Bimiki vol 3 no1

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Board of Director

Dewan Redaksi

Nuning Khurotul Af’ida

Charnis Nurul M.

Pelindung

Petrisia Ristantini

Ahmad Rizal (Sekertaris Jendral ILMIKI)

Penasehat Muhammad Zulfatul A’la Weni Widya Sari

Pimpinan Umum Tiara Dea Ananda Universitas Brawijaya

Universitas Gajah Mada

Universitas Brawijaya

Ryharti Amaliatus S. Universitas Brawijaya

Adzanea Al Hafiz Universitas Brawijaya

Maufiroh Universitas Indonesia

Tim Public Relations Selvia Maysari

Universitas Lambung Mangkurat

Bernadetta Germia A.

Pimpinan Redaksi Sifak Nikmatul F. Universitas Gajah Mada

Sekretaris

Universitas Lambung Mangkurat

Muhammad Imam M. STIKES Kepanjen Malang

Cindy Safitri Utami Universitas Gajah Mada

Pratidina Dwinda H.E. Universitas Brawijaya

Bendahara Siti Marina Wiastuti Universitas Negeri Jember

Tim Layouting Farid Dwiyanto Nugroho Universitas Brawijaya

Fatimah Az-Zahra Universitas Brawijaya

Sandy Dwi Aryanto Universitas Gajah Mada

Galih Adi Pratama Universitas Gajah Mada

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│i


PENYUNTING AHLI

UNIVERSITAS INDONESIA Ns. Muhamad Adam M.Kep., Sp.Kep.M.B Hanny Handiyani S.Kep., M.Kep Yulia, S.Kp, M.N, Ph.D

UNIVERSITAS GAJAH MADA Heru Subekti, S. Kep., Ns., MPH Itsna Lutfi Kholisa, S. Kep., Ns., MNAP Martina Shinta, S.Kep., M.N

UNIVERSITAS BRAWIJAYA Ns. Heni Dwi Windarwati S.Kep., M.Kep., Sp.Kep.J Heri Kristanto S.Kep., Sp.KMB Septi Rachmawati, Mng

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│ii


DAFTAR ISI

ISSN : 2338-4700

i Penyunting Ahli ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ii Daftar Isi ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... iii Petunjuk Penulisan ........ ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... v x Sambutan Pimpinan Umum ...... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... Susunan Pengurus . ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... ....... .......

Advetorial Motion and Spirit: Kombinasi Penggunaan Musik Tradisional Jawa Dengan Penyembuhan Spiritual Sebagai Salah Satu Bentuk Terapi Komplementer Bagi Pasien Stroke Di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Ina Laela Abdillah, Sri Marga Siwi, Ardhy khartika Dewi ..............................................................................................................................................................................................................................

1

Penelitian Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat di Rsj Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang Selfi Safrida, Kuswantoro Rusca Putra, Lilik Supriati ..............................................................................................................................................................................................................................

12

Efektifitas Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.) Terhadap Penyembuhan Luka Bakar Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Reza Fitra Kusuma Negara, Retty Ratnawati, Dina Dewi SLI ..............................................................................................................................................................................................................................

22

Hubungan Peran Fasilitator Terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa Keperawatan Selama Proses Diskusi dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Agung Wiyatno, Kuswantoro Rusca Putra, S.Kp, M.Kep, Ns. M. Fathoni, S.Kep, MNS ..............................................................................................................................................................................................................................

32

Pengaruh Terapi Resitasi Al-Qur’an Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari, Kepanjen-Malang Nuning Khurotul Af’ida, A. Chusnul Chuluq A,. Retno Lestari ..............................................................................................................................................................................................................................

40

Efektifitas Pemberian Lendir Bekicot 100% (Achatina fulica) dan Sediaan Krim 5% Terhadap Lama Penyembuhan Luka Bakar Derajat II (A) Secara In Vivo Mandala Adhi Putra ..............................................................................................................................................................................................................................

52

Pengaruh Perawatan Luka Bakar Derajat II Menggunakan Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle Linn.) Terhadap Peningkatan Ketebalan Jaringan Granulasi Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus galur Wistar) Jantan Retty Ratnawati, Dina Dewi SLI, Reza Fitra Kusuma Negara ..............................................................................................................................................................................................................................

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

66

│iii


Pengaruh Sediaan Salep Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.) Terhadap Jumlah Fibroblas Luka Bakar Derajat IIA Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Wistar Umi Kalsum, Ika Setyo Rini, Aliefia Ditha Kusumawardhani ..............................................................................................................................................................................................................................

76

Tinjauan Pustaka Potensi Bibliotherapy dalam Mengurangi Kecemasan Akibat Hospitalisasi Pada Anak Usia Sekolah Nabila Chairani ..............................................................................................................................................................................................................................

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

88

│iv


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Indonesian Nursing Student Journal

1. BIMIKI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah

dikirim

melalui

email

ke

alamat

redaksi.bimiki@bimkes.org

atau

bimiki.ilmiki.gmail.com dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

-

Metode

-

Hasil

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

-

Saran

5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

-

Saran

5. Daftar Rujukan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│v


6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar

dan Artikel

Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: -

Pendahuluan

-

Laporan kasus

-

Pembahasan

-

Kesimpulan

5. Daftar Rujukan 8.

Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.

9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│vi


15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: 1. BUKU i. Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. ii. Dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell Warren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. iii. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, alter, et al. Teaching Shakespeare. Princeton. Princeton UP, 1997. iv. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. v. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. vi. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. vii. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit:

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│vii


Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. viii. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L’Archéologie du savoir, 1969. ix. Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. “Faulkner or Theological Inversion.” Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. x. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.

2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman. Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.

3. PUBLIKASI ELEKTRONIK i. Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://viiiwww.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│viii


ii. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo’s Life of the Buddha.”

Exemplaria

9.1

(1997).

22

June

1998

<http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm> iii. Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. <link online artikel>. Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003.

Purdue

University.

6

Februari

2003.

<http://owl.english.purdue.

edu/handouts/research/r_mla.html>. iv. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>. Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│ix


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Syukur tiada henti saya ucapkan atas keberhasilan diterbitkannya Berkala Ilmiah Mahasiswa Ilmu Keperawatan Indonesia (BIMIKI) Volume Ketiga Edisi Pertama ini, setelah melalui perjalanan panjang dan dukungan oleh semua pihak. BIMIKI merupakan salah satu berkala ilmiah keperawatan di Indonesia yang bertujuan untuk memberikan peluang bagi mahasiswa dalam publikasi ilmiah berbasis teknologi. Berkenaan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan sebuah tempat yang mampu menampung dan menyebarluaskan hasil kreativitas mahasiswa, khususnya terkait publikasi artikel ilmiah. Penerbitan berkala ini membuktikan perjuangan tiada akhir dalam meningkatkan profesionalisme keperawatan yang menunjang sistem long life learning bagi mahasiswa Ilmu Keperawatan. Kami menorehkan harapan pada berkala ilmiah ini agar dapat memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh insan keperawatan di Indonesia. Semoga BIMIKI dapat mempermudah mahasiswa Ilmu Keperawatan dalam mengakses perkembangan informasiinformasi ilmiah terbaru, baik dalam bentuk penelitian asli, tinjauan pustaka, dan jenis artikel lainnya. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan penulisan pada BIMIKI Volume Ketiga Edisi Pertama ini. Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi selanjutnya. Hidup mahasiswa! Jadikanlah hidupmu dikenang dengan membuat sebuah karya ilmiah!

Tiara Dea Ananda

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│x


Advetorial

MOTION AND SPIRIT: KOMBINASI PENGGUNAAN MUSIK TRADISIONAL JAWA DENGAN PENYEMBUHAN SPIRITUAL SEBAGAI SALAH SATU BENTUK TERAPI KOMPLEMENTER BAGI PASIEN STROKE DI KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 1

1

Ina Laela Abdillah , Sri Marga Siwi , Ardhy khartika Dewi

1

1

Mahasiswa Ilmu Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

ABSTRAK Pendahuluan: Stroke merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Jumlah penderita stroke di Indonesia terus meningkat dari 8,3 per 1000 (2007) menjadi 12,1 per 1000 (2013) dan provinsi Yogyakarta menempati urutan kedua tertinggi untuk penyakit stroke yaitu 10,3%. Sekitar 70-80% pasien yang terkena serangan stroke mengalami hemiparesis dan 20% pasien stroke akan mengalami penurunan fungsi motorik. Semua masalah yang dialami pasien stroke dapat menurunkan kepercayaan diri, enggan berjalan, depresi, dan menurunnya partisipasi untuk program rehabilitasi. Tujuan: untuk mengetahui salah satu terapi komplementer yang dapat meningkatkan motivasi diri pasien stroke dalam mengikuti program rehabilitasi melalui metode terapi musik tradisional dengan penyembuhan spiritual sehingga kualitas hidup pasien stroke meningkat. Metode: Telaah pustaka. Hasil: Berdasarkan telaah pustaka, terapi musik dapat digunakan untuk menurunkan depresi dan meningkatkan motivasi pasien, sedangkan penyembuhan spiritual dapat meningkatkan kesehatan secara mental. MOTION AND SPIRIT berfokus pada pendekatan holistik yang dilakukan oleh perawat salah satunya adalah penggunaan terapi komplementer. Kemudian dilakukan kombinasi terapi musik gamelan dengan penyembuhan spiritual secara berkala dan dievaluasi menggunakan GES questionnaire. Kesimpulan: Terapi musik gamelan jawa dengan penyembuhan secara spiritual dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi pada pasien stroke sehingga kualitas hidupnya dapat meningkat. Kata Kunci : spiritual

Stroke, terapi komplementer, terapi musik gamelan jawa, penyembuhan

ABSTRACT Introduction: Stroke is the leading caused of disability in the world. The number of stroke survivors in Indonesia keep increasing from 8.3 per 1000 (2007) into 12.1 per 1000 (2013) and Yogyakarta became the second one highest for stroke which has number for 10.3 %. About 70-80 % stroke survivors who have been had hemiparesis and 20 % will have motoric dysfunction. All problem happened to stroke survivors might causes lack of self confidence, reluctance in walking,depression,and decrease of participation in rehabilitive programme. Aim: This article due to know and explain one of complementary therapies which could increase self motivation in order to follow rehabilitative program through traditional music therapy and spiritual healing.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│1


Methods: systematic review. Results: According to systematic review, music therapy could decrease depression and increase motivation, besides spiritual healing could increase mental health. MOTION AND SPIRIT focuses on holistical approach which could be done by nurses. Later, gamelan jawa music therapy combined with spiritual healing are done temporarily. The outcome should be evaluated by GES Questionnaire. Conclusion: MOTION AND SPIRIT could be one of complementary therapy method for stroke survivors, thus quality of life could increase. Keywords : stroke, complementary therapy, gamelan jawa music therapy, spiritual healing

1. PENDAHULUAN Stroke merupakan penyakit penyebab kecacatan tertinggi di dunia. Stroke juga merupakan penyebab utama kematian di United States yang menyebabkan 130.000 kematian setiap [1] tahunnya. Prevalensi stroke akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia, prevalensinya meningkat drastis ketika mencapai usia 80 tahun yaitu 13.9 persen pada laki-laki dan 12.6 persen [2] pada perempuan. Jumlah penderita stroke di Indonesia terus meningkat dari 8,3 per 1000 (2007) menjadi 12,1 per 1000 [3] (2013). Provinsi Yogyakarta menempati urutan kedua tertinggi untuk penyakit [3] stroke yaitu 16,9%. Kabupaten Sleman memiliki angka tertinggi untuk penderita [4] stroke di Yogyakarta. Setiap tahun penderita stroke di Kabupaten Sleman [4] mencapai 13650 orang. Setiap harinya ada 38 orang yang menderita stroke dengan interval usia 50 tahun hingga 70 [4] tahun. Stroke atau Cerebrovasculer accident (CVA) menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi, ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral. Gejala defisit neurologik dapat berupa kesulitan berbicara, perubahan status mental, gangguan penglihatan, sakit kepala, pusing, kesulitan berjalan, kehilangan keseimbangan dan [5] koordinasi. Penyebab yang paling sering terjadi setelah serangan stroke adalah hemiparesis. Sekitar 70-80% pasien yang terkena serangan stroke mengalami hemiparesis dan 20% pasien stroke akan [6] mengalami penurunan fungsi motorik. Semua masalah yang dapat dialami oleh pasien stroke dapat menurunkan kepercayaan diri, enggan untuk berjalan, depresi, dan menurunnya partisipasi untuk program rehabilitasi. Program rehabilitasi

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

pada pasien stroke ditujukan untuk meningkatkan fungsi motorik dan [5] mencegah kontraktur. Salah satu gangguan pada fungsi motorik adalah masalah ketidakseimbangan postural yang dapat menyebabkan pasien merasa kurang aman saat berjalan. Hal tersebut dapat mencegah pasien untuk menjalankan program rehabilitasi. Dengan demikian, pasien dapat menolak untuk berpartisipasi dalam program dimana [7] mereka mampu melakukannya. Salah satu cara mengatasi fenomena diatas adalah diperlukannya sebuah terapi komplementer yang dapat digunakan untuk menurunkan depresi, meningkatkan mobilitas fungsional, semangat, serta kualitas hidup pasien stroke. Sehingga tujuan penulisan dalam artikel tinjauan pustaka ini adalah untuk mengetahui salah satu terapi komplementer yang tepat dan efisien agar mampu meningkatkan motivasi diri pasien stroke dalam mengikuti program rehabilitasi sehingga kualitas hidup pasien stroke dapat meningkat. Bentuk terapi komplementer yang dapat digunakan sebagai intervensi mandiri oleh perawat adalah kombinasi antara musik tradisonal Jawa dengan penyembuhan spiritual. Musik tradisional Jawa memiliki irama yang beraturan dan [8] dapat meningkatkan semangat hidup. 2.

METODE PENULISAN Metode penulisan menggunakan studi kepustakaan. Dimulai dari gagasan kemudian mengumpulkan bahan dengan membaca, mengutip, dan menyimpulkan secara langsung dari bahan-bahan yang berhubungan dengan gagasan ini, baik dari media elektronik maupun media cetak yang berupa internet, jurnal, text book, serta artikel berbasis ilmiah. Bahan yang telah dikumpulkan, dianalisa

│2


dengan metode menghubungkan literatur satu dengan yang lainnya, untuk memperjelas makna literatur-literatur tersebut. Bersamaan dengan penyusunan gagasan ini, dilakukan konsultasi dengan pakar keperawatan yang terkait. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan : a. Metode telaah pustaka Bahan yang dicari dalam telaah diantaranya adalah pengetahuan mengenai stroke, terapi komplementer untuk pasien stroke dan cara mningkatkan kualitas hidup pasien stroke. Terdapat 13 jurnal baik internasional dan lokal yang disadur dari tahun 2009 sampai tahun 2014, 2 text book tahun 2005-2006 serta artikel dari organisasi American Heart Association and American Stroke Association pada tahun 2014. 3. PEMBAHASAN Konsep diri secara fisiologis, emosional, dan sosial dibentuk berdasarkan reaksi orang lain terhadap klien dan kemudian oleh interpretasi individu tentang reaksi ini pada diri sendiri. Konsep diri dipengaruhi oleh peran kesehatan, pengalaman keluarga, sosial, okupasi, serta aktivitas intelektual dan kesenangan. Komponen konsep diri adalah identitas, citra tubuh, harga diri, [9] dan peran. Perubahan fisik dalam tubuh seperti kecacatan pada pasien pasca stroke adalah suatu stressor bagi komponen konsep diri yang akan menyebabkan krisis gangguan konsep diri. Salah satu faktor yang menjadi stressor gambaran diri adalah disfungsi motorik yang dialami pasien stroke (hemiplegia, hemiparise dan penurunan reflek tendon) yang akan berakibat gangguan integrasi gambaran diri hingga akhirnya syok psikologis yang berkelamaan, tidak dapat menerima perubahan yang terjadi, menarik diri hingga akhirnya [9] depresi. Urgensi dari setiap kesakitan akan mempengaruhi konsep harga diri pada individu. Hasil penelitian Rizkytia, konsep diri pada pasien stroke ringan di polikinik saraf RSUD Sumedang yang diambil dengan metode accidental dengan Kuesioner Konsep Diri Robson (RSCQ) menunjukkan sebanyak 14 responden mempunyai konsep diri yang negative dari [10] 30 responden.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Indha dkk menyatakan bahwa didapatkan 18 orang penderita stroke mengalami depresi dari total 37 pasien yang nantinya akan berpengaruh terhadap kemampuan fungsional pasien serta dapat [11] menimbulkan gangguan konsep diri. Hal serupa juga diungkapkan Perubahan konsep diri pasien pasca stroke di Poliklinik Saraf Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Menunjukkan bahwa responden yang mengalami perubahan konsep diri negatif sebanyak 21 (70,0%) dan responden yang mengalami perubahan konsep diri positif [12] sebanyak 9 (30,0%). Berdasarkan data tersebut, pasien stroke mengalami banyak masalah yang berkaitan dengan konsep diri. Hal ini berdampak pada menurunnya motivasi diri pasien untuk melakukan program rehabilitasi, sehingga dalam MOTION AND SPIRIT dilakukan dua tindakan keperawatan utama yaitu: a. Terapi Musik tradisional Gamelan Jawa Penyembuhan melalui musik adalah penggunaan pengalaman musikal, bentuk energi dan kekuatan universal yang melekat pada musik untuk menyembuhkan tubuh, pikiran, dan aspek-aspek [13] spiritual. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pada intervensi terapi musik tradisional adalah sebagai berikut. a) Perkenalan b) Bangun hubungan saling percaya c) Kaji pasien mengenai persepsi sehat dan sakit, spiritual dan biopsikososiokultural. d) Memposisikan pasien dalam keadaan nyaman (di atas tempat tidur atau kursi roda, disesuaikan) e) Kaji konsep diri pasien. Gangguan mobilitas fungsional dapat menyebabkan timbulnya gangguan citra tubuh yang berdampak pada konsep diri pasien. Peran perawat disini adalah untuk meningkatkan kesadaran diri pasien, membantu pasien dalam evaluasi diri, serta membantu pasien mengenali tujuan yang tercapai dan mengevaluasi [9] tujuan yang tidak tercapai. f) Perawat melakukan terapi musik gamelan jawa dengan nada pelog yang dilakukan dalam rentang waktu [13] 30 menit dalam satu hari.

│3


g)

Terapi musik pada pasien stroke dapat mempengaruhi perubahan mood dan emosi secara positif yang berdampak pada peningkatan kemauan dan kemampuan baik secara kognitif maupun motorik untuk melakukan latihan. Musik gamelan jawa dengan nada pelog akan dikombinasikan dengan lirik-lirik berupa nasihat yang berisi tentang esensi kehidupan. Salah satu contoh nasihat yang dapat digunakan untuk dalam alunan musik gamelan jawa pelog yaitu sebagai berikut. “Hidup ini penuh dengan irama, ada irama tinggi, ada irama rendah, kenali bunyi irama tersebut, dan ikuti gerak hidup kita sesuai dengan irama, agar keindahan itu terwujud dalam hidup kita” “Hidupkan alarm dalam jiwamu, alarm yang mengingatkanmu tatkala tersalah, alarm yang mengingatkanmu ketika terjatuh, dan alarm yang mengingatkanmu tatkala larut dalam keberhasilan” “Jangan cemas atau sedih dengan kondisimu hari ini, bekerjalah selalu, mintalah selalu kepada Tuhanmu agar kecemasan ataupun kesedihan itu segera pergi darimu, sebab orang yang berbuat baik tak perlu merasa cemas dan sedih, mereka adalah orang yang dekat dengan rahmat Tuhannya” “Belajarlah dari anak-anak, mereka begitu cepat memaafkan orang lain, padahal mereka baru saja berkelahi, namun tak berapa lama, mereka sudah bermain kembali dan tegak bersama menjalani hidup” Musik gamelan jawa diringi dengan alunan lirik berupa nasihat yang berisi tentang esensi kehidupan. Lirik akan disesuaikan dengan irama musik gamelan jawa nada pelog sehingga keharmonisan dapat tercapai. Hal ini dapat menyebabkan perubahan positif pada pasien karena dapat merubah pola persepsi sehat sakit pasien akibat dari sugesti dan pengendalian emosional serta penurunan tingkat depresi pada pasien stroke sehingga motivasi, kemauan serta kemampuan pasien dapat meningkat.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

h)

Melakukan terminasi pada pasien dengan tetap memberikan reinforcement

b.

Penyembuhan Spiritual Spiritualitas diidentifikasi sebagai sumber yang penting pada pasien sehingga dapat membantu mereka dalam mengatasi distress yang mereka alami [14] selama sakit. Penyembuhan spiritual sering dikaitkan dengan keyakinan yang kuat dan kekuatan doa untuk menyembuhkan penyakit. Peran pendampingan secara spiritual sebenarnya merupakan kompetensi dari profesi keperawatan. Peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien secara holistik meliputi biologi, psikologis, dan spiritual. Tujuan pendampingan dan penyembuhan secara spiritual pada pasien stroke adalah memfasilitasi pasien menemukan pemulihan secara holistik, memfasilitasi terjadinya pendamaian dalam diri, menemukan konsep diri, penguatan, penopangan, dan pembimbingan kepada [15] pasien stroke terutama usia lanjut, sehingga alat untuk mengkaji spiritual pasien dan intervensinya berdasarkan pendekatan secara holistik sangat dibutuhkan untuk meningkatkan penyembuhan pasien. Terdapat dua tindakan keperawatan utama yang dapat kita lakukan pada saat penyembuhan secara spiritual, yaitu pengkajian terhadap keyakinan dan kegiatan beribadah berupa berdoa. 1. Pengkajian terhadap spiritual: a) Perkenalan b) Bangun hubungan saling percaya dengan pasien c) Melakukan pengkajian mengenai spiritual pasien dengan menggunakan GES questionnaire. Dalam GES questionnaire, perawat akan memberikan open question pada pasien dengan tujuan untuk membangun rasa percaya, serta mengkaji spiritualitas pasien. Terdiri dari delapan item dengan spiritualitas pasien sebagai faktor utama, dan tiga dimensi spiritualitas, yaitu intrapersonal, interpersonal, dan transpersonal. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah: 1. Apa yang paling membuatmu khawatir?

│4


2. Apa yang paling membuatmu takut? 3. Apa yang paling bisa membantumu? 4. Apa atau siapa yang dapat mendukungmu ketika berada di dalam situasi krisis? 5. Apa yang dapat membuatmu merasa aman? 6. Apa yang kebanyakan orang lakukan ketika sedang menilaimu? Pada GES questionnaire juga terdapat 8 item pokok untuk mengkaji spiritualitas pasien, yaitu sebagai berikut: (lampiran) 2.

Kegiatan berdoa a) Perkenalan b) Hubungan saling percaya c) Membantu pasien untuk meyakini bahwa spiritualitas sebagai landasan kehidupan d) Membantu pasien untuk mengetahui esensi kehidupan e) Mengedukasi pasien untuk melakukan kegiatan doa pada Tuhan setiap hari pada waktu pagi, siang, dan malam. Sebagai contohnya adalah sebagai berikut. Seseorang yang mempunyai keyakinan akan kita kaji tingkat spiritualitasnya dan mengarahkan pasien dalam melakukan kegiatan beribadah berdasar value and belief pasien. Dengan berdoa, pasien mendapatkan kesempatan untuk memperbarui kepercayaan dan keyakinannya kepada yang Maha Kuasa dalam cara yang lebih formal. Pasien dapat berpartisipasi dalam berdoa secara pribadi atau mencari kelompok berdoa dengan teman atau keluarga. Selama pengkajian, perawat harus mengeatahui apakah berdoa merupakan ritual penting bagi pasien dan kemudian menentukan apakah intervensi dibutuhkan atau tidak, sehingga berdoa dapat dilakukan. Intervensi dapat mencakup membentuk privasi, mendorong kunjungan dari rohaniawan, atau berdoa bersama [9] pasien. Kegiatan berdoa dapat dilakukan selama tiga kali dalam sehari (pagi, siang, malam) atau lima kali dalam sehari (contoh: agama Islam). Tahapan MOTION AND SPIRIT ini dilakukan dengan terapi musik gamelan jawa dan penyembuhan spiritual. Kombinasi kedua terapi komplementer ini

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

diharapkan dapat memberikan outcome yang memuaskan pada pasien stroke, yaitu meningkatnya motivasi pasien stroke untuk melakukan program rehabilitasi sehingga kualitas hidup pasien meningkat. 4. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan pada gagasan kami, MOTION AND SPIRIT dapat menjadi salah satu alternatif terapi rehabilitatif bagi pasien stroke di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Program utama MOTION AND SPIRIT adalah kombinasi penggunaan musik tradisional jawa dengan penyembuhan spiritual yang dilakukan secara berkesinambungan yang akan berefek pada fungsi kognitif dan fungsi motorik pasien sehingga kualitas hidup pasien dapat meningkat serta perawat dapat mewujudkan pelayanan yang profesional. 5. SARAN Dari hasil telaah pustaka ini penulis mencoba untuk memberi saran dan masukan bagi perawat bahwa dengan menggunakan kombinasi terapi musik tradisional gamelan jawa laras pelog dengan penyembuhan spiritual bagi pasien stroke dapat mengurangi tingkat depresi & kecemasan pasien. Sehingga pasien stroke akan mampu melakukan terapi rehabilitatif dengan baik dan berkesinambungan sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Penulis juga memberikan saran agar perawat bisa menerapkan terapi kombinasi tersebut sebagai terapi komplementer penyembuhan bagi pasien stroke terutama bagi daerah Kabupaten Sleman yang merupakan daerah dengan tingkat pederita stroke tertinggi di Provinsi Yogyakarta. DAFTAR PUSTAKA 1. Kochanek KD, Xu JQ, Murphy SL, MiniĂąo AM, Kung HC. Deaths: final data for 2009. National vital statistics reports. 2011;60(3). 2. American Heart Association and American Stroke Association. Heart Disease and Stroke Statistics 2014 updates. American: Inc. All rights reserved. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013.

│5


4.

Marlina, Novi. Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan Pusat Rehabilitasi Pasca Stroke di Yogyakarta [Skripsi]. Yogyakarta: 1 Program Studi Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Atma Jaya; 2010. 5. Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. Brunner & Suddarth: Textbook of medical surgical nursing. 10th edition. Lippincott Wiliam & Wilkins; 2005. 6. Fathurrohman, Mohammad. Pengaruh Latihan Motor Imagery terhadap Kekuatan Otot Ekstremitas pada Pasien Stroke dengan Hemiparesis di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi [Tesis]. Depok: Program Magister Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Fakultas Ilmu Keperawatan; 2011. 7. Hosseini S.A., Fallahpour, M., Sayadi, M., Gharib, M., Haghgoo, H. The Impact of mental practice patient’s postural balance. Journal of the Neurological Sciences (2012) 322 : 263-267. 8. Lestari et al. Pengaruh Musik Tradisional Jawa Terhadap Penurunan Skor Depresi Pada Lanjut Usia; 2009. 9. Potter, A.P., & Perry, A. Fundamental th of nursing. 4 edition. St.Louis Missouri: Mosby-Year, Inc; 2009.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

10. Rizkytia R, Komaria M,Adiningsih D. Konsep diri pada pasien stroke di poliklinik saraf RSUD Sumendang. FIK UNPAD; 2012. 11. Indha W, Herdy M, Kandou L. Prevalensi gangguan fungsi kognitif dan depresi pada pasien stroke di irina f blursup prof. Dr. R. D. Kandou Manado [Tesis].Manado; 2014 12. Kartini, Murtiani, iiyas. Hubungan dukungan keluarga dengan perubahan konsep diri pada pasien pascastroke di poliklinik saraf rumah sakit khusus daerah provinsi sulawesi selatan. Volume 3 Nomor 1 Tahun 2013 ●ISSN :2302-1721. 107-113. 13. Hadi, R. W. Pengaruh Intervensi Musik Gamelan terhadap Depresi oada Lansia di Panti Wreda Harapan Ibu, Semarang; 2013. 14. Benito, E., Amparo, O., Laura, G., Pilar, B., Antonio, P., Clara, G., Javier, B. Development and validation of a new tool for the assessment and spiritual care of paliative care patients. Journal of pain and symptom management (2014) Vol. 47 No.6 15. Kinasih, Karina Dinda., Aries Wahyuningsih. Peran Pendampingan Spiritual terhadap Motivasi Kesembuhan pada Pasien Lanjut Usia. Jurnal STIKES (2014) Vol 5, No 1.

│6


Lampiran Tabel 1. GES questionnaire item untuk mengkaji spiritualitas pasien (Benito et al, 2014) No

Dimensi

Item Content

1

Intrapersonal

Melihat hidupku yang dulu,aku merasa puas dan bahagia

2

Intrapersonal

Aku sudah melakukan apa yang harus aku lakukan

3

Intrapersonal

Aku menemukan arti kehidupan

4

Interpersonal

Aku menyayangi orang orang di sekitarku

5

Interpersonal

Aku merasakan kedamaian

6

Intrapersonal

Aku percaya bahwa aku dapat membawa suatu yang berharga kedalam hidupku atau orang lain

7

Transpersonal

Selain karena penyakitku, aku masih berharap secara positif apa yang akan terjadi

8

Transpersonal

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Aku merasa terhubung dengan Tuhan

│7


Tabel 2. Post-Stroke Checklist (PSC): No

Variabel

1

Gaya Hidup Sejak divonis stroke pertama

Apakah anda memonitor tekanan darah?

Tidak

1-2x/bulan

1-2x/minggu

Selalu

mencegah stroke menjadi

Apakah anda mengkonsumsi obat sesuai dengan

Tidak

1-2x/bulan

1-2x/ minggu

Selalu

lebih parah?

yang diresepkan?

kali, apakah anda membuat perubahan gaya hidup untuk

Jika kelebihan berat badan, apakah anda

Tidak

Iya

N/A

mengurangi?

Apakah anda berolahraga secara teratur? Apakah anda berhenti merokok? 2

Tidak

1-2x/bulan

Tidak

1-2x/ minggu Iya

Selalu N/A

Aktivitas Harian Sejak anda terkena stroke,

Berpakaian?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Mandi?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Makan atau mempersiapkan makanan?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Berpergian?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

menjadi susah untuk

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│8


3

Mobility and Movement Sejak anda terkena stroke,

Jalan?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Berpindah dari tempat tidur ke kursi?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Apakah lebih mudah jatuh?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Masuk dan keluar dari mobil?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Keseimbangan?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Lengan?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Tangan?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Kaki?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Apakah anda mempunyai nyeri baru?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Apakah anda sering merasa nyeri?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Apakah nyerinya terasa berat?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Bowels?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

menjadi susah untuk

4

Kejang atau kesesakan Sejak terkena stroke, kamu sering mendapat kekakuan pada

5

Nyeri Sejak terkena stroke

6

Inkontinensia Sejak anda terkena stroke,

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│9


anda mendapat masalah dalam mengontrol:

7

Bladder?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Komunikasi dengan dengan orang lain?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Bicara?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Membaca?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Melafalkan nomor?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Khawatir?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Moody atau unstable emotions?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Depresi?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Seperti orang lain? Apa ada yang berubah dari

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Berfikir?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Konsentrasi?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Komunikasi Sejak anda terkena stroke, anda bermasalah dalam:

8

Mood Sejak kamu punya stroke, apa yang kamu rasakan?

dirimu? 9

Kognitif Sejak mendapat stroke, susah untuk :

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│10


10

Mencoba Menggugat?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Bekerja?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Berpatisipasi dalam kegiatan sosial dan hobi atau

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Hubungan intim dan seksualitas?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Fungsi Seksual?

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Apakah hubungan anda dengan keluarga atau teman

Selalu 1-2x/ minggu

1-2x/bulan

Tidak

Hidup sesudah di diagnosa stroke? Sejak mendapat stroke, susah untuk: berpiknik?

