Blurg! Edisi 03

Page 1




Foto: Angga Y. Saputra Model: Jualita Kusuma


REDAKSIONAL

Setiap harinya, sebagian besar dari kita hidup dalam kesibukan dan rutinitas yang tak jarang membuat kita menjadi jenuh. Kemacetan di perjalanan menuju kantor, omelan pedas dari si bos, hingga bantahan dosen atas argumentasi tugas akhir tak ayal membuat kepala kita pening. Jangankan berfikir secara jernih untuk hari esok, membayangkan kejadian-kejadian hari ini saja terkadang sudah cukup berat bagi kita. Untuk menghadapi hal ini, manusia terus mencari cara agar bisa tetap merasa bahagia dalam menjalani hidup. Pencarian mereka atas kebahagiaan-pun tidak tanggung-tanggung, tidak sedikit mereka yang harus rela merogoh kocek dalam-dalam dan pergi jauh ke belahan dunia lain. Padahal, jika mereka mau untuk melihat dengan lebih jeli, ada satu hal yang bisa menjadi sumber kebahagiaan: seni. Seni sebagai salah satu sumber dari kebahagian bukan hanya omong kosong belaka. Secara saintifik, seni terbukti dapat meningkatkan produksi endorfin yang secara langsung dapat menimbulkan perasaan bahagia dalam diri kita. Kami yakin bahwa proses berkesenian dapat

melepaskan tekanan atas imajinasi dan ide-ide gila yang kerap tertimbun di dalam pikiran. Seni dengan sangat beraninya dapat menjadi pembebas dari kehidupan yang tak jarang terasa monoton, menekan dan tentunya tidak sehat. Dengan potensi seni dalam mengkreasikan kebahagiaan di kehidupan, kami percaya bahwa pengilhaman seni yang lebih luas tidak hanya dapat membawa pengaruh dalam kehidupan seorang individu saja, tetapi juga bisa membentuk masyarakat yang lebih berbahagia, toleran, kreatif dan tentunya lebih baik dari sebelumnya. Dengan hal itu, kami percaya bahwa kultur mengejar kemapanan “semu� yang ditawarkan oleh konstruksi sosial dan ekonomi yang ada dapat diubah menjadi kultur mengejar kebahagiaan. Tidak melulu melalui jalan revolusi, tetapi bisa juga dengan cara yang lebih ringan, yaitu dengan cara mencoba untuk lebih mengapresiasi seni. Oktober 2016 Rangga Eka Sakti

5


4 6 8 18 26

REDAKSIONAL

DA F TA R I S I BLURG! X PIETER LENNON FACT UP! 4 Penerbit Alternatif di Yogyakarta

WAT C H O U T ! Kursus Fisika

28

MUSIK

32

OPINI

Rammstein: Sehnsucht | Yume: Chamomile | Kindret: Passion Pit

Kebahagiaan yang Lain?

36

GALERI

38

BUKU

How you Create your Own Happiness?

Women | Pendidikan Jasmani dan Kesunyian | Kelahiran yang Lain


42 50 62 66 68 72 76 78

J U R N A L YA N T O Pilgrimage: bagian 2

EVENT Xeroxed | Ring of Songs | Perupa Muda

WE ASK, THEY ANSWER Yellow Fang

FILM Kebun Binatang | All the Boys are Called Patrick

HAPPENED Wanksy

SERBA SERBI Tempa: Menempa dan Ditempa

FASHION Clara Victoria Padmasari

A RT S T RO LO GY


P

ieter Lennon Legenda hidup Jalan Kaliurang.

8


BLURG! X PIETER LENNON

Tidak sedikit musisi jalanan yang memainkan instrumennya, menyanyikan lagunya dan melakukan aksinya sembari menghibur orangorang di sekitarnya. Terlebih lagi di Yogyakarta, kota yang notabene merupakan tempat berbaurnya para orang-orang kreatif. Akan tetapi ada salah satu musisi jalanan yang cukup menarik perhatian Blurg!. Tidak lain dan tidak bukan, beliau adalah Pieter Lennon yang kerap “bernyanyi� dengan aksinya yang cukup unik. Jika teman-teman sering makan atau bermain-main di bilangan jalan Kaliurang, tentu sudah tidak asing dengan beliau. Ya, beliau adalah “pengamen� yang sering mengamen dengan meng-cover lagu-lagu The Beatles dan gaya berpakaiannya yang khas. Bersama gitar dan harmonika yang selalu jadi senjata andalan, Pieter Lennon siap menghibur teman-teman yang sedang berpapasan dengannya di jalan. Pagi itu, Blurg! berkesempatan untuk bermain ke kediaman Pieter Lennon. Ditemani dengan segelas es teh dan beberapa batang rokok, Blurg! ngobrol ngalor-ngidul dengan om Pieter Lennon. Simak obrolan kami pagi itu di rubrik Blurg! x Pieter Lennon ini.

9


Menurut Om Pieter sendiri, Pieter Lennon itu sosok yang seperti apa sih? Pieter Lennon sendiri sebetulnya hanyalah sebuah nama yang disematkan kepada saya oleh para pendengar yang tahu kalau saya ini konsisten membawakan lagu-lagu dari The Beatles saat mengamen. Nama asli saya sendiri sebetulnya adalah Pieter Budi Atmo. Om Pieter sendiri sudah dari kapan sih “bernyanyi” seperti ini? Ya sudah cukup lama, saya sendiri sudah “bernyanyi” lebih dari sepuluh tahun. Tapi kalau nyanyi di jalan Kaliurang ya baru sekitar lima tahun-an. Kalau dulu saya bernyanyi dari rumah ke rumah, terkadang sampai ke luar kota. Bernyanyi di tempattempat hiburan dan dikampung-kampung kan lain ya, kalau di kampung saya rasa lebih berisiko. Berarti dulu pernah “bernyanyi” sampai ke luar kota? Wah, saya dulu sampai Jakarta, Surabaya dan kota-kota besar lainnya. Ya itulah perjalanan, dulu kan saya nyanyi masuk-

masuk ke perumahan, keluar-masuk kampung, ke luar kota. Lalu akhirnya saya merasa kesusahan karena saya tidak bisa setiap hari ke luar kota. Akhirnya ya Tuhan memberi jalan lain. Lama-lama saya nyanyi di tempat-tempat orang makan. Itu berbeda ya, kalau di restoran-restoran seperti itu kan saya nyanyi lebih bebas ya, tapi kalau dari perumahan ke perumahan saya rasa risikonya lebih banyak. Nyanyi di tempat-tempat umum saya rasa lebih nyaman dan aman karena itu memang tempat umum, milik bersama. Buruk-buruknya, paling ada yang tidak memberi uang. Tapi kalau di kampung itu saya harus lebih hati-hati. Kalau ada yang nggak senang rumahnya didatangi, bisabisa saya disiram air atau dicaci-maki. Sepertinya banyak pengalamanpengalaman seru juga ya dulu? Wah, banyak. Saat saya nyanyi di depan rumah orang kan saya nggak tau orang yang di dalam rumah sedang ada apa. Pernah suatu ketika, orang yang di dalam rumah sedang tidur dan merasa terganggu dengan musik yang saya mainkan, sampai-sampai saya kena marah. Ya

10


BLURG! X PIETER LENNON

itu risikonya, nyanyi di perkampungan sendiri juga aturannya. Sekitar jam 8-9 malam saya sudah harus keluar kampung. Padahal, timing yang paling bagus itu kan sekitar jam 5-9 malam, itu kalau kita mau menghibur.

yang sudah lama tidak aktif. The Beatles itu legenda dunia dan saya rasa mereka itu abadi.

Saya sendiri ngamen tidak asal ngamen. Semisal masnya lihat ada orang ngamen di pasar saat pagi, orang-orang yang memberi uang belum tentu memberi karena menikmati musik yang dimainkan. Tapi, saya sendiri berangkat dari pandangan bahwa ngamen itu bukan sekedar meminta uang. Kalau orang ngamen hanya berdasarkan modal nggitar dan minta uang ya nggak akan jalan. Kita juga harus total dalam memainkan musiknya, juga dalam berpakaian. Orang itu niteni setiap saat ketemu. Kalau dari jauh saja kita sudah terlihat mboseni, boro-boro orang akan tertarik dengan kita. Dengan Om Pieter banyak memainkan lagu-lagu dari The Beatles, apakah ada pesan tertentu yang ingin disampaikan? Saya sendiri ingin bilang kalau lagu-lagu dari The Beatles itu bagus-bagus. The Beatles itu kan salah satu grup legendaris

Ngomong-ngomong, kenapa Om Pieter memilih lokasi di jalan Kaliurang? Bukan di jalan Malioboro atau tempat-tempat yang semacam itu? Kalau di Malioboro saya rasa sudah cukup sesak ya. Sedangkan kalau di jalan Kaliurang, situasinya lebih nyaman dari pada di jalan Malioboro sendiri. Selain itu saya rasa di Jalan Kaliurang juga banyak anak muda (mahasiswa) yang tahu lagulagu dari The Beatles sendiri. Apakah ada kesan tersendiri dari perjalanan Om Pieter di jalan Kaliurang? Saya cukup merasa senang ketika di jalan ada anak kecil atau orang-orang dewasa yang ketika saya sapa, mereka menunjukkan respon baiknya. Di situ, kami bertegur sapa dan berinteraksi. Hal itu cukup menyenangkan bagi saya. Om Pieter sendiri mulai dari jam berapa sih biasanya ngamen di jalan Kaliurang?

11


Tidak tentu, tapi saya selalu mengamen selama kurang lebih dua jam saat siang dan dua jam saat malam. Saya ini ngamen juga tidak ngoyo-ngoyo amat kok mas.

orang yang membacanya. Dengan hal-hal tersebut, harapannya para pembaca dapat menjalakan hidupnya dengan lebih positif setelah membaca tulisan kalian.

Lagu dari The Beatles yang paling Om Pieter suka?

Pesan untuk masyarakat?

Manusia tidak cukup hidup hanya dengan Saya suka semua lagu The Beatles hehehe. makan dan bekerja saja, tetapi manusia juga butuh hiburan untuk menyeimbangkan Dengan usia yang sudah tidak muda lagi, kehidupannya. Disitu, seni hadir sebagai apa sih yang memotivasi Om Pieter untuk penyeimbang. Seperti dalam seni tari, di tetap “bernyanyi�? mana kita dapat melihat atau merasakan keindahan dalam setiap gerakananya Wah selama saya masih kuat ya saya atau dalam seni musik di mana kita tetap akan jalan mas. Meskipun usia saya dapat mendengar alunan keindahannya. ini sudah 61 tahun, saya rasa tidak ada Seni penting dalam kehidupan kita untuk halangan untuk saya tetap jalan, nyanyi, menjaga keseimbangan hidup. manggung sana-sini. Pesan untuk Blurg! sendiri? Membuat tulisan dan segala macamnya untuk orang lain tentu saja harus bermanfaat dan memberikan inspirasi bagi

12



24 September lalu, Blurg! dan Pieter Lennon bersama Sabarbar, Robertosaurus, dan Army Wiratama melakukan kolaborasi dalam bentuk mini gig bertajuk: Happiness Is a Warm Gun yang diadakan di LIR Space, Baciro. Hasil audio dan video dari Happiness Is a Warm Gun ini telah direkam dan bisa dinikmati bersamaan dengan dirilisnya Blurg! edisi 3 ini.

