Refleksi 16 Tahun Tragedi 911 Posted September 13, 2017 in Opini Oleh : Boy Anugerah Ada yang menggelitik ketika kita berbicara atau sedang membicarakan terorisme. Satu kata yang bisa dipecah menjadi dua kata, yakni teror dan isme. Teror artinya sebuah aksi atau tindakan yang ditujukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada satu atau lebih kelompok orang lainnya, lazimnya menggunakan instrumen kekerasan dan bermotif politik. Sedangkan isme berarti sebuah paham atau aliran yang tersusun atas nilai-nilai yang diyakini oleh pemeluknya. Jika digabungkan, keduanya akan mendefinisikan terorisme sebagai sebuah paham atau aliran yang menempatkan aksi atau tindakan kekerasan sebagai implementasi nilai-nilai atau keyakinan yang dimiliki. Cukup sulit untuk memahami bahwa di tengah beragamnya bentuk kerja sama yang terjalin antar individu, kelompok, bahkan negara-bangsa dewasa ini, masih ada pihakpihak yang memilih metode konflik yang memproduksi kekerasan, ketakutan, bahkan korban jiwa. Jika benar terorisme adalah sebuah paham atau bahkan ideologi, tentu saja ontologi dan aksiologi paham tersebut akan nir aksiologi alias tidak ada kebermanfaatan sama sekali. Namun demikian, eksistensi gerakan teror, khususnya ketika tragedi 911 di AS 16 tahun silam menjadi titik tolak masifnya gerakan melawan teror, memberikan pelajaran sekaligus pembelajaran kepada kita bahwa ada sebuah kondisi yang tidak sesuai, situasi yang menjadi akar dan pemicu gerakan teror itu sendiri. Dalam sebuah diskusi bertemakan Countering Violent Extrimism di Center for Defence and Strategic Studies Australia (CDSS Australia) Canberra, Australia, yang saya ikuti pada awal bulan Juli yang lalu, ada sebuah terminologi menarik yang digunakan oleh akademisi di benua kangguru tersebut untuk menyebut pelaku terorisme beragama Islam yakni dengan menyebut sebagai Islamist Terrorism atau Radical Islamist Terrorism.