Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
S u su nan P e ng u r u s Pelindung
Sekretaris Jendral Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI)
Penasehat
Ketut Suardita, drg., PhD., Sp.KG. (Universitas Airlangga)
Pemimpin Umum Ufo Pramigi, S.KG (Universitas Airlangga)
Pemimpin Redaksi Saka Winias, S.KG
Penyunting Ahli
Prof. Dr. M. Rubianto, drg., MS., Sp. Perio (K). (Universitas Airlangga) Titien Hary Agustantina, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga) Markus Budi Rahardjo, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga) Dr. Rini Devijanti, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga) Laksmiari Setyowati, drg., M.S., Sp.KG (K). (Universitas Airlangga) Maretaningtyas Dwi Ariani, drg., Ph.D., Sp.Perio. (Universitas Airlangga) Annisaa Chusida, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga) Wisnu Setyari Juliastuti, drg., M.Kes. (Universitas Airlangga)
Penyunting Pelaksana
Nur Riflianty R, S.KG., Alivy Aulia Azzahra, S.KG., Fitria Rahmitasari, S.KG., Tiarisna H N, Nayu Nur Annisa S, Izzatul Barr El Haq
L a y o u t d a n Ta t a L e t a k Irham M. Adinugraha, Lidyana F., Diesta Dhania Pertiwi, Bandaru Rahmatari
Humas dan Promosi
Moh. Khafid, Imam S. Azhar, S.KG., Ririh Khrisnanti, Novita Aristyanti
Pelaksana Administratif
Elda Yuliantari (Sekretaris), Reindasty T (Sekretaris), Zahrina Sandra (Keuangan) Sekretariat :
Kampus A Universitas Airlangga Jl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47, Surabaya No. Telp. 031-5020251, 5030253, Fax.031-5022472 bimkgi.bimkes.org bimkgi@gmail.com
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[i]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Daftar Isi Susunan Pengurus
i
B e r k a l a I l m i a h M a h a s i s w a K e d o k t e r a n G i g i I n d o n e s i a .......................
Daftar Isi B e r k a l a I l m i a h M a h a s i s w a K e d o k t e r a n G i g i I n d o n e s i a .....................
Sambutan Pimpinan Redaksi
ii iv
S a k a W i n i a s , S K G ..................................................................................
Literature Study : Potensi Kulit dan Biji Kelengkeng (Euphoria longan) sebagai Gel Topikal untuk Mempercepat Penyembuhan Luka Pasca Ekstraksi Gigi Susilawati, Mohammad Khafid, Tiarisna H N, Narendra K W, Chusnul Chotimah
1
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ............
Literature Study : Potensi Pemanfaatan Carbon-14 sebagai Alat Bantu dalam Kedokteran Gigi Forensik Laila Novprianti, Rizki Amalia, Deta Apritantia, Nurtami Soedarsono ..................................................................................................................
4
Literature Study : Pemanfaatan Biji Pepaya (Carica papaya) sebagai Alternatif Mengatasi Halitosis N i r m a l a M a u l i d a K a r i m a t a n n i s a , I s n a d i a N a b a ’ a t i n , D y a h A n d r i a n t i n i ......
10
Research : Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah akibat Aplikasi Graft Hidrogel-CHA pada Soket Pasca Pencabutan Gigi (Kajian in vitro) R i m a C h a e r i y a n a , F a i z n u r R i d h o , D i m a z A . N . B a n d r i a n a n t o . . . ..........
14
Case Report : Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap dengan Menggunakan Centric Tray Sista
P r a s e t y o ...................................................................................
19
Research : Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya) terhadap Pertumbuhan Porphyromonas gingivalis Rahadian
Indra
Jati, Advaitha
Visnu
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
M a n i t i s ................................
24
[ii]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Research : Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava l.) sebagai Bahan Pencegah Karies dengan Menggunakan MTT Assay R e z a D o n y H e n d r a w a n .........................................................................
30
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[iii]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Salam Pimpinan Redaksi “Mewujudkan impian apa pun dibutuhkan usaha. Impian mempunyai kekuatan yang sangat besar hanya ketika diperkuat oleh penelitian, pembelajaran, dan usaha. Jika menjalani setiap proses itu, kita akan mencapai tujuan kita”
T
idak semua orang mempunyai keinginan. Tidak semua orang mempunyai impian. Namun dengan terbitnya berkala ilmiah mahasiswa kedokteran gigi edisi kedua ini membuktikan impian kami mahasiswa kesehatan, khususnya mahasiswa kedokteran gigi telah terwujud yaitu untuk mengembangakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran gigi. Meskipun edisi kedua ini merupakan edisi terakhir bagi kami pengurus perdana berkala ilmiah ini, kami berharap berkala ilmiah ini akan menjadi jauh lebih baik diedisi berikutnya yang akan dilanjutkan pengurus baru. ‘Impian ini masih harus terus tertoreh, bahkan lebih besar’ Perkembangan jaman saat ini telah mengubah dunia dari dunia yang penuh dengan kemanualan menjadi dunia yang penuh dengan otomatisasi hampir dalam setiap aspek kehidupannya. Perkembangan itu ditandai dengan semakin majunya teknologi baik itu teknologi telekomunikasi, maupun teknologi lainnya. Dan untuk itulah BIMKGI (Berkala Ilmiah Mahasiswa kedokteran Gigi) ini terbit untuk memuaskan hasrat keingin tahuan para pembaca akan ilmu-ilmu dan informasi-informasi terkini tentang kedokteran gigi. BIMKGI sebagai sarana publikasi ilmiah dalam dunia kesehatan, kedokteran gigi khususnya sehingga dapat membantu peningkatan keilmuan di dunia kedokteran gigi serta informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru yang mudah diakses, baik untuk antar-mahasiswa, praktisi, dan masyarakat awam di Indonesia. Sebagai pimpinan redaksi saya merasa bangga bentuk kerjasama Redaksi, sebagai satu kesatuan dan keluarga baru yang terus bekerja mengembangkan berkala ilmiah ini, redaksi telah mampu memberikan berbagai inovasi dan kreatifitas untuk terbitnya berkala ilmiah ini. Kami mengucapkan terimakasih dan selamat pada para penulis yang telah bersusah payah menulis dalam pengembangan ilmu dan teknologi dalam bi¬dang kedokteran gigi. Redaksi juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi – tingginya kepada para pakar (Mitra Bebestari) yang telah meluangkan waktunya untuk menilai naskah yang dimuat dalam edisi ini. Kami sebagai pengurus perdana berkala ilmiah ini mengucapkan selamat kepada pengurus baru, semoga bisa menjadi lebih baik pada edisi berikutnya.
“Semua prestasi, semua kesuksesan yang diperoleh bermula dari satu gagasan” Sehingga pada kesempatan ini, redaksi kembali mengundang kepada praktsi, akad¬emisi, peneliti dan mahasiswa di bidang kedokteran gigi untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, maupun ide - ide, gagasan baru dan orisinil. Saatnya kita memberikan kontribusi nyata untuk mengembangkan keilmuan dan teknologi kedokteran gigi. Akhirnya redaksi hanya bisa berharap semoga artikel - artikel ilmiah yang termuat dalam jurnal ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca untuk berperan aktif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang kedokteran gigi. Akhir kata, saya mohon maaf bila terdapat kesalahan pada penulisan, ataupun petikan kata-kata yang terdapat pada BIMKGI edisi ini. Kritikan, saran dan segala kesulitanlah yang senantiasa memapah kami untuk terus belajar bermetamorfosa dan berevolusi secara bertahap dalam mengemban amanah bagaimana mengelola berkala ilmiah ini oleh karena itu, kritik dan saran selalu kami tunggu demi perbaikan pada edisi yang selanjutnya. Together we can, Together we serve the best! Surabaya, 20 Juni 2013 Saka Winias (Pimpinan Redaksi)
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[iv]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Literature Study
Potensi Kulit dan Biji Kelengkeng (Euphoria longan) sebagai Gel Topikal untuk Mempercepat Penyembuhan Luka pasca Ekstraksi Gigi Susilawati, 1 Mohammad Khafid, 1 Tiarisna HN, 1 Narendra K W, 2 Chusnul Chotimah1
Abstract Tooth extraction is one prosedure all most used in dentistry. Dental extractions have been used to treat a variety of illnesses, as well as a method of torture to obtain forced confessions. Following extraction of a tooth, a blood clot forms in the socket, usually within an hour. Bleeding is common in this first hour, but its likelihood decreases quickly as time passes, and bleeding has usually stopped after 24 hours. The raw open wound overlying the dental socket takes about one week to heal. Thereafter, the socket will gradually fill in with soft gum tissue over a period of about one to two months. Final closure of the socket with bony remodelling can take six months or more. Scar post extraction can’t back to normal optimally. 11 billion patient per day feel uncomfort such as pain, odem, and bruised. An to over come this case, some herbal medicine can be use for recover healing in dental post extraction. One of an effective those herbal medicine is Euphoria longan, a popular plant most be found in Indonesia. Usually, people just use pulp longan, wheareas the rind and seed that 17% from longan wight was throw away.Based on some research, rind and seed longan consist of corilagin, galat acid, and ellagat acid which can be antiplasmodial, antimicroba, antioxidant, antiinflamation, and compound to prevent cancer. Chemistry compound rind and seed Euphoria longan can increasing healing process. Anti microbial activity can prevent secunder infection that usually make bad infulence in healing process. Anti oxidant activity will blocked NO production in tissue demage process. Then, anti inflamation process will decrease exudat of acute inflamation and stimuleted limfosit T and macrofag. Rind and seed of Euphoria longan can increasing healing process in dental post extraction. Keyword: rind and seed Euphoria longan, healing, post extraction
Abstrak
Ekstraksi gigi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan di kedokteran gigi. Luka ekstraksi gigi diperkirakan 1-11,5% mengalami penyembuhan yang tidak optimal. Terdapat 11 juta pasien perhari yang mengalami ketidaknyamanan seperti nyeri, pembengkakan, dan memar pasca operasi pencabutan gigi. Untuk mengatasi hal itu, tanaman obat dapat digunakan untuk mempercepat proses penyembuhan luka. Tanaman kelengkeng (Euphoria longan) merupakan tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia. Pada umumnya, masyarakat hanya memanfaatkan daging buah kelengkeng sementara kulit dan biji kelengkeng sebesar 17% dari berat keseluruhan buah hanya berakhir sebagai limbah. Berdasarkan penelitian, kulit dan biji kelengkeng mengandung senyawa corilagin, asam galat dan asam ellagat yang berfungsi sebagai antiplasmodial, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker. Sifat antibakterial, antioksidan dan antiinflamasi pada kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Aktivitas antimikroba mencegah terjadinya infeksi sekunder pada daerah luka yang berpengaruh pada proses penyembuhan. Aktivitas antioksidan akan menghambat produksi NO yang berperan dalam terjadinya kerusakan jaringan. Sedangkan aktivitas antiinflamasi akan mengurangi eksudat inflamasi akut dan menstimulasi aktivasi limfosit T dan makrofag. Kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi. Kata Kunci: luka ekstraksi gigi, kulit dan biji Euphoria longan, antiinflamasi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya Mahasiswa Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya Correspondence: Universitas Airlangga Kampus A Jl. Mayjen.Prof. Dr. Moestopo 47, Surabaya Email : Susilawati_021011009@yahoo.co.id 1 2
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[1]
Potensi Kulit dan Biji Kelengkeng Pendahuluan
Ekstraksi gigi merupakan prosedur yang paling banyak dilakukan di kedokteran gigi dan sering menimbulkan komplikasi.1 Salah satu komplikasi ekstraksi gigi yang sering terjadi adalah perdarahan pada luka pasca ekstraksi. Luka adalah kerusakan jaringan tubuh oleh karena jejas fisik yang menyebabkan terganggunya kontinuitas struktur normal dari jaringan.2 Perawatan luka bertujuan untuk menghentikan perdarahan, membersihkan area luka dari benda asing, sel mati dan bakteri untuk proses penyembuhan. Proses penyembuhan luka pada umumnya akan berjalan secara fisiologis, namun adakalanya proses penyembuhan luka mengalami masalah dan menimbulkan rasa nyeri serta tidak nyaman dalam rongga mulut. Sebagian kecil luka ekstraksi, diperkirakan 1 sampai 11,5% mengalami penyembuhan yang tidak sesuai atau tidak lengkap.1 Friedman (2007) juga berpendapat bahwa terdapat 11 juta pasien perhari yang mengalami ketidaknyamanan seperti nyeri, pembengkakan, dan memar pasca operasi pencabutan gigi molar ketiga. Masalah yang timbul akibat gangguan penyembuhan luka ini akan berpengaruh terhadap produktifitas kerja sang pasien. Untuk mengatasi hal itu, obat herbal dapat digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka. Penggunaan tanaman sebagai obat sudah dikenal luas baik di negara berkembang maupun negara maju. Di Asia dan Afrika 70-80% populasi masih tergantung pada obat tradisional sebagai pengobatan primer.3 Tanaman kelengkeng (Euphoria longan) merupakan tanaman yang banyak ditemukan di Indonesia. Pada umumnya, masyarakat hanya memanfaatkan daging buah kelengkeng sebagai konsumsi buah sehari-hari. Pada pengobatan china, daging buah kelengkeng digunakan sebagai stomachic, febrifuge, vermifuge, dan juga sebagai penangkal racun. Kelengkeng kering juga digunakan sebagai tonik dan perawatan insomnia. Sementara itu, kulit dan biji kelengkeng segar sebesar 17% dari berat keseluruhan buah hanya berakhir sebagai limbah dan bahan bakar.4 Berdasarkan beberapa penelitian ilmiah, kulit dan biji kelengkeng memiliki berbagai senyawa kimia yang dapat dimanfaatkan sebagai obat herbal. Penelitian Jaitrong, et al (2006) melaporkan bahwa kandungan kimia dalam kulit kelengkeng adalah asam galat, glikosida, flavon, dan hidroksinamat dengan kandungan utama flavon berupa kuersetin dan kaemferol. Sedangkan biji kelengkeng mengandung senyawa fenolik seperti corilagin, asam galat, dan asam ellagat sebagai antiplasmodial, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker.5 Beberapa penelitian juga mengindikasikan bahwa asam galat dan asam ellagat ini mempunyai manfaat yang penting bagi kesehatan.4
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan studi pustaka lebih lanjut mengenai kulit dan biji kelengkeng (Euphoria longan (Lour.) Steud) untuk membuktikan bahwa biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.
Pembahasan
Ekstraksi gigi akan menimbulkan luka trauma pada socket gigi dan akan mengalami proses penyembuhan secara fisiologis. Pembuluh darah pada area luka tersebut akan melakukan fungsi hemostatis dengan cara vasokonstriksi dan sekresi faktor-faktor pembekuan darah untuk pembentukan blood clot. Setelah blood clot terbentuk, maka fase inflamasi akan segera dimulai. Pada fase inflamasi ini terjadi pengeluaran berbagai mediator inflamasi yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler.6 Peningkatan permeabilitas kapiler mengakibatkan sel-sel radang seperti PMN, limfosit, dan monosit bermigrasi keluar dari pembuluh darah menuju ke tempat terjadinya luka. Sel-sel radang ini akan memfagositosis bakteri, benda asing dan jaringan yang rusak. Sel radang tersebut akan digantikan oleh sel makrofag pada hari ketiga yang akan menginisiasi fase proliferasi.7 Kulit dan biji kelengkeng diketahui mengandung senyawa fenolik seperti corilagin, asam galat, dan asam ellagat sebagai antiplasmodial, antimikroba, antioksidan, antiinflamasi dan senyawa pencegah kanker.5 Adanya invasi bakteri pada daerah luka akan menyebabkan peningkatan degradasi jaringan dan keterlambatan respon imun host. Aktivitas antimikroba yang terdapat dalam senyawa fenolik ini akan mencegah terjadinya infeksi sekunder pada daerah luka yang berpengaruh pada proses penyembuhan. Sifat antioksidan asam galat dan asam ellagat yang terdapat pada biji kelengkeng menunjukkan adanya hambatan yang signifikan terhadap produksi NO yang berperan dalam terjadinya kerusakan jaringan.8 Penurunan kerusakan jaringan akibat aktivitas antimikroba dan antioksidan ini akan meningkatkan respon imun tubuh sehingga proses penyembuhan dapat berjalan lebih baik. Sedangkan aktivitas antiinflamasi yang dimiliki oleh asam gallat dan asam ellagat ini akan mengurangi eksudat inflamasi akut dan menstimulasi aktivasi limfosit T dan makrofag.9 Sel limfosit T yang teraktivasi ini akan mensekresi limfokin sehingga dapat mengaktifkan lebih banyak makrofag pada daerah luka.10 Makrofag mensekresi growth factor seperti Fibroblast Growth Factor (FGF) , Platelet Derived Growth Factor (PDGF), Transforming Growth Factor β (TGF-β), dan Epidermal Growth Factor (EGF) yang akan menstimulasi lebih banyak fibroblas untuk mensintesis kolagen serta meningkatkan proliferasi pembuluh darah kapiler.11
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[2]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Peningkatan proliferasi fibroblas dan pembuluh darah menyebabkan proses epiteliasasi pada daerah luka berjalan lebih cepat.
Kesimpulan
Kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka ekstraksi gigi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel fibroblas dan sel pembuluh.
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap kulit dan biji kelengkeng (Euphoria longan (Lour.) Steud) untuk membuktikan bahwa kulit dan biji kelengkeng dapat mempercepat proses penyembuhan luka pasca ekstraksi gigi.
Daftar Rujukan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Lanre et al. Clinical Evaluation of Post-Extraction Site Wound Healing. The Jurnal of Contemporary Dental Practice. 2006;7(3):2-3. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Pocket Companion to Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia : WB Saunders;2006.p.46-47. WHO. Traditional medicine. Accesed on October 1st . Available from URL: Http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs134/en/. 2012. Panyathep et al. Antioxidant and anti-matrix metalloproteinases activities of dried longan (Euphoria longana) seed extract. ScienceAsia 39; 2013:12-18. Rangkadilok N et al. Identification and Quantification of Polyphenolic Compounds in Longan (Euphoria longana Lam.) Fruit. A grant from the Chulabhorn Research Institute (N.R., L.W., J.S.) and the Biotechnology and Biological Sciences Research Council, UK (R.N.B.) : Thailand; 2004. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. Alih Bahasa Brahm U Pendit dkk. Jakarta: EGC; 2005.p.57-71. Kumar V, Robbins SL, Cotran RS,. Buku Ajar Patologi Edisi 7 No.1. Jakarta : EGC; 2004.p.80. Huang et al. Antioxidant and Anti-inflammatory Properties of Longan (Dimocarpus longan Lour.) Pericarp. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine; 2012. Miranda et al. Effect of Topical Application of Different Substances on Fibroplasia in Cutaneous Surgical Wounds. Published online 8 February 2012. Vaghasiya, J., Datani, M., Nandkumar, K., Malaviya, S., Jivani, N., 2010. Comparative Evaluation Of Alcoholic And Aqueous Extracts Of Ocimum sanctum L. For Immunomodulatory Activity. International Journal On Pharmaceutical And Biological Research. 2010;1(1).25-29. Diegelmann RF, Evans MC. Wound Healing: An Overview of Acute, Fibrotic, and Delayed Healing. Frontiers in Bioscience. 2004;9:283-289.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[3]
Potensi Penggunaan Carbon-14
Literature Study
Potensi Penggunaan Carbon-14 sebagai Alat Bantu dalam Kedokteran Gigi Forensik Laila Novpriati,1 Rizki Amalia,1 Deta Apritantia,1 Nurtami Soedarsono2
Abstract
Nowadays victims’ identification have used forensic. But, victims’ condition which difficult to identify needs help from forensic dentistry. Forensic dentistry have indetification technique that using antemortem and postmortem tooth record. But, usually the victim’s tooth record can’t be the only guidance, escpecially to determine victim’s age. The purpose of this study literature is to find out the potential use of carbon-14 as aid tool which means indicator or marker to estimate victim’s age. Carbon-14 is a radioactive chemical which is present in atmosfer after nuclear weapon trial during 1950s and 1960s. The concentration of this chemical in the atmosfer distributes in same level because carbon-14 reacts with oxide to be carbon dioxide which assimilited by the plant for photosynthesis. The concentration of carbon-14 level in the body is parallel with the concentration in the atnosfer because human also consume plant and air. Carbon-14 will trap inside tooth enamel, strated from enamel formation until complete enamel layer formation, so carbon-14 will be the accurate indicator to count when is the enamel formation. So that we can conclude that carbon-14 can be used as indicator to estimate victim’s age in forensic dentistry. Keywords : carbon-14, forensic dentistry, enamel
Abstrak
Identifikasi korban di seluruh dunia saat ini sudah menggunakan ilmu kedokteran forensik. Namun, keadaan yang korban yang sulit dilakukan identifikasi akhirnya membutuhkan bantuan ilmu kedokteran gigi forensik. Kedokteran gigi forensik menggunakan teknik identifikasi berdasarkan rekam gigi antemortem dan postmortem. Namun sering kali rekam medik yang dimiliki korban tidak dapat sepenuhnya dijadikan acuan, terutama untuk mengetahui usia korban. Tujuan kajian pustaka ini adalah untuk membahas potensi penggunaan carbon-14 sebagai alat bantu berupa marker untuk mengetahui usia korban identifikasi. Carbon-14 adalah senyawa radioaktif yang terdapat di atmosfir setelah diadakan uji coba nuklir di antara tahun 1950an-1960an. Jumlah senyawa ini di udara cukup merata karena carbon-14 bereaksi dengan oksida menjadi karbon dioksida yang diserap tumbuhan untuk fotosintesis. Jumlah carbon-14 di dalam tubuh manusia juga paralel dengan jumlah carbon-14 di udara karena manusia mengkonsumsi tumbuhan dan udara. Carbon-14 ini akan terperangkap dalam email dimulai dari pembentukan email hingga lengkapnya peletakan lapisan email, sehingga carbon-14 ini akan menjadi acuan yang tepat untuk menghitung kapan dimulainya pembentukan email. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa carbon-14 dapat digunakan sebagai marker estimasi usia korban dalam kedokteran gigi forensik. Kata kunci : carbon-14, kedokteran gigi forensik, email, Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Correspondence: Universitas Indonesia Jl. Salemba Raya No. 4 Jakarta Pusat No. Tlp. (021) 31930270 Fax (021) 31931413 1 2
E-mail : laila_novpriati81@yahoo.com
Pendahuluan
Berbagai macam bencana di Indonesia sudah menjadi problematika yang tak bisa dielakkan. Bencana tersebut dapat terjadi secara natural (alam) atau diakibatkan oleh human error (kecelakaan). Untuk kasus bencana alam, Indonesia yang memang merupakan daerah rawan bencana dengan angka kejadian bencana yang cukup tinggi dan menelan banyak korban jiwa. Kasus bencana tersebut antara lain bom Bali I (2002), peledakan Hotel JW Marriot
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
(2003), Bom Bali II (2005), bencana Tsunami Aceh (2004) dan jatuhnya pesawat Garuda Indonesia GA-152 (2007) serta pesawat Sukhoi Superjet 100 (2012). 1 Permasalahan utama yang sering terjadi saat bencana adalah sulitnya mengindentifikasi korban yang tidak dikenal. Ilmu kedokteran forensik memang sudah digunakan secara luas dalam identifikasi. Di Indonesia, permasalahan yang sering terjadi adalah kurangnya barang bukti yang bisa digunakan
[4]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia untuk mengidentifikasi korban. Dalam hal ini sangat dibutuhkan bantuan ilmu kedokteran gigi forensik. Dalam kedokteran gigi forensik, gigi geligi digunakan sebagai bagian tubuh manusia yang berperan vital dalam proses identifikasi. Keunggulan yang dimiliki oleh gigi geligi yaitu gigi merupakan bagian terkeras dari tubuh manusia yang sebagian besar terdiri dari bahan anorganik sehingga tidak mudah rusak, apalagi secara anatomis didukung dengan letak lengkungan gigi yang terlindung dengan otot, bibir dan pipi. Selain itu, Sims dan Furnes juga menyatakan bahwa setiap manusia memiliki struktur dan bentuk gigi yang berbeda dengan yang lain dengan kemungkinan satu berbanding dua milyar.2 Gigi geligi dapat digunakan untuk mengidentifikasi khususnya usia korban. Dalam perkembangannya, usia diidentifikasi melalui pengamatan pada proses pertumbuhan dan perkembangan gigi manusia yang dikategorikan dalam beberapa periode. Penyelidikan menjadi sulit ketika korban yang diidentifikasi telah memasuki usia dimana gigi tetap telah mengalami erupsi secara sempurna dan menyeluruh. Dalam hal ini memang telah diterapkan metode lain dengan mengamati indikator seperti atrisi, penurunan tepi gingiva, pembentukan dentin sekunder dan tersier, transparansi dentin dan penyempitan foramen apikalis. Namun, tetap dibutuhkan metode lain agar proses identifikasi usia dapat diketahui secara tepat dan akurat. Minimnya informasi melalui rekam medik antemortem juga menjadi salah satu faktor penghambat dalam proses identifikasi usia korban.3 Carbon-14 merupakan senyawa yang dapat menjadi marker yang membantu proses identifikasi estimasi usia manusia melalui gigi geligi. Faktanya, jumlah carbon-14 dalam tubuh manusia paralel dengan jumlah carbon-14 di udara. Senyawa radioaktif ini akan terperangkap dalam email gigi sejak pertama kali pembentukan email terjadi. Proses inilah yang mendasari carbon-14 untuk dijadikan marker dalam mengidentifikasi usia. Oleh karena itu, tinjauan pustaka ini ditulis untuk menjelaskan peran carbon-14 sebagai marker estimasi usia manusia dalam kedokteran gigi forensik.
penilaian dan penemuan-penemuan kedokteran gigi untuk kepentingan peradilan. Furuhata dan Yamamoto (1967) mengatakan bahwa kedokteran gigi forensik adalah cabang dari ilmu kedokteran kehakiman yang menggunakan pengetahuan kedokteran gigi dalam memecahkan masalah hukum dan kejahatan. Berdasarkan definisi tersebut maka kedokteran gigi forensik tidak hanya terbatas pada proses identifikasi korban melalui gigi geligi saja tapi juga meliputi kasus-kasus yang diakibatkan oleh dental injury, malpraktek, serta kasus penipuan dalam bidang kedokteran gigi.
B. Estimasi Usia
Dalam forensik kedokteran gigi, usia adalah salah satu faktor penting untuk menentukan identitas korban. Prakiraan usia manusia adalah suatu prosedur yang diadopsi oleh para antopolog, arkeolog dan ilmuwan forensik. Banyak prosedur yang dapat ditempuh dalam menentukan usia seseorang antara lain dari penutupan sutura tengkorak, penyatuan epifisis dan diafisis tulang panjang, permukaan simfisis pubis serta gigi geligi seseorang.4 Estimasi usia didasarkan pada gigi geligi seseorang menjadi sangat penting terutama jika bahan lain yang diperlukan untuk identifikasi korban telah rusak, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat, kebakaran atau tubuh korban yang sudah membusuk. Gigi geligi adalah jaringan yang relatif masih utuh, karena dilindungi oleh email yang merupakan jaringan terkeras dari gigi.4
C. Metode yang Dapat Digunakan Untuk Menentukan Usia
Pemeriksaan identifikasi odontologis korban dilakukan berdasarkan perbandingan yang sistematik dari karakteristik gigi dan mulut individu serta didukung oleh gambaran radiograf. Penentuan usia korban atau lebih tepatnya perkiraan usia dapat dilakukan melalui pemeriksaan gigi-geligi dengan beberapa pendekatan, yaitu :
a) Klinis / Morfologi 1) Melihat pertumbuhan perkembangan gigi2
dan
Tinjauan Pustaka A. Ilmu Kedokteran Gigi Forensik Perkembangan gigi mulai dapat dipantau Menurut Keiser Nielsen (1970), sejak mineralisasi gigi susu, yaitu usia empat kedokteran gigi forensik merupakan cabang bulan dalam kandungan hingga mencapai saat dari ilmu kedokteran gigi yang meneliti buktibukti kejahatan yang berhubungan dengan gigi geligi, kemudian dinilai dan dilaporkan untuk proses peradilan. Paderson (1969) mendefinisikan kedokteran gigi forensik sebagai bagian dari ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan
sempurnanya gigi molar kedua tetap. Pemanfaatan molar ketiga mulai terbatas karena sudah mulai banyaknya molar tersebut yang tidak tumbuh sempurna. Sehubungan dengan ini dikenal beberapa tahap yang dapat dipantau dengan baik, yaitu: 1) Intrauteri: dipantau melalui sediaan, dengan
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[5]
Potensi Penggunaan Carbon-14 2)
3)
4)
5)
6)
melihat tahap mineralisasi gigi dapat diketahui usia kandungan. Postnatal tanpa gigi: berkisar antara usia 0 – 6 bulan, yaitu saat tumbuhnya gigi susu yang pertama. Penentuan usia secara tetap disini masih memerlukan sediaan mikroskopis dengan melihat mineralisasi. Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan terhadap tahap perkembangan gigi yang belum tumbuh atau masih di dalam tulang dengan bantuan radiograf. Masa pertumbuhan gigi susu: berkisar antara usia 6 bulan – 3 tahun, saat bermunculannya gigi susu ke dalam mulut. Dengan memperhatikan gigi mana yang sudah tumbuh dan belum tumbuh, usia dapat diperkirakan dengan kisaran yang relatif sempit. Masa statis gigi susu: berkisar antara usia 3 – 6 tahun. Pada masa ini penentuan usia melihat tingkat keausan gigi susu dan jika diperlukan dengan bantuan roentgen untuk melihat tahap pertumbuhan gigi tetap. Masa gigi-geligi campuran: berkisar antara 6 – 12 tahun. Pada masa ini usia dapat dilihat dari gigi susu yang tanggal dan gigi tetap yang tumbuh. Masa penyelesaian pertumbuhan gigi tetap: yaitu saat tidak adanya gigi susu yang tanggal dan selesainya pembentukan akar gigi yang terakhir tumbuh, yaitu molar kedua tetap.
2) Metode Gustafson
meluas ke arah mahkota gigi. 6) Penyempitan atau penutupan foramen apicalis: akan semakin menyempit dengan bertambahnya usia dan bahkan akan menutup. Garis besar yang perlu diperhatikan dalam penentuan usia dengan gigi setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai adalah sebagai berikut (Harmaini, 2001): 1) Keausan pada gigi menunjukkan seseorang berusia di atas 50 tahun. 2) Banyaknya tulang yang hilang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun. 3) Penutupan foramen apicalis molar ketiga tidak terjadi sebelum usia 20 tahun.
b) Biokimia 1) Rasemisasi Asam Aspartat
Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh Helfman dan Bada (1976). Analisis rasemisasi asam aspartat telah dilakukan pada email gigi maupun mahkota dentin. Dibandingkan dengan metode klinis atau morfologi, metode rasemisasi asam aspartat memiliki batas error yang kecil hanya ± 3 tahun dan ± 1- 2 tahun.5 Penggunaan metode ini membutuhkan waktu yang lama karena gigi harus dicabut dan tidak dapat dilakukan bila individu masih hidup.5
2) Radiocarbon dating Carbon-14
Metode radiocarbon dating menggunakan carbon-14 adalah metode yang relatif baru. Metode ini diperkenalkan sejak tahun 2005 dan saat in terus diuji coba untuk digunakan dalam kedokteran gigi forensik. Sama halnya seperti rasemisasi asam aspartat, metode ini juga membutuhkan waktu yang lama karena gigi harus dicabut dan tidak dapat dilakukan bila individu masih hidup.5
2
Setelah masa pertumbuhan gigi tetap selesai, maka pertumbuhan dan perkembangan gigi tidak banyak lagi memberikan bantuan untuk menentukan usia karena kondisinya dapat dikatakan menetap. Untuk itu Gustafson (1950) menemukan 6 metode dalam menentukan usia: 1) Atrisi: akibat penggunaan rutin pada saat makan, sehingga permukaan gigi mengalami keausan. 2) Penurunan tepi gusi: sesuai dengan pertumbuhan gigi dan pertambahan usia, maka tepi gusi (margin-gingivalattachment) akan bergerak ke arah apikal. 3) Pembentukan dentin sekunder: sebagai upaya perlindungan alami pada dinding pulpa gigi akan dibentuk dentin sekunder yang bertujuan menjaga ketebalan jaringan gigi yang melindungi pulpa. Semakin tua seseorang semakin tebal dentin sekundernya. 4) Pembentukan semen sekunder: dengan bertambahnya usia, maka semen sekunder di ujung akar pun bertambah ketebalannya. 5) Transparansi dentin: karena proses kristalisasi pada bahan mineral gigi, maka jaringan dentin gigi berangsur menjadi transparan. Proses transparan ini dimulai dari ujung akar gigi
c) Radiografis
Metode identifikasi dengan pemeriksaan radiografis tidak membutuhkan pencabutan gigi dan dapat dilakukan pada individu yang masih hidup. Metode ini tidak membutuhkan waktu lama. Pemeriksaan radiografis merupakan metode non invasif yang memiliki peran penting untuk melihat fakta yang tersembunyi.1
d) Histologis
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
Pertambahan usia secara histologis dapat dilihat dengan ukuran ruang pulpa gigi. Semakin bertambahnya usia, ukuran ruang pulpa semakin berkurang karena bertambahnya usia. Solheim (1992) telah melakukan penelitian terkait usia secara histologis dengan menggunakan dentin sekunder. Sedangkan Murray (2002) telah
[6]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia membuktikan bahwa densitas sel odontoblas, sel subodontoblas dan sel fibroblas berhubungan dengan usia kronologis manusia.1
D. Carbon-14 a) Carbon-14
Carbon-14 adalah karbon isotop radioaktif yang terbentuk secara alamiah. Isotop adalah bentuk berbeda dari elemen dengan jumlah proton yang sama di nukleus (nomor atom) tapi dengan nomer neutron yang berbeda (berat atom). Nukleus dalam carbon-14 mengandung 6 proton dan 8 neutron. Memang masih ada beberapa tipe isotop karbon yang bersifat radioaktif, namun isotop ini bersifat jangka pendek. Sebagai contoh carbon 11 yang memiliki waktu paro antara 20 menit hingga kurang dari sedetik.6 Berikut tabel spesifikasi sifat material carbon-14.