Wawancara: Rangga Eka Sakti Foto: Angga Y. Saputra Teks: korporatvampir

14


BLURG! X PIETER LENNON

15


“Manusia tidak cukup hidup hanya dengan makan dan bekerja saja, tetapi manusia juga butuh hiburan untuk menyeimbangkan kehidupannya. Disitu, seni hadir sebagai penyeimbang. Seperti dalam seni tari, di mana kita dapat melihat atau merasakan keindahan dalam setiap gerakananya atau dalam seni musik di mana kita dapat mendengar alunan keindahannya. Seni penting dalam kehidupan kita untuk menjaga keseimbangan hidup.� Pieter Lennon

16


“Solitude” Leka Putra water colour

17


Hai kawula muda, kau punya potensi Hai kawula muda, kau punya kreasi Manfaatkanlah sebelum menyesal nanti Masa muda tak kan pernah terulang lagi (Kawula Muda – Rhoma Irama)

18


FACT UP!

4 PENERBIT ALTERNATIF DI YOGYAKARTA Semangat masa muda dan perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor pendorong generasi muda saat ini dalam menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Media sosial memungkinkan siapapun untuk menyebarluaskan karya-karya mereka. Hal ini terbukti dengan menjamurnya berbagai akun media sosial maupun blog yang menawarkan konten-konten yang menarik. Meskipun mudah untuk menyebarluaskan, tetapi sayang sekali bila karya-karya ini pada akhirnya hanya berserakan begitu saja di dunia maya. Kehadiran rilisan dalam bentuk fisik kemudian menjadi suatu kerinduan tersendiri. Menurut beberapa penuturan, alasannya sederhana saja, “ada romantisme sendiri dari sentuhan yang ditimbulkan oleh bentuk fisik dari suatu karya.� Pada kesempatan kali ini, Blurg! ingin membahas mengenai dunia

19

penerbitan. Bahasan ini mungkin bisa menjadi infomasi baru atau ternyata jawaban atas pertanyaan kalian yang berencana untuk menerbitkan karyakarya kalian. Mungkin selama ini kita menganggap bila ingin menerbitkan karya harus melulu melalui penerbit mayor atau bahkan menerbitkannya sendiri. Masing-masing tentu memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri. Bila memasukkan karya ke penerbit mayor tentu akan memakan waktu antre yang cukup lama, mengingat jumlah naskah yang masuk tentu tidak sedikit. Bila menerbitkan sendiri (self-publishing), modal (materiil maupun non-materiil) menjadi pertimbangan tersendiri. Lalu bagaimana bila ingin menerbitkan karya dengan memaksimalkan kemampuan yang ada? Tenang, mungkin salah satu dari beberapa penerbit alternatif ini bisa menjawab segala kegelisahan kalian!


1. Barasub

Barasub melakukan eksplorasi bentuk karya sekuensial dengan teknik-teknik lainnya. Hasil eksplorasi tersebut dapat dilihat dalam proyek yang mereka beri nama Graos (buku ilustrasi), Eniz (zine), dan screening yang tefokus pada karya sekuensial. Bahkan Barasub berencana untuk merambah dunia mural sebagai salah satu metode mereka berkarya yang diberi nama Dinding Dengung Barasub Project.

Terbentuk tahun 2015 lalu, Barasub boleh dikatakan sebagai penerbit alternatif muda yang berbasis di kota Yogyakarta. Berawal dari kolektif yang seluruh anggotanya berkecimpung di dunia seni rupa, mereka kemudian membuat kompilasi karya sekuensial dalam wujud buku. Barasub percaya bahwa karya visual akan lebih kuat saat hadir dalam bentuk fisik dibandingkan melalui perangkat elektronik semata. Hal itulah yang kemudian menjadi pendorong hingga akhirnya Beringas vol. 1 muncul, sekaligus sebagai penanda kehadiran Barasub di dunia penerbitan. Hingga kini, Beringas sudah mengeluarkan volume keduanya, disamping itu,

Berawal dari kolektif tidak semerta-merta membuat mereka menutup diri. Tujuan hadirnya Barasub justru ingin menjadi suatu wadah bagi teman-teman yang memiliki ketertarikan khusus pada karya sekuensial. Hal ini dapat dilihat dari salah satu program yang diberi nama Sowan, program kunjungan studio. Keterbukaan Barasub pun dapat dilihat dari bagimana mereka mempublikasikan karya-karya mereka. Hal ini tergambarkan jelas melalui aksi mereka saat peluncuran karya dan pemasarannya. Salah satu yang menjadi ciri khas adalah LaIl (Lapak Ilegal), sebuah aksi ‘berdagang’ tanpa izin di tempat-tempat yang tak terduga.

20


FACT UP!

2. Tan Kinira

“Jalmo iku tan keno keniro,� pepatah yang berarti “manusia itu tidak dapat ditebak atau dijengkali� tersebut kemudian mengilhami pemilihan nama Tan Kinira. Nama tersebut dipilih karena lahirnya Tan Kinira dikarenakan hal-hal yang tidak terduga. Berawal dari keinginan untuk menerbitkan buku sendiri, Lelaki Budiman kemudian mencoba untuk menerbitkan buku sendiri. Merasakan sendiri bagaimana sulitnya untuk menerbitkan buku membuat Lelaki Budiman kemudian memutuskan untuk membangun penerbitan kecilnya sendiri. Tujuan awalnya tentu saja untuk membantu menampung para penulis yang menghadapi kesulitan yang sama. Berorientasi pada proses pembuatan, Tan Kinira memiliki cara yang berbeda dibandingkan penerbit mayor kebanyakan.

21

Keterlibatan penulis, penerbit dan setiap individu yang membantu kelahiran suatu karya menjadi hal penting. Komitmen menjadi kunci lahirnya sebuah karya dari Tan Kinira. Pola kerja semacam ini kemudian membuat Tan Kinira mampu menghasilkan karya-karya yang tak terduga, karena Tan Kinira pun membebaskan setiap yang terlibat untuk bereksperimen sebebas mungkin. Beberapa orang mungkin menganggap jumlah terbitan yang sedikit menjadi salah satu kelemahan bagi percetakan. Namun dengan jumlah yang sedikit ini justru kemudian bisa dijadikan kekuatan, sebutlah pemberian sentuhan personal pada setiap eksemplar yang diterbitkan. Hal ini membuat hubungan antara penerbit dan pembaca tidak sekedar menjadi hubungan transaksional, akan tetapi lebih dari itu. Seperti apa yang menjadi pegangan Tan Kinira selama ini, “satu halaman banyak teman� yang juga sejalan dengan nama Tan Kinira sendiri, memungkinkan munculnya hal-hal yang tidak terduga sebelumnya.


3. Indie Book Corner berkeinginan untuk mengubah pola pikir bahwa menerbitkan karya itu sulit. Besar keinginan Indie Book Corner untuk meningkatkan semangat menulis agar kelak bermunculan bibit-bibit penulis baru yang mampu menyegarkan dunia perbukuan.

Berdiri sejak 2009 lalu, Indie Book Corner bisa dikatakan sebagai salah satu pionir dalam dunia penerbitan alternatif. Kemuculan Indie Book Corner pada awalnya diakrenakan Irwan Bajang, penggagas Indie Book Corner, menemukan naskah-naskah potensial yang sayangnya tidak bisa diterbitkan oleh tempatnya bekerja kala itu. Merasa sayang dengan karya-karya yang terbengkalai kala itu, Mas Bajang kemudian memutuskan untuk membuat sebuah penerbitan yang kelak dapat menampung karya-karya semacam itu. Indie Book Corner

Kolaborasi menjadi kunci utama dari Indie Book Corner. Kolaborasi yang dilakukan Indie Book Corner bukan sebatas antara penulis dengan penerbit, tetapi antar sesama penerbit. Kunci inilah yang kemudian dapat membuat Indie Book Corner bertahan hingga sejauh ini di tengah banjirnya penerbitan alternatif di Yogyakarta. Bentuk kolaborasi ini juga diterapkan dalam proses pembuatan suatu buku, di mana akhirnya hubungan antara penulis dan penerbit tidak hanya sebatas teman bisnis. Di IIndie Book Corner, penulis diajak untuk terlibat secara utuh dalam proses kelahiran bukunya dan segala kebutuhan yang menyangkut buku bisa disesuaikan dengan kebutuhan penulis itu sendiri. Untuk kalian yang berminat menerbitkan karya, Indie Book Corner atau Orbit yang merupakan anak dari Indie Book Corner sendiri, bisa menjadi pertimbangan.

22


FACT UP!

4. RAR Edition

Bermula dari sebuah komunitas yang kemudian berkembang menjadi sebuah penerbitan, kira-kira seperti itulah gambaran singkat mengenai RAR Edition. Berawal di tahun 2012, salah komunitas street art di Magelang kemudian memutuskan untuk membuat sesuatu yang lebih, hingga akhirnya tercetuslah ide untuk membuat semacam majalah. Kala itu, Yonaz beserta Ismed dipercaya untuk memimpin proyek ini. Kepercayaan dari teman-temannya, mendorong Yonaz dan Ismed untuk meneruskan proyek ini ke arah yang lebih serius. Di tahun itulah, pertamakalinya RAR Edition, yang dulunya bernama RAR Funzine, terlahir.

23

Ketika ditanyai mengapa akhirnya memilih nama RAR, Yonaz mengaku ia mengaku nama tersebut muncul karena kedekatannya dengan perangkat lunak winRAR yang kerap digunakan. WinRAR, perangkat lunak pengarsip data tersebut kurang lebih menggambarkan bagaimana pola kerja RAR Edition selama ini. RAR Edition berusaha mengumpulkan temanteman dari berbagai latar belakang untuk kemudian disatukan dalam sebuah karya. Hal ini pun terus dilakukan dengan metode yang lebih segar. Berbagai program yang telah dirancang oleh RAR Edition memiliki satu tujuan yang sama, mengumpulkan dan memberikan peluang bagi temanteman yang selama ini belum ‘terlihat’. Bisa dikatakan, RAR Edition adalah penerbitan yang eksploratif, baik dari segi karya, metode dan pelaku di balik layar kemunculan sebuah karya. Konsisten, eksploratif dan terbuka, agaknya tiga kata ini cukup mewakili dan menjadi ciri khas dari RAR Edition.


FACT UP!

Empat dari sekian banyaknya penerbitan alternatif di Yogyakarta mungkin tidak seberapa. Akan tetapi, kehadiran penerbitan-penerbitan ini telah mendorong banyak orang untuk mulai dan tetap berkarya. Gaya, metode dan pola kerja mungkin berbeda, tetapi semangat yang ingin disampaikan tetap sama. Jadi, tunggu apa lagi? Segera siapkan karya kalian dan terbitkanlah agar semakin banyak lagi karya yang bisa dinikmati dan kelak menginspirasi kemunculan karya-karya baru di masa yang akan datang. Buang jauh-jauh segala kekhawatiran! Karena banyak teman-teman penerbit yang siap untuk membantu kalian! Teks: Frida Sibarani & Hans Farel Reza

24


25


instagram.com/KursusFisika soundcloud.com/kursus-fisika youtube: Kursus Fisika Band email: kursusfisika@gmail.com

26


WATCH OUT!

Saat media sosial dapat dimanfaatkan dengan baik, maka banyak hal baik pula yang akan datang. Gil Chandra secara tak sadar mengajari kami tentang hal ini. Ia mengaku, Kursus Fisika berawal dari forum yang ia buat di media sosial bernama Secret (RIP) untuk menyalurkan hasratnya dalam bermusik. Band yang dibentuk awal 2016 ini mengaku banyak terinspirasi oleh Nirvana, Sonic Youth, The Smashing Pumpkins dan juga Yuck. “Sekumpulan pelajar yang bolos dari kelas fisika untuk bermain musik di studio yang terletak di belakang bangunan bimbel tempat di mana mereka kursus” kirakira seperti itulah latar belakang dari pemilihan nama Kursus Fisika. Kursus Fisika menyuarakan suara generasi muda yang “tersisih” lewat lagu berjudul “Grow & Growl.” Di lagu ini, Kursus Fisika mengajak mereka yang “berbeda” untuk tetap berani menjadi diri sendiri. “I Don’t Mind” dan “Reverse” adalah beberapa lagu lain mereka yang bisa dinikmati di panggung-panggungnya. Meskipun belum memiliki banyak materi lagu, Kursus Fisika cukup aktif dalam meninggalkan jejaknya dari panggung ke panggung. Di usianya yang terbilang masih muda, mereka sudah pernah menjajal panggung Festival Kesenian Yogyakarta dan beberapa gigs bergengsi lain. Lewat hentakan musik kencang dan performa atraktifnya, Kursus Fisika tak pelak menumbuhkan benih-benih cinta di dalam hati mereka yang pernah menjadi saksi aksi panggungnya, termasuk kami. Maka dari itu, kali ini kami nobatkan Kursus Fisika sebagai band yang harus diwaspadai keberadaannya. Saksikan saja keajaiban mereka secara langsung di panggung-panggung mereka berikutnya dan beri penilaianmu sendiri untuk Kursus Fisika. Percayalah, mereka seru! (Kanosena Hartadi)

27


RAMMSTEIN, SEHNSUCHT Ranah industrial metal semakin ramai pada 1997 silam, ketika Rammstein dengan agresifnya merilis Sehnsucht dengan bekal lagu-lagu yang lebih heavy dan “marah” jika dibandingkan dengan album pertamanya. Sehnsucht sendiri merupakan album kedua setelah album debut pertama mereka Herzeleid yang dirilis pada tahun 1995 dan membawa mereka masuk dalam daftar performer di Family Values Tour bersama Korn, Limp Bizkit, Ice Cube, dan Orgy. Dengan track demi track yang disusun dengan jitu dari track awal ke akhir, Sehnsucht menyuguhkan distorsi-distorsi raw dengan paduan synth ala Rammstein. Contoh saja track jawara dalam rilisan ini seperti “Du Hast” dan “Buck Dich” yang tanpa basa-basi mengantarkanmu menuju gerbang kericuhan ala Rammstein. Untuk kalian yang cenderung lebih menyukai nomor-nomor yang agak pelan, tenang saja karena Sehnsucht-pun menyuguhkan nomor-nomor dengan nuansa “soft” tentunya dengan paduan agresifitas tinggi pada “Klavier”, “Engel”, dan “Alter Mann”. Mungkin beberapa dari kita akan merasa kesulitan untuk memahami lirik-lirik yang mereka tulis dalam bahasa Jerman. Meski sudah banyak yang menanyakan kepada mereka jika alangkah baiknya jika Rammstein membuat beberapa lagu menggunakan bahasa Inggris, namun tetap saja, band yang terkenal dengan stage act berbahaya ini sama sekali tidak berkeinginan untuk menulis lagu dalam bahasa Inggris. Seperti yang pernah dinyatakan oleh sang vokalis, Till Linderman, “Rammstein tidak akan pernah menulis lagu dalam bahasa Inggris, itu sama saja dengan menyuruh Buddha untuk membunuh seekor babi.” (Putri “Punyan” Halida)

28


MUSIK

YUME, CHAMOMILE “Ini hanya sebuah alunan nada ‘tuk ucapkan selamat tidur” lantun Yuwan Julianingtias yang sekaligus menandai dimulainya dongeng sebelum tidur pada track pembuka Yume yang berjudul “Nyanyian Sebelum Tidur”. Kurang lebih seperti itulah isi dari Yume, sesuai dengan yang digambarkan oleh cover album dari rilisan ini dan lantunan Yuwan Julianingtias pada nomor pembuka tersebut. Rilisan yang cocok untuk didengarkan sebelum tidur ini merupakan debut dari tiga pemuda-pemudi asal Malang yang memutuskan untuk bercerita dan bermain musik bersama di bawah nama Chamomile. “Yume” yang dalam bahasa Jepang berarti “mimpi”, bercerita mengenai seorang bocah bernama Lucy dan perjalanannya dalam negeri mimpi. Dalam petualangannya ini, Lucy mendapat berbagai macam pelajaran-pelajaran berharga dari orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan, sampai pada akhirnya Lucy teringat kembali akan rumah dan memutuskan untuk segera kembali pulang demi memenuhi rasa rindunya akan rumah. Secara keseluruhan, Yume dikemas secara manis dan sederhana selayak cerita dalam buku-buku dongeng yang biasa diceritakan oleh seorang ibu kepada anaknya sesaat menjelang waktu tidur. Selayak sebuah dongeng yang memberikan rasa nyaman, Yume juga menggelitik dan menggoda pendengarnya untuk turut serta bernyanyi dan bercerita bersama Chamomile. Sebelum akhirnya kita semua terlelap dan beranjak pergi mengikuti ajakan Lucy untuk ikut serta bermain-main dalam perjalanan di dunia mimpinya. (Korporatvampir)

29


MUSIK

KINDRED, PASSION PIT Jika musik elektronika dengan nada-nada manis dan menyenangkan adalah jenis musik kesukaan kalian, maka kami menyarankan untuk mendengarkan rilisan ketiga Passion Pit yang bertajuk Kindred. Meski rilisan ini tidak terdengar se-optimistik rilisan Manners maupun se-melankolis rilisan Gossamer, Passion Pit berhasil menyuguhkan komposisi yang seimbang antara kedua atmosfer tersebut pada Kindred. Michael Angelakos dkk., berhasil mengemas Kindred menjadi rilisan yang cukup emosional dan ekspresif. Sebuah rilisan yang memberikan penyegaran, khususnya bagi penikmat musik electropop. Tenang saja, karena kalian tidak akan dibuat diabetes oleh suara-suara manis yang berlebihan dari synth dan lirik-lirik pada rilisan ketiga dari Passion Pit ini. Dalam Kindred, mereka telah menakar komposisi musiknya secara seimbang. Sebut saja nomor “Where the Sky Hang� di mana melodi-melodi santai dilantunkan dengan iringan glockenspiel yang membuat nomor ini terasa cukup sulit untuk menghilang dari ingatan. Paradigma musik pop yang biasanya hanya membutuhkan sedikit perhatian untuk bisa diresapi, tidak berlaku bagi Passion Pit yang meminta perhatian lebih dari pendengarnya untuk bisa memahami pesan-pesan yang tersirat dalam nuansa manis dari musik yang dimainkan. Secara keseluruhan, Kindred cukup menarik untuk didengarkan, dengan trademark vokal falsetto ala Michael Angelakos dan dominasi nada-nada synth-pop yang masih menjadi menu utama di dalam rilisan ini. (Hans Farel Reza)

30


“Parahita” Teduns (Teguh Setiarso) digital

31


“Kebahagiaan yang Lain?” “On the highest throne in the world, we still sit only on our own bottom.” Michel de Montaigne

32


OPINI

Kehidupan dengan ritme yang cepat dan tekanan dari arus pergerakan masyarakat yang deras seringkali mengambil secuil porsi kebahagiaan di hidup kita. Entah karena atasan yang terlewat menuntut, biaya hidup yang mencekik maupun karena romansa yang tak jelas kemana ujungnya. Segala problematika ini kemudian dijustifikasikan menjadi alasan utama nihilnya kebahagiaan dalam hidup. Pada akhirnya, dalam rangka mencari kebahagiaan, manusia rela untuk terbang jauh, berjalan melewati medan yang tidak mudah maupun sibuk dengan caranya sendiri untuk merumuskan peta menuju tujuan luhur tersebut. Namun, tidak sedikit dari mereka yang gagal.

tapi tidak bisa dipungkiri dunia yang kita tinggali saat ini memang menyodorkan konstruksi yang sedemikian rupa. Namun jangan salah, para bijak juga sudah mengemukakan gagasan mengenai pencarian kebahagiaan yang sudah absah.

Persoalan ini bukan hanya sekedar produk dari hembusan angin modernitas saja. Sejak berabad-abad yang lalu, banyak orang bijak yang sudah meramalkan efek samping dari ritme kehidupan repetitif yang akan membuat kita sebagai manusia kehilangan esensi dari kehidupan dan berubah menjadi bagian dari mesin biologis yang tersedot energinya oleh mesin yang jauh lebih besar, sebagai contoh; masyarakat dan korporasi. Saya tidak ingin memperdepatkan masalah ideologi,

33

Selain itu, kebahagiaan dewasa ini sudah terlalu dilekatkan dengan hal yang berbau dengan materialisme konsumerisme dan kebahagiaan yang didapat selain itu hanyalah semu. Seseorang bisa dianggap berbahagia hanya jika ia telah berhasil mencapai tingkat ekonomi tertentu, membeli barang yang dianggap prestise oleh khalayak dan pergi berlibur ke tempat yang dianggap “wah� pula. Pemikiran seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah untuk ditemukan dan memang sudah lama ada di masyarakat. Konstruksi sosial dan ekonomi yang dibentuk sedemikian rupa mungkin bisa menjelaskan mengapa paradigma kebahagiaan yang seperti ini bisa ada dan tetap bertahan. Konstruksi ekonomi yang mengarahkan kita untuk terus berpacu demi mendapatkan hal-hal yang kita inginkan, tetapi belum tentu kita butuhkan. Keinginan demi keinginan yang terus menumpuk menjadi obsesi dan akhirnya bertransformasi menjadi


OPINI

gaya hidup. Gaya hidup yang secara ideal mendambakan kebahagiaan yang pada kenyataannya hanya memberikan ilusi fatamorgana saja, karena manusia tidak akan mencapai tujuan tersebut dan terus-menerus harus hidup di dalam kotak yang penuh tekanan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu harus selalu dikaitkan dengan “kemapanan� hidup? Jika memang seperti itu, mengapa kita masih bisa melihat senyuman di muka para petani dan pengendara becak itu? Seorang bijak pernah berkata, hal yang bisa diharapkan untuk mengisi kehampaan ini adalah seni dan kebudayaan. Dimana manusia bisa merekonstruksi, mereplikasi dan mengekspresikan ide dan pemikiran liar mereka yang terbelenggu selama waktu kerja. Secara saintifik, seni juga sudah terbukti dapat menciptakan kebahagiaan. Bagaimana bisa? Proses kreatif dalam proses penciptaan karya seni dapat meningkatkan produksi hormon endorfin, hormon yang bertanggung jawab atas rasa bahagia di dalam tubuh.

