KAKI
Catatan bullet-teen
Kaki Tangan Demokrasi dan Keadilan
Catatan Kaki Pemimpin Umum | Panjie Pemimpin Redaksi | Ramadhany Arumningtyas Redaktur Pelaksana | Nur Alan Lasido Editor | Nini | Kurniaspar Qadri Layouter | Joni al-Mudhill
| Reporter Taufik | Anti | Warka Al-Amin | Abot | Harpiana R. Wahyudin | Edy Kurniawan Suradin | Ryan Asri Abdullah | Fuhrer Alende | Pemimpin Perusahaan Fadil | Sirkulasi Murni Muin
Gedung PKM 2 | Lt. I Ruang Tempo | Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas Hasanuddin | Jl. Perintis Kemerdekaan 10 | Makassar (0411) 589 333 | ukpmcaka_uh@yahoo.com
Salam redaksi.... Ribuan kali manusia melakukan perang di bumi demi kebenaran yang masing-masing mereka usung. Akhirnya, setelah berperang dengan rasa malas, CAKA bullet(teen) hadir disaat yang sama dimana sebuah bangsa sedang hendak dihancurkan dengan perang. Di saat yang sama ketika anak-anak kecil berjuang memerangi orang asing bersepatu laras dan bersenapan yang memuntahkan peluru ke rumah mereka. Ratusan anak berusia di bawah 17 tahun tewas akibat serangan Israel (Hingga 13/01/09, 227 anak telah tewas akibat serangan Israel). Bahkan yang paling miris ketika dua anak ditembak saat berada di masjid. CAKA bullet(teen) hadir dengan iringan nyanyian kematian di sebuah bangsa yang mati-matian mempertahankan tanah mereka. Siapa yang peduli Palestina? Judul sebuah opini di sebuah surat kabar harian. Apa negara-negara Arab? Negara-negara Islam? Uni Eropa? Atau negara pengusung HAM termunafik seperti Amerika Serikat? Negara yang akhir-akhir ini cenderung mempopulerkan Obama, sebagai pembaharu Amerika. Oya, kemana gerangan presiden 'ikon pembebas' ini. Tidak jauh meleset dari perkiraan kita. Sama seperti presiden-presiden Amerika ratusan tahun sebelumnya. Obama tak ubahnya macan sakit di hadapan para pelobi Yahudi. Terlihat Wiji Thukul sedang merangkai puisi memaki zion-zion keparat, seperti terlihat Munir dengan suara parau memegang toa' mengutuki Amerika.
Kawan... Perang memang tak pernah menghasilkan apapun selain darah. Bangsa Palestina telah hidup dalam perang selama kurang lebih 60 tahun. Hampir seumur dengan Indonesia. Tapi setidaknya mereka lebih merdeka dari kita. Mereka mendukung Hamas (yang menolak cara negosiasi) karena terbukti bahwa sejarah Israel adalah sejarah tentang pengkhianatan. Pengkhianatan atas gencatan senjata yang menjadi kesepakatan antara Hamas-Israel. Sejarah telah mendidik mereka menjadi bangsa yang tak gentar pada apapun, termasuk peluru. Indonesia sendiri belum banyak belajar dari perang. Pengalaman berperang tidak membuat bangsa kita mampu mengenali mana musuh dan yang mana bukan. Dulu, orang-orang inlander menjajah kita tanpa memberikan secuil keuntungan buat kita, bangsa kita dijajah secara fisik serta mental. Mental bangsa diciutkan dengan melarang rakyat mengakses pendidikan. Sekarang kita justru dijajah bangsa sendiri. Pendidikan dipajang dietalase seperti menjual shampo (baca opini Aminude). Mall dipermak sedemikian rupa. Dinding dicat dengan warna menarik. Tegel diganti agar lebih bernuansa elit. Pendingin ruangan dipasang dimana-mana. Orang-orang berseliweran memakai pakaian, sepatu, tas dengan gaya yang sama. Bergaul dengan orang yang sama. Berbicara dengan bahasa yang sama. Berjalan dengan ritme senada. Melangkah ke arah yang sama. Begitulah potret dunia pendidikan di Universitas tercinta, Universitas Hasanuddin, beberapa tahun ke depan. Tentunya setelah 'perguruan'
bermetamorfosa' menjadi 'perusahaan'. Setelah pemerintah membohongi rakyatnya dengan anggaran pendidikan sebesar yang ternyata hanya 12% APBN, dan setelah guruguru honorer menjerit histeris dengan gaji Rp.50.000 per bulan, wakil rakyat dengan seenaknya mengesahkan UU BHP (Undangundang Broken of Humanism Project). UU yang berterus terang untuk mengorporasikan pendidikan. Tak heran bangsa kita tak kunjung keluar dari keterpurukan. Pemerintahnya ternyata sudah bosan berurusan dengan rakyatnya. Mereka membentuk 'korporasi' pendidikan karena merasa masalah pendidikan terlalu menyita perhatian. Mari kita berkaca dari Kuba, negara kecil yang dikarakteristikkan 'kapitalis' Barat sebagai negara miskin dengan pertumbuhan ekonomi yang re n d a h , te r nyata m e m i l i k i s i ste m pendidikan dan kesehatan termaju di Amerika Latin (di dunia mungkin). Mari kita menengok kehidupan anakronis presiden Luigio yang meninggalkan kemapanan demi rakyat Paraguay. Tapi jangan bermimpi kawan-kawan, walaupun kata Andre Hirata, Tuhan akan memeluk mimpimu. Pemimpinpemimpin kita saat ini lebih memilih bermesraan dengan kapitalis WTO (World Trade Organization). Bukankah liberalisasi pendidikan ini adalah titipan WTO, dan Indonesia sebagai anggotanya sedang mengamini doa mereka. Doa yang menginginkan agar dapat mengubah wajah peradaban dunia dengan wajah kapitalistik. Mahasiswa yang menyadari bahwa pemerintah sama sekali tak berpihak pada rakyat, mengkonsolidasikan diri menentang BHP. Polisi melayani dengan pukulan dan tendangan. Silahkan pak polisi memenjarakan kami, tapi pikiran dan jiwa kami hanya kami yang berkuasa atasnya. Tahun baru mungkin bukanlah momentum spesial buat kita kecuali untuk berbenah diri sebab tolak ukur peradaban hanyalah waktu. Waktu takkan pernah kembali begitu pun orangorang yang memilih sekali berarti lalu mati. Semuanya dapat berubah kecuali satu: perubahan itu sendiri. Redaksi Catatan Kaki
Ceramah
Redaksi
Rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi 17/12, mahasiswa Unhas yang tergabung dalam front ALARAM (Aliansi Rakyat Makassar) tolak BHP melakukan aksi demonstrasi di Pintu Satu Unhas. Aksi ini adalah aksi kedua setelah polisi perintis menyerbu mahasiswa dan menangkapi enam mahasiswa. Hujan yang mengguyur Makassar siang itu, tak menyurutkan semangat berjuang. Selama kurang lebih tiga jam mahasiswa melakukan orasi, membawa petaka serta spanduk yang bertuliskan penolakan mereka terhadap UU BHP. Pihak kepolisian yang datang dengan membawa sebuah truk tidak serta merta langsung mendekati titik aksi. Mereka parkir di Pintu Nol (Jl. Poltek) selama kurang lebih satu jam untuk mengawasi aksi mahasiswa dari kejauhan. Setelah itu, polisi meninggalkan pintu nol dengan melawan arus jalan. Massa aksi terus berorasi tidak memerdulikan gerakgerik polisi yang meninggalkan Pintu Nol. Sejam kemudian, datanglah Polisi Anti HuruHara (PAHH) yang langsung mendekati massa aksi. Mahasiswa yang mengetahui mereka akan kedatangan tamu tak diundang segera mengusir dengan batu sembari merapat masuk ke gerbang. Aksi lempar batu antara mahasiswa-aparat pun berlangsung selama hampir sejam. Di depan tugu Unhas, seorang mahasiswa Teknik, Febrianto, diringkus (meminjam istilah perlakuan polisi untuk kriminal) setelah diinjak-injak aparat dengan sepatu boot. Alhasil, tulang rawan di hidung Febrianto pecah dan mesti dioperasi plastik, sedangkan tulang kering di betis juga mesti dijahit. Aparat yang katanya 'melayani masyarakat' justru 'menggebuki masyarakat'. Tak ubahnya memperlakukan binatang. Begitukah perlakuan aparatur negara kita. Mungkin ada benarnya slogan salah satu toko buku yang mengatakan "Rajin baca jadi pintar, malas baca jadi polisi". TKU lolos seleksi Festamasio 30/12, Ukm Teater Kampus Unhas (TKU) salah satu dari 20 peserta yang lolos dalam seleksi Festamasio (Festival Teater Mahasiswa Nasional) dari 50 peserta yang mendaftar. Festamasio akan dilaksanakan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 27 Februari-7 Maret 2009. Dengan berhasil TKU lolos ke festamasio, TKU melakukan latihan rutin tiap minggu untuk menampilkan yang terbaik di Festamasio. Pelatihan yang di ikuti 24 orang yang ikut casting dipusatkan di Asrama Mahasiswa (Ramsis) Unhas. Dengan latihan yang panjang 9 bulan lamanya, akhirnya menyisahkan 9 orang yang fokus dalam latihan pra Festamasio.
Untuk ajang pembuktian nantinya di Festamasio, TKU sudah melewatkan beberapa kegiatan di antara TTMI (Temu Teater Mahasiswa Indonesia) di Surabaya dan FTMI (Festival Teater Mahasiswa Indonesia) di Mandar. Dibalik lolosnya TKU, bukan berarti perjalanan menuju Festamasio tanpa kendala. "Kendala kami adalah kurang aktifnya anggota kami dalam latihan, maklum mahasiswa lebih banyak diarahkan ke akademik saja serta minimnya dukungan dari birokrasi kampus." ujar Andi Nursyamsyiah selaku Ketua UKM TKU. Selain TKU fokus pada Festamasio. TKU yang pernah menjadi tuan rumah Festamasio II sedang mengadakan persiapan Festival Monolog. SAR Mubes, PKM Jadi Ramai Regenerasi dalam sebuah lembaga adalah sebuah hal yang penting untuk melakukan perubahan dan tranformasi sosial. Search And Resque (SAR) Unhas adalah lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan. Lebih banyak berperan pada bencana yang menimpah masyarakat. Tepatnya 26-28 desember 2008, SAR melakukan Musyawarah Besar (Mubes) yang ke-20. Pembukaan dilaksanakan di ruang Forbes UKM Unhas yang dibuka langsung oeh Pembantu Rektor III, Ir. Nasuruddin Salam, M.T. "Keterbatasan anggota SAR yang ikut dalam mubes, karena banyak yang sibuk mengurusi final test." ungkap Sitti Nurjannah selaku ketua panitia. Setelah pembukaan mubes d ila n j u t ka n d i Au la As ra ma Mahasiswa (Ramsis). Setelah melewati proses, adu pendapat selama 2 hari pada mubes, maka terpilihlah Muhammad Taupiq Syam sebagai ketua SAR-UH yang baru. HUT Sinovia ke-18 Sinovia salah satu Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang ada di Fakultas Kedokteran (FK) Unhas. Tepatnya 3 januari 2009, Sinovia akan memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-18 dengan mengangkat tema "mengikat hati, mencipta kata, mengolah makna, mengubah dunia" di LT.5 FK Unhas. Dalam rangka HUT ke-18 LPM Sinovia FK Unhas mempersembahkan: lomba menulis dan foto jurnalistik, pameran jurnalistik, books fair dan
pemutaran film. Dalam lomba menulis dan foto jurnalistik dibuka pendaftaran dari 9-31 Desember adapun tema dari foto jurnalistik dengan tema "Sehat untuk Semua" , menulis cerpen temanya bebas dan lomba essai mengangkat tema "Kapitalisme Dunia Kesehatan". HUT yang dilaksanakan oleh LPM Sinovia mengundang LPM-LPM lainnya di Makassar untuk membuka stand guna turut berpartisipasi dalam hari ulang tahunnya.
IMSAD adakan LKMM 30/12, IMSAD (Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah) mengadakan pengkaderan lanjutan bagi mahasiswa baru (angkatan 2008) di Jurusan Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya yaitu Latihan Kepemimpinan dan Menajemen Mahasiswa (LKMM). Setelah melalui beberapa tahapan pengkaderan yaitu Pengenalan Organisasi dan Pengukuhan. LKMM yang diadakan IMSAD mengangkat tema "Produktivitas dan Fungsional lembaga Kemahasiswaan untuk Menumbuhkan Rasa Sosialisme, Idealisme s e b a g a i Ta n g g u n g J a w a b S e o r a n g Mahasiswa". "Pengembangan kualitas dan pengetahuan mahasiswa tentang dunia kemahasiswaan merupakan targetan diadakannya kegiatan ini." Seperti yang diungkapkan, Andi Aco Nursamsi selaku ketua IMSAD. Kegiatan yang berlangsung 2628 Desember 2008 diikuti oleh 13 mahasiswa Sastra Daerah angkatan 2008.(bagas)
Catatan Khusus
Resensi Buku:
Negara dan Revolusi Sosial Pokok-pokok Pikiran Tan Malaka. Pemikiran Marxis di Indonesia berkembang pesat setelah diberlakukannya politik etis oleh pemerintah Kolonial Belanda di daerah jajahannya yang ketika itu bernama Hindia Belanda. Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka atau yang lebih dikenal dengan nama Tan Malaka Datuk Ibrahim merupakan salah s at u to ko h p em ik ir M a r x is ya n g diperhitungkan di Indonesia. Seorang kiri nasionalis yang memiliki pandangan dan konsepsi tehadap negara dengan pendekatan Marxisme. Buku ini menjelaskan bagaimana a l u r ke h i d u p a n Ta n M a l a k a g u n a mempermudah pembaca memahami pemikiran yang ia lahirkan. Pada awal buku ini kita diajak menengok masa kecil Tan Malaka yang dibesarkan di kampung halamannya Minangkabau, Sumatera Barat. Sejak kecil Tan Malaka besar di tengah budaya Islam yang kental, baik di keluarga maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Menurut beberapa sumber di buku ini sejak kecil Tan Malaka telah memperoleh pendidikan formal bernama Sekolah Rendah. Dengan berbekal kecerdasannya ia berhasil melanjutkan sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi hingga akhirnya diterima sebagai siswa di sebuah sekolah di Belanda. Kepergiannya ke Belanda tidak terlepas dari dorongan keluarga dan bantuan dari penduduk kampung tempat ia dibesarkan. Di masa akhir sekolah di Belanda, Tan Malaka bergabung dengan Indische Vereeniging, sebuah organisasi perkumpulan pelajar-pelajar dari Hindia yang akhirnya terjun dalam dunia politik. Pengalaman yang ia dapatkan selama di Belanda memberi pengaruh yang signifikan terhadap pergulatan di dalam dirinya. Pengetahuan tentang politik, filsafat dan sebagainya sangat mempengruhi aktifitasnya di tanah air. Sepulangnya dari Belanda ia bersentuhan langsung dengan realita yang ada di kampung halamannya. Ia melihat dengan dekat bagaimana penderitaan buruh industri perkebunan yang ada di Sumatera. Dengan keterampilannya mengajar, Tan Malaka beberapa kali membuka sekolah bagi buruh dan anak-anaknya guna mentransformasikan pengetahuan yang ia dapatkan serta memberi bangunan pengetahuan terhadap buruh untuk bergerak
melawan penindasan. S ya r e ka t I s l a m m e r u p a ka n organisasi berikutnya yang ia masuki setelah memutuskan untuk hijrah ke pulau Jawa. SI merupakan organisasi yang sangat dekat Indische Sicial Democratische Vereniging (ISDV) yaitu organisasi sosialis pertama di Hindia Belanda. Pesatnya penyebaran ajaran Islam di pulau Jawa membuat SI sebagai organisasi yang paling diterima di Hindia Belanda saat itu. Dalam perjalanan selanjutnya ISDV berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) dan konflik demi konflik terjadi dalam SI dengan munculnya pemikiran untuk mengembalikan orientasi gerakannya pada Islam. Bagi pembaca yang tertarik dengan ajaran Marxisme, dalam buku ini membahas khusus berbagai konsep negara yang ditulis oleh beberapa tokoh marxis seperti Lenin, Marx dan Engels serta Antonio Gramsci. Setelah itu pemikiran Tan Malaka tentang negara dibahas dengan menghadirkan penjelasan singkat mengenai Madilog (Materialisme Dialektika Logika) sebagai revolusi kerangka berpikir bangsa, rancangan ekonomi sosialis dan revolusi sosial (menuju masyarakat Indonesia sosialis). Dalam pembahasan mengenai revolusi sosial Tan Malaka pertama-tama memaparkan apa yang dimaksud dengan revolusi tersebut, kemudian untuk konteks di Indonesia sendiri, bagaimana rupa revolusi tersebut. Untuk hal ini Tan Malaka mengajukan dua buah pertanyaan. Pertama, bagaimana rupa revolusi itu? Dan kedua apakah sifat-sifatnya bila ia meletus esok atau lusa? Ia juga merumuskan revolusi harus mempertimbangkan strategi dan taktik yang tepat, karena keberhasilan sebua revolusi akan tergantung tepat dan tidaknya rumusan strategi dan taktiknya (stratak). ] Untuk melengkapi pemikiran yang telah dihasilkan Tan Malaka, pada bab jalan menuju revolusi sosial: jejak-jejak perjuangan Tan Malaka menghadirkan aksi nyata Tan Malaka untuk menghadirkan revolusi sosial di Indonesia. Bersama kaum muda Tan Malaka bergerak untuk merebut
