Jimki vol 3 no1

Page 1


SUSUNAN PENGURUS Penasehat Prof. dr. Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK

dr. I Nyoman Sutarsa, MPH Universitas Udayana

dr. Citra Wulan Sucipta Putri, MPH Universitas Udayana

Penanggung Jawab Andi Qautsar Syahrezo

dr. Luh Virsa Paradissa Universitas Udayana

Universitas Hasannudin

Penyunting Pelaksana Pimpinan Umum Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara Universitas Udayana

Matthew Billy Universitas Indonesia

Made Harumi Padmaswari Universitas Gadjah Mada

Pimpinan Redaksi

Mochamad Iskandarsyah Agung R.

Tjokorda Istri Pramitasuri

Universitas Indonesia

Universitas Udayana

Ni Made Erika Suciari Universitas Udayana

Sekretaris Siti Arifah

Kharisma Ridho Husodo Universitas Brawijaya

Universitas Hasannudin

Bendahara Fahrun Nisa’i Fatimah

Humas dan Promosi Afandi Charles Universitas Padjajaran

Universitas Airlangga

Muhammad Faisal Putro Utomo

Penyunting Ahli Prof. dr. Mohamad Sadikin, D.Sc. Universitas Indonesia

dr. Arta Farmawati, Ph.D Universitas Gadjah Mada

Dr. Dra. Sunarti, M.Kes.

Universitas Udayana

Kevin Ezekia Universitas Udayana

Tata Letak Dewa Ayu Sri Agung Suandewi Universitas Udayana

Universitas Gadjah Mada

dr. Rustamaji, M.Kes.

Dito Setiadarma Universitas Udayana

Universitas Gadjah Mada

Pande Mirah Dwi Anggreni Universitas Udayana

i JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


DAFTAR ISI

ISSN : 2302-6391

Susunan Pengurus .......................................................................................................... i Daftar Isi ............................................................................................................................ ii Petunjuk Penulisan ...................................................................................................... iv Sambutan Pimpinan Umum ...................................................................................... xi

Editorial Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma: Upaya Bijak Jaga Buah Hati Kita Surya Wijaya

............................................................................................................................................... 1

Penelitian Identifikasi Polimorfisme Gen CYP26 Pada Empat Etnis Pada Mayor Penduduk Kota Palembang Enggar Sari Kesuma Wardhani

.........................................................................................................................................................................................................6

Studi Cross Sectional Terapi Hipertropi Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik Di Poliklinik Ginjal Hipertensi Instalansi Rawat Jalan RSUD Dr. Soetomo Irene Sienatra, Aditiawardana, Atika ..................................................................................................................................................................................................... 16

Identifikasi Polimorfisme Gen VEGF 936 C/T Pada Penderita Kanker Payudara Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fajriani Kurnia Rosdi, Surya Wijaya, Muhammad Irsan Saleh, Chairil Anwar, Ika Kartika Putri ..................................................................................................................................................................................................... 23

Phytosome Ekstrak Pegagan Sebagai Modulator Neuregulin-1 Pada Traumatic Brain Injury Putri Fitri Alfiantya, Oktavia Rahayu Adianingsih, Zulkarnaen, Alif Fariz Jazmi, Sitti Ayu Hemas Nurarifah, Wibi Riawan ..................................................................................................................................................................................................... 32

Tinjauan Pustaka IIB-HSD1 Selective Inhibitor Via INCB13739 Guna Penurunan Glucocorticoid Recepror-Îą Pada Pencegahan Komplikasi Pasien Diabetes Gestasional R. Prawira Bayu Putra Dewa, I Made Widiarta Kusuma

ii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


..................................................................................................................................................................................................... 40

The Cardioproctective Effects of Citrus Flavonoid on Doxorubicin-induced Cardiotoxicity Chemotherapy : A Prospective Review Aditya Doni Pradana, Gisca Ajeng Widya N. ..................................................................................................................................................................................................... 53

Artikel Penyegar Konsep Ayurveda Dalam Penatalaksanaan Jantung Koroner Komang Leo Krisnahari ..................................................................................................................................................................................................... 65

Petunjuk Praktis Diagnosis Dan Penatalaksanaan Neurodermatitis Sirkumsripta Surya Wijaya, Rusmawardiana ..................................................................................................................................................................................................... 71

iii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) Indonesia Medical Students Journal Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) merupakan publikasi ilmiah yang terbit setiap 6 bulan sekali setiap bulan Mei dan Desember berada dibawah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dalam mempublikasikan naskah ilmiah dalam berkala ini, maka penulis diwajibkan untuk menyusun naskah sesuai dengan aturan penulisan JIMKI. Ketentuan umum : 1. JIMKI hanya memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan oleh publikasi ilmiah lain. 2. Naskah dengan sampel menggunakan manusia atau hewan coba wajib melampirkan lembar pengesahan kode etik dari institusi yang bersangkutan. 3. Penulisan naskah : a.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dengan baik dan benar, jelas, lugas, serta ringkas.

b.

Naskah diketik menggunakan microsoft word dengan ukuran kertas A4, dua (2) spasi, kecuali untuk abstrak satu (1) spasi, dengan batas margin atas, bawah, kiri dan kanan setiap halaman adalah 2,5 cm.

c.

Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul.

d.

Naskah terdiri dari minimal 3 halaman dan maksimal 15 halaman.

4. Naskah dikirim melalui email ke alamat redaksijimki@bimkes.org dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

Ketentuan menurut jenis naskah : 1 Penelitian asli: hasil penelitian asli dalam ilmu kedokteran, kesehatan masyarakat, ilmu dasar kedokteran. Format terdiri dari judul penelitian, nama dan lembaga pengarang, abstrak, dan isi. 2 Tinjauan pustaka: tulisan naskah review atau sebuah tinjauan terhadap suatu fenomena atau ilmu dalam dunia kedokteran dan kesehatan, ditulis dengan memperhatikan aspek aktual dan bermanfaat bagi pembaca.

iv JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


3 Laporan kasus: naskah tentang kasus yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca. Naskah ini ditulis sesuai pemeriksaan, diagnosis, dan penatalaksanaan sesuai kompetensi dokter dan dokter muda. Format terdiri dari pendahuluan, laporan, pembahasan, dan kesimpulan. 4 Artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan: naskah yang bersifat bebas ilmiah, mengangkat topik-topik yang sangat menarik dalam dunia kedokteran atau kesehatan, memberikan human interest karena sifat keilmiahannya, serta ditulis secara baik. Naskah bersifat tinjauan serta mengingatkan pada hal-hal dasar atau klinis yang perlu diketahui oleh pembaca. 5 Editorial: naskah yang membahas berbagai hal dalam dunia kedokteran dan kesehatan, mulai dari ilmu dasar, klinis, berbagai metode terbaru, organisasi, penelitian, penulisan di bidang kedokteran, lapangan kerja sampai karir dalam dunia kedokteran. Naskah ditulis sesuai kompetensi mahasiswa kedokteran. 6 Petunjuk praktis: naskah berisi panduan diagnosis atau tatalaksana yang ditulis secara tajam, bersifat langsung (to the point) dan penting diketahui oleh pembaca (mahasiswa kedokteran). 7 Advertorial: naskah singkat mengenai obat atau material kedokteran dan kesimpulannya. Penulisan berdasarkan metode studi pustaka.

Ketentuan khusus : 1. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Judul karangan (Title)

b.

Nama dan Lembaga Pengarang (Authors and Institution)

c.

Abstrak (Abstract)

d.

Isi (Text), yang terdiri atas: i. Pendahuluan (Introduction) ii. Metode (Methods) iii. Hasil (Results) iv. Pembahasan (Discussion) v. Kesimpulan vi. Saran vii. Ucapan terima kasih

e.

Daftar Rujukan (Reference)

2. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan pustaka harus mengikuti sistematika sebagai berikut: a.

Judul

b.

Nama penulis dan lembaga pengarang

v JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


c.

Abstrak

d.

Isi (Text), yang terdiri atas: i. Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) ii. Pembahasan iii. Kesimpulan iv. Saran

e.

Daftar Rujukan (Reference)

3. Judul ditulis dengan Sentence case, dan bila perlu dapat dilengkapi dengan subjudul. Naskah yang telah disajikan dalam pertemuan ilmiah nasional dibuat keterangan berupa catatan kaki. Terjemahan judul dalam bahasa Inggris ditulis italic. 4. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis harus disertai dengan institusi asal penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 5. Abstrak harus ditulis dalam bahasa Inggris serta bahasa Indonesia. Panjang abstrak tidak melebihi 200 kata dan diletakkan setelah judul naskah dan nama penulis. 6. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Tidak lebih dari 5 kata, dan sebaiknya bukan merupakan pengulangan kata-kata dalam judul. 7. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 8. Tabel dan gambar disusun terpisah dalam lampiran terpisah. Setiap tabel diberi judul dan nomor pemunculan. Foto orang atau pasien apabila ada kemungkinan dikenali maka harus disertai ijin tertulis. 9. Daftar rujukan disusun menurut sistem Vancouver, diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad.

Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :

1. Naskah dalam jurnal i. Naskah standar

Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996 Jun 1;124(11):980-3. atau

vi JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


Vega Kj, Pina I, Krevsky B. Heart transplantation is associated with an increased risk for pancreatobiliary disease. Ann Intern Med 1996;124:980-3. Penulis lebih dari enam orang Parkin Dm, Clayton D, Black RJ, Masuyer E, Freidl HP, Ivanov E, et al. Childhood leukaemia in Europe after Chernobyl: 5 year follow-up. Br j Cancer 1996;73:1006-12. ii. Suatu organisasi sebagai penulis

The Cardiac Society of Australia and New Zealand. Clinical exercise stress testing. Safety and performance guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. iii. Tanpa nama penulis

Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 1994;84:15. iv. Naskah tidak dalam bahasa Inggris

Ryder TE, Haukeland EA, Solhaug JH. Bilateral infrapatellar seneruptur hos tidligere frisk kvinne. Tidsskr Nor Laegeforen 1996;116:41-2. v. Volum dengan suplemen

Shen HM, Zhang QF. Risk assessment of nickel carcinogenicity and occupational lung cancer. Environ Health Perspect 1994;102 Suppl 1:275-82. vi. Edisi dengan suplemen

Payne DK, Sullivan MD, Massie MJ. Women`s psychological reactions to breast cancer. Semin Oncol 1996;23(1 Suppl 2):89-97. vii. Volum dengan bagian

Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine sialic acid in noninsulin

dependent diabetes

mellitus.

Ann

Clin

Biochem

1995;32(Pt 3):303-6. viii. Edisi dengan bagian

Poole GH, Mills SM. One hundred consecutive cases of flap laceration of the leg in ageing patients. N Z Med J 1990;107(986 Pt 1):377-8. ix. Edisi tanpa volum

Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 1995;(320):110-4.

vii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


x. Tanpa edisi atau volum

Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of cancer patient and the effects of blood transfusion on antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993;325-33. xi. Nomor halaman dalam angka Romawi

Fischer GA, Sikic BI. Drug resistance in clinical oncology and hematology. Introduction. Hematol Oncol Clin North Am 1995 Apr;9(2):xi-xii.

2. Buku dan monograf lain i. Penulis perseorangan

Ringsven MK, Bond D. Gerontology and leadership skills for nurses. 2nd ed. Albany (NY): Delmar Publishers; 1996. ii. Editor, sebagai penulis

Norman IJ, Redfern SJ, editors. Mental health care for elderly people. New York: Churchill Livingstone; 1996. iii. Organisasi dengan penulis

Institute of Medicine (US). Looking at the future of the Medicaid program. Washington: The Institute; 1992. iv. Bab dalam buku

Philips SJ, Whisnant JP. Hypertension and stroke. In: Laragh JH, Brenner BM, editors. Hypertension: patophysiology, diagnosis, and management. 2nd ed. New York: raven Press; 1995.p.465-78. v. Prosiding konferensi

Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in clinical neurophysiology. Proceedings of the 10th International Congress of EMG and Clinical Neurophysiology; 1995 Oct 15-19; Kyoto, Japan. Amsterdam: Elsevier; 1996. vi. Makalah dalam konferensi

Bengstsson S, Solheim BG. Enforcement of data protection, privacy and security in medical information. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE, Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992 Sep 6-10; Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-Hollan; 1992.p.1561-5.

viii JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


vii. Laporan ilmiah atau laporan teknis a. Diterbitkan oleh badan penyandang dana/sponsor:

Smith P, Golladay K. Payment for durable medical equipment billed during skilled nursing facility stays. Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human Services (US), Office of Evaluation and Inspection; 1994 Oct. Report No.: HHSIGOEI69200860. b. Diterbitkan oleh unit pelaksana

Field MJ, Tranquada RE, Feasley JC, editors. Helath services research: work force and education issues. Washington: National

Academy

Press;

1995.

Contract

no.:

AHCPR282942008. Sponsored by the Agency for Health Care Policy and research. viii. Disertasi

Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly/access and utilization [dissertation]. St. Louis (MO): Washington univ.; 1995. ix. Naskah dalam Koran

Lee G. Hospitalizations tied to ozone pollution: study estimates 50,000 admissions annually. The Washington Post 1996 Jun 21;Sect A:3 (col. 5). x. Materi audiovisual

HIV + AIDS: the facts and the future [videocassette]. St. Louis (MO): Mosby-Year book; 1995.

3. Materi elektronik i. Naskah journal dalam format elektronik

Morse SS. Factors in the emergence of infectious disease. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-Mar [cited 1996 Jun 5]:1(1):[24 screens]. Available from: URL: HYPERLINK http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm ii. Monograf dalam format elektronik

CDI, clinical dermatology illustrated [monograph on CD-ROM]. Reeves JRT, Maibach H. CMEA Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0. San Diego: CMEA; 1995.

ix JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


iii. Arsip computer

Hemodynamics III: the ups and downs of hemodynamics [computer program]. Version 2.2. Orlando (FL): Computerized Educational Systems; 1993

x JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


SAMBUTAN PIMPINAN UMUM , Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia (JIMKI) volume 3 nomor 1. JIMKI bukan hanya sekadar

wadah

publikasi

ilmiah,

namun

JIMKI

juga

merupakan

representatif

perkembangan keilmiahan mahasiswa kedokteran di seluruh Indonesia. Pada tahun ini, JIMKI yang memasuki tahun ke-8 terus berusaha untuk mempertahankan eksistensi dan juga kualitas artikel – artikel yang diterbitkan sehingga dapat memberikan manfaat bagi seluruh pembaca. Dalam edisi ini, antusiasme mahasiswa kedokteran untuk bisa mempublikasikan karyanya di JIMKI sangat tinggi. Hal ini terbukti dengan meningkatnya jumlah artikel yang masuk ke bagian redaksi, yaitu 25 artikel yang kemudian diseleksi hingga terpilihlah 9 artikel. Penyeleksian dilakukan dengan bantuan mitra bebestari (MitBes) yang berasal dari tiga Universitas, yaitu UI, UGM, dan UNUD. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas dan objektifitas dari artikel yang dimuat di JIMKI. Mempublikasikan suatu karya bertujuan untuk menyebarluaskan ide dan gagasan yang kita miliki sehingga karya kita berhak mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Di samping itu, publikasi ilmiah juga merupakan salah satu syarat kelulusan bagi S1, maka dari itu sudah seharusnya budaya menulis ilmiah semakin meningkat di kalangan mahasiswa kedokteran. Dan perlu diingat bahwa hal paling penting dari suatu tulisan adalah kebermanfaatannya bagi masyarakat. Maka dari itu, marilah berkarya demi kemajuan ilmu pengetahuan di bidang kedokteran sehingga dapat menghasilkan suatu tulisan yang berkualitas dan memiliki manfaat yang berharga bagi umat manusia. Pada kesempatan ini saya mewakili JIMKI ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung JIMKI dari awal hingga akhir yang namanya tidak bisa saya tuliskan satu per satu. Terakhir saya ingin mengutip sebuah quote favorit saya dari Pramoedya Ananta Toer yang berbunyi,“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Mari kita tingkatkan iklim menulis ilmiah di kalangan mahasiswa kedokteran Indonesia. Cogito Ergo Sum !

Ni Putu Ayu Astri Prana Iswara Pimpinan Umum Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Indonesia

xi JIMKI Volume 3 No.1 | Januari – Juni 2015


Editorial

MANAJEMEN DETEKSI DINI TERPADU RETINOBLASTOMA: UPAYA BIJAK JAGA BUAH HATI KITA 1

Surya Wijaya Mahasiswa Fakultas Kedokteran Sriwijaya, Palembang 1

Sekilas Tentang Kanker pada Anak dan Retinoblastoma Mendengar kata anak, tersirat harapan besar di dalamnya. Anak-anak merupakan kelompok penduduk usia muda yang mempunyai potensi untuk dikembangkan agar dapat melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta memiliki peran strategis, mempunyai ciri atau sifat khusus yang akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Hasil Sensus Penduduk 2010 menunjukkan 237.641.326 orang di Indonesia, sekitar 34,26% adalah anak-anak usia 0-17 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa berinvestasi untuk anak adalah berinventasi untuk sepertiga penduduk Indonesia. Untuk itu, anak perlu dilindungi dan dipenuhi hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, dan berkembang dalam suatu lingkungan yang layak, [1] termasuk hak hidup sehat. Di samping permasalahan gizi, kanker pada anak merupakan masalah kesehatan yang mendapat sorotan akhir-akhir ini. Seiring dengan peningkatan jumlah kanker secara umum, angka kejadian kanker pada anak terus meningkat, diperkirakan 24% dari seluruh kejadian kanker pada manusia. Data statistik resmi dari International Agency of Research Cancer (IARC) menunjukkan setiap tahun terdapat lebih dari 200.000 kasus baru kanker anak di seluruh dunia dan sekitar 80% kasus terjadi di negara berkembang. Data lain dari International Confederation of Childhood Cancer Parents Organizations (ICCCPO) memperkirakan bahwa lebih dari 100.000 anak dengan kanker meninggal sia-sia setiap tahunnya. Jika diperinci ada sekitar lebih dari 250 anak/hari atau sekitar lebih dari 10 anak/jam meninggal [2] akibat kanker.

Universitas

Di Indonesia, saat ini diperkirakan terdapat kira-kira 11.000 kasus kanker anak. Angka ini diprediksi akan terusmeningkat, diperkirakan terdapat 650 kasus baru pertahunnya untuk kanker anak. Sebagian besar penderita kanker ini berasal dari keluarga yang tidak [2] mampu. Kanker pada anak memang berbeda dari kanker yang dijumpai pada orang dewasa. Kanker pada orang dewasa dapat dicegah, sementara kanker pada anak tidak. Menurut data yang diperoleh dari Rumah Sakit Kanker Dharmais pada tahun 2006, lebih kurang 50% pasien yang datang sudah dalam keadaan stadium lanjut sehingga penanganan kanker pada anak cukup [3] sulit. Salah satu jenis kanker yang paling sering terjadi di Indonesia adalah retinoblastoma. Retinoblastoma menduduki peringkat kedua kanker pada anak setelah leukemia, disusul oleh limfoma (kanker kelenjar getah bening), neuroblastoma (kanker saraf), kanker ginjal (tumor Wilms), rabdomiosarkoma (kanker otot lurik), [4] dan osteosarkoma (kanker tulang). Retinoblastoma merupakan keganasan mata yang paling sering terjadi pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma adalah tumor intraokular yang paling sering terjadi pada bayi dan anak yang berjumlah sekitar 3% dari seluruh tumor pada anak. Secara umum, frekuensi retinoblastoma 1:14.000 sampai 1:20.000 kelahiran [5] hidup. Di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 250-500 kasus baru retinoblastoma setiap tahun. Di Meksiko dilaporkan 6-8 kasus per juta populasi dibandingkan dengan Amerika Serikat [6] sebanyak 4 kasus per juta populasi. Sebagian besar bayi dan anak datang pada stadium lanjut, ketika keluarga melihat tanda leukokoria (pupil

1 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


berwarna putih), pupil terlihat bercahaya, berkilauan atau seperti mata kucing. Strabismus (esotropia atau eksotropia) ditemukan pada 25% kasus. Kadang-kadang terdapat hemorrhagi vitreous, hifema, inflamasi okular atau periokular, glaukoma, proptosis, dan hipopion. Pada keadaan dini, tumor dalam neurosensori retina berbentuk [5],[7] datar, transparan atau sedikit putih. Pentingnya Deteksi Dini Retinoblastoma Fakta yang menarik dari retinoblastoma adalah dari sekian banyak kanker yang dapat ditemui pada anak, retinoblastoma adalah satu-satu kanker yang dapat dideteksi secara [3] dini. Lebih dari 95% anak dengan retinoblastoma di Amerika Serikat dan di beberapa negara maju bertahan hidup dan hanya sekitar 50% anak yang bertahan di seluruh dunia. Perbedaan yang terjadi disebabkan oleh adanya deteksi dini di negara maju yang mana tumor masih berada pada stadium awal, sedangkan pada negara berkembang retinoblastoma sering baru terdeteksi setelah ada invasi ke rongga orbita atau [6] otak. Fakta lain yang mendukung pentingnya deteksi dini retinoblastoma adalah anak-anak di negara berkembang yang didiagnosis retinoblastoma pada stadium dini mempunyai prognosis yang sangat baik. Sekitar 95% anak-anak penderita retinoblastoma dapat bertahan hidup. Faktor yang paling penting yang berhubungan dengan perburukan prognosis adalah adanya perluasan tumor ke daerah ekstraokuler yang lebih sering terjadi melalui nervus optik atau dapat juga terjadi secara langsung [7] menembus sklera. Hal lain yang mendukung pentingnya deteksi dini retinoblastoma karena kanker sulit untuk dicegah karena bersifat familial. Sampai saat ini, kanker yang diketahui diturunkan secara genetik ada dua, yaitu kanker payudara pada dewasa dan retinoblastoma yang [4] diderita anak-anak. Di Indonesia, data secara lengkap tentang insidens retinoblastoma memang belum ada. Namun, penelitian di Surabaya menunjukkan adanya peningkatan angka penderita retinoblastoma hingga 35 pasien per

tahunnya. Selama tahun 2010 di RSU dr. Soetomo hanya ada 18 orang anak yang terdiagnosa menderita penyakit tumor ganas itu, bahkan hingga 2012 hingga April 2012, tiap minggunya ada dua operasi tumor mata yang [8] dilakukan. Data di atas merupakan data pasien yang terdiagnosis, belum ditambah angka kejadian keseluruhan yang tidak terdiagnosis di masyarakat. Seperti kita ketahui, retinoblastoma menimbulkan fenomena gunung es di mana sebenarnya masih banyak kasus lain yang belum terkuak karena masih rendahnya pengetahuan masyarakat tentang retinoblastoma, bahkan banyak yang menganggap retinoblastoma hanya kelainan sementara yang dapat hilang saat usia anak beranjak dewasa. Padahal sesungguhnya, seiring dengan perjalanan waktu, retinoblastoma akan merenggut mata, bahkan nyawa [3],[8] penderitanya secara cepat. Retinoblastoma ini sangat membahayakan kehidupan bila tidak diobati secara tepat, dapat berakibat fatal karena dalam satu sampai dua tahun setelah didiagnosis akan bermetastase jauh secara hematogen. Sel tumor mungkin juga melewati kanal atau melalui sklera untuk masuk ke orbita. Perluasan ekstraokular dapat mengakibatkan proptosis sebagaimana tumor tumbuh dalam orbita. Pada bilik mata depan, sel tumor menginvasi jaringan trabekular, memberi jalan masuk ke limfatik konjungtiva, kemudian timbul kelenjar limfe preaurikular dan servikal yang dapat teraba..Tempat metastasis retinoblastoma yang paling sering pada anak mengenai tulang kepala, tulang distal, otak, vertebra, kelenjar limfe dan organ visera abdomen. Jadi, retinoblastoma bukan hanya mengancam menjadi sebab kebutaan, tetapi dapat membawa pada kematian karenan keganasannya. Oleh karena itu, deteksi sejak dini penting sebagai upaya pencegahan morbiditas dan mortalitas agar penderitanya [5],[7] memiliki harapan hidup yang tinggi. Manajemen Deteksi Dini Terpadu Retinoblastoma Deteksi dini terpadu retinoblastoma memang penting karena secara umum deteksi dan penanganan

2 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


yang lebih awal akan memperbesar kemungkinan pencegahan metastasis tumor ke saraf optik dan jaringan orbita. Namun, deteksi ini harus diatur sedemikian rupa agar berjalan optimal dan memberikan hasil yang signifikan. Saat penyakit ditemukan pada mata, angka harapan hidup melebihi 95%. Walaupun dengan penyebaran ekstraokular, angka harapan hidup menurun sampai kurang dari 50%. Selanjutnya, deteksi dini juga mendukung suksesnya strategi terapi dengan sasaran pertama yang harus adalah mempertahankan kehidupan, mempertahankan bola mata, dan akhirnya menjaga supaya tajam penglihatan (visus) dan kosmetiknya [9] tetap baik. Pertama-tama, perlu diketahui dulu mengapa anak penderita retinoblastoma sering kali dibawa oleh fase lanjut. Sama seperti halnya pada kanker anak lainnya, penyebabnya adalah kurangnya masyarakat mendapat informasi tentang retinoblastoma, kurangnya pengetahuan orang tua tentang gejala retinoblastoma dan pentingnya pengenalan dini, serta kurangnya penanganan segera terhadap anak yang terkena [4] retinoblastoma. Banyak orang yang belum mengetahui kalau balita bisa terkena kanker mata (retinoblastoma). Balita yang berisiko terkena penyakit ini disebabkan faktor genetik atau keturunan dari garis ibu atau ayahnya yang juga pernah mengalami penyakit tersebut. Minimnya pengetahuan dan rendahnya kesadaran untuk memeriksakan anak menjadi hambatan pencegahan penyakit secara dini. Bahkan, ketika si anak sudah didiagnosa terkena tumor pun, masih ada orang tua yang menolak dilakukan [8] operasi karena masalah biaya. Penanganan, termasuk deteksi dini retinoblastoma yang banyak diidap oleh masyarakat kelas bawah memerlukan perhatian dari banyak pihak. Pihak-pihak yang terkait tersebut adalah keluarga (terutama orang tua), masyarakat, dokter, media massa, pihak sponspor atau yayasan tertentu, dan pemerintah. Orang tua merupakan garda terdepan pendeteksi sel kanker retinoblastoma pada buah hatinya

karena kasus retinoblastoma bilateral secara khas terdeteksi pada tahun pertama kehidupan dalam keluarga dan pada kasus sporadik unilateral didiagnosis antara umur 1–3 tahun. Hal tersebut dapat membuat penyakit mematikan ini menjadi lebih mudah [10] dijinakkan. Edukasi pada orang tua sangatlah penting, terutama jika ditemuinya adanya riwayat keluarga retinoblastoma. Orang tua harus waspada apabila terlihat tanda-tanda berupa mata merah, berair, bengkak, meski sudah diberi obat mata tidak mempan juga, atau di waktu gelap, mata si anak seolah bersinar seperti kucing bisa dikatakan bahwa si anak tersebut terindikasi penyakit [9],[11],[12] retinoblastoma. Selain itu, orang tua sebaiknya mengajak anak-anaknya untuk melakukan skrining dan pemeriksaan mata anak pada saat baru lahir, usia 6 bulan, usia 3-4 tahun, dan dilanjutkan pemeriksaan rutin pada usia 5 tahun ke atas. Setidaknya anak diperiksakan ke dokter mata setiap 2 tahun dan harus lebih sering apabila telah ditemukan masalah spesifik atau terdapat faktor [10],[13] risiko. Hal lain yang perlu dicermati adalah anak yang menderita retinoblastoma biasanya berada pada umur preverbal, belum bisa berbicara dan berkomunikasi dengan baik, sehingga kehilangan visus tidak diketahui. Oleh karena itu, gejala pertumbuhan tumor berupa strabismus yang menyebabkan visus memburuk sehingga mata berdeviasi, umumnya berdeviasi ke dalam perlu diamati. Anak yang menderita strabismus harus diperiksa matanya pada keadaan pupil besar untuk menyingkirkan tumor [11] intraokuler. Masyarakat juga merupakan bagian terpenting dalam deteksi retinoblastoma. Namun, banyak masyarakat yang tidak menyadari bahaya retinoblastoma karena gejala penyakitnya sering dianggap penyakit mata biasa. Pilihan turun ke masyarakat untuk melakukan edukasi perlu dilakukan dan dipercaya cukup berhasil mengubah pemahaman masyarakat untuk segera memeriksakan kelainan dalam stadium awal. Hal ini ditunjukkan melalui fakta bahwa edukasi

3 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


yang dilakukan di 142 Puskesmas di DKI Jakarta dengan menggandeng Yayasan kanker Anak telah berhasil mengubah pola pemahaman keluaraga pasien. Mereka yang datang memeriksa ke klinik tidak lagi yang berada pada fase proptosis melainkan stadium awal [13] (intraokular). Pemanfaatan organisasi kemasyarakatan dan sekolah, seperti Karang Taruna, PKK, dan Usaha Kesehatan Sekolah melalui peran dokter cilik pun sebagai kader masyarakat untuk mendeteksi dini retinoblastoma dan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang terkait dengan retinoblastoma. Dokter merupakan pihak yang berperan penting dalam deteksi dini retinoblastoma, khususnya dokter puskesmas. Pemeriksaan sederhana menggunakan lampu senter dan oftalmoskop di tingkat puskesmas dapat membantu skrining retinoblastoma secara umum. Pada tahap skrining dapat ditemukan beberapa tanda awal retinoblastoma, antara lain manik mata berwarna putih (lekokoria), mata kucing, dan mata juling. Bila tidak segera ditangani, sel kanker yang awalnya berada di dalam bola mata akan terus tumbuh ke luar bola mata dan jaringan sekitarnya. Akibatnya mata tampak [13] menonjol (proptosis). Apabila ditemukan kelainan, anak harus segera diperiksakan ke dokter spesialis mata atau rumah sakit untuk pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut. Penanganan yang terlambat selain dapat menimbulkan kebutaan, juga menyebabkan sel kanker menyebar ke bagian tubuh lain, seperti sumsum [9] tulang dan otak. Dokter juga berperan dalam monitoring yang ketat pada pasien retinoblastoma dan anggota keluarganya karena hampir 20% pasien dengan tumor unifokal unilateral mempunyai kemungkinan untuk menderita retinoblastoma pada mata lainnya. Risiko ini menurun dengan bertambahnya umur, dan semakin rendah setelah menginjak umur 24 bulan. Pada retinoblastoma herediter, pasien dan keluarga harus diperiksa setiap 4 bulan sampai umur 3 atau 4 tahun, lalu setiap 6 bulan sampai umur 6 tahun. Dokter juga berperan penting dalam hal edukasi terhadap keluarga

pasien serta memotivasi anak penderita retinoblastoma dan keluarganya, terutama terkait risiko tinggi kebutaan [9],[11] yang dihadapinya. Media massa pun memegang peranan penting dalam deteksi dini retinoblastoma. Penyebaran informasi melalui koran, majalah, dan artikel internet memberikan pengetahuan tentang gejala dan bahaya retinoblastoma kepada orang tua, dokter dan masyarakat. Media massa juga dapat berfungsi sebagai perpanjangan tangan yang mempermudah akses bantuan dari yayasan kanker dan pihak sponsor kepada penderita [8],[10],[12],[14] retinoblastoma. Masalah lain yang dihadapi penderita retinoblastoma dan keluarganya adalah masalah biaya. Mahalnya biaya pengobatan sering menjadi kendala. Biaya operasi dan pengobatan kanker lainnya yang tidak hanya dilakukan 3-5 kali membuat beban penderita atau orang di sekelilingnya semakin bertambah. Selain itu, di samping pemeriksaan oleh dokter spesialis mata, diperlukan juga serangkaian pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis retinoblastoma makin memperberat [13] beban pasien dan keluarganya. Di sinilah peran yayasan-yayasan yang bergerak di bidang kanker, seperti gerakan Masyarakat Peduli Kanker Anak Indonesia dan pihak sponspor untuk membantu meringankan biaya pengobatan atau perawatan pasien retinoblastoma, khususnya bagi anak penderita kanker yang tidak mampu. Yayasan dan pihak sponspor ini juga dapat memberikan bantuan penyebaran [10] informasi mengenai kanker. Pemerintah sebagai pemegang kebijakan kesehatan tertinggi pun perlu mempublikasikan pentingnya deteksi dini retinoblastoma secara luas kepada masyarakat melalui iklan dan brosur di tempat layanan umum, misalnya menginformasikan tentang gejala dan dampak yang ditimbulkan oleh retinoblastoma. Selain itu, dukungan dana untuk pengobatan retinoblastoma pun menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah melalui pemberian dana sosial, misalnya melalui jaminan kesehatan masyarakat kepada pasien [8] retinoblastoma.

4 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Berdasarkan uraian di atas, manajemen terpadu deteksi dini retinoblastoma yang melibatkan berbagai pihak terkait memang merupakan salah satu bentuk langkah awal menuju penanganan retinoblastoma yang baik untuk mempertahankan kehidupan, mempertahankan bola mata, dan akhirnya menjaga supaya tajam penglihatan dan kosmetiknya tetap baik. Terpadu di sini, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya terpadu dalam pengelolaannya. Walaupun demikian, dalam pelaksanaan manajemen terpadu deteksi retinoblastoma ini terpadu tidaklah mudah, berbagai pihak perlu mendukung pelaksanaan program ini. Melalui kesadaran peran masingmasing, retinoblastoma diharapkan tidak lagi merenggut kebahagiaan penderita dan keluarganya. Early Detection Today, Protect Our Children from Retinoblastoma. REFERENSI 1. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak & Badan Pusat Statistik. Profil Anak Indonesia 2011. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 2011; 1-3. 2. Yayasan Onkologi Anak Indonesia. Fakta dan Angka Kanker pada Anak. Diunduh dari: http://yoaifoundation.org/childhoodcancer/fact-and-figures/, diakses pada tanggal 25 Desember 2013 3. Rumah Sakit Dharmais. Kanker Pada Anak, Dapatkah Dicegah? Diunduh dari: http://www.dharmais.co.id/index.php /kanker-pada-anak.html, diakses pada tanggal 25 Desember 2013 4. Yayasan Onkologi Anak Indonesia. Jenis Kanker Anak dan Pencegahan Dini. Diunduh dari: http://yoaifoundation.org/childhoodcancer/types-of-child-cancer-andprevention/, diakses pada tanggal 1 September 2012. 5. Skuta GL, Cantor LB, Weiss JS, Ocular and Periocular Tumors In Children (Chapter 26), San Francisco : American Academy of Ophthalmology ; 2011.p.354-361

6. Wilson ME, Pediatric Ocular Tumors and Stimulating Lesions in Pediatric Ophthalmology Current Thought and A Practical Guide, Berlin: Springer; 2009.p.403-416 7. Shome D, Garg A, Retinal Tumors in Pediatric Ophthalmology Instant Clinical Diagnosis in Ophthalmology, New Delhi: Jaypee Brother Medical Publishers; 2009.p.709-715. 8. Soebadjo H. Waspadai Gejala Tumor Mata pada Anak. Diunduh dari: http://www.surabayapost.co.id/?mnu =berita&act=view&id=515eae905bff 018efd23f8d2be7a7076&jenis=c81e 728d9d4c2f636f067f89cc14862c, diakses pada tanggal 25 Desember 2013. 9. Rahman A. Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Retinoblastoma. Suplemen Majalah Kedokteran Andalas Dalam Rangka Dies Natalis 53 FK Unand. h. 57-62. 10. Arsito. Penting, Peran Orangtua Mendeteksi Kanker pada Anak. Diunduh dari: http://www.beritasatu.com/mobile/ke sehatan/33831-penting-peranorangtua-mendeteksi-kanker-padaanak.html, diakses pada tanggal 2 September 2012. 11. Sayuti, Kemala. Deteksi dan Manajemen Retinoblastoma. th Dipresentasikan pada The 9 Sumatera Ophthalmology Meeting, pada tanggal 10 Maret 2012. 12. Rahma LS. Orangtua, Garda Terdepan Penanganan Kanker Anak. Diunduh dari: http://health.detik.com/read/2012/04/ 23/100403/1898772/775/orangtuagarda-terdepan-penanganankanker-anak, diakses pada tanggal 25 Desember 2013. 13. Sitorus RS. Mata Sehat untuk Anak Indonesia. UNIVERSITARIA Vol.10 No.4, November 2010. p. 14. 14. Dasrinal. Kanker Mata Bisa Memicu Kematian. Diunduh dari: http://www.radarlampung.co.id/read/ bandarlampung/metropolis/42625kanker-mata, diakses pada tanggal 25 Desember 2013.

5 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Penelitian

IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN CYP2A6 PADA EMPAT ETNIS MAYOR PENDUDUK KOTA PALEMBANG 1

1

Mahasiswa Palembang

Enggar Sari Kesuma Wardhani Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya,

ABSTRAK Pendahuluan:Variasi respon obat dapat mengakibatkan kegagalan terapi dan/atau efek samping pada individu dan subpopulasi. Faktor genetik mempunyai pengaruh paling besar sebagai penyebab variasi ini. Enzim sitokrom P450 2A6 (CYP2A6) merupakan enzim yang terlibat dalam reaksi fase satu metabolisme xenobiotik pada sel hati. CYP2A6 berperan dalam metabolisme koumarin, nikotin tembakau, dan nitrosamin. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran genotip dan alel gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada empat etnis mayor penduduk Kota Palembang, yaitu: etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India. Metode:Penelitian ini berjenis deskriptif observasional kepada 69 partisipan penelitian yang terdiri dari 4 etnis mayor penduduk Kota Palembang. Data yang diambil merupakan data primer dan dilakukan konfirmasi kemurnian etnis melalui pengisian kerangka pedigree tiga generasi berturut-turut. Identifikasi polimorfisme CYP2A6 dilakukan dengan metode single-step PCR (Polymerase Chain Reaction) amplifikasi dan dilanjutkan dengan RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) menggunakan enzim XcmI untuk deteksi alel varian CYP2A6*2 dan enzim DdeI untuk deteksi alel varian CYP2A6*3. Hasil:Distribusi genotip CYP2A6*1/*1 pada partisipan penelitian menghasilkan sebaran 69/69(100%) pada keempat etnis. Frekuensi genotip CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3, *3/*3 pada keempat etnis bernilai 0/69 (0%). Distribusi alel CYP2A6*1 sebesar 69/69(100%), CYP2A6*2 0/69(0%), dan CYP2A6*3 0/69(0%). Simpulan:Tidak ditemukan mutasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6 pada partisipan penelitian etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India penduduk Kota Palembang. Kata kunci: CYP2A6, Polimorfisme, Genotip, Alel, Melayu, Tionghoa, Arab, India ABSTRACT Introduction:Variations in drug response may lead to treatment failure and/or adverse effects on individuals and subpopulations. Genetic factors have the greatest influence as the cause of this variation. The enzyme cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) is an enzyme involved in xenobiotics metabolism phase in liver cells. CYP2A6 plays a role in the metabolism of coumarin, nicotine, and nitrosamine. This study aims to reveal the genotype and allele gene variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 of CYP2A6 gene on four major ethnic of Palembang population, that is: ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian population in Palembang. Method:This study is a descriptive observational approach to 69 participants. The data were taken are the primary data and confirmation of ethnic was done by filling the pedigree form of three generations. Identification of CYP2A6 polymorphisms was conducted by single-step PCR amplification and continued by RFLP detection using XcmI enzyme for variant alleles CYP2A6*2 and DdeI enzyme for the detection of variant alleles CYP2A6*3. Result:The distribution of genotype CYP2A6*1/*1 on participants were founded 69/69 (100%) in the four ethnic groups. The frequency of genotype CYP2A6*1/*2, *1/*3, *2/*2, *2/*3, *3/*3 in all four ethnics are 0/69 (0%). Frequencies of CYP2A6*1 allele founded 69/69 (100%), CYP2A6*2 0/69 (0%), and CYP2A6*3 0/69 (0%).

6 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


Conclution:Allele variant CYP2A6*2 and CYP2A6*3 mutation was not found in the study participants' ethnic Malay, Chinese, Arab, and Indian of Palembang population. Key Words: CYP2A6, Polymorphism, Genotype, Allele, Malay, Chinese, Arab, Indian 1. PENDAHULUAN Variasi respon obat antar individu merupakan masalah utama dalam praktik kedokteran dan perkembangan obat di dunia. Hal ini mengakibatkan kegagalan terapi dan/atau efek samping [1] pada individu dan subpopulasi. Di Indonesia, penerapan sistem kesehatan universal coverage yang belum optimal menyebabkan terjadinya perbedaan efektivitas obat antar individu, sehingga menjadi beban ekonomi tersendiri hingga menghasilkan fenomena Sadikin: sakit sedikit jadi miskin yang menjadi wacana kesehatan serius di semua strata ekonomi Indonesia. Variasi respon obat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan dalam proses metabolisme obat, sehingga mengakibatkan perbedaan besar kadar obat dalam plasma antar individu pada [2] kondisi steady state. Faktor genetik menyebabkan variasi metabolisme obat karena adanya proses mutasi dan seleksi informasi genetik yang disandi oleh DNA yang diturunkan dari satu [3] generasi ke generasi berikutnya. Dari sedemikian banyak gen yang bertanggung jawab dalam proses metabolisme xenobiotik tahap I, lebih dari lima puluh persennya merupakan [4] peran dari sitokrom P450 (CYP). Salah satu sub famili enzim CYP adalah CYP2A6. Gen CYP2A6 menyandi enzim CYP2A6 yang berperan dalam metabolisme beberapa obat-obatan penting seperti reaksi 7-hidroksilasi antikoagulan koumarin, nikotin, obat antagonis reseptor platelet-activating factor SM012502, obat neuroprotektif chlormethiazone, aktivasi zat-zat prekarsinogen seperti 1,3-butadien-2,6diklorobenzonitril, nicotine-derived nitrosamine keton (NNK), nitrosamine metabolite 4-(methylnitrosamino)-1-(3pyridyl)-1butanol (NNAL), nnitrosodiethylamine (NDEA) dan nitrosonornicotine (NNN), aktivasi atau inaktivasi beberapa prokarsinogen dalam asap rokok, yang dapat menyebabkan seseorang menderita [5],[6],[7] kanker paru.

Penelitian Fernandez-Salguero et al memperlihatkan bahwa jika enzim CYP2A6 dibuat sebaran frekuensi kecepatan metabolisme obat-obatan tertentu dalam suatu populasi, maka akan diperoleh ciri khas adanya distribusi dengan dua modus [8] (bimodal). Modus pertama menggambarkan sebaran extensive metabolizer (EM) yang menghasilkan enzim dengan aktivitas normal, sedangkan modus kedua menggambarkan sebaran poor metabolizer (PM) yang mengalami defek aktivitas. Perbedaan sebaran ini membuktikan bahwa terdapat polimorfisme genetik pada gen [5],[8] CYP2A6. Adanya polimorfisme gen CYP2A6 dibuktikan dengan adanya alelalel varian selain alel normal (wild type) CYP2A6*1. Sampai saat ini telah diidentifikasi 41 alel varian yang dimulai dari CYP2A6*2 sampai rs8192726. Alel varian CYP2A6*2 dilaporkan menyandi protein dengan subtitusi Leu160His sehingga menyebabkan enzim menjadi inaktif, sedangkan alel varian CYP2A6*3 merupakan alel hibrid yang dihasilkan akibat konversi multipel dengan gen [8],[9] inaktif CYP2A7. Sejauh ini data mengenai gambaran fenotip dan genotip gen-gen yang berperan dalam metabolisme obat di Indonesia masih terbatas dan belum lengkap. Data tentang fenotip dan genotip CYP2A6 di Indonesia belum tersedia. Palembang merupakan salah satu ibukota di Indonesia dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan beretnis beragam. Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran genotip dan alel gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada empat etnis mayor penduduk Kota Palembang, yaitu: etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India. Dengan diketahui adanya polimorfisme gen CYP2A6 pada populasi masyarakat Palembang, dapat digunakan sebagai acuan menentukan dosis obat sesuai dengan data gena bangsa Indonesia sendiri. Hal ini membuat efek samping,

7 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


toksisitas, dan penyakit yang berhubungan dengan efek samping obat dapat dicegah. Selain itu, pencegahan aktivasi prekarsinogen paru akibat paparan asap rokok dan prekarsinogen hati akibat konsumsi jamu pun dapat dihindari. 2. METODE Berdasarkan ruang lingkupnya, penelitian ini merupakan penelitian laboratorium berjenis deskriptif observasional. Gen CYP2A6 diamplifikasi dengan metode PCRRFLP. Data dianalisis menghasilkan pola distribusi frekuensi gen CYP2A6, varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 baik genotip maupun alel masing-masing etnis. Data tersebut diolah menjadi pola distribusi frekuensi genotip dan alel keempat etnis yang diteliti berdasarkan sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, dan kebiasaan merokok. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit dr. Mohammad Hoesin Palembang selama periode November 2012-Januari

2013. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive random sampling.

Pengambilan data dilakukan melalui anamnesis riwayat penyakit kebiasaan merokok dan konfirmasi kemurnian etnis berbentuk pedigree 3 generasi, serta pengambilan darah vena cubiti sebanyak 3 cc. Selanjutnya dilakukan isolasi DNA pada sampel darah. PCR-RFLP dilakukan menggunakan metode single step PCR, dengan desain primer 5'-ACC-TCC-CCA-GGCGTG-GTA-3' sebagai forward, dan 5'TCG-TCC-TGG-GTG-TTT-TCC-TTC-3' untuk reverse. Kondisi PCR terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kondisi PCR untuk Amplifikasi Gen CYP2A 0 Tahap Denaturasi Awal 95 C (10 menit) Siklus PCR : 30 siklus 0 -Tahap Denaturasi 95 C (60 detik) 0 -Tahap Annealing 60 C (60 detik) 0 -Tahap Ekstensi 72 C (60 detik) Ekstensi tambahan Kualitas DNA hasil amplifikasi dengan teknik PCR dilihat dengan menggunakan teknik elektroforesis gel agarose (konsentrasi 2%). Elektroforesis menggunakan tegangan listrik 80 volt. Selanjutnya dideteksi dengan menggunakan Gel Doc 1000 (BioRad, USA) untuk divisualisasi dengan sinar ultraviolet pada panjang gelombang 300 nm dan direkam. Deteksi polimorfisme dilakukan dengan RFLP menggunakan enzim XcmI dan DdeI. Enzim XcmI akan memo-tong alel varian 1 (CYP2A6*2) promotor gen CYP2A6 menjadi 2 fragmen (117 dan 96 bp). Pada visualisasi dengan UV, akan terlihat 2 pita di daerah marker 117 pb dan 96 pb. Genotip heterozigot akan tervisualisasi 3 pita yaitu pada daerah marker 213 pb, 117 pb, dan 96 pb. Sedangkan genotip

0

72 C (3 menit) homozigot mutan akan tervisualisasi pada daerah marker 117 pb dan 96 pb. Enzim DdeI akan mengenali situs ACGT yang menyebabkan produk PCR akan terpotong menjadi dua fragmen 150 pb dan 63 pb. Genotip heterozigot akan tervisualisasi 3 pita yaitu pada daerah marker 213 pb, 150 pb dan 63 pb. Sedangkan genotip homozigot mutan akan tervisualisasi pada daerah marker 150 pb dan 63 pb. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Visualisasi Hasil PCR Gen CYP2A6 berhasil diamplifikasi dengan metode PCR, ditandai dengan adanya pita pada hasil elektroforesis yang sesuai dengan ukuran fragmen DNA yang diamplifikasi, yaitu 213 pasang basa (pb).

8 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


b. Visualisasi Hasil RFLP Menggunakan Enzim XcmI Pada gambar 1 terlihat semua sampel memiliki pita pada 213 pb. Untuk etnis India (gambar 2D), terlihat adanya gambaran tiga pita pada sampel I-6, I-7, I-8, dan I-9. Gambaran pita tersebut terletak pada 213 pb, ±90 pb, dan ±50 pb. Pita pada ±90 pb, dan ±50 pb ini didefinisikan sebagai unspecific band (pita tidak spesifik) karena tidak sesuai dengan band yang diinginkan untuk identifikasi genotip heterozigot. Gambaran genotip heterozigot dimungkinkan bila hasil visualisasi berada pada 213 pb, 117 pb, dan 96 pb. c. Visualisasi Hasil RFLP Menggunakan Enzim DdeI Hasil visualisasi elektroforesis produk RFLP gen CYP2A6 dengan enzim DdeI terlihat pada gambar 3. Adanya mutasi ditandai dengan gambaran pita pada 117 pb dan 96 pb untuk produk RFLP dengan enzim XcmI, dan pita 150 pb dan 63 pb untuk enzim [4] DdeI. Sama seperti gambaran hasil visualisasi dengan enzim XcmI, pada etnis India (gambar 3C), terlihat adanya tiga pita, yakni pada 213 pb, ±90 pb, dan ±50 pb. Dua pita yang tidak sesuai pada band yang diharapkan tersebut diidentifikasi sebagai unspecific band (pita tidak spesifik). Makna munculnya pita tersebut dapat diidentifikasi lebih lanjut melalui DNA sekuensing hasil PCR-nya. Hasil sekuens DNA sampel dengan unspecific band tersebut kemudian dibandingkan dengan sekuens ekson 3 gen CYP2A6 pada gene bank. d. Distribusi Frekuensi Genotip dan Alel Gen CYP2A6 Varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 Setelah proses isolasi DNA, single-step PCR, dan RFLP, maka didapatkan hasil distribusi frekuensi genotip dan alel gen CYP2A6. Hasil distribusi frekuensi genotip gen CYP2A6 dijabarkan per etnis pada tabel 2. Hasil distribusi frekuensi alel gen CYP2A6 varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 terlihat pada tabel 3. Pada tabel tersebut terlihat bahwa 100% partisipan penelitian memiliki genotip CYP2A6*1 /CYP2A6*1 yaitu homozigot wild type.

Pelbagai penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi alel varian gen CYP2A6 beberapa etnis. Penelitian etnis Melayu di Malaysia menemukan mutasi 3% varian [11] CYP2A6*4 pada penduduk Malaysia. Untuk etnis Tionghoa, studi dilakukan oleh Nakajima dan Yokoi menghasilkan data 5% alel CYP2A6*4, 3% alel CYP2A6*7, 16% varian CYP2A6*9, dan 3,4% pada alel varian [12] CYP2A6*21. Oscarson et al mengidentifikasi 0% alel mutan CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 96 [5] orang Cina. Ras Asia Timur lainnya seperti Jepang menghasilkan nilai frekuensi polimorfisme 11% untuk CYP2A6*7, 20% untuk CYP2A6*9, dan [12] 1,5-2,2% untuk CYP2A6*21. Belum ada penelitian identifikasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 etnis Melayu yang dilakukan di negara lain. Penelitian pada etnis Arab dan India mengenai CYP2A6 sampai saat ini belum ditemukan. Penelitian identifikasi alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 dilakukan pada etnis-etnis lain, sebagaimana terangkum dalam tabel 16. Oscarson et al mengidentifikasi 0% mutasi alel CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 pada 100 [5] orang Spanyol. Pada etnis Afrikaamerika distribusi frekuensi alel CYP2A6*1, CYP2A6*2, dan CYP2A6*3 masing-masing sebesar 608 (99,67%), 2 (0,33%) dan 0 (0%). Namun, frekuensi alel varian yang cukup signifikan ditemukan pada ras Jerman oleh Bourian, Gullsten dan Legrum yakni 4/432 (3,5%) pada CYP2A6*2 dan 6/432 (1,4%) pada CYP2A6*3. Diketahui bahwa metode PCR kedua penelitian ini [13] berbeda. Pasckhe et al menggunakan single-step PCR sedangkan Bourian et al menggunakan metode nested-PCR yang merujuk pada 4,8,13 Fernandez-Salguero et al. Pendekatan metode nested-PCR oleh Fernandez-Salguero et al mengalami misklasifikasi alel heterozigot CYP2A6*2 [4],[5],[8] sebagai homozigot mutan. Secara keseluruhan terlihat, frekuensi genotip dan alel untuk varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 memang cenderung lebih rendah ketimbang alel varian lainnya. Pernyataan ini senada dengan perbandingan hasil penelitian pada etnis dan alel varian lainnya. Hal

9 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


ini menghasilkan pemikiran bahwa ekson 3 pada gen CYP2A6 merupakan bagian terpenting dari struktur gen tersebut. Bila terjadi mutasi pada ekson ini dan menghasilkan varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3, diperkirakan akan terjadi gangguan yang signifikan pada [15] aktivitas enzim CYP2A6. Senada dengan pernyataan tersebut, pada uji komparasi sampel etnis India peneliti dengan sampel pasien karsinoma nasofaring penelitian Hadi, yang telah teridentifikasi mengalami mutasi alel varian CYP2A6*1B, pun ditemukan gambaran [15] homozigot wild type. Mengingat penelitian mutasi pada gen CYP2A6 alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 ini dilakukan pada tingkat genotip, dan frekuensi distribusi genotip serta alel tersebut bernilai 100% wild type, maka pada pembahasan tidak dipaparkan sebaran frekuensi berdasarkan usia dan jenis kelamin. Usia dan jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi ekspresi gen CYP2A6 pada tingkat fenotip. Bila dibuat sebaran frekuensi distribusinya, maka didapatkan nilai 100% genotip wild type homozigot (CYP2A6*1/CYP2A6*1) dan 100% alel CYP2A6*1 (wild type) pada semua kelompok umur keempat etnis. Berdasarkan jenis kelamin pun bernilai 100% genotip wild type homozigot (CYP2A6*1/CYP2A6*1) dan 100% alel CYP2A6*1 (wild type) baik pada laki-laki maupun perempuan dari keempat etnis. e. Distribusi Frekuensi Genotip dan Alel Gen CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok Secara keseluruhan, frekuensi distribusi genotip dan alel gen CYP2A6 menghasilkan sebaran 100% wild type, sehingga identifikasi korelasi kebiasaan merokok dengan defek pada gen ini belum dapat dilakukan sebagai penelitian lanjutan. Merokok merupakan kebiasaan multifaktorial yang tidak bisa dikurangi hanya karena efek molekuler satu substansi. Oleh karena itu, sangat perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai metabolisme nikotin dan kebiasaan merokok untuk mengontrol akibat fenotip dari polimorfisme [4] CYP2A6.

Pianezza et al mempublikasikan hasil studi analisis hubungan antara defek varian CYP2A6 dan perubahan [16] kebiasaan merokok. Mereka menyimpulkan bahwa perokok dengan defek pada CYP2A6 merokok dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan subjek yang wild type, dan carrier defek CYP2A6, serta perokok dengan genotip homozigot mutan ini cenderung tidak menjadi ketergantungan rokok. Hal ini kemungkinan karena pada orang dengan defek gen ini, nikotin dimetabolisme menjadi kotinin lebih lambat dibandingkan subjek wild type. Defisiensi parsial dari kerja enzim, menghasilkan efek farmakologi nikotin yang bertahan lebih lama di dalam 4 tubuh. Namun, dengan menggunakan metode genotyping PCR yang sama, Oscarson et al tidak berhasil menemukan korelasi antara defek polimorfisme gen CYP2A6 dan 4,5 perubahan kebiasaan merokok. Oleh karena itu, dampak dari defek CYP2A6 pada kebiasaan merokok manusia masih kontroversi. Hubungan antara kebiasaan merokok dengan defek pada gen CYP2A6 ini masih harus diteliti lebih lanjut pada penelitian selanjutnya, dengan membandingkan semua alel varian CYP2A6, terutama kedua alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3. Paschke et al mengungkapkan, untuk mengetahui hubungan tersebut tidak bisa dinilai hanya dari nikotin/kotinin plasma darah atau rasio kotinin/nikotin saja sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian oleh Rao et al, Nakajima et al dan Nakajima et [17],[18],[19] al. Kotinin akan dimetabolisme kembali menjadi kotinin glukoronida, kotinin N-oxide, norkotinin, trans-3’hidroksikotinin dan glukoronida, sehingga semua hasil metabolit nikotin [4],[20] harus diukur. Lagipula, proses metabolisme nikotin bervariasi antara satu orang dengan orang lain dan rasio nikotin/kotinin pun dipengaruhi oleh [20] enzim-enzim lain selain CYP2A6. Penelitian mengenai hubungan defek gen CYP2A6 terhadap kadar nikotin dan kebiasaan merokok yang dilakukan oleh Apinan et al, Yamanaka et al, Kamataki et al, Rao et al menyimpulkan adanya hubungan antara

10 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


dua hal tersebut, namun belum ada yang meneliti A hubungannya. Secara berurutan dari kiri ke kanan, K-: kontrol negatif, Me: sampel etnis Melayu, T: sampel etnis Tionghoa, M: marker, A:

sampel etnis Arab,dan I: sampel etnis India.

Gambar 1. Hasil PCR dari Partisipan Penelitian dengan Defek pada Alel CYP2A6*2 dan [17],[20],[21],[22],[23] CYP2A6*3.

A

B

C

D

Gambar 2. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim XcmI. M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim). A. Etnis Melayu, B. Etnis Tionghoa, C. Etnis Arab, D. Etnis India.

Gambar 3. Hasil Elektroforesis Gen CYP2A6 setelah Direstriksi Menggunakan Enzim DdeI. M: Marker DNA Penanda 100 pb, U: uncut (produk PCR yang tidak dipotong dengan enzim). A. Etnis Melayu Dan Tionghoa, B. Etnis Arab, C. Etnis India.

11 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


[21]

Gambar 4. Mekanisme Metabolisme Nikotin di Hati

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Alel Varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 (N=69) Genotip CYP2A6 Formula Melayu Tionghoa Arab India n(%) n(%) n(%) n(%) 2 CYP2A6*1/*1 q 18(100) 23(100) 18(100) 10(100) CYP2A6*1/*2 2qr 0 0 0 0 CYP2A6*1/*3 2qs 0 0 0 0 2 CYP2A6*2/*2 r 0 0 0 0 CYP2A6*2/*3 2rs 0 0 0 0 2 CYP2A6*3/*3 s 0 0 0 0 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Alel Gen CYP2A6 Varian CYP2A6*2 Dan CYP2A6*3 (N=69) Melayu Tionghoa Arab India n % n % n % n % CYP2A6*1 (wt) 18 100 23 100 18 100 10 100 CYP2A6*2 (v1) 0 0 0 0 0 0 0 0 CYP2A6*3 (v2) 0 0 0 0 0 0 0 0 14

Tabel 4.Frekuensi Distribusi Alel Gen CYP2A6 pada Berbagai Populasi AfrikaKaukasi Cin Alel Peneliti Jepang Korea Kanada Amerika a a CYP2A6*1B 13,0 33,5 51, 42,5 37,1 55,0 3 CYP2A6*1X2 100 0 0,7 0,4 0 0,2 0 CYP2A6*2 0 1,1 2,2 0 0 0 0 CYP2A6*3 0 0 0 0 0 0 CYP2A6*4 1,9 1,2 7,6 20,4 11,0 1,0 CYP2A6*5 0 0,1 0,5 0 0,5 0,5 CYP2A6*6 0 0 0 0,2 0 0 CYP2A6*7 0 0,3 3,1 6,5 3,6 0 CYP2A6*8 0 0,1 3,6 2,2 1,4 0 CYP2A6*9 7,1 7,1 15, 21,3 22,3 15,5 7 CYP2A6*10 0 0 0,4 1,1 0,5 0 CYP2A6*11 0 0,6 0,7 CYP2A6*12 0,4 2,0 0 0,8 0,5 CYP2A6*13 0 1,5 CYP2A6*14 3,6 0 CYP2A6*15 0 1,5 CYP2A6*16 3,6 0 CYP2A6*17 9,4 0 0 0

Srilanka

Thailand

31,5

39,7

9,6

7,8

Ket: arsiran abu-abu menunjukkan perbandingan nilai frekuensi alel yang diteliti peneliti di berbagai etnis

12 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


Tabel 5. Distribusi Frekuensi Genotip Gen CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok Total Tidak merokok Perokok ringan Perokok berat n(%) n(%) n(%) n(%) CYP2A6*1/*1 55(79,7) 6(8,7) 8(11,6) 69(100) CYP2A6*1/*2 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) CYP2A6*1/*3 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) CYP2A6*2/*2 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) CYP2A6*2/*3 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) CYP2A6*3/*3 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) Jumlah 55(79,7) 6(8,7) 8(11,6) 69(100) Tabel 6. Distribusi Frekuensi Alel CYP2A6 Berdasarkan Kebiasaan Merokok Kebiasaan merokok Total Tidak Perokok ringan Perokok berat merokok n(%) n(%) n(%) n(%) CYP2A6*1 (wt) 55(79,71) 6(8,7) 8(11,59) 69(100) CYP2A6*2 (v1) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) CYP2A6*3 (v3) 0(0) 0(0) 0(0) 0(0) Jumlah 55(79,71) 6(8,7) 8(11,59) 69(100) 4. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan Tidak ditemukan mutasi genotip maupun alel varian CYP2A6*2 dan CYP2A6*3 gen CYP2A6 pada partisipan penelitian etnis Melayu, Tionghoa, Arab, dan India penduduk Kota Palembang. Saran untuk penelitian ini antara lain Dengan ditemukannya pita tidak spesifik pada beberapa sampel, perlu dilakukan identifikasi kebermaknaannya melalui DNA sekuensing. Penelitian juga dapat dikembangkan ke arah identifikasi fenotip terkait metabolisme gen CYP2A6, sebagai biomarker keberhasilan terapi obat-obatan yang dimetabolisme melalui enzim CYP2A6, seperti: nikotin, koumarin, 7Etoksikoumarin, NNK, dan senyawa lainnya. Lebih jauh dapat dikembangkan penelitian mengenai korelasinya terhadap resiko adiksi rokok dan pengaruhnya terhadap kerentanan terkena kanker paru. DAFTAR PUSTAKA 1. Meyer UA.2000. Drugs In Special Patient Groups: Clinical Importance Of Genomics In Drug Effects. In: Carruthers GS, Hoffmann BB, Melmon KL, Nierenberg DW, eds. New York: McGrawHill, p 1179–205.

2. Ingelman-Sundberg M, Sim SC, Gomez A, dan Rodriguez-Antona C. 2007. Influence Of Cytochrome P450 Enzymes Polymorphisms On Drug Therapies: Pharmacogenetics, Pharmacoepigenetic And Clinical Aspects. Pharmacol Ther; 116: 496526. 3. Maksum Radji. 2005. Pendekatan Farmakogenomik dalam Penemuan Obat Baru. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol. II; p1-11. 4. Paschke et al. 2001. Comparison Of Cytochrome P450 2A6 Polymorphism Frequencies In Caucasians And African-American Using A New One-Step PCR-RFLP Genotyping Method. Toxicology 168: 259-268. 5. Oscarson M. 2001. Genetic Polymorphism In The Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6) Gene: Implication For Interindividual Differences In Nicotine Metabolism (Mini Review). Drug Metab Dispos. 29: 91-95. 6. Crespi CL, Penman BW, Leakey JA, et al. 1990. Human Cytochrome P450IIA3: Cdna Sequence, Role Of The Enzyme In The Metabolic Activation Of Promutagens, Comparison To Nitrosamine Activation By Human Cytochrome

13 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

P450IIE1. Carcinogenesis; 11: 1293–300. Yamazaki H, Inui Y, Yun CH, Guengerich FP, Shimada T. 1992. Cytochrome P450 2E1 And 2A6 Enzymes As Major Catalysts For Metabolic Activation Of NNitrosodialkylamines And TobaccoRelated Nitrosamines In Human Liver Microsomes. Carcinogenesis; 13: 1789–94. Fernandez-Salguero P, Hoffman SMG, Cholerton S, et al. 1995. A Genetic Polymorphism In Coumarin 7-Hydroxilation: Sequence Of Human CYP2A Genes And Identification Of Variant CYP2A6 Alleles. Am J Hum Genet. 57: 651660. Hadidi H, Zahlsen K, Idle JR, et al. 1997. A Single Amino Acid Substitution (Leu160His) In Cytochrome P450 CYP2A6 Causes Switching From 7-Hydroxylation To 3-Hydroxylation Of Coumarin. Food Chem Toxicol. 35: 903-907. Saleh, Muhammad Irsan. 2009. Hubungan Mutasi Gen Voltage Dependent Anion Channel Isoform 3 (VDAC3) dan Ekspresi Protein VDAC3 pada Sperma Pasien Infertil Astenozoospermia. Disertasi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan. Muliaty D., Irawan Y., Rianto S., dan Septalia I. 2010. CYP2A6 gene polymorphisms impact to nicotine metabolism. Medical Journal Indonesia. Nakajima M. dan Yokoi T. 2005. Novel Human CYP2A6 Alleles Confound Gene Deletion Analysis. FEBS Lett; 569: 75-81. Bourian M., Gullsten H., Legrum W. 2000. Genetic Polymorphism of CYP2A6 in the German Population. Toxicology 144; p129-137. Hukkanen J, Jacob P III, Benowitz NL. 2005. Metabolism And Disposition Kinetics Of Nicotine. Pharmacol Rev; 57:79 – 115. Hadi, Abdurrahman. 2013. Identifikasi Polimorfisme Gen CYP2A6 pada Penderita Karsinoma Nasofaring di Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Skripsi Fakultas Kedokteran

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

Universitas Sriwijaya. Tidak dipublikasikan. Pianezza, M. L., Sellers, E. M., Tyndale, R. F., 1998. Nicotine Metabolism Defect Reduces Smoking. Nature 393, p750. Rao, Y., Hoffmann, E., Zia, M., Bodin L., Zeman, M., Sellers, E. M., Tyndale, R. F., 2000. Duplications And Defects In The CYP2A6 Gene: Identification, Genotyping And In Vivo Effect On Smoking. Mol. Pharmacol. 58, p747-55. Nakajima, M., Yamagashi, S., Yamamoto, H., Yamamoto, T., Kuroiwa, Y., Yokoi, T. 2000. Deficient Cotinine Formation From Nicotine Is Attributable To The Whole Deletion Of The CYP2A6 Gene In Humans. Clin. Pharmacol. Ther. 67, p57-69. Nakajima, M., Kwon, J-T, Tanaka, N., Zenta T., Yamamoto, Y., Yamamoto H., et al. 2001. Relationship Between Interindividual Differences In Nicotine Metabolism And CYP2A6 Genetic Polymorphism In Humans. Clin. Pharmacol. Ther. 68, 72-78. Benowitz NL, Jacob P III. 1994. Metabolism of Nicotine to Cotinine Studied by A Dual Stable Isotope Method. Clin Pharmacol Ther; 56:483 – 93. Yamanaka, Hiroyuki., Nakajima, Miki., Nishimura, Kiyoko., Yoshida, Ryoko., et al. 2004. Metabolic Profile On Nicotine In Subjects Whose CYP2A6 Gene Is Deleted. European Journal of Pharmaceutical Sciences 22; p419-425. Apinan, Roongnapa., Tassaneeyakul, Wichittra., Mahavorasirikul, W., Satarug, S., Kajanawart, S. et al. 2009. The Influence of CYP2A6 Polymorphisms and Cadmium on Nicotine Metabolism in Thai Population. Env. Toxicology and Pharmacology 28, p420-24. Kamataki, Tetsuya., Fujieda, Masaki., Kiyotani, Kazuma., Iwano, Shunsuke., Kunitoh, Hideo. 2005. Genetic Polymorphism of CYP2A6 as One of the Potential Determinants of Tobacco-related Cancer Risk. Biochemical and

14 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


Biophysical Research Communication 228; p306-10.