11

Seksualitas Sejak anda stroke anda tidak suka dengan:

12

Hubungan dengan keluarga

menjadi lebih sulit atau membuat stress sejak anda stroke? Keterangan: lingkari setiap jawaban yang sesuai dengan respon pasien

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│11


Penelitian

HUBUNGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSI DENGAN PELAKSANAAN TEKNIK KOMUNIKASI TERAPEUTIK PERAWAT DI RSJ dr. RADJIMAN WEDIODININGRAT LAWANG 1

2

Selfi Safrida , Kuswantoro Rusca Putra , Lilik Supriati

2

1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya

ABSTRAK Pendahuluan: Keperawatan jiwa merupakan proses interpersonal untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku yang mengkontribusi pada fungsi yang terintegrasi sehingga perawat harus mampu berkomunikasi dengan berfokus pada kebutuhan khusus klien, untuk meningkatkan pertukaran informasi efektif antara perawat dan klien dibutuhkan dalam memberikan asuhan yang disebut komunikasi terapeutik. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi komunikasi terapeutik perawat, salah satunya adalah emosional yang diukur melalui tingkat kecerdasan emosional. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat di RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang. Metode: Menggunakan metode observasional analitik dengan cross sectional study terhadap 51 perawat di RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang. Sampel dipilih menggunakan teknik cluster random sampling. Variabel yang diukur adalah tingkat kecerdasan emosional dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat. Hasil: Tingkat kecerdasan emosional 66.7% adalah kategori tinggi, dan tingkat 60.8% adalah cukup baik. Uji statistik menggunakan korelasi Spearman dengan taraf kepercayaan 95%. Hasil analisa bivariat menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kecerdasan emosional dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik dengan kekuatan korelasi 0.483. Kesimpulan: Semakin tinggi tingkat kecerdasan emosional, semakin baik pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat. Perlu adanya pelatihan tentang kecerdasan emosional dan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik agar menambah wawasan institusi maupun masyarakat. Kata kunci :

tingkat kecerdasan emosi, pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik

ABSTRACT Introduction: Psychiatric nursing is an interpersonal process to improve and sustain behaviors that contribute to the integrated functions that nurses must be able to communicate with a specific focus on the needs of clients to improve effective information exchange between the nurse and the client needed to provide care that is called therapeutic communication. There are several factors that influence the therapeutic nurse communication, one of which is emotional as measured by the level of emotional intelligence. Aim: To determine correlation among the level of emotional intellegence with implementation of terapeutic communication technique in nurse of RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│12


Methods: This study used analytic observational with cross sectional methode conducted on 51 Nurse of RSJ dr Radjiman Wediodiningrat Lawang. Samples were selected using cluster random sampling technique. The variables measured in this study is level of emotional intelligence and implementation of Terapeutic Communication Technique in Nurse. Results: showed emotional intelligence level at 66.7% that belong to high categories, and implementation of terapeutic communication technique showed 60.8% that belong to good enough categories. The statistical test that’s used Spearman Rho Correlation with confident interval 95%. The result of bivariat analysis showed that there is a significant relationship between level of emotional intelligence and implementation of terapeutic communication technique with strength of correlation amount 0.483. Conclusion: of this study is the higher emotional intelligence level of the nurse, the good enough implementation of Terapeutic Communication Technique. There needs more training about emotional intelligence level and implementation of terapeutic communication technique to increase institution knowledge and also society. Keywords : level of communication technique

emotional

1.

intelligence,

PENDAHULUAN Keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri secara [1] terapeutik sebagai kiatnya. Peran dari keperawatan jiwa menjadi sangat penting mengingat masalah kesehatan jiwa yang cukup tinggi di Indonesia dimana menurut data pada tahun 2007 pada penduduk yang berumur ≼15 tahun sebanyak 11,6% atau sekitar 20 juta orang mengalami gangguan mental emosional (cemas dan depresi) dan sebanyak 0,46% atau sekitar 1 juta orang mengalami gangguan jiwa [2] berat. Penderita gangguan jiwa mengalami kekacauan pikiran, persepsi dan tingkah laku di mana individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain, masyarakat, dan lingkungan yang berhubungan dengan [1] biopsikososial ,sehingga perawat harus mampu berkomunikasi dengan berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan klien dibutuhkan untuk memberikan asuhan keperawatan yang ekletik dan holistic yang disebut [3] komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu persepsi terhadap komunikasi, nilai yang dianut, kemampuan mengendalikan emosi, pengetahuan terhadap isi komunikasi, peran hubungan antara komunikan, dan kondisi lingkungan tempat komunikasi

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

implementation

of

terapeutic

berlangsung. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi isi pesan dan cara bagaimana pesan itu disampaikan. Pemahaman terhadap faktor-faktor ini akan membantu perawat untuk mengetahui alasan klien jika memiliki kesulitan berkomunikasi dan strategi yang [4] dibutuhkan untuk membantu klien. Emosi mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi dan akan berjalan lancar dan efektif apabila dapat mengelola emosinya. Kecerdasan Emosi merupakan kemampuan dalam mengenali perasaanperasaan diri sendiri dan orang lain, dalam memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi diri sendiri dengan baik maupun dalam melakukan hubungan sosial. Kecerdasan emosi seseorang menyumbang pengaruh besar terhadap komunikasi interpersonal seseorang. Orang yang memiliki kecerdasan emosi yang baik dengan kemampuan mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial, dengan adanya kemampuan untuk mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial maka akan mampu melakukan komunikasi yang [5] baik dengan orang lain. Hubungan antara kecerdasan emosi dengan komunikasi terapeutik sangat erat karena dengan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi, perawat dapat menerapkan komunikasi terapeutik dengan baik sehingga dapat terjalin interaksi dan kerjasama yang saling menguntungkan antara perawat dan pasien. Akibatnya anjuran yang diberikan oleh perawat dapat

│13


diterima dan dilaksanakan dengan baik oleh pasien. Dan dengan komunikasi terapeutik yang baik maka perawat lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan khusus pasien karena adanya pertukaran informasi yang efektif antara perawat [3] dengan klien. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Januari 2013 di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang belum ada data resmi mengenai kecerdasan emosi perawat. ketika wawancara dengan beberapa perawat, dikatakan terdapat sekitar satu atau dua perawat dari sepuluh perawat yang ada di setiap ruangan yang sering membentak dan marah-marah kepada pasien, dan beberapa perawat juga membentak kepada pasien saat pasien tidak bisa diinstruksi dengan kata-kata yang halus. Dalam hal pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik sendiri juga belum mendapat perhatian khusus. Padahal komunikasi terapeutik merupakan hal penting bagi perawat untuk membantu pasien dengan gangguan jiwa dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat jiwa di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat, Lawang. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan terutama dalam bidang management keperawatan jiwa tentang kaitanya kecerdasan emosi perawat dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik yang digunakan dalam proses perawatan serta dapat memberikan wawasan akan pentingnya kecerdasan emosi untuk meningkatkan pelaksanaan komunikasi terapeutik sehingga dapat memberikan asuhan keperawatan yang maksimal dalam proses perawatan. 2.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling yaitu dengan mengelompokkan responden

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

berdasarkan ruangan tempat bekerja. Ruangan dipilih secara random. Setelah ruangan terpilih, seluruh perawat yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di ruangan tersebut dijadikan sebagai responden. Kriteria inklusinya adalah perawat instalasi Rawat Inap pasien dewasa non akut dan bukan kepala ruangan, masa kerja minimal 1 tahun sebagai perawat pelaksana, tidak sedang cuti dan tidak sedang menjalankan tugas belajar selama penelitian berlangsung serta bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Jumlah sample dalam penelitian ini dihitung menggunakan Nomogram Harry King dengan tingkat kepercayaan terhadap populasi sebesar 90% sehingga ditentukan sample sejumlah 51 responden. Penelitian ini dilakukan di RSJ dr, Radjiman Wediodiningrat Lawang pada 24 April - 6 Mei 2013. Variabel tingkat kecerdasan emosi diukur menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari kuesioner Sri Mulyani (2008) dari teori Robert K Cooper dan Ayman Syawaf yang berjumlah 20 item [6] soal. Sedangkan variabel pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik diukur menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari teori komunikasi terapeutik Stuart dan Sudden yang berjumlah 22 item soal. Kuesioner telah diuji validitas menggunakan teknik korelasi Pearson Product Moment dan uji reliabilitas menggunakan koefisien alpha cronbach. dengan tingkat signifikansi sebesar 0,06 dan perhitungannya dibantu dengan program SPSS 16.0 for Windows. Untuk mengetahui adanya hubungan antara tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat menggunakan uji korelasi Spearman Rank dibantu dengan program SPSS 16.0 for Windows, dengan tingkat statistik menunjukkan nilai p value < alpha 0,05, berarti terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat. 3. HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan pengumpulan data tentang hubungan tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat RSJ dr.Radjiman Wediodiningrat dengan jumlah sampel 51 perawat sebagai

│14


responden, maka data yang diperoleh adalah sebagai berikut:

Karakteristik Lama Bekerja Responden

Karakteristik Usia Responden

Gambar 5. Karakteristik Lama Bekerja Responden Gambar 1. Karakteristik Usia Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 1 didapatkan bahwa responden paling banyak berusia 31 – 60 tahun sejumlah 40 orang (76.47%). Karakteristik Jenis Kelamin Responden

Gambar 2. Karakteristik Jenis Kelamin Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 2 didapatkan bahwa responden paling banyak berjenis kelamin perempuan sejumlah 29 orang (56.9%).

Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 5 didapatkan bahwa responden paling banyak sudah bekerja di RSJ dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang selama > 10 tahun sejumlah 30 orang (58.8%). Karakteristik Responden Mengikuti Pelatihan Manajemen Emosi

Gambar 6. Karakteristik Responden Mengikuti Pelatihan Manajemen Emosi Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 6 menunjukkan 100% belum pernah mengikuti pelatihan manajemen emosi.

Karakteristik Suku Asal Responden Karakteristik Status Perkawinan

Gambar 3. Karakteristik Suku Asal Responden Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 3 didapatkan 100% berasal dari suku Jawa.

Gambar 7. Karakteristik Status Pernikahan Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 7 di atas didapatkan bahwa responden paling banyak berstatus menikah sejumlah 45 orang (88.2%)

Karakteristik Tingkat Pendidikan Karakteristik Status Kepegawaian

Gambar 4. Tingkat Pendidikan Responden Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 4 didapatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan paling banyak adalah D3 berjumlah 31 orang (60.8 %).

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Gambar 8. Karakteristik Status Kepegawaian Berdasarkan data hasil penelitian pada gambar 8 didapatkan bahwa responden paling banyak berstatus sebagai PNS sejumlah 46 orang (90.2%).

│15


Tingkat Kecerdasan Emosi Perawat

Nilai Teknik Komunikasi Terapeutik Responden

Gambar 9. Tingkat Kecerdasan Emosi Responden Berdasarkan gambar 9 didapatkan hasil bahwa sebagian besar tingkat kecerdasan emosi perawat berada pada tingkatan tinggi sebanyak 34 orang (66,7%). Nilai Komponen Kecerdasan Emosi

Gambar 12. Nilai Teknik Komunikasi Terapeutik Berdasarkan gambar 12 hasil teknik komunikasi terapeutik dengan total nilai tertinggi adalah teknik klarifikasi yaitu 359. 3.1 ANALISA DATA Tabel 1. Tabel Silang Hubungan Tingkat Kecerdasan Emosi Dengan Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat RSJ Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang

Gambar 10. Nilai Komponen Kecerdasan Emosi Responden Berdasarkan gambar 10 didapatkan hasil bahwa kecerdasan emosi dengan total nilai tertinggi adalah komponen mengenali emosi diri yaitu 687.

Tingkat Kecerdasan Emosi * Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik

Tingkat Kecerdasan Emosi

Cukup Baik

Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat

Gambar 11. Pelaksanaan Teknik Kom. Terapeutik Berdasarkan gambar 11 didapatkan hasil bahwa sebagian besar pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat adalah cukup baik (31 responden atau 60.8%).

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik

To tal

Sig (p)

Kore -lasi

(r)

Baik

Cukup

16

1

17

Tinggi

15

19

34

Total

31

20

51

0.000

0.48 3

Hasil uji korelasi Spearman Rank menunjukkan bahwa antara variabel 1 dan 2 memiliki besar korelasi (r)= 0.483 bernilai positif, signifikansi (p) sebesar 0.000 yang berarti bahwa tingkat kecerdasan emosi dan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik memiliki hubungan searah dengan keeratan hubungan sedang dan bermakna. Dengan demikian hipotesa bahwa ada hubungan antara tingkat

│16


kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat diterima pada selang kepercayaan 95% (p < 0.05) dan terdapat hubungan searah yang sedang antara kedua variabel yang diteliti. 3.2 PEMBAHASAN Tingkat Kecerdasan Emosi Perawat Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi [7] diri, empati dan keterampilan sosial. Hasil Penelitian tingkat kecerdasan emosi perawat di RSJ dr.Radjman Wediodiningrat Lawang menunjukkan bahwa sebagian besar perawat yang memiliki tingkat kecerdasan emosi tinggi. Kecerdasan Emosi dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain faktor biologis, [8] psikologis, budaya dan lingkungan. Teori lain yang selaras mengatakan bahwa kecerdasan emosi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Mayer menyimpulkan bahwa kecerdasan emosi berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman dari kanakkanak hingga dewasa, lebih penting lagi bahwa kecerdasan emosional dapat dipelajari, ditingkatkan, serta dikembangkan. Semakin bertambah usia seseorang semakin dapat menyadari [9] perasaan diri dan orang lain. Hasil penelitian tentang usia responden didapatkan bahwa responden paling banyak berusia 31 – 60. Terdapat kecenderungan tingkat kecerdasan emosional yang cukup, hal ini seiring dengan semakin dewasa usia seseorang juga punya kecerdasan emosi yang cukup tinggi. Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana [10] mengelolanya melalui pendidikan. Penelitian tentang status pendidikan didapatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan paling banyak adalah D3. Kecenderungan ini menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasan emosinya. Faktor pendidikan yang lain yang lebih spesifik mengenai pendidikan dalam kecerdasan emosi adalah pelatihan manajemen kecerdasan emosi. Hasil penelitian mengenai pernah atau tidak mengikuti pelatihan manajemen emosi menunjukkan bahwa semua responden belum pernah mengikuti pelatihan manajemen emosi. Namun dari hasil penelitian ini tidak dapat diketahui kecenderungannya karena homogennya data sehingga tidak dapat dibandingkan. Seseorang beranggapan bahwa dengan memiliki pasangan dapat memiliki teman curhat selain teman dan orang tua, dapat menjadi penyemangat, motivasi berprestasi, belajar bersosialisasi dengan lawan jenis, dan pembelajaran menjadi [11] lebih dewasa. Hasil penelitian tentang status pernikahan responden menunjukkan responden paling banyak berstatus menikah. Kecenderungan ini menyimpulkan bahwa jika seseorang sudah menikah dapat meningkatkan kecerdasan emosinya dibandingkan dengan saat seseorang tersebut belum menikah atau sudah janda atau duda. Hal tersebut dikarenakan pasangan sebagai salah satu bagian dari faktor lingkungan sebagai tempat belajar mengenali dan [8] mengekspresikan emosi secara tepat. Budaya melatarbelakangi kecenderungan seseorang untuk [8] mengekspresikan emosinya. Hasil penelitian mengenai suku adat istiadat menunjukkan bahwa seluruh responden berasal dari suku Jawa. Suku jawa memiliki kecenderungan yang lemah lembut, sopan, dan sangat memperhatikan perasaan orang lain. Namun, ketidakadaan responden yang memiliki suku lain menyebabkan faktor suku ini tidak dapat dibandingkan perbedaannya antara satu suku dengan suku lain yang melatarbelakangi kecenderungan seseorang untuk mengekspresikan emosinya. Pengalaman secara tidak langsung akan mengajarkan bagaimana cara pemecahan suatu masalah yang sedang dihadapi termasuk dalam [12] mengekspresikan emosinya. Hasil penelitian didapatkan bahwa responden paling banyak sudah bekerja di RSJ dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang selama selama > 10 tahun.

│17


Kecenderungan ini menyimpulkan bahwa jika seseorang memiliki pengalaman bekerja yang lebih lama, maka akan lebih mampu memanajemen emosinya dengan baik. Hasil Penelitian tingkat kecerdasan emosi perawat di RSJ dr. Radjman Wediodiningrat Lawang menunjukkan bahwa komponen kecerdasan emosi dengan nilai tertinggi adalah komponen mengenali emosi diri dan terendah adalah komponen membina hubungan. Kesadaran emosi merupakan kemampuan untuk mengenali emosi pada waktu emosi itu terjadi. Kesadaran emosi berarti waspada terhadap suasana hati atau pikiran tentang suasana hati atau tidak hanyut dalam emosi. Orang yang dapat mengenali emosi atau kesadaran diri terhadap emosi, tidak buta terhadap emosi-emosinya sendiri, termasuk dapat memberikan label setiap emosi yang dirasakan secara tepat. Mengenali emosi atau kesadaran diri terhadap emosi ini [13] merupakan dasar kecerdasan. Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik merupakan suatu interaksi interpersonal antara perawat dan klien yang selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan klien. Ketrampilan dalam menggunakan teknik komunikasi terapeutik membantu perawat memahami dan berempati terhadap [3] pengalaman klien. Teknik komunikas terapeutik terdiri dari mendengar, pertanyaan terbuka, mengulangi, klarifikasi, refleksi, memfokuskan, membagi persepsi, identifikasi tema, diam, informasi, saran. Teknik komunikasi berfungsi untuk membantu tercapainya [14] tujuan komunikasi. Hasil penelitian pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat di RSJ dr.radjiman wediodiningrat lawang didapatkan bahwa sebagian besar pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat adalah cukup baik. Faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi dalam pelayanan keperawatan meliputi persepsi, nilai, emosi, pengetahuan, peran dan [4] hubungan, dan konisi lingkungan. Tannen (1990) menyatakan bahwa kaum perempuan menggunakan teknik

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

komunikasi untuk mencari konfirmasi, meminimalkan perbedaan, dan meningkatkan keintiman, sementara kaum laki-laki lebih menunjukan indepedensi dan [4] status dalam kelompoknya. Hasil penelitian tentang jenis kelamin responden paling banyak berjenis kelamin perempuan. Dari kecenderungan sebagian besar perawat berkomunikasi terapeutik dengan cukup baik tersebut dapat disimpulkan bahwa wanita mampu menerapkan teknik komunikasi lebih baik dibandingkan dengan laki-laki. Tingkat pengetahuan akan mempengaruhi komunikasi yang dilakukan. Seseorang dengan tingkat pengetahuan rendah akan sulit merespon pertanyaan yang mengandung bahasa verbal dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi. Hubungan terapeutik akan terjalin dengan baik jika didukung oleh pengetahuan perawat tentang komunikasi terapeutik. Perawat juga perlu mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga perawat dapat berinteraksi dengan baik dan akhirnya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada klien secara [4] professional. Hasil penelitian tentang status pendidikan responden didapatkan bahwa responden dengan tingkat pendidikan paling banyak adalah D3. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pelaksanaan teknik komunikasi yang baik berdasarkan jumlahnya berada pada urutan kedua. Mungkin hal ini dikarenakan tingkat pendidikan tinggi (S1) juga menempati peringkat kedua berdasarkan jumlahnya. Dari kecenderungan sebagian besar perawat berkomunikasi terapeutik dengan cukup baik tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka orang tersebut akan mampu melaksanakan teknik komunikasi dengan lebih baik. Masa bekerja merupakan waktu dimana seseorang mulai bekerja di tempat kerja. Makin lama seseorang bekerja semakin banyak pengalaman yang dimilikinya sehingga akan semakin baik [15] komunikasinya. Hasil penelitian tentang lama bekerja didapatkan bahwa responden yang paling banyak perawat sudah bekerja di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang selama > 10 tahun. Dari kecenderungan sebagian besar perawat berkomunikasi terapeutik dengan cukup baik tersebut dapat disimpulkan semakin

│18


lama pengalaman bekerja seseorang di bidangnya maka pelaksanaan komunikasi terapeutik nya juga semakin baik. Hasil Penelitian pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat di RSJ dr. Radjman Wediodiningrat Lawang menunjukkan bahwa teknik komunikasi terapeutik dengan nilai tertinggi adalah teknik klarifikasi dan terendah adalah teknik informasi. Berdasarkan hasil diatas, data dikatakan bahwa perawat di RSJ dr. Radjman Wediodiningrat Lawang paling baik dalam melakukan teknik klarifikasi dalam komunikasi terapeutik. Klarifikasi merupakan kegiatan yang dilakukan bila perawat rasa tidak jelas, tidak mendengar klien berhenti karena waktu mengemukakan informasi, informasi yang diperoleh tidak lengkap atau mengemukakannya berpindah-pindah. Sedangkan teknik informasi adalah teknik yang bertujuan memberi informasi dan [16] fakta untuk pendidikan kesehatan klien. Tingkat Kecerdasan Emosi dengan Pelaksanaan Teknik Komunikasi Terapeutik Perawat di RSJ dr.Radjiman Wediodiningrat Lawang Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan korelasi Rank Spearman, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecerdasan emosi dan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. Sehingga dengan semakin tingginya tingkat kecerdasan emosi perawat maka pelaksanaan komunikasi terapeutiknya akan semakin baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan bahwa orang yang cerdas emosi akan mampu mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial, dengan adanya kemampuan untuk mengenali emosi, mengendalikan emosi, memotivasi diri, empati dan hubungan sosial maka akan mampu melakukan komunikasi [5] dengan orang lain. Seorang perawat yang memilki kecerdasan emosi yang tinggi mempunyai potensi untuk mengetahui dan menangani perasaannya sendiri dengan baik dan mampu membaca, menghadapi perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan perawat dengan kecerdasan emosi yang rendah sulit mengendalikan keadaan emosinya sehingga mempengaruhi kemampuan untuk berfikir dengan jernih dan merusak

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

kemampuan untuk memusatkan perhatian [17] pada. Dalam teori, masing-masing komponen kecerdasan emosi dijabarkan bahwa peningkatan kesadaran diri akan menghasilkan komunikasi yang lebih produktif. Dalam mengendalikan emosi, keadaan tenang dan stabil ini membuat seseorang dapat melakukan komunikasi interpersonal dengan orang lain. Berbeda dengan orang yang sulit mengendalikan diri, maka mereka akan melakukan hambatan dalam komunikasi interpersonal. Orang yang optimis merupakan orang yang cerdas emosi, mereka akan tetap melakukan komunikasi dengan orang lain meskipun sedang dilanda masalah. Perawat yang empati akan mampu berkomunikasi interpersonal dengan pasiennya, sehingga mereka akan menerima pasien tanpa syarat, dan tanpa bias.. Makin baik hubungan seseorang makin terbuka seseorang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung diantara [13] komunikan. Penelitian ini menyatakan bahwa hasil terbanyak untuk variabel tingkat kecerdasan emosi adalah kategori tinggi dan untuk variabel pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik adalah cukup baik. Jika di tinjau dari teori seharusnya dengan tingkat kecerdasan emosi yang tinggi seharusnya pelaksanaan teknik komunikasinya semakin baik. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik berlawanan dengan hasil yang mendukung. Seperti, tingkat pendidikan yang kebanyakan D3. Selain itu mungkin juga dipengaruhi oleh faktorfaktor yang mempengaruhi tetapi tidak diteliti dalam penelitian ini. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa komponen kecerdasan emosi perawat yang paling baik adalah komponen mengenali emosi diri dan komponen yang terendah adalah komponen membina hubungan. Mungkin hal ini yang menyebabkan mengapa ada beberapa perawat yang memiliki tingkat kecerdasan emosi tinggi namun pelaksanaan komunikasi teraputik hanya pada tingkat cukup baik.

│19


Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, diantaranya yaitu: 1. Karakteristik responden yang diteliti yang mampu mempengaruhi variabel tidak seluruhnya dinilai dalam penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan waktu peneliti dan tenaga peneliti. 2. Beberapa karakteristik seperti suku dan kesertaan dalam pelatihan manajemen emosi didapatkan hasil yang homogen sehingga tidak dapat dinilai hubungannya dengan variabel yang dipengaruhi. 3. Penilaian terhadap komunikasi terapeutik perawat dilakukan menggunakan kuesioner yang diisi oleh perawat sendiri sehingga penilaian bisa jadi merupakan persepsi subyektif terhadap dirinya sendiri. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal berikut: 1. Tingkat kecerdasan emosi perawat di RSJ dr. Radjiman Wediodiningrat masuk dalam kategori tinggi (66.7%). 2. Pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat di RSJ dr.Radjiman Wediodiningrat masuk dalam kategori cukup baik (60.8%). 3. Ada hubungan antara tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat di RSJ dr.Radjiman dengan kekuatan korelasi sedang dan hubungan yang bermakna. 5. SARAN Bagi Institusi Terkait/Perawat 1. Melihat adanya hubungan tingkat kecerdasan emosi dengan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat maka diharapkan dengan penelitian ini dapat menjadi wacana dan memberi masukan kepada institusi terkait perawat untuk meningkatkan kecerdasan emosi dalam rangka meningkatkan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik perawat dalam memberikan asuhan kepada pasien. 2. Institusi keperawatan secara khusus meningkatkan kecerdasan emosi perawat pada komponen mengelola

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

emosi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan yang berdasarkan penelitian nilainya berada pada 3 terbawah. 3. Institusi keperawatan secara khusus memperhatikan pelaksanaan teknik komunikasi terapeutik pada teknik refleksi, memfokuskan dan informasi yang berdasarkan penelitian nilainya berada pada 3 terbawah. Bagi Penelitian Selanjutnya 1. Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya untuk mengembangkan wawasan dan dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian selanjutnya. 2. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat mengadakan penelitian lanjutan mengenai kecerdasan emosional dan komunikasi terapeutik dengan meneliti faktor lain yang mempengaruhi derajat komunikasi terapeutik. Sehingga dapat diketahui faktor lain yang mempunyai hubungan paling besar terhadap pelaksanaan koumunikasi terapeutik. 3. Bagi penelitian selanjutnya penelitian mengenai karakteristik responden diharapkan lebih heterogen. Sehingga dapat diketahui hubungannya dengan kecerdasan emosi maupun komunikasi terapeutik. 4. Bagi penelitian selanjutnya dalam penilaian komunikasi terapeutik sebaiknya menggunakan metode observasi agar dapat menetahui secara lebih objektif bagaimana komunikasi terapeutiknya. DAFTAR PUSTAKA 1. Stuart, Sundeen. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Alih Bahasa: Achir Yani S. Hamid. ed ke-3. Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC;1998 . 2. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia; 2008. 3. Videbeck, L Sheila. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC; 2008. 4. Potter , Perry. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC;2002 .

│20


5. Goleman, D.Emotional Intelligence: Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2000. 6. Mulyani, Sri. Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Kecerdasan Emosi Terhadap Komunikasi Interpersonal Perawat Dengan Pasien Di Unit Rawat Inap Rsjd Dr. Amino Gondohutomo Semarang Tahun. Skripsi. Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit, Semarang; 2008. 7. Goleman, D. Healing Emotions : Percakapan dengan Dalai Lama, tentang Meditasi, Perasaan dan Kesehatan. Batam: Interaksara; 2002. 8. Martin, A. D. Smart Emotional volume 1 Membangun Kecerdasan Emosi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2006. 9. Santrock. Remaja. Edisi 11.Jakarta : Erlangga; 2007. 10. Agustian, A. G. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual ESQ: Emotional Spiritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta: ARGA Publishing; 2007.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

11. Azmiani, dkk. Makalah Psikologi Sosial Remaja dan Pacaran. Fakultas Psikologi, Universitas Islam Sultan Agung. Semarang ; 2012 12. Notoatmodjo, S. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Yogyakarta: Andi Offset ; 2001. 13. Shapiro, LE. Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama; 2003. 14. Goleman, D. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2005.. 15. Kariyoso. Pengantar Komunikasi bagi Siswa perawat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 1994. 16. Stuart, Sundeen. Buku Saku Keperawatan Jiwa). Jakarta : Buku Penerbit Kedokteran EGC; 2006. 17. Goleman, D. Emotional Intligence. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2006.

│21


Penelitian

EFEKTIFITAS EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn.) TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA BAKAR PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN 1

2

Reza Fitra Kusuma Negara , Retty Ratnawati , Dina Dewi 2 SLI 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran,Universitas Brawijaya

ABSTRAK Pendahuluan: Luka bakar sering terjadi di rumah dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat II. Daun sirih (Piper betle Linn.) adalah bahan alam yang memiliki kandungan aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, minyak atsiri dan diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka, khususnya pembentukan jaringan granulasi. Jaringan granulasi merupakan pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses penyembuhan dan pembentukannya merupakan salah satu komponen penting dalam penyembuhan luka. Tujuan: Untuk mengetahui pengaruh perawatan luka bakar derajat II secara topikal menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan. Metode: Desain penelitian menggunakan true-experiment post-test dilakukan terhadap hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan. Sampel diambil dengan teknik rancangan acak kelompok dan dibagi dalam empat kelompok yaitu 3 perlakuan ekstrak daun sirih: konsentrasi 15% (n=6), 30% (n=6), 45% (n=6), dan kelompok kontrol dengan NS (n=6). Data yang diukur adalah ketebalan jaringan granulasi pasca perawatan luka bakar selama 14 hari. Analisis data pada variabel menggunakan uji OneWay ANOVA dengan p = 0,04 (p < 0,05). Hasil: Melalui uji Post Hoc Test dapat dilihat bahwa perlakuan yang paling signifikan ditunjukkan oleh konsentrasi daun sirih 45% dengan p = 0,03 (p < 0,05). Kesimpulan: Perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn) mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Kata kunci : Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn), Ketebalan Jaringan Granulasi, Luka Bakar Derajat II.

ABSTRACT Introduction: Burns most often occurs at home and found that second degree burns is the highest prevalence. Sirih leaves (Piper betle Linn.) are natural materials that have active substances such as saponin, tannin, flavonoid, essential oil and supposedly can promote wound healing process, especially in granulation tissue formation. Granulation tissue is growth of new tissue that occurs when the process of wound healing in progress and its formation one of important component in wound healing.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│22


Aim: To find out the effect of second degree burn topical treatment using the extract of sirih leaves (Piper betle Linn.) toward the granulation tissue thickness in male white rats (Rattus norvegicus strain Wistar). Methods: True-experimental post-test design was used and conducted to male white rats. Samples taken with a randomized block design and divided into four groups which 3 of them were treated using Piper betle Linn. extract with variety of concentrate: 15% (n=6), 30% (n=6), 45% (n=6), and NS 0,9% served as control. Granulation tissue thickness was measured after second degree burn treatment for 14 days. One-Way ANOVA test shows that there is a significant difference of granulation tissue thickness among each group with p = 0,04 (p < 0,05). Results: Post Hoc Test demonstrated that 45% dose was the best concentrate to optimize granulation tissue formation with p = 0,03 (p < 0,05). Conclusion: The second degree burn treatments using the ethanol extract of sirih leaves (Piper betle Linn.) affects the increasing of granulation tissue formation. Keywords :

Granulation tissue thickness, second degree burns, Sirih extract (Piper betle Linn.)

1. PENDAHULUAN Luka bakar merupakan luka yang unik karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka [1] waktu yang lama. Luka bakar paling sering terjadi di rumah dan ditemukan [2] terbanyak adalah luka bakar derajat II. Kelompok terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak kelompok usia di bawah enam tahun. Puncak insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja, yaitu pada usia 25-35 tahun. Kelompok ini sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas [3] khusus luka bakar. Oleh karena itu, perawatan luka bakar memegang peranan penting dalam proses penyembuhan luka. Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada kulit. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan melewati beberapa fase, yaitu fase haemostasis, fase inflamasi, fase [4] proliferasi, dan fase maturasi. Pada fase proliferasi, terjadi proses kontraksi luka, epitelialisasi, dan pembentukan jaringan [5] granulasi. Jaringan granulasi adalah pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses penyembuhan, terdiri atas pembuluhpembuluh kapiler yang baru dan sel-sel [6] fibroblas yang mengisi rongga tersebut. Pembentukan jaringan granulasi adalah tahap yang penting dalam fase proliferasi [7] dan penyembuhan luka. Jadi, peran perawat dalam perawatan luka seperti pemilihan balutan hingga pemilihan larutan pembersih luka menjadi sangat penting

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Larutan pembersih luka yang dianjurkan adalah cairan normal saline. Normal saline merupakan cairan fisiologis dan tidak akan membahayakan jaringan luka. Perawat menggunakan cairan salin untuk mempertahankan permukaan luka agar tetap lembab sehingga dapat meningkatkan perkembangan dan migrasi jaringan epitel, tetapi penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa normal saline sama sekali tidak mempengaruhi pembentukan [8] jaringan granulasi. Piper betle Linn. merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan dikenal dengan nama sirih. Secara tradisional sirih dipakai sebagai obat sariawan, sakit tenggorokan, obat batuk, obat cuci mata, dan perdarahan [9] pada hidung atau mimisan. Daun sirih mengandung molekul-molekul bioaktif seperti saponin, tannin, minyak atsiri, flavonoid, dan fenol yang mempunyai kemampuan untuk membantu proses penyembuhan luka serta nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka [10,11] seperti vitamin A dan vitamin C. Tannin membantu proses penyembuhan luka melalui peningkatan jumlah pembentukan pembuluh darah kapiler dan [12] sel-sel fibroblas. Molekul bioaktif lain yang mempunyai peran sebagai [13,14] antimikroba adalah minyak atsiri. Flavonoid dan fenol berperan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk menunda atau menghambat reaksi oksidasi oleh [15] radikal bebas.

│23


Saat ini penelitian untuk pengobatan luka bakar menggunakan bahan-bahan herbal mulai banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satu bahan herbal yang digunakan untuk mengobati luka adalah Piper betle Linn. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mun’im dkk, membuktikan bahwa ekstrak Piper betle Linn mempunyai efek yang signifikan terhadap penyembuhan luka diabetik fase proliferasi pada tikus. Dari penelitian tersebut memungkinkan bahwa ekstra Piper betle Linn juga dapat meningkatkan proliferasi pada proses penyembuhan luka [10] bakar. Sejauh ini belum dilakukan penelitian tentang efek ekstrak daun sirih pada luka bakar. Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan di atas maka perlu diteliti potensi daun sirih untuk terapi luka bakar, khususnya dalam mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ketebalan jaringan granulasi pada perawatan luka bakar derajat II tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan setelah pemberian ekstrak etanol daun sirih. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi, referensi, dan inovasi baru pemanfaatan daun sirih sebagai penyembuh luka dan dapat dikembangkan sebagai terapi komplementer yang efektif dan efisien. 2. METODE PENELITIAN Desain Penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian true-experiment post-test dengan kelompok eksperimen dan kontrol. Pengukuran hanya dilakukan [16] setelah pemberian perlakuan selesai. Pada rancangan ini terdapat tiga kelompok eksperimen dan satu kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa terapi ekstrak daun sirih sedangkan kelompok kontrol diberikan NaCl (normal saline 0,9%). Kriteria Sampel. Sampel yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar, umur 7590 hari karena proliferasi sel pada usia pertumbuhan ini cepat sehingga mendukung proses penyembuhan luka. Berat badan 150-200 gram. Pembuatan Ekstrak Daun Sirih. Daun sirih hijau yang telah tersertifikasi diperoleh dari Balai Materia Medica di kota Batu pada bulan Januari 2013. Daun sirih yang diambil adalah daun berwarna hijau

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

muda sampai hijau tua. 100 gram serbuk daun sirih (Piper betle Linn) direndam dalam etanol hingga volume 1000 ml, dikocok selama 30 menit lalu dibiarkan selama 24 jam sampai mengendap. Hasil rendaman dimasukkan ke dalam labu evaporasi. Labu evaporasi dipasang pada evaporator dan diisi water bath dengan air sampai penuh. Semua rangkaian alat dipasang, termasuk rotary evaporator, pemanas water bath (diatur sampai 7080°C), disambungkan dengan aliran listrik. Ditunggu sampai larutan etanol berhenti menetes pada labu penampung (± 1,5 sampai 2 jam untuk satu labu). Hasil yang diperoleh kira-kira sepertiga dari bahan alam kering. Hasil ekstraksi dimasukkan dalam botol hasil ekstrak dan simpan dalam freezer. Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih. Ekstrak daun sirih dicampurkan vaselin dengan menggunakan rumus:

Keterangan: = konsentrasi larutan (%) = massa zat terlarut (mg) = massa larutan (mg). Massa larutan ditetapkan dengan jumlah 50 mg karena jumlah tersebut dapat menutupi luas luka sebesar 2 x 2 2 cm sesuai studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti. Pembuatan konsentrasi ekstrak daun sirih dilakukan dengan menambahkan vaselin sebanyak 50 mg sesuai rumus di atas, sehingga didapatkan hasil sebagai berikut:  Konsentrasi 15% 7,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaselin.  Konsentrasi 30% 15 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaselin.  Konsentrasi 45% 22,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaselin. Pembuatan Luka Bakar Derajat II. Area kulit yang akan dibuat luka bakar didisinfeksi, ditunggu sampai alkohol kering. Anastesi dilakukan pada area kulit yang akan dibuat luka bakar menggunakan lidokain non adrenalin dengan konsentrasi 0,5 cc dilarutkan dalam aquades 1 cc. Kassa dipasang dan dibungkuskan pada

│24


balok (sterofoam) berukuran 2 x 2 cm. Balok yang sudah dilapisi dan dibungkus kassa dicelupkan dengan air panas (suhu 98⁰ C) selama 3 menit. Balok yang berbungkus kassa ditempelkan pada hewan coba selama 30 detik. Kassa diangkat lalu luka dikompres dengan aquades selama 1 menit untuk mencegah luka bakar menyebar atau bertambah parah. Perawatan Luka Bakar Derajat II. Luka dibersihkan terlebih dahulu menggunakan normal saline kemudian masing-masing kelompok perlakuan diolesi ekstrak daun sirih konsentrasi 15%, 30%, dan 45%. Setelah itu luka ditutup dengan kassa steril dan diplester. Kelompok kontrol cukup dibersihkan dengan normal saline 0,9% saja lalu ditutup dengan kassa steril. Metode Pengumpulan Data. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan mikroskopis pada ketebalan jaringan granulasi dalam preparat Hematoxilin Eosin (HE) jaringan kulit tersebut dianalisis menggunakan program OlyVIA (viewer for histology examination) dan AutoCAD 2009 dengan perbesaran 40 kali. Identifikasi Granulasi. Identifikasi jaringan granulasi dilakukan dengan mengukur ketebalan jaringan granulasi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Paglinawan et al., yaitu jaringan granulasi diukur mulai dari ujung permukaan luka turun ke dermis yang lebih rendah di mana proliferasi sel fibroblas [17] berakhir. Pengukuran dilakukan pada tiga area yang berbeda, yakni di sisi kiri dasar luka, pertengahan dari dasar luka, sisi kanan dari dasar luka, kemudian ditarik garis penghitungan sejumlah sembilan garis, lalu diambil nilai rata-rata dari semua garis penghitungan. Slide preparat vertikal hasil pewarnaan HE di-scan dan dimasukkan ke dalam software OlyVIA (viewer for histological examination), kemudian ditentukan perbesaran 40x, diprint screen dan dimasukkan ke dalam software AutoCAD 2009. Analisa Data. Hasil penelitian ® ® dianalisis dengan software IBM SPSS Statistics 20 dengan uji normalitas data menggunakan uji Kolomogorov-Smirnov, uji homogenitas menggunakan test of Homogenity of Variance, One-way ANOVA, dan uji Post Hoc Tukey HSD.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

3. HASIL PENELITIAN Pada hari ke-15, tikus dimatikan dan dilakukan pembedahan untuk mengambil jaringan luka yang masih tersisa. Tujuan pengambilan jaringan luka ini untuk mendapatkan gambaran luka secara histologis. Pencitraan luka yang diamati adalah panjang jaringan granulasi dengan menggunakan mikroskop Olympus yang dikonversi ke software OlyVIA (viewer for histology examination).

