Bulletin Setara Edisi Juli-Agustus 2013

Page 1

INOVASI PETANI: Briket Kulit Kakao, Dari Limbah Menjadi Berharga

buletin

SERI BUDI DAYA:

Mengenal Gejala Defisiensi Hara

Edisi III Desember 2012 Baca

Baca

hal

hal

6

7

Edisi : Juli-Agustus 2013

Pemasaran Bersama, Laporan Utama Menggoyang Rantai Pasar Kakao

Dok. Hariani/INKAPA

Oleh : Rahmat Saleh dan Iwan Hamid Koordinator Knowledge Management Unit INKAPA Field Ofificer Wilayah Sausu

Perempuan Desa Sungku Kecamatan Kulawi membelah kakao dengan alat tradisional, sementara yang lain memisahkan biji kakao dari kulitnya yang bisa dijadikan briket sebagai bahan bakar alternatif, ditengah naiknya harga minyak Tanah.

“Pemasaran Bersama”, sebuah istilah yang belum lama populer di wilayah kabupaten Parigi Moutong, khususnya kecamatan Sausu. dimulai pertama kalinya pada tanggal 3 juli 2012, “Pemasaran Bersama” sesungguhnya adalah sebuah mekanisme pengumpulan, pengukuran, pengakutan dan penjualan komoditi kakao yang dilakukan oleh sejumlah petani dari 5 desa (Sausu Trans, Sausu Torono, Gandasari, Maleali dan Sausu Peore) dengan tidak mengikuti jalur pemasaran konvensional. Sejak di inisiasi hingga saat ini, tercatat ada 25 kali pemasaran bersama dilakukan dengan melibatkan rata-rata 50-100 petani pada setiap kali pemasaran. Total volume kakao yang telah dipasarkan mencapai 20Ton.

R

ata-rata pemasaran bersama dilakukan dua kali setiap bulan. Pada bulan September 2012 sistem ini sempat terhenti. Bencana banjir bandang yang menghantam desa - desa di sepanjang sungai Sausu membawa hanyut jembatan Dolago, yang mengakibatkan putusnya jalur transportasi dari Sausu ke Kota Parigi. Hampir dua bulan semenjak itu, pemasaran bersama tidak lagi dapat dilakukan. Situasi ini sempat membuat para petani menjadi sangsi akan keberlanjutan mekanisme pemasaran bersama. Keraguan yang sama juga muncul dibenak para fasilitator Program INKAPA yang turut mengkatalisasi perkembangan inisiatif ini. Sampai akhirnya, sistem ini bergerak kembali di awal November 2012. Bahkan sesudah itu, frekwensi dan volume penjualan terus mengalami peningkatan hingga

Diterbitkan atas Kerjasama

mencapai puncaknya pada bulan April 2013. Pada bulan ini, penjualan bersama telah dilakukan sebanyak 5 kali atau hampir setiap minggu, dimana sistem ini berhasil memasarkan kakao sebanyak 7 Ton, dengan selisih harga Rp 2400 lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar konvensional. Tanpa disadari, bencana Dolago, telah menjadi salah satu batu uji bagi kelayakan mekanisme ini. Kemampuannya untuk bergerak kembali pasca mengalami stagnasi menjadi pertanda baik. Ini menunjukan sistem ini bisa bekerja, bermanfaat dan mendapatkan dukungan. Karenannya sistem ini memiliki potensi untuk berlanjut dan berkembang. Ide untuk membangun pemasaran bersama pada mulanya muncul sebagai upaya untuk merespon struktur tata niaga biji kakao yang menghisap. Struktur ini membuat

petani secara kumulatif mengalami kehilangan begitu banyak surplus. Dalam rantai pasar kakao, penghisapan surplus dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Mulai dari pemberian harga dengan tingkat margin yang terlalu tinggi, manipulasi penerapan standard SNI dan rekayasa alat-alat pengukuran berat maupun volume komoditi. Komoditi kakao diberi harga berdasarkan kondisinya. Kondisi dimaksud meliputi ukuran biji, tingkat kering, dan kebersihan (jumlah sampah serta jamur). Setidaknya hal ini yang terjadi pasca penerapan standard SNI untuk komoditas ini. Berdasarkan SNI, biji kakao yang diperdagangkan harus memiliki kadar air maksimum 7 %, kadar ini bisa didapatkan melalui penjemuran selama 4 – 5 hari dengan lama penjemuran rata-rata 7 – 8 jam, dengan asumsi cuaca dalam keadaan cerah. █Baca Pemasaran... Hal 3


buletin

Salam Redaksi

Daftar Isi LAPORAN UTAMA : Pemasaran Bersama, Menggoyang Rantai Pasar Kakao “Pemasaran Bersama”, sebuah istilah yang belum lama populer di wilayah kabupaten Parigi Moutong, khususnya kecamatan Sausu. dimulai pertama kalinya pada tanggal 3 juli 2012, “Pemasaran Bersama” sesungguhnya adalah sebuah mekanisme pengumpulan, pengukuran, pengakutan dan penjualan komoditi kakao hal

1 CERITA KAMPUNG:

Perempuan Sausu Memikul Beban, Akibat Merosotnya Kakao ...Ibu Ratih hanyalah satu diantara banyak perempuan Sausu yang saat ini terpaksa bekerja lebih banyak di kebun. Ini terjadi setidaknya kurun waktu tiga tahun terakhir, semenjak produksi tanaman Kakao merosot akibat serangan VSD... hal

5

Catatan Lapang :

Suatu Sore Bersama Istri Buruh Tani hal

9

Profile : Banting Setir, Dari Pembeli Rotan yang Gagal, Menjadi Petani Kakao yang Berhasil

truk yang hendak mengangkut rotan Pak. Isnen digerebeg Patroli Gabungan, Polhut Balai TNLL, petugas POLDA sulteng dan Koramil Kulawi. semua rotan yang sduah dimuat, diturunkan dan dicincang dihadapannya. Seketika Pak. Isnen bangkrut, semua modal yang ia sudah tanamkan lenyap. Ia bahkan hal masih berutang hutang pada Bos 12 Rotan.

buletin

Isnen

P

eriode kejatuhan Kakao terjadi lebih cepat dari pada dugaan. Hanya kurang dari 20 tahun setelah booming, Komoditas Kakao sudah mulai merosot. Beberapa jenis komoditas sudah siap masuk menggantikan posisi tanaman Kakao. beberapa jenis merupakan komoditas lama, yang tampil ulang. Kelapa dalam dan Pala misalnya. Padi sawah juga kelihatan mulai menggantikan Kakao, terutama pada tempat-tempatnya semula, di lahan-lahan basah yang mendapat dukungan jaringan irigasi teknis. Pada tahun 2000-an lahan-lahan ini telah disulap menjadi lahan Kakao dan saat ini mulai dikembalikan lagi menjadi sawah. Sejumlah tanaman Baru, seperti Jarak dan Sawit secara sporadis mulai di uji coba. Skalanya kecil-kecillan, tapi godaannya makin lama makin besar. Ini bisa dimaklumi, karena masuknya dua jenis komoditas ini ke desa-desa site INKAPA di Parigi Moutong didorong oleh korporasi. Dari sistem perkebunan besar, komoditas ini (terutama sawit) mulai dilebarkan ke perkebunan rakyat. Ratarata pintu masuk pertamanya para birokrat desa, yang di prospek oleh promotor handal, yang sudah sangat piayai meyakinkan audiens. Penjelasan para promotor ini terkesan sangat meyakinkan. masuk akal, kaya data, dan dilengkapi dengan kalkulasi-kalkulasi ekonomi yang menggiurkan. Wajarlah jika banyak aparat desa, dan juga warga yang terpengaruh. Beberapa diantaranya bahkan sudah mulai membukakan jalan bagi masuknya sawit, dengan berusaha meyakinkan warga untuk menyiapkan lahannya bagi masuknya tanaman sawit. Pegiat INKAPA kerap diajak mendiskusikan hal ini. Nampak sekali jika banyak petani yang gamang. Apakah tetap bertanam Kakao, atau ganti komoditi. Apakah menerima sawit atau menolaknya. Bagi INKAPA situasi ini sesungguhnya hanyalah ekses dari komodifikasi Kakao yang dimulai sekitar 13 tahun yang lalu. merosotnya Kakao harusnya sudah diduga, dan dibaca sebagai siklus pasang surut komoditas. Hal yang sama pernah terjadi pada komoditi lain, seperti Kopi, Kelapa dan Cengkeh. Hanya saja usia kejayaan kakao nampaknya relatif lebih pendek. mengapa demikian ?, karena tanaman Kakao punya lebih banyak kerentanan. Jika Komoditi sebelumnya jatuh karena politik dagang,