kemerdekaan dari Jepang, dimulai dengan perkenalannya dengan Chaerul Saleh (salah satu tokoh pemuda yang berdebat dengan Soekarno dari golongan tua tentang kapan p ro k l a m a s i d i l a k s a n a ka n ) . I a j u ga mengunjungi BM. Diah dan Sukarni untuk memberikan penjelasan gamblang mengenai kondisi politik dunia pada saat itu dan prediksi tentang kekalahan Jepang dari Sekutu. Pada bab terakhir memaparkan hilangnya Tan Malaka dari cacatan sejarah bangsa ini akibat tindakan otoriter orde baru yang membasmi segala sesuatu yang berbau komunis, tak terkecuali tokoh-tokoh yang dianggap komunis. Tan Malaka menekankan penghilangan struktur pengetahuan feodalistik, karena menurutnya feodalisme
akan melahirkan sistem perbudakan. Lampiran pada buku ini menampilkan secara utuh surat dari Tan Malaka dan Subakat kepada Supojo, 17 Agustus 1926, juga terjemahan teks asli dari lagu Internasionale, Manifesto Jakarta Partai Republik Indonesia serta surat keputusan presiden Republik Indonesia No. 53 Tahun 1963 tentang penetapan Tan Malaka sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.(fhr)
Mengingat kejayaan Dema menjadi harapan sebahagian besar mahasiswa. Apakah mitos belaka jika menginginkan ruh DEMA kembali hadir ketika lembaga mahasiswa yang ada tak manjur menyatukan gerakan m a h a s i s w a U n h a s . 1978 adalah tahun kelam bagi gerakan mahasiswa pada rezim Soeharto. Dewan Mahasiswa (Dema), salah satu konsep lembaga mahasiswa yang digunakan pada saat gerakan itu dibekukan. Melalui gerakan NKK-BKK (Normalisasi Kehidupan KampusBadan Koordinasi Kemahasiswaan), menteri Pendidikan dan Kebudayaan melarang setiap aktivitas mahasiswa yang berbau politik. Dema sebagai wadah menggodok kritik terhadap kelakuan Soeharto akhirya berhasil dihapuskan pemerintah. Akan tetapi, tak banyak dari kita yang tahu bagaimana sejarah panjang gerakan mahasiswa dengan label “Dema�, tantangan Dema dan bagaimana kelebihan Dema dibanding model lembaga mahasiswa saat ini khususnya lembaga di Unhas. Dema vs Rezim Soeharto Dema, merupakan model penyatuan gerakan politik dan moral mahasiswa yang berawal pada tahun 1956. Model Dema adalah model yang diamini oleh seluruh mahasiswa Indonesia sebagai wadah gerakan. Gerakan mahasiswa pada saat itu berorientasi untuk menumbangkan rezim Soeharto, sehingga tidaklah mengherankan ketika aktivitas politik menjadi ciri dari gerakan. Meskipun Dewan Mahasiswa adalah wadah gerakan di kampus tapi tujuan filosofis pembentukannya adalah menjadi sentra gerakan politik mahasiswa di tingkat Universitas. Tidak jarang afiliasi dewan mahasiswa dengan partai politik oposisi rezim terang-terangan dilakukan di kampus. Model pemerintahan kampus dibentuk hendak melebihi sistem pemerintahan negara. Hal itu dijadikan sebagai antitesa terhadap sistem pemerintahan negara yang usang. Dema mengusung konsep student
government (pemerintahan mahasiswa) dimana semua e l e m e n mahasiswa Unhas dapat m e m i l i h k a n d i d a t presiden Dema, w a k i l mahasiswa yang duduk di legislatif dan yudikatif. Dema sendiri merupakan satu dari tiga elemen demokrasi dalam student government selaku pemegang kekuasaan yudikatif dan legislatif. Jika disimak lebih teliti, tidak ada perbedaan yang menonjol antara lembaga kemahasiswaan dewasa ini dengan lembaga seperti Dema. Tapi yang menjadi keunggulan Dema sendiri saat itu adalah adanya dua hak suara wakil Dema di Senat tingkat Universitas. Hak suara ini tentu saja menggambarkan bahwa Dema merupakan
lembaga mahasiswa yang memiliki kekuatan yang tidak bisa dipandang enteng oleh pihak birokrat kampus. 21 Januari 1978 adalah puncak zaman kegelapan bagi lembaga kemahasiswaan khususnya gerakan mahasiswa. Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban) mengeluarkan Surat Keterangan tentang pembubaran Dema. Untuk menambah kekuatan hukumnya, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menteri yang seharusnya mengembangkan intelektualitas generasi bangsa, justru berusaha mengebiri aktivitas mahasiswa
dengan mengeluarkan instruksi No.1/U/1978, bahwa Dema dibubarkan. Beberapa mahasiswa yang menjadi pengurus Dema Unhas ditangkap. “Pada waktu itu, kami yang aktif di Dema ditangkap oleh tentara. Saya, Taslim Arifin, Abdullah Dola, Achmad Ali, dan beberapa mahasiswa digelandang aparat lalu dipenjara selama tujuh sampai delapan bulan,� tutur Prof Razak Thaha, salah satu mantan pengurus Dema pada saat diberlakukan NKK-BKK. Hal yang memicu keluarnya NKK-BKK adalah aksi Dema se-Indonesia di depan PM Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta mengenai masalah penanaman modal asing. Aksi ini dilakukan oleh Dema di seluruh Indonesia. Sejak NKK-BKK, pemerintah melarang segala bentuk organisasi di lembaga pendidikan kecuali SMPT (Senat Mahasiswa Pergurua Tinggi) dan OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Namun, tindakan ini justru tidak mengimbas pada kematian lembaga di Unhas seperti yang diharapkan pemerintahan Soeharto, sebab mahasiswa di Unhas mulai membentuk presidium yang dipimpin oleh Amran Razak, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (saat ini beliau telah menjadi guru besar di FKM). Walaupun segala aktivitas mahasiswa dikendalikan oleh pihak ka m p u s , a ka n t e t a p i mahasiswa tetap mengonsolidasikan diri u n t u k m e n g h i d u p ka n kembali Dema. Pasca NKKBKK, pihak birokrat kampus Unhas 'menata ulang' kampus. Kesetaraan peran yang terjadi antara Dema dengan Senat Universitas berusaha dihapuskan oleh pemerintah. Kelebihan Dema pada waktu itu, adalah dengan adanya kesetaraan posisi Dema dengan Senat Universitas. Secara hirarki, presiden Dema tidak berada di bawah rektor tapi dalam posisi yang sejajar. Hal tersebut dibuktikan dengan pengesahan presiden Dema terpilih tanpa SK Rektor. Pada saat pelantikan presiden pun, bukanlah Rektor yang berhak melantik tapi anggota legislatif Dema. Melalui instruksi Menteri P&K, Prof Amiruddin, Rektor Unhas melakukan beberapa perubahan 'tradisi' dalam kampus Unhas. Pertama, membentuk empat Pembantu Rektor (PR).
PR I bertugas di bidang akademik, PR II bertugas di bidang administrasi, PR III bertugas di bidang kemahasiswaan dan PR IV bertugas di bidang hubungan eksternal. Dengan adanya PR III, seluruh lembaga mahasiswa baik tingkat Jurusan, Fakultas maupun Universitas bertanggung jawab terhadap PR III. Kegiatan mahasiswa hanya diperbolehkan di seputaran pengembangan minat dan bakat serta tidak mengancam secara sistemik. Mahasiswa yang aktif di UKM (Unit
Kegiatan Mahasiswa) dimanjakan. Mereka dibantu secara finansial jika ingin mengadakan kegiatan apapun asalkan di luar aktifitas politik. “Namun, tidak semua UKM menaati aturan baru itu. Ada beberapa U K M ya n g s e c a ra t e ga s m e n o l a k 'dininabobokan' oleh birokrat kampus. Mereka tetap aktif bergerak mengonsolidasikan diri untuk mengkritisi segala kebijakan pemerintah”, ujar Prof Amran Razak saat diwawancarai di sela kesibukannya menguji mahasiswa S2 FKM. NKK-BKK menempatkan seluruh mahasiswa di bawah kontrol Pembantu Rektor (PR) III. Militerisasi terjadi di kampus Unhas sesaat setelah dikeluarkannya SK Menteri Daoed Joesof tentang pembekuan Dema. Informan-informan yang menyamar menjadi mahasiswa memberikan daftar nama-nama yang masih aktif di Dema. Akibatnya, sekitar 300 (tiga ratus) mahasiswa ditangkap oleh aparat militer termasuk presiden Dema Unhas pada tahun 1978, Taslim Arifin (yang kini menjadi dosen di Fak. Ekonomi UH). Kedua, dibentuk SKS (Sistem Kredit Semester), agar sistem berpikir mahasiswa terfokus pada satu hal, bagaimana agar selesai kuliah dengan cepat plus gelar Cum laude. Indeks Prestasi Kumulatif dan waktu kuliah yang cepat dijadikan syarat mendapat gelar Summa Cum Laude atau Cum Laude. Ketiga, pencucian otak mulai dilakukan pemerintah rezim Soeharto. Kursus pelatihan Pancasila menjadi andalan rezim untuk mendoktrin mahasiswa. Pancasila dijadikan sistem berpikir yang menghanguskan ide-ide kritis mahasiswa. Dilakukan kursus Pancasila di semua universitas di Indonesia, termasuk
Unhas. Setelah isu NKK-BKK tidak mengancam seperti pada 1978, berbagai universitas seperti ITB mencoba menyadur model DEMA. Tapi muncul pertanyaan apakah spiritnya akan sama dengan DEMA '66. Tahun 1995 juga mulai muncul kembali DEMA di sejumlah universitas di Indonesia. Tampaknya mahasiswa se-Indonesia hendak mengkonsolidasikan diri menghidupkan lagi spirit DEMA di kampus. Namun belum sempat konsolidasi berlangsung, terjadi peristiwa politik 27 Juli 1996 yang menyebabkan rezim kembali memburu dan menangkapi mahasiswa-mahasiswa radikal. DEMA Vs LEMA Eksistensi Lembaga Mahasiswa-UH (Lema UH) yang tidak diakui beberapa fakultas sejak tahun 2006 tidak menghilangkan harapan terhadap hadirnya wadah penyatuan gerakan mahasiswa di Unhas. Terpilihnya presiden Lema tidak membuktikan bahwa demokrasi telah hadir dalam mekanisme pemilihan Lema. Sebenarnya, Lema telah mengadopsi demokrasi Montesquiue, dimana separatism of power dilakukan. Ada MTM (Majelis Ting gi Mahasiswa), Pema (Parlemen Mahasiswa), Dema (Dewan Eksekutif Mahasiswa) dan BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa). Namun, filsafat radikal bahwa demokrasi adalah keterlibatan orang banyak tidak terjawab. Anggota Lema kini tak lain adalah kelompok elit yang tidak banyak dikenal. Lembaga ini dipaksakan eksistensinya karena pertanyaan mendasar “mengapa Lema harus ada” sendiri tidak pernah terjawab. Legalitas eksistensi Lema tidak diakui oleh lembagalembaga di tingkat jurusan dan fakultas. Lema belum pernah melakukan referendum untuk menjawab pertanyaan mengenai “mengapa Lema harus ada”, padahal ini dapat digunakan sebagai salah sat jalan untuk mengukuhkan legalitas Lema di Unhas. Berjalan jauh ke belakang, lembaga kemahasiswaan seperti Dema (Dewan Mahasiswa) juga tidak pernah melakukan referendum ketika awal dibentuknya. Akan tetapi, kesatuan dan kesolidan ide dan gerakan mahasiswa pada saat itu benarbenar hadir sehingga menjawab legalitas Dema dengan sendirinya. Berbeda dengan yang sejak awal dibentuknya telah terjadi friksi di antara fakultas. Belum ditambah dengan cacat fisik dalam tubuh KPU Lema, sebagai komisi pengawal pemilihan, justru mengambil lahan kerja eksekutif dalam hal sosialisasi lembaga. KPU gencar melakukan sosialisasi di fakultas-fakultas sebelum pemilihan, bukti bahwa kehadiran Lema
teramat dipaksakan. Sistem keterwakilan dalam mekanisme pemilihan umum dijawab dengan corak kepartaian. Padahal kepartaian menafikan pengkaderan tingkat fakultas dan jurusan. Oleh karena itu tiap orang dapat dengan leluasa bergabung di partai tanpa proses filterisasi yang mantap. “Mekanisme pemilu Lema hanya mewadahi lembaga ekstra kampus tapi tidak mewadahi lembaga tingkat jurusan dan fakultas. Lema tidak mempunyai nilai tawar apa-apa lagi di lembaga fakultas. Kalau seluruh elemen mahasiswa sepakat bahwa tidak mengakui Lema sebagai lembaga, cabut saja legitimasinya. Lema tidak layak lagi dipertahankan,” tegas Reza Putra, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra periode 2008-2009. Dema justru jauh lebih maju dari zamannya. Kendaraan politik kandidat tidak memakai kepartaian. “Dema tidak memakai partai sebagai kendaraan politik, tetapi proses penjaringan kandidat dilakukan dengan musyawarah di anggota Dema. Beberapa orang terpilih ditetapkan sebagai kandidat lalu diadakan pemilihan langsung,” kenang Prof Razak Thaha, mantan Sekjen Dema dan mantan Ketua Forum Komunikasi Dema se-Makassar tahun 1978. Pada waktu itu, lima kandidat yang terjaring adalah Taslim Arifin, Razak Thaha, Frans, Idrus Paturusi, Mahmud Hamundu. Hasil pemilihan langsung menetapkan Taslim Arifin sebagai presiden Dema. Dengan bangga, profesor yang akrab dipanggil prof Acha' ini menuturkan bahwa pemilihan langsung pertama di Makassar terjadi di Dema UH. Wajar saja sebab rezim Soeharto sang diktator 'mengharamkan' konsep demokrasi seperti itu. Langkah kreatif Dema memang pantas mendapat acungan jempol. T w o thumb s up. Kontradi ksi dengan lembaga yang ada saat ini, justru terkesan latah meniru sistem demokrasi negara yang terbukti g a g a l . Sistem negara m a l a h ditiru dan digunaka n sebagai sistem lembaga
coklat dan bekerja selama enam hari. ”Kami bekerja mulai dari pukul 06.30-16.00 selama enam hari dan saya hanya mendapatkan gaji Rp. 435.000,-/bulan, sedangkan tempat tinggal saya jauh dari kampus Unhas dan harus naik angkot terlebih dahulu”, tutur Frans yang berasal dari Flores. Upah Minimum Regional yang berlaku saat ini adalah Rp. 800.000,- dengan jam kerja hanya delapan jam. Sementara outsourcing di Unhas yang bekerja selama 9,5 jam hanya digaji hampir seperdua dari gaji minimum yang bekerja selama 8 jam. Frans juga menambahkan bahwa ”Unhas punya hak dalam pemutusan
hubungan kerja (PHK). Selain itu, pihak birokrasi sendiri akan terus memantau kerja-kerja kami, kalau kerja kami tidak beres kami langsung dipecat karena tidak ada perjanjian yang disepakati dengan kami. Artinya kami bekerja dibawah tekanan dan ancaman PHK. Karena apabila muncul keluhan dari pihak kampus maka kami dapat diberhentikan kapan saja,” ungkapnya. Kehadiran cleaning service di Unhas harus diakui sebagai sebuah langkah maju. Belakangan ternyata kita menikmati kondisi kampus yang cukup bersih. Meskipun demikian, secara prinsipil bentuk h u b u n ga n ker j a h a r u s la h s a lin g
21
menguntungkan dan tidak mengeksploitasi yang lain. Sekali lagi, mengapa Unhas enggan mengangkat mereka sebagai pegawai tetap Unhas agar tenaga outsourcing terbebas dari rasa ketakutan yang selalu membayangi? Banyak pihak menilai Unhas telah mengalami kemajuan pesat (mungkin dari pihak konservatif-red). Tapi pantaskah kita mengucapkan ”selamat” kepada penguasa di kampus Unhas ini yang malah menciptakan bentuk penjajahan baru dibidang tenaga kerja?
Ket: Wilayah Operasional Unhas, CV. Timur Jaya Utama Wilayah I
Wilayah II
Wilayah III
Wilayah III
Wilayah III
Fak. Teknik Mipa Peternakan Perikanan Kelautan
FKM FKG FK Pasca I InternastionalMedicine Class
PKP IPTEKS Pasca II Wisma
Rektorat
FIS Baruga Ramsis Wisma Rektor
Koridor
Wilayah Operasional CV. Timur Jaya Utama RS. Stela Maris, PDAM, RS. Faisal, Rs. Bhayangkara, PT. LG, Prodia
kamu yang hidup dengan antusiasme murni, seperti udara kebebasan yang bersih, mengepak sayap dan terbang sekehendak hati...... kamu yang bosan akan kemonotonan hidup, bosan akan setiap belenggu, setiap batasan yang mengekang untuk merayakan hidup bersama kekasihmu kamu yang membangun prinsip dari pengalaman, yang tak memandang diri lebih tinggi dari makhluk yang lain, yang bergelora akan petualangan..... kamu yang benci melihat tebaran pabrik-pabrik, yang lengah dikejar ketergesaan, yang rindu belukar liar dan kicau burung..... kamu yang berupaya meraih hari ini, menumpuk harta karun memori, cinta dan ceritacerita masa depan dan percaya kebahagiaan dan keindahan dari sebuah perlawanan tidak terjadi esok hari atau di masa lalu, tapi sekarang juga.......
dan kamu yang enggan akan kehidupan homogen, menyenangi keberagaman, warna-warni kehidupan seperti pelangi selepas hujan mereda.... dan mencuri sejumlah larik warna dalam bentangannya..... kami menantimu.... menuturkan setiap fabel dari warna-warni yang kau raih.... kami menantimu... hingga kau sudi merangkai pasak warna dalam rumah pelangi...
