B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
“PERSETAN DENGAN IKLAN DI HALAMAN PERTAMA.” - Tukang Layout
Redaksional
Daftar Isi Kolaborasi
Blurg! x Jono Terbakar 1
Fact Up!
3 Kasus Gagal Paham Simbol Keagamaaan 9 B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Watchout (((‌))) 15
Opini
Seni dan Agama 17
Musik
Mike Patton: Mondo Cane, Swans: The Glowing Man, Tulus: Monokrom 23
Serba-serbi
Oky Rey Montha: Agama dan Bingkainya di Sosia Media 27
Buku
Goodnight Punpun 31
Opini
Bukankah Tuhan Mencintai Keindahan? 33
Film
39 Good Vibrations
Happened 41 Graviky Labs
Serba-Serbi
43 Cak Udin: Mencari Jalan Pulang
Galeri
47 Ilusi Inseminasi/ Inseminasi Semu
Opini
49 Berbagi Gelisah di Lahan Basah
We Ask, You Answer 55 Wok The Rock
Event
61 Sketsa Pulang Kerja, JAFF 2017
Fashion
65 Ajeng Pratiwi: Hijab & Death Metal
Jurnal Yanto 67 Vakansi
US! 69
i
e n i
& A
Agama dan Seni tentu sudah menjadi bahasan yang lumrah di kehidupan sehari-hari kita. Mulai dari hingar-bingar feed media sosial hingga berita yang dikumandangkan di berbagai media cukup membuat kita familier dengan kedua hal tersebut. Namun, terlepas dari kedekatan kita dengan dua hal ini, apakah kita benar benar mengenal mereka dengan baik? Adanya isu f undam entalism e agama dan melubernya hal itu ke ranah seni sejujurnya telah menimbulkan rasa gatal di benak tim Blur g! hing ga kita memutuskan untuk m e n co ba m e n elaa h le b ih dalam tentang isu mengenai seni dan agama. Bukan apa-apa, seperti bisa kita lihat dari lini masa sejarah dunia, dua hal ini merupakan faktor yang mempengaruhi pembangunan peradaban manusia dan juga pemahaman kita sebagai manusia itu sendiri. Dengan segala perdebatan dan ketegangan yang ada, sudah waktunya bagi kita untuk mau bersama-sama berbincang mengenai isu agama dan seni.
g a m a
Disajikan melalui rubrik yang ditampilkan pada edisi ke-4 ini, Blurg! ingin membagikan pandangan mengenai isu ini baik dari kacamata kami dan juga beberapa pelaku seni yang siap membagikan perspektif dan pengalaman mereka dalam berkarya dan beragama. Tidak hanya itu, dalam edisi ini, Blurg! juga berkolaborasi dengan duo Jono Terbakar dan mencoba merespon isu agama dan seni melalui medium video yang tentunya sangat sayang untuk dilewatkan. Harapannya, dengan menamp u n g d a n m e ny a r i k a n b e r b a g a i macam pandangan dan ide, Blurg! bisa menghadirkan pembahasan yang luas dan juga menarik mengenai isu tentang agama dan seni ini. Akhir kata, Hadirnya Blurg! edisi 4 ini juga diharapkan bisa memantik proses berbagi pemikiran mengenai tema agama dan seni, tentu tidak melalui teriakan lantang tak tahu arah, tetapi dengan obrolan asik penuh cinta dan damai. April 2016 | Rangga Eka Sakti
ii
S
Jukstaposisi:
iii
iv
Kolaborasi
Blurg! x Jono Terbakar
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
ilustrasi: donisingo
1
2
& Bernada Bercanda
Bagi mereka yang sudah cukup lama tinggal di kota Yogyakarta dan sering mengisi malam minggu mereka dengan cara sowan ke berbagai acara musik dan semacamnya, pasti sudah tidak asing lagi dengan duo Jono Terbakar. Duo ini seringkali membuat para penontonnya terheran-heran dengan aksi panggung yang terkesan seenak jidat dan lagu-lagu yang mengocok perut. Tidak hanya itu, beberapa kali mereka, entah gimmick atau bukan, harus mengulangi lagu yang mereka bawakan karena salah “kunci� atau bahkan karena keisengan Jono, sang vokalis yang sedang bercanda dengan Terbakar.
Kolaborasi B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
P
erjalanan Jono Terbakar dalam bermusik tidaklah pendek. Segala macam pengalaman manis, pahit hingga vakum pernah mereka berdua alami. Isuisu politik, kehidupan dan spiritualitas juga sempat mewarnai perjalanan dari dua sahabat sedari kuliah ini dalam bermain musik. Kali ini, Blurg! berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan Jono Terbakar dan mengulik lebih dalam proses mereka dalam bermusik hingga opini mereka tentang dinamika hubungan antara seni dan agama di Indonesia. Penasaran? Baca Simak obrolan kami dalam rubrik Blurg! x Jono Terbakar ini.
Bagaimana sih awalnya Jono Terbakar dalam bermusik? Awalnya, Jono Terbakar adalah proyek solo dari Jono yang memainkan lagu-lagu sendiri. Lagu-lagu yang awalnya direkam dengan handphone sendiri, aku coba dengarkan ke temanteman. Karena tanggapan dari temanteman sendiri itu cukup bagus, akhirnya aku coba kirim ke radio-radio. Tahun berapa Jono Terbakar mulai aktif bermusik? Tahun 2011. Dulu, dari rekamrekam di handphone itu jadi banyak inspirasi. Tiba-tiba bikin lagu terus sampai sekitar 10 lagu lalu aku upload ke Soundcloud. Gara-gara handphone, aku jadi termotivasi untuk bikin lagu.
. Kenapa sih namanya Jono Terbakar? Karena dulu nama akun Friendsterku itu Jono Terbakar mas, jadi aku ambil dari situ aja. Dulu bisa kepikiran itu gara-gara melihat ada band yang namanya Alexisonfire, hahaha.
Dari segi instrumen sendiri, apakah memang sengaja memakai guitalele? Guitalele, handphone dan soundcloud. Nah, tiga paduan tersebut yang akhirnya membentuk Jono Terbakar secara keseluruhan. Guitalele dan gitar biasa kan berbeda setelan nadanya, aku rasa suaraku lebih cocok kalau diiringi dengan guitalele dan semenjak itu jadi keterusan pakai guitalele.
3
4
Itu mulai waktu kuliah? Jono Terbakar resminya mulai waktu kuliah, tapi lagu-lagunya sudah aku buat dari waktu masih SMA.
Tahun 2014 kami sempat bubar, karena pada waktu itu aku merasa bahwa musik itu haram. Lalu, aku memutuskan untuk menghapus semua lagu yang pernah aku upload di Soundcloud, sampai-sampai banyak yang bertanya kenapa lagu-lagunya tidak bisa diakses lagi.
foto: Angga Y. Saputra
Konsep Jono Terbakar kan selalu beda dan unik, ada hal paling koplak yang pernah terjadi? Yang paling koplak itu wak tu manggung di Lockstock 2013 silam. Harusnya kami main jam 5 sore, tapi kami memutuskan untuk datang jam 4 sore. Akhirnya, karena kendala ini-itu, kami malah jadi main jam 9 malam. Lantas di panggung, kami pisuh-pisuhi panitia.
“ “
Sejauh ini sudah sampai mana perjalanannya? Tahun 2014 kami sempat bubar, karena pada waktu itu aku merasa bahwa musik itu haram. Lalu, aku memutuskan untuk menghapus semua lagu yang pernah aku upload di Soundcloud, sampai-sampai banyak yang bertanya kenapa lagu-lagunya tidak bisa diakses lagi. Sampai pada saat kami memutuskan untuk bermain musik kembali. Kalau ditanya mengenai tujuan, kami itu sebenarnya duo matre. Kami akan berhenti bermain musik ketika suatu saat kami dibayar 60 juta sekali manggung. Cita-cita kami: pengangguran berpenghasilan tinggi.
Kolaborasi
Tapi yang paling berkesan itu cara kami dalam publikasinya. Dulu, aku bikin sticker lalu tempel-tempel sembarangan di motor-motor orang untuk memperkenalkan Jono Terbakar itu sendiri ke orang-orang. Apa yang menjadi sumber inspirasi dari lagu-lagu yang kalian tulis? Kalau dulu, aku (Jono) adalah Mahasiswa Pencinta Alam yang cukup aktif. Jadi, alam seringkali menjadi inspirasi. Aku juga suka bikin tulisan metaforik walaupun kadang nggak tau arti sebenarnya apa, hahaha. Kalau sekarang, karena aku lebih mendalami Foto: Jono Terbakar tampil dengan gaya santai saat kami temui di Sangkring Art Space (26 Maret 2017)
agama, jadi mungkin inspirasi-inspirasi datang dari perenungan. Mengenai apa tujuan kita hidup, lalu ketika mati nanti kita bakal ngapain dan akan kemana. Kami pengennya, lagu-lagu kami dan orang-orang yang pernah mendengarkan lagu kami itu dapat menginspirasi orang lain.
foto: Angga Y. Saputra
Dulu kan sempat vakum pada tahun 2014, kira-kira bagaimana dan seperti apa prosesnya sampai memutuskan untuk kembali bermusik lagi? Dulu ceritanya, aku (Jono) pernah manggung di suatu tempat. Setelah selesai manggung itu, aku ikut ngobrolngobrol sebentar bersama penampilpenampil lainnya. Waktu itu, istriku yang sedang hamil ikut hadir di situ. Beberapa penampil mengobrol sambil meminum alkohol. Dari situ aku berfikir dan merasa sangat bersalah dengan anakku yang masih di dalam kandungan karena sudah dibawa ke lingkungan yang seperti itu. Nah , berawal dari situ, aku memutuskan untuk berhenti b e r m a i n m u si k s a m p a i- s a m p a i muncul sebuah asumsi pribadi yang mengharamkan musik. Beberapa orang ada yang menyayangkan kenapa Jono Terbakar sampai bubar. Lalu, setelah melewati beberapa pertimbangan, akhirnya aku memutuskan untuk kembali bermusik, tetapi mungkin lebih berhati-hati dalam membuat lirik lagu.
5
6
Pertimbangan apa yang membuat Jono Terbakar kembali bermain musik? Aku (Jono) sering sekali ikut ke pengajian-pengajian dan selalu mengutarakan pertanyaan “sebenarnya musik itu haram atau tidak?” kebanyakan orang menjawab tidak, beberapa menjawab tergantung tujuan dari musik itu sendiri. Dari situ aku akhirnya memutuskan kembali ke musik dengan mempertimbangkan lirik-lirik lagu yang tidak “eksplisit”. Apa rencana kedepannya dari Jono Terbakar sendiri? Dalam waktu dekat, aku pribadi ingin tur keliling kota. Karena di daerah Jakarta, Bandung, Surabaya mungkin banyak yang belum pernah tahu Jono Terbakar secara langsung. Jadi bisa dibilang bisnis, juga sebagai pendekatan dengan teman-teman di daerah Jakarta, Bandung dan kotakota lain.
Dengar-dengar, mas Terbakar ingin melanjutkan studi? Aku ingin studi. Sebenarnya untuk menunda waktu biar enggak disuruh kerja aja atau menikah, hahaha. Karena seumuranku ini kan umur-umurnya orang sudah mau menikah, cuman aku belum mau aja. Kemungkinan besar ya melanjutkan studi di Jogja.