kejatuhan Kakao lebih banyak disebabkan karena serangan hama dan penyakit. Faktor pasar, bisa jadi punya andil. Jika melihat trend harga Kakao yang terus berfluktuasi dibawah angka Rp 23.000, dan tidak pernah lagi menyentuh harga tertingginya Rp 27.000, sebagai mana saat krisis moneter dulu. Harga Kakao saat ini tidak lagi istimewa karena sudah bisa didekati atau bahkan di lampaui komoditi lain. Sehubungan dengan itu, Edisi INKAPA kali ini mencoba mendokumentasi, berbagai dampak dari kemerosotan Komoditi Kakao. beberapa cerita terkait ini, berhubungan dengan perempuan. ini tidak disengaja. Pada kenyataannya perempuan ternyata menjadi pihak yang paling banyak menerima dampak jatuhnya Komoditi Kakao. banyak perempuan baik di Sausu maupun Kulawi yang harus memikul beban ganda, oleh karena para laki-laki (suaminya) terpaksa harus meninggalkan kebun Kakao guna mencari nafkah sebagai buruh di tempat lain. Beberapa testimoni juga menunjukan terjadinya peningkatan tindak kekerasan dalam rumah tangga akibat tekanan ekonomi yang harus ditanggung rumah tangga petani di Sausu yang kekurangan penghasilan akibat kerusakan tanaman Kakao. Satu cerita menarik dari desa Boladangko, kecamatan Kulawi menunjukan kecenderungan yang sama. Namun penyebabnya adalah ekspansi perusahaan Kayu ke dalam desa. Turunnya produksi Kakao bukan tanpa andil. Karena merosotnya produksi Kakao diakui sebagai faktor yang menyebabkan banyak Laki-laki desa Boladangko dengan cepat menangkap peluang untuk menjadi buruh di perusahaan Kayu. Tulisan lain dalam edisi memuat bermacam dinamika lapangan yang muncul sebagai implikasi dari pelaksanaan program INKAPA. Kesuksesan pemasaran bersama menjadi telah menjadi milestone penting bagi program dan terutama upaya petani di Sausu dalam mendorong tata niaga Kakao yang lebih adil dan tidak menghisap. Pada akhirnya redaksi INKAPA tentunya berharap, terbitan kali ini bisa menjadi bacaan yang baik dan berguna bagi sidang pembaca. REDAKSI

Diterbitkan oleh : Program Inkapa Sajogjo Institute kerjasama USAID Penanggung Jawab : Noer Fauzi Rachman I Dewan Redaksi : Devi Anggraeni, Aristan, Rahmat Saleh I Redaksi Pelaksana : Syaiful Taslim I Staf Redaksi : Aristan, Rahmat Saleh, Satriyanto Sugeng Bahagyo, Naftali B. Porentjo, Hasna, Siti Zulaikhah, Suaib Hasan, Suhardin, Bardin, Iwan Hamid, Suhardin Salasah, Linda Biki, Devi, Sulaeman I Layout dan Editor : Rudi Asiko l Kontributor Sausu : Eka Winarti Ningsih, Ni Nyoman Sukasih, Reni Simangunsong, I Made Rianta, Yuyun Kurniasih I Kontributor Kulawi : Sunarti, Martina Todoni, Maryam, Hariani, Ester Melati I Alamat Redaksi : Jalan I Gusti Ngurah Rai Lrg. Prajurit No. 14 Palu Sulawesi Tengah 94131 email : cokelatrakyat@gmail.com

2

Edisi : Juli-Agustus 2013


buletin

Laporan Utama

█ Pemasaran ..................dari Hal 1 Kadar jamur maksimal 4%, Sampah maksimal 2,5%, dan ukuran biji maksimal adalah 110 Biji / 100 gram. Untuk mengetahui kesesuaian kondisi biji kakao dengan standard SNI, maka para pedagang besar dan agen melakukan pengukuran dengan cara mengambil sampel, lalu melakukan pengujian dengan menggunakan beberapa jenis tester. Ini tidak berlaku bagi pembeli keliling (Pandola) atau bahkan kios kecil di desa. Bagi kedua jenis pembeli kakao yang beroperasi di tingkatan bawah ini yang terpenting adalah mengukur berat, itu saja. Sedangkan persentase kadar air, sampah dan jamur akan ditetapkan melalui perkiraan. Dengan demikian bagi mereka peralatan yang perlu disediakan cukup berupa timbangan. Hal menarik di Kulawi, banyak pembelian Kakao dari petani oleh pedagang pengumpul didasarkan pada jumlah volume, bukan berat. Jadi mereka menggunakan satuan ukuran yang berbeda dengan satuan ukuran yang lazim. Tidak hanya itu, untuk manakar, mereka juga menggunakan takaran sendiri yang disebut “Lonco”. Harga satu Lonco Kakao disamakan dengan harga 1 Kg Kakao. mekipun sebenarnya, ukuran 1 Lonco Kakao ternyata sama dengan 1,2 Kg Kakao. Hal ini diketahui, ketika dalam sebuah FGD pemasaran bersama para petani bersama fasilitator melakukan uji perbandingan terhadap Lonco. SNI Biji kakao seyogyanya merupakan patokan untuk menilai kondisi kualitas biji kakao. Namun pada kenyataannya SNI sesungguhnya merupakan instrumen pasar yang diperkerjakan untuk menetukan sistem harga. Dalam praktek yang sesungguhnya SNI berfungsi untuk menetapkan besarnya potongan harga (discount) yang akan dilakukan oleh pembeli terhadap petani. Tingkat kesesuain terhadap standard akan memperkecil potongan harga, dan sebaliknya, ketidak sesuaian akan berakibat pada terjadinya potongan harga. Semakin besar tingkat ketidak sesuaian, akan makin besar pula potongannya. Akan tetapi, jika Biji Kakao Petani melampaui atau lebih baik dari standard SNI, jangan mimpi ada insentif berupa tambahan harga sebagai kebalikan dari potongan. Masalahnya, Otoritas untuk menilai dan menetukan apakah suatu biji ada di bawah standard, atau sudah

Edisi : Juli-Agustus 2013

Dok. Hasna/INKAPA

Bentang alam Kulawi yang subur, sebagai sumber kehidupan matapencaharian Petani Kulawi dengan komoditas utama kakao.

