Katalog arkipel 2013

Page 1



1


Silahkan bajak katalog ini! (copyleft) Forum Lenteng Jakarta, Indonesia Agustus 2013 Katalog

Editor Otty Widasari & Tim Arkipel

Penerjemah/Translator Yuki Aditya, Umi Lestari

Penulis/Writer Yuki Aditya, Mahardika Yudha, Otty Widasari, Adrian Jonathan, Andrie Sasono, Afrian Purnama, Bunga Siagian, Makbul Mubarak,

Akbar Yumni, Dag Yngvesson, Hafiz

Perancang Grafis/Designer Graphic Andang Kelana Drawing Hafiz

Arkipel Logotype Ugeng T. Moetidjo Diterbitkan oleh Forum Lenteng

Jl. Raya Lenteng Agung No. 34 RT.007/RW.02 Lenteng Agung, Jakarta Selatan - 12610 Indonesia

T/F. +6221 7884 0373

E. info@forumlenteng.org // info@arkipel.org W. forumlenteng.org // arkipel.org

F. facebook.com/forumlenteng // facebook.com/arkipel.festival T. twitter.com/forumlenteng // twitter.com/arkipel

Katalog: Arkipel International Documentary & Experimental Film festival 2013 Jakarta: Forum Lenteng

2


Katalog Versi Online

3


Daftar Isi Colophon 2 Daftar Isi

4

Biografi 8 Agenda 14 Arkipel dan Kehadiran Pertama / Arkipel: The First Edition

18 / 24

oleh: Hafiz Rancajale

Program: Kompetisi International / International Competition 32 Program: Kuratorial / Curatorial “Kepengarangan” dalam Dokumenter /

Authorship in Documentary Filemmaking

74 / 83

kurator: Akbar Yumni Pasca-komunis di Eropa Timur dan Kehidupan Kelas Pekerja / Post-Communism in Eastern Europe and the Life of Working Class

91 / 96

kurator: Afrian Purnama Apa Jang kau Tjari, Pak Misbach? / What Are You Looking For, Pak Misbach?

103 / 109

kurator: Dag Yngvesson Sinematik Representasi dalam Modernisasi Kota / Cinematic Representation of City’s Modernity

116 / 121

kurator: Bunga Siagian Menggugat Konstruksi Sejarah / Challenging The History Construction

129 / 135

kurator: Otty Widasari Jatuhnya Sebuah Rezim / The Fall of a Regime

143 / 148

kurator: Andrie Sasono Memakai Arsip, Mereka Ulang Sejarah / Found Footage Archive: Reconstruction of History 154 / 159 kurator: Yuki Aditya

4


Estetika Kenyataan, Realisme Publik? / Reality Aesthetics, Public Realism?

165 / 169

kurator: Mahardika Yudha Mobilitas Sosial untuk Pemula / Social Mobility for Beginners

174 / 179

kurator: Adrian Jonathan Pasaribu Dokumenter Kreatif dan Figurasi Ruang / Creative Documentary and Spatial Figuration

186 / 189

kurator: Makbul Mubarak

Program: Penayangan Khusus / Special Screening Partes de una Familia / Parts of a Family (Diego GutiĂŠrrez)

198

Forgotten Tenor: Ada Nostalgia dalam Setiap Jumpa. / Forgotten Tenor: Remembering is a game often enacted during encounters.

Program: Presentasi Khusus / Special Presentation Bangkok Experimental Film Festival Images Festival Toronto, Canada Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi

200 / 205

212 216 224 / 227

Gelora Indonesia: Documentary and Filem as Communication Media kurator: Mahardika Yudha

Program: Diskusi Publik / Public Discussion

Diskusi Publik: Sinema & Aktivisme / Public Discussion: Cinema & Activism 236 Diskusi Publik: Sinema, Sejarah & Arsip / Public Discussion: Cinema, History & Archive 238 Diskusi Publik: Kritik dalam Sinema / Public Discussion: Critics on Cinema 240 DocNet Southeast Asia

242

Indeks Filem / Film Index

244

Indeks Sutradara / Directors Index

246

5


Arkipel Kata ARKIPEL diambil dari kata archipelago yang merujuk pada istilah bahasa Indonesia, ‘nusantara’ yang muncul sejak awal abad ke-16. Nusantara yang merupakan gugusan ribuan pulau ini menyimpan sejarah panjang tentang globalisasi baik secara politik, budaya dan ekonomi. Lebih dari 500 tahun lalu, wilayah ini menjadi tujuan utama bagi para penjelajah Barat untuk menemukan wilayah-wilayah baru untuk dikuasai atau sebagai rekanan dunia dagang. Selain bangsa Eropa, bangsa Timur (Cina, Arab, dan India) telah menjadikan kawasan Nusantara ini sebagai tujuan penjelajahan dalam misi-misi dagang mereka seperti rempah-rempah dan sutra. ARKIPEL International Documentary and Experimental Film festival digagas oleh Forum Lenteng untuk membaca fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui sinema. Melalu media filem yang diharapkan dapat melihat, bagaimana sinema berperan dalam menangkap fenomena masyarakat global, baik dalam konteks estetika maupun konteks sosial-politiknya melalui bahasa dokumenter dan ekperimental. ARKIPEL diniatkan untuk dapat menghadirkan filem dokumenter berkualitas (bukan dokumenter televisi) dan capaian eksperimentasi dalam sinema kepada penonton Indonesia, Asia Tenggara dan Internasional. Selain itu, festival ini akan selalu melihat perkembangan bahasa sinema secara kritis, terlepas dari terminologi “sinema industri” atau “sinema independen”. Untuk itulah, ARKIPEL akan selalu menghadirkan wacana kritis dalam melihat perkembangan sinema melalui program kuratorial, simposium, dan kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika sinema mutakhir. 6


The word ARKIPEL was taken from ‘archipelago’ which refers to a term in Indonesian language ‘nusantara’. The word was known since the early 16th century. Nusantara is a group of thousand of islands keeping long globalization history of politics, cultural, and economics. More than 500 years ago, this region has become one of main destinations for Western explorer whom tried to find new areas to be colonized or as trading partner. Besides the European, there were also people came from the East (China, Arab, and India) which made this Nusantara region as an exploration destination in their trading missions of spices and silk. ARKIPEL International Documentary and Experimental Film festival was initiated by Forum Lenteng to read a global phenomenon in social, political, economic and culture contexts through cinema. Of cinema, it is expected to capture the global society phenomenon, both in terms of aesthetic and socio-political context through the language of documentary and experimental filmmaking. ARKIPEL is intended to be able to deliver quality documentary (not TV documentary) and achievement of experimentation in cinema to Indonesian, Southeast Asian, and International audiences. In addition, the festival will always see the development of the cinematic language with critical thinking, regardless of the terms ‘cinema industry’ or independent cinema. For this reason, ARKIPEL will always bring a critical discourse to observe it through curatorial programs, symposium, and public lecture to broaden the knowledge of the ever-changing cutting-edge cinema aesthetics. 7


Hafiz Rancajale

Yuki Aditya

Otty Widasari

Lahir di Pekanbaru, 1971. Seniman, kurator, pendiri Forum Lenteng dan Raungrupa Jakarta, Chief Editor www.jurnalfootage. net. Menempuh pendidikan seni murni di Institut Kesenian Jakarta. Direktur Artistik OK.Video Jakarta International Video Festival (2003-2011). Saat ini, Hafiz menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Di ARKIPEL sebagai Direktur Artistik dan Juri.

Lahir di Jakarta, 1980. Penulis di majalah filem Fovea, kurator filem di Kineforum, Anggota Forum Lenteng, Ketua Sahabat Sinematek. Menempuh pendidikan Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia. Di ARKIPEL sebagai Direktur Festival.

Lahir di Balikpapan 1973. Seniman, penulis, sutradara filem, pendiri Forum Lenteng dan koordinator Pemberdayaan Media, akumassa. Pernah kuliah Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta dan lulus Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta. Pimpinan Redaksi www.akumassa.org (20082013). Di ARKIPEL sebagai Kurator Program dan Juri.

Born in Pekanbaru 1971. Artist, curator, co-founder of Forum Lenteng and Ruangrupa Jakarta, Chief Editor of jurnalfootage. net. Studied fine arts at Jakarta Institute of Arts. Artistic Director OK.Video Jakarta International Video Festival (2003-2011). Since 2013, Hafiz is The Head Commisioner of Visual Arts at Jakarta Arts Council. Artistic Director and Jury of ARKIPEL.

8

Born in Jakarta in 1980. Writer at Fovea filem magazine, film programmer at Kineforum, Member of Forum Lenteng. Chair Person of Sahabat Sinematek. Studied Tax Administration in University of Indonesia. Festival Director of ARKIPEL.

Born in Balikpapan 1973. Artist, writer, film director, co-founder of Forum Lenteng and Coordinator of Media Literacy, akumassa. Studied Journalism at Institute of Social and Political Science Jakarta and Fine Arts graduated at Jakarta Institute of Arts (IKJ). Chief Editor www. akumassa.org (2008-2013). Program Curator and Jury of ARKIPEL.


Mahardika Yudha

Bunga Siagian

Akbar Yumni

Lahir di Jakarta, 1981. Seniman, kurator, peneliti seni, sutradara, pendiri Forum Lenteng. Editor www.jurnalfootage.net. Koordinator Penelitian dan Pengembangan Forum Lenteng. Menempuh pendidikan jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta. Saat ini, bekerja sebagai Direktur Artistik OK.Video Jakarta International Video Festival 2013. Di ARKIPEL sebagai Kurator Program dan Juri.

Lahir di Jakarta, 1988. Praktisi Filem. Anggota Forum Lenteng. Saat ini kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Di ARKIPEL sebagai Kurator Program dan Koordinator Program Diskusi Publik.

Lahir di Jakarta, 1975. Penulis, aktivis kebudayaan, periset, pendiri www.jurnalfootage. net. Anggota Forum Lenteng. Menempuh Ilmu Komunikasi di Universitas Muhamadyah Malang dan saat ini kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Bekerja sebagai periset lepas di Dewan Kesenian Jakarta. Di ARKIPEL sebagai Kurator Program.

Born in Jakarta 1981. Artist, curator, arts researcher, film director, and co-founder Forum Lenteng. Editor www. jurnalfootage.net. Coordinator Research and Development at Forum Lenteng. Studied Journalism at Institute of Social and Political Science Jakarta. Now, he is Artistic Director OK.Video Jakarta International Video Festival 2013. Program Curator and Jury of ARKIPEL

Born in Jakarta 1988. Film worker. Member of Forum Lenteng. Now, she study philoshophy at Driyakarya Philosphy School Jakarta. Program Curator and Public Program of ARKIPEL.

Born in Jakarta 1975. Writer, cultural activist, researcher, founder www. jurnalfootage.net. Member of Forum Lenteng. Studied Cummunication at Muhammadyah University Malang dan Philosophy at Driyarkara Philosophy School Jakarta. Now, he is part-time researcher at Jakarta Arts Council. Program Curator of ARKIPEL.

9


Afrian Purnama

Andrie Sasono

Dag Yngvesson

Lahir di Jakarta, 1989. Baru saja lulus dari Universitas Bina Nusantara jurusan Ilmu Komputer. Anggota Forum Lenteng. Penonton Filem. dan sekarang menjadi kurator di ARKIPEL

Lahir di Jakarta, 1992. Sutradara dan penulis skenario. Saat ini menempuh pendidikan filem di Institut Kesenian Jakarta. Anggota Forum Lenteng. Andrie juga sedang sibuk mempersiapkan proyekproyek filem pendeknya. Di ARKIPEL sebagai Kurator Program.

Seorang pembuat filem, dosen dan Kandidat Doktoral Cultural Studies di Universitas Minnesota. Sejak pertengahan 90an, ia telah bekerja sebagai produser, sutradara, sinematografer dan/atau editor dalam berbagai proyek.

Born in Jakarta, 1989. Student who just graduate from Bina Nusantara University majoring Computer, member of Forum Lenteng, a cinephile. Now, he is Program Curator of ARKIPEL

10

Born in Jakarta 1992. Film director and writer. Now, he is studying Script Writing at Jakarta Institute of Arts and preparing his short film projects. Member of Forum Lenteng. Program Curator of ARKIPEL.

A filmmaker, lecturer, and PhD candidate in Cultural Studies at the University of Minnesota. Since the mid 1990s, Dag has worked as producer, director, cinematographer and/or editor in various projects.


Adrian Jonathan

Makbul Mubarak

Andang Kelana

Lahir di Pasuruan, 1988. Jurnalis filemindonesia. or.id, pengurus harian CinemaPoetica.com. Manajer Program bioskop Kinoki di Yogyakarta (2007 -2010), penonton filem dari kecil sampai sekarang. Menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Di ARKIPEL sebagai Kurator Program.

Lahir di Palu, 1990. Salah satu pengurus harian CinemaPoetica. com. Sebelumnya, aktif berpartisipasi dalam perkara harian bioskop Kinoki. Saat ini tengah menimba ilmu di jurusan Cinema Studies, Korea National University of Arts. Di ARKIPEL sebagai Kurator Program.

Lahir di Jakarta, 1983. Seniman, desainer grafis & web, pendiri Forum Lenteng, SekretarisJenderal Forum Lenteng. Menempuh pendidikan periklanan di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta. Saat ini, bekerja sebagai ketua Jakarta 32ยบC. Di ARKIPEL sebagai Manajer Festival.

Born in Palu 1990. Work at CinemaPoetica.com. Now, he is studying on Cinema Study at Korea National University of Arts, Korea. Program Curator of ARKIPEL.

Born in Jakarta 1983. Artist, graphic & web designer, co-founder Forum Lenteng and SecretaryGeneral at Forum Lenteng. Studied Advertising at Institute of Social and Political Science Jakarta. Now, he is Chairman of Jakarta 32ยบC (Jakarta Student Biennale). Festival Manager of ARKIPEL

Born in Pasuruan 1988. Journalist of filmindonesia.or.id, work at CinemaPoetica.com. Program Manager at Kinoki, Yogyakarta (20072010), a cinephile. Studied Communication Studies at Gajah Mada University, Yogyakarta. Program Curator of ARKIPEL.

11


Jury Members Hafiz Rancajale, Mahardika Yudha , Otty Widasari, Ugeng T. Moetidjo, Intan Paramaditha

Ugeng T. Moetidjo

Intan Paramaditha

Seniman, penulis, dan periset seni. Anggota Forum Lenteng. Menempuh pendidikan Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta.

Lahir di Bandung, 15 November 1979. Seorang penulis fiksi yang sedang menyelesaikan disertasinya tentang film dan politik seksual di New York University.

Artist, writer, art researcher and Forum Lenteng member. Studied Fine Arts at Jakarta Institute of Arts.

12

Born in Bandung, November 15, 1979. She is a fiction writer currently completing her dissertation on film and sexual politics at New York University.


Organizational Board of Artistic Hafiz, Ugeng T. Moetidjo, Mahardika Yudha, Otty Widasari, Yuki Aditya Chief/Artistic Director Hafiz Festival Director Yuki Aditya Festival Manager Andang Kelana Curators Yuki Aditya, Mahardika Yudha, Otty Widasari, Adrian Jonathan, Andrie Sasono, Afrian Purnama, Bunga Siagian, Makbul Mubarak, Akbar Yumni, Dag Yngvesson Discussion Manager Bunga Siagian

Administration Humairah, Sugar Nadia Azier Finance Jayu Julie Astuti Communication & Partnership Andang Kelana, Yuki Aditya, Titaz Permatasari Screening Coordinator Syaiful Anwar Research & Database Bagasworo Aryaningtyas Documentation Andrie Sasono Communication Material Designer Andang Kelana Catalogue Editor Otty Widasari & Tim Arkipel

Forum Lenteng adalah organisasi nonprofit berbentuk perhimpunan dengan anggota individu yang didirikan oleh pekerja seni, peneliti budaya, mahasiswa komunikasi/jurnalistik pada tahun 2003, yang bekerja mengembangkan pengetahuan media dan kebudayaan melalui pendidikan alternatif berbasis komunitas. Forum ini bertujuan menjadikan pengetahuan media dan kebudayaan bagi masyarakat untuk hidup yang lebih baik, terbangunnya kesadaran bermedia, munculnya inisatif, produksi pengetahuan, dan terdistribusikannya pengetahuan tersebut secara luas.

Forum Lenteng is a non-prof it organization which was formed by individual members, and founded by artists, communication students, researchers, and cultural observer in 2003. The forum is a community working within the framework of audiovisual media and cultural studies as an alternative educational tool. The forum is aiming to enact media and cultural knowledge for the society to lead a better life, the awakening the awareness of media literacy, to initiate and to produce knowledge and distribute the knowledge widely.

13


kineforum GoetheHaus Teater Kecil

24/8

25/8

26/8

13.00

Curatorial: Authorship in Documentary Filem

International Competition 3

International Competition 12

15.00

Special Screening: Forgotten Tenor

Special Presentation: BEFF I

Special Screening: Naga yang Berjalan di Atas Air

17.00

-

Special Presentation: BEFF II

Curatorial: Cinematic Representation...

19.00

-

International Competition 11

International Premiere: Elesan deq a Tutuq

13.00

-

International Competition 8

International Competition 4

15.00

-

International Competition 9

International Competition 5

17.00

-

International Competition 10

International Competition 6

19.00

OPENING NIGHT

International Premiere: Elesan deq a Tutuq

International Competition 7

14.00

-

-

Curatorial: Post-Communism in Eastern Europe...

17.00

-

-

Curatorial: The Fall of Regime

19.00

-

-

Special Presentation: Images Festival II

Sinematek Indonesia

13.00

-

-

15.00

-

-

Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi

PPHUI

(director in attendance)

19.00

-

-

-

14


27/8

28/8

29/8

30/8

Curatorial: Found Footage Archive

Special Presentation: Images Festival I

International Competition 4

International Competition 6

Curatorial: Cinematic Representation...

Curatorial: Challenging the Construction of History

International Competition 5

International Competition 7

Special Screening: Dongeng Rangkas

International Competition 2

Curatorial: Mahardika Yudha

International Competition 8

International Competition 1

Special Screening: Partes de una Familia

International Competition 9

International Competition 10

-

Curatorial: Social Mobility for Beginner

-

-

-

Curatorial: Social Mobility for Beginner

-

-

-

Curatorial: What Are You Looking For, ...

-

-

-

Curatorial: What Are You Looking For, ...

-

-

International Competition 1

International Competition 11

-

-

International Competition 2

International Competition 12

-

-

International Competition 3

Curatorial: Realism Aesthetics ...

-

-

Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi

Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi

Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi

Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi

AWARDING NIGHT

-

-

-

International Competition (IC) • Special Presentation (SP) • Special Screening (SS) Discussion (D) • International Premiere (IP)

15


International Competition 1 (Total 143 min) Je Vie Dans le Rêve de ma Mêre (I Live in the Dream of My Mother) 143 min. 2011 Jan Willem van Dam (The Netherlands) International Competition 2 Le Bonheur… Terre Promise (Happiness… Promised Land) 94 min. 2011 Laurent Hasse (France) International Competition 3 (Total 84 min) Perampok Ulung (Sneaky Robber) 84 min. 2009 Marjito Iskandar Tri Gunawan (Indonesia) International Competition 4 (Total 81 min) Ecce Ubu 60 min. 2012 Luca Ferri (Italy) Preludes I 2 min. 2013 Rahee Punyashloka (India) Climax 2 min. 2008 Shinkan Tamaki (Japan) Tears of Inge 5 min. 2013 Alisi Telengut (Canada) …And the Wound Closed Wearily 12 min. 2012 Ian Deleón (China) International Competition 5 (Total 88 min) Old Cinema, Bologna Melodrama 60 min. 2011 Davide Rizzo (Italy) Le jour a vaincu la nuit (The Day has Conquered the Night) 28 min. 2013 Jean-Gabriel Périot (France)

16

International Competition 6 (Total 93 min) Sacrifice a Flower 65 min. 2013 Hasumi Shiraki (Japan) J. Werier 4 min. 2012 Rhayne Vermette (Canada) Hermeneutics 3 min. 2012 Alexei Dmitriev (Russia) Marshy Place Across 5 min. 2012 Lorenzo Gattorna (USA) Kaputt/Katastrophe 16 min. 2013 Luca Ferri (Italy)

International Competition 7 (Total 77 min) Suitcase of Love and Shame 70 min. 2013 Jane Gillooly (USA) Volkspark 7 min. 2011 Kuesti Fraun (Germany)

International Competition 8 (Total 86 min) La Visita (The Visit) 52 min. 2013 Fany de la Chica (Spain) Canggung (The Awkward Moment) 22 min. 2013 Tunggul Banjaransari (Indonesia) Hitching the A1 14 min. 2013 Gary McQuiggin (UK)


International Competition 9 (Total 87 min) Lejos de Saint Nazaire (Far From Saint Nazaire) 52 min. 2011 Lluc Güell (Spain) Il Contorsionista (The Contortionist) 19 min. 2013 Mauro Maugeri (Italy) Wojoh (Faces) 16 min. 2012 Said Najmi (Jordan) International Competition 10 (Total 82 min) Polaziste za Cekanje (The Waiting Point) 44 min. 2013 Masa Drndic (Croatia) A City Through Different Spaces 9 min. Linda Bannink (The Netherlands) Journey of Consciousness (Awareness Journey) 24 min. 2013 Yi-Yu Liao (Taiwan) The Flaneurs #3 4 min. 2013 Aryo Danusiri (Indonesia) Ben 1 min. 2013 Kuesti Fraun (Germany)

International Competition 11 (Total 72 min) Chroma 3 min. 2012 Jeremy Moss (USA) Momentum 7 min. 2013 Boris Seewald (Germany) Park of Contemporary Culture 8 min. 2011 Dmytro Bondarchuk (Ukraine) Les Fantômes de l’escarlate (The Ghosts and the Escarlate) 15 min. 2012 Julie Nguyen Van Qui (France) Generator of Duriban 38 min. 2012 Wonwoo Lee (South Korea) International Competition 12 (Total 67 min) To Raise From the Water 16 min. 2012 Andrew Littlejohn (Japan) “A Man Since Long Time” 17 min. 2012 Mahmoud Yossry (Egypt) Ancestral Delicatessen 15 min. 2012 Gabriel Folgado (Spain) Pretty Good Look 19 min. 2012. Youngnam KIM, Jungwha JUNG, Minho JO,Sohyun MOON, Goeun BAE, Seungbum HONG (South Korea)

17


ARKIPEL dan Kehadiran Pertama oleh:

18

Hafiz Rancajale


I. Jika kembali ke sejarah, kehadiran teknologi sinema di Nusantara tidaklah begitu jauh dari negeri kelahirannya di Utara. Di Paris, Lumière Bersaudara memutar kepada publik filem-filemnya, pada 28 Desember 1895 di Salon Indien, Grand Café. Di Nusantara, melalui seorang fotografer berkebangsaan Prancis, L. Talbot, pita seluloid telah diputar di Batavia (Jakarta) pada bulan Oktober 1896 dan di Surabaya pada bulan April 1897. Rekaman filem itu berupa situasi jalanan di Jakarta, yang diproses sendiri oleh Talbot di sini.1 Peristiwa itu menjadikan Nusantara sebagai salah satu wilayah di Asia yang pertama-tama dapat mengakses teknologi baru, scenematograph, selain China, India dan Jepang. Dalam perkembangannya, tercatat di tahun 1912, J. C. Lamster, sutradara berkebangsaan Belanda, diminta oleh pemerintah Belanda untuk melakukan perekaman situasi Nusantara atau Hindia Belanda sebagai bagian dari rekaman dan pelaporan tentang keadaan negeri Jajahan.2 Periode tahun 1920-an, sinema Nusantara, terutama di Jawa, telah 1  Dafna Ruppin, makalah The Arrival of Moving Pictures to Indonesia, 1896-1897, Utrecht University, hal 1. 2  Kompilasi filem dalam DVD J.C. Lamster – Een Vroege Filemer in Nederlands-Indie (2009) & Van de Kolonie Niets dan Doeds – Nederlands-Indie in Beeld 1912-1942 (2004), kompilasi filem tentang Indonesia di masa kolonial, Eye Filem Instituut Nederland, Beelden – voor de Toekamst, dan Tropenmuseum.

19


berubah menjadi studio-studio yang juga mengikuti pola produksi yang berkembang di Amerika Serikat dan Eropa yang diprakarsai oleh para pedagang keturunan China dan Belanda. Filem-filem produksi Hindia Belanda mencoba mengimitasi pola studio yang berlaku di Hollywood dengan mengadaptasi cerita tonil, dan cerita-cerita China Peranakan yang sangat popular pada masa itu, seperti Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929), dan Bunga Roos dari Tjikembang (The Teng Chun, 1931) yang disebut oleh Misbach Yusa Biran sebagai Sejarah Anak Wayang.3 Setelah Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, lompatan besar dilakukan oleh Usmar Ismail, saat ia menegaskan identitas keindonesian dalam sinema dengan memproduksi Darah dan Doa (1950). Bapak Perfileman Indonesia itu mulai membangun kesadaran authorship dalam membuat filem jauh sebelum teori auteur digaungkan oleh André Bazin melalu buku Qu’est-ce que le cinéma? (What is Cinema?) pada tahun 1958-1962.4 II. Dalam tradisi wacana dan apresiasi filem Indonesia, pengertian ‘apa itu filem?’ dan ‘apa itu sinema sebagai kultur?’, pengertian-pengertiannya hanya terjebak dalam satu ‘ruang’ saja, yaitu; industri filem, di mana yang dianggap filem adalah filem cerita fiksi panjang. Filem pendek hanya dianggap sebagai filem untuk pemula. Ia tidak dianggap sebagai entitas yang sekelas dengan filem cerita fiksi panjang. Begitu pula dengan filem dokumenter. Sejak dulu, filem dokumenter diletakkan dalam pengertian sebagai filem “non-cerita”. Padahal, filem dokumenter sejak Robert J. Flaherty menghadirkan Nanook of The North (1922), filem dokumenter bukan lagi hanya dimengerti sebagai filem berita tanpa ‘cerita’. Menempatkan kategori filem dokumenter dalam pengertian noncerita sudah sangat lama dimasukkan sebagai salah satu kategori penilaian dalam ajang Festival Filem Indonesia (festival filem tertua di Indonesia). Hal ini juga terangkum dalam berbagai tulisan kritik dan wacana filem Indonesia yang ditulis oleh para kritikus filem kita. Sehingga, filem

3  Hafiz, wawancara dengan JB. Kristanto 12 April 2012, “JB Kristanto: Kritik Filem Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net 4  Ibid.

20


dokumenter yang notabene adalah induk dari kelahiran tradisi sinema dunia, menjadi terpinggirkan dalam sejarah perfileman Indonesia. Dalam wacana kritik filem Indonesia, dokumeter hampir tidak pernah mampir dalam tulisan-tulisan para penulis kita. Filem dokumenter dianggap hanya sebagai alat propaganda dan rekaman berita semata. Padahal, di masa-masa Revolusi setelah kemerdekaan negara ini, Usmar Ismail, dr. Huyung, Bachtiar Siagian, Kotot Sukardi, Djajakusuma, Nawi Ismail dan lainnya telah mencoba merumuskan apa yang dinamakan dengan sinema Indonesia melalui eksperimentasi estetika bahasa sinema dan juga ‘kelokalan citraan’ yang tidak hanya terjadi dengan filem fiksi tetapi juga dengan filem dokumenter. Salah satunya adalah proyek filem berita Gelora Indonesia (Januari 1951) yang dibuat oleh Perusahaan Filem Negara (P.F.N) yang tidak sekedar mendokumentasikan sejarah perjalanan bangsa ini tetapi juga mencoba mendefinisikan kembali tentang keindonesiaan melalui rekaman kenyataan dan situasi sosial politik masa itu.5 Selain itu, tokoh seperti D.A. Peransi yang merupakan tokoh penting pengembangan filem dokumenter dan eksperimentasi dalam bahasa filem sejak akhir tahun 1960-an, pun tidak banyak dikenal kalangan perfileman kita saat ini. Nama ini begitu asing bagi telinga para aktivis perfileman kita jaman sekarang. III. Setelah kematian industri filem, pada akhri 1980-an hingga awal 1990an yang kemudian diikuti oleh Reformasi 1998 —dengan runtuhnya rezim militer-Soeharto yang menguasai berbagai sendi kehidupan kita, termasuk perfileman— muncul inisiatif aktivis filem muda Indonesia untuk menggerakkan dunia perfileman dengan membuat berbagai festival, baik dengan skala besar maupun kecil. Awal tahun 2000-an adalah masa merekahnya kembali geliat produksi filem dan munculnya antusiasme kalangan generasi muda dalam memproduksi filem dan menonton filem Indonesia. Hal ini disambut baik oleh kalangan pemilik modal yang menghidupkan kembali industri filem Indonesia. Festival 5  Muh. Husein Saari, Gelora Indonesia, 10 Tahun Produksi P.F.N, Seksi Publisitet P.F.N 1962.

21


Filem Indonesia yang sebelumnya berhenti selama beberapa tahun, oleh pemerintah dihidupkan kembali. Jumlah produksi filem yang pada masa mati surinya hampir tidak ada, melonjak menjadi puluhan produksi. Sumber majalah filem online, filemindonesia.or.id menyebutkan, pada tahun 2009 produksi filem Indonesia mencapai 89 filem yang beredar di bioskop-bioskop Nusantara.6 IV. Kritikus JB. Kristanto mengatakan, tidak ada perubahan yang cukup signifikan dalam bahasa filem pada masa sesudah periode Usmar Ismail. Mayoritas filem-filem di Indonesia tetap terjebak dalam Sejarah Anak Wayang seperti yang disebutkan Misbach. Bahkan generasi 1980-an dan1990-an, yang merupakan generasi yang terdidik dari sekolah filem, pun tidak mampu melepaskannya, meski mereka telah dibungkus oleh ilmu-ilmu baru. Tapi sebenarnya mereka tidak menguasai logikanya. Yang terjadi hanyalah akulturasi medium filem, semacam hybrid saja, yaitu bagaimana menggunakan teknologi dan menafsirkan masalah dengan cara dan pikiran mereka.7 Keadaan yang mungkin agak berbeda, dapat ditemukan pada beberapa sutradara filem periode 2000an. Dari yang sedikit ini, kita masih dapat menemukan kesadaran teknologis kepada kemungkinan kemampuan medium dalam teknologi filem. Ini dapat kita lihat pada penggunaan berbagai kemungkinan kemampuan teknologi digital. Teknologi tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang eksotis dari dunia Barat dan kita hanya menjadi ‘konsumen pasif ’, namun sudah menjadi hal yang kultural, tak terpisahkan dari generasi-generasi digital native. Namun, apakah kemampuan mengadaptasi teknologi tersebut sudah memberikan peluang pada eksperimentasi dalam estetika filem? V. ARKIPEL International Documentary & Experimental Film festival diniatkan oleh Forum Lenteng untuk membaca fenomena global dalam 6  www.filemindonesia.or.id 7  Ibid. Hafiz, wawancara dengan JB. Kristanto 12 April 2012, “JB Kristanto: Kritik Filem Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net

22


konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui sinema. dokumenter dan ekperimental. Gagasan festival ini adalah menyuarakan bagaimana persoalan-persoalan kebudayaan tersebut dan dapat dibaca dalam kurun waktu tertentu. Idealnya, festival filem dapat menjadi event yang menghadirkan capaian puncak sutradara-sutradara dari berbagai kalangan, baik secara estetika dan kontennya. Filem dokumenter yang dimaksud oleh Forum Lenteng adalah filem dokumenter yang merujuk pada bahasa filem yang berlaku dalam tradisi sinema, bukan filem dokumenter televisi. Dalam tradisi sinema, filem dokumenter juga dapat menghadirkan drama, konflik, imanjinasi, dan ruang kritik bagi penonton. Hal ini tentu berkaitan dengan bagaimana eksperimentasi bahasa sinema yang dilakukan oleh sutradara dalam mengemas kenyataan. Sedangkan filem eksperimental yang dimaksud Forum Lenteng adalah bagaimana eksperimentasi medium dan konten dalam filem menghadirkan kebaruan secara estetika. Hal ini merujuk pada sejarah sinema avant-garde dalam sejarah sinema dunia. Eksperimentasi di sini, bukan hanya dalam konteks filemnya saja, namun juga bagaimana filem digunakan dalam tindakan yang mengaktivasi persoalan-persoalan sosial kebudayaan di ranah publik. Sebagai sebuah festival berskala internasional, ARKIPEL akan selalu melihat perkembangan bahasa sinema secara kritis, terlepas dari terminologi “sinema industri� atau “sinema independen�. Untuk itulah, ARKIPEL akan selalu menghadirkan wacana kritis dalam melihat perkembangan sinema melalui program kuratorial, simposium, dan kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika sinema mutakhir. Semoga kehadiran ARKIPEL International Documentary & Documentary Film festival dapat memberikan warna baru dalam melihat sinema bagi publik Indonesia dan internasional.

j

23


ARKIPEL: The First Edition by:

24

Hafiz Rancajale


I. If we trace back the history, the presence of cinema technology in the archipelago was not so far from its birth country in the North. In Paris, the Lumière Brothers showcased their film to the public on December 28, 1895 at Salon Indien, Grand Café. In the archipelago, the celluloid medium was already screened in Batavia (Jakarta) in October 1896 and in Surabaya in April 1897, brought by a French photographer, L. Talbot. The recorded footage was about the situation in the streets of Jakarta at that time, processed here by Talbot himself.1 That event appoints the archipelago as one of the first regions in Asia to have access of the new technology, scenematograph, in addition to China, India and Japan. In its development, J.C. Lamster, a Dutch film director was asked by the government of the Netherlands in 1922 to record the situation in the archipelago or Netherlands Indies as part of surveillance activities on the circumstances in their colonized region.2 In 1920s the cinema scene in the archipelago, particularly in Java, has been transformed 1  Dafna Ruppin, from her paper The Arrival of Moving Pictures to Indonesia, 1896-1897, Utrecht University, page 1. 2  Films compiled on DVD J.C. Lamster - Een Vroege Filmer in Nederlands-Indie (2009) and Van de Kolonie Niets and Doeds - Nederlands-Indie in styl 1912-1942 (2004), a compilation film about Indonesia in the colonial period, Eye Film Instituut Nederland, Beelden - voor de Toekamst , and Tropenmuseum.

25


into studio system following the production pattern similar to the film industry in United States and Europe. The transformation was initiated by the Chinese-descent traders and the Dutch. The films produced in the Netherlands Indies was trying to imitate the Hollywood film studio’s pattern by adapting stories from tonil (traditional play), and tales from the Chinese descent community which were very popular in those days, such as Njai Dasima (Lie Tek Swie, 1929), and Bunga Roos dari Tjikembang / The Rose of Tjikembang (The Teng Chun, 1931) mentioned by Misbach Yusa Biran as Sejarah Anak Wayang / The History of Wayang Puppet.3 After the Indonesia’s Revolution of Independence in 1945-1949, Usmar Ismail made a big leap, as he asserted his national identity in cinema by producing Darah and Doa / The Long March (1950). Usmar Ismail, the Father of Indonesian cinema, has already started to build awareness of authorship in filmmaking long before the auteur theory was echoed by André Bazin in his book Qu’est-ce que le cinéma? (What is Cinema?) in 1958-1962.4 II. In the tradition of discourse and appreciation of Indonesian cinema, the definition of ‘what is film?’ and ‘what is cinema as a culture?’ stucks only on one ‘term’; which is the film industry, where what deemed as film is narrative fiction feature. Short film is only considered as film for beginner. It is not regarded in the same league as the fiction feature film. Similarly with documentary film. Documentary has always been placed in a sense as “non-narrative” since a long time ago. Whereas since Robert J. Flaherty produced Nanook of The North in 1922, documentary film was no longer understood as only a news reportage without ‘story’. It has been cathegorized that way too in Festival Film Indonesia (Indonesia’s oldest film festival). It is also summarized in various criticism and discourse writings on Indonesia cinema written by Indonenesian film critics. Therefore, documentary film which traditionally in fact is the

3  Hafiz, interview with J.B. Kristanto on April 12, 2012. “J.B. Kristanto: Kritik Film Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net 4  Ibid.

26


birth mother of world cinema, marginalized in the history of Indonesia cinema. In the discourse of Indonesian film criticism, documentary film is almost never written. Documentary was only considered as a means of propaganda and news footage alone. In fact, in the revolutionary period after the country’s independence, Usmar Ismail, Doctor Huyung, Bachtiar Siagian, Kotot Sukardi, Djajakusuma, Nawi Ismail and others have tried to formulate the so-called Indonesian cinema through experimentation of cinema’s aesthetic language which had ‘a sense of locality in their images’ that are not only to be applied in fiction film but also to documentary film. One of the film was the news project Gelora Indonesia made ​​by the State Film Company, which not only documented the history of this nation but also tried to redefine the sense of being ‘Indonesia’—the county through recording reality and its socio-political situation of the time.5 In addition, DA. Peransi whom was an important figure in the development of documentary and experimentation in film since the late 1960s, are not widely known in Indonesian film scene nowadays. This name is so unfamiliar to the ears amongst film activists these days. III. After the long hiatus of the film industry, in the late 1980s to early 1990s and then followed by the Reformation in 1998 — with the fall of Soeharto’s regime of Suharto’s which dominated the various aspects of our lives, including the film industry — there was an emergence of initiatives by young generation of film activists to propel the film world by organizing film festivals, both in large and small scale. Early 2000s was the rising time of film production and enthusiasm among the younger generation in producing film and watching Indonesian film. This was welcomed by the capital’s owner to resurrect the Indonesian film industry. Festival Film Indonesia which previously was stopped for the past few years, revived by the government. The number of film production was surged from almost zero to tens of film produced. 5  Muh. Husein Saari, Gelora Indonesia, 10 Tahun Produksi P.F.N, Seksi Publisitet P.F.N 1962

27


According to the online film magazine, filmindonesia.or.id, the number of Indonesian film production reached its peak with 89 films circulated in cinemas around the archipelago.6 IV. The film critic, JB. Kristanto said, there are no significant changes in film language after Usmar Ismail’s period. The majority of Indonesian films remain stuck on the Sejarah Anak Wayang / History of Wayang Puppet as mentioned by Misbach Yusa Biran. Even the generation of 1980s and 1990s, whom are more educated in film school, is not able to let that influence go, even when they have been enlightened by new sciences. But actually they have not mastered the logic of the film language. What has happened is only the acculturation of the film medium, a kind of hybrid, of how to use the technology and interpret the problems with their own way and their minds.7 The situation may be somewhat different can be found on some film directors of the class of 2000s. From that few numbers of film director, we can still find their awareness on the possibility of technological capabilities of the film medium. This can be seen in the use of various possibilities of digital technology skills. Technology is no longer seen as something exotic from Western world while we are just being ‘passive consumers’, but has become a cultural thing, an integral part of the so-called digital native generation. However, is the ability of adapting such technology already gives experimentation opportunity in film aesthetics? V. ARKIPEL International Documentary and Experimental Film festival is initiated by Forum Lenteng to read the global phenomenon in the context of social, political, economic and culture through documentary and experimental cinema. The idea of this film festival is to voice those cultural issues mentioned beforehand can be read in a certain

6  www.filmindonesia.or.id 7  Ibid. Hafiz, interview with J.B. Kristanto on April 12, 2012. “J.B. Kristanto: Kritik Film Kita Berhenti” www.jurnalfootage.net

28


period. Ideally, film festival could be the event to present what has been accomplished by any filmmaker, both in aesthetics and content. The documentary film aforesaid by Forum Lenteng is the one that refer to the applicable film language in the tradition of cinema, not TV documentary. In the tradition of cinema, documentary film could also brings dramatic space, conflict, imagination, and criticism for the audience. It certainly relates to how experimentation on the language of cinema by the filmmaker in representing ‘reality’. While experimental film which is meant by Forum Lenteng is how experimentation in the medium and content brings novelty in term of aesthetics. It refers to the history of avant-garde cinema in the history of world cinema. Not only in the context of the film itself, but also how film is used to activate the trigger on socio-cultural issues in public domain. As a international film festival, ARKIPEL will always see the development of the cinematic language with critical thinking, regardless of the terms ‘cinema industry’ or independent cinema. For this reason, ARKIPEL will always bring a critical discourse to observe it through curatorial programs, symposium, and public lecture to broaden the knowledge of the ever-changing cutting-edge cinema aesthetics. Hopefully, ARKIPEL International Documentary & Experimental Film festival may give new insight in looking at cinema to both Indonesian and international audience.

j

29


Opening

Square Disintegrated

2013, Installation 3 Channel Surround Projection

Ricky Janitra (Indonesia)

Dalam setiap bingkaian, bidikan hingga rangkai-adegan visual pada sinema memiliki kompleksitas kode yang memancing kita untuk menafsirnya. Walau lapisan-lapisan kode itu memiliki jalur sejarah dan ‘masa depannya’ masing-masing yang tunduk pada kuasa konstruksi sang sutradara, namun peluang disintegrasi dan dekonstruksi setiap penanda masih terbuka lebar untuk ditafsir atau bahkan direkatkan dengan penanda-penanda yang lain untuk membuat sejarah dan ‘masa depannya’ yang jauh berbeda dari konstruksi awal sang sutradara. Karya Square Disintegrated kemudian mengumpulkan penanda-petanda lokal yang terdapat dalam footage-footage filem Indonesia. Lapisan-lapisan kode yang ‘difisikkan’ itu mencoba untuk memaknai kembali dalam melihat bagaimana sebenarnya konstruksi bahasa sinema Indonesia.

In any frames, shots to visual sequence in cinema has a complexity of code that provoke us to interpret it. Although the layers of code has it’s track history and ‘future’ each of which is subject to the authority of the director construction, but the chances of disintegration and deconstruction of each sign are still wide open to be interpreted or even attached together with other signs to make other history and ‘future’ that are much different from the initial construction of the director. Square Disintegrated collect local signifier-signified that contained in the footages of Indonesian films. That ‘materialized’ layers of code as a trial to intrpreting again of how the actual construction of Indonesian cinema language.

Lahir pada 18 Januari 1985 di Jawa Barat. Ricky Janitra menyelesaikan studi Seni Grafis di Jakarta Institute of Arts (IKJ) pada 2005 dan juga inisiator GIF Festival 2011 (giffestival.tumblr.com). Hingga Saat ini, Ricky bekerja lepas sebagai Seniman, Audiovisual Performer, DJ Hujan Pagi, VJ dan bermain musik. http://www.rickyjanitras.com

30

Born January 18th, 1985 at West Java, Ricky Janitra has finished his study in printmaking department jakarta Arts Institute in 2005. Founder GIF Festival 2011 (giffestival.tumblr.com). Until now, Ricky works independently as Full time Artists, Audio Visual Performer, Video Performer, Playing Music, DJ of HujanPagi, VJ. http://www.rickyjanitras.com


Gadis kecil yang bernama lengkap Dendang Belantara ini ikut meramaikan Arkipel International Documentary & Experimental Film festival yang di selenggarakan Forum Lenteng. Tampil dalam permainan piano tunggal dengan lagu Fragmen gubahan komposer Jaya Suprana dan Consolation no.3 dari Franz Liszt dalam Opening Ceremony, Dara – demikian ia biasa dipanggil – gembira bisa terlibat dalam aktivitas ini. “Aku juga nonton filem. Aku suka gambar anime juga. Mudah-mudahan nanti aku juga bisa bikin filem sendiri, seperti kakak-kakak yang ikut dalam Festival Filem ini...” Dengan terselenggaranya Festival kali ini, Dara yang berlatih piano sedari umur 5 tahun itu mendapat kesempatan untuk lebih mengenal filem sebagai bekal visualnya di kemudian.

The little girl’s name is Dendang Belantara. She will participate in ARKIPEL International Documentary & Experimental Film festival organized by Forum Lenteng. She will appear with her solo piano recital performing Jaya Suprana’s Fragment and Consolotion no.3 composed by Fransz Liszt in the Opening Ceremony. You can call her Dara, and she is happy to be involved in the film festival. “I also love watching film. I also draw animation. I hope one day I can make film too” Dara whom has practiced the piano since she was 5 years old hopefully will learn something meaningful about cinema, to enrich her cinematic experience here.

Dendang Belantara lahir di Jakarta, 22 Oktober 2002. Masih sekolah di SDI Al-azhar kelas 6, selain bermain piano, ia juga senang menggambar dan main game.

Dendang Belantara was born in Jakarta, October 22nd, 2002. Studied at SDI AlAzhar grade 6, besides playing piano, she also likes to draw and play games.

31


program:

Kompetisi Internasional

32


program:

International Competition

33


Agenda: IC 12

Country of Production: Japan Language: Japan Subtitles: English 16 min, Color, 2012

To Raise From the Water Andrew Littlejohn (US/Japan)

Sebuah desa nelayan di Jepang mencoba untuk bangkit kembali setelah tertimpa rangkaian bencana pada Maret 2011, dari tsunami, gempa bumi, hingga bencana nuklir. Pembuat film memberi cukup kesempatan bagi penonton untuk mengunyah bahasa film ini hingga lunak dan mudah untuk ditelan. Pergerakan kameranya cenderung statis, sementara ritme film dibiarkan renggang (tiap adegan rata-rata di atas 30 detik). Dari adegan-adegan yang dipilih pembuat film, terutama adegan penutupnya, film ini seperti ingin mengajak penonton turut merasakan optimisme orang-orang yang mencoba untuk membangun kembali hidup mereka. -Rajiv Ibrahim

A fishing village in Japan tried to rebuild their home after a series of disasters in March 2011, from tsunami, earthquake, to nuclear meltdown. The filmmakers give their audience enough time to observe the collective efforts of the villagers. The camerawork is static, while the narrative is kept at leisurely pace (the scene duration averages at 30 seconds). Judging from the scenes picked by the filmmaker, especially the ending, To Raise from the Water aims to share with the audience the optimism of the villagers. -Rajiv Ibrahim

Andrew Littlejohn adalah calon Doktor dari bidang Antropologi dengan Kritik Media Praktis di Universitas Harvard dan Pusat Studi Film di Universitas Harvard. Seorang sutradara dan phonografer, karyanya bertempat pada persimpangan dari penerapan etnografi dan artistik. Dia mengambil sarjana di School of Oriental and African Studies, London dan telah tinggal dan belajar di Jepang selama lebih dari dua tahun. Dia saat ini bekerja dalam berbagai audiovisual dan projek etnografi di Amerika, Inggris dan Jepang.

34

Andrew Littlejohn is a PhD Candidate in Anthropology with Critical Media Practice at Harvard University, and a Harvard University Film Studies Center Fellow. An aspiring filmmaker and phonographer, his work is situated at the intersection of ethnographic and artistic practices. He took his B.A. in Japanese from the School of Oriental and African Studies, London, and has lived and studied in Japan for over two years. He is currently working on a variety of audiovisual and ethnographic projects in America, England and northeast Japan. http://andrewlewislittlejohn.com/


Agenda: IC 6

Country of Production: Canada Language: English Subtitles: No Subtitle 4 min, Color, 2012

J. Werier

Rhayne Vermette (Canada) Kamera bergerak dan berganti ke ruang-ruang sebuah gudang dengan artefak-artefaknya di Winnipeg. Ruang-ruang tersebut dimanipulasi dengan proyeksi proyektor bekas oleh sang seniman. Secara mengejutkan gambar-gambar yang dihasilkan adalah sebuah montase tentang ruang tua, sebagaimana keadaan gudang Winnipeg saat ini. -Hafiz

The camera keep moving and the frame changes from one room to another inside a warehouse with its artifacts in Winnipeg. Those rooms had been manipulated by somewhat damaged projector by the artist. Surprisingly, the result of that projection is a montage about an old house, as the current state of the warehouse Winnipeg. -Hafiz

Rhayne Vermette adalah seorang seniman, sutradara dan DJ dari Winnipeg, Manitoba. Dia memiliki latar belakang English Literature dan melanjutkan magister arsitektur di Universitas Manitoba. Dia salah satu anggota dari Winnipeg Film Group.

Rhayne Vermette is an emerging artist, filmmaker, and DJ from Winnipeg, Manitoba. Her educational background was English Literature and she had her Master Degree in Architecture from University of Manitoba. She is one of member of Winnipeg Film Group. http://mbcoldstorage.tumblr.com/

35


Agenda: IC 11

Country of Production: South Korea Language: Korea Subtitles: English 38 min, Color & B/W, 2012

Generator of Duriban Wonwoo Lee (South Korea)

Duriban adalah nama sebuah restoran yang akan digusur pemerintah demi kepentingan kelanjutan pembangunan di kota Seoul. Pemiliknya yang notabene juga adalah warga negara tidak tinggal diam ketika tempatnya mencari penghidupan direnggut secara paksa. Listrik dimatikan, namun semangatnya tak pernah surut. Film ini bukanlah melulu tentang korban penggusuran, namun semangat di belakang orang-orang yang tergusur itu. -Yuki Aditya

Duriban is the name of a restaurant that would be demolished by the Government for the sake of the continuation of development in the city of Seoul. The owner is also one of citizens of the metropolitan city, they couldn’t stay silent when their livelihood were snatched away forcefully. The electricity was turned off, but his their spirits were never subsided. This film is not merely about the victims of the eviction, but the spirit of the people who inhabits itm they are few of many ‘generators’ in that city. -Yuki Aditya

Wonwoo Lee mulai membuat filem sejak tahun 2006 di film lab di Seoul. Kebanyakan filmnya dibuat dengan kemampuan tangannya. semua filemfilemnya berbicara tentang sejarah personal dan emosi.

36

Wonwoo Lee start filmmaking since 2006 in hand-made film lab in Seoul. Most films made by handmade film making way. All of films talking about personal history and emotion.


Agenda: IC 4

Country of Production: Japan Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 42min, B/W, 2008

Climax

Shinkan Tamaki (Japan) Sebuah komposisi visual yang disusun secara acak dari proses afdruk (develop) yang dilebih-lebihkan. Dari emulsi yang berlebihan itu, menghasilkan gambar-gambar yang tak biasa. Sebuah komposisi visual yang menggambarkan proses kimiawi yang mengelupas. -Hafiz

A visual composition which arranged randomly from an excessive print process. From the overmuch emulsion, bring out the unusual images. A visual composition that reflected a process of chemical flakiness. -Hafiz

Shinkan Tamaki lahir tahun 1982 di Jepan, mulai membuat gambar bergerak dengan kamera film 16mm . tujuan utamanya adalah untuk memprovokasi perubahan dalam presepsi dengan datang dan menyeberangi batas dari gambar saat menggali material film. Karya-karyanya telah di tanyangkan di berbagai festival film, termasuk Rotterdam Film Festival.

Shinkan Tamaki born in 1982, Japan. Started making moving image with 16mm film in 2006. Main theme is to instigate changes in perception by coming and going across the border of images while extracting film’s materiality. The works have been screened at many film festivals, including International Film festival Rotterdam.