Menurut mas Jono dan mas Terbakar sendiri, bagaimana sih hubungan seni dan agama di Indonesia? Aku melihat polarisasinya terlalu ekstrim. Kalau dulu banyak moderat di tengah. Hubungan seni dan agama itu semakin gontok-gontokan. Semua hal seakan perlu untuk dihitam-putihkan. Menurutku juga, yang namanya ekstrim itu menyakitkan. Dulu aku pernah mengamini nilai-nilai agama yang terbilang ekstrim. Cuman, karena aku pribadi merasa tidak nyaman dengan itu, jadi ya kembali lagi ke “tengah”. Kalo mas Terbakar dan aku sendiri memang memiliki pandangan yang berbeda, kalau mas Terbakar kan moderat tapi liberal, memandang agama sebagai produk budaya. Sedangkan aku pribadi itu moderat tapi konservatif. Tetapi karena kami sama-sama selo, jadi kami tidak pernah kontra atau berantem begitu. Bentuk toleransi kami ya begitu. Saling menghargai saja, saling mengerti dan membawa segalanya dengan selo. Jadi sampai sekarang ya kami ini akurakur saja. Ada pesan untuk Blurg! sendiri? Lele dua, es teh dua dan kedepannya tetaplah mewawancarai subjek yang salah seperti kami. Pesan untuk masyarakat? Semoga tidak lupa bahagia dalam pencarian kebahagiannya. wawancara oleh: Rangga Eka Sakti
Kolaborasi
Blurg! x
Jono Terbakar
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
26 Maret lalu, Blurg!, Jono Terbakar dan komunitas Gatal berkolaborasi untuk membuat sebuah karya berbentuk video yang bisa dinikmati di kanal Youtube dari masing-masing kolaborator. Dalam video ini, kami berusaha untuk merespons audiens yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali bahwa mereka akan mendapatkan sajian pertunjukan dari duo Jono Terbakar. Pengambilan video ini dilakukan pada acara pameran Bloom In Diversity yang diadakan di Sangkring Art Space Yogyakarta. Penasaran dengan hasilnya? Sila akses dan tonton melalui kanal Youtube dari Jono Terbakar, Blurg! dan Gatal.
Tonton lewat link berikut!
7
8
Reflection Internal Dapott (Acrylic on paper)
Fact Up!
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
9
10
3
Kasus Gagal Paham Makna Simbol Keagamaan Simbol, kaitannya sebuah keagamaan merupakan hal yang sangat penting bagi perjalanan agama itu sendiri. Bahkan sebelum kemunculan agama, fungsi simbol sudah digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh katakata. Hal-hal yang berbau mistis, suci dan sakral dapat dirangkum melalui simbol. Hal ini membuat hubungan simbol dan agama tidak dapat dipisahkan. Karena simbolisasi keagamaan bersifat kiasan, tidak heran jika progresinya tiap zaman selalu berubah-ubah, menyesuaikan ide dan filosofi hidup masyarakat yang dibawahinya.
ilustrasi: donisingo
Fact Up! B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Sim b ol ke a ga maa n sejatinya memiliki nilai-nilai yang tetap dari zaman ke zaman. Namun bukan berar ti makna dari simbol dalam keagamaan sama sekali tidak dapat tergeser di setiap zamannya. Pada kenyataannya, pergerakan sejarah ternyata tidak terlalu ramah terhadap beberapa simbol agung ini. Banyak dari simbol agama itu sendiri sering melenceng dari penjelasan filosofi sejak awal kemunculannya, di mana makna sakral berubah menjadi hal-hal lainnya. Dewasa ini, simbol-simbol keagamaan tersebut sebenarnya tidak jauh dari kehidupan kita sehari-hari, tercantum di buku sejarah yang kita baca di bangku sekolah, video klip dari artis-artis ternama, hingga pedagang aksesoris di kios-kios pinggir jalan yang sering kita jumpai. Tapi, seberapa banyakkah dari kita yang sadar akan latar belakang dari simbol-simbol suci ini? Sila simak beberapa contoh simbol keagamaan yang maknanya telah digerus dan diganti oleh sang zaman, tentu saja di rubrik Fact Up! ini.
11
12
1. Salib Terbalik (St. Peter Cross) Simbol salib terbalik biasanya disebut dengan nama salib Santo Petrus atau Petrine Cross. Berdasarkan penceritaan dari tradisi agama katolik, Santo Petrus disalibkan dengan posisi kepala berada di bawah. Hal ini terjadi karena konon beliau merasa tidak pantas untuk disalib dengan cara yang sama dengan Kristus. Ada baiknya kita menilik sebentar ketokohan dari salah satu orang yang paling penting di perkembangan agama kristen, Santo Petrus. Dilihat dari titel yang disematkan kepadanya, bisa kita ketahui bahwa beliau adalah orang yang dianggap suci di sejarah kekatolikan. Bagaimana tidak, dialah orang pertama yang menyuarakan Yesus Kristus sebagai messiah, bahwa Ia adalah kristus atau anak Allah yang ada di bumi. Militansi dan pengorbanan Santo Petrus dalam mendakwahkan nilai
kebajikan kekristenan juga menjadi salah satu dari banyak alasan yang menjadikannya tokoh yang agung. Maka dari itu, tidak mengherankan jika simbol salib Santo Petrus banyak disandingkan dengan simbol dua kunci surga. Namun, seiring berjalannya waktu makna salib ini sering berubah maknanya. Perubahan makna dari salib ini pun terkadang menjadi sangat jauh dari arti awalnya, seperti menjadikan salib ini menjadi simbol anti kristus dan kerap digunakan sebagai tanda perlawanan akan ajara kekristenan. Simbol Salib Santo Petrus ini pun bisa kita temukan di beberapa produk budaya pop. Mulai dari video klip Lady Gaga, bahkan di beberapa film box office seperti Constantine dan Paranormal Activity.
Fact Up!
2. Simbol Swastika
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Ketika pertama kali melihat lambang ini, sebagian besar dari temanteman pasti mengernyitkan dahi sambil mencoba mengingat sesosok pemimpin ultra kanan yang berusaha merubah sejarah dunia dengan tangan dingin. Padahal, jika kita melihat jauh sebelum Hitler menggunakan simbol ini dengan semena-mena, Sw a s ti k a m e miliki ma k na ya n g sangat positif. Secara literal, menurut bahasa Sanskrit, Swastika berarti kesejahteraan. Pada awalnya simbol Swastika digunakan dalam berbagai macam ajaran keagaman seper ti agama Hindu dan Buddha. Selain itu, simbol ini pun dulu sering diasosiasikan dengan keberuntungan dan nasib baik. Faktanya, sebelum hadirnya sang fuhrer, simbol ini umum digunakan dalam elemen desain berbagai macam produk komersil di Eropa dan Amerika. Kisah panjang perjalanan simbol ini dari dunia timur ke dunia barat diawali dengan interaksi pedagang dari kedua belahan dunia tersebut, di mana pedagang dari negaranegara barat ter tarik dengan gagasan keberuntungan yang dibawa oleh simbol Swastika. Maraknya penggunaan simbol ini-pun tidak lepas dari pengamatan Partai Nazi di Jerman, yang menemukan adanya kesamaan
bahasa antara teks India kuno dengan bahasa Jerman dan merasa bahwa Bangsa India dan Bangsa Jerman memiliki leluhur yang sama, pejuang kulit putih bernama Arya yang lebih superior dari bangsa-bangsa lain di dunia. Dengan dicomotnya simbol ini sebagai identitas partai mereka da n se gala m a c a m a g re si ya n g menginjak-injak nilai kemanusiaan, maka perubahan makna dari simbol Swastika secara global, bahkan hingga detik ini-pun tidak bisa dielakkan dari sejarah.
3. Dreamcatcher Simbol yang satu ini pasti sudah tidak asing lagi bagi kita. Bagaimana tidak, mulai dari pedagang aksesoris di pinggir jalan hingga brand fashion terkemuka sering menggunakan simbol ini di produk dagangan mereka. Namun, seberapa banyak dari mereka mereka yang menggunakan simbol ini sebagai aksesoris busana mengetahui makna asli dan sejarah dari Dreamcatcher ini? Tidak banyak tentunya. Pada awalnya, simbol yang menyerupai sarang laba-laba berhiaskan manik manik dan bulu burung ini digunakan oleh salah satu
13
14
sumber: freegreatpicture.com
suku asli Amerika yang bernama Ojibwe. Dreamcatcher, atau asabikeshiinh, digunakan untuk membantu mereka yang ingin tidur nyenyak di malam hari tanpa terganggu oleh serangan mimpi buruk. Mereka percaya bahwa jika Dreamcather digantungkan, energi negatif akan terhalau dan energi positif bisa menemukan jalan menuju ruangan tempat mereka beristirahat di malam hari. Simbol ini kemudian tersebar ke seluruh penjuru Amerika melalui pernikahan antar suku-suku asli Amerika. Di era modern, simbol ini mulai digunakan oleh keturunan asli suku Indian sebagai simbol persatuan pergerakan politik mereka di Amerika Serikat. Dengan semakin tereksposnya simbol ini ke masyarakat modern, simbol yang pada awalnya dianggap s a k ra l, b a h k a n m e n j a d i si m b o l persatuan, telah kehilangan maknanya. Dewasa ini, melalui kalung dan anting yang dipakai oleh para muda-mudi
Foto: Pedagang Dreamcatcher.
atas nama estetika, simbol ini sudah banyak berjalan-jalan ke klub-klub malam hingga festival musik nan megah di seluruh dunia dan kehilangan makna sejatinya. Itulah 3 simbol keagamaan yang maknanya telah berbubah seiring perubahan zaman. Bisa kita lihat, manusia pada dasarnya membutuhkan simbol untuk mengekspresikan ide yang mereka pegang teguh di dalam kepalanya. Tidak hanya terbatas di agama dan spiritualitas saja, simbol biasa digunakan di dalam pergerakan lain seperti politik dan juga ekonomi. Maka dari itu, arti dari simbol agama yang dianggap sakral, pun tetap lah simbol. Bisa direka-reka sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan mereka atas ekspresi ide yang silih berganti seiring berjalannya roda zaman.
oleh: Rangga Eka Sakti
Watchout
(((...)))
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
THREE BLACK DOTS IN THE BRACKETS Semarak musik doom metal di Indonesia pada akhir-akhir ini layaknya lahan yang subur b a g i ke m u n c u l a n b e r b a g a i macam band yang membawakan musik sejenisnya di Indonesia. Tak terkecuali di kota Yogyakarta ini. Salah satu band yang menarik perhatian kami adalah (((...))) ( Three Black Dots In the Brackets) yang telah memainkan musik doom metal sejak 2012 lalu. Adit (bass, effects), Made (Gitar, effects) dan Indra (Drum, stompbox effects, oscilator) membentuk (((...))) pada sebuah sesi jamming di pertengahan tahun 2012. Dalam pengaruh Sunn O))), Corrupted dan Khanate, mereka membawakan musik doom/drone metal dalam nuansa gelap gulita.
15
16
Tiap personil (((...))) bisa dibilang memiliki rekam jejak yang tak perlu diragukan lagi dalam skena musik Yogyakarta. Made merupakan personil dari Deadly Weapon, Indra merupakan personil To Die dan LKTDOV sedangkan Adit sendiri merupakan salah satu orang yang cukup sering terlibat pada beragam gigs di Yogyakarta. Pada tahun 2014, Akbar dari Kultivasi sempat menggantikan Made untuk sementara waktu Pemilihan nama yang cukup unik dan terkesan konseptual secara tidak langsung mencitrakan (((...))) sebagai band yang cukup serius. Meski sejatinya mereka sendiri tidak terlalu mengambil pusing dalam pematangan konsep bermusik. Sesi rekaman seringkali dilakukan dengan menggunakan telefon genggam yang kemudian di-mix ulang. Menariknya, hasil rekaman dari telefon genggam tersebut justru membentuk suasana gelap dan kalut yang autentik dari (((...))). Dari sesi rekaman tersebut, proses berkarya kemudian dilanjutkan dengan menelurkan berbagai rilisan. M u l a i d a r i E P p e r t a m a m e re k a ἀποσιώπησις ( Becoming Silent) pada tahun 2012 yang dirilis oleh Ear Alert Records dan bisa diunduh gratis pada laman web mereka, sampai dengan split dengan Oath yang dirilis dan didistribusikan di Malaysia oleh Broken Noise Records pada tahun 2014 yang hanya dicetak sebanyak 300 buah
kaset pita. Pada 2014 pula, (((...))) ikut muncul di kompilasi Indonesian Drone Tape serta mengeluarkan full-length album bertajuk Thy Pledge. Tak sedikit yang mengawasi pergerakan dari (((...))). Sebutlah Corey Athos (Flesh Consumed) yang sempat menawarkan (((...))) untuk membuat rilisan dibawah salah satu perusahaan rekaman yang ia kelola, Sevared Records. (((...))) terbilang cukup jarang beraksi di atas panggung. Selama ini, (((...))) hanya melakukan konser sebanyak 3 kali di Yogyakarta, 1 kali di Solo dan 1 kali di Malang. Bahkan ketika mereka merilis Thy Pledge, mereka tidak menginisiasikan acara dalam rangka perilisan album mereka. Meskipun begitu, kurang lebih 500 kaset pita yang dirilis telah terjual habis. Awasi selalu pergerakan mereka, siapa tahu dalam waktu dekat ini mereka memutuskan untuk tiba-tiba naik ke atas panggung. Serta bersiapsiaplah! Bersiap-siaplah untuk saling bersaing memperebutkan seandainya mereka memutuskan untuk kembali membuat rilisan fisik.
teks: Yvest Illalang foto: Aditya Adam
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Hymns Suria Mentahari (Ballpoint & Marker pen on paper)
17
18
Opini
P
Seni dan Agama Seni, Agama dan peranannya dalam membentuk sejarah.
eradaban dan progresinya mungkin masih belum atau bahkan tidak akan bisa terlepas dari peran seni dan agama yang telah menyusunnya dan meresap dalam babak-babak sejarah sejak awal perkembangannya. Dasar moral, pedoman hidup dan berbagai macam pesan yang berusaha disampaikan oleh agama kepada masyarakat, telah dibantu dalam penyebarannya oleh banyak hal. Salah satunya adalah oleh peran seni.
