dalam rentang normal serta merubah pola hidup yang menjauhi hipertensi. Leaflet Leaflet dibagikan kepada warga binaan oleh mahasiswa. Leaflet berisi pengertian, tanda dan gejala, faktor pencetus, pencegahan hipertensi, diet penderita hipertensi, serta pola hidup sehat. Evaluating Kegiatan ini dilakukan setiap selesai controlling. Dengan demikian, bisa ditentukan langkah selanjutnya yang harus dilakukan masyarakat untuk mempertahankan tekanan darah dalam batas normal. Evaluasi tahap akhir dilaksanakan bersamaan dengan penutupan kegiatan pengabdian masyarakat. Pada pentupan ini, KAPTEN diberikan alat pengukur tekanan darah digital dengan harapan kader dapat melanjutkan kegiatan controlling tekanan darah meskipun kegiatan pengabdian masyarakat telah berakhir.

HASIL & PEMBAHASAN

Setelah melaksanakan program KAPTEN selama tiga bulan dan mengadakan observasi selama kegiatan, pada kegiatan empowering didapat hasil perubahan tingkat pengetahuan KAPTEN tentang hipertensi dari skor 2 dan 3 menjadi 4 (Tabel 1). Pada kegiatan controlling, didapatkan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menurunkan dan mempertahankan tekanan darahnya agar tetap stabil. Controlling 1 sebagai acuan awal perubahan tekanan darah pada controlling berikutnya. Pada controlling 2, 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 52% warga binaan tekanan darahnya stabil, 28% warga binaan tekanan darahnya naik. Controlling 3, 32% warga binaan tekanan darahnya turun, 40% warga binaan tekanan darahnya stabil, 28% warga binaan tekanan darahnya naik. Pada controlling 4, 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 56% warga binaan tekanan darahnya stabil, 24% warga binaan tekanan darahnya naik (Gambar 1). Pada kegiatan controlling juga didapatkan perubahan pola hidup warga binaan yang mencapai 80% dari 25 orang warga binaan. Kader adalah warga masyarakat setempat yang dipilih dan ditinjau oleh masyarakat dan dapat bekerja secara sukarela. Kader kesehatan merupakan perwujudan peran serta aktif masyarakat dalam pelayanan terpadu (Zulkifli, 2003)5. Salah satu praktisi terbaik yang berperan dalam menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler adalah kader kesehatan (CDC, 1994)11. Kader merupakan intervensionis yang telah berhasil mengatasi beberapa penyakit kronik di 13


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

masyarakat, seperti hipertensi (Levine et al, 2003)12. Keberhasilan kader kesehatan ini dikarenakan kader merupakan bagian dari masyarakat yang berperan sebagai penghubung budaya, bahasa, dan beberapa perbedaan lain antara tenaga kesehatan dan masyarakat (Rosenthal, 2004)13. Dalam penyakit hipertensi, pengontrolan tekanan darah secara rutin dan perubahan pola hidup sangat diperlukan agar tekanan darah dalam rentang normal (Purnomo, 2009)8. Kader kesehatan yang spesifik mengatasi masalah hipertensi perlu dibentuk di Indonesia. Kader-kader ini berperan dalam mengontrol tekanan darah masyarakat. Dalam suatu penelitian yang membandingkan metode kunjungan rumah oleh kader kesehatan lebih intensif (6x kunjungan) dan kurang intensif (1x kunjungan) terhadap partisipasi dalam pelayanan kesehatan di komunitas pada pasien hipertensi yang tidak terkontrol. Pada pasien dengan kunjungan lebih intensif, jumlah masyarakat yang melakukan pengontrolan tekanan darah di pelayanan kesehatan dari 16%-36%.Sedang pada pasien dengan kunjungan kurang intensif, terjadi perubahan dari

dapat disimpulkan bahwa peran kader kesehatan sangat penting dalam meningkatkan motivasi masyarakat untuk mengontrol tekanan darah. Referensi yang lain menyebutkan bahwa diet DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) dan modifikasi pola hidup merupakan upaya yang paling efektif untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi (Sacks et al, 2001)14. Salah satu model pengembangan kader kesehatan yang telah berhasil dilaksanakan yaitu FQGHCs (Federally Qualified Community Health Centers) di Laredo, Texas, yang mana tempat pelayanan kesehatan berkolaborasi dengan kader kesehatan dalam pengelolaan dokumen evaluasi pasien (Garcia & Langer, 2004)15. Model pengembangan kader FQGHCs sangat mendukung untuk diaplikasikan pada pasien hipertensi yaitu berupa dokumentasi tekanan darah sebagai salah satu media untuk pengontrolan tekanan darah. Program pengabdian masyarakat KAPTEN dilaksanakan sebagai upaya preventif hipertensi, terutama secondary prevention. KAPTEN (Kader Anti Hipertensi) ini bertugas dalam pengontrolan tekanan Tabel 1. Hasil penilaian kualitatif pengetahuan darah dan mengupayakan perubahan pola hidup KAPTEN masyarakat. Berdasarkan pada perbandingan antara Penilaian Kualitatif persentase peningkatan tekanan darah dan penurunan Nama Kader & kestabilan tekanan darah warga binaan, didapatkan Pretest Postest 28%:72% pada controlling 2 dan controlling 3, serta Kader 1 2 4 24%:76% pada controlling 4. Dengan demikian, Kader 2 3 4 hasil terbaik selama 4 kali controlling didapatkan Kader 3 3 4 pada controlling 4. Kader 4 2 4 Dari controlling 1-4, jumlah masyarakat Kader 5 2 4 yang mengalami penurunan tekanan darah terus Keterangan penilaian kualitatif pada tabel: meningkat. Dengan kegiatan controlling, masyarakat dapat mengetahui tekanan darahnya dan melakukan Nilai 1 = kurang Nilai 3 = baik upaya pencegahan peningkatan tekanan darah. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa controlling atau Nilai 2 = cukup Nilai 4 = sangat baik pengukuran tekanan secara rutin sangat mempengaruhi perubahan hasil tekanan darah. Pemantauan perubahan pola hidup masyarakat oleh KAPTEN telah memberikan hasil yang memuaskan. Dari penilaian lembar evaluasi 25 warga binaan di 5 kader, terjadi 80% perubahan hidup masyarakat Gambar 1. Grafik perubahan tekanan darah warga menuju pola hidup yang menjauhi hipertensi. Beberapa alasan masyarakat yang menyebabkan mereka sulit binaan tiap controlling merubah pola hidup mereka yaitu karena kebiasaan individu itu sendiri seperti minum kopi, merokok, dan Keterangan: lain-lain, sehingga butuh waktu yang agak lama untuk Skor < 4: Tekanan darah normal merubah kebiasaan ini. Koping individu tidak efektif Skor 4 : Batas bawah nilai prehipertensi dalam menghadapi stress yang dapat menyebabkan Skor 6 : Batas bawah nilai hipertensi stadium 1 stress berkepanjangan juga merupakan salah satu Skor 8 : Batas bawah nilai hipertensi stadium 2 alasan sulitnya warga binaan untuk menurunkan dan mempertahankan tekanan darahnya dalam rentang 18%-34% (Levine et al, 2003)12. Dari penelitian ini, nilai normal. 14

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Nurul Hikmatul Qowicommunity based blood pressure measurement to clinical Perubahan tekanan darah dan pola hidup care: a randomized controlled trial of outreach and trackwarga binaan selama controlling merupakan hasil ing by community health workers. Am J Public Health dari hasil penyuluhan kesehatan yang dilakukan 1999;89:856-61. oleh 5 orang kader yang telah dilakukan pembekalan 5. Dzulkifli. 2003. Posyandu dan kader kesehatan. Diakses kader pada kegiatan empowering. Upaya peningkatan dari http://repository.usu.ac.id pada tanggal 25 Oktober pengetahuan KAPTEN merupakan first point 2011 untuk menjadikan masyarakat yang terhindar dari 6. J. Nell Brownstein, PhD, Lee R. Bone, RN, MPH, Cheryl R. Dennison, CRNP, PhD, Martha N. Hill, RN, PhD, hipertensi.

KESIMPULAN

Dari kegiatan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan di Kelurahan Semolowaru RW 01, Surabaya, dapat disimpulkan bahwa adanya KAPTEN dapat digunakan sebagai upaya untuk meminimalkan hipertensi melalui kegiatan controlling tekanan darah. Setelah pelaksanaan pengabdian masyarakat selama 3 bulan, diketahui tingkat pengetahuan KAPTEN mengalami peningkatan dari skor 2 dan 3 menjadi 4 dalam rentang 1-4 (1=kurang dan 4=sangat baik), pada controlling ke-4 di dapatkan 20% warga binaan tekanan darahnya turun, 56% warga binaan tekanan darahnya stabil, dan 24% warga binaan tekanan darahnya naik. Disamping itu terjadi perubahan pola hidup warga binaan menjadi lebih sehat yang mencapai 80%. Dari kegiatan pengabdian masyarakat yang telah dilaksanakan, program KAPTEN telah memberikan hasil yang sesuai harapan,sehingga perlu dilakukan pembinaan KAPTEN di RW lain Kelurahan Semolowaru. Pemantauan dari perluasan wilayah binaan KAPTEN akan dilakukan langsung oleh puskesmas yang mempunyai wilayah kerja di daerah tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control. 2007. Health, United States, 2007 with chart book on trends in the health of Americans, National Center for Health Statistics, Hyattsville, Md, USA. 2. J. A. Cutler, P. D. Sorlie, M. Wolz, T. Thom, L.E. Fields, and E. J. Rocella. 2008. ”Trends in hypertension prevalence, awareness, treatment, and control rates in United States adult between 1988-1994 and 1999-2004,” Hypertension, vol. 52, no. 5, pp. 818-827. 3. Snedley BD, Stith AY, Nelson AR, cds. 2002. Unequal treatment: confronting racial and ethnic disparitis in health care. Washington DC: Institute of Medicine, National Academies Press. Avaliable at: www.nap.edu/books/030908265X/ html. Accessed October 20, 2004.

7. 8. 9. 10.

11.

12.

13.

14.

Myong T. Kim, RN, PhD, David M. Levine, MD, ScD. 2005. Community health workers as intervensionist in the prevention and control of heart disease and stroke. Am J Prev Med 2005;29:581. AND Medical. 2007. Hipertensi dan penanganannya. Diakses dari www.ANDMedical.com/Hipertensi-dan-Penanganannya pada tanggal 25 Oktober 2011 Purnomo, Heru. 2009. Pencegahan dan pengobatan penyakit yang paling mematikan. Jakarta: Buana Pustaka. World Health Organization. 2002. World Health Report 2002; Reducing Risks, Promoting Healthy Life, World Health Organization, Geneva, Switzerland. E. Obarzanek, F. M. Sacks, W. M. Vollmer et al. 2001. ” Effects on blood lipids of a blood pressure-lowering diet: the dietary approaches to stop hypertension (DASH) trial,” The American Journal of Clinical Nutrition, Vol. 74, no. 1, pp. 80-89. Center for Disease Control and Prevention. 1994. Community Health Advisor: models, research, and practice: Selected Annotations-United States. Vol I. Atlanta GA: U.S. Departement of Human Services. Levine DM, Bone LR, Hill MN, et al. 2003. The effectiveness of a community academic health center partnership decrease the level of blood pressure in an urban AfricanAmerican population. Ethn Dis 2003;13:354-61. Rosenthal EL, Wiggins N, Brownstein JN, et al. 1998. Report of the national community health advisor study: weaning the future. Turson: University of Arizona Press. Available at: www.accf.org. accessed October 20, 2004. F. M. Sacks, L. P. Svetkey, W. M. Vollmer et al. 2001. Effects on blood pressureof reduced dietary sodium and the dietary approaches to stop hypertension (DASH) diet. DASH-sodium collaborative researchgroup,” The New England Journal of Medicine, Vol. 344, no. 1,

pp.3-10. 15. Garcia L, Rangel L. 2004. Improving diabetes self:management: Gateway Community Health Center. Paper presented at Unity 2004, Gulfport MS, March 24-26.