37


Agenda: IC 12

Country of Production: South Korea Language: Korea Subtitles: English 19 min, Color, 2011

Pretty Good Look

Youngnam Kim, Jungwha Jung, Minho Jo, Sohyun Moon, Goeun Bae, Seungbum Hong (South Korea) Filem ini merupakan pseudo-dokumenter yang menggabungkan pertunjukan, fiksi, dan situasi sebenarnya. Sebuah studi yang berusaha melihat bagaimana masyarakat Korea Selatan menyeragamkan definisi fisik orang yang terlihat mencurigakan. -Bunga Siagian

This pseudo-documentary film which mixes the art of performance, fictions and real situation. A study to examine how South Korean society generalizing the definition of physical appearance of suspicious persons. -Bunga Siagian

KIM Youngnam belajar membuat film di Universitas Seni Korea. Dia mengambil jurusan seni rupa (seni video) di MFA.

KIM Youngnam Studied filmmaking in the Korea National University of Arts. He Majored in fine arts (video art) in MFA at Karts.

JUNG Jungwha mengambil Diploma di Akademi Seni Marseilles (Prancis) dan Akademi Seni di Hamburg (Jerman).

JUNG Jungwha Diplomed at the Academy of Arts in Marseilles (France) and the Academy of Arts in Hamburg (Germany).

MOON Sohyun mengambil jurusan seni rupa (seni video) di MFA. JO Minho mendapatkan Master seni rupa Universitas Negeri Korea. HONG Seungbum mengambil jurusan seni rupa (seni video) di BFA/MFA. BAE Goeun mengambil jurusan di seni rupa (seni video) di MFA, saat ini tinggal di Rijksakademie, Belanda.

38

MOON Sohyun Majored in fine arts (video art) in MFA at Karts. JO Minho Studied a Master degree of fine art at Korea National University of Arts. HONG Seungbum Majored in fine arts(video art) in BFA/MFA at Karts. BAE Goeun Majored in fine arts (video art) in MFA at Karts. She stayed in Rijksakademie residency in Netherlands now.


Agenda: IC 12

Country of Production: Egypt Language: Arabic Subtitles: English 17min, Color, 2012

A Man Since Long Time Mahmoud Yossry (Egypt)

A Man Since a Long Time, dokumenter pendek yang mengkisahkan tentang pandangan sejumlah remaja di Mesir yang harus menghadapi sebuah aturan kultural dan agama yang mengekang ekspresi seksualitas. Perkembangan teknologi, sangat memungkinkan para remaja untuk mengakses dunia pornografi yang mengglobal. Sedemikian hingga pandangan seksualitas dari para remaja Mesir pun mengalami pergeseran. Filem ini mengisahkan sisi liberal dari kebudayaan anak remaja Mesir kekinian, dan footage-footage keseharian di kota Kairo yang semakin liberal. -Akbar Yumni

A Man Since a Long Time, is a short documentary about the view of a number of teenagers in Egypt who has to face a cultural and religious rules curbing their expression of sexuality. The development of technology made the access to the pornography world more possible to the teenagers more than ever. Therefore their perspective of sexuality has shifted. This film examines the liberal side of modern culture of the adolescent in Egypt, and the footages of daily lives in Cairo—a city that is getting more liberal every day. -Akbar Yumni

Mahmoud Yossry masih berstatus mahasiswa di High Cinema Institute, Mesir. Ia mempelajari Editing dan Penyutradaraan. Ia banyak terlibat dalam proyek-proyek film yang dikerjakan bersama sekolahnya, baik film fiksi maupun dokumenter.

Mahmoud Yossry is still a student In High Cinema Institute In EgyptHe studies film editing and directing. He has edited a lot of projects at his institute, including short narrative film and documentary film. This documentary is his first film.

39


Agenda: IC 11

Country of Production: Ukraine Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitles 8 min, Color, 2011

Park of Contemporary Culture Dmytro Bondarchuk (Ukraine)

Sebuah taman menawarkan hiburan kontemporer menarik bagi warga Ukraina. Berisi berbagai macam karya seni berupa patung dengan berbagai bentuk, warna dan fungsi. Mungkin tempat ini adalah satu-satunya taman hiburan -bukan komersil yang mampu mendatangkan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa kedalam satu kegembiraan yang sama. -Bunga Siagian

An amusement park offers a contemporary appeal to the citizens of Ukraine. It is filled with works of art such as sculptures in various shapes, colors and function. Maybe this place is the only noncommercial amusement park that can bring the kids, teens, and adults into the same excitement. -Bunga Siagian

Dmytro Bondarchuk lahir 10 April, 1988. Lulus dari Institut Jurnalisme Universitas Taras Shevchenko di Kiev tahun 2010. Dia adalah kritikus filem independen dan pembuat filem pendek eksperimental serta animasi di serikat seni MIKNU (Ukraina)

40

Dmytro Bondarchuk was born April 10, 1988. Graduated from Institute of Journalism Kyiv Taras Shevchenko National University in 2010. He is independent film critic and maker of short experimental and animation movies in the art union MIKNU (Ukraine).


Agenda: IC 4

Country of Production: India Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitile 2 min, Color, 2013

Preludes I

Rahee Punyashloka (India) Kilatan gambar muncul dari komposisi kabut di ruang gelap yang terus bergerak. Komposisi ini memaksa penonton untuk untuk mencari gambargambar dalam gerakan seperti gelombang, yang menstimulasi pada memori yang tak terduga. -Hafiz

Flashes of images that emerged from a moving haze composition in the dark room. The composition is forcing the audience to look for images in wavelike motion, which stimulates the unexpected memory. -Hafiz

Seniman visual dan sutradara yang dipengaruhi oleh karya-karya Hollis Frampton dan Pat O’Neil diantara lainnya. Saat ini, sedang mencoba mengeksplorasi kesalahan tempat dari ‘esensi eontologis dari gambar’ dalam seloluid ke lebih kompleks ikonografi gambar digital. Eksplorasi ini berakar dari perbedaan medium digital dan seloluid, dan seharusnya tidak dibatasi sebagai pengganti film.

Visual artist and filmmaker, majorly influenced by the works of Hollis Frampton and Pat O’Neill among others. Recently, I have tried to explore a displacement from the ‘ontological essence of the image’ in celluloid to more complex iconographic possibilities of representation through the digital image. This exploration is rooted in the conviction that the digital medium is inherently different from Celluloid, and thereby must not be limited to being a mere substitute for film.

41


Agenda: IC 11

Country of Production: Germany Language: English Subtitles: No Subtitles 7 min, Color, 2013

Momentum

Boris Seewald (Germany) Momentum bukanlah sekedar f ilem yang mendokumentasik an ta rian, tapi juga mengaplikasikan siasat-siasat sinema dalam proses penyusunan gambarnya. Teknik jump-cut dan exposure ganda rapih dipakai untuk menangkap gerak cepat, dinamis, dan menghibur dari seorang pria bernama Patrick yang mengingat kembali tariannya saat mengambil penganan keripik tortilla di sebuah pesta. Momentum sendiri adalah sebuah pesta kecil pribadi bagi Patrick dan ibunya, yang tak cukup diabadikan hanya dengan sebuah foto yang membatasi kinetika-nya. -Yuki Aditya

Momentum is not just a film which document a dance, but also applying various cinematic tactics in the construction process of the images. Jumpcut technique and double exposure neatly used to capture fast, dynamic, and entertaining motions from a man named Patrick recalling his dance when eating tortilla chips at a party. Momentum itself is a small private party for Patrick and his mother. A party which is not quite sufficient to be immortalized through a photograph only because then would limit their kinetics. -Yuki Aditya

Besar di jerman, Boris Seewald pertama memasuki dunia media digital desain dan bermain musik di berbagai band. Dia pindah ke Berlin tahun 2005 dengan tujuan jelas untuk mengejar karir di film dan mulai bekerja dengan proyeknya sendiri dan mengembangkan pengalaman kerja di bidang ini. Memiliki bakat untuk mengkordinasi gambar dan suara, Boris mencari bentuk dari ekspresi dalam irama ilustrasi musik.

42

Raised in Central-West Germany, Boris Seewald first ventured into digital media design and played music in various bands. He moved to Berlin in 2005 with a clear intention of pursuing a career in film, and began work on his own film projects and developing work experience in this field. Owing to his innate ability to coordinate image and sound, Boris seeks his form of expression in the rhythmical illustration of music. www.borisseewald.de


Agenda: IC 8

Country of Production: Indonesia Language: Javanese, Japanese, Bahasa Indonesia, English Subtitles: English 22 min, Color, 2013

Canggung (The Awkward Moment) Tunggul Banjaransari (Indonesia)

Kota Solo menjadi tempat bertemu sekelompok orang Jepang yang sedang mengunjungi keluarga jauhnya di Indonesia. Dua kelompok orang tersebut tidak saling mengerti bahasa satu sama lainnya. Penghubung mereka hanyalah seorang pria Jawa yang mampu berbahasa Jepang dan sebuah kamera. Visual minimalis dan konsep perekaman sebuah reuni dari orang-orang yang sebelumnya hanya kenal melalui cerita verbal tanpa pernah bertemu sebelumnya, membuat kita merasa canggung di rumah sendiri dan di tempat yang menyimpan kisah lama sejak puluhan tahun lalu. Filem ini adalah sebuah dokumenter tentang persinggungan dua budaya, dua sejarah, dan dua kebiasaan. Penonton akan dibawa mejadi bagian dari pertemuan yang membiarkan suara tertentu terdengar dan membiarkan suara lainnya tetap diam. -Yuki Aditya

The city of Solo becomes a meeting point of a group of Japanese who were away to visit their family in Indonesia. Those two groups are not mutually understand each other language. What and who connects them are a Javanese man who speaks Japanese and a camera recorder. Visual minimalism and the concept of recording a reunion of people who previously only known through verbal stories without ever having met before, made us feel awkward in our own home and at a place that holds old stories since many years ago. This film is a documentary about the intersection of two cultures, two histories, and two traditions. The audience will take part in the meeting which allows certain voice to be heard and let the others remain silent. -Yuki Aditya

Tunggul lahir di Solo pada 30 September 1988. Tumbuh dan berkembang atas didikan keluarga petani yang mungkin mujur berbelok menjadi seniman sekaligus akademisi seni. Ayah dan saudara-saudara kandungnya mahir mempermainkan musik, namun Tunggul hanya bisa mendengar, bermain pun tidak. Karena sadar mendengar itu membosankan, ia memutuskan mulai sering menonton filem ketika masih SD. Hingga mulai memberanikan diri membuat rekaman-rekaman video selepas SMA.

Tunggul was born in 30 September 1988. Raise in farmer family, he was lucky enough to learn and become an artist. His father and brothers adept playing musical instrument, he was an exception because he didn’t have ability to play, so he decided to watch film, since elementary school and began presume making videos after high school.

43


Agenda: IC 6

Country of Production: Italy Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitles 16 min, Color, 2013

Kaputt/Katastrophe Luca Ferri (Italy)

Filem pendek eksperimental yang unik, berani, dan provokatif. Eksperimen Kaputt/katastrophe terletak pada permainan tempo dari rangkaian gambar yang disajikan, pemotongan dialog, penggunaan suara, dan yang terutama adalah keselarasan antara elemen-elemen sinematik. Filem ini mengajak kita untuk terus-menerus memperbaharui perspektif kita tentang sinema lewat berbagai permainan sudut pandang. -Rajiv Ibrahim

A provocative assault on the senses, Kaputt/ katastrophe forces us to rearrange our perspectives continuously as the film bulldozes through its chaotic interplay of sight and sound. Dialogues cut, tempo distorted, and images rearranged accordingly. In short, a reflection on the inner workings of cinema. -Rajiv Ibrahim

Luca Ferri (Bergamo, 1976) bekerja dengan gambar dan teks. Saat 2005 hingga 2008 dia menyutradarai filem berdurasi pendek, sedang dan panjang yang diikuti berbagai kompetisi dan eksebisi. Saat 2011 Magog (atau Epiphany of The Barn Owl) ditayangkan di Bergamo; tahun 2012 filem tersebut terpilih untuk beberapa festival filem, seperti Mostra Internazionale del Nuovo Cinema (Pesaro).

44

Luca Ferri (Bergamo, 1976) works on images and words. In 2005/2008 he directed short, medium and feature-length films that took part in competitions and were hosted in exhibitions. In 2011 Magog [or Epiphany of The Barn Owl] was screened in Bergamo; in 2012 it has been selected for some film festivals, such as 48th Mostra Internazionale del Nuovo Cinema (Pesaro). www.ferriferri.com


Agenda: IC 12

Country of Production: Spain Language: Spain, French Subtitles: English 15 min, Color, 2012

Ancestral Delicatessen Gabriel Folgado (Spain)

Kenari, keledai, hewan-hewan ternak, dan lebih banyak kenari. Begitulah sumber daya alam sebuah desa kecil tak bernama dalam Ancestor Delicatessen. Didedikasikan untuk saudara lakilaki sang sutradara, filem pendek sederhana ini mengkronologikan bagaimana para warga mengolah sumber daya alam sekitar mereka jadi makanan sehari-hari, lewat pergerakan kamera statis dan pengaturan bebunyian yang rancak. Makanan khas mereka: marron glance, sepiring kenari beku. -Rajiv Ibrahim

Canaries, donkeys, various livestock, and more canaries. Such diversity in the nameless hamlet captured in Ancestor Delicatessen. Dedicated to the brother of the filmmaker, this simple and sweet film chronicles how the locals make use of the natural resources around them into edibles, through static camerawork and neat arrangement of sounds. Their specialty: marron glance, a dish of frozen canaries. -Rajiv Ibrahim

Gabriel Folgado lahir di Leon, Spanyol 12 Mei tahun 1970. Lulusan Sinema dari Universitas Leon. Pada 2004 dia menyutradarai filem pendek pertamanya Vilapicardo diikuti dengan La embajada Toscana di tahun 2005. Dia juga mengajar di Universitas Leon, dokumenter pertamanya Interior landscapes telah di akui dan diberi penghargaan lebih dari 30 festival filem di seluruh dunia. Di antaranya menerima tujuh nominasi Goya Awards tahun 2011 dan penghargaan bergengsi “Golden Botillo”. Ancestral Delicatessen adalah dokumentar keduanya bersama Catoute Films, perusahaan filemnya.

Gabriel Folgado was born in León, Spain (May 12, 1970). He has a degree in cinema from the University of León. In 2004 he directed his first short film Vilapicardo followed by La embajada toscana in 2005. He has also spent time teaching at León University. His first documentary Interior landscapes has been shortlisted and awarded in over 30 worldwide film festivals. Amongst others, it received seven nominations in the 2011 Goya Awards and the prestigious “Golden Botillo” prize. Ancestral delicatessen is the second documentary he has directed with Catoute Films, his production company. http://gabrielfolgado.webnode.es/

45


Agenda: IC 7

Country of Production: Germany Language: Germany Subtitles: English 7 min, Color, 2011

Volkspark

Kuesti Fraun (Germany) Volkspark, merupakan karya dokumenter dengan menempatkan taman sebagai sebuah sistem sosial baru. Dokumenter ini menampakkan bagaiman respon orang-orang yang berada di taman ketika diterapkan sebuah sistem baru yang asing bagi mereka. Sampai kemudian, sang sutradara bersama reporternya, membuat sebuah sistem sosial pada taman tersebut dengan sesuatu yang ekstrem, yakni barang siapa melintas akan dikenai pajak. Dan akhirnya penerapan sistem sosial baru di taman tersebut harus mengalami sebuah tindakan yang mengarah pada kekerasan dan kamera pun dilarang merekam. -Akbar Yumni

Volkspark, is set in the park as a new social system. This documentary reveals how the response of the people who were in the park when a new system is implemented. The filmmaker along with his interlocutor are creating an extreme social system in the park, that whoever wants to pass will be taxed promptly. Finally the application of the new system has to face an act of violence where camera are then banned from recording. -Akbar Yumni

Kuesti Fraun tinggal dan bekerja sebagai produser independen, seniman performance dan videografer di Berlin dan DĂźsseldorf. Banyak memproduksi karya mulai dari seni media sampai cerita fiksi tradisi dalam medium audiovisual sejak 1999.

46

Kuesti Fraun lives and works as an independent producer, performance artist and videographer in Berlin and DuĚˆsseldorf, producing projects from media art to traditional fictional stories in pictures and sound since 1999.


Agenda: IC 10

Country of Production: Germany Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitles 1 min, B/W, 2012

Ben

Kuesti Fraun (Germany) Ben memuat hanya satu bidikan, tentang Ben Jhonson, mantan juara dunia lari 100m, berlari dalam gerak lambat. Karya ini mengeksplorasi tentang bentuk dan gestur tubuh. Olah kamera menghadirkan antara ekspresi wajah yang berlari semakin kuat, dengan bidikan kamera yang merekam secara lambat. Kekuatan bentuk dan gerak gambar ini yang diperkuat, didramatisir bahkan, dengan penggunaan suara yang apik. -Akbar Yumni

Ben contains only one shot: a shot of Olympic winner Ben Jhonson running in slow-motion. Through that solitary shot, Kuesti Fraun showcases the potency of cinema in capturing humanity in its minute mundane details. The camera moves smoothly, focusing on every little change in the runner’s face. Such visual exploration then is augmented, dramatized even, by an exquisite array of sounds. -Akbar Yumni

Kuesti Fraun tinggal dan bekerja sebagai produser independen, seniman performance dan videografer di Berlin dan DĂźsseldorf. Banyak memproduksi karya mulai dari seni media sampai cerita fiksi tradisi dalam medium audiovisual sejak 1999.

Kuesti Fraun lives and works as an independent producer, performance artist and videographer in Berlin and DuĚˆsseldorf, producing projects from media art to traditional fictional stories in pictures and sound since 1999.

47


Agenda: IC 4

Country of Production: Canada Language: Mongolian Subtitles: English 5 min, Color, 2013

Tears of Inge

Alisi Telengut (Canada) Sebuah cerita sederhana yang menyetuh tentang hubungan manusia dan unta dari Mongolia. Cerita yang diriwayatkan oleh nenek sang sutradara. Elisi Telengut berhasil menggambarkan hubungan emosional ini dengan guratan-guratan garis warnawarni dalam animasi yang memukau. -Hafiz

A simple touching story about a human and a camel friendship in Mongolia. This story is told by the director’s grandmother. Elisi Telengut described the emotional relationship with the colorful line sketching in dazzling animation. -Hafiz

Alisi Telengut lahir 1989, lulus dari BFA jurusan Filem Animasi dan akan mengambil Master Produksi Filem di Sekolah Filem Mel Hoppenheim, Universitas Concordia. Dia bereksperimen dan mengeksplorasi animasi di bawah kamera melalui lukisan, warna dan tekstur, di tahun 2012 dia menyelesaikan kuliahnya. Tengri, yang dibuat dengan menambah dan menghilangkan warna per-adegan menerima empat penghargaan di festival filem dan telah diperkenalkan ke lebih dari 24 festival filem selama juni 2013.

48

Alisi Telengut, born in 1989, graduated from the BFA in Film Animation and is going to pursue a MFA in Film Production at the Mel Hoppenheim School of Cinema, Concordia University. She experiments and explores animation under camera through painting, colors and textures. In 2012, she finished her graduation film, Tengri, which was created by adding and removing colors frame by frame, received four awards in film festivals and has been presented in more than twenty film festivals up to June 2013. http://cargocollective.com/AlisiTelengut


Agenda: IC 10

Country of Production: The Netherlands Language: Spanish Subtitles: English 9 min, Color, 2013

Una Ciudad a Traves de Unos Espacios (A City Through Different Spaces) Linda Bannink (The Netherlands)

Karya-karya Linda Bannink selalu membicarakan persoalan urban. A City Through Different Spaces tak terkecuali. Filem ini mengajak kita melihat interaksi sutradara dengan ruang-ruang kota di México City melalui orang-orang yang tibatiba hadir ‘tanpa sejarah’ di tengah-tengah kota. (Mahardika Yudha) Filem ini memiliki latar persoalan yang sangat mirip dengan kota-kota di negaranegara Asia, seperti Indonesia. Urbanisasi telah melahirkan berbagai macam persoalan sosial, bahkan mentalitas warga. -Mahardika Yudha

The works of Linda Bannink are unified by its exploration on urban issues. A City Through Different Spaces is no exception. The film invites us to roam the urban spaces of Mexico City through the eyes of the anonymous masses that dwells the downtown area. This film paints a catalogue of societal problems brought about by rampant urbanization; among them is physical and psychological dissonance of the people to things around them. Similar situation could also be found in many Asian cities. -Mahardika Yudha

Linda Bannink (Alkmaar, 1975) tinggal dan bekerja di Amsterdam, Belanda, di tahun 2000 dia lulus dari Akademi Gerrit Rietveld Amsterdam dan pada 2002, dia menyelesaikan program residensinya di Rijksakademie van Beeldende Kunsten Amsterdam. Filem dan instalasinya telah ditampilkan di museum/galeri skala nasional dan internasional. Sejak 2002 dia mengorganisir beberapa proyek dokumenter kolaboratif untuk inisiatif seniman “El Despacho”, yang telah diadakan di beberapa tempat seperti Meksiko, Belanda dan Maroko

Linda Bannink (Alkmaar, 1975) lives and works in Amsterdam, The Netherlands. In 2000 she graduated at the Gerrit Rietveld Academy in Amsterdam and in 2002 she completed her residency at the Rijksakademie van beeldende kunsten Amsterdam. Her films and installations have been shown in national and international museums/ galleries and festivals. Since 2002 she has been organizing and assisting on several collaborative documentary projects for the Mexican/Dutch artist initiative ‘el despacho’, which have been taken place amongst other countries in Mexico, The Netherlands and Morocco. www.lindabannink.com /www. eldespacho.org

49


Agenda: IC 9

Country of Production: Jordan Language: Arabic Subtitles: English 16 min, Color, 2012

Wojoh (Face)

Said Najmi (Jordan) Cerita mengenai sebuah keluarga Bedouin yang mengalami kesulitan untuk pindah ke kota. Dimana kehidupan perkotaan berkebalikan dengan tempat tinggal mereka sekarang dan sebaliknya. -Bunga Siagian

A story about a Bedouin family who struggle to move out to the big city. Where they are still not sure whether the life in the city will be better than the life they are doing now. -Bunga Siagian

Said Najmi (1980) lahir dan besar di Jordan. Menerima beasiswa dari Sekolah Seni Sinema MFA pada 2008. Saat ini sedang menyiapkan filem pendek selanjutnya, menulis untuk filem panjang dan bekerja lepas di MENA Region.

50

Said Najmi (1980) born and raised in Jordan. An award-winning director, was granted a scholarship in MFA Cinematic Arts in 2008. Currently preparing for his next short, writing his feature, and freelancing in the MENA region and internationally.


Agenda: IC 11

Country of Production: France Language: French Subtitles: English 15 min, Color, 2012

Les Fantômes de l’escarlate (The Ghosts and The Escarlate)

Julie Nguyen van Qui (France)

The Ghosts and the Escarlate berlatar di sebuah pabrik pembuatan benang wol. Suara manusia yang terdengar bukan dari para pekerja di dalamnya, melainkan dari narasi yang dibawakan melalui voice-over seorang pria yang menceritakan sebuah kisah persaingan bisnis ratusan tahun lampau. Kamera menelusur dan menelisik ruangan-ruangan di dalam pabrik tersebut dari sudut yang canggung, Imajinasi dan fantasi penonton ditantang untuk percaya dan paham tentang tempat yang tak kita kira sebelumnya. -Yuki Aditya

The Ghosts and the Escarlate is set in a wool factory. The voice of human is not coming from the workers, but from the narration delivered through voiceover of a man telling a story of a business rivalry hundreds years ago. The camera explores and browses the rooms inside the factory from awkward angles, The imagination and fantasy of the audience are challenged to believe and understand a place they never think before. -Yuki Aditya

Lulus dari seni terapan dan antropologi, Julie Nguyen van Qui berlatih dalam menulis dan sutradara dokumentar di Universitas Paris Diderot, di mana dia meembuat filem pertamanya, The Ghosts and The Escarlate.

Graduate of applied arts and anthropology, Julie Nguyen van Qui was trained in writing and documentary filmmaking at the University Paris Diderot, whereby she directed her first film, The Ghosts and The Escarlate.

51


Agenda: IC 10

Country of Production: Indonesia Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 4 min, Color, 2013

The Flaneurs #3

Aryo Danusiri (Indonesia) Potret masyarakat urban ibukota. Fokusnya adalah kelompok pengajian yang melakukan perjalanan keliling Jakarta dengan menggunakan sepeda motor secara beramai-ramai dan menggelar pengajianpengajian massal di tepi jalan. Sebuah Fanatisme yang tersusun dengan kuat dalam 4 menit. -Bunga Siagian

A portrait of urban community in the capital city. The focus is a religious group that travels around Jakarta using motorcycle and held mass recitations by blocking some roads. A fanaticism feast which is structured powerfully in 4 minutes tour-de-force. -Bunga Siagian

Aryo Danusiri adalah sutradara dokumenter dan antropolog yang lahir di Jakarta 1973. Karya-karyanya telah menjelajahi sirkulasi dari kode-kode baru, kekerasan dan ingatan dalam mengkonfigurasi kembali ranah politik dan sosial dari pasca-otoritarian indonesia setelah 1998. Karyanya telah di tayangkan di berbagai festival termasuk Rotterdam, Amnesty Amsterdam, Mead Festival dan Yamagata “New Asia Current”

52

Aryo Danusiri is a documentary filmmaker and anthropologist born in Jakarta in 1973. His works have been exploring the circulations of new keywords, violence and memory in reconfiguring political and social landscape of post-authoritarian Indonesian 1998. Those works have premiered at various festivals, including Rotterdam, Amnesty Amsterdam, Mead Festival and Yamagata “New Asia Current.”


Agenda: IC 11

Country of Production: USA Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 3 min, Color, 2012

Chroma

Jeremy Moss (US)

Dalam durasi tiga menit, Chroma memadukan warna-warna flicker, gerakan dan lekuk-lekuk tubuh, serta permainan tempo flicker sebagai bahasa sinematik. Penonton diajak untuk memfokuskan pandangannya (vision) dalam perebutan ‘ruang pada frame’ antara performer yang berwarna hitam dengan warna-warna flicker yang menjadi latarnya. -Mahardika Yudha

In only three minutes, Chroma serves a bold mixture of flickering colors, body movements, and tempo changes as its mode of cinematic narration. The film forces the eye to look for focus in the struggle for space, between the dark-costumed performer and the flickering landscape of myriad colors. -Mahardika Yudha

Jeremy Moss adalah seniman gambar gerak, kurator dan guru. Filem dan videonya telah ditayangkan di festival, museum dan berbagai tempat di dunia. Karyanya dengan jelas mendobrak sesuatu yang baru dan pengalamanpengalaman alternatif, baik kultural maupun estetik. Menjelajahi hubungan gerak tubuh dengan gerak frame dan efek kinetik yang terjukstaposisi. Dia adalah Asisten Profesor Film & Media Studies Franklin & Marshall College di Lancaster.

Jeremy Moss is a moving image artist, curator, and teacher. His films and videos have screened at festivals, museums, and various venues throughout the globe. His work clearly pushes for new and alternative experiences, both cultural and aesthetic, exploring the relationship of moving bodies within moving frames and the kinetic impact of jolting montage juxtapositions. He is an Assistant Professor of Film & Media Studies at Franklin & Marshall College in Lancaster, PA.

53


Agenda: IC 5

Country of Production: France Language: French Subtitles: English 28 min, Color, 2013

Le Jour a Vaincu la Nuit (The Day Has Conquered the Night) Jean-Gabriel PĂŠriot (France)

Berkisah tentang delapan narapidana yang mengungkapkan mimpi dan suasana hati yang sedang mereka alami. Pendekatan dokumenter ini sangat sederhana, dengan menampatkan subyek di hadapan kamera untuk mengungkapkan suasana hati dan mimpi mereka, namun sang sutradara menghadirkan emosi para narapidana yang diwakili dan melalui irama musik. Bentuk bidikan yang sederhana dalam merekam para napi tersebut menggambarkan ekspresi visual dari kejenuhan para napi yang berada di dalam penjara. -Akbar Yumni

The Day Has Conquered the Night chronicled the dreams and aspirations of eight inmates in a prison somewhere in France. The approach of this documentary is very simple. The filmmaker let the inmates talk about whatever they want to the camera. Emotions then are emphasized through various melodies of music that accompany their confession. Soon all these audiovisual cues lead to one thing: repetition, that is emblematic of the boredom felt by the inmates of the life they lead behind prison bars. -Akbar Yumni

Jean-Gabriel PĂŠriot adalah seorang seniman dan sutradara yang tinggal di Tours, Prancis. Karya-karyanya telah banyak ditampilkn di seluruh dunia dan memenangkan beberapa penghargaan, diantaranya; Grand Prix di Festival Filem Internasional Tampere-Finlandia, dan Filem Pendek Terbaik di Festival Filem Internasional Cork, Irlandia.

54

Jean-Gabriel PĂŠriot is an artist and filmmaker based in Tours, France. His work has been shown extensively around the world winning a number of awards including the Grand Prix at the Tampere International Film festival, USA and Best International Short at the Cork International Film festival, Ireland.


Agenda: IC 6

Country of Production: Russia Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 3 min, Color, 2012

Hermeneutics

Alexei Dmitriev (Russia) Hermeneutics bermula dengan footage-footage perang, dan berakhir dengan footage-footage perayaan pesta kembang api. Sedari awal para penonton diajak melihat tentang gambaran perang melalui ledakan-ledakan dan cahaya dari bom yang diluncurkan dan meledak. Cahaya ledakan berkesinambungan dengan cahaya kembang api dalam sebuah perayaan. Eksperimen ini membawa ketaksaan (ambiguitas) kisah tentang dua peristiwa yang berbeda yang dipertemukan pada suatu kode visual yang hampir serupa. Sedemikian hingga membawa penonton untuk merenungkan ulang pengertian kode visual secara hermeneutis. -Akbar Yumni

Hermeneutics begins with war footages, ends with footages from firework shows. From the beginning, the film forces us to identify with the explosion apparent in both activities. This visual exploration leads to ambiguity, of two extremely contrasting events that somehow are defined by similar visual codes. As the title suggests, the film ask us to reconsider the way we perceive visual codes hermeneutically. -Akbar Yumni

Alexei Dmitriev adalah seniman visual, kurator dan programmer yang tinggal di Rusia.

Alexei Dmitriev is visual artist, curator and programmer who living in Russia.

55


Agenda: IC 8

Country of Production: UK Language: English Subtitles: English 14 min, Color, 2013

Hitching The A1 Gary McQuiggin (UK)

Hitching A1 adalah dokumenter perjalanan sang sutradara dari London ke Edinburgh dengan menumpang kendaraan orang lain. Dalam perjalanannya, dokumenter ini merekam dialog keseharian yang spontan dari perjumpaan antara dua pihak yang belum saling kenal. Cara Gary McQuiggin membidik dan menyusun gambarnya mengimpresikan panorama lokasi dan pemetaan tradisi tua yang humanis di Inggris tentang fenomena orang menumpang mobil ditengah jalan (hitchhiking). -Akbar Yumni

Hitching A1 is a road documentary of the filmmaker’s journey from London to Edinburgh by hitchhiking. In a way, this documentary records the daily spontaneous dialogue from the encounter between two sides who have not known each other beforehand. How Gary McQuiggin shoots and composes his images giving an impression of panoramic location and the process of mapping an old yet humane tradition in England about the hitchhiking phenomenon. -Akbar Yumni

Gary McQuiggin lahir di kota Shrewsbury, Inggris pada 1988. Ia mendapat gelar sarjana Filem dan Video di University of Arts pada 2008. Dia tertarik dengan landscape art, trik kamera, paham D.I.Y. (Do It Your Self) punk, radikalisme dan membuat filem diari. Karyanya telah diputar dalam festival (hampir) seluruh Eropa (termasuk Cannes dan Sheffield Doc/ Fest), Televisi-televisi yang dapat diakses oleh publik di Amerika; seperti instalasi, layar tancap maupun TV-Wall Projection.

56

Gary McQuiggin (b. 1988) was born in the English town of Shrewsbury, studied BA Film & Video at the University of the Arts in 2008. He has an interest in landscape art, camera trickery, DIY punk, radicalism and diary filmmaking. His work has been screened across Europe at festivals (including Cannes & Sheffield Doc/Fest), on public access television in the US, as installations, in squatted cinemas and on the walls of a fortress


Agenda: IC 6

Country of Production: China Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 12 min, Color, 2012

. . . And the Wound Closed Wearily Ian Dele贸n (Brazil)

Filem yang menjukstaposisikan mitos dan sejarah, antara kisah Yunani kuno: Prometheus yang dihukum oleh dewa-dewa karena telah memberikan api bagi manusia dan sejarah pemimpin revolusi rakyat Cina, Mao Zedong. Filem ini memberikan gambaran seimbang tentang Mao, sebagai pemimpin revolusi, pemersatu Cina, dan manusia biasa. -Afrian Purnama

The film juxtaposes a myth and history, between the ancient Greek myth about Prometheus who was punished by gods because give the fire to a human, and the story of Chinese people revolution leader, Mao Zedong . This film tries to give balanced images about Mao, as a revolution leader, unifier, and a human being. -Afrian Purnama

Ian Dele贸n mendapat gelar Sarjana Seni Murni dari jurusan Studio for Interrelated Media pada Massachusetts College of Art di Boston 2011. Praktek seni keseharian terdiri dari penolakan kecenderungan partisipasi yang pasif dalam budaya populer.

Ian Dele贸n received a B.F.A. from the Studio for Interrelated Media department at Massachusetts College of Art in Boston in 2011. Their daily art practice consists of rejecting the tendency to participate passively in popular culture.

57


Agenda: IC 6

Country of Production: USA Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 5 min, Color, 2012

Marshy Place Across Lorenzo Gattorna (US)

Sebuah dataran pesisir pantai di Maryland yang dipenuhi beragam vegetasi alami, juga sejarah lampau masyarakat Indian di Amerika yang direpresentasikan oleh keberadaan kuda liar yang hidup damai tanpa intervensi manusia. Marshy Place Across mencoba menyebrangi sejarah Amerika melalui gambar bergerak sebuah tempat yang lekat dengan imajinasi. -Afrian Purnama

A coastal plain in Maryland filled with diverse vegetation, and also the history of American Indian people represented by the presence of wild horses that lives peacefuly and in harmony without human intervention. Marshy Place Across tries to cross American history through moving images of a place with imagination. -Afrian Purnama

Lorenzo Gattorna adalah pembuat filem atau programmer yang tinggal di Baltimore. Filem pendeknya telah diputar dalam berbagai eksebisi yang diadakan antara lain oleh; CCNY, Chicago Underground Film Festival, LMAK projects, Maryland Film Festival, Maysles Cinema, Microscope Gallery, NYFF, Plug Projects and UnionDocs. Baru-baru ini dia menerima Creative Alliance Media Makers’ Fellowship 2012.

58

Lorenzo Gattorna is a filmmaker/ programmer residing in Baltimore. His short films have been screened in exhibitions associated with CCNY, Chicago Underground Film festival, LMAKprojects, Maryland Film festival, Maysles Cinema, Microscope Gallery, NYFF, Plug Projects and UnionDocs. He recently received the 2012 Creative Alliance Media Makers’ Fellowship.


Agenda: IC 10

Country of Production: Taiwan Language: Mandarin Subtitles: English 24 min, Color, 2013

Journey of Consciousness (Awareness Journey) Yi-Yu Liao (Taiwan)

Sebuah filem berlatar di Taiwan, tentang bagaimana masyarakat yang mempertahankan tradisi nenek moyang sebagai pelarian bahkan solusi terhadap berbagai masalah khas masyarakat moderen. Khususnya menghadapi kiamat 2012. -Bunga Siagian

A film that takes place in Taiwan, and how people maintain the tradition of the ancestors as an escape or even solution to the typical problem in modern society they live in. Especially in welcoming the doomsday in 2012. -Bunga Siagian

Yi-Yu Liao, belajar filem di CalArts. Sekarang bekerja sebagai seorang editor seni.

Yi-Yu Liao studied film in CalArts, now is working as an art editor.

59


Agenda: IC 9

Country of Production: Ukraine Language: Italian Subtitles: English 19 min, Color, 2013

Il Contorsionista Mauro Maugeri (Italy)

The Contortionist bercerita tentang hubungan ayah-anak yang keduanya kebetulan adalah juru kamera. Sang anak mendokumentasikan hari terakhir ayahnya bekerja. Apakah ada jejak sejarah yang secara tidak langsung menghubungkan keahlian dua ayah-anak tersebut? The Contortionist bukan sekedar tentang kedekatan hubungan mereka, tapi juga tentang masa lalu dan sekarang, dua medium yang berbeda, satu kemampuan yang sama namun di dua latar yang bersebrangan dimana sang ayah bekerja untuk suatu perusahaan dan anaknya sebagai pembuat filem independen, serta tentang kemungkinan dan kesempatan yang membentang di depan anaknya sebagai juru kamera di masa depan. Perhatian sutradara filem ini adalah pada warisan, yang tidak melulu soal materi namun siklus pengetahuan, akan dirinya sendiri, ayahnya, dan sinema dalam makna besarnya. -Yuki Aditya

60

The Contortionist tells a story of a father and son relationship, whom both coincidentally are cameramen. The son is documenting the last day of his father at work. Is there a trace which connect both men’s expertise historically? The Contortionist is not just about their closeness, but also about the past and the present, two different mediums, an expertise with two different backgrounds where the father has worked for a company and the son is making an independent film, and also about the possibility and probability lies ahead in the future of the younger cameraman. The director of this documentary also concerns on legacy, a cycle of knowledge, of himself, of his father, and of cinema in particular. -Yuki Aditya

Lahir di Catania (Italia) pada tahun 1981. Mauro Maugeri lulus dalam Script for television and cinema di “Roma 3” University dan memiliki gelar master dalam Literature and publishing for children. Akhir 90an, mulai bekerja sebagai juru kamera dan editor untuk televisi-televisi Italia. Semenjak 2005, dia anggota Associazione Culturale Scarti, yang tiap tahun mengorganisir “Magma-Mostra di Cinema Breve”, sebuah festival filem pendek internasional yang sekarang telah masuk edisi ke-20.

Born in Catania (Italy) in 1981, Mauro Maugeri is graduated in Script for television and cinema at the “Roma 3” University and has a master’s degree in Literature and publishing for children. In the end of the 90s he started to work as cameraman and editor for Italian televisions (Rai, Mediaset and local TV). Since 2005 he’s a member of Associazione culturale Scarti, a cultural association that every year organizes Magma – Mostra di cinema breve, an international short film festival now going into its twelfth edition.


Agenda: IC 3

Country of Production: Indonesia Language: Javanese Subtitles: No Subtitle 84 min, Color, 2009

Perampok Ulung

Marjito Iskandar Tri Gunawan (Indonesia)

Tikus bagi sebagian Petani di Kecamatan Moyudan, Sleman, Yogyakarta dianggap sebagai perampok yang senang menebar teror dengan menjarah tanaman padi, juga mengancam dengan bakteri leptospirosis. Namun demikian Petani pun kadangkala takut karena muncul mitos yaitu tikus itu ada yang “memelihara�. Tukijo salah satu korban dari aksi tikus ini, dengan petani lainnya melakukan gerakan pembasmian tikus. Tetapi tikus tetaplah tikus, selalu menjadi musuh abadi bagi petani.

Mice for most farmers in the village of Moyudan, Yogyakarta are considered as the robber who spread terror to loot rice. They also threaten the villagers with leptospirosis bacteria. However, the farmers are sometimes afraid because they appear as a myth too. Tukijo is one of the victims of of these mice, altogether with other farmers they try to eradicate those rodents. They are the farmers’ most ultimate enemy.

Menyenangi aktivitas fotografi, filem, travelling. Pernah menjadi asisten sutradara di salah satu rumah produksi iklan dan filem televisi di Jakarta. Pernah mengikuti Workshop Master Class Program Encouraging Indonesia Documentary yang didukung oleh Jan Vrijman Fund International Documentary Film festival Amsterdam 2009. Saat ini mengelola komunitas yang fokus memproduksi filem dokumenter, serta aktivitas pemberdayaan masyarakat melalui video.

He loves doing photography, cinema, and travelling. He used to be an assistant director in one of production house in Jakarta. He participated in Master Class workshop Encouraging Indonesia Documentary Program supported by the Jan Vrijman Fund International Documentary Film Festival Amsterdam in 2009. Now he manages a community focusing in producing documentary film, and active in media literacy empowerment.

61


Agenda: IC 4

Country of Production: Italy Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 60 min, Color, 2012

Ecce Ubu

Luca Ferri (Italy) Footage-footage yang bersumber dari rekamanrekaman lama di susun sedemikian rupa hingga menghasilkan pengalaman sinematik yang memukau. Dalam filem Ece Ubu, gambar-gambar itu disusun secara terukur. Dengan hitungan yang matematis, gambar-gambar baru diselipkan, yang kemudian membetuk pola, hingga melahirkan kejutan yang tak terduga. -Hafiz

Footages sourced from old recordings that compiled in such way to produce a fascinating cinematic experience. In Ece Ubu, images composed accurately. With the mathematically measurement, those new images inserted, which then configurated the pattern, so that created unexpected surprise. -Hafiz

Luca Ferri (Bergamo, 1976) bekerja dengan gambar dan teks. Saat 2005 hingga 2008 dia menyutradarai filem berdurasi pendek, sedang dan panjang yang diikuti berbagai kompetisi dan eksebisi. Saat 2011 Magog (atau Epiphany of The Barn Owl) ditayangkan di Bergamo; tahun 2012 filem tersebut terpilih untuk beberapa festival filem, seperti Mostra Internazionale del Nuovo Cinema (Pesaro).

62

Luca Ferri (Bergamo, 1976) works on images and words. In 2005/2008 he directed short, medium and feature-length films that took part in competitions and were hosted in exhibitions. In 2011 Magog [or Epiphany of The Barn Owl] was screened in Bergamo; in 2012 it has been selected for some film festivals, such as 48th Mostra Internazionale del Nuovo Cinema (Pesaro). www.ferriferri.com


Agenda: IC 7

Country of Production: USA Language: English Subtitles: Bahasa Indonesia 70 min, Color, 2013

Suitcase of Love and Shame

Jane Gillooly (USA)

Filem puitik ini mereka cipta kisah cinta sepasang kekasih di tahun 60an yang ditemukan di internet. Dalam 70 menit, Suitcase of Love and Shame menyelam dalam dialektika problematis antara persoalan privat dan publik. Penuturan dilakukan melalui ‘bunyi-bunyi temuan’. Menariknya, visual filem tidak menjadi sebuah latar atau pendukung bunyi, tapi alur narasi tersendiri yang melukiskan ‘perselingkuhan’ antara gambar diam (still images) dengan gambar bergerak (moving images), antara masa lalu dan sekarang dalam dunia media yang berbeda. -Mahardika Yudha

This poetic film reconstructs the love story of a couple in the 60s, found in the web pages of the internet. In 70 minutes, Suitcase of Love and Shame delves into the dialectics of private and public matter. Storytelling primarily unfolds through an aural catalogue from found objects. Intriguingly, the visual does not become a mere accomplice for the sounds, but evolves into a peculiar portrayal of the interaction between still and moving images, between media landscapes of the past and the present. -Mahardika Yudha

Jane Gillooy adalah seorang pembuat filem non-fiksi dan filem naratif. Banyak mempelajari sejarah filem, filem bisu dan sinema-sinema kuno. Dia berusaha melintasi batas baru dan menghadapkan subyek baru dengan visi khasnya.

Jane Gillooly is a non-fiction and narrative film/video maker her work is inspired and informed by a century of non-fiction filmmaking, silent and vintage cinema, and activism. Gillooly consistently surprises as she crosses new boundaries and confronts new subjects with her distinctive vision.

63


Agenda: IC 1

Country of Production: The Netherlands Language: Dutch, French, Vietnamese, Bahasa Indonesia Subtitles: English 143 min, Color, 2011

Je Vie Dans le RĂŞve de ma MĂŞre (I Live in the Dream of My Mother) Jan Willem van Dam (The Netherlands) Dokumenter ini merekam perjalanan seorang anak kecil, yang juga adalah biografi Jan Willem van Dam, sang sutradara. Kisah filem ini adalah mimpi dan harapan sang ibu terhadap anaknya untuk mencari makna hidup dari banyak tempat dan perjumpaan dengan orang-orang. Perjalanan Van Dam juga menjadi renungan akan gejolak politik dan kulturil beberapa negara Eropa dan Asia. Pembuat filem mengambil beberapa tokoh dari masing-masing negara, sebagai representasi dan alusi pernyataan sosial politiknya. Dalam beberapa adegan, muncul semacam interupsi mengenai kebimbangan antara perihal filem dan perihal kenyataan, termasuk di dalamnya perkara kapan filem dimulai. -Akbar Yumni

This documentary records the journey of a boy, which also serves as a biography of the filmmaker, Jan Willem van Dam. The story of the film is a collage of hopes and dreams of his mother, who encouraged her son to pay attention to lessons in meanings hidden in places and brief encounters with people he met. Van Dam’s journey, through some clever layerings, becomes an amalgam of reflections on the political and cultural struggle of several Asian and European nations. The filmmakers picks various figures from each nation, as the mouthpiece of his political statements. In several scenes, the film takes a turn into the realm of ambiguity, questioning the real and the imaginary, and also questioning when a film truly starts. -Akbar Yumni

Jan Willem van Dam adalah pembuat filem, produser dan organizer festival filem serta pementasan filem asal Belanda.

64

Jan Willem van Dam is a Dutch filmmaker, producer and organized a filmfestival and filmhappenings.


Agenda: IC 5

Country of Production: Italy Language: Italian Subtitles: English 60 min, Color, 2011

Old Cinema, Bologna Melodrama Davide Rizzo (Italy)

Sinema sedang sekarat di kota Bologna. Penonton dibawa ke masa kejayaan sinema di Bologna kembali ke puluhan tahun ke belakang melalui wawancara dengan para saksi mata yang notabene adalah penonton filem setia saat itu. Orang-orang tua tersebut bukan hanya bercerita tentang filemfilem yang mereka cintai saja, namun juga tentang pengalaman-pengalaman pribadi yang membuat mereka cinta sinema dan perbedaan dengan budaya menonton saat ini. Mengharukan tapi tidak menjemukan, sentimental tapi tidak cengeng, Old Cinema, Bologna Melodrama adalah sebuah perjalanan merekat kembali tentang suatu perihal, yaitu sihir dan mantra sinema. -Yuki Aditya

Cinema is dying in the city of Bologna. The audience was brought to the heyday of cinema in Bologna decades back then through interviews with eyewitnesses who incidentally at that time were devoted moviegoers. Those old folks are not just talked about movies they love, but also about their personal experiences that made them love cinema and the differences with the current moviegoing culture. Affecting but not cloying, sentimental but not maudlin, Old Cinema, Melodrama Bologna is a way to glue back a certain matter, the magic and spell of cinema. -Yuki Aditya

David Rizzo, menyelesaikan Masternya di Modern Letters pada 2006 dengan tesis tentang kesusastraan para tahanan di penjara-penjara Italia, dari University of Bologna. Pada 2004 dia bersama Adam Selo (penulis-sutradara) dan Alessandra Cesari (koordinator proyek) perkumpulan kultural Elenfant Film yang didedikasikan bagi promosi hak asasi manusia melalui seni sinema.

Davide Rizzo completed his Master’s in Modern Letters in 2006 with a thesis on the literary activities of inmates in Italian prisons, from the University of Bologna. In 2004 he founded with Adam Selo (writer-director) and Alessandra Cesari (project co-ordination) the cultural association Elenfant Film dedicated to the promotion of human rights through the art of cinema.

65


Agenda: IC 6

Country of Production: Japan Language: Japanese Subtitles: English 65 min, Color, 2013

Sacrifice a Flower Hasumi Shiraki (Japan)

Sacrifice a Flower merupakan dokumenter melalui pendekatan eksperimental. Hampir seluruh bidikan pada karya ini nyaris menciptakan representasi yang didistorsi dari impresi sang pembuat. Beberapa usaha mendistorsi realitas pada Sacrifice a Flower berupa bidikan-bidikan yang cukup membiaskan, dan beberapa pembiasan dilakukan dengan melakukan kolase gambar. Karya ini terdiri dari delapan bagian dengan masing-masing subjudul yang mentematiskan situasi atau tempat tertentu, yang memiliki hubungan yang sangat personal dengan sang pembuat. Seperti pada subjudul “Black is Island” dan “Empty”, merupakan penggambaran dari tempat kelahiran kakek sang pembuat. Sacrifice a Flower merupakan karya dokumenter eksperimental yang sangat mementingkan tentang bentuk dari visi personal ketimbang aktualitas. -Akbar Yumni

Sacrifice the Flower is a documentary film with experimental approach. Almost all the shots in this work almost create distorted representation of the creator’s impression. Several attempts to distort reality in Sacrifice a Flower are done with refracted shots, and some with editing the collage. The work is divided into eight segments. Each segment has different theme, either about certain situation or specific location, which has a very personal relationship with the filmmaker. For example two segments which titled “Black is Island” and “Empty”, are depictions of the filmmaker’s grandfather’s birthplace. Sacrifice a Flower is a work of experimental documentary which put great importance on the form and personal vision rather than its actuality. -Akbar Yumni

Hasumi Shiraki lahir di Hokkaido, Jepang. Pindah ke Yokohama, Jepang ketika dia berumur 3 tahun. Dan di umur 17 tahun dia pergi Melbourne, Australia selama setahun. Kemudian dia tertarik membuat filem. Setelah pulang ke Jepang, dia memasuki TAU untuk belejar tentang pembuatan filem. Dan ia lulus di TAU.

66

Hasumi Shiraki was born in Hokkaido, Japan. Moved to Yokohama, Japan when I was 3 years old. In 17 years old I went Melbourne, Australia for a year. Then I had got interested in making films in there. After came back to Japan, entered TAU for study about film making. Last March I graduated TAU.