Mungkin langkah awal dari menjadi bahagia bisa diawali dengan mengilhami ulang arti dan definisi dari kebahagiaan itu sendiri. Apakah definisi kebahagiaan yang selama ini tertancap di dalam pikiran khalayak benar benar mebahagiakan? Satu rahasia yang disampaikan oleh seorang bijak dari negeri Perancis dalam menjaga kebahagiaan adalah menyadari dan menerima dengan sepenuhnya bahwa kita adalah manusia yang bodoh. Arogansi yang menganggap diri lebih besar dari gunung dan lebih bijak dari pohon sering membutakan. Pada akhirnya, menertawakan kenaifan dan keluguan kita, kejahilan lain yang ditawarkan oleh realita kehidupan dan bumbu indahnya seni bisa menjadi jalan keluar dari hingar-bingar kehidupan. Teks: Rangga Eka Sakti Ilustrasi: Doni Singadikrama

34


“Femme Sensualité” A. Dwi Prasetyo fotografi 35


HOW YOU CREATE YOUR OWN HAPPINESS?

Kebahagiaan tak melulu sulit digapai seperti ambisi Hari Tanoe dalam memenuhi hasrat politiknya, tapi kebahagiaan bisa juga dengan mudah ditemukan sesederhana salah satu teman kos-mu yang baru saja menonton post video terbaru dari vlogger favoritnya.

36


GALERI

Jadi, definisikan sendiri kebahagianmu dalam standar, ukuran dan bentuk yang paling sesuai dengan kondisimu masing-masing. Kebahagiaan harusnya dibuat, bukan dicari. Teks dan foto: Angga Y. Saputra

37


WOMEN Penerbit : Black Sparrow Books Cetakan Pertama : 1978 Pengarang : Charles Bukowski Tebal Buku : 291 Halaman Women merupakan sebuah bagian dari trilogi karya Charles Bukowski, disamping Ham on Rye dan Post Office. Di dalam buku ini, Bukowski menceritakan babak ketiga dari perjalanan hidup Henry Chinasky, seorang penulis yang tengah menikmati manisnya hidup ala rock ‘n roll setelah puluhan tahun hidup dirundung nestapa. Alkohol, seks dan narkoba menjadi sahabat setia sang tokoh utama yang dikisahkan telah berusia kepala lima. Dalam gemerlap hidupnya, segala nikmat dari pergumulannya dengan nama demi nama dan bahkan pengakuan atas karyanya yang telah lama ia perjuangkan, apakah semuanya akan berarti? Klise. Meskipun buku ini tergolong sebagai karya fiksi, banyak yang mengasumsikan bahwa Bukowski, baik secara sengaja atau tidak, telah memasukkan sepenggalan kehidupan pribadinya ke dalam karyanya yang satu ini. Mungkin karena itu, buku ini menjadi sangat kuat dengan kejujuran dan kenaifannya. Dengan banyaknya seksualitas dan adiksi, banyak yang memandang buku ini hanya dari segi konten dewasanya saja. Padahal sejatinya, karya dari Bukowski ini menyampaikan hal yang sangat mendasar dari keadaan psikologis seorang manusia. Tidak, buku ini tidak dengan banalnya berbicara tentang seks, ketelanjangan dan buah dada saja. Buku ini berbicara tentang obsesi yang mengkronis hingga adiksi dan hilangnya kendali atas kehidupan karenanya.

“And yet women-good women--frightened me because they eventually wanted your soul, and what was left of mine, I wanted to keep.� - Charles Bukowski (Rangga Eka Sakti)

38


BUKU

PENDIDIKAN JASMANI DAN KESUNYIAN Penerbit : EA Books Cetakan Pertama : 2016 Pengarang : Beni Satryo Tebal Buku : 58 halaman Mencari bahan bacaan ringan sebagai jeda diselasela koleksi buku Haruki Murakami milikmu? Mungkin Pendidikan Jasmani dan Kesunyian karya Beni Satryo ini bisa jadi pilihan. Jangan terkecoh dulu dengan sampul merah putih dengan ilustrasi anak SD yang sedang melakukan salah satu gerakan SKJ, Pendidikan Jasmani dan Kesunyian bukanlah buku yang menyajikan langkah-langkah cooling down setelah berolahraga maupun gerakan senam pembakar lemak, meski kegunaannya hampir sama. Bedanya, buku ini akan membakar kekakuan otot senyum kamu dengan perbendaharaan kata dan humor absurd khas Beni Satryo. Beni berhasil membuat puisi-puisi mengenai love life menjadi lebih dekat dengan kita dengan menggunakan kata ganti benda yang biasa kita temukan di kehidupan seharihari, seperti; ronde, pecel lele, permen yupi, sayur asem dan lain lain. Entah apakah karena latar belakang Beni adalah anak filsafat yang konon “katanya” suka mengajak semua benda mati untuk berbicara atau karena memang Beni adalah pujangga indie yang memiliki bakat spesial dalam membuat puisi-puisi yang tidak membosankan. Tidak sering kita temukan pujangga pujangga “miring” seperti Beni. Karyanya ini adalah contoh satu dari sekian banyak penyair nyeleneh tanah air yang berhasil menjual karyanya ke publik. “Nietzsche dan Perempuan Berhati Pos Ronda,” “Di Pantura,” “Klepon” dan beberapa judul lain mungkin membuat anda penasaran seperti apa isinya. Dari sekelebat sampai sekelumit permasalahan hidup terurai dari judul-judul puisi Beni di buku ini. (Putri “Punyan” Halida)

39


BUKU

KELAHIRAN LAIN Penerbit : Jargon Books Cetakan Pertama : 2011 Pengarang : Shafiq Halim, Aedi Asri, Rasyidah Othman, Tramizi Hussin, Wan Nor Azriq, Zulwaqar Akram, Ainunl Muaiyanah Sulaiman, Daniyal Kadir , Hud Hanafee, Nadrah Mustafa Tebal Buku : 140 halaman Kelahiran Lain muncul dengan gaya yang tidak lazim. Bagaimana tidak, pada jaket buku yang melapisi buku ini tak ada keterangan apapun, hanya terdapat foto dari dua orang lelaki setengah telanjang yang dibalut oleh kain berwarna merah. Buku ini berisikan sepuluh cerpen yang ditulis oleh sepuluh penulis muda Malaysia yang diberi judul “Kelahiran 1”– “Kelahiran 10” tanpa keterangan nama pengarang. Tidak berhenti sampai disitu, gaya penulisan gaya penulisan yang beraneka ragam pun akan mengejutkan pembaca, belum lagi plot yang tidak kalah menariknya. Senada dengan judulnya, Kelahiran Lain menghadirkan cerita-cerita seputar kehidupan. Terasa dekat namun asing, kurang lebih begitulah gambaran tentang cerita-cerita yang dihadirkan oleh buku ini. Terasa dekat karena cerita yang dihadirkan datang dari pergumulan sehari-hari, sekaligus terasa asing karena pergumulan yang diangkat merupakan pergumulan yang biasanya disangkal. Dengan nuansa yang gelap dan misterius yang dibangun, tidak menghalangi Kelahiran Lain menjadi bahan bacaan yang mencerahkan. Kehadiran penulis-penulis muda ini seakan menjadi oase bagi kesusasteraan melayu. Kelahiran Lain menyuguhkan ‘Keliar-an’ khas anak muda, bukan hanya dari sisi alur cerita, penokohan dan gaya bahasa saja, akan tetapi juga tampilan visualnya secara keseluruhan. Sebuah buku yang mencuri perhatian dengan caranya yang sederhana. (Frida Sibarani)

40


41


Pilgrimage

(bagian 2-selesai) Sepekan sebelum hari suci tiba, eik akhirnya mendapatkan tiket konser dengan harga yang cukup miring, dari seorang teman. Senangnya hati ini mengetahui bahwa akses menuju ritual yang eik anggap sakral ini sudah berada di tangan. Tapi ada masih ada satu hal lagi yang eik lupa pada waktu itu, tiket menuju Jakarta! Sialnya, eik baru sadar hal itu ketika minus beberapa hari menjelang hari suci! Sialnya lagi, tiket kereta (satu-satunya pilihan yang pas untuk bepergian nyaman dengan harga yang terjangkau) ke Jakarta waktu itu sudah ludes terjual! Maka dengan kuasa “the power of kepepet,� tercetus sebuah ide untuk pergi ke Bandung dahulu, kemudian menggunakan jasa bus travel untuk melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Karena Bandung tidak jauh-jauh amat dari Jakarta dan memang satu-satunya tiket kereta yang tersedia waktu itu adalah tiket berdestinasi ke Bandung. Toh, setelah dipikir-pikir, tiket Bandung+Travel+Tame Impala+Pulang-ke-Jogja lebih murah

42


JURNAL YANTO

ketimbang tiket langsung menuju Jakarta. Wow, pilihan yang cukup cerdas. ‘Yanto does it again’. Eik tiba di stasiun Kiaracondong pada pukul 03.40 di hari Jumat 29 April 2016. Kopi dan mie instan menyambut kedatangan eik di kota ini. Saat itu hasrat untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia modern pun muncul yaitu, mengisi daya baterai ponsel, ya ya ya. Dijadwalkan keberangkatan travel menuju Jakarta adalah pukul 2 siang. Masih banyak waktu yang harus dilewati di kota “Seribu-distro” ini. Setelah daya baterai telah penuh terisi, eik mulai meninggalkan stasiun. Mencoba menjelajahi daerah sekitar itu. Tetapi ‘Pagi terlalu pagi’ (terimakasih Payung Teduh) dan rasa malas masih menyelimuti, maka eik memutuskan untuk istirahat sejenak di sebuah warung Tegal. Hal berikutnya yang biasa dilakukan oleh seorang pengelana ketika singgah ke sebuah daerah adalah mencari potensi-potensi lokal via aplikasi Tinder. Wajah-wajah yang muncul menjadi salah satu parameter eik untuk mengetahui sejauh mana “potensi” daerah tersebut, hehehe. Setelah dirasa tak ada yang menarik, akhirnya eik memutuskan untuk tidur.