15 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari -Juni 2015


Penelitian

STUDI CROSS SECTIONAL TERAPI HIPERTENSI PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DI POLIKLINIK GINJAL HIPERTENSI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD DR SOETOMO 1

2

3

Irene Sienatra , Aditiawardana , Atika Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

1

Mahasiswa Universitas Airlangga 2 Staf pengajar Bagian Ilmu Penyakit Dalam Divisi Nefrologi RSUD Dr Soetomo 3 Staf pengajar Bagiam IKM-KP (Ilmu Kesehatan Masyarakat-Kedokteran Pencegahan) FK Universitas Airlangga ABSTRAK Pendahuluan: Insidens hipertensi meningkat signifikan pada pasien PGK. Tekanan darah yang tinggi mempercepat progresi PGK sehingga kontrol hipertensi merupakan hal yang penting dalam manajemen PGK. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui pola terapi hipertensi, korelasi stage PGK dengan kontrol hipertensi, karakteristik hipertensi yang tidak terkontrol dan prevalensi proteinuria pada pasien PGK. Metode: Penelitian observasional ini menggunakan 90 sampel pasien PGK non dialisis (26,7% stage III, 33,3% stage IV, 40% stage V) yang telah mendapatkan terapi hipertensi minimal selama 1 bulan. Penggunaan obat antihipertensi pada sampel adalah CCB(77,8%), diuretic(38,8%), ACEI(13,3%), BB(18,8%) , spironolactone(3,3%), and ARB(36,6%). Pada pasien dengan proteinuria, CCB digunakan oleh 78% pasien, sedangkan RAAS blocker digunakan pada 52% pasien. Hasil: Secara keseluruhan, 37,8% pasien berhasil mencapai tekanan darah <140/90 mmHg (57,1% dengan terapi tunggal, 35,7% terapi ganda, dan 16,7% dengan ≼3 obat). Sebanyak 41,7% pasien stage III, 53,3% stage IV, 22,2% stage V berhasil mencapai target terapi (<140/90 mmHg) (p=0,037). Simpulan: Hipertensi yang tidak terkontrol terutama disebabkan oleh hipertensi sistolik. Sebanyak 41 dari 90 pasien dengan data urinalisis, 56% diantaranya mengalami proteinuria. Rata-rata proteinuria meningkat pada pasien DM (240,6 mg/hari) dibandingkan dengan non DM (47,1 mg/hari) (p=0,006) Kata kunci: stage PGK, hipertensi

ABSTRACT Introduction: The incidence of hypertension has increased significantly in CKD patients. High blood pressure accelerates CKD progression, therefore hypertension control is important in CKD management. The purpose of this study is to understand the patterns of antihypertension drug, the relationship between CKD stage and hypertension control, the characteristic of uncontrolled hypertension, and the prevalence of proteinuria. Method: This observational research took 90 non-dialysis CKD patients (26,7% stage III, 33,3% stage IV, 40% stage V) that had received hypertension treatment at least for 1 month. The use of antihypertension drugs were CCB(77,8%), diuretic(38,8%), ACEI(13,3%), BB(18,8%), spironolactone(3,3%), and ARB(36,6%). In patients with proteinuria, CCB was used in 78 % patients, while RAAS blocker was used in 52% patients. Results: Of all samples, 37,8% had controlled BP to <140/90 mmHg (57,1% single drug, 35,7% double drugs, and 16,7% with ≼3 drugs) . As many as 41,7% stage III, 53,3% stage IV, and 22,2% stage V patient had achieved target theraphy (p=0,037). Conclusion: Uncontrolled hypertension is primarily due to systolic hypertension. There were 41 out of 90 patients with the urinalysis data, 56% with proteinuria. The mean of

16 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


proteinuria increases in patient with DM(240,6 mg/d) compared to non DM (47,1 mg/d) (p=0,006). Keyword: CKD stages, Hypertension 1. PENDAHULUAN PGK (Penyakit Ginjal Kronik) adalah (1) kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan dengan ketidaknormalan fungsional atau struktral dengan atau tanpa penurunan LFG (Laju Filtrasi Glomerolus), atau (2) penurunan 2 LFG<60ml/menit/1,73 m dengan atau [1] tanpa kerusakan ginjal. Berdasarkan hasil survey nasional di Amerika Serikat, hipertensi ditemukan pada 23,3% pada pasien non PGK, 35,8% pada pasien PGK stage I, 48,1% pada PGK stage II, 59,9% pada PGK stage III, dan 84,1% [2] pada PGK stage IV dan V. Hal ini menunjukkan prevalensi hipertensi berbanding lurus dengan peningkatan stage PGK. Sementara di Indonesia belum ada angka pasti mengenai prevalensi hipertensi pada PGK. Hipertensi pada PGK bersifat unik karena hipertensi bisa menjadi [2] penyebab dan akibat dari PGK. Tekanan darah yang tinggi pada pasien PGK dapat mempercepat progresivitas menjadi ESRD (End Stage Renal Disease) dan komplikasi penyakit kardiovaskular, serangan jantung, dan [3] stroke. Tatalaksana hipertensi menjadi bagian penting dari manajemen PGK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola terapi farmakologis berdasarkan stage PGK dan proteinuria, korelasi antara stage PGK dengan kontrol hipertensi, mendeskripsikan karakteristik tekanan sistolik dan diastolik pada hipertensi yang tidak terkontrol , dan prevalensi proteinuria pada pasien PGK yang berobat jalan di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUD Dr Soetomo. 2. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan secara cross sectional pada pasien PGK yang berobat jalan di Poliklinik Ginjal Hipertensi RSUD Dr Soetomo antara bulan Juli s/d September 2014. Pasien yang diikutkan pada penelitian ini adalah pasien PGK dengan hipertensi yang sudah pernah kontrol sebelumnya dan sudah mendapatkan terapi hipertensi

selama 1 bulan. Adapaun kriteria eksklusi dari sampel, terdiri dari pasien dengan terapi dialisis, transplantasi ginjal, atau pasien dengan syok. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan melihat dokumen rekam medik pada kontrol sebelumnya. Lembar pengumpul data, terdiri dari: 1. Data dasar pasien (umur dan jenis kelamin) 2. Pemeriksaan laboratorium (proteinuria urin, serum kreatinin, BUN (Blood Urea Nitrogen), dan asam urat) 3. Penyakit komorbid pada pasien (DM (Diabetes Melitus) dan PKV (Penyakit Kardiovaskuler) 4. Data pada kontrol sebelumnya (tanggal, tekanan darah, dan terapi golongan obat antihipertensi) 5. Data pada saat observasi (tanggal, tekanan darah, dan terapi golongan obat antihipertensi) LFG dihitung dari umur, jenis kelamin, dan serum kreatinin dengan menggunakan rumus MDRD. LFG kemudian digunakan untuk menentukan stage PGK berdasarkan klasifikasi NKFKDOQI. Hipertensi dikatakan terkontrol jika tekanan darah saat observasi <140/90 mmHg sesuai dengan guideline JNC VIII. Pada pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol, diklasifikasikan menjadi stage I dan stage II hipertensi. Hasil pemeriksaan protein dikategorikan normal jika <30 mg/hari, dan dikategorikan proteinuria jika ≼30 mg/hari. 3. HASIL PENELITIAN Sampel yang digunakan sebanyak 90 orang yang terdiri dari 50 orang (55,6%) laki-laki dan 40 orang (44,4 %) perempuan. Stage PGK pada sampel , yaitu III (26,7%), IV (33,3%), dan V (40%). Rentang umur pasien 3182 tahun dengan rata-rata dan median 59 tahun. 3.1. Pola Terapi Farmakologis Pada Pasien PGK Secara keseluruhan , 77,8% pasien PGK menggunakan CCB

17 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


(Calcium Channel Blocker), golongan terbanyak yang digunakan pada semua stage dan tingkat ekskresi protein urin. Disusul kemudian oleh golongan ARB (Angiotensin II Receptor Blocker) dan diuretik dengan persentase yang hampir sama tetapi golongan ARB cenderung digunakan pada stage III, dan pengunaannya menurun seiring pertambahan stage PGK. Di sisi lain, diuretik lebih banyak digunakan pada stage yang lebih tinggi, 52,8% pada stage V. Penggunaan ACEI (Angiotensin Converting Enzyme) Inhibitor) sebagai RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) blocker tergantikan dengan penggunaan ARB yang bekerja pada jalur yang sama. Terapi multipel pada pasien menyebabkan persentase hasil mengindikasikan persentase pemberian golongan obat tertentu pada subjek.

Gambar 2. Pola terapi farmakologis saat observasi pada pasien PGK dengan berbagai ekskresi protein 3.2. Korelasi Stage PGK dengan Kontrol Hipertensi

Gambar 1. Pola terapi farmakologis saat observasi pada pasien PGK Stage III, IV, dan V Terapi Hipertensi Pasien PGK Dengan Proteinuria Penggunaan Obat CCB mendominasi pada berbagai tingkat ekskresi protein. Diuretik digunakan pada 38,9% pasien tanpa proteinuria. Penggunaan ARB merupakan terbanyak kedua setelah CCB. Persentase penggunaan ARB paling besar (53,8%) pada pasien dengan ekskresi protein 30-300 mg/hari.

Gambar 3. Kontrol hipertensi berdasarkan jumlah golongan obat yang digunakan Secara deskriptif, kontrol hipertensi menurun dengan semakin banyaknya penggunaan jumlah golongan obat. Rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik pasien stage III, 143,8 mmHg dan 75,6 mmHg. Pada stage IV , rata-rata tekanan sistolik menurun sedikit menjadi 139 mmHg dan rata-rata tekanan diastolik meningkat 79,1 mmHg. Sedangkan pada stage V, ratarata tekanan sistolik dan diastolik

18 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


meningkat, yaitu 151,1 mmHg dan 81 mmHg.

3.3 Karakteristik Tekanan Sistolik dan Diastolik Pada Hipertensi yang Tidak Terkontrol

Tabel 1. Korelasi variabel perancu dengan kontrol hipertensi

Gambar 5. Karakteristik tekanan sistolik dan diastolik pada hipertensi yang tidak terkontrol Uji chi square test menunjukkan tidak ada korelasi yang bermakna (p>0,05) antara jumlah golongan obat anti hipertensi, proteinuria, DM, PKV dan kelompok umur dengan kontrol hipertensi sehingga tidak dapat menjadi variabel perancu.

Target terapi tidak tercapai pada 56 dari 90 sampel (62,2%). Pada sampel dengan hipertensi yang tidak terkontrol, 64,29% memiliki karakteristik tekanan sistolik yang tinggi (≼140mmHg). Kemudian disusul dengan tingginya tekanan sistolik dan diastolik. Tekanan diastolik yang tinggi berkonstribusi paling kecil terhadap hipertensi yang tidak terkontrol. 3.4.

Proteinuria Pada Pasien PGK

Gambar 4. Korelasi stage PGK dengan kontrol hipertensi Dari 90 sampel pasien PGK , hanya 37,8% yang berhasil menurunkan tekanan darahnya <140/90 mmHg. Pada hasil penelitian ini, hipertensi lebih terkontrol pada stage IV dibandingkan stage III. Kontrol hipertensi paling rendah pada stage V, yaitu hanya 22,2%. Hasil uji chi square test menunjukkan korelasi bermakna (p<0,05) antara stage PGK dengan ketercapaian target terapi (p=0,037).

Gambar 6. Proteinuria pada pasien PGK Rata-rata proteinuria 160,4 mg/hari dengan standar deviasi 201,5 mg/hari. Standar deviasi yang besar disebabkan karena perbedaan nilai minimum dan maximum sampel yang lebar (0-500 mg/hari). Rata-rata pada pasien non DM 47,1 mg/hari, sedangkan pada pasien DM 240,6 mg/hari. Hasil uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov menunjukkan hasil yang signifikan

19 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


(p=0,006) antara DM dengan ekskresi protein urin. 4. PEMBAHASAN Pada PGK stage III, IV, dan V PGK dan berbagai ekskresi protein, CCB merupakan obat yang paling banyak digunakan (77,8%). CCB mempunyai efek renoprotektif dengan mendilatasi arteriol aferen sehingga efeknya independen terhadap perubahan tekanan kapiler glomerolus. CCB juga menghambat growth factor, memperlemah entrapment mesangium terhadap makromolekul dan memperlembat efek mitogenik berbagai [7] sitokin. Selain itu, CCB tidak menyebabkan peningkatan kolestrol, glukosa, TG, kalium, dan serum [8] kreatinin. Dengan semakin bertambahnya stage PGK, terjadi penurunan penggunaan RAAS blocker, ACEI dan ARB. Keduanya tidak menyebabkan perubahan serum kolestrol, TG (Trigliserida), atau level glukosa [1] plasma. ACEI dan ARB juga bersifat renoprotektif dengan mengurangi [4] proteinuria dan hipertensi glomerolus. Hal yang dikhawatirkan dari penggunaannya pada pasien PGK stage IV dan V adalah kecenderungan peningkatan serum kreatinin dan [4] kalium. Peningkatan serum kreatinin karena ACEI dan ARB mendilatasi arteriol eferen. ACEI dan ARB menghambat produksi aldosteron sehingga meningkatkan serum kalium. Obat-obatan yang bekerja sebagai antagonis aldosteron harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan 2 PGK dengan LFG < 30 ml/min/1.73m karena mekanisme adaptif ginjal tidak [5] mampu menjaga homeostasis kalium. Pada kelompok dengan ekskresi protein >300 mg/hari, penggunaan ACEI dan ARB juga menurun. Hal ini disebabkan karena ARB dan ACEI bekerja paling efektif pada kelompok dengan ekskresi protein 30-300 mg/hari. Pada semua stage PGK dan berbagai ekskresi protein, ARB lebih banyak digunakan dari pada ACEI. Hal ini untuk menghindari fenomena ACE escape pada pasien yang menerima ACEI dalam jangka panjang, yaitu, kembalinya level angiotensin II seperti sebelum terapi. Sedangkan, ARB

secara selektif memblok pengikatan angiotensin II ke reseptor tipe I sehingga [4] tidak menimbulkan efek rebound. Dengan semakin meningkatnya stage PGK, penggunaan diuretik juga meningkat karena terjadinya retensi [1] cairan. Diuretik yang diberikan pada pasien penelitian adalah diuretik kuat, furosemid. Tidak ada pasien yang mendapat golongan thiazide saja karena efeknya berkurang pada PGK dengan 2 LGF < 40 mil/min/1,73 m . Selain itu, peningkatan dosis thiazide menyebabkan peningkatan efek samping metabolik dan gangguan [6] keseimbangan elektrolit. Penggunaan beta blocker tidak terlalu berbeda jauh antara stage maupun eksresi protein. Persentase penggunaanya sekitar 16%-23%. Penggunaanya yang terbatas karena beta blocker memberikan efek metabolik yang besar, diantaranya peningkatan level glukosa, TG, resistensi insulin, dan penurunan HDL. Tetapi, golongan obat ini menjadi pilihan pada pasien dengan angina, infark miokard, gagal jantung, takikardi pada saat istirahat, migrain, [1] dan glaukoma. Walaupun terjadi berbagai perbaikan dalam manajemen hipertensi, hasil penelitian ini menunjukkan kontrol hipertensi pasien PGK masih rendah, yaitu hanya 37,8% yang mencapai target terapi. Studi kontrol hipertensi pada pasien PGK multistage di United States yang hanya 37% berhasil mencapai target terapi <130/80 [9] mmHg. Penelitian lain yang dilakukan di Turki, kontrol hipertensi pada stage III, IV, dan V berturut-turut, adalah 19,6%, 40%, dan 9,1% dengan menggunakan acuan <140/90 mmHg. Tidak dijelaskan mengapa kontrol hipertensi jauh lebih baik pada stage IV 10 dari pada stage III. Penelitian di China Medical Journal melaporkan, pasien yang mencapai target terapi (<140/90 mmHg) pada stage 3a, 3b, 4, dan 5 berturut-turut, 36%, 34,8%, 24%, dan [11] 19,9%. Pada hasil penelitian ini, hipertensi lebih terkontrol pada pasien stage IV dibandingkan stage III. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor bias (diet, asupan garam, aktivitas fisik) dan kesadaran pasien yang lebih baik seiring dengan progresivitas

20 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


penyakitnya. Tetapi hasil penelitian konsisten menunjukkan kontrol hipertensi paling buruk pada pasien PGK stage V dibandingkan dengan stage III dan stage IV. Rendahnya kontrol hipertensi pada stage V menunjukkan semakin fungsi ginjal bertambah buruk, tekanan [12]] darah semakin sulit dikontrol. Kegagalan fungsi ginjal mengekskresi natrium dan air menyebabkan akumulasi volume cairan ekstraseluler. Faktor lain seperti hiperaktivitas RAS, kelebihan ROS (Reactive Oxygen Species) yang memicu vasokonstriksi, penurunan NO (Nitric Oxide) sebagai vasodilator, dan peningkatan aktivitas simpatis berkonstribusi menyebabkan [13] hipertensi pada PGK. Kontrol hipertensi PGK menurun dengan semakin banyaknya jumlah obat yang digunakan. Hasil ini tidak dapat memberikan rekomendasi pada penatalaksanaan PGK karena penelitian ini tidak mengumpulkan tekanan darah awal sebelum diterapi dan tidak mengikuti pasien secara kontinu. Pada pasien PGK dengan hipertensi yang tidak terkontrol, terutama disebabkan karena tekanan darah sistolik yang tinggi Hal ini sesuai dengan penelitian Control of Hypertension in Adults With Chronic Kidney Disease in United States yang mengungkapkan kegagalan pencapaian target terapi dikarenakan susahnya mengendalikan tekanan sistolik. Target terapi yang digunakan adalah 130/80 mmHg. Sebanyak 59 % pasien mempunyai tekanan darah >130 mmHg dan diastolik ≤80 mmHg , dan hanya 7% yang mempunyai tekanan diastolik > 80 mmHg, sementara tekanan sistoliknya terkontrol. Padahal tingginya tekanan sistolik adalah penentu progresivitas [9] PGK. 5. KESIMPULAN Pada keseluruhan sampel, obat yang diberikan adalah CCB 77,(8%), diuretik (38,8%), ARB (36,6%), BB (18,8%), ACEI (13,3%), dan spironolakton (3,3%). Walaupun terjadi berbagai perbaikan penatalaksanaan terapi, hipertensi yang tidak terkontrol masih tinggi pada pasien PGK. Hasil menunjukkan hanya 41,7% stage III, 53,3% stage IV, dan 22,2% stage V

yang berhasil menurunkan tek anan darah <140/90 mmHg (p=0,037). Karakteristik hipertensi yang tidak terkontrol pasien PGK adalah tingginya tekanan darah sistolik (64,3%). Dari 41 sampel yang menjalani pemeriksaan proteinuria, sebanyak 56% menunjukkan hasil >30 mg/hari.

DAFTAR PUSTAKA 1. KDOQI . 2004. Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive Agents in Chronic Kidney Disease . [Cited 2014 Januari 29 ]. Avaliable from : http://www2.kidney.org/professional s/KDOQI/guidelines%5Fbp./ 2. Tedla, Brar, R. Browne, and C. Brown. 2011. Hypertension in Chronic KidneyDisease: Navigating the Evidence. Int J Hypertens. [Cited 29 Mei 2013]. Available from: : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /21747971. 3. CDC. 2014. National Chronic Kidney Disease Fact Sheet. [Cited 5 April 2014]. Available from: : http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/fa ctsheets/kidney.htm 4. Utsumi, Kouichi. Ken-ichiro Katsura , Yasuhiko lino & Yasuo Katayama. 2012. Blood Pressure Control In Patient with Chronic Kidney Disease. J Nippon Med Sch [Cited 20 September 2014] Available from: :http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme d/22687353 5. Desai, Akshay. 2008. Hyperkalemia Associated With Inhibitors of the Renin-Angiotensin-Aldosterone System Balancing Risk and Benefit. [Cited 19 Mei 2013] Available from: http://circ.ahajournals.org doi: 10.1161/circulationaha.108.807917. 6. Ernst, Michael E. and Joel A. Gordon.u. 2010. Diuretic therapy: key aspects in hypertension and renal disease. J Nephrol . [Cited 16 Februari 2014]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /20677164. 7. Herlitz, Hans Herlitz, et al. 2001. The effects of an ACE inhibitor and a calcium antagonist on the progression of renal disease: the Nephros Study. Nephrol Dial

21 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Transplant. [Cited 17 Januari 2014] Available from: : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /11682661. 8. Drug Information Reference. 2003 . Calcium Channel Blocker. [Cited 5 September ‘p2014] Available from: : : http://dpic.org/sites/default/files/pdf/ DIR_CCBs.pdf. 9. Peralta, Carmen A. et al. 2005 . Control of Hypertension in Adults With Chronic Kidney Disease in the United States. Hypertension . [Cited 22 Septembe r 2014]. Available from: : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /15851626. 10. Altun, Gültekin Süleymanlar, et al. 2012. Prevalence, Awareness, Treatment and Control of Hypertension in Adults with Chronic Kidney Disease in Turkey: Results from the CREDIT Study. Kidney Blood Press Res. [Cited 16 September 2014]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /22832670 .

11. ZHENG Ying,et al. 2013. Prevalence, Awareness, and Treatment Rates in Chronic Kidney Disease Patients with Hypertension in China (PATRIOTIC) Collaborative Group. Chin Med J. [Cited 11 September 2014]. Available from: : . http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /23786938 . 12. Lewis, Julia. 2010. Blood Pressure Control in Chronic Kidney Disease: Is Less Really More?.JASN . [Cited 8 September 2014]. Available from: : http://jasn.asnjournals.org/content/2 1/7/1086.full. 13. Morgado, Elsa and Pedro Leão Neves .2012. Hypertension and Chronic Kidney Disease: Cause and Consequence – Therapeutic Considerations, Antihypertensive Drugs. [Cited 5 Mei 2013] Available from: http://www.intechopen.com/books/a ntihypertensive-drugs/hypertensionin-chronic-kidney-disease-causeand-consequence-therapeuticconsiderations-.

22 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Penelitian

IDENTIFIKASI POLIMORFISME GEN VEGF936C/T PADA PENDERITA KANKER PAYUDARA DI RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 1

1

2

Fajriani Kurnia Rosdi , Surya Wijaya , Muhammad Irsan Saleh , Chariril 3 4 Anwar , Ika Kartika Putri 1 Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya,Palembang 2 Staff Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang 3 Staff Departemen Parasitologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang 4 Staff Departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Muhammad Hoesin, Palembang ABSTRAK Pendahuluan: Kanker payudara merupakan penyebab kematian wanita nomor dua di dunia setelah kanker paru-paru. Insidens kanker payudara di Indonesia diperkirakan 1112 kasus baru per 100.000 penduduk berisiko pertahun; dengan kenyataan bahwa l.ebih dari 50% kasus sudah berada dalam stadium lanjut. Kemampuan angiogenesis sangat penting bagi pertumbuhan dan metastasis tumor. Salah satu faktor proangiogenis yang sudah cukup dikenal adalah vascular endothelial growth factor (VEGF), terletak pada kromosom 6p21.3, yang berikatan dengan reseptornya pada sel endothelial pembuluh darah sehingga teradi promosi proliferasi sel, migrasi dan invasi ke dalam tumor. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode cross sectional. Penelitian ini dilakukan Laboratorium Mikrobiologi dan Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK UNSRI) pada bulan Juli hingga Desember 2011. Sampel diteliti dengan teknik PCR dan pemotongan enzim NlaIII dengan teknik RFLP Hasil: Jumlah subjek dalam penelitian ini 25 orang. Rerata umur pada kelompok kasus dan kontrol adalah masing-masing 46,92 Âą 15,08 tahun. Distribusi genotip TT, CT dan CC pada kasus masing-masing 0 (0%), 9 (36%) dan 16 (64%). Distribusi frekuensi Alel T sebesar 18% , sementara alel C sebesar 82%. Simpulan: Tidak ditemukan polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Kata kunci: polimorfisme, gen VEGF 936 C/T, kanker payudara, angiogenesis, genotip, alel ABSTRACT Introduction: Breast cancer is the number two cause of death among women in the world after lung cancer. Incidence of breast cancer in Indonesia is estimated at 11-12 new cases per 100,000 population at risk per year; with the fact that more than 50% of cases already in an advanced stage. The ability of angiogenesis is essential for tumor growth and metastasis. One factor that has been well known proangiogenis is vascular endothelial growth factor (VEGF), is located on chromosome 6p21.3, which binds to receptors on endothelial cells of blood vessels so that promotion of cell proliferation, migration and invasion into the tumor begun. The aim of this study is to identify polymorphisms of VEGF 936 C/T gene in RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Method: This was a descriptive study with cross sectional method. The research was conducted in Biomolecular Engineering Laboratory of Microbiology Faculty of Medicine, University of Sriwijaya (FK UNSRI) in July until Desember 2011. The samples studied by PCR and cut with NlaIII enzymes by RFLP technique.

23 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Results: The number of subjects in this study were 25 people. The mean of patients’ age were respectively 46.92 ¹ 15.08 years. The distribution of genotypes TT, CT and CC was respectively 0 (0%), 9 (36%) and 16 (64%). The distribution of allele T and C was respectively 18% and 82%. Conclusion: VEGF gene polymorphism was not found 936 C/T in patients with breast cancer in RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Key words: polymorphisms, genotype, allele.

VEGF 936 C/T gene, breast cancer, angiogenesis,

1. PENDAHULUAN Kanker payudara merupakan masalah global dan isu kesehatan internasional yang penting, baik di negara maju maupun negara [1] berkembang. Kanker payudara merupakan kanker solid yang mempunyai insidens tertinggi pertama pada wanita di negara barat/maju dan nomor dua setelah kanker serviks di [1],[2] negara berkembang. Kanker payudara merupakan 29% dari seluruh [1] kanker yang didiagnosis setiap tahun. Kanker payudara ini merupakan kanker yang paling banyak diderita wanita Indonesia dibandingkan dengan [3] kanker serviks. Di Indonesia, karena tidak tersedianya registrasi berbasis populasi, angka kejadian kanker payudara dibuat berdasarkan registrasi berbasis patologi dengan insidens relatif 11,5%, artinya terdapat 11-12 kasus baru per 100.000 penduduk berisiko. Selain jumlah yang banyak, lebih dari 50% kasus ditemukan berada dalam [2] stadium lanjut. Secara keseluruhan, kanker payudara merupakan penyebab kematian nomor dua dari seluruh kanker [1] setelah kanker paru. Pada tahun 2007, terdapat 202.964 wanita yang menderita kanker payudara dan 40.598 diantaranya meninggal dunia di Amerika [4] Serikat. Salah satu faktor pertumbuhan kanker payudara tergantung pada kemampuan angiogenesis, yaitu kemampuan sel tumor untuk membentuk suatu pembuluh darah baru yang berasal dari endothelium [5] vaskularisasi yang telah ada. Salah satu faktor angiogenik yang paling penting dan poten adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang berikatan dengan reseptornya tyrosin kinase pada sel 6 endothelial pembuluh darah. Berdasarkan studi in vitro dan in vivo,

peningkatan ekspresi gen VEGF berhubungan dengan pertumbuhan tumor dan metastasis, sedangkan inhibisi sinyal VEGF mengakibatkan penekanan pada angiogenesis dan [6],[7] pertumbuhan tumor. Salah satu penyebab peningkatan ekspresi gen VEGF adalah suatu polimorfisme, suatu istilah yang digunakan untuk menandakan bentuk yang beda dari struktur dasar yang sama. Polimorfisme pada gen VEGF 936 C/T pada daerah 3’V untranslated region memiliki kadar VEGF plasma [8],[9] yang lebih rendah pada orang sehat. Polimorfisme suatu gen pada genom manusia sering disebabkan oleh adanya mutasi pada basa nukleotida tunggal atau single nucleotide polymorphisms [6] (SNPs) pada gen tersebut. Untuk menguji hipotesis tersebut, The Shanghai Breast Cancer Study, telah melakukan penelitian case-control terhadap 1084 orang normal dan 1.193 penderita kanker payudara pada periode 1996-2000. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa polimorfisme gen VEGF 936 C/T tidak berhubungan terhadap risiko untuk berkembangnya kanker payudara, hanya berhubungan terhadap prognosis penderita kanker [6] payudara. Pada penelitian lainnya, Krippl, et al (2002) melaporkan polimorfisme gen VEGF 936 C/T menurunkan risiko untuk terkena kanker payudara berdasarkan case-control study pada populasi wanita Austria terhadap 500 penderita kanker [9] payudara dan 500 individu sehat. Wehrschuetz, et al (2009) melaporkan polimorfisme gen VEGF 936 C/T berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya kanker payudara berdasarkan pemeriksaan mammografi dengan menggunakan BI-RADS Score terhadap 54 wanita yang dicurigai terkena kanker payudara dan 52 wanita [7] normal.

24 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Sejumlah penelitian yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak sama dan bertolak belakang. Sejauh ini, belum ada penelitian tentang identifikasi dan hubungan polimorfisme gen VEGF terhadap kanker payudara di Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian identifikasi dan hubungan polimorfisme gen VEGF pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Penelitian hubungan varian-varian gen VEGF pada penderita kanker payudara menjanjikan sarana baru bagi klinisi untuk mengevaluasi kerentanannya sebagai faktor predisposisi genetik dan menjadi salah satu acuan dalam menentukan modalitas terapi antiangiogenik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pola distribusi polimorfisme gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, mengetahui karakteristik penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, dan mengetahui distribusi alotif dan genotif gen VEGF 936 C/T pada penderita kanker payudara di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. 2. METODOLOGI PENELITIAN 2.1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah deskriptif observasional pada gen VEGF 936 C/T dengan metodae PCR-RFLP dan pendekatan studi cross sectional. Observasional deskriptif dipilih karena penelitian ini hanya mengamati dan memaparkan hasil dari pengamatan ` terhadap gen VEGF 936 C/T Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Biomolekuler Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya (FK UNSRI) Palembang selama periode Juli 2011 – Desember 2011.

rawat jalan di bagian bedah RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Sampel dikumpulkan dari populasi penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria ekslusi. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah pasien yang telah didiagnosis kanker payudara oleh dokter spesialis patologi anatomi berdasarkan pemeriksaan histopatologi dan datang berobat ke RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, ras Melayu yang berdomisili di wilayah Sumatera Selatan, diagnosis kanker payudara berdasarkan diagnosis PA Invasive Ductal Carcinoma Mamma (IDCM), dan bersedia mengikuti penelitian yang dinyatakan dengan menandatangani surat persetujuan atas dasar kesadaran (informed consent). Kriteria ekslusi dalam penelitian ini adalah wanita hamil, pasien yang terdiagnosa lebih dari satu keganasan (neoplasma), dan pasien yang tidak bersedia atau menolak ikut serta dalam penelitian. Jumlah sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang didiagnosis pasti kanker payudara oleh dokter spesialis Patologi Anatomi RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang. Teknik sampling yang digunakan yaitu accidental sampling. 2.4. 2.4.1.

Cara Kerja Pengambilan Darah Sampel darah diambil melalui punksi vena antecubiti sebanyak 2 ml dimasukkan kedalam tabung yang mengandung antikoagulan ethylene diamine tetra acid (EDTA) untuk ekstraksi DNA dan PCR.

2.2.

2.3. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi target dalam penelitian ini adalah penderita kanker payudara yang bertempat tinggal di Sumatera Selatan, sedangkan populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah penderita kanker payudara yang dirawat inap dan

2.4.2. Isolasi DNA Alat dan Bahan Alat-alat yang diperlukan untuk isolasi DNA darah adalah tabung sentrifugasi 15 ml steril, rak tabung, ® pipettor (Biohit Proline PIPETTE) dengan berbagai ukuran (10-100 μl dan 100-1000 μl), pipet tip untuk volume 1000 μl dan 100 μl, freezer o 20 C, alat vorteks (Stuart Scientific Autovortex SA6), waterbath (Neslab RTE III), mesin inkubator, ice bath, mesin sentrifugasi (eppendorf centrifuge 5702 R), tabung eppendorf 1,5 ml, serta kertas absorban atau tissue. Bahan-

25 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


bahan yang diperlukan untuk isolasi DNA dari darah adalah Posphate Buffer Saline (PBS) pH 7,4, Safonin 0,5% dalam PBS, dan chelex 20% dalam ddH2O. Cara Kerja Darah sebanyak 200 µl diambil menggunakan pippettor lalu dimasukkan ke dalam tabung eppendorf 1,5 ml. Kemudian darah tersebut dicuci dengan PBS pH 7,4 sebanyak 1 ml/1000 µl lalu disertrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 5 menit. Setelah itu supernatan dibuang dan ditambahkan kembali PBS pH 7,4 sebanyak 1000 µl kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 5 menit. Kegiatan ini diulangi sebanyak 2 kali. Selanjutnya supernatan dibuang, lalu ditambahkan saponin (0,5% safonin dalam PBS dicampur dengan baik menggunakan vortek kemudian diinkubasi dalam es selama 5 menit). Campuran ini diinkubasi pada suhu o 20 C selama semalam. Setelah diinkubasi semalam, campuran kemudian divorteks dan disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. Lalu dicuci kembali sebanyak 3 kali dengan PBS pH 7,4 1000 µl dan sentrifugasi dengan kecepatan 5.000 rpm selama 5 menit. Setelah itu, supernatan dibuang dan ditambahkan 50 µl chelex (20 % dalam ddH2O pH 10,5) serta 100 µl ddH2O. Kemudian diinkubasi dalam air mendidih selama 10 menit. Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12.000 rpm selama 10 menit. DNA berada pada bagian supernatan (DNA containing water) dipindahkan ke dalam tabung steril sebanyak 200 µl dan disimpan O pada suhu -20 C. 2.4.3. Desain Primer yang Spesifik Gen VEGF 936 C/T akan diamplifikasi pada bank gen (GeneBank National Center for Biotechnology/NCBI) dapat diakses dengan kode akses melalui website http://www.ncbi.nlm.nih.gov). Pemilihan primer dengan memperhitungkan syarat suatu primer dengan memperhatikan letak polimorfisme alel VEGF 936T yang dapat dikenali oleh enzim restriksi endonuklease NlaIII.

Pasangan primer terpilih mempunyai sekuen 5’AAGGAAGAGGAGACTCTGCGC-3’ untuk primer VEGF F (forward) dan 5TATGTGGGTGGGTGTGTCTACAGG3’ untuk primer VEGF R (reverse). Spesifisitas kedua primer dikonfirmasi dengan melakukan ’BLAST’ melalui website http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Hasil konfirmasi menunjukkan kedua primer spesifik untuk amplifikasi gen VEGF 936 C/T. 2.5. Polymerase Chain Reaction (PCR) DNA genom yang diperoleh dari hasil isolasi, dengan menggunakan teknik PCR, fragmen-fragmen DNA genom yang ingin dianalisis dapat ditingkatkan kuantitasnya dengan cara diamplifikasi secara in vitro dalam waktu singkat dengan menggunakan pasangan primer oligonukleotida sintetik yang membatasi daerah yang akan diperbanyak. Pada penelitian ini digunakan sepasang primer oligonukleotida untuk deteksi polimorfisme titik. Komposisi campuran dengan volume total 25 μl yang digunakan saat melakukan PCR adalah PCR mix Go Taq (Promega, USA) yang terdiri dari 12,5 μl dNTPs (campuran dATP, dCTP, dGTP, dTTP), MgCl2 dan Taq Polymerase, 7,5 μl ddH2O, dan 3 μl DNA cetakan (template), serta primer oligonukleotida reverse (R) dan forward (F) masing-masing 1 μl. Untuk lebih jelas mengenai primer yang dipakai, panjang primer, dan produk PCR pada penelitian ini disajikan dalam tabel 1 PCR ini dilakukan pada mesin i-cycler (Biorad). Prinsip dasar amplifikasi DNA dengan menggunakan mesin PCR adalah sintesis DNA in vitro secara bireksional berulang melalui ekstensi sepasang primer oligonukleotida yang dirancang berdasarkan urutan nukleotida dari kedua rantai DNA yang diamplifikasi. Proses sintesis ini berlangsung dalam tiga tahap reaksi yang berulang sebanyak 30 siklus pada suhu berbeda, yaitu : reaksi denaturasi 0 pada suhu 95 C untuk memisahkan rantai ganda menjadi dua rantai tunggal, reaksi annealing yaitu menyatunya kembali kedua rantai DNA tersebut pada 0 suhu 58 C, dan ekstensi yaitu sintesis DNA melalui perpanjangan suatu primer

26 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


mengikuti urutan nukleotida DNA rantai tunggal pasangannya yang berlangsung 0 pada suhu 72 C. Kondisi PCR selengkapnya dapat dilihat pada gambar 1.

listrik 110 volt. Selanjutnya dideteksi dengan menggunakan Gel Doc 1000 (BioRad, USA) untuk divisualisasi dengan sinar ultra violet pada panjang gelombang 300 nm dan direkam.