Agenda: IC 8

Country of Production: Spain Language: Khmer Subtitles: English 52 min, Color, 2013

La Visita (The Visit) Fany de la Chica (Spain)

Berkisah tentang kehidupan pendidikan anak-anak penyandang cacat di Sekolah Luar Biasa Arrupe Centre, Kamboja. Filem ini mempertemukan perspektif generasi moderen dan generasi feodal, antara Ratita dan ibunya, tentang ‘kebudayaan tani’ di lingkungan mereka. Ratita melihat pendidikan sebagai satusatunya cara untuk mempertahankan dan mengembangkan ‘kebudayaan tani’. Tapi, sang ibu berpendapat lain, “Kenapa kamu tidak beli sawah untuk menanam padi saja?” Asia Tenggara dan juga sebagian besar masyarakat Asia dikenal sebagai masyarakat tani. Bertani tidak hanya dilihat sebagai persoalan ekonomi, tetapi juga kebudayaan. -Mahardika Yudha

The Visit narrates the lives of disabled children in Arrupe Centre, Cambodia. This film attempts to confront perspectives between the modern and the older generation, between Ratita and her mother, on the matter of agriculture in their society. Ratita sees education as the one and only way to preserve and develop the culture of agriculture in their society. Her mother, however, has a more pragmatic approach. “Why don’t you just buy some pieces of land and grow paddy on them?” Southeast Asia, and most of Asia, is renowned as agricultural society. Farming is perceived not only as economic, but also cultural matters. -Mahardika Yudha

Fanny de la Chica (Jaén, Spanyol, 28 Desember 1984) adalah seorang pembuat filem Andalusia yang tinggal di London. Dia lulus MA di Documentary pada Royal Holloway University of London. Karya pendek dokumenternya “Round Trip” yang dibiayai oleh Spanish Culture Ministry, pra-seleksi untuk Goya Award-Spanyol dan siaran TV. Untuk empat tahun terakhir ia bekerja paruhwaktu untuk membuat video perusahaan, video musik, reportase untuk VPRO (TV publik di Belanda). Saat ini ia bekerja di Contentive yang berada di London, dan juga sedang menyelesaikan karya dokumenter berikutnya Land of Olive Trees.

Fany de la Chica (Jaén, Spain, 12/28/1984) is an Andalusian filmmaker based in London. She did an MA in Documentary at the Royal Holloway University of London. Her first short documentary “Round Trip” was funded by the Spanish Culture Ministry, preselected for the Goya Awards -Spain and broadcast on TV. For the last four years she has been working also as a freelance on corporate videos, music videos and reportages for VPRO (Netherlands public TV) . At the moment she works for Contentive company based in London making corporate videos and prepares her next documentary Land of Olive Trees.

67


Agenda: IC 9

Country of Production: Spain Language: Catalan, German, French, Spanish Subtitles: English 52 min, Color, 2011

Lejos de Saint Nazaire (Far From Saint Nazaire) Lluc Güell (Spain)

Dokumenter ini merupakan napak tilas perjalanan seorang serdadu Jerman, Ernesto Fleck, yang pada pada Agustus 1944 berada di pantai Atlantik Perancis, melarikan diri dari Sekutu dan berusaha mencapai Strasbourg. Adalah sang cucu dan juga sutradara filem ini, Lluc G Fleck, yang melakukan perjalanan napak tilas. Perjalanan dilakukan berdasarkan catatan harian, arsip-arsip foto, serta kesaksian-kesaksian beberapa orang yang mengalami masa kelam pendudukan Nazi pada Perang Dunia II. Salah seorang narasumber adalah sang nenek, yang menceritakan bagaimana suaminya menegaskan kalau membela Jerman dan melayani Nazi bukanlah hal yang sama. -Akbar Yumni

This documentary retraces the winding paths taken by Ernsesto Flack, a German soldier, when he tried to run away from the Allied forces in August 1944, one of the cruelest year in World War II. It is the grandson of Ernesto and also the director of this film, Lluc G Fleck, who does the journey of rediscovery. The journey is done according to personal notes, archives of photos, and testimonials from several people who lived under Nazi Occupation during World War II. Among them is Lluc’s grandmother, who tells how his beloved husband insisted that fighting for Germany and serving Nazi is not the same thing. -Akbar Yumni

Lluc Güell (Barcelona, Spanyol, 2 November 1983). Dia lulus dari ESCAC (Film School of Catalonia) pada tahun 2008. Semenjak dia berpartisipasi pada berbagai macam proyek audiovisual di bidang televisi dan filem dokumenter. Proyek akhirnya, dia membuat sebuah filem pendek tentang hubungan manusia dalam situasi yang ekstrem (Camas Calientes, A Shared Bed), dan sebuah filem dokumenter tentang masa-masa sang kakeknya mengalami Perang Dunia ke-2 di Jerman.

68

Lluc Güell (Barcelona, Spain, 02/11/1983) He graduated from ESCAC (Film School of Catalonia) in 2008. Since then, he has participated in various audiovisual projects in the field of television and documentary films. As a final project, he made a short film about human relations in extreme situations (Camas Calientes, A shared Bed), and a documentary film about the years that his grandfather spent in the Second World War on the german side (Far from Saint Nazaire).


Agenda: IC 2

Country of Production: France Language: French Subtitles: English 94 min, Color, 2012

Le Bonheur... Terre Promise (Happiness... Promised Land) Laurent Hasse (France)

Happiness…Promised Land, berkisah tentang sang sutradara sendiri, Laurent Hasse, yang secara spontan melakukan perjalanan di Prancis dari Selatan ke Utara. Dokumenter ini menyibak respon beberapa orang yang dijumpai secara spontan. Perjalanan berakhir pada perjalanan di KM 1.500, di sebuah tempat bernama Dunkerque. Dalam proses perjalanan sang sutradara yang menghabiskan waktu 90 hari lebih. Dokumenter ini sama sekali tidak memperlihatkan wajah ‘nyata’ dirinya sendiri, hanya bayangan dan suaranya. Dokumenter perjalanan ini, secara keseluruhan menceritakan tentang bagaimana orangorang mengkisahkan dirinya, profesinya, dan lingkungannya. Semacam merenungkan tentang kehidupan melalui keseharian mereka, dan semua berlangsung dengan spontan. -Akbar Yumni

Happiness…Promised Land, tells about the film director himself, Laurent Hasse, who traveled from Southern France up to the Northern. This documentary is asking the response of some people whom he encountered spontaneously. His journey ends at 1.500th KM (Kilo Meters), in a place called Dunkerque. spent more than 90 days. The documentary is never showing the ‘real’ face of the filmmaker, but only his shadows and his voice. Overall it tells about how people create their own story, about their profession, and the environment they live in. Sort of a reflection of the daily life through the people he met, in anywhere or anyplace spontaneously. -Akbar Yumni

Laurent Hasse adalah pembuat filem dokumenter untuk televisi sejak 1996. Dia juga sutradara untuk video konser (tayangan langsung televisi dan edisi DVD). Happiness… Promised Land adalah karya filem feature panjangnya untuk bioskop filem.

Laurent Hasse Documentary filmmaker for television since 1996. Laurent Hasse is also director for the screening of concerts (live tv show & DVD edition). Happiness ... Promised Land is his 1st feature length film for movie theaters.

69


Agenda: IC 10

Country of Production: Croatia Language: Croatian Subtitles: English 44 min, Color, 2013

Polaziste za Cekanje (The Waiting Point) Maša Drndic (Croatia)

Bercerita mengenai kehidupan di sebuah terminal kecil dan sesak di Kroasia yang akan mengalami renovasi besar dalam rangka Kroasia masuk ke Uni Eropa. Bayang-bayang modernisasi membuat terminal ini dengan segala aktivitasnya menjadi sebuah persimpangan antara yang ‘lama’ dan yang ‘baru’. -Bunga Siagian

A story about life in a small and crowded terminal in suburb Croatia which will undergo major renovation in order to prepare Croatia’s entering into the European Union. Modernization shadows haunts the terminal and its inhabitants as a meeting point between the ‘old’ and the ‘new’. -Bunga Siagian

Maša membuat filem pertamanya dalam workhsop dokumenter yang diadakan Atelier Varan, di Belgrade, Serbia, pada 2007. Dokumenter otobiografi My Belgrade, setelah itu memutuskan untuk menjadi pembuat filem. Setelah mendapatkan gelar MA untuk seni dia melanjutkan untuk gelar MA di bidang sinematografi pada BFM, Estonia pada 2008. Maša sering memfokuskan pada hubungan antara lokasi dan para penduduknya, eksplorasi individu sebagaimana ekspresi identitas, kepemilikan, memoria, mimpi dan hasrat kolektif.

70

Maša made her first documentary in Documentary workshop held by Atelier Varan in 2007 in Belgrade, Serbia. an-autobiography “My Belgrade” and decided to continue with filmmaking. After gaining her MA Degree in arts she enrolled in MA in cinematography at BFM, Estonia in 2008. In her works as a director Maša often focuses on relationship between locations and its inhabitants, exploring individual as well as collective expressions of identity, belonging, memories, dreams and desires.


71


program:

Kuratorial

72


program:

Curatorial

73


Agenda: 24/8, kineforum

“Kepengarangan” dalam Dokumenter Petit à Petit (Usaha Dagang “Petit à Petit”, 1968-1969) kurator:

Akbar Yumni

Kepengarangan (authorship) merupakan ranah yang berpeluang untuk disentuh dalam perbincangan mengenai sinema dokumenter kekinian. Selama perkembangannya, upaya-upaya bagi sinema dokumenter kini bukan melulu suatu kesetiaan akan hal-hal yang menyingkap ‘realitas’, namun boleh jadi, malahan mempertanyakan ‘realitas’ itu sendiri demi menangkap relung terdalam pengalaman manusia yang mendiami realitas itu. Dalam sejarah sinema, kepengarangan yang dipelopori oleh para sutradara “gelombang baru” (nouvelle vague) Prancis 1960an menjelaskan visi individual sutradara dalam mewujudkan bahasa sinema sehingga kesetiaan akan hal-hal estetis di situ benar-benar berdasar pada kepekaan sang pembuat filem layaknya seorang pengarang roman. Dokumenter, pada dasarnya adalah ‘perlakuan kreatif atas aktualitas’, dan hal ini seringkali ditafsirkan sebagai sikap takzim akan peristiwa-peristiwa aktual kala memandang momen realitas itu. Di sinilah, Jean Rouch menjadi sosok penting dalam khasanah dokumenter yang membuka peluang pemanfaatan fiksi secara diskursif guna mencapai gambaran filemis dari realitas tertentu yang diungkapkan. Dalam pergulatan 74


sinematisnya, penggunaan fiksi pada karya-karya dokumenter Rouch justru lebih dapat menangkap realitas dalam pengertiannya yang paling dalam melalui aktualitas pengalaman psikologis dari subyek yang ‘difiksikan’ secara filemis, sembari mempertanyakan ‘realitas’,dan bahkan sinema dokumenter itu sendiri. Usaha-usaha akan kepengarangan ini menjadi suatu cara pandang baru dalam memandang ‘kebenaran’ dalam sinema dokumenter. Pengalaman Modernitas para Native Afrika (Sinopsis) Usaha Dagang: Petit à Petit merupakan “sekuel etnografis” dari karya Rouch sebelumnya, Jaguar (1957-1967). Digarap dengan skenario yang turut diimprovisasi oleh aktor-aktornya, narasi Petit à Petit mendedah petualangan dan perjuangan sekelompok kecil pengusaha Niger, yaitu Damoure, Illo, dan Lam dalam usaha mereka membangun ekonominiaga di tingkat lokal yang dinamai “Petit à Petit” (Kecil-Kecilan). Latar belakang tradisional mereka, tampaknya menjelaskan posisi tersebut. Awalnya, Illo hanyalah seorang pemancing, dan Lam penggembala. Bertekad memajukan usaha, tokoh-tokoh ‘pos-kolonial’ ini berniat membangun sebuah gedung bertingkat sebagai tempat usaha mereka. Untuk itu Damoure terbang ke Paris guna melihat dan menjajaki pembangunan gedung bertingkat, sekaligus bersua dengan fenomena kehidupan moderen kosmopolitan. Paris telah menakjubkan Damoure, juga Lam yang kemudian menyusulnya, dan kedua migrator seketika itu pula mengalami kejutan budaya. Tanpa sengaja, Damoure melakukan ‘eksperimen etnografis’ dalam mengenali orang Paris sambil merasakan tanggapan mereka mengenai keberadaan Damoure sendiri. Dalam pandangannya, betapa orang Paris melakukan suatu kamuflase antar jender, dan strategi dokumenter filem ini membuat kita melihat jembatan bagi jurang dua kebudayaan, kolonial dan pos-kolonial, terhadap pertukaran identitas sosial sebagian warga kosmopolitan dalam perkenalan mereka dengan tiga orang sesama asal Niger. Bersama-sama, mereka akhirnya merupakan satu komunitas kecil yang kembali ke Niger demi melanjutkan usaha Petit à Petit. Kelompok baru ini memutuskan untuk menjalani kehidupan di negeri asal budaya mereka, kendati upaya ini tidak semudah yang dibayangkan. Praktik modernitas yang coba diterapkan membuat orang75


orang baru tersebut memikirkan ulang identitas dan keberadaan mereka melalui kejemuan dan perasaan tak nyaman sehingga tinggal Damoure dan Lam yang kembali ke upaya semula untuk membangun peradaban mereka sendiri dengan cara yang lama. Dalam filem ini, Rouch mencoba memberi keleluasaan pada tokoh-tokohnya, terutama Damoure dan Lam, untuk berpartisipasi dalam ruang konstruksi dokumenter ini guna melacak sejarah penindasan mereka, khususnya terkait dengan pengaruh-pengaruh sejarah kolonial Afrika sesudah kemerdekaan. Kisah mereka sebenarnya menggarisbawahi benturan antara “tradisi” dan “modernitas” yang berlangsung di Afrika pasca koloni, dan dalam narasi filem ini ditunjukkan lewat kegagalan Damoure menjalankan usaha Petit à Petit secara profesional dan moderen. Secara naratif, filem ini berakhir sama seperti awalnya ketika Damoure memakai kuda sebagai sarana transportasi. Ideologis, ini menunjukkan bahwa eksistensi Damoure berawal dari kesadaran tradisional, yang lalu di pertengahan kisah, mengalami proses modernisasi selama berada di Paris, dan kemudian berakhir ke alam tradisional. Kebenaran Dokumentris sebagai Kebenaran ‘Filemis’ Jean Rouch adalah etnografer yang berpandangan bahwa tak ada batas antara dokumenter dan fiksi. Disaat yang sama ia juga menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada objektivitas sinema. Rouch mengandaikan bahwa ‘realitas sebagai kehidupan’ merupakan sesuatu yang tak sepandan dengan keperihalan akan yang ‘nyata’ atau ‘kebenaran’. Pengalamanpengalaman pasca jajahan yang dialami komunitas-komunitas bangsa Afrika adalah kenyataan yang demikian ‘subtil’, hasil perbenturan peradaban yang membutuhkan kemungkinan-kemungkinan sureal yang bisa digali dalam memposisikan kondisi-kondisi pasca koloni di Afrika. Secara kasat mata, realitas pasca koloni yang demikian adalah realitas yang masih diselubungi dampak-dampak kekuasaan kolonial. Apa yang dimaksudkan Rouch tentang ‘realitas sebagai kehidupan’,yakni bagaimana realitas tersebut dikonstruksi berdasar kemungkinan-kemungkinan psikologis dari pengalaman represif di masa kolonial ketika tiba saatnya harus menghadapi kekiniaan. Dalam Petit à Petit, kemungkinan-kemungkinan psikologis tersebut nampak pada adegan cemburu sang pribumi Niger sekretaris 76


Damoure kepada Ariene si pendatang dari Paris yang sama-sama bekerja sebagai sekretaris tetapi bergaji jauh lebih besar dari si pribumi. Atau pada adegan kecanggungan Lam melihat Safi –juga pendatang dari Paris– berpakaian seronok memperlihatkan bagian dadanya sehingga Lam berada dalam posisi kemoralan native dengan kebebasan ala Paris. Siasat-siasat pengisahan dalam Petit à Petit maupun dalam beberapa karya Jean Rouch, merupakan upaya penyingkapan atas patologi-patologi psikologis para protagonis yang hidup di antara pengalaman keterjajahan mereka dengan modernitas yang sedang mereka ikuti. Siasat-siasat tersebut juga menjadi semacam eksperimen untuk melihat responrespon perbenturan antara modernitas dan tradisionalitas, pengalaman keterjajahan serta situasi pasca koloni di wilayah lokal. Eskperimen Rouch dalam mengeksplorasi perbenturan budaya seperti itu juga diperlihatkan pada adegan ketika Damoure melakukan “pengenalan etnografis” terhadap sejumlah orang Paris dengan cara memeriksa bagian-bagian tubuh mereka. Petit à Petit adalah etno-fiksi yang menghadirkan subyek lewat percobaan-percobaan menempatkan tokoh pada situasi dan naratif tertentu untuk mencapai momen-momen diskursif sinema dokumenter. Dalam etno-fiksi tersebut, pemerihalan konstruksi gambar diciptakan melalui dan bersama dengan keterlibatan tiap subyek, misalnya, pada adegan Damoure memandang Paris dari ketinggian, persis ketika saat itu Paris baginya bukan lagi sekedar menara Eiffel atau kubur Napoleon dalam gambar-gambar kartu pos kota itu. Konflik-konflik imaji dan psikologis tentang modernitas dari pengalaman Damoure adalah semacam etno-fiksi yang notabene adalah pengalaman sang aktor itu sendiri. Untuk menemukan momen-momen yang demikian dari tokohnya, Rouch berupaya memasukkan struktur dan siasat pengisahan yang berasal dari pengalaman aktor-aktor native itu sendiri sebagai metode demi mencapai relung terdalam pengalaman modernitas Damoure, misalnya. Pada titik inilah, ‘Kepengarangan’ memiliki relevansi yang penting bagi khasanah dokumenter yang mencoba menangkap realitas paling konstruktifnya manakala perlakuan kreatif atas aktualitas tidak sekadar cukup melalui bidikan-bidikan (shot) dan bingkaian (frame) kamera, akan tetapi juga dalam hal bagaimana memperlakukan dan memandang realitas itu sendiri. 77


Bagi Jean Rouch, tak ada ‘kebenaran murni’ kecuali ‘kebenaran filemis’. ‘Kebenaran sinema’ pada Jean Rouch, ini sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh Dziga Vertov dengan kino-pravda (sinema-kebenaran)-nya. Rouch merenungkan ulang makna kebenaran pada kino-pravda Vertov, dan berpandangan bahwa bidikan-bidikannya yang langsung hadir pada realitas, sesungguhnya bukan suatu ‘kebenaran murni’, melainkan lebih sebagai ‘kebenaran filemis’. Kebenaran dalam sinema adalah ‘kebenaran filemis’ karena,pada fitrahnya,itu sudah melekat sebagai kodrat sinema dalam membentuk cara pandang tertentu. Demikian pula halnya cinéma vérité, sesungguhnya ia bukan ‘kebenaran’ objektif dalam filem,karena media itu sudah mengandaikan suatu klaim yang berasal dari satu abstraksi tertentu. Perbincangan soal kebenaran dalam dokumenter, sungguh tak terlepaskan dari dunia pengetahuan sinema. Sebagai barang seni, fitrah‘realitas’ yang dimasukkan ke dalamnya mustahil kembali untuk berlaku ‘murni’lantaran dengan seketika itu juga ‘realitas’ itu sudah terperangkap dalam ideologi-ideologi seni sinema.Dalam kisah Petit à Petit itu sendiri, gambaran sebagaimana dicontohkan pada Damoure menunjukkan tampilnya satu entitas budaya tertentu yang senantiasa dalam tegangan antara modernitas dan tradisionalitas yang diwujudkan melalui konflik antara keperihalan-keperihalan ‘fiksi’ dengan ‘dokumentariitas’demi menyentuh impresi-impresi akan kebenaran. Kamera Sebagai ‘Kehadiran’ dan ‘Pihak Ketiga’. Seturut sejarah dokumenter, Rouch memandang Robert Flaherty sebagai khasanah etnografis, dan Dziga Vertov sebagai khasanah sosiologis. Flaherty lah ilham Rouch untuk menempatkan kamera sebagai ‘pihak ketiga’. Dalam Nanook of The North (1922), sutradara mampu menangkap pergulatan kemanusiaan masing-masing anggota komunitas Eskimo sebagai individu yang berhadapan dengan alam. Kepiawaian Flaherty dalam menyingkapkan sejarah alamiah ini disebabkan oleh penempatannya atas kamera sebagai “pihak ketiga”. Pengandaian ini memungkinkan adanya “observasi partisipan” (participant observation) dan timbal-balik (feedback)”. Dalam bahasa Luc de Heusch, “obeservasi partisipan” adalah wujud “kamera partisipatoris” (participatory camera)”, yang memainkan peran penting dalam mengisi peluang-peluang dialogis antara kamera dengan subyek. Rouch mengembangkan “kamera 78


partisipatoris” sebagai semacam metode refleksi timbal-balik antara hasil bidikan dan peran subyek dalam mengkonstruksi gambar. Kamera sebagai “pihak ketiga”, ini secara niscaya juga mengandaikan kamera sebagai kehadiran yang dengan itu Rouch merefleksikan perannya sebagai sutradara manakala selama proses pembidikan ia benar-benar berada di lokasi. Di situlah, keberadaan kamera menjadi semacam ‘pihak ketiga’ yang memberi pengaruh terhadap interaksi yang dimungkinkan oleh para aktornya dalam meresponsi lokasi dari lingkungan kehidupannya. Kehadiran kamera, bagi Jean Rouch adalah stimuli, akselerasi, bahkan katalisasi, sedemikian hingga kamera sebagai “pihak ketiga” sejajar dengan kehadiran sang etnografer sendiri. Pada posisi demikian, kehadiran kamera menjadi momentum pengungkapan diri kaum native tentang pengalaman represi kolonial dan benturan budaya. Rouch memainkan proses penyingkapan ini sebagai sebentuk pengisahan pada sinema yang secara bebas memilih keperihalan ‘tematik’ maupun diskursif terkait pengalaman aktual kaum native. Pada hakikatnya, “kamera partisipatoris” adalah sebentuk pendekatan etnografis yang mengandaikan sejenis momen etis bagi proses-proses representasi. Rouch mengembangkan ide ini menjadi anthropologie partagee atau shared anthropology, yang bisa juga disebut dengan antropologi egaliter atau antropologi reflektif. Antropologi egaliter merupakan momen etis karena mengandaikan adanya upayaupaya bagi pihak yang direpresentasikan (dalam kasus ini, kaum pribumi Afrika) untuk bersama-sama terlibat dalam proses representasi tentang diri mereka sendiri. Secara metodis, antropologi egaliter adalah hubungan timbal-balik (feedback), antara yang direpresentasikan dan yang merepresentasikan. Rouch sendiri juga menyebut antropologi egaliter ini sebagai contre-don audiovisuel (timbal-balik audiovisual). Dalam perkembangannya, model keterlibatan pihak yang direpresentasikan dalam proses representasi bersama dengan pihak yang merepresentasikan, adalah usaha untuk mencapai semacam ‘totalitas’ gambar atau semangat untuk menangkap ‘totalitas fakta sosial’. Secara tidak langsung, metode timbal-balik dalam proses representasi ini mengingatkan pada diskursus antropologinya Marcel Mauss (1872-1950) tentang konsep pemberian (gift) sebagai bentuk pertukaran mengikat yang melestarikan keberadaan masyarakat. 79


Antropologi egaliter juga adalah semacam kritik terhadap modelmodel pendekatan antropologi visual atau dokumenter antropologi yang sekedar memuat laporan tentang dan dari ‘yang liyan’ tanpa kehadiran sang antropolog, kecuali hanya menyusun pengarsipan pasif lantaran telah mengobjektifasikan ‘yang liyan’. Antropologi egaliter sebagai teorema dari antropologi reflektif dapat terwujud karena mengandaikan hubungan timbal balik antara pembuat filem dengan subyek yang difilemkan. Dalam tradisi sinema dokumenter sejak Lumière seolah menciptakan ilusi ketidakhadiran kamera untuk menangkap aktualitas ‘kenyataan’, di sini terjadi semacam “pencurian reflektif ” atas bidikanbidikan gambar yang dihasilkan. Rouch selalu mengabarkan kepada para subyeknya bahwa mereka sedang dibidik. Ini dilakukan sebagai usaha mendapatkan ontentisitas gambar, atau secara lebih essensial lagi, adalah demi menghindari sang ‘pencuri’ refleksi atas kehidupan. Pendekatan ini mungkin bisa dilihat pada adegan ketika Damoure berada di bandara di Niger untuk terbang menuju Paris, serta ketika Safi berada di pasar berbelanja bahan pakaian. Pada adegan-adegan tersebut nampak bagaimana orang-orang merespon para aktor yang sedang dibidik. Tentu terdapat hal berbeda dalam skema perekaman model Rouch ini yaitu ketika subyek gambar merasa lebih sadar saat tengah direkam, subyek juga merasa sedang berada dalam sejenis interogasi sadar mengenai perilaku dan gerak mereka. Bahkan dalam beberapa pendekatannya, Rouch menempatkan proses “timbal-balik (feedback)” dari subyek representasi sebagai upaya bersama dalam mengkonstruksi gambar. Dalam hal ini, keperihalan akan teknologi filem juga menjadi hal yang amat dipertimbangkan oleh Jean Rouch. Seturut Edgar Morin, “Kita tidak dapat memisahkan image dari kehadiran dunia di dalam diri manusia dan kehadiran manusia di dalam dunia. Image adalah medium yang resiprokal.” Gagasan dan karya Jean Rouch adalah kelanjutan dari proyek ‘Museum Manusia’ yang dalam tradisi sebelumnya banyak dilakukan oleh kalangan etnografer. Dalam proses perkembangan atas gagasan ‘kedisana-an’, ketika kelahiran kamera menjadi sebuah cara pandang baru terhadap realitas, Rouch meluaskan khasanah etnografi baru melalui kamera yang dianggap memiliki keterkaitan etis serta kemungkinankemungkinan lebih subtil tentang pengalaman psikologis terhadap 80


proses representasi. Keterkaitan etis inilah, yang bagi Rouch sendiri, kamera sengaja dihadirkan kepada subyek gambar, baik sebagai satu entitas tertentu dari sebuah dunia maupun jendela untuk melihat dunia. Melalui penghapusan batas terhadap keperihalan dokumenter maupun fiksi, Rouch secara bebas mengembangkan kepengarangan dalam etnofiksinya guna memperoleh kegairahan diskursif dalam gambar-gambar sinematisnya. Petit à Petit merupakan salah satu dari karya-karya penting Rouch, terutama mengenai pengalaman para native Afrika dalam menghadapi dan menanggapi modernitas. Rouch melakukannya dengan cara antropologi egaliter, dimana konstruksi gambar tersusun berdasarkan pengalaman para native atau pemain-pemain itu sendiri. Konstruksi-kontruksi sinematis oleh Rouch menjadi upaya untuk mencapai diskursus visual tentang etno-antropologis sebagai bentuk ungkapan naratif filemis dari pengalaman kolonialisme di masa lalu. Etno-fiksi Rouch memaparkan cara pandang berbeda dari etnografi melalui kodrat sinema dan kemungkinan-kemungkinan kamera untuk secara diskursif menangkap kehidupan tentang masyarakat-masyarakat dunia ketiga (Afrika). ‘Kepengarangan’ dalam sinema dokumenter Rouch, yakni bagaimana menciptakan kebenaran filemis dalam pencapaian yang sedemikian tinggi sehingga penggunaan fiksi justru bukan halangan guna menyibak realitas yang ingin ia tangkap. Alexandre Astruc telah menyebut nya dengan camera stylo, suatu pembayangan tentang kamera sebagai pena, yang mengandaikan seorang pembuat filem layaknya penulis yang dengan bebas menyingkapkan apa yang hendak ia tulis. Demikianpun Jean Rouch, dengan semangat kepengarangannya ia berupaya melepaskan diri dari segala hambatan definitif terhadap pemahaman akan aktualitas dan bahkan realitas demi mencapai diskursus mengenai kaum Afrika. Merujuk Rouch, “sinema adalah seni kegandaan, yang siap ditransformasi dari dunia nyata ke dunia imajinasi, dan etnografi sebagai ilmu tentang sistem pengetahuan akan yang liyan, adalah sebuah silang nilai permanen dari keuniversalan yang konseptual ke yang liyan…”. Akan tetapi, Rouch tidak serta-merta sekadar menampilkan upaya etis yang masih menyisakan kodrat representasi tentang Eropa maupun 81


Afrika dalam tegangan antara kodrat kenativean versus strategi Barat dalam memandang ‘yang liyan’. Setidaknya sebagaimana sejarawan filem asal Prancis sendiri, Georges Sadoul, menyebutkan masalah tegangan itu sebagai ‘penggambaran duaratus juta orang Afrika yang dikucilkan dari bentukpaling maju akan seni paling moderen…, representasi tentang Afrika dalam sinema malahan menjadi suvenir murahan tentang masa lalu’.

j

82


Authorship in Documentary Filmmaking curator:

Akbar Yumni

Authorship is a possible territory to be spoken of in the discussion of contemporary documentary cinema. In its evolution, documentary cinema is now no longer on the allegiance to reveal ‘reality’, but might be to question how ‘reality’ itself captures the human experience who inhabits that reality. In the history of cinema, authorship was spearheaded by the French “new wave” (nouvelle vague) filmmakers in 1960s to explain the personal vision of the filmmaker in creating their own cinematic language therefore the director’s aesthetic consistency was really based on the sensitivity of the filmmakers similar to a novel writer. Basically documentary is ‘creative treatment to actuality’, which is often interpreted as a respectful attitude to how actual events look at those realities. Herein, Jean Rouch becomes an important figure in the realm of documentary film in opening opportunity to use fiction discursively to obtain a filmic overview of certain reality revealed. In his cinematic struggle, the use of fiction in Rouch’s film actually can capture reality in its deepest sense through the actuality of psychological experience of his ‘fictionalized’ subjects cinematically while questioning the ‘reality’ and even the term of documentary itself. This efforts of ‘authorship’ are somewhat making a new way of looking at the ‘truth’ in documentary cinema. Petit à Petit is the “ethnographic sequel” to Rouch’s previous film, Jaguar (1957-1967). This film is produced on a an improvised scenario by the actors themselves. Petit à Petit’s narration is exposing an adventure and struggle of the Niger small entrepreneurs, namely Damoure, Illo 83


and Lam with their attempt to build the local trading company, Petit à Petit. Their traditional background clarifies that position. At the beginning, Illo was only just a fisherman, and Lam was a herder. They have a desire to build multi-storey building as a place to develop and demonstrate the progress of their trading company. For that, Damoure then flied to Paris to see and explore possibility to construct the building in their home land, as well to meet with the phenomenon of modern cosmopolitan life. Paris has amazed Damoure, also Lam whom followed him later, and both migrators immediately experienced the culture shock. Unintentionally, Damoure conducted ‘ethnographic experiment’ in recognizing the Parisian people while sensing their responses of Damoure’s own existence. In his view, how the Parisians did the crossgender camouflage, and the strategy of this documentary film was to make us see the bridge between two cultural gaps, colonial and postcolonial, to social identity exchange in those three fellow Nigerians meetings with the cosmopolitan citizens. Together they constituted a small community whom eventually returned to Niger in order to continue their trading company, Petit à Petit. This new group of people decided to live in their own country, although it was not as easy as they had imagined beforehand. The modernity practice trying to be applied, was making these new people to rethink their identity and existence through the boredom and uneasy feeling. Therefore Damoure and Lam returned to their original plan to build their own civilization in old way. In this film, Rouch gives space to his protagonists, especially Damoure and Lam, to participate in the construction of his documentary to trace their history of colonization in their home country, particularly regarding the impacts of the colonial history in Africa after independence. Their story actually underscores the clash between “tradition” and “modernity” that took place in post-colonial Africa, and in the narration of the film is indicated by Damoure’s failure to run his company Petit à Petit in professional and modern way. Narratively speaking, the film ends similarly with its beginning, when Damoure using the horse as a mean of transportation. Ideologically, this suggests that his existence was originated from traditional consciousness, which then in the middle 84


of the story underwent a process of modernization while in Paris, and then ended in the traditional nature. Truth in Documentary Film as ‘Filmic’ Truth Jean Rouch was an ethnographer who argues that there is no boundary between documentary film and fiction films. At the same time Rouch also assume that there is no such thing as objectivity in cinema. Rouch presupposes that the ‘reality as life’, is inconsummerate with ‘reality’ or ‘truth’. Post-colonial experiences suffered by the Africans was a very ‘subtle’, and the experience of the results of the clash of civilizations. It requires surreal possibilities that make sense in describing the postcolonial condition experienced by the Africans. At face value, post-colonial reality is a reality that each covered with the effects of colonial rule. What Rouch wants about ‘reality as life’ is how that reality constructed based on the psychological possibilities of repressive colonial experience when facing contemporaneity. In Petit à Petit, those psychological possibilities appeared at the scene of Damoure’s secretary who is a native African, felt jealous when Ariene the migrant secretary from Paris, got much larger salary than the native. Or at the scene of Lam’s awkwardness when looking at Safi’s racy outfit—also a migrant from Paris—showing off part of her breast so that Lam was in morality position as a native with life style a la Parisian. The narrative tactics in Petit à Petit, or in Jean Rouch’s other works, is a way in revealing the psychological pathologies of his subjects whom has lived between the experiences they have during colonization and the modernity which they were living in at the moment. Those tactics are also becoming some kind of experiment to see responses of clash between modernity and traditionalism, the experience from colonialism and post-colonial situation locally. The experimentations of Jean Rouch in exploring culture clash was shown in the scene when Damoure did “ethnography mapping” to some Parisian, by examining their body parts. Petit à Petit is an ethno-fiction that presents the subjects through experimentation by putting them in certain narrative and situation to obtain discursive moments in documentary cinema. In ethno-fiction, the construction of images is done with the involvement of the subject. 85


As in the scene when Damoure saw Paris from height. He was amazed and felt that Paris was not only about the Eiffel Tower and the Tomb of Napoloen as he saw from the postcard of that city. Conflicts of images and psychological of modernity experienced by Damoure were sort of ethno-fiction which incidentally were the actor’s own experience. To get the experience of his subject, Rouch needed to insert the structure and finesse narration from those native actors’ experiences, as a ploy to capture the deepest recesses of Damoure’s own experience towards modernity. At this point, ‘authorship’ has an important relevance to the repertoire of documentary cinema in capturing its most constructive reality, when creative treatment of actuality is not only about shots and framings, but also how to treat and perceive the reality itself. For Jean Rouch, there is no ‘pure truth’, but there is ‘filmic truth’. Cinema truth’ in Jean Rouch’s works actually cannot escape the influence of Dziga Vertov’s kino-pravda (cinema-truth). Rouch ponders over the meaning of truth in Vertov’s kino-pravda, and assumes that his ‘in-situ’ images are actually not a ‘pure truth’, but rather as ‘filmic truth’. Truth in cinema is ‘filmic truth’ because its tendency already inherent in the nature of cinema—to establish a particular point of view. Similarly, the cinema verite, in fact is not an objective ‘truth’ of film, because the medium has already presupposed a claim coming off of a certain abstraction. The discourse about truth in documentary film is indeed can not escape from cinema as a knowledge. As an artwork, its nature as ‘reality’ captured is impossible to be considered as ‘pure’, because instantly the ‘reality’ has been caught up in ideologies of the art of cinema. The subject Damoure in Petit à Petit is an overview of a presence of certain cultural entity that always in the middle of a tension between modernity and traditionalism. The tension are realized through ‘fictionalized’ sequences and ‘documentary’ approach to pursue an impression of truth. Camera’s ‘presence’ and as the ‘Third Party’. In the history of documentary, Rouch saw Robert Flaherty in ethnographic view, and Dziga Vertov in sociological view. Flaherty was his inspiration for putting the camera as the ‘third party’. In Nanook of the North (1922), 86


Flaherty was able to capture the Eskimos as individuals whom were dealing with nature. Flaherty’s prowess in revealing human struggle with nature because he presupposes the camera as the “third party”. The third party modality allows participant observation and feedback. In the language of Luc de Heusch “participant observation” is a form of “participatory camera”, which plays an important role in dialogic opportunities between the camera and the subject in the picture. Rouch developed “participatory camera” as a method of mutual reflection between shots and role of the subject in constructing the image. The camera as the third party necessarily showed its presence reflecting Rouch’s role as a director whom deliberately present directly in the shooting process. It actually had an impact on the interaction amongst the actors when responding to the environment around them. The presence of a camera for Jean Rouch became a sort of stimuli, accelerator and even as catalyst, so that the camera is equal with the presence of ethnographer himself. The camera became a momentum for self-disclosure of the native African about their experiences of colonial repression, and culture clash. Rouch played this disclosuring process as a form of cinematic narrative, in which he was free to choose the ‘thematic’ subject-matter or discursively regarding his subjects’ actual experiences. “Participatory camera” is basically a form of ethnographic approach that relies on ethical moment in the process of representation. Rouch develops the approach into an Anthropologie partagee; shared anthropology (anthropology egalitarian), or it could be called as reflective anthropology. Egalitarian anthropology is ethical moment, for it assumes the existence of effort represented by his subject (the African) to engage with the process of self-representation. Methodically, egalitarian anthropology is a reciprocal relationship (feedback), between the represented and representing. Rouch himself also considers this egalitarian anthropology as contre-don audiovisuel (audiovisual reciprocity). During its development, the model of the subject’s involvement in the process of making the film was an attempt to get some sort of ‘totality’ of image, or the spirit to capture ‘the totality of social facts’. The reciprocal method of this representation process is a reminiscent of an anthropological discourse indirectly. The discourse is by Marcel Mauss 87


(1872-1950) about the concept of giving (gift) as a binding exchange to preserve the existence of society. This egalitarian anthropology is a kind of criticism to model of visual anthropological approach or anthropological documents which only carried a report of ‘the otherness’ without presenting the anthropologist. Those criticized methods are merely forming passive archiving because they simply objectify ‘the otherness’. This egalitarian anthropology is also called reflective anthropology, Because it assumes on a reciprocal relationship between filmmakers with the film’s subjects. In the tradition of documentary cinema since Lumiere seemed to make illusion on the absence of a camera to capture the actuality of ‘reality’, that kind of approach is more like “stealing of reflection” of images produced. Rouch always informed his subjects that they were being observed. This was done to obtain authenticity of the image, or more essentially to avoid the reflection ‘stealer’ of human life. This approach might be seen when Damoure was at the airport in Niger to fly to Paris, and when Safi were in the market to shop for clothing materials. At those scenes we could see how people respond to the actors who are being filmed. Sure there was a difference of Rouch’s recording scheme. The subjects of the film felt more aware that they were being recorded, so that they also felt being interrogated and conscious of their behavior and gesture. Even in some of his approaches, Rouch also used the process of “reciprocal (feedback)” from the represented subject in constructing the images together. In this matter, film technology also became something that was carefully considered by Jean Rouch. According to Edgar Morin, “We can not dissociate it (the image) from the presence of the world in man and the presence of man in the world. The image is their reciprocal medium. “ Jean Rouch’s ideas and works were continuation of the ‘Museum of Man’ project, which previously was done by many ethnographers. In the development of the idea of ‘contextuality’, when the camera was born as a new perspective to look at reality. Rouch broadened a new ethnography repertoire through a camera that was considered having ethical interconnection also subtler possibilities about the psychological experience of the representation process. This ethical interconnection, for 88


Rouch himself, is when a camera deliberately presented to the subject of the film, either as a certain entity of a world or as a window to see the world. Through eliminating the boundaries between documentary and fiction, Rouch freely pursued authorship in his ethno-fiction in order to obtain the discursive zest on his images. Petit à Petit is one of Rouch’s important films, especially about the native African’s experiences in facing and responding to modernity. Rouch did it in the way of egalitarian anthropology, where the construction of images were based on native’s experience or the subjects themselves. Rouch’s cinematic constructions were an attempt to obtain visual discourse about ethno-anthropology as a form of expression in filmic narrative of colonialism experience in the past. Rouch’s ethno-fiction was exposing a different perspective of ethnography through the nature of cinema as well as the possibilities of the camera discursively to capture the life of the Third World society (Africa). ‘Authorship’ in Rouch’s documentary, is how to create a filmic truth, where the using of fiction is not an obstacle to uncover the reality he wanted to capture. Alexander Astruc has mentioned it on Camera Stylo, to imagine the camera as a pen, as an imagery of a filmmaker like a writer who freely reveals what he wrote. Similarly Jean Rouch, with his spirit of authorship, he tried to get away from all definitive obstacles towards understanding on actuality and even reality, to obtain a discourse on the African. According to Rouch “the cinema, the art of the double, is already the transition from the real world to the imaginary world, and ethnography, the science of the thought systems of others, is a permanent crossing point from one conceptual universe to another...”. However, Rouch did not necessarily just show an ethical effort which still leaves the nature of representation between ‘Europe’ or ‘Africa’ related to the tension between the nature of nativity versus the Western strategy on how to look at ‘another’. At least the French film historian Georges Sadoul himself mentioned that matter of tension as “Thus two hundred million people are shut out from the most evolved form of the most modern of the arts. I am convinced that before the close of the 1960s this scandal will be but a bad souvenir of the past.”

j 89


Agenda: IC 4

supported by: Institut Français Indonesia Jakarta

Country of Production: France Language: French Subtitles: English 96 min, Color, 1970

Petit à Petit (Little by Little) Jean Rouch (France)

Kisah petualangan dan perjuangan para pengusaha Niger; Damoure, Illo dan Lam dengan usaha dagang mereka yang bernama Petit à Petit. Mereka punya keinginan membangun gedung bertingkat untuk mengembangkan dan menunjukkan kemajuan usaha mereka. Maka Damoure terbang ke Paris dan ia mengalami konflik moderenitas dan kejutan budaya.

The adventure and struggle of the Niger entrepreneurs; Damoure, Illo and Lam with their trading enterprise, Petit à Petit. They have a desire to build multistorey building as a place to develop and demonstrate the progress of their business enterprise. Damoure then fly to Paris and at that heart of European civilization, he experiences a conflict of modernity and culture shock.

Jean Rouch, pembuat filem dan antropolog kelahiran Paris 31 Mei 1917. Dianggap sebagai salah satu perintis gaya cinéma vérité dan teknik jump-cut yang kemudian dikembangkan oleh gerakan New Wave Prancis. Filem-filemnya banyak bermain di antara batas ‘fiksi’ dan ‘dokumenter’, terutama tentang usahanya dalam memperlihatkan kesadaran ‘kehadiran kamera’ di tengah-tengah subyek yang sedang dibicarakannya, masyarakat pasca-kolonial.

90

Jean Rouch, filemmaker and anthropologist born in Paris May 31st, 1917. Considered as one of the pioneers of cinéma vérité style and jump-cut technique which later developed by the French New Wave movement. His filems plays between the border of ‘fiction’ and ‘documentary’, especially on his efforts in showing awareness of ‘camera presence’ in the middle of the subject that he was talking about, the post-colonial society.


Agenda: 26/8, Teater Kecil

Pasca-komunis di Eropa Timur dan Kehidupan Kelas Pekerja kurator:

Afrian Purnama

Pada 1989 terjadi perubahan radikal di kawasan Eropa Timur karena berkurangnya pengaruh Uni Soviet dan mulainya pengaruh liberalisasi pada otoritas di kawasan tersebut. ini ditandai dengan runtuhnya Tembok Berlin pada 9 November 1989, runtuhnya Tembok Berlin adalah puncak dari protes dan kerusuhan yang terjadi selama beberapa minggu, hingga akhirnya pihak Jerman Timur memberikan izin bagi warganya untuk melintas ke Berlin bagian barat. Diawali dengan revolusi di Polandia, lalu gelombang revolusi menyebar ke seluruh negara Eropa Timur hingga akhirnya Uni Soviet terpecah. Keberadaan kelas pekerja memiliki sejarah panjang di Eropa Timur. Mereka menjadi aktor utama dalam pergerakan Revolusi Bolshevik dengan menurunkan kekuasaan Tsar yang sudah berkuasa berabad-abad. Sergei Eisenstein mengabadikan perjuangan heroik mereka pada filem October: Ten Days That Shook the World. Pada poster-poster, dan filem-filem era Uni Soviet, kelas pekerja digambarkan begitu heroik, hingga dibuatkan monumen, Worker and Kolkhoz Woman. 91


Workers Leaving the Lumière Factory yang dibuat oleh Louis Lumière tahun 1895, menampilkan buruh pria dan wanita yang berjalan dari pintu keluar pabrik dan keluar dari frame filem, menuju ke kiri dan kanan hingga tertutup pintunya. Gambaran bersejarah itu menandai sebuah cabang seni baru. Gambaran tentang pekerja ini adalah gambar bergerak tertua yang ditayangkan di layar lebar untuk masyarakat banyak. Kelas pekerja dan filem sudah menjadi sahabat sejak awal dia dibuat. Dan ketiga filem yang akan dibahas, telah melanjutkan keakraban tersebut dalam sudut pandang, regional, dan masa yang berbeda. Ketiga filem yang ditampilkan, Earth of the Blind (1992), Factory (2004), dan Artel (2006) berada di masa yang sama, pasca-komunis yang dibuat setelah runtuhnya Uni Soviet, hanya saja rentang waktunya yang berbeda. Baik Factory dan Artel tidak memiliki selisih tahun pembuatan yang jauh, dan dibuat oleh sutradara yang sama. Dibandingkan kedua filem tersebut, Earth of the Blind dibuat 2 tahun setelah Lithuania merdeka dari Uni Soviet. Secara teknis visual, ketiga filem ini memiliki perbedaan yang begitu mencolok, tapi sama-sama menggunakan medium 35mm. Earth of the Blind menggukanan tone color sepia dengan kontras warna yang rendah, hingga hampir menyerupai filem hitam-putih, menyebabkan filem ini terlihat seperti filem yang dibuat pada tahun 1920an, secara sengaja agar terlihat tua dan rapuh. Tidak ada dialog dalam filem ini. Suara kebanyakan diisi oleh ambience yang continous, suara kehampaan, dan suara decitan besi kursi roda, tapi tidak banyak. Pendekatan teknis visual Factory sangat berbeda dengan Earth of the Blind, kontras warnanya begitu terasa, frame statis, hampir tidak ada gerakan kecuali pada satu bidikan (shot). Lain pula dengan Artel yang menggunakan medium hitam-putih, tapi memiliki kesamaan teknis dari bidikannya yang statis. Sama dengan Earth of the Blind dan Factory, tidak ada dialog dalam Artel, suaranya menyatu dalam visual, merekam apa yang terjadi saat itu secara berkelanjutan. Earth of the Blind memiliki tiga cerita: cerita tentang pemotongan sapi, cerita kakek dengan kursi rodanya, dan nenek tua yang hidup sendirian. Masing-masing cerita ini saling berdiri sendiri tapi saling terhubung dengan paradoks. Nenek dan kakek ini sudah tentu tahu 92


mereka akan menemui ajalnya, walaupun mereka tidak bisa melihat, kondisi buta ini tidak menghentikan mereka untuk melakukan sesuatu. Bagi nenek, rutinitas yang harus dijalaninya adalah memberi makan hewan ternak, dan merawat diri, seperti menyisir rambut. Tindakan ini lucu-ironis karena si nenek tinggal sendirian dan dia buta. Sedangkan kakek dengan kursi rodanya melakukan aktivitas yang menurutnya menyenangkan, bermain musik dan berjalan-jalan. Sekali lagi hal ini lucu tapi ironis. Sedangkan di peternakan sapi, sapi-sapi ini bisa melihat dengan matanya yang bulat dan besar, tapi mereka tidak bisa melihat apa yang akan mereka hadapi, yaitu rumah pemotongan sapi. Dengan kontras pula diperlihatkan kondisi hewan yang masih hidup di padang rumput, dengan hewan yang sudah dipotong dan digantung. Earth of the Blind berlatar di pedesaan. Saat dalam perjalanan kakek dengan kursi rodanya, kita bisa melihat beberapa pabrik tua di sisi jalan, tapi tidak banyak aktivitas, seperti mati dan ditinggalkan. Aktivitas pekerja dalam Earth of the Blind diperlihatkan pada daerah peternakan dimana ada para pemotong dan pengawas hewan ternak menaiki kuda. Factory dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis material yang dijadikan obyeknya, pertama adalah baja, dan yang kedua plester (bahan bangunan semacam semen). Mengawali gambar dengan bidikan dari luar pabrik, dari luar jendela yang memperlihatkan antrian pekerja memasuki pabrik. Filem ini penuh dengan pertentangan, keras dan lembut, dingin dan panas, pria dan wanita. Dan yang paling utama, manusia dan mesin. Pertentangan antara keras dan lembut direpresentasikan dengan material sumber daya alam untuk produksi pabrik, besi dan tanah lempung, lalu pabrik besi diisi oleh pekerja yang semuanya pria, kontras dengan pabrik pengolahan plester yang hampir semua pekerjanya wanita. Mesin dalam manufaktur besar bekerja untuk membantu pekerja. Pemandangan ini sudah tidak asing sejak ditemukannya mesin uap yang merevolusi industri manufaktur dunia. Karl Marx dalam Manifesto Komunis menjabarkan lemahnya perlindungan kelas pekerja yang bekerja dalam sistem kapital. Mesin-mesin pabrik menurutnya, telah menghilangkan sifat-sifat perseorangan para pekerja hingga hilang kegairahannya. Ini diperlihatkan dengan sangat jelas oleh Sergei Loznitsa. Pekerta yang 93


bekerja mengikuti ritme dari mesin, bukan sebaliknya. Hal ini pernah diparodikan dengan jenaka oleh Charlie Chaplin dalam Modern Times. Tapi dalam Factory, apa yang diperlihatkan adalah kenyataan yang seutuhnya. Pemandangan pahit melihat manusia yang berkorban menyatu dengan mesin untuk menjinakkan material alam menjadi material jual. Sejalan dengan pernyataan Marx, makin tidak menyenangkan pekerjaan buruh, makin rendah upahnya. Pertentangan antara dingin dan panas mengakhiri filem ini. Tempratur panas ekstrim di dalam pabrik kontras dengan cuaca luar pabrik yang dingin bersalju. Waktu istirahat dihabiskan pekerja untuk berkumpul di pantri sambil makan dan berinteraksi. Dari dalam, sayup-sayup terdengar alunan musik klasik, Frédéric Chopin, Waltz Brillante no 2 in A minor. Frédéric Chopin memiliki latar belakang sejarah dengan kelas pekerja, Komposer ini yang juga membuat Polonaise in A-flat major, atau disebut juga ‘Heroic Polonaise’, yang sejak revolusi 1848 menjadi simbol perjuangan kelas pekerja. Dalam bisingnya suara pabrik, apa yang dibicarakan para pekerja di kala rehat tidak bisa terdengar, tapi mungkin apa yang dibicarakan mereka adalah romantisme masa lalu tentang kehebatan kelas pekerja yang mampu menggulingkan pemerintahan. Realita yang terungkap di Factory seperti bidikan awal dari balik jendela luar pabrik. Kamera menjadi jendela bagi kita tentang bobroknya sistem kapital untuk kelas pekerja. Bidikan pertama dari Artel berkebalikan dengan Factory. Artel memperlihatkan pemandangan keluar dari dalam sebuah ruangan. Artel diawali dengan bidikan pemandangan yang abnormal. Perahu nelayan terbalik di tengah hamparan salju, tiang listrik yang hampir rubuh, suasana pedesaan yang terlihat sepi, kontras dengan suara latar yang ramai, suara-suara anjing, besi beradu, percakapan, angin salju. Hingga muncul sekelompok orang dengan jaket tebal melakukan aktivitas rutin mereka, mencari ikan untuk dimakan dan dijual. Artel yang memiliki arti ‘kelompok’, dan kelompok ini lalu menuju ke danau beku dan memecah es hingga terlihat airnya dan mengambil ikan yang hidup di dalamnya. Seperti Vertov, Sergei Loznitsa mengambil gambar seperti apa adanya. Pekerja dalam Artel berbeda dengan Factory dan Earth of the Blind, mereka tidak bekerja untuk siapapun kecuali untuk kelompoknya. 94