43

Eik terbangun pada pukul 09.30 dengan kondisi headphone menyala. Babies dari Pulp menjadi encore dari setlist “ninabobo” eik. Setelah membayar jasa makan (dan tidur, tentunya) eik melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot. Selain murah dan tersebar dimanamana, angkot adalah sarana tepat untuk berinteraksi dengan penduduk lokal. Hikmah dari bepergian sendirian adalah eik bebas untuk kemana saja dan melakukan apa saja. Tidak perlu berkompromi dengan orang lain, yang terkadang memakan waktu dan menguras energi. Solitude is Bliss katanya, kesendirian ini membuat eik untuk belajar berdamai dengan diri sendiri. Ketenangan yang dihasilkan ketika sendirian ini biasanya dapat membantu untuk berpikir lebih jernih. Walau terkadang bepergian ramai-ramai juga seru. Duaduanya sebenarnya tak masalah buat eik. Mungkin karena memang dasarnya eik ini “yes man” dan selalu mencintai takdir, sehingga eik susah untuk merasakan kesusahan. Syukurlah eik memiliki “kelebihan” tersebut. Setelah puas berkelana, pukul 1 siang eik sampai di kampus UNISBA. Tempat dimana rombongan “jamaah” Tame


Impala dari Bandung berkumpul. Pertemuan tersebut diatur oleh jasa travel bernama Yong-Boyong. Jasa travel yang memang secara khusus melayani para concert-goers dari kota Bandung ini sudah seringkali membuat agenda perjalanan ke festival-festival musik, yang kebanyakan berlangsung di Jakarta. Mereka mengantarkan penumpang dari Bandung sampai ke venue festival, hingga kembali lagi ke Bandung. 150 ribu Rupiah, adalah mahar yang harus dibayar untuk jasa tersebut. Harga yang menurut eik sangat sepadan. Karena selain diantarkan sampai tujuan, dengan harga segitu eik sudah mendapatkan snack dan air minum, pengalaman serta teman-teman baru. Mereka yang mempunyai kesamaan destinasi, tujuan, dan juga (mungkin) rasa. Orang-orang yang “serupa.”

yang harus dihindari bagi pengguna lalulintas, bagaimana tidak? Menurut estimasi rombongan eik harusnya sudah sampai di Senayan pada pukul 18.00, tetapi kami baru bisa menginjakkan kaki di “tanah suci” tersebut baru pada pukul 21.00. Sementara, konser dijadwalkan mulai pada pukul 20.00. Woyo-woyo. Kami terlambat satu jam, untungnya tiada yang begitu mempermasalahkan. Toh, kami “hanya” melewatkan Barasuara yang menjadi band pembuka pada ritual suci tersebut. Bukannya eik tidak suka dengan supergrup yang digawangi Iga Massardi cs itu. Tetapi memang bukan merekalah yang eik tunggu-tunggu, melainkan Tame Impala. Toh, eik juga sudah pernah menonton mereka di Jogja.

Sepertinya budaya ngaret masih dilestarikan dalam dunia jasa transportasi. Seharusnya kami berangkat dari UNISBA tepat pada pukul 14.00, bus baru mulai bergerak satu jam setelahnya. Cukup meleset dari waktu yang dijadwalkan memang. Jarak Bandung ke Jakarta via tol Cipularang memakan waktu sekitar 3 jam. Akhir pekan di kota metropolitan adalah hal

Sementara Menunggang Badai dimainkan oleh Barasuara, rombongan kami segera bergegas berjalan kaki menuju venue, setelah kami diturunkan di tengah jalan, mengingat macet yang kami hadapi di jalan yang tak jauh dari Senayan. Tepat saat Barasuara memainkan lagu terakhirnya, Bahas Bahasa, rombongan peziarah ini sudah berada di pintu utama untuk menukarkan tiket. Saat itu eik dan

44


JURNAL YANTO

beberapa teman sesama peziarah bisa bernafas lega. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu akan tiba. Tame Impala membuka set-nya dengan Intro, mengiringi eik yang saat itu berusaha mendapatkan posisi menonton yang nyaman, di spot tengah. Bisa ditebak, adegan senggol-senggolan menembus kerumunan dan “permisi-mas, permisimbak” demi mendapatkan spot impian pun rela eik lakoni. Setelah lega mendapatkan tempat yang tepat, Let it Happen dimainkan. Dilengkapi dengan sorak-sorai “jamaah” dan semburan confetti. Seketika eik dibuat takjub dengan segala sajian di “ritual” ini. Seketika itu pula eik dibuat takjub dengan sebuah fenomena ponsel dan PC tablet yang diangkat serentak atas nama dokumentasi. Syit! Ternyata spot yang menurut eik ideal ini adalah lokasi bersemayamnya fotografer dan videografer dadakan. “Ah, orang kan beda-beda. Mereka punya caranya masing-masing untuk menikmati sesuatu.

Mungkin mereka memang lebih suka menikmatinya dengan cara itu” klarifikasi eik dalam benak. Padahal eik membayangkan konser ini akan dipenuhi oleh kerumunan hippie dengan semangat cinta kasihnya berdansa aduhai mengikuti alunan musik – pemikiran dari seorang “korban” film Woodstock dan dokumenter lain tentang hippie dan kultur psikedelia. Tak sesuai ekspektasi – dan memang malam itu Expectation tidak dimainkan oleh Tame Impala, tak membuat eik lantas menyesal. Dengan segera eik berpindah tempat, mencari spot yang sekiranya lebih “manusiawi.” Nomor-nomor andalan dari album Lonerism akhirnya dimainkan. Mind Mischief dan Why Won’t They Talk to Me? berhasil memecahkan kerumunan yang mulai berjoget keasyikan. Eik sempat memberanikan naik ke pundak penonton didepan eik untuk melancarkan aksi “berselancar” diantara kerumunan. Sayang, aksi eik tersebut gagal. Mungkin karena beberapa orang disekitar eik belum terbiasa dengan hal tersebut. It’s Not Meant to Be adalah lagu selanjutnya yang dimainkan. Salah satu

45


lagu andalan dari album Innerspeaker yang melambungkan nama mereka di belantika musik dunia. Terlihat saudarasaudari “jamaah” muda “penyembah” album Currents tak banyak berkutik. Wajar, mengingat Tame Impala atau lebih tepatnya, Kevin Parker sedikit mengubah haluan musik mereka menjadi lebih pop dan dance-able di album Currents, yang sepertinya lebih mudah untuk dikonsumsi bagi generasi muda saat ini. Sementara, mungkin dua album Tame Impala terdahulu seperti Innerspeaker dan Lonerism dirasa tidak ‘seramah’ album terakhir tersebut. Tetapi tenang saja para “jamaah” muda, karena setelah itu lagu-lagu dari album Currents langsung mendapatkan porsi yang besar. The Moment, Yes I’m Changing, The Less I Know the Better, dan Eventually dimainkan secara berurutan, disisipi dengan Elephant. Yang sudah familiar di telinga penikmat layar kaca, melalui iklan salah satu merk ponsel yang menggunakan lagu tersebut sebagai latar musiknya. Apocalypse Dream dimainkan setelah Oscilly dan Why Won’t You Make Up Your Mind?. Perasaan eik diacak-

acak oleh salah satu lagu favorit eik ini. Nuansa senang bercampur sedih berhasil dimunculkan oleh Kevin Parker cs disini. Semerbak bau “misterius” pun seketika muncul. Bau substansi psikedelia yang memang sebenarnya sudah eik duga. Entah apapun itu dan dari mana asal baunya, semoga mereka bersenang-senang :) Setelah Apocalypse Dream rampung dikumandangkan, seketika Kevin Parker, Jay Watson, Dominic Simper, Cam Avery dan Julien Barbagello langsung meninggalkan panggung. Sebuah gimmick untuk encore. Tak lama berselang, para ‘jamaah’ yang memadati lapangan parkir Senayan tersebut sontak meneriakkan “Wiwawo! Wiwawo! Wiwawo!” Keinginan para “jamaah” tersebut segera diwujudkan oleh Tame Impala. Mereka kembali lagi ke atas panggung dan menyajikan sajian terakhir dari ritualnya. Mudah ditebak lagu yang akan dimainkan selanjutnya, adalah Feels Like We Only Go Backwards salah satu lagu terpopuler yang mereka pernah ciptakan. Koor masal pun terjadi, seluruh “jamaah” yang hadir di Senayan tak kuasa untuk tak menyanyikan lagu ini dengan lantang,

46


JURNAL YANTO

tanpa memperdulikan kualitas suara yang mereka punya. Confetti pun ditembakkan sekali lagi.

penonton sekaligus memberikan kredit pada band pembuka mereka, Barasuara – yang secara tak sengaja salah diucapkan menjadi Barasuari.

Tame Impala menutup ritual suci dengan segala keriaan fantastik ini dengan lagu bertempo pelan berjudul New Person, Same Old Mistake. Pemilihan lagu yang cukup membingungkan. Apalagi untuk sebuah sajian penutup. Ibarat sebuah perjamuan, sajian penutup atau dessert biasanya memiliki rasa yang manis dan menyegarkan. Alih-alih berasa manis dan menyegarkan, lagu ini malah membuat dinamika tempo yang berhasil dibangun sedemikian rupa oleh Tame Impala dari awal menjadi sedikit anti-klimaks. Terlebih lagu ini dimainkan tepat setelah Feels Like We Only Go Backwards. Ah, abaikan saja kebingungan eik ini. Terimakasih alam semesta, terimakasih Tame Impala, eik akhirnya sah menjadi “haji psikedelik” yang mabrur. Malam itu Tame Impala berhasil membahagiakan ribuan “jamaah” yang hadir di tempat. Sebeum meninggalkan panggung mereka memberikan pesan ke penonton untuk jangan lupa bersenang-senang. Interaksi kesekian Tame Impala ke penonton, setelah sebelumnya berusaha menyapa

Setelah “ritual” ini selesai, eik dan rombongan “peziarah” lain kembali ke bus untuk kembali ke Bandung – eik pulang

ke Jogja di keesokan harinya. Konser ini memberikan sebuah pengalaman spiritual yang pasti tak terlupakan bagi mereka yang hadir, termasuk salah satunya adalah eik sendiri.

47


JURNAL YANTO

Eik percaya, semua pengorbanan yang diberikan tidaklah sia-sia demi mewujudkan perjalanan ini. Waktu, tenaga, pikiran, dan juga harta-benda yang dikorbankan tidak ada apa-apanya dengan experience yang dialami. Dan tentu saja, gelar “haji” yang didapat. Menurut eik, sebuah pengalaman itu lebih berharga daripada hal yang bersifat materi. Adalah sebuah miskonsepsi jika temanteman menganggap uang bisa membuatmu selamanya bahagia. Sangat disarankan bagi teman-teman pembaca untuk sering melakukan hal-hal seperti ini. Hal yang membuat teman-teman merasa bahagia. Hal yang membuat teman-teman merasa lebih hidup. Tak perlu dalam bentuk yang sama, karena ‘ritual’ ini bisa berwujud apa saja, silahkan temukan ‘ziarah’ mu sendiri. Atas nama musik dan kebahagiaan, eik percaya :) Ditulis sembari mendengarkan No Joy dan The Radio Dept.