tersebut lahir. Radiocarbon dating menentukan usia seseorang dengan mengukur jumlah konsentrasi carbon-14 yang terdapat pada email.9 Carbon-14 dapat masuk ke tubuh manusia dengan cara bernafas, makan dan minum.6 Buchholz dan Splanding menyebutkan bahwa kapan terjadinya pembentukan jaringan atau biomolekul tertentu dapat diperkirakan dari bomb-curved dengan mempertimbangkan kelambanan bergabung dengan karbon lain dan menghubungkan konsentrasi carbon-14 sesuai waktu.9 Bomb-curved adalah grafik yang menunjukan waktu ketika radiocarbon yang bergabung dengan seluruh makhluk hidup.10 Email yang diisolasi dari manusia diproses untuk membentuk grafit dan diukur level carbon-14 dengan menggunakan Accelerator Mass Spectrometry (AMS).9
Tabel 1 Spesifikasi sifat Carbon-14 Keterangan : Ci = Curie, g = gram dan MeV = million electron volts6
b) Cara pemeriksaan
Peterson menjelaskan bahwa carbon-14 terbentuk sebagai hasil reaksi neutron terhadap sinar kosmik dengan nitrogen. Jumlah carbon-14 yang dalam keadaan stabil di biosfer adalah sekitar 300 juta Ci, dan terbanyak berada di samudra. Jumlah ini semakin meningkat sejak percobaan senjata nuklir.6 Percobaan senjata nuklir pada tahun 1950an hingga 1960an selama Perang Dingin telah mengubah jumlah carbon-14 yang tercatat secara global.7 Peristiwa itu telah menambah jumlah carbon sekitar 9,6 juta Ci atau meningkat sekitar 3% dari level stabil di biosfer.6 Pertambahan tersebut mencapai puncak pada tahun 1963, kemudian jumlah carbon-14 di udara kembali menurun. Jumlah carbon-14 di udara yang menurun tidak berarti bahwa carbon-14 hilang sama sekali, namun berpindah dari atmosfer karena tercampur dengan karbon di samudra.7 Radiocarbon dating menggunakan waktu paro carbon-14 untuk menemukan usia perkiraan objek organik tertentu yang telah berusia 40.000 tahun lebih atau kurang. Disebut usia perkiraan atau estimasi karena ada variabel tertentu yang menyebabkan error atau tidak akuratnya dating tersebut.8 Metode radiocarbon dating ini dikembangkan setelah Perang Dunia II oleh Willard F. Libby dan pekerja pembantunya untuk membantu pekerjaan mereka di bidang arkeologi, geofisis, geologi dan cabang ilmu pengetahuan lainnya.8 Selanjutnya, radiocarbon dating mulai digunakan oleh kedokteran gigi forensik sebagai metode untuk menentukan usia seseorang atau kapan orang
Gambar 1. Kurva Kaliberasi carbon-14 oleh Stuiver et al yang dikutip oleh Wild et al.8 Keterangan : Kurva ini menunjukkan jumlah karbon di biosfer. Terlihat puncak kurva terjadi selama 70 tahun terakhir (gambar insert). Sumber : Jurnal 14C dating with the bomb peak: An application to forensic medicine
Gambar 2 Bomb-curved carbon-14 yang dicatat dari belahan bumi utara. Kurva ini menunjukkan puncak akumulasi karbon pada tahun 1963. Kurva ini yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan tanggal lahir dan usia seseorang hingga waktu kematiannya. Diadaptasi dari Levin dan Kromer (2004) dan Stuiver et al, (1998a) yang dikutip oleh Ubelaker dan Buchholz (2011).10
Pembentukan email pada manusia terjadi selama beberapa tahun. Setelah dibentuk pada masa kanak-kanak dan remaja, tidak akan
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[7]
Potensi Penggunaan Carbon-14 ada pembentukan kembali lapisan email selama hidup dan konsentrasi carbon-14 pada email akan menggambarkan konsentrasi carbon-14 pada sumber makanan selama masa pembentukan email.9 Selain itu, tidak akan ada pertukaran karbon pada gigi yang emailnya sudah terbentuk sempurna selama hidup dan umumnya setelah mati.10 Oleh sebab itulah kenapa lapisan email yang dipilih untuk melihat konsentrasi carbon-14. Buchholz dan Splanding menyatakan bahwa dalam kepentingan radiocarbon dating, kita dapat menggunakan batas atas waktu pembentukan email (contoh saat peletakan email selesai) yang menyeimbangkan jumlah periode kelambanan bergabungnya carbon-14 dari atmosfer ke tubuh.9
menyebabkan terjadinya error saat radiocarbon dating yaitu jumlah carbon-14 yang tidak stabil di atmosfer. Proporsi carbon-14 di atmosfer sepanjang sejarah tidak diketahui. Perbandingan proporsi carbon-14 dibandingkan carbon-12 pun diketahui selalu bervariasi dan kurva yang terbentuk tidak normal. Sehingga hasil pengukuran pun terkadang jauh dari tanggal lahir yang akurat. 2. Hasil analisisnya terbatas hanya untuk subjek yang lahir setelah tahun awal 1940an.10 Percobaan senjata nuklir baru dimulai pada tahun 1950an hingga 1960an dan mencapai puncak pada tahun 1963, oleh sebab itu hanya subjek yang lahir setelah awal tahun 1940an yang dapat dianalisis berdasarkan kalkulasi bombcurved. 3. Variabel lain yang dapat berpengaruh dalam proses pembentukan email.12 Jenis makanan, perawatan kesehatan, pola pertumbuhan dan remodeling serta waktu kematian yang terjadi selama proses pembentukan email dapat mempengaruhi level carbon-14 dalam tubuh.
Pembahasan
Tingginya angka bencana dan menyebabkan kematian di Indonesia, menyebabkan forensik kedokteran gigi berperan penting dalam membantu proses identifikasi korban bencana massal di Indonesia. Salah satu teknik identifikasi yaitu dengan menentukan umur dari korban yang ditemukan. Dengan memanfaatkan carbon-14 kita dapat mengetahui tahun kelahiran seseorang.11 Alkass K et al menyatakan bahwa ada tiga alasan yang mendukung penggunaan radiocarbon dating dengan carbon-14 di masa sekarang, yaitu :10 1. Status kesehatan gigi di populasi semakin baik karena lebih efektifnya kontrol karies dan usaha kesehatan preventif. 2. Populasi yang terpapar radiocarbon bomb spike semakin meningkat dari waktu ke waktu, hal ini berarti tubuh yang meninggal dan tidak diketahui identitasnya diperkirakan semakin banyak menunjukkan sisa akumulasi carbon-14. 3. Presisi dari analisis AMS (Accelarator Mass Spectrometry) semakin meningkat menunjukkan sedikitnya kebutuhan jumlah email yang digunakan untuk analisis. Untuk kasus identifikasi yang dapat memanfaatkan carbon-14 sebagai marker alami yang terdapat dalam tubuh manusia hanya terbatas pada kasus korban yang telah meninggal dunia, karena metode radiocarbon dating diterapkan pada email gigi maka tidak terbatas apabila korban ditemukan beberapa tahun setelah kematian. Karena struktur email gigi tidak akan berubah.12 Namun selain alasan yang mendukung tersebut, ditemukan juga beberapa hal yang menjadi kendala dari penggunaan Carbon-14 dalam Radiocarbon dating, yaitu: 1. Jumlah carbon-14 yang tidak stabil di atmosfer7 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya ada variabel yang
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa carbon-14 dapat digunakan sebagai alat bantu dalam artian marker (penanda) alami estimasi usia korban dalam kedokteran gigi forensik.
Daftar Rujukan
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
1. Nehemia, B. Prakiraan usia berdasarkan metode TCI dan studi analisis histologis ruang pulpa pada usia 9-21 tahun. Tesis. Jakarta : Magister Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia; 2012 2. Metzger, Z., Buchner, A., and Gorsky, M. Gustafson’s Method for Age Determination from Teeth—A Modification for the Use of Dentists in Identification Teams. 1980;25:742-749 3. Vystreilova M., Novotmy V. Estimation of age at death using teeth. Variability and Evolution. 2000;8:39-49 4. Mindya, Y. Perkiraan Usia berdasarkan Gambaran Radiografis dari Panjang dan Medium Pertumbuhan Gigi Molar 2 dan Molar 3 Rahang Bawah. Jakarta : Universitas Indonesia; 1991. 5. Alkass K, et al. Age Estimation in Forensic Sciences: Application of Combined Aspartic Acid Ramization with Radiocarbon Dating Analysis. Cited : 9
[8]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Agustus 2012. Available from : URL: http://www.mcponline.org. 6. Perterson J, et al. Radiological and Chemical Fact Sheets to Support Health Risk Analyses for Contaminated Areas. Cited : 9 Agustus 2012 ; page 11-12. Available from : URL : http://www. ead.anl.gov/pub/doc/carbon14.pdf. March 2007. 7. ScienceDaily. Putting Teeth into Forensic Science. [Internet]. Available from : URL: http://www. sciencedaily.com/releases/2010/05/100519143405.htm. June 16, 2010. [diunduh 24 Agustus 2012]. 8. NDT Resource Center. Carbon-14 Dating. [Internet]. Cited : 9 Agustus 2012. Available from : URL: http://www.ndt-ed.org/EducationResources/CommunityCollege/Radiography/Physics/ carbondating.htm. August 28, 2010. 9. Buchholz BA, Spalding KL. Cited: 16 March 2006. Year of Birth Determination Using Radiocarbon Dating of Dental Email.. [LLNL-JRNL-411266] 10. Ubelaker DH, Buchholz BA. Complexities in the Use of Bomb-Curve Radiocarbon to Determine Time Since Death of Human Skeletal Remains. Cited : 25 Agustus 2012. Available from : URL: https://e-reports-ext.llnl.gov/pdf/319544.pdf. May 11, 2005. 11. Buchholz, B A. Carbon-14 Bomb Pulse Dating. Cited : 18 December 2007. Livermore :Wiley Encyclopedia of Forensic Science. 12. Wild EM, et al. 14C dating with the bomb peak: An application to forensic medicine. Cited : 25 August 2012. Available from :URL: http://144.206.159.178/ft/788/29678/512496.pdf. 2000.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[9]
Pemanfaatan Biji Pepaya
Literature Study
Pemanfaatan Biji Pepaya (Carica papaya) sebagai Alternatif Mengatasi Halitosis Nirmala Maulida Karimatannisa1, Isnadia Naba`atin1, Diah Andryantini1
Abstract
Halitosis often occurs in adulthood that can be periodic or can also be persistent, depending on the cause. Anaerobic gram-negative bacterial colonization is the msain causes of halitosis. Anaerobic gramnegative bacteria can break down proteins into malodorous gases known as volatile sulfur compounds (VSCs). VSCs consist of gases H2S, CH3SH, and (CH3) 2S which is a bacterial product. Seeds of papaya (Carica papaya) is part of the papaya fruit that has not used. In papaya seeds contain saponin compound that has a function as an antimicrobial. This study aims to assess the utilization of papaya seeds as an alternative to cope with halitosis. Saponins have the aglycon molecule can enter into the lipid bilayer so that dissolve fat. The molecule can also draw water that eventually led to increased permeability of cell membranes. Increased permeability of bacterial cells can alter the structure and function of membranes, resulting in protein denaturation so that the membrane of the bacterial cell membrane damage and lysis. Based on the above study, it was concluded that the saponins contained in papaya seeds can be utilized as an alternative to overcome halitosis through antimicrobial mechanisms by suppressing the growth of anaerobic gram-negative bacteria that produce VSCs gases Keyword : halitosis, VSC’s, papaya’s seed, saponin, antimikroba
Abstrak
Halitosis atau bau mulut merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan bau tidak sedap yang dihembuskan ketika bernapas. Halitosis sering terjadi pada usia dewasa yang dapat bersifat periodik atau juga bisa persistent, tergantung penyebabnya. Penyebab utama halitosis adalah kolonisasi bakteri anaerob gram negatif diantaranya adalah Prevotella melanogenica, dan Fusobacterium nucleatum. Bakteri-bakteri ini dapat mengurai protein menjadi gas berbau tidak sedap dan mudah menguap yang dikenal dengan volatile sulfur compounds (VSCs). VSCs terdiri dari gas H2S, CH3SH, dan (CH3)2S. Biji pepaya merupakan bagian dari buah pepaya yang belum dimanfatkan. Pada biji pepaya mengandung senyawa saponin yang memiliki fungsi sebagai antimikroba. Saponin memiliki molekul aglycon yang dapat masuk ke dalam lipid bilayer sehingga melarutkan lemak. Selain itu, molekul tersebut juga dapat menarik air yang akhirnya menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel yang mengakibatkan denaturasi protein membran sehingga membran sel bakteri rusak dan lisis. Kesimpulannya, dari mekanisme antimikroba saponin yang terkandung pada biji pepaya dapat dimanfaatkan untuk menekan pertumbuhan bakteri anaerob gram negatif yang menghasilkan gas VSCs. Bau tidak sedap dari mulut akan menghilang seiring dengan tidak terbentuknya gas VSCs. Kata kunci : halitosis, VSC’s, biji pepaya, saponin, antimikroba Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember Correspondence : FKG Universitas Jember Jl. Kalimantan I No. 58 Jember, Jawa Timur 68121 Email :tacky.marshall17@gmail.com 1
Pendahuluan
Kesehatan Mulut (oral health) tidah hanya sebatas memiliki gigi yang sehat saja melainkan juga bebas dari seluruh penyakit mulut termasuk bebas dari kondisi halitosis (nafas bau).1.2 Sampai saat ini halitosis merupakan salah satu masalah kesehatan mulut yang banyak dikeluhkan masyarakat setelah karies dan penyakit periodontal. Halitosis memiliki
prevalensi yang tinggi, mencapai separuh populasi yaitu berkisar antara 50%-60% dari seluruh populasi.3 Menurut Tonzetich halitosis ditemukan pada 50% populasi orang dewasa, sedangkan pada anak-anak hingga saat ini belum dilaporkan prevalensinya.4 Beberapa penulis menyatakan bahwa mayoritas manusia mengalami halitosis terutama pada saat bangun tidur ataupun setelah memakan jenis makanan tertentu. Penulis lain
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[10]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia menyatakan setidaknya 50% populasi mengalami halitosis, separuhnya (25% populasi) mengalami halitosis yang agak parah.5,6 Halitosis harus segera diatasi karena dapat mengakibatkan gangguan pada interaksi sosial, rasa malu, putus asa, frustasi dan mengakibatkan terkucilnya seseorang dalam pergaulan.7,8 Diantara berbagai penyebab halitosis, kolonisasi bakteri merupakan penyebab utama. Bakteri yang terkait dengan halitosis adalah bakteri anaerob gram negatif, yang dapat mengurai protein menjadi senyawa yang berbau tidak sedap, mudah menguap yang dikenal sebagai volatile sulfur compounds (VSCs). Suatu penelitian di Jepang yang dilakukan 2672 orang dengan mengukur konsentrasi VSC menunjukkan 6-23% subyek menderita halitosis. Di negara berkembang seperti Indonesia, persentase masyarakat yang menderita halitosis juga sangat tinggi, contohnya di kelurahan Tebet Jakarta ditemukan rata-rata konsentrasi VSC mencapai 105ppb.9,10 Walaupun prevelansi penderita halitosis cukup tinggi, banyak penderita yang hanya berusaha menyembunyikan atau mengurangi bau mulut tanpa diikuti dengan usaha menganggulangi penyebab utamanya, bahkan sebagian besar dari penderita halitosis malah tidak menyadari bahwa mereka menderita halitosis.11,12 Salah satu tindakan yang dapat dilakukan untuk pencegahan dan penanganan halitosis dengan mengurangi jumlah bakteri serta menghambat aktivitas bakteri dengan menggunakan obat kumur antimikroba.12 Namun demikian, dewasa ini penggunaan antibiotik sudah mulai dikurangi karena adanya kekhawatiran akan meningkatnya mikroorganisme patogen yang resistensi terhadap antibiotik, sehingga banyak dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan bahan alternatif lain. 13,14,15
Saat ini budaya kembali ke alam atau “back to nature� sangat populer dan dianjurkan oleh pemerintah Indonesia. Masyarakat lebih memilih terapi dengan menggunakan bahan-bahan dari alam daripada bahan kimia sintetik yang memiliki efek samping. Salah satu bahan alami yang belum dimanfaatkan masyarakat pada umumnya dan diduga dapat mengatasi halitosis adalah biji pepaya (Carica papaya). Berdasarkan analisis fitokimia biji pepaya kaya akan berbagai senyawa kimia termasuk alkaloid, flavonoid, tannin, saponin. Ekstrak etanol dan ekstrak air biji pepaya diketahui sebagai bahan antimikroba dan anti fungi.16 Sedangkan salah satu kandungan senyawa kimia yang bersifat anti bakteri pada biji pepaya adalah saponin.17 Karya tulis ini dibuat untuk mengkaji kandungan saponin biji pepaya sebagai alternatif mengatasi halitosis.
Pembahasan Halitosis
merupakan
bau
tidak
enak
yang
dikeluarkan dari mulut yang dapat bersifat periodik atau juga bisa persisten, tergantung penyebabnya. Di kebanyakan pasien penderita halitosis, jumlah bakteri yang tinggal di dalam rongga mulut merupakan penyebab primer dari halitosis.18 Sembilan puluh persen kasus halitosis berasal dari dalam mulut, yaitu dari lapisan lidah, celah gingival dan poket periodontal. Penyebab utama halitosis adalah kolonisasi bakteri, baik di lidah, poket, permukaan gigi, mukosa pipi, dan sebagainya. Sedangkan Faktor lain penyebab halitosis adalah faktor fisiologis dan patologis. Faktor fisiologis adalah kurang aliran ludah selama tidur, makanan/ minuman, kebiasaan merokok, dan menstruasi. Sedangkan faktor patologis dibedakan atas penyebab lokal, dan penyebab sistemik. Penyebab lokal seperti, karies gigi, kebersihan mulut yang buruk, periodontitis, mulut kering, gigi tiruan, dan lidah berambut. Penyebab sistemik halitosis yaitu, akibat berbagai infeksi atau lesi dari saluran napas, antara lain bronkitis, pneumonia.19 Bakteri yang sangat terkait dengan adanya halitosis adalah bakteri anaerob gram negatif, yang dapat mengurai protein menjadi senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap. Produk gas yang mudah menguap ini dikenal sebagai volatile sulfur compounds (VSCs). Adapun jenis mikroorganisme yang tergolong gram negatif penghasil VSC diantaranya adalah Prevotella melanogenica, Fusobacterium nucleatum, Viellonella alcalescene dan Klepsiella pneumonia. Sementara golongan gram positif seperti Streptococcus sanguis, Streptococcus salivarius, Streptococcus mutans, Lactobacillus naeslundii, Lactobacillus acidophilus, Streptococcus aureus, C. albicans, tidak dapat menghasilakn VSC.8 Aktivitas bakteri anaerob dalam rongga mulut bereaksi dengan protein yang diperoleh dari sisa makanan, sel darah yang mati, ataupun sel epitel yang terlepas dari mukosa mulut. Disamping itu dalam saliva pun terdapat subtrat yang mengandung protein. Dari beberapa faktor yang dapat menyebabkan halitosis, gas VSCs adalah faktor yang paling banyak dikemukakan. VSCs terbentuk dengan adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri anaerob yang ada dalam rongga mulut.8 Beberapa mikroorganisme yang ditemukan pada lesi gingivitis dan periodontitis berkaitan erat dengan tingginya produksi VSCs. Karena prevalensi gingivitis dan periodontitis tinggi, maka hal ini menyebabkan tingkat halitosis juga tinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu bahan alternatif yang dapat mencegah timbulnya halitosis oleh karena aktivitas bakteri. Saponin dari biji pepaya diduga dapat mengurangi jumlah bakteri penyebab halitosis ini. Berdasarkan analisis fitokimia biji pepaya kaya akan berbagai senyawa kimia termasuk alkaloid, flavonoid, tannin, saponin. Tabel 1: Perkiraan kuantitatif konstituen fitokimia
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[11]
Pemanfaatan Biji Pepaya dari biji Carica papaya. Menurut Morrissey (1999), saponin menunjukkan dosis responsif yang efektif dalam menghambat aktivitas bakteri yang lebih sensitive dalam menghambat bakteri gram negative daripada bakteri gram positif pada konsentrasi dengan
mengubah fosfolipid dan membentuk suatu produk foslipid yang telah rusak seperti asam fosfolipid. Aktivitas dari enzim ATPase juga diubah sehingga mempengaruhi transpor ion.27 Dengan adanya aktivitas antibakteri dari saponin pada biji papaya yang efektif terhadap bakteri gram negatif, maka bakteri penghasil gas VSC yang tak sedap dapat dihilangkan sehingga halitosis teratasi.
