Dem o anarkis VS kebijakan anarkis Sorotan lain terhadap mahasiswa adalah gerakan mereka (demonstrasi) yang kadang berbuntut bentrok atau pengrusakan atau yang biasa kita sebut demo anarkis. Mahasiswa jadi objek cibiran yang dianggap d a l a n g k e m a c e t a n . Sah-sah saja ada anggapan seperti ini. Belum lagi, ditambah, pemberitaan media yang kerap menyudutkan mahasiswa dengan framing berita yang lebih mengumbar kericuhan ketimbang alasan demonstrasi. Padahal, tidak semua demo berakhir ricuh. Sangat tidak adil bila membedah demonstrasi mahasiswa hanya dari permukaannya saja. Demonstrasi bukanlah pertunjukan sirkus yang berlangsung secara spontan.
De monstrasi jalanan merupakan rangkaian aksi yang berangkat dari keprihatinan atas kondisi yang ada (ketidakadilan, kebijakan yang menyengsarakan, perampasan hak). Dan biasanya, didahului dengan analisis masalah dan langkah persuasif. Hanya saja, beberapa langkah sebelumnya kurang disorot oleh media karena dianggap tidak marketable. Yang patut kita cermati, bahwa demo merupakan konsekuensi logis atas kebijakan anarkis pengambil keputusan. Demonstrasi adalah sebuah keresahan atas ketidakadilan yang semakin membelenggu yang kadang tidak kita sadari. Olehnya semakin keras kaki itu terinjak, semakin keras pula suara perlawanan berkumandang.*
i s k a d e r a K a C
Pemimpin Umum | Panjie Pemimpin Redaksi | Ramadhany Arumningtyas Redaktur Pelaksana | Nur Alan Lasido Editor | Nini | Kurniaspar Qadri Layouter | WarQ | Joni al-Mudhill
| Reporter Taufik | Anti | Warka Al-Amin | Abot | Harpiana R. Wahyudin | Edy Kurniawan Suradin | Ryan Asri Abdullah | Fuhrer Alende | Pemimpin Perusahaan Fadil | Sirkulasi Murni Muin
Catatan newshitletter
KAKI
opiniopiniopiniopiniopiniopiniopiniopiniopi
Kaki Tangan Demokrasi dan keadilan
Catatan Utama | Pro-Kontra UU Sisdiknas Tentang BHP Catatan Khusus | Unhas, Universitas Sudah Swasta? Opini | Lebih Jauh Memahami Tawuran Mahasiswa
Alamat Redaksi | Jl. Perintis Kemerdekaan | Km. 10 | Tamalanrea Gedung PKM II Lt. I | Ruang Tempo Unit Kegiatan Pers Mahasiswa | Catatan Kaki Universitas Hasanuddin | Makassar ukpmcaka_uh@yahoo.com
Ganti Ongkos Cetak | Rp.
#3 | Desember 2008
Ceramah Redaksi Salam... 2009 adalah tahun perang. Dunia sepertinya telah kehilangan banyak cara untuk menyelesaikan konflik. Beruntunglah bagi kita yang masih sempat memeluk orang terkasih, detik ini di sudut dunia yang lain anak-anak Palestina sedang kehilangan ibu, bapak, atau pun saudara mereka. Menghitung setiap usaha menjadi manusia yang bebas mungkin tak ada ujungnya. Pemerintah tak henti menancapkan taring keganasannya memakai topeng hipokrit reformasi. Bangsa kita bukanlah bangsa “tanda seru“ dimana kebijakan pemeri n t a h adalah hal
yang harus dipatuhi. Maaf pak, kami bukan rakyat bodoh pengkultus sosokmu. Kami adalah rakyat yang sedang berusaha belajar dari kekejaman sejarah yang berdarahdarah. Kami bangsa “tanda tanya� yang akan selalu skeptis pada kebijakan. Kami tegaskan, BHP bukanlah kami dan bukan untuk rakyat. Tidak perlu susah payah meyakinkan kami akan sisi baiknya. Kekuasaan dan uang telah membutakan secara ideologis, kami tidak maklum. BHP jelas anti rakyat miskin. Rencana untuk mengajukan Judicial Review UU BHP tak pelak dicanangkan beberapa lembaga pendidikan Yogyakarta, salah satunya Taman Siswa. Eksistensi lembaga pendidikan ini terancam dengan UU BHP. Pasalnya, UU tersebut berniat melebur seluruh yayasan swasta ke dalam satu kesatuan. Misalnya Universitas Satria digabung dengan Universitas Cokroaminoto. Tujuannya tak lain dan tak bukan adalah menggabungkan yayasan-yayasan kecil menjadi satu agar terbentuklah sebuah yayasan besar yang memungkinkan pemilik modal masuk dan menanamkan sahamnya. Pemerintah seperti tak lagi malu-malu memperlihatkan corak kapitalisnya. Kawan... Jadikan pemilu 2009 masa kemenangan bagi golput. Ya, untuk apa memilih orang yang tak s e k a l i p u n memikirkanmu. Bukankah tidak memilih pun tetap merupakan sebuah pilihan? Redaksi CaKa
#1
C Copyleft
Lebih arif memahami masalah Tak bisa dipungkiri, kekerasan apapun bentuknya adalah musuh bersama kemanusiaan. Dalam hal ini, apa yang terjadi dengan masyarakat kampus adalah hal yang patut kita sayangkan. Idealnya masyarakat kampus sebagai garda terdepan m e m b a n g u n m o ra l b a n g s a m a l a h terjerambab dalam perilaku bar-bar khas masyarakat primitif. Pergulatan pemikiran yang idealnya mewarnai mereka guna mendorong dialektika zaman ke peradaban yang lebih maju semakin sulit kita temukan, masyarakat malah disuguhkan dengan benturan fisik yang lebih dekonstruktif. Apa yang salah dari semua ini? Pertanyaan ini yang seharusnya kita jawab bukan malah mencari siapa yang salah. Tidak adil juga bila sepenuhnya menyalahkan mahasiswa atas apa yang terjadi. Sebab, fenomena yang menggejala pada sebagian besar kampus tersebut menandakan ada yang tidak beres dengan dunia pendidikan kita. Tawuran antar mahasiswa tersebut boleh jadi hanyalah gejala permukaan yang sebenarnya memiliki akar masalah yang begitu dalam yang tidak hanya melibatan mahasiswa selaku aktor utama tetapi juga lingkungan, birokrasi kampus, maupun pemerintah selaku pengambil kebijakan. Studi dangkal terhadap fenomena ini akan mengantar kita pada kesimpulan parsial yang tentunya tidak akan menyelesaikan masalah. Malah kadang langkah represif yang kita lakukan hanya akan menyisakan masalah baru. Karena (maaf) kerap kita begitu gagap berhadapan dengan kondisi seperti ini. Sebut saja, tawaran untuk menghapus proses pengkaderan di lembaga kemahasiswaan. Bagi penulis yang juga pernah merasakan nikmatnya dikader di lembaga kemahasiswaan, anggapan bahwa proses kaderisasilah yang menjadi akar masalah dari tawuran ini adalah sesat pikir.
Lembaga kemahasiswaan yang tidak lain adalah wadah pengaktualan potensi (baca: bakat) setiap mahasiswa malah menjadi sumber energy positif yang bisa menjadi landasan mendorong ke tatanan masyarakat yang lebih baik. Jadi, sangat tidak relevan menghubungkan tawuran yang terjadi dengan kegiatan pengkaderan lembaga kemahasiswaan. Justeru, kecenderungan kebijakan birokrasi kampus yang mempersulit kegiatan lembaga kemahasiswaan hingga pelarangan adalah penyebab sebagian mahasiswa mencari kanalisasi lain atas potensi yang mereka miliki. Makanya jangan heran kalau sebagian mahasiswa terlibat tawuran, sebab keinginan mereka untuk beraktivitas secara positif dikebiri lantaran kecurigaan yang tidak mendasar. Proses pendidikan sejatinya dibangun diatas pondasi saling percaya. Dua tahun belakangan, setiap kali tahun ajaran baru, tarik ulur antara birokrasi kampus dengan aktivis lembaga kemahasiswaan kerap terjadi soal keinginan lembaga kemahasiswaan mengadakan pengkaderan awal. Niat tulus para penggiat lembaga kemahasiswaan untuk mengawal adik-adik mereka terbentur oleh kebijakan universitas.
12
Catatan Utama
LEBIH JAUH MEMAHAMI TAWURAN MAHASISWA** Sebulan belakangan kita lebih sering disuguhkan dengan pemberitaan tawuran
Bulan ini saja, dalam rentan waktu yang hampir bersamaan, beberapa kampus besar dilanda konflik baik sesama mahasiswa, maupun dengan aparat atau masyarakat umum. Bermula dari kejadian di universitas 45 yang melibatkan mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa Fakultas Hukum. Drama kolosal ini kemudian dilanjutkan lagi oleh Mahasiswa Teknik Universitas Muslim Indonesia (UMI) yang berhadapan dengan Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UMI, dalam kejadian ini satu orang kritis terkena senjata tajam.
Mahasiswa FE-UH
**Muhammad Iqbal
mahasiswa yang terjadi secara beruntun di kota angin mammiri. Tak pelak, pemberitaan ini dengan sendirinya menegaskan Makassar sebagai kota panas yang setiap hari dipenuhi kekerasan. Belum lagi program kriminal lainnya yang tak pernah luput menyorot kota ini.
Tak lama berselang, Mahasiswa UNISMUH terlibat bentrok dengan aparat kepolisian menyusul dugaan tertembaknya seorang mahasiswa UNISMUH oleh aparat kepolisian. "Baku lempar" terjadi hingga memasuki area kampus yang seharusnya dihargai sebagai institusi ilmiah.
haL.
11
Dalam Undang-Undang Sisdiknas, tercantum sebuah pasal komersil tentang BHP, dimana pemerintah berusaha membebankan dana penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat.
Pro-Kontra UU Sisdiknas Tentang BHP
Di hari yang bersamaan mahasiswa Universitas Islam Negeri diserang rombongan pengantar jenasah karena dianggap menghalangi proses pemakaman. Masyarakat yang marah merangsek masuk ke dalam dan merusak beberapa fasilitas kampus.
9
Seolah tak mau kalah, beberapa mahasiswa Teknik Unhas dan mahasiswa UMI mempertontonkan sisi lain dunia kemahasiswaan. Tawuran diantara keduanya memacetkan jalan sepanjang perintis kemerdekaan sabtu malam itu (29/11).
Belum hilang ingatan dari semua itu, sebuah koran cetak memajang sebagai head line gambar dua orang Satuan Pengamanan (SATPAM) Universitas Indonesia Timur hendak menikam seorang mahasiswa dengan sangkur lantaran tak menerima mahasiswa demonstrasi
Rentetan kejadian diatas mengundang reaksi keras dari masyarakat. Hujatan terhadap para agen intelektual meramaikan kolom berita koran maupun media elektronik. Dalam sebuah tulisan, seorang dosen UIN malah menyebut ini sebagai dampak dari proses kaderisasi di lembaga kemahasiswaan yang tidak berjalan maksimal. Malah, ada yang merekomendaskan agar proses kaderisasi dihilangkan saja karena hanya akan merusak moral mahasiswa. Demo mahasiswa yang anarkis (anarkis yang dimaksud disini sesuai defenisi umum yaitu kekerasan sebab anarkis juga berarti paham yang menghendaki kebebasan dari belenggu kekuasaan) kerap ditengarai sebagai akar masalah dari semua ini.
Unhas untuk berdiri sebagai Badan Hukum Pendidikan (BHP), yang mana BHP sendiri tidak dapat kita lepaskan dari sebuah perkembangan sistem pendidikan nasional yang menginginkan adanya otonomi kampus. Artinya semua pengelolaan khususnya keuangan akan diatur sendiri oleh pihak Unversitas. Melihat Unhas, tentunya tidak bisa kita pisahkan dari sebuah realitas pendidikan nasional. Ternyata di dalam UU Sisdiknas mengandung pasal yang sangat komersil. Pemerintah berusaha membebankan dana penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Padahal kalau dibandingkan dengan UUD 1945 k e w a j i b a n pemerintah adalah mensubsidi pendidikan agar tidak terlalu m e m b e ra t k a n m a s y a ra k a t . S i s t e m pendidikan nasional sudah mengomersilkan pendidikan lewat BHP. Menurut analisis pakar hukum, Wawan dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), yang pertama kali yang harus dianalisis yaitu pembentukan negara Indonesia. Dalam UU Sisdiknas, tersirat beberapa ketentuan baik pembukaan maupun batang tubuh. Tujuan negara kita adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia termasuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian dijewantahkan masuk ke batang tubuh tentang hak-hak dasar. Pasal 31 ayat 1, mewajibkan warga
Kita harus mampu melihat mana yang lebih prioritas sebelum melangkah ke sesuatu yang lain, mengunyah dulu baru menelan, ketimpangan akan terjadi bila hal itu kita baik. Melihat Unhas belakangan ini sepertinya telah menyalahi prinsip itu, hal yang seharusnya didahulukan malah diabaikan dan yang tidak begitu urgent pada sebuah institusi pendidikan malah yang didahulukan. Bagaimana tidak, pembangunan fisik terjadi dimana-mana, s e m e n ta ra t i d a k a d a s a m a s e ka l i penambahan buku yang ada di perpustakaan, yang ada adalah buku-buku usang yang sudah ketinggalan zaman dan sudah tidak relevan, perpustakaan Unhas tidak lebih dari sebuah museum buku. Hal ini sangat terkait dengan keinginan
Catatan Utama negara untuk berpartisipasi dalam pendanaan pendidikan serta berhak untuk mengikuti pendidikan, selanjutnya negara berkewajiban memenuhi hak dasar dan hak pendidikan terhadap warga negaranya. Ketika UUD itu disahkan maka logikanya adalah negara memangku kewajiban . Landasan filosofis negara, yaitu UUD, dinyatakan bahwa pada tahap pendidikan itu warga negara melimpahkan kedaulatannya kepada negara untuk mengurus mereka supaya ada tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga negara mempunyai ke w e n a n ga n u n t u k m e n ga t u r d a n berkewajiban untuk memenuhi hak-hak dari warga negara. Salah satunya hak atas pendidikan hingga kemudian kewenangan yang dimaksud itu berangkat dari orang banyak.
Termasuk pasal pendidikan itu diberikan kepada masyarakat, hanya membolehkan masyarakat untuk ikut terlibat tetapi tidak diwajibkan”, ujarnya. Sebenarnya yang mempunyai kewajiban atas penyelenggaraan pendidikan adalah negara, masyarakat hanya ikut membantu misalnya dalam bentuk Yayasan. Di sini sudah jelas reposisi negara sebagai pemangku kewajiban dengan memberikan dan m e n ga ks e s p e n d i d i ka n i t u ke p a d a masyarakat sudah melanggar UU”. Secara hukum, UU BHP tidak sesuai dengan UUD 1945. UU ini merupakan amanah dari WTO, bukti nyata bahwa proses liberalisasi sedang berjalan di Indonesia. Pemerintah yang telah mengatur UU termasuk dalam hal hak atas pendidikan itu sendiri. Mengajukan perjanjian dengan
Karena neoliberal mensyaratkan akan bebasnya kegiatan ekonomi terhadap pasar maka institusi pendidikan pun harus lepas dari intervensi
3
Wawan pun mengatakan untuk memenuhi hak dasar itu, termasuk hak untuk membentuk kewenangan hingga kemudian tanpa ada pengecualian dibebankan kepada negara. UU Sisdiknas memang berpeluang amat komersil. ”Sementara di Undang-undang Dasar pendidikan kita tidak menganut sistem liberal sehingga tidak memberikan peluang bisnis kepada individu dalam hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
hubungan internasional untuk mengabaikan UUD 1945 merupakan bukti bahwa pemerintah melakukan pelanggaran konstitusi secara terus-menerus. “Menurut saya, pemerintah dalam hal ini melakukan pelanggaran terus kepada konsitusi karena dalam pembuatan perjanjian internasional harus memperhatikan konstitusi yang ada, dalam hal ini undang-undang yang lebih tinggi--UUD 1945--”, ujar Wawan. Sebuah sistem pendidikan semacam ini
memberikan citra yang baik di mata masyarakat yang sebagian besar tak mengetahui dampak yang akan terjadi apabila pendidikan saat ini dikomersialisasikan. “Pendidikan di Indonesia sudah cukup bagus, minimal punya akses pendidikan yang luas dan sudah banyak melakukan kegiatan dalam pengembangan mutu pendidikan” ungkap Sukri,Sip.MS, staf pengajar Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP). Apabila Unhas berada di bawah badan hukum, maka sebagai konsekuensi logis bahwa Unhas akan melakukan dan mencari penghasilan sendiri dalam membiayai kampusnya dengan membuka akses BLU melalui kerja sama dan sponsor dari perusahaan-perusahaan swasta. Unhas akan menjadi tempat penanaman modal bagi pengusaha-pengusaha, yang berujung pada ketidakseriusan birokrasi kampus dalam mengembangkan mutu pendidikan melainkan sibuk dengan kegiatan pencarian keuntungan dalam pendidikan. “Secara inprinsip, BHP dan BLU adalah sama. BHP merupakan UndangUndangnya sedangkan BLU adalah sistem pengelolaan kampus,” ujar Adam Kurniawan, mahasiswa FISIP jurusan Ilmu Pemerintahan.
Unhas saat ini sedang mempersiapkan cara untuk menuju BHP. Terbukti dengan adanya proyek renovasi gedung serta penambahan jalur masuk Unhas yang begitu banyak. Tapi dari 8 jalur masuk hanya 75 % melihat kondisi ekonomi seseorang. PMS (Penerimaan Mahasiswa Susulan) yang dibentuk untuk mengisi kuota, namun biaya SPPnya lebih mahal yaitu sebesar Rp. 2,5 juta untuk eksakta dan Rp.2 juta untuk non-eksakta. Saat registrasi ulang, mahasiswa wajib membayar uang sarana dan prasarana sebesar Rp. 3,5 juta untuk eksakta dan Rp. 3 juta untuk non-eksakta. Dapat dilihat dari 1242 peserta ujian PMS yang lulus hanya 969 yang melakukan registrasi ulang karena tidak mampu membayar pendaftaran ulang. “Secara institusi Unhas siap menuju BHP dan tidak menutup kemungkinan biaya perkuliahan pasti naik, tapi ini bisa ditunjang oleh beasiswa dan metode subsidi silang,” ujar Sukri. Masalah yang akan timbul kemudian jelas bahwa Unhas kini telah dikomersialisasi melalui jalur masuk yang pastinya membutuhkan dana yang lebih tinggi, maka akses pendidikan untuk masyarakat secara luas tidak dapat terakomodir.(Oevy/Warka)
sastrasastrasastrasastrasastrasastra Mimpi Bersama Lelah Ada kata-kata yang hilang Di rumah kita sendiri Ada kalimat-kalimat yang pergi Di antara samar-samar perkotaan Pernah kita berlari bersama-sama Mengejar mimpi masing-masing Sampai lelah ini Menghanguskan hati menjadi puing-puing Dan tak lagi berlari Jiekoengoenya_De_Espressione
10
Catatan Utama
sastrasastrasastrasastrasastrasastras Riwayat Warna dan Musim
Hari ini, Aku Hendak Ke Mana?
Sayap putih membentang diantara awan hitam Aku diguyur gerimis subuh sekali Resap lembut namun membasahi jiwa Empat tetesnya menggantung di dasar tanah Dengan segala bentuk ragam Pelangi melukiskan jejak disela gerimis Lengkungnya membusur sempurna Namun Sisa-sisa rintik melelehkan setiap warna yang menghiasi Rintik masalah ini bermaksud menyatukan ragam warna Menjadi sebuah putih yang mendominasi Tapi ia terjebak pada pelupaan Kesadaran yang atau tanpa kesadaran Warna-warna tersebut memiliki senyawa Yang tak mungkin disatupadukan menjadi sebuah keseragaman Maka percayalah dengan intuisimu Rasa hormat dan pengertian Hanyalah pilihan awal jawaban dari solusi lainnya Sisanya... Jadilah warna dengan ragam engkau sendiri Meskipun harus dibayar dengan rasa menghargai Atas warna dari ragam warna yang lain Walau hingga ujung musim kemarau hati Yang menggersangkan hikayat hidup Engkau harus terus menjaga ragam warna milikmu Tanpa sekalipun berusaha mencapai Tingkat kemapanan yang menjemukan itu
Mobil-mobil mewah ber-Ac Hilirmudik di hadapanku Trafficlight Terus berganti Merah, kuning, hijau Aku rindu kampung halaman Bersama sambutan senyuman Seorang ibu Langkah lambat Aku melewati tiap pepohonan Yang terus berkurang Setiap harinya Oleh manusia yang tak mau tahu Aku rindu putih pasir pantai Tempat biasa aku bermain Sewaktu kecil Kota ini tak lagi ramah Kemacetan, pelan-pelan Menjadi hal yang biasa dijumpai Aku rindu seseorang Yang pernah berkata “Dunia semakin sempit. Dalam nyata, Ataupun dalam hati. Lalu… Hari ini, kauhendak ke mana?” Aku hendak ke awal kehidupan Di bumi mana semua bermulai
Jiekoengoenya_De_Espressione
9
yaitu keilmiahan. Karena yang diajarkan adalah apa yang menjadi kebutuhan oleh dunia kerja. Sehingga mengungkung daya kreatifitas berpikir peserta didik. Apa yang tidak sesuai atau tidak dibutuhkan dengan dunia kerja tidak perlu dipelajari, walaupun hal tersebut sangat penting. P r o y e k i n i m e n s y a ra t k a n a g a r pemerintah tidak memiliki campur tangan pada wilayah perekonomian, biarkan mekanisme pasar yang menentukan semua, apa kaitannya dengan subsidi pendidikan kita? Karena neoliberal mensyaratkan akan bebasnya kegiatan ekonomi terhadap pasar maka institusi pendidikan kita pun harus lepas dari intervensi. Menurut negara, pendidikan dapat mendatangkan keuntungan yang cukup besar. Ini sangat terkait dengan bagaimana kekuatan bisnis internasional yang melibatkan perusahaan internasional (MNC) di dalamnya untuk dapat mengeruk keuntungan dari sistem pendidikan di negeri ini. Institusi pendidikan adalah sebuah peluang bisnis, maka pemerintah harus mengurangi atau bahkan menghilangkan subsidi pendidikan (inilah yang disebut dengan swastanisasi, dengan berkedok otonomi kampus ataupun BHP). Dari hasil pembahasan di atas kita akan meneropong Unhas lebih jauh, karena Unhas tidak dapat kita lepaskan dari sistem pendidikan nasional. Artinya setiap kondisi yang terjadi pada sistem pendidikan nasional kita akan berimbas terhadap segala hal yang terjadi di Unhas dan juga semua institusi pendidikan di Indonesia pada umumnya. Mereka menekan mahasiswa agar tidak melawan dan mengkritisi kebijakan Universitas yang menindas, agar dikatakan bahwa di Unhas tidak terjadi apa-apa. “Inilah cara Unhas membangun citra.
4 Mempercantik kampus dengan gedung dan mengenyampingkan kualitas mahasiswa serta membungkam suara mahasiswa”, ujar ketua BEM F-MIPA ini. Hal terpenting yang harus dilakukan adalah memperbaiki pembacaan kita terhadap BHP, ingat bahwa BHP bukanlah proyek Unhas semata. Kita tentunya tidak boleh hanya menyalakan amarah kepada birokrat kampus yang sepakat dengan proyek BHP tapi sebuah proyek internasional yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Dampak dari kebijakan yang sifatnya internasional ini tidak hanya jatuh pada pendidikan kita tapi juga akan berdampak bagi semua sektor yang ada dalam masyarakat. Proyek penjualan aset-aset negara sampai kasus pencabutan subsidi rakyat yang lain adalah sebuah kemestian. Selanjutnya, proyek ini tidak hanya akan jatuh pada mahasiswa tapi pasti akan berimbas pula pada kekuatan rakyat lain, maka penting untuk dapat menyatukan kekuatan dengan massa rakyat yang berada di luar mahasiswa.Yang paling penting adalah duduk bersama dan mencoba membicarakan konsep pendidikan yang lebih baik tanpa komersialisasi pendidikan, tanpa BHP. Sebuah rencana besar negara untuk
sastrasastrasastrasastrasastrasastr
Catatan Utama