A

B

C

D GAMBAR 1. Slide Histologi Ketebalan Jaringan Granulasi Keterangan: A : Tampilan Slide Histologi Kelompok Kontrol (Normal Saline 0,9%) dengan

│25


Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk merupakan yang paling tipis dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan. B : Tampilan Slide Histologi Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) 15% dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk lebih tebal dibandingkan dengan kelompok kontrol. C : Tampilan Slide Histologi Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) 30% dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk lebih tebal dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ekstrak daun sirih konsentrasi 15%. D : Tampilan Slide Histologi Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) 45% dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk merupakan yang paling tebal dibandingkan semua kelompok lainnya. Pada kelompok perawatan luka dengan NS didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 1,1 µm (standar deviasi ± 0,65 µm). Pada kelompok perawatan luka dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 15% didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,41 µm (standar deviasi ± 1,48 µm). Pada kelompok perawatan luka dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 30% didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,47 µm (standar deviasi ± 0,73 µm). Pada kelompok perawatan luka dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 45% didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,84 µm (standar deviasi ± 1,01 µm). Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perawatan luka bakar derajat II dengan ekstrak daun sirih dapat

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

meningkatkan ketebalan granulasi sebesar 2,41 µm pada konsentrasi 15%; 2,47 µm pada konsentrasi 30%; dan 2,84 µm pada konsentrasi 45%. 3.1 ANALISA DATA Hasil uji normalitas data setelah dilakukan test Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,2 (p > 0,05) sehingga H1 diterima dan berarti data ketebalan granulasi pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol berdistribusi normal. Pengujian dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas atau keragaman data menggunakan Test of Homogeneity of Variance. Pada Test of Homogeneity of Variance dapat dilihat bahwa nilai signifikansi p adalah 0,105 (p > 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa data tersebut mempunyai ragam yang homogen. Langkah selanjutnya, yaitu pengujian One-way ANOVA dengan selang kepercayaan 95% atau taraf kesalahan 5%. Hasil uji One-way ANOVA dari ketebalan granulasi pada semua kelompok perlakuan didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,04 (p < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Hasil uji Post Hoc Test menggunakan uji Tukey HSD didapatkan hasil perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan ekstrak daun sirih konsentrasi 45% dengan kelompok kontrol, yaitu normal saline 0,9%. Sedangkan untuk ekstrak daun sirih konsentrasi 15%, 30%, dan 45% tidak terdapat perbedaan yang signfikan. 3.2 PEMBAHASAN Pada penelitian ini digunakan empat kelompok, dengan tiga kelompok perlakuan menggunakan ekstrak daun sirih dan satu kelompok kontrol menggunakan normal saline 0,9%. Kelompok perlakuan dengan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) diberikan dengan tiga konsentrasi berbeda, yaitu 15%, 30%, dan 45%. Ketebalan jaringan granulasi dianalisis pada hari ke-15 karena fase proliferasi luka bakar derajat II mencapai puncaknya [18] pada hari ke-15. Dari hasil penelitian didapatkan rerata ketebalan granulasi yang terbentuk

│26


pada kelompok kontrol (NS 0,9%) sebesar 1,1 Âľm di mana nilai ketebalan granulasi tersebut merupakan nilai yang paling rendah di antara kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan normal salin merupakan larutan yang bersifat isotonik sehingga tidak menyebabkan kerusakan terhadap jaringan baru dan tidak mempengaruhi fungsi dari fibroblas dan keratinosit dalam penyembuhan luka. Penelitian lain yang berjudul The effects of antiseptics on the healing of wounds: a study using the rabbit ear chamber juga menyimpulkan bahwa normal saline tidak mempengaruhi aliran darah dalam pembuluh kapiler yang [8,19] terdapat pada jaringan granulasi. Setelah dilakukan uji perbandingan berganda rata-rata ketebalan jaringan granulasi, didapatkan hasil kelompok kontrol (NS 0,9%) berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 45% dengan p value = 0,037 (Îą < 0,05). Nilai ketebalan jaringan granulasi yang tinggi dapat terjadi karena hari ke-15 pada kondisi luka bakar derajat II fase [18] proliferasi mencapai puncaknya. Jaringan granulasi adalah pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses penyembuhan, terdiri atas pembuluhpembuluh kapiler yang baru dan sel-sel fibroblas yang mengisi rongga tersebut sehingga ketebalan jaringan granulasi yang terbentuk bergantung pada angiogenesis (pembentukan pembuluh darah kapiler) dan banyaknya sel-sel [6,20] fibroblas yang berproliferasi. Salah satu proses penyembuhan luka yang baik ditandai dengan kualitas pembentukan jaringan granulasi. Semakin tebal jaringan granulasi yang terbentuk, proses penyembuhan luka yang berlangsung akan [21] semakin singkat. Peningkatan ketebalan jaringan granulasi yang terbentuk pada kelompok perlakuan ekstrak daun sirih diduga karena efek kandungan senyawa aktif yang berasal dari ekstrak etanol daun sirih. Hasil ekstraksi etanol daun sirih mengandung beberapa kandungan senyawa aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, fenol, dan minyak atsiri. Kandungan tersebut dapat membantu proses penyembuhan luka dengan mekanisme seluler yang berbeda-beda, yaitu sebagai antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) sebagai antiinflamasi. Aktivitas

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

antiinflamasi ekstrak daun sirih diperkirakan karena adanya senyawa golongan flavonoid, saponin, dan tannin. Mekanisme flavonoid dalam menghambat proses terjadinya inflamasi melalui berbagai cara, yaitu dengan menghambat permeabilitas kapiler, metabolisme asam arakidonat, serta sekresi enzim lisosom, sel neutrofil dan sel endothelial. Mekanisme antiinflamasi saponin adalah dengan menghambat pembentukan eksudat dan menghambat kenaikan permeabilitas vaskular. Tannin juga mempunyai aktivitas antiinflamasi, namun mekanisme kerjanya sebagai antiinflamasi [22] belum dijelaskan secara pasti. Vagashiya et al. dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa efek antiinflamasi akut & kronis serbuk kasar daun sirih [23] dievaluasi dengan dosis 300 mg/kg. Natrium diklofenak digunakan sebagai kelompok kontrol. Studi ini menunjukkan bahwa Piper betle Linn. mempunyai aktivitas antiinflamasi yang efektif dilihat dari penurunan luas edema pada tikus putih pada 1 jam pertama, 2 jam pertama, dan 3 jam pertama. Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) sebagai antimikroba. Sirih mengandung senyawa aktif minyak atsiri dengan komponen fenol alam dari kavikol (chavicol paraallyphenol), kavibetol, dan eugenol. Kavikol memberi bau khas pada sirih dan mempunyai daya antimikroba lima kali lebih kuat daripada fenol biasa. Efek antimikroba yang dimiliki senyawa aktif minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri. Reveny, 2011 dalam penelitiannya yang berjudul Daya Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Daun Sirih Merah (Piper betle Linn.) mengemukakan bahwa senyawa tannin dan flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun sirih merah mempunyai aktivitas antibakteri yang baik. Hasil uji antimikroba menunjukkan bahwa ekstrak etanol 80%, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan jamur Candida albicans. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan maka akan menghasilkan daerah hambat yang semakin besar. Hal ini disebabkan semakin banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak maupun fraksi [14,24] tersebut.

│27


Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) sebagai antioksidan. Antioksidan mampu menetralisir radikal bebas yang dapat menyerang & menyebabkan kerusakan pada sel-sel protein, lipid, dan karbohidrat. Radikal bebas mampu mengganggu integritas, struktur, dan fungsi sel sehingga dibutuhkan antioksidan untuk menetralisir dampak negatif radikal bebas tersebut. Daun sirih mempunyai zat yang bersifat sebagai antioksidan, seperti fenol dan flavonoid. Cara kerja antioksidan adalah dengan memutus reaksi berantai dari radikal bebas sehingga dapat mencegah kerusakan jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh Mun’im dkk. menunjukkan bahwa terdapat peningkatan presentase penyembuhan luka yang dilihat dari penyempitan luas area luka pada konsentrasi 20% dan 40% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol [10] yang menggunakan normal saline. Hal tersebut diduga karena infusa daun sirih merah dapat menghambat proses inflamasi melalui penangkapan radikal bebas oleh antioksidan. Manigahua et al. dalam penelitiannya yang berjudul Antioxidant activity of ethanolic extract of Piper betle Leaves menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sirih mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih kuat daripada asam askorbat, DMSO (dimethyl sulphoxide), dan BHT (butylated hydroxytoluene). Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah DPPH (2,2difenil-1-pikrilhidrazil) sebagai sumber [25] radikal bebas. Ekstrak etanol daun sirih tidak hanya memiliki efek sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan, tetapi juga mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka misalnya vitamin A dan vitamin C. Kandungan-kandungan tersebut diduga bekerja secara sinergis sehingga dapat menghasilkan penyembuhan luka [10,25] secara optimal pada luka bakar. Pada proses penyembuhan luka, vitamin A berperan meningkatkan pembentukan kolagen, diferensiasi sel epitel, dan meningkatkan imunitas. Selain itu, vitamin A berperan mempercepat fase inflamasi ke fase proliferasi dengan meningkatkan monosit dan makrofag ke daerah luka. Makrofag berasal dari monosit yang berfungsi untuk membersihkan bakteria dan debris dari daerah luka. Makrofag menghasilkan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk proliferasi sel-sel fibroblas dan angiogenesis. Selain itu, makrofag berperan dalam regenerasi dermis dan proliferasi epidermis. Vitamin C merupakan komponen penting yang diperlukan untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin menjadi prokolagen, di mana bahan ini penting untuk sintesis kolagen. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis. Karbohidrat dan protein merupakan sumber energi terpenting yang diperlukan dalam sintesis kolagen. Bahan mineral, yaitu seng berperan dalam [10] sintesis kolagen dan proses epitelisasi . Pada hari ke-4 jaringan nekrotik pada tiap sampel mulai terbentuk. Jaringan nekrotik dapat menghalangi pemberian ekstrak daun sirih yang diberikan secara topikal sehingga proses penyembuhan luka yang berlangsung menjadi kurang optimal. Pada hari ke-12 luas area luka pada tiap sampel mulai mengecil. Luas area luka pada kelompok perlakuan ratarata sama besarnya & tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna. Luas area luka paling kecil ditunjukkan oleh kelompok kontrol (normal saline). Hal ini dikarenakan normal saline merupakan larutan yang bersifat isotonik sehingga hanya mempengaruhi penyembuhan luka bakar [19] secara superfisial. Hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok daun sirih disebabkan peneliti kurang dalam hal eksplorasi konsentrasi optimal ekstrak daun sirih. Konsentrasi yang digunakan hanya tiga, yaitu 15%, 30%, dan 45% sehingga belum diketahui potensi konsentrasi ekstrak daun sirih yang optimal dalam hal penyembuhan luka bakar, khususnya dalam meningkatkan ketebalan jaringan granulasi. Pengeringan daun sirih dengan proses menggunakan sinar matahari juga berpengaruh terhadap kandungan daun sirih. Penelitian yang dilakukan oleh Sutjipto et al., tentang pengaruh cara pengeringan terhadap perubahan fisiokimia daun kumis kucing (Orthosipon stamineus Benth) dengan menggunakan metode diangin-anginkan pada suhu kamar, sinar matahari, oven listrik 500C, udara sisa pembakaran bersuhu 600C, dan aliran udara panas bersuhu 600C memberikan hasil metode pengeringan dengan diangin-anginkan pada suhu

│28


kamar merupakan metode terbaik bagi kandungan flavonoid dalam daun kumis [26] kucing. Hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa terdapat pengaruh perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih dalam meningkatkan ketebalan jaringan granulasi pada luka bakar derajat II sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang telah disusun adalah benar. Berdasarkan hasil penelitian pengaruh perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap ketebalan jaringan granulasi pada tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini memiliki validitas internal yang tinggi ditandai dengan perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan dan kontrol berdasarkan analisis Uji One Way ANOVA, namun masih diperlukan uji lebih lanjut tentang farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas, dan efek ekstrak daun sirih ini pada hewan coba dan clinical trial pada manusia. Keterbatasan Penelitian. Eksplorasi konsentrasi yang digunakan peneliti dalam studi pendahuluan masih kurang, yaitu hanya 3 kelompok konsentrasi sehingga belum diketahui potensi konsentrasi ekstrak daun sirih yang optimal dalam proses penyembuhan luka bakar, khususnya dalam mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Implikasi Keperawatan. Aplikasi klinis dari penelitian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai standarisasi bahan aktif apa saja yang dapat digunakan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui konsentrasi yang aman dan tepat untuk ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) pada hewan coba yang selanjutnya perlu dilakukan uji klinis pada manusia sehingga diharapkan dapat berfungsi sebagai obat luka bakar derajat II dan dapat digunakan sebagai pengobatan komplementer maupun alternatif untuk berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: 1. Didapatkan rata-rata peningkatan ketebalan granulasi pada kelompok yang mendapat perlakuan ekstrak

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

daun sirih (Piper betle L.) 15% sebesar 2,41 µm, 30% sebesar 2,47 µm, dan 45% sebesar 2,84 µm. 2. Didapatkan rata-rata ketebalan granulasi pada kelompok kontrol dengan normal saline 0,9% sebesar 1,1 µm. 3. Terdapat pengaruh ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada perawatan luka bakar derajat II tikus putih (Rattus novergicus galur Wistar) jantan dengan nilai signifikansi sebesar 0,04 (p < 0,05). 5. SARAN 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan ketebalan granulasi pada jaringan normal dengan jaringan yang mengalami proses penyembuhan luka setelah dirawat menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) pada hewan coba. 2. Perlu dilakukan uji coba lebih lanjut ekstrak daun sirih sebagai obat perawatan luka bakar derajat II dalam bentuk sediaan yang lain, seperti sediaan obat padat atau semi padat (krim atau gel) pada manusia. DAFTAR PUSTAKA 1. Smeltzer SC, Brenda GB. Brunner & Suddarth’s Textbook of Medicalth Surgical Nursing, 8 Ed, Suzanne C. Smeltzer (Ed), 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, vol. 3 edisi 8, Waluyoet al. (penterjemah), 2002. Jakarta, Indonesia : EGC ; 2001. 2. Nurdiana, Hariyanto, dan Musrifah. Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Perawatan Luka Menggunakan Virgin Coconut Oil (Cocos nucifera) dan Normal Salin pada Tikus Putih (Rattus novergicus) Strain Wistar, (Online); 2008.(http://elibrary.ub.ac.id/bitstream /123456789/18039/1/Perbedaankecepatan-penyembuhan-luka-bakarderajat-II-antara-perawatan-lukamenggunakan-virgin-coconut-Oil%28Cocos-nucifera%29-dan-normalsalin-pada-tikus-putih-%28Rattusnorvegicus%29-strain-wistar.pdf, diakses 13 Maret 2012)

│29


3.

Schwartz SI, Shires GT, Spencer FT. Principles of surgery, Seymour I. Schwartz (Ed), 2000. Intisari Prinsipprinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, Laniyati et al. (penterjemah), 2000. Jakarta, Indonesia: EGC ; 2000. 4. Majewska I, Gendaszewska-Darmach E. Proangiogenic activity of plant extracts in accelerating wound healing ─ a new face of old phytomedicines. Acta Biochimica Polonica, 2011; 58 (4): 449-460. 5. Rahmawati. Pengaruh stimulasi elektrik terhadap pengurangan luas luka pada penyembuhan luka (debth wound). Jurnal Pendidikan Mutiara Ilmu. 2009; 4 (2): 102-107. 6. Tim Widyatama, Kamus Keperawatan. Widyatama. Jakarta ; 2010. 7. Romo T, Medscape Reference: Drugs, Diseases, & Procedures, Skin Wound Healing, 2012, (Online), (http://emedicine.medscape.com/articl e/884594-overview#aw2aab6b5, diakses 19 November 2011) 8. Gannon R, Nursing Times. Fact file: Wound cleansing: sterile water or saline?, 2007, (Online), (http://www.nursingtimes.net/fact-filewound-cleansing-sterile-water-orsaline/201829.article, diakses 21 November 2012). 9. Soemiati A, Elya B. Uji Pendahuluan Efek Kombinasi Antijamur Infus Daun Sirih (Piper betle L.), Kulit Buah Delima (Punica granatum L.), dan Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap JamurCandida Albicans. Makara – Seri Sains, 2002; 6 (3): 149-154. 10. Mun’im A, Azizahwati, Fimani A., Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piper cf. Fragile, Benth) Secara Topikal Terhadap Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Diabet, 2010, Hibah Awal DRPM Universitas Indonesia. No Kontrak : 2512/H2.R12/PPM.01 Sumber Pendanaan/2010 11. Vikash C, Shalini T, Verma NK, Singh DP, Chaudhary SK, Asha R. Piper Betel: Phytochemistry, Traditional Use & Pharmacological Activity-A Review. International Journal of Pharmaceutical Research and Development (IJPRD), 2012; 4 (4): 216-223.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

12. Li K, Diao Y, Zhang H, Wang S, Zhang Z, Yu B, Huang S, Yang H. Tannin extracts from immature fruits of Terminalia chebula Fructus Retz. promote cutaneous wound healing in rats. BMC Complementary and Alternative Medicine, 2011; 11 (86). 13. Arambewela LSR, Arawwawala LDAM, Kumaratunga KG, Dissanayake DS, Ratnasooriya WD, Kumarasingha SP. Investigations on Piper Betle grown in Sri Lanka. National Center for Biotechnology Information, 2011; 5 (10): 159-163, (Online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/artic les/PMC3263050/, diakses 9 September 2012). 14. Reveny J. Daya Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Daun Sirih Merah (Piper betle Linn.). Jurnal Ilmu Dasar, 2011; 12 (1): 6-12. 15. Widyastuti N. 2010. Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC, DPPH, dan FRAP serta Korelasinya dengan Fenol dan Flavonoid pada Enam Tanaman. Skripsi. Tidak diterbitkan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 16. Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Edisi 2. 2011, Salemba Medika, Jakarta. 17. Paglinawan R, Colic M, Simon M, A comparative study of the influence of different pressure levels combined with various wound dressings on negative pressure wound therapy (NPWT) driven wound healing. 2008, Presented at the European Tissue Repair Society, Malta, 10-12 September. 18. Moenadjat Y, Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana, Edisi keempat, 2009, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 19. Salami, Ayodeji A., Imosemi, Innocent O., Owoeye, Olatunde O., Comparison of the Effect of Chlorhexidine, Tap Water, and Normal Saline on Healing Wounds. Int. J. Morphol., 2006; 24 (4): 673676. 20. Bauer SM, Bauer RJ, Velazquez OC. Angiogenesis, Vasculogenesis, and Induction of Healing in Chronic

│30


Wounds. Vascular and Endovascular Surgery, 2005; 39 (4). 21. Yaman I, Durmus AS, Ceribasi S, Yaman M. Effects Of Nigella sativa And Silver Sulfadiazine On Burn Wound Healing Rats. Veterinarni Medicina, 2010; 55 (12): 619-624. 22. Fitriyani A, Winarti L, Muslichah S, Nuri. Uji Antiinflamasi Ekstrak Metanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz & Pav) Pada Tikus Putih. Majalah Obat Tradisional, 2011; 16 (1): 34-42. 23. Vagashiya Y, Nair R, Chanda S. Investigation of Some Piper Species for Anti-Bacterial and AntiInflammatory Property. International Journal of Pharmacology, 2007; 3 (5): 400-405.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

24. Hendrayani SF. Pengaruh Beberapa Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans. Tesis. 2005, Tidak diterbitkan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor. 25. Manigauha A, Ali H, Maheshwari MU. Antioxidant activity of ethanolic extract of Piper betel leaves. Journal of Pharmacy Research, 2009; 2 (3): 491-494. 26. Sutjipto, Wahyu JP, Widiyastuti Y. Pengaruh Cara Pengeringan Terhadap Perubahan Fisikokimia Daun Kumis Kucing (Orthosipon stamineus Benth). JURNAL TUMBUHAN OBAT INDONESIA – The Journal of Indonesian Medicinal Plant, 2009; 2 (1): 24-27.

│31


Penelitian

HUBUNGAN PERAN FASILITATOR TERHADAP TINGKAT KEPUASAN MAHASISWA KEPERAWATAN SELAMA PROSES DISKUSI DENGAN MENGGUNAKAN METODE PEMBELAJARAN PROBLEM BASED LEARNING (PBL) 1

Agung Wiyatno , Kuswantoro Rusca Putra, S.Kp, 2 2 M.Kep , Ns. M. Fathoni, S.Kep, MNS 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya

ABSTRAK Pendahuluan: Student Centered Learning (SCL) merupakan model pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa. Salah satu model pembelajaran pendekatan SCL adalah Problem Based Learning (PBL). Pada PBL peran dosen adalah sebagai fasilitator yang mempermudah mahasiswa dengan memberi stimulus dan membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi ,sehingga diharapkan kepuasan mahasiswa dapat meningkat selama PBL. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran PBL. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan Cross Sectional Study terhadap 320 mahasiswa angkatan 2009-2011 program A di Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Sampel dipilih menggunakan teknik purposive sampling dari tiap angkatan. Variabel yang diukur adalah peran fasilitator dan tingkat kepuasan mahasiswa. Hasil: Uji statistik menggunakan regresi sederhana dengan taraf kepercayaan 95%, hasilnya menunjukkan adanya hubungan bermakna antara peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dengan signifikansi p(0,000)<α(0,05) dan peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi mempunyai pengaruh hubungan paling besar dengan R = 43,5%. Kesimpulan: Semakin sering fasilitator melakukan perannya ketika PBL semakin meningkat kepuasan mahasiswa. Berdasarkan hasil penelitian, disarankan perlu adanya persamaan pemahaman terkait apa saja peran fasilitator selama PBL dan jurusan juga sebaiknya memperhatikan fasilitas pendidikan dan karakteristik dari mahasiswa. Kata kunci :

PBL, Peran fasilitator, SCL, Tingkat Kepuasan Mahasiswa

ABSTRACT Introduction: Student Centered Learning (SCL) is a learning model with student as the center of learning process. One of SCL model is Problem Based Learning (PBL) method. The roles of lecturer in PBL is fasilitation of discussion process by giving stimulus and assisting student in discussion process to ensure they maintain focus, so level of satisfaction could be rised. Aim: This study aims are to determine the correlation of facilitator roles toward nursing student satisfaction during discussion process in PBL.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│32


Methods: This study is an observational analytic study with Cross Sectional Study that conducted to 320 nursing student regular from 2009-2011 in Nursing School, Medical Faculty of Brawijaya University. The samples were selected by using purposive sampling technique. The variables measured in this study is fasilitator roles and nursing student satisfaction. Results: The statistical test was used in this study is Simple Regression with significance value 95%, the result of multivariate analysis showed that there is a significant relationship between fasilitator roles and nursing student satisfaction with significance p(0,000)<Îą(0,05), the biggest influence correlation was assisting in discussion processes to ensure student maintain focus with R = 43,5%. Conclusion: The conclusion of these study is nursing student satisfaction level would raise if fasilitator did their roles during PBL. These study was showed that fasilitator should have equal perception about all of the fasilitator roles during PBL and nursing school should pay attention on learning facilities and student characteristic. Keywords :

PBL, fasilitator roles, SCL, student satisfaction level

1. PENDAHULUAN Student Center Learning (SCL) atau pembelajaran yang berfokus pada peserta didik merupakan model pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai pusat dari proses belajar mengajar. Pembelajaran dengan model SCL menjadikan setiap mahasiswa untuk lebih aktif dan mampu untuk bertanggung jawab terhadap proses pembelajarannya sendiri. Salah satu model pembelajaran pendekatan SCL adalah metode pembelajaran dengan Problem Based [1] Learning (PBL). Penelitian yang dilakukan di Medical Surgical Nursing Port Said University Mesir dan Qassim University Arab Saudi oleh Shahin dan Torka pada tahun 2011 tentang PBL menunjukkan bahwa (1) PBL mampu membentuk pemikiran profesional dengan nilai mean (Mesir 3,78 dan Arab Saudi 4,05), (2) PBL mampu mengembangkan kemampuan problem solving dengan nilai mean (Mesir 3,50 dan Arab Saudi 3,89), (3) PBL mampu mengembangkan belajar mandiri dengan nilai mean (Mesir 3,49 dan Arab Saudi 4,00), (4) PBL mampu meningkatkan motivasi dengan nilai mean (Mesir 3,61 dan Arab Saudi 4,15), (5) PBL mampu meberikan efektivitas kolaborasi kelompok dengan nilai mean (Mesir 4,11 dan Arab [2] Saudi 4,37) dari nilai maksimal 5. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa PBL mempunyai dampak positif bagi proses pembelajaran mahasiswa. Selain itu mahasiswa juga mempunyai pengalaman negatif selama proses PBL yang ditunjukkan dengan, sebanyak (40% Arab Saudi dan 36%) mengeluh

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

mengerjakan PBL terasa berat, (40% Saudi Arabia dan 48% Mesir) mahasiswa merasa stess, dan (72% Arab Saudi dan 80% Mesir) proses PBL terlalu membutuhkan banyak waktu. Menurut Zimitat, Hantlton, DeJersey, Reilly, dan Wart, 1994 dikutip dalam Uden dan Beaumont 2006 bahwa 70% mahasiswa mengatakan bahwa fasilitator mempunyai peran yang esensial dalam kesuksesan PBL. Peran fasilitator dapat dilihat dari dua dimensi, yaitu dimensi peran mempermudah proses diskusi mahasiswa dengan memberikan stimulus dan peran membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama PBL. Kesuksesan PBL yang salah satuya adalah kepuasan mahasiswa akan tercapai jika peran tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh fasilitator. Mahasiswa akan menilai keandalan, daya tanggap, kepastian, dan [3] rasa empati dari fasilitator. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hishamuddin pada tahun 2008 di Malaysia tentang kualitas pelayanan seorang fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa menunjukkan empati r = 0,640 ,kepastian r = 0,582, daya tanggap r = 0,556, keandalan r = 0,555. Dari hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan positif antara peran fasilitator dengan kepuasan mahasiswa. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan kepada 20 mahasiswa Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang tentang peran fasilitator selama PBL menunjukkan bahwa: (1) sebanyak 40% mahasiswa merasa fasilitator kurang bisa untuk meberikan stimulus yang tepat selama

│33


PBL, (2) 45% mahasiswa merasa fasilitator belum bisa membangun suasana diskusi yang kondusif dan konstruktif selama PBL, (3) 55% suasana diskusi cenderung tegang, monoton dan membosankan selama PBL, dan (4) 60% mahasiswa mengungkapkan fasilitator jarang menanyakan kepuasan mahasiswa selama PBL. Data di atas menunjukkan bahwa masih kurang maksimalnya peran fasilitator dari persepsi mahasiswa selama proses PBL. Tingkat kepuasan mahasiswa menunjukkan bahawa keandalan fasilitator 55%, daya tanggap 60%, kepastian 40%, dan empati 40%. Berdasarkan fenomena yang sudah dijelaskan di atas peneliti mengangkat judul penelitian yaitu Hubungan Peran Fasilitator terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa Keperawatan selama Proses Diskusi dengan menggunakan Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Manfaat penelitian ini bagi peneliti adalah mengetahui seberapa besar hubungan peran dosen sebagai fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Sedangkan bagi pihak institusi dan tenaga pengajar dalam hal ini dosen adalah sebagai bahan masukan dalam peningkatan kinerja semua dosen, peningkatan kualitas lulusan mahasiswa dan mengevaluasi efektivitas pendekatan model pembelajaran Student Centered Lerning (SCL) dengan meggunakan pendekatan metode Problem Based Learning (PBL). 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini mengunakan metode cross sectional design. Sampel dari penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2009 – 2011 program A Jurusan Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang yang berjumlah 320 mahasiswa. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah purposive sampling. Variabel independen (peran fasilitator) diukur

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

dengan kuesioner peran fasilitator dan variabel dependen (tingkat kepuasan mahasiswa) diukur dengan kuesioner tingkat kepuasan mahasiswa yang telah dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Analisis penelitian menggunakan analisa bivariat (uji korelasi Pearson) dan [4] multivariat (uji regresi linier sederhana). 3. HASIL PENELITIAN Tabel 3.1 Distribusi Frekuensi Persepsi Mahasiswa terhadap Peran Fasilitator Ang kata n

Jumla h Respo nden

200 9

Keterangan Tidak Pernah

Jarang

Sering

Sela lu

80

0 (0%)

25 (31,2 %)

55 (68,8 %)

0 (0%)

201 0

100

0 (0%)

29 (29%)

70 (70%)

1 (1%)

201 1

140

2 (1,4%)

55 (39,3 %)

80 (57,1 %)

3 (2,1 %)

Tot al

320

2 (0,6%)

109 (34,1 %)

205 (64,1 %)

4 (1,2 %)

Berdasarkan tabel 3.1 persepsi mahasiswa terhadap peran fasilitator selama PBL adalah sebanyak 64,1% (205) mahasiswa mempersepsikan bahwa fasilitator sering melakukan perannya selama proses diskusi PBL. Tabel 3.2 Distribusi Frekuensi Persepsi Mahasiswa terhadap Peran Fasilitator dalam Mempermudah Mahasiswa dengan Memberikan Stimulus. Angk atan

Jumlah Respo nden

2009

80

2010

100

2011 Total

140

320

Keterangan Serin Jarang g 16 64 (20%) (80%) 19 79 (19%) (79%) 53 82 (37,9%) (58,5) 236 77 (73,8 (24%) %)

Selal u 0 (0%) 2 (2%) 5 (3,6) 7 (2,2% )

Berdasarkan tabel 3.2 persepsi mahasiswa terhadap peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa dengan memberikan stimulus adalah sebanyak 73,8% (236) mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya selama proses diskusi PBL.

│34


Tabel 3.3 Distribusi Frekuensi Persepsi Mahasiswa terhadap Peran Fasilitator dalam Membantu Mahasiswa untuk Tetap Fokus Selama Diskusi PBL. Jum lah Res pon den

Angk atan

Keterangan

Keterangan

Tidak Pernah

Jarang

Seri -ng

Selalu

49 (61, 2%) 64 (64 %) 77 (55, 5) 190 (59, 4%)

0 (0% ) 4 (4% ) 7 (5% ) 11 (3,4 %)

2009

80

0 (0%)

31 (38,8 %)

2010

100

0 (0%)

32 (32%)

2011

140

Total

320

2 (1,4% ) 2 (0,6% )

54 (38,6 %) 117 (36,6 %)

Berdasarkan tabel 3.3 persepsi mahasiswa terhadap peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi PBL adalah sebanyak 59,4% (190) mahasiswa mempersepsikan bahwa fasilitator sering malakukan perannya selama proses diskusi PBL. Tabel 3.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Mahasiswa An gka tan

Jum lah Res pon den

200 9

80

201 0

100

Keterangan Kura ng Puas 0

Cuku p 18

(0%)

(22,5 %)

1 (1%)

(34%)

34

37 201 1

Tot al

140

320

Tabel 3.5 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Mahasiswa terhadap Peran Fasilitator dalam Mempermudah Mahasiswa dengan Memberikan Stimulus.

3 (2,2%)

4 (1,2%)

Puas 49 (61,3 %) 42 (42%)

Sang at Puas 13 (16,2 %)

23 (23%)

76

24

(54,3 %)

(17,1 %)

89

167

60

(27,8 %)

(52,2 %)

(18,8 %)

(26,4 %)

Berdasarkan tabel 3.4 tingkat kepuasan mahasiswa terhadap peran fasilitator adalah sebanyak 52,2% (167) mahasiswa merasa puas dengan peran fasilitator.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Angk atan

Jumlah Respo nden

2009

80

2010

100

4

40

79

17

2011

140

(2,9 %)

(28,6 %)

(56,4 %)

(12, 1%)

Total

320

(2,2 %)

Kura ng Pua s

Cuku p

Puas

Sa nga t Pu as

22

52

15

(1,2)

(27,5 %)

(52,3 %)

(18, 8%)

2

31

46

(2%)

(31%)

(46%)

1

7

93 (29%)

21 (21 %)

167

53

(52,2 %)

(16, 6%)

Berdasarkan tabel 3.5 tingkat kepuasan mahasiswa terhadap peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa dengan memberikan stimulus adalah sebanyak 52,2% (167) mahasiswa merasa puas dengan peran fasilitator. Tabel 3.6 Distribusi Frekuensi Tingkat Kepuasan Mahasiswa terhadap Peran Fasilitator dalam Membantu Mahasiswa Untuk Tetap Fokus Selama Diskusi PBL Keterangan

Angk atan

Jumla h Resp onde n

2009

80

0 (0%)

2010

100

2011

140

Total

320

Kura ng Puas

Cuk up

Puas

1 (1%)

23 (28, 8%) 29 (29 %)

42 (52,4 %) 48 (48 %)

3 (2,1 %)

32 (22, 9%)

4 (1,2 %)

84 (26, 2%)

San gat Pua s 15 (18, 8%) 22 (22 %)

82 (58,6 %)

23 (16, 4%)

172 (53,8 %)

60 (18, 8%)

Berdasarkan tabel 3.6 tingkat kepuasan mahasiswa terhadap peran

│35


fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama proses diskusi PBL adalah sebanyak 53,8% (172) mahasiswa merasa puas dengan peran fasilitator. 3.1 ANALISA DATA Analisa Bivariat Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa didapatkan nilai mean untuk peran fasilitator adalah 49,697, nilai mean tingkat kepuasan mahasiswa adalah 68,592, dan besar signifikansi p (0,000) < α (0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan nilai kekuatan hubungan 0,476 yang menunjukkan adanya korelasi dengan tingkat sedang antara kedua variabel (Triton dikutip dalam Nisfriannoor 2009). Dengan demikian hipotesis penelitian (H0) diterima pada α = 0,05 dan selang kepercayaan 95% didapatkan adanya hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Analisa Multivariat Hubungan Peran Fasilitator dalam Mempermudah Mahasiswa dengan Memberi Stimulus terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa. Berdasarkan hasil uji regresi sederhana hubungan peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa selama proses diskusi PBL dengan memberikan stimulus terhadap tingkat kepuasan mahasiswa didapatkan nilai mena peran fasilitator 25,518, nilai tingkat kepuasan mahasiswa 67,792, besar F = 45,508, T = 6,746 signifikansi p(0,000) < α(0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan peran fasilitator fasilitator dalam mempermudah mahasiswa selama proses diskusi PBL dengan memberikan stimulus terhadap tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dengan R

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

(kekuatan hubungan) 0,354 (tingakat hubungan lemah). Persamaan regresi sederhana yang didapat adalah Y1 = 39,272 + 1,118X1, artinya adalah jika nilai peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa dengan memberikan stimulus (X1) sama dengan nol maka tingkat kepuasan mahasiswa (Y1) sama dengan 39,272 dan bila nilai peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa dengan memberikan stimulus (X1) naik satu satuan, maka tingkat kepuasan mahasiswa akan bertambah 1,118 satuan Nilai R menunjukkan bahwa peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa selama proses diskusi PBL dengan memberikan stimulus mempunyai pengaruh sebesar 35,4% terhadap tingkat kepuasan mahasiswa, sedangkan 64,6% dipengaruhi faktor lain. Hubungan Peran Fasilitator dalam Membantu Mahasiswa untuk Tetap Fokus terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa. Berdasarkan hasil uji regresi sederhana hubungan peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi PBL terhadap tingkat kepuasan mahasiswa didapatkan nilai mean peran fasilitator adalah 24,178, nilai mean tingkat kepuasan mahasiswa adalah 69,468, besar F = 74,33, T = 8,622 dengan signifikansi p(0,000) < α(0,05), maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi PBL terhadap tingkat kepuasan mahasiswa dengan R (kekuatan hubungan) 0,435 (tingkat hubungan sedang). Persamaan regresi sederhana yang didapat adalah Y2 = 42,023 + 1,135X2, artinya adalah jika nilai peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi PBL (X 2) sama dengan nol maka tingkat kepuasan mahasiswa (Y2) sama dengan 42,023 dan bila nilai peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi PBL (X2) naik satu satuan, maka tingkat kepuasan mahasiswa akan bertambah 1,135 satuan. Nilai R menunjukkan bahwa peran fasilitator dalam membantu mahasiswa untuk tetap fokus selama diskusi PBL mempunyai pengaruh sebesar 43,5% terhadap tingkat kepuasan mahasiswa, sedangkan 57,5% dipengaruhi faktor lain.

│36


3.2 PEMBAHASAN Hubungan Peran Fasilitator terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa Keperawatan selama Proses Diskusi dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa angkatan 2009 mempunyai tingkat kematangan pembelajaran PBL paling tinggi, yaitu sebanyak 68,8% mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya dengan tingkat kepuasan tertinggi yaitu sebanyak 61,3%. Kematangan ini didapat karena angkatan 2009 sudah beradaptasi lebih lama dengan metode pembelajaran PBL. Hasil yang berbeda pada penelitian ini didapatkan pada angkatan 2010 dan 2011, tingkat kematangan pembelajaran PBL angkatan 2010 dan 2011 menunjukkan bahwa angkatan tersebut kurang matang dan kurang stabil. Dari hasil pengisian kuesioner angkatan 2010 tentang peran fasilitator, mahasiswa yang mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya sebanyak 70% (paling tinggi) tetapi tingkat kepuasannya paling rendah, yaitu 42% mahasiswa merasa puas. Kemungkinan hasil ini muncul karena angkatan 2010 reguler dan K3LN pelaksanaan PBL-nya digabung. Bisa juga karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa yang tidak diteliti mempengaruhi hasil penelitian ini. Begitu juga yang terjadi pada angkatan 2011, dari hasil pengisian kuesioner peran fasilitator didapatkan sebanyak 57,1% (paling rendah) mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya, tetapi tingkat kepuasan yang dirasakan oleh mahasiswa menempati urutan kedua yaitu sebesar 54,3%. Hal ini bisa terjadi karena mahasiswa angkatan 2011 angakatan termuda, sehingga angkatan 2011 masih mempunyai motivasi yang tinggi karena mendapatka metode pembelajaran yang baru. Ketidaksesuaian ini bisa muncul karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepuasan mahasiswa tidak diteliti yaitu faktor fasilitas pendidikan dan intern mahasiswa sendiri, sehigga mempengaruhi hasil dari [5] penelitian.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Hubungan Peran Fasilitator dalam Mempermudah Mahasiswa dengan Memberikan Stimulus terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa Keperawatan selama Proses Diskusi dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Kematangan pembelajaran dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam beradaptasi dengan proses [6] pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa angkatan 2009 mempunyai tingkat kematangan pembelajaran PBL paling tinggi, sebanyak 80% mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya dengan tingkat kepuasan yaitu sebanyak 52,3%. Kematangan ini didapat karena angkatan 2009 sudah beradaptasi lebih lama dengan metode pembelajaran PBL. Hasil yang berbeda pada penelitian ini didapatkan pada angkatan 2010 dan 2011, kematangan pembelajaran PBL angkatan 2010 dan 2011 kurang matang dan kurang stabil. Dari hasil pengisian kuesioner peran fasilitator angkatan 2010 didapatkan mahasiswa yang mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya sebanyak 79% tetapi tingkat kepuasannya paling rendah, yaitu 46% mahasiswa merasa puas. Kemungkinan hasil ini muncul karena angkatan 2010 antara kelas K3LN dan reguler pelakasanaan PBL-nya digabung. Bisa juga karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa yang tidak diteliti mempengaruhi hasil penelitian ini . Begitu juga yang terjadi pada angkatan 2011, dari hasil pengisian kuesioner peran fasilitator didapatkan sebanyak 58,5% (paling rendah) mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya, tetapi tingkat kepuasan yang dirasakan oleh mahasiswa menempati urutan tertinggi yaitu sebesar 56,4% mahasiswa merasa puas. Hal ini bisa terjadi karena mahasiswa angkatan 2011 angakatan termuda, sehingga angkatan 2011 masih mempunyai motivasi yang tinggi karena mendapatkan metode pembelajaran yang baru. Ketidaksesuaian ini bisa muncul karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepuasan mahasiswa tidak diteliti, sehigga mempengaruhi hasil dari penelitian.

│37


Hubungan Peran Fasilitator dMembantu Mahasiswa Agar Tetap Fokus terhadap Tingkat Kepuasan Mahasiswa Keperawatan selama Proses Diskusi dengan Menggunakan Metode Pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Kematangan pembelajaran dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam beradaptasi dengan proses [7] pembelajaran. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa angkatan 2009 mempunyai tingkat kematangan PBL paling tinggi, yaitu sebanyak 61,% mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya dengan tingkat kepuasan yaitu sebanyak 52,4%. Kematangan ini didapat karena angkatan 2009 sudah beradaptasi lebih lama dengan metode pembelajaran PBL. Hasil yang berbeda pada penelitian ini didapatkan pada angkatan 2010 dan 2011, kematangan pembelajaran PBL angkatan 2010 dan 2011 menunjukkan angkatan tersebut kurang matang dan kurang stabil. Hasil pengisian kuesioner peran fasilitator oleh angkatan 2010, mahasiswa yang mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya sebanyak 64% (paling tinggi) tetapi tingkat kepuasannya paling rendah, yaitu 48% mahasiswa merasa puas. Kemungkinan hasil ini muncul karena angkatan 2010 antara kelas K3LN dan reguler pelakasanaan PBL-nya digabung. Bisa juga karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi kepuasan mahasiswa yang tidak diteliti mempengaruhi hasil penelitian ini. Begitu juga yang terjadi pada angkatan 2011, dari hasil pengisian kuesioner peran fasilitator didapatkan sebanyak 55,5% (paling rendah) mahasiswa mempersepsikan fasilitator sering melakukan perannya, tetapi tingkat kepuasan yang dirasakan oleh mahasiswa menempati urutan tertinggi yaitu sebesar 58,6%. Hal ini bisa terjadi karena mahasiswa angkatan 2011 merupakan angakatan termuda, sehingga angkatan 2011 masih mempunyai motivasi yang tinggi karena mendapatka metode pembelajaran yang baru. Ketidaksesuaian ini bisa muncul karena faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepuasan mahasiswa tidak diteliti, sehigga mempengaruhi hasil dari penelitian.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Implikasi terhadap Pendidikan Keperawatan. Setelah didapatkan hasil bahwa ada hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepusan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi PBL, maka diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai evidence based nursing dalam pendidikan keperawatan. Evidence based nursing yang dimaksud adalah memaksimalkan semua peran fasilitator selama PBL guna memberikan pelayanan yang berkualitas bagi mahasiswa sehingga mahasiswa dapat merasakan kepuasan yang diharapkan serta dapat dijadikan dasar pengembangan metode pebelajaran dalam dunia pendidikan keperawatan di masa yang akan datang, meningkatkan kemampuan tenaga pendidik, dan kualitas mahasiswa keperawatan. Keterbatasan Penelitian. Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, diantaranya adalah: a. Sampel dari penelitian ini tidak homogen sehingga hasil dari penelitian ini tidak bisa digeneralisasi. b. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kepuasan mahasiswa yang tidak diteliti, yaitu faktor terkait fasilitas pendidikan dan intern mahasiswa. Persepsi penilaian responden terhadap semua fasilitator yang pernah memfasilitasi, tidak menilai perindividu fasilitator, sehingga hasilnya adalah ratarata keseluruhan fasilitator bukan perindividu. 4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti menyimpulkan beberapa hal berikut : a. Persepsi mahasiswa terhadap peran fasilitator selama proses diskusi PBL didapatkan sebanyak 64,1% mahasiswa mempersepsikan bahwa fasilitator sering melakukan perannya. b. Tingkat kepuasan mahasiswa terhadap peran fasilitator selama diskusi PBL didapatkan sebanyak 52,2% mahasiswa merasa puas. c. Ada hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL

│38


d. Ada hubungan peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa selama proses diskusi dengan memberikan stimulus terhadap terhadapp tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama PBL. e. Ada hubungan peran fasilitator dalam membantu mahasiswa agar tetap fokus terhadapp tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi PBL.

2.

3. 5. SARAN Bagi Institusi Pendidikan. Melihat adanya hubungan peran fasilitator terhadap tingkat kepuasan mahasiswa keperawatan selama proses diskusi dengan menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning (PBL) maka perlu adanya persamaan pemahaman atau persepsi terkait apa saja peran fasilitator selama PBL, persamaan pemahaman tersebut terkait peran fasilitator dalam mempermudah mahasiswa dengan memberikan stimulus dan peran fasilitator dalam membantu mahasiswa agar tetap fokus. Untuk menigkatkan kemampuan peran fasilitator dalam memberikan stimulus, fasilitator PBL harus memahami tugas memberikan stimulus itu dengan apa saja dan bagaimana caranya. Begitu juga untuk meningkatkan kemampuan fasilitator agar mahasiswa tetap fokus, fasilitator harus memahami agar mahasiswa tetap fokus itu dengan apa saja dan bagaimana caranya, sehingga diperlukan pelatihan bagi semua dosen yang nantinya menjadi fasilitator terkait peran fasilitator selama PBL. Begitu juga untuk meningkatkan tingkat kepuasan mahasiswa, selain memperhatikan peran fasilitator, jurusan juga harus memperhatikan fasilitas pendidikan dan karakteristik dari mahasiswa itu sendiri.

4.

5.

6.

7.

Universitas Sumatera Utara (USU) Menuju Proses Pembelajaran ELearning. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik USU ; 2008. Shahin, Eman S.Torka, Hanan Mohamed Mohamed. The Effectiveness Of problem Based Learning (PBL) In Nursing Education: Cross Cultural Student’s perspective. Journal Of American Science Vo 7; 2011. Uden, Lorna; Beaumont, Chris. Technology And Problem Based Learning. USA : Idea Group Inc ; 2006. Majiddin.Analisis Regresi Sederhana (Pengolahan Data dengan Ms. Exel dan SPSS 13). Laboratorium Komputasi, Jurusan FMIPA Universitas Haluoleo Kendari ; 2007. Wei, Chuah Chin. Student Satisfaction Toward The University : Does Service Quality Matters. International Journal Of Education ISSN Vol 3 No 2 ; 2011. Santrock, J. W. (Psikologi Pendidikan. Indonesia: Kencana Media Group ; 2007. Hasan , Hishamuddin Fitri Abu. Service Quality and Student Satisfaction: A Case Study at Private Higher Education Institutions. International Journal Business Research Vol. 1, No 3 ; 2008.

Bagi Peneliti Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya diharapkan sampel penelitian lebih homogen sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi. Selain itu faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kepuasan mahasiswa juga harus diteliti, faktor-faktor itu adalah fasilitas pendidikan dan mahasiswa sendiri. DAFTAR PUSTAKA 1. Siregar, Nofria. R. Gambaran Student Centered Learning Pada Mahasiswa

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│39


Penelitian

PENGARUH TERAPI RESITASI ALQUR’AN TERHADAP TINGKAT KECEMASAN LANSIA DI POSYANDU DUSUN GAMBIRAN DESA MOJOSARI, KEPANJEN-MALANG 1

2

Nuning Khurotul Af’ida , A. Chusnul Chuluq A. Retno 2 Lestari 1

Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya

ABSTRAK Pendahuluan: Lanjut Usia (lansia) merupakan proses kehidupan yang ditandai dengan perubahan degeneratif sehingga terjadi masalah kesehatan fisik maupun jiwa. Masalah kesehatan jiwa yang sering muncul pada lansia adalah kecemasan. Salah satu terapi modalitas yang dilakukan untuk mengatasi kecemasan adalah terapi resitasi Al-Qur’an yang bertujuan untuk memberikan ketenangan hati, jiwa, dan pikiran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi resitasi Al-Qur’an terhadap penurunan tingkat kecemasan lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kepanjen Malang. Metode: Dengan desain penelitian quasi eksperimental dan pendekatan pretest-postest pada kelompok kasus dan kontrol. Sampel diambil dengan metode purposive sampling, didapatkan 42 orang terdiri dari 20 orang kelompok kasus dan 22 orang kelompok kontrol. Pengumpulan data menggunakan kuisioner yang dikembangkan dari Geriatric Anxiety Inventory (GAI). Hasil: Analisis data dengan uji statistik Wilcoxon pada kelompok kasus didapatkan p<0,05 (0,000<0,05), menunjukkan bahwa terapi resitasi Al-Qur’an dapat menurunkan tingkat kecemasan pada kelompok kasus, sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan p value=1,000 artinya tidak terjadi perubahan tingkat kecemasan lansia. Uji Statistik Mann Whitney didapatkan p value=0,000 yaitu terdapat perbedaan signifikan antara pretest-posttest kelompok kasus dan kontrol. Kesimpulan: Disimpulkan bahwa, ada pengaruh terapi resitasi Al-Qur’an terhadap penurunan tingkat kecemasan lansia. Disarankan bagi populasi yang diteliti untuk melanjutkan terapi resitasi Al-Qur’an agar dapat menurunkan atau menghilangkan kecemasan. Kata Kunci :

Lansia, Tingkat Kecemasan, Terapi Resitasi Al-Qur’an ABSTRACT

Introduction: Elderly is a life process with degenerative changing that occurs physical and mental health problems. Mental health problem which often appear on eldery is anxiety disorder. One of the therapeutic modalities that done to overcome the anxiety level is Al-Qur’an recitation theraphy that purpose to give quietly in the heart, soul, and mind. This research aims to know the effect of Al-Qur’an recitation theraphy on the decreased of anxiety level at Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kepanjen Malang. Methods: This research use quasi experimental study with pretest–posttest design on case and control group. Samples taken with purposive sampling methode, total 42 people

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│40


consist of 22 people of case group and 20 people of control group. Data collection used development questionare from Geriatric Anxiety Inventory (GAI). Results: Analysis data with wilcoxon on case group result p<0,05 (0,000<0,05), it means that Al-Qur’an recitation therapy can decrease anxiety level of elderly in the case group. In the control group, the result of p-value=1.000 which means there isn’t change of anxiety level for the elderly. Mann Whitney statistic test is gotten p-value=0.000 which means there is significant of differences between pretest-posttest case and control group. Conclusion: The result of this research conclude that there is influence of Al-Qur’an recitation theraphy on decreased of eldery’s anxiety. The advice of this research, AlQur’an recitation theraphy can be applied in the research population to decrease or lose the anxiety. Keywords :

Elderly, Anxiety level, Al-Qur’an Recitation Theraphy

1. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan persentase kenaikan jumlah penduduk yang tinggi setiap tahunnya. Salah satu kelompok penduduk yang menyumbang persentase kenaikan jumlah penduduk terbanyak adalah lansia. Jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia 15,3 juta (7,4%) pada tahun 2000. Pada tahun 2010 jumlahnya meningkat dua kali lipat yakni sama dengan jumlah anak balita yaitu sekitar 24 juta atau 9,77% dari seluruh jumlah [1] penduduk. Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2000 dalam Media Pangan dan Gizi tahun 2004, usia harapan hidup orang Indonesia meningkat dari 65 tahun menjadi 73 tahun pada tahun [2] 2025. Menurut Bapenas (2008) jumlah lansia pada tahun 2025 diproyeksikan akan mencapai angka 62.4 juta jiwa. Persentase lansia diproyeksikan akan menjadi 11.34 % atau tercatat sekitar 28.8 juta orang pada tahun 2020 yang akan [3] dating. Jumlah yang tinggi ini menjadikan lansia sebagai kelompok penduduk yang memerlukan perhatian lebih karena berbagai perubahan yang terjadi pada masa lansia secara holistik baik dari aspek fisiologis, psikologis, maupun sosial akan sangat berdampak terhadap kemampuan lansia dalam menjalani kehidupan. Perubahan yang terjadi pada lansia mengakibatkan berbagai masalah yang kompleks. Pada aspek fisiologis ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, organ, serta sistem organ. Kemunduran fisik ditandai dengan kulit

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

mengendur, rambut memutih, penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, dan kelainan berbagai fungsi organ vital. Sedangkan perubahan yang terjadi pada aspek psikologis yaitu terjadi peningkatan sensitivitas emosional, menurunnya gairah, dan berkurangnya minat terhadap penampilan Penurunan fisiologis dan psikologis sangat berdampak signifikan terhadap aspek sosial. Pada kondisi ini lansia cenderung menyendiri dan merasa diasingkan baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Perubahan sosial yang terjadi pada masa lansia pun mengakibatkan berbagai permasalahan psikologis yang lebih spesifik. Permasalahan yang sering muncul antara lain, mudah tersinggung, mudah marah, ketakutan, stres, depresi, dan kecemasan. Keluarga biasanya kurang memahami kondisi lansia yang membutuhkan kasih sayang. Perkerjaan yang kompleks dan kesibukan masingmasing anggota keluarga membuat lansia kehilangan kasih sayang dan perhatian. Bahkan ada sebagian keluarga yang dengan sengaja membawa lansia di keluarga mereka ke panti jompo. Lansia semakin merasa kehilangan kasih sayang dari anggota keluarganya dan merasa tersisih. Kondisi inilah yang akan menjadi masalah serius dan akan meningkat di [4] tahun-tahun berikutnya. Gangguan psikologis terutama kecemasan pada lansia berisiko tinggi memunculkan kebiasaan atau perilaku berbahaya. Lansia yang mengalami ketakutan, stres, depresi dan kecemasan banyak yang memilih untuk segera mengakhiri hidupnya karena merasa sudah tidak berguna dan menjadi beban [5] bagi keluarga dan masyarakat. Kondisi

│41


ini pun memperparah adanya risiko bunuh diri yang terjadi pada masa lansia. Selain itu gangguan psikologis lansia menjadi salah satu faktor risiko yang dapat memperburuk kondisi kesehatan lansia dan menjadi penghambat lansia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berbagai penanganan yang ada untuk permasalahan psikologis terutama kecemasan pada lansia selama ini hanya bersifat farmakologis seperti penggunaan antidepresan, sedatif, dan berbagai obat penenang lainnya yang justru dapat menimbulkan efek samping negatif terhadap sistem dan metabolisme tubuh. Ketergantungan lansia terhadap penggunaan obat tersebut harus dihindari karena berbagai perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh lansia sering kali tidak bisa mentoleransi efek samping obat seperti mual, muntah, sakit kepala, gugup, dan insomnia. Sehingga penggunaan obat dalam jangka panjang sangat tidak dianjurkan untuk mengatasi kecemasan pada lansia. Uraian fenomena diatas mengindikasikan perlunya terapi alternatif non farmakologis yang efektif dalam mengatasi masalah psikologis terutama yang berhubungan dengan tingginya tingkat kecemasan pada lansia. Al-Qur’an yang merupakan sumber solusi berbagai permasalahan kehidupan, bisa digunakan sebagai terapi efektif terhadap permasalahan psikologis yang terjadi pada lansia. Pada masa lansia terjadi berbagai perubahan penurunan kondisi fisiologis, psikologis, dan sosial, maka dibutuhkan terapi relaksasi yang tepat untuk menghilangkan rasa kesepian dan kecemasan pada kehidupan masa tua dan menjelang kematian. Resitasi adalah sebuah metode mendengarkan dan mendalami makna yang terkandung dalam sebuah materi yang disampaikan. Dalam definisi lain yang berhubungan dengan resitasi AlQur’an, maka resitasi diartikan sebagai proses mendengarkan, mengilhami, memaknai lantunan ayat suci Al-Qur’an sehingga dapat diterapkan dalam [6] kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah penelitian Kedokteran Islam Amerika Utara 2004, Al-Qur’an mampu mendatangkan ketenangan dan meminimalkan kecemasan sampai 97% bagi mereka yang [7] mendengarkannya. Referensi lain menunjukkan bahwa resitasi ditujukan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

untuk mengurangi tingkat kecemasan pada lansia sehingga dapat meminimalisir permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat akibat kekhawatiran terhadap perilaku berbahaya yang dilakukan lansia karena sering merasa sendiri dan [8] tersisih . Data Puskesmas Kepanjen, 2009 yang salah satu cakupannya adalah Dusun Gambiran Desa Mojosari menunjukkan tingginya angka kunjungan lansia baik ke Puskesmas maupun ke Posyandu Lansia yang diadakan rutin tiap satu bulan sekali. Populasi lansia di Dusun Gambiran adalah 60 orang. Sebagian besar lansia mengalami berbagai komplikasi penyakit seperti mialgia, hipertensi, diabetes, dan tubercullosis. Rekam medis yang diperoleh dari perawat desa dan kader posyandu lansia menunjukkan tingginya tekanan darah, kadar kolesterol, asam urat, dan gula darah ketika dilakukan pemeriksaan kesehatan pada lansia. Kondisi ini memang wajar terjadi karena berbagai perubahan yang terjadi pada lansia merupakan gejala klinis sebagai reaksi psikologis dari proses degeneratif yang sedang berproses sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Walaupun demikian kondisi tersebut masih bisa dicegah atau dikontrol dengan sosialisasi terapi efektif terutama yang berhubungan dengan stabilisasi kondisi psikologis. Studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada populasi posyandu lansia didapatkan bahwa 80% lansia berada pada tingkat kecemasan sedangberat. Ketika dilakukan observasi dan wawancara pada 40 lansia hal-hal yang menyebabkan kecemasan tersebut antara lain, ketakutan menjelang kematian, merasa terasingkan karena kesulitan berkomunikasi dengan orang lain, kurangnya kasih sayang dari keluarga, dan penurunan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Ada beberapa lansia yang terpaksa menggunakan obat penenang dalam jangka panjang walaupun ada efek samping yang dirasakan, sehingga berdasarkan kondisi ini maka salah satu terapi yang bisa ditawarkan untuk menurunkan tingkat kecemasan pada lansia adalah terapi resitasi AlQur’an. Berdasarkan landasan teori di atas dan munculnya berbagai fenomena permasalahan psikologis terutama tingginya tingkat kecemasan pada lansia

│42


maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Terapi Resitasi AlQur’an terhadap Tingkat Kecemasan Lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang.” Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh terapi resitasi AlQur’an terhadap tingkat kecemasan lansia di posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari, Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Penelitian ini bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis dapat menjadi sumber perbendaharaan referensi bagi kepentingan penelitian. Secara praktis dapat meningkatkan ketrampilan atau skill dalam ilmu metris, menjadi saran yang bisa diimplementasikan oleh institusi melalui kebijakan palayanan kesehatan, dan sebagai pengembangan metode pengobatan alternatif yang bisa diterapkan oleh petugas kesehatan lapangan seperti keperawatan dalam kegiatan promotif & preventif kesehatan lansia. 2.

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode quasi experiment dengan pendekatan [9] pretest posttest with control grup design. Populasi dalam penelitian ini adalah lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari, Kepanjen-Malang sebanyak 60 lansia. Besar sampel didapatkan sebesar 42 responden terbagi menjadi 20 kelompok kasus dan 22 kelompok kontrol dengan menggunakan metode purposive sampling. Kriteria inklusi yaitu lansia yang memiliki tingkat kecemasan sedang dan berat dinilai dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan dari Geriatric Anxiety Inventory (GAI), muslim/muslimah, mengikuti sholat subuh berjamaah di masjid, bisa membaca dan memahami terjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Indonesia, dan bersedia menjadi responden. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 s.d 26 November 2013. Variabel independen adalah terapi resitasi Al-Qur’an sedangkan variabel dependen adalah tingkat kecemasan lansia. Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan kuisoner yang dikembangkan dari GAI. Kuisoner ini terdiri dari 9 pertanyaan yang berisi mengenai perasaan kecemasan lansia dalam

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

melakukan aktivitas sehari-hari, dengan nilai jawaban “Ya” yaitu 1 dan “Tidak” yaitu 0, dengan kategori skor kecemasan ringan (1-3), kecemasan sedang (4-6), kecemasan berat (7-9). Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Uji Wilcoxon dan Uji Mann Whitney. Uji Wilcoxon digunakan untuk mengetahui perubahan pretest dan postest pada kelompok kasus dan kontrol, sedangkan uji Mann Whitney digunakan untuk mengetahui perbedaan postest tingkat kecemasan lansia setelah diberikan terapi resitasi Al-Qur’an pada kelompok kasus dan kontrol. 3.

HASIL PENELITIAN Distribusi data demografi responden pada penelitian ini meliputi usia, jenis kelamin, status pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, keberadaan keluarga yang menemani lansia tinggal di rumah dan disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut: 3.1 Data Demografi Tabel 1. Karakteristik berdasarkan usia Kelompok Kasus

Kontrol

Rentang Usia 55-64 th 65-74 th 75-84 th Total 55-64 th 65-74 th 75-84 th Total

N 5 7 8 20 10 5 7 22

% 25% 35% 40% 100% 45% 23% 32% 100%

Tabel 2. Karakteristik berdasarkan Jenis kelamin Kelompok Kasus

Kontrol

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total Laki-laki Perempuan Total

N 3 17 20 3 19 22

% 15% 85% 100% 14% 86% 100%

Tabel 3. Karakteristik berdasarkan status pernikahan Kelompok Kasus

Kontrol

Status pernikahan Tidak menikah Janda/duda Menikah Total Tidak menikah Janda/duda Menikah Total

N

%

0 11 9 20 0 12 10 22

7% 55% 45% 100% 0% 55% 45% 100%

│43


Tabel 4. Karakteristik berdasarakan pendidikan terakhir Kelompok

Kasus

Kontrol

Pendidikan Terakhir Tidak sekolah SD SMP SMA Total Tidak sekolah SD SMP SMA Total

N

%

2 15 3 0 20 2 17 3 0 22

10% 75% 15% 0% 100% 9% 77% 14% 0% 100%

Tabel 5. Karakteristik berdasarkan pekerjaan Kelompok Pekerjaan N % Kasus Tidak bekerja 5 25% Petani 14 70% Wiraswasta 1 5% Lain-lain 0 0% Total 20 100% Kontrol Tidak bekerja 8 36% Petani 11 50% Wiraswasta 3 14% Lain-lain 0 0% Total 22 100%

Tabel 6. Karakteristik berdasarkan keberadaan keluarga yang menemani lansia tinggal di rumah (KKLT) Kelompok KKLT N % Kasus Sendirian 7 35% Bersama istri/suami 2 10% Bersama anak/mantu 11 55% Lainnya 0 0% Total 20 100% Kontrol Sendirian 4 18% Bersama istri/suami 6 27% Bersama anak/mantu 12 55% Lainnya 0 0% Total 22 100%

3.2

Data Khusus

Tingkat Kecemasan: 1: kurang cemas 2: cemas 3: sangat cemas

Gambar 1. Data Hasil Pengukuran Skor Tingkat Kecemasan Lansia Pretest-Postest Kelompok Kasus Dari gambar di atas dapat diinterpretasikan bahwa jumlah responden kelompok kasus yang mengalami penurunan tingkat kecemasan setelah diberikan terapi resitasi AlQur’an adalah 18 orang (90%) yaitu responden nomor 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 20 22, 24

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│44


26 28, 30, 32, 34, 38, 40. Jumlah responden yang tidak mengalami perubahan tingkat kecemasan setelah diberi terapi resitasi Al-Qur’an adalah 2 orang (10%) yaitu responden nomor 2 dan 18. Sedangkan jumlah responden yang mengalami peningkatan tingkat kecemasan adalah 0 orang (0%). Dari penjabaran 20 responden didapatkan 10 responden (50%) mengalami penurunan tingkat kecemasan sangat cemas menjadi kurang cemas, 4 responden (20%) mengalami penurunan tingkat kecemasan sangat cemas menjadi cemas, 4 responden (20%) mengalami penurunan tingkat kecemasan cemas menjadi kurang cemas, dan 2 responden (10%) tidak mengalami penurunan.

Tingkat Kecemasan: 1: kurang cemas 2: cemas 3: sangat cemas Gambar 2. Data Hasil Pengukuran Skor Tingkat Kecemasan Lansia Pretest-Postest Kelompok Kontrol Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa 22 responden (100%) tidak mengalami perubahan tingkat kecemasan dikarenakan lansia tidak mendengarkan firman Allah SWT yang tertuang dalam surat Ad-Dhuha yang apabila dipahami makna dan kandungannya dapat menenangkan hati dan pikiran. Dari 22 responden dapat dijabarkan yaitu 20 responden (90,91%) dalam tingkat kecemasan sangat cemas dan 2 responden (9,09%) dalam rentang cemas. Tabel 7. Perbedaan pretest-postest tingkat kecemasan lansia pada kelompok kasus dan kontrol

N o.