Mari Berhenti Memitoskan DEMA
Perkembangan kapitalisme kontemporer senantiasa meminta tumbal dari semua konsekuensi. Meski dalam prekteknya dikemas dengan pertimbangan humanis, akan tetapi watak hakiki dari sistem ekonomi ini tetaplah sama, yakni mengusung ketidak-adilan. Beragam bentuk terus di dimodifikasi, bahkan saat ini kapitalisme kontemporer bermutasi hampir pada semua lini kehidupan sosial budaya
Seperti di dunia Pendidikan, salah satu instrumen peradaban, kini berada dibalik tabir hitam kebudayaan. Paraktik kapitalisme kontemporer justru membuka diri di beberapa perguruan tinggi. Salah satunya adalah Unhas, tempat menimba ilmu sekaligus melakukan bentuk penjajahan terhadap tenaga kerja. Hal tersebut (penjajahan terhadap tenaga kerja) tidak terlepas dari peranan birokrasi kampus yang kurang serius dalam menangani sistem perekrutan tenaga kerja, sistem yang berakar dari konsep-konsep kapitalisme dengan logikanya (profit, pasar, uang, dan p e r d a ga n ga n ) . S i s t e m ka p i t a l i s m e menekankan mekanisme pemberian kebebasan individu seluas-luasnya untuk menjalankan aktifitas ekonomi dalam sistem pasar (dalam hal ini pemilik modal). Konsep dan pemikiran yang membuat kita saling bersaing untuk mencari pekerjaan karena pembagian kerja yang kurang dan mekanisme dalam perekrutan tenaga kerja telah terlegitimasi oleh pola-pola yang dikembangkan pada zaman orde baru yaitu KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta tidak adanya inisiasi pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih luas bagi para pekerja. Namun inilah gambaran birokrasi di Indonesia, sangat gemar mengumbar janji namun miskin realisasi. Ini dibuktikan dengan adanya tenaga kerja di Unhas yang disebut Outsourcing. Tenaga kerja dengan pakaian seragam coklat-orange yang bertugas menjaga kebersihan gedung kampus di Unhas. Menurut Abdul Latief, selaku kepala bagian tata usaha dan rumah tangga Unhas, mengatakan bahwa praktek outsourcing itu
ada hubungan struktural dengan Unhas, mereka (perusahaan penyedia tenaga kerja) masuk di Unhas melalui perusahaan CV. Timur Jaya Utama dan CV. Mitra Clean melalui ko n t r a k k e r j a dengan birokrasi Unhas. Dia juga menambahkan, bahwa Unhas mengambil t e n a g a outsourcing karena melihat penerapan outsourcing yang ada di Fakultas Kedokteran Unhas. Mengapa Unhas menyerap tenaga outsourcing tetapi tidak merekrut mereka menjadi pegawai Unhas? Mungkin itu akan menjadi pertanyaan paling mendasar bagi kita semua yang berkecimpung di dunia pendidikan yang katanya bermoral dan intelektual. Menurut Abdul Latief, Unhas mengambil outsourcing karena tenaga kerja harian tidak maksimal cara kerjanya, maka Unhas memutuskan untuk mengambil tenaga kerja outsourcing demi peningkatan kinerja. Dia juga menambahkan, dengan adanya tenaga outsourcing, bisa dilihat hasil kerja mereka yang jauh lebih baik dibanding tenaga-tenaga kerja harian, tuturnya dengan sedikit rasa puas terhadap kinerja outsourcing. Pertanyaannya kemudian, adalah kalau memang kerja mereka maksimal mengapa pihak Unhas tidak mengambil mereka (outsourcing) sebagai pegawai tetap, dan mengapa lebih memilih untuk mempekerjakan mereka sebagai tenaga kerja kontrak, yang jika kontraknya sudah habis maka tidak akan lagi bekerja di Unhas? ”Saya akan lebih bangga jadi pegawai Unhas dari pada jadi outsourcing”, ungkap salah seorang tenaga kerja outsourcing di Unhas. Mengapa outsourcing masuk di Unhas? Itu tidak terlepas dari peranan birokrasi Unhas yang ingin mengomersialisasikan Unhas. Ini dapat terlihat dengan 'kebijakan' seperti pengambilan tenaga kerja tanpa mengikat mereka. Outsourcing yang ada di Unhas usia
masih sangat muda, karena pada Februari 2007 baru mulai berjalan diseluruh kampus Unhas. Sekitar tiga tahun yang lalu outsourcing sudah diterapkan di Fakultas Kedokteran Unhas dan merupakan langkah awal yang sukses dibawah pimpinan Prof. Idrus Patturusi sebagai dekannya dulu. Oleh karena itu metode tersebut kemudian coba dicangkokkan ke seluruh kampus Unhas. Abdul Latief juga menyatakan bahwa inisiatif mendatangkan tenaga outsourcing berawal dari keinginan untuk melayani mahasiswa sebaik mungkin. Kinerja petugas kebersihan terbukti berhasil dengan mulai tampaknya kebersihan di pelataran-pelataran kampus. Maka kenyamanan bisa dinikmati oleh segenap warga civitas akademik Unhas. Noy seorang pengawas outsourcing menuturkan bahwa cleaning service (outsorcing) itu terbagi dua macam, ada yang menangani bagian luar yaitu tukang sapu jalan dan pemangkas rumput yang ada di sekeliling Unhas dan cleaner bagian dalam yaitu tukang pel lantai ruang. Secara keseluruhan berjumlah kurang lebih 100 orang. Dia juga menambahkan tentang perbedaan gaji di antara dua macam cleaning service tersebut. Cleaning service dalam mendapatkan gaji sekitar Rp. 43.5000,-/bulan, sedangkan cleaning service luar mendapatkan gaji sebesar Rp. 46.000,/bulan dan semuanya bukan digaji oleh Unhas tetapi oleh dua perusahaan yang mengadakan kontrak kerja dengan Unhas, CV. Timur Jaya Utama dan CV Mitra Clean. Mengenai kontrak kerja dengan perusahaan saat dimintai penjelasan kontrak kerja tersebut, pihak rektorat, dalam hal ini diwakili Kepala Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga Unhas, Abdul Latief, tidak bersedia memberikan penjelasan. Ia hanya menyebutkan bahwa dalam kontrak kerja itu terdapat pasal-pasal (tidak disebutkan pasalnya). Ini menunjukkan bahwa di kampus kita ini keterbukaan pihak rektorat masih dipertanyakan karena masih banyak yang dirahasiakan terhadap kita, padahal kita punya hak untuk mengetahuinya karena kita berada di lingkaran kampus yang secara otomatis semua yang terjadi di Unhas harus kita ketahui, akan tetapi dari pihak rektorat masih saja membungkam mulut mereka dan tidak mau bicara tentang outsourcing. Tenaga outsourcing berseragam
Kebutuhan mahasiswa Unhas akan wadah pengganti bagi Lema yang menyatukan gerakan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Banyaknya agenda yang harus dikawal mengakibatkan 'kebutuhan lembaga' tidak sempat terpikir lagi untuk diimplementasikan. Mengawal isu BHP melalui pembentukan front-front adalah cara terefektif dan terefisien sebagai wadah penyatuan gerakan. Front-front bermunculan sebagai bukti niatan yang kuat mebangun gerakan. KAMU (Koalisi Mahasiswa Unhas) tolak BHP, ALARAM (Aliansi Rakyat Makassar) Tolak BHP bahkan front yang menggalang gerakan BEM se-Makasar pun ada, GERAM (Gerakan Rakyat Makassar) Tolak BHP. Terbentuknya front merupakan cermin dari bersatunya gerakan mahasiswa di Unhas tanpa embel-embel 'nasionalisme fakultas' atau 'arogansi fakultas'. BEM se-Unhas berbaur menghilangkan friksi yang ada. Namun seperti musim yang berganti, berganti pula suasana hati ketika ditanya perlunya lembaga tingkat Universitas. Sensitivitas muncul karena menganggap konsep ideal tentang lembaga tidak dapat dipertemukan. “Kita perlu memikirkan kembali formula tepat untuk membentuk lembaga tingkat Universitas. Dema dalam prakteknya memberikan kekuasaan sepenuhnya pada mahasiswa sebagai individu sebab ia mengusung demokrasi langsung. Usaha untuk membawa konsep Dema ke lembaga mahasiswa sangat memungkinkan. Frontfront yang ada saat ini bisa digunakan sebagai langkah awal,” ujar Reza. Akan tetapi, perlu inisiatif tingkat tinggi untuk mewujudkan apa yang dipaparkan mahasiswa Ilmu Sejarah ini. Salah-salah bisa dituding ada “U” dibalik “B”. “Saya lihat mahasiswa sekarang takut pada dirinya sendiri. Mahasiswa habis pada isu-isu kecil. Mengapa amat sulit menyatukan
gerakan jika dialog bisa dilakukan,” ujar prof Acha' menanggapi. Mukhradish Jaya Kusuma, mantan Ketua HIMAHI FISIP (Himpunan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional) periode 2007-2008, punya tanggapan senada tentang hal ini. “Berangkat dari asumsi media pengembangan dan pendidikan mahasiswa, lembaga Universitas perlu untuk memenuhi kebutuhan dasar mahasiswa, dimana strukturnya dibangun atas konteks kemahasiswaan yang kritis dan tak berpihak. Potensi yang ada dapat
menciptakan dinamika berlembaga,” paparnya. Mengenai kendala 'arogansi fakultas', ia menambahkan bahwa hal itu bisa diakomodir lewat mewujudkan aspirasi dari tiap fakultas. Aspirasi dan struktur kelembagaan yang tidak seimbang menjadi penyebab utama permasalahan. “Saya pernah mengusulkan pada mahasiswa agar mengadopsi model Dema, dimana dua suara dari mahasiswa akan diperhitungkan di Senat Universitas, tapi mereka menolak dengan alasan akan kesulitan memilih dua orang yang benar-benar representatif bagi mahasiswa Unhas”, jelas prof Acha'. Penolakan itu memang beralasan sebab untuk memilih wakil yang akan duduk di senat Universitas, harus berasal dari orang
yang duduk di lembaga setingkat Universitas yang diakui eksistensinya secara de facto ataupun secara de yure. Jika status quo adalah lembaga yang tidak diakui, maka jalan menuju senat universitas pasti akan sulit. Dema adalah konsep yang meyejajarkan kedudukan birokrat kampus dengan lembaga mahasiswa. Jelas bahwa hubungan horizontal ini harus mendapat dukungan dari seluruh elemen mahasiswa. Angin demokrasi juga harus dirasakan oleh lembaga kemahasiswaan.Dengan adanya kesetaraan tersebut, maka segala hal yang berhubungan kepentingan mahasiswa seperti SPP dan konsep pengaderan diselesaikan dengan negosiasi antara kedua kubu. Senat Universitas tidak bisa mengambil keputusan apapun tanpa persetujuan seluruh anggota tidak terkecuali suara mahasiswa. Sekarang, mahasiswa tidak dapat berharap banyak mengubah keputusan senat sebab anggota senat haruslah seorang dosen yang mewakili jurusan. Bagaimana mungkin mereka (red:dosen-dosen) mengambil keputusan untuk seluruh 'komunitas Universitas' sementara mereka tidak pernah mendengar sedikit pun suara mayoritas kampus (red:mahasiswa). Reza Putra menjelaskan bahwa Dema mengambil keputusan berdasarkan suara mahasiswa pada tingkatan akar rumput, mahasiswa sebagai individu. Usaha penyatuan gerakan melalui Dema akan dimulai dengan mengeliminasi 'ego' di setiap lembaga yang ada di Universitas. Memulai dengan front adalah tahapan yang bijak bagi persatuan. Menyusun formula baru secara bersama-sama tanpa watak arogansi fakultas demi membangun pemerintahan mahasiswa adalah langkah awal yang tepat demi berjayanya gerakan mahasiswa berbasis rakyat. (dny)
Bagan kedudukan DEMA dengan Rektor/birokrat kampus
Dema (Universitas)
Senat Universitas
Rektor
Dema (Fakultas)
Birokrat Kampus
Ket | Dema (Jurusan)
Garis Kordinasi Garis Komando Sumber: Litbang UKPM
Akal-akalan pemerintah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara kembali menuai pro dan kontra. Hal yang paling disoroti saat ini adalah persoalan keberpihakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) terhadap persoalan pendidikan. Sebahagian kalangan menilai Pemerintahan Susilo Bambang Yudohoyono dan Jusuf Kalla melakukan pelangaran konstitusi. Bentuk pelanggaran tersebut adalah ketika pada rapat paripurna DPR RI, 9 Oktober 2008 lalu, menetapkan alokasi anggaran pendidikan sebesar 12 persen, sementara amanat konstitusi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 mengatakan bahwa “ setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” . Untuk mendukung ayat 1 diatas maka negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi penyelenggaraan pendidikan nasional (pasal 31 ayat 4 UUD 1945). Anggaran yang tak terrealisasi Sejak pemerintahan SBY-JK tahun 2004 hingga 2009, belum pernah merealisasikan amanah konstitusi tersebut. Hal inilah yang membuat pemerintah mendapat kritikan dari berbagai pengamat pendidikan. Salah satunya adalah dari pengamat pendidikan yang mengatakan “Pemerintah tidak pernah serius memerhatikan sektor pendidikan, terbukti dengan anggaran yang direalisasikan tiap tahunnya tidak pernah mencapai 20 persen sesuai amanah konstitusi, dengan ini pemerintah telah melanggar konstitusi” (Darmaningtyas, Utang dan Korupsi Racun Pendidikan, 2008). Alasan pemerintah tidak merealisasikan anggaran 20 persentersebut karena negara tidak punya uang. Tapi betulkah negara tidak punya dana yang cukup untuk pendidikan? Jangan-jangan, dana itu berlimpah, tapi tidak diprioritaskan untuk membiayai pendidikan melainkan untuk pembayaran utang luar negeri, dikorupsi secara berjamaah oleh para penyelenggara negara atau juga digunakan secara tidak tepat alias inefesiensi.
Pemborosan APBN Penggunaan dana negara maupun masyarakat untuk keperluan yang tidak tepat guna atau secara berlebih sehingga berdampak pada pemborosan dana negara kemudian bermuara pada meruginya pihak lain terutama masyarakat kecil. Contohnya, anggaran pendidikan lebih banyak dihabiskan untuk perbaikan infrastruktur sekolah tanpa mengutamakan program pembangunan sumberdaya peserta didik. Manajemen adalah salah satu persoalan yang melanda negeri ini, khususnya pada sektor pendidikan yang berdampak pada menurunnya akses terhadap pendidikan. Hal inilah yang luput dari perhatian beberapa kalangan. Sejak pemerintahan Soeharto hingga saat ini persoalan yang melanda dunia pendidikan nasional biasanya dikaitkan dengan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal yang dimaksud adalah persoalan inefisiensi atau biasa disebut penggunaan dana yang tidak tepat sasaran dan berlebihan sehingga terjadi pemborosan dana negara. Alasan pemerintah mengatakan anggaran pendidikan belum terrealisasi sesuai amanah konstitusi disebabkan tidak adanya uang, yang pada akhirnya
mendapatkan pertanyaan dari kalangan pengamat pendidikan. Pengalokasian anggaran yang begitu besar pada sektor lain yang tak perlu jadi prioritas,misalnya anggaran militer, politik dan anggaran belanjadan fasilitas bagi anggota DPR menyebabkan defisit anggaran pada sektor yang lain yang jauh lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan atau yang menyangkut persoalan publik. Seperti APBN 2008 untuk subsidi energi sebesar Rp. 75,6 triliun, sementara untuk anggaran pendidikan sekitar 48 trilyun atau 12 persen dari APBN. Ini membuktikan bahwa p e m e r i nta h l e b i h m e n g u ta m a ka n anggaran pada sektor lain. Sementara untuk bidang energi pemerintah bisa saja mengurangi anggaran dengan mengeluarkan kebijakan yang lebih menghemat penggunaan energi seperti listrik pada perusahaan atau industri sehingga anggaran pendidikan sebesar 20 persen bisa tercapai. Beberapa anggaran yang boros seperti biaya renovasi rumah dinas anggota DPR di kompleks Kalibata, Jakarta Selatan, membengkak menjadi 445 juta per-unit dari anggaran semula Rp. 190 juta per-unit.
