Warta Bappeda Edisi 2 Tahun 2018

Page 1

MEDIA KOMUNIKASI TRIWULANAN

Vol. 30 No. 118 April - Juni 2018

PROVINSI JAWA BARAT

LAPORAN KHUSUS: KEARIFAN KAMPUNG NAGA TASIKMALAYA DALAM BALUTAN KESEDERHANAAN & GOTONG ROYONG

Musrenbang Provinsi Jawa Barat 8 Prioritas Pembangunan Jawa Barat di 2019


DARI

REDAKSI

PROVINSI JAWA BARAT

Majalah Warta Bappeda merupakan produk media cetak yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat. Diproduksi secara berkala dan memberikan insipirasi, pencerahan, serta edukasi untuk menunjang proses perencanaan pembangunan anda

Assalamu'alaikum Wr. Wb

Para pembaca yang berbahagia pada terbitan Warta Bappeda Edisi Triwulan II Volume 30 Nomor 118 April - Juni Tahun 2018 kali ini kami tampilkan wajah baru, perubahan tata letak dan penambahan rubrik anyar kami hadirkan lebih kontras untuk penyegaran majalah yang sudah 30 tahun menemani pembaca setia kami. Beberapa Rubrik diantaranya Laporan Kegiatan Pemerintahan Provinsi Jawa Barat, Wawasan Perencanaan, Rehat dan Opini. Hal ini dilakukan demi memberikan kepuasan para pembaca dalam memperoleh informasi perencanaan pembangunan Jawa Barat melalui majalah triwulanan ini. Tulisan kali ini diawali dengan Laporan Utama Musrenbang Provinsi Jawa Barat, dilanjutkan dengan Liputan Khusus tentang Kampung Naga Tasikmalaya. Para pembaca Warta Bappeda yang kami hormati, selain tulisan diatas kami hadirkan pula beberapa Artikel Wawasan Perencanaan yang mengupas tentang Analisis Kemampuan Lahan untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah di Kabupaten Kuningan, Penanggulangan Kemiskinan dalam Perspektif Islam sebagai Inspirasi Model Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat, Kualitas Belanja (Bidang Pendidikan) dalam Penganggaran Berbasis Kinerja, Pertumbuhan Inklusif Kawasan Jawa Barat Utara dan Selatan, Rubrik Rehat yang hadir melengkapi penjelasan tentang Pelestarian Rumah Panggung sebagai Pelestarian Perilaku Hidup Sehat pada Masa lalu, dan Opini mengulas tentang Moda Transportasi Masal Masa Depan di Kota Tasikmalaya. Akhir kata kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penulis atas kontribusinya selama ini. Kami tunggu artikel berikutnya yang akan diterbitkan dalam Edisi Triwulan III Tahun 2018. Selamat membaca.

Wassalamu'alaikum Wr. wb

Terbit Berdasarkan SK Menpen RI No. ISSN

Penanggung Jawab Ketua

1353/SK/DITJENPPG/1988 0216-6232

Ir. H. Yerry Yanuar, MM Ir. Bambang Tirtoyuliono, MM

Sekeretaris

Drs Wahyu Hendrawan, MM

Penyunting

Ir. H. Tresna Subarna, M.M Drs. Bunbun W. Korneli, MAP Drs. Achmad Pranusetya, M.T T. Sakti Budhi Astuti, SH., M.Si

Sekretariat

Rio Teguh Pribadi,S.Sos

Liputan Fotografer Layouter Alamat

Ramadhan Setia Nugraha S.Sos Roni Sachroni, BA Ramadhan Setia Nugraha S.Sos Jl. Ir. H. Juanda No.287 Telp.2516061 Website : bappeda.jabarprov.go.id E-mail : wartabappedajabar@yahoo.com

menerima tulisan dari pembaca yang berhubungan dengan wawasan perencanaan, disarankan untuk melampirkan foto-foto yang mendukung. Tulisan diketik satu spasi minimal 5 halaman A4. Artikel yang pernah dimuat di media lain, tidak akan dimuat. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah substansi.


D A F TA R I S I Warta Bappeda Vol. 30 No. 118 April - Juni 2018

L A P O R A N U TA M A

2

8 8 P R I O R I TA S P E M B A N G U N A N J A W A B A R AT 2 0 1 9

Ada delapan prioritas pembangunan yang akan dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat pada 2019. Fokusnya, yaitu pada peningkatan kualitas komponen pembangunan.

16

24

LAPORAN KHUSUS

ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERENCANAAN PENGEMBANGAN W I L AYA H D I K A B U PAT E N KUNINGAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN DALAM P E R S P E KT I F I S L A M SEBAGAI INSPIRASI M O D E L P E M B E R D AYA A N M A S YA R A K AT D I J A W A B A R AT

38

K E A R I FA N K A M P U N G N A G A TA S I K M A L AYA D A L A M B A L U TA N KESEDERHANAAN & G O T O N G R OYO N G

Memegang teguh warisan leluhur, membuat Kampung Naga Tasikmalaya terkenal dengan kearifan lokal akan adat istiadat-nya. Bernama Kampung Naga berasal dari ungkapan orang sunda. Na kosa kata dina yang artinya menunjukan suatu benda atau tempat. Ga adalah kepanjangan Gawir (Sunda buhun), yang artinya tebing tinggi menyerupai lembah.

50

D I M E N S I S U I S TA I N A B L E D E V E LO P M E N T G OA L S (SDGS) DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN

62

PERTUMBUHAN I N K LU S I F K AWA S A N J A W A B A R AT U TA R A D A N S E L ATA N

76

P E L E S TA R I A N R U M A H PA N G G U N G S E B A G A I P E L E S TA R I A N PERILAKU HIDUP S E H AT PA D A M A S A LALU

84

M O D A T R A N S P O R TA S I M A S A L M A S A D E PA N D I K O TA TA S I K M A L AYA

K U A L I TA S B E L A N J A (BIDANG PENDIDIKAN) DALAM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

Implementasi kebijakan desentralisasi berdampak besar bagi tata kelola keuangan di pusat dan daerah. Struktur anggaran pemerintah ditinjau dari sisi pendapatan maupun belanja terus menunjukkan peningkatan. Demikian pula data realisasi APBN/APBD di beberapa K/L, kabupaten, kota dan provinsi umumnya terjadinya peningkatan. Permasalahan belanja pemerintah yang selalu terulang pada umumnya sama yakni masih ditemukannya alokasi belanja pegawai serta belanja barang dan jasa masih lebih besar dibandingkan belanja modal. Demikian pula idle money dalam bentuk SILPA selalu ada dengan jumlah yang bervariasi. Kondisi ini mengindikasikan terdapat permasalahan dalam tata kelola belanja pemerintah.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

1


LAPORAN

U TA M A

8 Prioritas Pembangunan Jawa Barat di 2019 Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Ada delapan prioritas pembangunan yang akan dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat pada 2019. Fokusnya, yaitu pada peningkatan kualitas komponen pembangunan.

Hal tersebut dikemukakan oleh Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher) dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Jawa Barat di Hotel Intercontinental, Jl. Resort Dago Pakar Raya 2B, Kabupaten Bandung, Kamis (12/4/18). Musrenbang ini dilakukan dalam rangka penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Provinsi Jawa Barat Tahun 2019. "Prioritas kita masih pendidikan, kesehatan, masih infrastruktur, tentu fokusnya lebih kita tajamkan pada kualitas SDM, kulitas infrastruktur. Dan pada kemandirian perekonomian, baik itu pangan ataupun non-pangan," ujar Aher.

2

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Kedelapan prioritas pembangunan tersebut, secara rinci Aher paparkan dalam Musrenbang dengan Tema: "Peningkatan Daya Saing Daerah bagi Upaya Mencapai Kemandirian Masyarakat Jawa Barat" ini. Diantaranya: 1.

Penanggulangan kemiskinan dan pengangguran,

2.

Pemanfaatan modal alam untuk pemantapan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan agroindustri berkelanjutan,

3.

Mendorong pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis Koperasi dan Usaha Kecil (KUK),


4.

Peningkatan interkoneksi pusat-pusat pertumbuhan dan infrastruktur wilayah pendukung kegiatan ekonomi,

5.

Peningkatan akses dan kualitas pendidikan rintisan wajib belajar 12 tahun, pelayanan kesehatan masyarakat, dan pelayanan dasar,

6.

Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengendalian pemanfaatan ruang,

7.

Peningkatan Modal Sosial Masyarakat untuk meningkatkan Daya Saing Jawa Barat, serta

8.

Penguatan Reformasi Birokrasi.

Foto: Humas Bappeda

Aher menekankan, peningkatan kualitas ini penting untuk mencapai kemandirian dan pertumbuhan ekonomi. Dampaknya terhadap stabilitas ekonomi dan penguatan devisa negara. "Kita ini boros Dollar. Dollar yang kita punya dikirm ke luar negeri untuk transaksi eksporimpor kita. Tentu penghematan Dollar, penghematan Devisa kita akan bisa kita lakukan manakala kita semakin memperkecil impor dan memperbesar ekspor kita," papar Aher. "Guncangan perekonomian tidak akan terjadi manakala pertumbuhan ekonomi nasional tinggi dan kemandirian ekonomi nasional juga tinggi," tambahnya. Untuk itu, pada kesempatan ini Aher mengajak kepada seluruh jajaran Pemprov Jawa Barat, serta Bupati/Walikota se-Jawa Barat untuk menciptakan kemandirian tersebut. "Oleh karena itu, mari kita hadirkan kemandirian perekonomian. Mari kita hadirkan seluruh kebutuhan masyarakat di Jawa Barat berasal dari kawasan Jawa Barat sendiri," ajak Aher dalam sambutannya.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

3


LAPORAN

U TA M A

Prioritas Pertama, Penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, dengan sasaran: (1) Meningkatnya perlindungan sosial dan pemberdayaan bagi rumah tangga miskin dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS); (2) Meningkatnya kompetensi dan penyaluran tenaga kerja; (3) Mengembangkan kewirausahaan dan penyediaan lapangan kerja; (4) Meningkatnya penguatan kelembagaan dan basis data terpadu; (5) Meningkatnya penyediaan infrastruktur pelayanan dasar dan kualitas rumah layak huni bagi penduduk miskin; dan (6) Meningkatnya sarana penyediaan tenaga listrik di daerah terpencil dan perdesaan bagi penduduk miskin.

Prioritas Ketiga, Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi Melalui Pengembangan Sektor Potensial, dengan sasaran: (1) Meningkatnya kualitas iklim usaha dan investasi; (2) Meningkatnya kemitraan strategis antara usaha besar dengan Koperasi dan Usaha Kecil (KUK); (3) Meningkatnya kualitas destinasi pariwisata; (4) Meningkatnya kapasitas ekonomi kreatif; dan (5) Meningkatnya akses terhadap modal, pemasaran, dan fungsi intermediasi perbankan. Prioritas Keempat, Peningkatan interkoneksi pusat-pusat pertumbuhan dan infrastruktur wilayah pendukung kegiatan ekonomi, dengan sasaran: (1) Meningkatnya pembangunan sarana prasarana utama di Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Lokal (PKL); (2) Meningkatnya kinerja layanan infrasruktur transportasi dan telekomunikasi; (3) Meningkatnya kinerja sistem jaringan irigasi; (4) Meningkatnya ketersediaan dan pelayanan air baku; dan (5) Meningkatnya pembinaan pengembangan energi baru terbarukan dan konservasi energi. Prioritas Kelima, Peningkatan akses dan kualitas pendidikan rintisan wajib belajar 12

4

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Prioritas Kedua, Pemanfaatan modal alam untuk pemantapan ketahanan pangan dan mendorong pertumbuhan agro industri berkelanjutan, dengan sasaran: (1) Tersedianya cadangan pangan yang memadai dan pemenuhan protein hewani; (2) Meningkatnya produksi, inovasi dan nilai tambah hasil pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan melalui pemanfataan teknologi tepat guna; dan (3) Meningkatnya pengelolaan dan pengawasan potensi sumber daya kelautan dan perikanan.

tahun, kesehatan masyarakat, dan pelayanan dasar, dengan sasaran: (1) Meningkatnya akses terhadap pendidikan khusus dan layanan khusus, pendidikan menengah, dan pendidikan dasar; (2) Meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan menengah; (3) Meningkatnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan; (4) Meningkatnya peran serta masyarakat dalam mewujudkan budaya hidup sehat; (5) Meningkatnya upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular dan tidak menular; (6) Meningkatnya kualitas kesehatan ibu dan anak serta gizi masyarakat; (7) Meningkatnya jumlah cakupan layanan air minum; (8) Meningkatnya jumlah cakupan pelayanan air


Meningkatnya mitigasi, ketangguhan, serta kinerja penanggulangan bencana alam; dan (5) Meningkatnya kinerja pengendalian dan pengawasan pemanfaatan ruang. Prioritas Ketujuh, Peningkatan modal sosial masyarakat untuk meningkatkan daya saing Jawa Barat, dengan sasaran: (1) Meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan; (2) Meningkatnya toleransi beragama; dan (3) Meningkatnya budaya gotong royong dalam pembangunan. Prioritas Kedelapan, Penguatan reformasi birokrasi, dengan sasaran: (1) Meningkatnya birokrasi yang bersih dan akuntabel; (2) Meningkatnya birokrasi yang efektif dan efisien; dan (3) Meningkatnya kualitas pelayanan publik. Menteri Dalam Negeri RI diwakili Direktur Jenderal (Dirjen) Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono menilai, Musrenbang harus mengacu pada program Nawa Cita Presiden Joko Widodo- Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kata Sumarsono, tema yang diangkat Musrenbang Jabar tepat dan sesuai dengan RKP 2019 Pemerintah Pusat. “Pilihan tema (Musrenbang Jabar) hari ini sangat tepat. Ini tidak mudah dan berat,” ucap Sumarsono dalam arahannya. Rencana pembangunan nasional harus selaras dengan pembangunan daerah. Tema RKP 2019, yaitu: “Pemerataan Pembangunan untuk Pertumbuhan berkualitas. RKP 2019 menjadi tahun terakhir dari pelaksanaan Nawa Cita.

limbah domestik; (9) Meningkatnya cakupan pelayanan persampahan; (10) Meningkatnya cakupan pelayanan drainase; (11) Meningkatnya akses masyarakat terhadap rumah layak huni dan terwujudnya kawaasan permukiman yang layak. Prioritas Keenam, Peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan sasaran: (1) Meningkatnya pengelolaan daerah aliran sungai melalui konservasi sumber daya alam dan peningkatan tutupan vegetasi; (2) Meningkatnya pengendalian pencemaran air dan udara; (3) Meningkatnya pengendalian dampak perubahan iklim melalui upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; (4)

Sementara itu, Menteri PPN/Kepala Bappenas RI diwakili Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kementerian PPN/Bappenas Pungki Sumadi dalam arahannya mengatakan, tema prioritas nasional dalam RKP 2019 harus didukung oleh Pemda. Lanjut Pungki, ada lima tema yang menjadi prioritas nasional, yaitu: 1. Pembangunan Manusia melalui Pengurangan Kemiskinan dan Peningkatan Pelayanan Dasar, 2. Pengurangan Kesenjangan antarwilayah melalui Penguatan Konektivitas dan Kemaritiman. 3. Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi melalui Pertanian, Industri, serta Pariwisata dan Jasa Produktif lainnya, 4. Pemantapan Ketahanan Energi, Pangan, dan Sumber Daya Air, dan Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

5


LAPORAN

5.

U TA M A

Stabilitas Keamanan Nasional dan Kesuksesan Pemilu.

Diharapkan RKPD 2019 Jawa Barat bisa menjadi pedoman untuk perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, dan pengendalian serta pertanggungjawaban pembangunan daerah. Hal ini juga sebagai langkah harmonisasi, sinkronisasi, dan sinergi usulan program dan kegiatan dari seluruh stakeholder pembangunan yang diharapkan mampu menjawab permasalahan pembangunan di Jawa Barat. Selain itu, RKPD ini diharapkan menjadi upaya peningkatan tata kelola pemerintahan, proses, dan pelaksanaan perencanaan pembangunan dilaksanakan secara transparan, responsif, eďŹ sien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan, sehingga terwujud peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pada Musrenbang ini, Gubernur Aher juga memberikan Penghargaan Pembangunan Daerah (PPD) Tahun 2018 kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kabupaten/kota yang mendapat PPD, diantaranya: I. Kota dengan Perencanaan dan Pencapaian Terbaik Tingkat Provinsi Jawa Barat: 1.

Kota Cimahi

2.

Kota Depok

II. Kabupaten dengan Perencanaan dan Pencapaian Terbaik Tingkat Provinsi Jawa Barat: Kabupaten Bogor

2.

Kabupaten Garut

3.

Kabupaten Cianjur

Foto: Humas Bappeda Jabar

1.

6

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Evaluasi Pembangunan Jawa Barat 2017 Perekonomian Jawa Barat yang ditunjukkan dengan capaian laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,29%, yang berada diatas rata-rata Nasional sebesar 5,07%. Pada 2017, Jawa Barat masih menjadi salah satu penopang utama perekonomian Nasional dengan pangsanya yang mencapai 12,92%, tertinggi ketiga setelah DKI Jakarta (17,43%) dan Jawa Timur (14,61%). Besarnya kontribusi Jawa Barat terhadap perekonomian Nasional disebabkan karena kontribusi sektor industri pengolahan Jawa Barat (ADHB) sebesar 21,13% terhadap industri pengolahan Nasional. Pertumbuhan ekonomi Jawa Barat yang cukup baik, ditandai juga oleh meningkatnya pendapatan masyarakat yang ditunjukkan dengan angka PDRB per kapita (ADHB) sebesar Rp 37,18 juta pada 2017 sedangkan pada 2016 sebesar Rp 34,88 juta. Capaian tersebut berdampak juga terhadap menurunnya angka kemiskinan dari 8,77% pada 2016 menjadi 7,83% pada 2017. Kondisi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya Investasi Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atas dasar harga berlaku sebesar Rp 449,34 Triliun lebih. Peningkatan investasi berdampak terhadap penurunan tingkat pengangguran terbuka sebesar 1,84 juta pada 2017 sedangkan 2016 sebesar 1,87 juta. Selain pertumbuhan ekonomi, keberhasilan pembangunan di Jawa Barat dapat dilihat dari capaian pemerataan pembangunan yang ditunjukkan dengan menurunnya nilai gini rasio sebesar 0,393 pada 2017 sedangkan pada 2016 sebesar 0,42. Provinsi Jawa Barat masuk kategori “Ketimpangan Sedang� karena berada pada kisaran 0,3-0,5. Keberhasilan pembangunan Jawa Barat lainnya dapat dilihat dari capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 70,05 poin Tahun 2016 ditunjukkan dengan capaian Harapan Lama Sekolah (HLS) sebesar 12,30 tahun, Ratarata Lama Sekolah (RLS) sebesar 7,95 tahun, Angka Harapan Hidup (AHH) sebesar 72,44 tahun dan Indeks Daya Beli sebesar 70,24 poin. Keberhasilan tersebut merupakan hasil kerjasama yang baik antara Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat dengan Pemerintah Pusat dan Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan pembangunan. (Humas Jabar)


Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

7


LAPORAN

KHUSUS


Kearifan Kampung Naga Dalam Balutan Kesederhanaan dan Gotong Royong Foto: Humas Bappeda

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

9


LAPORAN

KHUSUS Foto: Humas Bappeda Jabar

M

emegang teguh warisan leluhur, membuat Kampung Naga Tasikmalaya terkenal dengan kearifan lokal akan adat istiadat-nya. Bernama Kampung Naga berasal dari ungkapan orang sunda. Na kosa kata dina yang artinya menunjukan suatu benda atau tempat. Ga adalah kepanjangan Gawir (Sunda buhun), yang artinya tebing tinggi menyerupai lembah. Kampung Naga dibelah oleh sebuah sungai yang langsung membelah lembah 'lembur naga' nama sungai itu ciwulan yang membentang dari arah perbatasan Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Garut. Area Kampung Naga terdiri dari 114 bangunan, semua rumah menghadap ke Utara Barat Daya dengan tepian saling pintu yang tidak terlalu jauh dari rumah lainnya. Hal ini mengisyaratkan kehidupan itu harus saling membagi, jangan jauh dari pintu kekeluargaan, saling membantu, tidak ada strata, semua keluarga dibangun dari daya cipta sang maha Agung Tuhan semesta alam. Lingkungan masyarakat Kampung Naga ini hidup dalam suatu tatanan yang penuh kesahajaan, kesederhanaan dan di dalam lingkungan kearifan tradisional yang lekat dan turun temurun dari leluhurnya.

10

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


Lokasi Kampung Naga Kampung Naga secara administratif berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Di sebelah Barat Kampung Naga dibatasi oleh Hutan Larangan karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah Selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari Kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari Kota Garut jaraknya 26 kilometer. Ratusan anak tangga akan menyambut hingga dapat sampai ke pemukiman Kampung Naga.

Asal Usul Kampung Naga

Foto: Humas Bappeda Jabar

Masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan asli suku sunda. Menurut pemaparan Ucu Suherlan sebagai juru pelihara Kampung Naga, memaparkan bahwa masyarakat Kampung Naga merupakan keturunan dari Kerajaan Galuh Pasundan. Sebelum Kampung Naga dibangun di perkampungan lembah subur Desa Neglasari, masyarakat tinggal di lereng-lereng Gunung Galunggung. Nenek moyang masyarakat Kampung Naga dimakamkan di bukit sebelah Barat kampung bernama Sembah Dalem Singaparna. Dinamakan Singaparna karena konon nenek moyangnya dapat menaklukan singa yang mengamuk dengan kesaktiannya.