2.5.1. Deteksi Produk PCR Dengan Elektroforesis Gel Agarose Kualitas DNA hasil amplifikasi dengan teknik PCR dilihat dengan menggunakan teknik elektroforesis gel agarose (konsentrasi 2%). Elektroforesis dilakukan di dalam aparatus elektroforesis (Horizontal MiniSubDNA Biorad) yang berisi TBE 1x (Tris-Boric acid-EDTA, 10.8g/L, Tris pH 8.0 yang mengandung 5.5 g/l Boric Acid dan 0.5 M EDTA pH 8.0) dan ditambahkan zat interkalator Ethidium Bromide 0,1%. DNA hasil PCR sebanyak 5μl dicampur dengan 3 μl loading dye (0.25% bromophenol blue, 40% b/v sukrosa), kemudian dimasukkan dalam sumuran yang terdapat pada gel. Sebagai penanda ukuran pita-pita DNA hasil elektroforesis pada gel digunakan DNA marker (50bp DNA Ladder Cat no: 15628-019 Lot no. 1289697 sebanyak 3ug/ul: Promega) yang dicampur 2μl loading dye dan 4.5 ul 1x TBE buffer. Gel dielektroforesis pada tegangan

2.5.2. Deteksi Polimorfisme Gen VEGF 936 C/T dengan Teknik RFLP Polimorfisme gen VEGF 936 C/T ditentukan dengan analisis PCR-RFLP. Adanya polimorfisme pada 3’V untranslated region. Sebanyak 1 µL enzim NlaIII ditambahkan ke dalam tabung eppendorf yang berisi 20 µL produk PCR. Selanjutnya divorteks beberapa detik dan diinkubasi dalam o waterbath pada suhu 37 C selama 3 jam. Setelah digesti oleh NlaIII, produk PCR dielektroforesis pada 2% agarose gel dan dilihat dengan pewarnaan ethidium bromide. 2.5.3. Pengolahan dan Penyajian Data Data-data yang dikumpulkan diolah dengan secara manual dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel frekuensi dan presentase yang disertai kalimat-kalimat narasi untuk memperjelas.

Tabel 1. Pasangan Primer yang Digunakan Untuk Identifikasi Polimorfisme VEGF 936 C/T, Panjang Primer, dan Banyak Produk PCR yang Dihasilkan.

Primer

Sekuen

Panjang Primer (pb)

Forward

`5’-AAGGAAGAGGAGACTCTGCGC-3’

21

Reverse

5-TATGTGGGTGGGTGTGTCTACAGG-3’

23

Produk PCR (pb)

198

Gambar 1. Kondisi PCR untuk Amplifikasi Gen VEGF 936 C/T

27 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Karakterisitik Subjek Penelitian Jumlah subjek dalam penelitian ini 25 orang. Karakteristik umum subjek penelitian terlihat pada Tabel 2 di bawah ini. Rerata umur sampel pada penelitian ini berbeda dari literatur, [7] contoh penelitian Krippl et al (2002) melaporkan hasil rerata umur yang lebih tinggi yaitu 56,4 + 11,0 tahun, begitu juga Wehrschuetz et al (2009) dengan [8] rerata 54.5 + 11.8 tahun. Usia merupakan faktor resiko terjadinya kanker payudara, yaitu insidens akan meningkat setelah usia 50 tahun. Lebih dari 90% kanker payudara terdiagnosis pada usia lebih dari 50 tahun walaupun

[1],[9]

dapat terjadi pada semua usia. Kemungkinan, perbedaan rerata umur ini dapat terjadi karena jumlah sampel yang lebih sedikit sehingga tidak bisa mewakili seluruh populasi penderita kanker payudara. Untuk menghindari bias yang diakibatkan oleh jenis kanker payudara, penelitian ini hanya mengikutkan subjek kasus yang menderita Invasive Ductal Carcinoma Mamma. Selain itu, pengaruh kemoterapi terhadap stabilitas materi genetik juga dicoba untuk dihindari dengan mengeluarkan subjek kasus yang pernah mendapat kemoterapi. Kiranya dengan usaha tersebut di atas dapat meminimalkan bias pada penelitian ini.

Tabel 2. Karakteristik Umum Subjek Penelitian Karakteristik Validitas Rerata Umur (tahun) 46,92± 15,08 3.2. Gambaran Elektroforesis Produk PCR Gen VEGF Setelah dilakukan ekstraksi/isolasi DNA sampel darah kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan Polimerase chain reaction (PCR) gen VEGF menggunakan primer oligonukleotida Forward 5’AGGAAGAGGGACTCTGCGCAGAGC3’ dan reverse 5’TAAATGTATGTATGTGGGTGGGTGTG TCTACAGG-3. Produk hasil PCR berupa amplikon dievaluasi apakah ekstraksi DNA yang kita lakukan berhasil dengan cara elektroforesis melalui media gel agarose konsentrasi 2,5% yang mengandung etidium bromide selama 45 menit. Hasil elektroforesis kemudian di visualisasi menggunakan sinar ultraviolet dan dibaca pada monitor komputer. 3.3. RFLP Menggunakan Enzim NlaIII terhadap Gen VEGF 936C/T Setelah tahapan ekstraksi/isolasi DNA selesai dilakukan dilanjutkan dengan Restriction Fragment Length Polimorphism (RFLP) yaitu tahapan restriksi menggunakan enzim NlaIII, dengan cara mencampur produk hasil PCR dengan enzim restriksi NlaIII pada 0 suhu 37 C selama 2 jam.

Setelah selesai dilanjutkan dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 2,5% yang mengandung ethidium bromide. Polimorfisme gen VEGF 936C/T akan tervisualisasi dengan menggunakan sinar ultra violet, terlihat 3 variasi genotip hasil pemotongan enzim restriksi NlaIII terhadap produk ekstraksi / isolasi DNA, yaitu: 1) Gambaran 1 pita yaitu pada 198 bp berarti amplikon (hasil isolasi DNA yang sudah di PCR) tidak terjadi pemotongan oleh enzim NlaIII pada kedua alel berarti amplikon tersebut mengandung genotip homozigot CC. 2) Gambaran 2 pita yaitu pada 114 bp dan 84 bp berarti amplikon yang direstriksi terjadi pemotongan oleh enzim NlaIII pada kedua alel berarti genotip homozigot TT. 3) Gambaran 3 pita yaitu pada 198 bp, 114 bp dan 84 bp berarti amplikon yang direstriksi terjadi pemotongan pada satu alel dan tidak terjadi pemotongan pada alel pasangannya berarti genotip yang terkandung adalah heterozigot CT. Hasil PCR Gen VEGF terlihat pada posisi 198 bp seperti pada gambar berikut ini.

28 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Gambar 2. Visualisasi Elektroforesis Hasil Ekstraksi/Isolasi DNA dan PCR Gen VEGF Terlihat Pada Posisi 198 Bp Pada Media Gel Agarose 2,5% yang Mengandung Ethidium Bromide Selama 2 Jam

Gambar 3 Polimorfisme Gen VEGF 936C/T Setelah Dilakukan RFLP. M = Marker DNA Penanda, Uc= uncut, Alel T (114bp, dan 84bp) dan Alel C (198bp=C). Genotip CT Pada Lajur 2 dan Genotip CC Pada Lajur 1, 3, 4, dan 5. Keterangan : Sampel Nomor 1, 3, 4, 5 Genotip Heterozigot (terpotong dan memiliki dari tiga pita, pada 198 bp, 114 bp dan 84 bp). Sampel Nomor 2 Genotip Wild Type (tidak terpotong dan hanya memiliki satu pita pada 198 bp). 3.4. Distribusi Frekuensi Genotif Gen VEGF 936C/T pada Subjek Penelitian Setelah semua subyek penelitian menjalani proses isolasi DNA, PCR dan RFLP, maka didapatkan distribusi frekuensi genotip gen VEGF 936C/T Pada penelitian ini, yaitu distribusi genotip TT, CT, dan CC dan masingmasing 0(0%), 9(36%) dan 16(64%). (Tabel 3) Mutasi yang terjadi pada promotor gen VEGF 936 C/T yang dipotong dengan enzim NlaIII yaitu perubahan basa C (sitosin) menjadi basa T (timin). Dengan teknik RFLP, maka mutasi tersebut dapat diidentifikasi. Genotip wild type (CC) saat divisualisasi akan terlihat pita

dengan berat basa 198 bp. Genotip heterozigot (CT) saat divisualisasi akan terlihat 3 pita yaitu pada daerah marker 198 bp, 114 bp, dan 84 bp, sedangkan genotip homozigot mutan (TT) saat divisualisasi akan terlihat 2 pita pada 6,8,10 daerah marker 114 bp dan 84 bp. Distribusi frekuensi genotip gen VEGF 936 C/T pada penelitian ini berbeda dengan literatur, yaitu penelitian penelitian Krippl et al di Austria (2002). Penelitian Krippl et al, terhadap 500 subjek penelitian penderita kanker payudara, melaporkan bahwa distribusi frekuensi genotip CC, CT, dan TT adalah 82,4%, 15,8%, dan [7] 1,8%. Perbedaan perlakuan antara penelitian ini dan literatur adalah pada

29 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


kriteria inklusi, yaitu penelitian ini memasukkan etnis melayu dan pembatasan hasil PA Invasive Ductal Carcinoma Mamma sebgai kriteria inklusi, sedangkan pada literatur tidak.

Genotip CC CT TT Total

Selain itu, jumlah subjek penelitian yang jauh lebih sedikit juga berpengaruh terhadap persentase hasil yang mewakili seluruh populasi.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Genotip Gen VEGF 936C/T (n=25) Jumlah Persentase (%) 16 64 9 36 0 0 25 100

3.5. Distribusi Frekuensi Alel Gen VEGF 936C/T pada Subjek Penelitian Pada penelitian ini didapatkan distribusi frekuensi alel polimorfisme Gen VEGF 936C/T, yaitu alel T berjumlah 9 (8%) dan distribusi alel C berjumlah 41 (82%) (Tabel 4). Mutasi alel (TT) pada genotip promotor gen VEGF 936 C/T pada individu berhubungan dengan peningkatan ekspresi gen ini dalam proses angiogenesis. Peningkatan angiogenesis ini meningkatkan faktor risiko terjadinya kanker dan memperparah prognosis, contohnya [5],[6],[8] kanker payudara. Distribusi frekuensi alel gen VEGF 936 C/T pada penelitian ini berbeda

dengan literatur, yaitu penelitian penelitian Krippl et al di Austria (2002). Penelitian Krippl et al, terhadap 500 subjek penelitian penderita kanker payudara, melaporkan bahwa distribusi frekuensi alel C dan T adalah 90,3% 7 dan 9,7%. Perbedaan perlakuan antara penelitian ini dan literatur adalah pada kriteria inklusi, yaitu penelitian ini memasukkan etnis melayu dan pembatasan hasil PA Invasive Ductal Carcinoma Mamma sebgai kriteria inklusi, sedangkan pada literatur tidak. Selain itu, jumlah subjek penelitian yang jauh lebih sedikit juga berpengaruh terhadap persentase hasil yang mewakili seluruh populasi.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Alel pada Polimorfisme Gen VEGF 936C/T (n=25) Alel Jumlah Persentase (%) C T Total 4. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan pada penderita kanker pudara yang berobat di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, ditemukan genotip CC sebesar 64%, genotip CT sebesar 36%, dan, tidak ditemui genotip TT. Selain itu, ditemukan pula alel C sebesar 82%, dan alel T sebesar 18%. 5. SARAN Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar, proporsi yang seimbang, dan jangka waktu yang lebih panjang agar dapat mewakili populasi. Selain itu, perlu

41 9 50

82 18 100 dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen VEGF 936 C/T dan titik lainnya dengan kejadian kanker payudara. DAFTAR PUSTAKA 1. Suyatno dan Pasaribu ET. Kanker Payudara. Dalam: Bedah Onkologi Diagnosis dan Terapi. Jakarta. Sagung Seto. 2010; 37-81. 2. Manuaba IBTW. Ed. Panduaan Penatalaksanaan Kanker Payudara. Dalam: Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid PERABOI 2010. Jakarta. Sagung Seto. 2010; 17-47. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Jika Tidak

30 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


4.

5.

6.

7.

Dikendalikan 26 Juta Orang di Dunia Menderita Kanker, (online). Diunduh dari: http://www.depkes.go.id/index.php/b erita/press-release/1060-jika-tidakdikendalikan-26-juta-orang-di-duniamenderita-kanker-.html, diakses tanggal 21 Desember 2013) Centre of Disease Control and Prevention. 2007. Breast Cancer Statistics, (online). Available at: http://www.cdc.gov/, accessed on st December, 21 2013. Devita VT, Lawrence TS, Rosenberg SA. Breast Cancer. In: Cancer Principles & Practice of th Oncology 8 Edition Volume 2. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2008; 234-43. Lu H, Shu XO, Cui Y, Kataoka N, Wen W, et al. Association of Genetic Polymorphisms in the VEGF Gene with Breast Cancer Survival. Cancer Research 2005; 65: 5015-9 Krippl P, Langsenlehner U, Renner W. A Common 936 C/T Gene

Polymorphisms of Vascular Endothelial Growth Factor is Associated with Decreased Breast Cancer Risk. Int J Cancer 2003; 106: 468-71. 8. Wehrschuetz M, Schテ僕lnast H, Wehrschuetz E. 2009. VEGF 936C / T Polymorphism and Association of BI-RADS Score in Women with Syspected Breast Cancer. Breast Cancer: Basic and Clinical Research in Libertas Academica Freedom to Research. 9. Hillegas KB. Karsinoma Payudara. Dalam: Hartanto H, dkk. Ed. Price & Wilson: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta. EGC. 2006; 1303-7. 10. Watson CJ, Webb NJA, Bottomley MJ, Brenchley PE. Identification Polymorphisms within Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Gene Correlation Variation VEGF Protein Production. Cytokine 2000; 12: 1232-5.

31 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Penelitian

PHYTOSOME EKSTRAK PEGAGAN SEBAGAI MODULATOR NEUREGULIN-1 PADA TRAUMATIC BRAIN INJURY 1

2

2

Putri Fitri Alfiantya , Oktavia Rahayu Adianingsih , Zulkarnaen , Alif 1 1 3 Fariz Jazmi , Sitti Ayu Hemas Nurarifah , Wibi Riawan 1 Mahasiswa Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang 2 Program StudiFarmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang 3 Laboratorium Biokimia, Fakultas Kedokteran, Universitas Brawijaya, Malang ABSTRAK Pendahuluan: Pada Traumatic Brain Injury (TBI), terjadi penurunan sintesis protein neuregulin1 (NRG-1) yang berperan dalam pembentukan mielin, sehingga diperlukan terapi untuk meningkatkan ekspresi NRG-1 untuk mengembalikan fungsi akson. Secara etnomedicine, Pegagan (Centella asiatica) memiliki efek neuroprotektor.Phytosome merupakan model drug delivery system untuk meningkatkan efek terapi dari ekstrak Pegagan. Penelitian ini bertujuan membuktikan dan membandingkan efektivitas ekstrak dan phytosome dalam optimalisasi herbal delivery system ekstrak Pegagan sebagai neuroprotektor yang ditandai dengan peningkatan ekspresi NRG-1 dan perbaikan tingkat mielinasi neuron pada tikus model TBI. Metode: Ekstraksi Pegagan menggunakan metode maserasi.Phytosome ekstrak Pegagan dikarakterisasi menggunakan spektroskopi KLT, LC/MS-MS, dan SEM. Tikus diinduksi TBI menggunakan tabung silinder besi 45 gram dimana tikus dikelompokkan menjadi 8 kelompok: kontrol (-), kontrol (+), 3 kelompok diberi ekstrak Pegagan, dan 3 kelompok diberi phytosome ektrak Pegagan dengan dosis masing-masing 90 mg/kgBB, 180 mg/kgBB, dan 360 mg/kgBB. Ketebalanmielin diukur dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin, sedangkan ekspresi NRG1dengan immunohistokimia. Hasil: Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa ekstrak Pegagan (dosis 180 mg/kgBB dan 360 mg/kgBB) dan phytosome ekstrak Pegagan (dosis 90 mg/kgBB, 180 mg/kgBB, dan 360 mg/kgBB) dapat meningkatkan ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin secara signifikan (p<0,05). Simpulan: Kesimpulan penelitian adalah phytosome ekstrak Pegagan dapat meningkatkan ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak Pegagan saja. Kata kunci: TBI, neuregulin-1, phytosome, mielinasi, Centella asiatica ABSTRACT Introduction: Neuregulin-1 (NRG-1) which play important role in myelin formation is decreased in Traumatic Brain Injury (TBI). Thus, it required therapy to increase NRG-1 to restore the function of axon. Based on etnomedicine, Centella asiatica is often used as neuroprotector. Phytosome is a drug delivery system model to enhance the therapeutic effects of Centella asiatica extract. This study aims to prove and compare the effectiveness between Centella asiatica phytosome and Centella asiatica extracts to optimize the herbal delivery system of Centella Asiatica for neuroprotection characterized by the increased of NRG-1 expression and improvement in myelination of neurons in TBI rat model. Method: Centella asiatica phytosome extract was characterized by TLC, LC/MS-MS, and SEM. The rats were induced by TBI with 45 grams cylinder tube and rats were divided into 8 groups: control (-), control (+), 3 groups were given with Centella asiatica extract, and 3 groups were given with Centella asiatica phytosome extract (90, 180 and 360 mg/kgBW dose). Myelin thickness was measured by Hematoxylin-Eosin staining and immunohistochemical expression of NRG-1.

32 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Results: Statistical analysis showed that the administration of Centella asiatica extract (180 and 360 mg/kgBW dose) and Centella asiatica phytosome extract (90, 180 and 360 mg/kgBW dose) in the treatment groups was significant to increase NRG-1 expression and the thickness of myelin (p<0.05). Conclusion: The conclusion of this study is Centella asiatica phytosome extract can increase the expression of NRG-1 and make the higher myelin thickness compared with Pegagan extract alone. Keywords: TBI, neuregulin-1, phytosome, myelination, Centella asiatica. 1. PENDAHULUAN Trauma kepala sebagian besar berdampak serius pada sistem saraf pusat yang dikenal dengan istilah traumatic brain [1] injury (TBI). Menurut Brain Trauma Foundation tahun 2007, traumatic brain injury paling banyak disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, cedera ketika berolahraga, atau akibat terjatuh. Di Indonesia sendiri, tepatnya di DKI Jakarta, tercatat sebanyak 53,4% korban kecelakaan mengalami cedera parah [2] terutama pada bagian kepala. Penatalaksanaan pasca TBI sangatlah kompleks, yang meliputi rehabilitasi kognitif, [3] emosional, dan sosial. Modulasi NRG-1 pada TBI akan menurunkan gangguan fungsi akibat kerusakan mielin dan dapat [4] menjadi sasaran terapi baru untuk TBI. Pegagan (Centella asiatica) merupakan tanaman yang sangat sering ditemui di semua wilayah di Indonesia. Secara etnomedicine, Pegagan sering digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit, terutama sebagai wound healing dan neuroprotektor, dengan kandungan fitokimia glikosida triterpenoid saponin, yaitu asiatikosida, asiatic acid, [5] madecassoside dan madecasic acid. Namun, komponen fitokimia tersebut cenderung bersifat polar sehingga diperlukan cara untuk memodifikasi kepolaran dari ekstrak, salah satunya dengan cara memformulasikan ekstrak dalam bentuk phytosome dimana phytosome adalah teknologi terbaru dalam formulasi obat herbal yang dikembangkan untuk memperbaiki farmakokinetika bahan aktif obat herbal. Phytosome merupakan pengembangan dari produk herbal konvensional dengan mengikat komponen ekstrak tanaman herbal dengan fosfatidilkolin sehingga dapat dihasilkan produk dengan tingkat absorbsi yang lebih baik dibandingkan ekstrak herbal [6] konvensional. Hingga saat ini, belum ada penelitian mengenai efek neuroprotektif Pegagan

pada TBI melalui peningkatan ekspresi NRG-1, sehingga kami mencoba memberikan alternatif pendekatan terapi TBI yang efektif dengan membuat suatu rancangan formulasi sediaan phytosome ekstrak Pegagan dalam upaya modifikasi herbal delivery system sebagai modulator NRG-1 dalam proses mielinasi saraf. 2. BAHASAN 2.1. Metode Penelitian 2.1.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain eksperimen murni secara in vivo dengan rancangan randomized post test only controlled group design menggunakan tikus jantan (Rattus norvegicus) usia 2-3 bulan dengan berat 300-400 gram. Tikus dibagi menjadi 8 kelompok, yaitu:  Kontrol negatif : tikus sehat tanpa diberikan perlakuan apapun.  Kontrol positif : tikus diinduksi TBI tanpa diberikan ekstrak dan atau phytosome  Perlakuan 1-3 : tikus diinduksi TBI dan diberikan phytosome dosis 90, 180, 360 mg/kgBB  Perlakuan 4-6 : tikus diinduksi TBI dan diberikan ekstrak dosis 90, 180, 360 mg/kgBB Setiap kelompok terdiri dari 4 tikus. Ekstrak dan atau phytosome diinjeksikan melalui rute intraperitoneal (ip) 2 jam setelah induksi TBI. Ekspresi NRG-1 diukur melalui pemeriksaan imunohistokimia, sedangkan pemeriksaan histopatologis dilakukan untuk melihat gambaran [7] ketebalan mielin. 2.1.2.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian dilakukan diLaboratorium Sentral Ilmu Hayati Universitas Brawijaya (LSIH UB), Laboratorium Biokimia, Laboratorium PA, Laboratorium Farmasetika, Laboratorium Farmakokinetika dan Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran UB selama 4 bulan.

33 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


2.1.3.

Alat dan Bahan Bahan penelitian, yaitu ekstrak Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan, Povidon Iodin 10% 50cc, NaCl fisiologis, alkohol swab, formalin 10%, dan jaringan otak tikus untuk pemeriksaan histopatologis. Alat penelitian adalah sebagai berikut: kandang; tempat minum, dan makanan tikus; peralatan jahit dan anestesi; tabung silinder besi diameter 5mm; beban besi 45g; meja operasi; timbangan; spuit 1 mL, 3mL dan 5mL; pipet hisap; pipet tetes; mikropipet 10-100 Âľl dan 200-1000 Âľl dan tipnya; imunohistokimia kit. 2.1.4.

Variabel Penelitian Variabel bebas dalam penelitian ini adalah dosis ekstrak Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan, sedangkan variabel terikat adalah ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin neuron. 2.1.5.

Sampel Penelitian Berdasarkan rumus Federer, jumlah sampel tiap perlakuan minimal 4 ekor tikus maka jumlah total tikus yang dibutuhkan sejumlah 32 ekor menggunakan simple random sampling. 2.1.6.

Perawatan Tikus Tikus ditimbang dan dilakukan adaptasi selama satu minggu di dalam kandang berukuran 50 x 30 cm, tiap kandang berisi 4 ekor tikus. Tikus diberi makan 1 kali sehari. 2.1.7.

Ekstraksi Pegagan Setiap 400 mg serbuk kering tanaman ditambahkan 500 ml etanol teknis dan dicampur dalam maserator dengan penggojokan pelan selama 30 menit pada awal perendaman. Campuran disimpan selama 1 hari.Setelah itu filtrat disaring dan pelarut diuapkan dengan rotary evaporator 0 [8],[9] (suhu 80 C). 2.1.8.

Pembuatan Phytosome Pembuatan phytosome melalui metode sonikasi dengan mencampur lecithin, etanol 70%, ekstrak Pegagan, PEG dan natrium cholat, lalu distirer 3 jam dengan magnetig stirer 2000 rpm. Pelarut diuapkan lalu dihidrasi dengan aqua bebas CO2 kemudian disonikasi.Lalu dilakukan karakterisasi menggunakan LC-MS/MS dan [8] SEM.

2.1.9. Induksi Traumatic Brain Injury (TBI) Tikus dianestesi kemudian bulu kepala dicukur dan dibersihkan dengan alkohol 70%. Kemudian kulit kepala dibuka. Silinder besi seberat 45 gram (diameter 4mm) dijatuhkan dengan sudut 90Âş dari ketinggian 100 cm sebanyak 1 kali (Metode Marmarou). Setelah itu kulit kepala tikus dijahit kembali. 2 jam setelah induksi, 3 kelompok perlakuan diberi ekstrak Pegagan dan 3 kelompok perlakuan diberi phytosome ektrak Pegagan intraperitoneum. Setelah 1 minggu pascatrauma diperiksa histopatologi jaringan otak dan imunohistokimia ekspresi NRG-1. 2.1.10. Pembuatan Preparat Histopatologi Jaringan Otak, Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE) dan Pengukuran Ketebalan Mielin Jaringan otak difiksasi mengunakan formalin 10% selama 24 jam, dicuci dengan air kran mengalir atau alkohol 90%, dan dilakukan tahap dehidrasi. Setelah itu, dilakukan tahap pembeningan (clearing), pembenaman (impregnation), pengecoran (blocking), dan pewarnaan HE.Pengamatan dilakukan menggunakan program Scan Dot Slide OlyVIA pembesaran 20x obyektif pada 10 lapang pandang. 2.1.11. Pewarnaan Imunohistokimia dan Pemeriksaan Ekspresi Neuregulin-1 (NRG-1) Sampel yang sudah diblok dengan parafin di deparafinisasi lalu disimpan selama 24 jam dan dilakukan pengecatan IHK. Sampel dicuci dengan PBS pH 7,4 selama 2x5 menit, tetesi larutan H2O2 selama 30 menit, cuci dengan PBS sebanyak 3x5 menit, lakukan blocking protein dengan serum 1% selama 20 menit, cuci dengan PBS 3x5 menit, inkubasi dengan antibodi primer dalam serum 1:500 selama 2 jam pada suhu ruang, cuci dengan PBS 3x5 menit, inkubasi dengan antibodi sekunder 1:500 selama 1 jam pada suhu ruang, cuci dengan PBS 3x5 menit, tetesi polimer selama 40 menit, cuci dengan PBS 2x5 menit, cuci dengan aquadest sebanyak satu kali, tetesi dengan diamono benzidine (DAB) dan dibiarkan selama 20 menit, cuci dengan aquadest, tetesi dengan mayer hematoxilen selama 5 menit, tambahkan aquadest, diamkan selama 10 menit, cuci dengan aquadest 34

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


mengalir, keringkan selama 3 jam, tetesi dengan entelan, dan terakhir tutup dengan [10] coverslip. Slide hasil pengecatan diperiksa menggunakan program Scan Dot Slide OlyVIA. Kemudian dilakukan pemeriksaan ekspresi NRG-1 dengan pembesaran 40x obyektif dengan 20 lapang pandang pada tiap slide.

dilakukan visualisasi partikel maka dilakukan karakterisasi ekstrak Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan secara kualitatif dan kuantitatif.

2.1.12. Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data Hasil pengukuran ketebalan mielin dan ekspresi NRG-1 dianalisa menggunakan IBM SPSS Statistics 20 dengan tingkat signifikansi (p) = 0,05dan taraf kepercayaan 95% (Îą = 0,05). 2.1.13. Instrumentasi Penelitian Ekstraksi: rotary evaporator, vacuum drying, overhead stirrer. Pembuatan phytosome: rotary evaporator, magnetic stirrer.Karakterisasi ekstrak dan phytosome: LC-MS/MS (UHPLC: Acella tipe 1250, Hypersil Gold Colomn, Thermo Scientific; MS-MS: TSQ Quantum Access Max,Triple Quadrupole). Pengecekan NRG-1 dan ketebalan mielin: Mikroskop Scan Dot Olympus Photo Slide BX51. 2.2. Hasil dan Diskusi Dari 400 gram serbuk simplisia Pegagan, didapatkan ekstrak kental seberat 83,8 gram kemudian sebagian difomulasikan dalam bentuk phytosome dan dilakukan karakterisasi. 2.2.1. Karakterisasi Ekstrak Pegagan dan Phytosome Ekstrak Pegagan 2.2.1.1. Visualisasi Partikel menggunakan Scanning Electron Microscopy SEM (Scanning electron microscopy) digunakan untuk memvisualisasikan bentuk dan mengetahui ukuran partikel phytosome ekstrak Pegagan. Dari hasil visualisasi didapatkan ukuran phytosome ekstrak [11] Pegagan sebesar 81 - 90 nm. Setelah (A)

Gambar 1. Visualisasi Partikel Phytosome

2.2.1.2. Uji Kualitatif menggunakan Kromatografi Lapis Tipis Uji kualitatif sering digunakan dalam menentukan kandungan senyawa dalam suatu tanaman, salah satunya [12] menggunakan KLT. Uji kualitatif dengan KLT dilihat dari deteksi noda dan nilai Rf, dua senyawa dikatakan identik jika mempunyai nilai Rf yang sama jika diukur pada kondisi KLT (fase diam dan fase gerak) yang sama. Pada penelitian ini didapatkan nilai Rf standar asiatikosida = 0.2875 dan Rf senyawa asiatikosida dalam ekstrak = 0.2750, sedangkan rentang Rf asiatikosida menurut literatur adalah 0.2[13] 0.35. Hasil ini menunjukkan adanya senyawa asiatikosida pada phytosome yang dibuat sehingga dapat dilakukan uji penetapan kadar asiatikosida menggunakan metode LC-MS/MS.

(B)

Gambar 2. Plat Hasil KLT (A) UV, (B) visual 35 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


2.2.1.3. Uji Kuantitatif menggunakan Liquid Chromatography–Mass Spectra/Mass Spectra Untuk uji kuantitatif senyawa triterpen (asiatikosida) dari ekstrak Pegagan dapat dilakukan denagan menggunakan metode LC–MS/MS yang dapat memisahkan dan mendeteksi senyawa tersebut dari senyawa [14] yang lainnya berdasarkan berat molekul.

(50 x 2.1 x 1.9 µM), dan MS/MS. Validasi metode dilakukan untuk memastikan akurasi dan presisi dari metode yang digunakan. Sampel 200 µl dilarutkan dalam 1 ml metanol lalu difiltrasi menggunakan filter 0.2 mikron untuk meminimalisasi [12] kontaminan. Hasil spektrogram LCMS/MS menunjukkan adanya senyawa asiatikosida sebanyak 0.232 % dengan berat molekul m/z = 957,00 yang dikalkulasikan untuk m/z =469,54- 470,89. 2.2.2. Ekspresi NRG-1 dan Ketebalan Mielin Pada penelitian ini diperoleh data rerata ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin pada berbagai kelompok penelitian yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Data Hasil Penelitian dari MasingMasing Kelompok [rerata(SD)]

Kadar asiatikosida diuji dengan metode LC–MS/MS dengan kondisi operasi sebagai berikut: autosampler (suhu = 10 0 C, volume injeksi 2 µl), UPHLC dengan gradient (fase gerak = air + 0.1 asam format, asetonitril + asam format), kolom

Ekspresi NRG-1 (sel)

Ketebalan Mielin (µm)

KN

3.12 (0.08)

30.19 (2.51

KP

1.99 (0.1)

24.37 (1.34

P1

3.7 (0.31)

31.86 (1.81

P2

3.92 (0.22)

36.30 (2.51

P3

4.02 (0.17)

49.68 (4.47

P4

2.53 (0.16)

28.32 (1.80

P5

2.82 (0.12)

30.23 (1.45

P6

3.24 (0.99)

33.73 (1.60

Keterangan: KN (tidak diberi perlakuan); KP (diinduksi TBI); P1(diinduksi TBI + phytosome 90mg/kgBB); P1(diinduksi TBI + phytosome 90 mg/kgBB); P2(diinduksi TBI + phytosome 180 mg/kgBB); P3(diinduksi TBI + phytosome 360 mg/kgBB); P4(diinduksi TBI + ekstrak 90 mg/kgBB); P5(diinduksi TBI + ekstrak 180 mg/kgBB); P6(diinduksi TBI + ekstrak 360 mg/kgBB).

36 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


2.2.2.1. Ekspresi NRG-1

KN

KP

P2

P3

P5

P6

P1

P4

Gambar 4 Grafik Perbandingan Rerata Eskpresi NRG-1 antar Masing-Masing Kelompok Penelitian. Uji ANOVA terhadap ekspresi NRG-1 pada jaringan otak tikus menunjukkan nilai p = 0.00 (p<0.05) sehingga dilanjutkan dengan uji post hoc Tukey HSD. Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif dengan kontrol negatif (p=0.003) serta antara kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan 1, 2, 3, 5, dan 6 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak (dosis 180, 360 mg/kgBB) dan phytosome (dosis 90, 180, 360 mg/kgBB) mampu meningkatkan ekspresi NRG-1 pada jaringan otak tikus yang diinduksi oleh TBI secara signifikan. 2.2.2.2. Ketebalan Mielin Uji Kruskal Wallis terhadap ketebalan mielin pada akson di jaringan otak tikus menunjukkan nilai p=0.01 (p<0.05) maka dilanjutkan dengan uji post hoc Mann Whitney. Hasil uji post hoc menunjukkan bahwa terdapat perbedaaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif dengan kontrol negatif (p=0.021) serta antara kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan 1, 2, 3, 5, dan 6 (p<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak (dosis 180, 360 mg/kgBB) dan phytosome (dosis 90, 180, 360 mg/kgBB) mampu meningkatkan ketebalan mielin pada akson di jaringan otak tikus yang diinduksi oleh TBI secara signifikan.

Gambar 5.Gambaran Histopatologi Jaringan Otak menggunakan Pengecatan Imunohostokimia IHK 1.

KN

P2

KP

P1

P3

P4

Gambar 6.Gambaran Histopatologi Jaringan Otak menggunakan Pengecatan Hematoksilin & Eosin (HE)

Gambar 7. Grafik Perbandingan Rerata Ketebalan Mielin antar Masing-Masing Kelompok Penelitian

37 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


2.2.3.