48


49

Jessica Justine Tabah kolase digital

“Jangan Foto! Tidak pakai Jilbab #3�


p e s ta pe nghanc ur an me s in f o to c opy

50


EVENT

Siapa yang menyangka bila acara XEROXED: Original Copy merupakan hasil dari obrolan “iseng” di waktu senggang. Seperti sebuah kebetulan, RAR Edition yang baru saja meluncurkan cetakan terbarunya sebulan sebelum diadakannya event XEROXED ini, bertemu dengan BARASUB yang memiliki rencana untuk meluncurkan karya terbarunya. Begitu pula dengan Amazing Forntier yang juga dalam proses penggarapan cetakan perdananya. Tiga penerbit yang diprakarsai oleh anak-anak muda ini kemudian membuat release party yang berbeda dari biasanya. XEROXED: Original Copy menghadirkan release party dengan semangat mudanya. Tajuk XEROXED sendiri dipilih karena cukup merepresentasikan kesamaan diantara ketiga penerbit ini, ketiganya sama-sama menggunakan mesin Xerox. Selaras dengan tujuan awalnya untuk menginformasikan bahwa mencetak karya itu mudah, release party ini kemudian berkembang menjadi sebuah acara workshop. XEROXED sendiri memiliki perbedaan diantara acara serupa, karena XEROXED sendiri tidak memangsa seluruh pasar zine. Acara ini hanya mengambil

51

bagian kecil dari dunia zine yang terbilang luas, yaitu funzine. Peserta workshop diajak untuk membuat sendiri zine mereka dengan menggunakan mesin Xerox yang juga dihadirkan dalam acara ini. Hadirnya mesin fotokopi ini membebaskan peserta untuk mengeksplor kemampuan mesin fotokopi untuk membuat karya. Hal ini sekaligus mematahkan pandangan terhadap mesin fotokopi yang selama ini hanya sebagai alat duplikasi dokumen. Rencana awalnya sendiri menginginkan zine buatan peserta workshop untuk turut dicetak sebanyak seribu eksemplar di hari yang sama. Namun, hal tersebut ternyata harus ditunda. Mengutip perkataan Yonaz dari RAR Edition mengenai hal ini, “Mesin fotokopi memang nggak ada batasnya, tapi manusia ada batasnya.” Selain workshop, XEROXED pun menghadirkan sebuah pameran yang bertempat di lorong gedung Sangkring. Pemilihan lokasi ini sebenarnya memiliki tujuan tersendiri. Dari awal, memang sengaja “mengincar” ruang galeri sebagai tempat diselenggarakannya acara, akan tetapi saat itu ruang pamer


EVENT

Sangkring kebetulan sedang dipakai untuk pameran lain. Lalu, tercetuslah ide untuk memindahkan ruang pamer ke bagian lorong. Selain itu, menurut penuturan Yonaz, lorong ini dipilih karena pertimbangan dimensi ruangannya yang terbilang cukup tinggi. Hal ini dapat memberikan efek dimana karya seakan mengungkung pengunjung yang hadir, sehingga secara tidak langsung menunjukkan kekuatan karya yang dibuat dengan mesin yang dianggap sebelah mata. Selain itu, dibuatnya pameran ini dikarenakan kedekatan para penggagas yang kebetulan semuanya berasal dari dunia seni rupa.

Bajraghosa dan Indra Menus yang memang sudah terlebih dulu masuk ke dalam dunia zine dan eksplorasi mesin fotokopi. Karena itulah, kedua tokoh ini kemudian diundang, bukan hanya untuk menulis, tetapi juga memberikan masukan kepada teman-teman yang hadir saat itu. Yonaz sendiri mengutarakan harapannya agar acara XEROXED ini dapat terus berlanjut dan berkembang. Tidak melulu dengan konsep yang sama, akan tetapi dengan eksplorasi yang lebih jauh sehingga dapat memunculkan ide-ide yang selalu segar. Teks: Frida Sibarani Foto: Angga Y. Saputra & Frida Sabarani

Dalam acara ini, teman-teman dari XEROXED menggandeng Terra

52


“Go” Aulia Azziawaty ink on paper 53


a sublime symphony

54

RING OF SONGS


EVENT

Hadir sejak tahun 2003, Paramabira, sebuah paduan suara dari mahasiswa Universitas Bina Nusantara telah sukses menggelar konser tahunan yang bertajuk Ring of Songs pada Agustus lalu. Bertempat di Semarang, tahun ini mereka turut mengajak Undip Choir dan Karangturi Choir untuk berkolaborasi dalam konser tahunannya. Suasana yang dibangun cukup mewah dan mereka tampil memukau pada malam itu. Ring of Songs dan konsep tema konsernya tahun ini berhasil menghipnotis pengunjung seakan berada di sebuah pertunjukan ala Broadway. Hal ini juga tercermin apik pada busana yang mereka gunakan. Warna kilau emas yang berpendar secara padu dengan lampu panggung turut mengentalkan semarak nuansa glamor. Repertoar yang terbagi dalam dua sesi berisikan delapan lagu yang dinyanyikan oleh Paramabira dan tiga lagu yang dinyanyikan oleh Undip Choir. Deretan lagu tersebut tentunya dipilih sesuai dengan tema.

55

Dimulai dari Paramabira dengan lagu dari William Byrd yang berjudul “Haec Dies” dan ditutup oleh Undip Choir dengan “Lamentation of Jeremiah” dari Randall Stroope. Pada awal sesi kedua, pengunjung disegarkan dengan kehadiran tim paduan suara dari Karangturi Choir yang anggotanya terdiri dari siswa sekolah dasar dan menengah. Karangturi Choir menyanyikan tiga lagu yang dua diantaranya adalah lagu dari musisi dalam negeri. Lagu dari Petrus Wahyu yang berjudul “Nyiur Hijau” dinyanyikan dengan lantang. Setelah itu dilanjutkan kembali dengan tim paduan suara Paramabira yang kembali membawakan semarak Broadway dengan lagu dari Mark Hayes yang berjudul “Love Is Here to Stay.” Pada sesi kedua, Paramabira dan Undip Choir bernyanyi dengan menggerakkan tubuh mengikuti irama swing dalam lagu-lagu pilihan mereka. Pergerakan tangan yang kompak dan serentak sama sekali tidak menghalangi Paramabira untuk tetap fokus dan stabil dalam


56


EVENT

bernyanyi. Panggung semakin nampak gemerlap dengan kilauan emas yang terpendar dari seragam Paramabira dan lampu panggung. Kemewahan tampak bersinergi dengan lembut saat Undip Choir dan Paramabira melebur dalam satu panggung menyanyikan lagu penutup. Dengan bimbingan seorang music director yang sejak tahun 1998 telah mewakili Indonesia dalam acara Youth Choirs di kancah nasional maupun internasional; Paramabira yang dibimbing oleh Rainier Revireino berhasil menyuguhkan kemegahan simfoni ala Broadway untuk para pendengarnya dalam konser tahunan Ring of Songs. Kepiawaiannya menyelaraskan Paramabira dan Undip Choir yang hanya berlatih dalam satu hari untuk menggarap salah satu lagu dari Mark Hayes yang berjudul “Theme from New York, New York,� membuat jarak yang terpaut antara Jakarta dan Semarang seakan sama sekali tidak berpengaruh. Paramabira dan Undip Choir sukses menutup malam itu dengan meriah dan mewah. Kedua tim bahkan tetap bernyanyi dengan semangat saat prosesi penyerahan bunga dilakukan, bahkan tanpa pedoman gerakan tangan darit Teks: Dessy RW Foto: Angga Y. Saputra

57


yang muda yang berjuang

58


EVENT

Galeri merupakan tempat yang menarik, baik bagi para seniman maupun para penikmat seni. Tidak hanya menjadi tempat di mana seniman bisa menampilkan karya mereka, tetapi masyarakat juga bisa secara “bebas� menikmati materi-materi seni yang jarang mereka dapatkan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk para seniman muda, memajang karya mereka di galeri bukanlah perkara yang mudah. Tidak sedikit seniman muda yang tidak bisa mendapatkan akses untuk mengekspos karya mereka ke publik melalui galeri karena alasan kurangnya jam terbang dan minimnya relasi. Hal ini kemudian menyebabkan tali antara seniman muda dan audiens mereka menjadi terputus. Melihat kondisi ini, Sangkring Art Space sebagai salah satu galeri di Yogyakarta, merasa bahwa seniman muda yang mempunyai potensi dan semangat yang meledak-ledak layak untuk diberikan sorotan yang lebih. Demi mewujudkan ini, Sangkring Art Space berinisiatif

membentuk panitia kecil yang berisikan 19 perupa muda untuk akhirnya bekerjasama dengan 26 perupa muda lainnya dalam membuat sebuah pameran kolektif bertajuk Perupa Muda. Proses yang harus dilalui oleh para partisipan tidak bisa dibilang mudah. Mereka harus berkompetisi dengan puluhan perupa muda lainnya yang juga sama sama berjuang agar karyanya dapat dipilih. Integritas mereka dalam berkarya dan kualitas karya mereka yang mumpunilah yang akhirnya membawa mereka beserta karyanya ke Bale Banjar Sangkring Art Space. Dibawah bimbingan seniman senior, seperti Yuswantoro Adi, pameran yang berlangsung dari tanggal 11 September sampai dengan tanggal 11 Oktober ini sukses dibuka dengan meriah. Tidak lupa, kemeriahan pameran ini juga ditambah oleh penampilan dari musisi lokal dengan kaliber yang sudah tidak diragukan lagi seperti Srinthil, Brightsize Trio, dan Ikhlas Experience. Dengan diadakannya pameran ini, diharapkan bahwa panggung seni

59


60


EVENT

rupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta, dapat lebih menggeliat lepas. Seniman “senior� juga diharapkan dapat legowo dalam membimbing dan memberikan kritisi terhadap perupa muda ini agar proses pematangan mereka dapat terakselerasi. Paradigma yang dapat membawa perpecahan seperti; utara dan selatan maupun tua dan muda semoga bisa lekas larut dengan semakin banyaknya event-event yang berniat untuk mempersatukan segala elemen seni. Tidak hanya itu, mari jadikan perhelatan ini sebagai salah satu milestone dalam perkembangan seni di Yogyakarta dan semoga semangat yang dibawakan mereka dapat menyebar dengan luas ke segala penjuru. Teks dan foto: Rangga Eka Sakti

61


62


WE ASK, THEY ANSWER

Yellow Fang merupakan trio asal Bangkok, Thailand yang dibentuk oleh Piyamas “Pym” Muenprasartdee, Praewa Chirapravati Na Ayudhya dan Pimporn “Pang” Metchanun saat mereka masih berkuliah di universitas yang sama. Berselang enam tahun setelah dibentuknya Yellow Fang pada 2008, mereka berhasil merilis album debut yang bertajuk The Greatest yang mana telah berhasil mengangkat nama Yellow Fang di skena musik Thailand. Ah, sudahlah basa-basinya, mari kita tanyakan mereka sesuatu.

Seni itu apa sih menurut kalian? Pang: Seni itu sebuah kebebasan. Menurut kalian, apa sih resep dari sebuah karya seni agar menarik? Pang: Kejujuran. Ya, mungkin ekspresikan dirimu sebebas-bebasnya. Praewa: Jangan pernah jadi orang lain. Bagaimana sih peran seni di kehidupan kalian? Praewa: Seni itu membahagiakan dan memberi warna di hidupmu. Pym: Seni membuat hidup menjadi lebih indah.