Opini
kening dengan kepercayaan si seniman, maupun sekedar menceritakan kembali kisah-kisah yang telah dialami oleh orang-orang suci pada zamannya. Masing-masing bentuk seni memiliki gaya persuasinya sendiri. Karenanya,
ilustrasi: donisingo
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Sebuah kar ya seni tak jarang merefleksikan pemahaman, lingkungan, filosofi, angan-angan maupun sentimen yang pernah dirasakan oleh si seniman itu sendiri. Sebuah karya seni tentu saja tak hanya memiliki unsur-unsur intelektual semata, akan tetapi juga diperkuat oleh unsur emosional yang dirasakan oleh si seniman. Saya rasa, hal inilah yang membuat sebuah karya seni seringkali lebih persuasif dalam menyampaikan pesannya serta dapat menjamah masyarakat pada tingkatan yang lebih personal jika dibandingkan dengan hanya sekedar kata dan sebuah konsep semata. Refleksi dari pemahaman, lingkungan, filosofi, angan-angan ma up un se ntim e n ya n g p e r na h dirasakan oleh si seniman dapat mewujud dalam bentuk dan ragam apapun, baik itu dalam sebuah sajak, lukisan, seni patung, arsitektur dan bentuk-bentuk karya seni lainnya. Dasar moral, pedoman hidup dan berbagai macam pesan yang ingin dituturkan oleh a ga ma terseb u t sering kali menjelma dalam ekspresi dan isyarat yang mewujud dalam sebuah karya seni yang dibuat oleh para seniman yang meyakininya. Apapun tujuannya, baik itu dalam rangka untuk memashyurkan sebuah sistem kepercayaan yang telah dituangkannya dalam bentuk karya, menyanggah kepercayaankepercayaan lainnya yang saling beradu
seni seringkali bersinggungan dengan politik dalam mengangkat agendaagenda tertentu dan juga seringkali bersinggungan dengan agama untuk m en eg uhkan da n m enyebar kan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Mari kita tengok ke belakang, jauh pada masa di mana tidak banyak orang yang bisa membaca. Pada masa tersebut, tentu saja pintu masuk masyarakat menuju naskah-naskah suci dalam rangka mempelajarinya menjadi sangat
19
20
terbatasi. Pada masa ini, storytelling (seni bercerita), seni visual, musik dan berbagai bentuk kesenian lainnya memainkan perannya masing-masing dalam melakukan edukasi terhadap masyarakat, khususnya yang terkait dengan pendidikan dan penyebaran ajaran-ajaran agama pada masanya masing-masing. Stor y telling merupakan salah satu bentuk seni tertua yang ada dan masih dikenal oleh masyarakat luas hingga saat ini. Sebelum masyarakat menemukan jalannya untuk belajar membaca dan menulis, mereka harus mengandalkan daya ingatnya untuk mempelajari sesuatu berdasarkan cerita-cerita yang pernah mereka dengar. Cerita demi cerita disampaikan secara turun-temurun dari generasi satu kepada generasi-generasi lainnya yang lebih muda darinya. Sejauh yang saya tahu, hampir semua agama menerapkan metode s to r y t e l l i n g d a l a m m e l a k u k a n penyebaran ajarannya dengan caranya masing-masing, baik secara lisan yang disampaikan melalui cerita dari mulut ke mulut oleh masyarakat maupun secara tulisan yang seringkali disampaikan dalam naskah-naskah suci yang ada, dengan pesan-pesan dan segala bentuk metafora dan alegorinya.
“
Dasar moral, pedoman hidup dan berbagai macam pesan yang ingin dituturkan oleh agama tersebut seringkali menjelma dalam ekspresi dan isyarat yang mewujud dalam sebuah karya seni yang dibuat oleh para seniman yang meyakininya.
Opini B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Tidak hanya sampai di situ saja, bentuk-bentuk dari seni bercerita ini juga tidak jarang kita jumpai dalam wujud selain lisan dan tulisan. Beberapa bentuk lain dari seni bercerita sendiri di antaranya adalah mural, lukisan, seni patung, musik, seni tari dan lain sebagainya. Dengan bantuan dari karya-karya seni tersebut, kita dapat mengenal berbagai macam kepercayaan seperti yang kita kenal sekarang ini. Nasihat dan pesan disampaikan dengan tulisan, kejadiankejadian diceritakan dalam mural dan lukisan, perenungan-perenungan seringkali dilakukan dengan bantuan doa, mantra, musik maupun tarian. Dengan sumbangsih yang diberikan oleh interaksi antara berbagai macam bentuk karya seni dan agama tersebut pula, masyarakat yang dahulu terbatasi oleh jarak antar bangsa satu dan yang lainnya dapat melihat tradisi-tradisi keagamaan dan kehidupan sosial dari belahan dunia lainnya dengan sudut pandang yang lebih luas. Bentuk kedekatan antara seni dan agama juga sering kita jumpai pada arsitektur-arsitektur dari bangunan tempat peribadatan yang seringkali mencuri perhatian kita dengan segala macam detail dekorasinya. Sebagai contoh, dapat kita lihat dari Parthenon di Athena sampai dengan Pantheon di Roma, dari Hagia Sophia di Istanbul sampai dengan Pagoda Shwedagon
Foto: Sebuah lukisan dari interior Pantheon oleh Giovanni Paolo Pannini.
di Myanmar, juga dari Notre Dame di Paris sampai dengan Tian Tan di Beijing. Terlepas dari dekorasi dengan ragam yang berbeda, semua tempat peribadatan hampir memiliki peranan yang serupa, yaitu sebagai tempat di mana masyarakat dapat berkontemplasi demi mengungkap seribuan tanda tanya yang muncul di dalam benak dan juga sebagai tempat di mana masyarakat dapat berdialog dengan Tuhannya dalam suasana syahdu.
21
22
sumber: pinterest.com
Saya yakin, segala bentuk karya seni dengan tematema ke a gamaan, baik yang telah dikaryakan di masa lampau maupun masa sekarang ini, tidak semata-mata diciptakan o l e h p a r a s e n i m a n ny a tanpa suatu tujuan tertentu. Saya yakin, mereka ingin mengekspresikan sebuah realitas yang telah, sedang maupun yang akan terjadi dalam sebuah ekspresi universal yang sesuai seperti dengan apa yang mereka yakini saat itu. Berbagai macam realitas dan pengalaman spiritual direfleksikan dalam sebuah wujud materi berbentuk karya seni demi mengundang kesadaran meditatif dan kontemplasi yang melampaui alam materi itu sendiri. Berbagai macam seniman dengan latar belakang keagamaan yang berbedabeda telah mempraktikkannya, baik dalam bentuk arsitektur dan segala macam ornamennya, lukisan, seni patung dan lain-lainnya. Sinergi yang dilakukan dibangun oleh si seniman d a n ke y a k i n a n n y a m e n d o ro n g munculnya berbagai macam pemikiran dan gerakan yang relatif “baru� pada masanya, munculnya
sebuah kultur keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat dan tentu saja munculnya berbagai macam karya seni keagamaan yang kita kenali di masa sekarang. Apapun hal yang hendak diceritakan, baik itu adalah nubuatnubuat yang telah diterima, mukjizat yang telah dilakukan, maupun kejadiankejadian lainnya, dalam sajak-sajak yang memberi warna pada mantra dan doa-doa, juga dalam lukisan yang memberikan pemerian mengenai kehidupan-kehidupan di masa lampau, seni dan agama telah memainkan perannya dalam menyampaikan pesanpesan konstruktif dan kontemplatif kepada masyarakat, terlepas dari penafsiran dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Sejauh yang saya yakini, seni dan agama telah memainkan perannya sejak waktu yang sangat lama, dalam upaya untuk membimbing masyarakat untuk menemukan makna dari kehidupan itu sendiri dan menjadi manusia yang seutuhnya.
oleh: korporatvampir
Review - Musik B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Keeksentrikan Mike tilik kembali pada lirik-lirik Patton, seorang multi-inyang pernah Patton tulis MIKE PAT T O N : strumentalis dan vokalis di proyekan-proyekan yang cukup “gila�, dalam sebelumnya. Kedua, bermusik tentu bukanlagu-lagu yang di-cover lah suatu hal yang baru. dalam Mondo Cane di Biasa-biasa saja tidak tulis dalam bahasa Italia! pernah menjadi sesuatu yang ditawarkan dalam So for the sake of music, karya-karya yang lahir just feel and enjoy the dari isi kepalanya. Lalu emotion. apa jadinya ketika Mike Patton memutuskan unAksen Italia yang fasih tuk mengadu fleksibilitas dan gaya bermusik dari vokal-nya dengan musik Mike Patton sendiri yang yang dibawakan oleh kucukup eksperimental, rang lebih 65 orang kolaborator orkes- telah berhasil menginterpretasikan tra untuk menginterpretasikan kembali kembali musik pop Italia era 50-an lagu-lagu pop Italia era 50-an? Mondo menjadi sesuatu yang menyegarkan, Cane adalah jawabannya. dengan gaya apik dan tentunya denAmbisi Mike Patton dalam Mondo gan eksekusi khas Patton sendiri. Cane “memaksa� para pendengar- Dengan kualitas yang tentu tidak perlu nya untuk menerima dengan lapang dipertanyakan lagi, eksperimen dan dada dan menginterpretasikan emo- eksplorasi dalam bermusik adalah si yang berusaha disampaikan oleh salah satu hal yang selalu ditawarkan Mike Patton dalam bentuk vokal dan oleh Mike Patton. Tentu saja, sangat musik. Mengapa? Karena pertama, menarik mendengarkan salah satu lagu-lagu yang ditawarkan pada track raksasa musik eksperimental ini berdemi track dari Mondo Cane adalah main-main dengan elemen yang cukup lagu yang ditulis oleh orang lain, bukan asing dengan gaya bermusiknya yang oleh Mike Patton sendiri. Dari sini, kita terdahulu. Vokal Patton, balada pop bisa melenyapkan segala praduga dan Italia dan bagaimana keduanya dapat kekhawatiran kita yang berlebihan ini membaur dengan cantik, merupakan terhadap kata-kata acak yang saling kombinasi jitu yang ditawarkan dalam tumpang tindih seperti yang dapat kita Mondo Cane. oleh: korporatvampir
MONDO CANE
23
24
Sangkakala kembali dibunyikan bagi S WA N S : Swans. Kini untuk yang kedua-kalinya, bersamaan dengan kedatangan The Glowing Man yang siap menceritakan kisahnya dalam mantra-mantra hipnosis yang membawa kita pada gerak lambat sebuah perjalanan panjang menuju ruang berwarna hitam dan putih. Mungkin pada awalnya kita tidak akan sadar akan ke manakah kita dibawanya. Sampai pada suatu titik, sebuah hentakan menyergah dengan intensitas penuh dan pada akhirnya menyadarkan kita kembali sampai sejauh manakah kita telah dibawa oleh The Glowing Man ini. Pada usianya yang hampir tujuh dekade, tentu multi-instrumentalis Michael Gira telah mempersembahkan banyak hal pada ranah musik. Salah satunya adalah sebuah lirik yang diberi tajuk “ The World Looks Red ” yang pernah ditulis olehnya dan dipinjam oleh Thurston Moore (Sonic Youth) pada Confusion Is Sex di tahun 1983. Dalam kesempatan kali ini, Gira “memintanya” kembali sebagai salah satu track dalam rilisan ini dengan tajuk yang sedikit berbeda, “The World
Looks Red/The World Looks Black”. Seperti yang telah dinyatakan Michael Gira pada press release di situs web milik Young God Records, The Glowing Man merupakan rilisan penutup dari inkarnasi ke-dua Swans dengan kolaborator Michael Gira, Norman Westberg, Kristoff Hahn, Phil Puleo, Chris Pravdica, Thor Harris dan Bill Rieflin. Dalam durasi selama dua jam, seperti pada rilisan-rilisan sebelumnya, repetisi dan derau tetap menjadi suguhan utama. Setelah ini tidak ada yang benar-benar tahu ke arah mana Swans akan melangit. Enam tahun dan empat rilisan telah dilewati. Kini Swans kembali pada tempat yang sama seperti sesaat setelah mereka merilis Soundtracks for the Blind pada tahun 1996. Setelah enam tahun resureksinya, terhitung dari tahun 2010, kini telah tiba saatnya bagi Swans untuk kembali mengistirahatkan diri sembari menunggu waktu yang tepat untuk kembali mengudara.
THE GLOWING MAN
oleh: korporatvampir
Review B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
MONO KROM
T ULUS:
Lagu cinta sering kali dipandang sebelah mata. Bagaimana tidak, dewasa ini kita terlalu jengah dengan sodoran lagu cinta monoton yang terlalu banyak berbicara tentang rasa muram durja karena ditinggal oleh seseorang yang dicinta. Akan tetapi, musik bertema percintaan ternyata belum sepenuhnya terasa menjemukan setelah dirilisanya Monokrom oleh Tulus. Berbeda dengan album ke-duanya, disini Tulus terasa lebih dewasa dengan karakter vokalnya yang semakin menjadi-jadi. Tidak hanya menunjukkan kualitasnya sebagai penyanyi yang semakin oke, di album ketiganya, Tulus juga menunjukkan kalibernya sebagai penulis lagu di ke-sepuluh materi albumnya. Dibantu dengan produser kawakan Ari Renaldi, tentu karya terbaru dari Tulus ini sungguh sayang jika dilewatkan.
Mulai dari “Manusia Kuat� hingga “Monokrom,� di album ini Tulus banyak berbicara tentang romansa percintaan hingga pencarian jati diri sebagai manusia. Dalam meramu karyanya, Tulus berhasil bereksperimen, mengaduk aduk, membongkar dan menyatukan kembali detil kisah percintaan hingga lagu cinta yang ia tuturkan kaya akan sudut pandang dan jujur. Selain itu, sama dengan karya-karya sebelumnya, seper ti sudah menjadi keharusan bagi Tulus
25
26
untuk menyampaikan pesan-pesan optimis di dalam karyanya, seperti pada lagu “Mahakarya� dan “Manusia Kuat,� yang tentu menambah kekayaan album ini secara keseluruhan. Lewat album ini, Tulus membuktikan bahwa memang sudah jadi keahliannya dalam mengeksplorasi detildetil yang sehari-hari ditemukan di kehidupan ktia dan dikemas dengan kata dan melodi yang simpel namun tetap indah, membuat para audiens
merasa bisa nyambung dengan sang kreator album. Tentunya, semua hal itu tidak berarti tanpa kualitas vokal Tulus yang semakin ciamik di album yang satu ini. Album ini mengukuhkan posisi Tulus sebagai salah satu musisi pop yang bisa membawa legacy dari legenda-legenda pop-ballad Indonesia seperti Chrisye, KLA Project dan Kahitna, tentunya jika dia bisa terus membuktikan konsistensinya dalam bermusik di kemudian hari. Selain dapat mengobati kerinduan akan melodi ballad yang berkualiats, yang sudah jarang kita temukan di blantika musik Indonesia, mendengar album kelanjutan dari Gajah ini semakin membuat saya merasa bahwa mungkin musik pop Indonesia belum membusuk, seperti yang sering digaung gaungkan-oleh beberapa. Akhir kata, sebuah pesan yang ingin kami sampaikan kepada para pembaca sekalian adalah sesungguhnya tidak mengapa untuk mendengarkan musik pop mainstream ala Tulus, di tengah playlist yang didominasi oleh musik shoegaze, psychedelic, EDM dan post-rock, tanpa harus merasa rendah diri di hadapan mereka yang mungkin merasa bahwa mendengarkan musik mainstream tidak se- prestige mendengarkan musik sidestream. oleh: Rangga Eka Sakti
Serba-Serbi
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
27
28
Agama dan Bingkainya di Sosial Media
Oky Rey Montha:
S
ebagai seorang seniman, tentu isu
agama dan seni sudah menjadi hal yang lumrah bagi Oky Rey Montha. Mulai dari cerita tentang seniman yang bergelut dengan isu agama dan spiritualitas hingga pengalaman pribadinya dengan pembeli yang mengapresiasi karyanya hanya karena kesamaan kolom agama di kar tu tanda penduduk, cukup membuatnya memiliki pandangan tentang isu seni dan agama yang menarik untuk diperbincangkan. Secara pribadi, seniman yang dalam kesehariannya kerap disapa dengan sebutan “Kyrey� merasa bahwa ia adalah orang yang sangat religius. Baginya, segala kesuksesan yang ia
raih di dunia kesenian tidak luput dari kekuatan ilahi yang ia rasakan. Maka dari itu, terlepas dari permasalahan siapa yang benar dan siapa yang salah, apakah ada atau tidak ada, agama dan spiritualitas masih menjadi bagian penting dari kehidupannya. Dalam menanggapi isu polemik hubungan antara seni dan agama, ia tidak mau terlalu pusing dan lebih menyerahkan kepada kedewasaan masing masing. Agama memang sudah seharusnya menjadi ranah privat manusia dan kurang bijak rasanya untuk sibuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah. Namun, bukan berarti isu yang sempat cukup hangat di masyarakat ini tidak mencuri perhatiannya.
foto: Angga Y. Saputra
Serba-Serbi B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Bagi seniman jebolan Institut Seni Indonesia ini, fenomena menjadi populernya fundamentalisme agama dan pengaruhnya ke dunia kesenian bukanlah murni persoalan perdebatan agama dan seni saja. Ada agenda agenda sosial politik dan ekonomi yang menunggangi isu ini. Semaraknya isu yang meramaikan lini masa media sosial kita pun menambah eskalasi dan melubernya isu ini kedalam sudut-sudut kehidupan masyarakat secara liar. Menurutnya, mungkin dikarenakan masih rendahnya tingkat edukasi dan literasi di masyarakat Indonesia, pola konsumsi informasi media sosial oleh masyarakat pada umumnya masih belum dewasa. Konten visual yang kebanyakan belum bisa dipertanggungjawabkan menjadi hal yang berbahaya. Visual itu menarik, m u da h dis e b a r k a n da n m a m p u merangkum berbagai macam informasi hanya dalam satu bingkai. Ketika orang orang melihat “kebenaran� hanya dari satu bingkai di media visual saja, inilah yang akan terjadi: miskonsepsi dimanamana. Jika dianalogikan dengan foto selfie , kita mungkin melihat sajian visual yang menggoda di dalamnya. Akan tetapi bila kita telaah lebih dalam, kita bisa tahu bahwa produk visual ini penuh dengan pengaturan yang direkayasa secara detil dan hatihati, mulai dari sudut pengambilan gambar, penc ahayaan dan lain-
lain yang seringkali membuat para penontonnya tertipu dengan keadaan yang sebenarnya. Segala pengaturan dan rekayasa dalam satu bingkai inilah yang kemudian seringkali dikonsumsi, dinilai bersama sama oleh orang-orang melalui tombol like dan mengamini “kualitas� dari produk manipulatif ini. A khir ka t a, sebagai seorang seniman, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah berkar ya. Merespon segala macam bentuk fenomena yang ada di masyarakat dan merealisasikannya dalam bentuk karya seni. Mengenai sejauh mana masyarakat dapat menafsirkan makna di balik sajian karya seni yang mereka konsumsi, itu perkara lain. Namun, masyarakat juga diharapkan harus lebih waspada dengan konten visual yang mereka konsumsi, ada muatan apakah yang terkandung di dalamnya dan apa maksud serta tujuan dari tersajinya konten visual tersebut. Di sinilah seniman bisa berperan untuk memberikan edukasi kepada masyarakat melalui karya mereka, mulai dari isu agama dan seni hingga isu-isu hangat lain di kehidupan seharihari dari masyarakat.
Wawancara oleh: Rangga Eka Sakti Frida Sibarani Angga Y. Saputra
29
30
‘Filling’ series Zarinka Soiko (Acrylic on 4 canvases)
Review - Buku B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Goodnight Punpun Penerbit Big Comic Spirits Cetakan Pertama 2007 Pengarang Inio Asano Tebal Buku 450 Halaman, 12 Seri
Manga, secara sadar atau tidak, telah menjadi bagian dari lini masa hidup kita meski dalam porsi yang terkecil sekalipun. Mulai dari Doraemon hingga Detective Conan pernah menjadi serial yang senantiasa menghiasi rak buku dan menjadi bahan obrolan yang asik bersama temanteman sepermainan. Namun ketika
berbicara tentang literatur, banyak dari kita yang masih memandang sebelah mata jenis komik yang berasal dari negeri matahari terbit ini. Jalan cerita yang dianggap kurang berbobot hingga adanya stereotype negatif yang diarahkan kepada penikmat manga mungkin menjadi penyebab mengapa jenis literatur ini tidak terlalu dianggap
31
32
serius. Hal ini tentu sangat disayangkan melihat potensi dari manga yang sebenarnya sangat luas. Bercerita tentang kisah Punpun yang digambarkan sebagai anak kecil berbentuk burung yang berusaha mengenal apa itu hidup dan bagaimana u n t u k m e n j a d i “ d e w a s a� p a d a umumnya. Perjalanan hidup dari si karakter utama mulai dari usia kanakkanak hingga akil balig dipenuhi dengan pengalaman pahit seperti depresi, kemasygulan, alienasi dari masyarakat, hingga masalah seksualitas yang tentunya dinarasikan melalui bermacam metafora yang menohok alam pemikiran para pembaca. Kekuatan cerita dari komik ini tentu juga didukung oleh penyajian visual yang tidak kalah apik. Lembar demi lembar karya surealis ditumpahkan ke dalam 12 seri komik oleh sang mangaka dan tentunya membuat si pembaca hanya bisa berdecak kagum meresapi penggambaran cerita yang kental akan emosi.
Pada akhirnya, pengalaman membaca komik ini benar benar membuat kita untuk berfikir kembali tentang apa itu hidup dan bagaimana kita bisa terlempar ke hingar-bingar masyarakat yang mungkin seharihari kita anggap biasa. eksplorasi ide-ide psikologis, filosofi, sosiologi dan surealisme Inio Asana dalam Goodnight Punpun menjadikan karya ini tidak hanya menjadi komik yang menarik untuk di baca, tetapi salah satu karya literatur terbaik yang pernah di buat di abad ini. oleh: Rangga Eka Sakti
Opini B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
H
Bukankah Tuhan Mencintai Keindahan? “Start from the assumption that a work of art could have significance and meaning for your life and go from there. Then, if you still choose to condemn or ignore it, fine. But start with the premise that it’s meaningful. Have faith in art.” – Aaron Rosen
33
34 ilustrasi: donisingo
H
ubungan antara seni dan agama di era modern ini masih terlihat seperti air dan api yang diselimuti oleh preasumsi dan kerap kali dikemas secara berlebihan. Isu ini menjadi penting untuk disimak dengan melihat seberapa pentingnya agama dan seni sebagai faktor yang mendorong pergerakan masyarakat dalam lini masa sejarah. Beberapa pemuka agama dengan segala dalil, doktrin dan dogma mereka menyatakan sikap bahwa seni itu dekat dengan ke m u n g k a ra n. Iko n ke a ga m aa n
dianggap suci dan penggunaannya dalam karya seni bisa dianggap sebagai tindakan penistaan yang mengarah kepada kesesatan dan korupsi moral. Di sisi lain, para pelaku seni-pun merasa tidak mempunyai urgensi untuk menyentuh elemen agama dan spiritualitas, bahkan beberapa dari mereka mengalami “alergi� dengan tertanamnya asumsi bahwa agama menjadi pagar pembatas dalam mengeksplorasi potensi mereka dalam berkarya.
