Aku yang latah
Catatan
Waktu terus berputar begitu cepat Meninggalkan anganku yang tidak tepat Sisi apa yang akan kubagi dengan lainnya ? Jika sisi itupun kini tak lagi kumiliki
KAKI
Puisi Ugha’
Kaki Tangan Demokrasi dan Keadilan
Akupun menoleh kekiri Menengok sisi lainku yang tak dapat kutangkap dan bergelut dengan ambisi hidup yang penuh ironi sambil menekuk lingkar telapak tanganku Seketika itupun aku berharap,dan yakin aku bisa Menggenggam penuh anganku yang tampak samar Dan merangkainya menjadi sebuah cerita Cerita tentang aku yang kini kehilangan langkah Terbesik jauh dalam syaraf otak ku Apakah aku telah merdeka akan pikiran dan tindakan ku? Ternyata aku baru sadar dan merenung sejenak Bahwa ternyata Aku yang latah
Edisi II/2011
selamat kepada
New-shit-letter ini diterbitkan oleh Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin
Asri Abdullah I Fitriani B I Taufik Reski Ismaya Nur I Andi Ismira
Penanggung Jawab: Tuhan Yang Maha Esa Pemimpin Umum: Haidir Sulle Pemimpin Redaksi: Wahyuddin Editor: Irsyan Hasyim Layouter: Reedho Al Diwani Reporter: Muh. Akram, Alyarika Gaara, Caco, Ugahari Sirkulasi: Murni Muin, Ahmad Habibi
//RED AKSI Awal bulan Mei ini ditandai dengan perayaan Hari Pendidikan Nasional. Tepat tanggal 2 Mei, perjuangan Ki Hajar Dewantara diperingati sebagai sebuah seremonial. Puluhan hingga ratusan elemen mahasiswa dari seluruh kampus di Makassar tumpah ruah memenuhi institusi pemerintahan. Menuntut DPRD serta Gubernur Sulsel memperbaiki sistem pendidikan. Setelah pencabutan UU BHP pada Maret 2010, kini pendidikan diperhadapkan pada momok baru regulasi berwujud PP No. 66.
Di Inggris hingga sekarang Summerhill School telah mengubah paradigma tentang proses pendidikan modern. AS. Neil telah membangun sebuah sistem kesetaraan dalam dunia pendidikan. Pasti kalian berpikir itu terlalu kebaratbaratan. Tapi model lain sistem pendidikan juga dibangun di Salatiga. Sekolah Qariyah Toyibah memberikan harapan sendiri tentang proses pendidikan yang lebih adil. Masihkah kita harus kembali menunggu pemerintah memperbaiki pendidikan?
Walaupun sebenarnya harus diakui. Kuku tajam sistem kapitalisme telah jauh menusuk sampai ke jantung dunia pendidikan. Segala model pencabutan peraturan tidak bakalan berdampak signifikan. Eliminasi dari komersialiasasi dalam pendidikan kini hanya impian di siang bolong. Haruskah kita terus menghabiskan waktu. Merenung tentang kelambatan pemerintah memperbaiki sitem pendidikan. Berharap pemerintah membuat peraturan yang memihak terhadap rakyat. Ingat 3 bulan lagi Pemerintah Indonesia merayakan Dirgahayu ke 65. Berapa banyak regulasi yang dikeluarkan untuk pendidikan yang lebih baik?
Pada edisi kali ini kami membahas soal sejarah pendidikan serta regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kami juga membahas tentang resistensi yang muncul terhadap regulasi pendidikan. Selamat membaca.
http://catatankaki.org/
Euphoria tanpa kemenangan adalah ilusi yang berkepanjangan dan pada akhirnya musuh hanya akan kembali menantang kita semua. Dibalik setiap kesenangan kita selama ini ada bom waktu yang siap menghitung mundur dan akan meledak.
Catatan Utama
Adalah Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang telah tertolak karna alasan politik nasional terlalu membuat kita lupa untuk kembali mengawasi setiap orang bejat dalam Negara ini. Kebohongan dalam Negara ibarat pepatah gagal satu tumbuh seribu. Peraturan Pemerintah No.66 (PP 66) dan UU BHP ibarat buah jatuh tak jauh dari pohonnya. komersialisasi pendidikan dalam bentuk BHP tak secara substansial membedakannya dengan PP No.66, sekarang yang perlu di cermati adalah bagaimana mengungkap fakta dan regulasi terhadap intervensi kapital dalam dunia pendidikan! Agar bom yang kita takuti tidak meledak, tentunya.