sesusai, atau bahkan sudah melampaui standard, sepenuhnya ada ditangan pembeli. Karena hanya mereka yang memiliki peralatan dan teknologi pengukuran standard. Hal yang kurang lebih sama berlaku dalam proses penetapan harga. Rata-rata margin harga kakao petani berkisar antara Rp 1500 – 2500 per kilogram. Harga Kakao yang fluktuatif memang menyediakan celah bagi pembeli kakao untuk “ m e m a i n k a n ” h a rg a . M e r e k a memiliki kontrol dan keputusan mutlak atas hal ini. Karena mereka dianggap memiliki akses dan informasi atas harga pasaran kakao. Dalam hal ini, lagi-lagi petani harus menerima seberapapun harga yang diberikan pembeli kepada mereka, seberapa tidak pantaspun harga itu. Situasi ini telah berlangsung lama dan berulang, sudah menjadi hal biasa dan telah diterima sebagai suatu kewajaran. “Mau bagaimana lagi ? kalau tidak ada mereka siapa lagi nanti yang akan membeli Kakao kami?.” kalimat pelipur lara itu yang paling sering diucapkan petani ketika diajak untuk menilai sistem pemasaran kakao yang berlaku. Persoalannya memang rumit, apalagi relasi antara petani dan pedagang kakao seringkali diimbuhi dengan adanya keterikatan keluarga, hubungan utang piutang, solidaritas sekampung dan lain sebagainya. Pemasaran Bersama, Tata Ulang Hubungan Petani dengan Pasar Sistem pamasaran dijalankan

ditengah-tengah situasi seperti itu. Spontan inisiatif ini mengundang banyak tantangan, terutama dari kalangan pedagang pengumpul. Sistem ini memang berpotensi menggangu dominasi mereka atas petani, terutama petani kecil. Pedagang pengumpul mendapat suplay kakao terutama dari petani kecil dan sebagian petani menengah. Sebagian petani menengah lainnya dan terutama petani kaya, menjual kakaonya pada pedagang besar atau agen pembeli hasil bumi yang ada di pusat kota kabupaten ataupun provinsi. Ini dimungkinkan karena mereka memiliki kakao dalam jumlah besar, sehingga hasil penjualannya mampu digunakan untuk menutupi biaya transportasi dari desa. Pemasaran bersama membuat petani kecil memiliki alternatif pasar. Mereka menjadi memiliki kemampuan untuk mengakses dan memilih lebih banyak pembeli, atau bahkan dalam kasus ini mereka bisa langsung menjual kakaonya ke eksportir. Dengan demikian sistem ini telah memotong rantai panjang komoditas kakao, yang telah mengakibatkan terjadinya ekstraksi surplus petani. Walaupun demikian, tidak dengan serta merta setiap petani kecil langsung bisa melibatkan diri dalam sistem ini. Ada kebutuhan “uang cepat” pada keluarga petani, yang tidak bisa disediakan oleh sistem pemasaran bersama,karena pemasaran bersama tidak ditunjang dengan modal. Pemasaran bersama mengandalkan kepercayaan dan

3


buletin

Laporan Utama

Dok. Yuli/INKAPA

Biji kakao yang sudah ditimbang dari kelompok tani, selanjutnya dikemas dan ditampung di gudang eksportir Parigi kesukarelaan dari pesertanya. Mereka cukup membawa dan mengumpulkan kakaonya ke stasiun penampungan di desa. Tumpukan ini berlangsung beberapa hari, karena harus menunggu hasil panen dari peserta yang lain. Setelah cukup banyak, atau tiba pada batas waktu yang disepakati maka kakao ini akan di angkut ke Sausu Trans, untuk disatukan dengan kakao dari desa-desa lainnya. Sesudah itu kakao akan ditimbang dan diukur, untuk mendapatkan data kondisi komoditi sebagai bahan pembanding dengan pihak pembeli. Jadi dibutuhkan waktu paling lama satu minggu, bagi setiap petani untuk bisa mendapatkan uang hasil penjualan melalui pemasaran bersama. Ini tentunya tidak mudah bagi mayoritas petani peserta pemasaran bersama, terutama yang terdesak dengan kebutuhan uang cepat. Karenanya, untuk menyiasatinya sebagain peserta hanya menitipkan sebagian hasil panen ke sistem ini, sebagian lainnya dijual kepada pedagang pengumpul untuk mendapatkan “uang cepat�. Pada bulan april 2013 kegiatan pemasaran bersama mengalami perkembangan pesat, karena bertepatan dengan panen raya, dimana ada banyak kakao dari kebun petani. Setiap minggu mobil operasional Pemerintah Kecamatan Sausu yang dipinjamkan untuk mendukung kegiatan ini meluncur ke Parigi, memuat rata-rata 4 Ton kakao sekali jalan. Jumlah petani yang terlibat juga semakin besar, apalagi selisih harga yang diperoleh relatif tinggi, yakni Rp 2400, dibandingkan dengan harga setempat. Sebenarnya harga dasar

4

kakao tidak mengalami kenaikan. Kisarannya tetap disekitar angka Rp 19.000 – Rp 22.000, yang turun justru harga kakao di desa, karena panen raya, persediaan kakao melimpah, sehingga para pedagang dari desa sampai kecamatan secara serentak menurunkan harga. Hal ini tidak sulit dilakukan para pedagang di Sausu, karena mereka terkonsolidasi dalam sebuah asosiasi, ASKOBATINDO (Asosiasi Kakao Balinggi Sausu Torue Tolai Indonesia). Turunnya harga kakao di Sausu membuat semakin banyak petani yang ikut memasarkan kakao melalui pemasaran bersama. Bahkan, disamping 5 desa yang masuk dalam program INKAPA, desa Taliabo juga memutuskan untuk bergabung dalam sistem ini. Di desa ini mereka mendirikan stasiun pengumpulan kakao sendiri, dan diintegrasikan dalam pemasaran bersama. Asosiasi Pembeli nampaknya sudah tidak tahan lagi melihat perkembangan pemasaran bersama. Suatu ketika mereka mengutus seorang petugas TNI (Babinsa) ke kediaman salah satu pengurus pemasaran bersama, di Desa Sausu Trans. Selain meminta penjelasan mengenai pemasaran bersama, petugas itu juga meminta pengurus pemasaran bersama itu untuk datang ke pertemuan asosiasi. Menurut beberapa warga Sausu, Babinsa itu merupakan bagian dari asosisasi. Dalam asosiasi ia diberi mandat untuk mengawasi anggota-anggota asosiasi. Apakah memang benar seperti itu, tidak pernah diketahui pastinya, tapi yang pasti masyarakat menganggap

campur tangan petugas, apalagi anggota TNI dalam hal ini sangatlah tidak pantas. Untuk meningkatkan konsolidasi dan solidaritas petani di Sausu, pada tanggal 22 april 2013, petani dari enam desa melalui suatu pertemuan di Desa S a u s u Tr a n s s e p a k a t u n t u k membentuk organisasi tani yang dinamakan Serikat Tani Sausu (STS). Salah satu mandat yang diberikan kepada organisasi ini adalah mengembangkan kegiatan pemasaran bersama. Selang sehari sesudah itu r o m b o n g a n A S K O B AT I N D O mendatangi PT Armajaro, Perusahaan Eksportir Kakao yang selama ini menjadi mitra Pemasaran Bersama petani sausu. Menurut informasi dari pihak Amajaro, kedatangan ASKOBATINDO adalah untuk mempertanyakan kebijakan perusahaan terhadap pemasaran bersama. Termasuk mengenai harga yang diberikan Armajaro kepada petani dalam pemasaran bersama. Mereka menduga telah diperlakukan tidak adil. Armajaro, memang memberikan harga yang lebih tinggi bagi petani. Tapi hal ini lebih dikarenakan standard mutu biji kakao peserta pemasaran bersama secara kumulatif lebih baik dari pada kakao yang berasal dari pedagang. Kepada rombongan ASKOBATINDO, pihak Armajaro menyatakan siap membeli berapapun persediaan yang dimiliki oleh para pedangan dengan harga yang sama, sepanjang memenuhi standard mutu. Selang beberapa hari setelah itu (29/4), Armajaro menyampaikan kalau gudang mereka di Parigi “diserbu� oleh para pedagang, entah dengan maksud apa, para pedagang ASKOBATINDO secara serentak menjual semua stok kakao mereka ke Armajaro. Dampak kisruh antara sistem pemasaran dengan ASKOBATINDO pada akhirnya berdampak pada perubahan harga beli biji kakao. Di penghujung April, para pedagang menaikan harga beli kakao, sehingga margin harga yang tersisa tinggal Rp 1500, dari semula Rp 2.450. Kenaikan ini memungkinkan petani-petani yang tidak terlibat pemasaran bersama secara langsung, baik yang ada di 6 desa di Kecamatan Sausu, maupun kecamatan lain; Tolai, Balinggi dan Torue menjadi ikut merasakan manfaat, berupa perubahan (meskipun kecil) yang terjadi sebagai dampak dari adanya pemasaran bersama.***