4. Kreiger J, Collier G, Song L, Martin D. 1999. Linking

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

15


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL MAHASISWA X (JOGJA) PADA PELAKSANAAN KEGIATAN INTERPROFESSIONAL EDUCATION Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran UGM, 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran UGM Jl. Farmako, Sekip Utara, Yogyakarta, (0274) 545674, cahyani.budi.lestari@gmail.com 1

ABSTRAK Latar Belakang : Kolaborasi antar profesi kesehatan merupakan cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien. Kemampuan komunikasi sangat penting pada aspek kolaborasi. Interprofessional Education (IPE) merupakan metode pembelajaran yang memungkinkan mahasiswa belajar berkolaborasi dengan mahasiswa dari profesi kesehatan. IPE di FK UGM belum diterapkan, sehingga melalui kegiatan IPE ini dapat mengembangkan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa yang nantinya akan menjadi bekal mereka pada proses pembelajaran di tahap akademik maupun klinik. Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM sebelum dan setelah kegiatan IPE. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, dengan rancangan penelitiannya cross sectional. Sampel penelitian 44 mahasiswa FK UGM yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan pengambilan sampel menggunakan teknik proportional random sampling. Pengambilan data menggunakan kuesioner Interpersonal Communication Inventory (ICI). Uji komparatif nilai pre dan post menggunakan uji t berpasangan untuk data berdistribusi normal, sedangkan yang tidak normal menggunakan wilcoxon. Hasil : Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM sebelum kegiatan IPE mayoritas sedang (61,4%) dan setelah kegiatan IPE sebesar 63,6% pada mayoritas tinggi. Terdapat perbedaan antara komunikasi interpersonal yang signifikan antara sebelum dan setelah kegiatan IPE (p=0,000). Kesimpulan : Terdapat peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK X setelah pelaksanaan kegiatan IPE. Kata Kunci : interpersonal communication, interprofessional education, mahasiswa tahap akademik ABSTRACT Background: Collaboration among health professions is a way to improve the quality of health care service. Communication skills are very important in the aspect of collaboration. Interprofessional Education (IPE) is a method of learning that enables students to learn how to collaborate with other health care professional. IPE in the Faculty of Medicine GMU has not been implemented yet, so that through in IPE activity can develop interpersonal communication skills of students. Objective: To determine interpersonal communication ability of the students before and after IPE activities in Faculty of Medicine,UGM Method: This study is a quantitative research. The samples of this study are 44 students Faculty of Medicine. Sampling method used proportional random sampling. The data collected by using Interpersonal Communication Inventory (ICI). Comparative test of the pre and post test using a paired t-test for normally distributed data and Wilcoxon test for non-normally distributed data. Result: Interpersonal communication ability of the students before the IPE activities mostly belonged to medium (61,4%) and the after of IPE activities mostly belonged to high (63,6%). There are significant differences interpersonal communication ability before and after the IPE activities (p = 0.000). Conclusion: IPE activities increase the interpersonal communication ability in academic students of Faculty of Medicine, GMU. Keywords: interpersonal communication inventory, interprofessional education, academic student 16

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto2-

PENDAHULUAN

Komunikasi merupakan elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan, dan meningkatkan kontak dengan seseorang yang lain. Sebagai seorang tenaga kesehatan komunikasi interpersonal antar profesi kesehatan merupakan aspek penting untuk diperhatikan1. Tenaga kesehatan dalam menjamin keselamatan, keefektifan pelayanan, serta pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien dapat terus meningkat apabila dilakukan secara kolaborasi dan komunikasi antar profesi kesehatan2. Kolaborasi yang baik antar profesi kesehatan sangat penting, dalam mewujudkannya diperlukan adanya suatu pembelajaran yang terintegrasi antar profesi kesehatan. WHO memberikan suatu metode yang sangat mendukung kolaborasi yaitu dengan mengadakan pendidikan interprofesional atau Interprofessional Education (IPE). IPE merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi kesehatan belajar tentang, dari, dan dengan satu sama lain sebagai bekal untuk berkolaborasi dalam upaya memberikan pelayanan yang berkualitas3. Salah satu kompetensi IPE tersebut adalah kemampuan dalam berkomunikasi. Komunikasi merupakan suatu kunci efektif dan juga poin penting3. Komunikasi interpersonal dan saling bertukar pendapat dalam pemecahan masalah juga sangat berkontribusi dalam menurunkan error atau morbiditas pasien. Memiliki kemampuan dan menguasai teknik berkomunikasi diperlukan untuk meningkatkan fungsi dari sebuah tim dalam menghadapi masalah yang dapat mengganggu serta dapat lebih memahami bagaimana cara menilai kemampuan masing-masing anggota4. Fenomena yang ada sekarang menunjukan bahwa komunikasi masih menjadi masalah bagi interprofessional. Penelitian terhadap mahasiswa pengurus organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa FK UGM yang didalamnya terdapat kerjasama antara ketiga profesi, yaitu pendidikan dokter, ilmu keperawatan dan gizi kesehatan, mendapatkan hasil bahwa kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa mayoritas sedang (70 dari 163 responden)5. Sistem pembelajaran IPE lebih efektif jika disampaikan pada tahap akademik yaitu saat mahasiswa belum sepenuhnya terjun ke profesi mereka masingmasing6. Penelitian lain menyebutkan bahwa seorang mahasiswa akan lebih aktif dalam berkomunikasi antar profesi, karena mereka masih dalam area konsep belum berhadapan dengan realita7. BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

Tinjauan pustaka ttg IPE di bab dua ditambahkan di pendahuluan dan bagaimana arah IPE menuju komunikasi Melihat uraian fenomena di atas, membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM tahap akademik sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan IPE. Mahasiswa tahap akademik yang akan di teliti adalah mahasiswa tahun pertama yaitu angkatan 2011 yang mengikuti pelaksanaan kegiatan IPE. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian noneksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional dan pendekatan kuantitatif. Penelitian yang dilaksanakan pada September 2011 ini diikuti oleh 44 mahasiswa tahun pertama dari tiga program studi FK UGM angkatan 2011/2012 (PSIK, PSPD, dan PSGK) dengan menggunakan proporsional sampling yaitu 26 mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD), 8 mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK), serta 10 orang dari Program Studi Gizi Kesehatan (PSGK). Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner Interpersonal Communication Inventory (ICI). Pada analisis data univariat, data dikategorikan berdasarkan jumlah skornya rendah jika skor 53-74, sedang jika skor 75-89, dan tinggi jika skor 90-114. Sedangkan, pada analisis bivariat terdiri dari uji komparatif menggunakan uji t test untuk data yang berdistribusi normal dan uji wilcoxon untuk data yang berdistribusi tidak normal.

HASIL 1. Tingkat kemampuan komunikasi interpersonal pada mahasiswa Kemampuan komunikasi interpersonal dikategorikan menjadi kategori tinggi, sedang, dan rendah. Hasil penelitian mengenai kemampuan komunikasi interpersonal yang dimiliki mahasiswa dapat dilihat pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Distribusi Frekuensi Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal Pre dan Post Pelaksanaan Kegiatan IPE pada Mahasiswa FK UGM (n=44)

No Kategori 1

Tinggi

Pretest f (%) 14 31,8

Posttest f (%) 28 63,6

2

Sedang

27

61,4

15

34,1

3

Rendah

3

6,8

1

2,3

Sumber: Data primer, 2012

17


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Berdasarkan tabel 1, sebelum dilakukan kegiatan IPE mayoritas tingkat kemampuan komunikasi interpersonal responden berada pada kategori sedang (61,4%), setelah diberikan Kegiatan IPE jumlah mahasiswa dalam kategori tinggi mengalami peningkatan 2 kali lipat, sehingga meningkat menjadi 63,6% dengan jumlah 28 dari 44 orang. Begitu juga dengan kategori sedang dan rendah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal Mahasiswa FK UGM Pre dan Post Pelaksanaan Kegiatan IPE Pada Tiap Program Studi (n=44) PSPD Pre

Kategori

PSIK Post

Pre

PSGK Post

Pre

Post

f

%

f

%

f

%

f

%

f

%

f

%

Tinggi

7

26,9

14

53

3

37,5

7

87,5

5

50

7

70

Sedang

17

65,3

11

42

5

62,5

1

12,5

4

40

3

30

Rendah

2

7,8

1

3

0

0

0

0

1

10

0

0

Sumber : Data primer, 2012

Berdasarkan isi tabel 2, jumlah mahasiswa pada masing-masing program studi setelah diberikan kegiatan IPE mayoritas mahasiswa mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel diatas bahwa kategori tinggi pada semua prodi mengalami peningkatan, sedangkan pada kategori rendah dan sedang mengalami penurunan jumlah responden. 1. Perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa pada ketiga prodi di FK UGM a. Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa sebelum pelaksanaan kegiatan IPE Uji komparatif One Way Anova bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan komunikasi interpersonal dari ketiga prodi sebelum kegiatan IPE. Hasil uji komparatif disajikan pada tabel 3 berikut: Tabel 3. Hasil Uji Komparatif Kemampuan Komunikasi Interpersonal Antara Mahasiswa PSPD, PSIK, PSGK Sebelum Pelaksanaan Kegiatan IPE (n=44) No

1

Variabel

Kemampuan Komunikasi Interpersonal

PSPD Mean

PSIK Mean

PSGK Mean

(SD)

(SD)

(SD)

85,19

86,88

90,30

(8,551)

(9,448)

(8,908)

p

0,305

Dari tabel 3 diketahui bahwa nilai p adalah 0,305 (p>0,05), sehingga dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal antar program studi yaitu PSPD, PSIK, dan PSGK sebelum kegiatan IPE. b. Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa setelah pelaksanaan kegiatan IPE Kemampuan komunikasi interpersonal berdasarkan program studi setelah pelaksanaan kegiatan IPE dilakukan uji komparatif menggunakan one way anova. Hasil uji komparatif disajikan pada tabel 4 berikut: 18

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto2-

Tabel 4. Hasil Uji Komparatif Kemampuan Komunikasi Interpersonal Antara Mahasiswa PSPD, PSIK, PSGK FK UGM Setelah Pelaksanaan Kegiatan IPE (n=44)

No

Variabel

PSPD Mean

PSIK Mean

PSGK Mean

(SD)

(SD)

(SD)

98,12

93,70

Kemampuan 1

93,19

Komunikasi Interpersonal

p

0,399 (10,450)

(7,376)

(4,855)

Berdasarkan tabel 4, variabel kemampuan komunikasi interpersonal setelah diberikan kegiatan IPE memiliki nilai p = 0,399 (p> 0,05). Hasil tersebut dapat diinterpretasikan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara program studi. Tabel 4 memaparkan tidak adanya perbedaan di ketiga program studi, sedangkan hasil tabel 5 memperlihatkan adanya perbedaan tingkat kemampuan komunikasi interpersonal antara responden berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Tabel 5. Uji Komparatif Tingkat Kemampuan Komunikasi Interpersonal Berdasarkan Karakteristik Responden Setelah Pelaksanaan Kegiatan IPE (n=44)

Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Usia 17 tahun 18 tahun 19 tahun

f

Mean

SD

p

10 34

87,70 96,12

7,424 8,584

0,008

4 33 7

89,75 94,39 95,86

6,551 9,604 7,010

0,588

Berdasarkan hasil uji komparatif jenis kelamin responden dengan menggunakan uji t tidak berpasangan menunjukkan bahwa p=0,008 atau p<0,05 yang berarti bahwa ada perbedaan antara jenis kelamin dengan kemampuan komunikasi interpersonal antara laki-laki dan perempuan, dimana rerata nilai perempuan (96,12) lebih tinggi secara bermakna daripada mahasiswa laki-laki (87,70). Berdasarkan tabel diatas juga dapat dilihat bahwa hasil uji komparatif pada usia dengan menggunakan uji One Way Anova didapatkan p=0,588 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan antara usia responden dengan kemampuan komunikasi interpersonal. 1. Perbedaan tingkat kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa sebelum dan setelah kegiatan pelaksanaan IPE di FK UGM Tabel 7. Hasil Uji Komparatif Kemampuan Komunikasi Interpersonal Mahasiswa FK UGM berdasarkan Pretest-Posttest (n=44) b

MEAN No

1

Variabel

kemampuan Komunikasi Interpersonal

pa

(SD) Pre 86,43

CI (95%)

Post 94,07

(-10,822) s.d 0,000

c*

(8,806)

a

(9,252)

(-4,451)

hypothesis:terdapat perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan IPE (p<0,05). b instrument: Interpersonal Communication Inventory (ICI) 53-114. c paired t-test.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

19


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Berdasarkan tabel 7, dapat diketahui bahwa nilai p = 0,000. Hasil tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai pre dan post pelaksanaan kegiatan IPE. Perbedaan juga ditunjukkan antara rerata skor kemampuan komunikasi interpersonal antara sebelum dan setelah pelaksanaan kegiatan IPE, dimana rerata nilai sebelum kegiatan IPE (86,43) lebih rendah dibandingkan dengan nilai posttest-nya (94,07). Hal tersebut menunjukan bahwa terjadi peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal setelah kegiatan IPE. Jika dilihat juga dari nilai CI, diketahui CI menunjukkan rentan nilai yang sempit dan tidak melewati angka nol yaitu (-10,822) s.d (- 4,451), sehingga dapat disimpulkan hasil yang diperoleh mempunyai tingkat akurasi yang baik.