Mereka tidak bergaji. Mereka mengendalikan mesin, tidak sebaliknya. Kelompok pekerja dalam Artel jauh lebih sejahtera, mereka memiliki peralatan sendiri, pekerja yang lebih independen. Artel berlatar di utara Rusia yang bersuhu ekstrim dan dekat dengan Arktik. Pada tahun 1922, dengan tema yang sama Robert J. Flaherty membuat Nanook of the north tentang suku Inuit di utara Kanada. Dalam filem tersebut diperlihatkan suku Inuit yang masih lugu bertemu dengan budaya modern, seperti saat melihat gramofon. Lalu ada adegan bagaimana cara orang Inuit membuat rumah dari salju dan juga cara mereka berburu. Sebuah perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkan dengan masa sekarang yang dilihat di Artel. Dari ketiga filem tersebut, Artel memiliki akhir yang paling optimis, dengan bergantinya musim, dan mencairnya salju, maka mendapatkan ikan tidak lagi begitu sulit, dan mereka bisa kembali menggunakan perahu terbalik yang menganggur selama musim dingin.

j

95


Post-Communism in Eastern Europe and the Life of Working Class curator:

Afrian Purnama

In 1989, there was a radical change in Eastern Europe because of the diminishing influence of Soviet Union and the influence of liberalization just started amongst authorities in that region. It was punctuated with the collapse of Berlin Wall in November 9, 1989. That event was the peak of protests and riots which had occured for many weeks, thus the East German government finally gave permission to its citizens to cross to the west side of Berlin. The revolution in Poland was the starting point, then the revolution wave spread through all countries in Eastern Europe until the fall of Soviet Union. Eastern Europe has a long history about the existence of the working class. They led the movement of the Bolshevik revolution bringing down the Tsar’s power who had ruled for many centuries. Sergei Eisenstein perpetuated their heroic struggle in the film October: Ten Days That Shook the World. In posters, and films made in Soviet era, the working class was depicted heroically. They were even enshrined as called monument called Worker and Kolkhoz Woman. Louis Lumière made Workers Leaving the Lumière Factory in 1895. It showed male and female labors walking out of a factory gate and then turned to the left and right edge of the film frame until the gate was closed. That historical image marked the birth of a new art form. The image of the labors is the oldest moving picture shown on big screen for wide audience. Labors and cinema have become best friends since the medium of film was born. And three films in this curatorial, 96


have maintained their intimacy with their own perspective, regional, and time frame. The three films which will be discussed here are Earth of the Blind (1992), Factory (2004) and Artel (2006). All were made in the same period—Post-Communism—after the fall of Soviet Union, only from different time frames. The production year of Factory and Artel was not far apart. Both were made by a same director, while Earth of the Blind was made just 2 years after Lithuania’s independence from the Soviet Union. Visually these three films have such striking differences, but all were made with 35mm medium. Earth of the Blind uses sepia tone color with low color contrast, almost resembles a black-and-white film. This causes the film looks like it was made in silent era, intentionally to be looked old and fragile. There is no dialogue in the film, mostly filled by a continuous ambient sound, then the sound of emptiness, and a bit of screeching sound of a metal wheelchair. The visual technical approach in Factory is very different from Earth of the Blind, the color contrast is noticeably. The frame is static, almost no movement except in one shot. While Artel also uses black and white film as in Earth of the Blind, but has technical similarities of static shots as in Factory. Similar to Earth of the Blind and Factory, there is no dialogue in the Artel. The sound blends with the visual, recording what happens sustainably. Earth of the Blind is formed by three stories: about cows and the slaughterhouse, an old man with his wheelchair, and an old woman who lives alone. Each story stands on its own but connected with paradox. The old man and old woman surely know they will pass away pretty soon, even though they are blind, this condition don’t stop them to do something in their lives. The old woman’s daily routines are feeding her livestock animals, and taking care of herself, such as combing her hair. Whereas the old man does his exciting daily activities with his wheelchair such as playing music, and wandering around. again, this funny behaviors were ironic. Their habits and behaviors are funny but ironic considering both blind and live alone. Meanwhile in the cattle breeding, the cows with their big round eyes and supposedly can see everything around them are not able to predict their future, slaughterhouse. We are also shown the condition 97


of the still-living cows in in contrast with the ones which have been chopped and hanged. Earth of the Blind was set in a rural area. We can see some abandoned old factories at the side of the road when the old man wandering around with his wheelchair.. Most of the workers’ activities in Earth of the Blind were shown around the cattle breeding and the slaughterhouse, with the butchers and the supervisors riding horses. Factory is divided into two segments based on the object materials used in the factory. The first is steel, and the second is plaster. The film begins with a shot from outside the factory. From outside the window, the workers show queuing to go inside the factory. Contradiction is used in the film, like hard and soft, cold and hot, man and woman, and most importantly, human and machine. The soft and hard contradiction is represented with the materials used in the factory production—steel and clay. The steel factory is filled with male labors, while in the plaster processing factory almost all the labors are female. Machinery in big manufacture works to help the labors. This view is familiar since the invention of steam machine. Karl Marx in his Communist Manifesto described the weak protection of the working class who works in capital system. The factory machineries have omitted individual characteristics and morale of the workers. This is shown very clearly by Sergei Loznitsa. It is the workers who work following the rhythm of the machineries, not vice versa. This condition was parodied by Charlie Chaplin in Modern Times, but in Factory, what we see is the real ugly truth, and not funny at all to see human sacrifice fused with machine to tame natural resources then turned them into a ready-to-sale material. Attuned with Marx’s statement, the more unpleasant their job is, the lower the wages would be. The film ends with a contradiction between cold and hot condition. The extreme hot temprature inside the factory contradicted with the snowy and cold weather outside. The hour break is spent by the labors to gather in the pantry while eating and interacting to each other. We can hear a classical music drifted from inside, it was Frédéric Chopin’s composition, Waltz Brillante no 2 in A Minor. Frédéric Chopin had historical background with the working class. He was the composer who made Polonaise in A-flat Major, or could also be called as ‘Heroic Polonaise’, which since the 1848 98


revolution had been used as the working class’s symbol of struggle. In the noise of the factory we can not hear what the labors are talking about, but maybe they are mumbling about past romantism of the greatness of the working class who was capable to overthrow the empire. The reality revealed in Factory is like the first shot at the beginning of the film, from outside the factory’s window. Camera becomes a window for us to look at the injustice of capital system for the working class. The first shot from Artel is in contrast to Factory. Artel shows a view of natural landscape out from inside of a room. The scenery shots are unusual. A capsized fishing boat in the middle of a snowfield, a nearly collapsed electric pole, a quiet rural area is in contrast to the bustling sound in the background, iron clanging, the sound of dogs, conversation, and snowy wind. And then a group of people with their thick jackets appear on the screen doing their routines, looking for fishes to be eaten and to be sold. Artel means ‘a group’, and this group is heading to the frozen lake dan breaking the ice to take the fishes out of the cold water. Like Vertov, Sergei Loznitsa shoots the reality as it is. The workers in Artel are different with the ones in Factory and Earth of the Blind. They do not work for anyone except for their own group. They are paid by no one. They control the machine, not the other way around. The workers in Artel are much more prosperous, they have their own tools, they are more independent. Artel was set in north Russia, which the temprature is extreme, and near to the Arctic. In 1922, Robert J. Flaherty made a film with similar theme, Nanook of the North about the Inuit tribe in north Canada. The film documents the meeting of the naive Inuit tribe and modern culture. We can see their reaction when holding a gramophone for the first time, how they make their house with blocks of snow and how they hunt. A very noticeable difference when compared with what is presented in Artel. Out of those three films discussed in this curatorial, Artel has the most optimistic ending. When the season is changing, and the snow begins to melt, then catching fishes is no longer a hard work, so they can use the capsized boat again which was unused during the winter.

j 99


supported by the filmmaker

Country of Production: Lithuania Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 24 min, Color, 1992

Earth of The Blind (NeregiĹł ĹžemÄ—) Audrius Stonys (Lithuania)

Earth of the Blind menggunakan sepia tone color dengan kontras warna yang rendah, hingga hampir menyerupai filem hitam-putih. Hal ini menyebabkan filem terlihat seperti dibuat pada 1920an, disengaja agar terlihat tua dan rapuh. Tidak ada dialog di filem ini, sebagian besar terisi terus menerus oleh suara ambient, lalu suara kehampaan, dan sedikit suara decitan besi kursi roda.

Earth of the Blind uses sepia tone color with low color contrast, almost resembles a black-and-white filem. This causes the filem looks like it was made in silent era, intentionally to be looked old and fragile. There is no dialogue in the filem, mostly filled by a continuous ambient sound, then the sound of emptiness, and a bit of screeching sound of a metal wheelchair.

A. Stonys lahir di Vilnius tahun 1966. Belajar TV dan penyutradaraan di State Conservatory Vilnius. 1989 magang di Pusat Arsip Antologi di bawah bimbingan Jonas Mekas di New York. Pernah bekerja di studio filem dan TV Lithuania. Telah menyutradarai 13 filem dokumenter dan satu filem pendek sejak 1989.

100

A. Stonys was born in 1966 in Vilnius. Studied TV and filem directing at the State Conservatory in Vilnius. In 1989, probation Jonas Mekas Cinema Anthology Archive in New York. Worked Lithuanian filem studio and television. Since 1989, created 13 documentary filems and one short filem.


supported by: Deckert Distribution GMBH

Country of Production: Russia Language: Russian Subtitles: English 30 min, Color, 2004

Fabrika (Factory)

Sergei Loznitsa (Ukraine) Factory dibagi menjadi dua bagian berdasarkan jenis material yang dijadikan obyeknya, pertama adalah baja, dan yang kedua plester (bahan bangunan semacam semen). Mengawali gambar dengan bidikan dari luar pabrik, dari luar jendela yang memperlihatkan antrian pekerja memasuki pabrik. Filem ini penuh dengan pertentangan, keras dan lembut, dingin dan panas, pria dan wanita. Dan yang paling utama, manusia dan mesin.

Factory is divided into two segments based on the object materials used in the factory. The first is steel, and the second is plaster. The filem begins with a shot from outside the factory. From outside the window, the workers show queuing to go inside the factory. Contradiction is used in the filem, like hard and soft, cold and hot, man and woman, and most importantly, human and machine.

Sergei Loznitsa lahir pada 5 September 1964 di Baranovichi (Belarusia). Tumbuh di Kiev, dan pada 1987 lulus dari Politeknik Kiev jurusan Matematika Terapan. Rentang 1987-1991 dia bekerja sebagai ilmuwan di Institut Sibernetika Kiev, dengan spesialisasinya riset artificial intelligence. Dia jufa bekerja sebagai penerjemah dari Bahasa Jepang.

Sergei Loznitsa was born on September 5th, 1964 in Baranovichi (Belarus, former USSR). He grew up in Kiev, and in 1987 graduated from the Kiev Polytechnic with a degree in Applied Mathematics. In 1987-1991 he worked as a scientist at the Kiev Institute of Cybernetics, specializing in artificial intelligence research. He also worked as a translator from Japanese.

101


supported by: Deckert Distribution GMBH

Country of Production: Russia Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 30 min, Color, 2006

Artel

Sergei Loznitsa (Ukraine) Artel berlatar di utara Rusia yang bersuhu ekstrim dan dekat dengan Arktik. Diawali dengan bidikan pemandangan yang abnormal. Perahu nelayan terbalik di tengah hamparan salju, tiang listrik yang hampir rubuh, suasana pedesaan yang terlihat sepi, kontras dengan suara latar yang ramai, suarasuara anjing, besi beradu, percakapan, angin salju. Hingga muncul sekelompok orang dengan jaket tebal melakukan aktivitas rutin mereka, mencari ikan untuk dimakan dan dijual.

Artel was set in north Russia, which the temprature is extreme, and near to the Arctic. The first scenery shots are unusual. A capsized fishing boat in the middle of a snowfield, a nearly collapsed electric pole, a quiet rural area is in contrast to the bustling sound in the background, iron clanging, the sound of dogs, conversation, and snowy wind. And then a group of people with their thick jackets appear on the screen doing their routines, looking for fishes to be eaten and to be sold.

Sergei Loznitsa lahir pada 5 September 1964 di Baranovichi (Belarusia). Tumbuh di Kiev, dan pada 1987 lulus dari Politeknik Kiev jurusan Matematika Terapan. Rentang 1987-1991 dia bekerja sebagai ilmuwan di Institut Sibernetika Kiev, dengan spesialisasinya riset artificial intelligence. Dia jufa bekerja sebagai penerjemah dari Bahasa Jepang.

102

Sergei Loznitsa was born on September 5th, 1964 in Baranovichi (Belarus, former USSR). He grew up in Kiev, and in 1987 graduated from the Kiev Polytechnic with a degree in Applied Mathematics. In 1987-1991 he worked as a scientist at the Kiev Institute of Cybernetics, specializing in artificial intelligence research. He also worked as a translator from Japanese.


Agenda: 28/8, GoetheHaus

Apa Jang kau Tjari, Pak Misbach? kurator:

Dag Yngvesson

1. Sang Arsip: Server Internal Pada saat ibadah sholat Jumat di Masjid Mal Pasar FestivalKuningan, aku duduk di ruangan besar yang sehari-harinya dipakai sebagai gedung olahraga, lantainya kini dilapisi dengan karpet sajadah, muadzin mengumandangkan adzan. Bersama para pegawai lembaga Arsip filem Nasional-Sinematek, yang berlokasi di gedung sebelahnya, Budi, Sandas, dan beberapa yang lainnya, dengan kepala tertunduk dan mata setengah terbuka, aku mendengarkan kiai berkata: “Allah telah memasang sebuah kamera CCTV di dalam kehidupan manusia. Segalanya telah terekam, bahkan walau itu hanya berupa bisikan dalam hatimu yang tak terucapkan. “ Sebagai seorang umat yang secara aktif berpartisipasi mendengarkan cerama dalam sholat Jumat itu, aku mengeluarkan buku catatan kecilku dan mulai menuliskan: Sejarah dan pengalaman manusia di dalamnya, sepenuhnya ditangkap dan dipreservasi di sebuah server yang sangat besar, yang mana hidup kita akan ditinjau dan dievaluasi. Karena Tuhan selalu ‘men-shoot’ kita, apa yang telah kita perbuat, Sang 103


Penceramah berargumen—melalui perilaku yang melekat pada suara kita, pikiran kita—pasti merefleksikan tujuan yang lebih besar. Bahkan perpaduan yang paling personal dalam diri kita pun merupakan elemen kunci dalam sebuah proses tajam dari sebuah pembentukan imajinasi kolektif. Kalau kita bisa mengkonseptualisasi jaman baru di mana kesalahan-kesalahan masa lalu tidak diulang, kemudian kita dapat menerapkannya ke dalam sebuah praktek. Namun kata-kata Si Kiai ini mengandung paradoks. Kita diharapkan belajar dari sebuah ‘arsip’ masa lalu kolektif yang terwacanakan secara ketubuhan yang kita, sebagai individu, hanya dapat serpihan akses sangat terbatas. Jadi sebenarnya kita tinggal menunggu firman Allah yang membimbing kita, dan kiai dan ulama yang berperan sebagai penerjemah dan gurunya. Mungkin sebetulnya ini hal yang wajar: arsip itu, dengan ketidakterbatasan kemampuannya untuk menyimpan dan melestarikan, pasti akan berisi kesan sisi gelap jiwa kita yang mungkin berjumlah sangat besar. Semata bagi manusia, melihat ke dalam masa lalu yang direkam secara persis dan total justru mungkin juga membuka jurang keputusasaan karena kemustahilan mengubah karakter manusia dari waktu ke waktu akan menjadi sangat jelas. Dengan demikian batasbatas memori perseorangan juga dapat melindungi kita dari diri kita sendiri, dari melihat sebagaimana “manusia” kita sebenarnya. 2. Sang Dokumenter: Arsip, The Movie Dalam Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan, 2013, sebagaimana dalam kehidupannya, Misbach Yusa Biran adalah seorang penjaga dan pemandu spiritual Sinematek, sebuah ‘ruang penyimpanan’ di mana bisikan hati yang filemis dan kolektif dari negeri ini—dari masa pasca kemerdekaan—dikumpulkan. Melalui wajahnya Misbach, pada suaranya, melalui surat-suratnya, dan pada gerak tubuh rentanya, terlukiskan dinamisasi ketegangan antara sifatnya apa yang dia sebut sebagai “rekaman sejarah yang paling akurat mungkin” dan ideal penggunaan koleksi rekaman/impresi itu sebagai alat untuk melayani konsep yang sangat spesifik dari harta karun publik. Anak Sabiran sendiri bergulir di dalam ketegangan ini, dan menanggapinya. Daripada sekedar hanya menyajikan narasi audio-visual mengenai kehidupan dan kelahiran Misbach beserta arsipnya (yang mana juga dilakukan oleh filem ini), 104


dengan perlahan, hati-hati dan meraba-raba dengan rasa, menjalani hubungan yang rumit Indonesia kini dengan masa lalunya, dan, yang lebih penting, dengan sejarahnya yang kaya dan kurang dijelajahi sebagai sebuah negara yang memproduksi sinema. Dalam sebuah adegan, yang secara jeli menunjukkan, filem ini mengikuti langkah terpatah-patah Pak Misbach ke sebuah klinik di mana dia menjalankan sebuah terapi setrum (listrik). Kita menyaksikan bagaimana dia dipijat, dan menerima sejenis terapi kejut listrik yang menyakitkan pada kaki dan punggungnya yang nyeri. Sekuen ini kemungkinan meninggalkan pertanyaan dalam sejumlah penonton tentang durasinya dan banyaknya rincian tentang pengobatan tersebut yang sepertinya tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengarsipan dan sinema. Tapi sebenarnya adegan ini secara subtil berhasil menyampaikan komentar penting tentang tema sentral filemnya. Setelah mengorbankan hidupnya dengan berjuang untuk ‘menyelamatkan’ Indonesia dengan melestarikan masa lalu, tubuh ‘Sang Arsip’ menjadi kaku dan membatu seperti juga citra yang sudah dibekukan dalam waktu. Adegan berikutnya, sebuah wawancara dengan sutradara terkenal pasca-Reformasi, Riri Riza, mengisahkan Pak Misbach muda, saat masih sehat dan mengajar di Institut Kesenian Jakarta pada 1990-an. Saat itu, Sang Pengarsip dengan enerjiknya memangku peran sebagai seorang agen dan provokator, yang sangat bertekad untuk membentukkan imajinasi nasional/kolektif yang lebih bajik dengan cara mengarahkan karya dari para pembuat filem yang masih muda dan bercita-cita. Sebagai muridnya, bagaimanapun, tampaknya Riri Riza langsung patah arang. Tesis filemya ditolak karena dianggap terlalu ‘tidak jelas’, membiarkan moralitas para tokoh dan situasi-situasinya terbuka, kekurangan dialog berat yang secara garisbawah dianjurkan oleh Misbach serta harus memperkuat nilai yang positif. Bagi Riri, sinema dalam pemahaman idelaisme Misbach terlalu kaku dan propagandaistis. Namun pada saat dia berkunjung ke kantornya di Sinematek, gambaran tentang sang dosen pun berubah. Di sini seorang yang benar-benar percaya, dengan cara yang mirip keyakinan terhadap agama, dengan kekuatan yang berada dalam sinema. Penghormatannya pada segala makhluk ciptaan Tuhan yang rela membungkukkan badan untuk mengangkat kamera terlihat sangat jelas: dalam konteks 105


perngarsipan, tak ada waktu untuk melemparkan tuduhan. Perihal ‘baik’ dan ‘buruk’ keduannya adalah bagaian penting dari Keseluruhan, maka wajib dilestarikan masing-masing sebelum itu semua punah selamanya. Misbach dengan rendah hati meminta Riri Riza untuk menyerahkan ‘apapun’, apa saja yang berhubungan dengan produksi filem-filemnya, ‘apapun’ untuk dibagi demi koleksinya. Anak Sabiran sendiri mengambil perspektif seorang pengunjung yang baru pertama kali ke kantor Pak Misbach. Seperti semua tamutamu di situ, disambut baik untuk berkunjung dan menjelajah, juga pastinya menemukan hubungan diantara benda-benda dan citra-citra lamanya dengan dunia masa kini di luaran sana. Di dalamnya, gedung tersebut (sebelum direnovasi tahun ini) tampak seperti badan yang tua dan renta, penuh dengan sebuah totalitas ‘rekaman-rekaman’ yang tak terpahami, namun dijiwai oleh sebuah kekuatan yang jarang: sebuah idaman yang hebat dan tidak gentar untuk mengingat dan berbagi. Pada rak-rak dan temboknya, ambiguitas perasaan kolektif terhadap citracitra yang angker karena diawetkan dari masa yang hilang, tertuliskan di mana-mana sebagai terabaikan dan kerusakan. Seperti pernyataan berulang-ulang yang diucapkan Pak Misbach di bagian akhir filem, di mana itu adalah seminggu masa akhir hidupnya, “Kamu pikir gampang mengumpulkan semua benda ini? Tidak gampang.” Selama 40 tahun berhadapan dengan ketidakpedulian masyarakat dan negara, memang kemungkinan hanya sebuah kekukuhan yang tumbuh dengan kegairahan yang membabibuta adalah satu-satunya cara yang mampu menyelamatkan runutan-runutan masa lalu ini. 2. Sang Kurator: dari Kumpulan Arsip Tidak seperti citraan yang terkunci dengan seksama yang dikumpulkan oleh kamera internal CCTV kita, potensi radikal dalam arsip-arsip yang tentu (dan ini sangat tidak mengecualikan kumpulan yang “acak” atau tidak resmi) terletak dalam aksesnya, bagi mereka yang cenderung punya waktu untuk menggali, terhadap kesungguhan “sudut pandang Tuhan” mengenai sejarah. Tak seorangpun, tentunya, bisa meyerap, atau memilah masa lalu secara menyeluruh. Namun proses sederhana dari menjelajahi citraan, ide-ide, dan momen dalam waktu yang direkam dapat memberi rasa keterhubungan dan pemahaman yang kuat dan 106


memabukkan, bahkan bisa menimbulkan kebencian atau kecintaan: yaitu di sini ‘kita’ dan ‘mereka’ terlahir dari narasi-narasi yang dibuat oleh para penjelajah arsip, mengkristal dalam jalur-jalur yang mereka tarik dari masa lalu ke sekarang. Ini bukan sesuatu yang dapat dianggap enteng. Hingga kini aku telah menghabiskan beberapa tahun mengumpulkan banyak DVD dan membenamkan diri dalam dunia ratusan filem Indonesia. Walaupun, sebagian besar dengan resolusi rendah dan beraspek rasio sinemaskop yang dipangkas secara keras menjadi 4:3, mengurangi nyaris 50 persen area gambar dalam bingkaian. Oleh karena itu sulit dijelaskan betapa menyenangkannya bisa berkutat berminggu-minggu terakhir ini di ruang bawah tanah Sinematek, menghirup aroma kimia dan menyaksikan goresan-goresan frame 35 mm yang tak terhitung jumlahnya dalam layar meja edit untuk melihat filem seluloid. Ketika saya menyadari, untuk alasan yang rumit, ini adalah pandangan tertentu tentang masa lalu yang amat, teramat sedikit pernah dialami orang Indonesia, terutama yang usianya di bawah 40 tahun. Sebagai seorang peneliti asing, dan seseorang dari “Hollywood” sebagai tambahannya, setidaknya sekali seminggu saya dihujani pertanyaan meragukan kegiatanku yang selalu sama: “Mengapa anda tertarik dengan sinema Indonesia??” Saya menganggap tulisan ini, di atara lainnya, sebagai kesempatan untuk memberi jawaban yang paling tidak merespon sebagaian. Dalam memilih ‘filem pasangan’ yang akan dijajarkan dengan Anak Sabiran, saya telah mengacu kembali dari ‘jurang’ gelap arsip tadi dengan karya yang memberi sebuah harapan untuk masa depan. Apa Jang Kau Tjari Palupi (1970) karya Asrul Sani bukan hanya sebuah filem Indonesia favorit saya, tapi salah satu yang saya letakkan di antara karya-karya sinema papan atas secara general. Rasa harapan yang dimunculkan, walaupun, bukan hasil ending yang bahagia atau kata-kata bijak yang dituturkan oleh aktor karismatik. Sebaliknya, sumbernya adalah pandangan sejarah dan pengalaman manusia yang tak tergoyahkan serta keterusterangan yang keras​​, meskipun tidak terlalu ‘dingin.’ Menerjemahkan pengulangan kesalahan manusia yang sudah pasti ke dalam bayangan kelabu yang pergeseran, goresan dan mengharukan: tidak pernah benar-benar hitam atau putih, dan selalu berwarna. 107


Jika semua berjalan sesuai rencana, filem Asrul Sani yang anda tonton akan datang dari ruang bawah tanah penyimpanan filem yang sama yang baru saja terjelajahi dalam karya Mr. Rancajale dan temanteman. Kedua filem ini, pada kenyataanya diproduksi di era yang sangat berbeda dan memiliki genre, struktur formal, dan teknologi media yang berlainan, namun menampilkan kegelisahan yang sama dengan kaidah penceritaan klasik. Keduanya mengundang mata penonton untuk berlama-lama menatap gambar atau sekuen ini-itu, memilih gambar peristiwa, atau suara yang resonan, dan melibatkan kita ke dalam sebuah dunia yang selalu dialami melalui kumpulan rekaman dan ditata oleh para kolektor jeli.

j

108


What Are You Looking For, Pak Misbach? curator:

Dag Yngvesson

1. Sang Arsip: the Internal Server During Friday prayers at the Pasar Festival Mall in Kuningan, I sat in a large room normally used for sports, the floor now covered with prayer rugs, the scorekeeper’s speakers broadcasting the adzan. Along with Budi, Sandas, and ____, staff members of Sinematek, the national film archive housed in the building next door, I listened, head bowed and eyes half open, to the kiai: “God (Allah) has installed a CCTV camera inside each human being. Everything is recorded, even the inner whispers of your heart that remain unspoken.” As an active participant in Friday prayers, I took out my notebook and began to write: History and human experience in its totality, then, is captured and preserved somewhere in a massive server from which our lives will be carefully reviewed and evaluated. Because God is always “filming” us, what we make, the kiai argued – with our voices, our thoughts, and the actions attached to them – must reflect a greater purpose. Even the most private stirrings within us are key elements in the delicate process of building a collective imagination. If we can conceive of a new era in which the mistakes of the past are not repeated, then we can put it into practice. Yet the kiai’s words contain a paradox. We are meant to learn from a collectively embodied “archive” of the past to which we, as individuals, have at best fragmented access. So we are left with God’s words to guide us, and with our kiai and ulama as interpreters and teachers. Perhaps 109


this is for the best: the archive, with the limitlessness of its ability to store and preserve, will inevitably contain impressions, maybe billions of them, of the darker sides of our souls. For a mere mortal, a look into the precisely recorded past might well open an abyss of hopelessness at the very impossibility of altering human character over time. Thus the limits of individual memory may also protect us from ourselves, from seeing how “human” we really are. 2. Sang Dokumenter: Archive, The Movie In Anak Sabiran, Dibalik Cahaya Gemerlapan (‘Sabiran, Behind the Flickering Light 2013), as in his life, the late Misbach Yusa Biran is the keeper and spiritual guide of Sinematek, the vault where the collective, filmic whisperings of the heart of a nation – post independence Indonesia – are stored. On his face, in his voice, his letters, and the movements of his aging body, is written the dynamic tension between the nature of what he calls “the most accurate recording of history possible” and the ideal of using such a collection of impressions as a tool to serve a very specific conception of the greater public good. Anak Sabiran is itself embroiled in this tension, and responds to it. Instead of merely providing a visual-aural narrative of the birth and life of Misbach and his archive (which it also does to some extent), it slowly, carefully feels its way through the tangled relationship of Indonesia with its recent past, and, more important, with its rich and underexplored history as a nation that produces cinema. In a cleverly revealing scene, the film follows Pak Misbach’s halting gait into a small clinic where he is to receive a type of electroshock therapy. We watch as he is massaged, and then receives painful jolts of electrical current in his aching legs and lower back. The sequence may raise questions for some viewers regarding its length and the amount of details we’re given about a treatment seemingly unrelated to archiving or cinema. Yet it nonetheless conveys an important commentary on the film’s central theme. After sacrificing much of his life to a struggle to “save” Indonesia by preserving its past, the archivist’s body has become rigid and petrified, itself resembling an image frozen in time. The following scene, an interview with the well-known, post Reformasi director Riri Riza, conjures Pak Misbach as a younger, 110


healthier lecturer at the Jakarta Arts Institute (IKJ) in the 1990s. There, he energetically assumes the role of agent and provocateur, determined to foster a more wholesome national/collective imagination by shaping the work of aspiring filmmakers. As his student, however, the young Riza is turned off. His thesis film is rejected because it’s too “unclear,” leaving the morality of characters and situations open, and lacking the heavy dialog that Misbach has suggested to underline and solidify positive values. For Riri, the cinema of Misbach’s ideals is stiff and propagandistic. Yet when visiting his office at Sinematek, Riza’s image of his teacher changes. Here is a man who believes, with a religious conviction, in the power of film. His great respect for all God’s creatures who have bent down to pick up a movie camera is evident: in the context of the archive, there is no time to stop and pass judgment. Both “good” and “bad” are integral parts of Everything, and must be preserved before they are lost forever. Misbach now humbly asks Riza for “anything,” anything at all related to the production his films, whatever he can spare for the collection. Anak Sabiran itself takes on the perspective of a first-time visitor to Pak Misbach’s office. Like all guests there, it is generously invited to stay and explore, inevitably finding connections with the world of the present outside. Inside, the building resembles an ailing, aging body, filled with an incomprehensible totality of “recordings,” yet imbued with a rare strength: an incredible, fearless drive to remember and to share. On its shelves and walls, the ambiguity of collective feelings toward the ghostly, preserved images of vanished eras is written everywhere as neglect and disrepair. As Pak Misbach repeatedly states toward the end of the film, and only weeks from the end of his life, “You think you could collect all this stuff? It’s not easy.” In the face of 40 years of state and public indifference, a certain rigidity bred of quixotic passion may well be only thing that could have “saved” these impressions of the past. 3. Sang Kurator: From the Archives Unlike the carefully locked away images collected by our internal CCTV cameras, the radical potential in certain archives (and this by no means excludes unofficial or “random” assemblies) lies in the access, for those 111


inclined to spend some time digging, to a veritable “God’s eye view” of history. No one, of course, can absorb, remember, or sort out the past in its entirety. Yet the simple process of exploration of images, ideas, and recorded moments in time can give rise to an intoxicatingly powerful sense of connection and understanding, even of hate or love: it is here that “us” and “them” are born in the narratives of archival explorers, crystallizing on the paths they draw from then to now. This is not something to be taken lightly. I have now spent several years collecting DVDs and immersing myself in the worlds of hundreds of Indonesian films. However, the vast majority are low resolution and have had their cinemascope aspect ratios violently slashed to 4:3, reducing the visible area of the frame by nearly 50 percent. It is therefore difficult to describe the excitement of recent weeks spent in the basement of Sinematek, breathing chemicals and watching innumerable 35mm frames flicker in front of me on the screen of the large, flatbed editor used for viewing celluloid prints. As I have come to realize, for complex reasons, this particular view of the past is one that very, very few Indonesians, especially those below age 40, have experienced. As a foreign researcher, and one from “Hollywood” to boot, I am asked the same incredulous question at least once a week: “why are you interested in Indonesian cinema??” I take the task at hand as a way to provide at least a partial answer. In choosing a partner-film to screen with Anak Sabiran, I return from the archival abyss with a work that provides a measure of hope for the future. Asrul Sani’s Apa Jang Kau Tjari, Palupi (What is it You’re Looking for, Palupi 1970) is not only a favorite Indonesian film, but one I would place among the masterworks of cinema in general. The sense of hope it produces, however, is neither the result of a happy ending nor words of wisdom recited by a charismatic actor. Rather, its source is a view of history and human experience that is unwavering and brutally frank, although rarely cold. It renders the inevitably repeated mistakes of mortals in shifting, flickering, and poignant shades of Gray: never quite black nor white, and always in color. If all goes according to plan, the print you watch of Sani’s film will come from the same vault you have just vicariously explored 112


through the work of Mr. Rancajale and friends. The two movies, while produced in vastly different eras and employing distinct genres, formal structures, and technological media, nonetheless display a similar sense of restlessness with the conventions of classical storytelling. Both invite the gaze of viewers to linger on this or that shot or sequence, selecting resonant images, moments, or sounds and engaging us in a world always experienced through the recordings amassed and arranged by prescient collectors.

j

113


Country of Production: Indonesia Language: Bahasa Indonesia Subtitles: English 160 min, Color, 2013

Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) Hafiz Rancajale (Indonesia)

Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) mencoba membaca gagasan pengarsipan filem yang ada di dalam pikiran Misbach Yusa Biran sebagai seorang tokoh yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk mengawetkan wacana dan memaknainya kembali sebagai sumber sejarah perfileman Indonesia yang disimpannya di Sinematek Indonesia.

A documentary about an important figure in filem archiving in Indonesia, or in Indonesian cinema in general. Hajji Misbach Yusa Biran was a former filem director who dedicated most of his lives to preserve materials regarding Indonesian cinema to record history, This filem is much about his personal lives as an archivist as it is about him as the founding father of Sinematek Indonesia.

Lahir di Pekanbaru, 1971. Seniman, kurator, pendiri Forum Lenteng dan Raungrupa Jakarta, Chief Editor www.jurnalfootage.net. Menempuh pendidikan seni murni di Institut Kesenian Jakarta. Direktur Artistik OK.Video Jakarta International Video Festival (2003-2011). Saat ini, Hafiz menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta.

114

Born in Pekanbaru 1971. Artist, curator, co-founder of Forum Lenteng and Ruangrupa Jakarta, Chief Editor of jurnalfootage.net. Studied fine arts at Jakarta Institute of Arts. Artistic Director OK.Video Jakarta International Video Festival (2003-2011).Since 2013, Hafiz is The Head Commisioner of Visual Arts at Jakarta Arts Council.


supported by: Sinematek Indonesia

Country of Production: Indonesia Language: Bahasa Indonesia Subtitles: No Subtitle 156 min, Color, 1969

Apa Jang Kau Tjari, Palupi? Asrul Sani (Indonesia)

Haidar adalah pengarang yang sedia melarat demi mempertahankan kejujuran dan kebenaran. Sebaliknya sang isteri, Palupi (Farida Syuman) adalah wanita yang tak bisa memberikan cintanya kepada siapapun, kecuali kepada dirinya sendiri. Karenanya, Palupi merasa tidak bahagia, walau telah diizinkan bermain filem. Di situ dia merasa iri kepada Putri, kekasih Chalil, sang sutradara. Palupi mendekati Chalil begitu rupa, sehingga sutradara itu jadi menjauhi Putri. Kemudian Palupi tertarik kepada seorang pengusaha muda, Sugito. Melihat hal itu Chalil menjauhi Palupi, dan kembali ke kekasih lamanya, Putri. Apa sesungguhnya yang dicari Palupi?

Haidar is a writer who can embrace poverty for the sake of an honest and truthful life. On the contrary, Palupi is a woman who cannot love anyone but herself. This makes Palupi unable to feel happiness, even when she is given a role in a movie. During the shooting, she becomes jealous of Putri, the director Chalil’s lover. Palupi makes a move on Chalil so that the director would turn away from Putri, Then Palupi is attracted to a young businessman, Sugito. After witnessing this, Chalil decides to stay away from Palupi and returns to his former girlfriend, Putri. What is actually Palupi looking for?

Asrul Sani lahir di Rao, Sumatra Barat, 10 Juni 1927. Belajar di Fakultas Kedokteran Hewan, Bogor dan mendapat gelar “doktorandes” pada 1956. Sementara itu, rentang 1951-1953 ia belajar di Akademi Seni Drama di Amsterdam. 1955-1956 belajar filem di USC (University of Southern California), Amerika Serikat.

Asrul Sani born in Rao, West Sumatra, June 10 th, 1927. Studied at Veterinary Faculty, Bogor and in 1956 he had master degree. Meanwhile, from 1951-1953 he studied at Theatre Academy Amsterdam. 1955-1956 he studied cinema at USC (University of Southern California), USA.

115


Agenda: 26/8 & 27/8, kineforum

Sinematik Representasi dalam Modernisasi Kota kurator:

Bunga Siagian

Berangkat dengan satu kutipan dari filem Helsinki Forever: “In 1915, there were 19 divorces in Helsinki. In 1990, the number was 2000�. Perubahan semacam itu sebagai salah satu ciri kota modern yaitu adanya wanita–wanita karir yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Oleh karena itu tingkat kemandirian mereka sudah begitu tinggi, dan tingkat ketergantungan mereka terhadap pria pun semakin menurun. Dari situ, saya akan menarik satu narasi yaitu Modernisasi. Teori modernisasi sebenarnya merupakan teori perubahan sosial yang dibangun di atas landasan kapitalisme, teori evolusionisme dan teori fungsionalisme. Mengingat bahwa teori modernisasi dibangun di atas landasan kapitalisme, maka norma yang mendukung modernisasi jelas bernuansa kapitalistik yang diletakkan di atas sistem persaingan atau kompetisi bebas. Paling tidak pengertian umum tentang modernisasi adalah proses sejarah pada transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian tradisional ke masyarakat industri modern sejak masa revolusi industri abad XVIII, maka Peter Hutton menghadirkan industri modern itu 116


melalui karyanya Lodz Syhmpony (1993). Melalui filem, Peter Hutton mampu merepresentasi modernitas yang hadir di sebuah kota Industri Lodz, Polandia pada abad 19. Hutton menggambarkan perubahan ke modernitas itu dengan menyisipkan satu gambar seorang laki-laki yang bekerja menggarap sebuah lahan yang luas sebagai antitesa di tengahtengah gambar ruang-ruang kota yang kosong dengan gambar-gambar pabrik yang megah, alat-alat kerja industri seperti roda mesin dan mesin tenun, juga jalur trem. Scene pembuka seorang kakek yang berjalan pincang menggunakan tongkat dan kemudian out frame dari kamera, seolah menegaskan bahwa 19 menit sesudahnya adalah gambar-gambar yang hidup dalam diri para lanjut usia, para saksi bagaimana kota itu tumbuh. Dan Hutton merepresentasikannya dari sudut pandang manusia modern. Penggunaan gambar hitam putih seolah adalah satu kode bahwa selanjutnya filem itu adalah situasi ‘klasik’ yang berhadapan dengan modernitas. Seperti diketahui, baru pada 1937 teknologi filem mampu memproduksi filem berwarna. Setelah Perang Dunia II, negara-negara yang terlibat dalam perang dan negara yang baru merdeka banyak yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga banyak sekali pengangguran. Di Helsinki Forever (Peter Von Bagh, 2008), filem menjadi saksi yang baik dalam menceritakan kembali keadaan sosial saat itu. Salah satunya, mengambil footage adegan-adegan dari filem karya Edvin Laine berjudul Ristikon Varjossa, yang menggambarkan sebuah pabrik yang menjadi ‘harapan’ bagi para pengangguran sehingga mereka berbondong-bondong mencari pekerjaan di sana. Atau di Filemnya yang lain berjudul Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine,1947), sebuah bidikan yang menggambarkan beberapa jalur rel kereta dari beberapa daerah melebur menjadi satu rel yang menuju Kota Helsinki, langsung berganti ke bidikan selanjutnya, masyarakat urban yang berdesakan turun dari kereta hendak mengadu nasibnya di kota. Untuk memulihkan kembali kondisi ekonominya maka negaranegara yang terlibat melakukan konsolidasi. Hasilnya adalah adanya perubahan dalam hubungan antarnegara di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Di bidang ekonomi, dibentuklah lembaga-lembaga ekonomi yang pada hakekatnya akan mengendalikan negara-negara yang baru merdeka. 117


Penerapan teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negaranegara tersebut melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Ada satu scene metafora menarik di City Scene karya Zhao Liang. Bidikan seekor anjing kecil yang disetubuhi anjing besar, kemudian kamera zoom-out dan menyorot sebuah papan city plan besar Cina. Tersirat Zhao Liang dengan nakal menganalogikan Cina sebagai anjing kecil dan Kapitalisme sebagai anjing besar. Penerapan teori modernisasi dan ideologi pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia ternyata menunjukkan hal yang berlawanan dengan negara maju. Hal ini terjadi karena ada perbedaan tingkat kekayaan (modal) untuk melaksanakan pembangunan. Pada pertumbuhan awal negara-negara industri di Eropa Barat proses industrialisasi membutuhkan modal yang relatif kecil sehingga modernisasi dapat dijalankan oleh pengusaha, masyarakat, tanpa campur tangan yang besar dari negara. Sedangkan modernisasi di negaranegara Dunia Ketiga membutuhkan modal yang sangat besar karena ketertinggalan negara-negara tersebut dalam teknologi dan sumber daya manusia. Keberhasilan penerapan teori modernisasi di negara-negara Barat dalam pertumbuhannya di masa lalu, di negara-negara Dunia Ketiga justru menimbulkan dominannya peran negara sehingga menciptakan pemerintah yang dominan, yang akhirnya menempatkan pembangunan sebagai ideologi. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan serta terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi yang begitu mencolok. Fenomenanya dapat kita lihat dalam sebuah filem Dokumenter pendek berjudul The Island of Flower (Jorge Furtado, 1989). Terdapat gambar-gambar kontras antara masyarakat yang makan di restoran-restoran kapital dengan masyarakat lain yang berebut tomat busuk di sebuah tempat pembuangan sampah yang luas. Lalu proses bagaimana tomat tumbuh, babi yang diberi makan dan orang miskin yang dibiarkan menderita karena ‘mereka tidak memiliki uang, dan mereka tidak memiliki pemilik’, adalah contoh timbulnya kelompok-kelompok sosial tertentu, adanya perbedaan kelas 118


berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan yang ditempuh, budaya konsumerisme, dan kelompok masyarakat yang berhasil dalam bidangnya Ideologi pembangunan di kota-kota juga akhirnya menyisakan masalah. Ruang-ruang kebutuhan publik harus dikorbankan demi mewujudkan kota metropolitan yang megah. Di City Scene, gambar seorang laki-laki yang berolahraga di sebuah lahan kecil yang dikelilingi bangunan-bangunan tinggi, sambil melempar-lempar puing bangunan yang berserakan di lahan itu. Pindah ke adegan sebuah bangunan tua yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan yang sesuai dengan ideologi pemerintah. Gambar itu menimbulkan sebuah tebak-tebakan sinis berapa lama lagi kira-kira lahan itu akan bertahan? Lalu berubah menjadi gedung bertingkat seperti di sekelilingnya. Atau yang sudah terjadi adalah bagaimana di salah satu adegan proses senam pagi yang lazimnya dilakukan di sebuah lahan olahraga tapi dilakukan di sebuah high way kota dengan mobil-mobil ngebut dibawahnya. Selain itu, ideologi pembangunan tersebut tidak sejalan dengan terbangunnya ruang-ruang publik untuk pendidikan dan seni. Akhirnya lahirlah masyarakat yang hidup di lingkungan ekonomi. Kurangnya masyarakat yang apresiatif terhadap seni menimbulkan masalah baru dalam susunan masyarakat. Yaitu kurangnya Sumber Daya Manusia dan teknologi sebagai pendukung perngarsipan karya seni. Contohnya Di Indonesia sendiri, Sinematek, tempat arsip audio visual pertama dan tebesar di Asia Tenggara baru terbentuk pada tahun 1975. Itupun menyisakan banyak sekali pekerjaan rumah mengenai mortalitas karya yang tersimpan, seperti yang kita lihat di filem Anak Sabiran, karya Hafiz Rancajale. Perbedaan keadaan sosial ekonomi negara berkembang dengan negara-negara maju tersebut berpengaruh besar dalam kontruksi estetik filem-filem di atas. Kita kembali ke Helsinki Forever, sebuah filem megah dan mewah yang menggunakan arsip dari puluhan seniman terbaik Finlandia yang begitu tersimpan dengan baik: lukisan; puisi; dan footage-footage reel filem yang terawat dan sudah direstorasi ulang. Bahkan kita dapat melihat footage filem pertama yang dihasilkan negara Finlandia pada tahun 1907, dipakai dalam filem Helsinki Forever untuk menghadirkan sudut Jalan Mannerheim dari masa ke masa dengan kualitas yang sangat 119


baik. Narasi pun mulai bertutur, pada tahun 1931, Olavi Paavolainen (seorang esais dan jurnalis) membuat sebuah cerita mengenai lalu lintas di jalan itu. Bidikan selanjutnya, hadir sebuah footage dari karya filem Eino Ruutsalo yang berjudul Hetkia Yosa (1961) yang berarti dibuat 30 tahun setelah tulisan Olavi. Selanjutnya dihadirkan sebuah lukisan dari Leo Rannikko (Sokoksen Kulma, 1976). Lihat bagaimana terbantunya Von Bagh menyusun narasinya menggunakan arsip arsip tersebut. Hal ini bertentangan dengan keadaan di negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia yang memiliki kesulitan dalam mengakses arsip karena ada masalah dengan pengarsipan. Dalam kuratorial ini, terjadi perbedaan tematik antara filem dari Eropa dan filem dari negara dunia ketiga. Lihatlah Helsinki Forever dan Lodz Syhmpony, mereka sedang asik bernostalgia, lalu kita dari dunia ketiga dengan City Scene dan The Island of Flower, sibuk menghadirkan realitas sebagai kritik sosial yang di masa datang menjadi sejarah dan berfungsi sebagai kritik pula. Gambar-gambar yang dihadirkan di filem-filem seperti City Scene dan The Island of Flower adalah bagaimana filem tersebut adalah arsip itu sendiri. Jika Helsinki Forever mampu dibangun atas susunan arsip yang sangat kaya, maka dua filem dari negara-negara berkembang ini adalah arsip untuk masa depan. Melalui sinema, Von Bagh mengajak kita menembus ruang dan waktu untuk mengunjungi Finlandia. Sementara di sisi lain, sinema menyaksikan bagaimana masalah-masalah sosial akibat modernitas menguburkan bagian-bagian hidup masyarakat tak bersisa, termasuk mortalitas filem itu sendiri.

j

120


Cinematic Representation of City’s Modernity curator:

Bunga Siagian

Set off with a quote from the movie Helsinki, Forever: ‘In 1915, there were 19 divorces in Helsinki. In 1990, the number was 2000 ‘. Such change is one of charactheristics of a modern city—career women whom are highly educated and broad-minded. Therefore the level of their independence were high, and their dependence on men were also decreased. From there, I will draw a narration which is modernization. The theory of modernization is actually a theory of social change which builds on the foundation of capitalism, the theory of evolutionism and functionalism. Considering that the theory of modernization is built on the foundation of capitalism, then the norms that support the modernization clearly have capitalistic nuance and placed on competitive system or free-market competition. At least the general sense of modernization is the historical process of massive transformation from traditional agriculture to modern industrial societies since the revolution of industry in eighteenth century, then Peter Hutton presents the modern industry through his work, Lodz Syhmpony (1993). Peter Hutton represents the modernity in an industrial town Lodz, Poland in the 19th century. Peter describes the changes towards modernity by inserting a picture of a man working on a large area as an antithesis to the images of an empty city which has magnificent plants, industrial machineries such as wheel looms, and a trem line. The opening scene where a limped old guy walking and using a cane then outframe of the camera to confirm that 19 minutes later is images that live on the elderly themselves, the witnesses of how the city has grown. And Hutton represents it from the standpoint of modern 121


human. The use of black and white image as a code of what is the next thing cinema has to face is ‘classic’ situation against modernity. As we all know, not until 1937 the film technology was capable of producing color film. After World War II, the countries involved in the war and many newly independent countries were experiencing economic difficulties that led to unemployment. In Helsinki, Forever (Peter von Bagh, 2008), film becomes a good witness in retelling the current social situation at that time. Helsinki, Forever (Peter von Bagh, 2008) becomes a good witness in retelling current social situation. There is a footage taken from Edvin Laine’s film Ristikon Varjossa which describes a factory that has become a hope for the unemployed so they drove in to find a job there. Another footage from Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine, 1947), where there is one shot depicting railroads from several areas merge into one rail to behead the city of Helsinki. The next shot directly switch to a crowd of urban people getting off a train to improve their life in the city. To recover the economic conditions then the countries involved had to do consolidation. The result was a change in the relationship among countries in the social, economics, and political. In economics, economics institutions were established that essentially would control the newly independent countries. The policy implementation of theory of modernization in developing countries (Third World country) has caused the opening of opportunities for capitalist countries to broaden their business through multinational companies in which then carries out the exploitation of natural resources in these countries. There is an interesting metaphor in Zhao Liang’s City Scene. A shot of a big dog copulating with a little dog, then the camera zoomed out and highlighted a huge city plan board of China. Zhao Liang implied mischieviously an analogy of China as the little dog and Capitalism as the big dog. The implementation of theory of modernization and the ideology of development in Third World countries, including Indonesia apparently shows the opposite compared to developed countries. This happens because there are differences in the level of wealth (capital) to carry out the development. At the beginning of the developing in the industrialized Western Europe countries, the process of industrialization required 122


a relatively small capital therefore modernization could be run by businessmen, society, without interference from the state. While in Third World countries modernization requires a very large sum of capital due to backwardness of these countries in technology and human resources. The success of implying theory of modernization in Western countries on Third World countries would lead to domination of the state’s role so as to create a dominant government, which finally put development as ideology. Environmental damage happened and conspicuous socioeconomic discrepancy as the results. Those phenomenons could be seen in the short documentary titled The Island of Flowers (Jorge Furtado, 1989). Images were contrasted between people who eat in restaurants and other who fights over rotten tomatoes in a large landfills. Then followed by process of how to grow tomatoes, pigs were fed and the poor are left to suffer because ‘they do not have money, and they aren’t owned by anyone’. Those are examples of the emergence of certain social groups, class difference based on level of education, the culture of consumerism , and people who are successful in their fields. The ideology of development in the cities also ends up leaving some problems. The needs for public space have to be sacrificed in order to ‘create’ a majestic metropolis. In City Scene (2004), Zhao Liang portrays an image of a man who is working in a small area surrounded by tall buildings while throwing ruins from a construction site. Old building was demolished to be replaced with a building in accordance with the government program. The scene raises a cynical question—how long the land will last? Then it turned into a skyscrapers similar to its neighborhood. Or what is shown in one scene when morning exercise typically done in a sports field but here is done in a high way city with speeding cars below. Moreover, the ideology of development is not in line with the establishment of public spaces for education and the arts. At the end people are born and living in material culture. The lacking of art appreciation in society has created new problems in the structure of society. To name a few, the lack of human resources and technology to support artwork archiving. In Indonesia for example, the audio-visual archive center—Sinematek Indonesia—the first and the largest in Southeast Asia were just formed in 1975. Even then it still leaves a lot 123


of homework regarding the mortality of the work stored there, as we see in the film Behind the Flickering Light (The Archive) by Hafiz Rancajale. The differences in socio-economic conditions between developing countries and the developed countries have been a big influence in the construction of the aesthetic of the films mentioned above. Let’s return to Helsinki, Forever, a magnificent and luxurious film using dozens of archive from the best Finnish artists which are very well preserved. The use of painting, poetry, and film footages which have been restored and well preserved. Even in Helsinki, Forever we can see footage of the first Finland film produced in 1907, to show us the corner of Mannerheim Street from time to time with excellent quality. Narrative began to speak, in 1931 Olavi Paavolainen (an essayist and journalist) made up a story about the traffic on that street. The next shot, came a footage from a film by Eino Ruutsalo, Hetkia Yosa (1961), which means it happened 30 years after the story made by Olavi. Subsequently presented a painting of Leo Rannikko (Sokoksen Kulma, 1976). We can see how von Bagh was helped in drafting his narrative using those archives. It is like a contrast with the situation in Third World countries, including Indonesia, which have difficulties in accessing the archive. In this curatorial, there is a thematic difference between films from Europe and Third World countries. Look at Helsinki, Forever and Lodz Symphony, they are being nostalgic, then we from the Third World with City Scene and The Island of Flowers, are busy presenting reality as social criticism which in the future will become history and also serve as a critique. The images presented in City Scene and The Island of Flowers felt like how both films are archives themselves. If Helsinki, Forever could be built upon an arrangement of very rich archive materials, then the two films from developing countries are archives for the future. Peter von Bagh took us through space and time to visit Finland with his film. While on the other hand, cinema was witnessing of how social problems and economic consequences of modernity buried parts of human’s life, including the mortality of the film itself.

j 124


Agenda: 26/8, kineforum

supported by the filmmaker

Country of Production: Finland Language: Finnish Subtitles: English 74 min, Color & B/W, 2008

Helsinki, Ikuisesti (Helsinki, Forever) Peter Von Bagh (Finland)

Di Helsinki, Forever, filem menjadi saksi yang baik dalam menceritakan kembali keadaan sosial saat itu. Salah satunya dengan mengambil footage adegan dari filem Edvin Laine berjudul Ristikon Varjossa di mana sebuah pabrik digambarkan menjadi ‘harapan’ para pengangguran sehingga mereka berbondong-bondong mencari pekerjaan kesana. Atau ada juga footage dari filem lain berjudul Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine,1947), satu shot menggambarkan rel-rel kereta dari beberapa daerah melebur menjadi satu menuju kota Helsinki dan langsung berganti ke shot selanjutnya yaitu masyarakat urban yang berdesakan turun dari kereta hendak mengadu nasibnya di kota.