Edisi : Juli-Agustus 2013


buletin

Cerita Kampung

Perempuan Sausu Memikul Beban, Akibat Merosotnya Kakao Siti Zulaikhah

Field Officer INKAPA Wilayah Sausu

Perempuan penjual sayur di Desa Sausu Torono

I

bu Ratih (39 th) (bukan nama sebenarnya), perempuan di Desa Sausu Torono nampak sibuk menumpuk kacang panjang menjadi satu, diantara tumpukan terong dan ketimun yang sudah dikarungkan. Ia menanam semua jenis sayuran ini di lahannya yang sempit, 025 Ha, di antara tanaman kakao yang sedang “puasa� berbuah karena disambung samping. Ibu Ratih hanyalah satu diantara banyak perempuan Sausu yang saat ini terpaksa bekerja lebih banyak di kebun. Ini terjadi setidaknya kurun waktu tiga tahun terakhir, semenjak produksi tanaman kakao merosot akibat serangan VSD. Untuk mengembalikan produksi kakaonya, Ratih dan suaminya, Umar (42 th) mencoba mengembalikan produktivitas kebunnya melalui teknik sambung samping. Pak Umar kemudian mendaftar sebagai anggota kelompok Gernas agar mendapat fasilitas bantuan rahabilitasi kebun melalui sambung samping. Saat ini semua pohon kakao di kebunnya yang berjumlah 300 pohon sudah dipasangi sambungan. Ia bahkan telah

Edisi : Juli-Agustus 2013

Dok.Yuli/INKAPA

memotong semua batang induk pohon kakaonya. Karena menurut petunjuk tenaga teknis penyuluh pendamping Gernas, itu harus dilakukan agar supaya cabang tidak menggangu pertumbuhan entris. Karena telah memotong batang pohon induk, maka kakao Ibu Ratih dan Pak Umar sudah tidak bisa berproduksi lagi, butuh waktu satu setengah tahun bagi pohon-pohon itu untuk mulai belajar berbuah. Untuk dapat penghasilan pengganti, suami ibu Ratih memilih bekerja serabutan sebagai buruh tani maupun buruh bangunan di tempat lain. Sebelumnya pekerjaan sebagai buruh hanya menjadi sampingan. Tapi saat ini, pekerjaan itu menjadi yang utama. Demikian halnya ibu Ratih, ia tidak mau tinggal diam menghadapi tekanan ekonomi rumah tangganya. Ia kemudian memutuskan untuk menggarap kebun kakaonya dengan menanami sayur-sayuran sembari menjalani rutinas mengurusi 3 orang anaknya yang masih kecil, serta melakukan pekerjaan rumah lainnya. Saat ini di Sausu, ada lebih banyak perempuan seperti ibu Ratih, yang

dengan terpaksa harus memikul lebih banyak beban dari pada sebelumnya. Kondisi ini tidak terlepas dari keputusan mereka untuk membudidayakan kakao sekitar sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu itu, kakao memang sedang menjadi primadona petani, hampir semua petani beralih ke tanaman ini. Kemerosotan kakao sebelumnya tidak pernah dibayangkan oleh petani, kalaupun pernah terbayang, maka periodenya tidak pernah diduga bisa terjadi secepat ini. Hingga saat ini, kebanyakan petani tetap mengimpikan masa keemasan kakao akan kembali. Makanya banyak diantaranya yang tetap bertahan pada komoditi ini, meskipun tidak sedikit juga yang secara ekstreem m e m u t u s k a n u n t u k meninggalkannya, sebagaimana yang dilakukan oleh petani-petani sawah di Sausu, Torue dan Tolai. Lahan kakao yang dulunya mereka konversi dari lahan persawahan, sekarang mereka rombak lagi menjadi sawah. Ada juga golongan petani yang memilih jalan tengah, mereka tidak secara ekstreen meninggalkan kakao, mereka tetap membudidayakan komoditi ini, sembari menyisipkan jenis tanaman perkebunan baru disela-sela pohon kakao. Di Sausu, ketika kondisi tanaman kakao sebagai unggulan ekonomi keluarga tani tidak mendapatkan hasil yang baik, kaum perempuan mulai terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan yang tidak biasa dilakukan, seperti menjadi buruh di sawah, menanam sayur-sayuran dan lainnya. Saat ini kaum perempuan harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Dalam kondisi senang atau tidak, perempuan terpaksa menanggung beban, karena ji k a t i d a k , k e b u tu h an r u mah tangganya tidak mencukupi. Kondisi seperti ini semakin membatasi kaum perempuan untuk mengembangkan diri dan semakin tertekan. Dalam beberapa kasus, perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti yang diceritakan oleh beberapa orang ibu, akibat tekanan ekonomi dalam keluarga sering terjadi pertengkaran yang berujung pada terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik fisik maupun verbal. Sayangnya, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ini masih dianggap urusan domestik dan aib keluarga, sehingga dianggap wajar dan tidak mendapat â–ˆ Baca Perempuan... Hal 9

5


buletin

SERI BUDIDAYA

Mengenal Gejala Defisiensi Hara, Berdasarkan Gejala yang Nampak Pada Daun Kakao

Gambar 1

P

emberian Pupuk dan Perlakuan terhadap tanaman sering kali tidak memberi hasil yang memusakan. Beberapa perlakuan, tanpa disadari justru memperparah tingkat kerusakan pada tanaman. Mengapa demikian?, karena seringkali perlakuan yang diberikan pada tanaman tidak tepat, oleh karena k e s a l a h a n d a l a m

Dok. Hariani/INKAPA

Pemisahan Biji Kakao dari Kulitnya yang dikerjakan oleh kaum perempuan di Desa Sungku Kecamatan Kulawi.

Keterangan Gambar 1 Dok. Moh.Aris/INKAPA

Dok.Moh.Hatta

Setelah dipisahkan dari Kulitnya, Biji Kakao dijemur di bawah sinar matahari yang cukup, hingga kering.

Keterangan Gambar 2 “mendiagno sis” penyakit atau masalah tanaman. disamping itu, petani terbiasa atau dibiasakan untuk memberi asupan (pupuk dll) dengan takaran dan komposisi standard. tanpa mengindahkan kondisi dan kebutuhan tanaman. Sehingga perlakuan itu seringkali tidak keliru, seperti sebuah istilah “Lain yang sakit lain yang diobati. Orang sakit kepala dikasi obat sakit perut”.

6

Gambar 2 U n t u k mengurangi kemungkinan salah diagnosis yang akan mengakibatkan kesalahan tindakan penting bagi petani untuk mengetahui dan menganalisis secara benar masalah apa yang terjadi pada tanamannya. Langkahnya sederhana, lakukan apa yang senantiasa d i a n j u r k a n I N K A PA , “Pengamatan” lalu bandingkan keadaan daun Kakao dengan gambar dibawah ini daun, di bawah ini, dengan demikian akan diketahui apakah pohon kakao kita dalah keadaan normal (cukup nutrisi) atau kekurangan nutrisi tertentu.***

Dok. Moh.Aris/INKAPA

Sortasi :Biji kakao yang baik dipisahkan dari sampah seperti plasenta, biji cacat dan benda asing lainnya.

