Upah Adil, Buruh Sejahtera Posted November 18, 2016 in Opini Oleh : Boy Anugerah. Akhir-akhir ini, berbagai kota di Indonesia diwarnai oleh aksi demonstrasi para buruh yang menuntut kenaikan upah minimum tahun depan. Sebagai contoh di Jakarta, Para buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja ini berdemonstrasi di depan kantor Pemprov DKI Jakarta. Mereka menuntut kenaikan upah minimum sebesar 3,8 juta rupiah. Angka tersebut mereka dapatkan berdasarkan survei Komponen Hidup Layak (KHL) yang digelar di beberapa pasar modern dan tradisional. Ada perbedaan cara berhitung yang digunakan oleh para buruh dan pengusaha. Buruh Jakarta yang menggelar unjuk rasa baru-baru ini melakukan kalkulasi kenaikan upah minimum berdasarkan UU Ketenagakerjaan dan Permen Menaker No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pentahapan Kebutuhan Hidup Layak. Melalui sejumlah survei yang dilakukan pada September 2016 di sejumlah pasar, didapatlah angka 3,8 juta rupiah sebagai akumulasi KHL DKI Jakarta, ditambah target inflasi, inflasi DKI Jakarta, inflasi nasional, pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta, serta pertumbuhan ekonomi nasional. Berbeda dengan metode perhitungan para buruh, para pengusaha di Jakarta mendasarkan kenaikan upah buruh pada PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Dalam PP tersebut, kenaikan upah buruh DKI Jakarta menggunakan formulasi UMP 2016 ditambah dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi DKI Jakarta sehingga diperoleh angka 3,3 juta rupiah. Cara berhitung pengusaha DKI Jakarta ini selaras dengan metode yang ditetapkan oleh pemerintah. Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dakhiri, seusai menyampaikan paparan capaian kerja dua tahun Kerja Nyata Jokowi-JK dalam bidang pembangunan manusia di Jakarta pada 24 Oktober 2016 yang lalu menghimbau agar para gubernur segera menyelesaikan proses penetapan UMP pada 1 November 2016 berdasarkan PP No. 78 Tahun 2015. Upah merupakan kebutuhan primer setiap pekerja, entah itu buruh pabrik, pembantu rumah tangga, atau pekerja kantoran, tanpa kecuali. Dengan upah yang diperoleh, seorang pekerja mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, serta kebutuhan dasar anggota keluarganya.
Jika berlebih, maka upah tersebut dapat digunakan untuk menabung, rekreasi, bahkan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Di sisi lain, bagi kalangan pengusaha, upah merupakan kewajiban primer. Setiap perusahaan tak akan bisa berjalan jika tanpa tenaga kerja yang diberdayakan. Tenaga, pikiran, serta keringat tenaga kerja ini tidaklah gratis sehingga harus diberikan kompensasi dalam bentuk upah. Permasalahan yang sering menjerat pengusaha terkait upah ini terletak pada tingkat kejujuran pengusaha, apakah upah yang diberikan sudah sesuai dengan kontribusi yang diberikan pekerja dalam bentuk laba perusahaan atau tidak. Kerapkali pengusaha menekan upah pekerja serendah-rendahnya untuk mencapai laba yang maksimal. Dalam relasi pekerja dan pengusaha, tidak bisa dipungkiri bahwa posisi pekerja berada pada level tawar yang rendah. Sederhananya, jika pengusaha tidak bisa memberikan upah sesuai dengan yang diminta pekerja, maka pekerja bisa dipersilahkan keluar dari perusahaan atau tempat mereka bekerja. Pengusaha bisa mencari pekerja baru yang bersedia dibayar dengan tingkat upah yang ditetapkan, terlebih lagi banyak angkatan kerja lokal yang menganggur yang menunggu antrian untuk bisa bekerja, serta para pekerja asing yang rela dibayar murah. Posisi tawar para pekerja, khususnya buruh kasar lagi-lagi semakin rendah apabila menilik keahlian yang mereka