Jadikan Korupsi Musuh Bersama Posted September 30, 2017 in Opini Oleh : Boy Anugerah Masyarakat Indonesia tampaknya sudah bosan, bahkan sudah terbiasa membaca dan mendengar berita tertangkapnya para koruptor di negeri ini. Situasi ini bisa dikatakan wajar, korupsi menjelma bak sebuah agama yang makin masif pemeluknya dari waktu ke waktu. Tak perlu rasul untuk mendakwahkannya, banyak orang berduyun-duyun memeluknya dengan sukarela. Mereka yang berstatus sebagai hakim Mahkamah Konstitusi, pejabat BUMN, menterimenteri kabinet, kepala daerah, anggota dewan yang terhormat, anggota partai politik, semuanya berasyik-masyuk dengan korupsi. Tak berlebihan apabila republik ini bisa dikatakan berada pada kategori darurat korupsi nasional. Coba simak fakta berikut. Baru-baru ini muncul pemberitaan bahwa Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Ariyadi, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). Iman tercatat sebagai kepala daerah keenam yang ditangkap oleh KPK sepanjang tahun 2017. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, dari Oktober 2014 sampai 23 September 2017, sudah ada 37 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersandung kasus hukum. Sebanyak 29 kepala daerah dan wakil kepala daerah di antaranya ditangani oleh KPK. Catatan fantastis korupsi kepala daerah tersebut seakan tak lengkap apabila kita tidak menyebut deretan kasus korupsi sebelumnya, yakni korupsi yang menyeret mantan Ketua MK, Akil Mochtar, korupsi yang menjerat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Nazaruddin, korupsi BLBI yang hingga kini belum jelas penanganannya, hingga mega korupsi E-KTP barubaru ini yang berpotensi menjerumuskan Ketua DPR Setya Novanto ke bui. Kita semua tentu geleng-geleng kepala melihat fakta ini. Hakim yang seharusnya menjadi penegak hukum yang adil, justru tak sungkan menjajakan hukum dan harga dirinya demi segepok uang. Para anggota dewan yang terhormat, yang merupakan representasi suara dan aspirasi rakyat, tanpa segan-segan membunuh rakyat secara perlahan dan sistematis melalui korupsi anggaran. Para kepala daerah yang seharusnya menjadi katalisator pembangunan di daerah, malah menerapkan aji mumpung untuk memperkaya diri sendiri, keluarga, serta kolega-koleganya. Lantas apakah kita hanya berdiam diri saja menyaksikannya?