Kepada penyair mem-badan hukum-kan seluruh instansi Mahasiswa yang sedang duduk tenang pendidikan, termasuk Perguruan Tinggi. dalam kelas dan memperhatikan kuliah Sebuah cita-cita negara untuk memberi dengan cermat, tapi tidak mengerti bahwa kebebasan pada instansi pendidikan, agar akan ada rekonstruksi luar biasa yang lebih mudah dalam mengatur manajeman, skenarionya sudah digulirkan sejak tahun baik keuangan maupun akademik. Namun 2003 yang lalu. masih menjadi polemik yang dibicarakan Substansi dari BHP pun akhirnya oleh kalangan “elit� pemerintah, pakar menjadi sesuatu yang gamang, terkadang pendidikan, pemerhati pendidikan, civitas malah menjadi salah kaprah, ada yang akademika mengartikan kampus, dan bahwa BHP sekelumit adalah sematamahasiswa yang mata usaha untuk peduli. Polemik mengomersilkan yang didasari pendidikan, oleh keresahan m e m e r a s akan terjadinya mahasiswa dan s e b u a h berbagai opini reformasi yang tidak pendidikan, dan proporsional hal. secara sistemik lainya. Usaha pendidikan akan penggiringan menjadi sebuah opini publik komoditi. Lebih u n t u k ekstrem lagi menganggap BHP a d a l a h menjadi tidak kapitalisasi seimbang ini pendidikan. penulis akui Begitulah kiraberhasil. Tapi apa kira komentar sebenarnya yang mereka seputar ingin pemerintah a k a n sampaikan berubahnya dengan membuat b u d a y a UU BHP ini? BHP pendidikan di Indonesia. Pro dan kontra pertama kali diwacanakan dengan adanya terjadi, antara pihak yang berkepentingan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dan pihak yang menjadi objek saling yang dinukilkan pada pasal 53. Kurang lebih berbenturan. Namun di sisi lain, wacana esensi pada pasal tersebut adalah BHP perubahan besar-besaran pada status didirikan oleh pemerintah atau masyarakat, sebuah lembaga pendidikan sama sekali berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana tidak tercium oleh mayoritas stake holder secara mandiri untuk memajukan satuan kampus, yaitu mahasiswa umum. pendidikan. (Anti)
Dalam sajak-sajakmu Kau meratap-ratap dan menari-nari Keasyikan yang kau nikmati Sendiri sehabis kenyang Dan kau selalu senang Duniamu adalah kata-kata Permainanmu adalah kata-kata Dan kau mabuk kata-kata Kau pun menjelma kata-kata Dalam dunia nyata Kau asingkan dirimu Dari dunia yang lain Keindahan yang kau puja-puja Tak rela kau lepaskan Duniamu begitu sempit Hanya berisi ungkapan manis Namun tiada arti
V
Di mana wajah-wajah tetanggamu Yang sehari tak makan, dalam Sajak-sajakmu? Di mana para pencuri kebahagiaan Ribuan orang, adakah mereka Kau hukum dalam sajak-sajakmu? Di mana teriakan sajakmu Ketika jutaan orang dihimpit Penderitaan tak berkesudahan? Atau bunga-bunga yang mekar Dari sajakmu, kau anggap Mampu menyelesaikan semuanya?
8 .
hal
Ah, penyair! Kau terlalu nyinyir Untuk hal-hal yang mungkir pada hidup yang mesti diperjuangkan oleh banyak orang Dedy de Goode | makassar, 2007
Habisi aku 1 hancurkan aku sekarang juga biar semuanya lebur dan habis dimakan udara yang basah jangan ada sisa sebab, renik-renik dari tubuhku akan tumbuh menjadi benih-benih monster yang bisa saja menjadi teror bagi hidupmu sehari-hari ayo, hancurkan aku si borjuis kecil yang berlagak pahlawan di hadapan sejarah dan mengira perlawanan adalah semata permainan yang dilakoni sebagai pengabdian kepada rakyat bukan pelibatan sebagai rakyat tunggu apalagi ayo, hancurkan dan habisi aku sebelum kursi itu terlanjur kududuki dan kalian hanya menjadi pion dungu bagi kerakusan teman-teman sekelasku akan kekuasaan dan kedudukan
ggle!
t stru capitalism means constan terk ban
hal.