Pasca pembatalan UU BHP harapan bahwa pendidikan telah terhindar dari komersialisasi rupanya hanyalah sebuah h a ra p a n b e l a k a . P ra k te k– p ra k te k komersialisasi masih terlihat dan bahkan menyerupai sebuah industri. Universitas Hasanuddin misalnya Pasca pembatalan UU
BHP, penyewaan fasilitas kampus tetap berjalan, pembelian modul kuliah, pembayaran uang laboratorium, serta kerja sama dengan perusahaan dalam menyediakan tenaga kerja outsorcing masih jelas terlihat d a n b a h k a n k i a n s u b u r. P r a k t i k pengkomersialisasian di UNHAS berkonsekuensi logis dengan masih diterapkannya sistem Badan Layanan Umum (BLU) mirip layanan pada Rumah Sakit Pemerintah. Sehubungan dengan pembatalan UU BHP maka pemerintahan pada tanggal 28 September 2010 mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 tahun 2010 tentang perubahan peraturan pemerintah nomor 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggarannya pendidikan Plus tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5157 yang menjelaskan secara komprehensif tentang perubahan PP No.17 ke PP No.66. “Pada tanggal 31 Maret 2010 Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 11-14-21126-136/PUU-VII/2009 telah menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan tidak mengikat secara hukum. Putusan tersebut telah mengakibatkan ketiadaan ketentuan yang mengatur tentang penyelenggara dan
Dari sejarah pendidikan yang telah dirangkum Encarta Encyclopedia, apa yang sekarang kita kenal sebagai sekolah dan uniersitas boleh jadi berakar dari Academyc gagasan Plato dan Lyceum didirikan Aristoteles. Namun, dalam artinya yang lebih luas pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Dalam bentunya yang informal dan nonformal. pendidikan diberikan oleh orangtua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi (sharing) informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh, membuat senjata dan perlengkapan hidup lainnya, belajar bahasa, dan nilai-nilai serta perilaku yang mengekspresikan ritus-ritus dalm budaya mereka masing-masing. Apa yang kemudian disebut sebagai sejarah pendidikan lebih menunjukkan pada historis pengajaran atau persekolahan yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah ilmu pengetahuan modern. Rujukannya kepada filsuf-filsuf Athena sebagai pelopor dapatlah diterma. Seperti deskripsi yang diberikan oleh Everett Reimer tentang pemahaman mengenai sejarah pendidikan. Benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan persekolahan, bagaimana halnya di tanah air ini adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana ia diselenggarakan selama Orde Baru wajib ditebas k a re n a te r b u k t i m e n j a j a h , menjarah, hingga mengasingkan, kemudian mengkerdilkan.
tata kelola satuan pendidikan, karena pengaturan tentang hal tersebut telah diatur di dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan. Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang ditetapkan pada tanggal 28 Januari 2010 tidak mengatur tentang penyelenggara dan tata kelola satuan pendidikan. Sementara itu, peraturan perundangan yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yang mengatur penyelenggara dan tata kelola satuan pendidikan, telah dicabut oleh Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010. Sehubungan dengan hal tersebut, dan sebagai upaya untuk memberikan landasan hukum dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan perlu diatur materi atau substansi mengenai tata kelola satuan pendidikan dalam Peraturan Pemerintah ini. Pengaturan mengenai tata kelola satuan pendidikan dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan agar satuan pendidikan dapat tetap menjalankan kegiatannya, maka dipandang perlu untuk segera melakukan perubahan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan�. Secara umum PP No. 66 /2010 mengatur masalah pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang secara genetika berasal dari UU BHP yang telah dimusnahkan. Dalam PP No.66/2010 tertuang dalam tambahan