“
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Di tengah derasnya arus fundamentalisme agama, seni bisa menjadi sebuah elemen pemersatu yang dapat menabrak batasan-batasan antar agama yang seringkali menjadi celah konflik.
“
Opini
Di sini, saya tidak ingin teman-teman untuk terlebih dahulu menyatakan keberpihakannya pada sisi manapun. Saya juga tidak ingin turut serta dalam memperpanas perdebatan yang ada. Saya hanya ingin agar teman-teman sadar bahwa seni dan agama adalah dua hal penting yang ikut menggerakkan kita sebagai manusia dalam kehidupan sehari-hari, terlepas dari apapun profesi teman-teman dalam kesehariannya. Ketidakpedulian bisa berujung pada hilangnya kesadaran dan kewaspadaan akan gaya apa saja yang mempengaruhi hajat hidup kita. Hal ini tentunya akan membahayakan kita sebagai manusia yang seharusnya “bebas�. Di Indonesia sendiri, permasalahan ini mungkin tidak b egitu sering m en da pat sorot a n. A ka n tet a pi bukan berar ti kita terbebas dari permasalahan ini. Sebuah contoh yang paling dekat terjadi pada tahun lalu, di mana acara Ladyfast yang di-inisiasi oleh Kolektif Betina di SURVIVE! Garage dibubarkan paksa oleh pihak kepolisian dan organisasi massa yang mengatasnamakan agama tertentu. Seni dipandang sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan kaidah yang diturunkan oleh Tuhan dan bahkan dikaitkan oleh ideologi tertentu yang dianggap tabu. Kasus seperti ini mungkin bisa mengalami eskalasi yang cukup mengkhawatirkan di masa depan, menghambat serta membatasi
35
36
Foto: Salah satu karya Ron Mueck yang berjudul “Youth”
Pertama-tama, hal ini tentunya menjadi sesuatu yang aneh, di mana pada abad-abad sebelumnya hubungan antara seni dan agama bersifat interdependen dan komplementer antara satu dengan lainnya. Seperti yang kita lihat sendiri di sejarah negeri kita, bagaimana agama dibantu oleh seni untuk menyampaikan ajarannya ke telinga rakyat. Selain itu, banyak juga karya seni yang lahir dari pengilhaman sang seniman terhadap spiritualitas, yang beberapa didapatkan melalui pengalaman mereka dalam kehidupan beragama. Agar dapat melihat suatu permasalahan secara menyeluruh, a d a l a h p e n ti n g b a g i k i t a u n t u k mencari tahu terlebih dahulu akar dari permasalah tersebut. Dalam kasus ini, salah satu penyebab dari miskonsepsi antara seni dan agama mungkin dikarenakan oleh bedanya pola pikir antara pelaku seni dan pemeluk agama
sumber: pinterest.com
pergerakan seni dan masyarakat dengan dalih ketidakcocokan antara seni dan dalil agama. Maka dari itu, sebagai manusia yang sadar, alangkah baiknya jika kita mulai mau melihat dan menelaah secara lebih dalam isu mengenai dinamika hubungan antara seni, agama dan masyarakat ini.
dalam melihat dan mengeksplorasi ide-ide. Terlebih lagi, di era modern ini, di mana ide seperti gender, ideologi dan ide-ide kontemporer lain banyak mempengaruhi proses kreatif. Ada beberapa seniman yang tertarik untuk melakukan eksplorasi ide agama dan spiritualitas pada karya-karya mereka. Beberapa contoh yang cukup terkenal adalah karya dari Ron Mueck yang berjudul “Youth” dan Nazif Topçuoglu yang berjudul “Is It for Real?” di mana Ron dan Naziif berusaha untuk menerjemahkan pengalaman spiritual mereka dalam bentuk visual dan mengajak para penikmatnya untuk sama-sama merefleksikan kembali
Opini B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
ilustrasi: donisingo
pandangan mereka akan agama dan pencarian atas satu kebenaran yang dianggap hakiki. Cara mereka dalam mengeksplorasi ide-ide inilah yang seringkali di salah-artikan. Sebagai contoh, Ron Mueck menampilkan sosok bocah kulit hitam yang menatap nanar luka di bagian kanan perutnya, menyerupai sosok Yesus, juga Nazif Topçuoglu yang merekonstruksi lukisan-lukisan gospel kristiani di mana sosok Yesus dan para pengikutnya digantikan oleh subjek perempuan. Cara Ron dalam mengeskplorasi ide opresi dan minoritas dan Nazif yang mengeksplorasi ide feminisme dalam kaitannya dengan agama sering dipandang sebagai suatu bentuk penistaan alih-alih sebagai bentuk ekspresi atas pengalaman spiritual mereka. Interpretasi negatif dan perseteruan menjadi hal yang lumrah dalam kasus ini. Di tengah derasnya arus fundamentalisme agama, seni bisa menjadi sebuah elemen pemersatu yang dapat m enabrak batas anbatasan antar agama yang seringkali menjadi celah konflik. Salah satu contohnya mungkin bisa kita tengok di Inggris, di mana sebuah pameran bertajuk Stations of the Cross: Art and Passion yang mengumpulkan karya-karya “kristianiâ€? dari beberapa seniman di antero Ing gris yang beberapa diantaranya beragama
37
38
Muslim, Yahudi dan bahkan yang memilih untuk tidak memeluk agama apapun. Ini membuktikan bahwa nilai kebaikan yang dikandung oleh agama sesungguhnya bersifat universal dan dapat mengilhami siapa saja yang mau membuka lebar pintu pengalaman spiritual mereka, tanpa perduli mereka itu siapa dan berasal dari golongan apa. Di sini, seakan tidak ada tempat bagi perseteruan. Perbedaan pandanganlah yang justru menjadikan pameran ini menjadi “kaya� dan menarik untuk disimak. Suatu hal yang saya rasa perlu kita coba terapkan di negara Indonesia yang bersemboyan “bhinneka tunggal ika� ini. Pada akhirnya, permasalahan hubungan antara seni, agama dan masyarakat mungkin sering tertimbun oleh hiruk-pikuk berita inflasi, pemilihan kepala daerah atau bahkan keluarnya salah satu anggota dari boyband ternama. Namun, harus kita sadari pentingnya seni dan agama sebagai dua faktor yang tidak hanya dekat dan juga berpengaruh di kehidupan sehari-hari kita sebagai individu. Kedua hal itu jugalah yang ikut berperan mengarahkan kita sebagai masyarakat dalam linimasa menuju masa depan. alih-alih memperdebatkan kebenaran antara seni dan agama, alangkah baiknya jika kita dalami lagi hakikat dari interaksi antara seni dan agama. Mungkin, satu kata yang saya rasa
cocok untuk menjawab permasalahan ini adalah ekspos. Masyarakat sebaiknya mau dan membuka diri untuk terekspos oleh seni. Para pelaku seni-pun tidak boleh merasa alergi terhadap isu-isu keagamaan yang kaya akan nilai spiritualitas. Harapan kedepannya, akan muncul kondisi di mana spiritualitas dan agama membawa seni keluar dari galeri dan merangkul mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk berdiskusi panjang lebar di pameran-pameran seni. Di sisi lain, seni membawa pengalaman audio, visual, ruang dan media lain dalam proses mengar tikulasikan agama dan spiritualitas, mengajak masyarakat untuk lebih dalam meresapi dan memahami kembali ajaran yang selama ini mereka agung-agungkan, Jika dilihat-lihat lagi, bukankah Tuhan mencintai keindahan?
oleh: Rangga Eka Sakti
Review - Film B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
GOOD VIBRATIONSther
o J u s t A nP u n k! Nor t hern
1970, perang telah usai. Akan tetapi perbedaan ideologi dan agama masih kerap dijadikan suatu perbedaan penuai konflik. Tak terkecuali seperti yang pernah terjadi di Belfast, Ulster, Irlandia Utara, dengan salah satu konflik yang terkenal, The Troubles. Filem biografi berdurasi 1 jam lewat 43 menit ini tidak secara spesifik menceritakan tentang seluk beluk konflik tersebut. Akan tetapi, filem ini menceritakan kisah Terri Holey (Richard Dormer), seorang warga Irlandia Utara dengan kisah hidup yang terbalut oleh konflik dan musik. Terri mempunyai gairah yang besar akan musik. Hal ini membuatnya
menjadi seorang pengkoleksi rilisan fisik musik dan menjadikannya seorang DJ di pub The Harp. Sampai akhirnya setelah ia menikah dengan Ruth (Jodie Whittaker), ia menjalakan sebuah bisnis Good Vibrations Records Store yang menjual berbagai macam piringan hitam (LP) dan 7inch (Single). Dengan berbagai pengalaman hidupnya di masa konflik tersebut, ia ingin konflik tersebut cepat usai agar masyarakat dapat hidup dalam damai. Pada suatu hari, tokonya didatangi oleh anak muda yang menanyakan tentang rilisan dari beberapa band punk yang ingin ia beli. Sayangnya, toko Terri hanya menjual rilisan tua dan Terri-pun
39
40
Sutradara Lisa Barros D’Sa, Glenn Leyburn Tanggal Rilis 31 Mei 2012 Dibintangi Oleh Jodie Whittaker, Richard Dormer, Liam Cunningham Durasi 1 jam 43 menit
sama sekali tidak mengerti tentang musik punk. Seketika, anak muda tersebut memberikan sebuah poster gig kepada Terri yang membuatnya tertarik untuk datang. Musik yang sedikit lebih keras dan berbeda dari yang biasa Terri dengarkan membuat rasa penasarannya semakin memuncak. Berawal dari gig tersebut, antusiasme Terri akan semangat anak muda yang membenci pemerintah otoriter dan para penuai konflik, mempertemukannya dengan beberapa gelombang pertama band punk di Eropa seperti Rudi, The Outcast dan The Undertones, sekaligus membuat band-
band tersebut semakin mengudara di bawah label Good Vibration Record yang dikelola oleh Terri. Jika beberapa dari kita mengenal Hilly Kristal sebagai godfather of punk berkat CBGB-nya, maka di sini Terri Holey juga layak untuk kita sebut sebagai godfather of Belfast punk. Ia melahirkan sebuah DIY Record Label dengan semangat punk dan menghidupinya dengan sekuat tenaga di tengah konflik yang berkepanjangan di Irlandia Utara. It didn’t matter what color your hair was, or whether you were a Protestant or a Catholic, it just mattered that you were a punk. oleh: Kevin Aldrianza
Happened
Graviky Labs:
Mendaur Ulang Polutan Pencemar Udara
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Polusi udara memang mejengkelkan. Mulai dari asap hasil saluran buang motor yang menembak-nembak tepat ke arah muka sampai emisi gas buang dari bus kota yang seringkali membuat nafas sesak. Keluhan dan umpatan s e r in g k a li te r l o nt a r k a re n a nya . Menyebalkan memang. Akan tetapi apakah polusi udara tersebut dapat kita manfaatkan menjadi sesuatu yang lain? Pertayaan tersebut telah dijawab oleh Anirudh Sharma dkk. Baginya, mengeluh dan mengumpat saja tidaklah cukup. Berawal di Mumbai, ketika pekatnya emisi gas buang dari mesin diesel yang secara tak sengaja mengotori kaus yang pada saat itu dikenakannya, tercetuslah ide kreatif untuk membuat tinta dari pigmen hitam yang terkandung dalam emisi gas buang tersebut. Tiga tahun terakhir dihabiskannya untuk mengembangkan alat yang berfungsi untuk menapis jelaga yang ditimbulkan oleh emisi gas buang dari
mesin diesel dan mendaur ulangnya menjadi tinta. Maka terciptalah AirInk, tinta hitam yang dikembangkan oleh Graviky Labs, sebuah kolektif yang didirikan oleh Anirudh Sharma dan Nikhil Kaushik. Air-Ink adalah tinta pertama yang dibuat dari hasil tapisan polutan gas buang dari kendaraan bermesin. Jelaga yang dibutuhkan untuk memproduksi Air-Ink dikumpulkan melalui sebuah perangkat berbentuk silinder yang diberi nama Kaalink. Perangkat tersebut didesain sedemikian rupa untuk kemudian dipasang pada mulut saluran buang dari kendaraan bermesin dengan tujuan menangkap dan menapis partikelpartikel jelaga hasil pembuangan kendaraan bermesin tersebut yang kemudian akan diolah lagi oleh Sharma dan timnya menjadi produk tinta. Dalam setahun terakhir, Sharma mengaku bahwa dia dan timnya telah menapis hampir 1,7 miliar liter udara di Hongkong dan India untuk
41
14
membuat 770 liter tinta Air-Ink. Setiap kurang lebih 40-50 menit gas buang yang ditangkap oleh Kaalink, dapat mengisi penuh pena dengan volume 30 milimeter. Sedangkan selama kurang lebih 2000 menit gas buang yang ditangkap oleh Kaalink, dapat mengisi sebuah tabung berkapasitas 600 mililiter. Menarik bukan? Pada akhir bulan Maret 2017 yang lalu, sebuah galeri pop-up bertajuk The World’s First Clean Air Gallery dibuat di Windrush Square, London. D a l a m g a l e r i p o p -u p te r s e b u t , dipamerkan beberapa karya seni dari Mr Doodle, Roderick Mills, Jonny Hannah, Josh Parkin dan Goodwives and Warriors yang berasal dari lima kota dengan tingkat polusi tertinggi
Foto: Mural dari salah satu street artist, Buff Monster, yang dibuat dengan menggunakan Air-Ink
di Britania Raya (London, Glasgow, Leeds, Southampton dan Nottingham). Karya-karya dari para seniman tersebut dikreasikan dengan menggunakan tinta Air-Ink yang dikumpulkan dan diolah dari hasil penapisan gas buang beberapa kendaraan bermotor selama lima hari. Kini, polutan pencemar udara yang seringkali merugikan dan menimbulkan penyakit pernafasan dapat diperdayakan menjadi media untuk berkarya dan bersenang-senang.
When life gives you lemons, make life takes the lemons back! oleh: korporatvampir
Serba-Serbi
Cak Udin:
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Mencari Jalan Pulang Dinamika bergejolak yang terjadi dalam banyak aspek kehidupan belakangan membawa agama turut mengambil bagian. Banyak guncangan yang terjadi, namun, bagaimanakah dinamika antara seni dan agama hari ini? Apakah seni dan agama bertentangan?
foto: Angga Y. Saputra
43
44
S o re m e nje la n g m ala m itu , dihantarkan oleh gerimis, Blurg! berkesempatan untuk berbincang mengenai gejolak-gejolak ini dengan seorang teman. Cak Udin, seorang teman yang aktif berkegiatan di dunia kesenian, terkhusus sastra, begitu pula dengan aktifitas keagamaan. Menanggapi gejolak ini, Cak Udin melihat bahwa antara agama dan seni tak perlu dipertentangkan. Baginya, pergejolakan yang terjadi akhir akhir ini diakibatkan oleh justifikasi tentang apa yang terlihat (materiil) dari apa yang tidak nampak (immateriil). Namun, hal ini bagi Cak Udin pribadi tak terlalu dipermasalahkan dan dalam menghadapi kondisi ini, ia pun memilih untuk tetap menjadi seorang Udin. Bagi Cak Udin, pengalaman berkesenian tak dapat dipisahkan oleh pengalaman beragama atau pengalaman spiritual masingmasing. Kemampuan untuk mencipta dan kemampuan estestis manusia sebenarnya disematkan Tuhan ke dalam diri setiap manusia (melalui hal-hal terdekatnya; pengalaman). Pengalaman manusia merupakan pengalaman spiritual selama dia
memunculkan nilai-nilai kesadaran dan melakukan tindakan reflektif. “Seni, agama dan masyarakat adalah satu kesatuan� ujar Cak Udin. Ketiga hal ini tentu menjadi sebuah kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keindahan ada dalam setiap agama dan itu merupakan bentuk seni. Hidup tanpa seni tidak akan indah, hidup tanpa agama tidak akan bahagia dan hidup tanpa pendidikan tidak akan maju. Ketiga hal tersebut interdependen dan pelakunya adalah masyarakat. Seni bagi Cak Udin merupakan medium ekspresi jiwa dan agama baginya adalah tata aturan untuk manusia yang bersifat baku. Ruang l e n t u r y a n g d i m ili k i s e n i d a p a t menjadi medium bagi agama untuk diterima dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan seni yang mampu mengkritisi, merumuskan dan berdialog dengan jaman. Kembali menanggapi pergejolakan yang terjadi, Cak Udin m e lih atnya s e b a ga i a k ib at da r i minimnya ruang diskusi mengenai hal-hal ini, yang kemudian menjadi penyebab adanya keterputusan yang terjadi. Namun, hal ini justru dilihat oleh Cak Udin sebagai tantangan jaman.
Serba-Serbi oleh: Frida Sibarani
“
Pengalaman manusia merupakan pengalaman spiritual selama dia memunculkan nilai-nilai kesadaran dan melakukan tindakan reflektif.
“
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Menjawab tantangan jaman yang serba instan; membuat proses menjadi seakan terlewati dan menelan secara mentah segala bentuk informasi, dapat dimulai dari menanamkan tindakan reflektif. Berbenah dapat dimulai dari diri sendiri, berkaca dan sadar bahwa tidak semua hal dapat disamaratakan, inilah salah satu petuah hasil perbincangan sore itu. Karena, banyak cara bagi manusia untuk sampai kepada Tuhan dengan caranya masing-masing. Tentang anggapan yang muncul, itu dipengaruhi banyak hal dan segalanya dikembalikan lagi kepada niat kreator dengan kesadaran bahwa apa yang nampak belum tentu seperti yang diniatkan. Nilai-nilai yang dijabarkan Cak Udin ini juga menjadi nilai yang selalu coba ia angkat dalam setiap kesempatan. Seperti perumpamaan anak hilang yang kembali ke rumah bapaknya, sep er ti itula h p e s a n ya ng ingin disampaikan oleh Cak Udin. Seni, yang diumpamakan oleh anak hilang, agar boleh kembali ke rumah bapaknya, yakni marwahnya (alamnya).
45
44
Galeri B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Ilusi Inseminasi/ Inseminasi Semu
Proses penanaman ide ke dalam benak manusia sering terjadi tanpa kita sadari. Pelan-pelan, banyak golongan yang mendekat dan mencoba merasuki alam pemikiran dengan cara yang kadang tidak pernah kita pikirkan. Gagasan yang dengan mudahnya bercokol di kepala kita sering juga mengaburkan pandangan kita, mendikte kita atas tindak-tanduk dan bagaimana cara kita untuk menghadapi
isu di kehidupan sehari-hari. Ditambah lagi, ide-ide yang dengan derasnya menyerbu masyarakat ini acap kali saling bertabrakan satu dengan lainnya, merebakkan ketidakteraturan dan mengacaukan harmoni. Bahayanya, terkadang gagasan tersebut diselimuti oleh kata-kata indah dan berbunga, tanpa kita sadari lebih jauh duri-duri yang terdapat di dalamnya.
47
Tulisan oleh: Rangga E. Sakit Foto oleh: Fauzan Rafli Angga Y. S Model: Bernandi Desanda Thobi Buntaran
48
Opini B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
“Lihatlah! Iblis dan setan-setan itu senantiasa hadir untuk memberi ilham dalam proses-proses kebudayaan, penciptaan seni dan keindahan ...� (dipetik dari QS. 15:39, 40; 24:21) 1
1
Hamdy Salad. 2000. Agama Seni: Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik. Yogyakarta: Penerbit Semesta.
49
50
T
Seni dan Agama:
Berbagi Gelisah di Lahan Basah
unai sudah pembahasan seni dan agama melalui dua opini sebelumnya; mengenai sejarah dan dinamikanya kini. Namun, sebelum benar-benar mengakhiri bahasan pada edisi ini, saya akan memaparkan perspektif lain yang mungkin dapat memanggil kembali memori kita mengenai hubungan agama dan seni. Konklusi bukan janji, sebab saya hanya mencoba menuliskan berdasarkan kegelisahan pribadi.
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
“ “
Opini
Sebelum membahasnya, perlu teman-teman ketahui, ketika menuliskan nukilan ini, saya sedang dilanda rindu begitu hebatnya kepada seorang lelaki di luar sana. Saya rindu pulang ke “rumah�. Mungkin, agama dan seni mengalami ikhwal serupa dengan yang saya alami malam ini: kerinduan untuk kembali ke fitrahnya. Memang benar bila relasi antara agama dan seni hari ini seolah-olah mengalami segregasi. Tetapi yang tak boleh luput dari pemahaman kita bahwa opini kedua hanya membahas persinggungan agama dalam konteks seni rupa saja. Ia tidak, atau belum secara holistik mendedah persinggungan agama dengan produk seni lainnya. Lantas, bagaimana hubungan agama dan seni di ranah lainnya? Di wilayah yang tidak terbatas pada satu ruang bernama galeri. Hubungan seni dan agama merupakan kelindan sumbu yang mudah terbakar. Terbakar menjadi nyala terang ba gi peradaban di satu sisi, sedang di sisi lainnya dapat menjadi kobaran besar yang membakar masyarakat menjadi abu. Jika pada mulanya seni dan agama bersifat komplementer karena seni merupakan produk kreativitas dan imajinasi manusia yang terangkum dalam keindahan, di mana cukup memudahkan proses sinkretisme agama dengan budaya lokal sehingga
51
52
mudah diterima masyarakat, kini hubungan keduanya mengalami pergeseran. Bila dahulu agama dan seni memutuskan untuk melebur dan m enghasilkan anak b er upa kebudayaan, kini anak tersebut d i ko o pt a si o l e h p e m ili k m o d a l. Seni musik misalnya. Ketika bulan
agama dan seni dalam satu ruang yang sama, namun dengan tendensi berbeda: komplementer dan sebaliknya, mendedah agama dengan rasionalitas. Begitulah kira-kira, kelindan seni dan agama untuk budaya massa di luar seni rupa, cenderung lebih populer daripada agama dan seni di dalam galeri
Ramadhan tiba, berbondong-bondong musisi di Indonesia merilis single bahkan album bernuansa Islami. Dalam Atheis, buah pena Achdiat K. Mihardja, mencoba mengatakan kedigdayaan agama yang diamini manusia sebagai kekuatan besar di luar dirinya di mana akhirnya membuat manusia tersungkur begitu saja. Atau melalui film dokumenter Until The Light Takes Us yang menyiarkan bagaimana black metal melawan dominasi gereja di Norwegia. Keduanya, menghadirkan
seni. Adalah media massa yang turut serta menyokong keberlangsungan tersebut. Saya sedang tidak meringkas bahwa penubuhan agama melalui seni serupa itu dewasa ini sematamata untuk kepentingan pasar. Hanya saja, kecenderungan sedemikian itu memang sedang terjadi dan terus bergulir. Tidak saja menjamin eksistensi agama dan seni sendiri dalam kebudayaan, tetapi juga menghasilkan keuntungan bagi si kapital. Komodifikasi terhadapnya menjadi niscaya, bahwa
Opini B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
radikal itu menjual. Hal-hal mendasar dan ideologis menjadi suatu hal yang seksi untuk dipasarkan, tidak terkecuali agama melalui seni. Sebab agama dan seni sangat dekat dengan kita dan merupakan kebutuhan, konsumsi terhadapnya menjadi menarik untuk ditelisik. Pertama, mengapa produk agama dan seni di luar galeri seni mudah diterima masyarakat? Untuk menjawabnya, kita bisa kembali ke konsep seni untuk budaya massa. Bahwa karya yang dihasilkan, yang seolah-olah memuat nilai tertentu seperti agama, diproduksi massal semata-mata untuk mengakumulasi modal. Dikemas seindah dan “sedekat� mungkin dengan pangsa pasarnya, ser ta tercantum teks untuk lebih memudahkan konsumen mencernanya. Sehingga tidak memerlukan indikasi tertentu guna mengkonsumsi produk seni tersebut. Baik produk seni yang melanggengkan agama, maupun yang mendekonstruksinya. Lain halnya dengan seni rupa, di mana untuk dapat mengkonsumsinya, kita perlu hadir ke galeri-galeri terdekat. U n t u k m e n ge r t i m a k s u d k a r y a yang dipamerkan, perlu preferensi estetika dan pemahaman semiotika lebih mendalam. Ketika seni rupa menggoreskan lanskap yang tertoreh di kitab, dengan segala eksplorasi bentuk, melulu dianggap menistakan agama.