Dok. Moh.Aris/INKAPA

Kakao yang sudah disortir Anggota Serikat Tani , dikumpulkan ke Penggalang Desa, untuk selanjutnya diangkut ke Penggalang Kecamatan.

Edisi : Juli-Agustus 2013


KRONIK KAMPUNG

Briket Kulit Kakao, Dari Limbah Menjadi Berharga

P

emasaran Bersama, yang dipopuler pertama kalinya pada Juli 2012,di wilayah kabupaten Parigi Moutong, khususnya kecamatan Sausu. Pemasaran Bersama adalah mekanisme pengumpulan, pengukuran, pengakutan dan penjualan komoditi kakao yang dilakukan oleh sejumlah petani.

Inovasi Petani

Oleh : Rahmat Saleh Koordinator Knowledge Management Unit INKAPA

Dok. Bardi Lamancori/INKAPA

Biji Kakao yang dikumpul dari Pengalang Kecamatan, yang diakut oleh kelompok tani tiba di Gudang eksportir.

Dok. Bardi Lamancori/INKAPA

Proses penimbangan Biji Kakao, dari kelompok Tani di Gudang Eksportir

Dok. Suhardin Salasah/INKAPA

Biji-biji Kakao didalam gudang penampungan yang siap memasuki Peti Kemas untuk di Ekspor. Contoh Biji Kakao yang berkwalitas tinggi, dengan kadar air yang rendah setelah dilakukan sortasi.

Dok. Suhardin Salasah/INKAPA

Edisi : Juli-Agustus 2013

Dok. Hariani/INKAPA

Kulit Kakao Bahan utama pembuat briket, sebelum dikeringkan.

P

ertengahan Maret lalu (15/3), Yorim Riwi (48 tahun), petani, yang juga salah satu anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa) di desa Toro bertandang ke kantor INKAPA di Palu. Ia membawa 10 Dus masing-masing berisi 100 briket arang kulit kakao, berwarna hitam berbentuk silindris dengan garis tengah 10 cm dan ketebalan 5 cm. “Saya mau antar pesanan Pak Yuda. Kami sudah baku janji mau ketemu disini” katanya. “Sekalian saya bawa contoh briket untuk INKAPA, supaya saya bisa dibantu untuk promosi” Pak Yuda, siang itu juga sudah ada di INKAPA. Ia ketua GAPOKTAN Mekar Wangi, Desa Sausu Torono Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong. Kediaman kedua petani ini terpisah sekitar 230 kilometer jauhnya, yang satu di pesisir pantai yang terik, satunya lagi di kawasan pegunungan yang sejuk. Mereka juga berasal dari latar suku, adat budaya dan agama yang berbeda. Begitu banyak pembeda sehingga hubungan keduanya menjadi istimewa. Terlebih lagi, hubungan itu mereka tempatkan diatas kesadaran akan adanya kebutuhan untuk saling berhubungan, bekerjasama dan saling memperkuat diantara sesama petani kecil, yang kedudukannya demikian lemah dan rentan. Pertemuan Pak Yuda dan Pak Yorim pertama kali terjadi ketika Pak Yuda turut serta dalam rombongan kunjungan belajar petani Sausu ke Kulawi pada bulan Desember 2012. Salah satu situs belajar yang dikunjungi rombongan itu adalah Desa Toro. Di desa ini mereka belajar mengenai sistem pengelolaan sumberdaya alam berbasis kearifan tradisional, produksi dan penggunaan herbisida alami yang dikembangkan oleh perempuan Desa Toro, dan usaha produksi briket kulit kakao yang juga dilakukan oleh kelompok perempuan di Dusun Bulukuku Desa Toro, dimana Pak Yorim menjadi satu-satunya anggota lakilaki dan ditugaskan menjadi bagian pemasaran. Briket kulit kakao tentu saja menjadi karya yang memikat bagi petani dari Sausu, bentuknya bagus dan menarik, seperti produk buatan pabrik. Cara membuatnya mudah, biaya produksinya rendah, bahan bakunya melimpah dan kegunaanya banyak. Hal inilah yang membuat banyak orang tertarik pada briket kulit kakao. Kulit kakao selama ini merupakan limbah yang sangat merepotkan. Selain █ Baca Briket... Hal 10

7


buletin

Catatan Lapang

Suatu Sore Bersama Istri Buruh Tani

S

Edisi : Juli-Agustus 2013

Dok.Suhardin Salasah/INKAPA

ore itu, bersama tanah. Saat sampai di dengan Kepala Desa Maleali keluarga Dusun III, I Made ini menumpang di Sumada saya pergi rumah saudara di ke RT 1 Dusun Pematu. Dusun IV. Perlu waktu Di ujung lorong terlihat satu bulan sampai s ebuah rumah kayu m e r e k a b i s a dengan satu kamar. mempunyai tanah Seorang perempuan sendiri yakni kintal keluar dari dapur. Dia, Ni seluas 4 are. Kintal ini Made Suati datang mereka beli seharga Rp. menyambut kami. Istri 800.000 dari seorang dari I Ketut Adiwiguna warga di Dusun III, ini mengatakan bahwa tidak bersertifikat. Dari suaminya sedang pergi Leoni Diah Anggraini pembelian kintal ini, menjadi buruh di sawah milik salah yang ada hanya kuitansi pembelian satu warga di Dusun Mertajati, Desa saja. Di atas kintal itulah, mereka Sausu Peore. Kami kemudian duduk kemudian membangun rumah dari di muka rumah kayu beralas tanah kayu-kayu bekas rumah mereka di seluas 4 x 6 m² ini. Ni Made Suati pun Mayoa. Terlihat di belakang rumah b e r c e r i t a m e n g e n a i s e j a r a h terdapat beberapa ekor ayam keluarganya kepada kami. Mereka berkeliaran, dua ekor babi, serta satu merupakan pendatang dari Desa ekor kambing bantuan dari sisa dana M a y o a , K e c a m a t a n P a m o n a , SPP PNPM Mandiri Perdesaan. Ni Kabupaten Poso. Keluarga ini sampai Made Suati bercerita, ia hanya mampu di Desa Maleali pada tahun 2006. mempuyai dua ekor babi karena harga Sambil duduk memangku anak bibitnya dirasa mahal, yakni Rp. keduanya, ia bercerita bahwa alasan 400.000 untuk babi kecil seberat 4 kg. kepindahan tersebut karena ketika itu Jika nanti beratnya sudah mencapai 70sang ibu sakit keras. Menurut 80 kg, babi-babi ini baru dapat dijual kepercayaan keluarganya, jika mereka dengan harga berkisar 1,3-1,5 Juta bisa pindah ke tempat baru dengan Rupiah per ekornya. Sebenarnya tidak melihat suasana baru dan bisa terlalu banyak keuntungan yang menghirup angin yang berbeda diperoleh dari memelihara babi. Babimereka berharap ibunya bisa sehat babi ini diberi makan dari sisa-sisa kembali. Disamping memang mereka makanan seperti juga kambing dan ingin mencari peruntungan di tanah ayam miliknya. rantau yang baru. Ketika mereka tiba Ni Ketut Suati mempunyai 75 are di Desa Maleali, sang ibu harus kebun kakao di daerah Pobengko. dirawat jalan di Puskemas Sausu. Kebun ini diberi oleh saudaranya. Namun nasib berkata lain, enam bulan Kondisi kebun yang berada di wilayah sejak kedatangan keluarganya ke Desa p e g u n u n g a n i n i s a n g a t Maleali, sang ibu dipanggil yang memprihatinkan. Ketika dibeli, pohonkuasa akibat penyakit beri-beri. pohon kakao ini sudah dalam kategori Sementara ayah Ni Made Suati sudah tua, karena sudah lebih dari 20 tahun meninggal lebih dulu. Kondisi ditanam sehingga tidak bisa lagi ekonomi yang belum baik membuat b e r p r o d u k s i . H a l l a i n y a n g almarhum ayah dan ibu Ni Made Suati menyebabkan kebun kakao milik Ni belum diaben. Made Suati ini tidak bisa berproduksi Tanah mereka di Desa Mayoa adalah karena tidak pernah dirawat. mereka jual untuk biaya perjalanan ke Lokasinya yang jauh dari rumah dan Desa Maleali. Uang yang didapat dari membutuhkan tenaga ekstra untuk hasil penjualan tanah sebesar satu sampai ke sana membuat kebun ini setengah juta Rupiah mereka gunakan tidak terawat dengan baik. Ni Made biaya menyewa truk pengangkut serta Suati mengakui bahwa ia dan suaminya sisanya digunakan untuk membeli tidak mempunyai pengetahuan dalam