Helsinki, Forever becomes a good witness in retelling current social situation. There is a footage taken from Edvin Laine’s filem Ristikon Varjossa which describes a factory that has become a hope for the unemployed so they drove in to find a job there. Another footage from Pikku-Matti Maailmalla (Edvin Laine, 1947), where there is one shot depicting railroads from several areas merge into one rail to behead the city of Helsinki. The next shot directly switch to a crowd of urban people getting off a train to improve their life in the city.

Peter von Bagh adalah sejarawan dan sutradara filem asal Finlandia. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Arsip Filem Finlandia. Sekarang bekerja sebagai Pemimpin Redaksi majahal Filemihullu juga salah satu pendiri dan Direktur Festival Filem Midnight Sun. Sejak 2001, dia adalah Direktur Artistik Festival Filem Il Cinema Ritrovato di Bologna. Dia juga telah menjadi anggota juri di Festival Filem Cannes 2004.

Peter von Bagh worked as Finnish filem historian and director. Von Bagh has worked as the head of the Finnish Filem Archive. He is the editor-in-chief of Filemihullu magazine and co-founder and director of the Midnight Sun Film festival. Since 2001, he has been the artistic director of the film festival Il Cinema Ritrovato in Bologna. Von Bagh was a member of the jury in the competition category of 2004 Cannes Film festival.

125


Agenda: 27/8, kineforum

supported by the filmmaker

Country of Production: China Language: Mandarin Subtitles: English 23 min, Color, 2004

Cheng Shi Feng Jing (City Scene) Zhao Liang (China)

Ideologi pembangunan di kota-kota juga akhirnya menyisakan masalah. Kebutuhan akan ruang publik harus dikorbankan demi mewujudkan kota metropolitan yang megah. Di City Scene, Zhao Liang menggambarkan seorang laki-laki yang berolahraga di sebuah lahan kecil yang dikelilingi bangunan-bangunan tinggi, sambil melemparlempar puing bangunan yang berserakan di lahan itu. Pindah ke adegan sebuah bangunan yang tua yang dirubuhkan untuk diganti dengan bangunan yang sesuai dengan ideologi pemerintah. Gambar itu menimbulkan sebuah tebak-tebakan sinis berapa lama lagi kira-kira lahan itu akan bertahan?

The ideology of development in the cities also ends up leaving some problems. The needs for public space have to be sacrificed in order to ‘create’ a majestic metropolis. In City Scene, Zhao Liang portrays an image of a man who is working in a small area surrounded by tall buildings while throwing ruins from a construction site. Old building was demolished to be replaced with a building in accordance with the government program. The scene raises a cynical question—how long the land will last?

Zhao Liang lahir di Liaonung, Dandong pada 1971. Lulus dari Akademi Seni Rupa Luxun pada 1992, lalu melanjutkan studi fotografi di akademi Filem Beijing (1993-1994). Dan sekarang tinggal dan bekerja di Beijing.

126

Zhao Liang born in Liaoning, Dandong at 1971. Graduated from the Luxun Academy of Fine Arts at 1992. Studied in the Photography Department of the Beijing Filem Academy (Narrative Photography) (1993-1994). Currently lives and works in Beijing


Agenda: 27/8, kineforum

supported by the filmmaker & co-presented with Canyon Cinema

Country of Production: USA Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitles 20 min, B/W, 1993

Lodz Symphony Peter Hutton (USA)

Peter Hutton menghadirkan industri modern itu melalui karyanya Lodz Syhmpony, yang merepresentasikan modernitas yang hadir di sebuah kota industri Lodz, Polandia pada abad ke-19. Filem ini menggambarkan perubahan ke modernitas itu dengan menyisipkan satu gambar seorang laki-laki yang bekerja menggarap sebuah lahan yang luas sebagai antitesa di tengah-tengah gambar ruang-ruang kota yang kosong dengan gambar-gambar pabrik yang megah, alat-alat kerja industri seperti roda mesin dan mesin tenun, juga jalur trem.

Peter Hutton presents the modern industry through his work Lodz Syhmpony. The film represents the modernity in an industrial town Lodz, Poland in the 19th century. Peter describes the changes towards modernity by inserting a picture of a man working on a large area as an antithesis to the images of an empty city which has magnificent plants, industrial machineries such as wheel looms, and a trem line.

Peter Hutton, lahir di Detroit, Michigan pada 1944 adalah salah satu pembuat filem eksperimental yang penting. Terkenal dengan gaya sinema yang memotret kota-kota dan lanskap dari berbagai belahan dunia. Ia juga seorang sinematografer. Hutton studi seni lukis, patung dan filem di Intitut Seni Rupa San Francisco. Ia pernah mengajar di Cal Arts, Hampshire College, dan Universitas Harvard. Pada bulan Mei 2008, Museum of Modern Art, New York membuat pameran retrospektif filem-filem Hutton.

Peter Hutton (born 1944 in Detroit, Michigan) is an experimental filemmaker, known primarily for his silent cinematic portraits of cities and landscapes around the world. He has also worked as a professional cinematographer. Hutton studied painting, sculpture and filem at the San Francisco Art Institute. He has taught filemmaking at CalArts, Hampshire College, dan Harvard University. In May 2008 the Museum of Modern Art in New York held a full retrospective of Hutton’s filems.

127


Agenda: 27/8, kineforum

Country of Production: Finland Language: Portuguese Subtitles: English 13 min, Color, 1989

Ilha das Flores (Island of Flowers) Jorge Furtado (Brazil)

Gambar-gambar kontras antara masyarakat yang makan di restoran-restoran kapital dengan masyarakat lain yang berebut tomat busuk di sebuah tempat pembuangan sampah yang luas. Lalu diikuti dengan proses bagaimana tomat tumbuh, babi yang diberi makan & orang miskin yang dibiarkan menderita karena ‘mereka tidak memiliki uang, dan mereka tidak memiliki pemilik’ adalah contoh timbulnya kelompok-kelompok sosial tertentu, adanya perbedaan kelas berdasarkan tinggi rendahnya pendidikan yang ditempuh, budaya konsumerisme, dan kelompok masyarakat yang berhasil dalam bidangnya.

Images were contrasted between people who eat in restaurants and other who fights over rotten tomatoes in a large landfills. Then followed by process of how to grow tomatoes, pigs were fed and the poor are left to suffer because ‘they do not have money, and they aren’t owned by anyone’. Those are examples of the emergence of certain social groups, class difference based on level of education, the culture of consumerism , and people who are successful in their fields.

Jorge Furtado lahir pada tahun 1959 di Porto Alegre. Ia adalah salah satu figur sutradara yang disukai di Brazil. Karyakaryanya mempresentasikan rentang persoalan masyarakat Brazil, dari kritik pada kapitalisme hingga satir sejarah tentang pahitnya rasisme negerinya. Ia banyak mepermainkan persoalan naratif dan waktu dalam konstruksi senema.

128

Jorge Furtado born in 1959 at Porto Alegre. He is a beloved figure in Brazil. His work displays amazing range, from critiques of capitalism to playful historical recreation to bitter tales of racism in his country. Furtado play with the cinematic construction of time and narrative.


Agenda: 28/8, kineforum

Menggugat Konstruksi Sejarah kurator:

Otty Widasari

Di pertengahan tahun 90-an, sinema Indonesia mati. Distribusi filem yang beredar di Indonesia dikuasai oleh konglomerasi yang menyalurkan hanya filem dari Hollywood saja. Seperti apa yang telah terjadi dengan TV, sinema arus utama juga sebuah alat kekuasaan, walaupun saat ini dia tidak lagi menjadi alat kekuasaan utama layaknya TV. Namun kita semua mengetahui sesuatu hal bahwa jika media arus utama tersebut tidak memiliki tandingan, dia akan menguasai persepsi dan budaya masyarakat secara massif. Dan hal itu terjadi pada sinema Indonesia yang sekarang sedang bangkit kembali. Dalam sebuah kongres komunitas filem se-Indonesia yang diadakan di Solo pada tahun 2010, dari hasil pemetaan yang dilakukan, bisa dilihat bahwa lemahnya distribusi pengetahuan dalam bidang perfileman di Indonesia setelah 12 tahun reformasi berjalan, merupakan hal utama yang dibikin oleh kuasa industri tersebut di atas. 129


Lalu adakah hubungan antara kedua persoalan tersebut? Saya kira ada. Perkembangan pesat komunitas-komunitas filem independen sejak 1998 memang memunculkan gairah baru di bidang perfileman Indonesia. Gerakan ini mengerjakan beberapa pekerjaan rumah di bidang kebudayaan yang harusnya diselesaikan oleh negara. Di antaranya adalah menghasilkan produk-produk filem baru dari generasi berikutnya, membentuk komunitas penonton filem Indonesia yang akhirnya mampu menggeser posisi filem Hollywood sebagai satu-satunya konsumsi tontonan, memunculkan pembuat-pembuat filem generasi baru, sampai bahkan ikut berperan mengharumkan nama bangsa di ajang internasional. Namun ada satu pekerjaan rumah yang tertinggal, walaupun juga harusnya diselesaikan oleh negara, yaitu membangun pengetahuan dan daya kritis terhadap konstruksi kekuasaan yang selama ini terbangun secara politis. Konstruksi politis itu menyelinap melalui pesan-pesan, dan pesan-pesan itu terus tersisipkan era demi era. Ada pesan yang dipenetrasi dengan intensif dan propagandis untuk ‘menjaga stabilitas nasional’ di masa Orde Baru; ada pesan intoleransi yang berkaitan dengan keyakinan agama atau kelompok yang berkuasa secara jumlah; dan yang paling kuat mengakar sejak lama yaitu pesan global yang paling memainkan peran mengukuhkan kuasa pasar. Sebagai satu contoh saja, masyarakat Indonesia seusia saya yang memang mengalami masa remaja di tengah perubahan era kekuasaan dari rezim Orde Baru dan Reformasi, tentu dibesarkan oleh impian kehadiran tokoh superhero yang berasal dari Amerika (saya dibesarkan bersama filem Superman 1-4, selain komik-komik Batman, Spiderman). Tokoh panutan sebagaian besar dari kami adalah ‘pahlawan’, yang mampu menyelesaikan persoalan kejahatan di dunia. Di masa usia produktif, kami mengadaptasi para pahlawan kuat luar biasa itu ke dalam karya kreatif, karena itu yang kami ketahui. Kami tumbuh besar bersama metamorfosis superhero Amerika. Dan itu menjadi tolok ulur kebenaran yang hitam putih. Tentu saja persepsi penonton dewasa yang sadar akan bisa melihat perubahan dari jaman ke jaman metamorfosis superhero Amerika tersebut, dari yang hanya bermodal otot bisa menahan laju kereta api yang nyaris masuk jurang, melempar mobil ke udara, dan bisa terbang atau merayap 130


di tembok melawan hukum grafitasi. Belakangan, sosok superhero dengan berbagai cara sepertinya diupayakan untuk tampak lebih manusiawi. Narasi yang dibentuk, walaupun tetap saja harus ada yang dikambinghitamkan, selalu berpulang pada otokritik terhadap negara Amerika yang bisa dibaca sebagai kebenaran politis (political correctness). Hal-hal ini tentu saja dipercaya sebagai kebenaran narasi yang merupakan sebuah presentasi hiburan, oleh penonton yang benar-benar hanya menginginkan hiburan. Penonton Indonesia kebanyakan akan terpukau dengan segala tetek bengek efek visual yang terus dieksplorasi kecanggihannya. Bagi kalangan pembuat filem Indonesia yang jarang melakukan pencarian sesuatu lebih dalam (riset), hal yang paling menarik adalah bagaimana filem ini bisa menjadi sangat menarik secara narasi, dan itu tak akan lepas dari kenyataannya bahwa dia bisa menembus box office, diluncurkan di semua kota-kota besar dunia dan mendatangkan penonton yang banyak dan sangat tertarik. Lalu apa jadinya jika kita menempatkan filem yang salah satunya juga punya peran sebagai media pembelajaran, di mana kita sebagai penonton bisa melihat sebuah sistim nilai yang akan masuk dan berkonstruksi di kepala kita, apakah kita akan percaya dengan sistim nilai yang dibangun dengan tujuan wacana political correctness? Ternyata juga produk filem yang ada, lemah pengetahuan, perfileman Indonesia selalu bersandar pada sistem produksi. Kesimpulannya, kesadaran medium dan kekuatan sinema yang berpeluang memberi peran dekonstruksi kenyataan, atau mengoreksi sejarah, tidak berdaya. Peluang tersebut jelas muncul dalam Vampire of Poverty (1977) karya Carlos Mayolo dan Luis Ospina; 200000 Phantoms (2007), karya Jean-Gabriel PĂŠriot dan Zoo (1962) karya Bert Haanstra. ttt Dalam presentasinya di Forum Lenteng pada tahun 2010, Jean-Gabriel PĂŠriot dilempari pertanyaan oleh salah satu peserta diskusi tentang apakah dia selalu menggunakan kekuatan arsip dalam berkarya. Singkat

131


saja dia menjawab, “Bisa jadi, ya, tapi saya tidak pernah percaya pada arsip. Karena arsip pun adalah sebuah konstruksi.” Saya memahami pernyataan ini sebagai sebuah penunjukkan bahwa peristiwa yang terjadi di masa lampau itu hanya milik sang waktu. Waktu berganti, maka peristiwa tersebut pun lenyap. Orang-orang yang menyayangkan berlalunya waktulah, atau, anggaplah sadar dokumentasi, yang mendokumentasikan peristiwa, membekukannya dalam sebuah medium. Namun, dari pernyataan Périot tadi, kita tentu sadar bahwa kebutuhan pendokumentasian pasti didasari oleh bebarapa hal yang kemudian menjadi konstruksi dasar dokumen. Sebuah konstruksi dokumen pasti memiliki kepentingan yang bisa kita baca sebagai polemik kekuasaan. Maka Périot, dalam hal ini kita bicara tentang karyanya yang berjudul 200000 Phantoms (Prancis, 2007), tidak memutarbalik dan melawan dengan keras sebuah sistem nilai yang berkuasa melalui dokumen awal yang digunakannya, melainkan menggubah karyanya dan meletakkan dokumen foto-foto Kubah Genbaku di Hiroshima dalam kenyataan yang puitik, lewat sinema. Yang saya bicarakan di sini tak lain adalah peluang medium, di mana seorang sutradara memiliki otoritas dalam membuat konstruksinya sendiri dan tidak tunduk pada kekuasaan—setidaknya kekuasaan yang melingkupi ruang dan membangun konstruksi sistem nilainya yang mapan, yang bertentangan dengan nurani si sutradara. Kita akan melihat bagaimana sebuah pemahaman tentang ‘siapa’ yang meilhat ‘siapa’ dalam filem Zoo (1962), Bert Haanstra, sutradara asal Belanda. Sistem perkebunbinatangan dalam sebuah negara tidak memposisikan monyet untuk menertawakan manusia seperti yang kita lihat dalam filem ini. Peluang itu yang dijadikan permainan oleh si sutradara dalam memanusiakan binatang, sehingga mereka pun bisa duduk bertepuk tangan menonton sirkus manusia di Amsterdam. Sedangkan Vampire Of Poverty (Agarrando Pueblo, 1977) karya Carlos Mayolo dan Luis Ospina dari Columbia jelas berdiri tegak lurus, berhadapan dengan kuasa pasar yang melanda dunia hiburan di daratan Eropa yang mengonsumsi apapun yang berasal dari Amerika Latin. Kehidupan sosial ekonomi dan kemiskinan negara-negara berkembang di Selatan Amerika tersebut menjadi barang dagangan dan diekspos secara besar-besaran. Ini merupakan sebuah kritik tajam terhadap Misery Porn, 132


Dilakukan dengan cara yang gamblang dan humoris, karena sinema memiliki kemampuan untuk itu. Filem fiksi yang dilakukan dengan pendekatan dokumenter tentang para pembuat filem yang mengeksploitasi kesengsaraan untuk keperluan komersil ini memberi sketsa kritik tentang ‘porn misery’ (eksploitasi kesengsaraan untuk tujuan komersil) dan para oportunis yang membuat dokumenter yang tidak jujur tentang kehidupan sosialpolitik di negara-negara berkembang untuk dijual ke stasiun televisi Eropa dan untuk memenangkan penghargaan festival. Filem ini menyajikan informasi tandingan dengan memadukan gaya filem fiksi dan adegan nyata dari kru filem khusus yang ditugaskan oleh saluran televisi Jerman untuk mencari tipikal kengerian sosial, menginjak-injak prinsip-prinsip dasar etika profesi. Pada dekade sebelum filem ini dibuat, proses sosial politik dan budaya dimulai di Amerika Latin setelah Revolusi Kuba yang mulai membangkitkan keinginan untuk membuat filem dokumenter yang menarik perhatian kritikus Eropa sejak pertengahan 1960-an, dan dukungan kritis mereka menimbulkan imbas langsung terhadap gerakan ini sebagai kanon baru sinema Amerika Latin. Terutama setelah Festival Filem Pesaro di Italia tahun 1968, Eropa mulai rajin mengkonsumsi apapun yang berasal dari Amerika Selatan yang berisi sedikit cerita rakyat atau revolusi. Di Indonesia ada kemiripan di mana para pembuat filemnya mencoba peruntungan di ajang festival internasional dengan menjual eksotisme sosial Indonesia. (: kita harus berhati-hati dengan langkah ini). Fakta tersebutlah yang dimainkan oleh para pembuat filem ini untuk mengkritisi dari dalam dirinya sendiri selaku pembuat filem dari negara berkembang, dengan menciptakan arsip filem yang di kemudian hari bisa kita lihat (kini) sebagai sebuah dekonstruksi sistim nilai yang dikuasai pasar. Apa yang dilakukan ketiga filem yang saya rangkum dalam satu kuratorial program ini adalah sebuah peluang bagi kita untuk melihat lebih jauh, bahwa sinema juga memiliki tugas-tugas ideologis yang harus diselesaikan. Walaupun sinema sudah bukan lagi merupakan alat utama kekuasaan, namun peluang sebuah tawaran konsep perlawanan terhadap sejarah dalam filem itu tetap ada. Bila dia bisa menjadi sebuah gerakan 133


yang kemudian dilancarkan secara pasti dengan sebuah niatan kuat untuk memproduksi pengetahuan dengan muatan kritis yang obyektif, maka dia akan membuka jalurnya sendiri di sisi jalur yang sudah terbangun secara sistemik terlebih dahulu, yaitu jalur arus utama. Kembali saya mengutip pernyataan Jean-Gabriel PĂŠriot dalam wawancara di jurnalfootage.org, bahwa sejak penciptaan fotografi, dan kemudian penciptaan sinema, sejarah bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang tertangkap oleh gambar-gambar, yaitu apa yang dipresentasikan. Sejarah bukanlah realitas atau kejadian-kejadian, melainkan representasi atas realitas atau kejadian-kejadian itu. Sebelum gambar-gambar, sejarah adalah apa yang tertulis. Itu bukanlah sejarah yang sebenarnya. Sejarah akan selalu, dan sejak dulu merupakan apa yang dituturkan oleh kekuasaan melalui medium kekuasaan itu. Dan saya menambahkan, bahwa sejarah itu bisa didekonstruksi oleh sinema, kekuasaan bisa digugat oleh persepsi baru yang dimunculkan oleh penggerak sejarah muda yang konsisten berjalan di rel bukan arus utama. 13 Juni 2013

j

134


Challenging The History Construction curator:

Otty Widasari

In the mid 90s, Indonesian cinema had collapsed. Film Distribution in Indonesia wass dominated by big institution which only distributed Hollywood movies. Just like what has been happening with TV, mainstream cinema has been also used as a tool of power, although this time it is no longer used as a major power equipment like TV. But we all knew something that if the mainstream media did’t have a counter, it would dominate people perception and culture on a massive scale. And it happened to Indonesian cinema which is now being revived. In one of cinema communities congress from all over Indonesia which was held in Solo in 2010, from the mapping that had been made, we could see the weakness of knowledge distribution in the field of Indonesian cinema in the past 12 years post-Reformation, was the major problem generated by the power of film industry. So is there any connection between the two issues? I think there is. The rapid development of independent film communities since 1998 have been bringing out new passion in the field of Indonesian cinema. This movement has been doing some cultural homework which should has been resolved by the state. Such as producing new films of the next generation, creating new indonesian film audience who finally can replace the position of Hollywood movies as the sole consumption of spectacle, creating the new filmaker generation, even contributed to 135


bring the name of the nation in the international events. But there is one task left, although also should be completed by the state also should has been completed: to build knowledge and critical awareness of the construction of power that has been established politically. These political constructions has been slipping through messages, and the messages have been inserted continually era after era. There was a message that was penetrated intensively and propagandistic for the sake of ‘national stability’ in the New Order era; there was a message of intolerance related to religious beliefs or the ruling party that had a majority number; and, the most powerful and entrenched for a long time, was the most global message that played a role in reinforcing the market power. One example, Indonesian people my age who were experiencing adolescence in the transition era from New Order regime to Reform, certainly raised by the presence of the American superhero dream (I grew up with the movies Superman 1-4, in addition to the comics Batman, Spiderman). Our role models were ‘heroes”, who could solve the crime problem in the world. During our productive age, we had been addapting those extraordinary powerful heroes into creative works, because that was what we knew. We grew up with the metamorphosis of American superheroes. And it was a black and white measurement of truth. Of course, adults audiences perception who aware will be able to see the metamorphosis of the American superhero from time to time, from the one who can detain the train into ravine with his muscles, throw the car into the air, to the one who can fly and crawl on the wall against the law of gravitation. Later, superhero figure, in many ways, seems attempted to look more humane. The narration created, although there must also be a scapegoat, always comes back to self-criticism of America that could be read as political correctness. These things certainly believed as narrative truth which is an entertainment presentation, by the audiences who really want an entertainment. Most Indonesian audiences will be blown away with all the pretty-pretties of visual effects whose sophistication continue to be explored. For the Indonesian film-makers who are rarely do anything more in the research, the most interesting thing is how cinema can be so interesting narratively, and it cannot be separated from the fact that 136


it could penetrate the box office, launched in all major cities in the world and bring a lot of very interested audience. So what would happen if we put movie, which also has a role as a medium of learning, where we as the audiences can see a value system that will fit and constructed in our heads, only as a business commodity? Will we believe in the value system that was built with the goal of political correctness discourse? In reality, the existing film products, have weakness of knowledge, menawhile Indonesian cinema has always relied on the production system. In conclusion, medium awareness and the power of cinema that have a chance to give the role of reality deconstruction, or to correct history, are helpless The opportunity clearly emerged in the Vampire of Poverty (1977) by Carlos Mayolo and Luis Ospina; 200000 Phantoms (2007), by and Zoo (1962) by Bert Haanstra. ttt In his presentation at the Forum Lenteng in 2010, Jean-Gabriel Périot was questioned by one of the participants of the discussion about whether he always uses archives in the workforce or not. Briefly he replied, “Could be, yes, but I never believe in the archives. Because the archive also is a construction”. I understood that this statement gave the intention that the events that had happened in the past only belonged to the time.Time has changed, then the event has gone. People who lamented the passing of time, or, supposedly aware of documentation, who documented events, froze them in a medium. However, from Périot’s statement earlier, we are certainly aware that the documentation needs definitely based on several things that later become the basis of construction documents. A construction documents certainly have an interest that we can read as a polemic of power. Therefore, Périot, in this case we are talking about his work of 200000 Phantoms (French/2007), instead of twisted and fought hard a powerful value system through the use of earlier documents, rather composed his work and put the document of Genbaku Dome photographs in Hiroshima, in the poetic realm, through cinema. 137


What I’m talking about here is none other than the medium chance, in which a director has the authority to make his own construction and not subject to the power— at least a power that surrounds the room and builds established value system construction, which contrary to the director’s conscience. We would see how an understanding about ‘who’ sees ‘who’ in Zoo (1962), by Bert Haanstra, a Dutch director. Monkeys were not being positioned to laugh at human in ‘zoo’ system in a country as we saw in this film. The director used that opportunity as a game to humanize animals, so they could sit and applaud human circus in Amsterdam. While Vampire Of Poverty/AgarrandoPueblo (1977) by Carlos Mayolo and Luis Ospina of Columbia, clearly stood upright, dealing with market power that swept the world of entertainment in mainland Europe who ate everything that came from Latin America. Socioeconomic life and poverty of developing countries in South America became a commodity and were massively exposed. This was a sharp critique to the Misery Porn, was done with a vivid and humorous way, because the cinema has the ability to do so. This fictional film that was made with a documentary approach of the film makers who exploited misery, for the purposes of commercial, and the opportunists who made dishonest documentary about the sociopolitical life in developing countries to be sold to European TV station and for the award-winning festival, gave a sketch of criticism about the ‘misery porn’ (woes exploitation for commercial purposes). The film presented the counter information by mixing fiction movie style with a real scene from a special film crews that was commissioned by German television channel to look for typical social horrors, trampling on the basic principles of professional ethics. In the decade before the film was made, socio-political and cultural process began in Latin America after the Cuban Revolution that has been starting to awaken the desire to make a documentary film that attracted the attention of European critics since the mid-1960s, and their critical support posed a direct impact on the movement as a new canon of Latin American cinema. Especially after the Pesaro Film festival in Italy in 1968, Europe had been beginning to diligently 138


consume anything that came from South America that contained a little folklore or revolution. In Indonesia there are similarities in which the filmmakers try their luck at the international festival by selling social exoticism of Indonesia. (: we have to be careful with this step). Filmmakers played the fact to do self-criticism as filmmakers from developing countries, to create a film archive we could see in the future (now) as a deconstruction of the value system that dominated by the market. What the three films have done that I have outlined in this curatorial program is an opportunity for us to look further, that cinema also has ideological tasks that must be completed. Although the cinema is no longer a major power tool, but an offering chance of history-counterconcept in the movie is still there. If it could be a movement which then launched exactly with a strong intention to produce knowledge with the objective critical load, then it would open its own way on the path that has built up systemically, i.e. the mainstream line. I am quoting again the interview in jurnalfootage.org with Jean-Gabriel PĂŠriot, that since the creation of photography, and then the creation of cinema, history has not been what happened, but what caught by the images, i.e. what has been presented. History has not been a reality or events, but rather a representation of reality or the events. Before the images, history had been what it had said. They were not the real history. History, since ancient times, has been and will And I add, that history can be deconstructed by cinema, the power could be sued by the new perception that is raised by the young history activists, who consistently run on non-mainstream rails.

j

139


supported by the filmmaker

Country of Production: France Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 11 min, Color & B/W, 2007

Nijuman No Borei (200000 Phantoms) Jean-Gabriel Périot (France)

Périot, dalam hal ini kita bicara tentang karyanya yang berjudul 20,000 Phantom, tidak memutarbalik dan melawan dengan keras sebuah sistem nilai yang berkuasa melalui dokumen awal yang digunakannya, melainkan menggubah karyanya dan meletakkan dokumen foto-foto Kubah Genbaku di Hiroshima dalam kenyataan yang puitis, lewat sinema.

Périot in 20,000 Phantoms was not twisting and fighting hardly a powerful value system through the usage of documents from the past, but rather composed his work by putting photographs of Genbaku Dome in Hiroshima in reality poetically through cinema.

Jean-Gabriel Périot adalah seorang seniman dan sutradara yang tinggal di Tours, PRancis. Karya-karyanya telah banyak ditampilkn di seluruh dunia dan memenangkan beberapa penghargaan, diantaranya; Grand Prix di Festival Filem Internasional Tampere-Finlandia, dan Filem Pendek Terbaik di Festival Filem Internasional Cork, Irlandia.

140

Jean-Gabriel Périot is an artist and filemmaker based in Tours, France. His work has been shown extensively around the world winning a number of awards including the Grand Prix at the Tampere International Film festival, USA and Best International Short at the Cork International Film festival, Ireland.


Country of Production: The Netherlands Language: No Dialogue Subtitles: No Subtitle 10 min, B/W, 1962

Zoo

Bert Haanstra (The Netherlands) Dalam filem Zoo, sistem perkebunbinatangan dalam sebuah negara tidak memposisikan monyet untuk menertawakan manusia seperti yang kita lihat dalam filem ini. Peluang itu yang dijadikan permainan oleh si sutradara dalam memanusiakan binatang, sehingga mereka pun bisa duduk bertepuk tangan menonton sirkus manusia di Amsterdam.

Zoo, a monkey is not positioned to laugh at human in the system of a zoo in a country, as we see in this filem. That opportunity is utilized as a game by the filemmaker to humanize the animals, so they are now able to sit and clap while watching a human circus in Amsterdam.

Bert Haanstra (31 Mei 1916 – 23 Oktober 1997) adalah sutradara asal Belanda. Ia tumbuh di kota Holten dan menjadi pembuat filem profesional sejak 1947.

Bert Haanstra (31 May 1916 – 23 October 1997) was a Dutch filem and documentary director. Haanstra was born in the town of Holten and became a professional filemmaker in 1947.

141


supported by the filmmaker

Country of Production: Spain Language: Spanish Subtitles: English 28 min, Color, 1977

Agarrando Pueblo (Vampyre of Poverty) Luis Ospina & Carlos Mayolo (Colombia) Filem ini jelas berdiri tegak lurus, berhadapan dengan kuasa pasar yang melanda dunia hiburan di daratan Eropa dan mengonsumsi apapun yang berasal dari Amerika Latin. Kehidupan sosial ekonomi dan kemiskinan negara-negara berkembang di Selatan Amerika tersebut menjadi barang dagangan dan diekspos secara besar-besaran. Ini merupakan sebuah kritik tajam terhadap Misery Porn, dilakukan dengan cara yang gamblang dan humoris, karena sinema memiliki otoritas untuk itu.

142

This filem clearly standing upright, dealing with market power that swept the world of entertainment in mainland Europe, and consume everything that comes from Latin America. The socio-economic and poverty of developing countries in South America are treated as merchandises and massively exposed. This is a sharp critique of the Misery Porn, done vividly and humorously, because cinema has an authority to do that.

Luis Ospina. Dia belajar filem di University of Southern California dan Universitas California (UCLA). Dia adalah bagian dari kelompok bersama Carlos Maiolus Cali, Andrés Caicedo, Hernando Guerrero dan seniman asal Cali lainnya, yang mendirikan Cinema Club of Cali pada 1970, majalah filem Eye dan kelompok artistik Solar City. Dia telah menyutradarai dua filem feature, Thoroughbred (1982) dan Breath of Life (1999), dan telah mebuat lebih dari 30 filem pendek dan dokumenter.

Luis Ospina. He studied filem at the University of Southern California and the University of California UCLA. He was part of the group along with Carlos Maiolus Cali, Andrés Caicedo, Hernando Guerrero and other artists from Cali, who in the 1970s founded the Cinema Club of Cali, Eye magazine filem and artistic commune Solar City. He has directed two feature filems, Thoroughbred (1982) and Breath of Life (1999), and has made ​​over 30 short filems and documentaries.

Carlos Mayolo. Lahir di Cali pada 1945 dan menyelesaikan SMA-nya di Bogota. Dua tahun setelah lulus ia belajar Hukum di Universidad Santiago de Cali. Ia memulai karirnya pada 1968 sebagai sutradara dokumenter. Dia merupakan bagian dari kelompok yang disebut Cali yang juga melibatkan Luis Ospina, Andrés Caicedo, Arbelaez dan Sandro Ramiro Romero Rey, semua pecinta filem, dengan mereka ia mendirikan Cinema Club of Cali pada 1971 dan majalah filem Eye pada 1974. Dia aktif di Partai Komunis Kolombia.

Carlos Mayolo. Born in Cali in 1945 and finished high school in Bogota. Two years later studied law at the Universidad Santiago de Cali. He began his career in 1968 as a documentary filem director. He was part of the group called Cali also integrated Luis Ospina, Andrés Caicedo, Arbelaez and Sandro Ramiro Romero Rey, all movie fans, with whom he founded the Cinema Club of Cali in 1971 and the Cinema Eye magazine in 1974. He played in the Colombian Communist Party.


Agenda: 26/8, Teater Kecil

Jatuhnya Sebuah Rezim kurator:

Andrie Sasono

Pada November 1989, Nicolae Ceauşesqu kembali terpilih menjadi presiden Rumania untuk 5 tahun masa kepemimpinan. Dalam pidatonya dia mencela revolusi yang terjadi di negara-negara komunis lainnya. Ironisnya beberapa bulan setelahnya, terjadi perlawanan terhadap terpilihnya kembali diktator Rumania itu. Penolakan ini dimulai dari kota Timisoara dan menyebar keseluruh negeri. Rentetan–rentetan perlawanan ini berujung dengan jatuhnya Rezim Nicolae Ceauşesqu. Pergolakan yang terjadi di Rumania merupakan dampak dari perubahan arus politik di Soviet yang merembet ke aliansi negara– negara Eropa Timur pada tahun 1989. Perubahan arus politik ini yang paling signifikan ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin. Kekuatan komunis Soviet kehilangan pengaruh pada sekutunya. Gerakan perlawanan dan protes pada kekuasaan Ceauşesqu terekam dengan baik melalui alat–alat rekam masyarakat, kamera video. Rekaman–rekaman ini ada yang dari seorang pria yang sedang menonton tv di kamar hotelnya sementara dia sedang menonton berita yang menyiarkan pergerakan yang dilakukan oleh masyarakat Rumania 143


di jalanan. Ada juga adegan langsung sekumpulan rakyat sipil yang sedang melempari batu ke arah para tentara sementara sebagian lainnya hanya ingin masuk ke dalam stasiun kereta. Hingga rekaman peristiwa ketika stasiun tv lokal dimasuki orang–orang yang ingin menduduki dan mengambil alih stasiun tv lokal itu. Peristiwa ini sampai membuat salah satu orang mengalami luka parah di kepala. Semua rekaman–rekaman inilah yang digunakan oleh Harun Farocki dan Andrei Ujica untuk membangun filem Videogram of a Revolution. Dengan rekaman-rekaman yang dikumpulkan dari berbagai sumber, disusun potongan demi potongan, dari satu kamera ke kamera yang lain. Dua sutradara ini, secara sadar memandang rekaman sebagai realita. Rekaman itu juga dapat dicampur, dibentuk kembali, dan dimanipulasi. Menurut Ujica dalam salah satu wawancara di media online, rekaman–rekaman yang pada dasarnya hanya inisiatif dari warga sipil yang ingin mendokumentasikan peristiwa dan sekedar menjadi dokumentasi pribadi. Peristiwa yang sedang berlangsung tertangkap dan terekam oleh mata kamera dan hasilnya adalah video yang membingkai peristiwa tersebut. Isi dari rekaman–rekaman ini menyuguhkan perspektif dari sang perekam yaitu warga sipil dalam melihat peristiwa historik yang sedang terjadi. Peristiwa historik yang terjadi tentu imbasnya terasa oleh masyarakat Rumania, efek–efek yang timbul ini memicu bermacam bentuk reaksi dari masyarakat Rumania. Dengan hadirnya kamera video, warga sipil dimungkinkan untuk merekam peristiwa yang sedang berlangsung dengan mobilitas tinggi yang ditawarkan kamera video. Rekaman–rekaman yang dihasilkan oleh warga sipil ini pun kemudian menjadi sebuah arsip. Peristiwa yang terekam dalam kamera video itulah yang kemudian dikumpulkan oleh Farocki dan Ujica untuk diolah kembali, dirangkai sedemikian rupa untuk membentuk realitas baru yang mereka hadirkan dalam satu bentuk filem. Lewat Videogram, Farocki dan Ujica menunjukkan bagaimana representasi media akan sebuah revolusi yang sedang terjadi, disajikan dari berbagai perspektif, kita bisa melihat revolusi yang terjadi dari banyak sisi. Sinema berarti persepsi yang timbul dari koneksi antara waktu dan ruang. Dalam Videogram, ditampilkan representasi media bisa membangun persepsi. Farocki dan Ujica mengkoneksikan waktu dan 144


ruang dari setiap rekaman yang ada hingga menjadi satu narasi linear yang utuh. Dalam filem ini kita seperti dibawa mengikuti proses terjadinya revolusi dari satu kamera ke kamera lain, seakan berasal dari satu reel filem yang sama. Ujica sebelumnya menulis buku berjudul Television/ Revolution: The Ultimatum of The Images – Romania in December 1989 yang menarik perhatian Farocki untuk membuat filem tentang peristiwa runtuhnya Rezim Nicolae Ceauşesqu. Buku ini berisikan dialog–dialog antara Ujica dan seorang intelektual Rumania serta dua orang temannya yang berasal dari Timisoara dan Bukares yang menyaksikan peristiwa yang terjadi baik secara langsung dan dari TV. Tetapi Ujica tidak mau membuat filem tentang buku ini, dia memilih membuat filem tentang hal yang lebih menarik dan tidak terdapat di bukunya. Dan terciptalah Videogram of a Revolution. Dalam Videogram kita di ajak untuk mengikuti proses kejadian kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh rakyat Rumania dari kekuasaan Rezim Nicolae Ceauşesqu. Filem dibuka dengan kejadian yang pelik, yaitu seorang wanita yang terluka parah meminta kepada reporter TV yang kebetulan sedang berada di rumah sakit untuk merekam pesannya. Pesan tersebut berisi harapannya untuk ikut turun bersama masyarakat dan menjadi bagian dari kejadian bersejarah yang akan terjadi. Wanita itu sedang kesakitan tapi dia masih punya harapan yang kuat akan masa depan negaranya. Di sini suara wanita ini menjadi narasi besar dari filem ini dan juga mewakili suara rakyat Rumania yang menginginkan masa depan yang lebih baik. Kita diajak berpindah dari rumah sakit ke halaman gedung komite di mana Nicolae Ceauşesqu didampingi Elena, istrinya, sedang berorasi di depan seluruh rakyat Rumania yang memenuhi halaman gedung komite. Di sini Farocki dan Ujica mengajak kita menyaksikan peristiwa dari kamera televisi yang sedang merekam, dan narator memberi tahu kita bahwa kamera sedang merekam secara langsung. Ketika Nicolae Ceauşesqu sedang berpidato, tiba–tiba dia mendadak diam karena suasana di halaman menjadi riuh. Kamera ikut terganggu dan siaran langsung dari kamera TV pun mati. Di TV hanya terlihat layar merah. Sebenarnya kamera masih merekam tapi para juru kamera mengarahkan kamera ke atas menghadap langit, seperti mereka telah diinstruksikan untuk melaksanakannya apabila terjadi hal–hal 145


yang tak terduga. Selama itu kamera masih merekam menghadap ke langit dan suara riuh masih terdengar. Nicolae Ceauşesqu meminta mereka diam tapi rakyat Rumania sudah tidak perduli lagi. Mereka terus membuat suara–suara yang riuh. Kamera kembali menyiarkan secara langsung, tapi tidak ada suara yang terdengar. Nicolae Ceauşesqu melanjutkan pidatonya dan suara kembali terdengar. Narrator membawa kita kembali ke peristiwa yang sebenarnya terjadi ketika siaran langsung terganggu, di sini Farocki dan Ujica menunjukkan kepada kita mana sejarah yang ditampilkan oleh televisi dan mana sejarah sebenarnya yang terjadi di lapangan melalui kamera yang berbeda, bukan kamera televisi resmi yang siarannya ditayangkan di seluruh negeri. Dua sisi representasi inilah yang terus digali oleh Farocki dan Ujica dalam filem Videogram of a Revolution. Juga ada dua tempat yang menjadi pusat terjadinya peristiwa jatuhnya rezim ini, yaitu di halaman gedung komite tempat Nicolae Ceauşesqu dan stasiun televisi yang direbut oleh rakyat. Dari kedua tempat itu peristiwa berkembang seiring kamera yang berpindah–pindah dari kamera sipil ke kamera TV. Kamera menjadi mata, dan mata yang dimaksud disini mencakup dua sisi. Kamera massa atau sipil, dan kamera televisi. Kedua sisi tersebut mewakili representasi yang berbeda. Tetapi Farocki dan Ujica memadukan footage–footage ini. Terlihat seperti ingin menunjukkan kontrasnya tetapi tidak sekedar itu. Footage–footage ini juga saling membangun satu sama lain. Ketika helikopter yang ingin dinaiki oleh Nicolae Ceauşesqu berusaha digagalterbangkan oleh para rakyat, kita bisa lihat Farocki dan Ujica menyuguhkannya dari berbagai sudut dan jarak kamera. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan menggunakan konsep estetika seperti ini, yang memungkinkan pembuatnya untuk mengikuti peristiwa yang terjadi dengan sangat detil. Detil–detil yang belum tentu bisa ditunjukkan bila menggunakan satu kamera. Subyektivitas berusaha dihilangkan oleh Farocki dan Ujica. Memungkinkan, karena footage–footage ini digabungkan dalam satu sekuen sehingga melebur menjadi satu bentuk utuh. Farocki dan Ujica berusaha menampilkan bagaimana sejarah itu bisa menjadi sesuatu yang filemis, tapi hanya dengan kemampuan kamera video yang merekam 146


dengan durasi yang lebih panjang dan mobilisasinya yang tinggi, memberikan tawaran kepada kita bagaimana cara unuk merekam atau memfilemkan sejarah secara utuh. Ketika hanya ada satu kamera yang mendapat akses sampai ke saat–saat terakhir dari Nicolae Ceauşesqu dan istrinya dieksekusi, semua orang duduk di depan TV dengan kamera masing–masing. Mereka berusaha merekam. Revolusi akan menjadi kenyataan dengan hukuman mati yang akan dilaksanakan, dan kamera seperti mewakili mata para rakyat Rumania yang ingin melihat dan merekam peristiwa itu. Dalam narasi di sekuen terakhir, narator berucap, “Filem itu mungkin karena sejarah ada”. Filem ada untuk merepresentasikan sejarah dan menampilkan kondisi yang terjadi saat ini.

j

147


The Fall of a Regime curator:

Andrie Sasono

In November 1989, Niculae Ceauşescu was re-elected as the president of Romania for 5 years more. In his speech, he denounced the revolution that occurred in other communist countries. Ironically, a few months after that, uprising began in Timişoara and spread throughout the country. Series of uprisings led to the fall of the Niculae Ceauşescu regime. Upheaval that occurred in Romania was the impact of political changes in Uni Soviet which pervaded to the alliance of East European countries in 1989. The fall of the Berlin walls was the most significant marker of the changes in political situation at that time. The power of the Soviet communist allies was degraded. The resistance and protest against the power of Ceauşescu were well documented through ordinary people’s recording equipment—video camera. One of these recordings was an image of a man watching TV in his hotel room while it was reporting the movement of Romanian people on the streets. There was also a scene broadcasted live about civilians throwing stones at the soldiers while others just wanted to get into the train station, to the recording of event when many people tried to occupy and take over the local tv station. The event was causing one person suffered a serious injury in his head. All recordings were used by Harun Farocki and Andrei Ujica to construct their film, Videograms of a Revolution. They compiled the footages out of recordings collected from various sources, from one camera to another camera. 148


Both directors, were consciously looking at footage as reality. Those footages were mixed, reshaped, and manipulated. According to Ujica in an interview on online media, recordings were basically an initiative of civilians who wanted to document those events and for personal documentation purpose only. The ongoing events were caught and captured by the eye of video camera and the result was videos framing those events. The contents of these recordings presented the perspective of the recorder whom were civilians in witnessing the historical event happened at that time. Historical events that happened of course was affecting the Romanian people, these effects arisen was triggering various reactions within the Romanian society. With the presence of video camera, civilians was possible to record the ongoing event with high mobility offered by video camera. The recordings produced by civilians later became an archive. Events recorded by video camera were then collected by Farocki and Ujica for reprocessed, strung together in such way to form a new reality in the form of a film. Through Videograms of a Revolution (1992), Harun Farocki and Andrei Ujica shows how media represents an on-going revolution, presented from different perspectives, then we could see a revolution through various prisms. Cinema is about perception created from the connection between time and space. In Videograms, media representations are shown able to build perception. Ujica and Farocki connected time and space from any existing recorded video to become a complete linear narrative. In this film we were brought to follow the process of revolution from one camera to another camera as if coming from the same reel of film. Ujica once wrote a book called Television/Revolution: The Ultimatum of the Images - Romania in December 1989, which attracted the attention of Farocki to make a film about the fall of the regime of Nicolae CeauĹ&#x;escu. This book contains the dialogue between Ujica, a Romanian intellectual, and two friends of them, one from Timisoara and the other from Bucharest who had witnessed the event either directly or on TV. But Ujica did not want to make a film about his book, but rather about things that were not included in the book. Then, Videograms of a Revolution was the result. 149


In Videograms we will be invited to follow the coup d’etat carried out by the people of Romania to Nicolae Ceauşescu regime. The film opens with a scene of a badly injured woman who asked the tv reporter who happened to be in the hospital to recorded her message. The message contains her hope to go to the street along with the Romanian people and be part of the historical event. There was a contrast here, she was in pain but she still had a strong hope for her country’s future. Herein the woman’s voice became the film main narrative and also represented the voice of the Romanian people of a better future. The film then moved from the hospital to the central commitee square where Nicolae Ceauşescu accompanied by his wife, Elena, were giving speeches in front of thousands Romanian people. Farocki and Ujica invited us to witness the event from the television cameras and the narrator told us that the camera was recording live. When Nicolae Ceauşescu was making a speech suddenly we could not hear his voice as the situation in central commitee square became boisterous. The camera was disrupted and live broadcasting from tv stopped. We could only see on tv a red screen. Actually, the camera was still recording but the cameraman pointed the camera upwards to the sky, as if they had been instructed to do so if something unexpected happen. While the camera still recorded, some noises were heard. Nicolae Ceauşescu then asked the crowd to be quiet but they didn’t care and kept shouting. The camera broadcasted the live report again, but no sound was heard in the background. Nicolae Ceauşescu continued his speech and the voice was coming on again. The narrator took us back to what had happened when the broadcast was interrupted. Farocki and Ujica showed us both sides of history, one was officially displayed by the national television and the other which actually happened in the actual location from different cameras through the citizens’ cameras. These two different sides of representation were continuously dug up by Farocki and Ujica in Videograms of a Revolution. There were other two places which became the center of the fall of the Ceauşescu regime, which were in the courtyard of the committee building where Ceauşescu gave his speech and in the TV station that were taken over by the Romanian people. From both places the event evolved 150


simultaneously suggesting that camera became eyes which covered two sides, from civilian camera to TV camera. Two sides were representing two different sides. But Farocki and Ujica combined all these footages to make them look like a contrast which at the same time also mutually were constructing one another. When Nicolae Ceauşescu wanted to flee out by using the helicopter, his citizens were trying to prevent it. We could see Farocki and Ujica presented it from various camera angles and distances. This could only be possible with the aesthetic concept like this, in which the author could follow the event in minutiae detail—the kind of detail that could not be displayed when only using a single camera. Farocki and Ujica was trying to eliminate subjectivity. This could happen because the footages were combined in a single sequence to emerge and represent only a single entity. Farocki and Ujica were trying to show how history could be something filmic, but only with the potentiality of video camera which provided the ability to record longer duration and its high mobility offered us a way to record or film the whole history. When there is only one camera that had access to the the last moment of Nicolae Ceauşescu and his wife’s life, everyone was sitting in front of their TV and recorded it with their own camera. Revolution were about to become a reality with the death penalty actually imposed to the couple, and the camera was like a representation of the eyes of the Romanian people to see and record the incident. In the last sequence, the narrator said “Film was possible because there was history.” Film exists to represent the history and displays the present conditions.

j

151


Country of Production: Germany, Romania Language: Germany, Romanian, English Subtitles: English 106 min, Color, 1992

Videogramme Einer Revolution (Videograms of Revolution) Harun Farocki, Andrei Ujică (Germany)

Built around amateur videos, demonstration footage and excerpts from a demonstrator-controlled Bucharest TV studio in late December 1989, this rigorous chronology of the Romanian uprising that overthrew dictator Nicolae Ceausescu shows clearly, and often with real suspense, how the mediated image not only records but engenders historic change. The studio was occupied for 120 unbroken hours and became a courtroom/interrogation centre/report hub for the seismic events unfolding outside. A Marker-esque voice-over occasionally guides our reading, but it’s left primarily to the images to narrate themselves, and they offer a ringside seat for this revolution of the image. Watch out for the extraordinary moment early on when the state newscaster coughs slightly after reading out some blatant double-speak a ministerial suicide, marking perhaps the moment when it all starts to unravel. Built around amateur videos, demonstration footage and excerpts from a demonstrator-controlled Bucharest TV studio in late December 1989, this rigorous chronology of the Romanian uprising that overthrew dictator Nicolae Ceausescu shows clearly, and often with real suspense, how the mediated image not only records but engenders historic change. The studio was occupied for 120 unbroken hours and became a courtroom/interrogation centre/report hub for the seismic events unfolding outside. A Marker-esque voice-over occasionally guides our reading, but it’s left primarily to the images to narrate themselves, and they offer a ringside seat for this revolution of the image. Watch out for the extraordinary moment early on when the state newscaster coughs slightly after reading out some blatant double-speak a ministerial suicide, marking perhaps the moment when it all starts to unravel.