63


Pang: Sebagai sebuah pencerahan. Pym: Ya! Pencerahan! Apa / siapa sih inspirasi kalian? Praewa: Aku sangat menyukai Spice Girls. Aku sangat menyukainya ketika mereka bernyanyi bersama-sama. Keluargaku sendiri juga sangat menginspirasi, mayoritas dari keluargaku adalah seniman, seperti desainer, illustrator dan musisi. Jadi, aku rasa seni itu sendiri sudah mendarah daging di dalam keluarga, mungkin itu alasannya mengapa aku sangat menyukai seni. Pang: Fiona Apple, Mariah Carey dan Whitney Houston. Aku juga sangat menyukai Michael Jackson ketika aku masih kecil. Kurang lebih, aku sangat terinspirasi oleh mereka. Pym: Lauren Hill, aku sangat menyukai suaranya, lalu Nina Simone. Aku rasa dia sangat jujur saat sedang bernyanyi. Apa yang terakhir kalian dengarkan, baca atau tonton? Praewa: Album baru dari Frank Ocean yang berjudul Blonde. Baru saja kudengarkan pagi tadi. Pym: Buku terakhir yang aku baca adalah

1Q84 dari Haruki Murakami. Pang: Saat perjalanan kemari, aku mendengarkan Realize. aku rasa mereka berasal dari Manchester. Mereka mengingatkanku pada musik-musik era 90-an seperti The Stone Roses. Ya, musikmusik semacam itu. Setelah ini, apakah ada proyek lain? Praewa: Album baru! Pang: Setelah ini, kami akan berkolaborasi dengan band lain yang juga berasal dari Thailand. Kalian membayangkan diri kalian menjadi seperti apa di 10 tahun yang akan datang? Praewa: Sangat tua tentunya, hahaha! Aku rasa aku akan tetap bahagia seperti sekarang ini dan tetap bermain musik. Pang: Aku rasa aku akan tetap bermain musik dan mungkin album kedua kami baru akan dirilis 10 tahun mendatang, hahaha. Di mana sih tempat favorit kalian untuk melakukan proses kreatif? Praewa: Rumah. Aku memiliki studio sendiri di rumah, jadi kami biasa berlatih di

64


WE ASK, THEY ANSWER

rumahku. Kami biasa makan, mengobrol dan tidur di rumahku, sangat bebas dan rileks di sana.

Jika band kalian tidak sebesar ini, kalian membayangkan diri kalian menjadi apa? Pym: Aku akan tetap membuat perhiasan dan mengajari orang-orang bagaimana caranya membuat perhiasan, yang mana sudah aku lakukan saat ini. Praewa: Terkadang, aku menjadi DJ di acara-acara tertentu dan menyanyikan jingle-jingle untuk iklan. Pang: Aku pribadi adalah desainer paruhwaktu untuk salah satu brand fashion, aku juga mengorganisir acara-acara musik di Bangkok di bawah nama “Have You Heard?” yang merupakan salah satu music organizer di kota itu. Mungkin aku akan tetap melakukannya jika hal itu terjadi.

Pesan apa yang ingin kalian sampaikan dalam karya-karya kalian? Pang: Sebetulnya, musik kami bercerita tentang hal-hal yang sederhana. Akan tetapi sejujurnya, kami sangat tertarik dengan hal-hal yang berbau politik. Mungkin kedepannya kami akan menulis lagu-lagu berbau politik, tentunya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan politik, khususnya di Thailand sendiri. Apa yang akan kalian lakukan jika seseorang “mencuri” karya kalian? Praewa: Seperti meng-copy CD kami dan menjualnya secara ilegal? Mungkin kita masing-masing harus sama-sama sadar untuk menghargai hasil karya orang lain. Aku pribadi tidak begitu masalah jika karyaku dicuri, toh itu sudah sering terjadi. Aku rasa hal tersebut justru membuat karya kami lebih terdistribusi secara luas. Jika karya sudah terdistribusi secara luas, kami berharap hal itu bisa membuat orangorang keluar dari rumah-rumahnya untuk menyaksikan kami secara langsung.

65

Binatang apa sih yang mewakili musik kalian? Praewa: Ummm… Kucing. Pang: Yellow Fang adalah nama dari kucing kami. Jadi mungkin binatang yang cocok mewakili musik kami adalah kucing.

Teks: Korporatvampir Wawancara dan foto: Dea Karina


KEBUN BINATANG (2012) Sutradara Tanggal Rilis Dibintangi Oleh Durasi

: : : :

Edwin 15 Februari 2012 Ladya Cheryl, Nicholas Saputra 1 jam 35 Menit

Dikisahkan Lana (Lydia Cheryl), seorang anak perempuan yang sedari kecil ditinggalkan oleh orang tuanya dan dibesarkan di kebun binatang. Lana kemudian bekerja sebagai pengurus binatang, pembersih kandang sampai menjadi tour guide dalam kebun binatang ini. Dalam film ini juga diceritakan sudut pandang para tuna wisma yang mengalih-fungsikan kebun binatang sebagai tempat tinggal. Pada akhirnya, kebun binatang tak hanya menjadi tempat tinggal untuk binatang, tetapi untuk para manusia juga. Mungkin sesaknya Ibukota memaksa para tuna wisma ini untuk tinggal di sana. Edwin memberikan perspektif kebun binatang sebagai pusat berkumpulnya orang-orang dan binatang-binatang yang tidak mempunyai tempat tinggal di tempat yang seharusnya, yaitu binatang-binatang yang seharusnya tinggal di alam bebas dan manusia-manusia yang seharusnya tinggal di dalam sebuah rumah. Sampai pada akhirnya, para tuna wisma dipermasalahkan dengan persoalan bahwa mereka tidak boleh lagi tinggal di sana karena kebijakan dari pihak kebun binatang. Yang tersisa hanya Lana yang telah dipekerjakan oleh pihak kebun binatang sedari dulu, sampai kemudian muncul sesosok koboi misterius (Nicholas Saputra) yang pada akhirnya memiliki kedekatan dengan Lana. Semenjak pertemuannya dengan si koboi, kehidupan Lana menjadi sedikit berubah. Lana memiliki keseharian yang baru, dari menjadi penjual jamu sampai menjadi tukang sulap di sebuah tempat pijat “plus-plus�. Di sisi lain, si koboi juga memberikan pengetahuan baru untuk Lana, mengenai dunia luar yang keras. Kemudian, petualangan mereka berlanjut di sebuah tempat pijat bernama Planet Spa. Pada awalnya mereka diperkerjakan sebagai tukang sulap di tempat tersebut. Sampai kemudian si koboi menghilang dengan “trik sulap�-nya sendiri dan Lana yang ditinggal sendiri berakhir menjadi pekerja pijat di Planet Spa. Pada akhir film, terselip montase-montase dari kebun binatang yang mengingatkan kembali bahwa tempat Lana yang seharusnya adalah tempat ia dibesarkan, di kebun binatang yang telah ia tinggalkan sebelumnya. (Kevin Aldrianza) 66


FILM

ALL THE BOYS ARE CALLED PATRICK (1959) Sutradara Tanggal Rilis Dibintangi Oleh Durasi

: Jean-Luc Godard : 6 Mei 1959 : Jean-Claude Brialy, Anne Collette, Nicole Berger : 21 Menit

Saat berbicara mengenai gerakan sinema Perancis, salah satu yang terlintas adalah la nouvelle vague atau yang biasa disebut dengan French new wave. Gerakan sinema ini dimulai setelah perang dunia kedua usai. Di Perancis sendiri, sinema berkembang dengan cukup pesat, baik sebelum maupun setelah perang dunia kedua. Sebelum perang dunia kedua, kebanyakan pembuat film terpacu dengan sinema studio yang sesuai dengan namanya, kebanyakan dari film tersebut dibuat dalam sebuah studio. Setelah perang dunia kedua, muncul banyak gerakan sinema yang baru, terutama di Eropa. Film-film Eropa pasca-perang mempunyai karakteristiknya sendiri, termasuk Perancis dengan gerakan French new wave-nya. Dalam film pendek arahan sutradara Jean-Luc Godard dan penulis naskah Éric Rohmer ini, diceritakan dua orang wanita bernama Charlotte (Anne Collette) dan Veronique (Nicole Berger) yang bertemu dan menyukai seorang pria yang sama, yaitu Patrick (Jean-Claude Brialy), pada waktu yang berbeda dan dengan tujuan yang berbeda pula. Dalam film ini, tak jarang terlihat gerakan kamera yang mengikuti pergerakan pemain dan teknis perpindahan scene yang biasa disebut dengan teknik jump-cut. Gerakan kamera yang mengikuti pergerakan pemain ini dipopulerkan oleh para sutradara gerakan new wave dan merupakan salah satu karakteristik dari French new wave itu sendiri. Melalui film ini kita dapat mengetahui perkembangan sinema Perancis kala itu dan tentunya karakteristik dari French New Wave itu sendiri. Melalui film ini pula, kita akan melihat karakter dari Jean-Luc Godard pada film-film awal karirnya. Film ini bisa jadi merupakan cikal bakal dari film-film panjang besutan Godard, contohnya Breathless yang disebut-sebut sebagai film yang sangat fenomenal dalam konteks French New Wave. (Kevin Aldrianza)

67


If there were no potholes I wouldn’t draw on anything... The road is my canvas.

68


HAPPENED

Kreatif dan nyeleneh, dua kata tersebut cocok untuk merepresentasikan Wanksy. Seniman jalanan asal Manchester, Inggris ini memiliki caranya sendiri untuk mengakali lubang-lubang di jalanan, yaitu menggambarinya dengan gambar penis dan vagina. Aksi ini dilakukannya sebagai bentuk protes terhadapt kondisi jalanan di Inggris. Pasalnya, lubang-lubang yang terdapat di sepanjang jalan Manchester tersebut membuat beberapa temannya terjatuh dan terluka saat mengendarai sepeda. “Saya ingin mencuri perhatian, dan membuat seni saya dikenal oleh masyarakat. Salah satunya dengan menampilkan komedi bergambar penis yang melingkari lubang di jalan. Dengan itu, saya bisa membuat masyarakat tersenyum. Dengan cara ini pula, masyarakat terbawa untuk ikut memperhatikan permasalahan di jalan, khususnya kondisi jalan berlubang berisiko mengakibatkan kecelakaan.� ujar Wanksy

69


HAPPENED

pada Manchester Evening News. Menurutnya, lubang di jalanan seringkali tidak terlihat. Tetapi, orang akan memperhatikan dan menghindarinya ketika ada gambar besar berwarna di sekeliling lubang tersebut. Meskipun para pejabat di lingkungannya cenderung mengabaikan permintaan sopan untuk memperbaiki jalan yang rusak atau berlubang, mereka akan lebih cepat memperbaiki lubang dalam upaya untuk menyingkirkan gambarnya. Menurut sang seniman, beberapa lubang yang telah terdapat di jalanan selama hampir satu tahun, akan diperbaiki dalam waktu sekejap ketika sudah digambari.

nya tersebut, seringkali masyarakat berbagi cerita mengenai kerusakan yang dialami akibat lubang-lubang di jalanan. Beberapa diantaranya lagi meminta Wanksy untuk berkunjung ke kota-kota mereka. Pemintaan berdatangan dari seluruh Britanita Raya, Amerika Serikat, India, dan beberapa kota di Eropa. Meskipun begitu, tidak semua menyukai aksi jalanan dari Wanksy. Seorang pejabat pemerintah daerah justru menganggapnya sebagai tindakan vandal. Menurutnya, tindakan tersebut tidak lazim dilakukan karena dapat menimbulkan dampak negatif bagi anak di bawah umur yang melihatnya. Lepas dari baik tidaknya tindakan tersebut, “Setidaknya, jalanan ini sudah rusak selama Wanksy tetap memiliki caranya sendiri 8 bulan. Dengan sedikit seni, mereka akan yang kreatif untuk mengatasi masalah jalanan yang rusak. memperbaikinya dalam waktu 48 jam saja,� ujar Wanksy mengenai salah satu teks: Rahma “Mida� Maulida foto karyanya yang ia diposting di halaman ilustrasi: wanksy.mycindr.com Facebook-nya. Pada halaman Facebook-