1

Tingkat Kecemasan

Kurang cemas (1-3)

Frekuensi Responde n Kasus

Freskuensi Responden Kontrol

Pretest

Post test

Pretest

Posttest

0

0

0

0

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

2

3

Cemas (4-6) Sangat cemas (7-9)

5

1

2

2

15

1

20

20

Berdasarkan tabel di atas dapat diinterpretasikan perbedaan pretestposttest tingkat kecemasan lansia pada kelompok kasus dan kontrol. Pada kelompok kasus didapatkan perubahan yang signifikan bahwa dari dari 15 responden yang sangat cemas pada pretest menjadi hanya 1 responden pada posttest dan 5 responden yang cemas pada pretest menjadi hanya 1 responden pada posttest. Hal ini menunjukkan terjadinya penurunan tingkat kecemasan pada kelompok kasus karena pada kelompok ini diberikan terapi resitasi AlQur’an. Sedangkan pada kelompok kontrol hanya mendapatkan terapi mendengarkan lagu tombo ati dan tidak mengalami perubahan postest tingkat kecemasan, didapatkan kondisi lansia bahwa 20 responden (90,91%) dalam tingkat sangat

│45


cemas dan 2 responden (9,09%) dalam tingkat cemas. 3.3

Analisis Data Analisis statistik menggunakan SPSS 16 for windows. Data dianalisis menggunakan uji Wilcoxon dan Mann Whitney. Hasil uji statistik pretest-postest kelompok kasus menggunakan Uji Wilcoxon didapatkan hasil p value=0,000 < α=0,05. Dapat di interpretasikan bahwa terapi resitasi Al-Qur’an dapat menurunkan tingkat kecemasan pada kelompok kasus secara signifikan. Hasil uji statistik pretestpostest kelompok kontrol didapatkan hasil p value= 1,000 > α=0,05. Dapat diinterpretasikan bahwa tanpa penerapan terapi resitasi Al-Qur’an tidak dapat mengalami penurunan tingkat kecemasan. Dan untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan lansia pada kelompok kasus dan kontrol digunkan uji statistik Mann Whitney didapatkan p value = 0,000 < α = 0,05, diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara tingkat kecemasan lansia pada pretest-postest kelompok kasus dan kontrol. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi resitasi Al-Qur’an terhadap penurunan tingkat kecemasan pada lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. 4. 4.1

PEMBAHASAN Tingkat Kecemasan Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi Resitasi Al-Qur’an pada Kelompok Kasus Sebelum diberikan terapi resitasi AlQur’an terdapat 15 responden (75%) yang mengalami tingkat kecemasan berat dan 5 responden (25%) yang mengalami tingkat kecemasan sedang pada kelompok kasus. Setelah diberikan terapi resitasi Al-Qur’an yaitu terapi mendengarkan, mengilhami, dan memaknai lantunan ayat suci AlQur’an surat Ad-Dhuha selama satu minggu setelah selesai melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid, maka terjadi penurunan jumlah responden yang mengalami tingkat kecemasan menjadi hanya 1 responden (5%) yang mengalami tingkat kecemasan berat dan 1 responden (5%) yang mengalami tingkat kecemasan sedang. Hasil penelitian yang dilakukan di Posyandu Lansia Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Malang pada kelompok kasus (20 responden) yang mendapatkan terapi resitasi Al-Qur’an, menunjukkan penurunan tingkat kecemasan sebesar 90% (18 responden). Uji statistik pretestpostest yang digunakan pada kelompok kasus adalah uji Wilcoxon yang menunjukkan signifikansi 0,000 < α, yang artinya penerapan terapi resitasi Al-Qur’an berpengaruh terhadap penurunkan tingkat kecemasan lansia. Kecemasan pada kelompok kasus ini menunjukkan kesan adanya pengaruh dari berbagai faktor, yaitu perbedaan jenis kelamin, dukungan sosial, dukungan keluarga, kehilangan pasangan, pekerjaan, pendidikan terakhir, dan status kesehatan. Dalam hal jenis kelamin, berdasarkan data sekunder yang diperoleh peneliti diketahui bahwa perbandingan atau rasio jumlah lansia wanita dan lakilaki di Dusun Gambiran adalah 5:1 (50:10). Data primer yang ditemukan peneliti pada sampel kelompok kasus didapatkan bahwa perbandingan atau rasio lansia wanita dan laki-laki adalah 5,7:1 (17:3). Data sekunder maupun data primer menunjukkan rasio yang linier yaitu 5:1 dan 5,7:1, yang mengesankan bahwa usia wanita lebih panjang dari usia laki-laki. Temuan ini sesuai dengan data Riskesdas (2009) yang menunjukkan bahwa wanita memiliki angka harapan hidup yang lebih panjang [10] daripada laki-laki. Hal ini juga sesuai dengan teori Mayers (2008) dalam Wiyono dan Widodo (2010) bahwa wanita lebih tinggi kecemasannya dibandingkan pria karena wanita lebih sensitif perasaanya dibandingkan pria yang lebih aktif dan [11] eksploratif. Dalam hal dukungan sosial atau dukungan keluarga, 60% (16 dari 20 orang) lansia mengesankan ada peran dukungan sosial terhadap tingkat kecemasan. Pernyataan ini diperkuat dengan alasan-alasan tentang hambatan dalam berinteraksi sosial antara lain, rasa minder, tidak dihiraukan, dan direndahkan. Hal ini pun didukung dengan pernyataan lansia bahwa mereka terbebani dengan konflik ketidakcocokan maksud dan tujuan yang terjadi antara lansia dengan keluarga. Temuan tersebut sesuai dengan pendapat Friedman (2001) bahwa dukungan sosial dan dukungan keluarga diperlukan sebagai penyokong dalam kehidupan lansia agar memiliki strategi koping adaptif dalam menghadapi suatu

│46


masalah serta menghindari perasaan [12] kesepian. Jika dukungan itu hilang atau berkurang akan menimbulkan respon psikologis seperti kecemasan dan [13] depresi. Dalam hal kehilangan pasangan, lansia mengesankan adanya pengaruh faktor tersebut terhadap tingkat kecemasan. Pada kelompok kasus terdapat 11 responden (55%) yang berstatus janda/duda karena kematian pasangannya. Temuan ini sesuai dengan pendapat Stockslager dan Liz (2007), jika kehilangan pasangan terjadi pada masa tua, seseorang berisiko tinggi mengalami stress, depresi, dan cemas, karena lansia merasa sendiri, tidak bisa berbincangbincang atau bercengkrama serta berbagi [14] keluh kesah dalam kehidupannya. Rasa kehilangan disertai dengan berbagai perubahan yang terjadi pada masa lansia mengakibatkan penurunan daya tahan tubuh baik secara fisik maupun psikologis. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap penurunan kesehatan dan kualitas hidup lansia sehingga lansia mudah mengalami [15] cemas. Dalam hal pekerjaan, lansia mengesankan adanya pengaruh faktor tersebut terhadap tingkat kecemasan. Pada kelompok kasus sebanyak 5 responden (25%) tidak bekerja dan 14 responden (70%) bekerja sebagai petani. Faktor pekerjaan sejalan dengan faktor pendidikan, pada kelompok kasus 2 responden (10%) tidak sekolah, dan 15 responden (75%) berpendidikan SD. Hal ini berhubungan dengan masalah finansial yang dihadapi lansia yang sesuai dengan pendapat Maramis (2009) bahwa kehilangan finansial menimbulkan suatu beban mental dan mencetuskan stressor terhadap diri lansia yang dapat menimbulkan gangguan kecemasan, [16] depresi ataupun stress. Dalam hal status kesehatan, lansia mengesankan adanya pengaruh faktor tersebut terhadap tingkat kecemasan. Pernyataan ini diperkuat oleh alasan bahwa lansia takut jika diberitahu hasil pemeriksaan tekanan darahnya tinggi, karena hal tersebut akan berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan lansia. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang disampaikan oleh ahli kesehatan jiwa Dalmida (2006) bahwa kecemasan bisa terjadi karena suatu kelainan medis atau [17] pemakaian obat. Penyakit yang bisa

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

menyebabkan kecemasan adalah kelainan neurologis (cedera kepala, infeksi otak, penyakit telinga bagian dalam), kelainan jantung & pembuluh darah (gagal jantung, hipertensi, aritmia), kelainan endokrin (kelenjar adrenal atau kelenjar tiroid yang hiperaktif), kelainan pernafasan (asma dan [18] penyakit paru obstruktif menahun). Dua responden (10%) tidak mengalami perubahan kecemasan setelah diberikan terapi resitasi Al-Qur’an karena dipengaruhi oleh faktor motivasi, harapan dan konsentrasi selama diberikan terapi. Motivasi merupakan suatu penggerak dari dalam hati seseorang untuk melakukan atau mencapai tujuan dan perilaku [19] tertentu. Motivasi disini yang dimaksud yaitu keinginan untuk ikut melakukan terapi, serta harapan lansia untuk sembuh dari kecemasannya. Peneliti telah menjelaskan manfaat terapi resitasi AlQur’an sebelum pelaksanaan dimulai. Motivasi yang kurang dari responden dapat mempengaruhi hasil terapi resitasi Al-Qur’an karena pada terapi ini diperlukan niat yang kuat dalam hati agar terjadinya hubungan dan keyakinan kepada pencipta, serta kesadaran diri terhadap kebesaran Tuhan sebagai maha penyembuh segala [20] penyakit. Pada kelompok kasus terdapat 2 responden yang tidak mengalami perubahan kecemasan karena kurangnya konsentrasi selama mengikuti terapi. Beliau mengatakan sedikit mengantuk di setiap pagi karena terlalu lelah menjalani aktivitas dini hari untuk mempersiapkan barang dagangan. Menurut Nuryati, Indarwati, dan Hadisuyatmana (2012), menyatakan bahwa kegagalan respon positif yang ditandai dengan kegagalan berinteraksi dapat menimbulkan respon kecemasan yang dapat berlanjut lamakelamaan menimbulkan gejala psikologis [21] yang maladaptif . Dapat disimpulkan bahwa faktor yang memberikan kesan terhadap perubahan tingkat kecemasan lansia pada kelompok kasus yaitu perbedaan jenis kelamin, dukungan sosial, kehilangan pasangan, pekerjaan, pendidikan terakhir, dan status kesehatan. Sedangkan faktor yang memberikan kesan tidak adanya perubahan tingkat kecemasan terhadap 2 responden yang ikut terapi resitasi AlQur’an pada kelompok kasus yaitu faktor motivasi, niat, harapan, dan konsentrasi.

│47


4.2

Tingkat Kecemasan Lansia Sebelum dan Sesudah Diberikan Terapi pada Kelompok Kontrol Sebelum diberikan terapi mendengarkan lagu “tombo ati” terdapat 20 responden (90,9%) yang mengalami tingkat kecemasan berat dan 2 responden (9,1%) yang mengalami tingkat kecemasan sedang pada kelompok kontrol. Setelah diberikan terapi mendengarkan lagu “tombo ati” selama satu minggu setelah selesai melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid, maka tidak terjadi perubahan tingkat kecemasan pada kelompok kontrol yaitu tetap 20 responden (90,9%) mengalami tingkat kecemasan berat dan 2 responden (9,1%) mengalami tingkat kecemasan sedang. Hasil penelitian yang dilakukan di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang pada kelompok kontrol (22 responden) dapat dijelaskan bahwa tidak terjadi perubahan tingkat kecemasan lansia saat pretest maupun posttest. Uji statistik pretest-posttest yang digunakan pada kelompok kontrol adalah uji Wilcoxon yang menunjukkan signifikansi 1,000 > α, yang artinya tanpa penerapan terapi resitasi AlQur’an maka tidak dapat terjadi penurunan tingkat kecemasan lansia. Hal ini terjadi karena pada kelompok kontrol tidak diberikan terapi resitasi Al-Qur’an sehingga tidak terjadi penurunan tingkat kecemasan yang signifikan. Kecemasan pada kelompok kontrol ini menunjukkan kesan adanya pengaruh dari berbagai faktor yaitu perbedaan jenis kelamin, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Dalam hal jenis kelamin, berdasarkan data sekunder yang diperoleh peneliti diketahui bahwa perbandingan atau rasio jumlah lansia wanita dan lakilaki di Dusun Gambiran adalah 5:1 (50:10). Data primer yang ditemukan peneliti pada sample kelompok kontrol didapatkan bahwa perbandingan atau rasio lansia wanita dan laki-laki adalah 6,3:1 (19:3). Data sekunder maupun data primer menunjukkan rasio yang linier yaitu 5:1 dan 6,3:1, yang mengesankan bahwa usia wanita lebih panjang dari usia laki-laki. Temuan ini sesuai dengan data Riskesdas (2009) yang menunjukkan bahwa wanita memiliki angka harapan hidup yang lebih [10] panjang daripada laki-laki. Sesuai hasil penelitian Wiyono & Widodo (2010) bahwa

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

gangguan kecemasan pada lansia wanita disebabkan karena wanita memiliki karakteristik yang khas seperti menopause, menurunya kadar estrogen dan ovarium yang dapat berhubungan dengan perubahan fisik dan psikologis [11] lansia. Dalam hal pendidikan, faktor ini memberikan kesan tidak adanya perubahan tingkat kecemasan pada kelompok kontrol. Hal ini dibuktikan dengan karakteristik yang didapatkan bahwa 17 responden (77%) lulusan SD, 3 responden (14%) lulusan SMP, dan 2 responden (9%) tidak sekolah,. Maka dapat dikemukakan bahwa tingkat kematangan pendidikan lebih banyak yang bersekolah dibandingkan yang tidak bersekolah. Hal ini ikut mempengaruhi perubahan kecemasan pada kelompok kontrol, karena semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin mudah berpikir rasional dan menangkap informasi baru termasuk menguraikan masalah-masalah yang menimbulkan gangguan [22] kecemasan. Lansia yang mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi lebih bisa mengatasi gangguan kecemasan [4] dibandingkan yang tidak bersekolah. Dalam hal pekerjaan, lansia mengesankan adanya pengaruh faktor tersebut terhadap tingkat kecemasan. Berdasarkan data demografi yang diperoleh peneliti bahwa 11 responden (50%) kelompok kontrol adalah seorang petani. Kehidupan petani yang dijalani oleh lansia rentan menimbulkan berbagai kekhawatiran dan mempengaruhi kondisi psikologis. Di alam terbuka dalam waktu lama rentan berbagai bahaya seperti hujan yang deras, tersambar petir, dan angin putting beliung. Lansia pun terkadang sering mengkhawatirkan hasil panen yang akan digunakan untuk biaya kehidupan [23] sehari-hari. Dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor demografi seperti perbedaan jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan pekerjaan dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada kelompok kontrol. Tidak adanya perubahan tingkat kecemasan juga terjadi karena kelompok kontrol tidak mendengarkan firman Allah melalui terapi resitasi Al-Qur’an, namun hanya mendengarkan lagu tombo ati sehingga kelompok kontrol tidak merasakan dampak signifikan ketenangan hati, jiwa, dan pikiran.

│48


4.3

Perbedaan Tingkat Kecemasan Lansia Kelompok Kontrol dan Kasus Hasil penelitian yang dilakukan di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang menunjukkan perbedaan tingkat kecemasan kelompok kasus dan kontrol setelah diberikan terapi resitasi Al-Qur’an. Tingkat kecemasan kelompok kontrol tidak mengalami perubahan, sedangkan pada kelompok kasus mengalami perubahan sebanyak 90%. Uji statistik Mann Whitney yang membandingkan hasil postest kelompok kasus dan kontrol menunjukkan signifikansi 0,000 < α yang artinya terdapat perbedaan signifikan antara tingkat kecemasan lansia pada kedua kelompok setelah diberikan terapi. Sehingga dapat dikemukakan bahwa terdapat pengaruh terapi resitasi Al-Qur’an terhadap penurunan tingkat kecemasan lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Peneliti mendapatkan penurunan tingkat kecemasan pada kelompok kasus sebayak 18 responden (90%), beberapa lansia menyatakan perasaan lebih tenang, lebih bersyukur kepada Tuhan atas berkah yang diberikan. Lansia terbuka menyampaikan pengalaman ibadahnya serta manfaat yang dirasakan dalam beribadah kepada Tuhan, ini sebagai upaya meningkatkan motivasi beribadah dan lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Diharapkan terapi resitasi Al-Qur’an dijadikan sebagai terapi alternative non farmakologis dalam mengatasi gangguangangguan kejiwaan terutama kecemasan. Pemberian terapi resitasi Al-Qur’an merupakan terapi modalitas yang dapat dilakukan sebagai terapi tambahan atau komplementer. Menurut Hawari (2007) terapi resitasi Al-Qur’an dapat membangkitkan harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence) dan [24] keimanan (faith) pada diri seseorang . Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdul Ghofar (Dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Unipdu) dan Lutfiyah Ningsih (Perawat Rumah Sakit Husada Utama) pada tahun 2008, menunjukkan adanya pengaruh terapi bermain dan mendengarkan bacaan ayat suci Al-Qur’an Juz Amma terhadap tingkat kecemasan pasien anak yang dirawat di RS Husada Utama serta penelitian yang dilakukan oleh Rohma Damayanti pada

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

tahun 2010 menunjukkan adanya pengaruh yang siginifikan tentang pengaruh mendengarkan murottal AlQur’an surat Ar-Ra’du terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre operasi SC di RS PKU Muhammadiyah Jogjakarta. Aspek religiusitas mengandung unsur meditasi dan relaksasi sehingga sebagai mekanisme koping yang dapat membangkitkan ketahanan tubuh seseorang secara alami. Secara biologis orang dengan tingkat religiusitas tinggi memliki kadar CD-4 (limfosit T helper) yang tinggi, ini menunjukkan tingginya [24] daya tahan imunologi seseorang. Tingkat religiustitas yang tinggi dapat juga meningkatakan mood dan menurunkan kadar katekolamin (norepeniferin dan epinefrin) serta menyehatkan diri [17] seseorang. Gangguan kecemasan dihubungakan dengan peningkatan kadar [25] norepeniferin dalam darah. Sehingga dengan pemberian terapi resitasi Al-Qur’an kadar norepeniferin dalam darah dapat menurun dan gangguan kecemasan dapat diatasi. Dari uraian diatas dan didukung oleh teori-teori yang sesuai dapat dikatakan bahwa terapi resitasi Al-Qur’an dapat menurunkan tingkat kecemasan lansia. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai “Pengaruh Terapi Resitasi Al-Qur’an Terhadap Tingkat Kecemasan Lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang”, maka dapat diambil kesimpulan sebagi berikut: a. Sebelum diberikan terapi resitasi AlQur’an terdapat 15 responden (75%) yang mengalami tingkat kecemasan berat dan 5 responden (25%) yang mengalami tingkat kecemasan sedang pada kelompok kasus. Setelah diberikan terapi resitasi Al-Qur’an, maka terjadi penurunan jumlah responden yang mengalami tingkat kecemasan menjadi hanya 1 responden (5%) yang mengalami tingkat kecemasan berat dan 1 responden (5%) yang mengalami tingkat kecemasan sedang. Sehingga diketahui bahwa terjadi penurunan tingkat kecemasan lansia sebesar 90% setelah diberikan terapi resitasi AlQur’an pada kelompok kasus.

│49


b. Sebelum diberikan terapi mendengarkan lagu “tombo ati” terdapat 20 responden (90,9%) yang mengalami tingkat kecemasan berat dan 2 responden (9,1%) yang mengalami tingkat kecemasan sedang pada kelompok kontrol. Setelah diberikan terapi mendengarkan lagu “tombo ati”, maka tidak terjadi perubahan tingkat kecemasan pada kelompok kontrol yaitu tetap 20 responden (90,9%) mengalami tingkat kecemasan berat dan 2 responden (9,1%) mengalami tingkat kecemasan sedang. Sehingga diketahui bahwa tidak terjadi perubahan tingkat kecemasan lansia pada kelompok kontrol yang tidak diberikan terapi resitasi Al-Qur’an tetapi hanya diberikan terapi mendengarkan lagu tombo ati. c. Terdapat perbedaan signifikan tingkat kecemasan lansia pada kelompok kasus dan kontrol setelah diberikan terapi. Penerapan terapi resitasi AlQur’an lebih efektif dibandingkan dengan terapi mendengarkan lagu tombo ati. Hal ini dibuktikan dengan uji statistik Mann Whitney sebesar 0,000 < α, sehingga dapat disimpulkan ada pengaruh terapi resitasi Al-Qur’an terhadap penurunan tingkat kecemasan lansia di Posyandu Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. 6.SARAN a. Penelitian ini tidak representative untuk menggambarkan populasi lansia secara keseluruhan di Dusun Gambiran Desa Mojosari Kecamatan Kepanjen Kabupaten Malang. Agar keterwakilan itu mencerminkan populasi lansia di desa penelitian, bila jumlah populasimya kurang dari 100 sebaiknya dilakukan dengan total sampling (seluruh lansia diambil) kecuali yang memang menderita sakit yang menjadi penghalang dalam mendengarkan terapi yang akan dilakukan seperti tertulis dalam kriteria eksklusi dan tidak hanya terbatas kepada muslim dan jama’ah sholat subuh di masjid. b. Disarankan bagi responden yang telah terjangkau dalam penelitian ini untuk seterusnya diberikan pendampingan untuk kelanjutan atau keberlangsungan resitasi Al-Qur’an sebagai salah

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

alternative yang telah bermakna untuk menurunkan atau menghilangkan kecemasan. DAFTAR PUSTAKA 1. Suprianto, Teguh.Pengaruh Terapi Psikoreligius terhadap Tingkat Kecemasan Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Pandaan. Skripsi. Tidak Diterrbitkan. Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran. Malang: Universitas Brawijaya; 2013. 2. WHO.Definition of an Older or Eldery Person, Health statistics and health information systems; 2012 <http:// who.int/healthinfo/survey/ageingdef nolder/en/index.html>, diakses 19 November 2012 3. Wirakusumah.Editor: Sari Kurniaingsih. Alih bahasa: Monica Ester. Pedoman Klinis Keperawatan Geriatrik (Wong and Whaley’s Clinical Manual of Geriatric Nursing) Edisi 4. Jakarta: EGC ; 2002. 4. Nicholson.Development and Validation of the Geriatric Anxiety Inventory. International Psychogeriatrics. Brisbane, Australia: University of Queensland; 2008. 19:1, p.103–114 5. Tamher dan Noorkasiani. Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan keperawatan. Jakarta: Salemba Medika; 2009. 6. Romi, Kholilul.Terapi Juz Amma. Jakarta: Hikmah ; 2009. 7. Alwahhabi, F.Anxiety Symptoms and Generalized Anxiety Disorder in the Elderly: A Review. The Geriatric Psychiatry Program, Department of Psychiatry, Canada: University of Ottawa ; 2003. 8. Darojat A.Psikoterapi Dengan Doa. Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jurnal SUHUF XVIII; 2006. (online), <http://eprints.ums.ac.id/147.pdf> diakses 18 Oktober 2013 9. Notoatmodjo, Soekidjo, Dr. Metodologi Penelitian Kesehatan Edisi Revisi I. Jakarta: PT. Rineka Cipta ; 2002.

│50


10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC ; 2000. Wiyono W, dan Widodo A. Hubungan Antara Tingkat Kecemasan dengan Kecenderungan Insomnia pada lansia di Panti Wredha Dharma Bhakti Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan, 2010, 2(2), p. 87-89, (online) <http://publikasiilmiah.ums.ac.id/BI K.pdf> diakses 18 Oktober 2013 Friedman MM. Keperawatan keluarga: teori dan Praktik, ed. 3, Jakarta: EGC ; 2001. Bekhet AK, and Zauszniewski JA. Mental Health of Elders In Retirement Communities: Is Loneliness a Key Factor. Archives of Psychiatric Nursing; 2012. Vol.26 No.3 pp. 214-224 Hawari D. 2005. Dimensi Religi Dalam Praktek Psikiatri dan psikologi. Ed. I. Cetakan Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI Potter, Perry. Fundamental of Nursing. Philadelphia: BBC Company ; 2009. Maramis, Willy F. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2. Surabaya : Airlangga University Press, hal. 576-578. Dalmida SG. Spirituality Mental Health Physical Health and Health Realted Quality of life Among Women With HIV/AIDS: Integrating Spirituality Into Mental Health Care ; 2006. Issues In Mental Health Nursing vol.27,p.185198(online),<http:// www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/164 18078pdf> dikses 16 Oktober 2012 Abdi, Ismail A.Memahami Krisis lanjut Usia: Uraian medis dan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

pedagogis, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Gunung Mulia ; 2009. Swansburg RC.Nursing Staff Develompment, Jones & Bartlett Publisher, Waluyo & Yasmin (Penterjemah). Jakarta: EGC ; 2001. Tajvidi M, Mohammadi E, Memarian R. 2001. Assessment of anxiety before reciting the Quran on the open heart surgery. Daneshvar J. Persian page;8(32):55-60. Nuryati, Titik., Indarwati, Retno., Hadisuyatmana. Hubungan Perubahan Peran Diri Dengan Tingkat Depresi Pada Lansia yang Tinggal Di UPT PSLU Pasuruan Babat Lamongan. Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga. (online) ; 2012. <journal.unair.ac.id/filerPDF/Titik%2 0N.docx> diakses 05 Mei 2013 Schoevers RA, Beekman AT, Deeg DJ. Elderly Women Are Greater Risk Of Comorbid Generalised Anxiety And Depression Than Elderly Man. Journal Geriatric Psyhiatry; 2004. (p 994-1001) (online) <http://content.ebscohost.com/pdf> diakses 05 Mei 2013 Saparinah, Y. Editor: Monica Ester. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Lansia. Jakarta: EGC ; 2003. Hawari D. Intergrasi Agama dalam pelayanan Medis, Jakarta: Balai Penerbit FKUI ; 2007. Stuart, Gail W. Pocket Guide To Pschiatric Nursing, 5 ed., Mosby Inc., Kapoh R.F. dan Yudha, E.K. (penterjemah), 2007, Jakarta: EGC ; 2005.

│51


Penelitian

EFEKTIVITAS PEMBERIAN LENDIR BEKICOT 100% (Achatina fulica) DAN SEDIAAN KRIM 5% TERHADAP LAMA PENYEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II (A) SECARA IN VIVO Mandala Adhi Putra

1

1

Mahasiswa Program Studi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta

ABSTRAK Pendahuluan: Luka bakar merupakan salah satu trauma yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, berupa cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi, barang elektrik, dan radiasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas lendir bekicot 100% dan sediaan krim lendir bekicot 5% terhadap lama penyembuhan luka bakar derajat II(A). Metode: Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif True Eksperimental menggunakan design Pretest-Posttest Control Group Design yaitu penelitian dengan Simple random sampling. Sampel yang digunakan adalah mencit sebanyak 20 ekor yang dibagi menjadi 4 kelompok terdiri dari K1 tanpa perlakuan apapun, K2 dengan pemberian bioplacenton, P1 dengan pemberian lendir bekicot 100% dan P2 dengan sediaan krim lendir bekicot 5%. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan rata-rata penyembuhan luka bakar derajat II(A) pada K1 adalah 16 hari, K2 12,40 hari, P1 13,80 hari dan P2 11,40 hari. Hasil uji One-Way ANOVA didapatkan p value = 0,02 (p value <0,05) dan nilai Fhitung (8.109) > Ftabel (5,292)disimpulkan bahwa H0 ditolak yang artinya lendir bekicot berpengaruh terhadap lamanya penyembuhan luka. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa kelompok yang paling mempunyai hubungan signifikan adalah kelompok K1 dengan kelompok P2 dimana Mean Difference adalah 4.600. Kesimpulan: Hal ini dapat disimpulkan bahwa sediaan krim lendir bekicot 5% paling efektif terhadap lama penyembuhan luka bakar derajat II (A) yaitu 11,40 hari.Lendir bekicot 100% dan Sediaan krim lendir bekicot 5% efektif dalam penyembuhan luka bakar derajat II (A). Kata kunci : Lendir bekicot (Achatina fulca), sediaan krim 5%, lama penyembuhan luka, In Vivo ABSTRACT Introduction: Burn wound is one of the traumas that frequently happens in our daily life, that is, a tissue injury due to the contact with dry heats (fire) and moist heats hot vapor or hot liquid), chemicals, electronic devices, and radiations.The objective of this research is to investigate the effectiveness of the administration of snail slime of 100% and specimen of snail slime cream of 5% on the healing duration of Grade II (A). Methods: This research used the true experimental research method with pretestposttest control group design. The samples of the research were taken by using the simple random sampling technique. They consisted of 20 mice, and were divided into four groups, namely: K1 without any treatment, K2 with bioplacenton treatment, P1 with the treatment of snail slime of 100% and P2 with the treatment of specimen of snail slime cream of 5%.The average durations for the healing of burns of Grade II(A) of K1, K2, P1, and P2 are 16 days, 12.40, 13.80, and 11.40 days respectively.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│52


Results: The result of the test with the one-way analysis of variance shows that the value of p is 0.02 which is smaller than 0.05, and the value of F count = 8.109 is greater than that of Ftable = 5.292. Thus, H0 is rejected, meaning that the snail slime has an effect the burn healing durations. The result of the LSD test shows that the groups bearing the most significant correlation are K1 and P2 whose mean difference is 4.600 Conclusion: Therefore, it can be concluded that the specimen of snail slime cream of 5% is the most effective for the healing of burns of Grade II (A), namely: 11.40 days.The snail slime of 100% and the specimen of snail slime cream of 5% are effective for the healing of burns of Grade II (A). Keywords :

Snail slime, specimen of snail slime of 5%, burn healing durations, and in vivo

1.

PENDAHULUAN Luka bakar merupakan salah satu trauma yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang berupa cedera terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan panas kering (api), panas lembab (uap atau cairan panas), kimiawi (seperti, bahan-bahan korosif), barangbarang elektrik (aliran listrik atau lampu), [1] atau energi elektromagnetik dan radiasi. Menurut Michael Peck, Joseph Molnar dan Dehran Swart dalam Bulletin of the World Health Organization A global [2] plan for burn prevention and care (2009) , bahwa setiap tahun lebih dari 300.000 orang meninggal akibat luka bakar, jutaan lebih menderita cacat tubuh yang mempengaruhi efek pada psikologis, sosial dan ekonomi. Penelitian di Belanda menunjukkan 70% kejadian luka bakar terjadi di lingkungan rumah tangga, 25% di tempat industri, dan kira-kira 5% akibat [3] kecelakaan lalu lintas . Di Asia tercatat sekitar 195. 000 jiwa yang meninggal [4] karena luka bakar .Korban meletusnya Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Boyolali di Provinsi Jawa Tengah serta Kabupaten Sleman di Provinsi D.I. Yogyakarta, berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan tercatat korban meninggal dunia sebanyak 275 orang dan sebanyak [5] 577 orang dirawat . Bekicot (Achatina fulica) sebagai salah satu bahan tradisional yang [6] digunakan untuk pengobatan luka .Lendir bekicot mempunyai nilai biologis yang tinggi dalam penyembuhan dan [7] penghambatan proses inflamasi .Menurut [8] Berniyanti (2007) , bahwa lendir bekicot terdapat peptida antimikroba yang dapat mempengaruhi viabilitas ultrastruktur bakteri gram negatif dan gram positif melalui nilai biologis yang tinggi dalam

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

penyembuhan dan penghambatan proses inflamasi. Glikokonjugat utama pada lendir bekicot yaitu glikosaminoglikan disekresi oleh granula- granula yang terdapat di dalam tubuh bekicot dan terletak di permukaan luar. Lendir bekicot juga mengikat kation divalensi seperti tembaga (II) yang dapat mempercepat proses angiogenesis sehingga mempengaruhi [9] kecepatan penyembuhan luka. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian lendir bekicot 100% dan sediaan krim 5% terhadap penyembuhan luka bakar derajat II (A) pada mencit.Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh masyarakat, terutama dalam penggunaan obat tradisional untuk penanganan awal pada luka bakar. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi mahasiswa, tenaga kesehatan dan masyarakat dalam penanganan jika terjadi luka bakar serta bagi peneliti yang telah menciptakan produk sediaan krim lendir bekicot 5% sebagai obat topikal pada luka bakar derajat II (A). 2.

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium IPA Terpadu STIKes Kusuma Husada Surakarta pada tanggal 10 Maret 2014 – 3 Mei 2014. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif eksperimental laboratories True Eksperimental menggunakan design Pretest-Posttest Control Group Design yaitu penelitian dengan Simplerandom sampling dan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap kelompok sampel serta mengontrol variabel terkontrolnya sehingga hasil dari pengaruh lendir bekicot terhadap lama penyembuhan luka bakar derajat II (A) bisa maksimal. Hipotesis

│53


yang diambil peneliti yaitu H0 artinya lendir bekicot tidak efektif terhadap penyembuhan luka bakar derajat II (A) dan H1 artinya lendir bekicot efektif terhadap penyembuhan luka bakar derajat II (A). Teknik pengumpulan data menggunakan lembar observasi yang dibuat oleh peneliti untuk pengamatan proses penyembuhan luka bakar. Teknik analisis dan interpretasi menggunakan Software Statistical Product and Service

Solution (SPSS) versi 18 for Windows. Uji normalitas data menggunakan uji statistik Shapiro-Wilk dimana p value > 0,05 yang artinya data berdistribusi normal. Homogenitas data di uji menggunakan Levene Statistic dengan p value > 0,05 maka data dinyatakan homogen serta penggunaan rumus (=FINV(0.01,df1,df2)) pada Ms. Excel 2010 untuk mengetahui Ftabel. Pengujian hipotesis menggunakan uji Parametric yaitu uji One-Way ANOVA (Analysis of Varience) dimana p value < 0,05 atau membandingkan nilai F hitung dan Ftabel dimana Fhitung > Ftabel yang artinya H0 ditolak.Untuk mengetahui kelompok mana yang paling berbeda signifikan maka perlu dilakukan uji perbandingan berganda

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│54


(Post Hoc Test) menggunakan uji LSD [10] (Least Significant Difference). Objek penelitian yang digunakan adalah mencit jenis galur Balb/C sebanyak 20 ekor dilukai dengan balok stereofoam dengan luas 1x1cm dibalut dengan kassa dan direndam dalam air mendidih selama 2 menit setelah itu ditempelkan pada kulit mencit yang sudah dicukur selama 20 detik sehingga mengalami luka bakar [11] derajat II (A). Sebanyak 20 ekor mencit dikelompokkan menjadi 4 kelompok dengan teknik random samplingyaitu dengan teknik mengundi nomor dari masing-masing kandang untuk di pilih menjadi kelompok kontrol negatif dengan kode (K1) tanpa perlakuan, kontrol positif dengan kode (K2) dengan perlakuan pemberian bioplacenton, kelompok perlakuan dengan pemberian lendir bekicot 100% dengan kode (P1), kelompok perlakuan dengan pemberian lendir bekicot yang dibuat sediaan krim 5% dengan kode (P2). Menurut WHO dalam [4] penelitian Purnasari Wahyu P, dkk 2012 bahwa berdasarkan ketentuan WHO yang menyebutkan batas minimal hewan coba yang digunakan dalam penelitian eksperimental adalah 5 ekor tiap kelompok perlakuan. Peneliti menghendaki kepercayaan sampel terhadap populasi 99% atau tingkat kesalahan 1% maka jumlah sampel yang diambil menurut [12] Sugiyono (2013) adalah 20 ekor sampel. 3. H AS I L P E NE LIT I AN 3.1 Hasil Identifikasi Sample Lendir Bekicot (Achatina fulica) 100% a. Uji pH dan Homogenitas Lendir Bekicot 100% (Achatina fulica) Lendir bekicot didapatkan langsung dari pemecahan bekicot hidup didapatkan pada uji pH lendir bekicot 100% menggunakan kertas lakmus yang didapatkan hasil 8,53 dan homogen. 3.2 Hasil Pemeriksaan Organoleptis Lendir Bekicot (Achatina fulica) 100% Tabel 1. Pemeriksaan Lendir Bekicot (Achatina fulica) Kategori

Hasil

Bentuk Warna Bau Rasa

Kental Kuning Jernih Khas Tidak berasa

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa bentuk yang dihasilkan adalah kental, berwarna kuning jernih, bau khas dan tidak berwarna. 3.3 Sediaan Krim Lendir Bekicot 5% a. Uji pH dan Homogenitas Krim Lendir Bekicot 5% Uji pH dan homogenitas krim lendir bekicot 5% dengan menggunakan kertas lakmus didapatkan hasil nilai pH sediaan lendir bekicot 5% sebesar 7,4. Krim lendir bekicot dibuat tipe a/m yaitu air terdispersi dalam minyak dengan basis asam stearat, cera alba, vaselin alba, nipagin, triethanolamin, propilenglikol, nipasol dan aquadest diuji tingkat homogenitasnya untuk memastikan semua bahan tercampur dengan baik. Hasil yang diperoleh dari sediaan krim lendir bekicot 5% adalah homogen. b. Uji Stabilitas Krim Lendir Bekicot 5% Hasil uji stabilitas krim lendir bekicot 5% dilakukan selama 5 minggu dengan memperhatikan homogenitas, warna, bau dan konsistensi. Hasil uji stabilitas dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Stabilitas Krim Lendir Bekicot 5% Kategori

Homogeitas

Minggu I

Homogen

Minggu II

Homogen

Minggu III

Homogen

Minggu IV

Homogen

Minggu V

Homogen

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa selama 5 minggu penyimpanan, krim lendir bekicot 5% tidak mengalami perubahan warna, bau (organoleptis) dan konsistensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa krim lendir bekicot 5% stabil dalam 5 minggu penyimpanan.