Kesimpulan
rentang 2,5-10 mg/ml.21 Saponin merupakan senyawa glycoside yang struktur kimianya tersusun atas fat-soluble nucleus (aglycon) baik triterpenoid (C-30) atau netral atau steroid alkaloid (C-27) yang berikatan dengan satu rantai atau lebih dari water-soluble sugar (glycon) melalui hubungan ester ke inti aglycone pada bagian karbon lainnya. Saponin memiliki beberapa beberapa sifat, diantaranya adalah antibakterial.22 Efek antimikroba saponin dipengaruhi oleh faktor dari aglycon, jumlah, dan struktur kimia dari rantai gula.23 Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa komponen yang dominan dalam biji papaya adalah aglycon golongan triterpenoid.24 Sebagai bahan antibakteri saponin dapat meningkatkan permeabilitas membran sel bakteri sehingga dapat mengubah struktur dan fungsi membran, menyebabkan denaturasi protein membran sehingga membran sel akan rusak dan lisis.25 Saponin memiliki molekul yang dapat menarik air (hidrofilik) dan molekul serta dapat melarutkan lemak (lipofilik), sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel yang akhirnya menyebabkan kehancuran kuman.26 Efek negatif saponin terhadap permeabilitas membran disebabkan oleh pemblokiran saluran ion membran. Penelitian lain melaporkan bahwa saponin meningkatkan permeabilitas membran dengan menginsersi aglicon ke dalam lipid bilayer, sehingga menciptakan pori dengan diameter 40 sampai 50 A0. Terbentuknya pori pada membrane sel akteri menyebabkan substansi di dalam sel bakteri akan terbawa keluar, sehingga bakteri akan lisis. Disamping itu saponin juga mengubah fungsi protein atau glikoprotein pada membran plasma dan membentuk komplek saponin-kolesterol sehingga
Berdasarkan telaah berbagai literatur, maka dapat disimpulkan bahwa biji pepaya dapat dimanfaatkan sebagai terapi alternatif halitosis. Biji pepaya mengandung senyawa saponin yang memiliki fungsi sebagai antimikroba. Mekanisme antimikroba tersebut dengan cara denaturasi protein membran menarik air dan molekul serta dapat melarutkan lemak, sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel maupun dengan meningkatkan permeabilitas membran sehingga menciptakan pori yang mengakibatkan lisisnya bakteri.
Saran
Diperlukan penelitian baik dari ekstrak biji pepaya maupun isolasi saponin biji papaya yang dapat mengungkap mekanisme kerjanya terhadap bakteri penyebab halitosis. Selain itu, diperlukan kajian lebih lanjut tentang saponin biji pepaya sehingga bisa dipertimbangkan bagi pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan budidaya pepaya penghasil senyawa saponin, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani pepaya.
Daftar Rujukan 1.
2. 3. 4. 5. 6.
7.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
Rhode Island Department of Health, Oral Health Program; the importance of oral health cited : 15 Mei 2008, Available at : http:// www.health.sate.ri.vs/disease/primarycare/ oralhealth/importance.php Halitosis and its causes, Cited : 15 May 2008, Available at :http://www.oralhealthnow.com-/ Halitosis.html> Lee SS, Zhang W, Li Y. Halitosis Update: A Review of Causes, Diagnoses, and Treatments. CDA Journal. April 2007;35(4) Gnanasekhar JD. Aetiology, diagnosis and management of halitosis: a review.PERIO. 2007;4(3):2003-214 Rahimi M. Halitosis (Foetor en one) Shiraz. E-Med Journal. 2001;2(4) Krespi YP, Shrime MG, Kacker A. The relationship between oral malodor and volatile sulfur compound producing bacteria. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2006;135:671-676 Sondang P, Hamada T. Menuju Gigi dan Mulut Sehat: pencegahan dan pemeliharaan. USU Pers; 2008
[12]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Azodo CC, Osazuwa-Peter Y, Omili M. Psyhological and social impact of halitosis: a review. The Free Library. Cited : 9 December 2010 Available at: http//www.thefreelibrary.com/Psychological and social impact of halitosis: a riview.-a0229543169. Sanz M, Roldan S, Herrena D. Fundamental of breath malodor. J Contemporary Dent Pract. 2001;2(4):2-10 Mustaqimah DN. Bakteri yang Berkaitan dengan Halitosis. Jakarta: EGC; 1993.p.83-177 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Bau Mulut Tak Sebatas Urusan Kosmetik. Cited : 15 November 2007. Available at : http://www.depkes.go.id/index.php?option_article&task=viewarticle& artid=332&itemid=3 Pintauli Sondang. Masalah Halitosis dan Penatalaksanaanya. Dentika Dental Journal. 2008;13(1):7479. Nawaz, M. S., S. A. Khan, A. A. Khan, F. M. Khambaty, and C. E. Cerniglia. Comparative molecular analysis of erythromycin-resistance determinants in staphylococcal isolates of poultry and human origin. Mol. Cell Probes. 2000;14:311-319. Bertolatti, D., F. G. O’Brien, and W. B. Grubb. Characterization of drug-resistant Staphylococcus aureus isolated from poultry processing plants in Western Australia. Int. J. Environ. Health. Res. 2003;13:43-54 Wallace, R. J. Antimicrobial properties of plant secondary metabolites. Proceedings of the Nutrition Society. 2004; 63,621–629. Ilmi, T,. Uji Aktivitas In Vitro Tikus Putih Setelah Pemberian Infus Rhizoma Curcuma Domestica Vall. (Skripsi). Surabaya: Fakultas Farmasi. Universitas Airlangga. Inpress; 1995 Okoye E.I, Preliminary phytochemical analysis and antimicrobial activity of seeds of carica papaya.2011;2(1):66-69 Kazor CE, Mitchell PM, Lee AM, Stokes LN, Loesche WJ, Dewhirst, and Paster BJ. Diversity of Bacterial Populations on the Tongue Dorsa of Patients with Halitosis and Healthy Patients. Journal of Clinical Microbiology. 2002;41(2):558–563 Sonis ST, Fazio RC. Oral Medicine Secret. Philadelphia: Hanley & Belfus Inc.; 2002.p. 163. Okoye E.I. (). Preliminary phytochemical analysis and antimicrobial activity of seeds of Carica papaya. J. Basic Physical Research. 2007;2(1):66-69. Morrissey, J. P., & Osbourn, A. E. Fungal resistance to plant antibiotics as a mechanism of pathogenesis. Microbiology and Molecular Biology Reviews. 1999: 63, 708–724. Mahato, S. B., S. K. Sudip, and G. Poddar. Review article number 38: Triterpenoid saponins. Phytochem. 1988: 27:3037-3067 Rakhimov, R. R., N. P. Benetis, A. Lund, J. S. Hwang, A. I. Prokofev, and Y. S. Lebedev. Intramolecular and reorientation dynamics of bis (triphenylphosphine)-3, 6-di-tert-butyl-4, 5-dimethoxy-osemiquinone complex of copper (I) in viscous media. Chem. Phys. Lett. 1996;225:156-162. Sukanada, I.M, Santi Rahayu, Juliarti N.K. Aktivitas Antibakteri Senyawa Golongan Triterpenoid dari Biji Pepaya (Carica papaya L). Jurnal Kimia 2. 2008;15-18 Siswandono dan Soekarjo, B. Kimia Nedisinal. Airlangga University Press; 1995 Dwidjoseputro, D. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan: Jakarta; 1994.p.97-99 Sherif Mohamed H. Antimicrobial activities of saponin-rich guar meal extract. (Disertation) Texas: A&M University; 2008
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[13]
Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah
Research
Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah akibat Aplikasi Graft Hidrogel-CHA pada Soket pasca Pencabutan Gigi (Kajian in vivo) Rima Chaeriyana,1 Faiznur Ridho,1 Dimaz A.N. Bandriananto1 Abstract
Blood vessel is an important role in the formation of alveolar bone after tooth
extraction. Bone graft has been developed to accelerate the process of bone formation. Bone graft carbonate apatite (CHA) was chosen because it is biocompatible and osteoconductive. Development of a construction CHA-CHA hydrogel as artificial extracellular matrix similar to native bone structure is expected to increase bone formation. The purpose of this study was to determine the number of blood vessels in socket are given hydrogel graft CHA after tooth extraction.. Graft CHA made by titration of phosphoric acid (H3PO4) into the emulsion of calcium hydroxide (Ca (OH) 2), while the composite hydrogel-CHA CHA made by synthesis in gelatin systems. Thirty-six guinea pig 4 months old weighing 285-485 gram were divided into 2 groups, with hydrogel-CHA treated group and the control group with CHA. After tooth extraction of left mandible insisivus, graft was applied to the socket for 3, 5, 7, 14, 28, and 56 days. On the day of the prescribed treatment, subjects were sacrificed, alveolar bone and surrounding tissue were taken for histological processing. Preparates stained with hematoxylin-eosin. Data were analyzed using Two Way ANOVA, followed djah Post Hoc LSD test to compare the number of blood vessels every day. The results show there are significant graft-CHA hydrogel on the number of blood vessels. Increase in the number of blood vessels occurs from day 3 to day 7, then decreased the 14th day until the 56th. Blood vessel formation in the hydrogel group-CHA faster than the CHA group. Combination of hydrogel CHA material which resembles original bone cause of alveolar bone regeneration takes place more quickly. Keywords: hydrogel, carbonate apatite (CHA),blood vessel, tooth extraction
Abstrak
Pembuluh darah berperan penting pada pembentukan tulang alveolar pasca pencabutan gigi. Penggunaan graft tulang telah dikembangkan untuk mempercepat proses pembentukan tulang. Graft tulang karbonat apatit (CHA) dipilih karena bersifat biokompatibel dan osteokonduktif. Pengembangan CHA menjadi konstruksi hidrogel-CHA sebagai matriks ekstraseluler buatan yang serupa dengan struktur tulang asli diharapkan mampu meningkatkan pembentukan tulang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah pembuluh darah pada soket yang diberi graft CHA dan hidrogel-CHA pasca pencabutan gigi. Graft CHA dibuat dengan titrasi asam fosfat (H3PO4) ke dalam emulsi kalsium hidroksida (Ca(OH)2), sedangkan komposit hidrogel-CHA dibuat dengan melakukan sintesis CHA dalam sistem gelatin. Tiga puluh enam ekor guinea pig berusia 4 bulan dengan berat badan 285-485g dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan dengan hidrogel-CHA dan kelompok kontrol dengan CHA. Setelah pencabutan gigi incicivus kiri mandibula, graft diaplikasikan pada soket dengan lama aplikasi 3, 5, 7, 14, 28, dan 56 hari. Pada hari perlakuan yang ditentukan, subjek dikorbankan, tulang alveolar dan jaringan sekitarnya diambil untuk diproses secara histologis. Preparat diwarnai dengan Mayer Hematoksilin-Eosin. Data dianalisi ulang asli menyebabkan regenerasi tulang alveolar berlangsung lebih cepat. Kata kunci: hidrogel, karbonat apatit (CHA), pembuluh darah, pencabutan gigi Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada Correspondance : FKG Universitas Gadjah Mada Jl. Bulak Sumur Yogyakarta 55281, Indonesia 1
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[14]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Pendahuluan
Pencabutan gigi merupakan prosedur umum dalam kedokteran gigi. Pasca pencabutan gigi akan dihasilkan suatu perlukaan atau lubang yang disebut soket. Perawatan soket pasca pencabutan gigi bermanfaat untuk mempertahankan tulang alveolar sebagai penyokong dalam penempatan implan gigi yang akan datang. Jaringan tulang merupakan jaringan dengan vaskularisasi tinggi yang mengatur integritas skeletal. Selama proses perkembangan skeletal dan perbaikan jaringan tulang yang fraktur, pembuluh darah mikro dan sirkulasi mikro sangat penting dalam homeostasis serta regenerasi jaringan. Pembuluh darah membawa oksigen, nutrisi, faktor pertumbuhan, dan berbagai tipe sel ke semua jaringan tubuh. Faktor dan event yang terjadi pada pembentukan pembuluh darah awal adalah proses neoangiogenesis 1 Untuk mempercepat terjadinya angiogenesis dan osteogenesis, bahan-bahan graft tulang secara luas telah digunakan dan dievaluasi secara klinis 3. Graft adalah bahan pengganti yang diimplankan ke dalam jaringan tubuh sehingga terjadi regenerasi jaringan4. Graft tulang menyediakan kerangka dasar untuk pembentukan jendalan darah, maturasi, dan remodeling jaringan. Berdasarkan donornya, graft digolongkan menjadi autograft, allograft, xenograft, dan alloplastik graft 3. Beberapa bahan alloplastik telah digunakan dalam bedah defek intra-osseus sebagai alternatif autograft. Hidroksiapatit (HA) Hidroksiapatit (HA) telah digunakan sebagai mineral anorganik ideal untuk menggantikan tulang karena mempunyai sifat biokompatibilitas dan osteokonduktif yang tinggi5. Karbonat apatit (CHA) telah dikembangkan sebagai bahan graft tulang. Karbonat apatit mengandung ion karbonat (CO32-) sebagai pengganti gugus fosfat (PO43-) atau hidroksil (OH-) untuk membentuk apatit bioaktif yang meningkatkan disolusi dan sifat resorbsi oleh osteoklas. Karbonat apatit mempunyai derajat kristalin yang rendah dan ukuran kristal yang kecil jika dibandingkan dengan HA6. Salah satu bentuk aplikasi graft yang dapat dikembangkan saat ini adalah graft hidrogel-CHA. Secara struktural, tulang merupakan suatu komposit dari kolagen, template hidrogel berbasis protein, dan dahlit anorganik (karbonat apatit) yang merupakan komponen osteokonduktif7,8. Polimer hidrogel merupakan pilihan utama untuk membentuk perancah (scaffold) fungsional perbaikan jaringan. Elastisitas intrinsik dan kemampuan retensi terhadap air yang terdapat pada hidrogel sintetik menyerupai matriks kolagen jaringan ikat, termasuk tulang. Kombinasi antara suatu material keras anorganik dan jaring-jaring hidrogel elastik memberikan sifat mekanis yang unik pada tulang, antara lain kekakuan yang rendah, ketahanan terhadap tarikan dan tekanan, dan kemampuan menahan fraktur yang tinggi7. Salah satu indikator dalam respon regenerasi
tulang alveolar adalah jumlah pembuluh darah pada proses penyembuhan luka pasca pencabutan gigi.
Metode
Tabel 1. Alat dan Bahan Penelitian
Berikut ini adalah tahapan kerja saat penelitian:
1. Pembuatan Graft CHA dan HidrogelCHA
Preparasi CHA diawali dengan pengenceran 1,852g kalsium hidroksida (Ca(OH)2) dan 1,024mL asam fosfat (H3PO4) masing-masing dengan 100mL akuades kemudian keduanya dicampur dan diaduk menggunakan magnetic stirrer selama 2 jam. Setelah itu, emulsi CHA dikeringkan dengan oven pada suhu 60ºC. Setelah 3 hari, emulsi digerus menghasilkan serbuk CHA. Preparasi hidrogel-CHA dilakukan dengan cara sintesis CHA dalam larutan gelatin. Gelatin sebanyak 2,5g terlebih dahulu dicampurkan dengan 50mL akuades dan ditunggu sampai swelling. Kalsium hidroksida (Ca(OH)2) sebanyak 1,852g dimasukkan ke dalam campuran gelatin dan diaduk menggunakan magnetic stirrer pada suhu 37ºC sampai homogen. Asam fosfat (H3PO4) sebanyak 1,024mL dilarutkan dengan 50mL akuades, kemudian diteteskan ke dalam campuran gelatin sambil diaduk sampai homogen selama ±2 jam. Reaksi crosslinking dilakukan dengan meneteskan glutaraldehid 25% sebanyak 400µL sambil diaduk selama ±3 jam. Setelah itu, campuran tersebut dimasukkan ke dalam cetakan dan dibekukan pada suhu 4ºC selama 12 jam. Selanjutnya dilakukan proses pencucian dengan larutan glisin 0,1M dan pembilasan dengan double distilled water sebanyak 3 kali. Proses dilanjutkan dengan pembekuan pada suhu -20ºC dengan tekanan 0 atmosfer selama 24 jam, kemudian dilakukan proses freeze drying selama 72 jam. Graft hidrogel-CHA dikeluarkan dari cetakan dan siap untuk disterilisasi.
2. Sterilisasi
Sterilisasi alat dilakukan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121ºC selama 30 menit. Graft tulang disterilkan dengan menggunakan EOG sterilizer.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[15]
Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah 3. Pencabutan Gigi pada Guinea Pig
Prosedur awal adalah pemberian anestesi intramuskular dengan ketamin hidroklorida (KetamilÂŽ, 8mg/100g berat badan). Gigi diluksasi terlebih dahulu dan kemudian dilakukan pencabutan. Pasca pencabutan, soket gigi diirigasi dengan larutan NaCl fisiologis. Perdarahan dihentikan dengan penekanan kasa steril.
4. Aplikasi Graft CHA dan HidrogelCHA
Dalam keadaan guinea pig masih teranestesi, graft tulang (CHA dan hidrogelCHA) yang telah disterilkan diaplikasikan pada defek tulang alveolar (soket gigi) menggunakan ekskavator. Soket gigi kemudian dijahit dan dioleskan antiseptik dengan menggunakan kasa steril.
5. Pembuatan Preparat Histologis
Subjek dianastesi terlebih dahulu sebelum dilakukan pengorbanan. Pengorbanan dilakukan dengan cara memotong leher guinea pig kemudian jaringan tulang alveolar dari soket gigi yang telah diisi graft tulang diambil dan dibersihkan dengan larutan fisiologis untuk kemudian diproses secara histologis.
6. Penghitungan Darah
Jumlah
Pembuluh
Parameter yang dipakai adalah pembuluh darah yang diamati dan dihitung menggunakan mikroskop trinokular perbesaran 400x pada 6 lapang pandang orang pengamat.
jumlah dengan dengan oleh 2
7. Analisis Data
Data hasil pengamatan jumlah pembuluh darah yang diperoleh pada penelitian ini adalah data kuantitatif berskala rasio. Analisis data yang digunakan adalah analisis parametrik dengan uji two-way ANOVA (ANAVA dua jalur) dan dilanjutkan dengan dengan uji Post Hoc menggunakan metode LSD (Least Significant Difference).