Jika demikian, apakah kemudian konsumsi atas agama masih sebatas konsumsi simbol belaka? Atau, apakah kita masih terjebak dalam dogmadogma agama dan belum cukup berani untuk menginterpretasikannya secara lain? Te ntu s a ja hal ini tida k a k a n memunculkan jawaban tunggal, sebab masing-masing dari kita pasti memiliki asumsi yang berlainan. Kemudian, apakah ketegangan demikian tidak dapat diuraikan? Adalah sia-sia kalau manusia modern yang mengedepankan rasionalitas tidak mampu menguraikan benang kusut ciptaannya sendiri. Tidak ada yang salah ketika kita mengamini kebenaran kita masing-masing. Menjadi keliru jika kita enggan merekognisi kebenaran di luar kebenaran yang kita amini. Terbuka dan mencoba memahami perspektif liyan dalam menginterpretasi sesuatu seperti seni dan atau agama, setidaknya dapat menurunkan tensi ketegangan. Berkaca pada pameran Jinayah Siyasah yang dikurasi oleh Sita Magfira dan diikuti oleh The Popo sebagai salah satu senimannya, ketika akhirnya seniman terlibat dengan para santri di Krapyak, Yogyakarta, pada akhir 2015 lalu, saling meleburkan batasanbatasan yang melekat pada dirinya setelah mengalami proses residensi di pesantren tersebut. Dari situ, saya semakin yakin kalau ketegangan antara
53
54
ilustrasi: donisingo
agama dengan seni yang pernah terjadi pada tahun 2016 lalu di Yogyakarta terjadi karena tidak adanya kemauan dari kita untuk mengerti dan saling terjebak pada rasionalitas masingmasing. Ser ta, jangan lupa bila ketegangan tersebut sarat kepentingan dari oknum terkait. Syahdan, sudah saatnya kita mengembalikan dua entitas ini ke fitrahnya, di mana agama merupakan medium masyarakat mengartikulasikan kekuatan besar di luar dirinya dan seni yang merupakan bentuk ekspresi atas kreativitas serta imajinasi melalui keindahan, merupakan dua entitas yang tidak atau belum dapat terpisahkan. Baik saling mendukung satu sama lain atau mendekonstruksinya. Toh, pola kerja keduanya memiliki kesamaan. Melepaskan segala dogma yang sekiranya hanya membatasi ruang gerak sebagai manusia bebas, memang dirasa mustahil bila membawa agama. Begitu pula sebaliknya, mendaku-daku kebebasan berekspresi melalui seni dengan menerabas segala batas, hanya akan menambah panjang pekerjaan rumah. Maka dari itu, perlu adanya kontekstualisasi bila ingin mengawinkan ke d u a n y a . J a n g a n s a m p a i k i t a terkungkung pada rasionalitas kita masing-masing seperti perkataan orang tua yang telah berkalang tanah ratusan tahun itu. oleh: Mega Nur
We Ask, You Answer B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Wok the Rock merupakan salah satu seniman kota Yogyakarta yang lahir di Madiun, Jawa Timur. Ia aktif di skena musik bawah tanah sejak tahun 1999. Alumni Desain Komunikasi Visual Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini merupakan pemrakarsa sebuah label musik bernama Yes No Wave. Selain itu, Wok the Rock merupakan direktur dari ruang kolektif seni Ruang MES 56 yang juga berbasis di Yogyakarta. Kiprahnya di dunia seni memang sudah tidak diragukan lagi. Beruntungnya kami mendapatkan kesempatan mengobrol intens mengenai ini-itu bersama “bos punk� ini di ruang kolektif seni Ruang MES 56 beberapa waktu lalu.
55
56
foto: Angga Y. Saputra
We Ask, You Answer B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Wok: Sebelumnya aku bikin label di tahun 1999. Tahun segitu merupakan tahun yang penting di Yogyakarta. Karena bisa dibilang saat itu dimulainya semangat independen dalam musik. S e m u a o r a n g b e r l o m b a -l o m b a membuat musik sendiri. Rekaman sendiri, didistribusikan sendiri. Jaman dulu, hal seperti itu dibilang “sesuatu banget”, karena dulu yang bisa rekaman hanya band-band besar. Pada tahun segitu di Yogyakarta sendiri studio rekaman itu cukup banyak jumlahnya tetapi logika untuk rekam lagu sendiri kemudian menggandakannya dan menjualnya belum ada. G e r a k a n - ge r a k a n D I Y ( D o I t Yourself) mendukung dan mendorong band-band “kecil” itu untuk rekaman dan kemudian menjualnya. Setelah itu, seketika logika orang-orang berubah. Akhirnya banyak yang mulai membuat lagunya sendiri lalu masuk ke proses rekaman. Meskipun dengan hasil seadanya, rekaman tersebut tetap diedarkan. Cara mengedarkannya juga baru, dengan cara mengajak temanteman yang ter tarik menjualnya. Kem u dia n m un cul dis tro-dis tro (distribution outlet) yang membantu menjualkan zine dan album-album rekaman tersebut. Tahun 2004 kami ada konflik dengan salah satu band berlabel besar. Saat itu penghasilan juga susah dikelola karena manajemennya yang
kacau. Akhirnya kami memutuskan untuk bubar saja. Saat itu juga aku sedikit bosan dengan acara-acara musik. Sampai di tahun 2007, aku memutuskan untuk balik ke dunia musik. Saat itu internet mulai popular. Warnet bermunculan di mana-mana dan perilaku penggemar musil mulai berubah. Orang-orang lebih nyaman mendengarkan musik dengan format mp3. Orang lebih memilih untuk mengunduh dan meng- copy lagu-lagu dari internet. Semangat “berbagi” menjadi sistem yang selalu ada. Akhirnya, aku memutuskan untuk memakai format mp3 saja lalu dibagikan ke internet se-album penuh dengan kualitas yang bagus, resmi dan legal. Sedikit berbeda dengan skema unduh yang lain, merilis album yang resmi menjadi konsep utama. Kata pengantar dan sampul yang proper dicantumkan pada file unduh. Jadi rasanya tetap seperti rilisan resmi, hanya bedanya rilisan ini memakai format digital. Menurut mas Wok, seni itu apa sih? Wok: Seni adalah representasi hasil pikiran manusia secara imajinatif. Ibarat ilmu ekonomi yang membuat sesuatu untuk manusia dan kehidupan dengan teori-teori ekonomi dan manajemennya, seniman itu hampir sama, membuat sesuatu dari apa yang dilihat dan
57
58
dirasakan, lalu disampaikan. Jadi, representasi pikiran dari kehidupan tetapi ada nilai imajinatifnya. Kata lainnya yaitu kreatif, apapun bentuknya. Jadi makanya terkadang orang melihat seni itu berbeda. Seniman itu sosok yang melihat dan mendengar kehidupan melalui Imajinasi yang radikal. Apa sih yang membuat karya seni itu menjadi menarik? Wok: Karya yang bisa memberikan inspirasi ke orang lain dan menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu. Peran seni dalam kehidupan Mas Wok itu sendiri seperti apa? Wok: Seni membuatku menjadi manusia yang kritis dan terbuka terhadap segala hal. Karena seni itu merupakan buah pemikiran yang imajinatif. Siapa sih yang menjadi inspirasi Mas untuk terus berkarya? Wok: Banyak sekali. Salah satunya adalah seniman dari belanda yang b er nama J o n a s St a a l. Itu yang menggerakkan aku kembali untuk berkarya dengan tema-tema politik. Pada masa itu, aku sempat skeptis dengan kar ya-kar ya seni yang
mengandung unsur-unsur politik. Tapi, Jonas Staal menyampaikannya dengan cara yang berbeda jika dibandingkan seniman-seniman maupun aktivisaktivis lain. Selain itu, ada Sigit Bius yang cukup memperhatikan isu-isu kontekstual dengan kar ya-kar ya interdisiplin-nya yang memberikan inspirasi bahwa seni itu dapat mewujud dalam macam-macam bentuk. Apa yang terakhir kali Mas Wok dengarkan, baca atau tonton? Wok: Sekarang ini lagi suka mendengarkan radio online WFMU dari Amerika, Triple R dari Australia dan Resonance FM dari Inggris. Juga ada satu album yang sedang aku dengarkan secara terus menerus yaitu Yamasuki Singers dan band Inggris Bruxa Maria yang mengangkat permasalahanpermasalahan yang baru saja terjadi seperti Brexit . Untuk buku sendiri, aku sedang baca Self Design yang didalamnya sang penulis ber fikir bahwa seniman zaman sekarang itu seperti didesain, dibentuk sehingga seperti dimodifikasi dan tidak bisa menyampaikan seni di dalam dirinya sendiri. Kalau film, aku lagi suka Agnes Varda dan Sonoshion. Mereka itu film maker dari Prancis dan Jepang. Selain itu, ada salah satu film dengan judul The Love Witch.
We Ask, You Answer
Mas Wok membayangkan diri Mas Wok ini menjadi seperti apa sih di 10 tahun yang akan datang?
Apa yang mas lakukan jika ada seseorang yang “mencuri karya� mas wok?
Wok: Menjadi seniman yang lebih radikal tetapi juga reflektif dari segi pemikiran dan aksi. Karena kondisi politik global ini aku rasa memang juga sudah tidak sehat.
Wok: Kalau nyolong ide itu tidak mengapa. Karena suatu gagasan itu merupakan suatu keharusan untuk disebarkan. Artinya, pengetahuan yang aku miliki itu tersebar. Kalau ada orang nyolong ideku itu berarti ia beranggapan bahwa apa yang tak buat itu suatu pengetahuan yang baik baginya.
Di mana sih tempat favorit Mas untuk membuat karya? B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Wok: Kalau saya di mana saja asal bisa merokok. Tetapi biasanya saya melakukan perjalanan untuk mencari inspirasi. Selain itu, juga ditempattempat ramai. Kesan dan pesan apa yang ingin Mas sampaikan lewat karya yang sudah dibuat dan yang akan dibuat? Wok: Sebetulnya, karya-karyaku mengajak orang-orang untuk berpikir kritis dengan cara yang populer. Aku rasa, karya-karya yang populer akan lebih mudah untuk ditangkap maksudnya.
Jika Mas Wok ini bukan seorang seniman, kira-kira Mas Wok akan menjadi apa? Wok: Bakul koran. Untuk melanjutkan bisnis ayahku. Aku mendapatkan banyak pengetahuan juga dari majalahmajalah dan koran-koran. Sampai suatu saat, aku pernah bercita-cita untuk menjadi redaktur artistik di salah satu malajah remaja. Jika diibaratkan sebagai binatang, kira-kira Mas Wok ini binatang apa? Wok: Kunang-kunang, dengan masa hidupnya yang cepat. Intinya, ngapain lama-lama hidup jadi hewan? Enggak bisa apa-apa.
wawancara oleh: Yngvie Nadiyya dan Rangga Eka Sakti
59
14
foto: dAngga Y. Saputra
Review - Event
Sebuah Penyegaran di Pertengahan Pekan Sekitar pukul tujuh, Rabu malam, 22 Maret 2017, hujan mengguyur sebagian besar kota Yogyakarta. Tak terkecuali di daerah jalan Seturan, salah satu jalan di bilangan Caturtunggal di mana Sketsa Pulang Kerja memilih untuk melakukan kegiatan mingguannya pada minggu ke-tiga di bulan Maret tersebut. Tuanmuda Cafe tepatnya, salah satu kafe di antara sederetan kafe-kafe lainnya yang bertempat di tepian jalan Seturan ini dipilih sebagai tempat bagi teman-teman Sketsa Pulang Kerja untuk menenangkan dan menyegarkan kembali pikirannya sepulang dari rutinitas kantor dan perkampusan yang terkadang terasa melelahkan. Awalnya, tak banyak yang datang terlihat di Tuanmuda Cafe. Beberapa
teman Sketsa Pulang Kerja memang datang pukul tujuh, sesuai dengan yang tertera di poster acara, beberapa lainnya datang sedikit “terlambat� malam itu. Suara hujan yang bertabrakan dengan atap kafe dan aspal jalan seakan semakin melantangkan sepi yang kebetulan datang lebih awal mengisi bangku-bangku di Tuanmuda Cafe, akan tetapi hal ini sama sekali tidak menciderai semangat dan gelak canda dari mereka yang datang lebih awal. “Ya, kami memang sesantai ini, enggak ada hal yang mengharuskan siapapun harus datang tepat jam tujuh. Mungkin karena hujan juga, temanteman yang lain jadi berhalangan datang,� ujar Yani Dwijayanti, salah satu koordinator Sketsa Pulang Kerja di kota Yogyakarta. Beberapa saat
foto: dokumentasi blurg!