miliki. Keahlian mereka yang tidak seberapa ini bisa dengan mudah digantikan oleh pekerja lainnya. Inilah yang menyebabkan demonstrasi buruh bisa dengan mudah dipatahkan oleh pengusaha. Belum lagi apabila kita memperhitungkan lobi para pengusaha tersebut kepada pemerintah daerah untuk mendukung kepentingan mereka. Posisi para pekerja semakin terjepit, harapan hidup layak melalui upah yang cukup hanya angan-angan belaka. Kondisi ini tentu tak bisa dibiarkan. Dibutuhkan intervensi pemerintah secara adil sebagai pihak ketiga. Selama ini wujud eksistensi pemerintah tercermin dalam regulasi pemerintah tentang pengupahan yang menjadi sandaran para pengusaha dalam memberikan upah kepada para pekerja. Pertanyaan mendasarnya adalah, apakah regulasi tersebut sudah sesuai? Jika ada demonstrasi buruh menuntut kenaikan upah, serta tidak kompatibelnya angka yang dikeluarkan para buruh dengan angka pengusaha, berarti ada dialektika dua pihak yang belum selesai. Dalam konteks inilah peran pemerintah diharapkan untuk hadir. Tak cukup pemerintah hanya beralasan bahwa sudah ada payung hukum yang jelas tentang aspek pengupahan tersebut. Pemerintah harus melakukan kaji ulang terhadap regulasi yang ada serta turun langsung melakukan pemetaan tentang upah pekerja ini, tidak bisa tidak. Kaji ulang
yang dilakukan oleh pemerintah ini selaiknya berlandaskan pada upaya harmonisasi dan menghasilkan ketetapan yang seadil-adilnya bagi dua pihak. Di satu sisi harus adil bagi pekerja, keringat mereka harus dibayar pas. Di sisi lain harus adil bagi pengusaha karena mereka adalah pilar pembangunan nasional. Harmonisasi kebutuhan dan kepentingan keduanya dalam sekup yang lebih besar dapat menopang ketahanan ekonomi nasional. Kaji ulang yang dilakukan oleh pemerintah ini bisa bersifat dua arah. Pertama, pemerintah harus turun langsung melihat kondisi kesejahteraan para pekerja, khususnya mereka yang tergolong buruh kasar atau pekerja rendahan. Apakah dengan mekanisme yang digunakan dalam pengupahan selama ini sudah benar-benar mampu mewujudkan kesejahteraan para pekerja atau jangan-jangan upah yang diberikan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian para pekerja secara pas-pasan, sehingga tidak memperhatikan aspek lainnya yang juga penting seperti kesehatan, pendidikan, menabung, dan lain-lain. Kedua pemerintah perlu melakukan klasifikasi skala perusahaan. Penetapan upah minimum sejatinya menegasikan skala perusahaan. Tidak peduli apakah perusahaan tersebut skala mikro atau skala konglomerasi, tingkat upah terendah sudah ditetapkan. Metode ini sejujurnya tidak adil bagi usaha-usaha kecil. Mereka dikenakan kewajiban upah minimum yang sama besar dengan perusahaan raksasa. Dalam konteks inilah campur tangan pemerintah diperlukan. Melalui mekanisme klasifikasi, maka upah minimum harus ditetapkan berdasarkan skala perusahaan. Penetapan skala perusahaan bisa merujuk pada besarnya laba bersih setiap tahun yang diperoleh oleh perusahaan. Pertumbuhan laba perusahaan setiap tahun inilah yang bisa menjadi variabel baru yang lebih riil dalam menghitung kenaikan upah para pekerja. Permasalahan upah pekerja bukanlah permasalahan yang sulit untuk dipecahkan. Ini hanya sekedar tarik menarik dua kutub yang memiliki kepentingan berbeda dan tidak mau mengalah satu sama lain. Yang lebih celaka, entah itu pekerja atau pengusaha kerap tidak jujur dengan fakta yang ada. Di sinilah peran pemerintah harus hadir dalam mewujudkan harmoni. Upah yang adil harus diwujudkan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
*) Penulis Alumnus Magister Ketahanan Nasional Universitas Indonesia, bekerja di Lemhannas RI