70


71

Army Wiratama kolase digital

“Kalau bukan karena idul adha, aku tak cerita dengan pakde salamun�


t

empa. menempa dan ditempa

72


SERBA-SERBI

Bermodalakan sebuah gawai pintar, sore itu Blurg! bertandang ke studio Tempa di bilangan Prawirotaman. Ditemani oleh sekor kucing bernama Abu, Putud Utama, salah satu founder dari Tempa Studio membeberkan perihal proses kreatif yang telah mereka alami dari awal perjalanannya hingga saat ini. Sayang sekali, kala itu Rara Kuastra yang juga merupakan founder dari Tempa Studio berhalangan hadir. Berangkat dari dunia yang sama, seni rupa, tidak lantas membuat mereka untuk berhenti sampai di situ saja. Mas Putud berkeinginan untuk mengerjakan sesuatu di luar rutinitasnya, hal itu yang menjadi salah satu faktor pendorong berdirinya Tempa. Berbeda dengan studio lainnya, Tempa memilih menyebut dirinya sebagai graphic art studio, istilah ini diilhami dari Morning Breath Inc. yang merupakan salah satu studio yang menginspirasi Tempa hingga menjadi seperti saat ini. Inspirasi lainnya didapatkan dari Eric Trine yang khas dengan gaya minimalisnya serta proses kreatif dari Eric yang kuat dengan konsep adaptifnya. Konsep adaptif ini kemudian memungkinkan Eric untuk bereksplorasi dan terbebas dari patron-patron yang terkadang terasa mengekang. Tempa dapat dikategorikan sebagai salah satu start-up yang mewarnai industri kreatif kota Yogyakarta. Konsep adaptif yang diadopsi tak lantas membuat Tempa menemui jalan yang lurus tanpa hambatan. Konsep adaptif yang cenderung berorientasi pada proses tersebut sangat memengaruhi bagaimana Tempa berproses dalam membuat

73


karya-karyanya. Putud mengakui, baik ia maupun Rara jarang membuat karya baru. Mereka lebih memilih untuk menggabungkan karya-karya lama mereka dengan teknik kolase. Melalui proses ini, mereka ingin melihat sampai sejauh apa kemungkinan karya-karya mereka dapat diolah. Selama perjalanannya, Putud mengakui keinginannya untuk menjalankan proses sebagaimana proses tersebut seharusnya dijalankan. Salah satu yang “mengganggu� serta mendorong Tempa hingga saat ini adalah pernyataan dari seorang teman, “semua karya pasti punya arti, hanya saja terkadang tidak langsung ketemu.� Pernyataan inilah yang kemudian mendorong Putud dan Rara untuk membongkar karya-karya lama mereka dan menggabungkannya menjadi sebuah karya yang lebih segar.

yang terdengar di telinga mereka. Tempa tak ingin nantinya terperangkap dalam lingkaran di mana mereka memutuskan berhenti saat mereka bertemu dengan kritik dalam prosesnya.

Proses kreatif yang dijalani mungkin terlihat sederhana dan mudah. Akan tetapi, bukan berarti Tempa bisa berjalan lancar begitu saja. Putud dan Rara mengakui jalan yang mereka tempuh cukup terjal, banyak kritik negatif yang ditemuinya selama perjalanan Tempa. Sadar akan kondisi tak terhindarkan tersebut, Tempa lebih memilih untuk menyaring setiap kritik dan cibiran

Tempa kemudian tak lagi menjadi sebatas nama, akan tetapi menjadi sebuah proses secara keseluruhan di mana setiap yang terlibat menempa kemampuannya dan ditempa oleh lingkungan sekitarnya untuk membuat sesuatu lebih besar lagi.

Perjalanan Tempa selama ini memberikan banyak hal berharga yang dapat dipelajari oleh keduanya. Tempa menyadari bahwa kreatif saja tidak cukup, disiplin ilmu lain yang kiranya dibutuhkan dalam proses kreatif pun perlu untuk dipelajari. Hal lainnya yang dipelajari keduanya adalah, kepekaan terhadap lingkungan dan optimisme. Keduanya percaya, ketika peka terhadap semesta maka ia akan memberikan hal-hal yang tidak terduga. Seperti yang dialami Tempa sejauh ini, ketika satu pintu tertutup akan ada pintu lain yang akan terbukakan.

Jadi, sudah siapkah kalian untuk berbuat sesuatu yang lebih besar?

Foto: Angga Y. Saputra & Tempa Studio Teks: Frida Sibarani & Doni Singadikrama Wawancara: Frida Sibarani & Angga Y. Saputra

74


75


Clara Victoria Padmasari

“Fesyen is my-expression. My kind of Art. My political statement... wqwq serem amat.”

76


FASHION

“I dress tergantung mood dan baju yang ada apa. Kadang cuek, kadang mikir mix and match-nya. Somehow, my clothes 25% lungsuran + 50% beli + 25% dikasih... So basically i match things up. And of course, tuntutan dari bokap: kalo dandan, harus necis.� Foto: Angga Y. Saputra

77


LIBRA 24 September – 23 Oktober

SCORPIO 24 Oktober – 22 November

SAGITARIUS 23 November – 21 Desember

Dari dulu kamu memang paling tidak jago untuk urusan bagi-bagi. Astro visualmu yang pakai lambang timbangan itu sebenarnya adalah peringatan. Agar kamu belajar lebih perkara pembagian.

Suka iri sih saat membicarakan Scorpions yang selalu bisa mengakali masalah apapun yang terjadi. Cara berbicara yang misterius, seringkali menyedot perhatian banyak orang. Ini nih yang biasanya membuat orang nge-fans dengan para Scorpions. Meski bulan ini sepertinya sedang banyak masalah, tapi bukan Scorpions namanya kalau menyerah begitu saja.

Sagitarian sedang ingin tahu banget nih bagaimana kabar orang-orang terdekatnya. Siap-siap saja terima telfon atau chat dari para Sagitarians yang sedang ingin tahu kabar kalian. Jarangnya waktu luang untuk orang-orang terdekatnya, akhirnya menjadi bumerang yang menyadarkan Sagitarians akan sanak-famili. Baguslah, jangan sia-siakan sanak familimu ya... kiw kiw.

78


ARTSTROLOGY

CAPRICORN 22 Desember – 20 Januari

AQUARIUS 21 Januari – 19 Februari

PISCES 20 Februari – 20 Maret

Patung-patung Yayoi Kusama kalah cerianya jika dibandingkan dengan kebahagiaan yang terpancar dari mood Capricorns. Apa sih yang sedang membuat Capricorns berbahagia? Hanya mereka yang tahu. Capricorns sedang asik banget untuk diajak ngobrol dan curhat ngalor-ngidul, meski kadang semua hal dijadikan lelucon olehnya. Keep your happiness up, Capricorns!

Udah ah, jangan terlalu serius. Kamu berhak kok untuk bersantai sejenak sembari mendengarkan Coldplay yang Up and Up. Luwes saja, jangan sampai saking seriusnya keseharianmu, kamu melupakan rasanya mencoba terbang. Ayolah relaks sejenak. Kalau perlu, ajak Capricorns untuk seru-seru-an bareng.

Kapanpun bisa jadi waktu yang tepat untuk crowd surfing, karena kamu memang sedang jadi pusat perhatian. Banyak yang sering curi-curi pandang dari kejauhan atau nyamperin kamu hanya untuk sekedar mendengarkan kamu berbicara. Coba saja iseng untuk melirik salah satu orang di sekitar kamu secara random, eaaa…

79


ARIES 21 Maret – 20 April

TAURUS 21 April – 21 Mei

GEMINI 22 Mei – 21 Juni

“kala ku seorang diri, hanya berteman sepi dan angin malam, kucoba merenungi tentang jalan hidupku” lirik dari salah satu lagu Nike Ardilla yang judulnya “Seberkas Sinar” sudah paling cocok untuk menggambarkan kepribadian Aries yang sedang mellow-mellow lucu. Sudahlah, Yang lalu biarlah berlalu.

Terlampau drama di awal bulan itu memang bikin ga tenang. Keputusan yang pernah tercetus di pikiranmu untuk menyelesaikan masalah yang tertunda dengan orang-orang terdekatmu itu sudah baik kok. Semua orang akan senang kalau kamu akhirnya memutuskan melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan. High five! Semua orang mendukungmu melakukan yang seharusnya kok!

Jangan terburu-buru dalam memutuskan sesuatu. Tenang, pikirkan dulu matang-matang. Musuh terbesarmu terkadang adalah rasa takutmu sendiri yang membuatmu terburuburu dan sering gegabah dalam membuat keputusan. Kamu tau kamu bisa lebih kalem dari lukisannya Audrey Kawasaki. Ingat, mendengarkan orang lain juga terkadang penting ya.

80


ARTSTROLOGY

CANCER 22 Juni – 22 Juli

LEO 23 Juli – 22 Agustus

VIRGO 22 Agustus – 22 September

Kemandirian sudah jadi watak dan karakter dari para Cancerian. Cancer adalah zodiak paling wise dan anti-slebor diantara yang lain. Ibarat artwork, doi sudah tidak bisa lagi itu kompromi dengan yang namanya “simple but meaningfull”, “meaningfull completely” harga mati. Santai dong... Jangan terlalu kaku ah, capek. Come on bruh!

Serem deh kalau lihat aura Leo waktu sedang serius, karena auranya kadang bisa bersinar lebih terang dari yang dimiliki Scorpions. Saat ini Leons lagi ada di jalur yang benar. Kalaupun sedang melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan, mereka jadi lebih cepat sadar dari biasanya.

Baru-baru ini kamu menyadari bahwa sesuatu yang semakin digenggam semakin memiliki kemungkinan kecil untuk memunculkan hal bagus. Kamu sedang berusaha mengecilkan volume cintamu dan tidak fokus di satu hal itu. Virgins janji akan ada kejutan yang lebih liar. Jadi seperti apa nih kejutannya?

Teks dan Ilustrasi: Dessy RW

81


Us! GENERAL MANAGER Rangga Eka Sakti Secretary Saffira HW HRD Hans Farel Rheza Public Relations Atalya Ade Vena Marketing Rahma ‘Mida’ Maulida Web Master Korporatvampir Alicya Novita

CREATIVE MANAGER Doni Yusuf Singadikrama

PROJECT MANAGER Frida Sibarani

Visual Team Angga Y. Saputra Kanosena Hartadi Dessy RW

Event Director Kanosena Hartadi

Copy Writer Kanosena Hartadi Korporatvampir

Media Partner Organizer Kevin Aldrianza Editor in Chief Korporatvampir

Social Media Strategist Angga Y. Saputra Putri ‘Punyan’ Halida MAGAZINE: Managing Editor Korporatvampir Journalist All in one! Layout Doni Yusuf Singadikrama

Cover Angga Y. Saputra Photographer Angga Y. Saputra Illustrator Doni Yusuf Singadikrama Kanosena Hartadi Dessy RW

www.blurgmagz.com blurgproject@gmail.com +62 857 2772 4003 (Hans) @blurgproject | @galeri.blurg | @market.blurg


Foto: Angga Y. Saputra & Andhika Wiradilaga


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.