152


Harun Farocki was born in Novi Jicín in 1944 in what is today the Czech Republic. He studied at the German Cinematic and Television Academy (DFFB) in Berlin, from which he was expelled in 1968 for political reasons. In addition to writing theoretical texts, he has scripted numerous filems and television productions. His work was shown at Documenta 12 in Kassel and in numerous international retrospectives and has received many awards.

Harun Farocki was born in Novi Jicín in 1944 in what is today the Czech Republic. He studied at the German Cinematic and Television Academy (DFFB) in Berlin, from which he was expelled in 1968 for political reasons. In addition to writing theoretical texts, he has scripted numerous filems and television productions. His work was shown at Documenta 12 in Kassel and in numerous international retrospectives and has received many awards.

Andrei Ujică (born 1951 in Timişoara, Romania) is a Romanian screenwriter and director. Ujică studied literature in Timişoara, Bucharest and Heidelberg. He moved to Germany in 1981. In 1990 he began making filems. Together with Harun Farocki, he created Videograms of a Revolution, a filem which has become a standard work in Europe when referring to relationships between political power and the media and the end of the Cold War, and which was listed by the magazine Les Cahiers du Cinema as one of the top 10 subversive filems of all time.

Andrei Ujică (born 1951 in Timişoara, Romania) is a Romanian screenwriter and director. Ujică studied literature in Timişoara, Bucharest and Heidelberg. He moved to Germany in 1981. In 1990 he began making filems. Together with Harun Farocki, he created Videograms of a Revolution, a filem which has become a standard work in Europe when referring to relationships between political power and the media and the end of the Cold War, and which was listed by the magazine Les Cahiers du Cinema as one of the top 10 subversive filems of all time.

153


Agenda: 26/8, kineforum

Memakai Arsip, Mereka Ulang Sejarah kurator:

Yuki Aditya

Menggunakan arsip tidak diragukan lagi adalah salah satu tren penting dalam pembuatan filem dokumenter di era kontemporer ini. Nama-nama seperti Mark Rappaport, Thom Andersen, dan Artavadz Peleshian merupakan beberapa seniman yang produktif menghasilkan karya-karya yang baik dengan memanfaatkan arsip. Rekaman dari arsip difungsikan sebagai katalis untuk menuliskan arsip baru—untuk melihat sejarah dengan cara yang baru. Ini adalah sebuah teknik yang memungkinkan sejarah direfleksikan melalui interpretasi pribadi senimannya. Tetapi bagaimanakah caranya agar pertautan kita ke masa lalu mungkin bisa dibentuk dengan materi arsip? Bagaimana mungkin teks-teks baru yang didasarkan pada materi arsip bisa menciptakan suatu hubungan antara masa lalu dan masa kini bagi pembuat filem dan penontonnya? Dokumenter memegang dan memainkan peran penting dalam mengkreasikan memori kolektif dari peristiwa budaya, sosial dan politik. Oleh sebab itu, pembuat filem dokumenter penting untuk awas terhadap dampak dan efek dari penggunaan materi arsip dalam filem-filem mereka. 154


Dua filem dalam program ini menggunakan estetika yang berbeda dalam menyampaikan visi personal pembuatnya. Adam Curtis menggunakan teks tertulis, sedangkan Isaki Lacuesta menggunakan narasi verbal untuk membangun argumen sinematiknya. Keduanya pun lebur dalam hubungan antara sejarah dan ingatan, mendaur ulang masa lalu sebagai kendaraan untuk membicarakan masa sekarang. Klaim akan kebenaran dari footage arsip yang dipakai oleh pembuat filem tetap sahih, tapi tafsiran yang ada di dalam footage-footage tersebut kini dihubungkan antara saat footage itu direkam dengan kondisi saat filem dokumenter tersebut dibuat. Dokumenter yang lama menjadi materi pembentuk sebuah kompilasi baru. Setiap footage dipresentasi ulang dan disandingkan dengan footage arsip lainnya (It Felt Like a Kiss) maupun gabungan dengan footage baru (Marker Variations). Sejarah tidak lagi tentang masa lalu. Namun sejarah adalah pertanyaan masa sekarang kepada masa lalu, sehingga cara melihat sejarah bukan lagi hanya dari apa yang sudah terjadi, tapi juga mengenai di mana kita sekarang. It Felt Like a Kiss Filem ini diambil dari judul lagu yang dipopulerkan oleh Carole King pada tahun 1962. Lagu ini diambil sebagai metafora terhadap tragedi runtuhnya menara kembar World Trade Center di kota New York pada tahun 2001. Peristiwa itu jelas merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat. Namun melalui filem ini Adam Curtis membuka wacana baru, di mana peristiwa itu sendiri sebenarnya telah dipupuk oleh kebijakan politik Amerika Serikat, yang ikut “membina� teroris-teroris tersebut sejak puluhan tahun sebelumnya. Montase filem ini mengungkap bagaimana Amerika Serikat paska Perang Dunia II dengan “American Dream�-nya yang membuncah lalu menimbulkan konspirasi yang menghancurkan negara itu sendiri pada 2001. Dokumenter ini dibuka dengan potongan adegan dari filem Pillow Talk rilisan 1959 yang dibintangi oleh dua bintang filem terkenal saat itu, Rock Hudson dan Doris Day. Adegan menampilkan Hudson mengantar Doris Day pulang ke rumah setelah kencan mereka, Doris menutup pintu yang bertuliskan angka 2001. Doris tidak dapat tidur 155


dan terbangun karena mendengar suara ledakan yang kemudian kita ketahui dari ledakan pesawat yang menabrak Menara Kembar World Trade Center. Prolog filem adalah bagaimana Amerika Serikat memproklamirkan diri sebagai agen yang akan “mengubah dunia” ke arah lebih baik namun lambat laun fragmen yang disusun malah menceritakan keadaan sebaliknya. 1959 juga adalah kali pertama virus HIV diketemukan pada simpanse dan Adam Curtis menggunakan teks untuk menjahit cerita filemnya. Fokusnya luas, misalnya Perang Vietnam, munculnya diktator Mobutu Sese Seko, awal karir Osama bin Laden, dan kudeta di Irak oleh Saddam Hussein yang disponsori oleh Amerika Serikat sebagai peristiwa ekspor politik, ditampilkan selaras dengan maraknya budaya pop yang diwakilkan oleh iklan dan industri kecantikan. Curtis juga melihat daya tarik sekaligus keburukan dari filem dan musik populer. Tensi dalam filem dibangun dengan persinggungan antara apresiasi Curtis terhadap dinamisnya budaya pop Amerika dengan kesinisan terhadap efek dari kedigdayaan negara tersebut. Lagu It Felt Like a Kiss dari Carole King yang adalah cerita dari pengalaman buruk pemukulan pengasuh anak Carole King, oleh pacarnya disandingkan dengan footage peristiwa bakar diri seorang biksu di Vietnam untuk memprotes dukungan pemerintah Amerika Serikat kepada rezim korupsi Diem di Vietnam. The Marker Variations Siapa Chris Marker adalah pertanyaan dalam filem ini. Marker diceritakan sebagai penulis, seniman multimedia, yang hidupnya diungkap lewat voice-over orang lain dan ia terkenal akan keengganannya untuk diabadikan dalam foto. Lacuesta menunjukkan beberapa foto-foto sosok Chris Marker yang kabur dan tidak jelas. Apakah Chris Marker benar-benar ada? Isaki Lacuesta menyuratinya dan mendapat balasan yang unik. “As for the idea of the composite video, you may guest that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes to pick bits and pieces from my filems, let it be, I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.” Premis filem dilanjutkan dengan betapa penting dan kuatnya peran imaji atau gambar, baik di dalam filem Chris Marker maupun dalam kehidupan nyata. Footage dari filem Chris Marker yang berjudul 156


Sans Soleil dipakai Lacuesta untuk menerangkan seorang penguasa bernama Sabu di daerah Dijon yang menggunakan foto dirinya untuk mengekalkan kekuasaan. Semua relung wilayah Dijon sampai daerah terkumuh dipenuhi oleh foto Sabu, yang secara metafora menerangkan bagaimana terbaliknya kondisi tersebut dengan Chris Marker. Kehadirannya di filem ini hanya diwakilkan oleh footage-footage dari filemnya dan oleh satu foto diri yang hanya memperlihatkan setengah wajahnya yang tertutup kamera. Hampir semua footage dalam dokumenter ini direkam oleh Marker sendiri, dan Lacuesta di sini bermeditasi terhadap filem-filem yang dibuat oleh Marker. Bagaimana Marker merekam wajah, merekam dan mengusut dunia, dan menggambarkan abad ke-20. Lacuesta seakan mencoba untuk menyalin kembali apa yang telah dilakukan oleh Marker dalam karyanya. Lacuesta mengusut, mempertanyakan dan mendefiniskan kembali footage-footage Chris Marker seperti yang dilakukan Marker dulu dengan subjek-subjeknya. Dengan kata lain, Lacuesta sedang mencoba apa mungkin membuat suatu filem baru dari tentang visinya sendiri dari footage orang lain. Sebuah filem esai tentang pembuat filem esai yang karyanya lekat akan tema waktu, memori dan kematian. Footage diambil dari beberapa filem Chris Marker antara lainnya Sans Soleil, Level Five, Koumiko Mystery dan lainnya. Rupanya Lacuesta bukan orang pertama yang melakukan reproduksi terhadap terhadap karya Marker. Cuplikan dari karya dari Johan van der Keuken, Alain Berliner, dan Sophia Coppola disandingkan dengan cuplikan filem Chris Marker yang menjadi inspirasi mereka. Bahkan Lacuesta memberi pertanyaan yang sama kepada seorang perempuan Jepang dengan yang ditanyakan Marker terhadap Koumiko dalam The Koumiko Mystery. Perbedaan jawaban antara dua perempuan yang berasal dari negara yang sama namun dari periode berbeda sebagai metafora perbandingan masa lalu dan kontemporer, fiksi dan dokumenter, seluloid dan medium video yang digunakan Lacuesta untuk membuat filem, serta dua visi berbeda dari dua sutradara beda generasi. Baik footage dari filem-filem Chris Marker maupun yang direkam oleh Lacuesta sendiri bisa dikatakan sebagai memento mori, bukan terhadap kematian Marker tapi atas kemisteriusannya. Marker sendiri 157


biasa melakukan reproduksi macam tersebut, mulai dari antusiasmenya terhadap filem Alfred Hitchcock yang berjudul Vertigo, sampai menangkap ulang lokasi tangga yang terkenal dengan gaya dokumenter dari filem Battleship Potemkin karya Sergei Eisenstein. Saat biasanya sinema digunakan sebagai model untuk membangkitkan kesadaran historis seperti dalam It Felt Like a Kiss, maka Lacuesta dalam filem ini seakan meminjam peribahasa favorit Chris Marker yang dikutip Marker dari George Steiner: “Kita tidak diperintah oleh masa lalu, melainkan oleh gambar yang berasal dari masa lalu.� Tanpa arsip, sejarah akan hilang.

j

158


Found Footage Archive: Reconstruction of History curator:

Yuki Aditya

Using archival footage is undoubtedly one of the important trends in documentary filmmaking in contemporary era. Names like Mark Rappaport, Thom Andersen, and Artavadz Peleshian are prolific artists who produced works with utilizing archival footage. Footage from the archive functions as catalyst to write a new archive-to see history in a new way. It is a technique that allows a personal interpretation of history reflected through its artists. But how can our linkage to the past might be formed with archive material? How is it possible the new texts based on archival material can create a link between the past and the present for the filmmakers and the audience? Documentary film plays an important role in the creation of collective memory of cultural, social, and political event. Therefore, it is important for documentary filmmaker to be aware of the impact and effects of the use of archival material in their films. Two films in this curated program are using different aesthetic in delivering the maker’s personal vision. Adam Curtis uses written text, while Isaki Lacuesta using verbal narrative to build a cinematic argument. Both were dissolved in the relationship between history and memory, recycling the past as a vehicle to talk about the present. Claims the truth of which used archival footage by filmmaker remains valid, but the interpretation is in the footages now connected between the time when the footages were recorded with the current state of the time the documentaries were made. 159


The old documentaries material are forming a new compilation. Each footage was re-examined, juxtaposed with other archival footage (It Felt Like a Kiss) or combined with new footage (The Marker Variations). History is no longer about the past. But history is a question of the present to the past, which means we no longer just look at the history as what has happened, but also of where we are now. It Felt Like a Kiss It Felt Like a Kiss is taken from the title of a song made famous ​​ by Carole King in 1962. This song is used as a metaphor for the 9/11 tragedy, of the collapsed World Trade Center twin towers in New York back in 2001. The event was clearly a blow to the United States. But through this film Adam Curtis opened a new discourse, where the event has actually fostered by the United States policy, took part in ‘creating’ these terrorists since the previous decades. The montage of the film reveals how the United States after World War II with its utopian “American Dream” then caused a conspiracy to destroy the country itself in 2001. The documentary opens with a scene cuts from a movie from 1959, Pillow Talk, starring two famous movie stars at the time, Rock Hudson and Doris Day. The scene features Hudson drove Doris Day home after their date, and then Doris closed the door which is labeled a number, 2001. Doris could not sleep and woke up to the sound of explosions and then we know the explosion is coming of the plane crashing into the World Trade Center’s Twin Towers. The prologue of the film is how the United States proclaim as an agent that will “change the world” for the better but gradually the fragments compiled instead tells the opposite situation. 1959 is also the first time that the HIV virus found in chimpanzees and Adam Curtis uses text to sew his story. The focus is broaden, from Vietnam War, the rise of dictator Mobutu Sese Seko, the early career of Osama bin Laden, to the coup in Iraq by Saddam Hussein sponsored by the United States as a political export events shown in tune with the rise of pop culture, which is represented by advertising and beauty industry. Curtis also sees the attraction as well as the ugliness of popular movies and music. Tension in the film is built with intersection of Curtis’ 160


appreciation of the dynamics of American pop culture and the cynicism to the effects of the country’s superiority. The song It Felt Like a Kiss was sung by Carole King, telling the bad experience of her nanny who was beaten by her own boyfriend. The song is juxtaposed with a selfimmolation incident footage of a monk to protest the U.S. government’s support to the corrupt Diem regime in Vietnam. The Marker Variations Who is Chris Marker is the question in this film. Marker is told as a writer, multimedia artist, whose life is revealed through other people’s voice-over, and he is famous for his reluctance to be immortalized in a photograph. Lacuesta showed some pictures of Chris Marker which are vague and unclear. Does Chris Marker really exist? Isaki Lacuesta wrote to him and got a unique reply. “As for the idea of the composite video, you may guest that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes to pick bits and pieces from my films, let it be, I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.” The premise of the film followed by the importance and the strong role of images or pictures, either in Chris Marker’s films or in real life. Lacuesta uses footages from Marker’s film, Sans Soleil, to explain a ruler named Sabu that uses pictures of himself to perpetuate power in the Dijon region. Every corner and slum area in Dijon were filled by Sabu photos, which are metaphors to contradict with the condition of Chris Marker. Marker’s presence in the film is only represented by footages from his films and by a photo of himself that shows only half of his face and covered by a camera. Most of the footages in this documentary were taken from Marker’s films, and Lacuesta here is meditating on those films. How Marker recorded faces, recorded and investigated the world, and described the 20th century. Lacuesta as if trying to copy what has been done by Marker in his works. Lacuesta investigates, questions and redefines Marker’s footages as what Marker did to his subjects. In other words, what Lacuesta does is trying to make his own film from footages of other filmmaker. A film essay about an essay filmmaker whose themes were mostly about time, memory and death. 161


Footages were taken from several films of Chris Marker including Sans Soleil, Level Five, Koumiko Mystery and others. Lacuesta apparently not the first person who committed reproduction of Marker’s works. Excerpts from the work of Johan van der Keuken, Alain Berliner, and Sophia Coppola juxtaposed with footage of Chris Marker films that inspired them. Lacuesta gave same questions to a Japanese woman which Marker once was asking to Koumiko in Koumiko Mystery. The differences in the response between the two women from the same country but from different periods, act as a metaphor comparing past and contemporary, fiction and documentary, celluloid and video medium used by Lacuesta to make his film, as well as two different visions coming from two different generations of film directors. Either the footage of Chris Marker films or the ones recorded by Lacuesta himself could be regarded as memento mori, not to the death of Chris Marker but to Marker the mysterious figure. Marker himself used to do these kind of reproduction, ranging from his enthusiasm to Alfred Hitchcock’s Vertigo, to ‘re-imagine’ the famous staircase scene of Sergei Eisenstein’s Battleship Potemkin in documentary style. When cinema is usually used as a model to raise historical awareness as in It Felt Like a Kiss, then Lacuesta in The Marker Variations seemed to borrow a favorite proverb quoted by Chris Marker from George Steiner: “It is not the literal past that rules us. It is images of the past. “. Without archive, history will be lost.

j

162


It Felt Like a Kiss

Kevin Adam Curtis (UK) It Felt Like a Kiss diambil dari judul lagu yang dipopulerkan oleh Carole King pada 1962. Lagu ini dipakai sebagai metafora terhadap tragedi runtuhnya menara kembar World Trade Center di kota New York pada 2001. Peristiwa itu jelas merupakan pukulan telak bagi Amerika Serikat. Namun melalui filem ini Adam Curtis membuka wacana baru, di mana peristiwa itu sendiri sebenarnya telah dipupuk oleh kebijakan politik Amerika Serikat yang ikut ‘membina’ teroris-teroris tersebut sejak puluhan tahun sebelumnya.

It Felt Like a Kiss is taken from the title of a song made ​​famous by Carole King in 1962. This song is used as a metaphor for the 9/11 tragedy, of the collapsed World Trade Center twin towers in New York back in 2001. The event was clearly a blow to the United States. But through this filem Adam Curtis opened a new discourse, where the event has actually fostered by the United States policy, took part in ‘creating’ these terrorists since the previous decades.

Kevin Adam Curtis lahir pada 1955, dia seorang pembuat dokumenter televisi Inggris yangmana disepanjang karir televisi-nya bekerja sebagai penulis, produser, sutradara dan narator. Baru-baru ini ia bekerja untuk Berita Terkini BBC. Program asuhannya mengungkapkan opini yang jelas (dan kadang kontroversial) akan subyeknya, dan dia menarasikan programnya sendiri.

Kevin Adam Curtis (born 1955) is a British television documentary maker who has during the course of his television career worked as a writer, producer, director and narrator. He currently works for BBC Current Affairs. His programmes express a clear (and sometimes controversial) opinion about their subject, and he narrates the programmes himself.

163


supported by the filmmaker

Country of Production: Spain Language: Spain Subtitles: English 34 min, Color, 2007

Las Variaciones Marker (The Marker Variations) Isaki Lacuesta (Spain)

Siapa Chris Marker adalah pertanyaan dalam filem ini. Marker diceritakan sebagai penulis, seniman multimedia, yang hidupnya diungkap lewat voice-over orang lain dan ia terkenal akan keengganannya untuk diabadikan dalam foto. Lacuesta menunjukkan beberapa foto-foto sosok Chris Marker yang kabur dan tidak jelas. Apakah Chris Marker benar-benar ada? Isaki Lacuesta menyuratinya dan mendapat balasan yang unik. “As for the idea of the composite video, you may guest that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes to pick bits and pieces from my filems, let it be, I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.”

Who is Chris Marker is the question in this film. Marker is told as a writer, multimedia artist, whose life is revealed through other people’s voiceover, and he is famous for his reluctance to be immortalized in a photograph. Lacuesta showed some pictures of Chris Marker which are vague and unclear. Does Chris Marker really exist? Isaki Lacuesta wrote to him and got a unique reply. “As for the idea of the composite video, you may guest that I’m never against experiments. If Isaki Lacuesta wishes to pick bits and pieces from my films, let it be, I practice enough piracy myself to enjoy being pirated.”

Isaki Lacuesta lahir di Spanyol pada 1975. Setelah studi filemnya selesai, ia melanjutkan kuliah jurusan Komunikasi Audiovisual di Universitat Autònoma de Barcelona lalu kuliah Master dalam Pembuatan Dokumenter di Universitat Pompeu Fabra.

164

Isaki Lacuesta was born in Spain at 1975. After his filem studies, he took a course in Audio-visual Communication at the Universitat Autònoma de Barcelona and later a Master Course in Documentary of Creation at the Universitat Pompeu Fabra.


Agenda: 29/8, kineforum

Estetika Kenyataan, Realisme Publik? kurator:

Mahardika Yudha

“Di sini kita temui perbedaan Lacanian antara ‘ kenyataan’ (reality) dan ‘yang Nyata’ (the real): ‘ kenyataan’ (reality) yang dimaksud di sini adalah kenyataan sosial dari orang-orang yang benar-benar terlibat dalam interaksi dan dalam proses produksi, sementara yang Nyata (the Real) adalah sesuatu yang ‘abstrak’ yang tak dapat ditawar, logika menakutkan dari ibukota yang menentukan apa yang terjadi dalam kenyataan sosial. Kita dapat melihat kesenjangan ini secara jelas ketika kita pergi ke suatu negara yang kehidupan masyarakatnya berantakan. Banyak kita lihat kerusakan lingkungan dan penderitaan manusia. Namun, yang bisa kita baca hanyalah laporan dari para ekonom bahwa kondisi ekonomi negara ini ‘ baik secara finansial’ – realitas tidak penting, yang penting adalah kondisi di ibukota…” – Slavoj Žižek1

1  The Violence, Slavoj Žižek. Terjemahan Indonesia dikutip dari artikel Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta, Andre Vltchek, diterjemahkan oleh Fitri Bintang Timur, disunting oleh Rossie Indira, artikel aslinya dimuat di Counter Punch, ”The Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, edisi 17-19 Februari 2012, http://m.kaskus.

165


Obsesi sinema menjangkau ‘yang nyata’ (the real) bukanlah persoalan baru. Sejak fotografi ditemukan hingga filem Lumière Bersaudara ditayangkan kepada publik, teknologi reproduksi kenyataan itu telah dituduh merebut ‘yang nyata’ (the real). Apalagi ketika filem bicara lahir, sinema mencapai polemiknya terhadap usaha-usaha mencapai ‘yang nyata’ sampai lahirnya genre realisme pada sinema usai Perang Dunia I. Sinema berusaha sekuat tenaga dengan berbagai macam moda produksi hingga bahasa estetika untuk menghadirkan ‘yang nyata’ apa adanya dengan tidak menjadikan ‘kenyataan’ (reality) hanya sebagai sarana. Pada Neo Realisme Italia, André Bazin mengatakan bahwa, “Tak satu pun [tokoh] yang dipersempit menjadi keadaan atau simbol sehingga penonton bisa membenci mereka tanpa harus bersusah payah memahami terlebih dahulu ketaksaan dunia manusia yang ditampilkan.”2 Neo Realisme Italia lebih ke arah realitas sebagai sebuah impian, atau sesuatu yang di luar norma yang dominan. Di sisi lain, perkembangan genre dokumenter yang dikatakan ‘lebih mendekati’ pada ‘yang nyata’ mencapai titik kejenuhan estetika di masa paska Perang Dingin hingga muncul pernyataan bahwa fiksi dikatakan sebagai genre yang paling mendekati ‘yang nyata’, melalui jargonnya “berdasarkan kisah nyata”. Jargon ini kemudian mendiamkan kita pada sebuah situasi tentang kehadiran ‘perspektif teknologi’ dan juga sosok yang merujuk pada kepentingan si perekam di belakang teknologi itu, sekalipun dalam rekaman dokumenter. Dari sinilah kita kemudian berhadapan dengan situasi tentang sebuah pergeseran ‘yang nyata’. Kita sedang mencurigai bahwa ‘kenyataan’ (reality) yang kita alami di dunia ini sebenarnya adalah sebuah ilusi yang dikonstruksi. Lalu pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sinema semakin menjauh dari ‘yang nyata’? Dalam dua filem feature dokumenter, Disorder karya Huang Weikai dan Petition karya Zhao Liang, kita dihadapkan pada bagaimana sinema berperan dalam menangkap ‘yang nyata’ (the real). Moda produksi dan bahasa estetika ‘kenyataan’ (reality) yang digunakan oleh Huang

co.id/thread/51e2560b1ad719aa73000007/curhatan-orang-asing-tentang-jakarta/, diakses pada 17 Juli 2013. 2  Qu’est ce que le cinéma?, Andre Bazin. Terjemahan Indonesia oleh Mirza Jaka Suryana.

166


Weikai dan Zhao Liang berusaha mereduksi dan menghancurkan peran ‘perspektif teknologi’. Tentu saja hal ini tidak mungkin bisa dilakukan tanpa situasi sosial yang memadai. Dengan kata lain, situasi ‘yang nyata’ masyarakat Cina dewasa ini sangat mungkin mendorong bahasa estetika ‘kenyataan’ (reality) dalam sebuah filem dokumenter. Disorder (2009. 58 menis). Huang Weikai menyelesaikan Disorder di tahun 2009, setahun setelah Olimpiade 2008 sebagai pernyataan terbuka negara Cina tentang kelahiran negara kaya baru pada masyarakat internasional. Melalui footage-footage temuan dari 26 insiden kekacauan sehari-hari, Huang Weikai membeberkan kenyataan masyarakat Cina di masa transisi itu, masa yang dikatakannya sebagai, “Dalam sebuah zaman kamera video surveillance berfungsi sebagai dokumenter dan gosip di internet mampu mengungguli rating sebagai berita utama, gagasan tragedi yang berputar ke tempat dan waktu yang baru.”3 Kenyataan sebenarnya dari footage-footage yang ia kumpulkan dari pembuat video amatir yang menjual hasil rekamannya itu untuk televisi, menjadi dua hal yang menarik dari filem ini. Bagaimana publik melihat dan memandang dirinya sendiri. Bagaimana peran sinema terhadap televisi. Dan juga melihat bagaimana peran dari kenyataan kedua itu kemudian memberikan pengaruh pada kenyataan pertama di masyarakat itu sendiri. Sebuah siklus yang dikatakan Huang Weikai sebagai “Hari ini adalah masa depan dari masa lalu” yang ia terjemahkannya menjadi disorder. Petition (2009. 120 menit). Zhao Liang mengangkat peristiwa pengajuan petisi kepada pemerintah yang banyak dilakukan oleh masyarakat kelas bawah di Cina. Kampung Petisi berisi orang-orang yang berasal tidak hanya dari Beijing tetapi juga dari berbagai propinsi di Cina yang telah bertahun-tahun mengajukan petisi atas kasus-kasus hukum masa lalu yang terkait dengan persoalan hak asasi manusia yang berhubungan dengan pemerintah. Menjelang perayaan Olimpiade 2008, kampung itu pun akhirnya dibongkar secara paksa. Dalam memproduksi filem ini, Zhao Liang menceburkan diri masuk ke dalam kampung petisi dengan membawa kamera yang menjadi matanya. Ia berinteraksi, 3  CinemaTalk: Interview with Huang Weikai, Director of Disorder, http:// dgeneratefilems.com/tag/huang-weikai, diakses pada 17 Juli 2013.

167


merekam situasi dengan gamblang ataupun sembunyi-sembunyi, dan mewawancarai para pencari petisi. Dalam filem ini kita sadar bahwa sang sutradara berada di balik kontruksi kenyataan kedua pada tiap bidikan-nya.

j

168


Reality Aesthetics, Public Realism? curator:

Mahardika Yudha

“Here we encounter the Lacanian difference between reality and the Real: ‘reality’ is the social reality of the actual people involved in interaction and in the productive processes, while the Real is the inexorable ‘abstract’, spectral logic of capital that determines what goes on in social reality. One can experience this gap in a palpable way when one visits a country where life is obviously in shambles. We see a lot of ecological decay and human misery. However, the economist’s report that one reads afterwards informs us that the country’s economic situation is ‘financially sound’ – reality doesn’t matter, what matters is the situation of capital…”– Slavoj Žižek 1 Cinema obsession to reach ‘the real’ is not a new issue anymore. Since photography was invented and Lumière Brothers’ movie was shown to the public, a technology to reproduce reality had been accused for seizing ‘the real’. Especially, when talking motion picture was born, cinema 1  The Violence, Slavoj Žižek . English version published in Counter Punch, “The Perfect Fascist City: Take a Train in Jakarta”, February 17-19, 2012. Indonesian version was quoted from Kota Fasis yang Sempurna: Naik Kereta Api di Jakarta, Andre Vltchek, translated by Fitri Bintang Timur, edited by Rossie Indira, http://m.kaskus.co.id / thread/51e2560b1ad719aa73000007/curhatan-orang-asing-tentang-jakarta/, accessed on July 17, 2013.

169


reached its polemic against the efforts to grab ‘the real’ until the birth of realism in cinema after World War I. Cinema bend over backwards through the variety production modes to aesthetics language to bring ‘the real’ as it is through not making ‘reality’ merely as a medium. In Italian Neorealism, Andre Bazin had said: “None of the [character] that are reduced to a state or a symbol so that the audience can hate them without having to bother to understand first the human ambiguity that is displayed.” 2 Italian Neorealism shows that reality represent a dream or something outside dominant norm. On the other hand, the development of documentary genre which can be said ‘closer’ to ‘the real’ reached saturation point of its aesthetics in the post-Cold War period until then appeared statement that fiction as a genre is closest to ‘the real’ through its jargon ‘based on a true story’. This jargon, then ignored yet lead us on a situation about the presence of ‘technological perspective’ and a figure refers to the man-behind-technology interest, even in the documentary record. From this, we are faced with the shift situation of ‘the real’. We are suspecting that our reality is an illusion that is actually constructed. A question arises then: is it cinema getting away from ‘the real’? In the two documentary feature films, Disorder by Huang Weikai and Petition by Zhao Lian, we are faced on how cinema play a role in capturing ‘the real’. Modes of production and ‘reality’ aesthetic language, which used by Huang and Zhao Liang Weikai, try to reduce and destroy the role of ‘technological perspective’. Of course this could not be done without adequate social situations. In other words, ‘the real’ situation of Chinese society today is very likely encourage the aesthetics language of ‘reality’ in a documentary film. Disorder (2009, 58 minutes). Huang Weikai finished Disorder in 2009, a year after 2008 Olympics which can be seen as China statement as the new wealthy country to international society. Through foundfootage from 26 incidents of everyday chaos, Huang Weikai reveals the reality of Chinese society in that transition time, the time that he 2  Qu’est ce que le cinéma?, Andre Bazin. Indonesian translation by Mirza Jaka

Suryana.

170


considered: “In the era when surveillance camera can be functioning as documentary machine and gossips in internet are able to outperform rating as the headlines, the idea of tragedy rotates to a new place and time.”3 The true reality from footage which he compiled from amateur video maker who sold his records to television becomes second interesting point from this film. We can see how the public see and look themselves, the role of cinema for television, and also how the role from the second reality can influence the first reality. This is a circle that Huang Weikai said as, “the present is the future of the past” - and he translated it to be Disorder. Petition (2009. 120 minutes). Zhao Liang tells an event when lower class people submitted a petition to the government. Petition consists not only people from Beijing, but also from other provinces in Chinna who had submitted petition of legal case related to the past issues on human rights to the government for many years. Before 2008 Olympics’ celebration, the villages in Petition were finally demolished by force. To make this film, Zhao Liang followed directly the village petition, considering his cameras as his eyes. He interacted, recorded the situation both clearly and secretly, and interviewed the petition seekers. Through this film, we can realize that the director is behind the construction of ‘second reality’ in every shots.

j

3  CinemaTalk: Interview with Huang Weikai, Director of Disorder, http://

dgeneratefilms.com/tag/huang-weikai, accessed on July 17, 2013.

171


supported by: Icarus Filems

Country of Production: China Language: Mandarin Subtitles: English 58 min, Color, 2009

Disorder (Xianshi Shi Guoqu de Weilai) Huang Weikai (China)

Huang Weikai menyelesaikan Disorder di tahun 2009, setahun setelah Olimpiade 2008 sebagai pernyataan terbuka negara Cina tentang kelahiran negara kaya baru pada masyarakat internasional. Melalui footage-footage temuan dari 26 insiden kekacauan sehari-hari, Huang Weikai membeberkan kenyataan masyarakat Cina di masa transisi itu, masa yang dikatakannya sebagai, “Dalam sebuah zaman kamera video surveillance berfungsi sebagai dokumenter dan gosip di internet mampu mengungguli rating sebagai berita utama, gagasan tragedi yang berputar ke tempat dan waktu yang baru.�

Huang Weikai completed Disorder in 2009, a year after the 2008 Olympics as a public statement about the birth of a new rich country, China, to international community. Huang Weikai exposes the reality of Chinese society in transition through footages found from 26 daily incidents. It is a period of time where, “In an age where surveillance videos serve as a kind of documentary and internet gossip supercedes mainstream news cycles, the idea of tragedy is spun into a new place and time.

Huang Weikai lahir di Provinsi Guangdong, Cina pada 1972. dia belajar lukisan Cina selama 15 tahun dan lulus dari Jurusan Seni Cina dari Akademi Seni Rupa Guangzhou. Dia terbiasa bekerja sebagai promotor sinema, editor seni, desainer grafis, penulis naskah filem dan juru kamera. Sejak 2002, dia banyak menyutradarai filem-filem independen.

172

Huang Weikai was born in 1972 in Guangdong Province, China. He studied Chinese painting for 15 years and graduated from the Chinese Art Department of the Guangzhou Academy of Fine Arts. He used to work as a cinema promoter, art editor, graphic designer, movie script writer and cameraman. Since 2002, he has been directing independent filems.


supported by the filmmaker

Country of Production: China Language: Mandarin Subtitles: English 120 min, Color, 2009

Petition

Zhao Liang (China) Petition, karya Zhao Liang, mengangkat peristiwa pengajuan petisi yang banyak dilakukan oleh masyarakat kelas bawah di Cina. Tempat yang awalnya menjadi persinggahan untuk menunggu turunnya petisi dari pemerintah, telah berubah menjadi sebuah kampung yang berisi masyarakat yang telah menunggu bertahun-tahun turunnya petisi. Menjelang perayaan Olimpiade 2008, kampung itu pun akhirnya dibongkar secara paksa.

Zhao Liang’s Petition, follows some low-class Chinese people filing a petition against the government whom evicted their houses to be replaced by sport stadium. It is also about a place which used to be a stopover for people waiting the result of the petition, and later turned into a village inhabited by those marginalized people. Ahead of the 2008 Olympic celebrations, the village was eventually dismantled by force.

Zhao Liang lahir di Liaonung, Dandong pada 1971. Lulus dari Akademi Seni Rupa Luxun pada 1992, lalu melanjutkan studi fotografi di akademi Filem Beijing (1993-1994). Dan sekarang tinggal dan bekerja di Beijing.

Zhao Liang was born in Liaoning, Dandong at 1971. Graduated from the Luxun Academy of Fine Arts at 1992. Studied in the Photography Department of the Beijing Filem Academy (Narrative Photography) (1993-1994). Currently lives and works in Beijing

173


Agenda: 28/8, GoetheHaus

Mobilitas Sosial untuk Pemula kurator:

Adrian Jonathan Pasaribu

Tiga tahun lebih. Selama itu pembuat filem Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng mengikuti narasumbernya. Di filem pertama, kita mendapati Shalahuddin Siregar mengikuti geliat dua keluarga petani di Desa Genikan menyambung kehidupan di tengah perubahan cuaca yang tak menentu. Di filem kedua, kita menyaksikan Dwi Sujanti Nugraheni merekam perjuangan sepasang mantan anak jalanan membangun rumah tangga di Desa Gamping. Lokasi kedua filem ini terpisah 42 kilometer jauhnya. Apabila dihitung berdasarkan panjang jalan raya yang menghubungkan Desa Genikan dan Desa Gamping, kita akan mendapati kisaran angka dari 61 sampai 70 kilometer. Cukup jauh. Jauh pula perbedaan corak kehidupan masing-masing desa. Genikan adalah sebuah desa terpencil di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, di mana kebanyakan warganya hidup dengan bertani. Gamping sendiri berada di pinggir Yogyakarta, salah satu kota yang terhitung maju di negeri ini. Artinya, ada opsi penghidupan tambahan yang didapat warga Gamping dari kedekatan geografis ini, bersamaan dengan opsi penghidupan yang mungkin diberikan oleh Desa Gamping sendiri. 174


Menariknya, di antara jarak geografis dan perbedaan corak kehidupan, warga kedua desa seperti terhubung oleh masalah serupa: kebutuhan menyekolahkan anak. Dalam Negeri di Bawah Kabut, isu ini menjadi dominan dari pertengahan hingga akhir filem. Arifin, murid berprestasi di kelasnya, ingin lanjut SMP di sekolah negeri, tapi orangtua Arifin bukanlah kaum berpunya. Uang tiga ratus ribu masihlah terlalu besar untuk penghasilan seorang petani. Orangtua Arifin pun keliling desa cari pinjaman, yang juga tak didapat karena keluarga-keluarga lain sama kekurangannya. Isu yang sama turut hadir dalam Denok & Gareng. Sejak awal, pasangan ini mendapati anak lelakinya sering bolos sekolah, sementara biaya pendidikan yang harus mereka penuhi tak bisa dibilang murah. Masalahnya lagi, biaya pendidikan ini hanyalah satu dari sekian banyak tuntutan yang Denok dan Gareng harus penuhi, karena mereka ‘mewarisi’ hutang empat puluh juta Rupiah milik ayah Gareng yang kabur entah ke mana. Perkara soal pendidikan anak ini menarik untuk diulik lebih lanjut. Sebutlah ini imajinasi populer masyarakat setempat, suatu harapan yang dijadikan pegangan untuk menghadapi hari-hari yang akan datang. Para orangtua dalam Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng tidak ada yang mengenyam bangku pendidikan, beberapa bahkan buta huruf, tapi semuanya terikat dalam komitmen menyekolahkan anak, walau memeberi beban yang tak sedikit pada perekonomian mereka yang juga tak bisa dibilang stabil. Untuk apa? Tidak tahu, pembuat filem juga tidak menyusurinya lebih lanjut. Satu asumsi yang bisa kita panjatkan adalah untuk kehidupan lebih baik, seabstrak apapun konsep itu. Asumsi ini lahir dari cara para pembuat filem mengemas filemnya: dekat dan personal. Jarak terjauh antara penonton dengan para protagonis adalah medium shot. Kamera seakan-akan tak ada bagi para narasumber; atau lebih tepatnya mereka sudah terbiasa dengan kehadiran kamera di sekitar mereka, mengingat cukup lamanya waktu riset yang dilakukan para pembuat filem. Tak ada narasi tambahan, tak ada pula angka dan statistik njlimet, yang ada hanyalah rekaman akan keseharian narasumber. Dari rekaman-rekaman yang lekat ini, terpetakan ruang-ruang yang menubuhi keseharian para pekerja ini, dan semuanya tak lepas dari kebutuhan untuk bertahan hidup. Inilah yang menjadi benang merah kedua filem. Para pekerja ini pergi-pulang menempati ruang kerja mereka untuk menjamin keberlangsungan hidup, sementara kebutuhan datang silih berganti dengan 175


nama yang berbeda. Tak ada jalan keluar, tak ada kesempatan untuk naik ke taraf kehidupan yang lebih baik. Dalam Negeri di Bawah Kabut, kita mendapati para petani bolakbalik antara rumah dan ladang sawah. Klimaks cerita, atau momen krusial sebagaimana yang pembuat filem lihat, ada pada perjalanan ke pasar, titik di mana segala hasil jerih payah para petani ditukar dengan sejumlah uang, yang kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ironisnya, harga pasar yang tak menentu hanya menghasilkan cukup uang untuk melunasi kebutuhan-kebutuhan mendesak, sedikit sekali bahkan tidak ada yang tersisa untuk ditabung. Mereka pun kembali ke rumah untuk memulai siklus kerja serupa. Dalam Denok & Gareng, kita bisa melihat para protagonis bolak-balik ke kota untuk sejumlah pekerjaan sampingan: Gareng dan ibunya mengaisais bak sampah, Denok membuat berbagai produk kerajinan tangan. Untuk penghasilan tambahan, mereka mengurus peternakan babi di halaman rumah mereka, atau menjual perabot apapun yang ada di rumah mereka untuk melunasi apapun yang harus segera dilunasi, salah satunya uang sekolah anak. Pemetaan ruang-ruang kerja ini semakin menegaskan komitmen menyekolahkan anak tadi. Apabila hari ini habis di ladang-ladang dan pinggir jalan hanya untuk bertahan hidup, setidaknya kemakmuran hari esok bisa diusahakan lewat para penerus yang lebih terdidik, yang lebih ‘melek’ dengan cara dunia bekerja. Lagi-lagi ini asumsi, yang dirumuskan setelah melihat betapa abstraknya pegangan para orangtua dalam Negeri di Bawah Kabut serta Denok & Gareng. Para keluarga petani di Desa Genikan memegang kalender Jawa sebagai acuan siklus perubahan cuaca, sayangnya perangkat yang sama tak dapat menjelaskan perubahan iklim secara global akibat dari global warming. Mereka hanya bisa menelan rasa kecewa setiap melihat hasil panen yang jauh dari harapan. Begitu pula dengan pasutri Denok & Gareng. Gareng berteori: setiap jelang Lebaran, selalu saja ada perkara pelik yang menguras hasil kerjanya, dari kepergian bapaknya yang meninggalkan hutang hingga kecelakaan parah yang menimpa adiknya. Denok menyebutnya cobaan Allah, Gareng menamainya nasib buruk. Satu pertanyaan tersisa: di mana kontribusi negara terkait dengan aspirasi warganya akan kehidupan lebih baik? Nyaris absen, atau seperti guyonan ibu Gareng pada anaknya, “Pemerintah ya mengurusi orang-orang kaya dan berpendidikan, buat apa repot-repot mengurusi orang miskin sama orang bodoh.� Dalam kedua filem, negara paling banter hadir dalam 176


wujud janji kampanye, menyemai harapan-harapan di kalangan ekonomi bawah kalau situasi akan segera berubah. Nyatanya, yang berubah hanyalah biaya minimum kredit motor yang makin menurun, tapi pendidikan gratis yang terus-menerus disuarakan tak kunjung jadi nyata. Konsumsi didorong, kemasyalahatan khalayak tidak. Penggambaran peran negara dalam kesejahteraan rakyat ini, dalam kasus sinema Indonesia, menarik untuk ditarik lebih luas lagi. Narasi kemiskinan dalam sinema Indonesia masihlah tidak jauh-jauh dari perkara moral. Seakanakan dinamika kelas sosial, yang notabene ada dan terus bergejolak dalam tubuh masyarakat kita, bisa diselesaikan dengan penyesuaian moral dengan kebutuhan rezim (sewaktu Orde Baru) atau apapun yang dianggap baik oleh kelas menengah (selepas Orde Baru). Siapapun yang bertindak sesuai dengan konsensus moral yang ada, yang umumnya berarti hidup jujur, kerja keras, serta tunduk pada tuan dan Tuhan, pastilah ia akan keluar dari masalahnya dan naik kelas menjadi orang dengan harta berkecukupan. Contohnya banyak sekali sepanjang sejarah filem kita. Tahun 1970an semangat akhlak-baik-pangkal-kaya ini begitu kuat tercerap dalam filem-filem populer macam Yatim (1974), Sebatang Kara (1974), Jangan Biarkan Mereka Lapar (1975), Ratapan Si Miskin (1975), dan Nasib Si Miskin (1977). Pasca Reformasi semangat serupa kembali direproduksi dalam filem-filem seperti Rindu Purnama (2011), Rumah Tanpa Jendela (2011), dan filem-filem Islam pasca Ayat-Ayat Cinta (2008). Sejumlah faktor historis bisa dikemukakan untuk menjelaskan fenomena ini. Dekade 1970an adalah periode ketika pemerintah mendengungkan wacana pembangunan dan persatuan bangsa. Ingat, pada tahun 1969, pemerintah Orde Baru pertama kalinya memulai Rencana Pembangunan Lima Tahun. Pada periode yang sama, sensor filem kian diperketat, baik dalam perumusan maupun penerapan, sehingga filem diharapkan steril dari diskursus tentang konflik sosial. Ada pula tuntutan dari para intelek dan pengamat, termasuk di dalamnya dewan juri Festival Filem Indonesia, agar sinema Indonesia turut merespons kebobrokan sosial yang secara konkret ada di masyarakat. Perfileman nasional mengambil jalan tengah dengan memproduksi suatu mitos tentang mobilitas sosial. Melalui konflik moral yang protagonis hadapi, mobilitas sosial yang drastis menjadi sesuatu yang mungkin, sehingga segala konsepsi tentang perbedaan kelas hanya menjadi hambatan sementara yang protagonis dapat atasi. Dalam mitos tersebut, tidak ada istilahnya yang 177


kaya tambah kaya, yang miskin tambah sengsara. Bagi yang mau berusaha, semuanya akan setara pada akhirnya. Pada zamannya, mitos tersebut mudah diterima oleh kesadaran populer penonton Indonesia, dan tentunya oleh badan sensor. Rezim silih berganti, tapi Lembaga Sensor Filem tetap bertahan di ujung siklus produksi, yang pada prosesnya melanggengkan mitos mobilitas sosial dalam sinema Indonesia sampai sekarang. Fenomena ini jelas mengusik pikiran. Demokrasi paling riil di Indonesia saat ini adalah demokrasi produksi audiovisual. Teknologi digital memungkinkan generasi pembuat filem sekarang untuk menghasilkan gambar dan bentuk cerita apapun. Lebih pentingnya lagi, teknologi digital memungkinkan semua orang menjadi produsen, sebagaimana teknologi video di tahun 90an membuka akses produksi audiovisual, yang tadinya eksklusif milik industri dan sekolah filem, bagi siapapun di manapun. Di atas kertas, sinema kita seharusnya bisa menjadi cermin dari keragaman bangsa. Kenyataannya, yang terjadi malah sebaliknya.