│55


Berdasarkan Tabel 3 diketahui nilai signifikan (p value) untuk setiap kelompok(p value> 0.05). Hal ini menunjukan bahwa H0 diterima yang artinya data untuk semua tingkat penyembuhan luka bakar derajat II (A) berdistribusi normal.

b. Hasil Uji Homogenitas Tabel 4. Hasil Uji Homogenitas Levene df 1 df 2 Sig. Statistic .254 3 16 .857 Gambar 2. Krim Lendir Bekicot 5% c. Uji Krim Lendir Bekicot 5% Terhadap Iritasi Kulit Uji krim lendir bekicot 5% terhadap iritasi kulit dilakukan pada sukarelawan mahasiswa Prodi S-1 Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta angkatan 2010 sebanyak 8 orang dengan cara dioleskan langsung pada tangan sukarelawan dengan diameter 1 cm selama 24 jam. Hasil pemeriksaan terhadap sukarelawan menunjukkan tidak terjadi reaksi iritasi (gatal, merah dan bengkak). d. Uji Aseptabilitas Sediaan Uji aseptabilitas sediaan dilakukan terhadap 8 orang sukarelawan dengan cara krim lendir bekicot 5% di oleskan pada kulit tangan. Hasil yang didapatkan adalah krim mudah dioleskan, terasa lembut dikulit, sensasi yang ditimbulkan agak dingin serta mudah untuk dihilangkan dengan cara dicuci dengan air. 3.4 Hasil Analisis Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 18 a. Hasil Uji Normalitas Data Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data Hari

Mencit

Sig.

K1 K2 P1 P2

.967 .492 .223 .814

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hasil uji homogenitas menggunakan Levene’s test menunjukan bahwa varian keempat kelompok tersebut sama yaitu didapatkan p value = 0,857 (p value> 0,05), sehingga uji Anova valid untuk menguji hubungan antar kelompok. Hasil Ftabel dengan df 1= 3 dan df 2= 16 dengan taraf kesalahan yang diambil adalah 0,01. Maka nilai Ftabel sebesar 5,292 yang dicari menggunakan program Ms. Excel 2010 dengan rumus (=FINV(0.01,3,16)).

c. Hasil Uji One-Way Anova Tabel 5. Hasil Uji One-Way Anova F Sig. Between 8.109 .002 Groups Berdasarkan Tabel 5 diketahui p value = 0,02, dimana p value < 0,05 sehingga H0 ditolak, dan dapat disimpulkan ada perbedaan yang bermakna ratarata lama penyembuhan luka berdasarkan keempat kelompok tersebut. Nilai Fhitung adalah sebesar 8.109 dan nilai Ftabel sebesar 2,860 dimana Fhitung (8.109) > Ftabel (5,292) dengan sig 0.002 dengan demikian dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak, atau terdapat perbedaan yang signifikan antara keempat kelompok dalam lamanya penyembuhan luka. Uji One-Way Anova menunjukan adanya perbedaan yang bermakna, maka uji selanjutnya adalah melihat

│56


kelompok mana yang paling berpengaruh dengan uji perbandingan berganda (Post Hoc Test) menggunakan uji LSD (Least Significant Difference).

d. Hasil Uji LSD (Least Significant Difference) Tabel 6. Hasil Uji LSD (Least Significant Difference) Mean (I) (J) Difference (I-J) Mencit Mencit * K1 K2 3.600 P1 2.200 * P2 4.600 * K2 K1 -3.600 P1 -1.400 P2 1.000 P1 K1 -2.200 K2 1.400 P2 2.400 * P2 K1 -4.600 K2 -1.000 P1 -2.400 Berdasarkan Tabel 6 diketahui bahwa Uji Post Hoc LSD menunjukkan bahwa kelompok yang paling mempunyai hubungan signifikan adalah kelompok kontrol 1 (K1) dengan kelompok perlakuan 2 (P2) dimana Mean Difference yang diperoleh adalah 4.600. Hal ini dapat diartikan bahwa krim lendir bekicot 5% paling

No

1

2

3 4 5 6

berpengaruh terhadap lama penyembuhan luka bakar derajat II (A).

e. Hasil

Rata-Rata Durasi Penyembuhan Luka Bakar Derajat II (A) Tabel 7. Hasil Rata- Rata Durasi Penyembuhan Luka Bakar Derajat II (A) Mean Mencit N K1 5 16.00 K2 5 12.40 P1 5 13.80 P2 5 11.40 Total 20 13.40 Berdasarkan Tabel 7 diketahui bahwa Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata durasi penyembuhan luka bakar derajat II (A) pada kelompok kontrol negatif (K1) adalah 16 hari, kelompok kontrol positif 2 (K2) dengan pemberian bioplacenton adalah 12,40 hari, sedangkan pada kelompok perlakuan 1 (P1) dengan pemberian lendir bekicot 100% adalah 13,80 hari dan kelompok perlakuan 2 (P2) dengan pemberian krim lendir bekicot 5% yaitu 11,40 hari. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa lendir bekicot efektif dalam penyembuhan luka bakar derajat II (A).

Tabel 8. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok Kontrol 1 (n=5) Hari keKriteria Sembuh Rerata K11 K12 K13 K14 K15 Kondisi Kulit a. Kering 3 3 3 3 4 3,2 b. Lembab 2 2 2 2 2 2 c. Basah 1 1 1 1 1 1 Warna Luka a. Merah Segar 2 2 3 2 2 2,2 b. Merah Pucat 1 1 1 1 1 1 c. Coklat Merah 4 4 7 7 8 6 d. Putih 11 13 15 15 16 14 e. Kulit Normal 14 15 17 16 18 16 Eritema < 1mm 2 2 2 2 2 2 > 1mm 3 3 3 3 4 3,2 Edema 1 1 1 1 1 1 Pus/Eksudat Sembuh Total 14 15 17 16 18 16

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│57


Gambar 2. Perkembangan Luka Pada Kelompok Kontrol 1( Kode sampel K14)

Tabel 9. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok Kontrol 2 (n=5) Hari keNo Kriteria Sembuh Rerata K21 K22 K23 K24 K25 1 Kondisi Kulit a. Kering 3 3 3 3 3 3 b. Lembab 2 2 2 2 2 2 c. Basah 1 1 1 1 1 1 2 Warna Luka a. Merah Segar 2 2 2 2 2 2 b. Merah Pucat 1 1 1 1 1 1 c. Coklat Merah 4 4 4 3 4 3,8 d. Putih 9 11 11 8 12 10,2 e. Kulit Normal 12 13 13 10 14 12,4 3 Eritema < 1mm 2 2 2 2 2 2 > 1mm 3 4 4 0 0 2,2 4 Edema 1 1 1 1 1 1 5 Pus/Eksudat 6 Sembuh Total 12 13 13 10 14 12,4

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│58


Gambar 3. Perkembangan Luka Pada Kelompok Kontrol 2( Kode sampel K21)

Tabel 10. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok Perlakuan 1 (n=5) Hari keNo Kriteria Sembuh Rerata P11 P12 P13 P14 P15 1 Kondisi Kulit a. Kering 3 3 3 3 3 3 b. Lembab 2 2 2 2 2 2 c. Basah 1 1 1 1 1 1 2 Warna Luka a. Merah Segar 2 2 2 2 2 2 b. Merah Pucat 1 1 1 1 1 1 c. Coklat Merah 4 3 4 4 3 3,6 d. Putih 10 12 12 15 12 12,2 e. Kulit Normal 12 13 14 17 13 13,8 3 Eritema < 1mm 2 2 2 2 2 2 > 1mm 0 0 0 4 3 1,4 4 Edema 1 1 1 1 1 1 5 Pus/Eksudat 6 Sembuh Total 12 13 14 17 13 13,8

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│59


Gambar 4. Perkembangan Luka Pada Kelompok Perlakuan 1( Kode sampel P13)

Tabel 11. Tingkat Kesembuhan Luka Bakar Pada Kelompok Perlakuan 2 (n=5) Hari keNo Kriteria Sembuh Rerata P21 P22 P23 P24 P25 1 Kondisi Kulit d. Kering 3 3 3 3 3 3 e. Lembab 2 2 2 2 2 2 f. Basah 1 1 1 1 1 1 2 Warna Luka f. Merah Segar 2 2 2 2 2 2 g. Merah Pucat 1 1 1 1 1 1 h. Coklat Merah 3 3 3 3 3 3 i. Putih 10 8 8 8 9 8,6 j. Kulit Normal 13 10 11 11 12 11,4 3 Eritema < 1mm 2 2 2 2 2 2 > 1mm 0 0 2 0 0 0 4 Edema 1 1 1 1 1 1 5 Pus/Eksudat 6 Sembuh Total 13 10 11 11 12 11,4

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│60


Gambar 5. Perkembangan Luka Pada Kelompok Perlakuan 2( Kode sampel P24) 4.

PEMBAHASAN Berdasarkan perbandingan hasil observasi yang dilakukan peneliti pada tiap-tiap kelompok membuktikan bahwa pada kelompok perlakuan 1 (P1) dan kelompok perlakuan 2 (P2) memiliki tekstur kulit yang lebih sempurna dibandingkan dengan kelompok kontrol 1 (K1) dan kelompok kontrol 2 (K2). Perkembangan luas lukanya ditandai dengan tahap pengeringan luka dilanjutkan dengan pengelupasan luka kering sedikit-demi sedikit. Efektifitas lendir bekicot dipengaruhi oleh kandungan pada lendir bekicot yaitu zat beta aglutinin (antibodi) didalam plasma (serum), protein achasin, acharan sulfat dan glikokonjugat. Aglutinin adalah zat yang digumpalkan sedangkan aglutininogen merupakan zat yang menggumpalkan. Zat beta aglutinin berperan dalam proses hemostasis, dimana proses ini terjadi penghentian perdarahan yang bersifat fisiologis. Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh darah. Zat beta aglutinin ini berperan dalam faktor koagulasi. Luka bakar yang terjadi pada mencit menyebabkan pembuluhan mengalami vasokontriksi, dimana pada fase ini secara fisiologis akan dicegah oleh sistem fibrinolitik dan anti koagulasi. Kedua sistem ini bertugas merusak hasil bekuan [13] darah yang tidak diharapkan oleh tubuh . Menurut Teori Howell dalam Prihadi [13] (2007) ada 3 tahap dalam proses koagulasi. Tahap pertama merupakan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

tahap pembentukan tromboplastin dan tromboplastin yang terbentuk bukanlah suatu senyawa atau bahan tetapi suatu fungsi yang berasal dari berbagai faktor atau bahan. Penelitian ini menggunakan lendir bekicot yang berperan dalam pembentukan tromboplastin karena mengandung zat agglutinin. Tahap kedua adalah aktivasi protrombin menjadi thrombin dan tahap ketiga adalah pembentukan fibrinogen sampai terbentuknya fibrin clot. Kandungan dalam lendir bekicot lainnya yaitu protein achasin yang akan menghambat pembetukan bagian-bagian dari strain bakteri seperti lapisan peptidoglikan dan membran sitoplasma, dengan tidak terbentuknya dinding sel bakteri tersebut tidak dapat bertahan 14 terhadap pengaruh luar dan segera mati . Kandungan dalam lendir bekicot selanjutnya adalah glikokonjugat kompleks yang merupakan pengontrol aktif fungsi sel dan berperan pada interaksi matriks sel, proliferasi fibroblas, spesialisasi, dan migrasi, serta secara efektif mengontrol [9] fenotip seluler. Acharan sulfat yang terdapat pada lendir bekicot merupakan proteoglikan yang berfungsi sebagai pengikat dan reservoir (penyimpanan) bagi faktor pertumbuhan fibroblas dasar Basic fibroblast growth factor (bFGF) yang disekresikan ke dalam Extracellular matrix (ECM). ECM dapat melepaskan bFGF yang akan merangsang rekrutmen sel radang, aktivasi fibroblas dan

│61


pembentukan pembuluh darah baru setiap [15] cedera. Terbentuknya jaringan granulasi yang sempurna akan menutup permukaan luka. Pembentukan jaringan granulasi mengakhiri fase proliferasi proses penyembuhan luka dan mulailah [16] pematangan dalam fase remodeling. Berdasarkan hasil uji LSD didapatkan bahwa kelompok perlakuan 2 (P2) yaitu perawatan luka bakar dengan menggunakan krim lendir bekicot 5% lebih cepat durasi penyembuhannya yaitu ratarata sembuh dalam 11 hari. Faktor yang mendukung efektifitas penggunaan krim lendir bekicot 5% adalah adanya konsentrasi lendir bekicot yang dapat memudahkan kulit untuk menyerap. Hal ini dapat dibandingkan dengan kelompok perlakuan 1 (P1) yang menggunakan konsentrasi lendir bekicot 100%, dimana hasilnya menunjukkan dengan konsentrasi lendir bekicot yang semakin tinggi akan memerlukan durasi waktu penyembuhan lebih lama. Hasil penelitian tersebut diatas sesuai dengan teori bahwa semakin rendah konsentrasi akan semakin besar defusi krimnya pada kulit yang artinya semakin rendah konsentrasinya maka kulit akan lebih mudah untuk menyerapnya dan sebaliknya jika konsentrasi lebih tinggi [17] maka kulit akan sulit untuk menyerap. Penelitian terdahulu dilakukan oleh [18] Anggraini (2011) bahwa penggunaan formulasi krim dengan konsentrasi 4% serbuk getah pepaya (Carica papaya L) memberikan hasil lebih efektif sebagai obat anti jerawat dibandingkan dengan konsentrasi 2% dan 3%. Hal ini diketahui pada pengamatan yang dilakukan selama 3 minggu bahwa pada konsentrasi 4% jerawat semakin mengecil/ mengempes sedangkan pada konsentrasi 2% dan 3% hanya mengalami kemerahan. Penelitian sebelumnya dilakukan [19] oleh Simanjutak (2008) tentang ekstraksi dan fraksinasi komponen ekstrak daun tumbuhan senduduk (Melastoma malabathricum.L) serta pengujian efek sediaan krim terhadap penyembuhan luka bakar. Kegiatan ekstraksi dilakukan dengan skrining fitokimia yang menunjukkan adanya golongan senyawa flavonoid, saponin, tanin, glikosida dan streroida/triterpenoida. Hasil fraksinasi ekstrak etanol menghasilkan ekstrak nheksan, ekstrak kloroform, dan ekstrak etilasetat. Hasil pengujian sediaan krim terdiri dari fraksi krim yaitu ekstrak n-

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

heksan, ekstrak kloroform, dan ekstrak etilasetat dengan kadar masng-masing 5% terhadap penyembuhan luka bakar diameter 2 cm dan menunjukkan bahwa semua ekstrak berpengaruh sebagai obat luka bakar. Sediaan krim yang paling efektif adalah krim ekstrak etilasetat yang mampu menyembuhkan luka bakar dalam waktu 15 hari, ekstrak kloroform 19 hari dan ekstrak n-heksan 21 hari. Berdasarkan penelitian tersebut diatas, maka peneliti memilih sediaan krim dengan konsentrasi 5% karena konsentrasi 5% menunjukkan efektif sebagai obat luka bakar. Kelebihan sediaan krim yaitu mudah diratakan, praktis, mudah dioleskan, mudah dibersihkan atau dicuci, cara kerja sediaan krim berlangsung pada jaringan setempat dan krim a/m menimbulkan sensasi rasa dingin. Formula krim lendir bekicot 5% yang dikembangkan oleh peneliti bertipe a/m yaitu air terdispersi dalam minyak (cold cream) dengan basis asam stearat, cera alba, vaselin alba, nipagin, triethanolamin, propilenglikol, nipasol dan aquadest dengan bahan aktif lendir bekicot 5%. Krim lendir bekicot 5% yang dibuat oleh peneliti menggunakan jasa pembuatan di Universitas Setia Budi Surakarta. Hasil pembuatan tersebut didukung oleh pernyataan dari Anief 1994 dalam [20] Nanikartinah (2012) bahwa kualitas dasar krim yang baik yaitu stabil pada suhu kamar, lunak atau homogen dimana seluruh produk formula adalah halus dan homogen, mudah dipakai atau dihilangkan dan terdistribusi merata. Formula krim lendir bekicot 5% yang dibuat oleh peneliti termasuk dalam cold cream. Menurut [20] Nanikartinah (2012) cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memberikan rasa dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim pembersih, berwarna putih dan bebas dari butiran. Cold cream mengandung mineral oil dalam jumlah besar. Faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka yaitu faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor lokal merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi karakteristik abnormalitas dari luka itu sendiri. Adapun yang termasuk faktor lokal seperti suplai darah dan oksigen, foreign body, ukuran, jenis luka, radiasi ion dan edema. Sedangkan faktor sistemik merupakan faktor yang

│62


berhubungan dengan keseluruhan kesehatan antara lain nutrisi, status metabolik, hormon, steroid, merokok, serta [21] penyakit renal dan hepar. Suplai oksigen dan nutrisi yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan diperoleh dari aliran darah yang adekuat dan berfungsi untuk membuang zat sisa, toksin, bakteri dan debris-debris yang terbentuk. Apabila suplai oksigen yang tidak adekuat dapat menyebabkan gangguan sintesis kolagen, menghalangi migrasi fibroblas, dan meningkatkan resiko terkena infeksi. Hal ini dikarenakan oksigen diperlukan untuk reaksi hidroksilasi yang membantu proses crosslink kolagen. Kondisi kekurangan oksigen dalam jangka waktu yang pendek dapat menyebabkan pembentukan kolagen yang [22] tidak stabil. Hasil observasi selama penelitian yang dilakukan peneliti diketahui terdapat pertumbuhan jaringan yang baik ditandai dengan tidak ditemukannya debris-debris serta pemberian nutrisi yang dikontrol setiap hari dan diberikan secara ad libitum. Faktor lokal yang mempengaruhi luka selanjutnya adalah foreign body. Foreign body merupakan benda asing yang terdapat pada luka yang dapat menghambat proses penyembuhan luka. Keberadaan foreign body menyebabkan stimulasi kontaminasi oleh bakteri dan dapat memperlambat proses penyembuhan luka cotohnya seperti potongan kayu, karat, kotoran dan benda [23] yang masuk dalam luka. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti selama 20 hari bahwa luka bakar derajat II (A) pada semua sampel mencit tidak terdapat potongan kayu, karat, kotoran dan benda lainnya. Dilihat dari kondisi tersebut bahwa faktor foreign bodytidak dijumpai selama dilakukan penelitian yang artinya tidak menghambat proses penyembuhan luka bakar derajat II (A). Lokasi dan ukuran luka juga merupakan faktor yang penting dalam penyembuhan luka. Luka yang terletak pada bagian yang mendapatkan suplai darah yang besar seperti pada muka, umumnya akan sembuh lebih cepat dibandingkan dengan luka yang terjadi pada lokasi yang sedikit suplai darahnya seperti pada kaki. Selain itu, ukuran dan jarak antara kedua tepi luka juga menentukan cepat atau tidaknya proses

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

[24]

penyembuhan luka. Lokasi dan ukuran luka bakar yang dibuat peneliti pada hewan uji mencit yaitu dengan luka bakar derajat II (A) di bagian perut sebelah kiri berukuran 1x1 cm. Faktor selanjutnya adalah faktor radiasi ion. Luka yang mendapatkan paparan ion akan menyebabkan abnormalitas pada proses penyembuhan luka. Manfestasi awal dari abnormalitas penyembuhan luka ini adalah dengan adanya eritema, edema dan hiperpigmentasi. Paparan radiasi ion pada luka yang mengalami iskemik jaringan, atropi dan fibriosis dapat menyebabkan [25] luka memasuki fase kronik. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, eritema muncul rata-rata pada hari ke-3 dan hilang pada hari ke-7 dan edema hanya terjadi pada hari pertama serta tidak dijumpai hiperpigmentasi pada luka. Mencit penelitian dikondisikan pada ruangan yang berada di dalam laboratorium dengan udara yang sejuk dan pencahayaan yang cukup. Hasil observasi yang dilakukan peneliti pada kelompok kontrol 1 (K1) eritema mulai muncul di hari ke-2 berjarak <1mm dari tepi luka, berjarak > 1mm di hari ke-3 dan hilang pada hari ke-8, kelompok kontrol 2 (K2) eritema mulai muncul di hari ke-3 berjarak < 1mm dan hilang pada hari ke-5. Eritema pada kelompok perlakuan 1 (P1) timbul di hari ke-3 berjarak < 1mm dan dihari ke-7 sedangkan eritema pada kelompok perlakuan 2 (P2) timbul di hari ke-2 berjarak < 1mm dan dihari ke-5. Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan bahwa eritema pada kelompok perlakuan 2 (P2) lebih cepat menghilang dibandingkan dengan kelompok lainnya. Faktor lainnya yang mempengaruhi proses penyembuhan luka yaitu edema. Terjadinya pembengkakan akut pada daerah sekitar luka dapat menyebabkan robeknya kulit serta hilangnya ketebalan kulit sehingga memperlambat proses [22] penyembuhan luka. Selain edema kondisi kandang dengan luas 17x17cm terbuat dari saringan pasir halus beralaskan MMT yang selalu dibersihkan dan dicuci setiap hari juga mendukung untuk proses penyembuhan luka. Berdasarkan faktor lokal yang mempengaruhi proses penyembuhan luka diatas diketahui bahwa faktor-faktor yang mendukung proses penyembuhan luka

│63


bakar derajat II (A) antara lain suplai oksigen, nutrisi yang adekuat, lokasi luka, ukuran luka, edema, radiasi ion dan tidak dijumpainya faktor foreign body. 5.

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian tentang efektifitas pemberian lendir bekicot 100% (Achatina fulica) dan sediaan krim 5% terhadap lama penyembuhan luka bakar derajat II (A) secara In Vivo membuktikan bahwa terdapatpengaruh terhadap durasi waktu penyembuhan luka. Diketahui hasil ratarata durasi penyembuhan luka bakar derajat II (A) pada kelompok kontrol negatif (K1) adalah 16 hari, kelompok kontrol positif 2 (K2) dengan pemberian bioplacenton adalah 12,40 hari, sedangkan pada kelompok perlakuan 1 (P1) dengan pemberian lendir bekicot 100% adalah 13,80 hari dan kelompok perlakuan 2 (P2) dengan pemberian krim lendir bekicot 5% yaitu 11,40 hari. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diketahui bahwa lendir bekicot efektif dalam penyembuhan luka bakar derajat II (A). Diharapkan untuk penelitian selanjutnya disarankan melakukan agar meneliti menggunakan sediaan krim dengan konsentrasi yang berbeda sehingga dapat digunakan sebagai obat luar pada luka bakar derajat II (A) atau bisa dikembangkan pada luka bakar derajat II (B) maupun derajat III. DAFTAR PUSTAKA 1. Ekrami A, Kalantar E.Bacterial infections in burn patients at a burn hospital in Iran. Indian Journal Medical Research ; 2007. 126: 541544. 2. Peck M, Joseph M & Dehran S.Bulletin of the World Health Organization A global plan for burn prevention and care; . 2009<http://www.who.int/bulletin/volu mes/87/10/08-059733/en/>diakses 4 Januari 2014. 3. Kristanto, H. Perbedaan Efektifitas Perawatan Luka Bakar Derajat II Dengan Lendir Lidah Buaya (Aloe Vera) Dibandingkan Dengan Cairan Fisiologis (Normal Saline 0,9%) Dalam Mempercepat Proses Penyembuhan. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang; 2005.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

4. WHO. Burn.Media Centre Bur ; 2012. <http://www.who.int/mediacentre/facts heets/fs365/en/> diakses 4 Januari 2014. 5. Depkes. Perkembangan Akibat Letusan G. Merapi Tanggal 17 November 2010 <http:// penanggulangankrisis. depkes. go. id/ article/ view/ 6/ 1022/> diakses 4 Januari 2014. 6. Bayu F, dkk. Aktivitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon dalam Proses Penyembuhan Luka pada Mencit.Fakultas Kedokteran Hewan Institusi Pertanian Bogor.Jurnal Veteriner; 2010. Vol. 11 No. 70-73, ISSN: 1411-8327 7. Swastini I.G Pemberian lendir bekicot (achatina fulica) Secara topikal lebih cepat menyembuhkan gingivitis grade 3 karena calculus daripada povidone iodine 10%. Tesis.Program Magister Studi Ilmu Biomedik, Universitas Udayana. Denpasar ; 2011. <http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf _thesis/unud-2351108471786kata%20pengantar.pdf>. diakses 2 Mei 2013. 8. Berniyanti.Analisis Hambatan Achasin Bekicot Galur Jawa Sebagai Faktor Antibakteri Terhadap Viabilitas Eschericia coli dan Streptococcus mutans. Indonesian Journal of Biotechnology ; 2007. Vol. 12, No. 1, pp. 943-951. 9. Nuringtyas. Glikonjugat : Proteoglican, Glikoprotein, dan Glikolipid. ; 2012. <http://elisa. ugm. ac. id/ files/ chimera73/ hEAc8NaI Glycan,Proteoglycan,%20Glycoprotei n,% 20 glycolipid.pdf> diakses tanggal 16 Oktober 2013. 10. Dahlan MS. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 5. Salemba Medika. Jakarta ; 2008. 11. Yaman, A.S. Durmus, S. Ceribasi, M. Yaman.Effects of Nigella sativa and Silver Sulfadiazine on Burn Wound Healng in Rats’, Veterinarni Medicina,; 2010, 55, 2010 (12): 619– 624. 12. Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta CV. Bandung; 2013. 13. Prihadi Harsono.Pengaruh Waktu Aktifitas Fisik Ringan Terhadap Beda Rerata Waktu Pembekuan Dalam Sistem Koagulasi. Artikel lmiah

│64


14.

15.

16.

17.

18.

19.

Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran UNDIP. Semarang ; 2007. Susantini U. Daya Anti Mikroba Berbagai Konsentrasi Lendir Bekicot (Achatina Fulica) Terhadap Diameter Zona Hambat Bakteri Streptococcus Mutans Secara in Vitro.; 2010. <http://repository. usu.ac.id/bitstream/12345892368678 9/ 20177/ 4/ Chapter% 20II. pdf> diakses 20 Oktober 2013 Robbins.Buku Ajar Patologi. Edisi 7 Volume 1 Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Sjamsuhidajat, Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2007 Sinko, P. J. Martin’s Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences : Physical Chemical and Biopharmaceutical Principles in the th Pharmaceutikal Sciences . 5 ed, Published Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins ; . Anggraini Deni, Masril Malik, Maria Susiladewi.Formulasi Krim Serbuk Getah Buah Pepaya (Carica papaya L) Sebagai Anti Jerawat. Fakultas Farmasi Universitas Andalas. Riau ; 2011. Simanjutak Megawati R. Ekstraksi Dan Fraksi Komponen Ekstrak Daun Tumbuhan Senduduk (Melastomamalabathricum.L) Serta Pengujian Efek Sediaan Krim Terhadap Penyembuhan Luka Bakar’. Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Sumatra Utara. Medan ; 2008.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

20. Nanikartinah. 2012. Sediaan Krim.diakses 21 Desember 2013.<http://nanikartinah.wordpress.c om/2012/02/29/sediaan-krim/>. 21. Kumar R, Abbas A, Delancey A, Malone E. Robbins and Cotran: Pathologic Basis of Desease. ed. 8, Saunders El Sevier. Philadelphia ; 2010. 22. Woodruff TM, Thundyil J, Chun S, et al. Pathophysiology, treatment, and animal and cellular models of human Ischemic. Mol Neurodegener; 2011. (6) 11. 23. Guo S, Dipietro. Factor Affecting Wound Healing. J Den Res 2010;89(3):219-229. LA. 24. Port C M, Matfin G. 2009.Pathophysiology. Ed. 8, Lippincott Williams & Wilkins hal. 235237. USA. 25. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Melby SJ. The Washington Manual of Sugery. ed.5. Lippincott Williams & Wilkins; hal. 110-111. USA.

│65


Penelitian

PENGARUH PERAWATAN LUKA BAKAR DERAJAT II MENGGUNAKAN EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH (Piper betle Linn.) TERHADAP PENINGKATAN KETEBALAN JARINGAN GRANULASI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus galur Wistar) JANTAN 1

1

Retty Ratnawati , Dina Dewi SLI , Reza Fitra Kusuma 2 Negara 1

Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya 2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya ABSTRAK Pendahuluan: Luka bakar sering terjadi di rumah dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat II. Daun sirih (Piper betle Linn.) adalah bahan alam yang memiliki kandungan aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, minyak atsiri dan diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka, khususnya pembentukan jaringan granulasi. Jaringan granulasi merupakan pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses penyembuhan dan pembentukannya merupakan salah satu komponen penting dalam penyembuhan luka. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perawatan luka bakar derajat II secara topikal menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan. Metode: Desain penelitian menggunakan true-experiment post-test dilakukan terhadap hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan. Sampel diambil dengan teknik rancangan acak kelompok dan dibagi dalam empat kelompok yaitu 3 perlakuan ekstrak daun sirih: konsentrasi 15% (n=6), 30% (n=6), 45% (n=6), dan kelompok kontrol dengan NS (n=6). Data yang diukur adalah ketebalan jaringan granulasi pasca perawatan luka bakar selama 14 hari. Analisis data pada variabel menggunakan uji OneWay ANOVA dengan p = 0,04 (p < 0,05). Hasil: Melalui uji Post Hoc Test dapat dilihat bahwa perlakuan yang paling signifikan ditunjukkan oleh konsentrasi daun sirih 45% dengan p = 0,03 (p < 0,05). Kesimpulan: Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn) mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Kata kunci : Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn), Ketebalan Jaringan Granulasi, Luka Bakar Derajat II.

ABSTRACT Introduction: Burns most often occur at home and found that second degree burns is the highest prevalence. Sirih leaves (Piper betle Linn.) are natural materials that have active substances such as saponin, tannin, flavonoid, essential oil and supposedly can promote wound healing process, especially in granulation tissue formation. Granulation tissue is growth of new tissue that occurs when the process of wound healing in progress and its formation one of important component in wound healing.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│66


Aim: The aim of this study is to find out the effect of second degree burn topical treatment using the extract of sirih leaves (Piper betle Linn.) toward the granulation tissue thickness in male white rats (Rattus norvegicus strain Wistar). Methods: True-experimental post-test design was used and conducted to male white rats. Samples taken with a randomized block design and divided into four groups which 3 of them were treated using Piper betle Linn. extract with variety of concentrate: 15% (n=6), 30% (n=6), 45% (n=6), and NS 0,9% served as control. Granulation tissue thickness was measured after second degree burn treatment for 14 days. One-Way ANOVA test shows that there is a significant difference of granulation tissue thickness among each group with p = 0,04 (p < 0,05). Results: Post Hoc Test demonstrated that 45% dose was the best concentrate to optimize granulation tissue formation with p = 0,03 (p < 0,05). Conclusion: From this study, it can be concluded that the second degree burn treatments using the ethanol extract of sirih leaves (Piper betle Linn.) affects the increasing of granulation tissue formation Keywords : Granulation tissue thickness, second degree burns, sirih extract (Piper betle Linn.).

1. PENDAHULUAN Luka bakar merupakan luka yang unik karena luka tersebut meliputi sejumlah besar jaringan mati (eskar) yang tetap berada pada tempatnya untuk jangka [1] waktu yang lama. Luka bakar paling sering terjadi di rumah dan ditemukan [2] terbanyak adalah luka bakar derajat II. Kelompok terbesar dengan kasus luka bakar adalah anak-anak kelompok usia di bawah 6 tahun. Puncak insiden kedua adalah luka bakar akibat kerja, yaitu pada usia 25-35 tahun. Kelompok ini sering kali memerlukan perawatan pada fasilitas [3] khusus luka bakar. Oleh karena itu, perawatan luka bakar memegang peranan penting dalam proses penyembuhan luka. Penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada kulit. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan melewati beberapa fase, yaitu fase haemostasis, fase inflamasi, fase [4] proliferasi, dan fase maturasi. Pada fase proliferasi, terjadi proses kontraksi luka, epitelialisasi, dan pembentukan jaringan [5] granulasi. Jaringan granulasi adalah pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses penyembuhan, terdiri atas pembuluhpembuluh kapiler yang baru dan sel-sel [6] fibroblas yang mengisi rongga tersebut. Pembentukan jaringan granulasi adalah tahap yang penting dalam fase proliferasi [7] dan penyembuhan luka. Jadi, peran perawat dalam perawatan luka seperti pemilihan balutan hingga pemilihan larutan pembersih luka menjadi sangat penting

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Larutan pembersih luka yang dianjurkan adalah cairan normal salin. Normal salin merupakan cairan fisiologis dan tidak akan membahayakan jaringan luka. Perawat menggunakan cairan salin untuk mempertahankan permukaan luka agar tetap lembab sehingga dapat meningkatkan perkembangan dan migrasi jaringan epitel, tetapi penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa normal salin sama sekali tidak mempengaruhi pembentukan [8] jaringan granulasi. Saat ini penelitian untuk pengobatan luka bakar menggunakan bahan-bahan herbal mulai banyak dilakukan oleh para peneliti. Salah satu bahan herbal yang digunakan untuk mengobati luka adalah Piper betle Linn. Piper betle Linn. merupakan salah satu tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan dikenal dengan nama sirih. Secara tradisional sirih dipakai sebagai obat sariawan, sakit tenggorokan, obat batuk, obat cuci mata, dan perdarahan pada hidung atau [9] mimisan. Daun sirih mengandung molekulmolekul bioaktif seperti saponin, tannin, minyak atsiri, flavonoid, dan fenol yang mempunyai kemampuan untuk membantu proses penyembuhan luka serta nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka [10] seperti vitamin A dan vitamin C. Tannin membantu proses penyembuhan luka melalui peningkatan jumlah pembentukan pembuluh darah kapiler dan sel-sel [11] fibroblast. Molekul bioaktif lain yang

│67


mempunyai peran sebagai antimikroba [12] adalah minyak atsiri. Flavonoid dan fenol berperan sebagai antioksidan yang berfungsi untuk menunda atau menghambat reaksi oksidasi oleh radikal [13] bebas. Berdasarkan fenomena yang telah disebutkan di atas maka perlu diteliti potensi daun sirih untuk terapi luka bakar, khususnya dalam mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi ketebalan jaringan granulasi pada perawatan luka bakar derajat II tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan setelah pemberian ekstrak etanol daun sirih. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi, referensi, dan kajian bagi para akademisi keperawatan dalam mengembangkan penelitian selanjutnya, terutama tentang perawatan luka bakar dan daun sirih. Manfaat bagi praktisi adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar teori dan bahan kajian yang berkaitan dengan perawatan luka bakar derajat II dan jika penelitian terbukti memberikan efek terhadap ketebalan granulasi, maka dapat menjadi inovasi baru pemanfaatan daun sirih sebagai penyembuh luka dan dapat dikembangkan sebagai terapi komplementer yang efektif dan efisien. 2. METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian true-experiment post-test dengan kelompok eksperimen dan kontrol. Pengukuran hanya dilakukan setelah [14] pemberian perlakuan selesai. Pada rancangan ini terdapat 3 kelompok eksperimen dan 1 kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa, terapi ekstrak daun sirih sedangkan kelompok kontrol diberikan NaCl (Normal salin 0,9%) Kriteria Sampel Sampel yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar, Umur 75-90 hari karena proliferasi sel pada usia pertumbuhan ini cepat sehingga mendukung proses penyembuhan luka. Berat badan 150-200 gram.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Pembuatan Ekstrak Daun Sirih Daun sirih hijau yang telah tersertifikasi diperoleh dari Balai Materia Medica di kota Batu pada bulan Januari 2013. Daun sirih yang diambil adalah daun berwarna hijau muda sampai hijau tua. 100 gram serbuk daun sirih (Piper betle Linn) direndam dalam etanol hingga volume 1000 ml, dikocok selama 30 menit lalu dibiarkan selama 24 jam sampai mengendap. Hasil rendaman dimasukkan ke dalam labu evaporasi. Labu evaporasi dipasang pada evaporator dan mengisi water bath dengan air sampai penuh. Semua rangkaian alat dipasang, termasuk rotary evaporator, pemanas water bath (diatur sampai 70-80°C), disambungkan dengan aliran listrik. Ditunggu sampai larutan etanol berhenti menetes pada labu penampung (± 1,5 sampai 2 jam untuk satu labu). Hasil yang diperoleh kira-kira sepertiga dari bahan alam kering. Hasil ekstraksi dimasukkan dalam botol hasil ekstrak dan simpan dalam freezer. Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih Ekstrak daun sirih dicampurkan vaselin dengan menggunakan rumus:

Keterangan: = konsentrasi larutan (%) = massa zat terlarut (mg) = massa larutan (mg). Massa larutan ditetapkan dengan jumlah 50 mg karena jumlah tersebut dapat menutupi luas luka sebesar 2 x 2 2 cm sesuai studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti. Pembuatan konsentrasi ekstrak daun sirih dilakukan dengan menambahkan vaselin sebanyak 50 mg sesuai rumus di atas, sehingga didapatkan hasil sebagai berikut:  Konsentrasi 15% 7,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaselin.  Konsentrasi 30% 15 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaselin.  Konsentrasi 45% 22,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaselin.