Hasil Penelitian
Hasil pengamatan jumlah pembuluh darah dengan aplikasi graft CHA dan hidrogel-CHA pasca pencabutan gigi pada masing-masing kelompok hari secara kuantitatif disajikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Rerata pembuluh darah pasca aplikasi graft CHA dan hidrogel-CHA. Gambar 1 menunjukkan rerata jumlah pembuluh darah dengan aplikasi graft CHA dan hidrogel-CHA pasca pencabutan gigi. Rerata jumlah pembuluh darah semakin meningkat pada kelompok perlakuan dengan pemberian graft hidrogel-CHA dari hari ke-3, 5, sampai 7, kemudian menurun jumlahnya pada hari ke-14, 28, dan 56. Fenomena serupa juga ditemukan pada kelompok perlakuan yang diberi graft CHA. Untuk menelusuri lebih lanjut fenomena yang ditemukan, maka dilakukan uji statistik. Sebelum analisis dilakukan, homogenitas dan distribusi data dikaji terlebih dahulu dengan Leveneâ&#x20AC;&#x2122;s test dan didapatkan nilai p=0,010 (p>0,05), yang berarti data tidak homogen. Namun, pada keterangan disebutkan bahwa variansi jumlah pembuluh darah pada masing-masing kelompok sama, sehingga disimpulkan bahwa data tersebut homogen. Uji normalitas dilakukan untuk melihat distribusi data hasil pengamatan pembuluh darah. Pada penelitian ini, uji normalitas yang digunakan adalah ShapiroWilk karena jumlah sampel kurang dari 50. Hasil uji normalitas yang dilakukan terhadap data dari seluruh graft menunjukkan nilai p>0,05. Hal ini menjelaskan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian telah terdistribusi secara normal. Pengaruh aplikasi graft terhadap jumlah pembuluh darah pada kelompok perlakuan dan kelompok hari yang berbeda selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji analisis variansi dua arah (two way ANOVA). Hasil analisis uji two way ANOVA disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil uji two way ANOVA Keterangan: *(p<0,05) = terdapat pengaruh yang signifikan Hasil uji two way ANOVA pada baris perbedaan antarhari menunjukkan nilai p<0,05. Hal ini berarti bahwa terdapat pengaruh hari terhadap
jumlah pembuluh darah. Pada baris perlakuan pemberian graft diperoleh nilai p>0,05, hal ini menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap jumlah pembuluh darah. Interaksi antarkelompok hari dan perlakuan menunjukkan nilai p>0,05, artinya semakin lama perlakuan diaplikasikan tidak mempengaruhi jumlah pembuluh darah secara nyata. Selanjutnya, analisis dilakukan menggunakan analisis post hoc LSD (Least Significant Difference) untuk mengetahui signifikansi jumlah pembuluh darah antarhari perlakuan. Dari hasil uji LSD diperoleh kesimpulan bahwa perbedaan bermakna jumlah pembuluh darah (p<0,05) hanya terjadi pada hari ke-7 sampai ke-14
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[16]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia pasca aplikasi graft CHA maupun hidrogel-CHA. Sementara itu, kelompok hari perlakuan lainnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna.
Pembahasan
Graft tulang merupakan alternatif yang ideal untuk mempercepat proses pembentukan tulang pasca pencabutan gigi, terutama jika akan dilakukan perawatan lanjutan pasca ekstraksi tersebut. Material graft harus bersifat biokompatibel, menghambat resorbsi tulang, dan menstimulasi osteogenesis9. Graft tulang dapat berperan sebagai membran barier untuk melindungi soket gigi dari invasi bakteri. Adanya membran barier dapat meningkatkan kualitas pembentukan tulang pada soket yang sangat baik untuk penempatan implan gigi yang akan datang10. Selain itu, porus pada graft memudahkan pembuluh darah dapat masuk ke area graft tersebut dan merangsang diferensiasi osteoblas. Graft tulang akan menstimulasi osteoblas untuk menghasilkan osteoid dan mendeposisi mineral dalam osteoid untuk membentuk tulang baru. Graft tulang akan mempercepat proses pembentukan tulang baru yang akan melapisi jaringan nekrosis sisa pencabutan gigi sehingga proses resorpsi dapat terhambat9. Uji two way ANOVA yang dilanjutkan dengan post hoc LSD terhadap jumlah pembuluh darah antarhari perlakuan CHA maupun hidrogel-CHA secara umum menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna kecuali pada hari ke-7 dengan hari ke14. Pada hari awal perlakuan, terdapat peningkatan jumlah pembuluh darah dan kemudian mencapai puncaknya pada hari ke-7. Jumlah pembuluh darah akan meningkat dan mencapai puncaknya pada hari ke-7 sampai ke-10 setelah terjadi luka11. Sejumlah VEGF akan terekspresi sangat tinggi pada angioblas, osteoprogenitor, dan osteoblas pada defek tulang selama 7 hari pertama proses penyembuhan dan akan menurun setelah 11 hari [2]. Setelah mencapai puncak pada hari ke-7, terjadi penurunan jumlah pembuluh darah yang signifikan pada hari ke-14. Penurunan jumlah pembuluh darah ini terus berlanjut pada hari ke-28 sampai hari ke56. Jika telah mencapai keadaan normal maka sinyal faktor pertumbuhan dan faktor pro-angiogenik lain akan berkurang, inflamasi terhenti, dan matriks jaringan telah stabil. Hal ini menandakan berakhirnya proses angiogenesis12. Pembuluh darah yang tidak dibutuhkan akan mengalami mekanisme destabilisasi dan regresi vaskular yang diinduksi oleh pelepasan Angiopoietin-2 dan didukung dengan ekspresi VEGF yang semakin berkurang setelah mencapai puncaknya13. Secara umum terjadi peningkatan jumlah pembuluh darah mulai hari ke-3 sampai hari ke-7 dan kemudian menurun pada hari ke-14 sampai hari ke-56 pasca aplikasi graft, baik kelompok CHA maupun hidrogel-CHA. Pada Tabel 2 dapat dilihat rata-rata pembuluh darah pada kelompok hidrogel-
CHA lebih tinggi daripada kelompok CHA, namun hasil analisis statistik two way ANOVA menunjukkan perbedaan pada kedua kelompok perlakuan ini tidak bermakna. Hal ini berarti kedua material pengganti tulang yang digunakan mempunyai kemampuan yang hampir sama terhadap proses perbaikan jaringan. Karbonat apatit (CHA) mengandung ion karbonat yang meningkatkan disolusi dan sifat resorbsi oleh osteoklas5,6. Porus pada kristal apatit menyediakan ikatan mekanis dengan adanya pembentukan tulang baru sehingga akan terjadi ikatan yang kuat pada implan14. Hidrogel-CHA merupakan perancah (scaffold) yang didesain sedemikian rupa sehingga memiliki struktur dan komposisi yang mirip matriks ekstraseluler pada tulang8. Penambahan hidrogel pada graft CHA dapat meningkatkan respon penyembuhan jaringan dan mengoptimalkan fungsi CHA sebagai graft tulang. Kombinasi material CHA dan hidrogel akan menciptakan kondisi yang tepat untuk mendorong diferensiasi sel15. Hidrogel mempunyai banyak fungsi dalam rekayasa jaringan. Hidrogel diaplikasikan sebagai space filling agents, pengantar molekul bioaktif, dan struktur tiga dimensi yang mengatur sel dan stimulus. Perancah hidrogel dapat mendukung proses angiogenesis dengan menyediakan tempat bagi sel termasuk sel endotel pembuluh darah untuk beradhesi, proliferasi, dan diferensiasi. Selain itu, hidrogel juga menyediakan sinyal kimia melalui faktor pertumbuhan16. Hidrogel-CHA dikembangkan dengan menggunakan material organik yaitu gelatin yang tersusun atas kolagen [2]. Gelatin memiliki keuntungan yang unik yaitu electrical nature. Gelatin yang diproses dengan metode alkali akan mengalami hidrolisis grup amida yang meningkatkan densitas gugus karboksil sehingga membuat ion gelatin bermuatan negatif, sementara gelatin yang diproses dengan metode asam membuat ion gelatin bermuatan positif. Sifat gelatin tersebut akan menghasilkan ikatan elektrostatik dengan faktor pertumbuhan17. Jalinan pembuluh darah aktif merupakan syarat dasar yang harus dipenuhi agar perancah dapat bertahan dan berintegrasi dengan jaringan sehat penerima2. Sistem perancah tidak boleh hanya mendukung pertumbuhan sel pembentuk organ, tetapi juga harus mendukung pertumbuhan sel endotel dan perkembangan vaskularisasi fungsional yang efektif18. Ukuran porus pada perancah sangat penting karena menentukan adhesi dan migrasi sel, sifat mekanis perancah, dan keberhasilan pembentukan tulang baru8. Desain perancah dalam penelitian ini berupa graft hidrogel-CHA terbukti dapat meningkatkan pembentukan pembuluh darah dan menyediakan suplai vaskuler yang ideal untuk pembentukan tulang baru.
Kesimpulan
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[17]
Peningkatan Jumlah Pembuluh Darah Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa aplikasi graft hidrogelCHA berpengaruh terhadap jumlah pembuluh darah pada soket pasca pencabutan gigi. Jumlah pembuluh darah mengalami peningkatan mulai hari ke-3 sampai hari ke-7 pasca aplikasi graft dan kemudian menurun secara signifikan.
Daftar Rujukan
1. Naldini, A., Carraro, F., Role of Inflammatory mediators in angiogenesis. Inflammation & Allergy. 2005;4:3-83. 2. Kanczler, J.M., Oreffo, R.O.C. Osteogenesis and angiogenesis: the potential for engineering bone. European Cells and Materials.. 2008; 15:100-114. 3. Reynolds, M.A., Aichelmann-Reidy, M.E., Branch-Mays, G.L., Regeneration of periodontal tissue: bone replacement graft, Dent Clin N Am., 2010;54:55-71. 4. Narang, S., Chava, V., Biomaterials used as bone graft substitutes. Annal Dent Univ Malaya.. 2000;7:36-52. 5. Hasegawa, M., Doi, Y., Uchida, A. Cell-mediated bioresorption of sintered carbonate apatite in rabbits. J Bone Joint Surg. 2003; 85-B:42-147. 6. Morgan, E.F., Yetkinler, D.N., Constantz, B.R., Dauskardt, R.H. Mechanical properties of carbonated apatite bone mineral substitute: strength, fracture, and fatigue behaviour. Journal of Materials Science: Materials in Medicine. 1997; 8:559-570. 7. Song, J., Saiz, E., Bertozzi, C.R. A new approach to mineralization of biocompatible hydrogel scaffolds: an efficient process toward 3-dimensional bonelike composites. J Am Chem Soc. 2002;125:1236-1243. 8. Wahl, D.A., Czernuskza, J.T. Collagen-hydroxyapatite composites for hard tissue repair. European Cells and Materials. 2006;11:43-56. 9. Steiner, G.G., Francis, W., Burrell, R., Kallet, M.P., Steiner, D.M., Macias, R. The healing socket and socket regeneration, Compend Contin Educ Dent., 2008;29(2):114-116. 10. Irinakis, T. Rationale for socket preservation after extraction of a single-rooted tooth when planning for future implant placement. J Can Dent Assoc., 2006;72(10):917â&#x20AC;&#x201C;22. 11. DiPietro, L.A., Nissen, N.N. Angiogenic Mediators in Wound Healing, in Maragoudakis, M.E. (ed.): Angiogenesis: Models, Modulators, and Clinical Applications. Plenum Press: New York; 1998.p.124. 12. Li, W.W., Tsakayannis, D., Li, V.W. Angiogenesis: A control Point for Normal and Delayed Wound Healing, in Li, W.W., Li, V.W.: Angiogenesis in Wound Healing, Dowden Health Media: Cambridge; 2003.p.5,8. 13. Madeddu, P. Therapeutic angiogenesis and vasculogenesis for tissue regeneration. Exp Physiol. 2005;90: 315-326. 14. Park, J.C., Han, D.W., Suh, H. A bone replaceable of synthetic polymer scaffolds: a bottomup approach for the development of artificial bone, Journal of American Chemical Society. 2000;127:3366-3372. 15. Phadke, A., Zhang, C., Hwang, Y., Vecchio, K., Varghese, S., Templated mineralization of synthetic hydrogels for bone-like composite materials: role of matrix hydrophobicity, Biomacromolecules. 2010;11:2060-2068. 16. Drury, J.L., Mooney, D.J. Hydrogels for tissue engineering: scaffold design variables and applications. Biomaterials. 2003;24:4337-4351. 17. Matsui, M., Tabata, Y. Enhanced angiogenesis by multiple release of platelet-rich plasma contents and basic fibroblast growth factor from gelatin hydrogels. Acta Biomateriali. 2012;1-10. 18. Cenni, E. Angiogenesis and bone regeneration (Abstr.). Journal of Bone and Joint Surgery. 2005;87-B(1):8.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[18]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Case Report
Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap dengan Menggunakan Centric Tray Sista Prasetyo1 Abstract
Full denture useful for edentulous patient to improve chewing function, speech and cosmetics, even for oral tissue health. Good quality denture should be able to replace the lost tooth tissue and maintain healthy tissues in the mouth and cause a sense of comfort to wear. In order for these objectives to be achieved it is necessary to note a few things like high bite, tooth color, tooth shape, tooth size, and arrangement of teeth. Determination bite is one of the procedures that are vital in the process of making complete dentures. Many denture that failed and not comfortable to wear due to the determination of bite patients are less careful. One method is to use a fixing nip centric tray. Centric tray is a tool which used to recording initial vertical dimension of full denture by using the BPS system (biofunctional Prosthetic System). Keywords: full denture, Determination bite, centric tray.
Abstrak
Gigi tiruan lengkap berguna bagi penderita lanjut usia yang kehilangan banyak gigi atau seluruhnya untuk memperbaiki fungsi kunyah, bicara dan kosmetika, bahkan kesehatan jaringan mulut. Kualitas gigi tiruan yang baik harus dapat menggantikan jaringan gigi yang hilang dan menjaga kesehatan jaringan dalam mulut dan menimbulkan rasa nyaman bagi pemakainya. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka perlu diperhatikan beberapa hal seperti tinggi gigit, warna gigi, bentuk gigi, ukuran gigi, dan susunan gigi. Penetapan gigit merupakan salah satu prosedur yang sangat vital dalam proses pembuatan gigi tiruan lengkap. Banyak gigi tiruan yang gagal dan tidak nyaman dipakai pasien karena penetapan gigit yang kurang cermat. Salah satu metode penetapan gigit adalah dengan menggunakan centric tray. Centric tray merupakan alat yang digunakan untuk menentukan tinggi gigit pada pembuatan gigi tiruan lengkap dengan menggunakan system BPS (Biofunctional Prosthetic System). Kata kunci: Gigi tiruan lengkap, penetapan gigit, centric tray.
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya Correspondence: Universitas Airlangga Kampus A Jl. Mayjen.Prof. Dr. Moestopo 47 Surabaya 1
Pendahuluan
Kerusakan atau kehilangan beberapa gigi atau seluruhnya akan berpengaruh terhadap kesehatan seluruh tubuh.1 Hal ini disebabkan karena kesehatan rongga mulut merupakan bagian dari kesehatan tubuh secara keseluruhan, yang dalam proses pencernaan dibantu oleh keadaan gigi dan rongga mulut yang sehat. 2 Penderita lanjut usia yang kehilangan banyak gigi atau seluruhnya akan berpengaruh terhadap fungsi kunyah, bicara, kosmetika, bahkan kesehatan jaringan mulut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi tersebut sebaiknya memakai gigi tiruan lengkap.3 Kualitas gigi tiruan yang baik harus dapat menggantikan jaringan gigi yang hilang dalam bentuk dan ketebalan yang kira-kira sama dengan
jaringan yang digantikannya.4 Gigi tiruan yang baik akan menjaga kesehatan jaringan dalam mulut dan menimbulkan rasa nyaman bagi pemakainya.5 Menurut Watt dan Mac Gregor (1986) diperlukan beberapa faktor agar gigi tiruan lengkap dapat berfungsi secara efisien. Meliputi keadaan jaringan pendukung, retensi gigi tiruan, keseimbangan antara otot pembuka dan penutup mulut terhadap gigi tiruan serta keseimbangan oklusi. Agar tujuan tersebut dapat tercapai maka perlu diperhatikan beberapa hal seperti tinggi gigit, warna gigi, bentuk gigi, ukuran gigi, dan susunan gigi.6
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[19]
Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap Penetapan gigit merupakan salah satu prosedur yang sangat vital dalam proses pembuatan gigi tiruan lengkap. Prosedur penetapan gigit ini dilakukan untuk mendapatkan posisi paling ideal dari hubungan rahang atas dan bawah.6 Penetapan gigit meliputi penentuan relasi vertikal dan horizontal. Penetapan gigit yang baik dan cermat akan mempengaruhi kualitas gigi tiruan. Masalah yang sering dijumpai pada penderita yang memakai gigi tiruan lengkap adalah gigi tiruan yang tidak stabil dan retentif. Banyak gigi tiruan yang gagal dan tidak nyaman dipakai pasien karena penetapan gigit yang kurang cermat.7 Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan penetapan gigit yang baik, salah satunya adalah menggunakan centric tray. Centric tray merupakan alat yang digunakan untuk menentukan tinggi gigit pada pembuatan gigi
Rancangan gigi tiruan rahang atas dan bawah menggunakan basis dan anasir gigi akrilik dengan perluasan basis pada rahang bawah sampai area retromolar pad dan rahang atas sampai daerah tuber maksila. Tidak dilakukan perawatan pendahuluan karena kondisi ridge masih dalam keadaan baik.
tiruan lengkap dengan menggunakan system BPS (Biofunctional Prosthetic System). Centric tray ini digunakan untuk menentukan dengan tepat posisi oklusi ideal dari pasien. Alat ini memiliki kelebihan antara lain, penentuan tinggi gigit yang lebih cepat, akurat dan mekanisme kerja yang lebih sederhana.