PEMBAHASAN

1. Tingkat kemampuan komunikasi interpersonal pada mahasiswa Hasil yang didapatkan sebelum kegiatan IPE yaitu mayoritas program studi berada pada kategori kemampuan komunikasi interpersonal sedang. Hal itu disebabkan karena mahasiswa belum mendapatkan materi mengenai komunikasi interpersonal, baik sesama profesi, antar profesi maupun dengan klien. Dari hasil penelitian Setyawati menyatakan bahwa kategori komunikasi antara dokter dan perawat di RSJ Prof.dr.Soeroyo pada kategori komunikasi antarpersonal yang sedang. Dimana sebagian besar perawat dan dokter masih merasakan banyak hambatan dalam melakukan komunikasi, hal tersebut akhirnya berdampak pada kolaborasi dan hubungan yang kurang baik8. Walaupun mereka belum mendapatkan mata kuliah komunikasi, akan tetapi prodi PSGK memiliki tingkat kemampuan komunikasi interpersonal kategori tinggi dengan jumlah paling banyak diantara ketiga prodi yaitu sebesar 50%. Keefektifan komunikasi interpersonal dipengaruhi juga oleh persepsi, nilai, dan emosi. Ketiga faktor tersebut bersifat subyektif, yang dapat mengontrolnya adalah diri sendiri1. Penelitian setelah diberikan intervensi kegiatan IPE didapatkan hasil bahwa ketiga program studi berada pada kategori kemampuan komunikasi interpersonal tinggi. Hal ini dikarenakan mahasiswa sudah dikenalkan serta mempraktekan langsung komunikasi interpersonal dengan 20

sesama mahasiswa dan di evaluasi oleh dosen pendamping. PSIK memiliki tingkat kemampuan komunikasi interpersonal kategori tinggi dengan jumlah paling banyak diantara ketiga prodi yaitu sebesar 87,5%. Hal tersebut dikarenakan, pertemuan perawat dengan pasien lebih sering dibandingkan tenaga kesehatan lain. Selain itu perawat mempunyai peran sebagai penghubung antara pasien dan pemberi pelayanan kesehatan termasuk dokter dan ahli gizi. Sehingga disini perawat bertugas mengkomunikasikan dengan baik kepada anggota timmya atau tim kesehatan yang lain. Kemampuan komunikasi interpersonal setelah kegiatan IPE mengalami peningkatan 2 kali lipat pada kategori tinggi dan mengalami penurunan pada kategori sedang dan rendah. Kemampuan komunikasi interpersonal yang baik antar profesi nantinya bisa mengurangi kesalahpahaman dan error pada tahap profesi. Sejalan dengan hal tersebut penelitian lain menyatakan bahwa pembelajaran mengenai komunikasi interprofesi serta kerjasama melalui IPE bermanfaat bagi mahasiswa terutama jika diperkenalkan sejak awal perkuliahan dan terus berlanjut sepanjang mereka kuliah9. Keterampilan dalam bekerja sama dan berkomunikasi antar profesi kesehatan dapat mengurangi kesalahan serta meningkatkan patient safety, hal itu dapat dilakukan melalui suatu pelatihan simulasi10. 2. Perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa diantara ketiga prodi di FK UGM a. Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa sebelum pelaksanaan kegiatan IPE Uji komparatif terhadap kemampuan komunikasi interpersonal antar mahasiswa dari PSPD, PSIK, dan PSGK mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan komunikasi interpersonal antar program studi, dikarenakan pada masing-masing prodi belum mendapatkan materi perkuliahan apapun, khususnya mengenai komunikasi interpersonal. Hal ini sesuai dengan teori Potter dan Perry yang menyatakan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal juga dipengaruhi oleh pengetahuan, yaitu mahasiswa angkatan 2011 belum terpapar akan pengetahuan komunikasi antar personal1. Kemampuan komunikasi dipengaruhi juga keseragaman

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Cahyani Budi Lestari1 (koresponden), Martina Sinta Kristanti2, Totok Harjanto2-

atau kesamaan di dalam suatu lingkungan interaksi15. Kesamaan yang kurang baik juga akan mempengaruhi keefektifan komunikasi seseorang, yaitu kesamaan belum mendapatkan pengetahuan mengenai komunikasi. b. Kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa setelah pelaksanaan kegiatan IPE

berpengalaman. Hal tersebut berdampak pula pada penerapan komunikasi antar personal semakin baik pula dan semakin luas17. Uji t tidak berpasangan juga digunakan untuk menguji beda karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara jenis kelamin dengan kemampuan interpersonal antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan bahwa kemampuan komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin, hal tersebut dikarenakan gaya komunikasi pada perempuan biasanya menggunakan bahasa untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan menguatkan keintiman dengan orang lain. Sedangkan, pada laki-laki menggunakan bahasa untuk menetapkan kebebasan, bernegosiasi dan untuk mendapatkan kemandirian1. Penelitian lain yang mendukung yaitu hasil uji komparatif antara jenis kelamin dan tingkat kemampuan komunikasi interpersonal responden Mahasiswa BEM FK UGM menunjukkan bahwa nilai p=0,04, hal tersebut menandakkan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan5.

Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok PSPD, PSIK, dan PSGK. Hal tersebut disebabkan responden mendapatkan intervensi yang sama, tidak ada perbedaan pada masing-masing program studi. Intervensi juga dilakukan pada satu ruangan yang sama, kecuali kegiatan tutorial pada kelompok kecil. Walaupun dalam kelompok kecil, setiap kelompok mendapatkan perlakuan yang sama dan dalam satu kelompok juga terdapat mahasiswa dari berbagai program studi. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Nirmalasari yang menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan pada variabel kemampuan komunikasi interpersonal, dikarenakan mereka telah mendapat mata kuliah komunikasi dan kolaborasi pada masing-masing program studi, baik pendidikan dokter, ilmu keperawatan, dan gizi kesehatan5. Kesetaraan juga mem3. Perbedaan tingkat kemampuan komunikasi interpengaruhi efektifitas komunikasi interpersonal personal mahasiswa sebelum dan setelah pelaksaseseorang yaitu kesamaan sebagai mahasiswa naan kegiatan IPE di FK UGM dan kesamaan mendapatkan kegiatan IPE. Pada pengolahan data kemampuan komuHasil yang didapatkan bahwa tidak ada nikasi interpersonal mahasiswa sebelum dan perbedaan antara usia responden dengan tingsetelah diberikan kegiatan IPE, didapatkan hasil kat kemampuan komunikasi interpersonalnya. bahwa terdapat perbedaan tingkat kemampuan Hal tersebut dikarenakan usia responden tidak komunikasi interpersonal pada responden. Hal mempunyai perbedaan rentan yang berarti, tersebut juga dikuatkan oleh uji beda antar yaitu usia 17, 18, dan 19 tahun. Sebagaimana program studi, bahwa terdapat perbedaan pada dijelaskan dalam penelitian yang dilakukan nilai pretest-posttest PSPD, PSIK, dan PSGK. oleh Nirmalasari pada mahasiswa FK UGM, Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan menyebutkan bahwa dengan menggunakan antara usia responden terhadap kemampuan metode pemecahan kasus dengan tutorial dapat komunikasi interpersonalnya. Responden memperkenalkan mahasiswa keperawatan dan pada penelitian tersebut adalah mahasiswa FK kedokteran mengenai prinsip serta keterampiUGM angkatan 2008 dan 2009, yang artinya lan komunikasi antar profesi19. Hal tersebut usia mereka tidak terpaut jauh satu sama lain5. juga meningkatkan pemahaman mereka bahwa Hasil tersebut tidak sesuai dengan pernykomunikasi itu penting dalam praktik klinik. ataan bahwa tingkatan usia pada seseorang Didukung oleh penelitian lain menyarankan menunjukkan tingkat perkembangan dan tingbahwa komunikasi interpersonal diajarkan kat kematangan serta banyaknya pengalaman kepada mahasiswa sejak awal perkuliahan dan kehidupan yang dialami. Semakin tua usia sedilakukan bersama-sama dengan profesi kesehaseorang maka semakin bertanggung jawab dan BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

21


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

tion in the pre-registration curricula: mission impossible?. tan yang lain16. Pertemuan mereka sejak awal Nurse Education in Practic; 2003; 4: p.45-52. http://www. memberikan kesempatan mahasiswa bertemu elsevierhealth.com/journals/nepr. untuk berdiskusi, sehingga tidak terdapat alasan 7. Carpenter J., Hewstone M. 1995. Shared Learning for docbahwa komunikasi adalah penghambat dalam tor and Social Workers :Evaluationof a Programme [cited berkolaborasi. Hal tersebut dikarenakan mereka 2009 may 17]. Available from: URL: HTTP://www.bjsw. oxfordjournal.org. telah membangun ikatan bersama sejak awal, 8. Setyawati, A. Gambaran Komunikasi Dokter dan Perawat sehingga bisa menjadi bekal saat mereka dituntut Sebagai Salah Satu Aspek Kolaborasi di Rumah Sakit Jiwa untuk saling bekerja sama21. Prof. Dr. Soeroyo Magelang. Skripsi; Fakultas Kedokteran

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa FK UGM setelah pelaksanaan kegiatan IPE dan tidak terdapat perbedaan antara ketiga prodi (PSIK, PSPD, PSGK) baik sebelum maupun sesudah pelaksanaan kegiatan IPE. Kemampuan komunikasi mahasiswa sebelum pelaksanaan kegiatan IPE sebagian besar berada dalam kategori sedang, tetapi setelah kegiatan IPE sebagian besar berada dalam kategori tinggi.

SARAN

Bagi institusi pendidikan yang terdapat program studi kesehatan, diharapkan untuk lebih memfasilitasi mahasiswanya di tahap akademik dalam berkolaborasi dengan profesi kesehatan lain, misalnya dengan diberikan kegiatan IPE pada awal perkuliahan, sehingga dapat menjadi bekal dalam proses pembelajaran selanjutnya. Serta perlunya penelitian lanjut dengan menggali lebih dalam kemampuan komunikasi interpersonal mahasiswa.

DAFTAR PUSTAKA 1. Potter, P. A. , & Perry, A. G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan (vol. 1). Jakarta: EGC, 2005. 2. Oandasan, I., D’Amour, D., Zwarenstein, M., Barker, K., Purden, M., Beaulieu, M., et al. Research and Findings Report of the Interdisciplinary Education For Collaborative, Patient-Centred Practice. Canada, New York. 2004. 3. Chan, E.A., Chi. S.P.M., Ching. S., Lam.S.KS. Education and Professional Development. Interprofessional education: the interface of nursing and social work. Hongkong. 2009. 4. Dougherty, M. B., Larson, E. A Review of Instruments Measuring Nurse-Physician Collaboration. Journal of Nursing Administration;2005;35; p.244-153. Available from : http://bmhlibrary.info/244.pdf. 5. Nirmalasari, E. Hubungan Kemampuan Komunikasi Interpersonal dengan Kesiapan Terhadap Interprofessional Education pada Mahasiswa Pengurus Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa di FK UGM. Skripsi;Fakultas Kedokteran UGM;2011. 6. Glen, S., Revees, S. Developing interprofessional educa22

UGM; 2006. 9. Hind, M., Norman, L., Cooper, S., Gill, R.S., Judd, P., Jones, S.C. Interprofessional Perception of Health Care Students. Journal of Interprofessional Care, 17(1); 2003. 10. Zhang, C., Thomson, S., Miller, C. A Review of Simulation-Based Interprofessional Education. Clinical Simulation In Nursing;2010; 10:1:1e-10e. Available from: www. elsevier.com/locate/ecsn. 11. Rakhmat, J. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya; 2009. 12. Supratiknya,A. Tinjauan Psikologis Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius; 1995. 13. Ahyammudin. Gambaran strategi perawat dalam berkolaborasi dengan dokter di ruang rawat inap RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Skripsi S1 Keperawatan Fakultas Kedokteran; 2004. 14. Mitchell, M., Groves, M., Mitchell, C., Batkin, J. (2010). Innovation in learning An inter-professional approach to improving communication. Nurse Education in Practice, 2010;10:p.379-384. Available from : http://www.elsevier. com/nepr. 15. Salamonson, Y., Everett, B., Koch, J., Wilson, I., Davidson, P. M. Learning strategies of first year nursing and medical students: A comparative study. International Journal of Nursing Studies; 2009; 7:p.1541–1547. Available from : www.elsevier.com/ijns. 16. Cooper, H., Dawe E, S., Mclean, E. (2005). Beginning the Process of Teamwork: Design, Implementation and Evaluation of an Inter-Professional Education Intervention for First Year Undergraduate Students. Journal of Interprofessional Care; 2005; 19:p.492-508. Available from : http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16308172.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