Birokrat/pejabat dan konglomerat yang diuntungkan selama rejim orde baru berkuasa yang melakukan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Masih ingatkah kawan-kawan kasus penggelapan dana-dana pendidikan/beasiswa. Kasus birokrasi sekolah yang selalu menarik uang yang tidak jelas untuk keperluan apa. Banyak kawankawan yang kualitas kehidupannya buruk terancam putus sekolah. Kaum Soehartois seperti ini harus dilenyapkan, karena hanyalah parasit dalam masyarakat Indonesia yang demokratik. Rendahnya pendidikan yang dialami rakyat karena keterbatasan akses untuk menempuhnya. Hal ini ditandai dengan minimnya anggaran pemerintah untuk alokasi pendidikan. Memang anggaran pendidikan sudah dialokasikan oleh pemerintah sebesar 20% sesuai dengan mandat UUD 1945 pasal 31 ayat 2. Namun hanya 8,9% anggaran pendidikan dialokasikan untuk operasional pendidikan, seperti peningkatan mutu dan prasarana penunjang pendidikan. Sedangkan anggaran terbesar pendidikan disedot ke pembiayaan gaji guru, karyawan, dan dosen. Padahal dalam amanat UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 pasal 49 ayat 1, bahwa anggaran pendidikan diluar gaji tenaga pengajar, dan
lembaran Negara Republik Indonesia no. 5157 yang menjelaskan alasan pentingnya ditetapkan PP tentang pengelolaan dan penyelenggaraan satuan pendidikan yakni PP No. 66/2010 pasca pemusnaha UU BHP. sehingga Secara substansial antara PP 66/2010 dan UU BHP yang menurunkan PP No.17 tidak mempunyai perbedaan yang terpaut jauh. Sederhananya PP No 66 adalah reinkarnasi komersialisasi pendidikan dalam tubuh UU BHP. Komersialisasi dunia pendidikan merupakan harga mati yang harus ditolak, mengingat pendidikan adalah layanan jasa yang dibutuhkan khalayak banyak. hal tersebut telah diatur pada UUD 45 Negara ini. Pemerintah selaku pelayan masyarakat mestinya menunaikan Amanat UUD 45 bukan malah menjerumuskan amanat tersebut kedalam mekanisme kapitalisme yang terlampau bengis. PP No. 66 sebagai produk kebijakan pemerintah yang mengatur pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan mestinya mengatur permasalahan peningkatan kualitas pendidikan, baik dari segi mutu pendidikan maupun fasilitas pendidikan. namun, pada PP No.66 justru lebih mengatur tata pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat umum. Parahnya pengelolaan keuangan tersebut diatur hingga pada tahap investasi pendidikan. Sama seperti UU BHP,
Otonomi institusi
karyawan. Artinya kebijakan pemerintah dalam pengalokasian anggaran pendidikan bertentangan dengan mandat UU Sisdiknas. Pada pihak lain, sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi. Sikap percaya diri yang berlebihan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep sekolah unggul, sekolah pemimpin masa depan atau lebih parah lagi pendidikan unggul. birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya asal dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan trbaik sebenarnya tidak jelas bedanya dengan termahl. Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran 'setan' bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mahal. Mahal sama dengan bermutu, bahkan baik. Kalau uang sekolahnya murah, artinya buruk dan tak bermutu. Dan jika mindset ini diberlakukan, maka dapatkah kita katakan bahwa pendidikan di Jerman yang relatif murah sampai gratis sangatlah buruk dan tidak bermutu? Belum lagi aturan akademik yang makin menjengkelkan, standar keseragaman, moral, dan rendahnya kualitas. Serta Jawaban yang memuakkan. Akibat langsung dari rendahnya alokasi anggaran untuk pendidikan adalah terjadinya komersialisasi pendidikan. Bagi peserta didik
Gerakan Mahasiswa
pendidikan juga menjadi prioritas yang diatur PP No 66, peraturan mengenai otonomi tersebut akan memberi keleluasaan terjadinya komersialisai pendidikan. Sebagaimana diatur pada pasal 58 F ayat (3) huruf (a) butir (3) mengenai otonomi perguruan tinggi dalam bidang keuangan. Dimana tarif setiap jenis layanan pendidikan diserahkan sepenuhnya pada PTN terkait. Selain mengatur tarif setiap jenis layanan pendidikan pasal 58F ayat (3) huruf (a) butir (7) juga mengatur kepemilikian utang dan piutang jangka pendek dan jangka panjang. S e h i n g g a ke n a i k a n b i ay a S PP d a n pembayaran diluar SPP sewaktu-waktu dapat melonjak. Terkait otonomi kampus, PP 6 6 / 2 0 1 0 m e n g a ra h k a n P T N – P T N kedepannya memberlakukakan sistem BLU. Khusus buat tujuh PTN Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sumatera utara, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Airlangga harus menyesuaikan pengelolaan pendidikannya selambat-lambatnya tiga tahun semenjak PP ini ditetapkan. Membiarkan institusi pendidikan menerapkan otonomi tidak lebih adalah upaya pemerintah negeri ini untuk lepas tangan dari kewajiban yang diamanahkan konstitusi. Jika demikian dimana peran dan fungsi pemerintah negeri ini.