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Melepas penat, bersenda gurau dan berkarya santai bersama Sketsa Pulang Kerja.
61
62
kemudian, satu per satu wajah muncul mencoba mematahkan pernyataan Yani mengenai hujan tersebut. Perihal semangat, tak perlu diragukan lagi. Hujan seakan tidak menjadi halangan bagi teman-teman Sketsa Pulang Kerja untuk berkreasi dan melepas penat bersama. Sebagian terlihat langsung mencari tempat yang dirasa paling nyaman untuk menggambar setelah saling bertegur sapa, sebagian lainnya memilih untuk ngobrol ngalor-ngidul terlebih dahulu dengan beberapa teman lainnya sebelum akhirnya mulai menggambar. Ta k s e m a t a - m a t a d a t a n g menggambar lalu kemudian pulang, terlihat juga interaksi yang terjadi antar teman-teman Sketsa Pulang Kerja. Dari pertukaran obrolan ringan, keluh kesah mengenai apapun yang terjadi selama seminggu sebelumnya sampai sharing mengenai teknik-teknik menggambar menjadi beberapa contoh bentuk interaksi yang tak sekedar menjadi porsi sampingan semata. Sesi foto bersama menjadi agenda wajib yang dilakukan ketika ada salah satu teman yang memutuskan untuk pulang lebih awal. Sketsa Pulang Kerja yang berawal dari kota Bandung, dibawa ke kota Yogyakarta oleh Yani Dwijayanti dan Amanda Octavianti pada November 2016 lalu. Hari Rabu sendiri dipilih sebagai wak tu dilaksanakannya
acara menggambar mingguan ini karena dianggap sebagai satu hari di pertengahan minggu, di mana temanteman dirasa sedang penat-penatnya dalam menjalani rutinitas. Sketsa Pulang Kerja diharapkan dapat menjadi tempat beristirahat dan menyegarkan kembali pikiran-pikiran yang sedang dilanda penat. Tanpa ada batasan tertentu, semua bebas digambar di sini, apapun medianya. Tenang, tak perlu mengejar ijazah dan melemparkan curriculum vitae ke sana-sini terlebih dahulu untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan mingguan Sketsa Pulang Kerja. Tak perlu juga menunjukkan tiga lembar slip gaji terakhir untuk dapat berpartisipasi di dalamnya. Meski berjalan bersama di bawah nama Sketsa Pulang Kerja, acara menggambar mingguan ini terbuka bagi siapapun, baik yang sudah bekerja maupun yang belum. Tak ada larangan bagi siapapun untuk berpartisipasi di dalamnya. Tanpa kontrak yang mengikat, tanpa program tertentu yang terkesan membebani, teman-teman Sketsa Pulang Kerja berharap untuk dapat tetap berjalan terus kedepannya tanpa harus ngoyo mengejar sesuatu yang muluk. Ya, Sketsa Pulang Kerja memang sesantai itu.
oleh: korporatvampir
Review - Event
Jogja-Netpac Asian Film Festival 2016
Festival film seringkali menjadi ajang yang penting dalam perkembangan dunia per filman, khususnya di Indonesia. Festival film tidak hanya menjadi tempat bagi para film maker untuk memamerkan kar ya-kar ya mereka, akan tetapi juga menjadi titik temu masyarakat dan insan perfilman di mana ide dan konsep dapat didiskusikan secara langsung dan terbuka. Selain itu, peran festival sebagai tempat edukasi masyarakat juga menjadikannya sesuatu yang penting dalam dunia perfilman. Pa da t a n g gal 28 N ove m e b e r sampai 3 Desember 2016 lalu di kota Yogyakar ta, Jogja-Netpac Asian Film Festival (JAFF ) yang ke-11 diselenggarakan dengan mengusung
tema “Islandscape�. Festival film yang diselenggarakan di beberapa venue yang tersebar di seluruh kota Yogyakarta ini menayangkan lebih dari 90 film dari dalam dan juga luar negeri. Tidak hanya itu, JAFF 11 juga menyelenggarakan lokakarya perfilman yang dipandu oleh insan perfilman nasional dan juga internasional. Mengikuti serangkaian ac ara festival film ini dari awal tentulah menjadi pengalaman yang cukup menarik. Bagaimana tidak, kapan lagi kita dapat menikmati berbagai tayangan film yang berkualitas dan tidak bisa dengan mudah kita temukan pada jadwal tayang bioskop reguler. Lokakarya yang diselenggarakan pun sarat dengan ilmu tentang dunia film
foto: dokumentasi blurg!
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
Hajatan Tahunan bagi Mereka yang Mendamba Film Alternatif di Yogyakarta
63
64
making yang disampaikan oleh para pemateri dengan penuh sukacita. Yang paling penting, tiket yang dibanderol untuk bisa menikmati film-film bermutu ini-pun terhitung relatif murah. Hanya dengan lima belas ribu rupiah saja, teman-teman bisa menikmati berbagai macam hal yang disuguhkan oleh JAFF ke-11 ini, jauh dari harga tiket masuk bioskop pada umumnya. Namun selama acara berlangsung, masih ada hal yang terasa cukup mengganjal. Beberapa venue acara festival film ini masih terlihat lenggang. Banyak teater yang hanya di hadiri oleh penonton yang jumlahnya dapat dihitung dengan jari. Dengan segala potensi yang dimiliki oleh perhelatan ini, sungguh sangat disayangkan jika pada akhirnya minat dari masyarakat terbilang minim. Masyarakat masih menggenggam erat stigma lama yang melihat festival film sebagai sesuatu yang terlalu “nyeni� dan sulit untuk dicerna. Mungkin memang masih dibutuhkan usaha yang ekstra untuk menggerus stigma lama yang sudah kadung tertancap di benak masyarakat. Tidak adil rasanya jika permasalahan ini hanya diserahkan kepada insan perfilman saja, karena terbukti di acara JAFF 11
ini kita bisa melihat bagaimana usaha mereka dalam mewujudkan sebuah ajang bagi film maker dan publik untuk saling bertemu dan bercengkrama secara inklusif dan edukatif. Mungkin memang sudah saatnya bagi kita untuk sadar bahwa sungguh sangat disayangkan jika film hanya berhenti Foto: Rangkaian acara JAFF 2016 yang berupa Talkshow bersama Djenar Maesa Ayu.
fungsinya sebagai media hiburan saja, karena dengan begitu film hanya akan berakhir menjadi produk fabrikasi para oligopolis teater dan rumah produksi, tanpa menyisakan esensi seni dan edukasi dari perfilman itu sendiri. oleh: Rangga Eka Sakti
Fashion
Hijab
Ajeng Pratiwi:
Padu Padan
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
&
DeathMetal
K
aos merchandise band metal, jeans robek dan sneakers menjadi amunisi utama Ajeng dalam berpakaian sehari-hari. Kecintaannya terhadap musik metal dan determinasinya dalam berpakaian sesuai dengan aturan agama yang dipercayainya, ternyata membuat sebuah perpaduan gaya berpakaian yang bisa dibilang out of the box. Bagi mahasiswa Institut Seni Indonesia ini, fashion adalah cara untuk mengukuhkan identitasnya. Perjalanannya dalam menentukan gaya berpakaian berawal dari kecintaannya d e n g a n m u sik m et al d a n m u la i mengenakan kaos-kaos band yang disukainya. Setelah melewati berbagai
pengalaman spiritual, akhirnya sekitar 4 tahun lalu ia memutuskan untuk menggunakan hijab, akan tetapi tanpa menghilangkan gaya “anak band� yang sudah lama melekat dengan dirinya. Dengan memilih gaya berpakaian yang cukup berani, berbagai respon ia tuai dari orang-orang sekitarnya. Kernyitan hingga pujian sudah menjadi makanan Ajeng setiap hari.Sebagian besar dari mereka hanya ia anggap sebagai konsekuensinya dalam memilih cara berpakaian yang tidak umum di mata masyarakat. Hal ini-pun ia rasakan ketika sedang aktif bermusik di skena metal, dimana banyak dari penonton yang seketika mengenalinya dari caranya berpakaian.
65
Tulisan oleh: Rangga E. Sakti Foto oleh: Angga Y. Saputra
64
fashion
68
Wahai pembaca Blurg! Magz yang budiman. Dengan tidak menyesal-menyesal amat eik umumkan bahwa, eik tidak akan menulis pada Jurnal Yanto kali ini. Eik sedang tenggelam di lautan nikmatnya berkesenian dan juga sedang tekuntekunnya mempelajari agama di suatu tempat yang eik tidak bisa sebutkan dengan alasan privasi si pemilik tempat. Sekali lagi eik meminta maaf, dan selamat menikmati tulisan-tulisan di rubrik lain yang jelas lebih bermutu. Atas nama kebahagiaan dan musik, saya undur diri sejenak. Vakansi!
69 EN
Ra
ER
A
Ra
ED IT n ED g O R PU L n g M Ko IT a IN H BL g g a n IC a AN W r p O R E k CH a Ek A R s Yn R Ra I T o r a S a IE At Fa E a GE gv kt F al r r L A Sa R Ko ng ER tva ie ya e l i g m k T r M a Ah M p I O ti R p A ir Ke ega ora Ek s a AR de h e N a z W Fr vin N tva S Ko E nu KE Ve a, Yn ida Al ur mp akt r p B M N a TIN n a d ir i JO or C g v Sib d r i C G O an a t AS i y y ie D RE U a Y N on A A r z v R va TE a C e s TR hs a ni a i Y TI Al NA m p R SO O t I IB a .H VE Z L n N l i l a U i n IS r a C .S M D r i n T R l a n TI u N IA on T a p k IB g N a d K a C O in g AN LS e G a U ! M u o a n W iy ya C r ia t t S o TI ED K os PY- dik AG O RI N i E e o W l ko is D V IA r p n a R ra m R G TE A n S o r H IT A L A o n i ER m a R R Y g g T R a t v a r ER TI R. YO .H ta A K S a V a . D R. a P m d T I Y T W i U T Sin D no SU . S EG pi i A n H O gas W ga ig se A a IS r T W p P a A L g Fa di @ a g O ng s P na -T ut T .B kr bl V I u z a Y G R ra n LU g a a r H a E A ra am a ur . A D b g a M n K rt Sa P l ur R Y. E g n gp a a Ra p H e ad O G g n S g I LL o ro pr M ap ge i f l i u t ER n i s o D A je n r U e ut i a c t 0 8 jec t @ GZ ra TR o ni S T n a | @ 22 gm .C O Sa AN Y.H RA Har 4 ga 3 5 a i fir S . S TO ta l e 75 l . c o M ra C R i n R d i ri . 3 m g H bl 4 0 W IP T a d C ur ik Jo OL ra g m G n o L AB a at al Ter OR ba A ka TO R r
G
US!
Dalam edisi ke-4 ini,
berkolaborasi dengan
Kami ucapkan terimakasih atas kesempatan untuk berkarya bersama rekan rekan sekalian dalam edisi ini. Akhir kata, besar harapan kami untuk bisa terus menikmati karya karya dari Jono Terbakar dan Gatal di kemudian hari. Salam budaya!
B l u r g! Ma ga zin e | 24 M ei 2017 | Edisi 0 4 !
W W W. B L U R G M AGZ .C O M