budidaya tanaman kakao sehingga memilih tidak merawat kebun dan pergi menjadi buruh. Belum lagi biaya yang harus mereka keluarkan untuk ongkos produksi selama proses budidaya kakao berlangsung tidaklah sedikit. Dengan kondisi keuangan yang terbatas, Ni Made Suati mengaku lebih memilih menggunakan uang yang mereka dapat untuk konsumsi sehari-hari. Naas, setahun lalu, kebun ini terkena longsor akibat hujan deras yang mengguyur Desa Maleali selama beberapa hari. Akibat tanah longsor ini, sebagian besar kebun tertutup dengan tanah. Selain terkena longsor, kebun yang berbatasan dengan sungai ini pun semakin berkurang luasnya karena erosi dari sungai. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, I Ketut Adiwiguna bekerja sebagai buruh. Pada saat proses wawancara, ia sedang bekerja mencabut rumput sawah milik warga di Desa Mertajati. Selain itu, kadangkala ia menjadi buruh angkut pasir. Pada musim panen padi tiba, I Ketut Adiwiguna bekerja sebagai buruh panen atau biasa disebut dengan basangki. Awal Agustus lalu, bersama dengan 16 orang temannya selama 21 hari ia bekerja sebagai buruh panen padi di Desa Kota Raya Kecamatan Mepanga, Kabupaten Parigi Moutong. Selama 21 hari bekerja, ia bisa membawa pulang uang sebanyak Rp. 2.500.000. Uang ini digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan sebagian disimpan untuk rencana mengaben ayah dan ibu Ni Made Suati. Satu-satunya tulang punggung keluarga adalah I Ketut Adiwiguna. Sang istri, Ni Ketut Suati belum bisa membantu bekerja di luar rumah, seperti ikut menjadi buruh karena ia harus menjaga dan merawat kedua anak mereka yang masih berumur tujuh dan dua tahun. Sehingga waktunya memang lebih banyak dihabiskan di wilayah domestik yakni mengasuh anak, memasak, mencuci, serta memelihara ternak. Menurut keterangan dari Kepala Dusun, keluarga ini juga tidak terlalu aktif terlibat dalam kegiatan masyarakat karena waktunya habis digunakan untuk bekerja.***

Oleh: Leoni Diah Anggraini Field Officer Sausu Trans (2011-2012)

9


buletin

Sambungan â–ˆPerempuan... dari Hal 5 perhatian umum. Selama ini, kecenderungan yang terjadi di Sausu, persoalan perempuan tidak pernah mendapatkan perhatian, bahkan biasa dianggap masalah pribadi. Hal ini terjadi sebagai konsekuensi yang harus ditanggung oleh petani yang mengusahakan kokao sebagai komoditas global secara monokultur selama ini. Sebagai petani kecil yang mengusahakan kakao, mereka menjadi tergantung atau tidak berdaulat, baik dari aspek penyediaan sarana-prasarana budidaya maupun dalam aspek pemasaran biji kakao. Dalam penelitian Nurhady Sirimorok bersama tim Inkapa di Sausu yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 yang lalu, diperoleh gambaran, kemiskinan petani kakao di beberapa desa di Sausu terjadi sebagai akibat dari ketergantungan petani terhadap kekuatan modal atau kapitalis yang tidak hanya menguasai dan mengontrol harga sarana produksi berupa pupuk dan pestisida, tetapi juga menentukan harga jual biji kakao segar dalam rantai pasar yang tidak adil terhadap petani. Parahnya lagi, petani tak menyadari bahwa keterpurukan ekonomi itu bukanlah sebuah takdir melainkan system yang sedang berjalan memanfaatkan kondisi mereka di desa. Kelimpahan sumberdaya alam serta lemahnya pengetahuan petani, keadaan inilah yang di manfaatkan oleh pemilikpemilik modal besar untuk mengambil keuntungan dari kaum tani sebanyak-banyaknya. Kondisi kemiskinan akibat menurunnya produktifitas kakao dan rantai pasar yang menempatkan petani dalam posisi marjinal diperparah oleh kuatnya budaya patriaki yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinasi. Sebenarnya banyak perempuan desa yang berpotensi, tapi mereka yang mendapatkan kesempatan dalam pembangunan hanya sedikit jumlahnya, karena perempuan masih dianggap kaum yang lemah, cengeng, kurang bertanggung jawab, dianggap hanya bisa melakukan pekerjaan yang dianggap pantas dilakukan sesuai kodrat perempuan dalam pandangan budaya patriakhi. Dalam konteks inilah, pergerakan perempuan di dalam tatanan sosial masyarakat selalu dibatasi oleh kaum laki-laki, baik itu suami mereka maupun oleh masyarakat secara umum. Seperti

Edisi : Juli-Agustus 2013

pengalaman yang diceritakan dalam acara Focussed Group Discussion, umumnya aktifitas perempuan di luar rumah dibatasi oleh suaminya. Kasuskasus pembatasan oleh suami tidak terlepas dari persepsi umum masyarakat yang menganggap bahwa perempuan yang beraktifitas hingga malam hari di luar rumah dipandang negatif dan kerap menjadi bahan pergunjingan di tengah masyarakat. Menghadapi kenyataan-kenyataan yang menimpa perempuan sebagaimana digambarkan di atas, beberapa orang perempuan yang berpikiran maju kemudian mengambil inisiatif untuk mengorganisir kaum perempuan yang kebanyakan adalah ibu-ibu rumah tangga. Awalnya, inisiatif ini mengalami hambatan yang luar biasa berat, bukan hanya karena persepsi negatif masyarakat, akan tetapi juga berhubungan dengan pemahaman perempuan itu sendiri tentang organisasi. Misalnya saja, ketika inisiatif mendorong kaum ibu untuk membangun kelompok sebagai media untuk belajar dan berdaya, kebanyakan mereka yang diajak memahami kelompok yang dibentuk sebagai media untuk mendapatkan bantuan. Pengalaman selama ini, dengan banyaknya program yang turun di desa dan mensyaratkan adanya kelompok tani, maka biasanya orang-orang berlomba-lomba untuk membentuk kelompok tani baru, tujuannya adalah agar kelompoknya mendapat perhatian dari program yang turun ke desa. Pengembangan kelompok juga dilakukan atas tuntutan dari kebutuhan program semata. Pengalaman ini membawa dampak buruk pada masyarakat, bayangan mereka semua program yang turun selalu memberikan suntikan dalam bentuk barang dan dana. Setelah program selesai, tidak ada tindak lanjut dan selesai tanpa hasil yang baik, kecuali menjadikan masyarakat tergantung pada program bantuan, sehingga tidak menjadikannya mandiri. Tidak ada nilai tambah terhadap masyarakat, sebaliknya, justru membentuk masyarakat menjadi naif terhadap keberadaan kelompok tani sebagai suatu organisasi, dimana jika ada program yang turun, yang menjadi pembahasan utama dalam kelompok tani adalah berapa dana yang diturunkan? Berapa dana pengganti waktu? dan lainnya yang selalu berhubungan dengan dana. Dengan kondisi ini, beberapa