Gambar 1. Profil Wajah Pasien
Metode Pasien wanita usia 82 tahun dan tidak bekerja datang atas kemauan sendiri dengan ingin dibuatkan gigi tiruan lengkap rahang atas dan bawah karena susah mengunyah makanan. Pasien ingin dibuatkan gigi tiruan karena gigi tiruan sebelumnya rusak dan patah sejak 6 bulan yang lalu. Pencabutan terakhir dilakukan sekitar 25 tahun yang lalu karena karies pada regio kanan atas. gigi tiruan sebelumnya telah dipakai kurang lebih selama 25 tahun. Saat ini gigi tersebut tidak nyaman lagi saat dipakai. Pemeriksaan intra oral didapatkan gigi hilang pada rahang atas dan bawah, jaringan lunak tidak ada kelainan. Kondisi vestibulum pada rahang atas dan bawah dalam. Bentuk ridge ovoid dan bentuk palatum square. Torus palatinus dan torus mandibularis flat, serta tidak ada exostosis. Frenulum labialis, bukalis dan lingualis tinggi. Relasi ridge >80o. Retromylohyoid kanan dan kiri dalam. Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan radiografi. Diagnosis dari kasus ini adalah edentulous ridge rahang atas dan bawah.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
Gambar 2. Pengukuran Rest Position
Gambar 3. Centric Tray
[20]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Gambar 7. Hasil Penanaman Model Kerja dalam Artikulator
Gambar 4. Posisi Centric Tray di Dalam Mulut Penderita
Gambar 8. Model Kerja dalam Artikulator
Gambar 5. Hasil Cetakan Alginat pada Centric Tray
Gambar 9. Pembuatan Lempeng dari Self Cured Acrylic
Gambar 6. Pemasangan Hasil Cetakan dalam Model Kerja
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[21]
Penetapan Gigit Gigi Tiruan Lengkap Gambar 10. Pembuatan Galengan Gigit
Gambar 11. Pasang Coba Galengan di Mulut Penderita
Pembahasan Penetapan gigit merupakan salah satu prosedur yang sangat vital dalam proses pembuatan gigi tiruan lengkap. Prosedur ini dilakukan untuk mendapatkan posisi paling ideal dari hubungan rahang atas dan bawah.6 Pada kasus ini, penetapan gigit dilakukan dengan menggunakan centric tray, suatu alat yang berfungsi menentukan tinggi gigit penderita pada posisi istirahat. Alat ini merupakan satu rangkaian dalam proses pembuatan gigi tiruan lengkap dengan menggunakan metode BPS (Biofunctional Prosthetic System), suatu sistem pembuatan gigi tiruan lengkap yang sangat jarang dilakukan khususnya oleh praktisi S1 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. Pasien yang telah melewati proses border moulding dicetak kembali untuk mendapatkan suatu model kerja. Kunjungan berikutnya, pasien dilatih untuk melemaskan rahang bawahnya hingga dicapai posisi istirahat rahang bawah terhadap rahang atas. Tahap kedua memberikan tanda berupa titik pada nasion dan gnation pada penderita. Pada pasien ini didapatkan jarak antara dua titik tersebut 7 cm (gambar 2). Tahap ketiga adalah memasangkan centric tray pada mulut penderita. Jarak antara kedua titik tersebut tidak boleh berubah sekalipun telah terpasang centric tray di dalam mulut pasien. Oleh karena itu, meskipun centric tray telah terpasang di dalam mulut penderita, pengukuran terhadap dua titik di atas tetap dilakukan untuk menghindari terjadinya distorsi dalam menentukan tinggi gigit penderita (gambar 4). Tahap keempat dilakukan pengadukan bahan cetak alginat dan
diletakkan dipermukaan atas dan bawah dari centric tray, kemudian centric tray ini dimasukkan kembali kedalam mulut pasien sehingga diharapkan nantinya ketika centric tray tersebut dilepas dari mulut pasien sudah didapatkan adanya cetakan rahang atas dan bawah dari pasien. Pada saat sebelum melepas centric tray dari dalam mulut pasien, operator memberikan tanda berupa garis pada median centric tray yang telah disesuaikan dengan garis median yang didapatkan dari penggabungan imaginer titik pada nasion dan gnation yang telah dipersiapkan sebelum pencetakan (gambar 6). Tahap kelima yaitu cetakan alginat pada centric tray ini disesuaikan dengan cetakan rahang pada model kerja. Tahap keenam, model kerja rahang atas dan bawah yang telah dipasangkan centric tray tersebut ditanam di artikulator sesuai dengan kaidah-kaidah penanaman model kerja di artikulator (gambar 8). Tahap ketujuh, setelah gips pada artikulator mengeras, centric tray tersebut dilepas. Pada tahap ini sudah didapatkan model kerja pada artikulator dengan posisi rahang atas dan bawah model kerja pada artikulator sama dengan posisi rahang atas dan bawah pasien pada posisi istirahat (gambar 9). Hal ini nantinya akan sangat menguntungkan klinisi karena dengan model kerja telah tertanam pada artikulator, operator akan lebih mudah dalam membuat galengan karena sudah ada acuan pada model kerja yaitu rahang bawah sejajar area retromolar pad, sedangkan galengan rahang atas menyesuaikan terhadap tinggi galengan rahang bawah. Tahap kedelapan, operator mulai membuat lempeng yang terbuat dari self cured acrylic. Keuntungan dari pembuatan lempeng dari akrilik adalah untuk menghindari terjadinya distorsi ketika melepas lempeng dari model kerja seperti yang banyak ditemukan saat membuat lempeng dari malam model. Tahap kesembilan, lempeng akrilik tersebut diletakkan diatas daerah alveolar ridge pada model kerja kemudian operator membuat galengan dari malam model dengan ketentuan tinggi galengan rahang bawah setinggi daerah retromolar pad (gambar 11). Tahap kesepuluh, galengan yang telah dibuat dicobakan di mulut penderita dan didapatkan hasil yang sangat baik karena operator tidak perlu melakukan pengurangan pada galengan. Hal ini disebabkan karena tinggi gigit galengan tersebut
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[22]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia sama dengan tinggi gigit penderita. Galengan gigit yang telah dicoba di mulut penderita tersebut diberi tanda berupa garis dari rahang atas hingga rahang bawah yang bermakna garis ini adalah garis median dari penderita yang nantinya akan berguna saat proses penyusunan gigi di artikulator. Keuntungan lain dari penetapan gigit dengan menggunakan metode ini adalah operator tidak memerlukan banyak alat dan prosedur seperti benang wol yang dipasang pada garis tragus ala nasi dan pemasangan occlusal bite plane kedalam mulut penderita yang tentunya akan mengurangi kenyamanan penderita. Dalam hal ini, seorang klinisi hanya perlu menyediakan centric tray untuk menentukan tinggi gigit penderita. Keuntungan lainnya adalah waktu dan langkah kerja yang dibutuhkan untuk penetapan gigit akan menjadi lebih singkat dengan menggunakan centric tray.
Kesimpulan Metode penetapan gigit dengan menggunakan centric tray ini menghasilkan banyak keuntungan, antara lain memangkas waktu kerja dan proses pengerjaan yang relatif lebih mudah dan sederhana. Selain itu, dengan menggunakan metode ini operator tidak perlu menyiapkan dan mengaplikasikan terlalu banyak alat yang nantinya akan mengganggu kenyamanan pasien saat perawatan sedang berlangsung.
Daftar Rujukan 1. Calkins, E. Practice of Geriatrics. WB Sounders Company: Philadelphia; 1992.p.3-7 2. Zarb. Prosthodontics Treatment for Edentulous Patient.8th ed. The C.V. Mosby Co.: St. Louis; 2002.p.313-446
3. Sharry, J.J. Complete Denture Prosthodontics, 3th ed. New York, St. Louis, San Fransisco, Dusseldurf, Johannesberg, Sao Paolo, Singapore, Sydney, Tokyo. Mc. Graw Hill Book Co; 1974.p.111-113
4. Watt, D.M. dan Mac Gregor,A.R. Designing Complete Dentures. IOP Publishing Ltd; 1976.p.229-231 5. Ismail, M. Penilaian Penderita Terhadap Gigi Tiruan Lengkap yang Dipakainya. Skripsi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga: Surabaya; 1999.p.1-4
6. Boucher, C.O. Prosthodontics Treatment for Edentulous Patient. 7th ed. The C.V.Mosby: Co. Toronto, Princetown; 1975.p.10-15
7. Hobkirk, J.A. Complete Dentures. Wolfe Medical Publications Publising Ltd: Netherlands; 1985.p.30
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[23]
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya
Research
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya (Carica papaya) terhadap Pertumbuhan Porphyromonas gingivalis Rahadian Indra Jati,1 Advaitha Visnu Manitis1
Abstract
Periodontitis is one of the infectious diseases of the oral cavity caused by the accumulation of food debris and bacteria of the oral cavity. One of the major bacterial cause of periodontitis is Porphyromonas gingivalis. Alternative treatment of infectious diseases of the oral cavity can use natural materials or traditional medicine such as papaya. Papaya leaves (Carica papaya) contained chemical compound such as alkaloid, flavonoid and saponin, these chemical compounds had antibacterial characteristic. This research aimed to know antibacterial efectivity of papaya leaves extract in inhibiting the growth of P. gingivalis. Experimental laboratory method was used in this study. Preparation of papaya leaves extract by maceration method. Antibacterial efectivity test were used cup-plate diffusion method to figure out inhibition range diameter. Obtained data was inhibition range diameter and Minimum Inhibition Concentration (MIC) value. Minimum Inhibition Concentration (MIC) of papaya leaves extract was 10% with the percentage of inhibition value was 13,58%. An Increase of inhibition zone diameter and the percentage of the inhibition is affected by the concentration of the extract. The higher concentration of extract can increase an inhibition zone and the percentage of the inhibition. Chemical compounds of papaya leaves extract which had antibacterial characteristic was alkaloid, flavonoid and saponin. Some research suggests that alkaloid, flavonoid, and saponin had antibacterial mecanism by cell walls and cell membrane bacterial lysis. Papaya leaves extract effective in inhibiting the growth of bacteria P. gingivalis. Keywords : antibacterial, Carica papaya, MIC, Porphyromonas gingivalis.
Abstrak
Periodontitis merupakan salah satu penyakit infeksi rongga mulut yang terjadi akibat akumulasi sisa-sisa makanan serta bakteri rongga mulut. Salah satu bakteri utama penyebab periodontitis adalah Porphyromonas gingivalis. Pengobatan alternatif penyakit infeksi rongga mulut dapat memanfaatkan bahan-bahan alam atau obat tradisional seperti pepaya. Daun pepaya (Carica papaya) mengandung senyawa kimia alkaloid, flavonoid dan saponin yang mempunyai sifat sebagai antibakteri. Mengetahui efektifitas antibakteri ekstrak daun pepaya dalam menghambat pertumbuhan P. gingivalis. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris dengan pembuatan ekstrak daun pepaya menggunakan metode maserasi. Uji antibakteri menggunakan metode difusi sumuran untuk mengetahui diameter zona hambat. Data yang diperoleh adalah diameter zona hambat dan ditentukan nilai KHM (Konsentrasi Hambat Minimum). Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ekstrak daun pepaya adalah 10% dengan persentase daya hambat sebesar 13,58%. Peningkatan diameter zona hambat dan persentase daya hambat dipengaruhi oleh konsentrasi ekstrak. Konsentrasi ekstrak yang tinggi dapat meningkatkan besar zona hambat dan persentase daya hambat. Golongan senyawa dalam ekstrak daun pepaya yang memiliki sifat antibakteri adalah alkaloid, flavonoid dan saponin. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa senyawa alkaloid, flavonoid dan saponin memiliki mekanisme antibakteri dengan melisiskan dinding sel dan membran sel bakteri. Penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun pepaya efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. gingivalis. Kata kunci : antibakteri, Carica papaya, KHM, Porphyromonas gingivalis.
Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Soedirman Email : indrajati_good@yahoo.co.id 1
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[24]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Pendahuluan Periodontitis merupakan salah satu penyakit gigi dan mulut yang memiliki angka kejadian cukup besar. Di dunia, kejadian periodontitis sebanyak 70-80%(1). Data tahun 2007, kejadian periodontitis di Indonesia sebanyak 83.531 kasus dan di Jawa Tengah sebanyak 16.378 kasus(2). Periodontitis merupakan salah satu penyakit jaringan lunak mulut yang terjadi akibat akumulasi sisa-sisa makanan serta bakteri rongga mulut. Akumulasi hasil metabolisme bakteri pada permukaan gigi merupakan penyebab utama periodontitis karena dapat merangsang respon inflamasi pada jaringan gingiva dan periodontal. Respon inflamasi ini menyebabkan destruksi jaringan secara permanen pada daerah akumulasi sejumlah organisme patogen penyebab periodontitis(3). Menurut Newman dkk. (2006)(4), terdapat tiga faktor penyebab penyakit periodontal yaitu kerentanan host, spesies patogen, dan proporsi bakteri yang menguntungkan (beneficial bacteria). Salah satu bakteri utama penyebab periodontitis adalah Porphyromonas gingivalis karena dapat memproduksi protease aktif yang dapat merusak molekul-molekul regulasi respon inflamasi host (immunoglobulin, komplemen, dan glikoprotein), menghasilkan hemolisin dan kolagenase, serta dapat menghambat migrasi polymorphonuclear leukocytes (PMNs) dan merusak sitokin pada sel-sel mamalia. Berdasarkan mekanisme tersebut, maka perlu dilakukan pencegahan penyakit infeksi akibat bakteri P.gingivalis. Pengobatan alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi penyakit infeksi adalah dengan memanfaatkan bahan-bahan alam tumbuhan atau yang sering disebut dengan obat tradisional. Salah satu tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanaman Pepaya (Carica papaya). Menurut Astuti (2011)(5), ekstrak daun pepaya telah teridentifikasi mengandung senyawa flavonoid, alkaloid, dan saponin yang memiliki efektivitas antibakteri. Berdasarkan hasil penelitian, daun pepaya dapat digunakan sebagai antibakteri terhadap Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella typhi, Klebsiella pneumoniae dan Aeromonas hydrophila(6,7). Namun, uji antibakteri ekstrak daun pepaya terhadap P.
gingivalis belum pernah dilakukan. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti ingin menguji efektivitas antibakteri dari ekstrak daun pepaya dalam menghambat pertumbuhan P.gingivalis.
Metode Penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, pisau, oven (MEMMERT), blender (PHILIPS HR 2061), gelas ukur, tabung kaca, alumunium foil, alat pengaduk, kertas saring, rotary evaporator (IKA Ž RV 10 Basic), cawan porselen uji, pipet, bunsen, tabung reaksi, vortex mixer (Thermolyne), densitometer (VITEK DensiChek), mikropipet (GILSON), tabung Erlenmeyer 250 ml, autoclave (Vertical Pressure Steam Sterilisation, model YXO), inkubator CO2 (Thermo Scientific), 12 cawan petri, jangka sorong (TRICLE BRAND), spidol, dan perforator diameter 9 mm. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun pepaya tua yang diambil urutan kelima dari ujung pohon untuk dibuat ekstrak, daun, bunga dan buah pepaya untuk determinasi tanaman, air untuk mencuci daun pepaya, 9,6 liter etanol 96%, HCl, reagen dragendorf, serbuk Mg, akuades steril, DMSO (dimetilsulfoksida), Tryptone Soya Agar, darah domba (sebanyak 5% berat medium agar), dan biakan murni P.gingivalis ATCC 33277. Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa Daun Pepaya Daun pepaya yang diambil dari perkebunan buah pepaya di Desa Mertasinga, Cilacap sebanyak 5 kg dicuci dengan air. Daun pepaya dirajang dan dikeringkan dengan oven (suhu 70°, 2 hari) kemudian dipisahkan dari daun gosong dan kotoran lain. Daun dihaluskan dengan menggunakan blender hingga menjadi serbuk. Ekstraksi dilakukan dengan maserasi (3x24 jam). Maserasi pertama dilakukan dengan mencampurkan 600 gram serbuk dengan 3600 ml etanol 96%, dihomogenkan dan dibiarkan 24 jam kemudian disaring. Maserasi kedua dilakukan pada ampas hasil saringan maserasi pertama dengan 3600 ml pelarut etanol 96% selama 24
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[25]
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya jam kemudian disaring. Maserasi ketiga dilakukan pada ampas maserasi kedua dengan 2400 ml pelarut etanol 96% selama 24 jam dan disaring. Ketiga hasil maserasi disaring dan dievaporasi hingga menjadi ekstrak kental. Identifikasi kandungan senyawa alkaloid, flavonoid, dan saponin dilakukan dengan metode uji fitokimia pereaksi warna. Uji alkaloid dengan memambahkan 2 tetes HCl dan beberapa tetes pereaksi Dragendorf pada ekstrak. Terbentuknya warna jingga menunjukkan bahwa uji alkaloid positif. Uji flavonoid dengan menambahkan 3 ml ekstrak pekat dan serbuk Mg dan 4-5 tetes HCl pekat. Terbentuknya warna jingga hingga merah menunjukkan adanya senyawa aglikon flavonoid. Uji saponin dengan mencampur 2 ml ekstrak pekat dengan akuades dan dikocok 15 menit. Terbentuknya busa setinggi 1 cm yang stabil lebih dari 15 menit, menunjukkan adanya senyawa saponin.
Pembuatan Media Pertumbuhan gingivalis dan Uji Antibakteri
P.
Media selektif untuk pertumbuhan bakteri P.gingivalis meliputi Tryptone Soya Agar, darah domba (5% berat medium agar), dan akuades steril. Sebanyak 6 gram Tryptone Soya Agar dicampurkan dengan akuades 150 ml dan diaduk hingga homogen. Ujung Erlenmeyer ditutup dengan kapas dan ditutup dengan kertas steril (autolaktif), kemudian diikat dengan tali. Tabung dimasukkan ke dalam autoklaf (15 menit, suhu 121°C), setelah steril kemudian ditambahkan darah domba 7,5 ml dan dihomogenkan. Sebanyak 1 cc bakteri P.gingivalis ATCC 33277 (kepadatan bakteri sama dengan Mc. Farland 0,5 (setara dengan jumlah bakteri 5x105) dimasukkan ke dalam cawan petri menggunakan mikropipet, kemudian ditambahkan media steril ke dalam cawan petri yang telah diisi bakteri sebanyak 20 ml (tinggi 0,4 cm) dan dihomogenkan, dibiarkan pada suhu ruangan hingga memadat. Uji daya hambat ekstrak daun pepaya dilakukan replikasi sebanyak tiga kali menggunakan metode sumuran(11). Medium agar padat dibuat sumuran dengan melubangi media menggunakan perforator berdiameter 9 mm sebanyak 3 lubang pada setiap cawan petri yang telah diberi tanda. Lima konsentrasi ekstrak dan kontrol dimasukkan ke dalam sumuran
sebanyak 100 µl. Cawan petri yang berisi media, bakteri dan ekstrak tersebut diinkubasi CO2 (24 jam, suhu 37°C). Penghitungan KHM dilakukan dengan mengukur zona hambat yang terbentuk pada sekitar sumuran menggunakan jangka sorong. Hasil pengukuran diameter zona hambat dikonversikan menggunakan rumus sebagai berikut(11).
Keterangan: I : daya hambat ekstrak terhadap bakteri d2 : diameter sumuran (9 mm) d1 : diameter zona hambat (mm)
Hasil Penelitian Hasil identifikasi senyawa pada ekstrak daun pepaya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Identifikasi Senyawa Alkaloid, Flavonoid, dan Saponin pada Ekstrak Daun Pepaya No. 1.
Identifikasi Senyawa Alkaloid
2. 3.