6
otonomi yang lebih besar atau lebih sedikit saat bekerja menuju tujuan-tujuannya. Upaya-upaya mereka harus berdasarkan atas inisiatif mereka sendiri dan juga atas arah dan kontrol mereka sendiri. Meski demikian pada keb anyakan o ran g , mereka tid ak melakukannya atas inisiatif, arah dan kontrol seperti demikian sebagai seorang inidividu. Biasanya dianggap cukup untuk beraksi sebagai seorang anggota dari sebuah kelompok kecil. Apabila sebagian orang mendiskusikan sebuah tujuan di antara mereka sendiri lantas mendapat keberhasilan dalam upaya mereka mencapai tujuan, maka kebutuhan mereka atas proses penguasaan telah terpenuhi. Tetapi apabila mereka bekerja di bawah perintah-perintah kaku yang datang dari atasan, yang tak memberi mereka ruang bagi terciptanya keputusan dan inisiatif yang otonom, maka kebutuhan mereka akan proses penguasaan tak akan terpenuhi. Hal yang sama juga terjadi saat keputusankeputusan dibuat berdasarkan kolektif, apabila kelompok yang membuat keputusan kolektif sangat besar maka peran tiap individu di dalamnya menjadi tidak signifikan. Untuk itu organisasi atau kelompok yang besar dan kaku tak pernah mampu menerapkan pemerataan kuasa atas tiap-tiap individu. Jika dirunut ke dalam kualifikasi teori gerakan sosial, gerakan anti-peradaban merupakan varian dari gerakan antiotoritarian (anarkisme), ia jelas-jelas menolak keberadaan institusi sosial yang merepresi relasi antar individu. Teknik analisa antiotoritarian dengan membedah peradaban (anti-peradaban) adalah antitesa terhadap sistem dominasi, sistem masyarakat dengan embel-embel apapun yang dibangun di atas hubungan vertikal (sosialis dan sebagainya). Dan primitivisme adalah corak masyarakat idealnya, primitif dalam makna pola kehidupan berjalan
sesuai sifat alamiahnya. Bukan berarti primitif dalam pengertian sempit dan dangkal seperti suatu kondisi yang selalu digambarkan oleh para ilmuwan dan orang-orang modern layaknya suatu kondisi yang penuh kebuasan, dan mundur terbelakang. Ryan Prieur (kontributor jurnal Green Anarchy) dalam artikelnya “Seven Lies About Civilization”, mengatakan bahwa peradaban untuk menjaga dirinya agar teta p e ks i s , i a m e m e l i h a ra t u j u h kebohongan yang direproduksi dalam setiap perkembangan zaman. Salah satunya adalah 'Kita Tak Bisa Kembali' (point 5), bahwa kemajuan dan teknologi adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Peradaban modern dan teknologi industrial adalah merupakan hal yang alamiah dalam kehidupan umat manusia dan kita tak bisa lagi kembali ke corak kehidupan dimana domestikasi, kepemilikan, dan institusi sosial belum eksis (baca; primitif). Ketujuh dusta tersebut murni sebagai doktrin agamis—dan menurutnya, bagaimanapun hal itu benar; masyarakat yang eksploitatif tidak bisa lagi kembali dan hanya dapat terus menanjak hingga mereka hancur berkeping-keping. Untuk menghindari berpikir lebih jernih mengenai hal ini, kita dapat mengatakan pada diri kita sendiri hal sebagai berikut: “…masyarakat mendefenisikan “alami” untuk mengekspresikan dan memertahankan apa yang mereka sukai, berkaitan dengan pepohonan yang diganti dengan pohon-pohon plastik, padang rumput berganti menjadi lahan parkir, sungai-sungai yang airnya dapat diminum menjadi sungai-sungai yang mengandung dioxin. Inilah apa yang saat ini dimaksudkan dengan yang “alamiah”, dan apabila kita tak ingin mati karena kanker dan m e n j a d i ka n b u m i mewujud gurun pasir beracun, kita punya
tanggung jawab untuk membahasakan keterpisahan yang alamiah dari yang tidak alamiah dan memilih yang alamiah dalam artian yang sebenar-benarnya..” (Ryan Prieur, Seven Lies About Civilization, Green Anarchy, Issue #21, Fall/Winter 2005-06) *** Saat ini Kaczynski masih mendekam di Administrative Maximum Facility Prison, Florence, Colorado, USA. Dalam wawancara Earth First! ia meratap tak pernah sanggup menyelesaikan tiga hal yang menjadi kepuasannya: membuat busur bersilang (crossbow) yang nantinya dapat digunakan untuk berburu, membuat sepasang sepatu sandal (bangsa Indian) yang akan melindungi perjalanan kaki sehari-harinya di lerenglereng bukit bebatuan, dan mempelajari bagaimana caranya membuat api secara terus menerus tanpa menggunakan korek. Ia mengatakan, ia tetap sangat sibuk dan bahagia dengan kehidupan terpencilnya. “Satu hal ketika saya hidup di hutan, kau tak perlu khawatir dengan masa depan, kau tak akan cemas dengan kematian, apabila hal itu yang kau pikirkan sekarang, 'well, jka saya mati minggu depan, so what, adalah hal yang bagus jika sekarang juga. 'Saya memikirkan hal tersebut ketika Jane Austin menulis dalam satu novelnya bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang selalu kau harapkan di masa depan, bukan sesuatu yang ingin kau rasakan saat ini juga. Hal itu tidak selamanya benar. Mungkin hal itu benar di dalam peradaban, namun ketika kau keluar dari sistem dan beradaptasi kembali dengan j a l a n h i d u p ya n g b e r b e d a , m a ka kebahagiaan adalah sesuatu yang kerapkali kau gapai saat ini juga.” [_Joni al-Mudhill] Cat. Selain aktif menuliskan teori matematika dan tinjauan kiritsnya terhadap peradaban teknologikal, Kaczynski juga aktif menulis cerita, salah satu cerpennya berjudul “Ship of Folls”.
Mengambil-alih alat produksi berarti memilih untuk mendesain ulang eksploitasi dan keterasingan dalam pengelolaan manusia itu sediri. Alat-alat produksi adalah instrumen para penindas, instrumen pendomestikasian yang sama sekali tidak netral, karena ia bertugas untuk menjaga mengetatnya hierarki dan dependensi.
kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan-perasaannya, aktifisme sosial militan oleh sikap permusuhan. Tetapi bagi kebanyakan orang yang melakukannya, aktifitas-aktifitas tersebut sebagian besar adalah aktifitas-aktifitas sampingan. Sebagai contohnya, mayoritas ilmuwan m u n g k i n a ka n m e nyet u j u i b a hwa “kepuasan� yang mereka dapatkan dari bekerja jelas lebih penting daripada uang dan prestise yang mereka dapatkan. Peradaban juga terbentuk dari proses pemapanan jejaring aturan dan regulasi, dan menggantung nasib manusia modern pada aksi-aksi seseorang yang mengendalikan manusia lainnya, di mana s e l u r u h ke p u t u s a n n y a t a k d a p a t dipengaruhi oleh sang manusia modern tersebut. Ini bukanlah sebuah kecelakaan ataupun hasil dari kesewenang-wenangan para birokrat arogan. Hal ini memang bagian penting yang tak dapat terelakkan dalam semua masyarakat yang maju dalam bidang teknologinya. Agar dapat bekerja dan berfungsi dengan baik, sistem ini harus meregulasi perilaku manusia dengan ketat. Dalam pekerjaannya, seseorang harus melakukan apa yang diperintahkan atas mereka, sebab apabila tidak maka seluruh proses produksi akan jatuh ke dalam kekacauan. Birokrasi harus berjalan sesuai dengan aturannya yang kaku. Pandangan yang menyatakan bahwa beberapa hal yang membatasi kebebasan kita dapat dieliminir adalah benar adanya, namun secara umum pengaturan hidup manusia oleh organisasiorganisasi besar [contohnya negara] adalah bagian yang penting agar masyarakat teknologi-industri ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Selain itu Peradaban juga harus memaksa orang-orang untuk bertingkah laku dalam cara yang semakin menjauhkan manusia dari alur perilaku manusia yang alamiah. Sebagai contoh, sistem ini membutuhkan ilmuwan, ahli matematika dan ahli mesin. Ia tak mungkin berfungsi tanpa mereka. Maka dilakukan tekanan yang besar pada anak-anak untuk menggeluti bidang-bidang tersebut.
Menghabiskan waktu di depan meja untuk menyerap pelajaran adalah sesuatu yang tak alamiah bagi manusia. Manusia normal memiliki keinginan kuat untuk menghabiskan waktunya ke dalam sebuah kontak yang aktif dengan dunia nyata. Dalam kehidupan masyarakat primitif, hal-hal yang diajarkan kepada anak-anak mereka ialah sesuatu yang memiliki harnomi alamiah dengan impuls-impuls manusia. Di antara para Yali di Papua, indian di Amerika, anak-anak mereka dididik dalam aktifitas alam bebas yang aktif—sesuatu yang banyak disukai anakanak. Tetapi dalam masyarakat modern, anak-anak dipaksa untuk mempelajari subyek-subyek teknikal, di mana mayoritas merasa enggan melakukannya. Untuk itu masyarakat tak akan dapat direformasi demi pembebasan, sebeab ia eksis dalam hubungan-hubungan ya n g b e ra nta i . Te k n o l o g i m o d e r n sesungguhnya adalah sebuah sistem yang terakumulasikan menjadi satu bagian di mana semua bagiannya saling tergantung. Sisi-sisi “buruk� dari teknologi tak akan dapat dihilangkan begitu saja pada saat bersamaan berniat memelihara hanya sisisisi “baik�nya saja. Ambil contoh bidang medis modern. Kemajuan di bidang medis tergantung pada kemajuan di bidang kimia, psikis, biologi, ilmu komputer dan berbagai bidang lainnya. Perawatan medis yang paling maju membutuhkan peralatan teknologi canggih yang mahal yang hanya dapat dibuat hanya oleh masyarakat yang maju teknologinya dan kaya secara ekonomi. Jelas, peradaban tak akan mendapatkan banyak kemajuan pada bidang medis tanpa sistem teknologi secara keseluruhan dan apapun yang hadir bersamanya. Maka mereformasinya hanya berarti mengenyahkan sebagian kecil partikel-patikel hubungan tersebut, untuk itu ia haruslah dihancurkan secara total dan menyeluruh. Justru bagi masyarakatmasyarakat primitif, dunia alami ( y a n g b iasanya berubah dengan lambat) menyedia k a n sebuah kerangka kerja yang stabil dan denganny a akan dihasilkan sebuah
rasa aman. Dalam dunia modern, masyarakat manusialah yang mendominasi alam, bukan sebaliknya, dan masyarakat modern berubah dengan sangat cepat tergantung pada perubahan teknologinya. Maka dengan demikian tak ada kerangka kerja yang stabil. Dalam beberapa penemuan bahwa manusia primitif secara fisik memiliki tingkat keamanan yang lebih dibandingkan dengan manusia modern mungkin dapat dibenarkan, sebagaimana diperlihatkan dengan perkiraan hidup yang lebih singkat; “karenanya setidaknya manusia modern menderita lebih sedikit rasa tak aman yang normal bagi manusia. Tetapi keamanan psikologis tidak secara dekat berhubungan dengan keamanan fisik. Apa yang membuat kita MERASA aman bukanlah sebanyak apa keamanan yang ada, melainkan sebesar apa rasa percaya diri atas kemampuan diri kita dalam menjaga diri kita sendiri. Manusia primitif, yang terancam oleh keberadaan binatangbinatang buas atau oleh kelaparan, dapat berjuang membela diri atau melakukan perjalanan untuk mencari makanan. Ia juga tak memiliki kepastian untuk sukses dalam melakukan upaya-upaya tersebut, tetapi itu tidak berarti bahwa ia tak berdaya dalam melawan hal-hal yang mengancamnya. Di sisi lain, individual modern terancam oleh banyak hal yang membuat dirinya menjadi tak berdaya; petaka-petaka nuklir, kandungan karsinogen dalam makanan, polusi lingkungan, perang, peningkatan pajak, invasi kehidupan pribadi oleh organisasi-organisasi besar, fenomena sosial atau ekonomi yang berskala nasional yang mungkin merusak jalan hidupnya.� [The Industrial Society and The Future, chapter 9, point 68] Apa yang menjadi konsentrasi penyerangan Kaczynski terhadap peradaban adalah pembatasan kebebasan dalam masyarakat teknologikal. Ia sangat mengedepankan otonomi dan menganggapnya sebagai entitas subyek jika subyek tersebut mampu menyadarinya. Otonomi dapat menjadi tak terlalu penting bagi tiap orang. Namun kebanyakan orang membutuhkan sebuah tingkat
Dengan demikian total biaya renovasi 495 rumah anggota dewan itu menghabiskan Rp. 220,5 miliar. Tak hanya itu, banyak anggaran yang tidak jelas seperti pengadaan barang yang seringkali tidak transparan hingga menimbulkan kecurigaan. Pengadaan layar televisi datar 42 inci yang tidak jelas peruntukannya (Media Indonesia, 27/2/08) dan masih banyak lagi anggaran yang tidak tepat guna atau hanya menghamburhamburkan uang negara. Apakah sebaiknya jika anggaran-anggaran tersebut diefisienkan sehing ga bisa menambah ang garan pendidikan. Hal lain yang berpotensi menggemboskan anggaran negara yang sangat besar adalah pilkada dan pemilu. Pilkada dan pemilu merupakan produk dari reformasi politik, tapi dalam pelaksanaannya secara konsisten dapat memboroskan anggaran negara. Dengan adanya pemekaran daerah di beberapa wilayah Indonesia mengakibatkan pemerintah harus menyiapkan denah anggaran baru dari APBN. Hal ini disebabkan adanya jabatan-jabatan pemerintahan yang mesti diisi melalui proses pilkada. Sekarang terdapat sekitar 513 pemilihan yang terdiri atas tiga di tingkat nasional (pemilu), 33 t i n g kat g u b e r n u r, d a n 4 8 0 t i n g kat bupati/walikota. Jika dihitung rata-rata maka setiap 3,5 hari dilaksanakan pilkada. Dalam hitungan kasar pemilu yang diselenggarakan selama lima kali setahun bisa menghabiskan biaya sekitar Rp. 200 trilyun, dengan rincian kasar setahun rata-rata menghabiskan 40 miliar. Sementara pilkada mencapai ratusan milyar (seputar indonesia, 21/1/08). Terkait dengan anggaran pemilu dan pilkada beberapa pihak pun memberi komentar persoalan anggaran yang berlebihan. Salah satunya Menteri Dalam Negeri, Mardiyanto mengatakan, pihaknya akan melakukan jadwal ulang pilkada sebelum Desember 2008 agar terjadi penghematan sekitar Rp. 10 miliar sampai Rp. 20 miliar. (Suara Pembaharuan, 24/1/08). “Jika dihemat biaya untuk anggaran pilkada dan pemilu, mampu menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan,“ ucap Darmaningtyas, salah seorang pendiri Yayasan Taman Siswa Jogjakarta. Pernyataan Menteri Dalam Negeri, membuktikan terjadinya pemborosan anggaran negara pada bidang pemilu dan pilkada. Sementara untuk anggaran pemilu 2009, Komisi Pemilihan Umum mengusulkan biaya senilai Rp. 47,9 trilyun, tapi pemerintah akhirnya memangkas dana tersebut menjadi Rp. 10,4 triliun, ini memperlihatkan betapa besarnya anggaran untuk demokrasi yang tidak menjadi prioritas dari UUD 1945, dan lagi-lagi yang menjadi korban pemangkasan anggaran pada sektor publik
seperti; pendidikan, kesehatan dan pangan paling tragis, yang mengeruk APBN kedua terbesar adalah pembayaran utang luar negeri. Saat ini total utang luar negeri Indonesia Rp. 148, 25 miliar dollar AS (kompas 26/2/08) belum termasuk dengan bunga yang mesti dibayar tiap tahunnya. Akibatnya, setiap bayi yang terlahir di negeri ini menanggung utang 7,5 juta. Utang inilah yang menyebabkan pemerintah memangkas beberapa anggaran. Sementara utang yang ada saat ini adalah utang turunan dari pemerintahan Orde Baru yang sebagian besar pinjaman tersebut dikorupsi oleh koloni Soeharto. Padahal Indonesia bisa mengajukan pemutihan utang luar negeri terkait bencana kemanusiaan yang menimpa bangsa saat ini seperti kelaparan, busung lapar dan bencana alam yang menewaskan begitu banyak manusia di Tsunami yang terjadi di Aceh. Pemutihan utang tersebut ditegaskan oleh pengadilan internasional. (Ivan A. Hadar, Utang Kemiskinan dan Globalisasi 2003). Inilah salah satu langkah yang mampu mengeluarkan Indonesia dari lilitan utang dan mampu mendongkrak anggaran pendidikan hingga 20 persen bahkan mendorong sektor-sektor lain untuk menambah porsi anggaran pada bidang kesehatan, pangan dan sekaligus menambal defisit anggaran di bidang lainnya. Benarkah kuantitas anggaran dapat menjamin kualitas? Untuk 2007, Departemen Pendidikan Nasional adalah departemen yang menggunakan alokasi APBN terbesar, yakni Rp.49.701.473.000 (Kompas, 16/2/08). Apakah anggaran yang begitu besar mampu mengantarkan dunia pendidikan ke arah yang lebih baik, dimana setiap orang akhirnya dapat mengakses pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi tanpa kesulitan biaya. Berdasarkan beberapa data yang diperoleh kru CAKA, ternyata anggaran pendidikan yang begitu besar tidak dapat
menyelesaikan persoalan yang sudah menjadi masalah di tahun-tahun sebelumnya. Beberapa program pemerintah di bidang pendidikan, diantaranya wajib belajar sembilan tahun, pengentasan buta huruf, dan perbaikan infrastruktur sekolah merupakan persoalan yang masih sering ditemui di media massa. Langkah pemerintah menaikkan anggaran hingga 12 persen dari APBN pada tahun 2007 masih belum mampu menjawab persoalan di dunia pendidikan, utamanya infrastruktur sekolah. Terbukti pada tahun 2008 ada sekitar 60 persen bangunan sekolah yang mengalami kerusakan yang parah. Keterangan Darmaningtyas dalam bukunya “Utang dan Korupsi Racun Pendidikan,� banyaknya bangunan sekolah yang rusak parah dan membutuhkan rehabilitasi membutuhkan anggaran yang begitu besar, sehingga pemerintah mesti menambah anggaran yang ada saat ini. Banyaknya siswa yang terancam ketika berada di dalam gedung sekolah yang rusak bahkan hampir rubuh menjadi ancaman bagi peserta didik dalam mencari pengetahuan. Seperti yang diberitakan oleh salah satu media elektronik, bahwa ada beberapa sekolah di Indonesia yang rubuh pada saat proses belajar mengajar berlangsung sehingga mengakibatkan siswa luka-luka (Seputar Indonesia RCTI, 2008). Kejadian tersebut mengubah fungsi sekolah menjadi tempat mengantarkan siswa menuju kematian yang seharusnya menjadi tempat u n t u k m e n d a p a t ka n p e n g e t a h u a n . Penuntasan wajib belajar sembilan tahun pun tidak terrealisasi dengan baik. Sejak 2 Mei 1994,ketika pemerintah Soeharto mencetuskan ide ini, terjadi kemunduran yang sangat tinggi dalam pelaksanannya. Program ini masih dilanjutkan oleh pemerintahan SBY-JK, yang lagi-lagi belum mampu mendongkrak angka putus sekolah dan angka tidak sekolah. Tahun 2004 hingga 2008, anak-anak usia 7 – 15 tahun masih banyak yang belum bersekolah dan berhenti sekolah karena biaya pendidika yang semakin mahal. bahkan tidak sedikit anak yang berusia 7 -15 tahun, harus bekerja menjadi buruh harian, dan terlantar di kolong jembatan, di pinggir jalan, menjadi pengemis (peminta-minta) bahkan melacurkan dirinya di dunia malam untuk mencari sesuap nasi demi mempertahankan hidupnya. Ini dikarenakan orangtua mereka tidak memilki uang demi membiayai pendidikan mereka.