adang masih yak yang kurang p a h a m terhadap aplikasi BHP nant i n y a j i k a diterapkan secara teknis di kampus. Selain belum banyak yang paham, mereka juga acuh tak acuh terhadap perubahan ini. Mau dibentuk BHP kek, mau apa lah itu namanya asal perut masih bisa terganjal kolesterol tidak masalah. Universitas Indonesia (UI) atau Universitas Gadjah Mada (UGM) pun masih menjadikan mahasiswa sebagai “korban donatur” pendapatan Universitas. Instititut Pertanian Bogor (IPB) yang mempunyai daya tampung mahasiswa baru sebesar 2.300 kursi ternyata hanya dapat meluluskan 300 mahasiswa baru yang murni dari penyaringan SPMB, sisanya dilelang kepada instansi-instansi swasta atau pemerintah yang mampu membeli harga bangku kuliah yang cukup mahal (kantor berita Antara, red). Sedangkan menurut D a r m a n i n gt ya s , s e o ra n g p e n ga m at pendidikan dari UGM yang rajin melakukan kajian-kajian ilmiah seputar pendidikan berpendapat, bahwa konsideran-konsideran dalam UU BHP yang sudah direvisi berkalikali tidak jelas, apa yang akan diatur oleh undang-undang tersebut apakah sistem pendidikan, manajemen
7
99,08 Mhz
Caka FM
pendidikan atau partisipasi masyarakat, dan jika UU BHP diterapkan maka secara hierarki hukum UU Sisdiknas akan tidak berlaku, UU BHP kelak merupakan “lex specialis”. BHP merupakan suatu sistem pendidikan yang mana peran dan tanggung jawab pemerintah menjadi kecil dalam m e n g u r u s p e n d i d i ka n d a n s i s t e m pengelolaannya diserahkan sepenuhnya pada kebijakan kampus yang dikenal dengan Badan Layanan Umum (BLU). Dirjen Dikti, Fasli Djalal, pun menyatakan bahwa jika terjadi ketakutan pada kalangan akademika tentang manajeman perusahaan yang diterapkan pada lembaga pendidikan hanya dapat menjawab, “Pada saatnya nanti akan muncul stakeholders berupa orang-orang yang amanah, tidak punya kepentingan pribadi, tidak makan gaji dari sana sehingga membawa hati nurani dan lebih responsif terhadap kondisi d a n k e b u t u h a n m a s y a r a k a t .” (Republika, 2008). Lalu siapa yang akan menjamin, dan apa yang akan menjadi parameter tentang amanah, kepentingan pribadi, hati nurani, dan responsiblitas pengelola? Dengan menyodorkan modernisasi kampus mulai dari perbaikan hingga perenovasian ruang kuliah yang masih baik merupakan pemanis buatan yang dilakukan Unhas saat ini, adalah jalan menuju BHP untuk -
“Secara inprinsip, BHP dan BLU adalah sama. BHP merupakan Undang-Undangnya sedangkan BLU adalah sistem pengelolaan kampus”,
UNHAS, Universitas Sudah Swasta? Catatan Khusus “ U n i ve rs i ta s Hasanuddin (Unhas) dengan kemegahannya memberikan layanan yang tak jauh beda lagi dengan Universitas swasta di negeri ini” Begitulah potret pendidikan yang ada di Indonesia umumnya saat ini, dimana Perguruan-perguruan Tinggi Negeri (PTN) coba diswastanisasi. Hal ini terbukti dengan adanya beberapa Universitas di Indonesia seperti UI, ITB, UGM, dan IPB sebagai praktek percontohan Badan Hukum Pendidikan (BHP). Yang paling ironis, tak lama lagi Unhas akan menjadi korban berikutnya pada sistem pendidikan yang tidak memihak pada masyarakat dengan dikumandangkannya Citra Unhas 2010 sebagai tahun resmi pemberlakuan BHP. Unhas sudah mendapat 'lampu hijau' dari pemerintah pusat, tinggal menunggu pengesahan RUU BHP, ujar Prof. Dadang (19/11). Dengan melihat mutu pendidikan yang mengalami penurunan, ini menjadi alasan utama mengapa Unhas antusias untuk menuju BHP. Pendidikan di Indonesia bukan lagi berfungsi sebagai proses memanusiakan manusia, namun saat ini pendidikan hanya menjadi lahan empuk untuk mendapatkan keuntungan, yakni mencoba mengomersialisasikan pendidikan yang ditandai dengan Undang-Undang BHP (UU BHP), dimana secara jelas merupakan pengkhianatan besar pemerintah terhadap rakyat serta pelanggaran berat terhadap UUD 1945 yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
6
Kick them before it kick you! Badan Hukum Pendidikan (BHP) tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang dinukilkan pada pasal 53. Kurang lebih esensi pada pasal tersebut adalah Badan Hukum Pendidikan didirikan oleh pemerintah atau masyarakat, berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Secara hukum, definisi dari BHP tidak dijelaskan dalam Rancangan Undangundang tersebut, hanya disebutkan bahwa BHP adalah Badan Hukum Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan formal. Dalam proses pengetokan palu pun terasa kurang mantap, karena sudah enam tahun, perdebatan yang terjadi di kalangan dewan belum terselesaikan juga, indikasi apakah ini? Apakah selama ini mereka sedang membuat sebuah skenario besar untuk membuat tameng ketika konflik-konflik kepentingan mulai muncul, atau memang sebenarnya undang-undang ini memang belum layak pakai? Di kalangan lain, seperti pada pelaku pendidikan sendiri pun