│68


Pembuatan Luka Bakar Derajat II Area kulit yang akan dibuat luka bakar didisinfeksi, menunggu sampai alkohol kering. Anastesi dilakukan pada area kulit yang akan dibuat luka bakar menggunakan lidokain non adrenalin dengan konsentrasi 0,5 cc dilarutkan dalam aquades 1 cc. Kassa dipasang dan dibungkuskan pada balok (sterofoam) berukuran 2 x 2 cm. Balok yang sudah dilapisi dan dibungkus kassa dicelupkan dengan air panas (suhu 98⁰ C) selama 3 menit. Balok yang berbungkus kassa ditempelkan pada hewan coba selama 30 detik. Kassa diangkat lalu luka dikompres dengan aquades selama 1 menit untuk mencegah luka bakar menyebar atau bertambah parah. Perawatan Luka Bakar Derajat II Luka dibersihkan terlebih dahulu menggunakan normal salin kemudian masing-masing kelompok perlakuan diolesi ekstrak daun sirih konsentrasi 15%, 30%, dan 45%. Setelah itu luka ditutup dengan kassa steril dan diplester. Kelompok kontrol cukup dibersihkan dengan normal salin 0,9% saja lalu ditutup dengan kassa steril. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan mikroskopis pada ketebalan jaringan granulasi dalam preparat HE jaringan kulit tersebut dianalisis menggunakan program OlyVIA (viewer for histology examination) dan AutoCAD 2009 dengan perbesaran 40 kali. Identifikasi Granulasi Identifikasi jaringan granulasi dilakukan dengan mengukur ketebalan jaringan granulasi berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Paglinawan et al. (2008), yaitu jaringan granulasi diukur mulai dari ujung permukaan luka turun ke dermis yang lebih rendah di mana proliferasi sel fibroblas berakhir. Pengukuran dilakukan pada tiga area yang berbeda, yakni di sisi kiri dasar luka, pertengahan dari dasar luka, sisi kanan dari dasar luka, kemudian ditarik garis penghitungan sejumlah sembilan garis, lalu diambil nilai rata-rata dari semua garis penghitungan. Slide preparat vertikal hasil pewarnaan HE di-scan dan dimasukkan ke dalam software OlyVIA (viewer for histological examination), kemudian

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

ditentukan perbesaran 40x, di-print screen dan dimasukkan ke dalam software AutoCAD 2009. Analisa Data Hasil penelitian dianalisis dengan ® ® software IBM SPSS Statistics 20 dengan uji normalitas data menggunakan uji Kolomogorov-Smirnov, uji homogenitas menggunakan test of Homogenity of Variance, One-way ANOVA , dan uji Post Hoc Tukey HSD. 3. HASIL PENELITIAN Pada hari ke-15, tikus dimatikan dan dilakukan pembedahan untuk mengambil jaringan luka yang masih tersisa. Tujuan pengambilan jaringan luka ini untuk mendapatkan gambaran luka secara histologis. Pencitraan luka yang diamati adalah panjang jaringan granulasi dengan menggunakan mikroskop Olympus yang dikonversi ke software OlyVIA (viewer for histology examination).

A

B

C

│69


D Gambar 1. Slide Histologi Ketebalan Jaringan Granulasi Keterangan: A. : Tampilan Slide Histologi Kelompok Kontrol (Normal Salin 0,9%) dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk merupakan yang paling tipis dibandingkan dengan semua kelompok perlakuan. B. : Tampilan Slide Histologi Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) 15% dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk lebih tebal dibandingkan dengan kelompok kontrol. C. : Tampilan Slide Histologi Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) 30% dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk lebih tebal dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok perlakuan ekstrak daun sirih konsentrasi 15%. D. : Tampilan Slide Histologi Kelompok Perlakuan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.) 45% dengan Pengecatan HE Menggunakan Mikroskop OLYMPUS XC10 Perbesaran 40x. Garis merah menunjukkan jaringan granulasi yang terbentuk pada luka. Jaringan granulasi yang terbentuk merupakan yang paling tebal dibandingkan semua kelompok lainnya. Pada kelompok perawatan luka dengan NS didapatkan rata-rata ketebalan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

granulasi sebesar 1,1 µm (standar deviasi ± 0,65 µm). Pada kelompok perawatan luka dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 15% didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,41 µm (standar deviasi ± 1,48 µm). Pada kelompok perawatan luka dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 30% didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,47 µm (standar deviasi ± 0,73 µm). Pada kelompok perawatan luka dengan ekstrak daun sirih konsentrasi 45% didapatkan rata-rata ketebalan granulasi sebesar 2,84 µm (standar deviasi ± 1,01 µm). Berdasarkan data di atas dapat diambil kesimpulan bahwa perawatan luka bakar derajat II dengan ekstrak daun sirih dapat meningkatkan ketebalan granulasi sebesar 2,41 µm pada konsentrasi 15%; 2,47 µm pada konsentrasi 30%; dan 2,84 µm pada konsentrasi 45%. 3.1 ANALISA DATA Hasil uji normalitas data setelah dilakukan test Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,2 (p > 0,05) sehingga H1 diterima dan berarti data ketebalan granulasi pada kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol berdistribusi normal. Pengujian dapat dilanjutkan dengan uji homogenitas atau keragaman data menggunakan Test of Homogeneity of Variance. Pada Test of Homogeneity of Variance dapat dilihat bahwa nilai signifikansi p adalah 0,105 (p > 0,05). Jadi dapat disimpulkan bahwa data tersebut mempunyai ragam yang homogen. Langkah selanjutnya yaitu, pengujian One-way ANOVA dengan selang kepercayaan 95% atau taraf kesalahan 5%. Hasil uji One-way ANOVA dari ketebalan granulasi pada semua kelompok perlakuan didapatkan nilai signifikasi sebesar 0,04 (p < 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Hasil uji Post Hoc Test menggunakan uji Tukey HSD didapatkan hasil perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan ekstrak daun sirih konsentrasi 45% dengan kelompok kontrol yaitu normal salin 0,9%. Sedangkan untuk ekstrak daun sirih konsentrasi 15%, 30%,

│70


dan 45% tidak terdapat perbedaan yang signfikan. 4. PEMBAHASAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perawata luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) terhadap ketebalan jaringan granulasi pada tikus putih (Rattus novergicus galur Wistar) jantan. Pada penelitian ini digunakan empat kelompok, dengan tiga kelompok perlakuan menggunakan ekstrak daun sirih dan satu kelompok kontrol menggunakan normal salin 0,9%. Kelompok perlakuan dengan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) diberikan dengan tiga konsentrasi berbeda yaitu 15%, 30%, dan 45%. Ketebalan jaringan granulasi dianalisis pada hari ke15 karena fase proliferasi luka bakar derajat II mencapai puncaknya pada hari ke-15 (Moenadjat, 2011). Dari hasil penelitian didapatkan rerata ketebalan granulasi yang terbentuk pada kelompok kontrol (NS 0,9%) sebesar 1,1 Âľm di mana nilai ketebalan granulasi tersebut merupakan nilai yang paling rendah di antara kelompok lainnya. Hal ini dikarenakan normal salin merupakan larutan yang bersifat isotonik sehingga tidak menyebabkan kerusakan terhadap jaringan baru dan tidak mempengaruhi fungsi dari fibroblas dan keratinosit dalam penyembuhan luka. Menurut Salami tahun 2006 penelitian lain yang berjudul The effects of antiseptics on the healing of wounds: a study using the rabbit ear chamber juga menyimpulkan bahwa normal salin tidak mempengaruhi aliran darah dalam pembuluh kapiler yang [8] terdapat pada jaringan granulasi. Setelah dilakukan uji perbandingan berganda rata-rata ketebalan jaringan granulasi, didapatkan hasil kelompok kontrol (NS 0,9%) berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 45% dengan p value = 0,037 (Îą < 0,05). Nilai ketebalan jaringan granulasi yang tinggi dapat terjadi karena hari ke-15 pada kondisi luka bakar derajat II fase [15] proliferasi mencapai puncaknya. Jaringan granulasi adalah pertumbuhan jaringan baru yang terjadi ketika luka mengalami proses penyembuhan, terdiri atas pembuluhpembuluh kapiler yang baru dan sel-sel fibroblas yang mengisi rongga tersebut sehingga ketebalan jaringan granulasi

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

yang terbentuk bergantung pada angiogenesis (pembentukan pembuluh darah kapiler) dan banyaknya sel-sel [6] fibroblas yang berproliferasi. Salah satu proses penyembuhan luka yang baik ditandai dengan kualitas pembentukan jaringan granulasi. Semakin tebal jaringan granulasi yang terbentuk, proses penyembuhan luka yang berlangsung akan [17] semakin singkat. Peningkatan ketebalan jaringan granulasi yang terbentuk pada kelompok perlakuan ekstrak daun sirih diduga karena efek kandungan senyawa aktif yang berasal dari ekstrak etanol daun sirih. Hasil ekstraksi etanol daun sirih mengandung beberapa kandungan senyawa aktif seperti saponin, tannin, flavonoid, fenol, dan minyak atsiri. Kandungan tersebut dapat membantu proses penyembuhan luka dengan mekanisme seluler yang berbeda-beda, yaitu sebagai antiinflamasi, antimikroba, dan antioksidan. Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) sebagai antiinflamasi Aktivitas antiinflamasi ekstrak daun sirih diperkirakan karena adanya senyawa golongan flavonoid, saponin, dan tannin. Mekanisme flavonoid dalam menghambat proses terjadinya inflamasi melalui berbagai cara, yaitu dengan menghambat permeabilitas kapiler, metabolisme asam arakidonat, serta sekresi enzim lisosom, sel neutrofil dan sel endothelial. Mekanisme antiinflamasi saponin adalah dengan menghambat pembentukan eksudat dan menghambat kenaikan permeabilitas vaskular. Tannin juga mempunyai aktivitas antiinflamasi, namun mekanisme kerjanya sebagai antiinflamasi belum dijelaskan secara pasti (Fitriyani et al., 2011). Dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa efek antiinflamasi akut & kronis serbuk kasar daun sirih dievaluasi dengan dosis 300 mg/kg. Natrium diklofenak digunakan sebagai kelompok kontrol. Studi ini menunjukkan bahwa Piper betle L. mempunyai aktivitas antiinflamasi yang efektif dilihat dari penurunan luas edema pada tikus putih pada 1 jam pertama, 2 jam pertama, dan 3 [16] jam pertama. Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) sebagai antimikroba Sirih mengandung senyawa aktif minyak atsiri dengan komponen fenol alam

│71


dari kavikol (chavicol paraallyphenol), kavibetol, dan eugenol. Kavikol memberi bau khas pada sirih dan mempunyai daya antimikroba lima kali lebih kuat daripada fenol biasa. Efek antimikroba yang dimiliki senyawa aktif minyak atsiri dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis [18] bakteri. Dalam penelitiannya yang berjudul Daya Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Daun Sirih Merah (Piper betle Linn.) mengemukakan bahwa senyawa tannin dan flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun sirih merah mempunyai aktivitas [19] antibakteri yang baik. Hasil uji antimikroba menunjukkan bahwa ekstrak etanol 80%, fraksi n-heksan dan fraksi etilasetat dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan jamur Candida albicans. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin besar konsentrasi ekstrak yang diberikan maka akan menghasilkan daerah hambat yang semakin besar. Hal ini disebabkan semakin banyak zat aktif yang terkandung dalam ekstrak maupun fraksi tersebut. Ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) sebagai antioksidan Antioksidan mampu menetralisir radikal bebas yang dapat menyerang & menyebabkan kerusakan pada sel-sel protein, lipid, dan karbohidrat. Radikal bebas mampu mengganggu integritas, struktur, dan fungsi sel sehingga dibutuhkan antioksidan untuk menetralisir dampak negatif radikal bebas tersebut. Daun sirih mempunyai zat yang bersifat sebagai antioksidan, seperti fenol dan flavonoid. Cara kerja antioksidan adalah dengan memutus reaksi berantai dari radikal bebas sehingga dapat mencegah [20] kerusakan jaringan. Penelitian yang dilakukan oleh Mun’im dkk. Tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan presentase penyembuhan luka yang dilihat dari penyempitan luas area luka pada konsentrasi 20% dan 40% jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan normal salin. Hal tersebut diduga karena infusa daun sirih merah dapat menghambat proses inflamasi melalui penangkapan radikal [10] bebas oleh antioksidan. Dalam penelitiannya yang berjudul Antioxidant activity of ethanolic extract of Piper betle Leaves menyimpulkan bahwa ekstrak etanol daun sirih mempunyai aktivitas

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

antioksidan yang lebih kuat daripada asam askorbat, DMSO (dimethyl sulphoxide), dan BHT (butylated hydroxytoluene). Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah DPPH (2,2difenil-1pikrilhidrazil) sebagai sumber radikal [20] bebas. Ekstrak etanol daun sirih tidak hanya memiliki efek sebagai antiinflamasi, antibakteri, dan antioksidan, tetapi juga mengandung nutrisi yang dibutuhkan untuk penyembuhan luka misalnya vitamin A dan vitamin C. Kandungan-kandungan tersebut diduga bekerja secara sinergis sehingga dapat menghasilkan penyembuhan luka [10] secara optimal pada luka bakar. Pada proses penyembuhan luka, vitamin A berperan meningkatkan pembentukan kolagen, diferensiasi sel epitel, dan meningkatkan imunitas. Selain itu, vitamin A berperan mempercepat fase inflamasi ke fase proliferasi dengan meningkatkan monosit dan makrofag ke daerah luka. Makrofag berasal dari monosit yang berfungsi untuk membersihkan bakteria dan debris dari daerah luka. Makrofag menghasilkan faktor pertumbuhan yang diperlukan untuk proliferasi sel-sel fibroblas dan angiogenesis. Selain itu, makrofag berperan dalam regenerasi dermis dan proliferasi epidermis. Vitamin C merupakan komponen penting yang diperlukan untuk proses hidroksilasi prolin dan lisin menjadi prokolagen, di mana bahan ini penting untuk sintesis kolagen. Selain berperan dalam sintesis kolagen, vitamin C juga berperan meningkatkan fungsi neutrofil dan angiogenesis. Karbohidrat dan protein merupakan sumber energi terpenting yang diperlukan dalam sintesis kolagen. Bahan mineral, yaitu seng berperan dalam sintesis kolagen dan proses epitelisasi (Mun’im dkk., 2010). Pada hari ke-4 jaringan nekrotik pada tiap sampel mulai terbentuk. Jaringan nekrotik dapat menghalangi pemberian ekstrak daun sirih yang diberikan secara topikal sehingga proses penyembuhan luka yang berlangsung menjadi kurang optimal. Pada hari ke-12 luas area luka pada tiap sampel mulai mengecil. Luas area luka pada kelompok perlakuan ratarata sama besarnya & tidak menunjukkan adanya perbedaan bermakna. Luas area luka paling kecil ditunjukkan oleh kelompok kontrol (normal salin). Hal ini dikarenakan normal salin merupakan larutan yang

│72


bersifat isotonik sehingga hanya mempengaruhi penyembuhan luka bakar secara superficial. Hasil penelitian yang menunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok daun sirih disebabkan peneliti kurang dalam hal eksplorasi konsentrasi optimal ekstrak daun sirih. Konsentrasi yang digunakan hanya tiga, yaitu 15%, 30%, dan 45% sehingga belum diketahui potensi konsentrasi ekstrak daun sirih yang optimal dalam hal penyembuhan luka bakar, khususnya dalam meningkatkan ketebalan jaringan granulasi. Pengeringan daun sirih dengan proses menggunakan sinar matahari juga berpengaruh terhadap kandungan daun sirih. Penelitian yang dilakukan oleh Sutjipto et al. tentang pengaruh cara pengeringan terhadap perubahan fisiokimia daun kumis kucing (Orthosipon stamineus Benth) dengan menggunakan metode diangin-anginkan pada suhu kamar, sinar matahari, oven listrik 500C, udara sisa pembakaran bersuhu 600C, dan aliran udara panas bersuhu 600C memberikan hasil metode pengeringan dengan diangin-anginkan pada suhu kamar merupakan metode terbaik bagi kandungan flavonoid dalam daun kumis [21] kucing. Hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa terdapat pengaruh perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih dalam meningkatkan ketebalan jaringan granulasi pada luka bakar derajat II sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang telah disusun adalah benar. Berdasarkan hasil penelitian pengaruh perawatan luka bakar derajat II menggunakan ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap ketebalan jaringan granulasi pada tikus putih (Rattus norvegicus galur Wistar) jantan dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini memiliki validitas internal yang tinggi ditandai dengan perbedaan signifikan antara kelompok perlakuan dan kontrol berdasarkan analisis Uji One Way ANOVA, namun masih diperlukan uji lebih lanjut tentang farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas, dan efek ekstrak daun sirih ini pada hewan coba dan clinical trial pada manusia. Keterbatasan Penelitian Eksplorasi konsentrasi digunakan peneliti dalam

yang studi

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

pendahuluan masih kurang, yaitu hanya 3 kelompok konsentrasi sehingga belum diketahui potensi konsentrasi ekstrak daun sirih yang optimal dalam proses penyembuhan luka bakar, khususnya dalam mempengaruhi peningkatan ketebalan jaringan granulasi. Implikasi Keperawatan Aplikasi klinis dari penelitian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai standarisasi bahan aktif apa saja yang dapat digunakan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui konsentrasi atau konsentrasi yang aman dan tepat untuk ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) agar dapat berfungsi sebagai obat luka bakar derajat II sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan komplementer maupun alternatif untuk berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. 5. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: 1. Didapatkan rata-rata peningkatan ketebalan granulasi pada kelompok yang mendapat perlakuan ekstrak daun sirih (Piper betle L.) 15% sebesar 2,41 µm, 30% sebesar 2,47 µm, dan 45% sebesar 2,84 µm. 2. Didapatkan rata-rata ketebalan granulasi pada kelompok kontrol dengan normal salin 0,9% sebesar 1,1 µm. 3. Terdapat pengaruh ekstrak etanol daun sirih (Piper betle L.) terhadap peningkatan ketebalan jaringan granulasi pada perawatan luka bakar derajat II tikus putih (Rattus novergicus galur Wistar) jantan dengan nilai signifikansi sebesar 0,04 (p < 0,05). 6. SARAN 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai perbedaan ketebalan granulasi pada jaringan normal dengan jaringan yang mengalami proses penyembuhan luka setelah dirawat menggunakan ekstrak daun sirih (Piper betle L.). 2. Perlu penelitian lanjut pada ekstrak daun sirih sebagai obat perawatan luka bakar derajat II dalam bentuk sediaan yang lain seperti sediaan obat padat atau semi padat (krim atau gel).

│73


DAFTAR PUSTAKA 1. Smeltzer SC, Brenda GB. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth, vol. 3 edisi 8, Waluyoet al. (penterjemah), 200. , Jakarta, Indonesia: EGC; 2001. 2. Nurdiana, Hariyanto, dan Musrifah.Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Perawatan Luka Menggunakan Virgin Coconut Oil (Cocos nucifera) dan Normal Salin pada Tikus Putih (Rattus novergicus) Strain Wistar; 2008. (http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/1234 56789/18039/1/Perbedaankecepatan-penye mbuhan-lukabakar-derajat-II-antara-pera watanluka-menggunakan-virgin-coconutOil-%28Cocos-nucifera%29-dannormal-salin-pada-tikus-putih%28Rattus-norvegi cus%29-strainwistar.pdf, diakses 13 Maret 2012 3. Schwartz SI, Shires GT, Spencer FT. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6, Laniyati et al. (penterjemah), 2000. Jakarta, Indonesia: EGC ; 2000. 4. Majewska I, Gendaszewska-Darmach E. Proangiogenic activity of plant extracts in accelerating wound healing ─ a new face of old phytomedicines. Acta Biochimica Polonica, 2011; 58 (4): 449-460. 5. Rahmawati. Pengaruh stimulasi elektrik terhadap pengurangan luas luka pada penyembuhan luka (debth wound). Jurnal Pendidikan Mutiara Ilmu. 2009; 4 (2): 102-107. 6. Tim Widyatama.Kamus Keperawatan. Widyatama, Jakarta: 2010. 7. Romo T. 2012. Medscape Reference: Drugs, Diseases, & Procedures, Skin Wound Healing, (Online), http://emedicine.medscape.com/articl e/884594-overview#aw2aab6b5, diakses 19 November 2011 8. Gannon R. 2007. Nursing Times. Fact file: Wound cleansing: sterile water or saline?, (Online), (http://www.nursingtimes.net/fact-filewound-cleansing-sterile-water-orsaline/201829.article, diakses 21 November 2012 9. Soemiati A, Elya B. 2002. Uji Pendahuluan Efek Kombinasi Antijamur Infus Daun Sirih (Piper betle L.), Kulit Buah Delima (Punica

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

granatum L.), dan Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap JamurCandida Albicans. Makara – Seri Sains, 6 (3): 149-154. Mun’im A, Azizahwati, Fimani A. 2010. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piper cf. Fragile, Benth) Secara Topikal Terhadap Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Diabet. Hibah Awal DRPM Universitas Indonesia. No Kontrak: 2512/H2.R12/PPM.01 Sumber Pendanaan/2010 Li K, Diao Y, Zhang H, Wang S, Zhang Z, Yu B, Huang S, Yang H. 2011. Tannin extracts from immature fruits of Terminalia chebula Fructus Retz. promote cutaneous wound healing in rats. BMC Complementary and Alternative Medicine, 11 (86). Arambewela LSR, Arawwawala LDAM, Kumaratunga KG, Dissanayake DS, Ratnasooriya WD, Kumarasingha SP. 2011. Investigations on Piper Betle grown in Sri Lanka. National Center for Biotechnology Information, 5 (10): 159-163, (Online), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/artic les/PMC3263050/, diakses 9 September 2012). Widyastuti N.Pengukuran Aktivitas Antioksidan dengan Metode CUPRAC, DPPH, dan FRAP serta Korelasinya dengan Fenol dan Flavonoid pada Enam Tanaman. Skripsi. Tidak diterbitkan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor, Bogor; 2010. Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Edisi 2.Jakarta: Salemba Medika : 2011. Moenadjat Y. 2009. Luka Bakar: Masalah dan Tatalaksana, Edisi keempat. Balai Penerbit FKUI, Jakarta ; Vagashiya Y, Nair R, Chanda S. Investigation of Some Piper Species for Anti-Bacterial and Anti-Inflammatory Property. International Journal of Pharmacology, 2007; 3 (5): 400-405. Yaman I, Durmus AS, Ceribasi S, Yaman M. 2010. Effects Of Nigella sativa And Silver Sulfadiazine On

│74


Burn Wound Healing Rats. Veterinarni Medicina, 55 (12): 619624. 17. Hendrayani SF.Pengaruh Beberapa Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L) Terhadap Pertumbuhan Candida albicans. Tesis. Tidak diterbitkan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor ; 2005. 18. Reveny J. 2011. Daya Antimikroba Ekstrak dan Fraksi Daun Sirih Merah (Piper betle Linn.). Jurnal Ilmu Dasar, 12 (1): 6-12. 19. Manigauha A, Ali H, Maheshwari MU. 2009. Antioxidant activity of ethanolic extract of Piper betel leaves. Journal of Pharmacy Research, 2 (3): 491494.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

20. Sutjipto, Wahyu JP, Widiyastuti Y. 2009. Pengaruh Cara Pengeringan Terhadap Perubahan Fisikokimia Daun Kumis Kucing (Orthosipon stamineus Benth). JURNAL TUMBUHAN OBAT INDONESIA – The Journal of Indonesian Medicinal Plant, 2 (1): 24-27.

│75


Penelitian

PENGARUH SEDIAAN SALEP EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn.) TERHADAP JUMLAH FIBROBLAS LUKA BAKAR DERAJAT IIA PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR WISTAR Umi Kalsum, Ika Setyo Rini, Aliefia Ditha, Kusumawardhani

ABSTRAK Pendahuluan: Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat II. Daun sirih (Piper betle Linn.) adalah bahan alam yang diduga dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka dan mempunyai pengaruh terhadap peningkatan jumlah fibroblas karena memiliki kandungan aktif seperti saponin, flavonoid, dan tanin. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar. Metode: Studi eksperimental menggunakan desain penelitian True-experiment pasca-tes dilakukan terhadap hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar jantan dengan usia 2,5-3 bulan (usia pertumbuhan) dan berat badan 150-250 gram. Sampel diambil dengan teknik simple random sampling dan dibagi dalam empat kelompok yaitu kelompok (A) Ekstrak daun sirih konsentrasi 15% (n=6), (B) Ekstrak daun sirih konsentrasi 30% (n=6), (C) Ekstrak daun sirih konsentrasi 45% (n=6) dan kelompok kontrol Normal Saline 0,9% (n=6). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah fibroblas antara kelompok yang diberi ekstrak daun sirih konsentrasi 15% ( = 12.95), 30% ( = 10.33), 45% ( = 5.90) dan kelompok kontrol Normal Saline 0,9% ( = 4.61) yaitu One Way ANOVA p=0.000 (p<0.05). Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang tinggi pada pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar yaitu sebesar 77.6% dan semakin kecil konsentrasi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) maka jumlah fibroblas semakin besar (Korelasi Regresi Linear r=-0.881) sehingga ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) konsentrasi 15% adalah konsentrasi yang paling optimal dalam mempercepat proses penyembuhan luka. Kata kunci :

Daun Sirih (Piper Betle Linn.), Luka Bakar Derajat IIA, Fibroblas

ABSTRACT Introduction: Burn wound is one of the most happened incident around us especially in house hold while the II degree burn wound occur most often. Sirih leaf (Piper betle Linn.) is an alternative natural materials suspected to be able to accelerate wound healing process and due to its active substaces such as saponins, flavonoids, and tannins, is able to increase the number of fibroblast in burn wound. Aim: This study is conducted to determine the influence of sirih leaf extract (Piper betle Linn.) in correlation to increase the number of fibroblast in IIA degree burn wound on Wistar strain rat (Rattus norvegicus).

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

│76


Methods: Experimental study using True experiment post test design conducted into male Wistar strain rat (Rattus norvegicus) with age 2,5-3 months and weight 150-250 grams. The samples got by simple random sampling and divided into four groups, that is (A) 15% concentration of Sirih leaf extract group (n=6), (B) 30% concentration of Sirih leaf extract group (n=6), (C) 45% concentration of Sirih leaf extract group (n=6), and control group Normal Saline 0,9% (n=6). Results: The result of this research indicates some significant differrences in the number of fibroblast found in sirih leaf extract group 15% ( = 12.95), 30% ( = 10.33), 45% ( = 5.90) and control group Normal Saline 0,9% ( = 4.61) from One Way ANOVA test p=0.000 (p<0.05). Conclusion: The conclusion is sirih leaf extract (Piper betle Linn.) has high influence to increase the number of fibroblast in IIA Degree Burn Wound on Wistar Strain Rat (Rattus norvegicus) that is 77.6% and more decrease concentration of sirih leaf extract then more increase the number of fibroblast (Regression Linear Correlation r=-0.881). So sirih leaf extract with 15% concentration is the most optimal concentration to accelerate wound healing. Keywords :

Sirih Leaf (Piper Betle Linn.), IIA Degree Burn Wound, Fibroblast

1. PENDAHULUAN Luka bakar adalah luka pada kulit atau jaringan lain yang disebabkan oleh panas atau terkena radiasi, radioaktivitas, listrik, sentuhan atau kontak dengan bahan kimia. Luka bakar terjadi ketika beberapa atau semua sel pada kulit rusak karena cairan panas (air mendidih), benda panas dan nyala api. Menurut WHO pada tahun 2012, luka bakar adalah masalah kesehatan masyarakat secara global yang diperkirakan menyebabkan 195.000 kematian. Luka bakar paling banyak sekitar 84.000 kasus terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah yaitu Regio WHO Asia Tenggara. Menurut National Safe Kids Campaign tahun 2004, pada tahun 2002 Departemen Kebakaran Amerika menemukan sedikitnya 401.000 kasus kebakaran tiap 79 detik dimana 76% kasus kebakaran menyebabkan luka bakar Data unit luka bakar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada Januari 1998-Mei 2001 menunjukkan penyebab luka bakar adalah 60% kecelakaan rumah tangga, 20% kecelakaan kerja dan 20% sebab lain. Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar [1] derajat II. Berdasarkan kedalamannya luka bakar dibagi menjadi 3 yaitu derajat I, derajat II, dan derajat III. Kerusakan luka bakar derajat II meliputi epidermis dan [2] dermis. Luka bakar derajat II dibagi menjadi dua yaitu luka bakar derajat II

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

dangkal / IIA dan II dalam / IIB. Luka bakar derajat IIA memerlukan balutan khusus yang merangsang pembelahan dan [3] pertumbuhan sel. Luka bakar yang luas mempengaruhi metabolisme dan fungsi setiap sel tubuh. Semua sistem terganggu terutama sistem kardiovaskuler. Semua organ memerlukan aliran darah yang adekuat sehingga perubahan fungsi kardiovaskuler memiliki dampak luas pada 3 daya tahan hidup dan pemulihan pasien . Oleh karena itu luka bakar harus segera ditangani agar tidak terjadi komplikasi dan [4] terjadi proses penyembuhan luka. Proses penyembuhan luka adalah proses biologis [5] yang terjadi di dalam tubuh. Proses ini dapat dibagi ke dalam 4 fase utama yaitu koagulasi, inflamasi, proliferasi dan remodeling. Pada fase proliferasi fibroblas adalah elemen sintetik utama dalam proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan [6] selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblas menghasilkan sejumlah kolagen yang banyak. Pada fase maturasi serabut kolagen menyebar dengan saling terikat dan menyatu serta berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan. Fibroblas biasanya akan tampak pada sekeliling [6] luka. Proliferasi dan migrasi fibroblas memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan granulasi dan [7] penutupan luka. Menurut Mallon et al. (2006), fibroblas merupakan sel yang paling umum ditemui pada jaringan ikat

│77


dan mensitesis beberapa komponen matriks ekstraseluler (kolagen, retikuler, elastin), beberapa makromolekul anionik (glikosaminoglikans, proteoglikans) serta glikoprotein multiadesif (laminin dan fibronektin) yang dapat mendorong [8] perlekatan sel pada substrat. Fibroblas memperoleh fenotip khusus di bawah kontrol keratinosit yang disebut [9] miofibroblas. Miofibroblas adalah fibroblas khusus yang mirip dengan sel otot polos dan berperan dalam penyambungan komponen ekstraseluler sel. Aktivitas sel-sel tersebut berperan pada penutupan luka akibat cedera [10] jaringan. Banyak tanaman tradisional di Indonesia yang bermanfaat dalam membantu penutupan luka, salah satunya yaitu daun sirih. Daun sirih (Piper betle Linn.) tumbuh subur di sepanjang daerah Asia tropis dan menyebar hampir di seluruh Indonesia. Daun sirih sering ditemukan pada pekarangan-pekarangan rumah di Indonesia sehingga tanaman ini mudah didapatkan tanpa mengeluarkan [11] biaya yang mahal. Daun sirih telah lama digunakan dalam pengobatan tradisional oleh nenek moyang sebagai obat [12] kumur, menghilangkan bau badan, obat mimisan, pembersih mata yang gatal atau merah, obat koreng atau gatal-gatal, dan [13] obat sariawan. Hasil penelitian Sari dan [12] Isadiartuti (2006) membuktikan bahwa daun sirih dapat digunakan sebagai antiseptik. Selain itu daun sirih bermanfaat sebagai vulnerary yaitu menyembuhkan [12] luka. Daun sirih mengandung saponin, flavonoid, tanin dan minyak atsiri. Kandungan saponin, flavonoid serta tanin dapat membantu proses penyembuhan luka karena berfungsi sebagai antioksidan dan antimikroba yang mempengaruhi penyambungan luka juga mempercepat [14] epitelisasi. Kandungan saponin dan tanin berperan dalam regenerasi jaringan [15] dalam proses penyembuhan luka. Kandungan saponin mempunyai kemampuan sebagai pembersih atau [16] antiseptik. Saponin dapat memicu vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan jumlah makrofag bermigrasi ke area luka sehingga meningkatkan produksi sitokin yang akan [17] mengaktifkan fibroblas di jaringan luka. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan juga