atau hukuman penjara. Tapi, jika pemerintah yang melanggar tidak mendapatkan proses hukum. Apakah hukum dinegeri ini hanya berlaku untuk orang miskin saja dan k a l a n g a n m a s y a ra k a t ke l a s ekonomi menengah ke bawah? sedangkan penguasa di negeri ini tidak tersentuh oleh tangan-tangan hukum.
h s a
sm
capi
talis
Akal-akalan pemerintah Pidato kenegaraan presiden Susilo Bambang Yudoyono mengatakan di depan berbagai pers, rancangan anggaran pendidikan tahun 2008 akan di realisasikan sesuai amanah UUD 1945 sebesar 20 persen dari APBN/APBD. Dalam perhitungannya, pemerintah memasukkan gaji guru dan dosen untuk dua puluh persen. Keputusan ini mengakibatkan kalangan pengamat pendidikan nasional angkat bicara. Terkait dimasukkannya anggaran untuk gaji guru dan dosen. Apakah langkah ini sebagai bukti keseriusan pemerintah dalam merealisasikan amanah konstitusi dan menjadikan pendidikan sebagai hal
m
Setiap sekolah di negeri ini, mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) menetapkan biaya yang sangat tinggi. Angka putus sekolah pun tiap tahunnya meningkat, dari tahun 2001/2002 mencapai 766.655 siswa atau 2,67 % untuk sekolah dasar. Sementara di tahun 2004/2005 mengalami peningkatan sebesar 846.079 siswa putus sekolah atau 2,90 % (Depdiknas, Statistc Global, 2006). Di lain pihak p e m e r i n ta h , S r i Mulyani sebagai menteri keuangan mengatakan masalah ini masih terjadi diakibatkan minimnya anggaran pendidikan sehingga akses masyarakat terhadap pendidikan tidak terpenuhi secara merata. Yang mengakibatkan anggaran pendidikan tidak terpenuhi sebesar 20 persen disebabkan negara tidak punya uang, tambahnya. Pihak DPR RI telah mengajukan kepada pemerintah untuk APBN 2008 pada sektor pendidikan sebesar 20 persen. Karena sejak SBY-JK memimpin negeri ini pada tahun 2004 hingga saat ini tidak pernah merrealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20 persen sesuai dengan amanah konstitusi. Artinya pemerintah seringkali melakukan pelanggaran terhadap konstitusi negara. Dan hal ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Sementara negara ini sangat menjunjung tingi konstitusi atau UUD 1945. Di tempat lain, masyarakat kecil yang melakukan pelanggaran terhadap undangundang selalu ditindak tegas dengan denda
langsung menyentuh publik, (Hasil Penelitian FITRA). Anggaran gaji guru dan dosen yang tidak dimasukkan dalam anggaran pendidikan bukan berarti menganggap guru dan dosen bukan bagian dari pendidikan akan tetapi untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dengan negara-negara lain, serta telah ada aturan yang telah mengatur hal tersebut. Jadi pemerintah di awal tahun 2009 kembali m e n u n j u k k a n ke t i d a k s e r i u s a n n y a memperhatikan pendidikan bahkan melakukan upaya menipu rakyatnya sendiri. Efek globalisasi Hilangnya batas-batas negara dalam perdagangan internasional disebut dengan globalisasi, ada juga sebagian kalangan mengatakan liberalisasi pasar. Liberalisasi pasar yang dimaksud adalah dimana pasar mesti bekerja sesuai dengan mekanismenya. Aliran barang perdagangan internasional tidak boleh dihalanganhalangi oleh pemerintah suatu negara. Tidak hanya sektor ekonomi saja, sosial, politik dan budaya pun telah diliberalisasi. Secara konseptual globalisasi adalah penduniaan segala sesuatu dengan ke m u d a h a n a k s e s i n f o r m a s i d a n transportasi, namun sebenarnya sebagaimana yang banyak dikatakan oleh teoritis budaya bahwa apa y a n g t e r j a d i sebenarnya adalah w e ste r n i s a s i ya k n i proses penyebaran ideologi, budaya, pemikiran, dari barat ke seluruh penjuru dunia. Barat dengan konsepsi modernis dan budaya modernitasnya yang mereka yakini sebagai puncak peradaban manusia. Modernitas menghasilkan konsep budaya tunggal, standar tunggal atas penilaian tertentu. Diantaranya bahasa yang diakui, bahasa Inggris, pendidikan yang dipersepsi mutunya adalah dari barat. Contohnya apa yang telah dilakukan oleh UNESCO sebagai organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) tahun 2008, berupa hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia yang menghasilkan peringkat negara di bidang pendidikan secara mendunia. Posisi Malaysia melonjak enam tingkat dari peringkat 62 menjadi 56. sebaliknya peringkat Indonesia turun dari posisi 58 menjadi 62 dari beberapa negara didunia.
yang terjadi sebenarnya adalah westernisasi yakni proses penyebaran ideologi, budaya, pemikiran, dari barat keseluruh penjuru dunia prioritas untuk memajukan negara? Belum bisa dipastikan. Sebahagian kalangan mengang gap, ini adalah akal-akal pemerintah. Niat pemerintah merealisasikan anggaran pendidikan 20 persen dan memasukkan anggaran gaji guru dan dosen adalah akal-akalan untuk memenuhi amanah kontitusi “ucap Pan Mohammad Faiz, ketua umum Dewan Pimpinan Perhimpunan Pelajar Indonesia di India. Langkah tersebut bertentangan d e n g a n a t u ra n y a n g d i ke l u a r k a n pemerintah sendiri sebab persoalan gaji guru dan dosen diatur di regulasi lain, yaitu UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Tahun 2007, yang merupakan anggaran terbesar untuk sektor pendidikan senilai 49.701.473.000, ternyata habis digunakan untuk keperluan birokrasi, 10 % untuk lain-lain dan hanya 20% yang
mereka tolong. Kaum Kiri akan selalu harus menemukan berbagai masalah apabila masyarakat kita sama sekali tidak memiliki masalah-masalah sosial, tujuannya ialah menyediakan pembenaran bagi diri mereka untuk membuat diri mereka tampak penting. Oleh sebab itu tujuan-tujuan orang Kiri biasanya gradual tanpa totalitas. Misalnya dalam menolak sesuatu kaum Kiri terkadang h a n y a m e n g h a n c u r k a n ko m p o n e n komponen luaran suatu masalah, ia tidak pernah mengajukan proposal pembinasaan total terhadapa sesuatu yang ditolaknya dengan alasan semua memiliki proses tahapan jikalau bukan alasan “masyarakat belum mampu mencerna hal-hal yang revolusioner, untuk itu semua tahapan harus dijalani‌‌‌â€? Ada Apa Dengan Peradaban? Dalam pemahaman umum, peradaban adalah tingkat pencapaian tertinggi umat manusia. Dan memang peradaban adalah sebuah penacapaian spesifik bagi umat manusia dan kelompokkelompok tertentu (yang tentunya bukan kelompok Yali, Komoro, dan Asmat di Papua, atau Mbute di Afrika, dll). Dalam pandangan kaum anti-peradaban, hal tersebut hanya merujuk pada pencapaian spesifik dari s e b u a h re l a s i a nta r m a n u s i a ya n g terinstitusionalisasi dan tersistemisasikan yang kemudian mereifikasinnya agar kelas penguasa atau pun sistem yang berkuasa dapat mendominasi sejumlah besar umat manusia, makhluk hidup lainnya beserta lingkungan sekitar. Oleh sebab itu esensi peradaban hanya merupakan sebuah bentuk jejaring institusi dan sistem yang mengontrol pola relasi umat manusia. Tentu saja diskursus primitivisme bertolak belakang dengan pandangan umum tersebut. Pisau analisa anti-peradaban membelah potensi-potensi reproduksi corak sistem dominasi, misalnya pembacaan terhadap kelas-kelas masyarakat revo l u s i o n e r. Ke l a s p e ke r j a , d a l a m pandangan primitivisme, sama halnya dengan kelas borjuis, keduanya merupakan kelas produk dari masyarakat kapitalis. Oleh sebab itu, sama sekali tak ada yang revolusioner di dalam keduanya semenjak subyek dari kelas tersebut mengidentifikasi dirinya ke dalam salah satu kelas. Kelas pekerja menjadi revolusioner justru hanya ketika ia menolak kelasnya. Hal inilah yang menjadi kompenen penolakan terhadap peradaban serta esensi pembebasan golongan Kiri atau Marxian (termasuk para Marxis sektarian yang masih tenggelam dalam pengejaran akan dunia intelektual radikal). Para Marxis percaya bahwa pembebasan juga harus diiringi kekuatan teknologi yang juga membebaskan.
Baik-buruk teknologi tergantung pada siapa yang menguasainya. Sementara mengambil alih alat produksi tak akan membebaskan total umat manusia dari domestikasi dalam kelas-kelas masyarakat yang bereproduksi. Padahal merunut sejarah peradaban itu sendiri tak satu pun hal yang berkaitan dengan pembebasan dalam perkembangan teknologi masyarakat. Pabrik, sistem produksi, sistem distribusi, sistem kontrol—teknologi, sedari awal dibangun dengan tujuan yang tak lain dari proses eksploitasi yang maksimum. Tak ada dialektika yang melampaui fakta bahwa mesin-mesin ini ditujukan untuk menguras energi hidup umat manusia demi tujuan yang bukan untuk kita. Mengambil-alih alat produksi berarti memilih untuk mendesain ulang eksploitasi dan keterasingan dalam pengelolaan manusia itu sediri. Alat-alat produksi adalah instrumen para penindas, instrumen pendomestikasian yang sama sekali tidak netral, karena ia bertugas untuk menjaga mengetatnya hierarki dan dependensi. Apabila hanya sekedar melihat bahwa alat produksi/teknologi berdiri terpisah dan netral dari segala bentuk eksploitasi jelas berarti menutup mata dari kenyataan seluruh proses produksi. Teknologi itu sendiri memiliki sifat alamiah yang melampaui jangkauan mereka yang tereksploitasi. Ingat, industrialisasi jelas membutuhkan sumber daya massal, ia juga membutuhkan disiplin dan kerja keras, hal ini berarti industrialisasi tetap membutuhkan yang namanya sekat-sekat hierarki, divisi kerja (pembagian tenaga ahli dan pekerja kasar) atau lebih jelasnya lagi ia membutuhkan domestikasi. Logika industri membutuhkan sistem dependensi, konsumsi dan pemujaan terhadap ko m o d i t a s . U n t u k i t u k a m p a n y e nasionalisasi industrial aset-aset alam oleh para revolusioner Kiri tidak lain dan tak bukan adalah sebuah bentuk baru modifikasi dari proses eksploitasi dari pengkultusan Negara. Kelas pekerja tetap pekerja. Titik. Selain itu, teknologi, selain memberi profit kepada empunya ia juga memberi kontrol negara dan kapital terhadap sebagian besar proses-proses kehidupan yang paling fundamental itu sendiri—membiarkan mereka (negara dan kapital) menentukan jenis tetumbuhan, hewan—dan bahkan manusia yang bisa eksis. Pada intinya, teknologi adalah instrumen dalam mengubah masyarakat dengan berbagai cara yang pada akhirnya orang-orang akan menyadari bahwa mereka dipaksa untuk menggunakannya. Melanjutkan peradaban secara umum berarti melanjutkan penggunaan mesin untuk mentransformasikan relasi sosial ke dalam pelegalan dominasi dan penghisapan
atas diri kita sendiri. Alasan lain mengapa teknologi adalah sebuah kekuatan sosial yang dahsyat adalah bahwa, dalam konteks yang masyarakat, kemajuan teknologi berbaris hanya menuju pada satu arah; ia tak dapat dialihkan. Sekali penemuan teknologi diperkenalkan, orang-orang biasanya akan menjadi tergantung kepadanya, kecuali hal tersebut digantikan oleh beberapa temuan lain yang lebih maju. Ketergantungan pada satu jenis teknologi baru tidak hanya berlaku secara individual, tetapi juga lebih jauhnya, seluruh sistem juga akan bergantung padanya. (Bayangkan apa yang akan terjadi, misalnya, apabila mendadak semua komputer dilenyapkan). Dengan demikian, sistem hanya dapat bergerak menuju satu arah saja, menuju teknologisasi yang lebih besar. Teknologi berulang kali memaksa kebebasan untuk mundur—dalam upayanya menyapu seluruh sistem teknologi. Masyarakat indutrial-teknologikal menurut kaum anti-peradaban tak akan dapat direformasi karena dalam masyarakat industrial, pembatasan kebebasan tak akan terelakkan. Dalam corak masyarakat industrial modern hanya terdapat sedikit sekali upaya yang diperlukan untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan fisik seseorang. Misalnya pergi ke tempat program pelatihan guna mendapatkan beberapa kemampuan teknikal, kemudian pergi bekerja tepat waktu dan menggunakan upaya yang sederhana untuk mempertahankan sebuah pekerjaan, dianggap cukup. Satu-satunya persyaratan yang tersedia dalam masyarakat tersebut adalah sejumlah intelejensi yang moderat, dan yang terpenting adalah ketertundukan. Apabila seseorang memiliki hal-hal tersebut, maka masyarakat akan memperhatikannya dari sejak masih dalam buaian hingga ke liang kubur. Jadi dengan demikian adalah tidak mengherankan apabila pada saat masyarakat modern memenuhi hidupnya dengan b e r b a ga i m a ca m a k t i f i ta s - a k t i f i ta s sampingan. Aktifitas-aktifitas ini meliputi kerja saintifik, pencapaian atletik, kerja kemanusiaan, kreasi artistik dan literer, pendakian status korporat, pengakumulasian uang dan barang-barang material jauh melebihi titik di mana mereka berhenti memberikan kepuasan fisikal tambahan, dan aktifisme sosial saat hal tersebut dialamatkan pada isu-isu yang secara personal tak ada pentingnya bagi sang aktifis itu sendiri. Halhal demikian memang tidak selalu benarbenar aktifitas sampingan semenjak bagi kebanyakan orang, mereka termotivasi dalam beberapa bagian atas kebutuhan orang lainnya bukannya atas kebutuhan untuk memiliki beberapa tujuan yang patut dicapai. Kerja saintifik bisa saja termotivasi sebagian demi prestise, kreasi artistik oleh
“tanggung jawab sosial”. Mungkin cara mendiagnosa ciri pembawaan orang Kiri adalah dengan melihat kecenderungannya dalam bersimpati terhadap beberapa gerakan berikut: feminisme, hak-hak bagi kaum homoseksual, hak-hak bagi kelompok etnis, hak-hak bagi penyandang cacat, hakhak binatang, political-correct. Setiap orang yang dengan sangat kuat bersimpati dengan S E LU R U H ge ra ka n te rs e b u t d a p at dipastikan sebagai seorang Kiri. [The Industrial Society and The Future, chapter 25, point 229] Berbahayanya Ideologi Kiri dalam The Industrial Society and The Future, dirunut dalam dua kecenderungan yang menjadi karakteristik ideologi Kiri modern. Di sebut sebagai “perasaan-perasaan inferior” dan “sosialisasi yang berlebihan”. Selama setengah pertama abad ke 20, ideologi Kiri secara praktis dapat diidentifikasikan dengan sosialisme. Namun dewasa ini, gerakan Kiri telah terfragmentasikan dan hasilnya tidak jelas lagi siapa yang benar-benar dapat disebut sebagai orang Kiri. Dalam kritik tersebut FC berbicara mengenai orang-orang Kiri dimaksudkan sebagian besar sosialis, kolektifis, berbagai tipe “politically correct”, fe m i n i s , h o m o s e ks u a l d a n a kt i f i s penyandang cacat, aktifis emansipasi hakhak binatang dan sejenisnya. Tetapi tidak semua orang yang diasosiasikan dengan salah satu dari gerakan-gerakan tersebut adalah orang Kiri. Apa yang coba disampaikan dalam soal pembahasan ideologi Kiri ini bukanlah soal sebuah g e r a k a n a t a u i d e o l o g i ke m u d i a n dirumuskan dalam tipe psikologisnya, melainkan sebuah kumpulan dari tipe-tipe yang saling berkaitan. Perasaan-perasaan inferior adalah karakteristik dasar dari ideologi Kiri modern secara keseluruhan, saat sosialisasi yang berlebihan adalah di mana karakteristiknya hanya terletak pada segmen-segmen tertentu saja dari ideologi Kiri modern; tetapi segmen ini adalah sesuatu yang sangat berpengaruh. Namun frasa “perasaan-perasaan inferior ” yang dimaksud tidak hanya terpaku pada pemaknaan inferioritas semata dalam arti baku akan tetapi merupakan sebuah spektrum yang menyeluruh dari ciri-ciri bawaan ideologi Kiri. Seorang Kiri bukanlah tipikal dari orang yang karena merasa inferior lantas menjadikannya seorang yang sombong, seorang egois, seorang selfpromoter (orang yang gemar m e m p ro m o s i ka n d i r i nya s e n d i r i ) , kompetitor yang tanpa ampun. Spesis sejenis ini justru tidaklah sepenuhnya kehilangan rasa percaya diri. Orang-orang Kiri justru mengalami defisit atas keberadaan kekuatan dan harga dirinya,
namun ia masih dapat mengandalkan dirinya sendiri untuk memiliki kemampuan menjadi kuat, dan usahanya untuk m e n j a d i ka n d i r i nya ku a t l a h ya n g memproduksi perilaku yang tidak menyenangkan. Pe ra s a a n - p e ra s a a n i n fe r i o r seorang Kiri tumbuh sangat kuat mengakar hingga pada akhirnya ia tak mampu memahami bahwa dirinya sendiri kuat dan berharga sebagai seorang individu. Karena itulah hadir kolektifisme di kalangan kaum Kiri. Ia hanya merasa kuat apabila menjadi anggota dari sebuah organisasi besar atau berada di tengah-tengah massa. Ia hanya dapat mengidentifikasikan dirinya apabila berada di sisi gerakan massa dan cenderung 'hobi' mengatasnamakan orang lain (rakyat atau apalah) tanpa pernah menyadari kekuatan otonomnya. Ada banyak kaum Kiri yang memiliki identifikasi intens terhadap masalah-masalah yang dialami oleh kelompok-kelompok yang menurut mereka memiliki citra lemah (perempuan), dikalahkan (masyarakat adat/lokal), menjijikkan (homoseksual) atau berbagai bentuk inferioritas lainnya. Kaum Kiri itu sendiri yang merasa bahwa bahwa kelompok-kelompok masyarakat tersebut adalah inferior. Justru mereka tak akan pernah mengakui bahwa diri merekalah yang sebenarnya merasa demikian, tetapi hal tersebut jelas terlihat saat mereka m e m a n d a n g ke l o m p o k - ke l o m p o k masyarakat tersebut sebagai inferior, yang lantas mereka mengidentifikasikan diri dengan masalah-masalah mereka. (hal ini bukan berarti bahwa perempuan, kaum Indian, dsb. adalah inferior; dalam hal ini hanya menunjukkan tentang aspek psikologis kaum Kiri). Saking suferiornya kaum Kiri merasa mampu menyelesaikan segala permasalahan orang-orang. Mereka hadir di setiap pojok-pojok konsolidasi dengan isu apapun itu, bahwa mereka harus mengambil bagian dalam setiap permasalahan dan parahnya mereka menularkan mistifikasi terhadap bentukbentuk penolakan terhadap keunikan i n d i v i d u a l ya n g ta k a ka n p e r n a h memberikan apa-apa menurut mereka. Massa adalah segala-galanya. Seorang Kiri adalah seorang anti-individualis, pemuja kolektifis. Ia ingin agar masyarakat menyelesaikan masalah kebutuhankebutuhan orang lain untuk diri mereka, mempedulikan mereka. Ia bukanlah tipe orang yang memiliki rasa percaya diri bahwa ia memiliki kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri dan puas dengan apa yang dibutuhkannya. Perasaan-perasaan tersebut jelas menentukan proyeksi serta arah yang ditempuh oleh ideologi Kiri