Pada titik ini, kita bisa mengapresiasi kontribusi Negeri di Bawah Kabut dan Denok & Gareng bagi khazanah sinema Indonesia. Menonton kedua dokumenter ini akan mengingatkan kita kalau tantangan terbesar sinema Indonesia saat ini bukanlah menjadi orisinil, tapi menjadi otentik. Mitos mobilitas sosial hanyalah satu di antara jutaan perkara negeri ini yang belum terartikulasikan secara jujur oleh sinema kita. Yang perlu kita lakukan sekarang adalah merekam realita apa adanya.

j

178


Social Mobility for Beginners curator:

Adrian Jonathan Pasaribu

More than three years. That is the amount of time spent by the filmmakers of The Land Beneath the Fog and Denok & Gareng following their sources. In the former, Shalahuddin Siregar followed the daily lives of two peasant families in Genikan, who strive to endure through erratic climate changes. In the latter, Dwi Sujanti Nugraheni recorded the struggle of a couple of former street punks in Gamping, who try to raise their family on meager earnings from odd jobs and a small pig farm. Both films are set in Central Java, Indonesia, though the shooting locations are 42 kilometers apart. If we calculate the length of the road connecting Genikan and Gamping, we will get figures around 61 to 70 kilometers. Quite a distance. Such distance is also reflected in the stark contrast of lifestyle between the two villages. Genikan is a remote village on the slopes of Mount Merbabu, where most people live by farming, while Gamping is located just slightly outside of Yogyakarta, one of the relatively developed cities in Indonesia. Such geographical convenience provides more jobs, more means of survival, to the people of Gamping, along with the jobs and means of survival already available in their own village. Intriguingly, despite the distance in lifestyle and geographical location, the residents of Gamping and Genikan are connected by one similar problem: the need to send their children to school. In The Land Beneath the Fog, this issue is dominant throughout the latter half of the film. Arifin, an outstanding student in his class, wants to continue his 179


education to publick junior high school, but his parents are far from rich. Three hundred thousand Rupiah is too much for a farmer’s income. Arifin’s parents went around the village to look for a loan, which they didn’t get any since the other families were having the same shortcomings. The same issue is also present in Denok & Gareng. Minutes from the opening, we see the couple enraged after learning that their son has been skipping classes. The school tuition is not cheap, and their coffer is not exactly overflowing with gold coins. Moreover, they have to bear the burden of forty million Rupiah debt, ‘inherited’ from Gareng’s father whose whereabouts is currently unknown. The matter about children education is interesting to be explored further. We can perceive it as the popular imagination of the local community, some kind of common hope among the people. The parents in The Land Beneath the Fog and in Denok & Gareng are neither schooled nor educated, some even illiterate, but all of them are inexplicably commited to give their children education as good as possible, even if it puts more burden on their flailing economy. For what? No reason given, none of the filmmakers explore the matter further. One assumption we can make is that the parents see their children’s education as a guarantee for a better life in the future, however abstract that concept might be. This assumption could be formulated by dissecting the way the filmmakers present their movie. Everthing is up close and personal. The farthest distance between the audience with the protagonist is medium shot. The presence of the camera was somewhat invisible for their subjects, or rather they were used to having cameras around them given the sufficient length of time to research of each filmmaker. No voiceovers, no complicated statistics, only records of the subjects’ daily lives. Of these close observations, we could map out the spaces that make up these workers lives; all of them are tied to the urgent need to survive. This is the unifying thread of both films. The protagonists are workers who commute and occupy their workspace to ensure their life, while their necessities become a neverending cycle of bills that comes in different names. There is no way out, no opportunity to move up to a better standard of living. 180


In The Land Beneath the Fog, we found the farmers go back and forth between their homes and paddy fields. The climax of the story, or the most crucial moment that filmmaker pick in their struggle, is the trip to the market, where the farmers exchange the fruits of their labor with a sum of money, which was then used to pay their bills. Ironically, the fluctuating market values result in just enough money to pay their short-term needs, very little even none left to be saved for long-term needs. In Denok & Gareng, the protagonist commutes to the city for numerous low-end jobs: Gareng and his mother scavenge the garbage dumps, while Denok make various handicrafts. For additional income, they take care of their small pig farm in the backyard of their home, or sell whatever left in their house to pay whatever that must be paid, one of them was the children’s school fees. This mapping of work spaces further affirmed the parents’ commitment to their children’s education mentioned earlier. If the present days were spent working on the fields and roadsides just to survive, at least the coming days would not be so bad since their successors are more educated, more ‘literate’ in the way the world works. Again, this is only an assumption, formulated after seeing the abstract guide those parents hold to get by through life. The peasants in Genikan use Javanese calendar as reference for the cycle of weather changes, unfortunately the same calendar could not explain the climate change happening globally due to global warming. They could only swallow their disappointment seeing their crop way below their expectation. Similar things could be said about the titular couple in Denok & Gareng. Gareng theorized: in the weeks leading to Idul Fitri, a disaster would strike his family, draining the money out of their coffers, undoing hours of hard work they have committed. This is what happens in the last four years of Gareng’s life, from the much-lamented departure of his father to a severe motorcycle accident that befell his brother. For Denok, this is a test from God. For Gareng, this is bad luck. One question remains: where is the contribution of the state regarding the aspiration of its citizens for better life? Almost absent, or as Gareng’s mother joked to her son, “Government only cares about the rich and the educated, why bother dealing with the poor and the 181


uneducated?” In both films, the state’s present only comes in the form of countless promises of political campaigns, planting false hopes amongst lower-class people that situation would soon improve. In fact, the only concrete change happening is the decrease of minimum credit payment to purchase a motorcycle, while the oft-promised free education never come into realization. Consumption encouraged, public welfare not. The portrayal of the state’s role in public welfare, in the case of Indonesian cinema, is intriguing to be pursued further. Indonesian cinema tends to treat poverty as moral issues, as if the dynamics of social classes, which is actually there and still happening throughout Indonesian society, can be solved with moral adjustment to the needs of the regime (during the reign of Soeharto’s regime) or anything considered acceptable by the bourgeois (after the fall of Soeharto’s regime). Anyone who acts in accordance with the moral consensus, which generally means living an honest life, hard working, and following the rules of the landlord and Lord Almighty, would come out of the problem, move upward in the social ladder, and live a prosperous life. Many examples can be found throughout Indonesian film history. In 1970s this overtly moralistic solution to poverty could be found in popular films such as Yatim (Orphans, 1973), Sebatang Kara (Alone, 1973), Jangan Biarkan Mereka Lapar (Don’t Let Them Go Hungry, 1974), Ratapan Si Miskin (The Poor’s Lament, 1975), and Nasib Si Miskin (The Fate of the Poor, 1977). The similar spirit was again reproduced in postreformation films such as Rindu Purnama (Rindu and Purnama, 2011), Rumah Tanpa Jendela (House Without Windows, 2011), and Islamic films after Ayat-Ayat Cinta (Verses of Love, 2008). Several historical factors could be cited as explanations regarding this phenomenon. 1970s was a period when the government launched the discourse of development and national unity. We must remember in 1969, when the first time the New Order government was starting the Five-Year Development Plan. In the same period, film censorship was increasingly tighter, both in the formulation and implementation, so that film was expected to be free from discourse about social conflict. There were also demands from the intellect and the observer, including the Indonesian Film festival jury, so that Indonesian cinema could also 182


respond to social decadence which concretely happened amongst the society. The national film scene took the middle way by producing a myth of social mobility. Through moral conflict that the protagonists had to face, the drastic change of social mobility might happen, therefore any conception of class differences only be a temporary obstacle that the protagonist can overcome. In that kind of myth, there was no such thing as the rich becomes richer, the poor becomes poorer. For those willing to try and be good, everthing will be equal eventually. In its heyday, the myth was easily accepted by popular consciousness of the Indonesian audience, and of course by the censors. Regimes come and go, National Censorship Board remains at the end of the production cycle, ensuring the perpetuation of the social mobility myth in Indonesian cinema until now. This phenomenon is certainly ridiculous and needs to be addressed soon. The most real democracy in Indonesia at the moment is the democracy of audiovisual production. Digital technology now allows the generation of filmmakers to produce any kind of images and stories. More importantly, digital technology allows everyone to be content producer or filmmaker, as video technology in the 90s opened access to audiovisual production, which was previously exclusive to the film industry and schools, to anyone anywhere. On paper, our cinema should be able to reflect the reality and diversity of Indonesia. Somehow, the opposite happened. At this point, we can truly appreciate the contribution of The Land Beneath the Fog and Denok & Gareng to the repertoire of Indonesian cinema. Both documentaries remind us that the ultimate challenge of Indonesian cinema at the moment is not originality, but authenticity. The social mobility myth is just one among millions of things in Indonesia that has not been articulated truthfully by our cinema. What we need to do now is to capture reality as it is.

j 183


supported by the filmmaker

Country of Production: Indonesia Language: Javanese, Bahasa Indonesia Subtitles: English 89 min, Color, 2012

Denok & Gareng

Dwi Sujanti Nugraheni (Indonesia) Berhadapan dengan rentetan harapan, rencana, dan kegagalan secara terus-menerus, mantan anak-anak jalanan, Denok dan Gareng bersatu demi memperjuangkan kesuksesan di masa depan. Pasangan muda ini mencoba peruntungan mereka dengan memulai bisnis kecil penjualan babi di tengah masyarakat Jakarta yang mayoritas Muslim. Lewat berbagai tantangan yang menguji kesabaran dan keyakinan mereka. Filem ini melakukan eksplorasi terhadap kemampuan sebuah keluarga untuk bersatu, berjuang, dan tertawa bersama di hadapan nasib serupa Sisyphus dalam mitologi Yunani.

In the constant stream of hoping, failing and making new plans, Denok and Gareng stay united in their passionate struggle to make it up the hill one day. In the modest house of Gareng’s mum, the young Muslim couple starts a small pig business, looking for the lucky streak to come over the family. But new challenges constantly arise, putting their cheerfulness and patience on trial. In an entirely observational approach Denok & Gareng explores a strong loving relationship inside a strikingly vivid family that sticks together, fights back and laughs, about what others would call a Sisyphus fate.

Dwi Sujanti Nugraheni bergiat sebagai sukarelawan pelayanan kesehatan untuk anak jalanan sejak beberapa tahun lalu, dan pernah bergabung dengan UNESCO untuk hal yang sama. Sekarang ia masih kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Kerja sebagai periset, pegiat alam, dan juga pembuat filem independen.

184

Dwi Sujanti Nugraheni a volunteer for a street children health service since 5 year ago, and ever join as a volunteer for the program of the UNESCO. Now she still study in Gadjah Mada University. Works as researcher, mountaineering, and also an independen filemmaker.


supported by the filmmaker

Country of Production: Indonesia Language: Bahasa Indonesia Subtitles: English 105 min, Color, 2011

Negeri di Bawah Kabut (The Land Beneath the Fog) Shalahudin Siregar (Indonesia)

Di sebuah desa di lereng gunung, sebuah komunitas diam-diam sedang menghadapi perubahan tanpa mengerti alasannya. Sebagai komunitas petani yang mengandalkan sistem kalender tradisional Jawa dalam membaca musim, mereka dibuat bingung oleh musim yang sedang berubah. Melalui kehidupan sehari-hari dua keluarga petani, Negeri di Bawah Kabut membawa kita melihat lebih dekat bagaimana perubahan musim, pendidikan dan kemiskinan saling berkaitan satu sama lain.

In the rhythm of a slow visual journey The Land Beneath the Fog takes an intimate look a family relations in Genikan -a remote mountain village on the Merbabu slope (Central Java). A quiet community is facing change without understanding why it happens. As a community of farmers who relies on the traditional Javanese calendar system to read the seasons, they become puzzled by the dramatic change of seasons. Describing a life on the brink of vanishing, this documentary offers deep insights into “an invisible and disenfranchised society� which is struggling hard to maintain its existence

Shalahuddin Siregar Memulai karirnya ketika menjadi finalis Eagle Award tahun 2005. Setelah itu dia mengembangkan kemampuannya dengan mengikuti beberapa workshop, antara lain Jiffest Script Development 2005. Pada tahun 2009 dia menjadi wakil Indonesia dalam Doc Station Berlinale Talent Campus, sebuah workshop dalam rangkaian festival filem Berlinale yang diadakan di Berlin – Jerman. Negeri di Bawah Kabut adalah filem dokumenter panjang pertamanya.

Shalahuddin Siregar started his career in documentary flmmaking as a finalist of Eagle Award 2005. From then on he keeps his passion for documentary flmmaking by attending several workshops and festivals. In 2005 he was an observer for Script Development Jakarta International Film festival. In 2009 he was selected as participant in the 7th Berlinale Talent Campus, an annual workshop for young and promising lmmaker held in Berlin, Germany. The Land Beneath the Fog, is his feature documentary.

185


Agenda: 27/8, kineforum

Dokumenter Kreatif dan Figurasi Ruang kurator:

Makbul Mubarak

Dalam beberapa dokumenter yang diprakarsainya, Forum Lenteng kerap berusaha keluar dari pakem dokumenter dengan subjek manusia yang bulat, atau dengan struktur yang menekankan pada naik-turun alur drama. Dua yang menjadi konsentrasi program ini adalah Dongeng Rangkas dan Naga Yang Berjalan Di Atas Air, dokumenter yang dibuat atas kerjasama antara Forum Lenteng dengan komunitas setempat, dengan Saijah Forum dalam Dongeng Rangkas, dengan Komunitas Djuanda dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air. Dongeng Rangkas memotret terik-gigil kehidupan di kota kecil Rangkasbitung, 120 km dari Jakarta. Selain bingkai konseptualnya sebagai penyedot partisipasi masyarakat dalam permediaan, Dongeng Rangkas juga menyertakan komponen praktikalnya, sebagai pemotret ruang pinggiran setelah 10 tahun Suharto lengser; detik yang diyakini sebagai penanda perubahan di segala lini. Hal yang sama terjadi dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air, dimana yang menjadi konsentrasi adalah kelenteng sebagai ruang temu sosial. Koh Liong yang diwawancarai berfungsi sebagai semacam personifikasi kelenteng yang telah menjadi 186


tuan rumah bisu bagi tak terhitung sudah pengunjung. Yang menarik, terlontar pula pertanyaan mengenai peristiwa 98, sesuatu yang juga menjadi penting dalam Dongeng Rangkas. Dua hal penting yang diangkat oleh kedua dokumenter ini adalah keterpinggiran. Dongeng Rangkas mengangkat kota-kota pinggiran dan seberapa ia dipengaruhi, atau tidak dipengaruhi, oleh kejadian-kejadian revolusioner yang terjadi di pusat. Sementara Naga Yang Berjalan Di Atas Air mengaduk keterpinggiran itu ke sebuah ruang yang lebih sempit dan spesifik: kelenteng yang menampung narasi tentang pasangan pinggiran: Koh Liong dan Istrinya; tentang etnis pinggiran: etnis Tionghoa yang alih-alih digambarkan sebagai etnis kalem yang rajin berdagang, malah digambarkan sebagai etnis yang sama saja dengan etnis manapun di nusantara ini sepanjang ia ditempatkan dalam ruang sosialnya masing-masing. Sisi dokumenter kreatif yang dipilih oleh teman-teman di Forum Lenteng tidak pernah terlepas dari acuan-acuan visual yang mereka gunakan. Sejak proses produksi hingga ke detil pengambilan gambar, selalu ada saat yang mengingatkan kita pada corak khas pengambilan gambar dalam karya-karya kanon fiksi dunia. Ini bukan serta-merta menyamaratakan karya-karya Forum Lenteng dengan kanon dunia itu, melainkan untuk menjelaskan bahwa Forum Lenteng adalah komunitas yang sadar pada bahaya produksi yang tuna acuan. Mereka mementingkan produksi pada tingkatan yang sama dengan perhatian mereka atas literasi. Memang inilah yang menjadi tulang punggung estetika dokumenter kreatif, dimana informasi bukanlah saja sekedar bongkahan-bongkahan mentah dengan narator orang ketiga dan narasumber lainnya, melainkan juga terbungkus rapih dalam teknik penyampaian khas sinema, sebagai sebuah pemberdayaan maksimal atas kemungkinan mediumnya. Hal penting lain dari dua dokumenter ini adalah penekanannya pada ruang. Ruang senantiasa dipotret sebagai ruang arsitektur sosial yang spesifik dan penuh makna yang belum sempat terbaca. Uniknya, pemotretan ruang yang dilakukan dalam kedua dokumenter ini tidak pernah terlepas dari orang-orang yang menghuninya, itulah kenapa saya sebut ruang pemotretan ini sebagai ruang arsitektur sosial. Dalam Dongeng Rangkas, Iron dan Kiwong dipinjam sebagai Orang Rangkas, dua subjek yang keberadaan dan kemengadaannya senantiasa dipengaruhi 187


oleh tekstur sosial di sekitarnya. Hal-hal yang dilakukan oleh Iron dan Kiwong (metal satu jari, dagangan tahu, dsb) adalah hasil interaksi antara ruang arsitektur berupa kota Rangkas dan orang-orang sosial yang menghuninya. Demikian pula dalam Naga Yang Berjalan Di Atas Air, ruang arsitektur berupa kelenteng dipotret melalui pengalaman orang-orang yang meninggalinya: Koh Liong dan istrinya, serta orangorang yang bolak-balik mengunjungi kelenteng. Dalam kelenteng itu tidak melulu berfokus pada ruang transenden antara manusia dan tuhan, tetapi lebih banyak membidik interaksi yang dimungkinkan oleh ruang arsitektur sosial seperti kelenteng tersebut. Yang diupayakan oleh Dongeng Rangkas dan Naga Yang Berjalan Di Atas Air di sini bukanlah semata representasi ruang yang disampaikan dalam bentuk informasi telanjang, bukan pula presentasi yang sekedar bertumpu pada bentuk penyampaian, melainkan adalah figurasi ruang, sebuah upaya untuk melahirkan kembali ruang dalam konteks kemeruangannya, sebuah upaya pemaknaan baru lewat bukti-bukti yang bersifat segera dan sehari-hari dalam rangka figurasi tiga aspek paling penting tentang ruang: bagaimana ia dibaca, bagaimana ia diterima, dan bagaimana ia hidup dan dihidupi. Dokumenter kreatif dan figurasi ruang adalah persimpangan konseptual antara bentuk penyampaian dan pembacaan baru atas ruang-ruang yang tidak sekedar berhenti pada permasalahaan konten representasi dan presentasi, melainkan bermain dengan bingkainya, melampaui konsep-konsepnya untuk melahirkan makna ruang sebagai arsitektur sosial lewat tangkapan gambar yang dibidik secara kini.

j

188


Creative Documentary and Spatial Figuration curator:

Makbul Mubarak

In documentary films they initiated, Forum Lenteng always did experimentation on narrative possibility with human as a given subject, or with a structure which emphasized on the up and down dramatic flow. Two films in this program is Rangkasbitung: A Piece of Tale and The Dragon Who Walks on the Water. Both were made in collaboration between Forum Lenteng and the local community. Rangkasbitus: A Piece of Tale with Saidjah Forum, while The Dragon Who Walks on the Water was with Komunitas Djuanda. Rangkasbitung: A Piece of Tale is a protrait of struggling lives in a small town, Rangkasbitung, located 120 km out of Jakarta. Besides its conceptual frame to atract local community in media literacy participation, Rangkasbitung: A Piece of Tale also includes its practical component as a ‘photographer’ of suburban space after Suharto’s resignation 10 years ago; a moment which is believed to be the mark of change in all aspect. The same thing happens in The Dragon Who Walks on the Water, where it’s concentrating on a temple which becomes a social meeting space. The interlocutor is Koh Liong whom serves as a sort of personification of the temple which has been the silent witness and has hosted countless visitors. Interestingly, there is a question about the 1998 tragedy being asked, something that also important in Rangkas Fables. Two important points raised by both documentaries are about marginalization. Rangkasbitung: A Piece of Tale exposes the life in suburban towns and how it is affected or not affected, by revolutionary 189


events that occurred in the capital city. While The Dragon Who Walks on the Water stirs that marginalization into a narrower space and more specific: the temple that holds the narrative of a suburban couple: Koh Liong and his wife; about an ethnic group in a suburb: Chinese people whom portrayed similar to any other ethnic anywhere in this archipelago as long they were placed in a certain social space, instead as an ethnic that is calm and as proficient in selling goods. The creative documentary endeavour shown by Forum Lenteng is never apart from visual references they use. Since the production process to the minutiae detail of shooting the images, there is always a moment that reminds us of the distinctive style from the canonical world fiction cinema. This is not necessarily to generalize Forum Lenteng works with the world’s canons, but rather to explain that Forum Lenteng is a community that aware of the dangers of producing film without reference. They are concerned with their works on the same level with their attention on literacy. Indeed that is the backbone of creative documentary aesthetics, where information is not only formed by raw chunks of data or third person narrator and other sources, but also wrapped neatly in particular cinematic language, to maximize the possibility of the medium. Another important point of both documentaries is the emphasis on space. Space is always portrayed as a specific social architecture and full of meaning which hasn’t been read yet. Interestingly, the portrayal in these documentaries is never separated from the people who inhabit it, that’s why I call this kind of portrayal as a social architectural space. In Rangkasbitung: A Piece of Tale, Iron and Kiwong were assigned as Rangkas people, two subjects whose existence are always influenced by the surrounding social texture. Actions that are done by Iron and Kiwong (one-finger metal, selling tofu, etc.) are the result of interaction between architectural space which is Rangkas the small town and societies who inhabit it. Similarly in The Dragon Who Walks on the Water, the temple as architectural space is photographed through experiences of the people who inhabit it: Koh Liong and his wife, as well as people who come and visit the temple. The focus was not only on the transcendence space inside the temple between the human and the divine soul, but more 190


targeting on interaction made possible ​​ by social architectural space such as that temple. What pursued in Rangkasbitung: A Piece of Tale and The Dragon Who Walks on the Water is neither merely a spatial representation presented in a form of stark realism, nor a mere presentation rests on its cinematic form, but in spatial figuration, an attempt to give birth again of space in spatial context, a new effort of defining through immediate and daily evidence in terms of three most important aspects of spatial figuration: how it should be read, how it is received, and how it lives and inhabited. Creative documentary and spatial figuration is the conceptual intersection between the cinematic form and the new reading of the spaces which does not simply stop at content representation and presentation matter, but being playful with the frame, beyond its concepts to define the meaning of space as social architectural entity through the contemporaneity of the captured images.

j

191


Country of Production: Indonesia Language: Sundanese, Bahasa Indonesia Subtitles: English 75 min, Color, 2011

Dongeng Rangkas (Rangkasbitung: A Piece of Tale)

Andang Kelana, Badrul Munir, Fuad Fauji, Hafiz, Syaiful Anwar (Indonesia) Filem ini berusaha memotret Rangkasbitung dari aktivitas-aktivitas masyarakat yang diwakili oleh sosok dua orang penjual tahu; Kiwong dan Iron. Dua tokoh ini dapat dianalogikan sebagai potret dua pemuda yang hidup paska Reformasi 1998 yang hidup di sebuah kota berjarak 120 Km dari ibu kota Jakarta. Kota yang menjadi terkenal oleh buku Multatuli itu, sepertinya begitu lambat tumbuh, di antara hingar-bingar pembangunan paska Reformasi. Kiwong dan Iron adalah dua pemuda sederhana yang memilih hidup sebagai Pedagang Tahu, sementara mimpi-mimpinya tetap dipegang teguh. Kiwong bermimpi menjadi pemuda yang lebih baik, yang menjadikan keluarga hidup lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan Iron, percaya musik adalah anugrah dari Tuhan, dan ia ingin terus mengembangkan fantasi musiknya di jalur ‘underground’.

192

Rangkasbitung: A Piece of Tale is a piece of story which has been taken from two young men from Rangkasbitung – it’s a small town which has a distance 120 kilometer’s from the capital city of Jakarata. Kiwong and Iron have a profession as a tofu sellers. Kiwong sells tofu in the economy train of Rangkasbitung to Jakarta while Iron sells the fresh tofu in the traditional Rangkasbitung market. Those character are portraits of young generation from post Reformation in 1998 where Indonesia was a country which had been reigned by military regime before, and turn to be a large democration country in the world. That transformation of the social politic had been impacted to Kiwong and Iron. Kiwong was a young man who graduated from Muslim school and a crackerjack who lived in the street in Jakarta. He still believes to the tradition of Banten’s “whiz”, it’s a magic power and physical which he has believed in overcoming his problems. Meanwhile, Kiwong has chose a profesion as a tofu seller in the train that thought it’s better for him. He hopes he will live better for his family.


Fuad Fauji dilahirkan di Lebak, 10 Maret 1983. Fuad Fauji menetap di Forum Lenteng Jakarta sebagai periset dan penulis seni rupa. Tahun 2005 ia dan kawan-kawan lainnya terlibat mendirikan Saidjah Forum. Sekarang bekerja di Galeri Nasional Indonesia.

Fuad Fauji was born in Lebak-West Java, 1983. Active as Forum Lenteng member and works as a researcher and art writer. In 2005 he co-founded Saidjah Forum alongside his friends. Now he work in National Gallery of Indonesia.

Badrul Munir dilahirkan pada 16 April 1978. Menyelesaikan studi Hubungan Masyarakat di LP3I tahun 2000 dan studi Ilmu Dakwah di STITDA - Lebak tahun 2008-2009. Pengajar ilmu Bahasa Inggris di STKIP Banten & STIB Pandeglang ini merupakan pelopor musik underground di Lebak, terutama di Kitarung Underground sejak tahun 1997-98.

Badrul Munir was born at April 16th, 1978. He finished his study at LP3I majoring Public Relations in 2000, was born in Lebak in 16th of April in 1978. He graduated from Public Relation study in LP3I (2000) and Study of Speech Science in STTIDA – Lebak in 20082009. He was a pioneer of underground music in Lebak, especially in Kitarung Underground since 1997-1998.

Andang Kelana lahir di Jakarta, 1983. Seniman, desainer grafis & web, pendiri Forum Lenteng, Sekretaris-Jenderal Forum Lenteng. Menempuh pendidikan periklanan di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta. Saat ini, bekerja sebagai ketua Jakarta 32ºC.

Andang Kelana Was born in Jakarta 1983. Artist, graphic & web designer, co-founder Forum Lenteng and Secretary-General at Forum Lenteng. Studied Advertising at Institute of Social and Political Science Jakarta. Now, he is Chairman of Jakarta 32ºC (Jakarta Student Biennale).

Syaiful Anwar dilahirkan di Jakarta pada 1983. Ia menyelesaikan Strata 1 ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun 2011, karya videonya menjadi salah satu pemenang kompetisi seni media yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Filem, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Aktif sebagai anggota dan Koordinator Produksi Forum Lenteng, ia juga membuat filem. Karya terbarunya adalah filem dokumenter feature: Elesan deq a Tutuq.

Syaiful Anwar was born in Jakarta, 1983. He finished his study at Institute of Social and Political Science, Jakarta in 2007. In 2011, one of his video work won in Media Art Competition held by Indonesia Ministry of Culture and Tourism. Active as Member and Production Coordinator Forum Lenteng, he also directing filems. His current filem is: Elesan deq a Tutuq, a feature documentary.

Lahir di Pekanbaru, 1971. Seniman, kurator, pendiri Forum Lenteng dan Raungrupa Jakarta, Chief Editor www.jurnalfootage.net. Menempuh pendidikan seni murni di Institut Kesenian Jakarta. Direktur Artistik OK.Video Jakarta International Video Festival (2003-2011). Saat ini, Hafiz menjabat sebagai Ketua Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta.

Born in Pekanbaru 1971. Artist, curator, co-founder of Forum Lenteng and Ruangrupa Jakarta, Chief Editor of jurnalfootage.net. Studied fine arts at Jakarta Institute of Arts. Artistic Director OK.Video Jakarta International Video Festival (2003-2011).Since 2013, Hafiz is The Head Commisioner of Visual Arts at Jakarta Arts Council.

193


Country of Production: Indonesia Language: Bahasa Indonesia Subtitles: English 115 min, Color, 2012

Naga Yang Berjalan Di Atas Air Otty Widasari (Indonesia)

Sebuah cerita kecil dari perbatasan Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bogor, di mana hiduplah Kang Sui Liong, sang penjaga kuil, bersama istri dan anak-anaknya. Zaman berganti. Kang Sui Liong menjadi saksi kejayaan kaum Cina Benteng yang hidup dari hilir di Tangerang ke hulu di Bogor, hingga proses asimilasi menghitamkan kulit mereka. Di kala hari telah senja, Kang Sui Liong duduk termangu di persimpangan jalan, bertanya pada dirinya sendiri, akan di bawa ke mana tradisi warisan leluhur ini kelak.

A story about the life in a Chinese temple at the border between the city of Tangerang and Bogor. The protagonist is Kang Sui Liong, a 73-year-old guardian of the temple with his family members. As the time goes by, Kang Sui Liong is also an eyewitness of the glory of the Chinese Benteng community in that area who live across the Cisadane River. The temple is a place for people to get blessed and spiritual escapism, which left Kang Sui Liong questioned himself, where the tradition of the heritage will be led to.

Lahir di Balikpapan 1973. Seniman, penulis, sutradara filem, pendiri Forum Lenteng dan koordinator Pemberdayaan Media, akumassa. Pernah kuliah Jurnalistik di Institut Ilmu Sosial dan Politik (IISIP) Jakarta dan lulus Seni Murni di Institut Kesenian Jakarta. Pimpinan Redaksi www.akumassa.org (2008-2013). Di ARKIPEL sebagai Kurator Program dan Juri.

194

Born in Balikpapan 1973. Artist, writer, filem director, co-founder of Forum Lenteng and Coordinator of Media Literacy, akumassa. Studied Journalism at Institute of Social and Political Science Jakarta and Fine Arts graduated at Jakarta Institute of Arts (IKJ). Chief Editor www.akumassa.org (2008-2013). Program Curator and Jury of ARKIPEL.


195


program:

Penayangan Khusus

196


program:

Special Screening

197


Agenda: 28/8, kineforum

supported by the filmmaker & Deckert Distribution GMBH

83 min, Color, 2012 editing: Danniel Danniel sound design: Mark Glynne produced: Diego Gutiérrez & BONANZA FilmS with the support of: DocLab of the Binger FilmLab financed by: Fondo para la producción cinematográfica de calidad FOPROCINE (México)

Partes de una Familia (Parts of a Family) Diego Gutiérrez (México)

Partes de una Familia adalah sebuah kisah cinta universal berikut suka dukanya. Apa yang tersisa ketika gairah cinta yang tadinya begitu besar perlahan-lahan memudar? Apa ada yang tersisa dari kehidupan selama bertahun-tahun yang telah dilalui bersama? Gonzalo dan Gina Gutierrez hidup di dunia mereka sendiri, sebuah villa besar seluas 4.000 meter persegi, dekat Mexico City. Dinding dengan kawat berduri mengasingkan mereka dari dunia di luar sana. Pembuat filem ini, Diego Gutierrez, adalah putra mereka yang akan bercerita tentang kisah kedua orang tuanya tersebut. Lima puluh tahun yang lalu Gonzalo melamar Gina setelah satu minggu berpacaran. Mereka menikah dua bulan setelahnya. Karir Gonzalo mulai menanjak sebagai dokter saat itu, dan Gina yang mengurus anak dan rumah bersama dengan pengasuh anak dan pembantu-pembantu lainnya. Gonzalo baru saja pensiun dan akhirnya menemukan panggilan jiwanya: yaitu menulis. Sebental lagi Gonzalo akan menginjak umur 80 tahun dan ingin merayakannya dengan terjun menggunakan parasut. Gina merasa kesepian, lelah dan marah. Gonzalo menjalani hidupnya sendiri tanpa memedulikan Gina lagi. Dia tidak lagi bisa melihat pentingnya Gina dalam menjalankan rumah tangga dan dia tidak pernah mengajak Gina jalan-jalan keluar. Gina terlalu takut untuk meninggalkan villa itu seorang sendiri. Rasa benci di antara keduanya menjadi semakin nyata. Pondok tetirah mereka terasa seperti penjara sekarang, dan menjadi medan “perang dingin” keduanya. Tapi apakah ada harapan untuk mereka kembali seperti sedia kala?

198


Diego Gutiérrez adalah seorang perupa, sutradara filem, dan juru kamera. Dia belajar seni rupa di UNAM Mexico City dan selanjutnya mengikuti dua tahun program residensi di Rijksakademie van Beeldende Kunsten dan program Doc Lab di Binger Filemlab di kota Amsterdam, Belanda.

Diego Gutiérrez is a visual artist, film director and cameraman. He studied visual Arts at the UNAM in Mexico City and later on made a two years residency at the Rijksakademie van Beeldende Kunsten and at the Doc Lab at the Binger Filmlab in Amsterdam, The Netherlands.

Tahun 1998 ia mendirikan “el despacho”; sebuah organisasi inisiatif seniman yang terletak di Mexico City dan Amsterdam. Organisasi ini tertarik menghubungkan para perupa dan orangorang dari disiplin ilmu yang lain untuk membuat filem dokumenter dengan cara alternatif, yaitu proses formal yang menyenangkan. Sejak tahun 1998, Gutierrez telah mengadakan workshop proyek filem dokumenter beberapa kali dan juga pernah melakukan kolaborasi penyutradaraan dengan beberapa pembuat filem dan perupa seperti Kees Hin, Yael Bartana, Sebastián Díaz Morales, dan Linda Bannink.

In 1998 he founded “el despacho”; an artist initiative based in Mexico City and Amsterdam interested in relating visual artists and people from other disciplines with an alternative way of making documentary films by means of playful formative processes. Since 1998 Gutierrez has coordinated numerous documentary-workshop film projects and has co-directed together with other filmmakers and visual artists such as Kees Hin, Yael Bartana, Sebastián Díaz Morales, and Linda Bannink.

Parts of a Family is a bittersweet and universal love story. What stays behind when the great passion of being in love has slowly faded away, and the years have been passing by? Gonzalo and Gina Gutierrez live in a world of their own; a huge villa on a 4.000 square meter estate, near Mexico City. Walls with barbed wire keep the outside world far away. It’s their son, filmmaker Diego Gutierrez who tells their story. Fifty years ago Gonzalo proposed to Gina after one week of dating. They got married after two months. Gonzalo developed a blooming career as a doctor; Gina took care of the children and the house, together with her nanny and other servants. Gonzalo just retired and claims he has finally discovered his real vocation: writing. He’s about to become 80 and wants to celebrate this with jumping with a parachute. Gina feels lonely, tired and angry. Gonzalo lives his own life without taking her into account. He does not see her value in running the house and he never takes her out. She is too scared to leave the property on her own. The underlying resentment between them becomes more tangible. Their safe haven has paradoxically become their prison, their “cold war” battlefield, it seems. But is there a chance they’ll find each other back?

199


Forgotten Tenor: Ada Nostalgia dalam Setiap Jumpa. curator:

Dag Yngvesson

Saya cukup beruntung untuk bisa mengenal dengan baik Abraham Ravett, seorang pembuat filem, seorang teman, pembimbing dan profesor saya, yang saya ikut bantu dalam proses perekaman dan penyuntingan gambar dalam proses pembuatan karya terbarunya,. Proyek itu adalah “Blues and The Abstract Truth” yang fokus pada proses rekaman musik jazz terkenal pada awal 1960an, membawa kembali ingatan ke salah satu filem Abraham Ravett favorit saya yaitu Forgotten Tenor (1994), yang saya pilih menjadi salah satu program di ARKIPEL. Filem ini juga bercerita mengenai dunia Jazz, tentang masa akhir kehidupan seorang pemain saxofon yang ‘terlupakan,’ Wardell Gray (1921-1955). Namun hubungannya bukan sekedar antara dua filem yang terhubung dengan jenis musik tertentu, dimana proses pembuatan karya yang baru menjadi pengingat akan karya sebelumnya, yang sudah kita rekam, dan menghubungi narasumber yang potensial untuk filem yang lebih baru, mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat menjelaskan proses pembuatan album, para musisi, khususnya komposer Oliver Nelson – dan konteks sosial, sejarah, dan musik yang ada di sekitar mereka. Dalam Forgotten Tenor, beberapa narasumber potensial yang kami hubungi terlihat keberatan untuk berbagi kisah mereka, dengan berbagai alasan seperti : sudah lama dan sudah lupa tentang informasi yang seharusnya punya nilai penting. Namun apa untungnya buat mereka? Mengapa mereka harus menolong orang asing untuk ‘menghasilkan uang’ 200


berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan tanpa kompensasi yang menjanjikan? Siapa Abraham? Dan mengapa tiba-tiba ada ketertarikan dengan sebuah album yang diproduksi lima puluh tahun yang lalu? Berikut adalah jawaban Abraham terhadap pertanyaanpertanyaan itu yang membuat saya membuat saya ingat akan karya-karya Abraham sebelumnya. Dia sering berkata kepada narasumber yang akan diwawancara maupun yang berkeberatan: “Saya hanya ingin kamu ada dalam filem saya.” Pernyataan yang terkesan sederhana namun secara implisit mampu mengidentifikasi memori, dan tujuan mewawancara itu sendiri, tiada lain sebagai rangkaian fakta mengenai masa lalu yang dapat dimasukkan ke dalam filem untuk memberikan legitimasi, atau sebagai akses ke kebenaran sejarah yang otentik dan tunggal. Selanjutnya, Abraham menyarankan sesuatu yang berbeda, sesuatu yang dimulai dengan kehadiran : pertemuan. Apa yang pada akhirnya diberikan, kemudian, akan berkembang melalui pertemuan ini, saat dimana pembuat filem dan yang diwawancara melakukan ‘pertukaran’, dimana hasil, isi, atau nilai akan sulit untuk ditetapkan. Apa yang akhirnya benar terjadi, dalam kasus ini, mungkin sesederhana pertemuan itu terjadi, partisipasi kedua pihak menunjukkan ketertarikan dalam proses mengingat dan merekonstruksi sejarah tertentu. Partisipasi mereka terutama yang tertarik dalam ‘menjual’ fakta tidak lebih penting dibanding eksplorasi sejarah yang dilakukan oleh Abraham Ravett ini, mereka yang setuju untuk bertemu, walaupun masih menyimpan banyak keraguan, berpotensi menyediakan kesempatan bukan hanya sejarah itu sendiri, tetapi membuat sejarah, dan munculnya perkembangan yang kompleks, sosial, pribadi, ekonomi dan sebaliknya— mengarahkan dan penataan pertukaran informasi dan proses mengingat. Mengenai pernyataan Abraham, saya berpendapat, hal itu menjadi salah satu kunci, struktur, dan tekhnik metodologis kedua filemnya baik Forgotten Tenor maupun yang akan datang Blues and The Abstract Truth. Ini juga isyarat salah satu cara dimana ketegangan menghasilkan keberhasilan atau kegagalan dalam mengingat, dan dengan demikian, dalam banyak hal, filem itu sendiri, dalam pertaruhan dalam dinamika setiap pertemuannya, dan hasilnya tidak berarti terjamin. Dalam menceritakan adegan di Forgotten Tenor, Ravett mewawancarai Dorothy Gray, salah satu dari mantan istri subjek utama 201


filem ini, yaitu almarhum Wardell Gray. Saat ibu Gray telah setuju untuk bicara di depan kamera, jelas dia sudah mengajukan beberapa syarat, menggunakan rekaman suara dari diskusi mereka (dibalik layar hitam dengan tulisan kontekstual) sebelum wawancara itu sendiri dimulai, Ravett mengedit tekanan ini: mungkin dia sedikit gugup dengan kemampuannya untuk mengingat dan mengekspresikan dirinya dengan jelas dalam situasi yang formal. Mungkin juga dia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak mengungkap dirinya terlalu banyak. Saat percakapan di filem dimulai, ibu Gray memegang satu seri kartu catatan yang mana terlihat tulisan dari pertanyaan-pertanyaan yang sudah disediakan Abraham, bersama dengan pertanyaan yang sudah dia siapkan terlebih dahulu untuknya. Kamera memasukan kartu-kartu itu kedalam adegan, melatari tiap pergantian. Dia mulai membaca dari kartu, membaliknya satu persatu, mendeskripsikan almarhum suaminya dengan: “menarik, rajin, lucu.. seorang pemasak yang handal... dekat dengan anaknya... penggemar olah raga, fanatik dalam mengkliping koran... ramah, hangat...� disini dia berhenti, membaca beberapa kartu, tapi tetap menyimpan isinya hanya untuknya: “ini sudah cukup�. Seakan ibu Gray telah melalui proses perekaman dari memori dirinya sebelumnya, memungkinkannya untuk melihat kembali dan memilih bagian untuk diceritakan, mungkin bedasarkan perasaan dari bagaimana sesuatu terjadi bersama Abraham. Tetapi, kita tidak akan mendapatkan kesan bahwa ibu Gray menahan diri karena harapan bayaran atas informasi yang telah dia berikan. Sebaliknya, dia terlihat lebih peduli dengan bagaimana orang lain mengingat Wardell Gray, yang bakatnya diakui luas oleh publik dan seharusnya mendapat pencapaian dan penghargaan yang harusnya ia dapatkan. Mungkin ini tekanan dari kekhawatiran yang awalnya membuat ibu Gray terlihat gugup. Ia memiliki keuntungan untuk menyampaikan gambaran dari mantan suaminya ke khalayak luas, tetapi dia harus melakukannya melalui mediator, Abraham, yang mana adalah orang asing, walaupun tidak bicarakan, kita bisa merasakan adanya permasalahan rasial (Dorothy dan Wardell Gray adalah Afro-Amerika sementara Abraham orang kulit putih) mungkin juga terdapat kekhawatiran signifikan tentang apa

202


yang harus ditampilkan, dan bagaimana menampilkannya atau dan apa yang tidak seharusnya ditampilkan. Tetapi ketegangan tersebut mencair saat ibu Gray buntu selama beberapa saat, saat mencoba untuk menggambarkan perasaan almarhum suaminya mengenai reaksi kuat dan positif setelah melihat konsernya dari banyak pendengar yang diantaranya belum pernah mendengar nama Wardell Gray. Ibu Gray menolak untuk terkejut, Abraham berusaha untuk mengisi kekosongan itu: Wardell Gray tahu dia memang bagus, dia menyiratkan itu, jadi dia tidak seharusnya terkejut saat yang lain menyadarinya. Tapi di sesi kedua. dia “merendah,” terlihat banyak yang disukainya dan dia menyetujui dengan apresiasi yang nyata. Sebuah persetujuan, walaupaun terlihat kecil, tapi penting, aspek historis dari pertanyaan. Setelah itu, saat masih menggunakan kartunya sebagai sketsa jawaban, dia sering kali mengadah, tersenyum dan menambahkan informasi tertulis dengan detail lebih banyak yang tenggelam dalam ingatan. Akhirnya dia menambahkan bahwa seringnya ketidakberadaan Wardell saat tur menyulitkan pada masa pernikahan mereka. Setelah kematian sang suami, hal itu memudahkannya mengatasi fakta bahwa suaminya tak akan pulang ke rumah selamanya. Dia “menghibur dirinya sendiri” bahwa “suaminya sedang tur ke luar kota”. Mengakhiri kalimat ini, walaupun terlihat spontan, ia membiarkan dirinya dibawa ke tempat lain, seseorang sekarang terlihat memainkan kartu dan mengontrol bagian dari kenangannya juga membantunya untuk menghindari konfrontasi dengan ingatan kematian, dengan cara yang tiba-tiba, misterius dan keras, dari pasangan yang betul-betul dia cintai. Saya merekomendasikan Forgotten Tenor untuk disertakan di ARKIPEL tidak hanya karena ini filem kesukaan saya dan bisa dikatakan masuk kedalam kategori “experimental dokumenter” yang sangat baik. Saya juga memilih karena caranya yang rumit dalam berurusan dengan ingatan dan masa lalu, dan dengan bermacam pertemuan dapat menghasilkan yang diketahui nantinya sebagai sejarah, akan tersajikan untuk memperkaya sejumlah kuratorial dalam tema kearsipan, Forgotten Tenor akan menjadi salah satu karya yang menantang dan layak untuk disimak, dan memperkenalkan karya-karya dari Abraham Ravett ke penonton Indonesia, yang mana sudah diakui secara luas dan telah 203


berkarya selama lebih dari tiga dekade. Saya harap filem ini akan mampu menjadi inspirasi bagi teman-teman saya di Forum Lenteng, yang karyakaryanya juga sudah dikenal luas, walaupun jauh secara geografis dan kultur dengan Abraham, tapi saya bisa merasakan semangat yang sama.

j

204


Forgotten Tenor: Remembering is a game often enacted during encounters. curator:

Dag Yngvesson

I am lucky enough to have observed the filmmaker Abraham Ravett, a friend, mentor and former professor of mine, at work on one of his latest films in progress, parts of which I helped to shoot and edit. The project, focused on the making of Blues and the Abstract Truth, a famous jazz record from the early 1960s, brought back memories of one of my favorites of Ravett’s earlier works, Forgotten Tenor (1994), which I have selected for inclusion in the Arkipel program. That film also engages with the world of jazz, by delving into the life of the late, ‘forgotten’ saxophonist Wardell Gray (1921-1955). Yet much more than the simple connection of two films dealing with a certain kind of music, what recalled the older work was the process, which we often recorded, of contacting potential interviewees for the current film: those who had experiences or knowledge that might shed light on the making of the album, its players – particularly the composer/arranger Oliver Nelson – and the social, historical and musical contexts surrounding them. As in Forgotten Tenor, some of those we contacted seemed reluctant to share their memories, for various reasons: it had been so long and things had faded, what could they possibly say that would be of value; what was in it for them, why should they help a stranger to ‘make money’ from their own past experiences without the promise of

205


financial compensation; who was Abraham, anyway, and why the sudden interest in an album produced fifty years earlier? It was Abraham’s response to these sorts of questions that triggered my reflection on his earlier work. He often told the reluctant, prospective interviewees, “I just want your presence in the film.” The disarming and deceptively simple statement implicitly identifies memory, and the goal of interviewing itself, as something other than a particular series of facts about the past that can inserted into a film to provide a sense of legitimacy, or the appearance of access to an authentic, singular historical truth. What he is after, Abraham suggests, is something different, something that begins with presence: a meeting. What is eventually ‘given,’ then, will emerge through this encounter, a moment in which filmmaker and interviewee engage in a formalized exchange for which the outcome, content, or value are difficult to pre-determine. What is ultimately ‘true,’ in this case, is perhaps simply that the encounter occurred, the participation of both parties indicating an interest in the process of remembering and reconstructing a certain history. The participation of those mainly interested in selling ‘facts’ is thus far less vital to Ravett’s historical explorations; those who agree to a meeting, however, even if still harboring serious doubts, will potentially provide the opportunity to record not history itself, but the pursuit of making history, and the emergence of the complex stakes – social, personal, economic, and otherwise – driving and structuring the exchange of information and the process of remembering. Abraham’s statement, I would argue, thus points to one of the key, structural, methodological techniques of both Forgotten Tenor and the forthcoming Blues and the Abstract Truth. It also hints at one of the ways in which dramatic tension is produced: the success or failure of remembering, and thus, in many ways, of the film itself, is at stake in the dynamics of each encounter, and the outcome is by no means guaranteed. In a telling scene of Forgotten Tenor, Ravett interviews Dorothy Gray, one of the former wives of the film’s main subject, the late saxophonist Wardell Gray. While Ms. Gray has agreed to speak on camera, it is clear that she has reservations. Using recorded audio of their discussion (over black screen with contextualizing titles) before 206


the interview itself begins, Ravett’s edit foregrounds this tension: maybe she is a little nervous about her ability to remember and express herself clearly in such a formal situation. Perhaps as well, she has promised herself not to reveal too much. As the filmed part of the conversation begins, Ms. Gray holds a series of note cards on which appear to be written the questions Abraham has provided, along with answers that she has pre-prepared for him. The camera includes the cards in the frame, foregrounding the tools of this particular exchange. She begins by reading from the cards, flipping through one by one, describing her late husband: “interesting, studious, funny… he was a good cook… he was good with my daughter… a sports nut, a newspaper clipping fanatic… friendly, warm…” Here she pauses, reading a few more cards, but keeping their contents to herself: “That’s about enough.” It is as if she has gone through a process of recording her memories before hand, allowing her to review and select which predefined “pieces” to offer, perhaps based on her feelings of how things seem to be going with Abraham. However, one does not get the sense she is holding back due the expectation of financial remuneration for what she provides. Rather, she appears genuinely concerned with the way in which Wardell Gray may be remembered by others, by a greater public whose recognition many of his peers said he richly deserved, and yet, in his short career and life, he never quite achieved. Perhaps it is the pressure of this concern that at first makes her appear nervous. She has the opportunity to convey a particular image of her former husband to a potentially broad audience, yet she must do so through a mediator, Abraham, who is a stranger. While it remains unspoken, one gets the sense that racial difference (Dorothy and Wardell Gray are both African-American while Abraham is white) may also be a significant concern in the ongoing evaluation of what to present, and how it should, or shouldn’t, be explained. Yet the tension is broken when Ms. Gray becomes momentarily stuck in an attempt to convey her late husband’s feelings regarding the strong, positive reactions audiences, many of whom had likely never heard of him, had to his live performances. She quickly rejects “surprised,” Abraham’s initial effort to help fill in the blank: Wardell Gray knew he was good, she implies, so he shouldn’t have been surprised when others 207


realized it, too. But the second offering, “humbled,” seems much to her liking, and she accepts it with obvious appreciation. An agreement is thus established regarding a small, but important, aspect of the history in question. Following this, while still using her cards as an outline, she frequently looks up, smiles, and supplements the written information with further details drawn from memory. Finally, she adds that while Wardell’s regular, long absences while on tour were difficult for her during their marriage, after his death, this is precisely what enabled her to better cope with the fact that he would never again return home. She would “play a game with herself ” that her husband was “just on the road.” Finishing this last, seemingly spontaneous, memory she allows herself to be taken back to another place, one that it now seems the game of the cards and the controlled pieces of her recollections were also initially helping her to avoid: confrontation with the memory of the death, in a sudden, mysterious, and violent manner, of a partner she dearly loved. I recommended Forgotten Tenor for inclusion in Arkipel not only because it is a favorite film of mine and could be said to fit the category “experimental documentary” extremely well. I also chose it because the complex ways in which it deals with memory and the past, and with the kinds of encounters that produce what comes to be known as history, will serve to enrich the general curatorial theme of film in the context of archives. Forgotten Tenor will be one of a number of challenging works that are well worth the time invested in engaging with, and will introduce the films of Abraham Ravett, whose extensive and acclaimed body of work has been built over the past three decades, to Indonesia. I hope in particular that the film will serve as further inspiration to my colleagues at Forum Lenteng, themselves accomplished filmmakers, whose work, despite its geographical and cultural distance from Abraham’s, I have long felt to be driven by a similar spirit.

j

208


Agenda: 24/8, kineforum

Country of Production: USA Language: English Subtitles: English 136 min, B/W, 1994

Forgotten Tenor

Abraham Ravett (Poland-USA) Forgotten Tenor adalah sebuah penghormatan terhadap Wardell Gray yang dianggap oleh banyak orang sebagai salah satu peniup saksofon terhebat yang pernah ada namun kini terlupakan di ranah musik orang kulit hitam di Amerika Serikat. Dibuat dengan mengkombinasikan rekaman arsip yang langka, foto-foto keluarga, memorabilia dan wawancara dengan keluarga dan rekan sejawat sang subjek, filem ini mencoba untuk menghadirkan kembali seorang musisi hebat sekaligus pencapaiannya yang kini jarang dibicarakan.

Forgotten Tenor pays tribute to Wardell Gray, considered by many one of the greatest and most unheralded tenor saxophonists in American Black Classical Music. Utilizing a combination of rare archival footage, family photographs, memorabilia, and conversations with family and colleagues, the film attemps to resurrect the presence of this great musician and pay tribute to his accomplishments.

Abraham Ravett lahir di Polandia pada 1947. Di besarkan di Israel, emigrasi ke Amerika Serikat pada 1955. Dia memegang gelar Sarjana Seni Rupa dan gelar Master Seni Rupa dalam bidang Pembuatan Filem dan Fotografi dan aktif sebagai pembuat filem independen selama 30 tahun ini.

Abraham Ravett was born in Poland in 1947, raised in Israel, and emigrated to the United States in 1955. He holds a Bachelor of Fine Arts and Master of Fine Arts in Filmmaking and Photography and has been an independent filmmaker for the past thirty years.

209


program:

Presentasi Khusus

210


program:

Special Presentation

211


Agenda: 25/8, kineforum

berkolaborasi dengan/in collaboration with:

Bangkok Experimental Film Festival

PROGRAM I: Aksi-aksi Kenangan Perhelatan ke-6 Festival Filem Eksperimental Bangkok tahun lalu bertemakan “merampok arsip”. Kami ingin memperlihatkan bagaimana seniman gambar bergerak dari seluruh dunia, baik seniman masa kini maupun masa lalu, menggunakan bentuk formal, dokumenter, dan kapasitas sensorik dari gambar bergerak untuk ‘bermain’ secara kritis dan imajinatif dalam ranah politik kenangan. Program ini menampilkan karya dari seniman asal Australia, Amerika Serikat, Thailand, Korea Selatan, dan Kanada dengan aksi sinematik mereka sendiri-sendiri untuk mengenang yang mulai terlupakan.

PROGRAM I: Acts of Memory The 6th edition of the Bangkok Experimental Film festival took place in Thailand last year under the theme of ‘raiding the archives.’ We wanted to show how moving image artists from around the world, both in present and past times, use the formal, documentary and sensorial capacities of the moving image to engage critically and imaginatively in the politics of memory. This touring programme, featuring artists from Australia, USA, Thailand, South Korea and Canada, highlights their cinematic acts of remembrance in the land of the victors’ amnesia.

212


Oz@1950

Dirk de Bruyn 2010, 4:11

Oz@1950 menampilkan kembali arsip visual untuk menyoroti ideologi kebijakan kuilt putih di Australia. Filem ini menunjukkan bahwa prilaku politisi Australia sekarang ini terhadap manusia perahu ilegal bukanlah hal baru, tapi dapat dilacak balik ke ide ‘Australia Baru’ yang ada sejak tahun 1950an.

Oz@1950 re-performs the visual archive to expose the ideology of the white Australian policy. The film suggests that contemporary Australian politicians’ attitude to illegal boat arrivals is not new but is traceable to the 1950s’ idea of the ‘New Australian.’

Memory Objects, Memory Dialogues Alyssa Grossman & Selena Kimbal 2011, 26:10

Dua frame diproyeksikan berdampingan. Frame pertama adalah serangkaian wawancara yang menampilkan warga Bucharest berbagi kenangan mereka saat Romania masih berupa negara komunis. Mereka dirangsang dengan alat-alat rumah tangga yang berasal dari periode sebelum revolusi tahun 1989. Yang kedua menampilkan serangkaian animasi 16mm dari alat-alat rumah tangga pada frame pertama, termasuk sebuah animasi nampan es batu, patung porselen, botol tinta, miniatur buku masak, replika tumbuhan jamur, dan seragam anak sekolah.