Menurut informasi yang kami himpun dari Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat, Sejarah/asal usul Kampung Naga menurut salah satu versi nya bermula pada masa kewalian Syeh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati dengan koordinat Latitude -7.363722 dan Longitude 107.994425, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Di tempat tersebut, Singaparana oleh masyarakat Kampung Naga disebut Sembah Dalem Singaparana. Suatu hari ia mendapat ilapat atau petunjuk harus bersemedi. Dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga. Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya. Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga. Dulu masyarakat tinggal di atas pohon besat untuk menghindari serangan binatang buas. Buktinya, saat ini rumah di Kampung Naga sama rata berbentuk rumah panggung. Lantainya terbuat dari papan dan berada sekitar satu meter dari permukaan tanah. Di bawah lantai rumah, masyarakat memelihara berbagai jenis binatang ternak, khususnya ayam.Sedangkan ternak-ternak besar seperti kerbau, domba, dll dipelihara di depan perkampungan sebelah kiri dekat kolam di area perkampungan Kampung Naga. Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

11


LAPORAN

KHUSUS

Rumah Ijuk Kampung Naga Area pemukiman Kampung Naga hanya dibatasi seluas 1,5 hektar. Diluar pemukiman masyarakat adat, sepakat diluar area pemukiman dipakai sebagai kolam ikan, tempat mandi, pemakaman. Menurut Bapak Eri sebagai guide dari Kampung Naga, pengaturan luasan area ini berguna untuk menjaga keseimbangan alam di Kampung Naga. Area permukiman hanya mampu menampung 110 rumah. Seluruh rumah menjadi aset turun temurun hingga anak cucu. Dalam area pemukiman terdapat masjid, ruang serbaguna dan tempat penyimpanan lumbung padi, dan bumi ageung. Sehingga jumlah bangunan adalah 114 dalam 1,5 hekar. Untuk membatasi 1,5 hektare tanah adat ini dipasang pagar bambu pendek sebagai penanda di sekeliling area. Atap rumah warga terdiri atas dua lapis. Daun tepus untuk lapisan dalam dan ijuk di lapisan luar. Sementara itu, dinding rumah memakai anyaman bambu yang khas, yaitu anyaman sasak. Setiap rumah warga Kampung Naga memiliki empat ruangan, yaitu ruang keluarga dan tamu, dapur, k a m a r t i d u r, d a n g o a h ( s e j e n i s g u d a n g penyimpanan padi di bagian dapur). Masingmasing rumah memiliki dua pintu masuk, yaitu ke dapur dan ruang tamu. Sehari-hari, penghuni keluar-masuk melalui pintu dapur. Barulah jika ada tamu, dibukakan pintu ruang tamu. Untuk aktivitas mandi dan mencuci peralatan dapur, setiap warga harus berjalan ke kolam mandi dan cuci yang terletak di luar permukiman. Sumber air minum pun berada di luar permukiman. Mengingat tidak ada aliran listrik ke kampung ini, selepas Magrib, warga akan memasang petromaks untuk penerangan, utamanya menerangi anak-anak yang belajar. Menjelang tidur, penerangan diganti dengan lentera.

Alasan banyak anak muda yang ingin tinggal di Kampung adat daripada merantau karena kehidupan di Kampung Naga dipercaya begitu sederhana, dan tak perlu bekerja keras untuk bisa mencukupi kehidupan sehari-hari. Segala kebutuhan sudah dapat terpenuhi sangat mudah dengan fasilitas bersama untuk Kampung Naga, dengan nilai “sama rata� antar penghuni rumah.

Rumah Turun Temurun

Agama dan nilai ajaran Kampung Naga

Kehidupan di Kampung Naga dan diluar Kampung Naga sangat berbeda. Bagi keluarga yang sudah memiliki anak yang akan berkeluarga, maka salah satu harus ada yang keluar dari rumah. Pilihannya adalah orangtua yang keluar dari rumah adat, atau anaknya yang baru berkeluarga yang harus keluar. Tetapi rata-rata, menurut Bapak Eri dalam pemaparan sebagai guide Kampung Naga. Anaklah yang tinggal di rumah adat, sedangkan orang tua yang keluar dari rumah adat. Tidak hanya rumah, tetapi lahan bertani, atau untuk mata

Seluruh masyarakat Kampung Naga memeluk agama islam. Agama Islam diperkirakan masuk ke kampung Naga pada abad XIV. Salah satu hal yang unik di Kampung Naga adalah dikaitkannya hari raya umat Islam dengan larangan adat yang berlaku di desa tersebut. Terdapat tiga hari larangan mengadakan kegiatan adat, yaitu pada Selasa, Rabu, dan Sabtu. Pada hari-hari tersebut, Kampung Naga tidak boleh melakukan kegiatan adat. Hari larangan merupakan amanat dari nenek moyang.

12

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

pencaharian bahkan juga diberikan oleh orangtua u n t u k m e n c u k u p i ke h i d u pa n s e h a ri - h a ri , khususnya untuk makan.


Wujud rumah pun menunjukkan sikap kesederhanaan dan lebih terasa membaur dengan alam, sebagaimana manusia adalah bagian dari alam itu sendiri. Unsur-unsur alam begitu melekat pada setiap bagian rumah; kayu, bambu, ijuk, dan batu. Namun, bukan berarti warga Kampung Naga bisa seenaknya saja mengambil materi di hutan untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan. Warga Kampung Naga memiliki lahan tersendiri yang ditanami pepohonan untuk kebutuhan kayu dan bambu ini. Bahkan kayu bakar yang digunakan untuk alat memasak pun diambil dari lahan khusus mereka.

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Apa yang sudah diamanatkan dan diwasiatkan oleh nenek moyang tidak boleh dilanggar karena akan ada akibatnya dengan istilah 'pamali'. Upaya masyarakat adat memegang teguh ajaran leluhur membuat hidup bermasyarakat di Kampung Naga menjadi lebih terjaga kerukunannya. Di setiap umah di atas atapnya ada bagian mirip tanduk. Bentuknya mirip peace, menandakan perdamaian. Kehidupan masyarakat Kampung Naga penting damai, sederhana, Sikap kesederhanaan dan gotong royong begitu kental di Kampung Naga. Apabila ada rumah yang renovasi, maka seluruh warga akan bergotong royong membantu renovasi suatu rumah. Banyak kearifan di Kampung Naga ini dengan memegang teguh nilai-nilai para leluhur. Nilai yang diterapkan leluhur ini terdapat banyak manfaatnya. Contohnya penggunaan ijuk untuk atap rumah. Ijuk memberikan rasa dingin dan adem saat siang hari, dan rasa hangat pada malam hari. Bahkan ijuk yang digunakan sebagai atap ini bisa bertahan sampai 40 tahun. Dengan nilai yang jauh lebih ekonomis dibandingkan genting, ternyata manfaat dan ketahanannya pun dapat diandalkan.

Nilai gotong royong dan kebersamaan yang sudah ditanamkan sejak dulu membuat masyarakat Naga tak pernah lupa untuk menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan umum. Karena itu, selain memiliki lumbung masing-masing di setiap rumah, Kampung Adat memiliki Lumbung Umum tersendiri. Sisihan hasil panen setiap warga ini disimpan di dalam lumbung ini dan dipergunakan untuk kepentingan bersama, misalnya untuk sajian menyambut tamu, atau upacara-upacara adat yang diselenggarakan. Masyarakat Kampung Naga mengenal sistem tanam JANLI (Januari-Juli). Menanam padi dua kali dalam setahun, setiap Januari dan Juli yang dipercaya sebagai bulan bersih dari hama. Hutan Larangan atau disebut Hutan Keramat tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Hal ini tidak ada hubungannya dengan mistis. Sebenarnya, para leluhur ingin menjaga keselarasan alam dan kehidupan manusia. Mereka percaya bahwa datangnya bencana alam itu berasal dari akhlak manusia itu sendiri. Sehingga, Hutan Larangan memang dibuat untuk mempersiapkan kebutuhan masa depan.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

13


LAPORAN

KHUSUS

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Mata pencaharian Mata pencaharian masyarakat Naga yang utama adalah bercocok tanam. Lahan usaha masyarakat Kampung Naga dibuat dibangun diluar area pemukiman warga yang 1,5 hektar. Sesepuh Kampung Naga tidak pernah membatasi lahan usaha masyarakat Kampung Naga. Meski pesawahan di sekitar kampung adat banyak dimiliki masyarakat Naga, bukan berarti mereka tidak bisa memiliki lahan di lokasi lain yang lebih jauh. Dan itu selalu dimungkinkan dan sangat diperbolehkan. Sesepuh Kampung Naga tidak akan menutup pintu rezeki masyarakatnya, dari mana pun pintu rezeki itu mengalir. Mata pencaharian lainnya diperoleh dari usaha ternak, budidaya ikan, dan menjual keahlian. Adapun untuk masyarakat keturunan Naga yang sudah tinggal di luar wilayah Kampung Adat atau merantau di kota lain, beragam profesi pun menjadi mata pencaharian mereka, mulai dari kar yawan pemerintahan, kar yawan swasta, maupun bekerja di sektor-sektor industri lainnya.

Sistem organisasi di Kampung Naga Kampung Naga dipimpin oleh satu lembaga adat yang terdiri dari tiga tokoh adat, yaitu kuncen, lebe adat, dan punduh adat, yang dijabat secara turun-temurun dan tidak dipilih oleh warga. Kuncen ber tugas sebagai pemangku dan 14

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

pemimpin upacara adat. Lebe mempunyai tugas membantu pihak yang meninggal, dari memandikan sampai menguburkan, kemudian punduh mempunyai tugas sebagai penyebar informasi ke masyarakat. Ada banyak juga warga asli Kampung Naga yang bertempat tinggal di luar desa khususnya di tiga kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya, yaitu Slawu, Puspahiyang, dan Cigalontang. Keturunan Kampung Naga yang tinggal di luar disesuaikan dengan kondisi luar, artinya boleh memakai rumah permanen dan listrik, namun tetap mengikuti upacara adat setahun enam kali, terutama setiap hari besar Islam.

Pamali Pamali bagi masyarakat Kampung Adat Naga Tasikmalaya tidak hanya mitos, tetapi memang baku tidak boleh dilanggar. Dalam bahasa arab, pamali sama artinya dengan thiyarah atau tathoyyur (mempercayai adanya) yang merupakan salah satu dari bentuk-bentuk kesyirikan yang tersebar luas di masyarakat. Pamali ini bisa menjadikan kesialan kepada sesuatu yang dilihat, didengar, diketahui atau yang dilakukan. Pamali bisa juga disebut dengan pantangan. Contoh beberapa hal yang menjadikan pamali bagi masyarakat Kampung Naga adalah pergi ke hutan larangan. Dalam hutan larangan terdapat makam


leluhur masyarakat Kampung Naga, sehingga begitu keramat dan tidak boleh dimasuki oleh siapapun. Kepercayaan di Kampung Naga adalah bahwa segala sesuatunya yang bukan dari ajaran para leluhur dianggap sesuatu yang tabu. Adanya pamali sangat dipercaya dengan taat oleh masyarakat Kampung Naga dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Penduduk Kampung Naga begitu kental dengan kepercayaan terhadap mahluk halus. Dalam beberapa tempat, masyarakat kampung adat terbiasa menyimpan sesajen. Masyarakatnya begitu taat kepada nilai dan ajaran para leluhur. Dibuktikan dengan bentuk rumah, letak rumah, pakaian yang digunakan dalam upacara, kesenian, dan kepercayaan terhadap waktu yang disebut dengan palintangan. Palintangan adalah waktu atau bulan yang dianggap buruk, dalam bulan ini pantang melaksanakan suatu rangkaian ritual atau pekerjaan penting. Berbincang bersama Aki Maun yang merupakan salah satu sesepuh di Kampung Naga memaparkan bahwa masyarakat kampung adat sangat memegang teguh ajaran leluhur sunda. Yakni, silih asih, silih asuh, silih asah. Selain itu, Aki Maun juga tetap menjalankan pesan para leluhur Kampung Naga. Yaitu, kumaula ka agama Islam sareng darigama (patuh dan setia pada ajaran agama Islam dan negara). Panyaur na enggal temonan (segera penuhi panggilan dari agama dan negara), parentah na enggal lakonan (perintah agama dan negara segera laksanakan) dan pamundut na enggal pasihan (apa yang dipinta oleh agama dan negara segera berikan).

Kehidupan Sosial dan Seni

oleh sesepuh Kampung Naga kepada warganya. Hanya saja ditekankan agar mereka tetap tidak melupakan asal-usul mereka, karena darah mereka tetap saya mengalir dari leluhur masyarakat Kampung Naga. Di Kampung Naga sendiri terdapat beberapa jenis kesenian, di antaranya Angklung dan Terbang Sejak. Kedua jenis kesenian ini besifat hiburan dan bisa dimainkan kapan saja. Berbeda dengan kesenian Terbang Gentung yang hanya bisa dimainkan pada waktu-waktu tertentu saja terkait dengan acara keagamaan. Terbang Sejak dan Terbang Gentung adalah kesenian dengan alat musik serupa rebana. Hanya saja alat musik untuk Terbang Sejak terdiri dari beberapa susunan alat musik berbagai ukuran, dari yang kecil sampai b e s a r , s e d a n g k a n Te r b a n g G e n t u n g mempergunakan alat musik yang berukuran besar semua.

Monumen Kujang Pusaka Monumen ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, pada tanggal 16 April 2009. Di atas tugu ini terdapat sebilah kujang (senjata tradisional Jawa Barat) raksasa bersepuh emas, dan merupakan Monumen Pusaka Terbesar di Dunia. Yang menarik, kujang tersebut dibentuk dari leburan kurang lebih 900 buah benda pusaka peninggalan raja-raja Sunda dan Nusantara. Pembuatan kujang raksasa ini dilaksanakan di Solo selama 39 hari dan dikerjakan oleh 9 orang Empu. Bagian bawah monumen, terdapat ruangan kecil yang berisi beberapa benda pusaka dari berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya benda-benda pusaka tersebut tidak boleh didokumentasikan kamera. (Humas Bappeda Jabar/ Shinta)

Masyarakat Kampung Naga bukanlah masyarakat yang ter tutup. Meski tetap mempertahankan adat dan tradisi, mereka selalu terbuka terhadap perubahan. Hanya saja mereka harus memilah mana yang harus diikuti dan bisa diterapkan ke dalam budaya yang sudah ada, dan mana yang hanya sekadar untuk diketahui saja. Anak-anak masyarakat Naga tetap bersekolah di luar lingkup Kampung Adat. Warga keturunan Kampung Naga yang merantau ke kota lain tidak diharuskan untuk membawa budaya Kampung Naga ke tempat yang mereka tinggali. Misalnya dalam pembuatan rumah tidak harus selalu dengan bambu dan kayu beratapkan ijuk. falsafah 'di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung' diberikan Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

15


WAWA S A N PERENCANAAN

Analisis Kemampuan Lahan untuk Perencanaan Pengembangan Wilayah di Kabupaten Kuningan

Iwan Mulyawan Perencana Ahli Muda Bappeda Kabupaten Kuningan

Pengembangan wilayah merupakan upaya pembangunan yang dilakukan terus menerus dengan memanfaatkan sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia dalam suatu wilayah agar tercapai kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidupnya.


Foto: Humas Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

17


Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Pendahuluan

P

engembangan wilayah merupakan upaya pembangunan yang dilakukan terus menerus dengan memanfaatkan sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia dalam suatu wilayah agar tercapai kualitas kesejahteraan masyarakat dan lingkungan hidupnya. Pengembangan wilayah dapat dirumuskan sebagai rangkaian upaya untukmewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumberdaya, merekatkan danmenyeimbangkan pembangunan nasional dan kesatuan wilayah nasional, meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Kivell (1993:16) kualitas lahan merupakan kendala fisik yang menjadi h a m ba t a n b e s a r d a n m e m ba t a s i a kt i v i t a s pembangunan. Keterbatasan kemampuan lahanmenunjukkan bahwa tidak semua upaya pemanfaatan lahan dapat didukung oleh lahantersebut. Kemampuan lahan untuk dapat mendukung upaya pemanfaatannya, akan sangattergantung dari faktor-faktor fisik dasar yang terdapat pada lahan tersebut, baik berupalingkungan hidrologi, geomorfologi, geologi dan atmosfir. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan optimasi pemanfaatan lahan

18

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

d e n g a n m e m p e r t i m ba n g k a n p e re n c a n a a n pemanfaatan lahan secara seksama sehingga dapatmengambil keputusan pemanfaatan lahan yang paling menguntungkan (Sitorus,1995).Prinsip penentuan kesesuaian lahan untuk suatu pemanfaatan, pada dasarnya dilakukandengan pertimbangan berbagai aspek diantaranya aspek fisik, untuk menghindarimunculnya dampak negatif dari pemanfaatan yang tidak optimal. Dampak negatif yangmuncul dari pemanfaatan lahan yang melebih kemampuannnya berupa penurunankualitas lingkungan seperti terjadi bencana banjir, tanah longsor dan penurunan muka airtanah. Pengembangan wilayah dilaksanakan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat komprehensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup untuk pembangunan berkelanjutan.Dalam jangka panjangnya pengembangan wilayah mempunyai target untuk pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Cara mencapainya bersandar pada kemampuan SDM dalam memanfaatkan lingkungan sekitar dan daya tampungnya serta kemampuan lahan yang ada.


Analisis Kemampuan Lahan di Kabupaten Kuningan

“

Konsekuensi dari pesatnya perkembangan wilayah di Kabupaten Kuningan, mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk sekaligus berbagai aktivitas pembangunan, baik secara ďŹ sik, ekonomi maupun sosial budaya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, terjadi pula peningkatan kebutuhan lahan mengingat fungsi lahan sebagai ruang yang mewadahi penduduk dan aktivitasnya, terutama u n t u k p e m a n f a a t a n ke g i a t a n p e r ko t a a n . Peningkatan kebutuhan lahan perkotaan dengan sisi lainnya terdapat keterbatasan ketersediaan dan kemampuan lahan, mengharuskan perencanaan pengembangan wilayah dilakukan secara optimum. Salah satu pertimbangan yang harus dilakukan adalah pertimbangan aspek ďŹ sik dasar lahan yang meliputi aspek sumberdaya air, karakteristik tanah dan batuan, kemiringan lereng serta kerentanan bencana, yang kesemuanya merupakan pencerminan dari kemampuan lahan. Analisis ini dilaksanakan dalam rangka memperoleh gambaran tingkat kemampuan lahan guna dikembangkan sebagai perkotaan serta sebagai acuan bagi arahan-arahan kesesuaian lahan pada tahap analisis berikutnya. Salah satu sasarannya sebagai dasar penentuan arahanarahan kesesuaian lahan pada tahap analisis berikutnya dan rekomendasi pemanfaatan lahan guna kebutuhan perencanaan spasial.

Konsekuensi dari pesatnya perkembangan wilayah di Kabupaten Kuningan, mengakibatkan terjadinya peningkatan kebutuhan lahan sebagai ruang yang mewadahi penduduk dan aktivitasnya, terutama untuk pemanfaatan kegiatan perkotaan.

1.

Analisis SKL Morfologi Untuk memilah bentuk bentang alam/morfologi pada wilayah dan/atau kawasan perencanaan yang mampu untuk dikembangkan sesuai dengan fungsinya. Analisis ini melibatkan data masukan berupa data morfologi dengan klasiďŹ kasi bergunung yang memiliki kemampuan lahan dari morfologi tinggi, berbukit dan bergelombang yang memiliki kemampuan lahan dari morfologi cukup, berombak yang memiliki kemampuan lahan dari morfologi sedang, landaiyang memiliki kemampuan lahan dari morfologi kurang, dan datar yang memiliki kemampuan lahan dari morfologi rendah.

2.

Analisis SKL Kemudahan Dikerjakan Untuk mengetahui tingkat kemudahan lahan di wilayah dan/atau kawasan untuk digali/dimatangkan dalam proses pembangunan/pengembangan kawasan. Analisis ini membutuhkan data masukan berupa topograďŹ , morfologi, kemiringan/lereng, jenistanah, penggunaan lahan eksisting. Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

19


3.

Analisis SKL Kestabilan Lereng Untuk mengetahui tingkat kemantapan lereng di wilayah pengembangan dalam menerima beban atau dalam pengertian lainnya bahwa secara ďŹ sik, lahan tersebut cukup stabil(aman) untuk dimanfaatkan sekaligus relatif mudah dalam pelaksanaan aktivitas pembangunan baik dalam penggalian maupun pengurukan tanah dan batuan. Pelaksanaan aktivitas pembangunan yang relatif mudah sudah tentu teknologi dan peralatan yang digunakan sederhana pula sehingga secara tidak langsung, biaya yang akan dikeluarkan relatif tidak terlalu tinggi. Analisis inimembutuhkan masukan data topograďŹ , morfologi, kemiringan/lereng, jenis tanah, hidrogeologi, curah hujan, bencana alam (rawan bencana gunung berapi d a n ke re n t a n a n g e r a k a n t a n a h ) d a n penggunaan lahan.

4.

Analisis SKL Kestabilan Pondasi Untuk mengetahui tingkat kemampuan lahan untuk mendukung bangunan berat dalam pengembangan perkotaan, serta jenisjenis pondasi yang sesuai untuk masingmasing tingkatan. Konstruksi prasarana dan sarana serta bangunan yang secara teknis kuat di suatulingkungan tidak berarti bahwa konstruksinya aman dari keruntuhan,apalagi wilayah tersebut kemampuan lahannya dalam menunjang kestabilan pondasisangat rendah. Permukiman yang terletak pada daerah yang memiliki kemampuan lahandalam menunjang kestabilan pondasi yang sangat rendah, cenderung menimbulkan kerugian materi ataupun ko r b a n j i w a d i k a r e n a k a n r u n t u h n y a konstruksi bangunan di daerah tersebut. Analisis inimembutuhkan masukan kestabilan lereng, jenis tanah, kedalaman efektif tanah, tekstur tanah, hidrogeologi dan penggunaanlahan eksisting.

5.

Analisis SKL Ketersediaan Air Manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari pasti membutuhkan air dalam melakukan aktivitasnya. Air tanah merupakan suatu sumber air yang penting, dikarenakan air tanah relatif tidak terkontaminasi

20

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

dibandingkan air permukaan. Manusia sebagai penghuni darisuatu lingkungan permukiman, maka air tanah sangatlah penting bagi pengembangan perkotaan. Ketersediaan air tanah pada suatu lahan merupakan hal yang sangat penting, mengingat fungsi air tanah sebagai sumber pasokan air bersih untuk berbagai kebutuhan, terutama disaat kemarau panjang dimana air permukan tidak mencukupi. Bertolak dari hal tersebut,maka analisis satuan kemampuan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui kemampuan lahan dalam menunjang ketersediaan air tanah.Analisis ini membutuhkan masukan berupamorfologi, kelerengan, curah hujan, hidrogeologi, jenis tanah danpenggunaan lahan eksisting.


7.

Analisis SKL Erosi Untuk mengetahui daerah-daerah yangmengalami keterkikisan tanah, sehingga dapat diketahui tingkat ketahanan lahan terhadap erosi serta antispasi dampaknya pada daerah yang lebih hilir. Analisisini membutuhkan masukan berupa morfologi, kemiringan/lereng, jenistanah, hidrogeologi, tekstur tanah, curah hujan dan penggunaan lahan eksisting.

8.