yang mau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan diatasnya sampai perguruan tinggi harus berhadapan dengan sumbangan wajib untuk kepentingan pembangunan yang nilainya mencapai jutaan sampai ratusan juta rupiah. Dapat dilihat dari 50 juta lulusan SD, sebesar 23,1 juta orang yang sanggup melanjutkan ke tingkat SMA/K, dan hanya sebesar 7 juta orang yang sanggup melanjutkan perguruan tinggi. selain itu untuk bisa terus beroperasi setiap lembaga pendidikan harus mampu bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya. berbagai jenis jalur masuk serta kutipan uang masuk berbeda-beda jumlahnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Lembagalembaga pendidikan juga membuka ruang investasi secara luas, menjalankan kerjasama-kerjsama baik Nasional maupun Internasional dalam penyesuaian kurikulu dan sistem operasionalnya juga kerjasama disektor jasa, pertambangan hingga pertanian yang mengakibatkan makin meluasnya perampasan tanah petani. Kita masih ingat, Saat pemerintah menggadai penddikan. Melalui Bank Dunia pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher
Setelah ditetapkanya PP No.66 sosialisasi dikampus UNHAS mengenai PP.66 nampak kurang massif, terlihat dari kurangnya ruang-ruang yang mewadahi kita untuk membahas semua bentuk komersialisasi pendidikan pasca UU BHP. Seperti yang disarankan kawan Andi selaku ketua BEM sastra dan beberapa kawan-kawan mahasiswa bahwa hal yang paling perlu untuk dilakukan saat ini adalah membuka ruang sosialisai yang lebih besar untuk membahas produk baru pemerintah ini. ironisnya, jika BHP dan PP.66 memiliki subtansi komersialisasi pendidikan yang sama, harusnya kita sudah sampai pada tataran membicarakan metode untuk kembali menolak produk pemerintah ini. tapi kenyataannya mahasiswa masih harus memulai dari awal, kembali mendiskusikan hal-hal yang bermuatan sama, sementara komersialisasi terlihat didepan mata. Kedepannya mahasiswa harus kembali bekerja keras untuk menolak produk kebijakan pemerintah yang tertuang dalam PP 66. Meskipun sebenarnya serentetan komersialisasi akan tetap berlaku di Negara ini meski tanpa legitimasi Negara. Mengingat Negara ini berlandaskan pada sistem ekonomi kapitalisme. Baiknya mahasiswa Sembari mendiskusikan PP 66, turun kejalan juga menjadi salah satu metode dari gerakannya hari ini.[]
Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan b e ra k h i r 2 0 1 1 . K a re n a B a n k D u n i a menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen. Sebelumnya Pemerintah melakukan Kerjasama dengan Asian Development Bank (ADB), tentang Hinger Education Project dengan total utang 102,6 million dollar AS mulai tahun 1993 sampai 2001. Misi dari kerjasama tersebut sama persis dengan program world Bank yaitu tentang efisiensi dan relevansi Perguruan Tinggi, kebijakan tersebut sesungguhnya mengukuhkan otonomi terhadap kampus. Artinya sampai saat ini perjanjian diatas masih berlangsung, tidak ada sikap resmi pemerintah yang membatalkan berbagai perjajian tersebut. biaya SPP masih terus naik secara agresif, Uang masuk, atau apapun namanya juga tidak ada tanda-tanda untuk diturukan, apalagi akan dihapus. SBYBoediono masih teguh pada pendiriaya untuk mengalinasi anak-anak buruh, tani dan pegawai rendahan untuk semakin jauh dari bangku kuliah. BHP di Cabut, Komersialisasi pendidikan Jalan Terus![]
opini