KEJADIAN FLEBITIS DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MAJALAYA Deya Prastika¹ F. Sri Susilaningsih¹ Afif Amir A.¹ ¹ Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat

ABSTRAK

Flebitis adalah inflamasi vena yang disebabkan oleh iritas kimia, mekanik ataupun bakteri. Angka kejadian flebitis di ruang perawatan RSUD Majalaya tahun 2009- 2011 lebih tinggi dari angka rata- rata nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor risiko penyebab dengan kejadian flebitis pada pasien dewasa. Penelitian menggunakan metode deskriftif korelasional pada pasien yang mendapatkan terapi infus dengan simple random sampling dan didapatkan 90 sampel. Hasil penelitian menunjukan faktor tindakan pemasangan infus, status gizi dan usia pasien mempunyai hubungan bermakna dengan kejadian flebitis. Dari hasil tersebut maka prosedur tindakan pemasangan infus harus dilaksanakan sesuai SOP dan pemantauan pada pasien kelompok khusus. Kata kunci : Flebitis, Infeksi nosokomial, Faktor risiko

ABSTRACT

Phlebitis is inflammation of veins caused by either chemical, mechanical, or bacteria irritation. The febitis incidence in the treatment room Majalaya Hospital in 2009 - 2011 higher than the national average. This study aims to determine the relationship of risk factors associated with the incidence of phlebitis to phlebitis in adult patients The study used a descriptive correlational method in patients receiving intravenous therapy with simple random sampling and obtained 90 samples. The results showed the factor infusion action, nutritional status and age of the patients had a meaningful relationship with the incidence of phlebitis. From the results it can be argued that the infusion presedur measures must be implemented according to SOP and monitored in patients receiving intravenous therap to especially gorup of patients. Keywords: phlebitis, nosocomial infection, risk factor BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

PENDAHULUAN

Sampai saat ini infeksi nosokomial masih merupakan masalah serius yang dihadapi oleh rumah sakit diseluruh dunia terutama negara berkembang dan dijadikan penilaian terhadap tolak ukur pelayanan rumah sakit (Kepmenkes No.129 tahun 2008). Salah satu bentuk infeksi nosokomial yang sering muncul di Rumah Sakit adalah flebitis. Flebitis adalah peradangan pada dinding vena akibat terapi cairan intravena, yang ditandai dengan nyeri, kemerahan, teraba lunak, pembengkakan, dan hangat pada lokasi penusukan (Terry, 1995) Penelitian tentang flebitis di Indonesia menunjukan angka 27,19% kasus flebitis paska pemasangan infus di RSUD Sardjito Yogyakarta dan 18,8% di RSUD Purworejo (Pasaribu, 2006) Faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya flebitis menurut (Smeltzer, 2001) adalah: faktor kimia seperti jenis cairan dan obat yang digunakan, kecepatan alian infus serta bahan kateter. Faktor mekanik, yaitu terjadi ketika vena telah dibuat trauma oleh kontak fisik. Trauma fisik tersebut dapat disebabkan akibat ukuran kateter dan lokasi penusukan yang tidak sesuai. Faktor bakterial, biasanya berhubungan dengan adanya kolonisasi bakteri. Selain ketiga faktor di atas, dalam penelitian (Maki and Ringer, 1991) mengemukakan bahwa faktor lain seperti usia, satus gizi, penyakit yang mendasari dan jenis kelamin berpengaruh terhadap kejadian flebitis. Usia dan status gizi juga berpengaruh, hal ini dikarenakan pertahanan tubuh seseorang terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia (Perry and Potter, 2005). Begitupun pada seseorang yang mengalami kekurangan gizi. Asupan gizi yang kurang berakibat terhadap sistem imun nonspesifik dan spesifik (Darmadi, 2008). Data menunjukan bahwa angka kejadian flebitis di RSUD Majalaya pada periode 2009 – 2011 tetap berada di atas rata- rata nasional, dimana angka 23


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

standar yang menjadi acuan adalah >1,5 (Kepmenkes 129 tahun 2008). Pada ruangan Cempaka terjadi 2.0% kejadian flebitis pada periode tahun 2011 dan terjadi kenaikan yaitu 2.31% kejadian flebitis pada tahun 2009 menjadi 4.4% pada tahun 2010. Di ruang Flamboyan menunjukan angka rata – rata pertahun adalah 0.7% kejadian flebitis pada periode 2011, walaupun angka ini di bawah standar tetapi peningkatan terjadi pada periode bulannya. Dan pada ruang Melati menunjukan angka 1.5% kejadian flebitis pada periode tahun 2011. Berdasarkan hasil pengamatan awal terhadap 5 orang perawat yang melakukan pemasangan kateter intravena di ruang IGD, menunjukan bahwa teknik pemasangan infus tidak sesuai dengan SOP, misalnya tidak menggunakan sarung tangan pada saat tindakan dan tidak melakukan disinfeksi area insersi. Sepeti yang dijelaskan pada (Maki and Ringer, 1991) bahwa kateter yang diinsersikan di ruang emergensi atau di ruang operasi, dimana akses terpasang dengan cepat sering dibutuhkan, lebih sering menyebabkan flebitis daripada kateter yang diinsersikan di ruang rawat inap. Berangkat dari fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Hubungan Faktor - Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Flebitis Dengan Kejadian Flebitis Pada Pasien Dewasa Di Ruang Perawatan Di RSUD Majalaya”

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskritif korelasional, untuk mencari dicari bagaimana hubungan faktor - faktor risiko penyebab terjadinya flebitis dengan kejadian di Ruang Perawatan RSUD Majalaya. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang dilakukan prosedur tindakan pemasangan infus di IGD RSUD Majalaya. Dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan jumlah sampel pada penelitian ini adalah 90 orang, dengan teknik simple random sampling. Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah faktor – faktor risiko penyebab flebitis, antara lain : Faktor teknik pemasangan, Faktor usia, Faktor obat – obatan, Faktor jenis cairan dan Faktor status gizi. Sementara itu, Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian flebitis di Ruang Cempaka, Flamboyan, dan Melati. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pedoman pengamatan/format observasi pemasangan infus sesuai SOP pemasangan infus RSUD Majalaya No.03.05.01.033, lembar 24

check list untuk variabel faktor usia, jenis cairan dan status gizi. Untuk variabel kejadian flebitis digunakan lembar observasi kejadian flebitis berdasarkan tanda – tanda kejadian flebitis. Pengumpulan data diawali dengan informed consent. Kemudian peneliti melakukan observasi pada saat pasien dilakukan tindakan pemasangan infus. Pada saat pasien dirawat peneliti melakukan observasi kejadian flebitis pada pasien dan mencatan rekam medis pasien untuk data yang dibutuhkan. Analisa hasil penelitian melalui dua analisa, yaitu analisa univariat menggunakan rumus presentase. Analisa bivariat menggunakan uji Chi-square dan Coefficient Contngenci. Pengumpulan data dilakukan di RSUD Majalaya pada tanggal 20 april sampai dengan 20 mei 2012. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Tabel Silang Faktor Tindakan Pemasangan Infus Dengan Kejadian Flebitis Faktor Risiko

Kategori

Tindakan pemasangan infus Usia Pasien Jenis cairan Status Gizi Kejadian Flebitis Total

Jumlah n

%

Berisiko

75

83,3

Tidak Berisiko

15

16,7

≥ 65 Tahun

24

26,7

<65 Tahun

66

73,3

Hipertonis

1

1,1

Isotonis

89

98,9

Kurang

45

50

Baik

45

50

Ya

29

32,2

Tidak

61

67,8

90

100

Dari 90 responden hasil perhitungan sampel adalah pasien yang dilakukan tindakan pemasangan infus di IGD dan kemudian dirawat sampai pada akhir observasi, yaitu tiga hari. Gambaran umum responden berdasarkan jenis kelamin, laki – laki berjumlah 40% dan 47,22% diantaranya mengalami flebitis. Sedangkan responden perempuan yang mengalami flebitis sebesar 22,22% dari 60% responden. Berdasarkan jenis penyakit, jumlah responden paling banyak mengalami flebitis masuk pada klasifikasi sistem respirasi yaitu sebesar 44% dari 27,78% pasien jenis penyakit sistem respirasi. Dari tabel 1 di atas dapat diketahui distribusi frekuensi faktor risiko, antara lain, berdasarkan tindakan pemasangan infus terdapat 83,3% tindakan berisiko sedangkan tindakan yang tidak berisiko

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Deya Prastika, F. Sri Susilaningsih, Afif Amir A.-

yaitu 16,7%. Berdasarkan usia pasien terdapat 73,3% berusia <65 Tahun, sedangkan berusia ≼ 65 Tahun yaitu 26,7%. Berdasarkan jenis cairan terdapat 1,1% pasien menggunakan cairan hipertonis, sedangkan yang menggunakan jenis cairan isotonis yaitu 98,9%. Berdasarkan status gizi terdapat 50% pada status gizi tidak normal dan pada status gizi baik yaitu 50%. Berdasarkan kejadian flebitis dapat diketahui bahwa dari 90 orang responden yang diobservasi 32,2% mengalami flebitis sedangkan 67,8% tidak terjadi flebitis. Tabel 2. Tabel Silang Faktor Tindakan Pemasangan Infus Dengan Kejadian Flebitis

Flebitis Tindakan pemasangan infus Berisiko Tidak Berisiko Jumlah

n 28 1 29

Tidak Flebitis

% 37,3 6,7 32,2

n % 47 62,7 14 93,3 61 67,8

Total n 75 15 90

p Value X2

% 100 100 100

C

5,383

0,031

0,238

Hubungan Tindakan pemasangan infus dengan kejadian flebitis Penelitian ini menunjukan terdapat hubungan yang bermakna dengan kejadian. Hal tersebut dikarenakan tindakan pemasangan infus tidak memperhatikan prinsip sterilitas. Dalam (Philips, 1997) bahwa kejadian flebitis dapat meningkat karena teknik pemasangan dengan teknik aseptik yang buruk sehingga bakteri dapat masuk dan menyebabkan terjadinya inflamasi. Pada pemasangan yang tidak memperhatikan prinsip sterilitas, organisme patogen akan mudah masuk dan organisme patogen yang masuk akan menginvasi area pembuluh darah. Jika antigen terdeteksi, maka beberapa tipe sel bekerjasama untuk mencari tahu siapa mereka dan memberikan respon. Sel-sel ini memicu limfosit B untuk memproduksi antibodi, suatu protein khusus yang mengarahkan kepada suatu antigen spesifik yang membantu menghancurkan bakteri, virus, ataupun sel yang terinfeksi. Tabel 3. Tabel silang antara faktor Usia pasien dengan kejadian flebitis di RSUD Majalaya.

Flebitis Usia ≼ 65 Tahun < 65 Tahun Jumlah

n 16 13 29

% 66,7 19,7 32,2

Tidak Flebitis n 8 53 61

% 33,3 80,3 67,8

Total n 24 66 90

% 100 100 100

p Value X2 15,693

C 0,000

0,406

Hubungan Usia dengan kejadian flebitis Dalam penelitian ini diketahui adanya hubungan usia pasien dengan kejadian flebitis. Dimana hasil perhitungan menunjukan bahwa flebitis terjadi pada sebagian besar pasien yang berusia rentan diatas 65 tahun yaitu 66,7% dengan nilai p sebesar 0,000 serta masuk dalam kategori hubungan yang cukup kuat. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh (Darmadi, 2008), bahwa sistem imun pada usia lanjut menjadi kurang efektif. Pada usia yang sudah tua perubahan- perubahan dalam sistem imun terjadi, terutama pada sel Tlimfosit sebagai hasil dari penuaan. Sel T adalah sel di dalam salah satu grup sel darah putih yang diketahui sebagai limfosit dan memainkan peran utama pada kekebalan selular. Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh (Nassaji, 2007) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara usia dengan flebitis. Penelitian yang dilakukan oleh (Uslusoy and Mete, 2008) dan (Maki and Ringer, 1991) juga mendapatkan hasil tidak ada hubungan antara usia dengan flebitis, walaupun kejadian flebitis sering terjadi pada pasien yang berusia diatas 60 tahun.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

25


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

Tabel 4. Tabel silang antara faktor Status gizi dengan kejadian flebitis di RSUD Majalaya. p Value Flebitis Tidak Flebitis Total Status Gizi C n % n % n % X2 Kurang 21 46,7 23 53,3 45 100 7,326 0,007 0,295 Baik 8 17,8 37 82,2 45 100 Jumlah

29

32,2

61

67,8

90

100

Hubungan Status gizi dengan kejadian flebitis Dari hasil penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara status gizi pasien dengan kejadian flebitis, yang cenderung terjadi pada pasien dengan status gizi kurang. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh (Dustirani, 2005 dalam Mirwanti, 2010) di RS Al Islam Bandung. Setelah antigen masuk kedalam tubuh antigen tersebut bergerak kedarah atau limfe dan memulai respon imunitas seluler yang berkakitan dengan sel CD4 dan CD8 (Perry and Potter, 2005). Sel CD4 dan CD8 akan berkurang pada orang yang kekurangan gizi. Gizi yang kurang akan mengakibatkan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Pasien yang dengan status gizi dibawah batas normal (P: 18,7 – 23,8, L: 20,1 – 25,0) akan kekurangan energi dan berkaitan dengan kelemahan dalam fungsi fagositosit, sekresi antibodi dan produksi sitokin. Selain itu gizi yang berlebih juga menurunkan imunitas (Chandra, 1997 dalam siagian, 2010).