Flavonoid Saponin
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Reagen Larutan Dragendorf Serbuk Mg, HCL Akuades
Hasil (+) (+) (+)
Keterangan: (+) teridentifikasi Hasil uji daya hambat pertumbuhan bakteri pertama disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Uji Daya Hambat Pertama Konsentrasi Larutan Uji (%) 40 30 20 10 5 0 (kontrol)
Diameter Zona Hambat (mm) Replikasi ke1 2 3 5,12 3,66 2,70 1,92 0 0
7,52 4,96 2,27 1,30 0 0
6,90 3,87 0,86 0,34 0 0
Rerata (mm) 6,51 4,16 1,94 1,19 0 0
Rerata Persentase Daya Hambat (%) 72,37 46,26 21,59 13,18 0 0
Keterangan: Diameter zona hambat = zona hambat yang terbentuk di sekitar sumuran - diameter sumuran (9 mm). Angka “0”= tidak terdapat zona hambat. Berdasarkan hasil uji daya hambat pertama, didapatkan rerata diameter zona hambat pada konsentrasi ekstrak 40%, 30%, 20%, 10%, 5%, dan 0% (kontrol) berturut-turut yaitu 6,51 mm, 4,16 mm, 1,94 mm, 1,19 mm, 0 mm, dan 0 mm. Konsentrasi ekstrak minimum yang telah menghasilkan diameter
zona hambat pada uji daya hambat pertama adalah konsentrasi ekstrak 10%. Uji lanjutan ini dilakukan di bawah konsentrasi ekstrak 10% dan di atas
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[26]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia konsentrasi 5% yaitu konsentrasi ekstrak 9%, 8%, 7% dan 6% serta 0% sebagai kontrol. Hasil uji daya hambat lanjutan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Hasil Uji Daya Hambat Lanjutan
Keterangan: Diameter zona hambat = zona hambat yang terbentuk di sekitar sumuran - diameter sumuran (9 mm). Angka â&#x20AC;&#x153;0â&#x20AC;?= tidak terdapat zona hambat. Berdasarkan hasil uji daya hambat lanjutan, tidak didapatkan zona hambat sehingga dapat disimpulkan bahwa KHM ekstrak daun pepaya adalah pada konsentrasi ekstrak 10%. Hasil konversi diameter zona hambat ke dalam persentase daya hambat pada konsentrasi ekstrak 40%, 30%, 20%, dan 10% berturut-turut adalah 72,37%, 46,26%, 21,59%, dan 13,18%. Berdasarkan data persentase daya hambat pada uji daya hambat pertama dan uji daya hambat lanjutan, didapatkan grafik rerata persentase daya hambat yang disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Rerata Persentase Daya Hambat
Pembahasan Bahan antimikroba adalah bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba(12). Obat yang digunakan untuk membunuh mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin. Artinya, obat tersebut harus bersifat sangat toksik untuk mikroba, tetapi relatif tidak toksik untuk hospes. Pada penelitian ini, uji efektivitas antibakteri dilakukan menggunakan ekstrak daun pepaya
dengan metode sumuran yaitu dengan cara membuat sumur pada media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi agen antibakteri yang akan diuji (10). Terbentuknya zona hambat melalui pengamatan daerah jernih di sekeliling sumuran membuktikan adanya aktifitas senyawa antimikroba. Menurut Rahman (2008) (7) , zona hambat yang kecil menunjukkan adanya aktifitas antimikroba yang rendah, sedangkan zona hambat yang lebih besar menunjukkan daya aktifitas antimikroba yang lebih besar. Konsentrasi bahan antimikroba merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan bahan uji dalam menghambat pertumbuhan mikroba yang diuji. Peningkatan konsentrasi ekstrak akan meningkatkan persentase penghambatan pertumbuhan yang disebabkan karena konsentrasi senyawa kimia yang tekandung di dalamnya juga semakin besar (14). Hasil penelitian menunjukkan semakin tinggi konsentrasi ekstrak, persentase daya hambat yang dihasilkan semakin besar. Perbedaan persentase daya hambat antar konsentrasi disebabkan adanya perbedaan kadar senyawa kimia yang terkandung di dalam larutan uji. Hasil uji identifikasi senyawa pada ekstrak daun pepaya menunjukkan adanya kandungan alkaloid, flavonoid dan saponin. Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (11) . Alkaloid juga bekerja dengan merusak membran sel bakteri. Alkaloid memiliki gugus fungsi metoksi dan hidroksil. Gugus fungsi yang aktif dalam menghambat pertumbuhan bakteri diduga gugus hidroksil yang dapat berikatan dengan membran sel. Interaksi ini akan merusak permeabilitas membran, membentuk pori atau lubang sehingga komponen dalam sel mikroba seperti K+, gula maupun protein keluar sel yang mengakibatkan sel lisis (13). Senyawa flavonoid merupakan senyawa polifenol(14). Menurut Nurjanah (2009)(13), mekanisme kerja alkohol dan derivatnya termasuk fenol dalam mempengaruhi fungsi sel yaitu dengan cara mendenaturasi protein sel yang terdapat pada dinding sel dan membran sel. Proses denaturasi protein terjadi pemecahan ikatan
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[27]
Efektivitas Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya disulfida dalam rantai polipeptida. Pecahnya ikatan disulfida menyebabkan rantai polipeptida tidak dapat mempertahankan bentuk asalnya sehingga menyebabkan kerusakan pada dinding sel bakteri. Saponin merupakan salah satu produk alam yang memiliki aktivitas antibakteri. Senyawa saponin memiliki sifat seperti sabun yang merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat, sehingga dapat menurunkan tegangan permukaan sel. Saponin yang diabsorbsi pada permukaan sel akan menyebabkan kerusakan sel akibat dari naiknya permeabilitas atau kebocoran membran sel (13). Senyawa yang terkandung di dalam ekstrak daun pepaya dapat mengganggu keutuhan struktur dinding sel bakteri P. gingivalis dengan adanya mekanisme masing-masing senyawa. Terganggunya keutuhan dinding sel bakteri mengakibatkan penghambatan pertumbuhan bakteri P. gingivalis.
6.
7.
8. 9. 10. 11.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun pepaya efektif dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. gingivalis.
12.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengisolasi senyawa dari ekstrak daun pepaya yang memiliki aktivitas antibakteri dan penentukan nilai Kadar Bunuh Minimal (KBM) dari potensi ekstrak daun pepaya terhadap bakteri P.gingivalis.
13.
Daftar Rujukan 1. 2. 3.
4. 5.
Samaranayake. Essential Microbiology for Dentistry Third Edition. Toronto. Elsevier. 2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Indonesia Health Profile 2008. Jakarta. 2010. Rieuwpassa, I. E., Hatta, M. Deteksi Mutasi Gen Gyrase A P. gingivalis Resisten terhadap Ciprofloxacin berdasarkan Teknik Polymerase Chain Reaction. Jurnal Kedokteran Yarsi. 2009.1 (17): 011-020. Newman, M. G., Takei, H. H., Klokkevold, P. R. Carranzaâ&#x20AC;&#x2122;s Clinical Periodontology Tenth Edition. Missouri. Saunders Elsevier. 2006. Astuti, S. D. Efek Ekstrak Etanol 70% Daun Pepaya (Carica papaya, Linn.) terhadap Aktivitas AST dan ALT pada Tikus Galur Wistar Setelah Pemberian Obat Tuberkulosis
14.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
(Isoniazid dan Rifampisin). Laporan Penelitian. Surakarta. Fakultas Farmasi, Universitas Setia Budi. 2009. Soranta, E.W. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol Daun Pepaya (Carica papaya L.) terhadap Escherichia coli dan Staphylococcus aureus Multiresisten Antibiotik. Skripsi. Surakarta . Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2009. Rahman, M. F. Potensi Antibakteri Ekstrak Daun Pepaya pada Ikan Gurami yang Diinfeksi Bakteri Aeromonas hidrophila. Skripsi. Bogor. Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. 2008. Rukmana, R. Pepaya Budidaya dan Pascapanen. Yogyakarta. Kanisius. 1995. Marsh P. D., Martin, M. V., Lewis, M. A. O., dan Williams, D. W. Oral Microbiology Fifth Edition. Philadelphia. Elsevier. 2009. Pratiwi, S.T., Mikrobiologi Farmasi, Jakarta, Penerbit Erlangga. 2008. Agiliasari, W. I. Aktivitas Antibakteri Fraksi Kloroform dan Fraksi Metanol-Air Ekstrak Daun Majapahit (Crescentia cujete) terhadap Staphylococcus aureus. Skripsi. Jurusan Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan. Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. 2012. Kuswindari, W. Daya Antibakteri Infusa Umbi Tanaman Ubi Jalar Ungu (Ipomoca batatas) pada Bakteri Escherichia coli dan Shigella flexneri. Skripsi. Purwokerto. Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan. Universitas Jenderal Soedirman. 2010. Nurjanah, S. Uji Aktivitas Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dalam Menghambat Pertumbuhan Candida albicans. Skripsi. Purwokerto. Jurusan Farmasi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan. Universitas Jenderal Soedirman. 2009. Harborne, J. B. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terbitan Kedua. Bandung . Penerbit ITB . 1987.
[28]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia
Lampiran Dokumentasi Penelitian
(A)
(C) (B) Gambar 2. Hasil Uji Kualitatif Alkaloid (A), Flavonoid (B), dan Saponin (C).
Gambar 1. Ekstrak Daun Pepaya.
Gambar 3. Hasil Uji Antibakteri pada Konsentrasi 40% (kode 1/2), 30% (kode 2/2), dan 20% (kode 3/2).
Gambar 4. Hasil Uji Antibakteri pada Konsentrasi 10% (kode 4/2), 5% (kode 5/2), dan 0% (kode 6/2).
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[29]
Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji
Research
Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) sebagai Bahan Pencegah Karies Menggunakan MTT ASSAY Reza Dony Hendrawan1 Abstract
The prevalence of dental caries in Indonesia is still high. One of preventive efforts in preventing caries is by using materials that have antibacterial activity and can be applied as a mouthwash or topical use. Research on Psidium guajava leaves showed antibacterial activity against Streptococcus mutans, the bacteria that cause caries dominant. Knowing the cytotoxicity effects of Psidium guajava leaf extracts to be used as a natural ingredient application of dental caries prevention. This study uses the some extract concentration, there are 3.125%, 6.25%, 12.5% and control cells and control the media. Culturing mecenchymal stem cell (MSC) treatment was prepared in 21 wells (7 replication), control cells with MSC culture media contain and control media containing only culture medium alone. A total of 50 mL of each extract concentration incorporated into the wells already containing MSC and incubated for 20 hours. MTT reagent was added to the wells were incubated for 4 hours. Cell absorbance values were measured using an ELISA reader (λ = 595nm) and converted into percentage form living cells. The data obtained were tabulated and analyzed using One-way ANOVA followed Tukey High Significant Difference (HSD). Percentage of living cells against exposure concentration of leaves of Psidium guajava 12.5%, 6.25%, 3.125% was extracted by ethanol was sequentially 60.3%, 90.1%, and 131.1%. Statistical test showed no significant difference between the control cells with the extract concentration of 6.25% and 3.125%. Cytotoxicity effects were measured using MTT assay. MTT reagent is added to the treated cells will be converted to purple formazan crystals by mitochondrial dehydrogenase enzymes inside living cells. If dehydrogenase is inactive due to a cytotoxicity effect, it will not be formed formazan. Amount of formazan formed, proportional to the enzymatic activity of living cells. Percentage of living cells after exposure to extracts showed more than 50% (CD50) which means that the extract did not have a cytotoxicity effect. Furthermore, it can be concluded that Psidium guajava leaf extract at a concentration of 12.5%, 6.25%, and 3.125% did not have cytotoxicity effects that can be applied as a natural ingredient preventing dental caries in the human oral cavity. Keyword: leaves of Psidium guajava as extracted by ethanol, cytotoxicity, prevention of caries
Abstrak
Prevalensi karies gigi di Indonesia sampai saat ini masih tinggi. Upaya preventif dalam mencegah karies ialah salah satunya dengan menggunakan bahan yang mempunyai aktivitas anti bakteri dan dapat diaplikasikan sebagai obat kumur maupun penggunaan topikal. Penelitian terhadap daun Psidium guajava menunjukan aktifitas anti bakteri terhadap Streptococcus mutans, bakteri dominan penyebab karies. Mengetahui efek sitotoksis ekstrak daun Psidium guajava untuk dipergunakan sebagai aplikasi bahan alami pencegah karies gigi. Penelitian ini menggunakan konsentrasi ekstrak 3,125%, 6,25%, 12,5% serta kontrol sel dan kontrol media. Kultur mesenchymal stem cell (MSC) dipersiapkan dalam 21 sumuran perlakuan (7 replikasi), kontrol sel berisi MSC dengan media kultur dan kontrol media hanya berisi media kultur saja. Sebanyak 50 µL masing-masing konsentrasi ekstrak dimasukan ke dalam sumuran yang telah berisi MSC dan diinkubasi selama 20 jam. Reagen MTT ditambahkan kedalam sumuran diinkubasi selama 4 jam. Nilai absorbansi sel diukur menggunakan ELISA reader ( λ=595nm) serta dikonversi ke dalam bentuk prosentase sel hidup. Data yang diperoleh ditabulasi dan dianalisis menggunakan One way-ANOVA dilanjutkan Tukey High Significant Difference (HSD). Prosentase sel hidup terhadap paparan konsentrasi ekstrak etanol daun Psidium guajava 12,5%, 6,25%, 3,125% adalah berurutan 60,3 %, 90,1%, dan 131,1%. Uji statistik menunjukan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kontrol sel dengan konsentrasi ekstrak 6,25% dan 3,125%.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[30]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia Efek sitotoksisitas diukur menggunakan essei MTT. Reagen MTT yang ditambahkan pada perlakuan sel akan diubah menjadi kristal formazan ungu oleh enzim dehidrogenase mitokondria yang berada di dalam sel hidup. Bila dehidrogenase tidak aktif karena efek sitotoksik, maka formazan tidak akan terbentuk. Jumlah formazan yang terbentuk, proporsional dengan aktifitas enzimatik pada sel hidup. Prosentase sel hidup setelah paparan ekstrak menunjukan lebih dari 50% (CD50) yang artinya ekstrak tidak memiliki efek sitotoksis. Selanjutnya, dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun Psidium guajava pada konsentrasi 12,5%, 6,25%, dan 3,125% tidak memiliki efek sitotoksis sehingga dapat diaplikasikan sebagai bahan alami pencegah karies gigi dalam rongga mulut manusia. Kata kunci : ekstrak etanol daun Psidium guajava, sitotoksisitas, pencegah karies Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Surabaya Correspondance : FKG Universitas Airlangga Jl. Prof. Dr. Moestopo No. 47 Surabaya 60132 Indonesia Email : dony_world@yahoo.com 1
Pendahuluan Dewasa ini penelitian bahan alami yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia telah banyak dilakukan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah mencatat lebih dari 20.000 spesies tanaman dengan sifat obat dapat memberikan pengobatan untuk keluhan seperti pneumonia, maag, diare, bronkitis, pilek dan penyakit pada saluran pernapasan. Publikasi penelitian aktifitas anti mikroba tanaman obat adalah penting agar menimbulkan kesadaran terhadap obat alternatif yang berdampak pada pengembangan bioteknologi.1 Tanaman obat semakin diakui oleh para ilmuwan sebagai alternatif penting dengan biaya murah.2Berbagai macam bagian dari tanaman yang dapat dijadikan obat alami adalah bunga, daun, biji, kulit kayu dan umbi-umbian serta bagian bagian lain. Salah satu metode penggunaan tanaman obat adalah dengan mengekstrak dan mengkonsumsi tanaman yang mempunyai khasiat sebagai obat.1 Indonesia kaya akan sumber bahan obat tradisional (herbal) yang telah digunakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia secara turun temurun. Keuntungan penggunaan obat tradisional di Indonesia adalah antara lain karena bahan bakunya mudah diperoleh dan harganya murah. Jumlah penduduk indonesia saat ini Âą 237 641 326 jiwa dengan 50,21% penduduk Indonesia hidup di pedesaan.3Pedesaan di indonesia umumnya sulit dijangkau oleh obat modern dan tenaga medis karena masalah distribusi, komunikasi dan transportasi disamping itu daya beli yang relatif rendah menyebabkan masyarakat pedesaan kurang mampu mengeluarkan biaya untuk pengobatan
modern sehingga masyarakat cenderung memilih pengobatan secara tradisional. Obat tradisional mempunyai makna yang sangat penting karena di samping ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh obat-obat modern juga karena obat tradisional adalah obat bebas yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Di Indonesia, tanaman obat terdapat dalam jumlah berlimpah baik jumlah maupun jenisnya. Selain itu, dalam satu ekstrak tanaman dapat mengandung satu macam atau lebih senyawa antimikroba. Komponen aktif yang berperan sebagai obat adalah zat-zat kimia yang terkandung di dalam ramuan obat tersebut. Secara kemoterapi, komponen-komponen tersebut antara lain dapat berperan sebagai absorben, astringen, spasmolitik, anti bakteri, suportif dan sebagainya.4 Tanaman jambu biji (Psidium guajava L.) adalah salah satu tanaman obat yang berkhasiat sebagai obat tradisional dan sering digunakan oleh masyarakat indonesia. Telah diketahui oleh masyarakat indonesia bahwa ekstrak daun Psidium guajava memiliki khasiat sebagi anti diare. Penelitian menunjukan bahwa daun Psidium guajava mempunyai sifat analgesik dan antiinflamasi pada percobaan hewan tikus.5 Efek farmakologis dari daun Psidium guajava yaitu antiinflamasi, antidiare, analgesik, antibakteri, antidiabetes, antihipertensi dan penambah trombosit. Flavonoid diketahui sebagai senyawa yang memiliki banyak manfaat. Adapun salah satu senyawa dari flavonoid yang terkandung dalam daun Psidium guajava adalah kuersetin, yang memiliki titik lebur 310oC, sehingga kuersetin tahan