Analisis SKL Pembuangan Limbah Untuk mengetahui mengetahui daerahdaerah yang mampu untuk ditempati sebagai lokasi penampungan akhir danpengeolahan limbah, baik limbah padat maupun cair.Analisis ini membutuhkan masukan berupa morfologi, kemiringan/lereng, topograďŹ , jenis tanah, hidrogeologi, curah hujan dan penggunaan lahan eksisting

9.

Foto: Humas Bappeda Jabar

6.

Analisis SKL Bencana Alam Untuk mengetahui tingkatkemampuan lahan dalam menerima bencana alam khususnya dari sisi geologi, untuk menghindari/ mengurangi kerugian dari korban akibat bencana tersebut. Analisis ini membutuhkan masukan berupa data morfologi, kemiringan/lereng, topograďŹ , jenis tanah, tekstur tanah, curah hujan, bencana alam (rawan gunung berapi dan kerentanan gerakan tanah) dan penggunaan lahan eksisting.

Analisis SKL Drainase Analisis satuan kemampuan lahan ini bermaksud untuk mengetahui kemampuan lahandalam menunjang sistem drainase dan pematusan secara alamiah yang sangat d i b u t u h k a n d i d a l a m p e n g e m ba n g a n perkotaan. Kemampuan lahan yang baik, ditunjukkan dengan relatif mudah pembuatan drainase pada lahan tersebut ser ta karakteristik ďŹ sik lahan yang memudahkan terjadinya pengaliran dan pematusan/ penyerapan air buangan sehingga akan mengurangi keterjadian genangan air (banjir). Analisis ini membutuhkan data morfologi, kemiringan/ lereng, topograďŹ , jenis tanah, curah hujan, kedalaman efektif tanah, dan penggunaan lahan eksisting.

10. Analisis Kemampuan Lahan Informasi daya dukung lahan merupakan suatu salah satu masukan dalam penyusunan rencana pola ruang revisi RTRW Kabupaten Kuningan juga dalam mengarahkan sekaligus mengantisipasi kemungkinan terjadinya perluasan pemanfaatan lahan terbangun yang tidak terkendali atau secara besar-besaran termasuk pemanfaatan lahan terbangun.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

21


Gambar 1 Peta Hasil Analisis Kemampuan Lahan Kabupaten Kuningan

Gambar 1 menunjukkan hasil formulasi beberapa variabel SKL dalam menghasilkan suatu i n f o r m a s i ba r u b e r u pa ke m a m p u a n l a h a n . Pemanfaatan lahan di kawasan kelas pengembangan sangat tinggi merupakan kawasanpaling ideal, dikarenakan relatif tidak adanya hambatan ďŹ sik yang berarti untukpengembangan perkotaan.Selain itu, pengembangan kawasan dilakukan dengan menyediakan lahan untuk kegiatan usaha, pengaturan tata ruang untuk berbagai kegiatan penduduk, menyediakan prasarana dan sarana seperti jalan,listrik , air bersih (Laiko, 2010). Pengembangan dunia usaha dilakukan antara lain dengan menciptakan iklim usaha yang baik melalui p e n e t a pa n ke b i j a k a n d a n p e r a t u r a n y a n g memudahkan pelaku ekonomi untuk menjalankan usahanya, menyediakan informasi mengenai

22

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


perijinan, kebijakan dan rencana pemerintah daerah, sumber-sumber pendanaan, dan lain lain; mendirikan media konsultasi bagi pengusaha dan masyarakat mengenai peluang usaha, masalah-masalah yang dihadapi, dan lain-lain. Sementara itu, pada kawasan kelas kemampuan lahan pengembangan rendah merupakan kawasan dengan kemampuanlahan yang paling rendah. Kondisi ini dikarenakan oleh banyaknya hambatan ďŹ siklahan yang terdapat pada kelas kemampuan lahan bagi pengembangan perkotaan.

Rekomendasi

1

Analisis ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam perencanaan pemanfaatan lahandengan mengedepankan skala prioritas pengembangan perkotaan pada kawasan kemampuan lahan terbaik (kemampuan pengembangan sangat tinggi) kemudian berangsur-angsur pada kawasan pengembangan agak tinggi, kemampuan pengembangan sedang, dan kemampuan pengembangan rendah. Analisis ini menjadi bahan masukan dalam merencanakan pola ruang dalam kegiatan revisi RTRW Kabupaten Kuningan;

2

Pemanfaataan lahan perkotaan pada kawasan yang memiliki kemampuan lahan yang tinggi pada pelaksanaannya tetap memperhatikan beberapa hal berupaterutama menghindari rencana pemanfaatan lahan perkotaan pada lahan yang jenis penggunaan lahannya berupa lahan pertanian tanaman pangan pada lahan basah maupun hutan negara serta menghindari pemanfaatanlahan yang cenderung menyebar ataupun berkembang secara lompat katak (leap frog);

3

Pemerintah daerah harus dapat mengendalikan pemanfaatan ruang berdasarkan tingkatan kemampuan lahan tersebut dengan ditunjang oleh seperangkat kebijakan insentif dan disinsentif. Kebijakan insentif dan disinsentif tersebut dapat berupa: -

Insentif dan disinsentif ďŹ sik Kebijakan insentif ďŹ sik yaitu dengan mempersiapkan kawasan kemampuan lahan pengembangan sangat tinggi dan

agak tinggi dengan mengadakan sarana dan prasarana pendukung bagi kegiatanpermukiman berupa penyedian sarana prasarana umum. Kebijakan disinsentif ďŹ siknya dengan mempertimbangkan untuk menunda atau mengalihkan rencana pengembangan sarana dan prasarana umum dari kawasan kemampuan lahan pengembangan sedang ke kawasan pengembanganagak tinggi ataupada kawasan yang tidak termasuk pada rencana pemanfaatan lahan untuk perkotaan. -

Insentif dan disinsentif ekonomi Kebijakan insentif ekonomi yaitu dengan memberikan keringanan biaya dan kemudahan pengurusan perizinan pembangunan bagi masyarakat atau investor yang bermaksud untuk mengembangkan perkotaan di kawasan kemampuan lahan agak tinggi dan sangat tinggi.Kebijakan disinsentif ekonomi merupakankebalikan dari kebijakan i n s e n t i f y a i t u d e n g a n memper timbangkan pengenaan pajakdan retribusi perijinan yang relatif lebih tinggi, sesuai dengan tingkat kemampuan rendah dan sedang.

Daftar Pustaka Kivell, Philip. 1993. Land And The City: Patterns And Processes Of Urban Change, London, Routledge. Laiko, Firman. 2010. Pengembangan Permukiman BerdasarkanAspek Kemampuan Lahan Pada Satuan WilayahPengembangan I Kabupaten Gorontalo. Tesis.Program PascasarjanaMagister Teknik Pembangunan Wilayah dan KotaUniversitas Diponegoro Semarang Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007. Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang. Sitorus, Santun, RP.1995. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Bandung: Tarsito.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

23



WAWA S A N PERENCANAAN

Penanggulangan Kemiskinan dalam Perspektif Islam Sebagai Inspirasi Model Pemberdayaan Masyarakat di Jawa Barat

Oleh : Firdaus Saleh (Doktor Filsafat Nilai UGM Yogyakarta dan Wakil Ketua Dewan Masjid Indonesia Provinsi Jawa Barat)

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

25


I.Pendahuluan Penduduk Jawa Barat yang beragama Islam begitu dominan, menurut data BPS Provinsi Jawa Barat pada tahun 2016 mencapai 94,2%, sedangkan penduduk yang mengalami kemiskinan mencapai 7,83% (Sep'2017). Tentu, besaran persentase kemiskinan ini beruktuatif menurut dimensi waktu, bahkan bila menggunakan data Bank Dunia akan jauh lebih besar karena menggunakan pengukuran indikator yang berbeda. Bila kedua data tersebut dipersandingkan, maka penduduk miskin di Jawa Barat didominasi oleh penduduk yang beragama Islam. Fenomena kemiskinan yang dialami penduduk dan keluarga miskin yang beragama Islam ini telah berlangsung lama, tetapi berbagai program penanggulangan kemiskinan yang digulirkan pemerintah belum sepenuhnya mampu mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh, hanya dapat menurunkan persentase tingkat kemiskinan. Kajian berbagai konsep Islam dalam penanggulangan kemiskinan sebagai upaya untuk mendapatkan model-model implementatif yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di Jawa Barat sangat diperlukan. Upaya membedah konsep I s l a m d a l a m m e n a n g g u l a n g i ke m i s k i n a n membutuhkan kerangka epistemologis yang mengacu kepada Al Qur'an dan Assunah sebagai landasan utama. Dalam perspektif Islam, bahwa orang yang tidak menganjurkan memberikan makan orang miskin dapat dikatagorikan sebagai pendusta agama, sebagaimana yang tertuang dalam Al Qur'an (107; 1-3) : Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama ?. Itulah orang mengusir anak yatim, dan tidak menganjurkan orang lain memberikan makan orang miskin. Dengan demikian, setiap orang Islam berkewajiban memperhatikan nasib orang miskin agar orang miskin dapat dibantu keluar dari kemiskinannya dan orang yang tidak miskin minimal dapat memberikan makan orang miskin. Islam memandang kemiskinan sepenuhnya merupakan masalah struktural, karena Allah telah menjamin rezeki setiap makhluk hidup yang melata di bumi, sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an (11:6) dan (30:40). Rezeki dapat diperoleh di antaranya melalui usaha dan ihtiar dalam bentuk mencari nafkah bagi setiap orang (QS; 67:15). Ketidakmampuan dalam mencari nafkah sebagai s u m b e r u n t u k m e m p e ro l e h p e n d a pa t a n , diakibatkan oleh kekurangberdayaan diri dalam

26

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

berperilaku secara ekonomi, baik dari sisi konsumsi, p ro d u k s i , m a u p u n d i s t r i b u s i y a n g l e b i h berorientasi pada maksimalisasi kepuasan tanpa memper timbangkan kemanfaatan yang didasarkan nilai kebarokahan hidup. Di luar keberadaan dirinya terdapat faktor eksternal yang mendorong menjadi miskin karena terkena dampak sistem ekonomi yang kurang kondusif, bahkan terkadang terjadi eksploitatif yang dilakukan rentenir yang dilakukan orang atau lembaga yang memberikan pinjaman dengan bunga tinggi yang mempengaruhi kebadaan kemiskinan dirinya. Fakir miskin di lingkungan masyarakat, dalam perspektif Islam secara jamak merupakan bagian


Foto: Humas Bappeda Jabar

“

Penduduk Jawa Barat yang beragama Islam begitu dominan, menurut data BPS Provinsi Jawa Barat pada tahun 2016 mencapai 94,2%, sedangkan penduduk yang mengalami kemiskinan mencapai 7,83%

dari umat yang membutuhkan pemberdayaan dalam memenuhi kehidupan dari aspek ekonomi, sosial dan politik. Walaupun penciptaan manusia oleh Allah dinyatakan sebaik-baik bentuk (QS, 95: 4), baik unsur jasmani maupun ruhani sebagai satu-kesatuan yang tidak terpisahkan, yang menurut Notonagoro (1995) bersifat monodualis, karena ruhani mengandung 3 (tiga) unsur akal, rasa, dan karsa dan unsur jasmani juga terdiri dari 3 (tiga) unsur berupa unsur benda mati (kimiawi), unsur binatang, dan unsur tumbuhan) merupakan satu-kesatuan. Dalam perspektif pemberdayaan, kedua unsur ruhani dan jasmani dalam satukesatuan inilah yang harus dikelola dan dikembangkan dalam setiap diri manusia yang akan diberdayakan. Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

27


Konsep pemberdayaan masyarakat merupakan bagian dari strategi kebudayaan dalam mendorong ketidakberdayaan masyarakat agar harkat dan martabatnya lebih baik. Konsep gerakan pemberdayaan ini mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok adalah memberikan kedayaan (power) kepada masyarakat. Menurut Simon (1990), pemberdayaan adalah suatu aktivitas reflektif dari suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri-sendiri (self determation). Sementra proses lainnya di luar subjek, hanya akan memberi iklim, hubungan, sumber-sumber, dan alat-alat prosedural yang melalui masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya. Dalam realitas kehidupan masyarakat terjadinya pemberdayaan biasanya adanya stimulasi dari luar subjek (orang miskin) yang mendorong terjadinya pemberdayaan dalam diri manusia itu sendiri.

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

II. Karateristik dan Akar Penyebab Kemiskinan Kemiskinan dalam Al-Qur'an digambarkan dengan 10 jenis kosa-kata yang berbeda, antara lain ; (1) Al-maskanat (kemiskinan); (2) Al-faqr (kefakiran), (3) Al-'ailat (mengalami kekurangan); (4) Al-ba'sa (kesulitan hidup); (5) Al-imlaq (kekurangan harta); (6) Al-sail (peminta); (7) Almahrum (tidak berdaya); (8) Al-qani (kekurangan dan diam); (9) Al-mu'tarr (Yang perlu dibantu); (10) Al-dha'if (lemah). Kesepuluh kosa kata tersebut memiliki keterkaitan dalam memaknai kemiskinan yang tentu terkait dengan penanggulangan kemiskinan dalam kehidupan masyarakat. 28

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Definisi dalam memaknai kemiskinan bersifat multidimensional dan memiliki sudut pandang berbeda untuk merumuskannya. Dalam perspektif Islam, siapa sebenarnya yang disebut “miskin”, Pertama : menurut mazhab Imam Hanafi dan Imam Maliki, adalah “Orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga”. Kedua : mazhab Imam Hambali dan Imam Syafi'e, adalah “Orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih, tetapi tidak mencukupi”. Perbedaan pandangan tersebut tentu berkaitan dengan pemikiran yang berbeda dalam menentukan 'indikator kemiskinan', walaupun menggunakan dasar hukum yang sama Al Qur'an


dan Al Hadist. Perumusan indikator kemiskinan relatif berbeda-beda menurut para ilmuwan maupun kebijakan berbagai kelembagaan sesuai tugas pokok dan fungsinya, sehingga berpengaruh pada penentuan jumlah kemiskinan di masyarakat dan daerah di Indonesia. Akibat dari pemikiran para ilmuwan yang berbeda dalam merumuskan konsep kemiskinan, maka berbagai pemikiran tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut : Pertama, pemikiran yang menyucikan kemiskinan. Bagi golongan ini, kemiskinan bukan masalah yang harus dipecahkan tetapi harus dibiarkan, sehingga dengan demikian manusia-manusia bisa berkosentrasi terhadap Tuhannya karena tidak diganggu dengan urusan duniawi. Kedua, pemikiran para fatalis yang menganggap kemiskinan itu merupakan takdir Allah, sehingga manusia harus sabar dengan ujian itu. Ketiga, sama dengan fatalis, tetapi mereka lebih maju pemikirannya bahwa secara perorangan harus membantu orang miskin yang dikenal dengan mahzab 'kebajikan pribadi'. Keempat, kaum kapitalis memandang kemiskinan merupakan masalah yang harus diselesaikan dengan orang miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam menentukan hartanya dan tidak terkait dengan orang miskin. Kelima, kaum Mar xis yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bisa diatasi kalau kaum bourjuis dan kekayaannya tidak dimusnahkan, tetapi didistribusikan (Macmud, 2016). Timbulnya kemiskinan memiliki akar penyebab yang berbeda, yang secara struktural dalam kehidupan masyarakat disebabkan : Pertama, kemiskinan timbul karena kejahatan manusia terhadap alam (QS, 30:40), sehingga manusia

“

Fenomena atas terjadinya berbagai kasus kemiskinan di Jawa Barat secara umum adanya ketidakberdayaan diri sebagai faktor internal yang ada pada diri manusia.

sendiri yang merasakan dampaknya. Kedua, kemiskinan timbul karena ketidakperdulian dan kebakhilan kelompok golangan orang kaya (QS, 3:180, QS, 70:18), sehingga si miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan. Ketiga, kemiskinan timbul karena sebagian manusia bersifat dholim dengan mengeksploitasi dan menindas kepada sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain dengan cara batil (QS, 9:34), memakan harta anak yatim (QS, 4:2,6,10) dan memakan riba (QS, 2:275). Keempat, kemiskinan timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi di satu tangan. Hal ini tergambar dalam kisah Fir'aun, Haman, dan Qarun yang bersekutu menindas rakyat Mesir di masa Nabi Musa (QS, 28:1-88). Kelima, kemiskinan timbul karena gejolak eksternal, seperti bencana alam dan peperangan, sehingga negeri yang semula kaya mengakibatkan menjadi miskin, seperti terjadinya bencana Sunami di Aceh, Perang saudara di Suriah. Berdasarkan akar permasalahan kemiskinan tersebut di atas, jika diamati fenomena atas terjadinya berbagai kasus kemiskinan di Jawa Barat secara umum adanya ketidakberdayaan diri Humas Bappeda sebagai faktor internal yang adaFoto: pada diri manusia. Ketidakberdayaan diri diakibatkan oleh ketidakmampuan mengasah unsur ruhani yang besatu dalam jasamaninya, berupa unsur: akal untuk menghasilkan pemikiran yang produktif; rasa digunakan untuk mampu membangun hubungan baik dengan mengembangkan nilai simpati, empati, dan perduli dalam kehidupannya; karsa untuk menghasilkan kreativitas dan inovasi,

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

29


sehingga ketiga unsur tersebut harus bersinergi dalam susunan hakikat kodratnya dalam mendukung keberhasilan dalam mencari nafkah, sehingga mampu mengentaskan dirinya dari keadaan kemiskinannya. Dalam perspektif manusia sebagai makhluk yang berakal menjadikan khalifah di muka bumi yang diharapkan mampu memberikan bermanfaat bagi diri dan keluarga, juga masyarakat lingkungannya untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam. Ketidakberdayaan manusia miskin dapat disebabkan oleh faktor eksternal di luar dirinya, seper ti adanya perilaku ekspoitatif akibat penerapan bunga pinjaman, sehingga masyarakat sebagai kreditur menanggung beban bunga hutang kepada rentenir atau bank. Bahkan, negarapun ternyata memiliki hutang yang cukup besar kepada negara lain yang setiap tahunnya harus menghabiskan anggaran negara untuk membayar cicilan bunga pinjaman. Akibat penerapan bunga pinjaman yang tidak sesuai dengan hukum Islam akan mengurangi kebarokahan sehingga menyebabkan kemiskinan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Faktor eksternal lainnya, bahwa sebagian besar sumbersumber ekonomi negara Indonesia banyak dikuasai oleh segelintir pengusaha dalam bentuk konglomerasi yang menguasai bisnis di hulu sampai ke hilir dari janringan distribusi barang dan jasa yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan dan kesenjangan. Pemerintah dalam pengelolaan program penanggulangan kemiskinan belum optimal mengembangkan potensi masyarakat miskin secara komprehensif agar menjadi mandiri dan berdaya serta masih terjadinya kasus korupsi yang merajalela. Kemiskinan secara massal terjadi akibat penerapan sistem ekonomi pasar bebas, sekularisme, belum mampu mewujudkan kedaulatan pangan dan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, pasar keuangan derivatif serta ketergantungan faktor ekonomi global yang menekan ekonomi Indonesia.

III. Konsep dan Metode Penanggulangan Kemiskinan Dalam Perspektif Islam Penanggulangan kemiskinan dalam perspektif Islam didasarkan pada konsep dan metode yang pernah dilakukan Rasulullah dalam membangun masyarakat Madinah. Konsep penanggulangan kemiskinan lebih ditekankan pada konsep strukturalisme atas terjadinya ketimpangan ekonomi agar dapat membangun ekonomi berbasis syariah yang berlandaskan nilai keadilan dan kebarokahan. Sedangkan penanggulangan kemiskinan secara kulturalisme ditekankan kepara orang tua agar tidak mewariskan anak-anaknya menjadi generasi penerus yang lemah, baik secara jasamaniah maupun ruhaniah sehingga keadaan kemiskinan ini tidak berkesinambungan kepada generasi berikutnya.

3.1. Konsep Penanggulangan Kemiskinan Dalam Perspektif Islam. Konsep Penanggulangan kemiskinan dalam perspektif Islam, menurut Prof. Syekh Muhammad Yusuf Al-Qardawi dalam kitabnya yang berjudul : Musyikilatul Fakri Wa-Kaifa 'Alajahal Islam, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia: “Konsep Islam dalam Mengentas Kemiskinan�, merumuskan 30

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


2

Jaminan dari Famili dekat yang mampu, bahwa kerabat dekat yang mampu menjadi kewajiban membantu kerabat dekat yang tidak mampu dengan mengembangkan hubungan kekeluargaan. Sistem pendekatan ke ke l u a rg a a n d a l a m m e n a n g g u l a n g i kemiskinan individu dalam keluarga miskin dilakukan dengan saling membantu antara keluarga yang tidak miskin agar membantu keluarga miskin dalam bentuk : menyekolahkan anak-anaknya, memberikan lapangan kerja, dan lapangan usaha.

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

3 6 (enam) aspek penting mewujudkan kehidupan yang ideal dalam menanggulangi kemiskinan, meliputi :

1

Bekerja dan berusaha, merupakan tuntutan sunnatullah untuk memperoleh suatu rezeki harus dilakukan secara profesional, produktif, memenuhi kaidah ďŹ kih yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Agama Islam. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Jawa Barat harus dapat memberikan iklim yang kondusif terhadap perluasan peluang kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat. Peluang kesempatan kerja bagi masyarakat Jawa Barat akan terbuka luas, bila bertambahnya jumlah perusahaan atau pemerintah membuka lapangan kerja baru melalui program padat karya dan jenis lapangan kerja lainnya. Bertambahnya jumlah perusahaan akan terjadi, bila iklim investasi dibuka secara luas dengan memberikan kemudahan dari berbagai jenis sektor usaha yang menguntungkan. Peluang berusaha dapat mendorong berkembangnya wira usaha baru

Zakat, bahwa dalam berbagai jenis harta tertentu milik orang kaya yg telah mencapai “nizabnya� wajib dibayar zakat (maal) sebesar 2,5% yang diperuntukkan bagi fakir miskin dan 7 asnaf lainnya. Lembaga amil zakat di Jawa Barat mengelola zakat yang cukup besar tidak hanya untuk dialokasikan untuk program konsumtif bagi fakir miskin, tetapi juga harus dialokasikan untuk program produktif untuk pemberdayaan masyarakat.

4

Jaminan Negara dari berbagai sumber pendanaan. Negara mendapatkan pendapatan dari pajak dan non pajak yang dikelola pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Orang miskin harus mendapatkan perhatian utama dalam menanggulangi kemiskinannya dengan berbagai bentuk kegiatan, seperti program penanggulangan kemiskinan, bantuan langsung tunai, berbagai subsidi kebutuhan pokok masyarakat, dan lain-lain.