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

[18]

antiinflamasi pada luka bakar. Onset nekrosis sel dikurangi oleh flavonoid dengan mengurangi lipid peroksidasi. Penghambatan lipid peroksidasi dapat meningkatkan viabilitas serat kolagen, sirkulasi darah, mencegah kerusakan sel [15] dan meningkatkan sintesis DNA. Kandungan tanin mempunyai kemampuan [19] astringen, antioksidan dan antibakteri. Kandungan tanin mempercepat penyembuhan luka dengan beberapa mekanisme seluler yaitu membersihkan radikal bebas dan oksigen reaktif, meningkatkan penyambungan luka serta meningkatkan pembentukan pembuluh [20] darah kapiler juga fibroblas. Sedangkan minyak atsiri mengandung kavikol dan phenol yang berguna sebagai antimikroba, [19] antibakteri dan disinfektan. Salep merupakan sediaan farmasi yang sering digunakan untuk penyembuhan luka. Salep merupakan sediaan semisolid berbahan dasar lemak ditujukan untuk kulit dan mukosa. Sediaan ini digunakan karena mudah diserap oleh kulit dan dicuci dengan air. Salep digunakan untuk pengobatan lokal pada kulit, melindungi kulit pada luka agar tidak terinfeksi serta dapat melembabkan [21] kulit. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa sediaan salep ekstrak etanol daun sirih (Piper betle Linn.) dapat mempercepat penyembuhan luka sayat pada mencit galur Swiss Webster betina. Hasil yang terbaik adalah kelompok perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun sirih 20% secara topikal. Hasil terbaik setelah kelompok perlakuan salep ekstrak daun sirih 20% adalah povidone iodine 10%, ekstrak daun sirih 10% ekstrak daun sirih 30%, dan terakhir Vaseline album secara topikal (Pramana, 2009). Namun, hingga saat ini belum ada penelitian untuk menguji khasiat sediaan salep ekstrak daun sirih secara topikal terhadap penyembuhan luka bakar pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar. Berdasarkan uraian tersebut daun sirih dapat berfungsi sebagai antiseptik, antioksidan, antimikroba, antibakteri, antiinflamasi, dan astringen sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Daun sirih juga berpotensi menstimulasi sejumlah fibroblas yang berperan penting dalam perbaikan jaringan. Manfaat daun sirih yang sangat besar dalam penyembuhan luka menjadi

│78


alasan pentingnya dilakukan penelitian eksperimental tentang pengaruh sediaan salep ekstrak daun sirih terhadap peningkatan jumlah fibroblas pada luka bakar derajat IIA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar. Manfaat penelitian ini bagi profesi keperawatan adalah menjadi dasar pengetahuan untuk memahami daun sirih (Piper betle Linn.) berguna sebagai perawatan luka bakar derajat IIA karena dapat mempengaruhi jumlah fibroblas dan dapat menambah khasanah di bidang keperawatan luka bakar dengan terapi komplementer. Sedangkan manfaat bagi masyarakat menjadi dasar bagi untuk memanfaatkan daun sirih (Piper betle Linn.) untuk obat luka bakar derajat IIA dalam kehidupan sehari-hari. Manfaat bagi peneliti sendiri adalah dapat menjadi dasar pengetahuan dan pendalaman peneliti tentang pengaruh daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap jumlah fibroblas pada luka bakar derajat IIA serta dapat digunakan sebagai dasar dalam penelitian selanjutnya. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Desain Penelitian Penelitian ini meru pakan penelitian true-experiment pasca tes dengan kelompok eksperimen dan kontrol. Sampel dipilih dengan cara simple random sampling berjumlah 24 ekor tikus putih jantan dengan umur 2,5-3 bulan dan berat badan 150-250 gram kemudian dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 1 kelompok kontrol diberi NS 0,9% dan 3 kelompok perlakuan diberi ekstrak daun sirih konsentrasi 15%, 30% dan 45%. Masingmasing kelompok berjumlah 6 ekor tikus. 2.2 Pembuatan Luka Bakar Derajat IIA Menempelkan balok sterofoam berukuran 2x2 cm dilapisi dan dibungkus 0 kassa yang dicelup air panas 98 C selama 3 menit dan ditempelkan pada punggung tikus selama 30 detik yang sebelumnya dianastesi menggunakan lidokain non adrenalin berdasarkan hasil studi eksplorasi pada tanggal 17 Desember 2012 di Laboratorium

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Farmakologi FKUB pada pukul 10.0013.00 WIB. 2.3 Perawatan Luka Bakar Derajat IIA Pada kelompok perlakuan luka dibersihkan dengan NS 0,9% kemudian diberi ekstrak daun sirih konsentrasi 15%, 30% dan 45% yang dibuat dengan mencampurkan vaseline dan ekstrak daun sirih menggunakan rumus sesuai dengan konsentrasinya dan masing-masing diberikan secara topikal sebanyak 50 mg pada area luka kemudian luka ditutup dengan kassa steril dan diplester. Sedangkan kelompok kontrol dibersihkan dengan NS 0,9% kemudian ditutup dengan kassa steril yang sudah direndam dalam NS 0,9% dan kemudian diperas. Perawatan luka dilakukan sekali setiap hari pukul 10.00-13.00 WIB hingga hari ke-14. 2.4 Pembuatan Ekstrak Daun Sirih Proses ekstraksi menggunakan 100 gram serbuk daun sirih (Piper betle Linn.) kemudian direndam dengan etanol 96% hingga volume 1000 ml, dikocok selama 30 menit lalu dibiarkan selama 24 jam sampai mengendap. Ambil lapisan atas campuran etanol dengan zat aktif, masukkan dalam labu evaporasi 1 liter, isi water bath dengan air sampai penuh, kemudian pasang semua alat termasuk rotary evaporator, pemanas water bath (atur sampai 70-80°C) lalu sambungkan dengan aliran listrik. Biarkan larutan etanol memisah dengan zat aktif. Tunggu sampai aliran etanol berhenti menetes pada labu penampung (¹ 1,5-2 jam untuk 1 labu). Hasilnya + 1/3 dari serbuk daun sirih. Masukkan hasil ekstrak dalam botol plastik dan simpan dalam freezer. 2.5 Pembuatan Konsentrasi Ekstrak Daun Sirih Ekstrak daun sirih dicampurkan vaseline dengan menggunakan rumus:

L=

x 100%

Keterangan : L : Konsentrasi daun sirih (%) a : Ekstrak daun sirih (mg) b : Vaseline (mg) Pembuatan konsentrasi ekstrak daun sirih dilakukan dengan menambahkan Vaseline sebanyak 50 mg

│79


(berdasarkan studi eksplorasi luas luka 2 2x2 cm )sesuai rumus di atas, sehingga didapatkan hasil sbb:  Konsentrasi 15% : 7,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaseline.  Konsentrasi 30% : 15 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaseline.  Konsentrasi 45% : 22,5 mg ekstrak daun sirih dicampurkan dengan 50 mg vaseline. 2.6 Pembuatan Preparat Histologi Jaringan Kulit Sebelum membuat preparat histologi jaringan kulit, sampel dimatikan terlebih dahulu dengan cara memasukkan sampel dalam stoples berisi larutan Chlor. Setelah itu dilakukan pengambilan jaringan kulit dan diproses untuk pembuatan preparat histologi jaringan kulit. Pembuatan preparat histologi jaringan kulit melalui beberapa tahap yaitu fiksasi, embedding, slicing, dan staning. Pada tahap fiksasi dilakukan perendaman jaringan kulit pada larutan formalin 10% selama 18-24 jam kemudian jaringan kulit dicuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pada tahap embedding, jaringan kulit dimasukkan pada beberapa cairan yaitu aceton selama 1 jam x 4, Xylol selama ½ jam x 4, paraffin cair selama 1 jam x 3, dan penanaman jaringan kulit pada paraffin blok. Selanjutnya pada tahap slicing, blok yang sudah tertanam jaringan kulit diletakkan pada balok es selama ± 15 menit kemudian blok ditempelkan pada cakram microtome rotary kemudian sayat jaringan kulit secara vertikal dengan ukuran 4 mikron. Sayatan jaringan kulit yang berbentuk pita diambil dengan menggunakan kuas kecil kemudian letakkan pada water bath yang mengandung gelatin dengan suhu 36°C. Setelah sayatan jaringan kulit merentang, sayatan diambil dengan menggunakan object glass dan didiamkan selama 24 jam. Pada tahap staning, object glass dimasukkan pada Xylol selama 15 menit x 3, alkohol 96% selama 15 menit x 3, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 15 menit, setelah itu object glass dimasukkan pada pewarna Hematoxylin selama 15 menit dan dicuci dengan air mengalir selama 15 menit. Object glass dimasukkan pada Lithium carbonat selama 20 detik dan dicuci dengan air mengalir

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

selama 15 menit. Selanjutnya object glass dimasukkan pada pewarna Eosin selama 15 menit, alkohol 96% selama 15 menit x 3 dan xylol selama 15 menit x 3. Tahap terakhir adalah preparat ditutup dengan menggunakan deck glass Entellan. 2.7 Identifikasi Fibroblas Proses identifikasi fibroblas dilakukan setelah perawatan luka selesai. Fibroblas adalah sel yang berbentuk gelendong, memiliki inti satu atau lebih, bersifat basofilik, dan tercat ungu pada pewarnaan Hematoxylin Eosin pada saat dilakukan pengamatan preparat histologi jaringan kulit menggunakan mikroskop OLYMPUS seri XC10 yang dilengkapi software OlyVIA (Viewer for Imaging Applications) dengan perbesaran 1000 kali tiap lapang pandang. 2.8 Analisa Data Data-data yang didapat kan dari hasil penelitian selanjutnya dianalisis dengan software SPSS 17.00. Metode analisis menggunakan uji normalitas data dengan uji Kolmogorov-Smirnov (p > 0,05). Uji homogenitas menggunakan test of Homogeneity of Varience (p > 0,05). Uji One Way ANOVA (p < 0,05) untuk mengetahui perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan. Uji Post Hoc Tukey HSD (p < 0,05) untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang paling signifikan di antara kelompok-kelompok uji coba. Uji Regresi Linear untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh ekstrak daun sirih terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA (Suliyono, 2010). 3. HASIL PENELITIAN Setelah dilakukan serangkaian perlakuan percobaan dengan memberikan ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) sebagai kelompok eksperimen dan normal saline sebagai kelompok kontrol untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar maka didapatkan data dengan melakukan penghitungan jumlah fibroblas. Hasil penghitungan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA setelah diberikan ekstrak daun sirih dan normal saline 0,9% dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil penghitungan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA

│80


pada tikus putih (Rattus norvegicus) seluruh perlakuan pada Tabel 1 menunjukkan hasil yang bervariasi. Adanya pengaruh pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA ditunjukkan dari semakin rendah konsentrasi ekstrak semakin tinggi jumlah fibroblas. Kelompok kontrol menunjukkan jumlah fibroblas terendah dibandingkan kelompok perlakuan lain. Melalui data tersebut dapat disimpulkan bahwa bahan aktif yang terkandung dalam ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) mempunyai pengaruh terhadap peningkatan jumlah fibroblas. Fibroblas dapat dengan jelas dilihat pada pewarnaan hematoksilin eosin. Fibroblas biasanya tersebar sepanjang berkas serat kolagen dan tampak sebagai sel fusiform atau gelendong dengan ujung meruncing. Inti fibroblas berbentuk lonjong dan panjang yang Tabel 1. Jumlah fibroblas pada jaringan kulit yang terkena luka bakar derajat IIA pada kelompok perlakuan Perlak Kode RataRata-rata uan

Sampel

rata

Jumlah

Jumlah

Fibroblas

Fibrobla

Tiap

s Tiap

Kelompok

A1

11.9

15%

A2

19.1

A3

12.1

A4

11.2

A5

12.4

A6

11

EDS

B1

11.8

30%

B2

11.2

B3

8.4

B4

10.4

B5

9.8

B6

10.4

EDS

C1

7.5

45%

C2

4.6

C3

6.7

6.4

C5

5.7

C6

4.5

NS

D1

5.2

0,9%

D2

4.9

D3

4.7

D4

3.7

D5

3.4

D6

5.8

4.61

mengandung satu atau dua nukleoli dan gumpalan kromatin halus berdekatan dengan selaput inti. Inti fibroblas tampak pucat dan terpulas gelap apabila tercat hematoksilin (basa) sehingga berwarna biru keunguan, sedangkan sitoplasma tampak relatif homogen dan bersifat basofil karena tingginya kandungan retikulum [22] endoplasma granular.

A

Sampel EDS

C4

B

12.95

C 10.33

5.90

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

D

Gambar 1. Fotomikroskop Jaringan Kulit yang Terkena Luka Bakar Derajat IIA per Lapang Pandang pada Seluruh Kelompok Perlakuan Keterangan: Tanda panah menunjukkan Fibroblas A : Jaringan Kulit yang Terkena Luka Bakar Derajat IIA per Lapang Pandang pada Kelompok Kontrol Normal Saline 0,9% (Perbesaran 1000x). B : Jaringan Kulit yang Terkena Luka Bakar Derajat IIA per Lapang Pandang pada Kelompok Ekstrak

│81


Daun Sirih Konsentrasi 15% (Perbesaran 1000x). C : Jaringan Kulit yang Terkena Luka Bakar Derajat IIA per Lapang Pandang pada Kelompok Ekstrak Daun Sirih Konsentrasi 30% (Perbesaran 1000x). D : Jaringan Kulit yang Terkena Luka Bakar Derajat IIA per Lapang Pandang pada Kelompok Ekstrak Daun Sirih Konsentrasi 45% (Perbesaran 1000x). 3.1 Analisa Data Hasil penelitian dianalisis dengan software SPSS versi 17.00. Analisa data menggunakan beberapa uji statistik yaitu uji normalitas menggunakan statistik uji Kolmogorov-Smirnov untuk membuktikan bahwa data berdistribusi normal, uji homogenitas menggunakan Test of Homogeneity of Varience untuk membuktikan bahwa data memiliki variansi yang sama atau homogen, selanjutnya One Way ANOVA untuk menguji perbedaan yang signifikan terhadap jumlah fibroblas antar kelompok perlakuan, kemudian uji perbandingan berganda (Post Hoc Test) yang digunakan untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang paling signifikan di antara kelompok perlakuan, serta dilakukan uji regresi linear untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh ekstrak daun sirih terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA. Hasil Uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.774 (p>0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah fibroblas berdistribusi normal. Hasil Test of Homogeneity of Varience menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.202 (p>0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah fibroblas pada semua kelompok perlakuan memiliki variansi yang sama (homogen). Setelah dilakukan Test of Homogeneity of Varience terbukti bahwa data memiliki variansi yang sama (homogen). Hasil Uji One Way ANOVA menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah fibroblas pada semua kelompok perlakuan. Setelah dilakukan Uji One Way ANOVA terbukti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan terhadap jumlah fibroblas pada semua kelompok perlakuan sehingga perlu

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

dilakukan Uji Perbandingan Berganda (Post Hoc Test). Hasil uji perbandingan berganda antar kelompok perlakuan menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan ekstrak daun sirih konsentrasi 15% berbeda signifikan dengan konsentrasi 45% dan kelompok kontrol normal saline 0,9% sedangkan dengan konsentrasi 30% tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih konsentrasi 30% tidak kalah optimal dengan konsentrasi 15%. Konsentrasi 30% berbeda signifikan dengan konsentrasi 45% dan kelompok kontrol normal saline 0,9% namun dengan konsentrasi 15% tidak signifikan. Kelompok ekstrak daun sirih konsentrasi 45% berbeda signifikan dengan konsentrasi 15% dan 30% namun tidak berbeda signifikan dengan kelompok kontrol normal saline 0,9%. Kelompok kontrol normal saline 0,9% berbeda signifikan dengan kelompok ekstrak daun sirih konsentrasi 15% dan 30% sedangkan dengan konsentrasi 45% tidak berbeda signifikan. Tabel 2 menunjukkan bahwa kelompok ekstrak daun sirih konsentrasi 15% adalah yang paling optimal dibandingkan kelompok lainnya kemudian konsentrasi 30% adalah konsentrasi optimal setelah konsentrasi 15%. Kelompok ekstrak daun sirih konsentrasi 45% adalah konsentrasi optimal setelah konsentrasi 30% sedangkan kelompok kontrol normal saline 0,9% adalah kelompok optimal yang terakhir. Analisa terakhir yang dilakukan adalah uji regresi linear. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa angka korelasinya sebesar -0.881 (r=0.70-1.00) yang berarti terdapat korelasi atau pengaruh yang tinggi pada pemberian Tabel 2. Homogenous Subsets Jenis Perlakuan

Subset for alpha = 0.05 1

NS

4.6167

EDS 45%

5.9000

2

EDS 30%

10.3333

EDS 15%

12.9500

│82


ekstrak daun sirih terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA. Angka korelasi negatif berarti hubungan bersifat tidak searah yaitu jika konsentrasi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) semakin besar maka jumlah fibroblas semakin kecil dan sebaliknya. R-square sebesar 77.6% menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih mempengaruhi jumlah fibroblas sebesar 77.6% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai signifikansi sebesar 0.000 (p<0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa model regresi layak digunakan pada penelitian ini. 3.2 Pembahasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar. Daun Sirih dipilih karena tumbuh subur dan menyebar hampir di seluruh Indonesia serta sering ditemukan pada pekarangan-pekarangan rumah di Indonesia sehingga tanaman ini mudah didapatkan tanpa mengeluarkan biaya yang mahal. Selain itu daun sirih dapat digunakan sebagai obat luka bakar. Luka bakar merupakan insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbanyak adalah luka bakar derajat II. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun sirih yang diekstrak dengan etanol 96% dengan metode maserasi. Etanol 96% dipilih dalam pembuatan ekstrak daun sirih karena bahan aktif yang terkandung dalam daun sirih cenderung larut terhadap etanol. Ekstrak daun sirih dibuat dalam bentuk salep dengan menambahkan vaseline. Salep merupakan sediaan semisolid berbahan dasar lemak ditujukan untuk kulit dan mukosa. Sediaan ini digunakan karena mudah diserap oleh kulit dan dicuci dengan air. Penelitian ini menggunakan tiga konsentrasi ekstrak daun sirih yang dipilih berdasarkan studi pendahuluan. Berdasarkan studi pendahuluan tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun sirih dengan konsentrasi 30% mempunyai kemampuan mempercepat penyembuhan luka yang optimal. Berdasarkan penelitian tersebut dipilih tiga konsentrasi ektrak daun sirih yaitu 15%, 30%, dan 45% serta kelompok kontrol negatif menggunakan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Normal Saline 0,9%. Konsentrasi 15% dan 45% diberikan sebagai konsentrasi yang diambil dari setengah di atas dan di bawah konsentrasi optimal. Fibroblas merupakan sel yang [8] paling umum ditemui pada jaringan ikat. Fibroblas adalah sel yang menghasilkan komponen ekstrasel dari jaringan ikat yang [22] berkembang. Fibroblas biasanya tersebar sepanjang berkas serat kolagen dan tampak sebagai sel fusiform atau gelendong dengan ujung yang meruncing. Inti fibroblas berbentuk lonjong dan panjang yang mengandung satu atau dua nukleoli dan gumpalan kromatin halus berdekatan dengan selaput inti. Fibroblas dapat dengan jelas dilihat pada pewarnaan [22] hematoksilin eosin. Fibroblas merupakan sel yang 8 paling umum ditemui pada jaringan ikat . Fibroblas adalah sel yang menghasilkan komponen ekstrasel dari jaringan ikat yang [22] berkembang. Fibroblas biasanya tersebar sepanjang berkas serat kolagen dan tampak sebagai sel fusiform atau gelendong dengan ujung yang meruncing. Inti fibroblas berbentuk lonjong dan panjang yang mengandung satu atau dua nukleoli dan gumpalan kromatin halus berdekatan dengan selaput inti. Fibroblas dapat dengan jelas dilihat pada pewarnaan [22] hematoksilin eosin. Data penelitian ini dianalisis menggunakan SPSS versi 17.00. Hasil uji One Way ANOVA menunjukkan nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan pada pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus). Uji perbandingan berganda (Post Hoc Test) menunjukkan perbedaan yang signifikan pada pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) antara masing-masing perlakuan terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) meskipun pada beberapa konsentrasi menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. Hasil uji regresi linear menunjukkan bahwa angka korelasinya sebesar -0.881 (r = 0.70-1.00) yang berarti terdapat korelasi atau pengaruh yang tinggi pada pemberian ekstrak daun sirih terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA. R-square sebesar 77.6% menunjukkan bahwa ekstrak daun sirih mempengaruhi jumlah

│83


fibroblas sebesar 77.6%. Angka korelasi negatif berarti hubungan bersifat tidak searah yaitu jika konsentrasi ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) semakin kecil konsentrasi ekstrak daun sirih maka jumlah fibroblas semakin besar. Peningkatan jumlah fibroblas ini diduga karena efek kandungan senyawa aktif yang berasal dari ekstrak etanol daun sirih. Hasil ekstraksi etanol daun sirih mengandung beberapa kandungan senyawa aktif yaitu saponin, flavonid, tannin serta minyak atsiri. Kandungan tersebut dapat membantu proses penyembuhan luka dengan mekanisme yang berbeda-beda. Saponin merupakan steroid atau glikosida triterpenoid dan banyak terdapat pada tumbuhan yang berperan penting pada kesehatan manusia dan hewan. Saponin berfungsi sebagi antitumor, [24] antimutagen dan aktivitas sitotoksik. Saponin dapat memicu vascular endothelial growth factor (VEGF) dan meningkatkan jumlah makrofag bermigrasi ke area luka sehingga meningkatkan produksi sitokin yang akan mengaktifkan [17] fibroblas di jaringan luka. Saponin berpotensi membantu menyembuhkan luka dengan membentuk kolagen pertama yang mempunyai peran dalam proses [25] penyembuhan luka. Flavonoid merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan suatu tanaman dan bisa dijumpai pada bagian daun, akar, kayu, [26] kuit, tepung sari, bunga dan biji. Kandungan flavonoid berfungsi sebagai antioksidan, antimikroba dan juga [18] antiinflamasi pada luka bakar. Flavonoid dapat membantu penyembuhan luka dengan meningkatkan pembentukan kolagen, menurunkan makrofag dan edema jaringan serta meningkatkan jumlah [23] fibroblas. Nekrosis sel dikurangi oleh flavonoid dengan mengurangi lipid peroksidasi. Penghambatan lipid peroksidasi dapat meningkatkan viabilitas serat kolagen, sirkulasi darah, mencegah kerusakan sel dan meningkatkan sintesis [15] DNA. Tanin merupakan senyawa phenolic yang larut air. Tanin berpotensi sebagai antoksidan yang melindungi dari kerusakan oksidatif seperti kanker, arthritis [27] dan penuaan. Kandungan tanin berguna sebagai astringen atau menghentikan perdarahan, mempercepat penyembuhan

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

luka dan inflamasi membran mukosa, serta [19] regenerasi jaringan baru. Selain itu kandungan tanin mempunyai kemampuan [28] antioksidan dan antibakteri. Kandungan tanin mempercepat penyembuhan luka dengan beberapa mekanisme seluler yaitu membersihkan radikal bebas dan oksigen reaktif, meningkatkan penutupan luka serta meningkatkan pembentukan pembuluh [20] darah kapiler juga fibroblas. Minyak atsiri atau disebut juga essential oil berasal dari daun, bunga, kayu, biji-bijian bahkan putik bunga. Manfaat minyak atsiri adalah sebagai obat anti nyeri, anti infeksi dan pembunuh [29] bakteri (disinfektan). Minyak atsiri mengandung phenol dan kavikol yang berguna sebagai antimikroba, antibakteri [19] dan disinfektan. Semua kandungan daun sirih tersebut dapat membersihkan luka dan mencegah terjadinya infeksi sehingga dapat mempercepat berakhirnya fase inflamasi pada proses penyembuhan luka. Hasil analisis data tersebut didukung oleh data pada beberapa literatur. Salah satu penelitian dari Sari dan Isadiartuti menyebutkan bahwa daun sirih (Piper betle Linn.) dapat digunakan sebagai antiseptik tangan dalam bentuk gel. Daun sirih merupakan salah satu tanaman yang berkhasiat sebagai antiseptik. Melalui penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sediaan gel dengan kadar ekstrak daun sirih mulai 15% mempunyai kemampuan menurunkan mikroorganisme di telapak tangan hingga 57% sedangkan ekstrak 25% mampu menghilangkan [12] semua mikroorgan. Kebersihan luka akan mencegah terjadinya infeksi serta mempercepat proses penyembuhan. Penelitian sebelumnya menguji pengaruh pemberian infusa daun sirih merah (Piper cf. fragile, Benth) secara topikal terhadap penyembuhan luka pada tikus putih diabet. Hasil penelitian tersebut adalah pemberian infusa daun sirih merah secara topikal dengan konsentrasi 10%, 20% dan 40% memiliki efek penyembuhan luka pada tikus yang dibuat diabetes. Konsentrasi infusa daun sirih merah 40% memiliki pengaruh lebih baik terhadap peningkatan presentase penyembuhan luka dibandingkan infusa daun sirih merah [30] 10% dan 20%. Penelitian yang dilakukan oleh Pramana membuktikan bahwa sediaan salep yang mengandung ekstrak etanol

│84


daun sirih (Piper betle Linn.) dapat mempercepat penyembuhan luka sayat pada mencit galur Swiss Webster betina. Hasil yang terbaik adalah kelompok perlakuan yang diberikan salep ekstrak daun sirih 20% secara topikal. Hasil terbaik setelah kelompok perlakuan salep ekstrak daun sirih 20% adalah povidone iodine 10%, ekstrak daun sirih 10% ekstrak daun sirih 30%, dan terakhir Vaseline album [31] secara topikal. Hasil penelitian ini menunjukkan fakta bahwa terdapat pengaruh ekstrak daun sirih dalam meningkatkan jumlah fibroblas pada luka bakar derajat IIA sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang telah disusun adalah benar. Berdasarkan hasil penelitian pengaruh ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar dapat ditarik kesimpulan bahwa penelitian ini memiliki validitas internal yang tinggi ditandai dengan perbedaan signifikan antar kelompok perlakuan berdasarkan analisis Uji One Way ANOVA. Penelitian ekstrak daun sirih ini mempunyai efek terhadap peningkatan jumlah fibroblas namun masih diperlukan uji lebih lanjut tentang farmakokinetik, farmakodinamik, toksisitas, dan efek ekstrak daun sirih ini pada hewan coba dan clinical trial pada manusia. Aplikasi klinis dari penelitian ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai standarisasi bahan aktif apa saja yang dapat digunakan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui konsentrasi yang aman dan tepat untuk ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) agar dapat berfungsi sebagai obat luka bakar derajat IIA sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan alternatif untuk berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. 3.2 Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti, diantaranya yaitu: 1. Beberapa hasil fotomikroskop yang kurang jelas sehingga dalam mengidentifikasi fibroblas memerlukan ketelitian yang tinggi 2. Konsentrasi yang dipakai dalam penelitian hanya terbatas pada tiga macam konsentrasi.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sediaan salep ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah fibroblas pada luka bakar derajat IIA yang dibuktikan dengan: 1. Pengaruh sediaan salep ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap peningkatan jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA yang ditandai dengan semakin rendah pemberian konsentrasi ekstrak daun sirih akan menyebabkan peningkatan jumlah fibroblas. 2. Jumlah fibroblas antar kelompok perlakuan berbeda signifikan karena tingkat keefektifan dan keoptimalan konsentrasi yang juga berbeda-beda yaitu dengan urutan kelompok perlakuan yang mempunyai hasil jumlah fibroblas terbanyak adalah ekstrak daun sirih konsentrasi 15% ( = 12.95), 30% ( = 10.33), 45% (

= 5.90) dan terakhir Normal Saline

0,9% (

= 4.61).

5. SARAN 1. Diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap uji toksisitas penggunaan ekstrak daun sirih agar pemanfaatan ekstrak daun sirih aman diaplikasikan kepada manusia. 2. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan rentang dosis yang lebih sempit untuk mengamati dose-effect relationship yang lebih jelas agar pemanfaatan ekstrak daun sirih dapat diaplikasikan kepada manusia. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh ekstrak daun sirih (Piper betle Linn.) terhadap jumlah fibroblas luka bakar derajat IIA pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Wistar dalam bentuk sediaan yang lebih sederhana yaitu dekok agar lebih mudah diaplikasikan pada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA 1. Nurdiana, Hariyanto, dan Musrifah. “Perbedaan Kecepatan Penyembuhan Luka Bakar Derajat II Antara Perawatan Luka Menggunakan Virgin Coconut Oil (Cocos nucifera) dan Normal Salin

│85


2. 3. 4. 5.

6. 7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

pada Tikus Putih (Rattus novergicus).” Strain Wistar (2008). 13 Maret 2012 <http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123 456789/18039/1/Perbedaankecepatan-penyembuhan-luka-bakarderajat-II-antara-perawatan-lukamenggunakan-virgin-coconut-Oil%28Cocos-nucifera%29-dan-normalsalin-pada-tikus-putih-%28Rattusnorvegicus%29-strain-wistar.pdf> Betz, C.L. Buku Saku Keperawatan Pediatri, Edisi 5. Jakarta: EGC, 2009. Corwin, E.J. Buku Saku Patofisiologi, Edisi 3. Jakarta: EGC, 2009 Morison, Moya J. Manajemen Luka, Jakarta: EGC, 2003. Guo, S. and DiPietro, L.A. Factors Affecting Wound Healing. J Dent Res, 2010; 89(3): 219-229. Suriadi. Perawatan Luka. Jakarta: Sagung Seto. 2004. Kanazawa, et al. bFGF Regulates PI3-Kinase-Rac1-JNK Pathway and Promotes Fibroblasts Migration in Wound Healing. PLoS One, 2010; 5(8). Djuwita, H., Widyaputri T., Efendi A., Kaiin E.M., dan Nurhidayat. Tingkat Pertumbuhan dan Analisa Protein Sel-Sel Fibroblas Fetal Tikus Hasil Kultur In Vitro. Indonesian Journal of Veterinary Science & Medicine, 2010; 1(2): 9-16. Werner, S., Krieg, T. and Smola, H. Keratinocyte-Fibroblast Interaction in Wound Healing. Journal of Investigative Dermatology, 2007; 127: 998-1008 Porter, S. The Role of The Fibroblast in Wound Contraction and Healing. Wounds UK, 2007; 3(1): 33-40. Moeljanto, R. D. Khasiat & Manfaat Daun Sirih: Obat Mujarab dari Masa ke Masa. Jakarta : AgroMedia Pustaka ; 2003. Sari, R. dan Isadiartuti, D. Studi Efektivitas Sediaan Gel Antiseptik Tangan Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn.). Majalah Farmasi Indonesia, 2006; 17(4): 163-169. Fauzi, A. Aneka Tanaman Obat dan Khasiatnya, Yogyakarta:. Media Pressindo; 2009.

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

14. Senthil, P., Kumar, A.A., Manasa, M., Kumar, K.A., Sravanthi, K., and Deepa, D. Wound Healing Activity of Alcoholic Extract of “Guazuma Ulmifolia” Leaves on Albino Wistar Rats. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2011; 2(4): 34-38. 15. Reddy, B.K., Gowda, S., and Arora, A.K. Study of Wound Healing Activity of Aqueous and Alcoholic Bark Extracts of Acacia catechu on Rats. RGUHS Journal of Pharmaceutical Sciences. 2011; 1(3): 220-225. 16. Toruan, P.L. Fat-loss Not Weight-loss: Gemuk Tapi Ramping. Jakarta : TransMedia Pustaka ; 2007. 17. Kimura, Y., Sumiyoshi, M., Kawahira, K., and Sakanaka, M. Effects of Ginseng Saponins Isolated From Red Ginseng Roots on Burn Wound Healing in Mice. British Journal of Pharmacology, 2006; 148: 860-870. 18. Harborne, J.B. and Williams, C.A. Advances in Flavonoid Research Since 1992. Phytocemistry, 2000,481504. 19. Nafiu, Olugbemiro, Mikhail, A., Adewumi, M., Yakubu, Toyin, M. Phytochemical and Mineral Contituents of Cochlospernum planchonii (Hook. Ef. X Planch) Root. Bioresearh Bulletin. 2011; 5: 51-56. 20. Sheikh, A.A., Sayyed, Z., Siddiqui, A.R., Pratapwar, A.S., and Sheakh, S.S. Wound Healing Activity of Sesbania grandiflora Linn flower Ethanolic Extract Using Excision and Incision Wound Model in Wistar Rats. International Journal of PharmTech Research, 2011; 3(2): 895-898. 21. Yanhendri, S.W.Y. 2012. Berbagai Bentuk Sediaan Topikal dalam Dermatologi. CDK-194, 2012; 39(6): 423-430. 22. Bloom dan Fawcet. Buku Ajar Histologi, Edisi 12. Jakarta : EGC ; 2002. 23. Ambiga, Narayanan, Gowri, D., Sukumar, and Madhavan. Evaluation of Wound Healing Activity of Flavonoids from Ipomoea carnea Jacq. Ancient Science of Life, 2007; XXVI: 45-51. 24. Wahed, R.A. Effect of Crude Saponin Extracted from Alfalfa (Medicago Sativa L) on Neoplastic and Normal

│86


25.

26.

27.

28.

29.

Cell Lines. Journal of Al-Nahrain University, 2009; 12(1): 107-112. Astuti, S.M, Sakinah, M.,Andayani, R., dan Risch, A. Determination of Saponin Compound from Anredera cordifolia (Ten) Steenis Plant (Binahong) to Potential Treatment for Several Diseases. Journal of Agricultural Science, 2011;3(4): 224232. Sriningsih, Adji, H.W., Sumaryono, W., Wibowo, A.E., Caidir, Firdayani, Kusumaningrum, S., Kartakusuma, Pertamawati. Analisa Senyawa Golongan Flavonoid Herba Tempuyung (Sonchus arvensis L.). Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, 2002. Hagerman, A.E. “Tannins as Antioxidants.” (2002). 31 Maret 2013 <http://www.users.muohio.edu/hager mae/Biological%20Activities%20of%2 0Tannins.pdf> Lai, H.Y., Lim, Y.Y and Kim, K.H. Potential Dermal Wound Healing Agent in Blechnum orientale Linn. BioMed Central Complemantary and Alternative Medicine, 2011; 11: 62. Gunawan, W. Kualitas dan Nilai Minyak Atsiri, Implikasi pada

│BIMIKI | Volume 3 No 1 | Januari -Juni 2015

Pengembangan Turunannya. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional dengan tema Kimia Berisi SETS (Science, Environment, Technology, Society) Kontribusi Bagi Kemajuan Pendidikan dan Industri, Himpunan Kimia Indonesia Jawa Tengah, Semarang, 21 Maret 2009 ; 2009. 30. Mun’im, A., Azizahwati, Fimani, A. Pengaruh Pemberian Infusa Daun Sirih Merah (Piper cf. fragile, Benth) Secara Topikal Terhadap Penyembuhan Luka Pada Tikus Putih Diabet,; 2010. (Online), <http://herbalnet.healthrepository.org/ bitstream/123456789/2547/1/WOUND %20HLAING%20%20OF%20SIRIH% 20MERAHrev01.pdf> 31. Pramana, K.A. Efek Sediaan Salep Ekstrak Etanol Daun Sirih (Piper betle Linn.) dalam Mempercepat Penyembuhan Luka pada Mencit Galur Swiss Webster Betina. Tugas Akhir. Tidak diterbitkan. Abstrak. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha, Bandung; 2009.

│87



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.