modern. Para kaum Kiri juga cenderung membenci apapun yang memiliki citra kuat, bagus dan sukses. Mereka membenci Amerika, mereka membenci peradaban Barat. Alasan-alasan yang diberikan oleh kaum Kiri dalam membenci Barat, dsb., tersebut jelas tidak berkorespondensi d e n ga n m o t i f - m o t i f m e re ka ya n g sesungguhnya. “Mereka BERKATA bahwa mereka membenci Barat karena Barat senang berperang, imperialistik, seksis, etnosentris dan begitu seterusnya, tetapi saat kesalahan-kesalahan tadi hadir di negara-negara sosialis atau dalam kulturkultur primitif, seorang Kiri akan menemukan alasan untuk dapat memaafkannya, atau setidaknya sekedar MERAGUKAN bahwa hal-hal tersebut eksis; di mana ia kemudian DENGAN ANTUSIAS menunjukkan (dan seringkali dengan melebih-lebihkan) kesalahan-kesalahan yang hadirnya di tengah peradaban masyarakat Barat. Maka menjadi jelas bahwa kesalahan-kesalahan tersebut bukanlah yang menjadi motif-motif sesungguhnya yang dimiliki oleh kaum Kiri dalam membenci Amerika dan Barat. Ia membenci Amerika dan Barat karena dua hal tersebut kuat dan sukses.” [chapter III point 15] Kaum Kiri juga biasanya mengklaim bahwa aktifisme mereka dimotivasi atas dasar rasa kasihan atau prinsip moral. Prinsip moral memainkan sebuah peran tersendiri bagi kaum Kiri dalam tipe yang telah tersosialisasi secara berlebihan. Tetapi rasa kasihan dan prinsip moral tidak dapat menjadi motif utama para aktifis Kiri. Sikap bermusuhan telah menjadi sebuah komponen y a n g p a l i n g menonjo l dari perilaku kaum Kiri; maka hal tersebut juga adalah sebuah pemuasan hasrat untuk berkuasa. Lebih jauhnya lagi, kebanyakan perilaku ka u m K i r i t i d a k dikalkulasikan dengan rasional a g a r dapat menjadi manfaat b a g i masyarakat, y a n g menurut klaim dari kaum Kiri, berusaha
Ironisnya hegemoni persepsi dan penilaian dari dunia internasional ditelan mentahmentah oleh pemerintah sebagai dasar pengambilan kebijakan pendidikan. Salah seorang guru besar Indonesia, Prof. Dr. Winarno Surachmad memberikan tanggapan tentang efek globalisasi bagi pendidikan nasional. Ia mengatakan ”Pemerintah yang selalu silau oleh kemajuan barat pada akhirnya didikte oleh barat”, jelas guru besar ini lewat media elektronik. Imbas dari globalisasi dalam dunia pendidikan menyebabkan fenomena dan kebijakan pendidikan yang salah arah, menyimpan p e rs o a l a n p a ra d i g m at i k , d a n t i d a k mengakomodasi konteks keindonesiaan. Pada saat pemerintahan A b d u r r a h m a n Wa h i d , D e p a r t e m e n Pendidikan dan Kebudayaan berganti nama menjadi menjadi Departemen Pendidikan Nasional, juga menetapkan kebijakan Manajemen Berbasis Sekolah atau yang lebih dikenal dengan MBS. MBS ini merupakan bentuk terjemahan dari School Base Management yang ada di Australia. Di negeri asalnya, MBS merupakan suatu sistem pengelolaan satuan pendidikan atau manajemen sekolah. Inilah yang kemudian diadopsi oleh pemerintah Indonesia yang menimbulkan banyak masalah. Salah satu dari banyaknya persoalan adalah dibentuknya dewan pendidikan dan komite sekolah yang lebih banyak berbicara tentang pungutan biaya dari masyarakat. Seperti halnya di dunia internasional hanya menilai kualitas pendidikan dari tiga mata pelajaran saja, seperti matematika, bahasa Indonesia dan bahasa inggris. Pemerintah kemudian menirunya juga dalam bentuk kebijakan Ujian Nasional. Sementara apa yang terjadi di negeri lain tidak seperti apa yang terjadi di negeri kita. Seperti konteks sosial budaya, potensi daerah dan kemampuan lokal. Inilah persoalan paradikmatik/pandangan melihat pendidikan. Selain berimbas pada kebijakan pemerintah, globalisasi juga mengakibatkan i n t e r n a s i o n a l i s a s i s e ko l a h - s e ko l a h .
Fenomena tersebut antara lain: menjamurnya sekolah yang bertaraf internasional dan kelas internasional yang sebagian masyarakat lebih memilih menyekolahkan anaknya disekolah tersebut karena pertimbangan kualitas walaupun dengan biaya yang sangat tinggi. Serta b e r b o n d o n g - b o n d o n g n y a s e ko l a h mengejar lisensi sertifikat ISO 9001:2000. Dimana memiliki tiga prasyarat yaitu sistem manajemen terpadu, pengembangan perilaku dan pemahaman terhadap sistem tersebut dan peningkatan kualitas sekolah dengan metode pendampingan. D i a nta ra nya p e l at i h a n b a g i g u r u , pembangunan infrastruktur, beasiswa, penyediaan model belajar, kelas super, kelas internasional serta rintisan SKS. Ironisnya, berkat “keunggulan-keunggulan” tersebut pemerintah mengalokasi anggaran yang lebih banyak. Padahal sekolah yang bertaraf internasional sudah mapan dari sisi sarana prasarana, akses informasi, sumber belajar, sumber daya pendidik dan pendanaan. Di lain pihak, masih banyak sekolah di daerah yang sudah banyak yang rusak parah namun tak kunjung mendapatkan dana dari pemerintah. Dari fenomena inilah, pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan bagi setiap sekolah untuk mengelola secara mandiri sumber pendanaannya sehingga pemerintah tidak perlu lagi mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk sektor pendidikan. Terbukti dengan dikeluarkannya Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pada pasal 53 yang menyatakan ”penyelenggara dan satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan yang ke t e n t u a n t e n t a n g b a d a n h u ku m pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri” yang kemudian melahirkan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan
atau BHP serta Badan Hukum Milik Negara atau BHMN. BHP=Bisnis Haram Pemerintah Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.61 tahun 1999 yang mengatur tentang perguruan tinggi atau PTN menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) merupakan langkah awal pelepasan tanggung jawab negara terhadap dunia pendidikan secara sistemik. Dimana satuan pendidikan di upayakan mampu mencari dana secara mandiri untuk penyelenggaraan pendidikannya. BHP percontohan yang telah diterapkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, mengakibatkan timbulnya persoalan anggaran pendidikan yang lebih dititikberatkan pada peserta didik dan memberikan peluang bagi pihak selain pemerintah untuk menentukan arah pendidikan nasional. Sejak aturan tersebut dikeluarkan, beberapa perguruan tinggi berubah status menjadi BHMN, perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Indonesia, Universitas Gajah Mada, Institut Teknologi Bandung dan Institut Pertanian Bogor. Beberapa PTN tersebut dinyatakan sebagai proyek percontohan untuk menilai apakah dengan kebijakan tersebut mampu memajukan satuan pendidikan dan tidak bergantung lagi pada pemerintah dari segi sumber pendanaan. Untuk mendorong PTN melakukan pencarian dana secara mandiri, p e m e r i n ta h ke m u d i a n m e n g u ra n g i subsidinya tiap tahun. Akan tetapi apa yang terjadi dari kebijakan tersebut, justru sumber pendanaan lebih banyak dari masyarakat/ peserta didik dibandingkan upaya kreatif yang dilakukan oleh pihak universitas untuk melakukan kerjasama dengan pihak lain yang bisa menambah khas keuangan universitas. Terbukti, yang terjadi di empat PTN tersebut adalah tiap tahun mahasiswa terkuras uang mereka dengan berbagai macam pungutanpungutan yang sangat jauh berbeda sebelum perubahan status. (Aco,Ryan, Upy,Abot)
9
Broken of Humanism Project atau proyek penghancuran kemanusiaan dapat diartikan sebagai upaya merusak hubungan sesama manusia. Manusia yang hakekatnya adalah makhluk sosial, akan didekonstruksi dan diubah menjadi makhluk individualis. Setiap manusia akan apatis dengan persoalan orang lain. Ini dikarenakan pendidikan yang rusak pula. Apalagi ditambah hadirnya UU BHP. RUU BHP yang banyak mendapatkan perlawanan dari berbagai elemen masyarakat dari tahun 2004, akhirnya disahkan menjadi UU BHP oleh DPR pada 17 Desember 2008. Bahkan sejak pengesahan sampai saat ini masih banyak teriakan-teriakan rakyat menolak UU tersebut. Lihat saja di Makassar, kampus U n h a s d i s e ra n g o l e h p o l i s i s a a t meneriakkan penolakan di depan kampus, tepat saat rapat Paripurna dan pengesahan UU BHP. Di Jawa, ribuan mahasiswa dari berbagai kampus, melakukan aksi demonstrasi menolak dan meminta DPR agar mencabut UU BHP. Alasannya jelas, bahwa UU tersebut pada akhirnya akan merusak dunia pendidikan Indonesia. “Negara” deconstructor pendidikan Kemajuan suatu bangsa $ ditentukan oleh $ pendidikannya. K a l a u pendidikan suatu bangsa itu r u s a k , m a ka b a n g s a tersebut a ka n iku t rusak. Pun sebaliknya. M a k a , pemerinta h wajib memerbaiki kualitas pendidikan. Sehing ga tercapai negara y a n g bermartabat dan rakyat y a n g sejahtera. T a p i pendidikan y a n g berkualitas masih jauh dari harapan. B a h ka n kesejahte r a a n r a k y a t Indonesia
$
$
$
sangat sulit tercapai. Kenapa? Karena negara itu sendirilah yang merusak pendidikan. Negara yang hakekatnya memberi pelayanan pendidikan kepada rakyat. Sebagaimana pembukaan UU 45 bahwa, negara wajib mencerdaskan kehidupan bangsa. Sama sekali jauh dari kenyataan kita sehari-hari. Bahkan amat menghawatirkan. Negaralah yang malah membodohi rakyatnya. Contohnya saja, program pemerintah wajib belajar sembilan tahun. Dimana logikanya negara hanya mewajibkan seseorang mengenyam pendidikan formal sampai SMP? Apa tujuan pemerintah mewajibkan wajib belajar sembilan tahun? Kenapa bukan sampai mati atau sampai perguruan tinggi? Ini adalah bukti bahwa negara tidak punya niatan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan kata lain, negaralah yang membodohi kehidupan bangsa. Hadirnya UU BHP memberi bukti kongkrit pada kita bahwa negaralah yang sebenarnya menghancurkan dunia pendidikan. Pada intinya UU tersebut a d a l a h u p aya n e ga ra m e l e p a s ka n tanggungjawab terhadap dunia pendidikan, lalu memberikan kepada pihak swasta yang memiliki kapital untuk mengelola dunia pendidikan. Pastinya pendidikan menjadi komoditi yang akan dijual oleh kampus lalu diwajibkan dibeli oleh masyarakat. Artinya pendidikan sudah tidak berbeda dengan shampo yang dijual di pasar. Hanya orang yang memiliki uang yang dapat mengaksesnya. Lalu bagaimana dengan nasib masyarakat yang tidak memiliki kemampuan finansial? Mereka akan termarjinalkan dan mengalami penderitaan turun temurun dari generasi ke generasi. Kalau dunia pendidikan kita sudah sangat memprihatinkan seperti hari ini, bagaimana dengan negara kita ke depan? Bagaimana dengan nasib rakyat? Memanusiakan manusia Tu j u a n p e n d i d i k a n a d a l a h memanusiakan manusia. Bukan menciptakan sumber daya manusia. Memanusiakan manusia dapat diartikan sebagai upaya memandirikan manusia. Bagaimana manusia dapat menyelesaikan persoalan dengan mandiri, baik persoalan pribadi yang sifatnya formalitas maupun
informal haruslah diimplementasikan kepada masyarakat. Ilmu yang kita peroleh pun harus kita transformasikan kepada orang lain. Artinya ilmu untuk saling berbagi. Contoh ilmu pertanian pastinya akan diimplementasikan dan ditransformasikan kepada para petani, yang akan membantu keberhasilan produksi pangan dan berdampak pada kedaulatan pangan sehingga ilmu yang didapatkan dapat pula dirasakan manfaatnya oleh orang lain. Non kompetitif. Tujuan pendidikan bukan mengadakan orang yang pintar dan orangorang bodoh. Tetapi mencerdaskan semua orang. Artinya tidak ada kompetisi dalam proses pendidikan. Tidak ada persaingan dalam proses belajar, sebab persaingan akan menimbulkan pemenang dan pecundang. Padahal proses belajar adalah proses transformasi ilmu dan pengetahuan. Sehingga tidak dibenarkan ada persaingan dalam proses transformasi ilmu. Kalau hasil dari pendidikan adalah mencerdaskan semua manusia atau memanusiakan manusia, maka barometer kecerdasan manusia bukan dengan angkaangka. Melainkan tindakan atau praktek langsung ke masyarakat. Terciptanya Sumberdaya Manusia Sering kita dengar ucapan praktisi pendidikan, termasuk menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Bambang Sudibyo, serta Wapres Yusuf Kalla yang sering mengatakan bahwa pemerintah akan meperbaiki kualitas pendidikan untuk meningkatkan sumberdaya manusia. Artinya arah dan tujuan pendidikan kita adalah untuk terciptanya sumberdaya manusia. Kalau tujuannya sumberdaya manusia, maka manusia tersebut akan dipersiapkan untuk menjadi seorang pekerja/ buruh. Perhatikan fenomena yang terjadi pada sebagian lulusan sarjana di Indonesia. Mulai dari masuk perguruan tinggi sampai selesai kita mesti berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. Setelah lulus dan mendapat gelar sarjana, kita pun harus berbondong-bondong untuk mencari pekerjaan. Ketika kembali pun harus b e r ko m p et i s i u nt u k m e n d a p at ka n pekerjaan tersebut. Bahkan, ada pula yang memakai cara tidak sehat seperti menyogok, dan sebagainya untuk
keluarganya (termasuk pembelian tanahnya dan, tanpa sepengetahuan mereka, pembiayaan kampanye pembomannya). Di tahun 1978, ia bekerja dengan sangat ringkas bersama ayah dan saudara laki-lakinya di sebuah pabrik karet busa. Kiriman bom pertamanya di akhir Mei 1978 ditujukan ke Profesor (materials engineering) Buckley Crist di Northwestern University. Paketan bom itu ditemukan di lot parkiran Universitas Illinois di Chicago, dengan alamat pengiriman Crist. Pemboman pertamanya di tahun 1978 diikuti dengan pemboman selanjutnya yang ditujukan ke kantor penerbangan udara, dan tahun selanjutnya ditemukan sebuah bom pada tempat penyimapanan kargo American Airlines Flight 444, pesawat Boeing 727 yang sedang terbang dari Chicago menuju Washington, D.C. sejak itulah ia dijuluki UNABOM (University dan Airline BOMBER) sebagai kode atas dirinya sebelum terdeteksi oleh FBI. Kaczynski juga disebut Junkyard Bomber karena bahan yang digunakannya dalam merakit bom. Di tahun 1980, kepala agen John Douglas bekerjasama dengan agen-agen di Unit Behavioral Science FBI mengeluarkan sebuah profil psikologikal terhadap pembom yang tak teridentifikasi yang digambarkan sebagai seorang manusia dengan kecerdasan di atas rata-rata dengan hubungan ke akademia. Profil ini kemudian diperbaiki karakteristik tersangka sebagai seorang Luddite¹ yang menjabat sebuah tingkatan akademik dalam pengetahuan rumit, tetapi dasar profil psikologikal ini tak lagi terpakai pada tahun 1993 dalam perlakuan perkembangan teori alternatif oleh analis-analis FBI yang mengonsentrasikan pada bukti fisik yang pecahan-pecahan bom yang ditemukan. Pada tahun 1995, Kaczynski
mengirim beberapa surat, yang ditujukan kepada beberapa korbannya yang terdahulu, berisi ringkasan tujuan beserta kritiknya terhadap teknologi peradaban dan karakteristik kelompok gerakan otoritarian dan kelompok-kelompok oportunis lainnya yang disusun dalam sebuah pamflet "Industial Society and Its Future" ( b e l a ka n ga n d i s e b u t " U n a b o m b e r Manifesto") yang dicetak kata demi kata oleh suratkabar/jurnal mainstream; dia menyatakan bahwa dia akan mengakhiri kampanye pengebomannya apabila New York Times memuat dan menyebarluaskan pamflet tersebut. Lebih jauh lagi surat pengancaman dikirim untuk membunuh banyak orang, dan Departemen Pengadilan Amerika Serikat merekomendasikan untuk segera mempublikasikan pamflet tersebut demi keamanan publik. Pamflet itu kemudian dipublikasikan oleh The New York Times dan The Washington Post pada tanggal 19 September 1995, degan harapan seseorang akan mengenali gaya penulisan pada pamflet tersebut. Mungkin bagi kebanyakan orang apa yang dilakukan oleh Kaczynski hanyalah sebuah tindakan murni terorisme. Memang sampai saat ini tindakan destruksi masih belum mampu diterima oleh orang-orang meskipun tindakan tersebut hanya berupa pengrusakan properti yang menjadi simbol ka p i ta l i s m e d a n n e ga ra . Ko n o ta s i desktruktif dan pengrusakan hanya terpaku pada pemaknaan baku semata. Padahal dalam upaya membangun proyeksi tatanan masyarakat yang betul-betul baru maka bentuk masyarakat yang lama mustilah dihancurkan total, begitu pun dengan peradaban yang error. Pengabolisian terhadapnya adalah satu-satunya jalan. Untuk itu mari cari tahu apa sih yang dipikirkan the Unabomber? Manifesto: Apa yang Diinginkan the Unabomber? Bagian pertama dari Industrial Society and Its Future adalah analisa mendalam terhadap aspek psikologi berbagai kelompok--yang pertama adalah kaum leftist (kiri) dan ilmuwan-beserta konsekuensi-konsekuensi psikologi indiviual yang hidup di dalam sistem teknologi industrial. Pada bagian berikutnya penafsiran tentang masa depan evolusi sistem yang eksis sekarang. Kritik Kaczynski dan FC (Freedom Club) terhadap peradaban sekarang didasari pada perkembangan teknologi dan industri yang menggila. Menurut analisa Kaczynski, di mana ditemukannya teknologi mesin maka sejak itu pula kemanusiaan berada di bawah kontrol mesin yang diciptakannya sendiri.
sketsa caka
Analisa anti-peradaban ini jelas mengedepankan pengabolisian total terhadap peradaban modern (industrial) suatu pola pemikiran yang jelas-jelas bertolak belakang dengan para marxis tentang pengambilalihan alat produksi beserta bangunan negasi corak mayarakat kapital. Kaum anti-peradaban ini memandang bahwa teknologi mesin yang diciptakan oleh manusia sendiri tidaklah bersifat netral seperti yang kita bayangkan selama ini akan tetapi mesin-mesin tersebut mempunyai logika tersendirinya. Ia melampaui kotrol manusia. Serupa kekuasaan yang juga mempunyai logika merawat diri, mesin-mesin ini mampu mereproduksi dirinya sendiri dan ia jauh berada di luar kontrol manusia, justru malah sebaliknya umat manusialah yang dikontrol oleh mesin-mesin tersebut. Hal ini merupakan kebalikan dari t u j u a n ke l o m p o k m a r x i s , d i m a n a pengambilalihan corak produksi dan i n d u st r i a l i s a s i a s e t - a s e t ke m u d i a n mendistribusikannya secara merata demi kesejahteraan proletar adalah sesuatu yang hanya mengubah permukaan corak relasi kehidupan sementara pondasi peradaban modern tetap eksis seperti sediakala. Hal ini menurut Kaczynski karena analisa para revolusioner-revolusioner hanya dilandaskan pada komponen ekonomi-politik semata dan menganggap aspek-aspek psikologis dan lainnya dalam menanggapi sesuatu hal tidaklah begitu memberi manfaat yang signifikan. Kritik Terhadap Ideologi Kiri Dalam pandangan Kanczynski, dan memang pada umumnya, seorang Kiri memiliki orientasi menuju kolektifisme skala besar. Ia menekankan kewajiban individual dalam melayani kepentingan masyarakat dan kewajiban masyarakat untuk mengurus individual tersebut. Orang Kiri memiliki pandangan yang sangat negatif terhadap individualisme. Ia seringkali mengambil sebuah alasan yang bernada moralistik. Ia cenderung mendukung kontrol senjata, pendidikan seks dan beberapa metoda pendidikan “yang mencerahkan” secara psikologis, untuk merencanakan, untuk melakukan aksi yang telah disepakati bersama, untuk multikulturalisme. Ia cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan para korban. Ia cenderung menentang kompetisi dan kekerasan, tetapi seringkali ia menemukan alasan-alasan atas beberapa orang Kiri yang melakukan kekerasan. Ia juga gemar menggunakan frasa-frasa yang umum digunakan kaum Kiri seperti “imperialisme”, “neokolonialisme”, “demi rakyat”, “rasisme”, “seksisme”, “homofobia”, “kapitalisme”, “genosida”, “perubahan sosial”, “keadilan sosial”,
peringatan hari HAM, ada segelintir orang yang akan duduk di pinggir danau kemudian membicarakanmu, dan membaca karyakaryamu. Tapi, tetap saja saya tak menemukannya. Makanya, malam ini, kuputuskan membaca semua karyamu sendiri dan menuliskan surat untukmu. Ah… saya hampir lupa, tentang nasib keluargamu. S a y a memang tak t a h u ban yak tapi, terakhir kutahu anak dan istrimu sangat mengharapkanmu untuk pulang lewat puisi yang dibuat oleh anakmu. Puisi itu dibacakan saat pemberian penghargaan untukmu beberapa tahun lalu di Jakarta. Menemani m e r e k a u n t u k menghadapi hidup yang semakin tak ramah. Ta p i saya yakin darah m u , keberanian m u d a n semangat perlawananmu telah kau t u l a r k a n pada anak-anakmu itu. Jadi kuyakin, dia akan sekuat dirimu. Mereka sangat berharap kau pulang. Sama berharapnya saya dengan kedatanganmu membawa puisi yang sangat ingin kubaca. Kamu sepertinya memang mesti kembali, sebab negeri ini terlampau parah u n t u k d i t i n g ga l i . N e g e r i i n i a m a t
Saya membaca Edward Abbey di pertengahan 80-an dan yang satu inilah yang memberi saya ide, 'yeah, orang-orang yang di luar sana memiliki sikap yang sama tentang apa yang kulakukan.' Saya membaca The Monkeywrench Gang, saya pikirkan itu. Tapi yang pertama memotivasi saya bukanlah apa yang saya baca. Saya hanya marah melihat mesin-mesin m e n g h a n c u r ka n h u t a n - h u t a n d a n seterusnya…” (-Dr. Theodore Kaczynski, dalam sebuah interview dengan the Earth First! Journal, Penjara High Maximum Security, Florence, Colorado, USA, Juni 1999) Lahir dengan nama Theodore John
menakutkan, melebihi saat kau masih ada dengan berbagai perlawananmu. Setidaknya pada masamu, banyak orang-orang yang katanya hampir berwatak sepertimu. Jadi kuyakin jika ada masalah, masih ada orang berani yang turun ke jalan sekedar mengingatkan bahwa ada yang tidak beres di negeri ini. Kutakut sudah tak ada orang sepertimu di negeri ini, atau bahkan ada, tapi bernasib sama sepertimu. Kamu memang mesti hadir sekarang, untuk mengajari kami bagaimana cara melakukan perlawanan yang cerdas dan lebih intelektual. Mengajari kami melawan dengan puisi-puisi serta teaterteatermu. Dan tentunya mengajariku bagaimana menciptak an puisi yang keren. Pulang lah Wiji Thukul, sebab anakmu, istrimu, dan semua orang merindukanmu disini. Saya hampir lupa memberitahumu. Soeharto sudah meninggal. Kalaupun nasibmu sudah seperti itu, kami ikhlas, sebab kau telah meninggalkan karya dan cerita yang nantinya akan dengan bangga kuceritakan ulang pada anak-anakku. Bahwa di negeri yang tak berbudaya ini, pernah ada seorang Wiji Thukul dan beberapa kawan-kawannya. Jangan lupa jika kamu bertemu dengannya, selesaikanlah urusanmu dan sampaikan padanya. Dia banyak meniggalkan luka dan utang di negeri ini. Katakan juga, bahwa dia telah melakukan kebohongan-kebohongan di buku-buku
Kaczynski (22 Mei 1942, Illinois, Chicago) juga dikenal dengan the Unabomber. Lulusan Harvard University dan meraih gelar Ph.D dalam bidang Matematika spesialis Geometric Function Theory di University of Michigan. Pada usia 25 tahun menjadi asisten profesor di University of California, Berkeley, namun ia memilih berhenti dua tahun kemudian. Siapa sangka dibalik gelar pendidikannya yang bergengsi, Kaczynski a d a l a h s e o ra n g ya n g b e n a r - b e n a r mempraksiskan segala ide beserta teorinya yang sama sekali bertolak belakang dengan bidang ilmu yang dipelajarinya dalam bangku akademis; ilmuwan matematika yang “berkhianat ” menjadi seorang antiperadaban. Pada tahun 1962, Kaczynski lulus dari Harvard, setelah itu ia meraih gelar Ph.D dalam bidang matematika di University Of Michigan. Kaczynski memulai karir sebagai seorang peneliti di Michigan, lalu menjadi
sejarah SD, SMP, dan SMA. Dan tegaskan padanya, penipuan yang terjadi padaku tak akan terulang pada anak-anakku. Akan kubiarkan anakku membaca buku-buku itu, tapi setelahnya akan kuwajibkan dia untuk membaca buku-buku yang isinya adalah kebenaran. Agar dia tahu bagaimana negeri menciptakan kebohongan sejarah lewat kurikulum pendidikan. Katakan kalau saya memang sempat tertipu, bahkan tak mampu membedakan mana nabi mana penjahat. Seperti salah satu lirik puisi kawanku, Dedi de Goode, seorang kawan yang juga pandai menulis puisi sepertimu. Tapi sekarang, lewat puisimu yang pertama kali kubaca “apa yang berharga dari puisiku” di kamar bersama dua orang saudara, diiringi gitar dan cahaya remang-remang, mampu membuka mata dan pikiranku. Saya minta maaf jika kamu sedikit kecewa dengan suratku yang isinya hanya keluhan-keluhanku tentang negeri ini. Negeri ini memang mengecewakan. Saya juga minta maaf, sebab terlampau banyak peristiwa yang terjadi dan saya hanya mampu jadi penonton. Ya, saya hanya mampu menjadi penonton dan mendapati diriku terdiam pada setiap kejadian. Makanya jika punya kesempatan untuk kembali, kembalilah Wiji Thukul. Kunjungilah negeri ini, dan tuliskan kritikmu lewat puisi. Kembalilah, agar dapat kubacakan puisi kawanku yang kumaksud tadi sebab kuingin berpuisi denganmu.(Ana_093)
asisten profesor matematika di University Of California pada tahun 1967. Bagaimanapun, ini adalah kehidupan yang singkat, dan Kaczynski berhenti dari jabatannya tanpa keterangan yang jelas di tahun 1969 pada usia 26 tahun. Ketua Jurusan Matematika pada tempat ia mengajar, J. W. Addison, menyebut pemberhentian ini adalah sesuatu yang "mendadak dan tidak terduga". Di musim panas 1969, Kaczynski pindah ke kediaman kecil orang tuanya di Lombard, Illinois. Dua tahun kemudian, 1971, ia pindah lagi ke pondok terpencil yang dibangunnya sendiri di Lincoln, Montana, di mana ia memulai hidup yang jauh dari sengak peradaban modern, hidup dengan uang yang sangat sedikit, tanpa alat-alat elektronik dan tanpa aliran air, dan memeroleh makanan dari berburu dan meramu (hunter-gathering). Kaczynski juga mengerjakan pekerjaan anehnya dan mendapat dukungan finansial dari
memenangkan persaingan tersebut. Apakah itu yang namanya pengembangan sumber daya manusia? Inilah gambaran dunia pendidikan kita hari ini yang berorientasi pada terciptanya sumberdaya manusia sehingga harus saling berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. Konsekuensinya adalah saling jegal, saling sikut sehingga menghadirkan petarung yang kalah. UU BHP Dari semua gambaran dunia pendidikan Indonesia, UU BHP lahir sebagai regulasi sistem pendidikan Indonesia hari ini
Dalam minggu ini, sudah beberapa kali warga di kota Bonaten mendengar suara-suara lirih dari pohon-pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Pohon-pohon bersuara hanya ada dalam cerita kanak-kanak dan tak cocok bagi orang-orang yang sudah dewasa. Suara- suara itu mungkin hanya imajinasi atau ilusi belaka. Ratusan orang dewasa mengaku pernah mendengarnya suara-suara dengan sangat jernih. Pastilah pengakuan kolektif tersebut tak mungkin berasal dari ilusi secara bersamaan dengan tema yang sama. Memang ada ilusi massal yang sedang terjadi di kota itu yang disebut pemilihan gubernurwakil gubernur secara langsung. Saat itu jutaan orang bisa tergiring ke bilik-bilik suara untuk menuju kepatuhan ilusi yang sudah ditentukan parpol melalui demagogi dan proganda juru kampanye. Bila pohon-pohon berbicara pada ribuan orang dewasa di kota ini, ilusi apa lagi yang sedang terjadi? Pohon-pohon berbicara, mungkin cuma rangkaian peristiwa ilusi politik juga. Komentar beragam mewakili apa yang telah dialami setiap orang. “Suaranya seperti suara anakku, hanya agak terbata-bata.” Ujar seorang ibu yang mengaku mendengar suara pohon yang tumbuh di depan rumahnya. “Aku mendengarnya seperti panggilan istriku dari kejauhan, tapi kata-katanya bukan seperti yang biasa kudengar.” Ujar seorang lelaki yang barusan mengalami konflik domestik rumah tangga. “Teriakan suamiku terdengar dari pohon itu, padahal saat itu ia masih di kantor.” Begitu pengakuan seorang istri, yang juga baru beberapa hari lalu bertengkar dengan suaminya. Pengakuan demi pengakuan yang tak lazim tentang suara-suara dari pohon, bersaingan keseruannya dengan pesta pemilihan gubernur.
yang komersil, dehumanisasi, dan anti rakyat miskin. UU yang memberi beban kepada masyarakat kelas menengah ke bawah untuk mengeluarkan uang yang besar agar mampu menyekolahkan anaknya di satuan pendidikan karena UU tersebut merupakan aturan yang mewajibkan satuan pendidikan agar mengurusi keuangannya sendiri. Artinya, melepaskan tanggungjawab negara terhadap dunia pendidikan dan menyerahkan dunia pendidikan untuk dikelola melalui mekanisme pasar. Akibatnya terjadi kompetisi untuk dapat mengakses dunia pendidikan formal. Tetapi bukan lagi
kompetisi kemampuan otak melainkan kemampuan modal. UU ini akan melahirkan masyarakat individualis. Orang-orang akan mengurusi dirinya sendiri dan apatis dengan persoalan orang lain. Orang akan saling sikut demi kepentingan pribadi. Seperti harapan kapitalisme. UU yang akan menghancurkan kemanusiaan dan peradaban bangsa sendiri.