5

Kewajiban Material dari Partisipasi Lingkungan. Setiap orang, keluarga, masyarakat, dan perusahaan yang memiliki kemampuan material harus membantu lingkungannya mengalami kemiskinan, seperti bantuan antar tetangga, pembagian daging kurban, bentuk partisipasi lain masyarakat lainnya terhadap orang miskin yang mengalami bencana, adanya corporate sosial responsibility (CSR) perusahaan terhadap masyarakat miskin di lingkungannya, dan bentuk partisipasi lainnya.

6

Sumbangan Suka-Rela dari kesadaran Individu. Dalam kehidupan masyarakat di tingkat RT, RW dan komunitas terkadang terjadi penanggulangan dana dalam bentuk infak, sedekah, wakaf dan lain-lain untuk menanggulangi kemiskinan. Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

31


3.2. Metode Pemberdayaan Orang Miskin Yang Dilakukan Rasulullah Sebagai Inspirasi Model Penanggulangan Kemiskinan

mengharapkan solusi (bantuan) dari Rasulullah, baik Rasulullah sebagai Pemimpin Umat, Kepala Pemerintahan (Kewenangan tertinggi dalam pengaturan Zakat), yang tentunya Rasulullah sebagai “Fasilitator Pemberdaya” bahwa dalam dirinya memiliki nilai asih Allah yg dipancarkan untuk membantu orang tersebut.

Diriwayatkan oleh As-Habus Sunan telah diriwatakan dari Anas bin Malik r.a. sebagai berikut : Rasulullah SAW dalam suatu Majelis bersama para sahabat, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshor menghadap Rasulullah “menyatakan dirinya orang miskin” mengharap memperoleh “solusi” atas kemiskinan dirinya. Pola penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Rasulullah ini, dalam bahasa idiomatik yang populer dikenal dengan “memberikan kail, tapi tidak memberikan ikan”, artinya tidak memberikan langsung hasilnya, tapi memberikan metode/cara untuk mendapatakan hasil sebagai suatu “pembelajaran”. Kisah yang dialami Rasulullah berdialog dengan seorang lakilaki Anshor yang miskin ini dalam ilmu riwayat datangnya satu hadist (musthalatul hadist) yang membahas tentang penanggulangan kemiskinan. Penulis sebagai peneliti pemberdayaan masyarakat mencoba mengkaji dari perspektif “ilmu pemberdayaan manusia” dalam suatu proses tahapan pemberdayaan masyarakat, mulai dari tahap penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan, adalah sebagai berikut :

2. Proses Bantuan Material Melalui Partisipasi Majelis Sahabat Kemudian Rasulullah mengambil kedua barang (permadani dan bejana) tersebut, seraya bersabda : “Siapa yang mau membeli kedua barang ini?”. Salah seorang sahabat menjawab, saya akan membeli kedua barang tersebut satu dirham”. Selanjutnya, Rasulullah bersabda kembali : “Siapa yang berani membayar lebih dari satu dirham, dengan membeli seharga dua atau tiga kalinya?. Lalu seorang sahabat lain menjawab: “saya akan membeli keduanya dengan dua dirham” (diberikan kepada penawaran tertinggi). Akhirnya, terjadi “ijab kabul” pola lelang jual-beli di tengah Majelis Sahabat yang dipimpin Rasullullah sebagai Juru Lelang melalui partisipasi sahabat. Dengan memberikan 2 barang tersebut kepada sahabat itu sebagai pembeli, maka Rasulullah menerima uang sebesar dua dirham.

1. Identifikasi Masalah dan Analisa Karakteristik Kemiskinan

3. Proses Pembimbingan Penggunaan Belanja Konsumsi dan Investasi

Pa d a s a a t l a k i - l a k i A n s h o r t e r s e b u t menyatakan dirinya orang miskin, maka Rasulullah bertanya, “Apakah anda tidak memiliki sesuatu apapun di rumah?”. Dia menjawab, “Ada ya Rasulullah”, yang aku miliki yaitu, sebuah 'Permadani' yang setiap malam hari separuh digunakan sebagai tempat tidur, dan separuhnya dihampar untuk duduk pada siang hari, terutama pada saat ada tamu. Aku juga memiliki sebuah 'Bejana' yang biasa digunakan sebagai tempat minum. Selanjutnya, Rasullullah bersabda : “Coba bawalah kedua barang tersebut ke sini (dalam Majelis sahabat) ke hadapanku”.

32

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Dalam dialog tersebut dapat dianalisis, bahwa : (1) Apakah Laki-laki tersebut memenuhi “karateristik miskin”, teridentifikasi dari : pengakuan, cara bicara dan pancaran wajah serta bahasa tubuhnya yang menampakkan dirinya orang miskin, dan pengakuan atas kepemilikan 2 (dua) hartanya yang menunjukkan “kejujuran”, tetapi dari segi keadaan fisik (badannya) tegap m a m p u b e ke r j a ke r a s . Te n t u , O r a n g i n i

Bersamaan dengan memberikan Uang sebesar dua dirham kepada Laki-laki Anshor, Rasulullah


bersabda: “Belanjakan uang ini baik-baik, satu dirham untuk membeli kebutuhan makanan dan bawalah untuk keluargamu, satu dirham yang lain gunakan untuk membeli sebuah kampak (pemotong kayu) dan bawalah ke sini (ke depan Rasulullah). Analisis manajemen keuangan harus dilakukan proses pembimbingan dengan memenuhi kebutuhan pangan keluarga (kebutuhan konsumtif dasar) yang keluarganya sedang lapar. Lalu, Laki-laki Anshor membeli sebuah kampak sebagai alat pemotong kayu menjadi modal investasi produktif dibawa ke hadapan Rasulullah SAW. Hasil analisis dialog ini, menujukkan bahwa orang miskin harus diajarkan tentang “ilmu manajemen keuangan” rumah tangga, bagaimana cara memperoleh sumber dana, dan bagaimana melakukan penggunaan dana untuk kebutuhan konsumsi dasar (kebutuhan pangan) dan modal investasi yang produktif. Pembelian kampak, tentu Rasulullah telah mengkaji bahwa Laki-laki Anshor tersebut memiliki badan tegap dan kuat akan mampu menjadi tukang kayu bakar sekaligus mampu menjualnya. 4. Pelatihan Keterampilan Teknis Menjadi Tukang Kayu Bakar Selanjutnya, Rasulullah menggunakan kampak itu untuk membelah sepotong kayu dengan tangannya di hadapan laki-laki Anshor dengan memberikan contoh cara atau metode membelah kayu, yang kemudiaan dipraktekkan juga oleh orang tersebut sampai dia bisa melakukannya

sendiri. Di sinilah pentingnya keterampilan teknis, bahwa setiap melakukan pekerjaan tertentu harus punya ilmu dan keterampilan yg diperoleh dari h a s i l Pe l a t i h a n Te k n i s . O l e h k a r e n a i t u , pemberdayaan orang miskin tidak hanya dilakukan dengan memberikan bantuan material (charity) semata yang bersifat temporer, tetapi keterampilan teknis yang dibutuhkan masyarakat yang harus dimiliki, sehingga dapat memperoleh pendapatan dari keterampilan dalam usaha produktif yang dimilikinya. 5. Proses Pengembangan Kreativitas dengan Alokasi Jangka Waktu Setelah memberikan pelatihan teknis, Rasulullah bersabda : “Sekarang pergilah anda mencari kayu, dan Saya (Rasullullah) tidak akan bertemu Anda selama 15 hari”. Berangkatlah lakilaki Anshor ke hutan dengan mencari dan memotong kayu (proses produksi), dan selanjutnya memasarkan (menjualnya) kepada orang/ perusahaan yang membutuhkan kayu sebagai bahan pembakaran. Dalam proses produksi membutukan kreativitas dalam menentukan jenis, ukuran kayu bakar yang dibutuhkan. Begitu juga dalam memasarkan (dikenal dengan bauran pemasaran terdiri dari : harga, kualitas, kuantitas, distribusi, promosi) membutuhkan “karsa” berupa kreativitas yang membutuhkan sinergi antara pengasahan akal, rasa, dan karsa. Untuk mengevaluasi suatu pekerjaan dengan diberikan alokasi waktu untuk menilai hasil pekerjaannya selama 15 hari. Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

33


6. Hasil Pengembangan Kreativitas dan Pembelajaran Beberapa hari kemudian setelah melebihi jangka waktu 15 hari, Laki-laki Anshor telah mampu menghasilkan penjualan kayu bakar sebesar 10 dirham. Itulah hasil pembelajaran dengan memiliki keterampilan teknis mampu mengembangkan kreativitas produksi dan pemasaran kayu bakar, sehingga dari modal investasi sebesar 1 dirham y a n g d i g u n a k a n u n t u k m e m b e l i k a m pa k memberikan nilai tambah 10 kali lipat dalam waktu sekitar 15 hari. 7.Alokasi Penggunaan Dana Untuk Kemandirian Keluarga. Keberhasilan mendapatkan 10 dirham dapat memenuhi kebutuhan dasar keluarganya untuk makan dan pakaian keluarganya dengan menjadi tukang kayu yang profesional dan produktif. Akhirnya, Laki-laki Anshor itu menghadap Rasullullah, dan beliau bersabda : “Usaha seperti ini adalah lebih baik bagi Anda dari pada Anda datang kesana-kemari untuk meminta-minta, yang justru merupakan titik hitam (noda) di wajah Anda kelak di Hari Kiamat. Ketahuilah bahwa meminta-minta itu tidak diperkenankan, kecuali dalam 3 (tiga) hal : (1) orang yang sangat parah kemiskinannya, (2) orang tidak mampu membayar hutangnya, dan (3) orang yang terkena diat (denda hukuman) yang tidak sanggup menebusnya�. Hadist ini diriwiyatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi, dan Ibnu Majah.

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

8. Doa Rasulullah Untuk Dijauhkan Dari Kemiskinan. Akhirnya Rasulullah mengajarkan satu doa setelah kita berniat, berihtiar dan berusaha, maka doa tersebut sebagai berikut : “Ya Allah, sesungguhnya Aku berlindung kepadaMU dari kefakiran, kesempitan, dan kehinaan; dan Aku berlindung kepadaMU yaa Allah dari menganiaya dan dianiaya�. Doa ini merupakan contoh pendekatan Islam menghadapi tantangan kemiskinan yang terjadi pada umat Islam sejak dulu hingga kini, karena dalam doa mencerminkan sebuah tangga yang menghubungkan apa yang diharapkan dengan apa yang seharusnya. Tentunya, metode dan tahapan pemberdayaan orang yang miskin yang dilakukan Rasulullah menjadi inspirasi dalam menyusun model-model pemberdayaan masyarakat di Jawa Barat yang mayoritas beragama Islam. 34 Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

IV. Model-Model Pemberdayaan Masyarakat Di J awa B a r at D a l a m T e l a h a n K r i t i s Penanggulangan Kemiskinan Model-model pemberdayaan masyarakat di Jawa Barat yang diinspirasi konsep penanggulangan kemiskinan dalam perspektif Islam sebagian telah diadopsi melalui program pemberdayaan masyarakat, terutama dari pengelolaan zakat. Menurut hasil penelitian (Sauqy), bahwa Jawa Barat memiliki potensi zakat sebesar 17,6 triliun per tahun, jika seluruh muzakki membayar kewajiban zakat (PR, Nurullah, PR, 13/06/1997). Realisasi penerimaan zakat yang


dilakukan BASNAS Provinsi Jawa Barat selama tahun 2016 hanya mencapai Rp. 500 milyar dari zakat, infak dan sodakah, belum mendapatkan data dari pengelola lembaga zakat lainnya, termasuk masjid-masjid. Lembaga pengelolan zakat di Jawa Barat terdapat 15 lembaga pengelola zakat yang memiliki izin resmi. Penyaluran zakat diamanatkan bagi 7 asnaf yang berhak menerima zakat. Pola penyaluran zakat dilakukan dengan pola charity bagi penerima yang tidak memiliki keberdayaan, seperti orang jompo dan cacat, sedangkan program lainnya dilakukan melalui model pemberdayaan masyarakat. Pengelolaan zakat di Jawa Barat seharusnya memiliki data detail pemetaan muzakki dan penerima zakat dari 7 asnaf tersebut, sehingga dapat didesain pola penyaluran zakat sesuai analisis kebutuhan penyaluran zakat. Pemetaan detail muzakki akan dapat memprediksi sumber dana perkiraan perolehan zakat di Jawa Barat sehingga dapat ditagih, sedangkan pemetaan detail penerima zakat akan dapat mendesain jenis program pemberdayaan. Pendataan pemetaan zakat ini harus dilakukan oleh BAZNAS bekerjasama dengan Kementerian Agama yang bermanfaat bagi para pengelola zakat dalam menyusun program. Tentunya juga dibutuhkan manajemen koordinasi antar pengelola zakat agar tindak terjadi tumpang-tindih dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat miskin. Di samping terdapat model-model pemberdayaan masyarakat yang digulirkan Pemerintah Pusat yang pendanaannya bersumber dari APBN, Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten-Kota yang pendanaanya bersumber dari APBD masing-masing. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah cukup beragam terdapat berbagai model, di antaranya PNPM Mandiri Perdesaan, PNPM Mandiri Perkotaan dan banyak berbagai model pemberdayaan masyarakat lainnya. Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan berlabel Islami yang telah digulirkan kepada masyarakat, seperti Program 'Santri' Raksa Desa, Program Desa Mandiri Menuju Desa 'Peradaban' dan program lainnya. Namun, program tersebut tidak berkesinambungan, karena berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi bahwa kinerja program pemberdayaan masyarakat tersebut belum optimal

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

35


berdampak pada peningkatan harkat dan martabat manusia. Oleh karena itu, berdasarkan metode pemberdayaan manusia yang pernah dilakukan Rasulullah yang dianalisis dalam bentuk suatu tahapan yang telah dibahas di depan, maka seharusnya menjadi inspirasi dalam menyusun desain model-model pemberdayaan masyarakat di Jawa Barat melalui perencanaan dan pelaksanaan program secara kesisteman, komprehensif, dan hasilnya terukur. Berdasarkan pengamatan penulis terhadap model-model pemberdayaan masyarakat yang pernah dilakukan Pemerintah Jawa Barat memiliki berbagai kelemahan dalam perspektif tahapan tersebut, antara lain : (a)

(b)

(c)

36

IdentiďŹ kasi masalah dan analisa karakteristik kemiskinan yang dilakukan dalam program pemberdayaan masyarakat banyak terjadi kurang akurat, terutama dalam menganalisis 'kinerja' individualita orang miskin yang menyangkut ; kekuatan dan kelemahan dirinya menghadapi peluang dan tantangan lingkungan hidupnya. Analisis lingkungan usaha belum sepenuhnya kondusif bagi individu orang miskin, sehingga identiďŹ kasi masalah ini nantinya harus menemukan bagaimana menciptakan iklim yang kondusif bagi berkembangnya individu dan keluarga miskin. Proses bantuan material melalui partisipasi masyarakat belum optimal dilakukan melalui proses pembiasaan. Kebiasaan pemerintah menggulirkan pola bantuan yang bersifat charity bagi orang miskin yang tidak berdaya, ternyata realitasnya banyak tidak tepat sasaran sehingga mengakibatkan setiap program pemberdayaan masyarakat 'dianggap' pola charity. Akibatnya, dana-dana bergulir dalam program pemberdayaan masyarakat tidak berjalan dengan baik karena banyak d i g u n a k a n s e c a r a ko n s u m t i f t i d a k mengembangkan investasi secara produktif. Di samping itu, kurangnya kesadaran masyarakat yang memiliki keberdayaan diri untuk berpartisipasi dalam program penanggulangan kemiskinan. Proses pembimbingan penggunaan belanja memiliki kecenderungan secara umum berorientasi pada konsumtif dari

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

pada investasi produktif. Hal ini juga karena lemahnya proses pembimbingan melalui pendampingan dan pembinaan untuk meningkatkan kinerja orang miskin dalam berinvestasi secara produktif sehingga mengakibatkan pola pemberdayaan masyarakat memiliki kecenderungan selalu beralih menjadi pola charity yang berorinetasi konsumtif. (d)

Pelatihan keterampilan teknis yang dibutuhkan orang miskin sangat minim, sehingga kurang memiliki keahlian keterampilan teknis dan ilmu praksis yang dibutuhkan masyarakat dan dunia usaha yang mengakibatkan kurang bisa bekerja dalam suatu perusahaan dan berusaha menjadi wirausaha baru.

(e)

Pengembangan kreativitas dan inovasi dalam proses pembelajaran dari orang miskin rata-rata lemah, karena akar penyebab kemiskinan yang diakibatkan oleh perangkap kemiskinan belum dapat ditanggulanginya, seperti ketidakberdayaan, kelemahan jasmani, isolasi, kerawanan, dan kemiskinan itu sendiri.


V. Penutup Penanggulangan kemiskinan dalam perspektif Islam harus menjadi kerangka dasar pemikiran dalam mendesain model-model pemberdayaan masyarakat, karena sebagian besar penduduk dan keluarga miskin beragama Islam di Jawa Barat. Berbagai kegagalan uji-coba implementasi pelaksanaan model pemberdayaan masyarakat yang diinspirasi dari pemikiran yang Islami membutuhkan evaluasi dan kajian secara komprehensif agar diketahui kelemahan dan kekurangan dalam perspektif desain program maupun implementasi pelaksanaannya di lapangan. Karena kita tahu ajaran Islam dipercaya membawa rahmat bagi seluruh alam, sehingga diharapkan kegiatan dan program pemberdayaan masyarakat miskin yang diinspirasi dari ajaran Islam dapat mewujudkan masyarakat tata tentrem karta raharja, semoga.

Daftar Pustaka Al-Qardawi, Syech Muhammad Yusuf, 1996, Konsep Islam dalam Mengentas Kemiskinan, Diterjemahkan dari Buku : Musyikalatul Fakri WaKaifa'Alajahal Islam, Penerbit PT. Bina Ilmu Surabaya. _____________________________, 1997, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Diterjemahkan dari Buku : Daurul Qiyam wal Akhlak fil Iqtashodil Islam, Penerbit Robbani Press, Jakarta.

Arraiyyah, Hamdar , 2007, Meneropong Fenomena Kemiskinan: Telaah Perspektif Islam, Penerbit PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Junus, H. Mahmud, 1996, Tarjamah Al-Qur'am al karim, Penerbit PT. Al-Maarif, Bandung. Machmud, Amir, 2016, Kemiskinan Dalam Perspektif Islam, Harian Umum Pikiran Rakyat, 15 Desember 2016, Bandung. Simon, B.L., 1990, Rethingking Empowerment, Journal of Progresive Human Service, 1.27-39. Susanto, Hari, 2006, Dinamika Penanggulangan Kemiskinan: Tinjauan Historis Era Orde Baru, Penerbit Khatana Pustaka LP3ES, Jakarta. Notonagoro,1995, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Saleh, Firdaus, 2014, Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang), Disertasi, tidak dipublikasikan. Wrihatnolo, Randy R. & Dwidjowijoto, Riant N u g ro h o , 2 0 0 7 , M a n a j e m e n Pemberdayaan: Sebuah Pengantar d a n Pa n d u a n U n t u k P e m b e r d a y a a n M a s y a r a ka t , Cetakan Pertama, Penerbit PT. Elex Media Komputindo, Jakarta.

Al-Buchari, Al-Imam, 1986, Terjemah Hadist “Shahih Bukhari”, oleh Hamidy,dkk., PT. Klang Book Centre, Malaysia. Al-Muslim, Al-Imam, 1988, Terjemah Hadist “Shahih Muslim” , oleh Makmum Daud, Fa. Wijaya, Jakarta. Ahmah, Ziauddin, 1998, Al Qur'an : Kemiskinan dan Pemerataan Pendapatan, PT. Bakti Prima Yasa, Yogyakarta. Ali Aziz, Muhammad, Rr. Suhartini, A. Halim (Editor), 2005, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi, Penerbit Pustaka Pesantren Yogyakarta.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

37


Foto: Humas Bappeda

38

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


WAWA S A N PERENCANAAN

Kualitas Belanja (Bidang Pendidikan) dalam Penganggaran Berbasis Kinerja

Oleh Bunbun W. Korneli* dan Yodi Sastrakusumah**

*) Perencanan Madya Bappeda Provinsi Jawa Barat **) Komunitas Peduli Jawa Barat

Volume 20 Nomor 77 Januari - Maret 2017 Warta Bappeda

39


PENDAHULUAN Implementasi kebijakan desentralisasi berdampak besar bagi tata kelola keuangan di pusat, dan daerah. Struktur anggaran pemerintah ditinjau dari sisi pendapatan maupun belanja terus menunjukkan peningkatan. Demikian pula data realisasi APBN/APBD di beberapa kementerian, dan lembaga, pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota umumnya terjadinya peningkatan. Permasalahan belanja pemerintah yang selalu terulang pada umumnya sama yakni masih ditemukannya alokasi belanja pegawai serta belanja barang, dan jasa masih lebih besar dibandingkan belanja modal. Demikian pula idle money dalam bentuk SILPA selalu ada dengan jumlah yang ber variasi. Kondisi ini mengindikasikan terdapat permasalahan dalam tata kelola belanja pemerintah. Mengantisipasi permasalahan tersebut di atas maka penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas. Penganggaran ini menggunakan pendekatan yang mengaitkan pengeluaran dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja. Prinsipnya yakni mengalokasikan sumber daya pada program, bukan unit organisasi semata, dan memakai output measurement sebagai indikator kinerja organisasi yang merupakan bagian integral dalam berkas atau dokumen anggaran. Reformasi di bidang perencanaaan, dan penganggaran dimulai pada tahun anggaran 2005 dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional. Sebagai tindak lanjut terhadap pelaksanaan peraturan perundangan tersebut, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja, dan Anggaran

Kementerian Kementerian/Lembaga (RKA K/L) yang menegaskan bahwa rencana kerja, dan anggaran yang disusun menggunakan tiga pendekatan, yaitu: (1) anggaran terpadu (unified budget); (2) kerangka pengeluaran jangka menengah biasa disebut KPJM (medium term expenditure framework); dan (3) penganggaran berbasis kinerja biasa disebut PBK (performance based budget). Yakni penganggaran yang disusun dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input), dan hasil yang diharapkan (outcomes) sehingga dapat memberikan informasi tentang efektivitas, dan efisiensi kegiatan. Pasca implementasi peraturan di atas tata kelola keuangan, dan kualitas belanja anggaran pemerintah tidak serta merta membaik, khususnya terkait penilaian kualitas belanja yang dinilai dari aspek ekonomi, efisiensi, efektifitas, keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas. Namun upaya pemerintah ini menunjukkan hasil positif. Hal ini dapat dilihat dengan diperolehnya beberapa penghargaan terkait tata kelola keuangan, juga perencanaan ,dan penganggaran di tingkat Kementerian/Lembaga atau pemerintah daerah provinsi, kabupaten maupun kota. Secara normatif pengertian belanja berkualitas telah disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 P.P. No. 58 Tahun 2005 tentang Penyusunan Rencana Kerja, dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (yang selanjutnya disebut RKA-KL) bahwa “keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memerhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.” Dari beberapa literatur terkait teori kualitas belanja anggaran terdapat teori yang relatif lengkap, dan sering digunakan sebagai landasan teori dalam beberapa penelitian. Teori ini dikemukakan oleh Carol W. Lewis, How to Read a Local Budget and Assess Government Performance, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And Accaoountability Series), The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank. Konsep ini menyebutkan bahwa terdapat 6 (enam) nilai pokok yang sama pentingnya dalam menilai “kualitas” anggaran yaitu ekonomi, efisiensi, efektivitas, keadilan, akuntabilitas, dan responsivitas.