perempuan penggerak di desa tetap berusaha dengan tulus untuk membangun dan berkarya, dengan mendekati orang-orang yang berpegaruh di desa, misalnya kepala desa, serta tokoh perempuan yang disegani di dalam desa, dengan cara mengajak berkelompok yang sifatnya membagun. Para penggerak perempuan ini terus berupaya membangkitkan kelompok dengan menanamkan rasa kepercayaan yang dibangun secara internal dan swadaya serta tidak sepenuhnya mengurusi kegiatan yang berkaitan dengan proyek tertentu, misalnya di Desa Sausu Torono, Ibu Murdasim dan k a w a n - k a w a n , m e n g o rg a n i s i r perempuan tani dengan menghidupkan kembali koperasi perempuan yang mengurusi pemenuhan kebutuhan sembako bagi anggotanya. Di Desa Sausu Gandasari, ibu Ni Nyoman Sukaisi mendorong pembentukan kelompok perempuan petani sayur organik. Di Desa Sausu Trans, Ibu Eka juga mengorganisir perempuan dengan membentuk kelompok perempuan tani organik. Di Sausu Piore, perempuan mengorganisir diri melalui pembentukan kelompok usaha pengelola kacang koro. Di Maleali, perempuan tani kakao mengorganisir diri dalam kelompok pembibitan kakao. Upaya perempuan-perempuan penggerak di beberapa desa di sebutkan di atas tadi, adalah salah satu langkah penting saat ini dalam merintis perjuangan perempuan. Kedepannya, upaya-upaya pengorganisasian kelompok ini mesti diikuti dengan upaya-upaya membangun daya kritis kaum perempuan dengan mengembangkan lebih banyak aktifitas pendidikan.***

...ibu Ratih hanyalah satu diantara banyak perempuan Sausu yang saat ini terpaksa bekerja lebih banyak di kebun. Ini terjadi setidaknya kurun waktu tiga tahun terakhir, semenjak produksi tanaman kakao merosot akibat serangan VSD... 9


buletin

█ Briket... dari Hal 7 jumlahnya banyak (meliputi 70 % dari total bio massa buah kakao), pembusukannya juga lama. Disamping itu kulit kakao juga bisa menjadi perantara persebaran hama dan penyakit. Sehingga dalam kegiatan sanitasi, kulit kakao tidak dibenarkan berserakan di dalam kebun. Kulit kakao disarankan untuk ditimbun dalam tanah supaya bisa terdekomposisi menjadi unsur hara, sekaligus mengisolasi potensi hama dan penyakit yang mungkin terkandung di dalamnya. Perlakuan ini seringkali dianggap merepotkan karena menyita cukup banyak waktu dan tenaga kerja. Melalui teknologi pembuatan briket kulit kakao, keberadaan kulit kakao berubah status dari limbah yang merepotkan menjadi bahan yang berguna. Produk yang dihasilkanpun multiguna. Menurut Pak Yorim, briket kulit kakao tidak hanya bisa dipakai sebagai bahan bakar, yang berfungsi menjadi sumber energi alternatif pengganti kayu bakar bagi masyarakat kampung. Briket ini juga bisa dipakai untuk bahan anti racun dan penjernih air atau Norit. Selain itu, briket kulit kakao juga bisa berfungsi sebagai pupuk. Menurut Pak Yorim, itulah yang menjadi tujuan pembuatan briket kulit kakao ini. “Waktu itu ada penelitian mengenai pupuk arang, oleh tim UNDP” kata Pak Yorim. “Mereka membuat demplot jagung, ada jagung yang ditanam diatas tanah yang beri pupuk arang dan kompos, ada jagung yang diberi pupuk arang dan urea, dan ada jagung yang tidak diberi apa-apa”. “Pada panen pertama hasilnya bagus pak, Jagung yang diberi Kompos dan Pupuk arang produksinya naik lebih dari dua kali lipat. Kalau tidak pakai apa-apa hanya 200 Kg per 4 are, kalau pake Kompos dan Pupuk arang jadi 500 Kg per 4 are”. Namun menurut Pak Yorim, hasil uji coba kedua tidak begitu berhasil. Uji coba yang dilakukan antara bulan Oktober sampai dengan Desember itu hasilnya tidak lebih banyak daripada jagung yang diusahakan tanpa pupuk apapun. Ia meyakini penyebabnya adalah curah hujan yang tinggi. Menurut kelender musim di wilayah itu, waktu-waktu tersebut memang merupakan puncak-puncaknya musim penghujan. Dari uji coba tanah, tim UNDP itu kemudian melakukan pelatihan pembuatan briket untuk satu

10

Alat pembuat briket terbuat dari drum minyak

Dok.Iwan Hamid/INKAPA

INOVASI PETANI

kelompok yang diikuti 5 orang perempuan dan 1 laki-laki. Dalam proses uji coba kelompok itu juga mendapat bantuan alat-alat produksi briket, yang terdiri dari drum untuk membakar kulit kakao, mesin giling, dan cetakan. Modal pengetahuan dan alat-alat inilah yang mereka jadikan sebagai sarana berproduksi. Saat ini proses pembuatan briket kakao masih dilakukan dalam skala terbatas. Jika dirata-ratakan jumlahnya sekitar 100 briket perhari, itupun tidak konstan. Kelompok ini terkendala dengan pemasaran, karena pada dasarnya arang memang bukan jenis bahan bakar yang banyak digunakan oleh masyarakat. Jikapun ada penggunanya ditempat tertentu, arang briket ini, tidak serta-merta dapat digunakan, karena tungku masakan yang mereka gunakan tidak cocok dengan briket kakao. Penggunaan briket kakao ini, membutuhkan tungku yang disain khusus. “Supaya apinya menyala dengan stabil. tungku itu mesti dibuat bertingkat, dengan sel berupa saringan, yang bisa memisahkan abu hasil pembakaran dengan sisa briket” kata Pak Yorim. “Tungku yang ada sekarang, yang sudah kami liat tidak begitu, kita sudah pernah coba, hasilnya tidak maksimal” imbuhnya. I N K A PA s e n d i r i , s u d a h memperoleh dua disain tungku yang dikembangkan oleh masyarakat Palolo dan Enu. Namun setelah diuji coba hasilnya juga tidak memuaskan. Pemisahan abu yang tidak berlangsung efektif menciptakan

tumpukan abu di sekitar briket. Hal ini menghalangi sirkulasi oksigen di dalam tungku ke briket, dan membuat briket tidak menyala secara merata. Disamping itu masalah lain yang harus dibenahi dari produk ini adalah menyangkut mutunya. Hal ini dirasakan dari pengalaman INKAPA ketika melibatkan diri dalam proses promosi dan pemasaran produk ini. Dalam suatu seminar yang dilaksanakan Sucofindo, staf INKAPA memperkenalkan briket kakao sebagai salah satu produk turunan kakao. Sudah tentu produk ini menarik perhatian banyak pelaku usaha, dimana salah satunya telah melakukan penjajagan secara serius. Pelaku usaha yang berbasis di Jakarta itu, membutuhkan pasokan briket sebanyak 8 Ton perbulannya. Hal ini seharusnya bisa mejadi peluang pasar bagi industri briket di Toro. Namun sayangnya setelah meneliti sampel yang dikirimkan, mereka menilai briket tersebut belum cocok dengan kualifikasi yang mereka butuhkan. Teksturnya masih kasar dan kadar kalorinya relatif rendah. Kadar kalori berhubungan dengan tingkat kekeringan bahan bahan sebelum digiling menjadi serbuk arang. Sedangkan tekstur sangat dipengaruhi dengan kemampuan untuk menghaluskan partikel. Proses ini tentunya bergantung pada alat mesin yang digunakan. Namun untuk penggunaan domestik, produk yang dihasilkan oleh kelompok perempuan Bulukuku sudah sangat layak. Sehingga pilihannya saat ini terletak pada kelompok itu sendiri, apakah akan mengutamakan pemasaran sekala lokal, ataukah ingin merambah pasar industri yang lebih besar, dengan segala kerumitan dan tantangannya.***

