Menjaga TNI Sesuai Khitah Posted November 11, 2016 in Opini Oleh :Boy Anugerah
Pernyataan Panglima Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, bahwa TNI seharusnya diberikan hak politik sama seperti PNS dalam Pemilu, pada saat peringatan HUT TNI pada 5 Oktober silam, seakan menguapkan simpati publik yang mengapresiasi perayaan HUT TNI secara sederhana. Sang Jenderal melakukan blunder fatal yang mencederai semangat reformasi sektor pertahanan yang dimulai sejak 12 tahun yang silam. Harus diakui bahwa rakyat kecil Indonesia, khususnya mereka kaum yang kurang terdidik dan terpelajar, bisa saja lupa dengan beragam kekerasan yang dipertontonkan dengan telanjang oleh militer pada zaman Soeharto dulu. Tapi bagi kaum aktivis, para jurnalis, kritikus pemerintahan, terlebih lagi mereka yang distigmakan sebagai komunis meskipun tidak tahu menahu mengenai ideologi tersebut, tentu tak akan pernah lupa betapa sakitnya popor senjata yang dihantamkan ke tubuh mereka atau sepakan sepatu lars aparat militer dalam menegakkan otoritarianisme Soeharto. Penyalahgunaan fungsi militer pada masa lampau oleh penguasa, bukan saja merusak keseimbangan tata politik dan pemerintahan, tapi juga meremukkan sendi-sendi peradaban bangsa. Penting untuk dipahami bahwa khitah militer adalah untuk menjaga kedaulatan bangsa, sejengkal pun tanah dan air republik ini tidak boleh. dicaplok oleh negara lain. Militer juga diserahi mandat untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Dus, mereka memiliki senjata sebagai instrumen untuk menjalankan amanat yang mereka emban tersebut. Dalam rangka menjaga profesionalisme militer, mereka dilarang untuk berpolitik praktis, apalagi berbisnis.
Mereka juga menganut sistem rantai komando yang berarti bahwa setiap perintah dari atas harus dipahami dan diterjemahkan dengan baik sampai ke level bawah. Tak syak lagi, titah Soeharto pada masa lalu harus dilaksanakan tanpa
kecuali, meskipun bertentangan dengan norma-norma tata kelola pemerintahan yang baik. instrumen kekuasaan pada masa tersebut, di satu sisi memberikan kerusakan pada organisasi militer, tapi di sisi lain memberikan manfaat bagi para pengawaknya. Mereka bisa duduk di organisasi pemerintahan, menjadi legislatif di DPR, menguasai gurihnya kue bisnis dengan menjadi pejabat di berbagai perusahaan negara. Pada masa tersebut, muncul anekdot di masyarakat, khususnya di kalangan orang tua yang ingin anaknya kaya raya, jika ingin sukses, jadilah militer, bisa jadi komandan, bisa juga jadi bupati. Enak. Sadar atau tidak, generasi dari zaman tersebutlah yang masih eksis hingga kini yang membuat reformasi sektor pertahanan hari ini tidak berjalan mulus. Terjungkalnya Soeharto pada medio 1998 memberikan implikasi besar terhadap militer. Beragam kewenangan mereka dicukur. Mereka tidak boleh lagi berpolitik, fraksi ABRI di DPR dihapuskan, mereka tidak boleh lagi dipilih dalam Pemilu, pun tidak boleh berbisnis. Tujuannya tentu mulia, mengembalikan marwah militer sebagai tentara yang profesional. Singkat kata, militer dikembalikan ke barak agar menjadi tentara murni yang melindungi negara. Regulasi yang mengatur militer dikeluarkan yang mewujud dalam UU TNI tahun 2004. Fungsi pertahanan dan keamanan dipisah, TNI sebagai pelaksana unsur pertahanan, dan Polri sebagai pelaksana unsur keamanan. Pemisahan fungsi tersebut berimplikasi terhadap pemisahan Polri dari tubuh militer. Kondisi reformasi sektor pertahanan hari ini tidaklah menggembirakan. Masih sering kita jumpai militer yang ditugaskan untuk mengawal truk-truk ekspedisi, bar dan tempattempat hiburan malam demi