40

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

SPENDING PERFORMANCE BELANJA PEMERINTAH DAERAH Spending performances erat kaitannya dengan sistem penganggaran yang berbasis kinerja (performance based budgeting). Sistem ini bertujuan untuk meningkatkan eďŹ siensi, dan efektivitas pengeluaran publik dengan mengaitkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang dicapai melalui penggunaan informasi kinerja secara sistematik (Robinson and Last, 2009). Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan oleh berbagai pihak menyimpulkan bahwa kualitas belanja daerah dalam APBD sampai saat ini dinilai belum optimal. Salah satu indikasinya adalah proporsi anggaran belanja tidak langsung yang selalu lebih besar dari pada belanja langsung. Di berbagai literatur dijelaskan bahwa belanja langsung dianggap sebagai belanja pemerintah daerah yang mempunyai pengaruh penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, dan akan memiliki daya ungkit dalam menggerakkan roda perekonomian suatu daerah. Hasil kajian analisis kualitas belanja daerah dalam mendanai pelayanan publik yang dilakukan Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia menyimpulkan sebagai berikut: Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

41


1

Gambaran penyerapan belanja daerah dari tahun ke tahun memiliki kemiripan dalam realisasinya, yakni realisasi penyerapan belanja daerah pada awal Triwulan I sampai dengan Triwulan III masih sangat rendah, dan baru meningkat realisasinya pada Triwulan IV sampai dengan akhir tahun.

2

Pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented) tidak saja terlihat pada besarnya proporsi pengalokasian anggaran untuk kepentingan publik, tetapi juga dapat dilihat dari berapa besar tingkat penyerapan realisasi belanja daerah (spending performances) terutama belanja barang untuk pemeliharaan, dan belanja modal dalam mendanai penyediaan sarana, dan prasarana pelayanan dasar di daerah.

3

Besar kecilnya tingkat penyerapan belanja daerah dalam mendanai pelayanan publik sangat dipengaruhi oleh proses perencanaan anggaran, dan penetapan APBD di daerah. Keterlambatan daerah dalam menetapkan Perda APBD dapat menunda realisasi penyerapan belanja daerah.

4

Proporsi alokasi belanja barang untuk pemeliharaan, dan belanja modal untuk penyediaan sarana, dan prasarana layanan publik masih rendah dalam struktur APBD jika dibandingkan dengan alokasi untuk belanja pegawai sehingga kinerja spending performances dalam mendanai pelayanan publik masih belum optimal, dan efektif.

5

Realisasi penyerapan belanja daerah sampai dengan akhir tahun anggaran masih di bawah target atau lebih rendah dibandingkan dengan anggaran APBD. Hal ini terutama karena belum cukup mampu untuk melakukan penyesuaian pada sisi belanja dalam menyikapi pelampauan pendapatan di APBD.

6

Kualitas belanja daerah, dan APBD selama ini dianggap masih lemah yang ditandai dengan adanya alokasi belanja tidak langsung yang selalu lebih besar dari belanja langsung, serta penyerapan belanja daerah yang relatif rendah. Hal ini juga bisa dilihat dari tingkat penyerapan belanja daerah yang relatif rendah terutama untuk belanja modal

42

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

dan belanja barang yang terkait dengan public service delivery.

7

Rendahnya realisasi belanja daerah yang didanai dari DAK tidak hanya disebabkan oleh kurang berjalannya fungsi perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan di daerah dengan baik , namun juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, terutama yang terkait dengan mekanisme perencanaan, dan penganggaran, mekanisme transfer ke daerah, dan penetapan petunjuk teknis DAK yang t e r l a m ba t s e h i n g g a m e m p e n g a r u h i penyelesaian pekerjaan di daerah.

Besaran anggaran yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah setiap tahunnya cenderung meningkat. Namun hal ini belum menjamin meningkatnya capaian kinerja serta pelayanan publik.

KONDISI BELANJA BIDANG PENDIDIKAN Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV Pasal 31 Ayat 4 menyebutkan bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 49 Ayat 1 menyebutkan pula bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik, dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari APBD.”


Mahkamah Konstitusi Nomor 024/PUUV/2007 tanggal 20-02-2008 memutuskan bahwa “Dana Pendidikan selain biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari APBD.” Alokasi 20% anggaran pendidikan merupakan amanat undang-undang yang wajib dilaksanakan dalam kondisi keuangan yang bagaimanapun karena hal ini merupakan hal prioritas yang telah ditetapkan dalam peraturan perundangan. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan pihak pemerintah, dan organisasi kemasyarakatan dalam negeri maupun luar negeri terkait hal ini. Berikut beberapa kesimpulan yang dihimpun hasil kajian dimaksud: 1. “Aturan 20 persen” Pemerintah Indonesia yang mewajibkan alokasi 20 persen dari pembelanjaan negara untuk sektor pendidikan sangat meningkatkan sumber daya pendidikan; 2. Peningkatan besar dalam pembelanjaan disertai dengan kemajuan besar dalam akses, dan kesetaraan pendidikan, namun kualitas masih harus diperbaiki; 3. Belanja yang tidak efisien, terutama untuk guru, membantu menjelaskan mengapa

sumber daya yang meningkat kurang berdampak pada perbaikan hasil-hasil pendidikan; 4. S e c a r a n a s i o n a l d a t a 2 0 1 6 / 2 0 1 7 menunjukkan bahwa a) APM untuk Sekolah Menengah, dan sederajat dari 7.848.641 siswa (59,10%) menjadi 8.124.666 siswa (61,20%); b) meningkatnya rata-rata waktu sekolah penduduk usia di atas 25, dari 7,73 tahun menjadi 7,83 tahun; c) tersedianya dana BOS yang pengelolaannya oleh sekolah termasuk fleksibel, terdistribusinya KIP, dan terbangunnya sarana prasarana pendidikan. Bila dilihat dari besaran anggaran yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah setiap tahunnya cenderung meningkat namun hal ini belum menjamin meningkatnya capaian kinerja serta pelayanan publik. Anggaran transfer dari pemerintah pusat dalam bidang pendidikan pun terus meningkat seiring dengan volume belanja negara (gambar 1). Demikian pula dengan Komposisi APBN-P Tahun 2017 (gambar 2), mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara kondisi anggaran untuk sarana, dan prasarana yang bersumber dari DAK Fisik seperti terlihat pada gambar 3.

Gambar 1: Transfer Belanja Daerah

Sumber: Kantor Staf Presiden R.I.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

43


Gambar 2: Komposisi APBNP Tahun 2017

Sumber: Kementerian Keuangan

Gambar 3: Alokasi Anggaran Sarana Prasarana

Sumber: Kementerian Keuangan

Sebagai informasi tambahan terkait alokasi anggaran pendidikan. Dalam gambar 4 diperlihatkan perbandingan anggaran pendidikan negara Indonesia dengan negara lain. Ternyata anggaran pendidikan di Indonesia relatif tinggi. Perbedaan utama terdapat pada alokasi anggaran pendidikan usia dini (PAUD).

44

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


Gambar 4: Perbandingan Anggaran Pendidikan Antarnegara

Sumber: Kantor Staf Presiden R.I.

KUALITAS BELANJA BIDANG PENDIDIKAN Bicara tentang peningkatan kualitas pendidikan, maka akan terkait dengan besarnya porsi belanja yang dianggarkan untuk bidang pendidikan. Kemudian bila porsi anggarannya telah ditingkatkan. Bagaimana dengan tata kelolanya. Selanjutnya, bagaimana pula dengan besar peningkatan kualitasnya. Apakah telah memenuhi asas umum pengelolaan keuangan daerah? Bila terjadi peningkatan kualitas pendidikan, patut pula dipertanyakan. Sebandingkah peningkatan kualitas pendidikan (capaian target indikator kinerja) tersebut dengan besaran anggaran pendidikan yang telah dialokasikannya? Seiring dengan dinamika pembangunan di bidang hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah telah diatur pembagian urusan pemerintahan konkuren antara pemerintah pusat, dan daerah provinsi, dan daerah kabupaten kota, khususnya terkait tata kelola pendidikan anak usia dini, pendidikan non

formal, pendidikan dasar, dan menengah. Untuk Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan. Sub Urusan Manajemen Pendidikan. Pengelolaan Pendidikan Menengah, dan Pendidikan Khusus menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi. Sementara pengelolaan pendidikan dasar, dan pendidikan anak usia dini, dan pendidikan nonformal menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Dampak pembagian urusan pemerintahan ini bagi pemerintah daerah akan berpengaruh dalam penentuan besaran porsi Anggaran Pendapatan, dan Belanja Daerah (APBD). Selanjutnya, besaran porsi anggaran yang akan ditetapkan sangat tergantung dari komitmen pemerintah daerah berdasarkan prioritas pembangunannya dengan memperhatikan kondisi permasalahan daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, khususnya terkait pengelolaan pendidikan menengah, dan pendidikan khusus di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat. Di bawah ini disajikan informasi yang memuat besaran alokasi anggaran urusan wajib bidang pendidikan dalam APBD Tahun 2015, APBD Tahun 2016, APBD Tahun 2017 APBD, dan Tahun 2018 berikut target, dan capaian Indikator Kinerja Utama (kecuali dalam APBD Tahun 2018). Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

45


Sumber: Perda APBD Tahun 2015-2018 dan Dra RKPD Tahun 2019 diolah

Berdasarkan graďŹ k di atas, alokasi anggaran urusan wajib bidang pendidikan setiap tahunnya menunjukkan peningkatan. Persentase kenaikan APBD Tahun 2016 dari APBD tahun sebelumnya yakni 47,85%. Persentase kenaikan APBD Tahun 2017 dari APBD tahun sebelumnya yakni 644,09%. Sementara persentase kenaikan APBD Tahun 2018 dari APBD tahun sebelumnya yakni 40,27%. Persentase kenaikan tertinggi yakni dalam APBD Tahun 2017 sebesar 644,09 %. Kenaikan ini sejalan dengan alih urusan wajib bidang pendidikan menengah, dan pendidikan khusus sesuai UndangU n d a n g N o m o r 2 3 Ta h u n 2 0 1 4 t e n t a n g Pemerintahan Daerah. Porsi anggaran ini sebagian d i a l o k a s i k a n u n t u k p ro g r a m p e n d i d i k a n menengah, dengan nomenklatur kegiatan Pendidikan Menengah Universal (PMU) yang bertujuan untuk menaikkan Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah menengah. Sedangkan target, dan capaian kinerja yang diindikasikan dalam Indikator Kinerja Utama (IKU)

46

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

umumnya belum sesuai harapan. Khususnya untuk indikator APK yang diperoleh melalui kinerja program pendidikan menengah dengan porsi anggaran yang relatif besar dibanding program lainnya namun capaian kinerjanya pun belum optimal. Target APK tahun 2015 yakni 87,48% namun capainnya 61,19%. Target APK tahun 2016 yakni 92,8% namun capaiannya 67,56%. Target APK tahun 2017 yakni 71,56, dan capaiannya 81,25%. Informasi ini merupakan hasil olah data yang bersumber dari dokumen APBD Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Di beberapa perangkat daerah yang memiliki tugas, dan fungsi pendidikan dialokasikan pula anggarannya sehingga secara bersama-sama beberapa perangkat daerah berkontribusi terhadap capaian IKU. Untuk mengetahui tingkat efektivitas, dan eďŹ siensi atas pembiayaan pendidikan ini diperlukan pengukuran kinerja, dan analisisnya, yang merupakan proses penilaian kemajuan pelaksanaan kegiatan terhadap tujuan, dan sasaran


yang telah ditetapkan. Pengukuran kinerja ini berguna untuk menyediakan informasi penilaian atas: 1) Pencapaian atas sasaran program yang telah ditetapkan; 2) IdentiďŹ kasi, dan analisis kelemahan program/kegiatan; dan 3) Tindakan yang tepat untuk meningkatkan kinerja. Selanjutnya, untuk tahapan evaluasi kinerja yang perlu dilakukan adalah membandingkan antara target kinerja dengan hasil yang dicapai, serta membandingkan rencana penggunaan dana dengan realisasinya agar capaian kinerja yg telah ditetapkan dalam dokumen perencanaan, dan anggaran terukur, dan akuntabel. Proses ini sangat penting untuk menunjukkan adanya keterkaitan antara pendanaan dengan capaian kinerja. Tujuan lain dari evaluasi kinerja adalah untuk mengukur tingkat efektivitas, dan eďŹ siensi pelaksanaan

kegiatan serta sebagai umpan balik untuk penyusunan perubahan penganggaran selanjutnya, dan perbaikan kinerja pada tahun berikutnya. Dalam kontek penganggaran berbasis kinerja khususnya terkait pengukuran, dan evaluasi kinerja. Perlu dilakukan beberapa analisis terhadap pencapaian output, dan outcome pada program/kegiatan atas alokasi penganggaran, dengan cara membandingkan realisasi terhadap rencana yang meliputi: 1) Perbandingan rencana, dan realisasi masukan (input) kegiatan; 2) Perbandingan rencana, dan realisasi keluaran (output) kegiatan; 3) Persentase (%) pencapaian target hasil (outcome) program; 4) Perbandingan antara harga yang berlaku dengan Standar Biaya yang ditetapkan.

PENUTUP Peningkatan kualitas belanja dalam penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) sampai saat ini belum optimal padahal r e f o r m a s i a n g g a r a n i n i t e l a h l a m a b e r g u l i r, y a k n i s e m e n j a k diimplementasikannya Undang-Undang R.I. Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang R.I. Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Hal ini merupakan tantangan, karena reformasi anggaran ini memerlukan keterlibatan, dan pemahaman sepenuhnya oleh pihak-pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dalam rangka terpenuhinya asas keuangan negara yang harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, eďŹ sien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memerhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat. Foto: Humas Bappeda Jabar Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

47


Dari informasi, dan telaahan di atas. Ada beberapa catatan berupa saran untuk OPD terkait antara lain: 1) Perlu peningkatan kapasitas/penyediaan SDM dalam bidang perencanaan, dan penganggaran 2) Perlu pengembangan instrumen (tools) lainnya yang mendukung PBK untuk mengukur (menilai), dan evaluasi kinerja antara besaran porsi anggaran belanja dengan rencana, dan capaian target indikator kinerjanya; 3) Perlu kajian lanjut terfokus terkait korelasi besaran porsi anggaran dengan besaran capaian IKU; 4) Diperlukan tugas, dan fungsi perangkat daerah yang lebih spesiďŹ k (atau organisasi independen) yang mampu mengukur/menilai, dan menganalisis kedalaman/tingkat kualitas belanja. Saran tersebut perlu ditindaklanjuti agar kualitas dokumen sesuai dengan perencanaan, dan penganggaran yang telah ditetapkan sehingga rencana, dan target kinerja yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana, dan pelaporan data, dan informasinya terukur, dan valid. Serta sebanding dengan besaran porsi anggarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Foto: Humas Bappeda Jabar

Buku/ Laporan Carol W. Lewis, How to Read a Local Budget and Assess Government Performance, dalam Anwar Shah (Ed.), 2007, Local Budgeting (Public Sector Governance And Accountability Series), The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank; Robinson, Marc and D. Last. 2009. A Basic Model of Performance-Based Budgeting. Technical Notes and Manuals. International Monetary Fund Washington; Laporan Kajian Kualitas Belanja APBD, 2011, Kementerian Perencanaan Pe m ba n g u n a n N a s i o n a l - B a d a n Perencanaan Pembangunan Nasional; Laporan Pelaksanaan Spending Performance Dalam Mendanai Pelayanan Publik, 2014, Kementerian Keuangan Republik Indonesia;

48

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Laporan Kajian Anggaran Pendidikan, 2017, Kantor Staf Presiden Republik Indonesia; Laporan Seminar Hasil Kajian Pendidikan, 2017 Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Peraturan Perundangan Undang-Undang R.I. Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; Undang-Undang R.I. Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional; Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 21 tahun 2004 tentang Rencana Kerja, dan Anggaran Kementerian Kementerian/Lembaga; Peraturan Pemerintah R.I. No. 58 Tahun 2005 tentang Pengeolaan Keuangan Daerah


BAPPEDA Provinsi Jawa Barat

http://bappeda.jabarprov.go.id/


Foto: Humas Bappeda Jabar

50

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


WAWA S A N PERENCANAAN

Dimensi Suistainable Development Goals (SDGs) dalam Perencanaan Pembangunan

Oleh Trisna Subarna* dan Putri Nuristi**

SDGs merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditandatangani oleh deklarator yaitu pemimpin-pemimpin dari 189 negara di markas besar PBB yang terdiri atas 17 goals/tujuan dengan target sebanyak 169 capaian.

*) Fungsional Peneliti Utama Bappeda Provinsi Jawa Barat **) Guru SMK Pertanian Lembang

Volume 30 Nomor April - Juni 2017 2018 Warta Bappeda Volume 20 Nomor 77 118 Januari - Maret

39 51


PENDAHULUAN United Cities and Local Governments (UCLG) yaitu organisasi pemerintahan subnasional terbesar di dunia dengan lebih dari 140 negara anggota PBB, memfasilitasi taskforce global Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mendorong dibuatnya satu tujuan khusus terkait urbanisasi berkelanjutan dan mendesak agar seluruh tujuan dan target mempertimbangkan keberagaman konteks, peluang dan tantangan pada level sub-nasional. Upaya tersebut menghasilkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yaitu resolusi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai agenda pembangunan dunia yang ditujukan untuk kemaslahatan manusia dan planet bumi. SDGs merupakan kelanjutan atau pengganti dari Tujuan Pembangunan Millennium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditandatangani oleh deklarator yaitu pemimpinpemimpin dari 189 negara di markas besar PBB yang terdiri atas 17 goals/tujuan dengan target sebanyak 169 capaian. Capaian target SDGs dijabarkan kedalam indikator yang terukur dengan batas akhir capaian telah ditentukan oleh PBB yaitu pada Tahun 2030 (Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2015; UNDP in Indonesia, 2015). Tujuan SDGs tersebut di deklarasikan tanggal 25

September 2015 dan dicanangkan bersama oleh negara-negara lintas pemerintahan pada resolusi PBB yang diterbitkan pada 21 Oktober 2015 sebagai ambisi pembangunan bersama hingga tahun 2030. Komitmen pelaksanaan SDGs di Indonesia diwujudkan dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tanggal 04 Juli 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sebagai wujud implementasi di daerah Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dalam Surat Keputusan Gubernur tersebut telah disusun tim koordinasi pelaksanaan SDGs Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari tim pengarah, tim pelaksana dan kelompok kerja. Tim Pengarah diketuai oleh Gubernur, Tim Pelaksana diketuai oleh Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat dan Tim Pokja dibagi berdasarkan pilar pembangunan SDGs yang diketuai oleh Kepala Bidang dan Sekretaris lingkup Bappeda Provinsi Jawa Barat. Sebagai perwujudan pelaksanaan prinsip inklusif SDGs, Tim Koordinasi SDGs Provinsi Jawa Barat disusun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang meliputi unsur pemerintah, pelaku usaha, ďŹ lantropi, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan media.

DIMENSI DAN PRINSIP SDGs

52

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, ditetapkan sarana pelaksanaan (Means of Implementation). SDGs terdiri dari 17 tujuan dan 169 target yang tercakup dalam dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan secara terintegrasi, seluruh tujuan tersebut adalah: 1. Tanpa Kemiskinan, yaitu mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuknya di setiap tempat; 2. Tan pa Ke l a pa r a n , y a i t u m e n g a k h i r i kelaparan, mencapai ketahanan pangan, p e r ba i k a n g i z i , d a n m e n i n g k a t k a n pertanian yang berkelanjutan; 3. Kehidupan sehat dan sejahtera yaitu menjamin hidup yang sehat dan meningkatkan kesehatan / kesejahteraan bagi semua pada semua usia; 4. Pendidikan berkualitas yaitu menjamin pendidikan yang berkualitas, inklusif dan adil, meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat bagi semua; 5. Kesetaraan gender, yaitu mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan semua wanita dan gadis; 6. Air bersih dan sanitasi layak, yaitu menjamin ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan bagi semua; 7. Energi bersih dan terjangkau, yaitu menjamin akses terhadap energi yang terjangkau (terbeli), andal, berkelanjutan, dan modern, bagi semua; 8. Pe ke r j a a n l a y a k d a n p e r t u m b u h a n ekonomi, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif; partisipasi penuh dalam pekerjaan yang produktif, jenis pekerjaan yang layak bagi semua;

12. K o n s u m s i d a n p r o d u k s i y a n g berkelanjutan, yaitu menjamin pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan; 13. Penanganan perubahan iklim yaitu mengambil langkah-langkah tindakan yang segera untuk mengatasi perubahan iklim dan dampaknya 14. Ekosistem lautan , yaitu melindungi dan menggunakan lautan, laut, dan sumberdaya kelautan secara berkelanjutan untuk pembangunan yang berkelanjutan; 15. Ekosistem daratan yaitu Melindungi, memulihkan, dan meningkatkan penggunaan ekosistem bumi secara berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, menghentikan dan membalik degradasi (kerusakan) tanah, dan kehilangan biodiversitas (keragaman hayati) 16. P e r d a m a i a n , k e a d i l a n d a n kelembagaanyang tangguh, yaitu mnenciptakan masyarakat yang damai dan i n k l u s i f u n t u k p e m ba n g u n a n y a n g berkelanjutan, memberikan akses terhadap keadilan bagi semua, membangun lembaga y a n g e f e k t i f, a k u n t a b e l ( d a p a t dipertanggungjawabkan), dan inklusif, pada semua level 17. Kemitraan untuk mencapai tujuan yaitu memperkuat cara implementasi dan merevitalisasi (menghidupkan kembali) kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.

Foto: Humas Bappeda Jabar

9. I n d u s t r i , i n o va s i d a n i n f r a s t r u k t u r Infrastruktur , yaitu membangun infrastuktur (prasarana) yang awet/ kuat, meningkatkan industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan, mendukung inovasi; 10. B e r k u r a n g n y a k e s e n j a n g a n , y a i t u mengurangi ketidaksetaraan (inequality) dalam dan antar negara; 11. Kota dan pemukiman yang berkelanjutan, yaitu membangun kota dan pemukiman manusia yang inklusif, aman, awet/ kuat, dan berkelanjutan; Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

53


Menurut Hanung Prasetya , Amallia Wijiwinarsih, dan Ganis Tyas Amartani, 2017., hampir semua tujuan dalam SDGs merupakan determinan sosial kesehatan yang terletak di berbagai level. Hanya tujuan ke 3 yang bukan merupakan determinan kesehatan, melainkan tujuan kesehatan itu sendiri yang ingin dicapai. Tujuan ke 3 SDGs dengan jelas menyebutkan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kehidupan yang sehat bagi semua (keadilan kesehatan) pada semua usia (kesetaraan kesehatan menurut usia). Selanjutnya dengan menggunakan kerangka konsep Dahlgren dan Whitehead (1991) dalam Hanung Prasetya at al (2017) menyatakan bahwa determinan sosial kesehatan terletak di berbagai level, dan fakta bahwa SDGs yang ingin dicapai merupakan determinan kesehatan, maka jika SDGs dapat dicapai dengan lebih cepat, maka implikasinya tujuan untuk meningkatkan kesehatan populasi dan distribusi kesehatan yang adil dalam populasi dan antar populasi akan dapat dicapai dengan lebih cepat pula. Secara Global SDGs terdiri atas 17 goalsm 169 target dan 241 indikator, yang dikelompokan kedalam pilar pembangunan social, Ekonomi, lingkungan dan pembangunan hokum dan tata kelola seperti pada gambar di bawah ini.

Gambar diadopsi dari Sekretariat TPB/SDGs Kementerian PPN/Bappenas, 2018

Prinsip dasar SDGs yaitu people, planet, prosperity, peace, dan partnership sebagai berikut (Bappenas, 2018): 1) People (Manusia), memastikan untuk mengakhiri kemiskinan dan kelaparan dalam segala bentuk dan dimensinya serta memastikan seluruh umat manusia dapat memenuhi potensi dan kemampuan mereka secara bermartabat dan setara dalam lingkungan yang sehat; 2) Planet (Planet), melindungi planet dari degradasi termasuk pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, pengelolaan 54

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

sumber-sumber daya alam secara berkelanjutan dan mengambil tindakan cepat terhadap perubahan iklim sehingga planet dapat mendukung kebutuhan hidup generasi saat ini dan yang akan datang; 3) Prosperity (Kesejahteraaan), memastikan seluruh umat manusia dapat menikmati hidup yang sejahtera dan terpenuhi kebutuhannya, serta kemajuan ekonomi, sosial, dan teknologi berlangsung secara harmoni dengan alam; 4) P e a c e ( P e r d a m a i a n ) , m e m e l i h a r a masyarakat yang damai, adil dan inklusif


y a n g t e r b e ba s d a r i ke t a k u t a n d a n kekerasan; dan 5) Partnership (Kemitraan), mengarahkan sarana yang diperlukan untuk pelaksanaan Agenda 2030 melalui kerja sama global untuk pembangunan semangat solidaritas global ( Setnas SDGS, 2018). TPB/SDGs merupakan kesatuan antara dimensi pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan yang komprehensif serta saling terkait. Kemajuan pada satu dimensi pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari dimensi pembangunan lainnya. TPB/SDGs juga merupakan aksi dan katalis global untuk kemitraan internasional dalam pencapaian pembangunan berkelanjutan. TPB/SDGs menekankan pentingnya pemenuhan hak azasi manusia dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pelaksanaannya harus mampu memberi manfaat kepada semua orang, khususnya kelompok rentan dan disabilitas. Prinsip ini dikenal dengan istilah "No One Left Behind" atau “Tidak ada seorangpun yang Ter tinggal�. Untuk melaksanakan TPB/SDGs, menjalankan prinsip inklusif dengan melibatkan 4 platform partisipasi yang terdiri atas Pemerintah dan Parlemen, Akademisi dan Pakar, Filantropi dan Pelaku Usaha, Organisasi Masyarakat Sipil dan Media dengan fokus pada kelompok rentan dan kaum disabilitas. Setiap platform ini memiliki peran masingmasing, namun saling terkait. Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, memiliki peran untuk menetapkan kebijakan dan peraturan, memformulasikan perencanaan dan alokasi

a n g g a r a n , m e l a k s a n a k a n , m e m o n i t o r, mengevaluasi dan melaporkan hasil pencapaian. Sementara, fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah untuk mengawasi anggaran, pelaksanaan dan monitoring TPB/SDGs. Organisasi masyarakat sipil dan media berperan untuk mendiseminasikan dan melakukan advokasi tentang TPB/SDGs, membangun kesadaran masyarakat, memfasilitasi program dan pelaksanaannya serta turut serta dalam monitoring dan evaluasi. Filantropi dan pelaku usaha, berperan untuk melakukan advokasi di antara para pelaku usaha dan sektor bisnis, memfasilitasi dan melaksanakan program, meningkatkan kapasitas masyarakat, ser ta memberikan dukungan pendanaan. Peran serta para pakar dan akademisi berpijak pada fungsi utama pendidikan dan berdasar pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu mendidik, melakukan riset, dan pengabdian masyarakat. TPB/SDGs tidak hanya mencakup Tujuan dan Target, namun juga Cara Pelaksanaan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan meliputi kebijakan, pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas, serta ketersediaan data untuk memastikan tercapainya semua Tujuan. Disamping itu, sumber pembiayaan TPB/SDGs tidak hanya bertumpu pada anggaran pemerintah, namun diperluas dengan sumber-sumber dari pihak swasta dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat dan sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku.

SDGs MENYEMPURNAKAN MDGs

Gambar diadopsi dari Sekretariat TPB/SDGs Kementerian PPN/Bappenas, 2018. Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

55


TPB/SDGs (Sustainable Development Goals) sebagai kesepakatan dunia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat global merupakan transformasi yang ambisius dari MDGs. Berbeda dengan MDGs yang menargetkan pengurangan separuh dari target Tujuan global, SDGs jauh lebih ambisius bertujuan menuntaskan seluruh target dari Tujuan global pada tahun 2030. Misalnya Tujuan “ Tanpa Kemiskinan” dan “ Tanpa Kelaparan”, akan dituntaskan Tujuan tersebut hingga tahun 2030 atau diistilahkan sebagai “Zero Goal”. Dilihat dari indikatornya, maka MDGs memiliki 67 indikator, sementara TPB/SDGs telah bertransformasi menjadi 241 indikator. Meski m e n g h a d a p i t a n t a n g a n s e ba g a i n e g a r a kepulauan terbesar dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia, serta dengan budaya dan kondisi geografis beragam, Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil mencapai hampir semua indikator MDGs dibandingkan negara Asia Pasifik lainnya. 49 dari 67 indikator MDGs telah berhasil dicapai Indonesia pada akhir tahun 2015. Tujuh indikator utama yang telah dicapai dalam MDGs tersebut meliputi: 1) kemiskinan dengan ukuran USD 1,00/kapita per hari, 2) akses pendidikan dasar, 3) kesetaraan gender dalam pendidikan, 4) angka kematian bayi dan balita, 5) pengendalian penyakit tuberkulosis (TB) dan malaria, 6) akses terhadap air bersih dan sanitasi perkotaan, dan 7) permukiman kumuh perkotaan. Sementara itu, terdapat enam indikator MDGs yang belum dapat dicapai pada akhir tahun 2015 yaitu: 1) kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan nasional, 2) angka kematian ibu, 3) prevelansi HIV dan AIDS, 4) tutupan lahan, 5) air minum layak perdesaan, dan 6) sanitasi layak perdesaan. Kelebihan SDGs dari MDGs adalah: (1) Pelaksanaannnya lebih komprehensif yaitu melibatkan lebih banyak negara dengan tujuan universal;, melibatkan pemerintah pusat dan daerah; (2) Memperluas sumber pendanaan, sumber pembiayaan TPB/SDGs tidak hanya bertumpu pada anggaran pemerintah, namun diperluas dengan sumber-sumber dari pihak swasta dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat dan sejalan dengan peraturan perundangan yang berlaku; (3) Menekankan pada hak asasi manusia dalam penanggulangan kemiskinan; (4) Inklusif à no one left behind yaitu baik pelaksana pembangunan maupun target

56

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

tidak terlewat; (5) Melibatkan seluruh pemangku kepentingan: Pemerintah; OMS & Media; Filantropi & Bisnis; serta Pakar & Akademisi. Menjadikan SDGs sebagai suatu “gerakan bersama” dalam mencapai masyarakat yang lebih sejahtera; (6) ”Zero Goals” yaitu menargetkan untuk menuntaskan seluruh indicator; (8) Cara Pelaksanaan (Means of Implementation) yaitu TPB/SDGs tidak hanya mencakup tujuan dan target, namun juga cara pelaksanaan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan meliputi kebijakan, pendanaan, teknologi dan peningkatan kapasitas, serta ketersediaan data untuk memastikan tercapainya semua Tujuan..


1) Goals 1. Tanpa Kemiskinan Target dan Indikator Tujuan 1. Tujuan 1 TPB/SDGs adalah mengakhiri kemiskinan dalam segala bentuk di mana pun. Dalam rangka mencapai tujuan tanpa kemiskinan pada tahun 2030, ditetapkan 7 target yang diukur melalui 33 indikator. Target-target tersebut terdiri dari pemberantasan kemiskinan, penerapan perlindungan sosial, pemenuhan pelayanan dasar, mengurangi kerentanaan masyarakat terhadap bencana,

serta penguatan kebijakan dan mobilisasi berbagai sumber daya untuk mengakhiri kemiskinan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target-target tersebut dijabarkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Dari 7 target tersebut Jawa Barat hanya dapat merencanakan empat target, untuk target 1.1 yaitu pada tahun 2030, mengentaskan kemiskinan ekstrim bagi semua orang yang saat ini berpendapatan kurang dari 1,25 dolar Amerika per hari belum dapatv dilaksanakan sehubungan dengan secara

Foto: Humas Bappeda Jabar

MATRIK RENCANA AKSI DAERAH SDGs JAWA BARAT UNTUK GOALS 1 DAN GOALS 2

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

57


nasional indicator dari target tersebut merupakan indikator global yang akan dikembangkan atau belum ada cara perhitungannya. Untuk target 1.5 Pada tahun 2030, membangun ketahanan masyarakat miskin dan merekayang berada dalam kondisi rentan, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap kejadian ekstrim terkait iklim dan guncangan ekonomi, sosial, lingkungan, dan bencana, dalam disagregasi data dan tidak tersedianya data belum dapat direncanakan. Sedangkan untuk target 1.a aitu menjamin mobilisasi yang signiďŹ kan terkait sumber daya dari berbagai sumber, termasuk melalui kerjasama sehubungan dengan ketersediaan data belum dapat dilaksanakan. Sebagai Gambaran kondisi base line dari Goals 1 disajikan pada Tabel di bawah ini.

Tabel 1. Base Line (Matrik 1 indikator Target) Goal 1. Tanpa Kemiskinan

58

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


2) Goals 2. Tanpa Kekelaparan Tujuan 2 TPB/SDGs adalah menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan tanpa kelaparan pada tahun 2030, ditetapkan 5 target yang diukur melalui 20 indikator. Targettarget tersebut terdiri dari menghilangkan kelaparan dan kekurangan gizi, menggandakan produktivitas pertanian, menjamin pertanian pangan berkelanjutan, mengelola keragaman genetik , dan

meningkatkan kapasitas produktif pertanian. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai target-target tersebut dijabarkan pada kebijakan, program dan kegiatan yang akan dilakukan oleh pemerintah maupun non pemerintah. Untuk Jawa barat seluruh Target tersebut dapat dilaksanakan, dengan pertimbangan disagrgasi data, kewenangan dan tersedia data serta program mendukung terhadap pencapaian indikator.

Tabel 2. Base Line (Matrik 1 indikator Target) Goal 1. Tanpa Kelaparan

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

59


Untuk mencapai indikator target tersebut maka diperlukan program dan kegiatan seper pada Tabel berikut

Tabel 3. Matrik 2 Program untuk Mencapai Indikator Tanpa Kemiskinan

PENUTUP Tujuan Pembangunan Berkelanjutan(TPB)/ Suistinable Depelopment Goals (SDGs) menekankan bahwa pencapaian target setiap indikator tidak akan lepas dari upaya dan pencapaian dari target indikator yang lain, sehingga dengan demikian pencapaian suatu Tujuan tertentu menentukan keberhasilan dari Tujuan yang lainnya pula. Keterkaitan antar Tujuan menjadi salah satu penentu dalam pencapaian TPB/SDGs. Saat in sedang di susun Rencana Aksi Daerah (RAD) TPB/SDGs Jawa Barat yang berisi aksi-aksi yang akan dilakukan baik oleh pemerintah maupun non-pemerintah secara bersama-sama dengan menekankan pada prinsip-prinsip TPB/SDGs yaitu integrasi dan no one left behind (tidak ada satupun yang tertinggal). Baik aksi pemerintah dan non-pemerintah berkontribusi untuk pencapaian target setiap indikator TPB/SDGs Jawa Barat. Berdasarkan pada prinsip dan semangat inklusif dari TPB/SDGs yang telah

60

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


diterapkan pada setiap proses dan tahapan penyusunan RAD, maka pelaksanaan dari setiap aksi juga dipastikan untuk tidak akan meninggalkan pihak manapun yang menjadi target dari setiap indikator. Untuk mensinkronkan antara indikator SDGs dengan indikator yang tertuang pada dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menegah Daerah yang akan dating diperlukan pencermatan atas kandungan isi dan cara perhitungan pada meta data indikator SDGs dengan indikkator program yang ada di Perangkat Daerah sehingga terjadi integrassi antara SDGs dan indikator RPJMD.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 Tanggal 8 januari 2015, tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015 – 2019. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 3.

DAFTAR PUSTAKA

BPS Jawa Barat, 2017. Indikator Strategis. Produksi Padi, Jagung, Kedelem Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Jawa Barat

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No 8 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 25 Tahun 2013 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 Tanggal 10 Juli 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian

BBS Jawa Barat, Statistik Dasar, Garis Kemiskinan dan Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Barat, 2013‒2018.

BPS Jawa Barat, 2018. Statistik Dasar. Angka partisipasi murni (APM) menurut kabupaten/kota dan jenjang pendidikan tahun 2011-2017. Unpad Press, 2018. Seri Menyongsong SDGs, Kesiapan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat. Hanung Prasetya , Amallia Wijiwinarsih, dan Ganis Tyas Amartani (2017). Masters Program in Public Health, Graduate School, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir Sutami 36A, Surakarta 57126, Indonesia

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Bappenas, 2018. Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, 20162023.

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 136.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

61


Pertumbuhan Inklusif Kawasan Jawa Barat Utara dan Selatan 62

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


WAWA S A N PERENCANAAN

Oleh Helmi Makarim* dan Lulu Labida**

PENDAHULUAN Baru-baru ini telah dikembangkan terkait pertumbuhan pada segala aspek kehidupan dalam mensejahterakan masyarakat oleh Anand et al. (2013) yang mengurai pertumbuhan menjadi dimensi efisiensi dan pemerataan. Selama kurun waktu 5 tahun terakhir telah menunjukan hasil empiris bahwa PDRB Jawa Barat rata-rat tumbuh secara inklusif antara tahun 2012 dan 2017. Selain itu, Jawa Barat terjadi heterogenitas substansial dalam inklusivitas lintas angka pertumbuhan regional, yang juga mencerminkan tradeoff efisiensi-ekuitas dalam pertumbuhan PDRB Jawa Barat. Dengan metode yang di gunakan Anand et al di Tahun 2013 pada fungsi kesejahteraan sosial utilitarian, inklusivitas Jawa Barat tergantung pada pertumbuhan pendapatan dan distribusi. Penguraian pertumbuhan ini menjadi dimensi efisiensi dan kesetaraan dalam pembangunan Jawa Barat. Oleh karena itu memungkinkan memisahkan kontribusi pendapatan per kapita dan perkembangan distribusi untuk inklusivitas pertumbuhan, dan mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penduduk miskin juga. Foto: Humas Bappeda

Konsekuensi dari distribusi yang merugikan masyarakat mendorong diskusi oleh beberapa para ahli tentang pertumbuhan inklusif kalangan dari akademisi dan pengambil kebijakan.

*) Honorer Bappeda Provinsi Jawa Barat **) Peneliti Bappeda Provinsi Jawa Barat


Inklusivitas pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat selama dekade terakhir mengandung resesi. Meskipun tidak ada definisi unik tentang pertumbuhan inklusif dalam literatur, seseorang dapat secara singkat menggambarkannya sebagai model pertumbuhan di mana manfaat dan peluang yang berasal dari pertumbuhan ekonomi didistribusikan secara merata di berbagai bagian masyarakat. Jadi, ada dua komponen utama dari konsep pertumbuhan inklusif; pertama harus ada perbaikan, kedua manfaat dari peningkatan ini harus berbasis luas. Kedua dimensi dari konsep pertumbuhan inklusif ini ditangkap dalam formulasi yang kami gunakan (Anand et al. 2013) dan dinamai dengan istilah “efisiensi” dan “ekuitas”, masing-masing. Jawa Barat tumbuh rata-rata 5.8% dari Tahun 2011 sampai 2017 yang refleksikan pertumbuhan ekonomi ini bervariasi dari waktu ke waktu. Secara khusus, antara 2013 dan 2016 yang mengalami fluktuatif , namun untuk tingkat ketimpangan pendapatannya masih banyak belum berubah secara signifikan dengan tingkat pengangguran yang masih diatas 5%. Oleh karena itu memacu diskusi tentang pertumbuhan pengangguran dan non-inklusif untuk periode tersebut. Perbandingan perbandingan antara Jawa Barat Bagian Utara dan Selatan memberikan hasil bahwa selama periode 2011-2017 (periode yang tersedia), wilayah Kawasan Jawa Barat Selatan meningkatkan pemerataan lebih baik daripada daerah kawasan Jawa Barat Utara, sedangkan daerah Utara mengungguli dalam hal pertumbuhan pendapatan per kapita. Berbagai konsep yang ditawarkan untuk merumuskan pertumbuhan inklusif memiliki pandangan masing- masing mengenai bagaimana seharusnya pertumbuhan dapat bekerja dalam perekonomian. Faktor-faktor seperti ketimpangan, kemiskinan, masalah sektoral dan tenaga kerja seringkali disebutkan dalam uraian mengenai b e r ba g a i ko n s e p p e r t u m b u h a n i n k l u s i f. Pertumbuhan inklusif dapat dikatakan sebagai ukuran apakah pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan per tumbuhan yang berkualitas. Pertumbuhan ekonomi disebut inklusif apabila pertumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Meskipun ada indikasi bahwa pertumbuhan

64

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

yang inklusif telah terjadi di Jawa Barat, persoalan kesenjangan masih terjadi pada kawasan Jawa Barat Utara dan Selatan tidak lepas dari adanya masalah kesenjangan dalam pembangunan dan pemerataan hasil- hasil pembangunan. Pembangunan di daerah-daerah yang bersifat pembangunan regional, pembangunan wilayah atas pembangunan kawasan, dalam skala apapun, adalah bagian terpadu dari pembangunan Jawa Barat yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan kesejahteraan masyarakat secara merata. Pembangunan yang didominasi pada kabupaten/kota di Jawa Barat bagian Utara, membuat kawasan Jawa Barat Selatan relatif masih jauh tertinggal baik dalam hal prasarana fisik, sosial, sumber daya (modal maupun manusia), maupun kelembagaan. Data BPS menunjukkan bahwa lebih dari 60% persen PDRB Jawa Barat dikuasai oleh Kabupaten/Kota di bagian Utara Jawa Barat, sedangkan sisanya terdistribusi di seluruh Kabupaten/Kota bagian selatan Jawa Barat (BPS, 2011-2017). Walaupun bukan isu baru, tema pertumbuhan inklusif hingga saat ini semakin menarik perhatian dan dianggap penting. Berbagai indikator yang mencirikan per tumbuhan inklusif terus dikembangkan, termasuk bagaimana metode m e n g u k u r p e r t u m b u h a n i n k l u s i f. I s u pertumbuhan inklusif semakin menarik pada kenyataannya, Jawa Barat Bagian Selatan menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi. Persoalan kesenjangan tentunya berlawanan dengan konsep pertumbuhan inklusif dimana pertumbuhan mampu menurunkan ketimpangan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan berikut :

1 2 3

Apakah pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat telah inklusif? Apakah pertumbuhan inklusif merupakan fenomena yang konsisten di Jawa Barat?

Bagaimana fenomena pertumbuhan inklusif di wilayah Jawa Barat BagianUtara dan Jawa Barat Bagian Selatan ?


