Menyoal Negara Kesejahteraan

Page 1

Menyoal Negara Kesejahteraan Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024 Berkembangnya ideologi liberalisme dan kapitalisme yang lebih mengutamakan aspek kebebasan ekonomi dan penguasaan modal menjadi faktor pemicu munculnya konsep negara kesejahteraan (welfare state). Konsep ini hadir sebagai otokritik terhadap kegagalan pasar (market failure) dan kegagalan negara (state failure) dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ideologi pasar bebas yang berkembang secara luas di berbagai negara, tidak hanya negaranegara maju tapi juga negara-negara berkembang, justru berdampak pada terciptanya ketimpangan sosial dan ekonomi di masyarakat; yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin terbelakang. Konsep negara kesejahteraan tidak hanya hadir sebagai otokritik terhadap liberalisme dan kapitalisme, tapi juga sebagai reminder kepada negara untuk hadir dan menjalankan tugasnya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Negara diharapkan tidak diam dan berpangku tangan saja dengan hanya menjadi pengawas terhadap aktivitas dan persaingan di antara aktor-aktor ekonomi, tapi juga turut berperan serta secara proaktif melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Posisi negara sebagai pengawas dalam perspektif liberalisme dan kapitalisme yang mengedepankan persaingan bebas tidak cocok dengan prinsip keadilan karena aktor-aktor ekonomi cenderung berupaya menguasai modal dan keuntungan sebanyak-banyaknya. Pancasila dan konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai sebuah entitas politik dan sosial budaya pada dasarnya sudah dirancang oleh para pendiri bangsa (founding fathers) sebagai negara kesejahteraan sejak awal diproklamasikan. Hal ini dapat dirunut secara jelas pada Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional. Sila kelima Pancasila sangat kental muatannya akan prinsip keadilan dalam ekonomi. Preambul UUD NRI 1945 alinea keempat secara eksplisit menyebutkan tentang “kesejahteraan umum” sebagai tujuan nasional. Jadi dengan kata lain, konsensus dasar kebangsaan Indonesia juga memberikan pijakan dan amanah dalam mewujudkan sebuah negara yang mampu memelihara kesejahteraan masyarakatnya. Ada fenomena menarik ketika saya melakukan tinjauan komparatif berbasis konstitusi terhadap konsep negara kesejahteraan ini. Pasal-pasal tentang kesejahteraan dalam konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945 dan amandemennya) ternyata jumlahnya lebih banyak apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang memang meletakkan pembentukan konstitusinya bagi terwujudnya negara kesejahteraan seperti Norwegia, Amerika Serikat, Jepang, dan Malaysia. Norwegia hanya mencantumkan tiga pasal saja dalam konstitusi, Jepang bahkan hanya satu pasal. Bandingkan dengan Indonesia yang memiliki empat belas pasal kesejahteraan. Akan tetapi yang membuat miris adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) negara-negara tersebut relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.


Kebijakan ekonomi dan politik hukum Realitas empirik tersebut sudah selayaknya menjadi bahan perenungan bagi kita semua, sekaligus bahan evaluasi untuk kebijakan-kebijakan ekonomi yang sudah ditempuh hingga saat ini. Belum mampunya kita menjadi negara kesejahteraan yang paripurna karena masih kerap dijumpai masyarakat yang miskin dan pengangguran, ketimpangan ekonomi antara penduduk kota dan penduduk pedesaan, menjadi sebuah otokritik untuk kembali melandaskan seluruh kebijakan ekonomi pada kerangka Pancasila dan konstitusi. Jangan sampai kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil lebih mementingkan kepentingan pemodal ketimbang kepentingan masyarakat, investasi masuk tapi hanya bersifat padat modal dan tidak padat karya sehingga tidak membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Hal ini harus digarisbawahi dan dijadikan pedoman bagi para perumus kebijakan. Selain melalui saluran kebijakan ekonomi, upaya yang tak kalah penting dan mendasar dalam mewujudkan negara kesejahteraan adalah melalui mekanisme politik hukum. Dalam perspektif Mac Iver, negara tidak hanya dpandang sebagai alat kekuasaan semata (the instrument of power), tapi lebih dari itu, negara juga memainkan peran sebagai alat pelayanan (an agency of services). Dengan memiliki sudut pandang sedemikian, setidaknya ada enam aksi yang bisa dipedomani. Pertama, pengarusutamaan hak-hak asasi sosial ekonomi masyarakat. Kedua, pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih dikedepankan ketimbang pertimbangan politis. Ketiga, hak milik tidak bersifat mutlak (ada hak orang lain di dalamnya). Keempat, negara tidak hanya menjaga ketertiban, tapi juga mewujudkan kesejahteraan. Kelima, kaidah-kaidah administrasi akan semakin banyak mengatur aspek sosial ekonomi. Keenam, akan terwujud negara hukum material yang mengutamakan terwujudnya kesejahteraan material bagi masyarakat. Persoalan kesejahteraan sudah menjadi concern banyak negara, termasuk Indonesia. Negara tidak hanya berdiri sebagai bangunan politis yang bertugas mewujudkan keamanan dan ketertiban saja, tapi juga bertanggung jawab dalam menopang terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Pancasila dan konstitusi telah memberikan panduan dan pijakan dalam mewujudkan cita-cita negara kesejahteraan tersebut. Untuk merealisasikannya, sudah menjadi tugas dan tanggung jawab para pemangku kebijakan untuk mengejawantahkannya dalam kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik hukum yang selaras dengan pencapaian tujuan tersebut. Cita-cita akan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera adalah citacita dan tujuan nasional kita bersama. *****


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.