Pegagan sebagai Neuroprotektor Pegagan (Centella asiatica) mengandung senyawa saponin triterpenoid yang mempunyai efek neuroprotektor, yaitu asiatikosida dan madekakosida. Salah satu efek farmakologis dari Pegagan jika ditinjau berdasar etnomedicine atau pengobatan secara empiris adalah sebagai neuroprotektor. Selain itu, Pegagan digunakan untuk beberapa pengobatan berbagai macam penyakit, seperti wound [5] healing dan penurunan daya ingat. Terdapat berbagai mekanisme terkait efek neuroprotektor dari Pegagan, antara lain inhibisi enzim, mencegah pembentukan plak amyloid pada penyakit Alzheimer, neurotoksisitas terhadap dopamin pada penyakit Parkinson, meningkatkan jumlah dendrit saraf, menurunkan apoptosis [15] neuron, dan menurunkan stres oksidatif. Namun, belum ada penelitian lebih lanjut mengenai mekanisme molekuler ekstrak Pegagan sebagai neuroprotektor dalam model traumatic brain injury (TBI). Salah satu karakterisitik senyawa dapat menembus membran sawar otak atau blood brain barrier (BBB) yaitu memiliki koefisien partisi yang tinggi atau bersifat lipofilik dan ukuran partikelnya yang kecil sehingga dapat menembus sel endotel [16] membran sawar otak. Komponen kimia yang terkandung dalam ekstrak Pegagan cenderung bersifat polar, terutama asiatikosida yang termasuk golongan glikosida saponin triterpenoid karena mengandung gugus gula yang bersifat polar. Untuk itu, diperlukan modifikasi kepolaran dari ekstrak Pegagan untuk meningkatkan absorbsinya ke dalam membran sawar otak, yaitu dengan memformulasikannya dalam bentuk phytosome. 2.2.4. Mekanisme Ekstrak Pegagan dan Phytosome Ekstrak Pegagan dalam Memperbaiki Mielin Berdasarkan penelitian ini, ekstrak Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan memiliki efek neuroprotektor dengan memperbaiki fungsi saraf melalui remielinasi saraf yang rusak. Zat aktif dalam Pegagan mampu mengaktivasi gen regulator Krox-20 dimana gen Krox-20 merupakan faktor transkripsi dari protein NRG-1. Mielinasi dimulai dengan ekspresi NRG-1 oleh akson yang akan berinteraksi dengan reseptor ErBb pada oligodendrosit. Ikatan NRG-1 dengan ErBb akan memulai

proses kaskade second messenger, dimulai 2+ dari peningkatan akumulasi ion Ca , pengaktifan phosphatidylinositol-3-kinase (PI3K), focal adhesi kinase, dan pengaktifan mTOR kinase yang menyebabkan aktivasi gen mielin (Krox-20 17 & P0) pada inti sel oligodendrosit. Hal ini menyebabkan oligodendrosit membentuk mielin pada akson dimana perbaikan mielin ini akan mempercepat konduksi impuls [18] saraf. Phytosome ekstrak Pegagan memiliki efek yang lebih baik daripada ekstrak biasa yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah NRG-1 dan ketebalan mielin yang lebih tinggi.Hal ini disebabkan phytosome dapat meningkatkan kelarutan dari zat aktif Pegagan dalam lemak, dapat meningkatkan manfaat terapeutiknya secara signifikan, serta meningkatkan absorbsi senyawa aktif dimana ikatan kimia antara fosfatidilkolin dan fitokonstituen [6] menunjukkan stabilitas yang baik. 4. KESIMPULAN Pemberian ekstrak Pegagan dan phytosome ekstrak Pegagan mampu meningkatkan ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin. Apabila dibandingkan dengan ekstrak saja,pemberian phytosome ekstrak Pegagan mampu meningkatkan ekspresi NRG-1 dan tingkat mielinasi lebih tinggi. Untuk meningkatan ekspresi NRG-1 dan ketebalan mielin, dosis ekstrak Pegagan yang dibutuhkan adalah 180 mg/kgBB, sedangkan ekstrak yang diformulasikan dalam bentuk phytosome hanya membutuhkan dosis sebesar 90 mg/kgBB. DAFTAR PUSTAKA 1. Jorge RE, Starkstein SE, Arndt S, Moser D, Crespo-Facorro B, Robinson RG. Alcohol misuse and mood disorders following TBI. Archives of General Psychiatry 2005; 62(7):742-749 2. Riyadina, Woro dkk. Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat Kecelakaan. [Internet] 2009. [Cited 2013 October 20] Available from:http://indonesia.digitaljournals.org/. 3. Block, Cady K, West SE. Psychotherapeutic Treatment Of Survivors Of Traumatic Brain Injury: Review Of The Literature And Special Considerations. Brain Injury 2013;27(78):775-88

38 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


4. Flygt, J. et al. Myelin Loss And Oligodendrocyte Pathology In White Matter Tracts Following Traumatic Brain Injury In The Rat. Eur J Neurosci 2013 Jul;38(1):2153-65 5. Alfarra, Yousif H, Omar, Nor M. Centella asiatica : from folk remedy to the medical biotechnology. International Journal of Bioscience 2013; 3(6) : 49-67 6. Sharma S, Roy RK. Phytosome: an Emerging Technology. International Journal of Pharma Research and Technology 2010;2(5):1-7. 7. Svennigsen FA, Dahlin BL. 2013. Repair of the Peripheral Nerve—Remyelination that Works. Brain Sci 2013;3(3): 11821197 8. Adianingsih OR,Sulistiyani P,Zulkarnaen,Alfiantya PF,Agustin ENS. Characterization and Effect of Lotion Centella asiatica Extract-Phospholipid. BIMFI 2014;2(2):71-81 9. Pramono S, Ajiastuti D. Standarisasi Ekstrak Herba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban). Majalah Farmasi Indonesia 2004;15 (3): 118-123. 10. Fatmawati, Heni dkk. Pengaruh Likopen terhadap Penurunan Aktivitas NF-kB dan Ekspresi ICAM-1 pada Kultur HUVECs. Jurnal Ilmu Dasar 2010; 1(2):143. 11. Sulistiyani, S. Pengaruh Penambahan Kolesterol Terhadap Stabilitas Fisika dan Kimia Fitosom Ekstrak Pegagan (Centella asiatica). [Skripsi] Malang : Universitas Brawijaya; 2014 12. Gandjar, I.G., Rohman, A. Kimia Farmasi Analisis. [Pustaka Pelajar] : Yogyakarta ; 2007

13. Wagner H, Bladt S. Plant drug analysis: A Thin Layer Chromatography Atlas. 2nd ed. Berlin Heidelberg: Springer ; 1996 ; p.324-325. 14. Tiwari, U. K., Shukla, A., Gaur, AK. Chemical Constituents Isolated from Andrographis paniculata. Indian Journal of Chemistry 2010;41(29): 356-35. 15. Orhan, Ilkay Erdogan. Centella asiatica: Traditional toModern Medicine with Neuroprotective Potential. EvidenceBased Complementary and Alternative Medicine 2012 (2012): 1-8. 16. Gomes NG, Campos MG, Órfão JM.et al. Plants with neurobiological activity. Neuro-Psychopharmacology & Biological Psychiatry 33 2009 Nov 13;33(8):1372-89 17. Taveggia C, Feltri ML , Wrabetz L. Signals to promote myelin formation and repair. 2010 May;6(5):276-87 18. Simon M, Lyons DA. Axonal selection and myelin sheath generation in the central nervous system. Cell Biology 2013,25(4):512-519

39 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Tinjuan Pustaka

IIΒ-HSD1 SELECTIVE INHIBITOR VIA INCB13739 GUNA PENURUNAN GLUCOCORTICOID RECEPTOR-α PADA PENCEGAHAN KOMPLIKASI PASIEN DIABETES GESTASIONAL 1

1

R. Prawira Bayu Putra Dewa , I Made Widiarta Kusuma Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar

1

ABSTRAK Pendahuluan: Gestasional Diabetes Melitus (GDM) merupakan suatu keadaan intoleransi glukosa dengan derajat bervariasi yang terjadi pada saat kehamilan berlangsung. Insiden GDM di Indonesia 1,9-2,6%. Penyebab penyakit ini bersifat multifaktorial, namun peningkatan hormon kortisol melalui enzim 11β-HSD1 menyebabkan peningkatan glucocorticoid receptor-α (GR-α) yang mengganggu kaskade signal insulin pada organ sel target terutama otot skeletal, sel adiposa, dan hati. Hal ini menyebabkan bayi lahir dengan makrosomia, hiperbilirubinemia, dan obesitas. Sedangkan, pada wanita hamil dengan GDM dapat meningkatkan resiko preeklampsia dan DM tipe II dikemudian hari. Oleh karena itu, pencegahan terjadinya komplikasi pasien DGM sangat perlu dilakukan pada penghambatan enzim 11β-HSD1. Hal ini dapat dilakukan melalui INCB13739 sebagai 11β-HSD1 selective inhibitor. Pembahasan: Administrasi INCB13739 melalui jalur oral dengan dosis efektif 100 mg per hari. Mekanisme kerja obat ini menghambat mRNA enzim 11β-HSD1 sebagai kompetitif inhibitor dengan membentuk kompleks CS-GR. Homeostasis kadar kortisol menurunkan pula ekspresi GR-α yang meningkatkan sensitivitas insulin. Simpulan: Analisis manfaat pemberian obat ini jika dibandingkan dengan modalitas terapi GDM saat ini adalah memiliki daya selektifitas yang tinggi dan memiliki efek multiregulasi untuk menghomeostasiskan tubuh akibat GDM. Sehingga hal ini mencegah komplikasi pada anak maupun wanita hamil dengan GDM. Kata kunci: Gestasional Diabetes Melitus, INCB1379, 11β-HSD1, GR-α, Selective Inhibitor ABSTRACT Introduction:Gestational Diabetes Mellitus (GDM) is a condition of glucose intolerance with varying degrees that occurred during pregnancy. The incidence of GDM in Indonesia 1.9 to 2.6%. The cause of this disease is multifactorial, but the increase in the hormone cortisol by 11β-HSD1 enzyme causes an increase in glucocorticoid receptor-α (GR-α) that interfere with insulin signaling cascade in the target cell organs, especially skeletal muscle, adipose cells, and liver. GDM will lead fetus to birth macrosomia, hyperbilirubinemia, and obesity. Meanwhile, in pregnant women GDM may increase the risk of preeclampsia, and type II diabetes. Therefore, prevention of complications of patients DGM very necessary in the inhibition of the enzyme 11β-HSD1. This can be done through 11β-HSD1 INCB13739 as a selective inhibitor. Pembahasan:INCB13739 administration via the oral route with an effective dose of 100 mg per day. Mechanism of action of these drugs inhibit the enzyme 11β-HSD1 mRNA as a competitive inhibitor by forming CS-GR complex. Homeostasis cortisol levels also decrease the expression of GR-α that improve insulin sensitivity. Conclusion: Analysis of the benefits of this drug compared with current therapeutic modalities DGM has high selectivity and has multi regulation effect to homeostatic body from GDM. So this is to prevent complications in children and pregnant women with GDM.

40 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Keywords: Gestational Diabetes Mellitus, INCB1379, 11β-HSD1, GR-α, Selective Inhibitor 1. PENDAHULUAN Masa kehamilan merupakan sebuah periode yang unik dalam hidup perempuan dan keluarganya. Fase ini secara umum ditandai dengan kebutuhan akan penyesuaian terhadap identitas, definisi, informasi dan praktek edukasi mengenai perubahan fisiologis yang terjadi pada masa kehamilan dan [1] siklus puerperium. Pada wanita hamil terjadi perubahan-perubahan fisiologis, seperti peningkatan hormon estrogen, progesteron, kortisol, dan human plasenta lactogen yang berpengaruh 1 terhadap metabolisme karbohidrat . Hormon ini berpengaruh pada terjadinya resistensi insulin dan keseimbangan metabolisme karbohidrat pada ibu hamil, sehingga terjadi gangguan toleransi glukosa, yang mengakibatkan kehamilan tersebut bersifat [2] diabetogenik. Gestasional Diabetes Melitus (GDM) didefinisikan sebagai suatu keadaan intoleransi glukosa atau karbohidrat dengan derajat bervariasi yang terjadi atau pertama kali ditemukan pada saat kehamilan berlangsung. Melalui definisi ini tidak memperhitungkan penderita mendapatkan pengobatan insulin atau dengan diet, serta gangguan toleransi glukosa kembali normal atau tidak [3],[4] setelah persalinan. Insiden GDM di dunia bervariasi antara 1,2-14%. Di USA, GDM terjadi pada 1,1-13,3% populasi kehamilan. Hal ini tergantung pada komposisi ras dan etnikpopulasi kriteria diagnosis. Sedangkan di Indonesia, insiden GDM [5],[6] berkisar antara 1,9-2,6%. Perbedaan insiden ini disebabkan oleh perbedaan kriteria diagnosis dan materi penyaringan yang dilakukan pada ibu hamil. Angka insiden tersebut terjadi karena tingkat pengetahuan ibu hamil yang superfisial terhadap komplikasi kehamilan, khususnya gestasional diabetes melitus baik dalam hal perawatan diri, terapi, dan kontrol [7] penyakit. Hal ini berbanding lurus terhadap sedikitnya jumlah ibu hamil yang berkisar antara 5-7% di Indonesia melaksanakan penyaringan (screening)

terhadap GDM tersebut. Padahal, berbagai asosiasi diabetes duniatermasuk WHO mewajibkan setiap ibu hamil melaksanakan penyaringan [8] pada minggu ke 24-28 kehamilan. Oleh karena kondisi tersebut, terjadi peningkatan resiko kelahiran bayi dengan makrosomia, shoulder dystosia, birth injury, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, sindrom distres respiratori, dan obesitas. Sedangkan, pada wanita hamil dengan GDM dapat meningkatkan resiko preeklampsia, kelahiran sesaria dan terjadinya DM tipe II dikemudian hari. Secara patofisiologi, GDM bersifat multifaktorial. Mekanisme resistensi insulin pada wanita hamil normal sangat kompleks, sebab perubahan mekanisme endokrin pada wanita hamil secara fisiologis adalah normal. Resistensi insulin selama kehamilan dapat terjadi karena rusaknya reseptor insulin bagian distal yakni post reseptor, serta kemampuan plasenta dalam mensintesis dan mensekresi peptida dan hormon steroid yang menurunkan sensitivitas maternal pada insulin. Namun, peningkatan hormon kortisol berperan paling penting dalam terjadinya resistensi insulin. Peningkatan hormon kortisol diaktivasi oleh enzim 11β-HSD1 yang ekspresinya tinggi pada wanita hamil. Secara in vivo 11β-HSD1 berfungsi sebagai reduktase, walaupun demikian secara in vitro berfungsi sebagai dehidrogenase. Pada hati dan jaringan lemak manusia, glukokortikoid kortisol aktif diproduksi dengan mengkatalisasi aktivasi kortisone inaktif dengan konkominan konversi NADPH menjadi NADP oleh 11β-HSD1, yang mana konsentrasi NADPH pada hati dan jaringan lemak [9] sangat tinggi. Overekspresi IIβ-HSD1 pada wanita hamil, menyebabkan peningkatan hormon kortisol tiga kali lebih tinggi dari wanita normal yang diikuti pula oleh peningkatan reseptor glucocorticoid receptor-α (GRα) dan transkripsi gen kortisol. Sedangkan, dengan peningkatan tersebut dibutuhkan sekresi insulin lebih tinggi oleh sel β pankreas untuk mencegah 41

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


terjadinya hiperglikemia. Namun, peningkatan jumlah insulin tidak diikuti oleh peningkatan sensitivitas insulin pada organ sel target. Data klinis tersebut di atas mengindikasikan perlunya inhibisi pada enzim 11β-HSD1. Penggunaan inhibisi non-selektif sekarang ini seperti carbenoxolone meningkatkan sensitivitas insulin hepatik dan menurunkan produksi glukosa. Namun, inhibisi non-selektif ini juga menghambat 11β-HSD2 yang menyebabkan terjadinya hipernatremia, hipokalemia, dan hipertensi. Hal ini dapat terjadi karena 11β-HSD2 merupakan isoform yang ditemukan pada jaringan mineralokortikoid, seperti [9] ginjal dan kolon. Oleh karena itu dibutuhkan 11βHSD1selective inhibitor, guna mencegah peningkatan kortisol yang sangat signifikan pada wanita hamil dengan GDM. INCB13739 merupakan salah satu 11β-HSD1 inhibitor yang dapat digunakan pada pasien GDM. INCB13739 menurunkan level glukosa plasma puasa, total kolesterol, LDL, dan trigliserida. Inhibisi 11β-HSD1, menurunkan pula jumlah glukokortikoid reseptor-α, sehingga terjadi peningkatan sensitivitas insulin. Sehingga karena hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut terhadap penggunaan INCB13739 sebagai inhibitor selektif pada wanita hamil. 2. PEMBAHASAN 2.1. Administrasi dan Farmakodinamik/ Farmakokinetik INCB13739 sebagai 11β-HSD1 Selective Inhibitor Guna Penurunan Glucocorticoid Reseptor-α pada Pencegahan Komplikasi Diabetes Gestasional Mekanisme administrasi INCB13739 dilakukan melalui jalur oral, sebab sediaan yang tersedia sampai saat ini masih melalui jalur oral saja untuk menghambat kerja dari enzim11βHSD1 dalam mengaktivasi kortisol. INCB13739 memiliki efek berbahaya jika terkena bagian tubuh yang sensitif seperti mata dan juga bila terinhalasi. Oleh karena itu jalur oral merupakan jalur terbaik. Saat administrasi, INCB13739 sebaiknya tidak dikonsumsi dengan bahan makanan yang mengandung antioksidan tinggi dan

bahan makanan yang memberikan efek basa. Karena makanan tesebut dapat menurunkan efektivitasi dari INCB13739 [9] dalam keadaan basa. Melalui cellular essay, INCB13739diketahui memiliki ukuran 1,1 nano molar. INCB 13739 akan diserap dan mengalami proses internalisasi di dalam usus halus. Ketika terinternalisasi ke dalam tubuh, INCB13739 sangat mudah diserap dan langsung memasuki sirkulasi darah. INCB13739 mengikuti aliran darah yangmenuju hati dan jaringan adiposa, sebab pada jaringan tersebut banyak terekspresi enzim 11β-HSD1. INCB13739 merupakan 11β-HSD1 inhibitor yang sangat selektif, dibandingkan 11β-HSD1 inhibitor lainnya. INCB13739 1000 kali lebih selektif kepada 11β-HSD1 dari pada 11β-HSD2 dan mineralokortikoid. Hal ini dibuktikan pada percobaan aktivitas enzim 11β-HSD1 di hati dan jaringan adiposa, bahwa terjadi penurunan aktivitas yang sangat signifikan setelah pemberian oral INCB13739 bila dibandingkan dengan placebo, seperti [10],[11] yang terlihat pada Gambar 1. INCB13739 yang diberikan secara oral akan memasuki sirkulasi dan waktu paruh dari dosis akan terjadi 11 jam setelah administrasi. Diperkirakan beberapa jam setelahnya INCB13739 akan bersih dari sirkulasi. Ekskresi obat ini melalui ginjal dan dikeluarkan bersama urin. Pada percobaan manusia yang melakukan terapi metformin dan diberikan oral INCB13739 setiap hari, diketahui efek puncak pada INCB13739 terjadi 4 jam setelah administrasi. 90% aktivitas dari 11β-HSD1 akan terhenti setelah 4 jam administrasi dengan dosis 100 mg dan 200 mg. Namun pada kelompok orang coba dengan dosis 200 mg inhibisi terus terjadi sampai dengan akhir interval dari obat. Hal ini mengindikasikan bahwa efek kerja dari INCB13739 tergantung [12],[13] dari dosis yang di berikan. Kadar Kortisol pada ibu hamil mengalami peningkatan terutama pada minggu ke 25 sampai 30 kehamilan, dimana terjadi peningkatan yang tajam pada kehamilan. Peningkatan ini sejalan dengan penigkatan Corticotropin [14] Releasing Hormone (CRH). Daya inhibisi yang kuat dari INCB13739 dapat 42

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


menekan peningkatan hormon kortisol dari ibu ke janinnya. Dari hasil penelitian diketahui bahwa pemberian oral INCB13739 dengan berbagai dosis sebanyak satu kali sehari pada siang hari dapat membantu menurunkan kadar kortisol plasma namun tidak mengganggu kadar circadian rytme dari kortisol. Seperti yang terlihat pada gambar 2.B, kadar kortisol pada pagi dan siang hari tidak mengalami perubahan yang signifikan (tetap dalam batas normal). Tetapi terjadi peningkatan kadar ACTH yang cukup signifikan seperti pada gambar 2.A, hal ini akibat reaksi tubuh untuk mengkompensasi efek oral [15],[16] INCB13739. Pemberian oral INCB 13739 juga memiliki efek penurunan kadar A1C. Pada percobaan didapatkan dengan dosis 100 mg dan 200 mg terjadi penurunan yang signifikan A1C. Penurunan ini secara maksimal setelah 12 minggu terapi, dimana kadar A1C pasien dibawah 7% jika dibandingkan dengan placebo yang memiliki kadar A1C 9,5% pada minggu ke 12. Pada berbagai dosis coba, terjadi penurunan dari dosis 50 mg, 100 mg dan 200 mg. Penurunan kadar kolesterol total juga terjadi. Pada percobaan didapatkan bahwa kadar LDL kolesterol dan trigliserida mengalami penurunan yang

signifikan. Pemberian oral INCB 13739 pada dosis 100 mg secara statistik menunjukkan angka yang signifikan pada ketiga kategori lipid (Kolesterol -16 mg/dl, -6%; LDL – 17 mg/dl, -10%; trigliserida – 74 mg/dl, 16%). Respon yang sama juga terjadi pada subgroup dengan dosis 200 mg, tetapi penurunan yang ditunjukkan tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dosis terefektif untuk oral INCB 13739 adalah 100 mg, dengan pemberian satu [17],[18] kali perhari. Pada masa kehamilan administrasi INCB13739 akan membantu memberikan perlindungan pada bayi terhadap kadar kortisol yang tinggi. Tidak seperti inhibitor enzim 11βHSD1 lainnya, INCB13739 sangat selektif dalam melakukan inhibisi sehingga tidak mengganggu aktivitas dari enzim 11β-HSD2. Enzim 11β-HSD2 memiliki fungsi sebagai barier alami terhadap peningkatan kortisol dalam masa kehamilan, karena 11β-HSD2 dapat non aktivasi dari kortisol aktif di dalam plasma melalui MR. Inhibisi dari enzim 11β-HSD1 akan membantu pertahanan bayi dalam kandungan terhadap efek buruk Kortisol yang berlebihan yaitu gangguan pertumbuhan, fungsi kardiovaskular, [19] metabolisme, dan fungsi endokrin.

Gambar 1. Aktivitas Enzim 11β-HSD1 di Hati dan Jaringan Adiposa setelah [12],[13]

Pemberian Oral INCB13739.

43 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Gambar 2.A. Perubahan Kadar ACTH pada Berbagi Dosis INCB13739 di Bandingkan dengan Plasebo; B. Kadar Kortisol Pada Pagi dan Malam Hari pada berbagai [17] Dosis INCB13739. 2.2. Mekanise Kerja INCB13739 sebagai 11β-HSD1 Selective Inhibitor Guna Penurunan Glucocorticoid Reseptor-αpada Pencegahan Komplikasi Diabetes Gestasional 2.2.1 INCB13739 Inhibisi NADPHinduced 11β-HSD1 mRNA Expression Ekspresi enzim11β-HSD1 pada wanita hamil dengan diabetes

gestasional tinggi khususnya pada hati dan sel adiposa. Hal ini terjadi akibat sensitisasi 11β-HSD1 mRNA oleh NADPH yang kolokalisasi dengan hexose-6-phospate dehydrogenase [20] enzym. Kolokalisasi ini menghasilkan NADPH yang banyak akibat proses metabolisme glukosa (oksidasi glucose6 phosphate) di hati, sehingga NADPH digunakan sebagai NADPH-dependent enzym (Gambar. 3).

Overekspresi enzim 11β-HSD1 meningkatkan katalisasi interkonversi inaktif kortison menjadi kortisol. Hal ini menyebabkan overekspresi pula pada glucocorticoid receptor-α yang terekspresi pada jaringan adiposa dan hati. Belum ada kejelasan pasti peningkatan enzim 11β-HSD1 disebabkan oleh peningkatan glukokortikoid (kortisol) ataupun sebaliknya. Namun, INCB13739 bertindak sebagai inhibitor pada ekspresi mRNA 11β-HSD1 pada sel

adiposit maupun hati. Ketika INCB13739 memasuki organ sel target, obat ini akan memasuki membran sel adiposit dan hati yang permeabel karena ukurannya yang sangat kecil (1,1 nanomolar). Kemudian di dalam sitoplasma membentuk kompleks reseptor CS-GR dimer yang berikatan pada rantai kodon mRNA 11β-HSD1. Proses pengikatan kompleks reseptor CS-GR dimer bersifat kompetititf, sebab kortisol dan sitokin proinflamasi (IL-1β dan TNFα) dapat berikatan dengan reseptor tersebut [21] melalui produksi prostaglandin. Hal ini

44 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


mengamplifikasi enzim 11β-HSD1untuk melakukan konversi kortison menjadi kortisol. Adanya inhibisi ini, menyebabkan proses ekspresi mRNA 11β-HSD1 menurun, karena prostaglandin yang meningkatkan kerja kortisol pada aktivasi mRNA tidak berfungsi lagi. Pembentukan kompleks CS-GR dengan INCB-13739, menyebabkan

efek aktivasi parakrin ataupun autokrin enzim 11β-HSD1 tidak berjalan. Aktivasi parakrin bisa terjadi oleh karena pembentukan sitokin interleukin-6 oleh human osteoblast cell line (SV-HFO) mampu secara langsung mengaktivasi pembentukan mRNA 11β-HSD1 (Gambar. 4).

Gambar 4. Lingkaran Merah Menunjukkan Reseptor Pengikatan INCB-13739 dalam Inhibisi mRNA 11βPada C2C12 skeletal muscle cell line, pembentukan kompleks ini menyebabkan penurunan ekspresi 11βHSD1, pada diferensiasi mioblast skeletal menjadi miotube mature. Jika ekspresi enzim ini tidak terkontrol pada saat diferensiasi mioblast skletal janin, dapat menyebabkan proteolisis otot skletal dengan aktivasi ubiquitinproteasome system (UPS) dan peningkatan ekspresi E3 ubiquitin [22] ligases Atrogin-1 dan MuRF-1. Apabila degradasi protein abnormal ini terus terjadi, menyebabkan signaling atropi pada otot skeletal (Gambar. 5). Terlebih lagi enzim 11β-HSD1 mengontrol fenotip metabolik pada otot skeletal yang menyebabkan insulin resisten. Ini terjadi karena blok jalur signaling insulin oleh pembentukan glucocorticoid receptor-α yang menurunkan fosforilasi Akt/PKB. Jalur P13K/Akt terlibat pada kaskade signal proteolitik ini. Sehingga, aktivasi jalur P13K/Akt mengurangi miotube untuk [23] mengalami atropi. Enzim 11β-HSD1 menurunkan fosforilasi Akt/PKB diikuti dengan aktivasi Forkhead box O (FOXO) class transcription factor menyebabkan aktivasi Atrogin-1 promoteryang menurunkan ukuran fiber otot.

HSD1[37]

INCB-13739 selain bersifat kompetitior terhadap sitokin proinflamasi, obat ini juga menghambat penggunaan NADPH dalam proses pembentukan enzim 11β-HSD1 yang terletak pada kompartemen intraluminal retikulum endoplasma. Aktivitas pembentukan mRNA enzim ini didukung oleh penggunaan NADPH sebagai kofaktor biosintesis. Pembentukan NADPH dari katalisasi proses redoks oleh enzim G6DP melewati juga proses pembentukan 5-carbon glucose (jalur pentosa). Hal ini merupakan tahap pertama dalam jalur pentose phosphate yang sering disebut sebagai shunt pathway membentuk gula ribosa dan merupakan komponen esensial DNA [24] maupun RNA. Proses ini menunjukkan suatu interkoneksi parakrin dalam pembentukan glukokortikoid. Hasil metabolit enzim 11β-HSD1 (corticosterone atau 11dehydrocortisone) mampu menghambat dan meningkatkan jumlah pentosa. Peningkatan ini terjadi oleh stimulasi 11β-HSD1 oxo-reductase yang meningkatkan NADPH sitosol dan efek ini pula dapat dihambat dengan penggunaan INCB-13739. Homeostasis basal kortisol merupakan hasil yang dicapai pada 45

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


penggunaan INCB13739. Meskipun demikian, inhibisi mRNA 11β-HSD1 tidak secara langsung menurunkan kadar kortisol dalam mekanisme biosintesis kortikosteroid dengan [25] kofaktor kolesterol. Penurunan biosintesis kortikosteroid hingga level normal terjadi karena penurunan kadar kolesterol yang tinggi akibat homeostasis enzim 11β-HSD1.Melalui hal ini, produksi progesteron dari kofaktor kolesterol oleh plasenta berada dalam rentangan normal. Fetal adrenal mensintesis DHEA dan DHEAS sebagai produk mayor, sedangkan maternal adrenal juga memproduksi steroid. DHEA (S) yang diproduksi oleh wanita hamil dan fetus kemudian dikonversi menjadi estradiol oleh plasenta.Fetal liver menkonversi fetal DHEAS menjadi 16α-hydroxy-DHEAS, namun maternal DHEAS tidak dapat melalui proses 16αhydroxylase oleh fetus. Sehingga, untuk meningkatkan jumlahnya, maternal streoid memasuki plasenta kemudian diubah menjadi estradiol. 16α-hydroxyDHEAS fetus dikonversi menjadi estriol

oleh plasenta. Jika kolesterol pada ibu hamil meningkat, maka proses pembentukan estradiol pun akan meningkat. Hal ini memicu gangguan pada regulasi level 11β-HSD1 pada plasenta. Oleh karena itu, pemberian INCB-13739 secara tidak langsung mencegah peningkatan enzim 11β[26] HSD1 pada plasenta. Plasenta 11βHSD berfungsi sebagai barier glukokortikoid maternal, sebab perbedaan gradien kortisol pada maternal lebih tinggi dibandingkan fetus memerlukan barier agar kortisol maternal tidak masuk ke fetus. Pemberian INCB-13739 menjaga level homoestasis pembentukan 11β-HSD1, karena rasio ekspresi 11β-HSD1 lebih rendah dibandingkan dengan 11β-HSD2 pada syncytiotrophoblast plasenta. Hal ini memungkinkan perlindungan terhadap efek balik glukokortikoid maternal dan peran ini lebih ditunjukkan oleh enzim 11β-HSD2 dikarenakan propertis enzimatik yang lebih tinggi afinitasnya terhadap kortisol dan hanya [27] memiliki aktivitas dehidrogenase.

sebuah tipe II nuklear reseptor pada manusia yang dikode oleh gen PPARγ. Reseptor ini aktif oleh ligan yang menginduksi terjadinya transkripsi bersama-sama dengan nuclear

Gambar 5. a. Kortison Efek, Dexamethasone (dexa) dan Inhibisi 11beta-HSD1 oleh Carbenolone (Cbx) pada Degradasi Protein C2C12 Miotube, b.Ekrepresi 37 Atrogin-1 dan MuRF-1 . 2.2.2. Inhibisi 11β-HSD1 Via INCB13739 Menurunkan Glucocorticoid Receptor Guna Peningkatan Sensitivitas Insulin Dari penelitian yang ada, penggunaanINCB-13739 mampu meningkatkan sensitivitas insulin melalui jalur Peroxisome Proliferator-Activated Receptors atau PPARs khususnya tipe [28] PPARγ. PPARγ merupakan glitazone receptor atau NR1C3 (Nuclear Receptor Sub Family 1, group C, member 3)

hormone receptor superfamily sebagai faktor transkripsi. PPARγ meregulasi ekspresi gen dengan berikatan pada RXR (retinoid x receptor) sebagai sebuah pasangan heterodimer untuk elemen pola DNA spesifik atau yang disebut PPRE (Peroxisome Proliferative Responese Element) 29. Belum ada mekanisme pasti aktivasi PPARγ pada penggunaan INCB-13739, namun efek ini pada penggunaannya mampu meningkatkan 46

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


respon ambilan glukosa dengan stimulasi insulin di 3T3-L1adipocytes. Ia juga memperlihatkan peningkatan fosforilasi Akt2 pada tahap stimulasi insulin. Lebih dari itu jugainhibisi pada enzim 11β-HSD1menurunkan level mRna-TNF-α, interleukin-6, dan MCP-1, kemudian meningkatkan ekspresi gen adiponection pada 3T3-L1 adipocyte. Penggunaan INCB13739 yang menurunkan ekspresi mRNA 11β-HSD1, menurunkan pula level kortisol pada sirkulasi darah wanita dengan DGM. Enzim 11β-HSD1 lebih banyak terekspresi pada organ sensitif insulin. Pada saat tidak aktif glucocorticoid

receptor-α berikatan dengan heat shock protein (HSP) untuk membentuk kompleks protein. Pengikatan kortisol pada kompleks ini melalui perubahan konformasional dan disosiasi HSPs. Homodimer glucocorticoid receptorα(GR-α)berinteraksi terhadap promotor kortisol (glucocorticoid respon elements) meningkatkan ekspresi gen GR-α. Kompleks reseptor-hormon ini bermigrasi menuju nukleus melalui nuclear pore. Cortisol-activated monomeric GR-α menginduksi efek nontranskripsional pada protein faktor seperti NF-kB dan activating protein-1 [30] (AP1) (Gambar 6.).

[30]

Gambar 6. Efek aktivasi GR-β pada kaskade signal insulin. Pada homeostasis kortisol ibu hamil dengan DGM, aktivasi homodimer GR-α pun berada dalam level normal. Sebab, efek genomik dan non-genomik kortisol pada GR-α hanya memerlukan beberapa detik hingga menit dihambat. Sehingga, dengan penghambatan efek genomik dan non-genomik dapat menurunkan secara signifikan efek nontranslokasional pada signal insulin dan menghambat aktivasi mitogen-activated protein kinases (MAPKs), adenyl cyclase (AC), PKC, dan heterotrimeric G proteins. Pada otot skeletal, peningkatan kortisol mengganggu signal postreseptor yaitu menghambat fosforilasi Akt/protein kinase B (PKB). Hal ini menyebabkan penurunan fosforilasi tirosin reseptor insulin dan ekspresi protein insulin receptor substrate (IRS). Namun, terganggunya ambilan glukosa pada otot skeletal tidak berhubungan pada

glucose transporter GLUT1 dan GLUT [31] 4. Hanya saja proses translokasi GLUT 4 oleh insulin terhambat kaskade signal kortisol. Pada kadar kortisol normal saat penggunaan INCB13739, tidak terjadi induksi ekspresi gen forkhead-type transcription factor (FOXO) pada otot skeletal, sehingga secara potensial meningkatkan regulasi PDK-4 dan oksidasi glukosa. Penurunan metabolisme glukosa pada organ target insulin dalam penggunaan INCB 13739 terjadi karena kortisol secara signifikan menurunkan jumlah ekspresi fatty acid (FA) transporter (CD36) gene pada gastroknemius dan oksidasi FA di otot diafragma. Kaskade inhibisi enzim 11βHSD1 menurunkan ligan yang mengaktivasi PPAR-α yang berperan penting dalam regulasi metabolisme FA (Gambar 7.).