mengejar uang tambahan. Bentrokan antara militer dan polisi juga sering kita jumpai di berbagai daerah tanah air menjadi fenomena biasa dan menjemukan masyarakat karena saking seringnya terjadi. Permasalahannya simpel, cekcok mulut yang berujung saling tarik pelatuk, juga urusan perut. Di level birokrasi, masih kita temui fenomena eksistensi militer di lembaga-lembaga sipil yang notabene tidak perlu ditempati oleh unsur militer. Hal ini merupakan legasi Orba yang belum dikikis habis. Fenomena Freddy Budiman, gembong narkoba yang membuat pengakuan sebelum dieksekusi mati menjadi bukti sahih bahwa militer masih sering tergoda menyalahgunakan kekuasaan. Pemerintah sudah seharusnya memberikan atensi terhadap kondisi ini. Cita-cita akan terbentuknya tentara yang profesional meru pakan mandat reformasi. Perlu diingat bahwa reformasi yang terjadi belasan tahun silam bukan proses yang mudah, banyak nyawa dan darah anak bangsa yang melayang dan tumpah sia-sia. Pengorbanan
mereka tak seharusnya dihargai murah dengan mengambil beragam kebijakan yang mengembalikan spirit Orba. Kebijakan menempatkan kembali unsur militer, meskipun dengan embel-embel purnawirawan dan sudah menjadi sipil, di berbagai lembaga negara setingkat kementerian atau lembaga menunjukkan sebuah kemunduran besar. Hal ini jugalah yang menyebabkan unsur militer memiliki keberanian dan bergenit ria untuk menduduki posisi Ketum PSSI dan organisasi olahraga lainnya yang tak ada sangkut paut dengan tugas dan fungsi militer. Tidak hanya itu, upaya revisi UU Terorisme dengan menambah masa penahanan dari tujuh hari menjadi tiga puluh hari juga menyeruakkan ketakutan publik bahwa memang benar ada upaya untuk menghidupkan kembali Orba di masa kini. Kita, segenap bangsa Indonesia, tak hendak proses reformasi yang belum berjalan mulus hari ini kembali ke masa-masa kelam di zaman Orba. Kita juga tak hendak militer menyalahgunakan/disalahgunakan kekuasaan hanya untuk mengejar politik kekuasaan. Zaman sudah bergerak, tantangan dan ancaman terhadap keutuhan NKRI semakin rumit dan canggih. Ancaman tidak hanya datang secara kasat mata, tapi juga hadir melalui dunia maya. Oleh sebab itu dibutuhkan perang total agar harga diri dan marwah bangsa tetap tegak. Di sinilah TNI harus melihatnya sebagai peluang untuk mengabdikan dan mendarmakan dirinya bagi tanah air tercinta. Indonesia saat ini dalam kondisi damai dan nir perang. Namun kondisi tersebut jangan dijadikan atau dianggap sebagai masa senggang sehingga tergoda untuk menjamah ranah politik dan bisnis seperti pada masa lalu. Masih banyak bidang bakti yang bisa dieksplorasi oleh militer. Banyaknya bencana alam di tanah air, seperti erupsi Sinabung di Tanah Karo dan banjir bandang di Garut dapat menjadi ruang darma bakti TNI dalam bentuk bantuan bagi korban bencana alam. Banyaknya negara-negara yang masih dicekam konflik seperti Irak, Suriah, Pakistan, Afghanistan, Yaman, dan sebagainya bisa menjadi kesempatan bagi TNI untuk berpartisipasi dalam misi perdamaian dunia. Jika pun misi perdamaian belum terbentuk, petinggi militer bisa memberi usul kepada presiden sehingga bisa diteruskan kepada pihak berwenang di PBB untuk membentuknya. Dunia internasional pasti tersenyum hangat melihat keinginan Indonesia untuk berpartisipasi mewujudkan dunia yang damai. Jika semua tantangan dan peluang tersebut tetap tidak menarik bagi militer, mungkin langkah Agus Harimurti Yudhoyono bisa menjadi pilihan bijak.Tanggalkan jubah loreng secara resmi, dan bersiap berkampanye dalam pemilu. Itu lebih baik.
*)Penulis Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia