Aku berpuisi demi memanfaatkan waktu luang. Di kala rokok dan kopi perlu tambahan teman. Kertas dan pulpen kudatangkan. Sepertinya mereka saling cocok. Karena sinerginya melahirkan tiga-puluh puisi. Lumayanlah.
Karena aku bukan penyair. Jadi tiga-puluh ini adalah sebuah keajaiban. Apalagi aku yang sering tidak mengerti ketika membaca puisi-puisi macam Sapardi, Remi Sylado, atau Joko Pinurbo. Apalagi Sutardji.
Yang namanya keajaiban, sangat sayang kalau dibiarkan begitu saja. Makanya kukumpulkan. Kujadikan satu. Terlahirlah buku-bukuan ini. Sebagai pengingat bahwa aku pernah nulis puisi-puisi.