47 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


[32[

Gambar 7. Glukokortikoid dan metabolisme FA otot skeletal. Ekspresi normal PPAR-α menurunkan augmentasi oksidasi FA dan meningkatkan ambilan glukosa. Sama halnya pada jaringan adiposa, peningkatan sensitivitas insulin terjadi pada saat pemberian INCB 13739. Hal ini menghilangkan inhibisi total mRNA dan fosforilasi tirosin IRS-1. Peningkatan fosforilasi IRS-1 mengaktivasi lebih banyak phospatidylinositol 3-kinase (PI 3kinase) yang berperan penting pada regulasi GLUT 4. Meskipun level GLUT 4 tetap, namun aktivasi ini meningkatkan transport glukosa ke jaringan oleh karena penghambatan pada proses P38 MAPK sepanjang [32],[33] membran plasma. 2.3. Analisis Manfaat dan Efek Klinis Penggunaan INCB13739 Sebagai 11β-HSD1 Selective Inhibitor Guna Penurunan Glucocorticoid Reseptor-α pada Pencegahan Komplikasi Diabetes Gestasional Dari segi keamaan pemberian INCB 13739 secara oral pada wanita dengan DGM, INCB 13739 tidak memberi pengaruh kepada janin secara langsung. Karena sifat dari INCB 13739 yang hanya bereaksi pada enzim 11βHSD1. Diketahui bahwa enzim 11βHSD1 dan 11β-HSD2 hanya terdapat pada plasenta, dan tidak terdapat pada janin. Pada plasenta enzim 11β-HSD1 memiliki jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan 11β-HSD2. Dari percobaan diketahui 11β-HSD2 mRNA terdapat pada labyrinthine zone (lokasi utama pertukaran antara ibu dan janinnya) tepatnya di kromosom E12,5, dimana enzim ini menjadi barier kadar kortisol yang tinggi pada ibu. Dalam jumlah yang sedikit enzim 11β-HSD2 terdapat pada plasenta tepatnya di kromosom E18.5. INCB 13739 tidak dapat menembus plasenta karena obat

ini hanya berinteraksi pada 11β-HSD1, dan diketahui bahwa kadar 11β-HSD1 hanya terdapat pada plasenta dan jumlahnya tidak sebanyak 11β-HSD2. Sehingga INCB 13739 aman pada [17],[31] janin. Keamanan INCB 13739 pada ibu dengan dosis 100 mg, tidak memberikan efek samping yang signifikan. Karena INCB 13739 hanya berinteraksi pada enzim 11β-HSD1. Keselektifan kerja dari obat inilah menjadi alasan utama dari keamanan obat ini. Dari percobaan didapatkan bahwa pada dosis 100 mg telah terjadi penghambatan enzim 11βHSD1 komplit dan tidak menimbulkan efek samping. Namun pada percobaan menggunakan dosis 200 mg, ditemukan efek samping minor seperti sakit kepala, diare, dan infeksi saluran pernafasan. Pada dosis 100 mg juga tidak ditemukan kelaianan pada fungsi ginjal dan tidak ditemukan adanya efek hipoglikemi yang umumnya ditimbulkan pada obat anti diabetes. Sehingga dapat disimpulkan pemberian INCB 13739 pada wanita hamil dengan dosis 100 mg sebanyak satu kali sehari tidak akan memberikan efek samping yang [13],[16] berbahaya. Efek klinis pemberian INCB 13739 secara oral kepada wanita hamil dengan DGM adalah mampu meningkatkan sensitifitas insulin dan penurunan kadar A1C. Penurunan kadar kolesterol total juga terjadi. Pada percobaan didapatkan bahwa kadar LDL kolesterol dan trigliserida mengalami penurunan yang signifikan. Pemberian oral pada ibu hamil dengan DGM khususnya pada minggu ke 24 – 28 akan membantu mengontrol kadar kortisol yang tinggi di dalam plasma ibu. Tetapi penurunan kadar kortisol ini dapat dikompensasi sehingga pada waktu puncaknnya, yaitu pada pagi dan malam hari kadar kortsol tetap normal. Namun terjadi peningkatan kadar ACTH yang

48 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


merupakan kompensasi tubuh terhadap INCB 13739. Dengan pemberian terapi ini pula akan meningkatkan sensitifitas insulin dan membantu menormalkan [13],[16],[31]. tumbuh kembang janin. Modalitas terapi utama pada wanita hamil dengan DGM adalah dengan melakukan terapi nutrisi, mengubah gaya hidup sehat, meningkatkan aktifitas fisik, pengontrolan kadar gula darah, injeksi insulin dan penggunaan obat oral antidiabetes seperti metformin dan glyburide. Modalitas terapi yang ada saat ini memiliki beberapa kekurangan seperti hanya berfokus pada menurunkan kadar gula darah dan tidak menangani penyebab, obat-obatan yang tersedia tidak memiliki daya selektifitas yang tinggi, dan tidak berkonsentrasi untuk menurunkan kadar kortisol, LDL, dan trigeliserida yang meningkat pada [34],[35],[36] wanita hamil dengan DGM. Menilik kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh obat-obatan oral antidiabetes pada wanita hamil dengan DGM, maka terapi oral INCB 13739 dengan dosis 100 mg per hari, berpotensi menjadi obat antidiabetes yang dapat digunakan dalam penatalaksaanaan DGM. INCB 13739 memiliki daya selektifitas yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan obatobatan antidiabetes lainnya. INCB 13739 hanya berinteraksi dengan enzim 11β-HSD1 yang banyak terdapat pada hati dan jaringan lemak. Sampai saat ini INCB 13739 merupakan inhibitor enzim 11β-HSD1 tersellektif, bahkan pada penelitian dengan dosis 100 mg. INCB 13739 1000 kali lebih selektif pada enzim 11β-HSD1 dari pada enzim 11β[10],[11],[36] HSD2 dan MR. Dari segi keamanan obat, INCB 13739 dapat bertindak sebagai barier plasenta pada dosis kortisol yang tinggi akibat kehamilan pada ibu. Tidak seperti metformin yang dapat menembus plasenta dan member efek langsung pada janin. INCB 13739 akan menghambat 11β-HSD1 yang bertugas mengaktifasi kortisol dan tidak menghambat 11β-HSD2 yang bertugas menginaktifasi kortisol serta tidak menembus plasenta karena enzim 11βHSD1 tidak terdapat di dalam [17],[31] janin.

Dari segi mekanisme kerjanya, INCB 13739 memiliki efek multiregulasi nuclear factor. INCB 13739 secara selektif menghambat enzim 11β-HSD1, namun enzim 11β-HSD1 meregulasi banyak reseptor seperti PPARγ, PPARα, GRα, α Insulin IRS-1, NfkB, dan 3T3-L1 adiposit. Dimana semuanya memiliki efek sinergisitas dalam penatalaksanaan DGM dan metabolisme glukosa. Hal ini tidak dimiliki pada terapi modalitas DGM saat [32],[33] ini. Dari segi efek kerja yang diberikan, INCB 13739 dapat membantu menurunkan kadar LDL, trigeliserida plasma, A1C, total kolesterol dan meningkatkan sensitivitas insulin sekaligus. Obat antidiabetes lain yang digunakan pada terapi DGM sebagian besar hanya berkonsentrasi menurunkan kadar glukosa dalam darah, berbeda dengan INCB 13739 yang mampu menormalkan peningkatan-peningkatan lain akibat [17],[18] DGM. 3. KESIMPULAN Berdasarkan rumusan masalah, kajian teori, dan pembahasan yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat dikemukakan yaitu sebagai berikut: 1. Administrasi INCB13739 dilakukan melalui jalur oral untuk menghambat enzim11β-HSD1 dalam mengaktivasi kortisol.INCB13739 memiliki efek berbahaya jika terkena bagian tubuh yang sensitif seperti mata dan juga bila terinhalasi.INCB13739 memiliki ukuran 1,1 nano molar dan sangat mudah diserap yang langsung memasuki sirkulasi darah. INCB13739 1000 kali lebih selektif kepada 11β-HSD1 dari pada 11βHSD2 dan mineralokortikoid.T1/2 dari dosis akan terjadi 11 jam setelah administrasi. Diperkirakan beberapa jam setelahnya INCB13739 akan bersih dari sirkulasi. Efek puncak pada INCB13739 terjadi 4 jam setelah administrasi. 90% aktivitas dari 11β-HSD1 akan terhenti setelah 4 jam administrasi dengan dosis 100 mg dan 200 mg. Pemberian oral INCB 13739 juga memiliki efek penurunan kadar A1C. 2. Mekanisme kerja INCB13739 merunkan ekspresi mRNA 11βHSD1 dengan membentuk 49

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


kompleksCS-GR yang kemudian menghambat rantai kodon gen pengkode kortisol. INCB-13739 selain bersifat kompetitior terhadap sitokin proinflamasi, obat ini juga menghambat penggunaan NADPH dalam proses pembentukan enzim 11β-HSD1yang terletak pada kompartemen intraluminal retikulum endoplasma bersama dengan hexose-6-phospate dehydrogenase enzym. Pemberian INCB-13739 menjaga level homoestasis pembentukan 11β-HSD1, karena rasio ekspresi 11β-HSD1 lebih rendah dibandingkan dengan 11βHSD2 pada syncytiotrophoblast plasenta. Hal ini memungkinkan perlindungan terhadap efek balik glukokortikoid maternal. 3. Dari segi keamaan pemberian INCB 13739 secara oral pada wanita dengan DGM, INCB 13739 tidak memberi pengaruh kepada janin secara langsung. Karena sifat dari INCB 13739 yang hanya bereaksi pada enzim 11β-HSD1.INCB 13739 tidak dapat menembus plasenta karena obat ini hanya berinteraksi pada 11β-HSD1, dan diketahui bahwa kadar 11β-HSD1 hanya terdapat pada plasenta dan jumlahnya tidak sebanyak 11βHSD2.Keamanan INCB 13739 pada ibu dengan dosis 100 mg.pada percobaan menggunakan dosis 200 mg, ditemukan efek dan efek samping seperti sakit kepala, diare, dan infeksi saluran pernafasan. DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham FG, Gilstrap LC, Gant NF, Hauth JC, Leveno KJ, Wenstrom KD. 2001. Diabetes.In : st Williams Obstetrics. 21 ed. New York: McGrHill;.p.1359-81 2. Holt RI, Goddard JR, Clarke P, Coleman MA. A. 2003. postnatal fasting plasma glucose is useful in determining which women with gestational diabetes should undergo a postnatal oral glucose tolerance test. Diabet Med. Jul ; 20(7) : 594 – 8. 3. Ayach WM et al. 2005. Cord blood cortisol level is lower in growthrestricted new-borns. Journal of

Obstetrics and Gynaecology Research 33 144-150. 4. Lefevre F et al. 2000. The metabolic clearance rate, blood production, interconversion and transplacental passage of cortisol and cortisone in pregnancy near term. Pediatric Research 7 509-519. 5. Metzger BE, Coustan DR. 2008 Summary and recommendations of the Fourth International WorkshopConference on Gestasional Diabetes Mellitus. The Organizing Committee.Diabetes Carr;21 (Suppl 2): B161-7. 6. Langer O, Roriguez DA, Xenakis EM, Mcfarland MB, Berkus MD, Arrendondo F. 2004. Intensified versus conventional management of gestational diabetes. Am J Obstet Gynecol; 170:1036-46;discussion 1046-7. 7. deHolanda, Viviane Rolim et al. 2012 A Contributate terapi a comunitarioapara o enfremtamento das gestantes (disertasi). Joae Pessoa (PB): Universidade Federal da Paraiba; 8. Howard Berger et al. 2002. Screening for gestational diabetes mellitus. JOGC. November. No. 121 9. Thomas MP and Potter BVL. 2011. Crystal Structure of 11βHydroxysteroid Dehydrogenase Type 1 And Their Use In Drug Discovery. Future Med. Chem; 3(3) pp: 367 – 390. 10. Joharapurkar A, Dhanesha N, Shah G, Kharul R, Jain M. 2012. 11βHydroxysteroid Dehydrogenase Type 1: Potential Therapeutic Target for Metabolic Syndrome. Pharmacological Reports.; 64 pp 1055-1065. 11. Millat LJ, Hanf R, Hum DW. 2011. Present And Future Challenges In Type 2 Diabetes. Drug Discovery World Summer; pp: 9 – 15. 12. American Diabetes Association. 2009. Late Breaking Abstract. A Journal of American Diabetes Association; pp: LB1 – LB 41. 13. Hawkin M, Hunter D, Kishore P, Schwartz S, Hompesch M, Hollis G, Levy R, Williams B, Huber R. 2008. INCB013739, a Selective Inhibitor of 11β-HydroxysteroidDehydrogenase Type 1 (11βHSD1), Improves Insulin 50

JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Sensitivity and Lowers Plasma Cholesterol Over 28 Daysin Patients with Type 2 Diabetes Mellitus. 2008; pp: 1 – 16 14. Sandmana CA,Glynna L, Schetter CD, Wadhwaa P,Garite BT, ChiczDeMet A, Hobel C. 2007. Elevated Maternal Cortisol Early in Pregnancy Predicts Third Trimester Levels of Placental Corticotropin Releasing Hormone (CRH): Priming the Placental Clock. Peptides; 27 pp: 1457 – 1463. 15. Tucker ME, 2009. New Compound Lowered HbA1c in Type 2 on Top of Metformin Alone. Clinical Endocrinology News; pp 10 16. Balasubramanian J, Narayanan N. 2013. Metabolic disorder: A Review on INCB 13739 a novel 11 β – HSD1 for treatment. Disease; 2(4) pp: 3 – 5. 17. Rosenstock J, Banarer S, Fonseca VA, Inzucchi SE, Sun W, Yao W, Hollis G, Flores R, Levy R, Williams WV, Seckl JR, Huber R. 2010. The 11β-Hydroxysteroid Dehydrogenase Type 1 Inhibitor INCB13739 Improves Hyperglycemia in Patients With Type 2 Diabetes Inadequately Controlled by Metformin Monotherapy. DIABETES CARE; 33(7) pp: 1516 – 1522. 18. INCYTE. 2008. Summary of PhIIa Results in T2 Diabetics: ADA 2008. UBS Healthcare Conference; pp: 22 – 23. 19. Jensen EC, Gallaher BW, Breier BH, Harding JE. 2002. The Effect of A Chronic Maternal Cortisol Infusion On The Late Gestation Fetal Sheep. J Endrocrinol; 174 (1) pp: 27 – 36. 20. Kannisto K, et al. 2004 Overexpression of 11betahydroxysterid dehydrogenase-1 in adipose tissue is associated with acquired obesity and features of insulin resistance: studies in young adult monozygotic twins. J ClinEndocrinolMetab; 89(9):4414-21. 21. Sun K, et al. 2003. Enhancement of glucocrticoid-induced 11beta hydroxysteroid dehydrogenase type 1 expression by proinflammatory cytokines in cultures human amnion fibroblast. Endocrinology Dec; 144(12):5568-77.

22. KatrinBiedasek et al., 2002. Skeletal Muscle 11beta-HSD1 Control GLucocosticoid-Kirwan JP, HauguelDe Mouzon S, Lepercq J, Challier JC, Huston Presley L, Friedman JE, Kalhan SC, Catalano PM. TNF-alpha is a Predictor of Insulin Resistance in Human Pregnancy. Diabete51; pp 2207–2213. 23. Bodine SC, et al. 2011. Akt/mTOR pathway is a crucial regulator of skeletal muscle hypertrophy and can prevent muscle atrophy in vivo. Nat Cell Biol;3:1014-1019. 24. McCormick K.L., Wang X, Mick G.J. 2006. Evidence that the 11 betahydroxysteroid dehydrogenase (11beta-HSD1) is regulated by pentose pathway flus.Studies in rat adipocytes and microsomes. J. Biol.Chem. 281:341-347 25. Rask E, Olsson T, Soderberg S, Andrew R, Livingstone DE, Johnson O, Walker BR. 2004. Tissue-specific dysregulation of cortisol metabolism in human obesity. J ClinEndocrinolMetab ;86:1418-1421. 26. Simpson & MacDonald. 2001. Endocrine physiology of the placenta.Ann. Rev. Physiol. 43: 163188. 27. Stewart PM, Rogerson FM and M ason Jl. 2005. Type 2 11betahydroxysteroid dehydrogenase messenger ribonucleic acid and activity in human placenta and fetal membranes: its relationship to birth weight and pulative role in fetal adrenal steroidogenesis. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism;80:885-890. 28. Chandra, V.; Huang, P.; Hamuro, Y.; Raghuram, S.; Wang, Y.; Burris, T. P.; Rastinejad, F. 2008. Structure of the intact PPAR-γ–RXR-α nuclear receptor complex on DNA. Nature456(7220): 350–356 29. Kodera Y, Takeyama K, Murayama A, Suzawa M, Masuhiro Y, Kato S. 2002. Ligand type-specific interactions of peroxisome proliferator-activated receptor gamma with transcriptional coactivators.J. Biol. Chem.275 (43): 33201–4. 30. Schacke H, Docke WD, Asadullah K. 2002. Mechanism involved in the

51 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


side effects of glucorticoid.PharmacolTher 96:23-43 31. Thomas CR, Turner SL, Jefferson WH, Bailey CJ. 2002. Prevention of dexamethasone-induced insulin resistance by metformin. Biochem Pharmacol 56: 1145-1150. 32. Sakoda H, Ogihara T, Anai , Funaki M, Inukai K, Katagiri H, Fukushima Y, Onishi Y, Ono H, Fujishiro M, Kikuchi M, Oka Y, Asano T. 2000. Dexamethasone-induced insulin resistance in 3T3-L1 adipocyte is due to inhibition of glucose transport rather than insulin signal transduction. Diabetes 49: 17001708. 33. Turnbor MA, Keller SR, Rice KM, Garner CW. 2004. Dexamethasone down-regulation of insulin receptor substrate-1 in 3T3-L1 adipocytes. J BiolChem 269: 2516-2520 34. Barbour LA, McCurdy CE, Hernandez TL, Kirwan JP, Catalano PM, Friedman JE. 2007. Cellular Mechanisms for Insulin Resistance in Normal Pregnancy and Gestational Diabetes. Diabetes Care Supplwmwnt 2; 30 pp: S112 – S119 35. International Diabetes Federation. 2009. Gestasional Diabetes Melitus. Global Guideline on Pregnancy and Diabetes. pp: 5-6 36. Colorado Guidline. 2006. Gestational Diabetes Guidelines. Colorado Clinical Guidelines Collaborative.; pp: 1-8 37. Kirwan JP, Hauguel-De Mouzon S, Lepercq J, Challier JC, Huston Presley L, Friedman JE, Kalhan SC, Catalano PM. TNF-alpha is a Predictor of Insulin Resistance in Human Pregnancy. Diabete51. 2002; pp 2207–2213

52 JIMKI Volume 3 No.1 |Januari-Juni 2015


Tinjuan Pustaka

THE CARDIOPROCTECTIVE EFFECTS OF Abstracts CITRUS FLAVONOID ON DOXORUBICININDUCED CARDIOTOXICITY CHEMOTHERAPY : A PROSPECTIVE REVIEW 1

1

Aditya Doni Pradana , Gisca Ajeng Widya N. Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

1

ABSTRAK Pendahuluan: Dewasa ini, agen sitotoksik doxorubicin masih menjadi andalan dalam terapi kanker. Namun, berbagai studi melaporkan bahwa doxorubicin dapat menimbulkan efek kardiotoksik. Diperkirakan efek kardiotoksik timbul akibat terbentuknya radikal bebas dan dimediasi oleh doxorubicinol yang merupakan metabolit sekunder alkohol. Dengan adanya peningkatan survival kanker, muncul tantangan baru untuk mengembangkan upaya prevensi dan terapi efektif dalam mengangani efek kardiotoksik yang diinduksi oleh doxorubicin. Pembahasan: Flavonoid merupakan antioksidan yang poten dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Salah satu bahan herbal yang dikenal kaya akan flavonoid adalah genus citrus. Rutin dan hesperidin merupakan jenis flavonoid dominan yang terkandung dalam genus citrus. Pada studi in vivo, didapatkan bahwa rutin dan hesperidin memiliki efek kardioprotektif dengan meningkatkan level glutathion (GSH), aktivitas glutathion s-transferase, aktivitas GSH peroksidase, dan menurunkan level lipid peroksidase. Simpulan: Review ini akan membahas mengenai mekanisme molekuler yang mendasari terjadinya efek kardiotoksik yang diinduksi oleh doxorubicin dan mekanisme molekuler rutin dan hesperidin dalam meningkatkan survival sel jantung selama penggunaan doxorubicin. Kata kunci : Doxorubicin, radikal bebas, doxorubicinol, kardiotoksik, rutin, hesperidin ABSTRACT Introduction: Cancer therapy with conventional cytotoxic agent doxorubicin (DOX) is limited by its cardiotoxicity. It has been suggested that DOX-induced free radicals generation can be involved. DOX-induced cardiotoxicity also mediated by doxorubicinol (DOXol), secondary alcohol metabolites of DOX. With the increasing cancer survivals, its need to develop preventive and effective therapies against DOX-induced cardiotoxicity. Review:Flavonoids appears to be a potent antioxidant that decrease cardiovascular disease (CVD) risks. The natural products which being rich in flavonoid is belong to genus Citrus. The major flavonoids contained in genus Citrus are hesperidin and rutin. Study in vivo, hesperidin and rutin shows a cardioprotective effect on DOX-induced cardiomyopathy by increasing Glutathione (GSH) level, Glutathione S-transferase (GST) activity, GSH peroxidase activity, heart peroxidase activity and decreasing lipid peroxidase level. Conclusion: In this review, we will focus on the current understanding of molecular mechanism underlying DOX-induced cardiac cell death, including production of reactive oxygen species (ROS) and the molecular mechanism of hesperidin and rutin pretreatment in increasing cardiac cell survival during DOX treatment. Keywords : Doxorubicin, ROS, Doxorubicinol, Cardiotoxicity, Hesperidin, Rutin

53 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


1. INTRODUCTION Anthracyclines is claimed as the most effective and powerful drugs to [1],[2] treat cancer. The anthracycline anticancer drug primarily doxorubicin (DOX) is the most frequently used as chemotherapeutic agent for various malignancies as either carcinoma or [3[,[4] sarcoma. but its cumulative and dose-dependent cardiotoxicity has been major concern in cancer therapeutic practice for many years. DOX - induced cardiotoxicity may be present as acute or chronic cardiomyopathy. An acute cardiomyopathy occuring in 2-3 days of DOX administration. The incidence of acute cardiomyopathy is approximately [5],[6] 11%. The clinical manifestation may be present as arrythmias, sinus tachycardia, chest pain due to myocarditis-pericarditis or acute left [7],[8] ventricular failure. The electrophysiological abnormalities assesment may present as nonspecific ST and T wave changes, T wave flattening, decreased QRS voltage and prolongation of QT interval. ECG changes may be seen in 20 to 30% of [9] the patients. In the other hand, incidence of chronic cardimyopathy is much lower, with an approximately [10] incidence about 1,7 %. It usually occurs within 30 days of administration of its last dose, but it may be occur even after 6-10 years after its administration. As we discuss before, DOX is dosedependent cardiotoxic drug. The incidence of DOX cardiomyopathy is related to its dose. The incidence is about 4% when the dose of doxorubicin is 500-550 mg/m2, rise become 18% 2 when the dose is 551-600 mg/m and increase become 36% when the dose 2 [11] exceeds 600 mg/m . The prognosis of patients who develop congestive heart failure (CHF) in chronic administration of

DOX is poor (~50% mortality per [10] year). Flavonoids have been shown to decrease cardiovascular disease (CVD) risks due to their antioxidant effects. Natural products containing large quantitiy of flavonoids are those fruits [12] belong to the genus citrus. Phenolic and flavonoid compounds in citrus peels has been proved to be a potential [13],[14] natural antioxidants. Naringin, rutin, and hesperidin are the major flavonoids contained in Citrus grandis, Citrus paradisi, Citrus limon and Citrus [15],[16] aurantium. Hesperidin has been shown to be potent scavenger of hydroxyl, superoxide anion and peroxide [17] radicals. Another flavonoid rutin, also has antioxidants activity. It had been studied plays a protective role in liver [18],[19] diseases, cataracts, and CVD. In this discussion will focusing on two flavonoid contained in Citrus family, that are hesperidin and rutin as a model of natural product which can be developed to overcoming cardiotoxicity effect in DOX conventional chemotherapy. 2. DISCUSSION 2.1. Cardiotoxicity of Doxorubicin The production of free radicalsinduced oxidative stress playing a key role in DOX induced [20],[21] cardiomyopathy. Doxorubicin which has quinone groups can produce free radicals not only for cancer cells but also normal cells, as it can be observed by the formation of an unstable semiquinone intermediate that quickly reduce oxygen become reactive oxygen species (ROS) like superoxide anion .(O2 ) and hydrogen peroxide (H 2O2) during drug metabolism by endothelial [22]-[28] nitric oxide synthase (eNOS).

54 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Mitochondria are the primary target and the major source of ROS generation. As shown in (Fig.2) significantly raised of ROS inside mitochondria, will trigger release of cytochrome C and apoptosis inducing factors (AIF) further leads to [28]-[32] cardiomyocytes death. Chronic DOX - induced cardiomyopathy also mediated by Doxorubicinol (DOXol). DOXol is doxorubicin secondary alcohol metabolites which are more reactive .than H2O2 and O2 . DOXol is the most abundant metabolite of DOX found in [33]-[35] cardiomyocytes. It is formed by an enzymatic two-electron reduction of the C-13 keto group by cytoplasmic, NADPH-dependent aldo-keto reductases and short-chain 3+ dehydrogenases in the present of Fe [25[,[28],[36]-[38] (Fig.2. and Fig.3.). DOXol is

more cardiotoxic than the parent drug (DOX) itself. It inhibits many of the ion channel pumps. The calcium pump of the sarcoplasmic reticulum, the Na/Ca pump of the sarcolemma, and the proton pump of the mitochondria are inhibited by DOXol but not by similar [39],[40] concentrations of DOX . There is also evidence that DOX and DOXol may act together at different sites to generate [35] cardiotoxicity. Recent findings also demonstrated that cellular glutathione (GSH) in cardiomyocytes have an important role in the detoxification of xenobiotic compounds and in antioxidation of ROS and free [41],[42] radicals. Depletion of cellular GSH were observed in oxidative stress that 43 related with doxorubicin toxicity. The depletion of GSH due to oxidative stress

Fig. 2. Interaction Among DOX With the Various Apoptotic Pathways in Cardiomyocytus. The left side of the figure indicate how DOX begins to generate ROS and dissociation of the eNOS into monomers, DOX and ROS also enters the mitochondria causing the release of cytochrome C oxidase, and also prolongs the opening time of calcium channels in the sarcoplasmic reticulum which activates calcineurin. Akt phosphorylation inhibits Bad activation and is one of the main anti-apoptotic pathways. Oxidative stress activates HSF-1 and produces more Hsp25 which increases the proapoptotic proteins. DOX: doxorubicin, DOXol: doxorubicinol, DOXq: doxorubicin semiquinone, ROS : reactive oxygen species, SE : Sarcoplasmic reticulum, HSF: Heat-shock factor, Hsp: Heat[28] shock protein, CytC: Cytochrome C and Casp3: caspase3. (Adopted from Oktavia et al. ) 55 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


is observed by the increase of lipid [44] peroxidation. Glutathione S-transferase (GST) also has an important role to elimination intracellular ROS. GST is a group of multifunctional proteins that perform functions catalyzing the detoxification of electrophilic compounds that also can protect against cellular peroxidative [45] damage. GST primarily GST Pi (GSTP) has an important cytoprotective

mechanism against doxorubicin-induced apoptosis due to cellular peroxidative [46] damage. Its cytoprotective mechanism is related to preventive doxorubicin accumulation through forming macromolecular complexes and disruption of JNK-medicated apoptosis [46],[47] pathway. Thus, modification of GSTP may be a key role in cardioprotection against doxorubicin.

2.2. The Choice for Citrus Flavonoids : Rutin and Hesperidin Flavonoids as we discuss before, are polyphenolic compounds which has low molecular weight that are [48],[49] ubiquitously in plants. Flavonoids have been shown variety biological activities primarily as anti-oxidant, but also including anti-inflammatory, antitumor, anti-proliferative activity at nontoxic concentration at [50],[56] organisms. The natural products which being rich of flavonoids are belong to genus citrus. The major flavonoids that containing in Citrus primarily peels are hesperidin (Fig.5a) and rutin (Fig.5b). Hesperidin and rutin as mentioned before, are potential natural antioxidants due to its radical scavenging activities Hesperidin (hesperitin-7-O-rutinoside) is one of citrus flavonoid which conjugated to glycosides.

Hesperidin exactly is hesperitin (aglycone) linked to glucose and rhamnose sugars at position-7 of the A [57] ring which has higher bioavailability compared to hesperitin (aglycone) [58] itself. Hesperidin showed radical [59] scavenging activity and also proven as potent antioxidant detected by using [17] electron spin resonance. Rutin (quercetin-3-O-glucosylrhamnose ) is flavonol glycoside composed of quercetin and the disaccharide rutinose. Rutin is an important antioxidant and it has been reported to be a potent scavenger of hydroxyl and superoxide radicals and [60] prevent lipid peroxidation. In vivo study showed that doxorubicin-administered rats pretreated with hesperidin and rutin recorded a significant increase in GSH level, glutathione peroxidase, GST and

56 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


peroxidase activities, and a significant decrease in lipid peroxidation [18],[61],[62] level. Its suggest that hesperidin

and rutin have an important role to protect heart against doxorubicininduced cardiomyopathy.

2.3. Molecular Mechanism of Rutin and Hesperidin in DOX-Induced Cardiotoxicity 2.3.1. Rutin as a Potent Iron Chelator Free radical scavengers have therefore been proposed to protect cardiac tissue from DOX - induced oxidative stress and thus to relieve its cardiotoxicity. Most of the flavonoids possess excellent antioxidant [63] properties such as rutin. Whereas common antioxidants inactivate ROS only after they have been formed, but Rutin can be potent iron chelator which are able to prevent ROS and DOXol formation. As shown in Fig.2. iron can redox-cycle between its two redox states 2+ 3+ Fe and Fe and acts as a catalyst of hydroxyl radical formation (Fenton and Haber–Weiss reactions) and DOXol formation. Iron chelation is considered to be an important tool to decrease anthracycline cardiotoxicity as documented by the beneficial effect of dexrazoxane which frequently used as cardioprotecor in adults receiving [64],[65] anthracycline therapy as well as [66] other chelators of iron. In rutin, the antioxidant and iron chelating properties are closely related and its activity may include two steps — iron is first chelated by the rutin and the ROS which are formed in its vicinity are subsequently scavenged by the rutin.

2.3.2. Hesperidin Restoring Mitochondrial Enzyme Complex Activity The precise molecular mechanisms responsible for mitochondrial dysfuntion due to ROS in cardiomyocytes are not fully understood. However, mitochondrial respiration and the mitochondrial respiratory chain seem to be especially susceptible to ROS and free radicals. Thus, during DOX induced ROS generation, complexes I, II, and III of the mitochondrial respiratory [67] get damaged it causing mitochondrial adenosine triphosphate (ATP) depletion and loss of mitochondrial respiration. The latter has been directly linked to apoptotic cardiac cell death. In recent study proved that hesperidin pretreatment significantly restored mitochondrial enzyme complex activity (I,II and III) suggesting its role in mitochondrial enzyme complex activity. 2.2.3. Rutin Increasing Heart GSH Level and GST Activity Glutathione (GSH) or tripeptide ɣglutamylcysteinylglycine is a ubiquitous nonprotein present in all cell types in millimolar concentration. The major roles of GSH are to maintain the intracellular redox balance and to eliminate xenobiotica and ROS. Thus, GSH provides the cell with multiple defenses not only against ROS but also against [41[,[68] other toxic insults. The increasing GSH level (Table.1) is related to two-step synthesis 57

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


of GSH which catalyzed by ɣ-glutamylcysteine synthetase (GCS) and [69] glutathione synthetase, with the former being the rate-limiting enzyme. Another study shown that a change in GCS activity is accompanied by a change in the GSH level suggesting that regulation of GCS is important for GSH [70] levels. GSH can regulate its own [71] synthesis by a feedback loop on GCS. GCS consists of two subunits, the heavy subunit (GCSh) with catalytic activity and the light subunit (GCSl) with regulatory [72]-[74] activity. In vivo study using COS-1 cells showed that rutin elevates the GSH level and the expression of both GCSh [75] and GCSl . The mechanism of rutin elevates expression of GSCh due to transactivation mechanism of GCSh promoter. Another possible mechanism of rutin increase GSH level is by increase

GCSh mRNA levels. Thus, its suggest that the elevation of GSH by rutin is due [76] to an increased synthesis of GCS. GST (Glutathione S-transferase) is vital enzyme that catalyze the detoxification of electrophilic compounds or xenobiotic compounds that also can protect against cellular peroxidative [41],[45] damage. GST are a ―family‖ of enzymes at least nine enzymes that have been observed which are GST Alpha (GSTA), GST Kappa (GSTK), GST Mu (GSTM), GST Pi (GSTP), GST Sigma (GSTS), GST Theta (GSTT), GST Zeta (GSTZ), GST Omega (GSTO) and Microsomal [77],[78] GST (MGST). Among nine enzymes in GST ―family‖, GST Pi (GSTP) has the most important cytoprotective mechanism against DOX - induced apoptosis due to [46] cellular peroxidative damage.

As shown in Table 1, pretreatment of rutin in DOX treated rat can increase GST activity. In general mechanism of GST, GST activity depends on GSH as an essential cofactor. As mentioned before, that rutin can increase GSH level. It will implicate directly with increasing level of GST.

2.2.4. Rutin Increasing Glutathione Peroxidase Activity Glutathione peroxidase (GSH-PO) is an antioxidant enzyme containing the selenium analogue of cysteine (selenocysteine) at the active site that can detoxify hydrogen peroxide and lipid peroxides in the presence of reduced 58

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


glutathione become nontoxic [79],[80],[41] metabolites. Decreasing GSH-PO activity is due to inactivation mechanism of selenium-dependent GSH-peroxidase-1 [81] (GSH-P1) after treatment of DOX. The mechanism of rutin increasing GSH-PO activity remains unclear but in previous studies showed that rutin increased the expression of both GSH-PO protein and mRNA which implicated to increasing of GSH-PO [82] activity respectively. 2.2.5. Rutin Increasing Heart Peroxidase Activity and Lowering Lipid Peroxidation Level

3. CONCLUSION Citrus flavonoid is an excellent source of flavonoids. The major flavonoids in citrus are Hesperidin and Rutin. In our study provide a better insight into the molecular mechanisms of Hesperidin and Rutin in protecting against DOX - induced cardiotoxicity. Those flavonoids pretreatment increased cardiac cell survival during DOX treatment through five mechanism : (1) the prevention of ROS and DOXol formation by iron chelation mechanism, (2) the restoration of mitochondrial enzyme complex activity, (3) increasing of GSH level and GST activity, (4) increasing of GSH-PO activity and (5) increasing heart peroxidase activity and

Peroxidase are heme窶田ontaining enzymes that oxidize a variety of xenobiotics and biomolecules in the [41],[83] presence of hydrogen peroxide . The possible mechanism that can explain rutin increasing peroxidase activity (Table. 2) due to rutin - induced a concentration - dependent peroxidase of nuclear membran lipid concurrent with [84] DNA stand breaks. These reaction were enhanced by the metal iron or copper (1). So, it prevent initiation of lipid peroxidation by activated heme proteins, ferryl ion, and cyclo- and lipoxygenase.

lowering lipid peroxidation level. Thus pretreatment with hesperidin and rutin may protect against DOX-induced oxidative damage associated with pathogenesis of cardiotoxicity. Defining the molecular mechanism of natural antioxidant or citrus flavonoid action on various forms of oxidative stress is crucial strategic design of antioxidant therapy in CVD. ACKNOWLEDGEMENTS This work is supported by the Faculty of Medicine Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. Authors also would thanks to our supervisor Rustamaji, MD, M.Kes for support and contribution in this literature review.

59 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


REFERENCES 1. Weiss RB. The anthracyclines: will we ever find a better doxorubicin? Semin Oncol 1992; 19: 670-86. 2. Singal PK and Iliskovic N. Doxorubicin-induced cardiomyopathy. N Engl J Med 1998; 339: 900–5. 3. Jordon MA. Anti-cancer agents. Cur Med Chem 2002; 2: 1–17. 4. Carvalho C, Santo RX, Cardoso S, Correia S, Oliveira PJ, Santos MS and Moreira PI. Doxorubicin: the good, the bad and the ugly effect. 2009. Cur Med Chem 2009; 16(25):326785. 5. Swain SM, Whaley FS and Ewer MS: Congestive heart failure in patientstreated with doxorubicin. A retrospective analysis of three trials. Cancer 2003; 97: 2869–79. 6. Takemura G and Fujiwara H: Doxorubicin-induced cardiomyopathy from the cardiotoxic mechanisms to management. Prog Cardiovasc Dis 2007; 49: 330–352 7. Zucchi R and Danesi R. Cardiac toxicity of antineoplastic anthracyclines. Curr Med Chem 2003; 3: 151 –171. 8. Shakir DK and Rasul KI. Chemotherapy Induce Cardiomyopathy:Pathogenesis, Monitoring and Management. J Clin Med Res. 2009 April; 1(1): 8– 12. 9. Frishman WH, Sung HM, Yee HC, Liu LL, Keefe D, Einzig AI and Dutcher J. Cardiovascular toxicity with cancer chemotherapy. Curr Probl Cancer. 1997;21(6):301–360. 10. Von Hoff DD, Layard MW, Basa P, Davis HL Jr, Von Hoff AL Rozencweig M and Muggia FM. Risk factors for doxorubicininduced congestive heart failure. Ann Intern Med 1979; 01: 710–717. 11. Lefrak EA, Pitha J, Rosenheim S and Gottlieb JA. A clinicopathologic analysis of Adriamycin cardiotoxicity. Cancer 1973; 32: 302–314. 12. Meiyanto E, Hermawan A and Anindyajati. Natural products for cancer-targeted therapy : Citrus flavonoids as potent chemopreventive agents. Asian

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

Pasific J Cancer Prev 2012; 13: 427 – 436. Bocco A, Cuvelier ME, Richard H and Berset. Antioxidant activity and phenolic composition of citrus peel and seed extracts, J Agric Food Chem 1998; 46: 2123-9. Li BB, Smith B, Hossain MM. Extraction of phenolics from citrus peels. I. solvent extraction methodSep Purif Technol 2006; 48: 182-8. Kanes K, Tisserat B, Berhow M and Vandercook C. Phenolic composition of various tissues of Rutaceae species. Phytochemistry, 1993; 32: 961–974. Kawaii S, Tomono Y, Katase E, Ogawa K and Yano M. Quantitation of flavonoid constituents in citrus fruits. J Agric Food Chem 1999; 47: 3565– 3571. Al-Ashaal HA and El-Sheltawy ST.Antioxidant capacity of hesperidin from citrus peel using electron spin resonance and cytotoxic activity against human carcinoma cell lines, Pharm Biol 2011; 49: 276-82. Sadzuka Y, Sugiyama T, Shimoi K, Kinae N and Hirota S. Protective effect of flavonoids on doxorubicininduced cardiotoxicity. Toxicol Lett 1997; 92(1): 1-7. Iijima K and Aviram M. Flavonoids protect LDL from oxidation and attenuate atherosclerosis. Curr Opin Lipidol 2001; 12: 41-48. Kalivendi SV, Kotamraju S, Zhao H, et al Doxo-rubicin-induced apoptosis is associated with increased transcription of endothelial nitricoxide synthase. Effect of antiapoptotic antioxidants and calcium. J Biol Chem 2001; 276: 47266 – 47276. S.Wang,E.A.Konorev,S.Kotamraju,J .Joseph,S.Kalivendi and B. Kalyanara Man ―Doxorubicin induces apoptosis in normal and tumor cell via distincly different mechanisms: intermediacy of H2O2 and p53-dependent pathway, J Biol Chem 2004;279:25535-25543. Gewirtz DA. A critical evaluation of the mechanisms of action proposed for the anti tumor effects of the anthracyclineantibiotics adriamycin 60

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


23.

24.

25.

26.

27.

28.

29.

30.

31.

32.

and daunorubicin. Biochem Pharmacol 1999; 57: 727 –741. Iarussi D, Indolfi P, Casale F, et al.Recent advances in the prevention of anthracycline cardiotoxicity in childhood. Curr Med Chem 2001; 8: 1649- 1660. Wallace KB. Doxorubicin-induced cardiac mitochondrionopathy. Pharmacol Toxicol 2003; 93:105– 115. Minotti G, Menna P, Salvatorelli E, Cairo G and Gianni L. Anthracyclins: Molecular Advance and Pharmacologic Developments in Antitumor Activity and Cardiotoxicity. Pharmacol Rev 2004, 56: 185-228. Bruton L, Lazo JS and Parker, KL. Goodman & Gilman’s ThePharmacological Basis of Therapeutics, 11th Edition, Lange; New York 2005. Neilan TG, Blake SL, Ichinose F, et al. Disruption of nitric oxide synthase 3 protects against the cardiac injury, dysfunction, and mortality induced by doxorubicin. Circulation 2007; 116: 506 – 514. Octavia Y, Tocchetti CG, Gabrielson KL, Janssens S, Crijns HJ and Moens AL. Doxorubicin-induce cardiomyopathy: from molecular mechanisms to therapeutic strategies. J Mol Cell Cardiol 2012; 52: 1213 – 25. Childs AC, Phaneuf SL, Dirks AJ, et al. Doxorubicin treatment in vivo causes cytochrome C release and cardiomyocyte apoptosis, as well as increased mitochondrial efficiency, superoxide dismutase activity, and Bcl-2:Bax ratio. Cancer Res 2002; 62: 4592–4598. Camello-Almaraz C, Gomez-Pinilla PJ, Pozo MJ, et al. Mitochondrial reactive oxygen species and Ca2+ signaling. Am J Physiol Cell Physiol 2006; 291: C1082–C1088. Lebrecht D and Walker UA. Role of mtDNA lesions in anthracycline cardiotoxicity. Cardiovasc Toxicol 2007; 7: 108–113. Deniaud A, Sharaf El Dein O, Maillier E, et al. Endoplasmic reticulum stress induces calciumdependent permeability transition, mitochondrial outer membrane

33.

34.

35.

36.

37.

38.

39.

40.

41.

permeabilization and apoptosis. Oncogene 2008; 27: 285–299. Bachur NR. Daunorubicinol, a major metabolite of daunorubicin: isolation from human urine and enzymatic reactions. J. Pharmacol Exp Ther 1971; 177: 567–578. Stewart DJ, Grewaal D, Green RM, Mikhael N, Goel R, Montpetit VA and Redmond MD. Concentrations of doxorubicin and its metabolites in human autopsy heart and other tissues. Anticancer Res 1993; 13:1945–1952. Mushlin PS, Cusack BJ, Boucek RJ. Jr, Andrejuk T, Li X and Olson, RD. Time-related increases in cardiac concentrations of doxorubicinol could interact with doxorubicin to depress myocardial contractile function. Br J Pharmacol 1993; 110 : 975–982. Bachur NR, Gordon SL and Gee MV. Anthracycline antibiotic augmentation of microsomal electron transport and free radical formation. Mol. Pharmacol 1977; 13: 901–910. Ahmed NK, Felsted RL and Bachur NR. Heterogeneity of anthracycline antibiotic carbonyl reductases in mammalian livers. Biochem Pharmacol 1978; 27: 2713–2719. Wermuth B. Purification and properties of an NADPHdependent carbonyl reductase from human brain. Relationship to prostaglandin 9-ketoreductase and xenobiotic ketone reductase. J Biol Chem 1981; 256: 1206–1213. Boucek RJ. Jr, Olson RD, Brenner DE, Ogunbunmi EM, Inui M and Fleischer S. The major metabolite of doxorubicin is a potent inhibitor of membrane associated ion pumps.J Biol Chem 1987; 262: 15851–15856. Olson RD, Mushlin PS, Brenner DE, Fleischer S, Cusack BJ, Chang BK and Boucek RJ. Doxorubicin cardiotoxicity may be caused by its metabolite, doxorubicinol. Proc Natl Acad Sci USA 1988, 85: 3585–3589. Murray RK, Bender DA, Botham KM, Kennelly PJ, Rodwell VW and 61

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


42.

43.

44.

45.

46.

47.

48.

49.

50.

Weil PA. Harper’s Illustrated Biochemistry. 28ed Mc Graw Hill Lange : New York 2009. Ayla S, Seckin I, Tanriverdi G, Cengiz M, Eser M, Soner BC and Oktem G. Doxorubicin induced nephrotoxicity: protective effect of nicotinamide. Int J Cell Biol 2011; 390238, 1-9. Joshi G, Hardas S, Sultana R, Clair DKS, Vore M and Butterfield DA. Glutathione elevation by � glutamyl cysteine ethyl ester as a potential therapeutic strategy for preventing oxidative stress in brain mediated by in vivo administration of adriamycin : implication for chemobrain.J Neurosci Res 2007; 85(3): 497–503. Bray TM and Taylor CG. Tissue glutathione, nutrition, and oxidative stress. Can J Pharmacol 1993; 71(9): 746- 751. Leibau E, Wildenburg G, Walter RD, Henkle-Duhrsen K. A novel type of glutathione- Stransferase in Onchocerca volvulus. Infect Immunol 1994; 62: 4762–4767. Yu ST , Chen TM, Chern JW, Tseng SY and Chen YH. Downregulation of GSTpi expression by tryptanthrin contributing to sensitization of doxorubicin-resistant MCF-7 cells through c-jun NH2terminal kinase-mediated apoptosis. Anticancer Drugs 2009; 20(5): 382– 8. Seitz G, Bonin M and Fuchsetal J. Inhibition of glutathione-Stransferase as a treatment strategy for multidrug resistance in childhood rhabdomyosarcoma. Int J Oncol 2010; 36(2): 491-500. Ren W, Qiao Z, Wang H, Zhu L and Zhang L. Flavonoids: promising anticancer agents. Med Res Rev 2003; 23(4): 519-34. Buer CS, Imin N and Djordjevic MA. Flavonoids : new roles for old molecules. J Integr Plant Biol 2010; 52(1): 98-111. Williams RJ, Spencer JPE and RiceEvans C. Flavonoids : antioxidants or signalling molecules ? Free Radic Biol Med 2004; 36: 838– 849.

51. Taylor LP and Grotewold E. Flavonoids as developmental regulators. Curr Opin Plant Biol 2005; 8: 317–323. 52. Garcia-Mediavilla V, Crespo I, Collado PS, Esteller A, SanchezCampos S, Tunon MJ and Gonzalez-Gallego J. The antiinflammatory flavones quercetin and kaempferol cause inhibition of inducible nitric oxide synthase, cyclooxygenase-2 and reactive Cprotein, and down regulation of the nuclear factor kappaB pathway in Chang Liver cells. Eur J Pharmacol 2007;557: 221–229. 53. Pandey MK, Sandur SK, Sung B, Sethi G, Kunnumakkara AB and Aggarwal BB. Butein, a tetrahydroxychalcone, inhibits nuclear factor (NF)-kappa B and NF-kappa Bregulated gene expression through direct inhibition of I kappa B alpha kinase beta on cysteine 179 residue. J.Biol.Chem (2007).282, 17340–17350. 54. Sung B, Pandey MK and Aggarwal BB. Fisetin, an inhibitor of cyclindependent kinase 6, downregulates nuclear factor-kappa Bregulated cell proliferation, antiapoptotic andmetastatic gene products through the suppression of TAK-1 and receptor-interacting proteinregulated I kappaB alpha kinase activation. Mol Pharmacol 2007; 71: 1703–1714. 55. Kim JY, Park SJ, Yun KJ, Cho YW, Park HJ and Lee KT. Isoliquiritigenin isolated from the roots of Glycyrrhiza uralensis inhibits LPSinduced NOS and COX-2 expression via the attenuation of NF-kappa B in RAW 264.7 macrophages. Eur J Pharmacol 2008; 584: 175–184. 56. Singh RP, Gu M and Agarwal R. Silibinin inhibits colorectal cancer growth by inhibiting tumor cell proliferation and angiogenesis. Cancer Res 2008; 68: 2043–2050. 57. Garg A, Garg S, Zaneveled JD and Singla AK 2001. Chemistry and pharmacology of the citrus bioflavonoid hesperidin. Phytother Res 2001; 15: 655–669.

62 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


58. Nielsen IL, Chee WS, Poulsen L, Offord-Cavin E, Rasmussen SE, Frederiksen H, Enslen M, Barron D, Horcajada MN and Williamson G. Bioavailability is improved by enzymatic modification of t he citrus flavonoid hesperidin in humans: a randomized, double-blind, crossover trial. The Journal of Nutrition 2006; 136(2):404-8. 59. Tumbas VT, Cetkovic GS, Djilas SM et al. Antioxidant activity of mandarin (Citrus reticulata) peel. APTEFF 2010; 41: 195-203 60. Hussain MT, Verma AR, Vijayakumar M, Sharma A, Mathela CS and Rao CV. Rutin, a natural flavonoid, protects against gastric mucosal damage in experi mental animals. Asian Journal of Traditional Medicines 2009; 4(5): 188- 97. 61. Hozayen WG and Abou-Seif HS. Protective effect of rutin and hesperidin against doxorubicininduced lipodystrophy and cardiotoxicity in albino rats. Journal of American Science 2011;7(12):765-75. 62. Abou Seif. Protective Effects of Rutin and Hesperidin against doxorubicin-induced nephrotoxicity. Beni-Suef University Journal of Applied Sciences 2012; 7(2); 1-18. 63. van Acker SABE, van den Berk DJ, Tromp MNJL et al. Structural aspects of antioxidant activity of flavonoids. Free Radic Biol Med 1996; 20(3) : 331-342. 64. Schroeder PE and Hasinoff BB. The doxorubicin-cardioprotective drug dexrazoxane undergoes metabolism in the rat to its metal ion-chelating form ADR-925. Cancer Chemother Pharmacol 2002. 50: 509–513. 65. Von Hoff DD. Phase I trials of dexrazoxane and other potential applications for the agent. Semin. Oncol. 25:31–36; 1998 66. Štěrba M, Popelová O, Šimůnek T, Mazurová Y, Potáčová A, Adamcová M, Kaiserová H, Poňka P and Geršl V. Cardioprotective effects of a novel iron chelator, pyridoxal 2-

67.

68.

69.

70.

71.

72.

73.

74.

75.

chlorobenzoyl hydrazone, in the rabbit model of daunorubicininduced cardiotoxicity. J Pharmacol Exp Ther 2006; 319: 1336–1347. Gaur V, Anggarwal A and Kumar A. Possible nitric oxide mechanism in the protective effect of hesperidin against ischemic reperfusion cerebral injury in rats. Indian Journal of Experimental Biology 2011; 49: 609-18. Hayes JD, Ellis EM, Neal GE, Harrison DJ, Manson MM. Cellular response to cancer chemopreventive agents: contribution of the antioxidant responsive element to the adaptive response to oxidative and chemical stress. Biochem Soc Symp 199; 64: 141–168. Anderson, M. E. Glutathione: an overview of biosynthesis and modulation. Chem Biol Interact 1998. 111–112: 1–14. Morales A, Garcia-Ruiz C, Miranda M, Mari M, Colell A, Ardite E and Fernandez-Checa JC. Tumor necrosis factor increase hepatocellular glutathione by transcriptional regulation of the heavy subunit chain of gammaglutamylcysteine synthetase. J Biol Chem 1997; 272: 30371–30379. Richman PG and Meister A. Regulation of gamma-glutamylcysteine synthetase by nonallosteric feedback inhibition by glutathione. J Biol Chem 1975; 250: 1422–1426. Yan N and Meister A. Amino acid sequence of rat kidney gammaglutamylcysteine synthetase.J Biol Chem 1990; 265: 1588–1593. Huang CS, Anderson ME and Meister A. Amino acid sequence and function of the light subunit of rat kidney gamma-glutamylcysteine synthetase. J Huang CS, Chang LS, Anderson ME and Meister A. Catalytic and regulatory properties of the heavy subunit of rat kidney gammaglutamylcysteine synthetase. J Biol Chem 1993; 268: 19675–19680. Myhrstad MC, Husberg C, Murphy P, Nordström O, Blumhoff R, 63

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


76.

77.

78.

79.

80.

81.

82.

83.

Moskaug JĂ˜ and Kolsto AB. TCF11/Nrf1 overexpression increases the intracellular glutathione level and can transactivate the gammaglutamylcysteine synthetase (GCS) heavy subunit promoter. Biochim Biophys Acta 2001; 1517:212–219. Myhrstad MC, Carlsen H, NordstrĂśm O, Blumhoff R and Moskaug JĂ˜. Flavonoids increase the intracellular glutathione level by transactivation of the đ?›ž -glutamyl cysteine synthetase catalytical subunit promoter. Free Radic Biol Med 2002; 32(5): 386-393. Beckett GJ, Hayes JD. Glutathione S-transferases: biomedical applications. Adv Clin Chem 1993; 30: 281–380. Wilce MC, Parker MW (March 1994). "Structure and function of glutathione Stransferases". Biochim. Biophys. Acta 1205 (1): 1–18 Rotruck JT, Pope AL, Ganther HE, Swanson AB, Hafeman DG and Hoekstra WG. Selenium: biochemical role as a component of glutathione peroxidase. Science 1973 179, 588–590 Ozden M, Maral H, Akaydin D, Cetinalp P, Kalender B. Erythrocyte glutathione peroxidase activity, plasma malondialdehyde and erythrocyte glutathione levels in hemodialysis and CAPD patients. Clin Biochem 2002;35(4):269-73. Doroshow JH., Locker GY, Myers CE: Enzymatic defenses of the mouse heart against reactive oxygen metabolites: alteration produced by doxorubicin. J Clin Invest 65: 128-135, 1980. Nagata H, Takehoshi S, Takagi T, Honma T and Watanabe K. Antioxidative action of flavonoids, quercetin and catechin, mediated by the activation of glutathione peroxidase. Tokai J Exp Clin Med 1999; 24(1): 1-11. Li H and Poulos TL. Structural variation in heme enzymes : a comparative analysis of peroxidase and P450 crystal structures. Structure 1994;2(6):461-4

64 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Artikel Penyegar

KONSEP AYURVEDA DALAM PENATALAKSANAAN JANTUNG KORONER 1

Komang Leo Krisnahari Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

1

ABSTRAK Pendahuluan: Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu keadaan dimana terdapat penimbunan plak pada pembuluh darah koroner, sehingga arteri koroner mengalami penyempitan dan tersumbat. WHO mengestimasi sebanyak 20 juta kasus kematian akibat jantung koroner pada tahun 2015 dan 80% kasus kematian datang dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Pembahasan: Berdasarkan hasil kajian literatur, konsep Ayurveda dapat digunakan sebagai konsep dalam pencegahan maupun terapi dalam penatalaksanaan jantung koroner. Ayurveda adalah ilmu kedokteran agama Hindu yang berasal dari India kuno yang menekankan kombinasi yang tepat antara indra yang sehat, tubuh, dan jiwa. Dua prinsip dasar ayurveda adalah mengonsumsi suplemen herbal serta perubahan gaya hidup melalui yoga dan olahraga dapat menjadi menjadi perhatian utama dalam penatalaksanaan penyakit jantung koroner. Yoga dan meditasi dapat menurunkan tekanan darah dan menurunkan produksi noradrenalin yang memiliki efek terhadap metabolisme glukosa dan lipid. Peran olahraga dalam jantung koroner terkait dengan meningkatkan metabolisme jantung, menyebabkan regresi aterosklerosis, dan meningkatkan reseptor insulin. Sementara, mengonsumsi produk herbal seperti buah malaka, jahe (shogaol), dan bawang putih (allicin) dapat meningkatkan antioksidan, menurunkan serum trigliserida, meningkatkan vitalitas jantung, menurunkan agregasi trombosit, menurunkan tekanan darah, dan melancarkan sirkulasi darah. Simpulan:Keseluruhan potensi tersebut memberikan prospek cerah terkait konsep yang ditawarkan untuk diaplikasikan sebagai modalitas komprehensif dalam penatalaksanaan jantung koroner. Kata kunci : Penyakit jantung koroner, Ayurveda, yoga, olahraga, malaka, jahe, bawang putih ABSTRACT Introduction:Coronary heart disease (CHD) is a condition where there are accumulation of plaque in the coronary arteries, so that the coronary arteries are narrowed and blocked. WHO estimates that 20 million cases of death due to coronary heart disease in 2015 and 80% of deaths come from developing countries including Indonesia. Review:Based on the results of literature review, the concept of Ayurveda can be used as a concept in the prevention and therapy in the management of coronary heart disease. Ayurveda is the science of medicine Hinduism derived from ancient India which emphasizes the right combination of healthy senses, body, and soul. Two basic principles of ayurveda are taking herbal supplements and lifestyle changes through yoga and exercise can become a major concern in management coronary heart disease. Yoga and meditation can decrease blood pressure and reduce the production of noradrenaline which has effect on glucose and lipid metabolism. The role of exercise in coronary heart disease associated with increase metabolism of the heart, causing regression of atherosclerosis, and increase insulin receptor. Meanwhile, taking herbal products such as malaka fruit, ginger (shogaol), and garlic (Alicin) can increase the antioxidant, decrease triglycerides, increase vitality of the heart, reduce platelet aggregation, decrease blood pressure, and increase blood circulation. Conclsion: All of that potential bring nice prospects related of the concepts to be applied as a comprehensive modality in the management of coronary heart disease. 65 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Keywords: Coronary heart disease, Ayurveda, yoga, exercise, malaka, ginger, garlic 1. PENDAHULUAN Terdapat sebuah quote yang berkata, "jantung adalah pusat berpikir, pengendali tubuh, dan akal manusia". Quote tersebut menunjukkan bahwa peran jantung sangatlah penting dalam proses berlangsungnya hidup seorang manusia, meskipun jantung tidak terasa, tidak teraba, dan tidak terpikirkan aktivitasnya. Hal ini terjadi karena jantung didominasi oleh sistem saraf otonom yang bekerja secara otomatis tanpa perintah dan tanpa pengendalian secara sadar. Jantung memiliki fungsi yang sangat vital dalam tubuh seorang manusia. Jantung menyediakan darah yang kaya oksigen dan dialirkan ke seluruh tubuh serta membersihkan tubuh dari hasil metabolisme (karbon dioksida). Jika kondisi jantung terganggu, maka sudah dipastikan kondisi organ-organ lain pun terganggu, seperti otak dan ginjal bahkan dapat berujung kematian. Seseorang akan kehilangan kesadaran jika kekurangan oksigen hingga 10 detik dan sel-sel otak akan rusak jika kehilangan oksigen selama 4-6 menit, bahkan dapat meyebabkan stroke. Selain mengangkut oksigen, peredaran darah jantung juga mengangkut metabolit yang dihasilkan atau produk limbah (seperti urea atau asam urat) yang kemudian diangkut ke organ-organ ekskresi seperti ginjal. Jika fungsi jantung terganggu, maka fungsi ekskresi pun juga terganggu. Pada tahun 2005, total kasus penyakit kardiovaskular meningkat menjadi 17,5 juta dari 14,4 juta pada tahun 1990. Jantung koroner merupakan salah satu penyakit yang mendominasi penyakit kardiovaskular dengan jumlah kasus sebanyak 7,6 [1] juta. WHO mengestimasi sebanyak 20 juta kasus kematian akibat jantung koroner pada tahun 2015 atau 30% dari total kematian di seluruh dunia. Lebih dari 80% kasus kematian datang dari negara berkembang yang berpendapatan rendah hingga [2] menengah termasuk Indonesia.

Untuk Indonesia sendiri, prevalensi penyakit jantung koroner meningkat dari tahun ke tahun. Hasil Survei Konsumsi Rumah Tangga (SKRT) Departemen Republik Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya (tahun 1992 16,6%; 1995 19,0%; 2001 26,0%). Di Indonesia, pada tahun 2002 dilaporkan angka kematian akibat PJK (penyakit jantung koroner) sekitar 100.000– [3] 499.999. Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan keadaan dimana terjadi penimbunan plak pembuluh darah koroner. Hal ini menyebabkan arteri koroner menyempit atau tersumbat. Faktor risiko penyakit jantung koroner ada yang membaginya dalam faktor risiko primer (independen) dan sekunder. Faktor risiko primer adalah faktor yang dapat menyebabkan gangguan arteri berupa aterosklerosis (akumulasi lemak atau lipid pada dinding pembuluh darah arteri) tanpa harus dibantu oleh faktor lain (independen), yaitu hiperlidemia, merokok, dan tekanan darah tinggi. Faktor risiko sekunder adalah faktor yang dapat menimbulkan kelainan arteri bila ditemukan faktor lain secara bersamaan, yaitu diabetes melitus (DM), obesitas, stres, kurang olahraga, [4] alkohol, dan riwayat keluarga. Berkaca dari data tersebut, tentu saja sangat mengkhawatirkan jika mengingat tingginya prevalensi dan komplikasi penyakit yang ditimbulkan oleh jantung koroner. Jantung koroner adalah penyakit sistemik, jika tidak segera ditangani maka akan berdampak terhadap sistem peredaran darah jantung secara keseluruhan, seperti gagal jantung, serangan jantung, bahkan dapat menimbulkan kematian. Penanganan yang tepat pun juga sangat diperlukan. Jika kita berhasil mengkaji lebih dalam, maka masih ada banyak cara untuk mencegah serta mengobati penyakit jantung koroner baik di Indonesia maupun di dunia. Salah satu 66

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


caranya adalah dengan pengobatan ayurveda. 2. PEMBAHASAN 2.1. Konsep Ayurveda Ayurveda adalah ilmu kedokteran agama Hindu yang berasal dari India kuno. Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa ayurveda telah ada sejak 3000 tahun SM. Ayurveda merupakan ilmu holistik yang terdiri dari informasi praktis dan ilmiah tentang berbagai subjek yang bermanfaat untuk kesehatan manusia. Praktik ayurveda memandang dunia dan tubuh manusia secara unik. Pandangan ini didasarkan pada persepsi kuno bahwa manusia adalah mikrokosmos yang besar, berinteraksi dan berhubungan dengan alam semesta, serta harus memelihara kelestariannya. Tubuh manusia dipandang sebagai entitas organik dimana berbagai organ, jaringan, dan bagian lain memiliki fungsi yang berbeda tetapi semua saling tergantung dan menyatu. Ayurveda memiliki pandangan tentang bagaimana tubuh manusia bekerja, apa yang menyebabkan penyakit pada tubuh manusia, dan bagaimana mengobati penyakit menggunakaan konsep tradisional India. Hidup menurut ayurveda adalah kombinasi yang tepat dari indra yang [5] sehat, pikiran, tubuh dan jiwa. Tujuan dari Ayurveda adalah untuk menyediakan tubuh yang benar-benar sehat untuk setiap manusia dengan somatik sempurna, keseimbangan psikis, pencernaan sehat, disertai dengan pencerahan jiwa, organ kognitif dan pikiran. Ayurveda tidak hanya berfokus pada menyingkirkan dari penyakit fisik, melainkan percaya dalam membawa keluar sifat fisik dan mental yang ideal melalui gaya hidup dan rutinitas sehari-hari dari seorang individu. Ayurveda menekankan makanan yang bergizi, segar, dan menghindari makanan berminyak dengan berat ekstra. Ayurveda juga mengatur latihan yoga dan meditasi untuk pemeliharaan seluruh organ vital tubuh. Ayurveda merupakan sebuah modalitas multifungsi dimana di satu sisi berhasil mencegah dan di satu sisi

berhasil untuk mengobati penyakit jantung koroner. Dua prinsip dasar ayurveda adalah perubahan gaya hidup dan suplemen herbal dapat menjadi menjadi perhatian utama dalam mengurangi faktor risiko penyakit jantung koroner. 2.1.1. Pencegahan Penyakit Jantung Koroner Melalui Ayurveda Dengan Cara Yoga Dan Olahraga Yoga dan teknik meditasi telah dikenal selama berabad-abad untuk meningkatkan stamina fisik dan memberikan relaksasi mental. Studi terbaru menunjukkan bahwa yoga dan meditasi dapat menurunkan tekanan darah sistemik baik jangka pendek maupun jangka panjang, menurunkan produksi noradrenalin di otak dan jaringan lain yang memiliki efek secara tidak langsung terhadap metabolisme [6] glukosa dan lipid. Faktor-faktor tersebut penting dalam pencegahan jantung koroner. Peran olahraga dalam pencegahan penyakit jantung koroner sudah dikenal secara luas. Penelitian telah menunjukkan bahwa olahraga berguna dalam meningkatkan metabolisme jantung pada tingkat sistem adenil siklase. Olahraga juga mengurangi pengumpulan trombosit, konsentrasi lemak dan menyebabkan regresi aterosklerosis. Regresi aterosklerosis akibat berolahraga terkait dengan penurunan kadar kolesterol dan meningkatkan reseptor insulin. Analisis data epidemiologi menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dan risiko penyakit jantung koroner. Sebuah penelitian meta analisis menunjukkan bahwa risiko penyakit jantung koroner 90% lebih besar pada seseorang yang tidak terlalu [7] banyak beraktivitas. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pengeluaran 150300 kalori setiap hari seperti berjalan dan bekerja di sekitar rumah lebih menguntungkan daripada aktivitas fisik berat, karena pengeluaran tenaga yang berlebihan dapat menyebabkan [8] kematian secara mendadak. Dengan demikian, latihan fisik ringan dianjurkan untuk seluruh individu untuk pencegahan penyakit jantung koroner. 67

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Pada penderita jantung koroner yang berhasil mengubah gaya hidup mereka seperti melakukan yoga, meditasi, relaksasi progresif (pelatihan manajemen stres), dan berolahraga ringan menunjukkan bahwa terdapat regresi aterosklerosis secara signifikan. Lima puluh persen lesi aterosklerosis mengalami regresi dan ini terjadi pada 82% penderita PJK (penyakit jantung koroner) yang berhasil mengubah gaya hidup mereka. Tidak hanya itu, penderita PJK yang berhasil mengubah gaya hidup mereka juga mengalami pengurangan penyempitan arteri koroner sebanyak 1,75-3,1%. Sedangkan, pada penderita jantung koroner yang tidak berhasil mengubah gaya hidup, mengalami peningkatan lesi sebanyak 3% dan peningkatan penyempitan arteri koroner sebanyak [9] 2,3-11,8%. 2.1.2. Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit jantung koroner melalui ayurveda dengan cara mengonsumsi produk herbal Prinsip-prinsip pengobatan untuk berbagai penyakit terdapat dalam kitab ayurveda. Kitab Ayurveda mencakup banyak obat-obatan herbal yang aman dan berhasil untuk mengobati kondisi penyakit kronis seperti PJK. Komponenkomponen yang ditekankan untuk mengontrol penyakit PJK adalah bawang putih, buah malaka, dan [10],[11] jahe. Ayurveda merumuskan berbagai herbal dan mineral dalam proporsi yang tepat dengan metode pengolahan tertentu. Ayurveda memilih tanaman secara hati-hati yang diikuti oleh seleksi bijaksana dari bagian yang akan diproses, yaitu daun, biji, batang, kulit batang atau akar. Setiap langkah sangat penting dan dapat menyebabkan hasil yang tidak maksimal, jika tidak dijalankan dengan hati-hati. Salah satu komponen alam yang berguna untuk penyakit jantung koroner menurut ayurveda adalah buah malaka. Buah malaka sangat kaya akan vitamin C. Vitamin C telah diklaim memiliki antioksidan dan hipolipidemik. Buah malaka dapat menurunkan serum kolesterol, kolesterol aorta, dan serum

trigliserida baik pada manusia atau kelinci percobaan yang menderita kadar [12] kolesterol yang tinggi. Pengaruh buah malaka pada serum kolesterol dan fraksi lipoprotein telah diteliti pada pria normal dan pada pria yang menderita hiperkolesterol yang berusia 35-55 [13] tahun. Buah malaka diberikan dalam jangka waktu 28 hari dalam bentuk mentah. Kedua subyek yang normal dan hiperkolesterol menunjukkan penurunan kadar kolesterol. Dua minggu setelah buah malaka dihentikan, kadar serum kolesterol meningkat signifikan dan [14] hampir kembali ke tingkat awal. Kedua adalah jahe. Bubuk jahe kering dengan dosis 500-1000 mg, atau jahe segar 2-4 gram dapat mengobati penyakit jantung koroner. Jahe memiliki efek vitalitas pada jantung, darah, menurunkan agregasi trombosit, dan menghambat sintesis tromboksan (zat yang membentuk agregasi/perlengketan trombosit yang berpotensi mengumpalkan dan menciptakan sumbatan). Senyawa terisolasi dari jahe dalam bentuk shogaol dan gingerol juga memiliki efek pressor dan menurunkan [10] risiko penyakit jantung koroner. Diantara seluruh herbal yang direkomendasikan, bawang putihlah yang sangat ditekanankan oleh ayurveda untuk mengobati penyakit jantung koroner. Bawang putih memiliki efek mengurangi kolesterol, menurunkan tekanan darah, menghambat aterosklerosis dan melancarkan sirkulasi darah. Zat aktif alicin yang dibentuk oleh aktivitas enzim aliinase ketika bawang putih dihancurkan sangat berguna untuk mengatasi penyakit jantung koroner. Aliinase yaitu enzim yang mencerna zat alicin diaktifkan oleh pH asam, panas dan pelarut anorganik. Rata-rata penelitian menganjurkan mengonsumsi bawang putih sebanyak 300-900 [15] miligram. Sebagai fungsinya dalam mengatasi penyakit jantung koroner, bawang putih memiliki tiga fungsi, yaitu antihiperlipidemia, antihipertensi, dan antiaterosklerosis. Sebagai anti hiperlipidemia, bawang putih dapat mengurangi lemak 15-25 mg/dl (5%15%). Pengobatan dengan bubuk 68

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


bawang putih kering (900 mg/hari) dapat menurunkan kadar serum kolesterol dari 282 mg/dl menjadi 210 mg/dl selama 12 minggu. Pengobatan bawang putih menghasilkan penurunan paralel low density lipoprotein (LDL) dan peningkatan high density lipoprotein [16] (HDL) kolesterol. Selain memiliki efek antihiperlipidemia, bawang putih juga dapat mengurangi tekanan darah melalui sintesis oksida nitratnya. Dosis besar bubuk bawang putih (2.400 mg) dapat menurunkan tekanan darah 7-16 mmHg. Tetapi, hanya tekanan diastolik yang menurun secara signifikan dan berkisar antara 10-16 mmHg. Sementara, penurunan tekanan darah sistolik hanya berkisar 7-9 mmHg. Dan yang terakhir, bawang putih memiliki efek antiaterosklerosis. Kegiatan antiaterosklerosis bawang putih dikaitkan dengan penurunan kolesterol. Bawang putih yang diberikan selama 48 bulan dapat mengurangi plak aterosklerosis pada arteri sebesar 5[15],[16] 18%. 3. KESIMPULAN DAN SARAN Dapat disimpulkan bahwa ayurveda memiliki banyak khasiat pada penyakit jantung koroner dan dianggap aman jika dilakukan dengan benar. Tetapi, tetaplah disarankan agar pelaksanaan ayurveda berada dibawah pengawasan seorang praktisi yang berpengalaman. Sebelum menjalankan praktik ayurveda, biasakanlah bertanya tentang kualifikasi praktisi, termasuk pelatihan dan lisensinya. Beritahulah penyedia layanan kesehatan tentang segala praktik komplementer dan alternatif yang telah dijalani. Beri juga gambaran lengkap tentang apa yang dilakukan untuk mengelola kesehatan selama ini. Ini akan membantu memastikan bahwa perawatan akan berjalan secara terkoordinasi dan aman. Jadi, tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan oleh mereka yang mengidap jantung koroner karena adanya pengobatan ayurveda ini. Begitu banyak manfaat yang dimiliki oleh pengobatan ayurveda ini. Tetapi, manfaat itu tidak akan muncul apabila pengobatan ayurveda tidak dilakukan

secara berkesinambungan dan dikombinasikan dengan gaya hidup sehat lainnya. Biasakanlah minum air putih minimal 2 liter sehari, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, pikiran tidak stres, serta mengonsumsi makanan yang tentunya menyehatkan dan bermanfaat bagi tubuh. Penanganan jantung koroner juga mengandung prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati. Proses pencegahan harus dimulai sejak saat ini agar tidak terucap kata terlambat di kemudian hari. Sebelum berbagai macam komplikasi penyakit muncul akibat jantung koroner, maka sebaiknya berusahalah untuk menghilangkan jantung koroner tersebut. Jika memiliki niat, usaha, dan kerja keras maka segala sesuatu tidak ada yang mustahil untuk terjadi. DAFTAR PUSTAKA 1. World Health Organization (WHO). 2008. The global burden of disease: 2007 update. Geneva: World Health Organization. 2. World Health Organization (WHO). 2009. World health statistics 2009. Geneva: World Health Organization. 3. Karim F. 2007. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Pusat promosi Departemen Kesehatan RI. 4. Norhashimah BJ. 2010. Gambaran Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Tentang Penyakit Jantung Koroner (PJK) Di Kelurahan Tanjung Rejo. [disertasi]. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 5. Prakash VB. 2010. Sustainable Effect of Ayurvedic formulations in the treatment of nutritional anemia in adolescent students. Journal Altern Complementary Medicine. Hindawi Alternative and Complementary Medicine; 205-210. 6. Gupta R. 2005. Regression of coronary atherosclerosis induced by drugs, diet and lifestyle changes. Contemporary Medicine-1. New Delhi; 54-58. 7. Darren E.R., Crystal W.N., Shannon S.D. 2006. Health benefits of 69

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


8.

9.

10.

11.

12.

13.

physical activity: the evidence. CMAJ; 174(6): 801-809. Taylor RS, Brown A, Ebrahim S. 2004. Exercise-based rehabilitation for patients with coronary heart disease: systematic review and meta-analysis of randomized controlled trials. Am J Med; 116: 682-692. Nikola D, Alicja W, Mats JU. 2013. Atrial fibrillation is associated with different levels of physical activity levels at different ages in men. Heart ; 1-14. Dwivedi SP. 2008. Uses of Indian cardiovascular friendly plants in preventive cardiology. Journal Medical Science India; 159-162 Dunn SP. 2009. Nutrition and heart failure: impact of drug therapies and management strategies. Nutr Clin Pract; 24(1): 60-75. Jain, S.K. 2004. Vitamin C enrichment of fruit juice based ready-to-serve beverages through blending of Indian gooseberry (Emblica officinalis Gaertn.) juice. Plant Foods Hum. Nutr; 59(2): 6366. Habib R., KA. Yasin, A. Choudhary. 2007. Studies on the chemical

constituents of Phyllanthus emblica. Nat Prod Res; 21(9): 775-781. 14. Rajak, S, SK. Banerjee, S. Sood. 2004. Emblica officinalis causes myocardial adaptation and protects against oxidative stress in ischemicreperfusion injury in rats. Phytother Res; 18(1): 54-60. 15. Sun X, Ku DD. Allicin in garlic protects against coronary endothelial dysfunction and right heart hypertrophy in pulmonary hypertensive rats. Am J Physiol Heart Circ Physiol; 291(5) : 24312438. 16. Ku D.D, Sun X. 2006. Mechanism of Garlic Protection Against Coronary Endothelial Dysfunction and Right Ventricular Hypertrophy (RVH) in Pulmonary Hypertensive (PH) Rats: Comparisons among Fresh, Boiled and Aged Garlics. The Faseb Journal; 1147-1152.

70 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Laporan Kasus

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NEURODERMATITIS SIRKUMSKRIPTA 1

2

Surya Wijaya , Rusmawardiana Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang 2 Staff Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, Palembang 1

ABSTRAK Latar Belakang: Neurodermatitis sirkumskripta (NS) merupakan salah satu penyakit kulit yang cukup sering dijumpai dalam praktik sehari-hari. Walaupun tidak menyebabkan kematian, NS dapat menyebabkan komplikasi dan morbiditas yang cukup tinggi. Ilustrasi Kasus: Seorang wanita berusia 34 tahun datang ke poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSMH dengan keluhan utama berupa bercak kehitaman yang semakin menebal pada punggung kaki kanan kisaran satu pekan yang lalu. Pasien juga mengeluh gatal yang hilang timbul. Riwayat penyakit yang sama sebelumnya dan penyakit dalam keluarga disangkal. Dari pemeriksaan dermatologi, didapatkan plak hiperpigmentasi, soliter, irreguler, ukuran 5 x 2 cm, batas tegas, dengan likenifikasi sebagian ditutupi skuama kasar, putih, kasar, kering, selapis. Dari pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%, tidak dijumpai hifa dan spora. Diagnosis yang ditegakkan adalah neurodermatitis sirkumskripta. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien adalah edukasi, kortikosteroid topikal poten (krim betametason dipropionat 0,05% 2 x sehari dioleskan pada bagian lesi), dan antipruritus (klorfenilramin maleat 2 x 4mg). Diskusi: Diagnosis NS ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada daerah predileksi adanya likenifikasi, skuamasi yang umumnya unilateral pada orang dewasa dengan adanya faktor emosi/psikologis. Pengobatan ditujukan untuk memutus rantau gatalgaruk-gatal melalui pencarian faktor pencetus. Terapi lini pertama untuk mengontrol gatal adalah pemberian kortikosteroid topikal poten dan antipruritus. Sebagai kesimpulan, penting bagi para dokter agar dapat menegakkan diagnosis dan melakukan penatalaksanaan NS. Kata Kunci: neurodermatitis penatalaksanaan

sirkumskripta,

1. PENDAHULUAN Neurodermatitis sirkumskripta atau liken simpleks kronik merupakan peradangan kulit kronis, gatal, sirkumskrip yang ditandai dengan kulit tebal dan garis kulit tampak lebih menonjol (likenifikasi) menyerupai kulit batang kayu akibat garukan atau gosokan yang berulang-ulang karena [1] berbagai rangsangan. Walaupun tidak menyebabkan kematian, NS dapat mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Pasien NS mengalami rasa gatal yang hebat sehingga menganggu siklus tidur pasien. Dari laporan suatu penelitian, pasien NS mengalami gangguan siklus tidur pada fase nonrapid eye movement (NREM) dan peningkatan indeks arousal (bangun [2],[3] tiba-tiba dari tidur). Selain itu, pasien NS rentan mengalami depresi karena dari penelitian, pasien NS memiliki skor

liken

simpleks

kronik,

diagnosis,

depresi yang lebih tinggi daripada [3] populasi normal. Diagnosis dan penanganan NS yang tepat diperlukan untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkannya. Sesuai dengan kompetensi dokter Indonesia, dokter umum memiliki level kompetensi 3A dalam penanganan NS. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Oleh karena itu, cara penegakan diagnosis dan tatalaksana awal NS penting diketahui. Laporan kasus ini akan membahas tentang NS lebih lanjut, terutama dalam hal [4] diagnosis dan penatalaksanaan NS. 71

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


2. ILUSTRASI KASUS 2.1. Identitas Pasien Nama : Ny. Y Usia : 34 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Status : Menikah Agama : Islam Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Bangsa : Indonesia Alamat :Kertapati, Palembang Sistem Pembayaran : Askes Kunjungan pertama ke poliklinik IKKK RSMH, tanggal 29 Agustus 2013 2.2. Anamnesis (Autoanamnesis tanggal 29 Agustus 2013, pukul 12.10 WIB) 2.2.1. Keluhan Utama: Bercak kehitaman yang semakin menebal pada punggung kaki kanan kisaran satu pekan yang lalu 2.2.2. Keluhan Tambahan: Gatal 2.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit : Kisaran 3 tahun yang lalu, pasien mengeluh timbul bercak kemerahan pada punggung kaki kanan. Pada awalnya bercak timbul sebesar biji jagung dan bertambah luas ukurannya sebesar uang logam seratus rupiah. Bercak merah disertai gatal yang hilang timbul. Pasien lalu menggaruk bercak tersebut terus-menerus hingga kulit punggung kaki kanan lecet. Pasien sering menggaruk saat pasien tidak ada kegiatan. Pasien tidak berobat. Kisaran 1 tahun yang lalu, bercak kemerahan pada punggung kaki kanan semakin membesar ukurannya sebesar uang logam lima ratus rupiah, menebal dan menjadi kehitaman. Gatal tidak dipengaruhi oleh waktu dan tidak menjadi lebih gatal saat berkeringat. Pasien tidak berobat, hanya mengoleskan minyak gandapura® (asam salisilat dan mentol) namun keluhan gatal dan bercak merah tidak ada perbaikan. Kisaran 6 bulan yang lalu, bercak kehitaman pada punggung kaki kanan semakin menebal. Pasien merasakan gatal hilang timbul sehingga pasien menggaruknya hingga lecet. Pasien mengaku hanya menggunakan sandal saat bekerja. Pasien berobat ke puskesmas, diberi satu macam salep

dan dua macam tablet, namun pasien lupa nama dan warna obatnya. Keluhan gatal dirasakan berkurang namun bercak kehitaman masih ada. Kisaran 1 bulan yang lalu, bercak kehitaman di tungkai kanan semakin menebal. Gatal dirasakan sepanjang waktu. Pasien sering menggaruk hingga lecet. Pasien tidak berobat. Kisaran 1 pekan yang lalu, pasien mengeluh bercak kehitaman semakin menebal pada punggung kaki kanan. Gatal dirasakan terus menerus dan menganggu aktivitas sehingga pasien menggaruk bercak hitam sampai berdarah. Keluhan gatal membuat pasien sulit tidur sehingga pasien memutuskan berobat ke Poliklinik IKKK RSMH Palembang. 2.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu  Riwayat bersin di pagi hari disangkal  Riwayat sesak nafas disertai mengi disangkal  Riwayat alergi terhadap makanan laut seperti kerang, udang, cumi-cumi dan ikan laut tidak ada 2.2.5. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga  Riwayat alergi terhadap makanan laut seperti kerang, udang, cumi-cumi dan ikan laut tidak ada  Riwayat bersin di pagi hari disangkal  Riwayat sesak nafas disertai mengi disangkal 2.2.6. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal dengan suami dan 2 orang anak. Suami bekerja sebagai PNS. Kesan: Sosioekonomi tergolong cukup. 2.3. Pemeriksaan Fisik 2.3.1. Status Generalikus Keadaan umum : baik Keadaan sakit : tampak sakit ringan Kesadaran : kompos mentis Tekanan darah : 110/70 mmHg Nadi : 84 x/menit, regular Suhu : 36,7 °C Pernapasan : 20 x/menit, regular Tinggi Badan : 156 cm Berat Badan : 60 kg 2 IMT : 24,65 kg/m Status gizi : overweight 2.3.2. Keadaan Spesifik Kepala : tidak ada kelainan Wajah : simetris, deformitas (-)

72 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Mata :konjungtiva palpebra anemis (), sklera ikterik (-), orbital darkening (-), lipatan infraorbital (-), injeksi silier dan konjungtiva (-) Hidung : tidak ada kelainan Telinga : tidak ada kelainan Mulut : cheilitis (-), tonsil T1-T1 Leher : lipatan leher anterior (-) Toraks : Jantung : HR=84 x/menit, regular, murmur (-), gallop (-).

Paru-paru : vesikuler normal, ronki (-), wheezing tidak ada. Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-), bising usus normal Ekstremitas superior : tidak ada kelainan Ekstremitas inferior : lihat status dermatologi Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar getah bening submandibula, leher, aksila dan inguinal.

2.4. Status Dermatologikus

Gambar 1. Regio Dorsum Pedis Dekstra. Plak hiperpigmentasi, soliter, irreguler, ukuran 5 x 2 cm, batas tegas, dengan likenifikasi sebagian ditutupi skuama kasar, putih, kasar, kering, selapis. 3. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 10%. Dilakukan kerokan kulit pada lesi di dorsum pedis dextra

dan ditambahkan KOH 10%. Preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 kali.

Gambar 2. Hasil : tidak ditemukannya adanya hifa 4. DIAGNOSIS BANDING  Neurodermatitis sirkumskripta  Tinea pedis tipe hiperkeratotik  Dermatitis kontak iritan kronik ec. minyak gandapura® (asam salisilat dan mentol)  Dermatitis atopik likenifikasi 4.1. Diagnosis Kerja Neurodermatitis sirkumskripta

5. PENATALAKSANAAN Umum :  Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya belum diketahui penyebab pastinya, namun bukan merupakan penyakit yang menular.  Memberikan informasi kepada pasien bahwa penyakitnya dapat kambuh kembali, sehingga pasien dianjurkan untuk segera berobat bila terjadi kekambuhan. 73

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Memberikan informasi kepada pasien tentang pengobatan yang akan dilakukan dan berobat secara teratur.  Memberikan penjelasan kepada pasien agar tidak menggaruk bercak tersebut dan memotong kuku hingga pendek. Khusus : Topikal  Krim betametason dipropionat 0,05% 2 x sehari dioleskan pada bagian lesi. Sistemik  Tablet klorfenilramin maleat 4 mg 2 x sehari per oral (pagi dan malam hari) 5.1. Prognosis  Quo ad vitam : bonam  Quo ad functionam : bonam  Quo ad sanationam :dubia bonam

ad

6. DISKUSI Neurodermatitis sirkumskripta (NS) merupakan pola respons kutaneus berupa hipertrofi epidermal yang disebabkan oleh kebiasaan kronik menggosok atau menggaruk kulit secara spontan (rantai gatal-garuk-gatal) yang ditandai secara klinis dengan penebalan kulit disertai garis-garis kulit yang tampak lebih jelas menyerupai kulit [5],[6] batang pohon. Kasus umumnya terjadi pada usia dewasa dengan puncak insidens NS pada usia antara 30 hingga 50 tahun dan relatif jarang terjadi pada anak-anak. Wanita lebih banyak menderita NS dibandingkan dengan [1]-[3] pria. Kasus NS juga dilaporan lebih sering pada populasi Asia, terutama ras [5],[7] Oriental. Dari identifikasi awal, didapatkan pasien berjenis kelamin perempuan, berumur 34 tahun, dan memiliki kebangsaan Indonesia (populasi Asia). Dari identifikasi lebih lanjut, pasien pada laporan kasus mengeluh bercak hitam yang semakin menebal pada punggung kaki kanan. Temuan klinis pada pasien sesuai dengan gejala klinis pasien NS. Bercak hitam yang menebal ini merupakan likenifikasi. Likenifikasi terjadi akibat hipereksitabilitas gatal abnormal dari kulit yang mengalami likenifikasi muncul akibat respons minimal terhadap stimulus eksternal (umumnya garukan)

yang tidak akan mencetuskan respons gatal pada kulit yang normal. Stimulus ekternal awalnya umum ringan, seperti stimulus akibat melepaskan pakaian, membersihkan sisa salep, atau mengosokkan pakaian ke badan, lalu berlanjut ke stimulus yang lebih berat, seperti menggosokkan tumit atau jari kaki ke area tubuh tertentu dan [7] menggaruk area tubuh tertentu. Menggaruk lesi akan menjadi kebiasaan dan bertahan dalam waktu yang cukup lama (bulanan hingga [1] tahunan) dan menimbulkan likenifikasi. Lesi biasanya tunggal, namun pada beberapa kasus, lesi dapat bilateral atau simetris dan melibatkan lebih dari satu [1],[3] regio tubuh. Sesuai dengan perjalanan klinis pada kasus, lesi awal NS berupa plak eritematosa, sedikit edematosa, lambat laun edema dan eritema menghilang, bagian tengah berskuama dan menebal, likenifikasi, dan ekskoriasi; sekitarnya hiperpigmentasi atau hipopigmentasi, [1] batas dengan kulit normal tidak jelas. Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi [3] dijumpai pada lesi kulit kronik. Lesi likenifikasi biasanya ditemukan di skalp, tengkuk, samping leher, lengan bagian ekstensor, pubis, vulva, skrotum, perianal, paha bagian medial, lutut, tungkai bawah lateral, pergelangan kaki bagian depan, dan punggung kaki, namun regio tubuh lain [1]-[3],[5]-[8] dapat juga terkena. Predileksi pada regio tubuh di atas disebabkan respons khusus terhadap trauma fisik berupa hiperplasia epidermis sehingga kulit di daerah ini sangat sensitif terhadap sentuhan, termasuk gesekan [7] dan garukan. Pada kasus, lesi likenifikasi dijumpai pada punggung kaki kanan. Kasus NS dicetuskan oleh gesekan dan garukan akibat rasa gatal. Faktor lingkungan yang ikut berperan dalam mencetuskan gatal, seperti panas, keringat, dan iritasi berhubungan dengan NS anogenital. Faktor emosional atau psikologis juga berperan [3] dalam patogenesis NS. Beberapa pasien NS memiliki riwayat atopik atau 5,7 menderita dermatitis atopik. Pada kasus ini, faktor pencetus NS belum dapat diidentifikasi, namun diperkirakan faktor stress yang berperan dalam patogenesis NS pada kasus. 74

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Pasien pada laporan kasus mengeluh gatal sebagai keluhan tambahan. Rasa gatal yang hebat merupakan tanda utama NS. Pasien NS umumnya mengeluh gatal sekali sehingga bila gatal timbul pada malam hari, tidur pasien akan terganggu. Gatal dapat paroksismal, kontinyu, atau sporadik. Gosokan dan garukan dapat terjadi, baik secara sadar maupun tidak sadar (selama tidur). Rasa gatal memang tidak terus-menerus dan biasanya pada waktu tidak sibuk. Bila muncul, rasa gatal sulit ditahan untuk tidak digaruk. Penderita merasa enak bila lesi digaruk. Setelah luka, rasa gatal akan hilang untuk sementara karena rasa gatal tertutupi oleh rasa nyeri yang [2],[3].[7] timbul. Sensasi gatal bertambah berat saat berkeringat, cuaca panas, dan adanya iritasi dari pakaian. Gatal juga memburuk akibat distress psikologis. Penyebab rasa gatal masih belum diketahui secara jelas dan dapat 3,6 terkait dengan penyakit sistemik. Namun, diperkirakan rasa gatal berhubungan dengan neurotransmitter. Neurotransmiter, seperti dopamin, serotonin, atau peptida opioid memodulasi persepsi gatal melalui jalur [3] spinal descendens. Pasien dapat menjalani pemeriksaan histopatologi sebagai baku emas penegakan diagnosis NS. Gambaran histopatologis NS berupa berbagai derajat hiperkeratosis dengan parakeratosis atau ortokeratosis, hipergranulosis, akantosis dengan rete ridges memanjang teratur, dan hiperplasia psoriasiformis epidermis. Dijumpai sebukan sel radang limfosit histiosit, dan eosinofil di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas, pertambahan fibroblas, dan penebalan kolagen dengan serat kolagen yang [1]-[3],[5]-[8] kasar dan alur vertikal. Namun, diagnosis NS umumnya cukup ditegakkan berdasarkan gambaran klinis [1] yang khas. Diagnosis NS ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada daerah predileksi adanya likenifikasi, skuamasi yang umumnya unilateral pada orang dewasa dengan adanya [2] faktor emosi/psikologis. Diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan adalah tinea pedis tipe hiperkeratotik, dermatitis kontak iritan kronik, dan dermatitis atopik likenifikasi

karena dapat menimbulkan gambaran [1],[2] lesi likenifikasi dan rasa gatal. Lesi likenifikasi simetris mengarahkan diagnosis pada likenifikasi sekunder dermatitis kontak. Infeksi kronik T. rubrum pada paha atau telapak kaki dapat menunjukkan gambaran likenifikasi yang mirip dengan NS, namun memiliki respons terapi griseofulvin yang lebih baik [5] dibandingkan dengan tranquillizer. Secara umum, penatalaksanaan pada penderita berupa edukasi, terapi sistemik, dan terapi topikal. Pengobatan ditujukan untuk mengidentifikasi dan menangani faktor penyebab gatal sehingga dapat memutus rantai gatal[1],[3] garuk-gatal. Edukasi pada pasien berupa penjelasan kepada penderita bahwa garukan akan memperburuk keadaan penyakitnya sehingga harus dihindari. Pasien dianjurkan untuk memotong kuku pendek agar kalaupun terpasa menggaruk, tekanan garukan [2] akan berkurang. Terapi lini pertama untuk mengontrol gatal adalah pemberian kortikosteroid topikal poten (lebih baik bila dilakukan secara oklusif). Oklusi yang umumnya digunakan, khususnya pada kasus berat adalah Unna boot (dressing pasta zink oksida), kombinasi tar 5%, pasta zink oksida, dan glukokortikoid kelas II serta oklusi politen. Dressing ini dapat bertahan hingga 1 minggu. Plester adhesif berisi steroid (plester HaelanÂŽ) cukup efektif [7],[8] dan dapat bertahan selama 24 jam. Kortikosteroid topikal potensi tinggi, seperti krim/salep klobetasol propionate, diflorason diasetat, atau betametason dipropionat harus segera diaplikasikan, namun harus diwaspadai adanya atrofi akibat steroid dan diganti dengan kortikosteroid topikal potensi sedang[8] rendah ketika lesi mulai menyembuh. Kortikosteroid intralesi, misalnya triamsinolon asetonid 5% atau 10 mg/ml intralesi dengan berbagai konsentrasi dapat diberikan tergantung pada [2],[3] ketebalan lesi. Untuk lesi sangat kronik, balutan pasta tar bermanfaat, [5] namun perlu diganti setiap 5-7 hari. Pemberian injeksi toksin Botulinum tipe A selama 2-4 minggu dilaporkan [8] bermanfaat. Inhibitor kalsineurin [2] topikal juga dilaporkan bermanfaat. Bila dijumpai adanya bukti infeksi sekunder, antibiotik topikal dapat 75

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


[5]

diberikan selama beberapa hari. Emolien dapat diberikan sebagai terapi [3] adjuvan. Untuk mengurangi rasa gatal, dapat diberikan antipruritus berupa antihistamin golongan sedatif untuk gatal (hidroksizin oral 25-50 gram, prometazin, dan difenhidramin) atau antidepresan trisiklik, seperti doksepin pada malam hari dan serotonin reuptake inhibitor untuk gatal pada siang hari atau pada pasien dengan kelainan obsesif[1],[2],[7] kompulsif. Pasien juga dapat diberikan antipruritus topikal, seperti mentol, fenol, krim doksepin 5%, kapsaisin, pimekrolimus, dan [2],[5],[8] pramoksin. Prognosis bergantung pada penyebab pruritus (penyakit yang mendasari) dan status psikologik [1] penderita. Penyakit umumnya berjalan kronis dengan lesi yang persisten atau rekurens. Eksaserbasi terjadi karena [2] adanya stress emosional. Pruritus memainkan peran sentral dalam timbulnya pola reaksi kulit berupa likenifikasi dan prurigo nodularis. Pruritus ini dapat disebabkan oleh adanya penyakit yang mendasari, misalnya gagal ginjal kronis, obstruksi

saluran empedu, limfoma Hodgkin, hipertiroidisme, penyakit kulit, seperti dermatitis atopik, dermatitis kontak alergik, gigitan serangga dan aspek [1],[3],[5] psikologik dengan tekanan emosi. Pasien NS yang juga mengalami gangguan obsesif-kompulsif memiliki [3] prognosis yang lebih buruk. 7. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kunci dari manajemen NS adalah diagnosis dan tatalaksana yang tepat. Diagnosis NS ditegakkan berdasarkan gambaran klinis pada daerah predileksi adanya likenifikasi, skuamasi yang umumnya unilateral pada orang dewasa dengan adanya faktor emosi/psikologis. Pengobatan ditujukan untuk memutus rantau gatal-garuk-gatal melalui pencarian faktor pencetus. Terapi lini pertama untuk mengontrol gatal adalah pemberian kortikosteroid topikal poten dan antipruritus.

Tabel 1. Diagnosis Banding Neurodermatitis Sirkumskripta Neurodermatitis Dermatitis Dermatitis ,[2] 3],[4],[5] Sirkumskripta Atopik[ Kontak Iritan [6],[7] Kronik Epidemiologi Umumnya Dapat dijumpai Dapat terjadi mengenai dewasa, pada seluruh pada setiap terutama pada usia kelompok, orang, namun 30-50 tahun, wanita namun onset lebih berisiko lebih sering terkena awal sejak masa pada orangdibandingkan infant (2 bulan-2 orang dengan dengan laki-laki tahun) pekerjaan tertentu Etiologi Garukan dan Alergen Kontak dengan gosokan karena bahan iritan perasaan gatal yang hebat Faktor Panas, keringat, Predisposisi Riwayat atopi Predisposisi iritasi, emosi, dan genetik, Temperatur yang psikologis, iritasi kerusakan barier rendah pakaian kulit, alergi makanan, alergi saluran napas Pembeda

Riwayat Atopi

(-/+)

(+)

(-/+)

Tinea Pedis Tipe [8],[9] Keratotik Dapat dijumpai pada seluruh kelompok usia, namun jarang ditemukan pada anak-anak

Infeksi jamur T. rubrum

Pemakaian sepatu tertutup, menggunakan fasilitas umum bersamaan, hiperhidrosis, sela jari yang sempit (-)

76 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Predileksi

Lesi Kulit

Pemeriksaan penunjang Kerokan kulit dengan KOH 10% Patch test Dermatografi sme putih

Scalp, leher bagian belakang, pergelangan kaki, ekstremitas bagian ekstensor, labia mayora, skrotum Likenifikasi, bersisik, erosi, ekskoriasi. Biasa hanya ditemukan 1 plak, tapi dapat juga lebih dan mengenai sisi lainnya

Fosa kubiti, fosa poplitea, dan leher belakang

Kulit yang kontak dengan zat iritan

Telapak kaki, punggung kaki, aspek medial dan lateral kaki

Likenifikasi, skuama, hipo atau hiperpigmentasi, erosi, ekskoriasi, krusta.

Beberapa bercak kering lokalisata, eritema, hiperkeratosis,da n fisura

Bercak atau skuamasi difus, dapat disertai likenifikasi

(-)

(-)

(-)

(+)

(-) (-)

(-) (+)

(+) (-)

(-) (-)

Tabel 2. Potensi Kortikosteroid Berdasarkan Potensinya Nama Generik

Sediaan

Nama Dagang

Kelas 1-Superpoten Betametason dipropionat 0,05% 1,2 dengan vehikulum teroptimalisasi

1,2

Diflorason diasetat 0,05% Fluokinonid 0,1% dengan vehikulum 1,2 teroptimalisasi Flurandrenolid 4 mg/cm

2 1,2 1,2

Halobetasol propionat 0,05% Kelas 2-Poten (Potensi Tinggi) Amsinonid 0,1%

1,2

Betametason dipropionat 0,05% Desoksimetason 0,25% Desoksimetason 0,5%

1,2

1,2

Diflorason diasetat 0,05% Fluokinonid 0,05% Halsinonid 0,1%

1,2

1,2

1,2

1,2

Mometason furoat 0,1%

1,2

Triamsinolon asetonid 0,5%

2

Gel/losio/salep

Diprolene

Losio/spray

Clobex

Foam

Olux

Krim/krim emolien/gel/salep

Temovate

Salep

Psorcon

Krim

Vanos

Tape

Cordran

Krim/salep

Ultravate

Salep

Cyclocort

Krim

Diprolene AF

Salep

Diprosone

Krim/salep

Topicort

Gel

Topicort

Salep

Florone

Salep

Maxiflor

Krim/gel/salep

Lidex

Krim/solusio/salep

Halog

Salep

Elocon

Salep 77

JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Kelas 3-Poten, upper mid-strength (Potensi tinggi) Amsinonid 0,1%

1,2

Betametason dipropionat 0,05%

1,2

Krim/solusio

Cyclocort

Krim

Diprosone Florone

Betametason valerat 0,1%

1,2

Krim

Maxiflor Psorcon E

Fluosinonid 0,05%

1,2

Krim

Lidex E

1,2

Salep

Cutivate

Triamsinolon asetonid 0,1%

2

Salep

Triamsinolon asetonid 0,5%

2

Krim

Flutikason propionat 0,05%

Kelas 4-Mid-strength (Potensi Menengah) Betametason valerat 0,12% Klokortolon pivalat 0,1% Desoksimetason 0,05%

1,2

1,2

1,2

Fluosinolon asetonid 0,025% Flurandrenolid 0,05%

1,2

Hidrokortison probutat 0,1% Hidrokortison valerat 0,1% Mometason furoat 0,1% Prednikarbat 0,1%

1,2

1,2

1,2

1,2

1,2

Triamsinolon asetonid 0,1%

2

Triamsinolon asetonid 0,2%

2

Foam

Luxiq

Krim

Cloderm

Krim

Topicort LP

Salep

Synalar

Salep

Cordran

Krim

Pandel

Salep

Westcort

Krim/losio

Elocon

Salep

Dermatop

Salep

Kenalog

Krim

Kenalog

Spray

Kenalog

Kelas 5-Lower mid-stream (Potensi Menengah) Betametason dipropionat 0,05% Betametason valerat 0,1%

1,2

Fluosinolon asetonid 0,025% Flutikason propionat 0,05% Hidrokortison butirat 0,1%

1,2

1,2

1,2

Hidrokortison valerat 0,2% Prednikarbat 0,1%

1,2

1,2

1,2

Triamsinolon asetonid 0,1%

2

Losio

Diprosone

Krim/losio

Valisone

Krim

Synalar

Krim

Cutivate

Lipokrim

Locoid

Krim

Westcort

Krim emolien

Dermatop

Krim/losio

Kenalog

Kelas 6-Mild strength (Potensi Rendah) Alklometason dipropionat 0,05% Betametason valerat 0,1% Desonid 0,05%

1,2

1,2

1,2

Salep/krim

Aclovate

Losio Gel/salep/krim/losio/foam

DesOwen Tridesilon

Fluosinolon asetonid 0,01%

1,2

Krim/solusio

Synalar

Minyak

DermaSmoothe/FS

78 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015


Triamsinolon asetonid 0,1%

2

Triamsinolon asetonid 0,025%

Krim 2

Krim/losio

Kelas 7-Least potent (Potensi Rendah) Deksametason, flumetason, hidrokortison Metilprednisolon, prednisone REFERENSI 1. Djuanda S, Sularsito SA. Neurodermatitis sirkumskripta. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. h. 147148. 2. Kartowigno S. Neurodermatitis sirkumskripta. Dalam: Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Edisi 2. Palembang: Unsri Press; 2012. h. 37-39.

Aristocort

1,2

5.

6.

7. 3. Burgin S. Lichen Simplex Chronicus. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatricks’ Dermatology in th General Medicine. 7 Edition. New York: Mc-Graw Hill; 2008. p. 160162. 4. Konsil Kedokteran Indonesia. Liken simpleks kronik/neurodermatitis sirkumskripta. Dalam: Standar

8.

Kompetensi Dokter Indonesia. Edisi 2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012. h. 31,55. Holden CA, Jones JB. Lichen simplex. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor. Rook’s th Textbook of Dermatology. 7 Ed. Oxford: Blackwell Publishing; 2004. p. 17.41-17.43. Weisshaar E, Fleischer AB, Bernhard JD, Cropley TG. Lichen Simplex Chronicus. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV, editors. rd Dermatology. 3 Ed. London: Elsevier Saunder; 2009. p.115-116. Wolff K, Johnson RA. Lichen Simplex Chronicus. In: Fitzpatricks’ Color Atlas and Synopsis of Clinical th Dermatology. 6 Ed. New York: McGraw Hill; 2009. p. 42-43. James WD, Elston DM, Berger TG. Lichen Simplex Chronicus. In: Andrews’ Disease of the Skin: th Clinical Dermatology. 11 Ed. London: Elsevier Saunder; 2006. p.52.

79 JIMKI Volume 3 No.1 | Januari-Juni 2015



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.