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[31]
Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji terhadap pemanasan.6,7 Ekstrak daun Psidium guajava terbukti mampu menghambat (konsentrasi 6,25%) dan membunuh (konsentrasi 12,5%) Streptococcus mutans, bakteri dominan penyebab karies. Akan tetapi, sebelum pengaplikasian dalam rongga mulut manusia sebagai bahan alami pencegah karies secara non invasif, perlu dilakukan uji sitotoksisitas ekstrak daun Psidium Guajava. Pengujian sitoksisitas dari bahan alami potensi aplikatif dapat dilakukan menggunakan kultur sel yang disebut sitotoksisitas. Metode Kultur cell lines telah banyak digunakan untuk menguji toksisitas bahan bahan dan obat obatan yang dipakai di bidang kedokteran gigi.8 Penggunaan MTT assay sebagai metode untuk melihat viabilitas sel telah banyak diaplikasikan.9 MTT merupakan molekul larut berwarna kuning yang dapat digunakan untuk mengukur aktivitas enzim seluler. Sel dapat mereduksi MTT bila terbentuk kristal formazan yang berwarna ungu, tidak larut dan mengendap pada sel. Jumlah formazan yang terbentuk proporsional dengan reaksi enzimatik pada sel. Uji ini menghitung aktivitas dehidrogenase seluler, mengubah bahan kimia yang disebut MTT, melalui sejumlah bahan reduksi seluler menjai senyawa ungu, formazan yang tidak larut.9 Reaksi berwarna biru keunguan digunakan sebagai ukuran dari jumlah sel hidup. Jumlah sel hidup dapat diukur sebagai hasil produk MTT dengan spektofotometer pada panjang gelombang 570-690 nm.10
Metode Penelitian dilakukan di laboratorium stem cell Institut of Tropical Disease Universitas Airlangga pada bulan Mei-Juni pada tahun 2012. Jenis penelitianini adalah eksperimental laboratoris. a. Membuat ekstrak Daun Psidium guajava Daun Psidium guajava berdaging-buah putih yang masih segar diambil dari taman flora kota Surabaya. Daun Psidium guajava yang diambil merupakan daun muda yang masih segar. Pembuatan ekstrak daun Psidium guajava dilakukan di laboratorium Farmakognosi Fakultas Farmasi, Universitas
Ailangga. Sebanyak 400 gr daun Psidium guajava daging-buah putih dikumpulkan dan dikeringanginkan pada suhu kamar selama 2 minggu. Hasil pengeringan daun kering sebanyak 200g dihaluskan sampai terbentuk serbuk halus. Simplisia direndam (dimaserasi) dengan pelarut etanol. Maserasi dilakukan pada suhu ruang selama 3 hari dan pengadukan dilakukan setiap hari. Setelah 3 hari pemaserasian, maserat kemudian disaring. Filtrat dipisahkan dan ampasnya direndam kembali dengan etanol yang baru, maserasi dilakukan 5 kali hingga diperoleh maserat terakhir bewarna jernih. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan rotary evaporator dengan suhu tidak lebih dari 50oC dan diuapkan in vacuo sehingga terpisah pelarut etanol dengan ekstrak kental tumbuhan. Ekstrak kental 20 gr kemudian dimasukkan ke dalam botol vial steril dan disimpan dalam refrigerator dalam suhu 5oC. b. Uji sitotoksik Ekstrak daun Psidium guajava Uji sitotoksisitas dilakukan di Laboratorium Stem Cell, Institut Tropical Disease, Universitas Airlangga. Uji sitotoksik ekstrak daun Psidium guajava menggunakan metode MTT assay. Uji menggunakan mesenchymal stem cells (MSCs) dikarenakan sel tersebut merupakan sel yang sangat sensitif terhadap agen toksik. Perlakuan dan kontrol dibagi atas 5 kelompok ; kelompok I (Konsentrasi 12,5%), kelompok II (konsentrasi 6,25%), kelompok III ( konsentrasi 3,125%), kontrol sel, dan kontrol media. Panen MSCs dilakukan dengan cara mengambil sel dari inkubator CO2 dalam kondisi standar (80% konfluen) untuk dipanen. Panen sel dilakukan sesuai dengan protokol panen sel. Sel sel yang telah dipanen kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 5 kali bertujuan untuk membuang serum yang tesisa. Kultur sel dibagi dalam tissue culture(TS) plate24sumuran (well plate)sesuai dengan jumlah sampel dan kontrol. Masing masing sumuran (well plate) yang digunakan sebagai sumur perlakuan diisi sel sebanyak Âą50000 sel per sumuran. Pengenceran sel dilakukan dengan media kultur (Îą-MEM) sesuai kebutuhan mengikuti protokol penghitungan sel. Sel yang telah memenuhi standar ditransfer ke dalam masing masing sumuran
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[32]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia dan diinkubasi selama 12 jam. Konsentrasi ekstrak daun Psidium guajava yang digunakan adalah konsentrasi 12.5%, 6.25%, dan 3,125%. Masing masing konsentrasi dimasukan kedalam sumuran sebanyak 50µL dan ditambahkan media sel (α-MEM) baru sebanyak 150µL. Plate diinkubasi dalam inkubator CO2 dengan suhu 37oC selama 24 sampai 48 jam . Setelah Inkubasi, media sel dibuang dan dicuci dengan PBS satu kali. Masing masing well plate ditambahkan reagen MTT (5mg/ mL) 25µL per well plate termasuk kontrol media (tanpa sel). Plate kembali diinkubasi selama 4 jam dalam inkubator CO2. Apabila formazan telah jelas terbentuk, stopper DMSO absolut ditambahkan ke dalam well plate. Plate dibungkus dengan kertas aluminium foil dan diletakan di tempat gelap pada temprature 37oC selama 12 jam. Setelah 12 jam, pembungkus plate dibuka dan dilakukan pembacaan absorbansi sel dengan alat ELISA READER (λ=595nm). Untuk mengetahui persentase sel hidup, data yang berasal dari ELISA READER dikonversi melalui rumus 11:
0,05). Semua kelompok memiliki distribusi normal kemudian dilakukan uji parametrik one way ANOVA dengan taraf kemaknaan 5%. Untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda makna dilakukan uji Tukey High Significant Difference (HSD) pada α = 0,05. Kelompok perlakuan yang bermakna adalah yang mempunyai signifikansi kurang dari 0,05 (p < 0,05). Tabel 1. Nilai rerata densitas optik , standar deviasi, dan persentase sel hidup dari ekstrak Psidium guajava
Tabel 2. Hasil uji one way ANOVA nilai densitas optik kristal formazan pada ekstrak daun Psidium guajava konsentarsi 12,5%, 6,25%, dan 3,125%
c. Analisis data Data yang diperoleh ditabulasi dan dilakukan pengujian distribusi normal melalui uji kolmogorofsmirnov.Analisis statistik menggunakan One-way ANOVA (sig. level=0.05%) dilanjukan Tukey High Significant Difference (HSD).
Hasil Hasil nilai rerata densitas optik formazan ekstrak daun Psidium guajava diukur dengan spektrofotometer (ELISA READER)dengan panjang gelombang 595 nm. Tampak pada kelompok perlakuan menunjukan rerata nilai densitas optik kristal formazan ekstrak daun Psidium guajava yang semakin menurun sesuai dengan bertambahnya konsentrasi ekstrak daun Psidium guajava. Persentase sel hidup, yaitu persentase densitas optik, enzim mitokondria dehidrogenasi pada kultur sel MSCs juga terjadi penurunan. Probabilitas normalitas pada kolgomorov-smirnov test menunjukkan semua kelompok mempunyai distribusi normal, didapatkan probabilitas normalitas lebih besar dari 0,05 (p >
Tabel 3.Uji Tukey HSD densitas kristal formazan antar masing masing perlakuan. Keterangan : B = Bermakna TB = Tidak Bermakna
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[33]
Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji
Gambar 1. Persentase sel hidup (Mesenchymal Stem cell) terhadap ekstrak Psidium guajava Pengujian tukey HSD menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok perlakuan 6,25% dan kontrol sel. Hal tersebut menunjukan bahwa bahwa perbedaan sel yang hidup pada konsentrasi 6,25 % (90,1%) tidak berbeda jauh (tidak signifikan) terhadap kehidupan sel pada kontrol sel (100%).
Gambar 2. Kondisi MSCs sebelum (a) dan sesudah (aâ&#x20AC;&#x2122;) perlakuan ekstrak Psidium Guajava. (a) konsentrasi ekstrak psidium guajava 3,125%, (b) konsentrasi ekstrak Psidium Guajava 6,25%, (c) konsentrasi ekstrak Psidium Guajava 12,5%.
Pembahasan Daun Psidium guajava memiliki kandungan tannin 9,1%, alkaloids 6%, phenyl propanoate 2,2% dan flavonoids 2%, minyak esensial 2,05% and asam malat 1,88%. Sebagian besar aktivitas anti bakteri terapi Psidium guajava dipengaruhi oleh flavonoid. Flavonoid telah menunjukkan aktivitas
antibakteri pada ekstrak daun Psidium Guajava. Selain itu, flavonoid lainnya dan triterpen pada daun Psidium guajava menunjukkan aktivitas antispasmodik.12Minyak atsiri yang terkandung dalam ekstrak daun Psidium guajava juga dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan kuman dengan menggangu proses terbentuknya membran atau dinding sel. Telah dilakukan penelitian bahwa ektrak daun Psidium guajava terbukti memiliki kemampuan anti bakteri dominan penyebab karies, Streptococcus mutans. Hal tersebut ditunjukkan pada konsentrasi 12,5% ekstrak Psidium guajava mampu membunuh bakteri Streptococcus mutans, dan pada konsentrasi 6,25% ekstrak Psidium guajava mampu menghambat pertumbuhan bakteri Streptococcus mutans. Meskipun memiliki kemampuan anti bakteri yang baik, suatu material kedokteran gigi harus memiliki biokompatibilitas yang baik sebelum diaplikasikan pada manusia. Suatu biokompabilitas dapat diukur berdasarkan sitotoksisitas lokal, respon imun, alergenitas dan karsinogenitas. Persyaratan biokompabilitas bahan yang akan diaplikasikan dalam bidang kedokteran gigi meliputi tidak membahayakan jaringan lunak dan pulpa, tidak mengandung substansi toksik yang dapat terlepas dan diabsorbsi dalam sirkulasi sehingga menimbulkan respon toksik secara sistemik, bebas dari bahan yang berpotensi menimbulkan alergi, tidak berpotensi sebagai bahan mutagenik penyebab kanker.13 MTT assay adalah metode untuk mengetahui viabilitas suatu sel dengan pemeriksaan kolorimetri aktifitas metabolik sel yang viable. Data hasil penelitian eksperimenal mengenai efek sitotoksik ekstrak daun Psidium guajava pada kultur sel mesensimal didapatkan dengan cara kuantitatif yaitu dengan melihat prosentase jumlah sel yang hidup dalam kultur. Prosentase sel yang hidup dapat diketahui dari hasil pengukuran densitas optik pada MSCs pada masing masing kelompok. Pemeriksaan kuantitatif dengan menggunakan metode MTT assay berdasarkan kemampuan sel hidup mereduksi garam MTT bewarna kuning menjadi formazan garam tetrazolium yang bewarna ungu. Produksi formazan dapat diketahui dengan mengukur
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[34]
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia densitas optik larutan yang dihasilkan. Reaksi warna keunguan digunakan sebagai ukuran jumlah sel hidup. Semakin pekat warna keunguannya semakin tinggi nilai absorbansinya menunjukan semakin banyak jumlah sel yang viabel.16 Hasil penelitian sitotoksiksitas ekstrak daun Psidium guajava menunjukan bahwa pada konsentrasi 12,5%, 6,5% dan 3,125% tidak menimbulkan efek toksik pada MSCs. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase sel hidup kelompok I=60,3 %, kelompok II=90,1%, dan Kelompok III=131,1%.Konsentrasi 3,125% menunjukan persentase sel hidup sebesar 131,5%. Persentase kehidupan sel pada konsentrasi 3,125% melebihi persentase kehidupan sel pada kontrol sel sebesar 100%. Hal tersebut diduga karena unsur unsur mikro yang terdapat pada ekstrak Psidium Guajava menyebabkan proliferasi sel lebih cepat. Persentase jumlah sel hidup semua kelompok masih lebih dari 50%, yang berarti ekstrak daun Psidium guajava tidak dapat dikatakan toksik dikarenakan masih di atas patokan toksisitas atau biokompatibilitas.17 Uji sitotoksisitas dilakukan sebagai salah satu syarat biokompabilitas yang digunakan dalam kedokteran gigi. MTT assay merupakan larutan berwarna kuning dan dapat digunakan sebagai parameter dasar pemeriksaan kolorimetri aktifitas metabolik sel yang viabel. MTT assay berdasar pada kemampuan sel hidup untuk mereduksi garam MTT. Prinsip essay ini adalah pemecahan cincin tetrazolium MTT (3-(4,5-dimethylthiazol2-yl)-2,5-diphenyl tetrazolium bromide) oleh adanya dehidrogenase pada mitokondria yang aktif, menghasilkan produk formazon biru yang tidak larut.13 Produksi formazan dapat dihitung dengan melarutkannya dan mengukur densitas optik dari larutan yang dihasilkan. Reaksi warna biru yang digunakan sebagai ukuran dari jumlah sel hidup. Jumlah sel hidup dapat diukur sebagai hasil produk MTT dengan spektofotometer pada panjang gelombang panjang gelombang 595 nm.8,13,14,16 Konsentrasi hambat minimal (KHM) ekstrak Psidium Guajava terhadap bakteri Streptococcus mutan yakni konsentrasi 6,25% merupakan konsentrasi dengan persentase kehidupan sel yang tidak berbeda jauh nilainya dengan kontrol sel. Konsentrasi membunuh
minimal ekstrak Psidium Guajavasebesar 12,5% menunjukan persentase sel hidup pada MSCs mencapai 60,3%. Telli et al menyatakan bahwa parameter toksisitas berdasarkan CD50 bahwa ukuran suatu bahan dikatakan toksik apabila presentase sel hidup setelah terpapar, kurang dari 50%. Masih banyaknya sel hidup yang melebihi 50% dalam penelitian ini dapat juga disebabkan kadar zat flavonoid (aktivitas anti bakteri) yang terdapat pada ekstrak Psidium guajavaadalah tidak mencapai kadar toksik.
Kesimpulan Ekstrak etanol daun Psidium guajava konsentrasi 12,5%, 6,25%, dan 3,125%. tidak menunjukkan efek toksik pada Mesenchymal Stem Cell (MSCs) sehingga berpotensi sebagai bahan pencegah karies gigi.
Daftar Rujukan
1. Goncalves, flaviae.Antibacterial Activity Of
Guava, Psidium Guajava Linnaeus, Leaf Extracts On Diarrhea-Causing Enteric Bacteria Isolated From Seabob Shrimp, Xiphopenaeus Kroyeri (Heller). Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo. 2008;50(1):11-15, 2. Cรกceres, A.; Fletes, L.; Aguilar, L. et al. -. Plants used in Guatemala for the treatment of gastrointestinal disorders. Confirmation of activity against enterobacteria of 16 plants. Dalam : Goncalves, flaviae. Antibacterial Activity Of Guava, Psidium Guajava Linnaeus, Leaf Extracts On Diarrhea-Causing Enteric Bacteria Isolated From Seabob Shrimp, Xiphopenaeus Kroyeri (Heller). Rev. Inst. Med. trop. S. Paulo. 2008;50(1):11-15 3. http://sp2010.bps.go.id. Accesed April,28 2012[online] 4. Sinaga,Lusiana. Uji Antimikrobial Ekstrak Metanol Daun Psidium guajava Daging Putih Dan Psidium guajava Daging Merah (Psidium Guajava L.)Terhadap Beberapa Spesies Bakteri Patogen. 2008.Skripsi, Univesitas Sumatra utara 5. Ojewole. Antiinflammatory and analgesic effects of Psidium guajava Linn. (Myrtaceae) leaf aqueous extract in rats and mice. Methods Find Exp Clin Pharmacol. 2006;Sep;28(7):441-6. 6. Sudarsono, Gunawan, D., Wahyono, S., Donatus, LA., Purnomo. Tumbuhan Obat II (Hasil Penelitian, Sifat-sifat dan Penggunaan). Yogyakarta: Pusat Studi Obat Tradisional-
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[35]
Sitotoksisitas Ekstrak Daun Jambu Biji Universitas Gadjah Mada. 2002. Adnyana K,Yulinah E, Sigit J,fisheri K, insanu M. Efek ekstrak Daun Psidium guajava daging buah putih dan daun Psidium guajava daging buah merah sebagai anti diare. Acta Pharmaceutica Indonesia. 2004;29. 8. Soeprapto,M. Kultur Jaringan Hewan. Progam Pasca Sarjana Universitas Airllangga, Surabaya . Dalam : Munadziroh, elly,dkk. Sitotoksisitas Bahan Cyanocrylate Vennerdengan MTT Assay. laporan penelitian. Universitas Airlangga. 2003. 9. Ahmadian S,Barar & Amir,omidi. Cellular toxicity of nano genomedicine in MCF-7 cell line:MTT Assay. Journal of visualized Experiment 1191. 2009. 10. Craig & Powers. Restorative Dental Materials. 6th edition,Mosby. Dalam : Meizarini, A. Perbedaan Konsentrasi Bahan Pemutih Gigi Terhadap Sitotoksisitas Menggunakan Essai MTT. 2006. Laporan penelitian. Universitas Airlangga. 2002. 11. Park. Chapter I MTT assay. Available from www.pl.barc.usda.gov. 2006 .Dalam : Meizarini, A. Perbedaan Konsentrasi Bahan Pemutih Gigi Terhadap Sitotoksisitas Menggunakan Essai MTT. Laporan penelitian, Universitas Airlangga. 2006. 12. Meizarini, A. Sitoktosisitas bahan restorasi cyanoacrilate pada variasi powder dan l i q u i d menggunakan MTT assay. Dental Journal. 2005;38(1). 13. http://www.rain-tree.com/plants.Accesed April 29, 2012 [online] 14. Munadziroh, elly,dkk.Sitotoksisitas Bahan Cyanocrylate Venner dengan MTT assay. Laporan Penelitian, Universitas Airlangga. 2003. 15. Rianti, Devi. Sitotoksisitas Karbamid Peroksida sebagai Bahan pemutih Gigi Terhadap Sel Epitel Gingiva Menggunakan Esei MMT. Laporan penelitian. Universitas Airlangga. 2007. 16. Fazwishini dan Hadijono. Uji Sitotoksisitas dengan essei MTT. 2000. JKG UI;7:28-32. Dalam : Munadziroh, elly,dkk. Sitotoksisitas Bahan Cyanocrylate Venner dengan MTT assay. Laporan Penelitian, Universitas Airlangga. 2003. 17. Sananta, panji. Uji Toksisitas Fresh Frozen Tendon Graft Dan Freeze Dried Tendongraft Terhadap Mesensimal Stem Cell. Tesis. Universitas Airlangga. 2010. 18. Telli C, Serper A, Dogan AL, Guc D. Evaluation of the cytotoxicity of calcium phosphate root canal sealers by MTT assay. J. Endodon 1999; 25:811-3. Dalam: Meizarini, Asti. Sitotoksisitas Bahan Restorasi Cyanoacrylat Pada Variasi Perbandingan Powder dan Liquid Menggunakan MTT Assay. Dental Journal. 2005;38(1). 7.
BIMKGI Vol. 1 No. 2 Edisi Januari-Juni 2013
[36]