Foto: Humas Bappeda Jabar

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

67


PUSTAKA PERTUMBUHAN INKLUSIF DeďŹ nisi Ali dan Zhuang (2007) terkait erat dengan konsep John Roemer tentang persamaan kesempatan (1998), yang diambil oleh Laporan Pembangunan Dunia 2006 Bank Dunia, Kesetaraan dalam Pembangunan, dan berbagai makalah penelitian (misalnya, Bourguignon et al. 2007, Ferreira dan Gignoux 2008, dll.). Kesempatan yang sama ada jika kesejahteraan seseorang (biasanya diukur dalam hal pendapatan pribadi) hanya berhubungan dengan usaha, bukan keadaan individu. Dalam deďŹ nisi itu, pertumbuhan yang mempromosikan kesempatan yang sama adalah pertumbuhan inklusif. Pertumbuhan inklusif diperlukan untuk mengentaskan kemiskinan secara cepat dan berkelanjutan yang memberikan manfaat serta mengikutsertakan seluruh masyarakat untuk berkontribusi dalam proses pertumbuhan. Menurut International Disability and Development Consortium (IDDC, 2013), pertumbuhan inklusif merupakan sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan (termarginalkan/miskin) dapat terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok/kaum yang termarginalkan di dalam proses pembangunan. Per tumbuhan dianggap sebagai pertumbuhan yang pro-kemiskinan apabila masyarakat miskin diuntungkan yang tercermin dari beberapa ukuran kemiskinan yang disepakati secara luas (Ravallion & Chen, 2002). Lebih jauh l a g i , ( K r a a y, 2 0 0 4 ) m e n y a t a k a n b a h w a pertumbuhan dikatakan pro-kemiskinan jika dan hanya jika pendapatan dari masyarakat miskin tumbuh lebih cepat daripada pendapatan masyarakat secara keseluruhan (penurunan ketimpangan pendapatan). Dengan fokus pada ketimpangan, pertumbuhan inklusif dapat menciptakan hasil yang optimal bagi masyarakat miskin maupun masyarakat tidak miskin. Berkenaan dengan pertumbuhan inklusif, penelitian empiris telah mengembangakan aspek kajiannya untuk membahas pengukuran indikator pertumbuhan inklusif, seperti yang dilakukan oleh Ali dan Son (2007) dan Klasen (2010). Selanjutnya menurut Sukirno (2004), kemiskinan juga dipengaruhi oleh pengangguran. Efek buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan 66

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

masyarakat yang pada akhirnya mengurangi t i n g k a t ke m a k m u r a n y a n g te l a h d i c a pa i seseorang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan sosial selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi ke s e j a h t e r a a n m a s y a r a k a t d a n p r o s p e k pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Terdapat hubungan yang erat antara tingginya jumlah pengangguran, dengan jumlah penduduk miskin. Bagi sebagian besar mereka, yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap atau hanya bekerja paruh waktu (part time) selalu


Foto: Humas Bappeda Jabar

berada diantara kelompok masyarakat yang sangat miskin (Arsyad, 1999). Kebutuhan manusia banyak dan beragam, karena itu mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhannya, hal yang biasa dilakukan adalah bekerja untuk mendapatkan penghasilan. Apabila mereka tidak bekerja atau menganggur, konsekuensinya adalah mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya dengan baik , kondisi ini membawa dampak bagi terciptanya dan membengkaknya jumlah penduduk miskin yang ada. Menurut Octaviani (2001), jumlah pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan di Indonesia yang penduduknya memiliki ke te rg a n t u n g a n y a n g s a n g a t b e s a r a t a s pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini.

Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Yang artinya bahwa semakin tinggi pengangguran maka akan meningkatkan kemiskinan. Kadangkala ada juga pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari pekerjaan yang lebih baik dan yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaanpekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber-sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka. Orangorang seperti ini bisa disebut menganggur tetapi belum tentu miskin.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

67


MENGUKUR PERTUMBUHAN INKLUSIF Untuk mengintegrasikan kesetaraan dan pertumbuhan dalam ukuran terpadu, catatan ini mengusulkan ukuran pertumbuhan inklusif berdasarkan fungsi kesejahteraan sosial utilitarian yang diambil dari literatur pilihan konsumen, di mana pertumbuhan inklusif bergantung pada dua faktor: (i)

pertumbuhan pendapatan dan

(ii)

distribusi pendapatan.

Mirip dengan Teori konsumen di mana Kurva indiferen mewakili perubahan dari waktu ke waktu dalam permintaan agregat, analisis ini menguraikan pendapatan dan efek substitusi ke dalam pertumbuhan dan komponen distribusi. Fungsi kesejahteraan sosial yang mendasarinya harus memenuhi dua properti untuk menangkap ďŹ tur-ďŹ tur ini: (i)

(ii)

meningkat dalam argumennya (untuk menangkap dimensi pertumbuhan) dan memenuhi transfer properti setiap transfer pendapatan dari orang miskin ke orang kaya mengurangi nilai fungsi (untuk menangkap dimensi distribusi).

Ukuran makro inklusivitas didasarkan pada konsep mikro kurva konsentrasi umum setelah Ali

dan Son (2007). Populasi diatur dalam urutan naik dari pendapatan mereka, yang disebut kurva mobilitas sosial. Misalkan y adalah pendapatan rata-rata dari bawah i persen populasi, di mana saya bervariasi Dari 0 hingga 100 dan y adalah pendapatan ratarata. Yi diplot untuk berbagai nilai i (kurva AB pada gambar 1). Karena kurva yang lebih tinggi menyiratkan mobilitas sosial yang lebih besar, pertumbuhan inklusif jika kurva mobilitas sosial bergerak ke atas di semua titik. Namun, mungkin ada tingkat pertumbuhan inklusif tergantung pada: (i)

berapa banyak kurva bergerak naik (pertumbuhan) dan

(ii)

bagaimana distribusi pendapatan berubah (ekuitas), yaitu bagaimana kur va kelenturan mobilitas sosial berubah.

Ciri dari kurva mobilitas sosial ini adalah dasar dari ukuran terintegrasi yang terintegrasi dari pertumbuhan inklusif. Jadi, jika dua kur va konsentrasi yang umum tidak berpotongan, mereka dapat diberi peringkat pada mobilitas sosial, yaitu pertumbuhan inklusif.

Gambar.1 Pergeseran Kurva Mobilitas Sosial

68 Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 70


Untuk mengilustrasikan poin yang dibuat di atas, gambar 1 menggambarkan dua kurva mobilitas sosial dengan pendapatan rata-rata yang sama (y), tetapi tingkat inklusifitas yang berbeda, yaitu, distribusi pendapatan yang berbeda. Kurva mobilitas sosial A1B lebih inklusif daripada kurva mobilitas sosial AB, karena pendapatan rata-rata dari segmen bawah masyarakat lebih tinggi. Jika kedua istilah positif (dy> 0, dω <0), Pertumbuhan inklusif jelas (AB bergeser ke A1B1); sama halnya, jika kedua istilah itu negatif (dy <0, dω <0), pertumbuhannya jelas tidak pasti (AB bergeser ke A4B4). Namun, mungkin ada trade-off antara y dan ω. Jika istilah pertama positif tetapi istilah kedua negatif, mobilitas sosial yang lebih tinggi

dicapai dengan mengorbankan pengurangan ekuitas. Pada gambar 1, kasus ini dapat diilustrasikan oleh pergeseran kurva mobilitas sosial dari AB ke A2B2. Demikian pula, jika istilah pertama adalah negatif tetapi istilah kedua adalah positif, maka mobilitas sosial yang lebih tinggi tercapai pada biaya kontraksi dalam pendapatan rata-rata pada gambar 1, kasus ini dapat diilustrasikan oleh pergeseran kurva mobilitas sosial dari AB ke A3B3 . Untuk menangkap besarnya perubahan dalam distribusi pendapatan, analisis ini menggunakan bentuk sederhana dari fungsi mobilitas sosial dengan menghitung indeks (atau indeks mobilitas sosial) dari Daerah di bawah kurva mobilitas sosial:

Tabel .1 Matrik Inklusif dy>0dω>0 dy>0dω<0

dy<0dω>0 dy<0dω<0

Inklusif Pendapatan per kapita yang lebih tinggi dengan mengorbankan ekuitas (bisa inklusif jika perubahan persentase dalam y> perubahan persen ω Tujuan ekuitas tercapai pada biaya kontraksi pendapatan rata-rata Tidak Inklusif

METODE PENELITIAN Semakin besar ŷ*, semakin besar ukuran pertumbuhan inklusif. Jika pendapatan semua orang dalam populasi sama (yaitu, jika distribusi pendapatan benar-benar adil), maka ŷ* akan sama dengan ŷ. Jika ŷ * lebih rendah dari ŷ, itu menunjukkan bahwa distribusi pendapatan tidak adil. Jadi, penyimpangan ŷ* dari ŷ adalah indikasi ketidaksetaraan dalam distribusi pendapatan, yang diwakili oleh ω (tidak seperti Gini, nilai omega yang lebih tinggi mewakili kesetaraan pendapatan yang lebih tinggi). Secara formal, ω didefinisikan sebagai berikut: ω = ŷ*/ ŷ Untuk memenuhi keadilan yang penuh dimasyarakat, ω = 1. Dengan demikian, nilai omega yang lebih tinggi (lebih dekat ke satu) mewakili kesetaraan pendapatan yang lebih tinggi. Dapat dengan rumusan,

Pe r t u m b u h a n i n k l u s i f m e m b u t u h k a n peningkatan y, * yang dapat dicapai dengan: (i)

meningkatkan y, artinya, meningkatkan pendapatan rata-rata melalui pertumbuhan;

(ii)

meningkatkan pemerataan melalui ω; atau

(iii)

kombinasi dari (i) dan (ii). Membedakan persamaan di atas dŷ* = ω.dŷ + dω.ŷ

dimana d adalah perubahan tingkat pertumbuhan inklusif. Pertumbuhan lebih inklusif jika d ŷ *> 0

ŷ* = ω x ŷ Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

69


Mengukur Pertumbuhan Inklusif

inklusif dalam menurunkan ketimpangan

Telah diuraikan sebelumnya bahwa terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan inklusif. Untuk menjawab permasalahan, penelitian ini menggunakan pendekatan yang dirumuskan oleh Klasen (2010). Definisi pertumbuhan inklusif yang digunakan dalam penelitian ini merupakan gabungan dari beberapa konsep. Pertumbuhan disebut inklusif apabila per tumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan distribusi pendapatan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Sedangkan untuk menghitung elastisitas sebagai komponen yang terdapat pada setiap perhitungan koefisien inklusif, maka penelitian akan mengadopsi konsep PEGR yang digunakan untuk menurunkan persamaan. Dengan menjabarkan i dari persamaan sebagai kemiskinan (p), ketimpangan (in) dan tenaga kerja (em), dan j mengacu pada indikator pertumbuhan e ko n o m i ( g ) , m a k a d e n g a n m e n g a d o p s i persamaan yang di kembangkan oleh Diah (2014), pertumbuhan inklusif dapat diukur dengan rumusan sebagai berikut : 1.

Pertumbuhan inklusif dalam menurunkan kemiskinan, koefisiennya adalah :

Gin

= elastisistas ketimpangan terhadap pendapatan ratarata

Gin.g

= e l a s t i s i t a s ke t i m pa n g a n terhadap per tumbuhan ekonomi

Ĝg

= pertumbuhan ekonomi

Gin menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan ketimpangan, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGin > Ĝg. 3.

Pertumbuhan inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja, koefisiennya adalah : IGem = (Gem.g /Gem) Ĝeg (27) Dimana : IGem

= ko e fi s i e n p e r t u m b u h a n inklusif dalam menyerap tenaga kerja

Gem

= elastisistas penyerapan tenaga kerja

Gem.g

= elastisitas penyerapan tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi

IGp = (Gpg / Gp) Ĝg Ĝg

Dimana : IGp

= ko e fi s i e n p e r t u m b u h a n inklusif dalam menurunkan kemiskinan

Gp

= elastisistas kemiskinan terhadap pendapatan ratarata

Gpg

= elastisitas kemiskinan terhadap per tumbuhan ekonomi

Ĝg

= pertumbuhan ekonomi

IGp menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGp > Ĝg. 2.

Pertumbuhan inklusif dalam menurunkan ketimpangan, koefisiennya adalah : IGin = (Gin.g / Gin) Ĝg Dimana : IGin

70

= ko e fi s i e n p e r t u m b u h a n

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

= pertumbuhan ekonomi

IGem menyatakan inklusifitas pertumbuhan dalam menyerap tenaga kerja, sehingga pertumbuhan dinyatakan inklusif apabila nilai IGem > Ĝeg. Foto: Humas Bappeda Jabar


HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembahasan penelitian ini di bagi menjadi tiga sub bahasan Tiga bagian pertama menguraikan inklusifitas pertumbuhan pada masing-masing indikator, yaitu kemiskinan, ketimpangan dan penyerapan tenaga kerja. Bagian selanjutnya menguraikan fenomena pertumbuhan inklusif di Jawa Barat Bagian Utara dan Jawa Barat Bagian Selatan. Dengan harapan pertumbuhan ekonmi mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan dan menyerap tenaga kerja, sehingga bisa dikatakan inklusif. Foto: Humas Bappeda Jabar

Inklusifitas Pertumbuhan Ekonomi dalam Menurunkan Kemiskinan Menurunkan kemiskinan merupakan salah satu tolak ukur bagi pertumbuhan ekonomi untuk dapat disebut sebagai pertumbuhan yang inklusif. Dalam penelitian ini, inklusifitas pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan dinilai dengan koefisien inklusifitas untuk kemiskinan (IG p ). Perbandingan koefisien inklusifitas pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan dengan per tumbuhan ekonomi yang direpresentasikan dari perubahan PDRB 27 kabupaten/kota di Jawa Barat pada Tahun 20112017. Pertumbuhan ekonomi dikatakan inklusif apabila koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap kemiskinan (IGp) memiliki nilai yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi (Gg). Sepanjang periode pengamatan, tahun 2011-2017, tidak s a t u p u n k a b u p a t e n / ko t a y a n g m e m i l i k i pertumbuhan yang inklusif dalam menurunkan kemiskin. Seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang tidak inklusif dalam menurunkan kemiskinan. Meskipun demikian, kabupaten/kota memiliki koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap kemiskinan dengan nilai positif. Koefisien inklusifitas yang bernilai positif namun lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi artinya penurunan kemiskinan tetap terjadi seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Hasil pertumbuhan tidak didistribusikan secara merata namun manfaat pertumbuhan ekonomi tetap diterima oleh penduduk yang tidak miskin. Pada Tahun 2016 pada Kabupaten Indramayu terjadi koefisien pertumbuhan dapat bernilai

negatif, yang artinya pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk tidak miskin. Koefisien yang negatif juga berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu menjalankan peranannya dalam menurunkan kemiskinan, bahkan cenderung memperparah kemiskinan yang terjadi. Dengan kondisi demikian, pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dapat dikatakan tidak inklusif dalam menurunkan kemiskinan. Walaupun sepanjang periode pengamatan koefisien inklusifitas Kabupaten/Kota di Jawa Barat selalu bernilai positif namun tidak lebih besar dari pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Jawa Barat. Inklusifitas Pertumbuhan Ekonomi dalam Menurunkan Ketimpangan Pe r t u m b u h a n y a n g i n k l u s i f d a l a m menurunkan ketimpangan ditunjukkan oleh nilai koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap ketimpangan (IG i n ) yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi (Gg). Koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap ketimpangan pada 27 Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada tahun 2011 sampai 2017 menunjukkan bahwa pada periode pengamatan, tidak satupun kabupaten/kota yang mampu mempertahankan inklusifitas pertumbuhannya dalam menurunkan ketimpangan selama 7 tahun berturut-turut. Kabupaten/Kota di Jawa Barat yang pertumbuhan ekonominya inklusif terhadap ketimpangan pada tahun 2011 adalah tidak satupun kabupaten/kota yang pertumbuhannya inklusif dalam menurunkan ketimpangan. Kabupaten/Kota di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang inklusif

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

71


pada tahun 2012 sampai 2017 namun hanya 2 kota yaitu Kota Tasikmalaya dan Kota Banjar. Koefisien inklusifitas pertumbuhan ekonomi yang memiliki nilai yang positif namun lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa ketimpangan tetap ada dalam perolehan manfaat pertumbuhan ekonomi. Dalam kondisi ini, pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak mampu mendistribusikan manfaatnya secara merata. Ketika hal ini terjadi, maka penurunan ketimpangan lebih kecil daripada laju peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sepanjang tahun 2011 hingga 2017, mayoritas provinsi di Indonesia memiliki koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap ketimpangan yang nilainya positif namun lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi.

Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

Tidak seper ti penghitungan koefisien inklusifitas yang lain, pada penghitungan koefisien inklusifitas pertumbuhan ekonomi terhadap ketimpangan terdapat beberapa nilai yang tidak teridentifikasi (hasil perhitungan error karena adanya pembagian dengan nilai nol). Hal ini terjadi pada periode dimana ketimpangan, yang dinyatakan oleh koefisien gini, tidak mengalami perubahan dibanding periode sebelumnya. Dengan tidak adanya perubahan maka dapat dikatakan bahwa tidak terjadi perubahan ketimpangan antar periode. Provinsi dengan koefisien yang demikian memiliki nilai NA. Inklusifitas Pertumbuhan Ekonomi dalam Penyerapan Tenaga Kerja Pertumbuhan ekonomi disebut inklusif apabila per tumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Dua indikator pertama telah diuraikan pada penjelasan sebelumnya. Indikator ketiga yaitu penyerapan tenaga kerja menggunakan konsep yang sama untuk mengukur inklusifitas per tumbuhan ekonomi, yaitu dengan menggunakan koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap penyerapan tenaga kerja. Koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap tenaga kerja (IGem) yang nilainya lebih besar dari pertumbuhan ekonomi (Gg) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi inklusif dalam penyerapan tenaga kerja. Perbandingan antara koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap penyerapan tenaga kerja dengan perumbuhan ekonomi yang dihitung dari laju perubahan PDRB 72

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

27Kabupaten/Kota di Jawa Barat pada Tahun 2011-2017 Pada beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat memiliki koefisien inklusifitas pertumbuhan tenaga kerja yang nilainya lebih besar dari pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011, terdapat 8 kabupaten/kota yang memiliki koefisien inklusifitas lebih besar dari per tumbuhan ekonomi, kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Garut, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Bandung Barat, Kota Sukabumi, Kota Bekasi dan Kota Banjar dengan koefisien inklusifitas yang nilainya lebih besar dari pertumbuhan ekonomi. Kabupaten/kota dengan nilai koefisien inklusifitas pertumbuhan terhadap penyerapan


“

Pertumbuhan ekonomi disebut inklusif apabila pertumbuhan tersebut mampu menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan, dan menyerap lebih banyak tenaga kerja

tenaga kerja yang nilainya lebih besar dari pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi telah mampu menyerap lebih banyak tenaga kerja. Artinya, pertumbuhan ekonomi di provinsi-provinsi tersebut adalah pertumbuhan yang inklusif dalam penyerapan tenaga kerja. Sama halnya dengan dua indikator pertumbuhan inklusif yang telah dijelaskan sebelumnya, mayoritas provinsi di Indonesia selama periode pengamatan memiliki koeďŹ sien pertumbuhan inklusif bernilai positif namun lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks penyerapan tenaga kerja, hal ini berarti bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja tetapi peningkatan pertumbuhan ekonomi terjadi lebih

cepat dibanding peningkatan penyerapan tenaga kerja. Sama halnya dengan inklusiďŹ tas pertumbuhan dalam menurunkan kemiskinan dan menurunkan ketimpangan, dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja koeďŹ sien inklusiďŹ tas pertumbuhan kabupaten/kota beruktuasi setiap tahunnya. Kabupaten/kota dengan pertumbuhan yang inklusif jumlahnya lebih sedikit dibandingkan provinsi yang tidak inklusif selama 7 tahun periode pengamatan. Dengan mayoritas kabupaten/kota yang p e r t u m b u h a n n y a t i d a k i n k l u s i f, m a k a pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat dapat dikatakan tidak inklusif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

73


Untuk menjelaskan fenomena pertumbuhan inklusif antar kawasan di Jawa Barat, penelitian membagi Jawa Barat menjadi 2 wilayah yaitu Jawa Barat Bagian Utara dan Jawa Barat Bagian Selatan. Dalam penelitian ini, wilayah Jawa Barat Bagian Utara terdiri dari seluruh Kabupaten/Kota berjumlah 18, kabupaten/kota tersebut adalah Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten subang, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Sedangkan wilayah Jawa Barat Bagian Selatan terdiri dari Kabupaten Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, Kota Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Garut, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung, Kabupaten Sukabumi dan Kota Sukabumi. Pe m ba h a s a n m e n g e n a i i n k l u s i fi t a s pertumbuhan ekonomi dalam menurunkan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang telah diuraikan sebelumnya memiliki koefisien inklusifitas masing- masing selama periode pengamatan. Suatu kabupaten kota dapat memiliki pertumbuhan yang inklusif untuk indikator tertentu pada tahun tertentu, kemudian dengan koefisien yang berubah maka inklusifitasnya pun dapat berubah di waktu yang lain. Perubahan koefisien inklusifitas terjadi baik di kawasan Jawa Barat Bagian Utara maupun Selatan. Selama pengamatan pada periode yang sama pada uraian diatas, tidak satupun kawasan Jawa Barat Bagian Utara maupun Selatan yang p e r t u m b u h a n e ko n o m i n a i n k l u s i f d a l a m menurunkan kemiskinan. Sama halnya dengan p e r t u m b u h a n e ko n o m i n a i n k l u s i f d a l a m menurunkan ketimpangan. Akan tetapi untuk p e r t u m b u h a n e ko n o m i n a i n k l u s i f d a l a m penyerapan tenaga kerja memiliki pertumbuhan inklusif pada kawasan Jawa Barat Bagian Selatan. Membuktikan dikawasan Selatan Jawa Barat dengan penyerapan tenaga kerja yang inklusfi terhadap pertumbuhan ekonomi karena di bayar dengan upah yang rendah.

74

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah : 1.

Pertumbuhan ekonomi Kabupaten/kota di Jawa Barat pada tahun 2011-2017 belum inklusif dalam menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan, akan tetapi pada beberapa kabupaten kota untuk pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja ada yang sudah inklusif walupun masih fluktuatif.

2.

Per tumbuhan yang inklusif dalam menurunkan kemiskinan, menurunkan ketimpangan, memiliki fenomena yang konsisten dan perlu pembenahan kebijakan. Sedangkan untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja mengalami fenomena yang tidak konsisten di Jawa Barat .

3.

Fenomena pertumbuhan inklusif dalam menurunkan kemiskinan, menurunkan ke t i m p a n g a n , d a n m e n i n g k a t k a n penyerapan tenaga kerja lebih banyak terjadi di wilayah Jawa Barat Bagian Selatan. Meskipun demikian, persentase jumlah kabupaten/kota di Jawa Barat m e m i l i k i ke c e n d e r u n g a n s e m a k i n menurun dan tidak konsisten.