Briket kulit Kakao siap digunakan untuk memasak Dok.Iwan Hamid/INKAPA

Edisi : Juli-Agustus 2013


buletin

Sambungan

...truk yang hendak mengangkut rotan Pak Isnen digerebeg Patroli Gabungan, Polhut Balai TNLL, petugas POLDA Sulteng dan Koramil Kulawi. Semua rotan yang sudah dimuat, diturunkan dan dicincang dihadapannya. █ Banting...

dengan volume tidak kurang dari 4 ton sekali angkut. Karena merasa

dari Hal 12

puluhan Perotan. Dalam hubungan produksi rotan, pembeli rotan atau juga dikenal sebagai juru timbang adalah tangan kanan Bos Rotan. Sebagai Juru Timbang, Pak Isnen bertanggung jawab mengendalikan mobilisasi tenaga kerja, pengumpulan dan pengakutan rotan dari tempat penimbangan hingga ke pabrik di kota Palu. Sebagai juru timbang ia punya “akses istimewa” ke Bos Rotan, selaku pemilik modal dan pemegang izin. Ia punya hak untuk mendapat pinjaman modal dari Bos Rotan yang akan ia gunakan untuk membayar panjar para buruh pencari rotan sebagai biaya hidup berhari-hari di dalam hutan, sekaligus untuk membeli rotan yang berhasil mereka kumpulkan. Rotanrotan ini nantinya akan dijual kembali oleh Pak Isnen kepada Bos Rotan dengan selisih harga yang sudah disepakati. Bisnis Pak Isnen mulanya berjalan lancar. Ia sempat beberapa kali melakukan pemuatan ke Palu,

“ seharusnya pemerintah membangunkan rumah sakit di bagian Parigi Utara atau minimal rumah bersalin”

Edisi : Juli-Agustus 2013

11


buletin

Profile

Banting Setir, Dari Pembeli Rotan yang Gagal, Menjadi Petani Kakao yang Berhasil Oleh : Rahmat Saleh dan Suaib Hasan Koordinator Knowledge Management Unit INKAPA Field Ofificer Wilayah Kulawi

P

Dok.Saiful Taslim/INKAPA

ak Isnaini atau lebih akrab dengan sapaan Pak Isnen tidak muda lagi, sebagian besar rambutnya sudah memutih. Kulit mukanya juga banyak yang berkeriput. Meskipun begitu badannya masih kelihat sehat dan bugar. Mungkin karena ia banyak meng-olah raganya, dengan bekerja sebagai Petani. Bersahaja, itu kesan pertama yang muncul ketika melihat sosok petani yang dikenal ulet ini. Ia bicara dengan pelan dan tenang, tidak terlalu banyak, tapi mendalam. Kelihatan betul kalau ia selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang hendak diucapkan. Pak Isnen adalah petani demplot INKAPA di Desa Bolapapu kecamatan Kulawi. Satu-satunya kebun Kakao yang Ia miliki luasnya sekitar 1 Ha, telah

12

Isnen

menjadi kebun belajar, dapat diakses oleh siapapun petani di Bolapapu yang hendak melihat berbagai perlakuan terhadap kakao dan hasilnya. Ada 7 perlakukan terhadap kakao di demplot ini ; pemangkasan alur buah, sambung samping, uji klon (klon lokal unggul Kulawi, S3, Sulawesi 1 dan 2), penjarangan, sanitasi dan kombinasi kebun kakao dengan ternak unggas. Perlakuan yang terakhir ini diangkat dari kebiasaan petani di Kulawi sejak jaman mo bonea atau berladang. Di suatu hamparan ladang diolah oleh beberapa keluarga peladang, biasanya terdapat rumah-rumah kebun yang membentuk perkampungan kecil yang disebut Polompua. Disekitar Polompua terdapat Pampa (kebun campuran) untuk membudidayakan tanaman jangka pendek maupun tanaman jangka panjang. Dalam tranformasi sistem penggunaan lahan pada masyarakat Kulawi Pampa biasanya berkembang menjadi kebun, seiring dengan pertumbuhan dan meluasnya area tanaman keras (kopi, coklat, cengkeh). Disamping itu, para peladang juga membudidayakan ternak, utamanya ayam. Ketika Polompua sudah ditinggalkan, untuk pindah ke tempat lain, atau ladang sudah berubah menjadi kebun, para peladang akan tetap menyisakan satu pondok, yang bagian kolongnya bisa berfungsi sebagai kandang. Menurut Pak Isnen, memelihara ternak di kebun itu penting, karena bisa berfungsi sebagai tabungan. Kalau sewaktuwaktu ada kebutuhan keuangan mendadak, atau paling tidak untuk kebutuhan lauk pauk keluarga.

Ternak juga membuat kita rajin ke kebun. “Beda dengan tanaman, ternak ini peliharaan yang bergerak, kalau tidak, mereka tidak bisa makan makanya kita harus liat-liat untuk memastikan mereka ada makanan. Karena kita harus liat-liat, maka kita harus ke kebun. Makanya ternak bisa membuat kita rajin ke kebun”. Ujar Pak Isnen. Dulunya adalah Perotan Kebun kakao Pak Isnen terletak persis di tepi jalan Trans Palu Kulawi, di dekat perbatasan antara desa Bolapapu dan Desa Namo. Letaknya sangat strategis, makanya demplot ini termasuk yang paling ramai dikunjungi, baik oleh petani mapun oleh pihak lain, baik yang sengaja berkunjung atau secara kebetulan singgah. Pak Isnen saat ini berusia 67 tahun, Ia tinggal bersama Palija isteri tercintanya. Mereka dikaruniai Empat orang anak, Manaf, Marifa, Amina dan Yasir. Pak Isnen berharap suatu ketika anak-anaknya bisa menjadi petani yang berhasil. Bisa lebih baik dari dirinya. Sedini mungkin ia sudah menyiapkan kemungkinan anak-anaknya untuk menjadi petani. Masing-masing dari mereka dibelikannya sebidang tanah kebun yang dibelinya dari hasil kebun kakaonya. Hal itu juga yang membuat Pak Isnen berbesar hati sebagai orang tua, sekaligus senang bertanam kakao. Sebelum secara intensif membudidayakan kakao, Pak Isnen pernah mengerjakan macammacam pekerjaan, terutama mengumpulkan hasil hutan. Ia pernah menjadi pencari sarang walet meskipun tidak lama, menurutnya pekerjaan itu terlalu spekulatif, dan tidak ada hasilnya. Pernah ia berhari-hari di hutan, menyusuri anak-anak sungai hingga kepedalam untuk mengecek keberadaan air terjun yang dikabarkan menjadi sarang walet, namun hasilnya nihil. Sesudah itu, Pak Isnen pernah cukup lama “bermain” di bisnis rotan. Ia mengawali karirnya sebagai pemungut rotan (Tope Lauro), lalu menjadi juru timbang atau pembeli rotan. Sebagai pembeli rotan ia membawahi belasan atau bahkan █ Baca : Banting... Hal 11

Edisi : Juli-Agustus 2013


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.