DAFTAR PUSTAKA

KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik simpulan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risko tindakan pemasangan infus dengan nilai p sebesar 0,031, faktor risko usia pasien dengan nilai p sebesar 0,000 dan status gizi pasien dengan nilai p sebesar 0,007 dengan kejadian flebitis.

10.

SARAN Seiring angka kejadian flebitis yang masih tinggi, diperlukan untuk dilakukannya evaluasi terhadap kegiatan perawat dalam tindakan pemasangan infus. Khususnya dalam hal memakai sarung tangan dan mencuci tangan pada saat tindakan pemasangan infus. Perawat harus melakukan observasi area insersi kateter intravena secara berkala sebagai upaya pencegahan kejadian flebitis dan lebih diperhatikan pada pasien dengan status gizi yang tidak normal, usia berisiko, pasien dengan penyakit respirasi dan kardiovaskular. Membuat petunjuk teknis tentang penilaian flebitis sehingga semua instansi dapat dengan seragam dalam menentukan diagnosa.

15. 16.

26

1.

2. 3. 4. 5. 6.

7. 8.

9.

11. 12. 13.

14.

17. 18.

19. 20.

Campbell L. Clinical IV-Related phlebitis, complication and length of hospital stay: 1. British Journal of Nursing (BJN) [serial online]. November 26, 1998;7(21):1304. Availeble from: CINHAL with full text, ipswich, MA Accessed Oktobr 13, 2011 Darmadi.2008. Infeksi Nosokomial Problematika dan Pengendalianya. Jakarta: Salemba DepKes RI. 2011. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal di Pelayanan Kesehatan. Jakarta. _______________.2006. Infusion Nursing Standards of Practice. (available online at http://www.ins1.org/i4a/pages/index. cfm?pageid=3619 Accessed February 28, 2012 _______________.2008. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. (available online at http://www.hukor.depkes. go.id/?dokumen=global&type =5&th=2008. Accessed October 25, 2011 Kozier B, et al .2004. Fundamental Of Nursing. Concepts, Process and Practice.ed.5 California : Addison- Wesley Maki D, Ringer M. Risk factors for infusion – related phlebitis with small peripheral venous catheters. A randomiezed controlled trial. Annals of internal medicine [serial online]. May 15, 1991. Availeble on MEDLINE with ful text, Ipswich, MA. Accessed October 28, 2011 Marwoto, Agus,dkk. 2007. Analisis Kinerja Perawat dalam Pengendalian Infeksi Nosokomial di Ruang IRNA 1 RSUP Dr. Sardjito. (availalble online at lrc-kmpk.ugm.ac.id/id/UP.../No.8_ Agus%20MArwoto_07_07.pdf Accessed October 25, 2011 Potter dan Perry 2005. Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC Phipps, Sands, Marek,.1999. Medical-Surgical Nursing: Concepts & Clinical Practice. C.V. Mosby, st Louis Philips, L.1997. Manual of I.V Therapeutics. Philadelphia:F.A. Davis Nassaji-Zavareh M, Ghorbani R. 2007. Peripheral intravenous catheterrelated phlebitis and related risk factors. Available on MEDLINE with ful text, Ipswich, MA. Accessed October 28, 2011 Mirwanti, Ristina.2010. Gambaran Faktor yang Berisiko Menimbulkan Flebitis di ICU RS Al Islam. [Skripsi] Bandung : UNPAD Schwartz.2000. Ilmu Bedah, edisi 6. Jakarta : EGC Siagian, Albiner. 2010. Gizi,Imunitas, dan Penyakit Infeksi. (available online at repository.usu.ac.id/.../ikm-des2006-10%20 (2).pdf .Accessed April 17, 2012 Smeltzer dkk. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.vol I Ed.8 Jakarta:EGC Uslusoy, E, & Mete, S. 2008. ‘Predisposing factors to phlebitis in patients with peripheral intravenous catheters: a descriptive study’, Journal Of The American Academy Of Nurse Practitioners, 20, 4, pp. 172-180, MEDLINE with Full Text, EBSCOhost, viewed 20 November 2011. Weinstein, Sharon M. 2001. Bukiu Saku Terapi Intravena.Alih bahasa: surya Sugani. Jakarta: EGC White, Sherrill A. RN, CRNI. 2001. Perpheral Intravenous Therapy-Related Phlebitis Rates in an Adult Population.Journal of the Intravenous Therapy. January/ February 2001. Availeble on EBSCOHOST with full text Accessed Oktobr 13, 2011

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


PENELITIAN ASLI

B

IMIKI

Pengaruh Pendampingan Suami terhadap Tingkat Kecemasan Primigravida pada Proses Persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh – Jombang ATIKAH FATMAWATI

Abstrak Persalinan merupakan suatu kejadian penuh dengan stres pada sebagian besar ibu bersalin yang menyebabkan peningkatan rasa nyeri, takut, dan cemas. Dukungan keluarga sangat bermanfaat dalam pengendalian tingkat kecemasan seseorang. Salah satu dukungan tersebut dapat diperoleh dari kehadiran suami di ruang persalinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pada proses persalinan primigravida yang didampingi dan tidak didampingi suami di BPS Ny. Tien Suyono, Kabuh - Jombang. Penelitian ini menggunakan desain pra eksperimen dengan model static-group design. Sampel pada penelitian ini berjumlah 12 primigravida yang diambil secara consecutive sampling. Kuesioner yang digunakan adalah Hamilton Rating Scale for Anxiety. Analisa data menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada proses persalinan primigravida yang didampingi dan tidak didampingi suami (p=0,031). Kesimpulan dari penelitian ini adalah keberadaan suami di ruang bersalin untuk mendampingi istri saat proses persalinan adalah penting sebab suami dapat memberikan dukungan fisik dan dorongan psikologis. Kata kunci : pendampingan, suami, kecemasan, primigravida

Abstract Childbirth is a stressful event in the majority of maternal causes increased pain, fear, and anxiety. Family support is very useful in controlling a person’s anxiety level. One such support can be obtained from the husband’s presence in the childbirth room. This study aims to determine differences in levels of anxiety that accompanied the birth process primigravidae and unaccompanied by husband in BPS Ny. Tien Suyono, Kabuh – Jombang. This study uses a pre-experimental design with static-group design models. Samples in this study amounted to 12 primigravidae taken in consecutive sampling. The questionnaire used is the Hamilton Rating Scale for Anxiety. Analysis of data using the Kolmogorov-Smirnov Test. The results showed that there are different levels of anxiety in labor primigravidae who accompanied and unaccompanied husbands (p = 0.031). The conclusion of this study was in the childbirth room the presence of husband to accompany wife during delivery is important because he can provide support for physical and psychological boost. Keywords : assistance, husband, anxiety, primigravidae Corresponding author : tikaners87@gmail.com

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

27


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

PENDAHULUAN

Kehamilan dan persalinan adalah suatu waktu kehidupan yang melibatkan penyesuaian kembali emosional diri secara besar-besaran[1]. Tidak mengherankan, calon ibu yang akan melahirkan pertama kali diselimuti perasaan cemas, takut, panik, dan gugup. Pengalaman baru ini memberikan perasaan yang bercampur baur, antara bahagia dan penuh harapan dengan kekhawatiran tentang apa yang akan dialaminya semasa kehamilan dan selama proses persalinan[2]. Diperkirakan antara 2% - 4% di antara penduduk di suatu saat dalam kehidupannya pernah mengalami gangguan cemas[3]. Menurut Thompson bahwa kejadian ansietas pada persalinan primigravida sekitar 67%, sedangkan Klein, Potter, dan Dyk mengatakan bahwa kejadian ansietas mencapai 100% [4]. Dukungan keluarga sangat bermanfaat dalam pengendalian seseorang terhadap tingkat kecemasan dan dapat pula mengurangi tekanan-tekanan yang ada pada konflik yang terjadi pada dirinya. Dukungan didapatkan dari keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, ataupun keluarga dekat lainnya[2]. Di negara berkembang, beberapa rumah sakit besar terlalu dipadati oleh persalinan risiko rendah sehingga dukungan personal dan privacy tidak dapat diberikan. Kehadiran suami biasanya membawa ketentraman bagi istri, selain itu suami juga dapat memainkan peranan yang aktif dalam memberikan dukungan fisik dan dorongan moral kepada istrinya[5]. Secara keseluruhan dapat dinyatakan bahwa pemberian dukungan suami atau keluarga terdekat mempunyai pengaruh terhadap kelancaran proses persalinan[6]. Akan tetapi, di Indonesia tidak semua rumah sakit mengizinkan suami atau anggota keluarga lainnya menemani ibu di ruang bersalin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendampingan suami terhadap tingkat kecemasan primigravida pada proses persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh – Jombang.

METODE

Penelitian menggunakan desain pra eksperimen dengan model static-group design, yaitu rancangan pra eksperimen dengan menambah kelompok kontrol. Penelitian ini dilakukan sejak awal bulan sampai dengan akhir bulan Juli 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu primigravida yang menjalani proses persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh-Jombang pada bulan Juli 2009. Sampel pada penelitian ini diambil secara consecutive sampling, yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan 28

dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Hamilton Rating Scale for Anxiety. Sampel yang telah memenuhi kriteria inklusi kemudian diberi lembar informed consent, dan jika sampel setuju maka ditetapkan sebagai responden penelitian. Kuesioner yang digunakan kemudian dibacakan untuk mendapat jawaban dari responden. Setelah data didapatkan, hubungan antara variabel tersebut dianalisis menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test dengan derajat kemaknaan 0,05. HASIL Tabel 1 Distribusi Tingkat Kecemasan Ibu Primigravida yang Didampingi Suami pada Proses Persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh-Jombang, pada 1-31 Juli 2009 No.

Tingkat Kecemasan

n

%

1

Tidak ada

4

66,67

2

Ringan

2

33,33

3

Sedang

-

-

4

Berat

-

-

5

Berat sekali

-

-

6

100

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 6 responden yang didampingi suami selama proses persalinan, terdapat 4 responden yang tidak mengalami kecemasan (66,67%). Tabel 2 Distribusi Tingkat Kecemasan Ibu Primigravida yang Tidak Didampingi Suami pada Proses Persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh-Jombang, pada 1-31 Juli 2009 No.

Tingkat Kecemasan

n

%

1

Tidak ada

-

-

2

Ringan

1

16,67

3

Sedang

2

33,33

4

Berat

3

50

5

Berat sekali

-

-

6

100

Jumlah

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa dari 6 responden yang tidak didampingi suami selama proses persalinan, terdapat paling banyak 3 responden (50%) yang mengalami kecemasan berat.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Deya Prastika, F. Sri Susilaningsih, Afif Amir A.-

Tabel 3. Tabulasi silang antara pendampingan denan tinkat kecemasan ibu primigravida pada proses persalinan di BPS Ny. Tien Soeyono, Kabuh-Jombang

Berdasarkan hasil analisis menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test didapatkan nilai p (probabilitas) = 0,031 yang besarnya lebih kecil daripada 0,05. Hal tersebut berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, atau dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendampingan suami terhadap tingkat kecemasan ibu primigravida pada proses persalinan.