Foto: Humas Bappeda Jabar

Fenomena Pertumbuhan Inklusif di Indonesia Bagian Barat dan Timur


SUMBER INFORMASI

PERENCANAAN PEMBANGUNAN JAWA BARAT


OPINI

Pelestarian Rumah Panggung Sebagai Pelestarian Perilaku Hidup Sehat pada Masa Lalu

Oleh Nunung Nurnaningsih* Choliyaty zakiah**

*) Perencanan Madya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat **) Tenaga Honorer Guru TK Rahmasari 1 Katapang


Foto: Humas Bappeda

(Foto 1: Foto Rumah Sesepuh Kampung Adat Sinaresmi, Sumber: Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat)

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

77


P

erilaku hidup sehat masyarakat dapat dibangun berawal dari lingkungan keluarga. Hal ini dapat dilihat dari lingkungan hidup sekitar mulai dari perilaku sampai pada tempat tinggal. Tempat tinggal yang bersiha dan sehat akan membentuk perilaku hidup sehat. Perilaku hidup sehat yang paling mendasar berawal dari tempat tinggal. Pada jaman dahulu hampir seluruh masyarakat, tempat tinggal atau rumahnya berbentuk panggung dengan berbahan bangunan bambu dan kayu dan tidak menggunakan paku besi atau yang lainnya. Untuk menghubungkan satu ujung dengan ujung lainnya menggunakan paku yang terbuat dari bambu. Paku bambu ini memiliki kekuatan yang cukup lama dan tidak mengalami pelapukan dibandingkan denggan paku besi yang mengalami pengaratan. Dalam pembuatan rumah panggung tidak bisa sembarangan kayu, bambu dan gaba-gaba (bilik) digunakan untuk membangun akan tetapi semua itu memerlukan proses pemilihan dan penuaan alami ataupun melalui proses tradisional, sehingga memerlukan proses yang panjang mulai dari persiapan sampai pada tahap pembangunan. Setiap bagian dari rumah panggung itu memiliki nama dan fungsi masing-masing, bahkan pada jaman dahulu ada satu ruangan yang tidak boleh dimasuki olah kaum laki-laki, karena ruangan tersebut berhubungan dengan kehidupan seharihari (tempat menyimpan beras). Selain itu juga bentuk rumah panggung ini memiliki sirkulasi udara yang sangat baik dibandingkan dengan rumah yang dibangun secara permanen dengan menggunakan tembok. Akan tetapi pada masa sekarang keberadaan rumah panggung ini sudah mulai tergerus oleh rumah-rumah permanen yang dibuat dari tembok. Dan masyarakat berpikir, apabila membangun rumah panggung dianggap orang yang tidak mampu. Kenyataannya, pada masa sekarang jika 78

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Foto: Humas Bappeda Jabar

membangun rumah pannggung bahan yang digunakan lebih mahal dibandingkan dengan rumah permanen dari tembok (Wawancara, 2017). Kondisi rumah panggung ini terlihat bagitu alami dan sehat dengan sirkulasi udara disetiap bagian rumah. Meskipun pada masa sekarang keberadaan rumah panggung itu sudah jarang ditemukan akan tetapi untuk di kampung adat masih dipertahankan


(Foto 2: Rumah Penduduk Desa Tamanjaya, Sumber: Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat)

dan bahkan beberapa warga masih mempertahankan bangunan rumah panggung yang usianya sudah ratusan tahun dan hanya diperbaiki bagian-bagian yang rusaknya saja. sehingga keberadaan rumah tersebut tetap terjaga. Keberadaan rumah panggung pada masa sekarang merupakan warisan pada masa lampau. Hal ini terjadi, karena generasi masa sekarang bahkan generasi masa lalu yang masih ada, mereka

mulai meninggalkan warisan tersebut. Mereka berpikir jika membangun rumah panggung di sama sekarang dianggap tidak pantas dan dianggap orang yang tidak mampu. Mereka lebih bangga dengan rumah permanen yang jika dilihat secara bangunan terkadang asal jadi yang penting berdiri dan dapat diisi oleh seluruh anggota keluarga. Jika melihat dari perilaku hidup sehat, rumah panggung memiliki sirkulasi udara yang baik dari Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

79


Foto-foto: Humas Bappeda Jabar

berbagai arah, karena untuk dinding pun mengggunakan gaba-gaba (bilik). Jika dilihat dari bentuknya, sekeliling rumah ditutupi oleh gaba-gaba (bilik), dimana gaba-baga tersebut memiliki celah kecil sehingga udara dapat masuk. Kondisi ini bagi masyarakat masa lalu membuat mereka nyaman karena tidak merasakan kepanasan dan kedinginan karena kondisi udara menyesuikan dengan suhu badan penguninya (Wawancara, 2016). Jumlah jendela tidak terlalu banyak akan tetapi ketika matahari bersinar dapat masuk keseluruh penjuru rumah. Sehingga masyarakat ketika untuk menghangatkan tubuh tidak perlu berjemur 80

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


kotor diperkirakan terkontrol karena kolong rumah semuanya terbuka. Halaman depan rumah dapat dimanfaat untuk menanam berbagai jenis tanaman yang dapat digunakan oleh keluarga. Tanaman yang biasa di tanam yakni tanaman obat yang memang dapat tumbuh dengan baik. Seperti nampak pada foto tersebut. Selain itu, halaman rumah pun nampak bersih dan indah. Setiap rumah panggung yang dibangun tidak menjorok ke jalan raya ataupun lorong jalan, karena memungkinkan bahwa orangorang pada masa lalu pada saat mereka akan membangun rumah mempertimbangkan aspek kesehatan lingkungan dan tidak menghalangi tetangga yang ada di sekitar rumah yang dibangun. Sehingga tidak hanya aspek kebersihan akan tetapi toleransi dalam bertetangga pun sudah sudah menjadi nilai-nilaikehidup yang sangat dipertimbangkan. Pada jaman dulu masyarakat membangun rumah dengan membangun rumah panggung. Kondisi ini jika dilihat tidak begitu menonjolkan aspek status sosial yang sangat tinggi, karena setiap rumah hampir sama, adapun yang membedakannnya antara satu rumah dengan rumah lainnya yakni besarnya rumah tersebut. Kalaupun bahan yang digunakan untuk membangun rumah pun tidak begitu menunjukkan perbedaan yang signiďŹ kan. Sehingga status sosial masyarakat yang satu dengan yang lainnya tidak nampak perbedaan. Aspek kesehatan dan toleransi bermasyarakat pun menjadi perhatian di antara masyarakat sekitar.

langsung di bawah terik matahari, mereka cukup duduk di dekat jendela dan sinar matahari dapat langsung menyentuh tubuh. Untuk tempat mandi dan lainnya biasanya berada di luar rumah atau di halaman bagian belakang yang tidak jauh dari dapur. Hal ini secara kesehatan tidak mengganggu kondisi udara dalam ruangan rumah. Aspek kebersihan lingukang sekitar sangat diperhatikan. Selain kebersihan di dalam rumah juga kenersihan lingkungan luar sekitr rumah pun terjaga. Bagian kolong atau bawah dari rumah panggung membuat sirkulasi udara dapat masuk juga dari bawah rumah. Sirkulasi udara bersih dan

Melihat kondisi tersebut sesungguhnya pelestarian terhadap rumah panggung yang masih ada sangat perlu diperhatikan, sehingga keberadaan rumah panggung ini akan menjadi suatu ciri masyarakat sunda yang ada di wilayah Jawa Barat. Meskipun secara bentuk rumah panggung memiliki berbagai bentuk, akan tetapi semua bentuk rumah panggung tersebut sangat memperhatikan aspek kesehatan dalam kehidupan dan mungkin saja secara tidak sadar salah satu yang membuat hidup sehat dengan sirkulasi udara dan sinar matahari yang cukup dan baik. Hidup sehat dapat berawal dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal (rumah). Rumah sebagai tempat tinggal dapat mempengaruhi kepada perilaku hidup sehat. Pada jaman dahulu masyarat lebih senang membangun rumah dengan rumah panggung, karena secara

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

81


kesehatan dapat terlihat langsung. Sirkulasi udara berjalan dengan baik dari berbagai penjuru rumah karena rumah yang dibangun seluruhnya ditutupi gaba-gaba (bilik). Sinar matahari dapat langsung menyentuh seluruh penjuru dalam rumah. Akan tetapi kondisi ini berbalik dengan kondisi jaman sekarang, di mana masyarakat lebih senang membangun rumah dengan bentuk permanen dengan menggunakan tembok. Kondisi rumah panggung sekarang sudah jarangditemukan. Sehingga perlu pelestarian terhadap rumah panggung yang masih ada sampai sekarang, karena keadaan rumah panggung sekarang merupakan warisan budaya masa lampau.

DAFTAR PUSTAKA Saprudin, dkk. 2012. Penelusuran Lapangan Mengenai Warisan Budaya masa lampau dalam wujud ďŹ sik dan ďŹ sik. Survey Awal Penelitian Saprudin, dkk. 2012. Tradisi Beluk Jampang Kulon. Laporan Penelitian Hibah Bersaing; Tim Ahli Budaya. 2016. Potensi Seni Budaya Kawasan Geopark Ciletuh. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat; Tim Ahli Budaya. 2017. Potensi Seni Budaya Kawasan Geopark Ciletuh. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat

Foto: Humas Bappeda Jabar

82

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018



Foto: Humas Bappeda Jabar

84 Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


R E H AT

Moda Transportasi Masal Masa Depan Di Kota Tasikmalaya

Oleh: Sandy Perdana (Pejabat Fungsional Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Tasikmalaya)

Upaya Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam membangun wilayahnya terus dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengatur sistem transportasi baik yang bersifat antar


P

erkembangan suatu kota tidak terlepas dari pembangunan yang terjadi pada wilayah p e r ko t a a n t e r s e b u t . Pe m b a n g u n a n infrastruktur, peningkatan derajat kesehatan, meningkatnya kualitas pendidikan, meningkatnya kesejahteraan masyarakat merupakan beberapa indikator keberhasilan sebuah kota dalam mengelola wilayahnya. Pertumbuhan penduduk yang tidak dapat dikendalikan, munculnya beberapa wilayah kumuh dan tingginya angka kriminalitas merupakan konsekuensi sebuah wilayah yang berkembang khususnya di daerah perkotaan. Hal-hal tersebut diatas merupakan beberapa masalah yang umumnya terjadi pada daerah perkotaan. Tentunya hal ini dapat mengganggu keberlangsungan suatu kota tersebut khususnya dalam pengaturan sebuah kota. Kota-kota yang sudah berkembang dan maju pada umumnya memiliki aturan mengenai tata ruang dalam mengatur wilayahnya. Bagaimana membagi wilayah menjadi daerah pusat kota(Central Business District), daerah penyangga (Buffer Area), daerah permukiman (Settlement Area), daerah industri (Industry Area) atau daerah pertanian (FarmingArea) sehingga jika diperhatikan maka akan terlihat bagaimana sebuah kota yang tertata dengan baik. Konsekuensi penerapan aturan mengenai tata ruang adalah adanya factor x (jarak), factor c (biaya) dan rent (sewa), ketiga factor tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh William Alonso (dalam Yunus,2000:77) membahas tentang teori bid–rent analysis (sewa tanah), dimana penyebaran keruangan kegiatan industri berlokasi diantara perumahan dan retail. Semakin dekat dengan pusat kota (pusat perdagangan) maka harga (sewa) tanahsemakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Dengan kata lain, sewa yang ditawarkan orang untuk membayar tanah per meter perseginya, menurun mengikuti jaraknya dari pusat kota (komersial/perdagangan). Dengan kata lain ada bargaining position antara memilih lokasi yang dekat dengan tempat bekerja dengan harga sewa yang tinggi atau memilih lokasi yang jauh dari tempat bekerja dengan harga sewa murah dan menambah biaya transport. Tentunya hal ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan individual tersebut, sehingga tidak 86

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

jarang banyak muncul penyewaan rumah dengan kondisi yang kurang layak sehingga menyebabkan muncul daerah kumuh perkotaaan. Dalam hal ini suatu pemangku kebijakan sangat berperan dalam mengatur sebuah wilayahnya sehingga terwujud kota yang diharapkan oleh masyarakatnya dengan berbagai macam kebijakan dibidang transportasi, tata ruang, permukiman, kesehatan dan lain-lain. Melihat perkembangan Kota Tasikmalaya yang ditetapkan sebagai Wilayah Pengembangan Priangan Timur – Pangandaran dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029 dan jumlah penduduk dari tahun 2010 sebesar 639.987 jiwa sampai dengan tahun 2016 sebesar 659.606 jiwa berarti mengalami peningkatan sebesar 19.619 jiwa atau tingkat laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,64%,hal ini menandakan bahwa Kota Tasikmalaya termasuk Kota yang mengalami perkembangan cukup signifikan. Selain menjadi daya tarik sebagai kota industri dan perdagangan untuk priangan timur, Kota Tasikmalaya memiliki posisi yang sangat strategis dalam konstelasi wilayah di Jawa Barat, sehingga hal ini menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam upaya mengembangkan priangan timur dengan merencanakan pembangunan jalan tol dari Bandung sampai dengan Kota Banjar. Dengan ditetapkannya Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Wilayah Pengembangan Priangan Timur – Pangandaran respon yang dilakukan oleh P e m e r i n t a h K o t a Ta s i k m a l a y a d e n g a n merencanakan perkembangan kota dalam Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 4 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tasikmalaya Tahun 2011 – 2031 yang didalamnya berupa kebijakan Pemerintah Daerah dalam p e n a t a a n r u a n g s e s u a i d e n g a n Re n c a n a Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Tasikmalaya yang disesuaikan dengan kondisi socialmasyarakat. Pusat kegiatan masyarakat Kota Tasikmalaya berada sepanjang koridor H. Zaenal Mustafa, Jalan Cihideung, Jalan Pasar Wetan, Jalan Doktor Soekarjdo, Jalan Sutisna Senjaya, Jalan Pataruman yang merupakan satu blok yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Tasikmalaya sebagai Central Business District (CBD) yang berfungsi sebagai Pusat Pelayanan Kota (PPK) yang melayani regional wilayah disekitarnya. Dampak


yang ditimbulkan akibat dari pusat pelayan adalah bangkitnya lalu lintas, pusat pedagang kaki lima, pusat hunian sementara, penyerapan tenaga kerja dan lain-lain yang menyebabkan beban dari wilayah tersebut menjadi overload sehingga pelayanan terhadap masyarakat belum optimal. Upaya Pemerintah Kota Tasikmalaya dalam membangun wilayahnya terus dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan mengatur sistem transportasi baik yang bersifat antar wilayah atau luar wilayah. Tercatat sampai dengan akhir tahun 2015, terdapat 21 trayek angkutan kota yang melayani hampir seluruh wilayah kota dan 3 rencana trayek baru guna membuka akses ke lokasi yang belumtersentuh oleh angkutan umum. Selain upaya pengaturan sistem transportasi, Pe m e r i n t a h Ko t a Tas i k m a l a y a m e l a k u k a n pembangunan jalan lingkar yang berfungsi untuk mengurai titik-titik kemacetan baik yang menghubungkan wilayah Timur-Barat maupun Utara-Selatan yang saat ini pada jam tertentu (peak hour) sering menjadi simpul kemacetan. Oleh karena itu, kebijakan membangun jalan lingkar luar Kota Tasikmalaya merupakan solusi yang jitu.

S a m pa i a k h i r t a h u n 2 0 1 5 , r u a s j a l a n Mangkubumi dan Indihiang sudah dapat dioperasionalkan dengan normal, walaupun masih perlu banyak penyempurnaan seperti ketersediaan marka jalan dan kelengkapan jalan lainnya. Di rencanakan pada tahun 2016 pembangunan ruas 1 lingkar luar Utara akan mulai dilaksanakan yang mengambil titik awal Pos AU sampai dengan Karang Resik yang pembebasan lahannya telah dilaksanakan pada tahun 2015. Diharapkan akhir tahun 2016, ruas lingkar utara tahap 1 Pos AU – Karang Resik dapat operasional sehingga membuka akses Utara – Timur yang menghubungkan antara wilayah Manonjaya – Ciamis. Selanjutnya diharapkan ruas lingkar utara tahap 2 Karang Resik – Letjen Ibrahim Adjie dan l i n g k a r s e l a t a n A . H . N a s u t i o n – Pe r i n t i s Kemerdekaan dapat dilaksanakan sehingga akhir perencanaan tata ruang Tahun 2031 jalan lingkar di Kota Tasikmalaya sudah terhubung.

Gambar Lingkar Kota Tasikmalaya sumber RTRW Kota Tasikmalaya

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

87


Foto: Humas Bappeda Jabar

perlu benar-benar direncanakan dengan sebaikbaiknya.

Moda Transportasi Masal Masa Depan Kota Tasikmalaya Perkembangan sebuah kota tidak terlepas faktor-faktor internal maupun eksternal yang mempengaruhinya. Sebagai contoh, Ibu kota Negara, Jakarta, pada medio 1970 jalanan di beberapa ruas kota dibuat sesuai dengan kebutuhan tanpa memper timbangkan perkembangan kota tersebut, pembangunan yang cukup pesat di hampir seluruh wilayah kota, mengakibatkan banyaknya pendatang yang bekerja mencari nafkah yang pada akhirnya m e n e t a p d i Ko t a Ja k a r t a . D a m pa k y a n g ditimbulkan pada awal tahun 2000-an adalah perkembangan jumlah kendaraan yang cukup melonjak dengan kemudahan untuk memiliki kendaraan tidak diiringi dengan meningkatnya kapasitas jalan atau penambahan jalan baru, sehingga akibatnya muncul beberapa titik-titik kemacetan. Selain itu, ketidakmampuan pemerintah untuk menciptakan moda transportasi masal yang nyaman dan aman merupakan faktor utama yang mendorong masyarakat untuk memiliki kendaraan. Pa d a a k h i rn y a ke b i j a k a n y a n g d i l a k u k a n pemerintah adalah dengan memberlakukan sistem 3 in 1 pada ruas dan jam ter tentu ser ta menciptakan moda transportasi yang nyaman seperti busway, APTB dan lain-lain. Berkaca dari pengalaman Kota Jakarta, bukan tidak mungkin Kota Tasikmalaya yang pada saat ini dikategorikan sebagai kota besar (mengacu kepada jumlah penduduk antara 500.000 – 1.000.000 jiwa) akan berkembang menjadi salah satu kota yang menjadi pusat pertumbuhan di priangan timur atau bahkan Jawa Barat sesuai dengan visi “Dengan Iman dan Takwa Kota Tasikmalaya sebagai Pusat Perdagangan dan Industri Termaju di Jawa Barat” maka hal-hal yang menyangkut dengan system transportasi masal 88

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018

Perlu dipahami, bahwa Pemerintah Daerah berkewajiban untuk dapat melayani masyarakatnya dalam hal ini menyediakan moda transportasi yang baik, nyamandan ramah lingkungan. Konsep yang cocok diterapkan untuk di Kota Tasikmalaya adalah mengembangkan moda transportasi masal yang bersifat komuter (Commuter) artinya menyediakan sistem transportasi yang terkoneksi dengan angkutan kota bagi pekerja yang berasal dari luar pusat kota dengan menyediakan beberapa pemberhentian (shelter) sebagai tempat koneksi dengan angkutan umum. Sehingga masyarakat akan dengan mudah menuju lokasi yang dituju tanpa harus membawa kendaraan pribadi. Adapun konsep komuter ini sangat sederhana dan tidak banyak mengeluarkan biaya yang cukup besar, yaitu dengan memanfaatkan ketepatan waktu dan tarif yang terjangkau oleh masyarakat dengan sistem flat. Artinya waktu keberangkatan untuk masing-masing armada sudah diatur berdasarkan kajian yang dibuat, apakah dengan selang waktu 15 menit, 20 menit atau 30. Sehingga masyarakat akan lebih mengetahui dengan pasti kapan armada tersebut ada pada tiap shelternya. Sebagai gambaran jarak total jalan lingkar Kota Tasikmalaya adalah + 34,2 km dengan jumlah shelter 18 unit sesuai dengan jumlah persimpangan dan tempat strategis lainnya. Waktu tempuh tiap-tiap armada dengan kecepatan ratarata 40km per jam dan untuk tiap-tiap shelter maksimal berhenti 1 menit, dengan 18shelter maka akan menghabiskan waktu 18 menit, sehingga jarak tempuh untukkembali ke tempat awal + 1 jam.

Berikut ilustrasi untuk masing-masing ruas dengan jumlah shelter pemberhentiannya. 1. Mulai Terminal Indhiang – AH. Nasution (7,7 km) Rute ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk mengoptimalkan lahan terminal yang belum efektif dan efisien, artinya jika armada bus trans tasik yang memanfaatkan terminal sebagai tempat pemberhentian awal dan akhir maka system angkutan di Tasikmalaya akan terintegrasi dengan baik, dengan kata lain, penumpang bus dari terminal Indihiang akan bisa langsung menggunakan moda lain untuk menuju tujuan akhir.


2. A H . N a s u t i o n – P e r i n t i s Kemerdekaan (8,6 Km) Untuk ruas ini, merupakan penghubung antara wilayah barat dengan wilayah selatan Kota Tasikmalaya atau dikenal dengan Lingkar Selatan, mulai dari shelter AH. Nasution – Cibeuti – Perintis Kemerdekaan.

Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018 Warta Bappeda

89


3. Perintis Kemerdekaan – Pos AU (6,4 Km) Ruas ini merupakan ruas yang sudah ada, yaitu jalan Mashudi yang menghubungkan antara persimpangan perintis kemerdekaan dengan pos AU Wiriadinata (Bandara Komersil Kota Tasikmalaya).

4. Pos AU – Terminal Indihiang. (9,5 Km) Dan ruas terakhir merupakan ruas yang menghubungkan antara Pos AU dengan Terminal Indhiang atau disebut dengan lingkar utara, ini merupakan ruas yang menghubungkan antara Bandara dengan Terminal.

Foto-foto: Istimewa

Demikian gambaran mengenai moda transportasi masa depan di Kota Tasikmalaya yang diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merencanakan sistem transportasi di masa depan. Untuk dapat dengan pasti dan tepat dalam menentukan moda transportasi dan sistem yang dilakukan maka diperlukan kajian lebih lanjut baik dari aspek social kemasyarakatan, cost beneďŹ t, kebijakan dan lain sebagainya. Semoga ke depan Kota Tasikmalaya menjadi salah satu kota dengan sistem transportasi masal terbaik.

90

Warta Bappeda Volume 30 Nomor 118 April - Juni 2018


21 Agustus 2018


bappeda.jabarprov.go.id

e-mail: wartabappedajabar@yahoo.com

Foto: Humas Bappeda

Masjid Al Jabar Rancabuaya

sumber informasi perencanaan pembangunan jawa barat C Bappeda Provinsi Jawa Barat

@bappedajabar

@bappedajabar

Bappeda Provinsi Jawa Barat


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.