Two frames are projected side by side. On the first is a series of edited interviews featuring Bucharest residents sharing their recollections of the communist past stimulated by ordinary household objects associated with the period before the 1989 Revolution. The second displays a series of 16mm animations of these objects—everyday, domestic items, including an ice cube tray, a porcelain figurine, an ink bottle, a set of miniature cookbooks, a wooden darning mushroom, and a schoolgirl’s uniform.

213


A Brief History of Memory Chulayarnnon Siriphol 2010, 14:00

Filem ini didedikasikan untuk orang-orang yang tewas selama krisis politik di Thailand. Seorang ibu yang kehilangan anaknya pada bulan April 2009 mengingat masa-masa itu. Resonansi antara suaranya dan gambar abstrak serta menakutkan menciptakan ruang berkabung komunal.

Dedicated to the people who were killed during the political crisis in Thailand. A mother who lost her son in April 2009 recalls that day. The resonance between her voice and the abstract, eerie images create a communal space of mourning.

Untitled#1

from the series “Eight Men Lived in the Room”

Hyewon Kwon 2010, 5:56

Proyek ini dimulai dengan ditemukannya berita cuplikan filem di Arsip Nasional Korea Selatan. Rekaman 45 detik, difilemkan pada tahun 1961, melaporkan penyelesaian asrama pekerja di Seoul yang dihancurkan pada tahun 1999. Tidak ada catatan resmi lain dari bangunan ini ada kecuali klip ini. Untitled #1 menggabungkan cuplikan berita asli dengan berita yang didasarkan fakta yang ditemukan dalam surat kabar dan dokumen pemerintahan.

214

This project started with the discovery of news film footage in South Korea’s National Archive. The 45-second footage, filmed in 1961, reported the completion of a workers’ dorm in Seoul which was demolished in 1999. No other official records of this building exist except this clip. Untitled#1 combines original news footage with scripted news performance based on facts found in newspapers and administrative documents.


Lay Claim to an Island Chris Kennedy 2009, 13:00

Teks dari Pendudukan Orang Indian di Alcatraz pada 1969 dan surat dari para pendukung pendudukan itu mendorong eksplorasi kerinduan akan politik, arsitektur emansipatoris dan utopia yang gagal. Apa artinya untuk mengklaim tanah yang memiliki nilai lebih sebagai simbol dibanding sebagai tempat tinggal sebenarnya? Dan bagaimana bahwa fungsi simbol di luar batas geografisnya?

Texts from the 1969 American Indian Occupation of Alcatraz and letters from supporters propel an exploration of political yearning, emancipatory architecture and failed utopias. What does it mean to claim land that has more value as a symbol than as a potential home? And how does that symbol function beyond the boundaries of its geographic limits?

Program 2: An Escalator in World Order Kim Kyung-Man 2011, 118 min

Filem menakjubkan arahan Kim Kyung-man ini melihat Korea ke belakang saat dominasi Amerika Serikat di sana. Newsreel dan footage propaganda di susun ulang untuk menampilkan suatu parade dari para pemimpin masa lalu dengan janjijanji manis mereka masing-masing. Walau film ini menggambarkan hubungan Korea Selatan dan Amerika Serikat, filem ini secara subtil mempertanyakan kesamaan antara Korea Utara dan Korea Selatan. Film ini memenangkan audience award di Festival Film Jeonju 2011.

Kim Kyung-man’s awesome film looks back at Korea in an age of US domination. Re-edited newsreel and propaganda footage present a parade of past leaders pledging one new dawn after the other – the return of the same haunting an existentially homeless present. Although ostensibly about the relationship between South Korea and the USA, this film subtly asks what similarities persist between North and South. Winner of the 2011 Jeonju International Film Festival audience award.

215


Agenda: 26/8, Teater Kecil

berkolaborasi dengan/in collaboration with:

Images Festival Toronto, Canada

PROGRAM I: Cara Melihat Program ini merupakan kurasi dari karya-karya dari penyelenggaraan Images Festival ke-26 yang mengusut bagaimana kita melihat dan memahami gambar. Dengan menggunakan pengalaman pribadi, wawancara dokumenter, materi dari arsip dan teknik animasi eksperimental, karya-karya berikut ini hadir dalam wilayah persinggungan antara fakta dan fiksi, mencoba menawarkan cara baru untuk memahami dunia sekitar kita melalui gambar.

PROGRAM I: Ways of Seeing This selection of recent works from the 26th edition of the Images Festival investigates the way in which we see and understand images. Using personal reflection, documentary interview, archival materials and experimental animation techniques, these works operate on the boundaries of fact and fiction, proposing different positions from which we can understand the world around us through an image.

216


Movement in Squares

A Third Version of the Imaginary

Jean-Paul Kelly (Canada) 2013, video, 13 min

“Video dua kanal dikonf igurasi untuk dipresentasikan dalam satu layar, karya Jean-Paul Kelly ini terdiri dari tiga unsur: Video yang berasal dari broker penyitaan yang berbasis di Florida yang mendokumentasikan kondisi rumah yang sudah ditebus kembali, seorang seniman yang sedang menyusun katalog lukisan koleksi pionir British Op Art yaitu Bridget Riley, dan narasi voice-over dari sebuah filem dokumenter tentang Riley yang dibuat tahun 1979. Dalam percakapan di layar, elemen-elemen ini mengajukan pertanyaan tentang representasi, etika dan persepsi dalam cara kita melihat gambar.” Jean-Paul Kelly (lahir di London, Kanada, 1977) membuat gambar, foto dan video yang sering ditampilkan bersama-sama. Karyanya telah dipamerkan di The Galeri Seni Kontemporer Power Plant (Toronto, 2012), Mercer Union (Toronto, 2010), Ed Video (Guelph, 2010), Cambridge Galeri (2009) dan Galeri TPW (Toronto, 2005 dan 2008). Karyanya pernah diputar di Toronto International Film festival, International Film festival Rotterdam, Internationale Kurzfilemtage Oberhausen, Migrating Forms (New York), Arsenal - Institute for Filem and Video Art (Berlin), Rencontres Internationales (Paris) dan Pleasure Dome (Toronto).

“A two-channel video work configured here for a single screen presentation, Jean-Paul Kelly’s Movement in Squares is composed of three elements: video appropriated from a Florida-based foreclosure broker who documents the condition of repossessed homes; the artist paging through a catalogue of paintings by the British Op Art pioneer Bridget Riley; and voice-over narration from a 1979 documentary about Riley. In conversation on the screen, these elements put forth questions about representation, ethics and perception in how we look at images.“ Jean-Paul Kelly (born in London, Canada, 1977) creates drawings, photographs and videos that are often displayed together. His work has been shown at The Power Plant Contemporary Art Gallery (Toronto, 2012), Mercer Union (Toronto, 2010), Ed Video (Guelph, 2010), Cambridge Galleries (2009) and Gallery TPW (Toronto, 2005 and 2008). Screenings include the Toronto International Film festival, International Film festival Rotterdam, Internationale Kurzfilmtage Oberhausen, Migrating Forms (New York), Arsenal - Institute for Film and Video Art (Berlin), Rencontres Internationales (Paris) and Pleasure Dome (Toronto).

217


Underscore (_) Subguión Jorge Lozano (Canada) 2012, video, 28 min

“Potret layar-kembar dari Lozano tentang seorang aktivis politik di pengasingan tanpa nama yang menceritakan kisah percobaan pembunuhan yang memaksa dia untuk bersembunyi dan kemudian lari dari rumahnya. Rincian peristiwa traumatik diberitahu dengan presisi faktual, namun namanama, tempat dan tanggal telah dihapus untuk melindungi subjek. Kombinasi presisi dan abstraksi membawa kita untuk merefleksikan kenyataan bahwa kisah mengerikan subyek memang terlalu umum, sedangkan fakta bahwa ia selamat tidak. “ Jorge Lozano telah bekerja sebagai filem dan seniman video selama hampir lima puluh tahun dan telah mendapat pengakuan nasional dan internasional. Filem-filemnya telah diputar antara lainnya di Toronto International Film festival dan Sundance, dan karya-karya eksperimentalnya telah dipamerkan di banyak festival internasional dan galeri. Lozano saat ini sedang menyelesaikan pendidikan Ph.D di York University jurusan Seni Visual.

“Lozano’s twin-screen portrait of a political activist in exile in 1 has the unnamed individual tell the story of the assassination attempt that forced him to go into hiding and then to flee his home. The details of the traumatic event are told with matter-of-fact precision, but names, places and dates have been removed to protect the subject. The combination of precision and abstraction lead us to reflect on the fact that the subject’s chilling story is indeed all too common, while the fact that he survived is not.” Jorge Lozano has been working as a film and video artist for nearly fifty years and has achieved national and international recognition. His films have been exhibited at the Toronto International and Sundance Film festivals, amongst others, and his experimental work has been exhibited at many international festivals and galleries. Lozano is currently working on a Ph.D at York University in Visual Arts.

Sight

Thirza Jean Cuthand (Canada) 2013, video, 3 min

“Pola noda dan cat diambil dengan kamera Super 8 menghasilkan gambar yang menghambat pandangan kita. Gambar yang terputus mencerminkan kata-kata pembuat filem saat ia merenungi trauma dan kehilangan penglihatannya.” Thirza Cuthand lahir di Saskatchewan dan dibesarkan di Saskatoon. Sejak tahun 1995 dia telah membuat video pendek naratif eksperimental dan filem tentang seksualitas, kegilaan, muda-mudi, cinta dan ras, yang telah ditayangkan di berbagai festival internasional. Dia mempunyai darah Plains Cree dan Skotlandia dan saat ini bertempat tinggal di Saskatoon.

218

“Stained and painted patterns on Super 8 images impede our view. The interrupted images reflect the words of the filmmaker as she muses on trauma and the loss of sight.” Thirza Cuthand was born in Saskatchewan and grew up in Saskatoon. Since 1995 she has been making short experimental narrative videos and films about sexuality, madness, youth, love and race, which have screened in festivals internationally. She is of Plains Cree and Scots descent and currently resides in Saskatoon.


A Third Version of the Imaginary

Benjamin Tiven (USA) 2012, video, 12 min

“Kunjungan ke perpustakaan filem dan video perusahaan Kenya Broadcasting di Nairobi memberi kesempatan untuk menyelidiki makna dan nilai dari suatu gambar. Tiven mengeksplorasi materi seperti apa yang diawetkan, apa yang dibuang dan bagaimana teknologi, ekonomi dan politik semua memiliki peran dalam menentukan apa yang disiarkan. “ Benjamin Tiven saat ini tinggal di New York. Pada tahun 2012, ia menyelesaikan Program Studi Independen di Whitney Museum di bidang seni studio. Mengadakan pameran baru-baru ini di New York, Dublin, Vancouver, Toronto, dan Pusat Studi Kuratorial di Bard College. Kontribusi tulisan terbarunya dimuat di Triple Canopy, Bidoun, The Bulletins of the Serving Library, The Nation, The Abu Dhabi National, dan The Philadelphia Independent.

“A visit to the film and video library of the Kenya Broadcasting corporation in Nairobi provides an opportunity to investigate the meaning and value of an image. Tiven’s film explores what is preserved, what is discarded and how technology, economics and politics all have a role in determining what is broadcast.” Benjamin Tiven currently lives in New York. In 2012, he completed the Whitney Museum’s Independent Study Program in studio art. Recent exhibitions in New York, Dublin, Vancouver, Toronto, and the Center for Curatorial Studies at Bard College. Recent contributions to Triple Canopy, Bidoun, The Bulletins of the Serving Library, The Nation, The Abu Dhabi National, and The Philadelphia Independent.

Shadow Puppet Yi Cui (Canada) 2010, 16mm, 5 min

“Melalui penggunaan printer optik sebagai perangkat kreatif, frame individu ditampilkan seperti catatan musik. Sebuah improvisasi berirama divisualisasikan pada seluloid. “

“Through the use of an optical printer as a creative device, the individual frame is played like a music note. A rhythmic improvisation visualized on celluloid.”

Yi Cui lahir dan dibesarkan di Cina. Sebelum membuat filem, dia mengenyam pendidikan di bidang ekologi konservasi. Apa yang dipelajari dari alam telah tinggal di identitas karya-karyanya dan memengaruhi karya kreatifnya. Pencarian aliran yang puitis dan mempunyai irama terlihat jelas dalam karya-karya filemnya. Yi Cui memperoleh gelar MFA-nya dalam produksi filem di York University di Toronto.

Yi Cui was born and raised in China. Before stepping into f ilmmaking, she pursued conservation ecology. What was learned from nature has stayed in her identity and reverberated into her creative work. A search for poetics and rhythmic flow inside the film medium has driven all her works. Yi Cui acquired her MFA in film production at York University in Toronto.

219


You Are Here

Leslie Supnet (Canada) 2012, video, 3 min

“Membangkitkan kembali orang mati untuk menulis melalui ritual yang ditampilkan dengan tangan imajiner.” Leslie Supnet adalah seorang seniman yang tinggal di Toronto. Karya-karya visualnya bertujuan untuk mengungkapkan ketulusan, pengalaman hidup, dan keragaman emosi manusia. Karyanya telah diputar di berbagai festival, bioskop dan bioskop kecil di banyak tempat.

“Invoking the dead to write through a ritual performed by animated hands.” Leslie Supnet is an artist living in Toronto whose moving image and drawing aims to express sincerity, lived experience, and the multiplicity of human emotion. Her works have screened at various festivals, cinemas and microcinemas near and far.

Program II: River and My Father (2010, video, 75 min) Luo Li (Canada/China)

*Q & A with the director after screening

Filem ini adalah kombinasi subtil antara pembuatan filem dokumenter dan fiksi. Karya menakjubkan dari Luo Li ini terinspirasi dari cerita-cerita masa kecil Ayahnya sendiri. Desain tata suara, gambar dan narasi secara kreatif disuguhkan oleh Luo Li mirip dengan bagaimana kerja ingatan. Luo Li dan keluarganya dibesarkan di sepanjang Sungai Yangtze (Chang Jiang) di Cina yang juga menjadi latar belakang di mana cerita filem diungkap. Jika dilihat sekilas dari waktu dan ruang, serta kaitannya dengan cara-cara migrasi di zaman sekarang, cerita-cerita dalam filem ini mengalir seperti sungai pada peta masa lalu. Filem dimulai di kantor dan lorong-lorong York University dengan memperlihatkan seorang karyawan yang akan pensiun. Pria ini berbicara tentang berlalunya waktu dan bagaimana tahun 2010 dulunya terasa seperti masa depan yang jauh. Percakapan ini menandai ‘warna’ filem ini, di mana detil-detil yang terjadi pada hidup sehari-hari terasa universal. Pengalaman-pengalaman pribadi yang unik dipahami lebur dalam perasaan kolektif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Luo Li, “masa peralihan dan masa ketidakpastian.” Gambar dari peta perpustakaan di Universitasnya tertebar ke jalanan hujan di Cina. Cerita-cerita keluarga Li dimulai di sini dan diilustrasikan oleh sinematografi yang elegan, elipsis, dan berulangulang: anak laki-laki dan seorang wanita berjalan menaiki tangga, seorang pria berenang di kolam air yang besar, tiga anak laki-laki berjalan di sepanjang tepi sungai. Persepsi penonton akan keabadian, pecah dan “masa peralihan” diperjelas dengan fakta bahwa cerita-cerita dari masa lalu diilustrasikan dengan gambar-gambar kekinian. Visualnya tidak langsung merujuk narasi yang ada, terkadang rujukan gambar bisa lebih awal atau belakangan dari narasi voice over, sebuah teknik yang menciptakan penundaan kejelasan dan logika cerita secara menarik. Li menjelaskan bahwa motivasinya membuat filem ini tidak sekedar untuk mendokumentasikan kisah-kisah pribadi keluarganya, tetapi juga untuk menampilkan apa-apa saja yang memengaruhi kehidupan orang-orang Cina di masa lalu, bagaimana kehidupan mereka dipengaruhi oleh lingkungan tempat mereka dibesarkan, dan bagaimana kenangan mereka bersinggungan dengan masa

220


kini. Li menulis:. “Bersama-sama, kisah-kisah pribadi lintas generasi ini menjadi sebuah alegori dari sejarah modern Cina .... Sejarah sering didominasi oleh narasi besar yang berpusat pada peristiwa penting dan tokoh-tokoh kuat. Namun saya percaya bahwa kenangan pribadi manusia biasa sama pentingnya. Kenangan ini dapat memberikan kita sudut dan perspektif yang berbeda untuk melihat masa kini dan untuk merencanakan masa depan ... Dengan filem ini saya berharap telah berkontribusi mendokumentasikan dan melestarikan sejarah lokal melalui representasi cerita dan kenangan dari orang biasa. “ Luo Li adalah pembuat filem independen. Ia lahir dan dibesarkan di Cina. Ia belajar produksi filem dan menyelesaikan MFA di Kanada. Karya Li telah diputar secara internasional di festival filem dan galeri-galeri antara lainnya Arsenal (Berlin), Cinematheque Ontario (Toronto), Images Festival (Toronto), Nouveau Cinema International Filem and New Media Festival (Montreal), Reyes Hecoles Gallery (Mexico City), BAFICI (Buenos Aires), China Independent Filem Festival, Jeonju International Filem Festival, International Filem Festival or Rotterdam, New Directors/New Filems (New York), dan Hong Kong International Filem Festival. Filem terbarunya, Emperor Visits the Hell memenangkan penghargaan Dragons and Tigers di Vancouver International Filem Festival tahun 2012. A subtle combination of documentary and fiction filmmaking, Luo Li's remarkable Rivers and My Father was inspired by stories from his father's childhood. Li inventively structures sound, image and narration, evoking the ways in which memory operates. The filmmaker and his family grew up along the Yangtze River (Chang Jiang) in China, which serves as the backdrop on which the film's stories unfold. Seen from a distance in both time and space, and in relation to contemporary forms of migration, these stories flow like rivers on a map of the past. The film begins in the nondescript offices and hallways of York University with an employee who is about to retire. The man comments on the passing of time and how 2010 once seemed like the distant future. This conversation sets the tone of the film, where the ordinary details of daily life take on a universal quality. These unique personal experiences convey collectively understood feelings of, as Li puts it, "inbetweenness, uncertainty and the indeterminacy." Images from the map library at the University segue to a rainy street in China. The stories of Li's family begin here and are illustrated by a suite of elegantly composed, elliptical, repeating shots: a boy and a woman walking up steps; a man swimming in a wide body of water; a trio of boys walking along a riverbank. The audience's perception of timelessness, rupture and "inbetweenness" is enhanced by the fact that stories from the past are illustrated with contemporary images. The shots don't always immediately or directly refer to the narration, sometimes preceding and sometimes following it, a technique that creates an engaging delay in the revelation of the film's internal logic. Li explains that he was motivated to make the film to not only document the personal stories of his family, but also to represent aspects of what an ordinary Chinese person's life was like in the past, how their lives were affected by the environment they grew up in, and how their memories intersect with the present. Li writes: "Together, these cross-generational personal stories become an allegory in regard to the modern history of China.… History is often dominated by grand narratives that centre on significant events and powerful figures. However, I believe that ordinary people's personal memories are equally important. These memories can provide us with different angles and perspectives to look at the present and plan for the future… With Rivers and My Father I hope to contribute to the documentation and preservation of local history through the representation of ordinary people's stories and memories." Luo Li is an independent filmmaker. He was born and grew up in China. He studied film production and completed his MFA in Canada. Li’s works have screened internationally in festivals and galleries including Arsenal (Berlin), Cinematheque Ontario (Toronto), Images Festival (Toronto), Nouveau Cinema International Film and New Media Festival (Montreal), Reyes Hecoles Gallery (Mexico City), BAFICI (Buenos Aires), China Independent Film Festival, Jeonju International Film Festival, International Film Festival or Rotterdam, New Directors/New Films (New York), and Hong Kong International Film Festival. His most recent film, Emperor Visits the Hell won the Dragons and Tigers award at the 2012 Vancouver International Film Festival.

221


Sekapur Sirih: Program Gelora Indonesia

The Japan Foundation mempromosikan pertukaran budaya internasional melalui berbagai kegiatan di bidang seni dan budaya termasuk mengundang para seniman muda ke Jepang. Sejak tahun 2007 kami telah menyelenggarakan “Program Undangan untuk para seniman� sebagai bagian dari program JENESYS (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths). Melalui program ini, para seniman muda atau pun professional di bidang artistik dan kreatif berkesempatan untuk tinggal di Jepang selama satu atau tiga bulan untuk terlibat dalam produksi seni, magang, penelitian, dan membuat jejaring. Sementara kami mendukung pengembangan karir mereka sebagai seorang seniman kami pun berharap dapat memelihara dan mengembangkan jalinan kemitraan mereka dengan para tokoh kunci masa depan di wilayah Asia Pasifik. Untuk tahun fiskal 2012-2013 kami mengundang Mahardika Yudha (lahir 1981), seorang kurator muda Indonesia yang mengkhususkan diri di bidang perfileman, video art, dan media art. Saat ini Yudha aktif berkecimpung di ruang alternatif ruangrupa dan Forum Lenteng, yang memiliki jaringan luas di luar negeri. Selama berada di Jepang, Yudha melakukan penelitian terhadap sutradara Matsumoto Toshio, salah seorang tokoh perfileman eksperimental Jepang, termasuk interview dengan para sutradara dan kurator. Yudha juga melakukan penelitian terhadap media art karya para seniman muda Jepang yang memiliki potensi untuk membangun proyek kolaborasi di Indonesia di masa depan. Kami sangat gembira dan bangga mengetahui jika Yudha tengah menciptakan dan berupaya mewujudkan Festival Filem Dokumenter dan Eksperimental ARKIPEL, sebuah proyek kerjasama internasional antara Indonesia dan Jepang. Proyek ini melibatkan berbagai media dan disiplin ilmu yang berfokus pada bagaimana filem menginspirasi penontonnya. ARKIPEL merupakan proyek follow up dan menjadi bentuk pertanggungjawaban Yudha sebagai peserta proyek JENESYS. Kami berharap kesempatan ini memiliki arti untuk karir Yudha sekaligus memperkuat hubungan antara seniman Indonesia dan Jepang. Jakarta, 31 Juli 2013 Tadashi OGAWA Director General The Japan Foundation, Jakarta 222


Foreword: Gelora Indonesia Program

The Japan Foundation promotes international cultural exchange by organizing programs in the fields of arts and culture including inviting young artists to Japan. Since 2007 we have been administering the “Invitation Programme for Creators” as part of JENESYS Programme (Japan-East Asia Network of Exchange for Students and Youths). Through this programme, young creators or professionals in artistic and creative fields take residency for one or three months to engage in art production, internship, research, and networking. While we support individuals in developing their careers as creators, we also hope to nurture future partners for collaboration and to establish a network of key figures in the Asia Pacific region. For the 2012-2013 term we invited Mahardika Yudha (born in 1981), a young Indonesian curator specializes in film, video art, and media art. Yudha is active at the alternative art spaces ruangrupa and Forum Lenteng, which have an extensive network of overseas connections. Living in Japan, he made a study of director Matsumoto Toshio, one of the titans of Japanese experimental filmmaking, which included interviews with the director and with curators. Yudha also conducted a study of works of media art by young Japanese artists with the potential to develop collaboration projects in Indonesia in the future. We are happy and proud knowing Yudha creates and directs ARKIPEL Documentary and Experimentally Film festival, an international collaboration project between Indonesia and Japan. The project involving various media and disciplines focused on how film inspires people. ARKIPEL is a follow up project and be the form of Yudha’s responsibility as the participant of JENESYS project . We hope this opportunity is worthwhile for Yudha’s career and strengthen the relationship between young Indonesian and Japanese artists. Jakarta, July 31st 2013 Tadashi OGAWA Director General The Japan Foundation, Jakarta

223


Agenda: 26-30/8, Sinematek Indonesia lt. 4

Gelora Indonesia: Filem Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasi kurator:

Mahardika Yudha

“Satu hal yang hilang sekaligus dari permukaan filem Indonesia, ialah corak komersialisme dan Amerikanisme, untuk digantikan dengan corak propaganda politik dan kemasyarakatan… orang sadar akan fungsi filem sebagai alat komunikasi sosial.”1 Kelahiran Keimin Bunka Shidosho atau “Poesat Keboedajaan” menjadi satu periode baru yang berhasil membangun kesadaran tentang posisi seni dan seniman di masyarakat. Mulai dari teater, seni rupa, sandiwara bahkan hingga ke filem, seni tidak lagi ditempatkan pada wilayah adiluhung sebagai media ekspresi semata, tetapi bagaimana cakupan peran seni di wilayah sosial, ekonomi, dan politik di dalam masyarakat. Di periode 1942-1945, filem merupakan salah satu media propaganda 1  Sari Soal dalam Filem Indonesia, Usmar Ismail, Konfrontasi, No. 1/Tahun I, JuliAgustus 1954, h. 55-56.

224


yang efektif bagi pendudukan Jepang di Asia Tenggara. Sudut pandang ini telah merubah banyak tokoh intelektual, seniman, dan sutradara Indonesia dalam melihat fungsi filem yang tidak lagi dipandang sebagai media hiburan semata, tetapi juga sebagai media komunikasi yang paling persuasif. Di bawah Djawa Eiga KĂ´sha yang berdiri sejak 1 Oktober 1942, sedikitnya telah dibuat Djawa Baharoe sebanyak 8 kali sampai kemudian pada Maret 1943, organisasi yang melakukan produksi sekaligus distribusi ini direorganisasi menjadi Nippon Eigasha Jakarta (Nichi’ei Jakarta) dan menerbitkan Berita Filem di Djawa yang pada bulan Januari 1944 berganti nama menjadi Nampo-Hodo (Southern News). Produksi filem dokumenter dan semi dokumenter yang ditujukan sebagai media propaganda Jepang untuk penerangan dan pendidikan sangat produktif bahkan di antara cabang-cabangnya di negara lain. Setelah kemerdekaan 1945, Berita Filem Indonesia dibentuk dengan peralatan dan perlengkapan produksi filem yang berasal dari Nippon Eigasha Jakarta. Organisasi yang memproduksi filem-filem berita dan dokumenter ini dipimpin oleh RM. Soetarto dan Rd Arrifien. Di tahun 1949, organisasi ini kemudian bergabung dengan Regerings Filem Bedrijf (RFB) menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN) yang kemudian disempurnakan ejaannya menjadi Perusahaan Filem Negara (PFN) dan mulai memproduksi Gelora Indonesia sejak 5 Januari 1951 dengan merekam situasi hari ibu, pertandingan sepak bola Jawa-Sumatera (2-1), ataupun perlombaan atletik seluruh Indonesia. Dalam program “Dokumenter dan Filem Sebagai Media Komunikasiâ€? akan ditayangkan beberapa filem dokumenter yang diproduksi sejak Nippon Eigasha Jakarta hingga Perusahaan Filem Negara melalui Gelora Indonesia, yang berhasil dikumpulkan, dikoleksi, dan dirawat oleh Sinematek Indonesia. Program ini mencoba membaca bagaimana pengaruh kesadaran filem sebagai media komunikasi yang muncul di masa pendudukan Jepang pada produksi-produksi filem dokumenter negara setelah kemerdekaan. Lalu bagaimana refleksi estetika pada sinema Indonesia jika kita merujuk pada produksi filem yang dilakukan oleh orang Indonesia dan dengan kesadaran kebangsaan yang lahir dalam produksi Berita Filem Indonesia sebelum Darah dan Doa dibuat. 225


Seluruh filem akan ditayangkan di Pusat Perfileman Haji Usmar Ismail lantai 4 dari tanggal 26-30 Agustus 2013 mulai pukul 13.0015.00 dan 15.00-17.00 WIB. Program ini bekerjasama dengan Japan Foundation Jakarta, Sinematek Indonesia, dan Sahabat Sinematek; dan menjadi program tindak lanjut (follow up project) dari program JENESYS 2011-2012 yang diikuti Mahardika Yudha pada bulan Januari-Februari 2012 di Jepang.

j

226


Gelora Indonesia: Documentary and Film as Communication Media curator:

Mahardika Yudha

“One thing missing from the surface of Indonesian cinema is the shade of commercialism and Americanism, to be replaced with a pattern of socio-political propaganda ... people is aware of the function of film as a tool of social communication.” The birth of Keimin Bunka Shidosho or “Poesat Keboedajaan” marked a new period which succeeded in building awareness of the position of arts and artists in society. Ranging from theater, visual arts, theater even up to film, arts was no longer placed on the ivory tower merely as a medium of expression, but what about the role of arts in social, economic, and political domain amongst the society. Between 1942-1945, film was one of the most effective propaganda medias for the Japanese occupation in Southeast Asia. This perspective has changed how a lot of Indonesian intellectuals, artists, and directors view the function of film that no longer perceived merely as entertainment, but also as the most persuasive mediums of communication. Djawa Eiga Kôsha was formed in October 1, 1942. They have produced at least eight series of newsreel documentary titled Djawa Baharoe. In March 1943, the company was no longer distributing their newsreel, but only doing the documentary production. The company was re-organized into Nippon Eigasha Jakarta (Nichi’ei Jakarta) and produced News Film in Java / Berita Film di Djawa. Later the company’s 227


name was again changed its name into Nampo-Hodo (Southern News) in January 1944. The production of documentary and semi-documentary films were intended as the Japanese media of propaganda for information and educational purpose. From the number of films produced, we can see the company was very productive in Indonesia, even when compared with its branches in other countries. Berita Film Indonesia was formed after Indonesia’s independence in 1945 using the film production equipment once owned by Nippon Eigasha Jakarta. The organization produced news films and documentaries, was led by RM. Soetarto and Rd Arrifien.. In 1949, the organization then joined with Regerings Film Bedrijf (RFB) to form Perusahaan Pilem Negara / The State Film Company (PPN) which later refined the spelling to Perusahaan Film Negara (PFN) and began producing Gelora Indonesia since January 5, 1951 by recording the situations on Mother’s Day, football games around Java-Sumatra, or athletics games throughout Indonesia. In the program “Documentary and Film as Communication Media” will showcase a series documentary film produced since Nippon Eigasha Jakarta to its change into the State Film Company through Gelora Indonesia, which had been gathered, collected, and preserved by Sinematek Indonesia. The program tries to read how the influence on the consciousness of film as a medium of communication that emerged during the Japanese occupation to documentary film produced after the country’s independence. And then how the aesthetic reflected on Indonesian cinema if we refer to production of film made by ​​ Indonesian and about the national consciousness that was already appeared in the production of Berita Film Indonesia even before The Long March was made​​. All films will be screened at 4th floor of Sinematek Indonesia, in Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail building from August 26-30, 2013 twice at 1 PM and 3 PM.The program is in collaboration with the Japan Foundation Jakarta, Sinematek Indonesia, and Sahabat Sinematek / Friends of Sinematek, as a follow-up project of the JENESYS 2011-2012 program where Mahardhika Yudha was involved in January-February 2012 in Japan.

j 228


229


program:

Penayangan Perdana Internasional

230


program:

International Premiere

231


Agenda: 25/8, GoetheHaus & 26/8, kineforum

95 min, Color, 2013 co-director: Gelar Agryano Soemantri, Muhammad Sibawaihi editing: Syaiful Anwar, Muhammad Sibawaihi produced by: Forum Lenteng & akumassa in collaboration with: Komunitas Pasir Putih, Lombok Utara

Elesan deq a Tutuq (The Unfinished Stream) Syaiful “Paul� Anwar (Indonesia)

Elesan Deq a Tutuq ( Jejak yang Tidak Berhenti) merupakan sebuah filem dokumenter feature keempat Forum Lenteng. Filem ini mengisahkan tentang dua generasi berbeda yang masing-masing diwakili oleh satu tokoh yang memiliki pergaulan sosial cukup luas di masyarakat Pemenang. Filem ini mencoba mendedah bagaimana situasi sosial masyarakat Sasak sekarang ini dalam menghadapi banjir kebudayaan dunia dalam satu kawasan. Wisatawan-wisatawan asing yang keluar-masuk membawa berbagai macam informasi dan budayanya berbaur atau berbentur dengan tradisi-tradisi lokal masyarakat di Pemenang dan memberikan berbagai macam pilihan gaya hidup ataupun ideologi. Masuknya penyebaran Islam di Indonesia bisa di tandai awanya mulai abad ke 15 hingga 16. Sebutan mubaligh atau penyebar agama bisa dikategorikan beberapa nama, yakni, syekh, kiai, ustadz, penghulu dan tuan guru. Istilah untuk yang terakhir, Tuan Guru, masuk di Lombok mungkin bisa ditelusuri sejak abad ke 18. Gelar Tuan Guru merupakan kedudukan sosial yang tinggi dalam struktur masyarakat Sasak. Gelar tersebut merupakan pemberian masyarakat atas pengetahuan keislaman yang dimiliki, kealiman, kepribadian, pengayoman dan kharismanya dalam masyarakat. Kehidupan agama dan syarat tradisi menempel dalam berperilaku Tuan Guru dalam beraktivitas ke masyarakatnya.

232


Syaiful Anwar dilahirkan di Jakarta pada 1983. Ia menyelesaikan Strata 1 ilmu komunikasi di Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di tahun 2007. Tahun 2011, karya videonya menjadi salah satu pemenang kompetisi seni media yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Filem, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Aktif sebagai anggota dan Koordinator Produksi Forum Lenteng, ia juga membuat filem. Karya terbarunya adalah filem dokumenter feature: Elesan deq a Tutuq.

Syaiful Anwar was born in Jakarta, 1983. He finished his study at Institute of Social and Political Science, Jakarta in 2007. In 2011, one of his video work won in Media Art Competition held by Indonesia Ministry of Culture and Tourism. Active as Member and Production Coordinator Forum Lenteng, he also directing films. His current film is: Elesan deq a Tutuq, a feature documentary.

Elesan Deq a Tutuq (The Unfinished Stream) is Forum Lenteng’s fourth feature documentary film. This film tells the story of two different generations, each of which is represented by a character who has a fairly extensive social interaction in the community Pemenang. This film tries to examine how social situations in Sasak people today in the face of a flood of world culture in that region. Foreign tourists who come and go, and carry a wide range of information and culture, mingling or colliding with local traditions in Pemenang. They also bring an assortment of lifestyle choices and ideologies. The entry and the spread of Islam in Indonesia can be marked and it started circa 15th to 16th century. Designation of preachers or missionaries can be categorized by several names, sheikh, cleric, priest and Tuan Guru. The term for the latter, Tuan Guru, entered in Lombok could be traced since the 18th century. The title Tuan Guru is a high social position in the structure of the Sasak people. The title is given by the people to someone whom providing or having Islamic knowledge, wisdom, personality, and charisma in the society. Religious life and the conditions attached to the tradition of how Tuan Guru behaves in his daily activity in the society.

233


program:

Diskusi Publik

234


program:

Public Discussion

235


Diskusi Publik: Sinema & Aktivisme 28/8/2013, 10.00 – 11.30, Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki) Pembicara Speakers: Bowo Leksono (Festival Film Purbalingga) & Abduh Azis (Koalisi Seni Indonesia) Moderator: Forum Lenteng Independensi dan industri merupakan dua pilihan yang lazim ada dalam wilayah perfileman dimanapun. Keduanya tidak harus saling bertentangan tapi bisa berjalan beriringan. Kegiatan aktivisme dalam perfileman Indonesia hadir untuk menyajikan tontonan alternatif maupun edukasi media filem dalam bentuk yang dekat dan langsung kepada masyarakat. Perkembangan aktivisme filem menjadi wadah apresiasi sekaligus wadah pembuat filem independen, tidak terlepas dari loncatan perkembangan piranti teknologi kamera sebagai alat dasar pembuatan filem yang didistribusikan di masyarakat luas. Seperti di tahun 1970an, ketika semula menggunakan seluloid 16 mm dan 8 mm, beralih menggunakan pita magnetik kaset video. Lalu ketika revolusi digital berlangsung pasca Reformasi 1998, kemudahan pengoperasian kamera dan peralatan filem lainnya seperti perangkat editing yang relatif mudah diakses dan berharga murah telah mendorong gelombang euforia membuat filem di kalangan masyarakat yang lebih luas lagi. Namun, euforia kemudahan dalam hal teknis ini tidak diimbangi dengan euforia distribusi pengetahuan filem yang seharusnya semakin mudah diperoleh, terutama ketika akses internet telah menyebar ke seluruh pelosok Indonesia. Terputusnya jalur distribusi pengetahuan ini kemudian dijembatani oleh kelompok-kelompok yang mengupayakan distribusi pengetahuan filem melaui berbagai macam kegiatan produksi dan distribusi filem. Dalam rentang 10 tahun, kelompok-kelompok yang tersebar hampir merata di berbagai daerah di Indonesia ini telah memiliki peran yang sangat penting bagi perkembangan filem Indonesia, terutama terdistribusikannya pengetahuan sinema yang menjadi pondasi penting dalam membangun struktur perfileman nasional.

236


Diskusi Publik: Sinema, Sejarah & Arsip 28/8/2013, 13.00 – 14.30, Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki) Pembicara Speakers: Sahabat Sinematek & Intan Paramaditha (Penulis, Peneliti) Moderator: Andy Pulung (Editor Filem)

Filem, sebagaimana produk kesenian lain, merupakan produk budaya sebuah bangsa yang mencerminan karakter dan identitas suatu bangsa. Seperti yang dikatakan oleh Sig freid Kracauer, “Media filem merupakan pencerminan paling nyata masalah mentalitas, budaya dan perkembangan suatu masyarakat, melebihi media seni yang lain.� Setidaknya ada dua hal yang menguatkan alasan tersebut. Pertama filem merupakan kerja koleklif yang melibatkan banyak unsur sampai sebuah filem ditonton khalayaknya. Yang kedua, filem diproduksi untuk ditonton oleh khalayak sebanyak mungkin. Oleh karena itu filem diproduksi tidak bisa lepas dari konteks masyarakat yang melingkupinya. Sebagai produk budaya sebuah masyarakat bangsa dan negara, dalam satu kurun waktu yang panjang dan akan terus berlangsung sampai masa depan, pendokumentasian filem merupakan hal penting. Sebagai pusat pengarsipan tertua di Asia Tenggara, Sinematek Indonesia memiliki berbagai macam masalah, termasuk masalah keuangan dan sumber daya manusia. Padahal, pengarsipan menjadi salah satu persoalan penting yang mendesak diwacanakan dalam perkembangan sinema di Indonesia dewasa ini. Selain sebagai tempat menyimpan, melestarikan, dan juga mendokumentasikan perkembangan sejarah sinema di Indonesia, pengarsipan filem juga menjadi ruang tempat wacana berserakan yang hingga kini belum tersentuh secara maksimal untuk dikembangkan, didistribusikan, diperdebatkan, dan dituliskan. Upaya pelestarian filem Indonesia sudah saatnya menjadi perhatian semua pihak pemangku kepentingan industri filem, baik itu pemerintah, masyarakat perfileman indonesia, komunitas filem, dunia kampus dan masyarakat umum.

237


Diskusi Publik: Kritik dalam Sinema 28/8/2013, 16.00 – 17.30, Teater Kecil (Taman Ismail Marzuki) Pembicara Speakers: Hikmat Darmawan (Pemerhati Filem & Komik) & Riri Riza (Sutradara Filem) Moderator: Adrian Jonathan (Penulis)

Pada permulaan abad 21, kita bersama telah menyaksikan dan menjadi saksi mata akan adanya perubahan signifikan yang terjadi baik dalam bidang teknologi, komersial, estetika, politik, dan dimensi sosial lainnya pada filem dokumenter yang diproduksi. Keragaman tema dan/atau objek begitu luas tidak hanya untuk merekam peristiwa tetapi juga m e n j a d i pelaku peristiwa tersebut. Kemajuan dan penyebarluasan alat produksi filem dokumenter tidak lagi dibatasi oleh medium seluloid saja. Hadirnya teknologi digital berupa alat rekam, editing, maupun media distribusi online macam YouTube dan Vimeo hadir dengan intim dalam jangkauan jari. Kemudahan dalam memproduksi filem ini mengantarkan kita kepada satu era produksi filem secara besar- besaran. Namun kuantitas ini berbanding terbalik dengan kualitas. Hanya sedikit dari seluruh jumlah filem yang diproduksi dari tahun ke tahun yang dibuat atas pertimbangan sinematik dan estetika. Kritik filem k e m u d i a n m e n j a d i media apresiasi penting bagi penulisan sejarah perfileman, ia mengungkap bagaimana reaksi dan pembacaan suatu masa terhadap filem. Sayangnya, lebih mudah merunut sejarah perfileman dibanding merunut sejarah penulisan kritik perfileman di Indonesia. Maka diskusi ini akan mengajak praktisi penulisan kritik filem lintas generasi dan lintas wilayah dan untuk merumuskan kembali pentingnya penulisan sejarah perfileman melalui kritik filem.

238


Agenda: 27/8, GoetheHaus For Invitation Only

DocNet Southeast Asia Round Table 2013

Untuk mendorong perkembangan dokumenter Indonesia, DocNet Southeast Asia, bekerja sama dengan In-Docs dan Arkipel International Documentary & Experimental Film festival mengadakan sebuah diskusi meja bundar tentang pendanaan dan distribusi dokumenter kreatif. Diskusi yang diadakan pada tanggal 27 Agustus ini mengundang pihak-pihak kunci dalam perkembangan filem dokumenter di Indonesia, seperti institusi pemerinah, institusi non-pemerintah, distributor, exhibitor, penyelengara festival, dan pembuat filem untuk membicarakan bagaimana mendanai dan mendistribusikan dokumenter Indonesia. In order to encourage the development of Indonesian documentaries, DocNet Southeast Asia, partnering with In-Docs and Arkipel International Documentary & Experimental Film festival hosts a roundtable discussion on funding and distribution of creative documentaries. The discussion takes place on 27th August and brings stakeholders of Indonesian documentary films, such as governmental agencies, non-governmental agencies, distributors, exhibitors, festival organizers, and filmmakers to discuss how to fund and distribute Indonesian documentaries.

Funded by the European Union

239


Indeks Filem / Film Index

Agarrando Pueblo (Vampyre of Poverty) 142 A Man Since Long Time 39 Anak Sabiran, Di Balik Cahaya Gemerlapan (Sang Arsip) 114 Ancestral Delicatessen 45 . . . And the Wound Closed Wearily 57 Apa Jang Kau Tjari, Palupi? 115 Artel 102 Ben 47 Canggung (The Awkward Moment) 43 Cheng Shi Feng Jing (City Scene) 126 Chroma 53 Climax 37 Denok & Gareng 184 Disorder (Xianshi Shi Guoqu de Weilai) 172 Dongeng Rangkas (Rangkasbitung: A Piece of Tale) 192 Earth of The Blind (Neregių žemė) 100 Ecce Ubu 62 Elesan deq a Tutuq (The Unfinished Stream) 232 Fabrika (Factory) 101 Forgotten Tenor 209 Generator of Duriban 36 Helsinki, Ikuisesti (Helsinki, Forever) 125 Hermeneutics 55 Hitching The A1 56 Il Contorsionista 60 Ilha das Flores (Island of Flowers) 128 It Felt Like a Kiss 163 Je Vie Dans le Rêve de ma Mêre (I Live in the Dream of My Mother) 64 Journey of Consciousness (Awareness Journey) 59 J. Werier 35 Kaputt/Katastrophe 44 240


Las Variaciones Marker (The Marker Variations) 164 La Visita (The Visit) 67 Le Bonheur... Terre Promise (Happiness... Promised Land) 69 Lejos de Saint Nazaire (Far From Saint Nazaire) 68 Le Jour a Vaincu la Nuit (The Day Has Conquered the Night) 54 Les Fantômes de l’escarlate (The Ghosts and The Escarlate) 51 Lodz Symphony 127 Marshy Place Across 58 Momentum 42 Naga Yang Berjalan Di Atas Air 194 Negeri di Bawah Kabut (The Land Beneath the Fog) 185 Nijuman No Borei (200000 Phantoms) 140 Old Cinema, Bologna Melodrama 65 Park of Contemporary Culture 40 Partes de una Familia (Parts of a Family) 198 Perampok Ulung 61 Petit à Petit (Little by Little) 90 Petition 173 Polaziste za Cekanje (The Waiting Point) 70 Preludes I 41 Pretty Good Look 38 Sacrifice a Flower 66 Square Disintegrate 30 Suitcase of Love and Shame 63 Tears of Inge 48 The Flaneurs #3 52 To Raise From the Water 34 Una Ciudad a Traves de Unos Espacios (A City Through Different Spaces) 49 Videogramme Einer Revolution (Videograms of Revolution) 152 Volkspark 46 Wojoh (Face) 50 Zoo 141 241


Indeks Sutradara / Directors Index

Abraham Ravett (Poland-USA) Alexei Dmitriev (Russia) Alisi Telengut (Canada) Alyssa Grossman & Selena Kimbal Andang Kelana, Badrul Munir, Fuad Fauji (Indonesia) Andrew Littlejohn (US/Japan) Aryo Danusiri (Indonesia) Asrul Sani (Indonesia) Audrius Stonys (Lithuania) Benjamin Tiven (USA) Bert Haanstra (The Netherlands) Boris Seewald (Germany) Chris Kennedy Chulayarnnon Siriphol Davide Rizzo (Italy) Diego Gutiérrez (México) Dirk de Bruyn Dmytro Bondarchuk (Ukraine) Dwi Sujanti Nugraheni (Indonesia) Fany de la Chica (Spain) Gabriel Folgado (Spain) Gary McQuiggin (UK ) Hafiz Rancajale (Indonesia) Harun Farocki, Andrei Ujică (Germany) Hasumi Shiraki (Japan) Huang Weikai (China) Hyewon Kwon Ian Deleón (Brazil) Isaki Lacuesta (Spain) Jane Gillooly (US) Jan Willem van Dam (The Netherlands) Jean-Gabriel Périot (France) Jean-Paul Kelly (Canada) 242

209 55 48 213 192 34 52 115 100 219 141 42 215 214 65 198 213 40 184 67 45 56 114 & 192 152 66 172 214 57 164 63 64 54 & 140 217


Jean Rouch (France) 90 Jeremy Moss (US) 53 Jorge Furtado (Brazil) 128 Jorge Lozano (Canada) 218 Julie N guyen van Qui (France) 51 Kevin Adam Curtis (UK ) 163 Kuesti Fraun (Germany) 46 & 47 Laurent Hasse (France) 69 Leslie Supnet (Canada) 221 Linda Bannink (The Netherlands) 49 Lluc Güell (Spain) 68 Lorenzo Gattorna (US) 58 Luca Ferri (Italy) 44 & 62 Luis Ospina & Carlos Mayolo (Colombia) 142 Mahmoud Yossry (Egypt) 39 Marjito Iskandar Tri Gunawan (Indonesia) 61 Maša Drndic (Croatia) 70 Mauro Maugeri (Italy) 60 Otty Widasari (Indonesia) 194 Peter Hutton (USA) 127 Peter Von Bagh (Finland) 125 Rahee Punyashloka (India) 41 Rhayne Vermette (Canada) 35 Said Najmi (Jordania) 50 Sergei Loznitsa (Ukraine) 101 & 102 Shalahudin Siregar (Indonesia) 185 Shinkan Tamaki (Japan) 37 Syaiful “Paul” Anwar (Indonesia) 192 & 232 Thirza Jean Cuthand (Canada) 219 Tunggul Banjaransari (Indonesia) 43 Wonwoo Lee (South Korea) 36 Yi Cui (Canada) 220 Yi-Yu Liao (Taiwan) 59 Youngnam Kim, Jungwha Jung, Minho Jo, Sohyun Moon, Goeun Bae, Seungbum Hong (South Korea) 38 Zhao Liang (China) 126 & 173 243


Terima Kasih:

Katrin Sohn, Lanny Tanulihardja (Goethe Institut) Alex Sihar, Totot Indrarto (Komite Film DKJ) Sugar Nadia Azier (Kineforum DKJ) Bambang Subekti (Taman Ismail Marzuki) Djony Syafruddin (Yayasan PPHUI) Adisurya Abdy (Sinematek Indonesia) N. Nuranto, Titin Natalia Sitorus (Tembi Rumah Budaya) Scott Miller Berry, Pablo de Ocampo (Images Festival) May Adadol Ingawanij, Mary Pansanga (BEFF) Livia Bloom (Icarus Films) Denah Johnston (Canyon Cinema) Ina Rossow (Deckert DIstribution) Lilia Nursita (Gajah Hidup) Tadashi Ogawa, Ayumi Hashimoto, Nurul, Diana (The Japan Foundation) Amelia Hapsari, Lulu Ratna (Docnet Southeast Asia) Dimas Jayasrana, Juliette Derosiaux (IFI Jakarta) Riri Riza, Hikmat Darmawan, Andhy Pulung, Abduh Azis, Intan Paramaditha, Bowo Leksono, Rajiv Ibrahim, Diego GutiĂŠrrez, Linda Bannink, Bert Haanstra, Isaki Lacuesta, Peter von Bagh, Neil McGlone, Zhao Liang, Huang Weikai, Peter Hutton, Jean-Gabriel PĂŠriot, Luis Ospina, Audrius Stonys, Shalahuddin Siregar Dwi Sudjanti Nugraheni, Anhar Moha, Syauki Sani, Nani Widjaja, Deddy Mizwar, Zairin Zain, Elenfant Distribution - Italy, 244


Promofest - Spain, Komunitas Djuanda - Ciputat, Saidjah Forum - Rangkasbitung, Komunitas Pasir Putih - Lombok Utara, Eko Harsoselanto, Yosep Anggi Noen, Jonathan Manulang, Asmayani Kusrini, Meiske Taurisia, Doni Agustan, Ina Listyani Riyanto (Univ. Multimedia Nusantara), Andhika Eka Buana Agus Mediarta (Sahabat Sinematek) Anggun Priambodo (Majalah Cobra) Adrian Jonathan Pasaribu, Makbul Mubarak (Cinema Poetica) Gayatri Nadya, Angga Rulianto (muvila.com) Bayu Bergas (komunitasfilm.org) J.B. Kristanto, Amalia Sekarjati (filmindonesia.or.id) Arie Kartikasari, Lintang Gitomartoyo (filmindonesia.or.id) Irvin Domi (Area XYZ) Suryani Liauw (Europe On Screen) Titaz Permatasari, Mira Febri Mellya, Segenap anggota Forum Lenteng All filmmakers, producers, film workers, participants.

245


246


The Japan Foundation (JF) adalah lembaga nir-laba yang didirikan oleh parlemen Jepang yang khusus bergerak di bidang pertukaran budaya internasional. JF ada di 22 kota di 21 negara di seluruh dunia. Beragam kegiatan JF dan perpustakaan terbuka untuk UMUM. Contact us:

The Japan Foundation, Jakarta Gedung Summitmas I lt. 2-3 Jl. Jend. Sudirman kav.61-62. Jakarta Selatan 12190. T. 520-1266 / F. 525-5159 www.jpf.or.id

The Japan Foundation, Jakarta

JF_ Jakarta

247


248


TEMBI RUMAH BUDAYA Jl.Gandaria I No.47 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan t. +21 7203055 / +856 1152 733 www.tembi.net

249


250


251


252



ofďŹ cial partners

main partners

media partners


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.