Perawatan pada wanita bersalin dengan sedikit hal yang merugikan akan berdampak optimal pada persalinan dan kelahiran bayi[8]. Salah satu cara untuk menyiasati hal tersebut adalah dengan menerapkan asuhan sayang ibu, yaitu asuhan yang menghargai budaya, kepercayaan, dan keinginan sang ibu. Salah satu prinsip dasar asuhan sayang ibu adalah dengan mengikutsertakan suami dan keluarga selama proses persalinan dan kelahiran bayi[9]. Berdasarkan hasil analisis menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test didapatkan nilai p = 0,031 yang besarnya lebih kecil daripada 0,05. Hal tersebut berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, atau dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendampingan suami terhadap tingkat kecemasan ibu primigravida pada proses persalinan. Menurut hasil penelitian dari Scoot et al. yang dikutip oleh National Aboriginal Health Organization, menyebutkan bahwa terdapat beberapa pengaruh yang signifikan antara support yang tidak terputus pada persalinan dibandingkan dengan tanpa adanya support, antara lain : 51% dapat mengurangi persalinan dengan operasi caesar, 25% dapat mengurangi lamanya waktu persalinan (rata-rata 98 menit), 35% dapat mengurangi penggunaan analgesic, 71% dapat mengurangi penggunaan oksitosin tambahan, dan 57% mengurangi persalinan menggunakan forceps/ vacuum[10]. Kehadiran suami di ruang bersalin dapat membawa ketentraman bagi istri, selain itu suami juga dapat memainkan peranan aktif dalam memberikan dukungan fisik dan dorongan psikologis bagi istri sehingga dapat mengendalikan tingkat kecemasan saat menjalani proses persalinan.

PEMBAHASAN Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 6 responden yang didampingi suami selama proses persalinan, terdapat 4 responden yang tidak mengalami kecemasan (66,67%). Hal ini sesuai dengan teori dari Cohan yang menyatakan bahwa hubungan yang dekat berperan sebagai suatu senjata untuk melawan pengalaman stres pada saat seseorang berhadapan dengan kejadian hidup yang mengancam[6]. Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 6 responden yang tidak didampingi suami selama proses persalinan, terdapat paling banyak 3 responden (50%) yang mengalami kecemasan berat. Kecemasan ini selain dikarenakan karena tidak adanya dukungan dari keluarga yang dalam hal ini adalah suami, juga dapat disebabkan karena beberapa faktor lain, yaitu tingkat pendidikan, pekerjaan atau status ekonomi, dan usia primigravida itu sendiri. Persalinan merupakan kejadian yang mungkin saja dapat menimbulkan kecemasan, terlebih lagi pada persalinan pertama. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya ketakutan akan kelelahan atau kesakitan jasmani, tidak mendapat support emosional, ketakutan pada cerita tahayul atau mengerikan tentang persalinan, serta ketakutan akan melahirkan bayi cacat atau bahkan bayinya KESIMPULAN meninggal. Pada saat persalinan seperti inilah, Sesuai dengan tujuan penelitian, maka dapat wanita membutuhkan pendampingan, empati, dan disimpulkan bahwa ada pengaruh pendampingan bantuan[7]. suami terhadap tingkat kecemasan ibu primigravida BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

29


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

pada proses persalinan. Suami yang mendampingi istri selama proses persalinan dapat memberikan dukungan secara fisik maupun secara psikologis. Dukungan secara fisik yang dapat diberikan misalnya dengan memegang tangan istri ataupun membantu mengelap keringat istri. Dukungan secara psikologis yang dapat diberikan misalnya dengan memberikan kata-kata penyemangat untuk istri. SARAN Saran yang dapat diberikan yaitu agar pada pelaksanaan ANC (Ante Natal Care) diikuti dengan pembelajaran tentang dukungan suami selama proses persalinan secara fisik ataupun psikologis untuk dapat mengurangi kecemasan persalinan.

DAFTAR PUSRAKA

1. Henderson, C. dan Jones, K. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta : EGC. 2005. 2. Budi, R. A. Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kecemasan Ibu Hamil Menghadapi Kelahiran Anak Pertama Pada Masa Triwulan Ketiga. (http://rac.uii.ac.id). 2007. 3. Hawari, D. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. Jakarta : FKUI. 2001. 4. Rembet, O. Kecemasan Ibu Primipara. (http://oldirembet. blogspot.com). 2008. 5. Farrer, H. Perawatan Maternitas. Edisi 2. Jakarta : EGC. 1999. 6. Abraham, C. dan Shanley, E. ���������������������������� Psikologi Sosial untuk Perawat. Jakarta : EGC. 1997. 7. Evidence Based Guidelines for Midwifery Care in Labour. 4th edition. (http://rcm.org.uk). 2008. 8. Sakala, C. and Corry, M. P. Evidence Based Maternity Care : What It Is and What It Can Achieve. (http://childbirthconnection.org). 2008. 9. DepKes RI. (2007). Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Depkes RI. 2007. 10. Celebrating Birth - Exploring the Role of Social Support in Labour and Delivery for First Nations Women and Families. (http://naho.ca). 2008.

30

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


TINJAUAN PUSTAKA

B

IMIKI

PreMan-actiV, SANG PENYELAMAT IBU HAMIL Nuzul Sri Hertanti1, Erawati Werdiningsih1, Hella Meldy Tursina1*, Wiwin Lismidiati2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta *Alamat korespondensi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jl. Farmako, Sekip Utara,Yogyakarta 55281. Hp : 081904192021. Email: nuzulhertanti@gmail.com

1

ABSTRAK Latar Belakang : Infeksi merupakan salah satu penyebab kematian ibu hamil, termasuk di dalamnya adalah infeksi akibat bacterial vaginosis (BV). Penanganan infeksi BV yang terlambat dapat mengakibatkan terjadinya komplikasi pada ibu hamil. Deteksi dini secara mandiri penting dilakukan karena sebagian ibu hamil mempunyai perasaan malu apabila bagian organ reproduksinya diperiksa oleh tenaga kesehatan, terlebih yang berbeda jenis kelamin. Oleh karena itu, perlu adanya program deteksi dini mandiri BV pada ibu hamil yang dapat menjangkau semua kalangan yaitu dengan program PreMan-actiV. Tujuan Penelitian : Memberikan gagasan inovatif terkait upaya deteksi dini mandiri BV pada ibu hamil. Metode : Karya tulis ilmiah ini menggunakan metodologi telaah pustaka dalam mengembangkan gagasan terkait program “Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV)” sebagai upaya deteksi dini mandiri pengendalian risiko komplikasi BV pada ibu hamil. Hasil : Nilai prediktif PreMan-actiV terhadap BV berpacu pada tiga kriteria diagnostik yaitu dikaji dari pH vagina, warna dan konsistensi cairan vagina serta bau vagina. Penentuan nilai prediktif ini mengadopsi dari program home self-test system for bacterial vaginosis yang telah diterapkan di Amerika. Kesimpulan : Program ini dapat menjadi suatu inovasi solutif deteksi dini yang mudah, murah dan mandiri dalam penurunan kejadian infeksi pada bumil khususnya infeksi akibat BV. Kata Kunci : Bacterial Vaginosis, pemeriksaan mandiri, ibu hamil, infeksi. ABSTRACT

Background: Infection is one of the causes of maternal mortality, including the bacterial vaginosis (BV) infection. Late handling of BV infection can lead to serious complications in pregnant women. Independent early detection is important because most pregnant women have a sense of shame if the reproductive organs examined by medical personnel, especially of the opposite sex. Therefore, needed independent early detection of BV program in pregnant women that can reach all economic levels by PreMan-actiV. Objective: Providing innovative ideas related to independent early detection of BV in pregnant women Methods: The scientific paper uses literature review methodology in developing the idea related to ​​the “Self Examination of Bacterial Vaginosis (PreMan-ctiV)” as independent early detection to control complications risk of BV in pregnant women. Results: The predictive value of PreMan-actiV raced on three diagnostics criteria are assessed from vaginal pH, color and consistency of vaginal discharge and vaginal odor. Determining the predictive value of the program, adopted from home self-test system for bacterial vaginosis that has been implemented in the United States. Conclusion: This program can be an innovative solution of early detection that easy, cheap and independent in decreasing the incidence of infection in pregnant women especially infection caused by BV.

Keywords: Bacterial Vaginosis, self examination, pregnant women, infection.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

31


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

PENDAHULUAN Kesehatan maternal merupakan salah satu dari delapan target Millennium Development Goals (MDGs).1 Kesehatan maternal merupakan kesehatan wanita selama kehamilan, persalinan dan periode pasca persalinan. Indikator yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana peningkatan kesehatan maternal adalah dengan melihat rasio kematian maternal dalam rentang tahun 1990 dan 2015 dan melalui pengkajian kesehatan reproduksi secara universal pada tahun 2015.2 Selanjutnya WHO3 mendefinisikan kematian maternal sebagai kondisi kematian dari wanita yang sedang hamil maupun wanita dalam 42 hari pasca persalinan. Setiap harinya, sekitar 1.500 wanita di belahan dunia meninggal akibat komplikasi selama kehamilan maupun persalinan.4 Lebih dari 350.000 wanita meninggal setiap tahunnya atau satu setiap 90 detik akibat komplikasi yang terjadi selama kehamilan atau proses persalinan, dan 99% terjadi di negara berkembang.5 Indonesia merupakan negara berkembang yang menempati peringkat tinggi untuk kasus kematian maternal di antara negara Asia Tenggara lainnya.2 Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)

tahun 2007, menyatakan bahwa angka kematian ibu mencapai 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Meskipun angka ini sudah menunjukkan penurunan, bukan berarti kondisi kesehatan ibu di Indonesia sudah membaik. Lebih dari 80% kematian maternal disebabkan

oleh perdarahan, infeksi (sepsis), aborsi yang tidak aman, kesulitan kelahiran dan penyakit hipertensi saat kehamilan.5

Penelitian Berg et al6, menunjukan bahwa infeksi menduduki peringkat kedua sebagai penyebab kematian ibu hamil. Hal tersebut menggambarkan bahwa ibu hamil merupakan kelompok yang rentan terhadap kejadian infeksi. Infeksi Urogenital merupakan suatu bentuk infeksi yang prevalensinya meningkat selama kehamilan7.

Menurut Reid,8 setiap tahunnya satu milyar wanita terkena infeksi saluran kemih atau kelamin bagian bawah, penyebab paling sering adalah bacterial vaginosis (BV). Bacterial vaginosis hampir terjadi pada 20% wanita hamil.9 Bacterial vaginosis jauh lebih sering terjadi di negara miskin dibandingkan di negara maju, yang mempengaruhi hingga 55% wanita dalam beberapa penelitian.10,11,12 Bacterial vaginosis adalah suatu kondisi saat lactobacillus-flora dominan vagina diganti oleh bakteri anaerob seperti Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis,13 sehingga mengakibatkan penurunan signifikan lactobacillus dan peningkatan 32

pH (lebih dari 4.5).14 Flora cervicovaginal yang normal memainkan peranan penting sebagai pertahanan melawan pertumbuhan dan peningkatan patogen. Selama kehamilan, ketidakseimbangan flora vagina mengakibatkan terbentuknya kolonisasi pada sistem urogenital oleh mikroorganisme yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan.13 Perubahan flora vagina diasosiasikan dengan peningkatan risiko kelahiran preterm dan keguguran spontan selama trimester pertama dan kedua.15,16 Dalam hubungannya dengan kelahiran prematur, BV pada pasien hamil dikaitkan dengan kejadian ketuban pecah dini, infeksi amnion dan korion, korioamnionitis dan infeksi cairan ketuban. Flynn et al,17 mencatat bahwa 60% peningkatan risiko kelahiran prematur menunjukan adanya BV. Bacterial vaginosis (BV), vulvovaginal candidiasis (VC), dan Trikomoniasis bertanggung jawab terhadap 90% kasus infeksi vulvovaginitis, yang dapat menyebabkan komplikasi ginekologi dan obstetri seperti penyakit radang panggul, postabortion endometritis, dan korioamnionitis.18,19 Bacterial vaginosis dikaitkan dengan 60% peningkatan risiko perolehan HIV-1 pada wanita,20 dan di antara wanita dengan HIV-1, konsentrasi tertinggi HIV-1 terdapat pada cairan cervicovaginal.21,22 Bacterial vaginosis dapat menyebabkan replikasi virus yang berakibat pada peningkatan penularan HIV-1 pada wanita.23 Komplikasi BV pada setengah dari wanita penderita tidak menunjukkan gejala.24 Bacterial vaginosis dapat menjadi penyakit yang parah setelah menimbulkan komplikasi dalam waktu onset kejadian selama 3.24 Banyak wanita yang tidak mengenali bahwa dirinya mengalami infeksi BV, sebanyak 60% wanita yang melakukan pemeriksaan sudah mengalami komplikasi yang berat.25 Infeksi BV yang menyebabkan kelahiran prematur muncul sejak saat awal kehamilan dan tidak terdeteksi hingga terjadinya kelahiran prematur tersebut.26 Banyak penelitian yang mendukung adanya pemeriksaan secara dini pada wanita hamil terhadap risiko infeksi BV dalam mengurangi risiko terjadinya kelahiran premature.27,28,29 Deteksi dini sangat dibutuhkan dalam penanganan BV sehingga komplikasi yang lebih berat dapat dicegah. Menurut Australian Institute of Health and Welfare,30 beberapa kendala harus dihadapi dalam mengembangkan program pemeriksaan terkait organ reproduksi pada ibu hamil, salah satunya adalah faktor budaya. Sebagian ibu hamil menyatakan malu jika harus diperiksa organ reproduksinya, terlebih lagi bila yang melakukan pemeriksaan adalah tenaga

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Nuzul Sri H, Erawati Werdiningsih, Hella Meldy T, Wiwin Lismidiati-

kesehatan laki-laki. Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV) merupakan salah satu alternatif untuk mengatur pemberian layanan kesehatan yang tidak melanggar norma budaya dan dapat bersifat preventif bagi ibu hamil. Sistem ini diharapkan mampu mengatasi persoalan infeksi, khususnya yang disebabkan oleh BV, serta lebih melibatkan ibu hamil untuk peduli dan mampu mengenali adanya gejala infeksi BV secara mandiri sehingga tidak perlu takut melanggar norma budaya. Sehingga dapat menghindari berbagai komplikasi fatal yang diakibatkan karena masalah BV yang sebenarnya dapat diwaspadai sejak dini.