Setiap orang di kota itu telah mendengar suara orang-orang yang mereka kenal yang berasal dari pohon di pinggir jalan. Mulanya hanya terdengar bagai bisikan, lalu lama kelamaan semakin terdengar jelas seperti suara orang sebenarnya. Seorang istri yang r i n d u p a d a s u a m i nya , d u l u l a z i m menghubungi lewat telepon atau ponsel. Sekarang komunikasi itu terasa sangat kuno, akibatnya penjualan voucher atau pulsa menurun drastis. Hanya dengan mendatangi pohon di depan rumah, maka suara orang yang dihendaki bisa muncul. Suara itu malah justru lebih baik dari segi eufonik (pemilihan kata). Bukan hanya dari segi suara, tapi isi kata-kata dari pohon jauh lebih berbobot dari pemikiran orang yang dimaksud.
sinetron. Aku sebenarnya sangat benci pada sinetron dan infotainment yang sama sekali tak berguna. Sekarang ia menanyakan hal tak berguna lainnya tentang para calon gubernur. Pembicaraan politik perlu juga kutanggapi, agar ia bisa terhindar dari tayangan tak bermutu itu. Sebenarnya, istriku tak suka dua jenis tayangan itu. Ia kadang-kadang terpaksa menontonnya bila ia menekan tuts remote control untuk mencari tayangan yang mungkin masih berkualitas. “Kupikir, kita tak perlu ikut menggunakan hak pilih dalam pemilu. Sama seperti saat kita masih mahasiswa yang gencar mempropagandakan golput!” Jawabku sambil mengenang masa-masa bermahasiswa. Jawabanku juga sekaligus ajakan untuk golput di lingkup keluarga. Seharusnya aku tak perlu mengajaknya untuk golput. Ia seorang yang kritis dengan pemilu dan bentuk-bentuk asesoris politik lainnya, golput menjadi aplikasi dari salah satu kekritisannya.
Gedung wakil rakyat, tak lagi didatangi para pendemo atau pengunjuk rasa untuk menyampaikan aspirasi. Pohon-pohon lebih aspiratif dalam mendengar keluhan dan suara penderitaan orang-orang yang tertindas dan terzalimi. Tak ada aparat represif yang harus dihadapi bila harus berbicara dengan pohon. Orang-orang semakin menyayangi pohon-pohon, sehingga mereka telah menjadi bagian dari keluarga sendiri. Setiap orang butuh untuk diajak berbicara, tanpa rasa canggung atau disepelekan. Pohon-pohon itu telah melakukan segalanya lebih baik. Tentu saja pohon-pohon itu bukan seperti yang telah m e n j a d i l o go p a r ta i p o l i t i k , l o go departemen, obyek lukisan, atau yang telah terbingkai dalam seni fotografi. Pohon yang yang sudah menjadi logo, hanya manipulasi gambar dari kumpulan para pembohong yang terorganizir. “Yang, kamu pilih siapa dalam pemilihan gubernur nanti?” Tanya istriku disela-sela acara nonton infotainment atau tayangan
Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon tak berbuah, bangkit melawan dan wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis, dan mengbabdi pada rakyat _Aminude (Komunitas Cacing Tanah)
Ia terdiam dengan ajakanku atau ia malah seperti tak mendengar jawaban atas pertanyaannya tadi. Aku mengulangi ajakanku, tapi tetap tak ada sahutan, anggukan, penolakan, atau kata pendek pengiyaan. Di depan televisi, istriku kelihatannya mengomentari sesuatu dari tayangan talk show pengamat politik dan elitelit parpol. Aku tak mendengar suaranya, kecuali bibir manisnya yang bergerak-gerak. Ia sepertinya asyik dengan kesibukannya di depan layar datar. Aku keluar menuju halaman, tak ingin mengusiknya dengan ajakan apapun yang bersifat politis. “Agak lama kita tak pernah pergi berduaan. Seharusnya besok kita meninggalkan sejenak kesibukan rumah-tangga dan embel-embel politik di kota ini.” Aku mendengar suara istriku, berbicara tepat di hadapanku.
Rasanya aneh bila ia begitu cepat mendahuluiku berada di halaman rumah, padahal tak ada dirinya dihadapanku. Kulihat ia ternyata masih juga berada di depan televisi. Lalu siapakah suara yang memang seindah suara renyah istriku. “Ini pasti ilusi atau ia mampu melakukan teleportasi suara. Ia bicara dari ruang yang berbeda, lalu suaranya bisa terdengar dari tempat lainnya. Akh itu cuma sains fiksi.” Begitu yang terbetik dalam pikiranku atas adanya suara istri tanpa wujud, tepat di depanku. Aku terduduk di kursi taman, mencoba memikirkan rentetan peristiwa yang kualami, sehingga menyebabkan diriku mengalami kemerosotan konsentrasi. P e m i l i h a n g u b e r n u r, s i n e t r o n , infotainment, dan talk show pasti secara tak langsung ikut berperan dalam kekacauan konsentrasiku. Buktinya aku mendengar suara istriku, padahal ia berada jauh dari jangkauan pendengaranku. Gangguan konsentrasi pastilah telah membuatku mendengar suara-suara yang terdengar tanpa rupa pengucapnya. “Memang kita perlu pergi berduaan, melewatkan semua rutinitas ini.” Terdengar kembali suara istriku dari pohon tersebut. “Bagusnya kita mendaki gunung seperti yang biasa kita lakukan sewaktu masih muda!” Aku membuat tawaran yang lebih fokus. Aku mulai berlagak sedang berbicara langsung dengan istriku, meskipun yang tampak hanya sebatang pohon. “Sudah agak lama kita kurang bergaul dengan suasana alam yang alami. Peristiwa politik telah mereduksi pemikiran dari halhal yang alami”, kata pohon itu lagi. “Kita seharusnya melakukan kegiatan pendakian berduaan ini sejak dulu, semacam pacaran pasca pernikahan.” “Kalau begitu saya siapkan peralatan dan perlengkapan pendakian.” kataku lalu kembali masuk ke rumah. Aku ingin mengabarkan pada istriku bahwa aku baru saja berbicara dengan pohon yang suaranya mirip dengannya. Memang ini agak aneh, tapi biarlah semua akan normal bila kami memang benar-benar akan mendaki gunung. Berbicara dengan pohon dalam makna konotatif atau makna simbolik, memang biasa kami lakukan. Baru kali ini kualami secara denotatif yakni benar-benar berkomunikasi dengan pohon. Istriku pasti akan menganggapku bicara dengan pohon, sebagai suatu makna kiasan. Tak akan aneh bila memang kukatakan padanya aku sudah berbicara dengan pohon. Setibaku di dalam rumah, istrinya tiba-tiba dengan wajah ceria dan senyum teramat manis berkata singkat. “Besok, kita mendaki gunung hanya berdua,
indah sekali!” Kata istriku sambil memelukku. Ia mengatakan persis seperti yang hendak kuutarakan. “Ach, bagaimana ia biasa tahu apa yang kurencanakan dengan pohon itu?” Beberapa hari sebelumnya ketika pohonpohon belum berbicara. Di pinggir jalan kota Bonaten, pohon-pohon mulai rusak kulit wajahnya karena ulah perlombaan mencari kekuasaan. Ratusan poster calon penguasa atau logo parpol telah terpaku di jejeran pohon di pinggir jalan. Diam-diam puluhan poster dan logo parpol sudah kucabuti dari pemakuan pada batangbatang pohon. Aku muak dengan tindakan parpol yang memaku pohon sesuka hati, untuk kepentingan kekuasaannya. Poster dan logo-logo sudah menutupi lentisel (lubang-lubang kecil pada permukaan batang). Daun-daunnya sudah pula ditempel dengan sticker dan stempel berwarna. Kota ini akan sedikit kekurangan oksigen dan akan sesak napas, karena ulah antiekologi itu. Sikap mereka tidak compassion (menujukkan sikap kasih sayang), karena menyakiti pohon dengan cara memakunya. Pohon-pohon terhalang melakukan fotosintesis (proses pembuatan makanan bagi tumbuhan), karena daunnya tertutupi oleh umbul-umbul, ambisi politik, dan baliho. Fotosintesis akan merubah karbondioksida menjadi oksigen bagi manusia. Tanaman akan mendapatkan pula zat makanam dengan proses tersebut. Stomata (mulut daun) dan pori-pori daun telah tertutupi oleh program pencarian massa. Selsel palisade yang berada di atas permukaan atas daun d a n l a n g s u n g menghadap cahaya matahari banyak mengandung klorofil (zat hijau daun). Bila palisade tertutupi dengan baliho dan umbul-umbul kekuasaan, maka tanaman pasti akan layu dan menderita “busung lapar” atau “kurang gizi”. Penduduk sudah banyak yang busung lapar atau kurang gizi seperti yang sudah terjadi pada sejumlah warga di
puluhan kota. Hanya karena pesta demokrasi pohon-pohon harus juga mengalami nasib yang sama. “Alangkah indahnya terbebaskan dari pakupaku!” Aku merasa ada suara asing yang teramat dekat berseliweran di telingaku seperti hembusan angin. Kuperhatikan tak ada siapapun yang ada disekitarku. Suaranya memang teramat kukenal, meski aku tak ingat kapan terakhir kali kudengar. Tak sempat kupastikan mungkin memang ada yang menghubungiku melalui ponsel. “Memangnya kamu siapa? Apa kita pernah bertemu?” Tanyaku sekenanya yang kutujukan entah pada apa atau siapa. Tak kuperdulikan lagi aku bicara melalui ponsel, pohon, hantu, atau dengan dengan diriku sendiri seperti seorang skizopfrenia. “Tentu saja selalu kita bertemu, kau biasa b e rs a n d a r d i t u b u h ku p a d a s a a t keletihanmu. Beberapa dari kami malah tumbuh besar karenamu.”
Salam… Hampir 2 tahun saya tahu tentang kamu. Kakakku yang mengenalkannya. Tepatnya, ketika saya mulai berstatus mahasiswa. Maklumlah… guru dan buku pelajaran sejarah SMA, tidak pernah menyinggung atau bahkan menuliskan namamu. Yang ada di buku sejarahku itu, hanya tentang patriotisme Soeharto dan beberapa nama pahlawan yang waktu itu mesti dihapal nama dan asal daerahnya. Oh..ya, puisimu yang pertama kali ku baca judulnya, ”Apa yang Bermakna dari Puisiku”. Ingatanku masih sangat segar, malam itu saya dan dua orang saudaraku berpoem night di kamar, diiringi gitar dan cahaya yang remang-remang. Walaupun jumlah kami sedikit, kami tetap bisa membentuk formasi segitiga dan mulai berpuisi. Tiba giliranku membacakan puisi, kuputuskan membaca puisimu. Itu kali pertama saya membaca puisi seseorang tanpa kubaca diam-diam terlebih
masih berani melakukan pelanggaran HAM hingga saat ini. Bahkan yang kutahu, mereka belum juga mampu menyelesaikan beberapa kasus yang hampir mirip dengan hilangmu. Entah mereka memang tak mampu ataukah mereka belum berani untuk mengambil sikap. Daftar pencarian orang di negeri ini terus saja bertambah. Di tambah lagi peristiwa pelanggaran HAM 1998, tragedi Trisakti, Amarah, dan masih banyak lagi. Bahkan kasus kawanmu, Munir aktivis HAM, yang dihabisi nyawanya , sudah beberapa kali diotopsi namun belum juga ada kepastian hukum kepada mereka yang telah dinyatakan sebagai tersangka. Dari kasus A hingga Z yang telah terjadi di negeri ini, semuanya bernasib sama. Tidak ada yang jelas. Sama dengan puisi yang sudah kau tulis pada tanggal 17 November 1996. Kau masih ingat isinya? Untukmu akan kutuliskan lagi puisimu. “Semua bengkok. Mana yang lurus? juga
itu, pulanglah dan menyaksikannya sendiri. Sebab jari-jariku tak mampu menari-nari begitu lama diatas tutsku yang hampir rusak. Oh iya… saya beritakan, kalau mau hidup di negeri ini semuanya butuh biaya mahal. Nothing’s free now. Walaupun bensin beberapa minggu lalu diturunkan, tapi itu tetap saja tak adil. Apalagi biaya pendidikan. Kamu tahu BHP? Saya tidak yakin kamu mengetahuiya. Bukannya menganggap remeh. Tapi, pada masamu istilah ini belum ada kan? Sebab jika ada, kuyakin kamu dan kawan-kawanmu akan menolaknya. Saya juga tak terlalu tahu banyak tentang BHP, tapi yang jelas jika BHP sudah diberlakukan, maka pendidikan murah atau pun gratis tak ada di negeri ini. Dan ini sama saja membatasi kebebasan orang lain untuk sekolah. Untuk mendapatkan pendidkan yang layak, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi. Itu merampas hak asasi kan??? Tujuan negara didirikan memang tak ada di negeri ini. Dan
dahulu. Belum kuselesaikan puisimu, suaraku tak mampu keluar, tertahan karena kurasa akan ada benda asing yang akan keluar dari mataku. Yap, tepat sekali, saudaraku mengatakan “ini adalah keajaiban dunia”. Untuk pertama kalinya, saya merasakan bagaimana tulisan dan karya mampu membuatku melupakan prinsip dan kekerasan hatiku yang selama ini kubangun. Lewat puisimu itu, saya seperti menjadi orang lain. Saya kemudian memikirkan segalanya bapak, ibu, saudara, lingkunganku, dan orang-orang yang pernah berkorban karenaku. Lewat puisimu itu, keegoisanku runtuh. Ya, karena momen itulah, kegiatan yang mulainya ingin berpuisi berubah menjadi diskusi tentangmu. Dari situ saya mulai tahu sedikit tentangmu dan mulai suka berpuisi, tapi tetap saja tak mampu membuat puisi. Entah kamu dimana sekarang, kuharap kamu selalu baik-baik saja. Di hari HAM tahun, ini tepatnya 10 desember 2008, kuharap kamu sudah ditemukan atau kamu dengan sendirinya muncul di depan TV dan berpuisi dengan tulisanmu yang lebih menusuk. Agar ku tak perlu bercerita banyak tentang kondisi bangsa saat ini. Kumau kau datang dan menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri bahwa sejak kamu dinyatakan hilang tahun 1996, pemerintah
hukum.” Kuharap kita sama penafsiran dengan maknanya. Andai kamu disini, kuyakin akan muncul 1000 atau bahkan jutaan tulisan kekecewaan terhadap negeri yang telah membesarkanmu ini. Sangat banyak peristiwa menyedihkan kamu lewati. Belum selesai kasusmu, muncul kasus baru. Kamu mesti tahu, saudara-saudara di Sidoarjo beberapa tahun lalu kena musibah. Bukan bencana alam, tapi karena hasil eksploitasi manusia. Daerah Sidoarjo hampir tenggelam oleh lumpur. Ini ulah dari perusahaan Lapindo, salah satu perusahaan swasta. Lagi-lagi kita dijajah tanpa kita sadari. Kerugian yang ditimbulkannya, tak tanggung-tanggung. Mulai dari ekonomi penduduk, kesehatan, bahkan mental penduduk Sidoarjo, semuanya habis. Ini jelas-jelas melanggar HAM dan hal yang sama terjadi pada kasusmu, juga tak ada kejelasan hukum. Negara ini memang tak jelas dari dulu. Mau menganut liberal tapi masih feodal. Yang kuketahui tentang mereka, terakhir saat hari HAM sedunia, kulihat mereka melakukan aksi diam dibaluti lumpur menuntut kejelasan kasus Lapindo. Sepertinya mereka sudah lelah bicara, karena tak terurusi oleh negara. Banyaknya peristiwa di negeri ini tak mampu kuceritakan semuanya kepadamu. Untuk
yang membuatku sedih, hari disahkannya BHP adalah beberapa hari setelah hari HAM sedunia. Kacau menurutku. Bagaimana menurutmu? Oh iya, saya mau bertanya, apakah polisi dulu sama dengan polisi saat ini? Kupertanyakan, sebab waktu aksi di kampusku kemarin, beberapa kawankawanku ditangkap oleh aparat dengan cara yang tidak manusiawi. Polisi itu, seperti melihat kawanku adalah seekor binatang. Mereka sepertinya lupa kalau kita adalah negara berperadaban. Kuharap hal yang serupa tak terjadi padamu. Dan ini semua terangkai saat memeperingati hari HAM di negeri ini. Saya kecewa pada semuanya. Saya takut kalau semua lupa bahwa hari HAM, yang mestinya diperingati dengan kegiatankegiatan kemanusiaan, tapi malah diwarnai dengan kejadian-kegiatan yang tak manusiawi. Apakah kau kenal Multatuli? Kau ingat apa yang pernah beliau katakan bahwa tugas manusia adalah menjadi manusia. Saya takut mereka lupa akan hal itu. Lupa bahwa kita berasal dari tanah yang sama. Bahkan yang membuatku lebih sedih, saya tak menemukan kegiatan di kampus untuk memperingati hari HAM. Semua orang di kampus sibuk konsolidasi tentang BHP. Mereka lupa, mereka lelah, mereka sibuk, entahlah. Paling tidak, kuberharap
“Apa aku sedang bicara dengan pohon? Bisa bicara dengan pohon? Akh, jangan-jangan ini cuma salah sambung dengan pohon.” _Ostafology 2006 E-mail: ostaf1@msn.com Ket: Penulis sudah pernah dimuat karyanya di Fajar dalam bentuk opini dan cerpen.