METODE

Metode penulisan yang digunakan dalam mengembangkan gagasan Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV) adalah menggunakan studi literatur. Literatur yang digunakan dalam metode penulisan didapatkan dari pustaka-pustaka terkait seperti text book, maupun sumber yang berasal dari jurnal cetak dan elektronik. Selama proses pembentukan gagasan hingga tahap penyusunan prosedur juga dilakukan konsultasi pakar bidang keperawatan maternal.

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kondisi Kekinian Gagasan Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV) ini muncul setelah menemukan fakta dari hasil penelitian Carey dan Kelbanoff,39 bahwa perubahan flora vagina merupakan penyebab yang mungkin dapat meningkatkan risiko komplikasi pada wanita hamil termasuk kelahiran prematur. Pada penelitian pasien dengan kelahiran prematur, ditemukan perubahan flora vagina dimana terjadi peningkatan yang signifikan organisme E. Coli dan K. Pneumoniae yang dihubungkan dengan peningkatan level pH di atas 5 dan diketahui hal tersebut berkaitan dengan bacterial vaginosis (BV). Penelitian lain yang mendukung yaitu BV dihubungkan dengan komplikasi yang dialami ibu dan bayi termasuk berat bayi lahir rendah/BBLR.40 Infeksi BV pada bumil dengan usia kandungan dibawah 20 minggu gestasi akan memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi.24 Untuk mengatasi hal tersebut, sebenarnya Pender,41 telah merevisi model health promotion dan meningkatkan secondary disease prevention. Penulis sependapat dengan Pender dan mempercayai bahwa dengan adanya modifikasi health promotion dan secondary prevention dapat digunakan dalam mengatasi masalah infeksi BV pada wanita khususnya bumil. BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

Program Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreMan-actiV) Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreManactiV) merupakan suatu prosedur pemeriksaan mandiri BV pada ibu hamil (bumil) yang murah, mudah dan berguna. Program ini sebagai bentuk kombinasi health promotion dan secondary prevention terhadap BV pada bumil. Tujuan dari program ini adalah menurunkan risiko kejadian infeksi akibat BV pada bumil. Sasaran program PreMan-actiV Sasaran program ini adalah seluruh ibu hamil (bumil) yang memeriksakan kandungan di Puskesmas atau Posyandu setempat. Bumil dapat memanfaatkan program ini sampai usia kehamilan 28 minggu. Pelaksana/pihak yang terlibat dalam pelaksanaan program PreMan-actiV Pelaksanaan program ini (pemeriksaan mandiri) dilakukan oleh bumil secara mandiri di rumah masing-masing. Pelayanan edukasi, evaluasi dan pemeriksaan lanjutan lainnya dilaksanakan di Puskesmas. Posyandu bumil juga turut serta dalam penyebarluasan informasi program PreMan-actiV. Bumil bisa mendapatkan leaflet dan dapat secara kolektif mendaftarkan diri untuk mengikuti program dini melalui Posyandu bumil setempat. Pihak utama yang terlibat dalam pelaksanan program ini antara lain perawat, dokter, dan analis kesehatan. Gambaran program PreMan-actiV Program yang ditawarkan PreMan-actiV antara lain: a. Mini Test Kit (MTK) Program PreMan-actiV dilengkapi dengan mini test kit (MTK) yang terdiri dari lembar skor PreMan-actiV, leaflet, fotokopi inform consent yang telah ditandatangani, daftar klinik/RS yang dapat dikunjungi (clinician listed), pH paper, larutan KOH 10%, cotton bud dan buku petunjuk PreMan-actiV. Mini test kit ini diberikan kepada bumil yang bersedia untuk mengikuti program PreMan-actiV dengan harga Rp 10.000,00. b. One Free Visit Care Program PreMan-actiV memberikan one free visit care bagi bumil yang memiliki skor ≼ 4. Layanan ini berupa konsultasi gratis kunjungan pertama setelah edukasi post PreMan-actiV dan diberikan di Puskesmas oleh perawat profesional. Kunjungan dan layanan berikutnya berbayar sesuai dengan jenis perawatan yang diberikan 33


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

dan kebijakan Puskesmas setempat. c. Edukasi Para ibu hamil (bumil) dapat memanfaatkan layanan edukasi dan konsultasi gratis. Edukasi diberikan dalam dua sesi pre dan post PreManactiV. Pemberi edukasi adalah perawat profesional (perawat S-1). Edukasi dapat diperoleh di Puskesmas dan Posyandu. Namun, edukasi yang diberikan di Posyandu terbatas hanya pemberian informasi awal terkait program PreMan-actiV saja, selebihnya posyandu akan merujuk bumil untuk mendapatkan informasi lebih lanjut di Puskesmas. Rincian edukasi pre dan post PreManactiV dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Edukasi Pre dan Post PreMan-actiV Topik Edukasi Pre PreMan-actiV Post PreMan-actiV Edukasi tentang program Penjelasan skoring dan PreMan-actiV meliputi evaluasi program. pengertian program, manfaat mengikuti program, dan prosedur program. Jika terdapat tanda-tanKonsep bacterial vada BV, diberikan saran ginosis (BV) meliputi pengertian BV, etiologi, untuk melakukan pemetanda dan gejala, faktor riksaan lebih lanjut dan risiko, komplikasi, pe- dianjurkan melakukan pengobatan sesuai denmeriksaan diagnostik, penanganan dan pence- gan pedoman yang ada (tidak dianjurkan untuk gahan BV. melakukan pengobatan sendiri). Edukasi pengenalan tanda Penanaman perawatan dan gejala infeksi vagina diri yang bersih dan lainnya seperti vaginal sehat dalam kehidupan yeast infection, trichosehari-hari terutama monas vaginalis, dan lain dalam perawatan organ sebagainya. reproduksi.

Prosedur Program PreMan-actiV Program PreMan-actiV diinformasikan kepada bumil pada saat mereka melakukan pemeriksaan kandungan di Puskesmas atau Posyandu setempat. Setelah selesai pemeriksaan kandungan, perawat memberikan leaflet yang berisi informasi program PreMan-actiV dan memberi informasi terkait program tersebut. Bumil dapat mempelajari program tersebut di rumah melalui leaflet yang diberikan. Sehingga bumil dapat memikirkan matang-matang untuk ikut atau tidak dalam program tersebut. Jika bumil bersedia untuk menjadi peserta program tersebut, bumil wajib untuk mengkonfirmasi kesedian ke Puskesmas atau Posyandu setempat. Bumil wajib mengikuti prosedur PreMan-actiV sebagai berikut : a. Bumil mengisi inform consent dan data diri lengkap yang disediakan. 34

b. Bumil mendapatkan edukasi pre PreManactiV mencakup penjelasan program, konsep bacterial vaginosis (BV) dan mengenal tanda dan gejala infeksi vagina lainnya yang diberikan oleh perawat profesional. c. Bumil mendapatkan mini test kit (MTK) yang dapat dibawa pulang dengan membayar Rp 10.000,00. d. Bumil melaksanakan program PreMan-actiV dengan benar di rumah. e. Bumil mengkaji warna dan konsistensi cairan vagina. Bumil mengambil cairan vagina dengan menggunakan cotton bud. Jika didapatkan cairan vagina kuning, hijau, putih bergumpal, coklat, dan merah, maka berikan angka 1 pada kolom 1, sedangkan cairan vagina putih atau abu-abu atau krem berbuih diberi angka 2 pada kolom 2 di lembar skor PreMan-actiV. f. Bumil mengkaji bau cairan vagina. Pengkajian bau dilakukan dengan cara mencampur cairan vagina dengan tetesan KOH 10% di dalam wadah. Angka 1 pada kolom 1 diberikan jika vagina tidak berbau (no fishy smell) dan angka 2 pada kolom 2 jika vagina berbau tidak enak (fishy smell). g. Bumil mengkaji pH vagina dengan pH paper. Pengkajian dilakukan dengan melihat warna pH paper yang dibasahi dengan cairan vagina. Bumil kemudian menuliskan perubahan warna pH paper pada lembar skor. Jika pH vagina ≤ 4.5 maka bumil menuliskan angka 1 pada kolom 1 dan jika pH ≼ 5 tulis angka 2 pada kolom 2. h. Selanjutnya bumil menjumlahkan skor pada masing-masing kolom dan membuat total skor yaitu skor kolom 1 ditambahkan dengan skor kolom 2. Jika total skor mencapai ≼ 4 maka bumil diminta untuk segera mengunjungi puskesmas yang terdaftar pada clinician listed di dalam mini test kit (MTK) untuk mendapatkan edukasi post PreMan-actiV dan pemeriksaan lanjutan. i. Bumil berkunjung segera ke Puskesmas setempat jika memiliki skor total ≼ 4 atau jika memiliki skor total < 4 tetap berkunjung kembali setelah lima hari melaksanakan program untuk mendapatkan edukasi post PreMan-actiV. Analisis Program PreMan-actiV dengan Program Pemeriksaan Lainnya Program pemeriksaan bakteri vagina pada wanita memang telah ada sebelumnya. Namun pemeriksaan bakteri vagina yang berfokus pada wanita hamil belum terlalu banyak dibahas. Penulis akan menganalisis pemeriksaan bakteri vagina

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Nuzul Sri H, Erawati Werdiningsih, Hella Meldy T, Wiwin Lismidiati-

yang telah dilakukan sebelumnya. Schachter et al.,42 menggunakan vaginal swabs dalam mengumpulkan spesimen vaginal untuk memeriksa bakteri vagina pada wanita. Vaginal swabs terbukti memiliki sensitifitas dan spesifikasi yang lebih tinggi dalam mendeteksi bakteri vagina namun pada wanita dengan penyakit menular seksual seperti gonorrhea dan Chlamydia. Tes terbaru yang ditawarkan untuk mendeteksi bakteri vagina pada wanita yaitu dengan tes level pH vagina.43 Namun cara ini berisiko terjadi misdiagnosis saat digunakan pada wanita dengan vaginal yeast infections. Berbeda halnya dengan Centers for Disease Control44 yang memiliki cara tersendiri dalam mendeteksi bakteri pada vagina wanita. CDC menggunakan tes diagnostik dalam pendeteksian. Menurut CDC,44 terdapat empat kriteria yang digunakan sebagai nilai prediktif terdapatnya bacterial vaginosis (BV) pada wanita. Empat kriteria tersebut yaitu ditemukan clue cells pada mikroskopi vagina; hasil positif pada pemeriksaan potassioum hydroxide (KOH) atau disebut dengan istilah Whiff test; pH vagina > 4.5; dan warna abu-abu atau putih pada cairan vagina. Jika dianalisis lebih lanjut, ketiga program pemeriksaan tersebut memiliki sasaran yang sangat umum yakni wanita. Padahal program pemeriksaan khusus untuk bumil juga diperlukan untuk mengatasi komplikasi kehamilan akibat infeksi bakteri pada vagina khususnya BV. Ketiga program pemeriksaan tersebut juga memerlukan tim ahli, tempat khusus, dan biaya yang cukup mahal untuk melakukan pemeriksaan. Sehingga jika dapat dikatakan ketiga program tersebut kurang efisien dan praktis untuk wanita di semua kalangan sosial ekonomi. Prosedur PreMan-actiV sangat mudah, dapat dilakukan secara mandiri di rumah oleh bumil tanpa harus mendatangkan para ahli; tidak memerlukan biaya yang besar; dan dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu hamil dalam pemerikaan mandiri organ reproduksinya. Sehingga penulis optimis PreMan-actiV ini merupakan program yang mampu mendeteksi BV dengan mudah, murah dan mandiri untuk mencegah infeksi pada bumil. Nilai prediktif PreMan-actiV terhadap BV berpacu pada tiga kriteria diagnostik yaitu dikaji dari pH vagina, warna dan konsistensi cairan vagina serta bau vagina. Penentuan nilai prediktif ini mengadopsi dari program home self-test system for bacterial vaginosis yang telah diterapkan di Amerika.24 BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

Sintesis Penerapan Program PreMan-actiV Program PreMan-actiV akan dijalankan secara konsisten dan diharapkan dapat menjadi program nasional dalam pelayanan kesehatan bumil di seluruh Puskesmas Indonesia. Oleh karena itu diperlukan keterlibatan berbagai pihak dalam mewujudkan pelaksanaan program tersebut. Beberapa pihak yang dilibatkan dalam mendukung terlaksananya program PreMan-actiV antara lain: pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), tenaga kesehatan baik perawat, bidan atau dokter dan ibu hamil tentunya. Jika program ini berhasil diterapkan secara tepat dan mendapatkan dukungan positif dari berbagai pihak di atas, maka penulis optimis program ini dapat menjadi suatu inovasi dalam penurunan kejadian infeksi pada bumil, khususnya yang diakibatkan oleh BV. Pada jangka panjangnya, program ini dapat mendukung percepatan pencapaian indikator Millennium Development Goals (MDGs).

KESIMPULAN

Pemeriksaan Mandiri Bacterial Vaginosis (PreManactiV) merupakan salah satu program inovatif solutif yang mudah, murah dan mandiri dalam deteksi dini kejadian infeksi pada ibu hamil khususnya yang disebabkan oleh bacterial vaginosis (BV). Program PreMan-actiV diharapkan mampu meningkatkan kepekaan dan kesadaran bumil akan pentingnya kesehatan organ reproduksi selama kehamilan. Jika program ini berhasil diterapkan secara tepat, penulis optimis program ini dapat menjadi suatu inovasi deteksi dini mandiri dalam penurunan kejadian infeksi pada bumil khususnya akibat BV serta mendukung pencapaian indikator Millennium Development Goals (MDGs) yang terkait dengan kesehatan maternal.

SARAN

Pemerintah diharapkan dapat mendukung program ini dan menjadikan PreMan-actiV sebagai program nasional untuk pelayanan kesehatan ibu hamil. Tenaga kesehatan diharapkan dapat mensosialisasikan PreMan-actiV dengan tepat agar menarik minat bumil untuk mengikuti program ini. Ibu hamil (bumil) diharapkan dapat mengikuti dan menerapkan program ini sebagai upaya preventif infeksi BV yang mana dapat memicu risiko komplikasi maternal.

35


____________________Berkala

Ilmiah Mahasiswa Keperawatan Indonesia__________________

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Program Studi Ilmu Keperawatan dan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) yang telah membantu dalam mengakomodasi kami mengikuti lomba karya tulis ilmiah Temu Ilmiah Nasional Keperawatan 2012, Ibu Wiwin Lismidiati sebagai Dosen Pembimbing karya tulis ilmiah ini yang senantiasa membimbing kami dalam pembuatan proposal karya tulis ilmiah ini dan seluruh pihak yang tidak dapat kami sebutkan satupersatu.

DAFTAR PUSTAKA 1. WHO. 2008. Fact sheet Why is giving special attention to adolescents important for achieving Millennium Development Goals 5?. New York 2. Human Development Report. 2010. United Nations, New York. 3. WHO. 2010. Trends in Maternal Mortality: 1990-2008. http://whqlibdoc.who.int/ diakses pada 27 April 2011. 4. World Bank. 2009. Maternal Mortality and Morbidity. http://web.worldbank.org/ diakses pada 20 April 2011. 5. United Nations. 2010. Fact Sheet United Nations Summit 20-22 September 2010, New York 6. Berg, C. J., Chang, J., Callaghan, W. M., & Whitehead, S. J. Pregnancy-related mortality in the United States, 1991– 1997. Obstetrics and Gynecology, 2003: 101, 289–296. 7. Cram L. F, Zapata M. I, Toy E. C, Baker B. Genitourinary infections and their association with pretermlabor. American Family Physician, 2002:vol. 65, no. 2, pp. 241–248. 8. Reid G. Probiotic Lactobacilli for urogenital health in women. Journal of Clinical Gastroenterology, 2008. 9. Lamont R.F, Morgan D.J, Wilden S.D, Taylor-Robinson D. Prevalence of bacterial vaginosis in women attending one of three general practices for routine cervical cytology. International Journal of STD and AIDS, 2000;11:495–8. 10. Spear G.T, John E, Zariffard M.R. Bacterial vaginosis and human immunodeficiency virus infection. AIDS Research and Therapy, 2007. 11. Martin HL, Richardson BA, Nyange PM, Lavreys L, Hillier SL, Chohan B, Mandaliya K, Ndinya-Achola JO, Bwayo J, Kreiss J: Vaginal lactobacilli, microbial flora, and risk of human immunodeficiency virus type 1 and sexually transmitted disease acquisition. JInfect Dis, 1999: vol. 180:1863-1868. 12. Sewankambo N, Gray RH, Wawer MJ, Paxton L, McNaim D, Wabwire-Mangen F, Serwadda D, Li C, Kiwanuka N, Hillier SL, et al. HIV-1 infection associated with abnormal vaginal flora morphology and bacterial vaginosis. Lancet, 1997: 350:546-550. 13. Usui R, Ohkuchi A, Matsubara S, Izumi A, Watanabe T, Suzuki M, et al. Vaginal lactobacilli and preterm birth. Journal of Perinatal Medicine, 2002: vol. 30, no.6, pp. 458-466. 14. Donders G. Diagnosis and management of bacterial vaginosis and other types of abnormal vaginal bacterial flora: a review. Obstetrical and Gynecological Survey,2010: vol. 65, no. 7, pp.462–473. 15. G.G. Donders, K. Van Calsteren, G. Bellen, R. Reybrouck, 37

16.

17. 18. 19. 20. 21.

22.

23.

24.

25. 26. 27. 28.

29.

30. 31.

T. Van den Bosch, I. Riphagen,et al. Predictive value for preterm birth of abnormal vaginal flora, bacterial vaginosis and aerobic vaginitis during the first trimester of pregnancy. BJOG 2009;116:1315–24. S. L. Hillier, R. P. Nugent, D.A. Eschenbach, M.A. Krohn, R.S. Gibbs, D.H. Martin et al. Association between bacterial vaginosis and preterm delivery of a lowbirthweight infant. The vaginal infections and prematurity study group. The New England Journal of Medicine, 1966: vol. 333, no. 26, pp. 1737–1742. C.A. Flynn, A.L. Helwig, L.N. Meurer. Bacterial vaginosis in pregnancy and the risk of prematurity: a meta-analysis. J Fam Pract, 1999: vol 48:885–92. M. R. Genc and C. E. Ford. The clinical use of inflammatory markers during pregnancy. Current Opinion in Obstetrics and Gynecology, 2010: vol. 22, no. 2, pp. 116–121. W. S. Biggs and R. M. Williams. Common gynecologic infections. Primary Care, 2009: vol. 36, no. 1, pp. 33–51. J. Atashili, C. Poole, P.M. Ndumbe, A.A. Adimora, J.S. Smith. Bacterial vaginosis and HIV acquisition: a metaanalysis of published studies. AIDS, 2008: 22: 1493–1501. B.E. Sha, M.R. Zariffard, Q.J. Wang, H.Y. Chen, J. Bremer, M.H. Cohen, et al. Female genital-tract HIV load correlates inversely with Lactobacillus species but positively with bacterial vaginosis and Mycoplasma hominis. J Infect Dis, 2005: 191: 25–32. J.S. Coleman, J.Hitti, E.A.Bukusi, C.Mwachari, A.Muliro, R. Nguti, et al. Infectious correlates of HIV-1 shedding in the female upper and lower genital tracts. AIDS, 2007: 21: 755–759. A. Rebbapragada, Howe K, Wachihi C, Pettengell C, Sunderji S, Huibner, et al. Bacterial vaginosis in HIV-infected women induces reversible alterations in the cervical immune environment. J Acquir Immune Defic Syndr, 2008: 49: 520–522. Youngkin E.Q, Lester P.B. Promoting self-care and secondary prevention in women’s health: A study to test the accuracy of a home self-test system for bacterial vaginosis. Applied Nursing Research, 2010. Raphaelidis, L., & Secor, M. Bacterial vaginosis: Diagnosis and treatment update. Women’s Health Care,2006: 5(3), 21−29. G. Letamo and R. G.Majelantle. Factors influencing low birth weight and prematurity in Botswana. Journal of Biosocial Science, 2001: vol. 33, no. 3, pp. 391–403. Brocklehurst, P., Hannah, M., & McDonald, H. Interventions for treating bacterial vaginosis in pregnancy. Cochrane Database of Systematic Reviews, 2000. Hauth, J. C., Goldenberg, R. L., Andrews,W.W., DuBard, M. B., & Copper, R. Reduced incidence of preterm delivery with metronidazole and erythromycin in women with bacterial vaginosis. New England Journal of Medicine, 1995: 333, 1732−1736. Lamont, R. F. Infection in the prediction and antibiotics in the prevention of spontaneous preterm labour and preterm birth. British Journal of Obstetrics Gynaecology, 2003: 110, 71−75. Australian Institute of Health and Welfare (AIHW). Australia’s mothers and babies 2006. Sydney: AIHW National Perinatal Statistics Unit, 2008. Hay Phillip. Bacterial Vaginosis. The Medicine Publishing Company, 2005.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012


-Nuzul Sri H, Erawati Werdiningsih, Hella Meldy T, Wiwin Lismidiati32. Secor M. Bacterial vaginosis: Common, subtle, and more serious than ever. Clinician’s Review, 2001: 11(11), 59−68. 33. Cottrell, B. H., & Shannahan, M. Maternal bacterial vaginosis and fetal/infant mortality in eight Florida counties, 1999 to 2000. PublicHealth Nursing, 2004: 21(5), 395−403. 34. Taha,T E., Hoover,D R., Dallabetta G.A, Kumwenda N.I, Mtimavalye L.A, Yang L.P. Bacterial vaginosis and disturbances of vaginal flora: association with increased acquisition of HIV. AIDS, 1998; 12: 1699–706. 35. World Health Organization. Maternal mortality in 2000: Estimates developed by WHO, UNICEF and UNFPA. Geneva 2003: Author. 36. Kampan, Nirmala Chandralega., Seri, Suniza Suffian., Nur, Suhaini Ithnin.,Marlyn, Muhamad., Syed, Zulkifli Syed Zakaria.,Muhammad, Abdul Jamil. Evaluation of BV: blue test kit for the diagnosis of bacterial vaginosis. Sexual and Reproductive Healthcare, 2011; 2:1-5 37. Ison C.A, Hay P.E. Validation of a simplified grading of Gram stained vaginal smears for use in genitourinary medicine clinics. Sex Transm Infect, 2002; 78:413-415. 38. Ugwumadu, Austin. Role of antibiotic therapy for bacterial vaginosis and intermediate flora in pregnancy. Best Practice & Research Clinical Obstetrics and Gynecology, 2007: Vol. 21, No. 3, pp. 391–402.

BIMIKI | VOL 1 NO 1 | OKTOBER-MARET 2012

39. Carey, J. C., Kelbanoff, M. A. Is a Change in the Vaginal Flora Associated with an Increased Risk of Preterm Birth?. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 2005;192(4):1341−1346. 40. Svare, J. A., Schmidt, H., Hansen, B. B., Lose, G. Bacterial Vaginosis in a Cohort of Danish Pregnant Women: Prevalence and Relationship with Preterm Delivery, Low Birth Weight and Perinatal Infections. British Journal of Obstetrics Gynecology, 2006;113(12):1419−1425. 41. Pender, N. J., Health promotion in nursing practice. 3rd ed. Stamford, CT: Appleton & Lange, 1996. 42. Schachter, J., Chernesky, M.,Willis, D., Fine, P., Martin, D., Fuller, D., et al., Vaginal Swabs are the Specimens of Choice When Screening for Chlamydia Trachomatis and Neisseria Gonorrhoeae: Results from a Multicenter Evaluation of the APTIMA Assays for Both Infections. Sexually Transmitted Diseases 2005;32(12):725−728. 43. Stewart, E. G. The dilemma of diagnosing vaginal infections. Practical Strategies in Women’s Health, 2006;1(3):7−8. 44. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually Transmitted Diseases Treatment Guidelines. Morbidity and Mortality Weekly Report 2006;55(30):1−94. Diunduh dari Workowski, K.A. & Berman, S.M. http://www.medscape. com/viewarticle/543426_print

38



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.